Upload
dangkhanh
View
220
Download
0
Embed Size (px)
Citation preview
1
BAB I
PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Kemendag (2012 : 1) menjelaskan bawah pada 20 April 2012 menteri
perdagangan negara anggota G20 melakukan pertemuan di Poerto Vallarta,
Meksiko. Topik utama yang menjadi pembahasan dalam pertemuan tersebut
adalah bagaimana kaitannya antara perdagangan, pertumbuhan dan lapangan
kerja dengan Global Value Chain. Salah satu hasil kesepakatan dalam pertemuan
tersebut adalah pentingnya negara untuk memainkan perannya masing-masing
dalam Global Value Chain, sebagai penyedia bahan baku, penyedia produk
antara atau produsen produk akhir. Indonesia merupakan negara berkembang
dengan potensi sumberdaya alam yang besar. Isu dan tren Global Value Chain
ini bisa dijadikan acuan dalam melihat peran dan partisipasi Indonesia dalam
Global Value Chain. Wirjawan dalam Kemendag (2012 : 2) menyampaikan
bahwa Global Value Chain harus mepresentasikan kepentingan negara maju dan
negara berkembang secara proporsional. Beberapa hal yang perlu diperhatikan
negara berkembang untuk mengambil peranan dalam Global Value Chain
menurut Wirjawan dalam Kemendag (2012 : 2) adalah negara berkembang harus
memasukkan sektor pertanian sebagai sektor penting dalam mendukung
pertumbuhan dan penciptaan lapangan kerja, policy space harus tersedia untuk
penyesuaian kebijakan dan mengatasi tantangan pembangunan, negara
berkembang seperti Indonesia harus memiliki aspirasi untuk merambah naik
dalam Global Value Chain dari penyedia bahan baku menjadi pengolah antara
atau produk akhir sehingga negara berkembang juga mendapatkan nilai tambah
dari Global Value Chain.
Johansson (2013) mengatakan bahwa Global Value Chain adalah salah
satu faktor penentu perdagangan internasional saat ini. Global Value Chain
2
merupakan seluruh rangkaian aktivitas yang dilakukan perusahaan-perusahaan
dalam mendistribusikan barang atau jasa dari input sampai ke konsumen akhir.
Aktivitas ini termasuk desain, produksi, marketing dan seluruh layanan yang ada.
Global Value Chain sangat erat kaitannya dengan ekspor-impor suatu negara.
Gereffi dan Fernandez (2011) menjelaskan bahwa Global Value Chain sangat
erat dengan peningkatan pendapatan negara dari share perdagangan
internasional, peningkatan PDB dan peningkatan lapangan kerja. Artinya
keterlibatan suatu negara dalam Global Value Chain akan mendorong
peningkatan perekonomian wilayah dalam pemasukan devisa, PDB dan
ketersediaan lapangan kerja. Douglas C. North dalam Azhar, et al. (2005)
menyatakan bahwa sektor ekspor memiliki peran yang penting dalam
pembangunan daerah, karena sektor ekspor dapat berkontribusi dalam
perekonomian daerah, yaitu ekspor akan secara langsung meningkatkan
pendapatan faktor-faktor produksi dan pendapatan daerah, dan perkembangan
ekspor akan menciptakan permintaan terhadap produksi industri lokal yaitu
industri yang produknya dipakai untuk melayani pasar di daerah.
Rata-rata PDRB DIY dari tahun 2011-2015 adalah 85.6 triliyun rupiah.
Berdasarkan perhitungan PDRB rata-rata 2011-2015 industri manufaktur
memberikan kontribusi 13.6% terhadap PDRB. Industri manufaktur di DIY
adalah sektor yang menghasilkan produk-produk ekspor. Nilai ekspor dari
Yogyakarta pada awal 2013 tumbuh 29,2 persen dengan nilai USD 1,8 juta.
Tingginya pertumbuhan ini menempatkan DIY posisi kedua nasional di bawah
Papua yang tumbuh 43,5 persen dengan nilai USD 382 juta. (Kemenperin, 2013)
Nilai Ekspor DIY pada 2013 adalah 211,76 USD naik 19,59% dari tahun
sebelumnya. Pada 2013 DIY melakukan ekspor ke 111 negara dengan 286
jumlah eksportir. ( Disperindag DIY, 2013) Dari keseluruhan komoditas ekspor
yang ada Disperindag DIY menetapkan 20 produk sebagai produk utama ekspor
DIY berdasarkan SKA dan nilai ekspor. Komoditas utama ekspor yang
3
ditetapkan Disperindag tersebut adalah, pakaian jadi tekstil, mebel kayu, sarung
tangan kulit, karajinan kayu, STK sintetis, atsiri daun cengkih, kulit disamak,
kerajinan batu, kerajinan kulit, produk tekstil lainnya, kerajinan kertas, teh
hijau/hitam, kerajinan bambu, kerajinan perak, minyak kenanga, STK kombinasi
poliurethan, arang briket, papan kemas, karajinan tanah liat dan lampu.
(Disperindag DIY, 2013)
1.2. Perumusan Masalah
Daerah Istimewa Yogyakarta merupakan salah satu provinsi di Indonesia
yang terkenal dengan kegiatan pendidikan, pariwisata dan kebudayaan. Dibalik
identitas tersebut, ternyata DIY juga memiliki potensi kegiatan industri
manufaktur yang besar. Hal itu ditunjukkan dengan adanya data PDRB DIY
tahun 2011-2015 yang menjelaskan bahwa industri manufaktur memberikan
kontribusi cukup besar terhadap PDRB DIY. Hal ini menjadi alasan bahwa
kegiatan industri manufaktur di DIY merupakan objek yang menarik untuk
diteliti.
Setiap wilayah memiliki keterbatasan sumber daya alam yang
mengharuskan adanya hubungan dengan wilayah lain. Potensi sumber daya alam
di DIY tentunya juga terbatas. DIY juga tidak memiliki industri pembuatan
mesin-mesin industri manufaktur, akan tetapi kegiatan industri manufaktur
berlangsung di DIY. Oleh karena itu perlu diidentifikasi bagaimana pemenuhan
sumber daya alam dan alat-alat industri dalam industri manufaktur di DIY. Selain
itu perlu diidentifikasi juga keberadaan interaksi interregional antara DIY
dengan wilayah lain baik tingkat nasional atau global dalam keberlangsungan
kegiatan industri manufaktur. Keberadaan kegiatan industri manufaktur di DIY
memungkinkan adanya hubungan intraregional di wilayah provinsi DIY. Oleh
karena itu perlu diketahui juga bagaimana peran masing-masing wilayah
4
kabupaten/kota di DIY dalam industri manufaktur, pemanfaatan sumberdaya
alam dan keterlibatan tenaga kerja.
