45
Velab 01 VOLUME 39 MEI 2018

01 UME 39 Velabbvetlampung.ditjenpkh.pertanian.go.id/wp-content/uploads/2018/09/... · terserang penyakit Jembrana adalah demam tinggi, lymphadenopathy, lymphopenia, keringat darah

  • Upload
    others

  • View
    3

  • Download
    0

Embed Size (px)

Citation preview

Page 1: 01 UME 39 Velabbvetlampung.ditjenpkh.pertanian.go.id/wp-content/uploads/2018/09/... · terserang penyakit Jembrana adalah demam tinggi, lymphadenopathy, lymphopenia, keringat darah

Velab01 V

OLU

ME

39

ME

I 2

01

8

Page 2: 01 UME 39 Velabbvetlampung.ditjenpkh.pertanian.go.id/wp-content/uploads/2018/09/... · terserang penyakit Jembrana adalah demam tinggi, lymphadenopathy, lymphopenia, keringat darah

Kata Pengantar

BALAI VETERINER LAMPUNGDIREKTORAT JENDRAL PETERNAKAN DAN KESEHATAN HEWANKEMENTRIAN PERTANIAN

Kepala Balai Veteriner Lampung

drh Nasirudin, M.Sc

PENANGGUNG JAWAB

Tuti Mulyani

Ferro Safryl A,Md

HTTP:// BVETLAMPUNG.DITJENNAK.PERTANIAN.GO.ID

SEKERTARIAT REDAKSI

Pimpinan Redaksi:

drh Tri Guntoro, MP

PENANGGUNG JAWAB

Tuti Mulyani

Ferro Safryl A,Md

SEKERTARIAT REDAKSI

drh. Eko Agus Srihanto, M. S.c

drh. Joko Siswanto

EDITOR

Telp. 0721 701851 / 772894

Fax. 0721 772894

TELP / FAX

VelabBULETINLABORATORIUMVETERINER

Di Terbitkan

2 kali setahun

Puji Syukur kita panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa, karena berkat karunia-Nya Buletin Laboratorium

Veteriner (VELABO) Velabo 39 Edisi 01 Mei 2018, dapat di terbitkan kembali ke hadapan pembaca Sekalian.

Pada Velabo ini, pembaca dapat mengupas tentang Analisis Genetik gen gag virus Jembrana asal Wilayah Balai

Veteriner Lampung , Kejadian Fasciolosis Di Wilayah Balai Veteriner Lampung Tahun 2017, Penerapan

Pendekatan Risk Based Surveillance pada Rancangan Surveilans Penyakit HPAI di Wilayah Kerja Balai

Veteriner Lampung, Identifikasi Dan Analisis Genetik Isolat Virus Avian Influenza Subtipe H5n1 Asal

Perusahaan Breeder Ayam Di Balai Veteriner Lampung, Penyidikan Penyebab Kematian Sapi Di Breedlot Sapi,

Kabupaten Lampung Tengah, Provinsi Lampung, Isolasi Dan Identifikasi Bakteri Dari Swab Mata Gajah

Sumatera (elephas Maximus Sumatranus) Dan Sensitivitasnya Terhadap Berbagai Jenis Antibiotika, Pengaruh

Penyuluhan Terhadap Tingkat Pengetahuan Masyarakat Tentang Penanganan Gigitan Anjing Dalam Upaya

Pulau Tabuan Bebas Rabies, Monitoring Cemaran Salmonellasppp. Pada Sarang Burung Walet dari Kota

Palembang dan Pangkal Pinang, Tingkat Asosiasi Antara OedemaPulmonum Terhadap Kasus Pneumodiare

pada Sapi Periode Sampel 2014 – 2017 di Balai Veteriner Lampung

Harapan kami sajian Velabo ini dapat bermanfaat untuk pembaca

Selamat membaca

Redaksi

Page 3: 01 UME 39 Velabbvetlampung.ditjenpkh.pertanian.go.id/wp-content/uploads/2018/09/... · terserang penyakit Jembrana adalah demam tinggi, lymphadenopathy, lymphopenia, keringat darah

ContentsVolume 38 - Edisi November 2017

01 Analisis Genetik gen gag virus Jembrana asal Wilayah Balai Veteriner Lampung

06 Kejadian Fasciolosis Di Wilayah Balai Veteriner Lampung Tahun 2017

13 Penerapan Pendekatan Risk Based Surveillance pada Rancangan Surveilans Penyakit HPAI di Wilayah Kerja Balai Veteriner Lampung

17 Identifikasi Dan Analisis Genetik Isolat Virus Avian Influenza Subtipe H5n1 Asal Perusahaan Breeder AyamDi Balai Veteriner Lampung

21 Penyidikan Penyebab Kematian Sapi Di Breedlot Sapi, Kabupaten Lampung Tengah, Provinsi Lampung

24 Isolasi Dan Identifikasi Bakteri Dari Swab Mata Gajah Sumatera (elephas Maximus Sumatranus) Dan Sensitivitasnya Terhadap Berbagai Jenis Antibiotika

28 Pengaruh Penyuluhan Terhadap Tingkat Pengetahuan Masyarakat Tentang Penanganan Gigitan Anjing Dalam Upaya Pulau Tabuan Bebas Rabies

31 Monitoring Cemaran Salmonellasppp. Pada Sarang Burung Walet dari Kota Palembang dan Pangkal Pinang

36 Tingkat Asosiasi Antara OedemaPulmonum Terhadap Kasus Pneumodiare pada Sapi Periode Sampel 2014 – 2017di Balai Veteriner Lampung

Take usAnywherehttp://bvetlampung.ditjenak.pertanian.go.id

Page 4: 01 UME 39 Velabbvetlampung.ditjenpkh.pertanian.go.id/wp-content/uploads/2018/09/... · terserang penyakit Jembrana adalah demam tinggi, lymphadenopathy, lymphopenia, keringat darah

1

VelabANALISIS GENETIK GEN GAG VIRUS JEMBRANA ASAL WILAYAH

BALAI VETERINER LAMPUNG

Srihanto, E.A, Angeliya, L., Siswanto, J., Guntoro, T., SuryantanaEmail : [email protected]

Abstrak

Penyakit Jembrana pernah terjadi di wilayah Lampung dari tahun 1976-1986. Pada tahun 2017 wabah penyakit Jembrana terjadi lagi di wilayah kerja Balai Veteriner Lampung. Di Propinsi Bengkulu dikonfirmasi 7 kabupaten/kota dari 10 kabupaten/kota terdeteksi positip virus Jembrana. Di Propinsi Sumatera Selatan dikonfirmasi 9 kabupaten/kota dari 15 kabupaten/kota terdeteksi positip virus Jembrana. Kematian sapi bali sampai saat ini masih sering dilaporkan dan ditemukan. Perkembangan virus Jembrana sejak ditemukan pada tahun 1984 telah mengalami perubahan. Kajian ini bertujuan untuk melihat dinamika virus Jembrana di wilayah kerja Balai Veteriner Lampung. Materi yang digunakan berupa data sekuens virus Jembrana koleksi Balai Veteriner Lampung. Metoda analisis dilakukan dengan melihat jarak genetik, homologi dan hubungan kekerabatan virus Jembrana. Analisis dilakukan menggunakan perangkat lunak MEGA 6.06 yang meliputi prediksi asam amino, homologi, jarak genetik dan pohon kekerabatan. Hasil analisis menunjukkan bahwa virus Jembrana yang beredar di wilayah kerja Balai Veteriner memiliki homologi berkisar 92-93% dengan virus Tabanan/87. Jarak genetik dengan virus Tabanan/87 berkisar antara 7-8 %.

Kata kunci : virus Jembrana, homologi, jarak genetik

PENDAHULUAN

Penyakit Jembrana (JD) pertama kali ditemukan di Jembrana pada tahun 1964. Penyakit ini telah menyebar ke Sumatera, Jawa dan Kalimantan (Desport et al., 2007; Hartaningsih et al., 1993; Soeharsono et al., 1995). JD menyerang dan sangat patogen pada sapi Bali (Kertayadnya et al., 1993). Di wilayah kerja Balai Veteriner Lampung kasus JD terjadi pada tahun 1976-1989 (Marfiatiningsih, 1999). Selama 20 tahun tidak ditemukan kasus JD. Pada tahun 2017 terjadi letupan kasus JD di wilayah kerja Balai Veteriner Lampung. Di Propinsi Bengkulu tercatat 7 dari 10 kabupaten/kota terkonfirmasi positip kasus JD. Di propinsi Sumatera Selatan tercatat 8 dari 15 kabupaten/kota terkonfir masi posit ip kasus JD (Anonimous, 2018).JD disebabkan oleh lentivirusyang termasuk dari familia retroviridae. JDV memiliki kesamaan genetik dan antigenik dengan bovine immunodeficiency virus (BIV) (Burkala et al., 1999; Chadwick et al., 1995; Desport et al., 2005; Kertayadnya et al.,1993).Virus

Jembrana merupakan virus RNA dengan untai tunggal, berbentuk icosahedral dengan panjang basa 7732 bp. JDV menyebabkan infeksi yang bersifat akut dengan masa inkubasi antara 4-15 hari (Kertayadnya et al., 1993; Soesanto et al., 1990). Sapi yang terinfeksi JDV akan mengalami gejala inmunosupres i dan t idak akan terbentuk antibodi selama 5-15 minggu setelah infeksi (Kertayadnya et al., 1993). Gejala umum ternak yang terserang penyakit Jembrana adalah demam tinggi, lymphadenopathy, lymphopenia, keringat darah dan mucus yang berlebihan pada mulut dan hidung. Kematian ternak akibat JDV terjadi pada 1 atau 2 minggu setelah i n f e k s i ( W i l c o x e t a l . , 1997).Perkembangan dalam bidang molekuler memungkinkan untuk mendeteksi penyakit lebih awal, lebih cepat dan akurat. Bioinformatika sangat membantu dalam menelusuri informasi genetik yang berkaitan dengan virus Jembrana. Penelitian ini bertujuan untuk melihat dinamika virus Jembrana di wilayah ker ja Balai Veteriner Lampung

MATERI dan METODE

MATERI

Materi penelitian yang digunakan berupa sampel plasma dan organ limpa dari sapi bali yang terdeteksi positip JDV. Sebanyak 16 sampel yang berasal dari beberapa daerah yang telah terkonfirmasi positip JD dipilih dan d i l a n j u t k a n u n t u k d i l a k u k a n sekuensing. .

Page 5: 01 UME 39 Velabbvetlampung.ditjenpkh.pertanian.go.id/wp-content/uploads/2018/09/... · terserang penyakit Jembrana adalah demam tinggi, lymphadenopathy, lymphopenia, keringat darah

Tabel 1. Sampel penelitian

Deteksi JDV digunakan primer JD1 dan JD3 untuk mengamplifikasi 361 bp di daerah gen gag (Desport et al., 2009). Amplifikasi sampel untuk sekuensing complete gag genedigunakan 3 pasang primer JDV yaitu JDR1, JDR2 dan JDR3 (Angeliya dan Srihanto, 2018) dengan reverse transcriptase Polymerase Chains Reaction (RT-PCR) menggunakan primer forward dan reverse.Amplifikasi RT-PCR sampel untuk sekuensing digunakan reagen SuperScript III One Step RT-PCRPlatinum Taq HiFi (Invitrogen cat. No. 12-035). Purifikasi sampel dan proses sekuensing dilakukan di 1st BASE co. Malaysia.

METODE Analisis data menggunakan perangkat lunak

molecular evolution genetics analysis (MEGA) versi 6.06. Assembly data hasil sekuensing digunakan perangkat lunak Unipro UGENE versi 1.28.0. Analisis sekuens digunakan data fragmen gen gag sebagai materi analisis. Data yang diperoleh berupa nilai jarak genetik (geneticdistance), nilai homologi dan gambaran pohon kekerabatan virus Jembrana berdasarkan gen gag. Sebagai referens digunakan sekuens isolat virus JD Tabanan/87 (Acc. No. U21603) yang sudah terdaftar di genebank.

Kalkulasi distance matrix digunakan model p-distance dan no. of differences untuk mendapatkan nilai jarak genetik, homologi, jumlah asam nukleat yang berubah dan jumlah asam amino yang mengalami mutasi. Konstruksi pohon kekerabatan dianalisis dengan metode Maximum Likelihood menggunakan model Kimura-2 parameter (Tamura et al., 2011)

HASIL dan PEMBAHASAN

Sejak terkonfirmasi positip terinfeksi virus Jembrana pada tahun 2017 kegiatan investigasi lapangan terus dilakukan untuk mendapatkan data-data terkait virus Jembrana. Berbagai macam kegiatan dilakukan untuk mencegah semakin meluasnya kasus penularan penyakit seperti pengetatan dan pengawasan lalu lintas ternak, pengobatan ternak yang menunjukkan gejala sakit, KIE (komunikasi, informasi dan edukasi) dan program vaksinasi. Penelitian juga dilakuan untuk mengumpulkan data-data tentang gejala klinis, serologi dan molekuler. Penelitian yang bersifat molekuler baik sebagai pengujian dan analisis genetik agen dilakukan untuk melihat perkembangan virus lapangan. Dinamika virus Jembrana sangat penting untuk dikaji dikarenakan virus Jembrana yang merupakan virus golongan RNA sangat mudah sekali mengalami mutasi. Hal ini dikarenakan virus RNA tidak memiliki proof reading mechanism. Informasi genetik diperlukan sebagai bahan acuan kondisi virus Jembrana terkini.

Analisis hasil molekuler dengan sekuensing terhadap sampel Jembrana dari wilayah kerja Balai Veteriner Lampung didapatkan nilai jarak genetik yang mencapai 7,1 – 8,1 %. Variasi jarak genetik antar virus sampel berkisar antara 0 – 8,9 % (Tabel 2). Sebagai referens digunakan sekuens Tabanan/87 (Acc. No. U21603). Homologi virus-virus Jembrana tersebut jika dibandingkan dengan virus Tabahan/87 mencapai sekitar 91,9 – 92,9 % (Tabel 3). Variasi nilai homologi antar virus di wilayah kerja Balai Veteriner Lampung berkisar antara 91,1 – 100 %. Setelah hampir 20 tahun virus Jembrana di wilayah kerja Balai Veteriner Lampung sudah memiliki jarak genetik sampai dengan 8,1 % dengan homologi 91,9 %. Penelitian terakhir

2

Velab

Page 6: 01 UME 39 Velabbvetlampung.ditjenpkh.pertanian.go.id/wp-content/uploads/2018/09/... · terserang penyakit Jembrana adalah demam tinggi, lymphadenopathy, lymphopenia, keringat darah

pada gen env pada subunit SU virus Jembrana Kalimantan yang dilakukan oleh Indriawati dkk (2013), menyatakan bahwa homologi virus Jembrana sekitar 96 %. Selama hampir 5 tahun telah terjadi selisih perbedaan 4 % terhadap homologi virus Jembrana walaupun target gen penelitian yang berbeda.

Asam nukleat yang mengalami perubahan sebanyak 93-106 asam nukleat dari 1311 bp panjang gen gag virus Jembrana (Tabel 4). Variasi perubahan asam nukleat antar virus Jembrana yang ada di wilayah kerja Balai Veteriner Lampung berkisar antara 0 – 116 asam nukleat. Dari 438 asam amino pada gen gag yang dimiliki oleh virus Jembrana terjadi mutasi sebanyak 13-16 asam amino (Tabel 4). Menurut Desport et al. (2007) dan Lairmore (2010), gen gag dan pol merupakan gen yang relatif stabil dan konserve. Artinya bahwa gen ini sangat sedikit mengalami mutasi dibandingkan dengan gen env. Selama kurun waktu 30 tahun sejak kasus pertama dilaporkan dan terjadi di wilayah kerja Balai Veteriner Lampung kajian genetik pada asam nukleat menunjukkan telah terjadi perubahan sekitar 106 asam nukleat dari 1311 asam nukleat gen gag. Hal ini menunjukkan bahwa setiap tahun telah terjadi perubahan 3 asam nukleat/tahun pada gen gag virus Jembrana.

3

Velab

Tabel 2. Nilai jarak genetik (genetic distance) virus Jembrana

Tabel 3. Nilai homologi virus Jembrana

Tabel 4. Perubahan asam nukleat dan asam amino pada gen gag virus Jembrana

Page 7: 01 UME 39 Velabbvetlampung.ditjenpkh.pertanian.go.id/wp-content/uploads/2018/09/... · terserang penyakit Jembrana adalah demam tinggi, lymphadenopathy, lymphopenia, keringat darah

Gambaran pohon kekerabatan virus Jembrana asal wilayah kerja Balai Veteriner Lampung terdapat 2 claster virus Jembrana yaitu virus yang berasal dari daerah Bengkulu dan Sumatera Selatan. Hal ini mengindikasikan bahwa telah ditemukan 2 golongan virus Jembrana yang sudah mulai berbeda dengan virus Jembrana yang menyebabkan wabah di Lampung pada tahun 1980an. Beberapa virus Jembrana yang berasal dari daerah Sumatera Selatan seperti dari daerah Ogan Komering Ilir, Lahat, Lubuk Linggau dan Ogan Ilir cenderung lebih dekat dengan virus yang berasal dari Bengkulu (Gambar 1). Analisis pohon kekerabatan dari sekuens-sekuens virus Jembrana yang sudah ada (parsial gen) menunjukkan hasil yang tidak jauh berbeda (terdapat 2 claster virus yang baru) (Gambar 2).

Gambar 1. Pohon kekerabatan virus Jembrana asal wilayah kerja Lampung (complete gene)

Gambar 2. Pohon kekerabatan virus Jembrana asal wilayah kerja Lampung (parsial gene)

KESIMPULAN

Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan dapat disimpulkan bahwa perbandingan virus Jembrana asal wilayah kerja Balai Veteriner Lampung dengan virus Tabanan/87 memiliki jarak genetik mencapai 7,1 – 8,1 % dengan homologi sekitar 91,9 – 92,9 %. Variasi nilai homologi antar virus di wilayah kerja Balai Veteriner Lampung berkisar antara 91,1 – 100 %. Mutasi asam amino ditemukan sebanyak 13-16 asam amino dari 438 asam amino. Variasi asam amino yang mengalami mutasi sebanyak 26 asam amino. Laju mutasi terjadi 3 asam nukleat/tahun pada gen gag. Gambaran pohon kekerabatan menunjukkan terdapat 2 claster virus Jembrana yang beredar di wilayah kerja Balai Veteriner Lampung

SARAN

Berdasarkan hasil penelitian dan kesimpulan, maka saran yang dapat diberikan adalah perlu dilakukan penelitian lanjutan terhadap gen lain pada virus Jembrana terutama pada gen env. Selain itu juga perlu dilakukan kajian tentang vaksinasi terutama tentang adanya variasi virus lapang)

4

Velab

Page 8: 01 UME 39 Velabbvetlampung.ditjenpkh.pertanian.go.id/wp-content/uploads/2018/09/... · terserang penyakit Jembrana adalah demam tinggi, lymphadenopathy, lymphopenia, keringat darah

5

VelabDAFTAR PUSTAKA

Anonimous. 2018. Laporan Tahunan Peta Penyakit Hewan Balai Veteriner Lampung

Angeliya, L dan Srihanto, E.A. 2018. Optimasi Program Amplifikasi RT-PCR Penyakit Jembrana pada gen gag secara utuh untuk sekuensing dan analisis genetik. Proseding Rapat Teknis Ilmiah Direktorat Jenderal Peternakan dan Kesehatan Hewan Vol.1 No. 8 Tahun 2018

Burkala EJ, Narayani I, Hartaningsih N, Kertayadnya G, Berryman DI, Wilcox GE. 1998. Recombinant jembrana disease virusproteins as antigens for the detection ofantibody to bovine lentiviruses. J VirolMethod 74: 39-46.

