View
94
Download
11
Category
Preview:
Citation preview
FASE – FASE PERKEMBANGAN SEJARAH SENIRUPA INDONESIA
Secara garis besar fase perkembangan sejarah senirupa Indonesia dapat dikategorikan kedalam 7 fase, yaitu :
1. Masa Perintisan yaitu sekitar tahun 1817 sampai tahun 1880
Pada masa perintisan ini tokoh yang paling dikenal adalah Raden Saleh, dengan nama
lengkap Raden Saleh Syarif Bustaman Lahir di Terbaya, pada tahun 1814 -1880, putra keluarga bangsawan pribumi yang mampu melukis gaya atau cara barat, baik dari segi alat, media maupun teknik, dengan penggambaran yang natural dan
Raden Saleh banyak mendapat bimbingan dari pelukis Belgia Antonio Payen, pelukis Belanda A. Schelfhouf dan C. Kruseman di Den Haag. Dia sering berkeliling dunia dan
pernah tinggal di Negara-Negara Eropa. Ciri-ciri karya lukisan pada masa ini dengan Raden Saleh sebagai pelopornya adalah :
Bergaya natural dan romantisme
Kuat dalam melukis potret dan binatang
Pengaruh romantisme Eropa terutama dari Delacroix.
Pengamatan yang sangat baik pada alam maupun binatang Beberapa judul Karya Raden Saleh:
Hutan terbakar
Perkelahian antara hidup dan mati Pangeran Diponegoro
Berburu Banteng di Jawa
Potret para Bangsawan
Contoh karya-karya masa perintisan
Deanles Karya Raden Saleh
Berburu Rusa - karya Raden Saleh
Badai/TheStorm 1851 - Raden Saleh
2. Masa Indonesia Jelita
Selanjutnya muncul pelukis-pelukis muda yang memiliki konsep berbeda dengan masa
perintisan, yaitu melukis keindahan dan keelokan alam Indonesia.Keadaan ini ditandai pula dengan datangnya para pelukis luar/barat atau sebagian ada yang menetap dan melukis keindahan alam
Masa ini dinamakan Indonesia Jelita karena pada masa ini Karya-karya yang dihasilkan para Seniman Lukis lebih banyak menggambarkan tentang keindahan alam, serta lebih banyak
menonjolkan nada erotis dalam melukiskan manusia.
Tokoh Pelukis pada Masa Indonesia Jelita ini adalah : Abdullah Suriosubroto (1878-1941)
Mas Pirngadi (1875-1936)
Wakidi Basuki Abdullah
Henk Ngantung, Lee Man Fong (dll)
Rudolf Bonnet (Bld), Walter Spies (Bel), Romuldo Locatelli, Lee Mayer (Jerman) dan
W.G. Hofker. Ciri-ciri lukisan yang dihasilkan yaitu:
Pengambilan obyek alam yang indah
Tidak mencerminkan nilai-nilai jiwa merdeka
Kemahiran teknik melukis tidak dibarengi dengan penonjolan nilai spirituil
Menonjolkan nada erotis dalam melukiskan manusia
Contoh karya pada masa ini adalah :
The Day’s end Mount
Lukisan cat minyak, karya Abdullah SR
Mountain Landscape karya Wakidi
Cat minyak diatas kanvas, 139.5 x 197 cm
Gunung Merapi, karya Basoeki Abdullah
Balinese legend,W. Spies
Village life in Sanur
Willem Gerard Hofker (1902-1981), oil on canvas
Full moon ceremony(1994)
oil on canvas by Arie Smith
3. Masa Cita Nasional
Masa Cita Nasional yaitu Bangkitnya kesadaran nasional yang dipelopori oleh Boedi Oetomo pada Tahun 1908. Seniman S. Sudjojono, Surono, Abd. Salam, Agus Djajasumita mendirikan PERSAGI (Persatuan Ahli Gambar Indonesia). Perkumpulan pertama di Jakarta, berupaya
mengimbangi lembaga kesenian asing Kunstring yang mampu menghimpun lukisan-lukisan bercorak modern. PERSAGI berupaya mencari dan menggali nilai-nilai yang mencerminkan
kepribadian Indonesia yang sebenarnya
Hasil karya mereka mencerminkan :
Mementingkan nilai-nilai psikologis; Tema perjuangan rakyat ;
Tidak terikat kepada obyek alam yang nyata; Memiliki kepribadian Indonesia ;
Didasari oleh semangat dan keberanian; Karya-karya seni lukis masa PERSAGI antara lain :
