100
DAMPAK PENETAPAN TAMAN NASIONAL GUNUNG HALIMUN SALAK TERHADAP SISTEM PENGHIDUPAN MASYARAKAT KASEPUHAN CIPTA MULYA KASFY ALLAMA DEPARTEMEN SAINS KOMUNIKASI DAN PENGEMBANGAN MASYARAKAT FAKULTAS EKOLOGI MANUSIA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2014

repository.ipb.ac.id · PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA . Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi berjudul Dampak Penetapan Taman Nasional

Embed Size (px)

Citation preview

DAMPAK PENETAPAN TAMAN NASIONAL GUNUNG

HALIMUN SALAK TERHADAP SISTEM PENGHIDUPAN

MASYARAKAT KASEPUHAN CIPTA MULYA

KASFY ALLAMA

DEPARTEMEN SAINS KOMUNIKASI DAN PENGEMBANGAN MASYARAKAT

FAKULTAS EKOLOGI MANUSIA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR

2014

PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN SUMBER

INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA

Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi berjudul Dampak Penetapan

Taman Nasional Gunung Halimun Salak terhadap Sistem Penghidupan

Masyarakat Kasepuhan Cipta Mulya adalah benar karya saya dengan arahan dari

komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan

tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang

diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks

dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini.

Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada

Institut Pertanian Bogor.

Bogor, Januari 2014

Kasfy Allama

NIM I34100107

ABSTRAK

KASFY ALLAMA. Dampak Penetapan Taman Nasional Gunung Halimun Salak

terhadap Sistem Penghidupan Masyarakat Kasepuhan Cipta Mulya. Di bawah

bimbingan RILUS A. KINSENG.

Masyarakat Kasepuhan Cipta Mulya dihadapkan pada perubahan fungsi

kawasan hutan yang merupakan sumber hidup mereka. Hutan yang telah

dimanfaatkan bertahun-tahun dalam status hutan produksi berubah menjadi hutan

konservasi yang menyebabkan aktivitas manusia di dalamnya terbatas. Hal

tersebut menyebabkan perubahan akses masyarakat Kasepuhan Cipta Mulya

terhadap hutan adat. Meski demikian, aktivitas nafkah dan pendapatan rumah

tangga tidak terlalu dipengaruhi oleh penetapan Taman Nasional Gunung Halimun

Salak (TNGHS). Selain itu, sebagian besar masyarakat Kasepuhan Cipta Mulya

bersikap netral terhadap penetapan TNGHS. Terdapat hubungan negatif yang

cukup signifikan antara sikap dan status kepemilikan lahan garapan. Sebaliknya,

terdapat hubungan positif yang lemah antara sikap dan luas lahan garapan. Selain

itu, sikap dan pendapatan rumah tangga memiliki hubungan positif yang lemah.

Kata kunci: Kasepuhan, masyarakat adat, sistem penghidupan, taman nasional

ABSTRACT

KASFY ALLAMA. Gunung Halimun Salak National Park’s Determination

Impact to Kasepuhan Cipta Mulya People’s Livelihood System. Supervised by

RILUS A. KINSENG.

Kasepuhan Cipta Mulya people faced change of forest function which is

their life source. Forest that they use for many years in production forest status

changed into conservation forest that limiting human activity inside. That point

caused change of Kasepuhan Cipta Mulya people’s access of customary forest.

Otherwise, households’ livelihood activity and income not too affected by

determination of Gunung Halimun Salak National Park (TNGHS). Moreover,

most of Kasepuhan Cipta Mulya people have neutral attitude about TNGHS’

determination. There is moderate significant correlation between attitude and

owning status of used land. Otherwise, there is weak positive correlation between

attitude and amount of used land. Moreover, attitude and households’ income

have weak positive correlation.

Keywords: Kasepuhan, indigenous people, livelihood system, national park

KASFY ALLAMA

Skripsi

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar

Sarjana Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat

pada

Departemen Sains Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat

DEPARTEMEN SAINS KOMUNIKASI DAN PENGEMBANGAN MASYARAKAT

FAKULTAS EKOLOGI MANUSIA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR

2014

DAMPAK PENETAPAN TAMAN NASIONAL GUNUNG

HALIMUN SALAK TERHADAP SISTEM PENGHIDUPAN

MASYARAKAT KASEPUHAN CIPTA MULYA

Judul Skripsi : Dampak Penetapan Taman Nasional Gunung Halimun

Salak terhadap Masyarakat Kasepuhan Cipta Mulya

Nama : Kasfy Allama

NIM : I34100107

Disetujui oleh

Dr Ir Rilus A. Kinseng, MA

Pembimbing

Diketahui oleh

Dr Ir Siti Amanah, MSc

Ketua Departemen

Tanggal Lulus:

Judul Slaipsi : Dampak Penetapan Taman Nasional Gunung Halimun Salak terhadap Masyarakat Kasepuhan Cipta Mulya

Nama : Kasfy Allama NIM :134100107

Disetujui oleh

Dr Ir Rilus A. Kinseng, MA Pembimbing

Tanggal Lulus: 24 JAN 2 01 ~

PRAKATA

Puji syukur kehadirat Allah SWT atas segala nikmat yang dilimpahkan-

Nya sehingga penulis mampu menyelesaikan skripsi yang berjudul “Dampak

Penetapan Taman Nasional Gunung Halimun Salak terhadap Sistem Penghidupan

Masyarakat Kasepuhan Cipta Mulya” dengan baik. Skripsi ini dibuat oleh penulis

untuk memenuhi syarat memperoleh gelar sarjana Komunikasi dan

Pengembangan Masyarakat, Fakultas Ekologi Manusia, Institut Pertanian Bogor.

Skripsi ini dapat terselesaikan secara baik dengan bantuan berbagai pihak.

Karena itu, penulis mengucapkan terima kasih kepada Dr Ir Rilus A. Kinseng,

MA selaku dosen pembimbing skripsi yang telah membimbing dan memberi

masukan hingga penulisan penulisan skripsi selesai. Penulis juga mengucapkan

terima kasih kepada ayahanda Muhammad Kalamy dan ibunda Meuthia Helma

serta adik-adik Hedra Billady, Kaifa Nurussama, dan Isykariman Hanif yang telah

memberikan doa dan dukungan kepada penulis. Selain itu, penulis mengucapkan

terima kasih kepada Intan Permata Sari (KPM 47) dan Ade Mulya Syakirin (SVK

47) yang telah bersedia membantu penulis dalam mengumpulkan data penelitian.

Tidak lupa penulis mengucapkan terima kasih kepada teman-teman KPM 47

lainnya terutama Luphita Angelie, Sri Wulan Rahmawati, dan Rosalita yang telah

memberikan semangat, dukungan, dan kebersamaan kepada penulis selama di

KPM serta semua pihak yang telah membantu dalam penulisan skripsi hingga

selesai.

Semoga skripsi ini bermanfaat bagi semua pihak.

Bogor, Januari 2014

Kasfy Allama

DAFTAR ISI

DAFTAR TABEL vi

DAFTAR GAMBAR vii

DAFTAR LAMPIRAN vii

PENDAHULUAN 1

Latar Belakang 1

Masalah Penelitian 3

Tujuan 4

Kegunaan Penelitian 4

PENDEKATAN TEORITIS 5

Tinjauan Pustaka 5

Taman Nasional sebagai Kawasan Konservasi 5

Masyarakat Adat di Dalam dan Sekitar Hutan Konservasi 6

Perubahan Rezim Kepemilikan SDA 7

Perubahan Sistem Penghidupan Masyarakat di Dalam dan Sekitar

Hutan

8

Sikap Masyarakat Adat di Kawasan Hutan terhadap Perluasan Taman

Nasional

11

Kerangka Pemikiran 11

Hipotesis 13

Definisi Operasional 13

PENDEKATAN LAPANGAN 17

Lokasi dan Waktu Penelitian 17

Pendekatan Penelitian 18

Teknik Penentuan Responden 18

Metode Pengumpulan Data dan Analisis Data 18

GAMBARAN LOKASI PENELITIAN DAN KARAKTERISTIK

RESPONDEN 21

Profil Desa Sirnaresmi 21

Profil Kasepuhan Cipta Mulya 23

Karakteristik Responden 25

PERUBAHAN AKSES MASYARAKAT KASEPUHAN CIPTA MULYA 29

Akses Masyarakat Kasepuhan Cipta Mulya sebelum Penetapan

TNGHS

25

Akses Masyarakat Kasepuhan Cipta Mulya setelah Penetapan TNGHS 30

PERUBAHAN AKTIVITAS NAFKAH DAN PENDAPATAN RUMAH

TANGGA MASYARAKAT CIPTA MULYA

37

Aktivitas Nafkah dan Pendapatan Rumah Tangga Masyarakat Kasepuhan 38

ii

Cipta Mulya sebelum Penetapan TNGHS

Aktivitas Nafkah dan Pendapatan Rumah Tangga Masyarakat Kasepuhan

Cipta Mulya setelah Penetapan TNGHS

44

SIKAP MASYARAKAT KASEPUHAN CIPTA MULYA TERHADAP

PENETAPAN TAMAN NASIONAL GUNUNG HALIMUN SALAK

51

Sikap Masyarakat 51

Hubungan Sikap Masyarakat dengan Status Kepemilikan Lahan Garapan 52

Hubungan Sikap Masyarakat dengan Luas Lahan Garapan 53

Hubungan Sikap Masyarakat dengan Tingkat Pendapatan Rumah

Tangga

54

SIMPULAN DAN SARAN 55

DAFTAR PUSTAKA 57

LAMPIRAN 63

DAFTAR TABEL

1 Bundle of Rights Associated with Positions (Ostrom dan Schlager

1992)

9

2 Timeline Pelaksanaan Penelitian 17

3 Metode Pengumpulan Data dan Sumber Data Penelitian Dampak

Penetapan TNGHS terhadap Sistem Penghidupan Masyarakat

Kasepuhan Cipta Mulya Tahun 2013

19

4 Luas Desa Sirnaresmi berdasarkan Penggunaannya Tahun 2013 21

5 Jumlah dan Persentase 1/4 Penduduk Desa Sirnaresmi berdasarkan

Tingkat Pendidikan Tahun 2013

22

6 Jumlah dan Persentase Sebagian Penduduk Desa Sirnaresmi

berdasarkan Jenis Pekerjaan Tahun 2013

23

7 Jumlah dan Persentase Responden berdasarkan Kategori Usia Tahun

2013

26

8 Jumlah dan Persentase Responden berdasarkan Kategori Tingkat

Pendidikan Tahun 2013

26

9 Jumlah dan Persentase Rumah Tangga Responden berdasarkan Total

Anggota Rumah Tangga Tahun 2013

27

10 Jumlah dan Persentase Responden Berdasarkan Status Kepemilikan

Lahan Garapan Tahun 2013

27

11 Jumlah dan Persentase Responden berdasarkan Persepsi Tingkat

Kemudahan Akses terhadap Lahan Garapan Adat Sebelum

Penetapan TNGHS, 2013

30

12 Jumlah dan Persentase Responden berdasarkan Persepsi Tingkat

Kemudahan Akses terhadap Lahan Garapan Adat Setelah Penetapan

TNGHS, 2013

31

13 Daftar Aktivitas Nafkah Rumah Tangga dan Upah Masyarakat

Kasepuhan Cipta Mulya Tahun 2013

37

14 Jumlah dan Persentase Responden berdasarkan Aktivitas Nafkah

Rumah Tangga Sebelum Penetapan TNGHS, 2013

38

15 Pengelompokan Responden berdasarkan Aktivitas Nafkah Rumah

Tangga Pertanian Padi Sebelum Penetapan TNGHS, 2013

39

16 Jumlah dan Nomor Responden berdasarkan Aktivitas Nafkah Rumah

Tangga Pertanian Non Padi Sebelum Penetapan TNGHS, 2013

40

17 Jumlah dan Nomor Responden berdasarkan Aktivitas Nafkah Non

Pertanian sebelum Penetapan TNGHS, 2013

42

18 Jumlah dan Persentase Responden berdasarkan Kategori Tingkat

Pendapatan Rumah Tangga Sebelum Penetapan TNGHS, 2013

43

19 Jumlah dan Persentase Responden berdasarkan Aktivitas Nafkah

Rumah Tangga Setelah Penetapan TNGHS, 2013

44

20 Jumlah dan Nomor Responden berdasarkan Aktivitas Nafkah Rumah

Tangga Pertanian Non Padi Setelah Penetapan TNGHS, 2013

46

21

Jumlah dan Nomor Responden berdasarkan Aktivitas Nafkah Rumah

Tangga Non Pertanian Setelah Penetapan TNGHS, 2013

48

22 Jumlah dan Persentase Responden berdasarkan Pendapatan Rumah

Tangga Setelah Penetapan TNGHS, 2013

48

23 Jumlah dan Persentase Responden berdasarkan Selisih Pendapatan 49

ii

DAFTAR GAMBAR

1 Kerangka Pemikiran Penelitian 12

2 Struktur Kepengurusan Kasepuhan Cipta Mulya 24

3 Perbandingan Persentase Responden berdasarkan Tingkat Kemudahan

Akses terhadap Lahan Garapan Adat Sebelum dan Setelah Penetapan

TNGHS Tahun2013

32

4 Perbandingan Persentase Responden berdasarkan Aktivitas Nafkah

Rumah Tangga Tahun 2013

Sebelum dan Setelah Penetapan TNGHS Tahun 2013

45

5 Perbandingan Persentase Responden Berdasarkan Pendapatan Rumah

Tangga Sebelum dan Setelah Penetapan TNGHS Tahun 2013

49

DAFTAR LAMPIRAN

1 Kuesioner Penelitian 63

2 Panduan Pertanyaan 66

3 Kerangka Sampling 67

4 Daftar Responden Penelitian 69

5 Hasil Korelasi Sikap dengan Status Kepemilikan Lahan Garapan,

Luas Lahan Garapan, dan Tingkat Pendapatan Rumah Tangga

menggunakan SPSS Statistics 17.0 for Windows

70

6 Dokumentasi Penelitian 72

7 Zonasi Indikatif TNGHS Tahun 2013 74

8 Zonasi TNGHS Tahun 2007 75

Rumah Tangga Setelah dan Sebelum Penetapan TNGHS, 2013

24 Jumlah dan Persentase Responden berdasarkan Sikap terhadap

TNGHS Tahun 2013

51

25 Jumlah dan Persentase Responden berdasarkan Sikap dan Status

Kepemilikan Lahan Garapan Tahun 2013

52

26 Jumlah dan Persentase Responden berdasarkan Sikap dan Luas

Lahan Garapan Tahun 2013

53

27 Jumlah dan Persentase Responden berdasarkan Sikap dan Tingkat

Pendapatan Rumah Tangga Tahun 2013

54

1

PENDAHULUAN

Bab pendahuluan berisi latar belakang, masalah penelitian, tujuan

penelitian, dan kegunaan penelitian.Latar belakang berisi fakta-fakta yang

memperkuat alasan pemilihan topik penelitian.Masalah penelitian memuat

beberapa poin yang perlu dikaji dan tujuan menggambarkan maksud penulisan

dengan berlandaskan pada masalah penelitian.Kegunaan penelitian menjelaskan

kontribusi penelitian yang dilakukan bagi berbagai pihak yang

membacanya.Berikut penjelasan dari poin-poin tersebut.

Latar Belakang

Sektor kehutanan di Indonesia mengalami perubahan seiring berjalannya

waktu. Perubahan tersebut mencakup perubahan fisik hingga sistem pengelolaan

hutan. Perubahan fisik hutan terlihat dari fluktuasi luas tutupan hutan Indonesia.

Tutupan hutan Indonesia tahun 1950 memiliki luas 162 juta ha namun berkurang

menjadi 119 juta ha pada tahun 1985, 95 juta ha pada 1997, bertambah menjadi

103.33 juta ha pada tahun 2000, dan 88.17 juta ha pada 2009, dengan laju

deforestasi Indonesia periode 2000-2009 mencapai 1.51 juta ha/tahun (FWI 2011).

Berdasarkan SK penunjukan kawasan hutan dan perairan hingga

November 2012, kawasan hutan Indonesia tercatat memiliki luas 134 290 240.94

ha, dengan rincian: 1) Hutan Konservasi: 27 086 910.23 ha; 2) Hutan Lindung: 30

539 823.36 ha, dan 3) Hutan Produksi: 76 663 507.34 ha (Kemenhut 2012). Hal

yang perlu diingat adalah bahwa luasan tersebut bukan hanya mencakup tutupan

hutan tetapi juga termasuk kawasan yang tidak ditanami pohon seperti lahan

terbuka, enclave pemukiman warga, pertanian lahan kering, dan peruntukkan

lainnya.Angka tersebut belum bisa merefleksikan perbaikan kondisi hutan di

Indonesia.

Kondisi hutan yang semakin mengkhawatirkan sebenarnya merupakan

salah satu implikasi dari pengelolaan hutan yang kurang memperhatikan

keberlanjutan. Bermula dari kebijakan domein verklaring yang diintroduksikan

oleh Belanda dan kemudian diadopsi sebagai pedoman pengelolaan sumber daya

alam di Indonesia (Ansori et al.2011), pengelolaan hutan menjadi terpusat pada

pemerintah.Adopsi kebijakan domein verklaring tercermin dalam UUD 1945

Pasal 33 (3) yang berbunyi “Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di

dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar

kemakmuran rakyat”.Negara, dalam hal ini merujuk pada pemerintah, memiliki

kuasa yang sangat besar dalam pengelolaan sumber daya alam.Terkait

pengelolaan hutan, Negara membentuk Perum Perhutani untuk menjalankan

fungsi hutan lindung dan produksi.

Kondisi hutan Indonesia semakin memburuk pada rezim orde baru yang

mengedepankan pertumbuhan ekonomi.Sektor kehutanan turut terintegrasi pada

sistem kapitalis.Konversi lahan hutan secara gencar dilakukan untuk peningkatan

pendapatan negara hingga pada krisis moneter 1997-1998 kondisi hutan semakin

parah.Akumulasi kegeraman masyarakat terhadap rezim orde baru menyebabkan

terjadinya gerakan terorganisasi yang melahirkan era reformasi. Banyak

masyarakat merasa memiliki hak yang sama untuk dapat mengelola hutan

2

sehingga melakukan pemanfaatan sumber daya hutan yang dikelola Perhutani

(Ginoga dan Erwidodo 2001).

Seiring dengan jatuhnya rezim orde baru, terbit SK Menteri Kehutanan

No. 677/1998 yang merupakan revisi dari SK No. 622/1995 mengenai hutan

kemasyarakatan.Peraturan ini memperluas kesempatan masyarakat lokal untuk

memperoleh manfaat dari kawasan hutan negara yang ditetapkan sebagai hutan

kemasyarakatan (Wrangham 2003).Kondisi yang tidak stabil setelah reformasi

kemudian membawa inisiatif desentralisasi pengelolaan SDA. Dimulai dari

dikeluarkannya UU No. 22/1999 mengenai otonomi daerah pengelolaan SDA

tergolong ranah tugas pemerintah daerah namun juga merupakan ranah tugas

pemerintah pusat yang diwujudkan oleh peruntukan lain dalam undang-undang

tersebut. Pemerintah pusat seolah masih belum percaya sepenuhnya kepada

pemerintah daerah sehingga Perhutani masih diberi kewenangan dalam

pengelolaan hutan.

Peraturan penting lainnya yang berkaitan dengan kehutanan era reformasi

yakni UU No. 41/1999. Pasal 5 undang-undang tersebut menjelaskan bahwa

berdasarkan status kepemilikan yang melekat di atasnya, hutan terbagi menjadi

dua, yakni hutan negara (yang tidak dibebani hak milik) dan hutan hak (dibebani

hak milik). Berkaitan dengan hal ini, Negara mengakui adanya hutan adat sebagai

tempat kehidupan masyarakat lokal yang hidup berlandaskan adat namun hutan

adat tersebut masih tergolong hutan negara sehingga Negara berwenang mengakui

atau mencabut status masyarakat adat dan hutan adat (Wrangham 2003).Selain itu,

hak masyarakat adat hanya diberikan sejauh tidak bertentangan dengan prioritas

nasional (Wrangham 2003).Peraturan-peraturan mengenai hutan adat tersebut

mengindikasikan kepercayaan pemerintah yang lemah terhadap masyarakat adat.

Seiring berjalannya waktu, pemerintah megeluarkan UU No. 32/2004

tentang pemerintahan daerah sebagai revisi UU No. 22/1999. Undang-undang

tersebut menyatakan bahwa pemerintahan daerah dilandaskan prinsip otonomi

seluas-luasnya sehingga beberapa hal termasuk pendayagunaan sumber daya alam

menjadi ranah tugas pemerintah daerah.Meski demikian, pelaksanaan UU No.

41/1999 tetap saja masih dilandaskan pada UU No. 22/1999.Selanjutnya pada

tahun 2012 Mahkamah Konstitusi mengeluarkan Putusan No. 35/PUU-X/2012

yang merevisi beberapa poin dalam UU No. 41/1999.Perubahan-perubahan yang

tertulis dalam putusan tersebut menegaskan bahwa pemerintah telah sepenuhnya

mengakui hak ulayat masyarakat adat yang diakui keberadaannya.Dengan

demikian hutan adat tidak lagi berada di bawah kendali Negara.

Perubahan kawasan hutan sebagai sumber penghidupan masyarakat adat

memungkinkan terjadinya perubahan pada sistem penghidupan masyarakat

tersebut.Salah satu contoh perubahan kawasan hutan yang terjadi yaitu

penunjukkan kawasan Taman Nasional Gunung Halimun Salak yang disahkan

dalam SK Menteri Kehutanan RI No. 175/2003.Diterbitkannya SK tersebut

berimplikasi pada perluasan kawasan TNGH yang semula 40 000 ha menjadi

TNGHS seluas 113 357 ha (Hartono et al. 2007).Keputusan tersebut dibuat karena

terjadi degradasi hutan sebesar 52 persen selama tahun 1990-2001 saat kawasan

Koridor Halimun Salak masih berstatus hutan produksi yang dikelola Perum

Perhutani (Supriyanto et al. 2009).

Masyarakat adat yang ada pada kawasan TNGHS dikenal sebagai

masyarakat kasepuhan yang salah satunya yakni Kasepuhan Cipta Mulya.Hingga

3

saat ini belum ada peraturan daerah dan SK Bupati yang mengakui masyarakat

kasepuhan sebagai komunitas adat. Penetapan kawasan TNGHS diduga mengubah

sistem penghidupan masyarakat Kasepuhan Cipta Mulya.Sistem penghidupan

didefinisikan Ellis (2000) sebagai kombinasi aset, aktivitas, dan akses yang

dibentuk individu atau rumah tangga untuk bertahan hidup. Perubahan sistem

penghidupan dapat dilihat dari perubahan akses terhadap lahan garapan adat,

aktivitas nafkah, dan tingkat pendapatan. Perubahan tersebut kemudian berpotensi

menimbulkan sikap negatif masyarakat Kasepuhan Cipta Mulya terhadap

penetapan kawasan Taman Nasional Gunung Halimun Salak. Untuk itu, perlu

adanya identifikasi dampak penetapan Taman Nasional Gunung Halimun Salak

terhadap sistem penghidupan masyarakat Kasepuhan Cipta Mulya.