Chadwick B.J, Coelen R.J, Sammels L.M , Kertayadnya G and Wilcox G.E. 1995. Genomic sequence analysis identifies jembrana disease virus as a new bovine lentivirus. J Gen Virol 76: 189-192

Desport M, Stewart ME, Mikosza AS, Sherida CA, Peterson SE, Chavand. O, Hartaningsih N, Wilcox GE. 2007. Sequence analysis of Jembrana disease virus strains reveals a genetically stable lentivirus. Virus Res, 126: 233-244

Hartaningsih N, Wilcox G.E, Dharma D.M and Soetrisno M. 1993. Distribution of jembrana disease in cattle in Indonesia. Vet Microbiol 38: 23-29

Indriawati, Endang Tri Margawati and Muhammad Ridwan. 2013. IDENTIFIKASI VIRUS PENYAKIT J E M B R A N A P A D A S A P I B A L I M E N G G U N A K A N P E N A N D A MOLEKULER GEN env SU.Berita Biologi 12 (2) : hal. 211-216

Kertayadnya G, Wilcox G.E, Soeharsono S., Hartaningsih N., Coelen R.J, Cook R.D, Collins M.E and Brownlie J. 1993. Characteristics of a retrovirus associated with jembrana disease in bali cattle. J Gen Virol 74 : 1765-1778

Lairmore M.D. 2010. Retriviridae in Fenner's Veterinary Virology. 4th edition. Academic Press is an imprint of Elsevier 32 Jamestown Road, London NW1 7BY, UK : 273

Marfiatiningsih S dan Yutie A. 2001. Monitoring Penyakit Jembrana tahun 2000. Buletin Laboratorium

Veteriner. Vol. 17. Nomor 2. ISSN : 1411-9161. Balai Penyidikan Penyakit Hewan Wilayah III Tanjung Karang : 1 – 5

Tamura, K., Peterson, D., Peterson, N., Stecher, G., Nei, M., and Kumar, S. 2011. MEGA5: Molecular Evolutionary Genetics Analysis Using Maximum Likelihood, Evolutionary distance, and Maximum Parsimony Methods, Mol. Biol. Evol. 28 (10) : 2731–2739. doi:10.1093/molbev/msr121 : 1-9

Page 9: 01 UME 39 Velabbvetlampung.ditjenpkh.pertanian.go.id/wp-content/uploads/2018/09/... · terserang penyakit Jembrana adalah demam tinggi, lymphadenopathy, lymphopenia, keringat darah

KEJADIAN FASCIOLOSIS DI WILAYAH BALAI VETERINER LAMPUNG TAHUN 2017

SulinawatidanSiscaValinataLaboratoriumParasitologi, BalaiVeteriner Lampung

Email:[email protected]

Abstrak

Tujuan dari penulisan ini mengetahui angkakejadianfasciolosis di wilayah kerja Balai Veteriner Lampung yang berasal dari ternak sapi dan kerbau. Pengambilan sampel dilakukan padakegiatansurveilansBalaiVeteriner Lampung di Propinsi Lampung, Sumatera Selatan, danBengkulu.Telah dilakukan pengujian menggunakan metode uji Sedimentasi Mammalia sebanyak 1086 sampel faeces terhadap cacing fasciola sp dan menunjukkan hasil 28 positif (2,578 %). Namun apabila dijabarkan berdasarkan propinsi maka hasilnya adalah 7 positif dari 362 sampel (Lampung), 5 positif dari 120 sampel (Bengkulu), dan 16 positif dari 604 sampel (Sumsel). Hasil ini mengambarkan bahwa tingkat penyebaran fasciola sp masih bervariasi di wilayah kerja Balai Veteriner Lampung.

Kata kunci : Fasciola sp, sedimentasi,lampung

PENDAHULUAN

Salah satu hewan ternak yang paling banyak dikonsumsi oleh masyarakat adalah sapi (Bos sp). Sapi dipelihara terutama untuk dimamfaatkan susu dan dagingnya sebagai bahan pangan. Keberadaan sapi di masyarakat sangat ditentukan oleh system pemeliharaan dan ketersediaan pakan yang memadai (Nofian dkk., 2010).

Data Badan Pusat Statistik (BPS) tahun 2017 prognosis produksi daging sapi sebesar 354.770 ton sedangkan perkiraan kebutuhan mencapai 604.968 ton.Menur ut S inambela (2017) Produksi daging sapi dalam negeri tahun 2017 mengalami defisit.Hal ini kemungkinan oleh berbagai faktor, salah satu faktor yang menonjol adalah infeksi parasit , sehing ga untuk memenuhi kekuranganya 30-40 persen harus dipenuhi dari impor baik dalam bentuk sapi bakalan maupun dalam bentuk daging.

Menurut Direktur Pengembangan Sumber Daya dan Lingkungan Hidup (PSDLH), meskipun tingkat konsumsi daging sapi Indonesia masih rendah hanya sekitar 2,2 kg per kapita/tahun, namun kebutuhan daging sapi nasional

cukup tinggi hingga ratusan ribu ton per tahun karena populasinya yang besar. Sangat disayangkan tingginya tingkat kebutuhan daging sapi ini tidak dibarengi dengan tingginya produksi sapi dari para peternak yang hanya bisa memasok kurang lebih 2,3 juta ekor. Idealnya, daging sapi yang di import dari luar negeri mencapai 1,1juta ekor saja untuk menutupi kekurangan pasokan daging sapi di dalam negeri (Djumena, 2015).

Permintaan akan kebutuhan daging sapi dimasyarakat terus meningkat seiring dengan peningkatan jumlah penduduk Indonesia yang sangat cepat. Selain itu, kesadaran akan pentingnya pemenuhan gizi bagi masyarakat juga semakin meningkat. Untuk memenuhi kebutuhan tersebut, maka diperlukan suatu usaha pengembangan dan pencegahan penyakit pada ternak. Usaha pencegahan penyakit pada ternak dimaksudkan supaya menjaga ternak tetap sehat (Murtidjo, 2012)

Parasit, baik yang tergolong endo maupun ekto parasit banyak yang sangat merugikan bagi kesehatan hewan dan kesehatan manusia . Kerugian ditinjau dari sudut ekonomi sangat besar, yaitu kerugian yang

disebabkan oleh parasitnya sendiri juga oleh akibat terhadap aspek lainnya temasuk biaya yang dikeluarkan dalam rangka usaha pengendalian.

Fasciolosis adalah penyakit yang diakibatkan oleh infeksi cacing Fasciola gigantica. Penyakit tersebut merupakan penyakit penting pada ternak di daerah tropis seperti Afrika, sub-kontinen India dan Asia Tenggara. Fasciolosis lebih sering terjadi pada sapi dan kerbau daripada domba dan kambing, umumnya disebabkan oleh Fasciola gigantica. Fasciolosis terjadi dalam sebaran yang luas terutama di lahan-lahan basah (Martindah, dkk., 2005).

Di Indonesia, fasciolosis telah lama dikenal dan tersebar secara luas. Keadaan alam Indonesia dengan curah hujan dan kelembaban yang tinggi memungkinkan parasit seperti cacing berkembang dengan baik. Sifat hermaprodit Fasciola sp. juga akan mempercepat perkembangbiakan cacing hati tersebut. Cacing ini banyak menyerang ruminansia yang biasanya memakan rumput yang tercemar metaserkaria , tetapi dapat juga menyerang manusia (Mohammed, 2008).

6

Velab

Page 10: 01 UME 39 Velabbvetlampung.ditjenpkh.pertanian.go.id/wp-content/uploads/2018/09/... · terserang penyakit Jembrana adalah demam tinggi, lymphadenopathy, lymphopenia, keringat darah

Penyakit yang penting dengan kerugian ekonomi yang cukup tinggi di wilayah Indonesia disebabkan oleh fasciolosis. Spesies Fasciola gigantica dan Fasciola hepatica tersebar di seluruh dunia dan penyebaran Fasciola hepatica lebih luas dibandingkan dengan Fasciola gigantica (Ditjennak, 2012).

Kerugian ekonomi di Indonesia yang disebabkan parasit ini besarnya diatas semua kerugian ekonomi oleh penyakit lainnya. Rata-rata per tahun dengan usaha pengendalian yang selama ini dilakukan kerugian ekonomi diakibatkan infestasi parasit cacing seperti fasciolosis, kaskado, dan penyakit cacing lainnya sebesar 27M (Sudardjat S, 1991)

Direktorat Kesehatan Hewan (1991) melaporkan bahwa taksiran kerugian ekonomi akibat cacing ± 513,6 M yaitu berupa kematian, penurunan bobot hidup, kehilangan tenaga kerja, organ hati ternak terpaksa harus dibuang, penurunan produksi susu serta biaya pengobatan.

Fasciola sp. dapat menyebabkan penderitaan kronis yang menahun, kekurangan darah dan gizi, pertumbuhan menjadi lambat serta menimbulkan peradangan hati dan empedu pada ternak. Infeksi ringan yang berkepanjangan juga mengakibatkan ternak tidak dapat gemuk, kondisi tubuh melemah, nafsu makan menurun, pembengkakan di bawah rahang, perut busung dan dapat menyebabkan kematian (Santosa, 2000).

Kerugian ekonomi secara global akibat infeksi Fasciola sp pada ternak diperkirakan mencapai 36 milyar rupiah per tahun. Kerugian ini dapat berupa kematian, penurunan berat badan, kehilangan karkas, kerusakan hati, kehilangan tenaga kerja, penurunan produksi susu 10-20%, dan biaya yang harus dikeluarkan untuk pengobatan (Charlier, dkk., 2008).

Program pencegahan dan pengendalian penyakit parasit, termasuk fasciolosis sangat diperlukan bagi peternak. Program akan lebih efektif apabila dirancang berdasarkan informasi akurat tentang kejadian penyakitnya. Oleh karena itu, pemeriksaan parasit pada sapi ini bertujuan mengetahui prevalensi infeksi cacing hati (Fasciola sp.) pada sapi sehingga dapat dijadikan acuan untuk membuat rencana penanganan yang baik dan berkelanjutan.

Peningkatan produksi ternak sebagai sumber protein hewani adalah suatu strategi nasional guna peningkatan ketahanan pangan yang sangat diperlukan untuk kualitas sumber daya manusia yang tinggi dan pertumbuhan ekonomi Indonesia (Dwiyanto dkk., 2000) dan (Riady, 2006). Mamfaat protein hewani sangat menentukan dalam mencerdaskan manusia karena kandungan asam aminonya tidak dapat tergantikan (irreversible) oleh bahan makanan lainnya. Oleh sebab itu salah satu upaya yang harus dilakukan untuk peningkatan produksi ternak khususnya di suatu daerah adalah perlunya melakukan surveilans dan monitoring tingkat penyebaran penyakit cacing hati supaya dapat mengantisipasi kasus dan pemberantasan penyakit tersebut. Surveilans penyakit fasciolosis ini bertujuan untuk

mengetahui angka kejadian cacing hati di wilayah kerja Balai Veteriner Lampung tahun 2017 sehingga menjadi acuan dalam menyusun rencana pengendalian penyakit terhadap fasiolosis.

MATERI DAN METODE

Tahapan yang dilakukan :

1. Surrveilans dilakukan dengan menggunakan metode Risk Based Surveilans dengan menggunakan data tahun sebelumnya sebagai pemilihan daerah yang paling beresiko;

2. Bahan pemeriksaan berupa faeces yang berasal dari kegiatan surveilans di beberapa wilayah/kabupaten lingkup Balai Veteriner Lampung selama tahun 2017. Provinsi Kepulauan Bangka Belitung tidak memiliki hasil pengujian fasciolosis disebabkan sampel feses yang masuk ke laboratorium parasit Balai Veteriner Lampung t idak mengarah pada pengujian Sedimentasi Mammalia. Sampel berjumlah 1086 berasal dari ternak sapi berasal dari Lampung Utara, Lampung Selatan, Lampung Timur, Tulang Bawang Barat, Tanggamus, Lampung Barat, Mesuji, Metro, Lampung Tengah, Bengkulu Utara, Bengkulu Selatan, Bengkulu Tengah, Kota Bengkulu, Seluma, Muko-Muko, Banyu Asin, Palembang, OKU Timur, Muara Enim, OKI dan OKU;

3. Setiap sampel yang diperiksa disertai catatan asal ternak, pemilik, jenis kelamin, umur dan kondisi ternak. Faeces diambil secara manual, diberikan label berisi nomor sapi dan disimpan dalam cooling box agar kondisi tetap dingin.

4. Metode uji yang dipergunakan adalah metode Sedimentasi Mammalia. Metode ini merupakan uji pengendapan atau sedimentasi, yang pada prinsipnya telur cacing trematoa diperika melalui sedimen pada filtrat faeces yang telah diproses dan ditambahkan dengan methylene blue 1% (Anonim, 1999).

CARA KERJA :

1. Timbang 3 gram sampel feses lalu dimasukkan ke dalam beker glass 100 ml;

2. Tambahkan air hingga 50 ml, aduk dengan batang pengaduk hingga feses hancur (homogen);

3. Saring suspensi dengan saringan 200 mesh dan masukkan dalam tabung kerucut lalu tambahkan air hingga penuh;

7

Velab

Page 11: 01 UME 39 Velabbvetlampung.ditjenpkh.pertanian.go.id/wp-content/uploads/2018/09/... · terserang penyakit Jembrana adalah demam tinggi, lymphadenopathy, lymphopenia, keringat darah

4. Diamkan selama 5 menit, kemudian cairan bagian atas dibuang dan sisakan filtrate ± 10 ml. Tambahkan air pada filtrate dalam tabung kerucut hingga penuh dan diamkan selama 5 menit, kemudian buang lagi cairan bagian atas dan sisakan 5 ml;

5. Tuangkan filtrate ke dalam cawan petri/slide glass khusus dan tambahkan setetes Methylene Blue 1% selanjutnya diperiksa di bawah mikroskop dengan pembesaran 100 kali;

6. Hasil positif apabila ditemukan telur cacing trematoda di bawah mikroskop pada pembesaran 100 kali (khusus fasciola sp saat diamati di bawah mikroskop berwarna kuning keemasan).

HASIL DAN PEMBAHASAN

Klasifikasi Fasciola sp menurut Levine (1990) sebagai berikut :Kingdom : AnimaliaPhylum : PlatyhelminthesClass : TrematodaSubclass : DigeneaOrdo : EchinostomiformesFamily : FasciolidaeGenus : FasciolaSpesies : Fasciola hepatica Fasciola gigantica

Ciri-ciriFasciola sp adalah :

a. Bersifat hermaprodit.b. Sistem reproduksinya ovivar. c. Bentuknya menyerupai daun berukuran 20 – 30 mm x 8

– 13 mm.d. Mempunyai tonjolan konus (cephalis cone) pada bagian

anteriornya.e. Memiliki batil isap mulut dan batil isap perut.f. Uterus pendek berkelok-kelok.g. Testis bercabang banyak, letaknya di pertengahan badan

berjumlah 2 buahh. Alat eksresi fasciola hepatica berupa sel api (flame cell).

System saraf dilengkapi sepasang ganglion dengan saraf longitudinal dan saraf transversal.

i. Pada bagian depan terdapat mulut meruncing yang dikelilingi oleh alat pengisap, dan ada sebuah alat pengisap yang terdapat di sebelah ventral sedikit di belakang mulut, juga terdapat alat kelamin.

j. Bagian tubuhnya ditutupi oleh sisik kecil dari kutikula sebagai pelindung tubuhnya dan membantu saat bergerak.

Gambar 1. Cacing fasciola hepatica dan fasciola gigantica (Negara, 2016; Gonzaga, 2010)

Gambar 2. Bagian tubuh dari cacing fasciola sp(Anonim, 2015)

Daur Hidup Beberapa Cacing Kelas Trematoda

Cacing dewasa bertelur di dalam saluran empedu dan kantong empedu sapi atau domba.Kemudian telur keluar ke alam bebas bersama kotoran / faeces .

Ÿ Bila mencapai tempat basah,telur ini akan menetas menjadi larva bersilia yang disebut mirasidium.

Ÿ Mirasidium segera berenang ke siput Lymnea , akan matibila tidak masuk ke dalam tubuh siput

Ÿ siput yang dicari adalah jenis siput air tawar Lymnea auricularis-rubigranosa/ L truncatula

Ÿ Di dalam tubuh siput ini, mirasidium tumbuh menjadi sporokista (menetap dalam tubuh siputselama 2 minggu).

Ÿ Sporokista akan melakukan paedogenesis membentuk larva Redia.

8

Velab

Page 12: 01 UME 39 Velabbvetlampung.ditjenpkh.pertanian.go.id/wp-content/uploads/2018/09/... · terserang penyakit Jembrana adalah demam tinggi, lymphadenopathy, lymphopenia, keringat darah

Ÿ Redia akan menuju jaringan tubuh siput dan akan melakukan paedogenesis lagi membentuk larva serkaria

Ÿ Serkaria segera membentuk ekor dengan ekornya serkaria dapat menembus jaringan tubuh siput membentuk metacercaria

Ÿ Metacercaria keluar berenang dalam air .Ÿ Di luar tubuh siput, larva metacercaria menempel pada

rumput untuk beberapa lama.Ÿ Metaserkaria membungkus diri berupa kista yang dapat

bertahan lama menempel pada rumput atau tumbuhan air sekitarnya.

Ÿ Mertacerkar ia ter makan oleh hewan ternak berkembang menjadi cacing muda yang selanjutnya bermigrasi ke saluran empedu pada hati inang yang baru untuk memulai daur hidupnya

Ÿ Perhatikan tahap perkembangan larva Fasciola hepatica.

Dari 1086 sampel faeces sapi yang diperiksa dengan menggunakan metode Sedimentasi Mammalia diperoleh hasil sebagai berikut : Provinsi Lampung positif 7 sampel dari 362 sampel uji (1,93%), Provinsi Bengkulu positif5 sampel dari 120 sampel uji (4,17%), dan Provinsi Sumatera Selatan positif 16 sampel dari 604 sampel uji (2,65%). Hasil pengujian ini dapat terlihat pada Tabel 1, 2, dan 3.

Tabel 1. Jumlah sampel feses kegiatan surveilans Provinsi Bengkulu tahun 2017

Tabel 2. Jumlah sampel feses kegiatan surveilans Provinsi Sumatera Selatan tahun 2017

Tabel 3. Jumlah sampel feses kegiatan surveilans Provinsi Lampung tahun 2017

Gambar 2. Diagram jumlah total sampel Provinsi Lampung, Bengkulu dan Sumatera Selatan tahun 2017

Gambar 3. Diagram Prevanlensi positif Fasciola sp Provinsi Lampung, Bengkulu dan Sumatera Selatan tahun 2017

Terdapat beberapa faktor yang umumnya mempengaruhi infeksi cacing hati (Fasciola sp.), yakni:

1. Umur Menurut Hambal, dkk. (2013), pengaruh umur erat kaitannya dengan kurun waktu infestasi terutama di lapangan. Semakin tua umur sapi maka semakin tinggi pula resiko infeksinya terhadap Fasciola sp. Pada sapi muda, prevalensi fasciolosis lebih rendah, hal ini disebabkan oleh sapi muda relatif lebih sering dikandangkan dalam rangka penggemukan. Selain itu, intensitas makan rumput sapi muda masih rendah dibandingkan dengan sapi dewasa, hal ini karena sapi muda masih minum air susu induknya sehingga kemungkinan untuk terinfeksi larva metaserkaria lebih rendah. Sayuti (2007) melaporkan bahwa sapi bali berumur lebih dari 12 bulan lebih rentan terhadap infeksi Fasciola sp. dibandingkan dengan sapi bali berumur kurang dari 6 bulan dan antara 6-12 bulan.

2. Sistem Pemeliharaan Sadarman, dkk. (2007) menyebutkan bahwa sapi yang dipelihara secara ekstensif lebih beresiko terhadap infeksi Fasciola sp. dibandingkan dengan sapi 13 yang dipelihara secara intensif. Ternak sapi yang dipelihara secara ekstensif mempunyai resiko terinfeksi Fasciola sp. yang lebih tinggi karena sapi-sapi tersebut mencari pakannya sendiri sehingga pakan yang diperoleh tidak terjamin baik secara kuantitas maupun kualitasnya serta sesuai dengan kebutuhannya. Kekurangan pakan akan menyebabkan ternak mengalami malnutrisi. Nutrisi merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi kerentanan seekor sapi terhadap infeksi cacing. Sapi

9

JENIS SPESIMEN HASIL PEMERIKSAAN Prevalensi

FESES FSC %

BENGKULU SELEBAR SAPI 3 1 33.33

KAMPUNG MELAYU SAPI 21 1 4.76

BIBD & UPT PERBIBITAN SAPI 19 0 0.00

B. TENGAH TALANG EMPAT SAPI 23 2 8.70

PONDOK KELAPA SAPI 16 0 0.00

B. SELATAN PINA RAYA SAPI 2 0 0.00

SELUMA LUBUK SANDI SAPI 29 0 0.00

B. UTARA PUTRI HIJAU SAPI 3 0 0.00

MUKO-MUKO LUBUK RINANG SAPI 4 1 25.00

120 5 4.17

KABUPATEN KECAMATAN JENIS HEWAN

JUMLAH

JENIS SPESIMEN HASIL PEMERIKSAAN Prevalensi

FESES FSC %PALEMBANG SUKARAME SAPI 3 0 0.00OKU LUBUK BATANG SAPI 34 0 0.00

SINAR PANINJAUAN SAPI 70 5 7.14

BATU RAJA BARAT SAPI 15 2 13.33

BATU RAJA TIMUR SAPI 11 2 18.18

PENGADANAN SAPI 7 3 42.86OKU TIMUR OKU TIMUR SAPI 1 0 0.00BANYU ASIN SEMBAWA SAPI 456 4 0.88MUARA ENIM GUNUNG MEGANG SAPI 1 0 0.00

OKI MESUJI SAPI 6 0 0.00

604 16 2.65

KABUPATEN KECAMATAN JENIS HEWAN

JUMLAH

JENIS SPESIMEN HASIL PEMERIKSAAN Prevalensi

FESES FSC %TANGGAMUS KEDAMAIAN SAPI 12 0 0.00

GISTING SAPI 25 1 4.00

L. SELATAN NATAR SAPI 34 0 0.00

SIDOMULYO SAPI 1 0 0.00

METRO METRO BARAT SAPI 1 0 0.00

METRO TIMUR SAPI 6 0 0.00

METRO UTARA SAPI 6 0 0.00

L. TENGAH BANDAR MATARAM SAPI 35 1 2.86

PUNGGUR SAPI 51 0 0.00

TERBANGGI BESAR SAPI 28 0 0.00

TUBABA WAY KENANGA SAPI 4 0 0.00

TUBA UDIK SAPI 7 0 0.00

TUBA TENGAH SAPI 1 0 0.00

L. TIMUR WAY BUNGUR SAPI 6 2 33.33

WAY JEPARA SAPI 12 1 8.33

L. UTARA ABUNG SEMULI SAPI 50 1 2.00

L. BARAT SEKINCAU SAPI 10 0 0.00

WAY TENONG SAPI 20 1 5.00

MESUJI WAY SERDANG SAPI 53 0 0.00

362 7 1.93

KABUPATEN KECAMATAN JENIS HEWAN

JUMLAH

Velab

Page 13: 01 UME 39 Velabbvetlampung.ditjenpkh.pertanian.go.id/wp-content/uploads/2018/09/... · terserang penyakit Jembrana adalah demam tinggi, lymphadenopathy, lymphopenia, keringat darah

yang mengalami malnutrisi akan lebih peka (Purwanta, dkk., 2007). Menurut Abidin (2002), bahwa konsumsi hijauan yang masih berembun dan yang tercemar siput, merupakan salah satu penyebab terjadinya infeksi larva cacing saluran pencernaan. Subronto (2007) menyebutkan bahwa kebanyakan jenis parasit saluran pencernaan masuk ke dalam tubuh hospes definitif melalui mulut dari pakan yang tercemar larva. Karena suatu sebab, misalnya defisiensi posfor, hewan jadi pica sehingga makan feses (koprofagi) atau benda lain yang mengandung larva.

