Upload
phamxuyen
View
219
Download
1
Embed Size (px)
Citation preview
LAPORAN AKHIR PRAKTIKUM FARMAKOLOGI
PERCOBAAN 5
UJI ANTIINFLAMASI
Disusun oleh :
Golongan II Kelompok 4
Kintyas Asokawati (G1F014069)
Irenne Agustina Tanto (G1F014071)
Alifah Itmi Mushoffa (G1F014073)
Gasti Giopenra Benarqi (G1F014075)
Tanggal Praktikum : 27 Mei 2015
Nama Dosen Pembimbing Praktikum : Ika Mustikaningtyas, M.Sc.,Apt.
Nama Asisten Praktikum : Intan dan Yessy
JURUSAN FARMASI
FAKULTAS ILMU-ILMU KESEHATAN
UNIVERSITAS JENDERAL SOEDIRMAN
PURWOKERTO
2015
UJI ANTIINFLAMASI
(Percobaan 5)
I. PENDAHULUAN
1. Latar Belakang
Inflamasi adalah respon protektif setempat yang ditimbulkan oleh cedera atau
kerusakan jaringan, yang berfungsi menghancurkan, mengurangi, atau mengurung
(sekuestrasi) baik agen pencedera maupun jaringan yang cedera itu. Apabila jaringan
dalam tubuh mengalami cedera misalnya karena terbakar, teriris atau karena infeksi
kuman, maka pada jaringan tersebut akan terjadi rangkaian reaksi yang memusnahkan
agen yang membahayakan jaringan atau yang mencegah agen menyebar lebih luas.
Reaksi-reaksi ini kemudian juga menyebabkan jaringan yang cedera diperbaiki atau
diganti dengan jaringan baru. Rangkaian reaksi ini disebut radang.
Banyaknya kasus peradangan yang terjadi memacu para ahli farmasi untuk
memformulasikan suatu obat anti inflamasi yang kerjanya dapat meringankan atau
mengurangi gejala peradangan pada jaringan yang terluka. Oleh karena itu, untuk
mengerahui bagaimana cara kerja atau efek obat – obat antiinflamasi tersebut pada
manusia, maka perlu dilakukan suatu uji praklinik terhadap hewan coba mencit, Untuk
membuktikan apakah obat antiiflamasi yang digunakan benar-benar efektif dalam
mengurangi peradangan yang terjadi.
2. Tujuan Percobaan
Mempelajari daya anti inflamasi obat pada hewan uji yang diinduksi radang
buatan
3. Dasar Teori
Inflamasi merupakan suatu respon protektif normal terhadap luka jaringan
yang disebabkan oleh trauma fisik, zat kimia yang merusak atau zat- zat
mikrobiologik. Inflamasi adalah usaha tubuh untuk menginaktivasi atau merusak
organisme yang menyerang, menghilangkan zat iritan, dan mengatur derajat perbaikan
jaringan ( Mycek, 2001 ).
Apabila jaringan cedera misalnya karena terbakar, teriris atau karena infeksi
kuman, maka pada jaringan ini akan terjadi rangkaian reaksi yang memusnahkan agen
1
yang membahayakan jaringan atau yang mencegah agen menyebar lebih luas. Reaksi-
reaksi ini kemudian juga menyebabkan jaringan yang cedera diperbaiki atau diganti
dengan jaringan baru. Rangkaian reaksi ini disebut radang (Rukmono, 2000).
Agen yang dapat menyebabkan cedera pada jaringan, yang kemudian diikuti
oleh radang adalah kuman (mikroorganisme), benda (pisau, peluru, dsb.), suhu (panas
atau dingin), berbagai jenis sinar (sinar X atau sinar ultraviolet), listrik, zat-zat kimia,
dan lain-lain. Cedera radang yang ditimbulkan oleh berbagai agen ini menunjukkan
proses yang mempunyai pokok-pokok yang sama, yaitu terjadi cedera jaringan berupa
degenerasi (kemunduran) atau nekrosis (kematian) jaringan, pelebaran kapiler yang
disertai oleh cedera dinding kapiler, terkumpulnya cairan dan sel (cairan plasma, sel
darah, dan sel jaringan) pada tempat radang yang disertai oleh proliferasi sel jaringan
makrofag dan fibroblas, terjadinya proses fagositosis, dan terjadinya perubahan-
perubahan imunologik (Rukmono, 2000).
Secara garis besar, peradangan ditandai dengan vasodilatasi pembuluh darah
lokal yang mengakibatkan terjadinya aliran darah setempat yang berlebihan, kenaikan
permeabilitas kapiler disertai dengan kebocoran cairan dalam jumlah besar ke dalam
ruang interstisial, pembekuan cairan dalam ruang interstisial yang disebabkan oleh
fibrinogen dan protein lainnya yang bocor dari kapiler dalam jumlah berlebihan,
migrasi sejumlah besar granulosit dan monosit ke dalam jaringan, dan pembengkakan
sel jaringan. Beberapa produk jaringan yang menimbulkan reaksi ini adalah histamin,
bradikinin, serotonin, prostaglandin, beberapa macam produk reaksi sistem
komplemen, produk reaksi sistem pembekuan darah, dan berbagai substansi hormonal
yang disebut limfokin yang dilepaskan oleh sel T yang tersensitisasi (Guyton, 1997).
Proses inflamasi ini juga dipengaruhi dengan adanya mediator-mediator yang
berperan, di antaranya adalah sebagai berikut (Abrams, 2005) :
amina vasoaktif: histamin & 5-hidroksi tritophan (5-HT/serotonin). Keduanya
terjadi melalui inaktivasi epinefrin dan norepinefrin secara bersama-sama
plasma protease: kinin, sistem komplemen & sistem koagulasi fibrinolitik,
plasmin, lisosomalesterase, kinin, dan fraksi komplemen
metabolik asam arakidonat: prostaglandin, leukotrien (LTB4 LTC4, LTD4,
LTE4 , 5-HETE (asam 5-hidroksi-eikosatetraenoat)
produk leukosit – enzim lisosomal dan limfokin
activating factor dan radikal bebas
2
Banyak obat – obat antiinflamasi yang bekerja dengan jalan menghambat
sintesis salah satu mediator kimiawi yaitu prostaglandin. Sintesis prostaglandin yaitu
(Mycek, 2001 ) :
Asam arakidonat , suatu asam lemak 20 karbon adalah prekursor utama
prostaglandin dan senyawa yang berkaitan. Asam arakidonat terdapat dalam
komponen fosfolipid membran sel, terutama fosfotidil inositol dan kompleks lipid
lainnya. Asam arakidonat bebas dilepaskan dari jaringan fosfolipid oleh kerja
fosfolipase A2 dan asil hidrolase lainnya. Melalui suatu proses yang dikontrol oleh
hormon dan rangsangan lainnya. Ada 2 jalan utama sintesis eukosanoid dari asam
arakidonat
1. Jalan siklo-oksigenase
Semua eikosanoid berstruktur cincin sehingga prostaglandin, tromboksan, dan
prostasiklin disintesis melalui jalan siklo – oksigenase. Telah diketahui dua siklo-
oksigenase : COX-1 dan COX-2 Yang pertama bersifat ada dimana – mana dan
pembentuk, sedangkan yang kedua diinduksi dalam respon terhadap rangsangan
inflamasi.
