Dampak Investasi Air Minum terhadap Pertumbuhan Ekonomi. Kasus DKI Jakarta. Disertasi

Preview:

Citation preview

DAMPAK INVESTASI AIR MINUM TERHADAP PERTUMBUHAN EKONOMI DAN DISTRIBUSI PENDAPATAN

DI DKI JAKARTA

OLEH

OSWAR MUADZIN MUNGKASA 860 0000 067

PROGRAM STUDI ILMU EKONOMI PROGRAM PASCASARJANA

FAKULTAS EKONOMI UNIVERSITAS INDONESIA DEPOK

2006

DAMPAK INVESTASI AIR MINUM TERHADAP PERTUMBUHAN EKONOMI DAN DISTRIBUSI PENDAPATAN

DI DKI JAKARTA

OLEH

OSWAR MUADZIN MUNGKASA 860 0000 067

DISERTASI

Diajukan sebagai salah satu syarat guna memperoleh gelar Doktor dalam bidang Ilmu Ekonomi pada Program Studi Ilmu Ekonomi

Program Pascasarjana Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia

DEPOK 2006

PERSETUJUAN DISERTASI

Nama : OSWAR MUADZIN MUNGKASA N.P.M. : 860 0000 067 Kekhususan : Ekonomi Publik Judul Disertasi : DAMPAK INVESTASI AIR MINUM TERHADAP PERTUMBUHAN EKONOMI

DAN DISTRIBUSI PENDAPATAN DI DKI JAKARTA

Depok, 15 Agustus 2006

Promotor, Ketua tim penguji, Prof. Dr. Prijono Tjiptoherijanto Prof. Dr. Moh. Arief Djanin Kopromotor, Penguji, Dr. Mohamad Ikhsan Dr. B. Raksaka Mahi Dr. Montty Girianna Dr. Arindra A. Zainal Ketua Program Studi, Dr. Luky Alfirman Dr. Arindra A. Zainal

iii

ABSTRAK DISERTASI

DAMPAK INVESTASI AIR MINUM TERHADAP PERTUMBUHAN EKONOMI DAN DISTRIBUSI PENDAPATAN

DI DKI JAKARTA

OSWAR MUNGKASA 860 0000 067

Program Studi Ilmu Ekonomi Program Pascasarjana Fakultas Ekonomi

Universitas Indonesia Klasifikasi JEL : C68, D31, D58, E22, E62 Kata Kunci: 1. Investasi air minum 4. Pertumbuhan pro poor 2. Pertumbuhan ekonomi 5. DKI Jakarta 3. Distribusi pendapatan 6. Computable General Equilibrium

Penelitian ini dilatarbelakangi oleh berbagai permasalahan yang terkait dengan

penyediaan air minum bagi penduduk miskin di perkotaan dengan mengambil kasus

DKI Jakarta. Pemerintah belum mampu menyediakan prasarana dan sarana pelayanan

publik yang memadai, diantaranya, dalam bentuk pelayanan kebutuhan air minum.

Pemenuhan kebutuhan air minum penduduk melalui air minum perpipaan khususnya

penduduk miskin perkotaan, ditengarai dapat mengurangi beban pengeluaran air

minum, beban pengeluaran bagi biaya pengobatan akibat penggunaan air minum yang

tidak layak, dan mengurangi jumlah hari nonproduktif. Kondisi ini akan mendorong

peningkatan produktivitas dan tabungan rumah tangga miskin yang mengarah pada

meningkatnya pendapatan per kapita dan membaiknya kesenjangan pendapatan, yang

akhirnya berdampak pada peningkatan kondisi perekonomian secara keseluruhan.

Investasi air minum, baik secara teoritis maupun secara empiris, terbukti

mendorong terjadinya pertumbuhan ekonomi. Sementara itu, pemenuhan kebutuhan air

minum penduduk perkotaan, khususnya penduduk miskin, dapat meningkatkan

kesejahteraan penduduk yang berdampak pada perbaikan distribusi pendapatan.

Kombinasi dari investasi air minum dan pemenuhan kebutuhan air minum penduduk

miskin perkotaan akan menghasilkan pertumbuhan pro-poor, yaitu pertumbuhan

iv

ekonomi yang dapat mengurangi kesenjangan pendapatan dan kemiskinan. Dikaitkan

dengan kondisi DKI Jakarta, investasi air minum yang bersifat pro poor merupakan

suatu keniscayaan, dengan berbagai pertimbangan diantaranya (i) tingkat urbanisasi

yang masih tinggi, dan (ii) proporsi penduduk yang belum mendapat akses air minum

perpipaan masih cukup tinggi.

Oleh karena itu, pertanyaan yang mengemuka adalah (i) apakah investasi air

minum perpipaan di DKI Jakarta telah memicu pertumbuhan ekonomi yang bersifat

pro-poor, (ii) apakah investasi air minum nonperpipaan di DKI Jakarta memicu

pertumbuhan ekonomi pro-poor; (iii) apakah subsidi pemerintah dalam penyediaan air

minum di DKI Jakarta memicu pertumbuhan ekonomi pro-poor. Untuk menjawab pertanyaan tersebut, disertasi ini menggunakan model

komputasi keseimbangan umum (Computable General Equilibrium/CGE) atau

disingkat model CGE. Model CGE adalah suatu sistem persamaan simultan tak-linier

yang mensimulasikan perilaku optimal dari semua konsumen dan produsen yang ada di

dalam suatu perekonomian. Tiga skenario simulasi diterapkan dalam studi ini dengan

menggunakan data SNSE DKI Jakarta Tahun 2000 untuk mengetahui skenario

pembangunan air minum yang dapat mengarah pada pertumbuhan pro-poor, yaitu (i)

simulasi investasi berupa peningkatan investasi air minum perpipaan dan air minum

nonperpipaan, (ii) simulasi subsidi berupa penyediaan subsidi air minum bagi rumah

tangga miskin yang bersumber dari peningkatan pajak air minum perpipaan maupun

pemerintah pusat, (iii) simulasi investasi dan subsidi berupa peningkatan investasi air

minum perpipaan yang disertai penyediaan subsidi air minum bagi rumah tangga

miskin, baik dari peningkatan pajak air minum perpipaan maupun pemerintah pusat.

Hasil simulasi menunjukkan bahwa peningkatan investasi air minum di DKI

Jakarta berdampak pada pertumbuhan ekonomi tetapi tidak berpengaruh pada

pengurangan kesenjangan, yang berarti pembangunan air minum di DKI Jakarta belum

bersifat pro poor. Selain itu, agar terjadi pertumbuhan pro poor, investasi air minum

perpipaan sebaiknya disertai dengan penyediaan subsidi dari pemerintah pusat.

Semakin besar nilai investasi, semakin besar subsidi yang perlu diberikan.

v

Beberapa rekomendasi penting, yaitu (i) pemerintah daerah sebaiknya

menjadikan akses air minum bagi penduduk miskin sebagai salah satu target dan

indikator keberhasilan pembangunan DKI Jakarta, (ii) penyediaan subsidi bagi rumah

tangga miskin masih diperlukan jika proporsi rumah tangga miskin yang belum

mendapat akses air minum perpipaan masih relatif besar. Sumber dana subsidi yang

potensil diantaranya adalah dana Corporate Social Responsibility (CSR) dari

perusahaan (iii) mengembangkan program pembangunan air minum berbasis

masyarakat, (iv) air minum nonperpipaan masih dapat menjadi alternatif sumber air

minum jika dilakukan pembenahan aspek regulasi, penyediaan sumber dana investasi,

dan peningkatan jumlah sumber air seperti kran umum sehingga harga air minum

nonperpipaan menjadi terjangkau, dan (v) pembenahan kendala akses bagi rumah

tangga miskin seperti biaya pemasangan yang terjangkau.

Background of this study is the existence of a number of problems in relation to

provision of drinking water for poor people in urban area by taking case of the Jakarta

Special Territory Administration (DKI Jakarta). Government is not yet able to provide

proper public service facilities and infrastructures, among others are in the form

service of drinking water need. Fulfillment of drinking water need for people through

piped water especially poor people in urban area, is assumed to reduce drinking water

expenses burden, medication costs are resulted from the use of unreasonable drinking

water, and minimizing the number of non-productive days. This condition will boost

productivity and poor family saving directing to the rise of income per capita and

improving gap of income which finally produced impact on improvement of economic

condition entirely.

Investment on drinking water, either theoretically or empirically, is proven to

encourage the economic growth. Meanwhile, fulfillment of drinking water need for

people in urban area, especially poor people, can increase the people welfare that may

result on improvement of income distribution. Combination between drinking water

investment and fulfillment of drinking water need for poor people in urban area will

produce a pro-poor growth that is the economic growth that will minimize income gap

vi

and poverty. In relation to DKI Jakarta’s conditions, investment on drinking water

which is pro-poor in nature is a certainty, with a number of considerations (i)

urbanization level that remains high, and (ii) the number of people who have not yet

obtained access of piped water remains high.

Thus, the questions revealed are (i) does investment on piped water in DKI

Jakarta trigger a pro-poor economic growth?, (ii) does investment on non-piped water

in DKI Jakarta trigger a pro-poor economic growth?, (iii) does the government subsidy

on provision of drinking water in DKI Jakarta trigger pro-poor economic growth?

To answer those questions, this dissertation uses a Computable General

Equilibrium (CGE) or shortened with CGE Model. CGE model is a non-linier

simultaneous equation that simulates optimal attitude of all consumers and producers

within economy. Three scenarios of simulation is implemented in this study using data

of SNSE (social accounting matrices/SAM) DKI Jakarta year 2000 to know scenario of

development of drinking water that directs to a pro-poor growth, that is (i) investment

simulation in the form of increasing investment on piped water and non-piped water,

(ii) subsidy simulation in the form of provision of drinking water subsidy for poor

family derived from increasing piped water tax and the central government transfer,

(iii) investment simulation and subsidy in the form of increasing investment of piped

water along with provision of drinking water subsidy for poor family either from

increasing tax on piped water or the central government transfer.

Result of simulation indicates that drinking water investment increase in DKI

Jakarta resulted on economic growth but it did not influence on income gap reduction,

meaning that the drinking water development in DKI Jakarta has not yet reached a

pro-poor nature. Besides, in order to establish a pro-poor growth, the piped water

investment should be supported with provision of subsidy from the central government.

The higher investment value, the more subsidy needed.

Some important recommendations, i.e. (i) the local government should make

access of drinking water for poor people as one of targets and indicators of

successfulness of development in DKI Jakarta, (ii) provision of subsidy for poor people

is still needed if the proportion of poor family who have not yet enjoyed piped water

vii

remains high. Potential subsidy fund source includes Corporate Social Responsibility

(CSR) funds from the big company (iii) increase a community-based drinking water

development program, (iv) non-piped water still become drinking water source

alternative if there is improvement on regulation, provision of investment funds source,

and adding water sources such as public service tapping so that non-piped water is

affordable, and (v) improvement of access barrier for poor family such as affordable

installment costs.

viii

KATA PENGANTAR

Pertama-tama puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT karena atas

perkenanNya sehingga disertasi ini dapat terselesaikan untuk memenuhi salah satu

persyaratan mencapai gelar Doktor dalam bidang Ilmu Ekonomi pada Program

Pascasarjana Ilmu Ekonomi Universitas Indonesia.

Bagi penulis, disertasi ini merupakan kulminasi dari kerja keras dan dukungan

dari banyak pihak. Perjalanan penyusunannya melewati rentang waktu yang cukup

lama, hampir 1,5 tahun sejak masih berbentuk pemikiran awal. Dikerjakan pada

berbagai tempat dan kesempatan, mulai dari sepanjang malam setelah jam kantor di

kantor Kelompok Kerja Minum dan Penyehatan Lingkungan (Pokja AMPL), di tengah

rapat yang membosankan, di bandara ketika menunggu pesawat yang sering terlambat,

di mall sambil menunggu anak main game, di sela-sela kunjungan lapangan, di kampus

pada akhir pekan, dan tentu saja di rumah ketika memungkinkan khususnya di akhir

pekan.

Disertasi ini merupakan buah dari bantuan berbagai pihak. Pertama-tama saya

ucapkan penghargaan dan terima kasih kepada Bapak Prof. Dr. Prijono Tjiptoherijanto,

selaku promotor, yang dengan sabar dan penuh perhatian memberi saran dan masukan

bagi perbaikan disertasi ini, baik secara langsung maupun melalui email. Penghargaan

dan rasa terima kasih yang sama juga penulis sampaikan kepada Bapak Dr. Mohamad

Ikhsan, selaku kopromotor I, yang dengan tekun memberi kritik dan saran bagi

perbaikan disertasi saya, selain menyangkut model dan teori ekonomi, juga

menyangkut tata cara penulisan, bahkan berkenan secara khusus membaca keseluruhan

rancangan final disertasi ini sebelum menjadi naskah disertasi seperti saat ini. Selain

itu, Bapak Dr. Montty Girianna, selaku kopromotor II, yang banyak memberi saran dan

masukan terutama ketika penulis dalam kondisi mulai ‘putus asa’ dengan penyelesaian

model yang tidak kunjung mendapatkan solusi serta penyempurnaan materi narasi.

Proses penyusunan disertasi ini melalui empat tahapan penting yaitu ujian

proposal, ujian seminar hasil, sidang tertutup, dan sidang promosi. Pada setiap tahapan

ix

tersebut, terdapat Tim Penguji yang melakukan evaluasi terhadap materi yang

disampaikan oleh penulis. Tim penguji terdiri dari promotor, Kopromotor ditambah

dengan empat penguji lain. Untuk itu, terima kasih dan penghargaan saya sampaikan

kepada Bapak Prof. Dr. Moh. Arief Djanin, selaku ketua Penguji, yang dengan sabar

memimpin sesi sidang dan memberi masukan penyempurnaan khususnya kesimpulan

disertasi, Bapak Dr. Luky Alfirman, selaku anggota Penguji, yang banyak memberi

masukan dari aspek ekonomi publik, Bapak Dr. B. Raksaka Mahi, selaku anggota

Penguji, yang banyak memberi saran dan masukan bagi perbaikan model, Bapak Dr.

Arindra A. Zainal, selaku anggota Penguji, yang memberi masukan perbaikan terutama

pada materi kesimpulan dan juga selaku Ketua Program yang banyak memberi

kemudahan bagi penyelesaian studi penulis. Selain itu, juga kepada Bapak Dr. Suahasil

Nazara dan Bapak Dr. Sugiharso Safuan yang memberi masukan penyempurnaan

proposal penulis pada saat ujian proposal.

Bersekolah di UI pada awalnya tidak secara sengaja menjadi pilihan penulis.

Ketika pada tahun 2000, setelah menyelesaikan tugas mengembangkan proyek

Pemberdayaan Daerah dalam Mengatasi Dampak Krisis Ekonomi (PDMDKE) sebagai

bagian dari program Jaring Pengaman Sosial (JPS), penulis terdorong mengambil

kuliah setelah melihat sahabat penulis Hanggono T. Nugroho yang telah terlebih dahulu

menjadi mahasiswa program S-3 Ekonomi UI. Proses kuliah kemudian tidak seperti

yang saya bayangkan sebelumnya, ternyata terasa sangat menyenangkan ditengah tugas

dan beban kuliah yang berat terutama karena fakultas ekonomi UI terkenal dengan

pameo ‘sulit masuk apalagi keluarnya’. Kesenangan ini terutama disumbangkan oleh

keberadaan rekan-rekan program pascasarjana ekonomi angkatan 2000, yang sangat

kompak dan saling mendukung. Beberapa diantara teman-teman tersebut adalah Edy

Suratman, Djoni Hartono, ‘Mas Iwan’, Wildan, Tauhid, Pak Bambang, Esa, Ratna,

Syarkawi, Mawardi, Bintoro dan banyak lagi yang lain. Masa bersama mereka semua

menjadi bagian yang indah untuk dikenang.

Bantuan rekan-rekan Angkatan 2000 yang mengingatkan penulis tentang tugas

dan ujian yang kadangkala terlupakan karena kesibukan penulis, termasuk juga

meminjamkan catatan dan memberi penjelasan, sangat membantu melancarkan proses

x

perkuliahan penulis. Tanpa bantuan dan dorongan mereka, masa-masa kuliah S-3 akan

terasa sangat kering dan bahkan mungkin disertasi ini tidak terwujud. Terima kasih atas

tahun-tahun yang penuh warna tersebut.

Keeratan hubungan diantara rekan-rekan mahasiswa S-3 juga tentunya sangat

membantu proses penyelesaian perkuliahan. Masa-masa belajar bersama menghadapi

ujian preliminary sangat menyenangkan, bersama-sama kita saling mengisi kekurangan

masing-masing. Penulis yang sangat tertolong dalam proses ini, karena latar belakang

penulis yang bukan ekonomi menjadikan penulis sebagai ‘anak bawang’ dalam proses

persiapan tersebut. Beberapa diantara rekan S-3 tersebut diantaranya Edy Suratman,

Hanggono T. Nugroho, Sony, Pak Hasman, Willem, Andi Alfian, Beta, Jenny,

Widyono, Wanto, dan banyak lagi yang lain. Terselesaikannya disertasi ini melengkapi

kebersamaan kita yang menyenangkan tersebut.

Proses awal penulisan disertasi ini merupakan langkah yang cukup berat,

terutama setelah penulis mengambil cuti selama 2 tahun berturut-turut, yang kemudian

disertai kesibukan penulis yang menyita waktu. Akan tetapi, rekan dan sahabat penulis

Djoni Hartono banyak mendorong penulis melalui sms, email bahkan kunjungan

langsung ke kantor, yang kemudian membangkitkan semangat penulis. Ide awal

disertasi ini banyak didukung oleh hasil diskusi penulis dengan Djoni. Termasuk dalam

proses ini juga penulis berhutang budi kepada Bapak Donny Azdan yang

memperkenankan untuk mengadopsi model CGE-nya. Proses selanjutnya juga tidak

kurang menariknya karena ternyata penyusunan model CGE sangat menyita waktu dan

pikiran, apalagi penyusun bertekad untuk melakukannya sendiri. Walaupun demikian

dalam proses ini, Djoni yang sedang menyelesaikan disertasi dan Dewi yang pada saat

yang bersamaan dalam tahap akhir penyelesaiaan tesisnya, banyak membantu penulis

untuk memahami model CGE sehingga pada akhirnya penulis dapat menyelesaikan

model CGE air minum ini. Terima kasih penulis pada keduanya atas pengorbanan

waktunya. Tak lupa juga penulis mengucapkan terima kasih pada Pak Pipit dari BPS,

yang membantu penulis menyiapkan data SNSE Air Minum DKI Jakarta Tahun 2000.

Tanpa data tersebut, model CGE air minum DKI Jakarta tak mungkin terselesaikan.

xi

Bekerja dan bersekolah ternyata bukan sesuatu yang mudah. Namun, dorongan

dan dukungan dari atasan, rekan sejawat, mitra kerja, dan sesama staf menjadikan

hidup lebih mudah. Terima kasih dan penghargaan penulis sampaikan kepada Bapak

Herman Haeruman, yang pada saat itu selaku Deputi Regional Bappenas, dan Bapak

Max Pohan yang pada saat itu selaku Kepala Biro Peningkatan Kapasitas Daerah

Bappenas, yang memberi kesempatan penulis untuk mengikuti pendidikan S-3

Pascasarjana Ekonomi UI. Walaupun secara resmi sebenarnya penulis tidak mendapat

tugas belajar dari Bappenas, tetapi hal tersebut tidak mengurangi semangat

menyelesaikan perkuliahan. Kemudian di tengah proses perkuliahan, penulis berpindah

tugas ke Direktorat Permukiman dan Perumahan Bappenas, yang menjadikan penulis

lebih sibuk lagi terutama dengan tugas baru untuk juga menjadi anggota Pokja AMPL.

Kerelaan dan dorongan Bapak Basah Hernowo selaku atasan penulis memberi

kesempatan menyelesaikan sekolah sangat membantu mempercepat terselesaikannya

disertasi ini. Tentunya termasuk juga kerelaan dan dorongan semangat kadang disertai

‘sindiran kapan selesainya’ dari rekan-rekan kantor Nugroho Tri Utomo, Pungki

Sumadi, Bastary Pandji Indra, Salusra ‘Ilus’ Widya, Anti, Ita, Nurul, Andre, Mbak Mia,

Sali yang ternyata memicu semangat penulis. Sindiran membawa berkah.

Sebagian besar waktu penulisan disertasi ini dilakukan di kantor sekretariat

Pokja AMPL. Pada beberapa kesempatan ketika sedang sibuk sekali, terpaksa penulis

meminta bantuan rekan-rekan staf sekretariat Pokja. Untuk itu, terima kasih buat Rudi

yang membantu merapikan grafik, Meddy, Adi, Puput yang merapikan tampilan narasi,

Agus Suhada yang ketambahan tugas mengantar rancangan disertasi dan undangan ke

pembimbing dan penguji, Andri yang selalu setia menemani ketika penulis begadang di

kantor, Aini yang sibuk menghubungi pusat bahasa Depdiknas dalam rangka perbaikan

tata bahasa disertasi ini, dan Reski yang membaca seluruh naskah disertasi sebelum

dijilid. Terima kasih juga atas kesabaran semua staf sekretariat Pokja AMPL dan

WASPOLA yang sedikit terganggu ritme kerjanya oleh kesibukan penulis

menyelesaikan disertasi.

Keterlibatan dalam Pokja AMPL yang intensif dalam 3 tahun terakhir memberi

inspirasi penulis untuk mengambil topik disertasi ini. Air minum belum menjadi

xii

perhatian pengambil keputusan. Menjadikan air minum sebagai topik disertasi

merupakan upaya penulis untuk meningkatkan profil air minum di Indonesia.

Disamping itu, kekompakan dan kegembiraan yang selalu penulis rasakan selama

bergabung dengan Pokja AMPL secara tidak langsung juga mendorong penulis

menyumbang pemikiran bagi sektor air minum dan penyehatan lingkungan. Dorongan

dan pengertian dari rekan-rekan anggota Pokja AMPL untuk menyelesaikan disertasi

ini sangat terasa terutama kerelaan rekan pokja untuk sedikit terbebani tugas rutin pokja

yang seharusnya menjadi porsi saya, sangat saya hargai.

Dalam proses penetapan hari sidang, maupun proses administrasi lainnya,

penulis sangat merasakan dukungan dari sekretariat program pascasarjana ekonomi UI

khususnya bantuan dari Mirna. Tak lupa Ibu Niken, Sekretaris Pak Prijono di

Jamsostek, juga sangat berperan membantu dalam proses penentuan waktu sidang

tertutup, yang dapat terlaksana ditengah-tengah kepulangan Pak Pri dari Jepang untuk

keperluan RUPS Jamsostek. Terima kasih atas bantuan yang diberikan.

Salah satu hal yang menjadi prioritas dalam hidup penulis adalah dapat

membahagiakan orang tua. Penulis berharap, terselesaikannya disertasi ini dapat

melengkapi kebahagian bagi Ibu Mungkasa, nenek penulis, yang selalu berpuasa setiap

kali penulis dapat melewati ujian, Bapak dan Mama yang selalu berdoa bagi

keberhasilan penulis, adik-adik penulis yang selalu mendorong dan membantu dikala

penulis sedang butuh bantuan, serta Mertua penulis yang selalu menemani cucunya di

rumah ketika penulis harus berkutat dengan tugas sekolah. Semuanya pengorbanan

tersebut sangat penulis hargai.

Terakhir, yang paling utama bagi penulis adalah adanya dorongan dan

dukungan dari istriku Verosya ‘Ade’ Zaina dan anakku Fakhrie Fadhlullah Mungkasa

yang dengan sabar menunggu penulis dapat menyelesaikan sekolah S-3 ini. Setelah ini,

Insya Allah tidak ada lagi hari-hari sibuk di akhir pekan.

Depok, Agustus 2006.

Oswar Mungkasa

xiii

DAFTAR ISI Hal RINGKASAN ...................................................................................................... KATA PENGANTAR .......................................................................................... DAFTAR ISI ....................................................................................................... DAFTAR TABEL ............................................................................................... DAFTAR GAMBAR ........................................................................................... DAFTAR KOTAK …………………………………………………………........ DAFTAR SINGKATAN …………………………………………………........... BAB I PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang …………………………………………..........

1.2 Masalah Penelitian ……………………………………………

1.3 Tujuan dan Hipotesis Penelitian ………………………………

1.4 Manfaat dan Kontribusi Penelitian ……………………………

1.5 Pendekatan dan Ruang Lingkup Penelitian …………………..

1.6 Sistematika Penulisan …………………………………………

BAB II KONDISI SEKTOR AIR MINUM DKI JAKARTA 2.1 Gambaran Umum DKI Jakarta ……………………………….

2.1.1 Administrasi ………………………………………….

2.1.2 Kependudukan ……………………………………….

2.2 Kondisi Perekonomian DKI Jakarta …………………………

2.2.1 Pangsa dan Pertumbuhan Sektor Ekonomi …………..

2.2.2 Pendapatan per Kapita ……………………………….

2.2.3 Tingkat Kemiskinan ………………………………….

2.2.4 Distribusi Pendapatan ………………………………..

2.2.5 Kebijakan Sektor Air Minum DKI Jakarta …………..

2.2.6 Pola Penyediaan Air Minum di DKI Jakarta …………

2.3 Perkembangan dan Rencana Pengembangan Penyediaan Air Minum DKI Jakarta ………………………………………….

2.3.1 Praprivatisasi Pengeloalaan Air Minum DKI Jakarta .

2.3.2 Privatisasi Pengelolaan Air Minum DKI Jakarta …….

iii viii xiii xvii xxi xxvi xxvii

1

5

6

9

10

12

14

14

14

15

15

17

17

19

21

21 22 22 26

xiv

2.3.3 Kinerja Pengelolaan Air Minum DKI Jakarta Setelah Privatisasi ……………………………………………...

2.3.4 Sistem Distribusi Pelayanan Air Minum Nonperpipaan

2.3.5 Program Penanggulangan Dampak Pengurangan Subsidi Energi untuk Penyediaan Prasarana Air Bersih ………..

BAB III PENYEDIAAN AIR MINUM, PERTUMBUHAN EKONOMI, DAN DISTRIBUSI PENDAPATAN: SUATU TINJAUAN PUSTAKA 3.1 Karakteristik Air Minum ………………………………………..

3.2 Penyediaan Air Minum (Publik, Swasta, Penyedia Skala Kecil) dan Penanggulangan Kemiskinan ………………………………

3.2.1 Penyediaan Air Minum oleh Pemerintah dan Privatisasi

3.2.2 Privatisasi Air Minum dan Penanggulangan Kemiskinan

3.3 Penyedia Air Minum Skala Kecil: Salah Satu Alternatif ………

3.3.1 Keterbatasan Penyediaan Air Minum Skala Besar ……..

3.3.2 Kategori Penyedia Air Minum Skala Kecil …………….

3.3.3 Peran Penyedia Air Minum Skala Kecil ……………….

3.3.4 Beberapa Pengalaman Pengelolaan …………………….

3.3.5 Masa Depan Pelayanan Air Minum Skala Kecil ……....

3.4 Kaitan Pembangunan Air Minum terhadap Kemiskinan, Distribusi Pendapatan, dan Pertumbuhan Eonomi …………….

3.4.1 Pembangunan Air Minum dan Kemiskinan ……………

3.4.2 Pembangunan Air Minum dan Pertumbuhan Ekonomi ..

3.4.3 Pembangunan Air Minum dan Kesenjangan …………...

3.5 Pertumbuhan Pro Poor …………………………………………

3.6 Rangkuman …………………………………………………….

BAB IV PEMODELAN DAMPAK INVESTASI AIR MINUM 4.1 Teori Keseimbangan Umum …………………………………...

4.2 Model Komputasi Keseimbangan Umum (CGE) ……………...

4.2.1 Prinsip dan Kerangka Dasar ……………………………

Hal

28

33

34

36 38 38 42 48 48 49 50 51 53 54 54 60 61 61 63 67 68 68

xv

4.2.2 Model Standar Komputasi Keseimbangan Umum …….

4.3 Model CGE Air Minum DKI Jakarta ………………………….

4.3.1 Kebutuhan Data …………………………………..........

4.3.2 Penyesuaian SNSE dalam Model CGE ………………..

4.3.3 Beberapa Prinsip Dasar ………………………………..

4.3.4 Aktor dan Perilakunya ………………………………....

4.3.5 Variabel dan Skalar …………………………………….

4.3.6 Persamaan Model ……………………………………...

4.4 Perubahan Kesejahteraan ……………………………………...

BAB V SKENARIO KEBIJAKAN DAN HASIL SIMULASI 5.1 Validasi Model CGE ..................................................................

5.2 Skenario Simulasi .......................................................................

5.3 Hasil Simulasi ………………………………………………….

5.3.1 Simulasi I: Peningkatan Investasi Air Minum Perpipaan

5.3.2 Simulasi II: Peningkatan Investasi Air Minum Non

Perpipaan ………………………………………………

5.3.3 Simulasi III: Penyediaan Subsidi dari Peningkatan Pajak Air Minum ………………..……………………..

5.3.4 Simulasi IV: Subsidi dari Dana Pemerintah Pusat ……..

5.3.5 Simulasi V: Peningkatan Investasi Air Minum Perpipaan dan Penyediaan Subsidi dari Pajak Air Minum Perpipaan ………………………………………

5.3.6 Simulasi VI: Peningkatan Investasi Air Minum Perpipaan dan Penyediaan Subsidi dari Dana Pemerintah Pusat …......................................…………..

5.4 Rangkuman …………………………………………………….

5.4.1 Pertumbuhan Ekonomi …………………………………

5.4.2 Distribusi Pendapatan ………………………………….

5.4.3 Kelompok Penerima Manfaat ………………………….

5.4.4 Pertumbuhan Pro Poor ………………………………...

Hal

69

82 82 82 84 84 89 89 98

100

100

109

109

111

112

118

120

126

132

132 146

154

154

xvi

BAB VI KESIMPULAN DAN REKOMENDASI 6.1 Kesimpulan …………………………………………………..

6.2 Rekomendasi ……………..…………………………………..

6.3 Beberapa Catatan …………………………………………….

6.3.1 Kelebihan dan Kekurangan Model CGE …………….

6.3.2 Kelemahan Model CGE Air Minum DKI Jakarta …...

6.4 Studi Lanjutan ………………………………………………..

DAFTAR PUSTAKA …………………………………………………………..

Lampiran 1 Konsep dan Definisi …………………………………………..

Lampiran 2 Fungsi Penting dalam Model CGE …………………………..

Lampiran 3 Sistem Neraca Sosial Ekonomi ……………………………….

Lampiran 4 Sistem Neraca Sosial Ekonomi DKI Jakarta 2000 (45x45, Jutaan Rupiah) ...........................................................................

Lampiran 5 Penyesuaian Sistem Neraca Sosial Ekonomi DKI Jakarta 2000

Lampiran 6 Deklarasi Indeks ........................................................................

Lampiran 7 Ukuran Distribusi Pendapatan ..................................................

BIOGRAFI SINGKAT ........................................................................................

Hal

157 160 164 164 166 168 169 181 185 187 193 196 203 206 208

xvii

DAFTAR TABEL

Tabel 1.1 Cakupan Layanan Air Minum di Jakarta Tahun 2002 (dalam persen) ……………………………………………………………..

Tabel 2.1 Jumlah dan Laju Pertumbuhan Penduduk DKI Jakarta Tahun 1980-2004 …………………………………………………………

Tabel 2.2 Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) DKI Jakarta Tahun 2000 dan 2003 (Berdasar Harga Konstan 1993) dalam Rp. Juta ….

Tabel 2.3 Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) per Kapita DKI Jakarta Periode 1996-2003 ………………………………………………...

Tabel 2.4 Jumlah Penduduk Miskin DKI Jakarta Tahun 1996, 2000 dan 2003

Tabel 2.5 Distribusi Pendapatan per Kapita DKI Jakarta Menurut Golongan Rumah Tangga, Tahun 2000 ……………………………………....

Tabel 2.6 Distribusi Pendapatan per Kapita DKI Jakarta Menurut Golongan Rumah Tangga Tahun 2000 ……………………………………....

Tabel 2.7 Target Teknis Tahun 1998-2002 …………………………………..

Tabel 2.8 Rencana Investasi PT. Thames PAM Jaya dan PT. PAM Lyonnaise Jaya, 1998-2002………………………………………...

Tabel 2.9 Kinerja Privatisasi Pengelolaan Air Minum DKI Jakarta Tahun 2004 …………………………………………………………………

Tabel 2.10 Cakupan Layanan Air Minum di Jakarta Tahun 2002 …………......

Tabel 2.11 Klasifikasi Rumah Tangga Berdasar Sumber Air Minum Tahun 2003 …………………………………………………………………

Tabel 2.12 Peningkatan Layanan Air Minum bagi Penduduk Miskin di Jakarta (1998-2002) ………………………………………………………..

Tabel 2.13 Sistem Tarif Air Minum DKI Jakarta, Tahun 2005 ………………..

Tabel 2.14 Realisasi Dana Program Subsidi Energi Air Bersih (SE-AB) Tahun 2001-2004 ………………………………………………………….

Tabel 3.1 Rangkuman Kaitan Ekonomi Makro antara Peningkatan Partisipasi Swasta dalam Pembangunan Infrastruktur dan Kesejahteraan Penduduk Miskin .........…………………………………………….

Tabel 3.2 Rangkuman Kaitan Ekonomi Mikro antara Peningkatan Partisipasi Swasta dalam Pembangunan Infrastuktur dan Kesejahteraan Penduduk Miskin …………………….…………………………….

hal 4 15 16 17 18 19 20 27 28 29 29 30 31 32 35 43 45

xviii

DAFTAR TABEL

Tabel 3.3 Model Kemitraan Pemerintah Swasta yang Potensial Melayani Penduduk Miskin …..……………………………………………....

Tabel 3.4 Tipe dan Karakteristik Penyedia Air Minum Skala Kecil . ..............

Tabel 3.5 Perbandingan Harga Air Minum Penjaja Keliling dan Perpipaan di Kota Besar Dunia .………………………………………………....

Tabel 3.6 Proporsi Pengeluaran Air Minum Rumah Tangga Miskin Perkotaan

Tabel 4.1 Struktur Dasar SAM pada Model CGE ………………………….....

Tabel 4.2 Penyesuaian Klasifikasi SNSE DKI Jakarta Tahun 2000 Ukuran 103x103 ..……………………………………………………………

Tabel 4.3 Persamaan Produksi …………………….…………………………..

Tabel 4.4 Persamaan Ekspor dan Impor ………….…………………………..

Tabel 4.5 Persamaan Modal …………………………………………………..

Tabel 4.6 Persamaan Pendapatan …………………….……………………….

Tabel 4.7 Persamaan Pengeluaran …………………………………………….

Tabel 4.8 Persamaan Kliring Pasar ……………………………………………

Tabel 5.1 Skenario Simulasi I dan II ………………………………………….

Tabel 5.2 Skenario Simulasi III ..……………………………………………...

Tabel 5.3 Skenario Simulasi IV ………………………….…………………...

Tabel 5.4 Skenario Simulasi V .........................................................................

Tabel 5.5 Skenario Simulasi VI .......................................................................

Tabel 5.6 Perubahan PDRB dan Pendapatan Rumah Tangga berdasar Peningkatan Investasi Air Minum Perpipaan ……………………....

Tabel 5.7 Perubahan PDRB dan Pendapatan Rumah Tangga berdasar Peningkatan Investasi Air Minum Non Perpipaan …..……………..

Tabel 5.8 Pengaruh Peningkatan Pajak Air Minum Perpipaan terhadap Indikator Ekonomi .............…….…………………………………..

Tabel 5.9 Pertumbuhan Ekonomi dan Distribusi Pendapatan berdasar Skenario Penyediaan Subsidi dari Peningkatan Pajak Air Minum Perpipaan ………………...................................................................

hal

47 50 56 57 69 83 91 92 93 94 96 97 106 106 106 106 107 110 111 114

117

xix

DAFTAR TABEL

Tabel 5.10 Perubahan PDRB dan Pendapatan Rumah Tangga berdasar Penyediaan Subsidi dari Pemerintah Pusat ...............………………

Tabel 5.11 Pertumbuhan Ekonomi dan Distribusi Pendapatan berdasar Skenario Peningkatan Investasi Air Minum Perpipaan 10 Persen dan Penyediaan Subsidi dari Peningkatan Pajak Air Minum Perpipaan...........................................................................................

Tabel 5.12 Pertumbuhan Ekonomi dan Distribusi Pendapatan berdasar Skenario Peningkatan Investasi Air Minum Perpipaan 25 Persen dan Penyediaan Subsidi dari Peningkatan Pajak Air Minum Perpipaan ………………………………………………………….

Tabel 5.13 Pertumbuhan Ekonomi dan Distribusi Pendapatan berdasar Skenario Peningkatan Investasi Air Minum Perpipaan 50 Persen dan Penyediaan Subsidi dari Peningkatan Pajak Air Minum Perpipaan …………………………………………………………..

Tabel 5.14 Pertumbuhan Ekonomi dan Distribusi Pendapatan berdasar Skenario Peningkatan Investasi Air Minum Perpipaan 10 Persen dan Penyediaan Subsidi dari Pusat ..……………………………….

Tabel 5.15 Pertumbuhan Ekonomi dan Distribusi Pendapatan berdasar Skenario Peningkatan Investasi Air Minum Perpipaan 25 Persen dan Penyediaan Subsidi dari Pusat ..……………………………….

Tabel 5.16 Pertumbuhan Ekonomi dan Distribusi Pendapatan berdasar Skenario Peningkatan Investasi Air Minum Perpipaan 50 Persen dan Penyediaan Subsidi dari Pusat ..……………………………….

Tabel 5.17 Rekapitulasi Pertumbuhan Ekonomi Simulasi Peningkatan Investasi Air Minum …….……………………………....................

Tabel 5.18 Rekapitulasi Pertumbuhan Ekonomi Simulasi Subsidi …………..

Tabel 5.19 Rekapitulasi Pertumbuhan Ekonomi Simulasi Investasi Air Minum Perpipaan dan Subsidi dari Peningkatan Pajak Air Minum ……….

Tabel 5.20 Rekapitulasi Pertumbuhan Ekonomi Simulasi Investasi Air Minum Perpipaan dan Subsidi dari Pemerintah Pusat ……………………..

Tabel 5.21 Rekapitulasi Distribusi Pendapatan Simulasi Peningkatan Investasi Air Minum ………………………………………………………….

hal

119 121 123 125 127 129 131 133 138 144 145 146

xx

DAFTAR TABEL

Tabel 5.22 Rekapitulasi Dampak Subsidi terhadap Distribusi Pendapatan .......

Tabel 5.23 Rekapitulasi Distribusi Pendapatan Simulasi Investasi Air Minum Perpipaan dan Subsidi dari Peningkatan Pajak Air Minum .............

Tabel 5.24 Rekapitulasi Distribusi Pendapatan Simulasi Investasi Air Minum Perpipaan dan Subsidi dari Pemerintah Pusat ..................................

Tabel 5.25 Rekapitulasi Pertumbuhan Pro Poor ...............................................

hal

149 152

153

156

xxi

DAFTAR GAMBAR

Gambar 2.1 PDRB DKI Jakarta 2000-2003 Harga Konstan 1993 …………...

Gambar 2.2 Pertumbuhan PDRB/Kapita DKI Jakarta Harga Konstan 1993 Tahun 1996-2002 ………………………………………………..

Gambar 2.3 Penyebaran Penduduk Miskin DKI Jakarta Tahun 1996, 2000, 2003 …...........................................................................................

Gambar 2.4 Distribusi Pendapatan DKI Jakarta 2000 ……………………......

Gambar 2.5 Produksi dan Air Terjual PAM Jaya 1993-1997 ………………..

Gambar 2.6 Penerimaan dan Biaya Operasional PAM Jaya 1993-1997 ……..

Gambar 2.7 Jumlah Sambungan PAM Jaya 1993-1997 ……………………..

Gambar 2.8 Sistem Jaringan Pipa Distribusi Air Minum DKI Jakarta ……….

Gambar 2.9 Distribusi Air Minum Nonperpipaan dari Sumber Air Minum Perpipaan Tahun 2005 …………………………………………..

Gambar 3.1 Pengaruh Ketersediaan Air Minum terhadap Beragam Dimensi Kemiskinan ……………………………………………………...

Gambar 3.2 Jalur Utama Penularan Penyakit melalui Air …………………....

Gambar 3.3 Kebijakan, Pertumbuhan, Perubahan Distribusi dan Penurunan Kemiskinan …………………………………................................

Gambar 4.1 Struktur Dasar Model CGE ............................................................

Gambar 4.2 Teknologi Produksi …..………………………………………….

Gambar 4.3 Aliran Komoditas yang Dipasarkan ……………………………..

Gambar 4.4 Struktur Fungsi Sektor Produksi ………………………………...

Gambar 4.5 Struktur Fungsi Konsumsi ……………………………………....

Gambar 4.6 Keterkaitan Antarsektor dalam Wilayah ………………………...

Gambar 4.7 Struktur Fungsi Sektor Produksi ………………………………...

Gambar 5.1 Bagan Alir Skenario Simulasi ..........................…………………..

Gambar 5.2 Bagan Alir Simulasi .......................................................................

hal

15

16

18

20

24

24

25

25

33

55

58

63

70

71

75

77

81

88

90

105

108

xxii

DAFTAR GAMBAR

Gambar 5.3 Pertumbuhan Ekonomi dan Rasio Gini Skenario Peningkatan Investasi Air Minum Perpipaan ..………………………………..

Gambar 5.4 Peningkatan Pendapatan per Kapita Skenario Peningkatan Investasi Air Minum Perpipaan .........................…………..........

Gambar 5.5 Pangsa Pendapatan per Kelompok RT Miskin Skenario Peningkatan Investasi Air Minum Perpipaan ................................

Gambar 5.6 Pertumbuhan Ekonomi dan Rasio Gini Skenario Peningkatan Pajak Air Minum Perpipaan Bersumber dari Pajak ………….......

Gambar 5.7 Perubahan Pendapatan RT berdasar Skenario Peningkatan Pajak Air Minum Perpipaan.................................…………..…………..

Gambar 5.8 Pertumbuhan Ekonomi Skenario Subsidi dari Peningkatan Pajak Air Minum Perpipaan ..................................................................

Gambar 5.9 Rasio Gini Skenario Subsidi dari Peningkatan Pajak Air Minum Perpipaan ……………..………………………………………….

Gambar 5.10 Perubahan Pendapatan RT berdasar Penyediaan Subsidi dari Peningkatan Pajak Air Minum ......................................................

Gambar 5.11 Pertumbuhan Ekonomi Skenario Subsidi dari Pemerintah Pusat .

Gambar 5.12 Rasio Gini Skenario Subsidi dari Pemerintah Pusat .................….

Gambar 5.13 Pertumbuhan Pendapatan RT/Kapita berdasar Skenario Subsidi dari Pemerintah Pusat ....................................................................

Gambar 5.14 Pertumbuhan Ekonomi Skenario Investasi (10%) dan Subsidi dari Peningkatan Pajak Air Minum Perpipaan …………..............

Gambar 5.15 Rasio Gini Skenario Investasi (10%) dan Subsidi dari Peningkatan Pajak Air Minum Perpipaan ………..……………...

Gambar 5.16 Perubahan Pendapatan RT/Kapita Skenario Investasi (10%) dan Subsidi dari Peningkatan Pajak Air Minum .....................……...

Gambar 5.17 Pertumbuhan Ekonomi Skenario Investasi (25%) dan Subsidi dari Peningkatan Pajak Air Minum Perpipaan ……………..........

Gambar 5.18 Rasio Gini Skenario Investasi (25%) dan Subsidi dari Peningkatan Pajak Air Minum Perpipaan ………..………......….

Gambar 5.19 Pertumbuhan Pendapatan RT/Kapita Skenario Investasi (25%) dan Subsidi dari Peningkatan Pajak Air Minum .…………..........

hal

110

110

110 112

112

117

117

117

119

119

119

121

121

121

123

123 123

xxiii

DAFTAR GAMBAR

Gambar 5.20 Pertumbuhan Ekonomi Skenario Investasi (50%) dan Subsidi dari Peningkatan Pajak Air Minum Perpipaan ..............................

Gambar 5.21 Rasio Gini Skenario Investasi (50%) dan Subsidi dari Peningkatan Pajak Air Minum Perpipaan ………..………..…….

Gambar 5.22 Pertumbuhan Pendapatan RT/Kapita berdasar Skenario Investasi (50%) dan Subsidi dari Peningkatan Pajak Air Minum .…………

Gambar 5.23 Pertumbuhan Ekonomi Skenario Investasi (10%) dan Subsidi dari Dana Pemerintah Pusat ...........................................................

Gambar 5.24 Rasio Gini Skenario Investasi (10%) dan Subsidi dari Dana Pemerintah Pusat ………..……………………………………...

Gambar 5.25 Pertumbuhan Pendapatan RT/Kapita berdasar Skenario Investasi (10%) dan Subsidi dari Dana Pemerintah Pusat .………………

Gambar 5.26 Pertumbuhan Ekonomi Skenario Investasi (25%) dan Subsidi dari Dana Pemerintah Pusat ………………………………...........

Gambar 5.27 Rasio Gini Skenario Investasi (25%) dan Subsidi dari Dana Pemerintah Pusat ………..……………………………………...

Gambar 5.28 Pertumbuhan Pendapatan RT/Kapita berdasar Skenario Investasi (25%) dan Subsidi dari Dana Pemerintah Pusat ………………...

Gambar 5.29 Pertumbuhan Ekonomi Skenario Investasi (50%) dan Subsidi dari Dana Pemerintah Pusat ………………………………...........

Gambar 5.30 Rasio Gini Skenario Investasi (50%) dan Subsidi dari Dana Pemerintah Pusat ………..……………………………………...

Gambar 5.31 Pertumbuhan Pendapatan RT/Kapita berdasar Skenario Investasi (50%) dan Subsidi dari Dana Pemerintah Pusat ………………...

Gambar 5.32 Dampak Investasi Air Minum terhadap Pertumbuhan Ekonomi ...

Gambar 5.33 Keterkaitan Investasi Air Minum dengan Pertumbuhan Ekonomi dan Distribusi Pendapatan (Simulasi I dan II) ...............................

Gambar 5.34 Dampak Subsidi terhadap Pertumbuhan Ekonomi .......................

Gambar 5.35 Keterkaitan Peningkatan Pajak Air Minum Perpipaan dengan Distribsui Pendapatan dan Pertumbuhan Ekonomi ......................

hal

125

125

125

127

127

127

129

129 129

131

131

131

133

137

138 139

xxiv

DAFTAR GAMBAR

Gambar 5.36 Keterkaitan Peningkatan Pajak Air Minum Perpipaan yang Dialokasikan untuk Subsidi dengan Distribusi Pendapatan dan Pertumbuhan Ekonomi (Simulasi III) ............................................

Gambar 5.37 Keterkaitan Peningkatan Transfer Dana Pusat yang Dialokasikan untuk Subsidi terhadap Pertumbuhan Ekonomi serta Distribusi Pendapatan (Simulasi IV) ..............................................................

Gambar 5.38 Keterkaitan Peningkatan Investasi Air Minum Perpipaan dan Subsidi terhadap Pertumbuhan Ekonomi serta Distribusi Pendapatan (Simulasi V - VI) ........................................................

Gambar 5.39 Dampak Investasi 10% dan Subsidi dari Pajak Air Minum terhadap Pertumbuhan Ekonomi …………………………...…….

Gambar 5.40 Dampak Investasi 25% dan Subsidi dari Pajak Air Minum terhadap Pertumbuhan Ekonomi …………………………..…….

Gambar 5.41 Dampak Investasi 50% dan Subsidi dari Pajak Air Minum terhadap Pertumbuhan Ekonomi ……………………………..….

Gambar 5.42 Dampak Investasi 10% dan Subsidi dari Pusat terhadap Pertumbuhan Ekonomi ………………………..............................

Gambar 5.43 Dampak Investasi 25% dan Subsidi dari Pusat terhadap Pertumbuhan Ekonomi …………………………………..............

Gambar 5.44 Dampak Investasi 50% dan Subsidi dari Pusat terhadap Pertumbuhan Ekonomi …………………………………..............

Gambar 5.45 Dampak Investasi Air Minum terhadap Distribusi Pendapatan .....

Gambar 5.46 Dampak Subsidi dari Pajak Air Minum Perpipaan terhadap Distribusi Pendapatan ....................................................................

Gambar 5.47 Dampak Subsidi dari Pemerintah Pusat terhadap Distribusi Pendapatan .....................................................................................

Gambar 5.48 Dampak Investasi Air Minum Perpipaan (10%) dan Subsidi dari Pajak Air Minum Perpipaan terhadap Distribusi Pendapatan .......

Gambar 5.49 Dampak Investasi Air Minum Perpipaan (25%) dan Subsidi dari Pajak Air Minum Perpipaan terhadap Distribusi Pendapatan .......

Gambar 5.50 Dampak Investasi Air Minum Perpipaan (50%) dan Subsidi dari Pajak Air Minum Perpipaan terhadap Distribusi Pendapatan .......

hal

141

141 141 144 144 144 145 145 145 146 150 150 152 152 152

xxv

DAFTAR GAMBAR

Gambar 5.51 Dampak Investasi Air Minum Perpipaan (10%) dan Subsidi dari Pemerintah Pusat terhadap Distribusi Pendapatan ........................

Gambar 5.52 Dampak Investasi Air Minum Perpipaan (25%) dan Subsidi dari Pemerintah Pusat terhadap Distribusi Pendapatan ........................

Gambar 5.53 Dampak Investasi Air Minum Perpipaan (50%) dan Subsidi dari Pemerintah Pusat terhadap Distribusi Pendapatan .......................

Gambar 5.54 Pertumbuhan Pro Poor Simulasi Investasi Air Minum Perpipaan dan Subsidi .....................................................................................

hal 153 153 153 154

xxvi

DAFTAR KOTAK

hal Kotak 4.1 Hukum Walras …………………………………………………….. 67

xxvii

DAFTAR SINGKATAN ADB = Asian Development Bank

APF = Aggregate Production Function

Bappenas = Badan Perencanaan Pembangunan Nasional

BBM = Bahan Bakar Minyak

BOT = Build Operate Transfer

Bodetabek = Bogor, Depok, Tangerang, Bekasi

BPS = Badan Pusat Statistik

CES = Constant Elasticity of Substitution

CET = Constant Elasticity of Transformation

CGE = Computable General Equilibrium

CPI = Costumer Price Index

DKI = Daerah Khusus Ibukota

FOC = First Order Condition

FGT = Foster-Greer-Thorbecke

HU = Hidran Umum

KK = Kepala Keluarga

LES = Linear Expenditure System

LSM = Lembaga Swadaya Masyarakat

MCK = Mandi, Cuci, Kakus

MDG = Millenium Development Goals

MPS = Marginal Propensity to Save

PAM Jaya = Perusahaan Air Minum Jakarta Raya

PDAM = Perusahaan Daerah Air Minum

PDB = Produk Domestik Bruto

PDRB = Produk Domestik Regional Bruto

PP = Peraturan Pemerintah

PPD-PSE = Program Penanggulangan Dampak Pengurangan

Subsidi Energi

PT = Perusahaan Terbatas

xxviii

PTO = Penyesuaian Tarif Otomatis

ROW = Rest of the World

RT = Rumah Tangga

SAM = Social Accounting Matrix

SE-AB = Subsidi Energi-Air Bersih

SIPAS = Sistem Penyediaan Air Bersih Sederhana

SNSE = Sistem Neraca Sosial Ekonomi

TA = Terminal Air

TFP = Total Factor Production

TK = Tenaga Kerja

TPJ = Thames Pam Jaya

UGM = Universitas Gajah Mada

USD = United State Dollar

VA = Value Added

WHO = World Health Organization

WTP = Water Treatment Plant

1

BAB I

PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

Memasuki Milenium baru, hampir setengah dari total penduduk dunia

bertempat tinggal di daerah perkotaan1. Percepatan pertambahan penduduk perkotaan

melampaui kemampuan pemerintah dalam menyediakan kebutuhan dasar penduduk.

Akibatnya, sejumlah penduduk mengalami kesulitan mendapatkan kebutuhan dasar

untuk perumahan, air minum2, sanitasi, kesehatan, pekerjaan dan pendidikan.

Mendekati 1,3 miliar penduduk dunia di negara berkembang, mayoritas penduduk

miskin, kekurangan akses terhadap kecukupan air.

Dampak ketidakcukupan air dan sanitasi terutama dirasakan oleh penduduk

miskin. Akibat kualitas air minum yang tidak memadai, penduduk miskin kota

menanggung dampak berupa berjangkitnya penyakit diare dan kolera3 yang

mengharuskan mereka mengeluarkan dana untuk obat dan perawatan medis. Lebih

lanjut, hal itu mengakibatkan anak-anak tidak sekolah, dan orang dewasa kehilangan

waktu kerja. Akibatnya, selain berdampak pada besarnya pengeluaran untuk membeli

air, kurangnya akses ke air minum yang memadai, aman, terjangkau juga berdampak

langsung pada penghidupan dan pendapatan penduduk miskin kota4.

1 Pada tahun 2015, penduduk perkotaan akan bertambah dua kali lipat sehingga mencapai 3,5 miliar penduduk. Selain itu, 1 dari 5 penduduk akan berlokasi di kota besar berpenduduk lebih dari 10 juta dibanding 1 dari 9 saat ini (Dasgupta, 2002) Sementara sekitar 95 persen dari pertambahan penduduk perkotaan tersebut akan berlokasi di negara berkembang dan separuhnya merupakan penduduk miskin, serta bertempat tinggal di daerah kumuh (Annez, 1996). 2 Definisi air minum yang dipergunakan adalah air minum rumah tangga baik yang langsung dapat diminum maupun yang masih perlu diolah, yang berasal dari sumber yang aman dari pencemaran.Pengertian air minum disini sama dengan istilah air bersih yang sering dipergunakan ditambah dengan air yang langsung bias diminum tetapi tidak termasuk air kemasan maupun air isi ulang. 3 Diperkirakan 10 ribu penduduk meninggal setiap hari disebabkan penyakit terkait air dan sanitasi dan ribuan lainnya menderita. 4 Penghidupan dan pendapatan penduduk diartikan sebagai kemampuan terlibat dalam kegiatan menghasilkan uang, pendapatan dari kegiatan tersebut, dan pengeluaran yang ditimbulkannya.

2

Ketika penduduk termiskin tidak mendapat akses ke air sistem perpipaan, air

dari penyedia air minum skala kecil (small scale water provider) atau air

nonperpipaan5 menjadi alternatifnya. Besarnya tarif air minum nonperpipaan

mengakibatkan biaya yang dikeluarkan menjadi jauh lebih mahal, sehingga

ketidaktersediaan air minum menjadi salah satu penentu utama tingkat kemiskinan bagi

sebagian besar rumah tangga. Sebagai contoh, Okun (1988) memperkirakan bahwa

rumah tangga miskin yang tidak terlayani oleh sistem perpipaan menghabiskan sekitar

10-30 persen dari pendapatannya untuk kebutuhan air, sementara rumah tangga kaya

umumnya hanya mengeluarkan kurang dari dua persen (Satterwaithe, 1998)6.

Akibatnya, air diperoleh dengan biaya mahal dalam jumlah jauh dari kebutuhan

normal. Jadi, ketika kebutuhan air minum penduduk miskin terpenuhi, mereka terpaksa

membayar dengan harga yang jauh lebih mahal7.

Hal ini kemudian berujung pada penurunan kualitas hidup, pengurangan

produktivitas, penambahan beban biaya kesehatan, dan polusi lingkungan yang tak

terhindarkan. Keseluruhannya mengarah pada peningkatan kemiskinan di perkotaan.

Diperkirakan pada tahun 2010 penduduk miskin perkotaan mencapai sekitar 47 persen

dari total penduduk miskin Indonesia, meningkat dari sekitar 38 persen pada tahun

2000 (Dasgupta, 2002).

Segala keuntungan dari keberadaan kota menjadi terhalangi oleh merebaknya

kemiskinan di perkotaan. Mexico City, Beijing, dan Jakarta merupakan contoh nyata

dengan permasalahan tidak memadainya akses air minum, khususnya bagi penduduk

miskin (Black, 1996). Kondisi ini mempengaruhi langsung sebagian penduduk, tetapi

pada akhirnya secara tidak langsung dapat berdampak pada keseluruhan kota.

5 Secara umum disepakati bahwa kegiatan yang dapat dikategorikan sebagai penyedia air minum skala kecil ketika (i) melaksanakan kegiatan dengan menggunakan pegawai dalam jumlah kecil; (ii) melaksanakan kegiatan berdasar prinsip pemulihan biaya dan orientasi keuntungan; (iii) menggunakan modal sendiri tanpa bantuan dari pemerintah dan LSM; (iv) menyediakan air minum merupakan kegiatan utamanya (Conan, 2002). 6Pada negara industri, pengeluaran air berkisar 0,5 sampai dua persen dari pendapatan rata-rata (1,3 persen di Jerman dan Belanda, 1,2 persen di Perancis) dan air minum dianggap mahal ketika pengeluaran melampaui tiga persen dari pendapatan rata-rata penduduk (Water Academy, 2004). 7 Sebagai gambaran, berdasar data Water Supply and Sanitation Collaborative Council (1999), tarif penjaja air keliling pada beberapa kota besar di negara berkembang mencapai sekitar 5 sampai 20 kali dari tarif air minum perpipaan.

3

Kemampuan mengatasi kondisi ini akan menentukan kelangsungan kota dan

perekonomian. Hal ini didasari pada pertimbangan dampak utama pengurangan

kemiskinan di perkotaan tidak hanya pada penduduk miskin, tetapi terjadi juga pada

keseluruhan penduduk kota, dalam hal (i) mengurangi ketimpangan sosial, (ii)

menghindari masalah lingkungan dan kesehatan skala besar, (iii) mendorong

pembangunan ekonomi lokal, (iv) membantu pertumbuhan ekonomi nasional.

Ketimpangan sosial dapat mengarah pada ketegangan sosial yang bermuara pada

benturan antarkelompok. Masalah kesehatan dan lingkungan pada daerah kumuh dapat

berdampak pada keseluruhan kota seperti merebaknya diare, kolera, demam berdarah.

Ketidakcukupan air dan sanitasi dapat berdampak pada penurunan kualitas air

permukaan dan air tanah dangkal. Perkembangan ekonomi lokal dapat membantu

meningkatkan kondisi kehidupan penduduk miskin sehingga mendukung produktifitas

dan pertumbuhan ekonomi. Perkembangan kota yang baik akan mendorong terjadinya

pertumbuhan ekonomi nasional, karena kota berfungsi sebagai pusat pertumbuhan

(Baharoglu, 2000)

Jakarta sebagai salah satu kota yang dalam waktu dekat akan menjadi

megacity8, juga mengalami masalah dengan akses air minum, khususnya bagi penduduk

miskin. Meningkatnya urbanisasi menyebabkan peningkatan kebutuhan layanan

infrastruktur termasuk air minum. Pada tahun 1996, sebelum privatisasi penyediaan air

minum9, cakupan pelayanan air minum di Jakarta mencapai 41 persen dengan tingkat

kebocoran 57 persen dan penggunaan air tanah berlebihan. Setelah empat tahun

privatisasi (2002), mengabaikan banyaknya keluhan terhadap kualitas dan kuantitas

pelayanan, kedua operator telah mencapai perkembangan yang nyata. Pelayanan telah

bertambah menjadi 44 persen di bagian barat, dan 62 persen di bagian timur, yang

secara keseluruhan mencapai 52,4 persen untuk seluruh Jakarta.

8 Megacity didefinisikan sebagai metropolitan dengan penduduk lebih dari 10 juta. 9 Pada tahun 1998, PT. Palyja (Ondeo) dan PT. TPJ (Thames International, RWE) mendapatkan kontrak konsesi penyediaan air minum di Jakarta. Jakarta dibagi dalam 2 (dua) wilayah yaitu PT Palyja bertanggungjawab untuk pengembangan dan pengelolaan air minum di bagian Barat, dan PT. TPJ di bagian timur.

4

Tabel 1.1 Cakupan Layanan Air Minum di Jakarta Tahun 2002 (dalam persen)

Terlayani Air Perpipaan

Tak Terlayani Air Perpipaan Total

Tidak Miskin 39,7 36,9 76,6 Miskin 12,7 10,7 23,4 Total 52,4 47,6 100,0

Sumber: Anwar (2003)

Keberhasilan peningkatan cakupan tersebut masih menyisakan proporsi sekitar

10,7 persen penduduk miskin yang belum terlayani oleh air perpipaan. Penduduk

miskin yang tidak terlayani oleh air perpipaan menggunakan beragam bentuk pelayanan

air minum untuk memenuhi kebutuhannya, diantaranya berupa sumur dangkal, air

tanah dalam, kran umum, penjaja keliling, sebagian penduduk menjual air ke

tetangganya, truk air, dan air kemasan isi ulang.

Kondisi ini perlu mendapat perhatian karena ternyata sebagian besar penduduk

miskin menggunakan sumur tidak terlindungi dan fasilitas umum yang merupakan

sumber pencemaran dan terjangkitnya wabah diare dan kolera. Selain itu, penduduk

miskin yang tidak terlayani membeli air dengan harga jauh lebih mahal sampai 15 kali

tarif air perpipaan (Anwar, 2003).

Ketika tidak segera ditanggulangi, kondisi ini akan berdampak pada semakin

terperangkapnya penduduk dalam kemiskinan, yang selanjutnya dapat berdampak tidak

hanya pada penduduk miskin, tetapi berdampak juga pada seluruh penduduk kota

dalam berbagai bentuk.

Teori sederhana dan bukti empiris menunjukkan bahwa pengurangan

kemiskinan dapat dicapai melalui percepatan pertumbuhan ekonomi dan/atau

perubahan distribusi pendapatan. Ravallion (2001), melalui studi antarnegara,

menunjukkan bahwa peningkatan satu persen pendapatan rata-rata rumah tangga atau

konsumsi menghasilkan penurunan kemiskinan yang bervariasi antara 0,6 persen

5

sampai 3,5 persen. Ketika pertumbuhan ekonomi menghasilkan penurunan kemiskinan,

pertumbuhan tersebut disebut pro-poor.10

Berkaitan dengan permasalahan kemiskinan perkotaan yang terkait dengan

masih rendahnya ketersediaan air minum bagi penduduk miskin DKI Jakarta, dan

investasi air minum yang secara teori dan empiris dapat berdampak pada

penanggulangan kemiskinan, disertasi ini berusaha menjawab pertanyaan apakah

investasi air minum di DKI Jakarta menghasilkan pertumbuhan pro-poor sehingga

dapat dijadikan salah satu bagian dari kebijakan penanggulangan kemiskinan

khususnya di perkotaan.

1.2 Masalah Penelitian

Perkembangan perkotaan dunia dan Indonesia menunjukkan perubahan yang

pesat. Dalam waktu singkat jumlah penduduk perkotaan meningkat tajam, bahkan

dalam waktu tidak lama lagi proporsi penduduk perkotaan akan melampaui penduduk

perdesaan. Diperkirakan pada tahun 2010, proporsi penduduk perkotaan Indonesia akan

mencapai 54,2 persen, meningkat dari sekitar 35 persen (1990) dan 42 persen (2000)

(Bappenas, 2005). Kondisi itu berdampak pada menurunnya kualitas lingkungan

perkotaan, diantaranya berupa tidak terpenuhinya kebutuhan air minum. Sebagian

terbesar penduduk yang tidak terlayani adalah penduduk miskin.

Telah menjadi kesepakatan bahwa peningkatan akses air minum dapat menjadi

jalan menuju penanggulangan kemiskinan. Investasi yang ditanamkan di sektor air

minum dapat memicu pertumbuhan ekonomi yang bersifat pro-poor. Pertumbuhan

ekonomi yang terjadi mengurangi kesenjangan pendapatan dan kemiskinan.

Dikaitkan dengan kondisi Jakarta, investasi air minum yang bersifat pro-poor

merupakan suatu keniscayaan, dengan berbagai pertimbangan di antaranya (i) tingkat

10 Terdapat dua definisi pertumbuhan pro-poor. Pada konsep pertama, pertumbuhan pro-poor terjadi ketika pendapatan penduduk miskin meningkat lebih cepat dari penduduk tidak miskin. Sementara konsep kedua menyatakan bahwa pertumbuhan pro-poor terjadi ketika jumlah absolut penduduk miskin berkurang (Vos, 2005). Dapat disimpulkan bahwa perbedaan mendasar hanya pada fokusnya yaitu (i) konsep pertama pada kesenjangan (White dan Anderson, 2000), (Kakwani dan Pernia, 2000) dan (ii) konsep kedua pada kemiskinan (Ravallion dan Chen, 2003).Studi ini menggunakan definisi pertama.

6

urbanisasi yang mengarah pada peningkatan jumlah penduduk miskin masih relatif

tinggi, (ii) proporsi penduduk miskin yang belum terlayani oleh air minum masih cukup

besar. Oleh karena itu, pertanyaan yang mengemuka adalah (i) apakah investasi air

minum perpipaan di DKI Jakarta telah memicu pertumbuhan ekonomi yang bersifat

pro-poor, (ii) apakah investasi air minum nonperpipaan di DKI Jakarta memicu

pertumbuhan ekonomi pro-poor, (iii) apakah subsidi pemerintah dalam penyediaan air

minum di DKI Jakarta memicu pertumbuhan ekonomi pro-poor.

1.3 Tujuan dan Hipotesis Penelitian

Tujuan umum dari studi ini adalah menjawab pertanyaan apakah investasi air

minum di DKI Jakarta sudah bersifat pro-poor yang ditunjukkan oleh terjadinya

pertumbuhan yang mengurangi kesenjangan.

Tujuan khusus dari studi adalah (i) mengembangkan model komputasi

keseimbangan umum air minum, (ii) menganalisis dampak investasi air minum

perpipaan terhadap pertumbuhan ekonomi dan distribusi pendapatan, (iii) menganalisis

dampak penyediaan air minum nonperpipaan terhadap pertumbuhan ekonomi dan

distribusi pendapatan, (iv) menganalisis dampak penyediaan subsidi air minum bagi

rumah tangga berpendapatan rendah, dan (v) memberikan rekomendasi kebijakan

pembangunan air minum di DKI Jakarta.

Secara teoritis, terdapat empat faktor pertumbuhan, yaitu sumber daya manusia,

sumber daya alam, pembentukan modal, dan teknologi (Nordhaus, 2004). Oleh karena

itu, investasi infrastruktur, termasuk air minum yang berupa penambahan modal,

merupakan salah satu penyumbang pertumbuhan ekonomi.

Secara empiris, terdapat banyak studi yang membuktikan kebenaran pengaruh

positif investasi infrastruktur, termasuk air minum, terhadap pertumbuhan ekonomi. (i)

Barro (1995) menyatakan bahwa pertumbuhan ekonomi jangka panjang tergantung

pada langkah pemerintah dalam penyediaan infrastruktur. (ii) studi Bank Dunia pada 63

negara berkembang menunjukkan bahwa penambahan satu persen stok infrastruktur

berkorelasi dengan pertumbuhan satu persen PDB. (iii) Canning (1999), dan

Demetriades dan Mamuneas (2000) melaporkan kontribusi output yang signifikan dari

infrastruktur. (iv) Stephen Yeaple dan Stephen S. Golub (2002) menyimpulkan bahwa

7

penambahan kapasitas pelayanan infrastruktur sebesar satu persen akan meningkatkan

nilai produktivitas faktor total (TFP) sebesar 0,12. (v) Estache dkk (2002) menunjukkan

bahwa penambahan stok infrastruktur sebesar 10 persen menghasilkan peningkatan

Produk Domestik Bruto (PDB) sebesar 1,5 persen. (vi) Kajian Pusat Studi Transportasi

dan Logistik UGM (2003) menunjukkan bahwa investasi infrastruktur meningkatkan

pertumbuhan ekonomi dan meningkatkan pemerataan. (vii) Kajian Bappenas (2004)

menunjukkan bahwa penambahan kapasitas pelayanan infrastruktur memberikan

dampak positif pada perekonomian nasional.

Sementara kajian WHO (2004) melalui the Swiss Tropical Institute

menyimpulkan bahwa investasi air minum dan sanitasi sebesar USD.1 akan

memberikan pengembalian sebesar antara USD.3 sampai USD.34, bergantung pada

lokasinya. Selain itu, beberapa analisis terbaru menunjukkan bahwa pengelolaan air

berada pada peringkat kedua terbesar dalam investasi infrastruktur bagi kebangkitan

ekonomi (Tan, 2000).

Debat kaitan antara pertumbuhan pendapatan per kapita dan kesenjangan

diprakarsai oleh Kutznets (1955) yang menemukan bahwa terdapat hubungan U

terbalik antara pendapatan dan kesenjangan berdasar penelitian antarnegara.

Pertumbuhan terjadi dahulu, kesenjangan melebar, lalu kemudian kesenjangan menurun

(Anand dan Kanbur, 1993).

Di pihak lain, literatur empiris terkini, seperti oleh Deininger dan Squire

(1996), Chen dan Ravallion (1997), Easterly (1999), dan Dollar dan Kraay (2002),

seluruhnya menyatakan bahwa pertumbuhan tidak mempunyai dampak pada

kesenjangan (World Bank Poverty Net).

Pada kenyataannya, perbedaan pendapat tentang kaitan pertumbuhan dan

kesenjangan lebih terlihat pada literatur teoritis, sementara literatur empiris secara

seragam menyatakan bahwa pertumbuhan tidak mempunyai dampak sistematik pada

kesenjangan.

Perdebatan ini juga kemudian makin kontroversial ketika penyediaan air

minum diserahkan pada swasta. Meskipun pengamatan secara internasional

menunjukkan secara umum dampak privatisasi menguntungkan (Kikeri dan Nellis,

8

2001; Megginson dan Netter, 2001; Shirley dan Walsh, 2001), dampaknya di negara

berkembang tetap kontroversial (Parker, 2003).

Debat tentang peran swasta dalam penyediaan air minum telah berlangsung

lama, sebagian mendukung dan selebihnya menentang. Pihak pendukung menyatakan

privatisasi meningkatkan efisiensi (misalnya tingkat kebocoran air menurun dan

tagihan macet berkurang), dan mendorong bertambahnya investasi. Pihak penentang

menyatakan bahwa swasta hanya mementingkan keuntungan dengan mengabaikan

kesejahteraan dan meningkatkan tarif tanpa mempedulikan kualitas layanan.

Jika dikaitkan dengan pembangunan air minum di DKI Jakarta yang sejak tahun

1997 dilaksanakan oleh swasta melalui skema konsesi, hasilnya telah cukup memadai,

seperti menurunnya tingkat kebocoran dan meningkatnya investasi yang tentunya

mendorong pertumbuhan ekonomi. Di pihak lain, masih banyak penduduk miskin

yang belum terlayani. Hal ini ditengarai oleh tidak tersedianya insentif yang memadai

bagi perusahaan ketika penyediaan air minum diarahkan pada penduduk miskin.

Bahkan, dalam tujuan kerja sama pemerintah dan swasta tersebut tidak secara eksplisit

dicantumkan keberpihakan pada penduduk miskin.

Kondisi ini kemudian mendasari hipotesis pertama dari studi ini yang

menyatakan bahwa peningkatan investasi air minum perpipaan akan meningkatkan

pertumbuhan ekonomi, tetapi sebaliknya akan memperburuk distribusi pendapatan.

Ketidaktersediaan akses air minum yang memadai bagi penduduk khususnya

penduduk miskin, mendorong penduduk mencari alternatif sumber air minum. Salah

satu sumber air minum yang menjadi pilihan bagi penduduk adalah penyedia air

minum skala kecil (small scale water provider). Kebutuhan air minum perpipaan yang

baru menjangkau sekitar 52,4 persen penduduk menjadikan investasi penyedia air

minum skala kecil ini relatif siginifikan walaupun dalam bentuk investasi yang kecil

dan tersebar dalam jumlah yang cukup banyak. Kondisi itu menjadikan investasi air

minum nonperpipaan mendorong pertumbuhan ekonomi. Akan tetapi, karena harga air

minum nonperpipaan relatif besar, bahkan mencapai sekitar 10 sampai 20 kali harga

air minum perpipaan, secara umum porsi pengeluaran penduduk menjadi signifikan.

Pendapatan yang dapat ditabung untuk keperluan lain menjadi jauh berkurang

9

sehingga kesejahteraan penduduk menjadi relatif berkurang. Tentunya pengurangan

kesejahteraan itu menjadi suatu pilihan yang relatif lebih baik ketika pilihan lainnya,

seperti sumur, dan air sungai, berpotensi menyebabkan meningkatnya biaya kesehatan

akibat serangan penyakit yang diakibatkan oleh air (water-borne disease) yang jauh

lebih besar dampaknya.

Dalam memperhatikan kondisi itu, hipotesis kedua dari studi ini menjadi

peningkatan penyediaan air minum nonperpipaan akan meningkatkan pertumbuhan

ekonomi dan memperburuk distribusi pendapatan

Sebagaimana diketahui bahwa dari sisi pengeluaran, penanggulangan

kemiskinan dan redistribusi pendapatan oleh pemerintah dapat dilaksanakan secara

langsung melalui tiga instrumen, yaitu (i) subsidi langsung atau individual yang

ditargetkan pada rumah tangga miskin, (ii) subsidi harga yang berupa pemberian

subsidi harga pada kebutuhan dasar, dan (iii) pengeluaran pemerintah pada

infrastruktur dan layanan publik khususnya kesehatan dan pendidikan, yang

menguntungkan masyarakat miskin (Damuri, 2003).

Ketika ketiadaan akses air minum menjadi salah satu penyebab semakin besarnya

kemiskinan perkotaan, pemerintah dapat melakukan terobosan dengan memberikan

subsidi penyediaan air minum kepada penduduk miskin yang belum memperoleh akses

yang layak.

Secara teoritis, terlepas dari besarnya kemungkinan kebocoran di lapangan,

pemberian subsidi dalam jangka pendek akan sangat membantu dalam meningkatkan

kesejahteraan penduduk miskin. Pengaruh subsidi air minum terhadap pertumbuhan

ekonomi tidak akan sebesar pengaruh investasi air minum, tetapi dampaknya terhadap

kesejahteraan akan signifikan. Hal ini akan memunculkan hipotesis ketiga yaitu subsidi

pemerintah akan menghasilkan pertumbuhan ekonomi dan memperbaiki distribusi

pendapatan.

1.4 Manfaat dan Kontribusi Penelitian Manfaat studi ini adalah memberi pemahaman mendalam mengenai dampak

kebijakan investasi air minum, baik berupa investasi maupun subsidi pemerintah,

terhadap perekonomian daerah khususnya pertumbuhan ekonomi dan distribusi

10

pendapatan. Diharapkan pengambil kebijakan dapat memahami bahwa investasi air

minum bukan sekadar alat pemenuhan kebutuhan dasar, melainkan juga sebagai alat

penanggulangan kemiskinan melalui pembenahan distribusi pendapatan.

Kontribusi utama dari studi ini adalah sebagai berikut.

(i) Pengembangan basis data (data base) SNSE Air Minum DKI Jakarta Tahun 2000.

Basis data ini merupakan pengembangan dari SNSE DKI Jakarta 2000 skala

103x103.

(ii) Pengembangan model komputasi keseimbangan umum air minum DKI Jakarta.

Telah banyak studi yang meneliti dampak investasi infrastruktur dengan

menggunakan model komputasi keseimbangan umum di Indonesia, tetapi belum

terdapat model komputasi kesetimbangan umum yang secara khusus meneliti

dampak investasi air minum di tingkat subnasional.

(iii) Saran dan masukan bagi kebijakan pembangunan air minum DKI Jakarta. Hasil

studi dapat dijadikan sebagai masukan bagi pengembangan kebijakan terkait

dengan pembangunan air minum di DKI Jakarta.

1.5 Pendekatan dan Ruang Lingkup Penelitian

Studi ini menggunakan model komputasi keseimbangan umum (Computable

General Equilibrium). Pemilihan model ini dilakukan dengan mempertimbangkan

kemampuan model untuk menyimulasikan, baik dampak langsung maupun tidak

langsung, dari suatu kebijakan terhadap kondisi ekonomi makro dan kondisi sosial

sehingga akibat suatu kebijakan dapat dievaluasi secara lebih baik dan menyeluruh.

Penerapan model komputasi kesetimbangan umum (CGE) melalui beberapa

tahap, yaitu sebagai berikut.

a. Studi literatur.

Fokus kegiatan awal ini adalah berupa penelusuran penerapan model CGE dalam

analisis perekonomian. Keluaran dari tahapan ini adalah berupa pilihan model

CGE yang berkesesuaian dengan tujuan studi berikut dasar-dasar spesifikasi

model CGE yang akan dikembangkan agar dapat dipergunakan sebagai alat

analisis sesuai dengan tujuan studi ini.

11

b. Pengembangan basis data yang diperlukan.

Data yang akan dipergunakan dalam penelitian ini sebagian besar akan berasal

dari Sistem Neraca Sosial Ekonomi (SNSE) DKI Jakarta Tahun 2000. SNSE ini

kemudian dimodifikasi sesuai dengan kebutuhan studi dengan melakukan (i)

pembagian klasifikasi pada faktor produksi bukan tenaga kerja menjadi dua yaitu

investasi air minum perpipaan (PAM Jaya) dan investasi air minum nonperpipaan

dan investasi lainnya, dan (ii) pemecahan sektor produksi air bersih menjadi dua

yaitu air minum perpipaan (PT. Thames Jaya dan PT. Palyja) dan air minum

nonperpipaan (small scale provider, dan lainnya). SNSE ini kemudian disebut

SNSE Air Minum DKI Jakarta 2000, yang kemudian diverifikasi dengan

menggunakan data-data tambahan seperti data perekonomian DKI Jakarta

(PDRB), data kemiskinan, dan lainnya.

c. Pengembangan model.

Pengembangan model mengadopsi Model Donny Azdan11 dengan melakukan

beberapa perubahan yang mengacu pada perbedaan (i) sumber data yang

dipergunakan. Model Azdan menggunakan basis data SNSE DKI Jakarta Tahun

1993, sementara model pada studi ini menggunakan SNSE DKI Jakarta Tahun

2000, (ii) dampak yang akan dihitung. Model Azdan menjelaskan dampak

perubahan kebijakan harga air minum dan penggunaan air tanah sebagai sumber

air minum terhadap pendapatan rumah tangga, sementara studi ini menjelaskan

pengaruh peningkatan investasi air minum terhadap pertumbuhan ekonomi, dan

distribusi pendapatan, (iii) simulasi kebijakan yang akan dilakukan. Simulasi

model Azdan difokuskan pada aspek harga air minum dan substitusi air tanah.

Sementara model dalam studi ini difokuskan pada investasi air minum perpipaan,

air minum nonperpipaan, dan subsidi pemerintah.

d. Pelaksanaan simulasi.

Terdapat enam simulasi yang dilakukan yaitu sebagai berikut.

(i) peningkatan investasi air minum perpipaan. 11 Azdan, M. Donny. Water Policy Reform in Jakarta, Indonesia: A CGE Analysis. Unpublished Dissertation. The Ohio State University 2001.

12

(ii) peningkatan investasi air minum nonperpipaan.

(iii) peningkatan penyediaan air minum melalui subsidi pemerintah. Dalam

hubungan dengan simulasi (iii), terdapat dua skenario pada simulasi ini,

yaitu (a) sumber subsidi dari peningkatan pajak air minum dan (b) sumber

subsidi dari pemerintah pusat.

(iv) peningkatan investasi air minum perpipaan disertai penyediaan subsidi.

Dalam hubungan dengan simulasi (iv), terdapat dua skenario pada simulasi

ini, yaitu (a) sumber subsidi dari peningkatan pajak air minum perpipaan

dan (b) sumber subsidi dari pemerintah pusat.

Selain itu, khusus untuk simulasi (iii) dan (iv), dilakukan pembedaan hasil

simulasi berdasarkan kelompok penerima subsidi yaitu kelompok penerima

rumah tangga termiskin (RT sangat miskin I) dan kelompok penerima seluruh RT

miskin (kelompok rumah tangga sangat miskin I, sangat miskin II, miskin I, dan

miskin II).

e. Perumusan rekomendasi.

Dalam menindaklanjuti hasil simulasi, beberapa rekomendasi kebijakan dapat

dihasilkan.

Lingkup studi adalah mengkaji dampak investasi air minum, baik perpipaan

maupun nonperpipaan, dan dampak subsidi air minum di DKI Jakarta terhadap

pertumbuhan ekonomi dan distribusi pendapatan. Sebagaimana dipercayai selama ini,

investasi merupakan pemicu terjadinya pertumbuhan ekonomi yang kemudian

diharapkan dapat menjadi alat dalam menanggulangi kemiskinan. Secara harafiah,

ketika penduduk miskin lebih banyak mendapat manfaat jika dibandingkan dengan

yang lainnya dari pertumbuhan ekonomi, pertumbuhan disebut ‘pro-poor’. Selain itu,

untuk dapat disebut pertumbuhan pro-poor, pertumbuhan harus disertai pengurangan

kesenjangan. Dengan kata lain, studi ini akan menguji apakah investasi air minum

mendorong terjadinya pertumbuhan pro-poor. Untuk itu, dampak investasi difokuskan

pada pertumbuhan ekonomi, dan distribusi pendapatan.

1.6 Sistematika Penulisan

Penulisan disertasi ini dibagi dalam enam bagian, yaitu sebagai berikut.

13

Bab I Pendahuluan, yang terdiri dari latar belakang, masalah penelitian, tujuan dan

hipotesis penelitian, manfaat dan kontribusi penelitian, pendekatan dan ruang

lingkup, serta sistematika penulisan

Bab II Kondisi Sektor Air Minum DKI Jakarta, yang menjabarkan kondisi umum

dan perekonomian DKI Jakarta, kebijakan sektor air minum, sumbangan

sektor air minum terhadap perekonomian DKI Jakarta, kondisi pelayanan air

minum praprivatisasi dan pascaprivatisasi DKI Jakarta.

Bab III Penyediaan Air Minum, Pertumbuhan Ekonomi dan Distribusi

Pendapatan, yang memerinci, baik tinjauan teoritis maupun empiris, tentang

penyediaan air minum perpipaan dan nonperpipaan, keterkaitan kemiskinan

perkotaan dan ketersediaan air minum, dampak ketersediaan air minum

terhadap pertumbuhan ekonomi, distribusi pendapatan dan kemiskinan,

keterkaitan pertumbuhan ekonomi, distribusi pendapatan, dan

penanggulangan kemiskinan.

Bab IV Pemodelan Dampak Investasi Air Minum, yang menguraikan SNSE dan

model komputasi keseimbangan umum (termasuk riset terdahulu yang

menggunakan model dan bidang yang sama), menjabarkan proses pemodelan

dampak investasi air minum terhadap pertumbuhan ekonomi, dan distribusi

pendapatan di DKI Jakarta.

Bab V Skenario Kebijakan dan Hasil Simulasi. Pada bagian ini dijelaskan tentang

skenario kebijakan, simulasi, dan hasil simulasi.

Bab VI Kesimpulan dan Rekomendasi. Sebagai bagian akhir diuraikan kesimpulan

studi dan rekomendasi, beberapa kelemahan studi ini, dan kemungkinan studi

lanjutan.

14

Sumber: Situs Pemda DKI

Peta DKI Jakarta

BAB II

KONDISI SEKTOR AIR MINUM DKI JAKARTA

2.1 Gambaran Umum DKI Jakarta 2.1.1 Administrasi Luas DKI Jakarta mencapai 662 km2 dan terbagi dalam 6 wilayah administrasi,

yaitu Jakarta Utara, Jakarta Timur, Jakarta Pusat, Jakarta Selatan, Jakarta Barat, dan

Kepulauan Seribu.

2.1.2 Kependudukan

Penduduk DKI Jakarta pada

tahun 2004 sebanyak 8,72 juta jiwa

dengan tingkat pertumbuhan 1,01

persen per tahun selama periode 2000 –

2004. Laju pertumbuhan penduduk DKI

Jakarta pada periode 1980-1990

mencapai 2,42 persen per tahun, kemu-

dian menurun tajam selama periode

1990-2000 yang menjadi hanya 0,16

persen per tahun. Laju pertumbuhan

periode 2000-2004 relatif lebih besar daripada periode 1990-2000 walaupun masih

lebih kecil daripada pertumbuhan periode 1980-1990.

Jumlah penduduk sangat berbeda antara siang hari dan malam hari. Siang hari

penduduk DKI Jakarta mencapai sekitar 11 juta sebagai akibat banyaknya penduduk

pendatang khususnya asal Bogor-Depok-Tangerang-Bekasi (Bodetabek) yang bekerja

di Jakarta.

Persebaran penduduk DKI Jakarta tahun 2004 relatif tidak merata. Sekitar 28

persen bertempat tinggal di Jakarta Timur, kemudian 23 persen di Jakarta Barat, dan

15

21 persen di Jakarta Selatan. Selebihnya, sekitar 10 persen bertempat tinggal di Jakarta

Pusat dan 0,27 persen di Kepulauan Seribu.

Kepadatan penduduk rata-rata DKI Jakarta tahun 2004 mencapai 13 ribu

jiwa/km2. Jakarta Pusat mempunyai tingkat kepadatan tertinggi (18 ribu jiwa/km2),

sementara daerah lainnya bervariasi antara 9 ribu sampai 15 ribu jiwa/km2.

Tabel 2.1 Jumlah dan Laju Pertumbuhan Penduduk DKI Jakarta Tahun 1980 - 2004

Jumlah Penduduk (Jiwa) Laju Pertumbuhan (%) Kota

1980 1990 2000 2004 1980-1990

1990-2000

2000-2004

Jakarta Utara 981.272 1.369.630 1.444.027 1.423.845 3,39 0,55 -0,36

Jakarta Barat 1.234.885 1.822.762 1.906.385 2.020.030 3,97 0,46 1,50

Jakarta Timur 1.460.068 2.067.222 2.353.023 2.473.200 3,54 1,35 1,27

Jakarta Pusat 1.245.030 1.086.568 893.198 899.460 -1,35 -2,01 0,17

Jakarta Selatan 1.582.194 1.913.084 1.789.006 1.885.785 1,92 -0,69 1,34

Kepulauan Seribu -** -** -** 23.310 -** -** -**

DKI Jakarta 6.503.440 8.259.266 8.385.639 8.725.630 2,42 0,16 1,01 Sumber: BPS DKI Jakarta berbagai tahun Keterangan: ** belum terbentuk

2.2 Kondisi Perekonomian DKI Jakarta

2.2.1 Pangsa dan Pertumbuhan Sektor Ekonomi

Sektor PDRB yang

dominan di DKI Jakarta

pada tahun 2003 berdasar-

kan sumbangannya terhadap

perekonomian adalah Perda-

gangan, Hotel dan Restoran

(24,3 persen); Industri Peng-

olahan (21,1 persen); Keu-

angan, Persewaan, dan Jasa

Perusahaan (22,2 persen). S umber: Tabel 2.2

Gambar 2.1PDRB DKI Jakarta 2000-2003

Harga Konstan 1993 (Rp. Triliun)

0 5 10 15 20

Industri Pengolahan Listrik, Gas dan Air Bersih

Bangunan Perdagangan, Hotel dan Restoran

Pengangkutan dan Komunikasi

Keuangan, Persewaan dan JasaPerusahaan

Jasa-Jasa

2000 2003

16

Gambar 2.2Pertumbuhan PDRB/Kapita DKI Jakarta

Harga Konstan 1993 Tahun 1996-2002

-20.00

-15.00

-10.00

-5.00

0.00

5.00

10.00

96/97 97/98 98/99 99/00 00/01 01/02

Periode

Pers

en

Sementara Listrik, Gas dan Air Bersih hanya menyumbang sebesar 2,2 persen terhadap

total PDRB. Pangsa tersebut relatif stabil jika dibandingkan dengan kondisi tahun

2000.

Pertumbuhan PDRB DKI Jakarta periode 2000-2003, berdasar harga konstan

1993, mencapai sekitar 4,17 persen per tahun. Ada tiga sektor yang pertumbuhannya

relatif tinggi. Sektor Pengangkutan dan Komunikasi mencapai 6,17 persen per tahun.

Sektor Listrik, Gas dan Air Bersih mencapai 5,49 persen per tahun. Kemudian, sektor

Perdagangan, Hotel dan Restoran mencapai 5,1 persen per tahun. Ketiga sektor

tersebut mencapai tingkat pertumbuhan yang lebih tinggi dari pertumbuhan rata-rata

PDRB DKI Jakarta pada periode yang sama.

Tabel 2.2 Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) DKI Jakarta

Tahun 2000 dan 2003 (Berdasar Harga Konstan 1993) dalam Rp. Juta

2000 2003 No

Lapangan Usaha Absolut (%) Absolut (%)

1 Pertanian, Peternakan, Kehutanan 115.742 0,2 107.430 0,2

2 Pertambangan dan Penggalian 0 0 0 0

3 Industri Pengolahan 12.875.191 21,6 14.172.360 21,1

4 Listrik, Gas dan Air Bersih 1.245.846 2,1 1.450.360 2,2

5 Bangunan 6.535.392 10,9 7.068.180 10,5

6 Perdagangan, Hotel dan Restoran 14.166.037 23,7 16.334.370 24,3

7 Pengangkutan dan Komunikasi 5.736.012 9,6 6.797.170 10,1

8 Keuangan, Persewaan dan Jasa Perusahaan 13.285.022 22,3 14.946.130 22,2

9 Jasa-Jasa 5.735.176 9,6 6.286.710 9,4

Total 59.694.418 100,0 67.162.710 100,0

Sumber: BPS, berbagai tahun

Pangsa sektor listrik, gas,

dan air bersih relatif kecil terhadap

total PDRB DKI Jakarta, tetapi laju

pertumbuhannya relatif besar yang

melebihi tingkat pertumbuhan rata-

rata DKI Jakarta.

17

2.2.2 Pendapatan per Kapita

PDRB per Kapita DKI Jakarta Tahun 2002 berdasarkan harga konstan 1993

mencapai sekitar Rp. 7,6 juta. Pertumbuhan PDRB per Kapita me-nunjukkan

peningkatan yang stabil sejak tahun 1999, dengan angka pertumbuhan sekitar 3,08

sampai 3,99 persen per tahun. PDRB per kapita DKI Jakarta berdasarkan harga

konstan 1993 sempat mengalami pertumbuhan negatif sejak krisis ekonomi melanda

Indonesia, dengan pertumbuhan negatif tertinggi mencapai –17,62 persen per tahun

(1998/1999). Walaupun demikian tingkat pertumbuhan beberapa tahun terakhir belum

menyamai tingkat pertumbuhan sebelum krisis. Hal itu selengkapnya dapat dilihat

pada Tabel 2.3.

Tabel 2.3 Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) per Kapita

DKI Jakarta Periode 1996-2002

PDRB/Kapita (Rp.)

