View
15
Download
0
Category
Preview:
Citation preview
UNSUR BUDAYA DAN KEARIFAN LOKAL NOVEL DASAMUKA KARYA JUNAEDI SETIYONO DAN SKENARIO PEMBELAJARANNYA DI KELAS XII SMA
(Kajian Antropologi Sastra)
SKRIPSI
disusun sebagai salah satu syarat
untuk memperolehgelar Sarjana Pendidikan
Oleh
Khusnul Khotimah NIM 122110159
PROGRAM STUDI PENDIDIKAN BAHASA DAN SASTRA INDONESIA
FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH PURWOREJO
2016
UNSUR BUDAYA DAN KEARIFAN LOKALDALAM NOVEL DASAMUKA KARYA JUNAEDI SETIYONODAN SKENARIO PEMBELAJARAt~YADI KELAS XU SMA
(Kajian Antropologi Sastra)
OlehKhusnul KhotimahNlM 122110159
Pembimbingn,
8kri i ini telah disetujui untuk dipertahankandi depan Tim Penguji Skripsi
Penibimbing I,
MengetahuiKetua Program Studi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia,
11
UNSUR BUDAYA DAN KEARIFAN LOKALNOVEL DASAMUKA KARYA JUNAEDI SETIYONO
DANSKENARIOPEMBELAJARANNYADlKELASxnSMA(Kajian Antropologi Sastra)
OlehKhusnul Khotimah
NIM 122110159
Skripsi ini e ah dipertahankan di dep Tim Penguji SkripsiFakultas Keguruan dan llmu PendidikU ·vers·tas Muhammadiyah Purworejo
ada tanggal: 1 Maret 2016
Suryo Dam Santoso, M.Pd(penguji Utama)
Drs, H. Bagiya, M.Hum.(P~nguji I/Pembimb' g I)
Dra. Hj. Kadaryati, MHum.(penguji II/PembimbOng II)
111
iv
MOTO DAN PERSEMBAHAN
MOTO
) ١١: ا(
Artinya: “Sesungguhnya Allah tidak merubah keadaan suatu kaum sehingga
mereka merubah keadaan yang ada pada diri mereka sendiri.” (QS. Ar-Ra’du: 11)
PERSEMBAHAN
Karya ini saya persembahkan kepada:
1. Ayah (Alm) dan Ibu tercinta yang selalu memberikan ridho
dan kasih sayangnya;
2. kakak-kakak yang selalu memberikan motivasi dan dukungan;
3. kemenakan-kemenakan yang selalu membawa keceriaan;
4. guru-guru dan dosen yang tak pernah lelah membimbing dan
mengajarkan ilmu kepada peneliti sejak Taman Kanak-kanak
hingga kuliah;
5. guru-guru bahasa Indonesia seluruh Indonesia yang selalu
semangat menempa generasi bangsa lewat bahasa dan sastra;
6. pembaca buku-buku karya saya yang senantiasa menumbuhkan
semangat untuk terus berkarya;
7. Seluruh teman-teman Program Studi Pendidikan Bahasa dan
Sastra Indonesia, khususnya angkatan 2012, yang telah mewarnai
hari-hari peneliti selama menuntut ilmu di Universitas
Muhammadiyah Purworejo.
PERNYATAAN
Yang bertanda tangan di bawah ini:
nama
NIM
Program Studi
: Khusnul Khotimah
: 122110159
: Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia
menyatakan bahwa yang tertulis di dalam skripsi ini benar-benar hasil karya
sendiri, bukan plagiat dari karya orang lain, baik sebagian maupun seluruhnya.
Pendapat atau temuan orang lain yang terdapat dalam skripsi ini dikutip atau
dirujuk berdasarkan kode etik ilmiah.
Apabila terbukti atau dapat membuktikan bahwa skripsi ini adalah hasil
plagiat, saya bersedia bertanggung jawab secara hukum yang diperkarakan oleh
Universitas Muhammadiyah Purworejo.
Purworejo, 1 Maret 2016Yang membuat pemyataan,
11Khusnul Khotimah
vi
PRAKATA
Alhamdulillah,puji dan syukur peneliti panjatkan kehadirat Allah Swt.
yang telah melimpahkan nikmat dankasih sayang-Nyasehingga skripsi yang
berjudul “Unsur Budaya dan Kearifan Lokal dalam novel Dasamuka Karya
Junaedi Setiyono dan Skenario Pembelajarannya di Kelas XII SMA (Kajian
Antropologi Sastra)” dapat diselesaikan dengan baik.
Skripsi ini disusun dalam rangka penyelesaian studi Strata 1 Program
Studi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia, Fakultas Keguruan dan Ilmu
Pendidikan, Universitas Muhammadiyah Purworejo.
Sungguh banyak rintangan yang peneliti hadapi selama menyusun skripsi
ini. Namun, atas bantuan berbagai pihak, khususnya dosen pembimbing, peneliti
dapat menyelesaikan rintangan itu. Oleh sebab itu, peneliti sampaikan ucapan
terimakasih kepada beberapa pihak berikut ini.
1. Rektor Universitas Muhammadiyah Purworejo yang telah memberikan
kesempatan sehingga peneliti dapat menyelesaikan studi di Universitas
Muhammadiyah Purworejo.
2. Dekan Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Muhammadiyah
Purworejo yang telah memberikan kesempatan kepada peneliti untuk
menempuh pendidikan di Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan.
3. Ketua Program Studi Bahasa dan Sastra Indonesia yang telah memberikan
perhatian dan dorongan sehingga peneliti dapat menyelesaikan skripsi ini.
4. Drs. H. Bagiya, M.Hum., Joko Pmwanto, M.Pd., dan Dra. Hj. Kadariyati,
M.Pd. selaku pembimbing yang telah membimbing, mengarahkan,
memotivasi dengan penuh kesabaran dan tidak mengenal lelah, serta
mengoreksi skripsi ini dengan penuh ketelitian sehingga penulis dapat
menyelesaikan skripsi ini.
5. Bapak dan Ibu dosen Program Studi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia
yang telah memberikan ilmu kepada peneliti selama kuliah di Universitas
Muhammadiyah Purworejo.
6. Seluruh pihak yang tidak dapat disebutkan satu persatu, yang telah membantu
penulis dalam menyelesaikan skripsi ini.
Peneliti hanya dapat menguntaikan doa, semoga Allah Swt. selalu
melimpahkan pahala dan balasan yang lebih baik atas segala jasa dan bantuan
yang diberikan kepada peneliti. Semoga skripsi ini bermanfaat bagi peneliti
khususnya dan para pembaca umumnya. Aamiin.
Purworejo, 1 Maret 2016Peneliti,
Khusnul Khotimah
\ II
viii
ABSTRAK
Khusnul Khotimah. 2016. “UnsurBudaya dan Kearifan Lokal Novel Dasamuka Karya Junaedi Setiyono dan Skenario Pembelajarannya di Kelas XII SMA (Kajian Antropologi Sastra)”. Skripsi. Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia. Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan. Universitas Muhammadiyah Purworejo.
Penelitian ini bertujuan untuk mendeskripsikan: (1) unsur budaya dalam novel Dasamuka karya Junaedi Setiyono; (2) kearifan lokal dalam novel Dasamuka karya Junaedi Setiyono; (3) skenario pembelajaran analisis novel dengan pendekatan antropologi sastra karya Junaedi Setiyono di kelas XII SMA.
Penelitian ini adalah penelitian deskriptif kualitatif. Objek penelitian ini adalah novel Dasamuka karya Junaedi Setiyono dan skenario pembelajarannya di kelas XII SMA. Penelitian ini difokuskan pada unsur budaya dan kearifan lokal dalam novel Dasamuka karya Junaedi Setiyono serta skenario pembelajarannya di kelas XII SMA. Data penelitian ini berupa data lunak yang berwujud kata,frasa, klausa, kalimat, paragraf, atau wacana yang terdapat dalam novel Dasamuka karya Junaedi Setiyono. Sumber data dalam penelitian ini adalah novel Dasamuka karya Junaedi Setiyono yang diterbitkan oleh Penerbit Elmatera (Yogyakarta) tahun 2014.Instrumen penelitian dalam penelitian ini adalah peneliti sendiri dan kartu data. Teknik pengumpulan data yang digunakan adalah teknik catat. Validitas data dilakukan dengan meningkatkan kecermatan dalam membaca ulang dan konfirmasi dengan penulis.Analisis data dilakukan dengan analisis interaktif. Hasil analisis disajikan dengan teknik informal.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa (1) novel Dasamuka karya Junaedi Setiyono mengandung unsur budaya meliputi: (a) sistem religi (ritual agama, guru/pemimpin agama, dan pakaian simbol agama); (b) sistem dan organisasi kemasyarakatan (kekerabatan, politik, hukum, dan kelompok sosial);(c) sistem pengetahuan (alam (flora), sifat/tingkah manusia, kriteria pendamping hidup, ruang dan waktu dalam ilmu Jawa, pendidikan anak, dan ramuan Jawa); (d) bahasa (proses belajar bahasa dan tingkatan bahasa dalam bahasa Jawa); (e) kesenian (seni macapat, alat musik Jawa, dan seni tari);(f) sistem mata pencaharian hidup (mata pencaharian hidup dalam lingkup keraton dan di luar lingkup keraton);(g) serta sistem peralatan hidup dan teknologi (senjata, wadah, makanan serta ramuan, pakaian, perhiasan, tempat berlindung/perumahan, dan alat transportasi); (2) novel Dasamuka karya Junaedi Setiyono mengandung kearifan lokal meliputi wayang (dunia pewayangan), tingkatan bahasa dalam bahasa Jawa, ungkapan dan istilah budaya Jawa, macapat, titi mongso, ramuan, dan batik; (3) skenario pembelajaran novel Dasamuka karya Junaedi Setiyono di kelas XII SMA dapat diterapkan dalam pembelajaran analisis teks novel untuk kelas XII SMA, yakni pada kompetensi dasar 3.3 dengan metode pembelajaran inkuiri berbasis saintifik. Kata kunci:Dasamuka, unsur budaya, kearifan lokal, antropologi sastra.
ix
DAFTAR ISI
Halaman JUDUL .......................................................................................... PERSETUJUAN ........................................................................... PENGESAHAN ............................................................................ MOTO DAN PERSEMBAHAN ................................................... PERNYATAAN ............................................................................ PRAKATA .................................................................................... ABSTRAK .................................................................................... DAFTAR ISI ................................................................................. DAFTAR TABEL ......................................................................... DAFTAR LAMPIRAN .................................................................. BAB I PENDAHULUAN ..............................................................
A. Latar Belakang Masalah .............................................. B. Identifikasi Masalah ..................................................... C. Penegasan Istilah .......................................................... D. Batasan Masalah .......................................................... E. Rumusan Masalah ........................................................ F. Tujuan Penelitian .......................................................... G. Manfaat Penelitian ........................................................ H. Sistematika Skripsi .......................................................
BAB II TINJAUAN PUSTAKA DAN KAJIAN TEORETIS .......... A. Tinjauan Pustaka ........................................................... B. Kajian Teoretis ..............................................................
BAB III METODE PENELITIAN .................................................... A. Jenis Penelitian ............................................................... B. Objek Penelitian .............................................................. C. Fokus Penelitian .............................................................. D. Data dan Sumber Data .................................................... E. Instrumen Penelitin ......................................................... F. Teknik Pengumpulan Data .............................................. G. Validitas Data .................................................................. H. Teknik Analisis Data ....................................................... I. Teknik Penyajian Hasil Analisis ......................................
BAB IV PENYAJIAN DAN PEMBAHASAN DATA ...................... A. Penyajian Data .................................................................. B. Pembahasan Data ..............................................................
BAB V PENUTUP ............................................................................. A. Simpulan .......................................................................... B. Saran ................................................................................
DAFTAR PUSTAKA LAMPIRAN
I ii iii iv v vi
viii ix x xi 1 1 11 12 13 14 15 15 17 19 19 22 88 88 89 89 89 90 91 91 92 93 94 94
117 224 224 226
x
DAFTAR TABEL
Halaman Tabel 1. Data Sistem Religi Novel Dasamuka Karya Junaedi Setiyono Tabel 2. Data Sistem dan Organisasi Kemasyarakatan Novel
Dasamuka Karya Junaedi Setiyono ......................................... Tabel 3. Data Sistem Pengetahuan Novel Dasamuka Karya Junaedi
Setiyono ................................................................................... Tabel 4. Data Bahasa Novel Dasamuka Karya Junaedi Setiyono........ Tabel 5. Data Kesenian Novel Dasamuka Karya Junaedi Setiyono..... Tabel 6. Data Sistem Mata Pencaharian Hidup Novel Dasamuka
Karya Junaedi Setiyono............................................................ Tabel 7. Data Sistem Peralatan Hidup dan Teknologi novel Dasamuka
Karya Junaedi Setiyono............................................................ Tabel 8. Data Kearifan Lokal Novel Dasamuka Karya Junaedi
Setiyono ................................................................................... Tabel 9. Indikator Penilaian Tes ......................................................... Tabel 10. Indikator Penilaian Kinerja dalam Kelompok ..................... Tabel 11. Indikator Penilaian Presentasi Lisan ................................... Tabel 12. Indikator Penilaian Laporan Hasil Analisis ........................
95
96
101 103 104
104
105
109 218 219 220 222
xi
DAFTAR LAMPIRAN
Lampiran 1. Rencana Pelaksanaan Pembelajaran Lampiran 2. Sinopsis novel Dasamuka Karya Junaedi Setiyono Lampiran 3. Biografi Junaedi Setiyono Lampiran 4. Kartu Bimbingan
1
BAB I PENDAHULUAN
Dalam bab ini dibahas latar belakang masalah, identifikasi masalah, batas-
an masalah, penegasan istilah, rumusan masalah, tujuan penelitian, manfaat pene-
litian, dan sistematika skripsi.
A. Latar Belakang
Menurut Teeuw, sastra berasal dari akar kata sas (Sansekerta) berarti
mengarahkan, mengajar, memberi petunjuk, dan instruksi. Akhiran tra berarti
alat, sarana. Jadi, secara leksikal sastra berarti kumpulan alat untuk mengajar,
buku petunjuk, atau buku pengajaran yang baik. Dalam perkembangan beri-
kutnya kata sastra sering dikombinasikan dengan awalan ‘su’, sehingga
menjadi susastra, yang diartikan sebagai hasil ciptaan yang baik dan indah.
Dalam teori kontemporer, sastra dikaitkan dengan ciri-ciri imajinasi dan krea-
tivitas, yang selanjutnya merupakan satu-satunya ciri khas kesusastraan
(Ratna, 2015: 4-5).
Dari pendapat Teeuw tersebut, terlihat bahwa sastra sangat erat hubu-
ngannya dengan pendidikan karena sastra merupakan sebuah karya hasil krea-
tivitas dan imajinasi manusia yang berfungsi sebagai alat pengajaran atau
petunjuk yang baik. Fungsi sastra sebagai pengajaran terjadi secara langsung
maupun tidak langsung. Secara langsung, sastra digunakan sebagai media
pengajaran dalam pembelajaran formal, sedangkan secara tidak langsung,
sastra menjadi teks ajaran bagi pembacanya. Sebagaimana yang dikatakan
Endraswara (2013: 2) bahwa sastra sering dimaknai sebagai alat untuk
2
mengajarkan perilaku budaya sehingga sikap dan perilaku pembaca sastra
sering dipengaruhi oleh karya sastra yang dibacanya.
Karya sastra merupakan karya seni dalam bentuk ungkapan tertulis
yang indah dan bermanfaat. Ada banyak karya seni, ketika ungkapan kein-
dahan itu dilakukan melalui tulisan, itulah karya sastra. Karya sastra bukanlah
tulisan yang indah karena bukan kaligrafi. Bukan pula kata mutiara karena
bukan semata-mata ajaran. Karya sastra menjawab bagaimana gagasan-gaga-
san ideal bisa mewujudkan diri dalam ungkapan tertulis (Rohman, 2012: 18).
Gagasan-gagasan tersebut muncul dari imajinasi dan nalar kreativitas manu-
sia yang terbungkus dalam sebuah tulisan yang mengandung hiburan dan
pesan-pesan tersirat bagi kehidupan manusia. Salah satu bentuk karya sastra
yang memuat gagasan-gagasan ideal dalam bentuk tulisan adalah novel.
Novel merupakan salah satu karya sastra berbentuk prosa. Abrams
menyatakan bahwa novel berasal dari bahasa Italia yaitu novella (dalam
bahasa Jerman: novelle) (Nurgiyantoro, 2013: 11-12). Secara harfiah novella
berarti ‘sebuah barang baru yang kecil’. Kemudian, novel diartikan sebagai
‘cerita pendek dalam bentuk prosa’. Selanjutnya, Nurgiyantoro (2013: 12-13)
menambahkan bahwa novel merupakan karya sastra naratif yang menge-
mukakan sesuatu secara bebas, menyajikan sesuatu secara lebih banyak, lebih
rinci, lebih detil, dan banyak melibatkan berbagai permasalah kompleks. Jadi,
secara umum novel dapat diartikan sebagai sebuah cerita tertulis berbentuk
prosa naratif yang terdiri dari berbagai macam permasalahan kompleks
dengan berbagai macam peristiwa yang jalin menjalin.
3
Untuk dapat memahami sebuah karya sastra, khususnya novel, perlu
adanya pengkajian lebih mendalam terhadap sebuah karya. Di dalam teori
sastra terdapat banyak pendekatan yang dapat dijadikan alat analisis untuk
mengkaji karya sastra lebih dalam. Salah satu pendekatan yang dapat
dijadikan alat untuk mengkaji karya sastra lebih mendalam yaitu pendekatan
antropologi sastra.
Pendekatan antropologi sastra digunakan sebagai alat analisis di dalam
penelitian ini. Penelitian antropologi sastra adalah celah baru penelitian
sastra. Penelitian yang mencoba menggabungkan dua disiplin ilmu ini,
tampaknya masih jarang diminati. Padahal, sesungguhnya banyak hal yang
menarik dan dapat digali. Peneliti sastra dapat mengungkap berbagai hal yang
berhubungan dengan kiasan-kiasan antropologis. Peneliti juga dapat lebih
leluasa memadukan kedua bidang itu secara interdisipliner karena baik sastra
maupun antropologi sama-sama berbicara tentang manusia (Endraswara,
2013: 107). Antropologi berbicara tentang manusia berbudaya di dalam
kehidupan nyata, sedangkan sastra merupakan hasil budaya manusia. Di
samping sebagai hasil budaya, sastra juga membicarakan manusia yang
berbudaya dalam ranah imajinatif penulisnya. Jadi, antara antropologi dengan
sastra memiliki hubungan yang sangat erat.
Endraswara (2013: 5-6) menyatakan bahwa terdapat beberapa aspek
penting yang menyebabkan kedekatan antara sastra dan antropologi, yaitu (1)
keduanya sama-sama memperhatikan aspek manusia dengan seluruh
perilakunnya; (2) manusia adalah makhluk yang berbudaya, memiliki daya
4
cipta rasa kritis untuk mengubah hidupnya; (3) antropologi dan sastra tidak
alergi pada fenomena imajinatif kehidupan manusia yang lebih indah dari
warna aslinya; (4) banyak wacana lisan dan sastra lisan yang menarik minat
para antropolog dan ahli sastra; (5) banyak interdisiplin yang mengitari
bidang sastra dan budaya hingga menantang munculnya antropologi sastra.
Lima aspek ini menandai bahwa adat istiadat, tradisi, seremonial, mitos, dan
sejenisnya banyak menarik perhatian sastrawan untuk mewarnai karya-karya
yang dilahirkannya.
Bahan penelitian antropologi sastra adalah sikap dan perilaku manusia
lewat fakta-fakta sastra dan budaya. Antropologi adalah penelitian terhadap
manusia. Dalam hal ini, manusia adalah sikap dan perilakunya. Antropologi
sastra berupaya meneliti sikap dan perilaku yang muncul sebagai budaya
dalam karya sastra. Manusia sering bersikap dan berperilaku dengan tata
krama. Tata krama memuat tata susila dan unggah-ungguh bahasa yang
menjadi ciri sebuah peradaban. Sastra sering menyuarakan tata krama dalam
interaksi budaya satu sama lain yang penuh dengan simbol (Endraswara,
2013: 1).
Adapun konsep kebudayaan itu sendiri adalah seluruh totalitas dari
pikiran, karya, dan tingkah laku manusia yang tidak berakar kepada
nalurinya, yang hanya bisa terjadi setelah manusia mengalami proses belajar
(Koentjaraningrat, 1985: 1). Jadi, semua hal yang dilakukan manusia yang
berasal dari proses belajar sajalah yang dapat dikatakan kebudayaan,
sedangkan hal-hal yang muncul dari naluri atau insting semata tidak termasuk
5
kebudayaan. Sebagai contoh, kebutuhan makan merupakan naluri manusia
bukan budaya, tetapi tata krama manusia dalam aktivitas makan merupakan
budaya. Itulah yang membedakan antara binatang dan manusia. Manusia
memiliki budaya, sedangkan binatang tidak berbudaya. Di dalam sebuah
karya sastra khususnya novel, banyak sekali disajikan berbagai macam
aktivitas manusia sebagai wujud budaya dalam bentuk simbol-simbol yang
merupakan bahan kajian antropologi sastra.
Kajian antropologis terhadap sebuah karya sastra dilakukan sebagai
usaha untuk mencoba memberikan identitas terhadap karya tersebut, dengan
menganggapnya sebagai sebuah karya yang mengandung aspek tertentu,
dalam hubungannya dengan ciri-ciri kebudayaannya. Ciri-ciri tersebut di
antaranya yang memiliki kecenderungan ke masa lampau, citra primodial,
citra arketipe. Ciri-ciri yang lain, misalnya, mengandung aspek kearifan lokal
dengan fungsi dan kedudukan masing-masing, berbicara mengenai suku-suku
bangsa dengan subkategorinya, seperti trah, klen, dan kasta. Bentuk
kecenderungan yang dimaksudkan juga muncul sebagai paguyuban tertentu,
seperti kampung Bali, Minangkabau, Jawa, Bugis, Papua, dan kelompok
tertentu, seperti priayi, santri, abangan. Pada gilirannya dalam perkembangan
sejarah sastra Indonesia akan lahir genre novel antropologis (Ratna, 2011: 39-
40). Penelitian ini juga sebagai usaha untuk memberikan identitas terhadap
sebuah karya sastra bebentuk novel melalu pengkajian kearifan lokal yang
tersaji di dalamnya.
6
Kearifan lokal merupakan sebagian kecil atau intisari dari kebiasaan-
kebiasaan kelompok masyarakat tertentu. Kearifan lokal memiliki ciri-ciri
universal dalam arti bahwa gejala tersebut hadir di berbagai komunitas,
meskipun dikemukakan dengan bahasa yang berbeda-beda. Sebagai warisan
budaya, kearifan lokal perlu dipelihara dan dilestarikan. Dalam kebudayaan
lokal, selain sistem norma juga terkandung pengetahuan lokal, pengetahuan
tradisional, yaitu berbagai konsep, bahkan teori yang sudah digunakan oleh
nenek moyang dalam rangka menopang keberlangsungan kehidupannya
(Ratna, 2011: 92). Jenis karya sastra yang paling banyak menampilkan
kearifan lokal adalah novel dan bentuk-bentuk fiksi naratif lainnya.
Novel Dasamuka merupakan novel ketiga dari sastrawan Purworejo,
Junaedi Setiyono, setelah Gelonggong dan Arumdalu. Novel ini menjadi
pemenang unggulan dalam sayembara menulis novel Dewan Kesenian
Jakarta (DKJ) tahun 2012. Sayembara menulis novel DKJ merupakan sebuah
sayembara pencarian novel yang sarat akan ragam kultural di Indonesia.
Junaedi Setiyono dalam bedah bukunya di Universitas Muhammadiyah
Purworejo tanggal 20 Desember 2014 mengatakan bahwa dirinya sangat
mencintai dunia sastra sejak kecil. Ia bercita-cita mencipta genre sendiri di
dalam dunia kesusastraan Indonesia dengan menjadikan sastra khususnya
novel sebagai sarana untuk mengangkat budaya dan sejarah masa lampau
suku di Indonesia, terutama Jawa, sebagai tanah kelahirannya. Berangkat dari
hal tersebut, novel Dasamuka dijadikan bahan penelitian karena memiliki
corak warna budaya Jawa, kearifan lokal, dan sejarah di tanah Jawa. Selain
7
itu, Junaedi Setiyono juga mengangkat filosofi dunia pewayangan ke dalam
novel-novelnya. Novel Dasamuka sendiri memuat filosofi tokoh Dasamuka
di dalam dunia pewayangan. Selanjutnya, filosofi tokoh Dasamuka ini
dipadukan dengan budaya Jawa yang tercermin dalam kehidupan Kasultanan
Yogyakarta, juga sejarah pendudukan bangsa Eropa di tanah Jawa.
Novel Dasamuka karya Junaedi Setiyono mengisahkan tentang
seorang tokoh bernama Willem. Willem merupakan seorang peneliti
berkebangsaan Skotlandia yang datang ke Indonesia untuk meneliti bronjong
yang ada di Kasultanan Yogyakarta. Bronjong merupakan salah satu sistem
hukum yang ada di Kasultanan Yogyakarta pada masa lampau. Melalui
bronjong inilah Willem bertemu dengan tokoh Dasamuka yang merupakan
representasi dari tokoh Dasamuka di dalam pewayangan. Dasamuka
merupakan tokoh pemuda licik yang mampu meluluskan keinginan orang-
orang berkantong tebal untuk mendapatkan apa yang diinginkan. Kedua
tokoh berbeda suku bangsa dan latar budaya ini disajikan dengan berbagai
konflik dan intrik yang ada di bawah kekuasaan empat sultan di wilayah
Kasultanan Yogyakarta.
Novel Dasamuka karya Junaedi Setiyono dijadikan bahan penelitian
antropologi sastra karena novel tersebut memiliki kecenderungan ke masa
lampau, citra primodial; mengandung aspek kearifan lokal dengan fungsi dan
kedudukan masing-masing, berbicara mengenai suku-suku bangsa dengan
subkategori trah. Bentuk kecenderungan yang dimaksudkan juga muncul
sebagai paguyuban masyarakat Jawa, dan dengan kelompok masyarakat
8
priayi, santri, dan abangan yang telah disebutkan sebelumnya sebagai ciri
novel bergenre antropologis. Oleh sebab itu, novel tersebut sangat cocok
untuk didekati dengan alat analisis antropologi sastra, khususnya terkait unsur
budaya dan kearifan lokal yang ada di dalamnya.
Penggunaan novel bercorak budaya sebagai bahan pembelajaran sangat
penting bagi terwujudnya tujuan pendidikan di Indonesia. Sebagaimana yang
telah tertuang di dalam landasan filosofis kurikulum 2013 sebagai pijakan
pengembangan pembelajaran. Kurikulum 2013 dikembangkan dengan
didasarkan pada akar budaya bangsa untuk membangun kehidupan bangsa
masa kini dan masa mendatang. Pandangan ini menjadikan Kurikulum 2013
dikembangkan berdasarkan budaya bangsa Indonesia yang beragam,
diarahkan untuk membangun kehidupan masa kini, dan untuk membangun
dasar bagi kehidupan bangsa yang lebih baik di masa depan. Untuk
mempersiapkan kehidupan masa kini dan masa depan peserta didik,
Kurikulum 2013 mengembangkan pengalaman belajar yang memberikan
kesempatan luas bagi peserta didik untuk menguasai kompetensi yang
diperlukan bagi kehidupan di masa kini dan masa depan, dan pada waktu
bersamaan tetap mengembangkan kemampuan mereka sebagai pewaris
budaya bangsa dan orang yang peduli terhadap permasalahan masyarakat dan
bangsa masa kini.
Selain itu, kurikulum 2013 juga dikembangkan berdasarkan pandangan
bahwa peserta didik adalah pewaris budaya bangsa yang kreatif. Menurut
pandangan filosofi ini, prestasi bangsa di berbagai bidang kehidupan di masa
9
lampau adalah sesuatu yang harus termuat dalam isi kurikulum untuk
dipelajari peserta didik. Proses pendidikan adalah suatu proses yang memberi
kesempatan kepada peserta didik untuk mengembangkan potensi dirinya
menjadi kemampuan berpikir rasional dan kecemerlangan akademik dengan
memberikan makna terhadap apa yang dilihat, didengar, dibaca, dipelajari
dari warisan budaya berdasarkan makna yang ditentukan oleh lensa
budayanya dan sesuai dengan tingkat kematangan psikologis serta
kematangan fisik peserta didik. Selain mengembangkan kemampuan berpikir
rasional dan cemerlang dalam akademik, Kurikulum 2013 memposisikan
keunggulan budaya tersebut dipelajari untuk menimbulkan rasa bangga,
diaplikasikan dan dimanifestasikan dalam kehidupan pribadi, dalam interaksi
sosial di masyarakat sekitarnya, dan dalam kehidupan berbangsa masa kini
(Salinan Lampiran Permendikbud No. 69 th 2013 tentang Kurikulum SMA-
MA, 2013: 4-5).
Dari landasan filosofis tersebut, pelajaran Bahasa Indonesia yang
terdapat di dalam setiap jenjang pendidikan memiliki peran penting untuk
melakukan internalisasi budaya ke dalam diri peserta didik. Di dalam
kurikulum 2013 terdapat kompetensi dasar terkait analisis teks novel pada
jenjang kelas XII SMA pada mata pelajaran Bahasa Indonesia wajib, yaitu
pada KD 3.3 (menganalisis teks cerita sejarah, berita, iklan, editorial/opini,
dan novel baik melalui lisan maupun tulisan).
Dalam menganalisis sebuah novel, perlu dipertimbangkan tujuan dari
kajian sastra. Kajian sastra di SMA tentunya tidak sekadar bertujuan untuk
10
mengetahui isi dari sebuah karya sastra, tetapi kajian yang dilakukan juga
diharapkan dapat bermanfaat dalam kehidupan keseharian peserta didik. Di
samping itu, karya sastra yang akan dijadikan objek kajian juga harus
disesuaikan dengan karakteristik peserta didik dan kebermanfaatannya. Oleh
sebab itu, sangat penting adanya pertimbangan dalam memilih bahan ajar
novel dan pisau analisis yang digunakan dalam pembelajaran, seperti halnya
pertimbangan-pertimbangan yang telah dibahas sebelumnya.
Namun, pada kenyataan di lapangan, penggunaan bahan ajar,
khususnya dalam kaitannya dengan pembelajaran bahasa dan sastra
Indonesia, yang bercorak budaya dan kearifan lokal masih jarang sekali
digunakan di sekolah. Terutama novel yang bercorak budaya dan kearifan
lokal yang ada di sekitar lingkungan peserta didik. Oleh sebab itu,
penggunaan bahan ajar yang memiliki corak budaya dan kearifan lokal sangat
perlu dilakukan oleh para pendidik. Penggunaan bahan ajar yang demikian
menjadi sangat penting demi melihat generasi muda Indonesia masa kini,
terutama siswa SMA banyak mengadopsi budaya barat yang tidak sesuai
dengan jati diri bangsa Indonesia.
Sebuah pendekatan pengkajian karya sastra sangat penting digunakan
untuk menganalisis sebuah karya sastra, khususnya novel. Pendekatan
antropologi sastra digunakan untuk memahami unsur budaya dan kearifan
lokal yang ada di dalam novel Dasamuka karya Junaedi Setiyono. Dengan
adanya kajian budaya dan kearifan lokal yang ada di dalam novel tersebut,
siswa SMA diharapkan dapat mengambil manfaat yang tersirat di dalamnya.
11
Peneliti menyimpulkan perlunya pengembangan pendidikan berlandas
budaya dan kearifan lokal pada peserta didik yang nantinya akan memberikan
kontribusi yang besar dalam proses pendidikan. Hal inilah yang
melatarbelakangi penulis untuk menganalisis unsur budaya dan kearifan lokal
dalam novel Dasamuka karya Junaedi Setiyono, melalui pendekatan
antropologi sastra. Di samping itu, penulis juga akan memaparkan bagaimana
aplikasi bahan pembelajaran novel tersebut dalam pembelajaran di kelas XII
SMA.
B. Identifikasi Masalah
Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan sebelumnya, masalah
dapat diidentifikasi sebagai berikut.
1. Penelitian karya sastra khususnya novel dengan pendekatan antropologi
sastra masih sangat jarang dilakukan, baik oleh akademisi maupun
praktisi.
2. Pendidikan berakar pada budaya bangsa untuk membangun kehidupan
bangsa masa kini dan masa mendatang menjadi landasan Kurikulum
2013. Oleh sebab itu, perlu adanya bahan pembelajaran yang memuat
budaya dan kearifan lokal sebagai sarana untuk mencapai tujuan
pendidikan yang diinginkan.
3. Penggunaan bahan ajar sastra berupa novel yang bercorak budaya dan
kearifan lokal masih jarang sekali digunakan di sekolah. Terutama
novel yang bercorak budaya dan kearifan lokal yang ada di sekitar
lingkungan peserta didik.
12
4. Generasi muda Indonesia masa kini, terutama siswa SMA, banyak
mengadopsi budaya barat yang tidak sesuai dengan jati diri bangsa
Indonesia. Oleh sebab itu, perlu adanya bahan ajar yang mampu
menarik kembali minat pelajar dengan budayanya sendiri.
C. Penegasan Istilah
Dari penjelasan latar belakang tersebut, terdapat beberapa penegasan
istilah yang dipaparkan di bawah ini.
1. Unsur budaya merupakan bagian-bagian yang membangun kebudayaan
di suatu tempat. Adapun unsur budaya tersebut meliputi sistem religi,
sistem dan organisasi kemasyarakatan, sistem pengetahuan, bahasa,
kesenian, sistem mata pencaharian hidup, serta sistem teknologi dan
peralatan hidup manusia (Koentjaraningrat, 1985: 2).
2. Kearifan lokal merupakan sebagian kecil atau intisari dari kebiasaan-
kebiasaan kelompok masyarakat tertentu. Kearifan lokal memiliki ciri-
ciri universal dalam arti bahwa gejala tersebut hadir di berbagai
komunitas, meskipun dikemukakan dengan bahasa yang berbeda-beda
(Ratna, 2011: 92).
3. Novel Dasamuka karya Junaedi Setiyono merupakan salah satu bahan
pembelajaran yang digunakan untuk mengenalkan budaya dan kearifan
lokal kepada peserta didik, serta sebagai upaya internalisasi nilai
budaya dan kearifan lokal kepada peserta didik.
4. Skenario adalah rencana lakon sandiwara berupa adegan demi adegan
yang tertulis secara terperinci (Depdiknas, 2008: 1324).
13
5. Pembelajaran sastra merupakan sebuah proses komunikasi antara
pendidik dengan peserta didik yang menyajikan karya sastra dalam
suatu proses pembelajaran yang meliputi teori sastra, sejarah sastra,
kritik sastra, sastra bandingan, dan apresiasi sastra melalui berbagai
jenis teks sastra (Ismawati 2013: 1).
Jadi, maksud judul skripsi “Unsur Budaya dan Kearifan Lokal dalam
novel Dasamuka karya Junaedi Setiyono dan Skenario Pembelajaran di Kelas
XII SMA (Kajian Antropologi Sastra)” adalah penelitian terhadap unsur
budaya yang meliputi sistem religi, sistem dan organisasi kemasyarakatan,
sistem pengetahuan, bahasa, kesenian, sistem mata pencaharian, serta sistem
teknologi dan peralatan hidup manusia, juga kearifan lokal dalam novel
Dasamuka karya Junaedi Setiyono serta Skenario Pembelajaran di Kelas XII
SMA.
D. Batasan Masalah
Masalah yang terlalu luas akan berakibat suatu penelitian tidak atau
kurang berhasil. Selain itu, masalah yang terlalu luas akan mengakibatkan
kekaburan bagi masalah yang diteliti. Agar masalah dapat dikaji dengan
mendalam, perlu adanya pembatasan masalah dalam penelitian ini. Batasan
masalah penelitian ini yaitu sebagai berikut.
1. Kajian antropologi sastra terhadap novel Dasamuka karya Junaedi
Setiyono terfokus hanya pada isi atau muatan teks sastra.
2. Kajian antropologi sastra yang akan dilakukan terfokus pada unsur-
unsur budaya dan kearifan lokal yang ada di dalam novel yang meliputi
14
sistem religi, sistem dan organisasi kemasyarakatan, sistem
pengetahuan, bahasa, kesenian, sistem mata pencaharian, serta sistem
teknologi dan peralatan hidup manusia pada novel Dasamuka karya
Junaedi Setiyono.
3. Arah dari kajian ini difungsikan untuk perencanaan pembelajaran
analisis teks novel pada kelas XII SMA.
Dengan adanya pembatasan masalah tidak akan terjadi penyimpangan
terhadap penelitian yang dilakukan sehingga penelitian masih berada dalam
lingkup yang akan diteliti.
E. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang tersebut, masalah dapat peneliti rumuskan
sebagai berikut.
1. Bagaimana unsur budaya dalam novel Dasamuka karya Junaedi
Setiyono?
2. Bagaimana kearifan lokal dalam novel Dasamuka karya Junaedi
Setiyono?
3. Bagaimana skenario pembelajaran analisis novel dengan pendekatan
antropologi sastra karya Junaedi Setiyono di kelas XII SMA?
F. Tujuan Penelitian
Penelitian dengan judul “Unsur Budaya dan Kearifan Lokal dalam
novel Dasamuka karya Junaedi Setiyono (melalui pendekatan Antropologi
Sastra) serta Skenario Pembelajaran di Kelas XII SMA”, bertujuan untuk
mendeskripsikan:
15
1. unsur budaya dalam novel Dasamuka karya Junaedi Setiyono;
2. kearifan lokal dalam novel Dasamuka karya Junaedi Setiyono;
3. skenario pembelajaran analisis novel dengan pendekatan antropologi
sastra karya Junaedi Setiyono di kelas XII SMA.
G. Manfaat Penelitian
Manfaat kajian antropologi sastra dalam novel Dasamuka karya
Junaedi Setiyono dibagi menjadi dua, yaitu secara teoretis dan praktis.
1. Manfaat Teoretis
Secara teoretis, hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan
wawasan dan memperkaya khasanah penelitian mengenai unsur budaya
dan kearifan lokal melalui kajian antropologi sastra terhadap novel
Dasamuka karya Junaedi Setiyono.
2. Manfaat Praktis
Dari segi praktis, penelitian ini diharapkan bermanfaat baik bagi
peneliti, pendidik, peserta didik, sekolah, maupun peneliti lanjutan.
a. Bagi Peneliti
Penelitian ini diharapkan menjadi salah satu bahan acuan
dalam melaksanakan penelitian selanjutnya atau penelitian serupa
di masa yang akan datang.
b. Bagi Pendidik
Penelitian ini diharapkan bermanfaat sebagai salah satu
alternatif pembelajaran sastra yang efektif untuk menanamkan nilai
16
budaya dan kearifan lokal kepada peserta didik dan menumbuhkan
rasa cinta peserta didik pada karya sastra khususnya novel.
c. Bagi Peserta Didik
Penelitian ini diharapkan mampu memberikan pengetahuan
kepada peserta didik untuk memahami karya sastra serta mampu
merefleksikan budaya dan kearifan lokal dalam kehidupan.
d. Bagi Sekolah
Penelitian ini diharapkan dapat digunakan sebagai acuan
dalam mempersiapkan pembelajaran bahasa dan sastra Indonesia,
khususnya pada kompetensi dasar analisis teks fiksi dalam novel.
e. Bagi Peneliti Lanjutan/Berikutnya
Penelitian ini diharapkan dapat membantu penulis
selanjutnya sebagai acuan serta dapat menambah wawasan
mengenai sastra khususnya dalam bidang budaya dan kearifan
lokal dalam pendidikan.
H. Sistematika Skripsi
Skripsi yang berjudul “Unsur Budaya dan Kearifan Lokal Novel
Dasamuka Karya Junaedi Setiyono dan Skenario Pembelajarannya di Kelas
XII SMA (Kajian Antropologi Sastra)” terdiri dari tiga bagian, yaitu bagian
awal, bagian isi, bagian akhir. Pada bagian awal skripsi, penulis menyajikan
judul skripsi, persetujuan pembimbing, pengesahan, moto dan persembahan,
kata pengantar, daftar isi, dan abstrak. Pada bagian isi, penulis menyajikan isi
skripsi ysng terdiri dari lima bab, yang tersusun sebagai berikut.
17
Bab I berisi pendahuluan. Pendahuluan terdiri atas latar belakang
masalah, identifikasi masalah, penegasan istilah, batasan masalah, rumusan
masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian, dan sistematika skripsi.
Bab II berisi tinjauan pustaka dan kajian teoretis. Tinjauan pustaka
berisi tentang uraian penelitian terdahulu yang terdiri dari tesis Muharrina
Harahap (2009) dan Nurelide (2007), sedangkan kajian teoretis digunakan
sebagai acuan dalam penelitian. Dalam kajian teoretis ini disajikan teori
antropologi sastra; konsep budaya serta unsur budaya yang meliputi sistem
religi, sistem dan organisasi kemasyarakatan, sistem pengetahuan, bahasa,
kesenian, sistem mata pencaharian, serta sistem teknologi dan peralatan hidup
manusia; teori kearifan lokal; dan teori pembelajaran sastra di Kelas XII
SMA.
Bab III berisi metode penelitian. Metode penelitian ini terdiri dari
objek penelitian, fokus penelitian, jenis penelitian, instrumen penelitian, data
dan sumber data, teknik pengumpulan data, validitas data, teknik analisis
data, serta teknik penyajian hasil analisis data. Bab ini menjelaskan tentang
metode yang digunakan penulis untuk meneliti karya sastra.
Bab IV berisi penyajian data dan pembahasan data hasil penelitian.
Dalam bab ini, penulis menguraikan data penelitian yang diambil dari novel
Dasamuka karya Junaedi Setiyono berupa kutipan-kutipan narasi dan
percakapan. Sub bab dalam pembahasan data menguraikan unsur budaya dan
kearifan lokal dalam novel, dan skenario pembelajaran analisis teks novel di
kelas XII SMA.
18
Bab V berisi penutup. Dalam bab ini penulis menyajikan simpulan
dan saran-saran yang relevan dengan kesimpulan tersebut. Selain itu, penulis
juga melampirkan sinopsis novel Dasamuka karya Junaedi Setiyono dan
daftar pustaka.
19
BAB II TINJAUAN PUSTAKA DAN KAJIAN TEORETIS
Bab II ini berisi tinjauan pustaka dan kajian teoretis. Tinjauan pustaka
berisi tentang penelitian yang telah dilakukan oleh peneliti terdahulu untuk
mengetahui persamaan dan perbedaan dengan penelitian ini. Kajian teoretis berisi
tentang teori antropologi sastra, unsur budaya, kearifan lokal dan skenario
pembelajarannya di kelas XII SMA.
A. Tinjauan Pustaka
Tinjauan pustaka merupakan kajian secara kritis untuk membanding-
kan kajian terdahulu dengan kajian yang akan dilakukan penulis sehingga
diketahui perbedaan dan persamaan yang khas antara kajian-kajian tersebut.
Berdasarkan penelusuran terhadap berbagai referensi, terdapat beberapa
penelitian yang mempunyai tema hampir sama, yaitu penelitian yang
dilakukan oleh Muharrina Harahap (2009) dengan judul penelitian “Mitologi
Jawa dalam Novel-Novel Kuntowijoyo”; dan penelitian yang dilakukan oleh
Nurelide (2007) dengan judul penelitian “Meretas Budaya Masyarakat Batak
Toba dalam Cerita Sigalegale (Telaah Cerita Rakyat dengan Pendekatan
Antropologi Sastra)”.
Harahap (2009) dalam penelitiannya yang berjudul “Mitologi Jawa
dalam Novel-Novel Kuntowijoyo” menjelaskan secara rinci mengenai
mitologi, filsafat, dan representasi nilai budaya Jawa dalam novel-novel
Kuntowijoyo dengan menggunakan teori antropologi sastra dan semiotika.
Mitologi Jawa dalam novel-novel Kuntowijoyo terlihat melalui wujud sikap
20
kosmologi masyarakat Jawa dan pandangan hidup orang Jawa. Wujud sikap
kosmologi tercermin melalui upacara tradisi seperti slametan, sesajen,
pengkultusan orang, penamaan anak, dan ritual sowan dan ruwatan.
Pandangan hidup orang Jawa diaktualisasikan pada empat hal yaitu raja
sebagai pemusatan kosmis, keraton sebagai pusat kerajaan numinus, Gunung
Merapi, dan Laut Selatan. Kemudian mitologi Jawa tersebut berkembang
menjadi mitos-mitos masa kini yang telah bergeser maknanya seiring dengan
perkembangan zaman. Filsafat Jawa yang juga merupakan bagian dari mitos
terungkap melalui tiga aspek yaitu metafisika, epistemologi, dan aksiologi.
Selanjutnya, representasi nilai budaya Jawa dalam novel-novel Kuntowijoyo
dipaparkan melalui tokoh-tokoh yang hidup dan berinteraksi dengan
serangkaian mitos dan realitas.
Persamaan penelitian yang dilakukan oleh Harahap (2009) dengan
penelitian ini terdapat pada pendekatan yang digunakan sebagai alat analisis
untuk memahami objek penelitian, yakni pendekatan antropologi sastra.
Persamaan juga terdapat di dalam jenis objek yang digunakan, yakni
berbentuk novel, khususnya novel yang bersetting dan memiliki corak budaya
Jawa.
Adapun perbedaannya adalah penelitian yang dilakukan Harahap
(2009) menggambil sudut pandang kajian mitologi budaya Jawa dengan
menggunakan teori strukturalisme Levi-Strauss, sedangkan penelitian ini
mengambil sudut pandang unsur budaya, khususnya budaya Jawa, dengan
menggunakan teori budaya Koentjaraningrat. Selain itu, penelitian yang
21
dilakukan oleh Harahap (2009) sebatas kajian terhadap karya sastra yang
hanya bermanfaat untuk akademisi semata, sedangkan penelitian ini
memaparkan skenario pembelajaran analisis novel menggunakan pendekatan
antropologi sastra di kelas XII SMA sehingga manfaat penelitian tidak hanya
diperuntukkan bagi akademisi, tetapi juga untuk praktisi pendidikan.
Nurelide (2007) dalam penelitiannya yang berjudul “Meretas Budaya
Masyarakat Batak Toba dalam Cerita Sigalegale (Telaah Cerita Rakyat
dengan Pendekatan Antropologi Sastra)” menjelaskan secara rinci mengenai
isi dan struktur cerita serta konsep kebudayaan masyarakat Batak Toba yang
terdapat dalam cerita Sigalegale. Hasil penelitian cerita Sigalegale ini
menunjukkan bahwa tujuan hidup masyarakat Batak Toba di Samosir pada
zaman dahulu, yaitu setiap orang berkeinginan mencapai kekayaan,
keturunan, dan kehormatan. Khusus mengenai tujuan hidup untuk mendapat
berkat melalui keturunan itu, dalam pandangan masyarakat Batak tradisional
bahwa memiliki banyak anak merupakan hal yang sangat penting. Bagi
masyarakat Batak Toba yang menganut sistem kekerabatan patrilineal. Anak
laki-laki diibaratkan sebatang pohon yang tidak memiliki akar. Setiap anak
laki-laki mempunyai kewajiban mengurus dan meneruskan kelangsungan
hidup keluarga.
Persamaan penelitian yang dilakukan oleh Nurelide (2007) dengan
penelitian ini terdapat pada pendekatan yang digunakan sebagai alat analisis
untuk memahami objek penelitian, yakni sama-sama menggunakan
pendekatan antropologi sastra. Perbedaannya adalah objek penelitian yang
22
digunakan Nurelide (2007) berbentuk sastra lisan cerita daerah Batak Toba
berjudul Sigalegale, sedangkan objek penelitian ini berbentuk novel bercorak
Budaya Jawa, yaitu novel Dasamuka karya Junaedi Setiyono. Nurelide
(2007) menggambil sudut pandang kajian Budaya Batak Toba, sedangkan
penelitian ini mengambil sudut pandang kajian Budaya Jawa. Selain itu,
penelitian yang dilakukan oleh Nurelide (2007) sebatas kajian terhadap karya
sastra yang hanya bermanfaat untuk akademisi semata, sedangkan penelitian
ini memaparkan skenario pembelajaran analisis novel menggunakan
pendekatan antropologi sastra di kelas XII SMA sehingga manfaat penelitian
tidak hanya diperuntukkan bagi akademisi, tetapi juga untuk praktisi
pendidikan.