Sektor industri manufaktur DIY menghasikan produk-produk yang
diekspor. Artinya balas jasa terhadap faktor produksi industri pengolahan juga
berasal dari keterlibatan DIY dalam Global Value Chain. Keterlibatan suatu
negara dalam GVC ditentukan oleh tiga hal yakni: teknologi komunikasi, logistik
dan keterbukaan ekonomi. Menurut TCF Uni Eropa-Indonesia (2015) Indonesia
masih tertinggal dalam aspek teknologi komunikasi, logistik dan keterbukaan
ekonomi. Indonesia memiliki keterbatasan akses terhadap internet cepat yang
memungkinkan komunikasi antar negara menjadi lebih praktis dan efisien.
Buruknya kinerja logistik dan perizinan yang rumit juga menjadi penghambat
dalam kegiatan ekspor. Aktivitas ekspor di DIY juga tidak disertai keberadaan
pelabuhan laut sebagai infrastruktur logistik. Dengan keterbatasan ini DIY masih
mampu melakukan kegiatan ekspor. Bahkan dari tahun 2011-2015 nilai ekspor
DIY cenderung meningkat. Berdasarkan hal itu, identifikasi bagaimana peran
dan partisipasi DIY dalam Global Value Chain perlu dilakukan. Keterlibatan
DIY dalam GVC memungkinkan adanya interaksi dengan wilayah-wilayah lain.
Identifikasi peran dan partisipasi DIY dalam GVC perlu menjelaskan mengenai
rantai nilai global, interaksi DIY dengan wilayah lain, komunikasi dan alur
informasi, stakeholder yang terlibat, kebijakan-kebijakan, pemetaan
permasalahan-permasalahan yang ada serta usaha-usaha yang dilakukan
stakeholder terkait dalam mendorong perkembangan peran DIY dalam GVC.
DIY yang merupakan bagian dari Indonesia sebagai negara berkembang
cenderung memiliki kualitas SDM yang lebih rendah dibanding negara-negara
maju, akan tetapi kegiatan industri manufaktur di DIY sebagian mampu
menghasilkan produk-produk jadi yang berkualitas dengan standarisasi
internasional. Hal ini memungkinkan adanya interaksi antara DIY dengan
negara-negara lain dalam proses produksi barang. Oleh karena itu dalam rantai
5
nilai global produk ekspor DIY perlu diidentifikasi aktivitas tangible dan
aktivitas intagible dan siapa yang melakukan.
Permasalah-permasalahan penelitian yang sudah dijelaskan di atas
menunjukkan perlunya dilakukan analisis Global Value Chain terhadap produk
ekspor di DIY. Analisis Global Value Chain ini melakukan identifikasi terhadap
5 hal yakni : Struktur input-output rantai nilai produk ekspor DIY, lingkup
geografis dalam rantai nilai produk ekspor DIY, struktur governance dalam
rantai nilai produk ekspor DIY, konteks institusional dalam rantai nilai produk
ekspor DIY dan usaha-usaha upgrading yang dilakukan stakeholder terkait
dalam rantai nilai produk ekspor DIY. Analisis GVC terhadap produk ekspor
DIY perlu dilakukan untuk melihat aspek-aspek kualitatif bagaimana aktivitas
industri manufakur di DIY terlibat dalam GVC sehingga menghasilkan nilai
tambah yang berkontribusi kepada perekonomian wilayah. Peran dan partisipasi
DIY dalam GVC juga merupakan salah satu aspek yang mendorong adanya
pemasukan devisa, peningkatan PDRB dan ketersediaan lapangan kerja.
Kontribusi sektor industri manufaktur terhadap PDRB DIY menunjukkan adanya
pembangunan wilayah di DIY. Analisis GVC ini perlu dilakukan untuk menggali
permasalahan-permasalahan yang ada dan usaha-usaha pembangunan wilayah
yang dilakukan stakeholder terkait. Penelitian mengenai GVC produk ekspor
DIY juga melengkapi informasi Global Value Chain DIY yang sudah ada.
Analisis GVC terhadap produk ekspor DIY secara komprehensif akan
menghasilkan informasi GVC yang lengkap, akan tetapi penelitian ini memiliki
keterbatasan sumber daya, biaya dan waktu. Oleh karena itu sebelum analisis
GVC dilakukan perlu ditentukan produk ekspor spesifik yang diprioritaskan
untuk diteliti lebih lanjut. Pemilihan produk yang tepat untuk dianalisis lebih
lanjut dalam GVC merupakan tahapan yang penting untuk meyesuaikan dengan
sumberdaya penelitian yang ada dan kemampuan peneliti dalam melakukan
analisis.
6
Rumusan masalah penelitian dapat disederhanakan menjadi dua
pertanyaan yakni :
A. Apa Produk Ekspor Unggulan Daerah Istimewa Yogyakarta ?
B. Bagaimana Rantai Nilai Global Produk Ekspor Unggulan Daerah Istimewa
Yogyakarta ?
1.3. Tujuan Penelitian
A. Mengidentifikasi Produk Ekspor Unggulan Daerah Istimewa Yogyakarta.
B. Melakukan Analisis Global Value Chain terhadap Produk Ekspor Unggulan
Daerah Istimewa Yogyakarta.
1.4. Manfaat Penelitian
Diantara manfaat dari penelitian ini adalah sebagai berikut :
A. Manfaat bagi penulis adalah meningkatkan kemampuan dalam
mengidentifikasi masalah, menganalisis dan menemukan solusi sebagai
perwujudan dari aplikasi ilmu yang diperoleh.
B. Memberikan informasi umum mengenai aliran rantai nilai global produk
ekspor kepada pelaku bisnis dan usaha.
C. Penelitian ini juga bisa digunakan sebagai sumber informasi tentang aliran
rantai nilai global produk ekspor bagi pemerintah dalam membuat kebijakan
terkait.
