Upload
ngothien
View
234
Download
0
Embed Size (px)
Citation preview
DAMPAK PENETAPAN TAMAN NASIONAL GUNUNG
HALIMUN SALAK TERHADAP SISTEM PENGHIDUPAN
MASYARAKAT KASEPUHAN CIPTA MULYA
KASFY ALLAMA
DEPARTEMEN SAINS KOMUNIKASI DAN PENGEMBANGAN MASYARAKAT
FAKULTAS EKOLOGI MANUSIA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2014
PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN SUMBER
INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA
Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi berjudul Dampak Penetapan
Taman Nasional Gunung Halimun Salak terhadap Sistem Penghidupan
Masyarakat Kasepuhan Cipta Mulya adalah benar karya saya dengan arahan dari
komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan
tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang
diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks
dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini.
Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada
Institut Pertanian Bogor.
Bogor, Januari 2014
Kasfy Allama
NIM I34100107
ABSTRAK
KASFY ALLAMA. Dampak Penetapan Taman Nasional Gunung Halimun Salak
terhadap Sistem Penghidupan Masyarakat Kasepuhan Cipta Mulya. Di bawah
bimbingan RILUS A. KINSENG.
Masyarakat Kasepuhan Cipta Mulya dihadapkan pada perubahan fungsi
kawasan hutan yang merupakan sumber hidup mereka. Hutan yang telah
dimanfaatkan bertahun-tahun dalam status hutan produksi berubah menjadi hutan
konservasi yang menyebabkan aktivitas manusia di dalamnya terbatas. Hal
tersebut menyebabkan perubahan akses masyarakat Kasepuhan Cipta Mulya
terhadap hutan adat. Meski demikian, aktivitas nafkah dan pendapatan rumah
tangga tidak terlalu dipengaruhi oleh penetapan Taman Nasional Gunung Halimun
Salak (TNGHS). Selain itu, sebagian besar masyarakat Kasepuhan Cipta Mulya
bersikap netral terhadap penetapan TNGHS. Terdapat hubungan negatif yang
cukup signifikan antara sikap dan status kepemilikan lahan garapan. Sebaliknya,
terdapat hubungan positif yang lemah antara sikap dan luas lahan garapan. Selain
itu, sikap dan pendapatan rumah tangga memiliki hubungan positif yang lemah.
Kata kunci: Kasepuhan, masyarakat adat, sistem penghidupan, taman nasional
ABSTRACT
KASFY ALLAMA. Gunung Halimun Salak National Park’s Determination
Impact to Kasepuhan Cipta Mulya People’s Livelihood System. Supervised by
RILUS A. KINSENG.
Kasepuhan Cipta Mulya people faced change of forest function which is
their life source. Forest that they use for many years in production forest status
changed into conservation forest that limiting human activity inside. That point
caused change of Kasepuhan Cipta Mulya people’s access of customary forest.
Otherwise, households’ livelihood activity and income not too affected by
determination of Gunung Halimun Salak National Park (TNGHS). Moreover,
most of Kasepuhan Cipta Mulya people have neutral attitude about TNGHS’
determination. There is moderate significant correlation between attitude and
owning status of used land. Otherwise, there is weak positive correlation between
attitude and amount of used land. Moreover, attitude and households’ income
have weak positive correlation.
Keywords: Kasepuhan, indigenous people, livelihood system, national park
KASFY ALLAMA
Skripsi
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Sarjana Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat
pada
Departemen Sains Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat
DEPARTEMEN SAINS KOMUNIKASI DAN PENGEMBANGAN MASYARAKAT
FAKULTAS EKOLOGI MANUSIA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2014
DAMPAK PENETAPAN TAMAN NASIONAL GUNUNG
HALIMUN SALAK TERHADAP SISTEM PENGHIDUPAN
MASYARAKAT KASEPUHAN CIPTA MULYA
Judul Skripsi : Dampak Penetapan Taman Nasional Gunung Halimun
Salak terhadap Masyarakat Kasepuhan Cipta Mulya
Nama : Kasfy Allama
NIM : I34100107
Disetujui oleh
Dr Ir Rilus A. Kinseng, MA
Pembimbing
Diketahui oleh
Dr Ir Siti Amanah, MSc
Ketua Departemen
Tanggal Lulus:
Judul Slaipsi : Dampak Penetapan Taman Nasional Gunung Halimun Salak terhadap Masyarakat Kasepuhan Cipta Mulya
Nama : Kasfy Allama NIM :134100107
Disetujui oleh
Dr Ir Rilus A. Kinseng, MA Pembimbing
Tanggal Lulus: 24 JAN 2 01 ~
PRAKATA
Puji syukur kehadirat Allah SWT atas segala nikmat yang dilimpahkan-
Nya sehingga penulis mampu menyelesaikan skripsi yang berjudul “Dampak
Penetapan Taman Nasional Gunung Halimun Salak terhadap Sistem Penghidupan
Masyarakat Kasepuhan Cipta Mulya” dengan baik. Skripsi ini dibuat oleh penulis
untuk memenuhi syarat memperoleh gelar sarjana Komunikasi dan
Pengembangan Masyarakat, Fakultas Ekologi Manusia, Institut Pertanian Bogor.
Skripsi ini dapat terselesaikan secara baik dengan bantuan berbagai pihak.
Karena itu, penulis mengucapkan terima kasih kepada Dr Ir Rilus A. Kinseng,
MA selaku dosen pembimbing skripsi yang telah membimbing dan memberi
masukan hingga penulisan penulisan skripsi selesai. Penulis juga mengucapkan
terima kasih kepada ayahanda Muhammad Kalamy dan ibunda Meuthia Helma
serta adik-adik Hedra Billady, Kaifa Nurussama, dan Isykariman Hanif yang telah
memberikan doa dan dukungan kepada penulis. Selain itu, penulis mengucapkan
terima kasih kepada Intan Permata Sari (KPM 47) dan Ade Mulya Syakirin (SVK
47) yang telah bersedia membantu penulis dalam mengumpulkan data penelitian.
Tidak lupa penulis mengucapkan terima kasih kepada teman-teman KPM 47
lainnya terutama Luphita Angelie, Sri Wulan Rahmawati, dan Rosalita yang telah
memberikan semangat, dukungan, dan kebersamaan kepada penulis selama di
KPM serta semua pihak yang telah membantu dalam penulisan skripsi hingga
selesai.
Semoga skripsi ini bermanfaat bagi semua pihak.
Bogor, Januari 2014
Kasfy Allama
DAFTAR ISI
DAFTAR TABEL vi
DAFTAR GAMBAR vii
DAFTAR LAMPIRAN vii
PENDAHULUAN 1
Latar Belakang 1
Masalah Penelitian 3
Tujuan 4
Kegunaan Penelitian 4
PENDEKATAN TEORITIS 5
Tinjauan Pustaka 5
Taman Nasional sebagai Kawasan Konservasi 5
Masyarakat Adat di Dalam dan Sekitar Hutan Konservasi 6
Perubahan Rezim Kepemilikan SDA 7
Perubahan Sistem Penghidupan Masyarakat di Dalam dan Sekitar
Hutan
8
Sikap Masyarakat Adat di Kawasan Hutan terhadap Perluasan Taman
Nasional
11
Kerangka Pemikiran 11
Hipotesis 13
Definisi Operasional 13
PENDEKATAN LAPANGAN 17
Lokasi dan Waktu Penelitian 17
Pendekatan Penelitian 18
Teknik Penentuan Responden 18
Metode Pengumpulan Data dan Analisis Data 18
GAMBARAN LOKASI PENELITIAN DAN KARAKTERISTIK
RESPONDEN 21
Profil Desa Sirnaresmi 21
Profil Kasepuhan Cipta Mulya 23
Karakteristik Responden 25
PERUBAHAN AKSES MASYARAKAT KASEPUHAN CIPTA MULYA 29
Akses Masyarakat Kasepuhan Cipta Mulya sebelum Penetapan
TNGHS
25
Akses Masyarakat Kasepuhan Cipta Mulya setelah Penetapan TNGHS 30
PERUBAHAN AKTIVITAS NAFKAH DAN PENDAPATAN RUMAH
TANGGA MASYARAKAT CIPTA MULYA
37
Aktivitas Nafkah dan Pendapatan Rumah Tangga Masyarakat Kasepuhan 38
ii
Cipta Mulya sebelum Penetapan TNGHS
Aktivitas Nafkah dan Pendapatan Rumah Tangga Masyarakat Kasepuhan
Cipta Mulya setelah Penetapan TNGHS
44
SIKAP MASYARAKAT KASEPUHAN CIPTA MULYA TERHADAP
PENETAPAN TAMAN NASIONAL GUNUNG HALIMUN SALAK
51
Sikap Masyarakat 51
Hubungan Sikap Masyarakat dengan Status Kepemilikan Lahan Garapan 52
Hubungan Sikap Masyarakat dengan Luas Lahan Garapan 53
Hubungan Sikap Masyarakat dengan Tingkat Pendapatan Rumah
Tangga
54
SIMPULAN DAN SARAN 55
DAFTAR PUSTAKA 57
LAMPIRAN 63
DAFTAR TABEL
1 Bundle of Rights Associated with Positions (Ostrom dan Schlager
1992)
9
2 Timeline Pelaksanaan Penelitian 17
3 Metode Pengumpulan Data dan Sumber Data Penelitian Dampak
Penetapan TNGHS terhadap Sistem Penghidupan Masyarakat
Kasepuhan Cipta Mulya Tahun 2013
19
4 Luas Desa Sirnaresmi berdasarkan Penggunaannya Tahun 2013 21
5 Jumlah dan Persentase 1/4 Penduduk Desa Sirnaresmi berdasarkan
Tingkat Pendidikan Tahun 2013
22
6 Jumlah dan Persentase Sebagian Penduduk Desa Sirnaresmi
berdasarkan Jenis Pekerjaan Tahun 2013
23
7 Jumlah dan Persentase Responden berdasarkan Kategori Usia Tahun
2013
26
8 Jumlah dan Persentase Responden berdasarkan Kategori Tingkat
Pendidikan Tahun 2013
26
9 Jumlah dan Persentase Rumah Tangga Responden berdasarkan Total
Anggota Rumah Tangga Tahun 2013
27
10 Jumlah dan Persentase Responden Berdasarkan Status Kepemilikan
Lahan Garapan Tahun 2013
27
11 Jumlah dan Persentase Responden berdasarkan Persepsi Tingkat
Kemudahan Akses terhadap Lahan Garapan Adat Sebelum
Penetapan TNGHS, 2013
30
12 Jumlah dan Persentase Responden berdasarkan Persepsi Tingkat
Kemudahan Akses terhadap Lahan Garapan Adat Setelah Penetapan
TNGHS, 2013
31
13 Daftar Aktivitas Nafkah Rumah Tangga dan Upah Masyarakat
Kasepuhan Cipta Mulya Tahun 2013
37
14 Jumlah dan Persentase Responden berdasarkan Aktivitas Nafkah
Rumah Tangga Sebelum Penetapan TNGHS, 2013
38
15 Pengelompokan Responden berdasarkan Aktivitas Nafkah Rumah
Tangga Pertanian Padi Sebelum Penetapan TNGHS, 2013
39
16 Jumlah dan Nomor Responden berdasarkan Aktivitas Nafkah Rumah
Tangga Pertanian Non Padi Sebelum Penetapan TNGHS, 2013
40
17 Jumlah dan Nomor Responden berdasarkan Aktivitas Nafkah Non
Pertanian sebelum Penetapan TNGHS, 2013
42
18 Jumlah dan Persentase Responden berdasarkan Kategori Tingkat
Pendapatan Rumah Tangga Sebelum Penetapan TNGHS, 2013
43
19 Jumlah dan Persentase Responden berdasarkan Aktivitas Nafkah
Rumah Tangga Setelah Penetapan TNGHS, 2013
44
20 Jumlah dan Nomor Responden berdasarkan Aktivitas Nafkah Rumah
Tangga Pertanian Non Padi Setelah Penetapan TNGHS, 2013
46
21
Jumlah dan Nomor Responden berdasarkan Aktivitas Nafkah Rumah
Tangga Non Pertanian Setelah Penetapan TNGHS, 2013
48
22 Jumlah dan Persentase Responden berdasarkan Pendapatan Rumah
Tangga Setelah Penetapan TNGHS, 2013
48
23 Jumlah dan Persentase Responden berdasarkan Selisih Pendapatan 49
ii
DAFTAR GAMBAR
1 Kerangka Pemikiran Penelitian 12
2 Struktur Kepengurusan Kasepuhan Cipta Mulya 24
3 Perbandingan Persentase Responden berdasarkan Tingkat Kemudahan
Akses terhadap Lahan Garapan Adat Sebelum dan Setelah Penetapan
TNGHS Tahun2013
32
4 Perbandingan Persentase Responden berdasarkan Aktivitas Nafkah
Rumah Tangga Tahun 2013
Sebelum dan Setelah Penetapan TNGHS Tahun 2013
45
5 Perbandingan Persentase Responden Berdasarkan Pendapatan Rumah
Tangga Sebelum dan Setelah Penetapan TNGHS Tahun 2013
49
DAFTAR LAMPIRAN
1 Kuesioner Penelitian 63
2 Panduan Pertanyaan 66
3 Kerangka Sampling 67
4 Daftar Responden Penelitian 69
5 Hasil Korelasi Sikap dengan Status Kepemilikan Lahan Garapan,
Luas Lahan Garapan, dan Tingkat Pendapatan Rumah Tangga
menggunakan SPSS Statistics 17.0 for Windows
70
6 Dokumentasi Penelitian 72
7 Zonasi Indikatif TNGHS Tahun 2013 74
8 Zonasi TNGHS Tahun 2007 75
Rumah Tangga Setelah dan Sebelum Penetapan TNGHS, 2013
24 Jumlah dan Persentase Responden berdasarkan Sikap terhadap
TNGHS Tahun 2013
51
25 Jumlah dan Persentase Responden berdasarkan Sikap dan Status
Kepemilikan Lahan Garapan Tahun 2013
52
26 Jumlah dan Persentase Responden berdasarkan Sikap dan Luas
Lahan Garapan Tahun 2013
53
27 Jumlah dan Persentase Responden berdasarkan Sikap dan Tingkat
Pendapatan Rumah Tangga Tahun 2013
54
1
PENDAHULUAN
Bab pendahuluan berisi latar belakang, masalah penelitian, tujuan
penelitian, dan kegunaan penelitian.Latar belakang berisi fakta-fakta yang
memperkuat alasan pemilihan topik penelitian.Masalah penelitian memuat
beberapa poin yang perlu dikaji dan tujuan menggambarkan maksud penulisan
dengan berlandaskan pada masalah penelitian.Kegunaan penelitian menjelaskan
kontribusi penelitian yang dilakukan bagi berbagai pihak yang
membacanya.Berikut penjelasan dari poin-poin tersebut.
Latar Belakang
Sektor kehutanan di Indonesia mengalami perubahan seiring berjalannya
waktu. Perubahan tersebut mencakup perubahan fisik hingga sistem pengelolaan
hutan. Perubahan fisik hutan terlihat dari fluktuasi luas tutupan hutan Indonesia.
Tutupan hutan Indonesia tahun 1950 memiliki luas 162 juta ha namun berkurang
menjadi 119 juta ha pada tahun 1985, 95 juta ha pada 1997, bertambah menjadi
103.33 juta ha pada tahun 2000, dan 88.17 juta ha pada 2009, dengan laju
deforestasi Indonesia periode 2000-2009 mencapai 1.51 juta ha/tahun (FWI 2011).
Berdasarkan SK penunjukan kawasan hutan dan perairan hingga
November 2012, kawasan hutan Indonesia tercatat memiliki luas 134 290 240.94
ha, dengan rincian: 1) Hutan Konservasi: 27 086 910.23 ha; 2) Hutan Lindung: 30
539 823.36 ha, dan 3) Hutan Produksi: 76 663 507.34 ha (Kemenhut 2012). Hal
yang perlu diingat adalah bahwa luasan tersebut bukan hanya mencakup tutupan
hutan tetapi juga termasuk kawasan yang tidak ditanami pohon seperti lahan
terbuka, enclave pemukiman warga, pertanian lahan kering, dan peruntukkan
lainnya.Angka tersebut belum bisa merefleksikan perbaikan kondisi hutan di
Indonesia.
Kondisi hutan yang semakin mengkhawatirkan sebenarnya merupakan
salah satu implikasi dari pengelolaan hutan yang kurang memperhatikan
keberlanjutan. Bermula dari kebijakan domein verklaring yang diintroduksikan
oleh Belanda dan kemudian diadopsi sebagai pedoman pengelolaan sumber daya
alam di Indonesia (Ansori et al.2011), pengelolaan hutan menjadi terpusat pada
pemerintah.Adopsi kebijakan domein verklaring tercermin dalam UUD 1945
Pasal 33 (3) yang berbunyi “Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di
dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar
kemakmuran rakyat”.Negara, dalam hal ini merujuk pada pemerintah, memiliki
kuasa yang sangat besar dalam pengelolaan sumber daya alam.Terkait
pengelolaan hutan, Negara membentuk Perum Perhutani untuk menjalankan
fungsi hutan lindung dan produksi.
Kondisi hutan Indonesia semakin memburuk pada rezim orde baru yang
mengedepankan pertumbuhan ekonomi.Sektor kehutanan turut terintegrasi pada
sistem kapitalis.Konversi lahan hutan secara gencar dilakukan untuk peningkatan
pendapatan negara hingga pada krisis moneter 1997-1998 kondisi hutan semakin
parah.Akumulasi kegeraman masyarakat terhadap rezim orde baru menyebabkan
terjadinya gerakan terorganisasi yang melahirkan era reformasi. Banyak
masyarakat merasa memiliki hak yang sama untuk dapat mengelola hutan
2
sehingga melakukan pemanfaatan sumber daya hutan yang dikelola Perhutani
(Ginoga dan Erwidodo 2001).
Seiring dengan jatuhnya rezim orde baru, terbit SK Menteri Kehutanan
No. 677/1998 yang merupakan revisi dari SK No. 622/1995 mengenai hutan
kemasyarakatan.Peraturan ini memperluas kesempatan masyarakat lokal untuk
memperoleh manfaat dari kawasan hutan negara yang ditetapkan sebagai hutan
kemasyarakatan (Wrangham 2003).Kondisi yang tidak stabil setelah reformasi
kemudian membawa inisiatif desentralisasi pengelolaan SDA. Dimulai dari
dikeluarkannya UU No. 22/1999 mengenai otonomi daerah pengelolaan SDA
tergolong ranah tugas pemerintah daerah namun juga merupakan ranah tugas
pemerintah pusat yang diwujudkan oleh peruntukan lain dalam undang-undang
tersebut. Pemerintah pusat seolah masih belum percaya sepenuhnya kepada
pemerintah daerah sehingga Perhutani masih diberi kewenangan dalam
pengelolaan hutan.
Peraturan penting lainnya yang berkaitan dengan kehutanan era reformasi
yakni UU No. 41/1999. Pasal 5 undang-undang tersebut menjelaskan bahwa
berdasarkan status kepemilikan yang melekat di atasnya, hutan terbagi menjadi
dua, yakni hutan negara (yang tidak dibebani hak milik) dan hutan hak (dibebani
hak milik). Berkaitan dengan hal ini, Negara mengakui adanya hutan adat sebagai
tempat kehidupan masyarakat lokal yang hidup berlandaskan adat namun hutan
adat tersebut masih tergolong hutan negara sehingga Negara berwenang mengakui
atau mencabut status masyarakat adat dan hutan adat (Wrangham 2003).Selain itu,
hak masyarakat adat hanya diberikan sejauh tidak bertentangan dengan prioritas
nasional (Wrangham 2003).Peraturan-peraturan mengenai hutan adat tersebut
mengindikasikan kepercayaan pemerintah yang lemah terhadap masyarakat adat.
Seiring berjalannya waktu, pemerintah megeluarkan UU No. 32/2004
tentang pemerintahan daerah sebagai revisi UU No. 22/1999. Undang-undang
tersebut menyatakan bahwa pemerintahan daerah dilandaskan prinsip otonomi
seluas-luasnya sehingga beberapa hal termasuk pendayagunaan sumber daya alam
menjadi ranah tugas pemerintah daerah.Meski demikian, pelaksanaan UU No.
41/1999 tetap saja masih dilandaskan pada UU No. 22/1999.Selanjutnya pada
tahun 2012 Mahkamah Konstitusi mengeluarkan Putusan No. 35/PUU-X/2012
yang merevisi beberapa poin dalam UU No. 41/1999.Perubahan-perubahan yang
tertulis dalam putusan tersebut menegaskan bahwa pemerintah telah sepenuhnya
mengakui hak ulayat masyarakat adat yang diakui keberadaannya.Dengan
demikian hutan adat tidak lagi berada di bawah kendali Negara.
Perubahan kawasan hutan sebagai sumber penghidupan masyarakat adat
memungkinkan terjadinya perubahan pada sistem penghidupan masyarakat
tersebut.Salah satu contoh perubahan kawasan hutan yang terjadi yaitu
penunjukkan kawasan Taman Nasional Gunung Halimun Salak yang disahkan
dalam SK Menteri Kehutanan RI No. 175/2003.Diterbitkannya SK tersebut
berimplikasi pada perluasan kawasan TNGH yang semula 40 000 ha menjadi
TNGHS seluas 113 357 ha (Hartono et al. 2007).Keputusan tersebut dibuat karena
terjadi degradasi hutan sebesar 52 persen selama tahun 1990-2001 saat kawasan
Koridor Halimun Salak masih berstatus hutan produksi yang dikelola Perum
Perhutani (Supriyanto et al. 2009).
Masyarakat adat yang ada pada kawasan TNGHS dikenal sebagai
masyarakat kasepuhan yang salah satunya yakni Kasepuhan Cipta Mulya.Hingga
3
saat ini belum ada peraturan daerah dan SK Bupati yang mengakui masyarakat
kasepuhan sebagai komunitas adat. Penetapan kawasan TNGHS diduga mengubah
sistem penghidupan masyarakat Kasepuhan Cipta Mulya.Sistem penghidupan
didefinisikan Ellis (2000) sebagai kombinasi aset, aktivitas, dan akses yang
dibentuk individu atau rumah tangga untuk bertahan hidup. Perubahan sistem
penghidupan dapat dilihat dari perubahan akses terhadap lahan garapan adat,
aktivitas nafkah, dan tingkat pendapatan. Perubahan tersebut kemudian berpotensi
menimbulkan sikap negatif masyarakat Kasepuhan Cipta Mulya terhadap
penetapan kawasan Taman Nasional Gunung Halimun Salak. Untuk itu, perlu
adanya identifikasi dampak penetapan Taman Nasional Gunung Halimun Salak
terhadap sistem penghidupan masyarakat Kasepuhan Cipta Mulya.
