View
245
Download
3
Category
Preview:
Citation preview
[Type text]
Maskulinitas dalam Novel
Diajukan Sebagai Salah Satu Syarat untuk Memperoleh
FAKULTAS ILMU PENGETAHUAN BUDAYAPROGRAM STUDI ILMU SUSASTRA
UNIVERSITAS INDONESIA
Maskulinitas dalam Novel Revolutionary RoadKarya Richard Yates
TESIS
Diajukan Sebagai Salah Satu Syarat untuk Memperoleh Gelar Magister Humaniora
FIRSTA PRIMORDIYANTI NPM. 0706306674
FAKULTAS ILMU PENGETAHUAN BUDAYAPROGRAM STUDI ILMU SUSASTRA
DEPOK JULI 2010
Revolutionary Road
Diajukan Sebagai Salah Satu Syarat untuk Memperoleh
FAKULTAS ILMU PENGETAHUAN BUDAYA PROGRAM STUDI ILMU SUSASTRA
Maskulinitas dalam..., Firsta Primordiyanti, FIB UI, 2010
Universitas Indonesia
SURAT PERNYATAAN BEBAS PLAGIARISME
Saya yang bertanda tangan di bawah ini dengan sebenarnya menyatakan bahwa
tesis ini saya susun tanpa tindakan plagiarism sesuai dengan peraturan yang
berlaku di Universitas Indonesia.
Jika di kemudian hari ternyata saya melakukan tindakan Plagiarisme, saya akan
betanggung jawab sepenuhnya dan menerima sanksi yang dijatuhkan oleh
Universitas Indonesia kepada saya.
Depok,
Firsta Primordiyanti
Maskulinitas dalam..., Firsta Primordiyanti, FIB UI, 2010
Universitas Indonesia
HALAMAN PERNYATAAN ORISINALITAS
Tesis ini adalah hasil karya saya sendiri,
dan semua sumber baik yang dikutip maupun dirujuk
telah saya nyatakan dengan benar.
Nama : Firsta Primordiyanti
NPM : 0706306674
Tanda Tangan :
Tanggal : 15 Juli 2010
Maskulinitas dalam..., Firsta Primordiyanti, FIB UI, 2010
Universitas Indonesia
HALAMAN PENGESAHAN
Tesis yang diajukan oleh : Nama : Firsta Primordiyanti NPM : 0706306674 Program Studi : Ilmu Susastra Judul : Maskulinitas dalam Novel Revolutionary Road
Karya Richard Yates
ini telah berhasil dipertahankan di hadapan Dewan Penguji dan diterima sebagai bagian persyaratan yang diperlukan untuk memperoleh gelar Magister Humaniora pada Program Studi Ilmu Susatra, Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya, Universitas Indonesia.
DEWAN PENGUJI
Pembimbing : Dr. Mina Elfira ( )
Penguji : Prof. Dr. Titik Pudjiastuti ( )
Penguji : Prof. Melani Budianta, Ph.D.( )
Ditetapkan di : Depok Tanggal : 15 Juli 2010
Oleh
Dekan Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia Dr. Bambang Wibawarta NIP. 196510231990031002
Maskulinitas dalam..., Firsta Primordiyanti, FIB UI, 2010
Universitas Indonesia
UCAPAN TERIMA KASIH
Puji syukur kehadirat Allah SWT atas rahmat dan karunia-Nya sehingga penulisan
tesis ini dapat diselesaikan dengan baik. Saya menyadari bahwa, tanpa bantuan
dan bimbingan dari berbagai pihak, dari masa perkuliahan sampai pada
penyusunan tesis ini, sangatlah sulit bagi saya untuk menyelesaikan tesis ini. Oleh
karena itu, saya mengucapkan terima kasih kepada:
1. Dr. Bambang Wibawarta selaku Dekan Fakultas Ilmu Pengetahuan
Budaya Universitas Indonesia.
2. Dr. Mina Elfira selaku pembimbing yang dengan tulus ikhlas dan sabar
bersedia meluangkan waktu, tenaga, pikiran dan perhatian yang tinggi
dalam memberikan bimbingan dan arahan mulai dari penyusunan proposal
sampai dengan penyusunan tesis ini.
3. Prof. Melani Budianta, Ph.D. dan Prof. Dr. Titik Pudjiastuti selaku penguji
tesis yang telah memberikan saran dan masukan yang bermanfaat guna
penyempurnaan tesis ini.
4. Ayahanda dan ibunda tercinta; Hi. Samsul Achsan dan Siti Suwarsih atas
semua dukungan moril, materil, doa, ridho, dan segalanya yang sudah
diberikan kepada saya. Semoga dengan capaian ini bisa memberikan
kebahagiaan dan kebanggaan bagi ayahanda dan ibunda karena inilah
salah satu bentuk bakti saya. Juga kepada adik-adikku tercinta; Annafi
Dwi Putri, SE.,Annisa Mulyanantina, Sa’adaturrahma, dan Muhammad
Auliak Akbar yang selalu memahami dan menyayangi saya.
5. Bapak dan Ibu mertua; Drs. Iskandar Saleh, M.Pd. dan Nurhayati beserta
seluruh kakak ipar dan adik ipar; Fredy Iskandar, S.E., Edward Iskandar,
Maskulinitas dalam..., Firsta Primordiyanti, FIB UI, 2010
Universitas Indonesia
A.Md., Ratih, Penta Eka Novarinda, dan Setiawan yang telah memberikan
semangat dan dorongan kepada saya selama menempuh pendidikan ini.
6. Yang teristimewa untuk yang tercinta suami Hendra Iskandar, S.S. yang
selalu memberikan semangat dan dukungan penuh teriring do’a yang
dalam, serta anakku tercinta Gallant Zishan Iskandar yang tersayang yang
dengan penuh kesabaran dan selalu berdo’a menanti keberhasilan saya
selama pendidikan ini.
7. Dosen yang telah memberikan bekal bagi saya melalui materi-materi
kuliah yang serius dan sangat memadai sehingga bermanfaat serta bernilai
guna yang tinggi dalam penyempurnaan penulisan tesis ini. Juga kepada
seluruh tenaga Administrasi yang dengan tulus ikhlas melayani keperluan
saya selama menjalani studi dan penulisan tesis ini.
8. Sahabat dan teman yang telah banyak membantu selama proses kuliah dan
penulisan tesis ini; Liestiana Heppy Kurniawati, Fitria Mayasari, Dika
Pratiwi, Dewi Anggraeni, Ely Nurmaily, Indah Fajaria, Gindho Rizano,
dan Samanik.
Semoga Allah SWT memberikan pahala yang berlipat ganda atas segala kebaikan
yang telah diberikan kepada saya dan semoga penulisan tesis ini bermanfaat bagi
pengembangan ilmu dan semua pihak yang berkepentingan.
Depok, 15 Juli 2010
Penulis
Maskulinitas dalam..., Firsta Primordiyanti, FIB UI, 2010
Universitas Indonesia
HALAMAN PERNYATAAN PERSETUJUAN PUBLIKASI TUGAS
AKHIR UNTUK KEPENTINGAN AKADEMIS
Sebagai sivitas akademik Universitas Indonesia, saya yang bertanda tangan di bawah ini: Nama : Firsta Primordiyanti NPM : 0706306674 Program Studi : Ilmu Susastra Departemen : Sastra Inggris Fakultas : Ilmu Pengetahuan Budaya Jenis Karya : Tesis demi pengembangan ilmu pengetahuan, menyetujui untuk memberikan kepada Universitas Indonesia Hak Bebas Royalti Noneksklusif (Non-exclusive Royalty-Free Right) atas karya ilmiah saya yang berjudul:
Maskulinitas dalam Novel Revolutionary Road Karya Richard Yates beserta perangkat yang ada (jika diperlukan). Dengan Hak Bebas Royalti Noneksklusif ini Universitas Indonesia berhak menyimpan, mengalihmedia/formatkan, mengelola dalam bentuk pangkalan data (database), merawat, dan memublikasikan tugasakhir saya selama tetap mencantumkan nama saya sebagai penulis/pencipta dan sebagai pemilik Hak Cipta. Demikian peryataan ini saya buat dengan sebenarnya.
Dibuat di : Depok Pada Tanggal : 15 Juli 2010 Yang menyatakan Firsta Primordiyanti
Maskulinitas dalam..., Firsta Primordiyanti, FIB UI, 2010
Universitas Indonesia
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL……………………………………………………… .i SURAT PERNYATAAN BEBAS PLAGIARISME………………… ... ii HALAMAN PERNYATAAN ORISINALITAS……………………… . iii LEMBAR PENGESAHAN……………………………………………….. iv UCAPAN TERIMA KASIH……………………………………………… v LEMBAR PERSETUJUAN PUBLIKASI KARYA ILMIAH……………vi ABSTRAK ……………………………………………………………….. vii ABSTRACT………………………………………………………………...viii DAFTAR ISI ……………………………………………………………… .ix
1. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah ………………………………………….. 1 1.2. Rumusan Masalah ………………………………………………… 10 1.3. Tujuan Penelitian …………………………………………………. 10 1.4. Metode Penelitian ………………………………………………… 10 1.5 Landasan Teori
1.5.1 Gender, Patriarki, dan Konstruksi Personal (Personal Construction) ……………………………………………... 11
1.5.2 Maskulinitas……………………………………………….. 15 1.6 Sistematika Penulisan ………………………………………………16
2. KONTEKS SOSIAL AMERIKA ERA 1950AN 2.1 Fenomena Baby Boom dan Kehidupan Suburban ……………….. 18 2.2 Teknologi dan Media Amerika di Era 1950an …………………… 22
3. REKONSTRUKSI MASKULINITAS FRANK DI TENGAH BUDAYA PATRIARKAL
3.1. Nilai Maskulinitas dan Femininitas Masyarakat Suburban dalam Novel Revolutionary Road…………………………………... 25 3.1.1 Nilai-nilai Femininitas Masyarakat Suburban……………….. .. 30
3.1.1.1. April Wheeler dan “The Laurel Players”: Bentuk Pengaktualisasian Diri……………………………… 31
3.1.1.2. Femininitas April Wheeler dan Mrs. Givings: Representasi Bentuk Femininitas Baru Perempuan Suburban……………………………………………... 34
3.1.1.3 Femininitas April Wheeler dan Milly Campbell: Bentuk Ideal Femininitas Perempuan Suburban………38
Maskulinitas dalam..., Firsta Primordiyanti, FIB UI, 2010
Universitas Indonesia
3.1.1.4. Resistensi April Wheeler Terhadap Nilai Femininitas Tradisional Suburban………………………………..…40
3.1.1.5. Maureen Grube: Representasi Femininitas Modern New York……………………………………..46
3.1.1.6. Propaganda Media dan Teknologi……………………..48 3.1.2 Nilai-nilai Maskulinitas Masyarakat Suburban………..................49 3.1.2.1. Frank Wheeler dan Shep Campbell:
Nilai-Nilai Ideal Maskulinitas Suburban……………….50 3.1.2.2. Frank Wheeler dan Givings:
Pencitraan Maskulinitas Baru………………………..…53 3.1.2.3. Maskulinitas Frank Wheeler di Tengah
Budaya Patriarkal Masyarakat Suburban………………55 3.2 Rekonstruksi Maskulinitas Frank Wheeler……………………………..59
3.2.1 Relasi Frank Wheeler dan Tokoh Laki-laki Lain ..........................59 3.2.2 Relasi Frank Wheeler dan Tokoh Perempuan Lain …………...…62
4. KESIMPULAN …………………………………………………………...77
DAFTAR PUSTAKA ………………………………………………………...80
Maskulinitas dalam..., Firsta Primordiyanti, FIB UI, 2010
ABSTRAK
Nama : Firsta Primordiyanti
Program Studi : Ilmu Susastra
Judul : Maskulinitas dalam Revolutionary Road Karya Richard Yates
Tesis ini mengkaji novel Revolutionary Road karya Richard Yates melalui kerangka gender. Analisis tesis ini akan membahas proses pergulatan rekonstruksi maskulinitas yang ditampilkan oleh tokoh Frank melalui femininitas tokoh April dan relasi para tokoh dalam novel tersebut. Dengan latar masyarakat suburban Amerika tahun 1950an, perekonstruksian maskulinitas Frank mengalami tarik menarik antara konteks sosial yang melatarbelakangi dan representasi para tokohnya. Nilai-nilai budaya suburban yang patriarki dibenturkan dengan sikap April yang mengusung nilai feminitas masyarakat New York yang modern. Hasil akhir dari penelitian ini menunjukkan bahwa melalui sikap April yang dengan cara bunuh diri (mengaborsi kandungannya) mampu merubah konstruksi maskulinitas Frank yang patriarkal di tengah budaya masyarakat suburban yang tradisional.
Kata kunci:
Maskulinitas, femininitas, suburban, stereotipe, domestisitas, patriarki.
Maskulinitas dalam..., Firsta Primordiyanti, FIB UI, 2010
ABSTRACT
Name : Firsta Primordiyanti
Study Pogram : Literature Studies (English Literature)
Judul : Reconstruction of Masculinity in
Richard Yates’s Revolutionary Road
This thesis analyses Richard Yates’s novel Revolutionary Road through gender framework. It unfolds the process of reconstruction of Frank’s masculinity through the femininity of April and characters relation in the novel. By having suburban America society in 1950a as the cultural and historical background of the novel, Frank’s masculinity reconstruction faces polemics which relates social context as its background and representation of characters. Suburban’s patriarchy cultures which constructs Frank’s masculinity is reconstructed by April’s femininity. The final result of this analysis, Frank’s masculinity is reconstructed by the suicide action (abortion) of April.
Keywords:
Masculinity, femininity, suburb, stereotype, domesticity, patriarchy.
Maskulinitas dalam..., Firsta Primordiyanti, FIB UI, 2010
Universitas Indonesia
BAB 1
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Pada masa berakhirnya Perang Dunia ke-2 (untuk selanjutnya disingkat menjadi
PD II), babak baru kehidupan dimulai pada masa itu. Industri Amerika mulai
berkembang kembali dan menciptakan pekerjaan-pekerjaan baru. Tidak hanya
pembangunan dalam bidang ekonomi dan politik saja yang berkembang tetapi
juga muncul femonema Baby Boom1 di sebagian besar keluarga Amerika. Fakta
tersebut dinyatakan oleh Risjord (1985: 831) di dalam bukunya yang berjudul
America: A History of the United States. Lebih jauh lagi dijelaskan mengenai
fenomena Baby Boom, Risjord (1985: 831) menunjukkan indeks angka kelahiran
bahwa jumlah bayi yang dilahirkan setiap tahunnya bertambah sangat pesat.
Dalam jarak waktu dari tahun 1940 sampai 1957, angka kelahiran naik 50 persen
yang merupakan peningkatan jumlah kelahiran terbesar yang pernah didata
dimana pun.
Baby Boom juga merupakan penyebab sekaligus dampak dari kepindahan
masyarakat Amerika ke pinggiran kota. Masyarakat Amerika berharap bahwa
kehidupan pinggiran kota dapat memberikan kemakmuran bagi keluarga besar
mereka, (Cincotta, 2004: 333). Risjord juga menyatakan bahwa fenomena tersebut
didasari pada keinginan masyarakat Amerika pada kehidupan normal setelah
perang, seperti yang terlihat pada kutipan berikut;
…… For a generation Americans had been summoned by one call after another—the New Deal Revolution, hot war, cold war, the Communist purge—and, consciously or not, they felt the need to relax. By the mid-1950s they were engaged in a frenzied pursuit of normalcy. (Risjord, 1985: 830)
1 Lebih dari 32 juta bayi dilahirkan sejak 1950. Kenneth E. Beer. 1961. The U.S.A. Answers. New York: U.S. and World Publications, Inc. hal. 22
Maskulinitas dalam..., Firsta Primordiyanti, FIB UI, 2010
Universitas Indonesia
Akan tetapi, secara berbeda dinyatakan oleh Ritchie (1985: 719) bahwa kehidupan
pinggiran kota (suburb) memberikan tekanan konformitas yaitu pentingnya
mengadopsi gaya hidup yang sama bagi seluruh keluarga suburban. Lingkungan
suburban biasanya dihuni oleh masyarakat yang memiliki pendapatan yang sama,
dan peran laki-laki dan perempuan yang sama di setiap keluarga. Kehidupan
keluarga di tahun 1950-an, khususnya keluarga yang tinggal di pinggiran kota
merupakan kehidupan keluarga dengan konsep tradisional, yaitu laki-laki berperan
sebagai pencari nafkah dan perempuan berperan sebagai ibu rumah tangga
(Ritchie, 1985: 721).
Selanjutnya, Cincotta (2004) dalam bukunya “Garis Besar Sejarah Amerika”
mengungkapkan selama tahun 1950-an, rasa konformitas tumbuh di masyarakat.
Keselarasan menjadi pemandangan lazim, saat orang tua dan muda mengikuti
norma-norma kelompok dan tidak menuruti norma mereka sendiri. Sekalipun
kaum pria dan wanita terpaksa menjalani pola pekerjaan baru selama Perang
Dunia II, begitu perang usai, peran tradisional kembali hidup. Kaum pria
diharapkan menjadi pencari nafkah, sementara wanita, sekalipun bekerja,
menjalani perannya sebagai ibu rumah tangga, “Women ought to be delighted to
give up any job and return to their proper sphere in the kitchen” (Ritchie, 1985:
691).
Selama tahun 1950-an tekanan sosial yang mengatur perempuan untuk tetap di
rumah menimbulkan reaksi masyarakat dengan kemunculan beberapa artikel di
majalah perempuan dan buku yang beredar pada masa itu. Keterangan mengenai
tekanan sosial dipaparkan dalam sebuah artikel2 yang menyatakan tentang istilah
“The "M.R.S." Degree”. Istilah tersebut mengacu pada kondisi pada tahun 1950-
an bahwa perempuan diharuskan untuk memfokuskan aspirasi mereka pada
pernikahan sehingga angka pernikahan pasangan dengan usia muda di Amerika
terus meningkat. Perempuan yang tidak melanjutkan pendidikan di sekolah
menengah atau di perguruan tinggi untuk menikah, dianggap masyarakat sebagai 2 “People & Events: Mrs. America: Women's Roles in the 1950s“, dalam
http://www.pbs.org/wgbh/amex/pill/peopleevents/p_mrs.html, diakses pada 15 April 2009.
Maskulinitas dalam..., Firsta Primordiyanti, FIB UI, 2010
Universitas Indonesia
norma yang berlaku di masyarakat dan yang seharusnya dilakukan oleh
perempuan. Stereotip perempuan pada umumnya di masa itu adalah perempuan
menjalani pendidikan di sekolah untuk mendapatkan M.R.S degree, yang berarti
seorang suami. Meskipun perempuan memiliki aspirasi lain dalam hidupnya,
norma dominan yang dipromosikan melalui budaya dan media adalah bahwa
seorang suami lebih penting bagi perempuan dibandingkan dengan gelar sarjana.
Selanjutnya, artikel ini juga menyatakan bahwa pada masa itu perempuan
merupakan “happy homemaker”. Oleh karena itu, perempuan pada masa itu
banyak yang berhenti sekolah dan menikah di usia dini.
Ritchie (1985: 721) dalam bukunya yang berjudul Heritage of Freedom: History
of the United Stated memaparkan reaksi masyarakat terhadap tekanan sosial di
atas dengan kemunculan beberapa artikel dan buku pada masa itu. Beberapa judul
artikel tersebut di antaranya; “Should I Stop Work When We Marry?” dan “The
Business of Running at Home.” Ritchie juga mengungkapkan pada masa itu
muncul buku yang populer yang berjudul “Pocket Book of Baby and Child Care”
oleh Dr. Benjamin Spock. Dalam buku tersebut dinyatakan bahwa membesarkan
anak lebih penting dibandingkan dengan mencari uang. Dengan demikian,
konstruksi sosial yang membentuk peranan gender tersebut melegitimasikan relasi
gender antara laki-laki dan perempuan ke dalam bentuk maskulinitas dan
femininitas yang tradisional.
Stereotip yang dibangun oleh konstruksi sosial tersebut mengarah pada stereotip
perempuan yang dinilai mewarisi sifat feminin, yaitu emosional, pasif, inferior,
bergantung, lembut, dan perannya dibatasi pada bidang keluarga; sedangkan laki-
laki dinilai mewarisi sifat-sifat maskulin, yaitu rasional, aktif, superior, berkuasa,
keras, dan menguasai peran masyarakat (Moore, 1988: 14). Stereotipe tersebut
menimbulkan masalah gender yang bermula dari pandangan universal, yaitu
bahwa kebudayaan yang di dalamnya terdapat proses pendidikan berusaha
menguasai dan mengelola alam untuk keperluan manusia. Dalam hal ini, laki-laki
diidentifikasikan dengan kebudayaan (culture) dan perempuan diidentifikasikan
dengan alam (nature) yang dikuasai dan dikelola oleh laki-laki. Perempuan
diidentifikasikan dengan alam karena kehidupannya dianggap dekat dengan
Maskulinitas dalam..., Firsta Primordiyanti, FIB UI, 2010
Universitas Indonesia
proses biologisnya, yaitu fungsi reproduksinya (Moore, 1988:13). Stereotip ini
terjadi karena dominasi laki-laki dalam kebudayaan dan masyarakat secara umum.
Dominasi ini disebut patriarki.
Istilah patriarki secara umum merujuk kepada kekuasaan laki-laki, hubungan
kuasa melalui mana atau dengan apa laki-laki menguasai perempuan, dan juga
untuk menyebut sebuah sistem yang membuat perempuan tetap dikuasai melalui
berbagai macam cara. Lebih jauh lagi, Patriarki dijelaskan oleh Andrienne Rich
(Bem, 1993: 40) sebagai kekuasaan laki-laki yang meliputi keluarga, ideologi, dan
sistem politik. Dalam ketiga hal ini laki-laki dengan kekuasaannya menindas
perempuan melalui ritual, tradisi, hukum, bahasa, adat-istiadat, etika, pendidikan,
pembagian kerja, aturan mengenai apa yang boleh dan tidak boleh dilakukan oleh
perempuan; yang dalam semuanya ini kedudukan perempuan lebih rendah dari
pada laki-laki.
Patriarki mengurung baik laki-laki dan perempuan pada kotak-kotak identitas
yang tertutup rapat. Pengotakan ini diperparah lagi oleh pemaknaan identitas
perempuan berdasarkan sudut pandang laki-laki. Identitas perempuan adalah
bukan laki-laki yang artinya tidak rasional, tidak publik, dan tidak maskulin.
Kenyataan ini mengarah pada sebuah konsep yaitu dikotomi. Relasi laki-laki dan
perempuan bukanlah relasi sejajar melainkan relasi dominasi. Makna superior
diberikan pada kualitas, sifat, perilaku yang melekat pada identitas laki-laki.
Kualitas, rasionalitas, maskulinitas, publik laki-laki dianggap unggul secara
mutlak atas kualitas emosional, feminin, dan domestik perempuan (Figes, 1986:
13). Posisi superior tersebut berhubungan erat dengan konsep kodrat. Masyarakat
patriarki mengklaim bahwa sudah kodratnya laki-laki untuk menikmati posisi-
posisi istimewa tersebut, bahwa laki-laki secara kodrati “petualang publik” sedang
perempuan “petapa domestik”.
Sekilas sepetinya hanya perempuanlah yang menjadi korban konsep-konsep
patriarki tersebut. Namun, kalau kita simak secara lebih jernih maka laki-laki pun
menjadi korban. Laki-laki dibebani oleh imperatif-imperatif patriarki seperti:
wajib mencari nafkah, wajib tampil rasional, dan lain sebagainya.
Maskulinitas dalam..., Firsta Primordiyanti, FIB UI, 2010
Universitas Indonesia
Figes (1986: 26) menyatakan kekerasan adalah sesuatu yang dipelajari oleh laki-
laki. Kekerasan laki-laki adalah akibat cara yang dipelajari laki-laki untuk
mengekspresikan kemaskulinitasannya dalam interaksinya dengan perempuan,
anak, dan laki-laki lain. Lebih jauh lagi Figes menyatakan bahwa banyak laki-laki
menganggap kekuasaan sebagai kemampuan untuk mendominasi dan
mengendalikan orang lain dan lingkungan sekitarnya. Pola pikir ini membuat
penggunaan kekerasan dapat diterima kaum laki-laki. Kebanyakan kekerasan yang
dilakukan laki-laki adalah upaya yang memperihatinkan untuk menegaskan
kendalinya atas perempuan, anak, dan laki-laki lain. Paradoksnya, sebagian besar
kekerasan yang dilakukan oleh laki-laki dapat dilihat sebagai tanda kelemahan,
rasa tidak aman, dan kekurangan rasa percaya diri yang dikombinasikan dengan
kapasitas untuk melakukan dominasi verbal dan fisik dan perasaan bahwa mereka
selayaknya superior dan memegang kendali.
Ternyata akar-akar dari kekerasan laki-laki terhadap perempuan yang merupakan
turunan dari kekuasaannya, menimbulkan paradoks atau kontradiksi dalam
dirinya. Di satu sisi, laki-laki begitu menikmati kekuasaan sosialnya, berbagai
bentuk “hak-hak istimewa”, dan juga berbagai nilai-nilai dan pranata-pranata yang
melegitimasinya, atau sekurang-kurangnya bersifat permisif atas sikap dan
tingkah lakunya. Namun di sisi lain, jalan atau cara-cara kita membangun dunia
kekuasaan ternyata pada gilirannya melahirkan kesakitan, terisolir dan terasing,
tidak hanya bagi perempuan tapi terutama laki-laki itu sendiri.