D. Penelitian diharapkan dapat menjadi sumber informasi ilmiah bagi
perkembangan ilmu pengetahuan, dan referensi penelitian. Hasil penelitian
ini dapat dijadikan sebagai bahan referensi penelitian selanjutnya terkait
Global Value Chain.
7
1.5. Tinjauan Pustaka
1.5.1. Kedudukan Penelitian dalam Ilmu Geografi
Ilmu Geografi memiliki tiga pendekatan utama yakni (1) analisis spasial,
(2) analisis ekologis dan (3) analisis komplek regional sebagai gabungan dari
pendekatan (1) dan (2). Pendekatan ke tiga merupakan cara yang lebih tepat
digunakan untuk menelaah fenomena geografis yang memiliki tingkat
kerumitan tinggi karena banyaknya variabel pengaruh dan dalam lingkup multi
dimensi (ekonomi, sosial, budaya, politik dan keamanan). Salah satu contoh
adalah telaah tentang pembangunan wilayah. (Harmantyo, 2007)
Konsepsi pembangunan wilayah pada dasarnya adalah pembangunan
berdasarkan hasil analisa data spasial Kebijakan pembangunan wilayah pada
dasarnya merupakan keputusan dan intervensi pemerintah, baik secara nasional
maupun regional untuk mendorong proses pembangunan daerah secara
keseluruhan. (Kartono, 1989 dalam Harmantyo, 2007).
Dalam penelitian Global Value Chain terhadap produk ekspor DIY ini,
bagian penting adalah penjelasan mengenai kegiatan ekspor yang dilakukan di
DIY. Berdasarkan Teori Basis Ekspor, keberadaan produk-produk ekspor yang
terlibat dalam GVC sangat berpengaruh dalam pembangunan wilayah di DIY.
Teori Basis Ekspor dikebangkan oleh Douglass C. North pada 1964. Teori ini
mengatakan bahwa sektor ekspor memiliki peranan yang penting dalam
pertumbuhan wilayah karena sektor ekspor dapat memberikan kontribusi
penting tidak hanya kepada ekonomi wilayah tapi juga perekonomian nasional.
Wilayah yang tingkat permintaannya tinggi akan menarik adanya kesempatan
kerja yang luas dan investasi. Pengembangan teori ini memiliki syarat utama
diantaranya adalah keterbukaan sistem suatu wilayah, ketersediaan aliran
8
barang, adanya modal, penggunaan teknologi antar wilayah atau antar negara
yang satu dengan negara yang lain. (Azhar, et al., 2005)
1.5.2. Konsep Produk Ekspor Unggulan
Pemerintah Indonesia melalui Kementerian dalam Negeri berdasarkan
Peraturan Menteri Dalam Negeri Republik Indonesia Nomor 9 Tahun 2014
tentang Pedoman Pengembangan Produk Unggulan Daerah metetapkan kriteria
penentuan Produk Unggulan Daerah untuk wilayah provinsi dan
kabupaten/kota. Kriteria penentuan Produk Unggulan Daerah tersebut adalah :
( Kriteria a sampai f merupakan kriteria mutlak yang harus dipenuhi )
a. Penyerapan tenaga kerja produk ekspor unggulan menggunakan tenaga
kerja yang terampil dan kreatif yang mampu menyediakan lapangan
pekerjaan yang luas bagi masyarakat Provinsi DIY.
b. Sumbangan terhadap perekonomian merupakan kriteria produk ekspor
unggulan yang memiliki nilai ekonomis, memberikan manfaat bagi
konsumen, dan memberikan keuntungan ekonomi bagi seluruh pemangku
kepentingan dan daerah yang memproduksi produk unggulan tersebut.
c. Sektor basis ekonomi daerah merupakan produk unggulan daerah yang
masuk dalam kategori kelompok sektor basis dalam PDRB dan
memberikan kontribusi terbesar dalam ekonomi daerah.
d. Dapat diperbaharui memberi makna bahwa produk ekspor unggulan bukan
barang tambang dan memanfaatkan bahan baku yang dapat diperbaharui
dan ramah lingkungan. Barang tambang tidak dapat dimasukkan sebagai
produk unggulan daerah meskipun saat itu memberi kontribusi ekonomi
yang besar bagi daerah.
9
e. Unsur sosial budaya dalam menciptakan, memproduksi dan
mengembangkan produk unggulan daerah adalah menggunakan talenta
dan kelembagaan masyarakat yang dibangun dan dikembangkan atas dasar
kearifan lokal yang bersumber pada ciri khas dan warisan budaya turun
temurun serta kondisi sosial budaya setempat.
f. Ketersediaan pasar merupakan kemampuan suatu produk ekspor unggulan
untuk terserap dalam pasar global.
g. Bahan baku produk ekspor unggulan harus terjamin ketersediaannya
dengan perolehan harga yang kompetitif, terjamin kesinambungannya
serta ramah lingkungan.
h. Produk ekspor unggulan harus ada ketersediaan modal dan kecukupan
dana bagi kelancaran usaha untuk kebutuhan investasi dan modal kerja.
i. Sarana dan prasarana produksi adalah kemudahan bagi pengusaha produk
ekspor unggulan untuk memperoleh sarana dan prasarana produksi pada
tingkat harga yang kompetitif dan mudah diperoleh.
j. Teknologi yang relevan, tepat guna dan terdapat unsur yang tidak mudah
ditiru yang berasal dari proses yang kreatif dan original.
k. Manajemen usaha merupakan kemampuan mengelola usaha secara
profesional dengan memanfaatkan talenta dan kelembagaan masyarakat.
l. Harga merupakan kemampuan memberi nilai tambah dan mendatangkan
laba usaha. (Kemendagri, 2014 : 18).
1.5.3. Global Value Chain
10
Global Value Chain adalah rantai nilai yang mengikuti arus globalisasi
perdagangan antar negara berdasarkan prinsip keterbukaan dan perdagangan
bebas. Menurut Gereffi dan Fernandez (2011) dimensi Global Value Chain ada
4 yaitu dimensi struktur input-output, dimensi lingkup geografi, dimensi
penguasaan dan dimensi konteks institusional.
