46
Tinjauan Peranan Struktur Organisasi Direktorat Jenderal Perkebunan dalam menjawab permasalahan Perkebunan di Indonesia Oleh : Renatalido Arios P056081651.42

renatalido.files.wordpress.com  · Web viewPenulis menyadari bahwa dalam makalah ini masih terdapat kekurangan. Oleh karena itu, saran dan kritik membangun dari berbagai pihak merupakan

Embed Size (px)

Citation preview

Tinjauan Peranan Struktur Organisasi Direktorat Jenderal Perkebunan dalam menjawab permasalahan Perkebunan di Indonesia

Oleh :

Renatalido Arios

P056081651.42

MANAJEMEN DAN BISNIS

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

2009

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Kuasa, karena atas rahmat-Nya, makalah dengan judul Tinjauan Peranan Struktur Organisasi Direktorat Jenderal Perkebunan dalam menjawab permasalahan Perkebunan di Indonesia dapat penulis selesaikan. Makalah ini merupakan tugas mata kuliah Teori Organisasi dan Manajemen Pengetahuan di bawah pengajar Dr. Ir. M. Parulian Hutagaol, MS.

Semoga makalah ini dapat bermanfaat bagi semua pihak, khususnya pemerintah, sehingga dapat menjadi pertimbangan dalam optimalisasi pengembangan perkebunan di Indonesia. Penulis menyadari bahwa dalam makalah ini masih terdapat kekurangan. Oleh karena itu, saran dan kritik membangun dari berbagai pihak merupakan masukan bagi penulis.

Bogor, September 2009

Penulis

DAFTAR ISI

Halaman

KATA PENGANTAR

i

DAFTAR ISI

ii DAFTAR TABEL

iii

DAFTAR GAMBAR

iv

I. PENDAHULUAN 1

1.1Latar Belakang 1

1.2Rumusan Masalah 3

1.3 Tujuan Makalah 3

1.4 Manfaat Makalah 4

1.5 Ruang Lingkup Bahasan 4

II. TINJAUAN PUSTAKA DAN KERANGKA PEMIKIRAN 5

2.1. Kerangka Teoritis 5

2.1.1Organisasi 5

2.1.2 Struktur Organisasi 5

2.1.3 Peranan Struktur Organisasi 6

2.1.4 Efektivitas Struktur Organisasi 9

2.2. Kerangka Pemikiran Konseptual 10

III. PEMBAHASAN 11

3.1 Struktur Organisasi Direktorat Jenderal Perkebunan 11

3.2 Efektivitas Peranan Struktur Organisasi Dirjen Perkebunan 12

3.2.1 Kebijakan perkebunan yang berdampak bagi rakyat 14

3.2.2 Pengorganisasian dan Manajemen Pengelolaan Perkebunan 15

3.2.3 Pemasaran dan Perekonomian dalam Pekebunan 15

3.2.4 Masalah Sosial Budaya 15

3.2.5 Masalah Ilmu Pengetahuan dan Teknologi 16

3.2.6 Masalah Sumberdaya Manusia 16

3.2.7 Masalah Pengorganisasian dan Struktur 17

IV. KESIMPULAN DAN SARAN 21

4.1 Kesimpulan 21

4.2 Saran 21

V. DAFTAR PUSTAKA 22

DAFTAR TABEL

Halaman

Tabel 1. Perbandingan produksi CPO Indonesia dan Malaysia 1

DAFTAR GAMBAR

Halaman

Gambar 1. Kerangka Pemikiran Konseptual Tinjauan Peranan Struktur Organisasi Direktorat Jenderal Perkebunan10

Gambar 2. Struktur Organisasi Direktorat Jenderal Perkebunan di bawah Menteri Pertanian11

I. PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Kompleksitas permasalahan yang dihadapi bangsa Indonesia, khususnya krisis ekonomi, menyebabkan terbukanya kesadaran akan pengembangan usaha untuk memperoleh kehidupan ekonomi yang lebih baik. Perkebunan merupakan salah satu usaha yang menjadi konsentrasi. Bahkan berbagai kalangan melihat bahwa usaha di bidang perkebunan merupakan usaha yang strategis untuk perekonomian Indonesia. Salah satu daya tarik utama dari sektor perkebunan bagi pemerintah adalah sebagai penghasil devisa.

Namun demikian, dengan terjebaknya bangsa Indonesia dalam krisis ekonomi, bahkan krisis multidimensi, perkebunan juga mengalami imbas yang relatif berpengaruh. Berbagai permasalahan melingkupi subsektor perkebunan dan sebagian diantaranya merupakan permasalahan yang menunjuk pada kegagalan pemerintah dalam pembangunan perkebunan. Sebagai contoh, Crude Palm Oil (CPO) yang dihasilkan dari perkebunan kelapa sawit Indonesia, termasuk oleh PT. Perkebunan Nusantara (PTPN) Indonesia, yang tidak memiliki keunggulan kompetitif di mata dunia. Hal ini disebabkan karena angka indeks derajat kepucatan (DOBI : deoteration of bleachability index) CPO Indonesia yang rendah, sehingga mengalami potongan harga di pasar Internasional. Selain itu, produktivitas yang relatif rendah menyebabkan CPO PTPN kalah saing dari negara lain, khususnya Malaysia, seperti pada tabel berikut ini.

Tabel 1. Perbandingan produksi CPO Indonesia dan Malaysia

Tahun

Produksi CPO (juta ton)

Indonesia

Malaysia

2004

10,02

13,60

(http://www.kapanlagi.com)

Sungguh naif jika Indonesia sebagai negara dengan iklim tropis tidak mampu menjadi negara penghasil CPO terbesar di dunia. Keunggulan perkebunan Indonesia belum digali secara optimal dengan menjadikan komoditas perkebunan paling unggul dalam menghasilkan devisa negara, sehingga dapat menjadi solusi masalah kemiskinan dan pengangguran. Namun demikian, kenyataan mengatakan bahwa Indonesia belum mampu menjadi negara penghasil CPO terbesar di dunia. Berbagai faktor keberhasilan perusahaan, terutama dalam manajemen dan pengorganisasian perkebunan di Indonesia belum mampu mengubah kenyataan ini.

