Upload
fajar-nugraha
View
250
Download
3
Embed Size (px)
Citation preview
7/24/2019 --hasrianti-1901-1-13-hasri-0
1/161
ARSITEKTUR VILLA YULIANA
DI WATANSOPPENG KABUPATEN SOPPENG
SKRIPSI
Diajukan untuk memenuhi salah satu syarat ujian
l h l S j S t
7/24/2019 --hasrianti-1901-1-13-hasri-0
2/161
guna memperoleh gelar Sarjana Sastra
7/24/2019 --hasrianti-1901-1-13-hasri-0
3/161
7/24/2019 --hasrianti-1901-1-13-hasri-0
4/161
7/24/2019 --hasrianti-1901-1-13-hasri-0
5/161
7/24/2019 --hasrianti-1901-1-13-hasri-0
6/161
7/24/2019 --hasrianti-1901-1-13-hasri-0
7/161
viii
Penulis juga mengucapkan terimakasih sebesar-besarnya kepada Kanda
Supriadi S.S.,M.A selaku Ketua Jurusan Arkeologi Fakultas Sastra Universitas
Hasanuddin, yang selalu menghibur penulis dengan canda guraunya. Kanda Yadi
Mulyadi S.S., M.A selaku sekertaris jurusan Arkeologi Fakultas Sastra Universitas
Hasanuddin sekaligus penguji II penulis, terimakasih atas segala bantuan, diskusi,
kritikan, arahan, nasehat-nasehat serta peminjaman buku dalam proses pembuatan
skripsi ini. Penulis akan selalu belajar untuk siap menghadapi segala macam situasi,
baik maupun buruk.
BapakDr. Akin Duli, M.Aselaku pembimbing I yang juga pernah menjadi
Penasehat Akademik penulis, terima kasih atas kesabaran dan kesediaan meluangkan
waktu membimbing penulis. Bapak Drs. Budianto Hakim selaku pembimbing II
7/24/2019 --hasrianti-1901-1-13-hasri-0
8/161
ix
pinjaman buku-buku, dan traktiran-traktirannya. Penulis benar-benar telah belajar,
bahwa setiap masalah harus dipahami dengan baik sebelum bereaksi. Bapak Drs.
Iwan Sumantri, M.A, terimakasih atas semua ilmu dan nasehat yang diberikan.
Hidup memang layak dinikmati, karena kita tak pernah tahu apakah besok masih ada
kehidupan atau tidak. KandaMuhammad Nur, S.S, M.A, terimakasih atas semua
ilmu yang telah diberikan kepada penulis. Kanda Asmunandar, S.S, M.A,
terimakasih atas semua ilmu, diskusi, kritikan, dan bantuan-bantuan yang diberikan
kepada penulis.
Terimakasih yang begitu besar penulis haturkan kepada Ibu Dra. Khadijah
Thahir Muda, M.Si,atas ilmu, motivasi, dan nasehat yang diberikan. Hidup adalah
sebuah proses, kuncinya adalah keikhlasan. IbuDra. Erni Erawati Lewa, M.Si, atas
7/24/2019 --hasrianti-1901-1-13-hasri-0
9/161
x
Tak lupa pula penulis haturkan terimakasih kepada segenap jajaran pegawai
Balai Pelestarian Cagar Budaya (BPCB) Makassar atas segala bantuan yang
diberikan, baik moril maupun materil selama pelaksanaan KKN dan penelitian
penulis. Demikian halnya penulis sembahkan kepada segenap jajaran pegawai Balai
Arkeologi (Balar) Makassar, terkhusus kepada IbuDra. Nani Somba dan IbuDra.
Bernadeta Apriastuti atas nasehat-nasehat dan bantuan materi yang diberikan.
Penulis tidak mungkin dapat menyelesaikan skripsi dan kuliah tanpa bantuan ibunda
sekalian. Tentu saja, masalah akan selalu ada selama manusia masih bernafas.
Terima kasih tak terhingga penulis haturkan kepada kanda Didot
(Muhammad Ridha, S.S) atas diskusi dan segala bantuan yang diberikan selama
penulis melakukan penelitian di Villa Yuliana. Juga kepada kanda Ima (Khusnul
Kh ti h S S) t l h iji k li ti l di h d
7/24/2019 --hasrianti-1901-1-13-hasri-0
10/161
xi
kak Febi, kak Hasli, kak Chalid, kak Fahri, kak Ari, kak Dodo, kak Etha, kak
Mina, dan semuanya yang tidak dapat penulis sebutkan satu persatu karena
keterbatasan ruang untuk semua bantuan yang diberikan, buku yang dipinjamkan,
motivasi, diskusi, kapurung, sup Austronesia, traktiran, dan momen-momen
menyenangkan bersama kakanda sekalian. Ucapan yang khusus penulis haturkan
kepada kanda Yohanes Kasmin (Gio) atas kesediannya membantu penelitian
penulis di Villa Yuliana sekaligus membuatkan gambar dan peta penulis.
Begitu banyak cerita terangkai dalam perjalanan kita menempuh perkuliahan
saudara-saudariku Arca 07. Penulis mengucapkan terimakasih dari hati yang
terdalam atas semua kebersamaan, traktiran, segala macam bentuk pinjaman,
motivasi, kesediaan untuk mendengarkan keluhan-keluhan penulis, dan terkhusus
7/24/2019 --hasrianti-1901-1-13-hasri-0
11/161
xii
Kepada teman-teman di Fakultas Sastra Universitas Hasanuddin, Soren,
Amin,Tian,Ipul,Noe,Fadlan,Ida ,Kimi,Eni,Ai,Lala,Nunu,Koo,Andi,Uci,
Callu, kak efi, kak tuhri, kak ammar, kak heri, kak fitrah, kak wahyu, kak
bayu, dan semua yang tidak dapat penulis sebutkan satu persatu, terimakasih atas
semua bantuan dan motivasi yang diberikan. Ucapan yang sama penulis sampaikan
kepada teman-teman di Caritas dan UKMM. Penulis mengucapkan terimakasih yang
tak terhingga kepada sahabat-sahabatku di Solid04, Reni Abu, kak Asia, atas
semua kegilaan, motivasi, dan segala bantuan yang diberikan kepada penulis.
Akhirnya, karya tulis ilmiahku yang sangat sederhana lagi kecil ini
kupersembahkan kepada kedua orangtuaku, Abd. Razak. S dan Kanang yang tak
henti-hentinya mendoakan dan menyemangatiku untuk menyelesaikan kuliah. I love
7/24/2019 --hasrianti-1901-1-13-hasri-0
12/161
7/24/2019 --hasrianti-1901-1-13-hasri-0
13/161
7/24/2019 --hasrianti-1901-1-13-hasri-0
14/161
7/24/2019 --hasrianti-1901-1-13-hasri-0
15/161
xvi
DAFTAR GAMBAR
Gambar Hlm.1. Denah bangunan Villa Yuliana dan bangunan tambahannya 54
2. Denah ruangan lantai I bangunan Villa Yuliana 55
3. Denah ruangan lantai II bangunan Villa Yuliana 564. Sketsa tiang dengan pelengkung pada teras depan lantai I
bangunan Villa Yuliana 59
5. Sketsa atap bangunan Villa Yuliana tampak atas 81
6. Tata letak Villa Yuliana dan Istana Datu Soppeng dalam petatopografi Watansoppeng 86
7. Tipologi denah bangunan bergayaIndische Empire 90
8. Perbandingan tipologibargeboardpada atap rumah-rumah bergaya
Victorian styledengan bargeboard pada atap Villa Yuliana 969. Ragam bentuk pelengkung pada tudung danbalustradeteras depan