Perbedaan Value Chain ( rantai nilai ) dengan Global Value Chain
adalah Value Chain adalah lingkup geografi dalam melihat aliran barang / jasa
dari input sampai konsumen. Memungkinkan rantai nilai berlangsung pada satu
wilayah. Sedangkan dalam Global Value Chain lingkup geografis
memungkinkan adanya interaksi antar wilayah maupun antar negara dalam
proses input rantai nilai sampai proses konsumsi. Aliran barang dan jasa dalam
Global Value Chain dilakukan oleh banyak perusahaan yang melibatkan
banyak wilayah. Asal bahan baku, tempat dimana kegiatan produksi dilakukan
dan tempat dimana produk dipasarkan merupakan inti dari istilah Global Value
Chain. (Frederick, 2016 dalam CGGC Duke University, 2016 ).
Menurut Gereffi dan Fernandez (2011) salah satu kontribusi utama dari
analisis GVC adalah memetakan pergeseran rantai nilai dalam lingkup
geografis industri global. GVC pada dasarnya beroperasi pada skala geografis
yang berbeda (lokal, nasional, dan global) dan rantai nilai tersebut terus
berkembang. GVC memungkinkan adanya kecenderungan regionalisasi dalam
menanggapi berbagai faktor, termasuk semakin besarnya potensi negara-negara
berkembang dan maupun adanya perjanjian perdagangan regional.
1.5.4. Perbedaan Global Value Chain dan Global Commodity Chain
Hopkins dalam University of Calofornia (2012) menjelaskan bahwa
Global Commodity Chain (GCC) adalah jaringan tenaga kerja dan proses
produksi yang menghasilkan produk akhir. GCC merupakan tipe jaringan
11
perdagangan global yang berkembang pada tahun 80-an. (Henderson, et al.
2001, hal.13 dalam University of California, 2012)
Perkembangan kerangaka GVC bermula dari keberadaan konsep GCC.
Gereffi (2001, hal : 1618 ) menjalaskan bahwa GCC membedakan rantai nilai
menjadi dua yakni buyer-driven dan producer-driven. Dalam producer-driven
commodity chain perusahaan manufaktur akan mengambil peran sentral dalam
mengkoordinasi proses produksi dan jaringan produksi. GCC tipe ini dilakukan
oleh perusahaan manufaktur yang memiliki kerumitan dalam proses produksi
seperti industri otomotif dan elektronik. Perusahaan manufaktur
memungkinkan memproduksi komponen-komponen produk di negara-negara
yang mampu memproduksi dengan biaya murah dan tenaga kerja yang murah.
Istilah yang muncul dalam masa perkembangan GCC ini adalah produksi
komponen dilakukan di The Global South atau yang juga dikenal dengan third
world countries yakni negara-negara berkembang. Proses perakitan produk
akhir dan penjualan akan dilakuan di The Global North yakni industrialized
countries atau negara maju. Menurut Gereffi (2001, hal : 1619 ) buyer-driven
commodity chains mengacu pada rantai nilai yang dijalankan oleh perusahaan
retailer, marketer atau branded manufacture yang memiliki peran sebagai
penentu dalam GCC. Perusahaan ini akan menempatkan kegiatan produksi di
negara-negara pengekspor, biasanya negara berkembang. Negara-negara yang
menjalankan produksi sudah melakukan produksi sampai tahap produk jadi
untuk dijual di negara maju. Perusahaan tipe ini bisa dikatakan industri yang
tidak memiliki pabrik. Tipe GCC ini terjadi pada komoditas yang sederhana
dan produksinya tidak rumit seperti garmen, sepatu, mainan, dan kerajinan.
Pada masa perkembangan GCC, perusahaan besar menjadi penentu
utama dalam menentukan standar-standar rantai global secara captive.
Frederick ( 2016 dalam CGGC Duke University, 2016 ) menjelaskan bahwa
12
dalam 30 tahun terakhir perubahan besar secara drastis terhadap perkembangan
konsep GCC. Integrasi vertikal dalam rantai nilai global semakin berkurang
dan membentuk pola network-oriented. Hasil dari perkembangan ini
menyebabkan pergeseran yang luas dan cepat dalam governance yang ada pada
rantai global. Standar-standar tidak hanya berasal dari satu perusahaan akan
tetapi berkembang pada rantai global. Kemampuan negara-negara berkembang
dalam melakukan produksi juga meningkat dan memiliki pengaruh dalam
penentuan peraturan rantai global. Perkembangan GCC ini menjadi dasar
konsep GVC dimana tata kelola rantai global memungkinkan adanya sistem
koordinasi yang rumit. Bisa jadi suatu rantai nilai global tersusun atas struktur
governance yang kompleks.
1.5.5. Rantai Nilai
Rantai nilai menjukkan range dari seluruh kegiatan yang dilakukan oleh
perusahaan-perusahaan atau pekerja yang menjadikan satu konsepsi aliran
barang dari suplai pertama sampai kepada proses yang terakhir yakni kepada
konsumen. Aktivitas rantai nilai bisa dilakukan satu perusahaan bisa juga
menjadi bagian dari sistem rantai yang besar yang dilakukan oleh banyak
elemen. Ide tentang rantai nilai merupakan ide yang cukup intuitif. Istilah
rantai nilai mengacu pada serangkaian kegiatan yang diperlukan untuk
menghadirkan suatu produk (atau jasa) dimulai dari tahap konseptual,
dilanjutkan dengan beberapa tahap produksi, hingga pengiriman ke konsumen
akhir dan pemusnahan setelah penggunaannya (Kaplinsky dan Morris, 2001
dalam ACIAR, 2012, terjemahan Kusumawardhani, 2012). Rantai nilai
terbentuk ketika semua pelaku dalam rantai tersebut bekerja sedemikian rupa
sehingga memaksimalkan terbentuknya nilai sepanjang rantai tersebut.
