--hasrianti-1901-1-13-hasri-0

Embed Size (px)

Citation preview

  • 7/24/2019 --hasrianti-1901-1-13-hasri-0

    1/161

    ARSITEKTUR VILLA YULIANA

    DI WATANSOPPENG KABUPATEN SOPPENG

    SKRIPSI

    Diajukan untuk memenuhi salah satu syarat ujian

    l h l S j S t

  • 7/24/2019 --hasrianti-1901-1-13-hasri-0

    2/161

    guna memperoleh gelar Sarjana Sastra

  • 7/24/2019 --hasrianti-1901-1-13-hasri-0

    3/161

  • 7/24/2019 --hasrianti-1901-1-13-hasri-0

    4/161

  • 7/24/2019 --hasrianti-1901-1-13-hasri-0

    5/161

  • 7/24/2019 --hasrianti-1901-1-13-hasri-0

    6/161

  • 7/24/2019 --hasrianti-1901-1-13-hasri-0

    7/161

    viii

    Penulis juga mengucapkan terimakasih sebesar-besarnya kepada Kanda

    Supriadi S.S.,M.A selaku Ketua Jurusan Arkeologi Fakultas Sastra Universitas

    Hasanuddin, yang selalu menghibur penulis dengan canda guraunya. Kanda Yadi

    Mulyadi S.S., M.A selaku sekertaris jurusan Arkeologi Fakultas Sastra Universitas

    Hasanuddin sekaligus penguji II penulis, terimakasih atas segala bantuan, diskusi,

    kritikan, arahan, nasehat-nasehat serta peminjaman buku dalam proses pembuatan

    skripsi ini. Penulis akan selalu belajar untuk siap menghadapi segala macam situasi,

    baik maupun buruk.

    BapakDr. Akin Duli, M.Aselaku pembimbing I yang juga pernah menjadi

    Penasehat Akademik penulis, terima kasih atas kesabaran dan kesediaan meluangkan

    waktu membimbing penulis. Bapak Drs. Budianto Hakim selaku pembimbing II

  • 7/24/2019 --hasrianti-1901-1-13-hasri-0

    8/161

    ix

    pinjaman buku-buku, dan traktiran-traktirannya. Penulis benar-benar telah belajar,

    bahwa setiap masalah harus dipahami dengan baik sebelum bereaksi. Bapak Drs.

    Iwan Sumantri, M.A, terimakasih atas semua ilmu dan nasehat yang diberikan.

    Hidup memang layak dinikmati, karena kita tak pernah tahu apakah besok masih ada

    kehidupan atau tidak. KandaMuhammad Nur, S.S, M.A, terimakasih atas semua

    ilmu yang telah diberikan kepada penulis. Kanda Asmunandar, S.S, M.A,

    terimakasih atas semua ilmu, diskusi, kritikan, dan bantuan-bantuan yang diberikan

    kepada penulis.

    Terimakasih yang begitu besar penulis haturkan kepada Ibu Dra. Khadijah

    Thahir Muda, M.Si,atas ilmu, motivasi, dan nasehat yang diberikan. Hidup adalah

    sebuah proses, kuncinya adalah keikhlasan. IbuDra. Erni Erawati Lewa, M.Si, atas

  • 7/24/2019 --hasrianti-1901-1-13-hasri-0

    9/161

    x

    Tak lupa pula penulis haturkan terimakasih kepada segenap jajaran pegawai

    Balai Pelestarian Cagar Budaya (BPCB) Makassar atas segala bantuan yang

    diberikan, baik moril maupun materil selama pelaksanaan KKN dan penelitian

    penulis. Demikian halnya penulis sembahkan kepada segenap jajaran pegawai Balai

    Arkeologi (Balar) Makassar, terkhusus kepada IbuDra. Nani Somba dan IbuDra.

    Bernadeta Apriastuti atas nasehat-nasehat dan bantuan materi yang diberikan.

    Penulis tidak mungkin dapat menyelesaikan skripsi dan kuliah tanpa bantuan ibunda

    sekalian. Tentu saja, masalah akan selalu ada selama manusia masih bernafas.

    Terima kasih tak terhingga penulis haturkan kepada kanda Didot

    (Muhammad Ridha, S.S) atas diskusi dan segala bantuan yang diberikan selama

    penulis melakukan penelitian di Villa Yuliana. Juga kepada kanda Ima (Khusnul

    Kh ti h S S) t l h iji k li ti l di h d

  • 7/24/2019 --hasrianti-1901-1-13-hasri-0

    10/161

    xi

    kak Febi, kak Hasli, kak Chalid, kak Fahri, kak Ari, kak Dodo, kak Etha, kak

    Mina, dan semuanya yang tidak dapat penulis sebutkan satu persatu karena

    keterbatasan ruang untuk semua bantuan yang diberikan, buku yang dipinjamkan,

    motivasi, diskusi, kapurung, sup Austronesia, traktiran, dan momen-momen

    menyenangkan bersama kakanda sekalian. Ucapan yang khusus penulis haturkan

    kepada kanda Yohanes Kasmin (Gio) atas kesediannya membantu penelitian

    penulis di Villa Yuliana sekaligus membuatkan gambar dan peta penulis.

    Begitu banyak cerita terangkai dalam perjalanan kita menempuh perkuliahan

    saudara-saudariku Arca 07. Penulis mengucapkan terimakasih dari hati yang

    terdalam atas semua kebersamaan, traktiran, segala macam bentuk pinjaman,

    motivasi, kesediaan untuk mendengarkan keluhan-keluhan penulis, dan terkhusus

  • 7/24/2019 --hasrianti-1901-1-13-hasri-0

    11/161

    xii

    Kepada teman-teman di Fakultas Sastra Universitas Hasanuddin, Soren,

    Amin,Tian,Ipul,Noe,Fadlan,Ida ,Kimi,Eni,Ai,Lala,Nunu,Koo,Andi,Uci,

    Callu, kak efi, kak tuhri, kak ammar, kak heri, kak fitrah, kak wahyu, kak

    bayu, dan semua yang tidak dapat penulis sebutkan satu persatu, terimakasih atas

    semua bantuan dan motivasi yang diberikan. Ucapan yang sama penulis sampaikan

    kepada teman-teman di Caritas dan UKMM. Penulis mengucapkan terimakasih yang

    tak terhingga kepada sahabat-sahabatku di Solid04, Reni Abu, kak Asia, atas

    semua kegilaan, motivasi, dan segala bantuan yang diberikan kepada penulis.

    Akhirnya, karya tulis ilmiahku yang sangat sederhana lagi kecil ini

    kupersembahkan kepada kedua orangtuaku, Abd. Razak. S dan Kanang yang tak

    henti-hentinya mendoakan dan menyemangatiku untuk menyelesaikan kuliah. I love

  • 7/24/2019 --hasrianti-1901-1-13-hasri-0

    12/161

  • 7/24/2019 --hasrianti-1901-1-13-hasri-0

    13/161

  • 7/24/2019 --hasrianti-1901-1-13-hasri-0

    14/161

  • 7/24/2019 --hasrianti-1901-1-13-hasri-0

    15/161

    xvi

    DAFTAR GAMBAR

    Gambar Hlm.1. Denah bangunan Villa Yuliana dan bangunan tambahannya 54

    2. Denah ruangan lantai I bangunan Villa Yuliana 55

    3. Denah ruangan lantai II bangunan Villa Yuliana 564. Sketsa tiang dengan pelengkung pada teras depan lantai I

    bangunan Villa Yuliana 59

    5. Sketsa atap bangunan Villa Yuliana tampak atas 81

    6. Tata letak Villa Yuliana dan Istana Datu Soppeng dalam petatopografi Watansoppeng 86

    7. Tipologi denah bangunan bergayaIndische Empire 90

    8. Perbandingan tipologibargeboardpada atap rumah-rumah bergaya

    Victorian styledengan bargeboard pada atap Villa Yuliana 969. Ragam bentuk pelengkung pada tudung danbalustradeteras depan

