View
0
Download
0
Category
Preview:
Citation preview
KOMUNIKASI PERSUASIF
Auliafradiba Fikratania (18071109)
Jesicka Latupeirissa (18071006)
Diana Sartika Sari Waruwu (18071012)
Sinta Kristanti Puspita (18071016)
Gabriela Tiara Kesek (18071262)
UNIVERSITAS MERCU BUANA YOGYAKARTA
2018/2019
MASS MEDIA EFFECT
Komunikasi persuasif adalah salah satu teknik komunikasi yang melibatkan penggunaan pesan-
pesan verbal untuk mempengaruhi sikap dan perilaku khalayak. Komunikasi persuasif
merupakan teknik komunikasi yang umum digunakan dalam rangka merubah serta membentuk
sikap khalayak untuk pertama kalinya. Persuasi bukanlah propaganda karena keduanya memiliki
beberapa perbedaan, salah satunya terkait dengan media komunikasi yang digunakan.
Propaganda ditujukan untuk mempengaruhi massa melalui media massa. Sedangkan persuasi
tidak hanya terjadi dalam konteks komunikasi massa melainkan juga terjadi dalam konteks
interpersonal atau interaksi tatap muka dan organisasi. Dalam konteks media massa, secara
umum, terdapat tiga bentuk persuasi media massa yaitu iklan produk, iklan layanan masyarakat,
dan iklan yang terkait dengan politik. Bentuk-bentuk persuasi media massa tersebut tentunya
menghasilkan efek tertentu pada khalayak yang menjadi sasaran persuasi.
Efek media massa dalam komunikasi persuasif telah lama menjadi perhatian para peneliti
komunikasi terutama terkait dengan perubahan sikap dan perilaku khalayak. Adapun yang
menjadi pusat kajian para peneliti adalah jenis perubahan perilaku pada khalayak terkait dengan
pesan-pesan persuasi, proses yang mengarah pada perubahan sikap dan perilaku khalayak terkait
dengan pesan-pesan persuasi, dan kondisi yang menyebabkan terjadinya perubahan pada diri
khalayak.
Dari berbagai penelitian yang telah dilakukan oleh para ahli menunjukkan bahwa jenis persuasi
tertentu justru memperteguh sikap, perilaku atau keyakinan yang telah ada sebelumnya. Guna
menjelaskan lebih lanjut terkait efek yang terjadi pada khalayak akibat pesan persuasi, para ahli
kemudian mengembangkan berbagai pendekatan salah satunya adalah pendekatan teori efek
media massa. Pendekatan teori efek media massa menjelaskan efek atau perubahan yang terjadi
pada diri khalayak akibat pesan persuasi dan media massa yang digunakan dalam proses
persuasi.
Sejarah
Secara umum, kajian tentang efek media massa dalam komunikasi persuasif didorong oleh
penelitian-penelitan dalam konteks komunikasi massa. Dengan demikian, penelitian tentang efek
media massa dalam komunikasi persuasif tidak dapat dilepaskan dari hasil berbagai penelitian
efek komunikasi massa yang telah dilakukan oleh para ahli. Jika kita lihat kembali sejarah
penelitian efek komunikasi massa maka kita akan melihat pasang surut kekuatan efek media
massa.
Hasil studi efek media massa yang dilakukan setelah Perang Dunia I hingga awal tahun 1940an
menunjukkaan bahwa media massa memberikan efek yang sangat besar kepada khalayak.
Namun, hasil penelitian yang dilakukan tahun 1940 hingga tahun 1960an menunjukkan
terbatasnya efek media massa terhadap khalayak. Kemudian, efek media massa kepada khalayak
kembali menunjukkan gejala penguatan berdasarkan hasil studi yang dilakukan pada pertengahan
abad 20 hingga tahun 1980an. Dari berbagai penelitian yang telah dilakukan oleh para ahli
menunjukkan bahwa media massa memegang peran yang sangat besar dalam membentuk sikap,
memperteguh sikap, dan merubah sikap khalayak.
Dengan demikian, apa sajakah efek media massa dalam komunikasi persuasif? Berikut adalah
ulasan singkatnya.