Dengan demikian, patriarki tidak hanya menimbulkan masalah bagi perempuan
tetapi juga bagi laki-laki. Permasalahan gender dalam tesis ini mengarah pada
permasalahan pada gender laki-laki yang mengalami tegangan pada sisi
maskulinnya yang teropresi oleh budaya patriarki.
Dalam kaitannya dengan upaya untuk membedah konstruksi sosial dalam
persoalan gender pada tahun 1950-an, penulis perlu mengkaji isu maskulinitas.
Hal ini didasarkan pada pemikiran bahwa maskulinitas merupakan salah satu hal
yang sangat vital untuk memahami permasalahan gender pada masyarakat
Amerika tahun 1950-an.
Maskulinitas dalam..., Firsta Primordiyanti, FIB UI, 2010
Universitas Indonesia
Maskulinitas adalah suatu konsep yang sangat kompleks dan selalu berubah
(shifting). Maskulinitas dapat dipaparkan sebagai nilai-nilai yang membangun
identitas kelaki-lakian dalam masyarakat dan juga sebagai pembatas tentang nilai-
nilai yang bukan feminin. Sebagaimana juga dengan femininitas, maskulinitas
sangat terikat dengan budaya setempat (culture-bound) dan didefinsikan
berdasarkan kondisi setempat. Lebih jauh lagi, Connell (2002: 5) menyatakan,
maskulinitas tidak bersifat tunggal, tetapi beragam dan terkait erat dengan status
sosial-ekonomi. Jenis maskulinitas yang paling banyak ditemui dan paling
dominan adalah hegemonic masculinity yang dicirikan dengan vitalnya peran
penguasaan terhadap sumber daya ekonomi, seperti pekerjaan, dan pentingnya
kontrol laki-laki terhadap perempuan, khususnya di sektor domestik dalam
pembentukan identitas kelaki-lakian. Lebih jauh lagi, maskulinitas tidak akan
tampak dan relevan jika tidak dikontraskan dengan konsep femininitas.
Permasalahan maskulinitas penting untuk dibahas karena masalah tersebut sangat
berkaitan dengan kebudayaan dan masyarakat secara umum. Selain itu,
pembahasan mengenai maskulinitas dapat membuktikan dominasi patriarki yang
kompleks dan selalu berubah. Dominasi tersebut tidak hanya menunjukkan
kekerasan yang dialami oleh perempuan tetapi juga laki-laki dalam pencarian
kelaki-lakiannya. Pemikiran ini berdasarkan pada pernyataan Connell (2002: 4)
bahwa menjadi laki-laki atau perempuan bukanlah sesuatu yang ajeg tetapi
merupakan proses menjadi (becoming) dalam kondisi yang secara aktif di bawah
konstruksi sosial. Selanjutnya, Connell mengutip Simone de Beauvoir “one is not
born, but rather becomes, a woman” yang kemudian menyatakan “Though the
positions of women and men are not simply parallel, the principle is also true for
men: one is not born masculine, but acquires and enacts masculinity, and so
becomes a man” (Connell, 2002:4). Selain itu, Elfira (2008: 41) dalam
penelitiannya mengenai maskulinitas mengutip Meshcherkina (2000: 105) yang
menyatakan maskulinitas dibentuk melalui interaksi yang terjadi baik antara
sesama lelaki maupun antara lelaki dan perempuan. Dengan demikian,
pembahasan maskulinitas tidak terlepas dari pembahasan relasi gender antara laki-
Maskulinitas dalam..., Firsta Primordiyanti, FIB UI, 2010
Universitas Indonesia
laki dan perempuan, serta antara sesama laki-laki yang masing-masing
hubungannya juga berada dalam konstruksi sosial masyarakatnya.
Pengetahuan akan adanya permasalahan maskulinitas dapat juga dilihat melalui
sastra. Pembaca/kritikus/peneliti telah banyak yang mengungkapkan masalah
gender melalui sastra. Fenomena masyarakat pada tahun 1950-an yang
menggambarkan masyarakat luas, menjadi subjek menarik bagi para sastrawan
pada masa itu. PD II memberikan dampak yang signifikan pada perkembangan
kesusastraan Amerika. Kesusastraan yang muncul dari pengalaman PD II dengan
jelas berbeda dari kesusastraan yang muncul setelah Perang Dunia ke-13.
Kesusastraan setelah PD II menunjukkan sebuah bangsa yang sudah bersatu.
Meskipun demikian, kesusastraan Amerika pada masa itu tidak terlepas juga dari
trauma peperangan dan dampak perang akibat senjata nuklir. Selanjutnya,
Kesusastraan Amerika berkembang dan dipengaruhi oleh kejadian-kejadian pada
pertengahan dan akhir abad dua puluh, yaitu ledakan bom atom di tahun 1945,
munculnya televisi, penemuan dan pertumbuhan dominasi komputer,
McCarthyism pada tahun 50-an, pergerakan Civil Right pada tahun 50-an dan 60-
an, perang Korea dan Vietnam, dan pergerakan feminis pada tahun 60-an dan 70-
an.
Novelis-novelis era tahun 50-an (fifties era) yang muncul di antaranya adalah
Eudora Welty dari Mississippi; Saul Bellow dari Chicago; Norman Mailer, Arthur
Miller, dan Bernard Malamud dari Brooklyn; James Baldwin and Ralph Ellison
dari Harlem; Flannery O’Connor dari Georgia; dan lain-lain. Salah satu
karakteristik utama dari para novelis tersebut adalah keterkaitan cerita dan tokoh
dengan dunia di sekitar para penulisnya. Para tokoh dalam cerita seringkali
digambarkan sebagai karakter yang sedang mencari identitas dan mencoba
melepaskan diri dari identitas yang didiktekan oleh jaman pada masa itu. Karya-
3 Seperti terlihat pada kutipan berikut “World War 1 is often referred to as the great dividing point in modern American literature. Before World War 1 the American novel largely depicted the world of good manners and polite society, though there were writers such as William Dean Howells, Stephen Crane and Theodore Dreiser who wrote about the life and desires of the working people. After World War 1 a literary rebellion against old forms and subjects took place. The postwar period was characterized by freedom and a frankness of subject matter, no matter how shocking or controversial, together with experiments in new techniques”. Ibid. hal. 142
Maskulinitas dalam..., Firsta Primordiyanti, FIB UI, 2010
Universitas Indonesia
karya mereka banyak yang menggambarkan ungkapan protes dan keputusasaan
(Ritchie, 1985: 719). Demikian juga halnya dengan Richard Yates. Dengan latar
cerita pada tahun 1955, Yates mengisahkan tentang Frank dan April dalam
novelnya yang berjudul Revolutionary Road (1961).
Richard Yates dilahirkan pada tahun 1926 di New York dan tinggal di California.
Cerita-ceritanya mulai muncul pada tahun 1953 dan novel perdananya
Revolutionary Road terbit serta menjadi nominasi Natonal Book Award pada
tahun 1961. Yates memiliki delapan karya lainnya, yaitu novel-novel berjudul A
Good School, The Easter Parade, dan Disturbing the Peace serta dua koleksi
cerita pendek yaitu, Eleven Kinds of Loneliness dan Liars in Love.
Revolutionary Road menceritakan pasangan muda, Frank Wheeler dan April
Wheeler. Mereka tinggal di pinggiran kota Connectikut bersama kedua anak
mereka. Frank merasa kehidupan mereka hampa terlebih lagi karena ia bekerja di
perusahaan yang menghasilkan “business machine” yang ia anggap sebagai “the
dullest job”. Di sisi lain, April Wheeler yang pada awal cerita telah gagal sebagai
aktris teater, merupakan ibu rumah tangga. Mereka menganggap diri mereka
berbeda dari penduduk lainnya yang tinggal di pinggiran kota. Mereka merasa
bahwa mereka pasangan yang spesial yang seharusnya dapat lebih baik dari apa
yang mereka dapatkan dengan hidup di pinggiran kota. Demikianlah, ulasan
singkat yang mengawali cerita dalam novel Revolutionary Road yang kemudian
akan dibahas melalui sudut pandang gender.
Novel ini kemudian diadaptasi ke dalam film yang berjudul “Revolutionary
Road”. Film ini disutradarai oleh Sam Mendes dan dibintangi oleh Kate Winslet
dan Leonardo DiCaprio. Selanjutnya, film ini masuk ke dalam Nominasi Oscar
Award tahun 2009. Kemunculan kembali novel Revolutionary Road pada awal
tahun 20094 yang penerbitannya disertai dengan kemuculan film adaptasi dari
novel tersebut, menimbulkan banyak reaksi dari para berbagai kalangan. Berbagai
review novel dan film muncul diberbagai media seperti internet, surat kabar,
4 Cetakan novel Revolutionary Road yang terbit pada Januari 2009, menampilkan foto Leonardo DiCaprio dan Kate Winslet sebagai cover novel ini.
Maskulinitas dalam..., Firsta Primordiyanti, FIB UI, 2010
Universitas Indonesia
majalah, dan jurnal. Revolutionary Road mengalami kelahirannya kembali setelah
terakhir kali diterbitkan pada tahun 1961 seolah-olah novel ini merupakan novel
yang baru pertama kali diterbitkan di jaman modern ini.
Laird (2009), seorang kritikus dan akademisi sastra Amerika yang juga
merupakan salah satu pendiri situs komunitas penggemar Richard Yates, yaitu
www. Richardyates.org menilai novel Yates yang berjudul Revolutionary Road
merupakan cerita yang mengisahkan tentang para tokoh yang “want and don’t get
or get and don’t want, occupying the margin between expectation and reality”.
Selain itu, Revolutionary Road karya Yates dinilai oleh Lytal (2008) sebagai
karya yang selayaknya merupakan karya kanon. Menurutnya, Yates menceritakan
masyarakat pasca perang sebagai masyarakat yang mencari identitas diri dalam
masyarakat dan keluarga. Pergolakan identitas pada masing-masing individu para
tokoh dalam cerita dibenturkan dengan perkembangan teknologi dan ekonomi
yang modern. Kritik-kritik yang menilai bahwa karya Richard Yates
mengungkapkan pencarian identitas masyarakat pinggiran kota pasca perang PD
II telah dilakukan oleh Laird (2009), Lytal (2008), Giardina (2009), dan O’Nan
(2009). Selanjutnya, novel Revolutionary Road menjadi nominasi National Book
Award tahun 1962. Dengan demikian, melalui penelitian ini, penulis akan
membongkar sisi lain dari novel Revolutionary Road, yaitu dengan membahas
maskulinitas tokoh Frank Wheeler.
Penelitian ini lebih menekankan kepada relasi para tokohnya (tokoh utama dengan
tokoh lainnya; Frank dengan ayahnya, Frank dengan istrinya, April serta Frank
dengan Shep Champel) dengan sosial (budaya mainstream). Penelitian dalam tesis
ini diharapkan dapat menambah kekayaan pemahaman atas kompleksitas
permasalahan gender yang dalam hal ini permasalahan laki-laki dengan dunianya
di tengah dominasi budaya patriarkal.
Maskulinitas dalam..., Firsta Primordiyanti, FIB UI, 2010
Universitas Indonesia
1.2 Rumusan Masalah
Berdasarkan uraian pada latar belakang di atas, penulis merumuskan
permasalahan penelitian ini adalah bagaimana maskulinitas tokoh Frank Wheeler
direkonstruksi dalam novel Revolutionary Road karya Richard Yates?
1.3 Tujuan Penelitian
Menjelaskan dan membuktikan maskulinitas tokoh Frank Wheeler yang
direkonstruksi dalam novel Revolutionary Road karya Richard Yates.
1.4. Metode Penelitian
Dalam penelitian ini, metode yang akan digunakan adalah metode deskriptif
analitis dengan pendekatan gender yang berangkat dari pemikiran Connell.
Langkah-langkah analisis yang akan dilakukan di antaranya:
1. Mengkaji maskulinitas Frank Wheeler yang dibentuk oleh dominasi
patriarki melalui berbagai aksi, penokohan serta konstruksi sosial pada
tahun 1950-an yang melatarbelakangi cerita yang diungkapkan dalam
novel tersebut.
2. Meneliti rekonstruksi maskulinitas Frank Wheeler melalui relasi tokoh
Frank wheeler dengan tokoh-tokoh lainnya dalam konstruksi sosial yang
meliputi kehidupan para tokoh tersebut serta membongkar pembentukkan
identitas maskulin Frank Wheeler dalam novel tersebut.
3. Menyimpulkan hasil kajian tersebut di atas dalam upaya memperlihatkan
rekonstruksi atas maskulinitas tokoh Frank Wheeler serta relasi kuasa yang
terbangun.
Maskulinitas dalam..., Firsta Primordiyanti, FIB UI, 2010
Universitas Indonesia
1.5 Landasan Teori
1.5.1 Gender, Patriarki, dan Konstruksi Personal (Personal Construction).
Dalam kehidupan sehari-hari dengan mudah dapat dibedakan antara laki-laki dan
perempuan. Pembedaan antara laki-laki dan perempuan secara nyata dapat
ditemukan diberbagai hal dan tempat. Pengaturan akan pembedaan tersebut
menjadi sangat umum dan akrab sehingga terkesan natural. Menurut Connell
(2002: 4), pembedaan tersebut juga “help to create and disseminate gender
difference, by displays of exemplary masculinities and feminities”. Selanjutnya
Connell juga memaparkan selayaknya kita tidak berfikir bahwa “womanhood”
atau “manhood” sebagai sesuatu yang alami (nature). Akan tetapi, hal tersebut
merupakan bentukan dari luar; norma sosial atau tekanan dari yang berkuasa.
Laki-laki dan perempuan mengkonstruksikan diri mereka menjadi maskulin atau
feminin.
Dalam upaya untuk mengkaji maskulinitas, diperlukan beberapa konsep, yaitu
konsep gender, patriarki dan konstruksi personal. Connell (2002: 10)
mendefinisikan gender sebagai “the structure of social relations that centers on
the reproductive arena, and the set of practice (govern by this structure) that
bring reproductive distinctions between bodies into social processes.” Lebih jauh
lagi diutarakan oleh Ann Oakley (1972: 16) dalam Elfira (2008:42) mengenai
teori gender:
‘Sex’ is a word that refers to the biological differences between male and female [….] ‘Gender’, however, is a matter of culture. It refers to the social construction into ‘masculine’ and ‘feminine’ […] The constancy of sex must be admitted, but also must the variability of gender.
Berdasarkan pendapat Connell dan Oakley di atas dapat dikatakan bahwa gender
menghubungan kehidupan personal dengan sesuatu yang kolektif. Elfira (2008:42)
menyimpulkan teori Oakley mengenai gender tersebut yaitu bahwa gender
dikaitkan erat dengan norma-norma budaya yang berlaku dan klasifikasi sosial
dari laki-laki dan perempuan dalam suatu masyarakat. Dengan demikian, posisi
Maskulinitas dalam..., Firsta Primordiyanti, FIB UI, 2010
Universitas Indonesia
laki-laki dan perempuan dalam masyarakat satu dan masyarakat lainnya tidak
selalu sama tergantung pada nilai budaya yang ada.
Maskulinitas dalam hubungannya dengan konstruksi sosial laki-laki dan
perempuan secara tersirat erat berkaitan dengan permasalahan gender. Menurut
Zimmerman dalam Ritzer dan Goodman yang dikutip Wajcman menjelaskan
bahwa gender (yaitu perilaku yang memenuhi harapan sosial untuk laki-laki dan
perempuan) tidak melekat dalam diri seseorang, tetapi dicapai melalui interaksi
dalam situasi tertentu. Dengan demikian konsepsi individu tentang perilaku laki-
laki dan perempuan yang tepat adalah diaktifkan secara situasional. Dalam arti
seseorang melaksanakan peran jenis kelamin karena situasi memungkinkan
seseorang berperilaku sebagai laki-laki dan perempuan dan sejauh orang
mengakui perilakunya. Sehingga ada kemungkinan orang dengan kultur yang
berbeda tidak bisa memahami perilaku orang lain dilihat dari sudut identitas jenis
kelamin dimana perilaku tersebut tidak diakui sebagai perilaku laki-laki dan
perempuan yang tepat. Tak jarang, pembagian kerja dalam rumah tangga yang
tampaknya tak seimbang dilihat dari luar situasi rumah tangga, mungkin dilihat
adil dan seimbang baik oleh lakilaki maupun perempuan dalam situasi tersebut
karena laki-laki dan perempuan menerima dan menyesuaikan diri terhadap
harapan normatif untuk berperan menurut jenis kelamin di dalam rumah tangga.
Senada dengan itu Mosse dikutip oleh Wajcman mengungkapkan secara mendasar
gender berbeda dengan jenis kelamin biologis yang merupakan pemberian dimana
kita dilahirkan sebagai laki-laki atau perempuan. Namun yang menjadikan kita
kemudian disebut maskulin dan feminin adalah gabungan blok-blok bangunan
biologis dasar dan interpretasi biologis oleh kultur yang ‘memaksa’ kita
mempraktekkan cara-cara khusus yang telah ditentukan oleh masyarakat bagi kita
untuk menjadi laki-laki dan perempuan.
Selanjutnya, maskulinitas tidak dapat dibentuk tanpa adanya femininitas. Oleh
karena itu, konsep relasi gender diperlukan untuk memahami maskulinitas dalam
hubungannya dengan femininitas. Relasi gender dikatakan Connel (2002: 54)
sebagai relasi yang muncul di dalam dan sekitar arena reproduktif:
Maskulinitas dalam..., Firsta Primordiyanti, FIB UI, 2010
Universitas Indonesia
“Not all gender relations are direct interactions between women on one side and men on the other. The relation maybe indirect—mediated, for instance, by a market, or by technologies….Relationships may be among men, or among women, but still are gender relations—such as hierarchies of masculinity among men.
Berdasarkan kutipan di atas dapat dikatakan bahwa maskulinitas dapat dipahami
dari relasi gender antara laki-laki dengan perempuan atau laki-laki dengan dunia
eksternal atau laki-laki dengan laki-laki.
Relasi gender menurut Connell (2002:57) dibagi ke dalam empat dimensi, yaitu
power relations, production relations, emotional relation, dan symbolic relations.
Relasi kuasa (power relation) merupakan kekuasaan patriarkal yang tidak hanya
secara langsung mendominasi perempuan melalui dominasi laki-laki tetapi juga
melalui negara dengan kebijakan-kebijakan yang bersifat patriarkal. Relasi gender
selanjutnya adalah relasi produksi. Connell memaparkan mengenai relasi produksi
sebagai relasi laki-laki dan perempuan dalam pembagian kerja. Pembagian kerja
bagi laki-laki dan perempuan di setiap wilayah akan berbeda tergantung pada
faktor kultural misalnya pencitraan tentang figur ayah dan ibu dan historikalnya.
Selanjutnya, relasi emosional mengarah pada seksualitas (homosexual atau
heterosexual). Dan relasi gender yang terakhir adalah relasi simbolik. Relasi
simbolik akan melihat hubungan laki-laki dan perempuan melalui bahasa. Namun,
tidak hanya terbatas pada bahasa, relasi simbolik juga melihat pada faktor lain;
“dress, make up, gesture, in photography and film, and in more impersonal forms
of culture such as the built environtment.” Dengan demikian, konstruksi
maskulinitasdapat ditelusuri melalui relasi gender para tokoh sesuai dengan empat
kategori-kategori tersebut.
Setelah memahami gender dan relasi gender, pemahaman yang diperlukan dalam
tesis ini adalah pemahaman mengenai konsep patriarki. Patriarki5 adalah sebutan
terhadap sistem yang melalui tatanan sosial politik dan ekonominya memberikan
prioritas dan kekuasaan terhadap laki-laki dan dengan demikian secara langsung
maupun tersamar, melakukan penindasan atau subordinasi terhadap perempuan.
5 Budianta, Melani. (2002). “Pendekatan Feminis Terhadap Wacana: Sebuah Pengantar” dalam Analisis Wacana: Dari Linguistik Sampai Dekonstruksi. Yogyakarta: Penerbit Kanal.
Maskulinitas dalam..., Firsta Primordiyanti, FIB UI, 2010
Universitas Indonesia
Maskulinitas dan femininitas juga erat kaitannya dengan bagaimana individu
dikonstruksi. Konsep mengenai konstruksi personal oleh Chodorow (1989)
dipaparkan dalam kutipan berikut;
“gender cannot be seen as entirely culturally, linguistically, or politically constructed. Rather, there are individual psychological processes in addition to, and in a different register from culture, language, and power relations that construct gender for the individual. Meaning … is always psychologically particular to the individual.”6
Pembentukan personal seseorang juga terlihat dari faktor psikologi. Lebih jauh
lagi, Freud menunjukkan, kata Chodorow (1978, 1989 dalam Barker, 2000; 254),
bahwa kendati tidak ada yang dapat dihindarkan dari pilihan-pilihan objek dan
identifikasi seksual individu seseorang, yang terbentuk melaui proses
perkembangan dalam konteks hubungan pertama kali yang individu seseorang
alami, seksualitas individu tersebut ditata dengan cara yang mahal bagi
perempuan. Menurut Chodorow, teori Oedipus Complex adalah demonstrasi
reproduksi dominasi laki-laki dan penyingkiran atas perempuan yang dilakukan
laki-laki.
Chodorow berpendapat bahwa dalam konteks patriarki anak laki-laki
diperlakukan sebagai pribadi yang mandiri dan terus berubah oleh sang ibu
sementara anak gadis lebih dicintai secara narsistik sebagai pribadi yang
menyerupai ibunya. Pemisahan anak laki-laki terdiri dari identifikasi dengan sang
ayah dan phallus symbol sebagai ranah status sosial, kekuasaan, dan independensi.
Suatu bentuk maskulinitas dihasilkan melalui penekanan kepada aktifitas
berorientasi eksternal, meskipun dengan dampak berupa terkuburnya
ketergantungan emosional terhadap perempuan dan keterampilan yang lebih
rendah dalam kominikasi emosional. Sebaliknya, anak gadis mendapatkan
jaminan yang lebih besar terhadap keterampilan komunikatif dan melakukan
pendekatan diri melalui introjeksi (intojection), yaitu peniruan atas atau
6 Layton, L. (1998). Gender as a Personal and Cultural Construction. Psychoanal Q., 67:343 dalam
http://www.pep-web.org/document.php?id=PAQ.067.0343A, diakses pada 19 April 2009
Maskulinitas dalam..., Firsta Primordiyanti, FIB UI, 2010
Universitas Indonesia
penyamaan diri dengan, berbagai aspek narasi ibu mereka sendiri demi member
kesan baik bagi sang ibu.
Subjektivitas-subjektivitas berjenis kelamin ini tidak bersifat universal, karena
psikoanalisis menunjukkan, kata Chodorow, bahwa pembentukkan objek citra
seksual dan relasi antara laki-laki dan perempuan terbentuk dalam konteks
konfigurasi keluarga tertentu, yang dapat juga diubah. Seiring dengan berjalannya
sang waktu, bentuk-bentuk baru subjek dan bentuk-bentuk baru maskulinitas dan
femininitas dapat ditiru.
1.5.2 Maskulinitas
Dalam teori sosiologi gender, Connell seperti dikutip oleh Wajcman (2001)
mengungkapkan bahwa maskulinitas ada dua bentuk dominan, maskulinitas
secara budaya atau maskulinitas hegemonik dan bentuk maskulinitas yang
tersubordinasi. Yang dimaksud dengan hegemonik adalah pengaruh sosial yang
dicapai bukan karena kekuatan melainkan karena pengaturan kehidupan pribadi
dan proses-proses budaya. Hal ini berlawanan dengan tersubordinasi, dimana
kekerasan adalah kunci yang sangat berpengaruh untuk memaksakan sebuah cita-
cita atau kekuasaan bagi maskulinitas tersebut. Maskulinitas hegemonik adalah
bentuk maskulinitas ideal karena tidak harus berhubungan erat dengan
kepribadian aktual laki-laki. Connell (1995) has developed the concept of
hegemonic masculinity, which he defines as “the configuration of gender practice
which embodies the currently accepted answer to the problem of the legitimacy of
patriarchy” (Connell 1995, 77).
Wetherell and Edley (1999) juga menegaskan mengenai pengertian maskulinitas
hegemonik; Hegemonic masculinity is related to Gramcsi’s ideas about
hegemonic ideologies that naturalize and legitmated the interests of the powerful
which marginalizes and subordinates other groups. Maskulinitas hegemonik
adalah bentuk maskulinitas ideal karena tidak harus berhubungan erat dengan
kepribadian aktual laki-laki. Namun Wajcman menilai bahwa ada inti
Maskulinitas dalam..., Firsta Primordiyanti, FIB UI, 2010
Universitas Indonesia
maskulinitas dominan yang tercermin dalam varian-varian yang berbeda.