3. Musim Hasil penelitian Dewi, dkk. (2011) tidak mengemukakan adanya perbedaan yang signifikan antara infeksi cacing Fasciola sp. pada musim basah dan musim kering, namun persentase kasus positif cenderung lebih tinggi pada musim basah. Suyuti (2007) juga mengemukakan bahwa musim berpengaruh terhadap derajat prevalensi fasciolosis di Kabupaten Karangasem, Bali. Kejadian fasciolosis banyak terjadi pada awal musim hujan karena pertumbuhan telur menjadi mirasidium cukup tinggi dan perkembangan di dalam tubuh siput mencapai tahap yang lengkap pada akhir musim hujan. Selain itu, pelepasan serkaria terjadi pada awal musim kering seiring dengan terjadinya penurunan curah hujan

Prevalensi tertinggi disebabkan dari faktor extrinsik yaitu cara pemeliharaan (tempat pengembalaan), keberadaan siput dan musim. Peternak yang menggembalakan sapi pada pagi hari di ladang, kebun, atau pekarangan lebih peka terhadap infestasi parasit cacing hati (Purwanta et al, 2006). Selanjutnya topografi daerah juga mempengaruhi infestasi fasciola sp pada ternak. Daerah dataran rendah lebih peka dibandingkan dataran tinggi.

Gambar 4. Siklus hidup fasciola sp (Gonzaga, 2010)

Menurut Suweta (1982) sapi yang dikandangkan dan digembalakan di sawah lebih berpeluang untuk terinfestasi oleh cacing hati. Penyebarannya disebabkan hijauan dalam kondisi basah dan berair merupakan tempat yang cocok untuk perkembangan metecercaria. Infestasi pada hewan ternak terjadi secara pasif yaitu meminum air ataupun memakan tanaman yang mengandung metacercaria (Soulsby, 1986).

Abidin (2002) ternak yang mengkomsumsi hijauan yang masih berembun dan tercemar siput, merupakan salah satu penyebab terjadinya infestasi larva saluran pencernaan. Apabila tumbuhan tersebut termakan oleh hewan ruminansia, maka kista dapat menembus dinding usus lalu masuk ke dalam hati dan saluran empedu, kemudian dewasa selama beberapa bulan sampai bertelur dan siklus ini terulang kembali (Dirjennak, 2012).

Gambar 5 . Beberapa telur Fasciola sp yang terlihat di bawah mikroskop

KESIMPULAN DAN SARAN

KESIMPULAN :

Dari hasil surveilans yang dilakukan Balai Veteriner Lampung tahun 2017 diperoleh kesimpulan sebagai berikut :

1. Secara keseluruhan sampel yang diperiksa di Balai Veteriner Lampung tahun 2017 dari kegiatan surveilans untuk pengujian Sedimentasi mamalian adalah 1086 sampel dengan hasil positif sebanyak 28 sampel.

2. Tingkat penyebaran Fasciola sp tahun 2017 di wilayah kerja Balai Veteriner adalah Provinsi Lampung (1,93%), Provinsi Bengkulu (4,17%), dan Provinsi Sumatera Selatan (2,65%).

3. Beberapa faktor yang mempengaruhi prevalensi cacing hati yaitu kondisi alam (topografi), musim dan pengembalaan.

4. Kegiatan surveilans sangat diperlukan untuk pemantauan kejadian fasciolosis di wilayah kerja

10

Velab

Page 14: 01 UME 39 Velabbvetlampung.ditjenpkh.pertanian.go.id/wp-content/uploads/2018/09/... · terserang penyakit Jembrana adalah demam tinggi, lymphadenopathy, lymphopenia, keringat darah

Balai veteriner Lampung

SARAN :

Memperhatikan butir-butir kesimpulan diatas, maka dapat disarankan :

1. Usaha pengendalian dan pengobatan terhadap cacing hati perlu dilakukan secara rutin untuk mengurangi kasus fasciolosis dan penyebarannya;

2. Diperlukan kajian case control atau cross sectional untuk mengetahui penyebab setiap provinsi t e rhadap ke jad ian Fasch io los i s seh ing g a memudahkan intervensi apa yang harus dilakukan.

DAFTAR PUSTAKA

Abidin, Z. 2002. Penggemukan Sapi Potong. Agromedia Pustaka. Jakarta

Anonim. 1993. Buku Pengendalian Penyakit Hewan. Subdit Pengamatan Penyakit Hewan. Direktorat Kesehatan Hewan. Jakarta

Anonim. 2015. Fasciola Hepatica ( cacing isap pada hati t e r n a k ) . h t t p : / / h a i g a s h a i . b l o g s p o t . c o m /2015/10/fasciola-hepatica-cacing-isap-pada-hati.html. Diakses pada tanggal 28 Juni 2018.

Dewi, A. P., Fatiyah, E., & Sumarwanta, E. 2011. Kejadian Infeksi Cacing Hati (Fasciola spp) pada Sapi Potong di Kabupaten Kebumen. Jogjakarta: Balai Besar Veteriner Wates.

Balai Veteriner Lampung, 2014. Dampak Penyakit Cacingan P a d a P e r f o r m a n s T e r n a k . http://bvetlampung.com/. Diakses pada 27 Juni 2018

Charlier J, Meulemeester DL, Claerebout E, Williams D, Vercruysse J. 2008. Qualitative and quantitative evaluation of coprological and serological techniques for the diagnosis of fascioliasis in cattle. Vet. Parasitol. 153: 44- 51.

Direktorat Jenderal Peternakan dan Kesehatan Hewan. 2012. Manual Penyakit Hewan Mammalia. Direktorat Jenderal Peternakan dan Kesehatan Hewan. Subdit Pengamatan Penyakit Hewan, Direktorat kseatan----------------------. 1991. Data Ekonomi Akibat Penyakit Hewan 1990. Direktorat Kesehatan Hewan. Dirjennak. Deptan. Jakarta

Djumena, E. 2015. Konsumsi Daging Indonesia Masih Rendah.http://bisniskeuangan.kompas.com/read/2015/11/06/130505526/Konsumsi.Daging.Indon esia.Masih.Rendah. Diakses pada tanggal 28 Juni 2018

Dwiyanto K., S. Bahri., & E. Masbulan. 2000. Ketersediaan dan Kebutuhan teknologi peternakan dan veteriner dalam upaya meningkatkan ketahanan pangan. Pros. Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner. Bogor, 18-19 September 2000. Puslitbang Peternakan. Bogor, hal 51-64/

Gonzaga, I. 2010. Cacing Hati - Fasciola Hepatica 2. https://biologigonz.blogspot.com/2010/04/cacing-hati-hisap-cestoda.html. Diakses pada tanggal 28 Juni 2018.

Hambal, M., S. Arman., dan D. Agus. 2013. Tingkat kerentanan Fasciola gigantica pada sapi dan kerbau di Kecamatan Lhoong, Kabupaten Aceh Besar. Jurnal Medika Veterineria 7(3):52.

Levine, N.D. 1990. Parasitologi Veteriner. Yogyakarta: Gajah Mada University Press.

Martindah, E., Widjajanti, S., Estuningsih S.E., Suhardono. 2005. Meningkatkan kesadaran dan kepedulian masyarakat terhadap fasciolosis sebagai penyakit infeksius. Wartazoa. 15.

Mohammed, N. 2008. Fasciola hepatica. http://www. nenadmohamed.com.html. Diakses pada tanggal 28 Juni 2018.

Murtidjo B. 2012. Beternak Sapi Potong. Yogyakarta: Kanisius.

Negara, K.P. 2016. Daur Hidup F a s c i o l a Hepatica atau Cacing Hati, Penjelasan, danGambarnya.http://www.ebiologi.net/2016/07/daur-hidup-fasciola-hepatica-cacing-hati.html. Diakses pada tanggal 28 Juni 2018.

Nofian, E., Kamal, M., Rosdiana, I. 2010. Identifikasi jenis telur cacing parasit usus pada ternak sapi (Bos sp) dam Kerbau (Bubalus sp) di rumah potong hewan Palembang Universitas Sriwijaya, Sumatera Selatan.

11

Velab

Page 15: 01 UME 39 Velabbvetlampung.ditjenpkh.pertanian.go.id/wp-content/uploads/2018/09/... · terserang penyakit Jembrana adalah demam tinggi, lymphadenopathy, lymphopenia, keringat darah

Negara, K.P. 2016. Daur Hidup Fasciola Hepatica atau C a c i n g H a t i , P e n j e l a s a n , d a n Gambarnya.http://www.ebiologi.net/2016/07/daur-hidup-fasciola-hepatica-cacing-hati.html. Diakses pada tanggal 28 Juni 2018.

Nofian, E., Kamal, M., Rosdiana, I. 2010. Identifikasi jenis telur cacing parasit usus pada ternak sapi (Bos sp) dam Kerbau (Bubalus sp) di rumah potong hewan Palembang Universitas Sriwijaya, Sumatera Selatan.

Purwanta, Ismaya, Burhan. 2006. Penyakit Cacing Hati (Fascioliasis) Pada Sapi Bali Di Perusahaan Daerah Rumah Potong Hewan (RPH) Kota Makassar. Jurnal Agrisistem. Vol. 2 No. 2.

Sadarman J, Handoko, D. Febrina. 2007. Infestasi Fasciola sp. pada sapi Bali dengan sistem pemeliharaan yang berbeda di Desa Tanjung Rambutan Kecamatan Kampar. Jurnal Peternakan 4:37-45.

Santosa U. 2000. Prospek Agribisnis Penggemukan Pedet. Jakarta: Penebar Swadaya.

Sayuti L. 2007. Kejadian Infeksi Cacing Hati (Fasciola sp.) Pada Sapi Bali Di Kabupaten Karangasem, Bali. [Skripsi]. Fakultas Kedokteran Hewan. Institut Pertanian Bogor

Sinambela, M. 2017. Penuhi Kebutuhan Daging Sapi 2017 Sebesar 605 Ton, 40% Diperkiraan Impor. http://vibizmedia.com/2017/06/22/penuhi-kebutuhan-daging-sapi-2017-sebesar-605-ton-40-diperkiraan-impor/. Diakses pada tanggal 28 Juni 2018.

Subronto. 2007. Ilmu Penyakit Ternak II (revisi). Yogyakarta: Gadjah Mada University Press, Cetakan ke-3.

Soulsby, E.L.J. 1986. Helminths, Arthropods and Protozoa of Domesticated Animal. Bailliere Tindall. London.

Suweta, I.G.P. 1978. Fasciolosis pada sapi Bali. Buletin Fakultas Kedokteran Hewan Udayana. Bali.

12

Velab

Page 16: 01 UME 39 Velabbvetlampung.ditjenpkh.pertanian.go.id/wp-content/uploads/2018/09/... · terserang penyakit Jembrana adalah demam tinggi, lymphadenopathy, lymphopenia, keringat darah

13

VelabPenerapan Pendekatan Risk Based Surveillance pada Rancangan Surveilans Penyakit HPAI

di Wilayah Kerja Balai Veteriner Lampung

Setiadji,G1).,Guntoro., T1) dan Yulianti., E2)1) Laboratorium Epidemiologi,

2) Laboratorium PatologiEmail: [email protected]

ABSTRAK

Sejak tahun 2013, surveilans rutin aktif dengan pendekatan representatif telah dilakukan untuk mendeteksi virus HPAI. Surveilans aktif ini membutuhkan jumlah sampel yang cukup banyak serta biaya dan personal yang tidak sedikit. Oleh karena itu, untuk meningkatkan efisiensi surveilans aktif, maka perlu dilakukan pendekatan lain dengan mentargetkan pada populasi yang beresiko tinggi, yang dikenal dengan istilah surveilans berbasis resiko (Risk Based Surveillance). Pengambilan sampel pada populasi beresiko tinggi berpotensi untuk meningkatan probabilitas penemuan kejadian penyakit dan jumlah sampel yang lebih sedikit dibandingkan pada populasi dengan kategori resiko rendah.Padarancangan surveilans penyakit HPAI di wilayah Balai veteriner lampung ini yang digunakansebagai unit epidemiologi adalah pasar unggas hidup (Live Bird Market) dengan faktor resiko adanya fasilitas pemotongan di dalam pasar. Dari hasil perhitungan diperoleh jumlah pasar yang disampling pada pasar beresiko tinggi sebanyak 34 sedangkan pasar beresiko rendah 22 pasar sementara pada surveilans representatif diperlukan sampel sebanyak 62 pasar. Terjadi penghematan sampel sebanyak 9,677%. Penghematan ini dapat dijadikan pertimbangan penggunaan pendekatan surveilans berbasis resiko ini, tanpa mengurangi efektifitas surveilans, keterwakilan populasi serta tujuan dari surveilans tersebut.

Kata Kunci :Risk Based Surveillance, HPAI, Live Bird Market.

PENDAHULUAN

Avian influenza (AI) merupakan penyakit viral akut pada unggas yang disebabkan oleh virus influenza type A subtipe H5 dan H7. Semua unggas dapat terserang virus influenza A, tetapi wabah AI sering menyerang ayam dan kalkun.Penyakit ini bersifat zoonosis dan angka kematian sangat tinggi ka rena dapa t mencapa i 100%. Berdasarkan patotipenya, virus AI dibedakan menjadi Highly Pathogenic Avian Influenza (HPAI) atau tipe ganas dan Low Pathogenic Avian Influenza (LPAI) atau tipe kurang ganas.Tanda yang paling menciri untuk HPAI adalah tingkat kematian yang tinggi yang mencapai 100%.Selama ini virus AI yang bersifat HPAI adalah H5 dan H7 danmerupakan salah satu penyakit strategis di Indonesia.

Gambar 1. Distribusi HPAI di Indonesia (Mei 2016-Mei 2017)

Sejak tahun 2013, rutin telah dilakukan untuk mendeteksi virus HPAI. Salah satu metode surveilans yang digunakan adalah pendekatan surveilans aktif. Pendekatan surveilans aktif ini membutuhkan jumlah sampel yang cukup banyak serta biaya dan personal yang tidak sedikit. Oleh karena itu, untuk meningkatkan efisiensi surveilans aktif, maka perlu dilakukan pendekatan lain dengan mentargetkan pada populasi yang beresiko tinggi, yang dikenal dengan istilah surveilans berbasis resiko (Risk Based Surveillance). Pada prinsipnya Risk Based sur ve i l l ance (RBS)

Meng gunakan a sums i b ahwa probabilitas kejadian sebuah penyakit atau infeksi tertentu tidak secara acak didistribusikan di seluruh populasi, bahwa sebagian individu (sub-populasi) memiliki probabilitas risiko lebih tinggi terjangkit atau menunjukkan tanda-tanda penyakit (Angus C dkk, 2014). Pengambilan sampel pada populasi beresiko tinggi berpotensi untuk meningkatan probabilitas atau jumlah sampel yang lebih sedikit dibandingkan pada populasi dengan kategori resiko rendah.

Penetapan daerah tertular avian influenza dilihat berdasarkan adanya laporan kasus kematian unggas yang disebabkan oleh virus avian influenza dengan diagnosa klinis, patologi a n a t o m i , e p i d e m i o l o g i s , d a n dikonfirmasi secara laboratoris.Salah satu ciri penyakit HPAI adalah adanya kematian mendadak.Secara umum kematian mendadak unggas masih tinggi di wilayah kerja Balai Veteriner Lampung.

Page 17: 01 UME 39 Velabbvetlampung.ditjenpkh.pertanian.go.id/wp-content/uploads/2018/09/... · terserang penyakit Jembrana adalah demam tinggi, lymphadenopathy, lymphopenia, keringat darah

Grafik 1. Kasus mati mendadak pada unggas (MMU) periode 2015-Juli 2017 di Wilayah Bvet Lampung (sumber:Isikhnas)

Penularan dapat terjadi melalui kontak langsung dari unggas terinfeksi dan unggas peka melalui saluran pernapasan, konjungtiva, lendir dan feses; atau secara tidak langsung melalui debu, pakan, air minum, petugas, peralatan kandang, sepatu, baju dan kendaraan yang terkontaminasi virus AI serta ayam hidup yang terinfeksi. Unggas air seperti itik dan entog dapat bertindak sebagai carrier (pembawa virus) tanpa menujukkan gejala klinis. Unggas air biasanya berperan sebagai sumber penularan terhadap suatu peternakan ayam atau kalkun.Dengan melihat rute penularan ini, maka diperlukan pengendalian pada tempat yang sangat beresiko terjadi penularan, dalam hal ini adalah pasar unggas hidup (live Bird Market).Pada tahun 2015, telah dilakukan Profilling Live Bird Market (LBM) di sebanyak 72 pasar di wilayah kerja Bvet Lampung yang salah satu kegunaannya adalah untuk penerapan Risk Based Surveillancepada surveilans HPAI.Secara umum tujuan penulisan adalah untuk mendeteksi penyakit HPAI di pasar -pasar unggashidup (LBM) dengan menggunakan surveilans berbasis resiko (Risk Based Surveillance).

MATERI DAN METODE

Materi

Materi yang digunakan adalah data profilling LBM di wilayah Balai Veteriner (BVet) lampung, data hasil surveilans BVet lampung tahun 2015-2017 serta data situasi penyakit HPAI di https://www.isikhnas.com/.

Metode

a. Study Design

Desain surveilans yang digunakan adalah RiskBased Surveillance pada pasar unggas hidup. Langkah awal adalah menentukan faktor resiko kejadian HPAI pada pasar unggas, penentuan dapat menggunakan data kajian HPAI, lietratur review atau opini dari para ahli. Mengacu dari jurnal

yang ditulis oleh Indriyani dkk (2010) tentang beberapa faktor resiko kejadian HPAI di LBM, maka slaughtering in LBMdipilih sebagai faktor resiko yang sesuai dengan data yang ada pada profilling LBM yang sudah ada di Balai Veteriner lampung yaitu ada atau tidaknya fasilitas pemotongan unggas di pasar.

Tabel 1. Faktor Resiko HPAI di Live Bird Market (Indriyani dkk,2010)

Pada tulisan ini data yang digunakan adalah Odd Ratio (OR) dari hasil surveilans HPAI di pasar unggas pada tahun 2015 sampai dengan 2017 dengan faktor resiko yang dipilih adalah ada tidaknya fasilitas pemotongan unggas di pasar.

Tabel 2. Hasil Perhitungan OR Faktor Resiko

Pasar yang memiliki fasilitas pemotongan dikategorikan High Risk Groupsebanyak 46 pasar, sedangkan pasar yang tidak memiliki fasilitas pemotongan dikategorikan Low Risk Groupjuga sebanyak 46 pasar (Data Profiling LBM 2015)

Tabel 3. Hasil perhitungan Proporsi dan Resiko Relatif

b. Study PopulationUnit epidemiologi yang digunakan adalah Pasar dengan unit sampling yaitu pedagang unggas hidup dan karkas.

c. Sampling Strategy, sampling Frame dan sampling Approach

Ÿ Membuat scenario pohon (Scenario tree)Skenario pohon merupakan proses deteksi melalui Surveillance System Component (SSC), sehingga dapat mengahasilkan probabilitas positif atau negatif satu unit

14

Velab

Page 18: 01 UME 39 Velabbvetlampung.ditjenpkh.pertanian.go.id/wp-content/uploads/2018/09/... · terserang penyakit Jembrana adalah demam tinggi, lymphadenopathy, lymphopenia, keringat darah

Ÿ Menggunakan Perangkat EpitoolsPerangkat epitools dapat diakses di http://epitools.ausvet.com.au. menggunakan single simple risk based surveillance one stage.

a. Sample SelectionPada surveilans ini hanya satu tahap dan dengan satu faktor resiko maka setiap pasar diambil sampel lingkungan di semua pedagang dan apabila ada unggas yang sakit atau mati dilakukan pengambilan sampel.

b. Data and Sample CollectionSampel yang diambil yaitu swab kloaka, swab karkas dan swab Lingkungan di semua pedagang pada pasar yang terpilih baik pasar high risk maupun low risk group.

c. Laboratory testing and Diagnostic tools Pengujian dilakukan di lakukan di laboratprium Bioteknologi Balai Veteriner Lampung dengan metode Polymerase Chain Reaction (PCR). Pasar yang terkonfirmasi (confirm) positif HPAI adalah pasar dengan setidaknya ada satu positif H5N1 dengan RT -PCR pada unggas, karkas ataupun lingkungan.

d. Data management and analysisDescriptive

HASIL DAN PEMBAHASAN

Scenario TreeBerikut ini variabel dari scenario tree yang digunakan:

Tabel 4.Variabel Node yang digunakan pada skenario pohon

Input parameter

Pada model skenario pohon, probababilitas pasar tertular (desain prevalensi) pada tingkat pasar yang digunakan adalah 5 % dan probabilitas dengan hasil positif (sensitivitas uji) 95 %. Proporsi populasi pasar dengan faktor resiko tinggi PrP (table 1) sebanyak 50 %, sedangkan proporsi pasar yang akan disurveilans pada populasi resiko tinggi sebesar 60 %.

