Upload
lynhu
View
249
Download
0
Embed Size (px)
Citation preview
Paket 3
SEJARAH PERKEMBANGAN DAN PEMBUKUAN
HADITS NABI SAW
A. Pendahuluan
Hadits Nabi (Rasulullah) saw yang sampai kepada kita dalam bentuk
penuturan maupun tulisan adalah melalui perjalanan sejarah yang panjang.
Jika al-Qur’an sejak zaman Nabi sampai terwujudnya pembukuan (mushaf)
sebagaimana kita saksikan hari ini memerlukan waktu yang relatif pendek,
yaitu sekitar 15 tahun, maka untuk hadits Nabi memerlukan waktu yang relatif
panjang dan penuh variasi. Oleh karena itu mengetahui sejarah perkembangan
yang dilalui, sejak masa Rasulullah saw masih hidup di tengah-tengah kaum
muslimin sampai masa pembukuan dan penyempurnaan sistematikanya
menjadi sangat penting.
Jika periwayatan dan penuturan al-Qur’an harus disampaikan dengan
menjaga kepersisan dan ketepatan redaksinya (riwayat bi al-lafdzi), maka
penuturan hadits Nabi boleh diriwayatkan bi al-ma’na (ditekankan pada
kebenaran maknanya, bukan redaksinya). Oleh karena itu keragaman redaksi
hadits tidak dapat dielakkan. Dalam konteks ini, pengetahuan tentang sejarah
perkembangan dan pembukuan hadits Nabi akan membantu memahami usaha
yang dilakukan Nabi saw bersama para sahabat dan para ulama dalam menjaga
otentisitas hadits Nabi saw.
A. Standar Kompetensi
Mahasiswa menguasai konsep dan dasar–dasar Ilmu Hadits serta
mampu melakukan penelitian sanad hadits Nabi saw.
B. Kompetensi Dasar
Mahasiswa Memiliki kemampuan memahami eksistensi, perkembangan dan
pembukuan hadits Nabi
C. Indikator
1. Mahasiswa mampu menjelaskan eksistensi dan perkembangan hadits pada masa
Nabi saw.
2. Mahasiswa mampu menjelaskan eksistensi dan perkembangan hadits pada masa
sahabat Nabi
3. Mahasiswa mampu menjelaskan eksistensi dan perkembangan hadits pada abad II,
III, IV dan masa sesudahnya
D. Waktu
Alokasi waktu yang diperlukan untuk mencapai beberapa indicator tersebut
adalah satu kali tatap muka (120 menit).
E. Kegiatan Pembelajaran
Waktu Langkah Pembelajaran Bahan
Kegiatan Awal
25 menit
1. Mengajak mahasiswa memperhatikan materi
pembelajaran dengan menghubungkan pada materi
sebelumnya
2. Menjelaskan pokok pembahasan
3. Membagikan lembar kerja
Paparan
power
poin
60 menit
Kegiatan Inti
1. Menjelaskan secara umum tentang usaha Nabi
saw , para sahabat dan para ulama dalam menjaga
kemurnian dan kelestarian hadits Nabi
2. Kelas dibagi 3-4 kelompok. Kelompok 1
berdiskusi tentang Usaha Nabi dan sahabat dalam
meyosialisasikan hadits dan sunnahnya.
Kelompok 2 berdiskusi tentang uapaya penulisan
dan pembukuan hadits. Kelompok 3
mendiskusikan usaha pemurnian hadits Nabi.
Kelompok 4 mendiskusikan usaha
penyempurnaan penyusunan kitab-kitab hadits
3. Perwakilan masing-masing kelompok
mempresentasikan hasil diskusi dan
pendalamannya di depan kelas
Power
poin
Naskah
hadits
Nabi
25 menit
Kegiatan Penutup
1. Kesimpulan hasil diskusi
2. Mahasiswa membuat rangkuman hasil diskusi
3. Merefleksi proses pembelajaran dan mendorong
mahasiswa mengkaji lebih dalam tentang sejarah
pembukuan hadits Nabi
10 menitKegiatan Tindak lanjut
1. Meminta mahasiswa meresume pendapat para
ulama tentang Usaha para ulama dalam
menghadapi pemalsuan hadits
F. Lembar Kegiatan Mahasiswa
1. Tujuan
Agar mahasiswa memahami dan dapat menjelaskan berbagai usaha yang
telah dilakukan oleh Nabi saw, para sahabat, tabi’in dan para ulama
dalam menjaga kemurnian dan kelestarian hadist Nabi
1. Bahan dan alat
a. Modul
b. Uraian Materi
2. Kegiatan
a. Mendiskusikan usaha Nabi dan sahabatnya dalam
menyosialisasikan dan melestarikan hadits dan sunnah Nabi
b. Mendiskusikan upaya pembukuan Hadits
c. Mendiskusikan usaha para ulama dalam menjaga kemurnian dan
kelestarian hadits nabi
d. Mendiskusikan usaha para ulama dalam menyempurnakan
sistematika kitab hadits
e. Mempresentasika hasil diskusi
G. Materi Pokok
- Sejarah hadits pada masa abad I
- Sejarah hadits pada abad II
- Sejarah hadits pada abad III
- Sejarah hadits pada abad IV dan sesudahnya
H. Sumber Pembelajaran
1. Muhammad Ajjaj al-Khatib, al-Sunnah Qabla al-Tadwin
2. Subhi Salih : Ulum Al Hadis Wa Mustolahuhu
3. Syuhudi Ismail, Pengantar Ilmu Hadits
4. Dr. M. Mustafa A’dzami, Hadits Nabi dan Sejarah Kodifikasinya
I. Uraian Materi
1. Hadits Nabi Pada Periode Abad I H
Periode abad I H ini meliputi zaman Nabi saw, Sahabat Nabi
dan zaman Tabi’in besar (senior) di masa pemerintahan Bani Umayah,
yaitu ahir abad I H.
Rasulullah membina umatnya selama 23 tahun. Masa ini
merupakan masa turunnya wahyu , termasuk masa wurudnya hadits Nabi
saw. Wahyu yang diterima oleh Nabi saw dijelaskan melalui perkataan,
perbuatan, persetujuan dan sikap yang melekat dalam sifat-sifat beliau.
Oleh karena itu apa yang didengar, dilihat, disaksikan dan dirasa (melalui
internalisasi nilai) oleh para sahabat, dijadikan sebagai pedoman bagi amal
ibadah mereka. Dalam hal ini Nabi saw merupakan contoh satu-satunya
bagi para sahabat, karena beliau memiliki sifat-sifat sempurna selaku
Rasulullah, yang berbeda dengan manusia lainnya. Oleh karena hadits
merupakan bagian penting dari wahyu yang diterima Nabi, maka dalam
rangka menyosialisasikan, ditempuh upaya sebagai berikut:
a. Langkah-Langkah Nabi saw dalam menyebarkan Hadits/Sunnah
1. Mendirikan sekolah;
Ketika Rasulullah masih berada di Makkah, beliau
menyebarkan sunnahnya dengan mendirikan semacam majlis ta’lim
(kelompok dakwah) sebagaimana yang terjadi di rumah al-Arqam (bait
al-Arqam) dan sahabat yang lain. Kemudian setelah hijrah ke kota
Madinah beliau mendirikan sekolah/madrsah. Berbagai majlis ilmu ini
bukan hanya diadakan di masjid tetapi juga di rumah-rumah, termasuk
pertemuan husus untuk kaum wanita. Pada majlis-majlis inilah para
sahabat menerima hadits Nabi, kemudian para sahabat mempelajari
dan mengulanginya serta menghafal.1 Di samping itu kegiatan sekolah
ini pada umumnya juga mengirimkan guru dan katib ke berbagai
wilayah di luar kota Madinah. Contohnya sejumlah utusan dikirim ke
Adzal dan Qara pada tahun ke 3 H. Ke Bi’ru Ma’unah tahun ke 4 H, ke
Najran, Yaman dan Hadramaut tahun ke 9 H.2
2. Memberikan Perintah/Instruksi;
Nabi bersabda, “Sampaikanlah pengetahuan dariku meskipun
hanya satu ayat.”3 Tekanan yang sama dapat dilihat pada pidato Nabi
saw pada saat Hajji wada’: “Yang hadir di sini hendaklah
menyampaikan amanat ini kepada yang tidak hadir.” 4 Karena itu
merupakan praktik umum di kalangan sahabat Nabi untuk
memberitahukan ucapan dan perbuatan Nabi kepada sahabat yang lain
yang tidak hadir. Delegasi yang dating ke Kota Madinah diperintahkan
untuk mengajarkan kepada kaumnya. Contoh seperti Malik bin
Huwairits ditugasi oleh Nabi mengajar pada kaumnya. Tugas ini tetap
diemban hingga jauh sesudah Rasul wafat. Tugas yang sama juga
diberikan kepada yang lain.5
3.Memberi Motivasi Bagi Pengajar dan Penuntut Ilmu;
Nabi saw tidak hanya memeritah dalam mendidik masyarakat,
tetapi juga menjanjikan penghargaan (pahala) yang besar bagi subyek
pendidikan. Nabi saw bersabda :” Menuntut ilmu adalah wajib bagi
setiap muslim”6. “Barang siapa menempuh jalan menuju pengetahuan,
Allah akan memudahkan baginya jalan menuju surga.”7 Bagi mereka
yang mengajar, Rasulullah menyampaikan sabdanya;” Barang siapa
menunjukkan jalan kebaikan, maka ia akan memperoleh pahala yang
besarnya sama dengan orang yang melakukan perbuatan baik tersebt”.
Bahkan Rasul memberikan peringatan kepada orang yang berilmu ,
tetapi tidak mau mengajarkan kepada yang lain :”Barang siapa
menyimpan/menahan ilmu, maka ia akan dicambuk dengan api
neraka”.8 Sungguhpun demikian Nabi tetap menyerukan supaya
penyampaian hadits itu dilakukan dengan penuh tanggung jawab dan
jujur. Untuk itu nabi memberikan peringatan:”Barang siapa berdusta
atas nama-ku, maka bersiaplah menempati kedukannya/tempat
duduknya di Neraka”.
b. Metode Pengajaran Nabi
Metode yang digunakan Nabi saw untuk mengajarkan
hadits/sunnahnya dapat dibagi ke dalam tiga kategori: yaitu metode
lisan, metode tulisan dan metode peragaan praktis.
1. Metode Lisan
Nabi saw adalah guru bagi sunnah dan ummatnya. Untuk
memudahkan hafalan dan pengertian, beliau biasa mengulangi hal-hal
penting sampai tiga kali. Sesudah mengajari shahabat, biasanya beliau
mendengarkan lagi apa yang sudah mereka pelajari.9 Ada beberapa
cara yang ditempuh oleh Nabi saw dalam menyampaikan pesan
dengan lisan ini, yaitu : Pertama, Nabi menyampaikan pesannya di
hadapan jam’ah. Dalam kesempatan semacaam ini para sahabat
banyak yang memanfalkannya secara antusias. Oleh karena itu farum
ini dihadiri secara bergantian, seperti yang dilakukan oleh sahabat
Umar bin Khattab, artinya jika sewaktu-waktu ia tak dapat hadir, maka
ia berpesan kepada temannya yang hadir supaya menginformasikan
hasilnya kepada Umar. Demikian pula jika Umar yang hadir,
sementara kawannya absen, maka Umar berkewajiban
menginformasikan hasilnya.10 Bahkan kepala suku yang jauh
mengirimkan utusannya ke majlis ini, untuk kemudian
mengajarkannya kepada anggota suku mereka.
Kedua, dalam banyak kesempatan Rasulullah juga
menyampaikan pesan haditsnya kepada sahabat tertentu, kemudian
oleh sahabat tersebut disampaikan kepada yang lain. Hal ini terjadi
karena secara tehnis memang mengharuskan demikian. Contohnya
seperti ketika Rasulullah menyampaikan petunjuk yang berhubungan
dengan hal-hal yang sensitive, seperti mengenai hubungan suami istri,
Dalam hal ini disampaikan Nabi kepada istri-istrinya. Contoh lainnya,
ketika Rasul dalam suatu perjalanan bersama beberapa orang
sahabatnya, maka dalam hal ini yang menerima langsung hanya
sedikit, kemudian berita itu diteruskan oleh sahabat yang mendampingi
Nabi, kepada sahabat lain yang tidak ikut
2. Metode Tulisan
Seluruh surat Rasulullah kepada raja-raja, penguasa daerah,
kepala suku dan gubernur Muslim dapat dikategorikan ke dalam
metode tulisan. Beberapa surat terdapat yang isinya sangat panjang
dan mengandung berbagai masalah hukum ibadah, zakat dan
perpajakan, serta lainnya. Jumlah hadits Nabi yang ditulis dalam
bentuk surat Nabi ini cukup banyak, apalagi jika digabung dengan
tulisan Abdullah bin Amr bin Ash, Ali bin Abi Thalib, Abu Bakar dan
sebagainya.