Tahun Harga Berlaku

Harga Kons- tan 1993

Pertumbuh-an PDRB/ Kapita*

Periode

1996 9.983.491 7.998.277

1997 11.664.943 8.393.272 4.94 96/97

1998 16.696.695 6.914.252 - 17.62 97/98

1999 19.767.326 6.883.322 - 0.45 98/99

2000 22.425.675 7.095.199 3.08 99/00

2001 26.172.486 7.364.777 3.80 00/01

2002 30.184.176 7.658.911 3.99 01/02 Sumber: BPS DKI Jakarta, 2003 Keterangan: * harga konstan

2.2.3 Tingkat Kemiskinan

Berdasarkan data BPS, jumlah penduduk miskin DKI Jakarta cenderung

meningkat setelah krisis ekonomi. Sebelum krisis ekonomi (tahun 1996), penduduk

miskin mencapai 215 ribu jiwa (tingkat kemiskinan 2,4 persen), kemudian meningkat

menjadi 284,7 ribu jiwa (2,9 persen) pada tahun 2000. Angka ini terlihat tetap

meningkat pada tahun 2003 yaitu 314,7 ribu jiwa dengan tingkat kemiskinan mencapai

3,7 persen.

18

Daerah dengan tingkat kemiskinan yang relatif tinggi melampaui tingkat

kemiskinan rata-rata DKI Jakarta (3,7 persen) adalah Jakarta Utara (9,2 persen),

Jakarta Pusat (5,2 persen), dan Kepulauan Seribu (11,3 persen).

Tabel 2.4 Jumlah Penduduk Miskin DKI Jakarta Tahun 1996, 2000 dan 2003

Jumlah Penduduk Miskin (jiwa) Tingkat Kemiskinan*) (%) Kota

1996 2000 2003 1996 2000 2003 Jakarta Utara 73.300 103.570 129.196 4,6 5,3 9,2 Jakarta Barat 31.500 68.957 59.159 1,4 3,1 3,0 Jakarta Timur 54.100 44.014 55.486 2,2 1,9 2,3 Jakarta Pusat 32.000 37.135 45.333 3,3 3,8 5,2 Jakarta Selatan 24.800 31.033 23.392 1,2 1,5 1,3 Kepulauan Seribu -** -** 2.136 -** -** 11,3 DKI Jakarta 215.700 284.709 314.702 2,4 2,9 3,7 INDONESIA 34.500.000 38.700.000 37.400.000 11,3 19,1 17,4

Sumber: BPS DKI Jakarta, 2004. Keterangan: *) Jumlah Penduduk Miskin dibagi Jumlah Penduduk ( x 100%) **) Belum terbentuk

Penduduk miskin terdistribusi tidak

merata di DKI Jakarta, dengan konsentrasi

terbesar di Jakarta Utara yang mencapai

sekitar 41 persen dari total penduduk mis-

kin. Sementara konsentrasi penduduk mis-

kin di Jakarta Barat, Jakarta Timur dan Ja-

karta Pusat relatif berimbang. Kepulauan

Seribu mempunyai tingkat kemiskinan ter-

tinggi di DKI Jakarta tetapi jumlahnya re-

latif kecil terhadap total jumlah penduduk miskin DKI Jakarta (0,7 persen) (Gambar

2.3). Namun, jumlah penduduk miskin sebagaimana yang dinyatakan oleh BPS masih

jauh lebih rendah jika dibandingkan dengan beberapa angka penduduk miskin dengan

menggunakan indikator yang berbeda.

Indikator lain yang digunakan untuk mengukur kemiskinan perkotaan di

Jakarta adalah jumlah penduduk yang tinggal di kampung atau permukiman liar.

Meskipun tidak semua yang tinggal pada lokasi tersebut miskin, terdapat kecen-

Gambar 2.3

Penyebaran Penduduk Miskin DKI Jakarta Tahun 1996, 2000 dan 2003

0

10

20

30

40

50

Jakarta Utara Jakarta Barat JakartaTimur

Jakarta Pusat JakartaSelatan

KepulauanSeribu

pers

en

1996 2000 2003

19

derungan penduduk miskin berlokasi di permukiman liar dan padat. Dengan meng-

gunakan indikator ini diperkirakan sekitar 20-25 persen penduduk Jakarta dapat dika-

tegorikan sebagai penduduk miskin. Termasuk dalam kategori ini adalah penduduk

yang tinggal di tepi sungai (McCarthy, 2003). Perbedaan angka penduduk miskin pada

dua indikator itu kemungkinan berasal dari banyaknya penduduk yang tidak tercatat

sebagai penduduk DKI Jakarta walaupun kenyataannya mereka bertempat tinggal di

DKI Jakarta.

2.2.4 Distribusi Pendapatan

Data Sistem Neraca Sosial Ekonomi (SNSE) DKI Jakarta Tahun 2000

mengklasifikasikan tingkat pendapatan ke dalam 10 kategori. Pada kategori terendah

dengan tingkat pendapatan dibawah Rp1.691.380,00 per kapita per tahun atau sekitar

Rp.141.000,00 per kapita per bulan12, ternyata proporsi penduduk pada kelompok

tersebut mencapai 1.055.905 jiwa atau 12,6 persen dari total penduduk. Sementara

semakin tinggi golongan pendapatan, semakin kecil proporsi penduduknya.

Tabel 2.5 Distribusi Pendapatan per Kapita DKI Jakarta

Menurut Golongan Rumah Tangga, Tahun 2000

Jumlah Penduduk Pendapatan

rata-rata per Kapita per Tahun

Golongan Rumah Tangga

(Jiwa) (%) (Rp) Golongan I 1.055.905 12,6 1.812.680 Golongan II 1.020.618 12,2 2.784.920 Golongan III 985.015 11,7 3.502.380 Golongan IV 946.080 11,3 5.245.410 Golongan V 849.298 10,1 6.670.050 Golongan VI 792.495 9,4 9.259.470 Golongan VII 735.012 8,8 12.962.420 Golongan VIII 696.575 8,3 16.592.900 Golongan IX 675.782 8,1 22.826.250 Golongan X 628.073 7,5 86.434.400 Total 8.384.853 100 13.950.180

Sumber: BPS DKI Jakarta 2002

12 Tingkat pendapatan penduduk yang diklasifikasikan sebagai penduduk miskin di perkotaan berdasar standar BPS adalah Rp.139.000,00 per kapita per bulan.

20

Gambar 2.4Distribusi Pendapatan DKI Jakarta 2000 (%)

11.1

29.359.6

bawah menengah atas

Rata-rata pendapatan per kapita di DKI Jakarta pada tahun 2000 mencapai

Rp.13.950.180,00 per tahun (berdasarkan harga berlaku) atau sekitar Rp.1.162.515,00

per bulan. Sementara pendapatan rata-rata per kapita antara golongan I dan golongan

X terlihat berbeda jauh. Kesenjangan pendapatan mencapai rasio 1 : 47,7.

Berdasarkan SNSE DKI

Jakarta 2000 ukuran 38x38, penggo-

longan rumah tangga diklasifikasikan

dalam 3 golongan yaitu (i) golongan

bawah yang merupakan 40 persen

rumah tangga dengan pengeluaran

konsumsi paling bawah, (ii) golongan

menengah yang merupakan 40 persen

rumah tangga dengan tingkat penge-

luaran konsumsi di atas rumah tangga

golongan bawah, (iii) golongan atas yang merupakan 20 persen rumah tangga dengan

tingkat konsumsi tertinggi. Disini terlihat bahwa golongan atas yang hanya mencakupi

20 persen dari total penduduk menikmati pendapatan hingga mencapai 59,6 persen.

Sementara golongan bawah dan golongan menengah masing-masing menikmati hanya

sebesar 11,3 persen dan 29,1 persen. Data ini menunjukkan besarnya kesenjangan

pendapatan di DKI Jakarta. Selengkapnya dapat dilihat pada Tabel 2.6.

Tabel 2.6

Distribusi Pendapatan per Kapita DKI Jakarta Menurut Golongan Rumah Tangga, 2000

Jumlah Penduduk Total Pendapatan

Pendapatan per Kapita Golongan

Rumah Tangga (Jiwa) (Rp. Juta) (%) (Rp)

Golongan Bawah 4.007.619 13.168.827 11,3 3.285.948

Golongan Menengah 3.073.380 34.088.680 29,1 11.091.593

Golongan Atas 1.303.854 69.712.680 59,6 53.466.630

Total 8.384.853 116.970.187 100 13.950.177

Sumber: BPS DKI Jakarta, 2000.

21

Berdasarkan kriteria Bank Dunia, jika penduduk golongan bawah yang

merupakan 40 persen rumah tangga dengan pendapatan terendah menerima kurang

dari 12 persen dari jumlah pendapatan, hal itu menunjukkan tingkat ketimpangan yang

tinggi dari distribusi pendapatan. Jika penduduk tersebut menerima antara 12–17

persen, hal itu menunjukkan tingkat ketimpangan yang sedang dari distribusi

pendapatan. Kemudian, jika penduduk tersebut menerima lebih besar dari 17 persen,

hal itu menunjukkan tingkat ketimpangan yang rendah dari distribusi pendapatan.

Setelah memperhatikan kriteria di atas, kita dapat mengatakan bahwa ketimpangan

distribusi pendapatan di DKI Jakarta termasuk dalam kategori tinggi.

Jika diukur dengan menggunakan rasio Gini, besaran rasio Gini DKI Jakarta

pada tahun 2000 mencapai 0,59713 yang menunjukkan ketimpangan distribusi

pendapatan tinggi (BPS DKI Jakarta, 2003).

2.2.5 Kebijakan Sektor Air Minum DKI Jakarta

Sasaran pembangunan air minum DKI Jakarta adalah meningkatkan cakupan

layanan air perpipaan, mengurangi penggunaan air tanah, dan mencapai sistem

distribusi air minum yang merata dan terjangkau.

Kebijakan utama pembangunan air minum DKI Jakarta adalah (i) menyediakan

dan meningkatkan kualitas air baku instalasi pengolah yang ada, (ii) meningkatkan

kapasitas instalasi pengolahan air minum dan jaringan distribusi, (iii) memprioritaskan

daerah padat dan daerah dengan kualitas air tanah jelek, (iv) membenahi koordinasi

diantara institusi terkait untuk melindungi kualitas air baku, dan (v) merehabilitasi

jaringan perpipaan untuk mengurangi kebocoran.

2.2.6 Pola Penyediaan Air Minum di DKI Jakarta

DKI Jakarta dilalui oleh 13 sungai, beberapa kanal dan 11 danau dengan luas

sekitar 111 ha. Beberapa tahun terakhir, penggunaan air permukaan sebagai sumber air

menjadi semakin terbatas14. Air sungai menjadi semakin kotor sehingga hanya

berfungsi sebagai drainase dan pengendali banjir. Walaupun demikian, beberapa

13 Angka rasio Gini ini dihitung menggunakan pendapatan yang dapat dibelanjakan (disposable income). 14 Pemerintah DKI Jakarta mengklasifikasikan penggunaan sungai dalam kategori (i) sumber air minum; (ii) sumber air bersih; (iii) sesuai bagi tempat mancing; (iv) pengendali banjir.

22

bagian sungai masih menjadi sumber air bagi perusahaan air minum. Sumber air

permukaan lainnya yang berupa danau hanya dipergunakan sebagai pengendali banjir

(Argo, 1999).

Pola penyediaan air minum di DKI Jakarta sejak zaman penjajahan Belanda

tidak berubah banyak. Pada zaman Belanda, air minum perpipaan merupakan salah

satu unsur pelayanan publik yang pendistribusiannya berdasar pembedaan

pengelompokan etnis. Permukiman yang mendapat akses air minum merupakan

permukiman elite. Saat ini, penyediaan air minum cenderung memisahkan pengguna

berdasar permukiman legal vs permukiman liar, permukiman mewah vs permukiman

kumuh. Keputusan penyediaan air minum cenderung mengarah pada daerah elite,

permukiman menengah ke atas dan daerah yang terencana baik.

2.3 Perkembangan dan Rencana Pengembangan Penyediaan Air Minum DKI Jakarta

2.3.1 Praprivatisasi Pengelolaan Air Minum DKI Jakarta

A. Perkembangan Awal

Penyediaan air minum DKI Jakarta telah dimulai sejak tahun 1843, yang

bersumber dari sumur dalam di beberapa lokasi. Kemudian, pada tahun 1918,

Pemerintah Belanda meresmikan Water Leidingen Bedriff van Batavia (Local Water

Supply Enterprise of Batavia) untuk mengelola distribusi air perpipaan yang

menggunakan sumber air baku dari sungai. Salah satu maksud pendirian perusahaan

ini adalah memperkenalkan penyediaan air minum yang bersifat egaliter15. Pada tahun

1922 Pemerintah Belanda membangun jaringan pipa dengan kapasitas 484 liter/detik

bersumber dari mata air Ciomas-Ciburial, Bogor. Namun, dalam kenyataannya

penduduk asing mendapat jauh lebih banyak air minum jika dibandingkan dengan

pribumi. Pribumi memperoleh air minum dari sumber hidran dan membayar lebih

mahal (Argo, 2000).

Pada tahun 1953, Instalasi Pengolah Air Pejompongan I dibangun dengan

kapasitas 2.000 liter/detik, kemudian disusul tahun 1964 dengan Water Treatment

Plant (WTP) Pejompongan II dengan kapasitas 3.000 liter/detik. Cakupan pelayanan

15 Pada masa itu, penduduk asing mendapatkan keistimewaan (privilege) untuk mendapatkan air minum.

23

meningkat menjadi 12,5 persen dari total penduduk. Namun, banyak penduduk miskin

yang tidak menggunakan air minum perpipaan karena tidak mampu membayar

sehingga mereka tetap menggunakan sumur dan kanal.

Pada tahun 1968, PDAM Jakarta dipisahkan dari Departemen Pekerjaan Umum

dan menjadi PAM Jaya berdasar Peraturan Pemerintah Daerah No. 3 Tahun 1977.

Sementara pemerintah mulai mempertimbangkan untuk menambah kapasitas

penyediaan air minum bagi penduduk miskin. Pada tahun 1972, Rencana Induk

Pengembangan Air Minum dan Saluran Air Limbah diselesaikan sebagai acuan dalam

meningkatkan sistem penyediaan air minum DKI Jakarta. Rencana Induk tidak

langsung dapat dilaksanakan. Pemerintah DKI Jakarta masih bergantung pada

pemerintah pusat. Pembangunan sebagian besar fasilitas dibiayai pemerintah pusat.

Kemampuan pemerintah kota menyediakan air minum masih tertinggal oleh

kebutuhan penduduk akan air minum. Permintaan air minum dari rumah tangga,

industri, perdagangan semakin meningkat. Akibatnya, sejak tahun 1970-an, volume air

yang diambil dari sungai dan kanal bertambah dengan pesat. Pada saat bersamaan,

sumur pompa mulai dipergunakan. Antara tahun 1968-1975, jumlah sumur dalam

bertambah sebanyak 1.200 yang sekitar 60 persen melayani kebutuhan industri

(Tirtomiharjo, 1996).

Cakupan pelayanan air minum tahun 1975 meningkat menjadi 25 persen dari

total penduduk. Kapasitas produksi meningkat menjadi 2.300 liter/detik. Selanjutnya,

dengan semakin meningkatrnya kebutuhan air minum, dibangunlah WTP Pulogadung

dengan kapasitas 4.000 liter/detik, WTP Buaran dengan kapasitas 5.000 liter/detik.

Beberapa WTP dengan kapasitas kecil juga dibangun sehingga total kapasitas produksi

air minum mencapai 18.000 liter/detik.

Berdasarkan Rencana Induk Pembangunan Air Minum DKI Jakarta, sampai

tahun 2019, tercatat 83 persen penduduk Jakarta akan mendapat akses air minum. Hal

ini berarti bahwa kapasitas produksi harus ditingkatkan menjadi 44.520 liter/detik

dengan asumsi kebutuhan air 185 liter/kapita/hari dan tingkat kehilangan air 25 persen.

24

Gambar 2.6 Penerimaan dan Biaya Operasional PAM Jaya 1993-1997

0

50

100

150

200

250

300

1993 1994 1995 1996 1997

Penerimaan (Rp. M)Biaya operasional (Rp. M)Sisa Penerimaan (Rp. M)

B. Sumber Air Minum Rumah Tangga

Sumber air minum penduduk DKI Jakarta bergantung pada tiga sumber utama

yaitu air perpipaan, air tanah dan penjaja air keliling. Pada kondisi tertentu, banyak

penduduk yang mempunyai lebih dari satu sumber air minum. Pada tahun 1993, porsi

terbesar sebagai sumber utama air minum adalah air tanah (55,7 persen), sementara

porsi air perpipaan dan penjaja air keliling sebagai sumber air minum relatif

berimbang masing-masing 22,6 persen dan 21,7 persen (Cestti, 1994).

C. Produksi Air Perpipaan

Pada tahun 1997, PAM Jaya memiliki

enam instalasi pengolah, tujuh instalasi

kecil dan satu instalasi transmisi mata air.

Kapasitas produksi keseluruhan instalasi

pengolahan mencapai 382 juta m3 tetapi

hanya 191 juta m3 (46 persen) didistri-

busikan, sehingga terdapat 54 persen air

terbuang (non revenue water). Diperkirakan

kebocoran pipa mencapai 40 persen dan

kebocoran karena sambungan liar dan kesa-

lahan penagihan terdapat sekitar 10 persen.

Rata-rata penyaluran air minum hanya

mencapai 9 jam per hari sehingga sebagian

konsumen mengalami kesulitan mendapatkan

air pada jam tertentu (Shofiani, 2003).

Produksi air terus meningkat tetapi

ting-kat kebocoran tidak berubah, yaitu di

sekitar angka 50 persen. Hal ini yang menyebabkan penerimaan bersih PAM Jaya

relatif konstan dari tahun 1993 sampai tahun 1997 pada besaran sekitar 30 miliar

Rupiah walaupun penerimaan kotor PAM Jaya terus meningkat (Azdan, 2001).

Gambar 2.5Produksi dan Air Terjual PAM Jaya 1993-1997

050

100150200250300350400450

1993 1994 1995 1996 1997

Produksi (juta m3) Terjual (juta m3)

25

D. Cakupan Pelayanan Air Perpipaan

Jumlah sambungan domestik tahun 1997 mencapai 426.735 sambungan.

Penduduk yang terlayani mencapai 3,26 juta16 orang atau sekitar 33 persen dari total

penduduk (Shofiani, 2003).

Pada periode tahun 1993-1997 terjadi pertambahan sambungan sebanyak

101.000 sambungan, yang berarti terdapat

pertambahan rata-rata sambungan sebanyak

25.000 sambungan per tahun atau sekitar

7,8 persen per tahun (Azdan, 2001).

Penduduk yang terlayani meningkat

sebanyak 770.000 pada periode 1993-1997,

yang berarti terdapat pertambahan rata-rata

penduduk terlayani sebanyak 195.000 per

tahun.

E. Daerah Pelayanan

Sistem penyediaan air

minum DKI Jakarta mencakup

daerah seluas 316 km2 (1995)

yang berarti 48 persen dari luas

DKI Jakarta.

Daerah pelayanan dibagi

dalam 6 zona teknis (Gambar

2.1). Sistem zona tidak menun-

jukkan sistem distribusi mandiri,

tetapi hanya digunakan sebagai

unit operasi dan manajemen.

PT. Palyja beroperasi pa-

da Zona 1, Zona 4 dan Zona 5

16 Berdasar perhitungan PAM Jaya yang mengasumsikan 1 sambungan melayani 7,6 penduduk.

Gambar 2.8 Sistem Jaringan Pipa Distribusi Air Minum DKI Jakarta

Gambar 2.7 Jumlah Sambungan PAM Jaya 1993-1997

300000

350000

400000

450000

1993 1994 1995 1996 1997

26

(Wilayah Barat DKI Jakarta), sementara PT. Thames Jaya beroperasi pada Zona 2,

Zona 3 dan Zona 6 (Wilayah Timur DKI Jakarta).

F. Layanan Air Minum Nonperpipaan

Penduduk daerah utara dan barat DKI Jakarta, umumnya membeli air dari kran

umum yang dikelola oleh swasta atau penjaja air keliling. Penjaja air keliling

memperoleh air dari kran umum yang dikelola swasta yang tersambung ke sambungan

pipa milik PAM Jaya. Diperkirakan jumlah kran umum yang dikelola swasta tersebut

mencapai 8.000 unit yang melayani sekitar 21,7 persen dari total penduduk pada tahun

1993 (Crane, 1994).

2.3.2 Privatisasi Pengelolaan Air Minum DKI Jakarta

Pada tahun 1995, tingkat pertumbuhan penduduk mencapai 4 persen per tahun

yang mengakibatkan tingginya kebutuhan akan ketersediaan air minum. Di pihak lain,

PAM Jaya hanya dapat menyediakan akses air minum bagi sekitar 42 persen penduduk

atau 340.000 sambungan rumah dan selebihnya menggunakan sumber sumur dalam

dan penjaja keliling. Khusus pelayanan untuk daerah kumuh dan miskin, penyediaan

air minum dilakukan melalui truk tangki, dan kran umum. Kran umum digunakan

untuk beragam keperluan seperti hidran bagi penjaja keliling dan MCK umum.

Untuk mempercepat peningkatan akses, dibutuhkan investasi yang cukup

besar, sementara penerimaan yang ada tidak dapat memenuhi kebutuhan investasi

tersebut. Salah satu alternatifnya adalah melibatkan partisipasi swasta dalam

penyediaan air minum (Tutuko, 2001).

Setelah melalui proses negosiasi selama dua tahun, sejak 1 Februari 1998, PT.

Palyja (Ondeo) dan PT. TPJ (Thames International, RWE) mendapatkan kontrak

konsesi penyediaan air minum di Jakarta. Jakarta dibagi dalam dua wilayah, yaitu PT

Palyja bertanggungjawab untuk pengembangan dan pengelolaan air minum di bagian

barat, dan PT. TPJ di bagian timur (Anwar, 2003). Perjanjian itu berlaku sejak tanggal

1 Februari 1998 dan berakhir pada tanggal 1 Februari 2023.

27

Perjanjian kerja sama17 menetapkan sasaran dari perjanjian tersebut yaitu (i)

mendukung pembangunan sosial dan ekonomi di DKI Jakarta melalui pembangunan

infrastruktur air, (ii) mencapai perluasan yang substansial dalam jaringan distribusi air

minum, (iii) menyertakan partisipasi sektor swasta dalam memproduksi dan

mendistribusikan air minum di wilayah DKI Jakarta dalam upaya mempercepat laju

perpindahan simpanan persediaan air, dan meneruskan perbaikan kualitas pelayanan

pelanggan, (iv) menyediakan sistem yang memungkinkan penduduk mengubah pola

penggunaan air dari air tanah ke air perpipaan; (v) meningkatkan efisiensi dalam

sistem penyediaan air; (vi) menjamin kuantitas, kualitas dan kontinuitas penyediaan air

minum dari fasilitas produksi dan fasilitas distribusi, (vii) memenuhi target teknis dan

standar pelayanan, (viii) meningkatkan pelayanan pelanggan, (ix) mengurangi angka

kehilangan air, (x) memperbaiki kinerja operasional dan mempertinggi kemampuan

pengelolaan perusahaan, dan (xi) meningkatkan rasio cakupan pelayanan dengan

mempercepat penyediaan sambungan baru (Pemda DKI Jakarta, 2000 dan Gigacher,

2001)

Berdasarkan perjanjian, pihak swasta berkewajiban menyusun program lima

tahun yang kemudian diajukan ke PT. PAM Jaya untuk mendapat persetujuan. Selain

itu, PAM Jaya kemudian difungsikan sebagai pemantau untuk memastikan bahwa

aktivitas penyediaan air minum oleh kedua mitra swasta tersebut memenuhi kebutuhan

air masyarakat sesuai standar yang ditetapkan.

Tabel 2.7 Target Teknis Tahun 1998-2002

1998 1999 2000 2001 2002 2003 2004

Kapasitas Produksi (juta l/det)

396 407 382 383 391 392 397

Jumlah Sambungan (ribu) 471 511 562 597 636 675 714

Cakupan pelayanan (%) 31-57 34-57 38-60 40-54 42-56 45-60 47-63

Kebocoran air (%) 52-58 52-58 46-51 45-49 43-48 41-45 39-43

Volume penjualan (ribu m3) 182 207 228 236 250 258 268

Sumber: Kantor Badan Regulator Jakarta dan Kontrak Kerjasama PAM Jaya dan PT. Palyja

17 Perjanjian ini merupakan hasil renegosiasi antara Pemda DKI Jakarta dengan perusahaan swasta yang mendapat konsesi pada Februari 2000

28

Berdasarkan target teknis yang ditetapkan, dalam waktu lima tahun setelah

privatisasi, cakupan pelayanan akan meningkat menjadi 60 persen yang berupa

675.000 sambungan. Tingkat kebocoran18 menurun menjadi sekitar 45 persen dan

volume penjualan meningkat menjadi 258 juta m3. Pada akhir kerjasama (tahun 2023),

ditargetkan tingkat kebocoran air menjadi hanya 20 persen, dan cakupan pelayanan

mencapai 100 persen.

Untuk mendukung rencana teknis di atas, kedua perusahaan tersebut akan

menginvestasikan sebesar USD. 1,17 miliar selama lima tahun pertama. Investasi

setiap tahun berkisar antara USD. 168 juta sampai USD. 323 juta. Hal itu

selengkapnya dapat dilihat pada Tabel 2.8.

Tabel 2.8 Rencana Investasi PT. Thames PAM Jaya dan PT. PAM Lyonnaise Jaya

Tahun 1998-2002 (dalam USD 000)

1998 1999 2000 2001 2002 Total

PT. Thames PAM Jaya 44.379 (19,7)

108.006 (33,4)

146.686 (58,6)

65.273 (38,8)

70.173 (34,3)

434.417 (37,1)

PT. PAM Lyonnaise Jaya

180.484 (80,3)

215.839 (66,6)

103.571 (41,4)

102.833 (61,2)

134.448 (65,7)

737.175 (62,9)

Total 224.863 323.845 250.257 168.106 204.621 1.171.582

Sumber: Tetuko, 2001. Keterangan : angka dalam kurung merupakan proporsi per tahun.

2.3.3 Kinerja Pengelolaan Air Minum DKI Jakarta Setelah Privatisasi

Indikator kinerja privatisasi air minum DKI Jakarta tidak tersedia, tetapi

beberapa indikator yang secara umum sering dijadikan patokan diantaranya adalah

produksi air, jumlah sambungan, cakupan pelayanan, dan tingkat kebocoran.

Secara umum setelah privatisasi (2004), terjadi peningkatan kinerja pada

keempat indikator, tetapi hanya produksi air dan cakupan pelayanan yang melampaui

target. Sementara pencapaian jumlah sambungan masih berkisar 98 persen dari target.

Kemudian, tingkat kebocoran masih melampaui target kebocoran, yaitu sekitar 112-

120 persen dari target.

18 Tingkat Kebocoran = [(Volume air terdistribusi – Volume air tertagih) / volume air terdistribusi] x 100 %

29

Tabel 2.9 Kinerja Privatisasi Pengelolaan Air Minum DKI Jakarta, Tahun 2004

No Kriteria Sebelum

(1997) Setelah (2004)

Target (2004)

Pencapaian (%)

1 Produksi Air (juta m3) 382 430 397 108

2 Jumlah sambungan (ribu) 426 706 715 98,7

3 Cakupan pelayanan (%) 38-42 49-67 47-63 104-106

4 Tingkat Kebocoran (%) 53-57 47-48 39-43 112-120

Sumber: Diolah dari Argo (2004) dan BPS (2003)

Usaha peningkatan cakupan pelayanan, mengabaikan banyaknya keluhan

terhadap kualitas dan kuantitas pelayanan19, kedua operator telah mencapai

perkembangan yang nyata. Pelayanan telah bertambah menjadi 44 persen di bagian

barat, dan 62 persen di bagian timur, yang secara keseluruhan mencapai 52 persen

untuk seluruh Jakarta. Dari cakupan pelayanan tersebut, sebanyak 12,7 persen

merupakan penduduk miskin. Sementara sekitar 10,7 persen penduduk miskin belum

terlayani oleh air perpipaan (Anwar, 2003).

Tabel 2.10 Cakupan Layanan Air Minum di Jakarta Tahun 2002

Terlayani Air Perpipaan

Tidak Terlayani Air

Perpipaan Tidak Miskin 39,7 36,9 Miskin 12,7 10,7 Sumber: Alizar Anwar (2003)

Dari keseluruhan jumlah pelanggan, kelompok nonniaga (rumah tangga)

merupakan pelanggan terbanyak mencapai 79 persen, kelompok niaga dan industri

(5,6 persen), kelompok sosial (0,9 persen), dan kelompok khusus relatif kecil sekali.

19 Beberapa survei primer menunjukkan tingginya ketidakpuasan pelanggan terhadap kualitas air perpipaan, distribusi yang lebih mengutamakan lokasi yang mudah dijangkau seperti tepi jalan besar, tekanan air kecil dan air mengalir hanya pada jam tertentu saja. Sementara studi dalam rangka Ex-Post Evaluation for ODA Loan Projects (2001) menyatakan bahwa sekitar 40 persen responden tidak puas dengan layanan air perpipaan (Siregar dkk, 2004).

30

Terlepas dari usaha peningkatan cakupan pelayanan air minum, terlihat bahwa

penggunaan sumber air minum nonperpipaan masih dominan pada tahun 2002 yang

mencapai sekitar 54,3 persen dari total KK20. Sumber air nonperpipaan sebagian besar

berasal dari penggunaan pompa yang dapat menyebabkan turunnya permukaan tanah

dan terjadinya intrusi air laut. Sementara penggunaan sumur membahayakan kesehatan

masyarakat karena berdasarkan penelitian sekitar 80-90 persen sumur yang ada

tercemar oleh bakteri E. Coli (Argo, 1999).

Tabel 2.11 Klasifikasi Rumah Tangga berdasar Sumber Air Minum

Tahun 2003

Rumah Tangga Sumber Air Minum

Jumlah (KK) Proporsi (%) Air kemasan 155.801 7,8 Air Perpipaan 916.815 45,7 Pompa 871.745 43,4 Sumur Terlindungi 43.699 2,3 Sumur Tak Terlindungi 6.867 0,3 Mata Air Terlindung 7.711 0,3 Lainnya 4.629 0,2 Total 2.006.997 100 Sumber: BPS DKI Jakarta, 2003.

Peningkatan cakupan pelayanan air minum di DKI Jakarta sampai tahun 2002

mencakup juga pembangunan fasilitas bagi penduduk miskin berupa kran umum

sebanyak 49 unit21, yang berarti penambahan sekitar 3,1 persen, dan penambahan

sambungan rumah sekitar 40.000 sambungan atau sekitar 133 persen.

Berdasarkan data BPS DKI Jakarta (2003), dari jumlah rumah tangga miskin

yang ada, sekitar 32,5 persen menggunakan sumber air sendiri, 35 persen

menggunakan sumber bersama, 31,2 persen menggunakan sumber umum, dan sisanya

1,25 persen tidak mempunyai sumber22.

20 Data yang tersedia tidak memungkinkan mengetahui secara persisnya proporsi sumber air minum yang berasal dari penjaja keliling, dan truk tangki 21 Berdasarkan perjanjian kerjasama maka penambahan kran umum sama sekali tidak diprogramkan dengan pertimbangan untuk mendorong penduduk menggunakan sambungan rumah. 22 Penjelasan mengenai klasifikasi sumber air minum selengkapnya pada Lampiran 1

31

Tabel 2.12 Peningkatan Layanan Air Minum bagi Penduduk Miskin di Jakarta (1998-2002)

Tahun Fasilitas 1998 1999 2000 2001 2002

Perkembangan 1998-2002

(%) Kran Umum 1.568 1.576 1.616 1.597 1.617 3,1 Sambungan Rumah (unit)

29.958 41.258 45.916 59.227 71.671 133

Sumber: Anwar (2003)

Pada periode 1998-2002, peningkatan sambungan rumah ke penduduk miskin

menunjukkan jumlah yang signifikan. Namun, diterapkannya pelarangan penggunaan

sumur artesis dan sumber lainnya mengakibatkan beberapa komunitas permukiman

miskin yang belum terlayani air perpipaan terpaksa membeli dari penjaja keliling

dengan harga yang jauh lebih mahal dari air perpipaan. Selain itu, penduduk miskin

juga menggunakan sumber seperti sumur dangkal, sebagian penduduk menjual air ke

tetangganya, truk air, dan air kemasan isi ulang.

Walaupun peningkatan cakupan akses air minum pada penduduk miskin

meningkat, proporsi penduduk miskin yang belum terlayani masih relatif besar, yaitu

sekitar 10 persen24. Sebagai usaha memberi akses air minum pada penduduk miskin,

kran umum dibangun dahulu sebelum distribusi air perpipaan dibangun. Air dari kran

tersebut dihargai sama dengan air perpipaan untuk tarif sosial. Namun, dalam

kenyataannya karena jumlah kran umum yang masih kurang, penduduk tetap saja

memperoleh air melalui penjaja keliling dengan tarif yang jauh lebih mahal, yaitu

berkisar antara 6-20 kali.

Selain itu, subsidi silang diperkenalkan. Untuk kelompok sosial dan penduduk

miskin, konsumsi 20 m3 pertama dihargai murah. Tarif air yang diterapkan jauh

dibawah biaya yang sebenarnya. Kendalanya adalah bahwa banyak penduduk miskin

yang tidak terakses air minum karena biaya sambungan sangat berat. Akibatnya, 24 Berdasarkan data BPS (2004), rumah tangga miskin yang menggunakan air bersih mencapai 90,89 persen. Sementara definisi rumah tangga pengguna air bersih adalah persentase rumah tangga yang menggunakan air minum yang berasal dari air mineral, air ledeng/PAM, pompa air, sumur atau mata air terlindung (jarak ke sumber pencemaran lebih dari 10 meter). Kondisi ini menunjukkan belum terjaminnya sumber air minum yang terjangkau bagi penduduk miskin, karena sumber masih mencakup air mineral, dan juga penjual air keliling dan sejenisnya.

32

sebagian besar pelanggan yang terlayani itu berasal dari kelompok tidak miskin,

sementara penduduk miskin yang tidak terlayani membeli air dengan harga jauh lebih

mahal, yaitu sampai 25 kali tarif air perpipaan. Subsidi yang diberikan akhirnya

sebagian besar dinikmati oleh penduduk tidak miskin (Anwar, 2003).

Berdasarkan Surat Keputusan Gubernur DKI Jakarta Nomor 138/2005 tanggal

20 Januari 2005 tentang Penyesuaian Tarif Otomatis (PTO) Air Minum Semester I

Tahun 2005 di DKI Jakarta, maka struktur tarif dibagi dalam 7 golongan. Golongan

Kelompok I, Kelompok IV B, dan Kelompok Khusus memperoleh tarif flat masing-

masing sebesar Rp.550,00/m3, Rp.9.750,00/m3 dan Rp.11.500,00/m3. Golongan

lainnya berlaku tarif progresif untuk setiap penggunaan 0-10 m3, 11-20 m3 dan >

20m3. Secara lengkap dapat kita lihat pada Tabel 2.13.

Tabel 2.13

Sistem Tarif Air Minum DKI Jakarta, Tahun 2005

Blok Pemakaian dan Tarif Air (Rp./m3) Kelompok Pelanggan 0-10 11-20 >20

Kelompok I 550 550 550 Kelompok II 550 550 1.000 Kelompok III A 2.450 3.350 4.000 Kelompok III B 3.500 4.400 5.600 Kelompok IV A 5.100 6.200 7.500 Kelompok IV B 9.750 9.750 9.750 Kelompok V/Khusus 11.500 11.500 11.500

Sumber: PAM Jaya, 2005

Secara rata-rata penduduk miskin DKI Jakarta memperoleh air dari berbagai

sumber dengan pengeluaran total rata-rata sebesar Rp.182.000,00 per rumah tangga

per bulan yang dapat diperinci sebagai berikut: untuk air kemasan (Rp.68.620,00 per

rumah tangga per bulan), air perpipaan (Rp.86.419,00 per rumah tangga per bulan), air

penjaja keliling (Rp.21.766,00 per rumah tangga per bulan), dan air tetangga

(Rp.5.266,00 per rumah tangga per bulan)25. Secara rata-rata pengeluaran air minum

25 Data ini diperoleh dari survei primer

33

rumah tangga miskin relatif lebih besar dari pengeluaran untuk listrik dan sewa rumah

(PPIAF, 2005)

2.3.4 Sistem Distribusi Pelayanan Air Minum Nonperpipaan

Daerah yang tak terlayani dengan sambungan rumah sistem perpipaan oleh

penyedia air minum perpipaan disediakan sarana stasiun air, terminal air, serta truk

tangki air minum. Selain itu, daerah yang belum terlayani juga dilayani oleh penyedia

air minum skala kecil yang berbentuk penjaja air yang sebagian besar sumbernya

berasal dari air minum perpipaan, pelanggan air minum perpipaan yang menjual air ke

tetangga, truk tangki air yang dikelola swasta, dan bahkan sumber air berupa sumur

pompa dan sumur dalam.

Tidak tersedia data yang pasti mengenai jumlah dan kapasitas penyedia air

skala kecil. Akan tetapi, PAM Jaya menyediakan beberapa stasiun air baik untuk

kebutuhan domestik maupun komersil.

Gambar 2.9

Distribusi Air Minum Nonperpipaan dari Sumber Air Minum Perpipaan Tahun 2005

Keterangan:

Air minum non perpipaan ..

Air Minum Perpipaan

Daerah Terlayani (60%)

Sambungan Rumah (709 ribu)

Hidran Umum (2.280 unit)

Daerah Belum Terlayani

Stasiun Air Domestik (7 unit)

Stasiun Air Komersil (3 unit)

Truk Tangki Air PAM Jaya (31 unit)

Terminal Air (56 unit)

Truk Tangki Air Bantuan Pusat

(60 unit)

Terminal Air (203 unit)

34

Pada tahun 2005, terdapat 7 unit stasiun air untuk kebutuhan domestik dan 3

unit stasiun air komersil untuk kebutuhan pabrik, industri, dan sejenisnya. Stasiun air

domestik melayani 31 unit tangki air milik PAM Jaya yang melayani 56 terminal air

PAM Jaya. Selain itu, terdapat 60 unit tangki air bantuan pusat yang melayani 203 unit

terminal air yang dikelola oleh kelompok swadaya masyarakat.

2.3.5 Program Penanggulangan Dampak Pengurangan Subsidi Energi untuk Penyediaan Prasarana Air Bersih26

Sebagai kelanjutan dari kebijakan pemerintah untuk mengurangi subsidi bahan

bakar minyak (BBM) secara bertahap, pemerintah menyiapkan program kompensasi

pada penduduk miskin melalui beberapa sektor. Pemberian subsidi ini dimaksudkan

untuk mengurangi dampak pengurangan subsidi untuk melindungi masyarakat miskin

melalui program yang langsung dapat diterima manfaatnya. Program tersebut diberi

nama Program Penanggulangan Dampak Pengurangan Subsidi Energi (PPD-PSE).

Program ini terdiri dari 7 (tujuh) kegiatan yaitu ketahanan pangan, layanan kesehatan,

bantuan pendidikan, angkutan, penyediaan air bersih perkotaan (Subsidi Energi Air

Bersih atau SE-AB), penyediaan dana bergulir lembaga keuangan mikro, dan

pemberdayaan masyarakat pesisir.

Program SE-AB dilaksanakan pada permukiman rawan air dan konsentrasi

penduduk miskin perkotaan di seluruh Indonesia. Penanggungjawab program adalah

Departemen Permukiman dan Prasarana Wilayah27. Sasaran utama program adalah

masyarakat miskin perkotaan yang belum terlayani oleh PDAM dan menempati daerah

yang rawan air bersih, yaitu daerah yang kondisi air tanah dangkalnya tidak laik

minum dan/atau air permukaannya tercemar sehingga masyarakat terpaksa membeli air

dengan harga mahal atau mengambil sendiri dari lokasi yang jauh.

Tujuan program SE-AB adalah (i) mengurangi beban masyarakat miskin

perkotaan akibat kenaikan harga energi, (ii) menyediakan prasarana air bersih yang

lebih murah dan lebih mudah dibandingkan dengan kondisi sebelumnya, (iii)

mewujudkan partisipasi masyarakat dalam pembangunan prasarana air bersih; (iv) 26 Keseluruhan sub bab ini dikutip dari dokumen PPD-PSE Tahun 2001 dan Pedoman Umum SE-AB Tahun 2002 27 Sebelumnya adalah Departemen Pekerjaan Umum, yang kemudian pada tahun 2005 berganti kembali menjadi Departemen Pekerjaan Umum

35

meningkatnya kemandirian kelembagaan dan organisasi masyarakat dalam

pengelolaan air bersih. Sementara indikator keberhasilan program adalah masyarakat

sasaran membeli air bersih lebih murah dan lebih mudah dari sebelumnya.

Pilihan jenis prasarana yang dibangun terdiri dari (i) hidran umum (HU), (ii)

terminal air (TA), (iii) pembangunan sistem penyediaan air bersih sederhana (SIPAS)

(iv) sambungan rumah (SR). Hidran Umum dapat dibangun jika lokasi berjarak kurang

dari 3 km dari jaringan pipa PDAM terdekat. Terminal air dapat dibangun jika lokasi

berjarak 3-10 km dari jaringan pipa PDAM terdekat. Sistem penyediaan air bersih

sederhana (SIPAS), seperti sumur dalam atau saringan sederhana, akan dibangun jika

lokasi berjarak lebih dari 10 km dari jaringan PDAM. Sambungan rumah (SR) akan

dibangun jika lokasi masih terjangkau jaringan PDAM. Harga air yang dibayar ke

PDAM sesuai dengan harga air yang berlaku (tarif HU, tarif sosial dan lainnya).

Perubahan jumlah realisasi dana SE-AB tergantung pada ketersediaan dana

pemerintah pada tahun yang bersangkutan. Hal itu terlihat pada perubahan realisasi

dana yang berubah secara signifikan pada setiap tahun anggaran. Pada tahun pertama

pelaksanaan program (2001), dana yang berhasil direalisasikan mencapai Rp.7,9

miliar, tetapi kemudian menurun tajam pada tahun berikutnya. Kemudian, meningkat

kembali pada tahun 2003, dan menurun kembali pada tahun 2004. Hal itu

selengkapnya dapat dilihat pada Tabel 2.14.

Tabel 2.14

Realisasi Dana Program Subsidi Energi Air Bersih (SE-AB) Tahun 2001 – 2004 (dalam ribuan rupiah)

2001 2002 2003 2004

Realisasi Dana SE-AB 7.905.887 4.357.888 (- 44,9%)

5.622.000 (29,0%)

2.735.770 (- 51,3%)

Sumber: Sekretariat SE-AB, 2005 Keterangan: angka dalam kurung menunjukkan proporsi perubahan terhadap tahun sebelumnya.

36

BAB III

PENYEDIAAN AIR MINUM, PERTUMBUHAN EKONOMI,

DAN DISTRIBUSI PENDAPATAN: SUATU TINJAUAN PUSTAKA

3.1 Karakteristik Air Minum

Sistem penyediaan air minum adalah barang publik. Pada hampir semua

situasi, penyediaan air minum pada satu rumah tangga tidak menghalangi rumah

tangga lain untuk mendapatkan layanan. Namun sampai saat ini, banyak kontroversi di

seputar karakteristik dari air minum. Sebagian pihak menyatakan bahwa air minum

adalah barang publik, sementara sebagian lainnya menyatakan air minum sebagai

benda ekonomi. Bahkan kemudian terdapat istilah baru yang dikenakan pada air

minum yaitu air minum sebagai benda sosial.

Tidak terdapat pengertian yang jelas dan diterima luas tentang benda sosial.

Sebagian menyatakan bahwa benda disebut benda sosial jika pemanfaatannya tidak

hanya berdampak pada individu tetapi juga bagi lingkungannya (Gleick, 2000).

Ketersediaan air minum yang terjangkau merupakan benda sosial menurut definisi ini.

Hal ini didasari bahwa pemanfaatan air minum bermanfaat bagi individu dan

masyarakat luas. Peningkatan kualitas air minum bagi seseorang berarti peningkatan

buat seluruh komunitas yang mengkonsumsi air minum tersebut. Walaupun demikian,

benda sosial dapat mempunyai karakteristik benda privat, yaitu jika air dikonsumsi

oleh seseorang yang menyebabkan kekurangan air bagi orang lain yang menjadi

pengguna sistem yang sama.

Terlepas dari kontroversi tersebut, beberapa kombinasi karakteristik air minum

yang membuat air minum merupakan benda ekonomi yang berbeda dari benda

ekonomi lainnya adalah sebagai berikut (Savenije, 2001).

• Air minum adalah kebutuhan dasar. Tidak ada kehidupan tanpa air, tanpa air tidak

ada proses produksi, tanpa air tidak ada lingkungan. Tidak akan ada kegiatan

manusia yang tidak tergantung pada air. Air merupakan sumber daya penting. Hal

37

ini membuat air menjadi khusus tetapi tidak unik. Sama halnya dengan udara,

lahan, dan makanan.

• Air minum terbatas. Jumlah air terbatas. Hanya sebagian kecil saja air yang dapat

dikonsumsi.

• Air minum adalah barang publik. Air minum tidak dapat dimiliki secara pribadi

dan ketergantungan sosial terhadap air minum sangat tinggi. Hal ini merupakan

konsekuensi dari sifat air minum yang penting dan tidak dapat disubstitusi.

Pemerintah bertanggungjawab menyediakan air minum tetapi pemerintah tidak

bertanggungjawab menyediakan air secara gratis sebagaimana sering disalah

pahami.

• Meskipun air mengalir tetapi sebenarnya dibatasi oleh lokasi dan sistem tertentu.

Akibatnya, air minum sering menjadi sumber perseteruan politik antardaerah.

• Terdapat biaya produksi dan biaya transaksi yang besar bahkan jika pengaliran air

menggunakan sistem gravitasi.

• Pasar air minum tidak homogen. Sebagian pengguna mempunyai kemampuan

membayar yang tinggi dan mengkonsumsi dalam jumlah sedikit (pengguna

domestik dan industri), lainnya mempunyai kemampuan membayar rendah dan

menggunakan air dalam jumlah besar (petani), bahkan lainnya tidak mempunyai

kemampuan membayar (lingkungan dan penduduk miskin). Semuanya tidak dapat

digabung dalam satu pasar. Meskipun air minum yang dibutuhkan merupakan

benda yang sama tetapi karakter permintaan berbeda. Pertukaran diantara

kepentingan yang berbeda ini sebaiknya diselesaikan melalui jalur politis dan

bukan pasar.

• Terdapat ketergantungan ekonomi makro antara aktivitas pengguna air. Air

digunakan oleh pertanian mempengaruhi industri. Akibatnya hubungannya

menjadi rumit.

• Selalu terdapat ancaman kegagalan pasar dalam penyediaan air minum. Untuk

mencapai skala ekonomi, dibutuhkan investasi besar yang mengarah ke monopoli

alamiah.

38

• Air minum mempunyai nilai tertentu yang seringkali tidak dapat dinilai dengan

uang.

3.2 Penyediaan Air Minum (Publik, Swasta, Penyedia Skala Kecil) dan

Penanggulangan Kemiskinan

3.2.1 Penyediaan Air Minum oleh Pemerintah dan Privatisasi

Air dipertimbangkan sebagai benda ekonomi sekaligus benda sosial. Air

sebagai benda sosial menunjukkan bahwa air mempunyai limpahan (spill over)

manfaat dan biaya yang nyata. Air sebagai benda ekonomi menunjukkan bahwa air

mempunyai nilai dan dialokasikan sesuai dengan keuntungan maksimal yang dapat

diperoleh. Memperlakukan air hanya sebagai benda ekonomi akan mengakibatkan

hilangnya fungsi sosial dari air dan dapat berakibat penduduk miskin terabaikan

kebutuhannya akan air.

Berdasarkan pada pandangan di atas, meningkatkan jangkauan pelayanan dan

kualitas air minum dan sanitasi ke seluruh masyarakat, merupakan hak dasar bagi

semua, dan merupakan tantangan utama bagi seluruh negara (Nigam dan Rasheed,

1998). Namun, dalam banyak kejadian, pengelolaan oleh pemerintah cenderung

menerapkan harga rendah sehingga tidak mampu mempertahankan kualitas layanan

jaringan yang ada, apalagi meningkatkan jangkauan pelayanan (Gray, 2000).

Meskipun harga rendah yang dikatakan bermanfaat bagi penduduk miskin, dalam

kenyataannya tidak membantu penduduk miskin karena mereka belum terlayani

sehingga harus mencari sumber lain dengan harga yang jauh lebih mahal (Walker dkk,

2000).

Kondisi ini kemudian menyuburkan pandangan agar swasta dapat terlibat

dalam penyediaan air minum. Namun, alasan utama privatisasi28 air minum tidak

28 Definisi dan pengertian privatisasi akan sangat beragam tetapi secara umum tetap dapat dirangkum sebagai berikut. (i) Perubahan bentuk usaha dari “perusahaan negara” menjadi perusahaan berbentuk perseroan terbatas, (ii) Pelepasan sebagian (besar/kecil) atau seluruh saham dari suatu perusahaan yang dimiliki negara kepada swasta, (iii) Pelepasan hak atau aset milik negara atau perusahaan yang sahamnya dimiliki negara pada swasta, baik pelepasan untuk selamanya (antara lain melalui jual beli, hibah atau tukar guling) maupun pelepasan untuk sementara waktu (termasuk dengan cara Build Operate Transfer), (iv) Pemberian kesempatan pada swasta untuk menggeluti bidang usaha tertentu yang sebelumnya merupakan monopoli pemerintah, (v) Membuat usaha patungan atau kerjasama dalam

39

hanya menyangkut ketidakmampuan pemerintah menyediakan kebutuhan air minum

bagi masyarakat; tetapi juga merupakan usaha perusahaan multinasional mengambil

alih sebagian besar porsi pasar air minum (Gleick, 2002) serta memperkenalkan

prinsip kompetisi (IWA dan UNEP, 2002).

Gejala privatisasi kemudian mulai mewabah sejak tahun 1980-an. Berdasarkan

penelitian empiris, partisipasi swasta di semua sektor meningkatkan efisiensi,

mendorong perubahan teknologi, dan memperkuat pertumbuhan ekonomi. Selanjutnya,

partisipasi swasta juga meningkatkan transparansi penggunaan sumber daya publik,

mengurangi kesenjangan pendapatan, memperbaiki operasi pasar modal, dan

menyumbang pada kesejahteraan sosial (Mergos, 2002).

Pada studi yang membandingkan kinerja 50 perusahaan penyedia air minum di

negara berkembang Asia dan Pasifik ditemukan bahwa perusahaan swasta lebih efisien

(Estache, 1999). Sementara di negara maju, dengan asumsi bahwa perusahaan

pemerintah relatif lebih efisien, diharapkan keterlibatan swasta menjadi kurang

signifikan. Namun, kenyataan menunjukkan sebaliknya. Ahli ekonomi Trent University

meneliti 3 studi di AS sejak tahun 1970an. Studi pertama yang dilakukan terhadap 112

penyedia air menunjukkan bahwa produktivitas perusahaan pemerintah hanya 60

persen dari perusahaan swasta. Ketika sebuah perusahaan pemerintah menjadi

perusahaan swasta, keluaran (output) per pegawai meningkat 25 persen. Sebaliknya,

ketika perusahaan swasta menjadi perusahaan public, keluaran (output) per pegawai

menurun 40 persen. Studi kedua yang dilakukan terhadap 143 penyedia air minum,

ditemukan bahwa biaya lebih besar 15 persen pada perusahaan pemerintah. Studi ketiga

menunjukkan bahwa perusahaan pemerintah lebih mahal 20 persen (Brubaker, 2001).

Hasil studi di Eropa menunjukkan hal sebaliknya. Perbandingan antara

perusahaan air minum milik pemerintah di Swedia dan swasta di Inggris untuk ukuran

perusahaan yang sama menunjukkan bahwa biaya penyedia air minum swasta lebih

besar. Kontrak manajemen di Puerto Rico, Trinidad, dan Budapest menunjukkan bahwa

keterlibatan swasta tidak membawa perubahan berarti (PSI, 2000). Di Perancis,

bentuk lain dengan memanfaatkan aset pemerintah, (vi) Membuka dan meningkatkan adanya persaingan sehat dalam dunia usaha (Soebagjo, 1996).

40

perbandingan antara perusahaan yang dikelola swasta dan pemerintah menunjukkan

bahwa perusahaan swasta menerapkan tarif yang 13 persen lebih tinggi (Hall, 2001).

Meskipun pengamatan secara internasional menunjukkan secara umum dampak

privatisasi menguntungkan (Kikeri dan Nellis, 2001; Megginson dan Netter, 2001;

Shirley dan Walsh, 2001), dampaknya di negara berkembang tetap kontroversial

(Parker, 2003).

Di negara berkembang dampak privatisasi sedikit berseberangan dengan yang

banyak ditemui di negara maju. Hal ini disebabkan beberapa hal. (i) Di negara maju,

privatisasi mempunyai tujuan yang jelas, sementara di negara berkembang tidak jelas

dan penuh konflik. (ii) Pemerintah berkeinginan menjual perusahaan yang merugi,

sementara swasta mencari perusahaan yang menguntungkan yang disebut Paradoks

privatisasi (Paradox of privatisation). (iii) Penilaian terhadap aset oleh pemerintah

sering tidak realistis termasuk penilaian potensi keuntungan. (iv) Privatisasi tidak

disertai perubahan iklim bisnis dan manajemen (Jusmaliani, 2003).

Cabrera (2003) berdasarkan pengamatannya terhadap privatisasi di

Aguascalientes, Mexico menemukan beberapa kesimpulan diantaranya (i) pada

beberapa aspek, keterlibatan swasta menguntungkan khususnya dalam bentuk

peningkatan efisiensi dan akses, (ii) pada aspek keberlanjutan kurang mendapat

perhatian seperti meningkatnya kesenjangan pendapatan. Khususnya dalam kondisi

monopoli, dan keterbatasan sumber air, besar kemungkinan penduduk miskin akan

mengalami kesulitan.

Jika dibandingkan dengan sektor lain, seperti listrik dan telekomunikasi,

pembiayaan swasta dalam sektor air minum dan sanitasi relatif lebih sedikit yang

berhasil (Haarmeyer, 1998). Hal ini mungkin disebabkan oleh sifat dari sektor air

minum dan sanitasi yang berbeda, yaitu sebagai berikut. Pertama, air minum dan

sanitasi ditandai dengan tingkat monopoli alamiah yang tinggi. Meskipun kompetisi

dimungkinkan pada kegiatan terbatas seperti peningkatan kapasitas dan penyediaan

layanan plumbing, sulit untuk juga melakukan hal yang sama untuk distribusi yang

merupakan bisnis inti air minum dan sanitasi. Kedua, air merupakan kebutuhan dasar

manusia dan akses terhadap air harus diberikan pada semua orang. Ketiga, air minum

41

dan sanitasi lebih cocok dikelola oleh pemerintah daerah. Akibatnya, isu antardaerah

harus lebih dahulu diselesaikan sebelum penanam modal masuk. Keempat, sebagian

terbesar aset berada dibawah tanah yang mengakibatkan besarnya biaya untuk

menilainya sehingga menambah biaya persiapan partisipasi swasta. Kelima,

penyediaan yang kurang memadai dapat mengakibatkan terjadinya masalah kesehatan

dan lingkungan sehingga pemerintah mempunyai minat yang kuat dalam

meningkatkan akses pelayanan tanpa memperhitungkan kemampuan membayar.

Keenam, risiko nyata dari perbedaan kurs sebab konsumen membayar dalam mata

uang lokal sementara pinjaman dalam mata uang asing (Penelope, 1997).

Debat tentang peran swasta dalam penyediaan air minum telah berlangsung

lama, sementara bukti empiris sebagian mendukung dan selebihnya menentang. Pihak

pendukung menyatakan bahwa privatisasi meningkatkan efisiensi (misalnya, tingkat

kebocoran air menurun dan tagihan macet berkurang), dan mendorong pertambahan

investasi. Pihak penentang menyatakan bahwa swasta hanya mementingkan

keuntungan dengan mengabaikan kesejahteraan dan meningkatkan tarif tanpa

mempedulikan kualitas layanan.

Perdebatan ini telah salah kaprah. Pada kenyataannya, pendekatan terbaik

untuk terlibat dalam diskusi ini adalah bersikap meragukan (agnostic) berdasar dua

alasan. Pertama, sejarah penyediaan air minum bagi penduduk miskin di negara

berkembang oleh pemerintah hasilnya mengecewakan. Pada sebagian besar negara

berkembang, lebih dari setengah penduduk memperoleh air minum dari penyedia

selain perusahaan air minum milik pemerintah (Snell, 1998). Jika kepedulian dalam

debat ini adalah meningkatkan akses penduduk terhadap air minum perpipaan, sejarah

menunjukkan bahwa menyandarkan diri pada sistem publik menciptakan hal yang

tidak produktif. Kedua. sifat alami dari institusi penyedia air minum relatif sama, yaitu

mengabaikan kepemilikan. Struktur biaya mengharuskan bahwa penyediaan air minum

bagi komunitas dilakukan melalui sistem pengolahan dan distribusi tunggal, yaitu

monopoli. Artinya, pilihannya adalah antara monopoli publik yang teregulasi atau

monopoli swasta yang teregulasi, bukan antara institusi publik yang berniat mulia dan

pemodal yang mencari untung. Kuncinya terletak pada regulasi. Ketika regulasi

42

tersedia dan berjalan baik, penyedian air minum publik akan sama saja dengan

penyedia air minum swasta. Pesannya adalah membenahi regulasi lebih penting dari

pada kepemilikan perusahaan (Olmstead, 2003).

3.2.2 Privatisasi Air Minum dan Penanggulangan Kemiskinan

Terdapat tiga cara mengukur keberhasilan partisipasi swasta di infrastruktur

dalam membantu penduduk miskin, dengan melalui peningkatan layanan, yaitu berupa

(i) penambahan sambungan, (ii) meningkatkan keandalan layanan, dan (iii)

pengurangan tunggakan (Tynan, 2000).

Dari bukti empiris terlihat bahwa pengelolaan swasta meningkatkan efisiensi

dan kualitas layanan bagi pelanggan yang ada (Tynan, 2000). Namun, pada banyak

kasus peningkatan jangkauan pelayanan tidak terjadi. Privatisasi gagal menjangkau

penduduk miskin dan bahkan menjadi penghalang (Tynan, 2000). Sejauh ini,

implementasi kemitraan publik dan swasta sering mengabaikan kebutuhan penduduk

miskin (Gleick dkk., 2002). Bahkan, timbul kecenderungan dominasi pasar oleh sedikit

perusahaan multinasional (IWA dan UNEP, 2002).

Pada kasus Argentina, Chisari dkk (1999) dan Navajas (2000) menunjukkan

bahwa privatisasi infrastruktur memberatkan golongan menengah jika dibanding

dengan yang lainnya dengan dihilangkannya subsidi dan kemungkinan menguntungkan

penduduk miskin dengan meningkatnya akses (Calderon, 2001).

Penilaian ekonomi makro, pentingnya privatisasi infrastruktur bagi penduduk

miskin diperlukan sebab pada banyak kasus air, energi, telekomunikasi, dan

transportasi reformasi mempunyai dampak pada pasar lainnya (seperti pasar tenaga

kerja dan pasar tabungan investasi) yang mempengaruhi penduduk miskin. Dampak ini

berpotensi nyata terhadap penanggulangan kemiskinan sehingga dibutuhkan analisis

ekonomi. Ini memerlukan model multikomoditi dan multiagen. Model CGE menjadi

semakin berguna untuk menanggapi kebutuhan ini (Estache, 2004)

Dari kacamata ekonomi makro, Estache (2002) menjelaskan bahwa terdapat

tiga cara privatisasi mempunyai dampak pada kesejahteraan penduduk miskin.

43

(i) Pertumbuhan ekonomi. Investasi infrastruktur merupakan faktor penting dalam

pertumbuhan ekonomi, yang kemudian menjadi pendorong utama bagi

pengurangan kemiskinan.

(ii) Pengurangan pegawai. Langkah pertama privatisasi adalah peningkatan efisiensi

dan keuntungan melalui pengurangan pegawai. Dalam jangka panjang langkah

ini menghasilkan pertumbuhan ekonomi.

(iii) Realokasi pengeluaran publik. Secara konvensional, infrastruktur menyerap dana

pemerintah dalam jumlah besar untuk menutup subsidi dan membiayai

pembangunan. Privatisasi mengurangi pengeluaran pemerintah pada kegiatan

yang tadinya dibiayai pemerintah sehingga tersedia dana untuk membiayai

kegiatan lain.

Tabel 3.1 Rangkuman Kaitan Ekonomi Makro antara Peningkatan Partisipasi Swasta

dalam Pembangunan Infrastruktur dan Kesejahteraan Penduduk Miskin

Dampak Ekonomi Makro Potensi Kerugian Penduduk Miskin

Faktor Positip

Pertumbuhan ekonomi Perubahan tarif akan mempengaruhi konsumsi terutama ketika tidak tersedia jaring pengaman sosial

Jangka menengah, privatisasi seharusnya menyumbang pertumbuhan yang pada gilirannya cenderung mengurangi kemiskinan

Pengurangan pekerja • Tenaga kerja dikurangi setelah privatisasi

• Gaji berkurang pada masa transisi

Tergantung pada tingkat ketergantungan kerja penduduk miskin, besarnya kompensasi pemutusan hubungan kerja, kemampuan pasar tenaga kerja menyerap pengangguran

Realokasi pengeluaran publik Pengurangan alokasi keseluruhan subsidi sebagai hasil penyesuaian fiskal

Penerimaan hasil privatisasi dan penetapan target yang lebih baik mungkin meringankan sumber pembiayaan penduduk miskin

Sumber: Estache, Gomez-Lobo, Leipziger (2001) yang disarikan dari Foster (1999)

Sementara menurut Estache (2002), dari perspektif ekonomi mikro privatisasi

mempengaruhi penduduk miskin dalam dua hal yaitu sebagai berikut.

(i) Akses.

Pengaruh terhadap akses melalui hal-hal berikut.

44

a. Peningkatan biaya sambungan.

Biaya sambungan ditingkatkan sampai mencapai tingkatan yang sewajarnya

setelah sebelumnya dipatok pada biaya yang minimum. Oleh karena itu,

biaya sambungan kemungkinan tidak terjangkau oleh penduduk miskin

kecuali disediakan pilihan membayar bertahap.

b. Pengurangan insentif.

Penduduk miskin biasanya berlokasi di daerah yang sulit dijangkau (padat,

akses rendah, tak aman) sehingga biaya layanan lebih tinggi, sementara

konsumsi air rendah dan sering tidak membayar. Hal ini mengurangi

keinginan swasta melayani penduduk miskin.

(ii) Keterjangkauan.

Terdapat berbagai cara privatisasi dapat meningkatkan keterjangkauan.

a. Peningkatan tarif.

Sebelum privatisasi, tarif selalu lebih rendah dari biaya operasi sehingga

perlu ditingkatkan agar dapat menutup biaya operasi. Ketika produksi telah

efisien dan regulasi telah diterapkan dengan baik, terdapat kemungkinan

tarif akan menurun setelah beberapa waktu.

b. Pembayaran diformalkan.

Perusahaan pemerintah cenderung membiarkan penunggakan dan

sambungan liar. Perusahaan swasta berlaku sebaliknya. Akibatnya, banyak

penduduk miskin kemudian mulai membayar sesuai dengan pemakaiannya.

Hal ini bukan sesuatu yang buruk dengan mempertimbangkan bahwa

sambungan liar cenderung tidak stabil, bahkan membayar lebih mahal pada

‘mafia air’.

c. Peningkatan kualitas.

Kondisi ini membutuhkan biaya besar yang kemudian dibebankan pada

konsumen, sehingga kemungkinan membebani penduduk miskin.

45

Tabel 3.2

Rangkuman Kaitan Ekonomi Mikro antara Peningkatan Partisipasi Swasta dalam Pembangunan Infrastruktur dan Kesejahteraan Penduduk Miskin

Dampak Privatisasi Kemungkinan Tambahan

Beban bagi Penduduk Miskin Faktor Pencegah dan Manfaat bagi

Penduduk Miskin Biaya bertambahnya formalitas

Penagihan dan pencegahan sam-bungan liar kemungkinan lebih efektif dan menghasilkan pe-ningkatan efektivitas penerimaan

• Sambungan resmi mungkin merupakan aspirasi dari penduduk miskin

• Keamanan menjadi lebih baik • Sambungan liar menjadi lebih mahal • Reformasi mungkin menghadirkan

teknologi baru yang menurunkan biaya

Biaya penyesuaian tarif rata-rata

Tarif rata-rata dapat meningkat disebabkan kebutuhan pemulih-an biaya dan pembiayaan inves-tasi

Peningkatan tarif rata-rata bergantung pada tingkat harga sebelumnya dan tersedianya cadangan yang disisihkan dari keuntungan

Biaya penyesuaian struktur tariff

Struktur tarif mungkin disesuai-kan yang dapat meningkatkan tarif marjinal bagi penduduk miskin

Kompetisi memungkinkan penurunan tarif rata-rata dan dikompensasikan untuk penyeimbangan tarif yang menguntungkan penduduk miskin

Biaya meningkatnya harga barang substitusi

Privatisasi mungkin mengham-bat akses ke layanan alternatif, khususnya jika sambungan ke jaringan publik suatu kewajiban

Ketersediaan layanan komunal meningkat

Biaya meningkatnya harga barang komplementer

Biaya sambungan menjadi me-ningkat tajam

Biaya memperoleh peralatan komplementer tidak terpengaruh tetapi biaya tetap tinggi

Sumber: Estache, Gomez-Lobo, Leipziger (2001) yang disarikan dari Foster (1999)

Terdapat beragam tipe dasar keterlibatan swasta dalam penyediaan air minum.

Keterlibatan itu dapat diuraikan sebagai berikut.

(i) Kontrak jasa (service contracts).

Aspek individual dari penyediaan infrastruktur (pemasangan dan pembacaan

meteran air, operasi stasiun pompa dan sebagainya) diserahkan kepada swasta

untuk periode waktu tertentu (6 bulan sampai 2 tahun). Kategori ini kurang

memberi manfaat bagi penduduk miskin. Kontrak jasa dipergunakan di banyak

tempat seperti di Madras (India), dan Santiago (Chile).

46

(ii) Kontrak manajemen.

Manajemen swasta mengoperasikan perusahaan dengan memperoleh jasa

menajemen baik seluruh maupun sebagian operasi. Kontrak bersifat jangka

pendek (3 sampai 5 tahun) dan tidak terkait langsung dengan penyediaan jasa

sehingga lebih fokus pada peningkatan mutu layanan daripada peningkatan akses

penduduk miskin. Kontrak manajemen dilaksanakan di Mexico City, Trinidad,

dan Tobago.

(iii) Kontrak sewa-beli (lease contracts).

Perusahaan swasta melakukan lease terhadap aset perusahaan pemerintah dan

bertanggungjawab terhadap operasi dan pemeliharaannya. Perusahaan swasta

mendapat hak dari penerimaan dikurangi biaya sewa beli yang dibayarkan

kepada pemerintah.. Konsep ‘enhanced lease’ diperkenalkan karena di negara

berkembang dibutuhkan investasi pengembangan sistem distribusi, pengurangan

kebocoran, dan peningkatan cakupan layanan. Perbaikan kecil menjadi tanggung

jawab operator dan invetasi besar untuk fasilitas pengolahan menjadi tanggung

jawab pemerintah. Kontrak sewa-beli banyak digunakan di Perancis, Spanyol,

Ceko, Guinea, dan Senegal.

(iv) Bangun-operasi-alih (build-operate-transfer/BOT).

BOT dan beragam variasinya biasanya berjangka waktu lama tergantung masa

amortisasi (25-30 tahun). Operator menanggung resiko desain, membangun dan

mengoperasikan. Imbalannya adalah berupa jaminan aliran dana tunai. Pada

akhir masa perjanjian, pihak swasta mengembalikan seluruh aset ke pemerintah

Terdapat beragam bentuk BOT. Terkecuali secara khusus distribusi diarahkan ke

daerah permukiman kumuh, BOT akan memberi manfaat bagi penduduk miskin.

Pelaksanaan BOT terdapat di Australia, Malaysia, dan Cina.

(v) Konsesi.

Konsesi biasanya berjangka waktu 25 tahun yang berupa pengalihan seluruh

tanggung jawab investasi modal dan pemeliharaan serta pengoperasian ke

operator swasta. Aset tetap milik pemerintah dan operator membayar jasa

penggunaannya. Tarif mungkin direndahkan dengan mengurangi jumlah modal

47

yang diamortisasi, yang dapat menguntungkan penduduk miskin jika mereka

menjadi pelanggan. Konsesi dengan target cakupan yang jelas mengarah pada

layanan bagi seluruh penduduk dapat menjadi alat yang tepat dalam

memanfaatkan kemampuan swasta meningkatkan investasi, memberikan layanan

yang baik, dan menetapkan tarif yang memadai. Melalui cara ini, pemerintah

tetap mengatur tarif melalui sistem regulasi dan memantau kualitas layanan.

Konsesi mempunyai sejarah panjang di Perancis, kemudian berkembang di

Buenos Aires (Argentina), Macao, Manila (Pilipina), Malaysia, dan Jakarta.

Tabel 3.3

Model Kemitraan Pemerintah Swasta yang Potensial Melayani Penduduk Miskin

Pilihan

Potensial Melayani Penduduk

Miskin

Kepemi-likan Aset

Operasi dan Peme-liharaan

Investasi Modal

Resiko Komer-

sial

Waktu

Contoh

Manajemen Rumah Tangga

XX

Rumah tangga

Rumah Tangga

Swasta dengan public

Rumah tangga

Tidak terbatas

Jakarta

Manajemen Komunitas

XXX

Komu-nitas

Komunitas Publik dan ko-munitas

Publik dan ko-munitas

Tidak terbatas

Indone-sia

Penyedia independen skala kecil

XXX

Swasta Swasta Swasta Swasta Beragam Jakarta

Kontrak Layanan

X Publik Publik dan swasta

Publik Publik 1-2 tahun Johan-nesburg Gaza

Kontrak manajemen

XX Publik Swasta Publik Publik 3-5 tahun Mali Namibia

Lease X Publik Swasta Publik Berbagi 8-15 tahun Mozam-bique

Konsesi XXX Publik Swasta Swasta Swasta 25-30 tahun

Manila Jakarta

Bangun-Operasi-transfer (BOT)

X Swasta dan Publik

Swasta Swasta Swasta 20-30 tahun

Australia Malaysia Cina

Divestiture XX Swasta Swasta Swasta Swasta Tidak terbatas

Inggris Wales

Sumber: Diadaptasi dari World Bank (1997) dan Stottmann (2000)

Keterangan: X kurang potensil XX potensi sedang XXX sangat potensil

48

(vi) Pengalihan (divestiture).

Kategori ini merupakan bentuk paling ekstrim dari privatisasi, yang berupa

pengalihan aset dan operasi ke swasta, dapat berupa keseluruhan atau sebagian

aset. Pemerintah hanya bertanggung jawab terhadap regulasi. Tidak banyak

contoh dari divestiture, hanya Inggris dan Wales melakukan dalam skala besar

(Weitz, 2002; Stottmann, 2000).

Dari beragam jenis model kemitraan pemerintah swasta yang ada, hanya

beberapa yang ditengarai berpotensi menguntungkan penduduk miskin, yaitu

manajemen komunitas, penyedia independen skala kecil, dan konsesi.

3.3 Penyedia Air Minum Skala Kecil: Salah Satu Alternatif 3.3.1 Keterbatasan Penyediaan Air Minum Skala Besar

Penyediaan air minum skala besar oleh perusahaan air minum telah berlangsung

beberapa dekade, tetapi hasilnya belum memuaskan. Struktur tarif dan bentuk

pengelolaan saat ini tidak memungkinkan perusahaan air minum menyediakan air bagi

seluruh penduduk. Beragam alasan bagi penduduk untuk tidak terjangkau oleh

pelayanan air minum, yaitu sebagai berikut. Pertama, biaya sambungan terlalu tinggi

dan pembayaran sekaligus di depan menghalangi penduduk miskin untuk

berlangganan. Kedua, air yang tersedia tidak selamanya mencukupi kebutuhan; dan

prioritas utama yang tidak mendapat layanan adalah penduduk miskin. Ketiga, struktur

tarif dan rendahnya konsumsi air penduduk miskin mengakibatkan perusahaan air

minum tidak tertarik melayani penduduk miskin. Keempat, jika penduduk bertempat

tinggal di permukiman liar, mereka tidak akan mendapat layanan publik.

Ketika perusahaan air minum berkeinginan melayani penduduk miskin, mereka

kadang-kadang tidak mempunyai pengetahuan yang memadai. Hal itu akan

menimbulkan beragam akibat, yaitu sebagai berikut. (i) Tingkat layanan sering tidak

sesuai dengan kebutuhan, dan lebih mengutamakan standar teknis yang sering tidak

terjangkau. (ii) Sistem pembayaran tepat waktu tidak sesuai dengan bentuk penerimaan

penduduk miskin yang tidak teratur. (iii) Tidak terjadi komunikasi yang baik antara

perusahaan air minum dan penduduk miskin (McIntosh, 2003 dan Gulyani dkk, 2005).

49

3.3.2 Kategori Penyedia Air Minum Skala Kecil

Berdasarkan tinjauan terhadap beberapa studi empiris, penyedia air minum

skala kecil dapat dikelompokkan dalam beberapa kategori yaitu sebagai berikut.

a. Penyedia yang mempunyai hubungan permanen dengan perusahaan air minum,

yang mendistribusikan air melalui kios atau hidran. Beberapa contoh adalah kios air

di Nairobi (Kenya), Lilongwe (Malawi), Batam (Indonesia); hidran umum dikelola

oleh komunitas di Dakar (Senegal), Mopti (Mali), Dhaka (Bangladesh); dan hidran

umum dikelola oleh asosiasi komunitas skala kecil di Segou (Mali).

b. Masyarakat yang menjual air perpipaan ke komunitas yang belum terlayani air

perpipaan. Beberapa contoh adalah sistem air minum dibangun masyarakat Buenos

Aires (Argentina); sistem air minum dibangun oleh wirausaha di Guatemala City

(Guatemala) dan pusat penjualan air minum hasil pemurnian air sungai

menggunakan sinar matahari di Manila (Pilipina); truk tangki air, gerobak air yang

diambil dari air perpipaan pada waktu dan tempat dimana perusahaan air minum

tidak dapat melayani. Sebagai contoh di Dakar (Senegal), Port-au-Prince (Haiti),

dan Jakarta (Indonesia).

c. Sistem air minum skala komunitas di Dhulikel (Nepal) (Snell, 1998 dan McIntosch,

2003).

Selain kategori di atas, penyedia air minum skala kecil dapat dikenali dari

pembedaan berdasarkan beberapa karakteristik diantaranya tingkat investasi, tingkat

inisiatif, keterkaitan dengan perusahaan air minum, resiko keuangan dan tingkat

layanan. Hal itu selengkapnya dapat dilihat pada Tabel 3.4.

Berdasarkan biaya yang harus dikeluarkan per satuan volume, penyedia air

minum dapat dikategorikan sebagai berikut.

(i) Kelompok harga termahal.

Yang termasuk dalam kategori ini adalah truk tangki air dan gerobak air.

Kelompok ini dapat menjual air dengan harga tertinggi karena mereka dapat

menjangkau pembeli di mana saja dengan cepat dan dapat memenuhi kebutuhan

pembeli setiap saat.

50

(ii) Kelompok harga menengah.

Yang temasuk dalam kategori ini adalah hidran umum dan kios air. Kedua

fasilitas ini dapat melayani daerah dengan kualitas air jelek atau mahal.

(iii) Kelompok harga murah.

Sambungan rumah merupakan sumber air minum yang murah jika biaya investasi

tidak terhitung dalam tariff. Biaya sambungan dapat dicicil.

(iv) Kelompok paling murah atau hampir gratis.

Yang termasuk kategori ini adalah air sungai, danau dan sejenisnya. Biasanya

digunakan untuk mandi dan mencuci.

Tabel 3.4 Tipe dan Karakteristik Penyedia Air Minum Skala Kecil

Tipe Tingkat Investasi

Tingkat Inisiatif

Kaitan dengan Perusahaan Air

Minum

Risiko Keuangan

Tingkat Layanan

Kongsi dengan Perusahaan Air Minum

Sangat rendah

Sangat rendah

Kuat Sangat rendah

Rendah (air di luar rumah)

Penjual kembali Sangat rendah

Rendah Kuat Sangat rendah

-

Penjaja keliling Rendah Rendah Lemah sampai kuat

Rendah Rata-rata (air diantar ke rumah)

Truk Tangki Air Menengah sampai Tinggi

Tinggi Lemah sampai kuat

Menengah (truk dapat digunakan untuk ke-giatan lain)

Rata-rata (air diantar ke rumah)

Penyedia Air Minum Skala Komunitas

Menengah Tinggi Lemah sampai kuat

Tinggi Rata-rata sampai tinggi (air minum didistribusi ke rumah dengan selang atau sambungan rumah)

Sumber: McIntosch, 2003

3.3.3 Peran Penyedia Air Minum Skala Kecil

Penduduk miskin perkotaan sebagian besar tidak mempunyai akses ke air

minum meskipun pembangunan air minum telah berlangsung lama. Hal ini mendorong

timbulnya usaha swasta skala kecil dan informal dalam penyediaan air minum di

51

perkotaan. Usaha ini mempunyai potensi menyediakan layanan pada daerah

berpenduduk miskin dengan biaya investasi yang relatif rendah.

Beberapa alasan maraknya penyedia air minum skala kecil khususnya kios air di

antaranya adalah (i) memungkinkan pengguna membeli dalam jumlah dan waktu yang

sesuai kemampuan mereka; (ii) memungkinkan biaya modal rendah per rumah tangga

yang terlayani; (iii) memungkinkan tingkat pemulihan biaya (cost recovery) perusahaan

air minum lebih baik karena penyedia air minum skala kecil membayar sesuai dengan

yang dipergunakannya. Dengan kata lain, kios air memberikan layanan fleksibel, sesuai

kebutuhan bagi penduduk miskin dengan memungkinkan mereka membeli dalam

jumlah kecil sesuai kemampuan. Penduduk miskin mendapat air dan perusahaan

mendapat pengembalian biaya (Gulyani dkk, 2005).

Karakteristik utama dari usaha ini adalah inisiatif individu, fleksibel, mudah

mengadaptasi terhadap pasar dalam konteks pengaturan keuangan, dan pilihan teknis.

Selain itu, dengan keterlibatan usaha ini maka beban sektor publik menjadi berkurang.

Beberapa pihak memandang perlunya mendukung keberadaan usaha ini dengan

mempertimbangkan hasil peningkatan cakupan pelayanan yang dihasilkan (Snell, 1998)

Solo (1999) mengemukakan bahwa karakteristik yang mengesankan dari

penyedia air skala kecil adalah dalam bentuk efisiensi operasi, yaitu (i) terpenuhinya

pemulihan biaya, (ii) tidak terdapat kebocoran air, (iii) tidak membutuhkan subsidi

publik dan pinjaman. Selain itu, penyedia air skala kecil dapat berkembang sesuai

dengan situasi yang ada. Pada banyak kasus, penyedia air skala kecil dapat berkembang

dari penjaja keliling menjadi truk tanki air bahkan menjadi sambungan pipa bawah

tanah ke rumah. Walaupun demikian, keraguan akan kemampuan penyedia air skala

kecil untuk berkembang menjadi besar dan beroperasi secara efisien tetap ada.

3.3.4 Beberapa Pengalaman Pengelolaan

Berdasar studi “Small Scale Water Providers” yang didanai ADB, ditemukan

bahwa pelayanan air minum skala komunitas mempunyai beberapa karakteristik, yaitu

(i) strategi teknis dan manajemen harus fleksibel, (ii) patokan pelayanan mengikuti

perusahaan air minum, (iii) pelayanannya kurang dihargai oleh pemerintah daerah dan

52

perusahaan air minum, (iv) tingkat pelayanan berkaitan erat dengan keabsahan. Hal itu

dapat diterangkan sebagai berikut.

(i) Strategi teknis dan manajemen harus fleksibel

Hambatan investasi dan biaya operasi ditangani dengan memilih jenis teknologi

yang sesuai dengan kondisi masyarakat. Masyarakat yang dilayani sebagian besar

merupakan pekerja harian sehingga penagihan dilakukan tidak sebulan sekali,

tetapi lebih sering sesuai dengan kemampuan masyarakat. .

(ii) Patokan pelayanan mengikuti perusahaan air minum

Pelayanan skala kecil menganggap perusahaan air minum sebagai pesaing

sehingga kualitas pelayanan diusahakan setingkat.

(iii) Pelayanannya kurang dihargai oleh pemerintah daerah dan perusahaan air

minum

Kebutuhan investasi sulit terpenuhi karena dianggap usaha ilegal, tidak

menguntungkan, dan asetnya tidak dapat dinilai. Akibatnya akses kredit terbatas

dan berbunga tinggi sehingga resiko investasi menjadi tinggi.

(iv) Tingkat pelayanan berkaitan erat dengan keabsahan.

Kualitas pelayanan meningkat ketika pemerintah daerah memberi pengakuan.

Berdasarkan pengalaman WaterAid29 di Malawi, keberadaan kios air sangat

membantu penduduk miskin dalam memenuhi kebutuhannya. Namun, hambatan utama

dalam pengelolaan kios air adalah tarif yang ditetapkan relatif tinggi sehingga tidak

terjangkau oleh penduduk miskin. Kasus free rider30 yang dilakukan oleh pemuka

masyarakat banyak terjadi sehingga menambah beban penduduk. (e-WaterAid, 2005).

PT. Adhya Tirta Batam yang merupakan penyedia air minum di kota Batam

yang bekerja sama dengan Otorita Batam membangun kios air di dekat perumahan liar.

Pembangunan kios air ini didasari pertimbangan untuk mengurangi tingkat pencurian

air, dan menyediakan air minum bagi penduduk yang bermukim di permukiman liar

tanpa harus membangun jaringan distribusi. Secara umum keberadaan kios air 29 Sebuah LSM besar berbasis di Inggris yang bergerak dalam penyediaan air minum bagi penduduk miskin 30Free rider diterjemahkan sebagai seseorang/sekelompok orang yang dalam penggunaan/konsumsi barang/jasa tidak membayar jasa/barang yang telah dikonsumsinya/digunakan sehingga beban pembayarannya menjadi tanggungan pengguna lainnya.

53

menguntungkan bagi masyarakat penghuni permukiman liar, walaupun tarifnya masih

relatif tinggi jika dibandingkan dengan tarif air perpipaan31. (Virgiyanti, 2004).

Walaupun penyedia air minum skala kecil diasosiasikan dengan investasi yang

kecil, pada beberapa kasus usaha tersebut kemudian berkembang pesat dan

membutuhkan investasi besar dan melayani pelanggan dalam jumlah besar32.

3.3.5 Masa Depan Pelayanan Air Minum Skala Kecil

Pasar pelayanan air minum skala kecil sangat tergantung pada kondisi

pelayanan air minum skala besar. Semakin baik dan terjangkau pelayanan air minum

skala besar maka semakin kecil pasar pelayanan air minum skala kecil. Walaupun pada

beberapa pengalaman (Pilipina, Vietnam) pelayanan air minum skala kecil kemudian

berkembang menjadi pelayanan berskala besar, secara keseluruhan sebagian besar

pelayanan air minum skala kecil bersifat pelengkap (komplementer) terhadap

pelayanan skala besar.

Penyediaan air minum yang hanya bergantung pada satu sumber, yaitu air

perpipaan jarang terjadi khususnya di negara berkembang. Bahkan, di negara Amerika

Latin, yang termasuk paling maju dalam urusan penyediaan air minum, dengan

cakupan pelayanan air perpipaan mencapai 79 persen ternyata hanya 15 persen dari

penduduk miskin yang terlayani (Idelovitch, 1997). Akibatnya tetap terjadi

ketidakmerataan pelayanan air minum.

Kondisi ini memungkinkan untuk mendorong pelayanan air minum skala kecil

sebagai alternatif pencapaian Millenium Development Goals pada tahun 2015.

Memasukkan penyedia air minum skala kecil dalam strategi investasi air minum akan

dapat mempercepat peningkatan cakupan layanan, dengan memberi perhatian khusus

31 Kondisi ini terjadi disebabkan pengelola kios air menggunakan tarif penjaja air keliling sebagai pembanding, sehingga walaupun tarifnya lebih murah dari penjaja keliling tetapi masih lebih mahal dari tarif air perpipaan. Harga air perpipaan Rp.3.000,00 per m3, dan harga air kios Rp. 25.000,00 per m3. 32 Di Metro Manila, Pilipina, terdapat penyedia air minum skala kecil yang telah menginvestasikan USD. 350.000 dalam lima tahun dan melayani 25.000 rumah tangga melalui sambungan pipa atau selang air. Sementara di Ho Chi Minh City, Vietnam, terdapat penyedia air minum skala kecil yang melayani 400 rumah tangga melalui sambungan rumah dengan investasi USD. 80.000.

54

pada beberapa kendala tarif yang relatif mahal, dan kurangnya dana investasi (Conan,

2002).

3.4 Kaitan Pembangunan Air Minum terhadap Kemiskinan, Distribusi Pendapatan, dan Pertumbuhan Ekonomi.

3.4.1 Pembangunan Air Minum dan Kemiskinan

Abad ke-21 dimulai dengan sebuah kondisi pembangunan manusia yang

mendasar yang belum tertanggulangi, yaitu akses kepada layanan air minum,

khususnya bagi penduduk miskin di daerah kumuh perkotaan. Sementara akses ke air

minum merupakan sumber daya atau modal dasar bagi keberlangsungan hidup. Akses

ke air minum merupakan salah satu komponen dalam klasifikasi kemiskinan

(Howard, 2004). Kegagalan dalam penyediaan air membawa dampak ke semua

kelompok. Akan tetapi, yang paling besar dampaknya adalah terhadap penduduk

miskin kota sehingga mereka semakin tidak mampu keluar dari siklus kemiskinan.

Beberapa faktor ditengarai menjadi penyebab minimnya akses air minum,

khususnya bagi penduduk miskin, yaitu sebagai berikut.

a. Lahan yang ditempati merupakan miliknya yang sah.

Pada daerah perkotaan, penyedia layanan air minum tidak melayani daerah

permukiman liar, dengan pertimbangan akan memberi legitimasi dan alasan bagi

penduduk untuk terus menempati lokasi tersebut. Walaupun kebijakan nasional

menyatakan bahwa air minum diperuntukkan bagi semua orang, dalam praktiknya

hal ini tidak akan terjadi pada penduduk di permukiman liar.

b. Kemampuan penduduk miskin sangat terbatas untuk membayar biaya sambungan

sekaligus di depan.

Keterbatasan kemampuan untuk membayar biaya sambungan itu akan berakibat

bahwa penduduk miskin tidak akan pernah memperoleh layanan air perpipaan.

Harga satuan air perpipaan jauh lebih rendah dari air yang dijajakan keliling,

tetapi biaya sambungan air perpipaan mahal (McIntosh, A. C, 2003).

55

c. Ketika tanggung jawab penyediaan air minum dialihkan ke swasta, kepentingan

penduduk miskin bukan menjadi perhatian.

Perusahaan penyedia layanan air minum swasta tidak tertarik melayani penduduk

miskin sebab penduduk miskin berkonsumsi rendah, mereka tidak mampu

membayar biaya pemasangan sekaligus di depan. Disamping itu, mereka sering

berlokasi di kawasan permukiman liar.

d. Bagi sebagian besar pengambil keputusan, penduduk miskin dianggap tidak

mampu dan/atau tidak mau membayar.

Penduduk miskin dianggap tidak mampu untuk membayar. Walaupun demikian,

pada saat tertentu seperti menjelang pemilihan umum, penduduk miskin

perkotaan memperoleh perhatian berupa janji perbaikan lingkungan dan

penyediaan air gratis..

e. Lokasi tempat tinggal jauh dari jaringan perpipaan.

Ketika penduduk berlokasi di kawasan kumuh, atau berjarak jauh dari jaringan

perpipaan, akses air minum menjadi berkurang.

Gambar 3.1 Pengaruh Ketersediaan Air Minum terhadap Beragam Dimensi kemiskinan

Sumber: Bosch dkk (2000)

Kesehatan

Pendidikan

Pendapatan/ Konsumsi

- Penyakit terkait air dan sanitasi - Malnutrisi karena diare - Berkurangnya usia harapan hidup

- Tingkat kehadiran berkurang karena sakit, atau antri air

- Tingginya proporsi pengeluaran untuk air

- Berkurangnya potensi penda- patan karena sakit, berkurangnya kesempatan kerja yang memerlukan ketersediaan air.

Dimensi Kemiskinan

Dampak Utama

Kekura-ngan Air Minum dan Sanitasi

56

Kekurangan air dan sanitasi berdampak pada kemiskinan melalui empat

dimensi, yaitu (i) kesehatan, (ii) pendidikan, (iii) jender, dan (iv) pendapatan dan

konsumsi (Bosch, Hommann, Sadoff dan Travers, 2000). Hal itu selengkapnya dapat

dilihat pada Gambar 3.1.

Ketika penduduk miskin tidak memperoleh akses air minum, penduduk miskin

khususnya di perkotaan menanggung konsekuensinya, diantaranya berupa (Johnstone

dan Wood, 1999) (i) meningkatnya biaya bagi yang tidak memperoleh akses, (ii)

berkurangnya konsumsi air, dan (iii) bertambahnya beban kesehatan dan timbulnya

biaya ekonomi karena hilangnya produktivitas. Satu persatu akan dijelaskan berikut ini.

Tabel 3.5 Perbandingan Harga Air Minum Penjaja Keliling dan Perpipaan

di Kota Besar Dunia

Kota

Rasio harga air penjaja keliling terhadap

perpipaan

Sumber Data

Abidjan 5:1 World Bank, 1998 Bandung 62:1 ADB, 1993 Dhaka 12:1 – 25:1 World Bank, 1998 Ho Chi Minh, Vietnam 19:1 ADB, 1993 Istanbul 10:1 World Bank, 1998 Yakarta 14:1 – 20:1 Crane, 1994 Kampala 4:1 – 9:1 World Bank, 1998 Karachi 28:1 – 83:1 World Bank, 1998 Lagos 4:1 – 10:1 World Bank, 1998 Lima 17:1 World Bank, 1998 Manila 13:1 David dan Ionesco, 1998 Nairobi 7:1 – 11:1 World Bank, 1998 Onitsha, Nigeria 35 :1 – 300:1 Whittington dkk, 1991 Port-au-Prince, Haiti 7:1 – 100:1 World Bank, 1998 Surabaya 20:1 – 60:1 World Bank, 1998

Sumber: Diolah dari World Bank, 1998 dan Satterwaithe, 1998

a. Meningkatnya biaya bagi yang tidak memperoleh akses.

Ketika penduduk tidak memperoleh akses, mereka mencari alternatif lain yang

lebih mahal. Masyarakat miskin membeli 5-30 liter air per kapita/hari melalui

“perantara” seperti pemilik rumah, kios air, dan penjaja keliling dengan harga

57

yang jauh lebih mahal. Penduduk menghabiskan dana sekitar 10-40 persen dari

pendapatan untuk air minum dan mungkin membayar 10-100 kali tarif rata-rata

(Black, 1996).