Gambaran di atas merupakan salah satu contoh kelemahan produk perkebunan Indonesia, yang tentunya merupakan sebuah permasalahan. Jika dilihat dari potensinya, perkebunan sangat berperan dalam kegiatan perekonomian dan pembangunan. Secara prospektif, perkebunan merupakan subsektor yang berperan penting dalam perekonomian nasional, sebagai kontribusi dalam pendapatan nasional, penyedia lapangan kerja, penerimaan ekspor, dan penerimaan pajak. Dalam perkembangannya, subsektor ini tidak terlepas dari berbagai dinamika lingkungan nasional dan global. Perubahan strategis nasional dan global tersebut mengisyaratkan bahwa pembangunan perkebunan harus mengikuti dinamika lingkungan perkebunan. Pembangunan perkebunan harus mampu memecahkan masalah-masalah yang dihadapi perkebunan selain mampu menjawab tantangan-tantangan globalisasi.

Munculnya produsen-produsen produk perkebunan yang kompetitif di pasar dunia menyebabkan perkebunan Indonesia hanya menjadi pemain yang tanpa daya, yang hanya menunggu bola. Pemerintah Indonesia sebagai pemilik dan pengelola perusahaan-perusahaan perkebunan pun tampak tak berdaya dan lemah di pasar dunia, sehingga tidak mampu berbuat banyak untuk melindungi kepentingan setiap usaha perkebunannya.

Banyak faktor yang menyebabkan sektor perkebunan Indonesia tidak mengalami kemajuan dan pembangunan yang pesat. Salah satu faktor yang mempengaruhi kemajuan perkebunan Indonesia adalah pengorganisasian atau struktur organisasi yang dibentuk untuk mengelola perkebunan di Indonesia. Untuk itu, peninjauan akan peranan struktur organisasi sektor perkebunan merupakan langkah awal untuk membenahi berbagai kondisi yang terjadi pada sektor perkebunan Indonesia.

Struktur organisasi banyak sekali bentuk dan macamnya, mulai dari yang tradisional hingga struktur organisasi yang profesional. Penerapannya pun berbeda-beda dan banyak faktor yang mempengaruhinya, di antaranya adalah besar kecilnya perusahaan, luas sempitnya jaringan bisnis, jumlah tenaga kerja, serta visi dan misi perusahaan. Bervariasinya struktur organisasi ini memungkinkan setiap perusahaan atau organisasi menerapkan struktur yang berbeda-beda.

Dalam rangka pencapaian tujuan, suatu perusahaan selalu menggunakan struktur organisasi sebagai wadah dalam melakukan segala aktivitasnya, tetapi untuk sistem struktur organisasi, penerapannya tergantung pada kondisi perusahaan tersebut.

1.2 Rumusan Masalah

Perumusan masalah yang dikemukakan dalam makalah ini adalah sebagai berikut:

1. Aspek-aspek apa saja yang menjadi kelemahan dalam struktur organisasi perkebunan Indonesia

2. Alternatif struktur seperti apa yang dapat diterapkan dalam perkebunan di Indonesia agar dapat berperan secara efektif

1.3 Tujuan Makalah

Makalah mengenai peranan struktur organisasi Direktorat Jenderal Perkebunan Indonesia memiliki beberapa tujuan, antara lain :

1. Mengidentifikasi permasalahan perkebunan yang menyebabkan kegagalan pembangunan perkebunan

2. Meninjau efektivitas peranan struktur organisasi Direktorat Jenderal Perkebunan dalam pencapaian tujuan

1.4 Manfaat Makalah

Makalah ini dapat memberikan manfaat, yaitu :

1. Memberikan gambaran tentang pentingnya sebuah peranan struktur organisasi dalam sebuah perusahaan, khususnya sektor perkebunan di bawah naungan pemerintah Indonesia.

2. Menunjukkan bagaimana sebuah struktur organisasi yang efektif, sehingga pencapaian tujuan lebih jelas dan efektif.

1.5 Ruang Lingkup Bahasan

Kajian dan bahasan dalam makalah ini merupakan kajian dan bahasan mengenai sektor perkebunan, khususnya struktur organisasi Direktorat Jenderal Perkebunan, dengan melihat kondisi dan permasalahan konteks perkebunan yang terjadi di Indonesia.

II. TINJAUAN PUSTAKA DAN KERANGKA PEMIKIRAN

2.1 Kerangka Teoritis

2.1.1 Organisasi

Beberapa definisi dan pengertian organisasi adalah sebagai berikut.

Organisasi adalah suatu pola hubungan-hubungan orang di bawah pengarahan manajer untuk mengejar tujuan bersama (Stoner, 1994). Organisasi adalah sebagai kerangka struktur dimana pekerjaan dari beberapa orang diselenggarakan untuk mewujudkan suatu tujuan bersama (John D. Millet). Organisasi adalah sebagai pola komunikasi yang lengkap dan hubungan-hubungan lain di dalam suatu kelompok orang-orang (Herbert. A. Simon). Organisasi adalah sebagai sebuah sistem tentang aktivitas kerjasama dua orang atau lebih dari sesuatu yang tidak berwujud dan tidak pandang bulu, yang sebagian besar tentang persoalan silaturahm (L. Barnard). Organisasi adalah sebagai suatu struktur dari kewenangan-kewenangan dan kebiasaan-kebiasaan dalam hubungan antara orang-orang pada suatu sistem administrasi (Dwight Waldo).