2. Jalan lipoksigenase
Jalan lain, beberapa lipoksigenase dapat bekerja pada asam arakidonat untuk
membentuk HPETE, 12-HPETE dan 15-HPETE yang merupakan turunan peroksidasi
tidak stabil yang dikorvensi menjadi turunan hidroksilasi yang sesuai (HETES) atau
menjadi leukotrien atau lipoksin, tergantung pada jaringan.
Gambaran makroskopik peradangan sudah diuraikan 2000 tahun yang lampau. Tanda-
tanda radang ini oleh Celsus, seorang sarjana Roma yang hidup pada abad pertama
sesudah Masehi, sudah dikenal dan disebut tanda-tanda radang utama. Tanda-tanda
radang ini masih digunakan hingga saat ini. Tanda-tanda radang mencakup rubor
(kemerahan), kalor (panas), dolor (rasa sakit), dan tumor (pembengkakan). Tanda
pokok yang kelima ditambahkan pada abad terakhir yaitu functio laesa (perubahan
fungsi) ( Mitchell, 2003).
Umumnya, rubor atau kemerahan merupakan hal pertama yang terlihat di
daerah yang mengalami peradangan. Saat reaksi peradangan timbul, terjadi pelebaran
arteriola yang mensuplai darah ke daerah peradangan. Sehingga lebih banyak darah
mengalir ke mikrosirkulasi lokal dan kapiler meregang dengan cepat terisi penuh
3
dengan darah. Keadaan ini disebut hiperemia atau kongesti, menyebabkan warna
merah lokal karena peradangan akut (Abrams, 2005).
Kalor terjadi bersamaan dengan kemerahan dari reaksi peradangan akut. Kalor
disebabkan pula oleh sirkulasi darah yang meningkat. Sebab darah yang memiliki
suhu 37oC disalurkan ke permukaan tubuh yang mengalami radang lebih banyak
daripada ke daerah normal (Rukmono, 2000).
Perubahan pH lokal atau konsentrasi lokal ion-ion tertentu dapat merangsang
ujung-ujung saraf. Pengeluaran zat seperti histamin atau zat bioaktif lainnya dapat
merangsang saraf. Rasa sakit disebabkan pula oleh tekanan yang meninggi akibat
pembengkakan jaringan yang meradang (Rukmono, 2000).
Pembengkakan sebagian disebabkan hiperemi dan sebagian besar ditimbulkan
oleh pengiriman cairan dan sel-sel dari sirkulasi darah ke jaringan-jaringan interstitial.
Campuran dari cairan dan sel yang tertimbun di daerah peradangan disebut eksudat
meradang (Rukmono, 2000).
Berdasarkan asal katanya, functio laesa adalah fungsi yang hilang (Dorland,
2002). Functio laesa merupakan reaksi peradangan yang telah dikenal. Akan tetapi
belum diketahui secara mendalam mekanisme terganggunya fungsi jaringan yang
meradang (Abrams, 2005).
Obat – obat yang digunakan untuk sebagai anti inflamasi non steroid antara
lain ( Mycek, 2001 ):
1. Aspirin dan salisilat lain
Mekanisme kerjanya : efek antipiretik dan anti inflamasi salisilat terjadi karena
penghambatan sintesis prostaglandindi pusat pengatur panas dan hipotalamus dan
perifer di daerah target. Lebih lanjut, dengan menurunkan sintesis prostaglandin,
salisilat juga mencegah sensitisasi reseptor rasa sakit terhadap rangsangan mekanis
dan kimiawi.
2. Derivat asam propionat
Obat – obat ini menghambat reversible siklo-oksigenase dan karena itu, seperti
aspirin menghambat sintesis prostaglandin tetapi tidak menghambat leukotrien.
3. Asam Indolasetat
Yang termasuk dalam grup obat - obat ini adalah indometasin, sulindak dan
etolondak. Semua mempunyai aktivitas antiinflamasi , analgetik dan antipiretik.
4
Bekerja dengan cara menghambat siklo-oksigenase secara reversible. Umumnya tidak
digunakan untuk menurunkan demam.
4. Derivat oksikam
Pada waktu ini, hanya piroksikam yang tersedia di amerika serikat. Anggota
lain dalam grup ini sedang diselidiki dan mungkin akan disediakan juga. Mekanisme
kerjanya belum jelas, tetapi piroksikam digunakan untuk pengobatan artritis rematoid,
spondilitis ankilosa, dan osteoartritis.
5. Fenamat
Asam mefenamat dan meklofenamat tidak mempunyai anti inflamasi
dibandingkan obat AINS yang lain. Efek samping seperti diare dapat berat dan
berhubungan dengan peradangan abdomen.
6. Fenilbutazon
Fenilbutazon mempunyai efek anti inflamasi kuat tetapi tetapi aktivitas
analgetik dan antipiretiknya lemah. Obat ini bukan merupakan obat first line.
7. Obat – obat lain
a. Diklofenak : Penghambat siklo – oksigenase. Diklofenak digunakan untuk
pengobatan jangka lama arthritis rematoid, osteoartritis, dan spondilitis ankilosa.
b. Ketorolak : Obat ini bekerja sama seperti obat AINS yang lain
c. Tolmetin dan nabumeton : Tolmetin dan nabumeton sama kuatnya dengan aspirin
dalam mengobati artritis rematoid atau osteoartritis dewasa.