Masalah Penelitian
Perkembangan sejarah Indonesia turut membawa perubahan terhadap
kebijakan terkait sumber daya alam khususnya hutan. Perubahan yang dirasa
sangat signifikan yakni semenjak berlakunya desentralisasi di Indonesia setelah
UU No. 22/1999 mengenai otonomi daerah diterbitkan. Kebijakan tersebut
mempengaruhi UU No.41/1999 yang diterbitkan setelahnya.Salah satu pasal UU
No.41/1999 memuat aturan mengenai hutan adat namun merefleksikan
pendelegasian hutan setengah hati pemerintah kepada masyarakat adat.
Sebenarnya UU No. 22/1999 dan UU No. 41 telah mengalami perbaikan.
Masyarakat adat kini sudah mulai diakui eksistensi dan hak ulayatnya. Meski
demikian perlu diperhatikan bahwa penetapan TNGHS terjadi pada tahun 2003
yang berarti masih menggunakan UU No. 41/1999 dalam pengelolaan hutan.
Akses masyarakat Kasepuhan Cipta Mulya terhadap lahan garapan adat
menjadi hal paling penting mengingat terdapat hubungan yang erat antara
masyarakat tersebut dengan hutan. Perluasan TNGH menjadi TNGHS
menyebabkan perubahan pada lahan garapan adat yang dapat diakses oleh
masyarakat. Dengan demikian perlu diteliti lebih lanjut bagaimana perubahan
yang ditimbulkan penetapan TNGHS terhadap akses lahan
garapanadatmasyarakat Kasepuhan Cipta Mulya?
Dalam sistem penghidupan suatu masyarakat, akses, aset, dan aktivitas
menjadi hal yang krusial. Ellis menyebutkan ketiga hal tersebut sebagai kesatuan
yang membentuk sistem penghidupan. Penetapan kawasan TNGHS yang
mengubah akses terhadap lahan garapan berimplikasi pada berubahnya aktivitas
nafkah yang dilakukan masyarakat Kasepuhan Cipta Mulya.Kombinasi atau
modifikasi aktivitas nafkah kemudian dapat membentuk strategi nafkah rumah
tangga. Pendapatan rumah tangga yang merupakan hasil aktivitas nafkah dapat
dimungkinkan turut mengalami perubahan. Untuk itu, perlu dikaji lebih
mendalam bagaimana perubahan yang ditimbulkan penetapan TNGHS
terhadap aktivitas nafkah dan tingkat pendapatan rumah tangga
masyarakat Kasepuhan Cipta Mulya?
Berbagai dampak yang ditimbulkan akibat penetapan kawasan TNGHS
perlahan-lahan akan membentuk sikap masyarakat terhadap keputusam penetapan
tersebut. Sikap dapat dipengaruhi oleh penguasaan dan kepemilikan lahan garapan
serta pendapatan rumah tangga yang diperoleh. Dengan demikian, perlu ditelusuri
4
lebih lanjut bagaimana sikap masyarakat Kasepuhan Cipta Mulya terhadap
penetapan TNGHS?
Tujuan
Tujuan utama penelitian ini adalah untuk mengetahui dampak penetapan
Taman Nasional Gunung Halimun Salak terhadap sistem penghidupan masyarakat
Kasepuhan Cipta Mulya. Tujuan utama tersebut akan dijawab melalui tujuan-
tujuan khusus penelitian:
1. Mengidentifikasi perubahan yang ditimbulkan penetapan TNGHS terhadap
akses lahan garapan adat masyarakat Kasepuhan Cipta Mulya.
2. Mengidentifikasi dan menganalisis perubahan yang ditimbulkan penetapan
TNGHS terhadap aktivitas nafkah dan pendapatan rumah tangga masyarakat
Kasepuhan Cipta Mulya.
3. Mengidentifikasi dan menganalisis sikap masyarakat Kasepuhan Cipta Mulya
terhadap penetapan TNGHS.
Kegunaan Penelitian
Secara umum hasil studi ini diharapkan dapat memberikan kontribusi
terhadap pengembangan ilmu sosial yang berkaitan dengan perubahan sosial
khususnya mengenai dampak kebijakan penetapan taman nasional terhadap sistem
penghidupan masyarakat adat. Dengan adanya studi ini diharapkan pemerintah
lebih mempertimbangkan dampak dari kebijakan-kebijakan yang akan dan telah
dibuat khususnya terkait penghidupan masyarakat adat. Secara lebih khusus, hasil
penelitian yang akan dilakukan diharapkan mampu menggambarkan sistem
penghidupan masyarakat Kasepuhan Cipta Mulya sebagai akibat dari kebijakan
perluasan Taman Nasional Gunung Halimun Salak serta dapat menambah
kepekaan pembaca terhadap posisi dan kondisi masyarakat adat.
5
PENDEKATAN TEORITIS
Pendekatan teoritis memuat beberapa poin yakni tinjauan pustaka,
kerangka pemikiran, hipotesis penelitian, dan definisi operasional. Tinjauan
pustaka berisi teori-teori serta hasil penelitian sebelumnya yang digunakan
sebagai landasan analisis penelitian.Kerangka pemikiran membentuk alur pikir
penelitian berdasarkan tujuan yang telah dirumuskan. Hipotesis merupakan
dugaan sementara sebelum dilakukan penelitian dan definisi operasional memuat
penjelasan variabel-variabel penelitian secara terperinci. Berikut penjelasan
mengenai keempat poin tersebut.
Tinjauan Pustaka
Taman Nasional sebagai Kawasan Konservasi
Taman nasional merupakan salah satu upaya konservasi yang pertama kali
diinisiasi oleh International Union for Conservation of Nature (IUCN). Menurut
IUCN dalam Dudley (2008) taman nasional digolongkan dalam kawasan
perlindungan kategori 2 dan didefinisikan sebagai:
…large natural or near natural areas set aside to protect large-
scale ecological processes, along with the complement of species
and ecosystems characteristic of the area, which also provide a
foundation for environmentally and culturally compatible spiritual,
scientific, educational, recreational and visitor opportunities
(IUCN dalam Dudley 2008).
Indonesia turut mengadopsi taman nasional sebagai salah satu upaya
konservasi sumber daya hayati. Definisi lain mengenai taman nasional tertuang
dalam pasal 1 Undang-undang No. 5/1990:
…kawasan pelestarian alam yang mempunyai ekosistem asli,
dikelola dengan sistem zonasi yang dimanfaatkan untuk tujuan
penelitian, ilmu pengetahuan, pendidikan, menunjang budidaya,
pariwisata, dan rekreasi (UU No. 5/1990).
Definisi taman nasional dalam undang-undang tersebut disempurnakan
oleh kementerian kehutanan dalam bentuk Peraturan Menteri Kehutanan No. P.
56/Menhut-II/2006 tentang Pedoman Zonasi Taman Nasional. Melalui permenhut
tersebut pemerintah menegaskan bahwa kawasan pelestarian alam yang dimaksud
dapat berupa daratan maupun perairan. Selain itu, ditambahkan pula bahwa selain
keenam tujuan yang telah disebutkan, taman nasional juga bertujuan untuk
menunjang budaya.
Definisi-definisi tersebut menjelaskan fungsi taman nasional yang tidak
hanya berperan memelihara ekosistem tetapi juga untuk kepentingan lain.
Pemeliharaan taman nasional perlu melibatkan banyak pihak karena turut
dimanfaatkan untuk kepentingan masyarakat secara umum.
6
Terdapat 4 zona dalam taman nasional yaitu zona inti, zona rimba, zona
pemanfaatan, dan zona lain yang mencakup zona tradisional; zona rehabilitasi;
zona religi, budaya, dan sejarah; dan zona khusus (Permenhut No. P. 56/Menhut-
II/2006). Taman nasional sebagai kawasan konservasi lebih terfokus pada
kelestarian ekologi, seperti yang dinyatakan Ngadiono (2004):
Pengelolaan kawasan hutan konservasi terutama tertuju pada aspek
kelestarian ekologis, sementara aspek kelestarian fungsi ekonomi
dan fungsi sosial kurang diperhatikan…(Ngadiono 2004).
Disebutkan pula oleh Ngadiono (2004) bahwa hutan konservasi tidak akan
lestari tanpa kombinasi ketiga pilar pembangunan kehutanan yang berkelanjutan
(pilar ekologi, ekonomi, dan sosial). Ditinjau dari aspek ekonomi, hutan
konservasi dipandang sebagai beban karena tidak mendatangkan keuntungan yang
mampu menutup biaya konservasi yang diperlukan (Ngadiono 2004). Dari sisi
sosial, Sriyanto dan Sudibjo (2005) dalam Putro et al. (2012) menyatakan bahwa
pengelolaan taman nasional masih menghadapi masalah berupa konflik yang
beberapa di antaranya terkait dengan masyarakat lokal di dalam dan sekitar hutan.
Masyarakat Adat di Dalam dan Sekitar Hutan Konservasi
Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) dalam Kongres Masyarakat
Adat Nusantara (KMAN) I tahun 1999 yang dikutip oleh Nababan (2013)
mendefinisikan masyarakat adat sebagai:
…komunitas-komunitas yang hidup berdasarkan asal-usul leluhur
secara turun temurun di atas suatu wilayah adat yang memiliki
kedaulatan atas tanah dan kekayaan alam, kehidupan sosial budaya,
yang diatur oleh hukum adat dan lembaga adat yang mengelola
keberlangsungan hidup masyarakatnya (AMAN dalam Nababan
2013).
Masyarakat adat sering juga disebut orang asli atau indigenous people.
Terkait dengan istilah tersebut, Martinez Cobo berdasarkan studi lapangnya
mendefinisikan:
Indigenous communities, peoples and nations are those which,
having a historical continuity with pre-invasion and pre-colonial
societies that developed on their territories, consider themselves
distinct from other sectors of the society and are determined to
preserve, develop and transmit to future generations their
ancestral territories, and their ethnic identity, as the basis of their
continue existence as peoples, in accordance with their own
cultural patterns, social institutions and legal system (Cobo dalam
UN 2009).
7
Kedua definisi tersebut mencerminkan pola kehidupan masyarakat adat
yang telah turun temurun bergantung terhadap sumber daya alam. Masyarakat
adat memiliki identitas khas yang diwujudkan dalam etnik, pola budaya,
kelembagaan lokal, dan hukum adat. Terkait dengan konteks hutan, Colchester et
al. (2003) menyatakan bahwa terdapat hubungan yang sangat erat antara
masyarakat adat dengan hutan. Keeratan hubungan tersebut ditunjukkan dengan
penggunaan sumber daya hutan dalam berbagai aktivitas dilengkapi dengan
pengaturan akses dan penggunaan hutan yang diatur dalam hukum adat.
Selain itu dalam penelitian yang dilakukan Rahayu (2004) menunjukkan
masyarakat adat Kasepuhan Ciptagelar memaknai hutan secara ekonomis,
sosiologis, psikologis, serta adat dan budaya. Makna hutan tersebut kemudian
mempengaruhi tindak pengelolaan hutan yang dilakukan.
Colchester et al. (2003) mempertegas posisi penting hutan bagi
masyarakat melalui data komposisi masyarakat adat di dalam dan sekitar hutan.
…areas classified as forests in Indonesia occupy some 70% of the
national territory and are variously estimated to be inhabited by
between 40 and 95 million people, of whom approximately 40-65
million are long-term residents living in communities governed to
various extents by custom (Colchesteret al. 2003).
Paragraf di atas menyatakan peramalan terhadap komposisi masyarakat
adat di dalam dan sekitar hutan. Disebutkan bahwa sebagian besar masyarakat
yang hidup di dalam dan sekitar hutan merupakan masyarakat adat. Dengan
demikian, pengelolaan hutan di Indonesia perlu memperhatikan kepentingan
masyarakat, terutama masyarakat adat yang memiliki hubungan yang sangat erat
dengan sumber daya alam.
Perubahan Rezim Kepemilikan Sumber Daya Hutan
Hutan tergolong Common property, yakni sumber daya yang sulit untuk
dieksklusi sehingga dapat dimanfaatkan secara bebas oleh berbagai pihak (Feeny
et al. 1990). Menurut Feeny et al. (1990) terdapat empat rezim kepemilikan
sumber daya alam: 1) open access, 2) private property, 3) communal property, 4)
state property. Sumber daya alam yang tergolong open access dapat dimanfaatkan
secara bebas oleh siapa saja karena tidak ada regulasi yang mengikat (Feeny et al.
1990). Bertentangan dengan hal itu, pada ketiga rezim lainnya terdapat pihak yang
memiliki hak untuk membatasi orang lain dalam pemanfaatan sumber daya alam.
Private property (kepemilikan pribadi) mengindikasikan hak yang dimiliki
individu atau sekelompok individu (biasanya perusahaan) untuk membatasi pihak
lain dalam pemanfaatan sumber daya. Hak yang dimiliki oleh individu atau
sekelompok individu tersebut telah dilegalisasi oleh pemerintah. Sumber daya
alam yang tergolong communal property secara eksklusif dimanfaatkan oleh
kelompok tertentu. Kelompok tersebut dapat membatasi pemanfaatan sumber
daya alam oleh pihak lain yang bukan anggota kelompoknya. Communal property
dapat diakui secara de jure oleh pemerintah namun dalam beberapa kasus
communal property hanya sebatas penguasaan secara de facto (Feeny et al. 1990)
8
Sumber daya alam yang tergolong state property (kepemilikan negara)
mengindikasikan hak negara untuk mengatur dan mengelola sumber daya demi
kepentingan publik. Setiap warga negara memiliki hak yang sama dalam
pemanfaatan sumber daya alam tersebut. Pengelolaan state property diatur dalam
regulasi pemerintah yang bersifat koersif (Feeny et al. 1990)
Pengelolaan sumber daya yang tergolong common property sering
mengalami kendala, salah satunya yakni tragedy of the common yang
diungkapkan oleh Garrett Hardin. Menurut Hardin (1968), sumber daya bersama
seperti laut dan hutan berpotensi mengalami degradasi akibat pemanfaatan secara
bebas tanpa ada pengaturan yang membatasi penggunaan sumber daya tersebut.
Solusi yang menurut Hardin (1968) dapat menyelesaikan masalah tersebut yakni
privatisasi dan pengelolaan oleh negara namun rupanya jutsru menimbulkan
konflik.
Ketika sejumlah sumber daya diprivatisasi (biasanya oleh perusahaan) atau
dinyatakan sebagai milik negara secara otomatis telah terjadi peningkatan
kemampuan eksklusi dan pembatasan pemanfaatan SD. Perusahaan atau negara
yang sah secara hukum memiliki suatu SDA berhak membatasi pihak lain dalam
memasuki dan memanfaatkan SDA tersebut. Pembatasan mengakibatkan pihak
lain yang biasanya memenuhi kebutuhan hidup dari SDA tersebut menjadi tidak
mampu memanfaatkannya karena tidak mempunyai hak.
Menurut Adiwibowo (2012) terjadi perubahan rezim pengelolaan sumber
daya alam sebelum dan setelah kemerdekaan Indonesia. Sebelum merdeka,
sumber daya alam di Indonesia diatur dan dikelola sendiri oleh kelompok
masyarakat sehingga tergolong communal property. Setelah kemerdekaan, secara
de jure sumber daya alam yang tidak dibebani hak milik tergolong state property
namun secara de facto kelompok masyarakat masih menguasai sumber daya alam
tersebut dengan berlandaskan kelembagaan non formal. Hal tersebut
mengakibatkan sumber daya alam yang sebenarnya merupakan milik pemerintah
terkesan open access.
Perubahan Sistem Penghidupan Masyarakat di Dalam dan Sekitar Hutan
Chambers dan Conway (1992) mendefiniskan sistem penghidupan sebagai
“...the capabilities, assets (stores, resources, claims and access) and activities
required for a means of living;…”. Definisi aset (modal) yang dinyatakan oleh
Conway mencakup sumber daya (alam, fisik, manusia, keuangan, dan sosial),
klaim, dan akses.Selain itu Chambers dan Conway (1992) turut melibatkan
kemampuan (capability) sebagai komponen sistem penghidupan.
Memodifikasi definisi Chambers dan Conway (1992), Ellis (2000)
menyatakan definisi sistem penghidupan sebagai “...the assets (natural, physical,
human, financial, and social capital), the activities, and the accessto these
(mediated by institutions and social relations) that together determine the living
gained by the individual or household”. Namun dalam definisi ini, Ellis
memfokuskan definisi aset Chambers dan Conway pada pembagian aset (modal)
menjadi 5 macam: 1) modal alam, 2) modal fisik, 3) modal manusia, 4) modal
keuangan, dan 5) modal sosial. Ellis mengeluarkan akses dan klaim dari cakupan
aset sehingga aset terpisah dari akses.
9
Definisi akses yang dimaksud Ellis merujuk pada Scoones (1998) yang
menyatakan bahwa akses merupakan kemampuan untuk memiliki, mengontrol,
mengklaim, dan menggunakan sumber daya.Ditambahkan pula bahwa akses
mencakup kemampuan berpartisipasi dan menerima manfaat pelayanan
publik.Sementara itu Ribot dan Peluso (2003) menekankan bahwa akses berbeda
dengan hak, yakni kemampuan untuk mengambil manfaat dari sesuatu, mencakup
objek material, orang, institusi, dan simbol. Terkait dengan pemanfaatan sumber
daya alam, khususnya hutan, masyarakat Nuaulu yang sejak lama dikenal sebagai
masyarakat pegunungan dapat dengan mudah mengambil manfaat dari sumber
daya hutan di teritorinya (Ellen 2002).
Berbeda dengan definisi yang diungkapkan Ribot dan Pelluso, Ostrrom
dan Schlager (1992) mendefinisikan akses sebagai “…the right to enter a defined
physical property.” Meski demikian, Ostrom dan Schlager mengkombinasikan
hak akses dengan hak pemanfaatan dalam bundle of rights associated with
positions.
Sumber: Ostrom dan Schlager (1992)
Sehubungan dengan modal sosial, Ostrom dan Ahn (2003) menyatakan
tiga bentuk modal sosial: 1) trustworthiness (saling percaya), 2) networks
(jejaring), dan 3) formal and informal rules or institution (aturan atau
kelembagaan formal dan informal). Terkait dengan kelembagaan, Soekanto
(1982) mendefinisikannya sebagai “himpunan norma-norma segala tingkatan yang
berkisar pada suatu kebutuhan pokok di dalam kehidupan masyarakat”.
Tingkatan-tingkatan norma terdiri dari: 1) cara (usage), 2) kebiasaan (folkways),
tata kelakuan (mores), dan adat-istiadat (customs). Masyarakat adat identik
dengan tingkatan norma keempat (adat-istiadat/customs). Contohnya saja upacara
adat pedarak dan gawai pada masyarakat Dayak Iban Sungai Utik (Rahmawati
2013)
Masyarakat adat yang bepola hidup tradisional umumnya melakukan
aktivitas nafkah di bidang pertanian. Meski demikian, tidak menutup
kemungkinan masyarakat adat melakukan strategi nafkah yang didefinisikan oleh
Dharmawan (2007) sebagai taktik individu atau kelompok dalam upaya bertahan
hidup dengan mempertimbangkan infrastruktur sosial, struktur sosial, dan sistem
nilai budaya yang berlaku. Scoones (1998) membagi strategi nafkah ke dalam tiga
aktivitas: 1) intensifikasi dan ekstentifikasi pertanian, 2) pola nafkah ganda, dan 3)
migrasi. Dengan demikian, dalam melaksanakan taktik bertahan hidup,
masyarakat dapat memodifikasi aktivitas nafkah dengan bermigrasi atau
melakukan intensifikasi dan ekstentifikasi pertanian dan/atau mengkombinasikan
Tabel 1 Bundle of Rights Associated with Positions
10
beberapa aktivitas nafkah (melakukan pola nafkah ganda). Terkait dengan hal
tersebut, penelitian Niswah (2011) menunjukkan bahwa baik sebelum maupun
sesudah perluasan TNGHS, pola nafkah ganda tetap dominan di masyarakat
Kasepuhan Sinar Resmi, Kampung Cimapag.
Penelitian Ginoga dan Erwidodo (2001), Ellen (2002) Sylviani (2008),
Sylviani dan Sakuntaladewi (2010), serta Khalil (2009) menunjukkan bahwa
terjadi perubahan upaya pemenuhan kebutuhan hidup masyarakat termasuk mata
pencarian masyarakat di dalam dan sekitar kawasan hutan. Sylviani (2008) turut
menambahkan bahwa terjadi perubahan akses dan pemanfaatan sumber daya
hutan oleh masyarakat.
Masyarakat adat menggunakan cara-cara tradisional dalam hal pengelolaan
sumber daya alam yang sudah terlembaga secara turun temurun (Ellen 2002;
Niswah 2011; Rahmawati 2013). Intervensi dari pihak luar menjadi faktor utama
penyebab perubahan sistem penghidupan masyarakat adat. Penelitian Sylviani
(2008), Niswah (2011), Dewi (2011), dan Rahmawati (2013) menunjukkan
perubahan penghidupan masyarakat di dalam dan sekitar hutan akibat alih fungsi
lahan hutan menjadi kawasan konservasi berupa taman nasional.
Pada salah satu kasus yang dibahas pada penelitian Sylviani (2008), yakni
di Taman Nasional Bukit Duabelas (TNBD), Jambi, terjadi ketidaksepahaman
antara Balai Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA) dengan Pemerintah yang
mencanangkan Rencana Pengelolaan Taman Nasional Bukit Duabelas
(RPTNBD). Adanya kawasan TNBD diakui BKSDA sebagai wadah untuk
menjamin kelangsungan hidup Komunitas Adat Orang Rimba (KAOR).
Bertentangan dengan hal itu, terdapat implementasi aturan RPTNBD yang
memisahkan KAOR dari kawasan konservasi (Sylviani 2008). Hal ini tentunya
akan menyulitkan KAOR dalam memenuhi kebutuhan hidup mereka.
Kasus di Kasepuhan Sinar Resmi, Desa Sirna Resmi yang diteliti oleh
Niswah (2011), Dewi (2011) dan Rahmawati (2013) menunjukkan perubahan
sistem penghidupan masyarakat kasepuhan akibat perluasan Taman Nasional
Gunung Halimun-Salak (TNGHS). Penelitian Niswah (2011) menunjukkan
perubahan strategi nafkah masyarakat kasepuhan sedangkan Dewi (2011) lebih
terfokus pada strategi adaptasi kelembagaan lokal yang dilakukan masyarakat
kasepuhan. Selanjutnya Rahmawati (2013) mengulas dinamika sistem pertanian
yang pernah terjadi akibat revolusi hijau.