Masalah Penelitian

Perkembangan sejarah Indonesia turut membawa perubahan terhadap

kebijakan terkait sumber daya alam khususnya hutan. Perubahan yang dirasa

sangat signifikan yakni semenjak berlakunya desentralisasi di Indonesia setelah

UU No. 22/1999 mengenai otonomi daerah diterbitkan. Kebijakan tersebut

mempengaruhi UU No.41/1999 yang diterbitkan setelahnya.Salah satu pasal UU

No.41/1999 memuat aturan mengenai hutan adat namun merefleksikan

pendelegasian hutan setengah hati pemerintah kepada masyarakat adat.

Sebenarnya UU No. 22/1999 dan UU No. 41 telah mengalami perbaikan.

Masyarakat adat kini sudah mulai diakui eksistensi dan hak ulayatnya. Meski

demikian perlu diperhatikan bahwa penetapan TNGHS terjadi pada tahun 2003

yang berarti masih menggunakan UU No. 41/1999 dalam pengelolaan hutan.

Akses masyarakat Kasepuhan Cipta Mulya terhadap lahan garapan adat

menjadi hal paling penting mengingat terdapat hubungan yang erat antara

masyarakat tersebut dengan hutan. Perluasan TNGH menjadi TNGHS

menyebabkan perubahan pada lahan garapan adat yang dapat diakses oleh

masyarakat. Dengan demikian perlu diteliti lebih lanjut bagaimana perubahan

yang ditimbulkan penetapan TNGHS terhadap akses lahan

garapanadatmasyarakat Kasepuhan Cipta Mulya?

Dalam sistem penghidupan suatu masyarakat, akses, aset, dan aktivitas

menjadi hal yang krusial. Ellis menyebutkan ketiga hal tersebut sebagai kesatuan

yang membentuk sistem penghidupan. Penetapan kawasan TNGHS yang

mengubah akses terhadap lahan garapan berimplikasi pada berubahnya aktivitas

nafkah yang dilakukan masyarakat Kasepuhan Cipta Mulya.Kombinasi atau

modifikasi aktivitas nafkah kemudian dapat membentuk strategi nafkah rumah

tangga. Pendapatan rumah tangga yang merupakan hasil aktivitas nafkah dapat

dimungkinkan turut mengalami perubahan. Untuk itu, perlu dikaji lebih

mendalam bagaimana perubahan yang ditimbulkan penetapan TNGHS

terhadap aktivitas nafkah dan tingkat pendapatan rumah tangga

masyarakat Kasepuhan Cipta Mulya?

Berbagai dampak yang ditimbulkan akibat penetapan kawasan TNGHS

perlahan-lahan akan membentuk sikap masyarakat terhadap keputusam penetapan

tersebut. Sikap dapat dipengaruhi oleh penguasaan dan kepemilikan lahan garapan

serta pendapatan rumah tangga yang diperoleh. Dengan demikian, perlu ditelusuri

4

lebih lanjut bagaimana sikap masyarakat Kasepuhan Cipta Mulya terhadap

penetapan TNGHS?

Tujuan

Tujuan utama penelitian ini adalah untuk mengetahui dampak penetapan

Taman Nasional Gunung Halimun Salak terhadap sistem penghidupan masyarakat

Kasepuhan Cipta Mulya. Tujuan utama tersebut akan dijawab melalui tujuan-

tujuan khusus penelitian:

1. Mengidentifikasi perubahan yang ditimbulkan penetapan TNGHS terhadap

akses lahan garapan adat masyarakat Kasepuhan Cipta Mulya.

2. Mengidentifikasi dan menganalisis perubahan yang ditimbulkan penetapan

TNGHS terhadap aktivitas nafkah dan pendapatan rumah tangga masyarakat

Kasepuhan Cipta Mulya.

3. Mengidentifikasi dan menganalisis sikap masyarakat Kasepuhan Cipta Mulya

terhadap penetapan TNGHS.

Kegunaan Penelitian

Secara umum hasil studi ini diharapkan dapat memberikan kontribusi

terhadap pengembangan ilmu sosial yang berkaitan dengan perubahan sosial

khususnya mengenai dampak kebijakan penetapan taman nasional terhadap sistem

penghidupan masyarakat adat. Dengan adanya studi ini diharapkan pemerintah

lebih mempertimbangkan dampak dari kebijakan-kebijakan yang akan dan telah

dibuat khususnya terkait penghidupan masyarakat adat. Secara lebih khusus, hasil

penelitian yang akan dilakukan diharapkan mampu menggambarkan sistem

penghidupan masyarakat Kasepuhan Cipta Mulya sebagai akibat dari kebijakan

perluasan Taman Nasional Gunung Halimun Salak serta dapat menambah

kepekaan pembaca terhadap posisi dan kondisi masyarakat adat.

5

PENDEKATAN TEORITIS

Pendekatan teoritis memuat beberapa poin yakni tinjauan pustaka,

kerangka pemikiran, hipotesis penelitian, dan definisi operasional. Tinjauan

pustaka berisi teori-teori serta hasil penelitian sebelumnya yang digunakan

sebagai landasan analisis penelitian.Kerangka pemikiran membentuk alur pikir

penelitian berdasarkan tujuan yang telah dirumuskan. Hipotesis merupakan

dugaan sementara sebelum dilakukan penelitian dan definisi operasional memuat

penjelasan variabel-variabel penelitian secara terperinci. Berikut penjelasan

mengenai keempat poin tersebut.

Tinjauan Pustaka

Taman Nasional sebagai Kawasan Konservasi

Taman nasional merupakan salah satu upaya konservasi yang pertama kali

diinisiasi oleh International Union for Conservation of Nature (IUCN). Menurut

IUCN dalam Dudley (2008) taman nasional digolongkan dalam kawasan

perlindungan kategori 2 dan didefinisikan sebagai:

…large natural or near natural areas set aside to protect large-

scale ecological processes, along with the complement of species

and ecosystems characteristic of the area, which also provide a

foundation for environmentally and culturally compatible spiritual,

scientific, educational, recreational and visitor opportunities

(IUCN dalam Dudley 2008).

Indonesia turut mengadopsi taman nasional sebagai salah satu upaya

konservasi sumber daya hayati. Definisi lain mengenai taman nasional tertuang

dalam pasal 1 Undang-undang No. 5/1990:

…kawasan pelestarian alam yang mempunyai ekosistem asli,

dikelola dengan sistem zonasi yang dimanfaatkan untuk tujuan

penelitian, ilmu pengetahuan, pendidikan, menunjang budidaya,

pariwisata, dan rekreasi (UU No. 5/1990).

Definisi taman nasional dalam undang-undang tersebut disempurnakan

oleh kementerian kehutanan dalam bentuk Peraturan Menteri Kehutanan No. P.

56/Menhut-II/2006 tentang Pedoman Zonasi Taman Nasional. Melalui permenhut

tersebut pemerintah menegaskan bahwa kawasan pelestarian alam yang dimaksud

dapat berupa daratan maupun perairan. Selain itu, ditambahkan pula bahwa selain

keenam tujuan yang telah disebutkan, taman nasional juga bertujuan untuk

menunjang budaya.

Definisi-definisi tersebut menjelaskan fungsi taman nasional yang tidak

hanya berperan memelihara ekosistem tetapi juga untuk kepentingan lain.

Pemeliharaan taman nasional perlu melibatkan banyak pihak karena turut

dimanfaatkan untuk kepentingan masyarakat secara umum.

6

Terdapat 4 zona dalam taman nasional yaitu zona inti, zona rimba, zona

pemanfaatan, dan zona lain yang mencakup zona tradisional; zona rehabilitasi;

zona religi, budaya, dan sejarah; dan zona khusus (Permenhut No. P. 56/Menhut-

II/2006). Taman nasional sebagai kawasan konservasi lebih terfokus pada

kelestarian ekologi, seperti yang dinyatakan Ngadiono (2004):

Pengelolaan kawasan hutan konservasi terutama tertuju pada aspek

kelestarian ekologis, sementara aspek kelestarian fungsi ekonomi

dan fungsi sosial kurang diperhatikan…(Ngadiono 2004).

Disebutkan pula oleh Ngadiono (2004) bahwa hutan konservasi tidak akan

lestari tanpa kombinasi ketiga pilar pembangunan kehutanan yang berkelanjutan

(pilar ekologi, ekonomi, dan sosial). Ditinjau dari aspek ekonomi, hutan

konservasi dipandang sebagai beban karena tidak mendatangkan keuntungan yang

mampu menutup biaya konservasi yang diperlukan (Ngadiono 2004). Dari sisi

sosial, Sriyanto dan Sudibjo (2005) dalam Putro et al. (2012) menyatakan bahwa

pengelolaan taman nasional masih menghadapi masalah berupa konflik yang

beberapa di antaranya terkait dengan masyarakat lokal di dalam dan sekitar hutan.

Masyarakat Adat di Dalam dan Sekitar Hutan Konservasi

Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) dalam Kongres Masyarakat

Adat Nusantara (KMAN) I tahun 1999 yang dikutip oleh Nababan (2013)

mendefinisikan masyarakat adat sebagai:

…komunitas-komunitas yang hidup berdasarkan asal-usul leluhur

secara turun temurun di atas suatu wilayah adat yang memiliki

kedaulatan atas tanah dan kekayaan alam, kehidupan sosial budaya,

yang diatur oleh hukum adat dan lembaga adat yang mengelola

keberlangsungan hidup masyarakatnya (AMAN dalam Nababan

2013).

Masyarakat adat sering juga disebut orang asli atau indigenous people.

Terkait dengan istilah tersebut, Martinez Cobo berdasarkan studi lapangnya

mendefinisikan:

Indigenous communities, peoples and nations are those which,

having a historical continuity with pre-invasion and pre-colonial

societies that developed on their territories, consider themselves

distinct from other sectors of the society and are determined to

preserve, develop and transmit to future generations their

ancestral territories, and their ethnic identity, as the basis of their

continue existence as peoples, in accordance with their own

cultural patterns, social institutions and legal system (Cobo dalam

UN 2009).

7

Kedua definisi tersebut mencerminkan pola kehidupan masyarakat adat

yang telah turun temurun bergantung terhadap sumber daya alam. Masyarakat

adat memiliki identitas khas yang diwujudkan dalam etnik, pola budaya,

kelembagaan lokal, dan hukum adat. Terkait dengan konteks hutan, Colchester et

al. (2003) menyatakan bahwa terdapat hubungan yang sangat erat antara

masyarakat adat dengan hutan. Keeratan hubungan tersebut ditunjukkan dengan

penggunaan sumber daya hutan dalam berbagai aktivitas dilengkapi dengan

pengaturan akses dan penggunaan hutan yang diatur dalam hukum adat.

Selain itu dalam penelitian yang dilakukan Rahayu (2004) menunjukkan

masyarakat adat Kasepuhan Ciptagelar memaknai hutan secara ekonomis,

sosiologis, psikologis, serta adat dan budaya. Makna hutan tersebut kemudian

mempengaruhi tindak pengelolaan hutan yang dilakukan.

Colchester et al. (2003) mempertegas posisi penting hutan bagi

masyarakat melalui data komposisi masyarakat adat di dalam dan sekitar hutan.

…areas classified as forests in Indonesia occupy some 70% of the

national territory and are variously estimated to be inhabited by

between 40 and 95 million people, of whom approximately 40-65

million are long-term residents living in communities governed to

various extents by custom (Colchesteret al. 2003).

Paragraf di atas menyatakan peramalan terhadap komposisi masyarakat

adat di dalam dan sekitar hutan. Disebutkan bahwa sebagian besar masyarakat

yang hidup di dalam dan sekitar hutan merupakan masyarakat adat. Dengan

demikian, pengelolaan hutan di Indonesia perlu memperhatikan kepentingan

masyarakat, terutama masyarakat adat yang memiliki hubungan yang sangat erat

dengan sumber daya alam.

Perubahan Rezim Kepemilikan Sumber Daya Hutan

Hutan tergolong Common property, yakni sumber daya yang sulit untuk

dieksklusi sehingga dapat dimanfaatkan secara bebas oleh berbagai pihak (Feeny

et al. 1990). Menurut Feeny et al. (1990) terdapat empat rezim kepemilikan

sumber daya alam: 1) open access, 2) private property, 3) communal property, 4)

state property. Sumber daya alam yang tergolong open access dapat dimanfaatkan

secara bebas oleh siapa saja karena tidak ada regulasi yang mengikat (Feeny et al.

1990). Bertentangan dengan hal itu, pada ketiga rezim lainnya terdapat pihak yang

memiliki hak untuk membatasi orang lain dalam pemanfaatan sumber daya alam.

Private property (kepemilikan pribadi) mengindikasikan hak yang dimiliki

individu atau sekelompok individu (biasanya perusahaan) untuk membatasi pihak

lain dalam pemanfaatan sumber daya. Hak yang dimiliki oleh individu atau

sekelompok individu tersebut telah dilegalisasi oleh pemerintah. Sumber daya

alam yang tergolong communal property secara eksklusif dimanfaatkan oleh

kelompok tertentu. Kelompok tersebut dapat membatasi pemanfaatan sumber

daya alam oleh pihak lain yang bukan anggota kelompoknya. Communal property

dapat diakui secara de jure oleh pemerintah namun dalam beberapa kasus

communal property hanya sebatas penguasaan secara de facto (Feeny et al. 1990)

8

Sumber daya alam yang tergolong state property (kepemilikan negara)

mengindikasikan hak negara untuk mengatur dan mengelola sumber daya demi

kepentingan publik. Setiap warga negara memiliki hak yang sama dalam

pemanfaatan sumber daya alam tersebut. Pengelolaan state property diatur dalam

regulasi pemerintah yang bersifat koersif (Feeny et al. 1990)

Pengelolaan sumber daya yang tergolong common property sering

mengalami kendala, salah satunya yakni tragedy of the common yang

diungkapkan oleh Garrett Hardin. Menurut Hardin (1968), sumber daya bersama

seperti laut dan hutan berpotensi mengalami degradasi akibat pemanfaatan secara

bebas tanpa ada pengaturan yang membatasi penggunaan sumber daya tersebut.

Solusi yang menurut Hardin (1968) dapat menyelesaikan masalah tersebut yakni

privatisasi dan pengelolaan oleh negara namun rupanya jutsru menimbulkan

konflik.

Ketika sejumlah sumber daya diprivatisasi (biasanya oleh perusahaan) atau

dinyatakan sebagai milik negara secara otomatis telah terjadi peningkatan

kemampuan eksklusi dan pembatasan pemanfaatan SD. Perusahaan atau negara

yang sah secara hukum memiliki suatu SDA berhak membatasi pihak lain dalam

memasuki dan memanfaatkan SDA tersebut. Pembatasan mengakibatkan pihak

lain yang biasanya memenuhi kebutuhan hidup dari SDA tersebut menjadi tidak

mampu memanfaatkannya karena tidak mempunyai hak.

Menurut Adiwibowo (2012) terjadi perubahan rezim pengelolaan sumber

daya alam sebelum dan setelah kemerdekaan Indonesia. Sebelum merdeka,

sumber daya alam di Indonesia diatur dan dikelola sendiri oleh kelompok

masyarakat sehingga tergolong communal property. Setelah kemerdekaan, secara

de jure sumber daya alam yang tidak dibebani hak milik tergolong state property

namun secara de facto kelompok masyarakat masih menguasai sumber daya alam

tersebut dengan berlandaskan kelembagaan non formal. Hal tersebut

mengakibatkan sumber daya alam yang sebenarnya merupakan milik pemerintah

terkesan open access.

Perubahan Sistem Penghidupan Masyarakat di Dalam dan Sekitar Hutan

Chambers dan Conway (1992) mendefiniskan sistem penghidupan sebagai

“...the capabilities, assets (stores, resources, claims and access) and activities

required for a means of living;…”. Definisi aset (modal) yang dinyatakan oleh

Conway mencakup sumber daya (alam, fisik, manusia, keuangan, dan sosial),

klaim, dan akses.Selain itu Chambers dan Conway (1992) turut melibatkan

kemampuan (capability) sebagai komponen sistem penghidupan.

Memodifikasi definisi Chambers dan Conway (1992), Ellis (2000)

menyatakan definisi sistem penghidupan sebagai “...the assets (natural, physical,

human, financial, and social capital), the activities, and the accessto these

(mediated by institutions and social relations) that together determine the living

gained by the individual or household”. Namun dalam definisi ini, Ellis

memfokuskan definisi aset Chambers dan Conway pada pembagian aset (modal)

menjadi 5 macam: 1) modal alam, 2) modal fisik, 3) modal manusia, 4) modal

keuangan, dan 5) modal sosial. Ellis mengeluarkan akses dan klaim dari cakupan

aset sehingga aset terpisah dari akses.

9

Definisi akses yang dimaksud Ellis merujuk pada Scoones (1998) yang

menyatakan bahwa akses merupakan kemampuan untuk memiliki, mengontrol,

mengklaim, dan menggunakan sumber daya.Ditambahkan pula bahwa akses

mencakup kemampuan berpartisipasi dan menerima manfaat pelayanan

publik.Sementara itu Ribot dan Peluso (2003) menekankan bahwa akses berbeda

dengan hak, yakni kemampuan untuk mengambil manfaat dari sesuatu, mencakup

objek material, orang, institusi, dan simbol. Terkait dengan pemanfaatan sumber

daya alam, khususnya hutan, masyarakat Nuaulu yang sejak lama dikenal sebagai

masyarakat pegunungan dapat dengan mudah mengambil manfaat dari sumber

daya hutan di teritorinya (Ellen 2002).

Berbeda dengan definisi yang diungkapkan Ribot dan Pelluso, Ostrrom

dan Schlager (1992) mendefinisikan akses sebagai “…the right to enter a defined

physical property.” Meski demikian, Ostrom dan Schlager mengkombinasikan

hak akses dengan hak pemanfaatan dalam bundle of rights associated with

positions.

Sumber: Ostrom dan Schlager (1992)

Sehubungan dengan modal sosial, Ostrom dan Ahn (2003) menyatakan

tiga bentuk modal sosial: 1) trustworthiness (saling percaya), 2) networks

(jejaring), dan 3) formal and informal rules or institution (aturan atau

kelembagaan formal dan informal). Terkait dengan kelembagaan, Soekanto

(1982) mendefinisikannya sebagai “himpunan norma-norma segala tingkatan yang

berkisar pada suatu kebutuhan pokok di dalam kehidupan masyarakat”.

Tingkatan-tingkatan norma terdiri dari: 1) cara (usage), 2) kebiasaan (folkways),

tata kelakuan (mores), dan adat-istiadat (customs). Masyarakat adat identik

dengan tingkatan norma keempat (adat-istiadat/customs). Contohnya saja upacara

adat pedarak dan gawai pada masyarakat Dayak Iban Sungai Utik (Rahmawati

2013)

Masyarakat adat yang bepola hidup tradisional umumnya melakukan

aktivitas nafkah di bidang pertanian. Meski demikian, tidak menutup

kemungkinan masyarakat adat melakukan strategi nafkah yang didefinisikan oleh

Dharmawan (2007) sebagai taktik individu atau kelompok dalam upaya bertahan

hidup dengan mempertimbangkan infrastruktur sosial, struktur sosial, dan sistem

nilai budaya yang berlaku. Scoones (1998) membagi strategi nafkah ke dalam tiga

aktivitas: 1) intensifikasi dan ekstentifikasi pertanian, 2) pola nafkah ganda, dan 3)

migrasi. Dengan demikian, dalam melaksanakan taktik bertahan hidup,

masyarakat dapat memodifikasi aktivitas nafkah dengan bermigrasi atau

melakukan intensifikasi dan ekstentifikasi pertanian dan/atau mengkombinasikan

Tabel 1 Bundle of Rights Associated with Positions

10

beberapa aktivitas nafkah (melakukan pola nafkah ganda). Terkait dengan hal

tersebut, penelitian Niswah (2011) menunjukkan bahwa baik sebelum maupun

sesudah perluasan TNGHS, pola nafkah ganda tetap dominan di masyarakat

Kasepuhan Sinar Resmi, Kampung Cimapag.

Penelitian Ginoga dan Erwidodo (2001), Ellen (2002) Sylviani (2008),

Sylviani dan Sakuntaladewi (2010), serta Khalil (2009) menunjukkan bahwa

terjadi perubahan upaya pemenuhan kebutuhan hidup masyarakat termasuk mata

pencarian masyarakat di dalam dan sekitar kawasan hutan. Sylviani (2008) turut

menambahkan bahwa terjadi perubahan akses dan pemanfaatan sumber daya

hutan oleh masyarakat.

Masyarakat adat menggunakan cara-cara tradisional dalam hal pengelolaan

sumber daya alam yang sudah terlembaga secara turun temurun (Ellen 2002;

Niswah 2011; Rahmawati 2013). Intervensi dari pihak luar menjadi faktor utama

penyebab perubahan sistem penghidupan masyarakat adat. Penelitian Sylviani

(2008), Niswah (2011), Dewi (2011), dan Rahmawati (2013) menunjukkan

perubahan penghidupan masyarakat di dalam dan sekitar hutan akibat alih fungsi

lahan hutan menjadi kawasan konservasi berupa taman nasional.

Pada salah satu kasus yang dibahas pada penelitian Sylviani (2008), yakni

di Taman Nasional Bukit Duabelas (TNBD), Jambi, terjadi ketidaksepahaman

antara Balai Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA) dengan Pemerintah yang

mencanangkan Rencana Pengelolaan Taman Nasional Bukit Duabelas

(RPTNBD). Adanya kawasan TNBD diakui BKSDA sebagai wadah untuk

menjamin kelangsungan hidup Komunitas Adat Orang Rimba (KAOR).

Bertentangan dengan hal itu, terdapat implementasi aturan RPTNBD yang

memisahkan KAOR dari kawasan konservasi (Sylviani 2008). Hal ini tentunya

akan menyulitkan KAOR dalam memenuhi kebutuhan hidup mereka.

Kasus di Kasepuhan Sinar Resmi, Desa Sirna Resmi yang diteliti oleh

Niswah (2011), Dewi (2011) dan Rahmawati (2013) menunjukkan perubahan

sistem penghidupan masyarakat kasepuhan akibat perluasan Taman Nasional

Gunung Halimun-Salak (TNGHS). Penelitian Niswah (2011) menunjukkan

perubahan strategi nafkah masyarakat kasepuhan sedangkan Dewi (2011) lebih

terfokus pada strategi adaptasi kelembagaan lokal yang dilakukan masyarakat

kasepuhan. Selanjutnya Rahmawati (2013) mengulas dinamika sistem pertanian

yang pernah terjadi akibat revolusi hijau.