lantai II 99
10. Tampilan wajah depan Villa Yuliana dan Rumah Bugis 100
11. Denah yang menunjukkan keletakan pintu dan jendela pada VillaYuliana 110
12. Gambar detail pintu-pintu Villa Yuliana 111
13. Gambar detail tipe-tipe jendela pada Villa Yuliana 113
7/24/2019 --hasrianti-1901-1-13-hasri-0
16/161
7/24/2019 --hasrianti-1901-1-13-hasri-0
17/161
xviii
DAFTAR PETA
Peta
1. Peta administratif Provinsi Sulawesi Selatan Lamp.
2. Peta administrative Kabupaten Soppeng Lamp.
3. Peta situasi Situs Villa Yuliana Lamp.
7/24/2019 --hasrianti-1901-1-13-hasri-0
18/161
7/24/2019 --hasrianti-1901-1-13-hasri-0
19/161
XX
DAFTAR ISTILAH
Arkade(Ars)
Arch(Ars/Ing.)
Balustrade(Ars/Ing.)
Bargeboard (Ing.)
Beton
Bordes
Bosara (Bugis)
Deltils (Ing.)
Duk/niet
lorong pejalan kaki yang berata dengan deretan di
kedua sisinya biasanya berbentuk lengkung;
disebut pula pelengkung
disebut juga pelengkung, konstruksi kurva yangmembentang di atas sebuah bukaan, biasanya terdapat
balok berbentuk tirus yang disebutvoussoirs
seluruh elemen birai tangga, dapat juga memanjang di
sepanjang balkon, termasuk di dalamnya susur birai
dan baluster.
papan dekorasi terletak di ujung atap pelana
campuran semen, kerikil, dan pasir yang diadukdengan air untuk tiang rumah, pilar, dinding, dsb.
tempat perbenhentian pada tangga yang panjang
konsol penyangga atap tritisan
bagian kusen dipasang pada tiang (style) di bagian
bawah, khusus untuk kusen pintu, berfungsi untuk
menahan gerakan tiang ke segala arah dan melindungi
7/24/2019 --hasrianti-1901-1-13-hasri-0
20/161
xxi
ABSTRACT
HASRIANTI, 2013, The Architectural Villa Juliana in Watansoppeng of
Soppeng Regency, led by Dr. Akin Duli, M.A and Drs. Budianto judge.This study aims to determine the form of architecture, acculturation of
Bugis and Dutch colonial architecture, as well as the meaning behind the layoutand use of the Bugis architecture of Villa Yuliana. Research methodes are
qualitative-inductive by used a shape analysis, typology, and semiotics, with the
data synthesis process. The results showed that the architecture of Villa Juliana isdesigned with a form that supports recreational building, both on the spatial,
architectural elements, colors, and materials. The choice of location in addition tothe consideration of view oriented to get the best natural scenery, is also a symbol
of power and facilitate the control of the Dutch East Indies to Soppeng kingdom.
Employing Bugis architecture is an attempt to adapt to the local climate andattempt to win the hearts of the Soppeng people.
Keywords:adaptation, acculturation, architecture, power, politics, villa.
7/24/2019 --hasrianti-1901-1-13-hasri-0
21/161
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Arsitektur kolonial Belanda adalah bagian dari sejarah Indonesia yang
panjang. Melalui arsitektur sebenarnya dapat dibaca karakter sebuah bangsa
yang tangguh dan kaya akan khasanah budaya. Budaya adalah akar eksistensi
suatu etnik di suatu wilayah yang unik dan memiliki keistimewaan sendiri
(Pratiwo, 2009: xxi).
Ketika Belanda datang ke nusantara, berlangsung sebuah proses
b d b i k i B l d d k ib i
7/24/2019 --hasrianti-1901-1-13-hasri-0
22/161
Parmono Atmadi menyebut bentuk bangunan rumah tempat tinggal para
pejabat pemerintah Hindia Belanda yang memiliki ciri-ciri perpaduan antara
bentuk bangunan Belanda dan rumah tradisional sebagai arsitektur Indis.
Lebih luas, monumen estetis hasil budaya binaan (cultural construct) dan
imajinasi kolektif, serta ekspresi kreatif sekelompok masyarakat di Hindia
Belanda yang menggunakan dasar budaya Belanda dan Indonesia disebut
kebudayaan Indis (Soekiman, 2000: 7, 19-20).
Kebudayaan Indis terwujud ke dalam ide, aktivitas, dan artefak sesuai
dengan tiga gejala kebudayaan yang disebutkan oleh J.J. Honingmann dalam
bukuThe World of Man (Koentjaraningrat, 2002: 186). Secara singkat, dapat
dikatakan bahwa bangunan peninggalan Hindia Belanda merupakan wujud
f k ( l l ) d i k b d di d i i i d
7/24/2019 --hasrianti-1901-1-13-hasri-0
23/161
Watansoppeng sebagai salah satu wilayah bekas koloni Pemerintah
Hindia Belanda, terdapat bangunan peninggalan Hindia Belanda, antara lain
Vila Yuliana, Istana Arajang Bola Ridie, Rumah Candue (dibongkar tahun
Belanda 1959), Rumah Sakit Soppeng (dibongkar tahun 1970), Rumah Batoe
bekas rumah Gezagheber Soppeng, Pasar Watansoppeng, dan Pasar
Tadjoentjoe. Bangunan-bangunan tersebut sebagian telah dirobohkan dan di
atasnya berdiri bangunan baru. Meskipun keberadaannya membangkitkan
kenangan buruk terhadap penjajahan, namun bangunan-bangunan peninggalan
Belanda memiliki nilai guna dalam membangkitkan semangat nasionalisme;
penelitian sejarah, arkeologi, dan arsitektur; dan di masa sekarang di saat
bidang pariwisata sedang berkembang di berbagai daerah, bangunan tersebut
bil dik l l d b ik d j di bj k i ik
7/24/2019 --hasrianti-1901-1-13-hasri-0
24/161
budaya pada zamannya, misalnya gaya arsitektur khas kolonial dan
akulturasinya dengan lingkungan lokal (Lia Nuralia, 1999: 93-94); teknik
rancang bangun bangunan; dimensi sosial, ekonomi dan politik; dan dalam
wilayah lebih luas, hubungan antara setiap bangunan dan lingkungan di Kota
Watansoppeng bahkan Kabupaten Soppeng dapat memberi informasi tentang
struktur dan pola pemukiman pada periode kolonial.
Perpaduan arsitektur kolonial Belanda dan Bugis yang dimiliki oleh
Vila Yuliana, bagi penulis merupakan fenomena arsitektur unik yang menarik
untuk diangkat menjadi topik atau kajian penelitian skripsi.
B. Riwayat Penelitian
7/24/2019 --hasrianti-1901-1-13-hasri-0
25/161
Architecten). Disertasi tersebut telah diterbitkan sebagai buku berjudul
Arsitektur Kolonial Belanda di Indonesia pada tahun 1993 oleh Gadjah Mada
University Press.