Sedangkan inducer enzim yang digunakan adalah karagenin. Karagenin merupakan
seyawa iritan yang dipilih, meskipun senyawa iritan lain seperti formalin, mustard, kaolin,
racun ular, polivinilpirolidin, yeast, ovalbumin, dan mediator kimia inflamasi seperti histamin,
serotonin, atau bradikinin serta enzim hidrolitik seperti kolagenase, tripsin, lipase,
fosofolipase, A2, elastase, dan hyaluronidase juga dapat menimbulakan udema ketika
disuntikkan secara subplantar pada telapak kaki tikus, namun karagenin merupakan seyawa
yang paling banyak digunakan untuk memprediksi efek terapeutik obat antinflamasi steroid
maupun nonsteroid (Gryglewski, 1997).
Di samping itu karagenin tidak meimbulkan kerusakan jaringan, tidak menimbulkan
bekas, serta menimbulkan respon yang paling peka terhadap obat antiflamasi dibandingkan
senyawa iritan lainnya. Pada proses pembentukan udema, karagenin akan menginduksi cedera
sel denagan dilepaskannya mediator yang mengawali proses inflamasi. Udema yang
5
disebabkan induksi karagenin dapat bertahan selama 6 jam dan berangsur-angsur berkurang
dalam waktu 24 jam (Sumarni dan Rahayu, cit Mukhlisoh, 1998).
Karagenin merupakan senyawa yang dapat menginduksi cedera sel dengan
melepaskan mediator yang mengawali proses inflamasi. Udema yang terjadi akibat
terlepasnya mediator inflamasi seperti: histamin, serotin, bradikinin, dan prostagladin. Udem
yang disebabkan oleh injeksi karagenin diperkuat oleh mediator inflamasi terutama PGE1 dan
PGE2 dengan cara menurunkan permeabilitas vaskuler. Apabila permeabilitas vaskuler turun
maka protein-protein plasma dapat menuju ke jaringan yang luka sehingga terjadi udema.
II. ALAT DAN BAHAN
A. Alat
Alat yang digunakan pada praktikum ini adalah plestismograf, spuit 1 ml,
timbangan tikus, neraca analitik, dan alat-alat gelas.
B. Bahan
Bahan yang digunakan pada praktikum ini adalah karagenin 1% dalam
aquadest, Na Diklofenak, Asam Mefenamat, Prednison, Hewan coba (tikus), kapas,
dan alkohol.
6
III. CARA KERJA
Ditimbang
Diberi tanda sebatas lutut pada kaki belakang
Dicelupkan kaki kanan tikus ke dalam - Diberi obat masing-masing
alat plestimograf sampai tanda batas tikus diberi obat secara i.p
Disuntikkan karagenin 1% dalam aquadest - Disuntikkan dengan karagenin
pada telapak kaki kanan pada telapak kaki kanan setelah
15 menit
Diamati dan catat volume udem yang terjadi
setiap 15 menit selama 2 jam
IV. PERHITUNGAN DAN HASIL PERCOBAAN
Na Diklofenak
Dosis Na Diklofenak = 50 mg/ 70 kg BB
Dosis Konversi = 0.018 x 50
= 0.9 mg/ 200 BB tikus
Larutan Stock = 0.9 mg / 5 ml
= 4.5 mg / 25 ml
Berat tablet yang diambil = 4.5 x226.9 mg
50 = 20.421 mg
7
Tikus
Kelompok I (kontrol) Kelompok II-IV (perlakuan)
Data
Asam Mefenamat
Dosis Asam Mefenamat = 500 mg/ 70 kg BB
Dosis Konversi = 0.018 x 500
= 9 mg / 200 gr
Larutan Stock = Dosis Konversi x 2
Vmax = 9 x25 = 3.6 mg/ ml
Banyak Tablet = 3.6 x 640
500 = 4.6 mg/ 5 ml = 23 mg/ 25 ml
Prednison
Dosis Prednison = 5 mg / 70 kg BB
Dosis Konversi = 0.018 x 5
= 0.09 mg/200 gr
Larutan Stock = 0.09 mg / 5 ml
= 0.45 mg/25 ml
Banyak Tablet = 0.45 x 170
5 = 15.3 mg / 5 ml = 76.5 mg / 25 ml
Karagenin
100 mg dalam 10 ml → 0.1 ml untuk semua tikus
Volume Udem Tikus
Menit ke - Na Diklofenak Asam Mefenamat Prednison Kontrol
0 1.45 ml 0.9 ml 0.6 ml 1.2 ml
15 0.85 ml 1.05 ml 1 ml 0.6 ml
30 0.8 ml 0.9 ml 0.75 ml 0.9 ml
45 0.6 ml 0.75 ml 0.8 ml 0.85 ml
60 0.8 ml 0.7 ml 0.85 ml 0.75 ml
75 0.55 ml 0.95 ml 0.65 ml 0.4 ml
90 0.75 ml 1.2 ml 0.9 ml 0.75 ml
% Kenaikan Volume Udem
8
Menit ke - Na Diklofenak Asam Mefenamat Prednison Kontrol
0 25,35 -1,1 -46,325 37,5
15 -25,65 -7,14 14,855 -32,5
30 -30,85 -18,13 -8,93 2,5
45 -48,5 -32,96 -6,575 -2,5
60 -29,85 6,93 -14,735 -18,75
75 -51,65 13,19 -26,86 -55
90 -18,15 31,865 4,46 -12,5
t - 0 t - 15 t - 30 t - 45 t- 60 t - 75 t - 90
-60
-50
-40
-30
-20
-10
0
10
20
3025.35
-25.65-30.85
-48.5
-29.85
-51.65
-18.15
% Kenaikan Volume Udem Na Diklofenak
Na Diklofenak
t - 0 t - 15 t - 30 t - 45 t - 60 t- 75 t- 90
-40
-30
-20
-10
0
10
20
30
40
-1.1-7.14
-18.13
-32.96
6.9313.19
31.865
% Kenaikan Volume Udem Asam Mefenamat
Asam Mefenamat
9
t - 0 t - 15 t - 30 t - 45 t - 60 t - 75 t - 90
-50
-40
-30
-20
-10
0
10
20
-46.325
14.855
-8.93 -6.575
-14.735
-26.86
4.46
% Kenaikan Volume Udem Prednison
Prednison
t - 0 t - 15 t - 30 t - 45 t - 60 t - 75 t - 90
-60
-40
-20
0
20
40
60
37.5
-32.5
2.5-2.5
-18.75
-55
-12.5
% Kenaikan Volume Udem Kontrol
Kontrol
% Daya Anti Inflamasi
Kontrol
Luas I = 37.5 x 7.5
2=140.625
Luas II = 32.5 x 7.5
2=121.875
Luas III = 32.5 x 13
2=211.25
Luas IV = 2.5 x 2
2=2.5
Luas V = 2.5 x 7.5
2=9.375
10
Luas VI = 2.5 x 7.5
2=9.375
Luas VII = (18.75+2.5) x15
2=159.375
Luas VIII = (55+18.75) x15
2=553.125
Luas IX = (55+12.5 ) x 15
2=506.25
AUC Kontrol = Luas I – Luas II – Luas III + luas IV + Luas V – Luas VI – Luas VII
