Upload
didik-dzikrul-hakim
View
4.542
Download
8
Embed Size (px)
Citation preview
SKRIPSI
FORMULASI PRODUK PANGAN DARURAT
BERBASIS TEPUNG UBI JALAR, TEPUNG PISANG, DAN TEPUNG
KACANG HIJAU MENGGUNAKAN TEKNOLOGI INTERMEDIATE
MOISTURE FOODS (IMF)
Oleh :
ANGGRAENI GIGIH SETYANINGTYAS
F24104020
2008
FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
Anggraeni Gigih S, F24104020. FORMULASI PRODUK PANGAN DARURAT BERBASIS TEPUNG UBI JALAR, TEPUNG PISANG, DAN TEPUNG KACANG HIJAU MENGGUNAKAN TEKNOLOGI INTERMEDIATE MOISTURE FOOD (IMF). Di bawah bimbingan Dede R. Adawiyah. 2008
RINGKASAN
Keadaan darurat di dalam Penjelasan UU No. 7 Tahun 1996 disebutkan sebagai terjadinya peristiwa bencana alam yang hebat dan sebagainya yang terjadi di luar kemampuan manusia untuk mencegah atau menghindarinya meskipun dapat diperkirakan. Keadaan darurat yang demikian tetap menempatkan kebutuhan atas pangan sebagai hak yang utama bagi korban. Kebutuhan pangan korban bencana biasanya dipenuhi oleh dapur umum, tetapi beberapa kondisi bencana tidak memungkinkan didirikannya dapur umum. Oleh karena itu diperlukan disain pangan khusus untuk keadaan darurat bencana sehingga dapat memenuhi kebutuhan pangan para korban.
Sifat penting pangan darurat menurut US Agency of International Development (USAID) adalah aman dikonsumsi, enak, mudah didistribusikan, mudah dikonsumsi, dan memiliki kandungan nutrisi yang cukup. Beberapa kondisi bencana seringkali bermasalah dengan ketercukupan air bersih. Oleh karena itu disain pangan darurat bencana juga meliputi kemudahan ditelan dan tidak menyebabkan rasa haus sehingga tidak membutuhkan banyak air untuk menyertai konsumsi pangan.
Salah satu bentuk pangan darurat yang memiliki potensi untuk dikembangkan adalah produk pangan semi basah atau intermediate moisture food (IMF). Hal ini dikarenakan kandungan air IMF yang masih cukup tinggi sehingga tidak menyebabkan haus dan nilai aw yang rendah menyebabkan daya awet IMF yang cukup lama. Produk IMF umumnya mempunyai nilai aw pada kisaran 0.65-0.85 dan berkadar air sekitar 15-30 %.
Pembuatan IMF secara moderen melibatkan pola adsorpsi atau desorpsi yang di dalamnya terdapat hubungan antara kandungan air dengan nilai aw yang digambarkan dengan grafik isotermi sorpsi dan persamaan matematis. Isotermi sorpsi ini digunakan untuk memperkirakan penyerapan air oleh bahan pada tingkat aw tertentu.
Tujuan penelitian ini adalah (1) mendapatkan pola isotermi sorpsi air bahan baku dan campurannya yang akan digunakan dalam formulasi pangan darurat dan (2) menghasilkan prototipe pangan darurat dengan teknologi intermediate moisture food. Penelitian ini meliputi pembuatan tepung instan sebagai bahan baku produk, formulasi awal, penentuan isotermi sorpsi bahan baku dan formula awal sebagai penelitian pendahuluan kemudian dilanjutkan produksi IMF dengan teknik moist infiution.
Formulasi awal menghasilkan tiga prototipe pangan darurat dengan bahan baku tepung ubi jalar, tepung pisang, dan tepung kacang hijau. Formulasi produk mengacu pada nilai makronutrien pangan darurat yaitu protein 7.9-8.1, lemak 9-11.7, dan karbohidrat 23-35 dalam satuan gram/bar, dengan asumsi satu bar sama dengan 50 gram solid.
Penentuan isotermi sorpsi bahan baku dan formula awal menunjukkan adanya kemiripan pola kurva. Kurva isotermi sorpsi formula mengikuti bentuk kurva isotermi sorpsi bahan baku tetapi letaknya lebih rendah dikarenakan terdapat minyak goreng dalam formula awal. Minyak goreng dapat menurunkan kemampuan bahan dalam mengikat air.
Produksi IMF dimulai dengan penambahan air ke dalam formula awal diikuti penambahan humektan. Penambahan air sebenarnya dapat dihitung berdasarkan kurva isotermi sorpsi. Namun dalam penelitian ini kurva isotermi sorpsi formula pisang dan kacang hijau kurang dapat menggambarkan penyerapan air dengan tepat sehingga penambahan airnya dilakukan manual sampai diperoleh kriteria produk yang diinginkan yaitu mudah ditelan dan dicetak..
Aplikasi humektan pada produk IMF ini menggunakan persamaan Grover. Humektan yang digunakan adalah sorbitol dan gliserol. Berdasarkan persamaan Grover, aplikasi 10 % sorbitol cukup efektif menurunkan nilai aw produk. Namun setelah dilakukan pengukuran aw aktual dengan aw meter, nilai aktualnya lebih tinggi dibanding nilai prediksi dan nilai aw produk tanpa humektan. Penggunaan 4% gliserol cukup efektif untuk menurunkan nilai aw produk. Nilai aw aktual produk dengan gliserol tidak berbeda jauh dengan nilai aw prediksinya. Nilai aw aktual produk tanpa penambahan humektan adalah 0.771, 0.822, dan 0.853; nilai aw dengan 10% sorbitol adalah 0.772, 0.835, dan 0.832; nilai aw dengan 4% gliserol adalah 0.737, 0.804, dan 0.815 masing-masing untuk formula ubi jalar, pisang, dan kacang hijau. Oleh karena itu dipilihlah produk dengan humektan gliserol untuk dianalisis lebih lanjut.
Uji organoleptik dilakukan terhadap ketiga produk dengan gliserol sebagai humektan. Uji organoleptik meliputi uji kemudahan ditelan, aftertaste pahit, dan kesukaan secara keseluruhan terhadap produk. Formula terpilih dari uji organoleptik ini adalah formula ubi jalar yang memiliki nilai kemudahan ditelan, tingkat aftertaste pahit, dan tingkat kesukaan yang lebih baik dibandingkan dengan formula pisang dan kacang hijau.
Pengukuran isotermi sorpsi produk akhir dapat digunakan untuk melihat pengaruh penambahan humektan terhadap pergeseran kurva isotermi sorpsi. Kurva isotermi sorpsi produk akhir yang mengandung humektan berada di atas kurva isotermi sorpsi formula awal yang tidak mengandung humektan tetapi mempunyai pola yang hampir sama. Pergeseran ini disebabkan oleh adanya humektan pada produk akhir sehingga pengikatan airnya lebih tinggi. Humektan merupakan senyawa higroskopis yang berfungsi mengikat air.
Produk terpilih kemudian dianalisis mutu mikrobiologisnya. Nilai total mikroba pada minggu ke-0 adalah 3.79 log CFU/gram dan pada minggu ke-4 sebesar 4.34 log CFU/gram atau mengalami kenaikan sekitar 0.55 log CFU/gram sedangkan jumlah kapang-khamir pada produk selama empat minggu mengalami kenaikan 0.37 log CFU/gram. Pengamatan visual produk selama empat minggu menunjukkan penampakan normal dan belum terdapat pertumbuhan mikroba. Namun berdasarkan acuan produk yaitu bakpia pathuk yang mempunyai nilai Angka Lempeng Total (total mikroba) maksimal 104, maka produk pangan darurat ini hanya dapat dikonsumsi satu minggu setelah produksi.
FORMULASI PRODUK PANGAN DARURAT
BERBASIS TEPUNG UBI JALAR, TEPUNG PISANG, DAN TEPUNG
KACANG HIJAU MENGGUNAKAN TEKNOLOGI INTERMEDIATE
MOISTURE FOODS (IMF)
SKRIPSI
Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
SARJANA TEKNOLOGI PERTANIAN
pada Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan
Fakultas Teknologi Pertanian
Institut Pertanian Bogor
Oleh :
ANGGRAENI GIGIH SETYANINGTYAS
F24104020
2008
FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
FORMULASI PRODUK PANGAN DARURAT
BERBASIS TEPUNG UBI JALAR, TEPUNG PISANG, DAN TEPUNG
KACANG HIJAU MENGGUNAKAN TEKNOLOGI INTERMEDIATE
MOISTURE FOODS (IMF)
SKRIPSI
Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
SARJANA TEKNOLOGI PERTANIAN
pada Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan
Fakultas Teknologi Pertanian
Institut Pertanian Bogor
Oleh :
ANGGRAENI GIGIH SETYANINGTYAS
F24104020
Dilahirkan pada tanggal 14 Mei 1986
Di Pati
Tanggal lulus : Agustus 2008
Menyetujui Bogor, Agustus 2008
Dr. Ir. Dede R. Adawiyah, M.Si Dosen Pembimbing
Mengetahui,
Dr. Ir. Dahrul Syah, M.Sc
Ketua Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan
RIWAYAT HIDUP
Penulis dilahirkan di Pati pada tanggal 14 Mei 1986.
Penulis merupakan anak kedua dari dua bersaudara dari
pasangan Edy Santoso, S.P.,M.M dan Dra. Nisviati.
Pendidikan dasar penulis ditempuh di SD Negeri Pati
Kidul 04 Pati pada tahun 1992-1998. Tahun 1998 penulis
melanjutkan sekolah di SMP Negeri 3 Pati dan lulus pada tahun 2001. Penulis
melanjutkan pendidikan ke SMU Negeri 1 Pati pada tahun 2001 dan lulus pada
tahun 2004.
Penulis mendapatkan Undangan Seleksi Masuk IPB (USMI) dan diterima di
Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan, Fakultas Teknologi Pertanian, Institut
Pertanian Bogor pada tahun 2004. Selama kuliah penulis aktif pada organisasi
Himitepa (Himpunan Mahasiswa Ilmu dan Teknologi Pangan) sebagai anggota
divisi Soskemas (2005-2006) dan Ketua Biro Kesekretariatan (2006-2007) serta
Sekretaris Omda IKMP (Organisasi mahasiswa daerah Ikatan Keluarga
Mahasiswa Pati) tahun 2005-2006. Penulis juga pernah terlibat pada beberapa
kepanitiaan antara lain panitia LCTIP XIV, Baur 2006, NSPC V dan VI.
Penulis menyusun skripsi sebagai tugas akhir untuk meraih gelar sarjana
dengan judul “Formulasi Produk Pangan Darurat Berbasis Tepung Ubi Jalar,
Tepung Pisang, dan Tepung Kacang Hijau Menggunakan Teknologi Intermediate
Moisture Foods (IMF)” di bawah bimbingan Dr. Ir. Dede R. Adawiyah, M.Si.
Penelitian ini mendapatkan bantuan dana dari Indofood Riset Nugraha.
KATA PENGANTAR
Alhamdulillah, puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT yang
telah mencurahkan segala rahmat dan hidayah-Nya kepada penulis, sehingga
penulis diberi kemampuan untuk menyelesaikan skripsi berjudul “Formulasi
Produk Pangan Darurat Berbasis Tepung Ubi Jalar, Tepung Pisang, dan Tepung
Kacang Hijau Menggunakan Teknologi Intermediate Moisture Foods (IMF)”
dengan baik. Selama penyelesaian skripsi ini penulis menyadari betul begitu
banyak bantuan yang diberikan oleh berbagai pihak, baik yang berupa materi
maupun non materi. Penulis menyampaikan rasa hormat dan terima kasih kepada :
1. Dr. Ir. Dede R. Adawiyah, M.Si sebagai dosen pembimbing akademik dan
pembimbing skripsi yang begitu sabarnya dan penuh keikhlasan telah
memberikan arahan, bimbingan dan nasehat kepada penulis.
2. Nur Wulandari, S.TP, M.Si dan Dr. Ir. Harsi D. Kusumaningrum selaku dosen
penguji atas kesediaanya meluangkan waktu untuk menguji penulis dan
memberi masukan yang memperkaya skripsi ini.
3. Bapak, Ibu, dan Mbak Santi serta seluruh keluarga penulis yang selalu
memberikan dukungan, doa dan segenap curahan kasih sayangnya yang tulus
kepada penulis.
4. Indofood Riset Nugraha atas bantuan dana penelitian tugas akhir ini.
5. Seluruh dosen ITP-IPB atas transfer ilmu dan pengetahuannya kepada penulis
selama kuliah.
6. Para laboran khususnya Bu Rubiah, Pak Wahid, Pak Sobirin, Pak Rozak, Mas
Edi, Teh Ida, Pak Koko dan Bu Antin serta seluruh staf Departemen ITP dan
para pustakawan yang telah membantu selama kuliah dan penelitian.
7. Mas Andri atas perhatian dan dukungan serta doa yang memberi semangat
lebih pada penulis.
8. Teman-teman satu bimbingan Christine, Hesti dan Ame atas informasi dan
bantuannya untuk tetap semangat.
9. Sahabat penulis Arum dan Sukma sebagai power puff girls. Jeng Ofa, Dini,
Jeng Rin, Kani, Aris, Dyah, Faried, Nene, Bima, Tika, Mbak April, Jamz atas
semangat dan kebersamaan untuk belajar banyak hal selama berjuang di
Himitepa.
10. Teman-teman Golongan A terutama Nanang, Chabib, Qia, dan Babe Sofyan
yang terlalu sering bersama dan menjadi bagian dari setiap tugas dan laporan
praktikum selama kuliah
11. Azis dan Prita sesama pejuang pangan darurat, Hans Puke, Hans CeWe, Anca,
Lia, Netha, Inke, Rizka (terutama atas info susu skim), Arif Fadli (untuk
proteonya) Kang Maman, Indra, Memed, Shinta, Yuli (untuk pinjaman catatan
yang lengkap), Jendi (untuk bantuan LCD) dan teman-teman ITP 41 lainnya
atas kerja sama, persahabatan dan semangatnya selama kuliah, juga untuk
Mike (ITP 42) dan Sadek (ITP 43) atas pinjaman buku-buku yang begitu
membantu penulis serta teman-teman ITP 40, 42 dan 43 lainnya.
12. Rekan-rekan satu lab : Mbak Dian, Mbak Hana, Mbak Erni, Mbak Feny,
Mbak Cyn, Bang Ahyar, Kak Marto, Mbak Betty yang telah meramaikan lab
pengolahan.
13. Sahabat-sahabatku di Anpat Co. terutama Uuk, Icha, Ratna, Angsa Crew,
Anpat 41, dan seluruh IKMP atas kekeluargaaan dan rasa senasib-
sepenanggungan selama di Bogor.
14. Keluarga kost Puri Fikryyah (atas canda tawa dan kebersamaan yang indah)
dan Wisma Blobo.
15. Serta pihak-pihak lain yang tidak dapat penulis sebutkan satu persatu yang
turut membantu proses penelitian ini.
Akhirnya penulis sangat mengharapkan hasil penelitian ini dapat bermanfaat
bagi masyarakat dan memberikan wacana baru bagi perkembangan cakrawala
dunia ilmu pengetahuan. Penulis menyadari hasil penelitian ini masih jauh dari
kesempurnaan. Segenap saran, kritik dan masukan yang membangun sangat
diharapkan demi kesempurnaan skripsi ini.
Bogor, Agustus 2008
Penulis
DAFTAR ISI
Halaman
KATA PENGANTAR ................................................................................... iii
DAFTAR ISI .................................................................................................. v
DAFTAR TABEL ......................................................................................... vii
DAFTAR GAMBAR ..................................................................................... viii
DAFTAR LAMPIRAN .................................................................................. ix
I. PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG ......................................................................... 1
B. TUJUAN PENELITIAN ...................................................................... 3
C. MANFAAT PENELITIAN .................................................................. 3
II. TINJAUAN PUSTAKA
A. PANGAN DARURAT ......................................................................... 4
B. INTERMEDIATE MOISTURE FOODS (IMF) .................................... 7
1. Definisi dan Karakteristik IMF ...................................................... 7
2. Teknologi pengolahan IMF ............................................................ 8
3. Kemasan IMF ................................................................................. 9
C. ISOTERMI SORPSI AIR .................................................................... 10
1. Aktivitas air (aw) ............................................................................ 12
2. Model persamaan isotermi sorpsi air ............................................. 14
D. HUMEKTAN ....................................................................................... 14
1. Sorbitol ........................................................................................... 15
2. Gliserol ........................................................................................... 16
3. Aplikasi Humektan......................................................................... 20
E. TEPUNG KACANG HIJAU ............................................................... 20
F. TEPUNG UBI JALAR ......................................................................... 23
G. TEPUNG PISANG .............................................................................. 24
III. BAHAN DAN METODOLOGI
A. BAHAN DAN ALAT .......................................................................... 28
B. METODOLOGI PENELITIAN ........................................................... 29
1. Penelitian Pendahuluan .................................................................. 30
a. Pembuatan tepung instan .......................................................... 30
b. Penghitungan formula awal produk ......................................... 30
c. Penentuan kurva isotermi sorpsi bahan baku dan formula
awal .......................................................................................... 32
2. Penelitian Utama ............................................................................ 34
3. Metode Analisis ............................................................................. 37
a. Analisis Proksimat .................................................................... 37
a.1. Kadar air metode oven (SNI 01-2981-1992) .................. 37
a.2. Kadar abu (SNI 01-2981-1992) ...................................... 37
a.3. Kadar protein metode mikro Kjeldahl (AOAC, 1995).... 38
a.4. Kadar lemak (SNI 01-2981-1992) .................................. 38
a.5. Kadar karbohidrat by difference ...................................... 39
b. Analisis nilai aw dengan aw meter ............................................. 39
c. Uji organoleptik (Meilgaard et. al., 1999) ................................ 39
d. Analisis total mikroba dan kapang-khamir (Modifikasi SNI
01-3751-2006) .......................................................................... 40
IV. HASIL DAN PEMBAHASAN
A. KARAKTERISASI BAHAN BAKU .................................................. 42
B. PENENTUAN KOMPOSISI FORMULA AWAL PRODUK ............ 44
C. ISOTERMI SORPSI AIR BAHAN BAKU ......................................... 46
D. PENENTUAN JUMLAH AIR YANG DITAMBAHKAN ................. 54
E. PENENTUAN JUMLAH DAN JENIS HUMEKTAN ....................... 57
F. UJI ORGANOLEPTIK ........................................................................ 63
G. KARAKTERISASI FORMULA PRODUK TERPILIH ..................... 66
1. Komposisi nutrisi ........................................................................... 67
2. Pengaruh Penambahan Humektan ................................................. 68
3. Analisis Total Mikroba dan Kapang-Khamir ................................. 70
V. KESIMPULAN DAN SARAN
A. KESIMPULAN .................................................................................... 75
B. SARAN ................................................................................................ 76
DAFTAR PUSTAKA ..................................................................................... 77
LAMPIRAN .................................................................................................... 82
DAFTAR TABEL
Halaman
Tabel 1. Humektan yang umum digunakan, konvensional, dan non
konvensional serta peranan utamanya dalam pangan .................... 18
Tabel 2. Nilai Ei Persamaan Grover ............................................................. 20
Tabel 3. Komposisi zat gizi kacang hijau mentah per 100 gram bahan ....... 21
Tabel 4. Kandungan asam amino kacang hijau ........................................... 22
Tabel 5. Syarat mutu tepung kacang hijau (SNI 01-3728-1995) ................. 23
Tabel 6. Komposisi zat gizi ubi jalar putih per 100 gram bahan ................ 24
Tabel 7. Komponen gizi pisang uli per 100 gram ...................................... 25
Tabel 8. Syarat mutu tepung pisang (SNI 01-3841-1995) ........................... 26
Tabel 9. Perbandingan nilai karbohidrat tepung pisang dengan tepung-
tepungan lainnya ............................................................................ 27
Tabel 10. RH berbagai jenis garam dalam penentuan isotermi sorpsi .......... 29
Tabel 11. Nilai makronutrien ingridien yang digunakan dalam formulasi ... 45
Tabel 12. Formulasi dasar produk pangan darurat ........................................ 46
Tabel 13. Prediksi kecukupan nutrisi pangan darurat dari ketiga formula .... 46
Tabel 14. Parameter isotermi sorpsi menurut persamaan GAB .................... 51
Tabel 15 Komposisi aktual formula ubi jalar, pisang, dan kacang hijau ..... 58
Tabel 16. Prediksi aw pada penambahan sorbitol dan gliserol dari setiap
formula dengan Persamaan Grover ................................................ 59
Tabel 17. Hasil pengukuran aw aktual ketiga formula dengan aw meter ........ 61
Tabel 18. Komposisi nutrisi produk pangan darurat terpilih (formula ubi
jalar) ............................................................................................... 68
Tabel 19. Parameter isotermi sorpsi menurut persamaan GAB ..................... 69
Tabel 20. Hasil analisis mikrobiologis produk terpilih selama empat
minggu ........................................................................................... 71
Tabel 21. Nilai aktivitas air (aw) minimum mikroba yang sering terdapat
pada pangan semi basah ................................................................. 73
DAFTAR GAMBAR
Halaman
Gambar 1. Kurva isotermi sorpsi air pada bahan pangan (deMan, 1989) ... 11
Gambar 2. Tiga tipe kurva isotermi sorpsi (Bell dan Labuza, 200) .............. 12
Gambar 3. Stabilitas bahan pangan sebagai fungsi dari aw (Fennema 1996) 13
Gambar 4. Struktur kimia sorbitol (www.wikipedia.org) ............................ 16
Gambar 5. Struktur kimia gliserol (www.wikipedia.org) ............................. 17
Gambar 6. Diagram alir proses produksi tepung instan ................................ 31
Gambar 7. Susunan Alat Penentuan Isotermi Sorpsi Air ............................. 33
Gambar 8. Diagram alir proses produksi IMF dengan teknik moist infution 36
Gambar 9. Alat aw meter Shibaura Electronics WA-360 .............................. 39
Gambar 10. Tepung yang digunakan sebagai bahan baku ............................. 43
Gambar 11. Kurva isotemi sorpsi sukrosa (Adawiyah, 2006) ........................ 48
Gambar 12. Kapang (spot berwarna gelap) pada pengukuran isotermi sorpsi
tepung ubi jalar (kiri) dan formula kacang hijau (kanan) ........... 49
Gambar 13. Hubungan Kuadratik aw dan aw/M dari tepung (kiri) dan
formula (kanan) ubi jalar, pisang, dan kacang hijau (atas-
bawah) ......................................................................................... 50
Gambar 14. Kurva isotermi sorpsi bahan baku dan formula dalam data
percobaan dan data prediksi dengan Persamaan GAB (a) ubi
jalar, (b) pisang, dan (c) kacang hijau ......................................... 53
Gambar 15. Penampakan produk IMF formula kacang hijau, ubi jalar, dan
pisang (kiri-kanan) ..................................................................... 63
Gambar 16. Penyajian sampel dalam uji organoleptik .................................. 64
Gambar 17. Nilai kemudahan ditelan dari ketiga sampel ............................... 65
Gambar 18. Nilai aftertaste pahit dari ketiga sampel .................................... 65
Gambar 19. Nilai kesukaan dari ketiga sampel. ............................................ 66
Gambar 20. Produk pangan darurat terpilih dalam kemasan alufo ................. 67
Gambar 21. Kurva isotermi sorpsi formula ubi jalar tanpa humektan dan
produk akhir yang mengandung humektan ................................. 69
Gambar 22. Perkembangan total mikroba dan kapang-khamir....................... 71
DAFTAR LAMPIRAN
Halaman
Lampiran 1. Kadar air keetimbangan tepung dan formula ubi jalar, kacang
hijau, dan pisang....................................................................... 82
Lampiran 2. Penghitungan dengan Pers. Gover pada Formula Ubi Jalar ..... 83
Lampiran 3. Penghitungan dengan Pers. Gover pada Formula Pisang......... 84
Lampiran 4. Penghitungan dengan Pers. Gover pada Form. Kacang Hijau . 85
Lampiran 5. Formulir Kuesioner Uji Organoleptik ..................................... 86
Lampiran 6. Data Rekapitulasi Hasil Uji Organoleptik ............................... 88
Lampiran 7. Hasil Uji Rating Kemudahan Ditelan ..................................... 89
Lampiran 8. Hasil Uji Rating Aftertaste Pahit ............................................. 90
Lampiran 9. Hasil Uji Rating Hedonik ........................................................ 91
Lampiran 10. Syarat mutu bakpia pathuk (SNI 01-4291-1996) ..................... 92
I. PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG
Keadaan darurat secara eksplisit disebutkan di dalam Penjelasan UU No.