Definisi rantai nilai menurut Kaplinsky ( 1999, dalam ACIAR, 2012,
terjemahan Kusumawardhani, 2012 ) berdasarkan pendekatan yang luas adalah
13
melihat berbagai kegiatan kompleks yang dilakukan oleh berbagai pelaku
(produsen utama, pengolah, pedagang, penyedia jasa) untuk membawa bahan
baku melalui suatu rantai hingga menjadi produk akhir yang dijual. Menurut
ACIAR (2012, terjemahan Kusumawardhani, 2012) Rantai nilai yang luas ini
dimulai dari sistem produksi bahan baku yang akan terus terkait dengan
kegiatan usaha lainnya dalam perdagangan, perakitan, pengolahan, dan lain-
lain. Pendekatan luas ini tidak hanya melihat pada kegiatan yang dilakukan
oleh satu usaha. Pendekatan ini justru mencakup semua hubungan baik yang
bergerak maju ataupun mundur, sampai ketika bahan baku produksi tersebut
akhirnya terhubung dengan konsumen akhir
1.5.6. Governance dalam Global Value Chain
Governance dalam GVC merupakan tipe atau model posisi pelaku rantai
nilai maupun perusahaan-perusahaan yang terlibat. Fokus governance adalah
relasi asimetris mengenai kekuasaan antar pelaku atau perusahaan dalam suatu
rantai nilai. Secara sederhana, governance digambarkan sebagai hubungan
antara pelaku-pelaku yang terlibat dalam suatu rantai nilai dimana satu pelaku
memiliki fungsi yang lebih dominan dalam mengontrol dan menentukan
informasi dalam berlangsungnya proses-proses yang terjadi pada suatu rantai
nilai. (Gereffi dalam Tunggal, 2013)
Pada konteks governance ini Gereffi (1994, dalam tunggal 2013)
mendeskripsikan mengenai bagaimana otoritas kekuasaan merupakan penentu
SDM, material dan keuangan yang diimplementasikan dalam rantai nilai.
Keberadaan kepentingan yang berbeda antara pihak yang satu dengan pihak
yang lain menciptakan kekuatan yang saling bertolak belakang. Pemerintah
secara konstitusional merupakan pihak yang memiliki peran dan kekuasaan
untuk mempengaruhi, memaksa dan menakan pihak lain yang terlibat dalam
rantai nilai.
14
Ada 5 struktur governance dalam GVC menurut (Gereffi , et al. , 2005)
yakni :
a. Market
Market governance menjelaskan keberadaan transaksi yang relatif
sederhana. Dalam tiep governance ini spesifikasi produk secara mudah
dapat ditransmisikan dan supplier dapat membuat produk dengan input
permintaan yang cenderung sedikit dari pembeli. Tidak ada hubungan
kerjasama resmi antara supplier dengan pembeli dan syarat ketentuan
produk juga relatif sedikit. Inti dari governance tipe ini adalah harga pasar.
b. Modular
Governance tipe modular terjadi apabila transaksi yang kompleks relatif
dapat disusun. Biasanya supplier dalam rantai modular memproduksi
barang sesuai dengan spesifikasi yang diminta customer dan sacara penuh
bertanggung jawab pada proses peroduksi dan penggunaan teknologi. Hal
ini membuat biaya yang diperlukan lebih rendah meskipun interaksi
pembeli dan pemasok menjadi sangat kompleks. Hubungan antara pemasok
dan pembeli dalam tipe modular lebih subtansial karena jumlah informasi
yang mengalir cukup banyak. Informasi, penggunaan teknologi dan standar
menjadi kunci dalam tipe governance ini.
c. Relational
Tipe relasional terjadi ketika pembeli dan penjual bergantung pada
informasi yang kompleks yang tidak mudah untuk ditransmisikan. Hal ini
menuntut adanya interaksi yang lebih banyak antara pemasok dan pembeli.
Hubungan seperti ini membutuhkan kepercayaan dan menghasilkan saling
ketergantungan, yang diatur melalui reputasi, kedekatan sosial dan spasial,
keluarga dan ikatan etnis, dan sejenisnya. Meskipun saling ketergantungan,
pembeli masih menentukan apa yang dibutuhkan, dan masih mempunyai
15
kontrol terhadap pemasok. Produsen dalam rantai relasional lebih mungkin
untuk memasok produk yang dibedakan berdasarkan kualitas, asal
geografis atau karakteristik unik lainnya. Hubungan relasional memerlukan
waktu untuk membangun, sehingga biaya dan kesulitan diperlukan untuk
beralih ke pasangan baru cenderung tinggi.
d. Captive
Dalam rantai ini, pemasok dengan skala kecil sangat tergantung pada satu
atau beberapa pembeli yang memegang banyak kekuasaan. Perusahaan
yang memimpin rantai memiliki kontrol yang besar terhadap pemasok.
Karena kompetensi inti dari perusahaan yang memimpin rantai cenderung
berada di daerah luar produksi, maka perusahaan ini membantu pemasok
mereka untuk meningkatkan kemampuan produksi dan tidak melanggar
batas kompetensi inti yang telah ditentukan. Keadaan itu akan membantu
perusahaan yang memimpin rantai nilai meningkatkan efisiensi rantai
pasokan.
e. Hierarchy
Governance tipe ini menggambarkan rantai ditandai dengan integrasi
vertikal dan kontrol manajerial secara penuh dari perusahaan yang
memimpin rantai nilai terhadap pemasok yang mengembangkan dan
memproduksi produk. Hal ini biasanya terjadi ketika spesifikasi produk
tidak dapat disusun dengan mudah, produk yang kompleks, atau pemasok
yang sangat kompeten susah ditemukan. Sementara kurang umum daripada
di masa lalu, ini semacam integrasi vertikal masih merupakan fitur penting
dari ekonomi global. Tipe governance ini tidak begitu banyak digunakan
dimasa lalu tapi sangat potensial di masa depan.
16
Sumber : Gereffi (2005)
Gambar 1.1. Tipe-tipe Governance 1
SNV (2008, dalam ACIAR 2012 : 52) mengklasifikasikan struktur
governance dalam rantai nilai menjadi 4 yakni : market, balanced, directed dan
hierarchy.
a. Market
Market merupakan tipe governance yang diindikasikan dengan banyaknya
jumlah customer dan supplier. Dalam tipe market ini kerjasama formal
hanya sedikit bahkan tidak ada.
b. Balance
Dalam tipe balance ini decision making dilaksanakan secara seimbang oleh
pelaku-pelaku yang terlibat dalam rantai nilai. Kerjasama yang dilakukan
bersifat dua arah dan tidak ada pihak yang lebih mendominasi. Tipe
balance diindikasikan dengan adanya negosiasi dalam pemecahan masalah
yang ada oleh pelaku yang berhubungan.
17
c. Directed
Dalam tipe directed ini salah satu perusahaan memiliki dominasi lebih
untuk mengatur perusahaan-perusahaan pemasok dibawahnya. Ciri-cirinya
adalah perusahaan yang lebih besar sebagai customer menentukan lebih
dari 50% output produksi.
d. Hierarchy
Hierarchy merupakan hubungan terintegrasi dalam satu perusahaan.