Agus Djajasumita : Barata Yudha, Arjuna Wiwaha, Nirwana, Dalam Taman Nirwana
S. Sudjojono: Djongkatan, Didepan Kelambu Terbuka, Mainan, Cap Go meh.
Otto Djaya: Penggodaan, Wanita Impian
- Di Depan Kelambu Terbuka,1939, Sudjojono, 86 x 66 cm
- Laki-laki Bali dan Ayam Jago, 1958, Agus Djaja S.,
cat minyak di atas kanvas, 100 x 140 cm
Kawan - kawan Revolusi,
1947 karya S. Sudjojono, cat minyak di atas kanvas, 95 x 149 cm
Penjual Jamu, karya Otto Djaya Suminta
4. Masa Pendudukan Jepang Masa Pendudukan Jepang
Cita PERSAGI masih melekat pada para pelukis, serta menyadari pentingnya seni lukis untuk kepentingan revolusi.
Pemerintah Jepang mendirikan KEIMIN BUNKA SHIDOSO,Lembaga Kesenian Indonesia –Jepang ini pada dasarnya lebih mengarah pada kegiatan propaganda
Jepang. Tahun 1943 berdiri PUTERA (Pusat Tenaga Rakyat) oleh Bung Karno, Bung Hatta,
Ki Hajar Dewantara dan KH Mansur. Tujuannya memperhatikan dan memperkuat
perkembangan seni dan budaya. Khusus dalam seni lukis dikelola oleh S. Sudjojono dan Afandi, selanjutnya bergabung pelukis Hendara, Sudarso, Barli, Wahdi dan
sebagainya Hasil karya mereka mencerminkan kelanjutan dari masa cita Nasional Tokoh utama pada masa ini antara lain:
S. Sudjojono
Basuki Abdullah, Emiria Surnasa
Agus Djajasumita, Barli
Affandi, Hendra dan lain-lain
Mengungsi, 1947, karya S. Sudjojono,
cat minyak diatas kanvas, 95 x 149 cm
Keluarga Pemusik , 1971, karya Hendra Gunawan,
cat minyak diatas kanvas, 150 x 90 cm
Pengemis karya Affandi,
Cat minyak di atas kanvas, 99 x 129 cm
Kemudian masih ada 3 masa yang terakhir yaitu : 5. Masa Setelah Kemerdekaan
6. Masa Pendidikan Formal, dan
7. Masa Seni Rupa Baru Indonesia - See more at: http://bilik-seni.blogspot.com/2014/08/fase-perkembangan-sejarah-senirupa-indonesia-
1.html#sthash.oN9kLtrf.dpuf
1. 1. MOOI INDIE (PENDAHULUAN)
Pada mulanya istilah Mooi Indie pernah dipakai untuk memberi judul reproduksi
sebelas lukisan pemandangan cat air Du Chattel yang diterbitkan dalam bentuk
portfolio di Amsterdam tahun 1930. Namun demikian istilah itu menjadi popular di
Hindia Belanda semenjak S. Sudjojono memakainya untuk mengejek pelukis-pelukis
pemandangan dalam tulisannya pada tahun 1939. Dia mengatakan bahwa lukisan-
lukisan pemandangan yang serba bagus, serba enak, romantis bagai di surga, tenang
dan damai, tidak lain hanya mengandung satu arti: Mooi Indie (Hindia Belanda yang
Indah).
Berawal dari para pelukis yang karena kelahiran dan tempat tinggalnya di Indonesia
(Hindia Belanda) menjadi para pelukis Indo Belanda atau biasa disebut Indische
Schilderer, serta ditambah para pelukis asing yang datang dari berbagai negara
Eropa. Sehingga ada proses asimilasi dan alkulturasi yang kental yang
mempengaruhi corak mooi indie.