– Luas VIII – Luas IX= 140.625 – 121.875 - 211.25 + 2.5 + 9.375 –
9.375 – 159.375 – 553.125 – 506.25= -1408.75
Na Diklofenak
Luas I = 25,35 x 7,5
2=95,0625
Luas II = 25,6 5x 7,5
2=96,1875
Luas III = (25,65+30,85) x15
2=423,75
Luas IV = (30,85+48,5) x152
=595,125
Luas V = (48,5+29,85)x15
2=587,625
Luas VI = (29,85+51,65)x 15
2=611,25
Luas VII = (51,65+18,15)x 15
2=523,5
AUC Na Diklofenak = Luas I – (Luas II+Luas III+Luas IV+Luas V+Luas
VI+Luas VII)
=95,0625 – (96,1875+423,75+595,125 + 587,625 +
611,25 + 523,5)
= -2742,3725
% Daya Anti Inflamasi = −1408.75−(−2742,3725)
−1408.75 x 100% = -94,67%
11
Asam Mefenamat
Luas I = 1.1 x15
2=8.25
Luas II = (18.13+7.5 ) x 15
2=189.6
Luas III = (18.13+32.96) x15
2=383.175
Luas IV = 32.96 x 10
2=164.8
Luas V = 6.93 x 5
2=17.325
Luas VI = (6.93+13.19) x15
2=150.9
Luas VII = (31.8+13.19) x152
=337.425
AUC Asam Mefenamat = -(Luas I + Luas II + Luas III+ Luas IV) + LuasV +
Luas VI + Luas VII = -(8.25+189.6+383.175+164.8) +
17.325 + 150.9 + 337.425= -240.175
% Daya Anti Inflamasi = −1408.75−(−240.175)
−1408.75 x 100% = 82,95 %
Prednison
Luas I = 46.325 x10
2=231.625
Luas II = 14.855 x 5
2=37.1375
Luas III = 14.855 x 9
2=66.8475
Luas IV = 8.93 x 6
2=26.79
Luas V = (8.93+6.575) x15
2=116.2875
Luas VI = (14.735+6.575) x15
2=159.825
Luas VII = (26.86+14.735) x15
2=311.9625
Luas VIII = 26.86 x 12
2=161.16
12
Luas IX = 4.46 x3
2=6.69
AUC Prednison = -(Luas I) + Luas II + Luas III- Luas IV - Luas V – Luas VI –
LuasVII – Luas VIII + Luas IX = -(231.625) + 37.1375 + 66.8475
– 26.79 – 116.2875 – 159.825 – 311.9625 – 161.16 + 6.69 = -
896.975
% Daya Anti Inflamasi = −1408.75−(−896.975)
−1408.75 x 100% = 36,32%
V. PEMBAHASAN
Percobaan yang dilakukan kali ini bertujuan untuk mengetahui aktivitas farmakologi
Na Diklofenak, Prednison dan Asam mefenamat sebagai obat antiinflamasi pada tikus yang
diinjeksi karagenin, sebagai inisiator terjadinya inflamasi tersebut. Selain itu, untuk
membandingkan efektivitas farmakologi Na Diklofenak, Prednison dan Asam mefenamat
sebagai obat antiinflamasi pada tikus. Inflamasi diidentifikasikan sebagai suatu reaksi lokal
organisme terhadap suatu iritasi atau keadaan non fisiologik.
Tikus yang digunakan dalam percobaan ini berjumlah dua ekor tiap kelompok dengan
perlakuan yang masing-masing berbeda. Mula-mula, semua tikus yang akan digunakan
ditimbang dahulu.
Kelompok I, tikus pertama disuntik Na Diklofenak secara i.p, lalu setelah 15 menit
kemudian disuntik karagenin pada telapak kaki tikus; tikus kedua disuntik Prednison
secara i.p, lalu setelah 15 menit kemudian disuntik karagenin pada telapak kaki tikus.
Kelompok II, tikus pertama disuntik Asam Mefenamat secara i.p, lalu setelah 15
menit kemudian disuntik karagenin pada telapak kaki tikus; tikus kedua disuntik
Prednison secara i.p, lalu setelah 15 menit kemudian disuntik karagenin pada telapak
kaki tikus.
Kelompok III, tikus pertama disuntik Asam Mefenamat secara i.p, lalu setelah 15
menit kemudian disuntik karagenin pada telapak kaki tikus; tikus kedua diberi
aquadest secara p.o, lalu setelah 15 menit kemudian disuntik karagenin pada telapak
kaki tikus.
Kelompok IV, tikus pertama diberi aquadest secara p.o, lalu setelah 15 menit
kemudian disuntik karagenin pada telapak kaki tikus; tikus kedua diberi Na
13
Diklofenak secara p.o, lalu setelah 15 menit kemudian disuntik karagenin pada
telapak kaki tikus.
Sedangkan obat antiinflamasi yang digunakan adalah Na Diklofenak, Prednison dan
Asam mefenamat.
Na Diklofenak
Nama generik = Na Diklofenak
Struktur kimia = C14H10Cl2N2O2
Sifat fisikokimia = Warna kekuningan, serbuk kristal, sedikit higroskopis
Sub kelas terapi = Analgesik Non Narkotik
Kelas terapi = Analgesik, Antipiretik, Antiinflamasi Non steroid, Antipirai
Farmakologi = Aktivitas sebagai antiinflamasi,analgetik & antipiretik.
Metabolisme terutama melalui hati. Ekskresi pada orang dewasa
sehat kira-kira 50-70% melalui urin, 30-35% melalui feses
Stabilitas penyimpanan = Terlindung dari cahaya, simpan dalam wadah tertutup pada
suhu tidak lebih dari 30°
Kontra Indikasi = Pasien dengan hipersensitivitas, asma, urtikaria, rinitis parah,
angioudema, tukak lambung aktif
Efek Samping = Pencernaan : gangguan pada saluran cerna bagian atas (20%
pasien) tukak lambung, perdarahan saluran cerna. ;Saraf : sakit
kepala (3-9% pasien), depresi, insomnia, cemas. ;Ginjal :
(kurang dari 1% pasien) terganggu fungsi ginjal
(azotemia,proteinuria,nefrotik sindrom dll),;Kardiovaskular :
retensi cairan, hipertensi, (3-9% pasien), ;Pernapasan : asma
(kurang dari 1% pasien), ;Darah : lekopenia, trombositopenia,
hemolitik anemia (kurang dari 1% pasien), ;Hati : hepatitis,
sakit
kuning (jarang), peningkatan SGOT terjadi pada 2 %
pasien, ;Lain-lain : ruam, pruritus, tinnitus, reaksi sensitivitas
(1-3% pasien).