Memang metode tulis dalam penyampaian hadits ini pernah
menjadi perdebatan, khususnya pada masa Nabi dan sahabat. Akan
tetapi menurut penelitian Musthafa A’dhami , data sejarah
memperkuat metode tulisan juga digunakan oleh Rasulullah.
Para penulis sejarah Rasul, ulama hadis, dan umat Islam
semuanya sependapat menetapkan bahwa AI-Quranul Karim
memperoleh perhatian yang penuh dari Rasul dan para sahabatnya.
Rasul mengharapkan para sahabatnya untuk menghapalkan AI-Quran
dan menuliskannya di tempat-tempat tertentu, seperti keping-keping
tulang, pelepah kurma, di batu-batu, dan sebagainya.
Ketika Rasulullah SAW. wafat, Al-Quran telah dihapalkan
dengan sempurna oleh para sahabat. Selain itu, ayat-ayat suci AI-
Quran seluruhnya telah lengkap ditulis, hanya saja belum terkumpul
dalam bentuk sebuah mushaf. Adapun hadis atau sunnah dalam
penulisannya ketika itu belum memperoleh perhatian seperti halnya
Al-Quran. Penulisan hadis dilakukan oleh beberapa sahabat secara
tidak resmi, karena tidak diperintahkan oleh Rasul (secara husus)
sebagaimana ia memerintahkan mereka untuk menulis AI-Quran.
Diriwayatkan bahwa beberapa sahabat memiliki catatan hadis-hadis
Rasulullah SAW. Mereka mencatat sebagian hadis-hadis yang pernah
mereka dengar dari Rasulullah SA W.
Diantara sahabat-sahabat Rasulullah yang mempunyai catatan-
catatan hadis Rasulullah adalah Abdullah bin Amr bin AS yang
menulis, sahifah-sahifah yang dinamai As-Sadiqah. Sebagian sahabat
menyatakan keberatannya terhadap pekerjaan yang dilakukan oleh
Abdullah itu. Mereka beralasan bahwa Rasulullah telah bersabda
ير عني ا تكتبو ال رأن غ ني كتب ومن الق ع. مسلم فليمحه- رواه القرأن غير
Artinya:
"Janganlah kamu tulis apa-apa yang kamu dengar dari aku selain Al-
Quran. Dan barang siapa yang lelah menulis sesuatu dariku selain Al-
Quran, hendaklah dihapuskan. " (HR. Muslim)
Mereka berkata kepada Abdullah bin Amr bin Ash, "Kamu
selalu menulis apa yang kamu dengar dari Nabi, padahal beliau
kadang-kadang dalam keadaan marah, lalu beliau menuturkan sesuatu
yang tidak dijadikan syariat umum." Mendengar ucapan mereka itu,
Abdullah bertanya kepada Rasulullah SAW. mengenai hal tersebut.
Rasulullah kemudian bersabda: 11
ذي أكتب ده نفسي فوال رج ما بي إال فمي من خ
- مسلم حق
Artinya:
"Tulislah apa yang kamu dengar dariku, demi Tuhan yang jiwaku di
tangannya. tidak keluar dari mulutku. selain kebenaran ".
Menurut suatu riwayat, diterangkan bahwa Ali bin Abi Thalib
mempunyai sebuah sahifah dan Anas bin Malik mempunyai sebuah
buku catatan. Abu Hurairah menyatakan: "Tidak ada dari seorang
sahabat Nabi yang lebih banyak (lebih mengetahui) hadis Rasulullah
dari padaku, selain Abdullah bin Amr bin Ash. Dia menuliskan apa
yang dia dengar, sedangkan aku tidak menulisnya". Sebagian besar
ulama berpendapat bahwa larangan menulis hadis dinasakh
(dimansukh) dengan hadis yang memberi izin, yang datang kemudian.
Sebagian ulama yang lain berpendapat bahwa Rasulullah tidak
menghalangi usaha para sahabat menulis hadis secara tidak resmi.
Mereka memahami hadis Rasulullah SAW. di atas bahwa larangan
Nabi menulis hadis adalah ditujukan kepada mereka yang
dikhawatirkan akan mencampuradukan hadis Nabi dengan AI-Quran
Sedangkan izin penulisan hanya diberikan kepada mereka yang tidak
dikhawatirkan mencampuradukan hadis Nabi dengan Al-Quran. Oleh
karena itu, setelah Al-Quran ditulis dengan sempurna dan telah
lengkap pula turunannya, maka tidak ada larangan untuk menulis
hadis. Tegasnya antara dua hadis Rasulullah di atas tidak ada
pertentangan manakala kita memahami bahwa larangan itu hanya
berlaku untuk orang-orang tertentu yang dikhawatirkan
mencampurkan AI-Quran dengan hadis, dan mereka yang mempunyai
ingatan/kuat hapalannya. Sedangkan izin menulis hadis Nabi diberikan
kepada mereka yang hanya menulis sunah untuk diri sendiri, dan
mereka yang tidak kuat ingatan/hapalannya.12
Di antara sahabat Nabi yang mencatat hadits Nabi dalam
shahifah-shahifahnya adalah:
1. Abdullah bin Amr bin Ash. Shahifahnya diberi nama الصحيفة
Menurut Ibnu al-Atsir di dalam shahifah tersebut termuat الصادقة
sekitar 1000 hadits. Hadits-hadits Abdullah bin Amr ini sekarang
terhimpun bersama sama hadits yang disusun oleh Imam Ahmad bin
Hambal dalam kitab Musnadnya.
2. Jabir bin Abdullah al-Anshari. Shahifahnya disebut Shahifah Jabir.
Imam Muslim dalam kitab shahihnya telah menghimpun hadits-
hadits Jabir bin Abdullah ini dalam masalah hajji.
3. Abdullah bin Abi Awfa. Shahifahnya dikenal dengan nama Shahifah
Abdullah bin Abi Awfa.
4. Samurah bin Jundub. Shahifahnya diwarisi oleh anaknya yang
bernama Sulaiman bin Samurah.
5. Ali bin Abi Thalib, Shahifahnya berisi hadits-hadits Nabi yang
berhubungan dengan diyat.13
3 Metode Peragaan Praktis
Metode ini biasanya wujud dalam hadits fi’liyah, seperti tata
cara wudlu, tayammum, shalat, hajji dan sebagainya. Banyak
ketentuan al-Qur’an yang bersifat mujmal. Kemudian Rasulullah
memberikan petunjuk praktis supaya kaum muslimin dapat
memahaminya dengan mudah. Menyangkut masalah peragaan praktis
ini biasanya Rasulullah juga memberikan instruksi yang jelas, seperti
sabda Nabi saw ; “shalatlah kalian sebagaimana kalian melihatku
shalat.”14 Dan hadits Nabi ;” Belajarlah kalia dariku upacara manasik
ibadah hajjiku.”15 Demikian juga jika Nabi saw menjawab pertanyaan
yang banyak, beliau biasanya meminta si penanya tinggal beberapa
saat bersama nya, dan belajar melalui pengamatan terhadap praktik
beliau.
c. Cara Shahabat Nabi Dalam Menerima dan Menyampaikan Hadits
Dari penjelasan tersebut di atas, dapat disimpulkan bahwa cara
yang dialami para sahabat dalam menerima hadits dari Nabi saw ialah
penerimaan langsung dan penerimaan tidak langsung. Yang dimaksud
secara lansung yaitu mereka langsung mendengar atau melihat sendiri
apa yang disampaikan dan dilakukan oleh Nabi saw. Sedangkan cara
tidak langsung adalah mereka tidak secara langsung mendengar atau
melihat perkataan dan perbuatan Nabi saw., tetapi mereka dapat
mengikuti dan menerima hadits –hadits beliau dengan jalan bertanya
kepada sahabat lain yang hadir di majlis Nabi.
Adapun cara-cara yang digunakan para shahabat di dalam
menyampaikan hadits kepada orang lain (baik kepada sesama sahabat
atau kepada tabi’in) ialah melalui dua cara :
1. Dengan lafadz asli (bi al-lafdzi); yaitu menyampaikan hadits yang
diterimanya sesuai dengan redaksi yang didengar. Periwayatan
dengan lafadz ini tentu hanya berkaitan dengan hadits qawliyah.,
Sedangkan untuk hadits fi’liyah tentu tidak mungkin diriwayatkan
dengan lafdzi.
2. Dengan makna (secara maknawi) ; yakni hadits yang telah diterima
oleh para sahabat tersebut disampaikan dengan mengemukakan
maknanya saja, tidak persis dengan redaksi yang didengar dan
diucapkan Nabi saw.. Jadi bahasa dan redaksinya disusun oleh
sahabat sendiri, sadang isinya dari Nabi saw. Prof. Dr. Hasbi al-
Siddiqi menyatakan bahwa yang penting dari hadits ialah isinya
(contens). Sedang bahasa dan redaksinya boleh dengan susunan
yang berbeda, asal tidak menyalahi isinya.16
Sepeninggal Nabi saw wafat, amanat melestarikan dan
membina hadits/sunnah Nabi menjadi tanggung jawab para sahabat,
terutama para khalifah pengganti Nabi saw. Secara umum pembinaan
hadits yang dilakukan para sahabat adalah sebagai berikut:
1. Sangat hati-hati dalam periwayatan. Artinya mereka sangat
memperhatikan rawi dan matan hadits dalam hal penerimaan dan
periwayatan.
2. Tidak memperbanyak periwayatan dan penerimaan hadits. Hal ini
jangan diartikan bahwa mereka kurang serius dalam melestarikan
hadits, namun sesungguhnya hal ini tidak tertuju pada
periwayatan itu sendiri, tetapi dimaksudkan agar masyarakat
lebih berhati-hati dalam periwayatan hadits, dan supaya perhatian
masyarakat muslim (hususnya yang sedang dalam proses
pembelajaran) tidak terganggu dalam mempelajari al-Qur'an. Pada
masa sahabat penyiaran sunnah Nabi berjalan seiring dengan
kebutuhan pembinaan hokum(ketentuan ajaran Islam) yang
diperlukan, dengan pengawalan yang cukup ketat. Hadits-hadits
yang tidak ada kaitannya dengan pembinaan Syariat, atau tidak
memcerminkan sunnah Nabi dilarang untuk disebarkan.17
3. Para sahabat yunior , telah mulai banyak yang mengadakan
perlawatan ke luar kota/ daerah-daerah, sebab para sahabat senior
sebagian berada di sana.
Sedangkan cara yang ditempuh para sahabat dalam
periwayatan (kegiatan menerima dan menyampaikan) hadits, secara
umum masih didominasi oleh penyampaian lisan (melalui hafalan dan
ingatan), baik billafdzi, atau bi al-makna.. Hal ini terjadi karena
beberapa faktor :
a. bahan untuk keperluan tulis menulis sangat langka. Mushaf yang
ditulis pada masa Utsman saja hanya terdiri dari empat (menurut
sebagian ulama ada lima) copy. Untuk itu menulis hadits yang
jumlahnya sangat banyak tentu mengalami banyak hambatan.
b. Orang yang memiliki kemampuan baca-tulis amat sedikit sehingga
dihawatirkan terjadi percampuran dengan al-qur’an
c. Tradisi saat itu mengharuskan orang melakukan periwayatan
dengan lisan, Periwayatan dengan cara yang tidak lazim (misalnya
dengan tulisan ) akan dinilai kurang sempurna;
d. Pendokumentasian al-qur’an dipandang lebih mendesak di banding
hadits18
2. Hadits Pada Periode Abad II H
Masa ini dimulai pada zaman pemerintahan Banu Umaiyah
angkatan ke dua (mulai khalifah Umar bin Abd. Aziz) sampai akhir
abad II H (menjelang akhir masa pemerintahan Bani Abbas angakatan
pertama)
Pada abad pertama hijrah, yakni masa Rasulullah SAW., masa
khulafaur Rasyidin dan sebagian besar masa Bani Umayyah, hingga
akhir abad pertama hijrah, hadis-hadis itu berpindah-pindah dan
disampaikan dari mulut ke mulut. Masing-masing perawi pada waktu
itu meriwayatkan hadis berdasarkan kekuatan hapalannya. Memang
hafalan mereka terkenal kuat sehingga mampu menyampaikan kembali
hadis-hadis yang pernah direkam dalam ingatannya. Ide
penghimpunan hadis Nabi secara tertulis untuk pertama kalinya
dikemukakan oleh khalifah Umar bin Khattab (w. 23/H/644 M).