Contohnya dalam masyarakat barat kontemporer, maskulinitas hegemonik ini
sangat erat dengan paradigma agresivitas dan kekerasan seperti yang dipahami
kaum feminis kontemporer sejauh ini. Tolok ukur bentuk maskulinitas semacam
ini adalah debu, kebisingan, dan bahaya. Namun bisa juga dalam konsep
maskulinitas masyarakat barat kontemporer, bentuk maskulinitas berhubungan
erat dengan ‘kekuatan’ mereka akan penguasaan teknologi yang merupakan
realisasi laki-laki yang secara sosial gagal mengkompensasikan kurangnya
kekuatan ‘fisik’ mereka. Contoh kasus disini adalah kaum hackers yang secara
fisik tidak menarik dan patologis namun secara teknik mereka adalah potret
‘perkasa’ dalam hubungannya dengan laki-laki lain dan perempuan yang kurang
memiliki keahlian seperti mereka. Oleh karena itu, kecenderungan maskulinitas
hegemonik masih mengarah pada representasi kekuatan fisik laki-laki;
Hegemonic masculinity marginalizes and subordinates women and also alternative forms of masculinity. Although the specific definition varies by social context, hegemonic masculinity is understood contemporarily as being white, straight, successful, and competitive (Speer 2001).
Selanjutnya, Connel menegaskan bahwa masculinities may appear inconsistent
from a more deconstructionist perspective because its conception of gender
practice asserts strong links both to the materiality of bodies and to the dynamics
of social structure. (Connell, 1996). Dalam teorinya, Connell dalam Holter (1996)
mendeskripsikan bagaimana laki-laki berinteraksi dengan perempuan dan dengan
laki-laki lain, relasi gender, gaya hidup, budaya, kelompok-kelompok laki-laki
dan hubungan personal.
1.6 Sistematika Penulisan
Tesis ini akan dibagi dalam lima bagian, yaitu Bab I, Bab II, Bab III, dan Bab IV.
Bab I akan berisi pendahuluan. Penulis akan menjelaskan tentang latar belakang
penelitian, masalah, tujuan penelitian, metodologi penelitian, kerangka teori, serta
sistematika penulisan dalam Bab I. Pada bagian Bab II, penulis akan memaparkan
Maskulinitas dalam..., Firsta Primordiyanti, FIB UI, 2010
Universitas Indonesia
kondisi masyarakat Amerika pada tahun 1950-an yang menunjang kajian
mengenai maskulinitas pada masa itu. Di bagian Bab III, teori dan kontruksi sosial
masyarakat Amerika tahun 1950-an yang telah dipaparkan di bab-bab sebelumnya
akan diterapkan pada karya yang akan dikaji, Revolutionary Road. Penulis akan
melakukan analisis tentang maskulinitas tokoh Frank Wheeler dalam novel
Revolutionary Road. Akhirnya, Bab IV akan berisi simpulan penulis atas analisis
yang dilakukan pada bab-bab sebelumnya.
Maskulinitas dalam..., Firsta Primordiyanti, FIB UI, 2010
Universitas Indonesia
BAB 2 KONTEKS SOSIAL AMERIKA ERA 1950AN
Bab dua ini membahas tentang konteks sosial yang melatbelakangi karya yang
saya kaji, yaitu konteks sosial Amerika pada era 1950an. Konteks sosial yang
dibahas di antaranya kondisi sosial pada saat terjadinya fenomena Baby Boom dan
perpindahan masyarakat menuju daerah pinggiran kota (suburb) pada masa pasca
PD II. Beberapa aspek yang akan dibahas dalam konteks sosial tersebut meliputi
aspek pendidikan, aspek ekonomi, aspek perkembangan teknologi, dan aspek
media popular yang mendukung pembentukan maskulinitas pada masa itu.
2.1. Fenomena Baby Boom dan Kehidupan Suburban
Istilah “Baby Boom” mengacu kepada peningkatan jumlah kelahiran yang terjadi
secara massif setelah Perang Dunia ke-II. Generasi “Baby Boom” merupakan para
generasi yang dilahirkan antara tahun 1946 sampai dengan 1964. Pada tahun
2005, generasi ini diperkirakan berusia antara 41 sampai dengan 59 tahun. Dan di
Amerika, jumlah generasi ini berjumlah sekitar 76 juta jiwa, atau sekitar 29 persen
dari jumlah populasi penduduk. Di Kanada, mereka dikenal dengan istilah
“Boomies” dengan jumlah sebesar 6 juta jiwa. Di Inggris, generasi ini disebut “the
Bulge” (Beer, 1961; Meyer, 2008)
Pada bulan Mei 1951, Sylvia Porter7, seorang kolumnis harian New York Post,
menggunakan istilah "boom" (ledakan) pertama kalinya untuk merujuk pada
fenomena peningkatan kelahiran pasca perang Amerika. Ia menulis:
Take the 3,548,000 babies born in 1950. Bundle them into a batch, bounce them all over the bountiful land that is America. What do you get? Boom. The biggest, boomiest boom ever known in history.
7"Babies Equal Boom, New York Post, 4 Mei 1951.
Maskulinitas dalam..., Firsta Primordiyanti, FIB UI, 2010
Universitas Indonesia
Fenomena Baby Boom yang terjadi menggeser peran perempuan dan laki-laki.
Baby boom merumahkan para perempuan pekerja ke ruang domestiknya begitu
juga dengan laki-laki yang memerankan perannya sebagai “bread winner”. Saat
perang berlangsung, para perempuan bekerja dan mengambil posisi laki-laki di
ruang publik tetapi setelah perang usai posisi di ranah publik kembali diambil oleh
laki-laki. Meyer (2008) memaparkan, pada saat PD II berakhir pada tahun 1945
para prajurit dalam jumlah yang mencapai jutaan orang kembali pulang ke rumah
mereka dan berbondong-bondong mencari pekerjaan untuk kehidupan baru
mereka.
Untuk mengintegrasikan jutaan veteran muda ke dalam perekonomian Amerika,
kongres ke-78 mengeluarkan kebijakan “GI Bill of Right” pada tanggal 22 Juni
1944. Kebijakan tersebut merupakan perundangan yang paling luas jangkauannya
bagi para veteran di sepanjang sejarah masyarakat Amerika. VA memberikan
pinjaman untuk perumahan dan perkebunan bagi para GI dengan suku bunga yang
rendah, bahkan tanpa uang muka. “GI Bill” juga memungkinkan perolehan
pendidikan tinggi melalui pinjaman dengan suku bunga yang rendah8.
Peralihan keadaan ekonomi yang begitu cepat juga mengalihkan peran laki-laki
dan perempuan ke dalam bentuk femininitas dan maskulinitas yang tradisional.
Domestisitas perempuan menjadi keharusan bagi para pasangan muda yang baru
menikah dan memiliki anak sedangkan laki-laki harus mengaktualisasikan dirinya
dengan bekerja atau meneruskan pendidikannya.
Tuntutan yang terkungkung untuk meraih “the American Dream” sebagian telah
terwujudkan oleh “GI Bill”; menghubungkan kembali dengan keluarga dan orang-
orang yang dicintai, pernikahan dan memulai sebuah keluarga, kembali ke sekolah
dan membeli rumah pertama mereka. Pada tahun 1947, “GI Bill” menolong lebih
8“The Early Fifties”, http://www.boomerslife.org/baby_boom_population_us_census_bureau_
by_state.htm. diakses pada 22 Januari 2010.
Maskulinitas dalam..., Firsta Primordiyanti, FIB UI, 2010
Universitas Indonesia
dari sejuta veteran untuk mendaftar di perguruan tinggi. Lebih dari separuh
veteran PD II, atau sekitar 7.800.00 pria dan wanita, turut berpartisipasi
mendukung ketetapan “GI Bill”9.
Dengan kelebihan sebagai veteran, termasuk pinjaman yang didapat dari VA, hal
yang paling dicari adalah memiliki perumahan di lahan baru di sekitar pinggiran
kota Amerika. Dokumentasi-dokumentasi10 mengenai topik tersebut
mengindikasikan bahwa menjamurnya perumahan di pingiran kota pasca perang
dimuali di daerah pinggiran kota “planned community” yang disebut “Levittown”
di kota New York dan Pennsylvania. Faktanya, dalam skala yang besar,
komunitas yang dibentuk dan lahan perumahan telah dibangun di pinggiran kota
di seluruh kota besar di Amerika, terutama di Kalifornia.
Elaine Tyler May dalam buku berjudul Homeward Bound: American Families in
the Postwar Era (1988) memaparkan Baby boom merefleksikan keadaan yang
secara tiba-tiba menghilangkan tekanan ekonomi dan sosial yang membuat
masyarakat lebih berani untuk berkeluarga. Setelah perang, para pasangan
kembali bersatu dan kembali pada peranan tradisional. Peranan tradisional
tersebut terlihat dari para tentara perang yang kembali memasuki dunia kerja
sedangkan di sisi lain, perempuan meninggalkan pekerjaan mereka saat perang
berlangsung untuk berkonsentrasi membesarkan anak-anak mereka. Pernikahan
menjadi sebuah budaya dan sebuah karir bagi perempuan, dan hasilnya adalah
jumlah kelahiran yang besar.
Angka pernikahan meningkat pada tahun 1950-an dan mencapai angka tertinggi di
sepanjang sejarah Amerika. Usia rata-rata pernikahan pada tahun 1950 berada
pada usia muda, laki-laki pada usia 22 tahun dan perempuan pada usia 20 tahun
(May, 1988). Melaksanakan pernikahan setelah menyelesaikan pendidikan SMU
9 "The 1950s: Lifestyles and Social Trends: Overview." American Decades. The Gale Group, Inc. 2001. Encyclopedia.com. (November 18, 2009). http://www.encyclopedia.com/doc/1G2-3468301956.html 10 "The 1950s: Lifestyles and Social Trends: Overview." American Decades. The Gale Group, Inc. 2001. Encyclopedia.com. (November 18, 2009). http://www.encyclopedia.com/doc/1G2-3468301956.html
Maskulinitas dalam..., Firsta Primordiyanti, FIB UI, 2010
Universitas Indonesia
menjadi hal yang lumrah. Para perempuan ditekan untuk menikah pada saat
mereka memasuki awal usia 20-an. Stereotype pada saat itu menyatakan bahwa
perempuan yang memasuki pendidikan tinggi hanyalah untuk mendapatkan gelar
“Mrs” (dibaca M.R.S), yang berarti suami. Meskipun perempuan memiliki
aspirasi lain dalam hidup mereka, hal yang paling dominan yang dipromosikan
oleh budaya dan media pada masa itu adalah seorang suami merupakan hal yang
jauh lebih penting bagi perempuan muda dibandingkan gelar sarjana. Meskipun
pada kenyataannya bahwa angka pekerja perempuan terus naik, media lebih
cenderung untuk fokus pada peranan perempuan di rumah. Jika perempuan tidak
bertunangan atau menikah di usia awal 20-an, dia dianggap sebagai “perawan tua”
(May, 1988).
Meyer (2008) memaparkan bahwa hampir seluruh para ibu muda dilingkungan
pinggiran kota hamil pada saat yang bersamaan merupakan hal yang lumrah.
Dalam waktu singkat, banyak sekolah baru yang harus dibangun. Perkebunan dan
lahan pertanian menjadi hal yang serupa disemua tempat tanpa adanya pusat kota,
lapangan pekerjaan, atau kota yang teratur. Akhirnya, banyak ladang di pinggiran
kota tersingkirkan dan ribuan rumah menjadi komunitas yang sah menurut hukum
meskipun memiliki model yang berbeda dari komunitas tradisional dengan sebuah
pusat bisnis di kota. Pada komunitas baru yang berselang-seling ini “strip malls”,
banyak bisnis yang berdiri disepanjang sisi jalan, dan biasanya dengan dengan
bentuk bangunan yang berhadapan dengan lahan parkir yang luas dan tanpa
penghijauan.
Mall mulai menyediakan kebutuhan bahan pokok, lalu berkembang menjadi
tempat berkumpulnya komunitas, terutama untuk perkumpulan anak-anak muda.
Ada ungkapan yang terkenal “There’s no there there” diucapkan oleh Gertrude
Stein mengenai tempat kelahirannya, Oakland, Kalifornia (daerah pinggiran di
San Fransisko) dipakai oleh kebanyakan daerah dipinggiran Amerika, yang
tampak terpinggirkan, tanpa budaya, tempat yang membosankan (Meyer, 2008).
Daerah pinggran kota termasuk aman dan sesuai untuk anak-anak, tetapi tidak
disukai oleh remaja. Budaya suburban tidak mengadopsi budaya kota, seperti kota
Maskulinitas dalam..., Firsta Primordiyanti, FIB UI, 2010
Universitas Indonesia
New York melainkan menerapkan budaya konservatif yang kaku. Dalam
masyarakat suburban, pembatasan peran laki-laki dan perempuan sangat tegas
sehingga kehidupan yang kaku tersebut tidak disukai oleh remaja. Para remaja
cenderung menyukai budaya bebas perkotaan yang dapat mengakomodasi
kehausan mereka akan hiburan, pendidikan, karir, bahkan kehidupan seks mereka.
2. 2. Teknologi dan Media Amerika di Era 1950an
Tahun 1950an disebut “Years of Innocence”. Pertunjukkan film di hari sabtu sore
di daerah pantai barat hanya 35 sen. Bioskop mobil menjadi bagian dari
pemandangan kehidupan sosial keluarga muda. Jenis film yang diminati mulai
bermunculan, seperti melodrama, film koboi, film horror, komedi, dan film aksi
petualangan. Jenis film musical dan science fiksi mulai terkenal pada era 60an.
Film koboi biasanya digemari oleh keluarga dan banyak diperuntukkan untuk
kalangan dewasa. Pertunjukkan acara popular anak disajikan dalam bentuk serial,
yang diputar pada hari sabtu sore. Saat itu, pertunjukkan disajikan beberapa kali
seminggu. Tokoh idola pahlawan yang terkenal seperti Tom Mix, Hopalong
Cassidy, dan the Lone Ranger. Pada awalnya, jenis film science fiksi sering
meonjolkan tokoh pria baik yang berjuang untuk hukum dan diperintah keluar
angkasa. Misal seperti film, “Space western”, termasuk juga “Buck Rogers” (ABC
1950-51), “Captain Video and His Video Rangers (Dumont 1949-54), Flash
Gordon (Syndicated 1953), Space Patrol (ABC 1951-52), and Tom Corbett,
Space Cadet (CBS/ABC/NBC 1950-52) (Beer, 1961; Meyer, 2008; dan May,
1988).
Pada Tanggal 7 April 1927, Bll Telephone Labs and AT&T11 memperkenalkan
ujicoba televisi publik USA yang pertama. Gambar dan suaranya dikirim melalui
kabel dari Washington D.C. ke New York. Uji coba tanpa kabel juga ditampilkan
sejauh 22 mil, dari Whippany, New Jersey, ke New York. Pertunjukkan utama
11 "The 1950s: Lifestyles and Social Trends: Overview." American Decades. The Gale Group, Inc. 2001. Encyclopedia.com. (November 18, 2009). http://www.encyclopedia.com/doc/1G2-3468301956.html
Maskulinitas dalam..., Firsta Primordiyanti, FIB UI, 2010
Universitas Indonesia
ujicoba adalah pidato oleh Herbert Hoover yang disiarkan di Washngton D.C, dan
diterima pada layar 2 sampai 3 inchi. Televisi pasca perang masih tergolong hal
yang baru di Amerika, daerah barat Chicago. Kebanyakan pertunjukkan adalah
siaran langsung atau film.
Beer (1961) menyatakan bahwa pertunjukkan TV anak yang popular adalah
Buffalo Bob and Clarabelle, Captain Kangaroo, Lassie, and Leave it to Beaver.
Hiburan yang lain juga termasuk malt shop, komunitas kolam renang, dan
organisasi. Organisasi yang paling terkenal adalah Pramuka. Tahun 1955,
generasi “Baby Boom” ini menyukai olahraga selepas sekolah pada tingkat SLTP.
Pertunjukkan I Love Lucy sangat unik-yang merupakan cerita bersambung
terpanjang dalam sejarah pertelevisian, yang berlanjut hingga siaran udara.
Sekarang semua hal itu diistilahkan sebagai hiburan.
Gejala pengagungan kemaskulinitasan laki-laki dan kefemininitasan perempuan
dapat dilihat dari gencarnya media, baik media cetak dan visual, menampilkan
propaganda figur ayah dan figur ibu dalam sebuah konsep keluarga. Propaganda
tersebut disuarakan melalui figur ayah yang pekerja dan figur ibu yang
homemaker di berbagai media cetak, papan iklan, dan radio, juga melalui
tayangan-tayangan populer di televisi seperti “Father Knows Best”, “I Love
Lucy”, “The Donna Reed Show”, dan lain-lain (Meyer, 2008).
Siaran televisi merupakan alat propaganda yang menanamkan norma-norma
patriakal kepada masyarakat secara tidak sadar. Film serial I Love Lucy
merupakan contoh siaran yang mencerminkan bagaimana perempuan yang ingin
keluar dari norma sosial selalu menemui kegagalan. Kegagalan tokoh perempuan
dalam film I Love Lucy dianggap sebagai hal lelucon. Karena tidak seharusnya ia
keluar dari ruang domestiknya.
Dalam setiap episodenya Lucy dikisahkan berusaha keluar dari norma sosial yang
menempatkannya sebagai istri dengan keterbatasan konstruksi femininitas.
Usahanya untuk keluar dari domestisitas (misalnya saja ikut terlibat dalam bisnis
hiburan yang digeluti suaminya) selalu berakhir dalam kekacauan sehingga secara
Maskulinitas dalam..., Firsta Primordiyanti, FIB UI, 2010
Universitas Indonesia
implisit menunjukkan bahwa perempuan yang mencoba keluar dari rumah
merupakan gagasan yang ganjil (absurd). Pada akhirnya, segala usaha tersebut
dibuat konyol dengan bumbu adegan komedi fisik (slapsticks)12.
12 Beberapa serial televisi yang mengangkat tema serupa di antaranya Father Knows Best, Leave It to Beaver, The Danny Thomas Show, dan lain lain; http://www.museum.tv/archives/etv/F/htmlF/familyontel/familyontel.htm, diakses 22 April 2010.
Maskulinitas dalam..., Firsta Primordiyanti, FIB UI, 2010
Universitas Indonesia
BAB 3 REKONSTRUKSI MASKULINITAS FRANK
DI TENGAH BUDAYA PATRIARKAL
Laki-laki dikonstruksi oleh ideologi patriarki sebagai figur yang mendominasi.
Laki-laki dalam hubungannya dengan perempuan dalam budaya patriarki,
digambarkan sebagai figur kepala rumah tangga yang kerap mengambil
keputusan, pencari nafkah, dan figur yang dilayani. Kualitas, rasionalitas,
maskulinitas, publik laki-laki dianggap unggul secara mutlak atas kualitas
emosional, feminin, dan domestik perempuan.
Posisi laki-laki dalam masyarakat patriarki yang terkesan memosisikan laki-laki
pada posisi yang memiliki “hak-hak istimewa”, ternyata tidak hanya
mengakibatkan munculnya dominasi laki-laki terhadap perempuan tetapi juga
dominasi konsep manhood laki-laki terhadap dirinya dan juga laki-laki terhadap
laki-laki lain.
Konsep kemaskulinitasan pada masa tahun 1950an di Amerika yang
diejawantahkan ke dalam bentuk maskulinitas tradisional akan menjadi fokus
pembahasan pada Bab 3 ini. Bentuk maskulinitas tradisional masyarakat pasca PD
II tahun 1950an di Amerika tercermin dalam latar novel Revolutionary Road.
Bahwa, para tokoh laki-laki yang direpresentasikan oleh Frank Wheeler dan Shep
Campbell digambarkan sebagai tokoh ayah yang bekerja mencari nafkah
sedangkan tokoh perempuan yang representasikan oleh April Wheeler dan Milly
Campbell harus puas dengan urusan domestik.
Pemosisian diri yang menolak nilai-nilai patriarkis dilakukan oleh tokoh-tokoh
utama Revolutionary Road, Frank Wheeler dan April Wheeler. Frank Wheeler dan
April Wheeler merupakan pasangan suami-istri yang berada di tengah-tengah
tatanan budaya masyarakat suburban Amerika. Dalam bab 3 tesis ini, terlebih
dahulu dibahas norma-norma masyarakat suburban yang membentuk maskulinitas
dan femininitas tradisional yang mempengaruhi kemaskulinitasan Frank Wheeler
Maskulinitas dalam..., Firsta Primordiyanti, FIB UI, 2010
Universitas Indonesia
dan kefemininitasan April Wheeler. Bentuk maskulinitas dan femininitas
tradisional yang dimaksud adalah bentuk yang dipengaruhi oleh norma-norma
masyarakat suburban Amerika pada tahun 1950-an bahwa laki-laki mejalani
perannya di ruang publik sedangkan perempuan di ruang domestik. Perempuan
yang mencoba beraktifitas di luar rumah dituntut harus juga mengurus rumah
tangga dengan baik, yaitu tuntutan untuk menjadi superwoman. Lain dengan nilai
modern masa kini ketika perempuan yang memilih karir di ruang publik tidak
selalu harus berumah tangga.
3.1. Nilai Maskulintas dan Femininitas Masyarakat Suburban dalam
Novel Revolutionary Road.
Revolutionary Road memiliki latar waktu di tahun 1955 dengan latar tempat di
daerah pinggiran kota (suburb), Connecticut. Atmosfer yang ditampilkan novel ini
menunjukkan bahwa ketika itu penolakan akan norma masyarakat suburban mulai
merebak. Kehidupan yang menggiring para tokoh untuk tinggal di daerah
suburban adalah kehidupan pasca PD II. Perayaan pada nostalgia kehidupan
normal sebelum perang, yaitu membentuk keluarga mengakibatkan banyaknya
pernikahan muda dan banyaknya kelahiran anak sehingga perekonomian yang
tepat untuk menopang keluarga besar para veteran adalah perekonomian pinggiran
kota.
Frank Wheeler dan April Wheeler merupakan tokoh utama yang berada di tengah-
tengah tatanan budaya masyarakat suburban. Pasangan suami-istri ini, tinggal di
daerah perumahan yang bernama Revolutionary Hill Estate. Tatanan budaya
masyarakat suburban mengarah pada konsep-konsep keluarga tradisional yang
menjadi sebuah norma yang mau tidak mau harus dipatuhi oleh keluarga-keluarga
yang tinggal di daerah suburban.
Konsep-konsep tradisional tersebut tercermin dalam pembagian peran laki-laki
sebagai kepala rumah tangga dan perempuan sebagai ibu rumah tangga. Keluarga
Wheeler (Frank Wheeler dan April Wheeler) dan keluarga Campbell (Shep
Campbell dan Milly Campbell) mewakili keluarga yang tinggal di daerah
Maskulinitas dalam..., Firsta Primordiyanti, FIB UI, 2010
Universitas Indonesia
suburban tersebut. Frank dan Shep menjalankan peran sebagai suami yang
mencari nafkah di kota (New York) sedangkan April dan Milly menjalankan
peran sebagai ibu rumah tangga yang mengurusi rumah dan anak-anak.
Keluarga Wheeler dan Campbell mewakili masyarakat suburban secara umum.
Kedua keluarga ini merupakan keluarga yang pindah ke daerah suburban akibat
dari perekonomian pasca perang dan fenomena baby boom yang mereka alami13.
Frank dan Shep merupakan veteran PD II – yang seperti para veteran lainnya –
yang merayakan nostalgia kehidupan normal14. Mereka menikah pada usia di awal
20 tahun dan di usia 30 tahun, Frank memiliki 2 anak sedangkan Shep memiliki 4
anak.
Kedua keluarga ini juga mengadopsi gaya hidup masyarakat suburban. Banyak
merokok dan minum minuman alkohol menjadi kecenderungan bagi kedua
keluarga ini dan juga keluarga lain untuk mengekspresikan diri mereka, “….most
of the people…., fingering packs of cigarettes…(Yates, 2009; 13). Selain itu,
mereka juga memiliki kendaraan beroda empat dan televisi yang merupakan ciri-
ciri gaya hidup masyarakat suburban15.
Konformitas masyarakat suburban yang mengusung norma-norma femininitas dan
maskulinitas tradisional dan gaya hidup yang sama diresistensi oleh pasangan
Frank dan April. Penolakan pada norma-norma kehidupan suburban dilakukan
oleh keluarga Wheeler sejak pertama kalinya mereka pindah ke perumahan
Revoluionary Hill Estate. Penolakan tersebut tercermin dari pemilihan rumah dan
perabot yang menandakan bahwa mereka berbeda dari masyarakat suburban
kebanyakan.
Penolakan Frank dan April terhadap kehidupan suburban mendapat dukungan dari
Mrs. Givings, seorang broker perumahan, “the real-estate broker”, (Yates, 2009:
13). Mrs. Givings menilai mereka sebagai pasangan yang berbeda dari
kebanyakan pasangan yang tinggal di perumahan Revolutionary Hill Estate. Saat
ingin membeli rumah, Mrs. Givings menunjukkan kawasan tempat tinggal yang 13 Lihat Yates (2009). Hlm. 27, 39, 194, 199 14 Lihat Yates (2009). Hlm. 27, 191 15 Lihat Yates (2009) Hlm. 6
Maskulinitas dalam..., Firsta Primordiyanti, FIB UI, 2010
Universitas Indonesia
dihuni oleh masyarakat suburban kebanyakan; ““As you see, it’s mostly these
little cinder-blocky, pickup-trucky places-plumbers, carpenters, little local people
of that sort.”” (Yates, 2009:39). Mrs. Givings menilai masyarakat yang
pekerjaannya tergolong sebagai pekerjaan “blue collar workers” adalah
masyarakat kelas bawah dan bukan tergolong masyarakat intelektual.