Helen Jessup (1988) dalam disertasi berjudul Nederlands
Architecture in Indonesia 1900-1942, membahas arsitektur Belanda di
Indonesia pada tahun 1900 hingga 1942. Jessup memberikan perhatian khusus
pada karya-karya Maclaine dan Karsten yang memadukan arsitektur Belanda
dengan arsitektur tradisional Jawa dan Sumatera. Dalam disertasinya tersebut,
Jessup meyimpulkan bahwa arsitektur Belanda di Indonesia dalam beberapa
kasus dapat memberikan informasi yang berguna untuk memahami Indonesia,
dan di sisi lain juga dapat menggambarkan keadaan sosial, ekonomi, dan
7/24/2019 --hasrianti-1901-1-13-hasri-0
26/161
Indonesia, khususnya di Pulau Jawa. Sayangnya, tidak terdapat pembahasan
tentang arsitektur kolonial Belanda di Pulau Sumatera, Kalimantan, Sulawesi,
dan Papua. Padahal, setiap wilayah tersebut memiliki budaya sendiri, yang
tentunya akan melahirkan gaya arsitektur sendiri apabila berakulturasi dengan
arsitektur Kolonial Belanda.
Di Pulau Sulawesi, khususnya Propinsi Sulawesi Selatan, beberapa
penelitian terhadap bangunan-bangunan Kolonial Belanda telah pula
dilakukan, antara lain:
Khusnul Khatimah (2002) dalam skripsinya berjudul Pengelolaan
Situs Vila Yuliana di Watansoppeng Kabupaten Soppeng, membahas
mengenai penanganan yang tepat pada kondisi bangunan Vila Yuliana yang
7/24/2019 --hasrianti-1901-1-13-hasri-0
27/161
memperlihatkan adanya dominasi yang dimaksud. Hal ini dapat dipahami
mengingat bahwa Khatimah meneliti tentang pengelolaan dan bukan arsitektur
Vila Yuliana.
Buhanis Raminaa (2005) dalam skripsinya berjudul Arsitektur
Gedung Mulo Makassar, membahas mengenai bentuk arsitektur Gedung
Mulo di Makassar yang menunjukkan ciri sebagai bangunan sekolah dan
pengaruh lingkungan lokal pada arsitektur bangunan tersebut. Raminaa
menyimpulkan bahwa Gedung Mulo direncanakan dan dibangun hanya untuk
keperluan sekolah dengan kapasitas antara 360 hingga 432 murid, lebih dari
15 orang guru serta beberapa staf administrasi dan tata usaha. Pengaruh
budaya lingkungan lokal tidak ditemukan secara pasti pada bangunan.
7/24/2019 --hasrianti-1901-1-13-hasri-0
28/161
(1) Kajian arsitektural pada bangunan kolonial di Sulawesi Selatan,
sejauh penelusuran pustaka yang penulis lakukan, belum
membahas persoalan akulturasi antara arsitektur Kolonial
Belanda dan arsitektur tradisional setempat.
(2) Penelitian mengenai bangunan peristirahatan di Propinsi
Sulawesi Selatan belum dilakukan.
(3) Hanya terdapat satu penelitian yang membahas bangunan
peninggalan Kolonial Belanda di Kabupaten Soppeng, Propinsi
Sulawesi Selatan.
(4) Penelitian yang pernah dilakukan di Vila Yuliana belum
mengkaji persoalan arsitektur secara khusus.
7/24/2019 --hasrianti-1901-1-13-hasri-0
29/161
dan selesai pada tahun 1905, dibangun oleh seorang arsitek Belanda yang
sengaja didatangkan dari negeri Belanda, diperintahkan oleh C.A. Kroesen (A.
Wanua Tangke, 2007: 89).
Sumber lisan menyebutkan bahwa Vila Yuliana pada awalnya
dipersiapkan untuk menyambut kedatangan Ratu Yuliana ke Sulawesi
Selatan3. Namun, kondisi keamanan yang buruk mengakibatkan Ratu Yuliana
batal berkunjung. Meskipun demikian, Vila Yuliana tetap berfungsi sebagai
tempat peristirahatan pejabat pemerintah Hindia Belanda (Khusnul Khatimah,
2002: 31), juga tempat menginap dan beristirahat untuk tamu pemerintah yang
kebetulan datang ke Soppeng (A. Wanua Tangke, 2007: 90).
Menurut Gany (2003, dalam www.soppeng.org, diakses 5-12-2012),
http://www.soppeng.org/http://www.soppeng.org/7/24/2019 --hasrianti-1901-1-13-hasri-0
30/161
7/24/2019 --hasrianti-1901-1-13-hasri-0
31/161
hubungan yang selaras antara agama Katholik dengan lingkungan (Sumalyo,
1993: 17). Maka, muncul pertanyaan, bagaimana dengan penggunaan
arsitektur setempat untuk sebuah bangunan peristirahatan? Melambangkan
apakah hal tersebut? Unsur-unsur apa saja yang melatari keletakan bangunan
Vila Yuliana berhadapan langsung dengan Istana Datu Soppeng?
Berdasarkan uraian di atas, pertanyaan yang akan dijawab dalam
penelitian ini dapat dirincikan sebagai berikut:
(1) Bagaimana bentuk arsitektur Vila Yuliana yang mencerminkan
bangunan peristirahatan?
(2) Bagaimana bentuk perpaduan antara arsitektur Kolonial Belanda dan
arsitektur tradisional Bugis pada bangunan Vila Yuliana?
7/24/2019 --hasrianti-1901-1-13-hasri-0
32/161
penggambaran proses budaya (Iwan Sumantri, 2001: 26). Dengan
melihat ketiga tujuan tersebut, maka secara umum tujuan penelitian
ini ialah untuk merekonstruksi sejarah kebudayaan.
Tujuan khusus penelitian ini ialah :
(1) Mengetahui bentuk arsitektur Vila Yuliana yang
mencerminkan bangunan peristirahatan. Diharapkan setelah
mengetahui hal tersebut, fungsi bangunan Vila Yuliana
menjadi lebih jelas.
(2) Mengetahui bentuk perpaduan arsitektur Kolonial Belanda
dan arsitektur tradisional Bugis pada bangunan Vila Yuliana.
(3) Mengetahui maksud penempatan (keletakan) bangunan Vila
7/24/2019 --hasrianti-1901-1-13-hasri-0
33/161
b. Manfaat praktis
Diharapkan hasil kajian arsitektur Vila Yuliana
dapat menjadi salah satu bahan acuan dalam agenda
nasional membangun karakter budaya bangsa yang kian
mengalami degradasi.
E. Landasan Teori
1. Arkeologi Sejarah
Arkeologi sejarah mengkaji tinggalan budaya dari masyarakat
yang telah mengenal tulisan dan mampu mencatat sejarah mereka
sendiri. Berbeda dengan arkeologi prasejarah yang mengkaji sejarah
7/24/2019 --hasrianti-1901-1-13-hasri-0
34/161
Dalam penerapannya, kadang terjadi tumpang tindih antara
kajian arkeologi dengan kajian sejarah (Said, 2006: 110). Arkeologi
sejarah menggabungkan penggunaan bukti fisik masa lalu (data
arkeologi) dengan data-data sejarah seperti arsip, peta kuno, lukisan
tua, foto lama, dan sejarah lisan (oral history), seperti disebutkan oleh
Anonim (2004) dalam kutipan berikut:
Historical archaeology is an international discipline concernedwith studying the past using physical evidence in conjunction
with other types of historical sources as documents, maps,illustrations, photographs and oral history. It focuses on theobjects used by people in the past and the places where they
lived and worked. It can tell us about the way things were madeand used and how people lived their daily lives.