Model output

Dengan menggunakan scenario pohon, maka penghitungan sensitivitas pada resiko strata dapat dihitung dengan rumus sebagai berikut :

Besaran sampel dapat dihitung berdasarkan rumus diatas :

Tabel 5. Hasil Perhitungan Skenario Pohon

Perangkat Epitools

Dari analisa Single Simple Risk Based Surveillance diperoleh hasil sebagai berikut:

Tabel 6. Hasil Perhitungan Perangkat Epitools

Dari hasil perhitungan sampel menggunakan skenario pohon dan dan epitools diperoleh jumlah pasar yang disampling pada pasar beresiko tinggi sebanyak 34 sedangkan pasar beresiko rendah 22 pasar. Apabila diambil sampel sebanyak 56 pasar unggas maka sensitivitas

15

VelabCse= 1-(1-SUSe)n

n=log (1-SUse)(1-CSe)

Page 19: 01 UME 39 Velabbvetlampung.ditjenpkh.pertanian.go.id/wp-content/uploads/2018/09/... · terserang penyakit Jembrana adalah demam tinggi, lymphadenopathy, lymphopenia, keringat darah

surveillance system component yang dihasilkan sebanyak 95 %, sedangkan dengan surveilans representatif sebesar 93 %, perbedaan ini tidak terlalu signifikan, namun hal ini dapat dijadikan pertimbangan penggunaan pendekatan surveilans berbasis resiko.Dengan melakukan surveilans berbasis resiko pada pasar unggas yang memiliki tempat atau fasilitas pemotongan maka sensitivitas unit naik dari 4.75 % menjadi sebesar 1.017. Hal ini yang jugamenjadi alasan pemilihan pendekatan surveilans berbasis resiko.Menurut FAO (Angus C dkk, 2014) Risk Based Surveillance dapat meningkatkan sensitivitas surveilans tanpa meningkatkan jumlah sampel yang di uji.

Pada surveilans representatif, diperlukan sampel sebanyak 62 pasar. Terjadi saving atau penghematan sampel sebanyak 9,677%. Penghematan ini juga dapat dijadikan pertimbangan penggunaan pendekatan surveilans berbasis resiko ini, tanpa mengurangi efektifitas dan keterwakilan populasi dari dari surveilans ini. Namun ada beberapa hal penting yang perlu diperhatikan dalam Risk Based Surveillanceini adalah data sengaja dibuat bias sehingga tidak dapat digunakan untuk mengukur tingkat penyakit di dalam populasi, selain itu rancangan surveilans ini memerlukan pengetahuan awal mengenai epidemiologi penyakit, perbedaan tingkat penyakit pada berbagai strata/kelompok populasi, dan dampak penyakit tersebut. Meskipun demikian, dengan memanfaatkan pemahaman mengenai epidemiologi penyakit untuk mengidentifikasi kelompok risiko tersebut pada akhirnya dapat mendorong pemahaman mengenai resiko penyakit dan opsi pengendalian penyakit tersebut.

Pada rancangan surveilans ini hanya satu tingkat (one-staged survey) dan dengan satu faktor resiko (One Risk Factor) maka setiap pasar diambil sampel swab lingkungan, swab karkas dan swab kloaka di semua pedagang dan apabila ada unggas yang sakit atau mati dilakukan pengambilan sampel pada unggas tersebut. Menurut FAO (2013) dalam Guidelines for emergency risk based surveillance: Addressing avian influenza A(H7N9) terdapat 3 tahap surveilans. Tahap pengambilan sampel ini merupakan tahap pertama.Tahap selanjutnya adalah tahap penelusuran sumber infeksi dan penyebaran HPAI.Apabila ditemukan 1 pasarterkonfirmasi positif maka pasar atau peternakan yang menjadi pemasok unggas dikunjungi dan diambil sampelnya berupa sample lingkungan dan sampel unggas apabila ada unggas yang sakit. Tahap ini merupakan tahap II.

Gambar 2. Tahap Penelusuran sumber infeksi dan Penyebaran HPAPada

tahap ketiga, apabila ditemukan 1 pasar atau peternakan terkonfirmasi positif pada tahap II maka pasar atau peternakan yang menjadi pemasok unggas tersebut dikunjungi dengan jumlah sampel sama seperti tahap kedua. Dengan tahapan tersebut, sumber infeksi dan penyebaran penyakit HPAI diharapkan dapat ditemukan, sehingga segera dapat dilakukan tindakan pencegahan, pengendalian, pengobatan serta biosafety dan biosecurity terhadap penyakit HPAI ini.

KESIMPULAN

Surveilans Berbasis Resiko (Risk Based Surveillance)pada penerapannya dinilai lebih efisien daripada surveilan representatitaif atau acak karena pengambilan sampel pada populasi beresiko tinggi berpotensi untuk meningkatan probabilitas penemuan kejadian penyakit dan jumlah sampel yang lebih sedikit dibandingkan pada populasi dengan kategori resiko rendah.Apabila dibandingkan dengan surveilans representatif, terjadi penghematan sampel sebesar 9,677%. Hal ini dapat dijadikan pertimbangan penerapan pendekatan Risk Based Surveillanceini padarancangan surveilans penyakit HPAI di wilayah kerja Bvet Lampung.

SARAN

Perlu adanya kajian ulang pada beberapa faktor resiko lain yang lebih signifikan dengan kondisi lapangan dan data yang ada serta peningkatan kesadaran dalam pelaporan pasif di masyarakat.

DAFTAR PUSTAKA

Angus, C, dkk. 2014. Risk-based disease surveillance – A manual for veterinarians on the design and analysis of surveillance for demonstration of freedom from disease. FAO Animal Production and Health Manual No. 17. Rome, Italy

FAO. 2013. Guidelines for emergency risk based surveillance. Addressing avian influenza A(H7N9). Vol. 1. Rome

Indriani R, Samaan G, Gultom A, Loth L, Indryani S, Adjid R, et al. Environmental sampling for avian influenza virus A (H5N1) in livebird markets. Indonesia. Emerg Infect Dis 2010;16(12):1889–95.

Sergeant, ESG, 2017.Epitools epidemiological calculators. Ausvet Pty Ltd. Available at: http://epitools.ausvet.com.au

16

Velab

Page 20: 01 UME 39 Velabbvetlampung.ditjenpkh.pertanian.go.id/wp-content/uploads/2018/09/... · terserang penyakit Jembrana adalah demam tinggi, lymphadenopathy, lymphopenia, keringat darah

17

VelabIDENTIFIKASI DAN ANALISIS GENETIK ISOLAT VIRUS AVIAN INFLUENZA

SUBTIPE H5N1 ASAL PERUSAHAAN BREEDER AYAMDI BALAI VETERINER LAMPUNG

Srihanto, E.A1), Angeliya, L1) dan Evarozani S.2) 1. Laboratorium Bioteknologi

2. Laboratorium VirologiEmail : [email protected]

Abstrak

Penyakit Avian Influenza sejak masuk ke wilayah Lampung tahun 2003 sampai sekarang belum bisa diatasi dengan baik. Kematian unggas sampai saat ini masih sering dilaporkan dan ditemukan. Unggas yang terinfeksi dilaporkan tidak hanya ayam tetapi jenis unggas lainnya seperti puyuh, itik, entog, kalkun, walet dan burung liar. Kompartementalisasi dan zonifikasi merupakan salah satu solusi penting yang telah mendapatkan rekomendasi dari Office Internationale de Epizooticae (OIE) untuk mengendalikan dan membebaskan suatu kawasan dari penyakit unggas terutama Avian Influenza (AI). Kajian ini bertujuan untuk melihat dinamika virus avian influenza yang berasal dari breeding farm. Materi yang digunakan berupa isolat virus hasil isolasi pada telur ayam bertunas umur 10 hari. Asal sampel diperoleh dari kegiatan survailans kompartemen di perusahaan breeding farm ayam. Metoda analisis dilakukan dengan melihat jarak genetik, homologi dan hubungan kekerabatan virus Avian Influenza. Analisis dilakukan menggunakan perangkat lunak MEGA 6.06 yang meliputi prediksi asam amino, homologi, jarak genetik dan pohon kekerabatan. Hasil analisis menunjukkan bahwa isolat virus Avian Influenza teridentifikasi termasuk clade 2.3.2.1c. Jarak genetik dengan clade 2.1 sekitar 9,9% dengan homologi berkisar 90,1%. Cleavage site isolat disusun oleh asam amino QRERRRKG.

Kata kunci : virus Avian Influenza, clade, breeder

PENDAHULUAN

Avian influenza (AI) merupakan penyaki t ung gas menular yang disebabkan oleh virus influenza tipe A dari keluarga Orthomyxoviridae. Berdasarkan patogenisitas virus AI dibedakan menjadi highly pathogenic avian influenza (HPAI) dan low pathogenic avian influenza (LPAI). Sejauh ini infeksi pada ung gas disebabkan oleh virus AI subtipe H5 dan H7 yang termasuk HPAI. Highly Pathogenic Avian Influenza pada unggas mampu menyebabkan infeksi sistemik dan berakibat mortalitas pada unggas yang cukup tinggi (Alexander, 1982). Virion virus AI berbentuk bulat, filamentous atau kadang-kadang berbentuk pleomorfik dengan diameter 80-120 nm. Virus AI memiliki panjang 13,6 kb. Virus ini merupakan virus beramplop, genom virus memiliki delapan segmen yang mengkode 10 gen dan bermaterikan RNA untai tunggal 8

(ssRNA), polaritas negatif dan memiliki dua protein permukaan yang mer upakan var iabel per lekatan utamanya (Murphy et al., 2008; Suarez, 2008). Struktur protein struktural terdiri dari protein permukaan dan protein internal. Permukaan amplop virus tersusun atas lipid bilayer yang berasal dari membran sel hospes yang diperoleh pada saat budding yang tersusun oleh hemaglutinin (HA), neuroamidase (NA) dan membran ion channel protein (M2) (Suarez, 2008). Haemaglutinine (HA) merupakan glikoprotein pada amplop virus yang mampu berikatan dengan reseptor sialic acid pada permukaan sel hospes (De jong dan Hien, 2006). Protein internal tersusun oleh nucleoprotein (NP), matrix proteins (M1), polimerase complex proteins (PB1, PB2, PA). Selain itu terdapat tambahan dua protein non struktural (NS1, NS2) (Suarez, 2008). Virus avian influenza yang berhasil teridentifikasi subtipe H5,

H7, H4, H10 dan H11 (Lupiani and Reddy, 2009).

Wabah penyakit AI dilaporkan Indonesia pada akhir tahun 2003 dan d i l a p o r k a n s e c a r a r e s m i o l e h pemerintah Indonesia pada tanggal 25 Januari 2004 melalui Keputusan M e n t e r i P e r t a n i a n N o . 96/Kpts/PD.620/2/2004. Wabah penyakit AI yang terjadi di propinsi Lampung ditemukan pertama kali di kabupaten Lampung Selatan pada b u l a n N o v e m b e r 2 0 0 3 d a n dikonfirmasi disebabkan oleh virus AI subtipe H5N1 pada bulan April 2004. Sampai dengan tahun 2016, penyakit AI sudah menjadi penyakit endemis di wilayah kerja Balai Veteriner Lampung (Srihanto, 2013; Anonimous, 2016). Sejak akhir tahun 2012, di Indonesia telah terjadi introduksi virus AI baru yang homolog dengan virus AI di Vietnam (Wibawa dkk., 2012). Virus AI tersebut terdeteksi sebagai clade 2.3.2.

Page 21: 01 UME 39 Velabbvetlampung.ditjenpkh.pertanian.go.id/wp-content/uploads/2018/09/... · terserang penyakit Jembrana adalah demam tinggi, lymphadenopathy, lymphopenia, keringat darah

Salah satu program pengendalian AI dilakukan kompartementalisasi dan zonifikasi. Kompartementalisasi dan zonifikasi merupakan salah satu solusi penting yang telah mendapatkan rekomendasi dari Office Internationale de Epizooticae (OIE) untuk mengendalikan dan membebaskan suatu kawasan dari penyakit unggas terutama Avian Influenza (AI), sekaligus dalam upaya mendukung terpenuhinya persyaratan dalam perdagangan unggas dan produk unggas baik antar daerah maupun antar negara. Kajian ini bertujuan untuk melihat dinamika virus avian influenza yang berasal dari breeding farm. Hasil yang didapatkan diharapkan dapat menjadi bahan informasi tentang dinamika virus Avian Influenza yang berasal dari breeding farm.

MATERI DAN METODE

MATERI

Materi yang digunakan berupa isolat virus AI subtipe H5N1 hasil isolasi pada telur ayam bertunas (TAB) umur 10 hari. Isolat tersebut berasal dari perusahaan breeding farm ayam yang ada di wilayah kerja Balai Veteriner Lampung. Identifikasi dilakukan di Balai Veteriner Lampung. Proses sekuensing dilakukan di 1st BASE co. Malaysia. Amplifikasi isolat digunakan primer yang direkomendasikan oleh Australian Animal Health Laboratory (AAHL) Geelong, Australia dengan kode HA10, HA20, HA30 dan HA40.

METODE

Sekuensing isolat virus dilakukan di 1st BASE co. Malaysia. Analisis data menggunakan perangkat lunak molecular evolution genetics analysis (MEGA) versi 6.06. Assembly data hasil sekuensing digunakan perangkat lunak Unipro UGENE versi 1.28.0. Analisis sekuens digunakan data fragmen gen HA sebagai materi analisis. Data yang diperoleh berupa nilai jarak genetik (distance), nilai homologi dan gambaran pohon kekerabatan virus Avian I n fl u e n z a . A n a l i s i s c l a d e d i g u n a k a n we b s i t e https://www.fludb.org.

Kalkulasi distance matrix digunakan model p-distance dan no. of differences untuk mendapatkan nilai jarak genetik, homologi, jumlah asam nukleat yang berubah dan jumlah asam amino yang mengalami mutasi. Konstruksi pohon kekerabatan dianalisis dengan metode Maximum Likelihood (Tamura et al., 2011).

HASIL dan PEMBAHASAN

Industri perunggasan saat ini masih mengalami permasalahan yang serius dengan merebaknya penyakit Avian Influenza (AI) di hampir seluruh wilayah Indonesia.

Avian Influenza (AI) merupakan penyakit unggas yang sangat menular, mematikan dan bersifat zoonosis. Penyakit ini menyebabkan kerugian ekonomi yang diakibatkan oleh kematian dan pemusnahan unggas. Kompartementalisasi dan zonifikasi merupakan salah satu solusi penting yang telah mendapatkan rekomendasi dari Office Internationale de Epizooticae (OIE) untuk mengendalikan dan membebaskan suatu kawasan dari penyakit unggas terutama Avian Influenza (AI), sekaligus dalam upaya mendukung terpenuhinya persyaratan dalam perdagangan unggas dan produk unggas baik antar daerah maupun antar negara (Permentan, 2008).

Analisis data sekuen dan pohon kekerabatan terhadap isolat virus AI subtipe H5N1 asal perusahaan breeding farm ayam termasuk clade 2.3.2.1 (Gambar 1 dan Gambar 2)

Gambar 1. Identifikasi clade isolat virus

Gambar 2. Phylogenic tree isolat virus Avian Influenza yang berasal dari breeding farm ayam

Ket : huruf merah adalah isolat penelitian

18

Velab

Page 22: 01 UME 39 Velabbvetlampung.ditjenpkh.pertanian.go.id/wp-content/uploads/2018/09/... · terserang penyakit Jembrana adalah demam tinggi, lymphadenopathy, lymphopenia, keringat darah

Analisis jarak genetik dan homologi antara sampel isolat dengan clade 2.1 ditunjukkan pada Tabel 1 menunjukkan terjadi perbedaan genetik sebesar 9,9 % dengan homologi 90,1 % . Jarak gentik antara sampel isolat dengan clade 2.3.2.1 lainnya sekitar 1,1 – 3,3 % dengan homologi 97 – 99 %.

Tabel 1. Nilai jarak genetik dan homologi antar clade

Analisis cleavage site yang menunjukkan patogenesitas, sampel isolat disusun oleh asam amino dengan motif QRERRRKG sehingga sampel isolat dikategorikan Highly Patogenic Avisn Influenza (HPAI). Motif asam amino pada cleavage site disusun oleh poly basic amino acid yang didominasi oleh asam amino arginin (R) dan lisin (K). Aturan ini sesuai dengan konsensus susunan asam amino pada cleavage site dengan pola tetrabasic R-X-K/R-R atau K/R-X-X-X-K/R-R (Hosaka et al., 1991; Watanabe et al., 1993; Vey et al., 1992).

Sejak dideklarasikan tahun 2004 wabah penyakit AI telah menjadi penyakit endemis. Di wilayah kerja Balai Veteriner Lampung penyakit AI juga menjadi ancaman yang serius dan merupakan penyakit unggas endemis di beberapa propinsi diantaranya Lampung, Bengkulu dan Sumatera Selatan (Srihanto, 2013; Anonimous, 2016). Keragaman spesies yang peka terhadap virus AI juga mengalami perubahan. Unggas non air seperti ayam, puyuh, kalkun sangat peka terhadap infeksi virus AI clade 2.1. Clade 2.3.2 yang mulanya hanya menginfeksi unggas air seperti itik dan entog, dalam perkembangannya mengalami perubahan terhadap unggas peka (Anonimous, 2016). Semua unggas diketahui sangat peka terhadap infeksi virus AI walaupun manifestasi klinis yang ditimbulkan berbeda-beda. Dalam hal ratio kematian, ketiga clade virus AI yang beredar memiliki case fatality rate yang tinggi. Pencegahan dan pengendalian sangat sulit dilakukan dikarenakan sifat virus yang sangat mudah bermutasi.

Sebagai salah satu program pengendalian penyakit AI, Menteri Pertanian mengeluarkan Permentan No. 28/Permentan/OT.140/5/2008 tanggal 30 Mei 2008 tentang PEDOMAN PENATAAN KOMPARTEMEN DAN PENATAAN ZONA USAHA PERUNGGASAN. Tujuan ditetapkan pedoman ini adalah untuk pengendalian dan pemberantasan penyakit AI, menjamin agar unggas dan produk unggas yang dihasilkan aman berkualitas/bermutu dan terbebas dari virus penyakit AI, mencegah masuk dan menyebarnya penyakit AI melalui lalu lintas perdagangan unggas dan produk unggas antar daerah dan antar negara dan membuka peluang perdagangan baik dalam negeri maupun luar negeri. Ruang lingkup yang diatur dalam

pedoman ini meliputi penataan kompartemen, penataan zona, pengawasan dan pelaporan, serta

pemberdayaan masyarakat. Survelians dilaksanakan secara berkesinambungan dalam periode waktu tertentu terkait tujuan tertentu untuk memperoleh pengetahuan tentang status penyakit hewan dalam suatu populasi di kompartemen atau di zona. Dari hasil survailans diharapkan akan mendapatkan hasi l yang dapat digunakan untuk pengambilan keputusan dalam penentuan status penyakit AI di suatu daerah atau perusahaan.

KESIMPULAN

Berdasarkan analisis pohon kekerabatan, isolat virus AI subtipe H5N1 yang berasal dari perusahaan breeding farm ayam termasuk clade 2.3.2.1c. Analisis jarak genetik dan homologi sampel isolat dengan clade 2.1 menunjukkan terjadi perbedaan genetik sebesar 9,9 % dengan homologi 90,1 % . Jarak gentik antara sampel isolat dengan clade 2.3.2.1 lainnya sekitar 1,1 – 3,3 % dengan homologi 97 – 99 %.

SARAN

Berdasarkan hasil penelitian dan kesimpulan yang didapatkan, saran yang dapat diberikan dengan terus melakukan survailans kompartemenisasi untuk mendukung program pengendalian dan pencegahan penyakit AI yang berasal dari breeding farm.