Berbeda dengan penduduk perumahan Revolutionary Hill Estate yang cenderung
tidak berpendidikan, Mrs. Givings menganggap Frank dan April sebagai pasangan
yang “sweet.”Mrs. Givings menyatakan kekagumannya kepada suaminya; “The
girl is absolutely ravishing, and I think the boy must do something very brilliant in
town-he’s very nice, rather reserved-and really, it is so refreshing to deal with
people of that sort.”” (YATES, 2009:38). Karena rasa kagum Mrs. Givings
kepada Frank dan April, ia pun menunjukkan rumah yang berbeda dengan rumah-
rumah lainnya. Akan tetapi, April merasa terganggu dengan keberadaan “picture
window” di rumah yang akan mereka beli. Keberadaan jendela kaca dengan
ukuran besar di seluruh rumah di perumahan Revolutionary Hills Estate
menyimbolkan kontrol sosial yang dominan pada masyarakat di lingkungan
tersebut.
Bagi April, keberadaan jendela tersebut membuat April merasa “being watched”.
“……..Of course it does have the picture window; I guess there’s no escaping
that””(Yates, 2009:40). Pendapat April tentang keberadaan “picture window”
tidak sama dengan pendapat Frank, ” I guess not,”…….“Still, I don’t suppose one
picture window is necessarily going to destroy our personalities.”” (Yates,
2009:40). Meskipun demikian, keberadaan “picture window” tetap mereka hindari
dengan penantaan furniture yang menunjukkan identitas mereka yang berbeda dari
masyarakat suburban lainnya. “Their solid wall of books would take the curse off
the picture window; a sparse, skillful arrangement of furniture would counteract
the prim suburban look of this too-systematical living room.” (Yates, 2009:40).
Frank dan April memilih rumah dan menata perabot dengan cara berbeda sebagai
upaya untuk menunjukkan identitas mereka yang berbeda. Mereka menolak
unsur-unsur kehidupan suburban dalam kehidupan mereka karena menganggap
bahwa mereka jauh lebih baik dari keluarga-keluarga yang tinggal di suburban.
Maskulinitas dalam..., Firsta Primordiyanti, FIB UI, 2010
Universitas Indonesia
Frank dan April menganggap dirinya sebagai pasangan “special” dan lebih
“intellectual”. Perasaan “special” dan “intellectual” tersebut juga didukung
dengan penilaian Mrs. Givings terhadap mereka.
“I mean it’s bad enough having to live among all these damn little suburban types-and I’m including the Campbells in that, let’s be honest-it’s bad enough having to live among these people,…...” (Yates, 2009 : 33)
Hal yang menandakan bahwa rumah Frank dan April seperti kebanyakan rumah
suburban lainnya adalah keberadaan televisi. “…the province of the television set
(Why not? Don’t we really owe it to the kids? Besides, it’s silly to go on being
snobbish about television…”)” (Yates, 2009:42).
Dengan demikian, penolakan terhadap tatanan budaya suburban dengan cara
memilih rumah dan menata perabot yang berbeda merupakan ekspresi dari diri
Frank dan April untuk menunjukkan identitas mereka yang berbeda bahwa
mereka seharusnya tidak tinggal di daerah suburban seperti keluarga lainnya.
Akan tetapi, Penolakan Frank pada konsep kehidupan suburban tidak sejalan
dengan kenyataan yang harus ia hadapi. Frank berada dalam realita perekonomian
pasca perang yang mengharuskan ia bekerja di kota dan memiliki rumah di
pinggiran kota.
“It simply wasn’t worth feeling bad about. Intelligent, thinking people could take things this in their stride, just as they took the larger absurdities of deadly dull jobs in the city and deadly homes in the suburbs. Economic circumstance might force you to live in this environment, but the important thing was to keep from being contaminated. The important thing, always, was to remember who you were.” (Yates, 2009:27)
Meskipun, Frank dan April menolak unsur-unsur suburban di dalam kehidupan
mereka, Frank dan April tetap menjalani hubungan pertemanan dengan tetangga
mereka, yaitu Shep dan Milly. Berbeda dengan pasangan Frank dan April,
pasangan Shep dan Milly tidak dinilai berbeda oleh Mrs. Givings dengan
masyarakat suburban lainnya. Namun, Frank memiliki pandangan berbeda
mengenai Shep Campbell.
“ “Campbell, yes. Actually, I don’t think he was any worse than some of the others; and of course he did have a difficult part.” He always felt it
Maskulinitas dalam..., Firsta Primordiyanti, FIB UI, 2010
Universitas Indonesia
necessary to defend the Campbell to Mrs. Givings, whose view seemed to be that anyone who lived in the Revolutionary Hill Estates deserved at best a tactful condescension.” (Yates, 2009:57)
Dalam hubungan pertemanan antara Wheeler dan Campbell, sering dilakukan
pertemuan dengan saling mengunjungi. Biasanya, mereka akan membahas
mengenai “Conformity” atau “The Suburbs”, atau “Madison Avenue”, atau
“American Society Today” yang kemudian akan diakhiri dengan “…an anecdote
of extreme suburban smugness that left them weak with laughter.” (Yates, 2009:
81).
Frank mengungkapkan pandangannya mengenai nilai-nilai masyarakat suburban
yang dijadikan bahan diskusi mereka. Pendapat Frank, yang kemudian disetujui
oleh April, Shep, dan Milly mengarah pada nilai-nilai yang dijadikan norma
dalam berkeluarga di lingkungan suburban, seperti yang terlihat dalam kutipan-
kutipan berikut;
“……….The hell with reality! Let’s have a whole bunch of cute little winding roads and cute little houses painted white and pink and baby blue; let’s all be good consumers and have a lot of Togetherness and bring our children up in a bath of sentimentality-Daddy’s great man because he makes a living, Mummy’s a great woman because she’s stuck by daddy all these years-and if old reality ever does pop out and say Boo we’ll all get busy and pretend it never happened.”” (Yates, 2009: 89; saya menambahkan penekanan)
Konformitas pada norma-norma tradisional keluarga suburban ditolak oleh kedua
keluarga Wheeler dan Campbell. Akan tetapi, pendapat Wheeler dan Campbell
yang menolak femininitas dan maskulinitas tradisional masyarakat suburban tidak
sesuai dengan nilai-nilai keluarga yang mereka jalani yang nyatanya tidak jauh
berbeda dengan keluarga suburban lainnya. Mereka tetap mengusung nilai
femininitas dan maskulinitas tradisional pada pembagian peran mereka dalam
berkeluarga. Mereka berada dalam kungkungan ketidakberdayaan mereka pada
keadaan ekonomi dan fenomena babyboom pasca perang PD II yang mereka
alami. “…the four of them, were painfully a live in a drugged and dying culture.”
(Yates, 2009:82).
Maskulinitas dalam..., Firsta Primordiyanti, FIB UI, 2010
Universitas Indonesia
“The point is it wouldn’t be so bad if it weren’t so typical. It isn’t only the Donaldsons—it’s the Cramers too, and the whatdyacallits, the Wingates, and a million others. It’s all the idiots I ride with on the train every day. It’s a disease. Nobody thinks or feels or cares any more; nobody gets exited or believes in anything except theirown comfortable little God damn mediocrity.”” (Yates, 2009: 81)
Dengan demikian, penolakan Wheeler dan Campbell pada nilai-nilai kehidupan
masyarakat suburban masih sebatas ekspresi kejenuhan mereka yang menjebak
mereka pada lingkaran norma-norma tradisional keluarga suburban. Mereka tetap
menjadi bagian dari masyarakat suburban yang menerapkan bentuk femininitas
dan maskulinitas tradisional dalam keluarga mereka. Upaya untuk mengubah
penataan rumah yang tidak terkesan seperti keluarga suburban lainnya, merupakan
langkah awal bagi pasangan Frank dan April. Selanjutnya, akan terjadi pergulatan
individu Frank dengan lingkungan suburban, pergulatan individu April dengan
lingkungan suburban, serta pergulatan antara Frank dan April yang masing-
masing berupaya untuk keluar dari kungkungan suburbanitas mereka dan
berupaya untuk menunjukkan femininitas dan maskulinitas mereka. Oleh karena
itu, pembahasan selanjutnya adalah penelusuran femininitas April dan
Maskulinitas Frank dengan melihat model-model femininitas dan maskulinitas
tokoh-tokoh lainnya dan akan dilanjutkan dengan pembahasan mengenai
rekonstruksi maskulinitas Frank Wheeler untuk menjawab pertanyaan dari
permasalahan tesis ini.
3.1.1. Nilai-nilai Femininitas Masyarakat Suburban.
Ideologi patriarki masyarakat suburban menciptakan konstruksi perempuan yang
hanya menjadi pelengkap laki-laki sedangkan perempuan yang memiliki
kesempatan berperan di luar ranah domestik, yaitu di ruang publik masih
dianggap menyalahi “kodrat”-nya sebagai perempuan. Perempuan yang sukses
berkarir diharuskan menjadi superwoman dengan “keharusan” menjalani perannya
dengan baik di kehidupan rumah tangga meskipuan ia sibuk di ruang publik.
Maskulinitas dalam..., Firsta Primordiyanti, FIB UI, 2010
Universitas Indonesia
Ideologi yang membudaya dalam kehidupan masyarakat suburban ini juga menilai
negatif perempuan yang tidak dapat atau tidak mau memiliki anak. Nilai-nilai
femininitas perempuan juga ditentukan dengan kewajibannya menjadi ibu, dan
sudah menjadi “kodrat” perempuan. Media kerap menampilkan propaganda
ideologi patriarki, seolah berusaha meletakkan perempuan pada “koridor”-nya,
atau “mengembalikan” perempuan kembali pada “kodratnya”. Perempuan yang
berada di tengah budaya patriarkal dapat memilih untuk memosisikan dirinya
sebagai agen patriarki, yaitu dengan mengikuti nilai-nilai yang mengukuhkan
budaya ini, atau ia dapat memilih untuk menolak nilai-nilai patriarkis yang
memarjinalkan posisinya.
\3.1.1.1. April Wheeler dan ”The Laurel Player”: Bentuk Pengaktualisasian
Diri.
April Wheeler berada dalam tatanan budaya masyarakat suburban yang memiliki
ideologi patriarki yang kuat. April berada dalam posisi yang menolak nilai-nilai
patriarki yang mengejawantahkan dirinya ke dalam bentuk femininitas tradisional.
Dalam novel Revolutionary Road, April digambarkan sebagai berikut; “She was
twenty-nine, a tall ash blonde with a patrician kind of beauty…” (Yates, 2009:9).
Dalam tatanan budaya patriarki masyarakat suburban, peluang perempuan untuk
mengembangkan diri dan berkarir sangatlah sedikit. Ruang gerak perempuan di
ruang publik sangat dibatasi oleh norma-norma femininitas tradisional yang
membuat perempuan cukup berada di ranah domestiknya saja. Upaya untuk
memberikan peluang bagi perempuan untuk mengaktualisasikan dirinya adalah
dengan mendirikan komunitas teater, yang bernama “The Laurel Players”.
Ide terbentuknya komunitas teater berawal dari pertemuan yang dilakukan
keluarga Wheeler dan Campbell. Mereka ingin membentuk komunitas teater
sebagai ekspresi rasa jenuh mereka terhadap norma tradisional kehidupan
suburban. “It was in the face of this defiance, and in tentative reply to this
Maskulinitas dalam..., Firsta Primordiyanti, FIB UI, 2010
Universitas Indonesia
loneliness, that the idea of the Laurel Players had made its first appeal” (Yates,
2009; 82).
“The Laurel Players” memberikan peluang bagi perempuan untuk berkembang
dengan memberikan peran kepada perempuan dalam drama berjudul The Petrified
Forest. Keberadaan komunitas teater memberikan atmosfer berbeda di kehidupan
keluarga suburban yang biasanya para perempuan tidak pernah
mengaktualisasikan dirinya di luar ruang domestiknya tetapi kini menjadi aktif
melakukan latihan akting dan aktif berdiskusi di setiap hari Sabtu. Gambaran
mengenai kegiatan perempuan dan laki-laki dalam masyarakat suburban dapat
dilihat melalui kutipan berikut;
“…the dreariest kind of suburban time filler, the very kind of evening he had always imagined the Donaldsons and the Wingates and the the Cramers having. In which women consulted with woman about recipes and clothes, while men settled down with men to talk of job and cars.” (Yates, 2009: 88)
“…lifting their softening cheeks to the sun or wiping ice cream from the mouth of the children as they talked of nursed schools and outrageous rents and perfectly marvelous Japanese movies, waiting until it was time to gather up their toys and graham crackers and stroll home to fix their husbands’ cocktail, and they’d spot him in a minute.” (Yates, 2009: 133)
Dari kutipan-kutipan di atas, dapat tercermin pola kehidupan perempuan dan laki-
laki yang memosisikan peran masing-masing sesuai dengan bentuk femininitas
dan maskulinitas yang tradisional. Bahwa, sebelum adanya “The Laurel Players”,
perempuan tidak pernah keluar dari ranah domestiknya. “The Laurel Players”
memberikan peran tidak hanya kepada laki-laki tetapi juga kepada perempuan
untuk melakukan kegiatan yang di luar kebiasaan mereka.
Peluang yang diberikan “The Laurel Players” tidak disia-siakan oleh April. Ia
mengikuti kegiatan itu sebagai bentuk pengaktualisasian dirinya sebagai lulusan
dari “one of the leading dramatic schools of New York” (Yates, 2009; 9). April
memerankan tokoh utama perempuan, yaitu Gabrielle. Dalam memerankan tokoh
utama tersebut, April memberikan performa yang maksimal dalam setiap latihan
rutin komunitasnya. Namun, tidak dapat dipungkiri bahwa meskipun Wheeler dan
Maskulinitas dalam..., Firsta Primordiyanti, FIB UI, 2010
Universitas Indonesia
Campbell berupaya untuk memberikan nuansa baru untuk kegiatan masyarakat
suburban, mereka tidak dapat menghindar dari norma tradisional femininitas dan
maskulinitas yang membuat para pemain merasa inferior. Permasalahan mulai
muncul dari awal mereka melakukan latihan, seperti yang terlihat dalam kutipan
berikut;
The trouble was that from the very beginning they had been afraid they would end by making fools of themselves, and they had compounded that fear by being afraid to admit it…..(Yates, 2009; 5).
Perasaan takut yang merupakan bentuk ketidakyakinan pada diri mereka sendiri
merupakan cerminan dari inferioritas yang melanda masyarakat suburban.
Meskipun demikian, pelatih teater berusaha meyakinkan mereka tentang
pentingnya membetuk komunitas teater yang merupakan kegiatan baru disamping
rutinitas mereka. “Remember this. We’re not just putting on a play here. We’re
establishing community theater, and that’s a pretty important thing to be doing.”
(Yates, 2009: 5)
Akan tetapi, “The Laurel Players” tidak dapat begitu saja mengubah pola
kehidupan yang telah tertanam dalam masyarakat suburban. Dalam pertunjukkan
perdananya setelah melewati ratusan kali latihan, kegagalan yang selama ini
ditakutkan pun menjadi kenyataan16. Aktor utama yang seharusnya berada di
panggung tiba-tiba sakit dan digantikan secara mendadak oleh sutradara tanpa
mengonfirmasi kepada para pemain lainnya. Kekacauan demi kekacauan dalam
pertunjukkan satu per satu muncul menambah kegagalan pertunjukkan yang
dijadikan April sebagai pembuktian atas pengaktualisasian dirinya. April merasa
dirinya diolok-olok oleh ratusan pasang mata para penonton yang salah satunya
terdapat sepasang mata suaminya, Frank. Seperti para pemain lainnya, April juga
menunjukkan kegagalannya dalam memerankan Gabrielle.
“She was working alone, and visibly weakening with every line. Before the end of the first act the audience could tell as well as the Players that she’d lost her grip, and soon they were all embarrassed for her. She had begun to alternate between false theatrical gestures and a white-knuckled immobility; she was carrying her shoulders high and square, and despite
16 Lihat Yates (2009). Hlm. 10-14.
Maskulinitas dalam..., Firsta Primordiyanti, FIB UI, 2010
Universitas Indonesia
her heavy make-up you could see the warmth of humiliation rising in her face and neck.” (Yates, 2009:11)
April berusaha keluar dari norma sosial yang menempatkannya sebagai istri
dengan keterbatasan konstruksi femininitas tradisional. Usaha April untuk keluar
dari domestisitas dengan berperan sebagai Gabrielle berakhir dalam kekacauan
sehingga secara implisit menunjukkan bahwa perempuan yang mencoba keluar
dari rumah merupakan gagasan yang ganjil. Kegagalan April untuk membuktikan
pengaktualisasian dirinya merupakan pembenaran dari ideologi patriarki yang
berlaku di masyarakat suburban bahwa perempuan tidak akan pernah mampu
berada di ruang publik. Pada akhirnya, segala usaha tersebut sia-sia dan
mengembalikan rutinitas April ke dalam rutinitas domestisitasnya.
Usaha April untuk meresistensi bentuk femininitas tradisional ke dalam bentuk
femininitas modern yang membuatnya dapat mengaktualisasikan dirinya sebagai
individu di ruang publik tidak mendapat dukungan dari lingkungannya. Para
perempuan dan laki-laki yang tergabung dalam “The Laurel Players” seolah-olah
tidak dapat mengeluarkan diri mereka dari lingkaran ideologi patriarki yang
mengungkung mereka. Para perempuan tetap merayakan domestisitas mereka
tanpa peduli pada kelanjutan komunitas “The Laurel Players”.
3.1.1.2. Femininitas April Wheleer dan Mrs. Givings: Representasi Bentuk
Femininitas Baru Perempuan Suburban.
Dalam novel Revolutionary Road terdapat tokoh-tokoh perempuan selain April
yang dapat dijadikan cerminan norma-norma yang berlaku di masyarakat
suburban yang kemudian diadopsi oleh para perempuannya. Tokoh-tokoh
perempuan yang nantinya dalam pembahasan berikutnya akan disandingkan
dengan tokoh April merupakan tokoh-tokoh perempuan yang dapat menjadi agen
patriarki atau yang menentang patriarki.
Gambaran mengenai tokoh perempuan yang mencoba keluar dari koridor
femininitas tradisional adalah gambaran mengenai Mrs. Givings. Keluarga
Maskulinitas dalam..., Firsta Primordiyanti, FIB UI, 2010
Universitas Indonesia
Givings (Howard Givings dan Helen Givings) merupakan keluarga yang tidak
mengikuti standar norma-norma keluarga suburban. Howard bukanlah figur laki-
laki yang mengusung nilai kemaskulinitasan tradisional suburban begitu juga
dengan Mrs.Givings yang tidak menjalankan nilai-nilai femininitas tradisional
suburban. Mrs. Givings diceritakan sebagai perempuan yang dominan dalam
keluarganya. Ia memiliki kekuatan ekonomi yang lebih dibandingkan suaminya,
Howard. Secara ekonomi, Howard tidak memiliki kekuasaan atas istrinya. Ia
digambarkan sebagai laki-laki yang berada dibalik punggung istrinya17.
Mrs. Givings merupakan perempuan yang idependen yang menolak domestisitas.
“……she had asked them to call her Helen” (Yates, 2009; 55), ia bahkan menolak
adanya atribut yang menyimbolkan ideologi patriarki pada dirinya yang salah
satunya kecenderungan untuk tidak menggunakan nama belakang “Givings”.
Penggunaan nama merupakan cara untuk menunjukkan identitas seseorang. Upaya
Mrs.Givings untuk tidak menggunakan nama keluarga menunjukkan pemikiran
Mrs. Givings yang ingin keluar dari budaya partiarki. Namun, pergerakkan
emansipasi perempuan yang ditunjukkan dengan penamaan pada Mrs. Givings
tidak serta merta mendapat respon yang baik dari masyarakat; “…..Helen, a name
his tongue seemed all but unable to pronounce. Usually he solved the problem by
calling her nothing, covering the lack with friendly nods and smiles,..”(Yates,
2009: 55). Budaya patriarki yang melekat pada masyarakat suburban tidak dapat
menerima keinginan Mrs. Givings dan bahkan tanpa penggunaan nama keluarga
akan dianggap tidak lazim.
Lebih jauh lagi, Mrs. Givings diceritakan sebagai perempuan yang memiliki
kesibukan di luar rumah. Ia dianggap sebagai perempuan yang tidak selazimnya
berada diluar urusan domestik seperti kebanyakan perempuan suburban lainnya.
Keaktifan dan kesibukan Mrs.Givings terlihat pada penampilannya seperti yang
terlihat dalam kutipan berikut;
Mrs. Givings’s cosmetics seemed always to have been applied in a frenzy of haste, of impatience to get the whole silly business over and done with, and she was constantly in motion, a trim, leather-skinned woman in her
17 Lihat Yates (2009). Hlm. 383
Maskulinitas dalam..., Firsta Primordiyanti, FIB UI, 2010
Universitas Indonesia
fifties whose eyes expressed a religious belief in the importance of keeping busy. (Yates, 2009; 54)
Kefemininitasan Mrs.Givings sangat berbeda dari kefemininitasan perempuan
suburban lainnya. Mrs.Givings menolak domestisitas pada dirinya dan
mengadopsi nilai femininitas yang modern yang berbeda dari kehidupan
perempuan seperti April. Tidak seperti April, yang digambarkan selalu berada di
dapur, Mrs.Givings memilih untuk aktif di luar ruang domestiknya dengan
membayar pembantu rumah tangga untuk mengurusi urusan domestik.
….she was home. “Hello, dear!” she sang from the vestibule, for her husband was certain to be reading the paper in the living room, and without stopping to chat with him she went directly into the kitchen, where the cleaning woman had left the tea things set out. What a cheerful, comforting sight the steaming kettle made! And how clean and ample this kitchen was, with its tall windows. (Yates, 20009; 211)
Pekerjaan rumah bukanlah sesuatu yang membebani Mrs. Givings karena ia
dengan mudah melihat rumah terutama ruang dapurnya bersih tanpa harus
mengerjakan apapun. Dengan adanya pembantu rumah tangga, Mrs.Givings dapat
pulang ke rumah dengan perasaan bahagia. Perasaan bahagia Mrs.Givings
merupakan ekspresi kenyamanan dirinya atas perannya sebagai perempuan karir
tanpa dibebani urusan rumah tangga.
And she’d never been able to explain or even to understand that what she loved was not the job—it could have been any job……Deep down, what she’d loved and needed was work itself. “Hard work,” herfather had always said, “is the best medicine yet devised for all the ills of man—and of woman,” and she’d always believed it. The press and bustle and glare of the office, the quick lunch sent up on a tray, the crips handling of papers and telephones, the exhaustion of staying overtime and the final sweet relief of slipping off her shoes at night, which always left her feeling drained and pure and fit for nothing but two aspirins and a hot bath and a light supper and bed—that was the substance of her love; it was all that fortified her against the pressures of marriage and parenthood. Without it, as she often said, she would have gone out of her mind. (Yates, 2009; 213)
Tergambar jelas resistensi Mrs.Givings terhadap institusi pernikahan. Kutipan
tersebut menunjukkan bahwa yang dicintai Mrs.Givings bukan jenis pekerjaannya
tapi aktivitas kerja yang akan menghabiskan waktunya dan yang akan
Maskulinitas dalam..., Firsta Primordiyanti, FIB UI, 2010
Universitas Indonesia
membuatnya sibuk seharian sehingga terhindar dari domestisitas perempuan. Mrs.
Giving bukan menghindari diri dari hubungannya dengan laki-laki dalam sebuah
pernikahan tapi bagaimana, melalui pernikahan, Mrs.Givings tidak berada dalam
tekanan aturan pernikahan yang patriarkal.
Bentuk femininitas Mrs.Givings sangat kontras sekali di tengah lingkungan
suburban. Mrs.Givings mampu keluar dari norma-norma tradisional yang
membelenggu kebanyakan keluarga suburban. Ia mencintai pekerjaannya sebagai
pengusaha properti sebagai bentuk pengaktualisasian dirinya. Ia menikmati
kesibukan-kesibukan yang ditimbulkan oleh pekerjaannya. Ia bebas berada di
ruang publik yang cenderung di peruntukkan sebagai ruang laki-laki unuk
menunjukkan kemaskulinitasannya.
Namun, bentuk femininitas Mrs.Givings yang modern yang tidak
menempatkannnya pada ruang domestiknya tidak mendapat respon positif dari
masyarakat suburban. Mrs.Givings menjadi sosok “alien” di tengah-tengah
budaya patriaki masyarakat suburban. Bagi masyarakat suburban, sebagai “the
real-estate broker”, Mrs.Givings merupakan perempuan yang “aneh” yang
memiliki kehidupan berkeluarga yang “aneh”. Keanehan Mrs.Givings dan
keluarganya, tentunya karena Mrs.Givings tidak menjalankan perannya seperti
perempuan lainnya, demikian juga dengan Howard. Howard dianggap tidak
maskulin karena ia tidak dapat menjadi lelaki pencari nafkah yang dominan
sedangkan Mrs.Givings dianggap sebagai perempuan yang tidak feminin karena
tidak menjalankan perannya di ruang domestik dengan baik. Mrs. Givings tidak
dapat mewakili perempuan superwomen yang berkarir tetapi juga mengurus
rumah tangga dengan baik. Kegagalan Mrs. Givings sebagai perempuan
superwomen yang menjadi tuntutan ideologi patriarki terlihat dari kegagalan Mrs.
Givings dalam mengurus anak. John Givings yang diceritakan memiliki masalah
dengan kejiwaannya.