Meskipun demikian, peluang ilmu arkeologi juga semakin besar untuk
7/24/2019 --hasrianti-1901-1-13-hasri-0
35/161
manusia untuk melaksanakan aktivitas tertentu. Dari segi sejarah,
kebudayaan dan geografi, arsitektur adalah ungkapan fisik dan
peninggalan budaya dari suatu masyarakat dalam batasan tempat dan
waktu tertentu (Sumalyo, 2005: 1).
Amos Rapoport (dalam Oesman, 2008: 386) memaknai
arsitektur sebagai gejala budaya dasar, yang lahir dari kebutuhan
pokok manusia dalam mencari tempat untuk bernaung. Menurut
Rapoport, arsitektur adalah hasil kebudayaan dari perilaku manusia
berhubungan dengan lingkungannya, atau adaptasi manusia terhadap
alam dan sosial budayanya. Hampir sama dengan Rapoport, Sumalyo
(2005: 2) berpendapat bahwa arsitektur adalah hasil interaksi antara
7/24/2019 --hasrianti-1901-1-13-hasri-0
36/161
a. Arsitektur Kolonial Belanda
Arsitektur kolonial Belanda di Indonesia adalah
fenomena budaya yang unik, tidak terdapat di lain tempat,
juga pada negara-negara bekas koloni, karena arsitektur
kolonial Belanda di Indonesia terdapat pencampuran
budaya penjajah dengan budaya Indonesia (Sumalyo, 1993:
2).
Wujud arsitektur kolonial Belanda di Indonesia
merupakan wujud yang spesifik, sebagai hasil kompromi
arsitektur modern di Belanda kepada iklim tropis basah di
Indonesia. Terdapat pula beberapa bangunan arsitektur
7/24/2019 --hasrianti-1901-1-13-hasri-0
37/161
dapat digunakan untuk melihat pemandangan luar. Fungsi
menara adalah untuk mengalirkan udara panas dari
ruangan ke luar ruangan. Dormer adalah jendela tambahan
pada atap. Deltils adalah konsol penyangga atap tritisan.
(Ibid: 70).
Sejumlah ahli membagi periode perkembangan
bangunan Kolonial Belanda di Indonesia ke dalam tiga atau
empat periode, diantaranya Helen Jessup dan Josef
Prijotomo. Menurut Helen Jessup (1984, dalam Abbas,
2006: 229-230) perkembangan gaya bangunan Kolonial
Belanda terbagi atas empat periode, yaitu:
7/24/2019 --hasrianti-1901-1-13-hasri-0
38/161
berkuasa, dan umumnya bergaya arsitektur neo-
klasik.
(3) Tahun 1902 hingga 1920-an, politik etis
diberlakukan di Indonesia, yang berdampak
pada pembangunan bangunan-bangunan modern
yang lebih berorientasi ke Belanda.
(4) Tahun 1920 hingga 1940-an. Pada masa ini,
gerakan pembaruan dalam arsitektur
bermunculan serta memunculkan gaya
campuran dan berbagai gaya arsitektur,
misalnya art deco.
7/24/2019 --hasrianti-1901-1-13-hasri-0
39/161
contohnya pada beberapa masjid di Medan,
Banda Aceh, dan Pulau Penyengat yang
dibangun dengan gaya Moor, hingga Istana
Sultan Bima yang dibangun pada pertengahan
tahun 1930-an.
Menurut Sumalyo (2005: 28), perkembangan gaya
arsitektur pada bangunan Kolonial Belanda di Indonesia
terbagi atas lima periode, yaitu:
(1) Abad XVIII hingga abad XIX berkembang gaya
arsitektur neo klasik.
(2) Abad XIX hingga awal abad XX berkembang
7/24/2019 --hasrianti-1901-1-13-hasri-0
40/161
Sulawesi Selatan, seperti Bulukumba, Sinjai, Bone,
Soppeng, Wajo, Sidenreng Rappang (Sidrap), Pinrang,
Luwu, Pare-pare, Barru, serta sebagian wilayah Enrekang,
Pangkajene Kepulauan (Pangkep), dan Maros
(Koentjaraningrat, 1999: 266).
Kebudayaan berasal dari bahasa Sanskerta
buddhayah, yaitu bentuk jamak dari buddhi yang berarti
budi atau akal. Dengan demikian, kebudayaan dapat
diartikan sebagai hal-hal yang bersangkutan dengan akal.
Kebudayaan yang merupakan hasil cipta, karsa, dan rasa,
terdiri atas tujuh unsur kebudayaan universal yaitu, bahasa,
7/24/2019 --hasrianti-1901-1-13-hasri-0
41/161
Dalam struktur kosmos, orang Bugis membagi alam
menjadi tiga tingkatan (Ama Saing, 2010: 11-13), yaitu:
(1) Alam atas atau bottinglangi (puncak langit)
sebagai tempat suci persemayaman Dewata
SeuwaE (Dewa Tunggal) yang mengatur alam
raya beserta segala isinya.
(2) Alam tengah atau paratiwi sebagai tempat
pertemuan antara alam atas dan alam bawah,
dimana berlangsung kehidupan baik dan buruk,
kebaikan dan kejahatan, serta cinta dan dendam.
(3) Alam bawah atauuruliu(tempat gelap).
7/24/2019 --hasrianti-1901-1-13-hasri-0
42/161
(3) Awasao atau Awabola adalah bagian bawah
rumah yang terletak di bawah lantai panggung
(kolong rumah) sebagai tempat menyimpan
peralatan bekerja sesuai bidang pekerjaan
masing-masing pemilik rumah, seperti alat-alat
bertani bagi petani, kandang ayam bagi
peternak, alat-alat menangkap ikan bagi
nelayan, dan lain-lain.
Menurut Mattulada (1982, dalam Morrel, 2005:
249), dalam wilayah politik, struktur pemerintahan
masyarakat Bugis pra-Islam terdiri atas empat tingkatan,
7/24/2019 --hasrianti-1901-1-13-hasri-0
43/161
pemerintah Hindia Belanda menguasai langsung daerah
Sulawesi Selatan, yaitu:
(1) Anak Arung, yaitu lapisan kaum kerabat raja-
raja.
(2) To Maradeka, yaitu lapisan orang merdeka yang
merupakan sebagian besar rakyat Sulawesi
Selatan.
(3) Ata, yaitu orang yang ditangkap dalam
peperangan, orang yang tidak dapat membayar
hutang, atau orang yang melanggar pantangan
adat.
7/24/2019 --hasrianti-1901-1-13-hasri-0
44/161
(2) Sao-Piti, yaitu rumah Bugis yang berbentuk
lebih kecil dari Sao-Raja, tanpa sapana dan
memiliki bubungan bersusun dua.
(3) Bola, yaitu rumah rakyat pada umumnya.
Gagasan Sulapa Eppa sering dikaitkan dengan
bentuk rumah empat sisi, yang dianggap merupakan bentuk
ideal yang menampilkan kesempurnaan pada rumah
(Robinson, 2005: 301-302). Tipe rumah tradisional Bugis
adalah rumah panggung yang berdiri di atas tiang kayu.