2.1.2 Struktur Organisasi

Struktur Organisasi adalah suatu susunan dan hubungan antara tiap bagian serta posisi yang ada pada suatu organisasi atau perusahaan dalam menjalankan kegiatan operasional untuk mencapai tujuan. Struktur Organisasi menggambarkan dengan jelas pemisahan kegiatan pekerjaan antara yang satu dengan yang lain dan bagaimana hubungan aktivitas dan fungsi dibatasi.

Terdapat lima kelompok struktur organisasi proyek, yaitu struktur organisasi fungsional, struktur organisasi proyek, struktur organisasi matriks, struktur organisasi usaha (ventura), dan struktur organisasi tim kerja (task force ) (Soekanto, 1983).

2.1.3 Peranan Struktur Organisasi

Struktur memegang peranan yang sangat penting dalam proses perjalanan organisasi. Struktur memungkinkan sebuah organisasi untuk mencapai tujuan. Apapun organisasinya, organisasi selalu didirikan untuk mencapai tujuan. Terdapat orientasi yang ingin dicapai dengan berdirinya sebuah organisasi dan orientasi tersebut akan lebih mudah dicapai jika terdapat pembagian kerja yang diimplementasikan dalam sebuah struktur.

Organisasi adalah pengaturan yang disengaja terhadap sejumlah orang untuk mencapai tujuan tertentu (Robbins dan Coulter, 2004). Tujuan tersebut dapat berupa keuntungan (perusahaan), kebijakan publik (pemerintah), maupun perubahan sosial (organisasi nirlaba). Untuk mencapai tujuan tersebut, diperlukan pembagian kerja dan penempatan yang sesuai bagi setiap orang. Manajemen dapat dikatakan sebagai menempatkan orang yang tepat di posisi yang tepat pada waktu yang tepat untuk mencapai tujuan. Robbins dan Coulter, 2004) mendefinisikan manejemen sebagai proses pengkoordinasian kegiatan-kegiatan pekerjaan sehingga pekerjaan tesebut terselesaikan secara efisien dan efektif dengan dan melalui orang lain.

Untuk mencapai tujuan tersebut, diperlukan sebuah struktur sebagai pengejawantahan strategi organisasi ke dalam pelaksanaannya di lapangan. Maksudnya tidak lain adalah agar tujuan organisasi dapat tercapai dengan efektif dan efisien, yaitu dengan membuat sebuah desain struktur yang memiliki fleksibilitas untuk menyesuaikan dengan kondisi yang dinamis di mana semua hal dapat berubah dengan cepat. Untuk itulah diperlukan sebuah struktur formal yang dapat mendukung dan mempermudah anggota organisasi dalam pelaksanaan pekerjaan organisasi. Kegiatan tersebut dapat dikatakan sebagai pengorganisasian yang didefinisikan sebagai proses penciptaan struktur organisasi (Robbins dan Coulter, 2004).

Struktur Organisasi adalah kerangka kerja formal organisasi. Melalui kerangka kerja tersebut, tugas-tugas pekerjaan dibagi-bagi, dikelompokkan, dan dikoordinasikan (Robbins dan Coulter, 2004). Dalam organisasi, pembagian kerja yang efektif akan meningkatkan produktifitas karyawan. Namun pembagian kerja tersebut harus disesuaikan dengan kondisi internal dan eksternal organisasi. Pembagian kerja yang salah akan menyulitkan dan menghambat kinerja organisasi. Karena itu, banyak organisasi yang secara terus-menerus melakukan penyesuaian-penyesuaian dengan kondisi yang ada. Organisasi yang menerapkan sebuah struktur yang kaku dan tidak fleksibel akan kesulitan dalam menyesuaikan diri dengan dinamika perubahan yang terjadi. Oleh karena itu, perlu dibuat sebuah desain organisasi yang formal namun dapat mengakomodasi perubahan. Desain organisasi adalah proses yang melibatkan keputusan-keputusan mengenai keenam unsur penting, yaitu spesialisasi kerja, departementalisasi, rantai komando, rentang kendali, sentralisasi dan desentralisasi, dan formalisasi.

1. Spesialisasi kerja

Sejauh mana tugas-tugas dalam organisasi dibagi menjadi sejumlah pekerjaan tersendiri, yang dikenal sebagai pembagian kerja. Namun perlu diingat bahwa terdapat titik tertentu di mana jika pembagian pekerjaan sudah menjadi terlalu kecil akan menimbulkan pemborosan manusia dibanding keuntungan ekonomis yang dihasilkan.

2. Departementalisasi

Dasar yang digunakan untuk mengelompokkan sejumlah pekerjaan menjadi satu kelompok atau satu grup. Departementalisasi ini dapat dikelompokkan berdasarkan fungsi, produk, geografis, proses, dan pelanggan. Pada praktiknya di lapangan, organisasi kerap menggunakan kombinasi dari berbagai departementalisasi tersebut.

3. Rantai Komando

Garis wewenang yang tidak terputus yang membentang dari tingkatan atas organisasi hingga tingkatan paling bawah dan menjelaskan siapa melapor pada siapa. Di dalamnya terdapat wewenang dan tanggung jawab. Wewenang adalah hak-hak yang melekat pada posisi manajerial tertentu yang memberitahu orang apa yang harus dilakukan dan mengharapkan orang tersebut melakukannya. Tanggung jawab adalah kewajiban untuk melaksanakan tugas apa yang dilakukannya.

4. Rentang kendali

Jumlah karyawan yang dapat dikelola oleh seorang manajer secara efektif dan efisien. Rentang yang lebih luas (yaitu jumlah bawahan yang lebih besar yang dibawahi oleh seorang manajer) cenderung menghemat dari segi biaya, akibat berkurangnya jumlah manajer (yang membutuhkan gaji besar). Namun pada tingkat tertentu di mana rentangnya menjadi terlalu besar, kinerja karyawan akan cenderung menurun karena manajer tidak lagi mempunyai waktu untuk memberikan kepemimpinan dukungan yang diperlukan.