Sementara itu, RT pelanggan air perpipaan umumnya hanya mengeluarkan

kurang dari 2 persen (Satterwaithe, 1998). Hal itu selengkapnya dapat dilihat

pada Tabel 3.5 dan Tabel 3.6.

Sebagai perbandingan, di negara maju, pengeluaran air berkisar pada 0,5

sampai 2 persen dari pendapatan rata-rata (1,3 persen di Jerman dan Belanda, 1,2

persen di Perancis). Air minum dianggap mahal jika pengeluaran melampaui 3

persen dari pendapatan rata-rata penduduk (Water Academy, 2004).

Tabel 3.6 Proporsi Pengeluaran Air Minum Rumah Tangga Miskin Perkotaan

Lokasi Proporsi Pengeluaran/Pendapatan

Sumber

Onitsha, Nigeria 18 persen Whittington dkk, 1991 Manila, Filipina 8,2 persen David dan Inocencio, 1998 Addis Abeba, Ethiopia 9 persen Bahl dan Lihn, 1992 Port-au-Prince, Haiti 3,2 – 10,6 persen Fass, 1998 Khartoum, Sudan 16,5 – 55,6 persen Cairneross dan Kinner, 1992 Sumber: Satterwaithe, 1998

b. Berkurangnya konsumsi air.

Semakin besar biaya, waktu dan usaha yang dibutuhkan bagi konsumsi air, air

yang dikonsumsi penduduk miskin kemungkinan semakin jauh dari kebutuhan

minimal.

c. Bertambahnya beban kesehatan dan timbulnya biaya ekonomi karena hilangnya

produktivitas.

Kekurangan akses ke air minum berkaitan ke penyakit baik yang langsung

maupun yang tidak langsung33.

33Tersedianya akses air minum berpotensi mengurangi angka kematian akibat penyakit terkait air telah lama diamati oleh WHO seperti kolera (potensi berkurang 80-100 persen), dan diare (40-50 persen) (WHO, 1992) Diare mencapai 30 persen dari penyakit menular yang diderita anak-anak, yang mengakibatkan 2,2 juta kematian setiap tahun.

58

Gambar 3.2

Jalur Utama Penularan Penyakit melalui Air konsumsi

kontak kontak pengolahan langsung dibuang dibuang siklus pendek siklus panjang

Sumber: Bosch dkk (2000)

Banyak penduduk miskin terjangkit penyakit disebabkan oleh kurang

layaknya air yang dikonsumsi. Akibatnya, sebagian besar pendapatan habis

untuk penanggulangan kesehatan sehingga tidak cukup tersedia dana untuk

kegiatan produktif. Selain itu, penduduk yang menderita sakit diare atau yang

merawat keluarga yang sakit tidak akan dapat bekerja, yang berarti hilangnya

produktivitas34. (Surjadi, 2003)

Karakteristik pasar air minum diantara komunitas miskin menunjukkan hal-hal

sebagai berikut. (i) Kinerja penyedia air minum yang rendah lebih menyengsarakan

penduduk miskin dibandingkan yang kaya. Penduduk miskin biasanya tergantung pada

gaji harian sehingga waktu yang terbuang untuk memperoleh air akan mengurangi

kesempatan memperoleh penghasilan. (ii) Penduduk miskin membayar lebih besar

untuk air minum. Meskipun terdapat persepsi bahwa penduduk miskin tidak mampu

membayar, kenyataannya mereka membayar lebih besar daripada penduduk kaya,

seperti membeli air dari penjaja keliling dengan harga yang lebih mahal. (iii) Penyedia

alternatif merupakan jalan keluar bagi penduduk miskin untuk mendapatkan layanan.

34WHO memperkirakan 5,6 miliar hari kerja akan diperoleh per tahun kalau semua orang mempunyai akses ke air minum (Hansen, 2004)

Ikan

Air permukaan dan pantai

Manusia

Limbah

Panen -------- Tanah

Air tanah dan

permukaan dan pantai

Air

59

Tingginya kebutuhan air yang tidak terlayani oleh penyedia air perpipaan

memungkinkan penyedia skala kecil mengembangkan inovasi, seperti kios air, penjaja

keliling, jaringan independent, dan lain-lain. (iv) Ketersediaan dana tunai merupakan

isu dalam mendapatkan layanan air minum. Penduduk miskin cenderung membayar

tidak teratur dan dalam jumlah kecil sesuai dengan ketersediaan dana mereka. (v)

Pemilikan lahan merupakan kendala mendapatkan layanan (Kariuki, 2000).

Program pembangunan air minum dapat menanggulangi kemiskinan melalui 2

cara, yaitu (i) mengurangi biaya layanan dasar, dan (ii) mengurangi beberapa resiko

penyebab menurunnya kondisi kesehatan masyarakat yang dapat menurunkan tingkat

kesejahteraan masyarakat (Cain, 1998). Namun, aspek pertama yang terkait langsung

dengan kondisi ekonomi yang sering dikemukakan adalah berupa peningkatan

pendapatan yang dapat digunakan untuk keperluan selain air minum. Kaitan ini

dijelaskan secara nyata melalui ilustrasi berupa peningkatan pendapatan penduduk

miskin setelah penduduk miskin tersebut beralih dari mengonsumsi air yang dibeli dari

penjual keliling ke air perpipaan35.

Ketika pemerintah maupun swasta berkeinginan memberikan layanan air

minum pada penduduk miskin, faktor yang menjadi kepedulian penduduk miskin perlu

mendapat perhatian. Terdapat tiga hal yang menjadi kepedulian utama dari penduduk

miskin. Ketiga hal tersebut akan diuraikan berikut ini.

(i) Harga air.

Rumah tangga miskin lebih tertarik pada harga air yang rendah dan penerapan

skema subsidi silang.

(ii) Ekspansi sistem distribusi.

Rumah tangga miskin akan lebih memberi perhatian pada besarnya biaya

sambungan dan cara pembayaran biaya sambungan (sekali bayar vs dicicil).

(iii) Tingkat layanan (kualitas air, lama layanan, sistem penagihan dan lainnya).

Rumah tangga miskin cenderung membayar tagihan dalam jumlah kecil dengan

frekuensi yang lebih sering. 35 Sebagai ilustrasi, penduduk Manila membayar 900 pesos setiap bulan untuk air minum dari penjaja keliling, tetapi hanya membayar 100 pesos per bulan jika tersambung ke perpipaan. Selisih 800 pesos akan berarti banyak ketika penghasilan sebulan hanya sekitar 6.000 pesos dan biaya sewa rumah sekitar 1.000 pesos(McIntosh,2000)

60

Selain itu, penyedia air minum harus memperhatikan beberapa hal, yaitu (i)

desain penyediaan air minum harus tetap mempertahankan sasaran meningkatkan taraf

kehidupan penduduk miskin, (ii) menghindari asumsi bahwa melayani penduduk

miskin berisiko tinggi dan tingkat pengembalian rendah, (iii) memberikan kebijakan

dan pengaturan yang jelas, (iv) mempersiapkan beragam pilihan akses air minum bagi

penduduk miskin, dengan catatan bahwa penyedia air minum alternatif mungkin lebih

sesuai dengan penduduk miskin, dan (v) memberikan subsidi ke penduduk miskin

melalui tarif yang sering tidak berhasil. Penduduk miskin sebagian memperoleh air dari

tempat umum bahkan penyedia skala kecil, sementara subsidi silang lebih mengarah

pada sambungan rumah. Akibatnya, subsidi terhadap harga menguntungkan penduduk

kaya daripada penduduk miskin36. Harga air yang murah tanpa didukung oleh akses air

minum ke penduduk miskin hanya akan menguntungkan pedagang dan bukan

penduduk miskin (McIntosch, 2003), (vi) perlu ditingkatkan keterlibatan penduduk

miskin sehingga keinginan mereka dapat tersampaikan (Kariuki, 2000).

3.4.2 Pembangunan Air Minum dan Pertumbuhan Ekonomi

Keterkaitan antara kinerja perekonomian dan infrastruktur telah memicu debat

berkepanjangan diantara ahli ekonomi infrastruktur dan ekonomi pembangunan. Bukti

empiris belum dapat menunjukkan secara jelas keterkaitan antara infrastruktur dan

perekonomian. Bank Dunia dalam laporan tahunannya World Development Report

Tahun 1994 menyatakan bahwa belum terdapat konsensus mengenai besaran pasti dari

pengaruh infrastruktur pada pertumbuhan ekonomi, tetapi, sebagian besar studi

menyimpulkan bahwa peran investasi infrastruktur pada pertumbuhan ekonomi sangat

mendasar, signifikan, dan bahkan lebih dari pada investasi modal lainnya.

Terlepas dari perdebatan di atas, sebagian ahli ekonomi berpendapat bahwa

layanan infrastruktur yang memadai adalah kebutuhan dasar untuk pertumbuhan dan

produktivitas.

Terkait dengan pembangunan air minum, analisis terbaru menunjukkan bahwa

pengelolaan air berada pada peringkat kedua terbesar dalam investasi infrastruktur 36 Di manila, penduduk miskin mengkonsumsi hanya 6 m3 per bulan dibanding penduduk kaya sebanyak 30 m3 per bulan, sementara penduduk miskin yang membeli air dari penjual keliling membayar hampir 5 kali lebih besar dari yang dibayar penduduk kaya.

61

bagi kebangkitan ekonomi (Tan, 2000). Sementara itu, WHO (2004) melalui the Swiss

Tropical Institute melakukan kajian manfaat ekonomi dari investasi air minum dan

sanitasi pada beberapa negara. Kesimpulannya adalah bahwa investasi air minum dan

sanitasi sebesar USD 1 akan memberikan pengembalian sebesar antara USD 3 sampai

USD 34, yang bergantung pada lokasinya.

3.4.3 Pembangunan Air Minum dan Kesenjangan

Disamping dampak terhadap pertumbuhan pendapatan agregat, literatur terkini

menunjukkan dampak pembangunan infrastruktur terhadap kesenjangan pendapatan.

Hipotesis ini dibuktikan secara empiris dalam studi Lopez (2003) bahwa dalam kondisi

tertentu, pembangunan infrastruktur dapat berdampak positip pada pendapatan dan

kesejahteraan penduduk miskin dan pendapatan rata-rata. (Calderon, 2001).

Secara khusus terkait dengan air minum, dalam literatur empiris sebagaimana

dikemukakan oleh Brenneman dan Kerf (2002), Galiani, Gertler dan Schargrodsky

(2002), ditunjukkan bahwa peran akses air dan sanitasi dalam mengurangi tingkat

kesenjangan, terlihat melalui dampaknya pada modal manusia khususnya penduduk

miskin (Calderon, 2004).

Kajian Calderon (2004) menunjukkan bahwa pembangunan jaringan air minum

mempunyai dampak negatif dan signifikan pada kesenjangan pendapatan. Beberapa

kesimpulan studi adalah sebagai berikut. (i) Kuantitas infrastruktur mempunyai dampak

positip signifikan pada pertumbuhan ekonomi jangka panjang. (ii) Jumlah dan kualitas

infrastruktur mempunyai dampak negatif terhadap kesenjangan pendapatan. Tanpa

melihat pada tehnik yang digunakan dalam mengukur kesenjangan, ditemukan bahwa

pengurangan kesenjangan tidak hanya dipengaruhi oleh kuantitas, tetapi dipengaruhi

juga oleh kualitas infrastruktur. (iii) Infrastruktur meningkatkan pendapatan dan

mengurangi kesenjangan berakibat bahwa pembangunan infrastruktur menjadi kunci

pengurangan kemiskinan sehingga pembangunan infrastruktur seharusnya menjadi

pendukung utama program pengurangan kemiskinan.

3.5 Pertumbuhan Pro-Poor

Pertumbuhan pro-poor telah dikenal luas dan didefinisikan oleh lembaga

internasional sebagai pertumbuhan yang mengarah pada penurunan kemiskinan secara

62

nyata (OECD, 2001 dan PBB, 2000). Terdapat dua definisi pertumbuhan pro miskin.

Pada konsep pertama, pertumbuhan pro-poor terjadi ketika pendapatan penduduk

miskin meningkat lebih cepat dari penduduk tidak miskin. Sementara itu, konsep kedua

menyatakan bahwa pertumbuhan pro-poor terjadi ketika jumlah absolut penduduk

miskin berkurang (Vos, 2005). Dapat disimpulkan bahwa perbedaan mendasar hanya

pada fokusnya, yaitu (i) konsep pertama pada kesenjangan (White dan Anderson, 2000;

Kakwani dan Pernia, 2000) dan (ii) konsep kedua pada kemiskinan (Ravallion dan

Chen, 2003).

Secara harafiah, ini berarti bahwa pertumbuhan pro-poor terjadi ketika

penduduk miskin lebih banyak mendapat manfaat jika dibanding dengan lainnya.

Selain itu, untuk dapat disebut pertumbuhan pro-poor, pertumbuhan harus disertai

pengurangan kesenjangan. Terdapat cara lain mengartikan pertumbuhan pro-poor,

yaitu pertumbuhan menurunkan angka kemiskinan (Ravallion dan Chen, 2003).

Pertumbuhan disepakati baik untuk penduduk miskin dan dibutuhkan untuk

penurunan kemiskinan berkelanjutan. Akan tetapi, apakah ini memadai?. Sulit dibantah

bahwa penurunan kemiskinan berkelanjutan dapat dicapai melalui kebijakan

redistribusi menyertai kemandekan ekonomi. Pertumbuhan yang dikaitkan dengan

perubahan redistribusi akan mempunyai dampak yang lebih besar terhadap penurunan

kemiskinan dari pertumbuhan tanpa perubahan distribusi (Bourgignon, 2001). Terdapat

dua penjelasan tentang hal ini, yaitu (i) dampak positif langsung dari perubahan

distribusi terhadap penurunan kemiskinan tanpa memperdulikan besaran pertumbuhan

ekonomi; (ii) dampak positip dan tidak langsung dari penurunan kesenjangan. Bahkan

ketika tidak terjadi perubahan distribusi, pertumbuhan ekonomi akan mempunyai

dampak penurunan kemiskinan yang lebih besar kalau kesenjangan awal rendah.

Perubahan distribusi dapat berdampak sekarang pada kemiskinan dan dampak kedepan

berupa penurunan kemiskinan sebagai akibat pertumbuhan ekonomi di masa depan

(Mosley, 2004)

Jika pertumbuhan ekonomi baik untuk penduduk miskin, perubahan

kesenjangan juga secara empiris sesuai untuk menjelaskan perubahan kemiskinan.

Ravallion (2004) menyimpulkan bahwa pertumbuhan akan menjadi alat yang tidak

63

berarti bagi kemiskinan kecuali jika pertumbuhan terjadi bersamaan dengan penurunan

kesenjangan.

Gambar 3.3 Kebijakan, Pertumbuhan, Perubahan Distribusi dan Penurunan Kemiskinan

Sumber: Lopez, 2004

Pertumbuhan ekonomi yang bermanfaat bagi penduduk miskin harus menjadi

prioritas dari kebijakan publik di negara berpendapatan rendah. Pertumbuhan

ekonomi dan kebijakan pro-growth adalah muatan utamanya, tetapi itu saja tidak

mencukupi. Negara miskin harus mencari cara melaksanakan kebijakan yang

meningkatkan manfaat pertumbuhan bagi penduduk miskin. Perubahan distribusi

yang progresif (bahkan sekedar mengurangi percepatan peningkatan kesenjangan)

dapat mempunyai dampak penting pada tingkat pertumbuhan pendapatan penduduk

miskin (Mosley, 2004).

3.6 Rangkuman

Air minum sebagai kebutuhan dasar telah disadari bersama. Sebagai

konsekuensinya adalah penyediaan air minum tidak hanya memperhatikan segi

ekonomis, tetapi juga memperhatikan segi sosial. Pengabaian fungsi sosial akan

berakibat bahwa penduduk miskin terabaikan kebutuhannya akan air minum. Ketika air

minum tidak terjangkau, penduduk miskin yang paling banyak menderita. Akses ke air

minum merupakan salah satu komponen dalam klasifikasi kemiskinan. Hal ini telah

Pertumbuhan Pendapatan

Reformasi Kebijakan

Perubahan Kemiskinan

Perubahan Distribusi Pendapatan

64

disadari sejak lama, tetapi masih banyak penduduk khususnya yang miskin yang belum

terjangkau.

Ketiadaan akses terhadap air minum mempengaruhi kondisi kesehatan,

pendidikan, dan pendapatan dan konsumsi. Konsekuensi kurangnya akses terhadap air

minum diantaranya berupa biaya penyediaan air yang lebih mahal, waktu yang tersita

lebih banyak untuk mendapatkan air, konsumsi air berkurang, bertambahnya beban

kesehatan dan pada akhirnya bermuara pada timbulnya biaya ekonomi disebabkan

hilangnya produktivitas.

Kesadaran bahwa air merupakan kebutuhan dasar kemudian ditindaklanjuti oleh

pemerintah dengan menyediakan air minum dengan harga yang terjangkau khususnya

bagi penduduk miskin. Di pihak lain, harga yang terjangkau sering lebih rendah dari

biaya produksi sehingga menyulitkan penyedia air minum untuk berkembang.

Kemudian, harga terjangkau tidak dengan sendirinya membantu penduduk miskin

karena dalam kenyataannya penduduk miskin masih banyak yang belum terlayani.

Sebaliknya, kondisi ini malah mengurangi kemampuan pemerintah menyediakan air

minum yang berkualitas dan menjangkau keseluruhan penduduk. Berdasarkan alasan

ketidakmampuan pemerintah menyediakan kebutuhan air minum bagi masyarakat,

swasta mulai berperan dalam penyediaan air minum.

Secara empiris kinerja swasta dalam penyediaan air minum masih kontroversial.

Beberapa studi di Asia Pasifik, dan Amerika Serikat, menunjukkan bahwa kinerja

swasta lebih efisien. Sementara itu, di Swedia, Inggris, dan Perancis menunjukkan hasil

yang berseberangan. Kondisi ini mengakibatkan sebagian pihak mendukung

keterlibatan swasta dengan menyatakan keterlibatan swasta meningkatkan efisiensi dan

mendorong bertambahnya investasi dan pertumbuhan ekonomi. Di pihak lain, pihak

penentang menyatakan bahwa swasta mengedepankan keuntungan dengan

mengabaikan kepentingan penduduk miskin. .

Keterlibatan swasta dalam penyediaan air minum dapat dilihat baik dari sudut

pandang makro maupun mikro. Secara makro, peningkatan investasi air minum akan

berdampak positip terhadap pertumbuhan ekonomi. Namun secara mikro, penduduk

miskin cenderung terabaikan disebabkan akses yang sulit (biaya sambungan meningkat,

65

berlokasi di permukiman liar), dan tidak terjangkau (tarif yang meningkat, subsidi yang

berkurang).

Ketidakmampuan pemerintah, dan kemudian juga swasta, mendorong penduduk

terutama yang miskin untuk memperoleh air minum dari sumber alternatif, yang

dikenal dengan istilah penyedia air minum skala kecil (small scale water provider).

Biaya layanan penyedia skala kecil relatif lebih mahal dari sistem perpipaan, tetapi

bentuk layanan yang diberikan oleh penyedia skala kecil bersifat fleksibel37 sehingga

terjangkau oleh penduduk miskin. Walaupun demikian, penyedia skala kecil masih

dianggap bersifat sementara sampai sistem air perpipaan dapat melayani.

Sebagaimana investasi air minum perpipaan maka investasi air minum

nonperpipaan (penyedia skala kecil) akan berdampak positip pada pertumbuhan

ekonomi. Secara empiris belum diketahui dampak dari investasi air minum

nonperpipaan terhadap distribusi pendapatan. Secara teoritis, dalam jangka menengah

dampaknya tergantung pada harga air yang dikonsumsi dibandingkan dengan

kemungkinan timbulnya dampak terhadap kesehatan jika mengkonsumsi air yang tidak

layak. Sementara itu, dalam jangka pendek dampak dari harga akan lebih dominan.

Keterkaitan isu akses terhadap air minum dengan pertumbuhan ekonomi dan

distribusi pendapatan menjadi mengemuka ketika kondisi kemiskinan perkotaan

menjadi perhatian. Akses terhadap air minum merupakan salah satu penyumbang

terhadap kemiskinan perkotaan. Bahkan, ditengarai pembangunan air minum yang

mengabaikan penduduk miskin akan berdampak pada semakin meningkatnya

kesenjangan pendapatan di perkotaan.

Keterkaitan antara kinerja perekonomian dan infrastruktur telah memicu debat

berkepanjangan diantara ahli ekonomi infrastruktur dan ekonomi pembangunan.

Belum terdapat konsensus mengenai besaran pasti dari pengaruh infrastruktur pada

pertumbuhan ekonomi. Namun, sebagian besar studi menyimpulkan bahwa peran

investasi infrastruktur pada pertumbuhan ekonomi sangat mendasar, signifikan dan

bahkan lebih dari pada investasi modal lainnya.

37 Penduduk dapat membeli/membayar dalam jumlah dan pada waktu yang sesuai kemampuan mereka

66

Kaitan pertumbuhan dan kesenjangan lebih terlihat pada literatur teoritis.

Sementara itu, berbeda dengan pandangan Kutznets, beberapa literatur empiris terkini

secara seragam menyatakan bahwa pertumbuhan tidak mempunyai dampak sistematis

pada kesenjangan.

Teori sederhana dan bukti empiris menunjukkan bahwa pengurangan

kemiskinan dapat dicapai melalui percepatan pertumbuhan ekonomi dan/atau

perubahan distribusi pendapatan. Pada saat pendapatan rata-rata meningkat, proporsi

populasi yang hidup dalam kemiskinan absolut akan berkurang, Meskipun bukti

menunjukkan bahwa pertumbuhan dapat dikaitkan dengan meningkatnya kesenjangan

pendapatan, penurunan kemiskinan didominasi oleh pengaruh langsung dari

pertumbuhan.

Terdapat banyak bukti yang menunjukkan bahwa pertumbuhan .itu penting bagi

penanggulangan kemiskinan. Berdasarkan riset terdahulu, Kraay (2004) menguraikan

dampak pertumbuhan pada kemiskinan melalui tiga sumber pertumbuhan pro-poor,

yaitu (i) pertumbuhan tinggi, (ii) kemiskinan yang sensitif terhadap pertumbuhan, dan

(iii) pertumbuhan berpola mengurangi kemiskinan.

Ketiadaan akses terhadap air minum khususnya bagi penduduk miskin

perkotaan akan berdampak semakin parahnya distribusi pendapatan di perkotaan.

Selanjutnya, hal itu akan berdampak terhadap menurunnya pertumbuhan ekonomi. Di

pihak lain, pertumbuhan ekonomi dianggap sebagai syarat utama dalam mengatasi

kemiskinan perkotaan. Penyediaan air minum secara teoritis dapat menjadi alat yang

membantu menjembatani proses pertumbuhan ekonomi dengan pengurangan

kesenjangan melalui dampak ketersediaan air minum terhadap tingkat pendapatan

penduduk miskin. Kondisi ini kemudian dikenal sebagai fenomena pertumbuhan pro-

poor, yaitu pertumbuhan ekonomi yang disertai dengan pengurangan kesenjangan

pendapatan dan/atau kemiskinan.

Pembangunan air minum seharusnya disadari bukan suatu beban, tetapi suatu

kesempatan untuk mengatasi kemiskinan khususnya di perkotaan. Pembangunan air

minum seharusnya berdampak pada pertumbuhan ekonomi dan sekaligus juga

mengurangi kesenjangan pendapatan.

67

BAB IV

PEMODELAN DAMPAK INVESTASI AIR MINUM 4.1 Teori Keseimbangan Umum

Teori keseimbangan umum merupakan teori yang menjelaskan tentang

keberadaan beragam pasar yang saling terkait satu sama lain dalam suatu

perekonomian. Sebagai akibatnya, perubahan pada satu pasar akan berpengaruh

terhadap pasar lainnya. Kondisi keseimbangan akan terbentuk ketika permintaan dan

penawaran pada masing-masing pasar berada pada kondisi keseimbangan simultan.

Secara matematis, tingkat harga keseimbangan merupakan solusi dari sistem persamaan

simultan yang menggambarkan perilaku dari setiap pelaku ekonomi dan keseimbangan

di setiap pasar (Hartono, 2002).

Model keseimbangan umum dikembangkan pertama kali oleh Leon Walras

yang mengemukakan bahwa semua harga dan jumlah barang di semua pasar ditentukan

secara simultan melalui proses interaksi satu dengan lainnya (Lewis, 1991). Untuk

menjelaskan konsepnya, Walras menggunakan pendekatan matematis melalui konsep

kelebihan permintaan sebagai berikut.

Asumsi yang diperguna-

kan dalam Hukum Walras adalah

bahwa suatu perekonomian ter-

diri dari n pasar komoditi yang

dibedakan atas dua keseimbang-

an yaitu keseimbangan parsial

dan keseimbangan umum. Kese-

imbangan parsial terjadi pada

sebuah pasar komoditi, semen-

tara keseimbangan umum terjadi

secara serentak pada semua

Kotak 4.1 Hukum Walras

Suatu sistem yang terdiri atas n pasar, memiliki fungsi permintaan )(PX D , fungsi penawaran )(PX S dan fungsi kelebihan permintaan untuk pasar ke-j yang didefinisikan sebagai:

Sj

Djj XXPZ −=)(

Dalam kondisi keseimbangan, untuk setiap pasar ke-i secara simultan berlaku )(PX D = )(PX S dan kondisi:

∑=

=•n

jjj ZP

10 , untuk setiap 0≥jP .

68

pasar. Jika terdapat n pasar parsial, keseimbangan umum akan tercapai ketika n-1 pasar

parsial telah mencapai keseimbangan.

4.2 Model Komputasi Keseimbangan Umum (CGE)38 4.2.1 Prinsip dan Kerangka Dasar

Model komputasi keseimbangan umum (computable general equilibrium, CGE)

merupakan suatu model kuantitatif yang berhubungan dengan keseimbangan

perekonomian secara umum yang harga-harga dari semua barang dan jasa serta faktor-

faktor produksi memiliki peranan yang sangat penting dalam menyeimbangkan antara

permintaan (demand) dan penawaran (supply). Model keseimbangan umum disusun

oleh persamaan-persamaan yang memuat perilaku-perilaku dari para pelaku ekonomi

(rumah tangga, perusahaan, pemerintah dan dunia internasional) dalam kerangka suatu

model. Permintaan dan penawaran akan barang dan jasa serta faktor-faktor produksi

oleh para pelaku ekonomi tersebut didasarkan kepada mekanisme pasar.

Perilaku para pelaku ekonomi dalam suatu model komputasi keseimbangan

umum (computable general equilibrium, CGE) dasar pada umumnya terdiri dari: rumah

tangga, perusahaan, pemerintah dan dunia internasional. Perilaku para pelaku ekonomi

dalam model keseimbangan umum diasumsikan sangat rasional, yaitu

memaksimumkan keuntungan untuk para pelaku ekonomi yang membutuhkan faktor

produksi atau memaksimumkan utilitas untuk pelaku ekonomi yang mengkonsumsi

barang dan jasa serta faktor produksi. (Bappenas, 2004).

Model CGE adalah sebuah model keseimbangan yang dibangun berdasarkan

struktur sosial ekonomi dari Social Accounting Matrix (SAM), dengan disagregasi

multisektor. Struktur dasar SAM yang dipergunakan dalam model CGE disajikan pada

Tabel 4.1

38 Computable General Equilibrium (CGE) Model diterjemahkan menjadi Model Komputasi Keseimbangan Umum. Pada beberapa kajian kadang juga diterjemahkan menjadi Model Keseimbangan Umum Terapan

69

Tabel 4.1

Struktur Dasar SAM pada Model CGE

Pengeluaran Penerimaan Aktivitas Komoditi Faktor Rumah

Tangga Perusahaan Pemerintah Tabungan-Investasi Sisa Dunia Total

Aktivitas Output yang dipasarkan Output yang

dikonsumsi Pendapatan

aktivitas (output kotor)

Komoditi Input Antara Biaya transaksi Konsumsi privat Konsumsi

pemerintah Investasi Ekspor Permintaan

Faktor Nilai Tambah Pendapatan

faktor dari sisa dunia

Pendapatan faktor

Rumah Tangga

Pendapatan faktor untuk

rumah tangga

Transfer antar rumah tangga

Surplus untuk rumah tangga

Transfer ke rumah tangga

Transfer ke rumah tangga dari sisa dunia

Pendapatan rumah tangga

Perusahaan Pendapatan faktor untuk perusahaan

Transfer ke perusahaan

Transfer ke perusahaan dari

sisa dunia

Pendapatan perusahaan

Pemerintah Pajak produsen dan pajak nilai

tambah

Pajak penjualan, tarif,

pajak ekspor

Pendapatan faktor untuk pemerintah, pajak faktor

Transfer ke pemerintah,

pajak langsung rumah tangga

Surplus ke pemerintah,

pajak langsung perusahaan

Transfer ke

pemerintah dari sisa dunia

Pendapatan pemerintah

Tabungan-Investasi Tabungan

rumah tangga Tabungan

perusahaan Tabungan

pemerintah Tabungan Asing Tabungan

Sisa Dunia Impor Pendapatan

faktor ke sisa dunia

Surplus untuk sisa dunia

Transfer pemerintah

untuk sisa dunia

Foreign exchange outflow

Total Pengeluaran aktifitas Penawaran Pengeluaran

faktor Pengeluaran

rumah tangga Pengeluaran perusahaan

Pengeluaran pemerintah Investasi Foreign

exchange inflow

Sumber: Lofgren dkk (2001)

70

Sumber: Lofgren dkk (2002).

Biaya Input Antara Aktivitas

Pasar Faktor

Rumah Tangga

Pasar Komoditi

Bagian Lain Dunia

Pemerintah Tabungan/ Investasi

Biaya Faktor

Upah & Sewa

Penjualan

Ekspor Impor

Konsumsi Pemerintah

Tabungan dari Luar Negeri

Permintaan Investasi

Transfer dari Luar Negeri

Konsumsi Swasta

Transfer

Pajak

Tabungan Pemerintah

Tabungan Swasta Domestik

Gambar 4.1 Struktur Dasar Model CGE

71

4.2.2 Model Standar Komputasi Keseimbangan Umum39 Perilaku dalam mengambil keputusan untuk melakukan produksi dan konsumsi

dalam model standar komputasi keseimbangan umum diasumsikan memiliki struktur

yang tidak linier serta memenuhi kondisi syarat perlu dan cukup berupa optimisasi

turunan pertama dan turunan kedua. Disamping itu, rangkaian-rangkaian

persamaan dalam model dasar kesetimbangan umum juga memuat beberapa kendala

(constraints) yang harus dapat dipenuhi oleh sistem model dasar kesetimbangan umum

secara keseluruhan dengan tidak perlu melihat kepada pertimbangan-pertimbangan dari

masing-masing pelaku ekonomi.

• Aktifitas, Produksi dan Pasar Faktor Produksi

Masing-masing produsen yang direpresentasikan dengan suatu kegiatan

diasumsikan untuk memaksimumkan keuntungan. Keuntungan merupakan selisih

antara pendapatan (revenue) dengan seluruh biaya dari faktor-faktor produksi (factors

of production) dan barang antara

(intermediate inputs) yang diperlu-

kan dalam seluruh kegiatan produk-

si. Kendala yang membatasi perilaku

memaksimumkan keuntungan dari

produsen didasarkan kepada keada-

an teknologi yang dimiliki dan

dipergunakan dalam melakukan

proses produksi.

Pada bagian yang paling atas

dipergunakan persamaan produk-

si berdasarkan constant elasticity

of substitution (CES) atau fungsi

39 Sub Bab ini merupakan terjemahan bebas dari A Standard Computable General Equilibrium Model in GAMS oleh Hans Lofgren dkk, IFPRI, 2001.

Gambar 4.2 Teknologi Produksi

Output Komoditas (koefisien hasil tetap)

Tingkat Aktifitas (CES/Leontief)

Nilai Tambah (CES)

Antara (Leontief)

Faktor Primer

Komoditas Komposit

Impor Domestik

Sumber: Lofgren, 2001

72

Leontief40 yang menggabungkan antara seluruh nilai tambah serta barang-barang input

antara.

Masing-masing kegiatan dapat memproduksi atau menghasilkan satu jenis

komoditi atau lebih berdasarkan koefisien-koefisien hasil produksi yang tetap (fixed

yield coefficients). Pendapatan (revenue) dari kegiatan dihitung berdasarkan tingkat

proses kegiatan dan hasil produksi dengan berpatokan kepada harga jual yang

ditawarkan oleh produsen.

Sesuai dengan keinginan para produsen untuk memaksimumkan keuntungan

dilihat dari sisi penggunaan faktor-faktor produksi, masing-masing kegiatan atau proses

produksi yang dilakukan oleh para produsen akan mempergunakan faktor-faktor

produksi sampai pada suatu titik yang pendapatan marjinal dari masing-masing hasil

produksi (marginal revenue of factors production) sama dengan biaya perolehan

masing-masing faktor produksi (factors price or rent) tersebut. Harga perolehan dari

masing-masing faktor produksi tersebut akan berbeda-beda bergantung pada

segmentasi dari pasar faktor-faktor produksi maupun pada mobilitas dari faktor-faktor

produksi tersebut.

• Lembaga atau Para Pelaku Kegiatan Ekonomi

Lembaga atau pelaku ekonomi yang akan diakomodasi ke dalam model

diantaranya berupa rumah tangga, perusahaan, pemerintah dan bagian lain dunia (rest

of the world, ROW).

Rumah tangga yang didisagregasi sesuai dengan yang tercantum di SAM

mendapatkan pendapatan (income) dalam bentuk upah tenaga kerja dari perusahaan-

perusahaan sebagai imbalan dari penggunaan faktor produksi (tenaga kerja) oleh

perusahaan-perusahaan. Disamping itu, rumah tangga juga mendapatkan pendapatan

lain yang berasal dari transfer dari pelaku-pelaku ekonomi lainnya. Transfer dari bagian

lain dunia (rest of the world, ROW) ke rumah tangga memiliki nilai yang tetap dengan 40Fungsi produksi CES sesuai untuk dipergunakan pada sektor-sektor yang secara empiris diketahui bahwa komposisi dari seluruh nilai tambah dan barang-barang input antara berubah-ubah. Sementara itu, fungsi produksi Leontief sangat sesuai dipergunakan pada sektor-sektor yang secara empiris diketahui bahwa komposisi dari seluruh nilai tambah dan barang-barang input antara relatif tidak berubah-ubah atau selalu tetap .

73

denominasi dalam nilai mata uang asing. Rumah tangga mempergunakan

pendapatannya untuk membayar pajak langsung, keperluan tabungan, membiayai

kegiatan konsumsi, serta melakukan transfer kepada para pelaku ekonomi lainnya.

Dalam model yang paling sederhana, pajak langsung dan transfer kepada para pelaku

ekonomi lainnya di dalam negeri didefinisikan memiliki proporsi yang tetap dari

pendapatan yang diperoleh rumah tangga. Sementara itu, proporsi pengeluaran rumah

tangga untuk keperluan simpanan didefinisikan fleksibel untuk sebagian rumah tangga.

Proporsi pengeluaran rumah tangga untuk pembayaran pajak langsung dan simpanan

tersebut didasarkan kepada pilihan closure antara neraca pemerintah serta neraca

tabungan-investasi. Pendapatan rumah tangga setelah dikurangi pengeluaran pajak

langsung dan keperluan tabungan merupakan disposable income yang dapat

dipergunakan untuk keperluan konsumsi.

Konsumsi yang dilakukan rumah tangga meliputi komoditi-komoditi yang

dijual di pasar yang diperoleh dengan harga pasar termasuk pajak komoditi yang harus

dibayar serta biaya-biaya transaksi yang timbul dari perpindahan komoditi dalam rantai

pasokan perdagangan komoditi tersebut serta home commodities yang diperoleh dengan

harga yang ditawarkan oleh produsen. Pengeluaran konsumsi rumah tangga

diperuntukkan untuk membeli bermacam-macam komoditi (marketed and home

commodities) berdasarkan suatu fungsi yang dikenal dengan linear expenditure system

(LES).

Pendapatan dari faktor produksi tidak selamanya dibayarkan langsung kepada

rumah tangga melainkan bisa juga dibayarkan melalui satu atau beberapa perusahaan.

Perusahaan dapat juga memperoleh transfer dari para pelaku ekonomi lainnya.

Pendapatan yang diperoleh oleh perusahaan dialokasikan untuk membayar pajak

langsung, keperluan tabungan dan transfer kepada para pelaku ekonomi lainnya.

Perusahaan-perusahaan diasumsikan tidak melakukan kegiatan konsumsi. Pembayaran

yang dilakukan oleh dan kepada perusahaan dimodelkan sama dengan pembayaran

yang dilakukan oleh dan kepada rumah tangga.

Pemerintah mengumpulkan pajak dan mendapatkan transfer dari para pelaku

ekonomi lainnya. Dalam model dasar, pajak yang diterapkan adalah digolongkan

74

kedalam ad valorem tax dengan tingkat pembayaran tetap. Pemerintah mempergunakan

pendapatan yang berasal dari pajak tersebut disamping untuk membeli komoditi

keperluan konsumsi juga untuk mendanai transfer yang diindeks dengan inflasi

(consumer price index, CPI) kepada para pelaku ekonomi lainnya. Tabungan

pemerintah diasumsikan fleksibel dan merupakan selisih dari pendapatan pemerintah

atas pajak serta pengeluaran pemerintah untuk keperluan konsumsi dan transfer kepada

para pelaku ekonomi lainnya.

Bagian lain dunia merupakan salah satu pelaku ekonomi yang masih tersisa.

Seperti telah dikemukakan sebelumnya bahwa pembayaran transfer dari dan ke bagian

lain dunia serta para pelaku ekonomi dalam negeri dan pembayaran faktor produksi

dilakukan dalam mata uang asing. Perdagangan komoditi antara para pelaku ekonomi

dalam negeri dengan bagian lain dunia akan diterangkan secara lebih terperinci dalam

bagian berikutnya. Tabungan luar negeri atau current account deficit merupakan selisih

antara pengeluaran dan penerimaan dalam mata uang asing tersebut.

• Pasar Komoditi

Seluruh komoditi untuk keperluan konsumsi dalam negeri dan ekspor (kecuali

output produk yang dikonsumsi sendiri) diperdagangkan pada pasar-pasar komoditi.

Produk yang dihasilkan di dalam negeri dapat diperdagangkan atau dikonsumsi sendiri.

Tahapan pertama dalam rantai pasokan dari produk yang diperdagangkan adalah

melakukan agregasi produk yang dihasilkan dalam negeri dari produk yang dihasilkan

oleh beberapa kegiatan produksi untuk suatu jenis komoditi tertentu. Hasil produksi

tersebut memiliki sifat substitusi tidak sempurna (imperfectly subsitution) yang

diakibatkan oleh adanya perbedaan waktu, kualitas dan lokasi dalam melaksanakan

kegiatan-kegiatan yang berbeda. Suatu fungsi constant elasticity of substitution (CES)

dipergunakan sebagai fungsi untuk mengagregasi hasil-hasil produksi dari keseluruhan

kegiatan. Permintaan dari masing-masing hasil produksi dari masing-masing kegiatan

diturunkan berdasarkan upaya meminimisasi biaya dalam menawarkan output agregat

dalam jumlah tertentu dengan memperhatikan batasan pada fungsi CES. Harga dari

komoditas tertentu berperan sebagai patokan penentuan harga pada pasar yang implisit

dari masing-masing komoditi yang didisagregasi.

75

Kemudian pada tahap berikutnya,

hasil-hasil kegiatan produksi dalam

negeri secara agregat dialokasikan

masing-masing untuk keperluan ekspor

dan penjualan di dalam negeri dengan

asumsi maksimisasi keuntungan yang

dilakukan oleh pemasok untuk setiap

kegiatan produksi dengan batasan kepada

tingkatan transformasi tidak sempurna

yang dinyatakan dengan suatu fungsi

constant elasticity of transformation

(CET). Jika dilihat dari sisi pasar

internasional, permintaan akan komoditi

ekspor diasumsikan bersifat elastik

sempurna pada tingkat harga internasional yang berlaku. Harga yang diterima oleh para

pemasok dalam negeri dari kegiatan ekspor dinyatakan dalam nilai mata uang

domestik. Harga yang diterima oleh para pemasok tersebut telah mengakomodasi

seluruh biaya transaksi dan pajak ekspor. Sementara itu, harga yang diterima oleh para

pemasok dalam negeri yang memperdagangkan produknya di dalam negeri adalah

harga yang dibayarkan oleh konsumen dalam negeri dikurangi dengan seluruh biaya

transaksi pemasaran produk dalam negeri. Apabila produk yang dihasilkan di dalam

negeri tidak diekspor, produk-produk tersebut akan dipasarkan di pasar dalam negeri

atau dipergunakan sendiri.

Permintaan komoditi dalam negeri merupakan gabungan antara permintaan

komoditi untuk keperluan konsumsi rumah tangga, konsumsi pemerintah, investasi,

pengadaan barang antara serta input keperluan berbagai transaksi (kegiatan

perdagangan dan transportasi).

Gambar 4.3 Aliran Komoditas yang Dipasarkan

Output Komoditas dari aktifitas 1

Output Komoditas dari aktifitas n

Output agregat

Penjualan Domestik

Eksporagregat

Impor agregat

Komoditi Komposit

Penggunaan RumahAntara + Investasi + Pemerintah + Tangga

Sumber: Lofgren, 2001

CES

CET

CES

76

• Sistem Persamaan

Model CGE dari sebuah perekonomian nasional merupakan sistem persamaan

yang mencerminkan perilaku semua pelaku ekonomi, yaitu perilaku konsumen dan

produsen, serta kondisi kliring pasar (market-clearing condition) dari barang dan jasa

dalam perekonomian tersebut. Sistem persamaan ini biasanya dibagi dalam enam blok

persamaan. Blok-blok tersebut adalah sebagai berikut.

Blok Produksi

Persamaan-persamaan dalam blok ini mencerminkan struktur kegiatan produksi

dan perilaku produsen.

Blok Konsumsi

Blok ini terdiri dari persamaan-persamaan yang mencerminkan perilaku rumah

tangga dan institusi lainnya.

Blok Ekspor-Impor

Blok ini menggambarkan keputusan negara/daerah untuk mengekspor atau

mengimpor barang dan jasa.

Blok Investasi

Persamaan-persamaan dalam blok ini menyimulasikan keputusan untuk

melakukan investasi dalam perekonomian dan permintaan akan barang dan jasa

yang dipergunakan dalam pembentukan modal baru.

Blok Kliring Pasar

Persamaan-persamaan dalam blok ini menentukan kondisi kliring pasar untuk

tenaga kerja, barang dan jasa dalam perekonomian. Neraca pembayaran

nasional juga termasuk dalam blok ini.

Blok Antarwaktu (Intertemporal)

Blok ini terdiri dari persamaan-persamaan dinamik yang menghubungkan

kegiatan ekonomi tahun ini dengan kondisi ekonomi masa depan.

Berikut ini akan dibicarakan blok tersebut secara satu per satu.

77

o Blok Produksi

Blok ini mencerminkan struktur kegiatan produksi dan perilaku produsen.

Secara spesifik, perilaku produsen dalam suatu model CGE merupakan pusat yang

menghubungkan antar pasar tenaga kerja, output, upah dan harga (Devarajan, 1988).

Gambar 4.4 di bawah ini

menunjukkan struktur dari fungsi

sektor produksi.

Berdasarkan Gambar 4.4,

terlihat bahwa output diproduksi

dengan menggunakan kombinasi

dari intermediate input dan value

added untuk semua sektor yang

berasal dari faktor produksi. Di

dalam gambar tersebut, diasum-

sikan hanya menggunakan dua

faktor produksi, yaitu tenaga kerja dan modal (termasuk tanah).

Teknologi yang digunakan dalam proses produksi diasumsikan mengikuti

fungsi produksi Nested CES (Constant Elasticity of Substitution).

Output (X) didefinisikan sebagai fungsi CES yang merupakan komposit dari

input antara (intermediate input/ IN) dan nilai tambah (value added/ VA). Disamping

itu, input antara adalah fungsi dari barang dan jasa dalam perekonomian yang keduanya

digunakan secara proporsi tetap (fixed proportion). Sebaliknya, nilai tambah sendiri

merupakan fungsi dari faktor produksi, yang faktor tersebut diekspresikan sebagai

fungsi CES sehingga fungsi produksi yang dimaksud di atas dapat dinyatakan dalam

bentuk:

( )[ ] Xi

Xi

Xi

iX

iiX

iX

ii VAINX ρρρ ββα1

1−

−− −+= persamaan [3.1]

Parameter α adalah parameter efisiensi yang juga merupakan indikator untuk

menjelaskan teknologi, parameter β adalah parameter distribusi yang menunjukkan fak-

tor share di dalam produk secara relatif, sedangkan paramater ρ adalah parameter subs-

Antara Nilai Tambah

CES

Tenaga kerja

modal

CES

X1

X2

Xn

Proporsi tetap

Output X

Gambar 4.4 Struktur Fungsi Sektor Produksi

Sumber: Lofgren, 2001

78

titusi yang menunjukkan nilai (konstanta) dari elastisitas substitusi. Nilai terendah dari

ρ adalah –1 yang menunjukkan bahwa elastisitas substitusi tersebut infinite.

Selanjutnya untuk nilai ρ yang terletak antara –1 dan 0 (nol) akan diperoleh elastisitas

substitusi yang bernilai lebih besar dari satu. Kemudian untuk kasus nilai ρ = 0, akan

dihasilkan nilai elastisitas sama dengan 1 yang pada akhirnya akan memberikan fungsi

Cobb-Douglas. Sebaliknya, untuk nilai 0 < ρ < ∞, akan diperoleh nilai elastisitas

substitusi yang lebih kecil daripada satu.

Dengan uraian yang dipaparkan di atas, dapat dikemukakan proses optimisasi

dari perilaku produsen, yaitu dengan meminimumkan biaya produksi dengan kendala

fungsi produksi CES sebagai berikut:

Minimumkan ii VAiINi PVAPINTC += .

Dengan kendala ( )[ ] Xi

Xi

Xi

iX

iiX

iX

ii VAINX ρρρ ββα1

1−

−− −+=

First Order Condition (FOC):

⇔=∂∂ 0

iVAL ( )[ ] ( ) 011 111

=−−+− −−−−

−− XiX

iXi

Xi

i iX

iiX

iiX

iXiVA VAVAINP ρρρρ βββλα

…………. persamaan [3.2]

⇔=∂∂ 0

iINL ( )[ ] 01 111

=−+− −−−−

−− XiX

iXi

Xi

i iX

iiX

iiX

iXiIN INVAINP ρρρρ βββλα

………….. persamaan [3.3]

Dengan mengatur dan menata ulang kembali persamaan [3.2] dan [3.3] melalui

proses substitusi nilai λ, akan diperoleh bentuk sebagai berikut:

( )1

1

1

+

⎥⎥⎦

⎢⎢⎣

−=

Xi

i

i

XiIN

XiVA

i

i

PP

VAIN ρ

ββ

……… persamaan [3.4]

Persamaan [3.4] menunjukkan rasio input yang optimal. Dari persamaan ini,

dapat diturunkan suatu proses yang menghasilkan input antara optimal yang

dibutuhkan untuk memproduksi output domestik.

79

Disamping input antara, terdapat faktor produksi yang juga dibutuhkan untuk

menghasilkan output domestik, yaitu nilai tambah. Nilai tambah didefinisikan sebagai

fungsi Cobb-Douglas yang merupakan kombinasi dari faktor tenaga kerja, modal, dan

tanah (FACDEM). Fungsi produksi Cobb-Douglas merupakan kasus khusus dari fungsi

CES ketika ρ = 0 sehingga dapat dinyatakan bahwa proses untuk mendapatkan nilai

tambah yang optimal adalah dengan melakukan hal berikut.

Maksimumkan: ∑−=Πf

ififiVA FACDEMWAVAPi.

Dengan kendala: ViV

i

fif

Vif

Vii FACDEMVA

ρρβα

1−

−⎥⎦

⎤⎢⎣

⎡= ∑

First Order Condition (FOC):

0.0 =−∂

∂⇔=

∂Π∂

ifif

iVA

if

WAFACDEM

VAP

FACDEM i …persamaan [3.5]

dengan

1

11

−−

−−

−⎥⎦

⎤⎢⎣

⎡=

∂∂ ∑

Vi

ViV

iif

Vif

fif

Vif

Vi

if

i FACDEMFACDEMFACDEM

VA ρρ

ρ ββα

…… persamaan [3.6]

dengan melakukan substitusi [3.6] ke [3.5] diperoleh bentuk sebagai berikut:

( )1

1

..

. +

⎥⎥

⎢⎢

⎡=

Vi

Vi

i

Viifif

VifVA

i

if

WFDISTWA

PVA

FACDEM ρ

ρα

β …. persamaan [3.7]

Persamaan [3.7] memperlihatkan tingkat yang optimal dari rasio antara faktor

produksi primer dan nilai tambah untuk memproduksi sejumlah barang.

Dalam studi ini selain fungsi yang telah dijelaskan di atas, terdapat fungsi lain

yang juga digunakan untuk menjelaskan perilaku dari produsen, yaitu fungsi CET

(Constant Elasticity of Transformation). Fungsi CET yang dimaksud disini adalah

fungsi yang hampir sama dengan fungsi CES, hanya saja perbedaan yang mendasar dari

80

kedua fungsi tersebut terletak pada nilai parameter ρ, pada saat parameter tersebut

bernilai tak-negatif yang menggantikan parameter negatif ρ di dalam fungsi CES.

Fungsi ini diperkenalkan untuk digunakan dalam menentukan bagaimana output

didistribusikan diantara pasar luar negeri (XEX) dan pasar domestik (XD). Adapun

fungsi CET dapat dinyatakan sebagai berikut.

( )[ ] Xi

Xi

Xi

iX

iiX

iXii XDXEXX ρρρ ββα

1

1−+=

dengan α, β dan ρ merupakan parameter.

Parameter α adalah parameter efisiensi, parameter β adalah parameter distribusi

yang menunjukkan faktor share di dalam produk secara relatif, sedangkan paramater ρ

adalah parameter substitusi yang menunjukkan nilai (konstanta) dari elastisitas

transformasi.

Dengan demikian dapat dikemukakan proses optimisasi dari perilaku produsen,

yaitu dengan memaksimumkan penerimaan dari penjualan dengan didasarkan kepada

fungsi CET sebagai berikut.

Maksimumkan: iXDiXEX XDPXEXPTRii.. +=

Dengan kendala: ( )[ ] Xi

Xi

Xi

iX

iiX

iXii XDXEXX ρρρ ββα

1

1−+=

First Order Condition (FOC):

⇔=∂∂ 0

iXEXL ( )[ ] 01 111

=−+− −− XiX

iXi

Xi

i iX

iiX

iiX

iXiXEX XEXXDXEXP ρρρρ βββλα

…… persamaan [3.8]

⇔=∂∂ 0

iXDL ( )[ ] 0)1(1 111

=−−+− −− XiX

iXi

Xi

i iX

iiX

iiX

iXiXD XDXDXEXP ρρρρ βββλα

….. persamaan [3.9]

Dengan mengatur dan menata kembali persamaan [3.8] dan [3.9] serta

melakukan proses substitusi di dalamnya diperoleh bentuk sebagai berikut.

81

11

.)1.( −

⎥⎥⎦

⎢⎢⎣

⎡ −=

Xi

i

i

XiXD

XiXEX

i

i

PP

XDXEX ρ

ββ

..... . persamaan [3.10]

Persamaan [3.10] di atas menunjukkan rasio penjualan yang optimal untuk

produsen.

o Blok Konsumsi

Blok ini mencerminkan perilaku dari rumah tangga dan institusi lainnya,

khususnya dalam mengkonsumsi barang domestik dan barang impor sehingga dalam

blok ini, permintaan konsumen akan barang komposit (Q) yang memuat barang impor

(M) dan barang domestik (D) dinyatakan sebagai suatu agregat CES dari barang impor

dan domestik.

Dalam studi ini, menggunakan

formula Armington yang

memperlakukan suatu produk sejenis

yang diproduksi di negara yang berbeda

sebagai produk yang berbeda, Formula

ini diambil untuk mengakomodasikan

fenomena dalam suatu negara yang

mempunyai dua jenis barang, yaitu

barang impor maupun domestik, sebagai

dua jenis barang yang sama (cross

hauling).

Dengan demikian fungsi konsumsi dari barang komposit (Q) dengan asumsi

mengikuti fungsi CES dinyatakan dalam bentuk sebagai berikut.

( )[ ] Xi

Xi

Xi

iX

iiX

iX

ii DMQ ρρρ ββα1

1−

−− −+=

Berdasarkan fungsi di atas, dapat dikemukakan proses optimisasi dari perilaku

konsumen, yaitu memaksimumkan kepuasan dengan kendala anggaran sebagai

berikut.

Komposit

(Q)

Barang Domestik

Barang Impor

CES

Gambar 4.5 Struktur Fungsi Konsumsi

Sumber: Thorbecke, 1985

82

Maksimumkan: ( )[ ] Xi

Xi

Xi

iX

iiX

iXii DMQ ρρρ ββα

1

1−

−− −+=

Dengan kendala: ii DiMi PDPMB .. +=

Dengan melakukan proses kondisi turunan pertama dan mengatur persamaan

yang dihasilkan dalam kondisi turunan pertama melalui proses substitusi akan

diperoleh bentuk sebagai berikut.

( )1

1

1.. +

⎥⎥⎦

⎢⎢⎣

−=

Xi

i

i

XiM

XiD

i

i

PP

DM ρ

ββ

……. Persamaan [3.11]

Persamaan [3.11] menunjukkan rasio barang konsumsi yang optimal dari proses

memaksimumkan kepuasan (utility) dari konsumen.

4.3 Model CGE Air Minum DKI Jakarta

4.3.1 Kebutuhan Data

Data dasar yang dibutuhkan untuk menyusun Model Komputasi Keseimbangan

Umum Air Minum DKI Jakarta berasal dari Sistem Neraca Sosial Ekonomi (SNSE)

2000 DKI Jakarta yang disusun oleh BPS DKI Jakarta. Kebutuhan data diperoleh

langsung dari SNSE 2000 DKI Jakarta termasuk koefisien input output, pendapatan dan

pengeluaran sektor, pajak impor dan pajak produksi, permintaan faktor per sektor,

investasi, dan pangsa pemerintah dan rumah tangga.

4.3.2 Penyesuaian SNSE dalam Model CGE

Neraca yang terdapat dalam SNSE mengalami penyesuaian sesuai dengan

kebutuhan studi. Dari 103 klasifikasi yang terdapat dalam SNSE DKI Jakarta 2000,

diagregasi menjadi 45 klasifikasi. Beberapa perubahan mendasar yang dilakukan adalah

sebagai berikut.

(i) Faktor produksi.

Tenaga kerja diagregasi menjadi satu saja. Modal dipecah menjadi dua klasifikasi

yaitu modal air minum berupa (a) investasi air minum yang dilakukan oleh

perusahaan penyedia air minum, (b) modal bukan air minum perpipaan berupa

83

investasi air minum yang dilakukan selain oleh perusahaan air minum dan modal

lainnya. Klasifikasi awal 9 faktor berubah menjadi 3 faktor.

(ii) Institusi.

Tidak dilakukan perubahan terhadap klasifikasi yang ada sehingga klasifikasi

tetap 12 institusi.

(iii) Sektor produksi.

Dilakukan penambahan klasifikasi sektor produksi dari 26 menjadi 27, yaitu

berupa pemecahan sektor air minum menjadi air minum perpipaan dan air minum

nonperpipaan. Air minum perpipaan adalah air minum yang diproduksi oleh

perusahaan air minum, sedangkan air minum nonperpipaan adalah air minum,

baik yang bersumber dari air minum perpipaan maupun non perpipaan, dikelola

oleh pihak selain perusahaan penyedia air minum perpipaan (kran umum, kios air,

truk tanki air, penjaja keliling dan lainnya). Marjin perdagangan, komoditas

ekspor dan komoditas impor dilebur kedalam sektor produksi. Klasifikasi berubah

dari 79 sektor menjadi 27 sektor.

Tabel 4.2

Penyesuaian Klasifikasi SNSE DKI Jakarta 2000 Ukuran 103x103

Neraca SNSE 103 x 103 CGE

Faktor Produksi

• Tenaga Kerja (8 klasifikasi) • Modal

• Tenaga Kerja • Modal Air Minum • Modal Bukan Air Minum

Institusi

• Rumah tangga (10 golongan) • Swasta/perusahaan • Pemerintah

• Rumah tangga (10 golongan) • Swasta/perusahaan • Pemerintah

Sektor produksi

• Sektor produksi (26 sektor) • Marjin perdagangan dan

pengangkutan • Komoditas domestik (26 sektor) • Komoditas impor (26 sektor)

• Sektor produksi (27 sektor)

Neraca Lainnya

• Neraca Kapital • Pajak tak langsung minus subsidi • Neraca luar negeri

• Neraca Kapital • Pajak tak langsung minus subsidi • Neraca luar negeri

Sumber: diolah dari BPS DKI Jakarta (2002)

84

(iv) Neraca lainnya.

Tidak dilakukan perubahan klasifikasi sehingga klasifikasi tetap 3.

4.3.3 Beberapa Prinsip Dasar

Model CGE yang dibangun dalam studi ini merupakan hasil pengembangan dari

model yang dibangun oleh Azdan (2001) yang menjelaskan dampak kebijakan sumber

daya air terhadap distribusi pendapatan di DKI Jakarta. Beberapa perbedaan mendasar

adalah sebagai berikut. (i) Model Azdan yang menggunakan data SNSE DKI Jakarta

tahun 1993, sementara studi ini menggunakan data SNSE DKI Jakarta tahun 2000. (ii)

Model Azdan menambahkan air tanah sebagai salah satu faktor primer, sementara

dalam studi ini modal dipecah menjadi modal air minum dan modal bukan air minum.

DKI Jakarta dianggap mempunyai ekonomi terbuka. Aktifitas ekspor dan impor

memegang peran utama dalam perekonomian dan dicakup dalam bagian lain dunia.

Neraca bagian lain dunia mencakup perdagangan antarwilayah sebagaimana juga

perdagangan internasional. Harga impor dan ekspor diukur dalam mata uang domestik.

Sebagaimana dalam model Azdan (2001), CGE didasarkan pada beberapa

asumsi penting. Pertama, RT memaksimalkan utilitasnya sebagai fungsi dari sejumlah

konsumsi mereka pada tahun tertentu, mengikuti kendala anggaran pada tahun

bersangkutan. Kedua, digunakan koefisien porsi tetap untuk menentukan jumlah modal

baru yang diinvestasikan pada setiap sektor produksi. Ketiga, dibatasi jumlah sumber

kemajuan teknologi yang dapat terjadi dalam perekonomian wilayah.

Aktivitas sisi penawaran diwakili oleh pasar faktor dan produksi industri.

Penawaran yang terdiri dari produksi domestik dan impor harus sama dengan

permintaan termasuk permintaan RT, pemerintah, permintaan antara, permintaan

investasi, dan ekspor. Sisi permintaan diwakili oleh pasar produk dan penghasil

pendapatan.

4.3.4 Aktor dan perilakunya

Perekonomian DKI Jakarta dalam model diwakili oleh empat sektor, yaitu (i)

sektor produsen, (ii) sektor rumah tangga, (iii) sektor pemerintah, dan (iv) sektor bagian

lain dunia. Pada sektor produsen, sektor air minum memiliki dua pelaku, yaitu penyedia

85

air minum perpipaan, dan penyedia air minum nonperpipaan. Pada sisi produksi,

teknologi diwakili oleh fungsi produksi, sementara pada sisi permintaan, model

menggambarkan perilaku rumah tangga, pemerintah, industri dan bagian lain dunia.

A. Produsen/Industri

Sektor produksi memerlukan input dan menyediakan output. Produsen

diasumsikan memaksimalkan keuntungan. Output sektor produksi nonair minum

dapat digunakan sebagai input antara, dikonsumsi domestik atau ekspor. Output dari

sektor air minum (perpipaan dan nonperpipaan) diproduksi dan digunakan oleh

domestik.

Faktor produksi primer adalah (i) tenaga kerja, dan (ii) modal yang

diklasifikasikan dalam modal air minum dan modal nonair minum. Teknologi produksi

yang digunakan untuk mengombinasikan faktor primer adalah bersifat constant return

to scale. Terdapat substitusi antarfaktor dan kombinasi input primer ditentukan melalui

harga relatif. Input antara diperlukan dalam porsi tetap terhadap output kotor. Industri

menerima pembayaran dari rumah tangga, pemerintah, dan bagian lain dunia dengan

menjual barang dan jasa di pasar produk. Total output sektor ditunjukkan melalui

fungsi produksi nested. Fungsi produksi Constant Elasticity of Substitution (CES)

digunakan untuk menggabungkan nilai tambah dan input antara (Azdan, 2001).

B. Rumah tangga (RT)

Kelompok rumah tangga diklasifikasikan dalam sepuluh tingkatan pendapatan.

Setiap kelompok rumah tangga diasumsikan memaksimalkan utilitas. Setiap RT

mempunyai modal dan tenaga kerja, dan memutuskan sejumlah tertentu dari

pendapatan digunakan untuk tabungan dan investasi, seperti juga sejumlah pendapatan

dihabiskan untuk barang nonair minum, air minum, dan jasa yang tersedia, sesuai

harga berlaku.

RT menyediakan sejumlah tetap tenaga kerja dan menerima pembayaran atas

jasa tenaga kerja. Tenaga kerja dibayar berdasarkan asumsi bahwa nilai produk

marjinal tenaga verja sama dengan tingkat upah nominal. Pengeluaran RT untuk barang

dispesifikasikan sebagai fungsi dari pendapatan yang dapat dibelanjakan oleh RT dan

pendapatan modal yang didistribusikan. Pada kasus ini, pendapatan yang dapat

86

dibelanjakan didefinisikan sebagai proporsi tenaga kerja RT dan pendapatan modal

didistribusikan dikurangi dengan pajak netto dan harga.

Untuk barang yang diperdagangkan dan diproduksi secara lokal, harga pasar

domestik merupakan fungsi harga internasional ditambah biaya masuk dan harga

produsen. Kepemilikan modal memberikan RT pengembalian modal. Proporsi tetap

diambil dari pendapatan yang dapat dibelanjakan untuk barang sektor produksi. Porsi

konsumsi privat sektor tetap.

Fungsi CES digunakan untuk menunjukkan kombinasi barang nonair minum

impor dan domestik maksimum yang tersedia yang RT, industri dan pemerintah

mampu membeli, sesuai dengan teknologi yang tergambarkan dalam the product

transformation frontier dan kendala neraca perdagangan (De Melo dan Tarr, 1992).

C. Pemerintah Daerah

Pada model ini, sektor publik diwakili oleh pemerintah daerah. Pendapatan

diambil melalui transfer dari pemerintah pusat, yang termasuk dalam neraca bagian lain

dunia, sebagaimana biaya masuk dan pajak langsung dan tidak langsung. Tingkat pajak

dan biaya masuk dianggap tetap dan eksogen. Pengeluaran merupakan porsi tetap dari

pendapatan, dan dialokasikan pada basis porsi-tetap pembelian barang dan jasa dari

beragam sektor produksi. Tabungan pemerintah lokal terdiri dari perbedaan antara

pendapatan dan pengeluaran.

D. Bagian Lain Dunia

Neraca bagian lain dunia menggabungkan neraca internasional dan antarwilayah

yang tidak secara khusus diidentifikasi dalam model ini. Pemerintah pusat dimasukkan

dalam neraca ini.

Diasumsikan bahwa dalam sektor nonair minum terdapat pembedaan produk

(product differentiation) sebagai contoh substitusi tidak sempurna bagi impor dan

ekspor. Pada sisi impor, konsumen memilih antara barang impor dan ekspor yang

ditentukan oleh harga relatif. Harga relatif menentukan pangsa pasar dari barang impor

dan ekspor. Berdasar asumsi negara kecil, harga dunia tidak berubah sebagai akibat

aktivitas negara. Harga dunia impor dan ekspor bersifat eksogen terhadap model.

Exchange rate merupakan variabel yang menyeimbangkan (clear) neraca (current

87

account). Bagi keseluruhan ekonomi, diasumsikan total investasi dan tabungan adalah

sama.

E. Kesetimbangan dan Solusi Akhir

Pada pasar domestik, kesetimbangan pasar menentukan harga domestik.

Persamaan kelebihan permintaan produk dan pasar faktor memberikan kendala sistemik

dan menentukan kesetimbangan di pasar yang ada. Variabel yang menyeimbangkan

adalah harga produk dan harga faktor, yang memberikan tanda pada produsen dan RT

dalam menentukan perilaku penawaran dan permintaan. Hukum Walras dipenuhi ketika

jumlah nominal kelebihan permintaan di seluruh pasar produk dan faktor adalah nol.

Ketika hanya harga relatif yang ditentukan, normalisasi harga diperlukan.

Pada gambar berikut, model menunjukkan keterkaitan antara pemerintah,

aktivitas produktif, rumah tangga, faktor primer (sumber daya) dan perdagangan.

Setiap komponen dibagi dalam beberapa subkomponen. Keterkaitan di antara

subkomponen diperlihatkan dengan panah. Aliran barang dan jasa ditunjukkan dengan

panah terputus, sementara aliran dana dengan panah. Semua agen ekonomi (produsen,

RT, dan pemerintah) bertindak bersama dan mengoptimalkan fungsi sasaran mereka.

Sebagai hasilnya, seperangkat harga ketimbangan endogen ditentukan untuk

menyeimbangkan semua pasar dalam ekonomi.

Dalam model ini, RT memberikan jasa tenaga kerja dan modal ke produsen dan

hasilnya RT menerima gaji sebagai pembayaran tenaga kerja dan sewa modal. Tenaga

kerja, modal air minum dan modal lainnya adalah faktor primer untuk aktifitas

produktif. Industri membutuhkan faktor primer bersama dengan input antara untuk

memproduksi barang dan jasa dalam perekonomian. Hasilnya, industri memberikan

pendapatan pada tenaga kerja, dan pendapatan modal. Untuk memaksimalkan

keuntungan, produsen harus mempertimbangkan teknologi, harga input, pajak

pemerintah dan biaya produksi lainnya, tetapi mereka juga harus memutuskan tempat

memasarkan produknya (domestik atau ekspor).

Pemerintah menerima hasil dari pajak langsung dan tidak langsung dan hasil

dari modal sendiri (pendapatan modal). Pengeluaran pemerintah termasuk konsumsi

barang dan jasa dan tabungan pada neraca modal.

88

Gambar 4.6 Keterkaitan Antarsektor dalam Wilayah

Bagian lain dunia Domestik Institusi: Pemerintah Aktivitas produktif Faktor Primer Rumah Tangga

aliran dana aliran barang dan jasa

Sumber: Diadopsi dari Azdan, 2001

Bagian lain dunia termasuk pemerintah

t

Pasar domestik

Air perpipaan

Neraca modal Pemerintah lokal

Manufaktur

Pemerintahan Pertanian

Listrik dan gas Air non-

perpipaan

Jasa lainnya

Modal Air Minum Tenaga kerja Modal Lain

Miskin (RT III –IV)

Menengah Atas (RT VII-VIII)

Pendapatan Tinggi (RT IX-X) Menengah Bawah

(RT V-VI)

Sangat Miskin (RT I-II)

89

4.3.5 Variabel dan Skalar

Variabel dan skalar diklasifikasikan berdasar kategori (i) blok harga, (ii) blok

produksi, (iii) blok faktor, (iv) blok pendapatan dan pengeluaran, (v) blok neraca

pembayaran. Variabel selengkapnya pada Lampiran.

4.3.6 Persamaan Model

Persamaan model CGE air minum DKI Jakarta terdiri dari enam blok

persamaan yaitu sebagai berikut.

(i) Blok Persamaan Produksi.

Persamaan-persamaan dalam blok ini mencerminkan struktur kegiatan produksi

dan perilaku produsen

(ii) Blok Persamaan Ekspor-Impor.

Blok ini menggambarkan keputusan daerah untuk mengekspor atau mengimpor

barang dan jasa.

(iii) Blok Persamaan Kapital dan Investasi.

Persamaan-persamaan dalam blok ini menyimulasikan keputusan untuk

melakukan investasi dalam perekonomian dan permintaan akan barang dan jasa

yang dipergunakan dalam pembentukan kapital (modal) baru.

(iv) Blok Persamaan Pendapatan.

Blok ini terdiri dari persamaan-persamaan yang mencerminkan aliran pendapatan

aktifitas produksi ke rumah tangga, penerimaan pemerintah, dan tabungan.

(v) Blok Persamaan Pengeluaran.

Blok ini terdiri dari persamaan-persamaan yang menentukan permintaan barang

komposit oleh berbagai pelaku.

(vi) Blok Persamaan Kliring Pasar.

Persamaan-persamaan dalam blok ini menentukan kondisi kliring pasar untuk

tenaga kerja, barang dan jasa dalam perekonomian. Neraca pembayaran nasional

juga termasuk dalam blok ini .

A. Blok Persamaan Produksi

Persamaan produksi terdiri dari 7 persamaan. Persamaan (1) dan (2)

merupakan persamaan yang menentukan harga produsen dan harga input antara.

90

Persamaan (3) mengindikasikan bahwa output (X) diproduksi melalui kombinasi nilai

tambah (VA) dan input antara (IN) dengan teknologi produksi CES untuk semua sektor

(indeks I). Persamaan (4) menentukan rasio input optimal, yang dihasilkan dari kondisi

orde pertama dari fungsi produksi (minimisasi biaya produksi).

Gambar 4.7

Struktur Fungsi Sektor Produksi

Persamaan (5) menentukan nilai tambah dalam sektor produksi. Persamaan (6)

menggambarkan kondisi orde pertama dari fungsi nilai tambah. Total angkatan kerja

adalah jumlah tidak bekerja dan bekerja di sektor produksi dan ditandai pada

persamaan (7). Jumlah pengangguran ditetapkan nol yang mengakibatkan bahwa total

angkatan kerja dalam model ini sama dengan tenaga kerja yang bekerja dalam

perekonomian. Persamaan selengkapnya dapat dilihat pada Tabel 4.3.

Output X

Antara Nilai Tambah

CES

Tenaga kerja

Modal non Air

CES

X1

Xair minum perpipaan

Xn

Proporsi tetap

Modal Air Minum Xair minum

nonperpipaan

91

Tabel 4.3 Persamaan Produksi

PERSAMAAN PRODUKSI

(1) PX (I) * X(I) * (1 – ITX(I)) = PV(I) * VA(I) + PN(I) * IN(I) (2) PN(I) = SUM (J, PQ(J) * IOMI (J,I)) (3) X(I) = ALPHAX(I) * (BETAX(I) * IN(I) ** (-RHOX(I))

+ (1 – BETAX(I)) * VA(I) ** (- RHOX(I))) ** (-1 / RHOX(I)) (4) IN(I) / VA(I) = (PV(I) / PN(I) * BETAX (I) / (1 - BETAX(I)))

** (1 / (1 + RHOX(I))) (5) VA (I) = ALPHAV(I) * (SUM (F, BETAV(I,F) * FACDEM(I,F)

** (- RHOV(I)))) ** ( -1 / RHOV(I)) (6) FACDEM(I,F) /VA(I) = ((BETAV(I,F) * PV(I)) / ((ALPHAV(I) ** RHOV(I) * WA(F)

* WFDIST(I,F))) ** (1 / (1 + RHOV(I))) (7) LABFOR = UNEMPL + SUM (FLAB, FD(FLAB))

B. Blok Persamaan Ekspor dan Impor

Persamaan ekspor dan impor terdiri dari sepuluh persamaan yang menunjukkan

hubungan antara perekonomian wilayah Jakarta dan bagian lain dunia melalui transaksi

ekspor-impor. Persamaan memperlihatkan perilaku produsen dalam menentukan

distribusi output pada pasar luar negeri dan/atau pasar domestik dengan menggunakan

fungsi CET. Selain juga menjelaskan perilaku rumah tangga dan institusi lain dalam

KETERANGAN PX (I) = harga output rata-rata SUM = jumlah PV (I) = harga nilai tambah I, J = Indeks seperangkat sektor produksi (27 sektor) PN (I) = harga input antara F = Indeks seperangkat faktor primer PQ (I) = harga permintaan domestik rata-rata FLAB = faktor produksi tenaga kerja

X (I) = output sektor domestik komposit IOMI (J,I) = koefisien tetap input barang

ITX (I) = tingkat pajak tidak langsung ALPHAX (I) = parameter pergeseran fungsi produksi

VA (I) = nilai tambah sektor komposit BETAX (I) = parameter pangsa fungsi produksi

IN (I) = input antara sektor komposit RHOX (I) = eksponen fungsi produksi

WA (F) = harga input faktor rata-rata ALPHAV (I) = parameter pergeseran fungsi nilai tambah

WFDIST (I,F) = harga input proporsional faktor sektor BETAV (I,F) = parameter pangsa fungsi nilai tambah

FACDEM (I,F) = permintaan faktor sektor RHOV (I) = eksponen fungsi nilai tambah

LABFOR = total angkatan kerja UNEMPL = total pengangguran

FD (FLAB) = permintaan faktor tenaga kerja

92

mengonsumsi barang domestik dan barang impor. Fungsi konsumsi mengikuti fungsi

CES. Selengkapnya hal itu dapat dilihat pada Tabel 4.4.

Persamaan (8) dan (9) menentukan harga ekspor dan impor domestik.

Persamaan (10) dan (11) menentukan nilai output dan penjualan domestik. Persamaan

(12) menggambarkan agregasi ekspor sebagai fungsi CET. Fungsi ini menggambarkan

cara produksi sektoral komposit ditransformasikan ke barang yang dijual di pasar

domestik dan ekspor. Persamaan (13) menggambarkan penjualan domestik dari sektor

bukan perdagangan. Persamaan (14) merupakan persamaan penawaran ekspor yang

ditentukan dari kondisi orde pertama fungsi CET. Ini merupakan fungsi rasio harga

ekspor terhadap domestik dan elastisitas transformasi antara dua penggunaan.

Persamaan (15) dan (16) adalah fungsi agregasi Armington sektor perdagangan

dan bukan perdagangan, diasumsikan bahwa tidak terdapat perfect sustainability antara

barang domestik dan impor dalam setiap sektor. Persamaan ini menyimbolkan

permintaan konsumen dari sebuah barang komposit, yang merupakan CES agregat dari

barang domestik dan impor. Persamaan (17) adalah kondisi orde pertama bagi

minimisasi biaya dalam pembelian sejumlah barang komposit yang tersedia.

Tabel 4.4 Persamaan Ekspor dan Impor

PERSAMAAN EKSPOR dan IMPOR

(8) PM(IM) = PWM(IM) * EXR * (1 + TM(IM))

(9) PE(IE) = PWE(IE) * EXR

(10) PQ(I) * Q(I) = PD(I) * XD(I) + (PM(I) * XIM(I)) $IM(I)

(11) PX(I) * X(I) = PD(I) * XD(I) + (PE(I) * XEX(I)) $IE(I)

(12) X(IE) = ALPHAEX(IE) * (BETAEX(IE) * XEX(IE) ** RHOEX(IE) + (1 - BETAEX(IE)) * XD(IE) ** RHOEX(IE)) ** (1 / RHOEX(IE))

(13) X(IEN) = XD(IEN); dimana IEN = barang produksi bukan ekspor

(14) XEX(IE)/XD(IE) = (PE(IE) / PD(IE) * (1 - BETAEX(IE)) / BETAEX(IE)) ** (1 / (RHOEX(IE) – 1))

(15) Q(IM) = ALPHAIM(IM) * (BETAIM(IM) * XIM(IM) ** (-RHOIM(IM)) + (1 – BETAIM(IM)) * XD(IM) ** (-RHOIM(IM))) ** ( - 1 /RHOIM(IM))

(16) Q(IMN) = XD(IMN); dimana IMN = barang produksi bukan impor

(17) (XIM(IM) / XD(IM)) = (PD(IM) / PM(IM) * BETAIM(IM) / (1-BETAIM(IM))) ** (1 / (1 + RHOIM(IM)))

93

C. Blok Persamaan Modal

Persamaan modal terdiri dari 4 persamaan. Persamaan (18) menentukan harga

barang modal. Persamaan (19) menentukan investasi tetap sektor tujuan. Persamaan

(20) merupakan persamaan investasi tetap netto dari persediaan. Persamaan (21)

menentukan jumlah investasi per sektor tujuan.

Tabel 4.5 Persamaan Modal PERSAMAAN MODAL

(18) PK(I) = SUM (J, ICAP(J,I) * PQ(J))

(19) ID(I) = SUM (J, ICAP(I,J) * DK (J)

(20) FXDINV = INVEST – SUM (I, INV(I) * (X(I) + XIM (I)) * PQ(I))

(21) PK(I) * DK(I) = ZZ(I) * FXDINV

KETERANGAN PQ (I) = harga permintaan domestik rata-rata I = Indeks seperangkat sektor produksi (27 sektor) PX (I) = harga output rata-rata IE = sektor ekspor ke domestik dan luar negeri PD (I) = harga penawaran domestik IEN = sektor bukan ekspor PN (I) = harga input antara IM = sektor impor dari domestik dan luar negeri PE (IE) = harga domestik barang ekspor IMN = sektor bukan impor PE (I) $IE(I) = harga domestik barang ekspor XD (IEN) = penjualan domestik barang nonekspor PM (IM) = harga domestik barang impor XD (IMN) = penjualan domestik barang nonimpor PM (I) $IM(I) = harga domestik barang impor XEX (IE) = output ekspor sektor ke domestik PD (IE) = harga penawaran domestik barang ekspor XEX (I) $IE (I) = output sektor ekspor ke domestik PWM (IM) = harga pasar impor (Rp.) Q (I) = penawaran barang komposit PWE (IE) = harga pasar ekspor (Rp.) Q (IM) = penawaran barang impor

X (I) = output domestik komposit sektor Q (IMN) = penawaran barang bukan impor

X (IE) = output domestik sektor ekspor TM (IM) = pajak impor EXR = nilai tukar

X (IEN) = output domestik sektor nonekspor ALPHAEX (IE) = parameter perubahan fungsi ekspor

XIM (IM) = impor sektor ALPHAIM (IM) = parameter perubahan fungsi impor

XIM (I) $IM = impor sektor BETAEX (IE) = parameter pangsa fungsi ekspor

XD (I) = penjualan domestik BETAIM (IM) = parameter pangsa fungsi impor

XD (IM) = penjualan domestik barang impor RHOEX (IE) = ekspornen fungsi ekspor

XD (IE) = penjualan domestik barang ekspor RHOIM (IM) = eksponen fungsi impor

KETERANGAN X (I) = output domestik komposit sektor SUM = total ICAP (I,J) = komposisi modal XIM (I) = impor sektor INVEST = total investasi DK (I) = investasi tetap per sektor tujuan PK (I) = harga modal baru INV (I) = parameter pangsa stok persediaan PQ (J) = harga permintaan domestik rata-rata ZZ (I) = pangsa investasi per sektor ID (I) = permintaan akhir investasi produktif FXDINV = total investasi tetap

94

D. Blok Persamaan Pendapatan Persamaan pendapatan menunjukkan aliran pendapatan dari aktivitas produksi,

penerimaan pemerintah, dan tabungan. Persamaan (22.a) dan (22.b) menunjukkan

jumlah total subsidi yang dialokasikan baik dari pajak maupun pemerintah pusat.

Persamaan (23) menentukan distribusi subsidi air minum menurut kelompok rumah

tangga penerima. Persamaan (24), (25) dan (26) menentukan pendapatan faktor primer,

pendapatan rumah tangga, dan pendapatan perusahaan berturutan. Persamaan (27)

sampai (30) menentukan pendapatan pemerintah dari biaya masuk, pajak tidak

langsung produksi domestik, pajak pendapatan industri, dan pajak rumah tangga.

Persamaan (31) merupakan jumlah penerimaan pemerintah. Persamaan (32), (33) dan

(34) menentukan tabungan rumah tangga, tabungan perusahaan, dan total tabungan.

Tabel 4.6 Persamaan Pendapatan

PERSAMAAN PENDAPATAN

(22.a) TOTSUBS1 = (ITX("WATPAM") – ITXO("WATPAM")) * PX("WATPAM") * X("WATPAM")

(22.b) TOTSUBS2 = TRANSF

(23) SUB (I, H) = TOTSUBS * CDO("WATPAM",GH) / (SUM(GJ,CDO("WATPAM",GJ)))

(24) YF(F) = SUM (I, WA(F) * WFDIST(I,F) * FACDEM(I,F)) + FIROW(F)

(25) YH(H) = SUM(FLAB, SEDW(H,FLAB) * YF(FLAB) + SHHCPAM(H) * YF(“CAPAM”) + SHHCNPAM(H) * YF(“CAPNAM”) + SUM(HH, THS(H,HH) * YH(HH) * (1- TH(HH)) * (1 – MPS(HH))) * (1 - TROWS(HH))) + CTH(H) * YCORP * (1 – CTAX) + TGOV(H) * GOVBUD + ROWHH(H)+ SUB("WATPAM",H)

(26) YCORP = SCORCPAM * YF(“CAPAM”) + SCORCNAM * YF(“CAPNAM”) + CORTCOR + ROWCOR + CORBOR – CORAMOR – CORINTR

(27) TARIFF = SUM (I, TM(I) * XIM(I) * PWM(I)) * EXR

(28) INDTAX = SUM (I, ITX(I) * PX(I) * X(I))

(29) CORTAX = YCORP * CTAX

(30) HHTAX = SUM (H, TH(H) * YH(H))

(31) GR = TARIFF + INDTAX + CORTAX + HHTAX +ROWTAX+ SGOVCPAM * YF(“CAPAM”) + SGOVCNAM * YF(“CAPNAM”) + ROWGOV + GOVGOV + GOVBOR

(32) HSAV = SUM (H, MPS(H) * YH(H) * (1 – TH(H)))

(33) CORSAV = CSAV * YCORP * (1 – CTAX)

(34) SAVING = HSAV + CORSAV + GOVSAV – SAVROW + FORINV

95

KETERANGAN

PX (I) = harga output rata-rata SUM = jumlah PX (”WATPAM”) = harga output air minum perpipaan I, J = Indeks seperangkat sektor produksi (27 sektor) PWM (I) = harga pasar impor (Rp) F = Indeks seperangkat faktor primer X (I) = output sektor domestik komposit H,HH = rumah tangga

X (”WATPAM”) = output air minum perpipaan GH,GJ = rumah tangga penerima subsidi

XIM (I) = impor sektor CAPAM = modal air minum perpipaan

ITX (I) = tingkat pajak tidak langsung CAPNAM = modal air minum nonperpipaan

ITX (”WATPAM” ) = tingkat pajak air minum perpipaan WATPAM = air minum perpipaan ITXO (”WATPAM”) = tingkat pajak awal air minum

perpipaan FLAB = modal tenaga kerja

TOTSUBS1 = total subsidi dari peningkatan pajak air minum THS (H,HH) = pangsa transfer antar rumah tangga TOTSUBS2 = total subsidi dari transfer dana pusat TH (H,HH) = patokan pajak pendapatan rumah tangga TRANSF = transfer dana pusat MPS (HH) = patokan kecenderungan marjinal tabungan RT

SUB (I,H) = subsidi air minum perpipaan per RT miskin TROWS (HH) = pangsa transfer RT ke bagian lain dunia

CDO (I,GH) = permintaan akhir rumah tangga CTH (H) = pangsa transfer perusahaan ke rumah tangga

YF (F) = pendapatan faktor CTAX = patokan tingkat pajak pendapatan perusahaan

YH (H) = pendapatan rumah tangga TGOV (H) = pangsa transfer pemerintah ke rumah tangga

YCORP = pendapatan perusahaan GOVBUD = total konsumsi pemerintah

TARIFF = penerimaan biaya masuk ROWHH (H) = pendapatan RT dari bagian lain dunia

INDTAX = pendapatan pajak tidak langsung komoditi SCORCPAM = pangsa modal air minum perpipaan yang dimiliki perusahaan

CORTAX = pajak pendapatan perusahaan SCORCNAM = pangsa modal air minum nonperpipaan yang dimiliki perusahaan

HHTAX = pajak pendapatan rumah tangga CORTCOR = transfer perusahan ke perusahaan

GR = pendapatan pemerintah lokal ROWCOR = pendapatan perusahaan dari bagian lain dunia

SAVROW = tabungan luar negeri ROWGOV = pendapatan pemerintah dari bagian lain dunia

GOVSAV = tabungan pemerintah lokal GOVGOV = transfer pemerintah ke pemerintah

CSAV = patokan tingkat tabungan perusahaan GOVBOR = pinjaman luar negeri pemerintah

HSAV = tabungan rumah tangga CORBOR = pinjaman luar negeri perusahaan dari bagian lain dunia

CORSAV = tabungan perusahaan CORAMOR = pembayaran amortisasi hutang luar negeri perusahaan

SAVING = total tabungan CORINTR = pembayaran bunga hutang luar negeri perusahaan

WA (F) = harga input faktor rata-rata CORTAX = pajak pendapatan perusahaan

WFDIST (I,F) = harga input proporsional faktor sektor TM (I) = tingkat pajak impor

FACDEM (I,F) = permintaan faktor sektor EXR = nilai tukar

FIROW (F) = pendapatan faktor dari bagian lain dunia HHTAX = pajak pendapatan rumah tangga

SEDW (H,FLAB) = pangsa kepemilikan tenaga kerja dari RT ROWTAX = pendapatan pajak dari bagian lain dunia

SHHCNPAM (H) = pangsa modal air minum non perpipaan yang dimiliki rumah tangga

SGOVCNAM = pangsa modal air minum nonperpipaan yang dimiliki pemerintah

FORINV = investasi asing dari bagian lain dunia

96

E. Blok Persamaan Pengeluaran

Persamaan pengeluaran menunjukkan permintaan barang-barang komposit dari

berbagai aktor. Persamaan pengeluaran terdiri dari tujuh persamaan. Persamaan (35)

menunjukkan total barang antara yang digunakan untuk kebutuhan produksi.

Persamaan (36) dan (37) menentukan perilaku konsumsi dari sektor pemerintah dan

swasta. Persamaan (38) dan (39) menentukan PDB riil dan Nilai tambah domestik

kotor. Persamaan (40) dan (41) masing-masing menunjukkan transfer perusahaan ke

perusahaan dan bagian lain dunia.

Tabel 4.7 Persamaan Pengeluaran

PERSAMAAN PENGELUARAN

(35) TOTINT(I) = SUM (J, IOMI(I,J) * IN(J)) (36) PQ(I) * CD(I,H) = CHS(I,H) * YH(H) * (1 – TH(H)) * (1 – MPS(H)) * (1 - TROWS(H)) (37) PQ(I) * CGOV(I) = CGS(I) * GOVBUD (38) RGDP = SUM (I, PQ(I) * (SUM (H, CD(I,H)) + INV(I) * (X(I) + XIM(I)) +

ID(I) + CGOV(I))) + SUM (IE, PE(IE) * XEX(IE)) – SUM(IM, (PM(IM) – TM(IM) * PWM(IM) * EXR) * XIM(IM))

(39) GDVA = SUM(I, PV(I) * VA(I)) + INDTAX + TARIFF (40) CORTCOR = CCOR * YCORP * (1 - CTAX) (41) CORROW = CTR * YCORP * (1 – CTAX)

KETERANGAN SUM = total X (I) = output sektor domestik komposit I,J = Indeks seperangkat sektor produktif (27 sektor) XIM (I) = impor sektor IE = sektor ekspor ke domestik dan laur negeri ID (I) = permintaan akhir investasi produktif IM = sektor impor dari domestik dan luar negeri PE (IE) = harga domestik barang ekspor H = rumah tangga XEX (IE) = ekspor sektor TOTINT (I) = total penggunaan antara PM (IM) = harga domestik barang impor IOMI (I,J) = koefisien tetap dari input TM (IM) = pajak impor IN (J) = input antara sektor komposit PWM (IM) = harga pasar impor (Rp.) PQ (I) = harga permintaan domestik rata-rata EXR = nilai tukar CD (I,H) = permintaan akhir konsumsi rumah tangga XIM (IM) = impor sektor CHS (I,H) = parameter pangsa konsumsi rumah tangga GDVA = nilai tambah domestik kotor YH (H) = pendapatan rumah tangga PV (I) = harga nilai tambah TH (H) = patokan pajak pendapatan rumah tangga VA (I) = nilai tambah sektor komposit

MPS (H) = patokan kecenderungan marjinal tabungan RT

INDTAX = pendapatan pajak tidak langsung komoditi

TROWS (H) = pangsa transfer RT ke bagian lain dunia TARIFF = penerimaan biaya masuk CGOV (I) = permintaan akhir konsumsi pemerintah CORTCOR = transfer perusahaan ke perusahaan CGS (I) = parameter pangsa konsumsi pemerintah CCOR = patokan tingkat pendapatan perusahaan GOVBUD = total komsumsi pemerintah YCORP = pendapatan perusahaan RGDP = produk domestik regional bruto CTAX = patokan tingkat pajak pendapatan perusahaan INV (I) = parameter pangsa stok persediaan CORROW = transfer perusahaan ke bagian lain dunia CTR = pangsa pembayaran perusahaan ke bagian lain

dunia

97

F. Blok Persamaan Kliring Pasar

Persamaan kliring pasar menunjukkan kendala sistem yang harus dipenuhi oleh

model. Persamaan kliring pasar terdiri dari enam persamaan. Persamaan (42)

merupakan pasar barang dalam kondisi seimbang yang berarti bahwa penawaran sektor

dari komoditas komposit sama dengan permintaan. Persamaan (43) merupakan pasar

faktor dalam kondisi seimbang.

Penawaran faktor primer diasumsikan tetap secara eksogen. Kliring pasar

memerlukan permintaan total faktor sama dengan total penawaran. Persamaan (44)

merupakan current account balance (neraca keseimbangan). Karena nilai exchange

rate (nilai tukar) tetap, current account akan ditentukan secara endogen.

Persamaan (45) menggambarkan penerimaan pemerintah. Tabungan netto

peme-rintah didefinisikan sebagai penerimaan pemerintah dikurangi konsumsi

pemerintah dikurangi pembayaran hutang eksternal pemerintah (baik amortisasi dan

pembayaran bunga). Persamaan (46) dan (47) merupakan indeks harga yang merupakan

numeraire bagi model.