Ellen (2003) memaparkan perubahan yang terjadi pada masyarakat
Nuaulu, Kepulauan Seram akibat masuknya negara penjajah. Terintegasinya
Nuaulu dalam sistem dunia mengubah pola pengelolaan hutan. Masyarakat
Nuaulu menanam tanaman perdagangan dan tanaman komersil. Selain itu,
masyarakat Nuaulu tidak hanya memikirkan subsistensi tetapi juga keuntungan
dalam bentuk uang yang dapat diperoleh. Cara-cara inilah akhirnya merusak
kondisi ekologi setempat. Dengan kesadaran akan pentingnya hutan bagi
subsistensi, masyarakat Nuaulu kembali ke sistem penghidupan semula.
11
Sikap Masyarakat Adat di Kawasan Hutan terhadap Perluasan Taman
Nasional
Sikap didefinisikan oleh Zanden (1984) sebagai kecenderungan atau
predisposisi yang dipelajari dan relatif bertahan lama sebagai pengarah atau acuan
dalam mengevaluasi orang, peristiwa atau situasi. Kecenderungan ini akan
mempengaruhi tingkah laku seseorang terhadap hal yang dievaluasinya. Zanden
juga menyebutkan tiga komponen sikap yakni kognitif, afektif, dan perilaku.
Komponen kognitif dimaknai sebagai cara seseorang mempersepsikan sesuatu.
Komponen afektif lebih diidentikkan dengan perasaan atau emosi seseorang
terhadap sesuatu. Lebih jauh, komponen perilaku mencerminkan kecenderungan
aksi atau respon seseorang terhadap sesuatu.
Terdapat berbagai cara pengukuran sikap yang telah diperkenalkan oleh
para ahli yakni skala Thurstone, skala Likert, skala Guttman, dan skala perbedaan
semantik yang diperkenalkan Osgood (Zanden 1984). Osgood menyatakan bahwa
pada skala perbedaan semantik terdapat skala bipolar yang mengandung unsur
evaluasi, unsur potensi, dan unsur aktivitas yang dapat digunakan dalam
mengukur tiga dimensi sikap: 1) evaluasi responden tentang objek/konsep, 2)
persepsi responden tentang potensi objek/konsep, dan 3) persepsi responden
tentang aktivitas objek (Effendi 1987).
Penelitian mengenai sikap masyarakat adat sering kali difokuskan pada
komponen kognitif atau persepsi. Dalam penelitian Wahyuni dan Mamonto
(2012) ditunjukkan bahwa masyarakat Desa Kobe Kulo yang sebagian besar
merupakan penduduk asli memiliki persepsi rendah (negatif) terhadap keberadaan
Taman Nasional Aketajawe Lolobata, Manado. Sebaliknya, masyarakat Desa
Binagara yang sebagian besar merupakan pendatang memiliki persepsi tinggi
(positif) terhadap keberadaan taman nasional tersebut.
Terkait kasus perluasan taman nasional, penerbitan serta penerapan
kebijakan penetapan kawasan taman nasional merupakan rangsang/stimuli bagi
individu masyarakat kasepuhan. Rangsang tersebut kemudian disadari dan
dipahami sehingga selanjutnya masyarakat dapat memberi respon berupa perilaku.
Penelitian yang dilakukan Dewi (2011) menunjukkan bahwa masyarakat
Kasepuhan Sinar Resmi memiliki persepsi buruk terhadap perluasan TNGHS.
Kerangka Pemikiran
Kebijakan pengelolaan sumber daya alam sering dibuat secara top-down
tanpa mempertimbangkan kondisi masyarakat, khususnya masyarakat desa hutan.
Salah satu kebijakan tersebut yaitu pada kasus penetapan kawasan Taman
Nasional Gunung Halimun Salak melalui SK Menteri Kehutanan RI No.
175/2003. Penetapan tersebut berpotensi mengakibatkan perubahan sistem
penghidupan masyarakat kasepuhan dari segi akses dan aktivitas.
Sesuai dengan pernyataan Ribot dan Peluso (2003), akses didefinisikan
sebagai kemampuan untuk memperoleh manfaat dari sesuatu. Aktivitas nafkah
terbagi menjadi dua, yakni aktivitas nafkah pertanian dan aktivitas nafkah non
pertanian. Perubahan akses masyarakat Kasepuhan Cipta Mulya mempengaruhi
aktivitas nafkah yang dilakukan oleh masyarakat. Selanjutnya, perubahan aktivitas
12
nafkah diduga berpengaruh terhadap tingkat pendapatan rumah tangga. Selain itu,
penguasaan dan kepemilikan lahan garapan serta tingkat pendapatan rumah tangga
diduga akan mempengaruhi sikap masyarakat terhadap penetapan kawasan
TNGHS.
Keterangan:
: Mempengaruhi
Penetapan TNGHS
1. Perubahan status hutan produksi
menjadi hutan konservasi
2. Pertentangan kelembagaan formal
TNGHS dan non formal adat
terkait pengelolaan hutan
Sikap Masyarakat terhadap
Penetapan Taman Nasional
1. Positif
2. Netral
3. Negatif
Penguasaan dan Kepemilikan
Lahan Garapan
1. Status kepemilikan lahan
garapan yang dikuasai
masyarakat
2. Luas lahan garapan yang
dikuasai masyarakat
Pendapatan Rumah
Tangga
1. Tingkat pendapatan
pertanian padi
2. Tingkat pendapatan
pertanian non-padi
3. Tingkat pendapatan non-
pertanian
Aktivitas Nafkah Masyarakat
1. Aktivitas nafkah pertanian
a. Pertanian padi
b. Pertanian non padi
2. Aktivitas nafkah non
pertanian
Akses Masyarakat terhadap
Lahan Garapan Adat
1. Kemampuan memasuki lahan
garapan adat
2. Kemampuan menanam di
lahan garapan adat
3. Kemampuan mengambil hasil
dari lahan garapan adat
Gambar 1 Kerangka Pemikiran Penelitian
13
Hipotesis Penelitian
1. Penetapan TNGHS mempersulit akses masyarakat Kasepuhan Cipta Mulya
terhadap lahan garapan adat.
2. Penetapan TNGHS menyebabkan masyarakat Kasepuhan Cipta Mulya
menambah aktivitas nafkah rumah tangga.
3. Penetapan TNGHS menyebabkan pendapatan rumah tangga masyarakat
Kasepuhan Cipta Mulya berkurang.
4. Masyarakat Kasepuhan Cipta Mulya memiliki sikap negatif terhadap
penetapan TNGHS.
5. Terdapat hubungan positif antara sikap masyarakat Kasepuhan Cipta Mulya
terhadap penetapan TNGHS dengan status lahan garapan yang dikuasai.
6. Terdapat hubungan positif antara sikap masyarakat Kasepuhan Cipta Mulya
terhadap penetapan TNGHS dengan luas lahan garapan yang dikuasai.
7. Terdapat hubungan positif antara sikap masyarakat Kasepuhan Cipta Mulya
terhadap penetapan TNGHS dengan tingkat pendapatan rumah tangga.
Definisi Operasional
1. Sistem Penghidupan: kombinasi akses, aset, dan aktivitas untuk
mempertahankan atau meningkatkan taraf hidup rumah tangga. Dalam hal ini,
lebih difokuskan pada akses dan aktivitas nafkah.
A. Akses: Kemampuan dan kemudahan masyarakat kasepuhan dalam
memasuki, menanami, dan mengambil hasil tanam di lahan adat.
Kuesioner untuk mengukur akses masyarakat kasepuhan terhadap lahan
garapan tercakup pada bagian II yang terdiri dari 3 pertanyaan. Masing-
masing pertanyaan memiliki 2 pilihan jawaban (a dan b). Jawaban a
bernilai 2 dan b bernilai 1. Dengan demikian, akses masyarakat kasepuhan
terhadap lahan garapan dinyatakan:
a) Mudah jika total skor 5-6 (kode 1)
b) Sulit jika total skor 3-4 (kode 2)
B. Aktivitas Nafkah: berbagai kegiatan yang dilakukan masyarakat
kasepuhan untuk memenuhi kebutuhan hidup. Aktivitas nafkah terbagi
dalam tiga bagian:
1) Aktivitas nafkah pertanian padi, merupakan kegiatan yang dilakukan
rumah tangga untuk memperoleh hasil pertanian berupa padi sebagai
konsumsi rumah tangga dan akan disimpan untuk keperluan
mendatang.
2) Aktivitas nafkah pertanian non padi, merupakan kegiatan yang
dilakukan rumah tangga untuk menghasilkan komoditas bukan padi
untuk konsumsi sehari-hari dan/atau dijual.
3) Aktivitas nafkah non pertanian, merupakan kegiatan yang dilakukan
rumah tangga untuk memperoleh penghasilan berupa uang untuk
memenuhi kebutuhan hidup.
Aktivitas nafkah yang dilakukan masyarakat Kasepuhan Cipta Mulya
dapat membentuk kombinasi:
14
a) Aktivitas nafkah pertanian (padi & non padi) dan non pertanian (kode
1)
b) Aktivitas nafkah pertanian (padi) dan non pertanian (kode 2)
c) Aktivitas nafkah pertanian (padi & non padi) (kode 3)
2. Pendapatan rumah tangga: total uang yang didapatkan rumah tangga
responden dari aktivitas nafkah pertanian dan non pertanian. Pendapatan
rumah tangga dibagi menjadi:
1) Pendapatan pertanian padi, yakni sejumlah uang yang dihasilkan dari
kegiatan bercocok tanam padi. Kegiatan yang dimaksud yakni menanam
hingga memanen padi serta menjadi buruh tani (kuli babad, macul, panen,
dan sebagaiya). Hasil panen padi yang diperoleh rumah tangga petani,
dinyatakan dalam satuan ikat (pocong). Satu ikat padi memiliki bobot rata-
rata 0.96 kg. Sesuai dengan harga pasar, harga beras per kg mencapai
Rp9 000 sehingga, satu ikat padi dihargai sekitar Rp8 600.
2) Pendapatan pertanian non padi, yakni sejumlah uang hasil panen
komoditas bukan padi yang diperoleh rumah tangga. Harga komoditas
bukan padi ditentukan oleh harga pasar.
3) Pendapatan non pertanian, yakni sejumlah uang yang diperoleh dari
aktivitas nafkah pada sektor lain di luar pertanian seperti industri, jasa, dan
usaha kecil menengah yang dilakukan rumah tangga.
Pendapatan rumah tangga responden dibagi menjadi dua yakni pendapatan
sebelum dan setelah penetapan TNGHS. Kategori pendapatan rumah
ditentukan oleh standar deviasi dan rata-rata (mean).
A. Kategori pendapatan sebelum penetapan TNGHS
a) Tinggi, jika pendapatan rumah tangga >Rp924 143per bulan (kode 1)
b) Menengah, jika pendapatan rumah tangga berada dalam rentang
Rp158 190dan Rp924 143 per bulan (kode 2)
c) Rendah, jika pendapatan rumah tangga ≤ Rp158 190 per bulan (kode
3)
B. Kategori pendapatan setelah penetapan TNGHS
a) Tinggi, jika pendapatan rumah tangga > Rp7 191 290per bulan (kode1)
b) Menengah, jika pendapatan rumah tangga berada dalam rentang
Rp440 030 dan Rp7 191 290per bulan (kode 2)
c) Rendah, jika pendapatan rumah tangga ≤ Rp440030 per bulan (kode3)
Selain kategori pendapatan, dilakukan pula penghitungan selisih
pendapatan rumah tangga dan sebelum penetapan TNGHS untuk
mengetahui peningkatan atau penurunan pendapatan responden. Selisih
pendapatan rumah tangga diperoleh dari pendapatan rumah tangga setelah
penetapan TNGHS (Ia) dikurangi pendapatan rumah tangga sebelum
penetapan TNGHS (Ib). Selisih pendapatan rumah tangga dapat
dinyatakan:
a) Positif, jika Ia>I
b (kode 1)
b) Nol, jika Ia = I
b (kode 2)
c) Negatif, jika Ia<I
b (kode 3)
15
3. Penguasaan dan kepemilikanlahan garapan, mencakup dua hal, yakni status
kepemilikan dan luas lahan yang dimanfaatkan untuk kegiatan pertanian.
A. Status kepemilikan lahan garapan: posisi lahan yang dimanfaatkan untuk
kegiatan pertanian berdasarkan hak kepemilikan yang melekat. Secara
hukum, hanya ada dua jenis kepemilikan, yakni kepemilikan oleh negara
dan kepemilikan hak. Lahan yang dimanfaatkan oleh masyarakat
kasepuhan belum diakui secara hukum sebagai lahan komunal sehingga
masih berstatus milik negara. Meski demikian, secara de facto masyarakat
telah mendefinisikan lahan-lahan yang dimanfaatkan untuk memenuhi
kebutuhan hidup.
Kategori status kepemilikan lahan yang dimanfaatkan oleh masyarakat:
1) Lahan komunal adat, merupakan seluas lahan yang diyakni merupakan
peninggalan leluhur Kasepuhan.
2) Lahan komunal non adat, lahan bekas bukaan Perhutani yang sudah sejak
tahun 1990-an dimanfaatkan oleh masyarakat.
3) Lahan milik pribadi, lahan yang secara hukum telah resmi menjadi hak
individu. Lahan tersebut dapat berada di luar atau di dalam desa.
Penguasaan lahan garapan oleh masyarakat kasepuhan dapat membentuk
kombinasi sebagai berikut.
a) Lahan adat, bukaan Perhutani, dan milik pribadi (kode 1)
b) Lahan adat dan bukaan Perhutani/milik pribadi (kode 2)
c) Lahan adat (kode 3)
B. Luas lahan garapan adalah total lahan yang dimanfaatkan untuk kegiatan
pertanian yang dapat berupa lahan adat, bukaan Perhutani, dan lahan milik
pribadi. Luas lahan dinyatakan dalam satuan m². Kategori luas lahan
diperoleh melalui penghitungan dengan standar deviasi dan rata-rata
(mean). Menurut pengolahan data, diperoleh standar deviasi sebesar 4369
dan rata-rata 3680 m² sehingga luas lahan garapan dapat dikatakan:
a) Luas, jika total luas lahan garapan >5864.55 m² (kode 1)
b) Sedang, jika total luas lahan berada di antara 1495.45 dan 5864.55 m²
(kode 2)
c) Sempit, jika total luas lahan garapan ≤1495.45 m² (kode 3)
4. Sikap: Penilaian/pandangan dalam diri individu mengenai penetapan TNGHS.
Pengukuran sikap tercakup dalam kuesioner bagian V yang dikemas dalam
bentuk skala perbedaan semantik. Terdapat 10 pasangan kata positif-negatif
yang dipisahkan oleh skala 1 sampai 5. Angka yang dipilih mencerminkan
skor masing-masing poin. Semakin kecil angka yang dipilih responden
semakin menunjukkan sikap negatif terhadap penetapan TNGHS. Dengan
demikian masyarakat dapat dinyatakan memiliki sikap:
a) Positif, jika jumlah skor berada pada kisaran 37-50 (kode 1)
b) Netral, jika jumlah skor berada pada kisaran 24-36 (kode 2)
c) Negatif, jika jumlah skor berada pada kisaran 10-23 (kode 3)
17
PENDEKATAN LAPANGAN
Pendekatan lapangan berisi informasi mengenai lokasi dan waktu
penelitian, teknik penentuan responden dan informan, teknik pengumpulan data
serta teknik pengolahan dan analisis data. Berikut penjabaran masing-masing
informasi tersebut.
Lokasi dan Waktu Penelitian
Penelitian mengenai dampak kebijakan perluasan taman nasional terhadap
sistem penghidupan masyarakat kasepuhan ini dilakukan di kawasan Taman
Nasional Gunung Halimun-Salak (TNGHS), Kecamatan Cisolok, Kabupaten
Sukabumi, Jawa Barat, khususnya di sebuah kasepuhan yang sengaja dipilih, yaitu
Kasepuhan Cipta Mulya. Kasepuhan tersebut dipilih karena merupakan bagian
dari Desa Sirnaresmi yang merasakan langsung dampak dari kebijakan penetapan
kawasan TNGHS. Kasepuhan Cipta Mulya dianggap dapat merepresentasikan
sistem penghidupan masyarakat setelah adanya kebijakan perluasan TNGHS.
Penelitian dilaksanakan selama enam bulan yang mencakup kegiatan
penyusunan proposal skripsi, kolokium, pengambilan data di lapangan,
penyusunan draft skripsi, pengolahan dan analisis data, penulisan draft skripsi,
sidang skripsi, dan perbaikan laporan penelitian. Waktu penelitian secara rinci
dijelaskan dalam Tabel 2.
Tabel 2 Timeline Pelaksanaan Penelitian
Kegiatan Juni September Oktober November Desember Januari
1 2 3 4 1 2 3 4 1 2 3 4 1 2 3 4 1 2 3 4 1 2 3 4
Penyusunan
proposal
skripsi
Kolokium
Perbaikan
proposal
skripsi
Pengambilan
data
lapangan
Pengolahan
dan analisis
data
Penulisan
draft skripsi
Sidang
skripsi
Perbaikan
skripsi
18
Pendekatan Penelitian
Pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah pendekatan
kuantitatif dan kualitatif. Dengan demikian, penelitian ini tergolong dalam
penelitian deskriptif dan eksplanatori yang akan menggambarkan sistem
penghidupan masyarakat kasepuhan yang mencakup akses terhadap lahan
garapan, kelembagaan lokal pengelolaan hutan, dan aktivitas nafkah sebelum dan
setelah adanya kebijakan perluasan TNGHS. Selain itu penelitian ini akan dapat
menjelaskan hubungan sistem penghidupan, karakteristik individu responden dan
sikap terhadap kebijakan perluasan TNGHS.
Pendekatan kuantitatif dilakukan dengan menggunakan kuesioner untuk
merepresentasikan perubahan sistem penghidupan masyarakat dari segi akses,
aktivitas nafkah, dan pendapatan rumah tangga. Kuesioner juga digunakan untuk
melihatsikap individu responden terhadap kebijakan perluasan TNGHS dan
kaitannya dengan karakteristik individu. Pendekatan kualitatif dilakukan melalui
observasi langsung serta melakukan wawancara mendalam dengan para informan.
Data kualitatif diposisikan sebagai pendukung dan pelengkap data kuantitatif,
terutama dalam mengungkap perubahan sistem penghidupan masyarakat
kasepuhan.
Teknik Penentuan Responden
Populasi penelitian ini adalah rumah tangga masyarakat Kasepuhan Cipta
Mulya yang memanfaatkan lahan hutan adat untuk memenuhi kehidupan sehari-
hari. Jumlah populasi penelitian yakni 138 rumah tangga yang diwakili oleh
kepala rumah tangga. Keterbatasan data mengenai rumah tangga yang memenuhi
kriteria populasi sasaran menyebabkan pengumpulan data populasi dilakukan
secara manual. Data tersebut diperoleh dari salah satu petinggi Kasepuhan Cipta
Mulya. Daftar kerangka samplingpenelitian disajikan dalam bentuk tabel pada
Lampiran 3.
Responden diperoleh dengan teknik pengambilan sampel acak sederhana
(simple random sampling). Pemilihan teknik tersebut dilakukan karena populasi
penelitian tergolong homogen. Daftar populasi sasaran yang telah terkumpul
kemudian diacak menggunakan tabel angka acak sehingga diperoleh sejumlah
individu yang relevan untuk keperluan penelitian. Agar dapat diuji secara statistik,
jumlah responden penelitian yakni 30 kepala rumah tangga. Daftar responden
disertakan dalam Lampiran 4.
Setiap responden terpilih secara otomatis berperan sebagai informan
penelitian. Selain itu, informan penelitian lainnya seperti aparat desa, petinggi
Kasepuhan Cipta Mulya, dan pihak TNGHS dipilih secara sengaja untuk
mendukung pengumpulan data dan informasi yang akurat dan objektif.
Metode Pengumpulan Data dan Analisis Data
Menindaklanjuti pendekatan yang digunakan, jenis data yang dikumpulkan
mencakup data primer dan sekunder. Data primer-kuantitatif dan kualitatif yang
dikumpulkan dari responden yaitu mengenai perubahan akses terhadap lahan
19
garapan hutan, perubahan aktivitas nafkah dan pendapatan rumah tangga, serta
sikap responden terhadap kebijakan perluasan TNGHS.
Data primer-kualitatif lainnya diperoleh dari tetua adat dan sekertaris
desa, mencakup sejarah kasepuhan, hubungan masyarakat kasepuhan dengan
TNGHS, serta perubahan-perubahan yang terjadi setelah penetapan TNGHS.
Pihak TNGHS juga menjadi informan dalam pengumpulan informasi mengenai
tanggapan TNGHS tentang keberadaan masyarakat Kasepuhan serta informasi
lainnya.
Data sekunder yang diperoleh dari sekertaris desa yakni profil desa yang
menjelaskan kondisi desa secara geografis, demografis, ekonomi, dan sosial.
Selain itu, data-data sekunder terkait TNGHS juga dikumpulkan dengan bantuan
pihak TNGHS untuk melengkapi data penelitian. Keterangan lebih lengkap
mengenai teknik pengumpulan data primer dan sekunder yang dikumpulkan dapat
dilihat melalui tabel berikut.
Tabel 3 Metode Pengumpulan Data dan Sumber Data Penelitian Dampak
Penetapan TNGHSterhadap Sistem Penghidupan Masyarakat
Kasepuhan Cipta Mulya Tahun 2013
No. Data/Dokumen
Metode dan Sumber Data/Informasi
Wawancara
Terstruktur
Pengamatan Data Sekunder Wawancara
mendalam
1. Informasi
dasar/karakteristik
responden
responden
(masyarakat
kasepuhan)
2. Sikap responden terhadap kebijakan
responden (masyarakat
kasepuhan)
3. Perubahan akses
terhadap lahan
garapan
responden
(masyarakat
kasepuhan)
4. Perubahan aktivitas
nafkah dan
pendapatan
Responden
(masyarakat
kasepuhan)
Aparat desa 1. Aparat desa
2. Tetua adat
3. Masyarakat
kasepuhan
5. Perubahan yang dirasakan setelah ada
TNGHS
1. Tetua adat 2. Masyarakat
kasepuhan
7. Profil Desa Aparat desa
8. Jumlah masyarakat
adat yang berada di
wilayah TNGHS
Pihak TNGHS
9. Tanggapan pihak
TNGHS terhadap
keberadaan
masyarakat
Pihak TNGHS
10. Aturan dan sanksi terkait pengelolaan
TNGHS
Pihak TNGHS Pihak TNGHS
11. Jenis dan jumlah
pelanggaran di
TNGHS
Pihak TNGHS Pihak TNGHS
12. Peta zonasi TNGHS Pihak TNGHS
20
Pengolahan data dilakukan dengan menggunakan aplikasi SPSS Statistics
17.0 for Windows dan Microsoft Excell 2007. Data primer kuantitatif yang telah
diperoleh diolah dengan analisis deskriptif korelasi. Analisis deskriptif disajikan
dalam tabel frekuensi. Analisis korelasi menggunakan tabulasi silang dan uji
korelasi rank spearman untuk menguji hubungan antardata ordinal.