Atap berbentuk pelana untuk memudahkan aliran air hujan
sebagai wujud adaptasi terhadap daerah Sulawesi Selatan
7/24/2019 --hasrianti-1901-1-13-hasri-0
45/161
(2) Tunebba, yaitu balok-balok kecil sebagai dasar
lantai.
(3) Salima atau lantai bambu, dan dapara atau
lantai papan.
(4) Babangatautange, yaitu pintu.
(5) Tellongengatau jendela.
(6) Jongkeataudapureng, yaitu dapur.
(7) Lego-lego, yaitu ruangan tambahan di sekitar
tangga.
Selain bagian-bagian pelengkap tersebut di atas,
rumah tradisional Bugis juga memiliki ragam hias, yang
7/24/2019 --hasrianti-1901-1-13-hasri-0
46/161
tertentu dihadapkan dengan unsur-unsur dari suatu kebudayaan asing
dengan sedemikian rupa, sehingga unsur-unsur kebudayaan asing itu
lambat laun diterima dan diolah ke dalam kebudayaan sendiri tanpa
menyebabkan hilangnya kepribadian kebudayaan itu
(Koentjaraningrat, 2002: 247-248).
Di dalam Kamus Bahasa Indonesia disebutkan, akulturasi
adalah percampuran dua kebudayaan atau lebih, misalnya percampuran
kebudayaan Cina dengan kebudayaan Jakarta; proses masuknya
pengaruh kebudayaan asing dalam suatu masyarakat dengan
penyerapan sebagian (kecil sekali), penyerapan yang agak banyak atau
penolakan sama sekali terhadap kebudayaan asing itu; atau, proses
7/24/2019 --hasrianti-1901-1-13-hasri-0
47/161
ekonomi dan perdagangan berubah menjadi penguasa yang berdaulat,
bermula di daerah pesisir utara Jawa, hingga akhirnya ke seluruh Pulau
Jawa dan Nusantara (Soekiman, 2000: 22), termasuk Sulawesi Selatan.
Sejak awal kehadiran bangsa Belanda, telah terjadi kontak
budaya antara bangsa Belanda dan pribumi, yang berimplikasi
terhadap timbulnya percampuran budaya. Kebudayaan campuran yang
didukung oleh segolongan masyarakat Hindia Belanda itu disebut
kebudayaan Indis, yang meliputi berbagai unsur kebudayaan
(Soekiman, 2000: 39), salah satunya bangunan (rumah, kantor, gereja,
dan lain-lain) yang termasuk dalam unsur budaya peralatan hidup dan
teknologi (Koentjaraningrat, 2002: 203-204 & 343; Soekiman, 2000:
7/24/2019 --hasrianti-1901-1-13-hasri-0
48/161
7/24/2019 --hasrianti-1901-1-13-hasri-0
49/161
Simbol biasanya diartikan sebagai penanda yang secara keseluruhan
bersifat arbitrer dalam hubungannya dengan pertanda, sebab hubungan
tersebut dibentuk hanya oleh penggunaan konvensi sosial (Ian &
Robert, 1999: 527).
Baik simbol maupun tanda (sign) diyakini bersifat universal,
sehingga proses yang terjadi dalam pembentukan sebuah bahasa juga
terjadi pada hal lain, antara lain pada arsitektur (Sukada, 1989: 34).
Parmono Atmadi (dalam Ibid: 33-34) menyebutkan bahwa:
Pada dasarnya arsitektur selalu ingin menyampaikan pesan,hanya karena pesan itu tidak tertulis maka pesan tadi dapat saja
diartikan berbeda dari yang dimaksudkan. Selain itu pesan
yang diharapkan dapat dan hampir selalu diartikan lain olehseseorang yang mencoba membaca pesan tersebut. Apalagi bila
pengamatan dilakukan dengan selisih waktu yang cukup lama.
7/24/2019 --hasrianti-1901-1-13-hasri-0
50/161
fleksibel dengan analisis data yang bersifat induktif. Berbeda dengan
penelitian kuantitatif yang bertujuan menguji teori berdasarkan
hipotesis dan variabel penelitian. Penelitian kuantitatif digunakan pada
penelitian eksperimental dan penelitian-penelitian yang menggunakan
data statistik. Rancangan penelitian formal dan terstruktur dengan
analisis data yang bersifat deduktif (Maryaeni, 2005: 1-5).
Memperhatikan karakteristik kedua jenis penelitian tersebut di
atas, latar belakang, rumusan masalah, dan sasaran penelitian, maka
dalam penelitian ini digunakan metode penelitian kualitatif.
2. Tahap-tahap Penelitian
Menurut James Deetz (1976: 8), seperti ilmu fisika, kimia,
7/24/2019 --hasrianti-1901-1-13-hasri-0
51/161
dimaksud adalah bangunan Vila Yuliana, sedangkan
data sekunder yang dimaksud adalah literatur-
literatur, baik berasal dari arsip, buku, jurnal, dan
laporan penelitian yang digunakan untuk
membangun landasan teori dan menganalisis data
primer.
Landasan teori dalam penelitian ini tidak
digunakan untuk membuktikan hipotesis, tetapi
digunakan sebagai alat analisis. Hal ini sebagaimana
pendapat Maryaeni (2008: 32) yang mengatakan
bahwa:
7/24/2019 --hasrianti-1901-1-13-hasri-0
52/161
(1) Observasi situs, yaitu sesuai dengan
Kamus Bahasa Indonesia (Sugono,dkk,
2008: 1084) adalah melakukan
pengamatan secara langsung pada Vila
Yuliana.
(2) Pendeskripsian, yaitu mencatat fakta dan
gejala yang teramati pada kondisi fisik
bangunan Vila Yuliana selama
melakukan observasi, misalnya ukuran
jendela dan pintu, jumlah tiang, bentuk
atap, dan sebagainya.
7/24/2019 --hasrianti-1901-1-13-hasri-0
53/161
(5) Pengukuran, yaitu mengukur panjang,
lebar, dan tebal pintu dan jendela; tinggi
tiang; dan sebagainya.
(6) Wawancara.
b) Data Sekunder
Data sekunder dalam penelitian ini
merupakan data penunjang yang digunakan
dalam menganilisis data primer, antara lain
laporan penelitian bangunan Vila Yuliana dan
penelitian lain yang relevan, sejarah bangunan
Vila Yuliana, teori-teori arsitektur secara
7/24/2019 --hasrianti-1901-1-13-hasri-0
54/161
(3) Perpustakaan Pusat Universitas
Hasanuddin.
(4) Perpustakaan Jurusan Arsitektur
Fakultas Teknik Universitas Hasanuddin.
(5) Balai Kajian Sejarah dan Nilai
Tradisional Masyarakat Makassar.
(6) Balai Arkeologi (Balar) Makassar.
(7) Balai Pelestarian Cagar Budaya (BPCB)
Makassar.
(8) Dan lain-lain.
7/24/2019 --hasrianti-1901-1-13-hasri-0
55/161
7/24/2019 --hasrianti-1901-1-13-hasri-0
56/161
Bab II : Profil wilayah Kabupaten Soppeng
Bab III : Deskripsi bangunan Vila Yuliana.