5. Sentralisasi dan Desentralisasi

Sentralisasi melukiskan sejauh mana pengambilan keputusan terkonsentrasi pada suatu titik dalam organisasi. Sebaliknya, semakin banyak karyawan tingkatan bawah yang memberikan masukan atau betul-betul mengambil keputusan, maka organisasi itu semakin terdesentralisasi. Namun di lapangan, konsep sentralisasi dan desentralisasi bukanlah hal yang mutlak. Organisasi tidak akan pernah sepenuhnya tersentralisasi atau terdesentralisasi, sekalipun terdapat satu konsep yang dominan.

6. Formalisasi

Sejauh mana pekerjaan di dalam organisasi itu terstandardisasi dan sejauh mana perilaku karyawan dibimbing oleh aturan dan prosedur. Semakin terformalisasi suatu pekerjaan dalam organisasi, semakin sedikit kebebasan yang dimiliki oleh karyawan untuk melakukan improvisasi dalam menyelesaikan pekerjaan. Konsep ini sangat fleksibel, di mana tingkat formalisasi yang dilakukan harus disesuaikan dengan kondisi dan strategi perusahaan.

Struktur Organisasi harus membantu pencapaian sasaran. Karena sasaran dipengaruhi oleh strategi organisasi, masuk akal bahwa strategi dan struktur itu harus berkaitan. Lebih tegasnya, struktur harus mengikuti strategi (Robbins dan Coulter, 2004). Struktur yang sesuai dengan organisasi sangat penting, baik dalam tingkatan organisasi maupun dalam unit-unit di bawahnya. Betapapun longgarnya suatu struktur dibuat, organisasi tersebut tetap saja perlu memiliki struktur yang jelas. Jika tidak, organisasi akan mengalami kesulitan dalam pencapaian tujuan, karena manajer tidak mampu membagi pekerjaan dan mensinambungkan seluruh kegiatan dalam organisasi.

2.1.4 Efektifitas Struktur Organisasi

Sebuah struktur organisasi dikatakan efektif apabila :

1. Memberikan gambaran yang jelas mengenai jenis pekerjaan yang akan dilaksanakan ke dalam bagian-bagian spesialisasi unit kerja (Manullang, 1985).

2. Dapat menjawab tujuan. Tujuan merupakan unsur penting yang berkaitan erat dengan pangkal tolak kelangsungan hidup suatu organisasi (Abdul Syani, 1987).

3. Memberikan gambaran yang jelas dalam pembagian kerja. Pembagian kerja dalam suatu organisasi adalah mutlak, agar tidak terjadi crossing, doubleres, dan overlapping, sehingga nampak jelas batasan tugas, wewenang, dan tanggung jawab masing-masing (Kadarisman, 1981).

4. Memberikan gambaran yang jelas mengenai pendelegasian wewenang, yaitu suatu proses pembagian tugas atau kerja oleh seorang pimpinan kepada bawahannya (Hasibuan, 1985).

5. Memberikan rentang pengawasan (span of supervision/span of authority) yang jelas, yaitu hubungan pengawasan yang dilakukan oleh seorang manajer sebagai atasan terhadap sejumlah bawahannya. Hal ini berhubungan dengan batas jangkauan pengawasan seorang manajer terhadap sejumlah bawahannya dalam unit kerja (Manullang, 1985).

Struktur organisasi ini harus mampu menjadikan organisasi efektif dalam perjalanan mencapai tujuannya, sehingga struktur yang telah dibuat dapat dikatakan efektif. Kriteria-kriteria yang dipakai dalam menilai organisasi yang efektif adalah kemampuan organisasi dalam menyesuaikan diri, produktivitas, kepuasan kerja, kemampuan berlaba, dan pencarian sumberdaya (Steers, 1985).

2.2 Kerangka Pemikiran Konseptual

Tahapan yang dilakukan untuk memperoleh argumen dalam peninjauan peranan struktur organisasi Direktorat Jenderal Perkebunan Indonesia adalah sebagai berikut.

1. Menganalisis berbagai permasalahan yang terdapat dalam sektor perkebunan, khususnya perkebunan yang dikelola oleh pemerintah dan perkebunan rakyat.

2. Perspektif permasalahan-permasalahan tersebut berdasarkan peranan struktur organisasi yang efektif.

3. Alternatif struktur organisasi Direktorat Jenderal Perkebunan Indonesia.

Kerangka pemikiran konseptual ini dapat dilihat pada gambar berikut ini.

Gambar 1. Kerangka Pemikiran Konseptual Tinjauan Peranan Struktur Organisasi Direktorat Jenderal Perkebunan

III. PEMBAHASAN

3.1. Struktur Organisasi Direktorat Jenderal Perkebunan

Sebagaimana sebuah perusahaan atau organisasi, perkebunan di Indonesia juga memiliki sebuah struktur organisasi, yang tentunya memiliki peranan penting dalam pencapaian tujuan. Namun demikian, struktur organisasi Direktorat Jenderal Perkebunan Indonesia ini masih berada dalam struktur Departemen Pertanian. Pemerintah membuat struktur organisasinya dengan pendekatan departementalisasi, yaitu sebuah struktur organisasi dengan sistem departemen, sebagai contoh Departemen Pertanian. Berikut adalah struktur organisasi Direktorat Jenderal Perkebunan Indonesia di bawah Menteri Pertanian.