Tabel 4.8 Persamaan Kliring Pasar

PERSAMAAN KLIRING PASAR (42) Q(I) = TOTINT(I) + SUM(H, CD(I,H)) + CGOV(I) + ID(I) + INV(I) * X(I) +

INV(I) * XIM(I) (43) FD(F) = SUM(I, FACDEM(I,F)) (44) CURRACW = SUM(F, FIROW(F)) + SUM (H, ROWHH(H)) + ROWGOV + ROWCOR

+ SUM (IE, PE(IE) * XEX(IE) + FORINV + ROWTAX + SUM(I,TM(I) * PWM(I) * XIM(I) + ROWTRW + GOVBOR + CORBOR – SUM (FLAB, SFROW(FLAB) * YF(FLAB) – SROWCPAM * YF(“CAPAM”) – SROWCNAM * YF(“CAPNAM” – SUM (I, PWM(I) * XIM(I) * EXR) – SUM (H, HHTRW(H)) – GOVROW – CORROW – SAVROW – GOVINTR – CORINTR – GOVAMOR – CORAMOR – ROWTRW

(45) GR = GOVBUD + GOVSAV + GOVROW + GOVGOV + GOVINTR + GOVAMOR

(46) PINDEX = SUM (I, WTQ(I) * PQ(I)) (47) PINDOM = SUM (I, WTD(I) * PQ(I))

98

KETERANGAN X (I) = output sektor domestik komposit SUM = total XIM (I) = impor sektor I,J = sektor XEX (IE) = ekspor sektor H = rumah tangga Q (I) = penawaran barang komposit IE = sektor ekspor PQ (I) = harga permintaan domestik rata-rata F = faktor PE (IE) = harga domestik barang ekspor FLAB = faktor tenaga kerja PWM (I) = harga pasar impor CAPAM = modal air minum perpipaan CD (I,H) = permintaan akhir konsumsi rumah tangga CAPNAM = modal air minum nonperpipaan ID (I) = permintaan akhir investasi produktif YF (F) = pendapatan faktor INV (I) = parameter pangsa stok persediaan SROWCPAM = pangsa modal air minum perpipaan

dimiliki oleh bagian lain dunia TOTINT (I) = total pengguna antara SROWCNAM = pangsa modal air minum nonperpipaan

dimiliki oleh bagian lain dunia CGOV (I) = permintaan akhir konsumsi pemerintah GOVROW = transfer pemerintah netto ke bagian lain

dunia FD (F) = permintaan faktor CORROW = transfer perusahaan ke bagian lain dunia FACDEM (I,F) = permintaan faktor sektor SAVROW = tabungan luar negeri CURRACW = neraca pembayaran GOVINTR = pembayaran bunga hutang luar negeri

pemerintah FIROW (F) = pendapatan faktor dari bagian lain dunia CORINTR = pembayaran bunga hutang luar negeri

perusahaan ROWHH (H) = pendapatan RT dari bagian lain dunia GOVAMOR = pembayaran amortisasi hutang luar

negeri pemerintah ROWGOV = pendapatan pemerintah dari bagian lain

dunia CORAMOR = pembayaran amortisasi hutang luar

negeri perusahaan ROWCOR = pendapatan perusahaan dari bagian lain

dunia ROWTRW = transfer dari bagian lain dunia ke bagian

lain dunia FORINV = investasi asing dari bagian lain dunia GR = pendapatan pemerintah lokal ROWTAX = pendapatan pajak dari bagian lain dunia GOVBUD = total konsumsi pemerntah HHTRW (H) = transfer RT ke bagian lain dunia GOVSAV = tabungan pemerintah lokal TM (I) = pajak impor GOVGOV = transfer pemerintah ke pemerintah ROWTRW = transfer dai bagian lain dunia ke bagian

lain dunia PINDEX = indeks harga komposit

GOVBOR = pinjaman luar negeri pemerintah PINDOM = indeks harga domestik CORBOR = pinjaman luar negeri perusahaan dari

bagian lain dunia WTQ (I) = indeks harga komposit tertimbang

SFROW (FLAB) = pangsa pendapatan tenaga kerja ke bagian lain dunia

WTD (I) = indeks harga domestik tertimbang

4.4 Perubahan Kesejahteraan

Dalam analisis kesetimbangan umum, evaluasi dampak kebijakan pada

kesejahteraan dan distribusinya memerlukan kriteria kesejahteraan. Kriteria yang

digunakan dalam studi ini adalah pendapatan yang dapat dibelanjakan (disposable

99

income) per kapita. Distribusi pendapatan dihitung menggunakan rasio Gini. Evaluasi

dilakukan dengan membandingkan keseimbangan patokan (benchmark) dan

keseimbangan umum simulasi (counterfactual). Akan tetapi, mempertimbangkan

perubahan nilai rasio Gini yang relatif kecil, perubahan distribusi pendapatan dikenali

juga melalui perubahan rasio pendapatan RT terkecil (RT I) terhadap pendapatan RT

terbesar (RT X) atau rasio pendapatan RT miskin (RT I-IV) terhadap pendapatan RT

pendapatan tinggi (RT IX-X).

100

BAB V

SKENARIO KEBIJAKAN DAN HASIL SIMULASI

5.1 Validasi Model CGE

Model CGE Air Minum DKI Jakarta telah memenuhi syarat uji konsistensi yang umum

digunakan (Mahi, 1997 dan 2003), yaitu (i) mampu mereplikasi data SAM yang menjamin

tidak adanya kesalahan spesifikasi pada model, (ii) memenuhi syarat Walras yaitu tabungan

sama dengan investasi, dan (iii) memperlihatkan kestabilan suatu model. Selain itu, juga telah

memenuhi keseimbangan fiskal berupa keseimbangan tabungan pemerintah dengan selisih

penerimaan pemerintah dan pengeluaran pemerintah.

5.2 Skenario Simulasi

Secara umum, pertumbuhan perekonomian DKI Jakarta menunjukkan

perbaikan pada beberapa tahun terakhir. Walaupun demikian, pertumbuhan ekonomi

yang terjadi ditengarai belum berupa pertumbuhan yang bersifat pro-poor karena masih

tingginya tingkat kesenjangan pendapatan dan tingginya proporsi penduduk miskin.

Beberapa studi empiris memperlihatkan bahwa pertumbuhan penduduk

perkotaan yang tinggi, sebagaimana juga terjadi di DKI Jakarta, mengakibatkan

ketidakmampuan pemerintah menyediakan prasarana dan sarana pelayanan publik yang

memadai, diantaranya, dalam bentuk pelayanan kebutuhan air minum. Penduduk masih

belum sepenuhnya dapat terlayani kebutuhan air minumnya, khususnya rumah tangga

miskin, sehingga sebagian kebutuhan dipenuhi oleh air minum nonperpipaan dan

bahkan dari sumber air yang kurang layak, seperti sumur dan sungai yang tercemar.

Pemenuhan kebutuhan air minum penduduk melalui air minum perpipaan

khususnya penduduk miskin perkotaan, ditengarai dapat mengurangi beban

pengeluaran air minum, beban pengeluaran bagi biaya pengobatan akibat penggunaan

air minum yang tidak layak, dan mengurangi jumlah hari nonproduktif. Kondisi ini

akan mendorong peningkatan produktivitas dan tabungan penduduk miskin yang

mengarah pada meningkatnya pendapatan per kapita dan membaiknya kesenjangan

101

pendapatan, yang akhirnya berdampak pada peningkatan kondisi perekonomian secara

keseluruhan.

Sebagaimana telah dijelaskan pada bagian terdahulu (Bab I) bahwa investasi,

termasuk investasi air minum, baik secara teoritis maupun secara empiris, terbukti

mendorong terjadinya pertumbuhan ekonomi. Sementara itu, pemenuhan kebutuhan air

minum penduduk perkotaan, khususnya penduduk miskin, dapat meningkatkan

kesejahteraan penduduk yang berdampak pada perbaikan distribusi pendapatan.

Kombinasi dari investasi air minum dan pemenuhan kebutuhan air minum penduduk

miskin perkotaan akan menghasilkan pertumbuhan pro-poor sehingga pembangunan

air minum di DKI Jakarta akan dapat menjadi salah satu pintu masuk bagi

penanggulangan kemiskinan di DKI Jakarta. Untuk itu, dalam studi ini akan dilakukan

beberapa simulasi secara bertahap untuk mengetahui skenario-skenario pembangunan

air minum yang dapat mengarah pada pertumbuhan pro-poor. Langkah pertama adalah

mengetahui dampak investasi air minum, baik air minum perpipaan maupun

nonperpipaan, terhadap pertumbuhan ekonomi dan distribusi pendapatan (Simulasi I

dan II). Jika investasi tersebut menghasilkan pertumbuhan ekonomi pro-poor, simulasi

tidak akan dilanjutkan dengan pertimbangan bahwa pembangunan air minum di DKI

Jakarta telah sesuai dengan yang diharapkan.

Selanjutnya, jika hasil simulasi menunjukkan bahwa hanya pertumbuhan eko-

nomi yang meningkat sementara distribusi pendapatan cenderung memburuk,

ditengarai subsidi harga yang diterapkan selama ini menjadi kurang efektif, karena

penduduk miskin yang seharusnya mendapat subsidi kemungkinan tidak terlayani

sehingga rumah tangga miskin menggunakan air minum nonperpipaan dengan harga

yang jauh lebih mahal. Sementara itu, sebagian rumah tangga bukan miskin ditengarai

tidak menggunakan sumber air minum perpipaan seperti sumur dalam. Akibatnya,

pendapatan rumah tangga miskin cenderung berkurang dan distribusi pendapatan

memburuk.

Dapat disimpulkan bahwa penerapan sistem tarif progresif yang dimaksudkan

agar terjadi subsidi silang terhadap rumah tangga miskin ternyata tidak menunjukkan

hasil yang diharapkan. Hal ini menunjukkan bahwa pemberian subsidi harga kurang

102

berhasil dalam membantu rumah tangga miskin. Studi yang dilakukan oleh Rietveld

dkk (2000) di PDAM Salatiga juga menunjukkan hal yang sama, yaitu bahwa

kontribusi sistem tarif progresif terhadap perbaikan kesenjangan pendapatan tidak

signifikan. Hal ini juga berkesesuaian dengan teorema kedua kesejahteraan (the second

theorem of welfare) yang mengatakan bahwa pemberian subsidi langsung lebih efisien

dari pemberian subsidi harga. Untuk itu, dibutuhkan alternatif lain yang memungkinkan

terjadinya pertumbuhan pro-poor, yaitu dengan memberikan subsidi langsung air

minum bagi rumah tangga miskin.

Pada skenario berikutnya subsidi akan diberikan dari dua sumber yang berbeda,

yaitu dari sumber (i) peningkatan pajak air minum perpipaan (simulasi III) dan (ii)

transfer dana pusat atau sumber dana yang berasal dari luar DKI Jakarta (simulasi IV).

Simulasi III dilakukan secara bertahap, yaitu pertama kali dilakukan

peningkatan pajak air minum perpipaan. Kemudian, hasil pajak air minum perpipaan

tersebut dialokasikan kepada rumah tangga miskin perkotaan. Peningkatan pajak pada

awalnya yang tanpa penyediaan subisidi air minum akan menyebabkan menurunnya

pertumbuhan ekonomi, tetapi di pihak lain menyebabkan membaiknya distribusi

pendapatan. Subsidi air minum yang kemudian disediakan, dari hasil peningkatan

pajak, bagi rumah tangga miskin akan menyebabkan membaiknya pertumbuhan

ekonomi walaupun belum menjamin akan kembali pada posisi sebelum pengenaan

pajak.

Pada kondisi penyediaan dana pusat, diasumsikan dana tersebut merupakan

suntikan dana dari luar perekonomian sehingga dampaknya terhadap perekonomian

akan berbeda dengan peningkatan pajak air minum perpipaan, terutama tidak akan

terjadi penurunan pertumbuhan ekonomi.

Pada simulasi sebelumnya telah dilakukan simulasi peningkatan investasi air

minum perpipaan (simulasi I), peningkatan investasi air minum nonperpipaan (simulasi

II), penyediaan subsidi bagi rumah tangga miskin dari sumber pajak air minum

perpipaan (simulasi III), dan penyediaan subsidi bagi rumah tangga miskin dari sumber

transfer pemerintah pusat (simulasi IV). Keempat simulasi tersebut memberi gambaran

103

dampak dari investasi dan subsidi masing-masing terhadap pertumbuhan ekonomi dan

distribusi pendapatan.

Jika hasil simulasi awal menunjukkan belum terjadinya pertumbuhan pro-poor,

yaitu pertumbuhan ekonomi yang disertai perbaikan distribusi pendapatan, skenario

selanjutnya adalah berupa penggabungan antara investasi yang menghasilkan

pertumbuhan ekonomi dan subsidi yang memperbaiki distribusi pendapatan. Skenario

penggabungan ini terdiri dari simulasi V yang berupa peningkatan investasi air minum

perpipaan sekaligus penyediaan subsidi langsung bagi rumah tangga miskin dari hasil

peningkatan pajak air minum perpipaan dan simulasi VI yang berupa peningkatan

investasi air minum perpipaan dan penyediaan subsidi langsung bagi rumah tangga

miskin dari dana pusat.

Dengan mempertimbangkan kenyataan adanya kemungkinan keterbatasan dana

subsidi sehingga harus diterapkan prioritas penerima subsidi, penerima subsidi

dibedakan antara kelompok penerima subsidi pertama adalah kelompok rumah tangga

(RT) termiskin, yaitu kelompok RT sangat miskin I (RT I) dan kelompok penerima

subsidi kedua adalah seluruh kelompok RT miskin yang merupakan empat kelompok

RT dengan penghasilan terendah, yaitu RT sangat miskin I (RT I), RT sangat miskin II

(RT II), RT miskin I (RT III), dan RT miskin II (RT IV).

Keseluruhan skenario di atas dilaksanakan secara bertahap melalui beberapa

simulasi seperti berikut.

A. Simulasi Investasi

(i) Simulasi I berupa peningkatan investasi air minum perpipaan masing-masing

sebesar 10 persen, 25 persen, dan 50 persen.

(ii) Simulasi II berupa peningkatan investasi air minum nonperpipaan masing-

masing sebesar 10 persen, 25 persen, dan 50 persen.

B. Simulasi Subsidi

(iii) Simulasi III berupa peningkatan pajak air minum sebesar 10 persen, 25

persen, dan 50 persen, dan hasilnya dialokasikan untuk subsidi bagi

kelompok rumah tangga miskin.

104

(iv) Simulasi IV berupa penyediaan dana dari pemerintah pusat masing-masing

sebesar nilai peningkatan pajak 10 persen, 25 persen, dan 50 persen.

C. Simulasi Gabungan (investasi dan subsidi)

(v) Simulasi V berupa peningkatan investasi air minum perpipaan masing-masing

sebesar 10 persen, 25 persen, dan 50 persen, dan penyediaan subsidi langsung

bagi rumah tangga miskin dari hasil peningkatan pajak air minum perpipaan

masing-masing sebesar 10 persen, 25 persen, dan 50 persen.

(vi) Simulasi VI berupa peningkatan investasi air minum perpipaan masing-

masing sebesar 10 persen, 25 persen, dan 50 persen, dan penyediaan subsidi

langsung bagi rumah tangga miskin dari dana pusat yang nilainya setara

dengan hasil peningkatan pajak air minum perpipaan masing-masing sebesar

10 persen, 25 persen, dan 50 persen.

Keseluruhan skenario dan simulasi tersebut digambarkan selengkapnya pada

Gambar 5.1 dan Tabel 5.1.

105

Gambar 5.1 Bagan Alir Skenario Simulasi

Simulasi I, II Simulasi III Simulasi IV Simulasi V Simulasi VI

Pertum- buhan

Ekonomi

Peru-bahanRasio Gini

Pangsa Penda-

dapatan RT

Miskin

Pertumbuh-an Penda-patan /Ka-

pita RT Miskin

+ - + + Pro-poor + - + - Pro-poor + - - + + + - - dst

Peningkatan investasi

air minum

Dana pusat

Pajak air minum perpipaan

Pertumbuh-an ekonomi meningkat ?

Subsidi bagi RT miskin

Distribusi pendapatan membaik ?

Pertum-buhan

Pro-poor?

Peningkatan Investasi

Air Minum

Pajak Air Minum

Subsidi Bagi RT Miskin

Peningkatan Investasi

Air Minum

Dana Pusat

Subsidi Bagi RT Miskin

tidak

tidak

tidak

106

Tabel 5.1 Skenario Simulasi I dan II Simulasi Skenario

1.1 1.2 1.3 2.1 2.2 2.3 Investasi air minum perpipaan 10 % 25 % 50 % Investasi air minum nonperpipaan 10 % 25 % 50 % Peningkatan pajak Dana pemerintah pusat Penerima subsidi RT I Penerima subsidi RT I – RT IV

Tabel 5.2 Skenario Simulasi III Simulasi Skenario

3.1 3.2 3.3 3.4 3.5 3.6 Investasi air minum perpipaan Investasi air minum nonperpipaan Peningkatan pajak 10% 25% 50% 10% 25% 50% Dana pemerintah pusat Penerima subsidi RT I Penerima subsidi RT I – RT IV

Tabel 5.3 Skenario Simulasi IV Simulasi Skenario

4.1 4.2 4.3 4.4 4.5 4.6 Investasi air minum perpipaan Investasi air minum nonperpipaan Peningkatan pajak Dana pemerintah pusat* 10% 25% 50% 10% 25% 50% Penerima subsidi RT I Penerima subsidi RT I – RT IV Keterangan : * Dana pemerintah pusat setara dengan nilai peningkatan pajak masing-masing 10%, 25%, 50%.

Tabel 5.4 Skenario Simulasi V Simulasi Skenario

5.1 5.2 5.3 5.4 5.5 5.6 Investasi air minum perpipaan 10% 10% 10% 10% 10% 10% Investasi air minum nonperpipaan Peningkatan pajak 10% 25% 50% 10% 25% 50% Dana pemerintah pusat Penerima subsidi RT I Penerima subsidi RT I – RT IV Lanjutan Tabel 5.4

Simulasi Skenario 5.7 5.8 5.9 5.10 5.11 5.12

Investasi air minum perpipaan 25% 25% 25% 25% 25% 25% Investasi air minum nonperpipaan Peningkatan pajak 10% 25% 50% 10% 25% 50% Dana pemerintah pusat Penerima subsidi RT I Penerima subsidi RT I – RT IV

107

Lanjutan Tabel 5.4 Simulasi Skenario

5.13 5.14 5.15 5.16 5.17 5.18 Investasi air minum perpipaan 50% 50% 50% 50% 50% 50% Investasi air minum nonperpipaan Peningkatan pajak 10% 25% 50% 10% 25% 50% Dana pemerintah pusat Penerima subsidi RT I Penerima subsidi RT I – RT IV

Tabel 5.5 Skenario Simulasi VI Simulasi Skenario

6.1 6.2 6.3 6.4 6.5 6.6 Investasi air minum perpipaan 10% 10% 10% 10% 10% 10% Investasi air minum nonperpipaan Peningkatan pajak Dana pemerintah pusat* 10% 25% 50% 10% 25% 50% Penerima subsidi RT I Penerima subsidi RT I – RT IV Keterangan : * Dana pemerintah pusat setara dengan nilai peningkatan pajak masing-masing 10%, 25%, 50%. Lanjutan Tabel 5.5

Simulasi Skenario 6.7 6.8 6.9 6.10 6.11 6.12

Investasi air minum perpipaan 25% 25% 25% 25% 25% 25% Investasi air minum nonperpipaan Peningkatan pajak Dana pemerintah pusat* 10% 25% 50% 10% 25% 50% Penerima subsidi RT I Penerima subsidi RT I – RT IV Keterangan : * Dana pemerintah pusat setara dengan nilai peningkatan pajak masing-masing 10%, 25%, 50%. Lanjutan Tabel 5.5

Simulasi Skenario 6.13 6.14 6.15 6.16 6.17 6.18

Investasi air minum perpipaan 50% 50% 50% 50% 50% 50% Investasi air minum nonperpipaan Peningkatan pajak Dana pemerintah pusat* 10% 25% 50% 10% 25% 50% Penerima subsidi RT I Penerima subsidi RT I – RT IV Keterangan : * Dana pemerintah pusat setara dengan nilai peningkatan pajak masing-masing 10%, 25%, 50%.

108

Gambar 5.2 Bagan Alir Simulasi

SKENARIO INVESTASI SKENARIO SUBSIDI SIMULASI I dan II SIMULASI III dan IV

SKENARIO GABUNGAN (INVESTASI dan SUBSIDI)

SIMULASI V dan VI

Investasi Subsidi Subsidi Subsidi air minum dari pajak ke RT I ke RT I – RT IV perpipaan air minum/ dana pusat

Peningkatan investasi

Investasi AM perpipaan

10% - 25% - 50%

Investasi AM nonperpipaan

Dana pusat/pajak

Subsidi RT I

10% - 25% - 50%

Subsidi RT I - IV

10%

25%

50%

10%

25%

50%

109

5.3 Hasil Simulasi

Hasil dari simulasi ini akan dibagi menjadi tiga pokok bahasan, yaitu (i) dampak

terhadap pertumbuhan ekonomi, (ii) dampak terhadap pendapatan per kapita dan distribusi

pendapatan, dan (iii) perbandingan dampak pertumbuhan ekonomi dan distribusi

pendapatan.

5.3.1 Simulasi I: Peningkatan Investasi Air Minum Perpipaan

Peningkatan investasi air minum perpipaan sebesar masing-masing 10 persen, 25

persen, dan 50 persen mengakibatkan pertumbuhan ekonomi yang ditunjukkan oleh

peningkatan PDRB masing-masing sebesar 0,05 persen, 0,11 persen, dan 0,2 persen.

Pendapatan rumah tangga per kapita juga meningkat pada semua kategori, tetapi

terlihat bahwa kelompok pendapatan tinggi relatif lebih besar proporsi pertumbuhannya

jika dibanding dengan kelompok pendapatan rendah. Pertumbuhan pendapatan kelompok

menengah relatif seimbang dengan kelompok pendapatan rendah. Hal ini berakibat

meningkatnya pangsa pendapatan kelompok RT pendapatan tinggi. Di pihak lain, pangsa

pendapatan kelompok RT miskin dan menengah berkurang sehingga rasio Gini semakin

besar, walaupun nilai pertambahan rasio Gini tersebut sangat rendah, yaitu masing-masing

sebesar 0,0006 persen (investasi 10%), 0,001 persen (investasi 25%) dan 0,002 persen

(investasi 50%).

Jika membandingkan indikator perubahan rasio pendapatan kelompok RT

berpendapatan terendah terhadap pendapatan kelompok RT berpendapatan tertinggi dari

masing-masing skenario terhadap kondisi awal, yaitu -0,003 persen (investasi 10%), -

0,006 persen (investasi 25%), dan -0,011 persen (investasi 50%), terlihat bahwa semakin

besar investasi semakin besar kesenjangan. Selengkapnya, hal itu dapat dilihat pada Tabel

5.6, Gambar 5.3, Gambar 5.4, dan Gambar 5.5.

Secara umum, semakin besar investasi air minum perpipaan, semakin meningkat

pertumbuhan ekonomi. Di pihak lain, perubahan rasio Gini kecil sekali tetapi perubahan

rasio pendapatan RT berpendapatan terendah terhadap RT berpendapatan tertinggi cukup

signifikan. Akibatnya, investasi air minum perpipaan berdampak positip terhadap

pertumbuhan ekonomi tetapi berakibat pada meningkatnya kesenjangan pendapatan.

110

Tabel. 5.6 Perubahan PDRB dan Pendapatan Rumah Tangga

berdasar Peningkatan Investasi Air Minum Perpipaan

Skenario Peningkatan Investasi Simulasi 1.1 – 1.2 - 1.3

Kondisi Awal

10% 25% 50%

Pertumbuhan Ekonomi

• PDRB (Rp. M) • Perubahan (Rp. M) • Pertumbuhan (%)

194.225

194.316 91,4

0,047

194.440 215,3 0,110

194.620 395,3 0,203

Pendapatan per Kelompok RT

Miskin • Total pendapatan (Rp. M) • Perubahan (Rp. M) • Pangsa (%) • Pendapatan/kapita (Rp.) • Pertumbuhan (%)

13.169

11,2583

3.285.949

13.175

6,3 11,2582

3.287.531 0.0482

13.184

14,9 11,2580

3.289.677 0.1135

13.196

27,4 11,2578

3.292.795 0.2083

Menengah • Total pendapatan (Rp. M) • Perubahan (Rp. M) • Pangsa (%) • Pendapatan/kapita (Rp.) • Pertumbuhan (%)

34.089

29,1431

11.091.592

34.105

16,4 29,1427

11.096.928 0,0481

34.127

38,6 29,1423

11.104.162 0,1133

34.160

70,9 29,1417

11.096.928 0,2081

Tinggi • Total pendapatan (Rp. M) • Perubahan (Rp. M) • Pangsa (%) • Pendapatan/kapita (Rp.) • Pertumbuhan (%)

69.712

59,5987 53.466.585

69.748

34,8 59,5991

53.493.272 0,0499

69.795

82,0 59,5997

53.529.442 0,1176

69.863

150,5 59,6005

53.582.001 0,2159

Distribusi Pendapatan

• Rasio Gini • Pertumbuhan (%)* • Rasio Pendapatan RT

terendah/RT tertinggi • Pertumbuhan (%)**

0,597198

0,035257

0,597202 0,0006

0,035256

- 0,003

0,597206 0,001

0,035255

- 0,006

0,597213 0,002

0,035253

- 0,011

Sumber: Hasil Simulasi * Perubahan positip menunjukkan kesenjangan memburuk dibanding kondisi awal ** Perubahan negatip menunjukkan kesenjangan memburuk dibanding kondisi awal

Gambar 5.4Peningkatan Pendapatan per Kapita berdasar

Skenario Peningkatan Investasi Air Minum Perpipaan

0

0.05

0.1

0.15

0.2

0.25

Invest asi 10% investasi 25% invest asi 50%

S k e na r i o Inv e st a si ( %)

RT Miskin RT Menengah RT Tinggi

Gambar 5.3 Pertumbuhan Ekonomi dan Rasio Gini

Skenario Investasi Air Minum Perpipaan

0

0.05

0.1

0.15

0.2

0.25

Investasi 10% Investasi 25% Investasi 50%

Pertu

mbu

han

Eko

nom

i (%

)

0.597196

0.597206

0.597216

Rasi

o G

ini

PDRB Rasio Gini

Gambar 5.5Pangsa Pendapatan per Kelompok RT Miskin berdasar Skenario Peningkatan Investasi Air Minum Perpipaan

11.2575

11.2577

11.2579

11.2581

11.2583

11.2585

RT Miskin

Skenario Investasi (%)

Pang

sa P

enda

pata

n K

lp R

T (%

)

Aw al Investasi 10% investasi 25% investasi 50%

111

5.3.2 Simulasi II: Peningkatan Investasi Air Minum Nonperpipaan

Peningkatan investasi air minum nonperpipaan masing-masing sebesar 10 persen,

25 persen, dan 50 persen menghasilkan pertumbuhan ekonomi dalam proporsi relatif

sangat kecil yang ditunjukkan oleh peningkatan PDRB masing-masing sebesar 0,0003

persen, 0,0005 persen, dan 0,0008 persen.

Tabel. 5.7

Perubahan PDRB dan Pendapatan Rumah Tangga berdasar Peningkatan Investasi Air Minum Nonperpipaan

Skenario Peningkatan Investasi Simulasi 2.1 – 2.2 – 2.3

Kondisi Awal 10% 25% 50%

Pertumbuhan Ekonomi

• PDRB (Rp. M) • Perubahan (Rp. M) • Pertumbuhan (%)

194.224,6

194.225,2 0,6

0,0003

194.225,7 1,1

0,0005

194.226,1 1,5

0,0008

Pendapatan per Kelompok RT

Miskin • Total pendapatan (Rp. M) • Perubahan (Rp. M) • Pangsa (%) • Pendapatan/kapita (Rp.) • Pertumbuhan (%)

13.168,8

11,2583

3.285.949

13.168,9

10,9 11,2583

3.285.959 0.0003

13.168,9

11,0 11,2583

3.285.967 0.0006

13.168,9

11,0 11,2583

3.285.975 0.0008

Menengah • Total pendapatan (Rp. M) • Perubahan (Rp. M) • Pangsa (%) • Pendapatan/kapita (Rp.) • Pertumbuhan (%)

34.088,7

29,1431

11.091.592

34.088,8

29,4 29,1431

11.091.630 0,0003

34.088,9

27,8 29,1430

11.091.652 0,0005

34.089

28,4 29,1430

11.091.680 0,0008

Tinggi • Total pendapatan (Rp. M) • Perubahan (Rp. M) • Pangsa (%) • Pendapatan/kapita (Rp.) • Pertumbuhan (%)

69.712,7

59,5987 53.466.585

69.712,9

59,8 59,5987

53.466.766 0,0003

69.713,1

61,2 59,5987

53.466.896 0,0006

69.713,3

60,6 59,5987

53.467.027 0,0008

Distribusi Pendapatan

• Rasio Gini • Pertumbuhan (%)* • Rasio Pendapatan RT

terendah/RT tertinggi • Pertumbuhan (%)**

0,597198

0,03526

0,597198 0

0,03526

0

0,597198 0

0,03526

0

0,597198 0

0,03526

0

Sumber: Hasil Simulasi * Perubahan positip menunjukkan kesenjangan memburuk dibanding kondisi awal ** Perubahan negatip menunjukkan kesenjangan memburuk dibanding kondisi awal

112

Pendapatan rumah tangga per kapita juga meningkat pada semua kategori. Akan

tetapi, terlihat bahwa pertambahannya sangat kecil dan relatif sama untuk seluruh

kelompok RT. Akibatnya, pangsa pendapatan setiap kelompok RT relatif tetap, yang

ditunjukkan oleh perubahan rasio Gini dan perubahan rasio pendapatan RT berpendapatan

terendah terhadap RT berpendapatan tertinggi yang mendekati nol. Dengan demikian,

pertambahan investasi air minum nonperpipaan tidak mengakibatkan perubahan distribusi

pendapatan. Selengkapnya, hal itu dapat dilihat pada Tabel 5.7.

Semakin besar investasi air minum nonperpipaan, semakin meningkat

pertumbuhan ekonomi walaupun dalam proporsi yang kecil sekali. Di pihak lain, investasi

air minum nonperpipaan tidak berpengaruh terhadap perubahan kesenjangan pendapatan.

Akibatnya, investasi air minum nonperpipaan tidak mempunyai dampak yang signifikan

terhadap pertumbuhan ekonomi maupun distribusi pendapatan.

5.3.3 Simulasi III : Penyediaan Subsidi dari Peningkatan Pajak Air Minum

Secara ringkas, simulasi peningkatan

pajak air minum perpipaan dilakukan dalam dua

tahap, yaitu (i) peningkatan pajak masing-

masing sebesar 10 persen, 25 persen dan 50

persen, (ii) perolehan dana dari pajak kemudian

dialokasikan dalam bentuk subsidi pada

kelompok rumah tangga miskin.

Pada tahap awal, peningkatan pajak air

minum perpipaan masing-masing sebesar 10

persen, 25 persen, dan 50 persen berdampak

pada menurunnya pertumbuhan ekonomi

masing-masing sebesar -0,0006 persen, -0,0017

persen dan -0,0036 persen. Di pihak lain, rasio

Gini walaupun menunjukkan terjadinya

perbaikan distribusi pendapatan, perubahannya

juga terjadi dalam proporsi yang sangat kecil

Gambar 5.6Pertumbuhan Ekonomi dan Rasio Gini

Skenario Peningkatan Pajak Air Minum

-0.004-0.0035

-0.003-0.0025

-0.002-0.0015

-0.001-0.0005

0

Pajak 10% Pajak 25% Pajak 50%

Pajak

Pertu

mbu

han

Ekon

omi (

%)

0.59719780

0.59719800

0.59719820

0.59719840

Rasi

o G

ini

PDRB Rasio Gini

Gambar 5.7Perubahan Pendapatan RT berdasar Skenario

Peningkatan Pajak Air MInum Perpipaan

-0.0045-0.004

-0.0035-0.003

-0.0025-0.002

-0.0015-0.001

-0.00050

Pajak 10% Pajak 25% Pajak 50%

Peni

ngka

tan

Pend

apat

an (%

)

RT Miskin RT Menengah RT Tinggi

113

antara –0,00001 persen (pajak 10%) sampai –0,00008 persen (pajak 50%). Peningkatan

pajak air minum perpipaan tidak berakibat signifikan terhadap pertumbuhan ekonomi dan

rasio Gini.

Secara umum, peningkatan pajak air minum perpipaan mempengaruhi beberapa

indikator ekonomi yang berdampak pada pertumbuhan ekonomi dan distribusi pendapatan.

Hal itu dimulai dengan peningkatan penerimaan pemerintah sebesar 0,0009 persen (pajak

10%) sampai 0,004 persen (pajak 50%). Peningkatan penerimaan pemerintah itu

mempengaruhi peningkatan tabungan pemerintah, yaitu sebesar 0,015 persen (pajak 10%)

sampai 0,074 persen (pajak 50%). Selanjutnya, konsumsi pemerintah meningkat walaupun

kecil sekali sehingga pengaruhnya terhadap pertumbuhan ekonomi juga kecil.

Peningkatan pajak mempengaruhi output yang berkurang sebesar –0,0006 persen

(pajak 10%) sampai –0,0037 persen (pajak 50%). Selanjutnya, hal itu mempengaruhi

penerimaan faktor, baik tenaga kerja maupun modal, sehingga pendapatan rumah tangga

juga menurun. Akibatnya, konsumsi rumah tangga menurun yang berkisar –0,0006 persen

(pajak 10 %) sampai –0,0039 persen (pajak 50%). Penurunan konsumsi rumah tangga

mempengaruhi pertumbuhan ekonomi.

Sebagaimana diketahui bahwa peningkatan pajak mempengaruhi pertumbuhan

ekonomi dari dua jalur, yaitu (a) jalur konsumsi rumah tangga dan (b) jalur konsumsi

pemerintah termasuk transfer ke rumah tangga. Hasil simulasi menunjukkan bahwa

peningkatan pajak hanya mendorong konsumsi pemerintah yang sangat kecil. Sementara

itu, pengaruhnya terhadap konsumsi rumah tangga, walaupun relatif kecil masih lebih

besar dari pengaruh konsumsi pemerintah. Akibatnya, pertumbuhan ekonomi menjadi

negatip tetapi sangat kecil sehingga tidak signifikan.

Akibat dari peningkatan pajak air minum perpipaan adalah bahwa seluruh

kelompok rumah tangga mengalami penurunan pendapatan. Kelompok rumah tangga

berpendapatan tinggi mengalami penurunan lebih besar daripada rumah tangga miskin.

Hal ini merupakan akibat dari besarnya konsumsi air minum rumah tangga berpendapatan

tinggi relatif terhadap penduduk miskin. Walaupun kemudian secara keseluruhan

perbedaan tersebut tidak berpengaruh terhadap rasio Gini yang relatif konstan.

Selengkapnya, hal itu dapat dilihat pada Tabel 5.8.

114

Tabel. 5.8 Pengaruh Peningkatan Pajak Air Minum Perpipaan

terhadap Indikator Ekonomi

Skenario Peningkatan Pajak Simulasi 3.1 – 3.2 – 3.3 (Pra Subsidi)

Kondisi Awal

10% 25% 50%

Pertumbuhan Ekonomi

• PDRB (Rp. M) • Perubahan (Rp. M) • Pertumbuhan (%)

194.225

194.224 - 1,1

- 0,0006

194.221 - 3,3

- 0,0017

194.218 - 7,0

- 0,0036

Total Investasi

• Jumlah (Rp. M) • Perubahan (Rp. M) • Pertumbuhan (%)

59.127,3

59.126,9 - 0,349

- 0,0006

59.126,3 - 1,0

- 0,002

59.125,1 - 2,2

- 0,04

Penerimaan Pemerintah

• Jumlah (Rp. M) • Perubahan (Rp. M) • Pertumbuhan (%)

13.991,4

13.991,5 0,125

0,0009

13.991,7 0,304 0,002

13.992,0 0,6

0,004

Tabungan

Total Tabungan • Jumlah (Rp. M) • Perubahan (Rp. M) • Pertumbuhan (%)

59.127,3

59.127,0

- 0,277 - 0,0005

59.126,4

- 0,840 - 0,001

59.125,5

- 1,800 - 0,003

Tabungan RT • Jumlah (Rp. M) • Perubahan (Rp. M) • Pertumbuhan (%)

5.538,5 - 0,035

- 0,0006

5.538,5

- 0,1 - 0,002

5.538,4

- 0,2 - 0,004

Tabungan Pemerintah • Jumlah (Rp. M) • Perubahan (Rp. M) • Pertumbuhan (%)

767,1

767,2 0,118

0,0154

767,4 0,287 0,037

767,7 0,57

0,074

Output

• Total • Jumlah (Rp. M) • Perubahan (Rp. M) • Pertumbuhan (%)

• Air Minum Perpipaan • Jumlah (Rp. M) • Perubahan (Rp. M) • Pertumbuhan (%)

• Air Minum Non Perpipaan • Jumlah (Rp. M) • Perubahan (Rp. M) • Pertumbuhan (%)

405.807,3

472,73

100,48

405.804,9

- 2,4 - 0,0006

472,73 - 0,004

- 0,0008

100,48 - 0,001

- 0,0006

405.800

- 7,1 - 0,0018

472,72 - 0,01

- 0,0023

100,48 - 0,002

- 0,0018

405.792

- 15 - 0,0037

472,71 - 0,02

- 0,0048

100,48 - 0,004

- 0,0038

115

Skenario Peningkatan Pajak

Simulasi

3.1 – 3.2 – 3.3 (Pra Subsidi)

Kondisi

Awal 10% 25% 50%

Konsumsi Rumah Tangga

• Total • Jumlah (Rp. M) • Perubahan (Rp. M) • Pertumbuhan (%)

• Air Minum Perpipaan • Jumlah (Rp. M) • Perubahan (Rp. M) • Pertumbuhan (%)

• Air Minum Non Perpipaan • Jumlah (Rp. M) • Perubahan (Rp. M) • Pertumbuhan (%)

99.492,9

86,104

36,116

99.492,3

- 0,627 - 0,00063

86,03

- 0,0005 - 0,00062

36,115

- 0,0002 - 0,00063

99.491,1

- 1,800 - 0,002

86,08

- 0,001 - 0,002

36,115

- 0,0007 - 0,002

99.489,1

- 3,9 - 0,0039

86,1

- 0,0030 - 0,0038

36,114 - 0,001

- 0,0039

Pendapatan Faktor

• Modal Air Minum perpipaan • Jumlah (Rp. M) • Perubahan (Rp. M) • Pertumbuhan (%)

• Modal Lainnya • Jumlah (Rp. M) • Perubahan (Rp. M) • Pertumbuhan (%)

175,6

128.735

175,5

- 0,086 - 0,049

128.734,1

- 0,666 - 0,0005

175,3

- 0,215 - 0,123

128.732,7

-1,9 - 0,002

175,2

- 0,432 - 0,246

128.730,6

- 4,1 - 0,003

Pendapatan Rumah Tangga

Miskin • Total pendapatan (Rp. M) • Perubahan (Rp. M) • Pangsa (%) • Pendapatan/kapita (Rp.) • Pertumbuhan (%)

13.168,8

11,2583

3.285.949

13.168,7

- 0,1 11,2583

3.285.929 - 0.0006

13.168,6

- 0,2 11,2583

3.285.891 - 0.00176

13.168,3

- 0,5 11,2584

3.285.826 - 0.00372

Menengah • Total pendapatan (Rp. M) • Perubahan (Rp. M) • Pangsa (%) • Pendapatan/kapita (Rp.) • Pertumbuhan (%)

34.088,7

29,1431

11.091.592

34.088,5

- 0,2 29,1431

11.091.527 - 0,00059

34.088,1

- 0,6 29,1431

11.091.398 - 0,00175

34.087,4

- 1,3 29,1430

11.091.179 - 0,00373

Tinggi • Total pendapatan (Rp. M) • Perubahan (Rp. M) • Pangsa (%) • Pendapatan/kapita (Rp.) • Pertumbuhan (%)

69.712,7

59,5987 53.466.585

69.712,2

- 0,4 59,5987

53.466.244 - 0,00064

69.711,4

- 1,3 59,5986

53.465.577 - 0,00188

69.709,9

- 2,8 59,5986

53.464.465 - 0,00396

Distribusi Pendapatan

• Rasio Gini • Pertumbuhan (%)*

0,597198

0,597198 - 0,00001

0,597198 - 0,00004

0,597198 - 0,00008

Sumber: Hasil Simulasi * Perubahan positip menunjukkan kesenjangan memburuk dibanding kondisi awal

116

Sebagai catatan, pengaruh peningkatan pajak air minum perpipaan terhadap

indikator ekonomi terlihat relatif kecil karena sumbangan sektor air minum terhadap

PDRB DKI Jakarta sendiri relatif kecil, yaitu hanya berkisar pada angka 2 persen. Selain

itu, cakupan layanan air minum perpipaan masih berada pada kisaran 50 persen dari total

penduduk DKI Jakarta.

Skenario berikutnya adalah bahwa hasil pajak air minum didistribusikan kembali

ke penduduk miskin. Pemberian subsidi tidak diwujudkan dalam bentuk tunai, tetapi

dalam model didistribusikan melalui penambahan konsumsi air minum untuk masing-

masing kelompok yang mendapat subsidi sesuai dengan pangsa konsumsinya.

Penduduk yang mendapat subsidi terdiri dari empat kelompok rumah tangga (RT)

terbawah, yaitu (i) RT sangat miskin I (VEPOIHH), (ii) RT sangat miskin II (VEPOIIHH),

(iii) RT miskin I (POORIHH), dan (iv) RT miskin II (POORIIHH). Dalam simulasi,

penerima subsidi dibedakan berdasarkan jumlah kelompok penerima, yaitu sebagai

berikut. Skenario I kelompok penerima terdiri dari hanya satu kelompok RT, yaitu RT

sangat miskin I (VEPOIHH). Skenario II kelompok penerima terdiri dari seluruh

kelompok RT yang dikategorikan miskin, yaitu empat kelompok RT terbawah.

Penyediaan subsidi bagi rumah tangga miskin dari hasil peningkatan pajak air

minum perpipaan yang masing-masing sebesar 10 persen, 25 persen, dan 50 persen

berdampak pada menurunnya pertumbuhan ekonomi dengan pertumbuhan yang sangat

kecil, yaitu minimum –0,0001 persen (pajak 10%-subsidi bagi RT I) sampai –0,0008

persen (pajak 50%-subsidi bagi RT I-IV). Namun, tingkat pertumbuhan ini lebih baik dari

kondisi awal ketika peningkatan pajak air minum perpipaan tidak disertai penyediaan

subsidi.

Pendapatan per kapita RT miskin meningkat antara 0,001–0,004 persen sementara

pendapatan per kapita RT menengah dan RT pendapatan tinggi menurun antara -

0,0001 persen sampai –0,001 persen sehingga pangsa pendapatan kelompok rumah tangga

miskin meningkat walaupun dalam proporsi yang sangat kecil. Akibatnya, rasio Gini

mengecil yang menunjukkan terjadinya perbaikan distribusi pendapatan walaupun

proporsi perubahannya juga sangat kecil, yaitu antara –0,0003 persen (pajak 10%-subsidi

RT I) sampai –0,002 persen (pajak 50%-subsidi RT I). Rasio Gini menjadi sedikit lebih

117

Gambar 5.8Pertumbuhan Ekonomi Skenario Subsidi dari

Peningkatan Pajak Air Minum Perpipaan

-0.001

-0.0005

0Pajak 10% Pajak 25% Pajak 50%

Pajak

Pert

umbu

han

ekon

omi

(%)

pertumbuhan ekonomi RT I RT I-IV

Tabel. 5.9

Pertumbuhan Ekonomi dan Distribusi Pendapatan Skenario Penyediaan Subsidi dari Peningkatan Pajak Air Minum Perpipaan

Peningkatan Pajak 10% Peningkatan Pajak 25%

Peningkatan Pajak 50 %

Penerima Subsidi

Simulasi 3.1 3.2 3.3 3.4 3.5 3.6

Kondisi Awal

RT I RT I-IV RT I RT I-IV RT I RT I – IV

Pertumbuhan Ekonomi

• PDRB (Rp. M) • Perubahan (Rp. M) • Pertumbuhan (%)

194.225

194.224 - 0,1

- 0.0001

194.224 - 0,3

- 0,0002

194.224 - 0,3

- 0 ,0002

194.224 - 0,8

- 0,0004

194.224 - 0,7

- 0,0004

194.223 - 1,5

- 0,0008

Pendapatan per Kelompok RT

Miskin • Total pendapatan (Rp. M) • Perubahan (Rp. M) • Pangsa (%) • Pendapatan/kapita (Rp.) • Pertumbuhan (%)

13.168,8

11,2583 3.285.949

13.169 0,132

11,2584 3.285.982

0.001

13.169

0,122 11,2584

3.285.979 0,001

13.169,2

0,329 11,2586

3.286.031 0.003

13.169,1

0,302 11,2586

3.286.024 0,002

13.169,5

0,659 11,2588

3.286.113 0.005

13.169,4

0,603 11,2588

3.286.099 0,004

Menengah • Total pendapatan (Rp. M) • Perubahan (Rp. M) • Pangsa (%) • Pendapatan/kapita (Rp.) • Pertumbuhan (%)

34.088,7

29,1431

11.091.592

34.088.6

- 0,044 29,1430

11.091.578 - 0.0001

34.088,6

- 0,071 29.1430

11.091.569 - 0,0002

34.088.6

- 0,102 29,1430

11.091.559 - 0.0003

34.088,5

- 0,170 29,1430

11.091.537 - 0,0005

34.088.5

- 0,200 29,1429

11.091.527 - 0.0006

34.088,3

- 0,354 29,1429

11.091.477 - 0,001

Tinggi • Total pendapatan (Rp. M) • Perubahan (Rp. M) • Pangsa (%) • Pendapatan/kapita (Rp.) • Pertumbuhan (%)

69.712,7

59,5987 53.466.585

69.712,6

- 0,08 59,5986

53.466.520 - 0.0001

69.712,5

- 0,15 59,5986

53.486.467 - 0,0002

69.712,4

- 0,22 59,5985

53.466.413 - 0,0003

69.712,3

-0,38 59,5985

53.466.290 - 0,0006

69.712,2

- 0,45 59,5983

53.466.308 - 0.0007

69.711,9

- 0,77 59,5983

53.465.991 - 0,001

Distribusi Pendapatan

• Rasio Gini • Pertumbuhan (%)* • Rasio Pendapatan RT

miskin/RT tinggi • Pertumbuhan (%)**

0,597198

0,1889

0,597196 - 0,0003 0,18890

0,001

0,597197 - 0,0002 0,18890

0,001

0,597194 - 0,0008 0,18891

0,003

0,597195 - 0,0006 0,18891

0,003

0,597189 - 0,0016 0,18891

0,006

0,597192 - 0,001

0,18891

0,006

Sumber: Hasil Simulasi * Perubahan positip menunjukkan kesenjangan memburuk dibanding kondisi awal ** Perubahan negatip menunjukkan kesenjangan memburuk dibanding kondisi awal

Gambar 5.9Rasio Gini

Skenario Subsidi dari Peningkatan Pajak Air Minum Perpipaan

0.597188

0.59719

0.597192

0.597194

0.597196

0.597198

aw al Pajak 10% Pajak 25% Pajak 50%

Ras

io G

ini

RT I RT I-IV

-0.001

0

0.001

0.002

0.003

0.004

0.005

Peru

baha

n Pe

ndap

atan

RT

(%)

Pajak 10% Pajak 25% Pajak 50%

Gambar 5.10 Perubahan Pendapatan RT berdasar Penyediaan Subsidi

dari Peningkatan Pajak Air Minum (Skenario RT I dan RT I-IV)

RT Miskin (RT I)

RT Miskin (RTI-IV)

RT Menengah (RT I)

RT Menengah (RT I-IV)

RT Tinggi (RT I)

RT Tinggi (RT I-IV)

118

baik daripada kondisi awal sebelum hasil pajak dialokasikan untuk subsidi. Selengkapnya,

hal itu dapat dilihat pada Tabel 5.9, Gambar 5.8, dan Gambar 5.9.

Walaupun dampaknya tidak signifikan tetapi penyediaan subsidi dari hasil

peningkatan pajak air minum perpipaan bagi kelompok RT miskin mengakibatkan laju

pertumbuhan yang lebih baik daripada ketika peningkatan pajak diterapkan tanpa alokasi

subsidi. Hal ini menunjukkan bahwa manfaat dari subsidi lebih kecil daripada biaya

peningkatan pajak yang harus ditanggung.

Secara umum, pemberian subsidi baik pada RT termiskin maupun seluruh RT

miskin hanya berdampak signifikan terhadap pertumbuhan rasio pendapatan RT miskin

terhadap RT berpendapatan tinggi jika investasi air minum perpipaan sebesar 50 persen.

Hal ini menegaskan bahwa subsidi yang didistribusikan hanya bermanfaat bagi kelompok

pendapatan rendah jika pajak yang diterapkan mencapai 50 persen.

Pemberian subsidi pada lebih banyak kelompok RT miskin (RT I-IV) daripada

hanya RT termiskin (RT I) tidak berdampak signifikan terhadap pertumbuhan ekonomi

maupun distribusi pendapatan.

5.3.4 Simulasi IV : Subsidi dari Dana Pemerintah Pusat

Berbeda dengan simulasi sebelumnya yang sumber dana berasal dari pajak, pada

simulasi ini sumber dana berasal dari pemerintah pusat. Simulasi dilakukan dengan

menyediakan dana subsidi yang setara dengan hasil pajak air minum perpipaan sebesar

masing-masing Rp.0,149 miliar, Rp.0,37 miliar, dan Rp.0,74 miliar.

Sebagaimana simulasi sebelumnya, pada simulasi ini dilakukan pembedaan

terhadap penerima subsidi, yaitu kelompok RT miskin I dan kelompok RT miskin I

sampai RT miskin IV.

Penyediaan subsidi bagi penduduk miskin dari dana pemerintah pusat hanya

mengakibatkan peningkatan laju pertumbuhan ekonomi yang sangat kecil, yaitu sebesar

minimum 0,0009 persen dan maksimum 0,0042 persen (subsidi bagi RT I) dan minimum

0,0007 persen sampai 0,0035 persen (subsidi bagi RT I-IV).

Penyediaan subsidi mengakibatkan laju pertumbuhan pendapatan kelompok RT

miskin meningkat sebesar 0,002 sampai 0,01 persen. Sementara itu, laju pertumbuhan

pendapatan kelompok RT menengah dan RT pendapatan tinggi hanya berkisar 0,0007

persen sampai 0,004 persen. Akibatnya, berbeda dengan pangsa pendapatan kelompok RT

119

Gambar 5.12Rasio Gini

Skenario Subsidi dari Pemerintah Pusat

0.597185

0.59719

0.597195

0.5972

aw al Rp. 0,149 M Rp.0,37 M Rp.0,74 M

Subsidi

Ras

io G

ini

RT I RT I-IV

0

0.002

0.004

0.006

0.008

0.01

0.012

0.014

Rp. 0,149 M Rp.0,37 M Rp.0,74 M

Gambar 5.13Pertumbuhan Pendapatan RT/Kapita berdasar

Skenario Subsidi dariPemerintah Pusat

RT Miskin (RT I)

RT Miskin (RT I-IV)

RT Menengah (RT I)

RT Menengah (RT I-IV)

RT Tinggi (RT I)

RT Tinggi (RT I-IV)

Gambar 5.11Pertumbuhan Ekonomi

Skenario Subsidi dari Pemerintah Pusat

0.002

0.004

0.006

Rp. 0,149 M Rp.0,37 M Rp.0,74 M

Subsidi

Pert

umbu

han

ekon

omi

(%)

Subsidi RT I Subsidi RT I-IV

Tabel. 5.10

Perubahan PDRB dan Pendapatan Rumah Tangga berdasar Penyediaan Subsidi dari Pemerintah Pusat

Subsidi Rp. 0,149 M Subsidi Rp. 0,37 M Subsidi Rp. 0,74 M

Penerima Subsidi

Simulasi 4.1 4.2 4.3 4.4 4.5 4.6

Kondisi Awal

RT I RT I-IV RT I RT I-IV RT I RT I – IV

Pertumbuhan Ekonomi

• PDRB (Rp. M) • Perubahan (Rp. M) • Pertumbuhan (%)

194.225

194.226,5 1,5

0.0009

194.226 1,0

0,0007

194.228,8 3,8

0 ,0022

194.228 3,0

0,0018

194.232,7 7,7

0,0042

194.231,4 6,4

0,0035

Pendapatan per Kelompok RT

Miskin • Total pendapatan (Rp. M) • Perubahan (Rp. M) • Pangsa (%) • Pendapatan/kapita (Rp.) • Pertumbuhan (%)

13.168,8

11,2583

3.285.949

13.169,1

0,273 11,2584

3.286.017 0.002

13.169,1

0,238 11,2584

3.286.008 0.002

13.169,4

0,647 11,2585

3.286.110 0.005

13.169,4

0,592 11,2585

3.286.096 0.004

13.170,1

1,272 11,2588

3.286.266 0.01

13.170,4

1,183 11,2588

3.286.244 0.009

Menengah • Total pendapatan (Rp. M) • Perubahan (Rp. M) • Pangsa (%) • Pendapatan/kapita (Rp.) • Pertumbuhan (%)

34.088,7

29,1431

11.091.592

34.089.0

0,320 29,1430

11.091.696 0.001

34.088.9

0,232 29,1430

11.091.668 0.0007

34.089.4

0,720 29,1429

11.091.827 0.002

34.089.3

0,577 29,1429

11.091.780 0.002

34.090.1

1,380 29,1428

11.092.041 0.004

34.089.8

1,150 29,1428

11.092.098 0.003

Tinggi • Total pendapatan (Rp. M) • Perubahan (Rp. M) • Pangsa (%) • Pendapatan/kapita (Rp.) • Pertumbuhan (%)

69.712,7

59,5987 53.466.585

69.713,4

0,696 59,5986

53.467.119 0.001

69.713,2

0,506 59,5986

53.466.973 0.0007

69.714,2

1,566 59,5985

53.467.736 0.002

69.713,9

1,256 59,5985

53.467.548 0.002

69.715,7

2,996 59,5984

53.468.883 0.004

69.715,2

2,486 59,5983

53.468.492 0.004

Distribusi Pendapatan

• Rasio Gini • Pertumbuhan (%)* • Rasio Pendapatan RT

miskin/RT tinggi • Pertumbuhan (%)**

0,597198

0,1889

0,597196 - 0,0003 0,18890

0,001

0,597197 - 0,0002 0,18890

0,001

0,597194 - 0,0007 0,18891

0,003

0,597195 - 0,0005 0,18891

0,003

0,597190 - 0,002

0,18891

0,005

0,597192 - 0,001

0,18891

0,005

Sumber: Hasil Simulasi * Perubahan positip menunjukkan kesenjangan memburuk dibanding kondisi awal ** Perubahan negatip menunjukkan kesenjangan memburuk dibanding kondisi awal

120

menengah dan RT pendapatan tinggi yang berkurang, pangsa pendapatan kelompok RT

miskin menjadi bertambah sehingga kesenjangan pendapatan relatif membaik pada seluruh

skenario. Hal ini terlihat dari meningkatnya rasio pangsa pendapatan RT berpendapatan

terendah terhadap RT berpendapatan tertinggi.

Walaupun terlihat distribusi pendapatan menjadi lebih baik jika subsidi diberikan

pada RT I daripada jika diberikan pada RT I-IV, tetapi perubahannya tidak signifikan.

Selengkapnya, hal itu dapat dilihat pada Tabel 5.10, Gambar 5.11, Gambar 5.12 dan

Gambar 5.13.

Secara umum, pemberian subsidi baik pada RT termiskin maupun seluruh RT

miskin hanya berdampak signifikan terhadap pertumbuhan rasio pendapatan RT miskin

terhadap RT berpendapatan tinggi jika subsidi pusat sebesar Rp.0,74 miliar.

Kondisi rasio Gini yang membaik dan pangsa pendapatan kelompok RT miskin

yang meningkat dengan semakin besarnya subsidi menegaskan peran subsidi yang

signifikan dalam mengurangi kesenjangan pendapatan.

5.3.5 Simulasi V : Peningkatan Investasi Air Minum Perpipaan dan Penyediaan Subsidi dari Pajak Air Minum Perpipaan

Simulasi V merupakan simulasi gabungan antara investasi air minum perpipaan

dan subsidi. Simulasi dilakukan dengan memadankan kombinasi investasi air minum

perpipaan sebesar 10 persen, 25 persen, dan 50 persen dengan subsidi dari peningkatan

pajak air minum perpipaan sebesar 10 persen, 25 persen, dan 50 persen. Sebagaimana

simulasi sebelumnya, pada simulasi ini dilakukan pembedaan penerima subsidi, yaitu

kelompok penerima pertama (RT I) dan kelompok penerima kedua (RT I–IV).

A. Peningkatan Investasi Air Minum Perpipaan (10 persen) dan Subsidi dari Peningkatan Pajak Air Minum Perpipaan

Peningkatan investasi air minum perpipaan sebesar 10 persen disertai subsidi dari

peningkatan pajak air minum perpipaan menghasilkan laju pertumbuhan ekonomi yang

meningkat sebesar minimum 0,0468 persen (pajak 50%, subsidi bagi RT I) dan maksimum

0,0470 persen (pajak 10%, subsidi bagi RT I) dan 0,0463 persen (pajak 50%, subsidi bagi

RT I-IV) sampai 0,0469 persen (pajak 10%, subsidi bagi RT I-IV). Peningkatan subsidi

dari pajak air minum perpipaan, baik untuk RT I maupun RT I-IV, tidak mengakibatkan

perubahan yang signifikan terhadap pertumbuhan ekonomi.

121

Tabel 5.11

Pertumbuhan Ekonomi dan Distribusi Pendapatan Skenario Peningkatan Investasi Air Minum Perpipaan 10 Persen dan Penyediaan Subsidi dari Peningkatan Pajak Air Minum Perpipaan

Peningkatan Pajak 10% Peningkatan Pajak 25% Peningkatan Pajak 50% Skenario

5.1 5.2 5.3 5.4 5.5 5.6

Kondisi Awal

Investasi AM

perpi-paan dan Subsidi

RT I

Investasi AM Perpi-paan dan Subsidi RT I-IV

Investasi AM

Perpi-paan dan Subsidi

RT I

Investasi AM Perpi-paan dan Subsidi RT I-IV

Investasi AM Perpi- paan dan Subsidi

RT I

Investasi AM Perpi- paan dan Subsidi RT I-IV

Pertumbuhan Ekonomi

• PDRB (Rp. M) • Perubahan (Rp. M) • Pertumbuhan (%)

194.225

194.315,9 90,9 0.0470

194.315,7 90,7 0,0469

194.315,7 90,7 0 ,0469

194.315,3 90,3 0,0467

194.315,4 90,4 0,0468

194.314,6 89,6

0,0463

Pendapatan per Kelompok RT

Miskin • Total pendapatan (Rp. M) • Perubahan (Rp. M) • Pangsa (%) • Pendapatan/kapita (Rp.) • Pertumbuhan (%)

13.168,8

11,2583

3.285.949

13.175,3

6,478 11,2583

3.287.565 0,049

13.175,3

6,466 11,2583

3.287.562 0,049

13.175,5

6,679 11,2584

3.287.615 0,051

13.1750,5

6,651 11,2584

3.287.608 0,050

13.175,8

7,010 11,2587

3.287.698 0,053

13.175,8

6,955 11,2587

3.287.684 0,053

Menengah • Total pendapatan (Rp. M) • Perubahan (Rp. M) • Pangsa (%) • Pendapatan/kapita (Rp.) • Pertumbuhan (%)

34.088,7

29,1431

11.091.592

34.105,0

16,367 29,1427

11.096.918 0,048

34.105,0

16,338 29,1427

11.096.908 0,048

34.105,0

16,312 29,1426

11.096.900 0,048

34.104,9

16,234 29,1426

11.096.874 0,048

34.104,9

16,220 29,1426

11.096.870 0,048

34.104,7

16,064 29,1426

11.096.819 0,047

Tinggi • Total pendapatan (Rp. M) • Perubahan (Rp. M) • Pangsa (%) • Pendapatan/kapita (Rp.) • Pertumbuhan (%)

69.712,7

59,5987 53.466.585

69.747,4

34,726 59,5990

53.493.218 0,050

69.747,3

34,656 59,5990

53.493.165 0,050

69.747,3

34,596 59,5989

53.493.118 0,050

69.747,1

34,436 59,5987

53.492.996 0,049

69.747,1

34,386 59,5987

53.492.957 0,049

69.746,7

34,066 59,5987

53.4927128 0,049

Distribusi Pendapatan

• Rasio Gini • Pertumbuhan (%)* • Rasio Pendapatan RT

miskin/RT tinggi • Pertumbuhan (%)**

0,597198

0,1889

0,597200 0,0002 0,18890

- 0,001

0,597200 0,0003 0,18890

- 0,001

0,597197 - 0,0002 0,18890

0,001

0,597198 - 0,00001

0,18890

0,001

0,597192 - 0,001

0,18891

0,004

0,597195 - 0,0006 0,18891

0,004

Sumber: Hasil Simulasi * Perubahan positip menunjukkan kesenjangan memburuk dibanding kondisi awal ** Perubahan negatip menunjukkan kesenjangan memburuk dibanding kondisi awal

Gamb ar 5.14Pert umb uhan Eko no mi

Skenar io Invest asi ( 10 %) d an Sub sid i d ari Pening kat an Pajak A ir M inum Perp ip aan

0.0462

0.0464

0.0466

0.0468

0.047

Pajak 10% Pajak 25% Pajak 50%

P aj ak

Investasi dan Subsidi RT I Investasi dan Subsidi RTI-IV

Gambar 5.15R asio Gini

Skenario Invest asi ( 10 %) dan Subsid i dari Peningkat an Pajak A ir M inum Perp ip aan

0.597191

0.597193

0.597195

0.597197

0.597199

0.597201

awal Pajak 10% Pajak 25% Pajak 50%

RT I RT I-IV

0.044

0.045

0.046

0.047

0.048

0.049

0.05

0.051

0.052

0.053

Pajak 10% Pajak 25% Pajak 50%

Gambar 5.16Pertumbuhan Pendapatan RT/Kapita berdasar

Skenario Investasi (10%) dan Subsidi dari Peningkatan Pajak Air Minum

RT Miskin (RT I)

RT Miskin (RT I-IV)

RT Menengah (RT I)

RT Menengah (RT I-IV)

RT Tinggi (RT I)

RT Tinggi (RT I-IV)

122

Walaupun pada awalnya pertumbuhan pendapatan per kapita rumah tangga miskin

lebih kecil daripada rumah tangga pendapatan tinggi, tetapi dengan semakin meningkatnya

pajak air minum, pertumbuhan pendapatan per kapita rumah tangga miskin cenderung

meningkat lebih besar daripada rumah tangga menengah dan rumah tangga pendapatan

tinggi. Akibatnya, pangsa pendapatan rumah tangga miskin semakin meningkat sehingga

rasio Gini semakin membaik. Walaupun demikian, peningkatan pangsa pendapatan rumah

tangga miskin tidak mengakibatkan perubahan yang berarti terhadap rasio Gini maupun

rasio pendapatan rumah tangga miskin terhadap rumah tangga pendapatan tinggi.

Secara umum, peningkatan investasi air minum perpipaan sebesar 10 persen yang

disertai penyediaan subsidi dari peningkatan pajak air minum perpipaan sebesar 10 persen,

25 persen, dan 50 persen, baik bagi RT I maupun RT I-IV, hanya berdampak signifikan

terhadap pertumbuhan ekonomi. Sementara itu, peningkatan subsidi dari pajak air minum

perpipaan tidak berdampak signifikan terhadap perubahan pertumbuhan ekonomi dan

distribusi pendapatan.

B. Peningkatan Investasi Air Minum Perpipaan (25 persen) dan Subsidi dari Peningkatan Pajak Air Minum Perpipaan

Peningkatan investasi air minum perpipaan sebesar 25 persen disertai subsidi dari

peningkatan pajak air minum perpipaan mengakibatkan laju pertumbuhan ekonomi yang

meningkat sebesar minimum 0,1107 persen (pajak 50%, subsidi bagi RT I) dan maksimum

0,1111 persen (pajak 10%, subsidi bagi RT I) dan 0,1103 persen (pajak 50%, subsidi bagi

RT I-IV) sampai 0,1110 persen (pajak 10%, subsidi bagi RT I-IV). Peningkatan subsidi

dari pajak air minum perpipaan, baik untuk RT I maupun RT I-IV, tidak mengakibatkan

perubahan yang signifikan terhadap pertumbuhan ekonomi. Selengkapnya, hal itu dapat

dilihat pada Tabel 5.12.

Pertumbuhan pendapatan per kapita rumah tangga miskin meningkat dengan

semakin meningkatnya pajak air minum, sementara pertumbuhan pendapatan per kapita

rumah tangga pendapatan tinggi cenderung menurun. Sementara itu, pendapatan per kapita

rumah tangga menengah cenderung tetap. Akibatnya, pangsa pendapatan rumah tangga

miskin semakin meningkat sehingga rasio Gini semakin membaik. Walaupun demikian,

peningkatan pangsa pendapatan rumah tangga miskin tidak mengakibatkan perubahan

yang berarti terhadap rasio Gini maupun rasio pendapatan rumah tangga miskin terhadap

123

Tabel 5.12

Pertumbuhan Ekonomi dan Distribusi Pendapatan Skenario Peningkatan Investasi Air Minum Perpipaan 25 Persen dan Penyediaan Subsidi dari Peningkatan Pajak Air Minum Perpipaan

Peningkatan Pajak 10% Peningkatan Pajak 25% Peningkatan Pajak

50 % Skenario

5.7 5.8 5.9

5.10 5.11 5.12

Kondisi Awal

Investasi

AM perpi-paan dan Subsidi

RT I

Investasi AM Perpi-paan dan Subsidi RT I-IV

Investasi AM Perpi-paan dan Subsidi

RT I

Investasi AM Perpi-paan dan Subsidi RT I-IV

Investasi AM Perpi- paan dan Subsidi

RT I

Investasi AM Perpi- paan dan Subsidi RT I-IV

Pertumbuhan Ekonomi

• PDRB (Rp. M) • Perubahan (Rp. M) • Pertumbuhan (%)

194.225

194.440,3 215,3 0.1111

194.440,2 215,2 0,1110

194.440,0 215,0 0 ,1109

194.439,6 214,6 0,1107

194.439,7 214,7 0,1107

194.438,8 213,8 0,1103

Pendapatan per Kelompok RT

Miskin • Total pendapatan (Rp. M) • Perubahan (Rp. M) • Pangsa (%) • Pendapatan/kapita (Rp.) • Pertumbuhan (%)

13.168,8

11,2583

3.285.949

13.183,9

15,117 11,2581

3.289.721 0,115

13.183,9

15,103 11,2581

3.289.717 0,115

13.184,1

15,304 11,2583

3.289.767 0,116

13.184,1

15,276 11,2583

3.289.760 0,116

13.184,5

15,635 11,2586

3.289.850 0,119

13.184,4

15,577 11,2586

3.289.836 0,118

Menengah • Total pendapatan (Rp. M) • Perubahan (Rp. M) • Pangsa (%) • Pendapatan/kapita (Rp.) • Pertumbuhan (%)

34.088,7

29,1431

11.091.592

34.127,4

38,700 29,1423

11.104.184 0,113

34.127,3

38,660 29,1423

11.104.171 0,113

34.127,3

38,616 29,1422

11.104.157 0,113

34.127,2

38,538 29,1422

11.104.132 0,113

34.127,2

38,510 29,1421

11.104.122 0,113

34.127,0

38,364 29,1421

11.104.075 0,112

Tinggi • Total pendapatan (Rp. M) • Perubahan (Rp. M) • Pangsa (%) • Pendapatan/kapita (Rp.) • Pertumbuhan (%)

69.712,7

59,5987 53.466.585

69.794,8

82,096 59,5996

53.529.549 0,118

69.794,7

82,026 59,5996

53.529.495 0,118

69.794,6

81,916 59,5995

53.529.411 0,117

69.794,4

81,746 59,5995

53.529.280 0,117

69.794,4

81,686 59,5993

53.529.234 0,117

69.794,0

81,366 59,5993

53.528.989 0,117

Distribusi Pendapatan

• Rasio Gini • Pertumbuhan (%)* • Rasio Pendapatan RT

miskin/RT tinggi • Pertumbuhan (%)**

0,597198

0,1889

0,597204 0,001

0,18890

- 0,003

0,597204 0,0011 0,18889

- 0,003

0,597201 0,0005 0,18890

- 0,001

0,597203 0,0007 0,18889

- 0,001

0,597197 0,0003 0,18890

0,002

0,597199 0,0002 0,18890

0,002

Sumber: Hasil Simulasi * Perubahan positip menunjukkan kesenjangan memburuk dibanding kondisi awal ** Perubahan negatip menunjukkan kesenjangan memburuk dibanding kondisi awal

Gambar 5.18Rasio Gini

Skenario Investasi (25%) dan Subsidi dari Peningkatan Pajak Air Minum Perpipaan

0.597196

0.597198

0.5972

0.597202

0.597204

aw al Pajak 10% Pajak 25% Pajak 50%

Ras

io G

ini

RT I RT I-IV

Gamb ar 5.17Pert umbuhan Ekonomi

Skenario Invest asi ( 2 5%) d an Subsid i d ar i Pening kat an Pajak A ir M inum Perp ip aan

0.1102

0.1104

0.1106

0.1108

0.111

0.1112

Pajak 10% Pajak 25% Pajak 50%

P aj ak

Investasi dan Subsidi RT I Investasi dan Subsidi RTI-IV

0.111

0.113

0.115

0.117

0.119

Pajak 10% Pajak 25% Pajak 50%

Gambar 5.19Pertumbuhan Pendapatan RT/Kapita berdasar

Skenario Investasi (25%) dan Subsidi dari Peningkatan Pajak Air Minum

RT Miskin (RT I)

RT Miskin (RT I-IV)

RT Menengah (RT I)

RT Menengah (RT I-IV)

RT Tinggi (RT I)

RT Tinggi (RT I-IV)

124

rumah tangga pendapatan tinggi. Selengkapnya, hal itu dapat dilihat pada Tabel 5.12,

Gambar 5.17, Gambar 5.18, dan Gambar 5.19.

Secara umum, peningkatan investasi air minum perpipaan sebesar 25 persen yang

disertai penyediaan subsidi dari pajak air minum perpipaan sebesar 10 persen, 25 persen

dan 50 persen, baik bagi RT I maupun RT I-IV, hanya berdampak signifikan terhadap

pertumbuhan ekonomi. Sementara itu, peningkatan subsidi tidak memberi dampak yang

berarti terhadap perubahan pertumbuhan ekonomi dan distribusi pendapatan.

Jika dibandingkan dengan simulasi sebelumnya ketika investasi air minum

perpipaan yang sebesar 10 persen, ternyata hasilnya tidak berbeda kecuali bahwa laju

pertumbuhan ekonomi relatif lebih besar sementara tidak terjadi perubahan distribusi

pendapatan yang signifikan. Hal itu menunjukkan bahwa subsidi yang disediakan

walaupun tidak mengakibatkan membaiknya distribusi pendapatan tetapi tetap dapat

mempertahankan distribusi pendapatan awal.

C. Peningkatan Investasi Air Minum Perpipaan (50 persen) dan Subsidi dari Peningkatan Pajak Air Minum Perpipaan

Peningkatan investasi air minum perpipaan sebesar 50 persen disertai subsidi dari

peningkatan pajak air minum perpipaan menghasilkan laju pertumbuhan ekonomi yang

meningkat sebesar minimum 0,2036 persen (pajak 50%, subsidi bagi RT I) dan maksimum

0,2041 persen (pajak 10%, subsidi bagi RT I), dan 0,2032 persen (pajak 50%, subsidi bagi

RT I-IV) sampai 0,2040 persen (pajak 10%, subsidi bagi RT I-IV). Peningkatan subsidi

dari pajak air minum perpipaan, baik untuk RT I maupun RT I-IV, tidak mengakibatkan

perubahan yang signifikan terhadap pertumbuhan ekonomi. Selengkapnya, hal itu dapat

dilihat pada Tabel 5.13.

Ketika subsidi dari peningkatan pajak air minum perpipaan sebesar 10 persen dan

25 persen, pangsa pendapatan RT miskin lebih rendah dari kondisi awal sehingga rasio

pendapatan RT miskin terhadap RT pendapatan tinggi menjadi lebih rendah. Akibatnya,

distribusi pendapatan menjadi semakin buruk secara signifikan. Walaupun pertumbuhan

pendapatan per kapita RT miskin meningkat dengan semakin meningkatnya pajak air

minum, sementara pertumbuhan pendapatan per kapita RT menengah dan RT pendapatan

tinggi cenderung menurun, tetapi peningkatan subsidi sampai sebesar 50 persen hanya

125

Tabel 5.13

Pertumbuhan Ekonomi dan Distribusi Pendapatan Skenario Peningkatan Investasi Air Minum Perpipaan 50 Persen dan Penyediaan Subsidi dari Peningkatan Pajak Air Minum Perpipaan

Peningkatan Pajak 10% Peningkatan Pajak 25% Peningkatan Pajak

50 % Skenario

5.13 5.14 5.15 5.16 5.17 5.18

Kondisi Awal

Investasi

AM perpi-paan dan Subsidi

RT I

Investasi AM Perpi-paan dan Subsidi RT I-IV

Investasi AM Perpi-paan dan Subsidi

RT I

Investasi AM Perpi-paan dan Subsidi RT I-IV

Investasi AM Perpi- paan dan Subsidi

RT I

Investasi AM Perpi- paan dan Subsidi RT I-IV

Pertumbuhan Ekonomi

• PDRB (Rp. M) • Perubahan (Rp. M) • Pertumbuhan (%)

194.225

194.621,1 396,1 0.2041

194.620,9 395,9 0,2040

194.620,7 395,7 0 ,2039

194.620,3 395,3 0,2037

194.620,1 395,1 0,2036

194.619,3 394,3 0,2032

Pendapatan per Kelompok RT

Miskin • Total pendapatan (Rp. M) • Perubahan (Rp. M) • Pangsa (%) • Pendapatan/kapita (Rp.) • Pertumbuhan (%)

13.168,8

11,2583

3.285.949

13.196,5

27,661 11,2579

3.292.851 0,210

13.196,5

27,647 11,2579

3.292.847 0,210

13.196,7

27,847 11,2581

3.292.897 0,211

13.196,6

27,819 11,2581

3.292.890 0,211

13.197,0

28,162 11,2583

3.292.976 0,214

13.196,9

28,104 11,2583

3.292.961 0,213

Menengah • Total pendapatan (Rp. M) • Perubahan (Rp. M) • Pangsa (%) • Pendapatan/kapita (Rp.) • Pertumbuhan (%)

34.088,7

29,1431

11.091.592

34.159,8

71,132 29,1417

11.114.737 0,209

34.159,8

71,091 29,1417

11.114.724 0,209

34.159,7

71,034 29,1416

11.114.705 0,208

34.159,6

70,967 29,1416

11.114.683 0,208

34.159,6

70,891 29,1415

11.114.658 0,208

34.159,4

70,745 29,1415

11.114.611 0,208

Tinggi • Total pendapatan (Rp. M) • Perubahan (Rp. M) • Pangsa (%) • Pendapatan/kapita (Rp.) • Pertumbuhan (%)

69.712,7

59,5987 53.466.585

69.863,6

150,896 59,6005

53.582.316 0,216

69.863,5 150,826 59,6005

53.582.262 0,216

69.863,415

150,706 59,6003

53.582.170 0,216

69.863,2 150,546 59,6003

53.582047 0,216

69.863,1 150,396 59,6001

53.581932 0,216

69.862,7 150,056 59,6001

53.581.671 0,215

Distribusi Pendapatan

• Rasio Gini • Pertumbuhan (%)* • Rasio Pendapatan RT

miskin/RT tinggi • Pertumbuhan (%)**

0,597198

0,1889

0,597211 0,002

0,18889

- 0,006

0,597211 0,0022 0,18889

- 0,006

0,597209 0,0016 0,18889

- 0,005

0,597209 0,0018 0,18889

- 0,005

0,597203 0,0008 0,18890

- 0,002

0,597206 0,0013 0,18890

- 0,002

Sumber: Hasil Simulasi * Perubahan positip menunjukkan kesenjangan memburuk dibanding kondisi awal ** Perubahan negatip menunjukkan kesenjangan memburuk dibanding kondisi awal

Gamb ar 5.2 0Pert umb uhan Eko no mi

Skenario Invest asi ( 50 %) d an Sub sid i d ari Pening kat an Pajak A ir M inum Perp ip aan

0.2031

0.2033

0.2035

0.2037

0.2039

0.2041

Pajak 10% Pajak 25% Pajak 50%

P aj ak

Investasi dan Subsidi RT I Investasi dan Subsidi RTI-IV

Gambar 5.21Rasio Gini

Skenario Investasi (50%) dan Subsidi dari Peningkatan Pajak Air Minum Perpipaan

0.597197

0.597199

0.597201

0.597203

0.597205

0.597207

0.597209

0.597211

awal Pajak 10% Pajak 25% Pajak 50%

RT I RT I- IV

0.207

0.209

0.211

0.213

0.215

0.217

Pajak 10% Pajak 25% Pajak 50%

Gambar 5.22Pertumbuhan Pendapatan RT/Kapita berdasar

Skenario Investasi (50%) dan Subsidi dari Peningkatan Pajak Air Minum

RT Miskin (RT I)

RT Miskin (RT I-IV)

RT Menengah (RT I)

RT Menengah (RT I-IV)

RT Tinggi (RT I)

RT Tinggi (RT I-IV)

126

dapat mengembalikan pangsa pendapatan RT miskin seperti kondisi awal. Selengkapnya,

hal itu dapat dilihat pada Tabel 5.13, Gambar 5.20, Gambar 5.21, dan Gambar 5.22

Secara umum, peningkatan investasi air minum perpipaan sebesar 50 persen yang

disertai penyediaan subsidi, baik bagi RT I maupun RT I-IV, berdampak signifikan

terhadap pertumbuhan ekonomi maupun distribusi pendapatan. Akan tetapi, dampaknya

terhadap distribusi pendapatan hanya signifikan jika subsidi dari pajak air minum

perpipaan sebesar 10 persen dan 25 persen.

Jika dibandingkan dengan simulasi sebelumnya ketika investasi air minum

perpipaan yang sebesar 10 persen dan 25 persen, ternyata hasilnya berbeda. Peningkatan

investasi air minum perpipaan sebesar 50 persen yang disertai subsidi dari peningkatan

pajak air minum perpipaan sebesar 10 persen dan 25 persen mengakibatkan semakin

memburuknya distribusi pendapatan. Hal itu menunjukkan bahwa subsidi yang disediakan

tidak dapat mengimbangi pengaruh investasi air minum perpipaan.

5.3.6 Simulasi VI : Peningkatan Investasi Air Minum Perpipaan dan Penyediaan

Subsidi dari Dana Pemerintah Pusat

Simulasi VI merupakan simulasi gabungan antara investasi air minum perpipaan

dan subsidi. Subsidi dilakukan dengan memadankan kombinasi investasi air minum

perpipaan sebesar 10 persen, 25 persen, 50 persen dengan subsidi dari dana pemerintah

pusat yang setara dengan pajak air minum perpipaan 10 persen, 25 persen dan 50 persen,

yaitu sebesar Rp.0,149 miliar, Rp.0,37 miliar, dan Rp.0,74 miliar. Sebagaimana simulasi

sebelumnya, pada simulasi ini dilakukan pembedaan penerima subsidi, yaitu kelompok

penerima tipe pertama (RT I) dan kelompok penerima tipe kedua (RT I-IV).

A. Peningkatan Investasi Air Minum Perpipaan (10 persen) dan Subsidi dari Pemerintah Pusat

Peningkatan investasi air minum perpipaan sebesar 10 persen disertai subsidi dari

pemerintah pusat menghasilkan laju pertumbuhan ekonomi yang meningkat sebesar

minimum 0,0493 persen dan maksimum 0,0522 persen (subsidi bagi RT I) dan minimum

0,0477 persen sampai maksimum 0,0504 persen (subsidi bagi RT I-IV). Peningkatan

subsidi dari pemerintah pusat, baik untuk RT I maupun RT I-IV, tidak mengakibatkan

perubahan yang signifikan terhadap pertumbuhan ekonomi.

127

Tabel 5.14

Pertumbuhan Ekonomi dan Distribusi Pendapatan Skenario Peningkatan Investasi Air Minum Perpipaan 10 Persen

dan Penyediaan Subsidi dari Pemerintah Pusat

Dana Pusat Rp. 0,149 M

Dana Pusat Rp. 0,370 M

Dana Pusat Rp. 0,74 M

Skenario 6.1 6.2 6.3 6.4 6.5 6.6

Kondisi Awal

Investasi

AM perpi-paan dan Subsidi

RT I

Investasi AM Perpi-paan dan Subsidi RT I-IV

Investasi AM Perpi-paan dan Subsidi

RT I

Investasi AM Perpi-paan dan Subsidi RT I-IV

Investasi AM Perpi- paan dan Subsidi

RT I

Investasi AM Perpi- paan dan Subsidi RT I-IV

Pertumbuhan Ekonomi

• PDRB (Rp. M) • Perubahan (Rp. M) • Pertumbuhan (%)

194.225

194.320,4 95,4 0.0493

194.317,3 92,3 0,0477

194.322,4 97,4 0,0504

194.319,2 94,2

0,0487

194.326,0 101,0 0,0522

194.322,4 97,4

0,0504 Pendapatan per Kelompok RT

Miskin • Total pendapatan (Rp. M) • Perubahan (Rp. M) • Pangsa (%) • Pendapatan/kapita (Rp.) • Pertumbuhan (%)

13.168,8

11,2583

3.285.949

13.175,6

6,790 11,2583

3.287.643 0,052

13.175,4

6,577 11,2583

3.287.590 0,050

13.176,0

7,141 11,2585

3.287.731 0,054

13.175,8

6,924 11,2585

3.287.676 0,053

13.176,6

7,743 11,2587

3.287.881 0,059

13.176,3

7,502 11,2587

3.287.821 0,057

Menengah • Total pendapatan (Rp. M) • Perubahan (Rp. M) • Pangsa (%) • Pendapatan/kapita (Rp.) • Pertumbuhan (%)

34.088,7

29,1431

11.091.592

34.105,8

17,169 29,1427

11.097.179 0,050

34.105,3

16,622 29,1427

11.097.001 0,049

34.106,2

17,508 29,1426

11.097.209 0,051

34.105,6

16,942 29,1426

11.097.105 0,050

34.106,8

18,110 29,1425

11.097.485 0,053

34.106,2

17,484 29,1425

11.097.281 0,051

Tinggi • Total pendapatan (Rp. M) • Perubahan (Rp. M) • Pangsa (%) • Pendapatan/kapita (Rp.) • Pertumbuhan (%)

69.712,7

59,5987 53.466.585

69.749,1

36,456 59,5991

53.494.545 0,052

69.748,0

58,475 59,5990

53.493.640 0,051

69.749,9 37,186

59,5990 53.495.105

0,053

69.748,7

35,976 59,5989

53.494177 0,052

69.751,2

38,496 59,5988

53.496.110 0,055

69.749,8

37,146 59,5988

53.495.074 0,053

Distribusi Pendapatan

• Rasio Gini • Pertumbuhan (%)* • Rasio Pendapatan RT

miskin/RT tinggi • Pertumbuhan (%)**

0,597198

0,1889

0,597200 0,0003 0,1889

- 0,001

0,597200 0,0003 0,1889

- 0,001

0,597197 - 0,0002

0,1889

0,001

0,597198 - 0,0001

0,1889

0,001

0,597193 - 0,0009 0,18891

0,005

0,597194 - 0,0006 0,18891

0,005

Sumber: Hasil Simulasi * Perubahan positip menunjukkan kesenjangan memburuk dibanding kondisi awal ** Perubahan negatip menunjukkan kesenjangan memburuk dibanding kondisi awal

Gamb ar 5.2 3Pert umbuhan Ekonomi

Skenario Invest asi ( 10 %) d an Subsid i d ar i D ana Pemerint ah Pusat

0.0475

0.0485

0.0495

0.0505

0.0515

0.0525

0,149 M 0,37 M 0,74 M

P aj ak

Investasi dan Subsidi RT I Investasi dan Subsidi RTI-IV

Gambar 5.2 4R asio Gini

Skenario Invest asi ( 10 %) d an Sub sid i d ari D ana Pemerint ah Pusat

0.597191

0.597193

0.597195

0.597197

0.597199

0.597201

awal 0,149 M 0,37 M 0,74 M

RT I RT I-IV

0.045

0.05

0.055

0.06

0,149 M 0,37 M 0,74 M

Gambar 5.25Pertumbuhan Pendapatan RT/Kapita berdasar Skenario Investasi (10%) dan Subsidi dari Dana

Pemerintah Pusat

RT Miskin (RT I)

RT Miskin (RT I-IV)

RT Menengah (RT I)

RT Menengah (RT I-IV)

RT Tinggi (RT I)

RT Tinggi (RT I-IV)

128

Walaupun pada awalnya pertumbuhan pendapatan per kapita rumah tangga miskin

relatif sama dengan rumah tangga pendapatan tinggi, tetapi dengan semakin meningkatnya

pajak air minum, pertumbuhan pendapatan per kapita rumah tangga miskin cenderung

meningkat lebih besar daripada rumah tangga menengah dan rumah tangga pendapatan

tinggi. Akibatnya, pangsa pendapatan rumah tangga miskin semakin meningkat sehingga

rasio Gini semakin membaik. Walaupun demikian, peningkatan pangsa pendapatan rumah

tangga miskin tidak mengakibatkan perubahan yang berarti terhadap rasio Gini dan rasio

pendapatan rumah tangga miskin terhadap rumah tangga pendapatan tinggi.

Secara umum, peningkatan investasi air minum perpipaan sebesar 10 persen yang

disertai penyediaan subsidi dari pemerintah pusat sebesar Rp.0,149 miliar, Rp.0,37 miliar

dan Rp.0,74 miliar, baik bagi RT I maupun RT I-IV, hanya berdampak signifikan terhadap

pertumbuhan ekonomi. Akan tetapi, ketika subsidi sebesar Rp.0,74 miliar terjadi

perubahan signifikan pada rasio pendapatan rumah tangga miskin terhadap rumah tangga

pendapatan tinggi sehingga distribusi pendapatan semakin baik.

B. Peningkatan Investasi Air Minum Perpipaan (25 persen) dan Subsidi dari Pemerintah Pusat

Peningkatan investasi air minum perpipaan sebesar 25 persen disertai subsidi dari

pemerintah pusat menghasilkan laju pertumbuhan ekonomi yang meningkat sebesar

minimum 0,1134 persen dan maksimum 0,1163 persen (subsidi bagi RT I) dan minimum

0,1118 persen sampai maksimum 0,1144 persen (subsidi bagi RT I-IV). Peningkatan

subsidi dari pemerintah pusat, baik untuk RT I maupun RT I-IV, tidak mengakibatkan

perubahan yang signifikan terhadap pertumbuhan ekonomi. Selengkapnya, hal itu dapat

dilihat pada Tabel 5.15.

Pada saat subsidi mencapai Rp.0,37 miliar, pertumbuhan pendapatan per kapita RT

miskin cenderung meningkat lebih besar daripada RT menengah, tetapi masih lebih

rendah daripada RT pendapatan tinggi. Akan tetapi, setelah subsidi mencapai Rp.0,74

miliar, pertumbuhan pendapatan per kapita RT miskin telah melebihi pertumbuhan

pendapatan per kapita RT menengah dan RT pendapatan tinggi. Akibatnya, pangsa

pendapatan RT miskin semakin meningkat, dari kondisi yang lebih buruk menjadi lebih

baik dari kondisi awal. Penambahan subsidi tersebut ternyata hanya mengakibatkan

perubahan rasio Gini dan rasio pendapatan rumah tangga miskin terhadap rumah tangga

129

Tabel 5.15

Pertumbuhan Ekonomi dan Distribusi Pendapatan Skenario Peningkatan Investasi Air Minum Perpipaan 25 Persen

dan Penyediaan Subsidi dari Pemerintah Pusat

Dana Pusat Rp. 0,149 M

Dana Pusat Rp. 0,370 M

Dana Pusat Rp. 0,74 M

Skenario 6.7 6.8 6.9

6.10 6.11 6.12

Kondisi Awal

Investasi

AM perpi-paan dan Subsidi

RT I

Investasi AM Perpi-paan dan Subsidi RT I-IV

Investasi AM Perpi-paan dan Subsidi

RT I

Investasi AM Perpi-paan dan Subsidi RT I-IV

Investasi AM Perpi- paan dan Subsidi

RT I

Investasi AM Perpi- paan dan Subsidi RT I-IV

Pertumbuhan Ekonomi

• PDRB (Rp. M) • Perubahan (Rp. M) • Pertumbuhan (%)

194.225

194.444,9 219,9 0.1134

194.441,7 216,7 0,1118

194.447,0 222,0 0,1145

194.443,6 218,6 0,1128

194.450,5 225,5 0,1163

194.446,8 221,8 0,1144

Pendapatan per Kelompok RT

Miskin • Total pendapatan (Rp. M) • Perubahan (Rp. M) • Pangsa (%) • Pendapatan/kapita (Rp.) • Pertumbuhan (%)

13.168,8

11,2583

3.285.949

13.184,3

15,428 11,2581

3.289.798 0,117

13.184,0

15,213 11,2581

3.289.745 0,116

13.184,6

15,786 11,2583

3.289.888 0,120

13.184,4

15,560 11,2583

3.289.831 0,118

13.185,2

16,383 11,2585

3.290.037 0,124

13.185,0

16,136 11,2586

3.289.975 0,122

Menengah • Total pendapatan (Rp. M) • Perubahan (Rp. M) • Pangsa (%) • Pendapatan/kapita (Rp.) • Pertumbuhan (%)

34.088,7

29,1431

11.091.592

34.128,2

39,505 29,1423

11.104.446 0,116

34.127,6

38,943 29,1423

11.104.263 0,114

34.128,5

39,854 29,1422

11.104.560 0,117

34.128,0

39,273 29,1422

11.104.371 0,115

34.129,1

40,448 29,1421

11.104.753 0,119

34.128,5

39,811 29,1421

11.104.546 0,117

Tinggi • Total pendapatan (Rp. M) • Perubahan (Rp. M) • Pangsa (%) • Pendapatan/kapita (Rp.) • Pertumbuhan (%)

69.712,7

59,5987 53.466.585

69.796,5

83,836 59,5996

53.530.883 0,120

69.795,3

82,646 59,5996

53.529.971 0,119

69.797,3 84,596

59,5995 53.531.466

0,121

69.796,0

83,336 59,5995

53.530500 0,120

69.798,6

85,886 59,5994

53.532.456 0,123

69.797,2

84,496 59,5994

53.531.390 0,121

Distribusi Pendapatan

• Rasio Gini • Pertumbuhan (%)* • Rasio Pendapatan RT

miskin/RT tinggi • Pertumbuhan (%)**

0,597198

0,1889

0,597204 0,001

0,1889

- 0,003

0,597205 0,001

0,1889

- 0,003

0,597201 0,0006 0,1889

- 0,001

0,597202 0,0007 0,1889

- 0,001

0,597197 - 0,0002

0,1889

0,001

0,597199 0,0001 0,1889

0,001

Sumber: Hasil Simulasi * Perubahan positip menunjukkan kesenjangan memburuk dibanding kondisi awal ** Perubahan negatip menunjukkan kesenjangan memburuk dibanding kondisi awal

Gambar 5.2 6Pert umbuhan Ekonomi

Skenario Invest asi ( 2 5%) d an Subsid i d ar i D ana Pemerint ah Pusat

0.11175

0.11275

0.11375

0.11475

0.11575

0,149 M 0,37 M 0,74 M

P aj ak

Investasi dan Subsidi RT I Investasi dan Subsidi RTI-IV

0.113

0.118

0.123

0,149 M 0,37 M 0,74 M

Gambar 5.28Pertumbuhan Pendapatan RT per Kapita berdasar

Skenario Investasi (25%) dan Subsidi dari Dana Pemerintah Pusat

RT Miskin (RT I)

RT Miskin (RT I-IV)

RT Menengah (RT I)

RT Menengah (RT I-IV)

RT Tinggi (RT I)

RT Tinggi (RT I-IV)

Gambar 5.2 7R asio Gini

Skenar io Invest asi ( 2 5%) d an Sub sid i d ari D ana Pemerint ah Pusat

0.597196

0.597198

0.5972

0.597202

0.597204

0.597206

awal 0,149 M 0,37 M 0,74 M

RT I RT I-IV

130

pendapatan tinggi yang sangat kecil. Hasil selengkapnya dapat dilihat pada Tabel 5.15,

Gambar 5.26, Gambar 5.27, dan Gambar 5.28.