    lantai II 99

    10. Tampilan wajah depan Villa Yuliana dan Rumah Bugis 100

    11. Denah yang menunjukkan keletakan pintu dan jendela pada VillaYuliana 110

    12. Gambar detail pintu-pintu Villa Yuliana 111

    13. Gambar detail tipe-tipe jendela pada Villa Yuliana 113

  • 7/24/2019 --hasrianti-1901-1-13-hasri-0

    16/161

  • 7/24/2019 --hasrianti-1901-1-13-hasri-0

    17/161

    xviii

    DAFTAR PETA

    Peta

    1. Peta administratif Provinsi Sulawesi Selatan Lamp.

    2. Peta administrative Kabupaten Soppeng Lamp.

    3. Peta situasi Situs Villa Yuliana Lamp.

  • 7/24/2019 --hasrianti-1901-1-13-hasri-0

    18/161

  • 7/24/2019 --hasrianti-1901-1-13-hasri-0

    19/161

    XX

    DAFTAR ISTILAH

    Arkade(Ars)

    Arch(Ars/Ing.)

    Balustrade(Ars/Ing.)

    Bargeboard (Ing.)

    Beton

    Bordes

    Bosara (Bugis)

    Deltils (Ing.)

    Duk/niet

    lorong pejalan kaki yang berata dengan deretan di

    kedua sisinya biasanya berbentuk lengkung;

    disebut pula pelengkung

    disebut juga pelengkung, konstruksi kurva yangmembentang di atas sebuah bukaan, biasanya terdapat

    balok berbentuk tirus yang disebutvoussoirs

    seluruh elemen birai tangga, dapat juga memanjang di

    sepanjang balkon, termasuk di dalamnya susur birai

    dan baluster.

    papan dekorasi terletak di ujung atap pelana

    campuran semen, kerikil, dan pasir yang diadukdengan air untuk tiang rumah, pilar, dinding, dsb.

    tempat perbenhentian pada tangga yang panjang

    konsol penyangga atap tritisan

    bagian kusen dipasang pada tiang (style) di bagian

    bawah, khusus untuk kusen pintu, berfungsi untuk

    menahan gerakan tiang ke segala arah dan melindungi

  • 7/24/2019 --hasrianti-1901-1-13-hasri-0

    20/161

    xxi

    ABSTRACT

    HASRIANTI, 2013, The Architectural Villa Juliana in Watansoppeng of

    Soppeng Regency, led by Dr. Akin Duli, M.A and Drs. Budianto judge.This study aims to determine the form of architecture, acculturation of

    Bugis and Dutch colonial architecture, as well as the meaning behind the layoutand use of the Bugis architecture of Villa Yuliana. Research methodes are

    qualitative-inductive by used a shape analysis, typology, and semiotics, with the

    data synthesis process. The results showed that the architecture of Villa Juliana isdesigned with a form that supports recreational building, both on the spatial,

    architectural elements, colors, and materials. The choice of location in addition tothe consideration of view oriented to get the best natural scenery, is also a symbol

    of power and facilitate the control of the Dutch East Indies to Soppeng kingdom.

    Employing Bugis architecture is an attempt to adapt to the local climate andattempt to win the hearts of the Soppeng people.

    Keywords:adaptation, acculturation, architecture, power, politics, villa.

  • 7/24/2019 --hasrianti-1901-1-13-hasri-0

    21/161

    BAB I

    PENDAHULUAN

    A. Latar Belakang

    Arsitektur kolonial Belanda adalah bagian dari sejarah Indonesia yang

    panjang. Melalui arsitektur sebenarnya dapat dibaca karakter sebuah bangsa

    yang tangguh dan kaya akan khasanah budaya. Budaya adalah akar eksistensi

    suatu etnik di suatu wilayah yang unik dan memiliki keistimewaan sendiri

    (Pratiwo, 2009: xxi).

    Ketika Belanda datang ke nusantara, berlangsung sebuah proses

    b d b i k i B l d d k ib i

  • 7/24/2019 --hasrianti-1901-1-13-hasri-0

    22/161

    Parmono Atmadi menyebut bentuk bangunan rumah tempat tinggal para

    pejabat pemerintah Hindia Belanda yang memiliki ciri-ciri perpaduan antara

    bentuk bangunan Belanda dan rumah tradisional sebagai arsitektur Indis.

    Lebih luas, monumen estetis hasil budaya binaan (cultural construct) dan

    imajinasi kolektif, serta ekspresi kreatif sekelompok masyarakat di Hindia

    Belanda yang menggunakan dasar budaya Belanda dan Indonesia disebut

    kebudayaan Indis (Soekiman, 2000: 7, 19-20).

    Kebudayaan Indis terwujud ke dalam ide, aktivitas, dan artefak sesuai

    dengan tiga gejala kebudayaan yang disebutkan oleh J.J. Honingmann dalam

    bukuThe World of Man (Koentjaraningrat, 2002: 186). Secara singkat, dapat

    dikatakan bahwa bangunan peninggalan Hindia Belanda merupakan wujud

    f k ( l l ) d i k b d di d i i i d

  • 7/24/2019 --hasrianti-1901-1-13-hasri-0

    23/161

    Watansoppeng sebagai salah satu wilayah bekas koloni Pemerintah

    Hindia Belanda, terdapat bangunan peninggalan Hindia Belanda, antara lain

    Vila Yuliana, Istana Arajang Bola Ridie, Rumah Candue (dibongkar tahun

    Belanda 1959), Rumah Sakit Soppeng (dibongkar tahun 1970), Rumah Batoe

    bekas rumah Gezagheber Soppeng, Pasar Watansoppeng, dan Pasar

    Tadjoentjoe. Bangunan-bangunan tersebut sebagian telah dirobohkan dan di

    atasnya berdiri bangunan baru. Meskipun keberadaannya membangkitkan

    kenangan buruk terhadap penjajahan, namun bangunan-bangunan peninggalan

    Belanda memiliki nilai guna dalam membangkitkan semangat nasionalisme;

    penelitian sejarah, arkeologi, dan arsitektur; dan di masa sekarang di saat

    bidang pariwisata sedang berkembang di berbagai daerah, bangunan tersebut

    bil dik l l d b ik d j di bj k i ik

  • 7/24/2019 --hasrianti-1901-1-13-hasri-0

    24/161

    budaya pada zamannya, misalnya gaya arsitektur khas kolonial dan

    akulturasinya dengan lingkungan lokal (Lia Nuralia, 1999: 93-94); teknik

    rancang bangun bangunan; dimensi sosial, ekonomi dan politik; dan dalam

    wilayah lebih luas, hubungan antara setiap bangunan dan lingkungan di Kota

    Watansoppeng bahkan Kabupaten Soppeng dapat memberi informasi tentang

    struktur dan pola pemukiman pada periode kolonial.

    Perpaduan arsitektur kolonial Belanda dan Bugis yang dimiliki oleh

    Vila Yuliana, bagi penulis merupakan fenomena arsitektur unik yang menarik

    untuk diangkat menjadi topik atau kajian penelitian skripsi.

    B. Riwayat Penelitian

  • 7/24/2019 --hasrianti-1901-1-13-hasri-0

    25/161

    Architecten). Disertasi tersebut telah diterbitkan sebagai buku berjudul

    Arsitektur Kolonial Belanda di Indonesia pada tahun 1993 oleh Gadjah Mada

    University Press.