Ellen (2003) memaparkan perubahan yang terjadi pada masyarakat

Nuaulu, Kepulauan Seram akibat masuknya negara penjajah. Terintegasinya

Nuaulu dalam sistem dunia mengubah pola pengelolaan hutan. Masyarakat

Nuaulu menanam tanaman perdagangan dan tanaman komersil. Selain itu,

masyarakat Nuaulu tidak hanya memikirkan subsistensi tetapi juga keuntungan

dalam bentuk uang yang dapat diperoleh. Cara-cara inilah akhirnya merusak

kondisi ekologi setempat. Dengan kesadaran akan pentingnya hutan bagi

subsistensi, masyarakat Nuaulu kembali ke sistem penghidupan semula.

11

Sikap Masyarakat Adat di Kawasan Hutan terhadap Perluasan Taman

Nasional

Sikap didefinisikan oleh Zanden (1984) sebagai kecenderungan atau

predisposisi yang dipelajari dan relatif bertahan lama sebagai pengarah atau acuan

dalam mengevaluasi orang, peristiwa atau situasi. Kecenderungan ini akan

mempengaruhi tingkah laku seseorang terhadap hal yang dievaluasinya. Zanden

juga menyebutkan tiga komponen sikap yakni kognitif, afektif, dan perilaku.

Komponen kognitif dimaknai sebagai cara seseorang mempersepsikan sesuatu.

Komponen afektif lebih diidentikkan dengan perasaan atau emosi seseorang

terhadap sesuatu. Lebih jauh, komponen perilaku mencerminkan kecenderungan

aksi atau respon seseorang terhadap sesuatu.

Terdapat berbagai cara pengukuran sikap yang telah diperkenalkan oleh

para ahli yakni skala Thurstone, skala Likert, skala Guttman, dan skala perbedaan

semantik yang diperkenalkan Osgood (Zanden 1984). Osgood menyatakan bahwa

pada skala perbedaan semantik terdapat skala bipolar yang mengandung unsur

evaluasi, unsur potensi, dan unsur aktivitas yang dapat digunakan dalam

mengukur tiga dimensi sikap: 1) evaluasi responden tentang objek/konsep, 2)

persepsi responden tentang potensi objek/konsep, dan 3) persepsi responden

tentang aktivitas objek (Effendi 1987).

Penelitian mengenai sikap masyarakat adat sering kali difokuskan pada

komponen kognitif atau persepsi. Dalam penelitian Wahyuni dan Mamonto

(2012) ditunjukkan bahwa masyarakat Desa Kobe Kulo yang sebagian besar

merupakan penduduk asli memiliki persepsi rendah (negatif) terhadap keberadaan

Taman Nasional Aketajawe Lolobata, Manado. Sebaliknya, masyarakat Desa

Binagara yang sebagian besar merupakan pendatang memiliki persepsi tinggi

(positif) terhadap keberadaan taman nasional tersebut.

Terkait kasus perluasan taman nasional, penerbitan serta penerapan

kebijakan penetapan kawasan taman nasional merupakan rangsang/stimuli bagi

individu masyarakat kasepuhan. Rangsang tersebut kemudian disadari dan

dipahami sehingga selanjutnya masyarakat dapat memberi respon berupa perilaku.

Penelitian yang dilakukan Dewi (2011) menunjukkan bahwa masyarakat

Kasepuhan Sinar Resmi memiliki persepsi buruk terhadap perluasan TNGHS.

Kerangka Pemikiran

Kebijakan pengelolaan sumber daya alam sering dibuat secara top-down

tanpa mempertimbangkan kondisi masyarakat, khususnya masyarakat desa hutan.

Salah satu kebijakan tersebut yaitu pada kasus penetapan kawasan Taman

Nasional Gunung Halimun Salak melalui SK Menteri Kehutanan RI No.

175/2003. Penetapan tersebut berpotensi mengakibatkan perubahan sistem

penghidupan masyarakat kasepuhan dari segi akses dan aktivitas.

Sesuai dengan pernyataan Ribot dan Peluso (2003), akses didefinisikan

sebagai kemampuan untuk memperoleh manfaat dari sesuatu. Aktivitas nafkah

terbagi menjadi dua, yakni aktivitas nafkah pertanian dan aktivitas nafkah non

pertanian. Perubahan akses masyarakat Kasepuhan Cipta Mulya mempengaruhi

aktivitas nafkah yang dilakukan oleh masyarakat. Selanjutnya, perubahan aktivitas

12

nafkah diduga berpengaruh terhadap tingkat pendapatan rumah tangga. Selain itu,

penguasaan dan kepemilikan lahan garapan serta tingkat pendapatan rumah tangga

diduga akan mempengaruhi sikap masyarakat terhadap penetapan kawasan

TNGHS.

Keterangan:

: Mempengaruhi

Penetapan TNGHS

1. Perubahan status hutan produksi

menjadi hutan konservasi

2. Pertentangan kelembagaan formal

TNGHS dan non formal adat

terkait pengelolaan hutan

Sikap Masyarakat terhadap

Penetapan Taman Nasional

1. Positif

2. Netral

3. Negatif

Penguasaan dan Kepemilikan

Lahan Garapan

1. Status kepemilikan lahan

garapan yang dikuasai

masyarakat

2. Luas lahan garapan yang

dikuasai masyarakat

Pendapatan Rumah

Tangga

1. Tingkat pendapatan

pertanian padi

2. Tingkat pendapatan

pertanian non-padi

3. Tingkat pendapatan non-

pertanian

Aktivitas Nafkah Masyarakat

1. Aktivitas nafkah pertanian

a. Pertanian padi

b. Pertanian non padi

2. Aktivitas nafkah non

pertanian

Akses Masyarakat terhadap

Lahan Garapan Adat

1. Kemampuan memasuki lahan

garapan adat

2. Kemampuan menanam di

lahan garapan adat

3. Kemampuan mengambil hasil

dari lahan garapan adat

Gambar 1 Kerangka Pemikiran Penelitian

13

Hipotesis Penelitian

1. Penetapan TNGHS mempersulit akses masyarakat Kasepuhan Cipta Mulya

terhadap lahan garapan adat.

2. Penetapan TNGHS menyebabkan masyarakat Kasepuhan Cipta Mulya

menambah aktivitas nafkah rumah tangga.

3. Penetapan TNGHS menyebabkan pendapatan rumah tangga masyarakat

Kasepuhan Cipta Mulya berkurang.

4. Masyarakat Kasepuhan Cipta Mulya memiliki sikap negatif terhadap

penetapan TNGHS.

5. Terdapat hubungan positif antara sikap masyarakat Kasepuhan Cipta Mulya

terhadap penetapan TNGHS dengan status lahan garapan yang dikuasai.

6. Terdapat hubungan positif antara sikap masyarakat Kasepuhan Cipta Mulya

terhadap penetapan TNGHS dengan luas lahan garapan yang dikuasai.

7. Terdapat hubungan positif antara sikap masyarakat Kasepuhan Cipta Mulya

terhadap penetapan TNGHS dengan tingkat pendapatan rumah tangga.

Definisi Operasional

1. Sistem Penghidupan: kombinasi akses, aset, dan aktivitas untuk

mempertahankan atau meningkatkan taraf hidup rumah tangga. Dalam hal ini,

lebih difokuskan pada akses dan aktivitas nafkah.

A. Akses: Kemampuan dan kemudahan masyarakat kasepuhan dalam

memasuki, menanami, dan mengambil hasil tanam di lahan adat.

Kuesioner untuk mengukur akses masyarakat kasepuhan terhadap lahan

garapan tercakup pada bagian II yang terdiri dari 3 pertanyaan. Masing-

masing pertanyaan memiliki 2 pilihan jawaban (a dan b). Jawaban a

bernilai 2 dan b bernilai 1. Dengan demikian, akses masyarakat kasepuhan

terhadap lahan garapan dinyatakan:

a) Mudah jika total skor 5-6 (kode 1)

b) Sulit jika total skor 3-4 (kode 2)

B. Aktivitas Nafkah: berbagai kegiatan yang dilakukan masyarakat

kasepuhan untuk memenuhi kebutuhan hidup. Aktivitas nafkah terbagi

dalam tiga bagian:

1) Aktivitas nafkah pertanian padi, merupakan kegiatan yang dilakukan

rumah tangga untuk memperoleh hasil pertanian berupa padi sebagai

konsumsi rumah tangga dan akan disimpan untuk keperluan

mendatang.

2) Aktivitas nafkah pertanian non padi, merupakan kegiatan yang

dilakukan rumah tangga untuk menghasilkan komoditas bukan padi

untuk konsumsi sehari-hari dan/atau dijual.

3) Aktivitas nafkah non pertanian, merupakan kegiatan yang dilakukan

rumah tangga untuk memperoleh penghasilan berupa uang untuk

memenuhi kebutuhan hidup.

Aktivitas nafkah yang dilakukan masyarakat Kasepuhan Cipta Mulya

dapat membentuk kombinasi:

14

a) Aktivitas nafkah pertanian (padi & non padi) dan non pertanian (kode

1)

b) Aktivitas nafkah pertanian (padi) dan non pertanian (kode 2)

c) Aktivitas nafkah pertanian (padi & non padi) (kode 3)

2. Pendapatan rumah tangga: total uang yang didapatkan rumah tangga

responden dari aktivitas nafkah pertanian dan non pertanian. Pendapatan

rumah tangga dibagi menjadi:

1) Pendapatan pertanian padi, yakni sejumlah uang yang dihasilkan dari

kegiatan bercocok tanam padi. Kegiatan yang dimaksud yakni menanam

hingga memanen padi serta menjadi buruh tani (kuli babad, macul, panen,

dan sebagaiya). Hasil panen padi yang diperoleh rumah tangga petani,

dinyatakan dalam satuan ikat (pocong). Satu ikat padi memiliki bobot rata-

rata 0.96 kg. Sesuai dengan harga pasar, harga beras per kg mencapai

Rp9 000 sehingga, satu ikat padi dihargai sekitar Rp8 600.

2) Pendapatan pertanian non padi, yakni sejumlah uang hasil panen

komoditas bukan padi yang diperoleh rumah tangga. Harga komoditas

bukan padi ditentukan oleh harga pasar.

3) Pendapatan non pertanian, yakni sejumlah uang yang diperoleh dari

aktivitas nafkah pada sektor lain di luar pertanian seperti industri, jasa, dan

usaha kecil menengah yang dilakukan rumah tangga.

Pendapatan rumah tangga responden dibagi menjadi dua yakni pendapatan

sebelum dan setelah penetapan TNGHS. Kategori pendapatan rumah

ditentukan oleh standar deviasi dan rata-rata (mean).

A. Kategori pendapatan sebelum penetapan TNGHS

a) Tinggi, jika pendapatan rumah tangga >Rp924 143per bulan (kode 1)

b) Menengah, jika pendapatan rumah tangga berada dalam rentang

Rp158 190dan Rp924 143 per bulan (kode 2)

c) Rendah, jika pendapatan rumah tangga ≤ Rp158 190 per bulan (kode

3)

B. Kategori pendapatan setelah penetapan TNGHS

a) Tinggi, jika pendapatan rumah tangga > Rp7 191 290per bulan (kode1)

b) Menengah, jika pendapatan rumah tangga berada dalam rentang

Rp440 030 dan Rp7 191 290per bulan (kode 2)

c) Rendah, jika pendapatan rumah tangga ≤ Rp440030 per bulan (kode3)

Selain kategori pendapatan, dilakukan pula penghitungan selisih

pendapatan rumah tangga dan sebelum penetapan TNGHS untuk

mengetahui peningkatan atau penurunan pendapatan responden. Selisih

pendapatan rumah tangga diperoleh dari pendapatan rumah tangga setelah

penetapan TNGHS (Ia) dikurangi pendapatan rumah tangga sebelum

penetapan TNGHS (Ib). Selisih pendapatan rumah tangga dapat

dinyatakan:

a) Positif, jika Ia>I

b (kode 1)

b) Nol, jika Ia = I

b (kode 2)

c) Negatif, jika Ia<I

b (kode 3)

15

3. Penguasaan dan kepemilikanlahan garapan, mencakup dua hal, yakni status

kepemilikan dan luas lahan yang dimanfaatkan untuk kegiatan pertanian.

A. Status kepemilikan lahan garapan: posisi lahan yang dimanfaatkan untuk

kegiatan pertanian berdasarkan hak kepemilikan yang melekat. Secara

hukum, hanya ada dua jenis kepemilikan, yakni kepemilikan oleh negara

dan kepemilikan hak. Lahan yang dimanfaatkan oleh masyarakat

kasepuhan belum diakui secara hukum sebagai lahan komunal sehingga

masih berstatus milik negara. Meski demikian, secara de facto masyarakat

telah mendefinisikan lahan-lahan yang dimanfaatkan untuk memenuhi

kebutuhan hidup.

Kategori status kepemilikan lahan yang dimanfaatkan oleh masyarakat:

1) Lahan komunal adat, merupakan seluas lahan yang diyakni merupakan

peninggalan leluhur Kasepuhan.

2) Lahan komunal non adat, lahan bekas bukaan Perhutani yang sudah sejak

tahun 1990-an dimanfaatkan oleh masyarakat.

3) Lahan milik pribadi, lahan yang secara hukum telah resmi menjadi hak

individu. Lahan tersebut dapat berada di luar atau di dalam desa.

Penguasaan lahan garapan oleh masyarakat kasepuhan dapat membentuk

kombinasi sebagai berikut.

a) Lahan adat, bukaan Perhutani, dan milik pribadi (kode 1)

b) Lahan adat dan bukaan Perhutani/milik pribadi (kode 2)

c) Lahan adat (kode 3)

B. Luas lahan garapan adalah total lahan yang dimanfaatkan untuk kegiatan

pertanian yang dapat berupa lahan adat, bukaan Perhutani, dan lahan milik

pribadi. Luas lahan dinyatakan dalam satuan m². Kategori luas lahan

diperoleh melalui penghitungan dengan standar deviasi dan rata-rata

(mean). Menurut pengolahan data, diperoleh standar deviasi sebesar 4369

dan rata-rata 3680 m² sehingga luas lahan garapan dapat dikatakan:

a) Luas, jika total luas lahan garapan >5864.55 m² (kode 1)

b) Sedang, jika total luas lahan berada di antara 1495.45 dan 5864.55 m²

(kode 2)

c) Sempit, jika total luas lahan garapan ≤1495.45 m² (kode 3)

4. Sikap: Penilaian/pandangan dalam diri individu mengenai penetapan TNGHS.

Pengukuran sikap tercakup dalam kuesioner bagian V yang dikemas dalam

bentuk skala perbedaan semantik. Terdapat 10 pasangan kata positif-negatif

yang dipisahkan oleh skala 1 sampai 5. Angka yang dipilih mencerminkan

skor masing-masing poin. Semakin kecil angka yang dipilih responden

semakin menunjukkan sikap negatif terhadap penetapan TNGHS. Dengan

demikian masyarakat dapat dinyatakan memiliki sikap:

a) Positif, jika jumlah skor berada pada kisaran 37-50 (kode 1)

b) Netral, jika jumlah skor berada pada kisaran 24-36 (kode 2)

c) Negatif, jika jumlah skor berada pada kisaran 10-23 (kode 3)

16

17

PENDEKATAN LAPANGAN

Pendekatan lapangan berisi informasi mengenai lokasi dan waktu

penelitian, teknik penentuan responden dan informan, teknik pengumpulan data

serta teknik pengolahan dan analisis data. Berikut penjabaran masing-masing

informasi tersebut.

Lokasi dan Waktu Penelitian

Penelitian mengenai dampak kebijakan perluasan taman nasional terhadap

sistem penghidupan masyarakat kasepuhan ini dilakukan di kawasan Taman

Nasional Gunung Halimun-Salak (TNGHS), Kecamatan Cisolok, Kabupaten

Sukabumi, Jawa Barat, khususnya di sebuah kasepuhan yang sengaja dipilih, yaitu

Kasepuhan Cipta Mulya. Kasepuhan tersebut dipilih karena merupakan bagian

dari Desa Sirnaresmi yang merasakan langsung dampak dari kebijakan penetapan

kawasan TNGHS. Kasepuhan Cipta Mulya dianggap dapat merepresentasikan

sistem penghidupan masyarakat setelah adanya kebijakan perluasan TNGHS.

Penelitian dilaksanakan selama enam bulan yang mencakup kegiatan

penyusunan proposal skripsi, kolokium, pengambilan data di lapangan,

penyusunan draft skripsi, pengolahan dan analisis data, penulisan draft skripsi,

sidang skripsi, dan perbaikan laporan penelitian. Waktu penelitian secara rinci

dijelaskan dalam Tabel 2.

Tabel 2 Timeline Pelaksanaan Penelitian

Kegiatan Juni September Oktober November Desember Januari

1 2 3 4 1 2 3 4 1 2 3 4 1 2 3 4 1 2 3 4 1 2 3 4

Penyusunan

proposal

skripsi

Kolokium

Perbaikan

proposal

skripsi

Pengambilan

data

lapangan

Pengolahan

dan analisis

data

Penulisan

draft skripsi

Sidang

skripsi

Perbaikan

skripsi

18

Pendekatan Penelitian

Pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah pendekatan

kuantitatif dan kualitatif. Dengan demikian, penelitian ini tergolong dalam

penelitian deskriptif dan eksplanatori yang akan menggambarkan sistem

penghidupan masyarakat kasepuhan yang mencakup akses terhadap lahan

garapan, kelembagaan lokal pengelolaan hutan, dan aktivitas nafkah sebelum dan

setelah adanya kebijakan perluasan TNGHS. Selain itu penelitian ini akan dapat

menjelaskan hubungan sistem penghidupan, karakteristik individu responden dan

sikap terhadap kebijakan perluasan TNGHS.

Pendekatan kuantitatif dilakukan dengan menggunakan kuesioner untuk

merepresentasikan perubahan sistem penghidupan masyarakat dari segi akses,

aktivitas nafkah, dan pendapatan rumah tangga. Kuesioner juga digunakan untuk

melihatsikap individu responden terhadap kebijakan perluasan TNGHS dan

kaitannya dengan karakteristik individu. Pendekatan kualitatif dilakukan melalui

observasi langsung serta melakukan wawancara mendalam dengan para informan.

Data kualitatif diposisikan sebagai pendukung dan pelengkap data kuantitatif,

terutama dalam mengungkap perubahan sistem penghidupan masyarakat

kasepuhan.

Teknik Penentuan Responden

Populasi penelitian ini adalah rumah tangga masyarakat Kasepuhan Cipta

Mulya yang memanfaatkan lahan hutan adat untuk memenuhi kehidupan sehari-

hari. Jumlah populasi penelitian yakni 138 rumah tangga yang diwakili oleh

kepala rumah tangga. Keterbatasan data mengenai rumah tangga yang memenuhi

kriteria populasi sasaran menyebabkan pengumpulan data populasi dilakukan

secara manual. Data tersebut diperoleh dari salah satu petinggi Kasepuhan Cipta

Mulya. Daftar kerangka samplingpenelitian disajikan dalam bentuk tabel pada

Lampiran 3.

Responden diperoleh dengan teknik pengambilan sampel acak sederhana

(simple random sampling). Pemilihan teknik tersebut dilakukan karena populasi

penelitian tergolong homogen. Daftar populasi sasaran yang telah terkumpul

kemudian diacak menggunakan tabel angka acak sehingga diperoleh sejumlah

individu yang relevan untuk keperluan penelitian. Agar dapat diuji secara statistik,

jumlah responden penelitian yakni 30 kepala rumah tangga. Daftar responden

disertakan dalam Lampiran 4.

Setiap responden terpilih secara otomatis berperan sebagai informan

penelitian. Selain itu, informan penelitian lainnya seperti aparat desa, petinggi

Kasepuhan Cipta Mulya, dan pihak TNGHS dipilih secara sengaja untuk

mendukung pengumpulan data dan informasi yang akurat dan objektif.

Metode Pengumpulan Data dan Analisis Data

Menindaklanjuti pendekatan yang digunakan, jenis data yang dikumpulkan

mencakup data primer dan sekunder. Data primer-kuantitatif dan kualitatif yang

dikumpulkan dari responden yaitu mengenai perubahan akses terhadap lahan

19

garapan hutan, perubahan aktivitas nafkah dan pendapatan rumah tangga, serta

sikap responden terhadap kebijakan perluasan TNGHS.

Data primer-kualitatif lainnya diperoleh dari tetua adat dan sekertaris

desa, mencakup sejarah kasepuhan, hubungan masyarakat kasepuhan dengan

TNGHS, serta perubahan-perubahan yang terjadi setelah penetapan TNGHS.

Pihak TNGHS juga menjadi informan dalam pengumpulan informasi mengenai

tanggapan TNGHS tentang keberadaan masyarakat Kasepuhan serta informasi

lainnya.

Data sekunder yang diperoleh dari sekertaris desa yakni profil desa yang

menjelaskan kondisi desa secara geografis, demografis, ekonomi, dan sosial.

Selain itu, data-data sekunder terkait TNGHS juga dikumpulkan dengan bantuan

pihak TNGHS untuk melengkapi data penelitian. Keterangan lebih lengkap

mengenai teknik pengumpulan data primer dan sekunder yang dikumpulkan dapat

dilihat melalui tabel berikut.

Tabel 3 Metode Pengumpulan Data dan Sumber Data Penelitian Dampak

Penetapan TNGHSterhadap Sistem Penghidupan Masyarakat

Kasepuhan Cipta Mulya Tahun 2013

No. Data/Dokumen

Metode dan Sumber Data/Informasi

Wawancara

Terstruktur

Pengamatan Data Sekunder Wawancara

mendalam

1. Informasi

dasar/karakteristik

responden

responden

(masyarakat

kasepuhan)

2. Sikap responden terhadap kebijakan

responden (masyarakat

kasepuhan)

3. Perubahan akses

terhadap lahan

garapan

responden

(masyarakat

kasepuhan)

4. Perubahan aktivitas

nafkah dan

pendapatan

Responden

(masyarakat

kasepuhan)

Aparat desa 1. Aparat desa

2. Tetua adat

3. Masyarakat

kasepuhan

5. Perubahan yang dirasakan setelah ada

TNGHS

1. Tetua adat 2. Masyarakat

kasepuhan

7. Profil Desa Aparat desa

8. Jumlah masyarakat

adat yang berada di

wilayah TNGHS

Pihak TNGHS

9. Tanggapan pihak

TNGHS terhadap

keberadaan

masyarakat

Pihak TNGHS

10. Aturan dan sanksi terkait pengelolaan

TNGHS

Pihak TNGHS Pihak TNGHS

11. Jenis dan jumlah

pelanggaran di

TNGHS

Pihak TNGHS Pihak TNGHS

12. Peta zonasi TNGHS Pihak TNGHS

20

Pengolahan data dilakukan dengan menggunakan aplikasi SPSS Statistics

17.0 for Windows dan Microsoft Excell 2007. Data primer kuantitatif yang telah

diperoleh diolah dengan analisis deskriptif korelasi. Analisis deskriptif disajikan

dalam tabel frekuensi. Analisis korelasi menggunakan tabulasi silang dan uji

korelasi rank spearman untuk menguji hubungan antardata ordinal.