19

Velab

Page 23: 01 UME 39 Velabbvetlampung.ditjenpkh.pertanian.go.id/wp-content/uploads/2018/09/... · terserang penyakit Jembrana adalah demam tinggi, lymphadenopathy, lymphopenia, keringat darah

DAFTAR PUSTAKA

Anonimus. 2016. Laporan Tahunan Balai Penyidikan dan Pengujian Veteriner Regional III Bandar Lampung

Alexander, D.J., 2007. Summary of Avian Influenza Activity in Europe, Asia, Africa, and Australia 2002–2006, Avian Diseases 51:161–166

Hosaka, M., Nagahama, M., Kim, W.S., Watanabe, T., Hatsuzawa, K., Ikemitzu, J., Murakami, K., and Nakayama, K. 1991. Arg-Xlys/Arg-Arg Motif as a Signal for Precursor Cleavage Catalized by Furin within the Constitutive Secretory Pathway, The Journal of Biological Chemistry 226 (19) : 12127-12130

Lupiani, B., and Reddy, S.M. 2009. The history of avian influenza (review), Comparative Immunology, Microbiology and Infectious Diseases 32 : 311–323

Menter i Per tan ian RI , 2008 . Per mentan No. 28/Permentan/OT.140/5/2008 tanggal 30 Mei 2008 tentang PEDOMAN PENATAAN KOMPARTEMEN DAN PENATAAN ZONA USAHA PERUNGGASAN

Srihanto, E.A. (2013). ANALISIS GENETIK GEN HEMAGLUTININ VIRUS AVIAN INFLUENZA SUBTIPE H5N1 ISOLAT LAMPUNG TAHUN 2008-2013, Tesis, FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN UNIVERSITAS GADJAH MADA, YOGYAKARTA

Suarez, D.L. 2008. Avian Influenza dalam Avian Influenza, Blackwell Publishing Blackwell Publishing Professional 2121 State Avenue, Ames, Iowa 50014, USA : 3-22

Tamura, K., Peterson, D., Peterson, N., Stecher, G., Nei, M., and Kumar, S. 2011. MEGA 6 : Molecular Evolutionary Genet ics Analys is Using Maximum Likel ihood, Evolutionary Distance, and Maximum Parsimony Methods, M o l . B i o l . E v o l . 2 8 ( 1 0 ) : 2 7 3 1 – 2 7 3 9 . doi:10.1093/molbev/msr121 : 1-9

Vey, M., Orlich, M., Adler, G., Klenk, H.D., Rott, R., and Garten, W. 1992. Hemagglutinin Activation of Pathogenic Avian Influenza Viruses of Serotype H7 Require the Protease Recognation Motif R-X-K/R-R. Virol 188 : 408-413

Watanabe, T., Murakami, K., and Nakayama, K. 1993. Positional and Additive Effect of Basic Amino Acids on Processing og Precursor Protein within the Constitutive secretary Pathway, FEBS 12296 320 (3) : 215-218

Wibawa, H., Prijono, W.J., Dharmayanti, N.L.P.I., Irianingsih, S.H., Miswati, Y., Rohmah, A., Andesyha, E.,

Romlah, Daulay, R.S.D., Safitria, K. 2012. Investigasi Wabah Penyakit Pada Itik di Jawa Tengah, Yogyakarta dan Jawa Timur : Identifikasi Sebuah Clade Baru Virus Avian Influenza Subtipe Baru di Indonesia. Buletin Laboratorium Veteriner, 12 (4) : 2-8

20

Velab

Page 24: 01 UME 39 Velabbvetlampung.ditjenpkh.pertanian.go.id/wp-content/uploads/2018/09/... · terserang penyakit Jembrana adalah demam tinggi, lymphadenopathy, lymphopenia, keringat darah

21

VelabPENYIDIKAN PENYEBAB KEMATIAN SAPI

DI BREEDLOT SAPI, KABUPATEN LAMPUNG TENGAH, PROVINSI LAMPUNG

1 2 3Anggy.F.P, ) Pramesthi.A. ) dan Susilo, J )

1) Laboratorium Kesmavet2) Laboratorium Bakteri

3) Laboratorium Epidemiologi

ABSTRAK

Bovine Viral Diarrhea Virus (BVDV) merupakan penyakit yang disebabkan oleh genus pestivirus menyerang sapi. Lampung memiliki potensi ternak yang besar yaitu 11 feedloter yang masing masing dilengkapi dengan breeding atau disebut dengan istilah breedlot. Investigasi ini bertujuan untuk melakukandiagnosis kejadian kematian sapi cukup tinggi di salah satu breedlot di Kabupaten Lampung Tengah. Metode yang dilakukan yaitu menumpulkan data lapangan dengan wawancara, anamnesa, observasi lingkungan kandang dan ternak, sertamelakukan pengambilan sampel berupa serum, swab vagina dan swab nasal. Serum yang diperoleh digunakan untuk pengujian Septichaemia epizootica menggunakan ELISA dan BVDV menggunakan metode PCR.Swab vagina dan swab nasal digunakan untuk pengujian Infectious Bovine Rhinotracheitis (IBR) menggunakan metode PCR. Lima sampel serum yang diuji PCR BVDV menunjukan hasil positif sebanyak empat sampel, sedangkan pengujian terhadap sampel lain menunjukkan hasil negatif. Berdasarkan hasil diagnosis tersebut menunjukan bahwa kasus kematian sapi di breedlot tersebut disebabkan oleh BVDV.Monitoring terhadap penyakit ini baik di breedlot maupun lingkungan sekitarnya penting untuk dilakukan karena adanya sifat persistent infection pada pedet yang terinfeksi.

Kata kunci : Bovine Viral Diarrhea; breedlot; persistent infection

Pendahuluan

Lampung merupakan provinsi yang memil ik i populas i sapi potong peringkat ke 3 di Indonesia. Provinsi Lampung memiliki11 penggemukan sapi (feedlot) aktif dengan kapasitas kandang 5000 – 30000 ekor. Feedloter tersebut menjalankan kebijakan pemerintah untuk mengembangkan breeding sebesar 20% dari populasi sapi import. Salah satu jenis sapi yang banyak digemukkan yaitu jenis sapi brahman cross yang di impor dari Australia.Bovine Viral Diarrhea Virus(BVDV) merupakan salah satu penyakit menyerang sapi. Bovine Viral Diarrhea merupakan virus BVD yang termasuk dalam genus Pestivirus, anggota dari keluarga Togaviridae dan merupakan RNA virus. Infeksi virus pada sapi menyebabkan diare (39%), radang paru-paru (35%), lesi pada mulut (11%), lesi mata (10%) dan keluron / abortus (5%). Pada dasarnya sapi-sapi berumur 6 – 24 bulan adalah

yang paling peka, karena hingga umur 6 bulan sapi masih dilindungi antibodi kolostral sedangkan sapi berumur lebih dari 24 bulan telah terinfeksi secara alami (di daerah tertular) (Mahlum et al., 2002).

Perubahan yang mencolok berupa jejas terbatas pada saluran pencernaan, pernafasan, mata dan pada permukaan epitel organ lain maupun epidermis. Virus yang bersifat imunosupresif menyebabkan penurunan fungsi l i m f o s i t - T . S e b a g a i a k i b a t imunosupresi oleh virus, hewan mudah menderita infeksi sekunder sehingga terjadi pneumonia dan radang-radang infeksi yang lain (Subronto, 2008).

Gejala yang ditimbulkan antara lain demam ringan, leukopenia, diare ringan, secara serologis titer antibodi rendahserta erosi mukosa mulut dan kulit yang kronik.Sapi tampak lesu, nafsu makan yang hilang serta gerakan rumen yang menurun dan cenderung terjadi penimbunan gas di dalam rumen. Produksi air susu turun dan

diare yang profus dengan feses yang sangat cair, bercampur lendir dan titik-titik atau bekuan darah.Pada saluran pernafasan terlihat adanya lendir mukoid atau mukopurulen(Subronto, 2008).

Virus BVD dapat ditularkan secara horizontal dan vertikal. Penularan secara horizontal terjadi secara kontak langsung atau tidak langsung melalui makanan yang terkontaminasi tinja dan secara aerosol. Penularan secara vertikal terjadi pada induk bunting yang terinfeksi virus BVD dan menular ke fetus melalui plasenta (Subronto, 2008).Tujuan dari investigasi ini yaitu untuk mengetahui penyebab kematian sapi di breedlot di daerah Lampung Tengah.

Page 25: 01 UME 39 Velabbvetlampung.ditjenpkh.pertanian.go.id/wp-content/uploads/2018/09/... · terserang penyakit Jembrana adalah demam tinggi, lymphadenopathy, lymphopenia, keringat darah

MATERI DAN METODE

MATERI

Materi yang digunakan dalam investigasi ini yaitu berupa data-data pendukung dan sampel lapangan. Data pendukung yang diperoleh berupa jumlah kematian, gejala klinis, dan data sekunder. Sampel yang diperoleh berupa swab vagina, swab hidung dan serum.

METODE

Metode pengumpulan data dilakukan dengan wawancara, anamnesa dan observasi lapang secara langsung. Sampel swab vagina dan swab hidung diperiksa terhadap Septichemia epizootica menggunakan metode ELISA. Sampel serum diperiksa terhadapInfectious Bovine Rhinotracheitis dan Bovine Viral Diarhhea menggunakan metode PCR.

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL

Data diperoleh melalui anamnesa dengan pihak breedlot dan observasi secara langsung di lapang. Hasil anamnesa yaitu diketahui bahwa terjadi kematian lebih dari 100 ekor sapi dalam kurun waktu Januari – Februari 2018. Sapi yang terserang penyakit ini adalah sapi dewasa, penggemukan dengan umur pemeliharaan lebih dari 2 bulan. Gejala klinis meliputi peningkatan suhu tubuh, anoreksia, dyspnoe dan pembengkakan pada persendian ektremitas (arthritis), pincang, dan tidak mampu berdiri. Perubahan makroskopis yaitu hemorrhagi pada usus halus, pneumonia, akumulasi cairan di bagian sendi dan darah yang keluar saat sapi dipotong berbentuk seperti masa gelatin. Sedangkan hasilobservasi di lapangan menunjukan sapi mengalami gejala klinis berupa dehidrasi berat, lemah, anoreksia, sapi mengalami downer (ambruk / tidak mampu berdiri), mukosa hidung kering serta adanya discharge nasal dan vaginal.

Gambar 1. Kondisi sapi di kandangisolasi (A); Kondisi sapi yang tidak mampu berdiri (downer) (B)

Hasil pemeriksaan laboratorium terhadap sampel-sampel yang diambildapat dilihat pada Tabel 1.

Tabel 1. Hasil pengujian laboratorium

PEMBAHASAN

Hasil observasi dan anamnesa di lapang menunjukkan suspect terhadap beberapa penyakit seperti Septichemia Epizootica, Infectious Bovine Rhinotracheitis dan Bovine Viral Diarrhea sehingga diambil sampel guna pengujian terhadap ketiga penyakit tersebut.Hasil pengujian laboratorium menunjukkan bahwakematian sapi disebabkan oleh infeksi Bovine Viral Diarrhea Virus.

Bovine Viral Diarrhea Virus secara luas mempengaruhi produktivitas sapi dan peningkatan angka kematian. Kerugian yang disebabkan infeksi yaitu diare, penurunan produksi susu (sapi perah), penyakit-penyakit reproduksi, peningkatan kejadian penyakit lain dan kematian. Kerugian dari infeksi fetus yaitu meliputi abortus, kelainan atau cacat kongenital, pedet lemah atau abnormal, pedet dengan persistent infection dan kematian.Pedet yang bersifat persistent infection akan menjadi BVD carrierseumur hidupnya. Pedet tersebut menjadi sumber penularan virus secara terus menerus terhadap populasi sapi dan lingkungan di sekitarnya. Pedet dengan persistent infection akan menularkan virus BVD kepada sapi-sapi dewasa yang tidak memiliki kekebalan populasi (herd immunity) terhadap BVDV. Kandangfeedlot yang berdekatan dengan kandang pedet dengan persistent infection, sapi dewasa yang tidak memiliki kekebalan merupakan salah satu faktor yang mendukung ter jadinya penularan BVDV. Hal ini menyebabkan siklus penyebaran virus yang terjadi terus menerus pada populasi sapi import baru tanpa kekebalan (Fray et al., 2000).

Faktor resiko penularan virus BVD yaitu kepadatan kandang, hygiene dan sanitasi yang rendah serta resiko kontak langsung atau tidak langsung terhadap hewan yang bersifat persistent infection. Beberapa faktor penentu yang penting dalam transmisi virus BVD yaitu prevalensi hewan dengan sifat persistent infection, tingkat kontak dari satu hewan ke hewan lain, virulensi virus dan kerentanan sapi terhadap virus (Subronto, 2008).

Pada hewan yang bunting, virus dapat menembus barier plasenta sehingga janin dapat menjadi sero-positif pada waktu umur 7 bulan di dalam kandungan. Transmisi virus BVD pada fetus terjadi pada usia kebuntingan 30 – 45 hari dapat menurunkan conception rate dan viabilitas embrio. Fetus yang terinfeksi pada usia kebuntingan 30 – 125 hari dan bertahan terhadap infeksi virus akan lahir sebagai pedet yang terinfeksi virus BVD.

22

Velab

Page 26: 01 UME 39 Velabbvetlampung.ditjenpkh.pertanian.go.id/wp-content/uploads/2018/09/... · terserang penyakit Jembrana adalah demam tinggi, lymphadenopathy, lymphopenia, keringat darah

Infeksi virus BVD akan bertahan selama hidup pedet, oleh karena itu disebut dengan istilah persistent infection (PI). Transmisi virus BVD ke fetus pada usia kebuntingan 120 – 150 hari dapat menyebabkan abortus, kematian pedet saat lahir (stillbirth), kelainan kongenital pada pedet atau kelahiran pedet yang terlihat normal. Anomali kongenital merupakan hasil yang sering muncul pada infeksi yang terjadi di usia kebuntingan 125 – 175 hari. Fetus yang terinfeksi setelah usia kebuntingan 175 hari bersifat lebih resisten terhadap infeksi karena mereka bersifat imunokompeten. Fetus lebih berpeluang mengalami masalah kesehatan yang serius selama usia 10 bulan pertama (Fray et al., 2000).

Prevalensi dari penyakit BVD dapat diketahui dengan jumlah pedet yang didiagnosis positif menderita BVD, diagnosis positif BVD pada induk bunting dengan usia kebuntingan 120 – 150 hari, kematian induk bunting dengan usia kebuntingan 120 – 150 hari serta adanya kejadian abortus pada usia kebuntingan 120 – 150 hari karena BVDV (Baker, 1995).

Diagnosis penyakit BVD didasarkan atas gejala klinis, perubahan patologi, epidemiologi penyakit dan pengujian laboratorium. Pengujian laboratorium terhadap BVDV meliputi metode Enzyme Linked Immunosorbent Assay (ELISA),Polymerase Chain Reaction (PCR), dan Immunohistochemistry (IHC) dengan sampel berupa kulit berambut seperti metodeear notching (Grooms, 2002).

Screening test terhadap penyakit sangat diperlukan oleh peternak untuk mendeteksi adanya persistent infection. Salah satu strategi penting untuk menurunkan penyebaran penyakit adalah dengan mengidentifikasi penyakit dan melakukan cullingsapipersistent infection. Salah satu tujuan utama dari kontrol penyakit BVD yaitu untuk mencegah infeksi selama kebuntingan di mana dapat menghilangkan kerugian reproduktif dan menurunkan kerugian akibat infeksi penyakit.Kontrol terhadap penyakit melakukan vaksinasi terhadap BVDV, eliminasi sapi dengan persistent infection, deteksi dini penyakit dan peningkatan biosekuriti.

KESIMPULAN

Berdasarkan dari hasil investigasi lapangan diperoleh data dan hasil pengujian laboratorium bahwa kematian sapi di breedlot tersebut disebabkan oleh Bovine Viral Diarrhea Virus.

SARAN

Ÿ Perlu dilakukan screening test terhadap pedet-pedet yang ada di feedlot tersebut untuk mengetahui adanya pedet dengan sifat persistent infection serta dilakukan culling terhadap pedet tersebut guna menghindari penularan penyakit.

Ÿ Monitoring penyakit BVDV di sekitar area breedlot tersebut;

Ÿ Diperlukan kajian asosiasi penyebab terhadap kejadian BVDV.

DAFTAR PUSTAKA

Animal and Plant Health Inspection Service. 2007. Bovine Viral Diarrhea Virus. United States Department of Agriculture. Washington DC

Subronto. 2008. Ilmu Penyakit Ternak I-b (Mammalia). Gadjah Mada University Press. Yogyakarta

Baker JC: 1995, The clinical manifestations of bovine viral diarrheainfection. Vet Clin North Am Food Pract 11:425–445

Fray MD, Paton DJ, Alenius S: 2000, The effects of bovineviral diarrhoea virus on cattle reproduction in relation to diseasecontrol. Anim Reprod Sci 60–61:615–627

Grooms DL, Keilen ED: 2002, Screening of neonatal calves forpersistent infection with bovine viral diarrhea virus by immunohistochemistryon skin biopsy samples. Clin Diagn Lab Immunol9:898–900.

Mahlum CE, Haugerud S, Shivers JL, et al.: 2002, Detection ofbovine viral diarrhea virus by TaqMan reverse transcriptionpolymerase chain reaction. J Vet Diagn Invest 14:120–125.

23

Velab

Page 27: 01 UME 39 Velabbvetlampung.ditjenpkh.pertanian.go.id/wp-content/uploads/2018/09/... · terserang penyakit Jembrana adalah demam tinggi, lymphadenopathy, lymphopenia, keringat darah

24

VelabISOLASI DAN IDENTIFIKASI BAKTERI DARI SWAB MATA GAJAH SUMATERA

(Elephas maximus sumatranus) DAN SENSITIVITASNYA TERHADAP BERBAGAI JENIS ANTIBIOTIKA

ABSTRAK

Pengujian ini bertujuan untuk mengetahui keberadaan dan jenis bakteri pada swab mata gajah sumatera (Elephas maximus sumatranus) serta sensitivitasnya terhadap berbagai jenis antibiotika. Sampel swab mata segar dikoleksi 1 ekor gajah sumatera yang dimasukan dalam media transport cair lalu disimpan dalam Cooler box steril. Sampel swab mata dikultur pada media Blood Agar, uji katalase, uji oksidase dan uji biokimia. Dari hasil penelitian diketahui bahwa di dalam swab mata satu ekor gajah sumatera yang bernama Yeti ditemukan bakteri Staphylococcus aureus. Selanjutnya dilakukan uji sensitivitas terhadap berbagai jenis antibiotika dengan metode Kirby-Bauer di media Mueller Hinton Agar (MHA) dan dianalisa secara deskriptif. Dari pengujian ini dapat disimpulkan bahwa bakteri yang terdapat pada swab mata gajah sumatera adalah Staphylococcus aureusdan sensitifterhadap antibiotika ciprofloxacin, erithromisin, dan gentamisin.

Kata kunci: bakteri, gajah, antibiotik

PENDAHULUAN

Gajah sumatera (Elephas maximus sumatranus) merupakan salah satu fauna Indonesia yang dilindungi. Keberadaan g a jah sumatera d i Indonesia telah dilindungi berdasarkan Ordonansi dan Peraturan Pemerintah Republik Indonesia No. 7 tahun 1999 (Republik Indonesia, 1999).Upaya pelestarian gajah sumatera dilakukan melalui konservasi gajah di habitat alami (in-situ) dan di luar habitat alami (ex-situ) (Deptan, 2007).Penangkapan gajah dan penempatan serta pelatihan g a j a h y a n g s u d a h d i j i n a k k a n merupakan bentuk konservasi gajah di luar habitat alami (ex situ) (Alikodra, 2002).Saat ini, jumlah populasi gajah sumatera semakin menurun akibat berbagai ancaman terhadap habitatnya dan perburuan (Mukhtar dan Sumama, 1994).Penurunan populasi gajah sangat berhubungan dengan perkembangan populasinya yang lambat, penurunan ketersediaan pakan hijauan akibat konversi lahan, terfragmentasi hutan oleh kegiatan perambahan dan penebangan liar serta perburuan gajah

(illegal killing) (Syarifuddin, 2008).Selain perubahan total fungsi hutan

sebagai habitat gajah, gangguan lainnya adalah pengrusakan habitat oleh kegiatan perambahan dan penebangan liar baik dalam kawasan konservasi maupun dalam kawasan lainnya (Febriani, 2009). Kehidupan gajah sumatera di penangkaran dan pusat konservasi meningkatkan kontak antara gajah dengan mikroba di kawasan ex situ yang tidak terdapat di kawasan in situ. Mikroba ini dapat menyebabkan penyakit pada gajah baik yang disebabkan oleh virus, bakteri, jamur, dan parasit. Penyakit akibat infeksi bakteri yang dapat ditemukan pada gajah yaitu: Antrax, Blackleg, C o l i b a c i l l o s i s , Pa s t e u r e l l o s i s , Salmonellosis, Tetanus, Tuberculosis, D e r m a t i t i s , M y c o p l a s m o s i s , L e p t o s p i r o s i s , Pa s t e u r e l l o s i s , Staphylococcosis, dan Enterotoxemia.

Penyakit keratitis unilateral atau ulserasi kornea pada gajah biasanya berasal dari traumatis, mungkin juga karena infeksi bakteri sekunder. Keratitis dan hypopyon dilaporkan pada gajah Elephas maximus- Gajah

Asia di India. Tanda-tanda klinis termasuk pegeluaran cairan mata yang banyak dan gangguan penglihatan. Pada pemeriksaan ada ulkus kornea, keratitis dan akumulasi nanah di ruang anterior, kelopak mata ketiga menutupi setengah kornea (Anonim,2018).