Secara umum, peningkatan investasi air minum perpipaan sebesar 25 persen yang

disertai penyediaan subsidi dari pemerintah pusat sebesar Rp.0,149 miliar, Rp.0,37 miliar

dan Rp.0,74 miliar, baik bagi RT I maupun RT I-IV, hanya berdampak signifikan terhadap

pertumbuhan ekonomi. Sementara itu, peningkatan subsidi tidak memberi dampak yang

berarti terhadap perubahan pertumbuhan ekonomi dan distribusi pendapatan.

Jika dibandingkan dengan simulasi sebelumnya ketika investasi air minum

perpipaan yang sebesar 10 persen, ternyata hasilnya sedikit berbeda. Selain bahwa laju

pertumbuhan ekonomi relatif lebih besar, pada simulasi ini tidak terjadi perubahan

distribusi pendapatan yang signifikan. Hal itu menunjukkan bahwa subsidi yang

disediakan walaupun tidak mengakibatkan membaiknya distribusi pendapatan tetapi tetap

dapat mempertahankan distribusi pendapatan awal.

C. Peningkatan Investasi Air Minum Perpipaan (50 persen) dan Subsidi dari Pemerintah Pusat

Peningkatan investasi air minum perpipaan sebesar 50 persen disertai subsidi dari

pemerintah pusat menghasilkan laju pertumbuhan ekonomi yang meningkat sebesar

minimum 0,2065 persen dan maksimum 0,2094 persen (subsidi bagi RT I) dan minimum

0,2048 persen sampai maksimum 0,2075 persen (subsidi bagi RT I-IV). Peningkatan

subsidi dari pemerntah pusat, baik untuk RT I maupun RT I-IV, tidak mengakibatkan

perubahan yang signifikan terhadap pertumbuhan ekonomi.

Semakin besar subsidi dari pusat, pertumbuhan pendapatan per kapita rumah

tangga miskin semakin meningkat. Pertumbuhan pendapatan per kapita rumah tangga

miskin relatif lebih tinggi daripada pendapatan per kapita rumah tangga menengah tetapi

masih lebih rendah daripada pendapatan per kapita rumah tangga pendapatan tinggi.

Pertumbuhan pendapatan per kapita rumah tangga pendapatan tinggi cenderung tetap.

Akibatnya, pangsa pendapatan rumah tangga miskin semakin meningkat dari kondisi lebih

rendah dari kondisi awal menjadi kembali pada pangsa semula. Di pihak lain, pangsa

pendapatan rumah tangga pendapatan tinggi menjadi lebih kecil. Peningkatan pangsa

rumah tangga miskin tersebut ternyata tidak mengakibatkan perubahan rasio Gini yang

131

Tabel 5.16

Pertumbuhan Ekonomi dan Distribusi Pendapatan Skenario Peningkatan Investasi Air Minum Perpipaan 50 Persen

dan Penyediaan Subsidi dari Pemerintah Pusat

Dana Pusat Rp. 0,149 M

Dana Pusat Rp. 0,370 M

Dana Pusat Rp. 0,74 M

Skenario 6.13 6.14 6.15 6.16 6.17 6.18

Kondisi Awal

Investasi

AM perpi-paan dan Subsidi

RT I

Investasi AM Perpi-paan dan Subsidi RT I-IV

Investasi AM Perpi-paan dan Subsidi

RT I

Investasi AM Perpi-paan dan Subsidi RT I-IV

Investasi AM Perpi- paan dan Subsidi

RT I

Investasi AM Perpi- paan dan Subsidi RT I-IV

Pertumbuhan Ekonomi

• PDRB (Rp. M) • Perubahan (Rp. M) • Pertumbuhan (%)

194.225

194.625,7 400,7 0.2065

194.622,5 397,5 0,2048

194.627,8 402,8 0,2076

194.624,4 399,4 0,2058

194.631,3 406,3 0,2094

194.627,6 402,6 0,2075

Pendapatan per Kelompok RT

Miskin • Total pendapatan (Rp. M) • Perubahan (Rp. M) • Pangsa (%) • Pendapatan/kapita (Rp.) • Pertumbuhan (%)

13.168,8

11,2583

3.285.949

13.196,8

27,978 11,2579

3.292.930 0,212

13.196,6

27,759 11,2579

3.292.875 0,211

13.197,2

28,336 11,2580

3.293.019 0,215

13.196,9

28,105 11,2581

3.292.962 0,213

13.197,8

28,933 11,2583

3.293.168 0,220

13.197,5

28,685 11,2583

3.293.106 0,218

Menengah • Total pendapatan (Rp. M) • Perubahan (Rp. M) • Pangsa (%) • Pendapatan/kapita (Rp.) • Pertumbuhan (%)

34.088,7

29,1431

11.091.592

34.160,6

71,946 29,1416

11.115.002 0,211

34.160,0

71,376 29,1416

11.114.816 0,209

34.161,0

72,305 29,1416

11.115.119 0,212

34.160,4

71,706 29,1416

11.114.924 0,210

34.161,6

72,890 29,1414

11.115.309 0,214

34.160,9

72,249 29,1415

11.115.100 0,212

Tinggi • Total pendapatan (Rp. M) • Perubahan (Rp. M) • Pangsa (%) • Pendapatan/kapita (Rp.) • Pertumbuhan (%)

69.712,7

59,5987 53.466.585

69.865,3

152,676 59,6005

53.583.681 0,219

69.864,1

151,446 59,6005

53.582.737 0,217

69.866,1 153,436 59,6004

53.584.264 0,220

69.864,8 152,146 59,6004

53.583.274 0,218

69.867,4 154,726 59,6002

53.585.253 0,222

69.866,0 153,326 59,6002

53.584.179 0,220

Distribusi Pendapatan

• Rasio Gini • Pertumbuhan (%)* • Rasio Pendapatan RT

miskin/RT tinggi • Pertumbuhan (%)**

0,597198

0,1889

0,597211 0,002

0,18889

- 0,007

0,597211 0,002

0,18889

- 0,006

0,597208 0,0017 0,18889

- 0,005

0,597209 0,0018 0,18889

- 0,005

0,597204 0,0009 0,1889

- 0,002

0,597205 0,0012 0,1889

- 0,002

Sumber: Hasil Simulasi * Perubahan positip menunjukkan kesenjangan memburuk dibanding kondisi awal ** Perubahan negatip menunjukkan kesenjangan memburuk dibanding kondisi awal

Gamb ar 5.3 0R asio Gini

Skenar io Invest asi ( 50 %) d an Sub sid i d ari D ana Pemerint ah Pusat

0.597196

0.597201

0.597206

0.597211

awal 0,149 M 0,37 M 0,74 M

RT I RT I-IV

Gambar 5.2 9Pert umbuhan Ekonomi

Skenario Invest asi ( 50 %) d an Subsid i d ar i D ana Pemerint ah Pusat

0.2045

0.2065

0.2085

0,149 M 0,37 M 0,74 M

P aj ak

Investasi dan Subsidi RT I Investasi dan Subsidi RTI-IV

0.208

0.213

0.218

0.223

0,149 M 0,37 M 0,74 M

Gambar 5.31Pertumbuhan Pendapatan RT/Kapita berdasar Skenario Investasi (50%) dan Subsidi dari Dana

Pemerintah Pusat

RT Miskin (RT I)

RT Miskin (RT I-IV)

RT Menengah (RT I)

RT Menengah (RT I-IV)

RT Tinggi (RT I)

RT Tinggi (RT I-IV)

132

signifikan, tetapi rasio pendapatan rumah tangga miskin terhadap rumah tangga

pendapatan tinggi menjadi lebih kecil. Kondisi ini dipengaruhi oleh relatif besarnya

investasi air minum perpipaan daripada subsidi yang diberikan. Hasil selengkapnya dapat

dilihat pada Tabel 5.16, Gambar 5.29, Gambar 5.30, dan Gambar 5.31.

Secara umum, peningkatan investasi air minum perpipaan sebesar 50 persen yang

disertai penyediaan subsidi, baik bagi RT I maupun RT I-IV, berdampak signifikan ter-

hadap pertumbuhan ekonomi maupun distribusi pendapatan. Akan tetapi, dampaknya ter-

hadap distribusi pendapatan hanya signifikan jika subsidi dari pemerintah pusat sebesar

Rp.0,149 miliar dan Rp.0,37 miliar sehingga distribusi pendapatan menjadi lebih buruk.

Jika dibandingkan dengan simulasi sebelumnya ketika investasi air minum

perpipaan yang sebesar 10 persen dan 25 persen, ternyata hasilnya berbeda. Peningkatan

investasi air minum perpipaan sebesar 50 persen yang disertai subsidi dari pemerintah

pusat sebesar Rp.0,149 miliar dan Rp.0,37 miliar mengakibatkan semakin memburuknya

distribusi pendapatan. Hal itu menunjukkan bahwa subsidi yang disediakan tidak dapat

mengimbangi pengaruh investasi air minum perpipaan.

5.4 Rangkuman

Pada subbab ini akan dibahas rangkuman dari keseluruhan pembahasan dari bab ini

berdasarkan beberapa fokus utama, yaitu pertumbuhan ekonomi, distribusi pendapatan,

dan kelompok penerima manfaat.

5.4.1 Pertumbuhan Ekonomi A. Investasi Air Minum

Investasi air minum perpipaan berdampak pada pertumbuhan ekonomi yang

berkisar antara 0,047 persen (investasi 10 persen) sampai 0,203 persen (investasi 50

persen). Pertumbuhan ekonomi yang diakibatkan oleh investasi air minum nonperpipaan

relatif kecil sekali, berkisar antara 0,0003 persen (investasi 10 persen) sampai 0,0008

persen (investasi 50 persen). Hasil selengkapnya dapat dilihat pada Tabel 5.17.

Hasil simulasi ini menegaskan bahwa investasi air minum perpipaan mendorong

pertumbuhan ekonomi. Di pihak lain, dampak investasi air minum nonperpipaan relatif

tidak signifikan terhadap pertumbuhan ekonomi.

133

Tabel 5.17

Rekapitulasi Pertumbuhan Ekonomi Simulasi Peningkatan Investasi Air Minum

Simulasi Pertumbuhan

Ekonomi (%) Kesimpulan

10 persen 0,047

25 persen 0,110

Peningkatan Investasi Air Minum Perpipaan 50 persen 0,203

Peningkatan investasi mengakibatkan membaiknya pertumbuhan ekonomi

10 persen 0,0003

25 persen 0,0005

Peningkatan Investasi Air Minum Non Perpipaan

50 persen 0,0008

Peningkatan investasi tidak mengakibatkan per-tumbuhan ekonomi yang signifikan

Kesimpulan

Peningkatan investasi air minum perpipaan berdampak pada meningkatnya pertumbuhan ekonomi. Di pihak lain, peningkatan investasi air minum nonperpipaan tidak berdampak signifikan pada pertumbuhan ekonomi.

Sumber: Tabel 5.6 dan Tabel 5.7. Keterangan: pertumbuhan ekonomi dianggap signifikan jika proporsi > ⏐0,01%⏐

Perbedaan dampak terhadap

pertumbuhan ekonomi antara investasi

air minum perpipaan dan nonperpipaan

dipengaruhi oleh bentuk investasi

diantara keduanya. Pertama, investasi air

minum perpipaan dilakukan dalam

jumlah besar dan masif sementara air

minum nonperpipaan dalam bentuk

investasi yang relatif kecil dan tersebar.

Kedua, sebagian terbesar sumber air

minum nonperpipaan adalah dari air

minum perpipaan yang berupa penjualan

kembali air minum perpipaan. Hanya sedikit yang merupakan investasi murni air minum

nonperpipaan.

0

0.05

0.1

0.15

0.2

0.25

Pert

umbu

han

Eko

nom

i (%

)

10% 25% 50%

peningkatan investasi

Gambar 5.34Dampak Investasi Air Minum

terhadap Pertumbuhan Ekonomi

perpipaan non perpipaan

0

0.05

0.1

0.15

0.2

0.25

Pert

umbu

han

Eko

nom

i (%

)

10% 25% 50%

peningkatan investasi

Gambar 5.34Dampak Investasi Air Minum

terhadap Pertumbuhan Ekonomi

perpipaan non perpipaan

Gambar 5.32

134

Secara teoritis, pengaruh investasi terhadap pertumbuhan ekonomi dapat dijelaskan

melalui persamaan berikut. Penjelasan ini dimulai dengan pemahaman bahwa terdapat

empat faktor pertumbuhan, yaitu (i) sumber daya manusia, (ii) sumber daya alam, (iii)

pembentukan modal, dan (iv) teknologi. Hubungan ini kemudian diformulasikan dalam

bentuk fungsi produksi agregat (aggregate production function/APF):

Q = A F (K, L, R)

dengan

Q = output; K = jasa produktif modal; L = input tenaga kerja; R = input sumber daya

alam; A = tingkat teknologi dalam ekonomi; F = fungsi produksi.

Sementara itu, untuk mengetahui besarnya tingkat pertumbuhan dilakukan

penghitungan proporsi perubahan besar output pada periode berjalan terhadap periode

sebelumnya. Perhitungan output menggunakan pendekatan pengeluaran44 yang dijabarkan

pada persamaan berikut.

Y = C + I + G (perekonomian tertutup)

Y = C + I + G + Nx (perekonomian terbuka)

dengan Y = output, C = konsumsi; I = investasi; G = pengeluaran pemerintah;

Nx = ekspor bersih (selisih ekspor dengan impor).

Berdasarkan persamaan di atas, output dipengaruhi oleh konsumsi rumah tangga

(C), investasi yang dilakukan (I), investasi pemerintah dalam bentuk pengeluaran

pemerintah (G), serta ekspor netto (Nx). Jika input modal, tenaga kerja atau sumber daya

meningkat, output pun akan meningkat.

Keterkaitan antara kinerja perekonomian dan infrastruktur telah memicu debat

berkepanjangan diantara ahli ekonomi infrastruktur dan ekonomi pembangunan. Bukti

empiris belum dapat menunjukkan secara jelas keterkaitan antara infrastruktur dan

perekonomian. Bank Dunia dalam laporan tahunannya World Development Report Tahun

1994 menyatakan bahwa belum terdapat konsensus mengenai besaran pasti dari pengaruh

infrastruktur pada pertumbuhan ekonomi. Namun, sebagian besar studi menyimpulkan

peran investasi infrastruktur pada pertumbuhan ekonomi sangat mendasar, signifikan dan

bahkan lebih daripada investasi modal lainnya.

135

Terlepas dari perdebatan di atas, sebagian ahli ekonomi berpendapat bahwa

layanan infrastruktur yang memadai merupakan kebutuhan dasar untuk pertumbuhan dan

produktivitas. Hal ini dipertegas oleh sejumlah studi yang menyatakan bahwa

ketersediaan akses ke layanan infrastruktur memegang peran kunci dalam membantu

mengurangi kesenjangan pendapatan.

Selain itu, Barro (1995) menegaskan bahwa pertumbuhan ekonomi jangka panjang

tergantung pada langkah pemerintah, seperti penyediaan infrastruktur, pemanfaatan pajak,

pengelolaan penegakan hukum, perlindungan hak intelektual, regulasi perdagangan

internasional, dan pengaturan pasar keuangan.

Sementara itu, studi lain dari Bank Dunia di 63 negara berkembang menunjukkan

bahwa penambahan 1 persen stok infrastruktur berkorelasi dengan pertumbuhan 1 persen

PDB. Hasil studi ini banyak dikritik karena sebagian ahli menganggap infrastruktur bukan

penyebab pertumbuhan, melainkan hanya sebatas fasilitasi saja. Sebenarnya, dampak

ekonomi yang langsung dari investasi infrastruktur adalah berupa tersedianya kesempatan

kerja, meningkatnya daya beli tenaga kerja, dan meningkatnya kebutuhan bahan dan alat

(Pusat Studi Transportasi dan Logistik, Universitas Gajah Mada, 2003)

Literatur empiris terakhir, sebagian besar menggunakan data panel antarnegara,

telah menegaskan kontribusi output yang signifikan dari infrastruktur. Hasil sejenis

dilaporkan diantaranya oleh Canning (1999) yang menggunakan data panel dari sejumlah

negara, serta oleh Demetriades dan Mamuneas (2000) yang menggunakan data OECD

(Calderon, 2001)

Stephen Yeaple dan Stephen S. Golub (2002) melalui hasil pengamatan di 19

negara termasuk Indonesia dengan menggunakan data dalam kurun waktu 1979-1997

menyimpulkan bahwa penambahan kapasitas pelayanan infrastruktur sebesar 1 persen

akan meningkatkan nilai produktifitas faktor total (TFP) sebesar 0,12. Di pihak lain,

Estache dkk (2002) berdasar hasil penelitian empiris di Bolivia, Kolumbia, Mexico dan

Venezuela menunjukkan bahwa penambahan stok infrastruktur sebesar 10 persen

menghasilkan peningkatan Produk Domestik Bruto (PDB) sebesar 1,5 persen.

Beberapa kajian lainnya menyangkut pengaruh investasi infrastruktur terhadap

pertumbuhan ekonomi diantaranya adalah sebagai berikut. (i) Mainardi (2002) dengan

menggunakan ekonometrika dan model neural network menyimpulkan bahwa kondisi

136

pelayanan infrastruktur dasar yang buruk menyumbang terhadap rendahnya pertumbuhan

ekonomi. (ii) Birhl (1986) dalam kajiannya menyimpulkan bahwa kondisi infrastruktur

mempunyai korelasi positip yang kuat dengan pendapatan per kapita. (iii) Barro (1991)

melalui kajian cross section di 90 negara periode 1965-1985 menunjukkan bahwa terdapat

hubungan negatif lemah antara investasi sektor publik dan pertumbuhan ekonomi. (iv)

Evans dan Karras (1994) yang melakukan studi yang sejenis dengan Barro di negara

berkembang pada periode 1963-1983 menyimpulkan bahwa investasi sektor publik tidak

berpengaruh positip terhadap pertumbuhan ekonomi.

Di Indonesia, kajian yang secara khusus tentang pengaruh investasi infrastruktur

terhadap perekonomian dilakukan oleh Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian

dan Bappenas. Kajian Menko Perekonomian secara umum menunjukkan bahwa investasi

infrastruktur berdampak positip pada pertumbuhan ekonomi daerah dan nasional.

Investasi yang diberikan meningkatkan pertumbuhan ekonomi, meningkatkan

pemerataan, mengurangi inflasi, tetapi berdampak negatip terhadap lingkungan (Menko

Ekuin, 2003). Kajian Bappenas secara umum menunjukkan bahwa penambahan kapasitas

pelayanan infrastruktur memberikan dampak positif terhadap perkembangan sektor

lainnya dan perekonomian nasional. Dampak terhadap pertumbuhan ekonomi semakin

besar dengan semakin besarnya penambahan kapasitas infrastruktur (Bappenas, 2004).

Investasi air minum akan meningkatkan faktor produksi berupa modal, yang

kemudian meningkatkan output domestik. Peningkatan output domestik akan

mempengaruhi konsumsi rumah tangga melalui penurunan harga dan peningkatan

penerimaan faktor. Penurunan harga akan mendorong peningkatan konsumsi rumah

tangga sehingga berdampak pada meningkatnya PDRB. Di sisi lain, peningkatan

penerimaan faktor akan meningkatkan pendapatan rumah tangga, yang kemudian

mendorong peningkatan konsumsi rumah tangga. Besaran pengaruh pendapatan rumah

tangga terhadap konsumsi rumah tangga sangat tergantung pada marginal propensity to

consume (mpc)4145. Semakin besar mpc, semakin besar konsumsi rumah tangga, yang ber-

41 Fungsi konsumsi adalah C = a + mpc x Y. Dengan catatan bahwa C = konsumsi, a = konsumsi autonomous (besar konsumsi ketika pendapatan nol, dan nilainya selalu positip), mpc = marginal propensity to consume, dan Y = pendapatan yang dapat dibelanjakan. Berdasarkan fungsi konsumsi, mpc merupakan ukuran kecenderungan melakukan konsumsi. Ketika pendapatan meningkat, konsumsi akan meningkat yang besarnya tidak sebesar peningkatan pendapatan, tetapi tergantung pada besarnya mpc Selain itu, dikenal marginal propensity to save (mps) yang merupakan ukuran kecenderungan menabung. Secara matematis, mpc + mps = 1.

137

arti semakin besar pertumbuhan ekonomi. Alur pengaruh investasi air minum terhadap

pertumbuhan ekonomi dan distribusi pendapatan dapat dilihat pada Gambar 5.33.

Gambar 5.33

Keterkaitan Investasi Air Minum dengan Pertumbuhan Ekonomi dan Distribusi Pendapatan

(Simulasi I dan II) Keterangan:

Alur pengaruh investasi air minum perpipaan Alur pengaruh investasi air minum nonperpipaan

B. Subsidi

Subsidi air minum yang dialokasikan berasal dari dua sumber berbeda, yaitu (i)

peningkatan pajak air minum perpipaan dan (ii) dana pemerintah pusat. Secara umum,

subsidi dari sumber peningkatan pajak air minum perpipaan memberi dampak pada

menurunnya pertumbuhan ekonomi, sementara subsidi dari dana pemerintah pusat

mengakibatkan meningkatnya pertumbuhan ekonomi.

Penyediaan subsidi dari peningkatan pajak air minum perpipaan menyebabkan

pertumbuhan ekonomi negatip yang berkisar minimal –0,0001 persen (pajak 10 persen dan

RT I) sampai maksimal –0,0008 persen (pajak 50 persen dan RT I-IV). Sementara itu,

subsidi dari pemerintah pusat mendorong pertumbuhan ekonomi walaupun dalam proporsi

Konsumsi Rumah tangga

Harga produsen

PDRB

Penerimaan faktor

Output domestik

Pendapatan Rumah tangga

Faktor Produksi : Modal

Investasi Air Minum

Distribusi Pendapatan

138

yang relatif kecil sebesar minimal 0,0023 persen (pajak 10 persen dan RT I-IV) sampai

maksimal 0,0056 persen (pajak 50 persen dan RT I).

Tabel 5.18 Rekapitulasi Pertumbuhan Ekonomi

Simulasi Subsidi

Pada tahap awal ketika pajak air

minum perpipaan ditingkatkan, pertum-

buhan ekonomi dan distribusi pendapatan

dipengaruhi melalui dua saluran, yaitu (a)

jalur konsumsi rumah tangga dan (b) jalur

konsumsi pemerintah. Pada dasarnya, pe-

ningkatan pajak dapat mengakibatkan per-

tumbuhan ekonomi meningkat/menurun dan

distribusi pendapatan membaik/memburuk,

bergantung pada besaran pengaruh dari jalur konsumsi rumah tangga atau jalur kon-

sumsi pemerintah.

Penerima Simulasi Skenario RT I RT I – RT IV

Kesimpulan

Subsidi (10%) - 0,0001 % - 0,0002 %

Subsidi (25%) - 0,0002 % - 0,0004 %

Subsidi dari Pajak Air Minum Perpipaan Subsidi (50%) - 0,0004 % - 0,0008 %

Pembedaan kelompok penerima tidak

berdampak pada laju pertumbuhan ekonomi

Kesimpulan Dampak subsidi dari peningkatan pajak air minum perpipaan terhadap

pertumbuhan ekonomi tidak signifikan.

Subsidi (Rp.0.149 M) 0,0009 % 0,0007 %

Subsidi (Rp.0.37 M) 0,0022 % 0,0018 % Subsidi dari Pemerintah Pusat

Subsidi (Rp.0.74 M) 0,0042 % 0,0035 %

Pembedaan kelompok penerima tidak

berdampak pada laju pertumbuhan ekonomi

Kesimpulan Walaupun penyediaan subsidi dari pemerintah pusat terlihat

menghasilkan laju pertumbuhan ekonomi tetapi besarnya tidak signifikan sehingga praktis penyediaan subsidi tidak berdampak pada pertumbuhan ekonomi.

Sumber: Tabel 5.9 dan Tabel 5.10 Keterangan: pertumbuhan ekonomi dianggap signifikan jika proporsi > ⏐0,01%⏐

-0.0010

0.0010.0020.0030.0040.0050.006

Pert

umbu

han

Ekon

omi (

%)

RT IPenerima

RT I-IV

Gambar 5.34Dampak Subsidi

terhadap Pertumbuhan Ekonomi

Pajak 10%

Pusat Rp. 0,149 M

Pajak 25%

Pusat Rp. 0,37 M

Pajak 50%

Pusat Rp. 0,74 M

139

Gambar 5.35

Keterkaitan Peningkatan Pajak Air Minum Perpipaan dengan Distribusi Pendapatan dan Pertumbuhan Ekonomi

Peningkatan pajak akan meningkatkan penerimaan pemerintah, yang kemudian

menjadi tabungan pemerintah. Tabungan pemerintah akan dialokasikan untuk anggaran

pemerintah berupa konsumsi pemerintah dan transfer rumah tangga (subsidi). Transfer ke

rumah tangga akan meningkatkan pendapatan rumah tangga yang berdampak pada

membaiknya pertumbuhan ekonomi dan distribusi pendapatan. Sementara itu,

meningkatnya konsumsi pemerintah mendorong

pertumbuhan ekonomi.

Di pihak lain, pada saat suatu komoditas dikenai

pajak (pajak komoditi), harga komoditas tersebut

meningkat (Po P1) sehingga penawaran menjadi

berkurang (Qo Q1). Selanjutnya, hal ini akan

berpengaruh pada menurunnya output (Yo Y1). Jika air

minum perpipaan dikenai pajak, harga air minum

perpipaan menjadi lebih tinggi sehingga penawaran

berkurang. Selanjutnya, berdampak pada berkurangnya

output yang dihasilkan dari air minum perpipaan.

Konsumsi RT

Harga produsen

PDRB

Penerimaan faktor

Output domestik

Tarif Pajak

Pendapatan RT

Penerimaan pemerintah

Penerimaan Pajak

Anggaran Pemerintah

Transfer RT

Distribusi Pendapatan

Konsumsi Pemerintah

140

Selanjutnya, penerimaan faktor menurun sehingga pendapatan rumah tangga juga

menurun yang berakibat pada konsumsi rumah tangga yang juga menurun. Penurunan

konsumsi rumah tangga mengakibatkan pertumbuhan ekonomi menurun.

Dampak dari peningkatan pajak air minum terhadap perekonomian khususnya

pertumbuhan ekonomi dan distribusi pendapatan dapat dilihat pada gambar 5.35.

Sementara itu, pada tahap berikutnya, jika hasil pajak air minum perpipaan

dialokasikan seluruhnya sebagai subsidi bagi rumah tangga miskin, peningkatan pajak

tersebut akan mempengaruhi pertumbuhan ekonomi melalui jalur konsumsi rumah tangga.

Di pihak lain, distribusi pendapatan dipengaruhi langsung oleh peningkatan pendapatan

rumah tangga. Pada dasarnya, peningkatan pajak dapat mengakibatkan pertumbuhan

ekonomi meningkat/menurun dan distribusi pendapatan membaik/memburuk yang

bergantung pada besaran pengaruh dari jalur konsumsi rumah tangga.

Berbeda pada kondisi awal, jika hasil pajak dialokasikan untuk RT miskin,

konsumsi pemerintah dianggap tetap. Akibatnya, peningkatan pajak akan meningkatkan

transfer ke rumah tangga yang berdampak meningkatkan pendapatan rumah tangga dan

memperbaiki distribusi pendapatan. Selanjutnya, peningkatan pendapatan rumah tangga

mendorong meningkatnya konsumsi rumah tangga yang berujung pada meningkatnya

pertumbuhan ekonomi.

Di sisi lain, sebagaimana pada kondisi awal, peningkatan tarif pajak

mengakibatkan meningkatnya harga produsen. Akibatnya, output menurun, kemudian

penerimaan faktor menurun sehingga pendapatan rumah tangga menurun. Akibatnya,

konsumsi rumah tangga menurun. Penurunan konsumsi rumah tangga mengakibatkan

pertumbuhan ekonomi menurun.

Pada proses transfer atau subsidi, dana yang diterima oleh rumah tangga

meningkatkan pendapatan yang dapat dibelanjakan (disposable income). Selanjutnya,

meningkatnya pendapatan ini kemudian akan meningkatkan konsumsi sehingga

permintaan agregat juga meningkat. Pada akhirnya, hal itu akan meningkatkan output.

Jika subsidi berasal dari peningkatan pajak, terdapat kemungkinan bahwa peningkatan

output sebagai akibat pemberian subsidi tidak dapat menutupi pengurangan output dari

peningkatan pajak komoditas. Hal ini yang terjadi jika subsidi yang berasal dari hasil

peningkatan pajak air minum perpipaan terlihat memberikan pertumbuhan ekonomi

141

negatip. Ini berakibat bahwa biaya pemberian subsidi lebih besar daripada manfaat yang

diperoleh dari penerapan pajak tersebut. Akan tetapi, kondisinya akan berbeda jika

subsidi berasal dari pemerintah pusat yang merupakan suntikan dana dari luar

perekonomian. dimana tidak terdapat proses penurunan output sehingga subsidi yang

diberikan mendorong meningkatnya output yang kemudian mengakibatkan terjadinya

pertumbuhan ekonomi.

Gambar 5.36 Keterkaitan Peningkatan Pajak Air Minum Perpipaan

yang Dialokasikan untuk Subsidi terhadap Distribusi Pendapatan dan Pertumbuhan Ekonomi

(Simulasi III)

Gambar 5. 37 Keterkaitan Peningkatan Transfer Dana Pusat

yang Dialokasikan untuk Subsidi terhadap Pertumbuhan Ekonomi serta Distribusi Pendapatan

(Simulasi IV)

Konsumsi RT

Harga produsen

PDRB

Penerimaan faktor

Output domestik

Tarif Pajak

Pendapatan RT

Transfer RT

Distribusi Pendapatan

Konsumsi RT

PDRB

Pendapatan RT

Subsidi Untuk RT miskin

Distribusi Pendapatan

Transfer Dana Pusat

142

Penyediaan subsidi, baik dari peningkatan pajak air minum perpipaan maupun

pemerintah pusat, bagi RT termiskin maupun seluruh kelompok RT miskin tidak

mempunyai dampak yang berbeda terhadap pertumbuhan ekonomi. Hasil selengkapnya

dapat dilihat pada Tabel 5.18 dan Tabel 5.19.

C. Investasi Air Minum Perpipaan dan Subsidi

Pada skenario investasi air minum perpipaan dan subsidi, dilakukan dua simulasi,

yaitu (i) investasi air minum perpipaan disertai subsidi dari pajak air minum perpipaan

dan (ii) investasi air minum perpipaan disertai subsidi dari pemerintah pusat.

Gambar 5. 38

Keterkaitan Peningkatan Investasi Air Minum Perpipaan dan Subsidi terhadap Pertumbuhan Ekonomi

serta Distribusi Pendapatan (Simulasi V– VI)

Keterangan:

Alur pengaruh investasi air minum perpipaan Alur pengaruh subsidi dari peningkatan pajak air minum perpipaan Alur pengaruh subsidi dari pemerintah pusat

Berdasarkan hasil simulasi gabungan terlihat bahwa (i) semakin besar peningkatan

investasi air minum perpipaan, dengan mengabaikan sumber subsidi, semakin besar laju

pertumbuhan ekonomi, (b) investasi air minum perpipaan yang disertai subsidi pemerintah

Konsumsi RT

Harga produsen

PDRB

Penerima -an faktor

Output domestik

Tarif Pajak

Pendapatan RT

Penerimaan pajak

Faktor Produksi : Modal

Investasi Air Minum

Subsidi Untuk RT miskin

Distribusi Pendapatan

Transfer Dana Pusat

143

pusat menghasilkan laju pertumbuhan ekonomi relatif lebih besar daripada investasi air

minum perpipaan yang disertai subsidi dari pajak air minum perpipaan, terutama jika

investasi air minum perpipaan sebesar 50 persen, (c) peningkatan subsidi, baik dari

peningkatan pajak air minum perpipaan maupun pemerintah pusat, tidak berdampak

terhadap perubahan laju pertumbuhan ekonomi, (d) pembedaan kelompok penerima

subsidi tidak mempengaruhi laju pertumbuhan ekonomi. Hasil selengkapnya dapat dilihat

pada Tabel 5.19.

Keterkaitan antara peningkatan investasi air minum perpaipaan yang disertai

subsidi, baik dari sumber peningkatan pajak air minum perpipaan maupun pemerntah

pusat, terhadap pertumbuhan ekonomi dan distribusi pendapatan dapat dilihat pada

Gambar 5.38.

144

Tabel 5.19

Rekapitulasi Pertumbuhan Ekonomi Simulasi Investasi Air Minum Perpipaan dan Subsidi dari Peningkatan Pajak Air Minum

Penerima Simulasi Skenario RT I RT I – RT IV

Kesimpulan

Investasi air minum perpipaan 0,047 %

Investasi dan subsidi (10%) 0,047 % 0,047 %

Investasi dan subsidi (25%) 0,047 % 0,047 %

Peningkatan investasi air minum perpipaan 10 persen dan subsidi dari peningkatan pajak air minum perpipaan Investasi dan subsidi

(50%) 0,047 % 0,046 %

Pembedaan kelompok

penerima tidak berdampak pada laju

pertumbuhan ekonomi.

Investasi air minum perpipaan 0,11%

Investasi dan subsidi (10%) 0,111 % 0,111 %

Investasi dan subsidi (25%) 0,111 % 0,111 %

Peningkatan investasi air minum perpipaan 25 persen dan subsidi dari peningkatan pajak air minum perpipaan Investasi dan subsidi

(50%) 0,111 % 0,110 %

Pembedaan kelompok

penerima tidak berdampak pada laju

pertumbuhan ekonomi.

Investasi Air Minum Perpipaan 0,203 %

Investasi dan subsidi (10%) 0,204 % 0,204 %

Investasi dan subsidi (25%) 0,204 % 0,204 %

Peningkatan investasi air minum perpipaan 50 persen dan subsidi dari peningkatan pajak air minum perpipaan Investasi dan subsidi

(50%) 0,204 % 0,203 %

Pembedaan kelompok

penerima tidak berdampak pada laju

pertumbuhan ekonomi.

Kesimpulan Peningkatan investasi air minum perpipaan mendorong meningkatnya

pertumbuhan ekonomi, tetapi peningkatan subsidi tidak berdampak pada laju pertumbuhan ekonomi.

Sumber: Tabel 5.11, Tabel 5.12 dan Tabel 5.13 Keterangan: pertumbuhan ekonomi dianggap signifikan jika proporsi > ⏐0,01%⏐

0.0461

0.0465

0.0469

Pert

umbu

han

Ekon

omi

(%)

Investasi Investasi-subsidi

10%

Investasi-subsidi

25%

Investasi-Subsidi

50%

Skenario

Gambar 5.39 Dampak Investasi 10% dan Subsidi dari Pajak Air Minum

terhadap Pertumbuhan Ekonomi

RT I

RT I-IV

0.1098

0.1102

0.1106

0.111

0.1114

Pert

umbu

han

Ekon

omi

(%)

Investasi Investasi-subsidi

10%

Investasi-subsidi

25%

Investasi-Subsidi

50%

Skenario

Gambar 5.40Dampak Investasi 25% dan Subsidi dari Pajak Air Minum

terhadap Pertumbuhan Ekonomi

RT I

RT I-IV

0.2028

0.2032

0.2036

0.204

Pert

umbu

han

Ekon

omi (

%)

Investasi Investasi-subsidi

10%

Investasi-subsidi

25%

Investasi-Subsidi

50%

Skenario

Gambar 5.41Dampak Investasi 50% dan Subsidi dari Pajak Air Minum

terhadap Pertumbuhan Ekonomi

RT I

RT I-IV

145

Tabel 5.20

Rekapitulasi Pertumbuhan Ekonomi Simulasi Investasi Air Minum Perpipaan dan

Subsidi dari Pemerintah Pusat

Penerima Simulasi Skenario RT I RT I – RT IV

Kesimpulan

Investasi air minum perpipaan 0,047 % Investasi dan subsidi (Rp.0,149 miliar) 0,049 % 0,048 %

Investasi dan subsidi (Rp.0,37 miliar) 0,050 % 0,049 %

Peningkatan investasi air minum perpipaan 10 persen dan subsidi dari pemerintah pusat

Investasi dan subsidi (Rp.0,74 miliar) 0,052 % 0,050 %

Pembedaan kelompok

penerima tidak berdampak pada laju

pertumbuhan ekonomi.

Investasi air minum perpipaan 0,11% Investasi dan subsidi (Rp.0,149 miliar) 0,113 % 0,112 %

Investasi dan subsidi (Rp.0,37 miliar) 0,114 % 0,113 %

Peningkatan investasi air minum perpipaan 25 persen dan subsidi dari pemerintah pusat

Investasi dan subsidi (Rp.0,74 miliar) 0,116 % 0,114 %

Pembedaan kelompok

penerima tidak berdampak pada laju

pertumbuhan ekonomi.

Investasi air minum perpipaan 0,203 % Investasi dan subsidi (Rp.0,149 miliar) 0,207 % 0,205 %

Investasi dan subsidi (Rp.0,37 miliar) 0,208 % 0,206 %

Peningkatan investasi air minum perpipaan 50 persen dan subsidi dari pemerintah pusat

Investasi dan subsidi (Rp.0,74 miliar) 0,209 % 0,208 %

Pembedaan kelompok

penerima tidak berdampak pada laju

pertumbuhan ekonomi.

Kesimpulan Peningkatan investasi air minum perpipaan mendorong meningkatnya pertumbuhan ekonomi, tetapi peningkatan subsidi tidak berdampak pada laju pertumbuhan ekonomi.

Sumber: Tabel 5.14, Tabel 5.15 dan Tabel 5.16 Keterangan: pertumbuhan ekonomi dianggap signifikan jika proporsi > ⏐0,01%⏐

0.0465

0.0475

0.0485

0.0495

0.0505

0.0515

0.0525

Pert

umbu

han

Ekon

omi

(%)

Investasi Investasi-subsidi

10%

Investasi-subsidi

25%

Investasi-Subsidi

50%

Skenario

Gambar 5.42 Dampak Investasi 10% dan Subsidi dari Pusat terhadap

Pertumbuhan Ekonomi

RT I

RT I-IV

0.1098

0.11080.1118

0.1128

0.1138

0.1148

0.1158

0.1168

Pert

umbu

han

Ekon

omi

(%)

Investasi Investasi-subsidi

10%

Investasi-subsidi

25%

Investasi-Subsidi

50%

Skenario

Gambar 5.43Dampak Investasi 25% dan Subsidi dari Pusat terhadap

Pertumbuhan Ekonomi

RT IRT I-IV

0.20280.20380.20480.20580.20680.20780.20880.2098

Pert

umbu

han

Ekon

omi (

%)

Investasi Investasi-subsidi

10%

Investasi-subsidi

25%

Investasi-Subsidi

50%

Skenario

Gambar 5.44 Dampak Investasi 50% dan Subsidi dari Pusat terhadap

Pertumbuhan Ekonomi

RT I

RT I-IV

146

5.4.2 Distribusi Pendapatan

A. Investasi Air Minum

Investasi air minum perpipaan berdampak pada penurunan pangsa pendapatan

kelompok RT miskin dari kondisi awal, tetapi tidak berdampak terhadap perubahan rasio

Gini. Akan tetapi, jika investasi air minum perpipaan sebesar 25 persen dan 50 persen,

rasio pendapatan RT miskin terhadap RT pendapatan tinggi mengalami penurunan

signifikan masing-masing sebesar -0,01 persen.

Tabel 5.21

Rekapitulasi Distribusi Pendapatan Simulasi Peningkatan Investasi Air Minum

Walaupun rasio Gini relatif tetap, tetapi

dengan terjadinya penurunan pada rasio penda-

patan RT miskin terhadap RT pendapatan tinggi

yang cukup signifikan, menunjukkan membu-

ruknya distribusi pendapatan.

Sebagian terbesar RT miskin di DKI

Jakarta yang tidak memperoleh air minum

Simulasi

Perubahan Rasio

Pendapatan RT Miskin/RT

Tinggi (%)

Perubahan Rasio Gini

(%)

Kesimpulan

10 persen - 0,003 0,001

25 persen - 0,01 0,001 Peningkatan Investasi Air

Minum Perpipaan 50 persen - 0,01 0,002

Peningkatan investasi hanya berdampak pada menurunnya rasio pendapatan RT miskin/ RT tinggi pada saat investasi

25 persen dan 50 persen.10 persen 0 0

25 persen 0 0

Peningkatan Investasi Air Minum Non Perpipaan 50 persen 0 0

Peningkatan investasi tidak mempengaruhi rasio

pendapatan RT miskin/RT tinggi dan rasio Gini.

Kesimpulan

Peningkatan investasi air minum perpipaan mengakibatkan memburuknya distribusi pendapatan pada saat peningkatan

investasi 25 persen dan 50 persen. Berbeda dengan peningkatan investasi air minum nonperpipaan yang tidak mengakibatkan

perubahan distribusi pendapatan.Sumber: Tabel 5.6 dan Tabel 5.7 Keterangan: perubahan distribusi pendapatan dianggap signifikan jika proporsi ≥ ⏐0,01%⏐

Gambar 5.45Dampak Investasi Air Minum terhadap Distribusi

Pendapatan

0.597195

0.597205

0.597215

awal 10% 25% 50%

Investasi

Rasi

o G

ini

11.256

11.2581

11.2602

Pang

sa P

enda

pata

n RT

Mis

kin

(%)

perpipaan non perpipaan perpipaan non perpipaan

147

perpipaan berlokasi di daerah Jakarta Utara, yang merupakan daerah sulit air disebabkan

air tanah dalam yang tidak layak minum: adanya intrusi air laut. Selain itu, RT miskin juga

berlokasi di daerah permukiman liar dan kumuh. Kondisi ini membawa konsekuensi

pelayanan air minum perpipaan bagi penduduk miskin jauh lebih sulit. Hal pertama yang

menjadi kendala adalah terdapatnya larangan bagi penyedia air minum perpipaan untuk

melayani daerah permukiman liar. Kedua, biaya sambungan yang harus dibayar di depan

dengan jumlah yang cukup besar. Ketiga, tidak tersedianya insentif bagi perusahaan

swasta yang mendapat konsesi untuk melayani penduduk miskin. Biaya investasi yang

besar sementara jumlah pemakaian air penduduk miskin yang relatif sedikit akan

memperlambat waktu pengembalian investasi. Keempat, perjanjian kontrak dengan

perusahaan swasta penerima konsesi tidak secara eksplisit mempersyaratkan peningkatan

layanan bagi penduduk miskin. Kriteria kinerja hanya berupa peningkatan cakupan

pelayanan.

Pelayanan air minum bagi penduduk miskin menjadi hanya sebatas penyediaan

hidran umum dalam jumlah terbatas. Hidran umum yang terbatas menyulitkan penduduk

untuk mendapatkan air karena harus antri, dan lokasi yang jauh dari rumah. Kondisi ini

yang mendorong maraknya praktek penjualan air ke rumah-rumah oleh penyedia air skala

kecil dengan harga yang 15 sampai 20 kali lebih mahal. Pada kenyataannya, hal ini tidak

banyak membantu menurunkan biaya yang harus ditanggung oleh penduduk miskin.

Peningkatan investasi air minum pada akhirnya hanya akan meningkatkan cakupan

pelayanan, yang berarti meningkatkan produksi air minum perpipaan, sehingga

mendorong pertumbuhan ekonomi. Ketika kemudian penduduk miskin tidak terjangkau

oleh investasi ini, sebagian besar pendapatan penduduk miskin tetap terpakai untuk

kebutuhan air minum. Akibatnya, pertumbuhan ekonomi tidak berdampak pada

peningkatan pangsa pendapatan RT miskin, bahkan sebaliknya.

Ketika dilakukan peningkatan investasi air minum nonperpipaan, perubahan rasio

Gini dan pangsa pendapatan RT miskin tersebut mendekati nol. Hasil selengkapnya dapat

dilihat pada Tabel 5.21 dan Gambar 5.43.

Perubahan pangsa pendapatan RT miskin dan rasio Gini yang kecil sekali

(mendekati nol) menyebabkan hipotesa kedua tidak terpenuhi, yaitu bahwa investasi air

minum nonperpipaan mengakibatkan kesenjangan pendapatan. Kecilnya perubahan

148

kesenjangan disebabkan oleh keragaman sumber air minum nonperpipaan. Berdasarkan

data empiris, sumber air minum nonperpipaan terdiri dari (a) hidran umum, harga sama

dengan air minum perpipaan tetapi dengan tingkat akses rendah (antri, jauh, dan tidak 24

jam), (b) rumah tangga yang berlangganan air perpipaan yang kemudian menyalurkan ke

tetangga dengan harga yang relatif sedikit lebih mahal dari harga air minum perpipaan, (c)

penjaja keliling dengan harga 15-20 kali harga air minum perpipaan, (d) truk tangki

dengan harga yang relatif lebih mahal dari penjaja keliling.

Jika sumber air minum nonperpipaan adalah (a) dan (b), pendapatan yang dapat

dibelanjakan (disposable income) meningkat sehingga rasio Gini membaik. Hal itu

berbeda jika sumber adalah (c) dan (d). Hal yang terjadi adalah sebaliknya. Data pangsa

masing-masing sumber air minum nonperpipaan ini tidak tersedia sehingga berdasarkan

pada hasil simulasi tersebut, diperkirakan sumber air minum nonperpipaan berbentuk (a)

dan (b) dalam jumlah yang relatif berimbang dengan (c) dan (d) sehingga penambahan

investasi air minum nonperpipaan tidak secara signifikan mendorong peningkatan

kesenjangan.

Dengan mengacu pada literatur, masih terdapat ketidaksepakatan tentang pengaruh

pertumbuhan ekonomi terhadap kesenjangan. Literatur empiris terkini seperti oleh

Deininger dan Squire (1996), Chen dan Ravallion (1997), Easterly (1999) dan Dollar dan

Kraay (2002) seluruhnya menyatakan pertumbuhan tidak mempunyai dampak pada

kesenjangan. (World Bank Poverty Net). Hal ini berbeda dengan yang dikemukakan oleh

Kutnetz melalui teorinya bahwa pertumbuhan akan berujung pada pengurangan

kesenjangan.

Sementara itu, dalam literatur empiris yang terkait khusus dengan investasi air

minum sebagaimana dikemukakan oleh Brenneman dan Kerf (2002), Galiani, Gertler dan

Schargrodsky (2002), ditunjukkan bahwa akses air minum dan sanitasi berperan dalam

mengurangi tingkat kesenjangan, melalui dampaknya pada modal manusia khususnya

penduduk miskin (Calderon, 2004). Di pihak lain, studi Calderon (2004) menunjukkan

bahwa pembangunan jaringan air minum mempunyai dampak negatif dan signifikan pada

kesenjangan pendapatan.

149

B. Subsidi

Secara umum, penyediaan subsidi baik dari peningkatan pajak air minum

perpipaan maupun pemerintah pusat hanya berdampak signifikan pada rasio pendapatan

RT miskin terhadap RT pendapatan tinggi pada saat subsidi dari peningkatan pajak air

minum perpipaan maupun pemerintah pusat masing-masing sebesar 50 persen, yang

menunjukkan membaiknya distribusi pendapatan. Hasil selengkapnya dapat dilihat pada

Tabel 5.22.

Tabel 5.22 Rekapitulasi Dampak Subsidi terhadap Distribusi Pendapatan

Perubahan Rasio Pendapatan RT

Miskin/RT Tinggi (%)

Perubahan Rasio Gini* (%)

Skenario

Simulasi

RT I RT I-IV RT I RT I-IV

Kesimpulan

Subsidi (10%) 0,001 0,001 0 0

Subsidi (25%) 0,003 0,003 - 0,001 - 0,001

Subsidi dari Peningkatan

Pajak Air Minum

Perpipaan Subsidi (50%) 0,01 0,01 - 0,002 - 0,001

Pembedaan kelompok penerima tidak berdampak signifikan pada perubahan

rasio Gini dan rasio pendapatan RT miskin/RT

tinggi.

Kesimpulan Peningkatan subsidi dari pajak air minum perpipaan

hanya berdampak signifikan terhadap membaiknya distribusi pendapatan pada saat peningkatan subsidi sebesar 50 persen

Subsidi (10%) 0,001 0,001 0 0

Subsidi (25%) 0,003 0,003 - 0,001 - 0,001

Subsidi dari pemerintah

pusat Subsidi

(50%) 0,01 0,01 - 0,002 - 0,001

Pembedaan kelompok penerima tidak berdampak signifikan pada perubahan

rasio Gini dan rasio pendapatan RT miskin/RT

tinggi.

Kesimpulan Peningkatan subsidi dari pajak air minum perpipaan

hanya berdampak signifikan terhadap membaiknya distribusi pendapatan pada saat peningkatan subsidi sebesar 50 persen

Sumber: Tabel 5.9 dan Tabel 5.10 . Keterangan: perubahan distribusi pendapatan dianggap signifikan jika proporsi ≥ ⏐0,01%⏐

150

C. Investasi Air Minum Perpipaan dan Subsidi

Pada skenario investasi air minum perpipaan dan subsidi, dilakukan dua simulasi,

yaitu (a) investasi air minum perpipaan disertai subsidi dari pajak air minum perpipaan

dan (b) investasi air minum perpipaan disertai subsidi dari pemerintah pusat.

Berdasarkan hasil simulasi gabungan terlihat bahwa (a) peningkatan investasi air

minum perpipaan sebesar 50 persen yang disertai subsidi dari peningkatan air minum

perpipaan sebesar 10 persen dan 25 persen berdampak pada memburuknya distribusi

pendapatan, (b) peningkatan investasi air minum perpipaan sebesar 10 persen yang

disertai subsidi dari pemerintah pusat sebesar Rp.0,74 miliar berdampak pada mem-

baiknya distribusi pendapatan, (c) peningkatan investasi air minum perpipaan sebesar 50

persen yang disertai subsidi dari pemerintah pusat sebesar Rp.0,149 miliar dan Rp.0,37

miliar berdampak pada memburuknya distribusi pendapatan, (d) pembedaan kelompok

penerima subsidi, baik dari peningkatan pajak air minum perpipaan maupun pemerintah

pusat, tidak berdampak pada distribusi pendapatan Hasil selengkapnya dapat dilihat pada

Tabel 5.23 dan Tabel 5.24.

Dari simulasi penyediaan subsidi, terlihat bahwa pada kondisi tertentu subsidi

memberi dampak signifikan pada perbaikan distribusi pendapatan Walaupun demikian,

penyediaan subsidi oleh ekonom neoklasik dianggap bukan merupakan pilihan terbaik,

dalam arti intervensi pemerintah seharusnya seminimal mungkin. Hal ini pun masih

Gambar 5.46Dampak Subsidi dari Pajak Air Minum Perpipaan

terhadap Distribusi Pendapatan

0.597185

0.59719

0.597195

0.5972

awal 10% 25% 50%

Investasi

Rasi

o G

ini

11.256

11.2581

11.2602

Pang

sa P

enda

pata

n RT

Mis

kin

(%)

RT I RT I-IV RT I dan RT I-IV

Gambar 5.47Dampak Subsidi dari Pemerintah Pusat

terhadap Distribusi Pendapatan

0.597185

0.59719

0.597195

0.5972

awal 10% 25% 50%

Investasi

Ras

io G

ini

11.256

11.2581

11.2602

Pan

gsa

Pen

dapa

tan

RT

Mis

kin

(%)

RT I RT I-IV RT I dan RT I-IV

151

merupakan perdebatan karena tidak ditemukan secara eksplisit buku teks ekonomi

neoklasik yang secara eksplisit menolak subsidi. Bahkan, the Second Fundamental

Theorem of Welfare Economics mengatakan, dalam keadaan tertentu, gabungan antara

mekanisme pasar dan transfer kekayaan (subsidi) secara lump sum bisa menghasilkan

alokasi yang optimal secara Pareto (Perdana, 2005).

152

Tabel 5.23

Rekapitulasi Distribusi Pendapatan Simulasi Investasi Air Minum Perpipaan dan Subsidi dari Peningkatan Pajak Air Minum

Perubahan Rasio Pendapatan RT

Miskin/RT Tinggi (%)

Perubahan Rasio Gini (%)

Skenario

Simulasi

RT I RT I-IV RT I RT I-IV

Kesimpulan

Investasi air minum perpipaan - 0,003 0,001

Investasi dan subsidi (10%) - 0,001 - 0,001 0 0

Investasi dan subsidi (25%) 0,001 0,001 0 0

Peningkatan investasi Air minum perpipaan 10 persen dan subsidi dari peningkatan pajak air minum perpipaan

Investasi dan subsidi (50%) 0,004 0,004 - 0,001 - 0,001

Investasi air minum perpipaan - 0,006 0,001

Investasi dan subsidi (10%) - 0,003 - 0,003 0,001 0,001

Investasi dan subsidi (25%) - 0,001 - 0,001 0,001 0,001

Peningkatan investasi air minum perpipaan 25 persen dan subsidi dari peningkatan pajak air minum perpipaan

Investasi dan subsidi (50%) 0,002 0,002 0 0

Investasi air minum perpipaan - 0,011 0,002

Investasi dan subsidi (10%) - 0,006 - 0,006 0,002 0,002

Investasi dan subsidi (25%) -0,005 - 0,005 0,002 0,002

Peningkatan investasi air minum perpipaan 50 persen dan subsidi dari peningkatan pajak air minum perpipaan

Investasi dan subsidi (50%) - 0,002 - 0,002 0,001 0,001

Pemberian subsidi pada

kelompok RT I dan kelompok

RT I-IV memberi

dampak yang relatif sama

pada perubahan

rasio pendapatan RT

miskin/RT tinggi dan rasio Gini.

Kesimpulan

Peningkatan investasi air minum perpipaan cenderung mengakibatkan memburuknya distribusi pendapatan dengan dampak signifikan pada saat investasi air minum

perpipaan sebesar 50 persen dan subsidi dari peningkatan pajak air minum perpipaan sebesar 10 persen dan 25 persen. Peningkatan subsidi memberi dampak signifikan pada

perbaikan distribusi pendapatan pada saat peningkatan investasi air minum perpipaan sebesar 50 persen, yang merubah distribusi pendapatan yang buruk menjadi kembali

seperti kondisi awal.

Gambar 5.48Dampak Investasi Air Minum Perpipaan (10%) dan Subsidi dari Pajak Air Minum Perpipaan terhadap

Distribusi Pendapatan

0.597185

0.59719

0.597195

0.5972

0.597205

0.59721

0.597215

0% 10% 25% 50%

Investasi

Rasi

o G

ini

11.256

11.2581

11.2602

Pang

sa

Pend

apat

an R

T M

iski

n (%

)

RT I RT I-IV RT I dan RT I-IV

Gambar 5.49Dampak Investasi Air Minum Perpipaan (25%) dan

Subsidi dari Pajak Air Minum Perpipaan terhadap Distribusi Pendapatan

0.597185

0.59719

0.597195

0.5972

0.597205

0.59721

0.597215

0% 10% 25% 50%

Investasi

Ras

io G

ini

11.256

11.2581

11.2602

Pan

gsa

Pen

dapa

tan

RT

Mis

kin

(%)

RT I RT I-IV RT I dan RT I-IV

Gambar 5.50Dampak Investasi Air Minum Perpipaan (50%) dan

Subsidi dari Pajak Air Minum Perpipaan terhadap Distribusi Pendapatan

0.597185

0.59719

0.597195

0.5972

0.597205

0.59721

0.597215

0% 10% 25% 50%

Investasi

Ras

io G

ini

11.256

11.2581

11.2602

Pang

sa

Pen

dapa

tan

RT

Mis

kin

(%)

RT I RT I-IV RT I dan RT I-IV

153

Tabel 5.24 Rekapitulasi Distribusi Pendapatan

Simulasi Investasi Air Minum Perpipaan dan Subsidi dari Pemerintah Pusat

Perubahan Rasio Pendapatan RT

Miskin/RT Tinggi (%)

Perubahan Rasio Gini (%)

Skenario

Simulasi

RT I RT I-IV RT I RT I-IV

Kesimpulan

Investasi air minum perpipaan - 0,003 0,001

Investasi dan subsidi (Rp.0,149 M) - 0,001 - 0,001 0 0

Investasi dan subsidi (Rp.0,37 M) 0,001 0,001 0 0

Peningkatan investasi Air minum perpipaan 10 persen dan subsidi dari pemerintah pusat Investasi dan subsidi

(Rp.0,74 M) 0,005 0,005 - 0,001 - 0,001

Investasi air minum perpipaan - 0,006 0,001

Investasi dan subsidi (Rp.0,149 M) - 0,003 - 0,003 0,001 0,001

Investasi dan subsidi (Rp.0,37 M) - 0,001 - 0,001 0,001 0,001

Peningkatan investasi air minum perpipaan 25 persen dan subsidi dari pemerintah pusat Investasi dan subsidi

(Rp.0,74 M) 0,001 0,001 0 0

Investasi air minum perpipaan - 0,011 0,002

Investasi dan subsidi (Rp.0,149 M) - 0,007 - 0,006 0,002 0,002

Investasi dan subsidi (Rp.0,37 M) - 0,005 - 0,005 0,002 0,002

Peningkatan investasi air minum perpipaan 50 persen dan subsidi dari pemerintah pusat Investasi dan subsidi

(Rp.0,74 M) - 0,002 - 0,002 0,001 0,001

Pemberian subsidi pada

kelompok RT I dan kelompok

RT I-IV memberi

dampak yang relatif sama

pada perubahan

rasio pendapatan RT

miskin/RT tinggi dan rasio Gini.

Kesimpulan

Peningkatan investasi air minum perpipaan cenderung mengakibatkan memburuknya distribusi pendapatan dengan dampak signifikan pada saat investasi air minum

perpipaan sebesar 50 persen dan subsidi dari pemerintah pusat sebesar Rp.0,149 miliar dan Rp.0,37 miliar. Peningkatan subsidi memberi dampak signifikan pada perbaikan

distribusi pendapatan pada saat peningkatan investasi air minum perpipaan sebesar 10 persen. Selain itu, pada saat peningkatan investasi sebesar 50 persen, yang merubah

distribusi pendapatan yang buruk menjadi kembali seperti kondisi awal.

Gambar 5.51Dampak Investasi Air Minum Perpipaan (10%) dan

Subsidi dari Pemerintah Pusat terhadap Distribusi Pendapatan

0.597185

0.59719

0.597195

0.5972

0.597205

0.59721

0.597215

0% 10% 25% 50%

Investasi

Rasi

o G

ini

11.256

11.2581

11.2602

Pang

sa

Pend

apat

an R

T M

iski

n (%

)

RT I RT I-IV RT I dan RT I-IV

Gambar 5.52Dampak Investasi Air Minum Perpipaan (25%) dan

Subsidi dari Pemerintah Pusat terhadap Distribusi Pendapatan

0.597185

0.59719

0.597195

0.5972

0.597205

0.59721

0.597215

0% 10% 25% 50%

Investasi

Rasi

o G

ini

11.256

11.2581

11.2602

Pang

sa

Pend

apat

an R

T M

iski

n (%

)

RT I RT I-IV RT I dan RT I-IV

Gambar 5.53Dampak Investasi Air Minum Perpipaan (50%) dan

Subsidi dari Pemerintah Pusat terhadap Distribusi Pendapatan

0.597185

0.59719

0.597195

0.5972

0.597205

0.59721

0.597215

0% 10% 25% 50%

Investasi

Rasi

o G

ini

11.256

11.2581

11.2602

Pang

sa

Pen

dapa

tan

RT

Mis

kin

(%)

RT I RT I-IV RT I dan RT I-IV

154

Pada kondisi DKI Jakarta, dengan proporsi pelanggan air minum perpipaan yang

jauh lebih dominan adalah RT menengah dan RT pendapatan tinggi, sementara RT miskin

relatif sangat bergantung pada air minum nonperpipaan, kebijakan pemberian subsidi

silang melalui pengaturan tarif air minum menjadi kurang efektif. Subsidi terhadap harga

air minum dinikmati bukan oleh RT miskin.

5.4.3 Kelompok Penerima Manfaat

Secara umum, peningkatan investasi, baik air minum perpipaan maupun air minum

nonperpipaan, yang disertai penyediaan subsidi, baik dari peningkatan pajak air minum

perpipaan maupun pemerintah pusat, bagi kelompok RT termiskin maupun seluruh

kelompok RT miskin, tidak memperlihatkan perbedaan yang signifikan pada perubahan

laju pertumbuhan ekonomi dan distribusi pendapatan.

5.4.4 Pertumbuhan Pro-poor

Sebagaimana telah dijelaskan terdahulu bahwa kriteria pertumbuhan pro-poor

dalam studi ini adalah (i) pertumbuhan ekonomi positip, (ii) peningkatan rasio pendapatan

RT miskin terhadap RT pendapatan tinggi, dan (iii) membaiknya rasio Gini.

Gambar 5.54

Pertumbuhan Pro-poor Simulasi Investasi Air Minum Perpipaan dan Subsidi

Peningkatan Subsidi dari Subsidi Subsidi Investasi Air Peningkatan ke RT I ke RT I-IV

Minum Pajak Air Minum Perpipaan Perpipaan/

Dana Pusat

Keterangan: simulasi dengan pertumbuhan pro-poor

10%

25%

50%

10%

Rp.0.74 M

25%

155

Secara umum, pertumbuhan pro-poor terjadi jika investasi air minum perpipaan

dan subsidi dialokasikan secara bersamaan. Semakin besar investasi air minum perpipaan,

semakin besar subsidi yang dibutuhkan agar terjadi pertumbuhan pro-poor. Pertumbuhan

pro-poor terjadi hanya jika investasi air minum meningkat 10 persen disertai subsidi

pemerintah pusat sebesar Rp.0,74 miliar.

156

Tabel 5.25 Rekapitulasi Pertumbuhan Pro-poor

Simulasi

Pertumbuhan Ekonomi Rasio Gini Pangsa Penda-

patan/Kapita

Simulasi Investasi

10 persen + + 0

25 persen + + - Investasi Air Minum Perpipaan

50 persen + + -

10 persen 0 0 0

25 persen 0 0 0 Investasi Air Minum Nonperpipaan

50 persen 0 0 0

Simulasi Subsidi

10 persen 0 - 0

25 persen 0 - 0 Subsidi dari Pajak Air Minum Perpipaan

50 persen 0 - +

Rp. 0,149 M 0 - 0

Rp. 0,37 M 0 - 0 Subsidi dari Pemerintah Pusat

Rp. 0,74 M 0 - +

Simulasi Investasi Air Minum Perpipaan dan Subsidi

Subsidi dari Pajak 10% + + 0

Subsidi dari Pajak 25% + - 0

Subsidi dari Pajak 50% + - 0

Subsidi dari Pusat Rp. 0,149 M + + 0

Subsidi dari Pusat Rp. 0,37 M + - 0

Investasi Air Minum Perpipaan 10%

Subsidi dari Pusat Rp. 0,74 M + - +

Subsidi dari Pajak 10% + + 0

Subsidi dari Pajak 25% + + 0

Subsidi dari Pajak 50% + -/+ 0

Subsidi dari Pusat Rp. 0,149 M + + -

Subsidi dari Pusat Rp. 0,37 M + + 0

Investasi Air Minum Perpipaan 25%

Subsidi dari Pusat Rp. 0,74 M + -/+ 0

Subsidi dari Pusat 10% + + -

Subsidi dari Pusat 25% + + -

Subsidi dari Pusat 50% + + 0

Subsidi dari Pusat Rp. 0,149 M + + -

Subsidi dari Pusat Rp. 0,37 M + + -

Investasi Air Minum Perpipaan 50%

Subsidi dari Pusat Rp. 0,74 M + + 0

Keterangan: + : meningkat, - : menurun, 0 : tidak signifikan, -/+ : menurun untuk RT I/meningkat untuk RT I-IV pertumbuhan pro-poor

Sumber : Diolah dari Hasil Simulasi

157

BAB VI

KESIMPULAN DAN REKOMENDASI

6.1 Kesimpulan

Penyusunan model CGE Air Minum DKI Jakarta dimaksudkan untuk memberi

gambaran implikasi dari kebijakan yang terkait dengan pembangunan air minum di

DKI Jakarta. Pada studi ini fokus perhatian diberikan pada pengaruh investasi air

minum dan subsidi terhadap pertumbuhan ekonomi dan distribusi pendapatan.

Pemahaman tentang pengaruh investasi air minum di DKI Jakarta menjadi

penting ketika sumber dana terbatas sementara akses air minum masih jauh dari target

pelayanan. Di samping itu, penduduk miskin masih menjadi pihak yang paling

menderita ketika akses air minum rendah. Pemilihan langkah yang tepat akan dapat

mengoptimalkan pertumbuhan ekonomi di satu sisi dan pemenuhan kebutuhan air

minum penduduk miskin di sisi lainnya. Investasi air minum seyogyanya mendorong

pertumbuhan pro-poor, yaitu pertumbuhan yang berdampak pada penurunan

kesenjangan pendapatan.

Ketersediaan air minum yang memadai dan layak secara langsung berdampak

pada pengurangan pengeluaran rumah tangga yang signifikan, khususnya penduduk

miskin perkotaan, untuk konsumsi air minum dan pengeluaran biaya pengobatan akibat

sakit karena mengkonsumsi air minum yang tidak layak. Akibatnya, pendapatan yang

dapat dibelanjakan (disposable income) meningkat. Kemudian, kondisi ini mengarah

pada meningkatnya pertumbuhan ekonomi. Selain itu, penyediaan air minum yang

memadai bagi penduduk miskin dapat meningkatkan produktivitas yang disebabkan

oleh berkurangnya hari sakit. Pemenuhan kebutuhan air minum bagi penduduk miskin

dapat berdampak pada pertumbuhan ekonomi dan juga sekaligus pengurangan

kesenjangan pendapatan. Kondisi ini yang disebut sebagai pertumbuhan pro-poor.

Berangkat dari hal tersebut di atas, dalam studi ini dilakukan beberapa simulasi

untuk mendapatkan gambaran pembangunan air minum di DKI Jakarta dikaitkan

158

dengan pertumbuhan pro-poor. Adapun simulasi kebijakan yang dilakukan adalah (i)

me-ningkatkan investasi air minum perpipaan, (ii) meningkatkan investasi air minum

non-perpipaan sebagai alternatif terbatasnya ketersediaan air minum perpipaan, (iii)

mening-katkan sumber pendanaan air minum melalui peningkatan pajak air minum,

yang kemudian hasilnya dialokasikan untuk subsidi ke rumah tangga miskin, (iv)

menyediakan sumber dana dari pemerintah pusat untuk subsidi ke rumah tangga

miskin, (v) meningkatkan investasi air minum perpipaan disertai penyediaan subsidi

dari hasil peningkatan pajak air minum perpipaan, dan (vi) meningkatkan investasi air

minum perpipaan disertai penyediaan subsidi dari dana pemerintah pusat. Keseluruhan

simulasi tersebut diukur dampaknya terhadap pertumbuhan ekonomi dan distribusi

pendapatan.

Dengan menggunakan model komputasi keseimbangan umum yang dibangun

dengan memanfaatkan data Sistem Neraca Sosial Ekonomi DKI Jakarta tahun 2000,

didapatkan hasil simulasi sebagai berikut.

A. Pertumbuhan ekonomi

(i). Investasi air minum perpipaan berdampak pada peningkatan laju

pertumbuhan ekonomi. Laju pertumbuhan ekonomi sebagai akibat

peningkatan investasi air minum perpipaan berkisar pada angka 0,05 persen

(investasi 10 persen) sampai 0,20 persen (investasi 50 persen). Sementara

itu, laju pertumbuhan ekonomi akibat peningkatan investasi air minum

nonperpipaan sangat kecil berkisar pada angka 0,0003 persen (investasi 10

persen) sampai 0,0008 persen (investasi 50 persen) sehingga laju

pertumbuhan ekonomi tersebut dapat diabaikan.

(ii). Penyediaan subsidi bagi RT miskin dari hasil peningkatan pajak air minum

perpipaan tidak berdampak signifikan pada laju pertumbuhan ekonomi. Laju

pertumbuhan ekonomi sebagai akibat penyediaan subsidi tersebut dalam

besaran yang sangat kecil, yaitu -0,0001 persen (pajak 10 persen) sampai

-0,0008 persen (pajak 50 persen).

(iii). Penyediaan subsidi bagi RT miskin dari dana pemerintah pusat tidak

berdampak signifikan pada laju pertumbuhan ekonomi. Laju pertumbuhan

159

ekonomi sebagai akibat penyediaan subsidi tersebut dalam besaran yang

relatif kecil, yaitu 0,001 persen (dana pusat Rp.0,149 miliar) sampai 0,004

persen (dana pusat Rp.0,74 miliar).

(iv). Ketika investasi air minum perpipaan dan subsidi bagi rumah tangga miskin

dilaksanakan bersamaan, semakin besar nilai investasi akan berdampak pada

peningkatan laju pertumbuhan ekonomi. Kondisi ini berlaku tanpa mempe-

dulikan sumber subsidi. Sementara itu, peningkatan penyediaan subsidi

tidak berdampak signifikan terhadap laju pertumbuhan ekonomi.

B. Distribusi Pendapatan

(i) Investasi air minum perpipaan berdampak signifikan pada memburuknya

distribusi pendapatan jika investasi air minum perpipaan sebesar 25 persen

dan 50 persen. Di pihak lain, investasi air minum nonperpipaan tidak

berdampak signifikan terhadap perubahan distribusi pendapatan.

(ii) Penyediaan subsidi bagi RT miskin dari peningkatan pajak air minum

perpipaan berdampak signifikan pada membaiknya distribusi pendapatan jika

subsidi dari peningkatan pajak air minum sebesar 50 persen. Sementara itu,

distribusi pendapatan menjadi semakin baik jika subsidi dari pemerintah

pusat sebesar Rp.0,74 miliar.

(iii) Investasi air minum perpipaan disertai subsidi berdampak signifikan terhadap

semakin buruknya distribusi pendapatan jika (a) investasi air minum

perpipaan sebesar 50 persen disertai subsidi dari peningkatan pajak air

minum perpipaan sebesar 10 persen dan 25 persen, dan (b) investasi air

minum perpipaan sebesar 50 persen disertai subsidi dari pemerintah pusat

sebesar Rp.0,149 miliar dan Rp.0,37 miliar.

(iv) Investasi air minum perpipaan disertai subsidi berdampak signifikan terhadap

semakin baiknya distribusi pendapatan jika investasi air minum perpipaan

sebesar 10 persen disertai subsidi sebesar Rp.0,74 miliar.

C. Penerima manfaat

Pembedaan kelompok penerima subsidi, yaitu kelompok rumah tangga

termiskin (RT I) maupun seluruh kelompok rumah tangga miskin (RT I-IV),

160

ternyata tidak berdampak signifikan pada perbedaan laju pertumbuhan ekonomi

maupun perubahan distribusi pendapatan untuk seluruh simulasi.

D. Pertumbuhan pro-poor

Pertumbuhan pro-poor terjadi jika investasi air minum perpipaan dan subsidi

dialokasikan secara bersamaan, yaitu investasi air minum perpipaan sebesar 10

persen disertai subsidi dari pemerintah pusat sebesar Rp.0,74 miliar. Semakin besar

nilai peningkatan investasi, semakin besar subsidi yang perlu diberikan agar terjadi

pertumbuhan pro-poor. Semakin besar porsi subsidi relatif terhadap investasi air

minum, semakin besar kemungkinan terjadinya pertumbuhan pro-poor.

Jika kita menyimak kembali hipotesis awal, studi ini secara umum

membuktikan hal-hal sebagai berikut. (i) Hipotesis pertama tidak terbukti sepenuhnya.

Investasi air minum perpipaan meningkatkan pertumbuhan ekonomi dan distribusi

pendapatan memburuk hanya terjadi jika investasi air minum perpipaan minimum 25

persen. (ii) Hipotesis kedua tidak terbukti. Investasi air minum nonperpipaan hanya

menghasilkan pertumbuhan ekonomi yang tidak signifikan sementara distribusi

pendapatan relatif tetap. (iii) hipotesis ketiga tidak terbukti sepenuhnya. Penyediaan

subsidi tidak berdampak signifikan pada peningkatan laju pertumbuhan ekonomi, tetapi

mengurangi kesenjangan pada kondisi tertentu, yaitu jika (a) subsidi dari peningkatan

pajak air minum perpipaan sebesar 50 persen dan (b) subsidi dari pemerintah pusat

sebesar Rp.0,74 miliar.

Peningkatan investasi air minum di DKI Jakarta ternyata berdampak hanya pada

pertumbuhan ekonomi, tetapi tidak berpengaruh pada pengurangan kesenjangan. Hal

ini membuktikan bahwa pembangunan air minum di DKI Jakarta pada saat ini belum

bersifat pro-poor.

6.2 Rekomendasi

Investasi air minum perpipaan yang tidak mendorong pertumbuhan pro-poor

dapat diartikan bahwa pembangunan air minum di DKI Jakarta belum sepenuhnya

memberi perhatian terhadap penyediaan air minum bagi penduduk miskin. Untuk itu,

diperlukan beberapa langkah nyata yang dapat mendorong peningkatan layanan bagi

penduduk miskin sebagai berikut.

161

a. Pemerintah daerah sebaiknya menjadikan ketersediaan air minum bagi penduduk

miskin sebagai salah satu indikator keberhasilan pembangunan di DKI Jakarta.

Untuk itu, dalam setiap kontrak atau pemberian konsesi penyediaan air minum di

DKI Jakarta kepada pihak lain perlu dengan jelas mencantumkan klausul

peningkatan akses air minum bagi penduduk miskin sebagai salah satu indikator

kinerja.

b. Menjadikan peningkatan akses air minum bagi penduduk miskin sebagai salah satu

target dalam strategi penanganan kemiskinan di DKI Jakarta.

c. Memperkenalkan program penyediaan air minum yang pro-poor di DKI Jakarta.

Diantaranya dengan memperkenalkan program pembangunan air minum yang

berbasis masyarakat. Pembangunan fasilitas air minum yang berasal dari sumber

subsidi sebaiknya dikelola berbasis masyarakat.

d. Penerapan tarif yang menerapkan prinsip subsidi silang bagi pelanggan air minum

perpipaan di DKI Jakarta menjadi kurang tepat ketika masih relatif banyaknya

penduduk miskin yang belum terlayani. Di pihak lain, porsi pelanggan rumah

tangga menengah dan rumah tangga pendapatan tinggi yang dominan menjadikan

tarif dasar yang murah menjadi salah sasaran. Penerapan pajak air minum perpipaan

pada pelanggan air minum perpipaan dan kemudian menyalurkan kembali dalam

bentuk subsidi dapat menjadi salah satu cara membantu meningkatkan jangkauan

pelayanan bagi penduduk miskin yang belum terlayani air minum perpipaan. Hal

ini juga sesuai dengan prinsip ekonomi bahwa pemberian subsidi langsung lebih

baik dari pemberian subsidi tarif.

Walaupun demikian, berdasar pengalaman empiris, kebijakan subsidi bahkan

jika bukan dalam bentuk tunai, pada kenyataannya sulit dilaksanakan tanpa

terjadinya kebocoran. Sebagai ilustrasi, ketika dikembangkan penyediaan air

minum bagi warga miskin di kawasan kumuh maka tidak dapat dihindari bahwa

penduduk yang bukan miskin juga dapat menikmati fasilitas tersebut.

162

e. Terdapatnya kendala regulasi42 bagi penyedia air minum perpipaan untuk melayani

penduduk miskin terutama yang bertempat tinggal di daerah permukiman kumuh

dan liar dapat disikapi oleh pemerintah daerah dengan menyediakan/memperbanyak

sumber air minum seperti hidran umum, dan kios air. Khususnya penyediaan hidran

umum pada lebih banyak tempat akan dapat mengurangi biaya yang harus

dikeluarkan oleh penduduk miskin, baik melalui makin banyaknya kesempatan

mendapatkan air minum sehingga mengurangi biaya kesempatan maupun

kemungkinan menjadi lebih murahnya harga air minum nonperpipaan.

Sebagaimana diketahui bahwa sebagian besar sumber air minum nonperpipaan di

DKI Jakarta berasal dari air minum perpipaan.

f. Investasi air minum nonperpipaan walaupun tidak berdampak pada perbaikan

distribusi pendapatan, yang ditengarai disebabkan oleh harga air yang relatif masih

jauh lebih mahal dari air minum perpipaan, tetapi dengan bentuk layanan yang

sesuai dengan kebutuhan masyarakat, seperti jumlah dan waktu pembayaran yang

fleksibel, mengurangi waktu antri di kran umum, penyedia air minum

nonperpipaan tetap dapat menjadi alternatif.

Selain itu, beberapa kendala lain yang harus diantisipasi dalam

mengembangkan air minum nonperpipaan diantaranya, yaitu (i) aspek legal. Air

minum nonperpipaan belum mempunyai dasar hukum yang pasti. Kondisi ini

menjadikan investasi air minum perpipaan bersifat sementara sehingga air minum

nonperpipaan menjadi sekadar pelengkap dari sistem air minum perpipaan. Kondisi

ini berbeda dengan beberapa kota besar dunia seperti New Delhi, dan Ho Chi Minh,

(ii) peraturan pemerintah khususnya Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 16 Tahun

2005 tidak secara jelas mengatur tentang penyediaan air minum nonperpipaan, (iii)

tidak tersedianya sumber dana yang memadai, dan (iv) harga air minum

nonperpipaan yang relatif mahal.

Kondisi di atas menjadi faktor kendala berkembangnya sistem air minum

nonperpipaan sebagai alternatif penyedia air minum. Sementara berdasar prediksi,

42 Pelayanan air minum dan fasilitas lainnya seperti listrik, dan telepon pada lokasi permukiman liar cenderung dihindari oleh pemerintah daerah. Hal ini untuk mencegah timbulnya pandangan bahwa penyediaan fasilitas tesebut akan meresmikan status permukiman liar tersebut.

163

sistem air minum perpipaan baru akan menjangkau seluruh penduduk di DKI

Jakarta pada tahun 2022. Sebelum waktu tersebut, kebutuhan air minum dapat

dipenuhi oleh sistem air minum nonperpipaan dengan berbagai bentuknya.

Terkait dengan itu, pemerintah daerah perlu membuat regulasi untuk

memberi kepastian hukum beroperasinya sistem penyedia air minum nonperpipaan.

Regulasi tersebut sebaiknya mengatur semua pihak baik penyedia, pemerintah, dan

masyarakat sebagai konsumen. Di dalam regulasi tersebut, bentuk kerjasama antara

pemerintah, penyedia air minum perpipaan dengan penyedia air minum

nonperpipaan perlu diatur secara jelas. Tersedianya regulasi yang jelas menjadikan

penyedia air minum nonperpipaan dapat mempunyai akses ke sumber pendanaan.

Hal lain yang perlu ditangani menyangkut relatif lebih mahalnya tarif air

mi-num nonperpipaan dibanding air minum perpipaan. Untuk itu, dibutuhkan

langkah yang nyata dari pemerintah daerah, yaitu (i) penyediaan sumber air minum

dengan harga beli murah bagi penyedia skala kecil. Mempertimbangkan sebagian

terbesar sumber air penyedia air minum skala kecil di DKI Jakarta berasal dari air

minum per-pipaan, yaitu bersumber dari kran umum, sehingga sebaiknya sistem

tarif yang dite-rapkan di kran umum adalah tarif flat43. Akibatnya, harga jual dari

penyedia air skala kecil akan lebih murah, tetapi dengan marjin keuntungan yang

relatif sama, (ii) pe-nyediaan kran umum yang lebih banyak sehingga dapat

menekan biaya pembelian air dari penyedia air minum non perpipaan.

i. Menghadapi kendala banyaknya penduduk yang bermukim di permukiman liar,

direkomendasikan agar penyediaan air minum dilakukan melalui pembangunan

kran umum atau kios air yang dikelola oleh komunitas lokal. Kran umum atau kios

air ini mendapat air dari penyedia air minum perpipaan. Hal ini dapat membantu

mengurangi tingginya harga air yang diperoleh masyarakat melalui penjual air

keliling. Semakin banyak kran umum atau kios air yang tersedia maka semakin

rendah harga dasar dari penjual air keliling.

j. Salah satu kendala penduduk miskin perkotaan dalam mendapatkan akses air

minum adalah biaya pemasangan yang tidak terjangkau karena harus dibayar 43 DKI Jakarta menggunakan sistim tarif progresif sehingga tarif flat ditetapkan berdasar tarif pada blok terendah.

164

sekaligus. Sebagai jalan keluarnya, biaya pemasangan air minum dapat dibayar

dalam jangka waktu panjang sampai dua tahun sehingga memungkinkan penduduk

miskin untuk menjadi pelanggan air minum. Cara lain adalah berupa penyediaan

subsidi dari pemerintah lokal kepada penduduk melalui penerapan abonemen pada

pelanggan setiap bulan dan hasilnya dialokasikan untuk subsidi biaya pemasangan

bagi penduduk miskin.

k. Subsidi langsung lebih baik dari subsidi tarif, sehingga jika subsidi menjadi salah

satu pilihan sumber dana penyediaan air minum bagi penduduk miskin, beberapa

sumber dana yang dapat digunakan, yaitu sumber dana dari pemerintah pusat dan

perusahaan swasta. Penyediaan dana oleh pemerintah pusat dapat berupa dana

alokasi khusus (DAK). Selain itu, keberadaan perusahaan besar juga dapat

dimanfaatkan untuk membantu memberi subsidi bagi penduduk miskin, baik dalam

bentuk subsidi langsung, subsidi pemasangan sambungan, bahkan pembangunan

jaringan. Dana perusahaan besar biasanya secara khusus disediakan dan diberi label

corporate social responsibility (CSR).

6.3 Beberapa Catatan

6.3.1 Kelebihan dan Kekurangan Model CGE

Model komputasi keseimbangan umum (computable general equilibrium,

CGE) merupakan evolusi dari model input-output (input-output model) dan model

pemrograman linier (linear-programming model)44. Namun, berbeda dengan model

input-output dan model pemrograman linier, model keseimbangan umum dapat

menampung hubungan yang tidak linier sehingga bisa mengatasi kekurangan model-

model sebelumnya. Oleh karena itu, model ekuilibrium umum dapat secara lebih

realistis dipergunakan untuk melakukan analisa suatu perekonomian dan dapat

dipergunakan sebagai suatu alat eksperimen ketika variabel-variabel kebijakan secara

eksogenus dapat dikuantifikasi (Bappenas, 2004).

Model CGE lebih unggul dari model ekonomi parsial. Model ekonomi parsial

hanya mampu menganalisis sebuah kasus dalam konteks pasar parsial, sementara dalam 44 Model input-output (input-output model) dan model pemrograman linier (linear-programming model) sangat populer dan banyak dipergunakan antara kurun waktu tahun 1950 sampai dengan tahun 1970-an.

165

dunia nyata gangguan yang dialami sebuah pasar berpeluang mempengaruhi

keseimbangan pasar parsial lain dalam perekonomian. Interaksi antarpasar parsial ini

yang lebih baik dijelaskan melalui model CGE. Selain itu, model ekonomi parsial

berlandaskan ilmu ekonomi mikro, sementara model ekonomi makro terfokus pada

analisis ekonomi agregat. Model CGE dapat berperan menjembatani keduanya.

Selanjutnya, formulasi model CGE berpeluang disesuaikan dengan ketersediaan data

pendukung (Hulu, 1997). Selain itu, kemampuan model CGE mengaitkan antara model

mikro, yaitu investasi di bidang infrastruktur, dengan model makro menjadi salah satu

daya tarik utama (Bappenas, 2004).

Terlepas dari semakin maraknya penerapan model CGE, masih disadari juga

bahwa secara umum terdapat beberapa kekurangan dari model CGE, yaitu sebagai

berikut.

(i) Simulasi CGE bersifat statis-komparatif. Persamaannya dan variabel yang

digunakan merujuk pada suatu kondisi tertentu. Oleh karena itu, semua hasil

simulasi harus diinterpretasikan sebagai ‘kondisi yang diperkirakan akan terjadi

setelah suatu kebijakan diterapkan dibandingkan dengan kondisi tanpa

kebijakan’.

(ii) Terdapat kesulitan dalam menginterpretasikan hasil ketika disagregasi dilakukan

terlalu rinci sehingga beberapa parameter harus diduga.

(iii) Penerapan model tidak bermanfaat jika menyangkut fenomena ekonomi mikro

yang tidak berhubungan dengan aspek ekonomi makro

(iv) Model itu tidak dapat digunakan sebagai metode untuk peramalan (Soetjipto,

2004).

Selain itu, berbagai pihak juga menyampaikan kritikan terhadap model CGE.

Devarajan (1994) mengemukakan bahwa kelemahan CGE diantaranya adalah hal-hal

berikut. (i) Pendekatan CGE dianggap terlalu matematis sehingga menjadi rumit. (ii)

Dalam model CGE terdapat banyak asumsi, bahkan termasuk asumsi yang tidak

realistis. (iii) Model CGE membutuhkan data yang sangat banyak. (iv) Sebagian besar

parameter diperoleh dengan tidak melalui metode ekonometrik, sementara belum

terdapat kesepakatan diantara para ahli mengenai besaran numerik dari masing-masing

166

parameter. (v) Model CGE tidak memberikan teori baru, tetapi hanya menjelaskan

kondisi yang ada. (vi) Model CGE adalah “kotak hitam” yang hanya dapat dimengerti

oleh yang mendalaminya (Nikensari, 2001).

Selain hal tersebut di atas, Iqbal (2001) juga menambahkan kritik terhadap

model CGE sebagai berikut. (i) Kualitas data. Data yang dipergunakan sangat

tergantung pada ketersediaan SAM yang hanya tersedia pada tahun tertentu saja.

Kondisi ini mengakibatkan anomali yang terjadi di luar tahun tersebut tidak akan dapat

terekam dalam model. Selain itu, proses memasukkan data kedalam matriks sering

melalui proses ’perubahan’ agar konsistensi secara mikro terjadi yang langsung dapat

mempengaruhi nilai parameter dalam model. (ii) Pemilihan parameter. Beberapa

parameter ditentukan berdasar literatur empiris, lainnya secara arbitrasi, dan sisanya

ditetapkan nilainya yang memungkinkan model untuk mereplikasi data. Pendekatan ini

telah dikritik oleh Jorgesen (1984), Lau (1984), Jorgensen dkk. (1992), Dievert dan

Lawrence (1994) dan Mckitrick (1998).

Bergman (1990) menanggapi kritik ini dengan menyatakan bahwa metode

CGE seharusnya dipandang sebagai pelengkap pendekatan analitis. Terdapat dua hal

yang mendasari pernyataan Bergman, yaitu sebagai berikut. (i) Pendekatan analitis

mengalami kesulitan ketika masalah yang dihadapinya sangat kompleks. (ii)

Pendekatan analitis mengalami kesulitan ketika besaran pengaruh eksogen menjadi

perhatian utama, seperti penerapan kebijakan berdampak luas (Soetjipto, 2004).

6.3.2 Kelemahan Model CGE Air Minum DKI Jakarta

Disadari bahwa sebuah model dibangun dengan berusaha untuk mendekati

kondisi sebenarnya. Namun, pada beberapa kondisi keinginan tersebut sulit terpenuhi

karena kondisi itu akan menjadikan sebuah model itu sangat rumit. Untuk itu,

digunakan beberapa asumsi atau pembatasan tertentu untuk menyederhanakan model.

Model yang dibangun untuk studi ini juga menggunakan pembatasan untuk

memudahkan penyusunan model.

Terdapat beberapa catatan penting mengenai model CGE pada penelitian ini

yang perlu disampaikan sehubungan dengan hasil simulasi di atas. Pertama, data yang

digunakan adalah data tahun 2000, sementara studi dilaksanakan pada tahun 2005

167

sehingga terjadi kesenjangan data selama 5 tahun. Hal ini menjadi salah satu kelemahan

dalam penggunaan model CGE karena kontinuitas ketersediaan data yang relatif

terbatas. Keterbatasan data disebabkan oleh keterbatasan data SNSE yang dikeluarkan

tidak setiap tahun. Kedua, proses kalibrasi untuk beberapa nilai koefisien dan variabel

hanya menggunakan satu tahun data sehingga kurang menggambarkan kondisi

sebenarnya. Ketiga, salah satu faktor yang kemungkinan dapat menjadi sumber

kesalahan dari model ini adalah proses penyesuaian data SNSE DKI Jakarta Tahun

2000. Struktur data SNSE standar perlu disesuaikan agar data air minum dapat menjadi

kategori sendiri dari sebelumnya yang menyatu dengan data gas dan listrik. Proses ini

memerlukan kecermatan khusus, terutama terkait dengan definisi kerja/operasional45

yang jelas sehingga proses pendetailan data berlangsung secara benar. Keempat,

penghitungan distribusi pendapatan tidak dapat dilakukan dalam model secara langsung

tetapi harus dilakukan di luar model. Hal ini cukup menyulitkan jika jumlah simulasi

cukup banyak. Akibat lainnya, penghitungan distribusi pendapatan terpaksa hanya

dibatasi menggunakan Rasio Gini yang relatif lebih sederhana. Kelima, model ini

bersifat komparatif statik sehingga hanya dapat menggambarkan kondisi pada saat

tertentu saja. Keenam, penyediaan subsidi mengabaikan terjadinya kebocoran dalam

proses penyediaannya. Proses penyediaan air minum tidak akan dapat dibatasi hanya

pada kelompok tertentu saja sebagaimana dilakukan pada simulasi dalam model ini.