1. Pengalaman
Efek media massa dalam komunikasi persuasif yang pertama adalah pengalaman. Salah
satu tokoh teori media klasik yaitu Marshall McLuhan menyatakan bahwa medium
adalah pesan. Ia menolak konsep pengaruh atau dampak isi pesan terhadap khalayak.
Menurut McLuhan, yang memengaruhi khalayak adalah macam-macam media
komunikasi yang digunakan untuk menyampaikan pesan dan bukan apa yang
disampaikan oleh media. Media massa menurut McLuhan menyuguhkan kepada
khalayak sebuah akses ke ruang informasi dan pengalaman bersama. Hal ini memberikan
ruang kepada komunikator atau persuader untuk menyesuaikan serta mengikat informasi
dan pengalaman bersama tersebut dengan produk, gagasan, atau kandidat yang dimiliki.
2. Selektivitas Penerima
Efek media massa dalam komunikasi persuasif berikutnya terkait dengan selektivitas
penerima. Semakin beragamnya media komunikasi dengan sendirinya menuntut
penerima atau khalayak untuk lebih selektif lagi dalam memilih media. Semua ini
mengarah pada narrowcasting. Narrowcasting mengacu pada perancangan pesan-pesan
elektronik untuk kluster tertentu yang memiliki minat, kegemaran, atau kegiatan tertentu.
3. Menggunakan Media
Efek media massa dalam komunikasi persuasif selanjutnya terkait dengan bagaimana
khalayak menggunakan media. Penggunaan media oleh khalayak tidak dapat dilepaskan
dari pendekatan teori uses and gratification. Menurut pendekatan ini, media massa
memiliki beberapa fungsi yaitu menyediakan informasi baru dan persuasi sikap. Menurut
para pendirinya, pendekatan ini ditujukan untuk mengkaji berbagai kebutuhan baik
psikologis maupun sosial yang dapat dipenuhi oleh media massa.
Kebutuhan tersebut dikelompokkan menjadi tiga bagian yaitu identitas sosial, kontak
sosial, serta pengalihan dan hiburan. Pendekatan ini juga memandang khalayak sebagai
makhluk yang aktif, rasional, dan selektif dalam memilih dan menggunakan media.
4. Membentuk Citra
Menurut Roberts (1977), citra adalah representasi keseluruhan informasi tentang dunia
yang telah diolah, diorganisasikan, dan disimpan individu. Lebih lanjut Roberts
menyatakan bahwa komunikasi tidak secara langsung menimbulkan perilaku tertentu
tetapi cenderung memengaruhi cara kita mengorganisasikan citra kita tentang lingkungan
dan citra inilah yang memengaruhi cara kita berperilaku (Rakhmat, 2001 : 223-224).
Menurut McLuhan, media massa berperan dalam proses penyampaian informasi tentang
segala hal yang ada di sekitar kita atau hal-hal yang tidak dapat kita alami secara
langsung. Realitas yang dibentuk oleh media massa merupakan realitas tangan kedua,
dalam artian media massa menyeleksi realitas yang ada melalui proses gatekeeping dan
kemudian menyajikannya kepada khalayak.
5. Mengubah Citra
Selain membentuk citra, media massa juga berperan dalam mengubah citra. Hal ini ini
terkait dengan peran media massa melaporkan berbagai hal yang ada di sekitar kita secara
selektif sehingga memengaruhi pembentukan citra yang tidak sesuai, tidak cermat, dan
bias. Jika hal ini dilakukan secara terus menerus oleh media massa, maka media massa
sejatinya memberikan citra dunia yang keliru kepada khalayak.
6. Menentukan Agenda Publik
Di satu sisi, orang cenderung memerhatikan, tertarik, dan membicarakan tentang berbagai
informasi yang diterima melalui media massa. Di sisi lain, media massa kerapkali
menyuguhkan realitas secara tidak utuh atau selektif. Hal ini berdampak terhadap apa
yang orang-orang pelajari dan tanggapi. Selektivitas informasi yang dilakukan media
massa inilah yang dapat mengarah pada penentuan agenda publik. Hal-hal terkait dengan
penentuan agenda publik diulas lebih lengkap dalam teori agenda setting.