7 Tahun 1996 yaitu terjadinya peristiwa bencana alam yang hebat dan
sebagainya yang terjadi di luar kemampuan manusia untuk mencegah atau
menghindarinya meskipun dapat diperkirakan.
Definisi pangan darurat juga tercakup secara implisit dalam PP No.68
tahun 2002 mengenai cadangan pangan nasional. Keadaan darurat yang
dimaksud dalam PP tersebut adalah keadaan paceklik yang mengakibatkan
terjadinya kekurangan pangan di suatu daerah tertentu, tetapi seiring dengan
beruntunnya bencana alam yang dihadapi bangsa Indonesia maka definisi
cadangan pangan juga meliputi bahan pangan darurat untuk bencana
(emergency foods).
Berbagai bencana alam yang terjadi akhir-akhir ini, khususnya di
Indonesia mengakibatkan penderitaan yang cukup mendalam bagi korban dan
pengungsi. Keadaan darurat dalam kondisi bencana yang demikian tetap
menempatkan kebutuhan pangan sebagai hak asasi manusia yang utama bagi
korban bencana.
Beberapa lembaga pemberi bantuan biasanya mendirikan dapur umum.
Keberadaan dapur umum begitu membantu pemenuhan kebutuhan pangan
bagi korban bencana, tetapi pada kondisi-kondisi bencana tertentu, seringkali
tidak memungkinkan didirikannya dapur umum, sedangkan korban selamat
tetap memerlukan makanan. Bantuan pangan seringkali diberikan dalam
bentuk mi instan. Padahal dalam kedaan bencana yang demikian, fasilitas
memasak dan keberadaan air bersih untuk memasak begitu minimal bahkan
seringkali tidak ada. Berdasarkan keadaan yang seperti ini, diperlukan disain
pangan khusus untuk keadaan darurat bencana yang dapat langsung
dikonsumsi (ready to eat), praktis didistribusikan, dan bergizi.
Sifat penting dari pangan darurat menurut US Agency of International
Development (USAID) adalah aman dikonsumsi, enak dan mutu sensorinya
dapat diterima, mudah didistribusikan, mudah digunakan atau dikonsumsi, dan
memiliki kandungan nutrisi yang cukup. Selain itu, pangan darurat hendaknya
tidak mengandung bahan yang menyebabkan alergi. Beberapa kondisi
bencana seringkali bermasalah dengan ketercukupan air bersih. Oleh karena
itu disain pangan darurat bencana juga meliputi kemudahan ditelan dan tidak
menyebabkan rasa haus sehingga tidak membutuhkan banyak air untuk
menyertai konsumsi pangan.
Salah satu bentuk pangan darurat yang memiliki potensi untuk
dikembangkan adalah produk pangan semi basah atau intermediate moisture
foods (IMF). Menurut Robson (1976), produk pangan semi basah umumnya
mempunyai nilai aw pada kisaran 0.65-0.85 dan berkadar air sekitar 15-30 %.
Karakteristik utama produk pangan semi basah yaitu mudah ditelan
tanpa ada sensasi kering, dapat langsung dikonsumsi tanpa adanya penyiapan
lebih lanjut, dan daya awet pangan semi basah serta proses pembuatannya
yang cukup sederhana memungkinkan produk pangan semi basah ini menjadi
salah satu alternatif pangan untuk keadaan darurat.
Cara pengolahan pangan semi basah terutama didasarkan pada
penurunan nilai kadar air diikuti aktifitas air (aw) sampai tingkat mikroba
patogen dan pembusuk tidak tumbuh, tetapi kandungan airnya masíh cukup
sehingga memiliki tekstur yang plastis, misalnya dengan penambahan
humektan atau mengurangi kadar air dengan pengeringan. Menurut Karel
(1976), teknik produksi pangan semi basah meliputi tiga kategori yaitu (1)
Pencelupan basah (moist infution) (2) Pencelupan kering (dry infution) dan (3)
Pencampuran (blending).
Pangan semi basah dapat diproduksi dengan cara tradisional dan
modern. Cara tradisional misalnya penggaraman atau penambahan gula.
Proses produksi pangan semi basah modern dapat dilakukan dengan dua cara
yaitu adsorpsi dan desorpsi. Pengolahan tipe adsorpsi menggunakan bahan
kering yang kemudian dikontrol proses pembasahannya, sedangkan pada tipe
desorpsi, bahan dimasukkan ke dalam larutan yang mempunyai tekanan
osmosis lebih tinggi, sampai diperoleh keseimbangan pada tingkat aw yang
diinginkan (Robson 1976). Pada kedua proses tersebut, terdapat hubungan
antara kandungan air dengan nilai aw yang digambarkan dengan grafik
isotermi sorpsi dan persamaan matematis (Troller, 1989).
Pangan darurat hendaknya bercita rasa dan dibuat dari bahan pangan
lokal agar lebih mudah diterima oleh masyarakat setempat dalam rentang usia
yang luas. Selain itu pemanfaatan bahan pangan lokal dapat meningkatkan
potensi pertanian pada suatu daerah. Bahan pangan lokal Indonesia misalnya
ubi jalar, pisang dan kacang hijau. Ubi jalar merupakan bahan lokal yang biasa
digunakan sebagai sumber karbohidrat beberapa penduduk Indonesia.
Produktivitas ubi jalar tertinggi kedua dibandingkan dengan jenis umbi-
umbian lainnya yaitu mencapai angka 105 kuintal/Ha pada tahun 2006
(Deptan, 2007). Pisang juga merupakan tanaman yang biasa menjadi tanaman
rumah tangga penduduk Indonesia. Produktivitas pisang merupakan tertingggi
ketiga di antara jenis buah-buahan lainnya, yaitu 535.10 kuintal/Ha pada tahun
2006 (Deptan, 2007). Tanaman kacang hijau merupakan salah satu tanaman
Leguminosae yang cukup penting di Indonesia. Posisinya menduduki tempat
ketiga setelah kedelai dan kacang tanah (Marzuki dan Suprapto, 2005).
B. TUJUAN PENELITIAN
Penelitian ini bertujuan 1). Mendapatkan pola isotermi sorpsi air bahan
baku dan campurannya yang selanjutnya akan digunakan dalam formulasi
pangan darurat dan 2). Menghasilkan prototipe produk pangan darurat melalui
teknologi intermediate moisture foods (IMF) yang dapat diterima dan
memenuhi standar kecukupan gizi produk pangan darurat, mudah ditelan, dan
tidak menyebabkan haus.
C. MANFAAT PENELITIAN
Penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat dalam perancangan bentuk
bantuan pangan yang dapat disalurkan kepada masyarakat yang terkena
bencana alam, kekeringan, peperangan atau kekurangan pangan lainnya.
II. TINJAUAN PUSTAKA
A. PANGAN DARURAT
Menurut IOM (1995), pangan darurat (emergency food product) adalah
pangan untuk memenuhi kebutuhan konsumsi harian manusia dalam keadaan
darurat. Keadaan darurat yang dimaksud adalah bencana alam, rawan pangan
(kelaparan), peperangan, dan kejadian lain yang mengakibatkan manusia tidak
dapat hidup secara normal.
Di Indonesia, keadaan darurat secara eksplisit juga disebutkan di dalam
Penjelasan UU No. 7 Tahun 1996 yaitu terjadinya peristiwa bencana alam
yang hebat dan sebagainya yang terjadi di luar kemampuan manusia untuk
mencegah atau menghindarinya meskipun dapat diperkirakan.
Konsep pangan darurat juga tercakup secara implisit dalam Peraturan
Pemerintah No. 68 tahun 2002 mengenai cadangan pangan nasional yaitu
meliputi persediaan pangan di seluruh wilayah untuk konsumsi manusia,
bahan baku industri, dan untuk menghadapi keadaan darurat Keadaan darurat
yang dimaksud dalam PP tersebut adalah keadaan paceklik yang
mengakibatkan terjadinya kekurangan pangan di suatu daerah tertentu, tetapi
seiring dengan beruntunnya bencana alam yang dihadapi bangsa Indonesia
maka definisi cadangan pangan juga meliputi bahan pangan darurat untuk
bencana (emergency foods).
Karakteristik cadangan pangan untuk kondisi paceklik dan kondisi
akibat bencana berbeda. Untuk kondisi paceklik, bentuk cadangan pangan
merupakan bahan pangan pokok (beras maupun non beras) dengan penyiapan
yang lengkap termasuk melalui pemasakan dan pencampuran dengan bahan
lain (air, sumber protein dan lain-lain) sedangkan cadangan pangan untuk
keadaan darurat akibat bencana merupakan produk pangan siap santap tanpa
melalui proses pemasakan dan penambahan bahan lainnya (misal air).
Perbedaan karakteristik dua jenis cadangan pangan tersebut belum begitu
disadari oleh badan-badan yang berhubungan dengan penanganan bencana.
Bantuan-bantuan pangan untuk keadaan bencana masih didominasi oleh beras
atau mi instan yang memerlukan penambahan air dan pemasakan sebelum
dikonsumsi. Bantuan berupa beras dan mi instan seperti ini tidak efektif untuk
mencukupi kebutuhan pangan dalam keadaan darurat bencana.
Tujuan pemberian pangan darurat adalah untuk menyediakan kebutuhan
pangan bagi korban bencana sesuai dengan asupan harian selama kurang lebih
lima belas hari, sehingga dapat mengurangi timbulnya penyakit atau kematian
di antara pengungsi. Pangan darurat diharapkan dapat memenuhi kebutuhan
nutrisi korban bencana dimulai dari awal pengungsian sampai bantuan pangan
yang lebih lengkap datang dan pendirian dapur umum dapat dilakukan.
Kondisi darurat seperti keadaan bencana alam ini membutuhkan bentuk
pangan yang dapat langsung dikonsumsi.
Sifat penting pangan darurat menurut US Agency of International
Development (USAID) adalah aman dikonsumsi, enak dan mutu sensorinya
dapat diterima, mudah didistribusikan, mudah digunakan atau dikonsumsi, dan
memiliki kandungan nutrisi yang cukup. Selain itu, pangan darurat hendaknya
bercita rasa lokal agar lebih mudah diterima oleh penduduk setempat dalam
rentang usia yang beragam. Beberapa kondisi bencana seringkali bermasalah
dengan ketercukupan air bersih. Oleh karena itu disain pangan darurat bencana
juga meliputi kemudahan ditelan dan tidak menyebabkan rasa haus sehingga
tidak membutuhkan banyak air untuk menyertai konsumsi pangan.
Jumlah energi yang dianjurkan terkandung di dalam pangan darurat
adalah sebesar 2100 kkal per hari. Nilai ini berdasarkan laporan dari IOM
(1995), bahwa rata-rata kebutuhan energi harian atau estimated the mean per
capita energy requirements (EMPCER) individu di negara berkembang
dengan aktivitas fisik yang cukup tinggi adalah sebesar 2100 kkal. Laporan ini
menggunakan beberapa asumsi yaitu 1). Data populasi penduduk yang
digunakan berdasarkan data dari World Population Profile tahun 1994 di
negara berkembang, 2). Rata-rata tinggi pria dewasa adalah 170 cm sedangkan
untuk wanita dewasa adalah 155 cm. Nilai ini merupakan rataan tinggi pada
penduduk Sub-Saharan Afrika, Asia Selatan, dan Asia Tenggara, 3). Nilai
berat badan diukur berdasarkan median berat badan orang dewasa Amerika
Serikat dengan tinggi yang proporsional, dan 4). Total energi yang
dikeluarkan oleh pria dan wanita dewasa adalah sebesar 1.55 dan 1.56 kali
BMR (basal metabolic rate).
Beberapa hal yang perlu diperhatikan dalam penggunaan pangan darurat
menurut Zoumas et. al. (2002) adalah
1. Pangan darurat tidak didisain untuk memenuhi kebutuhan nutrisi bagi ibu
hamil dan menyusui.
2. Pangan darurat tidak sesuai untuk individu yang menderita malnutrisi dan
membutuhkan perawatan medis.
3. Pangan darurat bukan therapeutic nutritional supplement.
4. Pangan darurat tidak dapat menggantikan ASI bagi bayi umur 0-6 bulan.
5. Pangan darurat dapat dikombinasikan dengan air menjadi bentuk bubur
untuk older infants (7-12 bulan)
Ingridien merupakan hal penting yang harus diperhatikan dalam
pembuatan pangan darurat. Hal ini dikarenakan produk pangan darurat akan
dikonsumsi oleh beragam etnik dan budaya. Alkohol dan bahan hewani selain
susu tidak boleh digunakan dalam pembuatan pangan darurat. Bahan-bahan
pangan dengan kandungan zat alergen seperti kacang tanah, tidak boleh
digunakan. Beberapa ingridien yang dapat digunakan dalam formulasi pangan
darurat (Zoumas et. al., 2002) adalah
1. Cereal base : tepung gandum, jagung, oat, tepung beras
2. Protein : isolat atau konsentrat protein kedelai, susu, kasein, dan produk
turunannya
3. Lemak : hydrogenated soybean oil, minyak biji kapas, minyak bunga
matahari
4. Gula : sukrosa, glukosa, high-fructose corn syrup, maltodekstrin
5. Baking and leavening agents jika diperlukan
6. Vitamin dan mineral
B. INTERMEDIATE MOISTURE FOODS (IMF)
1. Definisi dan Karakteristik IMF
Soekarto (1979) mendefinisikan pangan semi basah atau
intermediate moisture food (IMF) sebagai makanan dengan kadar air 10-
40% dengan nilai aktivitas air (aw) 0.6-0.9 serta mempunyai tekstur yang
plastis sehingga memungkinkan IMF dapat dibentuk dan dapat langsung
dimakan. Definisi IMF lainnya dikemukakan oleh Robson (1976), yaitu
produk IMF umumnya mempunyai nilai aw pada kisaran 0.65-0.85 dan
berkadar air sekitar 15-30 %.
Sesuai dengan namanya “semi basah”, maka jenis pangan ini bersifat
cukup basah sehingga dapat langsung dimakan tanpa direhidrasi dan juga
cukup kering sehingga stabil selama penyimpanan.
Ciri khas IMF yaitu kadar air 10-40 % dan nilai aw 0.6-0.9 membuat
IMF memiliki daya awet yang cukup baik karena pada kondisi yang
demikian tidak efektif untuk pertumbuhan bakteri karena bakteri tumbuh
pada aw di atas 0.90. Demikian juga untuk pertumbuhan khamir yang
bersifat patogen. Hal ini adalah suatu keuntungan dari IMF menjadi stabil
terhadap pertumbuhan mikroba, tahan disimpan tanpa memerlukan proses
pengawetan yang lain seperti pendinginan, sterilisasi ataupun pengeringan.
Hal ini juga ditunjang oleh kondisi substrat dari pangan semi basah yang
bersifat sebagai pengawet.
Menurut Taoukis et. al. (1999) karakteristik produk IMF memiliki
beberapa keunggulan dibandingkan produk kering konvensional atau
makanan dengan kadar air tinggi. Proses pengolahan IMF secara
signifikan lebih hemat energi dibandingkan pengeringan, refrigerasi,
pembekuan atau pengalengan. Teknologi IMF juga menghasilkan produk
dengan retensi nutrisi dan kualitas yang lebih tinggi dibandingkan dengan
proses lain seperti pengeringan dan proses panas. Sifat IMF yang plastis
dan mudah dikunyah tanpa ada sensasi kering menjadikan produk IMF
dapat secara langsung dikonsumsi tanpa penyiapan, lebih convenience dan
lebih hemat energi. Kandungan air yang tidak terlalu tinggi menbuat IMF
memiliki kandungan nutrien dan densitas kalori yang tinggi. IMF juga
dapat dibentuk dengan ukuran dan bentuk geometris yang memudahkan
pengemasan.
Keunggulan karakteristik IMF sesuai dengan kebutuhan konsumen
modern terhadap produk pangan dengan densitas nutrient tinggi. IMF
terutama sangat diperlukan ketika suplai bahan pangan, kemampuan untuk
mensuplai dan waktu persiapan adalah menjadi faktor pembatas, misalnya
pada keadaan darurat militer, ruang angkasa, eksplorasi dan pendakian
gunung (Taoukis et al, 1999).
IMF bukanlah suatu hal baru di Indonesia. Beberapa pangan
tradisional merupakan pangan yang diolah dengan teknologi IMF
tradisional. Sebagai contoh adalah dodol yang merupakan campuran
tepung dan gula, bakpia pathuk, kue wingko, manisan buah, ataupun hasil
fermentasi yang sudah banyak dikenal. Makanan tradisional ini biasanya
digunakan sebagai makanan ringan atau makanan selingan serta sebagai
lauk-pauk.
2. Teknologi Pengolahan IMF
Cara pengolahan IMF terutama didasarkan pada penurunan nilai
kadar air diikuti aktifitas air (aw) sampai tingkat mikroba patogen dan
pembusuk tidak tumbuh, tetapi kandungan airnya masíh cukup.
Karel (1976) menggolongkan IMF menjadi dua tipe, yaitu tradisional
dan modern. Beberapa IMF tradisional adalah hasil olahan tanpa
penambahan humektan, hasil olahan dengan penambahan gula, hasil
olahan dengan penambahan gula dan garam, serta produk rerotian (bakery
product). Tipe IMF modern dibagi lagi menjadi tiga tipe berdasarkan cara
pengolahannya, yaitu (1) Pencelupan basah (moist infution), dimana bahan
pangan padat direndam dalam larutan sehingga produk akhirnya
mempunyai nilai aw seperti yang diinginkan misalnya prototipe produk
yang direncanakan pada penelitian ini, (2) Pencelupan kering (dry
infution), dimana bahan pangan mula-mula didehidrasi kemudian
direndam dalam larutan osmotik sampai tingkat aw yang diinginkan
misalnya manisan buah. Proses ini memerlukan energi lebih tinggi dari
metode yang lain, tetapi menghasilkan produk yang berkualitas tinggi dan
(3) Pencampuran (blending) dimana komponen-komponen bahan pangan
ditimbang, dicampur, dimasak dan diekstrusi atau perlakuan lain untuk
mencapai aw produk yang diinginkan sehingga menghasilkan makanan
dengan aw tertentu misalnya selai (jam) dan dodol.
Berdasarkan klasifikasi teknologi produksi IMF modern tersebut
terdapat dua tipe dasar pengolahan IMF modern, yaitu adsorpsi dan
desorpsi. Pada tipe adsorpsi, bahan pangan dikeringkan sambil dikontrol
proses pembasahan kembali sampai keadaan yang diinginkan sedangkan
tipe desorpsi bahan dimasukkan kedalam larutan yang mempunyai tekanan
osmotik lebih tinggi, sampai diperoleh keseimbangan pada tingkat aw yang
diinginkan. Proses ini dapat dipercepat dengan menaikkan suhu (Robson,
1976).
3. Kemasan IMF
Pengemasan disebut juga pembungkusan, pewadahan, atau
pengepakan, memegang peranan penting dalam pengawetan bahan hasil
pertanian. Adanya pembungkus dapat mengurangi kerusakan, melindungi
bahan pangan dari pencemaran dan gangguan fisik seperti gesekan,
benturan, dan getaran, serta memudahkan penyimpanan, pengangkutan,
dan distribusi (Syarief et. al., 1989).
Menurut Waletzko dan Labuza (1976) daya simpan suatu produk
pangan dipengaruhi oleh 1). Interaksi antar komponen dalam sistem
pangan tersebut, 2). Proses produksi yang digunakan, 3). Permeabilitas
kemasan terhadapa cahaya, kelembaban (air), dan gas, dan 4). Disribusi
waktu-suhu-RH pada saat penyimpanan dan transportasi.
Pangan semi basah apabila dilihat dari substratnya sudah bersifat
mengawetkan, tetapi dengan pengemasan yang baik akan dapat
meningkatkan keawetannya dan berperan dalam pemasaran. Kemasan
pangan semi basah tradisional seperti dodol dan wingko umumnya
menggunakan kertas yang dilapisi dengan lilin dan plastik.
Menurut Syarief et. al. (1989) produk yang bersifat hidrofilik harus
dilindungi terhadap uap air. Umumnya produk-produk ini memiliki nilai
aw atau ERH yang rendah. Oleh karena itu produk semacam ini harus
dikemas dengan kemasan yang mempunyai permeabilitas air yang rendah.
Beberapa kemasan yang dapat digunakan adalah plastik jenis
polipropilen dan aluminium foil. Penggunaan plastik polipropilen
dikarenakan sifatnya yang mempunyai nilai permeabilitas uap air rendah,
tahan suhu tinggi sampai dengan 150 oC, tahan terhadap asam kuat, basa,
dan minyak (Syarief et. al., 1989). Konstanta permeabilitas plastik
polipropilen adalah sebesar 0.12 gram/m2.mmHg.hari (Eskin dan
Robinson, 2001 dikutip di dalam Histifarina, 2002)
Aluminium foil (alufo) bersifat hermetis, fleksibel, dan tidak tembus
cahaya. Alufo dengan ketebalan 0.0375 mm atau lebih mempunyai
permeabilitas uap air nol. Berbagai makanan yang dibungkus dengan
aluminium foil menunjukkan bahwa produk tersebut cukup baik dan tahan
terhadap aluminium dengan resiko perkaratan yang kecil (Syarief et. al.,
1989). Menurut pengukuran Histifarina (2002), konstanta permeabilitas
uap air aluminium foil adalah 0.02 gram/m2.mmHg.hari.
C. ISOTERMI SORPSI AIR (ISA)
Isotermi sorpsi air menunjukkan hubungan antara kadar air bahan
dengan equilibrium relative humidity ruang tempat penyimpanan bahan (ERH)
atau aktivitas air (aw) pada suhu tertentu (Syarief dan Halid, 1993). Soekarto
(1979) menyebutkan bahwa hubungan ini telah banyak dipakai pada banyak
lapangan seperti penggudangan, pengeringan, dan pengemasan. Suatu peranan
baru yang sangat penting adalah penggunaannya dalam formulasi dan disain
pangan semi basah atau intermediate moisture food (IMF).
Kurva isotermi sorpsi air menggambarkan kadar air kesetimbangan
dalam hubungannya dengan aktivitas air atau kelembaban relatif
keseimbangan pada suhu tertentu. Bentuk kurva isotermi sorpsi air khas untuk
setiap bahan pangan.
Gambar 1. Kurva isotermi sorpsi air pada bahan pangan (deMan, 1989)
Kurva di atas memperlihatkan dua jenis isotermi sorpsi air. Umumnya
istilah isotermi adsorpsi diperlukan untuk pengamatan produk higroskopik dan
isotermi desorpsi untuk meneliti proses pengeringan. Kurva dengan
kemiringan curam menunjukkan bahan bersifat higroskopik dan kurva yang
agak mendatar menunjukkan produk yang tidak peka terhadap air (deMan,
1989).
Kurva isotermi sorpsi biasanya berbentuk sigmoid dan dapat dipenggal
menjadi tiga daerah yang sesuai dengan kondisi air yang berlainan dalam
makanan. Bagian pertama biasanya curam, sesuai dengan adsorbsi lapisan
monomolekul air, bagian kedua agak lebih rata sesuai dengan adsorpsi lapisan
tambahan air, dan bagian ketiga menyatakan pengembunan air dalam kapiler
dan pori-pori bahan (deMan, 1989). Tidak ada pembagian yang tajam antara
ketiga daerah sorpsi tersebut dan tidak ada harga kelembaban relatif yang pasti
untuk menggambarkan ketiga bagian ini.