Namun ide tersebut tidak dilaksanakan oleh Umar karena beliau
khawatir bila umat Islam terganggu perhatiannya dalam mempelajari
Al-Quran.
Pada masa pemerintahan Khalifah Umar bin Abdul Aziz yang
dinobatkan akhir abad pertama hijrah, yakni tahun 99 hijrah, datanglah
angin segar yang mendukung pembukuan hadis (yaitu sebuah usaha
pembukuan hadits yang secara resmi berdasar perintah kepala negara
dengan melibatkan beberapa personil, bersifat terbuka dan untuk
kepentingan publik)19. Umar bin Abdul Azis seorang khalifah dari
Bani Umayyah terkenal adil dan wara', sehingga beliau dipandang
sebagai khalifah Rasyidin yang kelima. Beliau sangat waspada dan
sadar, bahwa para perawi yang mengumpulkan hadis dalam ingatannya
semakin sedikit jumlahnya, karena meninggal dunia. Beliau khawatir
apabila tidak segera dikumpulkan dan dikodifikasi dalam buku-buku
hadis dari para perawinya, mungkin hadis-hadis itu akan lenyap
bersama lenyapnya para penghapalnya. Maka tergeraklah untuk
mengumpulkan hadis-hadis Nabi dari para penghapal yang masih
hidup. Pada tahun 100 H. Khalifah Umar bin Abdul Azis
memerintahkah kepada gubernur Madinah, Abu Bakar bin Muhammad
bin Amer bin Hazm supaya membukukan hadis-hadis Nabi yang
terdapat pada para penghafal.
Umar bin Abdul Azis menulis surat kepada Abu Bakar bin
Hazm yang berbunyi:20
ان انظر ديث من ماك ول ح لى الله رس ص لم عليه الله إني فاكتبه وس دروس خفت ف
اب العلم اء وذه دبث والتقبل العلم إالح ول لى الرس لم عليه الله ص وا وس ولتفش
وا العلم تى ولتجلس إن اليعلم من يعلم خ فسترا يكون حتى اليهلك العلم
Artinya:
"Perhatikanlah apa yang dapat diperoleh dari hadis Rasul lalu
tulislah. karena aku takut akan lenyapnya ilmu disebabkan
meninggalnya ulama dan jangan diterima selain hadis Rasul SAW dan
hendaklah disebarluaskan ilmu dan diadakan majelis-majelis ilmu
supaya orang yang tidak mengetahuinya dapat mengetahuinya, maka
sesungguhnya ilmu itu tidak sirna sampai dirahasiakan. "
Selain kepada Gubernur Madinah, khalifah juga menulis surat
kepada Gubernur lain agar mengusahakan pembukuan hadis. Khalifah
juga secara khusus menulis surat kepada Abu Bakar Muhammad bin
Muslim bin Ubaidillah bin Syihab Az-Zuhri. Kemudian Ibnu Syihab
Az-Zuhri mulai melaksanakan perintah khalifah tersebut. Az-Zuhri
inilah yang merupakan salah satu ulama, yang pertama kali
membukukan hadis (sedang Abu Bakar bin Muhammad bin Amer bin
Hazm, Gubernur Madinah adalah kaum birokrat pertama yang
membukukan hadits nabi) .
Dari Ibnu Syihab Az-Zuhri ini (15-124 H) kemudian
dikembangkan oleh ulama-ulama berikutnya, pembukuan hadis
dilanjutkan oleh Malik bin Anas (93-179 H)Ibn Juraij (w. 150 H), Ar-
Rabi' bin Shabih (w. 160 H) Ibnu Abi Dzi’bin (80-158 H) Hammam
bin Sulaiman (w. 176) Sufyan al-Tsawri (97-161 H) Al-Awza’I (88-
157 H) Ibnu al-Mubarak (118-181 H) Jarir bin Abd Hamid (110-188
H) Muhammad bin Ishaq (w. 151)dan masih banyak lagi ulama-ulama
lainnya.21
Di antara kitab hadits yang disusun pada abad II H, dan dapat sampai
di tengah-tengah kita adalah :
1. Al-Muwatha’, disusun oleh Imam Malik bin Anas atas permintaan
khalifah Abu Ja’far al-Manshur.
2. Musnad al-Syafi'i , disusun oleh Muhammad bin Idris al-Syafi'i
Kumpulan hadits ini dimuat juga di dalam kitab beliau ,Al-Umm
3. Mukhtalif al-Hadits, susunan Muhammad bin Idris al-Syafi'i . Di
dalamnya dibahas tentang cara menerima hadits sebagai hujjah,
dan cara mengompromikan hadits-hadits yang secara lahiriyah
tampak berlawanan.
4. Sirat al-Nabawiyah, disusun oleh Ibnu Ishaq, berisi antara lain
tentang perjalanan Nabi saw dan peperangan yang terjadi zaman
Nabi.22
a. Ciri-Ciri Pembukuan Pada Periode Abad II H
Dengan kegiatan pembukuan hadits yang pertama kali secara
resmi, maka secara resmi pula kaum muslimin memiliki kitab-kitab
hadits yang dapat dijadikan rujukan untuk belajar dan mendalami
petunjuk-petunjuk Nabi saw. Akan tetapi buku atau kitab hadits
tersebut masih dalam bentuknya yang sederhana. Secara umum ciri-
ciri yang dimaksud adalah sebagai berikut:
a. Hadits yang dibukukan dalam kitab/dewan hadits, mencakup
hadits Nabi saw, fatwa shahabat dan tabi’in. Dengan demikian
kitab hadits dalam periode ini, belum ada pemisahan antara hadits
marfu’, hadits mauquf dan hadits maqthu’. Kitab hadits saat itu
yang hanya husus menghimpun hadits Nabi saw adalah yang
ditulis oleh Muhammad bin Hazm, Gubernur kota Madinah yang
mendapat Instruksi Khalifah Umar bin Abd. Aziz :
عليه الله ص���لى الرس���ول ح���ديث اال التقبل
وسلم
b. Hadist yang ditulis dalam kitab hadits saat itu, umumnya belum
dikelompokkan dalam judul-judul (maudhu’) tertentu. Dengan
demikian hadits yang tertulis dalam kitab, masih bercampur antar
berbagai tema, belum ada pengelompokan misalnya bab tentang
hukum, sejarah Nabi, hadits tentang tafsir dan sebagainya. Yang
pertama melakukan pengelompokan berdasar tema adalah Imam
al-Syafi’i, yaitu masalah thalaq, terkumpul dalam satu bab.
c. Hadits-hadits yang disusun dalam kitab belum dipisah, antara yang
shahih, hasan dan dha’if.
b. Pemalsuan Dan upaya Penyelamatan Hadits Nabi
Sejak terbunuhnya khalifah Usman bin Affan dan tampilnya
Ali bin Abu Thalib serta Muawiyah yang masing-masing ingin
memegang jabatan khalifah, maka umat Islam terpecah menjadi tiga
golongan, yaitu syiah. khawarij, dan jumhur. Masing-masing
kelompok mengaku berada dalam pihak yang benar dan menuduh
pihak lainnya salah. Untuk membela pendirian masing-masing, maka
mereka membuat hadis-hadis palsu. Mulai saat itulah timbulnya
riwayat-riwayat hadis palsu. Orang-orang yang mula-mula membuat
hadis palsu adalah dari golongan Syiah kemudian golongan khawarij
dan jumhur, Tempat mula berkembangnya hadis palsu adalah daerah
Irak tempat kamu syiah berpusat pada waktu itu.
Pada abad kedua, pemalsuan hadis bertambah luas dengan
munculnya propaganda-propaganda politik untuk menumbangkan
rezim Bani Umayyah. Sebagai imbangan, muncul pula dari pihak
Muawiyyah ahli-ahli pemalsu hadis untuk membendung arus
propaganda yang dilakukan oleh golongan oposisi. Selain itu, muncul
juga golongan Zindiq, tukang kisah yang berupaya untuk menarik
minat masyarakat agar mendengarkannya dengan membuat kisah-
kisah palsu.
Menurut Imam Malik ada empat jenis orang yang hadisnya
tidak boleh diambil darinya:
1. Orang yang kurang akal.
2. Orang yang mengikuti hawa nafsunya yang mengajak masyarakat
untuk mengikuti hawa nafsunya.
3. Orang yang berdusta dalam pembicaraannya walaupun dia tidak
berdusta kepada Rasul.
4. Orang yang tampaknya saleh dan beribadah apabila orang itu tidak
mengetahui nilai-nilai hadis yang diriwayatkannya.23
Untuk itu, kemudian sebagian ulama mempelajari dan meneliti
keadaan perawi-perawi hadis yang dalam masa itu banyak terdapat
perawi-perawi hadis yang lemah Diantara perawi-perawi tersebut. Hal
ini dilakukan untuk mengetahui mana yang benar-benar dapat diterima
periwayatannya dan mana yang tidak dapat diterima.
Selain itu juga diusahakan pemberantasan terhadap hadis-hadis
palsu oleh para ulama, yaitu dengan cara menunjukan nama-nama dari
oknum-oknum/ golongan-golongan yang memalsukan hais berikut
hadis-hadis yang dibuatnya supaya umat islam tidak terpengaruh dan
tersesat oleh perbuatan mereka. Untuk itu, para ulama menyusun kitab-
kitab yang secara khusus menerangkan hadis-hadis palsu tersebut,
yaitu antara lain :
1. Kitab الموضوعات تذكرت oleh Muhammad bin
Thahir Ak-Maqdisi(w. tahun 507 H)
1. Kitab الكبرى الموضوعات oleh Ibnul Jauzi (w. tahun
597 H)
Di samping itu para ulama hadis membuat kaidah-kaidah atau
patokan-patokan serta menetapkan ciri-ciri kongkret yang dapat
menunjukkan bahwa suatu hadis itu palsu. Ciri-ciri yang menunjukkan
bahwa hadis itu palsu antara lain:
1. Susunan hadis itu baik lafaz maupun maknanya janggal, sehingga
tidak pantas rasanya disabdakan oleh Nabi SAW., seperti hadis:
صديقي فإنه الديك التسبوا
Artinya:
"Janganlah engkau memaki ayam jantan, karena dia teman
karibku. "
2. Isi maksud hadis tersebut bertentangan dengan akal, seperti hadis:
داء كل من شفاء الباذنجان
Artinya:
"Buah terong itu menyembuhkan. Segala macam penyakit. "
3. Isi/maksud itu bertentangan dengan nas Al-Quran dan atau hadis
mutawatir, seperti hadis:
الجنة الزنا ولد اليدخلArtinya:
"Anak zina itu tidak akan masuk surga. "
4. Hadis tersebut bertentangan dengan firman Allah SWT. :
وزرأخرى والتزروازرةArtinya:
"Orang yang berdosa tidak akan memikul dosa orang lain. " (QS.
Fatir: 18)
3. Hadits Pada Periode Abad III H
Periode ini dimulai sejak masa akhir pemerintahan Bani Abbas
angkatan pertama (Khalifah al-Makmun) sampai awal pemerintahan
Bani Abbas angkatan ke dua (Khalifah al-Muqtadir). Periode abad ini
disebut sebagai masa penyaringan dan seleksi hadits, karena pada
masa inilah kegiatan pentashihan hadits Nabi mulai dilakukan dengan
sitematis.
a. Kegiatan Para Ulama Hadits
Sebagaimana telah disebutkan di atas, bahwa pembukuan hadis
dimulai sejak akhir masa pemerintahan Bani Umayyah angakatan
pertama (awal pemerintahan Bani Umayah angkatan ke dua) sampai
ahir abad II H, tetapi belum begitu sempurna. Kitab hadits yang ada
berisi campuran antara hadits yang shahih dan dha’if. Begitu pula
belum dipisahkan antara hadits yang marfu’, mauquf dan maqthu’.