7. Memberikan Arti Penting
Efek media massa dalam komunikasi persuasif selanjutnya adalah media memberikan arti
penting terhadap orang, kejadian atau peristiwa tertentu. Dengan kata lain, media massa
yang menaruh perhatian orang-orang, peristiwa, atau permasalahan tertentu sejatinya
media massa telah memberikan arti penting terhadap orang-orang, peristiwa atau
permasalahan tersebut di mata publik.
Perhatian besar yang diberikan oleh media massa terhadap orang, peristiwa atau
permasalahan yang dianggap penting akan pula menjadi perhatian besar khalayak massa.
Misalnya, di bidang politik, kandidat yang tidak begitu terkenal sebelumnya namun
berhasil memenangkan pemilihan karena mendapatkan perhatian media massa yang jauh
lebih besar dibandingkan kandidat lainnya.
8. Merubah Sikap
Dalam bidang komunikasi pemasaran atau periklanan, media massa efektif dalam
merubah sikap khalayak karena khalayak dipandang memiliki sikap yang lemah sehingga
mudah dipersuasi melalui media massa. Hasil penelitian menunjukkan bahwa anak-anak
mudah dipengaruhi oleh iklan-iklan produk makanan atau mainan dibandingkan dengan
orang tua. Hal ini juga berlaku di bidang komunikasi politik. Beberapa hasil penelitian
menunjukkan bahwa pemilih cenderung akan merubah sikap dan pendapatnya apabila
pemilih belum menentukan sikapnya hingga akhirnya menentukan sikap setelah
dipengaruhi oleh kampanye media massa.
9. Memperteguh Sikap
Dari berbagai hasil penelitian yang telah dilakukan oleh para ahli menunjukkan bahwa
efek media massa adalah memperkuat atau memperteguh sikap yang telah ada
sebelumnya. Misalnya, dalam kampanye debat publik pilpres, hasil studi menunjukkan
bahwa efek utama media massa dalam kampanye adalah untuk memperteguh atau
memperkuat preferensi khalayak terhadap kandidat dan meningkatkan konsistensi sikap
khalayak terhadap berbagai permasalahan yang diangkat saat kampanye.
10. Membentuk Kepercayaan atau Keyakinan
Kepercayaan atau keyakinan dimaknai sebagai kognisi tentang probabilitas sebuah obyek
atau peristiwa diasosiasikan dengan atribusi tertentu. Dengan kata lain, keyakinan adalah
yakin bahwa sesuatu itu benar atau nyata. Media massa memiliki kekuatan untuk
menciptakan dan membentuk keyakinan kita secara terus menerus.
11. Membentuk Sikap
Efek media massa dalam komunikasi persuasif berikutnya adalah membentuk sikap
khalayak. Sikap dibentuk dengan menghubungkan atau mengasosiasikan lingkungan
yang menyenangkan dengan sebuah produk, orang, atau gagasan. Misalnya, dalam iklan
sepeda motor, pemasar menampilkan sosok legenda pebalap motor dengan tujuan untuk
membantu menciptakan sikap khalayak terhadap produk dan menghubungkan produk
tersebut dengan kecepatan dan prestasi sang legenda pebalap motor.
12. Perilaku Prososial
Media massa dipandang menimbulkan efek perilaku prososial khalayak. Contoh perilaku
prososial adalah memiliki keterampilan yang bermanfaat bagi diri sendiri dan orang lain.
Misalnya, hasil studi menunjukkan bahwa iklan layanan masyarakat antigondok telah
meningkatkan jumlah rumah tangga yang menggunakan garam beryodium di Ekuador.
13. Kognitif Prososial
Efek media massa dalam komunikasi persuasif lainnya adalah memberikan efek kognitif
prososial khalayak. Dalam artian, khalayak memperoleh manfaat yang dikehendaki
melalui media massa. Contohnya, hasil studi menunjukkan bahwa program televisi
“Sesame Street” mempermudah proses belajar bagi anak-anak di Amerika Serikat.