Kegagalan April dan Mrs. Givings untuk menjadi superwoman menjadi bahan
olok-olok dan gossip bagi masyarakat suburban. Tidak hanya laki-laki yang
menjadi agen patriarki tetapi para perempuan lain juga menjadi agen patriarki
Maskulinitas dalam..., Firsta Primordiyanti, FIB UI, 2010
Universitas Indonesia
yang semakin mengukuhkan ideologi patriarki yang mengarah kepada
maskulinitas dan femininitas tradisional. Para perempuan lain merayakan
kegagalan April dan Mrs. Givings ke dalam bentuk gossip yang mereka jadikan
rutinitas sore hari sambil duduk di tanam, mengawasi anak-anak bermain dan
menunggu kepulangan para suami mereka.
Nilai-nilai femininitas modern yang dijalani oleh Mrs. Givings dan yang dicita-
citakan oleh April tidak dapat diterima oleh para perempuan dan laki-laki
suburban. Masyarakat suburban menganggap perempuan yang mencoba berkarir
adalah perempuan yang menyimpang dan tidak mengikuti “kodrat”nya.
3.1.1.3. Femininitas April Wheeler dan Milly Campbell: Bentuk “Ideal”
Femininitas Perempuan Suburban.
Kesempatan dalam ”The Laurel Players” yang terbuka lebar bagi perempuan
untuk mengembangkan diri yang diceritakan pada bagian awal novel dibenturkan
dengan nilai-nilai tradisional yang masih dipegang teguh oleh tokoh konservatif
pada latar masyarakat suburban. Tokoh-tokoh konservatif tersebut meyakini
bahwa perempuan sudah seharusnya menjadi ibu dan membina rumah tangga.
Sosok yang memegang teguh nilai-nilai tradisional ini direpresentasi oleh Milly,
istri dari Shep Campbell, teman April.
Milly digambarkan Shep sebagai istri yang ”real cute”, Milly tetap menerima
dominasi Shep terhadap dirinya sebagai bentuk femininitas yang ia yakini.
Kekerasan fisik dan mental yang dialami Milly dijadikan Milly sebagai bentuk
pengagungannya terhadap suami yang ingin menunjukkan kemaskulinitasannya18.
Milly diterima Shep karena Milly dapat menjadi pendamping yang ”sabar” atau
yang ”real cute”.
Milly bukanlah perempuan ideal yang diinginkan Shep tetapi Shep memiliki dua
alasan yang menjadikan Milly sebagai istrinya. Seperti yang terlihat dalam
kutipan berikut:
18 Lihat Yates (2009); Hlm. 192-195
Maskulinitas dalam..., Firsta Primordiyanti, FIB UI, 2010
Universitas Indonesia
“Two things about her had become a constant source of his sentimental amazement: that she had stuck right by him through all the panic in Arizona and New York-he vowed he would never forget it –and that she had taken so well to his new way of life.” (Yates, 2009:195)
Milly memosisikan dirinya sebagai perempuan yang didominasi laki-laki yang
rela menekan keinginannya untuk keinginan suaminya. Milly merupakan figur
ideal konstruksi patriarki. Ia menjalankan “fungsi”-nya sebagai perempuan, dan
tidak hanya itu, ia juga menjadi contoh “istri ideal” dari “keluarga ideal” dalam
masyarakat patriarki.
Milly diceritakan sebagai istri yang selalu menyapa suami dengan sebutan
“Sweetie”. Ia sibuk dengan urusan rumah tangga sehingga Milly tidak
mempedulikan penampilannya. Seperti perempuan suburban lainnya, Milly
cenderung berpenampilan lusuh dan berkeringat, “….he guessed it was just that
she tended to perspire more in times of tension.” (Yates, 2009:198).
He walked over and gave her a little hug; but his smile froze into an anxious grimace against her ear, because in bending close to her shoulder he had caught a faint whiff of something rancid (Yates, 2009:198)
Bagi Shep, Milly tidak semenarik April dalam berpenampilan. April memiliki
“sentuhan” modern dalam penampilannya yang membuat April berbeda dari
kebanyakan perempuan suburban lainnya, khususnya berbeda dari Milly, istrinya.
Penilaian Shep terhadap April terlihat dalam kutipan berikut;
“Oh, she was sweating, all right, and the smell of her was as strong and clean as lemons; it was the smell of her as much as the tall rhythmic feel of her that had made his-that had made him want to-oh, Jesus.” (Yates, 2009:199)
Kefemininitasan Milly yang tradisional merupakan kefemininitasan yang
diagungkan oleh masyarakat patriarki. Kontras dengan April yang berupaya untuk
meresistensi domestisitasnya, Milly sangat merayakan domestisitasnya sebagai
bentuk keharusan perempuan yang wajar. Akan tetapi, domestisitas yang Milly
jalankan tidak selamanya diterima oleh laki-laki. Penilaian mengenai penampilan
perempuan dari yang konservatif ke modern mulai menjadi hal yang penting.
Maskulinitas dalam..., Firsta Primordiyanti, FIB UI, 2010
Universitas Indonesia
Laki-laki mulai menyukai modernitas penampilan perempuan seperti Shep yang
lebih menyukai penampilan April ketimbang Milly.
“Sentuhan” modern dalam penampilan April tercermin dari aroma tubuh yang
wangi. April, seolah ingin menunjukkan sisi sensual dari dirinya yang
menempatkan dirinya sebagai “subjek” dalam menarik laki-laki.
3.1.1.4. Resistensi April Wheeler Terhadap Nilai Femininitas Tradisional
Suburban.
April meresistensi nilai-nilai yang disuarakan Milly, yang menempatkan
perempuan dalam posisi statis. Perempuan diposisikan sebagai “tempat anak
panah ditembakkan”, yang mengesankan posisi diam di tempat, sementara laki-
laki (suami) bebas mengaktualisasi diri di ruang publik.
April dan Frank merupakan “New Yorkers”. Faktor ekonomi yang mengharuskan
Frank menghidupi kedua anak mereka membuat keduanya pindah ke daerah
suburban. Kehidupan masa lalu mereka di New York meninggalkan pandangan-
pandangan yang berbeda dari masyarakat suburban. April yang sejak kecil berada
di New York dan dibesarkan tanpa asuhan orang tua memiliki pandangannya
sendiri mengenai kefemininitasannya dan bagaimana seharusnya
kemaskulinitasan laki-laki menurutnya.
Masa kecil April diceritakan sebagai masa kecil yang tidak bahagia. Ia dibesarkan
tanpa kehadiran kedua orang tuanya bahkan ia sendiri tidak ingat mengapa orang
tuanya tidak mau mengasuhnya sebagai anak.
“ “I think my mother must’ve taken me straight from the hospital to Aunt Mary’s.” she’s told him. “At any rate I don’t think I ever lived with anyone but Aunt Mary until I was five, and then there were a couple of other aunts, or friends of her of something, before I went to Aunt Claire, in Rye.”” (Yates, 2009:51)
Bagi Frank, kedua orang tua April dianggap sebagai orang tua yang tidak
bertanggung jawab, “…her parents were as alien to his sympathetic
Maskulinitas dalam..., Firsta Primordiyanti, FIB UI, 2010
Universitas Indonesia
understanding as anything in the novels of Evelyn Waugh” (Yates, 2009:50).
Frank berusaha mengingatkan ingatan April, bagaimana para pengasuh April yang
ia panggil “aunt” yang memperlakukan April seperti orang tuannya tetapi April
tidak memiliki kesan terhadap para pengasuhnya kecuali rasa benci,“…-her
“tough” look. “Which aunt do you mean? I hardly remember Mary, or the others
in between, and I always hated Claire.” (Yates, 2009:51).
Namun, Frank tetap menanyakan bagaimana April dapat mencintai kedua
orangtuanya yang tidak sepenuhnya mengasuhnya,“ “But they hardly ever came
for visits. I mean you couldn’t have had much sense of their being your parents, in
deal like that; you didn’t even know them.” (Yates, 2009:52). Tanpa mengetahui
bagaimana seharusnya April mencintai orang tuanya, akhirnya, April hanya dapat
menjawab bahwa ia mencintai penampilan orang tuanya,“ “I loved their clothes,”
she said. “I loved the way they talked. I loved to hear them tell about their lives.”
(Yates, 2009:53).
April tidak memiliki citraan atas figur ibu dan figur ayah dalam dirinya. April
kehilangan gambaran mengenai “motherhood” dan “fatherhood” di
kehidupannya. Sesuatu yang ia ingat selain tentang pengasuhnya adalah kenangan
saat ia mengalami fase menstruasi pertama kalinya, seperti yang diceritakan dalam
kutipan berikut;
“she had told about, a morning Rye Country Day when a menstrual flow of unusual suddenness and volume had taken her by surprise in the middle of a class. “At first I just sat there,” she’d told him. “That was the stupid thing; and then it was too late.” And he thought of how she must have lurched from her desk and run from the room with a red stain the size of a maple leaf on the seat of her white linen skirt while thirty boys and girls looked up in dumb surprise, how she must have fled down the corridor in a nightmarish silence past the doors of other murmuring classrooms, spilling books and picking them up and running again, leaving a tidy, well-spaced trail blood drops on the floor, how she had run to the first-aid room and been afraid to go inside, how instead she had run all the way down another corridor to a fire-exit door, where she pulled off her cardigan and tied it around her waist and hips; how then, hearing or imagining the approach of foot-step in her wake, she had pushed through to the sunny lawn outside and seat set off for home, walking not too quickly and with her head high, so that anyone happening to glance from
Maskulinitas dalam..., Firsta Primordiyanti, FIB UI, 2010
Universitas Indonesia
any of a hundred windows would think her on some perfectly normal errand from school, wearing her sweater in a perfectly normal way.” (Yates, 2009:25)
April mengalami menstruasi sebagai peralihan fase dirinya ke fase perempuan
yang memiliki rahim yang matang. Dalam menghadapi fase tersebut, April
menyelesaikan permasalahannya sendiri tanpa ia meminta bantuan dari orang lain.
April berkepribadian tegas dan berpendirian teguh. April memiliki caranya sendiri
untuk menghadapi masalah dan ia memiliki keyakinannya sendiri atas diri dan
hidupnya.
Kehidupan masa lalu April membentuk dirinya ke dalam bentuk perempuan yang
menginginkan kemandirian. Ia tidak dibesarkan dalam sebuah keluarga yang
dibagun di atas lembaga pernikahan. April tidak meyakini adanya pengotakkan
peran laki-laki dan perempuan. Hal yang April yakini adalah pengaktualisasian
diri sebagai individu tanpa terganggu dengan norma-norma yang konservatif dan
kaku.
April kemudian menjalin hubungan pertama kalinya dengan laki-laki, yaitu Frank.
Dalam jalinan hubungan April dengan Frank, April terlihat ingin didefinisikan
dirinya melalui penilaian Frank terhadap penampilannya. April memiliki
penampilan yang menarik, “…..first-rate girl whose shining hair and splendid
legs had drawn him halfway across a roomful of strangers” (Yates, 2009; 31). Di
New York, sebelum mereka pindah ke daerah suburban, April adalah perempuan
yang mengusung nilai-nilai modern dalam bersikap. April diceritakan sebagai
perempuan yang memiliki agresifitas dalam melakukan hubungan seks.
……dancing, he found that the small of April Johnson’s back rode as neatly in his hand as if it had been made for that purpose; and a week after that, almost to the day, she was lying miraculously nude beside him in the first blue light of day on Bethune Street, drawing her delicate forefinger down his face from brow to chin and whispering; it’s true, Frank. I mean it. “You’re the most interesting person I’ve ever met.” (Yates, 2009; 31).
Selain berpenampilan sensual dan bersikap agresif dalam berhubungan seks, April
juga berani menyatakan perasaannya kepada Frank. April berperan sebagai
Maskulinitas dalam..., Firsta Primordiyanti, FIB UI, 2010
Universitas Indonesia
perempuan yang aktif bekerja yang memosisikan dirinya sebagai perempuan
mandiri. Hubungan seks yang ia jalani bersama Frank merupakan hubungan yang
menyenangkan.
Cara pandang April yang mandiri, aktif, dan menolak domestisitas dibenturkan
dengan kehamilannya petama kali saat ia berhubungan dengan Frank,“…her first
pregnancy came seven years too soon. That was the trouble…” (Yates, 2009: 65).
April tidak menginginkan bayi yang ada di dalam kandungannya,“She refused to
look at him as they rode; she carried her head high in state of shock or disbelief
or anger or blame…” (Yates, 2009:65). Terlebih lagi, April ingin menggugurkan
kandungannya;
“…she told him of a girl in dramatic school who knew, from first-hand experience, an absolutely infallible way to induce a miscarriage. It was simplicity itself: you waited until just the right time, the end of third month; then you took a sterilized rubber syringe and a little bit of sterilized water, and you very carefully…” (Yates, 2009: 66)
Mendengar rencana April yang akan menggugurkan kandungannya, Frank
berupaya untuk mencegahnya. April mengira, Frank memiliki pandangan yang
sama dengan dirinya dan akan menolongnya untuk menggugurkan kandunganya.
“She sighed patiently. “All right, Frank. In that case there’s certainly no need for
you to hear about it. I only told you because I thought you might be willing to help
me in this thing. Obviously, I should have known better.”” (Yates, 2009:67).
Namun, Frank bersikap sebaliknya, ia tetap menginginkan bayi yang ada dalam
kandungan April sebagai wujud aktualisasi “manhood”nya. “”Oh, I know, I
know,” she had whispered against his shirt, “I know you’re right. I’m sorry. I
love you. We’ll name it Frank and we’ll send it to college and everything. I
promise, I promise.”” (Yates, 2009:68).
And it seemed to him now that no single moment ofhis life had ever contained a better proof of manhood than that, if any proof were needed: holding that tamed, submissive girl and saying “Oh, my lovely; oh, my lovely,” while she promised she would bear his child (Yates, 2009; 68).
Maskulinitas dalam..., Firsta Primordiyanti, FIB UI, 2010
Universitas Indonesia
Keputusan April dan Frank untuk melahirkan bayi yang dikandung April
membuat Frank terus berupaya menunjukkan sikap “manhood”nya. Frank
memosisikan dirinya ke dalam peran “ayah” yang kemudian akan terus
menggiringnya ke dalam pergulatan bentuk maskulinitas. Frank, sebenarnya, tidak
menginginkan kehadiran anak yang terlalu cepat dalam hubungan dengan April.
Akan tetapi, Frank menekan ketidakinginannya tersebut dengan upaya untuk
menunjukkan sikap maskulinnya kepada April. Frank berada dalam kondisi
masyarakat tradisional suburban yang mengkonstruksinya ke dalam bentuk
maskulin laki-lai suburban, yaitu memiliki anak merupakan perwujudan bentuk
maskulinitas.
“And I didn’t even want a baby, he thought to the rhythm of his digging. Isn’t that the damnedest thing? I didn’t want a baby anymore that she did. Wasn’t it true, then, that everything in his life from that point on had been a succession of things he hadn’t really wanted to do? Taking a hopelessly dull job to prove he could be as responsible as any other family man, moving to an overpriced, genteel apartment to prove his mature belief in the fundamentals of orderliness and good health, having another child to prove that the first one hadn’t been a mistake, buying a house in the country because that was the next logical step and he had to prove himself capable of taking it. Proving, proving; and for no other reason than that he was married to a woman who had somehow managed to put him forever on the defensive, who loved him when he was nice, who lived according to what she happened to feel like doing and who might at any time-this was the hell of it-who might at any time of day or night just happen to feel like leaving him. It was as ludicrous and as simple as that.” (Yates, 2009:69)
Masing-masing individu April dan Frank yang pada awalnya berada di tengah
kemodernitasan masyarakat New York, harus menghadapi kenyataan bahwa
mereka telah terikat hubungan sebagai sepasang suami istri yang kemudian
menjadi ayah dan ibu. Perubahan demi perubahan berangsur-angsur mulai
memunculkan tegangan-tegangan dalam hubungan mereka. April dan Frank tidak
lagi dilihat sebagai individu yang bebas tetapi keduanya telah mengusung atribut
identitas baru yaitu, sebagai istri dan ibu, dan sebagai suami dan ayah.
Nilai-nilai kemodernitasan New York sulit untuk mereka terapkan di lingkungan
baru mereka setelah mereka pindah ke daerah suburban. Dalam sub bab ini, akan
Maskulinitas dalam..., Firsta Primordiyanti, FIB UI, 2010
Universitas Indonesia
terlebih dahulu dibahas mengenai resistensi April Wheeler terhadap nilai
femininitas masyarakat suburban. Dengan melihat latar belakang kehidupan April
sebelum kepindahannya ke kota New York, dapat terlihat bahwa April merupakan
perempuan dengan femininitas modern yang terisolasi dalam budaya patriarki
suburban.
Upaya April untuk terus keluar dari balutan norma femininitas tradisional
masyarakat suburban terus ia lakukan. Setelah gagal dalam “The Laurel Players”,
April berusaha untuk kembali keluar dari ruang domestiknya dengan ide
kepindahan April, Frank beserta kedua anak mereka ke Paris. April berencana
untuk bekerja sebagai sekretaris NATO di Paris sedangkan Frank dapat
melakukan apapun yang ia inginkan, “…the idea born of her sorrow and her
missing him all day and her loving him, was an elaborate new program for going
to Europe “for good” in fall.” (Yates, 2009:147).
Dikatakan oleh April bahwa ia yang akan bekerja, “The point is you won’t be
getting any kind of a job, because I will.” (Yates, 2009:148). Menurut April,
kepindahan mereka ke Paris akan melepaskan mereka dari norma-norma
tradisional masyarakat suburban. April akan dapat mengaktualisasikan dirinya
dengan bekerja yang artinya memosisikan April dalam ruang publik sedangkan
Frank akan menemukan pekerjaan yang lebih baik dari sekedar bekerja perusahan
yang menjual mesin-mesin perkantoran.
“”Don’t you see that’s the whole idea? You’ll be doing wahat you should’ve been allowed to do seven years ago. You’ll finding your self. You’ll be reading and studying and taking long walks and thinking. You’ll have time to find out what it is you want to do…” (Yates, 2009:149)
Frank, pada awalnya menganggap ide April tidak realistis, “it isn’t very realistic;
that’s all I meant” (Yates, 2009:149). Namun, April tetap berusaha meyakinkan
Frank dengan mengatakan bahwa mereka layak mendapatkan hal yang lebih baik
dibandingkan tinggal di daerah suburban dan terjebak dengan norma-norma yang
berlaku, seperti yang terlihat dikutipan berikut;
Maskulinitas dalam..., Firsta Primordiyanti, FIB UI, 2010
Universitas Indonesia
“Because you see I happen to think this is unrealistic. I think it’s unrealistic for a man with a fine mind to go on working like a dog year after year at job he can can’t stand, coming home to a house he can’t stand in a place he can’t stand either, to a wife who’s equally unable to stand the same things, living among a bunch of frightened little-my God Frank, I don’t have to tell you what’s wrong with this environment…” (Yates, 2009:150)
April mengungkapkan rasa bosannya terhadap rutinitas yang ia hadapai dan
rutinitas yang Frank hadapi. Untuk menjadi lebih baik, satu-satunya cara adalah
dengan keluar dari lingkungan masyarakat suburban. Jika tidak, mereka juga akan
menjadi seperti masyarakat suburban lainnya.
“Because everything you said was based on this great premise of ours that we’re somehow very special and superior to the whole thing, and I wanted to say ‘But we’re not! Look at us! We’re just like the people you’re talking about! We are the people you’re talking about!”” (Yates, 2009:150-151)
April berhasil meyakinkan Frank tentang rencana kepindahan mereka ke Paris.
April menemukan kembali caranya untuk dapat mengembangkan dirinya sebagai
perempuan yang berbakat, yang memiliki kemampuan mengetik dan stenografi.
April berharap, ia akan terbebaskan dari domestisitas yang ia jalani. Akan tetapi,
kehamilan April mengagalkan kepergian mereka. Hal tersebut dikembalikan
kepada fungsi maternal tubuh perempuan sebagai alasan utama merumahkan
perempuan.
Frank dengan sikap yang menunjukkan patriarki dalam dirinya, menjadikan
kehamilan April sebagai alasan kegagalan mereka ke Paris. Terlebih lagi, ketika
Frank mendapat promosi jabatan di perusahaannya. Sikap Frank yang
mengsubordinasi April membuat April terhempas kembali ke domestisitas
perempuan suburban.
3.1.1.5 Maureen Grube: Representasi Femininitas Modern New York.
Kontras dengan perempuan suburban, Maureen Grube adalah perempuan karir
yang tinggal dan bekerja di New York. Tokoh Maureen digambarkan cerdas dan
sensual. Maureen tidak ragu untuk menonjolkan kemolekan tubuhnya untuk
Maskulinitas dalam..., Firsta Primordiyanti, FIB UI, 2010
Universitas Indonesia
memikat pria-pria di sekelilingnya dan mengambil posisi sebagai subjek, dengan
memanfaatkan objektifikasi tubuh perempuannya. Maureen selalu tampil modis,
yang membedakannya dengan penampilan perempuan-perempuan suburban.
Maureen diceritakan sebagai pribadi yang bebas dan berani berpendapat. Maureen
bekerja satu kantor dengan Frank, ia menyapa Frank, ”Hello” yang membuat
Frank terpikat seperti terlihat dalam kutipan berikut;
“She said it in a frankly flattering, definitely feminine way, and as she swayed aside to let him pass he wanted to put his arm around her and lead her away somewhere (the mail room? The freight elevator?) where he could sit down and take her on his lap and remove her royal blue sweater and fill his mouth with one and then the other of her breasts.” (Yates, 2009:110) “She was all the way down to the end of aisle, now, her buttocks moving nicely in her flannel skirt, and he watched her until she disappeared beneath the waterline of partition tops to take her place at the reception desk.” (Yates, 2009:111) “He found that if he focused his eyes on her mouth so that the rest of her face was slightly blurred, and then drew back to include the whole length and shape of her in that hazy image, it was possible to believe he was looking at the most desirable woman in the world.” (Yates, 2009:123)
Frank terpikat dengan keberadaan Maureen di kantornya yang ia sadari bahwa
Maureen pun berupaya mendekatinya. Secara agresif, Maureen menunjukkan
“bahasa tubuh” yang sensual seperti saat ia berjalan melewati meja Frank,
Maureen secara sengaja menggesekkan pinggulnya di kursi Frank. Frank
menanggapi keagresifitasannya dengan merencanakan sebuah kencan pada saat
jam makan siang dengan Maureen.
“Why not? Wouldn’t it be perfectly easy to walkup and ask her out to lunch? No, it wouldn’t, that was the trouble. An unspoken rule of the fifteenth floor divided the men from the girls on all but business matters, except at Christmas parties. The girls made separate arrangements for lunch in the same inviolable way that they used a separate lavoratory, and only a fool would openly defy the system. This would need a little planning.” (Yates, 2009:118)
Maureen mempermainkan objektifikasi laki-laki terhadap tubuhnya, dan
mengambil posisi subjek dengan memanfaatkan sensualitas tubuhnya.
Maskulinitas dalam..., Firsta Primordiyanti, FIB UI, 2010
Universitas Indonesia
Ketertarikan Frank, terhadap sensualitas tubuhnya, ia respon secara agresif. “He
stood feeling tall and strong as she ducked and curtsied around him in her
stockinged feet, straightening ash trays and magazine…” (Yates, 2009: 133)
“…and then in the warmth and rhythm of her flesh he found an overwhelming sense of this is what I needed; this is what I needed; his self absorption was so complete that he was only dimly aware of her whispering, “Oh, yes;yes;yes…”” (Yates, 2009:134)
Tokoh Maureen mewakili kebebasan perempuan di tengah tatanan budaya modern
kota New York. Dikisahkan, ia mampu keluar dari norma tradisional yang
membelenggunya. Sebelum pindah ke New York, Maureen merupakan
perempuan yang juga tinggal di daerah suburban bersama ayahnya. Maureen
membenci nama pemberian ayahnya, “I mean ‘Maureen’s’ all right but ‘Grube’
sounds so awful with it; I guess that was one reason I was so crazy to get
married” (Yates, 2009; 129). Maureen menikah pada usia 18 tahun dan 6 bulan
kemudian pernikahannya berakhir, “it was completely ridiculous” (Yates,
2009;129). Ia menghabiskan dua tahun berikutnya dengan“…”just moping
around home and working at the gascompany and feeling depressed”” (Yates,
2009:129). Akhirnya, hal yang selalu ia inginkan adalah keluar dari norma
tradisional suburban dan pindah ke New York.
Kefemininitasan Maureen merupakan bentuk kefimininitasan April sebelum April
menikah dan mempunyai anak. Maureen yang berasal dari masyarakat suburban
berhasil keluar dan melepaskan norma-norma budaya patriari suburban yang
membelenggunya. Berbeda halnya dengan April yang kebalikkannya dari
kehidupan Maureen, dari nilai-nilai modernitas New York pada diri April menuju
nilai-nilai patriarki suburban yang membelenggu kemodernitasan feminitas April.