Maka pada awal abad III H. dilakukan upaya penyempunaan; berupa
kegiatan sebagain berikut:
1. Mengadakan perlawatan ke daerah-daerah yang jauh. Kegiatan ini
dilakukan karena hadits-hadits Nabi yang sudah dibukukan pada
abad II H baru terbatas pada hadits hadits Nabi yang ada di kota-
kota tertentu saja, padahal dengan telah tersebarnya para perawi
hadits ke tempat-tempat yang jauh (karena kekuasaan Islam telah
semakin luas), maka masih sangat banyak hadits Nabi yang belum
dibukukan. Oleh karena itu untuk melengkapi koleksi hadits Nabi,
jalan satu-satunya adalah melakukan rihlah (perjalanan) ke tempat-
tempat yang dimaksud. Usaha ini dipelopori oleh Imam al-
Bukhori. Selama 16 tahun beliau telah melakukan perlawatan ke
kota Makkah, Madinah, Baghdad, Bashrah, Kufah, Mesir,
Demaskus, Naisabur dan sebagainya. Kemudian diikuti Imam
Muslim, Abu Dawud, al-Turmudzi, al-Nasa’I dan lain-lain.
2. Mengadakan klasifikasi antara hadits yang marfu’(hadits yang
disandarkan kepada Nabi), mauquf (yang disandarkan kepada
Sahabat Nabi) dan yang maqthu’(yang disandarkan kepada
Tabi’in). Dengan usaha ini, maka hadits Nabi telah terpelihara dari
percampuran dengan fatwa sahabat dan fatwa tabi’in.
3. Para ulama mulai mengadakan seleksi kualitas hadits antara hadits
yang shahih dan yang dha’if. Ulama yang mempelopori kegiatan
ini adalah Ishaq Ibnu Rahawaih. Kemudian tilanjutkan oleh al-
Bukhari, Muslim, Abu Dawud , al-Turmudzi, al-Nasa’I, Ibnu
Majah dan lain-lain. Sebelum kemunculan al-Turmudzi, klasifikasi
hadits hanya terdiri atas hadits shahih dan dha’if. Akan tetapi
setelah al-Turmudzi, klasifikasi itu berkembang menjadi hadits
shahih, hasan dan dha’if.
4. Menghimpun kritik yang dilontarkan para ahli ilmu kalam dan
lain-lain, baik kritik yang ditujukan kepada pribadi perawi maupun
pada matan hadits. Kemudian dilakukan upaya pembelaan dengan
melakukan bantahan terhadap kritik tersebut. Salah seorang ulama
yang melakukan kegiatan ini adalah Ibnu Qutaibah dengan
menyusun kitab“Ta’wilu Mukhtalif al-Hadits fi Raddi ‘Ala ada’ al-
Hadits.
5. Menyusun kitab hadits hadits berdasarkan tema dan masalah,
sehingga kitab tersebut memiliki bab-bab sesuai dengan masalah
tertentu. Metode ini dilakukan untuk mempermudah mencari
masalah yang dikandung oleh hadits. Metode ini dikenal dengan
istilah metode Mushannaf. Ulama yang merintis mertode ini adalah
Imam al-Bukhari, kemudian diikuti oleh muridnya sendiri yaitu
Imam Muslim. Sesudah itu baru diikuti oleh Abu Dawud, al-
Turmudzi dan lain-lain.24
b. Bentuk Penyusunan Kitab-Kitab Hadits
Sistem pembukuan (kodifikasi) hadits pada periode ini dapat
diklasifikasikan ke dalam tiga bentuk :
1. Kitab Shahih, Yaitu kitab hadits yang disusun dengan cara
menghimpun hadits-hadits yang berkualitas shahih, sedang hadits-
hadits yang berkualitas tidak shahih tidak dimasukkan ke dalam
kitab. Bentuk penyusunan kitab shahih termasuk bentuk mushannaf.
Contohnya kitab al-Jami’ al-Shahih, karya al-Bukhari, dan al-Jani’
al-Shahih karya Imam Muslim.
2. Kitab Sunan, yaitu kitab hadits yang dususun, selaim memuat
hadits-hadits yang berkualitas shahih, juga mengikut sertakan hadits
yang berkualitas hasan dan dha’if, dengan catatan tidak berkualitas
hadits mungkar dan terlalu lemah. Untuk hadits yang berkualitas
tidak shahih biasanya , oleh penyusunnya, diterangkan
kelemahannya. Kitab sunan termasuk disusun dengan metode
mushannaf. Contohnya adalah Kitab Sunan Abu Dawud, Sunan Al-
Turmudzi, Sunan al-Nasa’I, Sunan Ibnu Majah dan Sunan al-Darimi.
3. Kitab Musnad, yaitu kitab hadits yang disusun dengan
menggunakan nama-nama perawi pertamanya (rawi dari kalangan
shahabat Nabi) sebagai bab. Misalnya hadits-hadits yang
diriwayatkan saiyidah A’isyah, dihimpun di bawah titel A’isyah.
Hadits-hadits yang diriwayatkan Ibnu Abbas,dihimpun di bawah titel
Ibnu Abbas dan seterusnya. Kitab musnad ini berisi hadits yang
berkualitas shahih dan tidak shahih, tetapi tidak dijelaskan
kualitasnya oleh sang penyusun. Contoh Kitab Musnad , karya
Ahmad bin Hambal, Kitab Musnad, karya Abu al-Qasim al-
Baghawi, kitab Musnad , karya Utsman bin Abi Syaibah.25
c. Kitab-Kitab Hadits Induk
Berkat keuletan para ulama hadits yang telah bersusah-payah
mengadakan perjalanan melacak hadits ke berbagai daerah, ahirnya
mereka telah berhasil menyusun berbagai kitab hadits. Demikian
pula berkat kesungguhan mereka dalam melakukan kegiatan
penyaringan hadits, mereka telah berhasil membukukan hadits-hadits
yang shahih, atau kitab-kitab yang isinya lebih banyak memuat
hadits shahih. Kitab-kitab ini pada perkembangan selanjutnya
dikenal al-kutub al-sittah (kitab induk enam) atau al-kitab al-tis’ah
(kitab induk sembilan).
Al-Kutub al-Sittah terdiri atas kitab-kitab shahih dan kitab-kitab
sunan sebagai berikut :
1. Al-Jami’ al-Shahih karya Imam al-Bukhari
2. Al-Jami’ al-Shahih karya Imam Muslim
3. Sunan Abu Dawud karya Imam Abu Dawud
4. Sunan al-Turmudzi karya Imam al-Turmudzi
5. Sunan al-Nasa’i karya Imam al-Nasa’I
6. Sunan Ibnu Majah karya Imam Ibnu Majah
Sedangkan al-Kutub al-Tis’ah adalah terdiri atas kitab-kitab
induk yang enam di atas, ditambah dengan kitab-kitan hadits berikut:
7. al-Muwattha’ karya Imam Malik bin Anas
8. Sunan al-Darimi karya Imam al-Darimi
9. Musnad Ahmad karya Imam Ahmad bin Hambal
Suatu catatan yang perlu diketahui bahwa walaupun kitab-kitab
hadits di atas disebut sebagai kitab induk (hadits), tetapi tidak semua
hadits Nabi yang dikandung di dalamnya, berstatus shahih secara
keseluruhan. Masih ada beberapa hadits yang kualitasnya hasan atau
bahkan lemah dalam sanad tertentu. Oleh karena itu tetap diperlukan
sikap kritis di dalam mempergunakannya. Tindakan selektif dengan
memperhatikan pendapat para ulama yang tetah melakukan pengkajian
dan penelitian hadits patut diperhatikan. Namun demikian, perlu
diketahui pula bahwa jika terdapat suatu hadits yang lemah dari sisi
sanad tertentu, masih ada kemungkinan shahih pada sanadnya yang
lain. Untuk itu melakukan konfirmasi dan membandingkan suatu
matan hadits melalui berbagai sanad yang berbeda sangat bermakna,
guna menghindari sikap gegabah dalam melemahkan suatu hadits.26
4. Hadits Pada Periode Abad IV H ( Periode Penyempurnaan
Sistematika Pembukuan) Dan Sesudahnya
Periode ini dimulai pada masa pemerintahan Bani Abbas
angakatan ke dua (masa pemerintahan al-Muqtadir). Masa ini disebut
juga dengan istilah periode ulama muta’akhirin27. Mulai pada periode
ini dinamakan sebagai masa pemeliharaan, penertiban, penambahan,
penggabungan, pensyarahan dan pentahrijan.
a. Kegiatan Para Ulama
Pada periode ini kaadaan daulat islamiyah sudah mulai
melemah, namun kegiatan para ulama hadits dalam melestarikan hadits
Nabi tetap tidak terpengaruh, sebab kenyataannya masih sangat banyak
para ulama yang menekuni dan mendalami serta bersungguh-sungguh
dalam memelihara dan mengembangkan pembinaan hadits, sekalipun
caranya berbeda dengan ulama sebelumnya.
Pada abad III H hampir seluruh hadits Nabi telah terbukukan.
Oleh karena itu kegiatan para ulama abad IV H ini, meskipun masih
ada yang melakukan usaha pembukuan (melakukan perlawatan ke
daerah dengan tujuan mendapatkan hadits untuk dihimpunan dalam
suatu kitab), tetapi kebanyakan kegiatan mereka ditujukan kepada
pemeliharaan hadits dengan berpedoman pada kitab-kitab yang sudah
ada, dengan cara (1) mempelajari (2) menghafal (3) memeriksa dan
menyelidiki sanad (4) menyusun kitab-kitab baru dengan tujuan untuk
memelihara, menertibkan dan menghimpun segala sanad dan matan
yang saling berhubungan serta yang telah termuat secara terpisah
dalam kitab-kitab yang sudah ada (5) memberikan syarah dan
komentar hadits-hadits yang sudah dihimpun dalam kitab hadits yang
ada.28
Di antara kitab-kitab yang tersusun pada abad ini ialah sebagai berikut:
1. Kitab al-Shahih, karya Ibnu Huzaimah
2. Al-Anwa’ wa al-Taqsim, susunan Ibnu Hibban
3. Kitab Musnad, karya Abu Awanah
4. Al-Muntaqa , susunan Ibnu Jarud
5. dan lain-lain
b. Ciri-Ciri Sistem Pembukuan Hadits
Ulama hadits pada periode ini di samping menyusun kitab
hadits seperti metode yang ditempuh ulama sebelumnya, yaitu dalam
bentuk mushannaf dan musnad, juga menyususn kitab hadits dengan
sistem baru sebagai berikut:
1. Kitab Athraf; yaitu kitab hadits yang isinya hanya menyebut
sebagian-sebagian dari matan hadits tertentu, kemudian
menjelaskan seluruh sanad dari matan yang bersangkutan., baik
dari sanad yang berasal dari kitab hadits yang dikutip, maupun dari
kitab lain. Misalnya :
a. Athraf al-Shahihain, karya Ibrahin al-Dimasyqy
b. Athraf sl-Shahihain, susunan Abu Muhammad Khallaf Ibnu
Muhammad al-Wasithi
c. Athraf Kutub al-Sittah, susunan Muhammad Ibnu Thahir al-
Maqdisi
2. Kitab Mustakhraj; yaitu kitab hadits yang memuat matan-matan
hadits yang diriwayatkan misalnya oleh al-Bukhari dan Muslim,
atau salah satunya, kemudian penyusun kitab meriwayatkan
matan-matan hadits tersebut dengan menggunakan sanadnya
sendiri yang berbeda. Misalnya:
a. Mustakhraj Shahih al-Bukhari , karya al-Jurjani
b. Mustakhraj Shahih Muslim, karya Abu Awanah
c. Mustakhraj Bukhari-Muslim, karya Abu Bakar Ibnu
Abdan al-Syirazi
3. Kitab al-Mustadrak; yaitu kitab hadits yang menghimpun hadits
hadits yang memiliki syarat , misalnya Bukhari-Muslim, atau
memiliki syarat dengan salah satu kitab Bukhari-Muslim.