Sebuah studi ophtalmologi baru-baru ini di Sri lanka yang termasuk 140 Elephas maximus- Asian Elephants mengungkapkan tanda-tanda keratitis, ulkus kornea, kekeruhan kornea dan benda asing pada 25,7% dari hewan, beberapa yang terpengaruh secara bilateral. Tiga puluh lima kasus ulkus kornea diusap untuk bakteriologi dan mikologi. Bakteri diisolasi dari 23 dari 35 kasus (65,71%) sedangkan jamur juga diisolasi adalah Staphylococcus aureus, beta haemolytic streptococci, Escherichia coli dan coliform lainnya. Isolat jamur utama adalah Aspergillus, F u s a r i u m , C l a d o s p o r i u m d a n Curvularia. Tidak ada bakteri atau jamur yang diisolasi dari mata normal (Anonim,2018).

Staphylococcus aureus bersifat non-motil, non- spora, anaerob fakultatif, katalase positif dan oksidase negatif.

Page 28: 01 UME 39 Velabbvetlampung.ditjenpkh.pertanian.go.id/wp-content/uploads/2018/09/... · terserang penyakit Jembrana adalah demam tinggi, lymphadenopathy, lymphopenia, keringat darah

Staphylococcus aureus bersifat non-motil, non- spora, anaerob fakultatif, katalase positif dan oksidase negatif. Staphylococcus aureus tumbuh pada suhu 6,5-46º C dan pada pH 4,2-9,3 (Todar,1998; Nurwantoro, 2001; Paryati, 2002). Koloni tumbuh dalam waktu 24 jam dengan diameter mencapai 4 mm. Koloni pada perbenihan padat berbentuk bundar, halus, menonjol dan berkilau. Staphylococcus aureus membentuk koloni berwarna abu-abu sampai kuning emas tua. Staphylococcus aureus membentuk pigmen lipochrom yang menyebabkan koloni tampak berwarna kuning keemasan dan kuning jeruk. Pigmen kuning tersebut membedakannya dari Staphylococcus epidermidis yang menghasilkan pigmen putih (Todar, 2002).

Berdasarkan pada daya bunuh bakteri, maka antibiotik dibagi menjadi: a. Antibiotik narrow spectrum (spektrum sempit), b. Antibiotik broad spectrum (spektrum luas) dan c. Antibiotik part spectrum (spektrum sebagian atau khusus). Mekanisme aktivitas antibiotik adalah dengan melakukan penghambatan sintesis bahan penting bakteri, antara lain: a. Dinding sel (sintesis terganggu, sehingga dinding sel kurang sempurna dan tidak tahan terhadap tekanan osmose plasma, akibatnya dinding sel pecah, misalnya penicillin, cefalosporin), b. Membran sel (molekul lipoprotein membran dalam dinding sel, sintesisnya diganggu, sehingga zat penting isi sel,yaitu polipeptid dapat keluar membran, karena membran lebih permeabel, nystatin , amfoterisin B ) , c . P r o t e i n s e l (chloramphenicol, tetracyclin, gol. aminoglikosida dan makrolida), asam nukleat (RNA) (rimfamisin dan mytomicin) (Anief, 2009).

Pengujian ini dilakukan untuk mengetahui keberadaan dan jenis bakteri pada mata gajah sumatera (Elephas maximus sumatranus) dan sensitivitasnya terhadap berbagai jenis antibiotika. Hasil pengujian ini diharapkan dapat memberikan informasi mengenai keberadaan dan jenis bakteri penyebab sakit mata pada gajah sumatera (Elephas maximus sumatranus) dan antibiotika yang dapat digunakan untuk mengobatinya.

MATERIAL DAN METODE

Pengujian ini menggunakan swab mata dari satu ekor gajah sumatera. Swab mata diambil dan dimasukan dalam media transport lalu disimpan dalam Cooler box steril.

Isolasi bakteri

Sampel pada pengujian ini di pupuk pada media PAD dengan digunakan teknik isolasi lempeng garis/ metode T dan diinkubasi pada suhu 37º C selama 24 jam. Koloni yang diduga staphylococcus dengan ciri-ciri bundar, halus, menonjol dan berkilau dan berwarna abu-abu sampai kuning emas tua dipupuk pada media MSA dan diinkubasi pada suhu 37º C selama 24 jam. Koloni yang tumbuh akan diteliti

lebih lanjut.

Pewarnaan Gram

P e w a r n a a n G r a m b e r t u j u a n u n t u k mengamati morfologi sel staphylococcus dan mengetahui kemurnian sel bakteri. Pengecatan Gram merupakan salah satu pewarnaan yang paling sering digunakan, yang dikembangkan oleh Christian Gram. Preparat apus bakteri dibuat dengan cara, mencampurkan satu usa biak bakteri dari PAD dengan NaCl fisiologis yang telah diteteskan pada gelas obyek, kemudian dibuat apus setipis mungkin, dikeringkan, dan difiksasi di atas lampu spiritus. Preparat apus ditetesi pewarna pertama dengan karbol gentian violet selama 2 menit, warna dibuang, ditetesi lugol selama 1 menit, kemudian preparat apus dilunturkan dengan alkohol 95% selama 1 menit. Selanjutnya alkohol dibuang, preparat dicuci dengan akuades dan diberi pewarna kedua dengan larutan fuschine selama 2 menit. Warna kemudian dibuang dan dibersihkan dengan akuades, dikeringkan dan diamati morfologi sel, serta warnanya di bawah mikroskop (Ferdiaz, 1993). Bakteri dikelompokkan sebagai Gram positif apabila selnya terwarnai keunguan, dan Gram negatif apabila selnya terwarnai merah.

Uji Katalase

Uji Katalase dilakukan dengan meneteskan hidrogen peroksida (H2O2) 3% pada gelas obyek yang bersih. Biakan dioleskan pada gelas obyek yang sudah ditetesi hidrogen peroksida dengan usa. Suspensi dicampur secara perlahan menggunakan usa, hasil yang positif ditandai oleh terbentuknya gelembung-gelembungudara (Hadioetomo, 1990).

Uji koagulase

Uji koagulase dilakukan dengan 2 metode, yaitu uji slide dan uji tabung. Uji slide atau

clumping factor digunakan untuk mengetahui adanya ikatan koagulase. Uji slide dikerjakan dengancara setetes aquadest atau NaCl fisiologis steril diletakkan pada kaca benda, kemudian satu usa biakan yang diuji, disuspensikan. Setetes plasma diletakkan di dekat suspensi biakan tersebut, keduanya dicampur dengan menggun akan us a dan kemu dian digoyangkan. Reaksi positif terjadi apabila dalam waktu 2-3 menit terbentuk presipitat granuler (Brückler etal., 1994).

Uji tabung digunakan untuk mengetahui adanya koagulase bebas dengan cara 200 µl plasma dimasukkan secara aseptis ke dalam tabung reaksi steril. Sebanyak 3-4 koloni biakan Staphylococcus sp. yang diuji ditambahkan ke dalam tabung reaksi kemudian dicampur hati-hati. Selanjutnya, tabung dimasukkan ke dalam inkubator pada suhu 37oC.

25

Velab

Page 29: 01 UME 39 Velabbvetlampung.ditjenpkh.pertanian.go.id/wp-content/uploads/2018/09/... · terserang penyakit Jembrana adalah demam tinggi, lymphadenopathy, lymphopenia, keringat darah

Pengamatan dilakukan pada 4 jam pertama, dan sesudah 18-24 jam. Reaksi positif akan terjadi apabila terbentuk clot atau jelly dan ketika tabung dimiringkan jelly tetap berada di dasar tabung (Lay,1994).

Sensitivitas Antibiotika metode Kirby-Bauer

Sensitivitas Antibiotika dengan metode Kirby-Bauer dilakukan dengan cara memupuk bakteri pada media cair (THB) dengan cara bakteri biak padat diinokulasikan ke dalam kaldu THB dengan cara dimasukkan sampai kedalaman tiga perempat bagian dari permukaan media, kemu d i a n diinkubasikan pada suhu 37°C selama 24-48 jam. Hasil positif jika kaldu menjadi keruh dan terdapat endapan (Lay, 1994). Bakteri yang dibiakkan pada biak cair dipupuk pada media agar (MHA), dengan cara mencelupkan tangkai kapas steril ke dalam biakan mikroorganisme, kemudian kapas tersebut diusapkan pada seluruh permukaan lempengan sampai merata, biakan tersebut didiamkan selama 5 menit dan antibiotik disk (amoxicillin 10 µg) diletakkan diatas biakan yang telah dipupuk. Plat MHA selanjutnya diinkubasi pada suhu 37°C selama 24 jam, dan diameter zona terang yang terbentuk diukur dalam satuan mm, dan dibandingkan dengan standar dari National Committee for Clinical Laboratory Standards (2004). Bakteri dikatakan resistensi intermediet apabila diameternya antara 16-22 mm, dan sensitif apabila diameternya 23 mm.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Hasil identifikasi bakteri terhadap satu sampel swab mata gajah sumatera (Elephas maximus sumatranus) Berdasarkan dapat diketahui bahwa di dalam swab mata satu ekor gajah sumatera yang bernama Yeti hanya terdapat satu jenis bakteri Staphylococcus aureus. Keberadaan adanya bakteri Staphylococcus aureus dalam swab mata gajah sumatera dapat diketahui dengan adanya pertumbuhan yang terjadi pada setiap media yang digunakan selama tahap penelitian.

Isolasi bakteri dari sampel swab mata gajah sumatera dari transport media ditanam pada media blood agar. Koloni yang tumbuh tampak besar, sedang, kecil, berwarna putih hingga kekuningan, cembung, permukaan mengkilat dan pada galur yang ganas biasanya memberikan zona hemolisa yang jernih di sekitar koloni yang mirip dengan koloni Streptococcus b-hemolyticus (Krihariyani dkk, 2016).

Gambar 1. Hasil isolasi bakteri Staphylococcus aureus dari swab mata gajah di media Blood Agar

Pada pengujian ini morfologi sel isolat adalah Gram positif, berbentuk kokus tersusun dalam kelompok-kelompok tidak teratur (menyerupai buah anggur), dapat pula tersusun empat-empat (tetrad), membentuk rantai ( 3 - 4 s e l ) , b e r p a s a n g a n a t a u s a t u - s a t u . Staphylococcus aureus merupakan bakteri Gram positif dan berbentuk kokus yang menghasilkan warna ungu pada pewarnaan Gram. Warna ungu disebabkan karena bakteri mempertahankan warna pertama, yaitu gentian violet. Perbedaan sifat Gram dipengaruhi oleh kandungan pada dinding sel, yaitu bakteri Gram positif kandungan peptidoglikan lebih tebal jika dibanding dengan Gram negat if (Fardiaz,1993; Pelczar,1998).

Gambar 2. Hasil pewarnaan Gram berbentuk coccus bergerombol seperti buah anggur

Hasil uji biokimia yaitu uji katalase menunjukkan hasil yang positif ditandai oleh terbentuknya gelembung-gelembung udara. Uji coagulasetabung juga menunjukkan reaksi positif yang ditandai dengan terbentuknya clot atau jelly dan ketika tabung dimiringkan jelly tetap berada di dasar tabung (Lay,1994). Hasil uji sensitivitas Staphylococcus aureus dari sampel swab mata gajah menunjukkan adanya variasi terhadap berbagai jenis antibiotika yang digunakan yaitu ciprofloxacin, erithromisin, dan gentamisin seperti terlihat pada Tabel 1.

26

Velab

Page 30: 01 UME 39 Velabbvetlampung.ditjenpkh.pertanian.go.id/wp-content/uploads/2018/09/... · terserang penyakit Jembrana adalah demam tinggi, lymphadenopathy, lymphopenia, keringat darah

Ciprofloxacin menurut CLSI (2008) dikatakan sensitif jika memiliki diameter zona terang ≥ 21 mm, intermediet 16-20 mm, resisten 15 mm. Erythromicin dikatakan sensitif jika memiliki zona terang ≥ 17 mm, intermediet 15-16 mm, resisten ≤ 14 mm dan Gentamicin dikatakan sensitif jika memiliki zona terang ≥ 15 mm, intermediet 13-14 mm, resisten ≤ 12 mm.Tabel 1. Hasil analisa uji sensitivitas (rerata zona terang dalam mm) isolat Staphylococcus aureus terhadap preparat ciprofloxacin, erithromisin, dan gentamisin.

Hasil pengujian menunjukkan bahwa Staphylococcus aureus multi sensitive terhadap ketiga jenis antibiotika yang digunakan yaitu ciprofloxacin, erythromicin dan gentamicin. Ketiga jenis antibiotika tersebut dapat menjadi pilihan untuk mengobati sakit mata pada gajah Sumatra Yeti. Penggunaan jenis dan dosis antibiotika yang tepat serta sesuai prosedur yang benar diharapkan dapat mengurangi kejadian resistensi terhadap bakteri.

SIMPULAN

Berdasarkan hasil pengujian yang dilakukan terhadap satu ekor gajah sumatera (Elephas maximus sumatranus) disimpulkan bahwa terdapat bakteri Staphylococcus aureus pada swab mata gajah sumatera dan bakteri tersebut sensitif terhadap antibiotika ciprofloxacin, erithromisin, dan gentamisin.

SARAN

Diperlukan kajian yang menyeluruh untuk mengetahui faktor penyebab terhadap kejadian infeksi bakteri pada mata gajah

DAFTAR PUSTAKA

Anonim., Keratitis and Corneal Ulceration in Elephants. www.Google.co.id. Diakses pada tanggal 9 Agustus 2018.

Alikodra, H.S. 2002. Penggelolaan Satwa Liar. Jilid 1. IPB press. Bogor. Amezquita, A. and M.M. Anief, M. (2009) Prinsip umum dan dasar farmakologi. Gadjah Mada University Press, Yogyakarta

Brückler, J., Schwarz, S. and F. Untermann, F. (1994) Staphylokokken infektion enundenterotoxine,band. II/1,

In: Blobel, H. undSchlie ?er (Eds.),Handbuch der bakteriellen Infektionen bei Tieren, 2. Auflage. Gustav Fischer Verl ag Jena, Stuttgart.

(DEPTAN) Departemen Kehutanan. 2007. Strategi dan Rencana Aksi Konservasi Gajah Sumatera dan Gajah Kalimantan 2007-2017. Direktorat Jenderal Perlindungan Hutan dan Konservasi Alam.Departemen Kehutanan RI. Djufri, 2003. Pemantauan makanan alami gajah sumatera (Elephas maximus sumatraensis) di Taman Hutan Raya Cut Nya' Dhien Seulawah, Aceh Besar. Jurnal Biodiversitas. 4(1):118-123.

Fardiaz, S. (1993) Analisis Mikrobiologi Pangan.PT Prasindo Persada. Jakarta.

Febriani, R. 2009. Pemetaan daerah rawan konflik gajah menggunakan sistem informasi geografis di Taman Nasional Gunung Leuser (Studi kasus di resort Tangkahan, resort Cinta Raja, resort Sei Lepan). Skripsi. Departemen Kehutanan Fakultas Pertanian Universitas Sumatera Utara. Medan.

Fowler, M.E. dan S.K. Mikota. 2006. Biology Medicine and Surgical of Elephant. Blackwell Publishing. USA. Japanto, A.S, S.Soeliongan, dan F.E.S. Rares. 2016. Isolasi dan identifikasi bakteri aerob yang berpotensi menyebabkan infeksi nosokomial di ruang rawat inap mata Irina F Rsup

Prof. Dr. R.D. Kandou Manado. Jurnal e-Biomedik. 4(1) : 1234-1237. Jawetz, E., J.L. Melnick, and E.A. Adelberg. diterjemahkan oleh Nugroho E. D

Hadioetomo, R.S. (1990) Mikrobiologi dasar dalam praktek teknik dan prosedur dasar laboratorium. Penerbit PTGramedia, Jakarta. Hal 103-104

Krihariyani, Dwi. Evy diah Woelansari., Entuy Kurniawan. 2016. Pola Pertumbuhan Staphylococcus Aureus Pada Media Agar Darah Manusia Golongan O, Ab, Dan Darah Domba Sebagai Kontrol. Jurnal Ilmu dan Teknologi Kesehatan, Vol. 3 No. 2, Maret 2016, hal : 191-200

Lay, B. W. (1994) Analisis Mikroba di Laboratorium. PT Raja Grafindo Persada. Jakarta.

27

Velab

Page 31: 01 UME 39 Velabbvetlampung.ditjenpkh.pertanian.go.id/wp-content/uploads/2018/09/... · terserang penyakit Jembrana adalah demam tinggi, lymphadenopathy, lymphopenia, keringat darah

VelabPENGARUH PENYULUHAN TERHADAP TINGKAT PENGETAHUAN MASYARAKAT

TENTANG PENANGANAN GIGITAN ANJING DALAM UPAYA PULAU TABUAN BEBAS RABIES

Guntoro, T1), Yulianti, E2) dan Ferro, S1)1. Laboratorium Epidemiologi

2. Laboratorium Patologi Email : [email protected]

ABSTRAK

Pulau Tabuan merupakan satu-satunya kecamatan di kabupaten Tanggamus yang secara historis terbebas dari Rabies. Dari data hasil pemeriksaan laboratorium oleh Balai Veteriner Lampung selama tahun 2015 - 2017 tidak ditemukan hasil positif dari pemeriksaan antigen melalui FAT dan PCR. Dalam upaya pembebasan ini, selain data primer juga diperlukan data sekunder pendukung berupa data studi persepsi pemahaman masyarakat di pulau Tabuan terhadap Rabies melalui metode penyuluhan. Tujuan dari penulisan ini adalah mengetahui efektifitas penyuluhan terhadap tingkat pengetahuan masyarakat tentang penanganan gigitan anjing dengan mengukur tingkat pengetahuan responden sebelum dan sesudah penyuluhan. Pengambilan data dilakukan dengan menggunakan kuisioner yang diisi langsung oleh 25 responden. Responden merupakan masyarakat pulau Tabuan dan siswa SD Pulau Tabuan. Pengisian kuisioner dilakukan dua kali yaitu sebelum dan sesudah penyuluhan yang kemudian dibandingkan untuk mengetahui perubahan pengetahuan responden setelah penyuluhan. Data yang diperoleh kemudian diolah menggunakan uji t-test berpasangan dan deskriptif. Dari hasil dapat diketahui terdapat perbedaan nyata pada pengetahuan masyarakat sebelum dan sesudah penyuluhan (α = 5%) dengan peningkatan pengetahuan sebesar 18.15 %. Mengingat pentingnya peranan masyarakat dalam pemberantasan rabies maka penting kiranya dilakukan penyuluhan pada masyarakat luas lainnya dan kerjasama berbagai pihak untuk mewujudkan pulau Tabuan bebas Rabies.

Kata kunci : Penyuluhan, Rabies, Tabuan.

28

PENDAHULUAN

Rabies mer upakan sa lah satu penyakit menular yang disebabkan oleh virus rabies yang termasuk dalam familir habdo virus. Meskipun angka kesakitannya relatif rendah, namun tingkat kefatalan dari penyakit ini 100% (Widoyono, 2005). Situasi rabies di Indonesia mengalami peningkatan. Sepanjang tahun 2010, secara nasional telah terjadi 74.858 kasus gigitan hewan p e n u l a r r a b i e s ( G H P R ) , 1 9 5 diantaranya berakhir dengan kematian (Depkes RI, 2010).

Pulau Tabuan merupakan salah satu p u l a u t e r b e s a r d i K a b u p a t e n Tanggamus, secara administrasi merupakan bagian dari wilayah Kecamatan Cukuh Balak dan terdiri dari 4 pekon (desa). Penduduknya memiliki mata pencaharian yang beragam antara lain nelayan, berkebun dan pegawai pemerintahan. Secara

geografis Pulau Tabuan memiliki pesona alam yang indah dengan potensi ikan yang melimpah dan memanjakan para pemancing sehingga dicanangkan sebagai tujuan atau tempat wisata baru. Untuk mendukung Pulau Tabuan sebaga i dest inas i wisata untuk meningkatan pendapatan asli daerah serta meningkatkan pertumbuhan ekonomi daerah, maka pembuktian status daerah yang bebas penyakit R a b i e s s e c a r a f o r m a l s a n g a t dibutuhkan. Status bebas formal juga untuk membuktikan bahwa pulau ini benar-benar bebas rabies secara ilmiah tidak hanya bebas rabies secara historis.

Dari data hasi l pemeriksaan laboratorium oleh Balai Veteriner Lampung selama tahun 2015-2017 sebanyak 130 spesimen (bai kotak maupun swab liur) tidak ditemukan hasil positif dari pemeriksaan FAT m a u p u n P C R . D a l a m u p a y a pembebasan ini, selain data primer juga

diperlukan data sekunder pendukung berupa data studi persepsi pemahaman masyarakat di pulauTabuan terhadap Rabies melalui metode penyuluhan. Kegiatan penyuluhan merupakan kegiatan yang cukup menentukan keberhasilan program pemberantasan rabies di suatu daerah. engingat banyaknya kasus penggigitan oleh HPR, per lu k i r anya d i l akukan penyuluhan mengenai penanganan gigitan anjing. Langkah yang perlu ditempuh jika kita atau orang di sekitar kita tergigit anjing adalah mengambil langkah cepat mencuci luka dengan sabun selama kurang lebih 5-10 menit dibawah air mengalir atau diguyur. Kemudian memberikan alkohol 70% atau iodiumtinctur pada luka, serta segera dibawa kerumah sakit atau puskesmas untuk tindakan lebih lanjut (Anggarsari, 2010). Penyuluhan ini tidak saja ditujukan pada masyarakat awam, tetapi juga pada kelompok

Page 32: 01 UME 39 Velabbvetlampung.ditjenpkh.pertanian.go.id/wp-content/uploads/2018/09/... · terserang penyakit Jembrana adalah demam tinggi, lymphadenopathy, lymphopenia, keringat darah

29

Velabmasyarakat lainya. Anak usia Sekolah Dasar (SD) sebagai bagian dari masyarakat juga dirasa perlu untuk mendapatkan pengetahuan mengenai hal penanganan gigitan anjing. Keefektifan dari penyuluhan dapat diketahui dengan melakukan pengukuran tingkat pengetahuan yang dilakukan sebelum dan setelah penyuluhan sehingga dapat diketahui perubahan tingkat pengetahuan masyarakat pulau Tabuan terhadap penanganan gigitan anjing.