Interaksi Obat = Antikoagulan : Dapat memperparah perdarahan saluran cerna.
Metotreksat : Meningkatkan konsentrasi metotreksat.;Glikosida
14
jantung : Meningkatkan toksisitas glikosida jantung.;Diuretik :
Secara bersamaan dengan HCT, meningkatkan kadar kalium
dalam serum; dengan triamterene meningkatkan resiko
kerusakan ginjal. ;NSAID : Penggunaan bersama aspirin dapat
meningkatkan eksresi diklofenak melalui
empedu. ;Siklosporin : Meningkatkan efek nefrotoksik
siklosporin.;Litium : Meningkatkan konsentrasi plasma litium
dan menurunkan klirens litium. ;Antidiabet : Kasus
hipoglikemik & hiperglikemi telah dilaporkan
(jarang). ;Kuinolon : Dapat meningkatkan resiko stimulasi
sistem saraf pusat (misalnya kejang). ;Antasid : Dapat menunda
absorpsi diklofenak. ;Kortikosteroid : Meningkatkan resiko
ulser saluran cerna.
Bentuk Sediaan = Tablet
Peringatan = Hati-hati pada pasien usia lanjut, gangguan ginjal, gangguan
jantung atau gangguan hati, penyakit gangguan pencernaan,
penggunaan bersamaan kortikosteroid, kondisi yg berhubungan
dgn retensi cairan (hipertensi, gagal jantung)
Informasi Pasien = Jika terjadi ruam kulit, ulser saluran cerna, perdarahan,
gangguan penglihatan, peningkatan berat badan, udem, feses
hitam, atau sakit kepala yang persisten, hubungi dokter.;Jika ada
gangguan pencernaan, gunakan obat sesudah makan. Gejala &
tanda hepatotoksis,
Mekanisme Aksi = Menghambat sintesis prostaglandin dgn menghambat COX-1
& COX-2
Farmakokinetik = Absorbsi dengan cepat dan lengkap dan jumlah yang
diabsorbsi tidak berkurang jika diberikan bersama dengan
makanan. Kadar puncak obat dicapai dalam ½ -1 jam. Ikatan
protein 99,7%, waktu paruh 1-2 jam. Pemberian dosis berulang
tidak menyebabkan akumulasi . eliminasi terutama melalui urin.
Farmakodinamik = Menghambat enzim siklo-oksigenase sehingga pembentukan
prostaglandin terhambat.
15
Prednison
Nama Generik = Prednison
Nama Kimia =17-hydroxy-17-(2-hydroxyacetyl)-10,13-dimethyl
7,8,9,10,12,13,14,15,16,17-decahydro-6H-
cyclopenta[a]phenanthrene-3,11-dione
Keterangan = Prednison merupakan pro drug, yang di dalam hati akan
segera diubah menjadi prednisolon, senyawa aktif steroid.
Sifat Fisikokimia = Prednison adalah serbuk kristalin berwarna putih, tak berbau.
Sangat sedikit larut dalam air, sedikit larut dalam etanol,
methanol, kloroform, dan dioksan. BM 358,428 g/mol
Sub Kelas Terapi = Hormon, Obat Endokrin Lain dan Kontraseptik
Farmakologi = Efek utamanya sebagai glukokortikoid. Glukokortikoid alami
(hidrokortison dan kortison), umumnya digunakan dalam terapi
pengganti (replacement therapy) dalam kondisi defisiensi
adrenokortikal. ;Sedangkan analog sintetiknya (prednison)
terutama digunakan karena efek imunosupresan dan anti
radangnya yang kuat.;Glukokortikoid menyebabkan berbagai
efek metabolik.;Glukokortikoid bekerja melalui interaksinya
dengan protein reseptor spesifik yang terdapat di dalam
sitoplasma sel-sel jaringan atau organ sasaran, membentuk
kompleks hormon-reseptor.;Kompleks hormon-reseptor ini
kemudian akan memasuki nukleus dan menstimulasi ekspresi
gen-gen tertentu yang selanjutnya memodulasi sintesis protein
tertentu. Protein inilah yang akan mengubah fungsi seluler organ
sasaran, sehingga diperoleh, ;misalnya efek glukoneogenesis,
meningkatnya asam lemak, redistribusi lipid, meningkatnya
reabsorpsi natrium, meningkatnya reaktivitas pembuluh
terhadap zat vasoaktif , dan efek anti radang. ;Apabila terapi
prednison diberikan lebih dari 7 hari, dapat terjadi penekanan
fungsi adrenal, artinya tubuh tidak dapat mensintesis
kortikosteroid alami dan menjadi tergantung pada prednison
yang diperoleh dari luar. ;Oleh sebab itu jika sudah diberikan
16
lebih dari 7 hari, penghentian terapi prednison tidak boleh
dilakukan secara tiba-tiba, tetapi harus bertahap dan perlahan-
lahan. Pengurangan dosis bertahap ini dapat dilakukan selama
beberapa hari, ;jika pemberian terapinya hanya beberapa hari,
tetapi dapat memerlukan berminggu-minggu atau bahkan
berbulan-bulan jika terapi yang sudah diberikan merupakan
terapi jangka panjang. Penghentian terapi secara tiba-tiba dapat
menyebabkan krisis Addisonian,;yang dapat membawa
kematian. Untuk pasien yang mendapat terapi kronis, dosis
berseling hari kemungkinan dapat mempertahankan fungsi
kelenjar adrenal, sehingga dapat mengurangi efek samping
ini;Pemberian prednison per oral diabsorpsi dengan baik.
Prednison dimetabolisme di dalam hati menjadi prednisolon,
hormon kortikosteroid yang aktif.
Stabilitas Penyimpanan = Simpan pada suhu 15° - 30°C
Kontra Indikasi = Infeksi jamur sistemik dan hipersensitivitas terhadap
prednison atau komponen-komponen obat lainnya.