Bell dan Labuza (2000) mengklasifikasikan bentuk kurva isotermi sorpsi
menjadi tiga tipe yaitu tipe I, II, dan III. Tipe I (A) adalah bentuk kurva sorpsi
yang khas untuk bahan anti kempal. Bahan ini menyerap air pada sisi spesifik
dengan energi pengikatan yang tinggi dan mampu menahan sejumlah besar air
Moi
stur
e C
onte
nt
Water Activity
Adsorpsi
Desorpsi
2
1
3
pada aw yang rendah. Tipe II (B) merupakan bentuk kurva sorpsi yang paling
banyak ditemui pada produk pangan. Tipe III (C) mewakili kurva sorpsi untuk
bahan kristal seperti sukrosa.
Gambar 2. Tiga tipe kurva isotermi sorpsi (Bell dan Labuza, 2000)
1. Aktivitas Air (aw)
Kandungan air suatu bahan pangan tidak dapat digunakan sebagai
indikator nyata dalam menentukan ketahanan masa simpan. Oleh karena
itu digunakan istilah aktivitas air untuk menjabarkan air yang tidak terikat
atau bebas dalam suatu sistem yang dapat menunjang reaksi biologis dan
kimiawi. Aktivitas air memiliki peranan penting dalam hubungannya
dengan stabilitas bahan. Gambar 3 menunjukkan hubungan aktivitas air
dengan Aktivitas air atau water activity (aw) adalah jumlah air bebas yang
dapat digunakan oleh mikroba untuk pertumbuhannya (Syarief dan Halid,
1993).
Gambar 3. Stabilitas bahan pangan sebagai fungsi dari aw (Fennema, 1996)
Masih di dalam Syarief dan Halid (1993) aktivitas air berdasarkan
hukum Raoult berbanding lurus dengan jumlah mol zat terlarut dan
berbanding terbalik dengan jumlah mol pelarut.
aw = n1 ………………………………………..... (1) n1 + n2
dengan n1 : jumlah mol zat terlarut
n2 : jumlah mol pelarut
n1 + n2 : jumlah mol larutan
Aktivitas air dalam kondisi normal dinyatakan sebagai perbandingan
tekanan uap air pada bahan (P) dan tekanan uap air murni (Po) pada suhu
yang sama (Fennema, 1996). Sesuai definisi di atas, aktivitas air
dinyatakan dalam persamaan
aw = P ………………………………………………. (2) Po
Tahanan air dalam makanan juga dipaparkan oleh hubungan antara
kandungan air makanan dan kelambaban nisbi udara di sekelilingnya.
Perbandingan kedua angka ini juga menyatakan aktivitas air. Kelembaban
nisbi yang berlaku dalam terminologi ini adalah kelembaban nisbi
kesetimbangan atau equilibrium relative humidity / ERH (deMan, 1989).
Aktivitas air pada keadaan kesetimbangan ini dinyatakan dalam persamaan
aw = ERH …………………………………………. (3) 100
2. Model Persamaan Isotermi Sorpsi Air
Model matematika mengenai isotermi sorpsi air telah banyak
dikemukakan oleh para ahli baik secara empiris maupun teoritis. Beberapa
model masih dibatasi oleh kondisi percobaan. Model yang umum
digunakan pada bahan pangan diantaranya adalah model BET dan GAB..
International Symposium on Properties of Water (ISOPOW) pada
tahun 1983 menyatakan bahwa model persamaan yang paling tepat untuk
menggambarkan isotermi sorpsi adalah model GAB (Guggenheim-
Anderson-de Boer). Persamaan ini dapat dipakai pada kelembaban relatif
sampai 94% (van den Berg, 1985 di dalam Bell dan Labuza, 2000). Model
persamaan GAB ini merupakan perluasan model BET. Persamaan tersebut
adalah :
m = C . k . mo .aw ................................ (4) (1- k aw)(1-k aw + C k aw)
dengan :
C : konstanta Gunggenheim (energi adsorpsi)
k : faktor koreksi
mo : kadar air monolayer
D. HUMEKTAN
Prinsip dasar pembuatan IMF adalah menurunkan aw bahan sampai
mencapai zone aw IMF. Penurunan aw tersebut dapat dicapai dengan
mengeringkan bahan. Akan tetapi produk kering biasanya memerlukan
rehidrasi sebelum dapat dikonsumsi. Masalah tersebut dapat diatasi dengan
menggunakan humektan. Humektan adalah bahan yang dapat menurunkan
nilai aw tetapi dapat mempertahankan kandungan air yang terdapat pada
produk, serta dapat berfungsi sebagai plasticizer (Taoukis et. al., 1999).
Taoukis et. al. (1999) juga mengatakan bahwa terdapat empat kategori
senyawa higroskopik yang dapat digunakan sebagai humektan yaitu (1) garam
(mineral dan organik), (2) gula, (3) poliol, dan (4) turunan protein. Tabel 1
menunjukkan jenis-jenis humektan dan berbagai fungsinya.
Menurut Troller (1989), kriteria pemakaian humektan dalam bahan
pangan yaitu, aman, diizinkan oleh undang-undang, efektif sesuai dengan
konsentrasi penggunaannya, tidak merusak produk pangan, tidak berbau, tidak
berwarna atau tidak mengubah warna produk pangan. Humektan selain
berkemampuan mengikat air dan menurunkan aw, juga dapat bersifat sebagai
anti mikroba (bacteriostatic dan mycostatic), memperbaiki tekstur, cita rasa
dan dapat meningkatkan nilai kalori.
1. Sorbitol
Sorbitol diisolasi pertama kali pada tahun 1872 oleh kimiawan
Prancis, J. B. Boussugault. Menurut Codex nama Sorbitol disebut juga D-
Glucitol, D-Glucitol syrup, Sorbit, D-Sorbitol, dan Sorbol. Menurut Badan
POM, sorbitol merupakan monosakarida poliol (1,2,3,4,5,6–Hexanehexol)
dengan rumus kimia C6H14O6. Sorbitol berupa senyawa yang berbentuk
granul atau kristal dan berwarna putih dengan titik leleh berkisar antara
89° sampai dengan 101°C. Sorbitol mudah larut dalam air tetapi tidak
dapat larut dalam pelarut organik kecuali etanol (Hough et. al.,1979).
Tingkat kemanisan sorbitol 0.48-0.54 dari sukrosa. Sorbitol
berwarna putih, tidak berbau, bersifat higroskopik, dan menimbulkan
aftertaste dingin (Hough et. al., 1979). Nilai kalori sebesar 2,6 kkal/g atau
setara dengan 10,87 kJ/g. Penggunaan sorbitol tergolong GRAS, tetapi jika
dikonsumsi lebih dari 50 gram/hari akan menimbulkan efek laksatif atau
diare (Caloriecontrol, 2006). Struktur kimia sorbitol dapat dilihat pada
Gambar 4.
Gambar 4. Struktur kimia sorbitol (www.wikipedia.org)
Sorbitol digunakan pada sugarless frozen dessert, menjaga
kelembaban kelapa parut siap pakai, sugarless candy, permen karet, es
krim, dan minuman/makanan rendah kalori (Igoe dan Hui, 1994). Poliol
termasuk sorbitol merupakan bahan yang resisten terhadap metabolisme
bakteri di dalam mulut. Bakteri ini memecah gula dan pati menjadi asam
yang dapat menyebabkan kerusakan lapisan enamel gigi. Sorbitol juga
tahan terhadap suhu tinggi, sehingga tidak menyebabkan reaksi
pencoklatan (Maillard reaction) (Caloriecontrol, 2006). Sorbitol juga
banyak digunakan sebagai gula alternatif bagi penderita diabetes karena
cenderung tidak menimbulkan hyperglycaemia (peningkatan gula darah).
Hal ini disebabkan sorbitol diubah menjadi fruktosa di dalam hati (Hough
et. al., 1979 ).
2. Gliserol
Gliserol merupakan plasticizer yang tergolong dalam senyawa poliol
yang memiliki tiga gugus hidroksil dalam satu molekul (alkohol trivalen).
Rumus kimia gliserol adalah C3H8O3 dengan berat molekul 92,10, massa
jenis 1,23 g/cm3 serta titik didihnya 2040C (Winarno, 1992).
Secara alami gliserol terdapat pada tanaman yaitu melalui
penguraian fruktosa difosfat oleh enzim aldosa menjadi dihidroksi aseton
kemudian direduksi menjadi α-gliserofosfat. Gugus fosfat dihilangkan
melalui proses fosforilasi sehingga terbentuk molekul gliserol (Winarno,
1992). Gliserol juga dapat diperoleh dari hasil samping pembuatan sabun.
Gambar 5. Struktur kimia gliserol (www.wikipedia.org)
Gliserol berfungsi sebagai penyerap air (humektan) dan platicizer.
Gliserol juga biasa digunakan untuk mengatur kandungan air dalam
makanan sehingga dapat mencegah kekeringan pada makanan. Gliserol
berbentuk cair dengan rasa manis agak pahit (bittersweet) (Igoe dan Hui,
1994). Tingkat kemanisan gliserol adalah 0.75 kali sukrosa. Penggunaan
gliserol dalam jumlah besar dapat menimbulkan rasa pahit (Fennema,
1996).
Menurut Lindsay (1985), gliserol bersifat mudah larut dalam air,
meningkatkan viskositas larutan, mengikat air dan menurunkan aw.
Gliserol banyak digunakan pada produk confectionary (permen dan
marsmallow), sebagai pelarut flavor, untuk menurunkan lemak pada frozen
dessert, dan mencegah pembentukan kristal es (Igoe dan Hui, 1994).
Produk non pangan yang menggunakan gliserol antara lain produk
perawatan tubuh, sabun, obat-obatan, dan produk kesehatan mulut.
Berdasarkan FDA-21 CFR 182.1320, gliserol tergolong GRAS bila
penggunaannya sesuai kebutuhan dan standar GMP (Good Manufacturing
Practice). Meskipun aman digunakan, perlu diwaspadai adanya
kontaminasi gliserol oleh dietilen glikol yang merupakan senyawa yang
berbahaya bagi kesehatan manusia (www.fda.gov).
Tabel 1. Humektan yang umum digunakan, konvensional dan non konvensional serta peranan utamanya dalam pangana
Bahan Menurun
kan aw
Keke-nyalan
Aktivitas antimikroba
Kemampuan rehidrasi
Menahan Kristalisasi
Pemanis
Fung si
lainb Status FDA
Garam Mineral NaCl, KCl, CaCl2 XX X X XX GRAS Phospat, polyphospat X XX CFR 182 and 184 Karbonat dan Sulfat tertentu XX XX CFR 182 and 184 Garam dari serum susu XX X CFR 182 and 184 Asam Organik Asam-asam pangan dan garam-garam Na, K, dan Ca
XX X XX X XX CFR 182 and 184
Asam Askorbat X XX CFR 182 and 184 Protein dan turunannya Asam-asam amino dan garam XX X XX 21 CFR 172.320 Oligopeptida X XX GRAS Hidrolisat protein XX X XX GRAS Monosakarida, Disakarida dan Polisakarida Pentosa XX XX GRAS Hexosa (glukosa, ftuktosa) XX XX XX XX GRAS Mannosa, galaktosa, dll XX XX GRAS Disakarida (sukrosa, laktosa, maltosa)
XX XX XX GRAS
Berbagai macam Oligosakarida XX XX X GRAS Produk alami dan industri : madu, gula invert, Sirup jagung tinggi fruktosa, sirup glukosa, sirup maple
XX XX XX GRAS
Tabel 1. Humektan yang umum digunakan, konvensional dan non konvensional serta peranan utamanya dalam pangan (lanjutan)
Bahan Menurun
kan aw
Keke-nyalan
Aktivitas antimikroba
Kemampuan rehidrasi
Menahan Kristalisasi
Pemanis
Fung si
lainb Status FDA
Maltodekstrin (dekstrosa ekivalen 3-20) dan hidrolisatnya; gum dan hidrolisatnya; selulosa dan hidrolisatnya
X
XX
XX
XX
XX
X
GRAS
GRAS
Alkohol dan polyols Ethanol XX XX 21 CFR 184.1293 Sorbitol XX XX XX XX XX 21 CFR 184.1835 Mannitol, xylitol, erythritol XX X XX 21 CFR 172.395 Gliserol XX XX X XX X X 21 CFR 182.1320 1,2-propanadiol, 1,2-butanadiol (propilen glikol)
XX XX XX X 21 CFR 182.1666
1,3-butanadiol, 1,3-pentanadiol (1,3-butilen glikol)
XX XX XX 21 CFR 172.220
1,3,5-polyol (empat untuk 12 atom karbon)
XX XX 21 CFR 172.864
Polietilen glikol (mol wt 400, 600, 1500, 2400, dll)
XX XX 21 CFR 172.820
a dikutip dari Guilbert (1984) di dalam Taoukis et al. (1999) b Fungsi lainnya termasuk pengatur pH, meningkatkan nilai gizi, melarutkan protein dan antioksidasi
3. Aplikasi Humektan
Jumlah pemakaian humektan dapat ditentukan dengan menggunakan
beberapa persamaan matematika, misalnya persamaan Grover. Grover
(1974) memprediksi aw dari larutan air-gula. Persamaan Grover
memprediksi nilai aw produk berdasarkan komposisi produk dan
perbandingan bobot masing-masing komponen dengan total bobot air
dalam produk tersebut. Persamaan ini sangat tepat untuk aplikasi produk
confectionary tetapi tidak tepat untuk pemakaian humektan dalam
konsentrasi tinggi. Persamaan Grover tersaji pada persamaan 5 dan nilai
konstanta persamaan Gover (Ei) dapat dilihat pada Tabel 2.
aw = 1.04 – 0.1(Eo) + 0.0045 (Eo)2 ........................................ (5)
dimana,
Eo = Σ Ei / mi
Tabel 2. Nilai Ei Persamaan Grover
Komponen Ei Lemak 0 Pati 0.8 Gum 0.8 Pektin 0.8 Sukrosa 1.0 Laktosa 1.0 Gula invert 1.3 Protein 1.3 Asam 2.5 Gliserol 4.0 Sodium klorida 9.0
E. TEPUNG KACANG HIJAU
Kacang hijau (Phaseolus radiatus L.) dikenal dengan beberapa nama,
seperti mungo, mung bean, green bean dan mung. Tanaman kacang hijau
merupakan salah satu tanaman Leguminosae yang cukup penting di Indonesia.
Posisinya menduduki tempat ketiga setelah kedelai dan kacang tanah
(Marzuki dan Suprapto, 2005). Kacang hijau memiliki beberapa nama daerah,
seperti artak (Madura), kacang wilis (Bali), buwe (Flores), tibowang cadi
(Makassar).
Buah/polong kacang hijau merupakan polong bulat memanjang dengan
ukuran antara 6-15 cm. Polong muda berwarna hijau tua dan setelah tua
berwarna hitam atau coklat jerami. Biji kacang hijau berbentuk bulat dan pada
umumnya lebih kecil dibandingkan dengan kacang-kacangan lainnya,
berwarna hijau, coklat, kuning atau hitam (Kay, 1979). Dua jenis kacang hijau
yang paling terkenal adalah golden gram dan green gram. Golden gram
merupakan kacang hijau yang berwarna keemasan, dalam bahasa botaninya
disebut Phaseolus aureus sedangkan yang berwarna hijau atau green gram
disebut Phaseolus radiatus (Astawan, 2005). Komposisi nilai gizi kacang
hijau dapat dilihat pada Tabel 3.
Tabel 3. Komposisi zat gizi kacang hijau mentah per 100 gram bahan.*
Komponen Jumlah Energi (Kal) 345 Protein (gram) 22.2 Lemak (gram) 1.2 Karbohidrat (gram) 62.9 Kalium (mg) 125 Phospor (mg) 320 Fe (mg) 6.7 Vitamin A (SI) 157 Vitamin B1 (mg) 0.64 Vitamin C (mg) 6 Air (gram) 10
* Prawiranegara (1989)
Melihat komposisi nilai gizinya, kacang hijau merupakan bahan yang
cukup tinggi kandungan proteinnya. Beberapa asam amino esensial terdapat
dalam jumlah yang tinggi. Asam amino esensial adalah asam amino yang
hanya dapat diperoleh melalui asupan makanan. Kacang hijau tinggi
kandungan asam amino glutamat dan asam amino leusin tetapi rendah
kandungan metioninnya. Leusin dan metionin merupakan asam amino
esensial. Kandungan asam amino dalam kacang hijau tersaji pada Tabel 4.
Tabel 4. Kandungan asam amino kacang hijau*
Jenis Asam Amino Kandungan (%) Alanin 4.15 Arginin 4.44 Asam aspartat 12.10 Asam glutamat 17.00 Glisin 4.03 Histidin** 4.05 Isoleusin** 6.95 Leusin** 12.90 Lisin** 7.94 Metionin** 0.84 Fenilalanin** 7.07 Prolin 4.72 Serin 5.35 Treonin** 4.50 Triptofan 1.35 Tirosin 3.86 Valin** 8.23
* Marzuki dan Suprapto (2005) ** asam amino esensial
Pemanfaatan kacang hijau sebagai bahan pangan telah banyak dilakukan
antara lain untuk diolah menjadi makanan atau ditumbuhkan menjadi
kecambah (tauge). Kacang hijau dapat juga diolah menjadi tepung, baik
tepung kacang hijau atau tepung pati kacang hijau (tepung hunkwe). Tepung
kacang hijau dapat digunakan untuk membuat aneka kue basah (cake), cookies
dan kue tradisional (kue satu), produk bakery, bubur, dan makanan bayi.
Tepung kacang hijau menurut SNI 01-3728-1995 adalah bahan makanan
yang diperoleh dari biji tanaman kacang hijau (Phaseolus radiatus L) yang
sudah dihilangkan kulit arinya dan diolah menjadi tepung. Syarat mutu standar
tepung kacang hijau dapat dilihat pada Tabel 5.
Tabel 5. Syarat mutu tepung kacang hijau (SNI 01-3728-1995)
No. Kriteria Uji Satuan Persyaratan 1. 1.1 1.2 1.3 2. 3. 4. 5. 5.1 5.2 6. 7. 8. 9. 10. 11. 12. 12.1 12.2 12.3 12.4 13. 14. 14.1 14.2 14.3
Keadaan Bau Rasa Warna Benda-benda asing Serangga dalam bentuk stadia dan potongan-potongan Jenis pati selain pati kacang hijau Kehalusan Lolos ayakan 60 mesh Lolos ayakan 40 mesh Air Silikat Serat kasar Derajat asam Protein Bahan tambahan makanan : bahan pengawet Cemaran logam Timbal (Pb) Tembaga (Cu) Seng (Zn) Raksa (Hg) Cemaran arsen (As) Cemaran mikroba Angka lempeng total E. coli Kapang
- - - - - -
% b/b % b/b % b/b % b/b % b/b ml N.
NaOH/100 g % b/b
-
mg/kg mg/kg mg/kg mg/kg mg/kg
koloni/g APM/g koloni/g
Normal Normal Normal Tidak boleh ada Tidak boleh ada Tidak boleh ada Min. 95 100 Maks. 10 Maks. 0.1 Maks. 3.0 Maks. 2.0 Min. 23 Sesuai SNI 01-0222-1995 Maks. 1.0 Maks. 10.0 Maks. 40.0 Maks. 0.05 Maks. 0.5 Maks. 106 Maks. 10 Maks. 104
F. TEPUNG UBI JALAR
Ubi jalar (Ipomoea batatas) atau biasa disebut ketela rambat (Jawa) atau
sweet potato (Inggris) dapat tumbuh dengan baik pada daerah tropis maupun
sekitar subtropis, juga dengan keadaan tanah yang kurang subur. Ubi jalar
merupakan bahan lokal yang biasa digunakan sebagai sumber karbohidrat
beberapa penduduk Indonesia. Produktivitas ubi jalar tertinggi kedua
dibandingkan dengan jenis umbi-umbian lainnya yaitu mencapai angka 105
kuintal/Ha pada tahun 2006 (Deptan, 2007).
Ubi jalar merupakan sumber karbohidrat yang mengandung betakaroten,
vitamin C, kalsium, sat besi juga serat. Ubi jalar mengandung beberapa jenis
oligosakarida yang dapat menyebabkan flatulensi, yaitu stakisa, rafinosa, dan
verbakosa. Oligosakarida penyebab flatulensi ini tidak dapat dicerna oleh
bakteri karena tidak adanya enzim galaktosidase tetapi dicerna oleh bakteri
pada usus bagian bawah. Hal ini menyebabkan terbentuknya gas dalam usus
besar (Muchtadi dan Sugiyono, 1992). Komposisi kimia ubi jalar dapat dilihat
pada Tabel 6.
Tabel 6. Komposisi zat gizi ubi jalar putih per 100 gram bahan.*
Komponen Jumlah Energi (Kal) 123 Protein (gram) 1.8 Lemak (gram) 0.7 Karbohidrat (gram) 27.9 Kalium (mg) 30 Phospor (mg) 49 Fe (mg) 0.7 Vitamin A (SI) 60 Vitamin B1 (mg) 0.09 Vitamin C (mg) 22 Air (gram) 68.5
* Prawiranegara (1989)
Masyarakat Indonesia umumnya memanfaatkan ubi jalar hanya sebatas
konsumsi secara langsung secara sederhana. Pengolahan lanjut ubi jalar
menjadi tepung ubi jalar misalnya, selain menjadi upaya pengawetan ubi jalar
juga dimaksudkan untuk meningkatkan daya guna ubi jalar. Pembuatan tepung
ubi jalar dapat dilakukan dengan mudah menggunakan peralatan yang
sederhana dan dapat dilakukan dalam skala industri rumah tangga ataupun
industri kecil. Tepung ubi jalar dapat dibuat dari ubi jalar mentah ataupun ubi
jalar masak yang telah dikukus atau direbus.
G. TEPUNG PISANG
Pisang (Musa sp.) merupakan tanaman sepanjang musim yang tumbuh
subur di daerah tropis. Pisang juga merupakan tanaman yang biasa menjadi
tanaman rumah tangga penduduk Indonesia. Produktivitas pisang merupakan
tertingggi kedua di antara jenis buah-buahan lainnya, yaitu 510.30 kuintal/Ha
pada tahun 2005 (Deptan, 2007).
Umumnya pisang dikelompokkan menjadi dua golongan, yaitu banana
dan plantain. Banana adalah pisang yang lebih sering dikonsumsi dalam
bentuk segar setelah buah matang, contohnya pisang raja, ambon, susu, mas,
dan badak. Plantain adalah pisang yang dikonsumsi setelah digoreng atau
direbus, seperti pisang kepok, siam, tanduk, dan uli. Terdapat juga jenis pisang
lainnya yaitu pisang berbiji banyak yang disebut pisang batu atau pisang
klutuk (Munadjim, 1983). Komponen gizi pada pisang dapat dilihat pada
Tabel 7.
Tabel 7. Komponen gizi pisang uli per 100 gram
Komponen Jumlah Energi (Kal) 146 Protein (gram) 2.0 Lemak (gram) 0.2 Karbohidrat (gram) 38.2 Kalium (mg) 10 Phospor (mg) 28 Fe (mg) 0.9 Vitamin A (SI) 75 Vitamin B1 (mg) 0.05 Vitamin C (mg) 3 Air (g) 59.1
* Prawiranegara (1989)
Pemanfaatan buah pisang kebanyakan masih sebatas konsumsi dalam
bentuk asli dan pengolahan dari buah segarnya. Peningkatan pemanfaatan
pisang dapat dilakukan dengan membuat tepung pisang. Tepung pisang
mempunyai sifat mudah dicerna dan cocok digunakan sebagai bahan makanan
untuk anak-anak. Tepung pisang di Eropa dimanfaatkan sebagai campuran
dengan bubuk kakao sebagai bahan puding. Tersedianya tepung pisang dalam
jumlah cukup dan kualitas simpan yang baik akan membantu persediaan
makanan sumber kalori dan menambah nilai variasi penyediaan makanan
sebagai sumber karbohidrat. Dengan demikian tepung pisang dapat membantu
memperringan beban penyediaan kalori dalam bentuk beras (Hardiman, 1982).
Menurut SNI 01-3841-1995, terdapat dua klasifikasi tepung pisang,
yaitu jenis A dan jenis B. Tepung pisang jenis A diperoleh dari penepungan
pisang yang sudah matang melalui proses pengeringan dengan menggunakan
SNI 01-0222-1987
mesin pengering sedangkan tepung pisang jenis B diperoleh dari penepungan
pisang yang sudah tua, tidak matang melalui proses pengeringan.