Perusahaan tersebut memiliki kontrol penuh terhadap aktivitas lain yang
dilakukan perusahaan yang sama dalam satu rantai nilai.
Sumber : ACIAR (2012)
Gambar 1.2. Tipe-tipe Governance 2
Gereffi, G., Humphrey, J., Sturgeon. T. (2005) menjelaskan bahwa
struktur governance dalam Global Value Chain dipengaruhi oleh tingkat
kerumitan transaksi, kemampuan penyusunan transaksi, kapabilitas pemasok
serta derajat koordinasi eksplisit dan tingkat asimetri. Kunci determinasi dalam
governance GVC dalam diliat pada tabel 1.1.
18
Tabel 1.1. Tabel Kunci Determinasi Governance dalam GVC
Sumber : Gereffi, G., Humphrey, J., Sturgeon. T. (2005)
ACIAR (2012) memberikan contoh-contoh tipe governance dalam
GVC yakni : jagung sebagai tipe governance market, kopi organik sebagai tipe
governance balance, karajinan untuk ekspor sebagai tipe governance captive
dan bunga potong sebagai tipe governance directed atau hierarchy. Rantai nilai
jagung yang menghubungkan pembeli dengan pemasok merupakan transaksi
yang sederhana, kemampuan penyusunan transaksi tinggi, kapabilitas pemasok
tinggi dan tingkat asimetri rendah. Standar harga dalam rantai nilai jagung
ditentukan oleh pasar. Pertemuan antara pembeli dan pemasok bisa terjadi di
pasar dalam waktu yang relatif singkat tanpa adanya perjanjian dagang yang
detail. Rantai nilai kopi organik merupakan rantai nilai dengan jumlah
pemasok dan pembeli relatif banyak dengan transaksi yang dapat disusun
meskipun transaksi cukup rumit. Rantai nilai kopi organik ini memiliki
karakter tingkat asimetri yang relatif seimbang. Artinya antara pemasok dan
pembeli sama-sama memiliki peran dalam menentukan standar-standar rantai
nilai secara berimbang. Rantai nilai kerajinan untuk ekspor dicontohkan
sebagai tipe governance captive. Artinya dalam rantai nilai kerajinan ekspor
transaksi yang terjadi cukup rumit dengan kemampuan penyusunan transaksi
yang baik, akan tetapi tingkat asimetri rantai nilai mebel kayu cukup tinggi dan
kemampuan pemasok dalam memproduksi kerajinan ekspor rendah. Oleh
karena itu dalam rantai nilai kerajinan ekspor pembeli berperan dalam
19
menentukan standar-standar produksi dan memberikan kontrol yang besar
terhadap pemasok. Penelitian ini bisa mengidentifikasi bagaimana tipe-tipe
governance yang ada di DIY apakah produk-produk ekspor juga memiliki
struktur yang captive. Bunga potong yang dicontohkan sebagai tipe governance
directed memiliki kerumitan transaksi dan transaksi relatif sulit untuk disusun.
Kemampuan pemasok dalam menyediakan produk bunga potong yang sesuai
standar rendah dan tingkat asimetri dalam rantai nilai sangat tinggi. Hal ini
yang menciptakan governance secara terarah dimana kendali proses produksi
sampai penjualan dipegang penuh oleh satu perusahaan.
1.5.7. Institutional Context
Menurut Keane, (2008) governance dalam GVC dapat dibedakan
menjadi internal governance dan external governance. Internal governance
merupakan pengaruh, power atau kekuasaan yang berasal dari pelaku utama
rantai nilai dari hulu sampai ke hilir. Sedangankan external governance adalah
pengaruh yang berasal dari luar operasional rantai nilai. Pelaku utama rantai
nilai tidak bisa berlepas diri dari external governance baik yang menyediakan
kerangka legal atau pemerintah yang mengeluarkan kebijakan untuk
pengoperasian, maupun pihak pendukung secara finansial dan material lainnya,
maupun komunitas yang ada. Pemerintah merupakan external governance
yang mendukung pelaku rantai nilai dan asosiasi bisnis untuk memenuhi
standar-standar yang diperlukan baik dalam industri, jaringan produksi sampai
ke perdagangan global.
Institutional Context mengidentifikasi bagaimana kondisi lokal,
nasional, internasional dan kebijakan yang ada dalam membentuk globalisasi
dalam rantai nilai (Gereffi, 2011). Analisis dinamika lokal di mana rantai nilai
berjalan memerlukan identifikasi terhadap seluruh para pemangku kepentingan
yang terlibat. Semua pelaku industri dipetakan dalam rantai nilai dan peran
utama mereka dalam rantai dijelaskan. Karena rantai nilai global mengacu di
20
berbagai wilayah, penggunaan kerangka institusional ini memungkinkan
seseorang untuk melakukan perbandingan lebih sistematis dan analisis
mengenai dampak yang terjadi dengan adanya kebijakan-kebijakan yang
dilakukan oleh pihak terkait dalam suatu rantai nilai global. Institutional
context ini merupakan external governance yang mempengaruhi rantai nilai
global.
1.5.8. Upgrading
Upgrading merupakan komponen yang sangat substansial dalam GVC.
Upgrading merupakan suatu strategi yang meliputi usaha meningkatkan
produk, proses penambahan nilai produk, upaya efisiensi produksi, inovasi atau
bahkan peralihan ke aktivitas produksi yang berbasis pada ketrampilan dan
keahlian yang lebih baik. Menurut Kaplisky dan Morris (2000, dalam
Widiartanti, 2015) upgrading diartikan sebagai kemampuan suatu pelaku rantai
nilai untuk melakukan inovasi dengan tujuan peningkatan dan penguatan daya
saing di pasar global.