Contohnya : Al-Mustadrak ‘ala al-Shahihaini, karya Imam al-
Hakim
4. Kitab Jami’ ; yaitu kitab hadits yang menghimpun
(mengumpulkan )hadits hadits Nabi yang terlah termuat dalam
kitab yang telah ada dalam satu kitab tertentu. Contohnya :
a. Al-Jami’ Baina al-Shahihaini, karya Ibnu al-Furat
b. Al-Jami’ Baina al-Shahihaini, karya al-Baghawi
c. Mashabih al-Sunan, karya al-Baghawi
5. Kitab Berdasar pokok Masalah; yaitu kitab hadits yang
menghimpun hadits hadits Nabi berdasar masalah tertentu dari
kitab-kitab yang telah ada, contohnya antara lain:
a. Muntaqa al-Akhbar fi al-Ahkam, karya Majduddin Abd. Salam
b. Al-Sunan al-Kubra, karya al-Baghawi
c. Umdat al-Ahkam, karya Abd. Ghoni al-Maqdisi
6. Kitab Syarah ; yaitu kitab hadits yang memuat hadits-hadits dari kitab
tertentu yang sudah ada, kemudian dijelaskan dan dikomentari
maksudnya, baik dengan menggunakan ayat al-qur’an, atau hadits nabi
atau dengan keterangan rasional. Contohnya antara lain:
a. Fath al-Bari, Syarah Shahih al-Bukhari, karya Ibnu Hajar al-
Atsqalani
b. Al-Minhaj, Syarah Muslim, karya Imam al-Nawawi
c. Aun al-Ma’bud, syarah Sunan Abi Dawud, karya Syamsul Haq al-
Adhim al-Abady
d. Qutul Mughtadzi, Syarah al-Turmudzi, karya Imam al-Syuyuthi
e. Syarah Ta’liq, syarah sunan al-Nasa’i, karya Imam al-Syuyuthi
f. Al-Dibajah, syarah Sunan Ibnu Majah, karya Kamaluddin al-
Damiri.
7. Kitab Mukhtashar; yaitu kitab hadits yang memuat hadits hadits yang
sudah dihimpun dalam kitab yang sudah ada, dengan cara
menyederhanakan / meringkas periwayatan hadits tertentu. Misalnya
dengan membuang sanad, Contoh :
a. Al-Jami’ al-Shaghir, mukhtashar kitab Jam’ul Jawami’, karya
Imam al-Syuyuthi
b. Muhtashar Shahih-Muslim, karya Muhammad Fu’ad Abd. Baqi
8. Kitab Petunjuk /Kamus Hadits : yaitu kitab yang disusun dengan
memuat sebagian kalimat dari sustu hadits Nabi, kemudian
menjelaskan letak hadits yang dimaksud di dalam kitab-kitab hadits;
mulai dari nama kitab, bab dan sub babnya. Sebagian kitab kamus
hadits, ada yang menyebut tempat hadits dengan menunjuk juz dan
halaman kitab hadits yang dimaksud. Contohnya antara lain ialah kitab
Miftah Kunuz al-Sunnah, karya Prof. Dr. A.J.Winsink. Kitab ini
diterjemahkan ke dalam bahasa Arab oleh Muhammad Fuad Abd.
Baqy. Kitab ini memberikan petunjuk untuk mencari matan hadits
yang terdapat dalam 14 macam kitab hadits (Kitab shahih al-Bukhari,
Shahih Muslim, Sunan Abu Dawud, Sunan al-Nasa’i, Sunan al-
Turmudzi, Sunan Ibnu Majah, Sunan al-Darimi, Muwattha’ Malik,
Musnad Zaid bin Ali, Musnad Abu Dawud al-Thayalisi, Musnad
Ahmad bin Hambal, Thabaqat Ibnu Sa’ad, Sirat Ibnu Hisyam dan al-
Maghazi al-Waqidi)
9. Kitab Tahrij ; yaitu kitab yang disusun dengan memuat penjelasan
tentang tempat-tempat pengambilah hadits yang dimuat dalam kitab
tertentu, selkaligus menjelaskan kualitanya. Di antara contohnya :
a. Kitab Takhrij Ahadits al-Anbiya’, karya Al-Iraqi, merupakan kitab
tahrij terhadap hadits-hadits yang ada dalam kitab Ihya’ Ulum al-
Din, karya al-Ghazali
b. Kitab Takhrij Ahadits al-Baidhawi, karya al-Mannawi,sebagai
takhrij terhadap hadits-hadits yang dimuat dalam kitab Tafsir
Baidhawi .
10 Kitab Zawa’id ; yaitu kitab hadits yang disusun dengan memuat hadits-
hadits yang diriwayatakan oleh ulama hadits tertentu (dan dimuat
dalam kitab ulama tersebut, misalnya hadits yang dimuat dalam kitab
Sunan al-Kubra karya Imam al-Baihaqi), tetapi tidak dimuat di dalam
kitab hadits yang disusun oleh ulama tertentu pula.Contohnya Seperti
kitab Zawaid al-Sunan al-Kubra, karya al-Bushiri. Memuat hadits
hadits yang diriwayatkan oleh Imam al-Baihaqi. Tetapi tidak dimuat
dalam al-Kutub al-Sittah.
K. Lembar Penilaian
1. Jenis Penilaian
Jenis penilaian yang dipergunakan dalam proses pembelajaran ini
adalah tes tertulis (paper and pencil test) dan non tes
2. Bentuk Penilaian
Bentuk tes yang dipakai adalah essay, sedangkan bentuk non tes-nya
mempergunakan performan selama proses perkuliahan dan bentuk
proyek berupa penyelesaian tugas tertentu
3. Insrumen Penilaian
a. Tes
1. Sebutkan Bagaimana metode Nabi saw dalam menyebarkan
hadits-haditsnya
2. sejak kapan penulisan dimulai, dan sejak kapan pula usaha
pembukuan dilakukan. Jelaskan dan siapa yang mengagasnya
3. Kemukakan bagaimana ciri pembukuan hadits pada abad II H
4. Apa saja upaya para ulama dalam menjaga kemurnian dan
kelestarian hadits Nabi
5. Apa saja bentuk kitab hadits yang diterbitkan pada abad III dan
IV H
b. Pengamatan
FORMAT PENILAIAN PERFORMANNO NAMA
MAHASISWAVARIABEL YG DIAMATI NILAI
RERATA1 2 3 4 5 6
1
2
3
4
5
6
Keterangan Variabel
1. Kedisiplinan
2. Antusiasme
3. Rasionalitas
4. Kerjasama
5. Cara berkomunikasi
c. Proyek
Buat resume tentang bentuk /jenis kitab hadits yang dihasilkan pada
abad V – VII H.
d. Petunjuk Penyekoran
4.1. Tes
a. Item 1 jawaban benar bernilai 20
b. item 2 jawaban benar bernilai 20
c. Item 3 jawaban benar bernilai 20
a. Item 4 jawaban benar bernilai 20
b. Item 5 jawaban benar bernilai 20
Total Nilai = 100
4.2. Performan
Skor penilaian performan bergerak dengan rentangan antara 60-100
4.3. Proyek
Skor penilaian proyek bergerak dengan rentangan antara 60-100
4.4. Pembobotan
Test Tertulis Performan Proyek
40 % 20 % 40 %
Paket 4
ILMU HADITS DAN CABANG-CABANGNYA
A. Pendahuluan
Secara garis besar ilmu hadits dibagi atas ilmu hadits riwayat dan ilmu
hadits dirayat. Jika ilmu hadits riwayat membahas materi hadis yang menjadi
kandungan makna, maka ilmu hadits dirayat mengambil pembahasan
mengenai kaidah-kaidahnya, baik yang berhubungah dengan sanad atau matan
hadits. Kedua pengetahuan tersebut sama-sama penting. Sebab dengan ilmu
yang pertama, setiap muslim yang ingin mengikuti jejak laku dan teladan
Rasulullah , harus menguasai ilmu tersebut. Sementara itu dengan menguasai
ilmu yang kedua, setiap muslim dan siapapun yang mempelajari dengan baik
akan mendapatkan informasi yang akurat dan akuntabel tentang hadits Nabi/
Rasulullah saw.
Di bawah ini akan dibahas tentang pengertian ilmu hadits, sejarah yang
dilalui, dan cabang-cabang ilmu hadits, terurama ilmu hadits yang berkaitan
dengan kegiataan takhrij dan penelitian sanad hadit Nabi saw.
B. Standar Kompetensi
Mahasiswa menguasai konsep dan dasar–dasar Ilmu Hadits serta
mampu melakukan penelitian sanad hadits Nabi saw.
C. Kompetensi Dasar
Mahasiswa memahami pengertian, sejarah perkembangan dan cabang-
cabang ilmu hadits
D. Indikator
1. Mahasiswa dapat menjelaskan pengertian dan makna ilmu hadits
2. Mahasiswa dapat menguraikan dan menjelaskan dengan baik
perkembangan dan perjalanan ilmu hadits
3. Mahasiswa mampu menyebutkan, menguraikan dan menjelaskan cabang
dan macam-macam ilmu hadits
E. Waktu
Alokasi waktu yang diperlukan untuk mencapai beberapa indicator tersebut
adalah satu kali tatap muka (120 menit).
E. Kegiatan Pembelajaran
Waktu Langkah Pembelajaran Bahan
25 menit
Kegiatan Awal
1. Memusatkan perhatian mahasiswa pada materi
pembahasan dengan menjelaskan materi pokok
2. Apersepsi pentingnya penguasaan Ilmu Hadits
bagi sarjana PAI dalam memahami hadits Nabi
Uraian
60 menitKegiatan Inti
1. Menyajikan paparan tentang makna, sejarah
perkembangan dan cabang-cabang ilmu hadits
secara garis besar
Power
poin
2. Mendiskusikan tentang pengertian, sejarah dan
cabang-cabang ilmu hadits
3. Kelas dibagi menjadi 3 kelompok. Kelompok 1
mendiskusikan pengertian dan kegunaan ilmu
hadits. Sedangkan kelompok 2 mendiskusikan
Sejarah perkembangan ilmu hadits. Dan kelompok
3 mendiskusikan cabang-cabang ilmu hadits
5.Perwakilan masing-masing kelompok
mempresentasikan hasil diskusi dan
pendalamannya di depan kelas
Modul/
buku teks
dan
uraian
25 menitKegiatan Penutup
1. Kesimpulan hasil diskusi
2. Melakukan tes lisan atas hasil pembelajaran
3. Merefleksi proses pembelajaran
10 menitKegiatan Tindak lanjut
1. Dorongan pendalaman buku rujukan/referensi
2. Mahasiswa ditugasi Meresume pendapat para
ulama tentang sejarah dan macam-macam ilmu
hadits
G.Lembar Kegiatan Mahasiswa
1. Tujuan
Agar mahasiswa memahami dan dapat memahami dengan baik tentang
pengertian, sejarah dan cabang-cabang ilmu hadits serta kegunaannya
dalam studi hadits Nabi
2. Bahan dan alat
a. Modul
b. Uraian Materi
3. Kegiatan
a. Mendiskusikan makna dan kegunaan ilmu hadits
b.Mendiskusikan sejarah perkembangan ilmu dan cabang-cabang ilmu
hadits
c. Mempresentasika hasil diskusi
H.Materi Pokok
d. Pengertian Ilmu Hadits
e. Sejarah Perkembangan Ilmu Hadits
f. Cabang-cabang ilmu hadits.
I.Sumber Pembelajaran
1. Syuhudi Ismail, Drs, Pengantar Ilmu Hadits
2. Shubhi Shalih Dr. Ulum al-Hadits wa Mushthalahuhu
3. Abd. Majid Khon, Dr. Ulum al-Hadits
4. Fathur Rahman, Drs, Ikhtisar Musthalah Hadits
J. Uraian Materi
1. Makna Istilah Ilmu Hadits Dan Kegunaannya
Banyak macam istilah yang digunakan para ulama untuk menyebut
ilmu hadits. Di antaranya adalah Ilmu Ushul al-Hadits, Ilmu Mushthalah
Hadits, Ilmu Mushthalahi ahli al-Atsar, Ilmu Mushthalahi Ahli al-Hadits.
Prof. Dr. Hasbi al-Siddiqi, sebagaimana dikutib Syuhudi Ismail dan Nur
Sulaiman, mengartikan ilmu Hadits sebagai segala pengetahuan yang
berhubungan dengan hadits Nabi.29 Dari definisi ini, maka cakupan
(obyek) ilmu hadits itu sangat luas. Ia tidak saja menyangkut matan dan
sanad hadits, tetapi juga menyangkut setting social-budaya, pilitik dan
social ekonomi yang melingkupi hadits Nabi. Berangkat dari pengertian
ini, maka ilmu hadits bisa mengalami perkembangan sesuai dengan
perkembangan ilmu itu sendiri. Misalnya ilmu sosiologi Hadits, Ilmu
Pilitik Hadits dan sebagaimnya.