21
GAMBARAN LOKASI PENELITIAN DAN KARAKTERISTIK
RESPONDEN
Bab ini berisi informasi mengenai lokasi penelitian yang mencakup profil
desa dan kasepuhan secara geografis, administratif, dan sosial, serta karakteristik
reponden yang terdiri dari usia, tingkat pendidikan, dan jumlah anggota rumah
tangga. Berikut penjelasan terperinci mengenai gambaran lokasi penelitian dan
karakteristik responden.
Profil Desa Sirnaresmi
Desa Sirnaresmi merupakan salah satu desa yang terletak di Kecamatan
Cisolok, Kabupaten Sukabumi, Provinsi Jawa Barat. Secara administratif, Desa
Sirnaresmi berbatasan dengan desa-desa lainnya. Batas wilayah Desa Sirnaresmi
dijelaskan dalam poin-poin berikut.
1. Sebelah utara, berbatasan dengan Desa Sirnagalih, Kecamatan Cibeber.
2. Sebelah selatan, berbatasan dengan Desa Sirnarasa, Kecamatan Cikakak dan
Desa Cicadas, Kecamatan Cisolok.
3. Sebelah timur, berbatasan dengan Desa Cihamerang, Kecamatan
Kalapanunggal.
4. Sebelah barat, berbatasan dengan Desa Cicadas, Kecamatan Cisolok.
Secara geografis, Desa Sirnaresmi terletak pada 6°48′32,3″ BT dan
106°29′37″ LS dengan ketinggian 600-1200 m dpl. Desa Sirnaresmi memiliki
curah hujan yang cukup tinggi, berkisar antara 2120 dan 3250 mm/tahun. Suhu
rata-rata pada musim hujan 21-25°C sedangkan pada musim kemarau sekitar
25°C. Wilayah Desa Sirnaresmi yang tercantum dalam Laporan Perkembangan
Desa Sirnaresmi tahun 2013 memiliki seluas 4850.7 ha. Wilayah tersebut terbagi
atas tanah sawah, tanah kering, tanah perkebunan, tanah fasilitas umum, dan tanah
hutan, dengan rincian sebagai berikut.
Tabel 4 Luas Desa Sirnaresmi berdasarkan Penggunaannya Tahun 2013
Wilayah Luas (ha) Persentase
(%)
TANAH SAWAH Sawah setengah irigasi 138 2.84
Sawah tadah hujan 162 3.34
TANAH KERING
Tegal/ladang 380 7.83
Pemukiman 36 0.74
Pekarangan 15 0.31
TANAH PERKEBUNAN Tanah perkebunan perorangan 114 2.35
TANAH FASILITAS UMUM
Sawah desa 0.6 0.01
Lapangan olahraga 2.00 0.04
Perkantoran pemerintah 0.1 0.00
Tempat pemakaman desa/umum 3 0.06
TANAH HUTAN Hutan adat 4000 82.46
Total Luas 4850.7 100
Sumber: Laporan Perkembangan Desa Sirnaresmi 2013
22
Berdasarkan kepemilikan, lahan di Desa Sirnaresmi yang tergolong lahan
milik negara yakni sejumlah 850.7 ha sedangkan milik adat 4 000 ha.Meski
demikian, lahan negara seluas 850.7 ha tersebut dilimpahkan penguasaannya pada
Desa Sirnaresmi dalam bentuk Surat Pemberitahuan Pajak Terhutang (SPPT).
Sejumlah 180 ha telah tersertifikasi melalui Proyek Operasi Nasional Agraria
(PRONA) pada tahun 2004.
Dijelaskan pula dalam Laporan Perkembangan Desa Sirnaresmi 2013
bahwa seluas 3 200 ha dari 4 000 ha (80 persen) hutan adat berada dalam kondisi
baik sedangkan 800 ha sisanya (20 persen) berada dalam kondisi buruk.
Pemaparan tersebut merujuk pada pembagian lahan adat berdasarkan fungsinya.
Seluas 3 200 ha lahan adat tergolong leuweung tutupan dan leuweung titipan
sedangkan sisanya seluas 800 ha tergolong leuweung garapan. Buruknya kondisi
hutan dipertegas dengan data mengenai dampak yang timbul dari pengolahan
hutan berupa longsor/erosi dan kerusakan biota/plasma nutfah hutan.
Jumlah penduduk Desa Sirnaresmi tahun 2013 adalah 5 375 jiwa dengan
komposisi 2 651 orang laki-laki dan 2 724 orang perempuan. Sebagian besar
penduduk Desa Sirnaresmi tergolong etnis Sunda. Dari total penduduk, 7 orang
beragama Kristen dan selebihnya beragama Islam. Laporan Perkembangan Desa
Sirnaresmi Tahun 2013, memuat data jumlah responden berdasarkan tingkat
pendidikan namun data tersebut tidak mencakup seluruh penduduk Desa
Sirnaresmi. Data yang tersedia hanya mewakili 25 persen penduduk desa. Data
mengenai jumlah dan persentase penduduk berdasarkan tingkat pendidikan dan
jenis kelamin disajikan dalam tabel berikut.
Tabel 5 Jumlah dan Persentase 1/4 Penduduk Desa Sirnaresmi berdasarkan
Tingkat Pendidikan Tahun 2013
Tingkat Pendidikan Jumlah (orang) Persentase (%)
Tidak tamat SD 64 4.76
Tamat SD 927 68.97
Tamat SLTP 254 18.90
Tamat SLTA 72 5.36
Tamat D-1 9 0.67
Tamat D-2 9 0.67
Tamat D-3 6 0.45
Tamat S-1 3 0.22
Total 1344 100
Sumber: Laporan Perkembangan Desa Sirnaresmi 2013
Tabel 5 menunjukkan bahwa sebagian besar penduduk Desa Sirnaresmi
hanya dapat menempuh pendidikan hingga tamat SD. Kondisi pendidikan yang
demikian disebabkan oleh kesulitan akses penduduk terhadap pendidikan
menengah dan tinggi. Jarak SLTP dan SLTA sangat jauh dan harus ditempuh
dengan berjalan kaki sehingga sulit diakses oleh masyarakat. Meski demikian,
saat ini akses terhadap SLTP dan SLTA lebih mudah dibanding sebelumnya
karena sudah ada kendaraan bermotor.
23
Mata pencaharian penduduk Desa Sirnaresmi cukup beragam namun
sebagian besar berprofesi dalam bidang pertanian, terutama tanam padi. Data
mengenai jumlah penduduk Desa Sirnaresmi berdasarkan jenis pekerjaan yang
telah tercatat pada Laporan Perkembangan Desa Sirnaresmi 2013 hanya
menggambarkan sebagian penduduk (42.16 persen). Penjelasan terperinci
mengenai jumlah dan persentase sebagian penduduk Desa Sirnaresmi berdasarkan
jenis pekerjaan dan jenis kelamin disajikan dalam Tabel 6.
Tabel 6 Jumlah dan Persentase Sebagian Penduduk Desa Sirnaresmi berdasarkan
Jenis Pekerjaan Tahun 2013
Jenis Pekerjaan Jumlah (orang) Persentase (%)
Petani 1625 71.71
Buruh tani 380 16.77
Pegawai Negeri Sipil 5 0.22
POLRI 1 0.04
Pengusaha kecil dan
menengah 110 4.85
Dukun kampung
terlatih 7 0.31
Guru swasta 18 0.79
Seniman/artis 120 5.30
Total 2266 100
Sumber: Laporan Perkembangan Desa Sirnaresmi 2013
Tabel 6 menunjukkan bahwa sebagian besar penduduk Desa Sirnaresmi
bekerja sebagai petani. Meski demikian, tidak semua keluarga memiliki lahan
pertanian sendiri. Keluarga yang memiliki tanah pertanian berjumlah 709 keluarga
dengan rincian, 647 keluarga memiliki lahan kurang dari 1 ha, 61 keluarga
memiliki lahan seluas 1-5 ha, dan 1 keluarga memiliki lahan pada kisaran 5-10 ha.
Sisanya, yakni 678 keluarga tidak memiliki lahan pertanian.
Di Desa Sirnaresmi, sebagian besar penduduk menerapkan sistem adat
yang disebut kasepuhan. Terdapat tiga kasepuhan di Desa Sirnaresmi yakni
Kasepuhan Sinar Resmi, Cipta Gelar, dan Cipta Mulya. Ketiga kasepuhan tersebut
termasuk dalam Kesatuan Adat Banten Kidul. Penelitian ini lebih difokuskan pada
masyarakat Kasepuhan Cipta Mulya yang berdomisili di Desa Sirnaresmi.
Profil Kasepuhan Cipta Mulya
Kasepuhan Cipta Mulya merupakan salah satu komunitas adat di Desa
Sirnaresmi. Sebenarnya anggota Kasepuhan Cipta Mulya tersebar di beberapa
wilayah di Kabupaten Lebak, Bogor, dan Sukabumi namun pusat Kasepuhan
Cipta Mulya berada di Desa Sirnaresmi, Kecamatan Cisolok, Kabupaten
24
Sukabumi. Masyarakat Kasepuhan Cipta Mulya yang berada di dekat pusat
pemerintahan desa tersebar di 4 kampung yaitu Mekar Jaya, Cikirai, Cibongbong,
dan Cipta Mulya.
Lokasi pusat Kasepuhan Cipta Mulya dekat dengan pusat Kasepuhan Sinar
Resmi dan masih tergolong luar kawasan Taman Nasional Gunung Halimun Salak
sedangkan pusat Kasepuhan Cipta Gelar terletak di dalam kawasan. Meski terletak
di luar kawasan, masyarakat Kasepuhan Cipta Mulya yang tinggal di dekat pusat
Kasepuhan Cipta Mulya menggantungkan hidup pada hutan adat yang terletak
dalam kawasan TNGHS. Jarak yang harus ditempuh masyarakat Kasepuhan Cipta
Mulya yang tinggal di sekitar pusat pemerintahan Desa Sirnaresmi untuk
mencapai hutan adat cukup jauh yakni sekitar 16 km.
Kasepuhan Cipta Mulya bukan merupakan sebuah kasepuhan yang berdiri
sendiri melainkan merupakan pemekaran dari Kasepuhan Sinar Resmi. Kasepuhan
ini resmi berdiri pada tahun 2002, dimulai dari diterimanya wangsit oleh Abah
Uum. Sepeninggal Abah Uum, Kasepuhan Cipta Mulya dipimpin oleh anaknya,
Abah A. E. Suhendri. Berikut struktur kepengurusan Kasepuhan Cipta Mulya.
Sumber: Sekertaris Kasepuhan Cipta Mulya (2013)
Tutunggul (Abah) A.E. Suhendri Wijaya
Gandek Uday
Pamakayaan
Akung
Paraji Rukmini
Pamoro
Jata
Dukun Didin
Bengkong Oba
Penghulu Suprita
Kemit Samudi
Ngurus
Leuit
Marja
Kebersihan
Sata
Ema Pangberang Supratmi
Tukang
Bangunan
Juardi
Kokolot
Lembur
Panday Unang
Kesenian
Usup Tukang
Dapur Een
Tukang
Para
Ujadi
Canoli Uwan
Kokolot
Lembur
Kokolot
Lembur
Kokolot
Lembur Kokolot
Lembur Kokolot
Lembur
Kokolot
Lembur
Kokolot
Lembur
Kokolot
Lembur
Incu Putu
Gambar 2 Struktur Kepengurusan Kasepuhan Cipta Mulya
25
Masyarakat Kasepuhan Cipta Mulya memanfaatkan sumber daya alam
berupa lahan hutan dan talun (kebun). Lahan hutan yang dimanfaatkan oleh
masyarakat merupakan lahan komunal adat yang diwariskan secara turun
temurun. Selain lahan adat, ada pula lahan hutan bekas bukaan Perhutani yang
dijadikan talun untuk penanaman berbagai komoditas non padi. Lahan bekas
bukaan Perum Perhutani juga tergolong lahan komunal karena dimanfaatkan
secara bersama-sama oleh masyarakat tanpa hak kepemilikan pribadi.
Lahan komunal adat dapat dimanfaatkan oleh setiap rumah tangga
masyarakat Kasepuhan Cipta Mulya yang berdomisili di Desa Sirnaresmi. Setiap
rumah tangga memiliki porsi penguasaan lahan yang berbeda-beda. Meski
demikian, anggota rumah tangga satu dapat menggarap di lahan yang dikuasai
rumah tangga lainnya dengan seizin kepala rumah tangga yang berkuasa atas
lahan tersebut. Hasil panen menjadi hak rumah tangga yang menanam. Sistem
tersebut juga berlaku dalam pemanfaatan lahan bekas bukaan Perhutani.
Perbedaannya yaitu tidak semua rumah tangga memanfaatkan lahan bukaan
Perhutani.
Selain lahan komunal, beberapa masyarakat juga memanfaatkan lahan
milik pribadi. Lahan milik dapat berada di dalam dan di luar desa. Lahan tersebut
merupakan warisan dari orang tua pemilik lahan. Orang tua mewariskan lahan
tersebut secara adil untuk dapat dimanfaatkan dalam pemenuhan kebutuhan hidup.
Adat istiadat yang berlaku pada Kasepuhan Cipta Mulya sama dengan
kasepuhan lainnya. Masyarakat kasepuhan memiliki pekerjaan utama sebagai
petani yang terutama menanam komoditas padi. Setiap kegiatan yang berkaitan
dengan padi pasti diawali dengan ritual. Telah terinternalisasi dalam diri
masyarakat kasepuhan bahwa padi diibaratkan sebagai perempuan yang harus
dijaga kehormatannya. Mereka sangat memuliakan padi sebagai sumber hidup.
Sebelum dapat mulai menanam padi di sawah, pengikut kasepuhan (incu
putu) harus menunggu hingga Abah mulai menanam. Incu putu dilarang
mendahului Abah dalam penanaman padi namun untuk pemanenan hal tersebut
diperbolehkan dengan catatan harus melapor terlebih dulu pada Abah. Penanaman
padi baru akan dimulai setelah kemunculan dua bintang, yakni bintang kerti dan
kidang.
Masyarakat yang mengikuti tradisi kasepuhan tidak akan menjual hasil
panen berupa padi karena hal tersebut dilarang oleh adat. Hasil panen yang
didapat dimasukkan ke dalam leuit kasepuhan dan leuit di masing-masing rumah
tangga. Leuit merupakan tempat penyimpanan padi (lumbung) bagi masyarakat
kasepuhan. Setiap rumah masyarakat kasepuhan harus memiliki minimal satu
leuit. Padi-padi tersebut disimpan dalam bentuk ikatan (pocong).
Karakteristik Responden
Usia Responden
Responden penelitian di Kasepuhan Cipta Mulya adalah kepala rumah
tangga yang berusia di atas 30. Kategori usia responden dibagi menjadi tiga: 1)
dewasa awal (21-40 tahun), 2) dewasa akhir (41-60 tahun), dan 3) tua (60 tahun
26
ke atas). Jumlah dan persentse responden berdasarkan usia disajikan dalam Tabel
7.
Tabel 7 Jumlah dan Persentase Responden berdasarkan Kategori Usia Tahun
2013
Kategori Usia Jumlah (orang) Persentase (%)
Dewasa awal (21-40 tahun) 12 40
Dewasa akhir (41-60 tahun) 11 36.67
Tua (lebih dari 60 tahun) 7 23.33
Total 30 100
Data pada Tabel 7 menunjukkan bahwa sebagian besar responden (40
persen) termasuk dalam kategori usia dewasa awal. Sebesar 36.67 persen
responden termasuk dalam kategori usia dewasa akhir dan 23.33 persen termasuk
kategori tua.
Tingkat Pendidikan
Tingkat pendidikan dibagi menjadi 3 kategori: 1) rendah (tidak sekolah
dan tidak lulus SD) 2) sedang (lulus SD hingga SMP 3) tinggi (SMA
danperguruan tinggi). Berikut tabel jumlah dan persentase responden berdasarkan
tingkat pendidikan.
Tabel 8 Jumlah dan Persentase Responden berdasarkan Kategori Tingkat
Pendidikan Tahun 2013
Kategori Tingkat Pendidikan Jumlah (orang) Persentase (%)
Rendah (tidak sekolah dan
tidak lulus SD) 5 16.67
Sedang (lulus SD - SMP) 24 80
Tinggi (SMA – perguruan
tinggi) 1 3.33
Total 30 100
Sebagian besar responden menempuh pendidikan hingga tamat SD.
Sebagian lainnya tidak bersekolah dan ada yang menempuh pendidikan
menengah.
Seperti pada data Desa Sirnaresmi, kendala dalam melanjutkan pendidikan
adalah jarak tempuh dari rumah ke sekolah menengah. Selain itu, masalah biaya
juga menjadi penghambat bagi masyarakat sehingga tidak melanjutkan atau
bahkan tidak menempuh pendidikan sama sekali.
27
Total Anggota Rumah Tangga
Rumah tangga responden beranggotakan 2 hingga 6 orang. Jumlah dan
persentase rumah tangga responden berdasarkan total anggota rumah tangga
disajikan dalam Tabel 9.
Tabel 9 Jumlah dan Persentase Rumah Tangga Responden berdasarkan Total
Anggota Rumah Tangga Tahun 2013
Total Anggota Rumah
Tangga (orang) Jumlah (rumah tangga) Persentase (%)
2 4 13.33
3 15 50
4 4 13.33
5 6 20
6 1 3.33
Total 30 100
Tabel 9 menunjukkan bahwa 50 persen rumah tangga responden
beranggotakan tiga orang. Sebesar 20 persen rumah tangga responden
beranggotakan lima orang. Masing-masing sebesar 13.33 persen rumah tangga
responden beranggotakan dua dan empat orang. Hanya 3.33 persen rumah tangga
responden yang beranggotakan enam orang.
Status Kepemilikan Lahan Garapan
Masyarakat Kasepuhan Cipta Mulya memanfaatkan lahan garapan dengan
status kepemilikan yang berbeda-beda. Jumlah dan persentase responden
berdasarkan status kepemilikan lahan garapan disajikan dalam Tabel 10.
Tabel 10 Jumlah dan Persentase Responden Berdasarkan Status Kepemilikan
Lahan Garapan Tahun 2013
No. Status Kepemilikan Lahan
Garapan Jumlah (orang) Persentase (%)
1. Lahan komunal (adat) 14 46.67
2. Lahan komunal (adat dan
bukaan perum perhutani) 3 10
3. Lahan komunal (adat) dan lahan
milik pribadi 7 23.33
4. Lahan komunal (adat dan
bukaan Perum Perhutani), lahan
milik pribadi
6 20
Total 30 100
28
Tabel 10 menunjukkan bahwa sebagian besar responden (46.67 persen)
bergantung penuh pada lahan adat untuk memenuhi kebutuhan hidup. Selain lahan
adat, sejumlah 23.33 persen responden turut memanfaatkan lahan pribadi sebagai
sumber nafkah. Sebesar 20 persen responden memanfaatkan ketiga sumber nafkah
dan 10 persen hanya bergantung pada lahan komunal, baik lahan adat maupun
bukaan Perum Perhutani.
29
PERUBAHAN AKSES MASYARAKAT KASEPUHAN CIPTA
MULYA
Bab ini menjelaskan perubahan kepemilikan dan akses masyarakat
Kasepuhan Cipta Mulya terhadap lahan garapan hutan yang terdiri dari dua
bagian, yakni sebelum dan setelah penetapan TNGHS. Berikut penjabaran
mengenai perubahan akses masyarakat Kasepuhan Cipta Mulya.
Akses Masyarakat Kasepuhan Cipta Mulya Sebelum Penetapan TNGHS
Masyarakat Kasepuhan Cipta Mulya masih bergantung pada lahan adat
seluas 4000 ha yang ada di kawasan hutan. Secara hukum lahan tersebut belum
diakui oleh pemerintah sebagai hutan adat. Dengan demikian, lahan yang diklaim
oleh masyarakat sebagai lahan komunal milik adat masih sepenuhnya berstatus
lahan negara.
Sebelum dialihfungsikan menjadi taman nasional, hutan adat masyarakat
kasepuhan berada pada pengawasan perum perhutani yang menjalankan fungsi
produksi. Pengelolaan oleh Perum Perhutani tidak terlalu berpengaruh bagi
masyarakat kasepuhan. Masyarakat masih diperbolehkan menanam padi di sawah
yang sudah ada sejak dulu namun tidak boleh memperluas lahan sawah. Mereka
tetap meyakini bahwa lahan tersebut merupakan lahan yang telah diwariskan oleh
para leluhur dan ditandai dengan botol berwarna merah sebagai pembatas.
Kesepakatan mengenai luas lahan tersebut diakui oleh masyarakat kasepuhan
secara tidak tertulis.
Dalam penerapan pengelolaan hutan, perum perhutani mulai turut
melibatkan masyarakat semenjak tahun 2001 melalui program Pengelolaan
Sumber Daya Hutan Bersama Masyarakat (PSDHBM). Berdasarkan SK Dewan
Pengawas Perum Perhutani No. 136/KPTS/DIR/2001 tentang PSDHBM,
pengelolaan hutan oleh Perum Perhutani tidak hanya dilakukan oleh pihak
perusahaan tetapi juga pemangku kepentingan lainnya terutama masyarakat desa
hutan.
Dengan demikian, Desa Sirnaresmi yang masuk dalam kawasan hutan
yang dikelola Perum Perhutani turut menjadi desa sasaran program tersebut.
Penerapan PSDHBM yang ideal sesungguhnya adalah mengkolaborasikan
kepentingan pemerintah dengan masyarakat. Penerapan program dilandasi dengan
prinsip partisipatif, mulai dari perencanaan hingga monitoring dan evaluasi.
Penerapan program PSDHBM memang kemudian melibatkan masyarakat
desa hutan, termasuk Desa Sirnaresmi. Beberapa masyarakat Desa Sirnaresmi,
khususnya Kasepuhan Cipta Mulya merasa diuntungkan dengan adanya program
tersebut. Keuntungan yang diperoleh masyarakat yakni dapat menambah
pendapatan rumah tangga karena mendapat upah dari kegiatan menanam dan
memanen pohon. Masyarakat juga dapat meminta bibit dari mandor Perhutani
untuk ditanam di lahan milik masyarakat. Bahkan menurut seorang anggota rumah
tangga responden yang merupakan mantan mandor Perhutani (EP), ada saatnya
pihak Perhutani memperbolehkan masyarakat membuka ladang untuk dijadikan
huma dan ditanami pohon.
30
…bikin huma, nanem manii, jengjeng, apa boleh, sama masyarakat, tapi
hasil dapet tanaman perum ga boleh diambil masyarakat…Ada bukaan
kata perum 200 ha, dibuka sama masyarakat, dibuat huma trus ditanem
pohon pinggirnya (EP, 41 tahun).