    Helen Jessup (1988) dalam disertasi berjudul Nederlands

    Architecture in Indonesia 1900-1942, membahas arsitektur Belanda di

    Indonesia pada tahun 1900 hingga 1942. Jessup memberikan perhatian khusus

    pada karya-karya Maclaine dan Karsten yang memadukan arsitektur Belanda

    dengan arsitektur tradisional Jawa dan Sumatera. Dalam disertasinya tersebut,

    Jessup meyimpulkan bahwa arsitektur Belanda di Indonesia dalam beberapa

    kasus dapat memberikan informasi yang berguna untuk memahami Indonesia,

    dan di sisi lain juga dapat menggambarkan keadaan sosial, ekonomi, dan

  • 7/24/2019 --hasrianti-1901-1-13-hasri-0

    26/161

    Indonesia, khususnya di Pulau Jawa. Sayangnya, tidak terdapat pembahasan

    tentang arsitektur kolonial Belanda di Pulau Sumatera, Kalimantan, Sulawesi,

    dan Papua. Padahal, setiap wilayah tersebut memiliki budaya sendiri, yang

    tentunya akan melahirkan gaya arsitektur sendiri apabila berakulturasi dengan

    arsitektur Kolonial Belanda.

    Di Pulau Sulawesi, khususnya Propinsi Sulawesi Selatan, beberapa

    penelitian terhadap bangunan-bangunan Kolonial Belanda telah pula

    dilakukan, antara lain:

    Khusnul Khatimah (2002) dalam skripsinya berjudul Pengelolaan

    Situs Vila Yuliana di Watansoppeng Kabupaten Soppeng, membahas

    mengenai penanganan yang tepat pada kondisi bangunan Vila Yuliana yang

  • 7/24/2019 --hasrianti-1901-1-13-hasri-0

    27/161

    memperlihatkan adanya dominasi yang dimaksud. Hal ini dapat dipahami

    mengingat bahwa Khatimah meneliti tentang pengelolaan dan bukan arsitektur

    Vila Yuliana.

    Buhanis Raminaa (2005) dalam skripsinya berjudul Arsitektur

    Gedung Mulo Makassar, membahas mengenai bentuk arsitektur Gedung

    Mulo di Makassar yang menunjukkan ciri sebagai bangunan sekolah dan

    pengaruh lingkungan lokal pada arsitektur bangunan tersebut. Raminaa

    menyimpulkan bahwa Gedung Mulo direncanakan dan dibangun hanya untuk

    keperluan sekolah dengan kapasitas antara 360 hingga 432 murid, lebih dari

    15 orang guru serta beberapa staf administrasi dan tata usaha. Pengaruh

    budaya lingkungan lokal tidak ditemukan secara pasti pada bangunan.

  • 7/24/2019 --hasrianti-1901-1-13-hasri-0

    28/161

    (1) Kajian arsitektural pada bangunan kolonial di Sulawesi Selatan,

    sejauh penelusuran pustaka yang penulis lakukan, belum

    membahas persoalan akulturasi antara arsitektur Kolonial

    Belanda dan arsitektur tradisional setempat.

    (2) Penelitian mengenai bangunan peristirahatan di Propinsi

    Sulawesi Selatan belum dilakukan.

    (3) Hanya terdapat satu penelitian yang membahas bangunan

    peninggalan Kolonial Belanda di Kabupaten Soppeng, Propinsi

    Sulawesi Selatan.

    (4) Penelitian yang pernah dilakukan di Vila Yuliana belum

    mengkaji persoalan arsitektur secara khusus.

  • 7/24/2019 --hasrianti-1901-1-13-hasri-0

    29/161

    dan selesai pada tahun 1905, dibangun oleh seorang arsitek Belanda yang

    sengaja didatangkan dari negeri Belanda, diperintahkan oleh C.A. Kroesen (A.

    Wanua Tangke, 2007: 89).

    Sumber lisan menyebutkan bahwa Vila Yuliana pada awalnya

    dipersiapkan untuk menyambut kedatangan Ratu Yuliana ke Sulawesi

    Selatan3. Namun, kondisi keamanan yang buruk mengakibatkan Ratu Yuliana

    batal berkunjung. Meskipun demikian, Vila Yuliana tetap berfungsi sebagai

    tempat peristirahatan pejabat pemerintah Hindia Belanda (Khusnul Khatimah,

    2002: 31), juga tempat menginap dan beristirahat untuk tamu pemerintah yang

    kebetulan datang ke Soppeng (A. Wanua Tangke, 2007: 90).

    Menurut Gany (2003, dalam www.soppeng.org, diakses 5-12-2012),

    http://www.soppeng.org/http://www.soppeng.org/
  • 7/24/2019 --hasrianti-1901-1-13-hasri-0

    30/161

  • 7/24/2019 --hasrianti-1901-1-13-hasri-0

    31/161

    hubungan yang selaras antara agama Katholik dengan lingkungan (Sumalyo,

    1993: 17). Maka, muncul pertanyaan, bagaimana dengan penggunaan

    arsitektur setempat untuk sebuah bangunan peristirahatan? Melambangkan

    apakah hal tersebut? Unsur-unsur apa saja yang melatari keletakan bangunan

    Vila Yuliana berhadapan langsung dengan Istana Datu Soppeng?

    Berdasarkan uraian di atas, pertanyaan yang akan dijawab dalam

    penelitian ini dapat dirincikan sebagai berikut:

    (1) Bagaimana bentuk arsitektur Vila Yuliana yang mencerminkan

    bangunan peristirahatan?

    (2) Bagaimana bentuk perpaduan antara arsitektur Kolonial Belanda dan

    arsitektur tradisional Bugis pada bangunan Vila Yuliana?

  • 7/24/2019 --hasrianti-1901-1-13-hasri-0

    32/161

    penggambaran proses budaya (Iwan Sumantri, 2001: 26). Dengan

    melihat ketiga tujuan tersebut, maka secara umum tujuan penelitian

    ini ialah untuk merekonstruksi sejarah kebudayaan.

    Tujuan khusus penelitian ini ialah :

    (1) Mengetahui bentuk arsitektur Vila Yuliana yang

    mencerminkan bangunan peristirahatan. Diharapkan setelah

    mengetahui hal tersebut, fungsi bangunan Vila Yuliana

    menjadi lebih jelas.

    (2) Mengetahui bentuk perpaduan arsitektur Kolonial Belanda

    dan arsitektur tradisional Bugis pada bangunan Vila Yuliana.

    (3) Mengetahui maksud penempatan (keletakan) bangunan Vila

  • 7/24/2019 --hasrianti-1901-1-13-hasri-0

    33/161

    b. Manfaat praktis

    Diharapkan hasil kajian arsitektur Vila Yuliana

    dapat menjadi salah satu bahan acuan dalam agenda

    nasional membangun karakter budaya bangsa yang kian

    mengalami degradasi.

    E. Landasan Teori

    1. Arkeologi Sejarah

    Arkeologi sejarah mengkaji tinggalan budaya dari masyarakat

    yang telah mengenal tulisan dan mampu mencatat sejarah mereka

    sendiri. Berbeda dengan arkeologi prasejarah yang mengkaji sejarah

  • 7/24/2019 --hasrianti-1901-1-13-hasri-0

    34/161

    Dalam penerapannya, kadang terjadi tumpang tindih antara

    kajian arkeologi dengan kajian sejarah (Said, 2006: 110). Arkeologi

    sejarah menggabungkan penggunaan bukti fisik masa lalu (data

    arkeologi) dengan data-data sejarah seperti arsip, peta kuno, lukisan

    tua, foto lama, dan sejarah lisan (oral history), seperti disebutkan oleh

    Anonim (2004) dalam kutipan berikut:

    Historical archaeology is an international discipline concernedwith studying the past using physical evidence in conjunction

    with other types of historical sources as documents, maps,illustrations, photographs and oral history. It focuses on theobjects used by people in the past and the places where they

    lived and worked. It can tell us about the way things were madeand used and how people lived their daily lives.