14. Meningkatkan Aksesibilitas Informasi
Media massa juga dipandang memiliki efek meningkatkan akses informasi bagi khalayak.
Aksesibilitas adalah konsep penting dalam model sikap dan menjadi salah satu tema yang
diperhitungkan dalam penelitian psikologi sosial. Aksesibilitas mengacu pada kemudahan
dimana unsur kognitif dapat diaktifkan. Perbedaan aksesibilitas menghasilkan tiga
konsekuensi yang berbeda yaitu realitas kultivasi, agenda setting, dan pemberian prestise
atau arti penting.
15. Kultivasi
Berdasarkan teori kultivasi, media massa khususnya televisi dipandang sebagai sumber
utama sistem simbol yang repetitif dan ritual. Dunia simbolis yang ditawarkan oleh
televisi berasal dari produksi pesan secara massal yang dilakukan oleh berbagai kalangan
untuk konsumsi banyak orang. Konsep yang ditawarkan oleh pendiri teori kultivasi
dipandang parallel dengan konsep dasar efek persuasi pembentukan tanggapan.
16. Framing
Salah satu konsep yang berkaitan erat dengan efek kultivasi adalah framing atau
pembingkaian permasalahan publik misalnya permasalahan terkait kebijakan aborsi.
Berdasarkan teori framing, permasalahan aborsi ini kemudian dibingkai sebagai hak
perempuan untuk mengendalikan atau mengontrol tubuhnya atau hak janin untuk tetap
hidup. Contoh lainnya adalah beberapa hasil studi menunjukkan bahwa pembentukan
opini publik dipengaruhi oleh cara media membingkai isu dan tokoh yang
membicarakannya.
17. Adopsi Inovasi
Efek media massa dalam komunikasi persuasif yang terakhir adalah membujuk orang lain
untuk mengadopsi gagasan atau teknologi baru. Berdasarkan teori difusi inovasi, proses
adopsi inovasi diawali oleh media yang pertama kali menyebarkan berita tentang sebuah
gagasan baru namun yang paling berperan dalam membujuk orang lain untuk melakukan
perubahan adalah jaringan interpersonal. Seiring berjalannya waktu, inovasi diadopsi
oleh khalayak yang lebih luas. Jika inovasi tersebut dipandang tidak menimbulkan
konflik maka proses adopsi inovasi akan lebih mudah. Namun, jika inovasi tersebut
dipandang dapat menimbulkan konflik maka adopsi inovasi tidak akan terjadi.
Berikut adalah beberapa teori efek media massa yang diungkapkan oleh para ahli beserta
penjelasannya.
1) Model Rangsangan-Reaksi (Stimulus-Response Model)
Model Rangsangan-Reaksi atau Stimulus-Response Model (S-R Model) atau yang
disebut juga dengan instinctive S-R theory oleh Melvin DeFleur (1975) memandang
khalayak media atau khalayak massa sebagai khalayak yang pesimis.
Teori S-R menyatakan bahwa media menyajikan rangsangan atau stimuli perkasa yang
diperhatikan secara seragam oleh massa. Rangsangan atau stimuli ini kemudian
membangkitkan berbagai proses seperti desakan, emosi, atau proses lain yang hampir
tidak dapat dikendalikan oleh individu. Tanggapan atau respon yang sama diberikan oleh
setiap anggota khalayak pada rangsangan atau stimuli yang datang dari media massa.
Teori atau model S-R menjadi acuan atau dasar bagi teori peluru atau teori jarum
hipodermis (McQuail, 1987 : 234).
2) Teori Jarum Hipodermik atau Teori Peluru (Hypodermic Needle Theory or Magic
Bullet Theory)
Teori jarum hipodermis atau teori peluru disebut juga dengan “the concept of powerful
mass media” oleh Elisabeth Noelle-Neumann.
Teori ini memandang media massa memiliki pengaruh yang kuat kepada khalayak media
atau khalayak massa dan dapat secara sengaja mengubah atau mengontrol perilaku
masyarakat. Dalam teori ini, khalayak digambarkan menjadi sasaran dari proses injeksi
informasi yang ditembakkan oleh media massa dan khalayak tidak dapat menghindari
atau menolak injeksi yang dilakukan oleh media massa.