B. Kajian Teoretis
Kajian teoretis merupakan kajian terhadap berbagai macam teori yang
berkaitan dengan penelitian yang dilakukan. Kajian teori digunakan sebagai
dasar untuk melakukan penelitian. Kajian teoretis ini berisi kajian tentang
teori antropologi sastra, unsur budaya, kearifan lokal dan skenario
pembelajaran sastra di kelas XII SMA.
1. Antropologi Sastra
Untuk memahami dan mengkaji corak kebudayaan dalam sebu-
ah karya sastra, termasuk novel, dibutuhkan peran serta ilmu pengeta-
huan lain di luar sastra. Ilmu pengetahuan lain, seperti antropologi
budaya, difungsikan sebagai ilmu bantu dalam menganalisis. Antro-
pologi budaya dianggap sebagai ilmu bantu paling relevan untuk alat
23
analisis seluk beluk atau corak kebudayaan suatu kelompok masyarakat.
Penerapan antropologi budaya untuk menelaah karya sastra, selanjutnya
disebut antropologi sastra.
Penelitian antropologi sastra merupakan celah baru penelitian
sastra. Penelitian yang mencoba menggabungkan dua disiplin ilmu ini,
masih jarang diminati. Padahal sesungguhnya banyak hal yang menarik
dan dapat digali dengan penelitian antropologi sastra. Maksudnya,
penelitian sastra dapat mengungkap berbagai hal yang berhubungan
dengan kiasan-kiasan antropologis. Peneliti juga dapat lebih leluasa
memadukan kedua bidang itu secara interdisipliner, karena baik sastra
maupun antropologi sama-sama berbicara tentang manusia
(Endraswara, 2013: 107). Antropologi berbicara tentang manusia berbu-
daya di dalam kehidupan nyata, sedangkan sastra merupakan hasil
budaya manusia. Di samping sebagai hasil budaya, sastra juga membi-
carakan manusia yang berbudaya dalam ranah imajinatif penulisnya.
Jadi, antara antropologi dengan sastra memiliki hubungan yang erat.
Secara istilah antropologi berasal dari kata anthropos (Yunani)
yang memiliki arti ilmu pengetahuan untuk mempelajari hakikat manu-
sia, baik secara jasmaniah maupun rohaniah (Ratna, 2011: 465). Senada
dengan pernyataan tersebut, Koentjaraningrat (2009: 9) menyatakan
bahwa antropologi merupakan ilmu yang mempelajari tentang manusia.
Kemudian, pernyataan-pernyataan tersebut disempurnakan oleh
Haviland yang menyatakan bahwa antropologi merupakan penelitian
24
tentang manusia yang berusaha menyusun generalisasi yang bermanfaat
bagi manusia untuk menuntun perilaku dan untuk memperoleh
pengertian yang lengkap tentang keanekaragaman budaya (Endraswara,
2013: 3). Jadi, dapat disimpulkan bahwa antropologi merupakan ilmu
yang mempelajari manusia berbudaya.
Sastra merupakan warisan budaya yang memuat potret keaneka-
ragaman budaya dalam masyarakat (Endrasawara, 2013: 10-11). Oleh
sebab itu, antropologi dan sastra memiliki kedekatan. Antropologi
berbicara tentang manusia berbudaya di dalam kehidupan nyata, se-
dangkan sastra merupakan hasil budaya manusia. Di samping sebagai
hasil budaya, sastra juga membicarakan manusia yang berbudaya dalam
ranah imajinatif penulisnya. Jadi, antara antropologi dengan sastra
memiliki hubungan yang sangat erat.
Terdapat beberapa aspek penting yang menyebabkan kedekatan
antara sastra dan antropologi, yaitu (a) keduanya sama-sama memper-
hatikan aspek manusia dengan seluruh perilakunnya; (b) manusia ada-
lah makhluk yang berbudaya, memiliki daya cipta rasa kritis untuk
mengubah hidupnya; (c) antropologi dan sastra tidak alergi pada feno-
mena imajinatif kehidupan manusia yang lebih indah dari warna
aslinya; (d) banyak wacana lisan dan sastra lisan yang menarik minat
para antropolog dan ahli sastra; (e) banyak interdisiplin yang mengitari
bidang sastra dan budaya hingga menantang munculnya antropologi
sastra. Lima aspek ini menandai bahwa adat istiadat, tradisi, seremonial,
25
mitos, dan sejenisnya banyak menarik perhatian sastrawan untuk me-
warnai karya-karya yang dilahirkannya (Endraswara, 2013: 5-6).
Ratna (2015: 351) menyatakan bahwa antropologi sastra adalah
studi mengenai karya sastra dengan relevansi manusia (anthropos).
Antropologi dibagi menjadi dua macam, yaitu antropologi fisik dan
antropologi kultural, dengan karya-karya yang dihasilkan oleh manusia,
seperti: bahasa, religi, mitos, sejarah, hukum, adat istiadat, dan karya
seni, khususnya karya sastra. Dalam kaitannya dengan tiga macam
bentuk kebudayaan yang dihasilkan oleh manusia, yaitu kompleks ide,
kompleks aktivitas, dan kompleks benda-benda, maka antropologi
sastra memusatkan pada kompleks ide. Sedikit berbeda dengan
pandangan Ratna, antropologi sastra dalam pandangan Poyatos adalah
ilmu yang mempelajari sastra berdasarkan penelitian antarbudaya.
Penelitian budaya dalam sastra diyakini sebagai sebuah refleksi
kehidupan (Endraswara, 2013: 3). Jadi, dapat disimpulkan bahwa
antropologi sastra merupakan ilmu yang mempelajari tentang manusia
beserta budaya yang melingkupinya.
Studi antropologi mulai berkembang pada awal abad ke-20 pada
saat negara-negara kolonial, khususnya Inggris menaruh perhatian
terhadap bangsa non-Eropa dalam rangka mengetahui sifat bangsa-
bangsa yang dijajah. Dalam hal ini antropologi sastra ada kaitannya
dengan studi orientalis. Atas dasar pertimbangan bahwa sistem kultural
26
suatu bangsa tersimpan di dalam bahasa, maka jelas karya sastra
merupakan sumber yang sangat penting (Ratna, 2015: 351-352).
Melalui kajian antropologi sastra terhadap karya-karya sastra
suatu daerah atau negara dapat diketahui bagaimana kondisi kultural
yang ada di daerah atau negara tersebut. Kondisi kultural adalah kondisi
yang khas di dalam suatu daerah atau negara tersebut yang tidak
terdapat di daerah lain, misalnya kondisi geografis, bahasa, adat isti-
adat, mata pencaharian penduduknya, kemajuan peradaban masyara-
katnya, dan lain sebagainya. Hal-hal tersebut atara daerah atau negara
yang satu dengan yang lain memiliki perbedaan. Salah satu cara untuk
mengetahui ciri khas tersebut yaitu dengan kajian antropologi sastra.
Dalam ruang lingkup regional dan nasional antropologi sastra
perlu dibina dan dikembangkan. Polemik kebudayaan tahun 1930-an
yang dipicu oleh pikiran-pikiran Sutan Takdir Alisyahbana tidak
semata-mata berorientasi ke Barat, sebagaimana ditanggapi oleh
kritikus dan budayawan yang lain. Sebaliknya, polemik kebudayaan
bermaksud untuk menemukan pola-pola kebudayaan nasional, dasar-
dasar berpikir yang dapat digunakan untuk mengembangkan model-
model kesenian berikutnya, khususnya kesusastraan.
Ratna (2015: 352) menyatakan bahwa dengan memanfaatkan
bahasa Indonesia yang secara definitif sudah mulai digunakan sejak
Kebangkitan Nasional tahun 1908, yang kemudian disahkan dalam
Sumpah pemuda tahun 1928, karya sastra Indonesia modern diharapkan
27
mampu menjadi wadah bagi aspirasi bangsa, baik intelektual maupun
emosional. Sastra Indonesia modern yang pada dasarnya merupakan
kelanjutan sastra Melayu, bersama-sama dengan sastra daerah lainnya
diharapkan mampu unttuk memberikan keseimbangan antara perkem-
bangan teknologi dan perkembangan spiritual. Meskipun karya sastra
tersebut merupakan hasil imajinasi, perlu diketahui bahwa justru di
dalam imajinasi itulah nilai-nilai antropologis ‘dipermain-mainkan’,
disitulah inti penelitan antropologi sastra.
Karya sastra yang diungkapkan melalui bahasa dari periode ke
periode, dari sastra melayu klasik sampai sastra modern mengungkap
perkembangan budaya Indonesia. Oleh sebab itu, kajian dengan pende-
katan antropologi terhadap karya sastra penting untuk dilakukan. Karya
sastra menjadi pandangan sisi lain etnografi Indonesia yang dituliskan
oleh para etnograf maupun antropolog. Karya sastra memiliki ciri
subjektif karena berasal dari imajinasi manusia, berbeda dengan etno-
grafi yang ditulis berdasarkan objek yang ada. Namun, latar belakang
penulis turut ikut di dalam proses lahirnya karya sastra maupun karya
etnografi sehingga keduanya dapat dijadikan rujukan pengetahuan
budaya manusia.
Pendekatan antropologi sastra termasuk ke dalam pendekatan
arketipal, yaitu karya sastra merupakan warisan budaya masa lalu.
Warisan budaya tersebut dapat terpantul dalam karya-karya sastra
klasik dan modern. Oleh sebab itu, penelitian antropologi sastra dapat
28
mengkaji keduanya dalam bentuk paparan etnografi (Endraswara, 2013:
109). Paparan Endraswara tersebut di perjelas dengan pernyataan Ratna
(2015: 353) yang menyatakan bahwa dalam paparan etnografi itu,
antropologi sastra memberikan perhatian pada manusia sebagai agen
kultural, sistem kekerabatan, sistem mitos, dan kebiasaan-kebiasaan
lainnya.
Menurut Bernard, pada umumnya penelitian antropologi sastra
mayoritas bersumber pada tiga hal, yaitu manusia/orang, artikel tentang
sastra, atau bibliografi. Dari ketiga sumber data ini sering dijadikan
pijakan peneliti sastra untuk mengungkap makna di balik karya sastra.
Ketiga sumber data tersebut dipandang sebagai documentation
resources (Endraswara, 2013: 109). Pendapat Bernard ini mendukung
pernyataan Endraswara dan Ratna tersebut yang menyatakan bahwa
karya sastra merupakan sumber informasi mengenai manusia yang
berbudaya. Budaya manusia dan kearifan lokal dikaji dalam antropologi
sastra.
Endraswara (2013: 109-110) dalam bukunya yang berjudul
Metodologi Penelitian Antropologi Sastra menyatakan bahwa analisis
antropologi sastra digunakan untuk mengungkap beberapa hal, antara
lain:
(a) kebiasaan-kebiasaan masa lampau yang berulang-uang masih
dilakukan dalam cipta sastra. Kebiasaan leluhur melakukan semedi,
29
melantunkan pantun, mengucapkan mantra-mantra, dan sejenisnya
menjadi fokus penelitian;
(b) mengungkap akar tradisi atau subkultural serta kepercayaan
seorang penulis yang terrpantul dalam karya sastra. Dalam kaitan
ini tema-tema tradisional yang diwariskan turun temurun akan
menjadi perhatian tersendiri;
(c) kajian juga dapat diarahkan pada aspek penikmat sastra etnografis,
mengapa mereka sangat taat menjalankan pesan-pesan yang ada
dalam karya sastra;
(d) proses pewarisan sastra tradisonal dari waktu ke waktu;
(e) kajian diarahkan pada unsur-unsur etnografis atau budaya
masyarakat yang mengitari karya sastra tersebut;
(f) simbol-simbol mitologi dan pola pikir masyarakat pengagumnya.
Dari keenam hal yang biasa diungkap dari kajian antropologi
sastra, penulis mengambil fokus pada poin kajian yang diarahkan pada
unsur-unsur etnografi atau budaya masyarakat yang mengitari karya
sastra tersebut. Kajian ini dimaksudkan untuk mengkaji novel
Dasamuka karya Junaedi Setiyono pada unsur budaya yang mengitari
lahirnya karya tersebut, yaitu budaya Jawa.
2. Budaya
Budaya merupakan bukti peradaban manusia. Budaya dimiliki
oleh seluruh suku bangsa di dunia. Dalam pandangan masyarakat
umum, budaya diidentikkan dengan sesuatu yang sifatnya masa lampau
30
dan tradisional. Padahal sesungguhnya budaya sudah ada sejak zaman
prasejarah hingga sekarang dan akan terus ada sampai punahnya
kehidupan manusia. Jadi, antara manusia dengan budaya memiliki
hubungan yang sangat erat.
Kata kebudayaan berasal dari bahasa Sansekerta buddhayah
yang merupakan bentuk jamak dari buddhi yang memiliki arti “budi”
atau “akal”. Dengan demikian, kebudayaan dapat diartikan sebagai hal-
hal yang bersangkutan dengan budi dan akal. Dalam pendapat lain juga
dipaparkan bahwa budaya berasal dari kata majemuk budi-daya yang
berarti kekuatan dari akal (Koentjaraningrat, 1985: 9).
Berbeda dengan definisi yang diungkapkan Koentjaraningrat
tersebut, Endraswara (2013: 10) mendefinisikan kebudayaan sebagai
keseluruhan aktivitas manusia, termasuk pengetahuan, kepercayaan,
moral, hukum, adat istiadat, dan kebiasaan-kebiasaan lain yang diper-
oleh dengan cara belajar, termasuk pikiran dan tingkah laku.
Sama dengan yang diungkapkan Endraswara, Tylor juga
mengungkapkan bahwa kebudayaan merupakan keseluruhan aktivitas
manusia termasuk pengetahuan, kepercayaan, seni, moral, hukum, adat
istiadat, dan kebiasaan-kebiasaan lain (Ratna, 2010: 5).
Senada dengan pernyataan Endraswara dan Tylor tersebut, Ruth
Benedict mengatakan bahwa kebudayaan merupakan pola-pola
pemikiran serta tindakan tertentu yang terungkap dalam aktivitas,
(Daeng, 2012: 45). Pendapat-pendapat tersebut memiliki simpul bahwa
31
kebudayaan merupakan tata cara aktivitas manusia dalam kehidupan
sehari-hari yang memancarkan identitas tertentu.
Poespowardojo mengatakan bahwa kebudayaan disalurkan dari
generasi ke generasi untuk kehidupan manusiawi yang lebih baik
(Daeng, 2012: 45). Sementara itu Marvin Harris menyatakan bahwa
kebudayaan merupakan seluruh aspek kehidupan manusia dalam
masyarakat, yang diperoleh dengan cara belajar, termasuk pikiran dan
tingkah laku (Ratna, 2010: 5). Senada dengan yang dinyatakan oleh
Harris, Koentjaraningrat (1985: 1-2) mengatakan bahwa konsep
kebudayaan merupakan seluruh totalitas dari pikiran, karya, dan hasil
karya manusia yang tidak berakar pada nalurinya, dan hanya bisa
dicetuskan oleh manusia sesudah suatu proses belajar.
Dari pendapat beberapa pakar di atas dapat diambil sebuah
kesimpulan bahwa kebudayaan merupakan sebuah pola aktivitas
kehidupan manusia sehari-hari seperti pengetahuan, kepercayaan, seni,
moral, hukum, adat istiadat, dan kebiasaan-kebiasaan lain yang
didasarkan adanya proses belajar sebelumnya.
Jadi, hal-hal yang tidak termasuk kebudayaan hanyalah
beberapa tindakan spontan yang berdasarkan naluri, sedangkan suatu
perbuatan yang sebenarnya juga merupakan perbuatan naluri, seperti
makan misalnya, oleh manusia dilakukan dengan peralatan, dengan tata
cara sopan santun dan protokol sehingga hanya bisa dilakukannya
dengan baik sesudah suatu proses belajar tata cara makan, termasuk
32
kebudayaan. Hal ini yang membedakan antara manusia dengan
binatang. Manusia berakal sehingga manusia termasuk makhluk
berbudaya, sedangkan binatang tidak berakal sehingga binatang
termasuk makhluk tak berbudaya. Oleh sebab itu, yang menjadi bahan
kajian dalam antropologi sastra adalah manusia.
a. Unsur-Unsur Budaya
Unsur budaya merupakan bagian-bagian yang membangun
kebudayaan di suatu tempat (Koentjaraningrat, 1985: 2). Unsur-
unsur budaya pasti ditemukan dalam kebudayan di seluruh dunia,
baik yang hidup di masyarakat pedesaan yang kecil terpencil
maupun dalam masyarakat perkotaan yang besar dan kompleks.
Unsur-unsur budaya juga pasti ditemukian di setiap zaman, dari
masa prasejarah hingga masa kini dan masa depan. Berikut ini
merupakan unsur-unsur budaya menurut beberapa ahli.
1) Unsur Budaya menurut Melville J Herskovits.
Berikut ini empat unsur budaya menurut Melville J
Herskovits.
a) Alat-alat teknologi.
b) Sistem ekonomi.
c) Keluarga.
d) Kekuasaan Politik (Soekanto, 2003: 153).
33
2) Unsur Budaya menurut Bronislaw Malinowski.
Berikut ini empat unsur budaya menurut Bronislaw
Malinowski.
a) Sistem norma sosial yang memungkinkan kerjasama antara
para anggota masyarakat untuk menyesuaikan diri dengan
alam sekitarnya.
b) Organisasi ekonomi.
c) Alat-alat dan lembaga-lembaga atau petugas-petugas untuk
pendidik (keluarga adalah lembaga pendidik utama).
d) Organisasi kekuatan (politik) (Soekanto, 2003: 153).
3) Unsur Budaya menurut Ratna.
Tujuh unsur budaya menurut Ratna (2011: 395-396)
adalah sebagai berikut:
a) peralatan kehidupan manusia;
b) mata pencaharian;
c) sistem kemasyarakatan;
d) sistem bahasa (dan sastra);
e) kesenian dengan berbagai jenisnya;
f) sistem pengetahuan;
g) sistem religi.
4) Unsur Budaya menurut Koenjaraningrat.
Tujuh unsur budaya menurut Koentjaraningrat (1985:
2) adalah sebagai berikut:
34
a) sistem religi;
b) sistem dan organisasi kemasyarakatan;
c) sistem pengetahuan;
d) bahasa;
e) kesenian;
f) sistem mata pencaharian hidup;
g) sistem peralatan hidup dan teknologi.
Kendatipun pendapat Ratna senada dengan pendapat
Koentjaraningrat, tetapi ketujuh unsur budaya tersebut memiliki
perbedaan. Koentjaraningrat (1985: 2) menyatakan bahwa susunan
tata urut dari ketujuh unsur-unsur kebudayaan tersebut dibuat dengan
sengaja untuk sekalian menggambarkan unsur-unsur yang paling
sukar berubah atau mendapatkan pengaruh kebudayaan lain, dan
yang paling mudah berubah atau diganti dengan unsur-unsur serupa
dari kebudayaan-kebudayaan lain. Dalam tata urut tersebut terlihat
bahwa unsur-unsur yang berada di bagian atas dari deretan
merupakan unsur-unsur yang lebih sukar berubah daripada unsur-
unsur yang di bawahnya. Sistem religi merupakan sistem yang
sangat sulit berubah karena sudah menjadi kepercayaan yang
ditanamkan sejak lahir, sedangkan sistem teknologi mudah sekali
berubah seiring perkembangan zaman. Adapun ketujuh unsur yang
dinyatakan oleh Ratna tidak memiliki kepakeman yang
mengharuskan ketujuh unsur tersebut tersusun secara urus.
35
Perbedaan unsur budaya yang dipaparkan oleh Ratna dan
Koentjaraningrat juga terlihat pada paparan dari setiap unsur.
Sebagai Antropolog, Koentjaraningrat memaparkan unsur budaya
berdasarkan pola aktivitas manusia dalam masyarakat, sedangan
Ratna, sebagai seorang akademisi dalam bidang sastra, memaparkan
ketujuh unsur berdasarkan pola aktivitas manusia dalam karya sastra.
Oleh sebab itu, penelitian ini menggunakan teori gabungan
antara teori unsur budaya Ratna dengan unsur budaya
Koentjaraningrat untuk mengkaji novel Dasamuka karya Junaedi
Setiyono.
a) Sistem religi
Istilah religi diturunkan dari akar kata religio (Latin)
berkaitan deengan kepercayaan, keyakinan. Pengertian religi
dianggap lebih luas dibandingkan dengan agama. Religi dengan
sendirinya meliputi seluruh sistem kepercayaan, pada umumnya
berlaku dalam kelompok-kelompok terbatas, sedangkan agama
mengacu hanya pada agama formal, keberadaannya memperoleh
pengakuan secara hukum (Ratna, 2011: 429).
Sistem religi, menyangkut sistem ilmu gaib. Semua
aktivitas manusia yang bersangkutan dengan religi berdasarkan
atas suatu getaran jiwa, yang biasanya disebut emosi keagamaan
(religious emotion). Emosi keagamaan ini biasanya pernah
dialami oleh setiap manusia, walaupun getaran emosi itu mung-
36
kin hanya berlangsung untuk beberapa detik saja, untuk ke-
mudian menghilang lagi. Emosi keagamaan itulah yang men-
dorong orang melakukan tindakan-tindakan bersifat religi.
Suatu sistem religi dalam suatu kebudayaan selalu mem-
punyai ciri-ciri untuk sedapat mungkin memelihara emosi
keagamaan itu di antara pengikut-pengikutnya. Dengan demi-
kian, emosi keagamaan merupakan unsur penting dalam suatu
religi bersama dengan tiga unsur yang lain, yaitu: (1) sistem
keyakinan, (2) sistem upacara keagamaan, (3) umat yang
menganutnya. Sistem upacara keagamaan secara khusus
mengandung empat aspek yaitu: (1) tempat upacara keagamaan,
(2) waktu upacara keagamaan, (3) benda-benda dan alat-alat
upacara, (4) orang-orang yang melakukan dan memimpin
upacara (Koentjaraningrat, 2009: 295-296).
Unsur religi menyangkut agama, baik agama samawi
maupun agama duniawi dan kepercayaan yang biasanya dianut
oleh sekelompok masyarakat berdasarkan kultural yang ada di
dalamnya. Agama dan kepercayaan memiliki unsur sistem
keyakinan berupa keyakinan-keyakinan terhadap ajaran yang
dianut; sistem upacara keagamaan berupa ibadah sesuai dengan
agama dan kepercayaan yang bersangkutan; dan unsur umat
yang menganutnya. Dalam unsur sistem upacara keagamaan
terdapat empat aspek, yaitu tempat ibadah, waktu ibadah, alat
37
ibadah, dan umat yang melakukan ibadah. Hal-hal tersebut yang
akan dikaji di darri novel Dasamuka karya Junaedi Setiyono.
b) Sistem dan organisasi kemasyarakatan
Dalam tiap kehidupan masyarakat, unsur-unsur khusus
dalam organisasi kemasyarakatan diorganisasi atau diatur oleh
adat-istiadat dan aturan-aturan mengenai berbagai macam
kesatuan di dalam lingkungan di mana individu hidup dan
bergaul sehari-hari. Kesatuan sosial yang paling dekat adalah
kesatuan kekerabatan, yaitu keluarga inti yang dekat, dan kaum
kerabat yang lain. Kemudian ada kesatuan-kesatuan di luar
kaum kerabat, tetapi masih dalam lingkungan komunitas atau
kelompok masyarakat. Kelompok masyarakat ini terbagi menja-
di lapisan-lapisan tingkat sosial. Setiap orang di luar kaum
kerabatnya menghadapi lingkungan orang-orang yang lebih
tinggi tingkat sosialnya dan yang sama tingkat sosialnya
(Koentjaraningrat, 2009: 285). Di dalam kelompok-kelompok
masyarakat tersebut manusia saling berinteraksi membentuk
budaya.
Sebagai bentuk narasi etis estetis, dalam karya sastra,
masalah yang paling banyak diungkapkan adalah sistem
kekerabatan dengan berbagai implikasinya. Sistem kekerabatan
melibatkan sistem komunikasi dari kelompok manusia yang
paling kecil, sebagai tatap muka hingga kelompok yang paling
38
besar, sebagai masayarakat itu sendiri. Kelompok terkecil dalam
hubunagn ini juga termasuk hubungan suami istri, sebagai
keluarga inti, melaluinya akan berkembang model hubungan
kekerabatan lain yang lebih luas. Model hubungan inilah yang
mendasari mekanisme penyusunan cerita dalam berbagai
bentuknya (Ratna, 2011: 405).
Sistem kekerabatan berkembang sesuai dengan perkem-
bangan peradaban. Secara tradisional karya sastra bercerita
tentang hubungan suami sitri, anak dengan orang tua, dengan
tetangga terdekat, sesuai dengan mekanisme komunikasi.
Dengan adanya mobilitas manusia, sistem antar hubungan pun
semakin bertambah luas. Perkawinan antar keluarga,
antardaerah, antarsuku, bahkan antarbangsa (Ratna, 2011: 409).
Di samping itu hubungan kekerabatan juga dapat terlihat dari
hubungan dalam dunia kerja maupun dunia politik.
Lebih luas lagi, sistem kekerabatan dalam masyarakat,
tercermin dalam kehidupan keluarga, perkawinan, tolong-
menolong antarkerabat, sopan-santun pergaulan antarkerabat,
sistem istilah kekerabatan, sistem politik, sistem hukum dan
sebagainya (Koentjaraningrat, 2009: 287).
Antara satu sistem kultur daerah satu dengan yang lain
memiliki perbedaan dalam sistem kekerabatan ini. Sisitem
39
kekerabatan budaya Jawa ini yang akan dikaji dari novel
Dasamuka karya Junaedi Setiyono.
c) Sistem pengetahuan
Sistem pengetahuan dalam suatu kebudayaan,
merupakan suatu uraian tentang cabang-cabang pengetahuan
yang dimiliki masyarakat, menyangkut pengetahuan tentang: (1)
alam sekitarnya, (2) alam flora di daerah tempat tinggalnya, (3)
alam fauna di daerah tempat tinggalnya, (4) zat-zat, bahan men-
tah, dan benda-benda dalam lingkungannya, (5) tubuh manusia
(6) sifat-sifat dan tingkah sesama manusia; dan (7) ruang dan
waktu (Koentjaraningrat, 2009: 291).
Sebagai salah satu bagian dari kebudayaan, sistem
pengetahuan jelas bertentangan dengan sistem sastra, ilmu
pengetahuan merupakan objektivitas empiris, karya sastra meru-
pakan subjektivitas imjinatif sehingga keduanya seolah-olah
tidak bisa dipertemukan. Meskipun demikian, sebagai inter-
disiplin, untuk memahaminya secara bersama-sama ada tiga cara
yang dapat dilakukan. Pertama, ilmu pengetahuan dianggap
sebagai muatan, diceritakan sebagai salah satu unsur di antara
unsur-unsur yang lain. Kedua, menganggap bahwa karya sastra
bukan semata-mata imajinasi, dengan berbagai petunjuk karya
sastra itu sendiri juga merupakan ilmu pengetahuan. Pada
gilirannya, pada tataran berbeda, dengan cara yang berbeda
40
pengarang adalah ilmuwan. Ketiga, sebagai bentuk, wadah,
karya sastra bersifat terbuka. Karya sastra dapat menyajikan
bermacam-macam aspek kebudayaan, baik secara fragmentaris
maupun keseluruhan (Ratna, 2011: 425).
d) Bahasa
Koentjaraningrat (2009: 261) menyatakan bahwa bahasa
adalah sistem perlambangan manusia yang berbentuk lisan
maupun tulisan untuk berkomunikasi satu dengan yang lain.
Dalam karangan etnografi, bahasa masyarakat tercermin dalam
rangkaian kata-kata dan kalimat yang diucapkan oleh suku
bangsa, beserta variasi-variasi dari pemilik bahasa itu.
Bahasa dalam arti seluas-luasnya merupakan warisan
biologis tetapi proses perkembangannya terjadi melalui proses
belajar. Belum ditemukan jawaban mengapa seorang bayi yang
baru keluar dari rahim ibunya secara serta merta dapat
menangis. Tangis, tawa, tatapan mata, dan berbagai gerak tubuh
bayi yang baru lahir adalah bahasa. Dengan terjadinya
perkembangan biologis yang dengan sendirinya diikuti oleh
perkembangan psikologi, maka melalui pengaruh lingkungan
terjadilah perkembangan bahasa tersebut. Dalam ruang lingkup
yang lebih luas setiap komunitas, kelompok tertentu memiliki
bahasa, yang dapat diperluas sebagai bahasa etnis tertentu,
seperti bahasa Bali, Jawa, Sunda dan sebagainya, bahasa bangsa
41
tertentu, seperti bahasa Indonesia, Arab, Inggris, dan
sebagainya, dan bahasa dunia seperti bahasa Inggris. Dengan
adanya bahasalah maka setiap kelompok masyarakat memiliki
kebudayaan tertentu (Ratna, 2011: 60).
Bahasa tidak semata-mata untuk berkomunikasi, tetapi
juga untuk menempatkan seseorang pada tempat yang
sesungguhnya (Ratna, 2011: 416). Misalnya, di dalam budaya
Jawa terdapat perbedaan penggunaan bahasa yang ditentukan
oleh lapis-lapis sosial dalam masyarakat. Bahasa Jawa yang
digunakan oleh masyarakat di desa, yang dipakai dalam lapisan
pegawai (priyayi), di dalam istana (keraton), para kepala
Swapraja di Jawa Tengah, berbeda-beda. Koentjaraningrat
(2009: 263) menyatakan bahwa perbedaan bahasa menurut
lapisan sosial dalam masyarakat yang bersangkutan disebut
tingkat sosial bahasa (social kevels of speech).
e) Kesenian
Kesenian sebagai unsur kebudayaan, merupakan ekspresi
hasrat manusia akan keindahan. Ada dua macam seni yang
penting di sini yaitu: (1) seni rupa, atau kesenian yang dinikmati
oleh manusia dengan mata, dan (2) seni suara, atau kesenian
yang dinikmati oleh manusia dengan telinga. Seni rupa ada
berupa seni patung, seni relief (termasuk seni ukir), seni lukis
serta gambar, dan seni rias, sedangkan seni musik ada yang
42
vokal (menyanyi) dan ada yang istrumen (dengan alat bunyi-
bunyian) (Koentjaraningrat, 2009: 298).
Yang dimaksud dengan karya seni dalam hubungan
dengan kajian antropologi sastra adalah karya-karya seni yang
terkandung dalam karya sastra, karya seni sebagai muatan
(Ratna, 2011: 422). Unsur karya seni banyak menghiasi karya
sastra yang ikut membangun alur cerita di dalam karya sastra.
Misalnya, karya sastra yang mengisahkan tentang seorang
seniman lukis. Maka, unsur budaya, dalam hal ini seni, banyak
menghiasi karya tersebut.
f) Sistem mata pencaharian hidup
Untuk mempertahankan hidup, manusia harus dapat
memenuhi kebutuhan-kebutuhan biologis dan sosial, seperti
makan, minum, dan bekerja sama. Oleh sebab itu, manusia harus
bisa bekerja atau memiliki mata pencaharian. Sistem mata
pencaharian dapat diperinci ke dalam beberapa jenis seperti:
perburuan, peladangan, pertanian, peternakan, perdagangan,
perkebunan, industri, kerajinan, industri manufaktur, dll. Tiap
jenis mata pencaharian tadi, terkait dengan sistem sosialnya,
sisem sosial yang berlaku dan diberlakukan di dalam
berinetraksi dan bekerjasama dalam kaitannya dengan mata
pencaharian disebut sebagai adat. Adat dalam sistem sosial
tercermin dari keteraturan dalam berbagai aktifitas sosialnya.
43
Sedangkan adat yang dimanifestasikan dalam wujud fisik yang
berupa berbagai peralatan yang tentunya merupakan benda-
benda kebudayaan (Koentjaraningrat, 2009: 275-285).
Dalam seluruh kehidupan manusia, mata pencaharian
merupakan masalah pokok karena keberlangsungan kehidupan
terjadi semata-mata dengan dipenuhinya berbagai bentuk
kebutuhan jasmani (Ratna, 2011: 400). Dalam karya sastra baik
langsung maupun tidak langsung, mata pencaharian dengan
sendirinya dikemukakan secara estetis. Berbagai bentuk
peribahasa digali melalui kekayaan alam sebagai bukti bahwa
antara manusia dengan alam sekitar memiliki hubungan tak
terpisahkan. Contoh: seperti ilmu padi, semakin berisi, semakin
merunduk. Selain itu, di dalam prosa fiksi seringkali alur cerita
dipengaruhi oleh pekerjaan tokoh dalam cerita.
g) Sistem Peralatan Hidup dan Teknologi
Dalam teknologi tradisional dikenal paling sedikit 8
(delapan) macam sistem peralatan dan unsur kebudayaan fisik.
Kedelapan sistem peralatan dan unsur kebudayaan fisik dipakai
oleh manusia hidup dalam masyarakat pedesaan yang hidup
dalam masyarakat kecil yang berpindah-pindah atau masyarakat
pedesaan yang hidup dari pertanian, berupa: (1) alat-alat
produktif, (2) senjata, (3) wadah, (4) alat-alat menyalakan api,
(5) makanan, minuman, bahan pembangkit gairah, dan jamu-
44
jamu, (6) pakaian dan perhiasan, (7) tempat berlindung dan
perumahan, (8) alat-alat transportasi (Koentjaraningrat, 2009:
263-275). Dalam perkembangan peradaban, teknologi
tradisional tersebut berkembang menjadi teknologi modern.
Namun, Baik teknologi tradisional maupun teknologi modern
sama-sama merupakan budaya yang dimiliki oleh manusia.
Dalam karya sastra masalah-masalah peralatan hidup
tidak dilukiskan secara kronologis, melainkan secara fragmen-
taris sesuai dengan struktur penceritaan. Ceritalah yang menjadi
masalah utama, di dalamnya berbagai bentuk peralatan menjadi
pelengkap (Ratna, 2011: 397). Peralatan itu pun tidak banyak
dijelaskan, melainkan semata-mata disinggung sebagai data
untuk menunjuk terjadinya suatu peristiwa (Ratna, 2011: 400).
Karya sastra yang baik, menunjukkan dengan jelas
penggunaan peralatan sehingga sesuai dengan situasi dan
kondisi, latar secara keseluruhan, sekaligus menghindarkan
terjadinya anakronisme (Ratna, 2011: 399).
3. Kearifan Lokal
Kearifan lokal adalah nilai-nilai luhur yang masih berlaku dalam
tata kehidupan bermasyarakat (Sjarif, 2010: 338). Sejalan dengan
pernyataan Sjarif, Kearifan lokal menurut Utomo (2014: 10) adalah
nilai-nilai luhur dari budaya bangsa yang ada di tengah-tengah
masyarakat di setiap daerah. Nilai kearifan itu dapat bersumber pada
45
petuah leluhur, ajaran budaya, cerita rakyat, sejarah maupun adat
istiadat. Jadi dapat disimpulkan bahwa kearifan lokal merupakan nilai-
nilai luhur dari budaya yang berlaku dalam tata kehidupan
bermasyarakat yang bersumber pada petuah leluhur, ajaran budaya,
cerita rakyat, sejarah maupun adat istiadat yang berfungsi untuk
melindungi dan mengelola lingkungan hidup (fisik dan non fisik) secara
lestari.
Lokal tidak harus diartikan sebagai sesuatu yang sederhana,
sempit, rendah, dan nilai-nilai peyoratif lainnya. Sebaliknya, berbagai
kebijaksanaan lokal, pengetahuan tradisional, dan berbagai bentuk
kebudayaan setempat yang lain, sebagai sesuatu yang pernah diping-
girkan, dimarginalisasikan, diangkat kembali ke permukaan, dijadikan
sebagai isu utama, bahkan ditempatkan pada posisi pusat. Dalam
banyak hal, kebijaksanaan lokal mampu mengantisipasi berbagai
permasalahan, terrmasuk yang terjadi di dunia kontemporer. Misalnya
dalam bidang pengobatan. Seiring perkembangan zaman penyakit
banyak sekali bermunculan. Menghadapi permasalahan yang demikian,
bidang kesehatan terus mencari formula pengobatan yang pas untuk
mengatasinya. Namun, di sisi lain pengobatan tradisional warisan nenek
moyang juga mulai digali kembali untuk mengatasi permasalahan
tersebut.
Kearifan lokal (local wisdom) menurut pemahaman lain sering
dikacaukan dengan kebudayaan lokal (local culture). Di samping itu
46
istilah lain yang sering muncul adalah pengetahuan lokal (lokal
knowledge). Secara definitif, baik kearifan lokal maupun pengetahuan
lokal jelas merupakan bagian kebudayaan lokal. Kearifan lokal dan
pengetahuan lokal hanyalah sebagian kecil, intisari kebiasaan-kebiasaan
kelompok masyarakat tertentu (Ratna, 2011: 91).
Kearifan lokal memiliki ciri-ciri universal dalam arti bahwa
gejala tersebut hadir di berbagai komunitas, meskipun dikemukakan
dengan bahasa dan cara yang berbeda-beda. Misalnya dalam upacara
adat pernikahan di Indonesia. Salah satu prosesi pernikahan yang ada di
Indonesia, pada hampir seluruh sukunya, terdapat prosesi lamaran dan
seserahan. Namun, antara adat yang satu dengan yang lain memiliki
nama dan prosesi berbeda-beda, sesuai dengan kultur budaya yang ada
di dalamnya.
Sebagai warisan budaya, kearifan lokal perlu dipelihara dan
dilestarikan. Dalam kebudayaan lokal, selain sistem norma juga
terkandung pengetahuan lokal, pengetahuan tradisional, yaitu berbagai
konsep, bahkan teori yang sudah digunakan oleh nenek moyang dalam
rangka menopang keberlangsungan kehidupannya.
Pada masa nenek moyang dahulu tidak dikenal adanya pupuk
kimia untuk menambah kuantitas produk padi. Mereka menggunakan
pupuk alami untuk dijadikan penyubur tanaman, sedangkan masa
sekarang petani menggunakan berbagai macam pupuk kimia untuk
meningkatkan kuantitas produk padi. Namun, sekarang mulai
47
digalakkan lagi padi organik untuk mengembalikan hidup sehat. Dalam
hal ini lah kearifan lokal berperan dalam menopang keberlangsungan
hidup (Astiyanto, 2013: 253-254).
Ratna (2011: 94) mengemukakan tiga fungsi utama kearifan
lokal sebagai pendukung kearifan nasional adalah sebagai berikut.
a. Kearifan lokal merupakan semen pengikat berbagai bentuk
kebudayaan yang sudah ada sehingga disadari keberadaannya. Oleh
sebab itu, kearifan lokal diharapkan dapat dipelihara dan
dikembangkan secara optimal.
b. Kearifan lokal berfungsi untuk mengantisipasi, menyaring, bahkan
mentransformasikan berbagai bentuk pengaruh budaya luar sehingga
sesuai dengan ciri-ciri masyarakat lokal. Makin kuat daya tahan
kearifan lokalnya, maka masyarakat yang bersangkutan makin stabil.
c. Kearifan lokal dengan demikian berfungsi untuk memberikan
sumbangan terhadap kebudayaan yang lebih luas, baik nasional
maupun internasional.
4. Skenario Pembelajaran Sastra di SMA
Skenario adalah rencana berupa adegan-adegan yang
disusun secara terstruktur dan bertahap untuk mencapai sesuatu
(Depdiknas, 2008: 1324). Adapun pembelajaran sastra merupakan
pembelajaran yang mencakup seluruh aspek sastra, yang meliputi teori
sastra, sejarah sastra, kritik sastra, sastra bandingan, dan apresiasi sastra
(Ismawati 2013: 1). Jadi, dapat disimpulkan bahwa skenario
48
pembelajaran sastra merupakan rencana berupa adegan atau langkah
yang disusun oleh pendidik secara terstruktur dan bertahap untuk
merencanakan proses interaksi antara pendidik dan peserta didik demi
tercapai tujuan pembelajaran sastra.
a. Pembelajaran Sastra
Di dalam kurikulum pendidikan, pembelajaran sastra tidak
berdiri sendiri seperti mata pelajaran lain, melainkan terintegrasi
dalam peembelajaran bahasa. Hal ini bukan berarti membuat pem-
belajaran sastra tidak penting karena sesungguhnya pembelajaran
sastra sangat penting untuk membentuk karakter seseorang melalui
media hiburan (teks sastra) sebagaimana pendapat Endraswara
(2013: 2) yang menyatakan bahwa sastra merupakan alat untuk
mengajarkan perilaku budaya sehingga sikap dan perilaku pembaca
sastra sering dipengaruhi oleh karya sastra yang dibacanya.
Pembelajaran sastra terintegrasi di dalam pembelajaran bahasa
karena media untuk bersastra adalah bahasa sehingga terdapat
kedekatan khusus di antara keduanya.
Pembelajaran sastra merupakan pembelajaran yang
mencakup seluruh aspek sastra, yang meliputi teori sastra, sejarah
sastra, kritik sastra, sastra bandingan, dan apresiasi sastra (Ismawati
2013: 1). Dari pendapat Ismawati tersebut dapat diketahui bahwa
pembelajaran sastra tidak hanya terkait teori sastra tetapi juga
bagaimana menumbuhkan minat apresiasi peserta didik terhadap
49
karya sastra, baik dalam benttuk teks puisi, drama, novel, cerpen,
maupun teks sastra lainya.
b. Tujuan Pembelajaran Sastra
Tujuan pembelajaran sastra ditekankan demi terwujudnya
kompetensi bersastra atau kompetensi mengapresiasi sastra peserta
didik secara memadai. Tujuan pembelajaran sastra diarahkan agar
peserta didik memeroleh sesuatu yang lebih bernilai dibandingkan
bacaan teks lain yang bukan teks sastra. Sesuatu yang bernilai itu
menurut Saryono dapat berupa pengalaman, pengetahuan,
kesadaran, dan hiburan (Nurgiyantoro, 2010: 452). Dari pendapat
Saryono tersebut dapat diketahui bahwa teks sastra diajarkan di
sekolah untuk memberikan pengalaman, pengetahuan, dan
kesadaran sosial yang menghibur sehingga secara tidak langsung
peserta didik mendapatkan pelajaran dari teks sastra yang
dibacanya.
Sementara itu, Ismawati (2013: 30) menyatakan bahwa
secara garis besar tujuan pembelajaran sastra dapat dipilah menjadi
dua bagian, yakni tujuan jangka pendek dan tujuan jangka panjang.
Tujuan jangka pendek adalah agar peserta didik mengenal cipta
sastra dan dapat menjawab pertanyaan-pertanyaan yang terkait
dengannya. Di samping itu, peserta didik dapat memberi tanggapan
atau pertanyaan tentang cipta sastra yang dibacanya; peserta didik
dapat menyelesaikan tugas-tugas pengajaran sastra; mengunjungi
50
kegiatan sastra; menyatakan tertarik dengan kegiatan pengajaran
sastra; dan memilih kegiatan sastra di antara kegiatan lain yang
disediakan. Sementara itu, tujuan pembelajaran sastra jangka
panjang adalah terbentuknya sikap positif terhadap sastra dengan
ciri, peserta didik mempunyai apresiasi yang tinggi terhadap karya
sastra dan dapat membuat indah dalam setiap fase kehidupannya
sebagaimana pepatah mengatakan dengan seni (sastra) hidup
menjadi lebih indah.
Hal ini menunjukkan bahwa karya sastra sangat bermanfaat
bagi kehidupan manusia, khususnya peserta didik. Sastra tidak
sekadar sebagai hiburan atau suatu ilmu yang harus dipelajari,
melainkan bagian hidup dari peserta didik itu sendiri. Oleh sebab
itu, pembelajaran sastra perlu mendapat porsi khusus di dalam
pembelajaran di sekolah. Semua itu dapat diperoleh melalui
pembelajaran sastra dari teks-teks sastra secara langsung.
c. Fungsi Pembelajaran Sastra
Sebuah pembelajaran harus memiliki fungsi tertentu baik
bagi peserta didik sendiri maupun bagi lingkungan peserta didik
berada. Begitu pula dengan pembelajaran sastra. Pembelajaran
sastra harus memiliki fungsi tertentu, terutama bagi peserta didik
sendiri. Menurut Ismawati (2013: 1), pembelajaran sastra memiliki
fungsi sebagai sarana untuk belajar menemukan nilai-nilai yang
terdapat dalam karya sastra yang diajarkan dalam suasana yang
51
kondusif di bawah bimbingan guru. Pembelajaran sastra
memungkinkan tumbuhnya sikap apresiasi terhadap hal-hal yang
indah, yang lembut, yang manusiawi, untuk diinternalisasikan
menjadi bagian dari karakter peserta didik yang akan dibentuk.
Selain itu, Ismawati (2013: 30-31) mengatakan bahwa
pembelajaran sastra juga berfungsi untuk mengenalkan beragam
denyut kehidupan kepada pembacanya antara lain keindahan, cinta
kasih, penderitaan, kegelisahan, harapan, tanggung jawab
pengabdian, pandangan hidup, serta keadilan sehingga dapat
menyadarkan pembaca akan manfaat pembelajaran sastra.
Dari pendapat tersebut dapat diketahui bahwa fungsi
pembelajaran sastra adalah untuk mengenalkan beragam denyut
kehidupan kepada pembacanya, antara lain keindahan, cinta kasih,
penderitaan, kegelisahan, harapan, tanggung jawab pengabdian,
pandangan hidup, serta keadilan yang akhirnya memunginkan akan
terbentuknya keterampilan berbahasa, pengetahuan budaya,
perkembangan daya cipta dan rasa, juga terbentuknya watak bagi
pembacanya.
d. Bahan Pembelajaran Sastra
Untuk meningkatkan pengetahuan dan kemampuan peserta
didik dalam pembelajaran sastra, pendidik hendaknya mampu
memilih bahan ajar yang relevan yang dapat mendidik dan dapat
menambah wawasan peserta didik serta dapat diamalkan dalam
52
kehidupan sehari-hari sehingga tujuan dari pembelajaran itu dapat
tercapai. Sumber belajar peserta didik dapat berupa majalah, buku
teks, novel, dan sumber belajar lain yang relevan. Dalam penelitian
ini mengambil penelitian pembelajaran khusus pada teks novel.
Secara garis besar bahan pembelajaran sastra dapat
dibedakan ke dalam dua golongan, yaitu bahan apresiasi tidak
langsung dan apresiasi langsung (Nurgiyantoro, 2010: 452). Bahan
apresiasi tidak langsung menyaran pada bahan pembelajaran yang
bersifat teoretis dan kesejarahan, tepatnya teori sastra dan sejarah
sastra, atau pengetahuan tentang sastra. Sementara itu, dalam
pembelajaran apresiasi sastra langsung, peserta didik secara kritis
dibimbing untuk membaca dan memahami; mengenali karakter-
istiknya yang khas; menunjukkan keindahan; menunjukkan berba-
gai pengalaman dan pengetahuan yang dapat diperoleh; dan lain-
lain yang semuanya tercakup dalam wadah apresiasi.
Dengan adanya pembelajaran apresiasi langsung, kompe-
tensi bersastra peserta didik akan lebih bermakna dari sekadar
pengetahuan tentang sastra. Pembelajaran ini diharapkan mampu
menjadikan peserta didik memiliki kecakapan dalam menimbang
berbagai pengalaman kehidupan melalui berbagai teks sastra;
sendiri dan langsung; dengan cara-cara yang menyenangkan; selalu
tertantang rasa ingin tahunya; serta tidak terbatas pada lingkup dan
waktu di sekolah. Oleh sebab itu, pembelajaran sastra yang bersifat
53
langsung harus lebih ditekankan. Pembelajaran sastra secara
langsung ini dilaksanakan baik di dalam kelas maupun di luar kelas
karena jika hanya dilaksanakan di dalam kelas waktu yang tersedia
tidak mencukupi. Di samping itu, dengan adanya pembelajaran
sastra di luar kelas, peserta didik dapat menjadikan sastra sebagai
bagian dari hidup, tidak hanya sekadar sebagai tuntutan belajar.