Definisi ini senada dengan pengertian yang dirumuskan oleh Ibnu
Hajar al-Atsqalani 30:
معرفة الى بها يتوصل ال����تى القواعد معرفة والمروي الراوي
“Pengetahuan tentang kaidah-kaidah yang dapat dipergunakan untuk
mengetahui kaadaan para perawi dan apa yang diriwayatkan(matan
hadits)”
Secara garis besar ilmu-ilmu hadits dapat dibagi menjadi dua, yaitu
ilmu hadits riwayat (riwayah) dan ilmu hadits diroyat (diroyah).
Ilmu hadis riwayah ialah ilmu yang membahas segala perkataan,
perbuatan, ketetapan dan sifat-sifat Nabi Saw. Jadi ilmu ini titik tekannya
pada materi hadits itu sendiri. Wilayah dan ruang lingkup pembahasan
Ilmu ini tidak menyinggung apakah hadits itu mutawatir atau ahad, dan
juga tidak mempersoalkan apakan hadits tersebut shaih atau tidak, maqbul
atau mardud, tetapi pembahasannya lebih pada apa saja penuturan yang
berasal dari nabi saw. Hal ini dilakukan kerena ditujukan agar supaya
mengetahui apa saja sikap dan prilaku nabi yang dapat dicontoh dan
diteladani. Dengan demikian maka obyek Ilmu hadits Riwayat adalah
pribadi Nabi, baik dari segi perkataan, perbuatan, penetapan dan sifat-sifat
Nabi saw. Dintara kitab-kitab yang mebahas ilmu riwayat adalah kitab
Shahih al-Bukhari, shahih Muslim, Sunan Abu Dawud, Sunan al-Nasa’i,
Sunan Ibnu Majah, Muwatha’ Malik, Musnad Ahmad, Sunan al-Darimi
dan lain se bagainya.
Sedang Ilmu hadis Dirayat berkisar pada kaidah-kaidah untuk
mengetahui kaadaan matan dan sanad hadits, bagaimana cara-cara
penukilan hadis yang dilakukan oleh para ahli hadis, bagaimana cara
menyampaikan kepada orang lain, tentang sifat-sifat rawi, bagaimana cara
memahami hadits dan sebagainya. Dari dua pokok asasi ini, terbitlah
berbagai-bagai berbagai ilmu hadits, seperti ilmu Rijal al-Hadits, Ilmu
Tarih al-Rawi, Ilmu al-Jarhi wa al-Ta’dil, Ilmu Asbab al-Nuzul, Ilmu
Musykilat al-Hadits dan sebagainya.
Adapun kegunaan mempelajari ilmu hadits antara lain :
1. Dapat meneladani akhlak Nabi saw, baik dalam hal ibadah maupun
muamalah, secara benar.
2. Menjaga dan memelihara hadits Nabi dari segala kesalahan dan
penyimpangan
3. Menjaga kemurnian syariat Islam dari berbagai penyimpangan
4. Melaksanakan Syari’at sesuai dengan sunnah Nabi saw.
5. Mengetahu upaya dan jerih payah para ulama dalam menjaga dan
melestarikan hadits Nabi
6. Dapat mengetahui istilah-istilah yang dipergunakan para ulama hadits
7. Mengetahui kriteria yang dipergunakan para ulama dalam
mengklasifikasikan kaadaan hadist, baik dari sisi kuantitas / jumlah
sanad maupun dari sisi kualitas sanad dan matannya.
8. Dapat mengetahui periwayatan yang maqbul (diterima) dan yang
mardud (tertolak)
9. Dapat melakukan penelitian hadits sesuai dengan kaidah-kaidah dan
syarat-syarat yang disepakati para ulama
10. mampu bersikap kritis dan proporsional terhadap periwayatan hadits
Nabi saw.31
2. Sejarah Perkembangan Ilmu Hadits
Ilmu ini sebenarnya telah tumbuh sejak zaman Rasulullah saw
masih hidup. Perkembangan ilmu hadits selalu beriringan dengan
pertumbuhan pembinaan hadits itu sendiri. Hanya saja ia belum wujud
sebagai suatu disiplin ilmu yang berdiri sendiri. Pada saat Rasulullah saw
masih hidup ditengah-tengah kaum muslimin, ilmu ini masih wujud dalam
bentuk prinsip-prinsip dasar, yang merupakan emberio bagi pertumbuhan
ilmu hadits dikemudian hari. Misalnya tentang pentingnya pemeriksaan
dan tabayyun, terhadap setiap berita yang didengar, atau pentingnya
persaksian orang adil dan sebagainya. Firman Allah dalam surat al-Hujurat
ayat 6 menyatakan:
فاسق ج��اءكم إن ءامن��وا ال��ذين ياأيها بجهالة قوما تص����يبوا أن فت����بينوا بنبأ
نادمين فعلتم ما على فتصبحوا“Hai orang-orang yang beriman, jika datang kepadamu orang
fasik membawa suatu berita, maka periksalah dengan teliti, agar kamu
tidak menimpakan suatu musibah kepada suatu kaum tanpa mengetahui
keadaannya yang menyebabkan kamu menyesal atas perbuatanmu itu”
Demikian pula dalam surat al-Thalaq : 2
وأقيم���وا منكم ع���دل ذوي وأش���هدوا ك���ان من به يوعظ ذلكم لله الش���هادة
الله يتق ومن اآلخر والي��وم بالله ي��ؤمنمخرجا له يجعل
“persaksikanlah dengan dua orang saksi yang adil di antara kamu
dan hendaklah kamu tegakkan kesaksian itu karena Allah. Demikianlah
diberi pengajaran dengan itu orang yang beriman kepada Allah dan hari
akhirat. Barangsiapa yang bertakwa kepada Allah niscaya Dia akan
mengadakan baginya jalan ke luar.”
Ayat di atas jelas memberikan perintah kepada kaum muslimin
supaya memeriksa, meneliti dan mengkaji berita yang dating, khususnya
berita yang dibawa oleh orang-orang fasiq. Tidak semua berita yang
datang pasti diterima sebelum diperiksa siapa pembawanya dan apa materi
isinya. Jika pembawanya orang terpercaya dan adil , maka pasti diterima.
Tetapi sabaliknya, jika mereka tidak jujur dan fasik, tidak obyektif, maka
berita akan ditolak.32
Sepeninggal Rasulullah saw , para sahabat Nabi sangat hati-hati
dalam periwayatan hadits, karena konsentrasi mereka masih banyak
tercurahkan kepada al-Qur’an, yang baru mulai dibukukan pada zaman
khalifah Abu Bakar dan disempurnakan pada saat sahabat Utsman bin
Affan menjadi Khalifah. Selanjutnya ketika mulai terjadi konflik politik ,
yang memicu munculnya firqah di kalangan kaum muslimin ; Syi’ah,
Murji’ah dan Jama’ah, dan pada gilirannya mendorong timbulnya
periwayatan yang dimanipulasi, dipalsukan dan direkayasa, maka para
ulama bangkit untuk membendung pemalsuan dan menjaga kemurnian
hadits Nabi. Dari usaha ini, terbentuklah teori-teori tentang periwayatan.
Keharusan menyertakan sanad menjadi bagian penting yang
dipersyaratakan dalam setiap periwayatan. Hal ini telah dilakukan antara
lain oleh Ibnu Syihab al-Zuhri ketika menghimpin hadits dari para ulama.33
Ketika para ulama hadits membahas tentang kemampuan hafalan /
daya ingat para perawi (dhabit), membahas bagaimana system penerimaan
dan penyampaian yang dipergunakan (tahammul wa ada’ al-hadits),
bagaimana cara menyelesaikan hadits yang tampak kotradiktif, bagaimana
memahami hadits yang musykil dan sebagainya, maka perkembangan ilmu
hadits semakin meningkat. Ketika Imam al-Syafi’i (w. 204 H) menulis
kitab al-Risalah, sebenarnya ilmu hadits telah mengalami perkembangan
lebih maju, sebab di dalam kitab tersebut telah dibahas kaidah-kaidah
tentang periwayatan, hanya saja masih bercampur dengan kaidah ushul
fiqih. Demikian pula dalam kitab al-Umm. Di sana telah ditulis pula
kaidah yang berkaitan dengan cara menyelesaikan haadits-hadits yang
bertentangan, tetapi masih bercampur dengan fiqih. Artinya ilmu hadits
pada saat itu sudah mulai tampak bentuknya, tetapi masih belum terpisah
dengan ilmu lain, belum menjadi disiplin ilmu yang berdiri sendiri.
Sesudah generasi al-Syafi’i, banyak sekali para ulama yang
menulis ilmu hadits, misalnya Ali bin al-Madini menulis kitab Mukhtalif
al-Hadits, Ibnu Qutaibah (w. 276 H ) menyusun kitab Ta’wil Mukhtalif al-
Hadits. Imam Muslim dalam Muqaddimah kitab shahihnya, Al-Turmudzi
menulis al-Asma’ wa al-Kuna, Muhammad bin Sa’ad menulis al-Thabaqat
al-Kubra. Demikian pula al-Bukhari menulis tentang rawi-rawi yang
lemah dalam kitab al-Dlu’afa’. Dengan banyaknya ulama yang menulis
tentang persoalan yang menyangkut ilmu hadits pada abad III H ini, maka
dapat difahami mengapa abad ini disebut sebagai awal kelahiran Ilmu
Hadits, walaupun tulisan yang ada belum membahas ilmu hadits secara
lengkap dan sempurna.
Penulisan ilmu hadits secara lebih lengkap baru terjadi ketika Al-
Qadli Abu Muhammad al-Hasan bin Abd. Rahman al-Ramahurmudzi (w.
360 H) menulis buku Al-Muhaddits al-Fashil Baina al-Rawi wa al-Wa’i.
Kemudian disusul al-Hakim al-Naisaburi (w. 405 H) menulis Ma’rifatu
Ulum al-Hadits,al-Khathib Abu Bakar al-Baghdadi menulis kitab Al-Jami’
li Adab al-Syaikh wa al-Sami’, al-Kifayah fi Ilmi al-Riwayat dan al-Jami’
li Akhlaq al-Rawi wa Adab al-Sami’34.
C. Cabang-Cabang Ilmu Hadits
1. IImu Rijalil Hadis
من الحديث رواة عن فيه يبحث علمبعدهم ومن والتابعين الصحابة
Artinya:
"Ilmu yang membahas tentang kaadaan para perawi hadis, baik dari
sahabat, tabi'in, maupun dari angkatan sesudahnya35 ."
Dengan ilmu ini dapatlah kita mengetahui keadaan para perawi
menerima hadis dari Rasulullah dan keadaan para perawi yang menerima
hadis dari sahabat dan seterusnya. Di dalam ilmu ini diterangkan tarikh
ringkas dari riwayat hidup para perawi, mazhab yang dipegang oleh para
perawi dan keadaan-keadaan para perawi itu dalam menerima hadis.
Sungguh penting sekali ilmu ini dipelajari dengan seksama, karena
hadis itu terdiri dari sanad dan matan. Maka mengetahui keadaan para
perawi yang menjadi sanad merupakan separuh dari pengetahuan. Kitab-
kitab yang disusun dalam ilmu ini banyak ragamnya. Ada yang hanya
menerangkan riwayat-riwayat ringkas dari para sahabat saja. Ada yang
menerangkan riwayat-riwayat umum para perawi-perawi, Ada yang
menerangkan perawi-perawi yang dipercayai saja, Ada yang menerangkan
riwayat-riwayat para perawi yang lemah-lemah, atau para mudallis, atau
para pemuat hadis maudlu'. Dan ada yang menerangkan sebab-sebab
dianggap cacat dan sebab-sebab dipandang adil dengan menyebut kata-
kata yang dipakai untuk itu serta martabat perkataan.
Ada yang menerangkan nama-nama yang serupa tulisan berlainan
sebutan yang di dalam ilmu hadis disebut Mu'talif dan Mukhtalif. Dan ada
yang menerangkan nama-nama perawi yang sama namanya, lain orangnya,
Umpamanya Khalil ibnu Ahmad. Nama ini banyak orangnya. lni dinamai
Muttafiq dan Muftariq. Dan ada yang menerangkan nama- nama yang
serupa tulisan dan sebutan, tetapi berlainan keturunan dalam sebutan,
sedang dalam tulisan serupa. Seumpama Muhammad ibnu Aqil dan
Muhammad ibnu Uqail. Ini dinamai Mutasyabah. Dan ada juga yang
hanya menyebut tanggal wafat.