Beberapa faktor yang dapat mempengaruhi terjadinya kebocoran, yaitu (i) kesulitan

mengenali secara tepat rumah tangga penerima, (ii) kebutuhan air minum adalah

kebutuhan dasar manusia sementara keterbatasan akses juga dialami oleh kelompok

selain rumah tangga miskin. Akibatnya, kelompok penerima manfaat juga akan

mencakup kelompok selain rumah tangga miskin. Ketujuh. tidak terekamnya

keberadaan rumah tangga miskin yang berlokasi di perumahan liar dikarenakan data

SNSE yang tersedia tidak mengakomodasinya.

Terlepas dari beberapa kendala yang ada, model ini terbukti cukup mampu

men-jelaskan kondisi air minum DKI Jakarta. Model ini juga dapat digunakan untuk

berbagai simulasi lain dengan beberapa penyesuaian minor. Model ini akan semakin 45 Misal pengelompokan air minum nonperpipaan yang sebenarnya berasal dari sumber air minum perpipaan.

168

bermanfaat jika bersifat dinamis sehingga perubahan kebijakan dapat dianalisis lebih

tajam.

6.4 Studi Lanjutan

Penyusunan model CGE yang terfokus pada aspek mikro, seperti distribusi

pendapatan, sebaiknya menggunakan CGE micro simulation sehingga dampak terhadap

distribusi pendapatan dapat dihitung langsung di dalam model dengan menggunakan

berbagai metode mulai dari rasio Gini, FGT, dan lainnya. Selain itu, model tersebut

sebaiknya bersifat dinamis sehingga dapat dipergunakan untuk melakukan prediksi

kondisi beberapa tahun ke depan.

Dibutuhkan data SNSE yang lebih detail menyangkut data air minum sehingga

model CGE air minum dapat menggambarkan lebih banyak persoalan yang terkait

dengan penyediaan air minum. Misalnya, secara khusus model CGE dapat

menggambarkan pengaruh dari keberadaan swasta dalam penyediaan air minum di DKI

Jakarta, dan pengaruh penyedia air minum skala kecil yang sampai saat ini masih

merupakan penyedia air minum yang cukup signifikan di DKI Jakarta.

169

DAFTAR PUSTAKA Ahmad, Aftab. Growth-cum-equity to Combat Poverty. The Social Policy and

Development Centre (SPDC), 2004.

Alesina, Alberto dan Dani Rodrik. Distributive Policies and Economic Growth. Quarterly Journal of Economics 109 (2), 1994.

Alfarol, Raquel. Reaching the Urban Poor with Water and Sanitation Infrastructures: Key Factors Not to Forget or Left Aside. Water and Sanitation Program, the World Bank, Nopember 1997.

Anggraeni, Dewi. Analisis Dampak Kebijakan Tarif Angkutan Jalan Raya terhadap Perekonomian dan Distribusi Pendapatan di DKI Jakarta: Sebuah Model Computable General Equilibrium. Program Studi Ilmu Ekonomi Pasca Sarjana Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia, 2005.

Annez, Patricia dan Alfred Friendly. Cities in the Developing World: Agenda for Action Following Habitat II. World Bank, 1996

Anwar, Alizar. Regulating Service for the Poor, Jakarta Indonesia. Jakarta Water Supply Regulatory Board. Makalah pada World Water Forum 3, Osaka, 19 Maret 2003.

Argo, Teti. Thirsty Downstream: The Provision of Clean Water in Jakarta, Indonesia. Disertasi tidak dipublikasikan. School of Community and Regional Planning, University of British Columbia, Vancouver, Canada, 1999.

_________ dan Aprodicio A. Laquian. Privatization of Water Utilities and Its Effects on the Urban Poor in Jakarta Raya and Metro Manila. Makalah disampaikan pada Forum on Urban Infrastructures and Public Service Delivery for Urban Poor, Regional Focus: Asia. New Delhi, 24-25 June 2004.

Azdan, M. Donny. Water Policy Reform in Jakarta, Indonesia: A CGE Analysis. Unpublished Dissertation. The Ohio State University 2001.

Badan Perencanaan Pembangunan Nasional. Kebijakan Nasional Pembangunan Air Minum dan Penyehatan Lingkungan Berbasis Masyarakat. 2003.

____________________________________. Kebijakan Nasional Pembangunan Air Minum dan Penyehatan Lingkungan Berbasis Lembaga. 2004.

Badan Pusat Statistik. Sistem Neraca Sosial Ekonomi Indonesia 2000. Jakarta, 2003.

_________________. Data dan Informasi Kemiskinan Tahun 2004. Buku 1: Propinsi. Jakarta, 2004.

_________________. Data dan Informasi Kemiskinan Tahun 2004. Buku 2: Kabupaten. Jakarta, 2004.

170

Badan Pusat Statistik Propinsi DKI Jakarta. Evaluasi Keadaan Rumah Tangga Miskin di DKI Jakarta 2003. Jakarta, 2004.

___________________________________. Evaluasi Program Pengentasan Kemiskinan Terpadu DKI Jakarta 2000. Jakarta, 2001.

___________________________________. Indikator Kesejahteraan Rakyat Propinsi DKI Jakarta 2003. Jakarta, 2004.

___________________________________. Statistik Kesejahteraan Rakyat Propinsi DKI Jakarta 2004. Jakarta, 2005.

___________________________________. Sistem Neraca Sosial Ekonomi DKI Jakarta Tahun 2000. Jakarta, 2002

___________________________________. Produk Domestik Regional Bruto. Jakarta, berbagai tahun keluaran.

___________________________________. Keadaan Sosial Ekonomi Penduduk DKI Jakarta 2002. Jakarta, 2003.

Baharoglu, Deniz dan Christine Kessides. Urban Poverty. 2000

Balisacan, Arsenio M; Ernesto M. Pernia; Abuzar Asra. Revisiting Growth and Poverty Reduction in Indonesia: What Do Subnational Data Show?. Bulletin of Indonesian Economic Studies, Vol. 39 No. 3, December 2003.

Bappenas, BPS, UNPF. Proyeksi Penduduk Indonesia 2000-2005. Jakarta, 2005.

Barro, Robert J. dan Xavier Sala-I-Martin. Economic Growth. McGraw-Hill, Inc. New York, 1995.

Basani, Marcello; Jonathan Isham, Barry Reilly. Water Demand and the Welfare Effects of Connection: Empirical Evidence from Cambodia. Department of Economics Middlebury College, Vermont, December 2004.

Basri, M. Chatib. Kemiskinan dan BBM. Kompas 13 Desember 2004.

Bigsten, Anne dan Jorgen Levin. Growth, Income Distribution dan Poverty: A Review. Working paper in Economics No. 32. Department of Economics, Goteborg University, 2000.

___________ dkk. Growth and Poverty in Ethiopia: Evidence from Household Panel Surveys. Working Papers in Economics no 65, Department of Economics, Goteborg University, January 2002.

Biro Pusat Statistik. Laporan Penyusunan Model Sistem Neraca Sosial Ekonomi: Model Disagregat Statis. Jakarta, 1986

Black, Maggie. Thirsty Cities: Water, Sanitation and the Urban Poor. Laporan Water Aid Day 1996 dan Habitat II 1996.

Boland, John J. dan Dale Whittington. The Political Economy of Increasing Block Tariffs in Developing Countries. Tanpa penerbit dan tahun.

171

Bourguignon, Francois. The Poverty-Growth-Inequality Triangle. World Bank, Washington DC, 2004 (mimeo).

Briscoe, John. Managing Water as an Economic Good: Rules for Reformers. Makalah pada The International Committee on Irrigation and Drainage Conference on Water as an Economic Good. Oxford, 1997

Brodjonegoro, Bambang. Poverty Eradication in Indonesia Through Better Access to Basic Infrastrutures. Department of Economics, University of Indonesia, 2003.

Brooke, Anthony dkk. GAMS A User’s Guide. GAMS Development Corporation, 1998.

Bruno, Michael; Martin Ravallion; dan Lyn Squire. Equity and Growth in Developing Countries: Old and New Perspectives on the Policy Issues dalam Income Distribution and High Quality Growth oleh Vito Tanzi dan Ke-young Chu ed.. MIT Press, Massachusetts, Cambridge, 1998.

Cabrera, Luis Fernando Gallardo. The Involvement of the Private Sector in Water Servicing: Effects on the Urban Poor in the Case of Aguascalientes, Mexico. Greener Management International, 2003.

Cain, Allan; Mary Daly dan Paul Robson. Basic Service Provision for the urban poor: the Experience of Development Workshop in Angola. International Institute for Environment and Development, 1998

Cairncross, S. dkk. Water Supply and the Urban Poor. 1990.

Calaguas, Belinda dan Virginia Roaf. Access to Water and Sanitation by the Urban Poor. Water Aid, September 2001.

Calderon, Cesar dan Luis Serven. The effects of Infrastructure Development on Growth and Income Distribution. Central Bank of Chile, 2001.

_____________________________. The Effects of Infrastructure Development on Growth and Income Distribution. 2004.

Catley-carison, Margareth. Why We Must Invest in Urban Water and Sanitation. World Water Commission.

Cestti, R; R. Batia dan Caroline Van der Berg. Water Demand Management and Pollution Control in the Jabotabek Region, Indonesia. Makalah tidak dipublikasikan. World Bank, 1994.

Chisari, O; Estache A.; Romero C. Winners and Losers from Privatization and Regulation of Utilities: Lessons from A General Equilibrium Model of Argentina. The World Bank Economic Review, 13, 1999.

Coady, David P. dan Rebecca Lee Harris. A Regional General Equilibrium Analysis of the Welfare Impact of Cash Transfers: An Analysis of Progresa in Mexico. International Food Policy Research Institute, Washington, DC. USA, 2001.

Committee for Poverty Alleviation Reduction Strategy Paper. A Process Framework of Strategic Formulation for Long Terms Poverty Alleviation. Jakarta, Maret 2003.

172

Conan, Herve. Scope and Scale of Small Scale Independent Private Water Providers in 8 Asian Cities. Preliminary Findings. Asian Development Bank, 2002.

Coolidge, Jacqueline G.; Richard C. Porter, Z. John Zhang. Urban Environmental Services in Developing Countries. Working Paper No. 9,. University of Michigan, December 1993.

Cord, Louise; J. Humberto Lopez; dan John Page. When I Use Word…Pro-Poor Growth and Poverty Reduction. The World Bank, Washington DC., 2003.

Crane, R. Water Markets, Market Reform and the Urban Poor: Result from Jakarta, Indonesia. Department of Urban and Regional Planning, University of California at Irvine, 1994.

Damuri, Yose Rizal dan Ari A. Perdana. The Impact of Fiscal Policy on Income Distribution and Poverty: A Computable General Equilibrium Approach for Indonesia. Center for Strategic and International Studies, Jakarta, 2003.

Danielson, Anders. Growth Without Poverty Reduction? Examining Micro-Makro Links in Tanzania. Department of Economics, University of lund, Sweden, 2004.

Dasgupta, Ani. Urban Poverty in East Asia. Focus on Indonesia, the Philippines, and Vietnam. East Asia Urban Sector, World Bank, June 2002.

Debreu, G. Theory of Value. Wiley, 1959.

Decaluwe, Bernard, Jean-Christophe Dumont dan Luc Savard. Measuring Poverty and Inequality in a Computable General Equilibrium Model. Universite Laval, Quebec Canada, 1999.

Dervis, K. J. DeMelo dan S. Robinson. General Equilibrium Models for Development Policy. Cambridge University Press, London, 1982.

Dinwiddy, C. L. dan F. J. Teal. The Two-Sector General Equilibrium Model. A New Approach. Philip Allan/St. Martin’s Press, New York, 1988.

Dollar, David dan Aart Kraay (2002). Growth is Good for the Poor. Journal of Economic Growth 7, 2002.

Dwidjowijoto, Riant Nugroho. Air untuk Penduduk Miskin Jakarta. Percik. Media Informasi Air Minum dan Penyehatan Lingkungan. Edisi April 2006.

Easterly, William. Inequality Does Cause Underdevelopment. Working Paper No. 1. Center for Global Development, Washington DC, January 2002.

Estache, Antonio. Andres Gomez-Lobo, Danny Leipziger. Utilities Privatization and the Poor: Lessons and Evidence from Latin America. World Development Vol. 29, 2001.

_______________; Vivien Foster; Quentin Wodon. Making Infrastructure Reform Work for the Poor: Policy Options based on Latin American Experience. LAC Regional Studies Program, WBI Studies in Development, Finance, Private Sector and Infrastructure Department, 2002.

173

_______________. Emerging Infrastructure Policy Issues in Developing Countries: A Survey of the Recent Economic Literature. The World Bank, 2004.

Forbes, Kristen. A Reassessment of the Relationship between Inequality and Growth. American Economic Review 90, 2000.

Foster V. Literature Review for Regional Studies Project on Privatization and Infrastructure Services of the Urban Poor. Mimeo, World Bank, Washington DC., 1999.

Giggacher, Manfred. Water Supply Concession as a Tool for City Sustainability. Trials, Experiences and Lessons Learnt. Jakarta, 2001.

Girianna, Montty. Private Involvement in Water Supply Industry: Clean and Potable Water Provision in the Capital City. Makalah internal tidak diterbitkan. Direktorat Permukiman dan Perumahan Bappenas, Juni 2004.

Gleick, P. H.; G. Wolff dan E. L. Chalecki. The Risks and Benefits of Globalization and Privatization of Fresh Water. The Pacific Institute, Oakland, CA, 2002.

Gulyani, Sumila; Debabbrata Talukdar dan R. Mukami Kariuki. Water for the Urban Poor: Water Markets, Household Demand and Service Preferneces in Kenya. The World Bank, 2005.

Hadad, Ismid. Pembangunan Berkelanjutan dan Perubahan Pola Produksi yang Ramah Lingkungan. Makalah dalam Seminar dan Lokakarya Pembangunan Hukum Nasional, Bali Juli 2003.

Hansen, Stein dan Ramesh Bhatia. Water and Poverty in A Macro-Economic Context. Januari 2004.

Hartono, Djoni. Analisis Dampak Kebijakan Harga Energi terhadap Perekonomian dan Distribusi Pendapatan di DKI Jakarta: Aplikasi Model Komputasi Keseimbangan Umum (Computable General Equilibrium Model). Tesis tidak dipublikasikan. Program Ilmu Ekonomi, Program Pasca Sarjana, Fakultas Ekonomi, 2002.

____________. Dampak Kebijakan Harga, Subsidi dan Efisiensi Konsumsi Bahan Bakar Minyak, Gas dan Listrik terhadap Perekonomian di Indonesia. Disertasi tidak Dipublikasikan. Program Ilmu Ekonomi, Program Pasca Sarjana, Fakultas Ekonomi, 2006.

Hewings, Geoffrey J.D. Strategic Economic Analysis for Regional Investment Planning: A Review, Evaluation and Strategy for Regional and Interregional Modelling in Indonesia. Report No. 70. Natural Resources Management Project, Bappenas-Ministry of Forestry-USAID, Jakarta, 1996.

Howard, Guy dan Amaka Obika dalam Water and Poverty: The Themes. A Collection of Thematic papers. ADB, 2004.

Hoesoe, Nobuhiro. Computable General Equilibrium Modeling with GAMS. National Graduate Institute for Policy Studies, 2004.

174

Hughes, G. A. The Distributional Impact of Commodity Taxes and Subsidies. Bulletin of Indonesian Economic Studies. Vol. 17, November 1981.

Hulu, Edison. Aplikasi Model Komputasi Keseimbangan Umum untuk Analisis Dampak Kebijakan Ekonomi Makro Terhadap Inflasi dan Distribusi Pendapatan di Indonesia. Disertasi Tidak Dipublikasikan. Universitas Indonesia, 1997.

Iqbal, Zafar dan Rizwana Siddiqui. Critical Review of Literatura on Computabe General Equilibrium Models. Pakistan Institute of Development Economics, Islamabad, Pakistan 2001.

JICA. Study of the Revise of Jakarta Water Supply Development Project, 1997.

Jusmaliani; M. Thoha; Umi Karomah Yaumidin. Teori Privatisasi dan Kajian Empirik dalam Jusmaliani ed. Optimalisasi Program Privatisasi. Pusat Penelitian Ekonomi. Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia, Jakarta, 2003.

Kariuki, Mukami. The Significance of Poverty in Urban Water Sector Reform dalam New Design for Water and Sanitation Transactions. WSP-PPIAF, 2000.

Kelompok Kerja Air Minum dan Penyehatan Lingkungan. Pertanyaan Penting tentang Millennium Development Goals. Percik Media Informasi Air Minum dan Penyehatan Lingkungan. Februari 2004.

Kikeri, S dan Nellis, J. Privatisation in Competitive Sectors: The Record so Far. Mimeo. Private Sector Advisory Services. World Bank, Washington D.C. 2001.

Kraay, Aart. When is Growth Pro-Poor? Cross-Country Evidence. World Bank Policy Research Working Paper 3225, 2004.

Kuznets, Simon. Economic Growth and Income Inequality. American Economic Review 45 (1), 1955.

Laifungbam, D. Roy. The Human Right to Water: Necessity for Action and Discourse, 12 Desember 2003.

Lalor, P dan Garcia, H. Reshaping Power Markets-Lessons from Chile and Argentina. Public Policy for the Private Sector, Note No. 85. World Bank, Washington DC, 1996.

Lewis, Jeffrey D. A Computable General Equilibrium (CGE) Model of Indonesia. Development Discussion Paper No. 378. Harvard Institute for International Development, Harvard University, 1991.

Lofgren, Hans dkk. A Standard Computable General Equilibrium (CGE) Model in GAMS. Discussion Paper No. 75. Trade and Macro Economics Division (TMD), IFPRI, Washington D.C., 2001.

Lopez, J. Humberto. Pro-growth, Pro-poor: Is There a Trade-off?. World Bank, Washington D. C., 2003.

_________________. Pro-poor Growth: A Review of What We Know (and of what we don’t). The World Bank, Washington DC., 2004.

175

Mahi, B. Raksaka. The Welfare Análisis of Indonesian Income Tax: A CGE Approach. Makalah pada Seminar Sehari “Macroeconomic Modelling in Developing Countries” oleh LPEM-FEUI, Erasmus Universiteit Rotterdam dan JICA, Depok, September 11, 1997.

______________. Pengantar Model CGE. Bahan Workshop Model CGE diselenggarakan oleh Bank Mandiri. Bandung, 18 Januari 2003.

Manaf, Dewi Ratna Sari. Pengaruh Subsidi Harga Pupuk terhadap Pendapatan Petani: Analisis Sistem Neraca Sosial Ekonomi. Tesis tidak dipublikasikan. Program Pasca Sarjana, Institut Pertanian Bogor, Bogor, 2000.

Mankiw, N. Gregory. Macroeconomics. New York, Worth Publishers, Inc, 1992.

McIntosh, Arthur C.. Asian Water Supplies. Reaching the Urban Poor. Asian Development Bank and International Water Association, 2003.

Meggison, W. L. dan Netter, J. M. From State to Market: A Survey of Empirical Studies on Privatisation. Journal of Economic Literature 39, 2001.

Mergos, George. Private Participation in the Water Sector: Recent Trends and Issues. Makalah disampaikan pada 5th International Conference “Water Resources Management in the Era of Transition”. European Water Resources Association (EWRA) dan Technical University of Athens, September 2002.

Mosley, Paul. Severe Poverty and Growth: A Macro-Micro Analysis. Chronic Poverty Research Center Working Paper 51. The University of Sheffield Department of Economics, United Kingdom, 2004.

Mungkasa, Oswar. Dampak Privatisasi di Indonesia. Studi Kasus: Dampak Privatisasi PT. Telekomunikasi Indonesia. Makalah tidak dipublikasikan. Jakarta, 2002.

______________. Sekali Lagi tentang Privatisasi. Percik. Media Informasi Air Minum dan Penyehatan Lingkungan. Edisi Oktober dan Desember 2004.

Oxfam. Growth with Equity is Good for the Poor. June 2000.

Olmstead, Sheila M. Water Supply and Poor Communities: What’s Price Got to Do with It?. Environment, Heldreft Publications, 2003.

PAM Jaya. Laporan Keuangan PAM Jaya Diaudit Tahun 1992 – 1995

_________. Proyeksi dan Realisasi Keuangan PAM Jaya Nopember 1995-Desember 1997.

Panennungi, Maddaremmeng A. Model CGE dengan Skala Ekonomis yang Meningkat dan Persaingan Tidak Sempurna: Aplikasi pada Studi Kawasan Perdagangan Bebas Asean-Cina. Disertasi tidak dipublikasikan. Program Studi Ilmu Ekonomi Pasca Sarjana Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia, 2004.

Parker, David dan Colin Kirkpatrick. Privatisation in Developing Countries: A Review of the Evidence and the Policy Lessons. July 2003.

176

Pemerintah DKI Jakarta. Perjanjian Kerjasama Penyediaan dan Peningkatan Pelayanan Air Bersih di Wilayah Barat Jakarta antara PAM Jaya dengan PT. PAM Lyonnaise Jaya. Kontrak. Februari 2000.

_________________. Perjanjian Kerjasama Penyediaan dan Peningkatan Pelayanan Air Bersih di Wilayah Barat Jakarta antara PAM Jaya dengan PT. PAM Lyonnaise Jaya. Lampiran. Februari 2000.

Perdana, Ary A. Masih tentang Subsidi. Kompas, 29 Januari 2005.

Pernia, Ernesto M. dan Stella LF. Alabastro. Aspects of Urban Water and Sanitation in the Context of Rapid Urbanization in Developing Asia. Economic and Development Resource Center, 1997.

Perry, C. J., M. Rock, dan D. Seckler. Water as an Economic Good: A Solution, or a Problem?. International Irrigation Management Institute, Research Report 14, 1997.

PPIAF. Small-Scale Water Providers in Indonesia. Jakarta, 2005.

Pusat Studi Transportasi dan Logistik, Universitas Gajah Mada. Kajian Dampak Pembangunan Infrastruktur terhadap Ekonomi Makro. Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian, Jakarta, 2003.

Pyatt, Graham. A SAM Approach to Modelling. Journal of Policy Modeling 10, 1988.

Ramamurti, R. Why are Developing Countries Privatizing. Journal of International Business Studies No. 23, 1992.

Ravallion, Martin. Pro-Poor Growth: A Primer. World Bank, 2003.

______________. Growth, Inequality and Poverty: Looking Beyond Averages. Development Research Group, World Bank, 2001.

Ray, Kalyan. Basic Service for the Urban Poor. World Habitat Day 2001.

Remi, Sutyastie S. dan Prijono Tjiptoherijanto. Kemiskinan dan Ketidakmerataan di Indonesia. Penerbit Rineka Cipta, 2002.

Republik Indonesia. Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2004 tentang Sumber Dayaq Air.

________________. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 16 Tahun 2005 tentang Pengembangan Sistem Penyediaan Air Minum.

________________. Indonesia. Progress Report on the Millenium Development Goals. 2004.

Rietveld, Piet; Jan Rouwendal; dan Bert Zwart. Block Rate Pricing of Water in Indonesia: An Analysis of Welfare Effects. Bulletin of Indonesian Economic Studies Vol. 36 No. 3 December 2000.

Robinson, Sherman dan Karen Thierfelder. A Note on Taxes, Prices, Wages, and Welfare in General Equilibrium Models. International Food Policy Research Institute, Washington DC., 1999.

177

________________, dan Moataz El-Said. GAMS Code for Estimating A Social Accounting Matrix (SAM) Using Cross Entropy (CE) Methods. International Food Policy Research Institute, Washington, USA, 2000.

Rosen, Harvey S. Public Finance. Seventh Edition. McGraw-Hill International Edition, 2005.

Round, Jeffrey. Social Accounting Matrices and SAM-Based Multiplier Analysis dalam The Impact Economic Policies on Poverty and Income Distribution. Evaluation Techniques and Tools oleh Francois Bourguignon dan Luiz A. Pereira da Silva ed. The World Bank dan Oxford University Press, Washington, 2003.

Rutherford, Thomas dan Sergey Paltsev. From an Input-Output Table to a General Equilibrium Model: Assessing the Excess Burden of Indirect Taxes in Russia. University of Colorado, USA, 1999.

Satterwaithe, David; Nick Johnstone and Libby Wood. Helping Poorer Urban Households and Neighbourhoods Secure Access to Adequate Water and Sanitation. Institute for Environment and Development, Nopember 1998.

Sadoulet, Elisabeth dan Alain de Janvry. Quantitative Development Policy Analysis. The Johns Hopkins University Press, Baltimore, 1995.

Sekretariat Subsidi Energi Air Bersih. Pedoman Umum. Program Penanggulangan Dampak Pengurangan Subsidi Energi untuk Penyediaan Prasarana Air Bersih Tahun Anggaran 2002. Departemen Permukiman dan Prasarana Wilayah, 2002.

Shirley, M. M. dan Walsh, P. Public versus Private Ownership: The Current State of the Debate. Mimeo. World Bank, Washington D.C., 2001.

Shofiani, Nur Endah. Reconstruction of Indonesia’s Drinking Water Utilities. Assessment and Stakeholder’s Perspectives of Private Sector Participation in the Capital Province of Jakarta. Unpublished Master Thesis. Department of Land and Water Resources Engineering. Royal Institute of Technology, Stockholm, 2003.

Shoven, John B. dan John Whalley. Applying General Equilibrium. Cambridge University Press. Tanpa Tahun.

Sibarani, Mauritz H. M. Kontribusi Infrastruktur terhadap Pertumbuhan Ekonomi Indonesia (26 Propinsi di Indonesia Tahun 1983-1997). Tesis. Program Pasca Sarjana, Program Studi Ilmu Ekonomi, Universitas Indonesia, 2002.

Siregar, P. Raja dkk. Politik Air. Penguasaan Asing Melalui Utang. WALHI dan KAU, 2004.

Snell, Suzanne. Water and Sanitation Services for the Urban Poor. Small-Scale Providers: Typology and Profiles. UNDP-World Bank Water and Sanitation Program, 1998.

Soebagjo, Felix O. Privatisasi BUMN dan Kekayaan Negara Lainnya: Pandangan dari Sudut Hukum. Makalah pada Seminar Privatisasi BUMN dan Kekayaan Negara Lainnya tanggal 14-15 Mei 1996 di Jakarta.

178

Soetjipto, Widyono. Dampak Liberalisasi Sektor Pangan pada Distribusi Pendapatan dan Kemiskinan di Indonesia. Aplikasi Model Simulasi Mikro dan Makro CGE. Disertasi tidak dipublikasikan. Program Pascasarjana Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia, Depok, 2004.

Solo, Tova Maria. Small-scale Entrepreneurs in the Urban Water and Sanitation Market. Environment and Urbanization, Vol. 11, No. 1, April 1999.

Stiglitz, Joseph E. Economics of the Public Sector. Third Edition. New York, W. W. Norton and Company, 2000.

Stottmann, Walter. The Role of the Private Sector in the Provision of Water and Wastewater Services in Urban Areas dalam Juha I. Uitto dan Asit K. Biswas. Water for Urban Areas. Challenges and Perspectives. United Nations University Press, New York, 2000.

Sugiyarto, Guntur, Adam Blake dan M. Thea Sinclair. Optimal Allocation of Commodity Taxation in the Second Best Situation. University of Nottingham Bussiness School, Jubilee Campus, UK. Tanpa Tahun.

Sukirno, Sadono. Pengantar Teori Makro Ekonomi. Edisi Kedua. PT. Raja Grafika Utama, Jakarta, 1994.

Suratman, Eddy. Analisis Dampak Kebijakan Pengembangan Kawasan Perbatasan terhadap Kinerja Perekonomian Kalimantan Barat: Suatu Studi dengan Pendekatan Sistem Neraca Sosial Ekonomi. Disertasi tidak dipublikasikan. Program Studi Ilmu Ekonomi, Pasca Sarjana Fakultas Ekonomi, Universitas Indonesia, Depok, 2004.

Surjadi, Charles. Drinking Water Concessions. Water, Engineering and Development Centre, Lougborough University, 2003.

Tan, N. Rebuilding Malaysia Inc. In-dept Report. Meryll Lynch, New York, 2000.

Thorbecke, E. The Social Accounting Matrix and Consistency Type Planning Models dalam G. Pyatt dan J. I. Round ed. Social Accounting Matrices: A Basis for Planning. World Bank, Washington, 1985.

___________. Social Acoounting Matrices and Social Accounting Analysis dalam Methods of Interregional and Regional Analysis oleh Walter Isard dkk. Ashgate, USA, 1998.

Tim Koordinasi Penanggulangan Kemiskinan Republik Indonesia. Kemiskinan di Indonesia: Perkembangan Data dan Informasi Mutakhir 2002-2004. Jakarta, 2005.

Tim Koordinasi Pengelolaan dan Pengendalian Program Penanggulangan Dampak Pengurangan Subsidi Energi. Program Penanggulangan Dampak Pengurangan Subsidi Energi (PPD-PSE). Jakarta, 2001.

Timmer, C. Peter. The Road to Pro-Poor Growth: the Indonesian Experience in Regional Perspective. Bulletin of Indonesian Economic Studies, Vol. 40, No. 2, 2004.

Tutuko, Kris. Jakarta Water Supply. Jakarta, 2002.

179

Tynan, Nicola. Private Participation in Infrastructure and the Poor: Water and Sanitation. Makalah disampaikan pada Infrastructure for Development: Private Solutions and the Poor. 31 Mei – 2 Juni 2000, Inggris.

Vos, Rob dan Maritza Cabezas. Illusions and Disillusions with Pro-poor Growth. SIDA, 2005.

UN Habitat. Waking Up to Realities of Water and Sanitation Problems of Urban Poor.

Virgiyanti, Tri Dewi. BATAM: Air Mengalir Lewat Kios. Percik, Media Informasi Air Minum dan Penyehatan Lingkungan, Edisi Oktober 2004.

WaterAid. E-WaterAid Volume 33, 22 Juni 2005.

Water Academy. Water for All. An Overview of the Studies Conducted on the Right to Drinking Water and Water Solidarity. January 2004

Water and Sanitation Program. New Designs for Water and Sanitation Transactions. Making Private Sector Participation Work for the Poor. Public-Private Infrastructure Advisory Facility, 2000.

Water Utility Partnership Africa. Better Water and Sanitation for the Urban Poor. Good Practice from Sub Sahara Africa. European Communities and Water Utilities Partnership, Kenya, 2003.

Weitz, Almud dan Richard Franceys ed. Beyond Boundaries. Extending Services to the Urban Poor. Asian Development Bank, 2002.

Winpenny, James. Financing Water for All. Report of the World Panel on Financing Water Infrastructure. World Water Council dan Global Water Partnership, Maret 2003.

World Bank. Agricultural Growth for the Poor. An Agenda for Development. Washington, 2005.

__________. Growth and Poverty. World Bank Poverty Net.

__________. World Development Report 1994: Infrastructure for Development. Oxford University Press, 1994.

__________. Toolkits for Private Participation in Water and Sanitation. Washington DC., 1997.

__________. Urban Poverty in EastAsia. A Review of Indonesia, the Philippines and Vietnam. Urban Sector Development Unit. East Asia Infrastructure Department, September 2003

__________. Indonesia. Enabling Water Utilities to Serve the Urban Poor. Jakarta, Januari 2006.

World Health Organization. Evaluation of the Costs and Benefits of Water and Sanitation Improvements at the Global Level. 2004.

180

Wuryanto, L.E.. Fiscal Decentralization and Economic Performance in Indonesia: An Inter-regional Computable General Equilibrium Approach. Unpublished Ph.D. Dissertation, Cornell University, 1996.

181

LAMPIRAN 1

KONSEP dan DEFINISI 1. Klasifikasi Neraca SNSE

a. Faktor Produksi Faktor produksi dibedakan atas tenaga kerja, dan bukan tenaga kerja

(modal air minum, dan modal lainnya).

b. Institusi Institusi dibedakan dalam 3 klasifikasi yaitu pemerintah, swasta dan rumah tangga.

• Pemerintah pemerintah daerah DKI Jakarta • Swasta swasta yang menjalankan operasinya di DKI Jakarta • Rumah Tangga (RT)

Rumah tangga dibedakan menjadi dua yaitu rumah tangga biasa dan rumah tangga khusus. Pada studi ini hanya konsep rumah tangga biasa yang dipergunakan, dan selanjutnya disebut rumah tangga.

Rumah tangga adalah seorang atau sekelompok orang yang mendiami sebagian atau seluruh bangunan fisik/sensus, dan biasanya makan bersama dari satu dapur. Makan dari satu dapur dimaksudkan sebagai mengurus kebutuhan sehari-hari bersama menjadi satu

Rumah tangga dalam kerangka SNSE DKI Jakarta 2000 ukuran 38x38 dibedakan dalam 3 golongan rumah tangga, sementara pada SNSE ukuran 103x103 maka terdapat 10 golongan rumah tangga.

Tiga golongan RT dirinci berdasarkan (i) 40 persen RT dengan pengeluaran konsumsi terendah, (ii) 40 persen RT dengan pengeluaran konsumsi menengah, dan (iii) 20 persen golongan RT dengan pengeluaran konsumsi tertinggi.

Sepuluh golongan RT dirinci berdasarkan pengelompokan 10 persen RT dengan pengeluaran konsumsi terendah sebagai golongan RT I, 10 persen RT berikutnya sebagai golongan RT II, dan seterusnya. (Statistik Kesejahteraan Rakyat Propinsi DKI Jakarta 2004, BPS Propinsi DKI Jakarta).

c. Sektor Produksi Merupakan penggabungan klasifikasi lapangan usaha pada Tabel I-O DKI

Jakarta Tahun 2000 menjadi 27 kegiatan/sektor produksi pada SNSE DKI Jakarta ukuran 45x45.

182

2. Kategori Sumber Air

a. Air minum adalah sumber air yang berasal dari air yang telah diproses menjadi jernih sebelum dialirkan kepada konsumen melalui instalasi berupa saluran air (Statistik Kesejahteraan Rakyat Propinsi DKI Jakarta 2004, BPS Propinsi DKI Jakarta). Air minum sering disebut juga air ledeng (Keadaan Sosial Ekonomi Penduduk DKI Jakarta 2002, BPS Propinsi DKI Jakarta)

b. Air ledeng lainnya adalah sumber air yang berasal dari perusahaan air minum tetapi cara mendapatkannya tidak dari saluran yang langsung ke rumah tangga tersebut. Misal air dari penjaja keliling, diperoleh dari tetangga (rumah tangga lain) yang tidak dalam satu bangunan fisik (Keadaan Sosial Ekonomi Penduduk DKI Jakarta 2002, BPS Propinsi DKI Jakarta)

c. Sumur/perigi adalah jenis sumber air yang berasal dari dalam tanah yang digali, cara pengambilan airnya dengan menggunakan gayung atau ember baik dengan atau tanpa katrol. Dikategorikan sebagai terlindung bila lingkar mulut sumur dilindungi oleh tembok paling sedikit 0,8 meter di atas tanah dan sedalam 3 meter dibawah tanah dan disekitar mulut sumur terdapat lantai semen sejauh 1 meter dari lingkar luar sumur (Statistik Kesejahteraan Rakyat Propinsi DKI Jakarta 2004, BPS Propinsi DKI Jakarta).

d. Pompa adalah jenis sumber air yang cara pengambilan airnya dengan menggunakan pompa tangan/pompa listrik (Keadaan Sosial Ekonomi Penduduk DKI Jakarta 2002, BPS Propinsi DKI Jakarta). Bila rummah tangga menggunakan sumur tetapi menggunakan pompa untuk menaikkan airnya maka (i) jika permukaan sumur terbuka, dikategorikan sumber air sumur terlindung; (ii) jika permukaan sumur tertutup, dikategorikan sebagai sumber air pompa (Keadaan Sosial Ekonomi Penduduk DKI Jakarta 2002, BPS Propinsi DKI Jakarta)

e. Mata air adalah ari yang berasal dari bumi yang timbul dengan sendirinya di permukaan tanah. Dikategorikan sebagai terlindung bila mata air tersebut terlindung dari air bekas pakai, bekas mandi, mencuci atau lainnya (Keadaan Sosial Ekonomi Penduduk DKI Jakarta 2002, BPS Propinsi DKI Jakarta)

f. Air sungai adalah air yang diperoleh dari sungai (Keadaan Sosial Ekonomi Penduduk DKI Jakarta 2002, BPS Propinsi DKI Jakarta)

g. Air hujan adalah air yang diperoleh dengan cara menampung air hujan (Keadaan Sosial Ekonomi Penduduk DKI Jakarta 2002, BPS Propinsi DKI Jakarta)

h. Lainnya adalah sumber selain yang disebut di atas seperti waduk/danau (Keadaan Sosial Ekonomi Penduduk DKI Jakarta 2002, BPS Propinsi DKI Jakarta)

3. Perusahaan Air Minum adalah perusahaan/usaha yang melakukan kegiatan pengadaan, penjernihan, penyediaan dan penyaluran air minum secara langsung

183

melalui pipa penyalur atau mobil tangki kepada pelanggan ke rumah tangga, industri dan konsumen lainnya dengan tujuan komersil. Perusahaan yang dicakup adalah Perusahaan Air Minum (PAM), Perusahaan Daerah Air Minum (PDAM) dan Badan Pengelola Air Minum (BPAM) maupun perusahaan/usaha swasta lainnya (Statistik Air Bersih 1998-2002, Badan Pusat Statistik)

4. Kategori Fasilitas Air Bersih/Air Minum a. Fasilitas air minum adalah instalasi air minum yang dikelola oleh

PAM/PDAM atau non PAM/PDAM, termasuk sumur pompa. Instalasi yang dikelola oleh non PAM/PDAM dapat menggunkan cara yang sama atau berbeda dengan PAM/PDAM.

b. Sendiri, bila fasilitas air minum hanya digunakan oleh rumah tangga responden saja

c. Bersama, bila fasilitas air minum digunakan oleh rumah tangga bersama dengan beberapa rumah tangga tertentu (paling banyak 5 rumah tangga)

d. Umum, bila fasialitas air minum digunakan oleh rumah tangga mana saja (tidak melihat asal tempat tinggal), baik membayar maupun tidak membayar

e. Tidak ada, bila rumah tangga tidak mempunyai fasilitas air minum tertentu. Misalnya mengambil air langsung dari sungai atau air hujan (Evaluasi Keadaan Rumah Tangga Miskin 2003, BPS Propinsi DKI Jakarta)

5. Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) adalah nilai barang dan jasa yang diproduksi di daerah tertentu dalam satu tahun. Pengertian bruto adalah mengacu pada pemanfaatan faktor produksi yang juga mencakup milik daerah lain dalam proses produksi (Sadono Sukirno, Pengantar Teori Makroekonomi, Edisi Kedua, PT. Raja Grafindo Perkasa, Jakarta, 1994)

6. Pendapatan rumah tangga adalah pendapatan yang diterima oleh rumah tangga bersangkutan, baik yang berasal dari pendapatan kepala rumah tangga maupun pendapatan anggota rumah tangga. Pendapatan rumah tangga berasal dari balas jasa faktor produksi tenaga kerja (upah, gaji, keuntungan, bonus dan lainnya), balas jasa kapital (bunga, dividen, bagi hasil dan lainnya), dan pendapatan yang berasal dari pemberian pihak lain (transfer) (SNSE DKI Jakarta 2000, BPS Propinsi DKI Jakarta)

7. Pengeluaran konsumsi rumah tangga adalah pengeluaran rumah tangga untuk barang dan jasa, tidak termasuk pengeluaran transfer karena sudah tercakup dalam neraca transfer rumah tangga (SNSE DKI Jakarta 2000, BPS Propinsi DKI Jakarta)

8. Tabungan rumah tangga adalah pendapatan rumah tangga yang tidak dikonsumsi habis. Dalam SNSE, tabungan rumah tangga masih merupakan konsep Bruto karena masih mengandung unsur penyusutan barang modal yang digunakan untuk usaha rumah tangga (SNSE DKI Jakarta 2000, BPS Propinsi DKI Jakarta)

9. Pengeluaran konsumsi pemerintah adalah pengeluaran pemerintah untuk barang dan jasa (upah dan gaji, pembelian ATK dan lainnya), tidak termasuk pengeluaran

184

transfer karena sudah tercakup dalam neraca transfer pemerintah (SNSE DKI Jakarta 2000, BPS Propinsi DKI Jakarta)

10. Pendapatan disposebel (Disposable Income) adalah pendapatan yang telah dikurangi pajak (Sadono Sukirno, Pengantar Teori Makroekonomi, Edisi Kedua, PT. Raja Grafindo Perkasa, Jakarta, 1994).

185

LAMPIRAN 2

FUNGSI PENTING dalam MODEL CGE A.1 Fungsi Produksi Cobb-Douglas

Fungsi produksi Cobb_Douglas yang dipergunakan dan diperkirakan berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Cobb dan Douglas (1928) dinyatakan dengan persamaan sebagai berikut:

βαδ KLAQ t= …………………………………..(1) dimana: Q : Output K : Kapital L : Tenaga kerja A : Konstanta keadaan teknologi β : Parameter dengan nilai 10 ≤≤ β α : Parameter dengan nilai 10 ≤≤α ρ : Parameter dengan nilai 1−≥ρ δ : Tingkat perubahan output dari waktu ke waktu dengan input yang tetap

A.2 Fungsi Produksi Elastisitas Substitusi Konstan (Constant Elasticity of Substitution,

CES)

Fungsi ini mengukur proporsi perubahan suatu faktor produksi yang disebabkan oleh perubahan marjinal dari faktor produksi lainnya. Elastisitas substitusi diperkenalkan untuk pertama kalinya secara terpisah oleh Arrow, Chenery, Minhas dan Solow (1961). Fungsi produksi CES dapat dinyatakan dengan persamaan sebagai berikut:

[ ]( ) ( )UELKQ ρρρ ααγ1

1 −−− −+= ………………………….. (2) dimana: Q : Output K : Kapital L : Tenaga kerja γ : Parameter dengan nilai 0>γ α : Parameter dengan nilai 10 ≤≤α ρ : Parameter dengan nilai 1−≥ρ ( )UE : Tingkat kesalahan dengan nilai ( ) 0, =LKUE

Berdasarkan persamaan (1) dapat diturunkan produk marjinal dari modal (marginal

product of capital, MPK) dan produk marjinal dari tenaga kerja (marginal product of labor, MPL) yang masing-masing dinyatakan dengan persamaan sebagai berikut:

186

( ){ }( )

11

1 −−+

−−− −+== ρρρ

ρρ αααγ KLKfMPK K …………………. (3)

( ){ }( )

( ) 11

11 −−+

−−− −−+== ρρρ

ρρ αααγ LLKfMPL L …………………. (4)

CES mengukur persentase perubahan suatu faktor produksi yang disebabkan oleh perubahan marjinal dari faktor produksi lainnya dinyatakan dengan persamaan sebagai berikut:

⎟⎟⎠

⎞⎜⎜⎝

⎟⎠⎞

⎜⎝⎛

−=

K

L

ffd

KLd

ln

lnσ (2.5)

A.3 Fungsi Produksi Elastisitas Transformasi Konstan (Constant Elasticity of

Transformation, CET) Fungsi CET hampir sama dengan fungsi CES, dengan perbedaan mendasar terletak pada nilai parameter ρ yang bernilai positip, berbeda dengan nilai parameter ρ yang negatip pada fungsi CES. A.4 Fungsi Produksi Leontief

Fungsi Produksi Leontief mempergunakan asumsi bahwa output yang akan dihasilkan tergantung kepada komposisi input produksi dengan perbandingan yang selalu sama. Berdasarkan Fungsi Produksi Leontief tersebut apabila diinginkan peningkatan output produksi maka diperlukan peningkatan seluruh input dengan perbandingan yang tetap dan proporsional. A.5 Asumsi Armington Ketika model menjadi terbuka, dibutuhkan perubahan terkait dengan substitusi diantara barang domestik, ekspor dan impor. Masalah ini disebabkan perdagangan dua arah dalam statistik perdagangan yang kemudian dituangkan dalam bentuk data ekspor dan data impor. Sebagai ilustrasi, ekspor beras 100 ton dan impor beras 20 ton pada saat yang bersamaan. Seharusnya kita tidak perlu melakukan impor. Masalah ini diselesaikan dengan melakukan substitusi barang domestik, impor dan ekspor. Barang ekspor dianggap berbeda dengan barang impor.

Formula Armington yang memperlakukan suatu produk sejenis yang diproduksi di negara yang berbeda sebagai produk yang berbeda, perbedaan dari produk tersebut menurut teori di dalam model Hecksher-Ohlin diasumsikan bahwa produk sejenis yang diproduksi di negara berbeda adalah homogen untuk semua negara. Formula ini diambil untuk mengakomodasikan fenomena dalam suatu negara yang mempunyai dua jenis barang, yaitu barang impor maupun domestik adalah jenis barang yang sama (cross hauling)46. 46 Shoven and Whalley (1984)

187

LAMPIRAN 3

SISTEM NERACA SOSIAL EKONOMI

1 Sistem Neraca Sosial Ekonomi (SNSE)

1.1 Pengertian SNSE

SNSE merangkum berbagai variabel sosial dan ekonomi secara kompak dan terpadu untuk memperlihatkan gambaran umum mengenai perekonomian satu negara47 dan keterkaitan antara variabel sosial dan ekonomi pada waktu tertentu (BPS, 1990).

Kerangka SNSE sebagai suatu sistem analisis dapat dipahami dengan mempelajari hubungan timbal balik antara struktur produksi, distribusi pendapatan dari kegiatan produksi serta konsumsi, tabungan dan investasi. 1.2 Prinsip dan Dasar Pemikiran

SNSE dibentuk atas dua prinsip dasar, yaitu (i) sebagai sistem kerangka data yang

bersifat modular yang dapat menghubungkan variabel-variabel ataupun subsistem-subsistem yang terdapat di dalamnya secara terpadu, (ii) sebagai suatu sistem klasifikasi data yang konsisten dan komprehensif, sehingga dapat digunakan sebagai alat analisis ekonomi-sosial terutama yang berkaitan dengan pertumbuhan ekonomi, distribusi pendapatan dan ketenagakerjaan (BPS DKI Jakarta, 2002).

Penyusunan kerangka SNSE dimulai dengan dasar bahwa masyarakat mempunyai kebutuhan dasar yang umumnya dipenuhi dengan pembelian berbagai komoditas. Permintaan efektif terhadap paket kebutuhan tersebut dipenuhi oleh sektor produksi yang menghasilkan berbagai output komoditas. Namun, untuk menghasilkan output tersebut sektor produksi memerlukan faktor-faktor produksi antara lain tenaga kerja yang dipenuhi oleh sektor rumah tangga dan modal dari sektor perbankan. Permintaan turunannya (derived demand) terhadap faktor produksi tenaga kerja memberikan balas jasa berupa upah dan gaji, sedangkan terhadap faktor produksi kapital berupa keuntungan, deviden, bunga dan lainnya.

Dalam SNSE, distribusi pendapatan yang diterima oleh masing masing faktor produksi dirinci menurut sektor ekonomi yang bersangkutan dan disebut sebagai distribusi pendapatan faktorial. Nilai tambah (value added) dihasilkan dari penjumlahan total upah dan gaji ditambah dengan pendapatan kapital, dimana total nilai tambah menunjukkan pendapatan domestrik bruto (PDB).

Pendapatan faktorial diterima oleh pelaku ekonomi seperti rumah tangga, perusahaan dan pemerintah. Kontribusi pada pendapatan rumah tangga ditunjukkan dengan pendapatan faktorial yang diterima oleh rumah tangga. Pendapatan itu dibelanjakan sesuai dengan kebutuhan mereka dan sisanya ditabung dalam sistem perbankan sebagai pembentukan modal atau investasi. Bagi rumah tangga, hal ini disebut sebagai pola pengeluaran rumah tangga. Demikian juga pendapatan faktorial yang diterima oleh pemerintah, setelah dibelanjakan, sisanya ditabung atau digunakan untuk melakukan investasi lain seperti infrastruktur, sistem irigasi dan sebagainya (BPS, 1993). Lebih jelasnya dapat dilihat pada Gambar 4.1. 47 Lingkup SNSE tidak hanya suatu negara tetapi juga dapat mencakup sistem perekonomian yang lebih kecil seperti propinsi, kabupaten, kota. Bahkan dapat juga mencakup sistem perekonomian yang lebih besar dari negara misalnya benua atau region seperti Asia Tenggara.

188

Gambar C.1 Sistem Modular SNSE

Investasi Investasi

Konsumsi Pemerintah

Sumber: BPS DKI Jakarta, 2002 Dalam kerangka SNSE terdapat 3 tahap pemetaan yang dilakukan untuk membedakan

proses, yaitu (i) struktur produksi, (ii) distribusi nilai tambah yang dihasilkan oleh sektor produksi (distribusi pendapatan faktorial), dan (iii) pendapatan, konsumsi, tabungan dan investasi (distribusi pendapatan dan pengeluaran rumah tangga).

1.3 Kerangka Dasar SNSE

SNSE merupakan sebuah matriks yang merangkum neraca sosial dan ekonomi secara

menyeluruh. Kumpulan-kumpulan neraca (account) tersebut dikelompokkan menjadi dua kelompok, yakni kelompok neraca-neraca endogen dan kelompok neraca-neraca eksogen. Secara garis besar kelompok neraca-neraca endogen dibagi dalam tiga blok, yaitu (i) blok neraca-neraca faktor produksi (blok faktor produksi), (ii) blok neraca-neraca institusi (blok institusi), dan (iii) blok neraca-neraca aktivitas produksi (blok kegiatan produksi).

Setiap neraca dalam SNSE disusun dalam bentuk baris dan kolom. Vektor baris menunjukkan perincian penerimaan, sedangkan vektor kolom menunjukkan perincian pengeluaran. Untuk kegiatan yang sama, jumlah baris sama dengan jumlah kolom, dengan kata lain jumlah penerimaan sama dengan pengeluaran. Untuk setiap baris, kolom 5 merupakan penjumlahan dari kolom 1,2,3 dan 4. Demikian pula untuk setiap kolom, baris 5 merupakan penjumlahan dari baris 1,2,3 dan 4. Karena jumlah penerimaan sama dengan pengeluaran, maka baris 5 merupakan transpose dari kolom 5. Hasil selengkapnya dapat dilihat pada Tabel 4.1

Di dalam tabel SNSE di atas terdapat beberapa matriks. Pertama. Matriks T yang merupakan matriks transaksi antar blok dalam neraca endogen. Kedua. Matriks X yang

Kebutuhan Dasar

Pengeluaran Rumah Tangga

Permintaan Akhir

Distribusi Pendapatan Rumah Tangga

Pemerintah

PDB dan Distribusi Pendapatan

Ekspor, Impor, dan Neraca Pembayaran

Kegiatan Produksi

189

menunjukkan pendapatan neraca endogen dari neraca eksogen. Ketiga. Matriks L yang menunjukkan pengeluaran neraca endogen untuk neraca eksogen, disebut juga leakages. Keempat. Matriks Y yang merupakan pendapatan total dari neraca endogen. Kelima. Matriks Y’ yang merupakan pengeluaran total dari neraca endogen.

Matriks T sebagai matriks transaksi antar blok di dalam neraca endogen dapat ditulis sebagai berikut.

⎥⎥⎥

⎢⎢⎢

⎡=

3.32.3

2.21.2

3.1

00

00

TTTT

TT

Sebagai salah satu submatriks dari SNSE, matriks T juga menggambarkan transaksi penerimaan dan pengeluaran, dengan lingkup yang lebih sempit, yakni di dalam neraca endogen.

Tabel C.1

Kerangka Dasar SNSE

Pengeluaran Neraca Endogen

Faktor Produksi

Institusi Kegiatan Produksi

Neraca Eksogen Total

1 2 3 4 5 Faktor Produksi

1

0

0

T13 Distribusi

Nilai Tambah

X1 Pendapatan

Eksogen Faktor

Produksi

Y1 Jumlah

Pendapatan Faktor

Produksi

Institusi

2

T21 Pendapatan Institusi dari

Faktor Produksi

T22 Transfer

Antar Institusi

0

X2 Pendapatan

Institusi Dari

Eksogen

Y2 Jumlah

Pendapatan Institusi

N e r a c a E n d o g e n

Kegiatan Produksi

3

0

T32 Permintaan

Akhir Domestik

T33 Transaksi

Antar Kegiatan

(I-O)

X3 Ekspor

Dan Investasi

Y3 Jumlah Output

Kegiatan Produksi

Neraca

Eksogen

4

L1 Pengeluaran

Eksogen Faktor

Produksi

L2 Tabungan

L3 Impor dan

pajak Tak langsung

R Transfer

Antar Eksogen

Jumlah

Pendapatan Eksogen

P E N E R I M A A N

Jumlah

5

Y1’ Jumlah

Pengeluaran Faktor

Produksi

Y2’ Jumlah

Pengeluaran Institusi

Y3’ Jumlah

Pengeluaran Kegiatan Produksi

Jumlah

Pengeluaran Eksogen

Sumber: diolah dari Thorbecke, 1988

190

T32

T21

T13

Tabel C.2

Ringkasan Kerangka Dasar Sistem Neraca Sosial Ekonomi

Neraca Penerimaan Pengeluaran Faktor Produksi

13.11 XTY += 11.2'

1 LTY +=

Institusi 22.21.22 XTTY ++= 22.32.2

'2 LTTY ++=

Sektor Produksi 33.32.33 XTTY ++= 33.33.1

'3 LTTY ++=

Sumber: Manaf, 2000

Apabila dibaca per baris, matriks T menunjukkan penerimaan salah satu blok dari blok yang lain. Pada baris satu, 3.1T menunjukkan penerimaan faktor produksi dari kegiatan produksi. Pada baris dua, 1.2T menunjukkan penerimaan institusi dari faktor produksi dan 2.2T menunjukkan penerimaan institusi dari institusi itu sendiri. Pada baris tiga, 2.3T menunjukkan penerimaan kegiatan produksi dari institusi dan 3.3T menunjukkan penerimaan kegiatan produksi dari kegiatan produksi itu sendiri. Sebaliknya jika dibaca per kolom, matriks T menunjukkan pengeluaran salah satu blok untuk blok yang lain. Pada kolom satu, 1.2T menunjukkan pengeluaran faktor produksi untuk institusi. Pada kolom dua, 2.2T menunjukkan pengeluaran institusi untuk institusi itu sendiri dan 2.3T menunjukkan pengeluaran institusi untuk kegiatan produksi. Pada kolom tiga, 3.1T menunjukkan pengeluaran kegiatan produksi untuk faktor produksi dan 3.3T menunjukkan pengeluaran kegiatan produksi untuk kegiatan produksi itu sendiri.

Gambar C.2

Penyederhanaan Pola Transaksi Antar Blok dalam SNSE

Pola Pengeluaran Nilai Tambah Konsumsi

Distribusi Pendapatan

Sumber: Thorbecke (1988)

Aktifitas Produksi

T33

Institusi (termasuk distri-busi pendapatan rumah tangga)

T22

Faktor Produksi (distribusi

pendapatan dari faktor produksi)

T22

191

Ditinjau dari sama tidaknya blok yang bertransaksi, maka di dalam matriks transaksi T diatas terdapat transaksi yang terjadi antar blok yang berbeda seperti 2.31.23.1 ,, TTT dan yang terjadi di dalam blok yang sama seperti 2.2T dan 3.3T . Hubungan tersebut dapat dilihat pada Gambar 4.2. Tanda panah dalam Gambar 4.2 menunjukkan aliran uang.

Penjelasan lebih rinci dari tiap matriks sebagai berikut. (i) Pada baris satu, 3.1T menunjukkan alokasi nilai tambah yang dihasilkan oleh berbagai

sektor produksi ke faktor produksi, sebagai balas jasa dari penggunaan faktor produksi tersebut. Misalnya upah dan gaji sebagai balas jasa bagi penggunaan faktor produksi tenaga kerja.

(ii) Pada baris dua, 1.2T menunjukkan alokasi pendapatan faktor produksi ke berbagai institusi, yang umumnya terdiri dari rumah tangga, pemerintah dan perusahaan. Matriks ini merekam distribusi pendapatan dari faktor produksi ke berbagai institusi. 2.2T menunjukkan transfer pembayaran antar institusi. Misalnya pemberian subsidi dari pemerintah ke rumah tangga.

(iii) Pada baris ketiga, 2.3T menunjukkan permintaan terhadap barang dan jasa oleh institusi. Artinya jumlah uang yang dibayarkan institusi ke sektor produksi untuk membeli barang dan jasa yang dikonsumsi. 3.3T menunjukkan permintaan barang dan jasa antarindustri atau transaksi antarsektor produksi.

2 Sistem Neraca Sosial Ekonomi (SNSE) DKI Jakarta Tahun 200048 2.1 Konsep dan Definisi

Secara garis besar konsep dan definisi dari klasifikasi kerangka SNSE DKI Jakarta

Tahun 2000 sebagai berikut:

a. Neraca Faktor Produksi Neraca faktor produksi dibedakan atas tenaga kerja dan bukan tenaga kerja (atau modal). Tenaga kerja dibedakan menurut jenis dan status pekerjaan dari tenaga kerja, yang terdiri dari tenaga kerja pertanian, tenaga kerja produksi, operator alat angkutan, manual (buruh kasar), tenaga kerja tata-usaha, penjualan dan jasa-jasa, tenaga kepemimpinan, ketatalaksanaan, militer, profesional dan teknisi, ekivalen tenaga kerja49.

Faktor produksi tenaga kerja menerima upah dan gaji (termasuk imputasi upah dan gaji) sebagai balas jasa bagi penyertaan faktor produksi tenaga kerja dalam kegiatan ekonomi. Sementara faktor produksi modal menerima keuntungan, dividen, bunga, sewa rumah sebagai balas jasa bagi penyertaan faktor produksi modal dalam kegiatan ekonomi.

48 Dikutip dengan beberapa penyesuaian dari Sistem Neraca Sosial Ekonomi DKI Jakarta 2000. BPS DKI Jakarta, 2002. 49 Ekivalen Tenaga Kerja (ETK) adalah sepadan dengan satu tenaga kerja yang bekerja selama 40 jam seminggu. Ukuran ETK dimaksudkan untuk mengakomodasi tenaga kerja yang bekerja di beberapa sektor atau untuk tenaga kerja yang bekerja kurang atau lebih dari jam kerja normal (40 jam seminggu). Ukuran ini berbeda dengan yang digunakan dalam tabel I-O yang menggunakan ukuran orang (BPS DKI Jakarta, 2002)

192

b. Neraca Institusi Neraca institusi dibedakan dalam tiga klasifikasi yaitu pemerintah (DKI Jakarta), swasta, dan rumah tangga. Pada SNSE DKI Jakarta 2000, rumah tangga dikelompokkan dalam tiga golongan pada SNSE ukuran 38x38, dan 10 golongan pada SNSE ukuran 103x103. Masing-masing klasifikasi neraca institusi didefinisikan sebagai (i) pemerintah adalah pemerintah DKI Jakarta, (ii) swasta adalah swasta yang menjalankan operasi bisnis di DKI Jakarta, dan (iii) rumah tangga adalah sekelompok orang yang tinggal dalam satu atap dan makan dari satu dapur, yang bertempat tinggal di DKI Jakarta (BPS DKI Jakarta, 2002). Pada SNSE ukuran 38x38, tiga golongan rumah tangga adalah (i) 40 persen rumah tangga dengan pengeluaran konsumsi paling rendah; (ii) 40 persen golongan rumah tangga dengan pengeluaran konsumsi menengah; (iii) 20 persen golongan rumah tangga dengan pengeluaran konsumsi tertinggi. Pada SNSE ukuran 103x103, rumah tangga diklasifikasikan dalam 10 golongan berdasar pengelompokan 10 persen rumah tangga dengan tingkat konsumsi terendah sebagai golongan I; 10 persen rumah tangga berikutnya sebagai golongan II, dan seterusnya hingga 10 persen rumah tangga terakhir dengan tingkat konsumsi tertinggi sebagai golongan X. c. Neraca Sektor Produksi Klasifikasi sektor produksi dalam kerangka SNSE DKI Jakarta 2000 merupakan penggabungan klasifikasi lapangan usaha pada tabel I-O DKI Jakarta 2000. Pada SNSE ukuran 38x38, lapangan usaha digabungkan menjadi hanya 9 sektor produksi, sementara pada SNSE ukuran 103x103 digabungkan menjadi 26 sektor produksi. d. Neraca Lainnya Neraca lain meliputi marjin perdagangan dan pengangkutan, neraca kapital, pajak tidak langsung dan neraca luar negeri (luar DKI Jakarta). 2.2 Klasifikasi

Terdapat 3 klasifikasi SNSE DKI Jakarta 2000, yaitu (i) klasifikasi agregat ukuran

12x12, (ii) klasifikasi agregat ukuran 38x38, dan (iii) klasifikasi agregat ukuran 103x103. Pada masing-masing klasifikasi SNSE DKI Jakarta 2000 tersebut terdapat empat neraca utama, yaitu (a) faktor produksi, (b) institusi, (c) sektor produksi, (d) neraca lainnya. Perbedaan masing-masing klasifikasi ditentukan oleh perbedaan rinciannya. Selengkapnya pada Lampiran 4.

Lampiran 4. Sistem Neraca Sosial Ekonomi DKI Jakarta, 2000 (45x45; dalam Rp juta)LABOR CAPAM CAPNAM VEPOIHH VEPOIIHH POORIHH POORIIHH MIDIHH MIDIIHH MIDIIIHH HIGHIHH HIGHIIHH VEHIGHH COMPANY GOVERN AGRI PLANT LIVESTOC

LABOR 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 81500.43 18973.74 14089.16CAPAM 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00CAPNAM 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 158717.64 24750.28 15966.03VEPOIHH 1103375.70 0.00 703292.66 533.30 1070.60 868.25 1305.26 3672.63 4732.04 4566.80 6455.42 10018.16 23720.80 17355.82 26777.56 0.00 0.00 0.00VEPOIIHH 2177006.66 0.00 481041.23 935.88 1878.77 1523.68 2290.57 6445.04 8304.17 8014.20 11328.51 17580.70 41627.22 38926.63 41236.28 0.00 0.00 0.00POORIHH 2596843.46 0.00 707810.81 841.83 1689.97 1370.56 2060.38 5797.35 7469.65 7208.82 10190.06 15813.95 37443.94 2826.52 49588.07 0.00 0.00 0.00POORIIHH 3633268.02 0.00 1117052.71 820.38 1646.91 1335.64 2007.89 5649.65 7279.34 7025.15 9930.44 15411.05 36489.96 32604.15 89803.99 0.00 0.00 0.00MIDIHH 4064596.81 0.00 1324344.80 1853.70 3721.30 3017.96 4536.95 12765.72 16448.10 15873.76 22438.43 34822.18 82451.23 4958.81 71704.34 0.00 0.00 0.00MIDIIHH 5143752.46 0.00 1854663.07 1264.99 2539.47 2059.50 3096.08 8711.52 11224.43 10832.49 15312.32 23763.18 56265.97 62064.42 141504.51 0.00 0.00 0.00MIDIIIHH 6679774.06 0.00 2508930.62 1351.21 2712.56 2199.88 3307.11 9305.31 11989.50 11570.84 16356.02 25382.90 60101.10 29752.84 163838.97 0.00 0.00 0.00HIGHIHH 7653883.89 0.00 3224056.68 3833.99 7696.73 6242.02 9383.73 26403.24 34019.47 32831.55 46409.21 72022.42 170533.18 163144.74 107050.72 0.00 0.00 0.00HIGHIIHH 9716699.87 0.00 4567797.79 2546.81 5112.72 4146.40 6233.34 17538.92 22598.16 21809.06 30828.31 47842.44 113280.33 415548.00 453234.93 0.00 0.00 0.00VEHIGHH 31077055.30 0.00 21436827.23 2550.57 5120.26 4152.52 6242.55 17564.81 22631.52 21841.26 30873.82 47913.06 113447.55 1164005.48 336633.55 0.00 0.00 0.00COMPANY 0.00 168116.54 83118640.63 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 220284.77 0.00 0.00 0.00 0.00GOVERN 0.00 7499.97 614047.80 3495.96 5028.23 8067.98 11618.48 8211.78 34627.35 14301.20 38569.60 71545.66 131656.32 657877.40 1575869.17 0.00 0.00 0.00AGRI 0.00 0.00 0.00 8837.39 15430.29 19653.53 21782.34 26829.13 36757.61 42768.53 52967.23 66160.91 108813.04 0.00 0.00 3525.54 132.25 366.15PLANT 0.00 0.00 0.00 703.77 1188.73 1557.08 1514.25 1965.02 2705.65 3485.19 3546.22 4234.58 6563.35 0.00 0.00 3.28 1116.00 16.60LIVESTOC 0.00 0.00 0.00 963.18 1626.89 2131.02 2072.40 2689.33 3702.95 4769.82 4853.35 5795.43 8982.58 0.00 0.00 554.86 256.74 156.11FISHERY 0.00 0.00 0.00 841.68 1895.13 2675.23 3038.88 4049.07 5548.98 6946.89 8558.33 11456.01 21872.96 0.00 0.00 8.03 0.00 12.78MINE 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.22FOODTOB 0.00 0.00 0.00 112556.59 159682.55 208937.87 228764.40 272869.25 354835.33 459007.27 509186.30 639136.85 1127327.61 0.00 0.00 0.00 0.00 8709.24TEXLEATH 0.00 0.00 0.00 42169.48 59481.95 85453.64 106058.09 106470.34 165009.72 218295.92 255408.34 377227.96 820429.79 0.00 0.00 724.14 26.71 6.06CHEBSRUB 0.00 0.00 0.00 20513.93 26938.42 34870.30 40065.78 47437.78 62645.41 81502.62 90975.19 111939.72 230729.04 0.00 0.00 10847.83 2006.53 1338.86MACHINEQ 0.00 0.00 0.00 310.76 2907.14 6465.87 6916.98 4450.93 16300.02 47175.82 69039.49 132876.21 976778.01 0.00 0.00 174.90 38.76 1230.60BBMBBG 0.00 0.00 0.00 3207.06 605.77 1347.31 1441.31 927.45 3396.48 9830.17 14385.97 27687.82 203534.19 0.00 0.00 258.73 14.08 1.04PAPWOMET 0.00 0.00 0.00 5590.58 10751.04 14961.42 21509.93 26087.61 45667.71 55348.26 76003.21 116340.32 290961.17 0.00 0.00 1120.00 1112.44 188.52LIGAS 0.00 0.00 0.00 17099.85 22295.19 29616.25 33822.37 45499.13 60685.15 82239.28 99650.74 140013.45 479244.53 0.00 0.00 2.50 299.25 153.57WATPAM 0.00 0.00 0.00 2002.45 3271.91 3573.74 4585.03 4902.73 6913.92 9572.46 9933.09 12209.38 29139.51 0.00 0.00 0.00 0.34 33.86WATNPAM 0.00 0.00 0.00 705.72 776.41 949.69 1352.34 1581.38 2268.60 3399.21 4199.71 5870.27 15012.67 0.00 0.00 0.00 0.14 0.00COSTRUC 0.00 0.00 0.00 18.77 37.54 61.35 560.49 459.92 966.44 598.04 1195.06 3545.97 26718.50 0.00 0.00 1607.79 499.65 483.11TRADE 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 963195.64 158757.53 157407.26HOTEL 0.00 0.00 0.00 11711.57 26769.30 15601.83 14459.23 15288.97 34944.28 37161.45 91910.66 157052.02 970197.41 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00REST 0.00 0.00 0.00 591155.79 621836.82 801287.01 886860.17 1003138.68 1302374.76 1748906.02 1815220.24 2403846.44 4208878.44 0.00 0.00 2058.94 0.00 280.26TRANS 0.00 0.00 0.00 83697.09 120508.55 157451.74 189411.35 241887.03 350279.69 411816.90 452964.29 574411.38 1031177.94 0.00 0.00 35145.21 5824.48 5759.75AIRSEA 0.00 0.00 0.00 27722.25 39914.98 52151.35 62737.05 80118.11 116020.05 136402.48 150031.36 190257.21 340836.73 0.00 0.00 35398.96 5834.59 5786.22TRANSSEV 0.00 0.00 0.00 20066.24 28891.72 37748.79 45411.05 57992.01 83978.97 98732.41 108597.43 137714.16 246116.64 0.00 0.00 11068.87 1812.65 1798.00COMSEV 0.00 0.00 0.00 2740.66 3709.15 6946.09 13601.44 40187.68 60885.21 108389.35 187927.70 327047.61 885735.08 0.00 0.00 330.37 54.02 28.62BANKOSEV 0.00 0.00 0.00 1973.78 95023.33 22839.44 43705.09 7613.15 174538.40 41731.31 24249.28 355280.10 15358791.57 0.00 0.00 550.54 13.09 461.73RENTSEV 0.00 0.00 0.00 209664.60 276870.03 364560.57 420620.50 549779.85 747306.49 962713.24 1123372.15 1592886.47 4231680.71 0.00 0.00 399.83 56.35 281.10GOVSEV 0.00 0.00 0.00 20007.92 29154.39 37829.18 45548.08 61095.21 82412.00 113340.71 152381.92 256469.94 844173.79 0.00 9361349.90 211.42 116.36 28.24SOSSEV 0.00 0.00 0.00 38803.03 70837.13 100493.37 131592.87 168371.93 379858.51 410801.75 528610.71 748238.37 1728483.06 0.00 0.00 87.30 0.00 293.45HHSEV 0.00 0.00 0.00 71716.08 81649.83 87148.46 99812.67 150560.02 212938.22 264311.61 427633.89 824455.82 4828618.12 0.00 0.00 1183.66 426.16 54.14CAPACC 0.00 0.00 0.00 69482.80 106971.38 198064.66 333792.15 393248.25 459527.65 577829.91 843096.31 1354517.88 1202048.14 9108855.68 767117.91 0.00 0.00 0.00INTXSUB 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 31.72 7.03 3.33ROW 12051972.18 0.00 7076243.62 529721.29 995096.56 1120539.72 2149454.64 2227295.56 2384289.68 3434585.17 4213607.25 4466778.69 13197245.24 175483738.08 805654.00 12700.52 2264.66 6181.99TOTAL 85898228.41 175616.51 128734749.65 1914012.93 2842339.65 3449900.90 4962573.22 5664861.49 7338081.61 9527536.92 11558197.56 15425566.67 54287107.42 187401943.34 13991363.90 1321408.65 224393.83 221116.00

193

LABORCAPAMCAPNAMVEPOIHHVEPOIIHHPOORIHHPOORIIHHMIDIHHMIDIIHHMIDIIIHHHIGHIHHHIGHIIHHVEHIGHHCOMPANYGOVERNAGRIPLANTLIVESTOCFISHERYMINEFOODTOBTEXLEATHCHEBSRUBMACHINEQBBMBBGPAPWOMETLIGASWATPAMWATNPAMCOSTRUCTRADEHOTELRESTTRANS AIRSEATRANSSEVCOMSEVBANKOSEVRENTSEVGOVSEVSOSSEVHHSEVCAPACCINTXSUBROWTOTAL

Lanjutan Lampiran 4 Sistem Neraca Sosial Ekonomi DKI Jakarta, 2000 (45x45; dalam Rp juta)

FISHERY MINE FOODTOB TEXLEATH CHEBSRUB MACHINEQ BBMBBG PAPWOMET LIGAS WATPAM WATNPAM COSTRUC TRADE HOTEL REST TRANS AIRSEA TRANSSEV128427.32 112333.95 1666730.94 3900118.31 2397508.82 4549128.23 13634.88 2835232.37 1631068.72 127325.74 311.87 8866544.65 16196910.60 1073075.74 4457519.31 3111265.23 1025741.74 598166.77

0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 175616.51 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00155436.54 1248092.55 3178448.49 6955554.15 4019017.24 9123076.72 66228.46 4205321.07 2957599.28 0.00 99213.12 11289174.53 17912479.11 1332444.63 3806259.71 1621119.37 1437696.81 1505947.91

0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.000.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.000.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.000.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.000.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.000.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.000.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.000.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.000.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.000.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.000.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.000.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.000.31 0.00 538543.61 7658.56 12044.50 0.00 0.00 608.60 0.44 0.02 0.00 0.00 0.00 1167.55 259256.10 0.00 0.00 0.00

132.54 36.59 0.00 0.00 10148.72 118.57 0.00 23288.46 0.01 0.01 0.00 111988.54 0.00 1167.36 14123.24 0.36 0.00 0.007.04 0.00 98727.27 1998.56 0.00 0.00 0.00 0.00 0.23 0.06 0.00 0.00 0.03 0.00 58109.41 0.15 0.00 0.00

7033.91 0.00 105299.75 0.00 74.08 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.01 276775.58 0.00 0.00 0.000.00 35.12 12.78 0.00 181.16 153.93 26.11 3179.96 5766.30 0.00 0.00 7056.07 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00

7364.83 0.00 2172376.70 4302.54 16797.67 0.00 0.00 966.05 3.85 0.31 0.00 0.00 4243.41 105622.35 4060213.84 0.00 52617.38 0.002214.43 15276.22 16187.94 6276535.32 16450.97 5667.32 240.37 35074.92 15633.33 744.34 0.00 8834.96 109089.48 27792.66 98548.00 9274.60 25194.36 11397.15954.82 19942.99 236045.42 443692.36 2685009.03 623938.45 504.12 494472.27 26403.34 43283.70 0.00 960033.41 422136.38 17346.87 74066.28 28966.87 49707.24 3032.75

2129.79 62335.36 15011.78 64069.00 50812.21 6926031.68 343.61 183254.94 500214.17 6129.71 0.00 808581.15 162943.81 9061.13 38461.24 525801.34 77296.31 12874.494978.41 11572.53 33388.10 91934.35 35627.93 63240.79 1038.11 98249.33 310858.93 2080.58 0.00 262637.61 132339.40 9438.22 95516.33 256095.93 126067.53 17277.87745.25 8666.42 206165.64 199039.24 107927.57 1452624.61 252.48 2224226.76 66748.74 8283.57 10.19 4720963.13 412458.14 34246.07 175813.28 19749.86 30632.43 11729.72752.32 2113.01 391415.80 277953.38 178444.29 346518.67 432.51 518033.25 897533.75 17883.00 0.00 155968.80 818276.28 264681.88 410952.26 39521.36 30114.59 39587.3568.52 784.74 31115.56 39213.05 39658.43 42905.58 6.53 49360.41 48.43 6381.37 926.11 14296.83 15775.46 28108.31 24018.65 3907.51 22644.69 7427.810.24 0.00 9161.19 7795.55 7455.78 18140.48 1.88 9812.85 2.71 0.00 0.00 47.18 923.60 4643.49 2219.32 0.00 0.00 0.00

5766.61 53849.65 6221.00 4024.00 0.00 0.00 0.00 0.00 259987.62 14025.53 12.99 71168.39 385464.02 71949.85 130397.46 33981.47 67794.73 90010.38277225.53 18123.91 2558813.75 5864794.54 3820776.09 12753019.26 1839449.59 7894616.15 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00

0.00 1177.88 1094.65 1241.33 895.37 747.99 0.10 739.14 2901.90 873.37 0.00 10350.00 47658.47 23664.41 55531.23 5822.61 5308.47 35144.606398.36 5789.85 2043.10 18200.66 4317.53 18885.70 0.26 30481.70 20353.25 3838.14 0.00 116284.51 702568.12 14812.98 216262.56 106523.68 18718.22 14807.18

10105.05 36017.08 99725.82 227436.73 150206.79 476387.87 66967.78 342145.25 35788.36 3737.07 1.15 82125.02 657199.48 5166.22 21910.21 68318.78 4963.89 3315.1110289.70 5910.28 96327.58 229588.65 143350.50 475330.46 67603.71 292706.87 51578.78 57.39 0.00 1659.97 124589.09 485.54 9.62 24552.88 56241.26 3638.083165.28 4248.97 34273.38 82478.39 54064.25 153997.14 21004.57 99724.90 1178.70 44.43 0.00 4313.65 87878.10 4374.29 30213.97 225598.68 185467.15 103750.10299.35 3712.65 71846.67 98890.13 168664.06 143050.19 957.22 245148.04 65196.48 1850.94 0.00 116540.42 650296.18 63730.56 231958.57 43889.27 56577.23 123425.35

2435.52 240553.95 285060.56 1316817.56 269837.23 1625824.57 829.83 335295.14 90507.71 8412.95 1.03 912278.39 1749525.71 273839.03 285411.16 193311.26 293988.62 18815.32181.82 113230.42 179253.44 1210557.17 472096.27 977160.02 44.59 351733.29 550309.07 3502.88 4.31 1274577.71 1283642.39 122249.59 326828.60 66177.19 122975.30 183795.54925.00 0.00 7617.16 0.00 0.00 48549.29 0.00 0.00 80895.28 2527.39 0.93 26790.27 7859.49 47587.44 98991.37 47507.36 12152.29 19943.76597.02 6898.69 37652.41 105547.44 85355.97 73689.04 7.99 60019.63 23260.22 590.20 0.00 86200.43 52419.10 105950.89 91380.96 12142.39 15948.67 20578.61

1293.11 25773.92 65190.70 53826.67 54403.96 100355.05 192.06 60539.18 5524.86 2802.54 0.00 97657.34 113192.91 16036.54 10198.36 289267.05 7513.34 23914.050.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00

181.29 4246.29 24130.02 32059.19 -2600.54 57876.26 3.07 24962.26 -2108635.13 1478.22 0.00 118782.90 149979.02 71441.96 370026.65 28156.25 11394.67 7936.7439309.39 395968.63 7380895.59 6380233.13 4402449.83 11851377.26 3438.05 6240392.27 2325178.56 41263.72 1.31 9011044.49 2199918.28 290301.37 4408203.50 1701743.85 1257120.73 125898.08

668419.30 2396691.65 19548776.80 33895559.96 19200975.71 51907795.13 2083207.88 26659585.06 7815907.89 472733.69 100483.01 39135900.35 44399766.06 4020386.94 20129176.77 8462695.30 4993877.65 2982414.72

194

LABORCAPAMCAPNAMVEPOIHHVEPOIIHHPOORIHHPOORIIHHMIDIHHMIDIIHHMIDIIIHHHIGHIHHHIGHIIHHVEHIGHHCOMPANYGOVERNAGRIPLANTLIVESTOCFISHERYMINEFOODTOBTEXLEATHCHEBSRUBMACHINEQBBMBBGPAPWOMETLIGASWATPAMWATNPAMCOSTRUCTRADEHOTELRESTTRANS AIRSEATRANSSEVCOMSEVBANKOSEVRENTSEVGOVSEVSOSSEVHHSEVCAPACCINTXSUBROWTOTAL

Lanjutan Lampiran 4 Sistem Neraca Sosial Ekonomi DKI Jakarta, 2000 (45x45; dalam Rp juta)

COMSEV BANKOSEV RENTSEV GOVSEV SOSSEV HHSEV CAPACC INTXSUB ROW TOTAL2042336.59 11497395.09 6812199.88 5833639.47 3255546.52 3391181.47 0.00 0.00 260320.87 85898228.41

0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 175616.513178628.27 15683659.06 11951690.34 955420.85 1245449.95 5114992.58 0.00 0.00 19492364.96 128734749.65

0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 6267.93 1914012.930.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 4200.11 2842339.650.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 2945.53 3449900.900.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 2247.94 4962573.220.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 1327.40 5664861.490.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 1027.20 7338081.610.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 964.00 9527536.920.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 685.99 11558197.560.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 349.59 15425566.670.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 247.94 54287107.420.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 103894901.40 187401943.340.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 -677796.72 11486743.72 13991363.900.00 0.00 0.10 11512.77 21691.59 0.00 0.00 0.00 64900.56 1321408.650.00 1.16 0.96 37.47 4793.73 8.09 17.50 0.00 29930.80 224393.830.00 0.00 0.00 1934.67 3839.72 0.00 1753.42 0.00 16190.78 221116.000.00 0.00 0.00 4100.39 58.19 0.00 0.24 0.00 208173.18 668419.300.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 2380280.00 2396691.650.80 0.44 0.69 63346.58 208563.14 1494.94 29604.41 0.00 8740243.61 19548776.80

10092.28 9797.96 54832.80 92103.89 122480.57 347717.26 350004.44 0.00 23997612.25 33895559.9610873.00 16110.73 425585.68 483567.39 581810.64 272072.39 106415.12 0.00 10413193.05 19200975.7162172.67 25701.51 479773.72 214767.61 72543.76 198088.46 21841950.41 0.00 18302779.78 51907795.1327584.24 18605.62 125229.41 52153.09 24615.08 16039.23 1.88 0.00 0.00 2083207.88

117221.71 325818.83 396861.07 574821.08 322362.83 73943.78 1552300.25 0.00 12950330.20 26659585.06159470.10 351496.89 866211.71 393493.69 217408.04 427021.33 2.37 0.00 0.00 7815907.89

8878.89 2642.60 22040.87 6936.34 13246.54 6579.45 -377.41 0.00 0.00 472733.69298.33 141.64 960.98 729.70 312.62 179.26 1540.07 0.00 0.00 100483.01

510413.12 376623.47 1471866.40 1016219.18 120899.34 60776.79 34347695.72 0.00 0.00 39135900.350.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 883.68 0.00 8092703.13 44399766.06

27171.33 46019.48 124239.76 48532.96 20011.90 4942.00 4643.49 0.00 2176577.78 4020386.9434341.24 90432.09 166061.74 451023.84 36339.38 1349.97 2219.32 0.00 2661279.82 20129176.7717068.52 96752.52 83224.05 69884.75 12145.96 9530.57 0.00 0.00 2222235.87 8462695.3021749.10 1154.16 33661.76 34275.01 2198.41 67.62 6.00 0.00 2073633.89 4993877.6533949.96 6391.68 62946.14 146697.95 7932.70 2614.67 0.00 0.00 746176.73 2982414.72

476388.17 1028217.01 763352.83 274957.55 122803.88 105105.56 298.33 0.00 2344149.15 8838888.77171614.32 5875120.29 3710216.64 244801.12 99114.09 48808.08 141.64 0.00 5521562.92 39700895.45530210.01 2508612.44 2059004.44 263662.94 512068.34 312873.94 960.98 0.00 9444609.07 33350513.6576491.34 51702.04 352890.68 610842.94 206706.13 11061.95 729.70 0.00 665892.87 13381783.7453914.69 60551.96 506452.32 26457.42 385584.27 39184.83 25418.36 0.00 2574920.63 8757195.6212419.74 62528.63 383849.69 68924.13 42195.62 22187.31 43860.82 0.00 2522578.45 11136734.71

0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 55903343.01 71317895.7323738.68 132209.74 101608.48 9.74 82767.61 36905.74 0.00 0.00 153502.09 -677796.72

1231861.67 1433208.41 2395750.51 1436929.22 1011705.07 632007.44 13007824.99 0.00 95287239.01 404648633.218838888.77 39700895.45 33350513.65 13381783.74 8757195.62 11136734.71 71317895.73 -677796.72 404648633.21

195

196

LAMPIRAN 5

PENYESUAIAN SISTEM NERACA SOSIAL EKONOMI

Tabel E.1

Penyesuaian Neraca Faktor Produksi Berdasar Ukuran SNSE

103x103 38x38 12x12 CGE Pertanian* [1], [2] Produksi, Operator alat angkutan, Buruh kasar* [3], [4] Tata usaha, Penjualan, Jasa-Jasa* [5], [6]

Tenaga

Kerja

Kepemimpinan, Ketatalaksanaan, Militer, Profesional, Teknisi* [7], [8]

Tenaga Kerja [1]

Tenaga Kerja [1]

Tenaga Kerja [1] Modal Air Minum perpipaan** [2] Bukan

Tenaga Kerja

Modal [9]

Modal [2]

Modal [2]

Modal Bukan Air Minum perpipaan** [3]

Sumber: Diolah dari SNSE DKI Jakarta 2000.

Keterangan: *Keempat bagian ini masing-masing dipilah menjadi (i) penerima upah dan gaji; (ii) bukan penerima upah dan gaji **Modal air minum perpipaan dimaksudkan sebagai investasi yang ditanamkan pada sektor air minum perpipaan. Modal bukan air minum perpipaan adalah investasi air minum yang ditanamkan selain dari investasi air minum perpipaan , dan investasi lainnya.

197

Tabel E.2

Penyesuaian Neraca Institusi Berdasar Ukuran SNSE

103x103 38x38 12x12 CGE

Golongan I [10] Gol. Bawah [3] Golongan I [4]

Golongan II [11] Gol. Menengah [4] Golongan II [5]

Golongan III [12] Gol. Atas [5] Golongan III [6]

Golongan IV [13] Golongan IV [7]

Golongan V [14] Golongan V [8]

Golongan VI [15] Golongan VI [9]

Golongan VII [16] Golongan VII [10]

Golongan VIII [17] Golongan VIII [11]

Golongan IX [18] Golongan IX [12]

Rumah

Tangga

Golongan X [19]

Rumah tangga [3]

Golongan X [13]

Perusahaan

Perusahaan [20]

Perusahaan [6] Perusahaan [4]

Perusahaan [14]

Pemerintah Pemerintah [21] Pemerintah [7] Pemerintah [5]

Pemerintah [15]

Sumber: Diolah dari SNSE DKI Jakarta 2000.

198

Tabel E.3 Penyesuaian Neraca Sektor Produksi Berdasar Ukuran SNSE

Sumber: diolah dari SNSE DKI Jakarta 2000.

***Sektor air minum nonperpipaan kran umum, penjaja air keliling, air tanah dalam, air sumur, air kemasan.

103x103 38x38 12x12 CGE

Pertanian tanaman pangan [22]

Pertanian [8]

Sektor Pro-duksi [6]

Pertanian tanaman pangan [16]

Tanaman hias [23] Tanaman hias [17] Peternakan [24] Peternakan [18] Perikanan [25] Perikanan [19]

Barang Tambang dan galian [26] Pertambangan [9] Barang Tambang dan galian [20] Industri Makanan., Minuman dan Tembakau [27] Industri [10] Industri Makanan, Minuman dan

Tembakau [21] Industri tekstil, barang dari kulit dan alas kaki [28] Industri tekstil, barang dari kulit dan

alas kaki [22] Industri pupuk, kimia dan barang dari karet [29] Industri pupuk, kimia dan barang dari

karet [23] Industri Alat angkutan, mesin dan peralatannya [30] Industri Alat angkutan, mesin dan

peralatannya [24]

Industri bahan bakar, minyak dan gas [31] Industri bahan bakar, minyak dan gas [25]

Industri Kayu. Kertas, semen, logam dan lainnya [32] Industri Kayu. Kertas, semen, logam

dan lainnya [26] Listrik dan gas [33]

Listrik, Gas dan Air Minum [11]

Listrik dan gas [27] Air minum perpipaan [28] Air minum [34]

Air minum nonperpipaan*** [29]

Bangunan [35] Bangunan [12] Bangunan [30]

Perdagagangan Besar dan eceran [36]

Perdag., Rest. & Hotel [13]

Perdagagangan Besar dan eceran [31]

Hotel [37] Hotel [32] Restoran [38] Restoran [33] Angk. Jln raya [39]

Angkutan dan Komunikasi [14]

Angk. Jln raya [34]

Angk. rel, laut, udara, ASDP [40]

Angk. rel, laut, udara, ASDP [35]

Jasa penunjang angk. [41] Jasa penunj. angk. [36] Jasa komunikasi dan jasa penunjang komunikasi [42]

Jasa komunikasi dan jasa penunjang komunikasi [37]

Bank & lemb. Keu non bank [43]

Bank & lemb. Keu. [15]

Bank & lemb. Keu non bank [38]

Sewa bang. & jasa perus. [44] Sewa bang. & jasa perus. [39]

Pemerintahan Umum [45] Jasa-jasa [16] Pemerintahan Umum [40]

Jasa sosial kemasy & hiburan [46] Jasa sos kemasy & hiburan [41]

Jasa perseorangan & RT [47] Jasa perseorangan & RT [42]

199

Tabel E.4 Penyesuaian Neraca Komoditi Domestik Berdasar Ukuran SNSE

Sumber: diolah dari SNSE DKI Jakarta 2000

103x103 38x38 12x12 CGE

Pertanian tanaman pangan [49]

Pertanian [18]

Sektor Produksi [8]

Tanaman hias [50] Peternakan [51] Perikanan [52]

Barang Tambang & Galian [53]

Pertambangan [19]

Ind. Makanan, Minuman dan Tembakau [54] Industri [20]

Industri Tekstil, Brg dari kulit dan alas kaki [55]

Ind. Pupuk, kimia dan brg dari karet [56]

Ind. Alat angkutan, mesin dan peralatannya [57]

Ind. Bahan bakar, minyak dan gas [58]

Ind. Kayu. Kertas, semen, logam dan lainnya [59]

Listrik dan gas [60]

Listrik, Gas dan Air Minum [21]

Air minum [61]

Bangunan [62] Bangunan [22] Perdag. Besar dan eceran [63]

Perdagn, Rest. & Hotel [23]

Hotel [64] Restoran [65] Angk. Jln raya [66]

Angkutan dan Komunikasi [24]

Angk. Rel, laut, udara, ASDP [67]

Jasa penunjang angk. [68] Jasa komunikasi dan jasa penunjang komunikasi [69]

Bank dan lembaga keuangan non bank [70]

Bank & Lembaga Keuangan [25]

Sewa bang. & jasa perus. [71]

Pemerintahan Umum [72] Jasa-jasa [26] Jasa sosial kemasy dan hiburan [73]

Jasa perseorangan & RT [74]

200

Tabel E.5

Penyesuaian Neraca Komoditi Luar Negeri Berdasar Ukuran SNSE

Sumber: diolah dari SNSE DKI Jakarta 2000.

103x103 38x38 12x12 CGE Pertanian tanaman pangan [75] Pertanian [27] Sektor produksi [9] Tanaman hias [76] Peternakan [77] Perikanan [78] Barang tambang & galian [79] Pertambangan [28] Ind. Makanan, Minuman dan Tembakau [80]

Industri [29]

Industri Tekstil, Brg dari kulit dan alas kaki [81]

Ind. Pupuk, kimia dan brg dari karet [82]

Ind. Alat angkutan, mesin dan peralatannya [83]

Ind. Bahan bakar, minyak dan gas [84] Ind. Kayu. Kertas, semen, logam dan lainnya [85]

Listrik dan gas [86]

Listrik, Gas dan Air Minum [30]

Air minum [87]

Bangunan [88] Bangunan [31] Perdag. Besar dan eceran [89]

Perdagn, Rest. & Hotel [32]

Hotel [90] Restoran [91] Angk. Jln raya [92]

Angkutan dan Komunikasi [33]

Angk. Rel, laut, udara, ASDP [93]

Jasa penunjang angk. [94] Jasa komunikasi dan jasa penunjang komunikasi [95]

Bank dan lembaga keuangan non bank [96]

Bank & Lembaga Keuangan [34]

Sewa bang. & jasa perus. [97]

Pemerintahan Umum [98] Jasa-jasa [35]

Jasa sosial kemasy dan hiburan [99]

Jasa perseorangan & RT [100]

201

Tabel E.6 Penyesuaian Neraca Lainnya Berdasar Ukuran SNSE

Sumber: diolah dari SNSE DKI Jakarta 2000.