Berdasarkan Kurikulum 2013 Mata Pelajaran Bahasa dan
Sastra Indonesia, pembelajaran sastra, khususnya novel di kelas XII
SMA terdapat dalam kompetensi inti 3, yaitu memahami, menerap-
kan, menganalisis dan mengevaluasi pengetahuan faktual, konsep-
tual, prosedural, dan metakognitif berdasarkan rasa ingin tahunya
tentang ilmu pengetahuan, teknologi, seni, budaya, dan humaniora
dengan wawasan kemanusiaan, kebangsaan, kenegaraan, dan pera-
daban terkait penyebab fenomena dan kejadian, serta menerapkan
pengetahuan prosedural pada bidang kajian yang spesifik sesuai
dengan bakat dan minatnya untuk memecahkan masalah. Untuk
materi analisis novel terdapat dalam kompetensi dasar 3.3, yaitu
Menganalisis teks cerita sejarah, berita, iklan, editorial/opini, dan
novel baik melalui lisan maupun tulisan.
Pembelajaran teks sastra di kelas XII SMA khusus
mempelajari teks prosa fiksi berupa novel. Novel yang digunakan
sebagai bahan ajar hendaknya mempunyai nilai estetika yang dapat
menarik minat peserta didik. Di samping itu, karya sastra yang
54
digunakan sebagai bahan ajar hendaknya mempunyai nilai
kehidupan yang bermanfaat bagi kehidupan peserta didik dalam
lingkungan sosial masyarakat. Pada penelitian ini, karya sastra
yang dipilih sebagai materi pembelajaran sastra kelas XII adalah
novel Dasamuka karya Junaedi Setiyono dengan kajiannya berupa
kajian atropologi sastra untuk mencari unsur budaya dan kearifan
lokal yang terdapat di dalamnya. Hal ini sesuai dengan landasan
filosofis kurikulum 2013 yang menekankan pada internalisasi
budaya Indonesia kepada peserta didik melalui proses
pembelajaran di sekolah.
e. Metode Pembelajaran Prosa Fiksi
Dalam pembelajaran, pendidik membutuhkan cara untuk
mendesain sebuah pembelajaran agar menarik minat peserta didik
dan tujuan pembelajaran tercapai dengan maksimal. Cara tersebut
disebut metode. Setiap pembelajaran membutuhkan metode untuk
mengajarkan kompetensi kepada peserta didik, tidak terkecuali
dalam pembelajaran prosa fiksi.
Metode pembelajaran adalah cara yang digunakan untuk
melaksanakan rencana yang berisi tentang rangkaian kegiatan yang
didesain untuk mencapai tujuan tertentu (Sanjaya, 2006: 124-125).
Untuk melaksanakan suatu strategi, seorang pendidik
menggunakan seperangkat metode pembelajaran tertentu. Dalam
pengertian yang demikian maka, metode pembelajaran menjadi
55
salah satu unsur dalam strategi pembelajaran. Metode digunakan
oleh pendidik untuk mengkreasi lingkungan belajar dan
mengkhususkan aktivitas dimana pendidik dan peserta didik
terlibat selama proses pembelajaran berlangsung. Jadi, dapat
diketahui bahwa metode merupakan cara yang digunakan oleh
pendidik untuk mengkreasi lingkungan belajar demi tercapai tujuan
pembelajaran yang diinginkan.
Kurikulum 2013 merupakan sebuah kurikulum yang telah
dirancang untuk mengaktifkan peran peserta didik di dalam pembe-
lajaran sehingga pendidik hendaknya mampu memilih dan
menerapkan metode yang tepat untuk diterapkan dalam
pembelajaran novel di SMA. Berikut ini merupakan metode-
metode pembelajaran yang cocok untuk mengaktifkan peserta didik
di dalam pembelajaran di SMA.
1) Pembelajaran Berbasis Inkuiri
Pembelajaran berbasis inkuiri merupakan pembelajaran
yang melibatkan peserta didik dalam merumuskan pertanyaan
yang mengarahkan untuk melakukan investigasi dalam upaya
membangun pengetahuan dan makna baru. Pembelajaran ber-
basis inkuiri ini melibatkan peserta didik secara aktif dalam
pembelajaran karena pembelajaran beerpusat pada aktivitas
peserta didik. Dengan demikian, peserta didik memiliki kebe-
basan lebih luas dalam mengeksplorasi kemampuan diri.
56
Sanjaya (2006:194) menyatakan bahwa pembelajaran
inkuiri adalah rangkaian kegiatan pembelajaran yang menekan-
kan pada proses berpikir secara kritis dan analitis untuk mencari
dan menemukan sendiri jawaban dari suatu masalah yang
dipertanyakan. Proses berpikir itu sendiri biasanya dilakukan
melalui tanya jawab antara guru dan siswa. Selanjunya, Sanjaya
(2006:197-199) mengungkapkan bahwa pembelajaran inkuiri
dilaksanakan berdasarkan prinsip-prinsip berikut ini.
a) Berorientasi pada pengembangan intelektual
Kriteria keberhasilan dari proses pembelajaran
dengan menggunakan strategi inkuiri bukan ditentukan
sejauh mana peserta didik dapat menguasai materi pelaja-
ran, akan tetapi sejauh mana peserta didik beraktivitas
mencari dan menemukan sesuatu. Jadi, penilaian nantinya
tidak dilihat hanya dari hasil belajar, tetapi juga dari proses
perserta didik berinkuiri dalam pembelajaran.
b) Prinsip interaksi
Proses pembelajaran pada dasarnya adalah proses
interaksi, baik interaksi antara peserta didik maupun inter-
aksi peserta didik dengan guru, bahkan interaksi antara
peserta didik dengan lingkungan.
57
c) Prinsip bertanya
Guru berrperan aktif bertanya untuk memancing
pengetahuan peserta didik dan menumbuhkan motivasi
peserta didik untuk mencari tahu lebih dalam terkait kom-
petensi yang sedang dipelajari.
d) Prinsip belajar untuk berpikir
Belajar bukan hanya mengingat sejumlah fakta, akan
tetapi belajar adalah proses berpikir, yakni proses mengem-
bangkan seluruh potensi otak secara maksimal.
e) Prinsip keterbukaan
Belajar adalah suatu proses mencoba berbagai
kemungkinan. Oleh sebab itu, peserta didik perlu diberikan
kebebasan untuk mencoba sesuai dengan perkembangan
kemampuan logika dan nalarnya. Dengan demikian akan
tercipta generasi muda yang kreatif, inovatif, berwawasan
luas, memiliki kepercayaan diri yang tinggi dan tidak
bergantung dengan orang lain.
Pengajaran inkuiri dibentuk atas dasar diskoveri. Oleh
sebab itu, seorang peserta didik harus menggunakan kemam-
puannya berdiskoveri dan kemampuan lainnya dalam proses
pembelajaran. Dalam inkuiri, seseorang bertindak sebagai
seorang ilmuwan (scientist), melakukan eksperimen, dan
mampu melakukan proses mental berinkuiri (Hamalik, 2014:
58
2019-220). Proses berinkuiri peserta didik di dalam pem-
belajaran adalah sebagai berikut:
a) mengajukan pertanyaan-pertanyaan tentang gejala alami;
b) merumuskan masalah-masalah;
c) merumuskan hipotesis-hipotesis;
d) merancang pendekatan investigatif yang meliputi
eksperimen;
e) melaksanakan eksperimen;
f) mensintesiskan pengetahuan;
g) memiliki sikap ilmiah, antara lain objektif, ingin tahu,
keterbukaan, menginginkan dan menghormati model-model
teoretis, serta bertanggung jawab.
Inkuiri berorientasi diskoveri menunjuk pada situs-situs
akademik di mana kelompok-kelompok kecil peserta didik
(umumnya antara 4-5 anggota) berupaya menemukan jawaban-
jawaban atas topik-topik inkuiri. Dalam situasi-situasi tersebut,
peserta didik dapat menemukan konsep atau rincian informasi.
Model ini dapat dilaksanakan kepada seluruh kelas sebagai
bagian dari kegiatan-kegiatan inkuiri, yang disebut social
inquiry (Hamalik, 2014: 220).
59
Asumsi-asumsi yang mendasari model inkuiri ini ialah:
a) keterampilan berpikir kritis dan berpikir edukatif yang
diperlukan berkaitan dengan pengumpulan data yang
bertalian dengan kelompok hipotesis;
b) keuntungan bagi siswa dari pengalaman kelompok di mana
mereka berkomunikasi, berbagi tanggung jawab, dan
bersama-sama mencari pengetahuan;
c) kegiatan-kegiatan belajar disajikan dengan semangat
berbagai inkuiri dan diskoveri menambah motivasi dan
memajukan partisipasi.
Penggunaan strategi inkuiri menurut Hamalik (2014:
221) dilakukan melalui langkah-langkah sebagai berikut:
a) mengidentifikasi dan merumuskan situasi yang menjadi
fokus inkuiri secara jelas;
b) mengajukan suatu pertanyaan tentang fakta;
c) memformulasikan hipotesis atau beberapa hipotesis untuk
menjawab pertanyaan yang sudah ditentukan pada langkah
sebelumnya;
d) mengumpulkan informasi yang relevan dengan hipotesis
dan menguji setiap hipotesis dengan data yang terkumpul;
e) merumuskan jawaban atas pertanyaan sesungguhnya dan
menyatakan jawaban sebagai preposisi tentang fakta.
60
Sementara itu, langkah-langkah pembelajaran inkuiri
menurut Sanjaya (2006: 199) adalah sebagai berikut:
a) orientasi;
b) merumuskan masalah;
c) mengajukan hipotesis;
d) mengumpulkan data;
e) menguji hipotesis;
f) merumuskan kesimpulan.
Adapun, Tahapan model belajar secara inkuiri yang
diperkenalkan oleh Alberta Learning adalah sebagai berikut:
a) perencanaan; yang mencakup pembuatan perencanaan
untuk melakukan inkuiri. Guru dan peserta didik perlu
menentukan topik inkuiri dan memilih sumber belajar atau
sumber informasi yang diperlukan.
b) mencari informasi; yang mencakup pengumpulan dan
pemilihan informasi, serta mengevaluasi informasi.
Kegiatan memperoleh informasi yang mencakup pelaksana-
an aktivitas inkuiri untuk memperoleh informasi yang
dibutuhkan.
c) mengolah; yang mencakup analisis informasi dengan
mencari hubungan dan melakukan penarikan kesimpulan.
d) mengkreasi; yang mencakup kegiatan mengelola informasi,
mengkreasi produk, dan memperbaiki produk.
61
e) berbagi; yang mencakup komunikasi atau paparan hasil
pada audien yang terkait.
f) mengevaluasi; yang mencakup aktivitas evaluasi produk
dan proses inkuiri yang telah dilakukan. Kemampuan yang
diharapkan adalah transfer kemampuan dalam menangani
masalah lain (Sani, 2014: 93).
Proses inkuiri menuntut guru bertindak sebagai fasili-
tator, narasumber, dan penyuluh kelompok. Peserta didik dido-
rong untuk mencari pengetahuan sendiri, bukan dijejali dengan
pengetahuan. Strategi instruksional dapat berhasil apabila guru
memperhatikan hal-hal berikut ini.
a) Mendefinisikan secara jelas topik inkuiri yang dianggap
bermanfaat bagi peserta didik.
b) Membentuk kelompok-kelompok dengan memperhatikan
keseimbangan aspek akademik dan aspek sosial.
c) Menjelaskan tugas dan menyediakan umpan balik kepada
kelompok dengan cara yang responsif dan tepat waktu.
d) Intervensi untuk meyakinkan terjadinya interaksi antara
pribadi secara sehat dan terdapat dalam kemajuan
pelaksanaan tugas.
e) Melakukan evaluasi dengan berbagai cara untuk menilai
kemajuan kelompok dan hasil yang dicapai oleh kelompok
dan masing-masing peserta didik (Hamalik, 2014: 221).
62
Pelaksanaan strategi inkuiri kelompok di dalam suatu
kelas dilaksanakan oleh kelompok-kelompok yang terdiri dari
enam kelompok, masing-masing terdiri dari lima orang siswa,
dan setiap anggota melakukan peran tertentu, yakni sebagai
berikut:
a) pemimpin kelompok; bertanggung jawab memulai diskusi,
menyiapkan kelompok untuk mengerjakan tugas dan me-
lengkapi tugas-tugas, bertemu dengan guru untuk mendis-
kusikan kemajuan serta kebutuhan kelompoknya, mendes-
kripsikan informasi dari guru kepada kelompok, dan
menyampaikan informasi kepada kelas atau kepada ke-
lompok lainnya.
b) pencatat; membuat dan memelihara catatan, karya tulis, dan
materi tulisan kelompok, baik yang dibuat pada waktu
berdiskusi maupun membagikannya kepada anggota
kelompok, serta membuat daftar centang dan daftar hadir
para anggota kelompok.
c) pemantau diskusi; berupaya memastikan bahwa diskusi
berlangsung lancar dan semua pendapat disampaikan dan
dibahas dalam diskusi. Pemantauan diperlukan agar diskusi
berlangsung secara terbuka dan mendapat dukungan.
d) pendorong; memelihara mental berdiskusi para anggota
dengan teknik menggunakan daftar centang partisipasi
63
terhadap semua anggota kelompok. Mendorong tiap ang-
gota agar memberikan kontribusi dan mencoba meng-
gambarkan penjelasan yang lebih rinci dari para anggota
kelompok.
e) pembuat rangkuman; selama berlangsung diskusi dan pada
waktu menarik kesimpulan pada setiap pertemuan inkuiri,
perangkum merangkum butir-butir pokok yang muncul dan
merangkum tugas-tugas spesifik baik yang lengkap maupun
yang belum lengkap, mengundang pertanyaan-pertanyaan
dari kelompok untuk mengklarifikasikan kedudukan kema-
juan dan tujuan-tujuan kelompok.
f) pengacara; bertugas melakukan dan memberikan pendapat
bandingan terhadap argumen yang disampaikan dalam
diskusi terhadap pendapat yang diajukan oleh kelompok
lainnnya (Hamalik, 2014: 221-222).
Kendatipun setiap anggota kelompok telah memiliki
peran masing-masing di dalam kerja kelompok, mereka tidak
hanya menjalankan perannya semata, tetapi secara bersama-
sama mencari jawaban atas rumusan masalah yang telah
dirumuskan dengan jalan berinkuiri.
Sebuah metode pembelajaran pasti memiliki kelebihan
dan kekurangan. Di dalam bukunya yang berjudul Strategi
Pembelajaran, Sanjaya (2006: 206-207) memaparkan kelebihan
64
dan kekurangan dari metode pembelajaran inkuiri, sebagai
berikut.
a) Kelebihan pembelajaran inkuiri
Pembelajaran berbasis inkuiri memiliki kelebihan
sebagai berikut:
(1) pembelajaran inkuiri merupakan model pembelajaran
yang menekankan pada pengembangan aspek kognitif,
afektif, dan psikomotor secara seimbang sehingga pem-
belajaran melalui metode ini dianggap lebih bermakna;
(2) pembelajaran inkuiri memberi ruang kepada peserta
didik untuk belajar sesuai dengan gaya belajar mereka;
(3) pembelajaran inkuiri merupakan strategi yang dianggap
sesuai dengan perkembangan psikologi belajar modern
yang menganggap belajar adalah proses peerubahan
tingkah laku berkat adanya pengalaman;
(4) pembelajaran inkuiri dapat melayani kebutuhan peserta
didik yang memiliki kemampuan di atas rata-rata.
b) Kelemahan pembelajaran inkuiri
Pembelajaran berbasis inkuiri memiliki kelemahan
sebagai berikut:
(1) Jika digunakan sebagai metode pembelajaran, maka akan
sulit mengontrol kegiatan dan keberhasilan peserta didik.
65
(2) Metode ini sulit dalam merencanakan pembelajaran
karena terbentur dengan kebiasaan peserta didik dalam
belajar.
(3) Kadang-kadang dalam mengimplementasikannya, me-
merlukan waktu yang panjang sehingga guru sering
kesulitan dalam menyesuaikan dengan waktu yang telah
ditentukan.
(4) Selama kriteria keberhasilan belajar ditentukan oleh
kemampuan peserta didik menguasai materi pelajaran,
maka metode inkuiri akan sulit di implementasikan oleh
setiap guru.
2) Pengajaran Berbasis Masalah
Pembelajaran berbasis masalah ini didadasarkan pada
sifat manusia yang belajar dari lingkungan sekitar yang penuh
dengan permasalahan. Pembelajaran ini menuntut peserta didik
untuk aktif melakukan penyelidikan dalam menyelesaikan per-
masalahan, sedangkan pendidik berperan sebagai faasilitator
atau pembimbing. Pembelajaran berbasis masalah dapat mem-
bentuk kemampuan berpikir tingkat tinggi dan meningkatkan
kemampuan pesrta didik untuk perpikir kritis.
Sanjaya (2006: 212) menyatakan bahwa pembelajaran
berbasis masalah merupakan sebuah rangkaian aktivitas pem-
belajaran yang menekankan kepada proses penyelesaian ma-
66
salah yang dihadapi secara ilmiah. Terdapat tiga ciri utama dari
pembelajaran berbasis masalah. Pertama, pembelajaran berbasis
masalah merupakan rangkaian aktivitas pembelajaran, artinya
dalam implementasinya ada sejumlah kegiatan yang harus
dilakukan peserta didik. Peserta didik tidak hanya sekadar
mendengar, mencatat, kemudian menghafal materi pelajaran,
akan tetapi melalui pembelajaran ini peserta didik aktif berpikir,
berkomunikasi, mencari dan mengolah data, dan akhirnya
menyimpulkan. Kedua, aktivitas pembelajaran diarahkan untuk
menyelesaikan masalah. Ketiga, pemecahan masalah dilakukan
dengan menggunakan pendekatan berpikir secara ilmiah.
Pembelajaran berbasis masalah didasarkan atas teori
psikologi kognitif yang berlandaskan pada teori konstruktivisme
yang memungkinkan peserta didik belajar mengonstruksi penge-
tahuannya melalui interaksi dengan lingkungannya. Kemudian,
Sani (2014: 127) menyatakan bahwa pembelajaran berbasis
masalah merupakan pembelajaran yang penyampaiannya dila-
kukan dengan cara menyajikan suatu permasalahan, mengajukan
pertanyaan-pertanyaan, memfasilitasi penyelidikan, dan mem-
buka dialog.
67
Karakteristik permasalahan yang dapat diselesaikan de-
ngan pembelajaran berbasis masalah menurut Oo Seng Tan
adalah sebagai berikut:
a) permasalahan dunia nyata yang tidak terstruktur atau kurang
terstruktur;
b) permasalahan yang mencakup beberapa sudut pandang
(beberapa mata pelajaran atau topik);
c) permasalahan yang menantang peserta didik untuk men-
guasai pengetahuan baru (Sani, 2014: 137).
Tahapan pembelajaran berbasis masalah yang dikem-
bangkan oleh Moust, dkk adalah sebagai berikut:
a) mengklarifikasi konsep yang belum jelas;
b) mendefinisikan permasalahan;
c) menganalisis permasalahan;
d) diskusi;
e) merumuskan tujuan belajar;
f) belajar mandiri;
g) evaluasi (Sani, 2014: 148).
Sementara itu, kegiatan dalam pembelajaran berbasis
masalah menurut Sani (2014: 145) adalah sebagai berikut:
a) merumuskan tujuan pembelajaran;
b) memperoleh informasi baru melalui pembelajaran mandiri;
68
c) menerapkan strategi/metode baru dalam menganalisis
permasalahan;
d) mengajukan solusi permasalahan;
e) mengkaji dan mengevaluasi solusi yang diterapkan.
David Johnson dan Johnson mengemukakan ada lima
langkah pembelajaran berbasis masalah melalui kegiatan
kelompok. Berikut ini merupakan lima langkah pembelajaran
berbasis masalah yang dikemukakan oleh David Johnson dan
Johnson.
a) Mendefinisikan masalah, yaitu merumuskan masalah dari
peristiwa tertentu yang mengandung isu konflik, hingga
peserta didik menjadi jelas, masalah apa yang akan dikaji.
Dalam kegiatan ini guru bisa meminta pendapat dan pen-
jelasan peserta didik tentang isu-isu hangat yang menarik
untuk dipecahkan.
b) Mendiagnosis masalah, yaitu menentukan sebab-sebab ter-
jadinya masalah, serta menganalisis berbagai faktor, baik
faktor yang bisa menghambat maupun faktor yang dapat
mendukung dalam menyelesaikan masalah.
c) Merumuskan alternatif strategi, yaitu menguji setiap
tindakan yang telah dirumuskan melalui diskusi kelas. Pada
tahapan ini setiap siswa didorong unntuk berpikir me-
69
ngemukakan penndapat dan argumentasi tentang kemung-
kinan setiap tindakan yang dapat dilakukan.
d) menentukan dan menerapkan strategi pilihan, yaitu pengam-
bilan keputusan tentang strategi mana yang dapat dilakukan.
e) Melakukan evaluasi, baik evaluasi proses maupun evaluasi
hasil. Evalusi proses adalah evaluasi terhadap seluruh
pelaksanaan kegiatan, sedangkan evaluasi hasil adalah
evaluasi terhadap akibat dari penerapan strategi yang
diterapkan (Sanjaya, 2006: 215-216).
Sebuah metode pembelajaran pasti memiliki kelebihan
dan kekurangan. Di dalam bukunya yang berjudul Strategi
Pembelajaran, Sanjaya (2006: 218-219) memaparkan kelebihan
dan kekurangan dari metode pembelajaran inkuiri, sebagai
berikut.
a) Kelebihan pembelajaran berbasis masalah.
Pembelajaran berbasis masalah memiliki kelebihan
sebagai berikut:
(1) Pemecahan masalah merupakan teknik yang cukup
bagus untuk lebih memahami isi pelajaran.
(2) Pemecahan masalah dapat menantang kemampuan
peserta didik serta memberikan kepuasan untuk mene-
mukan pengetahuan baru bagi peserta didik.
70
(3) Pemecahan masalah dapat meningkatkan aktivitas
pembelajaran peserta didik.
(4) Pemecahan masalah dapat membantu peserta didik
bagaimana mentransfer pengetahuan mereka untuk
memahami masalah dalam kehidupan nyata.
(5) Pemecahan masalah dapat membantu peserta didik
untuk mengembangkan pengetahuan barunya dan
bertanggung jawab dalam pembelajaran yang mereka
lakukan.
(6) Melalui pemecahan masalah bisa memperlihatkan
kepada peserta didik bahwa setiap mata pelajaran, pada
dasanya merupakan cara berfikir, dan sesuatu yang
harus dimengerti oleh peserta didik.
(7) Pemecahan masalah dianggap lebih menyenangkan dan
disukai peserta didik.
(8) Pemecahan masalah dapat mengembangkan kemam-
puan peserta didik untuk berpikir kritis dan mengem-
bangkan kemampuan mereka untuk menyesuaikan
dengan pengetahuan baru.
(9) Pemecahan masalah dapat memberikan kesempatan
pada peserta didik untuk mengaplikasikan pengetahuan
yang mereka miliki dalam dunia nyata.
71
(10) Pemecahan masalah dapat mengembangkan minat
peserta didik untuk secara terus menerus belajar
sekalipun belajar pada pendidikan formal telah berakhir
b) Kelemahan pembelajaran berbasis masalah.
Pembelajaran berbasis masalah memiliki kele-
mahan sebagai berikut:
(1) Manakala peserta didik tidak memiliki minat atau tidak
mempunyai kepercayaan bahwa masalah yang dipel-
ajari sulit untuk dipecahkan, maka mereka akan merasa
enggan untuk mencoba.
(2) Keberhasilan strategi pembelajaran memalui problem
solving membutuhkan cukup waktu untuk persiapan.
(3) Tanpa pemahaman mengapa mereka berusaha untuk
memecahkan masalah yang sedang dipelajari, maka
mereka tidak akan belajar apa yang mereka ingin
pelajari.
Dari teori metode-metode pembelajaran yang telah dipa-
parkan sebelumnya, pendidik memilih metode pembelajaran
inkuiri sebagai metode pembelajaran yang diterapkan di dalam
pembelajaran analisis teks novel. Pembelajaran berbasis inkuiri
ini dipilih karena pembelajaran ini sangat cocok untuk meng-
aktifkan peserta didik dalam pembelajaran serta menumbuhkan
semangat mencari ilmu, rasa tanggung jawab, dan percaya diri
72
bagi peserta didik baik dalam proses pembelajaran maupun di
luar proses pembelajaran. Di samping itu, model pembelajaran
inkuiri ini juga sangat sesuai dengan tahapan pembelajaran
dalam analisis teks novel. Dengan menggunakan metode inkuiri
ini, pendidik berupaya membuat design dan skenario sebaik-
baiknya dengan mempertimbangkan kondisi peserta didik untuk
memaksimalkan pembelajaran di dalam kelas. Melalui
pembelajaran inkuiri ini diuapayakan siswa dapat
memaksimalkan potensinya di dalam bembelajaran. Dalam hal
ini, pembelajaran analisis novel Dasamuka karya Junaedi
Setiyono.
f. Langkah-langkah Pembelajaran Prosa Fiksi
Pembelajaran kurikulum 2013 memiliki ciri adanya
penggunaan pendekatan saintifik. Di dalam pendekatan saintifik
terdapat langkah atau tahapan di dalam proses pembelajaran.
Sebelumnya juga sudah dipaparkan bahwa salah satu model
pembelajaran dengan pendekatan saintifik adalah model pem-
belajaran inkuiri. Berikut ini tahapan atau langkah pembelajaran
prosa fiksi dengan pendekatan saintifik menurut Sani (2014: 281-
283) yang meliputi kegiatan pendahuluan, kegiatan inti pem-
belajaran, dan kegiatan peutup.
73
1) Kegiatan pendahuluan
Aktivitas yang dilakukan dalam kegiatan pendahu-
luan adalah sebagai berikut:
a) orientasi;
Orientasi dimaksudkan untuk memusatkan perhatian
peserta didik pada materi yang akan dipelajari, misal-
nya dengan cara menunjukkan sebuah fenomena yang
menarik, melakukan demonstrasi, memberikan ilustrasi,
menampilkan animasi atau tayangan video, dan seba-
gainya. Guru juga perlu menyampaikan tujuan pem-
belajaran sebagai upaya memberikan orientasi pada
peserta didik tentang apa yang ingin dicapai dengan
mengikuti kegiatan pembelajaran.
b) apersepsi;
Apersepsi perlu dilakukan untuk memberikan persepsi
awal kepada peserta didik tentang materi yang akan
dipelajari. Salah satu bentuk apersepsi adalah mena-
nyakan konsep yang telah dipelajari oleh peserta didik,
yang terkait dengan konsep yang akan dipelajari.
c) motivasi;
Motivasi perlu dilakukan pada kegiatan pendahuluan,
misalnya dengan memberikan gambaran tentang man-
faat materi yang akan dipelajari.
74
d) pemberian acuan.
Guru perlu memberikan acuan terkait dengan kajian
yang akan dipelajari. Acuan dapat berupa penjelasan
materi pokok dan ringkasan materi pelajaran, pemba-
gian kelompok belajar, mekanisme kegiatan belajar,
tugas-tugas yang akan dikerjakan, dan penilaian yang
akan dilakukan.
Pada kegiatan pendahuluan ini pendidik menyam-
paikan tujuan pembelajara prosa fiksi yang akan dilakukan;
membangun motivasi dan minat peserta didik untuk menge-
tahui lebih jauh terkait pembelajara analisis novel; mem-
bangun pengetahuan bersama terkait pembelajaran analisis
teks novel; dan mendorong peserta didik untuk mengem-
bangkan pengetahuannya terkait analisis teks novel.
2) Kegiatan inti pembelajaran
Kegiatan inti merupakan aktivitas untuk mencapai
kompetensi inti dan kompetensi dasar. Kegiatan ini harus
dilakukan secara interaktif, inspiratif, menyenangkan, me-
nantang, memotivasi peserta didik untuk belajar. Kegiatan
inti pembelajaran dapat menggunakan model pembelajarann
atau strategi pembelajaran tertentu yang disesuaikan dengan
karakteristik peserta didik dan karakteristik mata pelajaran.
75
Rancangan strategi pembelajaran yang mencakup
pemilihan beberapa metode pembelajaran dan sumber bel-
ajar perlu mempertimbangkan keterlibatan peserta didik
dalam belajar. Peserta didik perlu dilibatkan dalam proses
mengamati, berlatih menyusun pertanyaan, mengumpulkan
informasi, mengasosiasi atau menalar, dan mengomuni-
kasikan hasil atau mengembangkan jaringan.
Pendekatan saintifik dalam pembelajaran memiliki
komponen proses belajar antara lain: mengamati; menanya;
mengumpulkan informasi; menalar/mengasosiasi; memba-
ngun jaringan (melakukan komunikasi).
a) Melakukan pengamatan atau observasi
Pengamatan atau observasi merupakan sebuah
kegiatan mendayakan panca indra untuk memperoleh
informasi. Pengamatan dapat dilakukan secara kualitatif
atau kuantitatif sehingga data yang didapatkan dapat
berupa data naratif maupun data angka. Pengamatan
kualitatif mengandalkan panca indra dan hasilnya
dideskripsikan secara naratif. Sementara itu, pengama-
tan kuantitatif untuk melihat karakteristik benda pada
umumnya menggunakan alat ukur karena dideskrip-
sikan menggunakan angka (Sani, 2014: 54-55).
76
Tahap mengamati ini merupakan tahapan pertama
dalam pembelajaran yang dilakukan oleh setiap kelompok
peserta didik. Pada tahap ini, peserta didik diarahkan oleh
pendidik untuk membaca teks novel yang telah ditentukan
atau dipilih. Sebelum membaca teks, peserta didik di-
bekali pengetahuan dasar mengenai karakteristik dan
kaidah teks novel.
b) Menanya
Peserta didik perlu dilatih untuk merumuskan
pertanyaan terkait dengan topik yang akan dipelajari.
Aktivitas belajar ini sangat penting untuk meningkat-
kan keingintahuan dalam diri peserta didik dan me-
ngembangkan kemampuan mereka untuk belajar
sepanjang hayat. Pendidik perlu mengajukan perta-
nyaan dalam upaya memotivasi peserta didik untuk
mengajukan pertanyaan (Sani, 2014: 57).
Dari tahap mengamati akan timbul minat peserta
didik untuk mengetahui lebih jauh lagi tentang novel yang
telah dibaca dalam wujud pertanyaan. Pada tahap ini
peserta didik dengan bimbingan guru berupaya mem-
bangun pertanyaan-pertanyaan berupa rumusan untuk
mengkaji isi novel lebih jauh.
77
c) Mengumpulkan Informasi
Pendidik menugaskan kepada peserta didik
untuk mengumpulkan data atau informasi dari berbagai
sumber, misalnya dalam pelajaran bahasa dan kelom-
pok pelajaran ilmu pengetahuan sosial. Guru perlu
mengarahkan peserta didik dalam merencanakan
aktivitas, melaksanakan aktivitas, dan melaporkan
aktivitas yang telah dilakukan (Sani, 2014: 62).
Pada tahap mengumpulkan informasi, peserta
didik mulai mencari jawaban atas pertanyaan-pertanyaan
dari rumusan yang telah dibuat pada tahapan menanya.
Informasi dikumpulkan sebanyak-banyaknya dari novel
yang telah dibaca sebagai bahan analisis atau kajian.
d) Menalar (Mengasosiasi)
Kemampuan mengolah informasi melalui
penalaran dan berpikir rasional merupakan kompetensi
penting yang harus dimiliki oleh peserta didik. Infor-
masi yang diperoleh dari pengamatan yang dilakukan
harus diproses untuk menemukan keterkaitan satu
informasi dengan informasi lainnya, menemukan pola
dari keterkaitan informasi, dan mengambil berbagai
kesimpulan dari pola yang ditentukan. Pengolahan
informasi membutuhkan kemampuan logika (ilmu
78
menalar). Menalar adalah aktivitas mental khusus
dalam menarik kesimpulan berdasarkan pendapat, data,
fakta, atau informasi (Sani, 2014: 66-67).
Pada tahap ini, informasi yang telah dikumpulkan
pada tahap mengumpulkan informasi dianalisis berda-
sarkan teori yang ada. Peserta didik memaksimalkan
seluruh pengetahuannya untuk menggali isi dari teks
novel yang telah dibaca. Pada tahap ini diskusi antar
anggota kelompok sangat diperkukan untuk mendapatkan
analisis terbaik.
e) Membangun Jaringan dan Melakukan Komunikasi
Pada dasarnya, setiap orang memiliki jaringan,
walaupun tidak disadari oleh yang bersangkutan.
Jaringan sangat dibutuhkan dalam belajar dari aneka
sumber, mengembangkan diri, dan memperoleh peker-
jaan. Dalam jaringan pembelajaran memungkinkan
terdapat komunikasi antara pendidik dengan peserta
didik, antar peserta didik dalam kelompok, dan antara
peserta didik di dalam kelas (Sani, 2014: 71).
Sesungguhnya, di dalam pembelajaran, antara
peserta didik yang satu dengan yang lain telah mem-
bangun sebuah jaringan untuk mencapai sebuah tujuan
dalam kelompok kecil. Pada langkah membangun jari-
79
ngan dan melakukan komunikasi ini peserta didik
membangun jaringan lebih luas lagi, yakni seluruh
kelas. Jaringan ini berfungsi untuk mengkomunikasikan
hasil analisis yang telah dilakukan oleh masing-masing
kelompok. Peserta didik menuliskan dalam bentuk
laporan tertulis. Kemudian, peserta didik mempre-
sentasikan hasil analisisnya di depan kelas. Peserta didik
yang lain mengomentari presentasi peserta didik lain.
Pendidik berperan memfasilitasi seluruh kegiatan yang
dilakukan oleh peserta didik di dalam pembelajaran.
3) Kegiatan penutup
Kegiatan penutup perlu dilakukan untuk meman-
tapkan menguasaan pengetahuan siswa dengan mengarah-
kan siswa untuk membuat rangkuman, menemukan manfaat
pembelajaran, memberikan umpan balik terhadap proses
dan hasil pembelajaran, melakukan proses tindak lanjut
berupa penguasaan (individu atau kelompok), dan mengin-
formasikan kegiatan pembelajaran untuk pertemuan selan-
jutnya. Pemberian tes atau tugas, dan memberikan arahan
tindak lanjut pembelajaran, dapat berupa kegiatan di luar
kelas, di rumah atau tugas sebagai bagian dari pengayaan
atau remidi (Sani, 2014: 281-283).
80
g. Penilaian Pembelajaran Prosa Fiksi
Untuk mengukur berhasil atau tidaknya sebuah pembe-
lajaran diperlukan adanya penilaian. Antara jenis pembelajaran satu
dengan pembelajaran yang lain memiliki model penilaian yang
berbeda. Hal ini disesuaikan dengan karakteristik pembelajaran
kompetensi yang bersangkutan. Bentuk penilaian dapat berupa tes
tertulis, wawancara, observasi, tugas proyek, dan portofolio.
Menurut Cronbach, penilaian pada hakikatnya adalah
suatu proses pengumpulan dan penggunaan informasi yang di-
pergunakan sebagai dasar pembuatan keputusan tentang program
pendidikan (Nurgiyantoro, 2010: 10). Keputusan adalah pilihan di
antara berbagai arah tindakan. Jadi, penilaian memiliki komponen
pengumpulan informasi, penggunaan informasi, dan pembuat
keputusan.
Penilaian dalam pembelajaran sastra memiliki fungsi
ganda, yaitu (1) untuk mengungkapkan kompetensi bersastra
peserta didik, dan (2) menunjang tercapainya tujuan pem-
belajaran kompetensi bersastra (Nurgiyantoro, 2010: 453).
Penilaian pembelajaran sastra menurut Moody dibagi menjadi
empat kategori yang disusun dari tingkatan yang sederhana ke
tingkatan yang semakin kompleks. Keempat tingkatan yang
dimaksud adalah tes yang dimaksudkan untuk mengukur
81
kemampuan pada tingkat informasi, konsep, perspektif, dan
apresiasi.
1) Tes kesastraan tingkat informasi; dimaksudkan untuk
mengungkap kemampuan peserta didik yang berkaitan
dengan hal-hal pokok yang berkenaan dengan sastra, baik
yang menyangkut data-data tentang suatu karya maupun
data-data lain yang dapat dipergunakan untuk membantu
penafsirannya.
2) Tes kesastraan tingkat konsep; berkaitan dengan persepsi
tentang bagaimana data-data karya sastra diorganisasikan.
3) Tes kesastraan tingkat perspektif, berkaitan dengan pan-
dangan peserta didik terhadap karya sastra yang dibacanya.
Pandangan dan reaksi perserta didik terhadap sebuah karya
ditentukan oleh kemampuannya memahami karya yang
bersangkutan.
4) Tes kesastraan tingkat apresiasi; berkaitan dengan sikap
peserta didik memperlakukan karya sastra (Nurgiyantoro,
2010: 459). Sikap tersebut dapat berupa menggemari untuk
dibaca, mengritisi atau mengkaji, dan atau memproduksi.
Dalam pembelajaran analisis prosa fiksi, khususnya
kajian unsur budaya dan kearifan lokal novel Dasamuka karya
Junaedi Setiyono ini, tes yang dilakukan untuk mengukur kemam-
puan peserta didik berada pada tahapan apresiasi. Hal ini
82
dimaksudkan untuk mengetahui sikap peserta didik memper-
lakukan karya sastra.
Metode penilaian yang harus digunakan di sekolah telah
ditetapkan dalam permendikbud No. 66 Tahun 2013 tentang
Standar Penilaian pendidikan Penilaian yang digunakan harus
mencakup ranah sikap (afektif), pengetahuan (kognitif), dan
keterampilan (psikomotor) (Sani, 2014: 204).
1) Penilaian Kompetensi Sikap (Afektif)
Dalam pembelajaran prosa fiksi ini, pendidik
melakukan penilaian kompetensi sikap melalui observasi.
Observasi merupakan teknik penilaian yang dilakukan secara
berkesinambungan dengan menggunakan indra, baik secara
langsung maupun tidak langsung dengan menggunakan
pedoman observasi yang berisi sejumlah indikator perilaku
yang diamati (Sani, 2014: 204).
Penilaian afektif berhubungan dengan masalah sikap,
pandangan dan nilai-nilai yang diyakini seseorang. Hal ini
dapat dilihat pada proses peserta didik mengikuti seluruh
rangkaian kegiatan pembelajaran berbasis saintifik yang
dilaksanakan di dalam kelas maupun di luar kelas.
2) Penilaian Kompetensi Pengetahuan (Kognitif)
Pendidik menilai kompetensi pengetahuan melalui tes
tertulis, tes lisan, maupun penugasan. Pelaksanaan penilaian
83
dapat dilakukan dalam proses pembelajaran, tes formatif pada
akhir pembelajaran, dan tes sumatif. Tes sumatif biasanya
dilaksanakan dalam bentuk ulangan umum dengan alat
penilaian yang berupa tes tertulis (Sani, 2014: 205).
Untuk peserta didik SMA, tugas-tugas yang dibe-
rikan harus lebih ditekankan pada tugas yang menuntut
aktivitas mental yang lebih tinggi, sikap kritis dalam
membaca karya sastra, menganalisis karya sastra seperti
menemukan tema, karakter tokoh, mencari kaitan antar-
peristiwa, konflik, gaya bahasa, menjelaskan keindahan,
menjelaskan nilai-nilai kehidupan dalam teks novel, dan
lain-lain. Pemberian tugas yang bersifat mengaktifkan
peserta didik akan jauh lebih bermakna daripada sekadar
tugas menghafal (Nurgiyantoro, 2010: 455).
Menurut Nurgiyantoro (2010: 461), terdapat bebe-
rapa model tes kemampuan bersastra untuk mengetahui
kompetensi pengetahuan peserta didik.
a) Tes merespon jawaban
Tes yang mengharuskan peserta didik merespon
jawaban. Tes ini berbentuk tes objektif. Untuk menger-
jakan tes, peserta didik tinggal memilih jawaban yang
telah disediakan oleh pendidik. Dalam evaluasi
pembelajaran prosa fiksi sistem merespon jawaban,
84
teks yang dikutip sebaiknya dipilih pada bagian-bagian
yang menunjukkan identitas dan karakteristik teks
prosa fiksi yang bersangkutan. Misalnya pada bagian
yang memuat unsur budaya yang ditanyakan dalam teks
soal. Tes merespon jawaban ini cocok digunakan dalam
tes sumatif atau tes akhir semester.
b) Tes menyusun jawaban
Pembacaan teks kesastraan merupakan pergu-
latan intensif antara dunia yang dibangun oleh
pengarang dan tanggapan yang diberikan oleh pembaca
yang telah memiliki dunia sendiri. Oleh sebab itu,
peserta didik hendaknya diberikan lebih banyak ruang
untuk menuangkan pemikirannya dalam menanggapi
teks sastra yang diberikan. Agar soal benar-benar dapat
mengukur kompetensi bersastra, pertanyaan yang
diberikan haruslah berangkat dari berbagai teks kesas-
traan, sedang teori dapat dimanfaatkan sebagai lan-
dasan yang memerkaya dan atau memperkuat jawaban.
Soal-soal dapat berupa berbagai macam hal, mulai dari
soal yang membutuhkan jawaban uraian, meringkas
atau membuat sinopsis novel, meresensi suatu karya,
menganalisis berbagai teks kesastraan, menulis teks
sendiri, dan lain-lain (Nurgiyantoro, 2010: 474).
85
Pertanyaan yang diberikan haruslah yang
membuat peserta didik berpikir kritis, memanfaatkan
berbagai pengetahuan yang terkait dengan perma-
salahan, berpikir memilih bahan (gagasan, pesan,
informasi), dan bahasa yang mengreasikan jawaban,
berpikir kreatif untuk menghasilkan jawaban dengan
logika dan argumentasi yang baik. Namun, pertanyaan
itu juga haruslah pertanyaan yang menarik dan
menantang peserta didik untuk memberikan jawaban
terbaiknya. Pertanyaan tidak hanya dimaksudkan untuk
mengungkapkan fakta dalam teks, seperti pertanyaan
yang berawal dengan “sebutkan”, melainkan lebih
terkait dengan logika, penalaran, argumentasi, dan lain-
lain, seperti “jelaskan”, “bagaimana pendapat”, dll.
3) Penilaian Kompetensi Keterampilan (Psikomotor)
Pendidik menilai kompetensi keterampilan melalui
kinerja, yaitu penilaian yang menuntut peserta didik mende-
monstrasikan suatu kompetensi tertentu dengan menggunakan
tes praktik dan proyek (Sani, 2014: 205).
a) Tes praktik adalah penilaian yang menuntut respon
berupa keterampilan melakukan suatu aktivitas atau
perilaku sesuai dengan tuntutan kompetensi. Dalam
pembelajaran analisis novel, tes praktik dapat dijadikan
86
sebagai acuan penilaian ketika peserta didik melakukan
proses kerja kelompok dan penampilan pada saat
melakukan presentasi hasil kerja kelompok.
b) Proyek adalah tugas-tugas belajar yang meliputi kegiatan
perancangan, pelaksanaan, dan pelaporan, baik secara
tertulis maupun lisan dalam waktu tertentu.
Menurut Nurgiyantoro (2010: 484), tugas pro-
yek merupakan kegiatan investigasi sejak perencanaan,
pengumpulan data, pengorganisasian, pengolahan dan
penyajian data, sampai pembuatan laporan. Tugas
proyek adalah tugas bersama teman kelompok,
karenanya peserta didik diharapkan mampu bekerja
sama mulai dari pembagian tugas, berdiskusi, dan
pemecahan masalah. Pemberian tugas proyek
hendaknya yang dapat menunjukkan penguasaan
pengetahuan, pemahaman, aplikasi, analisis, sintesis
data, sampai dengan pemaknaan dan penyimpulan oleh
peserta didik. Tugas proyek dapat berupa tugas
melakukan penelitian yang juga bertujuan mengukur
kompetensi bersastra, namun sekaligus juga
kompetensi berbahasa produktif dalam bentuk karya
tulis.
87
Salah satu bentuk tugas proyek dalam pembe-
lajaran teks prosa fiksi adalah menganalisis teks novel.
Tugas menganalisis teks kesastraan dimaksudkan untuk
dapat memahami makna secara lebih baik dan men-
dalam terhadap karya yang bersangkutan. Analisis di-
maksudkan untuk mendeskripsikan, memahami, dan
menjelaskan keadaan, fungsi, dan hubungan tiap unsur
dalam menunjang makna secara keseluruhan secara
padu dan harmonis. Tugas analisis teks kesastraan dila-
kukan dalam tes proses dan menjadi bagian kegiatan
pembelajaran. Tugas ini dapat dilakukan secara kelom-
pok dalam bentuk tugas proyek tergantung luas dan
kompleksnya tugas yang diberikan, baik dilakukan di
dalam maupun di luar kelas (Nurgiyantoro, 2010: 481).
88
BAB III METODE PENELITIAN
Bab III ini berisi metode penelitian. Metode penelitian merupakan cara
ilmiah untuk mendapatkan data dengan tujuan dan kegunaan tertentu (Sugiyono,
2013: 3). Metode penelitian berisi tentang jenis penelitian, objek penelitian, fokus
penelitian, data dan sumber data, instrumen penelitian, teknik pengumpulan data,
validitas data, teknik analisis data, dan teknik penyajian hasil analisis.
A. Jenis Penelitian
Jenis penelitian yang digunakan adalah penelitian deskriptif kualitatif.
Penelitian deskriptif kualitatif bertujuan mengungkapkan informasi kualitatif
dengan cara mendeskripsikan secarai detil dan cermat keadaan, gejala,
fenomena, serta unsur-unsur sebagai keutuhan struktur dalam teks-teks yang
menjadi objek penelitian (Sugiyono, 2013: 36). Sementara itu, strategi
penelitian yang digunakan adalah analisis interaktif. Analisis interaktif
dilakukan untuk menganalisis data yang diperoleh dari novel Dasamuka
karya Junaedi Setiyono. Pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini
adalah pendekatan antropologi sastra, yaitu untuk mengetahui unsur budaya
yang meliputi sistem religi, sistem dan organisasi kemasyarakatann, sistem
pengetahuan, bahasa, kesenian, sistem mata pencaharian hidup, dan sistem
peralatan hidup dan teknologi, juga ke-arifan lokal budaya Jawa, serta
skenario pembelajarannya di kelas XII SMA.
89
B. Objek Penelitian
Objek adalah hal yang menjadi sasaran penelitian. Sugiyono (2013:
38) mengemukakan bahwa objek penelitian adalah suatu atribut atau nilai dari
orang, objek, atau kegiatan yang mempunyai variasi tertentu yang ditetapkan
oleh peneliti untuk dipelajari dan ditarik kesimpulan. Objek penelitian dalam
skripsi ini adalah novel Dasamuka karya Junaedi Setiyono dan Skenario
Pembelajaran di Kelas XII SMA.
C. Fokus Penelitian
Untuk mempertajam penelitian, peneliti kualitatif menetapkan fokus
penelitian. Penetapan fokus didasarkan pada permasalahan yang terkait
dengan teori-teori yang telah ada (Sugiyono, 2013: 288). Penelitian ini
difokuskan pada unsur-unsur budaya dan kearifan lokal yang ada di dalam
novel Dasamuka karya Junaedi Setiyono yang meliputi sistem religi, sistem
dan organisasi kemasyarakatan, sistem pengetahuan, bahasa, kesenian, sistem
mata pencaharian, serta sistem teknologi dan peralatan hidup manusia.
Sedangkan kearifan lokal yang dianalisis, khusus kearifan lokal budaya Jawa.
D. Data dan Sumber Data
Data merupakan semua informasi yang disediakan oleh alam yang
harus dicari dan dikumpulkan oleh peneliti sesuai dengan masalah yang
dihadapi. Data merupakan bagian yang penting dalam penelitian. Oleh karena
itu, berbagai hal yang merupakan bagian dari keseluruhan proses pengum-
pulan data harus benar-benar dipahami oleh setiap peneliti. Adapun data
dalam penelitian ini berupa data lunak yang berwujud kata, frasa, klausa,
90
kalimat, paragraf, atau wacana yang terdapat dalam novel Dasamuka karya
Junaedi Setiyono.
Sumber data adalah segala sesuatu yang digunakan untuk memperoleh
data dalam penelitian (Arikunto, 2013: 172). Adapun sumber data dalam
penelitian ini adalah novel Dasamuka karya Junaedi Setiyono yang
diterbitkan oleh Penerbit Elmatera (Yogyakarta) pada tahun 2014 dengan
jumlah halaman 284 halaman.