Gambar 2. Struktur Organisasi Direktorat Jenderal Perkebunan di bawah Menteri Pertanian

Berdasarkan struktur di atas, terlihat bahwa pemegang kendali mengenai perkebunan di Indonesia hanya terdiri dari tujuh fungsionaris atau pemegang jabatan. Sebagai sebuah negara yang memiliki potensi sangat baik dalam perkebunan, struktur dengan tujuh fungsi utama teralu sedikit. Hal ini akan berdampak pada tidak terkonsentrasinya pemegang kendali tertinggi dalam struktur kepada struktur-struktur di bawahnya. Secara umum, struktur organisasi Departemen Pertanian sangatlah luas, sehingga fokus dan konsentrasi terhadap perkebunan menjadi terpecah, karena fokus juga dilakukan kepada struktur Direktorat Jenderal sektor lainnya. Sempitnya struktur Direktorat Jenderal Perkebunan Indonesia ini pada akhirnya membawa dampak pada perkembangan yang sangat lambat pada sektor perkebunan, karena perkebunan tidak menjadi fokus yang utama.

3.2. Efektivitas Peranan Struktur Organisasi Dirjen Perkebunan

Direktorat Perkebunan memiliki visi Terwujudnya agribisnis perkebunan yang produktif, efisien, berdaya saing, dan berkelanjutan untuk meningkatkan kemakmuran dan kesejahteraan masyarakat perkebunan secara berkeadilan, dengan misi adalah sebagai berikut :

1. Meningkatkan pembangunan agribisnis perkebunan yang berkelanjutan melalui penerapan Good Agriculture Practicesda optimalisasi pemanfaatan sumberdaya secara efisien dan efektif;

2. Meningkatkan kemampuan sumberdaya manusia perkebunan yang memiliki kemampuan teknis dan berusaha serta mempunyai integrasi moral yang bersih dan peduli;

3. Meningkatkan akses terhadap informasi, teknologi, permodalan, sarana dan prasarana bagi masyarakat perkebunan;

4. Meningkatkan nilai tambah produk perkebunan di sentra-sentra produksi.

Sungguh sebuah visi dan misi yang sangat baik bagi perkembangan dan pembangunan perkebunan di Indonesia. Namun bila kembali kepada struktur yang dibentuk, terlihat bahwa bagan struktur tidak mampu menjawab keseluruhan dari visi dan misi yang ingin dicapai. Terwujudnya agribisnis perkebunan yang produktif, efisien, berdaya saing, dan berkelanjutan untuk meningkatkan kemakmuran dan kesejahteraan masyarakat perkebunan secara berkeadilan, merupakan sebuah impian dan tujuan yang sangat luas, yang tidak hanya mampu dijawab hanya dengan peranan tujuh fungsionaris dalam Direktorat Jenderal Perkebunan. Struktur organisasi terlalu sempit dan terbatas dalam pengejewantahan seluruh sumberdaya untuk pencapaian visi. Alokasi sumberdaya yang efektif jelas tidak mampu dilakukan dengan kondisi fungsionaris yang ada, melihat perkebunan merupakan salah satu usaha pemerintah yang cukup besar dan luas di Indonesia.

Peranan sebuah struktur organisasi dikatakan efektif apabila mampu menjawab seluruh kebutuhan organisasi dan mampu menghasilkan output positif, baik bagi organisasi itu sendiri maupun bagi sumberdaya selaku penggerak organisasi. Direktorat Jenderal Perkebunan Indonesia merupakan sebuah organisasi pemerintahan yang bertanggung jawab terhadap seluruh aspek yang menyangkut perkebunan di Indonesia. Hal ini berarti bahwa struktur organisasi telah berada pada tataran nasional (negara), yang tentunya menjadi struktur tertinggi dalam kaitannya dengan segala aspek, kondisi, dan permasalahan perkebunan di Indonesia. Apabila peranan struktur ini tidak efektif, maka seluruh struktur-struktur organisasi perkebunan di bawahnya akan mengalami hal yang sama, yaitu tidak efektif dalam menjawab kebutuhan dan tuntutan organisasi.

Tolak ukur sederhana dalam melihat efektivitas struktur organisasi Direktorat Jenderal Perkebunan adalah melalui kajian mengenai permasalahan-permasalahan seputar perkebunan yang terjadi di Indonesia. Apabila permasalahan perkebunan yang terjadi di Indonesia relatif banyak, maka dapat dikatakan bahwa pengorganisasian Direktorat Jenderal Perkebunan Indonesia masih belum efektif dalam menjalankan fungsinya dalam pengelolaan perkebunan di Indonesia.

Berikut ini adalah permasalahan-permasalahan yang terjadi dalam sektor perkebunan, baik dalam masyarakat maupun pemerintah sendiri sebagai pengelola perkebunan.

3.2.1. Kebijakan perkebunan yang berdampak bagi rakyat

Kebijakan Direktorat Jenderal Perkebunan membedakan antara perkebunan besar, yaitu Badan Usaha Milik Negara (BUMN) dan perkebunan rakyat. Dampak yang timbul dari kebijakan ini adalah dualisme, yaitu memberi kemudahan bagi perkebunan pemilik modal besar dan kesulitan bagi perkebunan pemilik modal kecil. Beberapa contohnya adalah sebagai berikut.

Luas areal lahan perkebunan milik rakyat belum memperoleh fasilitas yang memadai dari pemerintah. Banyak masyarakat Indonesia yang memiliki pendapatan dengan bergantung pada hasil perkebunan.

Dualisme ekonomi yang dihadapi, yaitu antara perkebunan besar yang menggunakan modal dan teknologi secara intensif dan menggunakan lahan secara ekstensif serta manajemen eksploitatif terhadap sumberdaya alam dan sumberdaya manusia, dan perkebunan rakyat yang konvensional dan tradisional serta luas lahan terbatas. Perbedaan ini relatif sering menimbulkan konflik ekonomi yang berkembang menjadi konflik sosial.