    Meskipun demikian, peluang ilmu arkeologi juga semakin besar untuk

  • 7/24/2019 --hasrianti-1901-1-13-hasri-0

    35/161

    manusia untuk melaksanakan aktivitas tertentu. Dari segi sejarah,

    kebudayaan dan geografi, arsitektur adalah ungkapan fisik dan

    peninggalan budaya dari suatu masyarakat dalam batasan tempat dan

    waktu tertentu (Sumalyo, 2005: 1).

    Amos Rapoport (dalam Oesman, 2008: 386) memaknai

    arsitektur sebagai gejala budaya dasar, yang lahir dari kebutuhan

    pokok manusia dalam mencari tempat untuk bernaung. Menurut

    Rapoport, arsitektur adalah hasil kebudayaan dari perilaku manusia

    berhubungan dengan lingkungannya, atau adaptasi manusia terhadap

    alam dan sosial budayanya. Hampir sama dengan Rapoport, Sumalyo

    (2005: 2) berpendapat bahwa arsitektur adalah hasil interaksi antara

  • 7/24/2019 --hasrianti-1901-1-13-hasri-0

    36/161

    a. Arsitektur Kolonial Belanda

    Arsitektur kolonial Belanda di Indonesia adalah

    fenomena budaya yang unik, tidak terdapat di lain tempat,

    juga pada negara-negara bekas koloni, karena arsitektur

    kolonial Belanda di Indonesia terdapat pencampuran

    budaya penjajah dengan budaya Indonesia (Sumalyo, 1993:

    2).

    Wujud arsitektur kolonial Belanda di Indonesia

    merupakan wujud yang spesifik, sebagai hasil kompromi

    arsitektur modern di Belanda kepada iklim tropis basah di

    Indonesia. Terdapat pula beberapa bangunan arsitektur

  • 7/24/2019 --hasrianti-1901-1-13-hasri-0

    37/161

    dapat digunakan untuk melihat pemandangan luar. Fungsi

    menara adalah untuk mengalirkan udara panas dari

    ruangan ke luar ruangan. Dormer adalah jendela tambahan

    pada atap. Deltils adalah konsol penyangga atap tritisan.

    (Ibid: 70).

    Sejumlah ahli membagi periode perkembangan

    bangunan Kolonial Belanda di Indonesia ke dalam tiga atau

    empat periode, diantaranya Helen Jessup dan Josef

    Prijotomo. Menurut Helen Jessup (1984, dalam Abbas,

    2006: 229-230) perkembangan gaya bangunan Kolonial

    Belanda terbagi atas empat periode, yaitu:

  • 7/24/2019 --hasrianti-1901-1-13-hasri-0

    38/161

    berkuasa, dan umumnya bergaya arsitektur neo-

    klasik.

    (3) Tahun 1902 hingga 1920-an, politik etis

    diberlakukan di Indonesia, yang berdampak

    pada pembangunan bangunan-bangunan modern

    yang lebih berorientasi ke Belanda.

    (4) Tahun 1920 hingga 1940-an. Pada masa ini,

    gerakan pembaruan dalam arsitektur

    bermunculan serta memunculkan gaya

    campuran dan berbagai gaya arsitektur,

    misalnya art deco.

  • 7/24/2019 --hasrianti-1901-1-13-hasri-0

    39/161

    contohnya pada beberapa masjid di Medan,

    Banda Aceh, dan Pulau Penyengat yang

    dibangun dengan gaya Moor, hingga Istana

    Sultan Bima yang dibangun pada pertengahan

    tahun 1930-an.

    Menurut Sumalyo (2005: 28), perkembangan gaya

    arsitektur pada bangunan Kolonial Belanda di Indonesia

    terbagi atas lima periode, yaitu:

    (1) Abad XVIII hingga abad XIX berkembang gaya

    arsitektur neo klasik.

    (2) Abad XIX hingga awal abad XX berkembang

  • 7/24/2019 --hasrianti-1901-1-13-hasri-0

    40/161

    Sulawesi Selatan, seperti Bulukumba, Sinjai, Bone,

    Soppeng, Wajo, Sidenreng Rappang (Sidrap), Pinrang,

    Luwu, Pare-pare, Barru, serta sebagian wilayah Enrekang,

    Pangkajene Kepulauan (Pangkep), dan Maros

    (Koentjaraningrat, 1999: 266).

    Kebudayaan berasal dari bahasa Sanskerta

    buddhayah, yaitu bentuk jamak dari buddhi yang berarti

    budi atau akal. Dengan demikian, kebudayaan dapat

    diartikan sebagai hal-hal yang bersangkutan dengan akal.

    Kebudayaan yang merupakan hasil cipta, karsa, dan rasa,

    terdiri atas tujuh unsur kebudayaan universal yaitu, bahasa,

  • 7/24/2019 --hasrianti-1901-1-13-hasri-0

    41/161

    Dalam struktur kosmos, orang Bugis membagi alam

    menjadi tiga tingkatan (Ama Saing, 2010: 11-13), yaitu:

    (1) Alam atas atau bottinglangi (puncak langit)

    sebagai tempat suci persemayaman Dewata

    SeuwaE (Dewa Tunggal) yang mengatur alam

    raya beserta segala isinya.

    (2) Alam tengah atau paratiwi sebagai tempat

    pertemuan antara alam atas dan alam bawah,

    dimana berlangsung kehidupan baik dan buruk,

    kebaikan dan kejahatan, serta cinta dan dendam.

    (3) Alam bawah atauuruliu(tempat gelap).

  • 7/24/2019 --hasrianti-1901-1-13-hasri-0

    42/161

    (3) Awasao atau Awabola adalah bagian bawah

    rumah yang terletak di bawah lantai panggung

    (kolong rumah) sebagai tempat menyimpan

    peralatan bekerja sesuai bidang pekerjaan

    masing-masing pemilik rumah, seperti alat-alat

    bertani bagi petani, kandang ayam bagi

    peternak, alat-alat menangkap ikan bagi

    nelayan, dan lain-lain.

    Menurut Mattulada (1982, dalam Morrel, 2005:

    249), dalam wilayah politik, struktur pemerintahan

    masyarakat Bugis pra-Islam terdiri atas empat tingkatan,

  • 7/24/2019 --hasrianti-1901-1-13-hasri-0

    43/161

    pemerintah Hindia Belanda menguasai langsung daerah

    Sulawesi Selatan, yaitu:

    (1) Anak Arung, yaitu lapisan kaum kerabat raja-

    raja.

    (2) To Maradeka, yaitu lapisan orang merdeka yang

    merupakan sebagian besar rakyat Sulawesi

    Selatan.

    (3) Ata, yaitu orang yang ditangkap dalam

    peperangan, orang yang tidak dapat membayar

    hutang, atau orang yang melanggar pantangan

    adat.

  • 7/24/2019 --hasrianti-1901-1-13-hasri-0

    44/161

    (2) Sao-Piti, yaitu rumah Bugis yang berbentuk

    lebih kecil dari Sao-Raja, tanpa sapana dan

    memiliki bubungan bersusun dua.

    (3) Bola, yaitu rumah rakyat pada umumnya.

    Gagasan Sulapa Eppa sering dikaitkan dengan

    bentuk rumah empat sisi, yang dianggap merupakan bentuk

    ideal yang menampilkan kesempurnaan pada rumah

    (Robinson, 2005: 301-302). Tipe rumah tradisional Bugis

    adalah rumah panggung yang berdiri di atas tiang kayu.