21

GAMBARAN LOKASI PENELITIAN DAN KARAKTERISTIK

RESPONDEN

Bab ini berisi informasi mengenai lokasi penelitian yang mencakup profil

desa dan kasepuhan secara geografis, administratif, dan sosial, serta karakteristik

reponden yang terdiri dari usia, tingkat pendidikan, dan jumlah anggota rumah

tangga. Berikut penjelasan terperinci mengenai gambaran lokasi penelitian dan

karakteristik responden.

Profil Desa Sirnaresmi

Desa Sirnaresmi merupakan salah satu desa yang terletak di Kecamatan

Cisolok, Kabupaten Sukabumi, Provinsi Jawa Barat. Secara administratif, Desa

Sirnaresmi berbatasan dengan desa-desa lainnya. Batas wilayah Desa Sirnaresmi

dijelaskan dalam poin-poin berikut.

1. Sebelah utara, berbatasan dengan Desa Sirnagalih, Kecamatan Cibeber.

2. Sebelah selatan, berbatasan dengan Desa Sirnarasa, Kecamatan Cikakak dan

Desa Cicadas, Kecamatan Cisolok.

3. Sebelah timur, berbatasan dengan Desa Cihamerang, Kecamatan

Kalapanunggal.

4. Sebelah barat, berbatasan dengan Desa Cicadas, Kecamatan Cisolok.

Secara geografis, Desa Sirnaresmi terletak pada 6°48′32,3″ BT dan

106°29′37″ LS dengan ketinggian 600-1200 m dpl. Desa Sirnaresmi memiliki

curah hujan yang cukup tinggi, berkisar antara 2120 dan 3250 mm/tahun. Suhu

rata-rata pada musim hujan 21-25°C sedangkan pada musim kemarau sekitar

25°C. Wilayah Desa Sirnaresmi yang tercantum dalam Laporan Perkembangan

Desa Sirnaresmi tahun 2013 memiliki seluas 4850.7 ha. Wilayah tersebut terbagi

atas tanah sawah, tanah kering, tanah perkebunan, tanah fasilitas umum, dan tanah

hutan, dengan rincian sebagai berikut.

Tabel 4 Luas Desa Sirnaresmi berdasarkan Penggunaannya Tahun 2013

Wilayah Luas (ha) Persentase

(%)

TANAH SAWAH Sawah setengah irigasi 138 2.84

Sawah tadah hujan 162 3.34

TANAH KERING

Tegal/ladang 380 7.83

Pemukiman 36 0.74

Pekarangan 15 0.31

TANAH PERKEBUNAN Tanah perkebunan perorangan 114 2.35

TANAH FASILITAS UMUM

Sawah desa 0.6 0.01

Lapangan olahraga 2.00 0.04

Perkantoran pemerintah 0.1 0.00

Tempat pemakaman desa/umum 3 0.06

TANAH HUTAN Hutan adat 4000 82.46

Total Luas 4850.7 100

Sumber: Laporan Perkembangan Desa Sirnaresmi 2013

22

Berdasarkan kepemilikan, lahan di Desa Sirnaresmi yang tergolong lahan

milik negara yakni sejumlah 850.7 ha sedangkan milik adat 4 000 ha.Meski

demikian, lahan negara seluas 850.7 ha tersebut dilimpahkan penguasaannya pada

Desa Sirnaresmi dalam bentuk Surat Pemberitahuan Pajak Terhutang (SPPT).

Sejumlah 180 ha telah tersertifikasi melalui Proyek Operasi Nasional Agraria

(PRONA) pada tahun 2004.

Dijelaskan pula dalam Laporan Perkembangan Desa Sirnaresmi 2013

bahwa seluas 3 200 ha dari 4 000 ha (80 persen) hutan adat berada dalam kondisi

baik sedangkan 800 ha sisanya (20 persen) berada dalam kondisi buruk.

Pemaparan tersebut merujuk pada pembagian lahan adat berdasarkan fungsinya.

Seluas 3 200 ha lahan adat tergolong leuweung tutupan dan leuweung titipan

sedangkan sisanya seluas 800 ha tergolong leuweung garapan. Buruknya kondisi

hutan dipertegas dengan data mengenai dampak yang timbul dari pengolahan

hutan berupa longsor/erosi dan kerusakan biota/plasma nutfah hutan.

Jumlah penduduk Desa Sirnaresmi tahun 2013 adalah 5 375 jiwa dengan

komposisi 2 651 orang laki-laki dan 2 724 orang perempuan. Sebagian besar

penduduk Desa Sirnaresmi tergolong etnis Sunda. Dari total penduduk, 7 orang

beragama Kristen dan selebihnya beragama Islam. Laporan Perkembangan Desa

Sirnaresmi Tahun 2013, memuat data jumlah responden berdasarkan tingkat

pendidikan namun data tersebut tidak mencakup seluruh penduduk Desa

Sirnaresmi. Data yang tersedia hanya mewakili 25 persen penduduk desa. Data

mengenai jumlah dan persentase penduduk berdasarkan tingkat pendidikan dan

jenis kelamin disajikan dalam tabel berikut.

Tabel 5 Jumlah dan Persentase 1/4 Penduduk Desa Sirnaresmi berdasarkan

Tingkat Pendidikan Tahun 2013

Tingkat Pendidikan Jumlah (orang) Persentase (%)

Tidak tamat SD 64 4.76

Tamat SD 927 68.97

Tamat SLTP 254 18.90

Tamat SLTA 72 5.36

Tamat D-1 9 0.67

Tamat D-2 9 0.67

Tamat D-3 6 0.45

Tamat S-1 3 0.22

Total 1344 100

Sumber: Laporan Perkembangan Desa Sirnaresmi 2013

Tabel 5 menunjukkan bahwa sebagian besar penduduk Desa Sirnaresmi

hanya dapat menempuh pendidikan hingga tamat SD. Kondisi pendidikan yang

demikian disebabkan oleh kesulitan akses penduduk terhadap pendidikan

menengah dan tinggi. Jarak SLTP dan SLTA sangat jauh dan harus ditempuh

dengan berjalan kaki sehingga sulit diakses oleh masyarakat. Meski demikian,

saat ini akses terhadap SLTP dan SLTA lebih mudah dibanding sebelumnya

karena sudah ada kendaraan bermotor.

23

Mata pencaharian penduduk Desa Sirnaresmi cukup beragam namun

sebagian besar berprofesi dalam bidang pertanian, terutama tanam padi. Data

mengenai jumlah penduduk Desa Sirnaresmi berdasarkan jenis pekerjaan yang

telah tercatat pada Laporan Perkembangan Desa Sirnaresmi 2013 hanya

menggambarkan sebagian penduduk (42.16 persen). Penjelasan terperinci

mengenai jumlah dan persentase sebagian penduduk Desa Sirnaresmi berdasarkan

jenis pekerjaan dan jenis kelamin disajikan dalam Tabel 6.

Tabel 6 Jumlah dan Persentase Sebagian Penduduk Desa Sirnaresmi berdasarkan

Jenis Pekerjaan Tahun 2013

Jenis Pekerjaan Jumlah (orang) Persentase (%)

Petani 1625 71.71

Buruh tani 380 16.77

Pegawai Negeri Sipil 5 0.22

POLRI 1 0.04

Pengusaha kecil dan

menengah 110 4.85

Dukun kampung

terlatih 7 0.31

Guru swasta 18 0.79

Seniman/artis 120 5.30

Total 2266 100

Sumber: Laporan Perkembangan Desa Sirnaresmi 2013

Tabel 6 menunjukkan bahwa sebagian besar penduduk Desa Sirnaresmi

bekerja sebagai petani. Meski demikian, tidak semua keluarga memiliki lahan

pertanian sendiri. Keluarga yang memiliki tanah pertanian berjumlah 709 keluarga

dengan rincian, 647 keluarga memiliki lahan kurang dari 1 ha, 61 keluarga

memiliki lahan seluas 1-5 ha, dan 1 keluarga memiliki lahan pada kisaran 5-10 ha.

Sisanya, yakni 678 keluarga tidak memiliki lahan pertanian.

Di Desa Sirnaresmi, sebagian besar penduduk menerapkan sistem adat

yang disebut kasepuhan. Terdapat tiga kasepuhan di Desa Sirnaresmi yakni

Kasepuhan Sinar Resmi, Cipta Gelar, dan Cipta Mulya. Ketiga kasepuhan tersebut

termasuk dalam Kesatuan Adat Banten Kidul. Penelitian ini lebih difokuskan pada

masyarakat Kasepuhan Cipta Mulya yang berdomisili di Desa Sirnaresmi.

Profil Kasepuhan Cipta Mulya

Kasepuhan Cipta Mulya merupakan salah satu komunitas adat di Desa

Sirnaresmi. Sebenarnya anggota Kasepuhan Cipta Mulya tersebar di beberapa

wilayah di Kabupaten Lebak, Bogor, dan Sukabumi namun pusat Kasepuhan

Cipta Mulya berada di Desa Sirnaresmi, Kecamatan Cisolok, Kabupaten

24

Sukabumi. Masyarakat Kasepuhan Cipta Mulya yang berada di dekat pusat

pemerintahan desa tersebar di 4 kampung yaitu Mekar Jaya, Cikirai, Cibongbong,

dan Cipta Mulya.

Lokasi pusat Kasepuhan Cipta Mulya dekat dengan pusat Kasepuhan Sinar

Resmi dan masih tergolong luar kawasan Taman Nasional Gunung Halimun Salak

sedangkan pusat Kasepuhan Cipta Gelar terletak di dalam kawasan. Meski terletak

di luar kawasan, masyarakat Kasepuhan Cipta Mulya yang tinggal di dekat pusat

Kasepuhan Cipta Mulya menggantungkan hidup pada hutan adat yang terletak

dalam kawasan TNGHS. Jarak yang harus ditempuh masyarakat Kasepuhan Cipta

Mulya yang tinggal di sekitar pusat pemerintahan Desa Sirnaresmi untuk

mencapai hutan adat cukup jauh yakni sekitar 16 km.

Kasepuhan Cipta Mulya bukan merupakan sebuah kasepuhan yang berdiri

sendiri melainkan merupakan pemekaran dari Kasepuhan Sinar Resmi. Kasepuhan

ini resmi berdiri pada tahun 2002, dimulai dari diterimanya wangsit oleh Abah

Uum. Sepeninggal Abah Uum, Kasepuhan Cipta Mulya dipimpin oleh anaknya,

Abah A. E. Suhendri. Berikut struktur kepengurusan Kasepuhan Cipta Mulya.

Sumber: Sekertaris Kasepuhan Cipta Mulya (2013)

Tutunggul (Abah) A.E. Suhendri Wijaya

Gandek Uday

Pamakayaan

Akung

Paraji Rukmini

Pamoro

Jata

Dukun Didin

Bengkong Oba

Penghulu Suprita

Kemit Samudi

Ngurus

Leuit

Marja

Kebersihan

Sata

Ema Pangberang Supratmi

Tukang

Bangunan

Juardi

Kokolot

Lembur

Panday Unang

Kesenian

Usup Tukang

Dapur Een

Tukang

Para

Ujadi

Canoli Uwan

Kokolot

Lembur

Kokolot

Lembur

Kokolot

Lembur Kokolot

Lembur Kokolot

Lembur

Kokolot

Lembur

Kokolot

Lembur

Kokolot

Lembur

Incu Putu

Gambar 2 Struktur Kepengurusan Kasepuhan Cipta Mulya

25

Masyarakat Kasepuhan Cipta Mulya memanfaatkan sumber daya alam

berupa lahan hutan dan talun (kebun). Lahan hutan yang dimanfaatkan oleh

masyarakat merupakan lahan komunal adat yang diwariskan secara turun

temurun. Selain lahan adat, ada pula lahan hutan bekas bukaan Perhutani yang

dijadikan talun untuk penanaman berbagai komoditas non padi. Lahan bekas

bukaan Perum Perhutani juga tergolong lahan komunal karena dimanfaatkan

secara bersama-sama oleh masyarakat tanpa hak kepemilikan pribadi.

Lahan komunal adat dapat dimanfaatkan oleh setiap rumah tangga

masyarakat Kasepuhan Cipta Mulya yang berdomisili di Desa Sirnaresmi. Setiap

rumah tangga memiliki porsi penguasaan lahan yang berbeda-beda. Meski

demikian, anggota rumah tangga satu dapat menggarap di lahan yang dikuasai

rumah tangga lainnya dengan seizin kepala rumah tangga yang berkuasa atas

lahan tersebut. Hasil panen menjadi hak rumah tangga yang menanam. Sistem

tersebut juga berlaku dalam pemanfaatan lahan bekas bukaan Perhutani.

Perbedaannya yaitu tidak semua rumah tangga memanfaatkan lahan bukaan

Perhutani.

Selain lahan komunal, beberapa masyarakat juga memanfaatkan lahan

milik pribadi. Lahan milik dapat berada di dalam dan di luar desa. Lahan tersebut

merupakan warisan dari orang tua pemilik lahan. Orang tua mewariskan lahan

tersebut secara adil untuk dapat dimanfaatkan dalam pemenuhan kebutuhan hidup.

Adat istiadat yang berlaku pada Kasepuhan Cipta Mulya sama dengan

kasepuhan lainnya. Masyarakat kasepuhan memiliki pekerjaan utama sebagai

petani yang terutama menanam komoditas padi. Setiap kegiatan yang berkaitan

dengan padi pasti diawali dengan ritual. Telah terinternalisasi dalam diri

masyarakat kasepuhan bahwa padi diibaratkan sebagai perempuan yang harus

dijaga kehormatannya. Mereka sangat memuliakan padi sebagai sumber hidup.

Sebelum dapat mulai menanam padi di sawah, pengikut kasepuhan (incu

putu) harus menunggu hingga Abah mulai menanam. Incu putu dilarang

mendahului Abah dalam penanaman padi namun untuk pemanenan hal tersebut

diperbolehkan dengan catatan harus melapor terlebih dulu pada Abah. Penanaman

padi baru akan dimulai setelah kemunculan dua bintang, yakni bintang kerti dan

kidang.

Masyarakat yang mengikuti tradisi kasepuhan tidak akan menjual hasil

panen berupa padi karena hal tersebut dilarang oleh adat. Hasil panen yang

didapat dimasukkan ke dalam leuit kasepuhan dan leuit di masing-masing rumah

tangga. Leuit merupakan tempat penyimpanan padi (lumbung) bagi masyarakat

kasepuhan. Setiap rumah masyarakat kasepuhan harus memiliki minimal satu

leuit. Padi-padi tersebut disimpan dalam bentuk ikatan (pocong).

Karakteristik Responden

Usia Responden

Responden penelitian di Kasepuhan Cipta Mulya adalah kepala rumah

tangga yang berusia di atas 30. Kategori usia responden dibagi menjadi tiga: 1)

dewasa awal (21-40 tahun), 2) dewasa akhir (41-60 tahun), dan 3) tua (60 tahun

26

ke atas). Jumlah dan persentse responden berdasarkan usia disajikan dalam Tabel

7.

Tabel 7 Jumlah dan Persentase Responden berdasarkan Kategori Usia Tahun

2013

Kategori Usia Jumlah (orang) Persentase (%)

Dewasa awal (21-40 tahun) 12 40

Dewasa akhir (41-60 tahun) 11 36.67

Tua (lebih dari 60 tahun) 7 23.33

Total 30 100

Data pada Tabel 7 menunjukkan bahwa sebagian besar responden (40

persen) termasuk dalam kategori usia dewasa awal. Sebesar 36.67 persen

responden termasuk dalam kategori usia dewasa akhir dan 23.33 persen termasuk

kategori tua.

Tingkat Pendidikan

Tingkat pendidikan dibagi menjadi 3 kategori: 1) rendah (tidak sekolah

dan tidak lulus SD) 2) sedang (lulus SD hingga SMP 3) tinggi (SMA

danperguruan tinggi). Berikut tabel jumlah dan persentase responden berdasarkan

tingkat pendidikan.

Tabel 8 Jumlah dan Persentase Responden berdasarkan Kategori Tingkat

Pendidikan Tahun 2013

Kategori Tingkat Pendidikan Jumlah (orang) Persentase (%)

Rendah (tidak sekolah dan

tidak lulus SD) 5 16.67

Sedang (lulus SD - SMP) 24 80

Tinggi (SMA – perguruan

tinggi) 1 3.33

Total 30 100

Sebagian besar responden menempuh pendidikan hingga tamat SD.

Sebagian lainnya tidak bersekolah dan ada yang menempuh pendidikan

menengah.

Seperti pada data Desa Sirnaresmi, kendala dalam melanjutkan pendidikan

adalah jarak tempuh dari rumah ke sekolah menengah. Selain itu, masalah biaya

juga menjadi penghambat bagi masyarakat sehingga tidak melanjutkan atau

bahkan tidak menempuh pendidikan sama sekali.

27

Total Anggota Rumah Tangga

Rumah tangga responden beranggotakan 2 hingga 6 orang. Jumlah dan

persentase rumah tangga responden berdasarkan total anggota rumah tangga

disajikan dalam Tabel 9.

Tabel 9 Jumlah dan Persentase Rumah Tangga Responden berdasarkan Total

Anggota Rumah Tangga Tahun 2013

Total Anggota Rumah

Tangga (orang) Jumlah (rumah tangga) Persentase (%)

2 4 13.33

3 15 50

4 4 13.33

5 6 20

6 1 3.33

Total 30 100

Tabel 9 menunjukkan bahwa 50 persen rumah tangga responden

beranggotakan tiga orang. Sebesar 20 persen rumah tangga responden

beranggotakan lima orang. Masing-masing sebesar 13.33 persen rumah tangga

responden beranggotakan dua dan empat orang. Hanya 3.33 persen rumah tangga

responden yang beranggotakan enam orang.

Status Kepemilikan Lahan Garapan

Masyarakat Kasepuhan Cipta Mulya memanfaatkan lahan garapan dengan

status kepemilikan yang berbeda-beda. Jumlah dan persentase responden

berdasarkan status kepemilikan lahan garapan disajikan dalam Tabel 10.

Tabel 10 Jumlah dan Persentase Responden Berdasarkan Status Kepemilikan

Lahan Garapan Tahun 2013

No. Status Kepemilikan Lahan

Garapan Jumlah (orang) Persentase (%)

1. Lahan komunal (adat) 14 46.67

2. Lahan komunal (adat dan

bukaan perum perhutani) 3 10

3. Lahan komunal (adat) dan lahan

milik pribadi 7 23.33

4. Lahan komunal (adat dan

bukaan Perum Perhutani), lahan

milik pribadi

6 20

Total 30 100

28

Tabel 10 menunjukkan bahwa sebagian besar responden (46.67 persen)

bergantung penuh pada lahan adat untuk memenuhi kebutuhan hidup. Selain lahan

adat, sejumlah 23.33 persen responden turut memanfaatkan lahan pribadi sebagai

sumber nafkah. Sebesar 20 persen responden memanfaatkan ketiga sumber nafkah

dan 10 persen hanya bergantung pada lahan komunal, baik lahan adat maupun

bukaan Perum Perhutani.

29

PERUBAHAN AKSES MASYARAKAT KASEPUHAN CIPTA

MULYA

Bab ini menjelaskan perubahan kepemilikan dan akses masyarakat

Kasepuhan Cipta Mulya terhadap lahan garapan hutan yang terdiri dari dua

bagian, yakni sebelum dan setelah penetapan TNGHS. Berikut penjabaran

mengenai perubahan akses masyarakat Kasepuhan Cipta Mulya.

Akses Masyarakat Kasepuhan Cipta Mulya Sebelum Penetapan TNGHS

Masyarakat Kasepuhan Cipta Mulya masih bergantung pada lahan adat

seluas 4000 ha yang ada di kawasan hutan. Secara hukum lahan tersebut belum

diakui oleh pemerintah sebagai hutan adat. Dengan demikian, lahan yang diklaim

oleh masyarakat sebagai lahan komunal milik adat masih sepenuhnya berstatus

lahan negara.

Sebelum dialihfungsikan menjadi taman nasional, hutan adat masyarakat

kasepuhan berada pada pengawasan perum perhutani yang menjalankan fungsi

produksi. Pengelolaan oleh Perum Perhutani tidak terlalu berpengaruh bagi

masyarakat kasepuhan. Masyarakat masih diperbolehkan menanam padi di sawah

yang sudah ada sejak dulu namun tidak boleh memperluas lahan sawah. Mereka

tetap meyakini bahwa lahan tersebut merupakan lahan yang telah diwariskan oleh

para leluhur dan ditandai dengan botol berwarna merah sebagai pembatas.

Kesepakatan mengenai luas lahan tersebut diakui oleh masyarakat kasepuhan

secara tidak tertulis.

Dalam penerapan pengelolaan hutan, perum perhutani mulai turut

melibatkan masyarakat semenjak tahun 2001 melalui program Pengelolaan

Sumber Daya Hutan Bersama Masyarakat (PSDHBM). Berdasarkan SK Dewan

Pengawas Perum Perhutani No. 136/KPTS/DIR/2001 tentang PSDHBM,

pengelolaan hutan oleh Perum Perhutani tidak hanya dilakukan oleh pihak

perusahaan tetapi juga pemangku kepentingan lainnya terutama masyarakat desa

hutan.

Dengan demikian, Desa Sirnaresmi yang masuk dalam kawasan hutan

yang dikelola Perum Perhutani turut menjadi desa sasaran program tersebut.

Penerapan PSDHBM yang ideal sesungguhnya adalah mengkolaborasikan

kepentingan pemerintah dengan masyarakat. Penerapan program dilandasi dengan

prinsip partisipatif, mulai dari perencanaan hingga monitoring dan evaluasi.

Penerapan program PSDHBM memang kemudian melibatkan masyarakat

desa hutan, termasuk Desa Sirnaresmi. Beberapa masyarakat Desa Sirnaresmi,

khususnya Kasepuhan Cipta Mulya merasa diuntungkan dengan adanya program

tersebut. Keuntungan yang diperoleh masyarakat yakni dapat menambah

pendapatan rumah tangga karena mendapat upah dari kegiatan menanam dan

memanen pohon. Masyarakat juga dapat meminta bibit dari mandor Perhutani

untuk ditanam di lahan milik masyarakat. Bahkan menurut seorang anggota rumah

tangga responden yang merupakan mantan mandor Perhutani (EP), ada saatnya

pihak Perhutani memperbolehkan masyarakat membuka ladang untuk dijadikan

huma dan ditanami pohon.

30

…bikin huma, nanem manii, jengjeng, apa boleh, sama masyarakat, tapi

hasil dapet tanaman perum ga boleh diambil masyarakat…Ada bukaan

kata perum 200 ha, dibuka sama masyarakat, dibuat huma trus ditanem

pohon pinggirnya (EP, 41 tahun).