E. Instrumen Penelitian
Menurut Arikunto (2013: 160), instrumen penelitian adalah alat bantu
atau fasilitas yang digunakan oleh peneliti dalam mengumpulkan data agar
pekerjaan lebih mudah, hasilnya lebih baik, dalam arti lebih cermat, lengkap
dan sistematis sehingga lebih mudah diolah. Sementara itu, Ratna (2011: 49)
berpendapat bahwa instrumen analisis di dalam penelitian antropologi sastra
adalah peneliti sendiri, kartu data, kertas, pensil, dan lain sebagainya.
Merujuk dari pendapat Ratna (2011: 49) tersebut, instrumen yang digunakan
dalam penelitian ini adalah peneliti sendiri dengan menggunakan kertas
pencatat data beserta dengan alat tulis berupa kertas, pensil, dan hardisk
penyimpan data. Kertas pencatat digunakan untuk mencatat seluruh data yang
berupa kutipan-kutipan yang berkaitan dengan unsur-unsur budaya dan
kearifan lokal yang terdapat di dalam novel Dasamuka karya Junaedi
Setiyono.
91
F. Teknik Pengumpulan Data
Agar mendapatkan data yang diperlukan dalam penelitian ini, peneliti
menggunakan suatu cara pengumpulan data atau teknik pengumpulan data.
Teknik pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini adalah teknik
catat. Teknik catat adalah mencatat data-data yang telah ditemukan ke dalam
catatan (Arikunto, 2013: 272).
Adapun langkah-langkah yang dilakukan dalam pengumpulan data
adalah sebagai berikut:
1) membaca novel Dasamuka karya Junaedi Setiyono secara kritis, cermat
dan teliti;
2) mengidentifikasi data yang berhubungan dengan unsur-unsur budaya dan
kearifan lokal;
3) mengklasifikasikan data menjadi satu sesuai dengan kelompok data
masing-masing;
4) mencatat data-data yang diperoleh sesuai dengan fokus penelitian.
G. Validitas Data
Dalam penelitian kualitatif, temuan atau data dapat dinyatakan valid
apabila tidak ada perbedaan antara yang dilaporkan peneliti dengan apa yang
sesungguhnya terjadi pada objek yang diteliti (Sugiyono, 2013: 365). Uji
validasi data yang digunakan dalam penelitian ini adalah teknik membaca
ulang. Uji validitas dilakukan oleh peneliti dengan cara membaca ulang objek
yang diteliti dengan meningkatkan kecermatan dan menyocokkanya dengan
92
teori yang digunakan. Di samping itu, validasi juga peneliti lakukan dengan
konfirmasi langsung kepada penulis novel Dasamuka yaitu Junaedi Setiyono.
H. Teknik Analisis Data
Jenis analisis data dalam penelitian ini adalah analisis interaktif. Miles
and Huberman mengemukakan bahwa aktivitas dalam analisis data kualitatif
dilakukan secara interaktif dan berlangsung secara terus menerus sampai
tuntas, sehingga datanya sudah jenuh (Sugiyono, 2013: 337). Interaktif adalah
suatu kegiatan yang di dalamnya terdapat interaksi secara langsung dan terus
menerus antara peneliti dengan objek yang diteliti. Aktivitas analisis data
interaktif Miles and Huberman adalah sebagai berikut.
1. Reduksi data (data teduction)
Pada bagian ini, langkah yang dilakukan adalah mencatat data yang
diperoleh dalam bentuk uraian secara rinci. Data yang diambil berupa kata,
kalimat, ungkapan yang terdapat dalam novel Dasamuka karya Junaedi
Setiyono yang mengungkapkan informasi tentang unsur-unsur budaya,
yang meliputi: sistem religi, sistem dan organisasi kemasyarakatan, sistem
pengetahuan, bahasa, kesenian, sistem mata pencaharian, serta sistem
teknologi dan peralatan hidup manusia; dan informasi tentang kearifan
lokal. Informasi-informasi yang mengacu pada permasalahan itulah yang
menjadi data penelitian ini.
2. Sajian Data (Data Display)
Data yang telah terkumpul, peneliti kelompokkan ke dalam
beberapa bagian sesuai dengan jenis permasalahannya (agar mudah
93
untuk dianalisis). Langkah ini telah memasuki analisis data yang
kemudian dijabarkan untuk menemukan sistem religi, sistem dan
organisasi kemasyarakatan, sistem pengetahuan, bahasa, kesenian,
sistem mata pencaharian, serta sistem teknologi dan peralatan hidup
manusia yang terkandung dalam kedua novel tersebut.
3. Penarikan Simpulan (Conclution Drawing)
Pada tahap ini, data yang telah diperoleh dan dianalisis sejak
awal penelitian novel Dasamuka karya Junaedi Setiyono disimpulkan
terkait analisis unsur-unsur budaya dan kearifan lokal. Simpulan ini
masih bersifat sementara, maka akan tetap diverifikasi (diteliti
kembali tentang kebenaran laporan) selama penelitian berlangsung.
Tiga komponen tersebut terjadi secara bersama-sama dan dilakukan
secara terus menerus, baik sebelum, pada waktu, maupun sesudah
pelaksanaan pengumpulan data sehingga terbentuk siklus.
I. Teknik Penyajian Hasil Analisis
Dalam penyajian data, penulis menggunakan metode informal.
Metode informal adalah penyajian hasil analisis data dengan menggunakan
kata-kata biasa (Sudaryanto, 2015: 241). Hasil analisis yang berupa unsur-
unsur budaya dan kearifan lokal novel Dasamuka karya Junaedi Setiyono;
dan skenario pembelajaran yang relevan di SMA disajikan secara verbal
dengan bahasa lugas, tidak menggunakan tanda atau simbol yang bersifat
khusus.
94
BAB IV PENYAJIAN DAN PEMBAHASAN DATA
Bab ini berisi sajian data, pembahasan data, dan skenario pembelajaran
novel Dasamuka karya Junaedi Setiyono di kelas XII SMA. Berikut ini disajikan
ketiga subbab tersebut.
A. Penyajian Data
Data yang terdapat dalam penyajian ini merupakan gambaran
tentang masalah-masalah yang akan dibahas dalam analisis data. Penelitian
ini berupa kajian terhadap unsur-unsur budaya dan kearifan lokal pada novel
Dasamuka karya Junaedi Setiyono berdasarkan pendekatan antropologi
sastra, yang meliputi sistem religi, sistem dan organisasi kemasyarakatan,
sistem pengetahuan, bahasa, kesenian, sistem mata pencaharian hidup, serta
sistem peralatan dan teknologi.
Sebelum melakukan analisis antropologi sastra, terlebih dahulu
penulis sajikan data-data tentang unsur budaya dan kearifan lokal yang
berupa kata, frasa, klausa, kalimat atau wacana dalam kutipan-kutipan
langsung dari objek penelitian. Kata, frasa, klausa, kalimat, paragraf atau
wacana yang merupakan data dicetak dengan garis bawah untuk memperjelas
data dalam kutipan. Hal ini dilakukan untuk menghindari kerancuan data
karena terdapat beberapa kutipan yang sama antara sistem budaya yang satu
dengan sistem budaya yang lain. Data-data ini akan digunakan sebagai bahan
pembelajaran dalam rencana pelaksanaan pembelajaran (RPP) analisis unsur
95
budaya dan kearifan lokal novel Dasamuka karya Junaedi Setiyono. Berikut
ini adalah data-data yang diambil dari novel tersebut.
1. Unsur-unsur Budaya Novel Dasamuka Karya Junaedi Setiyono
Data hasil penelitian novel Dasamuka Karya Junaedi Setiyono
berupa tujuh unsur budaya dalam novel disajikan dalam betuk tabel-tabel
berikut ini.
Tabel 1 Data Sistem Religi Novel Dasamuka Karya Junaedi Setiyono
No. Sistem
Religi Data Halaman
1. Ritual Agama
Seperti tak disesalinya hilangnya kuku yang dia pendekkan atau hilangnya daki yang dia bersihkan setiap hendak jumatan di masjid.
27
Ada suara azan terdengar. Meski aku tak tahu artinya, aku tahu bahwa itu panggilan bagi orang-orang yang mendengarnya untuk berdoa bersama di dalam rumah yang mereka sebut masjid.
98
Kemudian Kyai Ngarip bangkit dari pembaringannya. Dengan sambil tetap duduk bersila, dia khusuk melafalkan doa dengan suara lirih.
98
2. Guru/ Pemimpin Agama
Sehari sebelum Ki Sena berangkat ke Kedu, di mana putri itu tinggal bersama ayah-ibunya yang dikenal sebagai bangsawan tinggi yang juga anggota kehormatan Korps Suranatan, terdengar percakapan Ki Sena dengan Istrinya.
30
Maka kami pun berkuda samping menyamping mengunjungi pondok pesantren Kiai Ngarip di Bagelen.
94
3. Pakaian Simbol Agama
Sekali lagi kuamati penampilan Branjang sekarang. Perubahan cara berpakaiannya, dari surjan ke jubah, dari destar ke serban, adalah ungkapan metamorfosis yang tepat
278
96
tentang perubahan cara berfikir kelompok Tegalreja yang termaktub di dalam surat ini.
Tabel 2
Data Sistem dan Organisasi Kemasyarakatan Novel Dasamuka Karya Junaedi Setiyono
No. Sistem dan
Organisasi Kemasyara-
katan
Data Halaman
1. Kekeraba-tan
Sebagai orang yang lebih tua, Kanjeng Pangeran Aria Dipanegara meminta Sultan Jarot adiknya untuk berkenan rawuh mengunjunginya. Dan Sultan Jarot bersedia.
166
Dia tak tahan lagi dengan perlakuan sewenang-wenang yang datang dari kerabat istrinya yang dialamatkan ke dirinya. Perkawinannya dengan Den Rara Wahyuningsih banyak ditentang oleh keluarga dekat putri ayu berdarah biru itu, dan penentangannya terus berlangsung meski mereka sudah dikaruniai momongan. Ki Sena merasa lebih tentran berada di antara para penentang gubernemen, para pejuang, yang lebih tertarik membincangkan bagaimana membersikan keraton yang dikotori Belanda daripada membicarakan bagaimana menjaga kemurnian darah bangsawannya. Dia memang berdarah merah, darah petani Bagelen, yang diejek karena tutur bahasanya yang kaku kasar.
23
Pertemuan-pertemuan selanjutnya sudah bukan lagi pertemuan antara seorang guru dan muridnya, tapi lebih sebagai pertemuan dua orang yang bersahabat. Dia sudah mempercayaiku lebih dari sebelumnya. Dia ceritakan hal-hal yang mestinya dirahasiakannyan.
77
97
Akhirnya Dasamuka menyimpulkan bahwa kerabat paling tepat untuk dijadikan penghubung adalah Raden Ayu Wiji. Dia adalah salah satu istri Den Mas Mangli. Dan Den Mas Mangli adalah paman Dasamuka dari garis ibu. Perempuan separuh baya itu bisa menghubungkannya dengan keluarga ndalem Sujanan karena masih kerabatnya, dan pasti mau bersusah payah membantunya karena dia juga masih terhitung bibinya.
144
2. Politik Kabar ketentraman perlu ditanyakan karena sepeninggal Sultan Swargi, Kasultanan Ngayogyakarta Hadiningrat adalah kasultanan yang tak pernah sepi dari intrik politik yang meresahkan. Dia masih ingat betul bagaimana Sultan Sepuh, anak Sultan Swargi, berebut kekuasaan dengan Sultan Raja yang adalah anaknya sendiri. Dan sekarang keadaanya lebih runyam lagi, kasultanan ada di tangan Sultan Jarot, seorang sultan berusia belasan yang begitu suka hura-hura dan foya-foya.
145
Keraton dan kasultanan menjadi semakin kacau sepeninggal Sultan Jarot. Tiga serangkai – Residen Smissaert, Patih Danureja, dan Kolonel Wiranegara – yang meman-dang Puri Tegalrejasebagai ancaman besar, menjadi semakin berkuasa. Mereka menjadi gergasi yang siap melantak siapa pun yang menghalangi jalannya, jalan busuk berjelaga, untuk menjadi makin berharta dan makin berkuasa. Kasultanan Ngayogyakarta Hadiningrat semakin jauh meninggal-kan kawula dasih yang melata-lata di tanah yang dilanda berbagai macam pajak. Pajak-pajak yang tidak masuk akal. Dan memang penarikan beraneka macam jenis pajak itu tujuannya hanya untuk dijejalkan ke dalam kantung
269
98
ketiga serangkai beserta cecunguknya. Sultan Menol, pengganti Sultan Jarot, yang masih balita itu, tentu dianggap tidak ada. Barangkali perlu kuceritakan, meski serba sedikit, tentang kedua sultan itu; tentu saja menurut sudut pandangku yang bukan orang Jawa. Sengitnya perseteruan antara keduanya sudah cukup bagiku untuk menyimpulkan bahwa raja Jawa pada hakikatnya sudah tidak ada. Barangkali aku terlalu sarkastik. Tapi memang begitulah kenyataannya. Raja Jawa itu tinggal bayang-bayang. Hanya karena keberadaan ‘raja’ itu menguntungkan gubernemen, maka perlu dijaga keberadaan bayang-bayang itu. Di sini lah aku harus memahami betul perbedaan antara raja sejati dan raja boneka. Namun tidak boleh tidak, raja boneka harus menguntungkan gubernemen. Dia tidak boleh menguntungkan dirinya sendiri, apa lagi menguntungkan orang Jawa yang menjadi kawulanya.
53
Pasalnya, Patih Danureja memang terlalu memihak gubernemen Belanda. Perilaku yang demukian itu tentu saja tidak disukai oleh Sultan Sepuh yang masih begitu bangga dengan kejawaannya. Ketika Sultan meminta Sang Gubernur Jendral untuk memecat Patih itu, dia menyatakan keberatannya. Daendels Sang Gubernur Jendral, memang banyak diuntungkan oleh bercokolnya Patih itu di dalam keraton.
24
99
3. Hukum Apakah Tuan Leyden memang memintaku untuk menulis tentang bronjong yang ternyata merupakan amphitheatre tempat di mana gladiator bertarung melawan macan? Untuk urusan penghakiman dan penghukuman, ternyata kekejaman keraton Jawa tak jauh beda dengan kebengisan kekaisaran Romawi.
83
Tidak seperti di amphethetre, di bronjong ini hadirinnya tidak begitu banyak. Bukan karena terlarang bagi penduduk untuk melihatnya, tapi karena banyak yang yakin bahwa pesakitan kali ini bukan orang yang bersalah.
87
“Baik aku percaya padamu, Dasamuka. Ini murni urusan kerja. Sebagai tanda jadi bahwa aku memintamu bekerja untukku, berapa bayaran yang kau minta?” “Aku perlu biaya tidak sedikit, Tuan. Aku minta separuh dulu. Setengah selebihnya baru kuminta kalau Kiai Ngarip sudah ada di dalam rumahnya bersama segenap keluarganya, ada di rumahnya dalam keadaan selamat.”
85
Uang yang kuberikan kepadanya ketika itu digunakannya untuk membeli kambing dan lembing. Dengan menyumpalkan sejumlah uang di ikat pinggang pawang, dia bisa membuat macan itu menyantap seekor kambing gemuk sesaat sebelum masuk dalam bronjong. Dengan menyumpalkan uang di ikat pinggang penjaga, dia berhasil menukar lembing yang biasa disediakan untuk pesakitan, digantikan lembing yang mata lembingnya lebih panjang dan lebih tajam. Sangat sederhana kerja Dasamuka. Tapi kalau bukan Dasamuka adalah mustahil untuk berkeliaran dengan leluasa di kawasan terlarang di sekitar bronjong.
91
100
4. Kelompok Sosial
Untukku sekarang, Den Wahyana menjadi sosok yang makin istimewa. Aku merasa bodoh kalau tidak ingin tahu lebih dalam tentang sahabatku ini. Terjadinya suatu peristiwa memang bisa menyebabkan terjadinya perubahan pandangan seseorang. Sebelum peristiwa Alas Roban, aku melihatnya sebagai sosok priyayi terpelajar, sosok yang biasa kulihat di sekitar keraton. Setelah peristiwa itu, kulihat bahwa kepriyayiannya beda dengan kepriyayian yang biasa kulihat. Gerakannya lebih gesit. Kulitnya lebih gelap oleh panggangan sinar matahari.
78
Kembali kami terdiam. Ada suara azan terdengar. Meski aku tak tahu artinya, aku tahu bahwa itu panggilan bagi orang-orang yang mendengarnya untuk berdoa bersama di dalam rumah yang mereka sebut masjid. Kulihat Kiai Ngarip bangkit dari pembaringannya. Dia meminta izin untuk sejenak berdoa. Dengan sambil tetap duduk bersila, dia khusuk melafalkan doa dengan suara lirih. Aku tak mau mengganggu kekhidmatannya. Aku pun keluar dari kamar.
98
“Kami wong durjana, tak berumah, tak ada urusan dengan gubernemen. Yang takut pada gubernemen adalah orang yang disuapinya. Kami bisa dan biasa cari makan sendiri.”
123
101
Tabel 3 Data Sistem Pengetahuan Novel Dasamuka Karya Junaedi Setiyono
No. Sistem
Pengetahuan Data Halaman
1. Alam (Flora)
Di dalam, setelah omong-omong sebentar dengan seorang penjaga lainnya, Dasamuka yang sudah turun dari kudanya, berjalan kaki menuju bangunan paling besar berbentuk joglo yang diteduhi sepasang pohon beringin, pohon ningrat yang menambah kewibawaan puri kepangeranan.
139
2. Sifat/tingkah manusia
Suara Den Rara Ningsih sebenarnya terlalu lembut untuk telinga orang kebanyakan, tapi tidak untuk telinga Ki Sena. Dia mengerti dengan baik apa yang dikatakan putri itu karena dia mencermati gerak bibirnya tidak hanya mendengarkan suaranya.
36
Dasamuka memang punya banyak keistimewaan. Salah satu kelebihannya adalah kemampuannya untuk menebak isi hati orang cukup dengan sekilas melihat wajah orang itu. Untuk mengetahui apa yang sedang dirasakan seseorang, dia cukup melihat raut mukanya. Dan, penilai-annya itu sangat jarang meleset. Dia bisa membedakan orang yang benar-benar gembira atau sedang pura-pura gembira. Atau sebaliknya, orang yang benar-benar sedih atau sedang pura-pura sedih. Dunia pura-pura adalah dunia yang sungguh dikuasainya dengan baik. Sebaliknya pada saat dia berpura-pura, tidak ada orang yang tahu. Dia bisa begitu lihai menyembunyikan kepura-puraannya. Wajahnya bisa diaturnya sekehendak-nya. Konon karena keistimewaannya itulah maka dia dipanggil Dasamuka oleh teman-temannya, si muka sepuluh.
140-141
Dengan cara melemparkan batu 244
102
sebesar jempol kaki pada dinding anyaman bambu sebanyak tiga kali, yang merupakan tanda khas di antara wong durjana yang sepakat menjalin kerjasama, pelahan terkuaklah pintu rumah tanpa jendela itu.
3. Kriteria Pendamping Hidup
Tidak hanya bibit yang menjadi petimbangan, tapi juga bebet dan terutama bobot pemimpin-pemimpin itu. Ya, bibit-bebet-bobot menjadi satu kesatuan.”
39
4. Ruang dan waktu dalam ilmu Jawa
Orang Jawa sungguh percaya bahwa berkuasanya garengpung berarti berkuasanya kemarau.
67
“Bila pada saat lingsir wengi Rara ireng sudah berada di sini ini,” telunjuk Den Wahyana menunjuk pada suatu titik di gambarnya,”Pada saat titiyono, dia sudah akan berhasil kita keluarkan dari pagar tembok kaputren.
217
5. Pendidikan Anak
Tapi aku belum menemukan jawaban yang lebih baik dari itu: bahwa menurutku pemanjaan pada hakikatnya adalah peracunan. Orang tua telah meracuni anaknya, racun yang menjadi potensi di dalam batinnya untuk melahirkan kejahatan.
98-99
“Semua bayi dilahirkan Suci. Bayi yang lahir dari perzinaan pun suci. Itulah keyakinanku. Jadi bayi Dasamuka adalah bayi suci. Yang membuatnya jahat adalah tempat dan saat yang kemudian dialaminya dalam perjalanan menuju kedewasaannya.”
112
103
Ibunda Sultan, yang lebih dikenal sebagai Gusti Ratu Kencana, begitu ingin putranya cepat tumbuh dewasa. Sayangnya keinginan itu tidak didukung oleh wawasan yang luas dan bijaksana yang bernas. Alih-alih mendatangkan guru-guru luhur budi pekerti atau pujangga-pujangga arif bijak bestari, dia mendatangkan perempuan-perempuan cantik kenes usia belasan yang sungguh menggairahkan yang dimintanya menuruti semua kemauan anak tercintanya.
189-190
6. Ramuan Jawa
Juga, tak boleh dilupakan, jenis tumbuhan apa yang dimamah si kambing sebelum ternak itu disantap si macan dan jenis ramuan apa yang digosokkan pada mata lembing juga memegang peranan penting.
91
Tabel 4
Data Bahasa Novel Dasamuka Karya Junaedi Setiyono
No. Bahasa Data Halaman 1. Proses
Belajar Bahasa
Untuk tahap pertama, kita belajar supaya kita bisa diterima oleh orang Jawa. Untuk itu ucapan demi kesantunan saat pertama bertemu adalah pelajaran pertama kita. Setuju?” Ucapan demi kesantunan...ya, itu memang bagian penting belajar bahasa.
15
2. Tingkat Bahasa dalam Bahasa Jawa
Ki Sena bertutur dengan bahasa Jawa Krama.
23
Dia memang berdarah merah, darah petani Bagelen, yang diejek karena tutur bahasanya yang kaku kasar.
23
Ketika kuedarkan pandanganku dan kulihat bahwa aku adalah satu-satunya orangkulit putih yang ada di situ, dengan menggunakan bahasa Jawa Krama yang sudah kukuasai, aku pun menolaknya.
87
104
Tabel 5 Data Kesenian Novel Dasamuka Karya Junaedi Setiyono
No. Kesenian Data Halaman 1. Seni
Macapat Bulan di langit timur sudah tampak sepertiga. Purnama memang selalu memancarkan tembang asmarandana.
45
Pada saat suara gemericik air makin keras terdengar, Den Rara Ningsih memelankan langkahnya. Dia lalu mendengar suara lembut nyanyian, tembang yang disenandungkan dengan pelahan oleh seorang laki-laki. Suara yang biasanya pendek-pendek dan tegas itu ternyata bisa lembut mendayu-dayu pada saat melantunkan tembang macapat.
45
2. Alat Musik Jawa
Waktu tunggu yang untukku terlalu lama itu diisi dengan hiburan, yaitu dengan ditabuhnya seperangkat gamelan. Tentu saja gamelannya tidak selengkap seperti pada pertunjukan wayang kulit. Yang ini lebih mirip seperti yang ada pada pertunjukan reog atau kuda lumping.
87
Dalam sepi dapat kudengar lamat-lamat suara gambang yang ditabuh. Juga sayup-sayup kudengar suara perempuan menembang.
180
3. Seni Tari Begitu pandangan kuedarkan lebih dalam, kulihat masih ada sekumpulan putri-putri yang duduk mengelilingi seseorang yang sedang berlatih menari.
181-182
105
Tabel 6 Data Sistem Mata Pencaharian Hidup Novel Dasamuka Karya Junaedi
Setiyono
No. Sistem Mata
Pencaharian Hidup
Data Halaman
1. Dalam Lingkup Keraton
Kubuatkan surat pengantar, seorang opsir akan mengantarkanmu menemuinya. Dia seorang tolek yang bisa diandalkan,” kata Sang Residen sambil beranjak menuju meja tulisnya.
13
Dan tidak terlalu sulit bagi Ki Sena untuk menjadikan impian adiknya, impian untuk bisa menjadi abdi dalem keraton.
32
“Dari seorang telik sandi, kami mendapat kabar adanya pencegatan dan pengeroyokan ini. Maaf kami agak terlambat,”
125
“Bahaya? Bukankah menurutmu sekarang dia sudah menjadi seorang pengawal kepercayaan Sultan Jarot? Siapa yang berani mengusiknya?”
172
2. Di Luar Lingkup Keraton
Dia kemudian melambaikan tangannya pada tukang rakit yang terlihat sedang menambatkan rakitnya di kejauhan.
41
Bila semula kukira sosoknya mirip dengan Kiai Ngali, perpaduan antara sosok pedagang yang pintar bicara dan sosok petani yang kukuh berotot, ternyata dugaanku tidak seluruhnya benar.
117
“Juraganku, pemilik rumah yang kutempati ini, juga pemilik tanah-tanah persawahan disekelilingnya,” jawabnya dengan nada suara dan roman muka bangga.
137
106
Tabel 7 Data Sistem Peralatan Hidup dan Teknologi novel Dasamuka Karya
Junaedi Setiyono
No. Sistem Peralatan Hidup dan Teknologi
Data Halaman
1. Senjata “Ki Sena yang hendak beranjak memeriksa keris dan tombaknya, kembali duduk.
30
Orang-orang mulai bertanya-tanya: apa yang sedang terjadi? Dan ketika orang yang diterkam macan itu pelan-pelan bangkit dan duduk, duduk dengan lembing berdarah yang mencuat tegak dalam genggamannya, membahana sorak sorai penonton mengelu-elukan keperkasaan lelaki tua itu ... orang yang tampak kurus dan lemah itu.
90
2. Wadah Seakan aku dan Den Wahyana tidak beda dengan sekepal nasi jagung dibungkus daun jati yang kulihat teronggok bersebelahan dengan setempurung air di sampingnya.
22
“Bronjong yang banyak dikenal orang adalah wadah atau keranjang terbuat dari bambu yang digunakan untuk membawa unggas atau ternak. Akan mudah kita lihat kambing atau babi diringkukkan di dalam bronjong semacam itu di pasar-pasar.”
61
Kain kebaya berbahan katun sudah lengkap membungkus badannya, tenggok cucian anyaman bambu sudah luwes menempel pinggangnya.
121
Acara yang permukaannya adalah keluarnya berbagai penganan dan minuma, tetapi yang pendalamannya adalah keluarnya calon pengantin putri, yaitu keluarnya Rara Ireng bersama-sama para abdi perempuan yang membaca nampan penuh berisi makanan dan minuman.
150
107
Hanya ada suara keletik cangkir yang mulai berderet menghiasi meja, dan suara batuk-batuk kecil yang berasal dari Den Mas Suryanata, batuk yang mendadak timbul karena digelitiki gejolak dari dalam dada.
150
Diam-diam hati Dasamuka bergetar pada saat Rara Ireng mendekatinya untuk meletakkan sepiring nagasari di atas meja di hadapannya.
151
Suara bungkus daun pisang yang dibuka, suara cangkir yang beradu dengan meja, suara kecap mulut yang bergairah, suara tawa yang cerah, mulai meningkahi bincang-bincang yang mulai mengerucut, mulai mengarah pada tujuan pokok pertemuan, yaitu pada maksud kedatangan para tamu di ndalem Sujanan ini.
152
4. Makanan, minuman, dan Ramuan
Seakan aku dan Den Wahyana tidak beda dengan sekepal nasi jagung dibungkus daun jati yang kulihat teronggok bersebelahan dengan setempurung air di sampingnya.
22
Diam-diam hati Dasamuka bergetar pada saat Rara Ireng mendekatinya untuk meletakkan sepiring nagasari di atas meja di hadapannya
151
Bahkan tidak segan-segan dia menawarkan berbagai bedak dan lulur untuk ngadi-sarira milik anak-anaknya. Dan tentu tak ketinggalan menawarkan sari rapet yang dibikinnya sendiri.
193
5. Pakaian dan Perhiasan
Nyi Wuli diam tertunduk. Kemudian tangannya tampak gugup melipat jarit yang akan dijadikan salah satu tukon dalam acara lamaran nanti.
30
Baju surjan berbahan lurik yang biasa dipakainya tak mampu menyembunyi-kan tubuhnya yang tegap liat.
78
Kain kebaya berbahan katun sudah lengkap membungkus badannya, tenggok cucian anyaman bambu sudah luwes menempel pinggangnya.
121
108
Dari belakang, Semi dapat melihat pemuda itu menganggung-angguk. Semi dapat melihat destar wulung yang ikut berayun-ayun. Tidak banyak orang yang bermukim di desa memakai destar semacam itu, pikir Semi.
121
Para penumpang, yang kebanyakan pria dan sudah berumur, berpakaian resmi dengan surjan dan destar warna gelap. Sedangkan para kusir perbakaian lurik dengan pernak pernik yang menunjukkan keresmian acara yang melibatkannya.
148
Gelang dan kalung pemberian Danar dipakainya. Kecantikannya menyala benderang.
233
Jarit Truntum yang dipakainyalah yang paling banyak terbercaki noda darah.
238
6. Tempat Berlindung dan Perumahan
Dan penjelasan singkat Ki Sena iu telah menyebabkan sang putri batal membaringkan tubuhnya di permadani yang sudah tergelar di dalam tenda.
43
Di dalam, setelah omong-omong sebentar dengan seorang penjaga lainnya, Dasamuka yang sudah turun dari kudanya, berjalan kaki menuju bangunan paling besar berbentuk joglo yang diteduhi sepasang pohon beringin, pohon ningrat yang menambah kewibawaan puuri kepangeranan.
139
Rumah limasan beratap damen itu terlalu gelap dan terlalu besar untuk ukuran rumah orang kebanyakan.
245
7. Alat-alat Transportasi
Dengan fasilitas yang diberikan gubernemen – karena aku dianggap berjasa, punya hubungan dengan ilmuwan terpandang Kerajaan Inggris dan juga seorang akademisi muda Edenburgh – aku berhasil memperoleh kereta kuda beserta kusir yang sedikit bisa bicara Belanda.
9
Selanjutnya kita harus naik rakit menyusuri sungai ini.
41
Sebelum berangkat menuju rumah 62
109
dinasku yang ada di kompleks Karesidenan dengan bendi yang kupinjam dari Tuan Thomson, kembali kulihat sosok yang beberapa pekan ini memancing perhatianku, Den Mas Sentot. Kuakui bahwa aku telah bertindak terlalu sembrono ketika dengan bersemangat kusongsong kedatangan Pieter, yang seperti biasa mengunjungi Loji Rejowinangun dengan kuda gagah berwarna dawuk pada saat matahari sudah condong ke barat.
63
“Aku memerlukan bantuan Ngusman untuk meletakkan bantal ini di kereta kencana Nyai Jimat, kereta keraton yang besok akan digunakan untuk pesiar Sultan Jarot,” kata Danar pada Den Wahyana yang diundang datang ke persembunyiannya pada pagi buta itu.
252
2. Kearifan Lokal Novel Dasamuka Karya Junaedi Setiyono.
Kearifan lokal novel Dasamuka Karya Junaedi Setiyono penulis
sajikan datanya dalam bentuk tabel berikut ini.
Tabel 8 Data Kearifan Lokal Novel Dasamuka Karya Junaedi Setiyono
No. Kearifan
Lokal Data Halaman
1. Wayang Dialah yang nantinya akan menggiringku masuk ke dalam dunia Jawa, dunia wayang, dunia bayang-bayang; seperti halnya raja dan keraton orang Jawa yang tinggal bayang-bayang.
60
2. Tingkatan Bahasa dalam Bahasa Jawa
Ki Sena bertutur dengan bahasa Jawa Krama.
23
Dia memang berdarah merah, darah petani Bagelen, yang diejek karena tutur bahasanya yang kaku kasar.
23
110
Ketika kuedarkan pandanganku dan kulihat bahwa aku adalah satu-satunya orangkulit putih yang ada di situ, dengan menggunakan bahasa Jawa krama yang sudah kukuasai, aku pun menolaknya.
87
3. Ungkapan dan Istilah Budaya Jawa
Tidak hanya bibit yang menjadi petimbangan, tapi juga bebet dan terutama bobot pemimpin-pemimpin itu. Ya, bibit-bebet-bobot menjadi satu kesatuan.”
39
Aku kadang mengamati gerak kehidupan di sekitarku, bahwa warisan berupa tanah subur, dengan kehangatan matahari yang bikin penghuninya makmur, malah jadi penghalang bagi orang Jawa untuk menjalani hidup yang lebih bermartabat, hidup karena kerja keras, karena akalnya yang diperas. Yang kelas atas, yaitu para ningrat aristokrat, lebih suka digaji daripada mencari penghsilan sendiri. Yang kelas bawah, yaitu kawula alit, lebih suka menghambakan diri menjadi kuli daripada hidup mandiri. Mestinya mereka bisa menjadi pedagang, misalnya. Kesimpulanku, orang Jawa takut tantangan, hidup adem ayem tentrem lebih disukai daripada hidup bergairah bergejolak.
131
Apakah hidup adem ayem tentrem semacam itu salah? Mungkin juga tidak seluruhnya salah. Masih banyak orang Jawa yang menyikapi ‘warisan’ kemakmuran itu dengan pandangan yang lain, tidak semata-mata karena penakut dan pemalas. Mereka adalah orang Jawa yang sak madya, yang di tengah-tengah, yang menjauhi ekstremitas. Tidak sedikit orang yang punya pendapat bahwa urip mung mampir ngombe, begitu sebentarnya hidup, begitu sederhananya hidup. Mempersiapkan mati lebih penting ketimbang menikmati hidup. Maka
131-132
111
hal yang terpenting bagi mereka adalah pengendalian diri untuk menyongsong kehidupan abadi, bukan kehidupan yang hanya sebentar ini. Ya, pengendalian diri yang mereka sebut meper (mepet) hawa sanga. Mereka percaya bahwa nafsu selalu mengintip untuk mencari kesempatan mencelakakan manusia dari sembilan lubang yang ada pada tubuh manusia Dua lubang ada di telinga, mata, dan hidung. Satu lubang ada di mulut, kelamin, dan pelepasan. Nafsu-nafsu kehidupan itu harus dikendalikan karena akan menodai kesucian kematian yang dirindukannya.
132
4. Macapat Bulan di langit timur sudah tampak sepertiga. Purnama memang selalu memancarkan tembang asmarandana.
45
Pada saat suara gemericik air makin keras terdengar, Den Rara Ningsih memelankan langkahnya. Dia lalu mendengar suara lembut nyanyian, tembang yang disenandungkan dengan pelahan oleh seorang laki-laki. Suara yang biasanya pendek-pendek dan tegas itu ternyata bisa lembut mendayu-dayu pada saat melantunkan tembang macapat.
45
5. Titi Mongso Orang Jawa sungguh percaya bahwa berkuasanya garengpung berarti berkuasanya kemarau.
67
6. Ramuan Jamu
Bahkan tidak segan-segan dia menawarkan berbagai bedak dan lulur untuk ngadi-sarira milik anak-anaknya. Dan tentu tak kettinggalan menawarkan sari rapet yang dibikinnya sendiri.
193
7. Batik Dan bisa ditebak, Dasamuka mendapat peranmenjadi kusir yang mengantar Rara Ireng. Bersama dengan Den Ayu Wiji, mereka akan berbelanja jarit ke pengrajin batik paling kondang di seantero kasultanan ketika itu, Nyi Canting.
155
112
Jarit truntum yang dipakainyalah yang paling banyak terbercaki noda darah.
238
3. Skenario Pembelajaran Novel Dasamuka Karya Junaedi Setiyawan.
Pembelajaran novel di sekolah, khususnya di SMA dilakukan
untuk meningkatkan kemampuan siswa mengapresiasi karya sastra yang
berkaitan erat dengan latihan mempertajam perasaan, penalaran, daya
khayal, kepekaan terhadap masyarakat, budaya, dan lingkungan hidup.
Untuk dapat memahami dan menghayati karya sastra, khususnya novel,
peserta didik diharapkan membaca teks novel secara langsung, bukan
sekadar membaca ringkasannya. Berhasil atau tidaknya suatu pembe-
lajaran teks novel di sekolah salah satunya dipengaruhi oleh skenario
pembelajaran yang dibuat oleh pendidik.
Skenario pembelajaran sastra, khususnya teks novel di kelas XII
SMA berdasarkan kurikulum 2013 diawali dengan membuat rencana
pembelajaran yang terwujud dalam Rencana Pelaksanaan Pembelajaran
(RPP). Di bawah ini disajikan gambaran perencanaan pembelajaran teks
novel tersebut.
a. Kompetensi Inti
Kompetensi inti yang ingin dicapai dalam pembelajaran
sastra, khususnya teks novel di kelas XII SMA adalah peserta didik
dapat memahami, menerapkan, menganalisis dan mengevaluasi
pengetahuan faktual, konseptual, prosedural, dan metakognitif
berdasarkan rasa ingin tahunya tentang ilmu pengetahuan, teknologi,
113
seni, budaya, dan humaniora dengan wawasan kemanusiaan,
kebangsaan, kenegaraan, dan peradaban terkait penyebab fenomena
dan kejadian, serta menerapkan pengetahuan prosedural pada bidang
kajian yang spesifik sesuai dengan bakat dan minatnya untuk
memecahkan masalah.
b. Kompetensi Dasar
Kompetensi dasar yang ingin dicapai dalam pembelajaran
sastra, khususnya teks novel di kelas XII SMA adalah menganalisis
teks novel baik melalui lisan maupun tulisan.
c. Indikator
Indikator yang ingin dicapai dalam pembelajaran sastra,
khususnya teks novel di kelas XII SMA adalah sebagai berikut:
1) mengungkapkan kembali langkah-langkah menganalisis teks
novel;
2) menganalisis unsur-unsur budaya dalam novel Dasamuka
Karya Junaedi Setiyono;
3) menganalisis kearifan lokal dalam novel Dasamuka Karya
Junaedi Setiyono.
d. Tujuan Pembelajaran
Tujuan pembelajaran yang dikembangan dari indikator dalam
pembelajaran novel Dasamuka Karya Junaedi Setiyono adalah
sebagai berikut:
114
1) peserta didik mampu mengungkapkan kembali lamgkah-langkah
menganalisis teks novel;
2) peserta didik mampu menganalisis unsur-unsur budaya dalam
novel Dasamuka Karya Junaedi Setiyono;
3) peserta didik mampu menganalisis kearifan lokal dalam novel
Dasamuka Karya Junaedi Setiyono
a) Materi Pembelajaran
Materi pembelajaran unsur budaya dan kearifan lokal novel
Dasamuka karya Junaedi Setiyono harus sesuai dengan indikator
yang terdapat di dalam RPP. Materi pembelajaran tersebut meliputi
langkah-langkah menganalisis teks novel, unsur-unsur budaya, dan
kearifan lokal.
1) Langkah-langkah menganalisis teks novel.
Langkah-langkah menganalisis teks novel adalah
sebagai berikut:
a) membaca novel dengan saksama;
b) memahami isi novel;
c) melakukan pengecekan terhadap setiap hal yang ada di
dalam novel berdasarkan suatu teori definisi, atau referensi;
d) mengumpulkan data yang ada di dalam novel berdasarkan
teori;
e) menganalisis data yang ada di dalam novel berdasarkan
teori.
115
2) Unsur-unsur budaya.
Unsur budaya merupakan bagian-bagian yang
membangun kebudayaan di suatu tempat. Budaya terdiri atas
tujuh unsur, yaitu sistem religi, sistem dan organisasi
kemasyarakatan, sistem pengetahuan, bahasa, kesenian, sistem
mata pencaharian hidup, serta sistem peralatan hidup dan
teknologi.
3) Kearifan lokal.
Kearifan lokal merupakan nilai-nilai luhur dari budaya
yang berlaku dalam tata kehidupan bermasyarakat yang
bersumber pada petuah leluhur, ajaran budaya, cerita rakyat,
sejarah maupun adat istiadat yang berfungsi untuk melindungi
dan mengelola lingkungan hidup (fisik dan non fisik) secara
lestari. Nilai kearifan itu dapat bersumber pada petuah leluhur,
ajaran budaya, cerita rakyat, sejarah maupun adat istiadat.
b) Metode Pembelajaran
Pembelajaran sastra, khususnya teks novel di kelas XII SMA
menggunakan metode pembelajaran inkuiri berbasis saintifik.
c) Langkah-langkah Pembelajaran
Langkah-langkah pembelajaran sastra, khususnya teks novel
di kelas XII SMA dengan pendekatan saintifik dilaksanakan dengan
sistematika yang terbagi atas dua kali pertemuan. Aktivitas pada
pertemuan pertama meliputi kegiatan mengamati, menanya, dan
116
mengumpulkan informasi. Adapun aktivitas pada pertemuan kedua
meliputi kegiatan mengasosiasi dan mengomunikasikan.
d) Sumber Belajar
Sumber belajar yang dapat digunakan dalam pembelajaran
sastra, khususnya teks novel di kelas XII SMA adalah sebagai
berikut:
1) novel Dasamuka karya Junaedi Setiyono,
2) buku Bahasa Indonesia Ekspresi Diri dan Akademik pegangan
siswa kelas XII kurikulum 2013,
3) Lembar Kerja Siswa (LKS) Bahasa Indonesia untuk SMK/MAK
dan SMA/MA kelas XII. Yogyakarta: LP2IP
4) buku Antropologi Sastra karya Nyoman Kutha Ratna,
5) buku Metode Antropologi Sastra karya Suwardi Endraswara,
6) buku Ilmu Pengantar Antropologi karya Koentjaraningrat, dan
7) buku penunjang lain yang sesuai dengan pembelajaran.
e) Alokasi Waktu belajar
Waktu yang digunakan untuk pembelajaran sastra, khususnya
teks novel di kelas XII SMA adalah 4x45 menit (2x pertemuan).
f) Penilaian pembelajaran
Dalam skenario pembelajaran sastra, khususnya teks novel di
kelas XII SMA, penilaian dilakukan dengan teknik tes dan teknik
nontes. Teknik tes dilakukan dengan soal uraian, sedangkan teknik
nontes dilakukan dengan tugas proyek.
117
B. Pembahasan Data
Berikut ini penulis paparkan pembahasan data yang telah diperoleh,
berupa unsur-unsur budaya novel Dasamuka karya Junaedi Setiyono yang
meliputi sistem religi, sistem organisasi kemasyarakatan, sistem pengetahuan,
sistem bahasa, sistem kesenian, sistem mata pencaharian hidup, sisterm
peralatan hidup dan teknologi; dan kearifan lokal; serta skenario
pembelajarannya di kelas XII SMA.
1. Unsur Budaya Novel Dasamuka Karya Junaedi Setiyono
Unsur-unsur budaya novel Dasamuka karya Junaedi Setiyono
yang akan dibahas meliputi sistem religi, sistem organisasi kemasyara-
katan, sistem pengetahuan, sistem bahasa, sistem seni, sistem mata pen-
caharian hidup, serta sistem peralatan hidup dan teknologi.
a. Sistem Religi
Sistem religi novel Dasamuka karya Junaedi Setiyono yang
akan dibahas meliputi ritual agama, guru/pemimpin agama, simbol
pendidikan agama, dan pakaian simbol agama.
1) Ritual Agama
Di dalam novel terdapat beberapa data terkait unsur
budaya sistem religi, khususnya dalam segi ritual keagamaan
dalam agama Islam. Hal ini menandakan bahwa mayoritas
masyarakat Jawa di Kasultanan Yogyakarta merupakan pemeluk
agama Islam.
118
Setiap agama memiliki ritual ibadah yang berbeda antara
agama satu dengan agama yang lainnya. Di dalam sebuah agama
dan atau kepercayaan terdapat berbagai macam ritual ibadah
yang menjadi media komunikasi antara penganut agama dengan
Tuhannya. Novel Dasamuka karya Junaedi Setiyono sangat
kental dengan nuansa agama Islam. Hal ini ditandai dengan
penyebutan ritual ibadah sebagaimana kutipan berikut.
Seperti tak disesalinya hilangnya kuku yang dia pendekkan atau hilangnya daki yang dia bersihkan setiap hendak jumatan di masjid. (Dasamuka: 27)
Dari kutipan tersebut terlihat bahwa Jumatan atau sholat
Jumat merupakan ritual ibadah yang wajib dilakukan oleh setiap
umat Islam laki-laki. Sholat Jumat dilakukan pada hari jumat se-
cara berjamaah di dalam masjid yang dilaksanakan di waktu
Dzuhur. Orang yang sudah melaksanakan sholah Jumat tidak
diwajibkan untuk sholat Dzuhur. Sebelum melaksanakan sholat
Jumat umat Islam disunnahkan untuk mandi sunnah, memotong
kuku, dan memakai wewangian sebagaimana yang ada di dalam
kutipan tersebut.
Tidak hanya sholat Jumat saja ritual yang ada di dalam
agama Islam, terdapat berbagai macam sholat yang menjadi
ritual ibadah umat Islam. Sholat dibagi menjadi dua, yaitu sholat
wajib dan sholat sunnah. Sholat sendiri merupakan bagian doa
119
yang merupakan komunikasi paling privasi antara manusia
dengan Tuhannya (Allah) sebagaimana kutipan berikut ini.
Kemudian Kyai Ngarip bangkit dari pembaringannya. Dengan tetap sambil duduk, dia khusuk melafalkan doa dengan suara lirih. (Dasamuka: 98)
Dari kutipan tersebut terlihat bahwa Kyai Ngarip berdoa –
sholat – dengan khusuk sambil duduk. Di dalam kutipan tersebut
sholat disebut dengan doa karena pada hakikatnya bacaan yang
ada di dalam sholat merupakan doa yang sudah ada aturannya di
dalam agama. Kyai Ngarip melaksanakan sholat dengan duduk
karena sakit. Hal ini merupakan keringan yang ada dalam agama
Islam bagi umatnya yang sakit, yang tetap diwajibkan untuk
sholat.
Untuk melaksanakan sholat wajib ditandai dengan adanya
panggilan berupa adzan. Adzan berisi lafadz mengagungkan
nama Allah. Adzan dapat dikategorikan sebagai bentuk ibadah
karena merupakan sunnah Rosulullah sebagai panggilan sholat,
tetapi juga dikategorikan sebagai waktu ibadah karena menandai
datangnya waktu sholat. Ritual adzan sebagai bagian dari ibadah
terdapat di dalam kutipan berikut ini.
Ada suara azan terdengar. Meski aku tak tahu artinya, aku tahu bahwa itu panggilan bagi orang-orang yang mendengarnya untuk berdoa bersama di dalam rumah yang mereka sebut masjid. (Dasamuka: 98)
120
Dari kutipan tersebut terlihat bahwa adzan biasanya
dikumandangkan dari masjid atau mushola sebagai tanda datang-
nya waktu sholat dan juga untuk mengajak umat Islam untuk
melaksanakan sholat berjamaah di masjid atau mushola.
2) Guru/pemimpin agama
Di dalam novel terdapat data yang menunjukkan adanya
guru atau pemimpin agama di dalam agama Islam yang ada
dalam budaya Jawa, yaitu Korp Suranatan dan kiai. Korp
Suranatan merupakan sebutan bagi guru/pemimpin agama dalam
lingkungan keraton Ngayogyakarta, sedangkan kiai merupakan
sebuatan bagi guru/pemimpin agama dalam masyarakat umum di
dalam masyarakat Jawa.
Cerita yang ada di dalam novel Dasamuka karya Junaedi
Setiyono berlatarkan keraton Ngayogyakarta Hadiningrat. Peng--
huni keraton memiliki korps khusus yang menangani bidang
keagamaan yang disebut dengan korps Suranatan sebagaimana
kutipan berikut ini.
Sehari sebelum Ki Sena berangkat ke Kedu, di mana putri itu tinggal bersama ayah-ibunya yang dikenal sebagai bangsawan tinggi yang juga anggota kehormatan Korps Suranatan, terdelah percakapan Ki Sena dengan Istrinya. (Dasamuka: 30)
Dari kutipan tersebut dapat diketahui bahwa Korp
Suranatan merupakan rohaniwan keraton yang biasanya terlibat
dalam urusan ritual-ritual yang sering dilakukan di dalam
121
keraton, seperti upacara slametan, kelahiran, sunatan, perni-
kahan, dan kematian. Rohaniwan-rohaniwan ini biasa dipanggil
oleh warga keraton jika pihak keraton akan mengadakan
upacara-upacara keagamaan yang sifatnya sakral seperti upacara
slametan, kelahiran, sunatan, pernikahan, dan kematian.
Selain Korp Suranatan, di dalam novel juga terdapat Kyai
yang disandingkan dengan keberadaan pondok pesantren di te-
ngah masyarakat umum sebagaimana kutipan berikut ini.