Bab IV : Analisis data penelitian, terdiri atas analisis dan hasil analisis.
Bab V : Penutup, berisi kesimpulan dan saran.
7/24/2019 --hasrianti-1901-1-13-hasri-0
57/161
7/24/2019 --hasrianti-1901-1-13-hasri-0
58/161
7/24/2019 --hasrianti-1901-1-13-hasri-0
59/161
7/24/2019 --hasrianti-1901-1-13-hasri-0
60/161
Terjemahan:Inilah Kitab/bagian yang menyampaikan tentang daerah Soppeng..
yang mewartakan tentang daerah Soppeng.. pada saatditinggalkannya negeri Sewo dan Gattareng, maka turunlah orang-
orang (penduduk negeri tersebut) untuk bermukim di suatu tempat,
yaitu negeri Soppeng. Adapun orang-orang yang berasal dari Sewodisebut orang Soppeng Riaja, sedangkan mereka yang berasal dari
Gattarang disebut kemudian sebagai orang Soppeng Rilau
Muh. Hidayat (1995: 16) menambahkan bahwa kelompok etnis tersebut
berjumlah 60 kelompok yang masing-masing diketuai oleh seorang bergelar
Matowa. Setelah Soppeng terbentuk menjadi sebuah kerajaan, berlangsung
perpindahan penduduk ke pusat-pusat distribusi, yang kemudian menurunkan
generasi etnis Bugis Soppeng kini.
Dalam perkembangan terakhir, beberapa penduduk dari luar daerah,
termasuk orang-orang dari etnis Tionghoa telah bermigrasi ke Kabupaten
7/24/2019 --hasrianti-1901-1-13-hasri-0
61/161
kemasyarakatan sebesar 10,54 %, sektor perindustrian sebesar 4,32 %, dan
selebihnya bekerja pada sektor-sektor lain (BPS Kab. Soppeng).
Di beberapa daerah Bugis termasuk Soppeng, masyarakat dibedakan
dalam tiga kelompok strata sosial, sebagaimana yang disebutkan oleh
Mattulada (1984: 259-278) dan Friedericy (dalam Koentjaraningrat, 1999:
276), yaitu:
(a) Anak Arung, yaitu kelompok yang terdiri dari kaum kerabat raja-
raja,
(b) To Samak, yaitu kelompok yang terdiri dari orang-orang
merdeka atau masyarakat kebanyakan, dan
(c) Ata, yaitu kelompok yang terdiri dari para budak, orang-orang
7/24/2019 --hasrianti-1901-1-13-hasri-0
62/161
Arsitektur Villa Yuliana di Watansoppeng Kabupaten Soppeng42
sara kemudian ditambahkan ke dalam konsep tersebut (Mattulada, 1982.,
dalam Morrel, 2005: 249).
Sebelum agama Islam diterima, masyarakat Soppeng telah mengenal
sistem kepercayaan terhadap Dewata. Dalam lontara Galigo, Dewata dikenal
dengan sebutanPatotoe(penentu nasib),Dewata Sauwae(yang tunggal), dan
Turiearana (yang tertinggi). Konsep pemujaan terhadap dewa-dewa ini
seringkali diwujudkan dalam suatu bentuk upacara, terutama yang
berhubungan dengan pertanian, diantaranya adalah tudang sipulung di
Lakkelinja, upacara meminta hujan, massempe, mappadendang, dan
massappowanua(Bahru Kallupa, 1989: 9., dalam Muh. Hidayat, 1995: 18).
7/24/2019 --hasrianti-1901-1-13-hasri-0
63/161
Dalam struktur bahasa daerah Bugis dialek Soppeng, ditemukan
banyak perubahan sebutan dari huruf C menjadi S dan sebaliknya.
Contohnya, pada katasalo(bahasa Bugis: sungai) yang berubah menjadicalo
untuk menyebutkan sungai yang beraliran air kecil, atausappo(bahasa Bugis:
saudara sepupu) menjadi cappo untuk menunjukkan hubungan kekerabatan
dengan orang lain selain saudara sepupu. Apabila dikaitkan dengan nama
Soppeng, maka boleh jadi benar nama tersebut berasal dari nama pohon
Coppeng yang hingga kini masih banyak tumbuh di dalam wilayah Soppeng.
Versi kedua meninjau asal usul nama Soppeng dari aspek penggunaan
bahasa daerah Bugis, khususnya perubahan kata, baik melalui
penyederhanaan sebutan maupun penggabungan dua kata atau lebih menjadi
7/24/2019 --hasrianti-1901-1-13-hasri-0
64/161
D. Sejarah Kabupaten Soppeng
Pada sekitar tahun 1300 M, Soppeng merupakan sebuah wilayah yang
dihuni oleh 60 kelompok suku masyarakat, dimana setiap kelompok dipimpin
oleh seseorang bergelar Matowa. 30 kelompok suku bermukim di Soppeng
Riaja atau Soppeng Barat dan 30 kelompok suku lainnya bermukim di
Soppeng Rilau atau Soppeng Timur (Abdurrazak, 2004: 94-95; Mohammad
Natsir, 2009: 10-11).
Menurut Abdurrazak Dg. Patunru (2004: 95-96), dalam abad XIV
Soppeng pernah dilanda bencana kelaparan. Selama tujuh tahun tidak turun
hujan, sehingga penduduk tidak dapat menanami sawah dan ladang. Oleh
sebab itu, Arung Bila yang bertugas sebagai wakil Raja Luwu Sawerigading
7/24/2019 --hasrianti-1901-1-13-hasri-0
65/161
7/24/2019 --hasrianti-1901-1-13-hasri-0
66/161
Pada tahun 1908, empat lili Kedatuan Soppeng yaitu, Kiru-kiru,
Siddo, Ajakkang dan Balusu, yang pada awalnya tergabung dalam ke-25 lili
Kedatuan Soppeng, dilebur oleh pemerintah Belanda menjadi pemerintah
Kerajaan sendiri (Zelf Bestuur), yaitu Soppeng ri Aja (Surat Gubernur-
Jenderal tertanggal 3 September 1908 No. 28, dalam Abdurrazak, 2004: 116).
Kemudian, Penguasa Militer Kooy (Militair Gezagheber Kooy) membagi
Soppeng ke dalam tujuh buah distrik, yaitu distrik Lalabata, distrik Lili ri
Lau, distrik Lili ri Aja, distrik Pattojo, distrik Citta, distrik Mario ri Awa, dan
distrik Mario ri Wawo.