Tabel E.7 Klasifikasi dalam Model CGE

Neraca Rincian Tenaga Kerja 1 Modal Air Minum 2

Faktor Produksi

Modal Bukan Air Minum 3 Rumah Tangga Golongan I 4 Rumah Tangga Golongan II 5 Rumah Tangga Golongan III 6 Rumah Tangga Golongan IV 7 Rumah Tangga Golongan V 8 Rumah Tangga Golongan VI 9 Rumah Tangga Golongan VII 10 Rumah Tangga Golongan VIII 11 Rumah Tangga Golongan IX 12

Rumah Tangga Rumah Tangga

Rumah Tangga Golongan X 13 Perusahaan 14

Institusi Pemerintah DKI Jakarta 15 Pertanian Tanaman Pangan 16 Tanaman Hias 17 Peternakan 18 Perikanan 19 Barang Tambang dan Galian 20 Industri Makanan Minuman dan Tembakau 21 Ind. Tekstil Brg dari Kulit dan Alas Kaki 22 Ind. Pupuk Kimia dan Brg dari Karet 23 Ind. Alat Angkutan Mesin dan Peralatannya 24 Bahan Bakar Minyak dan Bahan Bakar Gas 25 Ind. Kayu Kertas Semen Logam dan Lainnya 26 Listrik dan Gas 27 Air Minum Perpipaan 28 Air Minum Nonperpipaan 29 Bangunan 30 Perdagangan Besar dan Eceran 31

103x103 38x38 12x12 CGE Marjin perdagangan dan pengangkutan [48]

Marjin perdagangan dan pengangkutan [17]

Marjin perdagangan dan pengangkutan [7]

Neraca Kapital [101]

Neraca Kapital [36]

Neraca Kapital [10]

Neraca Kapital [43]

Pajak tidak langsung [102] Pajak tidak langsung [37]

Pajak tidak langsung [11]

Pajak tidak langsung [44]

Bagian Lain dunia [103]

Bagian Lain dunia [38] Bagian Lain dunia [12]

Bagian Lain dunia [45]

202

Neraca Rincian Hotel 32 Restauran 33 Angkutan Jalan Raya 34 Angkutan Rel Laut Udara dan ASDP 35 Jasa Penunjang Angkutan 36 Jasa Komunikasi dan Penunjang Komunikasi 37 Bank dan Lembaga Keuangan Non Bank 38 Sewa Bangunan dan Jasa Perusahaan 39 Pemerintahan Umum 40 Jasa Sosial dan Kemasy. Dan Hiburan 41 Jasa Perseorangan dan Rumah Tangga 42 Neraca Kapital 43

Pajak tak langsung 44 Neraca Lainnya

Neraca Luar Negeri 45 Sumber: diolah dari SNSE DKI Jakarta 2000.

203

LAMPIRAN 6

DEKLARASI INDEKS 1 Variabel dan Skalar

Variabel dan skalar diklasifikasikan berdasarkan kategori (i) blok harga, (ii) blok produksi, (iii) blok faktor, (iv) blok pendapatan dan pengeluaran, dan (v) blok neraca pembayaran. Variabel selengkapnya pada Tabel F.1

Tabel F.1 Definisi Model Skalar dan Variabel

BLOK HARGA I, J Indeks seperangkat sektor produktif (27 sektor) EXR Nilai tukar PX (I) Harga output rata-rata PN (I) Harga input antara PV (I) Harga nilai tambah PQ (I) Harga permintaan domestik rata-rata PD (I) Harga penawaran domestic PD (IE) Harga penawaran domestic barang ekspor PK (I) Harga modal baru PE (I) Harga domestik barang ekspor PM (I) Harga domestik barang impor PWE (I) Harga pasar ekspor (Rp) PWM (I) Harga pasar impor (Rp) PINDEX Indeks harga komposit PINDOM Indeks harga domestic

BLOK PRODUKSI TM (I) Tingkat Pajak Impor ITX (I) Tingkat pajak tidak langsung ALPHAX (I) Parameter perubahan/pergeseran fungsi produksi ALPHAV(I) Parameter perubahan/pergeseran fungsi nilai tambah IOMI (I,J) Koefisien tetap input bahan X (I) Output sektor domestik komposit XEX (I) Ekspor sektor ke domestic XIM (I) Impor sektor dari domestic XD (I) Penjualan domestic Q (I) Penawaran barang komposit IN (I) Input antara sektor komposit VA (I) Nilai tambah sektor komposit

BLOK FAKTOR F Indeks seperangkat faktor primer

F = {TK, Modal} FD (F) Permintaan factor LABFOR Total angkatan kerja UNEMPL Total pengangguran FACDEM (I,F) Permintaan faktor sector WFDIST (I,F) Harga input proporsional faktor sektor WA (F) Harga input faktor rata-rata YF (F) Pendapatan factor

204

BLOK PENGELUARAN dan PENDAPATAN CHS (I,H) Parameter pangsa konsumsi rumah tangga CGS (I) Parameter pangsa konsumsi pemerintah CD (I) Permintaan akhir konsumsi rumah tangga HHSAV Tabungan rumah tangga HHTAX Pajak pendapatan rumah tangga YH (HH) Pendapatan rumah tangga YCORP Pendapatan perusahaan CORTCOR Transfer perusahaan ke perusahaan CORSAV Tabungan perusahaan CORTAX Pajak pendapatan perusahaan CORBOR Pinjaman luar negeri perusahaan dari bagian lain dunia CORAMOR Pembayaran amortisasi hutang luar negeri perusahaan CORINTR Pembayaran bunga hutang luar negeri perusahaan CGOV (I) Permintaan akhir konsumsi pemerintah GOVSAV Tabungan pemerintah local GOVTR(H) Transfer pemerintah ke rumah tangga GOVFAM Pendapatan pemerintah dari modal air minum GOVFNAM Pendapatan pemerintah dari modal nonair minum GOVGOV Transfer pemerintah ke pemerintah GR Pendapatan pemerintah local GOVBOR Pinjaman luar negeri pemerintah GOVAMOR Pembayaran amortisasi hutang luar negeri pemerintah GOVINTR Pembayaran bunga hutang luar negeri pemerintah GOVBUD Total konsumsi komoditi pemerintah INDTAX Pendapatan pajak tidak langsung dari komoditi TINDTAX Total penerimaan pajak tidak langsung TARIFF Penerimaan biaya masuk

BLOK PENGELUARAN dan PENDAPATAN INT(I,J) Permintaan antara sector TOTINT(I) Total penggunaan antara INVEST Total investasi TMREAL Tingkat tarif riil GRDP PDB riil GDVA Nilai tambah domestic kotor SAVING Total tabungan DK (I) Investasi tetap per sektor tujuan FXDINV Total investasi tetap ID (I) Permintaan akhir investasi produktif INV (I) Parameter pangsa stok persediaan

BLOK NERACA PEMBAYARAN CURRACW Current account SAVROW Tabungan luar negeri FROW(F) Transfer pendapatan faktor ke bagian lain dunia GOVROW Transfer pemerintah netto ke bagian lain dunia CORROW Transfer perusahaan ke bagian lain dunia HHTROW(H) Transfer rumah tangga ke bagian lain dunia ROWHH (H) Pendapatan rumah tangga dari bagian lain dunia ROWCOR Pendapatan perusahaan dari bagian lain dunia ROWGOV Pendapatan pemerintah dari bagian lain dunia ROWTAX Pendapatan pajak dari bagian lain dunia ROWTRW Transfer dari bagian lain dunia ke bagian lain dunia FIROW (F) Pendapatan faktor dari bagian lain dunia FORINV Investasi asing dari bagian lain dunia

205

2 Parameter

2.1 Elastisitas Sektor

Elastisitas substitusi antara input diperlukan untuk memperkirakan fungsi produksi CES. Elastisitas perdagangan juga dibutuhkan untuk memperkirakan CES dan CET dalam persamaan ekspor impor. Data ini disediakan oleh SAM disertai asumsi terkait teknologi dan sektor eksternal.

Tabel F.2 Elastisitas

ELASTISITAS RHOX(I) Eksponen fungsi produksi RHOEX(I) Eksponen fungsi ekspor RHOIM(I) Eksponen fungsi impor RHOV(I) Eksponen fungsi nilai tambah

2.2 Pemilihan Nilai Parameter

Nilai parameter bagi bentuk fungsi merupakan hal penting dalam menentukan hasil simulasi kebijakan yang dihasilkan dari penerapan model. Prosedur yang paling umum digunakan adalah memilih nilai parameter yang dikenal dengan istilah kalibrasi. Parameter ataupun share pada Tabel F.3 merupakan parameter dari faktor produksi, institusi, maupun sektor produksi.

Tabel F.3 Parameter

PARAMETER TH(H) Patokan (benchmark) pajak pendapatan rumah tangga MPS(H) Patokan kecenderungan marjinal menabung rumah tangga CSAV Patokan tingkat tabungan perusahaan CCOR Patokan tingkat pendapatan perusahaan CTAX Patokan tingkat pajak pendapatan perusahaan INVO(I) Patokan perubahan persediaan tingkat investasi CGSO(I) Patokan pangsa (shares) konsumsi pemerintah TGOV(H) Pangsa transfer pemerintah ke rumah tangga ITXO(I) Patokan tingkat pajak tidak langsung TMO(I) Patokan tingkat biaya masuk impor ZZ(I) Pangsa investasi per sector IO(I,J) Koefisien input-output CHSO(I,H) Pangsa konsumsi rumah tangga THS(H,HH) Pangsa transfer antar rumah tangga TROWS(H) Pangsa transfer rumah tangga ke bagian lain dunia THR(H) Transfer rumah tangga ke bagian lain dunia CTH(H) Pangsa transfer perusahaan ke rumah tangga SEDW(H,FLAB) Pangsa kepemilikan tenaga kerja dari rumah tangga SFROW(F) Pangsa pendapatan faktor ke bagian lain dunia SHHCPAM(H) Pangsa modal air minum perpipaan yang dimiliki rumah tangga SHHCNPAM(H) Pangsa modal air minum nonperpipaan yang dimiliki rumah tangga SGOVCPAM Pangsa modal air minum perpipaan yang dimiliki pemerintah SGOVCNAM Pangsa modal air minum nonperpipaan yang dimiliki pemerintah

206

LAMPIRAN 7

UKURAN DISTRIBUSI PENDAPATAN

Salah satu ukuran ketidakmerataan pendapatan, yaitu suatu ukuran yang

membandingkan pendapatan seseorang atau sekelompok orang dengan orang atau kelompok yang lain, yang sering dipergunakan adalah rasio Gini (disebut juga sebagai koefisien atau indek Gini), ukuran World Bank (Todaro, 1987)

Rasio Gini dirumuskan sebagai berikut:

)(11

1∑=

−+−=n

icici FFfpiGR

dimana:

G = Rasio Gini yaitu rasio antara persentase kumulatif jumlah golongan rumah tangga dengan persentase kumulatif jumlah pendapatan golongan rumah tangga. fpi = Frekuensi populasi dalam kelas pengeluaran.

ciF = Frekuensi kumulatif total dari kelas pengeluaran

ciF -1 = Frekuensi kumulatif total pengeluaran dari kelas pengeluaran i-1 Rasio Gini mempunyai nilai diantara 0 dan 1. Bila rasio Gini bernilai 0 berarti distribusi pendapatan berada pada tingkat yang sangat merata, sebaliknya bila bernilai 1 berarti distribusi pendapatan berada pada tingkat yang sangat tidak merata (Widyono, 2004). Dalam kaitan ini Todaro (1987) mengatakan bahwa:

(i) Bila rasio Gini berada diantara 0,2 sampai dengan 0,35, maka distribusi pendapatan disebut relatif merata.

(ii) Bila rasio Gini berada diantara 0,35 sampai dengan 0,50, maka distribusi pendapatan disebut tidak merata.

(iii) Bila rasio Gini berada diantara 0,50 sampai dengan atau lebih dari 0,70, maka distribusi pendapatan disebut sangat tidak merata (Suratman, 2004)

Tabel G.1 Perhitungan Rasio Gini DKI Jakarta Kondisi Awal (Tahun 2000)

Golongan

Rumah Tangga

Jumlah

penduduk (jiwa)

Total Pendapatan Disposabel

(Yi) (Rp. Juta)

Pendapatan per

Kapita/tahun (Rp. Ribu)

Proporsi Total

Pendapatan Disposabel

(Yi) (%)

Proporsi Total RT (Pi) (%)

Yi

kumulatif (%)

Yi + Yi -1

P * (Yi + Yi-1)

Sangat Miskin I 1.055.905 1.914.013 7.794 1,64 12,59 1,64 1,64 20,60625747 Sangat Miskin II 1.020.618 2.842.340 11.975 2,43 12,17 4,07 5,70 69,41323417 Miskin I 985.015 3.449.901 15.060 2,95 11,75 7,02 11,08 130,1860921 Miskin II 946.080 4.962.573 22.555 4,24 11,28 11,26 18,27 206,1887772 Menengah I 849.298 5.664.861 28.681 4,84 10,13 16,10 27,36 277,1236583 Menengah II 792.495 7.338.082 39.816 6,27 9,45 22,37 38,48 363,6562943 Menengah III 735.012 9.527.537 55.738 8,15 8,77 30,52 52,89 463,6726695 Tinggi I 696.575 11.558.198 71.350 9,88 8,31 40,40 70,92 589,1818095 Tinggi II 675.782 15.425.567 98.153 13,19 8,06 53,59 93,99 757,5198614 Sangat Tinggi 628.073 54.287.107 371.668 46,41 7,49 100,00 153,59 1150,468142 Jumlah 8.384.853 116.970.179 59.986 100,00 100 4028,016796

207

Rasio Gini = 1 - ∑ P*(Yi + Yi-1)/10000 = 1 - (4.028/10000) = 1 - 0,40280168 Rasio Gini 0.59719832

Sedangkan ukuran World Bank menganalisa masalah ketidakmerataan pendapatan dengan membagi penduduk menjadi tiga kelompok, yaitu 40 persen berpendapatan rendah, 40 persen berpendapatan menengah, dan 20 persen berpendapatan tinggi.

Kategori ketidakmerataan dapat diklasifikasikan berdasar penerimaan dari 40 persen penduduk berpendapatan rendah, yaitu (i) menerima kurang dari 12 persen dari total pendapatan, ketidakmerataan pendapatan disebut tinggi, (ii) menerima antara 12 persen sampai dengan 17 persen dari total pendapatan, ketidakmerataan pendapatan disebut sedang, dan (iii) menerima lebih dari 17 persen dari total pendapatan, ketidakmerataan pendapatan disebut rendah (Remi, 2002).

Berdasarkan pada kategori di atas, penduduk berpendapatan rendah di DKI Jakarta pada tahun 2000 hanya menerima sebesar 11,3 persen dari total pendapatan sehingga ketidakmerataan pendapatan dikategorikan tinggi. Hasil selengkapnya dapat dilihat pada Tabel G.2

Tabel G.2

Distribusi Pendapatan DKI Jakarta Kondisi Awal (Tahun 2000)

Ukuran Bank Dunia

Kelompok Rumah

Tangga

Total Pendapatan Disposebel Rp. Juta

Proporsi Total Pendapatan Disposebel

(%) Miskin 13,168,827 11.3 Menengah 34,088,678 29.1 Tinggi 69,712,674 59.6 Total 116,970,179 100

Jika membandingkan pendapatan 10 persen penduduk berpendapatan paling rendah

dengan pendapatan 10 persen penduduk berpendapatan paling tinggi, didapatkan angka sebesar 0,03526.

208

BIOGRAFI SINGKAT

Oswar Muadzin Mungkasa dilahirkan di Makassar, pada tanggal 26 Juli 1963. Ia mendapatkan gelar kesarjanaannya pada jurusan Teknik Planologi, Fakultas Teknik Sipil dan Perencanaan, Institut Teknologi Bandung (ITB) pada tahun 1988. Selepas dari ITB, ia sempat bekerja pada Lembaga Penelitian Planologi ITB, kemudian sejak tahun 1989 sampai tahun 1990 bekerja di Bank Panin. Selepas itu, ia bekerja sebagai konsultan perencana kota dan wilayah pada berbagai perusahaan konsultan sampai tahun 1992. Sejak tahun 1992, ia mulai bekerja di Bappenas sampai sekarang.

Pada tahun 1996 sampai 1998, ia mendapat tugas belajar di jurusan Urban and Regional Planning, Graduate School of Public and International Affair (GSPIA), University of Pittsburgh, USA dan mendapat gelar Master of Urban and Regional Planning (MURP). Kemudian pada tahun 2000, sambil tetap bekerja di Bappenas, dengan inisiatif pribadi ia melanjutkan pendidikan S-3 pada Program Studi Ilmu Ekonomi, Program Pascasarjana Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia dengan kekhususan Ekonomi Publik.

Pada saat ini ia bekerja di Direktorat Permukiman dan Perumahan Bappenas, sekaligus juga terlibat sebagai anggota Kelompok Kerja Air Minum dan Penyehatan Lingkungan (Pokja AMPL).

Program CGE Air Minum DKI Jakarta

Disertasi OM Final I-1

*$ONTEXT $TITLE MODEL COMPUTABLE GENERAL EQUILIBRIUM (CGE) AIR MINUM DKI JAKARTA $STITLE I. Model awal dibangun oleh Budy P. Resosudarmo (2000) $STITLE II. Model dimodifikasi oleh Donny Azdan untuk disertasi di University $STITLE of Ohio (2001) $STITLE III. Model diperbaharui oleh Oswar Mungkasa untuk disertasi Universitas $STITLE Indonesia (2006) dengan judul $STITLE Pengaruh Investasi Air Minum terhadap Pertumbuhan Ekonomi dan $STITLE Distribusi Pendapatan di DKI Jakarta *$$OFFSYMLIST OFFSYMXREF *$OFFTEXT *#########################CGE MODEL################################## * SECTION I DATA SPECIFICATION AND BENCHMARKING SETS F Faktor Produksi / LABOR Tenaga Kerja CAPAM Kapital Air Minum Perpipaan CAPNAM Kapital Bukan Air Minum Non Perpipaan dan lainnya / H Rumah Tangga / VEPOIHH RT dgn income kurang dari 192000 rupiah VEPOIIHH RT dgn income antara 192001-240000 rupiah POORIHH RT dgn income antara 240001-316000 rupiah POORIIHH RT dgn income antara 316001-420000 rupiah MIDIHH RT dgn income antara 420001-536000 rupiah MIDIIHH RT dgn income antara 536001-740000 rupiah MIDIIIHH RT dgn income antara 740001-995000 rupiah HIGIHH RT dgn income antara 995001-1400000 rupiah HIGIIHH RT dgn income antara 1400001-2850000 rupiah VEHIGHH RT dgn income lebih dari 2850000 rupiah / GH(H) Rumah Tangga mendapat subsidi WATPAM / VEPOIHH RT dgn income kurang dari 192000 rupiah VEPOIIHH RT dgn income antara 192001-240000 rupiah POORIHH RT dgn income antara 240001-316000 rupiah POORIIHH RT dgn income antara 316001-420000 rupiah / NGH(H) Rumah Tangga tidak mendapat subsidi WATPAM / VEPOIHH RT dgn income kurang dari 192000 rupiah VEPOIIHH RT dgn income antara 192001-240000 rupiah POORIHH RT dgn income antara 240001-316000 rupiah POORIIHH RT dgn income antara 316001-420000 rupiah MIDIHH RT dgn income antara 420001-536000 rupiah MIDIIHH RT dgn income antara 536001-740000 rupiah MIDIIIHH RT dgn income antara 740001-995000 rupiah HIGIHH RT dgn income antara 995001-1400000 rupiah HIGIIHH RT dgn income antara 1400001-2850000 rupiah VEHIGHH RT dgn income lebih dari 2850000 rupiah / OI Institusi Lainnya / COMPANY Perusahaan GOVERN Pemerintah DKI Jakarta /

Program CGE Air Minum DKI Jakarta

Disertasi OM Final I-2

I Barang dan Sektor Produksi / AGRI Pertanian Tanaman Pangan PLANT Tanaman Hias LIVESTOC Peternakan FISHERY Perikanan MINE Barang Tambang dan Galian FOODTOB Industri Makanan Minuman dan Tembakau TEXLEATH Industri Tekstil Barang dari Kulit & Alas kaki CHEBSRUB Industri Pupuk Kimia dan Barang Dari Karet MACHINEQ Industri Alat Angkutan Mesin dan Peralatannya BBMBBG Bahan Bakar Minyak dan Bahan Bakar Gas PAPWOMET Industri Kayu Kertas Semen Logam dan Lainnya LIGAS Listrik Gas WATPAM Air Minum Perpipaan WATNPAM Air Minum Nonperpipaan COSTRUCT Bangunan TRADE Perdagangan Besar dan Eceran HOTEL Hotel REST Restaurant TRANS Angkutan Jalan Raya AIRSEA Angkutan Rel Laut Udara dan ASDP TRANSSEV Jasa Penunjang Angkutan COMSEV Jasa Komunikasi dan Penunjang Komunikasi BANKOSEV Bank dan Lembaga Keuangan Non Bank RENTSEV Sewa Bangunan dan Jasa Perusahaan GOVSEV Pemerintahan Umum SOSSEV Jasa Sosial Kemasyarakatan dan Hiburan HHSEV Jasa Perseorangan dan Rumah Tangga/ PLTW(I) Sektor air minum / WATPAM, WATNPAM / PLTW1(I) Sektor air minum / WATPAM / PLTW2(I) Sektor air minum nonperpipaan / WATNPAM / NPLTW(I) Non Sektor Air Minum / AGRI, PLANT, LIVESTOC, FISHERY, MINE, FOODTOB, TEXLEATH, CHEBSRUB, MACHINEQ, BBMBBG, PAPWOMET, LIGAS, COSTRUCT, TRADE, HOTEL, REST, TRANS, AIRSEA, TRANSSEV, COMSEV, BANKOSEV, RENTSEV, GOVSEV, SOSSEV, HHSEV/ NFLAB(F) Faktor Produksi Bukan Tenaga Kerja / CAPAM Kapital Air Minum Perpipaan CAPNAM Kapital Bukan Air Minum Perpipaan dan lainnya / FLAB(F) Faktor Produksi Tenaga Kerja / LABOR / IE(I) Export sector to domestic and foreign IEN(I) Non eksport sector IM(I) Import from domestic and foreign IMN(I) Not IM ;

Program CGE Air Minum DKI Jakarta

Disertasi OM Final I-3

ALIAS (I,J); ALIAS (H,HH); ALIAS (GH,GJ); TABLE SAM(*,*) Social Accounting Matrix of DKI Jakarta in 2000 (in millions of rupiahs) LABOR CAPAM CAPNAM VEPOIHH LABOR 0.00 0.00 0.00 0.00 CAPAM 0.00 0.00 0.00 0.00 CAPNAM 0.00 0.00 0.00 0.00 VEPOIHH 1103375.70 0.00 703292.66 533.30 VEPOIIHH 2177006.66 0.00 481041.23 935.88 POORIHH 2596843.46 0.00 707810.81 841.83 POORIIHH 3633268.02 0.00 1117052.71 820.38 MIDIHH 4064596.81 0.00 1324344.80 1853.70 MIDIIHH 5143752.46 0.00 1854663.07 1264.99 MIDIIIHH 6679774.06 0.00 2508930.62 1351.21 HIGIHH 7653883.89 0.00 3224056.68 3833.99 HIGIIHH 9716699.87 0.00 4567797.79 2546.81 VEHIGHH 31077055.30 0.00 21436827.23 2550.57 COMPANY 0.00 168116.54 83118640.63 0.00 GOVERN 0.00 7499.97 614047.80 3495.96 AGRI 0.00 0.00 0.00 8837.39 PLANT 0.00 0.00 0.00 703.77 LIVESTOC 0.00 0.00 0.00 963.18 FISHERY 0.00 0.00 0.00 841.68 MINE 0.00 0.00 0.00 0.00 FOODTOB 0.00 0.00 0.00 112556.59 TEXLEATH 0.00 0.00 0.00 42169.48 CHEBSRUB 0.00 0.00 0.00 20513.93 MACHINEQ 0.00 0.00 0.00 310.76 BBMBBG 0.00 0.00 0.00 3207.06 PAPWOMET 0.00 0.00 0.00 5590.58 LIGAS 0.00 0.00 0.00 17099.85 WATPAM 0.00 0.00 0.00 2002.45 WATNPAM 0.00 0.00 0.00 705.72 COSTRUCT 0.00 0.00 0.00 18.77 TRADE 0.00 0.00 0.00 0.00 HOTEL 0.00 0.00 0.00 11711.57 REST 0.00 0.00 0.00 591155.79 TRANS 0.00 0.00 0.00 83697.09 AIRSEA 0.00 0.00 0.00 27722.25 TRANSSEV 0.00 0.00 0.00 20066.24 COMSEV 0.00 0.00 0.00 2740.66 BANKOSEV 0.00 0.00 0.00 1973.78 RENTSEV 0.00 0.00 0.00 209664.60 GOVSEV 0.00 0.00 0.00 20007.92 SOSSEV 0.00 0.00 0.00 38803.03 HHSEV 0.00 0.00 0.00 71716.08 CAPACC 0.00 0.00 0.00 69482.80 INTXSUB 0.00 0.00 0.00 0.00 ROW 12051972.18 0.00 7076243.62 529721.29 TOTAL 85898228.41 175616.51 128734749.65 1914012.93 + VEPOIIHH POORIHH POORIIHH MIDIHH MIDIIHH LABOR 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00

Program CGE Air Minum DKI Jakarta

Disertasi OM Final I-4

CAPAM 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 CAPNAM 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 VEPOIHH 1070.60 868.25 1305.26 3672.63 4732.04 VEPOIIHH 1878.77 1523.68 2290.57 6445.04 8304.17 POORIHH 1689.97 1370.56 2060.38 5797.35 7469.65 POORIIHH 1646.91 1335.64 2007.89 5649.65 7279.34 MIDIHH 3721.30 3017.96 4536.95 12765.72 16448.10 MIDIIHH 2539.47 2059.50 3096.08 8711.52 11224.43 MIDIIIHH 2712.56 2199.88 3307.11 9305.31 11989.50 HIGIHH 7696.73 6242.02 9383.73 26403.24 34019.47 HIGIIHH 5112.72 4146.40 6233.34 17538.92 22598.16 VEHIGHH 5120.26 4152.52 6242.55 17564.81 22631.52 COMPANY 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 GOVERN 5028.23 8067.98 11618.48 8211.78 34627.35 AGRI 15430.29 19653.53 21782.34 26829.13 36757.61 PLANT 1188.73 1557.08 1514.25 1965.02 2705.65 LIVESTOC 1626.89 2131.02 2072.40 2689.33 3702.95 FISHERY 1895.13 2675.23 3038.88 4049.07 5548.98 MINE 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 FOODTOB 159682.55 208937.87 228764.40 272869.25 354835.33 TEXLEATH 59481.95 85453.64 106058.09 106470.34 165009.72 CHEBSRUB 26938.42 34870.30 40065.78 47437.78 62645.41 MACHINEQ 2907.14 6465.87 6916.98 4450.93 16300.02 BBMBBG 605.77 1347.31 1441.31 927.45 3396.48 PAPWOMET 10751.04 14961.42 21509.93 26087.61 45667.71 LIGAS 22295.19 29616.25 33822.37 45499.13 60685.15 WATPAM 3271.91 3573.74 4585.03 4902.73 6913.92 WATNPAM 776.41 949.69 1352.34 1581.38 2268.60 COSTRUCT 37.54 61.35 560.49 459.92 966.44 TRADE 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 HOTEL 26769.30 15601.83 14459.23 15288.97 34944.28 REST 621836.82 801287.01 886860.17 1003138.68 1302374.76 TRANS 120508.55 157451.74 189411.35 241887.03 350279.69 AIRSEA 39914.98 52151.35 62737.05 80118.11 116020.05 TRANSSEV 28891.72 37748.79 45411.05 57992.01 83978.97 COMSEV 3709.15 6946.09 13601.44 40187.68 60885.21 BANKOSEV 95023.33 22839.44 43705.09 7613.15 174538.40 RENTSEV 276870.03 364560.57 420620.50 549779.85 747306.49 GOVSEV 29154.39 37829.18 45548.08 61095.21 82412.00 SOSSEV 70837.13 100493.37 131592.87 168371.93 379858.51 HHSEV 81649.83 87148.46 99812.67 150560.02 212938.22 CAPACC 106971.38 198064.66 333792.15 393248.25 459527.65 INTXSUB 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 ROW 995096.56 1120539.72 2149454.64 2227295.56 2384289.68 TOTAL 2842339.65 3449900.90 4962573.22 5664861.49 7338081.61 + MIDIIIHH HIGIHH HIGIIHH VEHIGHH COMPANY LABOR 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 CAPAM 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 CAPNAM 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 VEPOIHH 4566.80 6455.42 10018.16 23720.80 17355.82 VEPOIIHH 8014.20 11328.51 17580.70 41627.22 38926.63 POORIHH 7208.82 10190.06 15813.95 37443.94 2826.52 POORIIHH 7025.15 9930.44 15411.05 36489.96 32604.15 MIDIHH 15873.76 22438.43 34822.18 82451.23 4958.81 MIDIIHH 10832.49 15312.32 23763.18 56265.97 62064.42 MIDIIIHH 11570.84 16356.02 25382.90 60101.10 29752.84

Program CGE Air Minum DKI Jakarta

Disertasi OM Final I-5

HIGIHH 32831.55 46409.21 72022.42 170533.18 163144.74 HIGIIHH 21809.06 30828.31 47842.44 113280.33 415548.00 VEHIGHH 21841.26 30873.82 47913.06 113447.55 1164005.48 COMPANY 0.00 0.00 0.00 0.00 220284.77 GOVERN 14301.20 38569.60 71545.66 131656.32 657877.40 AGRI 42768.53 52967.23 66160.91 108813.04 0.00 PLANT 3485.19 3546.22 4234.58 6563.35 0.00 LIVESTOC 4769.82 4853.35 5795.43 8982.58 0.00 FISHERY 6946.89 8558.33 11456.01 21872.96 0.00 MINE 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 FOODTOB 459007.27 509186.30 639136.85 1127327.61 0.00 TEXLEATH 218295.92 255408.34 377227.96 820429.79 0.00 CHEBSRUB 81502.62 90975.19 111939.72 230729.04 0.00 MACHINEQ 47175.82 69039.49 132876.21 976778.01 0.00 BBMBBG 9830.17 14385.97 27687.82 203534.19 0.00 PAPWOMET 55348.26 76003.21 116340.32 290961.17 0.00 LIGAS 82239.28 99650.74 140013.45 479244.53 0.00 WATPAM 9572.46 9933.09 12209.38 29139.51 0.00 WATNPAM 3399.21 4199.71 5870.27 15012.67 0.00 COSTRUCT 598.04 1195.06 3545.97 26718.50 0.00 TRADE 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 HOTEL 37161.45 91910.66 157052.02 970197.41 0.00 REST 1748906.02 1815220.24 2403846.44 4208878.44 0.00 TRANS 411816.90 452964.29 574411.38 1031177.94 0.00 AIRSEA 136402.48 150031.36 190257.21 340836.73 0.00 TRANSSEV 98732.41 108597.43 137714.16 246116.64 0.00 COMSEV 108389.35 187927.70 327047.61 885735.08 0.00 BANKOSEV 41731.31 24249.28 355280.10 15358791.57 0.00 RENTSEV 962713.24 1123372.15 1592886.47 4231680.71 0.00 GOVSEV 113340.71 152381.92 256469.94 844173.79 0.00 SOSSEV 410801.75 528610.71 748238.37 1728483.06 0.00 HHSEV 264311.61 427633.89 824455.82 4828618.12 0.00 CAPACC 577829.91 843096.31 1354517.88 1202048.14 9108855.68 INTXSUB 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 ROW 3434585.17 4213607.25 4466778.69 13197245.24 175483738.08 TOTAL 9527536.92 11558197.56 15425566.67 54287107.42 187401943.34 + GOVERN AGRI PLANT LIVESTOC FISHERY LABOR 0.00 81500.43 18973.74 14089.16 128427.32 CAPAM 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 CAPNAM 0.00 158717.64 24750.28 15966.03 155436.54 VEPOIHH 26777.56 0.00 0.00 0.00 0.00 VEPOIIHH 41236.28 0.00 0.00 0.00 0.00 POORIHH 49588.07 0.00 0.00 0.00 0.00 POORIIHH 89803.99 0.00 0.00 0.00 0.00 MIDIHH 71704.34 0.00 0.00 0.00 0.00 MIDIIHH 141504.51 0.00 0.00 0.00 0.00 MIDIIIHH 163838.97 0.00 0.00 0.00 0.00 HIGIHH 107050.72 0.00 0.00 0.00 0.00 HIGIIHH 453234.93 0.00 0.00 0.00 0.00 VEHIGHH 336633.55 0.00 0.00 0.00 0.00 COMPANY 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 GOVERN 1575869.17 0.00 0.00 0.00 0.00 AGRI 0.00 3525.54 132.25 366.15 0.31 PLANT 0.00 3.28 1116.00 16.60 132.54 LIVESTOC 0.00 554.86 256.74 156.11 7.04 FISHERY 0.00 8.03 0.00 12.78 7033.91

Program CGE Air Minum DKI Jakarta

Disertasi OM Final I-6

MINE 0.00 0.00 0.00 0.22 0.00 FOODTOB 0.00 0.00 0.00 8709.24 7364.83 TEXLEATH 0.00 724.14 26.71 6.06 2214.43 CHEBSRUB 0.00 10847.83 2006.53 1338.86 954.82 MACHINEQ 0.00 174.90 38.76 1230.60 2129.79 BBMBBG 0.00 258.73 14.08 1.04 4978.41 PAPWOMET 0.00 1120.00 1112.44 188.52 745.25 LIGAS 0.00 2.50 299.25 153.57 752.32 WATPAM 0.00 0.00 0.34 33.86 68.52 WATNPAM 0.00 0.00 0.14 0.00 0.24 COSTRUCT 0.00 1607.79 499.65 483.11 5766.61 TRADE 0.00 963195.64 158757.53 157407.26 277225.53 HOTEL 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 REST 0.00 2058.94 0.00 280.26 6398.36 TRANS 0.00 35145.21 5824.48 5759.75 10105.05 AIRSEA 0.00 35398.96 5834.59 5786.22 10289.70 TRANSSEV 0.00 11068.87 1812.65 1798.00 3165.28 COMSEV 0.00 330.37 54.02 28.62 299.35 BANKOSEV 0.00 550.54 13.09 461.73 2435.52 RENTSEV 0.00 399.83 56.35 281.10 181.82 GOVSEV 9361349.90 211.42 116.36 28.24 925.00 SOSSEV 0.00 87.30 0.00 293.45 597.02 HHSEV 0.00 1183.66 426.16 54.14 1293.11 CAPACC 767117.91 0.00 0.00 0.00 0.00 INTXSUB 0.00 31.72 7.03 3.33 181.29 ROW 805654.00 12700.52 2264.66 6181.99 39309.39 TOTAL 13991363.90 1321408.65 224393.83 221116.00 668419.30 + MINE FOODTOB TEXLEATH CHEBSRUB MACHINEQ LABOR 112333.95 1666730.94 3900118.31 2397508.82 4549128.23 CAPAM 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 CAPNAM 1248092.55 3178448.49 6955554.15 4019017.24 9123076.72 VEPOIHH 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 VEPOIIHH 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 POORIHH 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 POORIIHH 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 MIDIHH 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 MIDIIHH 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 MIDIIIHH 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 HIGIHH 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 HIGIIHH 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 VEHIGHH 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 COMPANY 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 GOVERN 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 AGRI 0.00 538543.61 7658.56 12044.50 0.00 PLANT 36.59 0.00 0.00 10148.72 118.57 LIVESTOC 0.00 98727.27 1998.56 0.00 0.00 FISHERY 0.00 105299.75 0.00 74.08 0.00 MINE 35.12 12.78 0.00 181.16 153.93 FOODTOB 0.00 2172376.70 4302.54 16797.67 0.00 TEXLEATH 15276.22 16187.94 6276535.32 16450.97 5667.32 CHEBSRUB 19942.99 236045.42 443692.36 2685009.03 623938.45 MACHINEQ 62335.36 15011.78 64069.00 50812.21 6926031.68 BBMBBG 11572.53 33388.10 91934.35 35627.93 63240.79 PAPWOMET 8666.42 206165.64 199039.24 107927.57 1452624.61 LIGAS 2113.01 391415.80 277953.38 178444.29 346518.67 WATPAM 784.74 31115.56 39213.05 39658.43 42905.58

Program CGE Air Minum DKI Jakarta

Disertasi OM Final I-7

WATNPAM 0.00 9161.19 7795.55 7455.78 18140.48 COSTRUCT 53849.65 6221.00 4024.00 0.00 0.00 TRADE 18123.91 2558813.75 5864794.54 3820776.09 12753019.26 HOTEL 1177.88 1094.65 1241.33 895.37 747.99 REST 5789.85 2043.10 18200.66 4317.53 18885.70 TRANS 36017.08 99725.82 227436.73 150206.79 476387.87 AIRSEA 5910.28 96327.58 229588.65 143350.50 475330.46 TRANSSEV 4248.97 34273.38 82478.39 54064.25 153997.14 COMSEV 3712.65 71846.67 98890.13 168664.06 143050.19 BANKOSEV 240553.95 285060.56 1316817.56 269837.23 1625824.57 RENTSEV 113230.42 179253.44 1210557.17 472096.27 977160.02 GOVSEV 0.00 7617.16 0.00 0.00 48549.29 SOSSEV 6898.69 37652.41 105547.44 85355.97 73689.04 HHSEV 25773.92 65190.70 53826.67 54403.96 100355.05 CAPACC 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 INTXSUB 4246.29 24130.02 32059.19 -2600.54 57876.26 ROW 395968.63 7380895.59 6380233.13 4402449.83 11851377.26 TOTAL 2396691.65 19548776.80 33895559.96 19200975.71 51907795.13 + BBMBBG PAPWOMET LIGAS WATPAM WATNPAM LABOR 13634.88 2835232.37 1631068.72 127325.74 311.87 CAPAM 0.00 0.00 0.00 175616.51 0.00 CAPNAM 66228.46 4205321.07 2957599.28 0.00 99213.12 VEPOIHH 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 VEPOIIHH 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 POORIHH 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 POORIIHH 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 MIDIHH 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 MIDIIHH 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 MIDIIIHH 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 HIGIHH 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 HIGIIHH 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 VEHIGHH 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 COMPANY 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 GOVERN 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 AGRI 0.00 608.60 0.44 0.02 0.00 PLANT 0.00 23288.46 0.01 0.01 0.00 LIVESTOC 0.00 0.00 0.23 0.06 0.00 FISHERY 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 MINE 26.11 3179.96 5766.30 0.00 0.00 FOODTOB 0.00 966.05 3.85 0.31 0.00 TEXLEATH 240.37 35074.92 15633.33 744.34 0.00 CHEBSRUB 504.12 494472.27 26403.34 43283.70 0.00 MACHINEQ 343.61 183254.94 500214.17 6129.71 0.00 BBMBBG 1038.11 98249.33 310858.93 2080.58 0.00 PAPWOMET 252.48 2224226.76 66748.74 8283.57 10.19 LIGAS 432.51 518033.25 897533.75 17883.00 0.00 WATPAM 6.53 49360.41 48.43 6381.37 926.11 WATNPAM 1.88 9812.85 2.71 0.00 0.00 COSTRUCT 0.00 0.00 259987.62 14025.53 12.99 TRADE 1839449.59 7894616.15 0.00 0.00 0.00 HOTEL 0.10 739.14 2901.90 873.37 0.00 REST 0.26 30481.70 20353.25 3838.14 0.00 TRANS 66967.78 342145.25 35788.36 3737.07 1.15 AIRSEA 67603.71 292706.87 51578.78 57.39 0.00 TRANSSEV 21004.57 99724.90 1178.70 44.43 0.00 COMSEV 957.22 245148.04 65196.48 1850.94 0.00

Program CGE Air Minum DKI Jakarta

Disertasi OM Final I-8

BANKOSEV 829.83 335295.14 90507.71 8412.95 1.03 RENTSEV 44.59 351733.29 550309.07 3502.88 4.31 GOVSEV 0.00 0.00 80895.28 2527.39 0.93 SOSSEV 7.99 60019.63 23260.22 590.20 0.00 HHSEV 192.06 60539.18 5524.86 2802.54 0.00 CAPACC 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 INTXSUB 3.07 24962.26 -2108635.13 1478.22 0.00 ROW 3438.05 6240392.27 2325178.56 41263.72 1.31 TOTAL 2083207.88 26659585.06 7815907.89 472733.69 100483.01 + COSTRUCT TRADE HOTEL REST LABOR 8866544.65 16196910.60 1073075.74 4457519.31 CAPAM 0.00 0.00 0.00 0.00 CAPNAM 11289174.53 17912479.11 1332444.63 3806259.71 VEPOIHH 0.00 0.00 0.00 0.00 VEPOIIHH 0.00 0.00 0.00 0.00 POORIHH 0.00 0.00 0.00 0.00 POORIIHH 0.00 0.00 0.00 0.00 MIDIHH 0.00 0.00 0.00 0.00 MIDIIHH 0.00 0.00 0.00 0.00 MIDIIIHH 0.00 0.00 0.00 0.00 HIGIHH 0.00 0.00 0.00 0.00 HIGIIHH 0.00 0.00 0.00 0.00 VEHIGHH 0.00 0.00 0.00 0.00 COMPANY 0.00 0.00 0.00 0.00 GOVERN 0.00 0.00 0.00 0.00 AGRI 0.00 0.00 1167.55 259256.10 PLANT 111988.54 0.00 1167.36 14123.24 LIVESTOC 0.00 0.03 0.00 58109.41 FISHERY 0.00 0.00 0.01 276775.58 MINE 7056.07 0.00 0.00 0.00 FOODTOB 0.00 4243.41 105622.35 4060213.84 TEXLEATH 8834.96 109089.48 27792.66 98548.00 CHEBSRUB 960033.41 422136.38 17346.87 74066.28 MACHINEQ 808581.15 162943.81 9061.13 38461.24 BBMBBG 262637.61 132339.40 9438.22 95516.33 PAPWOMET 4720963.13 412458.14 34246.07 175813.28 LIGAS 155968.80 818276.28 264681.88 410952.26 WATPAM 14296.83 15775.46 28108.31 24018.65 WATNPAM 47.18 923.60 4643.49 2219.32 COSTRUCT 71168.39 385464.02 71949.85 130397.46 TRADE 0.00 0.00 0.00 0.00 HOTEL 10350.00 47658.47 23664.41 55531.23 REST 116284.51 702568.12 14812.98 216262.56 TRANS 82125.02 657199.48 5166.22 21910.21 AIRSEA 1659.97 124589.09 485.54 9.62 TRANSSEV 4313.65 87878.10 4374.29 30213.97 COMSEV 116540.42 650296.18 63730.56 231958.57 BANKOSEV 912278.39 1749525.71 273839.03 285411.16 RENTSEV 1274577.71 1283642.39 122249.59 326828.60 GOVSEV 26790.27 7859.49 47587.44 98991.37 SOSSEV 86200.43 52419.10 105950.89 91380.96 HHSEV 97657.34 113192.91 16036.54 10198.36 CAPACC 0.00 0.00 0.00 0.00 INTXSUB 118782.90 149979.02 71441.96 370026.65 ROW 9011044.49 2199918.28 290301.37 4408203.50 TOTAL 9135900.35 44399766.06 4020386.94 20129176.77

Program CGE Air Minum DKI Jakarta

Disertasi OM Final I-9

+ TRANS AIRSEA TRANSSEV COMSEV BANKOSEV LABOR 3111265.23 1025741.74 598166.77 2042336.59 11497395.09 CAPAM 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 CAPNAM 1621119.37 1437696.81 1505947.91 3178628.27 15683659.06 VEPOIHH 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 VEPOIIHH 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 POORIHH 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 POORIIHH 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 MIDIHH 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 MIDIIHH 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 MIDIIIHH 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 HIGIHH 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 HIGIIHH 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 VEHIGHH 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 COMPANY 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 GOVERN 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 AGRI 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 PLANT 0.36 0.00 0.00 0.00 1.16 LIVESTOC 0.15 0.00 0.00 0.00 0.00 FISHERY 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 MINE 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 FOODTOB 0.00 52617.38 0.00 0.80 0.44 TEXLEATH 9274.60 25194.36 11397.15 10092.28 9797.96 CHEBSRUB 28966.87 49707.24 3032.75 10873.00 16110.73 MACHINEQ 525801.34 77296.31 12874.49 62172.67 25701.51 BBMBBG 256095.93 126067.53 17277.87 27584.24 18605.62 PAPWOMET 19749.86 30632.43 11729.72 117221.71 325818.83 LIGAS 39521.36 30114.59 39587.35 159470.10 351496.89 WATPAM 3907.51 22644.69 7427.81 8878.89 2642.60 WATNPAM 0.00 0.00 0.00 298.33 141.64 COSTRUCT 33981.47 67794.73 90010.38 510413.12 376623.47 TRADE 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 HOTEL 5822.61 5308.47 35144.60 27171.33 46019.48 REST 106523.68 18718.22 14807.18 34341.24 90432.09 TRANS 68318.78 4963.89 3315.11 17068.52 96752.52 AIRSEA 24552.88 56241.26 3638.08 21749.10 1154.16 TRANSSEV 225598.68 185467.15 103750.10 33949.96 6391.68 COMSEV 43889.27 56577.23 123425.35 476388.17 1028217.01 BANKOSEV 193311.26 293988.62 18815.32 171614.32 5875120.29 RENTSEV 66177.19 122975.30 183795.54 530210.01 2508612.44 GOVSEV 47507.36 12152.29 19943.76 76491.34 51702.04 SOSSEV 12142.39 15948.67 20578.61 53914.69 60551.96 HHSEV 289267.05 7513.34 23914.05 12419.74 62528.63 CAPACC 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 INTXSUB 28156.25 11394.67 7936.74 23738.68 132209.74 ROW 1701743.85 1257120.73 125898.08 1231861.67 1433208.41 TOTAL 8462695.30 4993877.65 2982414.72 8838888.77 39700895.45 + RENTSEV GOVSEV SOSSEV HHSEV CAPACC LABOR 6812199.88 5833639.47 3255546.52 3391181.47 0.00 CAPAM 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 CAPNAM 11951690.34 955420.85 1245449.95 5114992.58 0.00 VEPOIHH 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 VEPOIIHH 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 POORIHH 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 POORIIHH 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00

Program CGE Air Minum DKI Jakarta

Disertasi OM Final I-10

MIDIHH 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 MIDIIHH 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 MIDIIIHH 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 HIGIHH 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 HIGIIHH 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 VEHIGHH 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 COMPANY 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 GOVERN 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 AGRI 0.10 11512.77 21691.59 0.00 0.00 PLANT 0.96 37.47 4793.73 8.09 17.50 LIVESTOC 0.00 1934.67 3839.72 0.00 1753.42 FISHERY 0.00 4100.39 58.19 0.00 0.24 MINE 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 FOODTOB 0.69 63346.58 208563.14 1494.94 29604.41 TEXLEATH 54832.80 92103.89 122480.57 347717.26 350004.44 CHEBSRUB 425585.68 483567.39 581810.64 272072.39 106415.12 MACHINEQ 479773.72 214767.61 72543.76 198088.46 21841950.41 BBMBBG 125229.41 52153.09 24615.08 16039.23 1.88 PAPWOMET 396861.07 574821.08 322362.83 73943.78 1552300.25 LIGAS 866211.71 393493.69 217408.04 427021.33 2.37 WATPAM 22040.87 6936.34 13246.54 6579.45 -377.41 WATNPAM 960.98 729.70 312.62 179.26 1540.07 COSTRUCT 1471866.40 1016219.18 120899.34 60776.79 34347695.72 TRADE 0.00 0.00 0.00 0.00 883.68 HOTEL 124239.76 48532.96 20011.90 4942.00 4643.49 REST 166061.74 451023.84 36339.38 1349.97 2219.32 TRANS 83224.05 69884.75 12145.96 9530.57 0.00 AIRSEA 33661.76 34275.01 2198.41 67.62 6.00 TRANSSEV 62946.14 146697.95 7932.70 2614.67 0.00 COMSEV 763352.83 274957.55 122803.88 105105.56 298.33 BANKOSEV 3710216.64 244801.12 99114.09 48808.08 141.64 RENTSEV 2059004.44 263662.94 512068.34 312873.94 960.98 GOVSEV 352890.68 610842.94 206706.13 11061.95 729.70 SOSSEV 506452.32 26457.42 385584.27 39184.83 25418.36 HHSEV 383849.69 68924.13 42195.62 22187.31 43860.82 CAPACC 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 INTXSUB 101608.48 9.74 82767.61 36905.74 0.00 ROW 2395750.51 1436929.22 1011705.07 632007.44 13007824.99 TOTAL 33350513.65 13381783.74 8757195.62 11136734.71 71317895.73 + INTXSUB ROW TOTAL LABOR 0.00 260320.87 85898228.41 CAPAM 0.00 0.00 175616.51 CAPNAM 0.00 19492364.96 128734749.65 VEPOIHH 0.00 6267.93 1914012.93 VEPOIIHH 0.00 4200.11 2842339.65 POORIHH 0.00 2945.53 3449900.90 POORIIHH 0.00 2247.94 4962573.22 MIDIHH 0.00 1327.40 5664861.49 MIDIIHH 0.00 1027.20 7338081.61 MIDIIIHH 0.00 964.00 9527536.92 HIGIHH 0.00 685.99 11558197.56 HIGIIHH 0.00 349.59 15425566.67 VEHIGHH 0.00 247.94 54287107.42 COMPANY 0.00 103894901.40 187401943.34 GOVERN -677796.72 11486743.72 13991363.90 AGRI 0.00 64900.56 1321408.65

Program CGE Air Minum DKI Jakarta

Disertasi OM Final I-11

PLANT 0.00 29930.80 224393.83 LIVESTOC 0.00 16190.78 221116.00 FISHERY 0.00 208173.18 668419.30 MINE 0.00 2380280.00 2396691.65 FOODTOB 0.00 8740243.61 19548776.80 TEXLEATH 0.00 23997612.25 33895559.96 CHEBSRUB 0.00 10413193.05 19200975.71 MACHINEQ 0.00 18302779.78 51907795.13 BBMBBG 0.00 0.00 2083207.88 PAPWOMET 0.00 12950330.20 26659585.06 LIGAS 0.00 0.00 7815907.89 WATPAM 0.00 0.00 472733.69 WATNPAM 0.00 0.00 100483.01 COSTRUCT 0.00 0.00 39135900.35 TRADE 0.00 8092703.13 44399766.06 HOTEL 0.00 2176577.78 4020386.94 REST 0.00 2661279.82 20129176.77 TRANS 0.00 2222235.87 8462695.30 AIRSEA 0.00 2073633.89 4993877.65 TRANSSEV 0.00 746176.73 2982414.72 COMSEV 0.00 2344149.15 8838888.77 BANKOSEV 0.00 5521562.92 39700895.45 RENTSEV 0.00 9444609.07 33350513.65 GOVSEV 0.00 665892.87 13381783.74 SOSSEV 0.00 2574920.63 8757195.62 HHSEV 0.00 2522578.45 11136734.71 CAPACC 0.00 55903343.01 71317895.73 INTXSUB 0.00 153502.09 -677796.72 ROW 0.00 95287239.01 404648633.21 TOTAL -677796.72 404648633.21 ; TABLE IMPORTLN(*,*) Benchmark Import VEPOIHH VEPOIIHH POORIHH POORIIHH MIDIHH AGRI 43852.52 76567.52 97523.89 108087.37 133130.34 PLANT 2794.82 4720.68 6183.48 6013.39 7803.49 LIVESTOC 9275.19 15666.55 20521.17 19956.69 25897.52 FISHERY 3755.07 8454.93 11935.27 13557.68 18064.55 MINE 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 FOODTOB 115044.48 163212.08 213556.11 233820.88 278900.59 TEXLEATH 25600.74 36110.98 51878.18 64386.97 64637.24 CHEBSRUB 105519.35 138565.58 179365.50 206089.93 244009.99 MACHINEQ 1961.31 18347.77 40807.97 43655.04 28091.07 BBMBBG 22857.73 42988.89 46524.74 60642.94 74424.17 PAPWOMET 15214.96 29259.35 40718.06 58540.08 70998.39 LIGAS 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 WATPAM 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 WATNPAM 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 COSTRUCT 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 TRADE 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 HOTEL 234.05 534.97 311.80 288.96 305.54 REST 2893.94 3044.14 3922.62 4341.53 4910.76 TRANS 2288.61 3295.19 4305.36 5179.27 6614.16 AIRSEA 11297.22 16265.94 21252.43 25566.26 32649.29 TRANSSEV 311.34 448.27 585.69 704.57 899.77 COMSEV 88.19 119.36 223.52 437.68 1293.19 BANKOSEV 15.40 741.60 178.25 341.09 59.42

Program CGE Air Minum DKI Jakarta

Disertasi OM Final I-12

RENTSEV 456.94 603.41 794.53 916.70 1198.19 GOVSEV 288.73 420.73 545.91 657.30 881.66 SOSSEV 1307.69 2387.27 3386.71 4434.79 5674.27 HHSEV 123.63 140.76 150.24 172.07 259.55 + MIDIIHH MIDIIIHH HIGIHH HIGIIHH VEHIGHH AGRI 182397.00 212224.10 262831.63 328300.73 539947.26 PLANT 10744.68 13840.37 14082.74 16816.35 26064.34 LIVESTOC 35658.48 45932.18 46736.53 55808.58 86500.00 FISHERY 24756.24 30992.87 38182.14 51109.86 97584.53 MINE 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 FOODTOB 362678.40 469152.90 520441.06 653263.95 1152245.40 TEXLEATH 100176.00 132525.60 155056.24 229011.89 498075.96 CHEBSRUB 322234.82 419232.33 467957.24 575794.41 1186821.70 MACHINEQ 102874.05 297740.02 435727.90 838619.62 6164724.14 BBMBBG 95754.65 132154.47 160975.58 260995.69 975596.72 PAPWOMET 124286.36 150632.36 206845.56 316624.52 791861.66 LIGAS 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 WATPAM 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 WATNPAM 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 COSTRUCT 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 TRADE 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 HOTEL 698.35 742.66 1836.79 3138.62 22732.05 REST 6375.64 8561.59 8886.23 11767.79 22253.31 TRANS 9578.05 11260.73 12385.86 15706.71 23568.57 AIRSEA 47279.86 55585.99 61139.96 77532.58 137796.87 TRANSSEV 1302.97 1531.87 1684.93 2136.69 3845.54 COMSEV 1959.20 3487.82 6047.26 10523.95 32740.70 BANKOSEV 1362.17 325.69 189.25 2772.75 122163.56 RENTSEV 1628.68 2098.14 2448.28 3471.55 16486.37 GOVSEV 1189.28 1635.61 2199.01 3701.10 12183.22 SOSSEV 12801.54 13844.36 17814.62 25216.25 61663.33 HHSEV 367.09 455.65 737.20 1421.28 9221.13 + COMPANY GOVERN AGRI PLANT LIVESTOC AGRI 0.00 0.00 3893.65 53.13 147.12 PLANT 0.00 0.00 0.69 276.58 46.70 LIVESTOC 0.00 0.00 2380.63 965.85 805.10 FISHERY 0.00 0.00 5.97 0.00 9.50 MINE 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 FOODTOB 0.00 0.00 0.00 0.00 4288.46 TEXLEATH 0.00 0.00 220.56 6.15 1.39 CHEBSRUB 0.00 0.00 4974.72 693.99 379.16 MACHINEQ 0.00 0.00 4.10 0.91 455.34 BBMBBG 0.00 0.00 602.42 32.80 0.61 PAPWOMET 0.00 0.00 548.29 226.35 30.98 LIGAS 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 WATPAM 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 WATNPAM 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 COSTRUCT 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 TRADE 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 HOTEL 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 REST 0.00 0.00 9.89 0.00 1.34 TRANS 0.00 0.00 2.09 1.22 6.01 AIRSEA 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 TRANSSEV 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 COMSEV 0.00 0.00 6.32 0.74 0.00

Program CGE Air Minum DKI Jakarta

Disertasi OM Final I-13

BANKOSEV 0.00 0.00 4.18 0.00 2.52 RENTSEV 0.00 0.00 0.00 0.00 0.82 GOVSEV 0.00 120393.63 0.00 0.00 0.00 SOSSEV 0.00 0.00 8.66 0.00 6.04 HHSEV 0.00 0.00 38.35 6.94 0.90 + FISHERY MINE FOODTOB TEXLEATH CHEBSRUB AGRI 0.00 0.00 3558365.40 21386.72 32184.89 PLANT 563.59 155.51 0.00 0.00 6245.46 LIVESTOC 47.34 0.00 1138659.99 9287.44 0.00 FISHERY 5680.49 0.00 350973.62 0.00 55.05 MINE 0.00 248762.76 277.84 0.00 6011.14 FOODTOB 6689.60 0.00 1829734.94 500.01 21033.23 TEXLEATH 1328.67 464.69 5890.06 5099072.40 45688.90 CHEBSRUB 121.44 8380.43 89082.87 614779.88 3969540.92 MACHINEQ 3777.04 45460.40 4375.76 115825.90 6987.17 BBMBBG 19957.48 46950.12 131884.44 208706.99 137092.69 PAPWOMET 750.00 5032.32 239950.03 227847.85 127359.10 LIGAS 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 WATPAM 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 WATNPAM 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 COSTRUCT 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 TRADE 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 HOTEL 0.00 29.24 11.56 24.86 18.28 REST 31.28 28.32 9.60 40.41 21.17 TRANS 0.00 964.18 179.11 107.86 302.87 AIRSEA 26.95 31686.35 11615.21 24053.09 17619.38 TRANSSEV 0.00 516.65 825.69 1149.64 1491.01 COMSEV 34.83 296.14 942.96 1276.79 7546.59 BANKOSEV 32.80 4729.59 1989.52 7561.50 1771.53 RENTSEV 0.00 2190.62 6914.56 38938.16 11747.44 GOVSEV 2.00 0.00 233.84 0.00 0.00 SOSSEV 213.47 310.74 640.04 1564.11 1534.60 HHSEV 52.41 10.57 8338.55 8109.52 8198.41 + MACHINEQ BBMBBG PAPWOMET LIGAS WATPAM AGRI 0.00 0.00 1664.00 0.00 0.00 PLANT 505.43 0.00 99304.37 0.00 0.00 LIVESTOC 0.00 0.00 0.00 1.58 0.02 FISHERY 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 MINE 6925.78 567.55 713808.92 491417.19 0.00 FOODTOB 0.00 0.00 127.59 1.07 0.00 TEXLEATH 2620.91 4.63 122899.83 1544.78 7.10 CHEBSRUB 1174365.08 140.81 489159.75 4615.25 22374.57 MACHINEQ 8361475.57 15.22 259541.76 525937.20 7941.26 BBMBBG 242923.94 2419.17 387748.92 1261317.23 8808.26 PAPWOMET 2003949.99 159.23 4099764.20 9669.59 1320.91 LIGAS 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 WATPAM 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 WATNPAM 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 COSTRUCT 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 TRADE 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 HOTEL 16.01 0.00 15.08 67.07 19.95 REST 83.36 0.00 148.92 99.57 18.78 TRANS 334.06 0.05 1497.19 975.94 101.94 AIRSEA 17850.37 1.31 13433.60 16134.76 50.64 TRANSSEV 942.83 0.00 5241.95 487.32 44.90

Program CGE Air Minum DKI Jakarta

Disertasi OM Final I-14

COMSEV 2633.24 89.95 20732.09 7449.09 27.59 BANKOSEV 9946.70 10.15 2211.18 703.31 96.02 RENTSEV 5872.36 1.03 12922.98 2840.01 8.47 GOVSEV 4545.71 0.00 0.00 693.30 14.79 SOSSEV 1331.92 0.00 1062.70 388.32 6.29 HHSEV 15054.00 28.95 9107.24 835.98 422.23 + WATNPAM COSTRUCT TRADE HOTEL AGRI 0.00 0.00 0.00 2502.45 PLANT 0.00 630193.73 0.00 729.29 LIVESTOC 0.00 0.00 0.00 0.00 FISHERY 0.00 0.00 0.00 0.01 MINE 0.00 335280.19 0.00 0.00 FOODTOB 0.00 0.00 763.98 76443.48 TEXLEATH 0.00 1967.77 20498.55 3148.57 CHEBSRUB 0.00 430432.44 140467.32 7466.22 MACHINEQ 0.00 573781.77 91941.23 6310.95 BBMBBG 0.00 1077822.98 540793.11 37836.16 PAPWOMET 1.31 5083688.31 447262.66 41062.40 LIGAS 0.00 0.00 0.00 0.00 WATPAM 0.00 0.00 0.00 0.00 WATNPAM 0.00 0.00 0.00 0.00 COSTRUCT 0.00 0.00 0.00 0.00 TRADE 0.00 0.00 0.00 0.00 HOTEL 0.00 291.07 2518.77 620.29 REST 0.00 568.87 4255.34 157.36 TRANS 0.00 2239.52 86063.23 140.88 AIRSEA 0.00 33752.34 93783.05 529.00 TRANSSEV 0.00 491.62 18130.09 207.38 COMSEV 0.00 1744.46 259778.39 6602.11 BANKOSEV 0.00 10642.10 158835.60 19380.28 RENTSEV 0.00 824739.95 229511.42 64306.76 GOVSEV 0.00 621.98 27.88 0.89 SOSSEV 0.00 1295.36 3640.50 14645.90 HHSEV 0.00 1490.03 101647.16 8210.99 + REST TRANS AIRSEA TRANSSEV COMSEV AGRI 657961.02 0.00 0.00 0.00 0.00 PLANT 36342.65 0.00 0.00 0.00 0.00 LIVESTOC 1027096.05 0.00 0.00 0.00 0.00 FISHERY 394657.52 0.00 0.00 0.00 0.00 MINE 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 FOODTOB 1625063.00 0.00 17959.29 0.00 0.00 TEXLEATH 9753.95 518.63 3950.33 434.12 2578.93 CHEBSRUB 26067.43 6261.81 7502.31 907.36 2089.33 MACHINEQ 7839.90 502107.85 245090.17 3929.61 34715.82 BBMBBG 391055.72 1049785.40 509212.81 66670.44 110966.97 PAPWOMET 94924.35 7849.92 11292.17 6634.54 43742.89 LIGAS 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 WATPAM 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 WATNPAM 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 COSTRUCT 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 TRADE 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 HOTEL 1092.46 131.26 275.31 731.20 777.94 REST 1742.67 768.76 192.39 81.97 297.93 TRANS 12109.49 9125.26 135.36 494.47 479.23 AIRSEA 2661.08 2739.00 7617.54 11862.95 81360.96

Program CGE Air Minum DKI Jakarta

Disertasi OM Final I-15

TRANSSEV 9620.00 7320.40 414986.03 13219.50 2680.81 COMSEV 3699.87 572.68 12942.41 13972.68 922255.58 BANKOSEV 11054.84 20045.47 19082.39 1747.94 14249.40 RENTSEV 81127.15 52658.80 4663.58 3132.90 11245.28 GOVSEV 2.00 4.27 403.03 0.00 1167.22 SOSSEV 12795.83 490.57 686.80 558.83 1382.19 HHSEV 1536.52 41363.77 1128.81 1519.57 1871.19 + BANKOSEV RENTSEV GOVSEV SOSSEV HHSEV AGRI 0.00 0.00 19843.55 46421.72 0.00 PLANT 0.00 0.00 74.07 1149.38 34.65 LIVESTOC 0.00 0.00 14471.56 41133.84 0.00 FISHERY 0.00 0.00 5104.42 45.03 0.00 MINE 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 FOODTOB 0.00 0.00 15669.26 74790.64 148.18 TEXLEATH 1003.12 10511.64 12535.39 21781.13 131116.87 CHEBSRUB 4732.55 124061.87 285154.34 284041.08 100616.47 MACHINEQ 1356.83 743603.45 90197.19 25552.71 143161.80 BBMBBG 72498.12 512004.13 209692.52 94994.64 159317.86 PAPWOMET 171762.93 355427.92 430433.55 266002.03 62504.93 LIGAS 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 WATPAM 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 WATNPAM 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 COSTRUCT 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 TRADE 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 HOTEL 2203.76 2871.36 144559.14 507.70 104.65 REST 1165.83 1015.63 2791.12 232.22 206.00 TRANS 8134.95 11398.07 28638.40 827.28 259.90 AIRSEA 170365.14 189571.89 52807.21 16623.36 741.49 TRANSSEV 465.80 1136.31 22672.28 1369.11 324.77 COMSEV 156564.08 47535.54 4365.34 2533.09 3305.25 BANKOSEV 205161.11 65583.41 2238.04 1125.37 317.88 RENTSEV 625858.47 251823.59 73955.43 27212.81 24729.64 GOVSEV 1542.46 11117.82 9172.27 10486.18 275.99 SOSSEV 2088.65 45902.15 4750.92 94145.05 1410.66 HHSEV 8304.61 22185.73 7803.22 730.70 3430.45 + FXDCAP INVSTK TAX AGRI 0.00 0.00 0.00 PLANT 4.00 0.00 0.00 LIVESTOC 28403.00 0.00 0.00 FISHERY 0.00 0.00 0.00 MINE 0.00 0.00 0.00 FOODTOB 12929.00 0.00 0.00 TEXLEATH 9564.00 0.00 0.00 CHEBSRUB 350227.00 0.00 0.00 MACHINEQ 174892.00 0.00 0.00 BBMBBG 0.00 0.00 0.00 PAPWOMET 241190.00 0.00 0.00 LIGAS 0.00 0.00 0.00 WATPAM 0.00 0.00 0.00 WATNPAM 0.00 0.00 0.00 COSTRUCT 0.00 0.00 0.00 TRADE 0.00 0.00 0.00 HOTEL 0.00 0.00 0.00 REST 0.00 0.00 0.00 TRANS 0.00 0.00 0.00

Program CGE Air Minum DKI Jakarta

Disertasi OM Final I-16

AIRSEA 0.00 0.00 0.00 TRANSSEV 0.00 0.00 0.00 COMSEV 0.00 0.00 0.00 BANKOSEV 0.00 0.00 0.00 RENTSEV 0.00 0.00 0.00 GOVSEV 0.00 0.00 0.00 SOSSEV 0.00 0.00 0.00 HHSEV 0.00 0.00 0.00 ; TABLE FIXCAP(*,*) Domestic Capital information FXIN DEPRE AGRI 5399 0.0216 PLANT 491 0.0029 LIVESTOC 1710 0.0051 FISHERY 25917 0.0018 MINE 473927 0.0049 FOODTOB 1357592 0.0102 TEXLEATH 4816766 0.0015 CHEBSRUB 2167886 0.0007 MACHINEQ 11138288 0.0029 BBMBBG 78978 0.0000 PAPWOMET 3771393 0.0021 LIGAS 3875182 0.0203 WATPAM 99818 0.0154 WATNPAM 21217 0.0154 COSTRUCT 1373854 0.0002 TRADE 9120265 0.0004 HOTEL 2704676 0.0004 REST 1616795 0.0004 TRANS 3916135 0.0024 AIRSEA 1479367 0.0016 TRANSSEV 1310195 0.0005 COMSEV 5722957 0.0003 BANKOSEV 5358488 0.0022 RENTSEV 5171850 0.0074 GOVSEV 1093303 0.0070 SOSSEV 2711462 0.0183 HHSEV 1746446 0.0087; TABLE FACDEMO(*,*) Benchmark Factor Demand by Sector LABOR CAPAM CAPNAM AGRI 7530 0 375 PLANT 1721 0 530 LIVESTOC 1235 0 384 FISHERY 12307 0 31587 MINE 3084 0 104601 FOODTOB 80566 0 180326 TEXLEATH 185559 0 4309259 CHEBSRUB 112966 0 3912147 MACHINEQ 213016 0 4985129 BBMBBG 646 0 209831 PAPWOMET 136281 0 2303637 LIGAS 44226 0 254220 WATPAM 3444 8529 0 WATNPAM 8 0 1813

Program CGE Air Minum DKI Jakarta

Disertasi OM Final I-17

COSTRUCT 436093 0 4051646 TRADE 524383 0 25617764 HOTEL 33495 0 7536475 REST 142793 0 4821082 TRANS 124717 0 3433752 AIRSEA 39160 0 1260836 TRANSSEV 22926 0 3654329 COMSEV 78103 0 10287603 BANKOSEV 441045 0 3803154 RENTSEV 260402 0 1406651 GOVSEV 248024 0 195250 SOSSEV 133887 0 248774 HHSEV 139115 0 603589; TABLE ICAP(*,*) Capital Composition Matrix AGRI PLANT LIVESTOC FISHERY MINE AGRI 0.0000 0.0000 0.0000 0.0000 0.0000 PLANT 0.0000 1.0000 0.0000 0.0000 0.0000 LIVESTOC 1.0000 0.0000 0.9932 0.0000 1.0000 FISHERY 0.0000 0.0000 0.0000 0.0000 0.0000 MINE 0.0000 0.0000 0.0000 0.0000 0.0000 FOODTOB 0.0000 0.0000 0.0000 0.0000 0.0000 TEXLEATH 0.0000 0.0000 0.0000 0.0000 0.0000 CHEBSRUB 0.0000 0.0000 0.0000 0.0000 0.0000 MACHINEQ 0.0000 0.0000 0.0068 1.0000 0.0000 BBMBBG 0.0000 0.0000 0.0000 0.0000 0.0000 PAPWOMET 0.0000 0.0000 0.0000 0.0000 0.0000 LIGAS 0.0000 0.0000 0.0000 0.0000 0.0000 WATPAM 0.0000 0.0000 0.0000 0.0000 0.0000 WATNPAM 0.0000 0.0000 0.0000 0.0000 0.0000 COSTRUCT 0.0000 0.0000 0.0000 0.0000 0.0000 TRADE 0.0000 0.0000 0.0000 0.0000 0.0000 HOTEL 0.0000 0.0000 0.0000 0.0000 0.0000 REST 0.0000 0.0000 0.0000 0.0000 0.0000 TRANS 0.0000 0.0000 0.0000 0.0000 0.0000 AIRSEA 0.0000 0.0000 0.0000 0.0000 0.0000 TRANSSEV 0.0000 0.0000 0.0000 0.0000 0.0000 COMSEV 0.0000 0.0000 0.0000 0.0000 0.0000 BANKOSEV 0.0000 0.0000 0.0000 0.0000 0.0000 RENTSEV 0.0000 0.0000 0.0000 0.0000 0.0000 GOVSEV 0.0000 0.0000 0.0000 0.0000 0.0000 SOSSEV 0.0000 0.0000 0.0000 0.0000 0.0000 HHSEV 0.0000 0.0000 0.0000 0.0000 0.0000 + FOODTOB TEXLEATH CHEBSRUB MACHINEQ BBMBBG AGRI 0.0000 0.0000 0.0000 0.0000 0.0000 PLANT 0.0000 0.0000 0.0000 0.0000 0.0000 LIVESTOC 0.0000 0.0000 0.0000 0.0000 0.0000 FISHERY 0.0000 0.0000 0.0000 0.0000 0.0000 MINE 0.0000 0.0000 0.0000 0.0000 0.0000 FOODTOB 0.2485 0.0000 0.0000 0.0000 0.0000 TEXLEATH 0.0039 0.8660 0.0005 0.0000 0.0006 CHEBSRUB 0.0000 0.0000 0.8202 0.0000 0.0000 MACHINEQ 0.2810 0.0621 0.1474 0.9748 0.7925 BBMBBG 0.0000 0.0000 0.0000 0.0000 0.0000 PAPWOMET 0.0000 0.0000 0.0000 0.0238 0.0000

Program CGE Air Minum DKI Jakarta

Disertasi OM Final I-18

LIGAS 0.0000 0.0000 0.0000 0.0000 0.0000 WATPAM 0.0000 0.0000 0.0000 0.0000 0.0000 WATNPAM 0.0000 0.0000 0.0000 0.0000 0.0000 COSTRUCT 0.4666 0.0719 0.0319 0.0014 0.2069 TRADE 0.0000 0.0000 0.0000 0.0000 0.0000 HOTEL 0.0000 0.0000 0.0000 0.0000 0.0000 REST 0.0000 0.0000 0.0000 0.0000 0.0000 TRANS 0.0000 0.0000 0.0000 0.0000 0.0000 AIRSEA 0.0000 0.0000 0.0000 0.0000 0.0000 TRANSSEV 0.0000 0.0000 0.0000 0.0000 0.0000 COMSEV 0.0000 0.0000 0.0000 0.0000 0.0000 BANKOSEV 0.0000 0.0000 0.0000 0.0000 0.0000 RENTSEV 0.0000 0.0000 0.0000 0.0000 0.0000 GOVSEV 0.0000 0.0000 0.0000 0.0000 0.0000 SOSSEV 0.0000 0.0000 0.0000 0.0000 0.0000 HHSEV 0.0000 0.0000 0.0000 0.0000 0.0000 + PAPWOMET LIGAS WATPAM WATNPAM WATLPAM AGRI 0.0000 0.0000 0.0000 0.0000 0.0000 PLANT 0.0000 0.0000 0.0000 0.0000 0.0000 LIVESTOC 0.0000 0.0000 0.0000 0.0000 0.0000 FISHERY 0.0000 0.0000 0.0000 0.0000 0.0000 MINE 0.0000 0.0000 0.0000 0.0000 0.0000 FOODTOB 0.0000 0.0000 0.0000 0.0000 0.0000 TEXLEATH 0.0006 0.0000 0.0000 0.0000 0.0000 CHEBSRUB 0.0000 0.0000 0.0000 0.0000 0.0000 MACHINEQ 0.8592 0.0709 0.1623 0.1623 0.1623 BBMBBG 0.0000 0.0000 0.0000 0.0000 0.0000 PAPWOMET 0.1130 0.0000 0.0000 0.0000 0.0000 LIGAS 0.0000 0.0000 0.0000 0.0000 0.0000 WATPAM 0.0000 0.0000 0.0000 0.0000 0.0000 WATNPAM 0.0000 0.0000 0.0000 0.0000 0.0000 COSTRUCT 0.0272 0.9291 0.8377 0.8377 0.8377 TRADE 0.0000 0.0000 0.0000 0.0000 0.0000 HOTEL 0.0000 0.0000 0.0000 0.0000 0.0000 REST 0.0000 0.0000 0.0000 0.0000 0.0000 TRANS 0.0000 0.0000 0.0000 0.0000 0.0000 AIRSEA 0.0000 0.0000 0.0000 0.0000 0.0000 TRANSSEV 0.0000 0.0000 0.0000 0.0000 0.0000 COMSEV 0.0000 0.0000 0.0000 0.0000 0.0000 BANKOSEV 0.0000 0.0000 0.0000 0.0000 0.0000 RENTSEV 0.0000 0.0000 0.0000 0.0000 0.0000 GOVSEV 0.0000 0.0000 0.0000 0.0000 0.0000 SOSSEV 0.0000 0.0000 0.0000 0.0000 0.0000 HHSEV 0.0000 0.0000 0.0000 0.0000 0.0000 + COSTRUCT TRADE HOTEL REST TRANS AGRI 0.0000 0.0000 0.0000 0.0000 0.0000 PLANT 0.0000 0.0000 0.0000 0.0000 0.0000 LIVESTOC 0.0000 0.0000 0.0000 0.0000 0.0000 FISHERY 0.0000 0.0000 0.0000 0.0000 0.0000 MINE 0.0000 0.0000 0.0000 0.0000 0.0000 FOODTOB 0.0000 0.0000 0.0360 0.0558 0.0000 TEXLEATH 0.0000 0.0000 0.0000 0.0000 0.0000 CHEBSRUB 0.0000 0.0000 0.0000 0.0000 0.0000 MACHINEQ 0.0006 0.0126 0.2817 0.1758 1.0000 BBMBBG 0.0000 0.0000 0.0000 0.0000 0.0000

Program CGE Air Minum DKI Jakarta

Disertasi OM Final I-19

PAPWOMET 0.1249 0.0000 0.0000 0.0000 0.0000 LIGAS 0.0000 0.0000 0.0000 0.0000 0.0000 WATPAM 0.0000 0.0000 0.0000 0.0000 0.0000 WATNPAM 0.0000 0.0000 0.0000 0.0000 0.0000 COSTRUCT 0.8745 0.9874 0.6823 0.7684 0.0000 TRADE 0.0000 0.0000 0.0000 0.0000 0.0000 HOTEL 0.0000 0.0000 0.0000 0.0000 0.0000 REST 0.0000 0.0000 0.0000 0.0000 0.0000 TRANS 0.0000 0.0000 0.0000 0.0000 0.0000 AIRSEA 0.0000 0.0000 0.0000 0.0000 0.0000 TRANSSEV 0.0000 0.0000 0.0000 0.0000 0.0000 COMSEV 0.0000 0.0000 0.0000 0.0000 0.0000 BANKOSEV 0.0000 0.0000 0.0000 0.0000 0.0000 RENTSEV 0.0000 0.0000 0.0000 0.0000 0.0000 GOVSEV 0.0000 0.0000 0.0000 0.0000 0.0000 SOSSEV 0.0000 0.0000 0.0000 0.0000 0.0000 HHSEV 0.0000 0.0000 0.0000 0.0000 0.0000 + AIRSEA TRANSSEV COMSEV BANKOSEV RENTSEV AGRI 0.0000 0.0000 0.0000 0.0000 0.0000 PLANT 0.0000 0.0000 0.0000 0.0000 0.0000 LIVESTOC 0.0000 0.0000 0.0000 0.0000 0.0000 FISHERY 0.0000 0.0000 0.0000 0.0000 0.0000 MINE 0.0000 0.0000 0.0000 0.0000 0.0000 FOODTOB 0.0000 0.0000 0.0000 0.0000 0.0000 TEXLEATH 0.0000 0.0000 0.0000 0.0000 0.0000 CHEBSRUB 0.0000 0.0000 0.0000 0.0000 0.0000 MACHINEQ 1.0000 0.0037 0.1219 0.1384 0.0058 BBMBBG 0.0000 0.0000 0.0000 0.0000 0.0000 PAPWOMET 0.0000 0.0000 0.0000 0.0000 0.0000 LIGAS 0.0000 0.0000 0.0000 0.0000 0.0000 WATPAM 0.0000 0.0000 0.0000 0.0000 0.0000 WATNPAM 0.0000 0.0000 0.0000 0.0000 0.0000 COSTRUCT 0.0000 0.9963 0.8781 0.8616 0.9942 TRADE 0.0000 0.0000 0.0000 0.0000 0.0000 HOTEL 0.0000 0.0000 0.0000 0.0000 0.0000 REST 0.0000 0.0000 0.0000 0.0000 0.0000 TRANS 0.0000 0.0000 0.0000 0.0000 0.0000 AIRSEA 0.0000 0.0000 0.0000 0.0000 0.0000 TRANSSEV 0.0000 0.0000 0.0000 0.0000 0.0000 COMSEV 0.0000 0.0000 0.0000 0.0000 0.0000 BANKOSEV 0.0000 0.0000 0.0000 0.0000 0.0000 RENTSEV 0.0000 0.0000 0.0000 0.0000 0.0000 GOVSEV 0.0000 0.0000 0.0000 0.0000 0.0000 SOSSEV 0.0000 0.0000 0.0000 0.0000 0.0000 HHSEV 0.0000 0.0000 0.0000 0.0000 0.0000 + GOVSEV SOSSEV HHSEV AGRI 0.0000 0.0000 0.0000 PLANT 0.0000 0.0000 0.0000 LIVESTOC 0.0000 0.0000 0.0000 FISHERY 0.0000 0.0000 0.0000 MINE 0.0000 0.0000 0.0000 FOODTOB 0.0000 0.0000 0.0000 TEXLEATH 0.0000 0.0000 0.0000 CHEBSRUB 0.0000 0.0000 0.0000 MACHINEQ 0.1244 0.0979 0.0211

Program CGE Air Minum DKI Jakarta

Disertasi OM Final I-20

BBMBBG 0.0000 0.0000 0.0000 PAPWOMET 0.0000 0.0000 0.0000 LIGAS 0.0000 0.0000 0.0000 WATPAM 0.0000 0.0000 0.0000 WATNPAM 0.0000 0.0000 0.0000 COSTRUCT 0.8756 0.9021 0.9789 TRADE 0.0000 0.0000 0.0000 HOTEL 0.0000 0.0000 0.0000 REST 0.0000 0.0000 0.0000 TRANS 0.0000 0.0000 0.0000 AIRSEA 0.0000 0.0000 0.0000 TRANSSEV 0.0000 0.0000 0.0000 COMSEV 0.0000 0.0000 0.0000 BANKOSEV 0.0000 0.0000 0.0000 RENTSEV 0.0000 0.0000 0.0000 GOVSEV 0.0000 0.0000 0.0000 SOSSEV 0.0000 0.0000 0.0000 HHSEV 0.0000 0.0000 0.0000; TABLE ELAS(*,*) Elasticity of Substitution by Sector AGRI PLANT LIVESTOC FISHERY MINE FOODTOB TEXLEATH ELASX 0.50 0.50 0.50 0.50 0.50 0.50 0.50 ELASV 0.60 0.60 0.60 0.60 0.60 0.60 0.60 ELASEX 0.75 0.75 0.75 0.75 0.75 1.20 0.75 ELASIM 1.38 1.38 1.38 1.57 0.81 0.33 0.52 + CHEBSRUB MACHINEQ BBMBBG PAPWOMET LIGAS WATPAM WATNPAM ELASX 0.50 0.50 0.50 0.50 0.50 0.50 0.50 ELASV 0.60 0.60 0.60 0.60 0.60 0.60 0.60 ELASEX 0.75 0.75 0.80 0.75 0.60 0.60 0.60 ELASIM 0.95 1.08 0.95 0.97 0.50 0.50 0.50 + COSTRUCT ELASX 0.50 ELASV 0.60 ELASEX 0.67 ELASIM 0.82 + TRADE HOTEL REST TRANS AIRSEA TRANSSEV ELASX 0.50 0.50 0.50 0.50 0.50 0.50 ELASV 0.60 0.60 0.60 0.60 0.60 0.60 ELASEX 0.67 0.67 0.67 0.66 0.73 0.55 ELASIM 0.82 0.38 0.82 0.67 0.53 0.67 + COMSEV BANKOSEV RENTSEV GOVSEV SOSSEV HHSEV ELASX 0.50 0.50 0.50 0.50 0.50 0.50 ELASV 0.60 0.60 0.60 0.60 0.60 0.60 ELASEX 0.55 0.75 0.75 0.75 0.73 0.75 ELASIM 0.90 0.90 0.43 0.90 0.90 0.90; TABLE HHTR(*,*) Total HH Transfer to ROW (Rp) VEPOIHH VEPOIIHH POORIHH POORIIHH MIDIHH ROW 164539.38 433200.59 375868.29 1291663.45 1226592.41

Program CGE Air Minum DKI Jakarta

Disertasi OM Final I-21

+ MIDIIHH MIDIIIHH HIGIHH HIGIIHH VEHIGHH ROW 938186.17 1430627.86 1789401.24 983043.82 1213168.88 ; SCALARS UNEMPLO Total unemployment (2000)(thousand) /287000/ EXRO US dollar-Rupiah exchange rate (2000) /1/ GOVBORO Government foreign borrowing (Rp) /0/ GOVAMORO Gov amortization payment to ROW (Rp) /0/ GOVINTRO Government interest payment to ROW (Rp) /0/ CORBORO Company foreign borrowing (Rp million) /0/ CORAMORO Com amortization payment to ROW (Rp) /0/ CORINTRO Company interest payment to ROW (Rp) /0/ FORINVO Foreign investment (Rp) /0/ ; PARAMETER Z(I) dummy variable for implementing watpam tax; Z(I)=1; Z("WATPAM") = 0; *######################################################################### * SECTION II PARAMETER DECLARATION AND BENCHMARK VARIABLES *######################################################################### PARAMETER *# Read from benchmark variables from table values: XO(I) Benchmark sectoral domestic output XEXO(I) Benchmark sectoral export total XIMO(I) Benchmark comodity import total INTDO(I,J) Benchmark intermediate demand domestic INTO(I,J) Benchmark sectoral intermediate demand INTIMO(I) Benchmark sectoral imported inputs ITXSBO(I) Benchmark total sectoral indirect tax minus subsidy FINCO(I,F) Benchmark sectoral factor income FIROWO(F) Benchmark factor income from ROW CHDO(I,H) Benchmark households domestic demand CDO(I,H) Benchmark households demand HHTROWO(H) Benchmark HH transfer to ROW excluded imported goods CDGOVO(I) Benchmark government domestic demand CGOVO(I) Benchmark government demand FROWO(F) Benchmark factor income transfer to ROW HHROWO(H) Benchmark households transfer to ROW GOVROWO Benchmark government transfer net to ROW CORROWO Benchmark company transfer to ROW ROWTROWO Benchmark ROW transfer to ROW HSAVO(H) Benchmark household saving GOVSAVO Benchmark government saving CORSAVO Benchmark company saving HHTRO(H,HH) Benchmark transfer among households HHTAXO(H) Benchmark total household income tax GOVTRO(H) Benchmark government transfer to households GOVGOVO Benchmark government transfer to government CORTRO(H) Benchmark corporate transfer to households CORTAXO Benchmark total company income tax CORTCORO Benchmark corporate transfer to corporate HFO(H,F) Benchmark household income from factor endowments CORFAMO Benchmark corporate income from capital PAM

Program CGE Air Minum DKI Jakarta

Disertasi OM Final I-22

CORFNAMO Benchmark corporate income from capital NPAM GOVFAMO Benchmark total government income from capital PAM GOVFNAMO Benchmark total government income from capital NPAM ROWFAMO Benchmark total ROW income from capital PAM ROWFNAMO Benchmark total ROW income from capital NPAM ROWHHO(H) Benchmark household income from abroad ROWCORO Benchmark company income from abroad ROWGOVO Benchmark government income from abroad ROWTAXO Benchmark tax received from ROW FORINVO Foreign investment (Rp) GOVTXO Benchmark total indirect tax minus subsidy IMPTXO(I) Benchmark total sectoral import tariff TARIFFO Benchmark total tax on imported goods DEPR(I) Benchmark sectoral depreciation rate TRANSFO Benchmark transfer SUBO(PLTW1,H) Benchmark water subsidy to the poor households TOTSUBSO Benchmark total subsidy and transfer *# Calculate benchmark variables: PXO(I) Average output price PNO(I) Intermediate input price PVO(I) Value added price PQO(I) Average domestic demand price PDO(I) Domestic suply price PKO(I) Price for new capital PEO(I) Domestic market price for export PMO(I) Domestic market price for import PWEO(I) World market price for export (in $) PWMO(I) World market price for import (in $) PINDEXO Benchmark price index PINDOMO Benchmark domestic price index WFO(I,F) Factor input price WFDISTO(I,F) Benchmark proportional factor input price WAO(F) Average input price SUMHHTRO(H) Total transfer to other households EDWO(H,F) Benchmark household endowment GOVCAMO Benchmark government capital PAM GOVCNAMO Benchmark government capital NPAM CORCAMO Benchmark company capital PAM CORCNAMO Benchmark company capital NPAM FORCAMO Benchmark foreign capital PAM FORCNAMO Benchmark foreign capital NPAM FDO(F) Benchmark aggregate factor demand TOTLABO Benchmark total workers LABFORO Benchmark labor suplly XDO(I) Benchmark domestic sale QO(I) Benchmark composite good supply INO(I) Benchmark composite sectoral intermediate input VAO(I) Benchmark composite sectoral value added TOTINTO Benchmark sectoral total intermediate demand YFO(F) Benchmark factor income summed over sector YFSECTO(I) Benchmark factor income by sector YHO(H) Benchmark household income YCORPO Benchmark company income STKINVO(I) Benchmark domestic total investment STKDO(I) Benchmark change in domestic inventory investment IDDO(I) Benchmark sectoral domestic fixed investment

Program CGE Air Minum DKI Jakarta

Disertasi OM Final I-23

STKMO(I) Benchmark change in imported inventory investment IDMO(I) Benchmark sectoral imported fixed investment IDO(I) Benchmark total sectoral fixed investment STKO(I) Benchmark sectoral total change in inventory investment FXDINVO Benchmark total investment DKO(I) Benchmark fixed investment by destination SAVINGO Benchmark total saving INVESTO Benchmark total investment SAVROWO Benchmark saving abroad RGDPO Benchmark gross domestic product GDVAO Benchmark gross domestic value added CURRACWO Benchmark current account ROW *# Read in parameters as rates, shares, and elasticity RHOX(I) Production function exponent RHOEX(I) Export function exponent RHOIM(I) Import function exponent RHOV(I) Value added function exponent *# Calculate parameters as rates and shares: TH(H) Benchmark household income tax MPS(H) Benchmark household marginal propensity to save CSAV Benchmark saving rate for company CCOR Benchmark income rate for company CTAX Benchmark tax rate for corporate income INVO(I) Benchmark change inventory investment rate CGSO(I) Benchmark government consumption shares TGOV(H) Government transfer to household shares ITXO(I) Benchmark indirect tax rate TMO(I) Benchmark import tarif rate ZZ(I) Share of investment by sector IO(I,J) Input-output coefficient CHSO(I,H) Household consumption shares THS(H,HH) Transfer among household shares TROWS(H) Transfer households to ROW shares THR(H) Household transfer to ROW CTH(H) Company transfer to household shares SEDW(H,FLAB) Share household endowment of labor SFROW(F) Share factor income to ROW SHHCPAM(H) Share of capital PAM owned by households SHHCNPAM(H) Share of capital NPAM owned by households SGOVCPAM Share of capital PAM owned by government SGOVCNAM Share of capital NPAM owned by government SCORCPAM Share of capital PAM owned by company SCORCNAM Share of capital NPAM owned by company SROWCPAM Share of capital PAM owned by ROW SROWCNAM Share of capital NPAM owned by ROW CTR Share of company payment to the ROW ALPHAXO(I) Production function shift parameter BETAX(I) Production function share parameter IOMIO(J,I) Fixed coefficient of material input ALPHAEX(I) Export function shift parameter BETAEX(I) Export function share parameter BETAIM(I) Domestic supply share parameter in import model ALPHAIM(I) Import function shift parameter ALPHAVO(I) Value added function shift parameter BETAV(I,F) Value added function share parameter

Program CGE Air Minum DKI Jakarta

Disertasi OM Final I-24

QD(I) Dummy variable for computing shift and share parameters SUMSHH Sum of share correction parameter SUMFHH(F) Sum of share correction parameter TMREALO(I) Real tariff rate WTD(I) Domestic price index weight WTQ(I) Composite price index weight SUMSH(I) Calibration sum parameter DUMCEK(I,F) Dummy Variable ; *=============================================================================== *# Parameter and benchmark variables assignment *## Extract benchmark variables from the SAM and Import tables: *Benchmark sectoral domestic output XO(I) = SAM(I,"TOTAL"); *Benchmark sectoral export to abroad XEXO(I) = SAM(I,"ROW"); *Benchmark commodity Import non-domestic XIMO(I) = SUM(H,IMPORTLN(I,H))+SUM(OI,IMPORTLN(I,OI)) +SUM(J,IMPORTLN(I,J))+IMPORTLN(I,"FXDCAP")+IMPORTLN(I,"INVSTK"); *Benchmark Intermediate demand domestic INTDO(I,J) = SAM(I,J); *Benchmark sectoral Intermediate demand INTO(I,J) = SAM(I,J)+IMPORTLN(I,J); *Benchmark sectoral imported input from abroad INTIMO(I) = SAM("ROW",I); *Benchmark total sectoral indirect tax minus subsidy ITXSBO(I) = SAM("INTXSUB",I); *Benchmark sectoral factor income FINCO(I,F) = SAM(F,I); *Benchmark factor income from abroad FIROWO(F) = SAM(F,"ROW"); *Benchmark household domestic demand CHDO(I,H) = SAM(I,H); *Benchmark household demand CDO(I,H) = CHDO(I,H)+IMPORTLN(I,H); *Benchmark HH transfer to ROW excluded imported goods HHTROWO(H) = HHTR("ROW",H); *Benchmark Domestic Government demand CDGOVO(I) = SAM(I,"GOVERN"); *Benchmark sectoral government demand CGOVO(I) = CDGOVO(I)+IMPORTLN(I,"GOVERN");