Maka kami pun berkuda bersama, samping menyamping mengunjungi pondok pesantren Kyai Ngarip di Bagelen. (Dasamuka: 94)
Dari kutipan tersebut dapat diketahui bahwa dalam
masyarakat Islam di Jawa, Kiai merupakan gelar yang biasa
diberikan kepada seseorang yang memiliki ilmu agama yang
tinggi, sering memberikan pengajaran agama baik secara pribadi
maupun secara berjamaah. Kiai biasanya juga ditempatkan se-
bagai imam dalam sholat. Selain itu, Kiai juga biasanya menjadi
tempat untuk mengkonsultasikan masalah-masalah yang berkait-
an dengan agama Islam oleh masyarakat. Biasanya kiai memiliki
pondok pesantren sebagai tempat pendidikan agama yang
dikelolanya.
3) Pakaian simbol agama
Pakaian yang dipakai oleh seseorang seringkali mencer-
minkan agama yang dianutnya. Selain itu, pakaian juga mencer-
122
minkan seberapa taat seorang umat dalam menjalankan agama-
nya. Tata cara berpakaian di dalam agama Islam telah diatur
sedemikian rupa sebagaimana aturan menutup aurat. Di dalam
novel, data terkait pakaian yang dipakai sebagai penganut agama
Islam lebih cenderung digambarkan sebagai simbol pandangan
hidup dan cara berpikir seseorang yang memakai sebagaimana
kutipan berikut ini.
Sekali lagi kuamati penampilan Branjang sekarang. Perubahan cara berpakaiannya, dari surjan ke jubah, dari destar ke serban, adalah ung-kapan metamorfosis yang tepat tentang perubahan cara berfikir kelompok Tegalreja yang termaktub di dalam surat ini. (Dasamuka: 278)
Dari kutipan tersebut terlihat bahwa pakaian yang dipakai
seseorang menunjukkan agama yang dianut disertai dengan
pandangan hidup atau pola pikirnya. Dalam novel, pengarang
menceritakan bahwa Willem sedang menunggu Den Wahyana di
pelabuhan Tanjung Mas, Semarang. Willem menawarkan bantu-
an persenjataan dari Inggris untuk pejuang Indonesia jika
sewaktu-waktu terdapat serangan dari pihak kolonial Belanda.
Namun, Den Wahyana menolak dengan mengirimkan Branjang
untuk menemui Willem. Branjang yang merupakan abdi dari
Raden Aria Dipanegara menemui Willem dengan pakaian yang
sudah berbeda dari pakaian masyarakat Jawa – terutama abdi –,
pada umumnya. Kebiasaan orang Jawa pada masa itu, bagi
123
seorang abdi memakai baju surjan dan menutup kepala dengan
destar, sedangkan Branjang ketika menemui Willem memakai
pakaian jubah dan penutup kepala dengan sorban sebagaimana
laiknya seorang kiai atau orang yang taat menjalankan
agamanya.
Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa masyarakat Jawa
pada masa itu – sekitar tahun 1812-an – sudah mengenal adanyanya
agama. Masyarakat Jawa pada masa itu mayoritan menganut agama
Islam. Hal itu ditandai dengan hadirnya pondok pesantren yang ikut
berperan dalam kehidupan sosial masyarakat.
b. Sistem dan Organisasi Kemasyarakatan
Sistem dan organisasi kemasyarakatan novel Dasamuka karya
Junaedi Setiyono yang akan dibahas meliputi kekerabatan, politik,
hukum, dan kelompok sosial.
1) Kekerabatan
Sistem kekerabatan di dalam novel tergambar pada
kekerabatan dalam keluarga keraton maupun keluarga masyara-
kat umum. Dalam penelitian ini yang dibahas terkait kekerabatan
yang tercermin dalam persaudaraan, pernikahan, dan persaha-
batan.
Keluarga keraton sendiri sangat rumit untuk ditelisik
sistem kekeluargaannya karena satu sultan memiliki banyak istri
sehinggi hubungan-hubungan antar kerabat terlihat sangat rumit
124
untuk diuraikan. Di dalam novel sendiri diceritakan bahwa
Sultan Suwargi (Hamengkubuwana I) memiliki anak yang
dijuluki Sultan Sepuh (Hamengkubuwana II). Sultan Sepuh
memiliki anak yang dijuluki Sultan Raja (Hamengkubuwana III).
Sultan Raja memiliki anak dari garwa padmi (istri permaisuri)
bernama Sultan Jarot (Hamengkubawa IV) dan Sultan Menol
(Hamengkubuwana V), serta anak dari garwa selir (istri selir)
bernama Pangeran Aria Dipanegara.
Selain keluarga inti keraton yang tinggal di dalam keraton,
juga terdapat kerabat keraton yang tinggal di puri-puri
kepangeranan. Puri-puri ini biasanya milik pangeran dari garwa
selir atau saudara-saudara sultan yang tidak menjadi Sultan dan
tidak ingin terlalu ikut campur di dalam pemerintahan – Salah
satu kerabat keraton yang tinggal di Puri adalah Raden Aria
Dipanegara –. Walaupun tidak tinggal di keraton, Pangeran Aria
Dipanegara tetap memperhatikan kondisi keraton yang dipimpin
oleh adiknya, Sultan Jarot, sebagaimana kutipan berikut ini.
“Sebagai orang yang lebih tua, Kanjeng Pange-ran Aria Dipanegara meminta Sultan Jarot adiknya untuk berkenan rawuh mengunjungi-nya. Dan Sultan Jarot bersedia. (Dasamuka: 166)
Dari kutipan tersebut terlihat bahwa di dalam sistem
kekerabatan budaya Jawa orang yang hubungan darahnya lebih
muda sowan (datang mengunjungi) kerabat yang lebih tua
125
sebagai wujud kesopanan yang senantiasa dijunjung oleh
masyarakat Jawa, meskipun kedudukan sosial kerabat yang muda
lebih tinggi daripada kerabat yang tua. Hal ini tercermin dalam
kehidupan Sultan Jarot dan Raden Aria Dipanegara yang terdapat
di dalam kutipan tersebut. Walaupun berkedudukan sebagai
sultan, Sultan Jarot tetap bersedia mengunjungi kakaknya, Raden
Aria Dipanegara yang tidak memiliki kedudukan apa-apa di
dalam kasultanan.
Selain budaya yang muda mengunjungi yang tua di dalam
sebuah jalinan kekerabatan persaudaraan, terdapat juga budaya
tolong menolong antara keluarga yang tercermin di dalam novel
sebagaimana kutipan berikut ini.
Akhirnya Dasamuka menyimpulkan bahwa ke-rabat paling tepat untuk dijadikan penghubung adalah Raden Ayu Wiji. Dia adalah salah satu istri Den Mas Mangli. Dan Den Mas Mangli adalah paman Dasamuka dari garis ibu. Perempuan separuh baya itu bisa menghubung-kannya dengan keluarga ndalem Sujanan karena masih kerabatnya, dan pasti mau bersusah payah membantunya karena dia juga masih terhitung bibinya. (Dasamuka: 144)
Dari kutipan tersebut terlihat bahwa di dalam budaya
Jawa, untuk meminta tolong biasanya mencari saudara yang
memiliki hubungan kekerabatan darah terlebih dahulu. Hal itu
tercermin dalam novel ketika Dasamuka ingin berhubungan
dengan keluarga Ndalem Sujanan. Dasamuka meminta tolong
126
kepada bibinya Den Ayu Wiji yang merupakan salah satu istri
dari Den Mas Mangli, pamannya. Den Ayu Wiji juga masih
memiliki hubungan kekerabatan dengan Puri Sujanan. Dengan
kedekatan kekerabatan ini, keinginan Dasamuka dapat tercapai
untuk dapat berhubungan dengan keluarga Ndalem Sujanan.
Dasar dari terbentuknya sistem kekerabatan berupa
hubungan kekeluargaan adalah adanya pernikahan. Di dalam
budaya Jawa, pernikahan berbeda trah seringkali menimbulkan
permasalahan. Masalah tersebut biasanya timbul dari pihak yang
memiliki trah darah biru atau priyayi. Di dalam novel, penikahan
dengan perbedaan trah ini terjadi antara ayah dan ibu Dasamuka,
yaitu Ki Sena dan Den Rara Wahyuningsing. Pernikahan
keduanya menuai konflik panjang sebagaimana kutipan berikut
ini.
Dia tak tahan lagi dengan perlakuan sewenang-wenang yang datang dari kerabat istrinya yang dialamatkan ke dirinya. Perkawinannya dengan Den Rara Wahyuningsih banyak ditentang oleh keluarga dekat putri ayu berdarah biru itu, dan penentangannya terus berlangsung meski mere-ka sudah dikaruniai momongan. Ki Sena merasa lebih tentran berada di antara para penentang gubernemen, para pejuang, yang lebih tertarik membincangkan bagaimana mem-bersihkan keraton yang dikotori Belanda dari-pada membicarakan bagaimana menjaga kemur-nian darah bangsawannya. Dia memang ber-darah merah, darah petani Bagelen, yang diejek karena tutur bahasanya yang kaku kasar. (Dasamuka: 23)
127
Dari kutipan tersebut terlihat bahwa Den Rara
Wahyuningsih berasal dari keluarga priyai. Dalam pandangan
masyarakat Jawa keluarga priyayi harus menikah dengan keluar-
ga priyayi. Jika keluarga priyayi menikah dengan rakyat jelata,
maka akan memalukan keluarga. Kehidupan pernikahan berbeda
trah antara Ki Sena dengan Den Rara Wahyuningsih tidak ten-
tram karena Ki Sena yang ber-trah rendah selalu direndahkan
oleh keluarga Puri Sutejan. Penghinaan keluarga Puri Sutejan ini
membuat Ki Sena tidak betah berada di rumah sehingga dia
bergabung dengan kelompok Raden Rangga yang melakukan
pemberontakan terhadap pemerintah. Hal ini mengakibatkan Ki
Sena masuk ke dalam sel penjara meninggalkan anak istrinya.
Hal ini juga yang menyebabkan Dasamuka mengalami kurang
pengasuhan orang tua.
Perbedaan trah atau tingkat sosial seperti ini seringkali
menjadi masalah di dalam kehidupan perrnikahan. Hal ini tidak
hanya terjadi pada masa lampau yang memang terjadi perbedaan
yang teramat mencolok antara orang berdarah biru – yang biasa-
nya merupakan kerabat keraton – dengan orang yang berdarah
merah – biasanya untuk keturunan rakyat jelata –, tetapi juga
terjadi pada kehidupan masa sekarang antara orang dari keluarga
yang beerkedudukan tinggi di masyarakat dengan yang
128
berkedudukan rendah. Tingkat kedudukan ini biasanya ditentu-
kan oleh taraf ekonomi orang yang bersangkutan.
Korban dari rumah tangga yang penuh dengan masalah
adalah anak, seperti halnya Dasamuka. Dasamuka merupakan
potret korban dari rumah tangga yang rusak. Dasamuka mendidik
dirinya sendiri untuk bisa hidup di tengah masyakarat. Oleh
sebab itu, Dasamuka menjadi sosok pemuda yang mengalami
dewasa dini dan hukum benar dan salah ditentukan oleh dirinya
sendiri.
Selain kekerabatan berupa persaudaraan yang terjalin
dengan adanya pertalian darah dan perkawinan, terdapat juga
kekerabatan yang timbul dari pertemanan dan persahabatan antar
negara. Hal ini terjadi antara tokoh Den Wahyana dengan
Willem sebagaimana kutipan berikut ini.
Pertemuan-pertemuan selanjutnya sudah bukan lagi antara seorang guru dengan muridnya, tapi lebih sebagai pertemuan dua orang sahabat. Dia sudah mempercayaiku lebih dari sebelumnya. Dia ceritakan hal-hal yang mestinya diraha-siakannya. (Dasamuka: 77)
Dari kutipan tersebut terlihat bahwa terdapat jalinan ke-
kerabatan berupa persahabatan beda negara anatara tokoh Den
Wahyana dengan Willem. Hal ini membuktikan bahwa warga
pribumi tidak selalu dianggap rendah oleh bangsa asing. Bahkan
Willem menempatkan Den Wahyana sebagai guru sekaligus
129
sahabat yang paling diseganinya. Begitu juga dengan Den
Wahyana, Den Wahyana menganggap Willem sebagai sahabat
yang dapat dipercaya menyimpan rahasia-rahasia hidupnya.
2) Politik
Sistem kekerabatan di dalam keraton sendiri mempenga-
ruhi sistem pemerintahan dan politik yang ada di dalam Kasul-
tanan Ngayogyakarta. Tidak jarang terjadi perebutan kekuasaan
dan pendapat yang berbeda dari unsur keraton terkait sultan yang
akan diangkat sepeninggal sultan sebelumnya. Di dalam novel
masalah pengangkatan sultan setidaknya terjadi tiga kali.
Pertama, antara Sultan Sepuh dengan Sultan Raja – yang
merupakan anak Sultan Sepuh sendiri – sebagaimana kutipan
berikut ini.
Kabar ketentraman perlu ditanyakan karena sepenelinggal Sultan Swargi, Kasultanan Ngayogyakarta Hadiningrat adalah kasultanan yang tak pernah sepi dari intrik politik yang meresahkan. Dia masih ingat betul bagaimana Sultan Sepuh, anak Sultan Swargi, berebut kekuasaan dengan Sultan Raja yang adalah anaknya sendiri. Dan sekarang keadaanya lebih runyam lagi, kasultanan ada di tangan Sultan Jarot, seorang sultan berusia belasan yang begitu suka hura-hura dan foya-foya. (Dasamuka: 145)
Dari kutipan tersebut terlihat bahwa Sultan Raja ingin
menyalahi aturan kasultanan. Sesuai dengan peraturan keraton,
setelah meninggalnya sultan sebelumnya, maka yang akan di-
angkat menjadi sultan selanjutnya adalah anak laki-laki tertua
130
dari garwa padmi. Oleh sebab itu, sepeninggal Sultan Suwargi
yang berhak menduduki posisi Sultan adalah Sultan Sepuh.
Namun, Sultan Raja yang mendapat pengaruh dari pihak kolonial
berupaya untuk merebut kekuasaan dari tangan Sultan Sepuh
hingga pada akhirnya Sultan Sepuh diasingkan ke Penang.
Kedua, antara pengangkatan Sultan Jarot dengan Pangeran
Aria Dipanegara sepeninggal Sultan Raja yang telah dibahas
sebelumnya. Secara kompetensi Pangeran Aria Dipanegara lebih
berhak menjadi sultan, tetapi dia anak dari garwa selir sehingga
yang berhak menduduki posisi sultan adalah Sultan Jarot yang
lahir dari rahim garwa padmi.
Ketiga, ketika Sultan Jarot meninggal dalam perjalanan
berpesiar. Masyarakat Jawa mengharapkan Raden Aria
Dipanegara yang akan menggantikan Sultan Jarot memimpin
Kasultanan Ngayogyakarta Hadiningrat. Namun, Sultan Menol
lah yang diangkat menjadi Sultan menggantikan kakak
kandungnya – Sultan Jarot –. Hal ini terjadi karena adanya
peraturan yang sudah dipaparkan sebelumnya, juga karena
adanya pengaruh pemerintah kolonial yang memiliki penpanjang
tanganan Patih Danureja yang sangat memihak terhadap
pemerintah kolonial. Dengan adanya kepemimpinan yang lemah
di kasultanan sangat menguntungkan pihak pemerintah kolonial
yang ingin menguasai tanah Jawa. Adapun orang pribumi seperti
131
Patih Danureja yang memihak pada pihak kolonial, tanpa di-
sadari hanya menjadi alat bagi pemerintah kolonial. Hal tersebut
terlihat dalam kutipan berikut ini.
Keraton dan kasultanan menjadi semakin kacau sepeninggal Sultan Jarot. Tiga serangkai – Residen Smissaert, Patih Danureja, dan Kolonel Wiranegara – yang memandang Puri Tegalreja sebagai ancaman besar, menjadi semakin ber-kuasa. Mereka menjadi gergasi yang siap melantak siapa pun yang menghalangi jalannya, jalan busuk berjelaga, untuk menjadi makin berharta dan makin berkuasa. Kasultanan Ngayogyakarta Hadiningrat semakin jauh meninggalkan kawula dasih yang melata-lata di tanah yang dilanda berbagai macam pajak. Pajak-pajak yang tidak masuk akal. Dan memang penarikan beraneka macam jenis pajak itu tujuannya hanya untuk dijejalkan ke dalam kantung ketiga serangkai beserta cecunguknya. Sultan Menol, pengganti Sultan Jarot, yang ma-sih balita itu, tentu dianggap tidak ada. (Dasamuka: 268-269)
Dari kutipan tersebut terlihat bahwa hadirnya kolonial
penjajah di tanah Jawa pada masa itu memperngaruhi sistem
pemerintahan yang ada. Pemerintahan di Kasultanan Yogyakarta
dipegang oleh dua penguasa, yaitu sultan dari pihak keraton dan
residen dari pihak kolonial. Sultan dan residen secara bersama
menjalankan pemerintahan. Namun, seringkali kebijakan-kebi-
jakan yang dibuat lebih banyak berada dibawah kuasa residen
sehingga sultan terkesan hanya sebagai boneka, terlebih lagi
ketika kekuasaan Kasultanan Yogyakarta di bawah kepemim-
pinan Sultan Jarot dan Sultan Menol. Sultan memang terlihat
132
berkuasa di mata rakyatnya – masyarakat Jawa –, tetapi sultan
kehilangan ‘taring’nya di depan Residen. Hal ini terlihat pada
kutipan berikut ini.
Barangkali perlu kuceritakan, meski serba se-dikit, tentang kedua sultan itu; tentu saja me-nurut sudut pandangku yang bukan orang Jawa. Sengitnya perseteruan antara keduanya sudah cukup bagiku untuk menyimpulkan bahwa raja Jawa pada hakikatnya sudah tidak ada. Ba-rangkali aku terlalu sarkastik. Tapi memang begitulah kenyataannya. Raja Jawa itu tinggal bayang-bayang. Hanya karena keberadaan ‘raja’ itu menguntungkan gubernemen, maka perlu dijaga keberadaan bayang-bayang itu. Di sini lah aku harus memahami betul perbedaan antara raja sejati dan raja boneka. Namun tidak boleh tidak, raja boneka harus menguntungkan guber-nemen. Dia tidak boleh menguntungkan dirinya sendiri, apa lagi menguntungkan orang Jawa yang menjadi kawulanya. (Dasamuka: 53)
Pada kutipan tersebut, Willem memandang bahwa Raja
Jawa, dalam hal ini sultan, hanya sekadar bayang-bayang.
Keberadaan Sultan antara ada dan tiada. Secara nyata, sultan
memang ada dalam keraton, tetapi tidak dapat memiliki
kebijakan sendiri. Seluruh kebijakan dilakukan oleh residen.
Sultan yang dikultuskan oleh masyarakat Jawa hanya dijadikan
alat untuk mengaplikasikan kebijakan-kebijakan residen terhadap
rakyat. Terlebih lagi ketika sultan yang berkuasa sangat memihak
pada pemerintah kolonial, seperti pada kepemimpinan Sultan
Raja, residen semakin berkuasa. Selain itu, juga pada
kepemimpinan Sultan Jarot yang umurnya masih belasan tahun
133
sehingga tidak memiliki wibawa apa-apa dihadapan pemerintah
kolonial.
Hancurnya sebuah dinasti juga dipengaruhi oleh hadirnya
seorang penghianat. Begitu juga yang terjadi pada Keraton
Yogyakarta. Patih Danureja yang sangat memihak terhadap
pemerintah kolonial laiknya seorang penghianat. Hal ini terlihat
dalam kutipan berikut ini.
Pasalnya, Patih Danureja memang terlalu me-mihak gubernemen Belanda. Perilaku yang demikian itu tentu saja tidak disukai oleh Sultan Sepuh yang masih begitu bangga dengan ke-jawaannya. Ketika Sultan meminta Sang Gubernur Jendral untuk memecat Patih itu, dia menyatakan keberatannya. Daendels Sang Gubernur Jendral, memang banyak diuntung-kan oleh bercokolnya Patih itu di dalam keraton. (Dasamuka: 24)
Dari kutipan tersebut terlihat bahwa, Sultan Sepuh yang
masih begitu memihak pada masyarakat Jawa tidak suka dengan
keberadaan Patih Danureja yang sangat memihak kepada
pemerintah kolonial. Namun, Sultan Sepuh yang berkedudukan
sebagai Sultan tidak memiliki kuasa untuk memecat Patih karena
semua unsur di dalam keraton diangkat dan diberhentikan oleh
pemerintah kolonial.
3) Hukum
Sistem dan organisasi kemasyarakatan tidak terlepas dari
hadirnya hukum dan peradilan. Hal ini digunakan sebagai alat
untuk menumpas kejahatan di dalam sistem sosial kemasyara-
134
katan. Sistem hukum yang diceritakan di dalam novel terlihat
pada peristiwa bronjong. Bronjong merupakan sebuah objek
penelitian dari Willem yang datang jauh-jauh dari Inggris ke
Pulau Jawa. Pada dasarnya bronjong adalah sebuah keranjang
besar yang terbuat dari bilahan-bilahan bambu yang dianyam
jalin menjalin antara bilahan yang satu dengan yang lain. Dalam
kehidupan sehari-hari bronjong biasanya digunakan sebagai
wadah untuk membawa hewan ternak. Namun, bronjong di
dalam novel ini berbeda, bronjong merupakan sebuah peristiwa
hukuman bagi seorang narapidana yang diadu dengan seekor
macan kelaparan sebagaimana kutipan berikut ini.
Apakah Tuan Leyden memang memintaku untuk menulis tentang bronjong yang ternyata merupakan amphitheatre tempat di mana gladiator bertarung melawan macan? Untuk urusan penghakiman dan penghukuman, ternya-ta kekejaman keraton Jawa tak jauh beda dengan kebengisan kekaisaran Romawi. (Dasamuka: 82-83)
Dari kutipan tersebut jelas terlihat bahwa pada masa itu
terdapat satu model hukuman yang sangat keji, yakni dengan
mempertarungkan antara seorang terdakwa dengan seekor ma-
can. Hukuman ini dilakukan di lingkungan keraton. Pengambilan
kata bronjong sendiri terjadi karena tempat yang digunakan
untuk mempertarungkan antara terdakwa dengan macan adalah
sebuah bronjong raksasa yang ukurannya berkali-kali lipat lebih
besar dibandingkan dengan bronjong tempat membawa hewan
135
yang biasa digunakan dalam kehidupan sehari-hari. Bronjong
tersebut juga terbuat dari bilah bambu yang ukurannya lebih
besar dari bronjong pada umumnya.
Dalam sebuah mahkamah peradilan seringkali terjadi
ketidakadilan. Orang yang tidak bersalah dihukum begitu saja
dengan tuduhan tertentu. Begitu juga dengan peristiwa bronjong
yang disaksikan oleh Willem di dalam novel sebagaimana ku-
tipan berikut ini.
Tidak seperti di amphethetre, di bronjong ini hadirinnya tidak begitu banyak. Bukan karena terlarang bagi penduduk untuk melihatnya, tapi karena banyak yang yakin bahwa pesakitan kali ini bukan orang yang bersalah. (Dasamuka: 87)
Dari kutipan tersebut terlihat bahwa terdakwa pada waktu
itu bernama Kiai Ngarip, seorang pemimpin pondok pesantren di
daerah Bagelen. Masyarakat yakin bahwa Kiai Ngarip tidak
bersalah sama sekali. Masyarakat pun tidak tahu apa kesalahan
Kiai Ngarip, padahal yang biasanya masuk hukum bronjong
adalah kecu, begal, dan sebangsa wong durjana lainnya.
Politik seringkali terjadi di dalam peradilan. Begitu juga
dengan kisah peristiwa bronjong yang menjadikan Kiai Ngarip
sebagai terdakwa. Anak menantu Kiai Ngarip yang bernama
Semi meminta tolong kepada Willem – yang merupakan orang
gubernemen – untuk menolong Kiai Ngarip. Willem bersedia
menolong Semi tidak semata karena faktor kemanusiaan, tetapi
136
juga ada rasa ketertarikan Willem kepada sosok Semi. Untuk
menolong Kiai Ngarip, Willem meminta tolong kepada
Dasamuka. Pertolongan yang diberikan oleh sosok Dasamuka ti-
dak gratis. Selain mengharapkan upah, dia memerlukan uang
untuk menjalankan misinya, sebagaimana kutipan berikut ini.
“Baik aku percaya padamu, Dasamuka. Ini murni urusan kerja. Sebagai tanda jadi bahwa aku memintamu bekerja untukku, berapa baya-ran yang kau minta?” “Aku perlu biaya tidak sedikit, Tuan. Aku minta separuh dulu. Setengah selebihnya baru kuminta kalau Kiai Ngarip sudah ada di dalam rumahnya bersama segenap keluarganya, ada di rumahnya dalam keadaan selamat.” (Dasamuka: 85)
Dari kutipan tersebut terlihat bahwa pada masa itu
pemanfaatan orang yang memiliki keahlian bersiasat untuk
menyiasati peradilan sudah ada. Orang semacam Dasamuka ini
pada saat ini biasa disebut dengan pengacara, yaitu orang yang
diminta tolong oleh pihak terdakwa untuk membebaskan atau
setidaknya meringankan hukuman bagi terdakwa.
Cara yang dilakukan oleh Dasamuka untuk menyela-
matkan Kiai Ngarip yakni dengan memanfaatkan uang yang
diberi Willem kepadanya guna dibelikan kambing dan lembing
bermata pajang dan tajam. Kambing dan lembing, dia susupkan
ke dalam peradilan dengan menyuap pawang dan penjaga se-
bagaimana kutipan berikut ini.
137
Uang yang kuberikan kepadanya ketika itu digunakannya untuk membeli kambing dan lembing. Dengan menyumpalkan sejumlah uang di ikat pinggang pawang, dia bisa membuat macan itu menyantap seekor kambing gemuk sesaat sebelum masuk dalam bronjong. Dengan menyumpalkan uang di ikat pinggang penjaga, dia berhasil menukar lembing yang biasa dise-diakan untuk pesakitan, digantikan lembing yang mata lembingnya lebih panjang dan lebih tajam. Sangat sederhana kerja Dasamuka. Tapi kalau bukan Dasamuka adalah mustahil untuk berkeliaran dengan leluasa di kawasan terlarang di sekitar bronjong. (Dasamuka: 91)
Dari kutipan tersebut tercermin bahwa sesungguhnya
sekejam apapun peradilan masih kalah dengan uang. Hal ini
disebabkan karena lemahnya pertahanan unsur manusia di dalam
peradilan itu sendiri. Contohnya di dalam novel, peradilan dapat
diakali oleh uang yang dimiliki Dasamuka, yang pada waktu itu
diceritakan umurnya masih sekitar belasan tahun. Begitu juga
yang terjadi sekarang ini baik di Indonesia maupun dibelakan
bumi manapun, peradilan seringkali takluk dengan keberadaan
uang karena pertahanan keimanan yang dimiliki oleh unsur-unsur
manusia di dalam peradilan.
4) Kelompok sosial
Dalam masyarakat Jawa dikenal adanya kelompok sosial.
Kelompok sosial tersebut terbagai ke dalam tiga golongan, yaitu
golongan priyayi, santri, dan abangan. Dalam novel ini, ketiga
138
kelompok sosial tersebut tercermin dalam kehidupan berma-
syarakat.
a) Priyayi
Kelompok Priyayi tercermin dalam kehidupan
Sultan, para kerabat Sultan, dan orang-orang terpelajar yang
ada disekeliling keraton. Gambaran priyayi terlihat pada
kutipan berikut ini.
Untukku sekarang, Den Wahyana menjadi sosok yang makin istimewa. Aku merasa bodoh kalau tidak ingin tahu lebih dalam tentang sahabatku ini. Terjadinya suatu peristiwa me-mang bisa menyebabkan terjadinya perubahan pandangan seseorang. Sebelum peristiwa Alas Roban, aku melihatnya sebagai sosok priyayi terpelajar, sosok yang biasa kulihat di sekitar keraton. Setelah peristiwa itu, kulihat bahwa kepriyayiannya beda dengan kepriyayian yang biasa kulihat. Gerakannya lebih gesit. Kulitnya lebih gelap oleh panggangan sinar matahari. (Dasamuka: 78)
Dari kutipan tersebut dapat ditarik sebuah kesim-
pulan bahwa sosok priyayai merupakan sosok yang keba-
nyakan memiliki sifat lembut, baik tingkah laku maupun budi
bahasanya. Tingkah lakunya pelan dan tertata untuk menjaga
wibawanya. Secara fisik terlihat lebih bersih dibandingan
masyarakat umum karena kehidupannya yang banyak diha-
biskan di dalam keraton atau puri dengan fasilitas yang serba
ada, tidak harus mengerjakan pekerjaan kasar laiknya
masyarakat umum. Selain itu, kelompok priyayi Jawa juga
139
dapat dilihat dari pakaian yang dikenakan. Corak kain batik
dan warna destar yang dikenakan juga menunjukkan tingkat
kepriyayian seseorang. Sosok priyayi lebih dihormati dika-
langan masyarakat karena kedudukannya yang tinggi.
b) Santri
Kelompok santri di dalam novel tercermin dalam
kehidupan keluarga Kiai Ngarip yang hidup di pondok pesan-
tren di kawasan Bagelen. Hal ini terlihat di dalam kutipan
berikut ini.
Kembali kami terdiam. Ada suara azan ter-dengar. Meski aku tak tahu artinya, aku tahu bahwa itu panggilan bagi orang-orang yang mendengarnya untuk berdoa bersama di dalam rumah yang mereka sebut masjid. Kulihat Kiai Ngarip bangkit dari pembaringannya. Dia meminta izin untuk sejenak berdoa. Dengan sambil tetap duduk bersila, dia khusuk me-lafalkan doa dengan suara lirih. Aku tak mau mengganggu kekhidmatannya. Aku pun keluar dari kamar. (Dasamuka: 98)
Kutipan tersebut menggambarkan kehidupan Kiai
Ngarip yang merupakan figur seorang santri di dalam cerita.
Sosok santri biasanya hidup sederhana sebagai wujud
tawadhu kepada Allah. Digambarkan di dalam novel, Kiai
Ngarip yang sedang sakit sekalipun tetap menjalankan ibadah
ritual sholat setelah mendengar kumandang adzan dari masjid
pondok pesantrennya sebagai wujud ketaatan kepada Tuhan-
nya.
140
c) Abangan
Kelompok abangan atau yang di dalam novel sering
disebut dengan wong durjana tercermin dalam kehidupan Ki
Poleng yang merupakan wong durjana terkenal seantero
nagari sebagaimana kutipan berikut ini.
“Kami wong durjana, tak berumah, tak ada urusan dengan gubernemen. Yang takut pada gubernemen adalah orang yang disuapinya. Kami bisa dan biasa cari makan sendiri.” (Dasamuka: 123)
Dari kutipan tersebut terlihat bahwa wong durjana
merupakan kelompok abangan yang tidak berumah. Mereka
tinggal secara berpindah-pindah untuk menghindari para pe-
tugas keamanan. Kelompok abangan ini biasanya memiliki
fisik dan tutur kata yang kasar karena tempaan hidup yang
dialaminya. Kelompok abangan digambarkan dalam novel
sebagai sosok kecu, begal, dan penindak kejahatan lainnya.
c. Sistem Pengetahuan
Di dalam pembahasan terkait sistem pengetahuan di dalam
novel Dasamuka karya Junaedi Setiyono, penulis akan membahas
setidaknya enam hal, yaitu alam Jawa, sifat/tingkah manusia, kriteria
pendamping hidup, ruang dan waktu dalam ilmu Jawa, pendidikan
anak, dan ramuan Jawa.
141
1) Alam (Flora)
Flora dan fauna tanah Jawa tidak hanya terlihat indah
dipandang mata, tetapi juga memiliki filosofi atau makna ter-
sendiri sebagaimana kutipan berikut ini.
Di dalam, setelah omong-omong sebentar dengan seorang penjaga lainnya, Dasamuka yang sudah turun dari kudanya, berjalan kaki menuju bangunan paling besar berbentuk joglo yang diteduhi sepasang pohon beringin, pohon ningrat yang menambah kewibawaan puri kepa-ngeranan. (Dasamuka: 139)
Dari kutipan tersebut diketahui bahwa menurut pan-
dangan masyarakat Jawa, pohon beringin tidak hanya sekadar
pohon biasa yang tumbuh subur di tanah Jawa. Dalam filosofi
Jawa pohon beringin kembar – seperti yang diungkapan dalam
kutipan – merupakan pohon ningrat yang menambah kewi-
bawaan. Pohon beringin kembar masih dapat dilihat sampai
sekarang di tengah alun-alun atau depan rumah dinas Bupati
hampir di seluruh kabupaten di Jawa, khususnya Jawa Tengah
dan Daerah Istimewa Yogyakarta.
Pohon beringin merupakan pohon tropis yang dapat
tumbuh subur di kepulauan Nusantara, termasuk di Pulau Jawa.
Bentuk fisik pohon beringin yang besar, rimbun, dan melebar
merupakan tempat yang nyaman untuk berteduh dan berlindung
sekaligus lahan mencari makan bagi burung, kelelawar, dan
hewan lainnya. Di samping itu, akar pohon beringin yang
142
merupakan akar tunggang merupakan penyimpan air terbaik.
Oleh sebab itu, pohon beringan tidak hanya dapat dilihat di alun-
alun atau rumah dinas bupati, tetapi juga dapat dilihat di desa-
desa dengan sendang kecil yang berada di bawahnya. Di banyak
desa di tanah Jawa, pohon beringin merupakan sumber
kehidupan paling utama karena mampu memberikan cadangan
air yang melimpah di musim kemarau. Dengan demikian, dapat
dikatakan bahwa pohon beringin merupakan pelindung, pemak-
mur, dan sumber kehidupan bagi makhluk di sekelilingnya.
Karakteristik dari pohon beringin inilah yang menyebabkan
pohon beringin menjadi simbol kewibawaan pemimpin Jawa
dengan fungsi pengayom dan pemberi kehidupan bagi rakyatnya.
2) Sifat/Tingkah Manusia
Sifat atau tingkah laku manusia bisa dipelajari dan
dipahami oleh manusia yang lain. Pengetahuan terkait sifat atau
tingkah manusia ini terlihat pada saat tokoh Ki Sena menghadapi
Den Rara Ningsih. Ki Sena mengatur strategi untuk dapat lolos
dalam ujian agar lamarannya diterima. Hal tersebut terdapat
dalam kutipan berikut ini.
Suara Den Rara Ningsih sebenarnya terlalu lem-but untuk telinga orang kebanyakan, tapi tidak untuk telinga Ki Sena. Dia mengerti dengan baik apa yang dikatakan putri itu karena dia mencermati gerak bibirnya tidak hanya men-dengarkan suaranya. (Dasamuka: 36)
143
Dari kutipan tersebut dapat diketahui bahwa gadis Jawa
memiliki sifat yang lembut, baik tingkah lakunya maupun tutur
katanya. Terutama gadis-gadis putri keraton atau kerabat keraton
seperti halnya Den Rara Ningsih. Untuk menyiasati hal tersebut,
Ki Sena sudah mempersiapkan diri dengan tidak hanya mem-
pertajam pendengarannya, tetapi juga dengan mempelajari gerak
bibir dengan mempertajam mata dan logika.
Kemampuan yang dimiliki Ki Sena untuk mengetahui
gerak gerik seseorang juga dimiliki oleh anaknya, Dasamuka.
Dasamuka sendiri sebenarnya hanya julukan yang memiliki arti
bermuka sepuluh. Dasamuka memiliki nama asli Danar. Danar
atau Dasamuka memiliki kemampuan untuk menebak isi hati de-
ngan melihat wajah sekilas orang lain, sebagaimana kutipan beri-
kut ini.
Dasamuka memang punya banyak keistimewaan. Salah satu kelebihannya adalah kemampuannya untuk menebak isi hati orang cukup dengan sekilas melihat wajah orang itu. Untuk mengetahui apa yang sedang dirasakan seseorang, dia cukup melihat raut mukanya. Dan, penilaiannya itu sangat jarang meleset. Dia bisa membedakan orang yang benar-benar gem-bira atau sedang pura-pura gembira. Atau sebaliknya, orang yang benar-benar sedih atau sedang pura-pura sedih. Dunia pura-pura adalah dunia yang sungguh dikuasainya dengan baik. Sebaliknya pada saat dia berpura-pura, tidak ada orang yang tahu. Dia bisa begitu lihai menyem-bunyi-kan kepura-puraannya. Wajahnya bisa diaturnya sekehendaknya. Konon karena keistimewaannya itulah maka dia dipanggil
144
Dasamuka oleh teman-temannya, si muka sepuluh. (Dasamuka: 140-141)
Dari kutipan tersebut dapat diketahui bahwa dunia ma-
nusia memang penuh dengan kepura-puraan. Oleh sebab itu,
butuh ketajaman hati untuk melihatnya. Ketajaman itu dimiliki
oleh Dasamuka. Dengan ketajaman pengetahuannya itu, dia bisa
mengetahui masalah yang dimiliki oleh orang lain dan meman-
faatkannya untuk mendapatkan uang dengan cara mengulurkan
bantuan. Sedangkan Dasamuka sendiri memiliki kemampuan
menyembunyikan apa yang sebenarnya terjadi pada dirinya de-
ngan ‘muka sepuluh’-nya.
Dengan ‘muka sepuluh’-nya, Dasamuka bisa dekat dan
masuk ke dalam semua kalangan, dari kalangan priyayi keraton
sampai kalangan abangan wong durjana. Dasamuka memiliki
banyak kunci rahasia yang dimiliki untuk bisa diterima di setiap
kalangan itu. Salah satu pengetahuin Dasamuka ini terdapat pada
kutipan berikut ini.
Dengan cara melemparkan batu sebesar jempol kaki pada dinding anyaman bambu sebanyak tiga kali, yang merupakan tanda khas di antara wong durjana yang sepakat menjalin kerjasama, pelahan terkuaklah pintu rumah tanpa jendela itu. (Dasamuka: 244)
Dari kutipan tersebut terlihat bahwa Dasamuka memi-
liki pengetahuan dan pemahaman terkait dunia wong durjana.
145
Hal ini memudahkannya untuk bisa masuk ke dalam dunianya.
Dari kutipan tersebut juga dapat diketahui bahwa wong durjana
memiliki kode khusus untuk berkomunikasi. Salah satunya kode
itu adalah dengan melempar batu kerikil sebanyak tiga kali untuk
membangun kerjasama kesepakatan. Untuk bisa masuk ke dalam
kelompok priyayi maupun santri, tentunya Dasamuka juga me-
miliki trik tersendiri yang membuatnya dapat diterima.
Dasamuka selalu menarik perhatian priyayi dengan kemam-
puannya menebak kebutuhan priyayi yang bersangkutan untuk
menawarkan bantuan. Tentunya bantuan itu tidak gratis,
Dasamuka akan meminta imbalan tertentu yang membuatnya
terkenal sebagai pemuda kaya raya. Kemampuan Dasamuka
untuk mengetahui apa yang sedang terjadi pada orang lain
dengan melihat watak atau tingkah ini dimiliki oleh sebagian
orang Jawa yang ber ‘ilmu’.
3) Kriteria Pendamping Hidup
Pernikahan merupakan sebuah tradisi dalam kebudaya-
an manusia di belahan bumi mana pun dan ada di dalam setiap
dekade peradaban. Setiap suku memiliki tradisi sendiri-sendiri,
termasuk dalam kriteria tertentu dalam menentukan pendamping
hidup yang terbaik untuk dibawa ke dalam pernikahan. Begitu
juga dengan suku Jawa. Hal ini digambarkan dalam novel pada
kutipan berikut ini.
146
Tidak hanya bibit yang menjadi petimbangan, tapi juga bebet dan terutama bobot pemimpin-pemimpin itu. Ya, bibit-bebet-bobot menjadi satu kesatuan.” (Dasamuka: 39)
Berdasarkan kutipan tersebut dapat diketahui bahwa
terdapat tiga kriteria pendamping hidup dalam budaya jawa,
yaitu bibit, bebet, dan bobot. Bibit, memiliki makna siapa orang
tuanya atau garis keturunan yang menurunkannya yang di Jawa
disebut dengan trah. Pada masa lalu, trah menjadi pertimbangan
utama dalam memilih pendamping hidup. Perbedaan trah dalam
pernikahan seringkali menimbulkan permasalah. Hal ini ter-
cermin dalam pernikahan Ki Sena dengan Den Rara
Wahyuningsih dalam novel Dasamuka karya Junaedi Setiyono
yang telah dipaparkan sebelumnya dalam pembahasan kekerabat-
an dalam organisasi kemasyarakatan. Pernikahan dengan perbe-
daan trah dianggap mencoreng kewibawaan dari pihak trah
berdarah biru atau priyayi. Selanjutnya, bebet memiliki makna
siapa teman-temannya. Dalam memilih pendamping hidup,
kriteria ini dianggap sangat penting bangi orang Jawa untuk
diperhatikan karena baik dan buruknya seseorang dipengaruhi
oleh teman dan lingkungan yang ada di sekelilingnya. Selain
bibit dan bebet, terdapat pertimbangan bobot, yakni kemampuan
dan kualitas diri calon pasangan hidup. Kriteria ini dirasa perlu
diperhatikan oleh orang Jawa karena kemampuan dan kualitas
147
diri pasangan akan menentukan masa depan hidup berumah
tangga.
4) Ruang dan Waktu dalam Ilmu Jawa
Masyarakat Jawa memiliki pandangan sendiri terkait
ruang dan waktu yang berasal dari pengetahuannya dalam
memperhatikan kondisi alam yang ada di sekelilingnya sebagai-
mana kutipan berikut ini.
Orang Jawa sungguh percaya bahwa ber-kuasanya garengpung berarti berkuasanya kemarau. (Dasamuka:67)
Dari kutipan tersebut terlihat bahwa masyarakat Jawa
mengetahui akan datangnya musim kemarau dari hadirnya suara
garengpung yang memekakkan telingan. Dapat diketahui bahwa
pulau Jawa memiliki dua musim, yaitu musim penghujan dan
musim kemarau. Masyarakat Jawa memiliki ilmu titen yang
dijadikan patokan untuk menandai akan datangnya musim
penghujan dan musim kemarau. Seperti yang ada di dalam
kutipan tersebut, datangnya musim kemarau ditandai dengan
hadirnya garengpung. Garengpung merupakan serangga hutan
yang bunyinya sangat keras. Garengpung akan berbunyi di akhir
musim penghujan. Hal ini dijadikan penanda waktu bagi
masyarakat Jawa akan datangnya musim kemarau. Begitu juga
dengan penanda akan datang musim penghujan. Masyarakat
percaya bahwa ketika bunga lily – orang Jawa biasa menye-
148
butnya dengan bawang-bawangan – mekar akan hadir musim
penghujan.
Selain penanda musim, masyarakat Jawa juga sering
menyebutkan waktu dengan kondisi alam yang ada di sekitarnya
sebagaimana kutipan berikut ini.
“Bila pada saat lingsir wengi Rara ireng sudah berada di sini ini,” telunjuk Den Wahyana menunjuk pada suatu titik di gambarnya,”Pada saat titiyono, dia sudah akan berhasil kita keluarkan dari pagar tembok kaputren. (Dasamuka: 217)
Dari kutipan tersebut terlihat bahwa frasa lingsir wengi
dan kata titiyono digunakan masyarakat Jawa pada masa lalu
untuk menyebutkan sekitar pukul satu malam untuk lingsir wengi
dan titiyono untuk menyebutkan sekitar pukul dua malam.
5) Pendidikan Anak
Pengetahuan perempuan Jawa dalam pendidikan bagi
anaknya masih kurang. Hal ini terlihat dari perbuatan Ibunda
Sultan sendiri di dalam novel yang tercermin dalam kutipan
berikut ini.
Ibunda Sultan, yang lebih dikenal sebagai Gusti Ratu Kencana, begitu ingin putranya cepat tumbuh dewasa. Sayangnya keinginan itu tidak didukung oleh wawasan yang luas dan bijaksana yang bernas. Alih-alih mendatangkan guru-guru luhur budi pekerti atau pujangga-pujangga arif bijak bestari, dia mendatangkan perempuan-perempuan cantik kenes usia belasan yang sungguh menggairahkan yang dimintanya menuruti semua kemauan anak tercintanya. (Dasamuka: 189-190)
149
Dari kutipan tersebut terlihat bahwa Ibunda Sultan
terlihat salah dalam memberikan pola asuk terhadap sultan yang
masih berusia remaja. Gusti Ratu Kencana menginginkan Sultan
Jarot, anak laki-lakinya yang telah diangkat menjadi sultan itu,
lebih cepat dewasa. Untuk mewujudkan keinginannya itu Gusti
Ratu Kencana menyendiakan banyak gadis sebagai teman Sultan.
Gusti Ratu Kencana berharap, Sultan Jarot akan lebih cepat
dewasa dengan adanya gadis-gadis di sekelilingnya yang dapat
membangkitkan gairah alaminya. Namun yang terjadi, Sultan
Jarot tidak juga menjadi dewasa pemikirannya dan memiliki
wibawa dihadapan pemerintah koloniah dan rakyatnya, tetapi
menjadi sosok Sultan yang hanya senang berfoya-foya tanpa
memikirkan amanah yang sedang diembannya.
Sebagaimana pendapat Willem dalam kutipan tersebut,
apa yang dilakukan oleh Ibu Ratu Kencana merupakan tindakan
yang salah langkah. Untuk membuat seorang anak menjadi
dewasa seharusnya dengan mendatangkan guru pendidikan
akhlak untuk menempa akhlaknya menjadi lebih baik dan
dewasa. Bukan dengan cara mendewasakan fungsi biologis yang
dimiliki oleh Sultan Jarot untuk membuatnya dewasa.
Sehubungan dengan pendidikan dan pola asuh anak,
Kiai Ngarip dan Willem juga pernah berduskusi panjang. Diskusi
150
mereka terkait salah satu tokoh di dalam novel, yakni Dasamuka.
Willem memiliki pendapat seperti kutipan berikut ini.
Tapi aku belum menemukan jawaban yang lebih baik dari itu: bahwa menurutku pemanjaan pada hakikatnya adalah peracunan. Orang tua telah meracuni anaknya, racun yang menjadi potensi di dalam batinnya untuk melahirkan kejahatan. (Dasamuka: 98-99)
Dari kutipan tersebut terlihat bahwa kunci pola asuh
anak ada di tangan orang tua. Pemanjaan yang dianggap baik
oleh orang tua justru membuat anak menjadi tidak mandiri dan
berakhlak buruk. Di dalam novel, tokoh Dasamuka dan Sultan
Jarot sama-sama mengalami pemanjaan di waktu kecil. Semasa
keci, Dasamuka dimajakan oleh keluarga ibunya di Puri Sutejan.
Begitu juga dengan Sultan Jarot, Sultan Jarot dimanjakan oleh
ibunya dengan banyak gadis disekelilingnya dan kehidupan yang
foya-foya. Namun perbedaannya, pemanjaan pada diri Dasamuka
hanya di waktu kecil. Ketika remaja Dasamuka hidup berkelana
dengan dunianya sendiri dan mendidik dirinya sendiri untuk
dapat menghadapi kehidupan yang keras. Adapun pemanjaan
Sultan Jarot terjadi hingga usia remaja.
Berbeda dengan pendapat Willem, Kiai Ngarip
berpendapat bahwa jahatnya seseorang ditentukan oleh saat dan
tempat tumbuh-kembangnya seseorang. Hal ini Kiai Ngarip
paparkan dalam kutipan berikut ini.
151
“Semua bayi dilahirkan Suci. Bayi yang lahir dari perzinaan pun suci. Itulah keyakinanku. Jadi bayi Dasamuka adalah bayi suci. Yang membuatnya jahat adalah tempat dan saat yang kemudian dialaminya dalam perjalanan menuju kedewasaannya.” (Dasamuka: 112)
Dari kutipan tersebut dapat diketahui bahwa tempat
atau lingkungan hidup seorang manusia akan mempengaruhi
sifatnnya. Jika lingkungannya baik, maka seseorang juga akan
baik. Sebaliknya jika lingkungan buruk, maka seseorang itu akan
menjadi buruk. Begitu juga dengan waktu, seiring dengan
berjalannya waktu seseorang akan mengalami banyak hal dan
mempertemukan dengan banyak orang yang memungkinkannya
mendapatkan pengaruh, baik pengaruh baik maupun pengaruh
buruk.