Menurut Menurut Gereffi (2005 dalam, Gereffi dan Fernandez, 2011)
pendekatan dalam analisis ekonomi global meliputi dua poin yakni top down
dan bottom up. Konsep top down merupakan gambaran dari governance dalam
GVC, sedangkan konsep bottom up merupakan gambaran dari upgrading
dalam GVC. Upgrading tersebut merupakan strategi-strategi yang dilakukan
pemerintah suatu negara, pemerintah daerah ataupun stakeholder lain yang
terkait dalam suatu rantai nilai untuk meningkatkan posisi mereka dalam rantai
nilai global. Upgrading menggambarkan seluruh usaha yang dilakukan oleh
pelaku rantai nilai, perusahaan yang terlibat, pemerintah lokal, pemerintah
nasional, dan stakeholder lainnya untuk melakukan aktivitas yang memiliki
nilai tambah yang lebih besar dalam GVC guna meningkatkan pendapatan atau
keuntungan dari peran serta dalam suatu rantai nilai.
21
Tipe upgrading menurut Humphrey & Schmitz, (2002, dalam gereffi dan
fernandez, 2011 : 13) adalah :
a. Process upgrading, merupakan usaha-usaha yang dilakukan dalam
meningkatkan efisiensi produksi melalui pengorganisasian proses-proses
yang dilakukan atau penggunaan teknologi yang lebih baik.
b. Product Upgrading, merupakan usaha-usaha dalam meningkatkan kualitas
produk dan meningkatkan nilai produk. Usaha ini bisa dilakukan
berdasarkan preferensi konsumen maupun keinginan untuk meningkatkan
nilai tambah, kualitas yang lebih baik maupun produk yang lebih
menguntungkan. Bentuk upgrading produk bisa berupa adaptasi terhadap
tren yang sedang populer maupun standar yang lebih tinggi.
c. Functional Upgrading, merupakan usaha-usaha yang dilakukan dalam
merubah posisi fungsi perusahaan menjadi level yang lebih tinggi dalam
suatu fase rantai nilai untuk mendapatkan nilai tambah yang lebih.
d. Chain and Interserctoral Upgrading, merupakan usaha-usaha yang
dilakukan dengan memasuki pasar yang baru untuk produk yang sama.
Chain upgrading ini bisa berupa langkah memasuki pasar dalam wilayah
geografis yang berbeda. Insectoral upgrading digambarkan sebagai usaha
menambah aktivitas produksi untuk produk sektor yang baru tapi masih
berkaitan dengan produk utama yang diproduksi.
1.6. Penelitian Terdahulu
1.6.1. Penelitian Tentang Produk Unggulan
Herdhiansyah, et al. , (2013) menentukan produk perkebunan unggulan
di Kabupaten Kolaka Sulawesi Tenggara berdasarkan kriteria kualitatif dengan
metode Delphi. Penentuan produk unggulan komoditas perkebunan di
22
Kabupaten Kolaka selama ini belum dilakukan. Penelitian ini bertujuan untuk
memunculkan suatu urutan produk unggulan komoditas perkebunan di
Kabupaten Kolaka. Objek penelitian ini adalah 17 alternatif komoditas
perkebunan. Penetapan indikator strategis sebagai kriteria pemilihan produk
unggulan komoditas perkebunan dilakukan oleh sekelompok panel peneliti
yang memiliki latar belakang kebidangan berbeda dalam lingkup perkebunan.
Setyawan (2009) meneliti mengenai Rantai Pasokan Sayuran Unggulan
Dataran Tinggi di Jawa Barat. Penelitian ini bertujuan (1) Memilih produk
sayuran unggulan dataran tinggi, (2) Mengkaji struktur rantai pasokan produk
sayuran terpilih, (3) Mengkaji nilai tambah produk sayuran terpilih, (4)
Memberikan alternatif sistem rantai pasokan sayuran unggulan dataran tinggi
yang dapat diterapkan di Jawa Barat. Salah satu bagian utama dalam penelitian
ini adalah pemilihan sayuran unggulan di Jawa Barat dengan menggunakan
Metode Perbandingan Eksponensial. Tujuan identifikasi produk sayuran ini
adalah untuk menentukan produk apa yang akan diteliti lebih lanjut mengenai
rantai pasokannya.
1.6.2. Penelitian Tentang Global Value Chain
Tunggal (2013) melakukan penelitian analisis GVC terhadap
internasionalisasi produk batik di Indonesia. Penelitian ini mencoba untuk
mencari alasan kenapa Batik Lasem belum bisa menembus pasar ekspor serta
apa saja upaya yang dilakukan pemerintah dan swasta untuk meningkatkan
adya saing Batik Lasem. Dengan konsep GVC serta melakukan studi kasus
terhadap batik Pekalongan, Solo dan Yogyakarta diketahui bahwa alasan
kenapa Batik Lasem belum mampu menembus pasar internasional adalah
belum ada governance dan upgrading yang baik dalam mendukung rantai nilai
Batik Lasem.. Sedangkan upaya yang sudah dilakukan oleh pemerintah daerah
23
Kabupaten Rembang dalam meningkatkan daya saing batik Lasem dinilai
belum tepat.
Akbar (2013) melakukan penelitian mengenai Perkembangan Industri
Rotan di Indonesia melalui analisis Global Value Chain. Pembahasan
penelitian tersebut adalah mengenai perkembangan industri rotan Indonesia
dalam menghadapi persaingan di pasar global. Produk Rotan ini merupakan
produk non-migas yang perkembangannya fluktuatif akibat dari kebijakan-
kebijakan yang ada di dalam dan luar negeri. Penelitian ini mencoba mencari
apa permasalahan yang ada, siapa saja stakeholder yang mempunyai
kepentingan dan apa usaha-usaha dan kebijakan yang tepat untuk
diimplementasikan dalam pengembangannya melalui analisis Global Value
Chain (GVC). Dalam analisis GVC, terdapat tiga hal yang menjadi kunci
dalam mengembangkan sebuah komoditas, yaitu rente, governance dan
upgrading. Peneliti menemukan bahwa kebijakan pemerintah memiliki peranan
sentral dalam membangun industri rotan ini. Hasil penelitian ini menyimpulkan
bahwa peranan pemerintah sangat menentukan arah kebijakan terhadap
pengembangan industri dan upaya yang ditempuh oleh semua pihak yang
berkepentingan di dalamnya. Upaya upgrading dan struktur governance sangat
mempengaruhi peningkatan nilai tambah produk rotan.
1.7. Perbedaan dengan Penelitian Terdahulu
Tujuan pertama dalam penelitian ini adalah mengidentifikasi Produk
Ekspor Unggulan Provinsi DIY. Metode identifikasi Produk Ekspor Unggulan
DIY pada penelitian ini mengadopsi penelitian terdahulu yang sudah dilakukan.