Pemilik modal besar perkebunan belum memberikan kontribusi yang signifikan kepada kesejahteraan rakyat. Hal ini terlihat dari belum adanya manfaat yang proporsional dari usaha perkebunan kepada masyarakat.

Penguasaan negara atas tanah yang kemudian dimandatkan pengelolaannya kepada badan hukum (PT. Perkebunan Nusantara) sebagai hak guna usaha untuk usaha perkebunan sangat dominan dan menyeluruh, sementara hak masyarakat atas sumberdaya lahan untuk perkebunan tidak diperhatikan.

Organisasi-organisasi perkebunan dalam asosiasi pengusaha perkebunan bersifat eksklusif. Kepeduliannya masih sangat rendah terhadap pemberdayaan organisasi-organisasi pekebun.

Pengembangan perkebunan terlihat lebih berpihak dan mendukung perkebunan besar. Hal ini ditunjukkan oleh alokasi pemanfaatan kredit, dukungan penelitian dan pengembangan, serta pelatihan sumberdaya manusia yang hanya pada perkebunan besar.

3.2.2. Pengorganisasian dan Manajemen Pengelolaan Perkebunan

Pembangunan dan pengembangan perkebunan yang ekstentif, sejauh ini telah mengesampingkan produktivitas, efisiensi, dan pengembangan produk. Secara umum, beberapa komoditas perkebunan mengalami kenaikan produktivitas, namun efektifitas dan pengembangan produk komoditas perkebunan masih rendah.

Produktivitas komoditas hasil perkebunan milik Perkebunan Nasional masih tertinggal dari perkebunan negara tetangga, seperti Thailand dan Malaysia.

Perolehan dari sisi nilai tambah perkebunan besar, baik BUMN pun tampak masih sangat terbatas, sebagaimana diperlihatkan oleh produk akhir, yaitu masih terbatas pada produk-produk primer perkebunan. Hal ini menunjukkan bahwa perkebunan Indonesia masih hanya sekedar supplier bahan baku, di mana industri akhirnya berada di negara lain.

3.2.3. Pemasaran dan Perekonomian dalam Pekebunan

Pada pasar hasil perkebunan dari perkebunan rakyat, petani kebun yang berjumlah ribuan berhadapan dengan pedagang. Kemudian sifat produk perkebunan yang harus diolah berhadapan dengan industri pengolahan.

Struktur pasar yang berkembang cenderung ke arah struktur pasar tidak bersaing (oligopsoni). Pengembangan perkebunan rakyat, seperti di daerah perusahaan inti rakyat untuk merubah struktur pasar oligopsoni justru terjebak pada munculnya struktur pasar monopsoni, di mana petani kebun berhadapan langsung dengan industri pengolahan.

Perkembangan pangsa pasar beberapa produk perkebunan utama menunjukkan adanya penurunan, tergeser oleh beberapa negara pesaing, seperti Malaysia, Thailand, dan Vietnam. Hal ini menunjukkan bahwa daya saing industri dan produk perkebunan Indonesia masih sangat lemah.

3.2.4. Masalah Sosial Budaya

Krisis-krisis yang terjadi, terutama krisis ekonomi menyebabkan adanya konflik sosial di perkebunan. Beberapa hal penyebabnya adalah sebagai berikut.

Pengalokasian lahan yang kurang efisien dan adil. Hal ini terjadi terutama dengan semakin meningkatnya jumlah penduduk serta kebijakan pengalokasian lahan masa lalu yang tidak sesuai dengan tuntutan masyarakat.

Tatanan dan kebijakan di bidang agraria tidak sesuai dengan perkembangan dan kondisi sosial masyarakat.

Ketersediaan lahan belum dimanfaatkan secara efektif, efisien, dan produktif.

Kepastian hukum terhadap lahan belum terjamin.

Pemilikan lahan masih difungsikan sebagai komoditas perdagangan, belum dilihat dari azas manfaat.

3.2.5. Masalah Ilmu Pengetahuan dan Teknologi

Perhatian terhadap ilmu pengetahuan dan teknologi masih rendah. Manajemen perkebunan besar menganggap penggunaan dana untuk kebutuhan ilmu pengetahuan dan teknologi merupakan pemborosan. Ilmu pengetahuan dan teknologi dianggap belum menjadi kesatuan dari pengembangan perkebunan.

Lembaga penelitian perkebunan hingga saat ini belum melakukan pendidikan teknologi, terutama ke perkebunan rakyat secara efektif.

3.2.6. Masalah Sumberdaya Manusia

Permasalahan perkebunan yang sangat serius adalah kualitas sumberdaya manusia perkebunan, baik dari kalangan petani, pengusaha, maupun pemerintah sendiri sebagai pengelola BUMN. Beberapa permasalahan sumberdaya manusia adalah sebagai berikut.

Masalah mental yang belum mendukung nilai-nilai yang dibutuhkan untuk kemajuan, kemandirian, dan kesejahteraan masyarakat. Sebagai contoh, pada sebagian masyarakat masih sangat tergantung kepada proyek-proyek pemerintah.

Kemampuan manajemen dan kerja teknis yang masih rendah. Dengan kondisi ini, petani kebun ataupun kelembagaan ekonomi petani belum mampu memanfaatkan peluang bisnis yang ada.

3.2.7. Masalah Pengorganisasian dan Struktur

Pengorganisasian atau kelembagaan juga merupakan permasalahan yang terjadi dalam perkebunan. Pengorganisasian belum mampu mengembangkan kegiatan ekonomi masyarakat, sekaligus mempertangguh struktur komoditas dan efisiensi seluruh kegiatan perkebunan. Pengembangan kemitraan usaha antara petani dengan pengusaha atau perkebunan besar masih menghadapi beberapa kendala, yaitu :

Konflik antara perkebunan rakyat dengan perkebunan besar.