6) Ramuan Jawa
Salah satu kelebihan masyarakat Jawa terletak pada
pengetahuan terkait karakteristis tumbuh-tumbuhkan yang
tumbuh di lingkungan sekitar. Tumbuh-tumbuhan ini dapat
berfungsi sebagai racun maupun obat. Untuk menjadi racun atau
obat tumbuh-tumbuhan atau bagian tumbuhan – daun, akar,
batang – bisa langsung digunakan maupun diolah menjadi
ramuan. Ramuan ini diketahui dan dipercaya khasiatnya oleh
masyarakat Jawa. Salah satu fungsi ramuan terdapat dalam kuti-
pan novel berikut ini.
152
Juga, tak boleh dilupakan, jenis tumbuhan apa yang imamah si kambing sebelum ternak itu disantap si macan dan jenis ramuan apa yang digosokkan pada mata lembing juga memegang peranan penting. (Dasamuka: 91)
Dari kutipan tersebut dapat diketahui bahwa terdapat
dua pengetahuan Jawa terkait tumbuhan yang dapat diketahui.
Pertama, terkait daun beracun. Terdapat beberapa jenis daun
tumbuhan yang sifatnya beracun bagi binatang yang memakan-
nya. Contohnya daun singkon yang dimakan kambing ketika
daun itu diambil di sore hari dan baru saja terkena air hujan, akan
menjadi racun. Racun sifatnya mengalir ke dalam darah. Ketika
kambing dimakan macan, berarti ada darah kambing yang sudah
beracun masuk ke dalam tubuh macan dan ikut meracuni macan.
Kedua, terkait ramuan yang dioleskan pada mata lembing. Ra-
muan racun yang berasal dari tumbuh-tumbuhan dapat berfungsi
ampuh untuk membunuh. Tidak hanya pada mata lembing,
tombak-tombak yang dimiliki oleh masyarakat Jawa, baik untuk
melawan musuh atau berburu, biasanya juga diberi ramuan
tertentu untuk proses pembunuhan lebih cepat.
d. Bahasa
Di dalam pembahasan terkait bahasa, di dalam novel
Dasamuka karya Junaedi Setiyono terdapat pembahasan terkait
proses belajar berbahasa dan tingkatan bahasa.
153
1) Proses Belajar Bahasa
Dalam pemerolehan bahasa kedua dibutuhkan adanya
proses belajar bahasa. Di dalam novel Dasamuka ini diceritakan
secara detail bagaimana seseorang belajar bahasa kedua. Willem
sebagai tokoh utama di dalam novel merupakan tokoh yang
berkebangsaan Skotlandia. Di tanah Jawa, dia ingin meneliti
bronjong yang merupakan salah satu bentuk hukum di Kasultan-
an Yogyakarta, di samping budaya Jawa yang lainnya. Willem
membutuhkan kecakapan dalam bahasa Jawa untuk dapat me-
neliti secara langsung karena kunci utama untuk dapat mengenal
budaya di luar budaya sendiri adalah penguasaan bahasa. Willem
belajar bahasa Jawa dengan seorang tolek (ahli bahasa) dari
keraton Ngayogyakarta bernama Den Wahyana.
Untuk belajar bahasa, pembelajar membutuhkan bahasa
pengantar yang telah dikuasai oleh pembelajar dan pendidik. Den
Wahyana menguasa bahasa Belanda, Willem juga menguasai
bahasa Belanda sehingga mereka belajar bahasa Jawa dengan
bahasa pengantar bahasa Belanda.
Pelajaran bahasa tahap pertama adalah ucapan kesan-
tunan agar dapat mudah diterima oleh masarakat pemilik bahasa
sebagaimana kutipan berikut ini.
Untuk tahap pertama, kita belajar supaya kita bisa diterima oleh orang Jawa. Untuk itu ucapan demi kesantunan saat pertama bertemu adalah pelajaran pertama kita. Setuju?”
154
Ucapan demi kesantunan...ya, itu memang bagi-an penting belajar bahasa. (Dasamuka: 15)
Dari kutipan tersebut dapat diketahui bahwa ucapan
bahasa kesantunan sangat penting, terutama untuk dapat berin-
teraksi dengan orang Jawa karena orang Jawa sangat menjunjung
kesantunan dalam berbahasa. Dalam bahasa pada umumnya,
ucapan kesopanan ini dapat berupa ucapan selama siang, apa
kabar, dan sapaan lainnya. Namun, untuk bahasa Jawa, lebih dari
itu. Di dalam bahasa Jawa terdapat tingkatan-tingkatan bahasa
yang akan dipaparkan pada pembahasan tingkat bahasa dalam
bahasa Jawa pada pembahasan selanjutnya.
2) Tingkat Bahasa dalam Bahasa Jawa
Bahasa Jawa memiliki ciri khas tertentu dibandingkan
dengan bahasa yang lainnya. Dalam bahasa Jawa, dikenal adanya
tingkatan dalam berbahasa. Jumlah tingkatan bahasa dalam
bahasa Jawa ada tiga, yaitu bahasa Jawa Kromo Inggil, Kromo
atau Kromo Alus, dan Ngoko. Tingkatan tersebut digunakan
sesuai dengan tingkat sosial penutur dan mitra tutur. Penggunaan
tingkat bahasa ini sebagai salah satu bentuk kesopanan dan
penghormatan terdapat di dalam novel Dasamuka karya Junaedi
Setiyono, sebagaimana kutipan di bawah ini.
Ki Sena bertutur dengan bahasa Jawa Krama. (Dasamuka: 23)
155
Kutipan tersebut terjadi pada saat Ki Sena bercerita
terkait perjuangan pemberontakan Raden Rangga kepada Willem
dengan bahasa Jawa Kromo. Bahasa Jawa Kromo merupakan
bahasa Jawa yang digunakan untuk berbicara dengan orang yang
belum dikenal atau disegani atau yang tidak kenal akrab. Bahasa
ini digunakan Ki Sena sebagai wujud kesopanan terhadap mitra
bicara. Begitu juga apa yang dilakukan Willem pada kutipan
berikut ini.
Ketika kuedarkan pandanganku dan kulihat bahwa aku adalah satu-satunya orang kulit putih yang ada di situ, dengan menggunakan bahasa Jawa krama yang sudah kukuasai, aku pun menolaknya. (Dasamuka: 87)
Dari kutipan tersebut dapat diketahui bahwa bahasa
Jawa Kromo digunakan oleh Willem untuk berkomunikasi de-
ngan orang pribumi sebagai wujud kesopanan. Terlebih lagi
tuturan yang diucapkan Willem merupakan tuturan penolakan.
Penggunaan bahasa Jawa Krooa yang digunakan oleh Willem ini
sebagai upaya agar dirinya bisa diterima di lingkungan ma-
syarakat Jawa.
Selain yang sudah dipaparkan sebelumnya, tuturan
dengan bahasa Jawa Kromo ini biasanya digunakan oleh orang
yang merasa memiliki status sosial yang lebih rendah dari pada
mitra bicaranya. Adapun bahasa Ngoko digunakan bagi orang
yang merasa memiliki status sosial yang sama, sedangkan bahasa
156
Jawa Kromo Inggil digunakan bagi orang yang merasa memiliki
status sosial yang rendah kepada orang ang memiliki status sosial
tinggi.
Di samping untuk memperhatikan kesopanan, penggu-
naan lapis bahasa juga menunjukkan kelompok sosial tertentu
bagi penggunanya sebagaimana kutipan berikut ini.
Dia memang berdarah merah, darah petani Bagelen, yang diejek karena tutur bahasanya yang kaku kasar. (Dasamuka: 23)
Dari kutipan tersebut diketahui bahwa darah merah atau
darah petani (rakyat jelata) biasanya memiliki tutur bahasa kasar.
Tutur bahasa kasar ini biasanya digunakannya bahasa Jawa
Ngoko. Terlebih lagi bagi kelompok sosial abangan wong
durjana, bahasa Jawa Ngoko yang digunakan lebih kasar lagi.
Petani menggunakan bahasa Jawa Ngoko hanya sebatas untuk
berkomunikasi dengan orang sesamanya, sedangkan untuk
berbicara dengan orang yang memiliki tingkat sosial yang lebih
tinggi atau orang yang disegani tetap menggunakan bahasa Jawa
Kromo. Namun, bahasa Jawa Kromo yang digunakan tidak
sehalus kaum santri dan priyayi. Kelompok sosial santri biasanya
menggunakan bahasa Jawa Krama. Hal ini terlihat di kalangan
santri pondok pesantren. Walaupun berkomunikasi dengan teman
sesamanya yang satu umuran, tetap menggunakan bahasa Jawa
Kromo. Kelompok sosial priyayi biasanya menggunakan bahasa
157
Jawa Kromo Inggil untuk bertutur. Terutama untuk berkomu-
nikasi dengan orang yang memiliki tingkat sosial yang sama
maupun tingkat sosial yang lebih tinggi.
e. Kesenian
Di dalam pembahasan terkait kesenian, penulis akan mem-
bahas terkait seni macapat, alat musik Jawa, dan seni tari.
1) Macapat
Macapat merupakan salah satu bentuk seni suara atau
nyanyian yang ada di dalam budaya Jawa. Macapat tidak sekadar
lagu Jawa biasa, tetapi memiliki aturan tertentu dalam pencip-
taannya, dan berisi pitutur atau pengajaran yang memiliki filosofi
tinggi. Macapat dalam novel tercermin pada cerita saat Ki Sena
mandi di sendang sebagaimana kutipan berikut ini.
Pada saat suara gemericik air makin keras terdengar, Den Rara Ningsih memelankan langkahnya. Dia lalu mendengar suara lembut nyanyian, tembang yang disenandungkan dengan pelahan oleh seorang laki-laki. Suara yang biasanya pendek-pendek dan tegas itu ternyata bisa lembut mendayu-dayu pada saat melantunkan tembang macapat. (Dasamuka: 45)
Dari kutipat tersebut terlihat bahwa tembang macapat
biasanya dilantunkan pada saat santai seperti yang dilakukan Ki
Sena dalam kutipan tersebut. Bisa juga dinyanyikan pada acara-
acara tertentu. Tembang macapat sendiri memiliki berbagai ma-
cam bentuk. Jenis-jenis ini memiliki kandungan makna filosofis
158
sendiri. Salah satu bentuk jenis macapat adalah tembang
asmarandana sebagaimana kutipan berikut ini.
Bulan di langit timur sudah tampak sepertiga. Purnama memang selalu memancarkan tembang asmarandana. (Dasamuka: 45)
Dari kutipan tersebut terlihat bahwa sinar bulan di
malam hari menimbulkan kesan yang romantis. Oleh sebab itu,
digambarkan bagaikan tembang asmarandana yang romantis.
Asmarandana merupakan tembang mocopat yang lagu-lagunya
memiliki makna kesetiaan, jatuh cinta, kesedihan, dan prihatin
dalam bingkai cinta. Asmarandana biasanya dinyanyikan bagi
orang yang sedang jatuh cinta maupun yang sedang patah hati.
2) Alat Musik Jawa
Selain seni suara, budaya Jawa juga memiliki seni
musik. Salah satu seni musik khas Jawa yaitu gamelan, sebagai-
mana kutipan berikut ini.
Waktu tunggu yang untukku terlalu lama itu diisi dengan hiburan, yaitu dengan ditabuhnya seperangkat gamelan. Tentu saja gamelannya ti-dak selengkap seperti pada pertunjukan wayang kulit. Yang ini lebih mirip seperti yang ada pada pertunjukan reog atau kuda lumping. (Dasamuka: 87)
Dari kutipan tersebut terlihat bahwa gamelan dibunyi--
kan pada saat jeda waktu menunggu hukuman bronjong dilak-
sanakan. Gamelan merupakan seperangkat alat musik tradisional
Jawa yang telah menjadi budaya. Gamelan sendiri terdiri dari
159
berbagai macam alat musik, dari gong, gambang, kendang,
gambang, kenong, demung, saron, dan lain sebagainya. Gamelan
biasanya dibunyikan pada saat pertunjukan wayang kulit atau
kesenian Jawa lainnya. Gamelan ini menjadi musik pengiring
bagi berbagai macam jenis kesenian di Jawa.
Seperti yang telah dipaparkan sebelumnya, salah satu
bentuk dari gamelan adalah gambang. Di dalam novel, gambang
digambarkan sebagai alat musik pengiring tembang sebagaimana
kutipan berikut ini.
Dalam sepi dapat kudengar lamat-lamat suara gambang yang ditabuh. Juga sayup-sayup kudengar suara perempuan menembang. (Dasamuka: 180)
Dari kutipan tersebut dapat diketahui bahwa gambang
dibunyikan untuk mengiri orang yang sedang menyanyi Jawa.
Gambang merupakan salah satu bentuk gamelan yang terbuat
dari bilahan-bilangan bambu yang dirakit sedemikian rupa.
Bilahan-bilahan bambu tersebut membentuk tangga nada yang
menimbukan suara khas alat musik gambang.
3) Seni Tari
Seni tari merupakan seni gerak yang dimiliki oleh
suku-suku di belahan bumi mana pun, termasuk Jawa. Di dalam
novel, seni tari digambarkan pada kutipan berikut ini.
Begitu pandangan kuedarkan lebih dalam, kulihat masih ada sekumpulan putri-putri yang
160
duduk mengelilingi seseorang yang sedang berlatih menari. (Dasamuka: 181-182)
Dari kutipan tersebut dapat diketahui bahwa di dalam
budaya Jawa terdapat seni tari. Pada kutipan tersebut hanya
disebutkan ‘sedang berlatih menari’, tidak disebutkan tarian apa.
Dalam budaya Jawa terdapat berbagai macam tarian, ada tari
merak, gambyong, serimpi, dan lain sebagainya. Ciri khas dari
tarian Jawa, yaitu lembut, halus, pelan, dan menunjukkan
kegemulaian gerak penarinya. Dari kutipan tersebut tercermin
bahwa gadis-gadis yang tinggal di keraton menggemari seni tari
bahkan diwajibkan untuk dapat menari sebagai bentuk olah jiwa,
olah rasa, dan olah raga.
f. Sistem Mata Pencaharian Hidup
Pada dasarnya, sistem mata pencaharian tidak terlalu ba-
nyak dibahas di dalam novel Dasamuka. Hanya ada beberapa
kutipan yang mencerminkan mata pencaharian hidup massyarakat
Jawa pada masa 1812-an. Di dalam pembahasan terkait sistem mata
pencaharian hidup, penulis akan membahas terkait mata pencaharian
sebagai orang di lingkup keraton dan mata pencaharian sebagai
orang yang berada di luar keraton.
1) Dalam Lingkup Keraton
161
Beberapa pekerjaan dalam lingkup keraton yang
tercermin pada novel Dasamukan karya Junaedi Setiyono, yaitu
tolek, abdi dalem, telik sandi, dan pengawal sultan.
a) Tolek
Mata pencaharian hidup sebagai tolek tercermin
dalam kutipan berikut ini.
Kubuatkan surat pengantar, seorang opsir akan mengantarkanmu menemuinya. Dia seorang tolek yang bisa diandalkan,” kata Sang Residen sambil beranjak menuju meja tulisnya. (Dasamuka: 13)
Di dalam novel, kutipan tersebut terjadi pada saat
Willem mengutarakan keinginannya belajar bahasa Jawa
sehingga disarankan untuk menemui seorang Tolek. Tolek
merupakan ahli bahasa. Biasanya tolek memiliki beberapa
bahasa yang dikuasainya. Tolek ini sangat penting kebera-
daannya di keraton untuk memberikan pengajaran bahasa,
baik untuk orang pribumi maupun kolonial yang datang.
Tolek di dalam novel diperankan oleh Den Wahyana yang
mengajarkan bahasa kepada Willem yang ingin bisa ber-
bahasa Jawa. Mustahil bagi Den Wahyana dapat meng-ajar-
kan bahasa Jawa kepada Willem yang berkebangsaan
Skotlandia, kalau dia sendiri tidak menguasai banyak bahasa
sehingga profesi tolek diharuskan menguasai banyak bahasa.
162
b) Abdi Dalem
Di dalam novel, mata pencaharian hidup sebagai
abdi dalem tercermin dalam kutipan berikut ini.
Dan tidak terlalu sulit bagi Ki Sena untuk menjadikan impian adiknya, impian untuk bisa menjadi abdi dalem keraton. (Dasamuka: 32)
Dari kutipan tersebut terlihat bahwa menjadi abdi
dalem merupakan suatu kehormatan. Abdi dalem merupakan
orang yang mengabdi sebagai pekerja di dalam keraton.
Terdapat berbagai macam jenis pekerjaan sebagai abdi
dalem. Pekerjaan sebagai abdi dalem disandang oleh kaum
laki-laki dan perempuan. Salah satu contoh pekerjaan sebagai
abdi dalem terdapat di dalam kutipan tersebut, yakni abdi
dalem sebagai emban (pengasuh/pembantu) di dalam ka-
putren. Sosok abdi dalem di dalam novel, tercermin dalam
tokoh Semi.
c) Telik Sandi
Di dalam novel, mata pencaharian hidup sebagai
telik sandi tercermin dalam kutipan berikut ini.
“Dari seorang telik sandi, kami mendapat kabar adanya pencegatan dan pengeroyokan ini. Maaf kami agak terlambat,” (Dasamuka: 125)
Dari kutipan tersebut diktehaui bahwa dalam ling-
kup keraton, telik sandi bertugas untuk mengamat-amati atau
163
menyelidiki hal-hal yang harus dilakukan secara diam-diam
demi keamanan dan kenyamanan keluarga keraton atau
orang-orang yang dekat dengan keraton. Pada zaman seka-
rang, pekerjaan sebagai telik sandi semacam pekerjaan seba-
gai intelijen negara yang bertugas menjadi mata-mata untuk
menjaga keamanan dan kedaulatan negara.
d) Pengawal Sultan
Di dalam novel, mata pencaharian hidup sebagai
pengawal Sultan tercermin dalam kutipan berikut ini.
“Bahaya? Bukankah menurutmu sekarang dia sudah menjadi seorang pengawal kepercayaan Sultan Jarot? Siapa yang berani mengusiknya?” (Dasamuka: 172)
Dari kutipan tersebut diketahui bahwa pengawal
Sultan merupakan pekerjaan yang bertugas mengawal Sultan
ke mana saja Sultan pergi. Pengawal menjadi garda terdepan
demi keselamatan orang yang dikawalnya. Dalam kutipan
tersebut, pekerjaan sebagai pengawal Sultan Jarot bukan
sesuatu yang dibanggakan. Menjadi pengawal Sultan Jarot
menjadi momok yang sangat menakutkan karena nyawa
menjadi taruhannya.
2) Di Luar Lingkup Keraton
Beberapa pekerjaan dalam lingkup keraton yang tercer-
min pada novel Dasamukan karya Junaedi Setiyono, yaitu
tukang rakit, pedagang, dan petani.
164
a) Tukang Rakit
Di dalam novel, mata pencaharian hidup sebagai
tukang rakit tercermin dalam kutipan berikut ini.
Dia kemudian melambaikan tangannya pada tukang rakit yang terlihat sedang menambatkan rakitnya di kejauhan. (Dasamuka: 41)
Dari kutipan tersebut dapat diketahui bahwa tukang
rakit merupakan orang yang mengemudikan rakit. Pekerjaan
sebagai tukang rakit ini berhubungan langsung dengan
unsur budaya sistem peralatan hidup, yakni rakit. Di dalam
novel, tukang rakit ini disewa oleh Ki Sena untuk menye-
brangkan Ki Sena dan Den Rara Wahyuningsih yang meng-
hindari cegatan dari Den Mas Mangli – kakak Den Rara
Wahyuningsih yang akan membawa pulang kembali adik-
nya jika pelamar yang bertarung dengannya mengalami
kekalahan – dengan berjalan melalui sungai.
b) Pedagang dan Petani
Di dalam novel, mata pencaharian hidup sebagai
pedagang dan petani tercermin dalam kutipan berikut ini.
Bila semula kukira sosoknya mirip dengan Kiai Ngali, perpaduan antara sosok pedagang yang pintar bicara dan sosok petani yang kukuh berotot, ternyata dugaanku tidak seluruhnya benar. (Dasamuka: 117)
165
Sebagaimana kutipan tersebut, sosok pedagang dan
petani tercermin di dalam novel pada sosok Kiai Ngali.
Sebagai seorang pedagang dan petani, Kiai Ngali digambar-
kan memiliki perawakan yang kukuh berotot. Perawakan
kukuh berotot ini menandakan pemiliknya merupakan sosok
pekerja keras dan apa yang dikerjaan merupakan pekerjaan
yang berat.
Di dalam novel juga diceritakan bahwa mata
pencaharian hidup sebagai petani ini hanya dikerjakan oleh
orang-orang yang memiliki pola pikir bahwa tanah Jawa
harus diperjuangkan untuk dipertahankan agar tidak benar-
benar jatuh ke tangan kolonial. Sosok itu salah satunya
adalah Kiai Ngali yang telah dipaparkan sebelumnya, selain
itu sosok petani juga digambarkan oleh Pangeran Aria
Dipanegara. Walapun ia seorang priyayi, tetapi Pangeran
Aria Dipanegara tidak berpangku tangan, ia sosok pekerja
keras yang memiliki lahan pertanian luas. Hal ini terdapat
dalam kutipan berikut ini.
“Juraganku, pemilik rumah yang kutempati ini, juga pemilik tanah-tanah persawahan disekeli-lingnya,” jawabnya dengan nada suara dan roman muka bangga. (Dasamuka: 137)
Kutipan tersebut diucapkan oleh Branjang kepada
Willem. Dari kutipan di atas terlihat bahwa Branjang sangat
166
bangga menjadi abdi seorang priyayi yang tidak hanya
bersantai menyewakan tanah kepada pihak kolonial untuk
diolah, tetapi priyayi tersebut – Raden Aria Dipanegara –
mengolahnya sendiri dengan bekerja keras.
g. Sistem Peralatan Hidup dan Teknologi
Dalam novel Dasamuka karya Junaedi Setiyono ini,
setidaknya terdapat 6 (enam) macam sistem peralatan hidup dan
teknologi. Keenam sistem peralatan hidup dan teknologi tersebut
dipakai oleh tokoh-tokoh dalam novel yang mencerminkan budaya
Jawa pada masa itu. Keenam peralatan hidup dan teknologi tersebut
dipaparkan berikut ini.
1) Senjata
Peralatan hidup berupa senjata tercermin di dapam
novel pada kutipan berikut ini.
“Ki Sena yang hendak beranjak memeriksa keris dan tombaknya, kembali duduk. (Dasamuka: 30)
Dari kutipan tersebut diketahui bahwa keris dan tombak
merupakan senjata tradisional suku Jawa. Keris memiliki ber-
bagai macam bentuk, tetapi pada umumnya keris berbentuk
senjata tajam dengan bentuk berkelok. Tempat untuk menyim-
pan keris bernama warangka. Di dalam masyarakat Jawa,
biasanya keris tidak semata senjata tajam, tetapi senjata tajam
yang diisi dengan kekuatan gaib. Adapun tombak merupakan
167
senjata panjang berbentuk runcing. Biasa dibuat dari bambu
kecil atau kayu dengan ujung (mata) terbuat dari besi runcing.
Sama halnya dengan keris, tombak juga kadangkala diolesi
ramuan-ramuan tertentu pada ujung tombaknya agar memiliki
sifat mematikan jika mengenai musuh atau hewan buruan.
Selanjutnya, senjata yang tercermin di dalam novel
adalah lembing. Di dalam novel, senjata lembing tedapat dalam
kutipan berikut ini.
Orang-orang mulai bertanya-tanya: apa yang sedang terjadi? Dan ketika orang yang diterkam macan itu pelan-pelan bangkut dan duduk, duduk dengan lembing berdarah yang mencuat tegak dalam genggamannya, membahana sorak sorai penonton mengelu-elukan keperkasaan lelaki tua itu ... orang yang tampak kurus dan lemah itu. (Dasamuka: 90)
Dari kutipan tersebut dapat diketahui bahwa lembing
merupakan salah satu senjata tradisional Jawa. Lembing me-
rupakan senjata tradisional Jawa berupa batu runcing yang me-
miliki gagang kayu. Lembing biasanya digunakan oleh masya-
rakat untuk berburu hewan liar di dalam hutan. Di dalam novel,
lembing yang sudah dioles dengan ramuan tertenttu digunakan
oleh Kiai Ngarip untuk membunuh macan yang menyerangnya.
Sekarang ini, senjata-senjata tradisional seperti ini sudah jarang
sekali ditemui dalam kehidupan masyarakat Jawa. Biasanya
168
senjata-senjata seperti ini disimpan di dalam musium senjata un-
tuk diambil nilai history-nya.
2) wadah,
Wadah merupakan peralatan hidup yang sangat penting
dalam kehidupan manusia. Berikut ini terdapat berbagai macam
wadah yang digunakan sebagai peralatan hidup masyarakat Jawa
pada masa tahun 1812-an yang digunakan oleh tokoh-tokoh di
dalam novel.
a) Alat makan dan minum
Di dalam budaya Jawa terdapat perbedaan wadah
tempat makan antara rakyat jelata dengan kaum priyayi.
Untuk makan dan minum rakyat jelatan biasanya meng-
gunakan wadah berupa daun jati dan tempurung seba-
gaimana kutipan berikut ini.
Seakan aku dan Den Wahyana tidak beda dengan sekepal nasi jagung dibungkus daun jati yang kulihat teronggok bersebelahan dengan setempurung air di sampingnya. (Dasamuka: 22)
Dari kutipan tersebut terlihat bahwa terdapat dua
peralatan hidup yang digunakan, yaitu daun jati dan
tempurung. Pada zaman dahulu daun jati menjadi wadah
atau bungkus makanan, sedangkan tempurung kelapa untuk
wadah air minum. Tempat makan dan minum berupa daun
jati dan tempurung ini biasaanya digunakan oleh rakyat
169
jelata dan aktivitas makan dan minum dalam kesehariannya.
Adapun kaum priyayi, wadah untuk minum berupa cangkir
sebagaimana kutipan berikut ini.
Hanya ada suara keletik cangkir yang mulai berderet menghiasi meja, dan suara batuk-batuk kecil yang berasal dari Den Mas Suryanata, batuk yang mendadak timbul karena digelitiki gejolak dari dalam dada. (Dasamuka: 150)
Dari kedua kutipan tersebut terlihat bahwa tem-
purung dan cangkir yang digunakan untuk melambang-kan
tingkat dan kondisi sosial yang melatarbelakangi kedua-nya.
Tempurung kelapa digunakan untuk narapidana yang ada di
dalam penjara, sedangkan cangkir digunakan oleh kalangan
priyayi. Hal ini terlihat pada kedua kutipan tersebut. Pada
saat Den Mas Suryanata melakukan nontoni di Puri
Sujanan, Den Mas Suryanata dan tamu lain mendapat-kan
suguhan minuman dengan menggunakan wadah cangkir.
Sementara itu, wadah untuk makanan bagi kaum
priyayi berupa piring sebagaimana kutipan berikut ini.
Diam-diam hati Dasamuka bergetar pada saat Rara Ireng mendekatinya untuk meletakkan sepiring nagasari di atas meja di hadapannya. (Dasamuka: 151)
Dari kutipan novel tersebut terlihat bahwa terdapat
wadah yang digunakan sebagai peralatan hidup masyarakat
Jawa khususnya kaum priyayi, yakni piring. Piring meru-
170
pakan tempa untuk wadah makanan. Selain itu, piring juga
sering digunakan sebagai wadah untuk makan. Keberadaan
piring ada sejak zaman dahulu hingga sekarang. Berda-
sarkan bahan untuk membuatnya, piring dibagi menjadi
tiga, yaitu piring stainless, piring gerabah, dan piring kaca
beling.
Selain penggunaan daun jati sebagai alas atau
bungkus makanan yang telah dipaparkan sebelumnya, di
dalam novel juga terdapat kutipan yang menyatakan bahwa
daun pisang juga digunakan sebagai bungkus makanan
sebagaimana kutipan berikut ini.
Suara bungkus daun pisang yang dibuka, suara cangkir yang beradu dengan meja, suara kecap mulut yang bergairah, suara tawa yang cerah, mulai meningkahi bincang-bincang yang mulai mengerucut, mulai mengarah pada tujuan pokok pertemuan, yaitu pada maksud kedatangan para tamu di ndalem Sujanan ini. (Dasamuka: 152)
Dari kutipan tersebut dapat diketahui bahwa ter-
dapat peralatan hidup berupa wadah yang fungsinya sama
dengan daun jati, yakni daun pisang. Sebagai alat pembung-
kus perbedaan daun jati dengan daun pisang sangat tipis.
Daun pisang lebih fleksibel dan lebih luas jangkauan peng-
gunaannya dibandingan dengan daun jati. Daun pisang
biasanya digunakan oleh masyarakat Jawa untuk alas ma-
kan, pembungkus makanan, dan pembungkus kudapan, se-
171
dangkan daun daun jati biasanya hanya digunakan sebagai
pembungkus luar. Dua daun tersebut sampai sekarang ma--
sih digunakan oleh masyarakat Jawa untuk membungkus
makanan.
Untuk membawa cangkir dan piring terdapat alat
wadah berupa baki sebagaimana kutipan berikut ini.
Acara yang permukaannya adalah keluarnya berbagai penganan dan minuma, tetapi yang pendalamannya adalah kelarunya calon pengan-tin putri, yaitu keluarnya Rara Ireng bersama-sama para abdi perempuan yang membawa nampan penuh berisi makanan dan minuman. (Dasamuka: 150)
Dari kutipan tersebut terlihat bahwa terdapat
wadah berupa nampan yang digunakan untuk membawa
piring berisi makanan dan gelas berisi minuman. Nampan
merupakan peralatan hidup manusia yang dipakai dari
zaman dahulu hingga sekarang. Nampan biasanya diguna-
kan sebagai alat untuk membawa makanan dan minum.
Seperti yang terdapat di dalam kutipan tersebut, nampan
digunakan oleh Rara Ireng dan abdinya.
b) Keranjang
Di dalam novel wadah berupa keranjang terdapat
dua jenis yaitu bronjong dan tenggok. Untuk wadah hewan
agar mudah dibawa, masyarakat Jawa biasanya mengguna-
172
kan keranjang bernama bronjong sebagaimana kutipan
berikut ini.
“Bronjong yang banyak dikenal orang adalah wadah atau keranjang terbuat dari bambu yang digunakan untuk membawa unggas atau ternak. Akan mudah kita lihat kambing atau babi diringkukkan di dalam bronjong semacam itu di pasar-pasar.” (Dasamuka: 61)
Dari kutipan tersebut diketahui bahwa terdapat
peralatan hidup berupa wadah yang digunakan oleh masya-
rakat Jawa masa lalu sampai sekarang. Wadah itu bernama
bronjong. Bronjong merupakan keranjang yang terbuat dari
bilahan bambu yang dianyam. Bambu dianya dengan jarak
yang lumayang renggang. Bronjong biasanya digunakan un-
tuk wadah atau tempat membawa hewan ternak ke pasar.
Selain bronjong, terdapat wadah yang mirip dengan bron-
jong yang sering digunakan oleh masyarakat Jawa, bernama
tenggok sebagaimana kutipan berikuti ini.
Kain kebaya berbahan katun sudah lengkap membungkus badannya, tenggok cucian anyam-an bambu sudah luwes menempel pinggangnya. (Dasamuka: 121)
Dari kutipan-kutipan tersebut terlihat bahwa
tenggok dan bronjong sama-sama wadah tradisional Jawa
yang terbuat dari anyaman bambu. Perbedaanya, pertama,
anyaman pada tenggok rapat-rapat, sedangkan bronjong
sedikit lebih renggang renggang; kedua, tenggok berukuran
173
kecil, sedangkan bronjong berukuran besar; ketiga, bagian
atas tenggok ketika digunakan untuk wadah, terbuka,
sedangkan bronjong ketiga digunakan untuk wadah, ter-
tutup. Persamaan antara bronjong dan tenggok adalah sama-
sama merupakan wadah tradisional Jawa yang terbuat dari
anyaman bilah bambu. Tenggok bisa digunakan se-bagai
wadah bahan makanan atau kain. Pada novel, tenggok
digunakan oleh Semi untuk membawa kain cucian.
3) makanan, minuman, dan jamu-jamuan;
Masyarakat Jawa memiliki makanan, minuman, dan
jamu-jamuan (ramuan) yang tidak dimiliki oleh suku lain. Ma-
kanan, minuman, dan ramuan ini berasal dari tumbuh-tumbuh-
an yang tumbuh subur di tanah Jawa. Di dalam novel hanya
disebutkan makanan dan ramuan saja, tetapi tidak disebutkan
terkait minuman. Salah satu makanan khas masya-rakat Jawa
pada zaman dulu yang ada di dalam novel adalah nasi jagung
sebagaimana kutipan berikut ini.
Seakan aku dan Den Wahyana tidak beda de-ngan sekepal nasi jagung dibungkus daun jati yang kulihat teronggok bersebelahan dengan setempurung air di sampingnya. (Dasamuka: 22)
Dari kutipan tersebut diketahui bahwa terdapat makan-
an khas masyarakat Jawa, yakni nasi jagung. Nasi jagung terbuat
dari jagung yang diolah sedemikian rupa hingga membentukan
174
makanan seperti nasi dari beras. Nasi jagung banyak dikonsumsi
oleh masyarakat pedesaan yang tidak bisa membeli beras. Nasi
jagung terkenal sebagai makanan pokok bagi strata sosial rendah
sehingga di dalam novel diggambarkan nasi jagung sebagai ma-
kanan narapidana di dalam penjara.
Selain nasi jagung, terdapat makanan bernama nagasari
yang menjadi makanan tradisional masyarakat Jawa sebagai-
mana kutipan berikut ini.
Diam-diam hati Dasamuka bergetar pada saat Rara Ireng mendekatinya untuk meletakkan sepiring nagasari di atas meja di hadapannya. (Dasamuka: 151)
Dari kutipan tersebut terlihat bahwa makanan nagasari
biasanya disajikan dalam acara-acara tertentu seperti kenduri,
lamaran, pernikahan, dan acara-acara lainnya. Nagasari merupa-
kan jenis makanan kudapan yang terbuat dari adonan tepung
beras dan pisang yang dibungkus dengan daun pisang.
Sementara itu, peralatan hidup berupa ramuan atau
jamu-jamuan yang digunakan oleh masyarakat Jawa yang tercer-
min di dalam novel terdapat pada kutipan berikut ini.
Bahkan tidak segan-segan dia menawarkan ber-bagai bedak dan lulur untuk ngadi-sarira milik anak-anaknya. Dan tentu tak kettinggalan mena-warkan sari rapet yang dibikinnya sendiri. (Dasamuka: 193)
Dari kutipan tersebut dapat diketahui bahwa terdapat
ramuan tradisional Jawa yang digunakan oleh tokoh dalam
175
novel. Budaya Jawa terkenal dengan ramuan Jawa yang dibuat
dari bahan-bahan alami yang ada di lingkungan sekitar,
khususnya untuk merawat tubuh perempuan seperti kutipan
tersebut. Oleh sebab itu, perempuan-perempuan Jawa terlihat
memiliki kecantikan alami. Dari kutipan tersebut, dapat
diketahui bahwa perempuan Jawa pada masa lalu membuat
ramuan sendiri untuk ngadi sarira – merawah tubuh luar – dan
membuat jamu sari rapet untuk merawat tubuh dari dalam.
4) pakaian dan perhiasan,
Budaya Jawa memiliki berbagai macam jenis pakaian
tradisional yang menjadi ciri khasnya. Kebanyakan pakaian-
pakaian tradisonal Jawa dibuat dengan jari-jari terampil perem-
puan Jawa. Di dalam novel Dasamuka terdapat beberapa jenis
pakaian dan perhiasan yang dipakai oleh orang Jawa. Salah satu
peralatan hidup berupa pakaian adalah jarit yang terdapat di
dalam kutipan berikut ini.
Nyi Wuli diam tertunduk. Kemudian tangannya tampak gugup melipat jarit yang akan dijadikan salah satu tukon dalam acara lamaran nanti. (Dasamuka: 30)
Dari kutipan tersebut terlihat bahwa jarit merupakan
lembaran kain panjang yang bercorak batik. Kain jarit ini biasa
dipakai oleh kaum laki-laki dan perempuan Jawa. Kaum laki-
laki biasanya memakai jarit untuk pakaian bawahan, sedangkan
untuk perempuan biasanya digunakan untuk kemban atau pakai-
176
an bawahan juga. Jarit memiliki corak batik berbagai macam.
Setiap corak batik yang teraplikasi dalam jarit terdapat makna
filosofis tersendiri. Salah satu corak batik yang disebutkan di
dalam novel adalah jarit batik corak truntutum sebagaimana
kutipan berikut ini.
Jarit Truntum yang dipakainyalah yang paling banyak terbercaki noda darah. (Dasamuka: 238)
Kutipan tersebut merupakan cuplikan kejadian pada
saat Dasamuka dan Rara Ireng lari dari kejaran prajurit keraton
menuju Salatiga, rumah keluarga Dasamuka. Dalam perjalanan
itu, Rara Ireng memakai jarit corak truntum yang merupakan
hadiah dari Dasamuka untuk pertama kalinya. Corak truntum
memiliki makna cinta dan kesetiaan. Laki-laki yang memberi-
kan corak jarit truntum kepada perempuan, memiliki harapan si
perempuan akan menjaga cinta dan kesetiaan yang diberikan.
Begitu juga bagi perempuan yang mengenakan jarit truntum,
diharapkan dengan mengenakan jarit truntum sebagai pertanda
mampu menjaga cinta dan kesetiaan. Sebagaimana yang dilaku-
kan oleh Roro Ireng, Roro Ireng memiliki cinta dan kesetiaan
begitu besar terhadap Dasamuka dengan batik yang ia kenakan
di akhir hidupnya.
Jika, jarit digunakan untuk pakaian bawahan atau biasa
disebut dengan tapih, pakaian atas tradisional Jawa bagi
177
perempuan adalah kain kebaya. Pakaian berupaka kebaya ter-
dapat dalam kutipan berikut ini.
Kain kebaya berbahan katun sudah lengkap membungkus badannya, tenggok cucian anyam-an bambu sudah luwes menempel pinggangnya. (Dasamuka: 121)
Dari kutipan tersebut terlihat bahwa kebaya merupakan
pakaian tradisional perempuan Jawa. Pakaian kebaya ini kini
tidak hanya bagian dari budaya Jawa, tetapi juga telah menjadi
pakaian nasional, seperti halnya batik. Jika pada masa sekarang
kebaya hanya dipakai dalam situasi-situasi tertentu, pada zaman
dahulu kebaya dipakai oleh perempuan Jawa dalam kehidupan
keseehariannya.
Baju tradisional Jawa – khususnya Yogyakarta – untuk
laki-laki bernama surjan. Baju surjan tercermin dalam novel
pada kutipan berikut ini.
Baju surjan berbahan lurik yang biasa dipakai-nya tak mampu menyembunyikan tubuh-nya yang tegap liat. (Dasamuka: 78)
Dari kutipan tersebut terlihat bahwa baju surjan me-
rupakan baju tradisional Jawa untuk laki-laki yang biasanya
terbuat dari kain lurik. Pola surjan dibuat seperti bentuk sikap
tangan orang menyilang. Hal ini memiliki makna filosofis seba-
gai sikap waspada. Seorang laki-laki harus waspada dengan
segala ancaman dari luar, terutama pada masa penjajahan zaman
178
dahulu. Sama halnya dengan kebaya, baju surja dipakai oleh
sultan, punggawa keraton, dan masyarakat Jawa sebagai pakaian
sehari-hari di masa lalu. Namun sekarang, surjan hanya dipakai
oleh anggota keraton dan dipakai oleh masyarakat umum pada
acara-acara tertentu, seperti pernikahan, upacara adat, upacara
peringatan, dan acara resmi Jawa lainnya. Surjan terbuat dari
kain bermotif bunga dan lurik dengan berbagai macam warna.
Motif dan warna ini menunjukkan tinggat sosial atau kedudukan
seseorang dalam masyarakat, sebagaimana kutipan berikut ini.
Para penumpang, yang kebanyakan pria dan sudah berumur, berpakaian resmi dengan surjan dan destar warna gelap. Sedangkan para kusir perbakaian lurik dengan pernak pernik yang menunjukkan keresmian acara yang melibatkan-nya. (Dasamuka: 148)
Dari kutipan tersebut, hanya terdapat penjelasan dua
jenis surjan yang dipakai, yaitu surjan berwarna gelap yang
dipakai oleh sesepuh dan pakaian surjan bermotif lurik dipakai
oleh para kusir. Jadi, dari sini dapat disimpulkan bahwa surjan
berwarna gelap untuk orang yang memiliki kedudukan tinggi,
seperti bangsawan, sedangkan surjan bermotif lurik dipakai oleh
orang yang memiliki kedudukan sosial yang rendah.
Pelengkap busana laki-laki Jawa adalah destar. Destar
merupakan penutup kepala yang terbuat dari kain. Di dalam
novel, terdapat ungkapan tersirat dari Semi bahwa corak dan
179
warna destar memiliki makna tertentu bagi kedudukan atau
jabatan pemakainya di tengah masyarakat seperti halnya surjan.
Terkait destar ini terlihat juga dalam kutipan berikut ini.
Dari belakang, Semi dapat melihat pemuda itu menganggung-angguk. Semi dapat melihat des-tar wulung yang ikut berayun-ayun. Tidak ba-nyak orang yang bermukim di desa memakai destar semacam itu, pikir Semi. (Dasamuka: 121)
Dari kalimat terakhir pada kutipan dapat diambil
kesimpulan bahwa destar bercorak wulung tidak biasa dipakai
oleh masyarakat umum. Orang yang memakai destar wulung
pasti memiliki kedudukan tertentu di dalam keraton. Jadi, pada
masa lalu kedudukan seseorang di dalam tingkat sosial dalam
masyarakat bisa langsung dilihat dari warna dan corak surjan
dan destar yang dikenakan.
Selain pakaian, peralatan hidup yang menambah kewi-
bawaan dan kecantikan adalah perhiasan. Perempuan Jawa biasa
menggunakan perhiasan gelang dan kalung emas untuk menam-
bah pesona kecantikan pemakanya. Di dalam novel, peralatan
hidup berupa perhiasan terlihat dalam kutipan berikut ini.
Gelang dan kalung pemberian Danar dipakai-nya. Kecantikannya menyala benderang. (Dasamuka: 233)
Dari kutipan tersebut dapat diketahui bahwa gelang dan
kalung bukan sekadar perhiasan, tetapi biasanya juga untuk
hadiah pemberian dalam pernikahan.
180
5) tempat berlindung dan perumahan,
Tempat berlindung dan perumahan merupakan salah
satu unsur budaya terpenting bagi peradaban manusia. Dengan
adanya tempat berlindung dan perumahan, seseorang akan me-
rasa aman dari gangguan cuaca dan binatang liar. Setiap suku
memiliki bentuk rumah yang menjadi ciri khas budayanya. Ciri
khas ini terjadi karena faktor lingkungan yang melingkupinya.
Salah satu bentuk rumah tradisional Jawa adalah joglo. Di dalam
novel, rumah joglo terdapat dalam kutipan berikut ini.
Di dalam, setelah omong-omong sebentar de-ngan seorang penjaga lainnya, Dasamuka yang sudah turun dari kudanya, berjalan kaki menuju bangunan paling besar berbentuk joglo yang diteduhi sepasang pohon beringin, pohon ningrat yang menambah kewibawaan puri kepangeranan. (Dasamuka: 139)
Dari kutipan tersebut terlihat bahwa rumah joglo
dimiliki oleh seseorang yang memiliki kedudukan tinggi di
tengah masyarakat. Rumah joglo biasanya dimiliki oleh kalang-
an bangsawan. Ciri khas rumah joglo adalah adanya pendapa
yang merupakan ruang tamu terbuka yang luas terdiri dari
beberapa saka penyangga – biasanya terdapat lima saka –.
Pendapa ini biasanya digunakan untuk tempat berkumpul,
pertemuan, tempat pertunjukan, dan lain sebagainya. Rumah
joglo masih dapat ditemui di Jawa Tengah dan Yogyakarta pada
181
bangunan-bangunan rumah dinas bupati dan orang-orang yang
masih memiliki trah darah biru.
Bentuk rumah tradisional Jawa selain joglo adalah
limasan. Di dalam novel, rumah limasan terdapat dalam kutipan
berikut ini.
Rumah limasan beratap damen itu terlalu gelap dan terlalu besar untuk ukuran rumah orang kebanyakan. (Dasamuka: 245)
Dari kutipan tersebut, terlihat bahwa rumah limasan
lebih sederhana dibandingankan dengan rumah joglo. Rumah
limasan merupakan bentuk rumah yang dimiliki oleh masyarakat
Jawa umum. Di dalam novel, rumah limasan terkesan sangat
sederhana dengan adanya tambahan pernyataan ‘beratap
damen’. Damen merupakan batang tanaman padi yang d-
ikeringkan.
Tempat berlindung selain rumah adalah tenda. Di
dalam novel, peralatan hidup berupatenda terdapat dalam
kutipan berikut ini.
Dan penjelasan singkat Ki Sena iu telah me-nyebabkan sang putri batal membaringkan tubuhnya di permadani yang sudah tergelar di dalam tenda. (Dasamuka: 43)
Dari kutipan tersebut terlihat bahwa tenda sudah
dipakai oleh masyarakat Jawa zaman dahulu untuk berteduh
sementara waktu di luar rumah. Tenda biasanya digunakan
182
hanya dalam kondisi darurat. Tenda terbuat dari bahan anti air
untuk melindungi orang yang berlindung di dalamnya dari panas
dan hujan. Di dalam novel, peralatan hidup berupa tenda ini
dipakai oleh Ki Sena dan Den Rara Wahyuningsih dari gelapnya
malam dan ancaman binatang malam dari luar karena mereka
sedang berada di tengah hutan.
6) alat-alat transportasi.
Alat transportasi merupakan peralatan hidup yang
penting bagi kehidupan manusia. Alat transportasi digunakan
oleh manusia untuk mempermudah manusia dalam berpindah
dari tempat satu ke tempat yang lain. Seiring perkembangan
zaman alat transportasi ini mengalami perkembangan yang
sangat pesat dibandingkan dengan peralatan hidup dan unsur
budaya yang lainnya. Pada novel digambarkan pada masa tahun
1812-an orang Jawa menggunaan alat transporrtasi kereta kuda
unntuk mempermuda aktivitasnya – termasuk aktivitas orang
luar Jawa yang tinggal di Jawa – sebagaimana kutipan berikut
ini.
Dengan fasilitas yang diberikan gubernemen – karena aku dianggap berjasa, punya hubungan dengan ilmuwan terpandang Kerajaan Inggris dan juga seorang akademisi muda Edenburgh – aku berhasil memperoleh kereta kuda beserta kusir yang diseikit bisa bicara Belanda. (Dasamuka: 9)
183
Dari kutipan tersebut terlihat bahwa kereta kuda
merupakan alat transportasi yang cukup mewah pada masa itu.
Hanya kalangan-kalangan tertentu yang dapat memiliki kereta
kuda. Seperti dalam kutipan tersebut, kereta kuda digunakan
oleh Willem, seorang peneliti berkebangsaan Skotlandia yang
sedang meneliti salah satu budaya Jawa. Kereta kuda biasanya
digunakan oleh kalangan bangsawan atau keluarga keraton.
Sultan sendiri memiliki alat trasportasi yang biasa
disebut dengan kereta kencana. Kereta kencana merupakan
kereta yang dibuat sangat mewah dengan lapisan emas dan
berukuran lebih besar dibanding kereta kuda biasa. Kereta
kencana ini memiliki berbagai macam jenis nama. Salah satu
kereta kencana bernama Nyai Jimat sebagaimana kutipan di
bawah ini.
“Aku memerlukan bantuan Ngusman untuk meletakkan bantal ini di kereta kencana Nyai Jimat, kereta keraton yang besok akan digunakan untuk pesiar Sultan Jarot,” kata Danar pada Den Wahyana yang diundang datang ke persembunyiannya pada pagi buta itu. (Dasamuka: 252)
Dari kutipan tersebut terlihat bahwa terdapat alat
transportasi yang mirip dengan kereta kuda yang ada di dalam
novel, selain alat transportasi kereta kuda. Alat transportasi
tersebut adalah bendi. Di dalam novel, alat transportasi bendi
terdapat dalam kutipan berikut ini.