3.1.1.6. Propaganda Media dan Teknologi
Maskulinitas dalam..., Firsta Primordiyanti, FIB UI, 2010
Universitas Indonesia
Media dan teknologi memberikan peran yang cukup besar dalam
menginternalisasi ideology patriarki di masyarakat suburban. Frank dan Shep, di
ceritakan sebagai laki-laki yang identik dengan majalah-majalah seperti,
Observer, the Manchester Guardian, Times, dan Reader’s Digest. Frank dan Shep
merupakan pencitraan laki-laki yang identik dengan rasionalnya. Kegiatan para
laki-laki membaca majalah disandingkan dengan kegiatan para perempuan di
dapur yang sedang mencuci piring atau memasak. Selain itu, rasionalitas laki-laki
juga ditunjukkan dengan pembicaraan mengenai perkembangan teknologi
automobile, televisi, dan komputer sedangkan pembicaraan perempuan hanya
dibatasi dengan resep-resep makanan dan cara mengurus anak.
Objektifikasi perempuan melalui iklan juga mulai merebak. Perempuan
digambarkan sebagai objek untuk memenuhi standar kebutuhan laki-laki. Secara
tidak sadar, penanaman patriarki dilakukan oleh orang dewasa kepada anak-anak.
Frank menjadikan iklan pasta gigi sebagai funny story yang ia ceritakan kepada
kedua anaknya;
“’See, in the first picture this lady wants to dance with this man but he won’t ask her to, and here in the next picture she’s crying and her friends says maybe the reason he won’t dance with her is because her breath doesn’t smell too nice, and then in the next picture she’s talking to this dentist, and he says…”” (Yates, 2009: 76)
Iklan tersebut di atas, menggambarkan bagaimana perempuan berusaha memenuhi
keinginan laki-laki. Perempuan ditempatkan sebagai objek untuk memuaskan
kebutuhan laki-laki. Pemosisian laki-laki dan perempuan dalam iklan pasta gigi
tersebut mengokohkan idiologi patriaki dalam masyarakat.
Pencitraan perempuan melalui iklan juga ditunjukkan dengan penampilan seksi
model iklannya untuk menarik perhatian laki-laki. Bagi Frank, yang
memperhatikan iklan di majalah yang ia baca, membuat Frank melakukan
pendefinisian terhadap perempuan yang ia kenal.
“”A frankly flattering , definitely feminine dress to go happily wherever you go…” and whose subject was a tall, proud girl with deeper breast and hips that he’d thought fashion models were supposed to have. At first he
Maskulinitas dalam..., Firsta Primordiyanti, FIB UI, 2010
Universitas Indonesia
thought she looked not unlike a girls in his office named Maureen Grube; then he decided this one was much better looking and probably more intelligent.” (Yates, 2009:74)
Dengan demikian, objektifikasi perempuan sangat dipropaganda melalui iklan di
media. Perempuan dijadikan objek dalam iklan untuk menginternalisasikan
ideologi patriarki yang akan dengan mudah diadopsi oleh masyarakat ke dalam
bentuk norma kehidupan mereka sehari-hari.
3.1.2. Nilai-nilai Maskulinitas Masyarakat Suburban
Penggambaran mengenai maskulinitas laki-laki masyarakat suburban diwakili
oleh tokoh Frank Wheeler, Shep Campbell, dan Howard Givings. Mereka
menjalankan peran sebagai laki-laki di tengah tatanan budaya maskulinitas
tradisional suburban. Pembahasan mengenai nilai-nilai maskulinitas masyarakat
suburban akan ditinjau melalui hubungan tokoh Frank dengan tokoh-tokoh laki-
laki lainnya.
3.1.2.1. Frank Wheeler dan Shep Campbell: Nilai-Nilai Ideal Maskulinitas Suburban.
Di Revolutionary Hills Estates, Frank diceritakan lebih banyak melakukan
hubungan pertemanan dengan Shep dibandingkan dengan tokoh laki-laki lainnya.
Di waktu luang, mereka kerap saling mengunjungi atau pergi ke tempat hiburan
bersama-sama. Tidak hanya hubungan Frank dan Shep yang dekat, hubungan
April dan Milly serta hubungan antar anak-anak mereka juga dekat. Bahkan,
Frank dan April kerap menitipkan kedua anak mereka kepada Milly ketika mereka
membutuhkan waktu berdua tanpa kehadiran anak-anak mereka.
Shep, diceritakan sebagai suami yang dominan dalam hubungannya dengan Milly.
Mereka merupakan model keluarga “ideal” masyarakat patriarki suburban. Shep
dan Milly menjalankan peran mereka sesuai dengan “koridor-koridor” yang
berlaku di masyarakat. “Romantisme” hubungan mereka ditandai dengan sapaan
“sweety” atau “doll”; “What time the Wheelers coming, doll?” he asked his wife,
Maskulinitas dalam..., Firsta Primordiyanti, FIB UI, 2010
Universitas Indonesia
who was studying herself, sensibly, in the mirror of her flounced dressing table
(Yates, 2009; 187).
Shep merupakan seorang veteran; he was a veteran of three campaigns with a
famous airborne divisions (Yates, 2009; 187). Wajib militer yang ia jalani saat
usianya menginjak 18 tahun mampu mentransformasi dirinya kebentuk laki-laki
yang lebih kuat. Shep, dikisahkan sebagai anak yang tidak mendapatkan
pengasuhan ibunya karena perceraian orang tuanya. Ia hanya di asuh oleh
“English Nanny” atau “French ma’m’selle”. Kehidupan masa kecil Shep
membentuknya sebagai anak yang sering memakai “ill dress” , penakut dan
inferior. Pada akhirnya, wajib militer membentuknya menjadi manusia baru yang
kuat19.
…….his eighteen birthday sent him whooping and hollering into the paratroops, resolved to acquit himself not only with conspicuous bravery but with that other attribute so highly prized by soldiers, the quality of being a tough son of a bitch (Yates, 2009; 189)
Selepas dari peperangan, Shep melanjutkan pendidikan di Institute of Technology
di daerah Middle West, “He learned the unquestionedably masculine,
unquestionably middle-class trade of mechanical engineering.” (Yates,
2009:190). Kemaskulinitasan Shep betambah seiring dengan intellektualitas yang
ada pada dirinya. Oleh karena itu, dalam hubungannya dengan Frank, Shep
merasa bahwa dirinya juga memiliki “nilai” yang sama dengan Frank.
“He could certainly feel himself to be the equal of a man like Frank Wheeler, for example, and Frank was a product off all the things that once had made writhe in envy-the Eastern university, the liberal arts, the years of casual knocking around in Greenwich village.” (Yates, 2009:195)
Seperti tipikal laki-laki suburban lainnya, Shep dan Frank adalah adalah para
veteran yang pindah ke daerah suburban karena faktor perekonomian. Hal yang
membedakan Shep dan Frank dengan laki-laki suburban lainnya hanya terletak
19 Lihat Yates (2009). Hlm. 188-189.
Maskulinitas dalam..., Firsta Primordiyanti, FIB UI, 2010
Universitas Indonesia
pada pendidikan mereka. Shep juga merupakan cerminan dampak dari fenomena
baby boom. Ia memiliki 4 orang anak dengan jarak kelahiran yang dekat.
…..he had four son…..They were lying on their bellies in row, their eight-, seven-, five-, and four-year- old bodies identically dressed in blue knit pajamas, all propped on their elbows to stare at the flickering blue of the television screen….. Did other men ever feel distaste at the sight of their own children?” (Yates, 2009; 199)
Suburbanitas menjadi ciri kehidupan Shep dan Milly yang juga terlihat dari
penataan rumah mereka, “An amusingly typical suburban living room as this
before” (Yates, 2009:203). Nilai-nilai suburbanitas Shep dan MIlly sangat
mempengaruhi cara berfikir (mindset) mereka. Ketika Frank dan April
menceritakan tentang rencana kepindahan mereka ke Paris, Shep dan Milly
menganggap keputusan tersebut sebagai keputusan yang menandakan
ketidakdewasaan Frank dan April. Terlebih lagi, dengan ide pembagian peran
antara Frank dan April. Bahwa Frank tidak bekerja dan April yang bekerja,
dianggap Shep sebagai bentuk yang tidak maskulin atau yang tidak seharusnya
dilakukan oleh laki-laki.
“Oh, so do I. I mean I didn’t want to say anything, but I thought that exact same thing. Immature is exactly the right word. I mean have either of them even stopped for a minute to think of their children?” “Right,” he said. “And that’s only one thing. Another thing: what kind of half-assed idea is this about her supporting him? I mean what kind of a man is going to be able to take a thing like that?” (Yates, 2009:206)
Tidak dapat dipungkiri, bahwa keluarga Wheeler dan Campbell merupakan
keluarga yang juga bagian dari tatanan sosial yang membentuk mereka secara
tidak sadar untuk juga terlibat dalam norma-norma masyarakat suburban.
Kemaskulinitasan Shep dan Frank, seperti halnya kemaskulinitasan laki-laki
suburban lainnya, ditunjukkan dengan cerita-cerita nostalgia pada saat perang.
“One of the most memorable nights of the whole friendship, in fact, had been built on a series of well-turned army stories and had found its climax in a roar of masculine song.”
Maskulinitas dalam..., Firsta Primordiyanti, FIB UI, 2010
Universitas Indonesia
“”Oh-h-h-h- Hidey, tidey, ….Christ Almighty Who the hell are we? Flim, Flam, God damn We’re the infantry…..” (Yates, 2009: 92)
Nostalgia pada peperangan merupakan cara penekanan dihadapan istrinya bahwa
mereka adalah laki-laki yang secara mental dan fisik, kuat. Kekuatan yang mereka
tunjukkan melegitimasi kemaskulinitasan mereka sebagai laki-laki. Bahwa laki-
laki—dalam ideiologi patriarki—identik dengan kekuatan dan
keintellektualitasan. Dengan demikian, Shep merupakan laki-laki yang menjadi
agen patriarki yang memosisikan dirinya sebagai laki-laki yang mendominasi.
Maskulinitas Shep adalah maskulinitas yang berdasarkan norma-norma tradisional
masyarakat patriarki suburban. Shep menilai dirinya sebagai veteran dan laki-laki
“ intellectual” sebagai alat kekuasaan atas istrinya.
3.1.2.2. Frank Wheeler dan Givings: Pencitraan Maskulinitas Baru. Maskulinitas laki-laki masyarakat suburban dapat juga dilihat melalui
penggambaran tokoh Howard Givings, suami Mrs.Givings. Meskipun, hubungan
Frank dan Howard tidak sedekat hubungan Frank dengan Shep, intensitas
pertemuan antara Frank dan Howard cukup banyak. Howard, diceritakan
mengunjungi rumah Frank karena ajakan istrinya yang ingin mengenalkan anak
mereka, John kepada Frank dan April.
Menurut Mrs.Givings, John akan mendapatkan pembicaraan yang menyenangkan
yang akan membantu pemulihan pada masalah kejiwaan anaknya. Seperti yang
telah dibahas sebelumnya, Mrs.Givings menilai Frank dan April sebagai pasangan
yang berbeda dari kebanyakan keluarga yang tinggal di perumahan Revolutionary
Hills Estate. Frank dan April, dianggap Mrs.Givings sebagai orang yang
intellektual yang cocok jika dipertemukan dengan anaknya John, “And goodness
only knew that John, whatever else he might or might not be, was an intellectual.”
(Yates, 2009:218). John merupakan laki-laki yang berpendidikan, “…had done
Maskulinitas dalam..., Firsta Primordiyanti, FIB UI, 2010
Universitas Indonesia
marvelously well at M.I.T. and now was doing marvelously well as an instructor
of mathematics at some Western university.” (Yates, 2009:85).
Permasalahan pada kejiwaan John dianggap oleh masyarakat suburban sebagai
contoh kegagalan bagi keluarga yang keluar dari norma-norma. Dalam
masyarakat patriarki, Howard tidak menjalankan peran maskulinitas laki-laki
begitu juga dengan Mrs.Givings yang tidak menjalankan peran femininitas
perempuan. Permasalahan yang muncul dijadikan bahan “olok-olok” oleh
masyarakat patriarki suburban. Milly mendapatkan informasi dari perempuan-
perempuan yang ia temui saat sedang bergosip mengenai Mrs.Givings. Informasi
yang MIlly dapatkan, diceritakan kembali kepada Frank dan April.
“”Well,” Milly said. “He isn’t teaching any mathematics now, and he isn’t our West either. You know where he is? You know where he’s been for the past two months? He’s over here in Greenacres. You know,” she added, when they all looked blank. “The State hospital. The insane asylum.”” (Yates, 2009:85)
Informasi yang didapat dari Milly membuat April mengingat kunjungan-
kunjungan yang dilakukan Mrs. Givings. April membayangkan betapa sedihnya
Mrs. Givings yang berusaha menemukan cara untuk berbicara dengan orang lain.
“April pointed out how significant it now seemed that Mrs. Givings had been dropping in so often lately for seemingly aimless little visits: “It’s the funniest thing. I’ve always had the feeling she wanted something here, or wanted to tell us something and could not quite get the words out-haven’t you felt that?” (Here she turned to her husband, but without quite meeting his eyes and without adding the “darling” or even the “Frank” that would have filled his heart with hope. He muttered that he guessed he had.) “God, isn’t that sad,” April said.” She’s probably been dying to talk about it, or to find out how much we know, or something.”” (Yates, 2009:87)
Upaya Mrs. Givings yang aktif dalam berhubungan dengan orang lain dan juga
dalam bekerja mengindikasikan hubungan dominasi yang berbeda. Maskulinitas
Howard direkonstruksi menjadi maskulinitas yang modern oleh kefemininitasan
modern Mrs. Givings. Mrs. Givings secara ekonomi tidak bergantung pada
Maskulinitas dalam..., Firsta Primordiyanti, FIB UI, 2010
Universitas Indonesia
suaminya. Di tengah ketidakberdayaan suaminya yang sakit, Mrs. Givings
mengambil alih peran suami dalam ruang publik. Penggambaran mengenai
Howard Givings terlihat dalam kutipan berikut;
Howard Givings looked older than sixty-seven. His whole adult life had been spent as a minor official of the seventh largest life insurance company in the world, and now in retirement it seemed that the years of office tedium had marked him as vividly as old seafaring men are marked by wind and sun. he was very white and soft. His face, instead of wrinking or sinking with age, had puffed out into the delicate smoothness of infancy, and his hair was like a baby’s too, as fine as milkweed silk. He had never been a sturdy man, and now his frailty was emphasized by the spread of a fat belly, which obliged him to sit with his meager knees wide apart. He wore a rather natty red-checked shirt, gray fannel trousers, gray shocks, and an old pair of black, high-vut orthopedic shoes that were as infinitely wrinkled as his face was smooth (Yates, 2009; 216)
Penggambaran mengenai Mr. Givings sangat berbeda dengan penggambaran
Frank dan Shep secara umum. Mr. Givings tidak diceritakan sebagai laki-laki
veteran. Mr. Givings diceritakan hanya sebagai laki-laki pasif yang banyak
menghabiskan waktu untuk membaca Herald Tribune atau the World-Telegram
dan untuk mendengarkan cerita-cerita kegiatan istrinya di luar rumah yang
terkadang tidak diabaikannya dengan cara mematikan alat bantu dengarnya, “he
had turned his hearing aid off for the night.” (Yates, 2009:228)
3.1.2.3 Maskulinitas Frank Wheeler di Tengah Budaya Patriarkal
Masyarakat Suburban.
Budaya patriarkal mengurung baik laki-laki dan perempuan pada kotak-kotak
identitas maskulin dan feminin tradisional. Dengan pembagian peran tersebut,
laki-laki dan perempuan mau tidak mau harus bersikap sesuai dengan “koridor”
identitas masing-masing. Jika laki-laki, ia harus bersikap secara maskulin, yaitu
sebagai laki-laki kepala rumahtangga yang dominan, “decision maker”, “ bread
Maskulinitas dalam..., Firsta Primordiyanti, FIB UI, 2010
Universitas Indonesia
winner”, berada di ruang publik , dan berfikir rasional. Jika perempuan, ia harus
menjadi ibu rumah tangga yang terampil mengurus anak, suami, dan rumah.
Tatanan budaya patriarkal masyarakat suburban seolah menjadi “buku panduan”
yang harus diikuti dan dijadikan pedoman dalam berkeluarga. Salah satu keluarga
yang mengadopsi nilai budaya patriarkal masyarakat suburban adalah keluarga
Wheeler. Kepindahan keluarga Wheeler ke daerah suburban secara otomatis
mengotakkan peran Frank Wheeler sebagai kepala keluarga dan April Wheeler
sebagai ibu rumah tangga ke dalam peran laki-laki dan perempuan suburban.
Penjelasan mengenai femininitas April Wheeler telah dilakukan pada sub bab
sebelumnya. Oleh karena itu, pada sub bab ini, akan dipaparkan mengenai
kemaskulinitasan Frank Wheeler di tengah budaya patriarkal masyarakat
suburban. Pembahasan mengenai kemaskulinitasan Frank akan disandingkan
dengan konsep kemaskulinitasan suburban.
Frank Wheeler merupakan laki-laki berusia 30 th, suami dari April Wheeler, dan
ayah dari Jennifer dan Michael. Ia digambarkan sebagai laki-laki yang intelektual
yang selalu mencari identitas kemaskulinitasan dirinya. Tegangan pada diri Frank
dalam mencari identitas kemaskulinitasannya dibenturkan dengan kontruksi
personal dirinya dengan ayahnya, laki-laki lain, lingkungan, dan femininitas April.
Frank Wheeler digambarkan melalaui kutipan berikut;
“…Frank Wheeler, the round-faced, intelligent-looking young man…” (Yates, 2009:9) “He was neat and solid, a few days less than thirty years old, with closely cut black hair and the kind of unemphatic good looks that an advertising photographer might use to portray that discerning consumer of well-made but inexpensive merchandise (Why Pay More?). But for all its lack of structural distinction, his face did have an unusual mobility: it was able to suggest wholly different personalities with each flickering change of expression.” (Yates, 2009:15)
Frank bekerja di Sales Promotion Department pada sebuah perusahaan bernama
Knox. Ia menganggap pekerjaannya bukanlah pekerjaan yang ia cita-cita selama
Maskulinitas dalam..., Firsta Primordiyanti, FIB UI, 2010
Universitas Indonesia
ini. Jika para lelaki berkumpul dan berbincang mengenai pekerjaan mereka, Frank
selalu menganggap hal itu sebagai hal yang tidak penting untuk dibicarakan,
“…in dead earnest, just as if Frank hadn’t made it clear, time and again, that his
job was the very least important part of his life, never to be mentioned except in
irony. It was time to act.”(Yates, 2009:88).
Bagi Frank, kehidupannya tak lebih dari sekedar “hopeless”, “emptiness”. Ia
masih ingin melakukan perjalanan panjang untuk mencari identitasnya tetapi
kehidupan keluarga memaksa dan mengharuskannya untuk berperan menjadi ayah
dan suami. “What the hell kind of a life was this? What in God’s name was the
point or the meaning or the purpose of a life like this?” (Yates, 2009: 77)
Frank menginginkan pekerjaan yang tanpa ada bayang-bayang ayahnya.
Pencapaian atas kemaskulinitasan yang Frank inginkan adalah ketika ia mampu
mendapatkan pekerjaan di luar dari pekerjaan yang pernah ayahnya lakukan.
Frank bekerja pada posisi dan perusahaan yang sama dengan ayahnya. Dengan
fikiran yang membebaninya tersebut, ketidakmampuannya ia transformasi ke
dalam bentuk dominasi terhadap perempuan, yaitu istrinya.
Rasa inferioritas pada diri Frank disandingkan dengan rasa percaya diri April
untuk terus berupaya keluar dari domestisitasnya. Norma-norma patriarki yang
membentuk femininitas dan maskulinitas tradisional masyarakat suburban
dijadikan alat bagi Frank untuk memosisikan dirinya lebih tinggi dari pada April.
Perwujudan atas maskulinitas tradisional Frank dalam kehidupan suburban terlihat
ketika ia berupaya untuk menanam tanaman pemberian Mrs. Givings di halaman
rumahnya. Akan tetapi upaya Frank untuk melakukan “pekerjaan laki-laki”
tersebut tidak berhasil karena ia tidak mengetahui caranya,“”Would you mind
telling me that what I’m supposed to do this stuff?”” (Yates, 2009:59).
Pertanyaannya kepada April mengenai cara menanam mendapat sindiran sehingga
rasa inferioritas yang muncul secara tiba-tiba ia ubah menjadi bentuk “kekerasan”.
Ia berbicara dengan nada yang keras kemudian mengalihkan pembicaraan ke
Maskulinitas dalam..., Firsta Primordiyanti, FIB UI, 2010
Universitas Indonesia
pernyataan tentang tanggung jawab April pada dirinya, yaitu untuk menyiapkan
sarapan, “”Look, could you kind of take it easy? I haven’t had any coffee yet, and
I-“” (Yates, 2009:59)
Namun, Frank terus berupaya menunjukkan kemaskulinitasannya di hadapan
April dengan mencangkul batu-batu yang menghalangi jalan menuju rumahnya,
“At least it was a man’s work.” (Yates, 2009:61). Frank ingin meyakinkan dirinya
sendiri kalau ia mampu mewakili maskulinitas laki-laki.
“…-not to be compared with his friend’s hand, maybe, but a serviceable, good-enough hand all the same-so that his temples ached in zeal and triumph as he heaved a rock up from the suck of its white-wormed socket and let it roll end over end down the shuddering leafmold, because he was a man.” (Yates, 2009:61-62)
Perwujudan maskulinitas tradisional masyarakat patriarki adalah dengan memeran
diri sebagai ayah yang keras dan tegas di hadapan anak-anaknya. Figur Ayah
dicitrakan sebagai figur yang tidak dekat dengan anaknya karena pengasuhan anak
diberikan sepenuhnya kepada ibu.
“”Daddy?” Michael inquired.”Why does the shovel make sparks?” “Because it’s hitting rock. When you hit rock with steel, you get a spark.” “Why don’t you take the rock out?” “That’s what I’m trying to do. Don’t get so close now, you might get hurt.”” (Yates, 2009:62-63) “”Daddy?” Jennifer said. “How come Mommy slept on the sofa?” “I don’t know. Just happened to feel like it, I guess. You wait here, now, while I go and get another stone.”” (Yates, 2009:63)
Frank tidak merasa nyaman dengan kepolosan pertanyaan anak-anak yang
menyerangnya. Frank mengusir anak-anaknya untuk tidak mengganggu
pekerjaannya sehingga membuat kedua anaknya menangis dan pergi kepelukan
April. Sikap keras yang Frank lakukan adalah upaya untuk menunjukkan
Maskulinitas dalam..., Firsta Primordiyanti, FIB UI, 2010
Universitas Indonesia
dominasi yang mencermikan kemaskulinitasannya. Akan tetapi, kekerasan itu
sejatinya merupakan rasa inferioritas Frank di hadapan April bahkan di hadapan
anak-anaknya.
Cara berfikir dan sikap Frank menunjukkan dominasi ideologi patriarki pada
dirinya. Penolakan Frank terhadap budaya suburban merupakan bentuk penyataan
pelarian diri dari ketidakmampuannya untuk menjadi bentuk maskulinitas laki-
laki modern. Frank menolak bentuk maskulinitas suburban tetapi ia juga bukan
merupakan laki-laki yang mencerminkan maskulinitas modern kota New York.
Frank tetaplah berada dalam dominasi patriarki yang menggunakan norma
tradisional masyarakat patriarki sebagai senjata untuk mengopresi April dan yang
berbicara mengenai penolakannya terhadap budaya suburban sebagai senjata
bahwa ia laki-laki yang lebih “special” dan “intellectual” dihadapan laki-laki
lain.
3.2. Rekonstruksi Maskulinitas Frank Wheeler
3.2.1. Relasi Antara Frank Wheeler dan Tokoh Laki-laki Lain.
Revolutionary Road menggambarkan Frank sebagai tokoh yang kurang percaya
diri yang selalu mempertanyakan tentang kemaskulinitasan dirinya. Dalam
penggambaran mengenai masa kecilnya, ia selalu bercermin pada sosok ayahnya,
Earl Wheeler dan ia bermimpi untuk melakukan perjalanan untuk menemukan
identitas kelaki-lakiannya.
“…he was fourteen again, and it was the year he’d lived in Chester, Pennsylvania-no, in Englewood, New Jersey-and spent all his free time in a plan for riding the rails to the West Coast, He had traced several alternate routes on a railroad map, he had rehearsed many times the way he would handle himself (politely, but with his fist fights if necessary) in the hobo jungles along the way, he’d chosen all the items of his wardrobe room the window of an Army and Navy store: Levi jacket and pants, an army-type khaki shirt with shoulder tabs, high-cut work shoes with steel caps at heel and toe. And old felt hat of his father’s, which could be made to fit with a wad of newspaper folded into its sweatband, would lend the right note of honest poverty to the outfit, and he take whatever he needed in his boy scout knapsack, artfully reinforced with adhesive tape to
Maskulinitas dalam..., Firsta Primordiyanti, FIB UI, 2010
Universitas Indonesia
conceal the boy scout emblem. The best thing about the plan was its absolute secrecy, until the day in the school corridor when he impulsively asked a fat boy named Krebs, who was the closest thing to a best friend he had that year, to go along with him. Krebs was dumb-founded-“On a freight train, you mean?”-and soon he was laughing aloud. “Jeez, you kill me, Wheeler. How far do you thing you’d get on a freight train? Where do you get these weird ideas, anyway? The movies or some places? You want to know something, Wheeler? You want to know why everybody thinks you’re a jerk. Because you’re a jerk, that’s why.”” (pp.24)
Salah satu sikap maskulin Frank dikontruksi oleh figur ayah Frank. “He thought
he looked surprisingly dignified in his new suit, with its coat and tie almost
exactly like his father’s, and it pleased him…..” (pp. 97). Akan tetapi, Earl
Wheeler yang mengajak Frank ke kantornya, Knox (Frank bekerja di kantor yang
sama dengan ayahnya saat ia dewasa) tidak memperbolehkan Frank menggunakan
alat-alat ayahnya, “’You’re ruining it! Can’t you see you’re running it? that’s no
way to handle a tool”” (pp.48). Hal tersebut menimbulkan rasa inferior pada diri
Frank hingga akhirnya ketika ia dewasa ia ingin menunjukkan
kemaskulinitasannya dengan mendapatkan pekerjaan yang “interesting”,
“…meanwhile I want to retain my own identity. Therefore the thing I’m most
anxious to avoid is any kind of work that can be considered ’interesting’ in its
own right.” (Yates, 2009:103)
Frank belum merasa dirinya sebagai seorang “laki-laki” karena pada akhirnya ia
tidak dapat lari dari figur ayahnya. Frank bekerja pada posisi yang sama sebagai
salesman dan di perusahaan yang sama, yaitu perusahaan yang menjual mesin-
mesin perkantoran, “… “the dullest job you can possibly imagine”,…” (Yates,
2009:16). Frank tidak mampu membuktikan bahwa ia dapat lebih baik dari
ayahnya, “…what he did for a living, that he didn’t do anything really; that he
had the dullest job you could possibly imagine.”(Yates, 2009:106).