Tujuan dari penulisan ini adalah mengetahui pengaruh penyuluhan terhadap tingkat pengetahuan masyarakat tentang penanganan gigitan anjing dengan mengukur tingkat pengetahuan responden sebelum dan sesudah penyuluhan.

BAHANDANMETODE

Desain Penelitian

Desain penelitian yang digunakan adalah experimental dengan melakukan evaluasi terhadap perubahan tingkat pengetahuan responden sebelum dan setelah mengikuti penyuluhan. Responden mengisi sendiri kuisioner yang terdiri dari dua puluh pertanyaan tentang Rabies dimana terdapat tiga nomor soal mengenai pengetahuan tentang penanganan gigitan anjing. Pengisian kuisioner dilakukan dua kali yaitu sebelum dan sesudah penyuluhan.

Alat yang digunakan pada studi kali ini adalah materi power point mengenai penyakit rabies dan peralatan komputer yang digunakan untuk mengolah data yang ada. Bahan yang digunakan pada studi ini adalah lembar kuesioner.

Pengumpulan data dilakukan pada tahun 2016 di Pulau Tabuan. Populasi target adalah seluruh masyarakat di pulau Tabuan. Sampel yang diambil adalah 25 responden yang terdiri dari siswa SD dan tokoh masnyarakat.

Analisis Data

Data tingkat pengetahuan sebelum dan setelah penyuluhan dianalisa dengan menggunakan statistic analitik dengan uji perbandingan rata-rata dua variable dalam satu group menggunakan pairedt-test (uji-tberpasangan). Pengolahan data karakteristik siswa berdasarkan analisis deskriptif.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Data mengenai pengetahuan responden menggambarkan sejauh mana pengetahuan responden mengenai penyakit rabies ini. Dari dua puluh soal kuisioner terdapat tiga soal yang berhubungan dengan penanganan gigitan. Data tersebut disajikan dalam tabel 1. Jawaban benar sebelum penyuluhan dinyatakan dengan B1 dan jawaban salah dengan S1. Jawaban benar setelah penyuluhan dinyatakan dengan B2 dan jawaban salah dengan S2.

Grafik. 1 Jumlah jawaban yang benar dari pengetahuan responden sebelum penyuluhan dan setelah penyuluhan.

Berdasarkan grafik 1 dapat dilihat bahwa tingkat pengetahuan masyarakat Tabuan tentang penanganan gigitan anjing setelah penyuluhan sudah cukup baik. Prosentase Peningkatan Jumlah Jawaban Benar Sesudah Penyuluhan 67/369 x 100% = 18.15 %

Grafik 2. Penurunan jawaban salah responden sebelum penyuluhan dan setelah penyuluhan

Terjadi penurunan jumlah jawaban yang salah 69 - 33 = 36, prosentase penurunan Jumlah Jawaban Salah Sesudah Penyuluhan 36/69 x 100% = 52.17 %.

Perubahan jumlah ini menunjukkan ter jadinya peningkatan pengetahuan responden yang dapat diartikan sebagai penyuluhan yang dilakukan telah menambah pengetahuan mengenai penanganan gigitan anjing pada responden. Hal ini sesuai yang dituliskan Kartasa putra tahun 1991 dan Astuti (2009) bahwa efektivitas penyuluhan dapat mencapai efisiensi dalam mewujudkan perubahan-perubahan pada perilaku dan tingkat pengetahuan bagi peserta penyuluhan agar menjadi lebih baik dari sebelumnya. Efektivitas penyuluhan yang telah dilakukan didukung oleh beberapa faktor pendukung, antara lain metode penyuluhan, media penyuluhan, materi penyuluhan serta tempat dan waktu penyuluhan (Setiana2005).

Page 33: 01 UME 39 Velabbvetlampung.ditjenpkh.pertanian.go.id/wp-content/uploads/2018/09/... · terserang penyakit Jembrana adalah demam tinggi, lymphadenopathy, lymphopenia, keringat darah

Grafik 2. t-test pengetahuan responden sebelum dan setelah penyuluhan.

p= 0.008 ≤0.05 ;Terdapat perbedaan nyata antara nilai sebelum dan sesudah penyuluhan.

Berdasarkant-test berpasangan yang dilakukan dengan tingkat signifikasi α=5% (0,05) dengan nilai p = 0,008 maka dapat dikatakan p ≤ 0,05 terdapat perbedaan yang nyataan tara nilai sebelum dan sesudah penyuluhan. Artinya terdapat perbedaan nilai setelah penyuluhan. Dari hasil yang diperoleh sekalilagi dapat dilihat bahwa terjadi peningkatan pengetahuan responden setelah mengikuti enyuluhan mengenai penanganan gigitan anjing. Peningkatan pengetahuan merupakan salah satu indikasi efektifnya penyuluhan yang dilakukan(Karta saputra 1991). Oleh karena itu dapat disimpulkan bahwa penyuluhan rabies yang dilakukuan terbukti efektif bagi responden karena telah terjadi peningkatan pengetahuan responden.

Simpulan

Terdapat peningkatan pengetahuan masyarakat Tabuan terhadap penanganan gigitan anjing setelah dilakukan penyuluhan (18.15%) Mengingat pentingnya peranan masyarakat dalam pemberantasan rabies maka penting kiranya dilakukan penyuluhan pada masyarakat luas lainnya dan kerjasama berbagai pihak untuk mewujudkan pulau Tabuan bebas Rabies.

Saran

Diperlukan survey lanjutan sebagai tindak lanjut dari penyuluhan yang telah dilakukan dengan melihat perubahan sikap masyarakat pulau Tabuan terhadap penanganan kejadian gigitan HPR

DAFTAR PUSTAKA

A n g g a r s a r i , L e s t y . 2 0 1 0 . M a k a l a h Penyuluhanrabies.http://www.academia.edu/8751050/Makalah_Penyuluhan_Rabies. Diaksespada 27 Juni 2015

Astuti, Andy tri J.E. 2009.PengaruhPenyuluhanterhadap Tingkat Pengetahuantentangpenyakit Rabies padasiswasekolahdasardi provinsi Sumatra Barat. SkripsiFakultasKedokteranHewan IPB, Bogor. Diaksespada 27 Juni 2015

SetianaLucie.2005.TeknikPenyuluhandanPemberdayaanMasyarakat.Bogor: Ghalia Indonesia..

30

Velab

Page 34: 01 UME 39 Velabbvetlampung.ditjenpkh.pertanian.go.id/wp-content/uploads/2018/09/... · terserang penyakit Jembrana adalah demam tinggi, lymphadenopathy, lymphopenia, keringat darah

31

VelabMONITORING CEMARAN Salmonellasppp. PADA SARANG BURUNG WALET DARI

KOTA PALEMBANG DAN PANGKAL PINANG

Saridewi, R dan Kuncahyo, W

Laboratorium Kesmavet Balai Veteriner Lampung,Jalan Untung Suropati No.2 Labuhan Ratu Bandar Lampung

E-mail: [email protected]

ABSTRAK Sarang burung walet merupakan produk pangan asal hewan yang mempunyai resiko terhadap cemaran mikroba yaitu Salmonellaspp.dan berbahaya bagi kesehatan manusia, sebab dapat menimbulkan penyakitdisebut Salmonellosis.Salmonellosis merupakan foodborne disesaeyang dapat ditularkan dari mengkonsumsi produk pangan asal hewan terkontaminasi ke manusia. Pengambilan sampel berasal dari dua tempat yaitu Kota Palembang Provinsi Sumatera Selatan dan Kota Pangkal Pinang Provinsi Kepulauan Bangka Belitung. Sarang bururng walet yang diambil adalah sarang burung walet siap dikonsumsi setelah melalui proses pembersihan, pencucian, pembuangan bulu dan kotoran. Sarang burung walet yang telah diambil kemudian dimasukkanke dalam plastik steril,disimpan pada suhu ruang dan masing-masing diberi kode, selanjutnya diujiSalmonellaspp. secara kultur di laboratoriumKesehatan Masyarakat VeterinerBalai Veteriner Lampung. Dua sarang burung walet yang diuji tidak satupun memberikan hasil positif. Hasil ini menunjukkan bahwa tidak terjadi kontaminasi Salmonellaspp. dari kedua sampel tersebut.

Kata kunci : Cemaran, Salmonellaspp., walet.

PENDAHULUAN

Indonesia dikenal sebagai salah satu negara penghasil sarang burung walet.Sarang burung walet merupakan komoditi ekspor yang bernilai tinggi (Budiman 2009).Permintaan yang tinggi terhadap sarang burung walet di pasar internasional disebabkan oleh keyakinan khasiat yang terkandung didalamnya.Sarang burung walet d i ko n s u m s i s e b a g a i m a k a n a n kesehatan (Marcone 2005).

Tantangan bagi Indonesia pada era perdagangan bebas adalah kemampuan menghasilkan produk pangan asal hewan berkualitas baik dan aman bagi kesehatan konsumen, seperti terhadap cemaran mikroba.Cemaran mikroba pada sarang burung walet yang dapat membahayakan kesehatan manusia salah satunya adalah Salmonellaspp. Kontaminasi Salmonellaspp. pada sarang burung walet dapat terjadi pada saa t s a rang t e r sebut mas ih d i habitatnya, dipanen, dibersihkan, d icuc i dan d ikemas. Penguj ian

mikrobiologi pada bahan pangan, baik bahan baku, selama proses, dan produk akhir dilaksanakan dalam rangka pengawasan keamanan dan mutu bahan pangan.

M o n i t o r i n g d a n s u r v e i l e n s pegambilan sampel sarang burung walet yang dilakukan Balai Veteriner Lampung merupakan bagian dari Tujuan Pokok dan Fungsi Balai dalam menjalankan tugasnya.Pengambilan sarang burung walet berasal dari Kota Palembang dan Kota Pangkal Pinang. Sarang burung walet yang berada selama proses pembersihan tidak tertutup kemungkinan untuk tercemar oleh Salmonellaspp. Berdasarkan latar belakang tersebut maka perlu dilakukan penguj ian terhadap keberadaan Salmonellaspp. dari sarang burung walet yang telah diambil sebagai contoh. Tujuan tulisan ini untuk mengetahui cemaranSalmonellaspp. pada sarang burung walet yang berasal dari Kota Palembang dan Pangkal Pinang.

METODE

Waktu dan Tempat

Kegiatan pengambilan sarang burung walet dilakukan di beberapa kota terpilih berdasarkan survey dari tim epidemiologi yaitu Kota Palembang Provinsi Sumatera Selatan dan Kota Pangkal Pinang Provinsi Kepulauan B a n g k a B e l i t u n g . P e n g u j i a n l a b o r a t o r i u m d i l a k u k a n d i laboratorium kesehatan masyarakat veteriner Balai Veteriner Lampung. Kegiatan surveilens sampai pengujian merupakan satu rangkaian yang dimulai dari bulan Februari sampai Mei 2018.

Bahan dan Alat

Alat yang digunakan dalam pengujian ini terdiri dari cawan petri, tabung reaksi, tabung serologi ukuran 10x75 mm, pipet ukuran 1ml; 2ml; 5ml; 10ml, botol media, gunting, pinset, jarum inokulasi (ose), stomacher, p e m b a k a r b u n s e n , p H m e t e r ,

Page 35: 01 UME 39 Velabbvetlampung.ditjenpkh.pertanian.go.id/wp-content/uploads/2018/09/... · terserang penyakit Jembrana adalah demam tinggi, lymphadenopathy, lymphopenia, keringat darah

timbangan, magnetic stirer, pengocok tabung (vortex), inkubator, penangas air, autoklaf, lemari steril (clean bench), lemari pendingin (refrigerator), freezer.

Bahan yang dipakai dalam pengujian ini terdiri dari sarang burung walet,Lactose Broth (LB), Rappapport Vassiliadis (RV), Xylose Lysine Deoxycholate Agar (XLDA, Hektoen Enteric Agar (HEA), Bismuth Sulfite Agar (BSA), Triple Sugar Iron Agar(TSIA), dan Lysine Iron Agar (LIA).

Metode

Pengambilan sampel di lapang

Sampel diambil sebanyak dua buah sarang burung walet dari Kota Palembang Provinsi Sumatera Selatan dan Kota Pangkal Pinang Provinsi Kepulauan Bangka Belitung. Sarang burung walet yang diambil berasal dari pengumpul (agen) Kota Palembang dan toko penjual makanan yang berasal dari sarng burung walet Kota Pangkal Pinang.Setiap sampel diambil sebanyak 150 gram (untuk uji lainnya juga), akan tetapi sampel uji yang diperlukan untuk pengujian Salmonellaspp. hanya memerlukan 25 gram setiap sampel. Sarang burung walet yang telah diambil selanjutnya dikemas dalam plastik steril, diberi kode dan disimpan pada suhu ruang sambil menunggu proses uji di laboratorium.

Pengujian di laboratorium

Pengujian di laboratorium meliputi preparasi, pra pengayaan, pengayaan, isolasi dan identifikasi

Preparasi

Sarang burung walet sebanyak 25 gram ditempatkan dalam plastik steril dan diberi kode.

Pra pengayaan

Sarang burung walet sebanyak 25 gramditambahkan 225 ml larutan LB dan dibiarkan setengah jam sampai sarang burung walet berbentuk jeli atau bubur. Selanjutnya dihomogenkan dengan stomacher selama 2 menit.Lalu suspensi diinkubasikan pada suhu 35 ºC selama 24 jam.

Pengayaan

Biakan prapengayaan diaduk perlahan dan diambil untuk dipindahkan masing-masing 0.1 ml ke dalam 10 ml media RVdan diinkubasikan pada suhu 42 ºC selama 24 jam.

Isolasi dan identifikasi

Dua atau lebih koloni diambil dengan jarum osesteril dari

masing-masing media pengayaan yang telah diinkubasikan, dan diinokulasikan pada media HE, XLD dan BSApada suhu 35 ºC selama 24 jam. Identifikasi dilakukan dengan mengambil koloni yang diduga dari ketiga media tersebut. Lalu diinokulasikan ke TSIA dan LIA dengan cara menusuk ke dasar media agar dan digores pada media agar miring. Diinkubasikan pada suhu 35 ºC selama 24 jam. Koloni spesifik Salmonellapada TSIA dan LIA diamati dengan hasil reaksi pada Tabel 1.

Tabel 1.Samonellasppp. pada TSIA dan LIA

Analisis Data

Data yang diperoleh akan dianalisis secara deskriptif dengan menggambarkan ada tidaknya kejadian Salmonella spp pada sarang burung wallet.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Hasil

Sarang burung walet yang diambil dari agen dan toko pengolahan sarang burung walet di Kota Palembang dan Pangkal Pinang memberikan hasil negatif. Dari dua sampel sarang burung walet yang diuji terhadap keberadaan Salmonellaspp., maka tak satupun yang menunjukkan hasil positif.

PembahasanSarang burung walet dibangun dari saliva burung walet

yang kemudian mengeras. Bila direndam dalam air akan berubah bentuknya, menjadi bubur atau jelly (Winarno dan Koswara 2002). Sarang tersebut pada umumnya berwarna kecoklatan atau putih kotor, bagian luar padat dan keras, serta bagian dalam memiliki tekstur yang berpori-pori.Ujung-ujung sarang dan bagian sarang yang menempel pada dinding (kaki sarang) memiliki tekstur yang lebih keras dan kurang kenyal seperti pada bagian lainnya. Sarang tersebut memilki bau amis yang khas (Mardiastuti et al. 1998). Menurut Chantler dan Driessens (1995) taksonomi burung walet sebagai berikut : Kingdom Animal, Filum Chordata, Subfilum Vertebrata, Class Aves, Ordo Apodiformes, Famili Apodidae, Subfamili Apodenae, Genus Collocalia dan Spesies Collocalia fuciphaga.

Sarang burung walet diperoleh dari beberapa jenis burung walet, yang dikonsumsi oleh manusia sebagai makanan yang

32

Velab

Page 36: 01 UME 39 Velabbvetlampung.ditjenpkh.pertanian.go.id/wp-content/uploads/2018/09/... · terserang penyakit Jembrana adalah demam tinggi, lymphadenopathy, lymphopenia, keringat darah

Komposisi sarang burung walet menurut Marcone (2005) terdiri dari dua tipe yaitu sarang burung walet putih dan merah (blood nest) dari yang terendah sampai tertinggi memiliki komposisi lemak (0.141-28%); abu (2.1%); karbohidrat (25.62-27.26%) dan protein (62-63%).Sarang burung walet dibentuk sekitar 35 hari dengan berat 7-20 g. Bahan sarang seluruhnya dari bahan gelatin yang ditemukan pada air liur yang disekresikan oleh glandula saliva sublingual walet.Hasil uji proksimat membuktikan bahwa sarang burung walet mengandung protein tinggi, lemak rendah, mineral dan asam lemak omega-6 tinggi untuk kesehatan (Huda et al. 2008).

Sarang burung walet dipercaya oleh sebagian orang dapat menjaga kesegaran tubuh, menyembuhkan penyakit pernafasan, meningkatkan vitalitas, obat awet muda, memelihara kecantikan dan menghambat pertumbuhan kanker (Mardiastuti et al. 1998).Sarang burung walet dipercaya dapat melarutkan dahak, membantu fungsi ginjal, meningkatkan libido, mengurangi asma, menyembuhkan tuberkulosis, mempercepat pemulihan penyakit dan operasi, meningkatkan kekebalan tubuh, meningkatkan energi dan metabolisme (Hobbs 2004).

Kontaminasi mikroba pada sarang burung walet dapat terjadi pada saat sarang masih berada di habitatnya, pada sat dipanen, dibersihkan, dicuci, ditimbang, dikemas, dipasarkan dan sampai sarang burung walet siap untuk diekspor. Keberadaan mikroba menentukan kualitas mikrobiologis sarang burung walet. Kontaminasi mikroba dapat terjadi pada saat sarang burung walet masih menempel di habitatnya, selama proses pencucian dan pada saat penyimpanan. Pemanasan sarang burung walet merupakan sa lah satu metode yang dapat mengurangi dan menghilangkan mikroorganisme, terutama mikroorganisme patogen dalam sarang burung walet.Pemanasan merupakan salah satu proses pengolahan bahan makanan yangdilakukan dalam rangka pengendalian mikroorganisme. Dibandingkan dengan makhluk tingkat tinggi, mikroorganisme memiliki rentang pertumbuhan yang sangat lebar. Pada suhu rendah, pertumbuhannya akan berhenti, sedangkan suhu tinggi mikroorganisme ini akan mati (Yudhabuntara 2003). Sesuai dengan Ray dan Bhunia (2008) bahwa sel mikroba akan mati cepat pada suhu yang lebih tinggi dan relatif lambat pada suhu yang lebih rendah.Pertumbuhan dan kelangsungan hidup mikroorganisme merupakan pertimbangan penting da l am mengurang i pembusukan makanan dan meningkatkan keamanan terhadap mikroorganisme patogen dalam pengolahan makanan.Efektivitas pemanasan untuk membunuh mikroba dan spora tergantung dari beberapa faktor. Faktor tersebut antara lain berkaitan dengan ka r ak t e r i s t i k bahan pang an dan ka r ak t e r i s t i k mikroorganisme serta proses pengolahan. Mikroorganisme dalam makanan cair lebih sensitif terhadap panas dibandingkan di dalam makanan padat.Mekanisme

perlindungan panas pada populasi mikroorganisme yang besar disebabkan adanya produksi zat pelindung yang disekresikan oleh sel.

Salmonella pertama kali ditemukan tahun 1885 pada tubuh babi oleh Theobald Smith, namun Salmonella dinamai oleh Daniel Edward Salmon, ahli patologi Amerika (Ryan dan Ray 2000). Salmonella sppp. merupakan bakteri gram negatif, berbentuk basil dan bersifat fakultatif anaerob dan dapat tumbuh pada suhu 5–45 °C dengan suhu optimal 35–37 °C. Bentuk Salmonella sppp. berupa rantai filamen panjang ketika berada pada suhu ekstrim yaitu 4-8 °C atau pada suhu 45 °C dengan kondisi pH 4.4 atau 9.4. Menurut Baharudin (2010), Salmonella sppp. merupakan salah satu bakteri patogen terpenting di Eropa dan sebagai sumber infeksi utama pada manusia yang mengonsumsi daging babi. Kasus di Amerika dan Eropa dilaporkan bahwa terjadi infeksi karena Salmonella berkaitan dengan konsumsi telur dan produknya yang dimasak kurang sempurna. Selain ditemukan pada unggas dan produknya, Salmonella juga dapat ditemukan pada daging babi, daging sapi, susu dan produknya. Studi yang dilakukan di China menunjukkan adanya Salmonella pada daging yang dijual di pasar (Yang et al. 2010).