Sekitar tahun 1923, yaitu ketika A.J.L.Couvreur menjadi Gubernur di
Celebes dan daerah taklukannya, distrik-distrik diubah menjadi
7/24/2019 --hasrianti-1901-1-13-hasri-0
67/161
Pada tahun 1942 hingga 1945, Soppeng berada dalam kekuasaan
Jepang. Kontrolir Belanda digantikan Kontrolir Jepang yang disebut
Bunkenkanrikan. Proklamasi kemerdekaan oleh Soekarno-Hatta pada tanggal
17 Agustus 1945, mengakhiri kekuasaan Jepang di seluruh Indonesia. Pada
awal tahun 1946, Belanda kembali berkuasa di Soppeng hingga pertengahan
tahun 1950, ketika terjadi kekacauan sebagai akibat timbulnya pergolakan
politik di Sulawesi-Selatan dan Tenggara pasca pembentukan Republik
Indonesia Serikat (RIS). Kedatuan Soppeng secara resmi terhapus pada tahun
1958, dengan pembentukan Soppeng menjadi Daerah Otonom Tingkat II
berdasarkan Undang-Undang Darurat No.4 tahun 1957, dan Datu Soppeng
Haji Andi Wana diangkat oleh Pemerintah Pusat menjadi Kepala Daerah
7/24/2019 --hasrianti-1901-1-13-hasri-0
68/161
BAB III
DESKRIPSI BANGUNAN VILLA YULIANA
A. Latar Sejarah Bangunan Villa Yuliana
Villa Yuliana dibangun oleh seorang arsitek Belanda yang sengaja
didatangkan dari Negeri Belanda, diperintahkan oleh C.A.Krosen (A.Wanua
Tangke, 2007: 89). Tidak ada informasi perihal siapa nama arsitek tersebut.
Menurut penuturan Hamruddin Laide (Wawancara, 21-02-2013), arsitek Villa
Yuliana merupakan seorang tawanan Kerajaan Belanda berkebangsaan
Belgia, yang dikirim ke Soppeng (Indonesia) untuk mengerjakan bangunan.
7/24/2019 --hasrianti-1901-1-13-hasri-0
69/161
bahwa pemberian nama sebagai bentuk pengabdian orang Belanda di Hindia
kepada Rajanya (A.Wanua Tangke, 2007: 91).
Pada tahun 1996, bangunan Villa Yuliana masih berada di bawah
penanganan Pemerintah Daerah Kabupaten Soppeng dan telah dilakukan
pemugaran pada bangunan tersebut. Kemudian, pada tahun 1998 didaftar
menjadi Benda Cagar Budaya dengan nomor registrasi 448, di bawah
penanganan Suaka Peninggalan Sejarah dan Purbakala Sulawesi Selatan dan
Tenggara. Pada tanggal 2 Mei 2000 dilakukan pemugaran, pembuatan pagar
keliling bangunan sekitar 200 m, pemasangan papan larangan, penempatan
juru pelihara situs dan studi pemintakatan dengan SK-Nomor:
213/C.1/M/2000 (Khusnul Khatimah, 2002: 32) oleh BP3 Sulawesi Selatan,
7/24/2019 --hasrianti-1901-1-13-hasri-0
70/161
sebagai tempat menginap dan peristirahatan pejabat pemerintah Hindia
Belanda. Pananrangi Hamid (2001: 237) berpendapat bahwa, Villa Yuliana
merupakan hadiah dari Ratu Wilhelmina beberapa saat setelah kelahiran
putrinya Yuliana, sebagai simbol penyerahan kekuasaan dari Kerajaan
Soppeng kepada Pemerintah Hindia Belanda, yang juga pernah digunakan
sebagai kediaman resmi kontrolir Soppeng pada masa pemerintahan Hindia
Belanda. Sementara menurut Hamruddin Laide (Wawancara, 21-02-2013),
tahun 1909 hingga 1942 bangunan Villa Yuliana difungsikan sebagai markas
Pemerintah Hindia Belanda.
Hamruddin Laide (Wawancara, 21-03-2013) menuturkan pula bahwa,
pada masa selanjutnya saat Soppeng dikuasai oleh tentara Jepang (1942
7/24/2019 --hasrianti-1901-1-13-hasri-0
71/161
7/24/2019 --hasrianti-1901-1-13-hasri-0
72/161
7/24/2019 --hasrianti-1901-1-13-hasri-0
73/161
7/24/2019 --hasrianti-1901-1-13-hasri-0
74/161
7/24/2019 --hasrianti-1901-1-13-hasri-0
75/161
7/24/2019 --hasrianti-1901-1-13-hasri-0
76/161
7/24/2019 --hasrianti-1901-1-13-hasri-0
77/161
7/24/2019 --hasrianti-1901-1-13-hasri-0
78/161
7/24/2019 --hasrianti-1901-1-13-hasri-0
79/161
7/24/2019 --hasrianti-1901-1-13-hasri-0
80/161
7/24/2019 --hasrianti-1901-1-13-hasri-0
81/161
yang diisi papan kayu (plank) dengan terawang motif
belah ketupat. Pasangan disangga oleh palang kayu
yang kesatuannya dengan tiang membentuk tanda salib.
Pasangan tersebut menyangga balok penahan teritisan
di bawah gavel. Sementara pada sisi Selatan, kepala
tiang diberi pasangan berbentuk pelengkung busur
(lihat foto 5) dari kayu yang diisi papan kayu (plank)
dengan terawang motif belah ketupat. Pasangan
disangga oleh palang kayu berornamen, yang
kesatuannya dengan pelengkung membentuk lengkung
daun semanggi (trefoil arch).
7/24/2019 --hasrianti-1901-1-13-hasri-0
82/161
7/24/2019 --hasrianti-1901-1-13-hasri-0
83/161
sebelah kanan lantai I berhubungan dengan teras di
lantai II.
Pondasi atau landasan dari papan kayu
berbentuk lonjong dengan ukuran 186 cm x 58 cm
x 3 cm. Anak tangga (trede) berjumlah 24 buah,
terbagi atas 13 tanjakan awal dan 11 tanjakan akhir.