Lukisan-Iukisan Mooi Indie dapat dikenali dari penampilan fisiknya. Bentuk atau
subyek maternya adalah pemandangan alam yang dihiasi gunung, sawah, pohon
penuh bunga, pantai atau telaga. Selain itu kecantikan dan eksotisme wanita-wanita
pribumi, baik dalam pose keseharian, sebagai penari, atau pun dalam keadaan
setengah busana. Laki-Iaki pribumi juga sering muncul sebagai obyek lukisan,
biasanya sebagai orang desa, penari atau bangsawan yang direkam dalam setting
suasana Hindia Belanda.
Menurut M. Agoes Burhan, wama yang dipakai untuk mengungkapkan obyek-obyek
itu kebanyakan cerah dan mengejar cahaya yang menyala. Karakter garisnya lembut
sebagaimana lukisan Du Chattel, sampai lincah dan spontan seperti Isaac Israel,
tetapi tidak ada yang sampai liar sebagaimana goresan orang-orang ekspresionis.
Mereka menempatkan obyek-obyek dalam komposisi yang formal, seimbang,
sehingga menghasilkan suasana tenang. Konsekuensinya, komposisi yang mengarah
pada struktur diagonal atau bloking objek-objek dari sudut kanvas untuk
menimbulkan suasana tegang dan dramatis jarang dipakai. Ciri-ciri fisik yang
demikian itu merupakan manifestasi dari ide pelukisnya yang ingin merealisasikan
impian untuk melihat negeri Timur, yang bagi pelukis-pelukis Belanda merupakan
dunia dongeng sejak masa kanak-kanak mereka. Terdapat empat kelompok pelukis
dari aliran Indie Mooi ini yang mulai berkembang pada awal abad ke-20 ini, yaitu:
Orang asing yang datang dari luar negeri yang jatuh cinta pada keindahan negeri ini dan
menemukan obyekobyek yang cocok di tanah Hindia. Misalnya F.J. du Chattel, Manus
Bauer, Nieuwkamp, Isaac Israel, PAJ Moojen, Carel Dake, Romualdo Locatelli (Itali),
dll.
Orang-orang Belanda kelahiran Hindia Belanda, misalnya Henry van Velthuijzen,
Charles Sayers, Ernest Dezen~e, Leonard Eland, Jan Frank, dll
Orang pribumi yang berbakat melukis dan mendapat ketrampilan dari dua kelompok di
atas, misalnya Raden Saleh, Mas Pirngadi, Abdullah Surisubroto, Wakidi, Basuki
Abdullah, Mas Soeryo Soebanto, Henk Ngantunk
Orang-orang Cina yang mulai muncul pada dasawarsa ketiga abad 20, khususnya Lee
Man Fong, Oei Tiang Oen dan Biau Tik Kwie. Pada umurnnya, dalam melakukan
publikasi karya-karyanya mereka mengadakan pameran selama di Jakarta bertempat di
Bataviasche Kuntkringgebouw, Theosofie Vereeniging, Kunstzaal Kolff & Co, Hotel
Des Indes, dll.
Yang saya simpulkan ada 5 penggerak aliran lukis dimasa ini, yakni: A. A. J Payen
(1792-1853), Raden Saleh (1807-1880), Abdullah Suryobroto (1878-1941), Wakidi
(1888-1979), dan Mas Pirngadi (1875-1936)
1. 2. TOKOH PENTING MOOI INDIE
A. A. J. PAYEN (Belgia 1792-1853)
Antoine A.J PAYEN ialah penggerak utama atau penghubung antara koonial
Belanda pada masa itu dengan Indonesia. Payen sebutannya ialah pribumi yang
dipercayai colonial Belanda saat itu untuk bekerja pada “Badan Penyelidik
Pengetahuan dan Kesenian” yang dikepalai oleh C.G.C. Reinwardt. Saat itu payen
bekerja bersama Bik bersaudara (Theodorus Bik dan Adrianus Bik) dengan tugas
resmi melukis alam, kota, pemandangan, tumbuh-tumbuhan dan fauna untuk
kepentingan Natural Sciences Commission pada badan yang dipimpin Reinwardt
tersebut.
Pertemuan pertamanya dengan muridnya Raden Saleh di tempat tersebut
mengembangkan minat gambar pribumi, secara khusus Raden Saleh. Bersama Bik
bersaudara dia mengajari Raden Saleh menggambar.