Efek Samping = Gangguan keseimbangan cairan dan elektrolit. Retensi cairan
tubuh;- Retensi natrium;- Kehilangan kalium;- Alkalosis
hipokalemia;- Gangguan jantung kongestif;-
Hipertensi;Gangguan Muskuloskeletal :;- Lemah otot;- Miopati
steroid;- Hilangnya masa otot;- Osteoporosis;- Putus tendon,
terutama tendon Achilles;- Fraktur vertebral;- Nekrosis aseptik
pada ujung tulang paha dan tungkai;- Fraktur patologis dari
tulang panjang;Gangguan Pencernaan :;- Borok lambung
(peptic ulcer) kemungkinan disertai perforasi dan perdarahan;-
Borok esophagus (Ulcerative esophagitis);- Pankreatitis;-
Kembung;- Peningkatan SGPT (glutamate piruvat transaminase
serum), SGOT (glutamate oksaloasetat transaminase serum),
dan enzim fosfatase alkalin serum. Umumnya tidak tinggi dan
bersifat reversibel, akan turun kembali jika terapi
dihentikan.;Gangguan Dermatologis :;- Gangguan
penyembuhan luka;- Kulit menjadi tipis dan rapuh;- Petechiae
17
dan ecchymoses;- Erythema pada wajah;- Keringat
berlebuhan;Gangguan Metabolisme :;- Kesetimbangan nitrogen
negatif, yang disebabkan oleh katabolisme protein;Gangguan
Neurologis :;- Tekanan intrakranial meningkat disertai
papilledema (pseudo-tumor cerebri), biasanya setelah terapi;-
Konvulsi;- Vertigo;- Sakit kepala;Gangguan Endokrin :;-
Menstruasi tak teratur;- Cushingoid;- Menurunnya respons
kelenjar hipofisis dan adrenal, terutama pada saat stress,
misalnya pada trauma, pembedahan atau Sakit;- Hambatan
pertumbuhan pada anak-anak;- Menurunnya toleransi
karbohidrat;- Manifestasi diabetes mellitus laten;- Perlunya
Peningkatan dosis insulin atau OHO (Obat Hipoglikemik Oral)
pada pasien yang sedang dalam terapi diabetes mellitus;-
Katarak subkapsular posterior;- Tekanan intraokular
meningkat;- Glaukoma;- Exophthalmos;Lain-lain :;- Urtikaria
dan reaksi alergi lain, reaksi anafilaktik atau hipersensitivitas
Interaksi Obat =1) Obat-obat yang menginduksi enzim-enzim hepatik, seperti
fenobarbital, fenitoin, dan rifampisin dapat meningkatkan
klirens kortikosteroid. Oleh sebab itu jika terapi kortikosteroid
diberikan bersama-sama obat-obat tersebut, ;maka dosis
kortikosteroid harus ditingkatkan untuk mendapatkan hasil
sebagaimana yang diharapkan.;
2) Obat-obat seperti troleandomisin and ketokonazol dapat
menghambat metabolisme kortikosteroid, dan akibatnya akan
menurunkan klirens atau ekskresi kortikosteroid. Oleh sebab itu
jika diberikan bersamaan, maka dosis ;kortikosteroid harus
disesuaikan untuk menghindari toksisitas steroid.;
3) Kortikosteroid dapat meningkatkan klirens aspirin dosis
tinggi yang diberikan secara kronis. Hal ini dapat menurunkan
kadar salisilat di dalam serum, dan apabila terapi kortikosteroid
dihentikan akan meningkatkan risiko toksisitas
salisilat. ;Aspirin harus digunakan secara berhati-hati apabila
18
diberikan bersama-sama dengan kortikosteroid pada pasien
yang menderita hipoprotrombinemia. ;
4) Efek kortikosteroid pada terapi antikoagulan oral bervariasi.
Beberapa laporan menunjukkan adanya peningkatan dan
laporan lainnya menunjukkan adanya penurunan efek
antikoagulan apabila diberikan bersama-sama dengan
kortikosteroid. ;Oleh sebab itu indeks koagulasi harus selalu
dimonitor untuk mempertahankan efek antikoagulan
sebagaimana yang diharapkan.
Bentuk Sediaan = Tablet 5 mg, Kaptab 5 mg
Peringatan = Pasien yang sedang dalam terapi imunosupresan sangat
terhadap infeksi, antara lain infeksi oleh virus, bakteri, jamur,
protozoa, dan lain-lain. Oleh sebab itu harus benar-benar dijaga
agar terhindar dari sumber infeksi.;Kortikosteroid dapat
menutupi gejala-gejala infeksi atau penyakit lain, dan infeksi
baru dapat saja terjadi dalam periode penggunaannya. ;Terapi
kortikosteroid jangka panjang dapat menyebabkan katarak
subkapsular posterior, glaucoma, yang juga dapat merusak
syaraf penglihatan, dan dapat memperkuat infeksi mata
sekunder yang disebabkan oleh virus ataupun
jamur. ;Pemberian vaksin hidup ataupun vaksin hidup yang
dilemahkan, merupakan kontraindikasi untuk pasien yang
sedang mendapat terapi kortikosteroid dosis imunosupresan.
Vaksin yang dibunuh atau diinaktifkan dapat saja
diberikan, ;tetapi responnya biasanya tidak
memuaskan. ;Pemberian kortikosteroid pada pasien
hipotiroidism ataupun sirosis biasanya menunjukkan efek
kortikosteroid yang lebih kuat. ;Kortikosteroid harus diberikan
secara sangat berhati-hati pada pasien dengan herpes simpleks
okular karena risiko terjadinya perforasi kornea.
Informasi Pasien = Pasien yang sedang mendapat terapi imunosupresan sedapat
mungkin harus menghindari sumber-sumber infeksi, sebab
19
sistem imunnya sedang tidak berjalan baik. Apabila mendapat
infeksi, harus segera mendapat pertolongan medis tanpa tunda.
Mekanisme Aksi = Sebagai glukokortikoid, bersifat menekan sistem imun, anti
radang.
Asam Mefenamat
Nama Generik = As Mefenamat
Nama Kimia = N-(2,3-Xylyl)antranilic acid, Keterangan = pKa : 4.2
Sifat Fisikokimia = Berbentuk serbuk putih keabuan. Tidak larut dalam air.
Sedikit larut dalam alkohol
Sub Kelas Terapi = Anti Inflamasi Non Steroid
Farmakologi = Kerja Asam mefenamat adalah seperti obat golongan AINS
lain yaitu menghambat sintesa prostaglandin dengan
menghambat kerja enzim cyclooxygenase/PGHS (COX-1 &
COX-2). Efek anti inflamasi, analgetik & antipiretik merupakan
;dipercaya dari kerja menghambat COX-2. Efek anti inflamasi
mungkin juga dihasilkan dari kerja menghambat biosintesis dari
mukopolisakarida. Efek antipiretik diduga akibat hambatan
sintesa prostaglandin di CNS.