Hasil panen yang diperoleh dari lahan bukaan tersebut boleh diambil oleh

masyarakat karena diperkenankan untuk dimanfaatkan oleh Perhutani. Sebaliknya,

dalam kegiatan panen yang memperkerjakan masyarakat sebagai kuli, masyarakat

hanya diperkenankan mengangkut hasil panen. Mereka tidak diperbolehkan

mengambil hasil panen tersebut karena terhitung milik negara.

Sebenarnya masyarakat kasepuhan tidak memiliki hak untuk mengelola

secara formal namun mereka tetap merasakan kemudahan dalam mengakses

sumber daya hutan. Jumlah dan persentase responden berdasarkan persepsi tingkat

kemudahan akses terhadap lahan garapan adat sebelum penetapan TNGHS

disajikan dalam Tabel 11.

Tabel 11 Jumlah dan Persentase Responden berdasarkan Persepsi Tingkat

Kemudahan Akses terhadap Lahan Garapan Adat Sebelum Penetapan

TNGHS, 2013

Persepsi Tingkat

Kemudahan Akses

terhadap Lahan Garapan

Adat

Jumlah (orang) Persentase (%)

Mudah 30 100

Sulit 0 0

Total 30 100

Tabel 11 menunjukkan bahwa seluruh responden merasa mudah dalam

mengkakses lahan garapan adat sebelum penetapan TNGHS. Meski demikian,

dalam beberapa hal seperti menebang kayu, mereka merasa dibatasi namun tidak

terlalu ketat. Selain itu terkait dengan penanaman padi di sawah maupun di huma

masyarakat kasepuhan diwajibkan membayar sejumlah 12 kg hasil panen untuk 1

ikat bibit yang ditanam. Bayaran tersebut sebagai pajak bagi masyarakat yang

telah menanam padi di hutan. Masyarakat cenderung merasa tidak masalah

dengan pungutan ini, meski ada pula yang merasa keberatan. Untuk tetap dapat

menanam padi di hutan, terlepas dari bersedia atau tidak, masyarakat membayar

sesuai dengan ketentuan yang telah ditetapkan Perum Perhutani.

Akses Masyarakat Kasepuhan Cipta Mulya Setelah Penetapan TNGHS

Semenjak diterbitkannya SK Menteri Kehutanan No. 175/Kpts-II/2003,

kawasan Taman Nasional Gunung Halimun (TNGH) seluas 40 000 ha diperluas

menjadi Taman Nasional Gunung Halimun Salak (TNGHS) seluas 113 357 ha.

Menurut informasi yang didapat Bapak WR (34 tahun) selaku perwakilan

31

TNGHS, perluasan tersebut dilatarbelakangi beberapa faktor yakni degradasi dan

deforestasi, desakan internasional, serta desakan LSM dan akademisi.

Desakan internasional untuk memperluas wilayah kawasan konservasi

membuat Presiden Republik Indonesia, Susilo Bambang Yudhoyono

berkomitmen pada G-20, Pittsburgh dan COP 15, Copenhagen untuk mengurangi

emisi sebesar 26 persen tanpa bantuan internasional dan 41 persen dengan bantuan

internasional (Murniningtyas 2011). Menurut Bapak WR (34 tahun) komitmen

inilah yang kemudian membuat Kementerian Kehutanan memutuskan perluasan

taman nasional di Indonesia, salah satunya TNGHS. Keputusan yang sangat

teburu-buru tersebut mengakibatkan penetapan TNGHS tidak sesuai prosedur

sehingga menimbulkan permasalahan dengan masyarakat yang sudah lama

menetap di kawasan yang ditunjuk menjadi taman nasional.

Perluasan kawasan taman nasional tersebut menimbulkan pertentangan

antara masyarakat dengan pemerintah, khususnya Kementerian Kehutanan.

Masyarakat adat yang telah lama tinggal dan memanfaatkan kawasan tersebut

merasa tidak nyaman dengan ditetapkannya taman nasional. Lahan yang selama

ini mereka akui sebagai lahan adat kini masuk ke dalam kawasan TNGHS.

Penetapan tersebut membuat masyarakat merasa semakin sulit dalam mengakses

lahan adat. Jumlah dan persentase responden berdasarkan persepsi tingkat

kemudahan akses terhadap lahan garapan adat setelah penetapan TNGHS

disajikan dalam Tabel 12.

Tabel 12 Jumlah dan Persentase Responden berdasarkan Persepsi Tingkat

Kemudahan Akses terhadap Lahan Garapan Adat Setelah Penetapan

TNGHS, 2013

Persepsi Tingkat

Kemudahan Akses

terhadap Lahan Garapan

Adat

Jumlah (orang) Persentase (%)

Mudah 12 40

Sulit 18 60

Total 30 100

Tabel 12 menunjukkan bahwa sebagian besar responden (60 persen)

merasa sulit dalam mengakses lahan garapan adat sedangkan 40 persen responden

masih merasakan kemudahan. Perbandingan kemudahan akses terhadap lahan adat

menurut masyarakat disajikan dalam Gambar 3.

32

Gambar 3 menunjukkan bahwa terjadi penurunan tingkat kemudahan

akses setelah penetapan TNGHS. Meski demikian, masih ada responden yang

merasa mudah dalam mengakses lahan adat. Kesulitan akses masyarakat

tercermin dari pembatasan kegiatan penebangan kayu. Masyarakat yang terlihat

oleh polisi hutan sedang menebang kayu akan langsung diadili. Berikut

pemaparan beberapa informan mengenai hal tersebut.

Dulu masih bisa ambil kayu, sekarang udah ga bisa, ditangkep

(HN, 33 tahun).

Mending dikelola perum, karena kalau tertangkap, TN langsung

bawa masyarakat ke polisi, kalau sama perum dibicarakan baik-

baik di desa (ST, 37 tahun).

Keluhan masyarakat ke taman nasional mah gini, ada tanaman

masyarakat di lokasi taman nasional, diambil masyarakat,

masyarakat ditewak (EP, 41 tahun).

Rasa takut dan khawatir yang dirasakan masyarakat Kasepuhan Cipta

Mulya dalam mengakses lahan garapan di hutan mempertegas kekuatan otoritas

TNGHS dalam pengelolaan hutan. Hal ini kemudian berdampak pada

kelembagaan pengelolaan hutan mengenai pembagian lahan adat dalam tiga

bagian menjadi sulit diterapkan. Lahan garapan yang seharusnya dapat mereka

manfaatkan dengan mudah untuk memenuhi kebutuhan hidup kini tidak dapat

diakses dengan mudah dan aman.

Masyarakat kasepuhan telah meyakini dari dulu pembagian tanah adat

menjadi tiga: 1) leuweung tutupan, 2) leuweung titipan, 3) leuweung garapan.

Pada leuweung tutupan dan titipan, masyarakat adat tidak diperkenankan untuk

Gambar 3 Perbandingan Persentase Responden berdasarkan Persepsi

Tingkat Kemudahan Akses terhadap Lahan Garapan Adat

Sebelum dan Setelah Penetapan TNGHS Tahun 2013

100

0

40

60

0

20

40

60

80

100

120

Mudah Sulit

Sebelum Setelah

33

menggarap. Kedua leuweung tersebut sengaja tidak dimanfaatkan untuk menjaga

kelestarian ekosistem seperti menjaga kuantitas air dan mencegah longsor.

Leuweung titipan boleh dimanfaaatkan dalam keadaan yang mendesak untuk

kepentingan komunal dan dengan persetujuan Abah.

Wilayah TNGHS telah dibatasi menggunakan tapal batas yang terbuat dari

beton bertuliskan “TN”. Taman nasional pada umumnya terbagi atas empat zona:

1) zona inti, 2) zona rimba, 3) zona pemanfaatan, 4) zona lain (zona tradisional;

zona rehabilitasi; zona religi, budaya, dan sejarah; dan zona khusus). Menurut

penuturan Bapak WR (34 tahun) selaku perwakilan TNGHS, awal perluasan

TNGH menjadi TNGHS yakni pada tahun 2003 hingga 2008, pihak TNGHS

masih melakukan berbagai upaya pemantauan (ground check) dan inventarisasi

untuk menentukan zonasi. Berlandaskan pada berbagai kebijakan seperti Undang-

Undang RI No. 5 Tahun 1990 dan Peraturan Menteri Kehutanan No. 56/Menhut-

II/2006, TNGHS dibebaskan dari segala bentuk aktivitas manusia, termasuk

masyarakat kasepuhan. Hal ini kemudian menyebabkan bagian perlindungan

hutan sangat ketat dalam menjaga kawasan TNGHS.

Menurut beberapa responden, seperti Bapak HN, Bapak DI dan Bapak

MD, sebenarnya wilayah garapan masyarakat pernah sempat ingin ditutup sama

sekali oleh pihak TNGHS. Masyarakat yang mengetahui berita tersebut khawatir

dan mengancam akan menyerang pihak TNGHS apabila penutupan akses benar-

benar terjadi.

…waktu itu sempet mau bener-bener ditutup sama taman

nasional, untungnya ga jadi. Kalo ditutup mah nanti kita mau

makan apa (HN, 33 tahun).

…sempet tuh neng mau ditutup sama taman nasional kita ga

boleh lagi di sini gitu. Akhirnya ga jadi, Alhamdulillah (DI, 48

tahun).

…pernah taman nasional mau nutup garapan masyarakat. kalo

jadi ditutup mah perang aja udah (MD, 100 tahun).

Masalah tersebut akhirnya terselesaikan setelah diadakan musyawarah

dengan para petinggi kasepuhan. Hal ini sesuai dengan pernyataan yang

diungkapkan istri Pak HN, yakni Bu AR (33 tahun).

…iya, untungnya diomongin tuh sama orang-orang atas (petinggi

kasepuhan) jadinya kita masih tetep bisa nanem seperti sekarang

(AR, 33 tahun).

Setelah melalui proses yang cukup panjang, pada tahun 2007 terbentuk

zonasi indikatif TNGHS. Zonasi yang dibuat masih bersifat sementara karena

belum disahkan oleh Menteri Kehutanan. Menurut zonasi tersebut, wilayah

Kasepuhan Cipta Gelar telah termasuk dalam zona khusus. Berbeda dengan

Kasepuhan Cipta Gelar, Kasepuhan Cipta Mulya masih belum dipastikan

posisinya dalam zonasi namun tetap saja dalam pandangan hukum, masyarakat

Kasepuhan berada di tanah negara.

34

Pihak TNGHS tidak lagi mempermasalahkan masyarakat yang menggarap

di dalam kawasan taman nasional. Meski demikian, terkait penebangan pohon,

pihak TNGHS tidak dapat mentoleransi. Hal ini sesuai dengan pernyataan Bapak

WR (34 tahun).

…kita masih mengakomodir kegiatan penanaman padi atau

tanaman lainnya…yang susah adalah jika berkaitan dengan

penebangan kayu, yang namanya penebangan itu barang haram di

taman nasional. Meski yang tanam masyarakat, kan lahannya

punya Negara (WR, 34 tahun).

Pembagian zona TNGHS terus mengalami perkembangan, hingga pada

April 2013, zonasi yang telah terbentuk disahkan dalam Keputusan Direktur

Jenderal Perlindungan Hutan dan Konservasi Alam SK. 142/IV-SET/2013 tentang

Zonasi Taman Nasional Gunung Halimun Salak. Zonasi baru tersebut dibuat

dengan berbagai pertimbangan termasuk keberadaan masyarakat adat di dalam

kawasan dengan melibatkan berbagai stakeholder. Berdasarkan zonasi TNGHS,

seluruh kawasan pemukiman termasuk kasepuhan termasuk dalam zona khusus.

Hingga saat ini masyarakat belum mendapat kepastian mengenai status

lahan adat yang sudah sejak lama menjadi sumber hidup mereka. Berbagai upaya

advokasi telah dilakukan untuk mendapat pengakuan Negara namun masih belum

memberi hasil yang diharapkan.Saat ini mereka membutuhkan dukungan dari

Bupati mengenai pengakuan wilayah adat mereka untuk selanjutnya diproses dan

disahkan dalam sebuah peraturan daerah. Menurut seorang aparat desa yakni

Bapak BR (68 tahun), kunci pengakuan wilayah adat kasepuhan berada pada

Bupati.

…intinya di perda, kalo sudah diakui dalam bentuk perda baru

bisa diakui sebagai lahan adat. tinggal keberanian bupati aja (BR,

68 tahun).

Pernyataan di atas didukung oleh pernyataan Bapak WR (34 tahun) yang

pernah menanyakan pengakuan wilayah adat Kasepuhan melalui Bupati.

…kita juga pernah tuh, ke Bupati, menanyakan kenapa tidak

dibuat perda. Ternyata Bupatinya juga ga berani (WR 34 tahun).

Menurut Bapak WR (34 tahun) alasan Bupati belum berani mengeluarkan

perda terkait pengakuan wilayah adat masyarakat kasepuhan yaitu keraguan atas

keaslian adat kasepuhan. Keraguan tersebut juga dirasakan oleh pihak TNGHS

yang diungkapkan Bapak WR.

…Oke, kalo memang mereka secara tradisional kan tapi kita ga

tau apa mereka masih menerapkan itu. Coba bandingkan sama

masyarakat adat lainnya seperti Baduy. Mereka cuma ada 40

rumah di Baduy dalam ya mungkin Cuma 2 hektar lah. Kalau

sudah melebihi carrying capacity ada yang pindah, jadi di Baduy

35

luar. Makanya kan Baduy sudah disahkan dalam perda. Lalu juga

masyarakat di Taman Nasional Bukit Duabelas. Kalau ada yang

meninggal kan, mereka pindah ke bagian hutan yang lain baru

kembali lagi setelah beberapa bulan. Kalau Kasepuhan? sekarang

di Cipta Gelar udah ratusan hektar loh.

36

37

PERUBAHAN AKTIVITAS NAFKAH DAN PENDAPATAN RUMAH

TANGGA MASYARAKAT KASEPUHAN CIPTA MULYA

Masyarakat Kasepuhan Cipta Mulya melakukan berbagai aktivitas nafkah dalam

memenuhi kebutuhan hidup. Aktivitas nafkah yang dilakukan yakni mencakup aktivitas

nafkah pertanian, baik padi dan non padi serta aktivitas non pertanian. Berbagai aktivitas

dilakukan untuk memperoleh pendapatan. Berikut pemaparan pendapatan yang diperoleh

masyarakat Kasepuhan Cipta Mulya berdasarkan kategori aktivitas nafkah.

Tabel 13 Daftar Aktivitas Nafkah Rumah Tangga dan Upah Masyarakat Kasepuhan Cipta

Mulya Tahun 2013 Aktivitas Nafkah Rumah Tangga Upah

Pertanian (padi)

a) Nandur (tanam) Rp 30 000/orang/hari

b) Kuli macul Rp 30 000 - 40 000/orang/hari

c) Kuli babad/ngored Rp 20 000 - 40 000/orang/minggu

d) Panen Hasil panen

e) Tumbuk padi Hasil tumbuk padi

Pertanian (non-padi)

a) Bercocok tanam buah Pisang: Rp 1000 sampai1500/kg;

Alpukat: Rp 500 - 3000/kg

b) Bercocok tanam kayu Manii: Rp 20 000/pohon;

Jeunjing: Rp 50 000/pohon

c) Bercocok tanam

palawija

Tomat: Rp 700/kg; cabai: Rp 25 000/kg;

jagung: Rp 3000/kg; kapol: Rp 5000/kg;

singkong: Rp 1600/kg; talas: Rp 600/kg

d) Nyadap air nira Rp 6000/hulu

Non Pertanian

a) Buruh Bangunan Rp 70 000 - 75 000/hari

b) Warung Rp 75 000 - 300 000/hari

c) Kuli pikul kayu Rp 40 000/hari

d) Mandor Perhutani Rp 75 000/bulan

e) Tambang emas Rp 500 000/gr emas

f) Kuli pikul emas Rp 50 000/hari

g) Supir Rp 75 000 - 200 000/hari

h) Pembantu rumah tangga

Rp 500 000/bulan

i) Reparasi barang

elektronik

Rp 20 000/minggu

j) Mebeul Rp 300 000/buah

k) Jual baju keliling Rp 60 000/ hari

l) Pegawai swasta Rp 350 000/bulan

m) Bengkel Rp 100 000/hari

Sumber: Data primer 2013

38

Tabel 13 telah merepresentasikan aktivitas nafkah serta upah baik sebelum

maupun setelah penetapan TNGHS. Penjelasan lebih terperinci mengenai aktivitas

nafkah dan pendapatan rumah tangga sebelum dan setelah penetapan TNGHS

dijabarkan dalam beberapa subbab berikut.

Aktivitas Nafkah dan Pendapatan Rumah Tangga Masyarakat Kasepuhan

Cipta Mulya Sebelum Penetapan TNGHS

Secara umum, aktivitas nafkah masyarakat Kasepuhan Cipta Mulya

terbagi menjadi dua, yakni aktivitas nafkah pertanian dan aktivitas nafkah non

pertanian. Beberapa masyarakat bahkan mengkombinasikan aktivitas nafkah

pertanian dan non pertanian. Setiap masyarakat Kasepuhan Cipta Mulya pasti

bercocok tanam padi karena hal tersebut merupakan kewajiban anggota

kasepuhan. Dengan demikian, kombinasi aktivitas nafkah yang terbentuk yakni

aktivitas nafkah pertanian (padi & non padi), aktivitas nafkah pertanian (padi) dan

non pertanian, serta aktivitas nafkah pertanian (padi & non padi) dan non

pertanian. Berikut jumlah dan persentase responden berdasarkan aktivitas nafkah

rumah tangga sebelum penetapan TNGHS.

Tabel 14 Jumlah dan Persentase Responden berdasarkan Aktivitas Nafkah

Rumah Tangga Sebelum Penetapan TNGHS, 2013

Aktivitas Nafkah Sebelum Penetapan

TNGHS Jumlah (Orang) Persentase (%)

Pertanian (padi & non padi) 16 53.33

Pertanian (padi) dan Non Pertanian 6 20

Pertanian (padi & non padi) dan Non

Pertanian 8 26.67

Total 30 100

Tabel 14 menunjukkan bahwa sebagian besar responden (53.33 persen)

melakukan aktivitas nafkah pertanian baik padi maupun non padi untuk

pemenuhan kebutuhan hidup. Sebesar 26.67 responden memilih aktivitas nafkah

pertanian (padi & non padi) dan non pertanian. Hanya 20 persen responden

melakukan aktivitas nafkah pertanian (padi) dan non pertanian. Data-data tersebut

merepresentasikan bahwa sebagian besar masyarakat Kasepuhan Cipta Mulya

masih sangat bergantung pada sumber daya alam dalam pemenuhan kebutuhan

hidup.

Pertanian Padi

Setiap anggota kasepuhan pasti hidup dari bertani, terutama tanam padi.

Padi merupakan bagian dari adat dan tidak dapat dilepaskan dari kehidupan

masyarakat kasepuhan. Telah terinternalisasi dalam diri masyarakat kasepuhan

bahwa padi merupakan hal yang berharga. Dengan demikian, aktivitas nafkah

masyarakat kasepuhan tidak terlepas dari kelembagaan adat.

39

Dalam pemenuhan kebutuhan hidup, masyarakat kasepuhan

memanfaatkan lahan adat, terutama leuweung garapan. Di leuweung garapan

terdapat sawah yang dipinggirnya ditanami pepohonan. Masyarakat kasepuhan

biasa menanam padi setahun sekali dengan melakukan berbagai ritual baik

sebelum maupun setelah menanam.

Selain di sawah leuweung garapan, beberapa masyarakat juga menanam

padi di huma, baik di lahan milik maupun di lahan bekas bukaan Perum Perhutani.

Huma yang didirikan di lahan bukaan Perum Perhutani berpindah-pindah.

Biasanya penanaman padi di huma lebih cepat dibandingkan penanaman padi di

sawah.

Beberapa masyarakat kasepuhan juga bekerja sebagai kuli babad dan

macul di lahan saudara atau tetangga. Kuli babad bertugas untuk menebas

rumput-rumput pada lahan pertanian yang akan ditanami maupun yang telah

ditanami beberapa minggu. Kuli macul mengolah lahan pertanian yang akan

ditanami serta membuat pinggiran sawah (galengan).

Ketika panen tiba, masyarakat yang memiliki lahan luas turut meminta

bantuan pada tetangga atau saudara untuk menanam dan memanen dengan

memperkerjakan mereka. Sebagai imbalan, tetangga atau saudara yang membantu

memanen diberikan sejumlah hasil panen. Saat memanen hasil, masyarakat

menggunakan etem (ani-ani) karena padi yang ditanam masih merupakan varietas

lokal.

Sebagian besar hasil panen diletakkan di dalam lumbung untuk persediaan

di masa mendatang. Hasil panen yang berkualitas paling baik sengaja diletakkan

di tempat terpisah untuk dijadikan bibit pada penanaman selanjutnya. Sebagian

lainnya dibawa ke pandangringan untuk persediaan di rumah. Dengan adanya

huma di lahan bukaan Perum Perhutani masyarakat merasa sangat terbantu. Hasil

panen yang dapat disimpan mencapai ratusan pocong.

Masyarakat perlu menumbuk padi terlebih dulu sebelum dapat

mengonsumsinya. Pada masyarakat kasepuhan hanya wanita yang diperkenankan

menumbuk padi di lisung. Biasanya setiap ibu-ibu rumah tangga menumbuk padi

bersama-sama. Ada pula rumah tangga yang terkadang meminta bantuan tetangga

untuk menumbuk hasil panennya. Sebagai imbalan, pemilik hasil panen tersebut

hanya cukup memberikan sejumlah hasil tumbukan padi pada tetangga yang telah

membantu menumbuk. Pengelompokan responden berdasarkan aktivitas nafkah

pertanian padi disajikan dalam Tabel 15.

Tabel 15 Jumlah dan Pengelompokan Responden berdasarkan Aktivitas Nafkah

Rumah Tangga Pertanian Padi Sebelum Penetapan TNGHS, 2013

Aktivitas Nafkah Pertanian

Padi Jumlah Responden Nomor Responden

Nandur 1 12

Kuli cangkul 4 9, 13, 14, 15

Kuli babad/ngored 4 1, 12, 13, 22

Panen 2 14, 9

40

Tabel 15 hanya merepresentasikan aktivitas nafkah pertanian rumah

tangga responden yang membantu kerabat/tetangga dalam bercocok tanam padi

sehingga memperoleh upah. Sebenarnya kegiatan-kegiatan tersebut turut

dilakukan oleh rumah tangga responden lainnya namun di lahan milik sendiri

sehingga tidak menghasilkan upah. Anggota rumah tangga dapat melakukan lebih

dari satu bercocok tanam padi di lahan kerabat/tetangga. Contohnya saja yaitu

Bapak AM (35 tahun) yang bekerja sebagai kuli macul dan panen di lahan

tetangga.