Pengorganisasian petani masih lemah, baik dari aspek sosial maupun ekonomi. Hal ini dikarenakan adanya intervensi dari pemerintah, terutama dengan pembentukan koperasi-koperasi.

Kelembagaan permodalan dan investasi kurang mendukung.

Kelembagaan yang berpihak pada petani masih rendah. Hal ini karena anggapan bahwa petani tidak mampu untuk mengembangkan usahanya secara ekonomis.

Pendidikan perkebunan masih kurang. Lembaga pendidikan yang khusus menangani perkebunan yang ada masih sangat terbatas.

Permasalahan-permasalahan perkebunan di atas merupakan permasalahan-permasalahan yang sangat berpengaruh terhadap kemajuan dan perkembangan perkebunan di Indonesia. Sejak zaman penjajahan belanda, ilmu berkebun bangsa Indonesia sudah ada, namun hingga kini permasalahan dalam sektor perkebunan masih relatif sangat banyak, bahkan belum mampu diselesaikan oleh pemerintah selaku pemegang kebijakan.

Kebijakan pemerintah adalah mutlak dan wajib untuk dipatuhi, karena kebijakan ini merupakan peraturan yang dikeluarkan negara. Namun ternyata kebijakan yang dikeluarkan terkadang tidak melihat kepentingan rakyat yang berorientasi atau bekerja sebagai pekerja kebun. Kaitannya dengan struktur organisasi adalah bahwa melalui struktur yang efektif, minimal kepentingan rakyat dalam perkebunan dapat diinventarisir dan diutamakan (sesuai dengan visi dan misi), sehingga kebijakan yang dikeluarkanpun dapat mengakomodir kepentingan rakyat perkebunan. Dengan demikian, visi Direktorat Jenderal Perkebunan Indonesia ...untuk meningkatkan kemakmuran dan kesejahteraan masyarakat perkebunan secara berkeadilan, tidak mampu terjawab saat ini. Keterbatasan ruang lingkup dan sumberdaya organisasi menyebabkan Direktorat Jenderal Perkebunan Indonesia tidak mampu melihat area hingga pada tataran area terkecil dari aspek-aspek perkebunan di Indonesia.

Manajemen pengelolaan perkebunan sangat erat kaitannya dengan struktur organisasi Direktorat Jenderal Perkebunan Indonesia. Peranan truktur organisasi yang efektif akan juga memberikan efektifitas dalam organisasi. Pengembangan komoditas perkebunan yang rendah, produktivitas yang rendah, perolehan nilai tambah yang juga relatif rendah merupakan dampak dari keterbatasan organisasi dalam hal fokus. Fokus dan orientasi pada pengembangan perkebunan dapat dioptimalkan apabila distribusi sumberdaya tepat dan sesuai dengan segala aspek dan permasalahan perkebunan di Indonesia. Untuk itu, struktur organisasi Direktorat Jenderal Perkebunan Indonesia dipandang terlalu sempit untuk menjawab tuntutan pengembangan produk perkebunan di Indonesia.

Dengan demikian, peran struktur organisasi Direktorat Jenderal Perkebunan Indonesia belum efektif dalam menjawab visi dan misinya bagi perkebunan di Indonesia, belum efektif dalam mengakomodir segala kepentingan pihak-pihak yang terkait dengan perkebunan, terutama rakyat perkebunan, belum efektif dalam menciptakan perkebunan yang berdaya saing internasional, yang tergambar dari peranan struktur organisasinya yang belum mampu menjawab tujuan, dan belum mampu memberikan rentang pengawasan yang jelas (struktur terlalu sempit).

Oleh karena itu, dapat dikatakan bahwa peranan struktur organisasi Direktorat Jenderal Perkebunan Indonesia masih memiliki kelemahan dalam pengembangan perkebunan di Indonesia. Kelemahan struktur organisasi Direktorat Jenderal Perkebunan Indonesia ini adalah bahwa struktur organisasi yang dibuat terlalu sempit atau kurang luas dan masih merupakan struktur di dalam struktur, yaitu di dalam struktur organisasi Departemen Pertanian. Hal ini memberikan dampak sebagai berikut.

1. Fokus dan orientasi yang efektif tidak dapat tercapai, karena struktur di dalam struktur menyebabkan fokus pemegang kendali tertinggi dalam organisasi terpecah pada sektor lainnya, bukan hanya pada sektor perkebunan. Fokus Menteri Pertanian secara struktur tidak hanya pada Direktorat Jenderal (Dirjen) Perkebunan, tetapi juga pada Dirjen Pengelolaan Lahan dan Air, Dirjen Tanaman Pangan, Dirjen Hortikultura, Dirjen Peternakan, Dirjen, Pengolahan dan Pemasaran Hasil Pertanian, Badan Pengembangan SDM Pertanian, Badan Ketahanan Pangan, Badan Litbang Pertanian, Badan Karantina Pertanian, yang semuanya memiliki posisi yang setara dengan Dirjen Perkebunan.

2. Kebijakan perkebunan tidak mutlak. Artinya bahwa kebijakan mengenai perkebunan di Indonesia tidak dipegang secara mutlak oleh Direktorat Jenderal Perkebunan, tetapi juga dipengaruhi oleh keputusan Direktorat Jenderal sektor lainnya dan Menteri Pertanian sebagai pucuk pimpinan tertinggi. Hal ini berdampak pada tidak optimalnya kebijakan yang akan dikeluarkan, karena belum tentu mendapat persetujuan Departemen Pertanian sebagai sebuah kolektifitas struktur.