Setelah Inggris “menyerahkan” kembali Indonesia kepada Belanda ditahun 1816,
pemerintahan jajahan yang baru dari Nederland tidak saja membawa penguasa-
penguasa kolonial, tetapi juga beberapa guru besar atau professor yang diantaranya
adalah Reinwardt yang dikuasakan untuk melakukan penyelidikan-penyelidikan
tentang “Pengetahuan dan Kesenian”, selain itu juga para pelukis yang diantaranya
adalah Payen sendiri yang menjadi pelukis pada “Badan Penyelidik Pengetahuan dan
Kesenian” tersebut. Para pelukis ini ditugaskan melukis alam dan pemandangan di
Indonesia.
Payen memang tidak menonjol di kalangan ahli seni lukis di Belanda, namun mantan
mahaguru Akademi Senirupa di Doornik, Belanda, ini cukup membantu Raden Saleh
mendalami seni lukisBarat dan belajar teknik pembuatannya, misalnya melukis
dengan cat minyak. Payen juga mengajak pemuda Saleh dalam perjalanan dinas
keliling Jawa mencari model pemandangan untuk lukisan. Ia pun menugaskan Raden
Saleh menggambar tipe-tipe orang Indonesia di daerah yang disinggahi.
Ketertarikannya pada keindahan alam Indonesia Muncul seketika saat menjalani
tugas tersebut, jadi beliau merasa bahwa tugas yang dia bebani ini juga sebagai
pengetahuan yang pada akhirnya akan menjadi identitas estetika Indonesia (hindia-
belanda pada masa itu) pada beberapa masa. Beberapa sumber mempercayai bahwa
Payen ialah pengaruh besar pada perkembangan keseni rupaan Raden Saleh yang
juga menurunkan paham mooi indie pada kapasitas yang tidak lama.
RADEN SALEH (Semarang 1807-1880)
Info yang saya dapatkan memang tidak merujuk bahwa Raden Saleh ialah seniman
mooi indie secara utuh. Namun tak dapat dipungkiri Beliau adalah salah satu
pengauh Mooi Indie/seni rupa modern Indonesia. Berawal dari ketertarikannya
menggambar yang dibimbing oleh Payen membuat citra mooi indie harus dia terima
walaupun studinya keluar negri mengubah penggayaan dan estetika-nya.
Raden Saleh Sjarif Boestaman (Semarang, 1807 – Buitenzorg (sekarang Bogor), 23
April 1880) tercatat sebagai salah seorang pelukis paling terkenal dari Indonesia.
Kiprahnya di dunia Seni Rupa berawal Sejak usia 10 tahun, ia diserahkan pamannya,
Bupati Semarang, kepada orang-orangBelanda atasannya di Batavia. Kegemaran
menggambar mulai menonjol sewaktu bersekolah disekolah rakyat (Volks-School).
Keramahannya bergaul memudahkannya masuk ke lingkungan orang Belanda dan
lembaga-lembaga elite Hindia-Belanda. Seorang kenalannya, Prof. Caspar Reinwardt,
pendiri Kebun Raya Bogor sekaligus Direktur Pertanian, Kesenian, dan Ilmu
Pengetahuan untuk Jawa dan pulau sekitarnya, menilainya pantas mendapat ikatan
dinas di departemennya. Kebetulan di instansi itu ada pelukis
keturunan Belgia, A.A.J. Payen yang didatangkan dari Belanda untuk membuat
lukisan pemandangan di Pulau Jawa untuk hiasan kantor Departemen van
Kolonieen di Belanda. Payen tertarik pada bakat Raden Saleh dan berinisiatif
memberikan bimbingan.
Payen memang tidak menonjol di kalangan ahli seni lukis di Belanda, namun mantan
mahaguru Akademi Senirupa di Doornik, Belanda, ini cukup membantu Raden Saleh
mendalami seni lukisBarat dan belajar teknik pembuatannya, misalnya melukis
dengan cat minyak. Payen juga mengajak pemuda Saleh dalam perjalanan dinas
keliling Jawa mencari model pemandangan untuk lukisan. Ia pun menugaskan Raden
Saleh menggambar tipe-tipe orang Indonesia di daerah yang disinggahi.
Terkesan dengan bakat luar biasa anak didiknya, Payen mengusulkan agar Raden
Saleh bisa belajar ke Belanda. Usul ini didukung oleh Gubernur Jenderal G.A.G.Ph.
van der Capellen yang memerintah waktu itu (1819-1826), setelah ia melihat karya
Raden Saleh.