3) Teori Dua Tahap (Two-step Flow)
Teori dua tahap dikenalkan oleh Paul F. Lazarfeld, Bernard Berelson, dan Hazel Gaudet
berdasarkan hasil studi yang menitikberatkan pada proses pengambilan keputusan selama
kampanye pemilihan presiden. Penelitian lain yang juga dilakukan selama dan pasca
Perang Dunia II menunjukkan bahwa efek media terjadi dalam pola dua tahap, dalam
artian efek media terjadi sebagian besar karena interaksi yang dilakukan melalui
komunikasi antar pribadi atau pengaruh interpersonal oleh pemuka pendapat kepada
anggotanya (Adler dan Rodman, 2003 : 474).
4) Teori Disonansi Kognitif (Cognitive Dissonance)
Dalam psikologi, yang dimaksud dengan disonansi kognitif adalah pengalaman tidak
menyenangkan atau tidak nyaman yang dirasakan oleh seseorang yang secara bersamaan
memegang dua atau lebih gagasan, nilai serta kepercayaan yang saling bertentangan, atau
ketika dihadapkan kepada infromasi yang bertentangan dengan gagasan, nilai serta
kepercayaan yang dimiliki.
Teori yang digagas oleh Leon Festinger ini menyatakan bahwa individu berusaha
menghindari perasaan tidak senang dan ketidakpastian dengan memilih informasi yang
cenderung memperkokoh keyakinannya, sembari menolak informasi yang bertentangan
dengan kepercayaan yang diyakininya.
5) Teori Terpaan Selektif (Selective Exposure Theory)
Tahun 1960 melalui bukunya The Effects of Mass Communication, Joseph T. Klapper
merangkum berbagai hasil penelitian yang telah dilakukan oleh para ahli.
Klapper menyimpulkan bahwa efek komunikasi massa terjadi melalui serangkaian faktor-
faktor perantara yaitu proses selektif yang meliputi persepsi selektif, terpaan selektif, dan
ingatan selektif, dan proses kelompok, norma kelompok, dan kepemimpinan opini.
Teori terpaan selektif menggambarkan khalayak tidaklah pasif sebagaimana pandangan
teori peluru. Khalayak sebagai sasaran berbagai macam isi komunikasi bersifat aktif
dengan cara selektif memilih isi media (Adler dan Rodman, 2003 : 475).
6) Teori Belajar Sosial (Social Learning Theory)
Teori belajar sosial pertama kali digagas oleh Neal E. Miller dan John Dollard (1941) dan
kemudian dikembangkan oleh Albert Bandura (1960an).
Teori ini menyatakan bahwa khalayak belajar tidak hanya melalui pengalaman langsung,
melainkan dari peniruan atau peneladanan. Lebih lanjut Bandura menjelaskan terdapat
empat tahapan yang harus dilalui dalam proses belajar sosial, yaitu perhatian,
pengingatan, reproduksi, motoris, dan motivasional (Rakhmat, 2001 : 240-241).
7) Teori Perbedaan Individu (Individual Differences Theory)
Teori perbedaan individu memandang bahwa media massa memberikan pengaruh yang
berbeda-beda kepada masing-masing khalayak sesuai dengan karakteristik yang dimiliki
oleh khalayak. Misalnya saja khalayak dengan tingkat pendidikan yang tinggi akan dapat
mudah menerima pesan-pesan yang berisi imbauan logis.
Selain tingkat pendidikan, karakteristik khalayak yang dapat mempengaruhi perbedaan
efek media massa terhadap khalayak adalah usia, jenis kelamin, wilayah, tingkat
intelektual, kelas sosio ekonomi, dan lain-lain yang dalam metode penelitian komunikasi
disebut dengan aspek demografis (Adler dan Rodman, 2003 : 476).