Tabel 8. Syarat mutu tepung pisang (SNI 01-3841-1995)
No. Kriteria Uji Satuan Persyaratan
Jenis A Jenis B 1. 1.1 1.2 1.3 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 9.1 9.2 9.3 9.4 10 11 11.1 11.2 11.3 11.4 11.5 11.6
Keadaan: Bau Rasa Warna Benda asing Serangga (dalam segala bentuk stadia dan potongan-potongan) Jenis pati lain selain tepung pisang Kehalusan lolos ayakan 60 mesh Air Bahan tambahan makanan Sulfit (SO2) Cemaran logam : Timbal (Pb) Tembaga (Cu) Seng (Zn) Raksa (Hg) Cemaran Arsen (As) Cemaran mikroba : Angka lempeng total Bakteri pembentuk coli E. coli Kapang dan khamir Salmonella/25 gram Staphylococcus aureus
- - - - - -
%b/b
%b/b -
mg/kg
mg/kg mg/kg mg/kg mg/kg mg/kg
kol/g
APM/g kol/g kol/g
- kol/g
Normal Normal Normal Tidak ada Tidak ada Tidak ada Min. 95 Maks. 5 negatif Maks. 1.0 Maks. 10.0 Maks. 40.0 Maks. 0.05 Maks. 0.5 Maks. 104 0 0 Maks. 102 Negatif Negatif
Normal Normal Normal Tidak ada Tidak ada Tidak ada Min. 95 Maks. 12 Maks. 10 Maks. 1.0 Maks. 10.0 Maks. 40.0 Maks. 0.05 Maks. 0.5 Maks. 106 0 Maks. 106 Maks. 104 - -
Pisang cukup sesuai diproses menjadi tepung karena kandungan
karbohidratnya yang tinggi. Karbohidrat pada pisang sebagian besar adalah
pati dan gula. Jenis plantain memiliki kandungan pati yang lebih tinggi
dibanding jenis banana. Banana mengandung 80% (bobot kering) gula dan
5% pati sedangkan pada jenis plantain kandungan patinya mencapai 17% dan
gula sebesar 66% (Kekitu, 1973 di dalam Gowen, 1995). Potensi gizi tepung
pisang sebagai sumber karbohidrat dapat dilihat pada Tabel 9.
Tabel 9. Perbandingan nilai karbohidrat tepung pisang dengan tepung-
tepungan lainnya *
Bahan Karbohidrat (gram/100gr) Keterangan Tepung pisang 71.74 Sebagai sumber pati Tepung beras 80
Sebagai karbohidrat by difference
Tepung jagung 73.7 Tepung gaplek 81.3 Beras pecah kulit 76.2
* Hardiman (1982)
Tepung pisang dapat dibuat dari pisang muda dan pisang tua yang belum
matang. Tepung pisang dari pisang muda mengandung pati yang lebih tinggi
bila dibandingkan dengan tepung pisang dari pisang tua, sedangkan gula-gula
sederhana sebaliknya (Munadjim, 1983). Menurut Von Loesecke (1950),
pisang yang akan dibuat tepung sebaiknya dipanen saat mencapai tingkat
kematangan ¾. Pada kondisi ini pembentukan pati mencapai jumlah
maksimum dan tanin sebagian besar terurai menjadi ester aromatik dan fenol
sehingga menghasilkan rasa asam dan manis yang seimbang.
III. BAHAN DAN METODOLOGI
A. BAHAN DAN ALAT
1. Bahan
Bahan-bahan yang digunakan dalam penelitian ini terdiri atas bahan
untuk formulasi produk dan bahan analisis. Bahan untuk formulasi produk
meliputi tepung, susu bubuk full cream, gula, minyak goreng, konsentrat
protein kedelai, air, dan humektan.
Tepung yang digunakan adalah tepung matang (disebut juga tepung
instan) yang masing-masing dibuat dari kacang hijau, ubi jalar, dan pisang
uli. Tepung ini terbuat dari bahan yang telah dimasak (dikukus) sebelum
dikeringkan (ditepungkan). Bahan lainnya yaitu minyak goreng komersil
merek bimoli, gula pasir yang dihaluskan, susu bubuk full cream komersil
merek Dancow, konsentrat protein kedelai instan merek Proteo, air
mineral, sorbitol cair dan gliserol sebagai humektan yang dibeli dari toko
kimia Bratako Chemical dan Setia Guna, Bogor.
Bahan-bahan untuk analisis meliputi sepuluh jenis larutan garam
jenuh yang menghasilkan kelembaban relatif 7.58 – 91.2 % dan bahan-
bahan kimia untuk analisis produk. Jenis garam yang digunakan dan
kelembaban relatif yang dihasilkan tersaji pada Tabel 10. Bahan lainnya
yang digunakan untuk analisis produk yaitu akuades, silika gel, dan
vaselin, serta bahan-bahan kimia untuk analisis proksimat seperti, K2SO4,
HgO, H2SO4, NaOH-Na2S2O3, indikator merah metil dan biru metil, HCl,
kapas bebas lemak, heksana, asam tartarat, potato dextrose agar, dan plate
count agar. Bahan-bahan kimia ini diperoleh dari Ruang Persediaan Bahan
Departemen ITP, Fateta – IPB.
Tabel 10. RH berbagai jenis garam dalam penentuan isotermi sorpsi *
No. Jenis Garam RH pada 25-30oC (%) 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10.
NaOH LiCl
CH3COOK MgCl2 K2CO3
NaBr KI
NaNO3 KCl
KNO3
7.58 11.2 22.2 32.5 43.7 56.8 68.2 73.0 83.8 91.2
* Bell dan Labuza (2000)
2. Alat
Peralatan yang digunakan untuk pembuatan produk adalah mangkok,
sendok pengaduk, neraca, penangas air, dan termometer. Sedangkan alat-
alat yang digunakan untuk analisis meliputi neraca analitik, cawan
aluminium, cawan porselen, aluminium foil, inkubator suhu ruang, oven,
desikator kecil, aw meter, tanur, labu Kjeldahl, ekstraktor Soxhlet, labu
lemak, labu takar, buret, pipet, cawan petri, dan peralatan gelas lainnya
yang mendukung penelitian.
B. METODOLOGI PENELITIAN
Pelaksanaan penelitian ini dibagi dalam dua tahap yaitu penelitian
pendahuluan dan penelitian utama. Penelitian pendahuluan dibagi dalam tiga
tahap. Tahap pertama adalah pembuatan tepung yang digunakan sebagai
bahan baku. Tahap kedua formulasi awal produk yang disesuaikan dengan
persyaratan nilai makro nutrien pangan darurat. Tahap formulasi ini akan
menghasilkan tiga prototipe produk berbahan dasar tepung ubi jalar, tepung
kacang hijau, dan tepung pisang. Verifikasi kandungan nutrisi prototipe
produk dilakukan dengan analisis proksimat. Tahap ketiga dilakukan
penentuan kurva isotermi sorpsi dari bahan baku dan formula ketiga prototipe
produk yang telah dihasilkan.
Penelitian utama meliputi pembuatan produk dengan pengaturan kadar
air dan aktivitas air (aw) serta aplikasi penambahan humektan. Analisis yang
dilakukan pada produk adalah analisis proksimat dan uji organoleptik.
Pengukuran isotermi sorpsi, analisis proksimat produk akhir dan pengujian
mikrobiologis dilakukan pada produk terpilih hasil uji organoleptik.
2. Penelitian Pendahuluan
b. Pembuatan tepung instan
Tepung yang digunakan pada penelitian ini adalah tepung
matang atau tepung instan, yaitu tepung yang dibuat dari bahan yang
telah dimasak sampai matang. Tahap awal penepungan adalah
mengukus bahan-bahan seperti ubi jalar, pisang, dan kacang hijau
sampai matang. Bahan yang telah matang tersebut kemudian diiris tipis
(kecuali kacang hijau) lalu dikeringkan. Bahan yang telah kering
kemudian dihaluskan dan diayak. Pengayakan bertujuan mendapatkan
tepung dengan ukuran 80 mesh. Proses pembuatan tepung instan dapat
dilihat pada Gambar 6.
c. Penghitungan formula awal produk
Penghitungan formula awal produk didasarkan pada persyaratan
nutrisi pangan darurat yaitu mengandung kalori minimal 233 kkal/ 1
bar dengan kandungan protein sebesar 7.9-8.1 g, lemak 9.1-11.7 g, dan
karbohidrat 23-35 g. Nilai ini berdasarkan asumsi bahwa satu bar sama
dengan 50 gram bobot kering. Tahap formulasi ini akan menghasilkan
tiga prototipe produk berbahan dasar tepung ubi jalar, tepung kacang
hijau, dan tepung pisang dengan target rasa manis.
Bahan-bahan yang digunakan dalam formulasi adalah masing-
masing tepung sebagai sumber karbohidrat, konsentrat protein kedelai
sebagai sumber protein, susu bubuk fullcream sebagai sumber protein
dan lemak serta menambah cita rasa, dan minyak goreng sebagai
Gambar 6. Diagram alir proses produksi tepung instan
Bahan-bahan yang akan ditepungkan
Dibersihkan
Dimasak/dikukus sampai matang
Ditiriskan dan dibersihkan kembali
Diiris tipis-tipis (kecuali kacang hijau)
Dikeringkan
Dihaluskan dan diayak 80 mesh
Dikemas
Tepung instan
sumber lemak. Penambahan gula dilakukan untuk memperoleh rasa
manis sesuai target rasa produk.
Formulasi ini dilakukan dengan bantuan program Microsoft
Excel dengan prinsip kesetimbangan massa. Data-data awal komposisi
bahan diperoleh dari daftar komposisi bahan makanan (DKBM) dan
dari informasi nilai gizi pada label bahan yang dipakai. Data-data awal
tersebut juga diperoleh dari analisis proksimat untuk bahan-bahan yang
tidak terdapat pada DKBM. Analisis proksimat juga dilakukan untuk
verifikasi formulasi awal.
d. Penentuan kurva isotermi sorpsi bahan baku dan formula awal
Penentuan kurva isotermi sorpsi ini digunakan untuk mengetahui
jumlah air yang akan ditambahkan pada formulasi awal sesuai nilai aw
yang diinginkan. Penentuan kurva isotermi sorpsi diawali dengan
pengukuran kadar air awal sampel. Pengukuran kadar air dilakukan
dengan metode oven menurut SNI 01-2891-1992. Kadar air awal ini
digunakan untuk mengetahui kondisi awal dan bobot solid sampel.
Penentuan kurva isotermi sorpsi ini menggunakan sepuluh jenis
larutan garam jenuh. Larutan garam jenuh dibuat dengan melarutkan
garam ke dalam aquades pada desikator kecil sampai menjadi jenuh.
Kondisi jenuh diketahui ketika garam tidak dapat larut lagi.
Sekitar lima gram sampel diletakkan pada cawan aluminium foil
kering yang telah diketahui bobotnya kemudian dimasukkan ke dalam
desikator yang berisi larutan garam jenuh seperti terdapat pada Tabel
10. Desikator yang telah berisi sampel disimpan dalam inkubator suhu
ruang (+ 30 oC). Susunan alat dapat dilihat pada Gambar 7.
Gambar 7. Susunan Alat Penentuan Isotermi Sorpsi Air
Sampel dalam cawan ditimbang bobotnya setiap hari sekali
sampai diperoleh bobot konstan. Bobot konstan ditandai oleh selisih
antara tiga penimbangan berturut-turut tidak lebih dari 2 mg/g bobot
kering untuk sampel pada RH di bawah 90% dan tidak lebih dari 10
mg/g bobot kering untuk sampel pada RH di atas 90% (Liovonen dan
Ross, 2002). Sampel yang telah mencapai bobot konstan kemudian
diukur kadar airnya menggunakan metode oven (SNI 01-2891-1992).
Kadar air ini adalah kadar air kesetimbangan pada RH tertentu.
Kurva isotermi sorpsi dibuat dengan memplotkan kadar air
kesetimbangan dengan nilai aw atau ERH (equilibrium relative
humidity) dengan menggunakan model persamaan GAB.
m = )1)(1(
...
Ckawkawkaw
awmokC
+−−
dengan m menunjukkan kadar air, C adalah konstanta Gunggenheim
atau menunjukkan energi adsorpsi air, dan k sebagai persamaan GAB,
serta mo sebagai kadar air monolayer. Penentuan kurva isotermi sorpsi
juga dilakukan pada produk terpilih yang telah ditambah humektan.
Uji ketepatan model dilakukan untuk mengetahui ketepatan
model persamaan isotermi sorpsi GAB untuk menggambarkan
keseluruhan kurva isotermi sorpsi hasil percobaan. Uji ketepatan
Keterangan :
1. Inkubator
2. Desikator
3. Penyangga berlubang
4. Cawan aluminium
berisi sampel
5. Larutan garam jenuh
1
2
4
3
5
model dilakukan dengan menggunakan perhitungan Mean Relative
Determination (MRD) (Walpole, 1992). Rumus MRD adalah :
MRD = n
100∑
=
−n
i
MiMpiMi1
|/)(|
dengan Mi menunjukkan kadar air percobaan, Mpi sebagai kadar air
hasil penghitungan dengan persamaan GAB, dan n adalah jumlah data.
Nilai MRD < 5 menunjukkan model isotermi sorpsi dapat
menggambarkan keadaan yang sebenarnya dengan cukup tepat. Nilai 5
< MRD <10 menyatakan keadaan yang agak tepat dan MRD > 10
menggambarkan keadaan yang tidak tepat.
3. Penelitian Utama
Formulasi produk IMF dilakukan dengan pengaturan kadar air
formula awal dan penggunaan humektan. Metode produksi yang
digunakan adalah moist infution yaitu bahan-bahan seperti pada
formulasi awal ditambah air sampai tidak menyebabkan rasa haus dan
mudah ditelan. Besarnya jumlah air yang ditambahkan dapat diketahui
dari persamaan isotermi sorpsi formulasi awal. Berdasarkan kurva
isotermi sorpsi formula awal dapat diketahui nilai perkiraan kadar air
pada aw tertentu. Selisih antara nilai kadar air pada aw tertentu
berdasarkan kurva isotermi sorpsi dengan kadar air awal menunjukkan
jumlah air yang akan ditambahkan pada formula. Bahan yang telah
dicampur air kemudian ditambah humektan untuk menurunkan nilai aw
menjadi 0.6 – 0.8. Tahap selanjutnya adalah pencetakan dan
pengemasan. Skema diagram alir proses produksi dapat dilihat pada
Gambar 8.
Humektan yang digunakan adalah sorbitol dan gliserol. Jumlah
humektan yang ditambahkan ke dalam produk harus mampu mencapai
kisaran aw produk akhir 0.6 – 0.8.
Penentuan jumlah humektan dilakukan menggunakan persamaan
Grover dengan rumus:
aw = 1.04 – 0.1(Eo) + 0.0045 (Eo)2
dimana Eo = Σ Ei / mi
Ei adalah konstanta Grover untuk bahan penyusun (protein = 1.3,
karbohidrat = 0.8, lemak = 0, gula = 1) dan mi adalah kadar air dalam
gram air per gram bahan. Nilai Ei pada gliserol sebesar 4,0 dan nilai Ei
pada sorbitol sebesar 2,0. Hasil perhitungan jumlah humektan yang
diperoleh dengan persamaan Grover diaplikasikan pada proses
produksi IMF. Batas pemakaian sorbitol maksimal adalah 50 g/hari
sedangkan batas pemakaian gliserol adalah sampai tidak menimbulkan
aftertaste pahit.
Tahap selanjutnya adalah uji organoleptik meliputi kemudahan
ditelan, aftertaste pahit, dan kesukaan keseluruhan produk. Hasil uji
organoleptik adalah formula terpilih diantara tiga formula yang
direncanakan.
Karakterisasi produk akhir dilakukan pada formula terpilih uji
organoleptik. Karakterisasi produk akhir meliputi analisis proksimat
akhir, pengaruh humektan pada kurva isotermi sorpsi, dan analisis
mikrobiologi produk (total mikroba dan kapang-khamir).
Gambar 8. Diagram alir proses produksi IMF dengan teknik moist infution
Bahan-bahan formulasi awal
Dicampur sampai homogen
Formula awal
Ditambah air mineral (air telah direbus
sampai suhu + 80 oC)
Diaduk sampai homogen
Dicicipi
Tidak haus/mudah
ditelan
Haus/tidak mudah ditelan
Ditambah humektan sampai aw + 0.6-0.8
Dicampur sampai homogen
Cek dengan aw meter
Dicetak dan dikemas
Produk IMF
Cek dengan aw meter
4. Metode Analisis
b. Analisis Proksimat
a.1. Kadar air metode oven (SNI 01-2981-1992)
Cawan aluminium kosong yang bersih dikeringkan dalam
oven bersuhu + 105-110 oC selama 1 jam, kemudian didinginkan
dalam desikator selama 15 menit dan ditimbang. Dua gram
sampel dimasukkan ke dalam cawan lalu dioven pada suhu 105-
110 oC selama tiga jam. Sampel kemudian didinginkan dalam
desikator dan ditimbang. Pengeringan diulangi sampai mencapai
bobot konstan. Kadar air dihitung dengan rumus :
Kadar air (% bk) = (W1 + W2) –W3 x 100 (W3 – W1) Kadar air (% bb) = (W1 + W2) – W3 x 100 W2
Keterangan :
W1 = bobot cawan aluminium kosong (g)
W2 = bobot sampel (g)
W3 = bobot cawan dan sampel setelah dikeringkan (g)
a.2. Kadar abu (SNI 01-2981-1992)
Cawan porselen dibakar dalam tanur selama 15 menit
kemudian didinginkan dalam desikator. Cawan yang telah dingin
ditimbang. Sebanyak 2-3 gram sampel ditimbang di dalam cawan
lalu diabukan di dalam tanur bersuhu 550 oC hingga diperoleh
abu berwarna putih dan beratnya tetap. Penghitungan :
Kadar abu (% bb) = W2 x 100 W1
Keterangan :
W1 = bobot sampel (g)
W2 = bobot abu (g)
a.3. Kadar protein metode mikro Kjeldahl (AOAC, 1995)
Sampel sebanyak + 0.2 gram (kira-kira membutuhkan 3-10
ml HCl 0.01/0.02 N) ditimbang dan dimasukkan dalam labu
Kjeldahl lalu ditambahkan 1.9 + 0.1 g K2SO4, 40 + 10 mg HgO,
2.0 + 0.1 ml H2SO4, dan beberapa butir batu didih. Sampel
didestruksi (dididihkan) selama + 1.5 jam sampai menjadi jernih
lalu didinginkan. Isi labu Kjeldahl tersebut (cairan hasil
destruksi) ditambah aquades lalu dipindahkan ke dalam alat
destilasi dan labu dibilas dengan air. Air bilasan juga
dipindahkan ke dalam alat destilasi kemudian ditambahkan 10 ml
NaOH-Na2S2O3 dan didestilasi. Hasil destilasi ditampung dalam
erlenmeyer 125 ml yang berisi 5 ml H3BO3 dan 2 tetes indikator
(metil merah : metil biru = 2:1) sampai kurang lebih 50 ml.
Larutan dalam erlenmeyer kemudian dititrasi dengan HCl 0.02 N
sampai larutan berubah warna menjadi abu-abu. Prosedur yang
sama juga dilakukan untuk penetapan blanko. Penghitungan :
Kadar N (%) = (Vs – Vb) x C x 14.007 x 100 % bobot sampel
Kadar protein (%) = % N x 6.25
Keterangan :
Vs = volume HCl untuk titrasi sampel (ml)
Vb = volume untuk titrasi blanko (ml)
C = konsentrasi HCl (N)
a.4. Kadar lemak (SNI 01-2981-1992)
Sebanyak 1-2 g sampel dibungkus kertas saring dan ditutup
kapas bebas lemak. Sampel tersebut dimasukkan ke dalam alat
ekstraksi soxhlet yang telah dihubungkan dengan labu lemak
yang telah dikeringkan dan diketahui bobotnya. Ekstraksi
dilakukan dengan pelarut heksana selama + 6 jam. Heksana
didestilasikan dan ekstrak lemak dikeringkan dalam oven
bersuhu 105 oC lalu didinginkan dan ditimbang. Pengeringan
dilakukan sampai diperoleh bobot konstan. Penghitungan :
Kadar lemak (% bb) = W2 x 100 % W1
Keterangan :
W1 = bobot sampel (g)
W2 = bobot lemak (g)
a.5. Kadar karbohidrat by difference Kadar karbohidrat (% bb) = 100% - (air + abu + protein +
lemak) (% bb)
c. Analisis nilai aw dengan aw meter
Analisis dengan aw meter dilakukan untuk mengetahui nilai aw
aktual pada produk. Pengukuran dilakukan dengan aw meter merek
Shibaura. Pengukuran dimulai dengan mengkalibrasi alat aw meter
dengan garam jenuh NaCl yang memiliki nilai aw 0.75. Selanjutnya
dilakukan pengujian nilai aw pada sampel uji. Sampel yang diuji
berukuran 3-5 gram. Nilai aw terbaca pada saat alat menunjukkan nilai
aw yang tetap atau complete test.
Gambar 9. Alat aw meter Shibaura Electronics WA-360
d. Uji organoleptik (Meilgaard et. al., 1999)
Uji organoleptik dilakukan untuk mengetahui penilaian
konsumen terhadap produk. Uji yang dilakukan adalah uji rating
hedonik dan uji rating atribut kemudahan ditelan dan aftertaste pahit
menggunakan skala 1-7. Uji rating hedonik termasuk dalam uji afektif
sedangkan uji rating atribut dapat digolongkan pada multisample
difference test : rating approach. Pengujian menggunakan 25 orang
panelis dari lingkungan kampus IPB. Kuesioner pengujian dapat
dilihat pada Lampiran 4.
Pengujian rating hedonik dan uji rating terhadap masing-masing
atribut dilakukan tanpa membandingkan antar sampel. Pengujian
dilakukan di dalam ruangan khusus uji organoleptik yang berisi 10
booth dengan tipe pintu rounding door. Data yang diperoleh kemudian
ditabulasikan dan dianalisis dengan Analysis of Variance (ANOVA).
e. Analisis total mikroba dan kapang-khamir (Modifikasi SNI 01-3751-2006)
Analisis mikrobiologis dilakukan terhadap formula terpilih dari
uji organoleptik. Pengujian ini dilakukan tiap minggu sekali selama
satu bulan. Analisis yang dilakukan meliputi analisis total mikroba
(TPC) dengan menggunakan plate count agar (PCA) dan total kapang-
khamir menggunakan acidified potato dextrose agar (APDA). APDA
merupakan PDA yang diasamkan dengan penambahan asam tartarat
10%. Analisis mikrobiologi mengacu pada SNI 01-3751-2006 yaitu
cara uji cemaran mikroba pada tepung terigu. Hal ini dikarenakan
produk pangan darurat ini berbahan baku tepung.
Sampel uji yang berupa padatan ditimbang 10 gram kemudian
ditempatkan dalam plastik steril dan ditambahkan larutan fisiologis
NaCl 0.85% sebanyak 90 ml. Larutan ini kemudian dihomogenisasi di
dalam alat stomacher selama satu menit. Larutan ini merupakan
larutan konsentrasi 10-1. Pemupukan dilakukan sampai 10-5. Metode
yang digunakan adalah cawan tuang, yaitu agar steril dituangkan ke
dalam cawan yang telah berisi sampel pada tingkat pengenceran
tertentu. Cawan yang telah diinokulasi kemudian diinkubasi selama
dua hari di dalam inkubator suhu 37 oC untuk total mikroba dan 25 oC
untuk kapang-khamir. Cawan diinkubasi dalam posisi terbalik. Pada
analisis total mikroba, dipilih cawan yang menunjukkan jumlah koloni
antara 25-250 sedangkan pada analisis kapang khamir dipilih cawan
dengan jumlah koloni 10-150.