    Atap berbentuk pelana untuk memudahkan aliran air hujan

    sebagai wujud adaptasi terhadap daerah Sulawesi Selatan

  • 7/24/2019 --hasrianti-1901-1-13-hasri-0

    45/161

    (2) Tunebba, yaitu balok-balok kecil sebagai dasar

    lantai.

    (3) Salima atau lantai bambu, dan dapara atau

    lantai papan.

    (4) Babangatautange, yaitu pintu.

    (5) Tellongengatau jendela.

    (6) Jongkeataudapureng, yaitu dapur.

    (7) Lego-lego, yaitu ruangan tambahan di sekitar

    tangga.

    Selain bagian-bagian pelengkap tersebut di atas,

    rumah tradisional Bugis juga memiliki ragam hias, yang

  • 7/24/2019 --hasrianti-1901-1-13-hasri-0

    46/161

    tertentu dihadapkan dengan unsur-unsur dari suatu kebudayaan asing

    dengan sedemikian rupa, sehingga unsur-unsur kebudayaan asing itu

    lambat laun diterima dan diolah ke dalam kebudayaan sendiri tanpa

    menyebabkan hilangnya kepribadian kebudayaan itu

    (Koentjaraningrat, 2002: 247-248).

    Di dalam Kamus Bahasa Indonesia disebutkan, akulturasi

    adalah percampuran dua kebudayaan atau lebih, misalnya percampuran

    kebudayaan Cina dengan kebudayaan Jakarta; proses masuknya

    pengaruh kebudayaan asing dalam suatu masyarakat dengan

    penyerapan sebagian (kecil sekali), penyerapan yang agak banyak atau

    penolakan sama sekali terhadap kebudayaan asing itu; atau, proses

  • 7/24/2019 --hasrianti-1901-1-13-hasri-0

    47/161

    ekonomi dan perdagangan berubah menjadi penguasa yang berdaulat,

    bermula di daerah pesisir utara Jawa, hingga akhirnya ke seluruh Pulau

    Jawa dan Nusantara (Soekiman, 2000: 22), termasuk Sulawesi Selatan.

    Sejak awal kehadiran bangsa Belanda, telah terjadi kontak

    budaya antara bangsa Belanda dan pribumi, yang berimplikasi

    terhadap timbulnya percampuran budaya. Kebudayaan campuran yang

    didukung oleh segolongan masyarakat Hindia Belanda itu disebut

    kebudayaan Indis, yang meliputi berbagai unsur kebudayaan

    (Soekiman, 2000: 39), salah satunya bangunan (rumah, kantor, gereja,

    dan lain-lain) yang termasuk dalam unsur budaya peralatan hidup dan

    teknologi (Koentjaraningrat, 2002: 203-204 & 343; Soekiman, 2000:

  • 7/24/2019 --hasrianti-1901-1-13-hasri-0

    48/161

  • 7/24/2019 --hasrianti-1901-1-13-hasri-0

    49/161

    Simbol biasanya diartikan sebagai penanda yang secara keseluruhan

    bersifat arbitrer dalam hubungannya dengan pertanda, sebab hubungan

    tersebut dibentuk hanya oleh penggunaan konvensi sosial (Ian &

    Robert, 1999: 527).

    Baik simbol maupun tanda (sign) diyakini bersifat universal,

    sehingga proses yang terjadi dalam pembentukan sebuah bahasa juga

    terjadi pada hal lain, antara lain pada arsitektur (Sukada, 1989: 34).

    Parmono Atmadi (dalam Ibid: 33-34) menyebutkan bahwa:

    Pada dasarnya arsitektur selalu ingin menyampaikan pesan,hanya karena pesan itu tidak tertulis maka pesan tadi dapat saja

    diartikan berbeda dari yang dimaksudkan. Selain itu pesan

    yang diharapkan dapat dan hampir selalu diartikan lain olehseseorang yang mencoba membaca pesan tersebut. Apalagi bila

    pengamatan dilakukan dengan selisih waktu yang cukup lama.

  • 7/24/2019 --hasrianti-1901-1-13-hasri-0

    50/161

    fleksibel dengan analisis data yang bersifat induktif. Berbeda dengan

    penelitian kuantitatif yang bertujuan menguji teori berdasarkan

    hipotesis dan variabel penelitian. Penelitian kuantitatif digunakan pada

    penelitian eksperimental dan penelitian-penelitian yang menggunakan

    data statistik. Rancangan penelitian formal dan terstruktur dengan

    analisis data yang bersifat deduktif (Maryaeni, 2005: 1-5).

    Memperhatikan karakteristik kedua jenis penelitian tersebut di

    atas, latar belakang, rumusan masalah, dan sasaran penelitian, maka

    dalam penelitian ini digunakan metode penelitian kualitatif.

    2. Tahap-tahap Penelitian

    Menurut James Deetz (1976: 8), seperti ilmu fisika, kimia,

  • 7/24/2019 --hasrianti-1901-1-13-hasri-0

    51/161

    dimaksud adalah bangunan Vila Yuliana, sedangkan

    data sekunder yang dimaksud adalah literatur-

    literatur, baik berasal dari arsip, buku, jurnal, dan

    laporan penelitian yang digunakan untuk

    membangun landasan teori dan menganalisis data

    primer.

    Landasan teori dalam penelitian ini tidak

    digunakan untuk membuktikan hipotesis, tetapi

    digunakan sebagai alat analisis. Hal ini sebagaimana

    pendapat Maryaeni (2008: 32) yang mengatakan

    bahwa:

  • 7/24/2019 --hasrianti-1901-1-13-hasri-0

    52/161

    (1) Observasi situs, yaitu sesuai dengan

    Kamus Bahasa Indonesia (Sugono,dkk,

    2008: 1084) adalah melakukan

    pengamatan secara langsung pada Vila

    Yuliana.

    (2) Pendeskripsian, yaitu mencatat fakta dan

    gejala yang teramati pada kondisi fisik

    bangunan Vila Yuliana selama

    melakukan observasi, misalnya ukuran

    jendela dan pintu, jumlah tiang, bentuk

    atap, dan sebagainya.

  • 7/24/2019 --hasrianti-1901-1-13-hasri-0

    53/161

    (5) Pengukuran, yaitu mengukur panjang,

    lebar, dan tebal pintu dan jendela; tinggi

    tiang; dan sebagainya.

    (6) Wawancara.

    b) Data Sekunder

    Data sekunder dalam penelitian ini

    merupakan data penunjang yang digunakan

    dalam menganilisis data primer, antara lain

    laporan penelitian bangunan Vila Yuliana dan

    penelitian lain yang relevan, sejarah bangunan

    Vila Yuliana, teori-teori arsitektur secara

  • 7/24/2019 --hasrianti-1901-1-13-hasri-0

    54/161

    (3) Perpustakaan Pusat Universitas

    Hasanuddin.

    (4) Perpustakaan Jurusan Arsitektur

    Fakultas Teknik Universitas Hasanuddin.

    (5) Balai Kajian Sejarah dan Nilai

    Tradisional Masyarakat Makassar.

    (6) Balai Arkeologi (Balar) Makassar.

    (7) Balai Pelestarian Cagar Budaya (BPCB)

    Makassar.

    (8) Dan lain-lain.

  • 7/24/2019 --hasrianti-1901-1-13-hasri-0

    55/161

  • 7/24/2019 --hasrianti-1901-1-13-hasri-0

    56/161

    Bab II : Profil wilayah Kabupaten Soppeng

    Bab III : Deskripsi bangunan Vila Yuliana.

    Bab IV : Analisis data penelitian, terdiri atas analisis dan hasil analisis.

    Bab V : Penutup, berisi kesimpulan dan saran.