Aktivitas nafkah yang dilakukan masyarakat akan menghasilkan

pendapatan rumah tangga yang biasanya berbentuk uang. Berbeda dengan

biasanya, aktivitas nafkah pertanian dengan komoditas padi pada masyarakat

Kasepuhan tidak diuangkan. Sebenarnya, menurut aturan adat hasil panen padi

boleh diperjual-belikan jika sudah ditumbuk menjadi beras namun masyarakat

Kasepuhan Cipta Mulya lebih memilih untuk menyimpan hasil panen padi untuk

kebutuhan mendatang.

Pendapatan yang diperoleh dari hasil tanam padi yakni sejumlah padi

dalam bentuk pocong (ikat). Hasil yang diperoleh bergantung pada luas lahan dan

bibit yang ditanamkan. Lahan pertanian masyarakat biasanya dinyatakan dalam

satuan patok. Satu patok lahan (400 m²) idealnya ditanami satu pocong bibit yang

memiliki massa sekitar 3 kg. Petani yang menanam satu pocongbibit biasanya

akan mendapat hasil panen sebanyak 25-50 pocong. Jumlah padi yang diperoleh

turut dipengaruhi oleh kualitas bibit yang ditanamkan.

Pertanian Non Padi

Hidup masyarakat kasepuhan yang bergantung pada lahan hutan turut

mempengaruhi tanaman yang ditanam. Di pinggir sawah masyarakat menanam

beberapa jenis pohon kayu dan buah-buahan. Masyarakat turut menerapkan sistem

agroforestry yakni menanam tanaman lain seperti palawija di sela pepohonan.

Pengelompokan responden berdasarkan aktivitas nafkah pertanian non padi

disajikan dalam Tabel 16.

Tabel 16 Jumlah dan Pengelompokan Responden berdasarkan Aktivitas Nafkah

Rumah Tangga Pertanian Non Padi Sebelum Penetapan TNGHS, 2013

Aktivitas Nafkah

Pertanian Non Padi Jumlah Responden Nomor Responden

Bercocok tanam kayu 12 3, 10, 11, 12, 13, 17,

22, 24, 26, 27, 28, 25

Bercocok tanam buah 19 1, 2, 3, 4, 5, 6, 9, 11,

12, 15, 17, 18, 20, 22,

24, 25, 26, 27, 28

Bercocok tanam palawija 3 6, 14, 15

Nyadap air nira 2 11, 19

41

Satu rumah tangga responden dapat melakukan lebih dari satu aktivitas

nafkah pertanian non padi. Tabel 16 menunjukkan bahwa aktivitas nafkah

pertanian non padi didominasi oleh penanaman tanaman buah. Hasil tanam buah-

buahan biasanya masyarakat langsung mengonsumsi untuk kebutuhan rumah

tangga karena hasil panen dari lahan adat yang sedikit. Masyarakat yang juga

menanam di lahan bukaan Perum Perhutani atau lahan milik bisa menjual hasil

tanamnya. Tanaman buah yang biasa ditanam yakni pisang dan alpukat yang biasa

dijual per kilogram.

Sebanyak 12 orang responden dari 24 responden yang melakukan aktivitas

nafkah pertanian non padi memilih untuk menanam kayu. Tanaman kayu yang

ditanam pada umumnya adalah manii (kayu Afrika) dan jeunjing (sengon laut).

Masa panen tanaman kayu tersebut yakni setiap 3-5 tahun sekali. Hasil tanam

kayu biasanya hanya digunakan sebagai material renovasi rumah karena rumah

adat kasepuhan terbuat dari kayu.

Sebenarnya masyarakat tidak diperkenankan menebang kayu yang ada di

hutan namun karena butuh masyarakat tetap melakukannya. Setelah menebang,

masyarakat segera menanam kembali lahan hutan. Meski demikian, beberapa

responden yang memiliki lahan pribadi dan menanaminya dengan tanaman kayu

mengaku menjual hasil tanam kayu mereka kepada pengumpul.

Pohon yang ditanam masyarakat Kasepuhan Cipta Mulya di lahan milik

pada umumnya dijual per pohon. Selain itu, penjualan pohon juga dapat dilakukan

dengan mengukur volume pohon dalam satuan m³. Setiap m³ pohon dihargai

Rp500 000.

Palawija yang ditanam masyarakat di antaranya yakni tomat, jagung,

singkong, dan talas. Harga tanaman palawija ditentukan oleh pasar. Sebelum

menjadi kawasan taman nasional, hanya ada dua orang responden yang menanam

tanaman palawija. Keduanya menanam tanaman palawija di lahan adat.

Masyarakat yang menyadap air nira biasanya berangkat dari pukul 05.00.

Menurut penuturan salah satu responden (OJ, 50 tahun), kegiatan penyadapan air

nira harus dilakukan sejak pagi karena kalau sudah siang, gula aren yang

dihasilkan akan menjadi masam. Air nira disadap dalam sebuah wadah pembentuk

aren yang biasa disebut hulu. Masyarakat Kasepuhan Cipta Mulya yang menyadap

air nira dari pohon kawung (aren) biasanya memperoleh lima hulu per minggu.

Non Pertanian

Selain melakukan berbagai aktivitas nafkah pertanian, beberapa

masyarakat juga melakukan aktivitas nafkah non pertanian. Beberapa aktivitas

nafkah non pertanian yang dilakukan oleh 15 dari 30 responden yakni usaha

warung, buruh bangunan, supir, tambang emas, kuli pikul emas, reparasi barang

elektronik, pembantu rumah tangga, kuli pikul kayu, dan mandor Perhutani. Data

mengenai rumah tangga yang melakukan aktivitas nafkah non pertanian disajikan

dalam Tabel 17.

42

Tabel 17 Jumlah dan Pengelompokan Responden berdasarkan Aktivitas Nafkah

Non Pertanian sebelum Penetapan TNGHS, 2013

No. Pekerjaan Non-Pertanian Jumlah Responden Nomor Responden

1 Warung 1 2

2 Buruh bangunan 4 10, 23, 29, 30

3 Supir 1 16

4. Tambang emas 1 22

5 Kuli pikul emas 2 15, 30

6 Reparasi barang elektronik 1 27

7 Pembantu rumah tangga 1 28

8 Kuli pikul kayu 3 8, 13, 17

9 Mandor Perhutani 1 17

Tabel 17 merepresentasikan jumlah responden yang melakukan aktivitas

nafkah non pertanian. Satu rumah tangga responden dapat melakukan lebih dari

satu aktivitas nafkah non pertanian. Data dalam Tabel 17 menunjukkan bahwa

empat orang anggota rumah tangga responden bekerja sebagai buruh bangunan,

tiga orang sebagai kuli pikul kayu, dua orang sebagai kuli pikul emas, dan

masing-masing satu orang sebagai mandor perhutani, pembantu rumah tangga,

tenaga reparasi barang elektronik, penambang emas, supir, dan pedagang warung.

Hampir seluruh pekerjaan hanya melibatkan anggota rumah dengan jenis

kelamin laki-laki. Pekerjaan sebagai pembantu rumah tangga hanya dilakukan

oleh anggota rumah tangga perempuan. Kegiatan berdagang di warung dapat

dilakukan oleh laki-laki dan perempuan.

Pekerjaan sebagai buruh bangunan, supir, dan pembantu biasanya

mengharuskan anggota rumah tangga yang bersangkutan bermigrasi ke kota.

Meski demikian ada pula responden yang bekerja sebagai kuli bangunan di desa.

Buruh bangunan bekerja sesuai permintaan sehingga aktivitas tersebut tidak tetap.

Ada juga responden yang bekerja sebagai buruh bangunan hanya saat sebelum

menikah. Kasus serupa juga terjadi pada responden yang pernah bekerja sebagai

supir di kota. Responden tersebut berhenti menjadi supir setelah menikah.

Biasanya setelah menikah masyarakat kasepuhan lebih memilih untuk

fokus bertani. Hal ini disebabkan karena untuk pekerjaan-pekerjaan tersebut

diperlukan mobilitas fisik yang cukup tinggi. Masyarakat lebih memilih untuk

kembali hidup di desa setelah menikah karena lebih tenteram dan nyaman.

Menjalankan usaha warung biasanya dilakukan bersama-sama oleh

pasangan suami istri. Suami bertugas membeli barang-barang dagangan

sedangkan istri menjaga warung dan menjajakan dagangan. Untuk pekerjaan

reparasi alat-alat elektronik hanya dilakukan oleh satu orang responden. Usaha

reparasi tersebut dilakukan di rumah sendiri sehingga tidak perlu bermigrasi dan

masih dapat dilanjutkan setelah menikah.

Pekerjaan menambang emas dilakukan oleh satu orang responden.

Aktivitas yang dilakukan yakni menggali tanah yang ada di gunung dekat

pemukiman warga untuk mencari batu-batu yang mengandung emas. Kegiatan

tambang emas tersebut membutuhkan waktu yang sangat lama. Pekerja tambang

berangkat pagi dan pulang pada malam hari.

43

Batu-batu yang sudah terkumpul dari kegiatan tambang emas diolah

kembali dalam sebuah mesin agar material emas dapat benar-benar terpisah dari

bebatuan dan material lainnya. Pekerja-pekerja tambang tersebut bekerja pada

sebuah perusahaan tambang yang sebenarnya ilegal. Berkaitan dengan

penambang, kuli pikul emas hanya berperan mengangkut batu-batu yang

mengandung emas ke lokasi pengolahan batu.

Pekerjaan sebagai kuli pikul kayu hanya dilakukan oleh tiga orang

responden. Ketiga responden mengaku merasa terbantu dengan kebijakan yang

dibuat Perhutani yang memperkenankan keterlibatan masyarakat dalam

pembibitan, penanaman, dan pemanenan. Selain itu, menurut salah satu anggota

rumah tangga responden yang bekerja sebagai mandor Perhutani, Pihak Perhutani

dianggap sangat membantu karena membeli ajir (penegak bibit pohon) yang

dibuat oleh masyarakat.

…dulu juga perum beli ajir dari masyarakat, masyarakat yang bikin ajir,

dibeli sama perum (EP 41 tahun).

Aktivitas nafkah yang dilakukan masyarakat mempengaruhi pendapatan

yang didapat. Dalam hal ini, pendapatan pertanian padi hanya mencakup padi

yang dihasilkan dalam bentuk pocong. Satu pocong padi memiliki massa rata-rata

0.96 kg. Massa tersebut kemudian menjadi dasar penghitungan pendapatan

pertanian padi sehingga dapat dinyatakan dalam rupiah seperti aktivitas nafkah

pertanian non-padi dan non pertanian. Kombinasi aktivitas nafkah pertanian padi

dengan pertanian non padi dan non pertanian yang dilakukan masyarakat

membentuk total pendapatan rumah tangga. Jumlah dan persentase responden

berdasarkan kategori tingkat pendapatan rumah tangga sebelum penetapan

TNGHS disajikan dalam Tabel 18.

Tabel 18 Jumlah dan Persentase Responden berdasarkan Kategori Tingkat

Pendapatan Rumah Tangga Sebelum Penetapan TNGHS, 2013

Tingkat Pendapatan

Rumah Tangga Jumlah (orang) Persentase (%)

Tinggi 5 16.67

Menengah 18 60

Rendah 7 23.33

Total 30 100

Tabel di atas menunjukkan bahwa sebesar 60 persen responden berada

dalam kategori tingkat pendapatan rumah tangga menengah, 23.33 persen

tergolong kategori tingkat pendapatan rumah tangga rendah, dan 16.67 persen

tergolong dalam tingkat pendapatan tinggi.

44

Aktivitas Nafkah dan Pendapatan Rumah Tangga Masyarakat Kasepuhan

Cipta Mulya Setelah Penetapan TNGHS

Secara umum terdapat beberapa perubahan aktivitas nafkah masyarakat

dibandingkan sebelum penetapan TNGHS. Akses masyarakat yang semakin

terbatas akibat penetapan TNGHS menyebabkan masyarakat merasa kesulitan

dalam melakukan aktivitas nafkah. Setiap pergi ke talun atau sawah yang terletak

di lahan garapan hutan mereka merasa takut dan khawatir. Masyarakat

diperbolehkan menanam padi di sawah yang sudah ada dari dulu namun tidak

boleh memperluas. Masyarakat kasepuhan juga diperkenankan menanam tanaman

kayu dan buah-buahan namun tidak boleh menebang, hanya boleh mengambil

hasil lainnya.

Terdapat perubahan aktivitas nafkah rumah tangga namun perubahan

tersebut bukan sepenuhnya disebabkan oleh penetapan TNGHS. Berikut

pemaparan jumlah dan persentase responden berdasarkan aktivitas nafkah setelah

penetapan TNGHS.

Tabel 19 Jumlah dan Persentase Responden berdasarkan Aktivitas Nafkah

Rumah Tangga Setelah Penetapan TNGHS, 2013

Aktivitas Nafkah Rumah Tangga Jumlah (orang) Persentase (%)

Pertanian (padi dan non-padi) 17 56.67

Pertanian (padi), non-pertanian 2 6.67

Pertanian (padi dan non-Padi), Non-

Pertanian

11 36.67

Total 30 100

Tabel 19 menunjukkan bahwa sebagian besar responden (56.67 persen)

hanya melakukan pekerjaan pertanian (padi & non padi). Sebesar 36.67 persen

melakukan ketiga aktivitas nafkah, dan 6.67 persen melakukan aktivitas nafkah

pertanian (padi) dan non pertanian. Perbandingan aktivitas nafkah sebelum dan

sesudah penetapan TNGHS disajikan dalam Gambar 4.

45

Gambar 4 mengindikasikan bahwa setelah penetapan TNGHS semakin

banyak masyarakat yang beralih atau merambah ke sektor pertanian non padi.

Terjadi peningkatan jumlah responden yang melakukan aktivitas nafkah pertanian

(padi & non padi) serta kombinasi ketiga aktivitas nafkah. Sebaliknya, terjadi

penurunan jumlah responden yang melakukan aktivitas nafkah pertanian (padi)

dan non pertanian.

Pertanian Padi

Pada aktivitas nafkah pertanian khususnya komoditas padi, tidak terdapat

perubahan yang signifikan. Masyarakat masih memegang teguh kelembagaan adat

sehingga pasti menanam padi untuk memenuhi kebutuhan hidup. Perubahan yang

terjadi hanya pada hasil panen yang diperoleh. Sebelum ada taman nasional,

masyarakat masih memiliki kesempatan untuk menanam padi di ladang (huma)

sehingga hasil panen yang diperoleh cukup besar. Setelah ada taman nasional,

masyarakat tidak lagi diperkenankan membuat huma sehingga hasil pertanian padi

yan diperoleh berkurang. Meski demikian mereka mengaku tidak merasa

kekurangan.

Kasus pengurangan hasil panen padi salah satunya dialami oleh Pak DY

(38 tahun). Saat masih dikelola oleh Perhutani, Pak DY mengelola 1300 m² lahan

untuk kegiatan pertanian dan menanam padi dengan bibit 10 kg (sekitar 3 ikat).

Setelah penetapan TNGHS, Pak DY hanya menanam 4 kg (sekitar 1 ikat) bibit

padi.

53,33

20

26,67

56,67

6,67

36,67

0

10

20

30

40

50

60

Pertanian (padi dan non padi)

Pertanian (padi) dan Non Pertanian

Pertanian (padi dan non padi) dan Non pertanian

Sebelum Setelah

Gambar 4 Perbandingan Aktivitas Nafkah Rumah Tangga Responden

Sebelum dan Setelah Penetapan TNGHS Tahun 2013

46

Pertanian Non Padi

Setelah penetapan TNGHS, sektor pertanian non padi semakin diminati

masyarakat. Pengelompokan responden berdasarkan aktivitas nafkah rumah

tangga pertanian non padi disajikan dalam Tabel 20.

Tabel 20 Jumlah dan Pengelompokan Responden berdasarkan Aktivitas Nafkah

Rumah Tangga Pertanian Non Padi Setelah Penetapan TNGHS, 2013

Aktivitas Nafkah

Pertanian Non Padi Jumlah Responden Nomor Responden

Bercocok tanam kayu 12 3, 10, 11, 12, 13, 17, 22,

24, 26, 27, 28, 25

Bercocok tanam buah 20 1, 2, 3, 4, 5, 6, 9, 11, 12,

15, 17, 18,19, 20, 22, 24,

25, 26, 27, 28

Bercocok tanam palawija 20 3, 4, 5, 6, 7, 8, 10, 11, 13,

14, 16, 18, 19, 24, 25, 26,

27, 28, 29, 30

Nyadap air nira 2 11, 19

Jumlah rumah tangga responden yang melakukan aktivitas nafkah

pertanian non padi yakni 28 rumah tangga. Berdasarkan data pada Tabel 20,

sebanyak 20 dari 28 responden yang melakukan aktivitas nafkah pertanian non

padi menanam palawija. Tanaman palawija yang diminati masyarakat yakni cabai

keriting dan kapol. Masyarakat memilih kedua komoditas tersebut karena

harganya yang tinggi.

Penanaman cabai keriting oleh masyarakat Kasepuhan Cipta Mulya

diinisiasi oleh seorang anggota kasepuhan yakni Bapak DN (39 tahun). Beliau

mulai menanam cabai keriting pada tahun 2006 hingga sekarang. Penanaman ini

dilakukan di lahan bekas bukaan Perum Perhutani yang semula digunakan untuk

pembuatan huma dan penanaman pepohonan oleh masyarakat. Semenjak ada

introduksi penanaman cabai, beberapa masyarakat mengalihkan fungsi lahan yang

semula untuk huma dan pohon menjadi tempat tanam cabai.

Menurut penuturan Bapak DN, modal yang dibutuhkan untuk penanaman

cabai keriting yakni Rp4 000 per pohon. Harga cabai keriting fluktuatif. Menurut

Bapak SA (37 tahun) harga cabai tahun 2012 berbeda jauh dengan harga cabai

tahun 2013.

…kalau cabai harganya lagi bagus bisa Rp25 000 per kg. Tahun ini

lagi bagus sih Alhamdulillah. Kalo waktu saya tanem tahun lalu

cuma dapet Rp6 000 per kg (ST, 37 tahun).

Beberapa masyarakat menanam kapol untuk mengganti komoditas umbi-

umbian dan buah-buahan yang sering dirusak oleh hama seperti babi dan monyet.

Satu kilogram kapol dapat dipanen rata-rata setiap 3 bulan sekali dan dijual

dengan harga Rp5 000/kg.

47

…sekarang mah sudah ga aman lagi kalau tanam singkong, talas,

makanya masyarakat sini milih tanam kapol (ST, 37 tahun).

…dulu hasil tanam pisang mencapai 1.5 sampai 2 kwintal,

sekarang mah cuma 40 sampai 50 kg. Alpukat juga, tadinya bisa

sampai 3.5 kwintal, sekarang mah kurang lebih 50 kg lah. Mending

tanam kapol, aman, pasti menghasilkan (DA, 63 tahun).

Masyarakat yang melakukan aktivitas nafkah bercocok tanam kayu dan

nyadap air nira sebelum penetapan TNGHS tetap melakukan aktivitas tersebut.

Meski demikian, masyarakat tidak berani menanam tanaman kayu terlalu banyak

karena mereka tidak bisa mengambil semua hasilnya. Masyarakat hanya dapat

mengambil kayu dalam skala yang sangat kecil sehingga memilih menanam

tanaman kayu dalam jumlah yang sedikit. Selain itu masyarakat juga takut akan

hukuman yang mengancam mereka apabila menebang kayu di kawasan TNGHS

meski hanya untuk perbaikan rumah. Berikut penuturan Bapak US dan DI

mengenai penurunan jumlah tanaman kayu yang mereka tanam.

…sekarang saya tetap nanem kayu, cuman jumlahnya lebih sedikit.

Dulu bisa nanem sampai 100 pohon sekarang mah cuma 20 (DI, 48

tahun).

…sekarang mah tetep nanem tapi tidak sebanyak dulu. Kalau dulu

bisa tanam 50 sampai 100 pohon per tahun sekarang cuma bisa 10

(US, 38 tahun).

Non Pertanian

Jumlah pelaku usaha non pertanian meningkat jika dibandingkan sebelum

penetapan TNGHS. Peningkatan ini terjadi secara tidak signifikan karena ada pula

responden yang lebih memilih untuk beralih ke sektor pertanian non padi. Selain

itu ada pula responden yang sebenarnya sudah melakukan usaha non pertanian

sebelum pengelolaan hutan oleh TNGHS menambah sumber nafkah dari sektor

non-pertanian. Usaha non-pertanian yang sering dipilih yakni usaha warung.

Pekerjaan non pertanian dipilih untuk menambah pendapatan rumah tangga. Data

responden yang melakukan pekerjaan non-pertanian disajikan dalam Tabel 21.

48

Tabel 21 Jumlah dan Pengelompokan Responden berdasarkan Aktivitas Nafkah

Rumah Tangga Non Pertanian Setelah Penetapan TNGHS, 2013

No. Pekerjaan Non-Pertanian Jumlah Responden Nomor Responden

1 Warung 6 2, 4, 6, 21, 28, 29

2 Buruh bangunan 3 7, 10, 28

3 Tambang emas 1 22

4 Kuli pikul emas 1 15

5 Reparasi barang elektronik 1 27

6 Jualan baju keliling 2 2, 21

7 Mebeul 1 10

8 Bengkel 1 4

9 Pegawai swasta 1 25

Selain perubahan pada jumlah rumah tangga responden, perubahan juga

terjadi pada jenis pekerjaan yang dipilih. Anggota rumah tangga responden yang

semula bekerja sebagai supir, kuli pikul kayu, mandor Perhutani, dan pembantu

rumah tangga kini beralih ke mata pencaharian lain yang dilakukan di sekitar

rumah.

Perubahan yang terjadi bukan didasari oleh penetapan TNGHS. Perubahan

pekerjaan dari sektor non pertanian ke pertanian pada umumnya didasari oleh

status pernikahan, seperti yang telah dijelaskan pada subbab sebelumnya.

Perluasan sumber nafkah yang turut melibatkan sektor non pertanian dalam

aktivitas nafkah rumah tangga masyarakat pada umumnya didasari oleh motif

ekonomi, yakni untuk menambah pendapatan.

Meski demikian, ada pula perubahan sumber nafkah yang diakibatkan oleh

ikatan pernikahan. Sebuah rumah tangga yang di dalamnya terdapat lebih dari satu

kepala keluarga setelah anak dari kepala rumah tangga menikah, mempengaruhi

komposisi pekerja dalam rumah tangga. Contohnya yakni pada kasus Bapak OD

(60 tahun). Pak OD tinggal bersama istri, 2 orang anak dan 1 menantu. Pak OD

dan anggota keluarganya bekerja sebagai petani sedangkan menantunya

merupakan pegawai perusahaan swasta.

Seiring dengan perubahan aktivitas nafkah, pendapatan rumah tangga turut

mengalami perubahan. Pemaparan jumlah dan persentase responden berdasarkan

pendapatan rumah tangga setelah berdasarkan penetapan TNGHS disajikan dalam

Tabel 22.