Penghitungan koloni total mikroba :
N = Σ C a [(1.n1) + (0.1.n2)] x d
Keterangan :
N = total koloni per ml atau gram sampel
C = jumlah koloni yang dapat dihitung
n1 = jumlah cawan pada pengenceran pertama
n2 = jumlah cawan pada pengenceran kedua
d = tingkat pengenceran pertama saat mulai penghitungan
Penghitungan koloni total kapang-khamir :
N = rata-rata jumlah koloni x faktor pengenceran
IV. HASIL DAN PEMBAHASAN
A. KARAKTERISASI BAHAN BAKU UNTUK FORMULASI PRODUK
Bahan baku yang digunakan dalam pembuatan produk pangan darurat ini
adalah tepung ubi jalar, tepung pisang, dan tepung kacang hijau. Ketiga
tepung ini merupakan tepung masak atau tepung instan. Hidayah (2002)
mengatakan bahwa perbedaan dasar dari proses pembuatan tepung kacang
hijau instan dan non instan adalah pada tahap pematangan atau pengukusan
sebelum proses pengeringan sehingga kacang hijau dalam keadaan telah
matang pada saat pengeringan. Tepung instan yang digunakan dalam
formulasi ini dibuat dari bahan-bahan yang telah dimasak sampai matang
(dikukus) sebelum dikeringkan (ditepungkan). Tepung instan dapat langsung
dikonsumsi tanpa dimasak lebih lanjut. Masing-masing tepung berukuran 80
mesh.
Tepung ubi jalar berwarna putih agak kecoklatan karena menggunakan
ubi jalar putih dan memiliki aroma khas ubi. Warna kecoklatan ini dapat
disebabkan oleh reaksi pencoklatan. Ubi jalar mentah jika dibiarkan kontak
dengan udara luar akan berubah kecoklatan akibat adanya aktivitas enzim
polifenolase (Syarif dan Halid, 1993). Namun reaksi pencoklatan enzimatis
dapat dihambat salah satunya dengan pemanasan. Selain itu, ubi jalar juga
memiliki kandungan gula yang cukup tinggi yaitu sekitar 15.26 % (Tsou et.
al., 1989). Kandungan gula pada ubi jalar yang telah dimasak jumlahnya
meningkat bila dibandingkan dengan ubi jalar mentah (Bradbury dan
Holloway, 1988 di dalam Sulistiyo, 2006). Tingginya kandungan gula ini
kemungkinan juga menyebabkan tepung ubi jalar yang terbuat dari ubi jalar
putih berwarna agak kecoklatan akibat reaksi pencoklatan atau karamelisasi.
Tepung ubi jalar ini memiliki nilai kadar air sebesar 4.78 %bk.
Tepung pisang berwarna coklat muda dan memiliki aroma khas pisang
(amil asetat). Pisang yang digunakan untuk membuat tepung ini adalah jenis
pisang uli. Pisang uli merupakan jenis plantain, yaitu pisang yang perlu
dimasak terlebih dahulu sebelum dikonsumsi. Tepung pisang ini dibuat dari
pisang uli yang telah dikukus sampai matang. Pisang secara umum
mengandung senyawa fenol yang memberikan sensasi rasa astringent pada
pisang muda dan dapat menyebabkan reaksi pencoklatan enzimatis (John dan
Marchal, 1995). Pisang uli mentah berwarna putih kekuningan, tetapi setelah
dikukus sampai matang berubah menjadi kuning kecoklatan sehingga
menghasilkan tepung pisang yang berwarna coklat muda. Kadar air tepung
pisang adalah sebesar 3.76 %bk.
Tepung kacang hijau dibuat dari kacang hijau yang telah dihilangkan
kulit arinya yang berwarna hijau dengan cara merendam kacang hijau dalam
air selama satu malam sehingga kulit arinya mudah lepas atau dapat juga
menggunakan kacang hijau kupas kulit komersial sehingga lebih efisien
waktu. Tepung kacang hijau berwarna kuning karena kacang hijau yang telah
hilang kulit arinya berwarna kuning. Permasalahan yang timbul dari tepung
kacang hijau ini adalah masih terdapatnya bau langu kacang hijau sehingga
agak mengganggu karakteristik sensorinya. Tepung kacang hijau memiliki
kadar air sebesar 4.20 %bk. Penampakan masing-masing tepung tersaji pada
Gambar 10.
Gambar 10. Tepung yang digunakan sebagai bahan baku
Ingridien lain yang digunakan dalam formulasi ini adalah susu bubuk,
konsentrat protein kedelai, gula, dan minyak goreng. Susu bubuk dan
konsentrat protein kedelai berfungsi sebagai sumber protein. Susu bubuk yang
dipakai adalah susu bubuk fullcream dengan pertimbangan efek sensori yang
dihasilkannya yaitu lebih berasa creamy dan manis. Susu merupakan satu-
satunya bahan hewani yang diizinkan untuk digunakan sebagai ingridien
dalam produksi pangan darurat, namun penggunaanya tidak boleh berlebihan
dan tidak boleh dijadikan sebagai sumber karbohidrat meskipun susu
mengandung gula (laktosa). Hal ini dikarenakan tidak semua orang dapat
mengkonsumsi susu sapi karena adanya efek lactose intolerance pada
beberapa orang.
Konsentrat protein kedelai yang digunakan dalam formulasi ini adalah
jenis konsentrat protein kedelai instan yaitu dapat langsung dikonsumsi tanpa
pemasakan lebih lanjut. Gula berperan sebagai pencita rasa manis, sesuai
dengan target rasa produk, sebagaimana dijelaskan oleh Zoumas et. al. (2002),
bahwa pangan darurat dianjurkan memiliki cita rasa manis. Gula yang
digunakan berupa gula pasir (sukrosa) kristal yang dihaluskan. Penghalusan
ini bertujuan mempermudah percampuran bahan.
Minyak di dalam komposisi formula digunakan sebagai sumber lemak.
Sumber lemak di dalam komposisi pangan darurat hendaknya berupa lemak
nabati dan tidak boleh menggunakan lemak hewani, seperti lemak babi (lard),
lemak sapi (tallow), dan produk turunannya (Zoumas et. al. 2002). Minyak
yang digunakan dalam formulasi ini adalah minyak goreng atau minyak
kelapa sawit.
B. PENENTUAN KOMPOSISI FORMULA AWAL PRODUK
Proses formulasi awal produk dilakukan untuk mendapatkan formulasi
awal produk sesuai dengan standar nutrisi pangan darurat 2100 kkal/hari atau
233 kkal/bar dan sifat sensori rasa produk. Produk yang diharapkan memiliki
rasa manis. Menurut Drewnoski (1997) di dalam Zoumas et. al. (2002), flavor
yang paling mudah diterima oleh sebagian besar populasi yang beragam di
dunia ini adalah rasa manis. Prototipe produk mengacu pada kue-kue
tradisional Indonesia yaitu kue satu dan bakpia pathuk (isi kacang hijau) atau
makanan ringan komersial yang terbuat dari tepung kedelai dan buah-buahan
kering (fruit soy bar).
Penghitungan formulasi dan nilai kecukupan nutrisi dihitung
berdasarkan nilai makronutrien yang terdapat pada Daftar Komposisi Bahan
Pangan yang dikembangkan oleh Prawiranegara (1989) tetapi pada konsentrat
protein kedelai instan yang tidak terdapat pada daftar tersebut dilakukan
analisis proksimat sendiri untuk mengetahui komposisi nutrisinya. Komposisi
nutrisi susu bubuk mengacu pada daftar nutrisi yang terdapat pada kemasan
produk. Daftar nilai makronutrien bahan-bahan yang digunakan dalam
formulasi pangan darurat ini terdapat pada Tabel 11.
Tabel 11. Nilai makronutrien ingridien yang digunakan dalam formulasi
Bahan Makronutrien (g/100 g bobot solid)
Protein Lemak KH Ubi jalar putiha 5.7143 2.2222 88.5714 Pisang ulia 4.8900 0.4890 93.3985 Kacang hijaua 24.6667 1.3333 69.8889 Konsentrat protein kedelaib 88.8421 0.8842 5.8842 Susu bubuk fullcreamc 29.0187 24.4368 38.5643 Gulaa 0 0 99.3658 Minyak kelapa sawita 0 100 0
Keterangan : a = berdasarkan data DKBM dengan konversi bobot solidnya b = hasil analisis proksimat c = berdasarkan data pada label kemasan produk
Penghitungan formulasi menggunakan prinsip kesetimbangan massa
dengan bantuan Microsoft excel. Prototipe produk yang diharapkan memiliki
nilai protein 7.9–8.1 gram, lemak 9-11.7 gram, dan karbohidrat 23-35 gram
per bar dengan asumsi tiap bar sama dengan 50 gram solid. Nilai kalori total
didapatkan dari jumlah makronutrien bahan yang digunakan dalam formulasi
dikalikan dengan nilai kalori masing-masing makronutrien. Tiap gramnya
karbohidrat dan protein memiliki kalori sebesar 4 kkal sedangkan lemak 9
kkal (Prawiranegara, 1989). Formulasi dasar produk dan prediksi kecukupan
persyaratan nutrisi dapat dilihat pada Tabel 12 dan Tabel 13.
Tabel 12. Formulasi dasar produk pangan darurat
FORMULA BAHAN %
Ubi Jalar
Tepung ubi jalar Susu bubuk fullcream Konsentrat protein kedelai Gula Minyak goreng
39.22 16.67 13.73 13.73 16.67
Pisang
Tepung pisang Susu bubuk fullcream Konsentrat protein kedelai Gula Minyak goreng
42.27 19.59 9.28 15.46 13.40
Kacang Hijau Tepung kacang hijau Gula Minyak goreng
64.70 17.65 17.65
Tabel 13. Prediksi kecukupan nutrisi pangan darurat dari ketiga formula
Formula Ubi Jalar
Formula Pisang
Formula Kacang Hijau
Protein (g/bar) 9.6357 7.9970 7.9804 Lemak (g/bar) 10.8661 9.2387 9.2549 Karbohidrat (g/bar) 27.8037 31.4747 31.3787 Total Kalori/bar (kkal) 247.5527 241.0231 240.7303
Pada Tabel 12 dapat dilihat bahwa formula dengan bahan baku tepung
kacang hijau tidak menggunakan konsentrat protein kedelai dan susu bubuk
sebagai tambahan ingridien sumber protein. Hal ini dikarenakan hanya dengan
menggunakan tepung kacang hijau sudah mencukupi nilai kecukupan protein,
yaitu 7.9 – 8.1 gram/bar. Kacang hijau merupakan jenis kacang-kacangan
yang tinggi kandungan proteinnya. Produk dengan bahan baku tepung ubi
jalar dan tepung pisang perlu ditambahkan ingridien sebagai sumber protein
karena kedua bahan tersebut rendah kandungan proteinnya.
C. ISOTERMI SORPSI AIR BAHAN BAKU DAN FORMULA AWAL
Penentuan kurva isotermi sorpsi bahan baku digunakan untuk melihat
stabililitasnya dan perkiraan pola isotermi sorpsi dari formula awal sedangkan
isotermi sorpsi formula awal digunakan untuk mengetahui jumlah air yang
ditambahkan dalam produksi IMF.
IMF dapat diproduksi dengan cara tradisional dan modern. Proses
produksi IMF modern dapat dilakukan dengan dua cara yaitu adsorpsi dan
desorpsi. Pengolahan tipe adsorpsi menggunakan bahan kering yang kemudian
dikontrol proses pembasahannya sedangkan pada tipe desorpsi, bahan
dimasukkan ke dalam larutan yang mempunyai tekanan osmosis lebih tinggi
sampai diperoleh keseimbangan pada tingkat aw yang diinginkan
(Robson,1976). Pada kedua proses tersebut, terdapat hubungan antara
kandungan air dengan nilai aw yang digambarkan dengan grafik isotermi
sorpsi dan persamaan matematis (Troller, 1989).
Pembuatan kurva isotermi sorpsi diawali dengan penentuan kadar air
kesetimbangan pada berbagai RH pada suhu + 30 oC. Masing-masing bahan
mengalami kesetimbangan pada rentang waktu yang berbeda, yaitu sekitar 4 –
14 hari. Data pengukuran kadar air masing-masing bahan tersaji pada
Lampiran 1.
Isotermi sorpsi tepung ubi jalar, tepung pisang, tepung kacang hijau, dan
ketiga formula awal memperlihatkan model yang sama yaitu berbentuk
sigmoid atau seperti huruf S. Bentuk kurva isotermi sorpsi yang demikian
merupakan bentuk yang umum ditemui pada bahan pangan. Tipe kurva
isotermi sorpsi yang berbentuk sigmoid ini menurut Bell dan Labuza (2000)
disebabkan oleh pengaruh akumulatif dari kombinasi efek koligatif, efek
kapiler, dan interaksi permukaan solid dengan air.
Bahan dari formula awal yang dianalisis isotermi sorpsinya terbatas pada
bahan baku masing-masing produk. Tepung ubi jalar, tepung pisang dan
tepung kacang hijau dalam masing-masing formula memiliki presentasi yang
lebih tinggi dibanding bahan-bahan yang lainnya yaitu sebesar 39.22%,
42.27%, dan 64.70%. Hal ini mengacu pada Adawiyah (2006) yang
melakukan penelitian terhadap isotermi sorpsi model pangan dan komponen
penyusunnya. Penelitian tersebut menghasilkan pola isotermi sorpsi model
pangan berbentuk sigmoid menyerupai pola sorpsi pati dan kasein yang
prosentasenya lebih tinggi dibanding bahan lainnya dan tidak tampaknya
pengaruh gula pada pola isotermi sorpsi model pangan dikarenakan
proporsinya yang kecil. Bentuk kurva isotermi sorpsi gula dapat dilihat pada
Gambar 11 yang memperlihatkan patahan tajam pada nilai aw 0.84.
Gambar 11. Kurva isotemi sorpsi sukrosa (Adawiyah, 2006)
Bahan yang berada pada RH tinggi (80-90%) ditumbuhi kapang sebelum
mencapai titik kesetimbangan. Pada saat kapang telah tumbuh, bobot bahan
menjadi naik-turun tidak stabil. Kapang pada tepung ubi jalar mulai tumbuh
pada RH 83.8 sedangkan pada tepung kacang hijau dan tepung pisang dimulai
pada RH 91.2. Pertumbuhan kapang pada pengukuran isotermi sorpsi formula
dimulai pada RH 83.8 pada masing-masing formula. Hal ini mungkin
disebabkan lebih kompleknya bahan yang terdapat pada formula, seperti susu
bubuk, konsentrat protein, dan gula. Fardiaz (1992) menyebutkan bahwa
nutrisi merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi pertumbuhan
mikororganisme. Nutrisi yang diperlukan dalam pertumbuhan
mikroorganisme adalah sumber karbon, sumber nitrogen, sumber energi, dan
faktor pertumbuhan yaitu vitamin dan mineral. Contoh pertumbuhan kapang
pada tepung dan formula dapat dilihat pada Gambar 12.
Gambar 12. Kapang (spot berwarna gelap) pada pengukuran isotermi sorpsi
tepung ubi jalar (kiri) dan formula kacang hijau (kanan)
Data hubungan kadar air (M) dengan nilai aw dari kurva isotermi sorpsi
yang telah diperoleh kemudian diubah dalam persamaan matematis model
GAB. Persamaan GAB tersebut adalah :
m = )1)(1(
...
Ckawkawkaw
awmokC
+−− ............................................... (6)
dengan m = kadar air basis kering (%), mo = kadar air monolayer (%), aw =
aktivitas air, C dan k merupakan konstanta persamaaan GAB.
Pembuatan kurva isotermi sorpsi dengan model GAB ini dimulai dengan
membuat plot hubungan kuadratik antara aw/M dan aw. Persamaan GAB
tersebut di atas diubah menjadi persamaan polinomial ordo dua atau
persamaan kuadratiknya dengan aw/M sebagai ordinat dan aw sebagai absis
seperti terlihat pada persamaan (7). Kurva hubungan kuadratik tepung dan
formula awal dapat dilihat pada Gambar 13.
M
aw =
mo
k(C
1-1)aw
2 + mo
1(1-
C
2)aw +
Ckmo
1 ...................... (7)
Persamaan kuadratik yang diperoleh dapat disederhanakan menjadi:
Y = αX2 + βX + Є .................................................................... (8)
dengan
Y = M
aw, X=aw,
α = mo
k(C
1-1), β =
mo
1(1-
C
2), dan Є =
Ckmo
1 .................. (9)
Substitusi α, β, dan Є dengan nilai persamaan kuadratik yang diperoleh
menghasilkan nilai konstanta C dan k serta nilai kadar air monolayer (mo).
Nilai k merupakan konstanta faktor koreksi dari molekul multilayer sedangkan
C menunjukkan konstanta Gunggenheim (Liovonen dan Ross, 2002) atau
menurut Adawiyah (2006) nilai C berhubungan dengan energi adsorpsi. Mo
merupakan nilai kadar air monolayer. Daerah monolayer berada pada kisaran
RH 0-20% (Syarief et. al., 1989). Nilai-nilai parameter persamaan GAB tersaji
pada Tabel 14.
Gambar 13. Hubungan Kuadratik aw dan aw/M dari tepung (kiri) dan formula
(kanan) ubi jalar, pisang, dan kacang hijau (atas-bawah)
y = -0,1686x2 + 0,1813x + 0,0092
R2 = 0,9627
0,000,010,020,030,040,050,060,07
0,00 0,20 0,40 0,60 0,80 1,00aw
aw/M
y = -0,2814x2 + 0,2617x + 0,0496
R2 = 0,94
0
0,02
0,04
0,06
0,08
0,1
0,12
0 0,2 0,4 0,6 0,8 1aw
aw/M
y = -0,3981x2 + 0,3598x + 0,0286
R2 = 0,9776
0,00
0,02
0,04
0,06
0,08
0,10
0,12
0 0,2 0,4 0,6 0,8
aw
aw/M
y = -0,2738x2 + 0,2423x + 0,0092
R2 = 0,9617
0,000,010,020,030,040,050,060,07
0,0 0,2 0,4 0,6 0,8
y = -0,2192x2 + 0,2412x + 0,0378
R2 = 0,8878
0,00
0,02
0,04
0,06
0,08
0,10
0,12
0 0,2 0,4 0,6 0,8 1aw
aw/M
y = -0,2003x2 + 0,2136x + 0,0007
R2 = 0,9756
0,00
0,01
0,02
0,030,04
0,05
0,06
0,07
0,00 0,20 0,40 0,60 0,80 1,00aw
aw/M
Tabel 14. Parameter Isotermi Sorpsi Menurut Persamaan GAB
Tepung K. Hijau
Formula K.Hijau
Tepung Ubi Jalar
Formula Ubi Jalar
Tepung Pisang
Formula Pisang
k 0.8898 0.9159 1.0853 1.0232 0.9349 0.8068 C 24.1477 7.7426 26.2674 14.2949 328.4014 9.9091
Mo 5.0589 2.8374 3.8129 2.3905 4.6531 3.3091 MRD 3.79 3.18 5.03 2.85 4.42 6.98
Kurva isotermi sorpsi tepung ubi jalar agak berbeda dari tepung kacang
hijau dan pisang. Bentuk kurva isotermi sorpsi tepung ubi jalar landai sampai
mencapai nilai aw sekitar 0.3-0.6. Pada nilai aw tersebut tepung ubi jalar
mengalami kenaikan kadar air yang tidak terlalu tinggi tetapi pada aw 0.8-0.9
nilai kadar ainya naik cukup tinggi. Kurva yang berbentuk landai ini hampir
menyerupai kurva isotermi sorpsi gula (Gambar 11), tetapi tidak terjadi
patahan tajam. Hal ini kemungkinan disebabkan oleh kandungan gula dalam
ubi jalar yang cukup tinggi yaitu sekitar 15.26% (Tsou et. al., 1989).
Kandungan gula pada ubi jalar yang telah dimasak jumlahnya meningkat bila
dibandingkan dengan ubi jalar mentah (Bradbury dan Holloway, 1988 di
dalam Sulistiyo, 2006).
Kurva isotermi tepung kacang hijau memiliki bentuk yang hampir sama
dengan tepung pisang. Hal ini diduga karena kedua bahan tersebut
mengandung karbohidrat (pati) dalam jumlah tinggi. Ubi jalar juga
mengandung pati dalam jumlah cukup tinggi tetapi menurut Bradbury dan
Holloway (1988) di dalam Sulistiyo (2006), pemasakan dapat menghidrolisis
pati sehingga terjadi peningkatan maltosa.
Kurva isotermi bahan baku dapat digunakan untuk mengetahui
stabilitasnya selama penyimpanan dan berhubungan dengan rencana
pengemasan. Parameter stabilitas bahan berdasarkan kurva isotermi sorpsi
terutama terletak pada nilai kadar air monolayer (mo). Menurut Bell dan
Labuza (2000) pada kebanyakan produk pangan kering, kadar air monolayer
menunjukkan kadar air kritis yang dapat juga diasosiasikan dengan nilai aw
kritis.
Penurunan kualitas produk terjadi seiring dengan peningkatan kadar air
di atas kadar air monolayernya. Hal ini berarti jika produk memiliki kadar air
di atas kadar monolayernya maka produk akan lebih cepat mengalami
penurunan kualitasnya. Pada kebanyakan produk pangan kering, kenaikan
nilai aw sebesar 0.1 dapat menurunkan umur simpan produk 2-3 kalinya.
Namun dikarenakan kondisi lingkungan dan proses produksi yang bervariasi,
penyimpanan dapat ditoleransi pada kondisi 1% di atas kadar air
monolayernya (Bell dan Labuza, 2000).
Berdasarkan pengukuran isotermi sorpsi bahan baku dapat diketahui
masing-masing nilai kadar air monolayernya. Tabel 14 menunjukkan bahwa
tepung ubi jalar memiliki kadar air monolayer sebesar 2.39% bk. Nilai ini
lebih rendah dibandingkan kadar air awalnya yaitu sebesar 4.78% bk. Tepung
kacang hijau dan tepung pisang masing-masing memiliki nilai kadar air
monolayer di bawah nilai kadar air awalnya yaitu sebesar 5.06% bk dan
4.65% bk sedangkan kadar air awalnya masing-masing adalah 4.20%bk dan
3.76% bk.
Gambar 14 memperlihatkan kurva isotermi sorpsi formula awal
memiliki pola yang hampir sama dengan pola kurva isotermi sorpsi bahan
bakunya tetapi letaknya lebih rendah. Hal ini dikarenakan pada formula
terdapat penambahan minyak goreng. Adanya minyak ini cenderung
menurunkan kemampuan padatan untuk mengikat air (Adawiyah, 2006).
Selain itu juga dapat dilihat bahwa tidak tampaknya pengaruh gula pada
masing-masing pola kurva isotermi sorpsi formula awal.
Masing-masing bahan memperlihatkan bahwa nilai kadar air monolayer
dan konstanta C pada formula lebih rendah dibanding tepung tunggalnya
sedangkan nilai k formula tidak terlalu berbeda dengan tepung tunggalnya.
Menurut Adawiyah (2006) adanya penambahan minyak pada model pangan
menurunkan jumlah dan energi pengikatan air pada lapis monolayer. Nilai
MRD atau ketepatan model pada masing-masing pengukuran isotermi sorpsi
menunjukkan nilai kurang dari 10% atau dapat dikatakan memiliki ketepatan
cukup tinggi.
Gambar 14. Kurva isotermi sorpsi bahan baku dan formula dalam data
percobaan dan data prediksi dengan persamaan GAB (a) basis tepung ubi jalar, (b) basis tepung pisang, (c) basis tepung kacang hijau
0
10
20
30
40
50
0,0 0,2 0,4 0,6 0,8 1,0aw
kada
r ai
r (%
bk)
percobaantep.ubi jalar
GAB tep.ubijalar
percobaanformula ubijalarGAB formulaubi jalar
0
5
10
15
20
25
30
35
0,0 0,2 0,4 0,6 0,8 1,0aw
kada
r ai
r (%
bk) percobaan
tep.pisang
GABtep.pisang
percobaanformula pisang
GAB formulapisang
0
5
10
15
20
25
30
0,0 0,2 0,4 0,6 0,8 1,0aw
kada
r ai
r (%
bk)
percobaantep.k.hijau
GABtep.k.hijau
percobaanformula k.hijau
GAB formulak.hijau
c
b
a
D. PENENTUAN JUMLAH AIR YANG DITAMBAHKAN DALAM FORMULASI
Produksi IMF dilakukan dengan teknik pembuatan IMF metode moist
infution, yaitu campuran bahan-bahan kering dikontrol proses pembasahannya
(Robson, 1976). Proses pembasahan dilakukan dengan menambahkan air pada
campuran bahan-bahan kering. Jumlah air yang ditambahkan dapat diketahui
dari kurva isotermi sorpsi formula. Berdasarkan kurva isotermi sorpsi formula
awal dapat diketahui nilai perkiraan kadar air pada aw tertentu. Selisih antara
nilai kadar air pada aw tertentu berdasarkan kurva isotermi sorpsi dengan kadar
air awal menunjukkan jumlah air yang akan ditambahkan pada formula. Air
yang digunakan untuk produksi IMF ini merupakan air mineral yang telah
dipanaskan sampai mencapai suhu + 80 oC.