Perasaan inferioritas karena Frank tidak mampu keluar dari bayang-bayang
ayahnya mengkonstruksi maskulinitas dalam diri Frank. Maskulinitas Frank
dikonstruksi dengan ideologi-ideologi patriarki bahwa laki-laki harus kuat secara
Maskulinitas dalam..., Firsta Primordiyanti, FIB UI, 2010
Universitas Indonesia
fisik, berfikir rasional, menafkahi keluarga dengan pekerjaan yang “menarik”, dan
mendominasi perempuan.
Konstruksi maskulinitas tersebut terus ia wujudkan dalam relasinya dengan laki-
laki lain dan juga perempuan. Dalam penemuan identitas maskulinnya, Frank
membutuhkan kebebasan tanpa adanya opresi dari laki-laki lain ataupun
perempuan, “All he would ever need, it was said, was the time and freedom to find
himself.” (Yates, 2009:29). Akan tetapi, Frank teropresi dengan bayang-bayang
figur ayahnya dalam pekerjaannya dan juga teropresi dengan kefemininitasan
April dalam kehidupan rumah tangganya.
Opresi-opresi yang Frank alami tersebut menjadi rasa inferioritas dalam dirinya.
Inferioritas atas pekerjaannya ia tunjukkan dengan pernyataan tentang
ketidakmenarikan dan kejenuhan yang dialami dalam pekerjaannya. Inferioritas
atas diri April ditunjukkan dengan sikap keras untuk mendominasi dan
mengopresi kefemininitasan April.
Dalam novel Revolutionary Road, tokoh John Givings yang dikisahkan
mengalami gangguan kejiwaan menjadi tokoh yang memberikan pernyataan-
pernyataan ironi terhadap cara pandang Frank tentang pekerjaan dan istrinya.
Ketika Frank ditanya tentang pekerjaannya, Frank menjawab bahwa pekerjaanya
tidaklah menarik,“Sort of help sell them, I guess. I don’t really have much to do
with the machine themselves, I work in the office. Actually it’s sort of a stupid job.
I mean there’s nothing-you know, interesting about it, or anything.” (Yates,
2009:255). Namun, dengan pandangan sederhana John memberi pernyataan yang
menyerang rasa ketakutan Frank, “You worry about whether a job is ‘interesting’
or not? I thought only women did that. Women and boys. Didn’t have you figurd
that way.” (Yates, 2009:255)
Selain itu, John juga memberikan pernyataannya tentang kejenuhan Frank
terhadap kehidupan suburban yang menurutnya hampa, seperti yang terlihat dalam
kutipan-kutipan berikut;
Maskulinitas dalam..., Firsta Primordiyanti, FIB UI, 2010
Universitas Indonesia
“You want to play house, you got to have a job. You want to play very nice house, very sweet house, then you got to have a job you don’t like.” (Yates, 2009:255) “Now you’ve said it. The hopeless emptiness. Hell, plenty of people are on to the emptiness part; out where I used to work, on the coast, that’s all we ever talked about. We’d sit around talking about emptiness all night. Nobody ever said ‘hopeless’ though; that’s where we’d chicken out. Because maybe it does take a certain amount of guts to see the emptiness, but it takes a whole hell of a lot more to see the hopelessness. And I guess when you do see the hopelessness, that’s when there’s nothing to do but take off. If you can.” (Yates, 2009:259)
Pernyataan-pernyataan John dibenarkan oleh Frank danApril tetapi Frank tidak
mau mengakuinya. Terlebih lagi, ketika John mengutarakan tentang istrinya,
April; “I get the feeling she’s female. You know what the difference between
female and feminine is? Huh? Well, here’s hint: a feminine woman never laughs
out loud and always shaves her armpits.” (Yates, 2009:260).
Ironi-ironi yang diungkapkan John makin menegaskan rasa inferioritas yang
mengopresi Frank. John mengungkapkan kebenaran-kebenaran dalam diri Frank
yang coba ia tutupi. Meskipun demikian, Frank tetap berusaha untuk
menampilkan dirinya sebagai laki-laki maskulin yang dikonstruksi atas dasar rasa
inferioritasnya.
Tampilan maskulin Frank juga ia tunjukkan di hadapan Shep dengan
mengutarakan pendapat-pendapatnya mengenai kehidupan suburban. Frank
menilai masyarakat suburban tidak setara dengan dirinya. Pernyataan Frank untuk
menunjukkan kualitas dirinya merupakan cara untuk menutupi kekurangannya
bahwa sebenarnya ia tak lebih baik dari laki-laki suburban lainnya.
Jika Shep dihubungkan dengan konstruksi maskulinitasan Frank, Shep tidak
terlalu berpengaruh pada pembentukkan maskulinitas Frank tetapi Shep hanya
merupakan tokoh yang dapat dijadikan cerminan laki-laki “ideal” suburban.
Terlebih lagi, Shep memiliki “kecemburuan” terhadap Frank yang mampu
Maskulinitas dalam..., Firsta Primordiyanti, FIB UI, 2010
Universitas Indonesia
memiliki istri menarik seperti April, “I love you, April,” he whispered, just to see
what it felt like. “I love you. I love you.” (Yates, 2009:201)
Kesimpulannya, hubungan Frank dengan laki-laki lainnya tidak merekonstruksi
maskulinitas Frank ke dalam bentuk maskulinitas baru yang “ideal” jika
disejajarkan dengan April. Akan tetapi, hubungan Frank dengan laki-laki lain
semakin mengokohkan ideologi-ideologi patriarki yang menkonstruksi
maskulinitas Frank ke bentuk maskulinitas yang patriarki.
3.2.2. Relasi Antara Frank Wheeler dan Tokoh Perempuan Lain.
Maskulinitas Frank di tengah budaya patriarki dibenturkan dengan femininitas
April. Dominasi yang dilakukan Frank terhadap April menunjukkan bahwa Frank
sendiri terjebak oleh agen-agen patriarki yang ada disekitarnya. Frank menolak
ketradisionalan peran laki-laki dan perempuan yang diagung-agungkan oleh
masyarakat suburban sebagai bentuk pencarian identitas maskulinnya. Frank
sendiri terjebak dalam pencarian identitas maskulinnya.
Oleh masyarakat patriarki, Frank, sebagai laki-laki harus menjalankan norma-
norma maskulin yang dianggap sebagai norma yang mutlak. Frank merasa
teropresi dengan perannya sebagai ayah dan suami dalam masyarakat suburban.
Akan tetapi, permasalahan yang muncul pada diri Frank dalam pencarian identitas
maskulinnya tidak hanya berdampak pada dirinya tetapi pada April.
Sebagai salah satu cara untuk menunjukkan identitas maskulinnya, ia
menunjukkan dominasinya pada istrinya, April. Dominasi yang ia lakukan ia
tunjukkan dengan kekerasan fisik dan mental. Ketika April mengalami kegagalan
saat memerankan tokoh utama perempuan adalam pertunjukkan drama, Frank
merasa bahwa memang seharusnya kegagalan itu terjadi;
“Smiling, he was a man who knew perfectly well that the failure of an amateur play was nothing much to worry about, a kindly, witty man who would have exactly the right words of comfort for his wife backstage; but
Maskulinitas dalam..., Firsta Primordiyanti, FIB UI, 2010
Universitas Indonesia
in the intervals between his smiles, when he shouldered ahead through the crowd and you could see the faint chronic fever of bewilderment in his eyes, it seemed more that he himself was in need of comforting.” (Yates, 2009: 16)
Kegagalan April dalam “The Laurel Players” yang merupakan moment
kembalinya April pada domestisitasnya, tidak membuat Frank untuk bersikap
menenangkan istrinya tetapi bersikap semakin memojokkan April.
““It strikes me,” he said at last. “that there’s a considerable amount of bullshit going on here. I mean you seem to be doing a pretty good imitation of Madame Bovary here, and there’s one or two points I’d like to clear up. Number one, it’s not my fault the play was lousy. Number two, it’s sure as hell not my fault you didn’t turn out to be an actress, and the sooner you get over that little pierce of soap opera the better off we’re all going to be. Number three, I don’t happen to fit the role of dumb, insensitive suburban husband; you’ve been trying to hang that one on me ever since we moved out here, and I’m damned if I’ll wear it. Number four-”” (Yates, 2009:34)
Frank bersikap seolah ia tidak mau menjadi bagian masyarakat suburban yang
dapat disalahkan. Ia ingin menunjukkan bahwa ia juga terjebak dalam tatanan
budaya suburban yang mendomestisasi perempuan.
“He tried to swallow but his throat was very dry. “I don’t know what you’re trying to prove here,” he said,” and frankly I don’t think you do either. But I do know one thing. I know damn well I don’t deserve this.” You’re always so wonderfully definite, aren’t you,” she said,” on the subject of what you do and don’t deserve.” She swept past him and walked back to the car.”(Yates, 2009:35-36)
Frank mengetahui dengan benar bahwa “The Laurel Players” merupakan peluang
bagi April untuk mengaktualisasikan dirinya. Akan tetapi, ketika kegagalan
terjadi, Frank berada dalam posisi nyaman saat mengetahui April akan kembali ke
rutinitas domestiknya kembali.
Kegagalan yang April alami mejadi pemicu pertengkaran mereka. April merasa
dirinya teropresi oleh keinginan-keinginan Frank yang ingin ia wujudkan tanpa
memperdulikan April. April mengungkapkan kenangan ketika Frank memukul
Maskulinitas dalam..., Firsta Primordiyanti, FIB UI, 2010
Universitas Indonesia
wajahnya dan April juga mengungkapkan bagaimana ia merasa terjebak oleh
kerumitan Frank.
““Oh, you’re never folded me, Frank, never once. All your precious moral maxims and your ‘love’ and your mealy-mouthed little-do you think I’ve forgotten the time you hit me in the face because said I wouldn’t forgive you? Oh, I’ve always known I had to be your conscience and your guts-and your punching bag. Just because you’ve got me safely in a trap you think you-”” (Yates, 2009: 37)
Frank menyangkal perkataan April bahwa April terjebak tetapi April semakin
berani untuk menunjukkan betapa rumit kemaskulinitasan Frank yang ingin Frank
wujudkan, seperti yang terlihat dalam kutipan berikut;
““Yes, me.” She made a claw of her hand and clutched at her collarbone. “Me. Me. Me. Oh, you poor, self-deluded-look at you! Look at you, and tell me how by any stretch”-She tossed her head, and the grin of her teeth glistened white in the moonlight-“b any stretch of the imagination you can call yourself a man!”” (Yates, 2009:37)
Kemaskulinitasan Frank semakin terpojokkan dengan sikap April. Dalam diri
Frank mengakui bahwa ia sangat mengalami kerumitan dalam menentukan sikap
maskulinnya di hadapan April. Namun, tidak demikian, ketika Frank melakukan
hubungan perselingkuhan dengan Maureen.
Frank dapat mendefinisi dan mendominasi Maureen. Frank merasa menjadi “laki-
laki” ketika ia mampu mengendalikan, menasehati dan melindungi Maureen.
“I’m glad. And listen: you’re swell, Maureen. If there’s ever anything I can-you
know, do for your or anything, I hope you’ll let me know. I guess that sounds sort
of crummy. All mean is that I’d like us to be friends.” (Yates, 2009:166).
Setiap kali melakukan hubungan seks dengan Maureen, Frank semakin merasa
dirinya sebagai “laki-laki”,“He felt like a man.” (Yates, 2009:139). Bahkan ia
merasa mampu mewujudkan kemaskulinitasannya, bahwa sebagai laki-laki, ia
dapat menaklukkan perempuan. “he had wanted to laugh aloud at having so
perfectly fulfilled the standard daydream of the married man.” (Yates, 2009:342).
Maskulinitas dalam..., Firsta Primordiyanti, FIB UI, 2010
Universitas Indonesia
Namun, sekembalinya Frank ke rumah, ia akan kembali berada di bawah bayang-
bayang sikap April. Setelah melakukan hubungan seks dengan Maureen, Frank
seolah ingin terlihat “pure” ketika berada di rumah. April mengajak Frank untuk
berhubungan seks tetapi Frank menundanya dengan mandi terlebih dahulu.
”I better take a shower first, too”” (Yates, 2009:145 “”I’ve got to April.”” “Why?” “Just because. I’ve got to”” (Yates, 2009:145)
Frank seolah ingin membersihkan rasa bersalahnya di hadapan April dengan cara
mandi;
“Under the stiff pelting of hot water, in which Maureen Grube had become an adhesive second skin that only the most desperate scrubbing would shed, he decided he would have to tell her. He would soberly take hold of both her hands and say “Listen, April. This Afternoon I-“ “(Yates, 2009:145)
“He turned off all the hot water and turned up the cold, a thing he hadn’t done in years” (Yates, 2009:145)
Sikap April mampu menginternalisasi Frank sehingga Frank selalu berada dalam
bayang-bayang April.; “”Don’t you know? You’re the most valuable and
wonderful thing in the world. You’re a man.””
Frank pun menyadari akan kemampuan April yang dapat mendefinisikan dirinya.
Frank pun tidak dapat memungkiri perasaan-perasaan yang muncul saat April
memberikan keyakinan atas kemaskulinitasan dirinya.
“He had take command of the universe because he was a man, and because the marvelous creature who open and moved for him, tender and strong was a woman.” (pp.158)
April dengan identitas feminin yang dimilikinya digambarkan sebagai perempuan
yang kuat, berbakat, pintar, dan mampu mandiri. April mampu mengubah Frank
Maskulinitas dalam..., Firsta Primordiyanti, FIB UI, 2010
Universitas Indonesia
dengan sikapnya yang terkadang juga menunjukkan bentuk sikap maskulinitas
bagi perempuan.
“It was April herself, stolidly pushing and hauling the old machine, wearing a man’s shirt and a pair of loose, flapping slacks, while both children romped behind her with handfuls of cut grass.” (Yates, 2009:46)
“Everything about her seemed determined prove, with a new, flat-footed emphasis, that a sensible middle-class housewife was all she had ever wanted to be and that all she had ever wanted of love was a husband who would get out and cut the grass once in a while, instead of sleeping all day.” (Yates, 2009:58)
April menginginkan Frank untuk juga berperan dalam urusan domestik tetapi hal
itu belum bisa terwujud. Satu-satu cara bagi April untuk mewujudkan
pengaktualisasian dirinya yang berakar dari identitas feminin modern yang
dimilikinya adalah rencana kepindahan mereka ke Paris. April mampu
meyakinkan Frank yang secara langsung berarti April mampu mendefinisi
kemaskulinitasan Frank.
April mengungkapkan pada Frank bahwa peran ayah yang dijalankan Frank
merupakan peran yang dijadikan April sebagai hukuman untuk membatasi
aktualisasi diri Frank sebagai individu;
“ “It was way back on Bethune Street,” she said. “It was when I first got pregnant with Jennifer and told you I was going to-you know abort it, abort her. I mean up until that moment you didn’t want a baby anymore than I did-why should you have?- but when I went out and bought that rubber syringe I put the whole burden of the thing on you. It was like saying, All right, then, if you want this baby it’s going to be All Your Responsibility. You’re going to have to turn your self inside out to provide for us. You’ll have to give up any idea of being anything in the world but a father.” (Yates, 2009:152)
April menyatakan dengan kepindahan mereka ke Paris, April akan bekerja dan
Frank akan melakukan apapun sampai ia dapat menemukan pekerjaan yang
selama ini ingin ia dapat. April berusaha untuk memosisikan Frank sebagai laki-
laki yang “special” yang berhak atas hal-hal yang lebih baik dibandingkan dengan
kehidupan suburban;
Maskulinitas dalam..., Firsta Primordiyanti, FIB UI, 2010
Universitas Indonesia
“You were too good and young and scared, you played right along with it, and that’s how the whole thing started. That’s how we both got committed to this enormous delusion-because that’s what it is, an enormous, obscene delusion-this area that people have to resign from real life and ‘settle down’ when they have families. it’s the great sentimental lie of the suburbs, and I’ve been making you subscribe to it all this time.” (Yates, 2009:153)
Kehidupan mereka akan lebih baik dengan kepindahan mereka ke Paris karena
selama ini, mereka terjebak dengan pernikahan yang mereka lakukan di usia muda
karena tuntutan masyarakat pasca perang Amerika,“…-This picture of myself as
the girl who could have been The Actress if she hadn’t gotten married too
young….” (Yates, 2009:153). Oleh karenanya, April terus mendefinisi
kemaskulinitas Frank dengan pernyataan-pernyataan April sebagai berikut;
“…you’ve lost all your belief in yourself?”” (Yates, 2009:155)
“…If I had half that guy’s brains I’d quit worrying. And he meant it! Everybody knew there was nothing in the world you couldn’t do or be if you only had a change to find yourself” (Yates, 2009:156)
“…Listen: I don’t care if it takes you five years of doing nothing at all; I don’t care if you decide after five years that what you really want is to be a bricklayer or a mechanic or a merchant seaman. Don’t you see what I’m saying? It’s got nothing to do with definite, measurable talents-it’s your very essence that’s being stifled here. It’s what you are that’s being denied and denied and denied in this kind of life.”” (Yates, 2009:157)
“”Don’t you know? You’re the most valuable and wonderful thing in the world. You’re a man.”” Yates, 2009:157)
Di tengah-tengah rasa percaya diri yang terbangun oleh pernyataan-pernyataan
April atas dirinya, tiba-tiba muncul dalam benak Frank tentang perannya sebagai
laki-laki yang akan ia jalani di Paris;
“he would have to get his bearings, when she come home to the Paris apartment her spike-heeled pumps would stick decisively on the tile floor and her hair would be pulled back into a neat bun; her face would be drawn with fatigue so that the little vertical line between her eyes would show, even when she smiled….”( Yates, 2009:154)
Konstruksi maskulinitas patriarki dalam diri Frank secara tidak sadar menolak
pendefinisian yang dilakukan oleh April. Frank menyetujui rencana April dan
Maskulinitas dalam..., Firsta Primordiyanti, FIB UI, 2010
Universitas Indonesia
menerima pernyataan-pernyataan April yang mampu secara singkat membangun
kepercayaan dirinya. Akan tetapi, jauh di dalam diri Frank ada perasaan yang
bergejolak menolak bentuk maskulinitas yang ditawarkan April untuk dirinya.
Kejantanan Frank merasa terdobrak oleh sikap feminin April yang modern. Ia
seolah mendapat energy baru untuk menunjukkan dan membuktikan kalau ia
adalah laki-laki maskulin, “…were confident would meet with the branch
manager’s approval.” (Yates: 2009:168). Frank secara tiba-tiba memiliki
semangat baru dalam pekerjaannya, “He was a demon of energy; and it wasn’t
until four o’clock, walking blearily to the water cooler…” (Yates, 2009:170).
Semangat baru yang tiba-tiba muncul tergerak karena pernyataan April mengenai
pekerjaannya sehingga Frank ingin membuktikan ketidakbenaran pernyataan
April;
“It was because April had left a small pocket of guilt in his mind last night by saying that he’d “worked like a dog year after year.” He had meant to point out that whatever it was he’d been doing here year after year, it could hardly be called working like a dog-but she hadn’t given him a change. And now, by trying to clear all the papers off his desk in one day, he guess we was trying to make up for having misled her.” (Yates, 2009:171)
Frank bertransformasi menjadi laki-laki bentuk baru yang bersemangat ingin
membuktikan identitas maskulinnya. Pendefinisian yang dilakukan April mampu
membuatnya lebih “valuable”. Hari-hari yang mereka lalui selanjutnya lebih
kepada persiapan mereka untuk perjalanan ke Paris. Pertengkaran di antara
mereka pun mulai dapat diredam.
“He knew for one thing that he had developed a new way of talking, slower and more deliberate than usual, deeper in tone and more fluent: he almost never had to recourse to the stammering, apologetic little bridges (“No, but I mean-I don’t know-you know-”) that normally laced his speech, nor did his head duck and weave in the familiar nervous effort to make himself clear.” (Yates, 2009:174)
Maskulinitas dalam..., Firsta Primordiyanti, FIB UI, 2010
Universitas Indonesia
April memberikan pemikiran-pemikiran yang baru bagi Frank yang selalu terjebak
pada konstruksi patriarki. Ketika Frank mengamati peran maskulin laki-laki dan
peran feminin perempuan dalam realita bahwa laki-laki berada di bawah kendali
perempuan, April tetap memberikan penilaian atas diri Frank yang lebih baik.
“And I mean is it any wonder all the men end up emasculated? Because that is what happens, that is what’s reflected in all this bleating about ‘adjustment’ and ‘security’ and ‘togetherness’-And I mean Christ, you see it everywhere: all this television crap where every joke is built on the premise that daddy’s an idiot and mother’s always on to him;” (Yates, 2009:177)
“And her: “I don’t think it proves anything of the sort. Why do you always undervalue yourself? I think it proves you’re the kind of person who can excel at anything when you want to, or when you have to.” (Yates, 2009:241)
Konstruksi maskulinitas dalam diri Frank terus menolak ajakan-ajakan yang
secara halus diberikan oleh April. Penolakan Frank akhirnya menemukan jalannya
ketika mengetahui kalau April mengandung dan mencoba untuk menggugurkan
kandungannya;
“made him take it down and open it. Inside the wrapping was a blue cardboard box bearing the Good Housekeeping Seal of Approval, and inside the box was the dark pink bulb of a rubber syringe.” (Yates, 2009:286)
Frank marah mengetahui bahwa April berencana untuk menggugurkan
kandungannya. Meskipun April berusaha untuk membujuknya—“But Franks,
don’t you see I only want to do it for your sake? Won’t you please believe that, or
try to believe it?” (Yates, 2009:296)—Frank tetap pada pendiriannya bahwa
kepindahan mereka ke Paris dibatalkan.
Frank mengagalkan kepergian mereka karena tidak mungkin melakukan
perjalanan jauh dengan kondisi kehamilan April. Frank tidak menyetujui kalau
April menggugurkan kandungannya karena itu seperti mencoreng jati dirinya
sebagai laki-laki, “manhood”.
Maskulinitas dalam..., Firsta Primordiyanti, FIB UI, 2010
Universitas Indonesia
“Wouldn’t you still be wasting the prime of your manhood in a completely empty, meaningless kind of” (Yates, 2009:297) “….. his prime of manhood be worth if it had to be made conditional on allowing her to commit a criminal mutilation of herself? ….You’d be committing a crime against your own substance. And mine” (Yates, 2009:297
Sikap maskulin Frank yang patriarki kembali mendapat sindiran dari tokoh John
Givings saat ia berkunjung ke rumah mereka. John seolah “menelanjangi” fikiran
Frank di hadapan April bahwa Frank sebenarnya merasa inferior atas diri April.
“What’s so obvious about it? I mean okay, she’s pregnant, so what? Don’t people have babies in Europe?” (Yates, 2009:390)
“You figur it’s more comfy here in the old Hopeless Emptiness after all” (Yates, 2009:391) “Boy! You know something? I wouldn’t be surprised if you knocked her up on purpose, just so you could spend the rest of your life hiding behind that maternity dress.” (Yates, 2009:392)
“I mean come to think of it, you must give him a pretty bad time, if making babies is the only way he can prove he’s got a pair of balls.” (Yates, 2009:393)
“You know what I’m glad of? I’m glad I’m not gonna be that kid.” (Yates, 2009:3940)
Frank merasa tersentak dengan kebenaran pernyataan John terhadap dirinya tetapi
Frank tetap menunjukkan sikap maskulinnya yang patriarki untuk menutupi rasa
inferioritas pada dirinya. Frank mampu “memenangkan” keinginannya atas
keinginan April. Dengan cara yang penuh dominasi patriarki, Frank terus
berupaya untuk mengopresi April.
Upaya untuk menunjukkan sikap maskulin telah Frank lakukan saat April dan
Frank belum menikah. Saat masih berkencan, Frank memosisikan dirinya pada
posisi yang lebih tinggi dan menunjukkan sikap dewasa.