8) Teori Uses and Gratifications
Teori uses and gratifications dirumuskan oleh Elihu Katz, Jay G. Blumler, dan Michael
Gurevitch (1959). Mereka melakukan studi untuk mengetahui kaitan antara motivasi
khalayak dengan penggunaan media. Studi ini bertujuan untuk mengidentifikasi
bagaimana khalayak menggunakan media, memahami motivasi perilaku bermedia dan
untuk mengidentifikasi berbagai fungsi yang mengikuti kebutuhan, motivasi, dan
perilaku khalayak.
Teori uses and gratifications didasarkan pada beberapa asumsi, yaitu :
Khalayak memiliki motivasi dan tujuan dalam perilaku komunikasi mereka
Khalayak secara aktif memilih dan menggunakan media untuk memuaskan
kebutuhan atau keinginan mereka
Ketika memilih dan menggunakan media, khalayak dipengaruhi oleh faktor-faktor
sosial dan psikologis
Media harus bersaing dengan berbagai bentuk komunikasi lainnya untuk meraih
perhatian, seleksi,dan penggunaan oleh khalayak
Khalayak dapat mengartikulasikan alasan-alasan mereka menggunakan media
(Werder, 2009 : 633)
9) Teori Kultivasi (Cultivation Theory)
Teori kultivasi adalah salah satu contoh efek kumulatif media massa. Teori kultivasi
dikenalkan oleh George Gerbner pada tahun 1969 dan merupakan model efek media
massa yang sangat kuat setelah teori peluru. Teori kultivasi menitikberatkan pada efek
jangka panjang dari terpaan televisi.
Proposisi utama dari teori kultivasi adalah semakin banyak waktu yang digunakan oleh
pemirsa untuk menonton televisi, maka pemirsa akan semakin percaya bahwa kenyataan
sosial di sekitarnya adalah seperti yang digambarkan oleh televisi. Persepsi yang
terbentuk ini dipengaruhi oleh berbagai macam gambar dan pesan-pesan ideologis yang
dikirimkan melaui media televisi terkenal.
10) Teori Kesenjangan Pengetahuan (Knowledge Gap Theory)
Teori kesenjangan pengetahuan menggambarkan pengaruh jangka panjang media massa
terhadap status sosial ekonomi khalayak. Teori yang dikembangkan oleh Phillip
Tichenor, George Donohue, dan Clarice Olien memiliki hipotesis yaitu bertambahnya
informasi yang disampaikan melalui media massa ke dalam sistem sosial menyebabkan
segmen khalayak yang memiliki status sosio-ekonomi yang tinggi.
Hal ini menyebabkan kencenderungan untuk menyerap informasi lebih cepat
dibandingkan dengan khalayak yang memiliki status sosioekonomi yang lebih rendah
sehingga menyebabkan terjadinya kesenjangan dalam pengetahuan antara keduanya
menjadi lebih besar bukan sebaliknya.
11) Teori Spiral Keheningan (Spiral of Silence Theory)
Ahli teori berkebangsaan Jerman yang bernama Elisabeth Noelle-Neumann merumuskan
teori spiral keheningan melalui kajian yang menghubungkan efek media dengan dampak
terhadap pendapat umum dan pola perilaku demokratis khalayak.
Teori spiral keheningan didasarkan pada gagasan bahwa masyarakat yang merupakan
minoritas dalam khalayak luas tidak akan berbicara untuk melawan kaum mayoritas guna
menghindari resiko diisolasi atau penolakan oleh masyarakat sekitarnya. Pola perilaku
seperti ini menjalar kepada yang lainnya, yang mungkin dengan suara yang lebih
moderat, untuk tetap diam saat mereka meyakini bahwa sebagian besar orang setuju
dengan sudut pandang mayoritas (Werder, 2009 : 634).
12) Teori Agenda Setting (Agenda Setting Theory)
Teori agenda setting merupakan contoh lain dari efek kumulatif media massa. Teori
agenda setting yang digagas oleh Bernard Cohen, Maxwell McCombs, dan Donald Shaw
menggambarkan bagaimana pemilihan topik serta frekuensi pelaporan yang dilakukan
oleh media massa berpengaruh terhadap arti penting dari topik-topik tersebut bagi
khalayak umum.