  • 7/24/2019 --hasrianti-1901-1-13-hasri-0

    57/161

  • 7/24/2019 --hasrianti-1901-1-13-hasri-0

    58/161

  • 7/24/2019 --hasrianti-1901-1-13-hasri-0

    59/161

  • 7/24/2019 --hasrianti-1901-1-13-hasri-0

    60/161

    Terjemahan:Inilah Kitab/bagian yang menyampaikan tentang daerah Soppeng..

    yang mewartakan tentang daerah Soppeng.. pada saatditinggalkannya negeri Sewo dan Gattareng, maka turunlah orang-

    orang (penduduk negeri tersebut) untuk bermukim di suatu tempat,

    yaitu negeri Soppeng. Adapun orang-orang yang berasal dari Sewodisebut orang Soppeng Riaja, sedangkan mereka yang berasal dari

    Gattarang disebut kemudian sebagai orang Soppeng Rilau

    Muh. Hidayat (1995: 16) menambahkan bahwa kelompok etnis tersebut

    berjumlah 60 kelompok yang masing-masing diketuai oleh seorang bergelar

    Matowa. Setelah Soppeng terbentuk menjadi sebuah kerajaan, berlangsung

    perpindahan penduduk ke pusat-pusat distribusi, yang kemudian menurunkan

    generasi etnis Bugis Soppeng kini.

    Dalam perkembangan terakhir, beberapa penduduk dari luar daerah,

    termasuk orang-orang dari etnis Tionghoa telah bermigrasi ke Kabupaten

  • 7/24/2019 --hasrianti-1901-1-13-hasri-0

    61/161

    kemasyarakatan sebesar 10,54 %, sektor perindustrian sebesar 4,32 %, dan

    selebihnya bekerja pada sektor-sektor lain (BPS Kab. Soppeng).

    Di beberapa daerah Bugis termasuk Soppeng, masyarakat dibedakan

    dalam tiga kelompok strata sosial, sebagaimana yang disebutkan oleh

    Mattulada (1984: 259-278) dan Friedericy (dalam Koentjaraningrat, 1999:

    276), yaitu:

    (a) Anak Arung, yaitu kelompok yang terdiri dari kaum kerabat raja-

    raja,

    (b) To Samak, yaitu kelompok yang terdiri dari orang-orang

    merdeka atau masyarakat kebanyakan, dan

    (c) Ata, yaitu kelompok yang terdiri dari para budak, orang-orang

  • 7/24/2019 --hasrianti-1901-1-13-hasri-0

    62/161

    Arsitektur Villa Yuliana di Watansoppeng Kabupaten Soppeng42

    sara kemudian ditambahkan ke dalam konsep tersebut (Mattulada, 1982.,

    dalam Morrel, 2005: 249).

    Sebelum agama Islam diterima, masyarakat Soppeng telah mengenal

    sistem kepercayaan terhadap Dewata. Dalam lontara Galigo, Dewata dikenal

    dengan sebutanPatotoe(penentu nasib),Dewata Sauwae(yang tunggal), dan

    Turiearana (yang tertinggi). Konsep pemujaan terhadap dewa-dewa ini

    seringkali diwujudkan dalam suatu bentuk upacara, terutama yang

    berhubungan dengan pertanian, diantaranya adalah tudang sipulung di

    Lakkelinja, upacara meminta hujan, massempe, mappadendang, dan

    massappowanua(Bahru Kallupa, 1989: 9., dalam Muh. Hidayat, 1995: 18).

  • 7/24/2019 --hasrianti-1901-1-13-hasri-0

    63/161

    Dalam struktur bahasa daerah Bugis dialek Soppeng, ditemukan

    banyak perubahan sebutan dari huruf C menjadi S dan sebaliknya.

    Contohnya, pada katasalo(bahasa Bugis: sungai) yang berubah menjadicalo

    untuk menyebutkan sungai yang beraliran air kecil, atausappo(bahasa Bugis:

    saudara sepupu) menjadi cappo untuk menunjukkan hubungan kekerabatan

    dengan orang lain selain saudara sepupu. Apabila dikaitkan dengan nama

    Soppeng, maka boleh jadi benar nama tersebut berasal dari nama pohon

    Coppeng yang hingga kini masih banyak tumbuh di dalam wilayah Soppeng.

    Versi kedua meninjau asal usul nama Soppeng dari aspek penggunaan

    bahasa daerah Bugis, khususnya perubahan kata, baik melalui

    penyederhanaan sebutan maupun penggabungan dua kata atau lebih menjadi

  • 7/24/2019 --hasrianti-1901-1-13-hasri-0

    64/161

    D. Sejarah Kabupaten Soppeng

    Pada sekitar tahun 1300 M, Soppeng merupakan sebuah wilayah yang

    dihuni oleh 60 kelompok suku masyarakat, dimana setiap kelompok dipimpin

    oleh seseorang bergelar Matowa. 30 kelompok suku bermukim di Soppeng

    Riaja atau Soppeng Barat dan 30 kelompok suku lainnya bermukim di

    Soppeng Rilau atau Soppeng Timur (Abdurrazak, 2004: 94-95; Mohammad

    Natsir, 2009: 10-11).

    Menurut Abdurrazak Dg. Patunru (2004: 95-96), dalam abad XIV

    Soppeng pernah dilanda bencana kelaparan. Selama tujuh tahun tidak turun

    hujan, sehingga penduduk tidak dapat menanami sawah dan ladang. Oleh

    sebab itu, Arung Bila yang bertugas sebagai wakil Raja Luwu Sawerigading

  • 7/24/2019 --hasrianti-1901-1-13-hasri-0

    65/161

  • 7/24/2019 --hasrianti-1901-1-13-hasri-0

    66/161

    Pada tahun 1908, empat lili Kedatuan Soppeng yaitu, Kiru-kiru,

    Siddo, Ajakkang dan Balusu, yang pada awalnya tergabung dalam ke-25 lili

    Kedatuan Soppeng, dilebur oleh pemerintah Belanda menjadi pemerintah

    Kerajaan sendiri (Zelf Bestuur), yaitu Soppeng ri Aja (Surat Gubernur-

    Jenderal tertanggal 3 September 1908 No. 28, dalam Abdurrazak, 2004: 116).

    Kemudian, Penguasa Militer Kooy (Militair Gezagheber Kooy) membagi

    Soppeng ke dalam tujuh buah distrik, yaitu distrik Lalabata, distrik Lili ri

    Lau, distrik Lili ri Aja, distrik Pattojo, distrik Citta, distrik Mario ri Awa, dan

    distrik Mario ri Wawo.

    Sekitar tahun 1923, yaitu ketika A.J.L.Couvreur menjadi Gubernur di

    Celebes dan daerah taklukannya, distrik-distrik diubah menjadi

  • 7/24/2019 --hasrianti-1901-1-13-hasri-0

    67/161

    Pada tahun 1942 hingga 1945, Soppeng berada dalam kekuasaan

    Jepang. Kontrolir Belanda digantikan Kontrolir Jepang yang disebut

    Bunkenkanrikan. Proklamasi kemerdekaan oleh Soekarno-Hatta pada tanggal

    17 Agustus 1945, mengakhiri kekuasaan Jepang di seluruh Indonesia. Pada

    awal tahun 1946, Belanda kembali berkuasa di Soppeng hingga pertengahan

    tahun 1950, ketika terjadi kekacauan sebagai akibat timbulnya pergolakan

    politik di Sulawesi-Selatan dan Tenggara pasca pembentukan Republik

    Indonesia Serikat (RIS). Kedatuan Soppeng secara resmi terhapus pada tahun

    1958, dengan pembentukan Soppeng menjadi Daerah Otonom Tingkat II

    berdasarkan Undang-Undang Darurat No.4 tahun 1957, dan Datu Soppeng

    Haji Andi Wana diangkat oleh Pemerintah Pusat menjadi Kepala Daerah

  • 7/24/2019 --hasrianti-1901-1-13-hasri-0

    68/161

    BAB III

    DESKRIPSI BANGUNAN VILLA YULIANA

    A. Latar Sejarah Bangunan Villa Yuliana

    Villa Yuliana dibangun oleh seorang arsitek Belanda yang sengaja

    didatangkan dari Negeri Belanda, diperintahkan oleh C.A.Krosen (A.Wanua

    Tangke, 2007: 89). Tidak ada informasi perihal siapa nama arsitek tersebut.