Tabel 22 Jumlah dan Persentase Responden berdasarkan Pendapatan Rumah

Tangga Setelah Penetapan TNGHS, 2013

Tingkat Pendapatan

Rumah Tangga Jumlah (orang) Persentase (%)

Tinggi 5 13.34

Menengah 13 43.33

Rendah 12 43.33

Total 30 100

49

Berdasarkan Tabel 22, masing-masing sebesar 43.33 persen responden

tergolong kategori pendapatan rumah tangga sedang dan rendah serta 13.34 persen

responden tergolong dalam kategori pendapatan rumah tangga tinggi.

Perbandingan pendapatan rumah tangga responden sebelum dan setelah penetapan

TNGHS disajikan dalam Gambar 5.

Gambar 5 merepresentasikan penurunan jumlah rumah tangga responden

yang tergolong dalam kategori tingkat pendapatan tinggi dan menengah.

Sebaliknya, rumah tangga responden yang tergolong dalam kategori pendapatan

rendah meningkat. Meski demikian, berdasarkan penghitungan selisih pendapatan,

sebagian besar responden memiliki selisih pendapatan positif. Jumlah dan

persentase responden berdasarkan selisih pendapatan rumah tangga setelah dan

sebelum penetapan TNGHS disajikan dalam Tabel 23.

Tabel 23 Jumlah dan Persentase Responden berdasarkan Selisih Pendapatan

Rumah Tangga Setelah dan Sebelum Penetapan TNGHS, 2013

Selisih Pendapatan

Rumah Tangga Jumlah (orang) Persentase (%)

Positif 13 43.33

Nol 9 30

Negatif 8 26.67

Total 30 100

Data-data dalam Gambar 5 dan Tabel 23 merepresentasikan peningkatan

peranan ekonomi uang dalam kehidupan sehari-hari masyarakat. Telah terjadi

16,67

60

23,33

13,34

43,33 43,33

0

10

20

30

40

50

60

70

Tinggi Menengah Rendah

Sebelum Sesudah

Gambar 5 Perbandingan Persentase Responden Berdasarkan Pendapatan

Rumah Tangga Sebelum dan Setelah Penetapan TNGHS

Tahun 2013

50

peningkatan standar hidup pada masyarakat Kasepuhan Cipta Mulya. Berdasarkan

penghitungan dengan menggunakan standar deviasi dan rata-rata, sebelum

penetapan TNGHS, yang tergolong dalam kategori rendah adalah jika pendapatan

kurang atau sama dengan Rp158 190 dan tinggi jika lebih dari Rp924 143. Setelah

penetapan TNGHS, pendapatan tergolong rendah jika sama dengan atau lebih

kecil dari Rp440 030 dan tinggi jika lebih dari Rp7 191 290.

Peningkatan pendapatan yang diperoleh rumah tangga responden

disebabkan oleh aktivitas nafkah yang dilakukan. Responden yang bekerja sebagai

petani cabai cenderung memperoleh pendapatan yang cukup besar. Kegiatan

tanam kapol juga membantu masyarakat dalam meningkatkan pendapatan rumah

tangga.

51

SIKAP MASYARAKAT KASEPUHAN CIPTA MULYA TERHADAP

PENETAPAN TAMAN NASIONAL GUNUNG HALIMUN SALAK

Bab ini memuat pembahasan mengenai sikap masyarakat Kasepuhan Cipta

Mulya terhadap penetapan TNGHS. Penjelasan terperinci mengenai bab ini

dijabarkan melalui empat subbab berikut.

Sikap Masyarakat

Perluasan Taman Nasional Gunung Halimun menjadi Taman Nasional

Gunung Halimun Salak menyebabkan perubahan sistem penghidupan masyarakat

yang mencakup akses dan aktivitas nafkah. Masyarakat menjadi semakin sulit

dalam mengakses sumber daya hutan yang sudah dari dulu dimanfaatkan untuk

memenuhi kebutuhan hidup. Keterbatasan akses kemudian menyebabkan

perubahan pada aktivitas nafkah yang dilakukan masyarakat.

Perubahan akses dan aktivitas yang sangat berpengaruh bagi masyarakat

akan menentukan sikap terhadap penetapan TNGHS. Sikap masyarakat

mencerminkan penilaian terhadap penetapan TNGHS yang sudah mengubah

sistem hidup mereka. Masyarakat dapat memiliki kecenderungan bersikap positif,

negatif, atau netral.

Sikap positif merefleksikan penerimaan masyarakat terhadap penetapan

TNGHS karena mereka merasa pengelolaan hutan oleh TNGHS lebih baik

dibandingkan Perum Perhutani. Netral mengindikasikan penilaian yang sama

antara sebelum dan setelah pengelolaan hutan oleh TNGHS. negatif

mencerminkan penolakan terhadap penetapan TNGHS karena pengelolaannya

dinilai lebih buruk dibandingkan dengan Perum Perhutani. Jumlah dan persentase

responden berdasarkan sikap terhadap penetapan TNGHS dijabarkan dalam Tabel

24.

Tabel 24 Jumlah dan Persentase Responden berdasarkan Sikap terhadap TNGHS

Tahun 2013

Sikap Jumlah Persentase

Positif 6 20

Netral 18 60

Negatif 6 20

Total 30 100

Tabel 24 menunjukkan bahwa sebagian besar responden (60 persen)

bersikap netral terhadap penetapan TNGHS sedangkan masing-masing 20 persen

responden memiliki sikap positif dan negatif. Kondisi ini menunjukkan bahwa

masyarakat Kasepuhan Cipta Mulya cenderung tidak merasakan perubahan yang

signifikan setelah ditetapkannya TNGHS.

52

Hubungan Sikap Masyarakat dengan Status Kepemilikan Lahan Garapan

Pemenuhan kebutuhan hidup masyarakat kasepuhan tidak lepas dari

sumber daya alam khususnya lahan. Lahan yang dimanfaatkan sebagai sumber

hidup masyarakat dapat bersifat komunal maupun milik pribadi. Sebagai anggota

komunitas adat, masyarakat kasepuhan memanfaatkan lahan adat yang diwariskan

oleh para leluhur. Meski demikian, beberapa masyarakat juga turut memanfaatkan

lahan lain seperti lahan bekas bukaan Perum Perhutani dan lahan milik.

Keterbatasan akses masyarakat terhadap lahan garapan adat dapat

mempengaruhi sikap terhadap penetapan TNGHS. Jika masyarakat hanya

bergantung pada lahan garapan adat dalam pemenuhan kebutuhan hidupnya

dimungkinkan akan memiliki sikap negatif terhadap penetapan TNGHS.

Alternatif sumber nafkah, dalam hal ini lahan garapan, akan membuat penetapan

TNGHS tidak terlalu berpengaruh terhadap pemenuhan kebutuhan hidup

masyarakat sehingga mereka tetap memiliki sikap positif. Hubungan status

kepemilikan lahan garapan dan sikap responden disajikan dalam Tabel 25.

Tabel 25 Jumlah dan Persentase Responden berdasarkan Sikap dan Status

Kepemilikan Lahan Garapan Tahun 2013

Sikap

Status Kepemilikan Lahan Garapan

Lahan Adat,

Bukaan Perhutani, & Milik pribadi

Lahan Adat dan Bukaan

Perhutani/Milik Pribadi Lahan Adat

n % n % n %

Positif 0 0 3 23.08 3 25

Netral 3 60 8 61.54 7 58.33

Negatif 2 40 2 15.38 2 16.67

Total 5 100 13 100 12 100

Data dalam tabel menunjukkan perbedaan dari dugaan semula. Di setiap

kategori status kepemilikan lahan garapan, jumlah responden yang bersikap netral

mendominasi. Dari 12 orang responden yang hanya memanfaatkan lahan

komunal, 58.33 persen responden bersikap netral, 25 persen positif, dan 16.67

persen negatif. Pada responden yang memanfaatkan lahan dengan dua status

berbeda (lahan komunal adat dan non adat atau milik pribadi), 61.54 persen

responden bersikap netral, 23.08 persen positif, dan 15.38 persen negatif. Dari 5

orang pemilik lahan dengan tiga status berbeda (lahan komunal adat, komunal

non-adat, dan milik pribadi), 60 persen bersikap netral dan 40 persen negatif.

Terdapat kecenderungan responden yang hanya memanfaatkan lahan adat

memiliki sikap positif. Sebaliknya, responden yang memanfaatkan lahan garapan

dengan tiga status kepemilikan berbeda cenderung bersikap negatif. Dengan

demikian terdapat hubungan negatif yang cukup signifikan antara status

kepemilikan lahan garapan dengan sikap masyarakat terhadap TNGHS. Hal

53

tersebut diperkuat dengan hasil uji korelasi rank spearman yang menunjukkan

koefisien korelasi sebesar -0.316 dengan signifikansi satu sisi 0.044 (< 0.05).

Hubungan Sikap Masyarakat dengan Luas Lahan Garapan

Masyarakat kasepuhan memanfaatkan sejumlah lahan untuk melakukan

kegiatan pertanian yang merupakan pondasi kehidupan mereka. Lahan yang

dikuasai tersebut dapat dikategorikan luas, sedang, dan sempit. Semakin luas

lahan yang dapat dimanfaatkan, diduga menciptakan sikap positif masyarakat

terhadap TNGHS dan sebaliknya. Jumlah dan persentase responden berdasarkan

luas lahan yang dimanfaatkan dan sikap terhadap TNGHS disajikan dalam Tabel

26.

Tabel 26 Jumlah dan Persentase Responden berdasarkan Sikap dan Luas Lahan

Garapan Tahun 2013

Sikap

Luas Lahan Garapan

Luas Sedang Sempit

n % n % n %

Positif 2 40 3 17.65 1 12.5

Netral 3 60 9 52.94 6 75

Negatif 0 0 5 29.41 1 12.5

Total 5 100 17 100 8 100

Data pada tabel di atas menunjukkan bahwa sebesar 60 persen responden

yang memiliki lahan yang tergolong luas bersikap netral dan sisanya besikap

positif. Sebagian besar responden dengan luas lahan yang tergolong sedang (52.94

persen) bersikap netral, 29.41 persen bersikap negatif dan 17.65 persen bersikap

positif. Selanjutnya sebesar 75 persen responden dengan dengan luas lahan yang

tergolong sempit bersikap netral dan sisanya masing-masing sebesar 12.5 persen

responden bersikap positif dan negatif.

Terdapat kecenderungan responden yang menggarap lahan dengan

kategori luas memiliki sikap positif. Sebaliknya, responden yang menggarap lahan

denga kategori sempit cenderung bersikap negatif. Dengan demikian terdapat

hubungan positif yang tidak signifikan antara luas lahan garapan dengan sikap

masyarakat terhadap TNGHS. Hal tersebut diperkuat dengan hasil uji korelasi

rank spearman yang menunjukkan koefisien korelasi sebesar 0.150 dengan

signifikansi pengujian satu sisi sebesar 0.214 (>0.05).

54

Hubungan Sikap Masyarakat dengan Tingkat Pendapatan

Terkait tingkat pendapatan, diduga responden yang memiliki tingkat

pendapatan lebih tinggi akan bersikap positif terhadap penetapan TNGHS.

Sebaliknya, responden yang memiliki tingkat pendapatan lebih rendah akan

bersikap negatif terhadap penetapan TNGHS. Jumlah dan persentase responden

berdasarkan sikap terhadap TNGHS dan tingkat pendapatan disajikan dalam Tabel

27.

Tabel 27 Jumlah dan Persentase Responden berdasarkan Sikap dan Tingkat

Pendapatan Rumah Tangga Tahun 2013

Sikap

Tingkat Pendapatan

Tinggi Menengah Rendah

n % n % n %

Positif 2 50 3 23.08 1 7.96

Netral 2 50 7 53.85 9 69.23

Negatif 0 0 3 23.08 3 23.08

Total 4 100 13 100 13 100

Data pada Tabel 27 menunjukkan bahwa sebesar 50 persen responden

dengan tingkat pendapatan tinggi memiliki sikap positif sedangkan sisanya

memiliki sikap netral terhadap TNGHS. Sebagian responden dengan tingkat

pendapatan menengah (53.85 persen) bersikap netral, dan masing-masing 23.08

persen responden bersikap positif dan negatif. Selanjutnya, sebagian besar

responden dengan tingkat pendapatan rendah (69.23 persen) bersikap netral, 23.08

persen bersikap negatif, dan 7.96 persen bersikap positif.

Terdapat kecenderungan responden yang memiliki pendapatan tinggi

bersikap positif. Sebaliknya, responden dengan pendapatan rendah cenderung

bersikap negatif terhadap penetapan TNGHS. Hasil representasi tabel tersebut

didukung dengan uji korelasi rank spearman yang menghubungkan sikap dan

tingkat pendapatan. Koefisien korelasi sebesar 0.286 dengan signifikansi

pengujian satu sisi sebesar 0.062 (>0.05) menunjukkan terdapat hubungan positif

yang tidak signifikan antara tingkat pendapatan dengan sikap.

55

SIMPULAN DAN SARAN

Simpulan

Penetapan Taman Nasional Gunung Halimun Salak (TNGHS)

mempersulit akses masyarakat Kasepuhan Cipta Mulya terhadap lahan garapan

adat. Meski sama-sama berada dalam pengawasan Negara, masyarakat cenderung

merasa lebih mudaht mengakses sumber daya hutan yang berstatus hutan

produksi. Hal ini disebabkan oleh keberadaan keterlibatan masyarakat dalam

pengelolaan hutan saat oleh Perum Perhutani. Masyarakat turut dilibatkan sebagai

kuli dalam penanaman hingga pemanenan. Selain itu masyarakat juga diberi

kesempatan membuka lahan untuk ditanami berbagai tanaman kayu dan padi

ladang.

Bertentangan dengan hal itu, pengelolan oleh Balai TNGHS yang

berlandaskan prinsip konservasi, tidak melibatkan masyarakat dalam pengelolaan

hutan. Keberadaan masyarakat adat yang semakin bertambah dikhawatirkan

mengganggu keseimbangan ekosistem taman nasional meski sebenarnya pihak

taman nasional mengakui keberadaan masyarakat adat sejak dulu.

Pertentangan masyarakat dan pihak TNGHS sebenarnya sudah diusahakan

untuk diselesaikan melalui zonasi yang turut melibatkan partisipasi perwakilan

masyarakat Kasepuhan. Wilayah pemukiman masyarakat Kasepuhan Cipta Mulya

kini berada pada zona khusus sehingga kegiatan penggarapan lahan

diperbolehkan. Meski demikian, masyarakat tetap saja sulit mengambil hasil

berupa tanaman kayu untuk keperluan perbaikan rumah karena pihak TNGHS

tidak dapat mentoleransi kegiatan penebangan kayu.

Terkait dengan aktivitas nafkah, masyarakat tetap menanam padi yang

merupakan kewajiban masyarakat kasepuhan. Perubahan-perubahan yang terjadi

pada aktivitas nafkah masyarakat umumnya disebabkan oleh faktor-faktor di luar

penetapan TNGHS, seperti status perkawinan, perubahan komposisi rumah

tangga, dan motif ekonomi.

Sebagian besar masyarakat mengalami peningkatan pendapatan yang tidak

signifikan sehingga beberapa masih tergolong dalam kategori pendapatan rendah.

Jumlah masyarakat yang termasuk dalam kategori tingkat pendapatan rendah

meningkat setelah penetapan TNGHS.

Sejalan dengan perubahan yang tidak terlalu signifikan dari segi aktivitas

dan pendapatan, sebagian besar masyarakat bersikap netral terhadap penetapan

TNGHS. Hasil korelasi menggunakan tabulasi silang dan rank spearman

menunjukkan hubungan yang tidak signifikan antara sikap dengan luas lahan

garapan, status kepemilikan lahan garapan, dan tingkat pendapatan.

Saran

Masalah pertentangan antara TNGHS dan masyarakat kasepuhan harus

diselesaikan secara komprehensif. Upaya-upaya penyelesaian perlu melibatkan

berbagai stakeholder agar kepentingan masing-masing pihak dapat terakomodasi.

Pembangunan di sektor kehutanan harus kembali pada prinsip keseimbangan

ekologi, ekonomi, dan sosial.

56

Perlu diadakan komunikasi yang lebih intensif antara TNGHS dengan

masyarakat kasepuhan agar keduanya dapat mengurangi ketidakpastian yang

selama ini menimbulkan prasangka. Selain itu, perlu ada pengkajian lebih lanjut

mengenai masyarakat kasepuhan untuk mengetahui tingkat keterdedahan

masyarakat kasepuhan terhadap modernisasi dan dampaknya terhadap

kelembagaan lokal yang selama ini diterapkan. Pengkajian tersebut dapat

membantu menjawab keraguan Bupati Kabupaten Sukabumi dan pihak TNGHS

sehingga dapat dibuat keputusan mengenai pengakuan masyarakat adat

kasepuhan.

57

DAFTAR PUSTAKA

Adiwibowo S. 2012. Teori sumber daya bersama, kuliah 3 pengelolaan kolaboratif

SDA. [ppt.]. Bogor [ID]: Departemen Sains Komunikasi dan Pengembangan

Masyarakat, IPB

Ansori M, Soetarto E, Darusman D, Sundawati L. 2011. Pengelolaan hutan

kemitraan untuk menyejahterakan rakyat (Kasus PHBM di Perhutani BKPH

Parung Panjang, KPH Bogor). Dalam: Forum Pascasarjana. [Internet]. [dikutip 9

Maret 2013]. 34(03): 185-194. Dapat diunduh dari:

http://journal.ipb.ac.id/index.php/forumpasca/article/view/4957/3379

Chambers R, Conway GR. 1991. Sustainable rural livelihoods: practical concepts

for the 21st century. Dalam: IDS Discussion Paper 296. [Internet]. [diunduh 23

Juni 2013]. Dapat diunduh dari:

http://opendocs.ids.ac.uk/opendocs/bitstream/handle/123456789/775/Dp296.pdf

Colchester M, Sirait M, Wijardjo B. 2003.The application of FCS principles in

Indonesia: Obstacles and possibilities. [Internet]. [diunduh 23 Juni 2013]. Dapat

diunduh dari:

http://www.forestpeoples.org/sites/fpp/files/publication/2010/08/indonesiaobstacl

esandpossibilities03eng.pdf

Dewi MC. 2011.Analisis dampak perluasan kawasan Taman Nasional Gunung

Halimun Salak (TNGHS) terhadap kondisi sosial ekonomi masyarakat Kasepuhan

Sinar Resmi (Studi kasus di Desa Sirna Resmi, Kecamatan Cisolok, Kabupaten

Sukabumi, Provinsi Jawa Barat). [skripsi]. [Internet].diunduh 21 Juni 2013].

Bogor [ID]: Institut Pertanian Bogor. 125 hal. Dapat diunduh dari:

http://repository.ipb.ac.id/handle/123456789/53558

Dharmawan AH. 2007. Sistem penghidupan dan nafkah pedesaan: Pandangan

sosiologi nafkah (livelihood sociology) mazhab barat dan mazhab Bogor. Dalam

Sodality. [Internet]. [diunduh 20 Juni 2013]. 01(02): 169-192. Dapat diunduh dari:

http://journal.ipb.ac.id/index.php/sodality/article/view/5932

Dudley N, editor. 2008. Guideline for applying protected area management

categories. Gland [CH]: IUCN

Effendi. 1987. Prinsip-prinsip pengukuran dan penyusunan skala. Dalam:

Singarimbun M, Effendi S, Ancok D, Hagul P, Manning C, Singarimbun I,

Mantra IB, Kasto, Handayani T, Tukiran, et al. 1987. Metode penelitian survai.

Jakarta [ID]: LP3S. Hal.95-121.

Ellen R. 2002. Pengetahuan tentang hutan, transformasi hutan: Ketidakpastian

politik, sejarah ekologi, dan renegosiasi terhadap alam di Seram Tengah. Dalam:

Li TM, editor. Proses transformasi daerah pedalaman di Indonesia. Jakarta [ID]:

Yayasan Obor Indonesia. Hal. 205-246

58

Ellis F. 2000. Rural livelihoods and diversity in developing countries. New York

[USA]: Oxford University Pr. 270 hal.

Feeny D, Berkes F, McCay BJ, Acheson JM. 1990. The tragedy of the commons:

Twenty-two years later. Dalam: Human Ecology. [Internet]. [diunduh 21 Maret

2013]. 18 (01): 1-19. Dapat diunduh dari:

https://polyfront-2.sys.kth.se/polopoly_fs/1.197993!/Menu/general/column-

content/attachment/Feeny_etal_1990.pdf

[FWI] Forest Watch Indonesia. 2011. Potret keadaan hutan Indonesia periode

tahun 2000-2009. [Internet]. [diunduh 30 November 2013]. Dapat diunduh dari:

http://fwi.or.id/wp-content/uploads/2013/02/PHKI_2000-2009_FWI_low-res.pdf

Ginoga K, Erwidodo. 2001. Dampak krisis ekonomi terhadap kondisi hutan dan

masyarakat sekitar hutan: Kasus di hutan produksi Sumatera Selatan. Dalam:

Jurnal Sosial Ekonomi. [Internet]. [diunduh 21 Maret 2013]. 02(01): 15-30. Dapat

diunduh dari:

http://puslitsosekhut.web.id/download.php?page=publikasi&sub=jurnal&id=92

Hardin G. 1968. The tragedy of the commons. Dalam: Science. [Internet].

[diunduh 30 November 2013]. 162(3859): 1243-1248. Dapat diunduh dari:

http://www.geo.mtu.edu/~asmayer/rural_sustain/governance/Hardin%201968.pdf

Hartono T, Kobayashi H, Widjaya H, Suparmo M. 2007. Taman Nasional Gunung

Halimun-Salak “Menyingkap kabut Gunung Halimun-Salak”. Bogor [ID]:

Gunung Halimun-Salak National Park Management Project.

Kementerian Kehutanan. 2012. Data dan informasi pemanfaatan hutan tahun

2012. [Internet]. [diunduh 22 Juni 2013]. Dapat diunduh dari:

http://www.dephut.net/uploads/files/Buku%20Pemanfaatan%20Final%202012.pd

f

Khalil B. 2009. Analisis perubahan penutupan lahan di hutan adat Kasepuhan

Citorek, Taman Nasional Gunung Halimun-Salak. [skripsi]. [Internet]. [diunduh

19 April 2013]. Bogor [ID]: Institut Pertanian Bogor. 83 hal. Dapat diunduh dari:

http://repository.ipb.ac.id/handle/123456789/11376.

[MK] Mahkamah Konstitusi. 2012. Putusan No. 35/PUU-X/2012 mengenai

Perkara Pengujian Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan

terhadap Undang-Undang Dasar Republik Indonesia Tahun 1945.