Menurut teori agenda setting, media mengatakan apa yang penting kepada khalayak
bukan apa yang dianggap penting oleh khalayak. Dengan kata lain, tingkat perhatian yang
diberikan terhadap suatu isu dalam media mempengaruhi tingkatan pentingnya isu
tersebut bagi konsumen media massa.
Yang harus diperhatikan dari teori agenda setting adalah bahwa media tidak bermaksud
mengubah sudut pandang khalayak terhadap isu-isu tertentu, tetapi media dapat merubah
persepsi khalayak terhadap apa yang penting. Teori agenda setting lebih berpusat pada
isu-isu politik dan pemberitaan melalui media massa. Kini, teori agenda setting teori
agenda setting tidak hanya berpusat pada isu-isu politik, tetapi merambah ke pelbagai isu
serta media lain (Adler dan Rodman, 2003 : 477) .
13) Teori Framing (Framing Theory)
Menurut Ingrid Volkmer (2009 : 407-408) konsep teori framing berkaitan dengan tradisi
agenda setting. Teori framing bertujuan untuk mengidentifikasi berbagai skema dimana
individu memandang dunia. Akar dari teori framing seringkali dikaitkan dengan ahli
sosiologi Erving Goffman yang berpendapat bahwa rancangan intepretatif merupakan
pusat dari beberapa elemen pokok dari sistem kepercayaan budaya.
Goffman menyebut rancangan frames intepretatif yang kita gunakan dalam pengalaman
kehidupan sehari-hari untuk menggambarkan dunia. Frames membantu untuk
mengurangi kompleksitas informasi melalui dua proses penyajian, yaitu frames
membantu mengintepretasikan dan membentuk kenyataan atau realitas. Konsep frame
yang dikenalkan oleh Goffman memiliki akar konseptual dalam teori fenomenologi yaitu
suatu pendekatan filsafat yang berpendapat bahwa pemaknaan tentang dunia diberikan
oleh individu yang didasarkan atas kepercayaan kehidupan dunia, pengalaman serta
pengetahuan.
Teori framing menjadi penting bagi berbagai sektor dalam masyarakat media
transnasional. Teori ini umumnya digunakan untuk merencanakan media kampanye
periklanan, manajemen public relations, komunikasi politik, serta jurnalistik baik
jurnalistik online maupun jurnalistik tradisional. Teori framing menggambarkan
kemampuan media untuk memanipulasi intepretasi khalayak terhadap pesan-pesan media
yang disampaikan dengan menggunakan fakta-fakta atau pendapat.
14) Teori Proses Informasi Sosial (Social Information Processing)
Teori proses informasi sosial adalah teori-teori komunikasi antarpribadi dan teori studi
media yang dikembangkan oleh Joseph Walter (1992). Teori ini menjelaskan komunikasi
interpersonal daring tanpa adanya petunjuk nonverbal yang berkembang dan pengelolaan
hubungan dalam lingkungan komunikasi bermedia komputer (computer-mediated
communication).
Komunikasi bermedia komputer merujuk pada komunikasi yang terjadi melalui bentuk
bermedia komputer seperti pesan instan, surat elektronik, ruang percakapan, dan lain-lain.
Dalam lingkungan komunikasi bermedia komputer, hubungan interpersonal
membutuhkan waktu lebih banyak untuk berkembang dibandingkan dengan komunikasi
tatap muka.
Teori ini berpendapat bahwa hubungan interpersonal secara daring mendemonstrasikan
dimensi hubungan dan kualitas yang sama dengan komunikasi tatap muka. Hubungan
secara daring ini dapat membantu memfasilitasi interaksi yang tidak terjadi dalam
komunikasi tatap muka dikarenakan berbagai faktor seperti faktor geografi dan
kecemasan dalam kelompok.
15) Social Identity Model of Deindividuation Effects
Teori social identity model of deindividuation effects (SIDE) dikembangkan oleh T.
Posmes, M. Lea, R. Spears, dan SD Reicher dalam ranah psikologi sosial dan studi
komunikasi. SIDE menjelaskan efek anonimitas dan kemampuan mengidentifikasi
terhadap perilaku kelompok.