Hasil panen yang diperoleh dari lahan bukaan tersebut boleh diambil oleh
masyarakat karena diperkenankan untuk dimanfaatkan oleh Perhutani. Sebaliknya,
dalam kegiatan panen yang memperkerjakan masyarakat sebagai kuli, masyarakat
hanya diperkenankan mengangkut hasil panen. Mereka tidak diperbolehkan
mengambil hasil panen tersebut karena terhitung milik negara.
Sebenarnya masyarakat kasepuhan tidak memiliki hak untuk mengelola
secara formal namun mereka tetap merasakan kemudahan dalam mengakses
sumber daya hutan. Jumlah dan persentase responden berdasarkan persepsi tingkat
kemudahan akses terhadap lahan garapan adat sebelum penetapan TNGHS
disajikan dalam Tabel 11.
Tabel 11 Jumlah dan Persentase Responden berdasarkan Persepsi Tingkat
Kemudahan Akses terhadap Lahan Garapan Adat Sebelum Penetapan
TNGHS, 2013
Persepsi Tingkat
Kemudahan Akses
terhadap Lahan Garapan
Adat
Jumlah (orang) Persentase (%)
Mudah 30 100
Sulit 0 0
Total 30 100
Tabel 11 menunjukkan bahwa seluruh responden merasa mudah dalam
mengkakses lahan garapan adat sebelum penetapan TNGHS. Meski demikian,
dalam beberapa hal seperti menebang kayu, mereka merasa dibatasi namun tidak
terlalu ketat. Selain itu terkait dengan penanaman padi di sawah maupun di huma
masyarakat kasepuhan diwajibkan membayar sejumlah 12 kg hasil panen untuk 1
ikat bibit yang ditanam. Bayaran tersebut sebagai pajak bagi masyarakat yang
telah menanam padi di hutan. Masyarakat cenderung merasa tidak masalah
dengan pungutan ini, meski ada pula yang merasa keberatan. Untuk tetap dapat
menanam padi di hutan, terlepas dari bersedia atau tidak, masyarakat membayar
sesuai dengan ketentuan yang telah ditetapkan Perum Perhutani.
Akses Masyarakat Kasepuhan Cipta Mulya Setelah Penetapan TNGHS
Semenjak diterbitkannya SK Menteri Kehutanan No. 175/Kpts-II/2003,
kawasan Taman Nasional Gunung Halimun (TNGH) seluas 40 000 ha diperluas
menjadi Taman Nasional Gunung Halimun Salak (TNGHS) seluas 113 357 ha.
Menurut informasi yang didapat Bapak WR (34 tahun) selaku perwakilan
31
TNGHS, perluasan tersebut dilatarbelakangi beberapa faktor yakni degradasi dan
deforestasi, desakan internasional, serta desakan LSM dan akademisi.
Desakan internasional untuk memperluas wilayah kawasan konservasi
membuat Presiden Republik Indonesia, Susilo Bambang Yudhoyono
berkomitmen pada G-20, Pittsburgh dan COP 15, Copenhagen untuk mengurangi
emisi sebesar 26 persen tanpa bantuan internasional dan 41 persen dengan bantuan
internasional (Murniningtyas 2011). Menurut Bapak WR (34 tahun) komitmen
inilah yang kemudian membuat Kementerian Kehutanan memutuskan perluasan
taman nasional di Indonesia, salah satunya TNGHS. Keputusan yang sangat
teburu-buru tersebut mengakibatkan penetapan TNGHS tidak sesuai prosedur
sehingga menimbulkan permasalahan dengan masyarakat yang sudah lama
menetap di kawasan yang ditunjuk menjadi taman nasional.
Perluasan kawasan taman nasional tersebut menimbulkan pertentangan
antara masyarakat dengan pemerintah, khususnya Kementerian Kehutanan.
Masyarakat adat yang telah lama tinggal dan memanfaatkan kawasan tersebut
merasa tidak nyaman dengan ditetapkannya taman nasional. Lahan yang selama
ini mereka akui sebagai lahan adat kini masuk ke dalam kawasan TNGHS.
Penetapan tersebut membuat masyarakat merasa semakin sulit dalam mengakses
lahan adat. Jumlah dan persentase responden berdasarkan persepsi tingkat
kemudahan akses terhadap lahan garapan adat setelah penetapan TNGHS
disajikan dalam Tabel 12.
Tabel 12 Jumlah dan Persentase Responden berdasarkan Persepsi Tingkat
Kemudahan Akses terhadap Lahan Garapan Adat Setelah Penetapan
TNGHS, 2013
Persepsi Tingkat
Kemudahan Akses
terhadap Lahan Garapan
Adat
Jumlah (orang) Persentase (%)
Mudah 12 40
Sulit 18 60
Total 30 100
Tabel 12 menunjukkan bahwa sebagian besar responden (60 persen)
merasa sulit dalam mengakses lahan garapan adat sedangkan 40 persen responden
masih merasakan kemudahan. Perbandingan kemudahan akses terhadap lahan adat
menurut masyarakat disajikan dalam Gambar 3.
32
Gambar 3 menunjukkan bahwa terjadi penurunan tingkat kemudahan
akses setelah penetapan TNGHS. Meski demikian, masih ada responden yang
merasa mudah dalam mengakses lahan adat. Kesulitan akses masyarakat
tercermin dari pembatasan kegiatan penebangan kayu. Masyarakat yang terlihat
oleh polisi hutan sedang menebang kayu akan langsung diadili. Berikut
pemaparan beberapa informan mengenai hal tersebut.
Dulu masih bisa ambil kayu, sekarang udah ga bisa, ditangkep
(HN, 33 tahun).
Mending dikelola perum, karena kalau tertangkap, TN langsung
bawa masyarakat ke polisi, kalau sama perum dibicarakan baik-
baik di desa (ST, 37 tahun).
Keluhan masyarakat ke taman nasional mah gini, ada tanaman
masyarakat di lokasi taman nasional, diambil masyarakat,
masyarakat ditewak (EP, 41 tahun).
Rasa takut dan khawatir yang dirasakan masyarakat Kasepuhan Cipta
Mulya dalam mengakses lahan garapan di hutan mempertegas kekuatan otoritas
TNGHS dalam pengelolaan hutan. Hal ini kemudian berdampak pada
kelembagaan pengelolaan hutan mengenai pembagian lahan adat dalam tiga
bagian menjadi sulit diterapkan. Lahan garapan yang seharusnya dapat mereka
manfaatkan dengan mudah untuk memenuhi kebutuhan hidup kini tidak dapat
diakses dengan mudah dan aman.
Masyarakat kasepuhan telah meyakini dari dulu pembagian tanah adat
menjadi tiga: 1) leuweung tutupan, 2) leuweung titipan, 3) leuweung garapan.
Pada leuweung tutupan dan titipan, masyarakat adat tidak diperkenankan untuk
Gambar 3 Perbandingan Persentase Responden berdasarkan Persepsi
Tingkat Kemudahan Akses terhadap Lahan Garapan Adat
Sebelum dan Setelah Penetapan TNGHS Tahun 2013
100
0
40
60
0
20
40
60
80
100
120
Mudah Sulit
Sebelum Setelah
33
menggarap. Kedua leuweung tersebut sengaja tidak dimanfaatkan untuk menjaga
kelestarian ekosistem seperti menjaga kuantitas air dan mencegah longsor.
Leuweung titipan boleh dimanfaaatkan dalam keadaan yang mendesak untuk
kepentingan komunal dan dengan persetujuan Abah.
Wilayah TNGHS telah dibatasi menggunakan tapal batas yang terbuat dari
beton bertuliskan “TN”. Taman nasional pada umumnya terbagi atas empat zona:
1) zona inti, 2) zona rimba, 3) zona pemanfaatan, 4) zona lain (zona tradisional;
zona rehabilitasi; zona religi, budaya, dan sejarah; dan zona khusus). Menurut
penuturan Bapak WR (34 tahun) selaku perwakilan TNGHS, awal perluasan
TNGH menjadi TNGHS yakni pada tahun 2003 hingga 2008, pihak TNGHS
masih melakukan berbagai upaya pemantauan (ground check) dan inventarisasi
untuk menentukan zonasi. Berlandaskan pada berbagai kebijakan seperti Undang-
Undang RI No. 5 Tahun 1990 dan Peraturan Menteri Kehutanan No. 56/Menhut-
II/2006, TNGHS dibebaskan dari segala bentuk aktivitas manusia, termasuk
masyarakat kasepuhan. Hal ini kemudian menyebabkan bagian perlindungan
hutan sangat ketat dalam menjaga kawasan TNGHS.
Menurut beberapa responden, seperti Bapak HN, Bapak DI dan Bapak
MD, sebenarnya wilayah garapan masyarakat pernah sempat ingin ditutup sama
sekali oleh pihak TNGHS. Masyarakat yang mengetahui berita tersebut khawatir
dan mengancam akan menyerang pihak TNGHS apabila penutupan akses benar-
benar terjadi.
…waktu itu sempet mau bener-bener ditutup sama taman
nasional, untungnya ga jadi. Kalo ditutup mah nanti kita mau
makan apa (HN, 33 tahun).
…sempet tuh neng mau ditutup sama taman nasional kita ga
boleh lagi di sini gitu. Akhirnya ga jadi, Alhamdulillah (DI, 48
tahun).
…pernah taman nasional mau nutup garapan masyarakat. kalo
jadi ditutup mah perang aja udah (MD, 100 tahun).
Masalah tersebut akhirnya terselesaikan setelah diadakan musyawarah
dengan para petinggi kasepuhan. Hal ini sesuai dengan pernyataan yang
diungkapkan istri Pak HN, yakni Bu AR (33 tahun).
…iya, untungnya diomongin tuh sama orang-orang atas (petinggi
kasepuhan) jadinya kita masih tetep bisa nanem seperti sekarang
(AR, 33 tahun).
Setelah melalui proses yang cukup panjang, pada tahun 2007 terbentuk
zonasi indikatif TNGHS. Zonasi yang dibuat masih bersifat sementara karena
belum disahkan oleh Menteri Kehutanan. Menurut zonasi tersebut, wilayah
Kasepuhan Cipta Gelar telah termasuk dalam zona khusus. Berbeda dengan
Kasepuhan Cipta Gelar, Kasepuhan Cipta Mulya masih belum dipastikan
posisinya dalam zonasi namun tetap saja dalam pandangan hukum, masyarakat
Kasepuhan berada di tanah negara.
34
Pihak TNGHS tidak lagi mempermasalahkan masyarakat yang menggarap
di dalam kawasan taman nasional. Meski demikian, terkait penebangan pohon,
pihak TNGHS tidak dapat mentoleransi. Hal ini sesuai dengan pernyataan Bapak
WR (34 tahun).
…kita masih mengakomodir kegiatan penanaman padi atau
tanaman lainnya…yang susah adalah jika berkaitan dengan
penebangan kayu, yang namanya penebangan itu barang haram di
taman nasional. Meski yang tanam masyarakat, kan lahannya
punya Negara (WR, 34 tahun).
Pembagian zona TNGHS terus mengalami perkembangan, hingga pada
April 2013, zonasi yang telah terbentuk disahkan dalam Keputusan Direktur
Jenderal Perlindungan Hutan dan Konservasi Alam SK. 142/IV-SET/2013 tentang
Zonasi Taman Nasional Gunung Halimun Salak. Zonasi baru tersebut dibuat
dengan berbagai pertimbangan termasuk keberadaan masyarakat adat di dalam
kawasan dengan melibatkan berbagai stakeholder. Berdasarkan zonasi TNGHS,
seluruh kawasan pemukiman termasuk kasepuhan termasuk dalam zona khusus.
Hingga saat ini masyarakat belum mendapat kepastian mengenai status
lahan adat yang sudah sejak lama menjadi sumber hidup mereka. Berbagai upaya
advokasi telah dilakukan untuk mendapat pengakuan Negara namun masih belum
memberi hasil yang diharapkan.Saat ini mereka membutuhkan dukungan dari
Bupati mengenai pengakuan wilayah adat mereka untuk selanjutnya diproses dan
disahkan dalam sebuah peraturan daerah. Menurut seorang aparat desa yakni
Bapak BR (68 tahun), kunci pengakuan wilayah adat kasepuhan berada pada
Bupati.
…intinya di perda, kalo sudah diakui dalam bentuk perda baru
bisa diakui sebagai lahan adat. tinggal keberanian bupati aja (BR,
68 tahun).
Pernyataan di atas didukung oleh pernyataan Bapak WR (34 tahun) yang
pernah menanyakan pengakuan wilayah adat Kasepuhan melalui Bupati.
…kita juga pernah tuh, ke Bupati, menanyakan kenapa tidak
dibuat perda. Ternyata Bupatinya juga ga berani (WR 34 tahun).
Menurut Bapak WR (34 tahun) alasan Bupati belum berani mengeluarkan
perda terkait pengakuan wilayah adat masyarakat kasepuhan yaitu keraguan atas
keaslian adat kasepuhan. Keraguan tersebut juga dirasakan oleh pihak TNGHS
yang diungkapkan Bapak WR.
…Oke, kalo memang mereka secara tradisional kan tapi kita ga
tau apa mereka masih menerapkan itu. Coba bandingkan sama
masyarakat adat lainnya seperti Baduy. Mereka cuma ada 40
rumah di Baduy dalam ya mungkin Cuma 2 hektar lah. Kalau
sudah melebihi carrying capacity ada yang pindah, jadi di Baduy
35
luar. Makanya kan Baduy sudah disahkan dalam perda. Lalu juga
masyarakat di Taman Nasional Bukit Duabelas. Kalau ada yang
meninggal kan, mereka pindah ke bagian hutan yang lain baru
kembali lagi setelah beberapa bulan. Kalau Kasepuhan? sekarang
di Cipta Gelar udah ratusan hektar loh.
37
PERUBAHAN AKTIVITAS NAFKAH DAN PENDAPATAN RUMAH
TANGGA MASYARAKAT KASEPUHAN CIPTA MULYA
Masyarakat Kasepuhan Cipta Mulya melakukan berbagai aktivitas nafkah dalam
memenuhi kebutuhan hidup. Aktivitas nafkah yang dilakukan yakni mencakup aktivitas
nafkah pertanian, baik padi dan non padi serta aktivitas non pertanian. Berbagai aktivitas
dilakukan untuk memperoleh pendapatan. Berikut pemaparan pendapatan yang diperoleh
masyarakat Kasepuhan Cipta Mulya berdasarkan kategori aktivitas nafkah.
Tabel 13 Daftar Aktivitas Nafkah Rumah Tangga dan Upah Masyarakat Kasepuhan Cipta
Mulya Tahun 2013 Aktivitas Nafkah Rumah Tangga Upah
Pertanian (padi)
a) Nandur (tanam) Rp 30 000/orang/hari
b) Kuli macul Rp 30 000 - 40 000/orang/hari
c) Kuli babad/ngored Rp 20 000 - 40 000/orang/minggu
d) Panen Hasil panen
e) Tumbuk padi Hasil tumbuk padi
Pertanian (non-padi)
a) Bercocok tanam buah Pisang: Rp 1000 sampai1500/kg;
Alpukat: Rp 500 - 3000/kg
b) Bercocok tanam kayu Manii: Rp 20 000/pohon;
Jeunjing: Rp 50 000/pohon
c) Bercocok tanam
palawija
Tomat: Rp 700/kg; cabai: Rp 25 000/kg;
jagung: Rp 3000/kg; kapol: Rp 5000/kg;
singkong: Rp 1600/kg; talas: Rp 600/kg
d) Nyadap air nira Rp 6000/hulu
Non Pertanian
a) Buruh Bangunan Rp 70 000 - 75 000/hari
b) Warung Rp 75 000 - 300 000/hari
c) Kuli pikul kayu Rp 40 000/hari
d) Mandor Perhutani Rp 75 000/bulan
e) Tambang emas Rp 500 000/gr emas
f) Kuli pikul emas Rp 50 000/hari
g) Supir Rp 75 000 - 200 000/hari
h) Pembantu rumah tangga
Rp 500 000/bulan
i) Reparasi barang
elektronik
Rp 20 000/minggu
j) Mebeul Rp 300 000/buah
k) Jual baju keliling Rp 60 000/ hari
l) Pegawai swasta Rp 350 000/bulan
m) Bengkel Rp 100 000/hari
Sumber: Data primer 2013
38
Tabel 13 telah merepresentasikan aktivitas nafkah serta upah baik sebelum
maupun setelah penetapan TNGHS. Penjelasan lebih terperinci mengenai aktivitas
nafkah dan pendapatan rumah tangga sebelum dan setelah penetapan TNGHS
dijabarkan dalam beberapa subbab berikut.
Aktivitas Nafkah dan Pendapatan Rumah Tangga Masyarakat Kasepuhan
Cipta Mulya Sebelum Penetapan TNGHS
Secara umum, aktivitas nafkah masyarakat Kasepuhan Cipta Mulya
terbagi menjadi dua, yakni aktivitas nafkah pertanian dan aktivitas nafkah non
pertanian. Beberapa masyarakat bahkan mengkombinasikan aktivitas nafkah
pertanian dan non pertanian. Setiap masyarakat Kasepuhan Cipta Mulya pasti
bercocok tanam padi karena hal tersebut merupakan kewajiban anggota
kasepuhan. Dengan demikian, kombinasi aktivitas nafkah yang terbentuk yakni
aktivitas nafkah pertanian (padi & non padi), aktivitas nafkah pertanian (padi) dan
non pertanian, serta aktivitas nafkah pertanian (padi & non padi) dan non
pertanian. Berikut jumlah dan persentase responden berdasarkan aktivitas nafkah
rumah tangga sebelum penetapan TNGHS.
Tabel 14 Jumlah dan Persentase Responden berdasarkan Aktivitas Nafkah
Rumah Tangga Sebelum Penetapan TNGHS, 2013
Aktivitas Nafkah Sebelum Penetapan
TNGHS Jumlah (Orang) Persentase (%)
Pertanian (padi & non padi) 16 53.33
Pertanian (padi) dan Non Pertanian 6 20
Pertanian (padi & non padi) dan Non
Pertanian 8 26.67
Total 30 100
Tabel 14 menunjukkan bahwa sebagian besar responden (53.33 persen)
melakukan aktivitas nafkah pertanian baik padi maupun non padi untuk
pemenuhan kebutuhan hidup. Sebesar 26.67 responden memilih aktivitas nafkah
pertanian (padi & non padi) dan non pertanian. Hanya 20 persen responden
melakukan aktivitas nafkah pertanian (padi) dan non pertanian. Data-data tersebut
merepresentasikan bahwa sebagian besar masyarakat Kasepuhan Cipta Mulya
masih sangat bergantung pada sumber daya alam dalam pemenuhan kebutuhan
hidup.
Pertanian Padi
Setiap anggota kasepuhan pasti hidup dari bertani, terutama tanam padi.
Padi merupakan bagian dari adat dan tidak dapat dilepaskan dari kehidupan
masyarakat kasepuhan. Telah terinternalisasi dalam diri masyarakat kasepuhan
bahwa padi merupakan hal yang berharga. Dengan demikian, aktivitas nafkah
masyarakat kasepuhan tidak terlepas dari kelembagaan adat.
39
Dalam pemenuhan kebutuhan hidup, masyarakat kasepuhan
memanfaatkan lahan adat, terutama leuweung garapan. Di leuweung garapan
terdapat sawah yang dipinggirnya ditanami pepohonan. Masyarakat kasepuhan
biasa menanam padi setahun sekali dengan melakukan berbagai ritual baik
sebelum maupun setelah menanam.
Selain di sawah leuweung garapan, beberapa masyarakat juga menanam
padi di huma, baik di lahan milik maupun di lahan bekas bukaan Perum Perhutani.
Huma yang didirikan di lahan bukaan Perum Perhutani berpindah-pindah.
Biasanya penanaman padi di huma lebih cepat dibandingkan penanaman padi di
sawah.
Beberapa masyarakat kasepuhan juga bekerja sebagai kuli babad dan
macul di lahan saudara atau tetangga. Kuli babad bertugas untuk menebas
rumput-rumput pada lahan pertanian yang akan ditanami maupun yang telah
ditanami beberapa minggu. Kuli macul mengolah lahan pertanian yang akan
ditanami serta membuat pinggiran sawah (galengan).
Ketika panen tiba, masyarakat yang memiliki lahan luas turut meminta
bantuan pada tetangga atau saudara untuk menanam dan memanen dengan
memperkerjakan mereka. Sebagai imbalan, tetangga atau saudara yang membantu
memanen diberikan sejumlah hasil panen. Saat memanen hasil, masyarakat
menggunakan etem (ani-ani) karena padi yang ditanam masih merupakan varietas
lokal.
Sebagian besar hasil panen diletakkan di dalam lumbung untuk persediaan
di masa mendatang. Hasil panen yang berkualitas paling baik sengaja diletakkan
di tempat terpisah untuk dijadikan bibit pada penanaman selanjutnya. Sebagian
lainnya dibawa ke pandangringan untuk persediaan di rumah. Dengan adanya
huma di lahan bukaan Perum Perhutani masyarakat merasa sangat terbantu. Hasil
panen yang dapat disimpan mencapai ratusan pocong.
Masyarakat perlu menumbuk padi terlebih dulu sebelum dapat
mengonsumsinya. Pada masyarakat kasepuhan hanya wanita yang diperkenankan
menumbuk padi di lisung. Biasanya setiap ibu-ibu rumah tangga menumbuk padi
bersama-sama. Ada pula rumah tangga yang terkadang meminta bantuan tetangga
untuk menumbuk hasil panennya. Sebagai imbalan, pemilik hasil panen tersebut
hanya cukup memberikan sejumlah hasil tumbukan padi pada tetangga yang telah
membantu menumbuk. Pengelompokan responden berdasarkan aktivitas nafkah
pertanian padi disajikan dalam Tabel 15.
Tabel 15 Jumlah dan Pengelompokan Responden berdasarkan Aktivitas Nafkah
Rumah Tangga Pertanian Padi Sebelum Penetapan TNGHS, 2013
Aktivitas Nafkah Pertanian
Padi Jumlah Responden Nomor Responden
Nandur 1 12
Kuli cangkul 4 9, 13, 14, 15
Kuli babad/ngored 4 1, 12, 13, 22
Panen 2 14, 9
40
Tabel 15 hanya merepresentasikan aktivitas nafkah pertanian rumah
tangga responden yang membantu kerabat/tetangga dalam bercocok tanam padi
sehingga memperoleh upah. Sebenarnya kegiatan-kegiatan tersebut turut
dilakukan oleh rumah tangga responden lainnya namun di lahan milik sendiri
sehingga tidak menghasilkan upah. Anggota rumah tangga dapat melakukan lebih
dari satu bercocok tanam padi di lahan kerabat/tetangga. Contohnya saja yaitu
Bapak AM (35 tahun) yang bekerja sebagai kuli macul dan panen di lahan
tetangga.