3. Tidak fleksibelnya struktur, karena tidak dapat melakukan penambahan atau perampingan struktur. Ketidakmampuan penambahan dan perampingan struktur dikarenakan kebijakan tertinggi berada pada Menteri Pertanian. Hal ini tentu saja menyebabkan struktur tidak dapat menyesuaikan diri dengan kondisi dan perkembangan seputar perkebunan di Indonesia. Struktur organisasi Direktorat Jenderal Perkebunan harus mampu mengakomodir segala strategi yang direncanakan atau akan dikerjakan. Dengan demikian, apabila struktur organisasi ini kaku, maka strategi Direktorat Jenderal Perkebunan dalam pengembangan perkebunan pun akan terbatas, sesuai dengan struktur yang ada.

Dengan demikian, permasalahan mendasar dan utama yang dihadapi Direktorat Jenderal Perkebunan adalah mengenai struktur organisasinya. Peranan struktur organisasi yang ada tidak efektif dalam pencapaian visi dan misi, belum mendukung kelancaran pelaksanaan tugas dan tanggung jawab, belum mampu secara mutlak mengeluarkan kebijakan untuk menyempurnakan struktur organisasi yang sudah ada tersebut, serta belum ada peninjauan substansial mengenai apa yang perlu dilakukan dalam rangka penyempurnaan dan optimalisasi struktur organisasi tersebut. Oleh karena itu, demi terciptanya kebijakan yang berkualitas, proses pengambilan keputusan yang tepat dan efektif, dan berjalannya sistem pengawasan yang baik, diperlukan kajian, evaluasi, dan perbaikan struktur organisasi yang lebih mendalam.

IV. KESIMPULAN DAN SARAN

4.1. Kesimpulan

Berdasarkan permasalahan-permasalahan yang ada dalam sektor perkebunan, maka peranan struktur organisasi Direktorat Jenderal Perkebunan Indonesia belum efektif. Permasalahan-permasalahan ini belum mampu diselesaikan oleh Direktorat Jenderal Perkebunan, sebagaimana Direktorat Jenderal Perkebunan merupakan struktur organisasi tertinggi yang menangani seluruh aspek perkebunan di Indonesia. Peranan yang tidak efektif tersebut antara lain struktur organisasi belum mampu melakukan adaptasi dengan perubahan seputar permasalahan perkebunan, struktur organisasi belum mampu mencapai tujuan dan harapan yang dituangkan dalam visi dan misinya, dan struktur organisasi belum mampu memberikan kekuasaan penuh terhadap keseluruhan aspek terkait masalah perkebunan.

4.2. Saran

Beberapa saran bagi Pemerintah Indonesia mengenai struktur organisasi Direktorat Jenderal Perkebunan adalah sebagai berikut.

1. Restrukturisasi. Rekstrukturisasi yang dimaksud adalah pengembangan struktur organisasi menjadi lebih luas dan kompleks, dengan melihat kebutuhan dan tuntutan organisai mengenai perkebunan di Indonesia.

2. Perlu adanya kajian-kajian dan evaluasi yang mendalam mengenai pengembangan struktur yang ada, yang dikaitkan dengan kebutuhan dan kepentingan pengembangan perkebunan di Indonesia.

3. Struktur organisasi yang dikembangkan harus mampu melakukan adaptasi terhadap perubahan dan permasalahan perkebunan di Indonesia, juga mampu mengelola perubahan tersebut.

4. Struktur organisasi yang dikembangkan harus mampu mencapai tujuan yang diharapkan.

5. Struktur organisasi diperluas hingga menjadi Departemen tersendiri, yaitu Departemen Perkebunan. Dengan adanya Departemen Perkebunan, fokus mengenai perkebunan dapat lebih optimal.

V. DAFTAR PUSTAKA

Abdul Syani, 1987. Manajemen Organisasi, Penerbit PT. Bina Aksara. Jakarta.

Anonim. Produksi Kelapa Sawit, Indonesia Sulit Kejar Malaysia. Dalam http://www.kapanlagi.com/h. Diakses pada tanggal 25 Agustus 2009.

M. Manullang, 1985. Dasar-dasar Manajemen. Penerbit : Ghalia Indonesia, Jakarta.

Malayu SP. Hasibuan, 1985. Manajemen: Dasar, Pengertian dan Masalah. Penerbit : PT. Gunung Agung, Jakarta.

Robbin, Stephen P. dan Mary Coulter. 2004. Manajemen. Jilid 1. Edisi 7 Bahasa Indonesia. Jakarta : Indeks Group Gramedia.

Soekanto Reksohadiprodjo, 1983, Manajemen Proyek, BPFE, Yogyakarta.

Sri Sujati Kadarisman, 1981. Dasar-dasar Manajemen. Penerbit : Armico, Bandung.

Steers, Richard M. 1985. Organizational Effectiveness, A Behavioral View. Sapdodadi. Jakarta.

Stoner, J. dan Freeman E. R. 1994. Manajemen. Intermedia. Jakarta.

Perkebunan Indonesia

Identifikasi permasalahan perkebunan non Pemerintah

)

Struktur organisasi sudah Efektif

Teori struktur organisasi

Identifikasi permasalahan perkebunan Pemerintah

Evaluasi peranan dan efektifitas struktur organisasi dalam kaitannya dengan permasalahan perkebunan

Efektifitas

Ya

Tidak

Restrukturisasi Organisasi yang efektif

Selesai

Selesai

Gambar 4.Kerangka Pemikiran Konseptual Strategi Pengembangan Ternak Sapi Potong Berwawasan Agribisnis di Provinsi Aceh

Direktorat Jenderal Perkebunan

Sekretaris Direktorat Jenderal Perkebunan

Direktur Perbenihan dan

Sarana Produksi

Direktur Budidaya Tanaman

Semusim

Direktur Tanaman

Tahunan

Direktur Budidaya Tanaman

Rempah dan Penyegar

Direktur Perlindungan

Perkebunan

PAGE

iii