Teori ini kemudian berkembang menjadi bagian dari teori teknologi yang
menggambarkan efek sosial dari komunikasi bermedia komputer. Teori ini menyajikan
penjelasan alternatif tentang efek anonimitas dan faktor deindividuasi lainnya yang tidak
dapat dijelaskan oleh teori deindividuasi klasik.
Ada tiga dimensi efek komunikasi massa, yaitu: kognitif, afektif, dan konatif. Efek kognitif
meliputi peningkatan kesadaran, belajar, dan tambahan pengetahuan. Efek efektif berhubungan
dengan emosi, perasaan, dan attitude (sikap). Sedangkan efek konatif berhubungan dengan
perilaku dan niat untuyk melakukan sesuatu menurut cara tertentu.
a. Efek Kognitif
Efek kognitif adalah akibat yang timbul pada diri komunikan yang sifatnya informative
bagi dirinya. Dalam efek kognitif ini akan dibahas tentang bagaimana media massa dapat
membantu khalayak dalam mempelajari informasi yang bermanfaat dan mengembangkan
keterampilan kognitif. Melalui media massa, kita memperoleh informasi tentang benda,
orang atau tempat yang belum pernah kita kunjungi secara langsung.
b. Efek Afektif
Efek ini kadarnya lebih tinggi daripada Efek Kognitif. Tujuan dari komunikasi massa
bukan hanya sekedar memberitahu kepada khalayak agar menjadi tahu tentang sesuatu,
tetapi lebih dari itu, setelah mengetahui informasi yang diterimanya, khalayak diharapkan
dapat merasakannya. Sebagai contoh, setelah kita mendengar atau membaca informasi
artis kawakan Roy Marten dipenjara karena kasus penyalah-gunaan narkoba, maka dalam
diri kita akan muncul perasaan jengkel, iba, kasihan, atau bisa jadi, senang. Perasaan
sebel, jengkel atau marah daat diartikan sebagai perasaan kesal terhadap perbuatan Roy
Marten. Sedangkan perasaan senang adalah perasaan lega dari para pembenci artis dan
kehidupan hura-hura yang senang atas tertangkapnya para public figure yang cenderung
hidup hura-hura. Adapun rasa iba atau kasihan dapat juga diartikan sebagai keheranan
khalayak mengapa dia melakukan perbuatan tersebut.
c. Efek Behavioral
Efek behavioral merupakan akibat yang timbul pada diri khalayak dalam bentuk perilaku,
tindakan atau kegiatan. Adegan kekerasan dalam televisi atau film akan menyebabkan
orang menjadi beringas. Program acara memasak bersama Rudi Khaeruddin, misalnya,
akan menyebabkan para ibu rumah tangga mengikuti resep-resep baru. Bahkan, kita
pernah mendengar kabar seorang anak sekolah dasar yang mencontoh adegan gulat dari
acara SmackDown yang mengakibatkan satu orang tewas akibat adegan gulat tersebut.
Namun, dari semua informasi dari berbagai media tersebut tidak mempunyai efek yang
sama.
CONTOH KASUS
Geri (diperankan oleh Chicco Jerikho) dalam film Negeri Van Oranje merupakan seorang gay. Namun, ia menyadari orientasi seksualnya itu bakal mendapatkan pertentangan dari agama, norma sosial juga teman-temannya (Lintang, Banjar, Daus dan Wicak). Akibatnya, Geri terus menyimpan rahasianya itu agar tetap dipandang normal, sesuai dengan sudut pandang mayoritas masyarakat. Meskipun pada kenyataannya Geri terbeban dengan situasi itu, dimana ia harus membohongi dirinya sendiri untuk tidak menyukai sesama jenis. Apa yang dialami Geri adalah fenomena disonansi kognitif. Namun perlu digarisbawahi, teori disonansi kognitif tidak hanya berlaku untuk menjelaskan fenomena orientasi seksual belaka. Ketika seorang perempuan ingin keluar malam minggu bersama temannya, namun disatu sisi juga tidak ingin melanggar peraturan orangtuanya juga dapat disebut mengalami disonansi kognitif. Larangan yang harus dipatuhi berbenturan dengan keinginannya untuk pergi.
Recommended