Di samping itu ada pula yang hanya menerangkan nama-nama
yang terdapat dalam satu-satu kitab saja, atau: beberapa kitab saja. Dalam
semua itu para ulama telah berusaha menyusun kitab-kitab yang
dibutuhkan.
Permulaan ulama yang menyusun kitab riwayat ringkas para
sahabat, ialah Al-Bukhari (256 H). Kemudian usaha itu dilaksanakan oleh
Muhammad Ibnu Saad, sesudah itu terdapat beberapa ahli lagi, di
antaranya, yang penting diterangkan ialah Ibnu Abdil Barr (463 H).
Kitabnya bernama AI-Istiab.
Pada permulaan abad ketujuh Hijrah, Izzuddin ibnul Atsir (630 H)
mengumpulkan kitab-kitab yang telah disusun sebelum masanya dalam
sebuah kitab besar yang dinamai Usdul Gabah. Ibnu Atsir ini adalah
saudara dari Majdudin Ibnu Atsir pengarang An-Nihayah fi GaribiI Hadis.
Kitab Izzuddin diperbaiki oleh Ai-Dzahabi (747 H) dalam kitab At-Tajrid.
Sesudah itu pada abad kesembilan Hijrah, Al-Hafidh Ibnu Hajar
Al-Asqali menyusun kitabnya yang terkenal dengan nama AI-Ishabah.
Dalam kitab ini dikumpulkan Al-Istiab dengan Usdul Gabah dan ditambah
dengan yang tidak terdapat dalam kedua kitab tersebut. Kitab ini telah
diringkaskan oleh As-Sayuti dalam kitab Ainul Ishabah.
Al-Bukhari dan muslim telah, menulis juga kitab yang
menerangkan nama-nama sahabi yang hanya meriwayatkan suatu hadis
saja yang dinamai Wuzdan. Kemudian, dalam bab ini Yahya ibnu abdul
Wahab ibnu Mandah Al-Asbahani (551 H) menulis sebuah kitab yang
menerangkan nama-nama sahabat yang hidup 120 tahun.
Ilmu Rijal al-Hadits ini dibagi menjadi beberapa bagian. Antara
lain adalah Ilmu Tarih al-Rawi dan Ilmu al-Jarh wa al-Ta’dil. Titik tekan
kedua ilmu ini berbeda. Ilmu Tarih al-Rawi memfokuskan pembahasannya
pada sejarah perjalanan hidup perawi, misalnya kapan seorang rawi itu
dilahirkan, di mana, kepada siapa dia berlajar hadits, siapa saja gurunya,
memiliki berapa murid hadits, siapa saja mereka itu, pernah melakukan
perlawatan untuk mencari hadits ke mana saja, dimana ia tinggal dan
sebagainya. Sedangkan ilmu al-Jarh wa al-Ta’dil, lebih menfokuskan
kepada kritik perawi; apakan seorang perawi itu adil, kapasitas
intelektualnya sehat apa tidak , Jadi titik tekannya pada kualitas pribadi
dan kapasitas intelektualnya.36
2. Ilmul Jarhi Wat Takdil
Ilmu Jarhi Wat Takdir, pada hakekatnya merupakan suatu bagian
dari ilmu rijalil hadis. Akan tetapi, karena bagian ini dipandang sebagai
yang terpenting maka ilmu ini dijadikan sebagai ilmu yang berdiri sendiri.
Yang dimaksud dengan ilmul jarhi wat takdil ialah:
ال������رواة ج������رح عن فيه يبحث علم وعن مخصوصة بألف����اظ وتع����ديلهم
األلفاظ تلك مراتبArtinya:
"Ilmu yang menerangkan tentang catatan-catatan yang dihadapkan pada
para perawi dan tentang penakdilannya (memandang adil para perawi)
dengan memakai kata-kata yang khusus dan tentang martabat-martabat
kata-kata itu37. "
Yang menjadi pembahasan ilmu ini pada prinsipnya adalah
melakukan telaah terhadap keadilan dan kedhabitan para perawi hadits.
Jadi intinya membicarakan kualitas pribadi perawi dan kapasitas
intelektualnya
Mencacat para perawi (yakni menerangkan keadaannya yang tidak
baik, agar orang tidak terpedaya dengan riwayat-riwayatnya), telah
tumbuh sejak zaman sahabat. Menurut keterangan Ibnu Adi (365 H) dalam
Muqaddimah kitab AI-Kamil, para ahli telah menyebutkan keadaan-
keadaan para perawi sejak zaman sahabat. Di antara para sahabat yang
menyebutkan keadaan perawi-perawi hadis ialah Ibnu Abbas (68 H),
Ubadah ibnu Shamit (34 H), dan Anas ibnu Malik (93 H).
Sedangkan dari kalangan tabi'in antara lain ialah Asy Sya’bi(103
H), Ibnu Sirin (110H), Said Ibnu AI-Musaiyab (94 H). Dalam masa
mereka itu, masih sedikit orang yang dipandang cacat. Mulai abad kedua
Hijrah baru ditemukan banyak orang-orang yang lemah. Kelemahan itu
adakalanya karena meng-irsal-kan hadis, adakalanya karena me-rafa-kan
hadits yang sebenarnya mauquf dan adakalanya karena beberapa kesalahan
yang tidak disengaja, seperti Abu Harun AI-Abdari (143 H).
Sesudah berakhir masa tabi'in, yaitu pada kira-kira tahun 150
Hijrah, para ahli mulai menyebutkan keadaan-keadaan perawi,
menta’dil(menilai adil) dan menajrihkan(menilai cacat) mereka. Di antara
ulama besar yang memberikan perhatian pada urusan ini, ialah Yahya.
ibnu Said Al-Qattan (189H), Abdur Rachman ibnu Mahdi (198 H)",
sesudah itu, Yazid Ibnu Harun(189 H), Abu Daud At-Thayalisi (204 H),
Abdur Razaq bin Human (211 H).Sesudah itu, barulah para ahli menyusun
kitab-kitab jarah dan ta’dil. Di dalamnya diterangkan keadaan para
perawi, yang boleh diterima riwayatnya dan yang ditolak.
Di antara pemuka-pemuka al-jarah dan al-ta’dil ialah Yahya ibnu
Main (233 H), Ahmad ibnu Hanbal (241 H), MUhammad ibnu Saad (230
H),Ali Ibnul Madini (234 H), Abu Bakar ibnu Syaibah (235 H), Ishaq ibnu
Rahawaih (237 H). Sesudah itu, Ad-Darimi (255 H),Al-Bukhari (256 H),
Al-Ajali(261 H), Muslim (251 H), Abu Zurah (264 H), Baqi ibnu Makhlad
(276 H), Abu Zurah Ad-Dimasyqi (281 H).
Kemudian pada tiap-tiap masa terdapat ulama-ulama yang
memperhatikan keadaan perawi, hingga sampai pada ibnu Hajar Asqalani
(852 H).
Kitab-kitab yang disusun mengenai al-Jarh wa al-Ta’dil, ada
beberapa macam. Ada yang menerangkan orang-orang yang dipercayai
saja, ada yang menerangkan orang-orang yang lemah saja, atau orang-
orang yang menadlieskan hadis. dan ada pula yang melengkapi semuanya.
Di samping itu, ada yang menerangkan perawi-perawi suatu kitab saja atau
beberapa kitab dan ada yang melengkapi segala kitab.
Di antara kitab yang melengkapi semua itu ialah: Kitab Tabaqat
Muhammad ibnu Saad Az-Zuhri Al-Basari (23Q H). Kitab ini sangat
besar. Di dalamnya terdapat nama-nama sahabat nama-nama tabi'in dan
orang-orang sesudahnya. Kemudian berusaha pula beberapa ulama besar
lain, di antaranya Ali ibnul Madini(234 H), Al-Bukhari, Muslim; Al-
Hariwi (301 H) dan ibnu Hatim (327 H). Dan yang sangat berguna bagi
ahli hadis dan fiqih ialah At-Takmil susunan Al-Imam ibnu Katsir.
Diantara kitab-kitab yang menerangkan orang-orang yang dapat
dipercayai saja ialah Kitab As-Siqat, karangan Al-Ajaly (261 H) dan kitab
As-Siqat karangan Abu Hatim ibnu Hibban Al-Busty. Masuk dalam bagian
ini adalah kitab-kitab yang menerangkan tingkatan penghapal-penghapal
hadis. Banyak pula ulama yang menyusun kitab ini, di antaranya, Az-
Zahabi, Ibnu Hajar Al-Asqalani dan As-Sayuti.
Diantara kitab-kitab yang menerangkan orang-orang yang lemah-
lemah saja ialah: Kitab Ad-Dhuafa, karangan Al-Bukhari dan kitab Ad-
Dhu’afa karangan ibnul Jauzi (587 H)
Kitab yang menggabungkan antara ilmu tarih al-Rawi dan Ilmu al-
Jarh wa al-Ta’dil, antara lain ialah kitab Tahdzib al_kamal fi Asma al-
Rijal karya Abu Al-Hajjaj Yusuf bin al-Zaki al-Mizzi, dan kitab Tahdzib
al-Tahdzib karya Ibnu Hajar al-Atsqalani
Sedangkan lambing-lambang yang dipergunakan untuk menta’dil
adalah :
ثقة ثقة ثقة ثبت ثبت , ثقة ثبت , , , , ص�����الح , متقن , ص�����دوق , حجة ثبت
, , ش��يخ , مأمون الحديث , حسن الحديثبه بأس , ال وسط
Adapun lafadz/ lambing yang diginakan mentajrih adalah sebagai
berikut :
, كذاب, دج��ال, الناس , أكذب الناس أوضع س����اقط, م����تروك بالك����ذب, فالن متهم
لين, الحديث, فالن الحديث, ضعيف, مردودبقوي, ليس
Selanjutnya, jika dalam penilaian para ulama terdapat perbedaan,
artinya ketika terjadi penilaian yang berbeda di kalangan para ulama
terhadap seorang perawi, maka ada beberapa teori38 :
الجرح على مقدم التعديل.1التعديل على مقدم الجرح.2 للمعد ف��الحكم والمع��دل الج��ارح تعارض إذا.3
المقسر الجرح ثبت اذا اال ل خش������ية التثبت بعد اال الج������رح يقبل ال.4
المجروحين في االشباه
3. IImu Illail Hadis39
خفية غامضة اس���باب من فيه يبحث علمالحديث صحة في قادحة
Artinya:
Ilmu yang menerangkan sebab-sebab yang tersembunyi, tidak nyata,
yang dapat mencacatkan hadis.
Yakni menyambung yang munqati’, merafa’kan yang mauqu
memasukkan satu hadis ke dalam hadis yang lain dan yang serupa itu
Semuanya ini, bila diketahui, dapat merusakkan kesahihan hadis.
Ilmu ini merupakan semulia-mulia ilmu yang berpautan dengan
hadis, dan sehalus-halusnya. Cacat hadits yang demikian ini tidak dapat
diketahui melainkan oleh ulama yang mempunyai pengetahuan yang
sempurna tentang martabat-martabat perawi dan mempunyai malakah
yang kuat terhadap sanad dan matan-matan hadis.
Di antara para ulama yang menulis ilmu ini, ialah Ibnul Madini (23
H), Ibnu Abi Hatim (327 H), kitab beliau sangat baik dan dinamai Kitab
Illial Hadis. Selain itu, ulama yang menulis kitab ini adalah AI-lmam
Muslim (261 H), Ad-Daruqutni (357 H) dan Muhammad ibnu Abdillah
AI-Hakim.
4. Ilmun nasih wal mansuh40
والمنسوخ الناسخ عن فيه يبحث علمالحديث من
Artinya:
"ilmu yang menerangkan hadis-hadis yang sudah dimansuhkan dan
yang menasihkannya. "
Apabila didapati suatu hadis yang maqbul, tidak ada yang
memberikan perlawanan maka hadis tersebut dinamai Muhkam. Namun
jika dilawan oleh hadis yang sederajatnya, tetapi dikumpulkan dengan
mudah maka hadis itu dinamai Mukhatakiful Hadis. Jika tak mungkin
dikumpul dan diketahui mana yang terkemudian, maka yang terkemudian
itu, dinamai Nasih dan yang terdahulu dinamai Mansuh.