Stabilitas Penyimpanan = Disimpan dalam wadah tertutup rapat, pada suhu
antara 15-30°C
Kontra Indikasi = Adanya riwayat hipersensitif berupa gatal-gatal, angioedem,
bronchospasm, rhinitis berat, atau syok oleh Aspirin atau
golongan AINS lain. Pasien dengan riwayat gangguan saluran
cerna. ;Pasien hamil trimester ke-3. Pasien menyusui (atau
hentikan menyusui)
Efek Samping = Gangguan lambung : tidak nafsu makan, sakit abdomen,
sembelit, diare, dispepsi, kembung, rasa terbakar, mual, tukak
lambung, muntah, mulut kering hingga pendarahan
lambung. ;Efek pada darah : penurunan hematokrit (pemakaian
jangka lama), anemia, memperpanjang waktu pendarahan,
eusinopili, epstaxis, leucopenia, thrombo, cytopenia,
20
trombositopenia, menghambat agregasi platelet.;Efek pada
sistem syaraf : pusing, sakit kepala, ketakutan, bingung, depresi,
bermimpi, sulit tidur, cemas, gemetaran, berputar,
halusinasi.;Efek pada mata/pendengaran : tinitus, gangguan
penglihatan, gangguan pendengaran, sembab mata.;Efek pada
ginjal : abnormalitas fungsi ginjal, disuria, hematouria,
hiperkalemia, cystitis, nephrotic sindrom, oligouria/poliuria,
proteinuria sampai gagal ginjal.;Effek pada hati : peningkatan
hasil test fungsi hati (SGOT, SGPT) sekitar >3 kali nilai
normal. Hepatitis, jaundice, kerusakan hati, kolik.;Efek samping
lain : gatal, bentol, kemerahan, fotosensitif, reaksi anafilaksis,
Stevens-Johnson sindrome, bengkak, CHF, hipertensi, takikardi,
aritmia, hypotensi, miocardial infark, demam, infeksi,;sepsis,
perubahan berat badan, asma, hipergikemi, pankreatitis,
pneumonia, depresi pernafasan.
Interaksi Makanan = Makanan mengurangi kecepatan absorpsi tetapi tidak
mengurangi jumlah yang diabsorpsi
Interaksi Obat = Obat yg terikat pada protein plasma : Menggeser ikatan
dengan protein plasma, sehingga dapat meningkatkan efek
samping contoh : hidantoin, sulfonylurea). ;Obat antikoagulan
& antitrombosis : Sedikit memperpanjang waktu prothrombin &
Waktu thromboplastin parsial. Jika Pasien menggunakan
antikoagulan (warfarin) atau zat thrombolitik (streptokinase),
waktu prothrombin harus dimonitor.;Lithium : Meningkatkan
toksisitas Lithium dengan menurunkan eliminasi lithium di
ginjal. ;Obat lain yang juga memiliki efek samping pada
lambung : Kemungkinan dapat meningkatkan efek samping
terhadap lambung.
Bentuk Sediaan = Kapsul 250 mg, Kaplet 500 mg
Peringatan = Hati-hati Pasien Lansia. Pasien dengan kondisi terjadinya
retensi cairan Pasien sedang menggunakan obat-obat yang
berinteraksi dengan Asam Mefenamat Pasien anak di bawah
21
usia 14 tahun.;Sebaiknya tidak digunakan secara rutin sebagai
obat antipiretik
Informasi Pasien = Minum setelah makan untuk mengurangi efek iritasi langsung
pada lambung
Mekanisme Aksi = Menghambat sintesa prostaglandin dengan menghambat kerja
isoenzim COX-1 & COX-2
Karagenin digunakan untuk pembentukan udem, karagenin adalah suatau polisakarida
sulfat yang berasal dari tanaman Chondrus crispus. Pembentukan udem oleh karagenin tidak
menyebabkan kerusakan jaringan meskipun udem dapat bertahan selama 6 jam dan
berangsur-angsur akan berkurang dan setelah 24 jam menghitung tanpa meninggalkan bekas.
Percobaan ini menggunakan alat yang bernama pletismograf untuk mengindikasikan
terjadinya inflamasi pada kaki bawah sebelah kanan tikus, dengan pengukuran persentase
besarnya radang pembengkakan. Caranya tikus diberi obat secara i.p, lalu setelah 15 menit
disuntik karagenin di telapak kaki kanan tikus kaki tersebut lalu langsung dicelupkan ke alat
pletismograf dan diamati tinggi air raksa sebagai konversi volume kaki tikus yang tercelup
dalam air raksa tersebut. Untuk memudahkan pengamatan, karagenin diinjeksikan secara
subkutan pada kaki tikus tersebut agar efeknya lebih cepat
Karagenin berfungsi sebagai inflamator, dan disuntikkan secara subplantar pada
telapak kaki kiri bawah tikus untuk memperoleh efek lokal yang cepat. Pengamatan setiap 15
menit selama 2 jam dilakukan dengan tujuan mengukur besarnya inflamasi yang terjadi pada
kaki tikus akibat injeksi karagenin.