Aktivitas nafkah yang dilakukan masyarakat akan menghasilkan
pendapatan rumah tangga yang biasanya berbentuk uang. Berbeda dengan
biasanya, aktivitas nafkah pertanian dengan komoditas padi pada masyarakat
Kasepuhan tidak diuangkan. Sebenarnya, menurut aturan adat hasil panen padi
boleh diperjual-belikan jika sudah ditumbuk menjadi beras namun masyarakat
Kasepuhan Cipta Mulya lebih memilih untuk menyimpan hasil panen padi untuk
kebutuhan mendatang.
Pendapatan yang diperoleh dari hasil tanam padi yakni sejumlah padi
dalam bentuk pocong (ikat). Hasil yang diperoleh bergantung pada luas lahan dan
bibit yang ditanamkan. Lahan pertanian masyarakat biasanya dinyatakan dalam
satuan patok. Satu patok lahan (400 m²) idealnya ditanami satu pocong bibit yang
memiliki massa sekitar 3 kg. Petani yang menanam satu pocongbibit biasanya
akan mendapat hasil panen sebanyak 25-50 pocong. Jumlah padi yang diperoleh
turut dipengaruhi oleh kualitas bibit yang ditanamkan.
Pertanian Non Padi
Hidup masyarakat kasepuhan yang bergantung pada lahan hutan turut
mempengaruhi tanaman yang ditanam. Di pinggir sawah masyarakat menanam
beberapa jenis pohon kayu dan buah-buahan. Masyarakat turut menerapkan sistem
agroforestry yakni menanam tanaman lain seperti palawija di sela pepohonan.
Pengelompokan responden berdasarkan aktivitas nafkah pertanian non padi
disajikan dalam Tabel 16.
Tabel 16 Jumlah dan Pengelompokan Responden berdasarkan Aktivitas Nafkah
Rumah Tangga Pertanian Non Padi Sebelum Penetapan TNGHS, 2013
Aktivitas Nafkah
Pertanian Non Padi Jumlah Responden Nomor Responden
Bercocok tanam kayu 12 3, 10, 11, 12, 13, 17,
22, 24, 26, 27, 28, 25
Bercocok tanam buah 19 1, 2, 3, 4, 5, 6, 9, 11,
12, 15, 17, 18, 20, 22,
24, 25, 26, 27, 28
Bercocok tanam palawija 3 6, 14, 15
Nyadap air nira 2 11, 19
41
Satu rumah tangga responden dapat melakukan lebih dari satu aktivitas
nafkah pertanian non padi. Tabel 16 menunjukkan bahwa aktivitas nafkah
pertanian non padi didominasi oleh penanaman tanaman buah. Hasil tanam buah-
buahan biasanya masyarakat langsung mengonsumsi untuk kebutuhan rumah
tangga karena hasil panen dari lahan adat yang sedikit. Masyarakat yang juga
menanam di lahan bukaan Perum Perhutani atau lahan milik bisa menjual hasil
tanamnya. Tanaman buah yang biasa ditanam yakni pisang dan alpukat yang biasa
dijual per kilogram.
Sebanyak 12 orang responden dari 24 responden yang melakukan aktivitas
nafkah pertanian non padi memilih untuk menanam kayu. Tanaman kayu yang
ditanam pada umumnya adalah manii (kayu Afrika) dan jeunjing (sengon laut).
Masa panen tanaman kayu tersebut yakni setiap 3-5 tahun sekali. Hasil tanam
kayu biasanya hanya digunakan sebagai material renovasi rumah karena rumah
adat kasepuhan terbuat dari kayu.
Sebenarnya masyarakat tidak diperkenankan menebang kayu yang ada di
hutan namun karena butuh masyarakat tetap melakukannya. Setelah menebang,
masyarakat segera menanam kembali lahan hutan. Meski demikian, beberapa
responden yang memiliki lahan pribadi dan menanaminya dengan tanaman kayu
mengaku menjual hasil tanam kayu mereka kepada pengumpul.
Pohon yang ditanam masyarakat Kasepuhan Cipta Mulya di lahan milik
pada umumnya dijual per pohon. Selain itu, penjualan pohon juga dapat dilakukan
dengan mengukur volume pohon dalam satuan m³. Setiap m³ pohon dihargai
Rp500 000.
Palawija yang ditanam masyarakat di antaranya yakni tomat, jagung,
singkong, dan talas. Harga tanaman palawija ditentukan oleh pasar. Sebelum
menjadi kawasan taman nasional, hanya ada dua orang responden yang menanam
tanaman palawija. Keduanya menanam tanaman palawija di lahan adat.
Masyarakat yang menyadap air nira biasanya berangkat dari pukul 05.00.
Menurut penuturan salah satu responden (OJ, 50 tahun), kegiatan penyadapan air
nira harus dilakukan sejak pagi karena kalau sudah siang, gula aren yang
dihasilkan akan menjadi masam. Air nira disadap dalam sebuah wadah pembentuk
aren yang biasa disebut hulu. Masyarakat Kasepuhan Cipta Mulya yang menyadap
air nira dari pohon kawung (aren) biasanya memperoleh lima hulu per minggu.
Non Pertanian
Selain melakukan berbagai aktivitas nafkah pertanian, beberapa
masyarakat juga melakukan aktivitas nafkah non pertanian. Beberapa aktivitas
nafkah non pertanian yang dilakukan oleh 15 dari 30 responden yakni usaha
warung, buruh bangunan, supir, tambang emas, kuli pikul emas, reparasi barang
elektronik, pembantu rumah tangga, kuli pikul kayu, dan mandor Perhutani. Data
mengenai rumah tangga yang melakukan aktivitas nafkah non pertanian disajikan
dalam Tabel 17.
42
Tabel 17 Jumlah dan Pengelompokan Responden berdasarkan Aktivitas Nafkah
Non Pertanian sebelum Penetapan TNGHS, 2013
No. Pekerjaan Non-Pertanian Jumlah Responden Nomor Responden
1 Warung 1 2
2 Buruh bangunan 4 10, 23, 29, 30
3 Supir 1 16
4. Tambang emas 1 22
5 Kuli pikul emas 2 15, 30
6 Reparasi barang elektronik 1 27
7 Pembantu rumah tangga 1 28
8 Kuli pikul kayu 3 8, 13, 17
9 Mandor Perhutani 1 17
Tabel 17 merepresentasikan jumlah responden yang melakukan aktivitas
nafkah non pertanian. Satu rumah tangga responden dapat melakukan lebih dari
satu aktivitas nafkah non pertanian. Data dalam Tabel 17 menunjukkan bahwa
empat orang anggota rumah tangga responden bekerja sebagai buruh bangunan,
tiga orang sebagai kuli pikul kayu, dua orang sebagai kuli pikul emas, dan
masing-masing satu orang sebagai mandor perhutani, pembantu rumah tangga,
tenaga reparasi barang elektronik, penambang emas, supir, dan pedagang warung.
Hampir seluruh pekerjaan hanya melibatkan anggota rumah dengan jenis
kelamin laki-laki. Pekerjaan sebagai pembantu rumah tangga hanya dilakukan
oleh anggota rumah tangga perempuan. Kegiatan berdagang di warung dapat
dilakukan oleh laki-laki dan perempuan.
Pekerjaan sebagai buruh bangunan, supir, dan pembantu biasanya
mengharuskan anggota rumah tangga yang bersangkutan bermigrasi ke kota.
Meski demikian ada pula responden yang bekerja sebagai kuli bangunan di desa.
Buruh bangunan bekerja sesuai permintaan sehingga aktivitas tersebut tidak tetap.
Ada juga responden yang bekerja sebagai buruh bangunan hanya saat sebelum
menikah. Kasus serupa juga terjadi pada responden yang pernah bekerja sebagai
supir di kota. Responden tersebut berhenti menjadi supir setelah menikah.
Biasanya setelah menikah masyarakat kasepuhan lebih memilih untuk
fokus bertani. Hal ini disebabkan karena untuk pekerjaan-pekerjaan tersebut
diperlukan mobilitas fisik yang cukup tinggi. Masyarakat lebih memilih untuk
kembali hidup di desa setelah menikah karena lebih tenteram dan nyaman.
Menjalankan usaha warung biasanya dilakukan bersama-sama oleh
pasangan suami istri. Suami bertugas membeli barang-barang dagangan
sedangkan istri menjaga warung dan menjajakan dagangan. Untuk pekerjaan
reparasi alat-alat elektronik hanya dilakukan oleh satu orang responden. Usaha
reparasi tersebut dilakukan di rumah sendiri sehingga tidak perlu bermigrasi dan
masih dapat dilanjutkan setelah menikah.
Pekerjaan menambang emas dilakukan oleh satu orang responden.
Aktivitas yang dilakukan yakni menggali tanah yang ada di gunung dekat
pemukiman warga untuk mencari batu-batu yang mengandung emas. Kegiatan
tambang emas tersebut membutuhkan waktu yang sangat lama. Pekerja tambang
berangkat pagi dan pulang pada malam hari.
43
Batu-batu yang sudah terkumpul dari kegiatan tambang emas diolah
kembali dalam sebuah mesin agar material emas dapat benar-benar terpisah dari
bebatuan dan material lainnya. Pekerja-pekerja tambang tersebut bekerja pada
sebuah perusahaan tambang yang sebenarnya ilegal. Berkaitan dengan
penambang, kuli pikul emas hanya berperan mengangkut batu-batu yang
mengandung emas ke lokasi pengolahan batu.
Pekerjaan sebagai kuli pikul kayu hanya dilakukan oleh tiga orang
responden. Ketiga responden mengaku merasa terbantu dengan kebijakan yang
dibuat Perhutani yang memperkenankan keterlibatan masyarakat dalam
pembibitan, penanaman, dan pemanenan. Selain itu, menurut salah satu anggota
rumah tangga responden yang bekerja sebagai mandor Perhutani, Pihak Perhutani
dianggap sangat membantu karena membeli ajir (penegak bibit pohon) yang
dibuat oleh masyarakat.
…dulu juga perum beli ajir dari masyarakat, masyarakat yang bikin ajir,
dibeli sama perum (EP 41 tahun).
Aktivitas nafkah yang dilakukan masyarakat mempengaruhi pendapatan
yang didapat. Dalam hal ini, pendapatan pertanian padi hanya mencakup padi
yang dihasilkan dalam bentuk pocong. Satu pocong padi memiliki massa rata-rata
0.96 kg. Massa tersebut kemudian menjadi dasar penghitungan pendapatan
pertanian padi sehingga dapat dinyatakan dalam rupiah seperti aktivitas nafkah
pertanian non-padi dan non pertanian. Kombinasi aktivitas nafkah pertanian padi
dengan pertanian non padi dan non pertanian yang dilakukan masyarakat
membentuk total pendapatan rumah tangga. Jumlah dan persentase responden
berdasarkan kategori tingkat pendapatan rumah tangga sebelum penetapan
TNGHS disajikan dalam Tabel 18.
Tabel 18 Jumlah dan Persentase Responden berdasarkan Kategori Tingkat
Pendapatan Rumah Tangga Sebelum Penetapan TNGHS, 2013
Tingkat Pendapatan
Rumah Tangga Jumlah (orang) Persentase (%)
Tinggi 5 16.67
Menengah 18 60
Rendah 7 23.33
Total 30 100
Tabel di atas menunjukkan bahwa sebesar 60 persen responden berada
dalam kategori tingkat pendapatan rumah tangga menengah, 23.33 persen
tergolong kategori tingkat pendapatan rumah tangga rendah, dan 16.67 persen
tergolong dalam tingkat pendapatan tinggi.
44
Aktivitas Nafkah dan Pendapatan Rumah Tangga Masyarakat Kasepuhan
Cipta Mulya Setelah Penetapan TNGHS
Secara umum terdapat beberapa perubahan aktivitas nafkah masyarakat
dibandingkan sebelum penetapan TNGHS. Akses masyarakat yang semakin
terbatas akibat penetapan TNGHS menyebabkan masyarakat merasa kesulitan
dalam melakukan aktivitas nafkah. Setiap pergi ke talun atau sawah yang terletak
di lahan garapan hutan mereka merasa takut dan khawatir. Masyarakat
diperbolehkan menanam padi di sawah yang sudah ada dari dulu namun tidak
boleh memperluas. Masyarakat kasepuhan juga diperkenankan menanam tanaman
kayu dan buah-buahan namun tidak boleh menebang, hanya boleh mengambil
hasil lainnya.
Terdapat perubahan aktivitas nafkah rumah tangga namun perubahan
tersebut bukan sepenuhnya disebabkan oleh penetapan TNGHS. Berikut
pemaparan jumlah dan persentase responden berdasarkan aktivitas nafkah setelah
penetapan TNGHS.
Tabel 19 Jumlah dan Persentase Responden berdasarkan Aktivitas Nafkah
Rumah Tangga Setelah Penetapan TNGHS, 2013
Aktivitas Nafkah Rumah Tangga Jumlah (orang) Persentase (%)
Pertanian (padi dan non-padi) 17 56.67
Pertanian (padi), non-pertanian 2 6.67
Pertanian (padi dan non-Padi), Non-
Pertanian
11 36.67
Total 30 100
Tabel 19 menunjukkan bahwa sebagian besar responden (56.67 persen)
hanya melakukan pekerjaan pertanian (padi & non padi). Sebesar 36.67 persen
melakukan ketiga aktivitas nafkah, dan 6.67 persen melakukan aktivitas nafkah
pertanian (padi) dan non pertanian. Perbandingan aktivitas nafkah sebelum dan
sesudah penetapan TNGHS disajikan dalam Gambar 4.
45
Gambar 4 mengindikasikan bahwa setelah penetapan TNGHS semakin
banyak masyarakat yang beralih atau merambah ke sektor pertanian non padi.
Terjadi peningkatan jumlah responden yang melakukan aktivitas nafkah pertanian
(padi & non padi) serta kombinasi ketiga aktivitas nafkah. Sebaliknya, terjadi
penurunan jumlah responden yang melakukan aktivitas nafkah pertanian (padi)
dan non pertanian.
Pertanian Padi
Pada aktivitas nafkah pertanian khususnya komoditas padi, tidak terdapat
perubahan yang signifikan. Masyarakat masih memegang teguh kelembagaan adat
sehingga pasti menanam padi untuk memenuhi kebutuhan hidup. Perubahan yang
terjadi hanya pada hasil panen yang diperoleh. Sebelum ada taman nasional,
masyarakat masih memiliki kesempatan untuk menanam padi di ladang (huma)
sehingga hasil panen yang diperoleh cukup besar. Setelah ada taman nasional,
masyarakat tidak lagi diperkenankan membuat huma sehingga hasil pertanian padi
yan diperoleh berkurang. Meski demikian mereka mengaku tidak merasa
kekurangan.
Kasus pengurangan hasil panen padi salah satunya dialami oleh Pak DY
(38 tahun). Saat masih dikelola oleh Perhutani, Pak DY mengelola 1300 m² lahan
untuk kegiatan pertanian dan menanam padi dengan bibit 10 kg (sekitar 3 ikat).
Setelah penetapan TNGHS, Pak DY hanya menanam 4 kg (sekitar 1 ikat) bibit
padi.
53,33
20
26,67
56,67
6,67
36,67
0
10
20
30
40
50
60
Pertanian (padi dan non padi)
Pertanian (padi) dan Non Pertanian
Pertanian (padi dan non padi) dan Non pertanian
Sebelum Setelah
Gambar 4 Perbandingan Aktivitas Nafkah Rumah Tangga Responden
Sebelum dan Setelah Penetapan TNGHS Tahun 2013
46
Pertanian Non Padi
Setelah penetapan TNGHS, sektor pertanian non padi semakin diminati
masyarakat. Pengelompokan responden berdasarkan aktivitas nafkah rumah
tangga pertanian non padi disajikan dalam Tabel 20.
Tabel 20 Jumlah dan Pengelompokan Responden berdasarkan Aktivitas Nafkah
Rumah Tangga Pertanian Non Padi Setelah Penetapan TNGHS, 2013
Aktivitas Nafkah
Pertanian Non Padi Jumlah Responden Nomor Responden
Bercocok tanam kayu 12 3, 10, 11, 12, 13, 17, 22,
24, 26, 27, 28, 25
Bercocok tanam buah 20 1, 2, 3, 4, 5, 6, 9, 11, 12,
15, 17, 18,19, 20, 22, 24,
25, 26, 27, 28
Bercocok tanam palawija 20 3, 4, 5, 6, 7, 8, 10, 11, 13,
14, 16, 18, 19, 24, 25, 26,
27, 28, 29, 30
Nyadap air nira 2 11, 19
Jumlah rumah tangga responden yang melakukan aktivitas nafkah
pertanian non padi yakni 28 rumah tangga. Berdasarkan data pada Tabel 20,
sebanyak 20 dari 28 responden yang melakukan aktivitas nafkah pertanian non
padi menanam palawija. Tanaman palawija yang diminati masyarakat yakni cabai
keriting dan kapol. Masyarakat memilih kedua komoditas tersebut karena
harganya yang tinggi.
Penanaman cabai keriting oleh masyarakat Kasepuhan Cipta Mulya
diinisiasi oleh seorang anggota kasepuhan yakni Bapak DN (39 tahun). Beliau
mulai menanam cabai keriting pada tahun 2006 hingga sekarang. Penanaman ini
dilakukan di lahan bekas bukaan Perum Perhutani yang semula digunakan untuk
pembuatan huma dan penanaman pepohonan oleh masyarakat. Semenjak ada
introduksi penanaman cabai, beberapa masyarakat mengalihkan fungsi lahan yang
semula untuk huma dan pohon menjadi tempat tanam cabai.
Menurut penuturan Bapak DN, modal yang dibutuhkan untuk penanaman
cabai keriting yakni Rp4 000 per pohon. Harga cabai keriting fluktuatif. Menurut
Bapak SA (37 tahun) harga cabai tahun 2012 berbeda jauh dengan harga cabai
tahun 2013.
…kalau cabai harganya lagi bagus bisa Rp25 000 per kg. Tahun ini
lagi bagus sih Alhamdulillah. Kalo waktu saya tanem tahun lalu
cuma dapet Rp6 000 per kg (ST, 37 tahun).
Beberapa masyarakat menanam kapol untuk mengganti komoditas umbi-
umbian dan buah-buahan yang sering dirusak oleh hama seperti babi dan monyet.
Satu kilogram kapol dapat dipanen rata-rata setiap 3 bulan sekali dan dijual
dengan harga Rp5 000/kg.
47
…sekarang mah sudah ga aman lagi kalau tanam singkong, talas,
makanya masyarakat sini milih tanam kapol (ST, 37 tahun).
…dulu hasil tanam pisang mencapai 1.5 sampai 2 kwintal,
sekarang mah cuma 40 sampai 50 kg. Alpukat juga, tadinya bisa
sampai 3.5 kwintal, sekarang mah kurang lebih 50 kg lah. Mending
tanam kapol, aman, pasti menghasilkan (DA, 63 tahun).
Masyarakat yang melakukan aktivitas nafkah bercocok tanam kayu dan
nyadap air nira sebelum penetapan TNGHS tetap melakukan aktivitas tersebut.
Meski demikian, masyarakat tidak berani menanam tanaman kayu terlalu banyak
karena mereka tidak bisa mengambil semua hasilnya. Masyarakat hanya dapat
mengambil kayu dalam skala yang sangat kecil sehingga memilih menanam
tanaman kayu dalam jumlah yang sedikit. Selain itu masyarakat juga takut akan
hukuman yang mengancam mereka apabila menebang kayu di kawasan TNGHS
meski hanya untuk perbaikan rumah. Berikut penuturan Bapak US dan DI
mengenai penurunan jumlah tanaman kayu yang mereka tanam.
…sekarang saya tetap nanem kayu, cuman jumlahnya lebih sedikit.
Dulu bisa nanem sampai 100 pohon sekarang mah cuma 20 (DI, 48
tahun).
…sekarang mah tetep nanem tapi tidak sebanyak dulu. Kalau dulu
bisa tanam 50 sampai 100 pohon per tahun sekarang cuma bisa 10
(US, 38 tahun).
Non Pertanian
Jumlah pelaku usaha non pertanian meningkat jika dibandingkan sebelum
penetapan TNGHS. Peningkatan ini terjadi secara tidak signifikan karena ada pula
responden yang lebih memilih untuk beralih ke sektor pertanian non padi. Selain
itu ada pula responden yang sebenarnya sudah melakukan usaha non pertanian
sebelum pengelolaan hutan oleh TNGHS menambah sumber nafkah dari sektor
non-pertanian. Usaha non-pertanian yang sering dipilih yakni usaha warung.
Pekerjaan non pertanian dipilih untuk menambah pendapatan rumah tangga. Data
responden yang melakukan pekerjaan non-pertanian disajikan dalam Tabel 21.
48
Tabel 21 Jumlah dan Pengelompokan Responden berdasarkan Aktivitas Nafkah
Rumah Tangga Non Pertanian Setelah Penetapan TNGHS, 2013
No. Pekerjaan Non-Pertanian Jumlah Responden Nomor Responden
1 Warung 6 2, 4, 6, 21, 28, 29
2 Buruh bangunan 3 7, 10, 28
3 Tambang emas 1 22
4 Kuli pikul emas 1 15
5 Reparasi barang elektronik 1 27
6 Jualan baju keliling 2 2, 21
7 Mebeul 1 10
8 Bengkel 1 4
9 Pegawai swasta 1 25
Selain perubahan pada jumlah rumah tangga responden, perubahan juga
terjadi pada jenis pekerjaan yang dipilih. Anggota rumah tangga responden yang
semula bekerja sebagai supir, kuli pikul kayu, mandor Perhutani, dan pembantu
rumah tangga kini beralih ke mata pencaharian lain yang dilakukan di sekitar
rumah.
Perubahan yang terjadi bukan didasari oleh penetapan TNGHS. Perubahan
pekerjaan dari sektor non pertanian ke pertanian pada umumnya didasari oleh
status pernikahan, seperti yang telah dijelaskan pada subbab sebelumnya.
Perluasan sumber nafkah yang turut melibatkan sektor non pertanian dalam
aktivitas nafkah rumah tangga masyarakat pada umumnya didasari oleh motif
ekonomi, yakni untuk menambah pendapatan.
Meski demikian, ada pula perubahan sumber nafkah yang diakibatkan oleh
ikatan pernikahan. Sebuah rumah tangga yang di dalamnya terdapat lebih dari satu
kepala keluarga setelah anak dari kepala rumah tangga menikah, mempengaruhi
komposisi pekerja dalam rumah tangga. Contohnya yakni pada kasus Bapak OD
(60 tahun). Pak OD tinggal bersama istri, 2 orang anak dan 1 menantu. Pak OD
dan anggota keluarganya bekerja sebagai petani sedangkan menantunya
merupakan pegawai perusahaan swasta.