1. Prototipe dengan Bahan Baku Tepung Ubi Jalar
Penambahan jumlah air pada formula ubi jalar mengacu pada kurva
isotermi sorpsi formula ubi jalar seperti terlihat pada Gambar 14.
Penambahan air direncanakan sampai aw produk sekitar 0.8-0.9. Hal ini
berdasarkan asumsi bahwa pada aw 0.8-0.9 kadar air produk cukup tinggi
sehingga produk yang dihasilkan nantinya tidak menyebabkan haus, seret,
dan susah ditelan.
Jumlah air yang ditambahkan pada formula ubi jalar diperoleh dari
interpolasi kurva isotermi sorpsi formula ubi jalar seperti pada Gambar 14,
yaitu pada aw 0.8 diperoleh nilai kadar air 12.9752% bk dan pada aw 0.9
diperoleh nilai kadar air 30.0410% bk. Nilai kadar air ini merupakan nilai
kadar air perkiraan. Selanjutnya dengan mempertimbangkan kadar air awal
formula yaitu sebesar 5.3408% bk dan kadar air yang ingin dicapai pada
produk maka diperoleh jumlah air yang akan ditambahkan pada produk,
yaitu pada aw 0.8 ditambahkan air sebesar 0.0763 gram H2O/gram bobot
solidnya dan pada aw 0.9 jumlah air yang ditambahkan sebesar 0.2470
gram H2O/gram bobot solidnya. Bahan yang telah dicampur dengan air
tersebut kemudian diuji organoleptik secara subjektif terbatas (dilakukan
penulis). Pengujian ini meliputi kemudahan ditelan dan dicetak.
Hasil pengujian organoleptik subjektif menyatakan bahwa pada aw
0.8 produk masih bersifat free flowing atau tidak menyatu dengan baik dan
susah ditelan. Produk yang ditambah air sampai mencapai nilai aw 0.9
terlihat terlalu lembek sehingga sulit dicetak dan menempel pada langit-
langit mulut ketika dikonsumsi.
Kedua produk yang telah dicoba ternyata memberikan hasil yang
tidak sesuai dengan kriteria yang diharapkan. Oleh karena itu dicobakan
lagi penambahan air pada kisaran aw 0.84-0.88. Hasil produk yang sesuai
kriteria yaitu mudah ditelan dan mudah dicetak diperoleh pada nilai aw
0.88 yaitu dengan penambahan air sebanyak 0.1848 gram H2O/gram bobot
solidnya dengan perkiraan kadar air totalnya sebesar 23.8254 % bk.
2. Prototipe dengan Bahan Baku Tepung Pisang
Prosedur yang sama juga dilakukan pada tepung pisang. Jumlah air
yang ditambahkan mengacu pada kurva isotermi sorpsi formula pisang dan
penambahan air dilakukan sampai aw produk mencapai kisaran 0.8-0.9.
Jumlah air yang ditambahkan pada formula pisang diperoleh dari
interpolasi kurva isotermi sorpsi formula seperti pada Gambar 14 yaitu
pada aw 0.8 diperoleh nilai kadar air 8.8425 % bk dan pada aw 0.9
diperoleh nilai kadar air 11.6387 % bk. Kadar air awal formula pisang
adalah 6.1233 % bk. Berdasarkan nilai kadar air ini dapat dihitung jumlah
air yang ditambahkan dalam formula pisang. Jumlah air yang ditambahkan
pada produk dengan nilai perkiraan aw 0.8 adalah sebesar 0.0272 gram
H2O/gram bobot solidnya dan pada aw 0.9 jumlah air yang ditambahkan
sebesar 0.0551 gram H2O/gram bobot solidnya. Bahan yang telah
dicampur dengan air tersebut kemudian diuji organoleptik secara subjektif
terbatas (dilakukan penulis) dengan atribut pengujian sama seperti formula
ubi jalar yaitu kemudahan ditelan dan dicetak.
Hasil pengujian organoleptik menyatakan bahwa pada aw 0.8 produk
bersifat sangat free flowing atau tidak menyatu dengan baik dan susah
ditelan serta teksturnya masih mirip formula awalnya. Produk yang
ditambah air sampai mencapai nilai aw 0.9 juga masih menunjukkan
karakteristik yang hampir sama dengan produk yang ditambah air sampai
aw 0.8. Oleh karena penambahan air sampai aw 0.9 masih menunjukkan
sifat produk yang free flowing dan sulit ditelan maka dilakukan
penambahan air secara manual atau tidak mengacu pada kurva isotermi
sorpsinya. Penambahan air dilakukan sedikit demi sedikit sampai
diperoleh tekstur produk yang kompak, menyatu, dan mudah dicetak.
Hasil percobaan menunjukkan jumlah air yang harus ditambahkan untuk
memenuhi kriteria tersebut adalah sebesar 0.2133 gram H2O / gram bobot
solidnya.
3. Prototipe dengan Bahan Baku Tepung Kacang Hijau
Penambahan air pada formula kacang hijau juga dilakukan dengan
cara yang sama. Jumlah air yang ditambahkan mengacu pada kurva
isotermi sorpsi formula kacang hijau pada kisaran aw 0.8-0.9.
Kurva isotermi sorpsi formula kacang hijau dapat dilihat pada
Gambar 14. Nilai kadar air pada aw 0.8 adalah sebesar 10.1374 % bk dan
15.7153 % bk pada aw 0.9. Nilai kadar air ini merupakan nilai kadar air
perkiraan pada produk. Selanjutnya dengan mempertimbangkan kadar air
awal formula yaitu sebesar 5.1912 % bk dan kadar air yang ingin dicapai
pada produk maka diperoleh jumlah air yang akan ditambahkan pada
produk yaitu pada aw 0.8 ditambahkan air sebesar 0.0495 gram H2O/gram
bobot solidnya dan pada aw 0.9 jumlah air yang ditambahkan sebesar
0.1052 gram H2O/gram bobot solidnya. Bahan yang telah dicampur
dengan air tersebut kemudian diuji organoleptik secara subjektif terbatas
(dilakukan penulis). Karakteristik pengujian ini meliputi kemudahan
ditelan dan dicetak.
Hasil pengujian organoleptik menunjukkan bahwa pada aw 0.8
produk bersifat sangat free flowing atau tidak menyatu dengan baik dan
susah ditelan. Demikian halnya dengan produk yang ditambah air sampai
mencapai nilai aw 0.9. Produk tersebut masih bersifat free flowing, tidak
bisa menyatu dengan baik, mudah rapuh, dan susah ditelan. Oleh karena
penambahan air sampai aw 0.9 masih menunjukkan sifat produk yang
belum memenuhi kriteria yang diharapkan maka dilakukan penambahan
air secara manual atau tidak mengacu pada kurva isotermi sorpsinya.
Penambahan air dilakukan sedikit demi sedikit sampai diperoleh tekstur
produk yang kompak, menyatu, dan mudah dicetak. Hasil menunjukkan
jumlah air yang harus ditambahkan untuk memenuhi kriteria tersebut
adalah sebesar 0.2166 gram H2O/gram bobot solidnya.
E. PENENTUAN JUMLAH DAN JENIS HUMEKTAN
Tahap selanjutnya dalam proses produksi paroduk pangan darurat
debgan teknologi IMF ini adalah aplikasi humektan. Penggunaan humektan
dimaksudkan untuk menurunkan nilai aw produk sampai pada kisaran nilai aw
IMF tetapi kadar air produk tetap terjaga sehingga menghasilkan produk yang
masih cukup basah.
Bahan yang telah dicampur dengan air selanjutnya ditambah humektan
dengan konsentrasi tertentu. Humektan yang digunakan adalah sorbitol dan
gliserol. Penggunaan humektan dalam produk merupakan penggunaan single
humectant atau kedua humektan digunakan terpisah. Menurut Sloan et. al.
(1976), pada penggunaan single humectant dapat dipilih metode pencampuran
kering atau larutan. Penelitian ini mengaplikasikan humektan dengan cara
pencampuran kering.
Aplikasi humektan menggunakan model persamaan Grover. Persamaan
Grover dapat diterapkan pada kisaran aw 0.43-0.91 dengan nilai simpangan
sebesar 6.8%. Persamaan Grover menghasilkan prediksi data aw model
campuran pangan yang lebih baik dibanding persamaan Ross (Adawiyah,
2006). Keunggulan persamaan Grover adalah memperhitungkan komposisi
masing-masing komponen yang digunakan di dalam model campuran. Bell
dan Labuza (2000) menggunakan persamaan Grover untuk memprediksi aw
daging yang ditambahkan glikol sebagai humektan dan memprediksi jumlah
humektan yang digunakan untuk menurunkan aw daging tersebut.
Persamaan Grover biasa dipakai untuk memprediksi aw produk
berdasarkan komposisi bahan penyusunnya. Persamaan ini banyak diterapkan
pada produk confectionery (Taoukis et. al., 1999). Bentuk persamaan Grover
adalah
aw = 1.04 – 0.1(Eo) + 0.0045 (Eo)2
dimana,
Eo = Σ Ei / mi
Ei adalah konstanta Grover untuk bahan penyusun. Beberapa nilai Ei
yang sudah diketahui diantaranya protein 1.3, karbohidrat (pati) 0.8, lemak 0,
sukrosa 1. mi menunjukkan kadar air dalam gram air per gram bahan (Bell dan
Labuza, 2000). Menurut Adawiyah (2006) penambahan minyak di dalam
model pangan cenderung menurunkan kemampuan padatan untuk mengikat
air di daerah monolayer. Oleh karena itu dilakukan modifikasi pada koefisien
Ei minyak menjadi -1.
Perkiraan nilai aw dengan persamaan Grover membutuhkan data bobot
masing-masing komponen. Oleh karena itu pada masing-masing formula
dilakukan analisis proksimat untuk mengetahui nilai komposisi aktualnya
meskipun sebelumnya telah diketahui komposisinya menurut penghitungan
kesetimbangan massa. Hasil analisis proksimat ketiga formula tersebut dapat
dilihat pada Tabel 15.
Tabel 15. Komposisi aktual formula ubi jalar, pisang, dan kacang hijau
Komponen Ubi Jalar Pisang Kacang Hijau
% BB % BK % BB % BK % BB % BK Kadar air Kadar abu Lemak Protein Karbohidrat
5.07 2.23 21.39 16.43 54.88
5.34 2.35 22.53 17.31 57.80
5.77 2.52 18.69 14.14 58.88
6.12 2.67 19.83 15.01 62.49
4.94 1.61 18.37 15.29 59.79
5.19 1.69 19.32 16.08 62.89
Aplikasi humektan ini diharapkan dapat menurunkan aw produk hingga
mencapai 0.7-0.8. Pemakaian sorbitol menggunakan sorbitol cair. Sorbitol cair
tidak berwarna (jenih), agak kental, dan tidak berbau. Sorbitol tergolong
GRAS tetapi asupan tiap harinya dibatasi karena konsumsi yang berlebihan
dapat menyebabkan efek laksatif atau diare. Batas konsumsi sorbitol adalah 50
gram/hari (Caloriecontrol, 2006). Sorbitol mempunyai konstanta persamaan
Grover (Ei) sebesar 2.0.
Gliserol merupakan humektan yang dapat juga berperan sebagai
plasticizer. Gliserol yang digunakan merupakan gliserol food grade. Gliserol
juga tidak berwarna (jenih) dengan kekentalan yang lebih tinggi dibanding
sorbitol cair. Gliserol tergolong food additive GRAS dengan nomor 21 CFR
182.1320. Kekurangan gliserol adalah aftertaste pahit pada pemakaian dengan
konsentrasi tinggi. Oleh karena itu batas penggunaan konsentrasi gliserol pada
produk ini selain telah mencapai nilai aw yang diharapkan juga ditentukan oleh
aftertaste pahit yang ditimbulkannya. Konstanta Grover untuk gliserol adalah
4.0.
Pemakaian sorbitol ditentukan pada konsentrasi 5% dan 10%. Asumsi
yang digunakan adalah berat produk per bar adalah 50 gram solid dengan
ukuran saji 10 bar per hari. Dengan demikian jumlah konsumsi maksimal
sorbitol sekitar 50 gram/hari sehingga tidak menyebabkan efek laksatif.
Pemakaian gliserol dicoba mulai dari konsentrasi yang rendah dengan melihat
nilai aw yang dihasilkan dan aftertaste pahitnya.
Tabel 16. Prediksi aw pada penambahan sorbitol dan gliserol dari setiap formula dengan persamaan Grover
Formula Sebelum ditambah humektan
Sorbitol (%) Gliserol (%)
5 10 2 4 6 8
Ubi jalar 0.851 0.811 0.773 0.819 0.788 0.759 0.731 Pisang 0.862 0.826 0.791 0.833 0.804 0.777 0.752 K.hijau 0.850 0.813 0.778 0.820 0.792 0.765 0.739
Berdasarkan Tabel 16 tersebut dapat dilihat nilai prediksi aw produk
dengan penambahan sorbitol atau gliserol. Penambahan sorbitol dalam
konsentrasi 5% mampu menurunkan aw produk sampai dibawah 0.85 dan
penggunaan konsentrasi 10% dapat menurunkan aw sampai nilai dibawah 0.8.
Dengan demikian dipilih produk dengan penambahan sorbitol konsentrasi
10% untuk diuji lebih lanjut. Nilai aw ubi jalar sebelum ditambah sorbitol
sebesar 0.851 dan setelah ditambah 10% sorbitol turun menjadi 0.773. Produk
formula pisang yang memiliki nilai aw awal sebelum penambahan humektan
sebesar 0.862 turun menjadi 0.791. Demikian halnya produk formula kacang
hijau dengan nilai aw awal sebelum ditambah humektan 0.85 turun menjadi
0.778. Tekstur produk yang telah ditambah sorbitol tampak lebih menyatu,
kompak, tidak rapuh, dan terasa lebih manis.
Jumlah gliserol yang ditambahkan pada produk dimulai dari 2% - 8%.
Berdasarkan penghitungan dengan persamaan Grover diperoleh data
penurunan nilai aw yang cukup signifikan. Nilai aw tanpa penambahan gliserol
pada formula ubi jalar, pisang, dan kacang hijau adalah 0.851, 0.862, dan
0.850. Pada setiap penambahan konsentrasi gliserol dilakukan pencicipan
terhadap ketiga produk dengan atribut kritis aftertaste pahit. Penambahan
gliserol pada konsentrasi 2% menghasilkan nilai aw 0.819 , 0.833, dan 0.820
untuk formula ubi jalar, pisang, dan kacang hijau. Aplikasi 2% gliserol belum
menunjukkan adanya aftertaste pahit pada ketiga formula. Jumlah 4% gliserol
menghasilkan nilai aw 0.788, 0.804, dan 0.792 untuk formula ubi jalar, pisang,
dan kacang hijau. Hasil pencicipan produk dengan konsentrasi 4% gliserol
juga menunjukkan belum adanya aftertaste pahit pada ketiga formula. Dengan
demikian dicobakan konsentrasi penambahan gliserol yang lebih tinggi yaitu
6%. Konsentrasi 6% gliserol menghasilkan nilai aw sebesar 0.759, 0.778, dan
0.765 untuk formula ubi jalar, pisang, dan kacang hijau. Penambahan 6%
gliserol pada formula pisang dan kacang hijau menunjukkan adanya aftertaste
pahit sedangkan formula ubi jalar belum menunjukkan aftertaste pahit. Oleh
karena itu pada formula ubi jalar dicobakan konsentrasi 8% gliserol dan
menghasilkan nilai aw sebesar 0.731 dengan rasa normal atau belum
menunjukkan aftertaste pahit..
Data hasil penambahan gliserol menunjukkan bahwa pada konsentrasi
6% gliserol sudah terdeteksi aftertaste pahit pada formula pisang dan kacang
hijau. Oleh karena itu jumlah gliserol yang ditambahkan pada formula pisang
dan kacang hijau adalah sebesar 4%.
Penambahan gliserol pada formula ubi jalar menunjukkan bahwa sampai
pada konsentrasi 8% belum terdeteksi aftertaste pahit. Hal ini kemungkinan
karena tingginya kandungan gula pada tepung ubi jalar sehingga dapat
menutupi aftertaste pahit yang disebabkan gliserol. Produk formula ubi jalar
jika dilihat nilai penurunan awnya maka pada konsentrasi 4% aw yang
diperoleh sudah cukup rendah dan memenuhi kriteria aw IMF. Oleh karena itu,
pada formula ubi jalar juga dipilih konsentrasi 4% gliserol yang akan diuji
lebih lanjut. Hal ini dimaksudkan untuk efisiensi penggunaan humektan.
Tahap selanjutnya adalah melakukan pengukuran aw dengan aw meter
untuk melihat aw aktualnya. Pengukuran dengan aw meter ini juga sebagai
verifikasi prediksi aw dengan persamaan isotermi sorpsi GAB dan persamaan
Grover. Nilai aw aktual hasil pengukuran dengan aw meter dapat dilihat pada
Tabel 17.
Tabel 17. Hasil pengukuran aw aktual ketiga formula dengan aw meter
Formula Ubi Jalar
Formula Pisang
Formula Kacang Hijau
Tanpa humektan 0.771 / 29.7 oC 0.822 / 30.6 oC 0.853 / 30.2 oC
Sorbitol 10 % 0.772 / 29.9 oC 0.835 / 30.6 oC 0.832 / 30.2 oC Gliserol 4 % 0.737 / 30.2 oC 0.804 / 30.6 oC 0.815 / 30.3 oC
Hasil pengukuran aw produk tanpa humektan dengan aw meter (aw aktual
tanpa humektan) menunjukkan nilai yang agak berbeda dengan nilai prediksi
baik dengan persamaan isotermi sorpsi GAB ataupun dengan persamaan
Grover. Nilai aw prediksi formula ubi jalar dengan persamaan GAB adalah
0.88 dan dengan persamaan Grover adalah 0.851 sedangkan pengukuran nilai
aw aktualnya adalah 0.771. Prediksi aw formula pisang tanpa humektan dengan
persamaan GAB menunjukkan nilai aw lebih besar dari 0.9 dan dengan
persamaan Grover adalah 0.862 sedangkan pengukuran aw aktualnya bernilai
0.822. Nilai aw prediksi formula kacang hijau tanpa humektan dengan
persamaan GAB juga menunjukkan nilai lebih besar dari 0.9 sedangkan
dengan persamaan Grover memiliki nilai aw sebesar 0.850. Nilai aw prediksi
dengan persamaan Grover pada formula kacang hijau tidak berbeda jauh
dengan nilai aw aktualnya yaitu 0.853.
Pengukuran aw aktual pada formula ubi jalar tanpa dan dengan
penambahan humektan menunjukkan nilai yang lebih kecil dari nilai
prediksinya dengan persamaan Grover. Formula ubi jalar dengan penambahan
10% sorbitol memiliki nilai aw aktual sebesar 0.772 dan penambahan 4%
gliserol menghasilkan nilai aw aktual sebesar 0.737.
Nilai aw aktual formula pisang dengan penambahan 10% sorbitol lebih
besar dibandingkan dengan nilai aw prediksinya sedangkan formula dengan
penambahan 4% gliserol mempunyai nilai aw aktual 0.804 yang sama dengan
nilai prediksinya yaitu 0.804. Formula kacang hijau dengan penambahan
sorbitol memiliki nilai aw 0.832. Nilai ini lebih besar dibandingkan nilai
prediksi yaitu 0.778. Nilai aw formula kacang hijau yang ditambah 4% gliserol
adalah 0.815 tidak berbeda jauh dengan nilai prediksi yaitu sebesar 0.792.
Perbedaan antara nilai aw aktual dengan aw prediksi persamaan Grover
mungkin disebabkan oleh penghitungan persamaan Grover yang kurang tepat.
Pada penghitungan prediksi aw dengan persamaan Grover terdapat konstanta
Grover untuk nilai protein, lemak, gula, dan pati sedangkan pada penelitian
tidak dilakukan analisis total pati dan total gula pada formula. Penghitungan
total pati pada formula menggunakan selisih total karbohidrat (karbohidrat by
difference) dengan total sukrosa yang ditambahkan pada formula sedangkan
total gula dihitung berdasarkan jumlah sukrosa yang ditambahkan dalam
formulasi. Adanya perbedaan inilah yang menyebabkan perbedaan nilai aw
aktual dengan aw prediksi persamaan Grover.
Berdasarkan hasil pengukuran nilai aw aktual tersebut dapat dilihat
bahwa pada formula ubi jalar dan pisang dengan penambahan sorbitol
memiliki nilai yang lebih tinggi dibandingkan aw produk tanpa humektan pada
masing-masing formula. Nilai aw produk dengan penambahan sorbitol
seharusnya lebih rendah dibanding aw produk tanpa humektan karena adanya
humektan dapat menurunkan aw bahan. Oleh karena itu produk yang akan
diuji lebih lanjut adalah produk yang menggunakan gliserol sebagai humektan.
Produk yang ditambah gliserol menunjukkan penurunan aw yang cukup
signifikan dan nilainya memenuhi kisaran aw IMF. Produk masing-masing
formula kemudian dicetak dengan bentuk persegi dan mempunyai dimensi 5 x
5 x 2 cm dengan bobot 50 gram solid. Penampakan produk dapat dilihat pada
Gambar 15.
Gambar 15. Penampakan produk IMF formula kacang hijau, ubi jalar, dan
pisang (kiri-kanan)
F. UJI ORGANOLEPTIK
Uji sensori secara umum dibagi menjadi tiga, yaitu uji pembedaan
(discrimination test), uji deskriptif (descriptive test), dan uji afektif (affective
test) (Meilgaard, et al., 1999). Uji pembedaan digunakan untuk menentukan
perbedaan yang nyata diantara sampel. Uji deskriptif digunakan untuk
menentukan intensitas perbedaan diantara sampel sedangkan uji afektif
digunakan untuk mengukur sikap subjektif panelis tehadap suatu produk
berdasarkan alat sensorinya.
Uji organoleptik yang akan dilakukan terhadap produk pangan darurat
ini adalah uji rating atribut dan uji rating hedonik. Uji rating atribut termasuk
dalam multisample difference test : rating approach sedangkan uji rating
hedonik termasuk dalam uji afektif kuantitatif. Uji rating dapat menggunakan
skala pengukuran 5, 7, atau 9. Pengujian ini menggunakan skala 7. Pengujian
ini menggunakan 25 panelis tidak terlatih yang diambil dari lingkungan
kampus IPB Bogor. Data hasil pengujian organoleptik (Lampiran 4) diolah
menggunakan program SPSS 13 dengan uji Anova dan uji lanjut Duncan pada
taraf nyata 0.05. Uji lanjut Duncan dilakukan apabila hasil uji Anova
menunjukkan nilai signifikansi lebih kecil dari 0.05. Penyajian sampel uji
dapat dilihat pada Gambar 16.
Gambar 16. Penyajian sampel dalam uji organoleptik
1. Uji Rating Atribut
Uji rating atribut meliputi kemudahan ditelan dan aftertaste pahit.
Atribut kemudahan ditelan digunakan untuk melihat tingkat kemudahan
produk dapat ditelan atau dengan kata lain seberapa banyak air yang
dibutuhkan untuk menyertai konsumsi. Hal ini berdasarkan kriteria produk
pangan darurat yaitu tidak membutuhkan banyak air untuk menyertai
konsumsi. Pengukuran pada uji rating kemudahan ditelan menggunakan
skala 7 dengan angka 1 menunjukkan sangat sulit ditelan dan angka 7
sangat mudah ditelan.