    Menurut penuturan Hamruddin Laide (Wawancara, 21-02-2013), arsitek Villa

    Yuliana merupakan seorang tawanan Kerajaan Belanda berkebangsaan

    Belgia, yang dikirim ke Soppeng (Indonesia) untuk mengerjakan bangunan.

  • 7/24/2019 --hasrianti-1901-1-13-hasri-0

    69/161

    bahwa pemberian nama sebagai bentuk pengabdian orang Belanda di Hindia

    kepada Rajanya (A.Wanua Tangke, 2007: 91).

    Pada tahun 1996, bangunan Villa Yuliana masih berada di bawah

    penanganan Pemerintah Daerah Kabupaten Soppeng dan telah dilakukan

    pemugaran pada bangunan tersebut. Kemudian, pada tahun 1998 didaftar

    menjadi Benda Cagar Budaya dengan nomor registrasi 448, di bawah

    penanganan Suaka Peninggalan Sejarah dan Purbakala Sulawesi Selatan dan

    Tenggara. Pada tanggal 2 Mei 2000 dilakukan pemugaran, pembuatan pagar

    keliling bangunan sekitar 200 m, pemasangan papan larangan, penempatan

    juru pelihara situs dan studi pemintakatan dengan SK-Nomor:

    213/C.1/M/2000 (Khusnul Khatimah, 2002: 32) oleh BP3 Sulawesi Selatan,

  • 7/24/2019 --hasrianti-1901-1-13-hasri-0

    70/161

    sebagai tempat menginap dan peristirahatan pejabat pemerintah Hindia

    Belanda. Pananrangi Hamid (2001: 237) berpendapat bahwa, Villa Yuliana

    merupakan hadiah dari Ratu Wilhelmina beberapa saat setelah kelahiran

    putrinya Yuliana, sebagai simbol penyerahan kekuasaan dari Kerajaan

    Soppeng kepada Pemerintah Hindia Belanda, yang juga pernah digunakan

    sebagai kediaman resmi kontrolir Soppeng pada masa pemerintahan Hindia

    Belanda. Sementara menurut Hamruddin Laide (Wawancara, 21-02-2013),

    tahun 1909 hingga 1942 bangunan Villa Yuliana difungsikan sebagai markas

    Pemerintah Hindia Belanda.

    Hamruddin Laide (Wawancara, 21-03-2013) menuturkan pula bahwa,

    pada masa selanjutnya saat Soppeng dikuasai oleh tentara Jepang (1942

  • 7/24/2019 --hasrianti-1901-1-13-hasri-0

    71/161

  • 7/24/2019 --hasrianti-1901-1-13-hasri-0

    72/161

  • 7/24/2019 --hasrianti-1901-1-13-hasri-0

    73/161

  • 7/24/2019 --hasrianti-1901-1-13-hasri-0

    74/161

  • 7/24/2019 --hasrianti-1901-1-13-hasri-0

    75/161

  • 7/24/2019 --hasrianti-1901-1-13-hasri-0

    76/161

  • 7/24/2019 --hasrianti-1901-1-13-hasri-0

    77/161

  • 7/24/2019 --hasrianti-1901-1-13-hasri-0

    78/161

  • 7/24/2019 --hasrianti-1901-1-13-hasri-0

    79/161

  • 7/24/2019 --hasrianti-1901-1-13-hasri-0

    80/161

  • 7/24/2019 --hasrianti-1901-1-13-hasri-0

    81/161

    yang diisi papan kayu (plank) dengan terawang motif

    belah ketupat. Pasangan disangga oleh palang kayu

    yang kesatuannya dengan tiang membentuk tanda salib.

    Pasangan tersebut menyangga balok penahan teritisan

    di bawah gavel. Sementara pada sisi Selatan, kepala

    tiang diberi pasangan berbentuk pelengkung busur

    (lihat foto 5) dari kayu yang diisi papan kayu (plank)

    dengan terawang motif belah ketupat. Pasangan

    disangga oleh palang kayu berornamen, yang

    kesatuannya dengan pelengkung membentuk lengkung

    daun semanggi (trefoil arch).

  • 7/24/2019 --hasrianti-1901-1-13-hasri-0

    82/161

  • 7/24/2019 --hasrianti-1901-1-13-hasri-0

    83/161

    sebelah kanan lantai I berhubungan dengan teras di

    lantai II.

    Pondasi atau landasan dari papan kayu

    berbentuk lonjong dengan ukuran 186 cm x 58 cm

    x 3 cm. Anak tangga (trede) berjumlah 24 buah,

    terbagi atas 13 tanjakan awal dan 11 tanjakan akhir.