Seiring dengan perubahan aktivitas nafkah, pendapatan rumah tangga turut
mengalami perubahan. Pemaparan jumlah dan persentase responden berdasarkan
pendapatan rumah tangga setelah berdasarkan penetapan TNGHS disajikan dalam
Tabel 22.
Tabel 22 Jumlah dan Persentase Responden berdasarkan Pendapatan Rumah
Tangga Setelah Penetapan TNGHS, 2013
Tingkat Pendapatan
Rumah Tangga Jumlah (orang) Persentase (%)
Tinggi 5 13.34
Menengah 13 43.33
Rendah 12 43.33
Total 30 100
49
Berdasarkan Tabel 22, masing-masing sebesar 43.33 persen responden
tergolong kategori pendapatan rumah tangga sedang dan rendah serta 13.34 persen
responden tergolong dalam kategori pendapatan rumah tangga tinggi.
Perbandingan pendapatan rumah tangga responden sebelum dan setelah penetapan
TNGHS disajikan dalam Gambar 5.
Gambar 5 merepresentasikan penurunan jumlah rumah tangga responden
yang tergolong dalam kategori tingkat pendapatan tinggi dan menengah.
Sebaliknya, rumah tangga responden yang tergolong dalam kategori pendapatan
rendah meningkat. Meski demikian, berdasarkan penghitungan selisih pendapatan,
sebagian besar responden memiliki selisih pendapatan positif. Jumlah dan
persentase responden berdasarkan selisih pendapatan rumah tangga setelah dan
sebelum penetapan TNGHS disajikan dalam Tabel 23.
Tabel 23 Jumlah dan Persentase Responden berdasarkan Selisih Pendapatan
Rumah Tangga Setelah dan Sebelum Penetapan TNGHS, 2013
Selisih Pendapatan
Rumah Tangga Jumlah (orang) Persentase (%)
Positif 13 43.33
Nol 9 30
Negatif 8 26.67
Total 30 100
Data-data dalam Gambar 5 dan Tabel 23 merepresentasikan peningkatan
peranan ekonomi uang dalam kehidupan sehari-hari masyarakat. Telah terjadi
16,67
60
23,33
13,34
43,33 43,33
0
10
20
30
40
50
60
70
Tinggi Menengah Rendah
Sebelum Sesudah
Gambar 5 Perbandingan Persentase Responden Berdasarkan Pendapatan
Rumah Tangga Sebelum dan Setelah Penetapan TNGHS
Tahun 2013
50
peningkatan standar hidup pada masyarakat Kasepuhan Cipta Mulya. Berdasarkan
penghitungan dengan menggunakan standar deviasi dan rata-rata, sebelum
penetapan TNGHS, yang tergolong dalam kategori rendah adalah jika pendapatan
kurang atau sama dengan Rp158 190 dan tinggi jika lebih dari Rp924 143. Setelah
penetapan TNGHS, pendapatan tergolong rendah jika sama dengan atau lebih
kecil dari Rp440 030 dan tinggi jika lebih dari Rp7 191 290.
Peningkatan pendapatan yang diperoleh rumah tangga responden
disebabkan oleh aktivitas nafkah yang dilakukan. Responden yang bekerja sebagai
petani cabai cenderung memperoleh pendapatan yang cukup besar. Kegiatan
tanam kapol juga membantu masyarakat dalam meningkatkan pendapatan rumah
tangga.
51
SIKAP MASYARAKAT KASEPUHAN CIPTA MULYA TERHADAP
PENETAPAN TAMAN NASIONAL GUNUNG HALIMUN SALAK
Bab ini memuat pembahasan mengenai sikap masyarakat Kasepuhan Cipta
Mulya terhadap penetapan TNGHS. Penjelasan terperinci mengenai bab ini
dijabarkan melalui empat subbab berikut.
Sikap Masyarakat
Perluasan Taman Nasional Gunung Halimun menjadi Taman Nasional
Gunung Halimun Salak menyebabkan perubahan sistem penghidupan masyarakat
yang mencakup akses dan aktivitas nafkah. Masyarakat menjadi semakin sulit
dalam mengakses sumber daya hutan yang sudah dari dulu dimanfaatkan untuk
memenuhi kebutuhan hidup. Keterbatasan akses kemudian menyebabkan
perubahan pada aktivitas nafkah yang dilakukan masyarakat.
Perubahan akses dan aktivitas yang sangat berpengaruh bagi masyarakat
akan menentukan sikap terhadap penetapan TNGHS. Sikap masyarakat
mencerminkan penilaian terhadap penetapan TNGHS yang sudah mengubah
sistem hidup mereka. Masyarakat dapat memiliki kecenderungan bersikap positif,
negatif, atau netral.
Sikap positif merefleksikan penerimaan masyarakat terhadap penetapan
TNGHS karena mereka merasa pengelolaan hutan oleh TNGHS lebih baik
dibandingkan Perum Perhutani. Netral mengindikasikan penilaian yang sama
antara sebelum dan setelah pengelolaan hutan oleh TNGHS. negatif
mencerminkan penolakan terhadap penetapan TNGHS karena pengelolaannya
dinilai lebih buruk dibandingkan dengan Perum Perhutani. Jumlah dan persentase
responden berdasarkan sikap terhadap penetapan TNGHS dijabarkan dalam Tabel
24.
Tabel 24 Jumlah dan Persentase Responden berdasarkan Sikap terhadap TNGHS
Tahun 2013
Sikap Jumlah Persentase
Positif 6 20
Netral 18 60
Negatif 6 20
Total 30 100
Tabel 24 menunjukkan bahwa sebagian besar responden (60 persen)
bersikap netral terhadap penetapan TNGHS sedangkan masing-masing 20 persen
responden memiliki sikap positif dan negatif. Kondisi ini menunjukkan bahwa
masyarakat Kasepuhan Cipta Mulya cenderung tidak merasakan perubahan yang
signifikan setelah ditetapkannya TNGHS.
52
Hubungan Sikap Masyarakat dengan Status Kepemilikan Lahan Garapan
Pemenuhan kebutuhan hidup masyarakat kasepuhan tidak lepas dari
sumber daya alam khususnya lahan. Lahan yang dimanfaatkan sebagai sumber
hidup masyarakat dapat bersifat komunal maupun milik pribadi. Sebagai anggota
komunitas adat, masyarakat kasepuhan memanfaatkan lahan adat yang diwariskan
oleh para leluhur. Meski demikian, beberapa masyarakat juga turut memanfaatkan
lahan lain seperti lahan bekas bukaan Perum Perhutani dan lahan milik.
Keterbatasan akses masyarakat terhadap lahan garapan adat dapat
mempengaruhi sikap terhadap penetapan TNGHS. Jika masyarakat hanya
bergantung pada lahan garapan adat dalam pemenuhan kebutuhan hidupnya
dimungkinkan akan memiliki sikap negatif terhadap penetapan TNGHS.
Alternatif sumber nafkah, dalam hal ini lahan garapan, akan membuat penetapan
TNGHS tidak terlalu berpengaruh terhadap pemenuhan kebutuhan hidup
masyarakat sehingga mereka tetap memiliki sikap positif. Hubungan status
kepemilikan lahan garapan dan sikap responden disajikan dalam Tabel 25.
Tabel 25 Jumlah dan Persentase Responden berdasarkan Sikap dan Status
Kepemilikan Lahan Garapan Tahun 2013
Sikap
Status Kepemilikan Lahan Garapan
Lahan Adat,
Bukaan Perhutani, & Milik pribadi
Lahan Adat dan Bukaan
Perhutani/Milik Pribadi Lahan Adat
n % n % n %
Positif 0 0 3 23.08 3 25
Netral 3 60 8 61.54 7 58.33
Negatif 2 40 2 15.38 2 16.67
Total 5 100 13 100 12 100
Data dalam tabel menunjukkan perbedaan dari dugaan semula. Di setiap
kategori status kepemilikan lahan garapan, jumlah responden yang bersikap netral
mendominasi. Dari 12 orang responden yang hanya memanfaatkan lahan
komunal, 58.33 persen responden bersikap netral, 25 persen positif, dan 16.67
persen negatif. Pada responden yang memanfaatkan lahan dengan dua status
berbeda (lahan komunal adat dan non adat atau milik pribadi), 61.54 persen
responden bersikap netral, 23.08 persen positif, dan 15.38 persen negatif. Dari 5
orang pemilik lahan dengan tiga status berbeda (lahan komunal adat, komunal
non-adat, dan milik pribadi), 60 persen bersikap netral dan 40 persen negatif.
Terdapat kecenderungan responden yang hanya memanfaatkan lahan adat
memiliki sikap positif. Sebaliknya, responden yang memanfaatkan lahan garapan
dengan tiga status kepemilikan berbeda cenderung bersikap negatif. Dengan
demikian terdapat hubungan negatif yang cukup signifikan antara status
kepemilikan lahan garapan dengan sikap masyarakat terhadap TNGHS. Hal
53
tersebut diperkuat dengan hasil uji korelasi rank spearman yang menunjukkan
koefisien korelasi sebesar -0.316 dengan signifikansi satu sisi 0.044 (< 0.05).
Hubungan Sikap Masyarakat dengan Luas Lahan Garapan
Masyarakat kasepuhan memanfaatkan sejumlah lahan untuk melakukan
kegiatan pertanian yang merupakan pondasi kehidupan mereka. Lahan yang
dikuasai tersebut dapat dikategorikan luas, sedang, dan sempit. Semakin luas
lahan yang dapat dimanfaatkan, diduga menciptakan sikap positif masyarakat
terhadap TNGHS dan sebaliknya. Jumlah dan persentase responden berdasarkan
luas lahan yang dimanfaatkan dan sikap terhadap TNGHS disajikan dalam Tabel
26.
Tabel 26 Jumlah dan Persentase Responden berdasarkan Sikap dan Luas Lahan
Garapan Tahun 2013
Sikap
Luas Lahan Garapan
Luas Sedang Sempit
n % n % n %
Positif 2 40 3 17.65 1 12.5
Netral 3 60 9 52.94 6 75
Negatif 0 0 5 29.41 1 12.5
Total 5 100 17 100 8 100
Data pada tabel di atas menunjukkan bahwa sebesar 60 persen responden
yang memiliki lahan yang tergolong luas bersikap netral dan sisanya besikap
positif. Sebagian besar responden dengan luas lahan yang tergolong sedang (52.94
persen) bersikap netral, 29.41 persen bersikap negatif dan 17.65 persen bersikap
positif. Selanjutnya sebesar 75 persen responden dengan dengan luas lahan yang
tergolong sempit bersikap netral dan sisanya masing-masing sebesar 12.5 persen
responden bersikap positif dan negatif.
Terdapat kecenderungan responden yang menggarap lahan dengan
kategori luas memiliki sikap positif. Sebaliknya, responden yang menggarap lahan
denga kategori sempit cenderung bersikap negatif. Dengan demikian terdapat
hubungan positif yang tidak signifikan antara luas lahan garapan dengan sikap
masyarakat terhadap TNGHS. Hal tersebut diperkuat dengan hasil uji korelasi
rank spearman yang menunjukkan koefisien korelasi sebesar 0.150 dengan
signifikansi pengujian satu sisi sebesar 0.214 (>0.05).
54
Hubungan Sikap Masyarakat dengan Tingkat Pendapatan
Terkait tingkat pendapatan, diduga responden yang memiliki tingkat
pendapatan lebih tinggi akan bersikap positif terhadap penetapan TNGHS.
Sebaliknya, responden yang memiliki tingkat pendapatan lebih rendah akan
bersikap negatif terhadap penetapan TNGHS. Jumlah dan persentase responden
berdasarkan sikap terhadap TNGHS dan tingkat pendapatan disajikan dalam Tabel
27.
Tabel 27 Jumlah dan Persentase Responden berdasarkan Sikap dan Tingkat
Pendapatan Rumah Tangga Tahun 2013
Sikap
Tingkat Pendapatan
Tinggi Menengah Rendah
n % n % n %
Positif 2 50 3 23.08 1 7.96
Netral 2 50 7 53.85 9 69.23
Negatif 0 0 3 23.08 3 23.08
Total 4 100 13 100 13 100
Data pada Tabel 27 menunjukkan bahwa sebesar 50 persen responden
dengan tingkat pendapatan tinggi memiliki sikap positif sedangkan sisanya
memiliki sikap netral terhadap TNGHS. Sebagian responden dengan tingkat
pendapatan menengah (53.85 persen) bersikap netral, dan masing-masing 23.08
persen responden bersikap positif dan negatif. Selanjutnya, sebagian besar
responden dengan tingkat pendapatan rendah (69.23 persen) bersikap netral, 23.08
persen bersikap negatif, dan 7.96 persen bersikap positif.
Terdapat kecenderungan responden yang memiliki pendapatan tinggi
bersikap positif. Sebaliknya, responden dengan pendapatan rendah cenderung
bersikap negatif terhadap penetapan TNGHS. Hasil representasi tabel tersebut
didukung dengan uji korelasi rank spearman yang menghubungkan sikap dan
tingkat pendapatan. Koefisien korelasi sebesar 0.286 dengan signifikansi
pengujian satu sisi sebesar 0.062 (>0.05) menunjukkan terdapat hubungan positif
yang tidak signifikan antara tingkat pendapatan dengan sikap.
55
SIMPULAN DAN SARAN
Simpulan
Penetapan Taman Nasional Gunung Halimun Salak (TNGHS)
mempersulit akses masyarakat Kasepuhan Cipta Mulya terhadap lahan garapan
adat. Meski sama-sama berada dalam pengawasan Negara, masyarakat cenderung
merasa lebih mudaht mengakses sumber daya hutan yang berstatus hutan
produksi. Hal ini disebabkan oleh keberadaan keterlibatan masyarakat dalam
pengelolaan hutan saat oleh Perum Perhutani. Masyarakat turut dilibatkan sebagai
kuli dalam penanaman hingga pemanenan. Selain itu masyarakat juga diberi
kesempatan membuka lahan untuk ditanami berbagai tanaman kayu dan padi
ladang.
Bertentangan dengan hal itu, pengelolan oleh Balai TNGHS yang
berlandaskan prinsip konservasi, tidak melibatkan masyarakat dalam pengelolaan
hutan. Keberadaan masyarakat adat yang semakin bertambah dikhawatirkan
mengganggu keseimbangan ekosistem taman nasional meski sebenarnya pihak
taman nasional mengakui keberadaan masyarakat adat sejak dulu.
Pertentangan masyarakat dan pihak TNGHS sebenarnya sudah diusahakan
untuk diselesaikan melalui zonasi yang turut melibatkan partisipasi perwakilan
masyarakat Kasepuhan. Wilayah pemukiman masyarakat Kasepuhan Cipta Mulya
kini berada pada zona khusus sehingga kegiatan penggarapan lahan
diperbolehkan. Meski demikian, masyarakat tetap saja sulit mengambil hasil
berupa tanaman kayu untuk keperluan perbaikan rumah karena pihak TNGHS
tidak dapat mentoleransi kegiatan penebangan kayu.
Terkait dengan aktivitas nafkah, masyarakat tetap menanam padi yang
merupakan kewajiban masyarakat kasepuhan. Perubahan-perubahan yang terjadi
pada aktivitas nafkah masyarakat umumnya disebabkan oleh faktor-faktor di luar
penetapan TNGHS, seperti status perkawinan, perubahan komposisi rumah
tangga, dan motif ekonomi.
Sebagian besar masyarakat mengalami peningkatan pendapatan yang tidak
signifikan sehingga beberapa masih tergolong dalam kategori pendapatan rendah.
Jumlah masyarakat yang termasuk dalam kategori tingkat pendapatan rendah
meningkat setelah penetapan TNGHS.
Sejalan dengan perubahan yang tidak terlalu signifikan dari segi aktivitas
dan pendapatan, sebagian besar masyarakat bersikap netral terhadap penetapan
TNGHS. Hasil korelasi menggunakan tabulasi silang dan rank spearman
menunjukkan hubungan yang tidak signifikan antara sikap dengan luas lahan
garapan, status kepemilikan lahan garapan, dan tingkat pendapatan.
Saran
Masalah pertentangan antara TNGHS dan masyarakat kasepuhan harus
diselesaikan secara komprehensif. Upaya-upaya penyelesaian perlu melibatkan
berbagai stakeholder agar kepentingan masing-masing pihak dapat terakomodasi.
Pembangunan di sektor kehutanan harus kembali pada prinsip keseimbangan
ekologi, ekonomi, dan sosial.
56
Perlu diadakan komunikasi yang lebih intensif antara TNGHS dengan
masyarakat kasepuhan agar keduanya dapat mengurangi ketidakpastian yang
selama ini menimbulkan prasangka. Selain itu, perlu ada pengkajian lebih lanjut
mengenai masyarakat kasepuhan untuk mengetahui tingkat keterdedahan
masyarakat kasepuhan terhadap modernisasi dan dampaknya terhadap
kelembagaan lokal yang selama ini diterapkan. Pengkajian tersebut dapat
membantu menjawab keraguan Bupati Kabupaten Sukabumi dan pihak TNGHS
sehingga dapat dibuat keputusan mengenai pengakuan masyarakat adat
kasepuhan.
57
DAFTAR PUSTAKA
Adiwibowo S. 2012. Teori sumber daya bersama, kuliah 3 pengelolaan kolaboratif
SDA. [ppt.]. Bogor [ID]: Departemen Sains Komunikasi dan Pengembangan
Masyarakat, IPB
Ansori M, Soetarto E, Darusman D, Sundawati L. 2011. Pengelolaan hutan
kemitraan untuk menyejahterakan rakyat (Kasus PHBM di Perhutani BKPH
Parung Panjang, KPH Bogor). Dalam: Forum Pascasarjana. [Internet]. [dikutip 9
Maret 2013]. 34(03): 185-194. Dapat diunduh dari:
http://journal.ipb.ac.id/index.php/forumpasca/article/view/4957/3379
Chambers R, Conway GR. 1991. Sustainable rural livelihoods: practical concepts
for the 21st century. Dalam: IDS Discussion Paper 296. [Internet]. [diunduh 23
Juni 2013]. Dapat diunduh dari:
http://opendocs.ids.ac.uk/opendocs/bitstream/handle/123456789/775/Dp296.pdf
Colchester M, Sirait M, Wijardjo B. 2003.The application of FCS principles in
Indonesia: Obstacles and possibilities. [Internet]. [diunduh 23 Juni 2013]. Dapat
diunduh dari:
http://www.forestpeoples.org/sites/fpp/files/publication/2010/08/indonesiaobstacl
esandpossibilities03eng.pdf
Dewi MC. 2011.Analisis dampak perluasan kawasan Taman Nasional Gunung
Halimun Salak (TNGHS) terhadap kondisi sosial ekonomi masyarakat Kasepuhan
Sinar Resmi (Studi kasus di Desa Sirna Resmi, Kecamatan Cisolok, Kabupaten
Sukabumi, Provinsi Jawa Barat). [skripsi]. [Internet].diunduh 21 Juni 2013].
Bogor [ID]: Institut Pertanian Bogor. 125 hal. Dapat diunduh dari:
http://repository.ipb.ac.id/handle/123456789/53558
Dharmawan AH. 2007. Sistem penghidupan dan nafkah pedesaan: Pandangan
sosiologi nafkah (livelihood sociology) mazhab barat dan mazhab Bogor. Dalam
Sodality. [Internet]. [diunduh 20 Juni 2013]. 01(02): 169-192. Dapat diunduh dari:
http://journal.ipb.ac.id/index.php/sodality/article/view/5932
Dudley N, editor. 2008. Guideline for applying protected area management
categories. Gland [CH]: IUCN
Effendi. 1987. Prinsip-prinsip pengukuran dan penyusunan skala. Dalam:
Singarimbun M, Effendi S, Ancok D, Hagul P, Manning C, Singarimbun I,
Mantra IB, Kasto, Handayani T, Tukiran, et al. 1987. Metode penelitian survai.
Jakarta [ID]: LP3S. Hal.95-121.
Ellen R. 2002. Pengetahuan tentang hutan, transformasi hutan: Ketidakpastian
politik, sejarah ekologi, dan renegosiasi terhadap alam di Seram Tengah. Dalam:
Li TM, editor. Proses transformasi daerah pedalaman di Indonesia. Jakarta [ID]:
Yayasan Obor Indonesia. Hal. 205-246
58
Ellis F. 2000. Rural livelihoods and diversity in developing countries. New York
[USA]: Oxford University Pr. 270 hal.
Feeny D, Berkes F, McCay BJ, Acheson JM. 1990. The tragedy of the commons:
Twenty-two years later. Dalam: Human Ecology. [Internet]. [diunduh 21 Maret
2013]. 18 (01): 1-19. Dapat diunduh dari:
https://polyfront-2.sys.kth.se/polopoly_fs/1.197993!/Menu/general/column-
content/attachment/Feeny_etal_1990.pdf
[FWI] Forest Watch Indonesia. 2011. Potret keadaan hutan Indonesia periode
tahun 2000-2009. [Internet]. [diunduh 30 November 2013]. Dapat diunduh dari:
http://fwi.or.id/wp-content/uploads/2013/02/PHKI_2000-2009_FWI_low-res.pdf
Ginoga K, Erwidodo. 2001. Dampak krisis ekonomi terhadap kondisi hutan dan
masyarakat sekitar hutan: Kasus di hutan produksi Sumatera Selatan. Dalam:
Jurnal Sosial Ekonomi. [Internet]. [diunduh 21 Maret 2013]. 02(01): 15-30. Dapat
diunduh dari:
http://puslitsosekhut.web.id/download.php?page=publikasi&sub=jurnal&id=92
Hardin G. 1968. The tragedy of the commons. Dalam: Science. [Internet].
[diunduh 30 November 2013]. 162(3859): 1243-1248. Dapat diunduh dari:
http://www.geo.mtu.edu/~asmayer/rural_sustain/governance/Hardin%201968.pdf
Hartono T, Kobayashi H, Widjaya H, Suparmo M. 2007. Taman Nasional Gunung
Halimun-Salak “Menyingkap kabut Gunung Halimun-Salak”. Bogor [ID]:
Gunung Halimun-Salak National Park Management Project.
Kementerian Kehutanan. 2012. Data dan informasi pemanfaatan hutan tahun
2012. [Internet]. [diunduh 22 Juni 2013]. Dapat diunduh dari:
http://www.dephut.net/uploads/files/Buku%20Pemanfaatan%20Final%202012.pd
f
Khalil B. 2009. Analisis perubahan penutupan lahan di hutan adat Kasepuhan
Citorek, Taman Nasional Gunung Halimun-Salak. [skripsi]. [Internet]. [diunduh
19 April 2013]. Bogor [ID]: Institut Pertanian Bogor. 83 hal. Dapat diunduh dari:
http://repository.ipb.ac.id/handle/123456789/11376.
[MK] Mahkamah Konstitusi. 2012. Putusan No. 35/PUU-X/2012 mengenai
Perkara Pengujian Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan
terhadap Undang-Undang Dasar Republik Indonesia Tahun 1945.