Herdhiansyah, et al. , (2013) mengidentifikasi produk unggulan berdasarkan
kriteria kualitatif dengan metode Delphi dengan objeknya adalah produk
perkebunan di Kolaka, Sulawesi Tenggara. Setyawan (2009) mengidentifikasi
24
produk sayuran unggulan di Jawa Barat dengan menggunakan metode MPE.
Pada dasarnya identifikasi Produk Ekspor Unggulan pada penelitian kali ini
adalah mengadopsi metode yang digunakan oleh penelitian sebelumnya. Yang
membedakan penelitian kali ini adalah wilayah geografis pelaksanaan penelitian
dan objek atau alternatif produk yang dianalisis. Hampir keseluruhan alternatif
produk yang akan diidentifikasi pada penelitian kali ini adalah produk industri
pengolahan. Sedangkan kriteria dalam identifikasi Produk Ekspor Unggulan
menggunakan peraturan pemerintah yang sesuai.
Penelitian mengenai Global Value Chain yang sudah dilakukan adalah
penelitian yang fokus pembahasannya mengenai governance dan upgrading.
Penelitian tersebut meneliti usaha-usaha yang dilakukan pihak yang terkait
dengan rantai nilai dalam meningkatkan daya saing produk dan seluruh kebijakan
yang mengatur rantai nilai tersebut. Perbedaan penelitian ini dengan penelitian
terdahulu adalah produk yang menjadi objek analisis GVC diidentifikasi terlebih
dahulu dan menjadi bagian dari penelitian, sedangkan penelitian terdahulu
produk yang menjadi objek analisis ditentukan di awal. Analisis GVC yang
dilakukan dalam penelitian kali ini juga dilakukan secara menyeluruh tidak fokus
pada upgrading dan governance saja, akan tetapi struktur input-output rantai
nilai, dan lingkup geografis juga menjadi pembahasan pokok.
1.8. Kerangka Pemikiran
Tujuan penelitian ini adalah mengidentifikasi Produk Ekspor Unggulan
di DIY dan melakukan analisis Global Value Chain terhadap Produk Ekspor
Unggulan DIY. Kerangka penelitian dijelaskan dalam dua bagian sesuai dengan
tujuan penelitian. Kerangka pemikiran ini merupakan dasar pemikiran penelitian
yang bersumber dari kajian kepustakaan dan perumusan masalah untuk
menjelaskan hubungan dan keterkaitan proses-proses penelitian.
25
Perumusan masalah penelitian menjelaskan bahwa analisis Global Value
Chain di Daerah Istimewa Yogyakarta perlu dilakukan. Tujuan pertama dalam
melakukan analisis GVC di DIY adalah mengidentifikasi Produk Ekspor
Unggulan DIY yang digambarkan dalam kerangka pemikiran bagian pertama.
Fokus yang menjadi objek penelitian di DIY diawali dengan data industri
manufaktur dan data produk ekspor DIY. Disperidag Provinsi DIY menggunakan
nilai ekspor sebagai variabel dalam menentukan produk utama ekspor. Dengan
variabel PDRB sektor basis industri manufaktur juga dintentukan. Data produk
utama ekspor dan sektor basis industri manufaktur selanjutnya dideskripsikan
sebagai alternatif dalam penggunaan metode MPE. Metode MPE adalah metode
yang digunakan dalam identifikasi Produk Ekspor Unggulan dengan variabel
penyerapan tenaga kerja, sumbangan perekonomian, nilai LQ sektor basis
ekonomi daerah, dapat diperbaharui, sosial budaya dan ketersediaan pasar. Hasil
penggunaan metode ini akan menghasilkan Produk Ekspor Unggulan. Kerangka
pemikiran bagian pertama dapat dilihat pada gambar 1.3.
27
Kerangka pemikiran bagian kedua merupakan kelanjutan dari kerangka
pemikiran bagian pertama. Kerangka pemikiran ini menjelaskan proses-proses
dalam menjawab tujuan penelitian yang kedua yakni melakukan analisis Global
Value Chain terhadap Produk Ekspor Unggulan di DIY. Produk Ekspor
Unggulan I dipilih sebagai satu produk yang akan diteliti dalam tujuan penelitian
yang kedua. Analisis GVC terhadap produk ekspor unggulan dilakukan
berdasarkan teori dari Gereffi dan Fernandez (2011). Analisis GVC meliputi 4
dimensi yakni struktur input output, geographic scope, governance dan
upgrading.
Variabel yang diteliti dalam dimensi input-output adalah proses rantai
nilai, pelaku yang terlibat, kegiatan spesifik, alur produk, dan pertambahan nilai
dalam rantai nilai Produk Ekspor Unggulan DIY. Dimensi geographic scope
dilakukan untuk melihat keberadaan supply dan demand serta melihat wilayah-
wilayah geografis yang terlibat dalam GVC dan menjelaskan apa peran wilayah
tersebut dalam GVC. Variabel yang diteliti dalam dimensi geographic scope
adalah distribusi IKM, distribusi tenaga kerja, rate jumlah IKM terhadap jumlah
penduduk tiap kabupaten di DIY, rate jumlah tenaga kerja terhadap jumlah
penduduk tiap kabupaten di DIY, wilayah pemasok bahan baku, wilayah
pemasok produk setengah jadi, wilayah penyedia infrastukur pelabuhan ekspor,
wilayah pemasok alat produksi, negara tujuan ekspor, dan volume ekspor
berdasarkan negara. Variabel yang diteliti dalam dimensi governance adalah
struktur governance yang ada dalam rantai nilai, regulasi dan standar informal,
stakeholder penentu regulasi dan standar formal, dan regulasi dan standar
formal. Variabel yang diteliti dalam upgrading adalah hambatan dalam rantai
nilai, stakeholder penentu upgrading, upgrading yang dilakukan pelaku rantai
nilai dan upgrading yang ditentukan stakeholder terkait. Analisis GVC terhadap
Produk Ekspor Unggulan ini menghasilkan menghasilkan matriks GVC Produk
Ekspor Unggulan di DIY. Matriks tersebut menjadi panduan dalam merumuskan
28
potensi kebijakan pembangunan wilayah terkait GVC Produk Ekspor Unggulan
di DIY. Kerangka pemikiran bagian kedua dapat dilihat pada gambar 1.4.