    Anak tangga datar (antrede) dari papan kayu

    berbentuk persegi panjang berukuran 113 cm x 31

    cm, lima diantaranya yang terletak di awal tanjakan

    akhir berbentuk trapezium dan membentuk

    belokan. Anak tangga tegak (optrade) berukuran

  • 7/24/2019 --hasrianti-1901-1-13-hasri-0

    84/161

  • 7/24/2019 --hasrianti-1901-1-13-hasri-0

    85/161

    Pagar pengaman dan pegangan tangga

    bertumpu pada lima buah tiang, dua tiang terletak

    di bawah (dasar) berukuran 131 cm x 10 cm, satu di

    tengah berukuran 215 cm x 12 cm, dan dua di atas

    (puncak) berukuran 110 cm x 10 cm yang dipasang

    di atas anak tangga menyatu dengan konstruksi ibu

    tangga. Setiap tiang tumpuan terbuat dari balok

    kayu dengan kepala merunjung ke atas seperti

    limas, yang diberi ukiran garis lurus vertikal pada

    badan dan profil dengan gerigi pada kepala. Pada

    kaki tiang tumpuan tengah diberi ornamen timbul

  • 7/24/2019 --hasrianti-1901-1-13-hasri-0

    86/161

  • 7/24/2019 --hasrianti-1901-1-13-hasri-0

    87/161

  • 7/24/2019 --hasrianti-1901-1-13-hasri-0

    88/161

  • 7/24/2019 --hasrianti-1901-1-13-hasri-0

    89/161

  • 7/24/2019 --hasrianti-1901-1-13-hasri-0

    90/161

  • 7/24/2019 --hasrianti-1901-1-13-hasri-0

    91/161

  • 7/24/2019 --hasrianti-1901-1-13-hasri-0

    92/161

  • 7/24/2019 --hasrianti-1901-1-13-hasri-0

    93/161

  • 7/24/2019 --hasrianti-1901-1-13-hasri-0

    94/161

  • 7/24/2019 --hasrianti-1901-1-13-hasri-0

    95/161

  • 7/24/2019 --hasrianti-1901-1-13-hasri-0

    96/161

  • 7/24/2019 --hasrianti-1901-1-13-hasri-0

    97/161

  • 7/24/2019 --hasrianti-1901-1-13-hasri-0

    98/161

  • 7/24/2019 --hasrianti-1901-1-13-hasri-0

    99/161

  • 7/24/2019 --hasrianti-1901-1-13-hasri-0

    100/161

  • 7/24/2019 --hasrianti-1901-1-13-hasri-0

    101/161

  • 7/24/2019 --hasrianti-1901-1-13-hasri-0

    102/161

  • 7/24/2019 --hasrianti-1901-1-13-hasri-0

    103/161

  • 7/24/2019 --hasrianti-1901-1-13-hasri-0

    104/161

  • 7/24/2019 --hasrianti-1901-1-13-hasri-0

    105/161

  • 7/24/2019 --hasrianti-1901-1-13-hasri-0

    106/161

  • 7/24/2019 --hasrianti-1901-1-13-hasri-0

    107/161

  • 7/24/2019 --hasrianti-1901-1-13-hasri-0

    108/161

  • 7/24/2019 --hasrianti-1901-1-13-hasri-0

    109/161

  • 7/24/2019 --hasrianti-1901-1-13-hasri-0

    110/161

  • 7/24/2019 --hasrianti-1901-1-13-hasri-0

    111/161

  • 7/24/2019 --hasrianti-1901-1-13-hasri-0

    112/161

  • 7/24/2019 --hasrianti-1901-1-13-hasri-0

    113/161

  • 7/24/2019 --hasrianti-1901-1-13-hasri-0

    114/161

  • 7/24/2019 --hasrianti-1901-1-13-hasri-0

    115/161

  • 7/24/2019 --hasrianti-1901-1-13-hasri-0

    116/161

  • 7/24/2019 --hasrianti-1901-1-13-hasri-0

    117/161

  • 7/24/2019 --hasrianti-1901-1-13-hasri-0

    118/161

  • 7/24/2019 --hasrianti-1901-1-13-hasri-0

    119/161

  • 7/24/2019 --hasrianti-1901-1-13-hasri-0

    120/161

  • 7/24/2019 --hasrianti-1901-1-13-hasri-0

    121/161

  • 7/24/2019 --hasrianti-1901-1-13-hasri-0

    122/161

  • 7/24/2019 --hasrianti-1901-1-13-hasri-0

    123/161

  • 7/24/2019 --hasrianti-1901-1-13-hasri-0

    124/161

  • 7/24/2019 --hasrianti-1901-1-13-hasri-0

    125/161

  • 7/24/2019 --hasrianti-1901-1-13-hasri-0

    126/161

  • 7/24/2019 --hasrianti-1901-1-13-hasri-0

    127/161

  • 7/24/2019 --hasrianti-1901-1-13-hasri-0

    128/161

  • 7/24/2019 --hasrianti-1901-1-13-hasri-0

    129/161

  • 7/24/2019 --hasrianti-1901-1-13-hasri-0

    130/161

  • 7/24/2019 --hasrianti-1901-1-13-hasri-0

    131/161

  • 7/24/2019 --hasrianti-1901-1-13-hasri-0

    132/161

  • 7/24/2019 --hasrianti-1901-1-13-hasri-0

    133/161

  • 7/24/2019 --hasrianti-1901-1-13-hasri-0

    134/161

  • 7/24/2019 --hasrianti-1901-1-13-hasri-0

    135/161

  • 7/24/2019 --hasrianti-1901-1-13-hasri-0

    136/161

  • 7/24/2019 --hasrianti-1901-1-13-hasri-0

    137/161

  • 7/24/2019 --hasrianti-1901-1-13-hasri-0

    138/161

  • 7/24/2019 --hasrianti-1901-1-13-hasri-0

    139/161

  • 7/24/2019 --hasrianti-1901-1-13-hasri-0

    140/161

  • 7/24/2019 --hasrianti-1901-1-13-hasri-0

    141/161

  • 7/24/2019 --hasrianti-1901-1-13-hasri-0

    142/161

  • 7/24/2019 --hasrianti-1901-1-13-hasri-0

    143/161

  • 7/24/2019 --hasrianti-1901-1-13-hasri-0

    144/161

    Lantai danPlafon

    Teras

    Ragam

    Hias

    Penutup lantai dari bambu(salima) dan papan kayu

    (dapara). Plafon adalah

    bagian bawah lantai loteng

    (rakkecmg).

    Teras (lego-lego) adalah

    ruangan tambahan yangterletak di bagian depan

    badan rumah (ale bola).

    Ragam hias pada rumah

    Bugis terdiri dari ragam

    hias naturalis (flora dan

    fauna).Flora : bunga parenreng

    Fauna: ayam jantan

    (manuk), kepala kerbau

    dan naga (ular besar).

    Doric, Ionic, Corinthian,Composite.

    Penutup lantai dari ubinatau marmer. Plafon bisadari beton, tripleks, rotan,dan kayu, kadang-kadangdiberi hiasan.

    Tanpa teras

    Ragam hias terdiri dari

    ragam hias geometris dan

    naturalis.

    Geometris: lingkaran,persegi, segi tiga, dsb.

    Naturalis : manusia, flora

    dan fauna.

    Penutup lantai I: ubin,penutup lantai II: papankayu. Plafon adalahbagian bawah lantailoteng, kecuali dapur danWC yang menggunakan

    plafon dari beton.

    Teras terdiri dari teras

    depan dan belakang,terdapat di lantai I

    maupun lantai II. Wujud

    teras depan lantai II

    mirip seperti lego-lego

    pada rumah Bugis.

    Ragam hias terdiri dariragam hias geometrisdan naturalis (flora).

    Geometris: garis lurus,persegi, lingkaran, segitiga dan belah ketupat.Flora : bunga

    parenreng, sulur daun,dan bunga.

    (Sumber: Analisis, 2013)

  • 7/24/2019 --hasrianti-1901-1-13-hasri-0

    145/161

  • 7/24/2019 --hasrianti-1901-1-13-hasri-0

    146/161

  • 7/24/2019 --hasrianti-1901-1-13-hasri-0

    147/161

    BAB V

    PENUTUP

    A. Kesimpulan

    Villa Yuliana merupakan salah satu bangunan bekas rumah

    tinggal/pesanggrahan pejabat militer Pemerintah Hindia Belanda.

    Berdasarkan analisis yang telah dilakukan, maka dapat disimpulkan

    bahwa bentuk arsitektur Villa Yuliana yang mencerminkan fungsi

    bangunan nampak pada elemen-elemen seperti proporsi bangunan yang

    asimetris, bentuk denah/tata ruang, serta penggunaan warna hijau pada

    bukaan, tangga, bargeboard, dan tiang. Keberadaan menara yang

    menimbulkan anggapan bahwa Villa Yuliana adalah sebuah gereja tidak

  • 7/24/2019 --hasrianti-1901-1-13-hasri-0

    148/161

  • 7/24/2019 --hasrianti-1901-1-13-hasri-0

    149/161

  • 7/24/2019 --hasrianti-1901-1-13-hasri-0

    150/161

  • 7/24/2019 --hasrianti-1901-1-13-hasri-0

    151/161

  • 7/24/2019 --hasrianti-1901-1-13-hasri-0

    152/161

  • 7/24/2019 --hasrianti-1901-1-13-hasri-0

    153/161

  • 7/24/2019 --hasrianti-1901-1-13-hasri-0

    154/161

  • 7/24/2019 --hasrianti-1901-1-13-hasri-0

    155/161

  • 7/24/2019 --hasrianti-1901-1-13-hasri-0

    156/161

  • 7/24/2019 --hasrianti-1901-1-13-hasri-0

    157/161

    PETA ADMINISTRATIF PROVINSI SULAWESI SELATAN

  • 7/24/2019 --hasrianti-1901-1-13-hasri-0

    158/161

    PETA ADMINISTRATIF KABUPATEN SOPPENG

  • 7/24/2019 --hasrianti-1901-1-13-hasri-0

    159/161

  • 7/24/2019 --hasrianti-1901-1-13-hasri-0

    160/161

  • 7/24/2019 --hasrianti-1901-1-13-hasri-0

    161/161