Anak tangga datar (antrede) dari papan kayu
berbentuk persegi panjang berukuran 113 cm x 31
cm, lima diantaranya yang terletak di awal tanjakan
akhir berbentuk trapezium dan membentuk
belokan. Anak tangga tegak (optrade) berukuran
7/24/2019 --hasrianti-1901-1-13-hasri-0
84/161
7/24/2019 --hasrianti-1901-1-13-hasri-0
85/161
Pagar pengaman dan pegangan tangga
bertumpu pada lima buah tiang, dua tiang terletak
di bawah (dasar) berukuran 131 cm x 10 cm, satu di
tengah berukuran 215 cm x 12 cm, dan dua di atas
(puncak) berukuran 110 cm x 10 cm yang dipasang
di atas anak tangga menyatu dengan konstruksi ibu
tangga. Setiap tiang tumpuan terbuat dari balok
kayu dengan kepala merunjung ke atas seperti
limas, yang diberi ukiran garis lurus vertikal pada
badan dan profil dengan gerigi pada kepala. Pada
kaki tiang tumpuan tengah diberi ornamen timbul
7/24/2019 --hasrianti-1901-1-13-hasri-0
86/161
7/24/2019 --hasrianti-1901-1-13-hasri-0
87/161
7/24/2019 --hasrianti-1901-1-13-hasri-0
88/161
7/24/2019 --hasrianti-1901-1-13-hasri-0
89/161
7/24/2019 --hasrianti-1901-1-13-hasri-0
90/161
7/24/2019 --hasrianti-1901-1-13-hasri-0
91/161
7/24/2019 --hasrianti-1901-1-13-hasri-0
92/161
7/24/2019 --hasrianti-1901-1-13-hasri-0
93/161
7/24/2019 --hasrianti-1901-1-13-hasri-0
94/161
7/24/2019 --hasrianti-1901-1-13-hasri-0
95/161
7/24/2019 --hasrianti-1901-1-13-hasri-0
96/161
7/24/2019 --hasrianti-1901-1-13-hasri-0
97/161
7/24/2019 --hasrianti-1901-1-13-hasri-0
98/161
7/24/2019 --hasrianti-1901-1-13-hasri-0
99/161
7/24/2019 --hasrianti-1901-1-13-hasri-0
100/161
7/24/2019 --hasrianti-1901-1-13-hasri-0
101/161
7/24/2019 --hasrianti-1901-1-13-hasri-0
102/161
7/24/2019 --hasrianti-1901-1-13-hasri-0
103/161
7/24/2019 --hasrianti-1901-1-13-hasri-0
104/161
7/24/2019 --hasrianti-1901-1-13-hasri-0
105/161
7/24/2019 --hasrianti-1901-1-13-hasri-0
106/161
7/24/2019 --hasrianti-1901-1-13-hasri-0
107/161
7/24/2019 --hasrianti-1901-1-13-hasri-0
108/161
7/24/2019 --hasrianti-1901-1-13-hasri-0
109/161
7/24/2019 --hasrianti-1901-1-13-hasri-0
110/161
7/24/2019 --hasrianti-1901-1-13-hasri-0
111/161
7/24/2019 --hasrianti-1901-1-13-hasri-0
112/161
7/24/2019 --hasrianti-1901-1-13-hasri-0
113/161
7/24/2019 --hasrianti-1901-1-13-hasri-0
114/161
7/24/2019 --hasrianti-1901-1-13-hasri-0
115/161
7/24/2019 --hasrianti-1901-1-13-hasri-0
116/161
7/24/2019 --hasrianti-1901-1-13-hasri-0
117/161
7/24/2019 --hasrianti-1901-1-13-hasri-0
118/161
7/24/2019 --hasrianti-1901-1-13-hasri-0
119/161
7/24/2019 --hasrianti-1901-1-13-hasri-0
120/161
7/24/2019 --hasrianti-1901-1-13-hasri-0
121/161
7/24/2019 --hasrianti-1901-1-13-hasri-0
122/161
7/24/2019 --hasrianti-1901-1-13-hasri-0
123/161
7/24/2019 --hasrianti-1901-1-13-hasri-0
124/161
7/24/2019 --hasrianti-1901-1-13-hasri-0
125/161
7/24/2019 --hasrianti-1901-1-13-hasri-0
126/161
7/24/2019 --hasrianti-1901-1-13-hasri-0
127/161
7/24/2019 --hasrianti-1901-1-13-hasri-0
128/161
7/24/2019 --hasrianti-1901-1-13-hasri-0
129/161
7/24/2019 --hasrianti-1901-1-13-hasri-0
130/161
7/24/2019 --hasrianti-1901-1-13-hasri-0
131/161
7/24/2019 --hasrianti-1901-1-13-hasri-0
132/161
7/24/2019 --hasrianti-1901-1-13-hasri-0
133/161
7/24/2019 --hasrianti-1901-1-13-hasri-0
134/161
7/24/2019 --hasrianti-1901-1-13-hasri-0
135/161
7/24/2019 --hasrianti-1901-1-13-hasri-0
136/161
7/24/2019 --hasrianti-1901-1-13-hasri-0
137/161
7/24/2019 --hasrianti-1901-1-13-hasri-0
138/161
7/24/2019 --hasrianti-1901-1-13-hasri-0
139/161
7/24/2019 --hasrianti-1901-1-13-hasri-0
140/161
7/24/2019 --hasrianti-1901-1-13-hasri-0
141/161
7/24/2019 --hasrianti-1901-1-13-hasri-0
142/161
7/24/2019 --hasrianti-1901-1-13-hasri-0
143/161
7/24/2019 --hasrianti-1901-1-13-hasri-0
144/161
Lantai danPlafon
Teras
Ragam
Hias
Penutup lantai dari bambu(salima) dan papan kayu
(dapara). Plafon adalah
bagian bawah lantai loteng
(rakkecmg).
Teras (lego-lego) adalah
ruangan tambahan yangterletak di bagian depan
badan rumah (ale bola).
Ragam hias pada rumah
Bugis terdiri dari ragam
hias naturalis (flora dan
fauna).Flora : bunga parenreng
Fauna: ayam jantan
(manuk), kepala kerbau
dan naga (ular besar).
Doric, Ionic, Corinthian,Composite.
Penutup lantai dari ubinatau marmer. Plafon bisadari beton, tripleks, rotan,dan kayu, kadang-kadangdiberi hiasan.
Tanpa teras
Ragam hias terdiri dari
ragam hias geometris dan
naturalis.
Geometris: lingkaran,persegi, segi tiga, dsb.
Naturalis : manusia, flora
dan fauna.
Penutup lantai I: ubin,penutup lantai II: papankayu. Plafon adalahbagian bawah lantailoteng, kecuali dapur danWC yang menggunakan
plafon dari beton.
Teras terdiri dari teras
depan dan belakang,terdapat di lantai I
maupun lantai II. Wujud
teras depan lantai II
mirip seperti lego-lego
pada rumah Bugis.
Ragam hias terdiri dariragam hias geometrisdan naturalis (flora).
Geometris: garis lurus,persegi, lingkaran, segitiga dan belah ketupat.Flora : bunga
parenreng, sulur daun,dan bunga.
(Sumber: Analisis, 2013)
7/24/2019 --hasrianti-1901-1-13-hasri-0
145/161
7/24/2019 --hasrianti-1901-1-13-hasri-0
146/161
7/24/2019 --hasrianti-1901-1-13-hasri-0
147/161
BAB V
PENUTUP
A. Kesimpulan
Villa Yuliana merupakan salah satu bangunan bekas rumah
tinggal/pesanggrahan pejabat militer Pemerintah Hindia Belanda.
Berdasarkan analisis yang telah dilakukan, maka dapat disimpulkan
bahwa bentuk arsitektur Villa Yuliana yang mencerminkan fungsi
bangunan nampak pada elemen-elemen seperti proporsi bangunan yang
asimetris, bentuk denah/tata ruang, serta penggunaan warna hijau pada
bukaan, tangga, bargeboard, dan tiang. Keberadaan menara yang
menimbulkan anggapan bahwa Villa Yuliana adalah sebuah gereja tidak
7/24/2019 --hasrianti-1901-1-13-hasri-0
148/161
7/24/2019 --hasrianti-1901-1-13-hasri-0
149/161
7/24/2019 --hasrianti-1901-1-13-hasri-0
150/161
7/24/2019 --hasrianti-1901-1-13-hasri-0
151/161
7/24/2019 --hasrianti-1901-1-13-hasri-0
152/161
7/24/2019 --hasrianti-1901-1-13-hasri-0
153/161
7/24/2019 --hasrianti-1901-1-13-hasri-0
154/161
7/24/2019 --hasrianti-1901-1-13-hasri-0
155/161
7/24/2019 --hasrianti-1901-1-13-hasri-0
156/161
7/24/2019 --hasrianti-1901-1-13-hasri-0
157/161
PETA ADMINISTRATIF PROVINSI SULAWESI SELATAN
7/24/2019 --hasrianti-1901-1-13-hasri-0
158/161
PETA ADMINISTRATIF KABUPATEN SOPPENG
7/24/2019 --hasrianti-1901-1-13-hasri-0
159/161
7/24/2019 --hasrianti-1901-1-13-hasri-0
160/161
7/24/2019 --hasrianti-1901-1-13-hasri-0
161/161