Tahun 1829, nyaris bersamaan dengan patahnya perlawanan Pangeran
Diponegoro oleh JenderalHendrik Merkus de Kock, Capellen membiayai Saleh belajar
ke Belanda. Namun, keberangkatannya itu menyandang misi lain. Dalam surat
seorang pejabat tinggi Belanda untuk Departemen van Kolonieen tertulis, selama
perjalanan ke Belanda Raden Saleh bertugas mengajari Inspektur Keuangan Belanda
de Linge tentang adat-istiadat dan kebiasaan orang Jawa, Bahasa Jawa, danBahasa
Melayu. Ini menunjukkan kecakapan lain Raden Saleh.
Seperti yang dibahas sebelumnya payen diberi kesempatan untuk bersekolah diluar
negri dan oleh karena itu seleah berpulangnya dari studinya tersebut Raden Saleh
membawa paham-paham estetika barat yang berkembang pada masa itu. Yakni
Romantisme
Sepulangnya dari studi panjangnya Tak banyak catatan seni yang dia gores. Ia
dipercaya menjadi konservator pada “Lembaga Kumpulan Koleksi Benda-benda
Seni”. Beberapa lukisan potret keluarga keraton dan pemandangan menunjukkan ia
tetap berkarya.
Karya yang paling menunjukan “kemolekannya” salah satunya ialah “Javanese
Landscape, with Tigers Listening to the Sound of a Traveling Group”
ABDULLAH SURYOBROTO (1878-1941)
Tidak terlalu banyak info yang menerangjan Abdullah Suryobroto selain beliau ialah
ayah kandung dari seniman flamboyant Raden Basoeki Abdullah, bersama rekannya
wakidi dan pringadie beliau mencetus mooi indie secara utuh.
Pelukis R Abdullah Suriosubroto adalah putera Dr Wahidin Sudirohusodo, perintis
pergerakan nasional ”Budi Utomo”. Tetapi berlainan dengan ayahnya, Abdullah
sama sekali tidak tertarik dengan dunia pergerakan, dia mengambil jalan hidup
berbeda. Dia berkesempatan belajar di negeri Belanda mengikuti tujuan ayahnya
supaya Abdullah menempuh studi kedokteran, tetapi sesuai kenyataannya Abdullah
malah belajar seni lukis di Den Haag.
Sebenarnya yang saya tangkap dari penggayaan luis Abdullah hamper sama dengan
ajaran payen kepada Raden Saleh. Yakni menggambarkan nuansa romantisme gaya
Eropa yang dituangkan versi keindahan Indonesia, dimana alam mendominasi.
Berbeda kembangannya dengan putranya Basuki Abdullah yang mengembangkan
mooi indie lebih ditekankan kepada keindahan wanita.
Wakidi (Palembang, 1889/1890-1979)
Wakidi (1889-1979) adalah pelukis berusia panjang. Wakidi yang orang tuanya asal
Semarang, namun dia sendiri lahir di Plaju, Sumatera Selatan ini memilih untuk
menetap di Sumatera Barat. Dia memperoleh pendidikan di Kweekschool (Sekolah
Pendidikan Guru) yang berdiri sejak 1837 di Bukittinggi. Di sekolah inilah Wakidi
mendalami pelajaran menggambar dan melukis (1903).
Mengingat kemampuan luar biasa yang dimiliki Wakidi di usia mudanya, setamat
disana, dia memperoleh tawaran menjadi guru lukis dan menggambar untuk
membina dan mengasuh anak-anak pribumi yang menempuh pendidikan di
Kweekschool. Diantara murid Wakidi tercatat tokoh proklamator Bung Hatta dan
mantan Ketua MPRS Jenderal Besar Abdul Haris Nasution.
Tidak hanya di Kweekschool, beberapa tahun kemudian Wakidi ditawari menjadi
guru di INS Kayutanam, yang didirikan M. Syafei pada tahun 1926. Di INS Wakidi
ternyata juga disukai dan disenangi puluhan bahkan ratusan murid dan pengikut-
pengikutnya.