Hasil yang diperoleh pada uji rating terhadap atribut kemudahan
ditelan menunjukkan bahwa ketiga formula berbeda nyata. Hal ini
ditunjukkan dari nilai signifikansi sebesar 0.000. Oleh karena ketiga
formula berbeda nyata maka dilakukan uji lanjut Duncan. Hasil uji
Duncan menunjukkan bahwa formula pisang dan kacang hijau berada pada
kolom subset yang sama sedangkan formula ubi jalar berada pada kolom
subset yang berbeda. Hal ini berarti tidak ada perbedaan yang nyata antara
formula pisang dan kacang hijau tetapi kedua formula ini berbeda nyata
dengan formula ubi jalar dalam hal kemudahan ditelan. Nilai kemudahan
ditelan untuk formula pisang dan formula kacang hijau adalah sebesar 4.08
dan 3.92. Nilai ini menyatakan panelis memberikan penilaian netral
terhadap kemudahan ditelan bagi kedua formula tersebut. Nilai
kemudahan ditelan formula ubi menunjukkan angka 4.96 yang berarti
formula ubi jalar agak mudah ditelan.
Gambar 17. Nilai kemudahan ditelan dari ketiga sampel
Atribut aftertaste pahit digunakan untuk melihat pengaruh
penggunaan gliserol. Angka 1 pada uji aftertaste pahit menunjukkan
sangat tidak pahit dan angka 7 sangat pahit. Pengujian terhadap aftertaste
pahit juga menunjukkan ketiga formula berbeda nyata. Nilai signifikansi
pengujian sebesar 0.000. Oleh karena itu dilakukan uji lanjut Duncan
untuk melihat perbedaan ketiga formula. Uji Duncan menunjukkan bahwa
formula ubi jalar mempunyai nilai aftertaste pahit 3.16 atau dapat
dikatakan agak tidak pahit. Tingkat aftertaste pahit formula ubi jalar
berbeda nyata dengan formula pisang dan kacang hijau yang mempunyai
nilai aftertaste pahit 4.16 atau mempunyai tingkat kepahitan netral. Hasil
pengujian terhadap atribut aftertaste pahit dapat dilihat pada Gambar 18.
Gambar 18. Nilai aftertaste pahit dari ketiga sampel
3,92b4,08b
4,96a
0
1
2
3
4
5
6
7
ubi jalar pisang kacang hijau
sampel
kem
udah
an d
itel
an
3,16a
4,16b 4,16b
0
1
2
3
4
5
6
7
ubi jalar pisang kacang hijau
sampel
ting
kat a
fter
tast
e pa
hit
2. Uji Rating Hedonik
Uji rating hedonik yang termasuk dalam uji afektif kuantitaf dapat
digunakan untuk menentukan preferensi atau kesukaan secara keseluruhan
terhadap produk. Uji rating hedonik ini menggunakan skala 7 dengan angka 1
bernilai sangat tidak suka dan angka 7 sangat suka.
Hasil uji rating hedonik menunjukkan secara nyata terdapat perbedaan
diantara ketiga formula. Uji lanjut Duncan menyatakan formula pisang dan
kacang hijau berada pada kolom subset yang sama sedangkan formula ubi
jalar berada pada subset yang lain. Hal ini berarti tidak ada perbedaan tingkat
kesukaan terhadap formula pisang dan kacang hijau tetapi kedua formula ini
berbeda nyata dengan formula ubi jalar. Panelis memberikan nilai kesukaan
3.44 untuk formula pisang dan 3.6 untuk formula kacang hijau atau dapat
dikatakan panelis agak tidak suka dengan kedua formula tersebut. Formula ubi
jalar mempunyai nilai kesukaan 5.32. Nilai ini menunjukkan panelis agak suka
terhadap formula ubi jalar. Hasil uji hedonik dapat dilihat pada Gambar 19.
Gambar 19. Hasil uji rating hedonik ketiga sampel.
G. KARAKTERISASI FORMULA PRODUK TERPILIH
Hasil pengujian organoleptik menyatakan bahwa produk yang paling
mudah ditelan, paling tidak terasa pahit, dan paling disukai diantara ketiga
formula tersebut adalah produk dengan formula ubi jalar. Oleh karena itu
produk formula ubi jalar merupakan produk yang akan dianalisis lebih lanjut.
3,6b3,44b
5,32a
0
1
2
3
4
5
6
7
ubi jalar pisang kacang hijau
sampel
tin
gkat
kes
uk
aan
Analisis meliputi perbandingan kurva isotermi sorpsi produk akhir dengan
formula awalnya, analisis proksimat produk akhir, dan analisis mikrobiologis.
Produk IMF biasanya dikemas dengan kertas berlapis lilin misalnya
dodol Garut dan kue wingko, atau dengan plastik misalnya dodol buah atau
jenang Kudus. Kemasan tersebut merupakan kemasan primer atau kemasan
yang langsung kontak dengan produk. Menurut Syarief et. al. (1989), produk
yang bersifat hidrofilik harus dilindungi terhadap uap air. Umumnya produk-
produk ini memiliki nilai aw atau ERH yang rendah. Oleh karena itu produk
semacam ini harus dikemas dengan kemasan yang mempunyai permeabilitas
uap air yang rendah. Produk pangan darurat ini akan dikemas dengan
aluminium foil. Pemilihan kemasan aluminium foil dikarenakan aluminium
foil mempunyai konstanta permeabilitas uap air yang sangat rendah. Selain itu
aluminium foil juga bersifat hermetis dan fleksibel sehingga memudahkan
pengemasan. Produk yang dikemas dengan aluminium foil dapat dilihat pada
Gambar 20.
Gambar 20. Produk pangan darurat terpilih dalam kemasan alufo
1. Komposisi Nutrisi
Analisis proksimat dilakukan pada produk yang telah ditambah
humektan (gliserol). Analisis proksimat ini digunakan untuk melihat
komposisi nutrisi aktual produk akhir yang merupakan produk terpilih.
Hasil analisis proksimat tersaji pada Tabel 18.
Tabel 18. Komposisi nutrisi produk pangan darurat terpilih (formula ubi jalar)
Komponen % BB % BK Kadar air Kadar abu Lemak Protein Karbohidrat
20.38 1.70 15.98 12.05 49.89
25.60 2.13 20.07 15.13 62.67
Berdasarkan hasil analisis proksimat pada Tabel 19 dapat dilihat
bahwa kandungan proteinnya belum memenuhi kisaran nilai yang
dianjurkan oleh IOM. Nilai protein produk hanya 15.13% bk atau setara
7.56 gram/bar produk sedangkan kandungan lemak dan karbohidatnya
memenuhi pesyaratan nutrisi pangan darurat. Kandungan lemak produk
adalah 20.07% bk atau setara dengan 10.03 gram/bar dan jumlah
karbohidrat pada produk adalah sebesar 62.67% bk atau setara 31.33
gram/bar. Nilai total kalori per bar sebesar 245.917 kkal.
Terjadinya perbedaan nilai protein aktual produk dengan
penghitungan diduga dikarenakan pada tahap formulasi menggunakan
acuan nilai nutrisi berdasarkan Daftar Komposisi Bahan Makanan dan
informasi nilai gizi yang tercantum pada kemasan susu fullcream yang
digunakan. Nilai-nilai tersebut mungkin berbeda dengan nilai aktual bahan
yang digunakan pada penelitian ini disebabkan varietas dan proses
produksi yang berbeda. Meskipun nilai proteinnya masih kurang dari
anjuran nutrisi minimal pangan darurat, produk pangan darurat formula
ubi ini mempunyai nilai kalori yang cukup tinggi dan memenuhi minimal
kalori yang dipersyaratkan dalam pangan darurat yaitu 233 kkal/bar.
2. Pengaruh Penambahan Humektan terhadap Kurva Isotermi Sorpsi
Penambahan humektan pada produk akhir berpengaruh pada kurva
isotermi sorpsi. Gambar 21 memperlihatkan adanya pergeseran kurva
isotermi sorpsi formula awal (formula tanpa humektan). Kurva isotermi
sorpsi produk akhir memiliki pola yang hampir sama tetapi berada di atas
kurva isotermi sorpsi formula tanpa humektan.
0
10
20
30
40
50
60
70
0,0 0,2 0,4 0,6 0,8 1,0aw
kad
ar a
ir (
%B
K)
percobaanform ubi tanpahumektan
GAB form ubitanpahumektan
percobaanform ubidenganhumektanGAB form ubidenganhumektan
Gambar 21. Kurva isotermi sorpsi formula tanpa humektan dan produk
akhir formula ubi jalar yang mengandung humektan
Tabel 19. Parameter Isotermi Sorpsi Menurut Persamaan GAB
Formula Ubi Tanpa Humektan
Formula Ubi dengan Humektan
k 1.0232 1.0095 C 14.2949 20.9096
Mo 2.3905 5.2640 MRD 2.85 3.71
Nilai kadar air monoloyer produk akhir yang mengandung humektan
adalah 5.2640 %bk. Nilai ini lebih besar dibandingkan nilai kadar air
monolayer formula tanpa humektan yaitu 2.3905 %bk sedangkan nilai
energi pengikatan air (C) pada produk akhir yang mengandung humektan
sebesar 20.9096 lebih tinggi dibanding formula tanpa humektan yang
memiliki energi pengikatan air sebesar 14.2949. Hal ini disebabkan pada
produk akhir yang mengandung humektan lebih banyak mengikat air. Pada
Gambar 21 juga dapat dilihat bahwa penggunaan humektan dapat
menurunkan aw tetapi kadar air produk masih dapat dipertahankan. Kurva
tersebut menunjukkan bahwa pada nilai kadar air yang sama, formula yang
ditambah humektan mempunyai nilai aw yang lebih rendah dibandingkan
formula tanpa humektan.
Penyerapan air lebih besar terjadi pada produk akhir dibandingkan
dengan produk tanpa humektan. Penelitian tentang isotermi sorpsi pindang
ikan tongkol yang dilakukan oleh Kadir (1982) juga memperlihatkan
fenomena yang sama. Nilai kadar air pada tingkat aw yang sama untuk
pindang ikan tongkol dengan konsentrasi garam 0% lebih kecil
dibandingkan dengan pindang ikan tongkol dengan konsentrasi garam 6%.
Jika dibuat kurva isotermi sorpsinya maka kurva isotermi sorpsi pindang
ikan tongkol dengan konsentrasi garam 6% berada di atas kurva isotermi
sorpsi pindang ikan tongkol dengan konsentrasi garam 0%. Garam
merupakan salah satu jenis humektan. Keberadaan humektan pada produk
akhir dapat meningkatkan pengikatan air. Hal ini sesuai dengan fungsi
humektan yaitu mengikat air. Menurut Taoukis et. al. (1999) humektan
merupakan senyawa yang bersifat higroskopis.
Humektan yang digunakan pada produk terpilih adalah gliserol.
Berdasarkan struktur kimianya, gliserol mempunyai tiga gugus hidroksil
(OH). Adanya gugus hidroksil ini menyebabkan gliserol mudah berikatan
dengan air. Ikatan ini adalah ikatan hidrogen. Ikatan hidrogen merupakan
interaksi elektrostatik yang dapat terjadi pada dua molekul air yaitu antara
muatan negatif sebagian pada atom oksigen dari satu molekul air dengan
muatan positif sebagian pada atom hidrogen dari molekul yang lain
(Lehninger, 1993). Atom hidrogen dari molekul humektan yang bermuatan
positif sebagian dapat membentuk ikatan hidrogen dengan atom oksigen
yang bermuatan negatif sebagian dari molekul air yang terkandung di
dalam produk. Oleh karena itu produk akhir yang mengandung humektan
gliserol memperlihatkan pengikatan air yang lebih tinggi dibandingkan
produk tanpa gliserol.
3. Analisis Total Mikroba dan Kapang-Khamir
Analisis kestabilan mikrobiologis dilakukan satu kali seminggu
selama empat minggu. Analisis kestabilan mikrobiologis ini meliputi
analisis pertumbuhan kapang-khamir dan total mikroba. Analisis kapang
khamir menggunakan media potato dextrose agar (PDA) yang kemudian
0
1
2
3
4
5
0 1 2 3 4 5
minggu
jum
lah
kolo
ni (l
og C
FU
/gra
m)
total mikroba kapang-khamir
diasamkan dengan penambahan asam tartarat 10 % sedangkan total
mikroba menggunakan media plate count agar (PCA). Pemupukan
dilakukan sampai pengenceran -5 dengan metode cawan tuang atau pour
plate.
Tabel 20. Hasil analisis mikrobiologis produk terpilih selama empat minggu
Minggu Jumlah Mikroba (koloni/gram)
Kapang-Khamir Total Mikroba 0 6.0 x 101 (< 1.0 x 102) 6.3 x 103 1 7.3 x 101 (< 1.0 x 102) 9.4 x 103 2 1.2 x 102 1.3 x 104 3 1.3 x 102 1.6 x 104 4 1.4 x 102 2.2 x 104
Gambar 22. Perkembangan total mikroba dan kapang-khamir selama
empat minggu
Hasil analisis mikrobiologis produk seperti yang terdapat pada Tabel
20 menunjukkan bahwa pertumbuhan total mikroba dan kapang-khamir
mengalami kanaikan yang tidak terlalu tinggi selama empat minggu. Nilai
total mikroba pada minggu ke-0 sebesar 6.3 x 103 koloni/gram atau 3.79
log CFU/gram dan pada minggu keempat produk mengandung 2.2 x 104
koloni/gram atau sebanyak 4.34 log CFU/gram. Nilai total mikroba
mengalami kenaikan sebesar 0.55 log CFU/g.
Analisis kapang-khamir menunjukkan bahwa pertumbuhan koloni
hanya terdapat pada cawan dengan pengenceran 10-1 sedangkan pada
cawan dengan pengenceran 10-2, 10-3, 10-4, dan 10-5 tidak terdapat
pertumbuhan koloni sampai minggu keempat. Jumlah kapang-khamir pada
minggu ke-0 sebesar 6.0 x 101 atau sebesar 1.78 log CFU/gram dan pada
minggu minggu ke-4 jumlah kapang-khamir adalah 1.4 x 102 atau 2.15
log CFU/gram. Kenaikan jumlah kapang-khamir selama empat minggu
sebesar 0.37 log CFU/gram. Pengamatan visual produk sampai minggu
keempat masih menunjukkan penampakan normal dan tidak terdapat
pertumbuhan mikroba. Menurut Seiler (1976) kapang merupakan masalah
mikrobial utama pada IMF modern.
Nilai mutu mikrobiologis produk mengacu pada bakpia pathuk
(isinya) dikarenakan adanya kemiripan tekstur dan bentuk produk akhir
dengan isi bakpia pathuk. Menurut SNI 01-4291-1996 disebutkan bahwa
bakpia pathuk merupakan makanan semi basah dengan angka lempeng
total (total plate count) yang menunjukkan total mikroba maksimal 104
dan jumlah kapang maksimal 103. Berdasarkan jumlah kapang-khamirnya,
produk pangan darurat berbahan baku tepung ubi jalar ini masih dapat
dikonsumsi dalam rentang waktu empat minggu setelah produksi, tetapi
jika mengacu pada nilai total mikrobanya, produk ini hanya dapat
dikonsumsi sampai satu minggu setelah produksi.
Sebagai pembanding lainnya, pangan basah misalnya bandeng asap
dengan nilai aw 0.9 mempunyai total mikroba setelah tiga hari
penyimpanan sebesar 8.1 x 106 koloni/gram dan mengalami penurunan
kesegaran dua hari kemudian dengan nilai total mikroba sebesar 9.0 x 107
koloni/gram. Dengan demikian bandeng asap selama dua hari
penyimpanan mengalami kenaikan jumlah mikroba sebesar 1.04 log CFU
(Susijahadi, 1983).
Aktifitas air merupakan faktor penting dalam pengendalian mikroba.
Rendahnya nilai aw IMF dapat menghambat pertumbuhan mikroba dan
reaksi kimia lain sehingga IMF bersifat lebih awet. Walaupun demikian
pengendalian mikroba yang tidak diinginkan tidak hanya tergantung pada
penurunan aw, melainkan dipengaruhi pula oleh pH, suhu, bahan pengawet
dan kondisi bersaing dengan mikroflora lainnya.
Salah satu keuntungan IMF adalah pertumbuhan bakteri tidak terjadi
pada aw dibawah 0.85. Beberapa jenis kapang dan khamir dapat tumbuh
tetapi khamir patogen tidak dapat tumbuh pada aw yang rendah (Tilbury,
1976). Beberapa jenis mikroorganisme yang potensial dapat tumbuh pada
IMF dapat dilihat pada Tabel 21.
Tabel 21. Nilai aktivitas air (aw) minimum mikroba yang sering terdapat pada pangan semi basah
aw Bakteri Khamir kapang 0.90 Lactobacillus a
Micrococcus Pediococcus Vibrioa
Hansanula Saccharomyces
-
0.88 - Candida Debaryomyces Hanseniaspora Torulopsis
Cladosporium
0.87 - Debaryomyces a - 0.86 Staphylococcus b - Paecilomyces 0.80 - Saccharomyces Aspergillus
Penicillium Emericella eremascus
0.75 Bakteri Halophilic - Aspergillus, a
wellemia 0.70 - - Eurotium
chrysosporium 0.62 - Saccharomyces Eutorium, a
Monascus Ket : a beberapa strain , b aerobik
Leistner dan Rödel (1976)
Hasil pengujian total mikroba menunjukkan nilai yang lebih tinggi
dibandingkan dengan nilai kapang-khamir. Hal ini dikarenakan pada
pegujian total mikroba semua mikroba baik bakteri, kapang, atau khamir
dapat tumbuh pada media tersebut. Berdasarkan Tabel 22 bakteri yang
dapat tumbuh pada kisaran aw IMF adalah bakteri halofilik dan
Staphylococcus. Kemungkinan pertumbuhan bakteri halofilik pada produk
pangan darurat ini sangat rendah karena produk ini memiliki rasa manis
dan tidak menggunakan garam NaCl di dalam ingridiennya sedangkan
kontaminasi Staphylococcus mungkin terjadi. Hal ini disebabkan salah
satu habitat Staphylococcus adalah kulit, kelenjar kulit, membran mukosa
dari hewan berdarah panas, termasuk manusia. Keberadaan
Staphylococcus pada produk IMF mengindikasikan dua hal yaitu 1).
Indikator ketidakhigienisan dalam proses pembuatan IMF dan 2). Adanya
enterotoksin Staphylococcus yang dapat meyebabkan keracunan makanan.
Staphylococcus dapat tumbuh optimal pada aw yang tinggi yaitu sekitar
0.995. Namun beberapa survei terhadap 14 strain Staphylococcus yang
dapat menyebabkan keracunan makanan baik dalam skala laboratorium
atau pada makanan menunjukkan Staphylococcus dapat tumbuh pada aw
0.86 (Pawsey dan Davies,1976).
Selain diduga akibat kontaminasi Staphylococcus dari tangan pekerja
pada saat produksi, bakteri yang terdapat pada produk mungkin
diakibatkan oleh spora bakteri yang berasal dari bahan bakunya, yaitu
tepung ubi jalar. Nilai kadar air tepung ubi jalar yang berada di atas kadar
air monolayernya mempengaruhi stabilitas tepung ubi jalar salah satunya
terhadap mikroorganisme, selain itu pembuatan tepung yang
memanfaatkan pengeringan alami panas matahari pada ruang terbuka juga
berpengaruh terhadap keberadaan spora bakteri pada tepung ubi jalar.
Kerusakan pangan lainnya yang potensial dan merupakan kerusakan
kimiawi utama yang terjadi pada produk IMF adalah reaksi pencoklatan
(Waletzko dan Labuza, 1976).
V. KESIMPULAN DAN SARAN
A. KESIMPULAN
Pengukuran isotermi sorpsi bahan baku (tepung ubi jalar, tepung pisang,
dan tepung kacang hijau) dan formula awal menghasilkan kurva yang
berbentuk sigmoid. Nilai-nilai persamaan GAB yaitu C, k, dan Mo untuk
tepung ubi jalar adalah 26.2674, 1.0853, dan 3.8129; tepung pisang 328.4014,
0.9349, dan 4.6531; dan tepung kacang hijau 24.1477, 0.8898, dan 5.0589.
Pola kurva isotermi sorpsi formula awal mengikuti pola kurva bahan
bakunya tetapi mengalami pergeseran ke bawah. Hal ini disebabkan adanya
minyak dalam formula yang menurunkan penyerapan air. Berdasarkan
isotermi sorpsi formula awalnya, jumlah air yang harus ditambahkan pada
formula ubi jalar pada aw 0.88 adalah 0.1848 gram/gram solid. Penambahan
air pada formula pisang dan kacang hijau dilakukan manual karena
penghitungan dengan kurva isotermi sorpsinya kurang tepat. Jumlah air yang
ditambahkan pada formula pisang adalah 0.2133 gram/gram solid sedangkan
pada formula kacang hijau sebesar 0.2166 gram/gram solid.
Perkiraan nilai aw produk dengan menggunakan persamaan Grover
menghasilkan nilai yang lebih mendekati nilai aw aktualnya dibandingkan
dengan menggunakan kurva isotermi sorpsi. Humektan yang akhirnya
digunakan pada produk adalah gliserol. Nilai aw aktual produk dengan
penambahan gliserol untuk formula ubi jalar, pisang, dan kacang hijau adalah
0.737, 0.804, dan 0.815.
Uji organoleptik dilakukan pada produk yang menggunakan gliserol
sebagai humektan. Hasil uji organoleptik menyatakan bahwa formula ubi jalar
memiliki nilai kemudahan ditelan, tingkat aftertaste pahit, dan tingkat
kesukaan yang lebih baik dibandingkan dengan formula pisang dan kacang
hijau.
Analisis kapang-khamir dan total mikroba dilakukan pada produk
pangan darurat terpilih dari uji organoleptik yaitu produk formula ubi jalar.
Hasil pengujian kapang-khamir selama empat minggu menunjukkan kenaikan
sebesar 0.37 log CFU sedangkan nilai total mikroba mengalami kenaikan
sebesar 0.55 log tetapi penampakan visual produk sampai minggu keempat
memperlihatkan kondisi produk masih normal dan belum terdapat
pertumbuhan mikroba. Berdasarkan acuan produk yaitu SNI 01-4291-1996
tentang bakpia pathuk, produk pangan darurat terpilih dengan bahan baku
tepung ubi jalar hanya dapat dikonsumsi sampai satu minggu setelah
diproduksi jika mengacu pada nilai Angka Lempeng Total (total mikroba)
produk yang masih dibawah batas maksimal.
B. SARAN
Nilai protein produk terpilih masih belum mencukupi standar nilai
protein yang dianjurkan dalam pangan darurat. Oleh karena itu perlu diadakan
analisis proksimat terhadap ingridien yang digunakan untuk melihat komposisi
nutrisi aktualnya atau dapat juga mengganti konsentratprotein kedelai dengan
isolat protein atau bahan lain yang tinggi kandungan proteinnya.
Pengujian organoleptik pada penelitian ini dilakukan pada skala
laboratorium dengan 25 panelis yang memiliki usia yang hampir sama. Oleh
karena itu perlu dilakukan uji organoleptik dengan lebih banyak panelis
dengan rentang usia yang lebih luas karena diharapkan produk pangan darurat
ini dapat dikonsumsi oleh semua golongan usia kecuali bayi.
Hasil uji mikrobiologi menyatakan bahwa produk pangan darurat ini
hanya dapat dikonsumsi sampai waktu satu minggu setelah produksi jika
mengacu pada jumlah total mikrobanya yang masih di bawah batas maksimal
yang dipersyaratkan oleh SNI 01-4291-1996 tentang bakpia pathuk. Oleh
karena itu untuk mereduksi jumlah mikroba awal dan menekan
pertumbuhannya hendaknya diupayakan kondisi produksi yang lebih saniter
dan dilakukan pemanggangan produk sehingga daya awet produk dapat
ditingkatkan.