Murniningtyas E. 2011. Kebijakan nasional mitigasi dan adaptasi perubahan
iklim. [Internet]. [diunduh 6 November 2012]. Dapat diunduh dari:
http://www.bappenas.go.id/get-file-server/node/11447/
59
Nababan A. 2013. Sinergitas hukum adat dan hukum Negara dalam membentuk
masyarakat tertib hukum di Indonesia. [ppt.]. [Internet]. [diunduh 13 September
2013]. Dapat diunduh dari: http://www.aman.or.id/wp-
content/plugins/downloads-
manager/upload/2013_Abdon%20Nababan_Sinergi%20Hukum%20Adat%20dan
%20Hukum%20Negara.pdf
Ngadiono. 2004. 35 tahun pengelolaan hutan Indonesia: Refleksi dan Prospek.
Bogor [ID]: Yayasan Adi Sanggoro
Niswah ZK. 2011. Strategi nafkah masyarakat adat Kasepuhan Sinar Resmi di
Taman Nasional Gunung Halimun Salak. [skripsi]. [Internet]. [diunduh 22 Juni
2013]. Bogor [ID]: Institut Pertanian Bogor. 103 hal. Dapat diunduh dari:
http://repository.ipb.ac.id/bitstream/handle/123456789/47514/I11zkn.pdf
Ostrom E, Ahn TK. 2003. Foundations of social capital. [Internet]. [diunduh 23
Juni 2013]. Dapat diunduh dari: http://era-
mx.org/biblio/Ostrom_and_Ahn_2003.pdf
Ostrom E, Schlager E. 1992. Property-rights regimes and natural resources: A
conceptual analysis. Dalam: Land Economics. [Internet]. [diunduh 21 Maret
2013]. 68(03): 249-262. Dapat diunduh dari:
http://econ.ucsb.edu/~tedb/Courses/Ec100C/Readings/OstromSchlager.pdf
[Permen] Peraturan Menteri Kehutanan Nomor: P. 56/Menhut-II/2006 tentang
Pedoman Zonasi Taman Nasional.
[Perum Perhutani] Perusahaan Umum Kehutanan Negara. 2001. SK Dewan
Pengawas Perum Perhutani No. 136/KPTS/DIR/2001 tentang PSDHBM
Putro HR, Supriatin, Sunkar A, Rossanda D, Prihatini ER. 2012. Collaborative
management of national park in Indonesia. Bogor [ID]: IPB Pr. 201 hal.
Rahayu SS. 2004. Makna hutan bagi masyarakat adat (studi kasus Kesatuan Adat
Banten Kidul, Kasepuhan Ciptagelar). [skripsi]. [Internet]. [diunduh 11 September
2013]. Bogor [ID]: Institut Pertanian Bogor. 162 hal. Dapat diunduh dari:
http://repository.ipb.ac.id/handle/123456789/22783
Rahmawati R. 2013. Konflik-konflik sumberdaya hutan di Jawa Barat dan
Kalimantan Barat, Indonesia. [disertasi]. Bogor [ID]: Institut Pertanian Bogor.
274 hal.
Ribot JC, Peluso NL. 2003. A theory of access. Dalam: Rural Sociology.
[Internet]. [dikutip 23 Juni 2013]. 68 (02): 153-181. Dapat diunduh dari:
http://community.eldis.org/.5ad50647/Ribot%20and%20Peluso%20theory%20of
%20access.pdf
60
Scoones I. 1998. Sustainable rural livelihoods: A framework for analysis. Dalam:
IDS Working Paper 72 (1-22). [Internet]. [dikutip 23 Juni 2013]. Dapat diunduh
dari: http://www.sarpn.org/documents/d0001493/P1833-Sustainable-rural-
livelihoods_IDS-paper72.pdf
Sylviani.2008. Kajian dampak perubahan fungsi kawasan hutan terhadap
masyarakat sekitar. Dalam: Jurnal Penelitian Sosial Ekonomi dan Kebijakan
Kehutanan. [Internet]. [diunduh 21 Maret 2013]. 05(03): 155-178. Dapat diunduh
dari: http://forda-
mof.org/files/32.KAJIAN%20DAMPAK%20PERUBAHAN%20FUNGSI%20K
AWASAN%20HUTAN%20TERHADAP%20MASYARAKAT%20SEKITAR.p
df
Sylviani, Sakuntaladewi N. 2010. Dampak perubahan musim dan strategi adaptasi
pengelola dan masyarakat desa sekitar Taman Nasional Baluran. Dalam: Jurnal
Penelitian Sosial dan Ekonomi. [Internet]. [dikutip 21 Maret 2013]. 07(03): 155-
177. Dapat diunduh dari: http://www.forda-
mof.org/files/6.DAMPAK%20PERUBAHAN%20MUSIM%20DAN%20STRAT
EGI%20ADAPTASI%20PENGELOLA%20DAN%20MASYARAKAT%20DES
A%20SEKITAR%20TAMAN%20NASIONAL%20BALURAN.pdf
Soekanto S. 1982. Sosiologi suatu pengantar. Jakarta [ID]: Rajagrafindo Persada.
Supriyanto B, Putro HR, Supriatin, Widyaningrum IK, Harahap AS, Ekawati D,
Mulyati S, Faizin N, Septiana W, Setyaningsih B et al. 2009. Rencana aksi
restorasi koridor Halimun-Salak [2009-2013]. Bogor [ID]: Gunung Halimun-
Salak National Park Management Project. 33 hal.
[UN] United Nations. 2009. State of the world’s indigenous peoples. [Internet].
[dikutip 24 Juni 2013]. New York [USA]: United Nations. 238 hal. Dapat diunduh
dari: http://www.un.org/esa/socdev/unpfii/documents/SOWIP_web.pdf
[UU] Undang - undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
[UU] Undang-undang Republik Indonesia Nomor 5 Tahun 1990.
[UU] Undang-undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintah Daerah.
[UU] Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah
[UU] Undang-undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan.
61
Wahyuni NI, Mamonto R. 2012. Persepsi masyarakat terhadap taman nasional dan
sumberdaya hutan: Studi kasus blok Aketawaje, Taman Nasional Aketawaje
Lolobata. Dalam: Info BPK Manado. [Internet]. [dikutip 13 September 2013].
02(01): 1-16. Dapat diunduh dari:
http://forda-
mof.org/files/Persepsi_Masyarakat_terhadap_Taman_Nasional_dan_Sumberdaya.
Wrangham R. 2003. Diskursus kebijakan yang berubah dan masyarakat adat
1960-1999. Dalam: Colfer CJP, Resosudarmo IAP, penyunting. 2002. Ke mana
harus melangkah? Masyarakat, hutan, dan perumusan kebijakan. Jakarta [ID]:
Yayasan Obor Indonesia. Hal.24-42.
Zanden JWV. 1984. Social psychology. New York [US]: Random House.
63
LAMPIRAN
Lampiran 1 Kuesioner Penelitian
KUESIONER PENELITIAN
DAMPAK PENETAPAN TAMAN NASIONAL GUNUNG HALIMUN-
SALAK TERHADAP SISTEM PENGHIDUPAN MASYARAKAT
KASEPUHAN CIPTA MULYA
No. Responden :
Hari/tanggal :
I. IDENTITAS RESPONDEN
Nama responden :
Umur : tahun
Jenis kelamin : 1. Laki-laki 2. Perempuan
Pendidikan terakhir :
Pekerjaan saat ini :
Golongan karir :
Alamat :
Status : 1. Menikah 2. Belum Menikah
II. AKSES TERHADAP LAHAN GARAPAN
A. Akses terhadap lahan garapan sebelum penetapan TNGHS
1. Apakah Anda dapat dengan mudah memasuki lahan garapan?
a. Ya b. Tidak
2. Apakah Anda dapat dengan mudah menanami lahan garapan sesuai
kebutuhan Anda?
a. Ya b. Tidak
3. Apakah Anda dapat dengan mudah mengambil hasil tanam dari lahan
garapan?
a. Ya b. Tidak
64
B. Akses terhadap lahan garapan setelah penetapan TNGHS
1. Apakah Anda dapat dengan mudah memasuki lahan garapan?
a. Ya b. Tidak
2. Apakah Anda dapat dengan mudah menanami lahan garapan sesuai
kebutuhan Anda?
a. Ya b. Tidak
3. Apakah Anda dapat dengan mudah mengambil hasil tanam dari lahan
garapan?
a. Ya b. Tidak
III. PEKERJAAN ANGGOTA RUMAH TANGGA
A. Pekerjaan Anggota Rumah Tangga Sebelum Penetapan TNGHS
No. Nama Jenis
Kelamin Usia Pekerjaan
Tempat
Bekerja
1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.
8.
9.
10.
B. Pekerjaan Anggota Rumah Tangga Setelah Penetapan TNGHS
No. Nama Jenis
Kelamin Usia Pekerjaan
Tempat
Bekerja
1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.
8.
9.
10.
65
IV. PENDAPATAN RUMAH TANGGA
A. Pendapatan Rumah Tangga Sebelum Penetapan TNGHS
No. Nama Jumlah Pendapatan
1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.
8.
9.
10.
B. Pendapatan Rumah Tangga Setelah Penetapan TNGHS
No. Nama Jumlah Pendapatan
1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.
8.
9.
10.
V. PENGUKURAN SIKAP MASYARAKAT KASEPUHAN CIPTA
MULYA TERHADAP KEBIJAKAN PENETAPAN TNGHS
Penetapan Taman Nasional Gunung Halimun-Salak
Baik :___:___:___:___:___: Buruk
Menguntungkan :___:___:___:___:___: Tidak Menguntungkan
Bermanfaat :___:___:___:___:___: Tidak Bermanfaat
Meningkatkan Pendapatan :___:___:___:___:___: Menurunkan Pendapatan
Membantu :___:___:___:___:___: Tidak Membantu
Melindungi :___:___:___:___:___: Tidak Melindungi
Merakyat :___:___:___:___:___: Tidak Merakyat
Penting :___:___:___:___:___: Tidak Penting
Memberi Kesempatan :___:___:___:___:___: Tidak Memberi
Kesempatan
Memudahkan :___:___:___:___:___: Menyulitkan
66
Lampiran 2 Panduan Pertanyaan
Pertanyaan untuk Masyarakat
A. Pertanyaan untuk Responden
1. Apa saja tanaman yang dapat ditanam pada lahan garapan sebelum penetapan
Taman Nasional Gunung Halimun Salak? Apakah tanaman-tanaman tersebut
masih dapat ditanam hingga kini?
2. Apa saja tanaman yang dapat ditanamsetelah penetapan Taman Nasional
Gunung Halimun Salak? Apakah tanaman-tanaman tersebut dapat diambil
hasilnya hingga kini?
3. Apa saja perubahan yang Anda rasakan setelah perluasan Taman Nasional
Gunung Halimun Salak?
4. Bagaimana cara Anda menanam padi atau jenis tanaman lainnya? Apakah ada
perbedaan cara menanam padi dengan tanaman jenis lain?
5. Apa yang Anda lakukan terhadap hasil tanam yang Anda peroleh
(dijual/konsumsi sendiri)?
6. Apa saja alat dan bahan yang Anda gunakan untuk menanam dan memanen
padi?
7. Apa saja alat dan bahan yang Anda gunakan untuk menanam dan memanen
tanaman lain?
8. Mengapa anggota rumah tangga Anda memutuskan untuk melakukan
pekerjaannya tersebut?
9. Apa perubahan yang Anda rasakan terhadap kehidupan rumah tangga Anda
setelah perluasan taman nasional?
B. Pertanyaan untuk Informan
1. Apakah terdapat keluhan dari masyarakat Kasepuhan yang berhubungan
dengan perluasan taman nasional? Jika ya, apa yang dikeluhkan?
2. Apa saja upaya-upaya yang telah dilakukan untuk mengatasi pertentangan dengan TNGHS?
Pertanyaan untuk Pihak TNGHS
1. Bagaimana sejarah berdirinya TNGHS?
2. Mengapa terjadi perubahan TNGH menjadi TNGHS?
3. Bagaimana tanggapan pihak TNGHS terhadap keberadaan masyarakat
kasepuhan?
4. Berdasarkan zonasi taman nasional, dimana letak masyarakat kasepuhan?
5. Apa saja aturan dan sanksi yang berlaku dalam pengelolaan TNGHS?
6. Apa saja jenis pelanggaran yang pernah terjadi di TNGHS? Siapa pelakunya?
7. Berapa jenis pelanggaran yang sudah pernah terjadi di TNGHS?
8. Apa benda/alat yang digunakan pihak TNGHS untuk membatasi wilayah
TNGHS?
67
Lampiran 3 Kerangka Sampling
No. Nama Alamat
1 Eman Cipagon
2 Ajong Mekar Jaya
3 Koni Mekar Jaya
4 Ojot Mekar Jaya
5 Warsa Mekar Jaya
6 Ampar Mekar Jaya
7 Ijat Mekar Jaya
8 Unadi Mekar Jaya
9 Sata Mekar Jaya
10 Kantong Mekar Jaya
11 Jaji Cibongbong
12 Sameni Cibongbong
13 Dian Cibongbong
14 Tatang Cibongbong
15 Aan Cibongbong
16 Apri Cibongbong
17 Musa Cibongbong
18 Supirta Cibongbong
19 Tisna Cibongbong
20 Suri Cibongbong
21 Ajid Cibongbong
22 Dedi Cibongbong
23 Ujang Cibongbong
24 Udin Cibongbong
25 Amol Cibongbong
26 Junani Cibongbong
27 Obar Cibongbong
28 Suwarma Cibongbong
29 Ondi Cibongbong
30 Tablo Cibongbong
31 Watja Cibongbong
32 Pendi Cibongbong
33 Juwardi Cibongbong
34 Bahman Cibongbong
35 Otang Cibongbong
36 Jai Cibongbong
37 Barong Cibongbong
38 Yamin Cibongbong
39 Sakri Cibongbong
40 Ating Cibongbong
41 Sukandar Cibongbong
42 Oji Cibongbong
43 Mudrikah Cibongbong
44 Duardi Cibongbong
45 Samsudin Cibongbong
46 Hadna Cibongbong
47 Suhendra Cibongbong
48 Adul Cibongbong
49 Madhapi Cibongbong
50 Karya Cibongbong
51 Samad Cibongbong
52 Ade Cibongbong
53 Adma Cibongbong
54 Suhendi Cibongbong
55 Maih Cibongbong
56 Sutisna Cibongbong
57 Iwan Cibongbong
58 Ajun Cibongbong
59 Marja Cibongbong
60 Madturi Cibongbong
61 Misja Cibongbong
62 Madha Cibongbong
63 Endi Cibongbong
64 Oded Cibongbong
65 Suheri Cibongbong
66 Sudarma Cibongbong
67 Suhendi Cibongbong
68 Supardi Cibongbong
69 Uden Cibongbong
70 Adang Cibongbong
71 Jumhi Cibongbong
72 Asmita Cibongbong
73 Edis Cibongbong
74 Inda Cibongbong
75 Iwan S. Cipta Mulya
76 M. Nasir Cipta Mulya
77 Uday Cipta Mulya
78 Maih Cipta Mulya
79 Oba Cipta Mulya
80 Didin Cipta Mulya
81 Usna Cipta Mulya
68
82 Lamri Cipta Mulya
83 Mariah Cipta Mulya
84 Utom Cipta Mulya
85 Murwanda Cipta Mulya
86 Nirma Cipta Mulya
87 Surni Cipta Mulya
88 Sarnudi Cipta Mulya
89 Musyandi Cipta Mulya
90 Sudarta Cipta Mulya
91 Juma Cipta Mulya
92 Anwar Cipta Mulya
93 Sene Cipta Mulya
94 Wijaya Cipta Mulya
95 Amad Cipta Mulya
96 Karman Cipta Mulya
97 Ari Cipta Mulya
98 Ardo Cipta Mulya
99 Madsai Cipta Mulya
100 Ujang P. Cipta Mulya
101 Hendi Cipta Mulya
102 Suhendar Cipta Mulya
103 Suwando Cipta Mulya
104 Uum Cipta Mulya
105 Ikar Cipta Mulya
106 Ujol Cipta Mulya
107 Kunya Cipta Mulya
108 Usid Cipta Mulya
109 Doon Cipta Mulya
110 Herman Cipta Mulya
111 Sugan Cipta Mulya
112 Ilus Cipta Mulya
113 Ohri Cipta Mulya
114 Jakok Cipta Mulya
115 Aer Cipta Mulya
116 Arkadik Cipta Mulya
117 Iin Cipta Mulya
118 Uud Cipta Mulya
119 Uden Cipta Mulya
120 Daday Cipta Mulya
121 Utin Cipta Mulya
122 Jata Cipta Mulya
123 Oman Cipta Mulya
124 Juan Cipta Mulya
125 Ujid Cipta Mulya
126 Eem Cipta Mulya
127 Dain Cikirai
128 Ujadi Cikirai
129 Sumitra Cikirai
130 Bakat Cikirai
131 Ujun Cikirai
132 Mardi Cikirai
133 Nandi Cikirai
134 Sepe Cikirai
135 Karsa Cikirai
136 Atib Cikirai
137 Ade Idol Cikirai
138 Atim Cikirai
69
Lampiran 4 Daftar Responden Penelitian
No. Nama Usia
(Tahun)
Jenis
Kelamin Kampung Pekerjaan
1 Koni 60 Laki-laki Mekar Jaya Tani, kuli (macul, babad)
2 Ajong 58 Laki-laki Mekar Jaya Tani, usaha warung, jual pakaian
3 Sata 43 Laki-laki Mekar Jaya Tani
4 Mardi 52 Laki-laki Cikirai Tani, usaha (warung, bengkel)
5 Dain 63 Laki-laki Cikirai Tani
6 Ade Idol 58 Laki-laki Cikirai Tani, usaha warung
7 Sumitra 38 Laki-laki Cikirai Tani, kuli bangunan
8 Daday 38 Laki-laki Cipta Mulya Tani
9 Ujid 40 Laki-laki Cipta Mulya Tani, kuli (macul, panen)
10 Usna 38 Laki-laki Cipta Mulya Tani, kuli bangunan, mebeul
11 Madsai 70 Laki-laki Cipta Mulya Tani, nyadap aren
12 Didin 48 Laki-laki Cipta Mulya Tani, kuli nandur, babad
13 Hendi 33 Laki-laki Cipta Mulya Tani, kuli (ngored, macul)
14 Amad 35 Laki-laki Cipta Mulya Tani, kuli macul, panen
15 Utom 40 Laki-laki Cipta Mulya Tani, kuli (pikul emas, macul)
16 Iwan 39 Laki-laki Cipta Mulya Tani
17 Madhapi 100 Laki-laki Cibongbong Tani
18 Ating 55 Laki-laki Cibongbong Tani
19 Oji 50 Laki-laki Cibongbong Tani, nyadap aren
20 Supirta 37 Laki-laki Cibongbong Tani
21 Jai 55 Laki-laki Cibongbong Tani, tambang emas
22 Adul 60 Laki-laki Cibongbong Tani, kuli babad
23 Ujang 43 Laki-laki Cibongbong Tani, kuli bangunan
24 Oded 60 Laki-laki Cibongbong Tani
25 Watja 43 Laki-laki Cibongbong Tani, reparasi barangelektronik
26 Otang 45 Laki-laki Cibongbong Tani
27 Tatang 30 Laki-laki Cibongbong Tani
28 Duardi 70 Laki-laki Cibongbong Tani, usaha warung
29 Suri 39 Laki-laki Cibongbong Tani, usaha warung
30 Dian 39 Laki-laki Cibongbong Tani
70
Lampiran 5 Hasil Korelasi Sikap dengan Status Kepemilikan Lahan Garapan,
Luas Lahan Garapan, dan Tingkat Pendapatan Rumah Tangga
menggunakan SPSS Statistics for Windows
Correlations
Sikap
Status
Kepemilikan
Lahan Garapan
Spearman's rho Sikap Correlation Coefficient 1.000 -.316
Sig. (1-tailed) . .044
N 30 30
Status Kepemilikan Lahan
Garapan
Correlation Coefficient -.316 1.000
Sig. (1-tailed) .044 .
N 30 30
Correlations
Sikap
Luas Lahan
Garapan
Spearman's rho Sikap Correlation Coefficient 1.000 .150
Sig. (1-tailed) . .214
N 30 30
Luas Lahan Garapan Correlation Coefficient .150 1.000
Sig. (1-tailed) .214 .
N 30 30
71
Correlations
Sikap
Tingkat
Pendapatan
Rumah Tangga
Spearman's rho Sikap Correlation
Coefficient
1.000 .286
Sig. (1-tailed) . .062
N 30 30
Tingkat Pendapatan Rumah
Tangga
Correlation
Coefficient
.286 1.000
Sig. (1-tailed) .062 .
N 30 30
72
Lampiran 6 Dokumentasi Penelitian
Panggung adat Leuit
Pandangringan Tungku untuk memasak
Rumah Panggung Kebun Cabai
77
RIWAYAT HIDUP
Kasfy Allama lahir di Jakarta pada 18 Oktober 1993. Penulis merupakan
anak pertama dari empat bersaudara pasangan Muhammad Kalamy dan Meuthia
Helma. Penulis menempuh pendidikan dasar dan menengah di SDIT At –Taufiq
(1999-2005), SMP Islam PB Soedirman (2005-2007), dan SMA Negeri 39 Jakarta
(2007-2010). Setelah lulus SMA, penulis melanjutkan pendidikan ke Institut
Pertanian Bogor pada tahun 2010 melalui jalur Ujian Tulis Mandiri (UTM) dan
diterima di Departemen Sains Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat,
Fakultas Ekologi Manusia.
Selama Penulis menempuh pendidikan tinggi di Institut Pertanian Bogor
terutama pada tahun kedua, penulis aktif mengikuti organisasi dan kegiatan
kepanitiaan. Penulis aktif dalam Badan Eksekutif Mahasiswa Fakultas Ekologi
Manusia (BEM FEMA) periode 2011-2012 sebagai staff Departemen
Komunikasi, Informasi, dan Relasi. Selain itu, penulis juga aktif sebagai sekertaris
manajemen Human Resource Development (HRD) pada Leadership and
Entrepreneurship School (LES 2012) yang merupakan lembaga struktural di
bawah Departemen Pengembangan Potensi Sumberdaya Mahasiswa (PPSDM)
BEM KM IPB. Penulis juga aktif mengikuti kepanitiaan dalam beberpa acara di
IPB yaitu kepanitiaan Masa Perkenalan Fakultas (MPF) Ekologi Manusia dan
Masa Perkenalan Departemen (MPD) Sains Komunikasi dan Pengembangan
Masyarakat 2012. Pengalaman lain yang dimiliki penulis adalahmenjadi asisten
praktikum Mata Kuliah Sosiologi Umum tahun ajaran 2012-2013 dan 2013-2014
semester ganjil.