Diantara murid-muridnya terdapat tokoh berkesinambungan yang berkiprah dalam
peta seni lukis nasional seperti Baharuddin MS, Syamsul Bahar, Mara Karma, Hasan
Basri DT. Tumbijo, Nasjah Jamin, Montingo Busye, Zaini, Nashar, Ipe Makruf,
Alimin Tamin, Nuzurlis Koto, Arby Samah, Muslim Saleh, Mukhtar Apin, AA Navis,
Mukhtar Jaos, Osmania dan banyak lagi hingga ke tokoh-tokoh muda saat ini.
MAS PRINGADI (1875-1936)
Mas Pirngadi lahir dalam keluarga ningrat pada tahun 1875. Beliau merupakan salah
seorang pelukis aliran naturalis Indonesia paling berbakat. Awalnya, beliau belajar
melukis dengan bahan caat air dari seorang pelukis Belanda, Du Chattel. Kemudian,
beliau mengajar pelukis-pelukis terkenal seperti Sudjono dan Suromo. Tokoh lain
yang dianggap sbagai pelukis terkenal Indonesia adalah Wahidi dan Abdullah
Suryosubroto. Mereka terkenal sebagai pelukis Indonesia pada zaman penjajahan
Belanda awal abad ke-20. Mas Pirngadi sangat ahli melukis pemandangan alam dan
orang. Disamping itu, beliau juga menghasilkan waktu bertahun-tahun membuat
gambar terinci untuk Royal Batavia Society for Arts dan Sciences and the
Archeological Service. Beliau meninggal pada tahun 1936.
Dalam melukis pemandangan alam, Abdullah dan Wakidi nampak lebih produktif
maupun berkemampuan dibanding dengan Pirngadi yang tersita oleh pekerjaan
rutinnya sebagai ilustrator museum antropologi di Jakarta.
1. 3. ERA PERSAGI, RUNTUHNYA MOOI INDIE
Zaman pergerakan yang ditandai dengan terselenggaranya Sumpah Pemuda 1928,
dan pecahnya Perang Asia Timur dengan Jepang sebagai pemenangnya
mempengaruhi geliat seni lukis di tanah air. Mazhab Mooi Indie lantas dikecam dan
dikritik habis, dianggap hanya mengabadikan keindahan alam Indonesia saja dan
kurang tanggap terhadap kenyataan di sekitarnya yang tidak semuanya indah, serba
enak, tenang dan damai.
Di sisi lain, pengembangan pada teknik melukis sangat diperhatikan pada masa itu,
sehingga seni lukis realisme Indonesia makin memiliki identitas pribadi. Paska
Sumpah Pemuda, terjadilah polemik kebudayaan yang riuh rendah dalam media
massa. Terutama pada kurun waktu 1935-1939. Para pelukis tidak mau ketinggalan
dan ikut ambil bagian. Tokoh-tokoh semacam Lee Man Fong, Ui Tiang Un, Henk
Ngantung, Siauw Tik Kwie, Pirngadi, Subanto, Imandt, Jan Frank, Rudolf Bonnet
ikut pula berdebat.
Sindudarsono Sudjojono (1913-1986) dan Affandi Koesoema (1907-1990) adalah dua
tokoh yang paling menonjol pada masa itu. Berbeda dengan Affandi yang pendiam,
Sudjojono adalah tokoh yang keras dan pemberang. Selain sebagai pelukis, dia juga
kritikus seni lukis berlidah tajam. Pak Djon – begitu panggilan akrabnya – kerap
mengecam Basoeki Abdullah yang dianggap bibit penerus mooi indie sebagai tidak
nasionalistis, karena hanya melukis perempuan cantik dan pemandangan alam.
Kritik Pak Djon itu tentu saja membuat berang Basoeki.
Pak Djon dan Basoeki kemudian dianggap sebagai musuh bebuyutan, bagai air dan
api, sejak 1935. Namun di luar itu, Pak Djon yang memang memulai karirnya sebagai
seorang guru sekolah menengah dianggap pionir yang mengembangkan seni lukis
modern khas Indonesia. Pengikut dan muridnya banyak, sehingga komunitas
seniman, menjulukinya sebagai Bapak Seni Lukis Indonesia Baru.
Sebenarnya alasan Pak Djon mengancam geliat Basuki Abdullah tidak tanpa dasar,
alasannya untuk mengakhiri masa mooi indie yang hanya menangkap keindahan
negaranya tanpa menangkap kegelisahan dan rasa keprihatinan yang juga bagian
dari keindahan bangsa kita sendiri. Juga kuatnya pengaruh “barat” dalam
penggayaan lukisan mooi indie manjadikan semakin kuatnya panggilan nasionalis
Pak Djon.