DAFTAR PUSTAKA
Adawiyah D. R. 2006. Hubungan Sorpsi Air, Suhu Transisi Gelas, dan Mobilitas
Air Serta Pengaruhnya Terhadap Stabilitas Produk Pada Model Pangan. Disertasi. Fakultas Pasca Sarjana, IPB, Bogor
Anonim. 2008. Glycerol. www.wikipedia.org [26 Juni 2008] Anonim. 2008. Sorbitol. www.wikipedia.org [26 Juni 2008] AOAC. 1995. Official Methods of Analysis. Association of Official Analytical
Chemist, Washington DC. Astawan, M. 2005. Kacang Hijau, Antioksidan yang Membantu Kesuburan Pria.
Departement of Food Science and Technology, IPB, Bogor di dalam http://www.ipb.ac.id/~tpg/de/pubde.php [8 Juni 2008]
Badan Standarisasi Nasional. 1992. Cara Uji Makanan dan Minuman SNI 01-
2981-1992. Jakarta Badan Standarisasi Nasional. 1996. Bakpia Pathuk. SNI 01-4291-1996. Jakarta Badan Standarisasi Nasional. 2006. Tepung Terigu sebagai Bahan Makanan. SNI
01-2981-1992. Jakarta Bradbury, J. H dan W. D Holloway. 1988. Chemistry of Tropical Root Crops :
Significance for Nutrition and Agriculture in the Pasific. ACIAR. Canbera. Di dalam Sulistiyo, C. N. 2006. Pengembangan Brownies Kukus Tepung Ubi Jalar (Ipomoea Batatas L.) di PT Fits Mandiri Bogor. Skripsi. Fakultas Teknologi Pertanian, Institut Pertanian Bogor, Bogor.
Bell, L. N. dan T. P. Labuza. 2000. Moisture Sorption: Practical Aspect of Isoterm
Measurement and Use. American Association Cereal Chemist, minnesota, USA.
Calorie control. 2006. Reduce-Calorie Sweeteners : Sorbitol. Di dalam
http://www.caloriecontrol.org/index.html [ 8 Juni 2008] deMan, J. M. 1989. Kimia Makanan. Kosasih Padmawinata, penerjemah. Penerbit
ITB, Bandung Departemen Pertanian. 2007. Hasil Pencarian Berdasarkan Komoditi Tanaman
Pangan. www.database.deptan.go.id [15 Juli 2007] Drewnoski, A. 1997. Taste Preference and Food Intake. Annu Rev Nutr 17:237-
253. Di dalam Zoumas, B.L., L.E. Armstrong, J.R. Backstrand., W.L. Chenoweth., P. Chinachoti, B. P. Klein, H. W. Lane. K. S. Marsh., M.
Tolvanen. High-Energy, Nutrien-Dense Emergency Relief Food Product. Food and Nutrition Board : Intitute of Medicine. National Academy Press, Washington DC.
Eskin, N. A. M. dan D. S. Robinson. 2001. Food Shelf Life Stability Chemical,
Biochemical dan Microbiological Changes. CRC Press, NY. Di dalam Histifarina, D. 2002. Kajian Pembuatan Mashed Potato Instan dan Stabilitasnya Selama Penyimpanan. Tesis. Fakultas Pasca Sarjana, IPB, Bogor
Fardiaz, S. 1987. Penuntun Praktikum Mikrobiologi Pangan. Lembaga
Sumberdaya Informasi IPB, Bogor Fardiaz, S. 1992. Mikrobiologi Pangan 1. PAU Pangan dan Gizi dan Gramedia
Pustaka Utama, Jakarta Fennema, O. R. 1996. Food Chemistry. 3rd Ed. Marcel Dekker, Inc., New York Guilbert, S. 1984. Additifs et Agents d.presseurs de lÕaw. Pages 199-227. Di
dalam : Additifs et Auxiliaires de Fabrication dans les Industries Agro-alimentaires. J.L. Multon, ed. Tec et Doc Lavoisier, Aprix, Paris. Di dalam Taoukis, P.S., W. M. Breene, T. P. Labuza. Intemediate Moisture Food. Paper No. 14,969 of The Scientific Journal Series of the Minnesota Agricultural Experiment Station. Departement of Food Science and Nutrition, Minnesota
Hardiman. 1982. Tepung Pisang, Ciri, Jenis, Cara Pembuatan, Resep Penggunaan.
Gadjah Mada University Press, Yogyakarta. Hidayah, N. 2002. Kajian Teknologi Pembuatan Tepung Kacang Hijau Instan dan
Analisa Gizinya. Skripsi. Fakultas Teknologi Pertanian, Institut Pertanian Bogor, Bogor.
Histifarina, D. 2002. Kajian Pembuatan Mashed Potato Instan dan Stabilitasnya
Selama Penyimpanan. Tesis. Fakultas Pasca Sarjana, IPB, Bogor Hough, C.A.M, K.J.Parker, A.J.Viltous.1979. Development in Sweeteners-1.
Applied Science Publ. LTD, London Igoe, R. S. dan Y. H. Hui. 1994. Dictionary of Food Ingredients. Chapman and
Hall, New York IOM. 1995. Estimated Mean per Capita Energy Requirements for Planning
Emergency Food Aid Rations. National Academy Press, Washington, DC.
John, P. dan J. Marchal. 1995. Ripening and Biochemistry of the Fruit. Di dalam
Gowen, S. (ed.). Bananas and Plantains. Chapman and Hall. NY
Kadir, S. 1982. Isothermal Sorpsi Air dan Pengaruh Garam Dapur terhadap Kadar
Air dan Aktivitas Air (aw) Pindang Iikan Tongkol (Euthynnus sp.). Skripsi. Fakultas Teknologi Pertanian, Institut Pertanian Bogor, Bogor.
Karel, M. 1976. Technology and Application of New Intermediate Moisture
Foods. Di dalam R. Davies, G.G. Birch, and K.J. Parker. (eds.) Intermediate Moisture Foods. Applied Science Publisher LTD., London.
Kay, D. E. 1979. Food Legume. Tropical Product Institute, London. Kekitu, A. O. 1973. Chemical Composition of Unripe (Green) and Ripe Plantain
(Musa paradisiaca). J. Sci. Food Agric 24 : 703-707. Di dalam Chandler S. 1995. The Nutitional Value of Bananas. Di dalam Gowen, S. (ed.) Bananas and Plantains. Chapman and Hall. NY
Leistner, L. dan W. Rödel. 1976. The Stability of IMF with Respect to
Microorganisms. Di dalam R. Davies, G.G. Birch, and K.J. Parker. (eds.) Intermediate Moisture Foods. Applied Science Publisher LTD., London.
Lehninger, A. L. 1993. Dasar-Dasar Biokimia. Maggy Thenawidjaja, penerjemah.
Erlangga, Jakarta Lindsay, R. C. 1985. Food Additivies. Di dalam Fennema O.R. 1996. Food
Chemistry. 3rd Ed. Marcel Dekker, Inc., New York Marcel Dekker. Inc., New York
Liovonen S. M dan Y. H. Ross. 2002. Water Sorption of Food Model for Studies
of Glass Transition and Reaction Kinetic. Vol 65, Nr 5. Marzuki, R dan Soeprapto. 2005. Bertanam Kacang Hijau. Penebar Swadaya,
Jakarta Meilgaard, M., G.. V. Civille, dan B.T. Carr. 1999. Sensory Evaluation
Techniques. 3rd Ed. CRC Press, USA. Muchtadi, T. R. dan Sugiyono. 1992. Ilmu Pengetahuan Bahan Pangan. PAU
Pangan dan Gizi IPB, Bogor Munadjim. 1983. Teknologi Pengolahan Pisang. Gramedia, Jakarta Pawsey, R. dan R. Davies. 1976. The Safety of Intermediate Moisture Foods with
Respect to Staphylococcus aureus. Di dalam Davies R, G. G Birch, dan K. J. Parker (eds). Intermediate Moisture Food. Applied Science Publisher LTD, London
Prawiranegara. 1989. Daftar Komposisi Bahan Makanan. Direktorat Jenderal
Departemen Kesehatan RI. Penerbit Bhratara, Jakarta
Robson J. N. 1976. Some Introductory Thoughts on Intermediate Moisture Foods.
Di dalam Davies R, G. G Birch, dan K. J. Parker (eds). Intermediate Moisture Food. Applied Science Publisher LTD, London
Seiler. D. A. L. The Stability of IMF with Respect to Microorganisms. 1976. Di
dalam Davies R, G. G Birch, dan K. J. Parker (eds). Intermediate Moisture Food. Applied Science Publisher LTD, London
Sloan, A. E., P. Waletzko, T. P. Labuza. 1976. Effect of Order-of-Mixing on aw-
Lowering Ability of Food Humectants. J. Food Sci. 41:536-540. Soekarto S. T. 1979. Air Ikatan, Penetapan Kuantitatif dan Penerapannya pada
Stabilitas Pangan dan Disain Pangan Semi Basah. Departemen Teknologi Hasil Pertanian Fatemeta IPB, Bogor
Susijahadi. 1983. Pertumbuhan Mikroba pada Bandeng (Chanos chanos) Asap
Selama Penyimpanan Suhu Kamar dalam Berbagai Tingkat Kelembaban. Skripsi. Fakultas Teknologi Pertanian, Institut Pertanian Bogor, Bogor.
Syarif, R., S. Santausa, Isyana, St. 1989 Buku dan Monograf Teknologi
Pengemasan Pangan. Lab Rekayasa Proses Pangan PAU Pangan dan Gizi IPB, Bogor
Syarief, R dan H. Halid. 1993. Teknologi Penyimpanan Pangan. Arcan, Jakarta Taoukis, P.S., W. M. Breene, T. P. Labuza. Intemediate Moisture Food. Paper No.
14,969 of The Scientific Journal Series of the Minnesota Agricultural Experiment Station. Departement of Food Science and Nutrition, Minnesota
Tilbury, R. H. 1976. The Microbial Stability of Intermediate Moisture Foods with
Respect to Yeasts. Di dalam : R. Davies, G.G. Birch, and K.J. Parker, (eds.). Intermediate Moisture Foods. Applied Science Publisher LTD, London.
Troller, J. A. 1989. Water Activity and Food Quality. Di dalam T. M.
Hardman.(ed.). Water and Food Quality. Elsevier Applied Science, New York.
Tsou, S. C. S, KK. Kan, SJ. Wang. 1989. Biochemical Studies on Sweet Potato
for Better Utilization at AVRDC . Di dalam Mackay, K.T., M. K. Palomar, R.T. Sanico (eds.). Sweet Potato Research and Decelopment for Small Farmers. SEAMEO-SEARCA, Laguna
USFDA. 2007. FDA Advises Manufacturers to Test Glycerin for Possible Contamination, Glycerin Contaminated with Diethylene Glycol (DEG) Remains a Potential
Health Hazard to Consumers. www.fda.gov [ 14 Agustus 2008] van den Berg, C. 1985. Description of Water Activity of Food for engineering
Purposes by means at the GAB Model of Sorption. Di dalam Bell, L. N. dan Labuza, T. P. 2000. Moisture Sorption Practical Aspect of Isotherm Measurement and Use.. Am. Assoc. of Cereal Chem. St. Paul, MN
von Loesecke, H. M. 1950. Bananas. Interscience Publisher Inc. New York. Waletzko, P. Dan T. P. Labuza. 1976. Accelerate Shelf-life Testing of an
Intermediate Moisture Food in Air and in an Oxygen-Free Athmoshphere. J. Food Sci. 4 : 1338-1444
Walpole, R. E. 1992. Pengantar Statistika. Bambang Sumantri, penerjemah.
Gramedia Pustaka Utama, Jakarta. Winarno, F.G. 1992. Kimia Pangan dan Gizi. PT. Gramedia Pustaka Utama,
Jakarta. Zoumas, B.L., L.E. Armstrong, J.R. Backstrand., W.L. Chenoweth., P.
Chinachoti, B. P. Klein, H. W. Lane. K. S. Marsh., M. Tolvanen. High-Energy, Nutrien-Dense Emergency Relief Food Product. Food and Nutrition Board : Intitute of Medicine. National Academy Press, Washington DC.
Lampiran 1. Kadar air kesetimbangan tepung dan formula ubi jalar, kacang hijau, dan pisang
RH (%)
Kadar Air Kesetimbangan (%bk) Ubi Jalar Kacang Hijau Pisang
Tepung Formula Tepung Formula Tepung Formula 7.58 11.2 22.2 32.5 43.7 56.8 68.2 73.0 83.8 91.2
3.1464 3.2353 4.5943 5.1491 7.0862 10.3983 13.7923 -------
berkapang berkapang
1.3929 ------ ------
3.2634 3.8352 5.5092 7.4100 9.5156
berkapang berkapang
3.3305 4.2225 5.4247 6.7235 7.0681 10.1937 13.2121 13.8990 19.0898
berkapang
1.0966 1.4707 2.5481 2.9515 3.8705 5.4321 7.1996 7.8212
berkapang berkapang
4.9711 5.4961 5.6464 6.0378 8.0302 10.1361 13.5282 14.5647 20.3352
berkapang
1.1867 1.9186 3.1546 3.5891 4.1435 5.0339 6.8942 7.8508
berkapang berkapang
Ket . ------- = data tidak digunakan
Lampiran 2. Penghitungan dengan Persamaan Gover pada Formula Ubi Jalar Komponen Komposisi Komposisi Komposisi BB mi Ei Ei/mi (BK) (BB) (basis 100) air 23,8254 19,2411 19,6140 - - protein 17,3128 13,9816 14,2526 1,3762 1,3 0,9446 lemak 22,5324 18,1969 18,5496 1,0574 -1,0 -0,9457 KH 57,8005 32,9535 33,5922 0,5839 0,8 1,3701 gula 13,7255 13,9915 1,4019 1,0 0,7133 total 121,4711 98,0986 100 Eo 2,0824 Eo2 4,3363 aw 0,851 Ei sorbitol = 2.0 dan Gliserol 4.0 Humektan Jumlah mi Ei/mi Eo kontrol + Eo2 aw Eo humektan formula Sorbitol 5 3,9228 0,5098 2,5922 6,7196 0,811 10 1,9614 1,0197 3,1021 9,6228 0,773 Gliserol 2 9,8070 0,4079 2,4903 6,2014 0,819 4 4,9035 0,8157 2,8981 8,3992 0,788 6 3,2690 1,2236 3,3060 10,9297 0,759 8 2,4518 1,6315 3,7139 13,7929 0,731
Lampiran 3. Penghitungan dengan Persamaan Gover pada Formula Pisang Komponen Komposisi Komposisi Komposisi BB mi Ei Ei/mi (BK) (BB) (basis 100) air 27,5376 21,7091 22,0533 - - protein 15,0058 11,8297 12,0173 1,8351 1,3 0,7084 lemak 19,8344 15,6363 15,8842 1,3884 -1,0 -0,7203 KH 62,4907 33,8002 34,3361 0,6423 0,8 1,2456 gula 15,4639 15,7091 1,4039 1,0 0,7123 total 124,8685 98,4392 100 Eo 1,9460 Eo2 3,7870 aw 0,862 Ei sorbitol = 2.0 dan Gliserol 4.0 Humektan Jumlah mi Ei/mi Eo kontrol + Eo2 aw Eo humektan formula Sorbitol 5 4,4107 0,4534 2,3995 5,7575 0,826 10 2,2053 0,9069 2,8529 8,1391 0,791 Gliserol 2 11,0266 0,3628 2,3088 5,3305 0,833 4 5,5133 0,7255 2,6715 7,1371 0,805 6 3,6755 1,0883 3,0343 9,2070 0,778 8 2,7567 1,4510 3,3971 11,5400 0,752
Lampiran 4. Penghitungan dengan Persamaan Gover pada Formula Kacang Hijau
Komponen Komposisi Komposisi Komposisi BB mi Ei Ei/mi (BK) (BB) (basis 100) air 26,8483 21,1657 21,4521 - - protein 16,0837 12,6795 12,8511 1,6693 1,3 0,7788 lemak 19,3236 15,2336 15,4398 1,3894 -1,0 -0,7197 KH 62,8991 31,9390 32,3712 0,6627 0,8 1,2072 gula 17,6471 17,8859 1,1994 1,0 0,8338 total 125,1547 98,6649 100 Eo 2,1000 Eo2 4,4100 aw 0,850 Ei sorbitol = 2.0 dan Gliserol 4.0 Humektan Jumlah mi Ei/mi Eo kontrol + Eo2 aw Eo humektan formula Sorbitol 5 4,2904 0,4662 2,5662 6,5852 0,813 10 2,1452 0,9323 3,0323 9,1949 0,778 Gliserol 2 10,7260 0,3729 2,4729 6,1154 0,820 4 5,3630 0,7458 2,8459 8,0989 0,792 6 3,5753 1,1188 3,2188 10,3605 0,765 8 2,6815 1,4917 3,5917 12,9003 0,739 10 2,1452 1,8646 3,9646 15,7182 0,714
Lampiran 5. Formulir Kuesioner Uji Organoleptik
UJI RATING KEMUDAHAN DITELAN
Sampel : intermediate moisture food
Nama / HP : …………………………………………….. Tanggal : ……………
Instruksi :
1. Cicipilah sample satu per satu dari kiri ke kanan 2. Berikanlah penilaian Anda terhadap tingkat kemudahan ditelan dengan
memberikan tanda � pada kotak di bawah kode sampel 3. Netralkan indera pengecap Anda dengan air putih setiap selesai mencicipi sampel 4. Jangan membandingkan antar sampel
Respon Kode Sampel
366 145 810 Sangat mudah Mudah Agak mudah Netral Agak sulit Sulit Sangat sulit
UJI RATING AFTERTASTE PAHIT
Sampel : intermediate moisture food
Nama / HP : …………………………………………….. Tanggal : ……………
Instruksi :
1. Cicipilah sample satu per satu dari kiri ke kanan 2. Berikanlah penilaian Anda terhadap tingkat aftertaste pahit yang disebabkan
oleh produk (setelah dikunyah) dengan memberikan tanda � pada kotak di bawah kode sampel
3. Netralkan indera pengecap Anda dengan air putih setiap selesai mencicipi sampel 4. Jangan membandingkan antar sampel
Respon Kode Sampel
366 145 810 Sangat pahit Pahit Agak pahit Netral Agak tidak pahit Tidak pahit Sangat tidak pahit
KOMENTAR (wajib diisi)
- terima kasih -
UJI HEDONIK
Sampel : intermediate moisture food
Nama / HP : …………………………………………….. Tanggal : ……………
Instruksi :
1. Cicipilah sample satu per satu dari kiri ke kanan 2. Berikanlah penilaian Anda terhadap tingkat kesukaan keseluruhan atribut
sampel (over all) dengan memberikan tanda � pada kotak di bawah kode sampel 3. Netralkan indera pengecap Anda dengan air putih setiap selesai mencicipi sampel 4. Jangan membandingkan antar sampel
Respon Kode Sampel
366 145 810 Sangat suka Suka Agak suka Netral Agak tidak suka Tidak suka Sangat tidak suka
Lampiran 6. Data Rekapitulasi Hasil Uji Organoleptik
Panelis 366 (ubi) 145 (pisang) 810 (kacang ijo)
ditelan pahit suka ditelan pahit suka ditelan pahit suka 1 6 2 5 4 5 3 6 2 2 2 7 5 6 6 4 6 6 5 4 3 6 2 6 3 5 3 5 5 5 4 3 1 7 5 5 1 1 5 5 5 6 2 6 5 2 1 3 2 4 6 5 2 7 6 5 5 4 5 2 7 3 5 3 2 5 5 3 4 5 8 6 2 6 5 5 4 5 6 2 9 4 4 4 3 5 3 6 3 6 10 6 4 6 6 2 5 5 4 5 11 5 5 6 3 4 3 2 3 3 12 6 1 7 1 4 5 2 5 3 13 5 4 5 6 6 1 3 6 1 14 3 5 4 4 6 3 5 4 6 15 3 2 4 3 5 3 2 4 3 16 6 2 7 5 2 5 3 6 2 17 6 4 6 4 3 5 6 4 4 18 6 5 4 2 6 2 3 5 1 19 5 1 6 3 4 4 4 6 3 20 3 5 5 5 5 3 5 4 3 21 3 2 4 5 2 3 7 5 6 22 5 4 6 4 5 4 3 5 5 23 3 4 4 5 3 4 3 2 5 24 6 3 3 4 3 3 2 3 1 25 4 3 6 3 3 2 4 4 4
Lampiran 7. Hasil Uji Rating Kemudahan Ditelan Tests of Between-Subjects Effects Dependent Variable: skor
Source Type III Sum of Squares df Mean Square F Sig.
Model 1490,347(a) 27 55,198 28,908 ,000 panelis 74,987 24 3,124 1,636 ,073 sampel 15,680 2 7,840 4,106 ,023 Error 91,653 48 1,909 Total 1582,000 75
a R Squared = ,942 (Adjusted R Squared = ,909)
Post Hoc Tests sampel Homogeneous Subsets skor Duncan
sampel N
Subset
1 2 3 25 3,920 2 25 4,080 1 25 4,960 Sig. ,684 1,000
Means for groups in homogeneous subsets are displayed. Based on Type III Sum of Squares The error term is Mean Square(Error) = 1,909. a Uses Harmonic Mean Sample Size = 25,000. b Alpha = ,05.
Lampiran 8. Hasil Uji Rating Aftertaste Pahit Tests of Between-Subjects Effects Dependent Variable: skor
Source Type III Sum of Squares df Mean Square F Sig.
Model 1165,667(a) 27 43,173 25,479 ,000 panelis 50,747 24 2,114 1,248 ,252 sampel 16,667 2 8,333 4,918 ,011 Error 81,333 48 1,694 Total 1247,000 75
a R Squared = ,935 (Adjusted R Squared = ,898) Post Hoc Tests sampel Homogeneous Subsets skor Duncan
sampel N
Subset
1 2 1 25 3,160 3 25 4,160 2 25 4,160 Sig. 1,000 1,000
Means for groups in homogeneous subsets are displayed. Based on Type III Sum of Squares The error term is Mean Square(Error) = 1,694. a Uses Harmonic Mean Sample Size = 25,000. b Alpha = ,05.
Lampiran 9. Hasil Uji Rating Hedonik Tests of Between-Subjects Effects Dependent Variable: skor
Source Type III Sum of Squares df Mean Square F Sig.
Model 1380,653(a) 27 51,135 26,579 ,000 panelis 53,253 24 2,219 1,153 ,329 sampel 54,320 2 27,160 14,117 ,000 Error 92,347 48 1,924 Total 1473,000 75
a R Squared = ,937 (Adjusted R Squared = ,902) Post Hoc Tests sampel Homogeneous Subsets skor Duncan
sampel N
Subset
1 2 2 25 3,440 3 25 3,600 1 25 5,320 Sig. ,685 1,000
Means for groups in homogeneous subsets are displayed. Based on Type III Sum of Squares The error term is Mean Square(Error) = 1,924. a Uses Harmonic Mean Sample Size = 25,000. b Alpha = ,05.
Lampiran 10. Syarat mutu bakpia pathuk (SNI 01-4291-1996) No. Kriteria Uji Satuan Persyaratan
1. 1.1 1.2 1.3 2. 3. 4. 5. 6. 6.1 6.1.1 6.1.2 6.2 7. 7.1 7.2 7.3 7.4 8. 9. 9.1 9.2 9.3
Keadaan Warna Bau Rasa Air Jumlah gula dihitung sebagai sakarosa Lemak Protein Bahan tambahan makanan Pemanis buatan Sakarin Siklamat Pengawet Cemaran logam Timbal (Pb) Tembaga (Cu) Seng (Zn) Raksa (Hg) Cemaran arsen (As) Cemaran mikroba Angka lempeng total E. coli Kapang
- - -
% b/b
% b/b % b/b % b/b % b/b
mg/kg mg/kg mg/kg mg/kg mg/kg
koloni/g APM/g koloni/g
Normal Normal Normal Maks. 30 Min. 25 Maks. 10 Min. 8 Tidak boleh ada Tidak boleh ada Sesuai SNI 01-0222-1995 Maks. 1.0 Maks. 10.0 Maks. 40.0 Maks. 0.05 Maks. 0.5 Maks. 104 negatif Maks. 103