Hasil vs Pustaka
Dari hasil percobaan diperoleh pada tikus yang diberi obat
Menit ke - Volume udem yang terjadi mengalami
Na Diklofenak Asam Mefenamat Prednison Kontrol
0-15 Turun Naik Naik Turun
15-30 Turun Turun Turun Naik
30-45 Turun Turun Naik Turun
45-60 Naik Turun Naik Turun
60-75 Turun Naik Turun Turun
75-90 Naik Naik Naik Naik
22
Pada literatur yang didapatkan jika tikus yang diberi perlakuan (obat antiinflamasi)
seharusnya pada grafik mengalami penurunan, tetapi pada percobaan tikus yang diberi
perlakuan (obat antiinflamasi) mempunyai grafik yang tidak stabil (mengalami kenaikan dan
penurunan) terutama pada prednison. Pada perlakuan kontrol menurut literatur yang
didapatkan, jika tikus hanya disuntik karagenin seharusnya terjadi peningkatan besar
peradangan yang disebabkan oleh tidak adanya obat antiinflamasi di dalam tubuh tikus
sehingga proses peradangan tidak terhambat, tetapi pada percobaan grafik yang terjadi tidak
stabil. Hal ini disebabkan karena cara pemberian subplantar karagenin pada telapak kaki tikus
yang masih salah sehingga karagenin yang bertindak sebagai penginduksi inflamasi tidak
bekerja dengan baik dan cepat pada telapak kaki tikus , kesalahan lain pada saat pencelupan
kaki tikus ke dalam alat pletismograf, volume air raksa ada yang hilang dikarenakan kaki
tikus bergerak-gerak. Volume tersebut tidak dihitung sehingga menyebabkan kekeliruan
dalam pembacaan tinggi cairan. Selain itu, hal ini disebabkan karena sebelum penyuntikan
praktikan belum menandai kaki tikus sehingga dalam pencelupan kaki tikus terjadi perbedaan
kedalaman (ada yang tidak terlalu dalam mencelupkan kaki tikus ke cairan, dan ada yang
terlalu dalam mencelupkan kaki tikus ke cairan). Kemungkinan lainnya juga bisa disebabkan
karena pembacaan tinggi air raksa yang tidak tepat oleh praktikan dan juga seharusnya tidak
ada nilai negatif pada hasil perhitungan persentase peradangan karena ini menandakan bahwa
volume awal (Vo) yang dipakai bukanlah volume yang sebenarnya yang kemungkinan
disebabkan oleh tidak tepatnya pengukuran cairan volume udem kaki tikus.
Setelah mengetahui volume udem yang terjadi, dilakukan pembuatan kurva hubungan
antara waktu vs volume udem. Dari kurva tersebut akan dihitung luas area di bawah kurva
(AUC). Nilai AUC dapat menunjukkan perbedaan antara kontrol dan perlakuan. Dengan
adanya nilai AUC dapat dihitung daya antiinflamasi dari masing-masing obat. Daya
antiinflamasi (DAI) yang dimaksud adalah kemampuan bahan uji untuk mengurangi
pembengkakan kaki hewan uji akibat adanya udem dari pemberian karagenin. Semakin kecil
nilai AUC, menyebabkan semakin besar nilai DAI. Sehingga dapat diketahui bahwa semakin
kecil nilai AUC maka semakin efektif obat tersebut.
Menurut literatur yang didapatkan obat daya inflamasi dari terendah ke tertinggi
adalah Asam Mefenamat > Na-Diklofenak > Prednison. Prednison termasuk ke golongan
obat anti inflamasi kortikosteroid, obat ini merupakan antiinflamasi yang sangat kuat. Karena
23
Obat-obat ini menghambat enzim phospholipase A2 sehingga tidak terbentuk asam
arakidonat. Asam arakidonat tidak terbentuk berarti prostaglandin juga tidak akan terbantuk.
Namun, obat anti inflamasi golongan ini tidak boleh digunakan seenaknya. Karena efek
sampingnya besar. Bisa menyebabkan moon face, hipertensi, osteoporosis dll. Asam
mefenamat dan Na Diklofenak merupakan obat NSAID yang mekanisme kerjanya
menghambat sintesa prostaglandin dengan menghambat kerja enzim cyclooxygenase (COX-1
& COX-2). Tetapi Asam mefenamat mempunyai anti inflamasi yang rendah dibandingkan
obat AINS yang lain.
Namun pada percobaan diperoleh nilai DAI Na Diklofenak -94,67%, Prednison
36,32%, dan Asam Mefenamat 82,95%. Jika diurutkan obat daya inflamasi dari terendah ke
tertinggi adalah Na-Diklofenak > Prednison> Asam Mefenamat. Hal ini disebabkan karena
cara pemberian subplantar karagenin pada telapak kaki tikus yang masih salah sehingga
karagenin yang bertindak sebagai penginduksi inflamasi tidak bekerja dengan baik dan cepat
pada telapak kaki tikus , kesalahan lain pada saat pencelupan kaki tikus ke dalam alat
pletismograf, Kemungkinan lainnya juga bisa disebabkan karena pembacaan tinggi air raksa
yang tidak tepat oleh praktikan dan juga seharusnya tidak ada nilai negatif pada hasil
perhitungan persentase peradangan karena ini menandakan bahwa volume awal (Vo) yang
dipakai bukanlah volume yang sebenarnya yang kemungkinan disebabkan oleh tidak tepatnya
pengukuran cairan volume udem kaki tikus.
VI. KESIMPULAN
Inflamasi merupakan suatu respon protektif normal terhadap luka jaringan yang
disebabkan oleh trauma fisik, zat kimia yang merusak atau zat- zat mikrobiologik.
Karagenin berfungsi sebagai inflamator, dan disuntikkan secara subplantar pada
telapak kaki kiri bawah tikus untuk memperoleh efek lokal yang cepat
Efek yang ditimbulkan akibat pemberian karagenin pada hewan percobaan adalah
terjadinya udem, yang terlihat dari bertambahnya volume kaki tikus setelah diukur
dengan alat pletismometer.
Obat antiinflamasi yang dipakai pada percobaan ini adalah Na Diklofenak (NSAID),
Asam Mefenamat (NSAID), dan Prednison (kortikosteroid)
24
Dengan diberikannya obat antiinflamasi pada hewan uji, grafik KVU yang terjadi
adalah penurunan, sedangkan hewan uji yang tidak diberi obat antiinflamasi grafik
KVU mengalami kenaikan
Semakin kecil nilai AUC, menyebabkan semakin besar nilai DAI. Sehingga dapat
diketahui bahwa semakin kecil nilai AUC maka semakin efektif obat tersebut.
VII. DAFTAR PUSTAKA
Abrams, 2005, Respon Tubuh Terhadap Cedera, EGC , Jakarta.
Guyton, A.C. & Hall, J.E. , 1997, Buku Ajar Fisiologi Kedokteran , EGC, Jakarta.
Gryglewski, 1996, Bioactivity of Flavonoids, Polish Journal of Pharmacology 48(6): 555-564.
Mitchell, R.N. & Cotran, R.S., 2003, Inflamasi Akut Dan Kronik, Elsevier Saunders,
Philadelphia
Mycek,J Mary, 2001, Farmakologi Ulasan Bergambar, Widya Medika, Jakarta.
Rukmono, 2000, Kumpulan Kuliah Patologi, Bagian Patologi Anatomik FK UI, Jakarta
25
Purwokerto, 9 Juni 2015
Mengetahui, Ketua Kelompok,
Dosen Pembimbing Praktikum
(Ika Mustikaningtyas, M.Sc.,Apt.) (Alifah Itmi Mushoffa)
(G1F014073)
26