Murniningtyas E. 2011. Kebijakan nasional mitigasi dan adaptasi perubahan

iklim. [Internet]. [diunduh 6 November 2012]. Dapat diunduh dari:

http://www.bappenas.go.id/get-file-server/node/11447/

59

Nababan A. 2013. Sinergitas hukum adat dan hukum Negara dalam membentuk

masyarakat tertib hukum di Indonesia. [ppt.]. [Internet]. [diunduh 13 September

2013]. Dapat diunduh dari: http://www.aman.or.id/wp-

content/plugins/downloads-

manager/upload/2013_Abdon%20Nababan_Sinergi%20Hukum%20Adat%20dan

%20Hukum%20Negara.pdf

Ngadiono. 2004. 35 tahun pengelolaan hutan Indonesia: Refleksi dan Prospek.

Bogor [ID]: Yayasan Adi Sanggoro

Niswah ZK. 2011. Strategi nafkah masyarakat adat Kasepuhan Sinar Resmi di

Taman Nasional Gunung Halimun Salak. [skripsi]. [Internet]. [diunduh 22 Juni

2013]. Bogor [ID]: Institut Pertanian Bogor. 103 hal. Dapat diunduh dari:

http://repository.ipb.ac.id/bitstream/handle/123456789/47514/I11zkn.pdf

Ostrom E, Ahn TK. 2003. Foundations of social capital. [Internet]. [diunduh 23

Juni 2013]. Dapat diunduh dari: http://era-

mx.org/biblio/Ostrom_and_Ahn_2003.pdf

Ostrom E, Schlager E. 1992. Property-rights regimes and natural resources: A

conceptual analysis. Dalam: Land Economics. [Internet]. [diunduh 21 Maret

2013]. 68(03): 249-262. Dapat diunduh dari:

http://econ.ucsb.edu/~tedb/Courses/Ec100C/Readings/OstromSchlager.pdf

[Permen] Peraturan Menteri Kehutanan Nomor: P. 56/Menhut-II/2006 tentang

Pedoman Zonasi Taman Nasional.

[Perum Perhutani] Perusahaan Umum Kehutanan Negara. 2001. SK Dewan

Pengawas Perum Perhutani No. 136/KPTS/DIR/2001 tentang PSDHBM

Putro HR, Supriatin, Sunkar A, Rossanda D, Prihatini ER. 2012. Collaborative

management of national park in Indonesia. Bogor [ID]: IPB Pr. 201 hal.

Rahayu SS. 2004. Makna hutan bagi masyarakat adat (studi kasus Kesatuan Adat

Banten Kidul, Kasepuhan Ciptagelar). [skripsi]. [Internet]. [diunduh 11 September

2013]. Bogor [ID]: Institut Pertanian Bogor. 162 hal. Dapat diunduh dari:

http://repository.ipb.ac.id/handle/123456789/22783

Rahmawati R. 2013. Konflik-konflik sumberdaya hutan di Jawa Barat dan

Kalimantan Barat, Indonesia. [disertasi]. Bogor [ID]: Institut Pertanian Bogor.

274 hal.

Ribot JC, Peluso NL. 2003. A theory of access. Dalam: Rural Sociology.

[Internet]. [dikutip 23 Juni 2013]. 68 (02): 153-181. Dapat diunduh dari:

http://community.eldis.org/.5ad50647/Ribot%20and%20Peluso%20theory%20of

%20access.pdf

60

Scoones I. 1998. Sustainable rural livelihoods: A framework for analysis. Dalam:

IDS Working Paper 72 (1-22). [Internet]. [dikutip 23 Juni 2013]. Dapat diunduh

dari: http://www.sarpn.org/documents/d0001493/P1833-Sustainable-rural-

livelihoods_IDS-paper72.pdf

Sylviani.2008. Kajian dampak perubahan fungsi kawasan hutan terhadap

masyarakat sekitar. Dalam: Jurnal Penelitian Sosial Ekonomi dan Kebijakan

Kehutanan. [Internet]. [diunduh 21 Maret 2013]. 05(03): 155-178. Dapat diunduh

dari: http://forda-

mof.org/files/32.KAJIAN%20DAMPAK%20PERUBAHAN%20FUNGSI%20K

AWASAN%20HUTAN%20TERHADAP%20MASYARAKAT%20SEKITAR.p

df

Sylviani, Sakuntaladewi N. 2010. Dampak perubahan musim dan strategi adaptasi

pengelola dan masyarakat desa sekitar Taman Nasional Baluran. Dalam: Jurnal

Penelitian Sosial dan Ekonomi. [Internet]. [dikutip 21 Maret 2013]. 07(03): 155-

177. Dapat diunduh dari: http://www.forda-

mof.org/files/6.DAMPAK%20PERUBAHAN%20MUSIM%20DAN%20STRAT

EGI%20ADAPTASI%20PENGELOLA%20DAN%20MASYARAKAT%20DES

A%20SEKITAR%20TAMAN%20NASIONAL%20BALURAN.pdf

Soekanto S. 1982. Sosiologi suatu pengantar. Jakarta [ID]: Rajagrafindo Persada.

Supriyanto B, Putro HR, Supriatin, Widyaningrum IK, Harahap AS, Ekawati D,

Mulyati S, Faizin N, Septiana W, Setyaningsih B et al. 2009. Rencana aksi

restorasi koridor Halimun-Salak [2009-2013]. Bogor [ID]: Gunung Halimun-

Salak National Park Management Project. 33 hal.

[UN] United Nations. 2009. State of the world’s indigenous peoples. [Internet].

[dikutip 24 Juni 2013]. New York [USA]: United Nations. 238 hal. Dapat diunduh

dari: http://www.un.org/esa/socdev/unpfii/documents/SOWIP_web.pdf

[UU] Undang - undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.

[UU] Undang-undang Republik Indonesia Nomor 5 Tahun 1990.

[UU] Undang-undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintah Daerah.

[UU] Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah

[UU] Undang-undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan.

61

Wahyuni NI, Mamonto R. 2012. Persepsi masyarakat terhadap taman nasional dan

sumberdaya hutan: Studi kasus blok Aketawaje, Taman Nasional Aketawaje

Lolobata. Dalam: Info BPK Manado. [Internet]. [dikutip 13 September 2013].

02(01): 1-16. Dapat diunduh dari:

http://forda-

mof.org/files/Persepsi_Masyarakat_terhadap_Taman_Nasional_dan_Sumberdaya.

pdf

Wrangham R. 2003. Diskursus kebijakan yang berubah dan masyarakat adat

1960-1999. Dalam: Colfer CJP, Resosudarmo IAP, penyunting. 2002. Ke mana

harus melangkah? Masyarakat, hutan, dan perumusan kebijakan. Jakarta [ID]:

Yayasan Obor Indonesia. Hal.24-42.

Zanden JWV. 1984. Social psychology. New York [US]: Random House.

62

63

LAMPIRAN

Lampiran 1 Kuesioner Penelitian

KUESIONER PENELITIAN

DAMPAK PENETAPAN TAMAN NASIONAL GUNUNG HALIMUN-

SALAK TERHADAP SISTEM PENGHIDUPAN MASYARAKAT

KASEPUHAN CIPTA MULYA

No. Responden :

Hari/tanggal :

I. IDENTITAS RESPONDEN

Nama responden :

Umur : tahun

Jenis kelamin : 1. Laki-laki 2. Perempuan

Pendidikan terakhir :

Pekerjaan saat ini :

Golongan karir :

Alamat :

Status : 1. Menikah 2. Belum Menikah

II. AKSES TERHADAP LAHAN GARAPAN

A. Akses terhadap lahan garapan sebelum penetapan TNGHS

1. Apakah Anda dapat dengan mudah memasuki lahan garapan?

a. Ya b. Tidak

2. Apakah Anda dapat dengan mudah menanami lahan garapan sesuai

kebutuhan Anda?

a. Ya b. Tidak

3. Apakah Anda dapat dengan mudah mengambil hasil tanam dari lahan

garapan?

a. Ya b. Tidak

64

B. Akses terhadap lahan garapan setelah penetapan TNGHS

1. Apakah Anda dapat dengan mudah memasuki lahan garapan?

a. Ya b. Tidak

2. Apakah Anda dapat dengan mudah menanami lahan garapan sesuai

kebutuhan Anda?

a. Ya b. Tidak

3. Apakah Anda dapat dengan mudah mengambil hasil tanam dari lahan

garapan?

a. Ya b. Tidak

III. PEKERJAAN ANGGOTA RUMAH TANGGA

A. Pekerjaan Anggota Rumah Tangga Sebelum Penetapan TNGHS

No. Nama Jenis

Kelamin Usia Pekerjaan

Tempat

Bekerja

1.

2.

3.

4.

5.

6.

7.

8.

9.

10.

B. Pekerjaan Anggota Rumah Tangga Setelah Penetapan TNGHS

No. Nama Jenis

Kelamin Usia Pekerjaan

Tempat

Bekerja

1.

2.

3.

4.

5.

6.

7.

8.

9.

10.

65

IV. PENDAPATAN RUMAH TANGGA

A. Pendapatan Rumah Tangga Sebelum Penetapan TNGHS

No. Nama Jumlah Pendapatan

1.

2.

3.

4.

5.

6.

7.

8.

9.

10.

B. Pendapatan Rumah Tangga Setelah Penetapan TNGHS

No. Nama Jumlah Pendapatan

1.

2.

3.

4.

5.

6.

7.

8.

9.

10.

V. PENGUKURAN SIKAP MASYARAKAT KASEPUHAN CIPTA

MULYA TERHADAP KEBIJAKAN PENETAPAN TNGHS

Penetapan Taman Nasional Gunung Halimun-Salak

Baik :___:___:___:___:___: Buruk

Menguntungkan :___:___:___:___:___: Tidak Menguntungkan

Bermanfaat :___:___:___:___:___: Tidak Bermanfaat

Meningkatkan Pendapatan :___:___:___:___:___: Menurunkan Pendapatan

Membantu :___:___:___:___:___: Tidak Membantu

Melindungi :___:___:___:___:___: Tidak Melindungi

Merakyat :___:___:___:___:___: Tidak Merakyat

Penting :___:___:___:___:___: Tidak Penting

Memberi Kesempatan :___:___:___:___:___: Tidak Memberi

Kesempatan

Memudahkan :___:___:___:___:___: Menyulitkan

66

Lampiran 2 Panduan Pertanyaan

Pertanyaan untuk Masyarakat

A. Pertanyaan untuk Responden

1. Apa saja tanaman yang dapat ditanam pada lahan garapan sebelum penetapan

Taman Nasional Gunung Halimun Salak? Apakah tanaman-tanaman tersebut

masih dapat ditanam hingga kini?

2. Apa saja tanaman yang dapat ditanamsetelah penetapan Taman Nasional

Gunung Halimun Salak? Apakah tanaman-tanaman tersebut dapat diambil

hasilnya hingga kini?

3. Apa saja perubahan yang Anda rasakan setelah perluasan Taman Nasional

Gunung Halimun Salak?

4. Bagaimana cara Anda menanam padi atau jenis tanaman lainnya? Apakah ada

perbedaan cara menanam padi dengan tanaman jenis lain?

5. Apa yang Anda lakukan terhadap hasil tanam yang Anda peroleh

(dijual/konsumsi sendiri)?

6. Apa saja alat dan bahan yang Anda gunakan untuk menanam dan memanen

padi?

7. Apa saja alat dan bahan yang Anda gunakan untuk menanam dan memanen

tanaman lain?

8. Mengapa anggota rumah tangga Anda memutuskan untuk melakukan

pekerjaannya tersebut?

9. Apa perubahan yang Anda rasakan terhadap kehidupan rumah tangga Anda

setelah perluasan taman nasional?

B. Pertanyaan untuk Informan

1. Apakah terdapat keluhan dari masyarakat Kasepuhan yang berhubungan

dengan perluasan taman nasional? Jika ya, apa yang dikeluhkan?

2. Apa saja upaya-upaya yang telah dilakukan untuk mengatasi pertentangan dengan TNGHS?

Pertanyaan untuk Pihak TNGHS

1. Bagaimana sejarah berdirinya TNGHS?

2. Mengapa terjadi perubahan TNGH menjadi TNGHS?

3. Bagaimana tanggapan pihak TNGHS terhadap keberadaan masyarakat

kasepuhan?

4. Berdasarkan zonasi taman nasional, dimana letak masyarakat kasepuhan?

5. Apa saja aturan dan sanksi yang berlaku dalam pengelolaan TNGHS?

6. Apa saja jenis pelanggaran yang pernah terjadi di TNGHS? Siapa pelakunya?

7. Berapa jenis pelanggaran yang sudah pernah terjadi di TNGHS?

8. Apa benda/alat yang digunakan pihak TNGHS untuk membatasi wilayah

TNGHS?

67

Lampiran 3 Kerangka Sampling

No. Nama Alamat

1 Eman Cipagon

2 Ajong Mekar Jaya

3 Koni Mekar Jaya

4 Ojot Mekar Jaya

5 Warsa Mekar Jaya

6 Ampar Mekar Jaya

7 Ijat Mekar Jaya

8 Unadi Mekar Jaya

9 Sata Mekar Jaya

10 Kantong Mekar Jaya

11 Jaji Cibongbong

12 Sameni Cibongbong

13 Dian Cibongbong

14 Tatang Cibongbong

15 Aan Cibongbong

16 Apri Cibongbong

17 Musa Cibongbong

18 Supirta Cibongbong

19 Tisna Cibongbong

20 Suri Cibongbong

21 Ajid Cibongbong

22 Dedi Cibongbong

23 Ujang Cibongbong

24 Udin Cibongbong

25 Amol Cibongbong

26 Junani Cibongbong

27 Obar Cibongbong

28 Suwarma Cibongbong

29 Ondi Cibongbong

30 Tablo Cibongbong

31 Watja Cibongbong

32 Pendi Cibongbong

33 Juwardi Cibongbong

34 Bahman Cibongbong

35 Otang Cibongbong

36 Jai Cibongbong

37 Barong Cibongbong

38 Yamin Cibongbong

39 Sakri Cibongbong

40 Ating Cibongbong

41 Sukandar Cibongbong

42 Oji Cibongbong

43 Mudrikah Cibongbong

44 Duardi Cibongbong

45 Samsudin Cibongbong

46 Hadna Cibongbong

47 Suhendra Cibongbong

48 Adul Cibongbong

49 Madhapi Cibongbong

50 Karya Cibongbong

51 Samad Cibongbong

52 Ade Cibongbong

53 Adma Cibongbong

54 Suhendi Cibongbong

55 Maih Cibongbong

56 Sutisna Cibongbong

57 Iwan Cibongbong

58 Ajun Cibongbong

59 Marja Cibongbong

60 Madturi Cibongbong

61 Misja Cibongbong

62 Madha Cibongbong

63 Endi Cibongbong

64 Oded Cibongbong

65 Suheri Cibongbong

66 Sudarma Cibongbong

67 Suhendi Cibongbong

68 Supardi Cibongbong

69 Uden Cibongbong

70 Adang Cibongbong

71 Jumhi Cibongbong

72 Asmita Cibongbong

73 Edis Cibongbong

74 Inda Cibongbong

75 Iwan S. Cipta Mulya

76 M. Nasir Cipta Mulya

77 Uday Cipta Mulya

78 Maih Cipta Mulya

79 Oba Cipta Mulya

80 Didin Cipta Mulya

81 Usna Cipta Mulya

68

82 Lamri Cipta Mulya

83 Mariah Cipta Mulya

84 Utom Cipta Mulya

85 Murwanda Cipta Mulya

86 Nirma Cipta Mulya

87 Surni Cipta Mulya

88 Sarnudi Cipta Mulya

89 Musyandi Cipta Mulya

90 Sudarta Cipta Mulya

91 Juma Cipta Mulya

92 Anwar Cipta Mulya

93 Sene Cipta Mulya

94 Wijaya Cipta Mulya

95 Amad Cipta Mulya

96 Karman Cipta Mulya

97 Ari Cipta Mulya

98 Ardo Cipta Mulya

99 Madsai Cipta Mulya

100 Ujang P. Cipta Mulya

101 Hendi Cipta Mulya

102 Suhendar Cipta Mulya

103 Suwando Cipta Mulya

104 Uum Cipta Mulya

105 Ikar Cipta Mulya

106 Ujol Cipta Mulya

107 Kunya Cipta Mulya

108 Usid Cipta Mulya

109 Doon Cipta Mulya

110 Herman Cipta Mulya

111 Sugan Cipta Mulya

112 Ilus Cipta Mulya

113 Ohri Cipta Mulya

114 Jakok Cipta Mulya

115 Aer Cipta Mulya

116 Arkadik Cipta Mulya

117 Iin Cipta Mulya

118 Uud Cipta Mulya

119 Uden Cipta Mulya

120 Daday Cipta Mulya

121 Utin Cipta Mulya

122 Jata Cipta Mulya

123 Oman Cipta Mulya

124 Juan Cipta Mulya

125 Ujid Cipta Mulya

126 Eem Cipta Mulya

127 Dain Cikirai

128 Ujadi Cikirai

129 Sumitra Cikirai

130 Bakat Cikirai

131 Ujun Cikirai

132 Mardi Cikirai

133 Nandi Cikirai

134 Sepe Cikirai

135 Karsa Cikirai

136 Atib Cikirai

137 Ade Idol Cikirai

138 Atim Cikirai

69

Lampiran 4 Daftar Responden Penelitian

No. Nama Usia

(Tahun)

Jenis

Kelamin Kampung Pekerjaan

1 Koni 60 Laki-laki Mekar Jaya Tani, kuli (macul, babad)

2 Ajong 58 Laki-laki Mekar Jaya Tani, usaha warung, jual pakaian

3 Sata 43 Laki-laki Mekar Jaya Tani

4 Mardi 52 Laki-laki Cikirai Tani, usaha (warung, bengkel)

5 Dain 63 Laki-laki Cikirai Tani

6 Ade Idol 58 Laki-laki Cikirai Tani, usaha warung

7 Sumitra 38 Laki-laki Cikirai Tani, kuli bangunan

8 Daday 38 Laki-laki Cipta Mulya Tani

9 Ujid 40 Laki-laki Cipta Mulya Tani, kuli (macul, panen)

10 Usna 38 Laki-laki Cipta Mulya Tani, kuli bangunan, mebeul

11 Madsai 70 Laki-laki Cipta Mulya Tani, nyadap aren

12 Didin 48 Laki-laki Cipta Mulya Tani, kuli nandur, babad

13 Hendi 33 Laki-laki Cipta Mulya Tani, kuli (ngored, macul)

14 Amad 35 Laki-laki Cipta Mulya Tani, kuli macul, panen

15 Utom 40 Laki-laki Cipta Mulya Tani, kuli (pikul emas, macul)

16 Iwan 39 Laki-laki Cipta Mulya Tani

17 Madhapi 100 Laki-laki Cibongbong Tani

18 Ating 55 Laki-laki Cibongbong Tani

19 Oji 50 Laki-laki Cibongbong Tani, nyadap aren

20 Supirta 37 Laki-laki Cibongbong Tani

21 Jai 55 Laki-laki Cibongbong Tani, tambang emas

22 Adul 60 Laki-laki Cibongbong Tani, kuli babad

23 Ujang 43 Laki-laki Cibongbong Tani, kuli bangunan

24 Oded 60 Laki-laki Cibongbong Tani

25 Watja 43 Laki-laki Cibongbong Tani, reparasi barangelektronik

26 Otang 45 Laki-laki Cibongbong Tani

27 Tatang 30 Laki-laki Cibongbong Tani

28 Duardi 70 Laki-laki Cibongbong Tani, usaha warung

29 Suri 39 Laki-laki Cibongbong Tani, usaha warung

30 Dian 39 Laki-laki Cibongbong Tani

70

Lampiran 5 Hasil Korelasi Sikap dengan Status Kepemilikan Lahan Garapan,

Luas Lahan Garapan, dan Tingkat Pendapatan Rumah Tangga

menggunakan SPSS Statistics for Windows

Correlations

Sikap

Status

Kepemilikan

Lahan Garapan

Spearman's rho Sikap Correlation Coefficient 1.000 -.316

Sig. (1-tailed) . .044

N 30 30

Status Kepemilikan Lahan

Garapan

Correlation Coefficient -.316 1.000

Sig. (1-tailed) .044 .

N 30 30

Correlations

Sikap

Luas Lahan

Garapan

Spearman's rho Sikap Correlation Coefficient 1.000 .150

Sig. (1-tailed) . .214

N 30 30

Luas Lahan Garapan Correlation Coefficient .150 1.000

Sig. (1-tailed) .214 .

N 30 30

71

Correlations

Sikap

Tingkat

Pendapatan

Rumah Tangga

Spearman's rho Sikap Correlation

Coefficient

1.000 .286

Sig. (1-tailed) . .062

N 30 30

Tingkat Pendapatan Rumah

Tangga

Correlation

Coefficient

.286 1.000

Sig. (1-tailed) .062 .

N 30 30

72

Lampiran 6 Dokumentasi Penelitian

Panggung adat Leuit

Pandangringan Tungku untuk memasak

Rumah Panggung Kebun Cabai

73

Kegiatan Menumbuk Padi Imah Gede

74

Lampiran7 Zonasi Indikatif TNGHS Tahun 2007

75

Lampiran 8 Zonasi TNGHS Tahun 2013

76

77

RIWAYAT HIDUP

Kasfy Allama lahir di Jakarta pada 18 Oktober 1993. Penulis merupakan

anak pertama dari empat bersaudara pasangan Muhammad Kalamy dan Meuthia

Helma. Penulis menempuh pendidikan dasar dan menengah di SDIT At –Taufiq

(1999-2005), SMP Islam PB Soedirman (2005-2007), dan SMA Negeri 39 Jakarta

(2007-2010). Setelah lulus SMA, penulis melanjutkan pendidikan ke Institut

Pertanian Bogor pada tahun 2010 melalui jalur Ujian Tulis Mandiri (UTM) dan

diterima di Departemen Sains Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat,

Fakultas Ekologi Manusia.

Selama Penulis menempuh pendidikan tinggi di Institut Pertanian Bogor

terutama pada tahun kedua, penulis aktif mengikuti organisasi dan kegiatan

kepanitiaan. Penulis aktif dalam Badan Eksekutif Mahasiswa Fakultas Ekologi

Manusia (BEM FEMA) periode 2011-2012 sebagai staff Departemen

Komunikasi, Informasi, dan Relasi. Selain itu, penulis juga aktif sebagai sekertaris

manajemen Human Resource Development (HRD) pada Leadership and

Entrepreneurship School (LES 2012) yang merupakan lembaga struktural di

bawah Departemen Pengembangan Potensi Sumberdaya Mahasiswa (PPSDM)

BEM KM IPB. Penulis juga aktif mengikuti kepanitiaan dalam beberpa acara di

IPB yaitu kepanitiaan Masa Perkenalan Fakultas (MPF) Ekologi Manusia dan

Masa Perkenalan Departemen (MPD) Sains Komunikasi dan Pengembangan

Masyarakat 2012. Pengalaman lain yang dimiliki penulis adalahmenjadi asisten

praktikum Mata Kuliah Sosiologi Umum tahun ajaran 2012-2013 dan 2013-2014

semester ganjil.