184
Sebelum berangkat menuju rumah dinasku yang ada di kompleks Karesidenan dengan bendi yang kupinjam dari Tuan Thomson, kembali kulihat sosok yang beberapa pekan ini memancing perhatianku, Den Mas Sentot. (Dasamuka: 62)
Dari kutipan tersebut terlihat bahwa kereta kuda tidak
hanya digunakan oleh kaum priyayi pribumi, tetapi juga oleh
masyarakat kolonial. Secara sekilas kereta kuda dengan bendi
terlihat sama. Perbedaan antara kereta kuda dan bendi adalah
kereta kuda biasanya memiliki roda lebih dari dua dan ditarik
oleh kuda yang jumlahnya lebih dari satu, sedangkan bendi
ukurannya lebih kecil, terdiri dari dua roda dan ditarik hanya
dengan satu kuda.
Kuda sendiri juga merupakan salah satu alat
transportasi yang banyak digunakan oleh orang Jawa untuk
berkendara. Alat transportasi kuda terdapat dalam kutipan
berikut ini.
Kuakui bahwa aku telah bertindak terlalu sembrono ketika dengan bersemangat kusong-song kedatang-an Pieter, yang seperti biasa mengunjungi Loji Rejowinangun dengan kuda gagah berwarna dawuk pada saat matahari sudah condong ke barat. (Dasamuka: 63)
Dari kutipan tersebut terlihat bahwa selain alat trans-
portasi darat berupa kereta kuda, bendi, dan kuda, terdapat juga
alat transportasi air yang digunakan oleh masyarakat Jawa yang
185
tertuang di dalam novel. Alat transportasi air tersebut adalah
rakit sebagaimana kutipan berikut ini.
Selanjutnya kita harus naik rakit menyusuri sungai ini. (Dasamuka: 41)
Rakit merupakan alat transportasi air yang dibuat dari
bambu yang dirangkai berjajar. Pada zaman dahulu rakit diguna-
kan untuk menyebrang sungai. Namun, keberadaan rakit
sekarang ini sudah jarang ditemui. Sudah ada jembatan yang
banyak dibangun untuk mempermudah orang menyeberang
sungai.
2. Kearifan Lokal Novel Dasamuka karya Junaedi Setiyono
Terdapat tujuh karifan lokal yang tercermin dalam novel
Dasamuka karya Junaedi Setiyono, yaitu wayang – dunia pewayangan –,
tingkatan bahasa dalam bahasa Jawa, ungkapan dan istilah dalam budaya
Jawa, macapat, titi mongso, ramuan, dan batik.
a) Wayang
Wayang merupakan sebuah seni lakon yang keberadaannya
di Jawa ada sejak zaman dahulu hingga sekarang. Dunia
pewayangan seolah telah menyatu dengan budaya Jawa. Di dalam
novel Dasamuka karya Junaedi Setiyono, kearifan lokal berupa
dunia pewayangan dijadikan sajian utama. Dari judul Dasamuka,
sudah terlihat kekentalan dunia pewayangan yang dibawa ke dalam
novel sebagaimana kutipan berikut ini.
186
Dialah yang nantinya akan menggiringku masuk ke dalam dunia Jawa, dunia wayang, dunia bayang-bayang; seperti halnya raja dan keraton orang Jawa yang tinggal bayang-bayang. (Dasamuka: 60)
Dari kutipan tersebut terlihat bahwa dunia Jawa erat sekali
kaitannya dengan dunia pewayangan. Dasamuka merupakan salah
satu tokoh di dalam dunia pewayangan. Di dalam dunia pewayangan,
tokoh Dasamuka digambarkan sebagai tokoh antagonis, anak dari
hubungan terlarang antara Begawan Wisrawa dengan Dewi Sukesi.
Begawan Wisrawa bertemu dengan Dewi Sukesi untuk melamarnya,
untuk dijadikan istri bagi anak lelakinya yang bernama Danareja.
Namun, pada saat Begawan Wisrawa dan Dewi Sukesi berduaan
dalam ruang khusus di kaputrin untuk penguraian rahasia ilmu gaib,
terjadilah peristiwa terlarang yang membuahkan anak bernama
Dasamuka itu.
Begitu juga yang terjadi di dalam novel ini, Dasamuka di
dalam novel merupakan tokoh yang terlahir dari hubungan terlarang
antara Ki Sena dengan Den Rara Wahyuningsih. Ki Sena bertemu
dengan Den Rara Wahyuningsih untuk melamarnya, untuk dijadikan
istri bagi anak tirinya yang bernama Reja. Namun, dalam perjalanan
pulang memboyong calon pengantin putri, Ki Sena membawa Den
Rara Wahyuningsih mengambil jalan yang tidak semestinya untuk
menghindari Den Mas Mangli yang akan mencegatnya di tengah
perjalanan untuk merebut kembali Den Rara Wahyuningsih. Dalam
187
perjalanan yang hanya berdua itu, Ki Sena dan Den Rara
Wahyuningsih melakukan hubungan terlarang yang menghasilkan
anak bernama Danar yang lebih dikenal dengan nama Dasamuka di
dalam novel.
Kisah pewayangan juga tercermin di dalam novel pada
cerita Dasamuka dengan Rara Ireng. Pada awalnya Dasamuka
membantu Den Mas Suryanata untuk dapat menjadikan Rara Ireng
sebagai istrinya. Namun, Dasamuka malah jatuh cinta sendiri dengan
Rara Ireng ketika bertemu untuk pertama kalinya. Begitu juga
dengan Rara Ireng, Rara Ireng juga jatuh cinta dengan Dasamuka.
Karena cinta di antara keduanya yang sangat besar, pada suatu
malam Dasamuka menculik Rara Ireng untuk dinikahinya.
Ketika pernikahan Dasamuka dan Rara Ireng baru berjalan
tidak lebih dari satu bulan, Ibunda Sultan Jarot menginginkan Rara
Ireng untuk menjadi ‘gula-gula’ – wanita penghibur – bagi Sultan
Jarot. Demi harta yang akan didapatkan, Dasamuka dan Rara Ireng
sepakat untuk mengabulkan permintaan Kanjeng Ratu. Hal ini
menyebabkan penderitaan yang panjang bagi Rara Ireng yang hidup
di dalam keraton.
Pada akhirnya Rara Ireng berhasil kabur dari kaputren
dengan siasat yang dilakukan oleh suaminya, Dasamuka. Kehidupan
selama sebulan menjadi ‘gula-gula’ Sultan Jarot, memungkinkan
Rara Ireng sudah kehilangan kesuciannya. Namun kenyataannya,
188
Rara Ireng pandai bersiasat sehingga kehidupannya yang sebulan
lebih di dalam keraton bersama Sultan Jarot, tidak menyebabkan
Rara Ireng kehilangan sedikitpun kesuciannya.
Cerita tersebut mirip dengan kisah Ramayana di dalam
dunia pewayangan. Pada saat itu Dewi Sinta menemani Prabu Rama
bertapa di dalam hutan. Prabu Dasamuka yang tahu kecantikan Dewi
Sinta, jatuh cinta kepadanya. Untuk itu, Prabu Dasamuka mem-
punyai maksud hendak mengambil Dewi Sinta sebagai istrinya.
Karena Prabu Dasamuka tahu bahwa Dewi Sinta adalah istri dari
Prabu Rama, maka Prabu Dasamuka berniat menculik Dewi Sinta.
Dengan strategi yang disusun oleh Prabu Dasamuka, akhirnya Prabu
Dasamuka dapat membawa Dewi Sinta ke Alengka. Selama
bertahun-tahun Dewi Sinta hidup sengsara di Alengka hingga
akhirnya Prabu Rama dapat membawa kembali Dewi Sinta dengan
cara membunuh Prabu Dasamuka.
Dewi Sinta dituduh telah melakukan hubungan terlarang
dengan Prabu Dasamuka. Untuk membuktikan bahwa Dewi Sinta
masih terjaga kesuciannya, Prabu Rama mengadakan upacara obong.
Di dalam upacara ini Dewi Sinta akan dibakar di dalam perapian.
Jika, Dewi Sinta telah melakukan perbuatan terlarang dengan Prabu
Dasamuka maka Dewi Sinta akan terbakar. Namun, jika Dewi Sinta
masih terjaga kesuciannya, Dewi Sinta akan terbebas dari jilatan api.
Pada akhirnya terbukti bahwa Dewi Sinta masih terjaga kesuciannya
189
dengan tidak terbakarnya tubuh Dewi Sinta, walaupun selama dua
belas tahun hidup bersama Prabu Dasamuka di Alengka.
Dari kisah yang pertama mengandung sebuah ajaran bahwa
dua orang laki-laki dan perempuan yang bukan suami istri dilarang
untuk menyepi berduaan karena godaan setan sangat kuat dikala
sepi. Adapun dari kisah kedua mengandung sebuah ajaran bahwa
sebagai seorang perempuan harus menjaga kesucian hanya untuk
orang yang halal. Bagaimana pun kedudukan dan harta yang dimiliki
oleh seorang laki-laki tidak akan menjadi godaan bagi perempuan
beriman yang senantiasa menjaga keimanan, kesucian, dan
kesetiaan.
Dunia pewayangan memang sarat akan petuah hidup. Oleh
sebab itu, sebagai salah satu kearifan lokal budaya Jawa, wayang
harus terus dijaga kelestariannya. Dengan dilestarikannya wayang,
diharapkan banyak petuah yang dapat diambil untuk kemaslahatan
hidup manusia dalam bermasyarakat dan menjalani hidup.
b) Tingkatan Bahasa dalam Bahasa Jawa
Tingkatan bahasa dalam bahasa Jawa merupakan salah satu
unsur budaya di dalam sistem budaya termasuk kearifan lokal yang
patut dilestarikan keberadaannya. Di dalam novel Dasamuka karya
Junaedi Setiyono terdapat beberapa data yang menunjukkan betapa
pentingnya tingkatan bahasa Jawa untuk menjaga unggah ungguh –
sopan santun atau akhlak – orang Jawa, terutama generasi muda.
190
Dalam bahasa Jawa, dikenal adanya tingkatan dalam
berbahasa. Jumlah tingkatan bahasa dalam bahasa Jawa ada tiga,
yaitu bahasa Jawa Kromo Inggil, Kromo atau Kromo Halus, dan
Ngoko. Tingkatan tersebut digunakan sesuai dengan tingkat sosial
penutur dan mitra tutur. Penggunaan tingkat bahasa ini sebagai salah
satu bentuk kesopanan dan penghormatan sebagaimana kutipan
berikut ini.
Ki Sena bertutur dengan bahasa Jawa Krama. (Dasamuka: 23) Dari kutipan tersebut terlihat bahwa Ki Sena bertutur
menggunakan bahasa Jawa Krama demi kesopanan kepada orang
yang belum dikenalnya. Ki Sena bercerita terkait perjuangan pem-
berontakan Raden Rangga kepada Willem dengan bahasa Jawa
Kromo. Bahasa Jawa Kromo merupakan bahasa Jawa yang
digunakan untuk berbicara dengan orang yang belum dikenal atau
disegani atau yang tidak kenal akrab. Bahasa ini digunakan Ki Sena
sebagai wujud kesopanan terhadap mitra bicara. Begitu juga apa
yang dilakukan Willem pada kutipan berikut ini.
Ketika kuedarkan pandanganku dan kulihat bahwa aku adalah satu-satunya orang kulit putih yang ada di situ, dengan menggunakan bahasa Jawa krama yang sudah kukuasai, aku pun menolaknya. (Dasamuka: 87) Dari kutipan tersebut terlihat bahwa bahasa Jawa Kromo
digunakan oleh Willem untuk berkomunikasi dengan orang pribumi
sebagai wujud kesopanan. Terlebih lagi tuturan yang diucapkan
191
Willem merupakan tuturan penolakan. Penggunaan bahasa Jawa
Kromo yang digunakan oleh Willem ini sebagai upaya agar dirinya
bisa diterima di lingkungan masyarakat Jawa.
Selain yang sudah dipaparkan sebelumnya, tuturan dengan
bahasa Jawa Kromo ini biasanya digunakan oleh orang yang merasa
memiliki status sosial yang lebih rendah dari pada mitra bicaranya.
Adapun bahasa Ngoko digunakan bagi orang yang merasa memiliki
status sosial yang sama, sedangkan bahasa Jawa Kromo Inggil
digunakan bagi orang yang merasa memiliki status sosial yang
rendah kepada orang ang memiliki status sosial tinggi.
Di samping untuk memperhatikan kesopanan, penggunaan
lapis bahasa juga menunjukkan kelompok sosial tertentu bagi
penggunanya sebagaimana kutipan berikut ini.
Dia memang berdarah merah, darah petani Bagelen, yang diejek karena tutur bahasanya yang kaku kasar. (Dasamuka: 23) Dari kutipan tersebut terlihat bahwa darah merah, darah
petani biasanya memiliki tutur bahasa kasar. Tutur bahasa kasar ini
biasanya digunakannya bahasa Jawa Ngoko. Terlebih lagi bagi
kelompok sosial abangan wong durjana, bahasa Jawa Ngoko yang
digunakan lebih kasar lagi. Petani menggunakan bahasa Jawa Ngoko
hanya sebatas untuk berkomunikasi dengan orang sesamanya,
sedangkan untuk berbicara dengan orang yang memiliki tingkat
sosial yang lebih tinggi atau orang yang disegani tetap menggunakan
192
bahasa Jawa Kromo. Namun, bahasa Jawa Kromo yang digunakan
tidak sehalus kaum santri dan priyayi. Kelompok sosial santri
biasanya menggunakan bahasa Jawa Kromo. Hal ini terlihat di
kalangan santri pondok pesantren. Walaupun berkomunikasi dengan
teman sesamanya yang satu umuran, tetap menggunakan bahasa
Jawa Kromo. Kelompok sosial priyayi biasanya menggunakan
bahasa Jawa Kromo Inggil untuk bertutur. Terutama untuk ber-
komunikasi dengan orang yang memiliki tingkat sosial yang sama
maupun tingkat sosial yang lebih tinggi.
Tingkatan bahasa Jawa ini masih dipakai sampai sekarang
oleh sebagian kalangan masyarakat Jawa. Biasanya orang-orang
yang tinggal di desa-desa di daerah Jawa Tengah dan Yogyakarta
atau yang masih memiliki trah darah biru masih menggunakan
tingkatan bahasa ini. Tingkatan bahasa Jawa ini merupakan bagian
dari Budaya Jawa yang harus dijaga dan dilestarikan karena dapat
menjadi sarana untuk mengasah jiwa sopan santunn kalangan muda.
c) Ungkapan dan Istilah dalam Budaya Jawa
Dalam budaya Jawa terdapat berbagaimacam kearifan lokal
yang salah satunya berupa ungkapan dan istilah Jawa yang syarat
akan nilai filosofis. Berikut ini akan dipaparkan beberapa ungkapan
atau istilah dalam budaya Jawa yang ada di dalam novel Dasamuka
karya Junaedi Setiyono yang merupakan kearifan lokal yang harus
dijaga kelestariannya.
193
Seperti yang telah dijelaskan sebelumnya di dalam unsur
budaya sistem pengetahuan dalam memilih pendamping hidup di
kalangan masyarakat Jawa terdapat istilah bibit, bebet, dan bobot,
sebagaimana kutipan berikut ini.
Tidak hanya bibit yang menjadi petimbangan, tapi juga bebet dan terutama bobot pemimpin-pemimpin itu. Ya, bibit-bebet-bobot menjadi satu kesatuan.” (Dasamuka: 39) Berdasarkan kutipan tersebut, terdapat tiga kriteria
pendamping hidup dalam budaya jawa, yaitu bibit, bebet, dan bobot.
Bibit, memiliki makna siapa orang tuanya atau garis keturunan yang
menurunkannya yang di Jawa disebut dengan trah. Pada masa lalu,
trah menjadi pertimbangan utama dalam memilih pendamping
hidup. Perbedaan trah dalam pernikahan seringkali menimbulkan
permasalah. Hal ini tercermin dalam pernikahan Ki Sena dengan
Den Rara Wahyuningsih dalam novel Dasamuka karya Junaedi
Setiyono yang telah dipaparkan sebelumnya dalam pembahasan
kekerabatan dalam organisasi kemasyarakatan. Pernikahan dengan
perbedaan trah dianggap mencoreng kewibawaan dari pihak trah
berdarah biru atau priyayi.
Sebenarnya terdapat hal yang lebih penting dari perbedaan
trah yang perlu diperhatikan dari kriteria bibit ini, yaitu (a) faktor
keturunan diperhatikan untuk melihat penyakit bawaan yang ada di
dalam keluarga besar karena hal ini dapat mempengaruhi keturunan-
nya kelak; (b) faktor keturunan diperhatikan untuk melihat jumlah
194
keturunan yang diturunkan sebelumnya karena akan mem-pengaruhi
jumlah keturunannya kelak.
Bebet memiliki makna siapa teman-temannya. Dalam
memilih pendamping hidup, kriteria ini sangat penting untuk
diperhatikan karena baik dan buruknya seseorang dipengaruhi oleh
teman dan lingkungan yang ada di sekelilingnya. Sebagaimana
pepatah arab yang menyatakan bahwa ‘sahabatmu adalah cermin-
anmu’. Jika teman-temannya merupakan orang-orang baik, maka dia
juga kemungkinan besar baik. Namun, jika teman-temannya merupa-
kan orang-orang yang memiliki karakter buruk, maka berkemung-
kinan besar dia memiliki karakter buruk.
Bobot, memiliki makna kemampuan dan kualitas diri calon
pasangan hidup. Kriteria ini perlu diperhatikan karena kemampuan
dan kualitas diri pasangan akan menentukan masa depan hidup
berumah tangga. Jika seorang calon suami tidak memiliki keteram-
pilan bekerja mencari nafkah dan memimpin keluarga, maka rumah
tangga akan hancur. Begitu juga dengan calon istri, jika calon istri
tidak memiliki keterampilan mengelola kehidupan rumah tangga,
maka rumah tangga akan berantakan.
Budaya mempertimbangkan bibit, bebet, dan bobot ini
harus terus dijaga oleh orang Jawa karena dengan adanya per-
timbangan ini dalam nemenutukan pasangan dan pemimpin, maka
akan selamat dan bahagia dalam kehidupan kedepannya.
195
Selain ungkapan filosofi bibit, bebet, dan bobot, terdapat
juga filosofi Jawa berupa ungkapan ‘hidup adem, ayem, tentrem’
yang terdapat di dalam novel sebagaimana kutipan berikut ini.
Aku kadang mengamati gerak kehidupan di sekitar-ku, bahwa warisan berupa tanah subur, dengan kehangatan matahari yang bikin penghuni-nya makmur, malah jadi penghalang bagi orang Jawa untuk menjalani hidup yang lebih bermar-tabat, hidup karena kerja keras, karena akalnya yang diperas. Yang kelas atas, yaitu para ningrat aristokrat, lebih suka digaji daripada mencari peng-hasilan sendiri. Yang kelas bawah, yaitu kawula alit, lebih suka menghambakan diri menjadi kuli daripada hidup mandiri. Mestinya mereka bisa menjadi pedagang, misalnya. Kesimpulanku, orang Jawa takut tantangan, hidup adem ayem tentrem lebih disukai daripada hidup bergairah bergejolak. (Dasamuka: 131)
Dari kutipan tersebut terlihat bahwa adem ayem tentrem
memiliki makna kenyamanan dan ketentraman. Ungkapan filosofi
Jawa yang terdapat pada kutipan tersebut menggambarkan bahwa
sebagain besar orang Jawa memiliki sifat mencari aman. Tidak
suka dengan percekcokan atau pemberontakan seperti yang dilaku-
kan oleh Raden Rangga – dalam cerita –. Dalam bahasa sekarang
hidup adem ayem tentrem ini merupakan hidup yang merasa
berada di zona nyaman. Zona nyaman ini tidak selamanya baik
karena dengan merasa aman di zona nyaman ini seseorang akan
terlena di dalam hidup. Ancaman-ancaman yang datang atau
masuk secara halus menyerang, tidak akan disadarinya.
196
Jika hal ini kita kembalikan ke dalam cerita yang terdapat
di dalam novel, sifat adem ayem tentrem ini membuat orang Jawa
terlena dengan ancaman musuh dari luar, yakni pemerintah koloni-
al. Oleh sebab itu, banyak potensi alam dan budaya yang dikeruk
dan diambil habis-habisan oleh pemerintah kolonial. Hanya ter-
dapat segelintir orang yang menyadari kekeliruan dalam mema-
hami adem ayem tentrem ini, yaitu sebangsa Raden Rangga dan
para pengikutnya, juga Raden Aria Dipanegara.
Pandangan lain tentang filosofi hidup adem ayem tentrem
ini adalah adanya filosofi hidup lain yaitu urip mung mampir
ngombe yang disandingkan pada kutipan berikut ini.
Apakah hidup adem ayem tentrem semacam itu salah? Mungkin juga tidak seluruhnya salah. Masih banyak orang Jawa yang menyikapi ‘warisan’ kemakmuran itu dengan pandangan yang lain, tidak semata-mata karena penakut dan pemalas. Mereka adalah orang Jawa yang sak madya, yang di tengah-tengah, yang menjauhi ekstremitas. Tidak sedikit orang yang punya pendapat bahwa urip mung mampir ngombe, begitu sebentarnya hidup, begitu sederhananya hidup. Mempersiapkan mati lebih penting ketimbang menikmati hidup. Maka hal yang terpenting bagi mereka adalah pengendalian diri untuk menyongsong kehidupan abadi, bukan kehidupan yang hanya sebentar ini. (Dasamuka: 131-132).
Pada kutipan sebelumnya hidup adem ayem tentrem
dimaknai sebagai hidup yang tidak ingin repot sebagaimana yang
telah dijelaskan pada penjelasan sebelumnya. Adapun pada kutipan
berikutnya adem ayem tentrem dimaknai sebagai penyandaran
197
nasib kepada Tuhan atau dalam agama disebut tawakal karena urip
mung mampir ngombe, hidup hanya sebentar, tujuan utama adalah
akhirat. Adem ayem tentrem sesungguhnya menjadi tujuan dari
usaha yang telah dilakukan. Hasilnya disandarkan kepada
ketentuan Tuhan sehingga membuat orang Jawa melakukan
sesuatu dengan alon-alon asal kelakon, pelan-pelan asal tercapai
sehingga orang Jawa terkenal dengan kegesitannya yang kurang
dibandingkan suku lain.
Adapun adem ayem tentrem menurut Raden Rangga dan
para pengikutnya adalah ketika zona nyaman yang menjadi jebakan
itu dapat terlewati dan selalu waspada terhadap ancaman dari luar,
di situlah adem ayem tentrem akan tercapai.
Terdapat satu lagi filosofi Jawa terkait ilmu pengendalian
diri, yakni ungkapan meper (mepet) hawa sanga. Ungkapan ini
terdapat di dalam kutipan berikut ini.
Ya, pengendalian diri yang mereka sebut meper hawa sanga. Mereka percaya bahwa nafsu selalu mengintip untuk mencari kesempatan mencelaka-kan manusia dari sembilan lubang yang ada pada tubuh manusia Dua lubang ada di telinga, mata, dan hidung. Satu lubang ada di mulut, kelamin, dan pelepasan. Nafsu-nafsu kehidupan itu harus diken-dalikan karena akan menodai kesucian kematian yang dirindukannya. (Dasamuka: 132)
Dari kutipan tersebut terlihat bahwa ungkapan mepet
hawa sanga memiliki makna pengendalian diri terhadap hawa
nafsu manusia yang bersumber dari lubang sembilan yang ada di
198
tubuh manusia. Mepet hawa sanga ini tidak hanya ada dalam
filosofi Jawa, tetapi juga ada di dalam agama. Di dalam agama
Islam terdapat sebuah pameo yang mengatakan bahwa musuh
terbesar seseorang adalah hawa nafsu yang bercokol dalam diri
setiap manusia. Pameo ini menjadi salah satu tingkatan jihad dalam
Islam. Orang yang dapat mepet hawa sanga ini niscaya hidupnya
akan adem ayem tentrem di dunia dan di akhirat.
Ungkapan-ungkapan filosofis Jawa yang telah dipaparkan
merupakan salah satu bentuk kearifan lokal berupa falsafah Jawa
yang hendaknya dijaga dan dimaknai secara arif oleh orang-orang
Jawa. Ungkapan-ungkapan filosofi Jawa ini dapat dijadikan
sebagai salah satu pandangan hidup yang menjadi patokan bagi
orang Jawa.
d) Macapat
Seperti yang telah dibahas sebelumnya, macapat merupakan
salah satu seni suara berupa lagu Jawa yang merupakan salah satu
sistem seni dalam unsur budaya Jawa. Sebagai unsur budaya
macapat juga merupakan sebuah kerarifan lokal Jawa yang harus
terus terjaga keberadaannya. Macapat merupakan salah satu bentuk
seni suara atau nyanyian yang ada di dalam budaya Jawa. Macapat
dalam novel tercermin pada cerita pada saat Ki Sena mandi di
sendang sebagaimana kutipan berikut ini.
Pada saat suara gemericik air makin keras ter-dengar, Den Rara Ningsih memelankan langkah-
199
nya. Dia lalu mendengar suara lembut nyanyian, tembang yang disenandungkan dengan pelahan oleh seorang laki-laki. Suara yang biasanya pendek-pendek dan tegas itu ternyata bisa lembut mendayu-dayu pada saat melantunkan tembang macapat. (Dasamuka: 45)
Dari kutipan tersebut terlihat bahwa tembang macapat biasa-
nya dilantunkan pada saat santai seperti yang dilakukan Ki Sena
dalam kutipan tersebut. Bisa juga dinyanyikan pada acara-acara
tertentu. Macapat tidak sekadar lagu Jawa biasa, tetapi memiliki
aturan tertentu dalam penciptaannya, dan berisi pitutur atau peng-
ajaran yang memiliki filosofi tinggi. Tembang macapat sendiri me-
miliki berbagai macam bentuk. Jenis-jenis ini memiliki kandung-an
makna filosofis sendiri. Salah satu bentuk jenis macapat adalah
tembang asmarandana sebagaimana kutipan berikut ini.
Bulan di langit timur sudah tampak sepertiga. Purnama memang selalu memancarkan tembang asmarandana. (Dasamuka: 45)
Dari kutipan tersebut terlihat bahwa sinar bulan di malam
hari menimbulkan kesan yang romantis sehingga diibaratkan sebagai
tembang asmarandana. Asmarandana merupakan tembang macapat
yang lagu-lagunya memiliki makna asmara, kesetiaan, kesedihan,
dan prihatin dalam bingkai cinta. Asmarandana biasanya dinyanyi-
kan bagi orang yang sedang jatuh cinta maupun yang sedang patah
hati. Oleh sebab itu, digambarkan bagaikan tembang asmarandana
yang romantis.
200
Macapat kini hanya diperdengarkan pada acara-acara adat
atau lomba-lomba kearifan budaya lokal. Jarang ada orang Jawa
yang masih nembang macapat untuk mengisi suasana santai.
Macapat ini merupakan kearifan lokal milik budaya Jawa yang
hendaknya terus dilestarikan karena terdapat pesan-pesan hidup yang
dapat mengasah jiwa. Dengan adanya pesan-pesan kehidupan dalam
macapat, dapat mengasah budi pekerti dan akhlak generasi muda
Jawa.
e) Titi Mongso
Seperti yang telah dibahas sebelumnya di dalam unsur
budaya sistem pengetahuan, titi mongso juga merupakan kearifan
lokal Jawa yang harus terus dipertahankan. Masyarakat Jawa yang
hidup berdampingan dengan alam yang gemah ripah loh jinawi
seringkali mennjadikan kondisi alam sebagai penanda akan suatu
hal. Salah satunya adalah dalam titi mongoso ini, yakni mengetahui
musim dengan memperhatikan kondisi alam yang ada di
sekelilingnya sebagaimana kutipan berikut ini.
Orang Jawa sungguh percaya bahwa berkuasanya garengpung berarti berkuasanya kemarau. (Dasamuka: 67)
Dari kutipan tersebut terlihat bahwa masyarakat Jawa dalam
menandai datangnya musim melalui tanda alam yang ada di
lingkungannya. Pulau Jawa memiliki dua musim, yaitu musim peng-
hujan dan musim kemarau. Masyarakat Jawa memiliki ilmu titen
201
yang dijadikan patokan untuk menandai akan datangnya musim
penghujan dan musim kemarau. Seperti yang ada di dalam kutipan
tersebut, datangnya musim kemarau ditandai dengan hadirnya
garengpung. Garengpung merupakan serangga hutan yang bunyinya
sangat keras dan khas. Garengpung akan berbunyi di akhir musim
penghujan. Hal ini dijadikan penanda waktu bagi masyarakat Jawa
akan datangnya musim kemarau. Begitu juga dengan penanda akan
datang musim penghujan. Masyarakat percaya bahwa ketika bunga
lily atau orang Jawa biasa menyebutnya dengan bawang-bawangan,
mekar, akan hadir musim penghujan.
Karifan lokal terkat ilmu titen ini harus dipertahankan
keberadaannya. Dengan adanya ilmu titen ini orang Jawa menjadi
lebih menghargai alam karena semua tanda kehidupan ada di alam.
Oleh sebab itu, manusia dan alam hendaknya hidup saling
berdampingan. Manusia menjadi rahmat bagi sekalian alam.
f) Ramuan/Jamu
Salah satu kelebihan masyarakat Jawa terletak pada
pengetahuan terkait karakteristis tumbuh-tumbuhkan yang tumbuh di
lingkungan sekitar. Tumbuh-tumbuhan ini dapat berfungsi sebagai
ramuan jamu. Untuk menjadi ramuan jamu tumbuh-tumbuhan atau
bagian tumbuhan – daun, akar, batang – bisa langsung digunakan
maupun diolah menjadi ramuan. Ramuan ini diketahui dan dipercaya
202
khasiatnya oleh masyarakat Jawa. Salah satu fungsi ramuan terdapat
dalam kutipan novel berikut ini.
Bahkan tidak segan-segan dia menawarkan berbagai bedak dan lulur untuk ngadi-sarira milik anak-anaknya. Dan tentu tak ketinggalan menawarkan sari rapet yang dibikinnya sendiri. (Dasamuka: 193)
Dari kutipan tersebut terlihat bahwa perempuan pada zaman
dahulu membuat rampuan sendiri untuk merawat diri. Budaya Jawa
terkenal dengan ramuan Jawa yang dibuat dari bahan-bahan alami
yang ada di lingkungan sekitar, khususnya untuk merawat tubuh
perempuan. Oleh sebab itu, perempuan-perempuan Jawa terlihat me-
miliki kecantikan alami. Dari kutipan tersebut, dapat diketahui
bahwa perempuan Jawa pada masa lalu membuat ramuan sendiri
untuk ngadi sarira (merawah tubuh luar) dan membuat jamu sari
rapet untuk merawat tubuh dari dalam.
Warisan leluhur Jawa berupa resep ramuan kecantikan Jawa
ini merupakan kearifan lokal yang mendunia karena banyak dipakai
oleh perusahaan-perusahaan produk kecantikan yang memiliki pasar
dunia. Hal ini perlu dijaga dan dipertahankan keberadaannya, untuk
menjaga kealamian kecantikan perempuan Jawa khususnya dan
perempuan Indonesia pada umumnya. Ramuan kecantikan warisan
leluhur Jawa perlu terus dikembangkan untuk menangkal maraknya
produk-produk kecantikan berbahan kimia yang banyak beredar di
pasaran dan ikut bersaing dalam pasar.
203
g) Batik
Batik merupakan corak atau gambar yang diaplikasan di
atas kain. Motif gambar batik dibentuk atau ditulis dengan cairan
lilin menggunakan alat bernama canting. Batik merupakan salah satu
warisan budaya Jawa. Batik sudah ada sejak ratusan tahun yang lalu.
Pada mulanya batik hanya dipakai oleh raja, keluarga raja, dan
anggota keraton lainnya. Corak batik juga memiliki pakem masing-
masing, baik yang digunakan oleh Raja maupun punggawanya
karena setiap corak batik memiliki makna sendiri-sendiri. Namun,
seringi berjalannya waktu, batik dipakai oleh masyarakat umun dan
tidak hanya menjadi ciri khas milik budaya Jawa, tetapi menjadi ciri
khas budaya Indonesia. Batik biasanya menjadi corak untuk kain
jarit sebagaimana kutipan berikut ini.
Dan bisa ditebak, Dasamuka mendapat peran menjadi kusir yang mengantar Rara Ireng. Bersama dengan Den Ayu Wiji, mereka akan berbelanja jarit ke pengrajin batik paling kondang di seantero kasultanan ketika itu, Nyi Canting. (Dasamuka: 155)
Dari kutipan tersebut terlihat bahwa jarit merupakan kain
yang identik dengan aplikasi corah batik di atasnya. Oleh sultan,
kerabat sultan, dan para pegawai keraton jarit biasanya digunakan
untuk pakaian bawah. Jika, merujuk pada unsur-unsur budaya yang
telah dipaparkan sebelumnya, batik dalam bentuk jarik termasuk
peralatan hidup yang menjadi ciri khas pemilik budayanya, yaitu
204
budaya Jawa, dan sekarang budaya Indonesia. Batik memiliki corak
bermacam-macam dengan makna tertentu. Di dalam novel terdapat
satu jenis corak batik yang disebutkan, yaitu batik truntum. Hal ini
terdapat di dalam kutipan berikut ini.
Jarit Truntum yang dipakainyalah yang paling banyak terbercaki noda darah. (Dasamuka: 238)
Kutipan tersebut merupakan cuplikan kejadian pada saat
Dasamuka dan Rara Ireng lari dari kejaran prajurit keraton menuju
Salatiga, rumah keluarga Dasamuka. Dalam perjalanan itu, Rara
Ireng memakai jarit corak truntum yang merupakan hadiah dari
Dasamuka untuk pertama kalinya. Corak truntum memiliki makna
cinta dan kesetiaan. Laki-laki yang memberikan corak jarit truntum
kepada perempuan, memiliki harapan si perempuan akan menjaga
cinta dan kesetiaan yang diberikan. Begitu juga bagi perempuan
yang mengenakan jarit truntum, diharapkan dengan mengenakan
jarit truntum sebagai pertanda mampu menjaga cinta dan kesetiaan.
Sebagaimana yang dilakukan oleh Roro Ireng, Roro Ireng memiliki
cinta dan kesetiaan begitu besar terhadap Dasamuka dengan batik
yang ia kenakan di akhir hidupnya.
Batik merupakan salah satu bentuk kearifan lokal Jawa
yang harus dijaga keasliannya. Sekarang ini batik sudah jauh
bergeser dari aslinya. Banyak corak batik yang bermunculan dengan
hanya memperhatikan estetika, bukan mengedepankan filosofi
205
coraknya. Selain itu, produksi batik sudah tidak lagi menggunakan
hanya canting, tetapi juga dengan cap, dan printing yang membuat
nilai history dan budayanya berkurang.
3. Skenario Pembelajaran Unsur Budaya dan Kearifan Lokal Novel
Dasamuka Karya Junaedi Setiyono
Pembelajaran sastra, khususnya novel di kelas XII SMA pada
kurikulum 2013 dituntut untuk mengungkap unsur ekstrinsik di dalam
novel, di samping unsur intrinsi. Berdasarkan kompetensi inti yang
menyaran pada pembelajaran yang mengharapkan peserta didik bangkit
rasa ingin tahunya terhadap ilmu pengetahuan, teknologi, seni, budaya,
dan humaniora, pembelajaran teks novel ini difokuskan pada menemukan
dan menganalis unsur-unsur budaya dan kearifan lokal dalam novel.
Sehubungan dengan hal itu, penulis memaparkan skenario pembelajaran
yang dibuat berdasarkan Rencana Pelaksaan Pembebelajaran (RPP) –
terlampir – yang telah dibuat. Berikut ini disajikan skenario pembelajaran
sastra, khususnya teks novel, dengan materi analisis unsur budaya dan
kearifan lokal dalam novel Dasamuka karya Junaedi Setiyono di kelas
XII SMA.
a. Kompetensi Inti
Kompetensi inti yang ingin dicapai dalam pembelajaran
sastra, khususnya teks novel adalah peserta didik dapat memahami,
menerapkan, menganalisis dan mengevaluasi pengetahuan faktual,
konseptual, prosedural, dan metakognitif berdasarkan rasa ingin
206
tahunya tentang ilmu pengetahuan, teknologi, seni, budaya, dan
humaniora dengan wawasan kemanusiaan, kebangsaan, kenegaraan,
dan peradaban terkait penyebab fenomena dan kejadian, serta
menerapkan pengetahuan prosedural pada bidang kajian yang
spesifik sesuai dengan bakat dan minatnya untuk memecahkan
masalah.
b. Kompetensi Dasar
Kompetensi dasar yang ingin dicapai dalam pembelajaran
sastra, khususnya teks novel adalah menganalisis teks novel baik
melalui lisan maupun tulisan.
c. Indikator
Indikator yang ingin dicapai dalam pembelajaran sastra,
khususnya teks novel di kelas XII SMA adalah sebagai berikut:
1) mengungkapkan kembali langkah-langkah menganalisis teks
novel;
2) menganalisis unsur-unsur budaya dalam novel Dasamuka
Karya Junaedi Setiyono
3) menganalisis kearifan lokal dalam novel Dasamuka Karya
Junaedi Setiyono
e. Tujuan Pembelajaran
Tujuan pembelajaran yang dikembangan dari indikator dalam
pembelajaran sastra, khususnya teks novel di kelas XII SMA adalah
sebagai berikut:
207
1) peserta didik mampu mengungkapkan kembali langkah-langkah
menganalisis teks novel;
2) peserta didik mampu menganalisis unsur-unsur budaya dalam
novel Dasamuka Karya Junaedi Setiyono;
3) peserta didik mampu menganalisis kearifan lokal dalam novel
Dasamuka Karya Junaedi Setiyono
a) Materi Pembelajaran
Materi pembelajaran unsur budaya dan kearifan lokal novel
Dasamuka karya Junaedi Setiyono harus sesuai dengan indikator
yang terdapat di dalam RPP. Materi pembelajaran tersebut meliputi
langkah-langkah menganalisis teks novel, unsur-unsur budaya, dan
kearifan lokal.
1) Langkah-langkah menganalisis teks novel
Langkah-langkah menganalisis teks novel adalah
sebagai berikut:
a) membaca novel dengan saksama;
b) memahami isi novel;
c) melakukan pengecekan terhadap setiap hal yang ada di
dalam novel berdasarkan suatu teori definisi, atau referensi;
d) mengumpulkan data yang ada di dalam novel berdasarkan
teori;
e) menganalisis data yang ada di dalam novel berdasarkan
teori.
208
2) Unsur-unsur budaya
Unsur budaya merupakan bagian-bagian yang membangun
kebudayaan di suatu tempat. Budaya terdiri atas tujuh unsur
yang akan dipaparkan berikut ini.
a) Sistem religi
Unsur religi menyangkut agama, baik agama samawi
maupun agama duniawi dan kepercayaan yang biasanya
dianut oleh sekelompok masyarakat berdasarkan kultural
yang ada di dalamnya. Agama dan kepercayaan memiliki
unsur sistem keyakinan berupa keyakinan-keyakinan
terhadap ajaran yang dianut; sistem upacara keagamaan
berupa ibadah sesuai dengan agama dan kepercayaan yang
bersangkutan; dan unsur umat yang menganutnya. Dalam
unsur sistem upacara keagamaan terdapat empat aspek, yaitu
tempat ibadah, waktu ibadah, alat ibadah, dan umat yang
melakukan ibadah.
b) Sistem dan organisasi kemasyarakatan
Sistem kekerabatan berkembang sesuai dengan per--
kembangan peradaban. Secara tradisional karya sastra ber-
cerita tentang hubungan suami sitri, anak dengan orang tua,
dengan tetangga terdekat, sesuai dengan mekanisme komuni-
kasi. Dengan adanya mobilitas manusia yang semakin tinggi,
sistem hubungan antarmanusia pun semakin bertambah luas.
209
Hubungan tersebut meliputi hubungan dalam perkawinan
antarkeluarga, antardaerah, antarsuku, bahkan antarbangsa.
Di samping itu hubungan kekerabatan juga dapat terlihat dari
hubungan dalam dunia kerja maupun dunia politik.
Lebih luas lagi, sistem kekerabatan dalam masyarakat,
tercermin dalam kehidupan keluarga, perkawinan, tolong-
menolong antarkerabat, sopan-santun pergaulan antarkerabat,
sistem istilah kekerabatan, sistem politik, sistem hukum dan
sebagainya.
c) Sistem pengetahuan
Sistem pengetahuan dalam suatu kebudayaan, me-
rupakan suatu uraian tentang cabang-cabang pengetahuan
yang dimiliki masyarakat, menyangkut pengetahuan tentang:
(1) alam sekitarnya, (2) alam flora di daerah tempat tinggal-
nya, (3) alam fauna di daerah tempat tinggalnya, (4) zat-zat,
bahan mentah, dan benda-benda dalam lingkungannya, (5)
tubuh manusia (6) sifat-sifat dan tingkah sesama manusia;dan
(7) ruang dan waktu.
d) Bahasa
Bahasa merupakan media untuk bersosialisasi antar
individu di dalam sebuah masyarakat dalam membangun
sebuah budaya. Setiap suku bangsa memiliki bahasa sendiri
sebagai identitas diri. Bahasa tidak semata-mata untuk
210
berkomunikasi, tetapi juga untuk menempatkan seseorang
pada tempat yang sesungguhnya. Misalnya, di dalam budaya
Jawa terdapat perbedaan penggunaan bahasa yang ditentukan
oleh lapis-lapis sosial dalam masyarakat. Bahasa Jawa yang
digunakan oleh masyarakat di desa, yang dipakai dalam
lapisan pegawai (priyayi), di dalam istana (keraton), para
kepala Swapraja di Jawa Tengah, berbeda-beda.
e) Kesenian
Kesenian sebagai unsur kebudayaan, merupakan
ekspresi hasrat manusia akan keindahan. Ada dua macam
seni yang penting di sini yaitu: (1) seni rupa, atau kesenian
yang dinikmati oleh manusia dengan mata, dan (2) seni suara,
atau kesenian yang dinikmati oleh manusia dengan telinga.
f) Sistem mata pencaharian hidup
Untuk mempertahankan hidup, manusia harus dapat
memenuhi kebutuhan-kebutuhan biologis dan sosial, seperti
makan, minum, dan bekerja sama. Oleh sebab itu, manusia
harus bisa bekerja atau memiliki mata pencaharian. Sistem
mata pencaharian dapat diperinci ke dalam beberapa jenis
seperti: perburuan, peladangan, pertanian, peternakan,
perdagangan, perkebunan, industri, kerajinan, industri
manufaktur, dll. Tiap jenis mata pencaharian tadi, terkait
dengan sistem sosialnya, sisem sosial yang berlaku dan
211
diberlakukan di dalam berinetraksi dan bekerjasama dalam
kaitannya dengan mata pencaharian disebut sebagai adat.
g) Sistem peralatan hidup dan teknologi
Dalam teknologi tradisional dikenal paling sedikit 8
(delapan) macam sistem peralatan dan unsur kebudayaan
fisik. Kedelapan sistem peralatan dan unsur kebudayaan fisik
dipakai oleh manusia hidup dalam masyarakat pedesaan yang
hidup dalam masyarakat kecil yang berpindah-pindah atau
masyarakat pedesaan yang hidup dari pertanian, berupa: (1)
alat-alat produktif, (2) senjata, (3) wadah, (4) alat-alat me-
nyalakan api, (5) makanan, minuman, bahan pembangkit
gairah, dan jamu-jamu, (6) pakaian dan perhiasan, (7) tempat
berlindung dan perumahan, (8) alat-alat transportasi.
4) Kearifan lokal
Kearifan lokal merupakan nilai-nilai luhur dari budaya
yang berlaku dalam tata kehidupan bermasyarakat yang
bersumber pada petuah leluhur, ajaran budaya, cerita rakyat,
sejarah maupun adat istiadat yang berfungsi untuk melindungi
dan mengelola lingkungan hidup (fisik dan non fisik) secara
lestari. Nilai kearifan itu dapat bersumber pada petuah leluhur,
ajaran budaya, cerita rakyat, sejarah maupun adat istiadat.
212
b) Metode Pembelajaran
Pembelajaran sastra, khususnya teks novel di kelas XII SMA
menggunakan metode inkuiri berbasis saintifik. Metode ini cocok
digunakan pada pembelajaran novel dalam kurikulum 2013 karena
ciri khas dari model pembelajaran ini adalah pembelajaran berpusat
pada aktivitas peserta didik. Pembelajaran berpusat pada aktivitas
peserta didik dan menuntut peserta didik untuk aktif berperan dalam
proses pembelajaran. Aktivitas pembelajaran yang dilakukan men-
cakup 5M, yaitu mengamati, menanya, mengumpulkan informasi,
mengasosiasi, dan mengomunikasikan.
c) Langkah-langkah Pembelajaran
Langkah-langkah pembelajaran sastra, khususnya teks novel
dengan pendekatan saintifik dilaksanakan dengan sistematika yang
terbagi atas dua kali pertemuan. Aktivitas pada pertemuan pertama
meliputi kegiatan mengamati, menanya, dan mengumpulkan infor-
masi. Adapun aktivitas pada pertemuan kedua meliputi tahap
mengasosiasi dan mengomunikasikan.
1) Pertemuan pertama dengan alokasi waktu 2x45 menit (90
menit).
a) Pendahuluan dengan alokasi waktu 10 menit.
Sebagai pendahuluan, sebelum pembelajaran,
pendidik mengucap salam dan mengajak siswa untuk
berdoa bersama demi kelancaran dan keberkahan ilmu yang
213
didapat. Setelah itu, pendidik memeriksa kehadiran peserta
didik dengan memanggil satu persatu nama siswa yang ada
di dalam daftar presensi. Selanjutnya, pendidik memberikan
penjelasan terkait pembelajaran yang akan dilakukan, yakni
menganalisis teks novel yang telah ditugaskan kepada
peserta didik untuk dibaca pada awal semester. Pendidik
juga meminta tanggapan peserta didik terkait novel yang
telah dibaca. Setelah itu, pendidik menyampaikan tujuan
pembelajaran. Setelah semua peserta didik memahami
rencana pembelajaran yang akan dilakukan, peserta didik
diminta untuk membentuk kelompok, satu kelompok terdiri
dari lima atau enam siswa.
b) Kegiatan inti dengan alokasi waktu 75 menit.
Pada kegiatan inti, pendidik meminta peserta didik
untuk memahami materi langkah-langkah analisis teks
novel, teori unsur budaya dan kearifan lokal secara ber-
kelompok. Setelah siswa selesai membaca dan mema-hami
materi, pendidik memberikan kesempatan kepada peserta
didik untuk bertanya terkait materi yang belum dipahami.
Selanjutnya, pendidik dan peserta didik secara bersama-
sama merumuskan masalah yang harus ditemukan di dalam
novel oleh peserta didik. Setelah siswa benar-benar
memahami materi, pendidik meminta peserta didik untuk
214
memahami isi dan mengumpulkan informasi terkait unsur
budaya dan kearifan lokal yang ada di dalam novel
Dasamuka karya Junaedi Setiyono secara berkelompok.
c) Penutup dengan alokasi waktu 5 menit.
Pada kegiatan penutup, pendidik menanyakan
kesulitan atau masalah yang dihadapi peserta didik dalam
pembelajaran hari itu. Setelah itu, pendidik meminta peserta
didik untuk melanjutkan kegiatan mengumpulkan informasi
dan menganalisis unsur budaya serta kearifan lokal yang
ada di dalam novel di luar jam pelajaran, secara
berkelompok.
2) Pertemuan kedua dengan alokasi waktu 2x45 menit (90
menit).
a) Pendahuluan dengan alokasi waktu 5 menit.
Sebagai pendahuluan, sebelum pembelajaran, pen-
didik mengucap salam dan mengajak siswa untuk berdoa
bersama demi kelancaran dan keberkahan ilmu yang
didapat. Setelah itu, pendidik memeriksa kehadiran peserta
didik dengan memanggil satu persatu nama siswa yang ada
di dalam daftar presensi. Selanjutnya, pendidik menyampai-
kan rencana pembelajaran yang akan dilaksanakan pada hari
itu, yaitu mengasosiasi (melanjut-kan analisis teks novel)
215
dan mengomunikasikan (mempre-sentasikan) hasil analisis
kelompok di depan kelas.
b) Kegiatan inti dengan alokasi waktu 70 menit.