Sudjojono memang tidak sendiri, bersama PERSAGI Pak Djon mulai mengaktifkan
seni sebagai orasi, dan beberapa kekuatan propaganda lainnya. Berbeda hal dengan
basuki Abdullah yang hingga kematiannya mempertahankan kepercayaan yang
dianut sesepuhnya.
Namun beberapa sumber dan informasi yang saya dapat, Basuki Abdullah akhirnya
menyadari bahwa seni modern adalah seni yang menutarakan kegelisahan
dibandingkan hanya keindahannya saja. Beberapa karya Basuki Abdullah mulai
melenceng.
PERSAGI pimpinan sudjojono adalah babakan baru dalam kasanah seni rupa
Indonesia, tapi PERSAGI pun tak bisa mengelak keberadaannya pasti secaa tidak
langsung dipengaruhi oleh gerakan MOOI INDIE . karena dari adanya ketertekanan
munculah suatu kesadaran dan paham baru yang mempelopori perkembangan suatu
zaman.
1. 4. KESIMPULAN (SUBJEKTIFITAS PRIBADI)
Sebenarnya gerakan revolusinoer seperti dalam kasus mooi indie hanyalah suatu
kesadaran saja, dimana berawal dari sebuah tanggung jawab yakni kolonial Belanda
menyuruh Raden Saleh dan Payen untuk mendatakan karakter daerah dengan cara
dilukis, dari segi lokasi, karakter wajahnya hingga bagian-bagian detail lokasinya.
Dari tugas tersebut yang juga dipengaruhi oleh Penggayaan lukis Belanda membuat
peregerakan paham naturalis pelukis pribumi berasimilasi dengan penggayaan
romantisme yang dibawa colonial Belanda.
Saya sendiri berpendapat bahwa pada perkembangannya, paham Mooi indie ini
membuat fondasi dasar kemunculan seni rupa di Indonesia. Berawal dari payen,
kemudian Raden Saleh dan hingga mas pringadi menjadi saksi atas perjuangan
Indonesia menemukan jati dirinya.
Adapun bantahan sudjojono (pak djon) akan ketidak sesuaian mooi indie sebagai
identitas seni rupa Indonesia beralasan namun tidak benar seratus persen, menurut
saya pribadi alasan kuat kenapa ada sebuah pergerakan modern karena adanya suatu
paham yang mendasar terlebih dahulu akan suatu objek yang baku(tidak banyak
dirubah) seperti pelukisan bergaya mooi indie sendiri yang menangkap kesan dan
pesan yang nyata, indah itu alam, karena alam itu indah. Benar adanya dan kalaupun
pengaruh besar Belanda sebagai pihak “barat” mendifusikan paham ke bangsa kita
sebagai paham “timur” ialah proses pendewasaan dan kita memang berhak untuk
mengetahui dan kemudian menyeleksi mana yang harus kita buang dan mana yang
harus kita asimilasikan.
Pada muaranya saya meyakini bahwa Indonesia dengan mooi indie nya pada masa
itu membuat babakan “tersendiri” dari paham barat ataupun timur. Saya meyakini
kita adalah bagian dari dua kebudayaan tersebut “timur dan barat” atau yang saya
simpulkan sebagai “religiusitas dan filosofisme” yang akan bermuara pada SENI
RUPA INDONESIA yang murni.
Sekali lagi saya amat sangat menghargai seniman-seniman besar yang juga
memondasi sejarah seni rupa Indonesia, bagaikan karya mereka dalam lukisan-
lukisan moleknya. Mungkin lebih dalam lagi dari molek itu sendiri ada harapan dan
pesan yang ingin dibicarakan para perupa besar tersebut tentang kekayaan
Indonesia yang paling molek dengan alam yang menarik para perupa barat untuk
singgah dibansa hindia-belanda ini. Karena seni bukan hanya estetika atau pakem-
pakem lainnya, lebih dari itu, seni dengan apapun ekspresinya atau penggayaannya
adalah “diri kita’ sendiri yang ingin bercerita pada dunia.
_00_
Recommended