Banyak para ahli yang menyusun kitab-kitab nasih dan mam'uh
ini, di antaranya Ahmad ibnu Ishaq Ad-Dillary (318 H), Muhammad ibnu
Bahar AI-Asbahani (322 H), Alunad ibnu Muhaminad An-Nah-has (338
H) Dan sesudah itu terdapat beberapa ulama lagi yang menyusunnya, yaitu
Muhammad ibnu Musa Al-Hazimi (584 H) menyusun kitabnya, yang
dinamai Al-lktibar. Kitab AI-Iktibar itu telah diringkaskan oleh Ibnu Abdil
Haq (744 H) .
5. Ilmu Asbabi Wuruddil Hadis, ialah41:
ألجله ورد الذي السبب به يعرف علمفيه جاء الذي والزمان الحديث
Artinya:
"Ilmu yang menerangkan sebab-sebab Nabi yang menurunkan sabdanya
dan masa-masanya Nabi menurunkan itu."
Penting diketahui, karena ilmu itu menolong kita dalam memahami
hadis, sebagaimana ilmu Ashabin Nuzul menolong kita dalam memahami
Al-Quran.
UIama yang mula-mula menyusun kitab ini dan kitabnya ada
dalam masyarakat iaIah Abu Hafas ibnu Umar Muhammad ibnu Raja Al-
Ukbari, dari murid Ahmad (309 H), Dan kemudian dituliskan pula oleh
Ibrahim ibhu Muhammad, yang terkenal dengan nama Ibnu Hamzah Al
Husaini (1120 H), dalam kitabnya AI-Bayan Wat Tarif yang telah dicetak
pada tahun 1329 H
6. Ilmu Talfiqil Hadis
األحاديث بين التوفيق عن فيه يبحث عامظاهرا المتناقضة
Artinya: "Ilmu yang membahas tentang cara
mengumpulkan(mempertemikan) hadis-hadis yang(secara lahiriyah)
isinya tampak berlawanan. "
Secara umum metode penyelesaian dengan cara ini mirip dengan
metode al-Jam'u yang telah berkembang di kalangan ulama hadis.
Metode ini meliputi :
a. Penyelesaian berdasar pemahaman dengan pendekatan kaedah ushul
fiqh. Cara mengumpulkannya adakalanya dengan menakhsiskan yang
'amm, atau menaqyidkan yang mutlak, atau dengan mentafsil yang
mujmal
b. Penyelesaian berdasar pemahaman kontekstual.
c. Penyelesaian berdasarkan pemahaman korelatif.
d. Penyelesaian dengan menggunakan pendekatan ta'wil.
e. Penyelesaian berdasarkan pemahaman tanawu' al-ibadah42
Ilmu ini dinamai juga dengan ilmu Mukhtaliful Hadis. Di antara
para ulama besar yang telah berusaha menyusun, ilmu ini ialah Al-
Imamusy Syafii (204 H), Ibnu Qurtaibah (276 H), At-Tahawi (321 H) dan
ibnu Jauzi (597 H). Kitabnya bernama At-Tahqiq, kitab ini sudah
disyarahkan oleh Al-Ustaz Ahmad Muhammad Syakir dan baik sekali
nilainya.
K. Lembar Penilaian
1. Jenis Penilaian
Jenis penilaian yang dipergunakan dalam proses pembelajaran ini
adalah tes tertulis (paper and pencil test) dan non tes
2. Bentuk Penilaian
Bentuk tes yang dipakai adalah essay, sedangkan bentuk non tes-nya
mempergunakan performan selama proses perkuliahan dan bentuk
proyek berupa penyelesaian tugas tertentu
3. Insrumen Penilaian
a. Tes
1. Sebutkan apa yang dimaksud istilah ilmu hadits dirayat
2. Kapan ilmu hadits dilahirkan sebagai sebuah disiplin ilmu, dan
siapa ulama yang pertama kali mempopulerkan
3. Sebutkan beberapa ilmu hadits yang berhubungan dengan
sanad dan ilmu hadits yang berkaitan dengan matan hadits
4. Apa yang anda ketahui tentang ilmu Jarh wa al-Ta’dil. Jelaskan
pula lambing-lambang yang digunakan dalam menjarh dan
menta’dil
5. Jika kita berhadapan dengan hadits-hadits yang tidak sejalan,
Bagaimana cara menyelesaikannya. Jelaskan
4. Pengamatan
FORMAT PENILAIAN PERFORMAN
NO NAMAMAHASISWA
VARIABEL YG DIAMATI NILAI RERATA
1 2 3 4 5 6
1
2
3
4
5
6
Keterangan Variabel
1. Kedisiplinan
2. Antusiasme
3. Rasionalitas
4. Kerjasama
5. Cara berkomunikasi
5. Proyek
Buat laporan singkat tentang 15 nama-nama kitab sejarah para
perawi hadits lengkap dengan pengarangnya
6.Petunjuk Penyekoran
6.1. Tes
a. Item 1 jawaban benar bernilai 20
b. item 2 jawaban benar bernilai 20
c. Item 3 jawaban benar bernilai 20
c.Item 4 jawaban benar bernilai 20
d.Item 5 jawaban benar bernilai 20
Total Nilai = 100
6.2. Performan
Skor penilaian performan bergerak dengan rentangan antara 60-100
6.3. Proyek
Skor penilaian proyek bergerak dengan rentangan antara 60-100
6.4. Pembobotan
Test Tertulis Performan Proyek
40 % 20 % 40 %
1
CATATAN AHIR PAKET 3
?Syuhudi Ismail, Pengantar Ilmu Hadits (Bandung: Angkasa, 1991) hal. 83 2Muhammad Musthafa A’dhami, (selanjutnya disingkat M.M.A’dhami) Memahami Ilmu Hadits, (Lentera, 1993),
hal 14; Lihat pula pada Muhammad Musthafa A’dzami, Prof. Hadits Nabi dan Sejarah Kodifikasinya (Jakarta : Pustaka Firdaus, 1994) hal. 80-85
3Kelengkapan hadits ini dmuat dalam kitab Sunan al-Turmudzi, bab al-ilmu ‘an Rasulullah . Demikian pula dalam Shahih al-Bukhari pada bab ahadits al-anbiya’
4Hadits ini secara lebih lengkap dapat dilihat pada Shahih al-Bukhari, bab al-ilmu dan bab al-Haji 5Selanjutnya dapat dilihat pada M.M. A’dhami, Memahami ….. op cit , hal 15 6Hadits ini diriwayatkan Ibnu Majah dalam kitabnya pada bab Muqaddimah 7 Hadits ini diriwayatkan oleh al-Bukhari dalam Shahih al-Bukhari bab al-Ilmi. Demikain pula Imam Muslim
dalam kitab Shahih Muslim, bab Ilmu.8Lihat misalnya pada Sunan Ibnu Majah, bab al-Muqaddimah 9M.M. A’dhami, Memahami Ilmu…..op. cit. hal. 13 10Utang Ranuwijaya dan Mundzir Suparta, Ilmu Hadits (Jakarta: Grafindo Persada, 1993) ha. 5911Nur Sulaiman Prof. Dr. Antologi Ilmu Hadits (Jakarta : Gaung Persada Press, 2008 )hal. 46-48 12Ibid, hal. 4913Pembahasan mengenai catatan san shahifah para sahabat Nabi dan Tabi’in, secara lebih luas bisa dibaca pada
M.M. A’dhami, Hadits Nabi dan Sejarah……op. cit, hal. 123-440 14Secara lengkap hadits ini diriwayatkan al-Bukhari dalam kitabnya Shahih al-Bikhari pada bab al-adzan15Hadits ini diriwayatkan al-Bukhari dalam bab al-Haji, dan imam Muslim pada bab masik al-Haji16Syuhudi Ismail, Pengantar …….op. cit, hal . 87-88 1717Menurut Abu Muhammad, yang dimaksud ‘hadits (yang tidak boleh diriwayatkan dalam kapasitas jumlah
yang banyak) adalah hadits-hadits tentang masa-masa yang dialami oleh Nabi, bukan hadits-hadits yang ada kaitannya dengan masalah fardlu dan sunnat. Lihat M.M. Azami, Hadits Nabawi dan Sejarah Kodifikasinya, (Jakarta, Pustaka Firdaus, l994), h. 186. Sedang menurut Syah Wali Allah al-Dahlawi, sebagaimana dikutip Syibli Nu'mani, bahwa hadits hadits yang tidak boleh diriwayatkan secara berlebihan adalah riwayat-riwayat mengenai kebiasaan pribadi Nabi, karena riwayat demikian tidak mempunyai kaitan dengan hukum. Lihat Syibli Nu'mani, Umar bin Khatthab yang Agung, Sejarah dan Analisis Kepemimpinannya, terj.(Bandungng; Pustaka, l994) h. 480-481.
18Al-Yasa Abu Bakar, Dr. Pengantar Mata Kuliah Ushul Fiqih (Banda Aceh: IAIN Ar Raniri, 1993), hal. 17 19Pengumpulan catatan hadits pada masa ini bukan dilakukan oleh perseorangan dan untuk pentingan pribadi,
sebagaimana yang terjadi pada masa sebelumnya. Oleh karena itu, maka istilah pengumpulah hadits pada abad II H ini lebih tepat disebut sebagai masa pembukuan / tadwin. Maka perlu digaris bawahi bahwa istilah pencatatan dan pembukuan harus dibedakan. Pencatatan hadits sudah dimulai sejah Nabi saw masih hidup, sedang pembukuan baru dilakukan pada abad II H.
20Bandingkan dengan Utang Ranuwijaya dan Mundzir Suparta, op.cit, hal. 74-75 21Ibid. hal. 76 22Syuhudi Ismail, Pengantar Ilmu Hadits (Bandung : Ankasa, 1991), Hal. 104 23Ibid, hal. 109-110 24Ibid, hal. 113-115 25Fathurrahman, Drs. Ikhtisar Mushthalah Hadits ( Bandung : al-Ma’arif, 1985) hal. 39. Bandinmgkan dengan
Syuhudi Ismail, Pengantar Ilmu Hadits……ibid, hal. 115-116 26Selanjutnya baca Dr. Abd. Majid Khon, Ulumul Haadist ( Jakarta : AMZAH, 2008 ) hal. 64-65 27Ulama yang hidup sebelum abad IV H dinamakan ulama mtaqaddimin (salaf/klasik). Sedangkan ulama yang
hidup pada abad IV H dinamakan ulama muta’akhkhirin (modern) 28Syuhudi Ismail, Pengantar Ilmu Hadits……op. cit. hal. 120-121 29
CATATAN AHIR PAKET 4
?Lihat Syuhudi Ismail, Pengantar Ilmu Hadits ( Bandung : Angkasa, 1991), hal. 61; Bandingkan pula dengan Prof. Dr. H. M. Nur Sulaiman (Jakarta: Gaung Persada Press, 2008) hal. 76
30Dr. Abd. Majid Khon, Ulumul Hadits ( Jakarta : AMZAH, 2008) hal. 68 31Lihat ibid, hal 71-72 dan 77. Bandingkan dengan Utang Ranuwijaya, Drs, dan Mundzir Suparta, Drs. Ilmu
Hadits (Jakarta : Raja Grafindo, 1993) hal. 2432Sbd. Majid Khon. Dr. Op.cit, hal. 78-7933Ibid, hal. 80 34Ibid, hal. 82 35Bandingkan dengan Fathur Rahman, Drs. Ikhtisar Musthalah hadits (Bandung : al-Ma’arif, 1985) hal. 245 36Lihat lebih rinci pada Fathur Rahman, Drs. Ibid , hal . 258-27337Bandingkan dengan penjelasan Dr. Abd. Majid Khon, Ulumul Hadits (Jakarta : AMZAH, 2008) hal. 85 38Syuhudi Ismail, Dr. Metodologi Penelitian Hadits Nabi (Jakarta: Bulan Bintang, 1992), hal. 77-80 39 Lihat lebih rinci dan bandingkan dengan Fathur Rahman, Drs. Op.cit, hal . 298-304
40 Lihat lebih rinci pada Fathur Rahman, Drs. ibid, hal . 291-29341 Lihat lebih rinci pada Fathur Rahman, Drs. ibid, hal . 286-28942Lihat Edi Safri, Al-Imam al-Syafi'i, Metode penyelesaian Hadis Mukhtalif (Disertasi: IAIN Jakarta, 1990) h.
152-206.