Program CGE Air Minum DKI Jakarta

Disertasi OM Final I-25

*Benchmark government transfer net to ROW GOVROWO = SAM("ROW","GOVERN")-SUM(I,IMPORTLN(I,"GOVERN")) -GOVINTRO-GOVAMORO+GOVBORO; *Benchmark factor income transfer to ROW FROWO(F) = SAM("ROW",F); *Benchmark ROW income from tax ROWTAXO = SAM("INTXSUB","ROW"); *Benchmark households transfer to ROW HHROWO(H) = HHTROWO(H) + SUM(I,IMPORTLN(I,H)); *Benchmark company transfer to ROW CORROWO = SAM("ROW","COMPANY")-CORINTRO; *Benchmark ROW transfer to ROW ROWTROWO = SAM("ROW","ROW"); *Benchmark Domestic Household,Government and Corporate Savings HSAVO(H) = SAM("CAPACC",H); GOVSAVO = SAM("CAPACC","GOVERN"); CORSAVO = SAM("CAPACC","COMPANY"); HHTRO(H,HH) = SAM(H,HH); HHTAXO(H) = SAM("GOVERN",H); GOVTRO(H) = SAM(H,"GOVERN"); GOVGOVO = SAM("GOVERN","GOVERN"); CORTRO(H) = SAM(H,"COMPANY"); CORTCORO = SAM("COMPANY","COMPANY"); CORTAXO = SAM("GOVERN","COMPANY"); HFO(H,F) = SAM(H,F); CORFAMO = SAM("COMPANY","CAPAM"); CORFNAMO = SAM("COMPANY","CAPNAM"); GOVFAMO = SAM("GOVERN","CAPAM"); GOVFNAMO = SAM("GOVERN","CAPNAM"); ROWFAMO = SAM("ROW","CAPAM"); ROWFNAMO = SAM("ROW","CAPNAM"); ROWHHO(H) = SAM(H,"ROW"); ROWCORO = SAM("COMPANY","ROW")-CORBORO+CORAMORO; ROWGOVO = SAM("GOVERN","ROW"); GOVTXO = SAM("GOVERN","INTXSUB"); IMPTXO(I) = IMPORTLN(I,"TAX"); TARIFFO = SUM(I, IMPTXO(I)); *### Benchmark for Investment *#Foreign abroad Investment FORINVO = SAM("CAPACC","ROW"); *#Benchmark sectoral depreciation rate DEPR(I) = FIXCAP(I,"DEPRE"); *# benchmark total fixed investment by destination DKO(I) = FIXCAP(I,"FXIN"); *# benchmark total sectoral fixed investment IDO(I) = SUM(J, ICAP(I,J)*DKO(J));

Program CGE Air Minum DKI Jakarta

Disertasi OM Final I-26

*#Benchmark sectoral foreign imported fixed investment IDMO(I) = IMPORTLN(I,"FXDCAP"); *# sectoral domestic fixed investment IDDO(I) = IDO(I)-IDMO(I); *#Total Investment STKINVO(I) = SAM(I,"CAPACC") ; *#Benchmark change in domestic inventory STKDO(I) = SAM(I,"CAPACC") - IDDO(I); *#Benchmark change in imported foreign inventory investment STKMO(I) = IMPORTLN(I,"INVSTK"); *#Benchmark sectoral total change in inventory investment STKO(I) = STKDO(I)+STKMO(I); *# Benchmark saving abroad SAVROWO = -SUM(I, STKMO(I)+IDMO(I))+SAM("ROW","CAPACC"); *# Benchmark subsidy and transfer TRANSFO = 0.00; SUBO(PLTW1,H) = 0.00; TOTSUBSO = 0.00; *#####################SAM Construction############################## *=====SAM Based========= SET ACC Social Accounts /VALUAD,HOUSEHOLDS,CORPO,GOVT,ACTIVITY,COMMODITY KACCOUNT,INTXSUB,WORLD,TOTAL/; ALIAS(ACC,ACCP); PARAMETERS SAMREC(ACC,ACCP) rows in initial accounts SAMEXP(ACC,ACCP) columns in initial accounts TOTREC(ACC) row sum in initial accounts TOTEXP(ACCP) column sum in initial accounts ROWTOT(ACC) row totals in FINALSAM COLTOT(ACCP) column totals in FINALSAM FINALSAM(ACC,ACCP) social accounting matrix SAMDIFF(ACC) receipts minus expenditures in FINALSAM; *=====RECEIVES * VALUEADDED SAMREC("VALUAD","ACTIVITY") = SUM(F, SUM(I, FINCO(I,F))); SAMREC("VALUAD","WORLD") = SUM(F, FIROWO(F)); TOTREC("VALUAD") = SUM(ACCP,SAMREC("VALUAD",ACCP)); * HOUSEHOLDS SAMREC("HOUSEHOLDS","VALUAD") = SUM((H,F), HFO(H,F)); SAMREC("HOUSEHOLDS","HOUSEHOLDS") = SUM((H,HH),HHTRO(H,HH));

Program CGE Air Minum DKI Jakarta

Disertasi OM Final I-27

SAMREC("HOUSEHOLDS","GOVT") = SUM(H, GOVTRO(H)); SAMREC("HOUSEHOLDS","CORPO") = SUM(H, CORTRO(H)); SAMREC("HOUSEHOLDS","WORLD") = SUM(H, ROWHHO(H)); TOTREC("HOUSEHOLDS") = SUM(ACCP,SAMREC("HOUSEHOLDS",ACCP)); * GOVT SAMREC("GOVT","VALUAD") = GOVFAMO+GOVFNAMO; SAMREC("GOVT","HOUSEHOLDS") = SUM(H, HHTAXO(H)); SAMREC("GOVT","GOVT") = GOVGOVO; SAMREC("GOVT","CORPO") = CORTAXO; SAMREC("GOVT","INTXSUB") = GOVTXO + TARIFFO; SAMREC("GOVT","WORLD") = ROWGOVO; TOTREC("GOVT") = SUM(ACCP,SAMREC("GOVT",ACCP)); * CORPORATE SAMREC("CORPO","VALUAD") = CORFAMO+CORFNAMO; SAMREC("CORPO","CORPO") = CORTCORO; SAMREC("CORPO","WORLD") = ROWCORO+CORBORO-CORAMORO; TOTREC("CORPO") = SUM(ACCP,SAMREC("CORPO",ACCP)); * ACTIVITY SAMREC("ACTIVITY","HOUSEHOLDS") = SUM((I,H),CHDO(I,H)); SAMREC("ACTIVITY","GOVT") = SUM(I,CDGOVO(I)); SAMREC("ACTIVITY","ACTIVITY") = SUM(I,SUM(J,INTDO(I,J))); SAMREC("ACTIVITY","KACCOUNT") = SUM(I,STKDO(I)+IDDO(I)); SAMREC("ACTIVITY","WORLD") = SUM(I,XEXO(I)); TOTREC("ACTIVITY") = SUM(ACCP,SAMREC("ACTIVITY",ACCP)); * SAVINGS SAMREC("KACCOUNT","HOUSEHOLDS") = SUM(H, HSAVO(H)); SAMREC("KACCOUNT","GOVT") = GOVSAVO; SAMREC("KACCOUNT","CORPO") = CORSAVO; SAMREC("KACCOUNT","WORLD") = FORINVO; TOTREC("KACCOUNT") = SUM(ACCP,SAMREC("KACCOUNT",ACCP)); * NET INDIRECT TAX (INDIRECT TAX MINUS SUBSIDY) SAMREC("INTXSUB","ACTIVITY") = SUM(I, ITXSBO(I)); SAMREC("INTXSUB","WORLD") = ROWTAXO + SUM(I, IMPTXO(I)); TOTREC("INTXSUB") = SUM(ACCP,SAMREC("INTXSUB",ACCP)); * WORLD ACCOUNT SAMREC("WORLD","VALUAD") = SUM(F,FROWO(F)); SAMREC("WORLD","HOUSEHOLDS") = SUM(H,HHROWO(H)); SAMREC("WORLD","GOVT") = GOVROWO+GOVINTRO+GOVAMORO-GOVBORO +SUM(I,IMPORTLN(I,"GOVERN")); SAMREC("WORLD","CORPO") = CORROWO+CORINTRO; SAMREC("WORLD","ACTIVITY") = SUM((I,J),IMPORTLN(I,J)); SAMREC("WORLD","KACCOUNT") = SAVROWO+SUM(I, STKMO(I)+IDMO(I)); SAMREC("WORLD","WORLD") = ROWTROWO; TOTREC("WORLD") = SUM(ACCP,SAMREC("WORLD",ACCP)); *= EXPENDITURES * VALUEADDED SAMEXP("HOUSEHOLDS","VALUAD") = SAMREC("HOUSEHOLDS","VALUAD"); SAMEXP("GOVT","VALUAD") = SAMREC("GOVT","VALUAD"); SAMEXP("CORPO","VALUAD") = SAMREC("CORPO","VALUAD");

Program CGE Air Minum DKI Jakarta

Disertasi OM Final I-28

SAMEXP("WORLD","VALUAD") = SAMREC("WORLD","VALUAD"); TOTEXP("VALUAD") = SUM(ACC,SAMEXP(ACC,"VALUAD")); *HOUSEHOLDS SAMEXP("HOUSEHOLDS","HOUSEHOLDS") = SAMREC("HOUSEHOLDS","HOUSEHOLDS"); SAMEXP("GOVT","HOUSEHOLDS") = SAMREC("GOVT","HOUSEHOLDS"); SAMEXP("ACTIVITY","HOUSEHOLDS") = SAMREC("ACTIVITY","HOUSEHOLDS"); SAMEXP("KACCOUNT","HOUSEHOLDS") = SAMREC("KACCOUNT","HOUSEHOLDS"); SAMEXP("WORLD","HOUSEHOLDS") = SAMREC("WORLD","HOUSEHOLDS"); TOTEXP("HOUSEHOLDS") = SUM(ACC,SAMEXP(ACC,"HOUSEHOLDS")); *GOVERNMENT SAMEXP("HOUSEHOLDS","GOVT") = SAMREC("HOUSEHOLDS","GOVT"); SAMEXP("GOVT","GOVT") = SAMREC("GOVT","GOVT"); SAMEXP("ACTIVITY","GOVT") = SAMREC("ACTIVITY","GOVT"); SAMEXP("KACCOUNT","GOVT") = SAMREC("KACCOUNT","GOVT"); SAMEXP("WORLD","GOVT") = SAMREC("WORLD","GOVT"); TOTEXP("GOVT") = SUM(ACC,SAMEXP(ACC,"GOVT")); *CORPORATE SAMEXP("HOUSEHOLDS","CORPO") = SAMREC("HOUSEHOLDS","CORPO"); SAMEXP("CORPO","CORPO") = SAMREC("CORPO","CORPO"); SAMEXP("GOVT","CORPO") = SAMREC("GOVT","CORPO"); SAMEXP("KACCOUNT","CORPO") = SAMREC("KACCOUNT","CORPO"); SAMEXP("WORLD","CORPO") = SAMREC("WORLD","CORPO"); TOTEXP("CORPO") = SUM(ACC,SAMEXP(ACC,"CORPO")); *ACTIVITY SAMEXP("VALUAD","ACTIVITY") = SAMREC("VALUAD","ACTIVITY"); SAMEXP("ACTIVITY","ACTIVITY") = SAMREC("ACTIVITY","ACTIVITY"); SAMEXP("INTXSUB","ACTIVITY") = SAMREC("INTXSUB","ACTIVITY"); SAMEXP("WORLD","ACTIVITY") = SAMREC("WORLD","ACTIVITY"); TOTEXP("ACTIVITY") = SUM(ACC,SAMEXP(ACC,"ACTIVITY")); *INVESTMENTS SAMEXP("ACTIVITY","KACCOUNT") = SAMREC("ACTIVITY","KACCOUNT"); SAMEXP("WORLD","KACCOUNT") = SAMREC("WORLD","KACCOUNT"); TOTEXP("KACCOUNT") = SUM(ACC,SAMEXP(ACC,"KACCOUNT")); * TAX COLLECTION SAMEXP("GOVT","INTXSUB") = SAMREC("GOVT","INTXSUB"); TOTEXP("INTXSUB") = SUM(ACC,SAMEXP(ACC,"INTXSUB")); *WORLD ACCOUNT SAMEXP("GOVT","WORLD") = SAMREC("GOVT","WORLD"); SAMEXP("ACTIVITY","WORLD") = SAMREC("ACTIVITY","WORLD"); SAMEXP("KACCOUNT","WORLD") = SAMREC("KACCOUNT","WORLD"); SAMEXP("WORLD","WORLD") = SAMREC("WORLD","WORLD"); SAMEXP("VALUAD","WORLD") = SAMREC("VALUAD","WORLD"); SAMEXP("HOUSEHOLDS","WORLD") = SAMREC("HOUSEHOLDS","WORLD"); SAMEXP("CORPO","WORLD") = SAMREC("CORPO","WORLD"); SAMEXP("INTXSUB","WORLD") = SAMREC("INTXSUB","WORLD"); TOTEXP("WORLD") = SUM(ACC,SAMEXP(ACC,"WORLD"));

Program CGE Air Minum DKI Jakarta

Disertasi OM Final I-29

* ========================== BALANCE ACCOUNTS ========================= * DEFINE PARAMETERS FOR MATRIX CHECKING FINALSAM(ACC,ACCP) = SAMEXP(ACC,ACCP); COLTOT(ACCP) = TOTEXP(ACCP); ROWTOT(ACC) = TOTREC(ACC); SAMDIFF(ACC) = TOTREC(ACC) - TOTEXP(ACC); OPTION DECIMALS = 5; DISPLAY "*** SAM BASED: FOR JAKARTA MODEL"; DISPLAY FINALSAM,COLTOT,ROWTOT,SAMDIFF; *###########################End of SAM Construction###################### *## Calibrate the investment capital coefficients SUMSH(J) = SUM(I, ICAP(I,J)); ICAP(I,J) = ICAP(I,J)/SUMSH(J); DISPLAY SUMSH, ICAP; *## Compute benchmark variables: PXO(I) = 1; PQO(I) = 1; PDO(I) = 1; PNO(I) = 1; PVO(I) = 1; PEO(I) = 1; PMO(I) = 1; *# Factor input price WFO(I,F)$FACDEMO(I,F) = FINCO(I,F)/FACDEMO(I,F); WFO(I,F)$(FACDEMO(I,F) EQ 0) = 0.0; *# Average input price WAO(F) = SUM(I, FINCO(I,F))/SUM(I, FACDEMO(I,F)); *# Benchmark proportional factor input price WFDISTO(I,F) = WFO(I,F)/WAO(F); *Benchmark households endowments EDWO(H,F) = HFO(H,F)/WAO(F); *Benchmark sectoral total intermediate demand TOTINTO(I) = SUM(J, INTO(I,J)); *Benchmark foreign capital CORCAMO = CORFAMO/WAO("CAPAM"); CORCNAMO = CORFNAMO/WAO("CAPNAM"); GOVCAMO = GOVFAMO/WAO("CAPAM"); GOVCNAMO = GOVFNAMO/WAO("CAPNAM"); FDO(F) = SUM(I, FACDEMO(I,F)); TOTLABO = SUM(FLAB, FDO(FLAB)); LABFORO = SUM(FLAB, FDO(FLAB))+UNEMPLO; XDO(I) = XO(I)-XEXO(I); QO(I) = XDO(I)+XIMO(I); YCORPO = CORFAMO+CORFNAMO+CORTCORO+ROWCORO+CORBORO-CORAMORO-CORINTRO;

Program CGE Air Minum DKI Jakarta

Disertasi OM Final I-30

YHO(H) = SUM(F, HFO(H,F))+SUM(HH, HHTRO(H,HH))+GOVTRO(H)+CORTRO(H) +ROWHHO(H); YFO(F) = SUM(I, FINCO(I,F))+FIROWO(F); YFSECTO(I) = SUM(F, FINCO(I,F)); SAVINGO = SUM(H, HSAVO(H))+CORSAVO+GOVSAVO-SAVROWO+FORINVO; INVESTO = SAVINGO; PKO(I) = SUM(J, ICAP(J,I)*PQO(J)); FXDINVO = INVESTO-SUM(I, STKO(I)); *##Define indexes based on read in data IE(I) = yes$XEXO(I); IEN(I) = not IE(I); IM(I) = yes$XIMO(I); IMN(I) = not IM(I); *## Extract parameters from elasticity table RHOX(I) = (1/ELAS("ELASX",I))-1; RHOV(I) = (1/ELAS("ELASV",I))-1; RHOEX(IE) = (1/ELAS("ELASEX",IE))+1; RHOIM(IM) = (1/ELAS("ELASIM",IM))-1; *## Compute parameters SEDW(H,FLAB) = HFO(H,FLAB)/YFO(FLAB); SFROW(FLAB) = FROWO(FLAB)/YFO(FLAB); SUMFHH(FLAB) = SUM(H, SEDW(H,FLAB))+ SFROW(FLAB); SEDW(H,FLAB) = SEDW(H,FLAB)/SUMFHH(FLAB); SFROW(FLAB) = SFROW(FLAB)/SUMFHH(FLAB); SHHCPAM(H) = HFO(H,"CAPAM")/YFO("CAPAM"); SCORCPAM = CORFAMO/YFO("CAPAM"); SGOVCPAM = GOVFAMO/YFO("CAPAM"); SROWCPAM = ROWFAMO/YFO("CAPAM"); SUMSHH = SUM(H,SHHCPAM(H))+SCORCPAM+SGOVCPAM+SROWCPAM; SHHCPAM(H) = SHHCPAM(H)/SUMSHH; SCORCPAM = SCORCPAM/SUMSHH; SGOVCPAM = SGOVCPAM/SUMSHH; SROWCPAM = SROWCPAM/SUMSHH; SHHCNPAM(H) = HFO(H,"CAPNAM")/YFO("CAPNAM"); SCORCNAM = CORFNAMO/YFO("CAPNAM"); SGOVCNAM = GOVFNAMO/YFO("CAPNAM"); SROWCNAM = ROWFNAMO/YFO("CAPNAM"); SUMSHH = SUM (H,SHHCNPAM(H))+SCORCNAM+SGOVCNAM+SROWCNAM; SHHCNPAM(H) = SHHCNPAM(H)/SUMSHH; SCORCNAM = SCORCNAM/SUMSHH; SGOVCNAM = SGOVCNAM/SUMSHH; SROWCNAM = SROWCNAM/SUMSHH; TH(H) = HHTAXO(H)/YHO(H); MPS(H) = HSAVO(H)/(YHO(H)*(1-TH(H))); TROWS(H) = HHTROWO(H)/(YHO(H)*(1-TH(H))*(1-MPS(H))); CTAX = CORTAXO/YCORPO; CCOR = CORTCORO/(YCORPO*(1-CTAX)); CSAV = CORSAVO/(YCORPO*(1-CTAX)); CTH(H) = CORTRO(H)/(YCORPO*(1-CTAX));

Program CGE Air Minum DKI Jakarta

Disertasi OM Final I-31

CTR = CORROWO/(YCORPO*(1-CTAX)); SUMSHH = CCOR+CSAV+ SUM(H,CTH(H))+CTR; CCOR = CCOR/SUMSHH; CSAV = CSAV/SUMSHH; CTH(H) = CTH(H)/SUMSHH; CTR = CTR/SUMSHH; INVO(I) = (STKDO(I)+STKMO(I))/(XO(I)+XIMO(I)); CGSO(I) = CGOVO(I)/(SUM(J, CGOVO(J))+SUM(H, GOVTRO(H))); TGOV(H) = GOVTRO(H)/(SUM(J, CGOVO(J))+SUM(HH, GOVTRO(HH))); SUMSHH = SUM(I, CGSO(I))+SUM(H, TGOV(H)); CGSO(I) = CGSO(I)/SUMSHH; TGOV(H) = TGOV(H)/SUMSHH; ITXO(I) = ITXSBO(I)/XO(I); IO(I,J) = INTO(I,J)/XO(J); SUMHHTRO(H) = SUM(HH, HHTRO(HH,H)); CHSO(I,H) = CDO(I,H)/(YHO(H)*(1-TH(H))*(1-MPS(H))*(1-TROWS(H))); THS(HH,H) = HHTRO(HH,H)/(YHO(H)*(1-TH(H))*(1-MPS(H))*(1-TROWS(H))); SUMHHTRO(H) = SUM(I, CHSO(I,H))+SUM(HH, THS(HH,H)); CHSO(I,H) = CHSO(I,H)/SUMHHTRO(H); THS(HH,H) = THS(HH,H)/SUMHHTRO(H); ZZ(I) = PKO(I)*DKO(I)/FXDINVO; *## Specify parameters that depend on defined index IM TMO(IM) = IMPTXO(IM)/(PMO(IM)*XIMO(IM)-IMPTXO(IM)); TMO(IMN) = 0.0; *## Compute from benchmark data PWEO(I) = PEO(I)/EXRO; PWMO(I) = PMO(I)/((1+TMO(I))*EXRO); TMREALO(I) = TMO(I)*PWMO(I)*EXRO; *# Calculate value added and intermediate inputs INO(I) = SUM(J,PQO(J)*INTO(J,I))/PNO(I); VAO(I) = (PXO(I)*(1-ITXO(I))*XO(I)-PNO(I)*INO(I))/PVO(I); *# Calibration of shift and share parameters *## For import domestic and foreign **## For import-domestic composite BETAIM(I)$IM(I) = (PMO(I)/PDO(I))*(XIMO(I)/XDO(I))**(1+RHOIM(I)); BETAIM(I)$IM(I) = BETAIM(I)/(1.0+BETAIM(I)); ALPHAIM(I)$IM(I) = QO(I)/(BETAIM(I)*XIMO(I)**(-RHOIM(I))+(1-BETAIM(I))*XDO(I) **(-RHOIM(I)))**(-1/RHOIM(I)); ALPHAIM(I)$IMN(I) = 1.0; *## For export domestic and foreign BETAEX(IE)$ELAS("ELASEX",IE) = (PEO(IE)/PDO(IE))*(XEXO(IE)/XDO(IE)) **(1-RHOEX(IE));

Program CGE Air Minum DKI Jakarta

Disertasi OM Final I-32

BETAEX(IE)$ELAS("ELASEX",IE) = BETAEX(IE)/(1.0+BETAEX(IE)); ALPHAEX(IE)$ELAS("ELASEX",IE)= XO(IE)/(BETAEX(IE)*XEXO(IE)**RHOEX(IE) +(1-BETAEX(IE))*XDO(IE)**RHOEX(IE)) **(1/RHOEX(IE)); ALPHAEX(I)$(ELAS("ELASEX",I) EQ 0) = 1.0; *## For production sectors BETAX(I) = (PNO(I)/PVO(I))*(INO(I)/VAO(I))**(1+RHOX(I)); BETAX(I) = BETAX(I)/(1.0+BETAX(I)); ALPHAXO(I) = XO(I)/(BETAX(I)*INO(I)**(-RHOX(I))+(1-BETAX(I))*VAO(I) **(-RHOX(I)))**(-1/RHOX(I)); IOMIO(J,I) = INTO(J,I)/INO(I); BETAV(NPLTW,"LABOR") = ((WAO("LABOR")*WFDISTO(NPLTW,"LABOR"))/(WAO("CAPNAM") *WFDISTO(NPLTW,"CAPNAM")))*(FACDEMO(NPLTW,"LABOR")/ FACDEMO(NPLTW,"CAPNAM"))**(1+RHOV(NPLTW)); BETAV(NPLTW,"CAPNAM") = 1; BETAV(NPLTW,"LABOR") = BETAV(NPLTW,"LABOR")*BETAV(NPLTW,"CAPNAM"); BETAV("WATPAM","LABOR") = ((WAO("LABOR")*WFDISTO("WATPAM","LABOR"))/ (WAO("CAPAM")*WFDISTO("WATPAM","CAPAM"))) *(FACDEMO("WATPAM","LABOR")/ FACDEMO("WATPAM","CAPAM"))**(1+RHOV("WATPAM")); BETAV("WATPAM","CAPAM") = 1; BETAV("WATPAM","LABOR") = BETAV("WATPAM","LABOR")*BETAV("WATPAM","CAPAM"); BETAV("WATNPAM","LABOR") = ((WAO("LABOR")*WFDISTO("WATNPAM","LABOR"))/ (WAO("CAPNAM")*WFDISTO("WATNPAM","CAPNAM")))* (FACDEMO("WATNPAM","LABOR")/ FACDEMO("WATNPAM","CAPNAM"))**(1+RHOV("WATNPAM")); BETAV("WATNPAM","CAPNAM")= 1; BETAV("WATNPAM","LABOR") = BETAV("WATNPAM","LABOR")*BETAV("WATNPAM","CAPNAM"); QD(I) = 0; QD(I) = SUM(F, BETAV(I,F)); BETAV(I,F) = BETAV(I,F)/QD(I); ALPHAVO(I) = VAO(I)/(SUM(F, (BETAV(I,F) *FACDEMO(I,F)**(-RHOV(I))))**(-1/RHOV(I))); RGDPO = SUM(I, SUM(H, CDO(I,H))+STKO(I)+IDO(I)+CGOVO(I))+SUM(IE, XEXO(IE)) -SUM(IM, (1-TMREALO(IM))*XIMO(IM)); GDVAO = SUM(I, PVO(I)*VAO(I)+ITXSBO(I))+TARIFFO; *# Benchmark current account balance with ROW CURRACWO = SUM(F, FIROWO(F))+SUM(H, ROWHHO(H))+ROWGOVO+ROWCORO +SUM(IE, PEO(IE)*XEXO(IE))+FORINVO+ROWTAXO +SUM(I, TMO(I)*PWMO(I)*XIMO(I))+ROWTROWO+GOVBORO+CORBORO -SUM(FLAB, SFROW(FLAB)*YFO(FLAB))-SROWCPAM*YFO("CAPAM") -SROWCNAM*YFO("CAPNAM")-SUM(I,PWMO(I)*XIMO(I)*EXRO) -SUM(H,HHTROWO(H))-GOVROWO-CORROWO-SAVROWO-GOVINTRO-CORINTRO -GOVAMORO-CORAMORO-ROWTROWO;

Program CGE Air Minum DKI Jakarta

Disertasi OM Final I-33

*## Specify weights for producer price index and price index WTQ(I) = QO(I)/ SUM(J, QO(J)); WTD(I) = XO(I)/SUM(J, XO(J)); PINDEXO = SUM(I, WTQ(I)*PQO(I)); PINDOMO = SUM(I, WTD(I)*PQO(I)); * SECTION III THE CGE MODEL VARIABLES *# Variable declaration *## Price block EXR Exchange rate PX(I) Average output price PN(I) Intermediate input price PV(I) Value added price PQ(I) Average domestic demand price PD(I) Domestic suply price PK(I) Price for new capital PE(I) Foreign price of export PM(I) Foreign price of export PWE(I) World market price for export (in $) PWM(I) World market price for import (in $) PINDEX Composite price index PINDOM Domestic price index *# Production block TM(I) Import tax rate for foreign ITX(I) Indirect tax rate ALPHAX(I) Production function shift parameter ALPHAV(I) Value added function shirt parameter IOMI(I,J) Fixed coefficient of material input X(I) Composite sectoral domestic output XEX(I) Sectoral export to domestic XIM(I) Sectoral import to domestic XD(I) Domestic sale Q(I) Composite good supply IN(I) Composite sectoral intermediate input VA(I) Composite sectoral value added *# Factor block FD(F) Factor demand LABFOR Total labor forced UNEMPL Total unemployment FACDEM(I,F) Sectoral factor demand WFDIST(I,F) Propotional sectoral factor input price WA(F) Average factor input price YF(F) Factor income *# Income and expenditure block CHS(I,H) Household consumption share parameters CGS(I) Government consumption share parameters CD(I,H) Final demand for household consumptions HSAV Household savings HHTAX Household income tax YH(HH) Household income

Program CGE Air Minum DKI Jakarta

Disertasi OM Final I-34

YCORP Company income CORTCOR Company transfer to company CORSAV Company savings CORTAX Company income tax CORBOR Company foreign borrowing from ROW CORAMOR Company amortization payment on foreign debt CORINTR Company interest payment on foreign debt CGOV(I) Final demand for government consumption GOVSAV Government savings GOVTR(H) Government transfer to households GOVFAM Government income from capital GOVFNAM Government income from capital GOVGOV Government transfer to GOVT GR Government revenue GOVBOR Government foreign borrowing GOVAMOR Government amortization payment on foreign debt GOVINTR Government interest payment on foreign debt GOVBUD Total Government Consumption on Commodities INDTAX Indirect tax revenue from commodity TINDTAX Total indirect tax revenue TARIFF Tariff revenue TOTINT(I) Total intermediate uses INVEST Total investment TMREAL Real tariff rate RGDP Real GDP GDVA Gross Domestic Value Added SAVING Total saving DK(I) Fixed investment by sector of destination FXDINV Total fixed investment ID(I) Final demand for productive investment INV(I) Share parameter for inventory stock HHTROW Household transfer to ROW INT(I,J) Intermediate uses TOTSUBS Total subsidy for low income household using PAM water *# Balance of payment block SAVROW Saving abroad FROW(F) Factor income transfer to ROW GOVROW Net Government transfer to ROW CORROW Company transfer to ROW ROWHH(H) Household income from ROW ROWCOR Company income from ROW ROWGOV Government income from ROW ROWTAX Tax income from ROW ROWTRW ROW transfer to ROW FIROW(F) Factor income from ROW FORINV Foreign investment from ROW HHTRW(H) Household transfer to ROW CURRACW Current account ROW TRANSF Central government transfer to local government SUB(PLTW1,H) Water Subsidy to poor Households; *# Variable initialization EXR.L = EXRO; TM.L(I) = TMO(I); ITX.L(I) = ITXO(I); ALPHAX.L(I) = ALPHAXO(I);

Program CGE Air Minum DKI Jakarta

Disertasi OM Final I-35

ALPHAV.L(I) = ALPHAVO(I); IOMI.L(J,I) = IOMIO(J,I); PX.L(I) = PXO(I); PN.L(I) = PNO(I); PV.L(I) = PVO(I); PQ.L(I) = PQO(I); PD.L(I) = PDO(I); PK.L(I) = PKO(I); PE.L(I) = PEO(I); PWE.L(I) = PWEO(I); PWM.L(I) = PWMO(I); PM.L(I) = PMO(I); PINDEX.L = PINDEXO; PINDOM.L = PINDOMO; X.L(I) = XO(I); XEX.L(I) = XEXO(I); XIM.L(I) = XIMO(I); XD.L(I) = XDO(I); Q.L(I) = QO(I); IN.L(I) = INO(I); VA.L(I) = VAO(I); FACDEM.L(I,F) = FACDEMO(I,F); FD.L(F) = SUM(I, FACDEMO(I,F)); UNEMPL.L = UNEMPLO; LABFOR.L = UNEMPL.L+SUM(FLAB, FD.L(FLAB)); WFDIST.L(I,F) = WFDISTO(I,F); WA.L(F) = WAO(F); YF.L(F) = YFO(F); CGS.L(I) = CGSO(I); CD.L(I,H) = CDO(I,H); CHS.L(I,H) = CHSO(I,H); GOVTR.L(H) = GOVTRO(H); YH.L(HH) = YHO(HH); HSAV.L = SUM(H, MPS(H)*YH.L(H)*(1-TH(H))); HHTAX.L = SUM(H, TH(H)*YH.L(H)); HHTROW.L = SUM(H, TROWS(H)*YH.L(H)*(1-TH(H))*(1-MPS(H))); YCORP.L = YCORPO; CORTCOR.L = CORTCORO; CORSAV.L = CORSAVO; CORTAX.L = CORTAXO; CORBOR.L = CORBORO; CORAMOR.L = CORAMORO; CORINTR.L = CORINTRO; CGOV.L(I) = CGOVO(I); GOVFAM.L = GOVFAMO; GOVFNAM.L = GOVFNAMO; GOVGOV.L = GOVGOVO; GOVSAV.L = GOVSAVO; GOVBOR.L = GOVBORO; GOVAMOR.L = GOVAMORO; GOVINTR.L = GOVINTRO; INDTAX.L = SUM(I, ITX.L(I)*PX.L(I)*X.L(I)); TINDTAX.L = INDTAX.L+ROWTAXO; INT.L(I,J) = INTO(I,J); TOTINT.L(I) = SUM(J, INTO(I,J)); FXDINV.L = FXDINVO; INVEST.L = INVESTO;

Program CGE Air Minum DKI Jakarta

Disertasi OM Final I-36

SAVING.L = SAVINGO; DK.L(I) = DKO(I); ID.L(I) = IDO(I); INV.L(I) = INVO(I); SAVROW.L = SAVROWO; FORINV.L = FORINVO; FROW.L(F) = FROWO(F); GOVROW.L = GOVROWO; CORROW.L = CORROWO; ROWHH.L(H) = ROWHHO(H); HHTRW.L(H) = HHTROWO(H); ROWCOR.L = ROWCORO; ROWGOV.L = ROWGOVO; FIROW.L(F) = FIROWO(F); ROWTAX.L = ROWTAXO; ROWTRW.L = ROWTROWO; TARIFF.L = TARIFFO; GR.L = TARIFF.L+INDTAX.L+ROWTAX.L+CORTAX.L+HHTAX.L+GOVFAM.L+GOVFNAM.L +ROWGOV.L+GOVGOV.L+GOVBOR.L; GOVBUD.L = GR.L-GOVSAV.L-GOVROW.L-GOVINTR.L-GOVAMOR.L-GOVGOV.L; TMREAL.L(I) = TMREALO(I); RGDP.L = RGDPO; GDVA.L = GDVAO; CURRACW.L = CURRACWO; TRANSF.L = TRANSFO; SUB.L(PLTW1,GH) = SUBO(PLTW1,GH); TOTSUBS.L = TOTSUBSO; *#########################SAM Construction############################## SAMREC(ACC,ACCP)=0; SAMEXP(ACC,ACCP)=0; *== Before Optimality SAM *= RECEIVES * VALUEADDED SAMREC("VALUAD","ACTIVITY") = SUM(F,SUM(I,WA.L(F)*WFDIST.L(I,F)*FACDEM.L(I,F))); SAMREC("VALUAD","WORLD") = SUM(F, FIROW.L(F)); TOTREC("VALUAD") = SUM(ACC,SAMREC("VALUAD",ACC)); * HOUSEHOLDS SAMREC("HOUSEHOLDS","VALUAD") = SUM(H,SUM(FLAB,SEDW(H,FLAB)*YF.L(FLAB)) + SHHCPAM(H)*YF.L("CAPAM")+ SHHCNPAM(H) *YF.L("CAPNAM")); SAMREC("HOUSEHOLDS","HOUSEHOLDS") = SUM((HH,H),(THS(HH,H)*(YH.L(H)*(1-TH(H)) *(1-MPS(H))*(1-TROWS(H))))); SAMREC("HOUSEHOLDS","GOVT") = SUM(H, TGOV(H)*GOVBUD.L); SAMREC("HOUSEHOLDS","CORPO") = SUM(H,CTH(H)*YCORP.L*(1-CTAX)); SAMREC("HOUSEHOLDS","WORLD") = SUM(H, ROWHH.L(H)); TOTREC("HOUSEHOLDS") = SUM(ACC,SAMREC("HOUSEHOLDS",ACC)); * GOVT SAMREC("GOVT","VALUAD") = SGOVCPAM*YF.L("CAPAM")+SGOVCNAM*YF.L("CAPNAM"); SAMREC("GOVT","HOUSEHOLDS") = SUM(H, YH.L(H)*TH(H)); SAMREC("GOVT","GOVT") = GOVGOV.L;

Program CGE Air Minum DKI Jakarta

Disertasi OM Final I-37

SAMREC("GOVT","CORPO") = YCORP.L*CTAX; SAMREC("GOVT","INTXSUB") = TINDTAX.L + SUM(I, PWM.L(I)*EXR.L*TM.L(I) *XIM.L(I)); SAMREC("GOVT","WORLD") = ROWGOV.L+GOVBOR.L; TOTREC("GOVT") = SUM(ACC,SAMREC("GOVT",ACC)); * CORPORATE SAMREC("CORPO","VALUAD") = SCORCPAM*YF.L("CAPAM")+SCORCNAM*YF.L("CAPNAM"); SAMREC("CORPO","CORPO") = CCOR*YCORP.L*(1-CTAX); SAMREC("CORPO","WORLD") = ROWCOR.L+CORBOR.L; TOTREC("CORPO") = SUM(ACC,SAMREC("CORPO",ACC)); * ACTIVITY SAMREC("ACTIVITY","COMMODITY") = SUM(I, PD.L(I)*XD.L(I)); SAMREC("ACTIVITY","WORLD") = SUM(I, PE.L(I)*XEX.L(I)); TOTREC("ACTIVITY") = SUM(ACC,SAMREC("ACTIVITY",ACC)); *COMMODITY SAMREC("COMMODITY","HOUSEHOLDS") = SUM((I,H), PQ.L(I)*CD.L(I,H)); SAMREC("COMMODITY","GOVT") = SUM(I, PQ.L(I)*CGOV.L(I)); SAMREC("COMMODITY","ACTIVITY") = SUM(I, PQ.L(I)*TOTINT.L(I)); SAMREC("COMMODITY","KACCOUNT") = SUM(I, PQ.L(I)*(ID.L(I)+INV.L(I)*X.L(I) +INV.L(I)*XIM.L(I))); TOTREC("COMMODITY") = SUM(ACC, SAMREC("COMMODITY",ACC)); *SAVINGS SAMREC("KACCOUNT","HOUSEHOLDS") = HSAV.L; SAMREC("KACCOUNT","GOVT") = GOVSAV.L; SAMREC("KACCOUNT","CORPO") = CORSAV.L; SAMREC("KACCOUNT","WORLD") = FORINV.L; TOTREC("KACCOUNT") = SUM(ACC,SAMREC("KACCOUNT",ACC)); * NET INDIRECT TAX (INDIRECT TAX MINUS SUBSIDY) SAMREC("INTXSUB","ACTIVITY") = SUM(I, ITX.L(I)*PX.L(I)*X.L(I)); SAMREC("INTXSUB","WORLD") = ROWTAX.L+SUM(I,TM.L(I)*PWM.L(I)*XIM.L(I)); TOTREC("INTXSUB") = SUM(ACC,SAMREC("INTXSUB",ACC)); * WORLD ACCOUNT SAMREC("WORLD","HOUSEHOLDS") = SUM(H,HHTRW.L(H)); SAMREC("WORLD","GOVT") = GOVROW.L+GOVINTR.L+GOVAMOR.L; SAMREC("WORLD","CORPO") = CORROW.L+CORINTR.L+CORAMOR.L; SAMREC("WORLD","COMMODITY") = SUM(I, PWM.L(I)*EXR.L*XIM.L(I)); SAMREC("WORLD","VALUAD") = SUM(FLAB, SFROW(FLAB)*YF.L(FLAB)) +SROWCPAM*YF.L("CAPAM")+SROWCNAM *YF.L("CAPNAM"); SAMREC("WORLD","KACCOUNT") = SAVROW.L+CURRACW.L; SAMREC("WORLD","WORLD") = ROWTRW.L; TOTREC("WORLD") = SUM(ACC,SAMREC("WORLD",ACC)); *= EXPENDITURES * VALUEADDED SAMEXP("HOUSEHOLDS","VALUAD") = SAMREC("HOUSEHOLDS","VALUAD"); SAMEXP("GOVT","VALUAD") = SAMREC("GOVT","VALUAD"); SAMEXP("CORPO","VALUAD") = SAMREC("CORPO","VALUAD"); SAMEXP("WORLD","VALUAD") = SAMREC("WORLD","VALUAD"); TOTEXP("VALUAD") = SUM(ACC,SAMEXP(ACC,"VALUAD"));

Program CGE Air Minum DKI Jakarta

Disertasi OM Final I-38

*HOUSEHOLDS SAMEXP("HOUSEHOLDS","HOUSEHOLDS") = SAMREC("HOUSEHOLDS","HOUSEHOLDS"); SAMEXP("GOVT","HOUSEHOLDS") = SAMREC("GOVT","HOUSEHOLDS"); SAMEXP("COMMODITY","HOUSEHOLDS") = SAMREC("COMMODITY","HOUSEHOLDS"); SAMEXP("KACCOUNT","HOUSEHOLDS") = SAMREC("KACCOUNT","HOUSEHOLDS"); SAMEXP("WORLD","HOUSEHOLDS") = SAMREC("WORLD","HOUSEHOLDS"); TOTEXP("HOUSEHOLDS") = SUM(ACC,SAMEXP(ACC,"HOUSEHOLDS")); *GOVERNMENT SAMEXP("HOUSEHOLDS","GOVT") = SAMREC("HOUSEHOLDS","GOVT"); SAMEXP("GOVT","GOVT") = SAMREC("GOVT","GOVT"); SAMEXP("ACTIVITY","GOVT") = SAMREC("ACTIVITY","GOVT"); SAMEXP("COMMODITY","GOVT") = SAMREC("COMMODITY","GOVT"); SAMEXP("KACCOUNT","GOVT") = SAMREC("KACCOUNT","GOVT"); SAMEXP("WORLD","GOVT") = SAMREC("WORLD","GOVT"); TOTEXP("GOVT") = SUM(ACC,SAMEXP(ACC,"GOVT")); *CORPORATE SAMEXP("HOUSEHOLDS","CORPO") = SAMREC("HOUSEHOLDS","CORPO"); SAMEXP("CORPO","CORPO") = SAMREC("CORPO","CORPO"); SAMEXP("GOVT","CORPO") = SAMREC("GOVT","CORPO"); SAMEXP("COMMODITY","CORPO") = SAMREC("COMMODITY","CORPO"); SAMEXP("KACCOUNT","CORPO") = SAMREC("KACCOUNT","CORPO"); SAMEXP("WORLD","CORPO") = SAMREC("WORLD","CORPO"); TOTEXP("CORPO") = SUM(ACC,SAMEXP(ACC,"CORPO")); *ACTIVITY SAMEXP("VALUAD","ACTIVITY") = SAMREC("VALUAD","ACTIVITY"); SAMEXP("ACTIVITY","ACTIVITY") = SAMREC("ACTIVITY","ACTIVITY"); SAMEXP("COMMODITY","ACTIVITY") = SAMREC("COMMODITY","ACTIVITY"); SAMEXP("INTXSUB","ACTIVITY") = SAMREC("INTXSUB","ACTIVITY"); TOTEXP("ACTIVITY") = SUM(ACC,SAMEXP(ACC,"ACTIVITY")); *COMMODITY SAMEXP("ACTIVITY","COMMODITY") = SAMREC("ACTIVITY","COMMODITY"); SAMEXP("WORLD","COMMODITY") = SAMREC("WORLD","COMMODITY"); TOTEXP("COMMODITY") = SUM(ACC,SAMEXP(ACC,"COMMODITY")); * INVESTMENTS SAMEXP("ACTIVITY","KACCOUNT") = SAMREC("ACTIVITY","KACCOUNT"); SAMEXP("COMMODITY","KACCOUNT") = SAMREC("COMMODITY","KACCOUNT"); SAMEXP("WORLD","KACCOUNT") = SAMREC("WORLD","KACCOUNT"); TOTEXP("KACCOUNT") = SUM(ACC,SAMEXP(ACC,"KACCOUNT")); * TAX COLLECTION SAMEXP("GOVT","INTXSUB") = SAMREC("GOVT","INTXSUB"); TOTEXP("INTXSUB") = SUM(ACC,SAMEXP(ACC,"INTXSUB")); *WORLD ACCOUNT SAMEXP("VALUAD","WORLD") = SAMREC("VALUAD","WORLD"); SAMEXP("HOUSEHOLDS","WORLD") = SAMREC("HOUSEHOLDS","WORLD"); SAMEXP("GOVT","WORLD") = SAMREC("GOVT","WORLD"); SAMEXP("CORPO","WORLD") = SAMREC("CORPO","WORLD"); SAMEXP("ACTIVITY","WORLD") = SAMREC("ACTIVITY","WORLD"); SAMEXP("KACCOUNT","WORLD") = SAMREC("KACCOUNT","WORLD"); SAMEXP("INTXSUB","WORLD") = SAMREC("INTXSUB","WORLD");

Program CGE Air Minum DKI Jakarta

Disertasi OM Final I-39

SAMEXP("WORLD","WORLD") = SAMREC("WORLD","WORLD"); TOTEXP("WORLD") = SUM(ACC,SAMEXP(ACC,"WORLD")); * ========================== BALANCE ACCOUNTS ========================= * DEFINE PARAMETERS FOR MATRIX CHECKING FINALSAM(ACC,ACCP) = SAMEXP(ACC,ACCP); COLTOT(ACC) = TOTEXP(ACC); ROWTOT(ACCP) = TOTREC(ACCP); SAMDIFF(ACC) = TOTREC(ACC) - TOTEXP(ACC); OPTION DECIMALS = 5; DISPLAY "*** BEFORE-OPTIMALITY SAM REPLICATION: FOR JAKARTA MODEL"; DISPLAY FINALSAM,COLTOT,ROWTOT,SAMDIFF; * ==================================================================== *##########################CGE Program################################ EQUATIONS *# Equation Declaration *## Production Equations PXDEF(I) Definition of producer price PNDEF(I) Definition of intermediate input price XFNC(I) Production functions PROFITX(I) FOC production function VAFNC(I) Value added industrial production PROFITV1(NPLTW,F) FOC value added non water supply production PROFITV2(PLTW1,F) FOC value added water supply PAM production PROFITV3(PLTW2,F) FOC value added water supply non PAM production *## Factor Labor UNEMPLEQ Defining unemployment *### Export and Import Equations PMDEF(I) Definition of domestic import DM prices PEDEF(I) Definition of domestic export DM prices ABSORPTION(I) Value of domestic sales SALES(I) Value of domestic output CET1(I) CET export aggregation function CET2(I) CET non export aggregation function ESUPPLY(I) Export supply for foreign and domestic ARMINGTON1(I) Composite good (Armington) aggregation function ARMINGTON2(I) Composite good non import COSTMIN(I) FOC for cost minimization of composite good SUBSIDY1(I,GH) Water subsidy for poor community SUBSIDY2(I,GH) Water subsidy for non poor community *### Capital PKDEF(I) Definition of capital good price IEQ(I) Fix investment by destination FIXEDINV Fixed investment net of inventory PRODINV(I) Investment by sector of destination

Program CGE Air Minum DKI Jakarta

Disertasi OM Final I-40

*## Income Equations YFEQ(F) Labor factor income HHINC1(H) Household incomes not getting water subsidy HHINC2(H) Household incomes getting water subsidy YCORPEQ Company income TARIFDEF Tariff revenue INDTAXDEF Indirect taxes CORTAXDEF Company income tax revenue HHTAXDEF Total household tax collected by government GREV Government revenue HSAVEQ Total household savings CORSAVEQ Company savings TOTSAV Total savings CORTCREQ Corporate transfer to corporate CORROWEQ Corporate transfer to ROW *## Expenditure Equations INTEQ(I) Total intermediate uses CDEQ(I,H) Private consumption behaviour RGDPEQ Real GDP GDVAEQ Gross Domestic Value Added GDEQ1(I) Government consumption behavior TOTSUBEQ1 Total subsidy for low income household using PAM Water TOTSUBEQ2 Total transfer from central governmant for low income household using PAM Water *## Market Clearing EQUIL(I) Goods market equilibrium FMEQUIL(F) Factor market equilibrium GOVSAVEQ Government savings CURRACWE Current account ROW equation *## Price Index PINDEXDEF Definition of general price index level PINDOMDEF Definition of domestic price index level; *# Equation Assignment *## Production Sector PXDEF(I).. PX(I)*X(I)*(1-ITX(I)) =E= PV(I)*VA(I)+PN(I)*IN(I); PNDEF(I).. PN(I) =E= SUM(J, PQ(J)*IOMI(J,I)); XFNC(I).. X(I) =E= ALPHAX(I)*(BETAX(I)*IN(I) **(-RHOX(I))+(1-BETAX(I))*VA(I)**(-RHOX(I))) **(-1/RHOX(I)); PROFITX(I).. IN(I)/VA(I) =E= (PV(I)/PN(I)*BETAX(I)/(1-BETAX(I))) **(1/(1+RHOX(I))); VAFNC(I).. VA(I) =E= ALPHAV(I)*(SUM(F, BETAV(I,F) *FACDEM(I,F)**(-RHOV(I))))**(-1/RHOV(I));

Program CGE Air Minum DKI Jakarta

Disertasi OM Final I-41

PROFITV1(NPLTW,F)$FACDEMO(NPLTW,F).. FACDEM(NPLTW,F)/VA(NPLTW) =E= ((BETAV(NPLTW,F)*PV(NPLTW))/((ALPHAV(NPLTW)**RHOV(NPLTW)) *WA(F)*WFDIST(NPLTW,F)))**(1/(1+RHOV(NPLTW))); PROFITV2(PLTW1,F)$FACDEMO(PLTW1,F).. FACDEM(PLTW1,F)/VA(PLTW1) =E= ((BETAV(PLTW1,F)*PV(PLTW1))/((ALPHAV(PLTW1)**RHOV(PLTW1)) *WA(F)*WFDIST(PLTW1,F)))**(1/(1+RHOV(PLTW1))); PROFITV3(PLTW2,F)$FACDEMO(PLTW2,F).. FACDEM(PLTW2,F)/VA(PLTW2) =E= ((BETAV(PLTW2,F)*PV(PLTW2))/((ALPHAV(PLTW2)**RHOV(PLTW2)) *WA(F)*WFDIST(PLTW2,F)))**(1/(1+RHOV(PLTW2))); *### Factor Labor UNEMPLEQ.. LABFOR =E= UNEMPL+SUM(FLAB, FD(FLAB)); *### Export and Import Equation PMDEF(IM).. PM(IM) =E= PWM(IM)*EXR*(1+TM(IM)); PEDEF(IE).. PE(IE) =E= PWE(IE)*EXR; ABSORPTION(I).. PQ(I)*Q(I) =E= PD(I)*XD(I)+(PM(I)*XIM(I))$IM(I); SALES(I).. PX(I)*X(I) =E= PD(I)*XD(I)+(PE(I)*XEX(I))$IE(I); CET1(IE).. X(IE) =E= ALPHAEX(IE)*(BETAEX(IE)*XEX(IE) **RHOEX(IE)+(1-BETAEX(IE))*XD(IE)**RHOEX(IE))**(1/RHOEX(IE)); CET2(IEN).. X(IEN) =E= XD(IEN); ESUPPLY(IE).. XEX(IE)/XD(IE) =E= (PE(IE)/PD(IE)*(1-BETAEX(IE)) /BETAEX(IE))**(1/(RHOEX(IE)-1)); ARMINGTON1(IM).. Q(IM) =E= ALPHAIM(IM)*(BETAIM(IM)*XIM(IM)**(-RHOIM(IM)) +(1-BETAIM(IM))*XD(IM)**(-RHOIM(IM)))**(-1/RHOIM(IM)); ARMINGTON2(IMN).. Q(IMN) =E= XD(IMN); COSTMIN(IM).. (XIM(IM)/XD(IM)) =E= (PD(IM)/PM(IM) *BETAIM(IM)/(1-BETAIM(IM)))**(1/(1+RHOIM(IM))); *### Capital PKDEF(I).. PK(I) =E= SUM(J, ICAP(J,I)*PQ(J)); IEQ(I).. ID(I) =E= SUM(J, ICAP(I,J)*DK(J)); FIXEDINV.. FXDINV =E= INVEST - SUM(I, INV(I)*(X(I)+XIM(I))*PQ(I)); PRODINV(I).. PK(I)*DK(I) =E= ZZ(I)*FXDINV; TOTSUBEQ1.. TOTSUBS =E= (ITX("WATPAM")-itxo("WATPAM")) *PX("WATPAM")*X("WATPAM"); TOTSUBEQ2.. TOTSUBS =E= transf;

Program CGE Air Minum DKI Jakarta

Disertasi OM Final I-42

*## Income Equations SUBSIDY1("WATPAM",GH)$(Z("WATPAM") EQ 0).. SUB("WATPAM",GH) =E= TOTSUBS*CDO("WATPAM",GH)/(SUM(GJ, CDO("WATPAM",GJ))); SUBSIDY2("WATPAM",GH)$Z("WATPAM").. SUB("WATPAM",GH)=E=0; *## Income Equations YFEQ(F).. YF(F) =E= SUM(I, WA(F)*WFDIST(I,F)*FACDEM(I,F))+FIROW(F); HHINC1(NGH).. YH(NGH) =E= SUM(FLAB, SEDW(NGH,FLAB)*YF(FLAB))+SHHCPAM(NGH) *YF("CAPAM")+SHHCNPAM(NGH)*YF("CAPNAM") +SUM(HH, THS(NGH,HH)*YH(HH)*(1-TH(HH))*(1-MPS(HH))*(1-TROWS(HH))) +CTH(NGH)*YCORP*(1-CTAX)+TGOV(NGH)*GOVBUD+ROWHH(NGH); HHINC2(GH).. YH(GH) =E= SUM(FLAB, SEDW(GH,FLAB)*YF(FLAB)) +SHHCPAM(GH)*YF("CAPAM")+SHHCNPAM(GH)*YF("CAPNAM") +SUM(HH, THS(GH,HH)*YH(HH)*(1-TH(HH))*(1-MPS(HH))*(1-TROWS(HH))) +CTH(GH)*YCORP*(1-CTAX)+TGOV(GH)*GOVBUD+ROWHH(GH) +SUB("WATPAM",GH); YCORPEQ.. YCORP =E= SCORCPAM*YF("CAPAM")+SCORCNAM*YF("CAPNAM")+CORTCOR +ROWCOR+CORBOR-CORAMOR-CORINTR; TARIFDEF.. TARIFF =E= SUM(I, TM(I)*XIM(I)*PWM(I))*EXR; INDTAXDEF.. INDTAX =E= SUM(I, ITX(I)*PX(I)*X(I)); CORTAXDEF.. CORTAX =E= YCORP*CTAX; HHTAXDEF.. HHTAX =E= SUM(H, TH(H)*YH(H)); GREV.. GR =E= TARIFF+INDTAX+CORTAX+HHTAX+ROWTAX+SGOVCPAM*YF("CAPAM") +SGOVCNAM*YF("CAPNAM")+ROWGOV+GOVGOV+GOVBOR; HSAVEQ.. HSAV =E= SUM(H, MPS(H)*YH(H)*(1-TH(H))); CORSAVEQ.. CORSAV =E= CSAV*YCORP*(1-CTAX); CORTCREQ.. CORTCOR =E= CCOR*YCORP*(1-CTAX); CORROWEQ.. CORROW =E= CTR*YCORP*(1-CTAX); TOTSAV.. SAVING =E= HSAV+CORSAV+GOVSAV-SAVROW+FORINV; *## Expenditure equations INTEQ(I).. TOTINT(I) =E= SUM(J, IOMI(I,J)*IN(J)); CDEQ(I,H).. PQ(I)*CD(I,H) =E= CHS(I,H)*YH(H)*(1-TH(H))*(1-MPS(H))*(1-TROWS(H)); GDEQ1(I).. PQ(I)*CGOV(I) =E= CGS(I)*GOVBUD;

Program CGE Air Minum DKI Jakarta

Disertasi OM Final I-43

RGDPEQ.. RGDP =E= SUM(I, PQ(I)*(SUM(H, CD(I,H))+INV(I)*(X(I)+XIM(I))+ID(I) +CGOV(I)))+SUM(IE, PE(IE)*XEX(IE)) -SUM(IM, (PM(IM)-TM(IM)*PWM(IM)*EXR)*XIM(IM)); GDVAEQ.. GDVA =E= SUM(I, PV(I)*VA(I))+INDTAX+TARIFF; *## Market Clearing EQUIL(I).. Q(I) =E= TOTINT(I)+SUM(H,CD(I,H))+CGOV(I)+ID(I)+ INV(I)*X(I)+INV(I)*XIM(I); FMEQUIL(F).. SUM(I, FACDEM(I,F)) =E= FD(F); GOVSAVEQ.. GR =E= GOVBUD+GOVSAV+GOVROW+GOVGOV+GOVINTR+GOVAMOR; CURRACWE.. CURRACW =E= SUM(F, FIROW(F))+SUM(H, ROWHH(H))+ROWGOV+ROWCOR +SUM(IE, PE(IE)*XEX(IE))+FORINV+ROWTAX+SUM(I, TM(I)*PWM(I)*XIM(I)) +ROWTRW+GOVBOR+CORBOR-SUM(FLAB, SFROW(FLAB)*YF(FLAB)) -SROWCPAM*YF("CAPAM")-SROWCNAM*YF("CAPNAM") -SUM(I,PWM(I)*XIM(I)*EXR)-SUM(H,HHTRW(H))-GOVROW-CORROW -SAVROW-GOVINTR-CORINTR-GOVAMOR-CORAMOR-ROWTRW; *## Price Index PINDEXDEF.. PINDEX =E= SUM(I, WTQ(I)*PQ(I)); PINDOMDEF.. PINDOM =E= SUM(I, WTD(I)*PQ(I)); * Some restrictions *# Production function ALPHAX.FX(I) = ALPHAX.L(I); IOMI.FX(I,J) = IOMI.L(I,J); *# Prices and commodities PWE.FX(I) = PWE.L(I); PWM.FX(I) = PWM.L(I); PM.FX(IMN) = PM.L(IMN); PE.FX(IEN) = PE.L(IEN); XEX.FX(IEN) = 0; XIM.FX(IMN) = 0; PD.FX(I) = PD.L(I); *# Tax rate TM.FX(I) = TM.L(I); ITX.FX(I) = ITX.L(I); *# Household expenditure CHS.FX(I,H) = CHS.L(I,H);

Program CGE Air Minum DKI Jakarta

Disertasi OM Final I-44

*# Government expenditure CGS.FX(I) = CGS.L(I); GOVBUD.FX = GOVBUD.L; GOVGOV.FX = GOVGOV.L; TRANSF.FX = TRANSF.L; *# Inventory INV.FX(I) = INV.L(I); * Model Closure *# Foreign exchange market closure EXR.FX = EXR.L; CORINTR.FX = CORINTR.L; CORAMOR.FX = CORAMOR.L; CORBOR.FX = CORBOR.L; GOVROW.FX = GOVROW.L; ROWGOV.FX = ROWGOV.L; GOVINTR.FX = GOVINTR.L; GOVAMOR.FX = GOVAMOR.L; GOVBOR.FX = GOVBOR.L; ROWHH.FX(H) = ROWHH.L(H); FIROW.FX(F) = FIROW.L(F); SAVROW.FX = SAVROW.L; FORINV.FX = FORINV.L; ROWTRW.FX = ROWTRW.L; HHTRW.FX(H) = HHTRW.L(H); ROWTAX.FX = ROWTAX.L; CURRACW.FX = CURRACW.L; *# Factor market closure FACDEM.FX(I,"CAPAM") = FACDEM.L(I,"CAPAM"); WFDIST.FX(NPLTW,"CAPAM") = 0; WFDIST.FX("WATNPAM","CAPAM") = 0; FACDEM.FX(I,"CAPNAM") = FACDEM.L(I,"CAPNAM"); WFDIST.FX("WATPAM","CAPNAM") = 0; WFDIST.FX(I,"LABOR") = WFDIST.L(I,"LABOR"); FACDEM.FX("PLANT","LABOR") = FACDEM.L("PLANT","LABOR"); FACDEM.FX("TEXLEATH","LABOR") = FACDEM.L("TEXLEATH","LABOR"); UNEMPL.FX = UNEMPL.L; LABFOR.FX = LABFOR.L; *# Numeraire price index PINDEX.FX = PINDEX.L; * Solve and display *##############################Benchmarking################################# OPTION ITERLIM=0; OPTION LIMROW=0, LIMCOL=0; OPTION SOLPRINT=OFF, sysout = ON ; MODEL ECGE0 /ALL/; SOLVE ECGE0 USING MCP;

Program CGE Air Minum DKI Jakarta

Disertasi OM Final I-45

*#########################SAM Construction############################## SAMREC(ACC,ACCP)=0; SAMEXP(ACC,ACCP)=0; *== Post Optimality SAM *= RECEIVES * VALUEADDED SAMREC("VALUAD","ACTIVITY") = SUM(F,SUM(I,WA.L(F)*WFDIST.L(I,F)* FACDEM.L(I,F))); SAMREC("VALUAD","WORLD") = SUM(F, FIROW.L(F)); TOTREC("VALUAD") = SUM(ACC,SAMREC("VALUAD",ACC)); * HOUSEHOLDS SAMREC("HOUSEHOLDS","VALUAD") = SUM(H,SUM(FLAB,SEDW(H,FLAB)*YF.L(FLAB))) + SUM(H, SHHCPAM(H)*YF.L("CAPAM") + SHHCNPAM(H)*YF.L("CAPNAM")); SAMREC("HOUSEHOLDS","HOUSEHOLDS") = SUM((HH,H),(THS(HH,H)*(YH.L(H)*(1-TH(H)) *(1-MPS(H)))*SUMHHTRO(H))); SAMREC("HOUSEHOLDS","GOVT") = SUM(H, TGOV(H)*GOVBUD.L); SAMREC("HOUSEHOLDS","CORPO") = SUM(H,CTH(H)*YCORP.L*(1-CTAX)); SAMREC("HOUSEHOLDS","WORLD") = SUM(H, ROWHH.L(H)); TOTREC("HOUSEHOLDS") = SUM(ACC,SAMREC("HOUSEHOLDS",ACC)); * GOVT SAMREC("GOVT","VALUAD") = SGOVCPAM*YF.L("CAPAM")+SGOVCNAM*YF.L("CAPNAM"); SAMREC("GOVT","HOUSEHOLDS") = SUM(H, YH.L(H)*TH(H)); SAMREC("GOVT","GOVT") = GOVGOV.L; SAMREC("GOVT","CORPO") = YCORP.L*CTAX; SAMREC("GOVT","INTXSUB") = TINDTAX.L +SUM(I, PWM.L(I)*EXR.L*TM.L(I)*XIM.L(I)); SAMREC("GOVT","WORLD") = ROWGOV.L+GOVBOR.L; TOTREC("GOVT") = SUM(ACC,SAMREC("GOVT",ACC)); * CORPORATE SAMREC("CORPO","VALUAD") = SCORCPAM*YF.L("CAPAM")+SCORCNAM*YF.L("CAPNAM"); SAMREC("CORPO","CORPO") = CCOR*YCORP.L*(1-CTAX); SAMREC("CORPO","WORLD") = ROWCOR.L+CORBOR.L; TOTREC("CORPO") = SUM(ACC,SAMREC("CORPO",ACC)); * ACTIVITY SAMREC("ACTIVITY","COMMODITY") = SUM(I, PD.L(I)*XD.L(I)); SAMREC("ACTIVITY","WORLD") = SUM(I, PE.L(I)*XEX.L(I)); TOTREC("ACTIVITY") = SUM(ACC,SAMREC("ACTIVITY",ACC)); *COMMODITY SAMREC("COMMODITY","HOUSEHOLDS") = SUM((I,H), PQ.L(I)*CD.L(I,H)); SAMREC("COMMODITY","GOVT") = SUM(I, PQ.L(I)*CGOV.L(I)); SAMREC("COMMODITY","ACTIVITY") = SUM(I, PQ.L(I)*TOTINT.L(I));

Program CGE Air Minum DKI Jakarta

Disertasi OM Final I-46

SAMREC("COMMODITY","KACCOUNT") = SUM(I, PQ.L(I)*(ID.L(I)+INV.L(I)*X.L(I) +INV.L(I)*XIM.L(I))); TOTREC("COMMODITY") = SUM(ACC, SAMREC("COMMODITY",ACC)); *SAVINGS SAMREC("KACCOUNT","HOUSEHOLDS") = HSAV.L; SAMREC("KACCOUNT","GOVT") = GOVSAV.L; SAMREC("KACCOUNT","CORPO") = CORSAV.L; SAMREC("KACCOUNT","WORLD") = FORINV.L; TOTREC("KACCOUNT") = SUM(ACC,SAMREC("KACCOUNT",ACC)); * NET INDIRECT TAX (INDIRECT TAX MINUS SUBSIDY) SAMREC("INTXSUB","ACTIVITY") = SUM(I, ITX.L(I)*PX.L(I)*X.L(I)); SAMREC("INTXSUB","WORLD") = ROWTAX.L+SUM(I,TM.L(I)*PWM.L(I)*XIM.L(I)); TOTREC("INTXSUB") = SUM(ACC,SAMREC("INTXSUB",ACC)); * WORLD ACCOUNT SAMREC("WORLD","HOUSEHOLDS") = SUM(H,HHTRW.L(H)); SAMREC("WORLD","GOVT") = GOVROW.L+GOVINTR.L+GOVAMOR.L; SAMREC("WORLD","CORPO") = CORROW.L+CORINTR.L+CORAMOR.L; SAMREC("WORLD","COMMODITY") = SUM(I, PWM.L(I)*EXR.L*XIM.L(I)); SAMREC("WORLD","VALUAD") = SUM(FLAB, SFROW(FLAB)*YF.L(FLAB)) +SROWCPAM*YF.L("CAPAM")+SROWCNAM*YF.L("CAPNAM"); SAMREC("WORLD","KACCOUNT") = SAVROW.L+CURRACW.L; SAMREC("WORLD","WORLD") = ROWTRW.L; TOTREC("WORLD") = SUM(ACC,SAMREC("WORLD",ACC)); *= EXPENDITURES * VALUEADDED SAMEXP("HOUSEHOLDS","VALUAD") = SAMREC("HOUSEHOLDS","VALUAD"); SAMEXP("GOVT","VALUAD") = SAMREC("GOVT","VALUAD"); SAMEXP("CORPO","VALUAD") = SAMREC("CORPO","VALUAD"); SAMEXP("WORLD","VALUAD") = SAMREC("WORLD","VALUAD"); TOTEXP("VALUAD") = SUM(ACC,SAMEXP(ACC,"VALUAD")); *HOUSEHOLDS SAMEXP("HOUSEHOLDS","HOUSEHOLDS") = SAMREC("HOUSEHOLDS","HOUSEHOLDS"); SAMEXP("GOVT","HOUSEHOLDS") = SAMREC("GOVT","HOUSEHOLDS"); SAMEXP("COMMODITY","HOUSEHOLDS") = SAMREC("COMMODITY","HOUSEHOLDS"); SAMEXP("KACCOUNT","HOUSEHOLDS") = SAMREC("KACCOUNT","HOUSEHOLDS"); SAMEXP("WORLD","HOUSEHOLDS") = SAMREC("WORLD","HOUSEHOLDS"); TOTEXP("HOUSEHOLDS") = SUM(ACC,SAMEXP(ACC,"HOUSEHOLDS")); *GOVERNMENT SAMEXP("HOUSEHOLDS","GOVT") = SAMREC("HOUSEHOLDS","GOVT"); SAMEXP("GOVT","GOVT") = SAMREC("GOVT","GOVT"); SAMEXP("COMMODITY","GOVT") = SAMREC("COMMODITY","GOVT"); SAMEXP("KACCOUNT","GOVT") = SAMREC("KACCOUNT","GOVT"); SAMEXP("WORLD","GOVT") = SAMREC("WORLD","GOVT"); TOTEXP("GOVT") = SUM(ACC,SAMEXP(ACC,"GOVT"));

Program CGE Air Minum DKI Jakarta

Disertasi OM Final I-47

*CORPORATE SAMEXP("HOUSEHOLDS","CORPO") = SAMREC("HOUSEHOLDS","CORPO"); SAMEXP("CORPO","CORPO") = SAMREC("CORPO","CORPO"); SAMEXP("GOVT","CORPO") = SAMREC("GOVT","CORPO"); SAMEXP("KACCOUNT","CORPO") = SAMREC("KACCOUNT","CORPO"); SAMEXP("WORLD","CORPO") = SAMREC("WORLD","CORPO"); TOTEXP("CORPO") = SUM(ACC,SAMEXP(ACC,"CORPO")); *ACTIVITY SAMEXP("VALUAD","ACTIVITY") = SAMREC("VALUAD","ACTIVITY"); SAMEXP("COMMODITY","ACTIVITY") = SAMREC("COMMODITY","ACTIVITY"); SAMEXP("INTXSUB","ACTIVITY") = SAMREC("INTXSUB","ACTIVITY"); TOTEXP("ACTIVITY") = SUM(ACC,SAMEXP(ACC,"ACTIVITY")); *COMMODITY SAMEXP("ACTIVITY","COMMODITY") = SAMREC("ACTIVITY","COMMODITY"); SAMEXP("WORLD","COMMODITY") = SAMREC("WORLD","COMMODITY"); TOTEXP("COMMODITY") = SUM(ACC,SAMEXP(ACC,"COMMODITY")); * INVESTMENTS SAMEXP("COMMODITY","KACCOUNT") = SAMREC("COMMODITY","KACCOUNT"); SAMEXP("WORLD","KACCOUNT") = SAMREC("WORLD","KACCOUNT"); TOTEXP("KACCOUNT") = SUM(ACC,SAMEXP(ACC,"KACCOUNT")); * TAX COLLECTION SAMEXP("GOVT","INTXSUB") = SAMREC("GOVT","INTXSUB"); TOTEXP("INTXSUB") = SUM(ACC,SAMEXP(ACC,"INTXSUB")); *WORLD ACCOUNT SAMEXP("VALUAD","WORLD") = SAMREC("VALUAD","WORLD"); SAMEXP("HOUSEHOLDS","WORLD") = SAMREC("HOUSEHOLDS","WORLD"); SAMEXP("GOVT","WORLD") = SAMREC("GOVT","WORLD"); SAMEXP("CORPO","WORLD") = SAMREC("CORPO","WORLD"); SAMEXP("ACTIVITY","WORLD") = SAMREC("ACTIVITY","WORLD"); SAMEXP("KACCOUNT","WORLD") = SAMREC("KACCOUNT","WORLD"); SAMEXP("INTXSUB","WORLD") = SAMREC("INTXSUB","WORLD"); SAMEXP("WORLD","WORLD") = SAMREC("WORLD","WORLD"); TOTEXP("WORLD") = SUM(ACC,SAMEXP(ACC,"WORLD")); * ========================== BALANCE ACCOUNTS ========================= * DEFINE PARAMETERS FOR MATRIX CHECKING FINALSAM(ACC,ACCP) = SAMEXP(ACC,ACCP); COLTOT(ACC) = TOTEXP(ACC); ROWTOT(ACCP) = TOTREC(ACCP); SAMDIFF(ACC) = TOTREC(ACC) - TOTEXP(ACC); OPTION DECIMALS = 5; DISPLAY "*** POST-OPTIMALITY SAM REPLICATION: FOR JAKARTA MODEL";

Program CGE Air Minum DKI Jakarta

Disertasi OM Final I-48

DISPLAY FINALSAM,COLTOT,ROWTOT,SAMDIFF; * ==================================================================== *Reporting SET SCN /BASE, SCENARIO1 / PRC / PD, PX, PQ, PE, PM /; PARAMETER GDPDKI(SCN) GDP DKI Jakarta HINC1(SCN,GH) Household income getting water subsidy HINC2(SCN,NGH) Household income not getting water subsidy FINC(SCN,F) Factor income INVES(SCN) Total investment GRE(SCN) Government Revenue INTAX(SCN) Indirect Tax from commodity SAVIN(SCN) Total saving HHSAV(SCN,H) Household Saving GSAV(SCN) Government Saving PRICE(SCN,PRC,I) Commoditi prices CONSU(SCN,H,PLTW) Household consumption SUBSID(SCN,GH,PLTW1) Water subsidy; GDPDKI("BASE") = RGDP.L; HINC1("BASE",GH) = YH.L(GH); HINC2("BASE",NGH) = YH.L(NGH); FINC("BASE",F) = YF.L(F); INVES("BASE") = INVEST.L; GRE("BASE") = TARIFF.L+INDTAX.L+ROWTAX.L+CORTAX.L+HHTAX.L+GOVFAM.L +GOVFNAM.L+ROWGOV.L+GOVGOV.L+GOVBOR.L; INTAX("BASE") = SUM(I, ITX.L(I)*PX.L(I)*X.L(I)); SAVIN("BASE") = SAVING.L; HHSAV("BASE",H) = MPS(H)*YH.L(H)*(1-TH(H)); GSAV("BASE") = GOVSAV.L; PRICE("BASE","PD",I) = PD.L(I); PRICE("BASE","PX",I) = PX.L(I); PRICE("BASE","PQ",I) = PQ.L(I); PRICE("BASE","PM",I) = PM.L(I); PRICE("BASE","PE",I) = PE.L(I); CONSU("BASE",H,PLTW) = CD.L(PLTW,H); SUBSID("BASE",GH,PLTW1)= SUB.L(PLTW1,GH); *##############################Counterfactual################################# * Simulasi I kenaikan investasi air minum perpipaan FACDEM.FX("WATPAM","CAPAM") = 1.1*FACDEM.L("WATPAM","CAPAM"); * Simulasi II Kenaikan investasi air minum nonperpipaan FACDEM.FX("WATNPAM","CAPNAM") = 1.1*FACDEM.L("WATNPAM","CAPNAM"); * Simulasi III subsidi dari pajak air minum perpipaan ITX.FX("WATPAM") = ITX.L("WATPAM")*1.1; * Simulasi IV subsidi dari pemerintah pusat

Program CGE Air Minum DKI Jakarta

Disertasi OM Final I-49

TRANSF.FX = 149; * Simulasi V investasi air minum perpipaan disertai subsidi dari pajak air minum * perpipaan utk RT miskin FACDEM.FX("WATPAM","CAPAM") = 1.1*FACDEM.L("WATPAM","CAPAM"); ITX.FX(“WATPAM”) = ITX.L(“WATPAM”)*1.1; * Simulasi VI investasi air minum perpipaan disertai subsidi dari pemerintah * pusat utk RT miskin FACDEM.FX("WATPAM","CAPAM") = 1.1*FACDEM.L("WATPAM","CAPAM"); TRANSF.FX = 149; OPTION ITERLIM=1000; MODEL ECGE1 /ALL/; SOLVE ECGE1 USING MCP; GDPDKI("SCENARIO1") = RGDP.L; HINC1("SCENARIO1",GH) = YH.L(GH); HINC2("SCENARIO1",NGH) = YH.L(NGH); FINC("SCENARIO1",F) = YF.L(F); INVES("SCENARIO1") = INVEST.L; GRE("SCENARIO1") = TARIFF.L+INDTAX.L+ROWTAX.L+CORTAX.L+HHTAX.L+GOVFAM.L +GOVFNAM.L+ROWGOV.L+GOVGOV.L+GOVBOR.L; INTAX("SCENARIO1") = SUM(I, ITX.L(I)*PX.L(I)*X.L(I)); SAVIN("SCENARIO1") = SAVING.L; HHSAV("SCENARIO1",H) = MPS(H)*YH.L(H)*(1-TH(H)); GSAV("SCENARIO1") = GOVSAV.L; PRICE("SCENARIO1","PX",I) = PX.L(I); PRICE("SCENARIO1","PQ",I) = PQ.L(I); PRICE("SCENARIO1","PD",I) = PD.L(I); PRICE("SCENARIO1","PM",I) = PM.L(I); PRICE("SCENARIO1","PE",I) = PE.L(I); CONSU("SCENARIO1",H,PLTW) = CD.L(PLTW,H); SUBSID("SCENARIO1",GH,PLTW1) = SUB.L(PLTW1,GH); PARAMETER DIFFGDP, DIFFHINC1(GH), DIFFHINC2(NGH), DIFFFINC(F), DIFFINV, DIFFGR, DIFFITAX, DIFFTSAV, DIFFHSAV(H), DIFFGSAV, DIFFPRICE(PRC,I), DIFFHCON(H,I); DIFFGDP = GDPDKI("SCENARIO1")-GDPDKI("BASE"); DIFFHINC1(GH) = HINC1("SCENARIO1",GH)-HINC1("BASE",gH); DIFFHINC2(NGH) = HINC2("SCENARIO1",NGH)-HINC2("BASE",NGH); DIFFFINC(F) = FINC("SCENARIO1",F)-FINC("BASE",F); DIFFINV = INVES("SCENARIO1")-INVES("BASE"); DIFFGR = GRE("SCENARIO1")-GRE("BASE"); DIFFITAX = INTAX("SCENARIO1")-INTAX("BASE"); DIFFTSAV = SAVIN("SCENARIO1")-SAVIN("BASE"); DIFFGSAV = GSAV("SCENARIO1")-GSAV("BASE"); DIFFHSAV(H) = HHSAV("SCENARIO1",H)-HHSAV("BASE",H); DIFFPRICE(PRC,I) = PRICE("SCENARIO1",PRC,I)-PRICE("BASE",PRC,I); DIFFHCON(H, PLTW) = CONSU("SCENARIO1",H,PLTW)-CONSU("BASE",H,PLTW); PARAMETER PDIFGDP, PDIFHINC1(GH), PDIFHINC2(NGH), PDIFOUT(I), PDIFFINC(F),

Program CGE Air Minum DKI Jakarta

Disertasi OM Final I-50

PDIFINV, PDIFGR, PDIFITAX, PDIFTSAV, PDIFHSAV(H), PDIFGSAV, PDIFPRICE(PRC,I), PDIFHCON(H,I); PDIFGDP = (GDPDKI("SCENARIO1")-GDPDKI("BASE"))/GDPDKI("BASE")*100; PDIFHINC1(GH) = (HINC1("SCENARIO1",GH)-HINC1("BASE",GH))/HINC1("BASE",GH)*100; PDIFHINC2(NGH) = (HINC2("SCENARIO1",NGH)-HINC2("BASE",NGH)) /HINC2("BASE",NGH)*100; PDIFFINC(F) = (FINC("SCENARIO1",F)-FINC("BASE",F))/FINC("BASE",F)*100; PDIFINV = (INVES("SCENARIO1")-INVES("BASE"))/INVES("BASE")*100; PDIFGR = (GRE("SCENARIO1")-GRE("BASE"))/GRE("BASE")*100; PDIFITAX = (INTAX("SCENARIO1")-INTAX("BASE"))/INTAX("BASE")*100; PDIFTSAV = (SAVIN("SCENARIO1")-SAVIN("BASE"))/SAVIN("BASE")*100; PDIFGSAV = (GSAV("SCENARIO1")-GSAV("BASE"))/GSAV("BASE")*100; PDIFHSAV(H) = (HHSAV("SCENARIO1",H)-HHSAV("BASE",H))/HHSAV("BASE",H)*100; PDIFPRICE(PRC,I) = (PRICE("SCENARIO1",PRC,I)-PRICE("BASE",PRC,I) /PRICE("BASE",PRC,I))*100; PDIFHCON(H,PLTW)$(CONSU("BASE",H,PLTW)) = (CONSU("SCENARIO1",H,PLTW) -CONSU("BASE",H,PLTW))/CONSU("BASE",H,PLTW)*100; *#########################SAM Construction############################## SAMREC(ACC,ACCP)=0; SAMEXP(ACC,ACCP)=0; *== Post Optimality SAM-Counterfactual *= RECEIVES * VALUEADDED SAMREC("VALUAD","ACTIVITY") = SUM(F,SUM(I,WA.L(F)*WFDIST.L(I,F)* FACDEM.L(I,F))); SAMREC("VALUAD","WORLD") = SUM(F, FIROW.L(F)); TOTREC("VALUAD") = SUM(ACC,SAMREC("VALUAD",ACC)); * HOUSEHOLDS SAMREC("HOUSEHOLDS","VALUAD") = SUM(H,SUM(FLAB,SEDW(H,FLAB)*YF.L(FLAB))) + SUM(H, SHHCPAM(H)*YF.L("CAPAM") + SHHCNPAM(H)*YF.L("CAPNAM")); SAMREC("HOUSEHOLDS","HOUSEHOLDS") = SUM((HH,H),(THS(HH,H)*(YH.L(H)*(1-TH(H)) *(1-MPS(H)))*SUMHHTRO(H))); SAMREC("HOUSEHOLDS","GOVT") = SUM(H, TGOV(H)*GOVBUD.L); SAMREC("HOUSEHOLDS","CORPO") = SUM(H,CTH(H)*YCORP.L*(1-CTAX)); SAMREC("HOUSEHOLDS","WORLD") = SUM(H, ROWHH.L(H)); TOTREC("HOUSEHOLDS") = SUM(ACC,SAMREC("HOUSEHOLDS",ACC)); * GOVT SAMREC("GOVT","VALUAD") = SGOVCPAM*YF.L("CAPAM")+SGOVCNAM*YF.L("CAPNAM"); SAMREC("GOVT","HOUSEHOLDS") = SUM(H, YH.L(H)*TH(H)); SAMREC("GOVT","GOVT") = GOVGOV.L; SAMREC("GOVT","CORPO") = YCORP.L*CTAX; SAMREC("GOVT","INTXSUB") = TINDTAX.L +SUM(I, PWM.L(I)*EXR.L*TM.L(I)*XIM.L(I)); SAMREC("GOVT","WORLD") = ROWGOV.L+GOVBOR.L; TOTREC("GOVT") = SUM(ACC,SAMREC("GOVT",ACC));

Program CGE Air Minum DKI Jakarta

Disertasi OM Final I-51

* CORPORATE SAMREC("CORPO","VALUAD") = SCORCPAM*YF.L("CAPAM")+SCORCNAM*YF.L("CAPNAM"); SAMREC("CORPO","CORPO") = CCOR*YCORP.L*(1-CTAX); SAMREC("CORPO","WORLD") = ROWCOR.L+CORBOR.L; TOTREC("CORPO") = SUM(ACC,SAMREC("CORPO",ACC)); * ACTIVITY SAMREC("ACTIVITY","COMMODITY") = SUM(I, PD.L(I)*XD.L(I)); SAMREC("ACTIVITY","WORLD") = SUM(I, PE.L(I)*XEX.L(I)); TOTREC("ACTIVITY") = SUM(ACC,SAMREC("ACTIVITY",ACC)); *COMMODITY SAMREC("COMMODITY","HOUSEHOLDS") = SUM((I,H), PQ.L(I)*CD.L(I,H)); SAMREC("COMMODITY","GOVT") = SUM(I, PQ.L(I)*CGOV.L(I)); SAMREC("COMMODITY","ACTIVITY") = SUM(I, PQ.L(I)*TOTINT.L(I)); SAMREC("COMMODITY","KACCOUNT") = SUM(I, PQ.L(I)*(ID.L(I)+INV.L(I)*X.L(I) +INV.L(I)*XIM.L(I))); TOTREC("COMMODITY") = SUM(ACC, SAMREC("COMMODITY",ACC)); *SAVINGS SAMREC("KACCOUNT","HOUSEHOLDS") = HSAV.L; SAMREC("KACCOUNT","GOVT") = GOVSAV.L; SAMREC("KACCOUNT","CORPO") = CORSAV.L; SAMREC("KACCOUNT","WORLD") = FORINV.L; TOTREC("KACCOUNT") = SUM(ACC,SAMREC("KACCOUNT",ACC)); * NET INDIRECT TAX (INDIRECT TAX MINUS SUBSIDY) SAMREC("INTXSUB","ACTIVITY") = SUM(I, ITX.L(I)*PX.L(I)*X.L(I)); SAMREC("INTXSUB","WORLD") = ROWTAX.L+SUM(I,TM.L(I)*PWM.L(I)*XIM.L(I)); TOTREC("INTXSUB") = SUM(ACC,SAMREC("INTXSUB",ACC)); * WORLD ACCOUNT SAMREC("WORLD","HOUSEHOLDS") = SUM(H,HHTRW.L(H)); SAMREC("WORLD","GOVT") = GOVROW.L+GOVINTR.L+GOVAMOR.L; SAMREC("WORLD","CORPO") = CORROW.L+CORINTR.L+CORAMOR.L; SAMREC("WORLD","COMMODITY") = SUM(I, PWM.L(I)*EXR.L*XIM.L(I)); SAMREC("WORLD","VALUAD") = SUM(FLAB, SFROW(FLAB)*YF.L(FLAB)) +SROWCPAM*YF.L("CAPAM")+SROWCNAM*YF.L("CAPNAM"); SAMREC("WORLD","KACCOUNT") = SAVROW.L+CURRACW.L; SAMREC("WORLD","WORLD") = ROWTRW.L; TOTREC("WORLD") = SUM(ACC,SAMREC("WORLD",ACC)); *= EXPENDITURES * VALUEADDED SAMEXP("HOUSEHOLDS","VALUAD") = SAMREC("HOUSEHOLDS","VALUAD"); SAMEXP("GOVT","VALUAD") = SAMREC("GOVT","VALUAD");

Program CGE Air Minum DKI Jakarta

Disertasi OM Final I-52

SAMEXP("CORPO","VALUAD") = SAMREC("CORPO","VALUAD"); SAMEXP("WORLD","VALUAD") = SAMREC("WORLD","VALUAD"); TOTEXP("VALUAD") = SUM(ACC,SAMEXP(ACC,"VALUAD")); *HOUSEHOLDS SAMEXP("HOUSEHOLDS","HOUSEHOLDS") = SAMREC("HOUSEHOLDS","HOUSEHOLDS"); SAMEXP("GOVT","HOUSEHOLDS") = SAMREC("GOVT","HOUSEHOLDS"); SAMEXP("COMMODITY","HOUSEHOLDS") = SAMREC("COMMODITY","HOUSEHOLDS"); SAMEXP("KACCOUNT","HOUSEHOLDS") = SAMREC("KACCOUNT","HOUSEHOLDS"); SAMEXP("WORLD","HOUSEHOLDS") = SAMREC("WORLD","HOUSEHOLDS"); TOTEXP("HOUSEHOLDS") = SUM(ACC,SAMEXP(ACC,"HOUSEHOLDS")); *GOVERNMENT SAMEXP("HOUSEHOLDS","GOVT") = SAMREC("HOUSEHOLDS","GOVT"); SAMEXP("GOVT","GOVT") = SAMREC("GOVT","GOVT"); SAMEXP("COMMODITY","GOVT") = SAMREC("COMMODITY","GOVT"); SAMEXP("KACCOUNT","GOVT") = SAMREC("KACCOUNT","GOVT"); SAMEXP("WORLD","GOVT") = SAMREC("WORLD","GOVT"); TOTEXP("GOVT") = SUM(ACC,SAMEXP(ACC,"GOVT")); *CORPORATE SAMEXP("HOUSEHOLDS","CORPO") = SAMREC("HOUSEHOLDS","CORPO"); SAMEXP("CORPO","CORPO") = SAMREC("CORPO","CORPO"); SAMEXP("GOVT","CORPO") = SAMREC("GOVT","CORPO"); SAMEXP("KACCOUNT","CORPO") = SAMREC("KACCOUNT","CORPO"); SAMEXP("WORLD","CORPO") = SAMREC("WORLD","CORPO"); TOTEXP("CORPO") = SUM(ACC,SAMEXP(ACC,"CORPO")); *ACTIVITY SAMEXP("VALUAD","ACTIVITY") = SAMREC("VALUAD","ACTIVITY"); SAMEXP("COMMODITY","ACTIVITY") = SAMREC("COMMODITY","ACTIVITY"); SAMEXP("INTXSUB","ACTIVITY") = SAMREC("INTXSUB","ACTIVITY"); TOTEXP("ACTIVITY") = SUM(ACC,SAMEXP(ACC,"ACTIVITY")); *COMMODITY SAMEXP("ACTIVITY","COMMODITY") = SAMREC("ACTIVITY","COMMODITY"); SAMEXP("WORLD","COMMODITY") = SAMREC("WORLD","COMMODITY"); TOTEXP("COMMODITY") = SUM(ACC,SAMEXP(ACC,"COMMODITY")); * INVESTMENTS SAMEXP("COMMODITY","KACCOUNT") = SAMREC("COMMODITY","KACCOUNT"); SAMEXP("WORLD","KACCOUNT") = SAMREC("WORLD","KACCOUNT"); TOTEXP("KACCOUNT") = SUM(ACC,SAMEXP(ACC,"KACCOUNT")); * TAX COLLECTION SAMEXP("GOVT","INTXSUB") = SAMREC("GOVT","INTXSUB"); TOTEXP("INTXSUB") = SUM(ACC,SAMEXP(ACC,"INTXSUB")); *WORLD ACCOUNT

Program CGE Air Minum DKI Jakarta

Disertasi OM Final I-53

SAMEXP("VALUAD","WORLD") = SAMREC("VALUAD","WORLD"); SAMEXP("HOUSEHOLDS","WORLD") = SAMREC("HOUSEHOLDS","WORLD"); SAMEXP("GOVT","WORLD") = SAMREC("GOVT","WORLD"); SAMEXP("CORPO","WORLD") = SAMREC("CORPO","WORLD"); SAMEXP("ACTIVITY","WORLD") = SAMREC("ACTIVITY","WORLD"); SAMEXP("KACCOUNT","WORLD") = SAMREC("KACCOUNT","WORLD"); SAMEXP("INTXSUB","WORLD") = SAMREC("INTXSUB","WORLD"); SAMEXP("WORLD","WORLD") = SAMREC("WORLD","WORLD"); TOTEXP("WORLD") = SUM(ACC,SAMEXP(ACC,"WORLD")); * ========================== BALANCE ACCOUNTS ========================= * DEFINE PARAMETERS FOR MATRIX CHECKING FINALSAM(ACC,ACCP) = SAMEXP(ACC,ACCP); COLTOT(ACC) = TOTEXP(ACC); ROWTOT(ACCP) = TOTREC(ACCP); SAMDIFF(ACC) = TOTREC(ACC) - TOTEXP(ACC); OPTION DECIMALS = 5; DISPLAY "*** POST-OPTIMALITY COUNTERFACTUAL SAM REPLICATION: FOR JAKARTA MODEL"; DISPLAY FINALSAM,COLTOT,ROWTOT,SAMDIFF; * ==================================================================== *Reporting DISPLAY GDPDKI, HINC1, HINC2, FINC, INVES, GRE, INTAX, SAVIN, PRICE, HHSAV, GSAV, CONSU, SUBSID, DIFFGDP, DIFFHINC1, DIFFHINC2, DIFFFINC, DIFFINV, DIFFGR, DIFFITAX, DIFFTSAV, DIFFHSAV, DIFFGSAV, DIFFHCON, PDIFGDP, PDIFHINC1, PDIFHINC2, PDIFFINC, PDIFINV, PDIFGR, PDIFITAX, PDIFTSAV, PDIFHSAV, PDIFGSAV, PDIFHCON;

Recommended