“when they walked together he fell into another old habit of holding his head unnaturally erect and carrying his inside shoulder an inch or two higher than to the other ,to give himself more loftiness from where she
Maskulinitas dalam..., Firsta Primordiyanti, FIB UI, 2010
Universitas Indonesia
clung at his arm. When he lit a cigarette in the dark he was careful to arrange his features in a virile frown before striking and cupping the flame (he knew, from having practiced this at the mirror of a blacked-out bathroom years ago, that it made a swift, intensely dramatic portrait), and he paid scrupulous attention to endless details: keeping his voice low and resonant, keeping his hair brushed and his bitten fingernails out of sight; being always the first one athletically up and out of bed in the morning, so that she might never see his face lying swollen and helpless in sleep.” (Yates, 2009:299)
Selain itu, dalam perannya sebagai suami, ia berusaha untuk tidak menunjukkan
kelemahannya. Frank tidak pernah mengeluh di hadapan April. Setelah, ia mampu
menggagalkan kepergian mereka ke Paris, Frank menjalankan perannya sebagai
suami dan ayah yang dikonstruksi oleh ideologi patriarki masyarakat suburban.
“He was particularly careful never to mention his day at the office or confess to being tired after the train, he assumed a quiet, almost Continental air of mastery in dealing with waiters and gas station attendants, he salted his after-theater critique with obscure literary references-all to demonstrate that a man condemned to a life at Knox could still be interesting (You’re the most interesting person I’ve ever met”), he enthusiastically romped with the children, disdainfully mowed the lawn in record time, and once spent the whole of a midnight’s drive in an impersonation of Eddie Cantor singing “That’s the Kind of a Baby for me” Because it made her laugh-all to demonstrate that a man confronted with this bleakest and most unnatural of conjugal problems, a wife unwilling to bear his child, could still be nice (“I love you when you’re nice”).” (Yates, 2009:300)
Sikap Frank yang “berlebihan” dalam menentukan sikap maskulinnya tidak lagi
ditanggapi April dengan cara yang keras yang dapat memicu pertengkaran antara
mereka. April cenderung memilih langkah yang halus untuk melihat bentuk
maskulinitas seperti apa yang diinginkan oleh Frank.(“They’re lovely, I like them
even better this way, they’re a woman’s legs now”)…Are they “womanly” enough
for you? Is this what you want? (Yates, 2009:303)
April bahkan menyindir dengan halus betapa ia mengagumi sikap Frank yang
“bermoral” karena tidak menyetujui April untuk menggugurkan
kandungannya,“You really are a much more moral person than I am, Frank. I
suppose that’s why I admire you.” (Yates, 2009:303). Sikap yang April tunjukkan
Maskulinitas dalam..., Firsta Primordiyanti, FIB UI, 2010
Universitas Indonesia
tidak menolongnya untuk terhindar dari opresi yang dilakukan Frank. Frank
mengopresi April dengan menganggap April memiliki masalah dengan
emosionalnya dan menganggap April untuk lebih baik berkonsultasi dengan
psikoanalis, “We ought to have you see a psychoanalyst.” (Yates, 2009:309)
“ He took a deep breath. “I mean things that have nothing to do with Europe,” he said. “or with me. I mean things within yourself, things that have their origin in your own childhood-your own upbringing and so on. Emotional things.” (Yates, 2009:307)
Frank beranggapan bahwa pengalaman masa kecil April yang diabaikan oleh
orang tuanya membuat April memiliki masalah dalam mengasuh anak, “Wasn’t it
likely, after all, that a girl who’d known nothing but parental rejection from the
time of her birth might develop a abiding reluctance to bear children?” (Yates,
2009:307). April dengan tenang menanggapi pernyataan Frank,“Sort of a denial
of womanhood,” she said. “Is that how you’d put it?”. Lalu, Frank semakin
memojokkan April dengan mengatakan bahwa April bukanlah perempuan normal
yang semestinya menginginkan anak,“You know. The psychological thing behind
this abortion business. Is that what women are supposed to be expressing when
they don’t want to have children? That they’re not really woman, or don’t want to
be women, or something?” (Yates, 2009:316).
Frank ingin mendominasi dan mengopresi April dengan berbagai cara untuk
membuktikan bahwa ia berhak menjadi figur yang dominan yang merupakan
penentu keputusan,“His job now was to consolidate this delicate victory in as
many ways as possible, to hold the line. (Yates, 2009:319). Kemenangan yang
Frank rasakan tidak seperi kemenangan karena ia akan tetap terus bergulat dalam
pencarian maskulinitasannya dalam lingkungan yang mengkonstruksinya,“He had
won but he didn’t feel like a winner. He had successfully righted a victim of the
world’s indifference.” (Yates, 2009:331
Maskulinitas dalam..., Firsta Primordiyanti, FIB UI, 2010
Universitas Indonesia
Namun, Frank menganggap dirinya mampu menang dari sikap April atas dirinya
dan mencairkan sikap April. Frank melangkah dengan sikap maskulin. Ideologi
patriarki yang ada pada dirinya dijadikan pedoman baginya untuk bersikap;
“He began running in place, pumping his fists and bringing his knees up high, his shoes making brisk, athletic sounds in the gravel. He did that until he’d counted a hundred, taking deep breaths, and when he was finished the lights held still.” (Yates, 2009:348)
“He wanted to say, “Oh God, April, you know why. Because you’re lovely; because everyone must have loved you, always,” but he lacked the courage. Instead he said, “Well, I mean, hell; didn’t you ever have fun on vacations?” (Yates, 2009:351)
“Forget it! On the way back to Revolutionary Road he allowed his mind to dwell only on good things: the beauty of the day, the finished job of work on Pollock’s desk, the three thousand a year, even the “shakedown conference” that was scheduled for tomorrow morning.” (Yates, 2009:374)
“he used her hand mirror to check the way the collar locked from the side and to test the effect, in profile, of his tightening jaw muscle.” (Yates, 2009:375)
Frank menemukan maskulinitas yang ia cari yaitu maskulinitas patriarki yang
mendominasi dan mengopresi perempuan. Ternyata, hal yang selama ini menjadi
penghalang Frank dalam bersikap maskulin adalah sikap April yang
mencerminkan sikap femininitas modern sedangkan pekerjaan yang dibayang-
bayangi oleh figur ayahnya, kini ia nikmati bahkan ia menggunakan nama
ayahnya sebagai salah satu cara menaikan jabatannya. Kemenangannya dalam
membuktikan kemaskulinitasannya, ia ekspresikan pada kutipan berikut;
“that my masculinity’d been threatened somehow by all that abortion business; wanting to prove something; I don’t know. Anyway, I broke it off last week; the whole stupid business. It’s over now, really over. If I weren’t sure of that I guess I could never’ve brought myself to tell you about it.” (Yates, 2009:379)
Konstruksi maskulinitas Frank yang patriarki direkonstruksi oleh April. April
mengolok-olok Frank dengan menuruti kemauan Frank, yaitu penampilan April
Maskulinitas dalam..., Firsta Primordiyanti, FIB UI, 2010
Universitas Indonesia
yang “keibuan” yang mencerminkan bahwa ia ibu rumah tangga,“she was
wearing one of her old maternity dresses.” (Yates, 2009:376). Penampilan April
membuat Frank sangat senang dan semakin percaya diri. Sebelumnya, dimalam
hari, mereka terlibat pertengkaran dan April memutuskan untuk tidur di sofa. Pagi
harinya, April memutuskan untuk bersikap manis dihadapan Frank dengan
memakai pakaian yang keibuan dan menyiapkan sarapan.
“I mean it’s kind of important day for you, isn’t it? Isn’t this the day you have your conference with Pollock?” “That’s right, yes.” She had even remembered that! (Yates, 2009:286) Kutipan di atas adalah pertanyaan April mengenai pekerjaan Frank bahwa hari itu
adalah hari yang penting bagi Frank karena Frank akan persentasi kenaikan
jabatannnya. Frank merasa senang dengan pertanyaan April. April bersikap seperti
perempuan domestik yang mendukung karir suaminya.
“He had the odd sensation that his lungs were growing deeper, or that the air was growing richer in oxygen. His shoulder, which had been tight and high, came gradually to rest against the back of the chair. Was this the way other men felt, telling their wives about their work?” (Yates, 2009:407)
“He felt he was about to cry, but he managed to hold it back.” (Yates, 2009:408)
Sikap manis April yang ditunjukkan pada hari penting milik Frank adalah
ungkapan pemberontakan April atas sikap patriarki Frank. April teringat akan
pesan pengasuhnya,“Never undertake to do a thing until you’ve thought it
through; then do the best you can” (Yates, 2009: 413). Malam sebelumnya saat
April tidur di sofa setelah bertengkar dengan Frank, April memutuskan untuk
bunuh diri dengan menggugurkan kandungannya. Ia mencoba menulis surat
semalaman yang nantinya akan ia tinggalkan untuk Frank. Salah satu diantara
sura-surat yang coba April tulis adalah berikut;
…..your cowardly self-delusions about “love” when you know as well as I do that there’s never been anything between us but contempt and
Maskulinitas dalam..., Firsta Primordiyanti, FIB UI, 2010
Universitas Indonesia
distrust and a terrible sickly dependence on each other’s weakness—that’s why. That’s why I couldn’t stop laughing today when you said that about the Inability to Love, and that’s why I can’t stand to let you touch me, and that’s why I’ll never again believe in anything you think, let alone in anything you say……(Yates, 2009: 414, penebalan kalimat sesuai aslinya di dalam novel)
Namun, akhirnya surat-surat yang sudah ia tulis semalaman ia bakar dan ia hanya
menulis kalimat sederhana, Dear Frank, Whatever happens please don’t blame
yourself. (Yates, 2009:424). Kompleksitas yang ada dalam diri April yang
awalnya akan ia ungkapkan ternyata hanya diekspresikan ke dalam bentuk kalimat
sederha; Dear Frank, Whatever happens please don’t blame yourself. Hal tersebut
menunjukkan bahwa segala kejadian yang mereka alami bukan kesalahan Frank
tetapi karena kondisi masyarakat yang menempatkan mereka pada posisi yang
sulit.
Penggambaran bagaimana secara lembut April akan memberontak terlihat dalam
kutipan berikut;
So it hadn’t been wrong or dishonest of her to say on this morning, when he asked if she hated him, anymore that it had been wrong or dishonest to serve him the elaborate breakfast and to show the elaborate interest in his work, and to kiss him goodbye. The kiss, for that matter, had been exactly right—a perfectly fair, friendly kiss, a kiss for a boy you’d just met at a party, a boy who’d danced with you and made you laugh and walked you home afterwards, talking about himself all the way. (Yates, 2009:415)
Kenangan bersama Frank dan sikap Frank terhadap dirinya tidak mampu lagi
menghentikan rencana bunuh diri April. April terlebih dahulu menitipkan anaknya
kepada Milly. Ia mempersiapkan alat-alat untuk menggugurkan kandungannya
dengan hati-hati. Keputusan April untuk bunuh diri dengan cara menggugurkan
kandungannya adalah merupakan pemberontakan dirinya atas sikap patriarki
Frank. April ingin menunjukkan tidak hanya kepada Frank tetapi kepada
perempuan suburban lainnya bahwa mereka meliki hak atas dirinya, terutama atas
rahimnya. Anak yang ia kandung bukan semata-mata perwujudan dari kejantanan
laki-laki yang mampu membuahi telur dalam rahim perempuan. April ingin
mengekspresikan bahwa memiliki anak bukan berarti mendomestisasi perempuan
Maskulinitas dalam..., Firsta Primordiyanti, FIB UI, 2010
Universitas Indonesia
karena perempuan memiliki hak atas tubuhnya dan juga hak untuk
mengaktualisasikan diri.
Tindakan bunuh diri April menghantam kemaskulinitasan Frank. Sikap manis
seorang istri “ideal” kaum patriarki dijadikan boomerang untuk Frank, “….and
she was so damn nice this morning. Isn’t that the damnedest thing? She was so
damn nice this morning….” (Yates, 2009:439). Peberontakan April mampu
merontokkan ideologi patriarki dalam diri Frank,“she did it to herself, Shep. She
killed herself.” (Yates, 2009:439)
Pesan yang ditinggalkan April menjadi roh baru bagi Frank untu bangkit
“……That was when he said that if it hadn’t been for that note he thought he
would’ve killed himself that night.” (Yates, 2009:451). April merekonstruksi
maskulinitas Frank dengan cara bunuh diri yang merupakan perwujudan atas
pemberontakan diri April. Tidak ada kemenangan bagi Frank, yang ada hanyalah
kematian April yang meninggalkan berjuta pesan dan kedua anak mereka yang
harus ia asuh. Pengasuhan anak yang selama ini ia hindari tapi kini dengan
kematian April, Frank mendapatkan peran ganda.
Maskulinitas dalam..., Firsta Primordiyanti, FIB UI, 2010
Universitas Indonesia
BAB 4 KESIMPULAN
Revolutionary Road terbit di Amerika pada tahun 1961 di tengah-tengah
fenomena kehidupan pasca PD II, yang juga menjadi latar waktu, situasi, dan
atmosfir novel ini. Penggambaran kondisi masyarakat suburban yang difiksikan
oleh Yates dapat dilihat sebagai bentuk ekspresi pencarian identitas maskulin
yang satiris, yang merupakan bagian dari segelintir permasalahan gender dalam
pembentukkan femininitas dan maskulinitas.
Pada era 1950an di Amerika, kehidupan domestik merupakan tujuan akhir hidup
para laki-laki veteran dan para perempuan akibat tekanan sosial yang muncul
dalam perayaan nostalgia kehidupan normal pasca perang . Hal tersebut
merupakan imbas kondisi sosial Perang Dunia II, yang telah menyebabkan
populasi penduduk menurun drastis. Semangat membentuk keluarga juga
merupakan bagian dari perayaan kembalinya tentara Amerika dari medan perang.
Pembentukkan peran laki-laki dan perempuan ke dalam bentuk maskulinitas dan
femininitas tradisional masyarakat suburban menjadi sebuah keharusan.
Akibatnya, peran laki-laki dan perempuan berada dalam kotak-kotak yang telah
ditentukan oleh budaya setempat saat itu. Tidak ada kehidupan yang menantang,
yang ada hanyalah rutinitas laki-laki yang bekerja di luar rumah dan rutinitas
perempuan yang bekerja di dalam rumah. Penolakan pada norma-norma
kehidupan masyarakat suburban mulai mucul, khususnya pada pasangan suami-
istri, Frank Wheeler dan April Wheeler. Mereka mencoba keluar dari tatanan
maskulinitas dan feminitas masyarakat suburban menuju ke bentuk maskulinitas
dan feminitas bentuk baru. Permasalahan tersebut diangkat oleh Yates dalam
novel Revolutionary Road.
Novel Revolutionary Road mengetengahkan beberapa permasalahan gender laki-
laki dan perempuan di ruang sosial dan publik. Novel ini menyajikan protes
Maskulinitas dalam..., Firsta Primordiyanti, FIB UI, 2010
Universitas Indonesia
terhadap norma tradisional pada latar daerah suburban, Connecticut, dan nilai-
nilai yang mengejawantah dalam peranan gender. Novel ini menyajikan
persilangan norma tradisional pada latar daerah suburban, dan nilai-nilai yang
mengejawantah dalam budaya modern pada latar kota New York. Kedua nilai
yang seolah berlainan ini menawarkan pilihan bagi perempuan dan laki-laki untuk
mendefinisi diri. Namun, pada kenyataannya, kedua nilai tersebut sama-sama
berujung kepada satu norma yaitu norma patriarki.
Frank Wheeler, tokoh utama novel ini, mengalami pergolakan pada dirinya
terhadap maskulinitas laki-laki yang berlaku pada budaya masyarakat suburban.
Melalui keberadaannya di ruang publik dan domestik, Frank mencari bentuk
maskulinitasnya. Maskulinitas tradisional masyarakat suburban dipropagandakan
melalui media, maupun tokoh-tokoh konserfatif di latar perumahan Revolutionary
Hills Estate, seperti Shep Campbell.
Maskulinitas tentu tidak dapat dipisahkan dari femininitas. Keduanya merupakan
konstruksi pada masyarakat tertentu. Frank Wheeler dan April Wheeler yang
terlebih dahulu berada pada konstruksi maskulin dan feminin modern masyarakat
New York, berusaha beradaptasi dengan konstruksi maskulin dan feminin
tradisional masyarakat suburban.
Ideologi patriarki masyarakat suburban menciptakan konstruksi perempuan ideal
melalui domestifikasi dan reduksi perempuan ke dalam fungsi maternal, yang
membatasi perempuan untuk mendefinisi diri di luar apa yang telah
dikonstruksikan baginya. Perempuan yang berada di luar kriteria ideal tersebut
dianggap neurotik. Alih-alih mengadaptasi kedua nilai di lingkungan suburban
dan New York di atas, April terasing dari keduanya dan mengalami depresi, yang
mengantarkannya kepada tindakan aborsi.
Demikian pula hanya dengan Frank, ia berada dalam kungkungan budaya
patriarki. Frank diharapkan menjadi agen patriarki yang menjalankan perannya
sesuai dengan norma-norma yang patriarkal. Oleh karena itu, meskipun Frank
sebelumnya saat berada di New York, mengusung nilai-nilai modern maskulinitas
New York tetapi budaya patriarki masyarakat suburban membentuk dirinya
Maskulinitas dalam..., Firsta Primordiyanti, FIB UI, 2010
Universitas Indonesia
menjadi laki-laki yang mengusung nilai maskulin tradisional masyarakat
suburban.
Sebagaimana telah dipaparkan sebelumnya, pilihan bagi laki-laki dan perempuan
yang terbuka luas dibatasi oleh ideologi mainstream. Segala bentuk kebebasan
laki-laki dan perempuan dalam mengaktualisasikan diri akan dikembalikan
kepada kriteria ideal yang pada akhirnya mereduksi peran perempuan sebatas
fungsi maternalnya saja, tanpa seksualitas dan tanpa identitas sedangkan peran
laki-laki berada pada posisi yang lebih diuntungkan, yaitu berkuasa. Kondisi ini
mengakibatkan kehausan akan pengaktualisasian diri. Berbagai usaha dilakukan
untuk mengaktualisasikan diri, agar dapat menentukan nilai apa yang dimiliki oleh
masing-masing individu, bahwa masing-masing individu memiliki keinginan
untuk mengaktualisasikan diri diluar perannya sebagai laki-laki dan perempuan
dalam institusi pernikahan.
Usaha-usaha tersebut dilakukan Frank dan April dengan saling menentang satu
sama lain. April ingin mengaktualisasikan diri dengan menjadi pemeran utama
dalam pertunjukkan drama sebagai upaya untuk keluar dari ruang domestiknya
namun tidak mendapat dukungan dari Frank. Di sisi lain, Frank ingin terus
berkarir di perusahaan tempat ia bekerja namun April tidak mendukung dengan
cara mengajak Frank pindah ke Paris. Keduanya saling menentang dan akhirnya
pertengkaran kerap terjadi.
Berdasarkan analisis yang telah saya lakukan pada novel Revolutionary Road,
saya menarik kesimpulan bahwa keseluruhan rangkaian perjalanan Frank dalam
mencari, membangun, dan membentuk maskulinitasannya bukan semata-mata
dilakukan untuk meraih keterpenuhan sebagai laki-laki dalam menentukan
maskulinitas di luar konstruksi patriarki, tertapi juga merupakan perlawanan
terhadap ideologi dominan yang memaksakan skema budaya patriarkal yang
opresif. Sikap diam dan bunuh diri dengan cara aborsi yang dilakukan April
menjadi cara yang mampu merekonstruksi maskulinitas Frank karena dengan
sikap yang dilakukan April menunjukkan bahwa perempuan memiliki kekuatan
dan juga memiliki hak atas rahimnya. Novel Revolutionary Road, dalam hal ini,
Maskulinitas dalam..., Firsta Primordiyanti, FIB UI, 2010
Universitas Indonesia
menawarkan sebuah cara pandang dalam memahami dan memaknai permasalahan
gender yang kompleks dalam perlawanan atas opresi dominasi agen-agen
patriarki, di tengah-tengah budaya patriarkal yang dominan di masyarakat.
Maskulinitas dalam..., Firsta Primordiyanti, FIB UI, 2010
Universitas Indonesia
DAFTAR PUSTAKA
Barker, Chris. (2000). Cultural Studies. (Terj. Nurhadi). London: Sage
Publication. Beer, Kenneth E. 1961. The U.S.A. Answers. New York: U.S. and World
Publications, Inc. Bem, S. L. (1993). The lenses of gender: Transforming the debate on sexual
inequality. New Haven, CT: Yale University Press.
Budianta, Melani. (2002). “Pendekatan Feminis Terhadap Wacana: Sebuah Pengantar” dalam Analisis Wacana: Dari Linguistik Sampai Dekonstruksi. Yogyakarta: Penerbit Kanal.
Charlebois, Justin. “Cross-Cultural Representations of Hegemonic Masculinity in Shall we Dance.” Journal of Intercultural Communication, ISSN 1404-1634, issue 19, Januari 2009. URL: http://www.immi.se/intercultural/. Diakses 29 November 2009.
Chodorow, Nancy J. (1989). Feminism and Psychoanalytic Theory. United States: Yale University Press.
Cincotta. 2004. Garis Besar Sejarah Amerika (Terj. Yusi A Pareanom). Jakarta:
Departemen Luar Negeri Amerika Serikat. Connell, R.W. 2002. Gender. Great Britain : Polity ------------------1996. “Masculinities: Review” dalam Contemporary Sociology,
Vol. 25, No. 2 (Mar., 1996), hal. 172-174. American Sociological Association. http://www.jstor.org/stable/2077168. diakses pada 11 Maret 2009.
Corneau, Guy. 1991. Absent Fathers, Lost Sons: The Search for Masculine Identity.Boston and London: Shambala.
Elfira, Mina. 2008. “Vasilisa Maligina Karya A.M. Kollontai: Sebuah Rekonstruksi atas Konsep Maskulinitas Rusia” dalam Wacana: Jurnal Ilmu Pengetahuan Budaya. Vol. 10 No. 1, April 2008. Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia.
Figes, Eva. 1986. Patriarchal Attitudes. London: Macmillan Education Ltd.
Maskulinitas dalam..., Firsta Primordiyanti, FIB UI, 2010
Universitas Indonesia
Giardina, Anthony 2009 “An Emotional Journey Down Revolutionary Road” dalam http://www.richardyates.com/news/Giardina. diakses pada 11 Maret 2009
Holter. 1996 “ Masculinities: Review” dalam Acta Sociologica, Vol. 39, No. 3. Hal. 337-341. Sage Publication, Ltd. http://www.jstor.org/stable/4194839. diakses pada 11 Maret 2009.
Kaufman, Michael. 1994. “Men, Feminism and Men’s Contradictory Experiences of Power,” dalam Harry Brod dan Michael Kaufman (eds.). Theorizing Masculinities. Thousand Oask, CA: Sage Publications.
-----------------------1985. “The Construction of Masculinity and the Triad of Men’s Violence”, dalam Michael Kaufman (ed.). Beyond Patriarchy Essay by Men on Pleasure, Power, and Change. Toronto: Oxford University Press.
Layton, L. (1998). Gender as a Personal and Cultural Construction. Psychoanal Q., 67:343 dalam http://www.pep-web.org/document.php?id=PAQ.067.0343A, diakses pada 19 April 2009
Laird, Nick. 2009. “Saturday Review: ARTS: Unhappily ever after” dalam
Guardian Newspapers Limited, Jan 17, 2009, diakses dari http://www.richardyates.com/news/Laird, pada 11 Maret 2009
Lytal, Benjamin. 2008. “Reconsideration: Richard Yates’s Revolutionary Road”
dalam http://www. richardyates.com/news/reconsideration. Diakses pada 11 Maret 2009.
May, Elaine Tyler. 1998. Pushing the Limits: American Women, 1940-1961. New York and Oxford: Oxford University Press.
Moore, Henrietta L. (1988) Feminism and Anthropology. Cambridge Polity Press.
O’Nan, Stewart. 2009. “The Lost World of Richard Yates” dalam http://www.richardyates.com/news/O’nan. diakses pada 11 Maret 2009
Risjord, Norman K. 1985. America: A History of the United States. United States of America: Prentice-Hall, Inc.
Ritchie. 1985. Heritage of Freedom: History of the United States.United States of America: Macmillan Publishing Company.
Speer, S.A. 2001. “Reconsidering the Concept of Hegemonic Masculinity:
Discursive Psychology,Conversation Analysis and Participants’ Orientations.” Feminism & Psychology 11(1): 107-135.
Wajcman, Judi. 2001. Feminisme Versus Teknologi. (Terj. Ima Susilowati).
Yogyakarta: SBPY-OXFAM UK-1.
Maskulinitas dalam..., Firsta Primordiyanti, FIB UI, 2010
Universitas Indonesia
Wetherell, M. and N. Edley. 1999. “Negotiating Hegemonic Masculinity: Imaginary Positions and Psycho-Discursive Practices.” Feminism & Psychology 9(3): 335-356.
Yates, Richard. 1961. Revolutionary Road. New York: Vintage Contemporaries. “People & Events: Mrs. America: Women's Roles in the 1950s“, dalam
http://www.pbs.org/wgbh/amex/pill/peopleevents/p_mrs.html, diakses pada 15 April 2009.
"The 1950s: Lifestyles and Social Trends: Overview." American Decades. The Gale Group, Inc. 2001. Encyclopedia.com. (November 18, 2009). http://www.encyclopedia.com/doc/1G2-3468301956.html
Maskulinitas dalam..., Firsta Primordiyanti, FIB UI, 2010
Recommended