Pada bagian awal kegiatan ini, pendidik membuka
sesi tanya jawab terkait kesulitan-kesulitan yang ditemui
pada saat menemukan dan menganalisis unsur budaya dan
kearifan lokal yang ada di dalam novel. Setelah itu,
pendidik mempersilakan peserta didik untuk melanjutkan
aktivitas menganalisis data yang telah dikumpulkan dari
novel Dasamuka karya Junaedi Setiyono. Setiap kelompok
diminta untuk memaparkan hasil diskusi kelompoknya
masing-masing dengan dipandu oleh moderator yang
berasal dari salah satu siswa di dalam kelas. Peserta didik
lain diminta untuk menanggapi presentasi dari kelompok
yang sedang melakukan presentasi, baik berupa pernyataan
maupun pertanyaan.
c) Penutup dengan alokasi waktu 15 menit.
Pendidik memimpin peserta didik untuk meng-
organisir hasil pembelajaran. Setelah itu, pendidik meminta
salah satu peserta didik untuk menyimpulkan hasil
pembelajaran analisis novel Dasamuka karya Junaedi
Setiyono. Kemudian, pendidik mengakhiri pembelajaran
216
dengan memberikan soal yang harus di kerjakan oleh setiap
individu secara mandiri di rumah.
d) Sumber Belajar
Sumber belajar yang dapat digunakan dalam pembelajaran
sastra, khususnya teks novel adalah novel Dasamuka karya Junaedi
Setiyono, Buku Bahasa Indonesia Ekspresi Diri dan Akademik
pegangan siswa kelas XII SMA kurikulum 2013, buku pelengkap
berupa buku Antropologi Sastra karya Nyoman Kutha Ratna,
Metode Antropologi Sastra karya Suwardi Endraswara, Ilmu
Pengantar Antropologi karya Koentjaraningrat, dan buku penunjang
lain yang sesuai dengan pembelajaran. Novel Dasamuka karya
Junaedi Setiyono digunakan sebagai objek penelitian peserta didik
dalam pembelajaran analisis teks novel. Sementara itu, buku Bahasa
Indonesia Ekspresi Diri dan Akademik pegangan guru dan siswa
kelas XII SMA kurikulum 2013 digunakan sebagai acuan
pembelajaran analisis novel di kelas XII SMA. Adapun buku
Antropologi Sastra karya Nyoman Kutha Ratna, Metode Antropologi
Sastra karya Suwardi Endraswara, dan Ilmu Pengantar Antropologi
karya Koentjaraningrat digunakan sebagai acuan analisis unsur
budaya dan kearifan lokal dengan pendekatan antropologi sastra.
e) Alokasi Waktu belajar
Waktu yang digunakan untuk pembelajaran sastra, khususnya
teks novel diatur sesuai dengan alokasi waktu yang terdapat dalam
217
silabus yang dikembangkan ke dalam RPP, yakni 4x45 menit (2x
pertemuan).
f) Penilaian pembelajaran
Dalam skenario pembelajaran sastra, khususnya teks novel,
penilaian yang dilakukan berupa tes dan nontes. Tes dilakukan
dengan soal uraian, sedangkaan nontes dengan penilaian tugas
proyek yang meliputi penilaian dalam kerja kelompok, presentasi,
serta laporan hasil kerja kelompok dan presentasi.
(1) Contoh Soal
Berikut ini merupakan soal-soal yang dapat digunakan
untuk mengukur pemahaman peserta didik dalam pembelajaran
menganalisis teks novel yang telah dilakukan.
(a) Bagaimana langkah-langkah menganalisis teks novel?
(b) Sebutkan dan jelaskan penggunaan peralatan hidup berupa
wadah yang ada di dalam novel?
(c) Apa persamaan dan perbedaan bronjong dalam sistem
organisasi kemasyarakatan dengan bronjong dalam sistem
peralatan hidup? Jelaskan!
(d) Mengapa pembelajaran bahasa yang paling utama dan
pertama terkait bahasa untuk pengucapan sopan santun?
Jelaskan!
(e) Apakah wayang termasuk kearifan lokal budaya Jawa?
Paparkan alasannya!
218
(2) Indikator Penilaian
(a) Tes
Tabel 9 Indikator Penilaian Tes
Nomor
soal Uraian Skor
1 Peserta didik menjawab benar dan lengkap. 10 Peserta didik menjawab benar, tetapi tidak lengkap. 8 Peserta didik menjawab benar, tetapi salah dua 6 Peserta didik menjawab benar, tetapi salah tiga 4 Peserta didik menjawab benar satu 2 Peserta didik tidak menjawab 0
2 Peserta didik menjawab benar disertai dengan penjelasan yang sesuai.
10
Peserta didik menjawab benar, tetapi penjelasan kurang sesuai.
8
Peserta didik menjawab benar, tetapi penjelasan salah. 6 Peserta didik menjawab benar, tetapi tidak disertai
penjelasan. 4
Peserta didik menjawab, tetapi salah 2 Peserta didik tidak menjawab 0
3 Peserta didik menjawab benar disertai dengan penjelasan yang sesuai.
10
Peserta didik menjawab benar, tetapi penjelasan kurang sesuai.
8
Peserta didik menjawab benar, tetapi penjelasan salah. 6 Peserta didik menjawab benar, tetapi tidak disertai penjelasan.
4
Peserta didik menjawab, tetapi salah 2 Peserta didik tidak menjawab 0
4 Peserta didik menjawab benar disertai dengan penjelasan yang sesuai.
10
Peserta didik menjawab benar, tetapi penjelasan kurang sesuai.
8
Peserta didik menjawab benar, tetapi penjelasan salah. 6 Peserta didik menjawab benar, tetapi tidak disertai penjelasan.
4
Peserta didik menjawab, tetapi salah 2 Peserta didik tidak menjawab 0
5 Peserta didik menjawab benar disertai dengan penjelasan yang sesuai.
10
Peserta didik menjawab benar, tetapi penjelasan kurang 8
219
sesuai. Peserta didik menjawab benar, tetapi penjelasan salah. 6 Peserta didik menjawab benar, tetapi tidak disertai penjelasan.
4
Peserta didik menjawab, tetapi salah 2 Peserta didik tidak menjawab 0
Nilai = skor maksimal x 2 = 50x2 = 100 (b) Nontes
Tabel 10 Indikator Penilaian Kinerja dalam Kelompok
No. Aspek Skor Kurang (1) Baik (3) Amat Baik (5)
1. Keaktifan dalam kerja kelompok
Peserta didik tidak ikut serta dalam kerja kelompok.
Peserta didik terlibat dalam kerja kelompok, tetapi tidak banyak memberikan pemikirannya.
Peserta didik aktif dalam kerja kelompok, mencurahkan segala pemikirannya untuk menganalisis teks.
2. Kemampuan bekerjasama dalam kerja kelompok
Peserta didik bersikap individual, bekerja sendiri tanpa melibatkan yang lain atau tidak
Peserta didik dapat bekerjasama dengan teman yang lain, tetapi masil lebih mengutamakan kepentingan diri sendiri.
Peserta didik mampu bekerjasama dengan baik bersama teman satu kelompok sehingga menghasilkan laporan analisis yang maksimal.
3. Sikap dalam menerima pendapat peserta didik lain
Peserta didik sama sekali tidak mau mendengar dan menerima pendapa teman, meskipun pendapat tersebut benar.
Peserta didik bersedia mendengarkan pendapat teman walaupun dengan sikap terpaksa dan mau menerima dengan setengah hati.
Peserta didik bersedia mendengarkan pendapat teman dengan sikap penuh penghargaan dan menerima dengan lapang dada.
4. Sikap dalam memberikan
Peserta didik tidak pernah
Peserta didik bersedia
Peserta didik bersedia
220
pendapat memberikan pendapatnya.
memberikan pendapat, tetapi pendapatnya harus diterima oleh kelompok.
memberikan pendapatnya dan rela jika pendapatnya tidak diterima.
Nilai = jumlah aspek x skor maksimal = 4 x 5 = 20
Tabel 11
Indikator Penilaian Presentasi Lisan
No. Aspek Skor
Kurang (1) Baik (3) Amat Baik (5) 1. Persiapan Gagasan peserta
didik tidak terorganisasi dan Peserta didik tidak menguasai isi.
Gagasan peserta didik terorganisasikan, siswa tampak terlatih dan siap melakukan presentasi
Gagasan peserta didik terorganisasikan, terkembang, dan terkait untuk mendukung tujuan; tujuan presentasi ditunjukkan secara jelas.
2. Penyampaian Penyajian peserta didik banyak bergantung pada catatan/media visual, siswa lebih banyak membaca daripada melakukan presentasi.
Peserta didik dapat menyampaikan dan tidak membaca materi presentasi.
Presentasi peserta didik tampak alami dan santai tanpa mengurangi keseriusan.
3. Penampilan Pilihan pakaian peserta didik dan penampilan diri tidak sesuai dengan konteks; peserta didik kurang menghormati peserta didik lain.
Pilihan pakaian peserta didik dan penampilan diri sesuai dengan konteks; peserta didik menghormati peserta didik lain.
Pilihan pakaian peserta didik dan penampilan diri sesuai dengan konteks; penampilan sesuai dengan harapan; peserta didik menghormati peserta didik lain.
221
4. Komunikasi nonverbal
Variasi ekspresi peserta didik dan kontak mata hanya sedikit.
Peserta didik menggunakan ekspresi wajah dan kontak mata untuk menjaga komunikasi dengan peserta didik lain.
Secara konsisten peserta didik menggunakan ekspresi wajah dan kontak mata dengan penuh makna.
Gerakan siswa mengganggu dan atau tidak tepat.
Penggunaan gerakan peserta didik dapat membanttu presentasi.
Gerakan peserta didik menghidupkan presentasi.
5. Komunikasi verbal
Peserta didik seolah-olah berbicara terhadap diri sendiri, berbicara terlalu cepat sehingga yang dikatakan tidak dapat dipahami dengan baik; dan/atau ttidak terdengar.
Pengucapan pada umumnya dilakukan baik; jeda terjaga dengan baik; volume suara dijaga sesuai dengan situasi.
Peserta didik secara konsisten menggunakan pengucapan baik sehingga presentasi mudah dipahami; jeda terjaga dengan baik.
6. Pemanfaatan peranti bahasa
Penguasaan peranti bahasa terbatas; presentasi dipenuhi dengan bahasa gaul, jargon; peranti kebahasaan yang digunakan sangat membosankan.
Penggunaan peranti bahasa sesuai dengan tujuan meskipun beberapa bagian presentasi tidak begitu jelas.
Peranti bahasa dimanfaatkan secara jelas, tepat, dan canggih.
7. Alat bantu visual
Penggunaan teknologi visual mengganggu dan/atau tidak mendukung presentasi.
Peserta didik memadukn penggunaan teknologi dan/atau audio visual; penggunaannya mendukung presentasi.
Peserta didik secara kreatif mengintegrasikan teknologi visual untuk presentasi.
8. Tanggapan terhadap
Tanggapan terhadap
Tanggapan terhadap
Tanggapan terhadap
222
pernyataan pertanyaan peserta kurang dikembangkan atau tidak jelas.
pertanyaan peserta didik lain pada umumnya relevan, tetapi penjelasan masih kurang.
pertanyaan peserta terfokus dan relevan, ringkasan disampaikan apabila diperlukan.
9. Isi Peserta didik masih kurang menguasai topik.
Peserta didik telah menguasai topik.
Peserta didik telah menguasai topik yang sangat lengkap dengan perinciannya.
Nilai = jumlah aspek x skor maksimal = 9 x 5 = 45
Tabel 12
Indikator Penilaian Laporan Hasil Analisis
No. Aspek Skor Kurang (1) Baik (3) Amat Baik (5)
1. Sistematika laporan
Laporan dibuat dengan sistematika yang salah
Laporan dibuat dengan benar, tetapi kurang jelas
Laporan dibuat sesuai sistematika penulisan, jelas, dan benar
2. Kelengkaan laporan
Laporan dibuat tidak lengkap
Laporan dibuat tanpa kesimpulan
Laporan dibuat secara lengkap sesuai petunjuk pembuatan laporan
3. Kejelasan laporan
Laporan tidak jelas, tidak sesuai dengan keruntutan penulisan
Laporan jelas, tetapi penulisan kurang runtut
Laporan jelas, dapat dipahami, ditulis secara runtut
4. Kebenaran konsep
Konsep yang dipaparkan tidak tepat
Konsep yang dipaparkan sesuai dengan teori tetapi kurang jelas
Konsep yang dipaparkan tepat, benar, dan sesuai dengan teori
5. Ketepatan pemilihan kosakata
Banyak menggunakan kosakata yang salah
Masih terdapat penggunaan kosakata yang kurang tepat
Menggunakan kosakata yang tepat sehingga tulisan mudah dipahami
6. Kemampuan siswa menjelaskan
Menguasai latar belakang saja
Menguasai latar belakang, metode, dan analisis,
Menguasai latar belakang, metode, analisis, dan
223
isi laporan tetapi tidak menyeluruh
kesimpulan dengan baik
7. Usaha siswa dalam menyusun laporan
Tidak berusaha melengkapi dan memperbaiki isi laporan
Laporan tidak lengkap (ada bagian yang tidak disertakan dalam laporan)
Berusaha melengkapi isi laporan dengan sungguh-sungguh, berusaha memperbaiki isi, tulisan rapi, dan mudah dibaca.
Nilai = jumlah aspek x skor maksimal = 7 x 5 = 35
Nilai proyek = nilai kinerja kelompok + nilai presentasi + nilai laporan = 20+45+35 = 100
224
BAB V PENUTUP
Bab ini berisi simpulan dan saran. Simpulan merupakan jawaban ringkas
rumusan masalah yang terkait dengan unsur-unsur budaya Jawa, kearifan lokal
budaya Jawa, dan skenario pembelajaran teks novel di kelas XII SMA. Adapun
saran merupakan rekomendasi peneliti yang disampaikan kepada pembaca sebagai
hasil refleksi peneliti terhadap temuannya.
A. Simpulan
Berdasarkan pembahasan data yang terdapat dalam bab IV tersebut,
peneliti dapat menyimpulkan sebagai berikut ini.
1. Unsur-unsur budaya dalam novel Dasamuka karya Junaedi Setiyono
meliputi sistem religi (ritual agama, guru/pemimpin agama, dan pakaian
simbol agama); sistem dan organisasi kemasyarakatan (kekerabatan,
politik, hukum, dan kelompok sosial); sistem pengetahuan (alam/flora,
sifat/tingkah manusia, kriteria pendamping hidup, ruang dan waktu dalam
ilmu Jawa, pendidikan anak, dan ramuan Jawa); bahasa (proses belajar
bahasa dan tingkatan bahasa dalam bahasa Jawa); kesenian (seni macapat,
alat musik Jawa, dan seni tari); sistem mata pencaharian hidup (mata
pencaharian hidup dalam lingkup keraton dan di luar lingkup keraton);
serta sistem peralatan hidup dan teknologi (senjata, wadah, makanan serta
ramuan, pakaian, perhiasan, tempat berlindung/perumahan, dan alat
transportasi).
225
2. Kearifan lokal dalam novel Dasamuka karya Junaedi Setiyono meliputi
wayang (kisah dalam dunia pewayangan sarat akan petuah hidup yang
menjadikan wayang perlu dipertahankan kelestariannya, termasuk yang
ada di dalam novel), tingkatan bahasa dalam bahasa Jawa (Kromo Inggil,
Kromo, dan Ngoko), ungkapan dan istilah budaya Jawa (bibit-bebet-bobot,
adem ayem tentrem, urip mung mampir ngombe, meper hawa sanga),
macapat (isi dari lagu macapat sarat akan makna yang menjadikan
macapat perlu dipertahankan kelestariannya), titi mongso (bunyi binatang
garengpung sebagai tanda datangnya musim kemarau), ramuan (bedak,
lulur, sari rapet), dan batik (corak batik).
3. Skenario pembelajaran teks novel di kelas XII SMA berdasarkan
kurikulum 2013 terdapat di dalam kompetensi inti 3 dan kompetensi dasar
3.3. Indikator yang ingin dicapai dalam pembelajaran ini, yaitu (a)
mengungkapkan kembali langkah-langkah menganalisis teks novel; (b)
menganalisis unsur-unsur budaya dalam novel Dasamuka Karya Junaedi
Setiyono; (c) menganalisis kearifan lokal dalam novel Dasamuka Karya
Junaedi Setiyono. Materi pembelajaran unsur budaya dan kearifan lokal
novel Dasamuka karya Junaedi Setiyono meliputi langkah-langkah
menganalisis teks novel, unsur-unsur budaya, dan kearifan lokal.
Pembelajaran dilaksanakan dengan metode pembelajaran inkuiri berbasis
saintifik dengan lima langkah pembelajaran, yaitu mengamati, menanya,
mengumpulkan informasi, mengasosiasi, dan mengomunikasikan. Sumber
belajar yang dapat digunakan, yaitu novel Dasamuka karya Junaedi
226
Setiyono, buku Bahasa Indonesia Ekspresi Diri dan Akademik kelas XII
kurikulum 2013, buku Antropologi Sastra karya Nyoman Kutha Ratna,
buku Metode Antropologi Sastra karya Suwardi Endraswara, buku Ilmu
Pengantar Antropologi karya Koentjaraningrat, dan buku penunjang lain
yang sesuai dengan pembelajaran. Waktu yang digunakan untuk
pembelajaran adalah 4x45 menit (2x pertemuan). Dalam pembelajaran ini,
penilaian yang dilakukan berupa teknik tes dengan soal uraian dan teknik
nontes dengan tugas proyek.
B. Saran
Berdasarkan hasil penelitian tersebut, peneliti dapat memberikan
beberapa saran berikut ini.
1. Bagi Peneliti Lanjutan
Penelitian ini dapat dijadikan sebagai salah satu bahan acuan dalam
melaksanakan penelitian selanjutnya atau penelitian serupa di masa yang
akan datang.
2. Bagi Pendidik
a. Novel Dasamuka karya Junaedi Setiyono dapat dijadikan sebagai
pilihan bahan ajar dalam pembelajaran teks novel karena novel
tersebut banyak menyajikan khasanah budaya salah satu suku di
Indonesia, yakni suku Jawa yang dapat menimbulkan rasa bangga di
hati peserta didik atas budaya negerinya sendiri. Selain itu, novel
tersebut juga menyajikan sejarah Indonesia masa lampau yang dapat
227
dijadikan pelajaran bagi peserta didik dan menumbuhkan rasa cinta
tanah air.
b. Guru dapat menggunakan model pembelajaran inkuiri berbasis
saintifik dalam pembelajaran teks novel dengan menyesuaikan
kondisi siswa. Model pembelajaran inkuiri berbasis saintifik ini
dapat melatih siswa untuk bersikap aktif, mandiri, dan peka terhadap
kondisi sosial.
3. Bagi Peserta Didik
Peserta didik dapat menggunakan penelitian ini sebagai sumber
pengetahuan untuk memahami karya sastra, khususnya novel serta mampu
merefleksikan budaya dan kearifan lokal dalam kehidupan.
4. Bagi Sekolah
Penelitian ini dapat digunakan sebagai acuan dalam mempersiapkan
pembelajaran bahasa dan sastra Indonesia, khususnya pada kompetensi
dasar analisis teks cerita fiksi dalam novel.
5. Bagi Masyarakat Umum
Penelitian ini hendaknya dapat menambah wawasan mengenai sastra,
khususnya dalam bidang budaya dan kearifan lokal dalam pendidikan.
DAFTAR PUSTAKA
Arikunto, Suharsimi. 2013. Prosedur Penelitian: suatu Pendekatan Praktik. Jakarta: Rineka Cipta.
Astiyanto, Heniy. 2006. Filsafat Jawa: Menggali Butir-Butir Kearifan Lokal.
Yogyakarta: Warta Pustaka. Daeng, J Hans. 2012. Manusia, Kebudayaan, dan Lingkungan: Tinjauan
Antropologis. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Depdiknas. 2008. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Edisi Keempat. Jakarta: Balai
Pustaka. Endraswara, Suwardi. 2013. Metodologi Penelitian Antropologi Sastra.
Yogyakarta: Penerbit Ombak. _________ . 2013. Metodologi Penelitian Sastra. Yogyakarta: CAPS. Hamalik, Oemar. 2014. Proses Belajar Mengajar. Jakarta: Bumi Aksara. Harahap, Muharrina. 2009. “Mitologi Jawa dalam Novel-Novel Kuntowijoyo”.
Tesis Universitas Sumatera Utara. Ismawati, Esti. 2013. Pengajaran Sastra. Yogyakarta: Ombak. Koentjaraningrat. 2009. Pengantar Ilmu Antropologi. Jakarta: Rineka Cipta. _________ . 1985. Kebudayaan, Mentalitas, dan Pembangunan. Jakarta:
Gramedia. Maryanto, dkk. 2015. Buku Teks Bahasa Indonesia: Ekspresi Diri dan Akademik.
Jakarta: Kemendikbud. Nurelide. 2007. “Meretas Budaya Masyarakat Batak Toba dalam Cerita Sigale-
gale”. Tesis Universitas Diponegoro. Nurgiyantoro, Burhan. 2013. Teori Pengkajian Fiksi. Yogyakarta: Gadjah Mada
University Press. ________ . 2010. Penilaian Pembelajaran Bahasa Berbasis Kompetensi.
Yogyakarta: IKAPI Ratna, Nyoman Kutha. 2010. Sastra dan Cultural Studies. Yogyakarta: Pustaka
Pelajar.
________ . 2011. Antropologi Sastra: Peranan Unsur-unsur Kebudayaan dalam Proses Kreatif. Yogyakarta. Pustaka Pelajar.
________ . 2015. Teori, Metode, dan Teknik Penelitian Sastra. Yogyakarta:
Pustaka Pelajar. Rohman, Saifur. 2012. Pengantar Metodologi Pengajaran Sastra. Yogyakarta:
Ar-Ruzz Media. Salinan Lampiran Permendikbud No. 69 th. 2013 tentang Kurikulum SMA-MA Sani, Ridwan Abdullah. 2014. Pembelajaran Saintifik untuk Implementasi
Kurikulum 2013. Jakarta: Bumi Aksara. Sanjaya, Wina. 2006. Strategi Pembelajaran Berorientasi Standar Proses
Pendidikan. Jakarta: Prenada Kencana. Setiyono, Junaedi. 2014. Dasamuka. Yogyakarta: Elmatera. Sjarif, Roestam. 2010. Tata Ruang Air. Yogyakarta: Andi Publishing. Soekanto, Soejono, Budi Sulistyowati. 2013. Sosiologi Suatu Pengantar. Jakarta:
Raja Grafindo Persada. Sudaryanto. 2015. Metode dan Aneka Teknik Analisis Bahasa. Yogyakarta: Sanata
Dharma University Press. Sugiyono. 2013. Metode Penelitian Pendidikan: Pendekatan Kuantitatif,
Kualitatif, dan R&D. Bandung: Alfabeta. Tim Penyusun. 2015. Bahasa Indonesia untuk SMK/MAK dan SMA/MA kelas XII.
Yogyakarta: LP2IP Tim Penyusun. 2015. Pedoman Penyusunan Skripsi. Purworejo: Universitas
Muhammadiyah Utomo, Tri. 2014. Berburu di Hutan Makna: 69 Cerita Budaya dan Karakter
Bangsa. Yogyakarta: Garudawacana.
LAMPIRAN
LAMPIRAN 1 RENCANA PELAKSANAAN PEMBELAJARAN
(RPP)
Jenjang Sekolah : SMA
Materi Pelajaran : Bahasa Indonesia
Kelas : XII
Materi Pokok : Teks Novel
Alokasi Waktu : 4 x 45 menit (2 x pertemuan)
A. Kompetensi Inti
1. Menghayati dan mengamalkan ajaran agama yang dianutnya.
2. Menghayati dan mengamalkan perilaku jujur, disiplin, tanggung jawab,
peduli (gotong royong, kerja sama, toleransi, damai), santun, responsif,
dan proaktif dan menunjukkan sikap sebagai bagian dari solusi atas
berbagai permasalahan dalam berinteraksi secara efektif dengan
lingkungan sosial dan alam serta dalam menempatkan diri sebagai
cerminan bangsa dalam pergaulan dunia.
3. Memahami, menerapkan, menganalisis pengetahuan faktual, konseptual,
prosedural berdasarkan rasa ingin tahunya tentang ilmu pengetahuan,
teknologi, seni, budaya, dan humaniora, dengan wawasan kemanusiaan,
kebangsaan, kenegaraan, dan peradaban, terkait fenomena dan kejadian,
serta menerapkan pengetahaun prosedural pada bidang kajian spesifik
sesuai dengan bakat dan minatnya untuk memecahkan masalah.
4. Mengolah, menalar, dan menyaji dalam ranah konkret dan ranah abstrak
terkait dengan pengembangan dari yang dipelajarinya di sekolah secara
mandiri, dan mampu menggunakan metode sesuai kaidah keilmuan.
B. Kompetensi Dasar
1.1 Mensyukuri anugerah Tuhan akan keberadaan bahasa Indonesia dan
menggunakannnya sesuai dengan kaidah dan konteks untuk
mempersatukan bangsa.
1.2 Mensyukuri anugerah Tuhan akan keberadaan bahasa Indonesia dan
menggunakannya sebagai sarana komunikasi dalam memahami,
menerapkan, dan menganalisis informasi lisan dan tulis melalui teks cerita
sejarah, berita, iklan, editorial/opini, dan novel.
1.3 Mensyukuri anugerah Tuhan akan keberadaan bahasa Indonesia dan
menggunakannya sebagai sarana komunikasi dalam mengolah, menalar,
dan menyajikan informasi lisan dan tulis melalui teks cerita sejarah,
berita, iklan, editorial/opini, dan novel.
2.5 Menunjukkan perilaku jujur, peduli, santun, dan tanggung jawab dalam
penggunaan bahasa Indonesia untuk memahami dan menyajikan novel.
3.3 Menganalisis teks novel baik melalui lisan maupun tulisan.
Indikator:
a) mengungkapkan kembali langkah-langkah menganalisis teks novel;
b) menganalisis unsur-unsur budaya dalam novel Dasamuka Karya
Junaedi Setiyono;
c) menganalisis kearifan lokal dalam novel Dasamuka Karya Junaedi
Setiyono
C. Materi Pembelajaran
1. Langkah-langkah menganalisis teks novel.
2. Unsur-unsur budaya.
3. Kearifan lokal.
D. Metode Pembelajaran
1. Pendekatan : saintifik
2. Metode : inkuiri
E. Langkah-Langkah Kegiatan Pembelajaran
Pertemuan Pertama
KEGIATAN DESKRIPSI KEGIATAN ALOKASI WAKTU
Pendahuluan 1. Pendidik mengucap salam dan mengajak
siswa untuk berdoa bersama demi
kelancaran dan keberkahan ilmu yang
didapat.
2. pendidik memeriksa kehadiran peserta
didik dengan memanggil satu persatu nama
siswa yang ada di dalam daftar presensi.
3. Pendidik memberikan penjelasan terkait
pembelajaran yang akan dilakukan, yakni
menganalisis teks novel yang telah
ditugaskan kepada peserta didik untuk
10 menit
dibaca pada awal semester.
4. Pendidik meminta tanggapan peserta didik
terkait novel yang telah dibaca.
5. Pendidik menyampaikan tujuan
pembelajaran.
6. Peserta didik diminta untuk membentuk
kelompok, satu kelompok terdiri dari lima
atau enam siswa.
Kegiatan Inti
Mengamati
Pendidik meminta peserta didik untuk
memahami materi langkah-langkah analisis
teks novel, teori unsur budaya dan kearifan
lokal secara berkelompok.
Menanya
1. Pendidik memberikan kesempatan kepada
peserta didik untuk bertanya terkait materi
yang belum dipahami.
2. Pendidik dan peserta didik secara bersama-
sama merumuskan masalah yang harus
ditemukan di dalam novel oleh peserta
didik.
Mengumpulkan Informasi
Pendidik meminta peserta didik untuk
75 menit
memahami isi dan mengumpulkan informasi
terkait unsur budaya dan kearifan lokal yang
ada di dalam novel Dasamuka karya Junaedi
Setiyono secara berkelompok.
Penutup 1. Pendidik menanyakan kesulitan atau
masalah yang dihadapi peserta didik dalam
pembelajaran hari itu.
2. Pendidik meminta peserta didik untuk
melanjutkan kegiatan mengumpulkan
informasi dan menganalisis unsur budaya
serta kearifan lokal yang ada di dalam
novel di luar jam pelajaran, secara
berkelompok.
5 menit
Pertemuan Kedua
KEGIATAN DESKRIPSI KEGIATAN ALOKASI WAKTU
Pendahuluan 1. Pendidik mengucap salam dan mengajak
siswa untuk berdoa bersama demi
kelancaran dan keberkahan ilmu yang
didapat.
2. Pendidik memeriksa kehadiran peserta didik
dengan memanggil satu persatu nama siswa
yang ada di dalam daftar presensi.
5 menit
3. Pendidik menyampaikan rencana
pembelajaran yang akan dilaksanakan pada
hari itu, yaitu mengasosiasi (melanjutkan
analisis teks novel) dan mengomunikasikan
(mempresentasikan) hasil analisis
kelompok di depan kelas.
Kegiatan Inti
Mengasosiasi
Pendidik mempersilakan peserta didik untuk
melanjutkan aktivitas dengan menganalisis
data yang telah dikumpulkan dari novel
Dasamuka karya Junaedi Setiyono.
Mengomunikasikan
1. Setiap kelompok diminta untuk
memaparkan hasil diskusi kelompoknya
masing-masing.
2. Peserta didik lain diminta untuk
menanggapi presentasi dari kelompok yang
sedang melakukan presentasi, baik berupa
pernyataan maupun pertanyaan.
70 menit
Penutup 1. Pendidik memimpin peserta didik untuk
mengorganisir hasil pembelajaran.
2. Pendidik meminta salah satu peserta didik
untuk menyimpulkan hasil pembelajaran.
15 menit
3. Pendidik mengakhiri pembelajaran dengan
memberikan soal yang harus di kerjakan
oleh setiap individu secara mandiri di
rumah.
F. Penilaian
Jenis/Teknik Bentuk Instrumen Tes Soal uraian Non Tes Tugas Proyek
G. Alat dan Sumber Pembelajaran
1. Alat
a) LCD
b) Proyektor
2. Sumber Belajar
a) Novel Dasamuka karya Junaedi Setiyono
b) Buku Bahasa Indonesia Ekspresi Diri dan Akademik pegangan siswa
kelas XII SMA kurikulum 2013
c) Buku Antropologi Sastra karya Nyoman Kutha Ratna
d) Buku Metode Antropologi Sastra karya Suwardi Endraswara
e) Buku Ilmu Pengantar Antropologi karya Koentjaraningrat
f) Buku penunjang lain yang sesuai dengan pembelajaran
LAMPIRAN 2 SINOPSIS NOVEL DASAMUKA KARYA JUNAEDI SETIYONO
Pada tahun 1812, keraton Ngayogyakarta Hadiningrat diserbu dan
ditaklukkan oleh balatentara Inggris. Penguasa pada saat itu Sultan Sepuh
(Hamengkubuwana II) ditawan dan khazanah keraton dijarah, diangkuti ke negara
Inggris. Willem, seorang pengembara (peneliti) berkebangsaan Skotlandia,
menyaksikan dan mencatat peristiwa bersejarah itu. Willem tidak hanya
menyaksikan peristiwa tumbangnya kepemimpinan Sultan Sepuh yang
dipecundangi Sultan Raja – anaknya sendiri –. Ia juga menyaksikan polemik
kepemimpinan sultan-sultan di Kasultan Yogyakarta dari Sultan Sepuh
(Hemengkubuwana II), Sultan Raja (Hamengkubuwana III), Sultan Jarot
(Hamengkubuwana IV), sampai dengan Sultan Menol (Hamengkubuwana V).
Willem mengembara ke Pulau Jawa dengan menumpang kapal perang
kerajaan Inggris untuk meneliti salah satu bentuk hukuman yang terdapat dalam
pemerintahan Kasultanan Yogyakarta atas rekomendasi Tuan Leiden, seorang
ilmuwan berkebangsaan Skotlandia. Hukum itu bernama hukum Bronjong.
Hukum Bronjong merupakan sebuah hukuman yang dilaksanakan dengan
mengadu terdakwa dengan seekor macan. Dengan bantuan Den Wahyana, tolek
(ahli bahasa) dari Kasultanan Yogyakarta yang menjadi guru bahasa sekaligus
sahabatnya itu, Willem dapat menyaksikan peristiwa hukum Bronjong secara
langsung.
Willem tidah hanya menyaksikan hukum Bronjong terjadi, tetapi ia juga
terlibat dalam peristiwa itu. Pada saat itu, yang menjadi terdakwa adalah seorang
Kiai dari Bagelen, bernama Kiai Ngarip. Kiai Ngarip dihukum tanpa ada dakwaan
yang jelas. Hanya karena Kiai Ngarip banyak terlibat pemberontakan Raden
Rangga, ia harus menghadapi hukuman yang sangat kejam. Willem sebagai orang
yang dekat dengan residen dimintai tolong oleh Semi – menantu Kiai Ngarip yang
mengenal Willem saat peristiwa penjarahan keraton – untuk membebaskan Kiai
Ngarip dari hukum Bronjong karena kasultanan akan tunduk dengan residen.
Namun, hal itu tidak semudah yang dibayangkan oleh Semi, kasultanan masih
berkuasa penuh terkait hukum Bronjong itu. Akhirnya, Den Wahyana
menyarankan Willem untuk meminta tolong pada sosok Dasamuka untuk
membantu menyelamatkan Kiai Ngarip dari kekejaman hukum Bronjong–
tentunya dengan imbalan uang –. Dengan kecerdikannya, Dasamuka dapat
menyelamatkan Kiai Ngarip dari terkaman macan lapar.
Dasamuka merupakan sosok fenomenal di kalangan Kasultanan
Yogyakarta. Dasamuka merupakan anak dari hubungan terlarang antara Ki Sena
dengan Den Rara Wahyuningsih dari Puri Sutejan. Pernikahan beda trah antara Ki
Sena dan Den Rara Wahyuningsih menjadikan Ki Sena lebih nyaman hidup diluar
puri, bergabung dengan kelompok pemberontak Raden Rangga. Sementara itu,
Dasamuka kehilangan pengasuhan sehingga hidup dengan caranya sendiri.
Dasamuka dikenal sebagai sosok pemuda yang dekat dengan semua
kalangan – dari kalangan priyayi, santri, sampai dengan abangan – karena
kecerdikannya. Sifatnya yang cerdik, pandai menangkap peluang, dan pandai
menyelesaikan masalah membuatnya banyak dimintai tolong kalangan priyayi,
salah satunya Den Mas Suryanata.
Den Mas Suryanata merupakan seorang bangsawan yang sudah berumur
dan memiliki banyak istri. Ia meminta tolong pada Dasamuka untuk melancarkan
keinginannya mempersunting Rara Ireng – gadis belia dari Puri Sujanan – untuk
menjadi istrinya. Namun, setelah Dasamuka bertemu sendiri dengan sosok Rara
Ireng, Dasamuka jatuh cinta sendiri dengan Rara Ireng. Di malam lamaran,
Dasamuka membawa lari Rara Ireng dari Puri Sutejan dengan meninggalkan
sejumlah uang untuk membayar hutang kakek Rara Ireng kepada Den Mas
Suryanata agar tidak timbul masalah lebih besar lagi dikemudian hari.
Dasamuka dan Rara Ireng bersembunyi di rumah Nyi Wersi, seorang
kenalan Dasamuka yang tinggal berdampingan dengan tembok kaputren, Keraton
Yogyakarta. Dasamuka meminta Nyi Wersi untuk merahasiakan keberadaannya
dan membantu menikahi Rara Ireng. Dengan acara sederhana, Dasamuka
menikahi Rara Ireng dan hidup bahagia di rumah Nyi Wersi – untuk sementara –.
Kebahagiaan Dasamuka dan Rara Ireng hanya sebentar, Gusti Ratu
Kencana, Ibunda Sultan Jarot – yang sering datang ke rumah Nyi Wersi untuk
melihat persediaan perempuan untuk anaknya – menghendaki Rara Ireng untuk
menjadi kekasih Sultan Jarot yang menggandrungi perempuan-perempuan cantik
di Kasultanan Yogyakarta. Demi uang yang Dasamuka butuhkan untuk menebus
rumah orang tua Rara Ireng di Srondol, Dasamuka merelakan istrinya untuk
menemani Sultan Jarot. Biasanya perempuan-perempuan itu hanya ‘dipakai’ oleh
Sultan Jarot selama satu bulan, tetapi sudah lewat satu bulan Rara Ireng belum
juga dikembalikan. Hal ini membuat Dasamuka sangat gelisah. Dasamuka
meminta tolong pada Willem dan Den Wahyana untuk menyusun strategi
bersama-sama membebaskan Rara Ireng dari Sultan Jarot.
Dengan kerjasama dari berbagai pihak, akhirnya Rara Ireng berhasil keluar
dari kaputren dan melarikan diri bersama Dasamuka. Namun, Dasamuka dan Rara
Ireng tidak luput dari kejaran pasukan bersenjata keraton. Dari pengejarang itu,
Rara Ireng terbunuh. Hal ini menimbulkan dendam yang begitu besar di hati
Dasamuka. Dasamuka berencana ingin membunuh Sultan Jarot – sultan berusia
belasan tahun yang tidak mengerti kepemiminan dan banyak merugikan rakyatnya
–. Namun, tidak ada seorang pun yang bersedia untuk diajak bekerjasama dengan
Dasamuka membunuh Sultan Jarot, meskipun banyak orang yang tidak suka
dengan Sultan Jarot karena sifatnya yang suka foya-foya dan tidak pernah
memikirkan rakyat.Hal ini terjadi karena orang Jawa takut mendapatkan tulah jika
berani membunuh sultan, bagaimana pun ulah sultan.
Akhirnya, dengan bujuk-rayu Dasamuka, Willem serta Ngusman dan Semi
– paman dan bibi Dasamuka yang menjadi abdi keraton – bersedia membantu
Dasamuka dalam rencana membunuh Sultan Jarot. Sebelum rencana yang disusun
Dasamuka berjalan, Sultan Jarot telah meninggal dalam perjalanan berpesiar ke
Gombong.
Meninggalnya Sultan Jarot kembali menimbulkan huru-hara di Kasultanan
Yogyakarta. Semua rakyat bertanya-tanya terkait Sultan yang akan menggantikan
Sultan Jarot. Banyak yang berharap Raden Aria Dipanegara, sosok arif bijaksana,
kakak tiri dari Sultan Jarot dapat menggantikan Sultan Jarot menjadi Sultan.
Namun, sosok tiga serangkai yang memegang kunci kekuasaan Kasultanan
Yogyakarta – Residen Smissaert, Patih Danureja, dan Kolonel Wiranegara –
mengangkat Sultan Menol, adik Sultan Jarot yang masih berumur tiga tahun,
menjadi Sultan. Hal ini membuat rakyat semakin tertindas karena tidak memiliki
pemimpin yang mampu mengayomi rakyat. Sementara itu, Raden Aria
Dipanegara sebagai anak Sultan Raja (Hamengkubuwana III) hanya bisa bertindak
dengan caranya sendiri tanpa kekuasaan yang dimilikinya.
Willem akhirnya memutuskan untuk pulang ke Skotlandia, meninggalkan
sejuta kenangan di Pulau Jawa. Sebenarnya Willem menawarkan bantuan
persenjataan untuk kelompok Pangeran Aria Dipanegara lewat Den Wahyana –
tentunya dengan sebuah perjanjian –. Namun, mereka menolak. Raden Aria
Dipanegara beserta orang-orang yang bergabung dengannya memutuskan untuk
berjihad di jalan Allah, dengan menggantungkan segala pertolongan hanya kepada
Allah demi kemerdekaan tanah Jawa.
LAMPIRAN 3 BIOGRAFI JUNAEDI SETIYONO
Junaedi Setiyono lahir di Kebumen, 16 Desember 1965. Penulis pernah
bekerja sebagai pekerja sosial di LSM dan sebagai guru bahasa Inggris di SMA.
Sejak tahun 1997 mengajar di almamaternya di Program Studi Pendidikan Bahasa
Inggris Universitas Muhammadiyah Purworejo. Pada tahun 2013, dalam rangka
bimbingan disertasinya, ia mendapatkan beasiswa ke Ohio State University,
Columbus, Ohio, Amerika Serikat selama empat bulan untuk bertemu langsung
dengan advisor-nya di sana.
Mulai menulis cerita pendek sejak tahun 1986, kemudian juga menulis
puisi. Novel pertamanya Glonggong menjadi pemenang Sayembara Menulis
Novel Dewan Kesenian Jakarta 2006 dan sekaligus masuk finalis Khatulistiwa
Literary Award 2008. Novel keduanya Arumdalu, menjadi nominasi Khatulistiwa
Literary Award 2010. Pada tahun 2012, novel ketiganya, Dasamuka, kembali
menjadi pemenang di ajang Sayembara Menulis Novel Dewan Kesenian Jakarta.
Suami dari Sari Wahyuni dan ayah dari Martin Nuh Hanan dan Maryam
Mufidah ini sekarang tinggal di Ngupasan, Pangen Jurutengah, Purworejo.
Nama
NIM
Program Studi
Judul Penelitian
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH PURWOREJOFAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN
Alamat: JI. K.H.A. Dahlan No.3 TeleponlFax (0275) 321494
PURWOREJO 54111
KARTU BIMBINGAN SKRIPSI
: Khusnul Khotimah
: 122110159
: Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia
: Unsur Budaya dan Kearifan Lokal dalam Novel Dasamuka Karya
Junaedi Setiyono dan Skenario Pembelajarannya di Kelas XII
SMA (Kajian Antropologi Sastra)
Tanggal Materi ParafNo.
Konsultasi KonsultasiHasH Konsultasi
Pembimbing
11 (, ---- g ~ .2-015 JuJvL- Pc'r~V c'~ t' #---1.- g ---,-J1vOIS JuJu!" A-ee-- /#.3 II- ~ ~ ~ J-ol5 frOp{)L;a~
l---cJ-&a. r Bee.- 'gcL[~ev('Si•
~ /Ai-If 7-1U- cLOt;; Propo~C
7- b- /0- :<..-of 5 bah 1 J-(o.i--l~ ~N-d N;7e:tt-tY~ (/'
8dhfI /
,~ /)-IO-:ZO/5 I 4-e-e.- 7-y:; --- Tej)r~' d';reVt5~ //:{-/9 -10 -;2JJfi Bctl? n
~
.--
~ ' /3i8 7"l-t0 ~~t 5' P:>cPb f]---~ T, A r\ ?t lL' S {5 /if~ 11- rD -JvO tl) P.nvb tff d(;r-evt'5 c'-
10 ~ - V1-J-o 16 6~b"-
A-ec:- /31--ill/
Peinbimbing I
Nama
NIM
Program Stucli
Juclu1 Penelitian
, NIVERSJTAS j\J UHAi\J;\ IADIYAH PURWOREJO
FAKULTAS KEG HUAN DAN lLl\IU PENDIDIKAN
Al<im~lt: ]1. K.H.A. D~1hJanNo.3 Telepon/Fax (0275) 321494
PURWOREJO 54111
KARTU BIMBINGAN SKRIPSI
: Khusnul Kl10timah
: 122110159
: Pcncliclikan Bahasa clan Sastra Indonesia
: Unsur Buclaya dan Kearifan Lokal clalm;1 Novel Dasamuka Karya
Junaecli Setiyono clan Skenario Pembelajarannya eli Kelas XII
SMA (Kajian Antropologi Sastra)
Tanggal l\1ateri ParafNo. Hasil Konsultasi
Konsultasi Konsultasi Pcmbimbing
'I t.( - I:L ~ ;LO 15 ~6 \v M4 ·'S c;:;5d \revZ-c=:; c
/2- IS~IA-- Aql5 t?cftk? \V ~
-1'-- ~Ol~ 1J;Jab '( SUrI f vl-c:q,(\.-- .~~e.v'si
'1-/:2-- ~Ol~ Bm1o~ ~-JL16 -1- 1--01-6 br~ 0r~Vl';;f
~/-;LOt b Abs1rrdJk kee-~
Sic:(JJJ-/l- Wi-b bah I-VoJiu ZK--an
Drs. H. B giya, M. Hum.v NIP 19640208 199003 1 002
Nama
N1M
Program Studi
Judul Penelitian
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH PURWOREJOFAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDlKAN
Alamat: J1. K.H.A. Dahlan No.3 Telepon/Fax (0275) 321494
PURWOREJO 54111
KARTU BIMBINGAN SKRIPSI
: Khusnul Khotimah
: 122110159
: Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia
: Unsur Budaya dan Kearifan Lokal dalam Novel Dasamuka Karya
Junaedi Setiyono dan Skenario Pembelajarannya di Kelas XII
SMA (Kajian Antropologi Sastra)
No.Tanggal Materi
HasH KonsultasiKonsultasi Konsultasi
1 \ 0 \c-(-6~ 7.A'v( ~I'l~ ~'
f). 2..6~ l-blK ~ ~
3 'D~~~ ~~ 1 ~):~lkJ~
4 \S~ 7,.IN: &~,...,
~~
ratri...,
~I:;fr )0 OkMer- ~ n'-
~ ?"L rJC<A b-er UJr ~ ii f?f0fM
8wt,....,
Ire7 2J: c> IAhber- ;).J) rr ~
g)~,..~k~8 c Nvvt.{fr\~ Wif til
~. fl-t..v-:. ~\
.9r"'
~ NotJ/lIfnk>er Uft ~ ~J ~(p 7 OQJem.~t( 1)) (~
r;>~ tV ~.{,,; SYr~'-
Paraf
Pembimbing
Pembimbing II
Nama
NIM
Program Stueli
Jllellll Penelitian
UNIVERSITAS l\'lUl-L..'\:\IJ\IADJYA U PUP\VOI~ E.JO
FAKULTAS KEGURUAN DAN ILl\lU P£ND1Dll(AN
Alamat: J1. K.H.A. Dahlan No.3 Tclepon/Fax (0275) 321494
rURWORt:.lO 54111
KARTU BIl\1BJNGAN SKIUPSI
Khusnul Khotimah
: 122110159
: Penelielikan Bahasa clan Sastra Indonesia
: Unsur Buelaya clan Kearifan Lokal clalam Novel Dasal77uka Karya
Junaeeli Setiyono clan Skenario Pembelajarannya cli Kelas XII
SMA (Kajian Antropologi Sastra)
Tanggal :Matcri ParafNo.
Konsultasi KOllsultasiHasil Konsllltasi
Pcmbimbing
~~-
1~~~~{/ (\ Y)~~tt t-vlS'IV V.7o/",.--
~~...,
fPe V ;;;;;,0,.-
12 (~ ~~~tr 'V0\S' vy(' ~,..,
J;~~~it~I~ 31 P~j.,{?r'U> IS ~a/) 11 ~J7.- ~.tll C'y,r..... ~ -T
Rail:, '\
!fe ;,fer J,~1A~ y V- )to.ai~~1 ffe...,(
~~
I'S "Z-l Jall1cm' 2JJ (b '- T/"
~ »~~tf~ Ae (
/<2. ~~~ C - ~ ~
Pembiillhing II
'---~./\ <0 Purwanto, M.PelNIDN. 061 0068404
UNIVERSITAS MUHAMMADIYADPlJJRWOREJOFAKULTAS KEGURUAN DAN ILMIJJ PENDIDIKAN
Alamat: Jalan K.H.A.DaIaIaa1'03 Tllkpoa'lFJIK. (lZ7S) 321494PURWOREJO 54111
SURAT KEPUTUSAN PENETAPAN DOSEN PEMBIMBING SKRIPSINomor: 160081A.40/FKIP/UMP/IX/2015
Berdasarkan usulan Ketua Program Studi Pendidikan Babasadan Sastra Indonesia tentangPembimbing Skripsi, Dekan FKlP Universitas Muhammadiyah Purworejo menetapkan:
1. NamaNIPINBMJabatan AkademikSebagai Pembimbing I
2. NamaNIP/NBMJabatan AkademikSebagai Pembimbing II
: Drs. H. Bagiya, M. Hum: 19640208 199003 1 002: Lektor Kepala
: Joko Purwanto, M. Pd: 1182115: Tenaga Pengajar
Dalam penyusunan skripsi mahasiswa:
Nama : Khusnul KhotimahNIM : 12211 0159Program Studi : Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia
Judul Skripsi : Unsur Budaya dan Kearifan Lokal dalam Novel
Dasamuka Karya Junaedi Setiyono dan Skenario
Pembelajarannya di Kelas XII SMA (Kajian Antropologi
Sastra)
Demikian ketetapan ini dibuat agar dilaksanakan dengan sebaik-baiknya.
Recommended