Penyakit yang disebabkan Salmonella spp. disebut salmonellosis. Bakteri ini dapat tumbuh dan menyebabkan kerusakan pada jaringan sel epitel usus. Gejala yang ditimbulkan berupa gastroenteritis, diare, sakit perut, demam atau tanpa demam, septikemia dan infeksi fokal. Salmonelllosis tidak hanya menyerang orang dewasa, tetapi juga menyerang anak kecil dan usia lanjut. Salmonellaspp. memiliki kemampuan untuk memproduksi sedikitnya 3 jenis toksin. Sebuah enterotoksin termolabil adalah salah satunya dan mengikat gangliosides, meningkatkan cAMP dan mengintensifkan sekresi cair. Cytotoxin merupakan toksin kedua bersifat non lipopolisakarida komponen dari membran luar, yang menghambat sintesis protein pada eukariota mengarah pada pemanjangan sel kultur jaringan sel. Endotoksin, lipid A, komponen dari lipopolisakarida dinding sel, mengaktifkan makrofag dan limfosit sehingga memicu serangkaian efek biologis seperti demam, leukositosis dan menurunkan tekanan darah (Biljana 2010). Salah satu surveilens penyakit zoonosis yang bersumber dari pangan asal hewan adalah identifikasi Salmonella spp. pada sarang burung walet yang berasal dari Kota Palembang dan Pangkal Pinang. Surveilens ini dilakukan untuk melihat sejauh mana tingkat penularan salmonellosis selama proses penanganan, baik dari segi proses, maupun sanitasi kandang dan lingkungan.

Metode uji identifikasi Salmonella spp. yang dilakukan berdasarkan SNI 2897:2008. Prinsip uji ini adalah menumbuhkanSalmonella pada media selektif dengan pra pengayaan (pre-enrichment) dan pengayaan (enrichment) yang dilanjutkan dengan isolasi dan identifikasi, serta uji

33

Velab

Page 37: 01 UME 39 Velabbvetlampung.ditjenpkh.pertanian.go.id/wp-content/uploads/2018/09/... · terserang penyakit Jembrana adalah demam tinggi, lymphadenopathy, lymphopenia, keringat darah

biokimia dan serologi. Setiap proses pengujian selalu disertai dengan menggunakan kontrol positif. Salmonella merupakan bakteri motil yang menggunakan flagella peritrichous dalam pergerakannya. Secara umum Salmonella spp. tidak mampu memfermentasikan laktosa, sukrosa atau salisin, katalase positif, oksidase negatif dan mefermentasi glukosa dan manitol untuk memproduksi asam atau asam dangas (Jay et al. 2005). Bakteri ini dapat tumbuh pada pH rendah dan umumnya sensitif pada konsentrasi garam tinggi. Pengujian yang dilakukan pada penelitian ini adalah uji kultur yang menggunakan tiga jenis agar, yaitu BSA, XLD dan HE. Koloni Salmonella diamati pada media HE yang tampak berwarna hijau kebiruan dengan atau tanpa titik hitam (H2S). Pada media XLD koloni terlihat merah muda dengan atau tanpa titik mengkilat atau terlihat hampir seluruh koloni hitam. Pada media BSA koloni terlihat keabu-abuan atau kehitaman, kadang metalik, media di sekitar koloni berwarna coklat dan semakin lama waktu inkubasi akan berubah menjadi hitam. Semua sampel yang diuji tidak menunjukkan perubahan positif pada media agar, akan tetapi pengujian terus dilanjutkan sampai kontrol positif memberikan hasil positif selama 10 hari.

Sampel-sampel yang diuji menunjukkan hasil negatif terhadap Salmonella spp. Identifikasi menggunakan HE, XLD, BSA, TSIA dan LIA.Hasil pengujian Salmonella spp. pada sarang burung walet dari hasil program sampling monitoring surveilens cemaran mikroba menunjukkan tidak ditemukannya Salmonella spp. dari dua sampel sarang burung walet yang diambil.Hal ini menunjukkan bahwa kontaminasi pada tahapan setiap proses selalu dicegah dan dikontrol higiene dan sanitasinya sehingga meminimalisir terjadinya kontaminasi Salmonellaspp. pada sarang burung walet selama proses produksi sampai siap konsumsi.

SIMPULAN DAN SARAN

Simpulan

Tidak ditemukannya kontaminasi Salmonellaspp. pada sarang burung walet yang berasal dari Kota Palembang Provinsi Sumatera Selatan dan Kota Pangkal Pinang Provinsi Kepulauan Bangka Belitung.

Saran

Per lu d i l akukan sur vey lan jutan pemer iksaan Salmonellaspp. secara regular pada beberapa sarang burung walet dari tempat lainya dan perlunya penambahan anggaran dalam membeli sarang burung walet mengingat harganya yang cukup tinggi.

DAFTAR PUSTAKA

Baharuddin. 2010. Bahaya cemaran Mikroba pada Pangan Asal Ternak Diseminasi pada RPC pada hari Rabu, 2 April 2008 oleh Dr. Anni Kusumaningsih, M.Sc, peneliti senior pada Kelti Bakteriologi Bbalitvet.

Biljana M, Tatjana B, Predrag S. 2010. Salmonella Enterica Subsppecies Enteric Serovar Enteritidis actualities and importance. Acta ,edica medianae. 2010. Vol 49 (3). Review article udc: 579.842:616.981.49.

Budiman AK. 2009. Protein dan Asam Amino. Universitas Sumatera Utara. Sumatera.

Chantler P, Driessens G. 1995. Swifts: A Guide to Swift and Treeswift of The World. East Sussex (US): Pica Pr.

Hobbs JJ. 2004. "Problems in the harvest of edible birds' nests in Sarawak and Sabah, Malaysian Borneo". Biodiversity a n d C o n s e r v a t i o n 1 3 ( 1 2 ) : 2 2 0 9 – 2 6 . doi:10.1023/B:BIOC.0000047905.79709.7f.

Huda NMZ, Zuki AB, Azhar K, Goh Y, Shuhaimi. 2008. Proximate, elemental and fatty acid analysis of pre-processed edible bird's nest (Aerodramus fuchiphagus): A comparison between regions and type of nest. J. Food Technol. 6(1):39-44.

Jay JM, Loessner MJ, Golden DA. 2005. Modern Food Microbiology Seventh Edition Foodnome Gastroenteritis Caused by Salmonella and Shigella. Springer page 619-631.

Jong CH, Tay MKKM, Lim CP. 2013. Application of the fuzzy failure mode and effect methodology to edible bird nest processing. Comp. Elect. Agr. 96:90-108.

Marcone MF. 2005. Characterization of Edible Bird Nest the “Caviar of the East. Food Research International, 38 : 1125-1134.

MaF, Liu D. 2012. Sketch of the edible bird's nest and its important bioactivities. Food Research International 48 (2012)559–567.

Mardiastuti A, Mulyani YA, Sugarjito J, Ginoga LN, Maryanto I, Nugraha A dan Ismail. 1998. Teknik pengusahaan walet rumah, pemanenan sarang dan penanganan pasca panen. Laporan RUT IV. Bidang Teknologi Perlindungan Lingkungan. Kantor Menteri Negara Riset dan Teknologi. Dewan Riset Nasional. Jakarta.

34

Velab

Page 38: 01 UME 39 Velabbvetlampung.ditjenpkh.pertanian.go.id/wp-content/uploads/2018/09/... · terserang penyakit Jembrana adalah demam tinggi, lymphadenopathy, lymphopenia, keringat darah

Nugroho T. 2011. Anatomi fisiologi Jantung dan Pembuluh Darah, ECG Jakarta.

Ray B, Bhunia A. 2008. Fundamental of Food Microbiology Fourth ed. CRC Press. London, New York.

Ryan KJ, Ray CG (editors). (2004). Sherris Medical Microbiology (edisi ke-4th ed). McGraw Hill. ISBN 0-8385-8529-9.

Winarno FG, Koswara S. 2002. Telur : Komposisi, Penanganan, dan Pengolahannya. M-Brio Press. Bogor.

Yang B, Qu D, Zhang X, Shen J, Cui S, Shi Y, Xi M, Sheng M, Zhi S, Meng J. 2010. Prevalence and characterization of Salmonella serovars in retail meats of marketpalce in shaanxi, China. International Journal of Food Microbiology 141 (2010) 63-72.

Yudhabuntara. 2003. Pegendalian mikroorganisme dalam b a h a n m a k a n a n a s a l h e w a n , B i n a P r o d u k s i Peternakan.Departemen Pertanian. Cisarua. Bogor.

35

Velab

Page 39: 01 UME 39 Velabbvetlampung.ditjenpkh.pertanian.go.id/wp-content/uploads/2018/09/... · terserang penyakit Jembrana adalah demam tinggi, lymphadenopathy, lymphopenia, keringat darah

36

VelabTingkat Asosiasi Antara OedemaPulmonum Terhadap Kasus Pneumodiarepada Sapi

Periode Sampel 2014 – 2017di Balai Veteriner Lampung

Susilo. J., Efrilita I,.Sipayung, FLab. Epidemiologi

Balai Veteriner Lampung

Abstrak

Oedemapulmonum merupakan lesi menciri penyakit pernafasan yang ditandai dengan akumulasi cairan berwarna eosinofilik pada lumen alveoli disebabkan oleh Pasteurella multocida. Pasteurella multocida merupakan bakteri oportunistik yang sering menimbulkan penyakit pernafasan pada sapi dan dalam pathogenesis penyakit dapat menyebabkan diare.Penyakit ini menimbulkan kerugian ekonomi yang cukup besar bagi peternakan sapi.Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui adanya asosiasi atau hubungan antara oedemapulmonum dengan kejadian pneumodiare. Sampel yang digunakan dalam penelitian ini adalah berasal dari data sekunder riwayat penyakit surat masuk specimen dan hasil pengujian Laboratorium PatologiBalai Veteriner Lampung periode sampel tahun 2014 - 2017. Seluruh data sampel diolah menggunakan tools epi-infountuk menghitung frekuensi oedemapulmonum dan pneumodiare, selanjutnya dilakukan pengukuran derajat asosiasi menggunakan tools tersebut. Hasil olah data tersebut menghasilkan point estimasi odds ratio 1,5707 yang menunjukkan bahwa ada asosiasi atau hubungan yang nyata antara oedemapulmonum dan pneumodiaredengan tingkat asosiasiRisk Ratio (RR) sebesar 1.0856.

Kata kunci: Odds ratio, oedemapulmonum,Pasteurella multocida, pneumodiare

Pendahuluan

Penyakit pernafasan komplek pada sapi telah diidentifikasi sebagai penyakit menular paling signifikan pada penggemukan sapi di Australia Timur dan di seluruh dunia.Penyakit pada sapi ini ditandai dengan keradangan paru (pneumonia ) , d i sebabkan o leh beberapa agen penyebab meliputi virus dan bakteri serta kondisi lingkungan yang menjadi faktor predisposisi berkembangnya penyakit pada ternak (Mahony and Horwood, 2007).Agen viral yang menjadi penyebab penyakit ini adalah Bovine herpesvirus 1 (Infectious Bovine Rhinotracheitis), bovine viral diare (bovine pestivirus), virus Bovine parainfluenza 3 dan bovine respiratory syncytial virus.Agen bakteri penyebab penyakit ini meliputi Mannheimia haemolytica, Pasteurella multocida, Mycoplasma bovis dan Haemophilus somnus (Ellis, 2001; Booker et a l . , 2008).Gambaran h is topato log i par u pedet yang terinfeksi Pasteurella multocida terdapat akumulasi cairan edema

ex t ens i f pada a l veo l i d i s e r t a i emphysema.Penebalan pada septa alveolar, kongesti dan cairan edema pada bronchiolus.Infiltrasi sel-sel mononuklear pada jaringan paru dan pembuluh darah ber is i bakter i berbentuk batang (Ahrar et al. , 2011).Infeksi saluran pernafasan bawah pedet (pneumonia dan pleuritis) yang disebabkan P. multocida bisa bersifat akut, kondisi parah (shipping f eve r pada s ap i ) a t au k ron ik , pneumonia lobar disebut dengan “pneumonia enzootika'' pada pedet yang dikandangkan. Pneumonia pada pedet yang dikandangkan, bersifat akut dan parah, namun terkadang infeksi bersifat lokal, tanpa eksudat, dan kronik.Pasteurella multocida ditularkan melalui ingesti atau inhalasi, selama kon t ak l angsung a t au me l a l u i muntahan dari pakan dan minum tercemar (El-Sawalhy, 2012) sehingga dapat menyebabkan infeksi di saluran pencernakan (Dagleish et al., 2010). Ternak dapat menjadi karier, organisme akan bertahan hidup di dalam jaringan limfatik saluran respirasi atas dan secara

periodik akan dikeluarkan melalui sekresi lendir hidung. El-Sawalhy (2012), menyebutkan bahwa 40 % lebih penularan melalui hewan karier.

Penyakit pernafasan komplek pada sapi secara umum dibagi menjadi dua macam yaitu shipping fever dan p n e u m o n i a e n z o o t i k a p a d a pedet.Kriteria yang digunakan dalam diagnosa meliputi gejala klinis yang menciri pada gangguan pernafasan yaitu depresi, tidak nafsu makan, lemah, batuk, keluar leleran hidung dan demam (Dabo et al., 2008).Gejala klinis antara pneumonia enzootika dengan shipping fever mirip, dan pneumonia enzootika pada pedet lebih mudah didiagnosa.Pneumonia enzootika ter jadi utamanya karena stress pengangkutan dan setelah proses penyapihan (weaning). Pneumonia enzootika lebih juga sering terjadi pada p e d e t p r a - s a p i h d i l a h a n penggembalaan atau lingkungan dengan paparan tinggi (Virtala et al., 1996).

Beberapa peneliti menyebutkan lesi menciri pada Pneumonia enzootika

Page 40: 01 UME 39 Velabbvetlampung.ditjenpkh.pertanian.go.id/wp-content/uploads/2018/09/... · terserang penyakit Jembrana adalah demam tinggi, lymphadenopathy, lymphopenia, keringat darah

adalah bronchopneumonia pada lobus kranioventral dan juga menciri dengan bronchopneumonia ringan (Haritani et al.,1989; Mathy et al., 2002; Ewers et al., 2006; Lopez, 2007) atau bronchopneumonia dengan lesi berbeda diikuti be rbag a i t ipe eksuda t . Les i t e r sebut me l ipu t i fibrinosuppuratif akut (Gagea et al., 2006), fibrinopurulent subakut hingga kronik (Mosier, 1997), eksudat fibrin hingga fibrinopurulent (Dungworth, 1985), suppuratif dan fibrino-nekrotik (Tegtmeier et al., 1999).Terjadi pleuritis fibrinosa hingga fibrinopurulen, terjadi pelebaran septa interlobular terisi oleh edema atau fibrin dan abses karena variasi infeksi Pasteurella multocida.Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui adanya asosiasi atau hubungan antara oedema pulmonum dengan kejadian pneumodiaredari data sekunder pengujian histoatologi menggunakan tools Epi-info.

Materi dan Metode

Materi

Penelitian ini menggunakan data sekunder hasil pengujian di laboratorium patologi Balai Veteriner Lampung periode sampel tahun 2014 – 2017 kiriman dari suatu peternakan sapi potong“ X” di Provinsi Lampung. Seluruh data yang direkam merupakan sampel paru paru yang menunjukkan adanya pneumonia dengan riwayat kasus yang disertai diare.

Metode

Definisi kasus dengan melakukan pengkodean oedemapulmonum (1), selain oedemapulmonum (0), pneumodiare (1), selain pneumodiare (0). Frekuensi kejadian oedemapulmonum dan pneumodiare dihitung dengan tools epi-info. Derajat asosiasi dihitung melalui tabel 2 x 2 mengacu pada parameter odds ratio (lower dan upper) dengan 95% confidence interval.Deskripsi hasil, jika interval odds ratio dari lower dan upper terdapat angka 1 maka tidak ter jadi asosiasi antara oedemapulmonum dengan pneumodiare.Sebaliknya, jika interval odds ratio dari lower dan upper tidak terdapat angka 1 maka terjadi asosiasi antara oedemapulmonum dengan pneumodiare.Kekuatan derajat asosiasi diukur dari risk ratio (RR).

BAB V. Hasil dan Pembahasan

a. Frekuensi kejadian pneumodiare

Jumlah sampel dari data sekunder berdasarkan riwayat penyakit di lampiran surat sampelsebanyak 536 sampel. Sampel tersebut sapi dari semua tingkatan umur dari sebuah peternakan sapi potong “ X “ di provinsi Lampung. Kejadian pneumodiare adalah pneumonia yang disertai dengan gejala diare sebanyak 96 sampel (17.91%).Kasus pneumonia yang tidak disertai dengan gejala diare sebanyak 440 sampel (82.09%). Penyakit pernafasan pada sapi potong menjadi penyebab kematian tertinggi diikuti oleh penyakit pencernaan.

b. Frekuensi kejadian oedemapulmonum

c. Hasil perhitungan tabel 2 x 2 dengan tools epi-info

Hasil analisa data dengan tabel 2 x 2 di epi-info; pada 95% Confidence Interval odds ratio level 1.0081 dan upper 2.4472. Hal tersebut menunjukkan bahwa pada interval lower dan upper tidak terdapat angka 1.000 yang berarti bahwa ada asosiasi antara oedema pulmonum dengan penumodiare sebesar 1,5707 kali. Tingkat asosiasi diukur dengan Risk Ratio (RR) sebesar 1.0856, menunjukkan bahwa sapi dengan kasus oedemapulmonum 1.0856 kali lebih beresiko terhadap pneumodiare.

Pasteurella multocida ditularkan melalui ingesti atau inhalasi, selama kontak langsung atau melalui muntahan dari pakan dan minum tercemar (El-Sawalhy, 2012) sehingga dapat menyebabkan infeksi di saluran pencernakan (Dagleish et al., 2010). Ternak dapat menjadi karier, organisme akan bertahan hidup di dalam jaringan limfatik saluran respirasi atas dan secara periodik akan dikeluarkan melalui sekresi lendir hidung. El-Sawalhy (2012), menyebutkan bahwa 40 %

37

Velab

Page 41: 01 UME 39 Velabbvetlampung.ditjenpkh.pertanian.go.id/wp-content/uploads/2018/09/... · terserang penyakit Jembrana adalah demam tinggi, lymphadenopathy, lymphopenia, keringat darah

lebih penularan melalui hewan karier. Faktor stress dapat memicu proses penularan penyakit. Selama terjadinya outbreak, ternak yang sakit akan mengekskresikan bakteri dalam jumlah besar melalui leleran hidung, saliva, susu dan feses. Penularan P. multocida melalui jalur oropharing banyak terjadi hampir pada semua spesies, dan masuknya sejumlah kecil bakteri tidak dapat dihindari (Ciprian et al., 1988; Confer, 2009)

Infeksi Pasteurella multocida akan direspon dengan meningkatnya se l radang, namun t idak mampu mengimbangi pertumbuhan bakteri yang lebih cepat. Kombinasi antara nekrosis jaringan, induksi sitokin lokal atau sistemik, dan berkembangnya endotoksemia, menimbulkan gejala klinis yang berkembang dengan cepat pada fase penyakit akut.Perkembangan menjadi bakteremia, bakteri berkembang cepat dalam aliran darah terjadi “septisemia� sehingga perjalanan penyakit semakin tidak terkendali.Para peneliti mennjelaskan bahwa gejala klinis yang ditimbulkan merupakan efek dari endotoksin itu sendiri (Horadagoda et al., 2002). Gejala klinis akan melanjut diikuti oleh efek endotoksin, dan menjadi fase perkembangan penyakit (El-Sawalhy, 2012).

Kesimpulan

Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan, dapat diambil kesimpulan bahwa:

1. Adanya asosiasi atau hubungan yang nyata antara oedemapulmonum dan pneumodiaredengan tingkat asosiasiRisk Ratio (RR) sebesar 1.0856.

2. Agen infeksius penyebab oedemapulmonum juga dapat menimbulkan diare yang ditularkan melalui ingesti atau inhalasi, kontak langsung atau melalui muntahan dari pakan dan minum tercemar menunjukkan tingginya paparan antigen di lapangan

Saran

Perlu dilakukan biosecurity ketat di lingkungan kandang serta vaksinasi terhadap agen penyebab pneumodiare

38

Velab

Page 42: 01 UME 39 Velabbvetlampung.ditjenpkh.pertanian.go.id/wp-content/uploads/2018/09/... · terserang penyakit Jembrana adalah demam tinggi, lymphadenopathy, lymphopenia, keringat darah

Daftar Pustaka

Ahrar, K., Muhammad, K.S., Muhammad, Z.K. 2011. Hemorrhagic Septicemia in Buffalo (Bubalus bubalis) Calves Under Sub-Tropical Conditions in Pakistan. J.Zool., vol. 43(2), pp. 295-302

Booker, C.W., Abutarbush, S.M., Morely, P.S., Jim, G.K. 2008.Microbiological and histopathological findings in cases of fatal bovine respiratory disease of feedlot cattle in western Canada.Can. Vet. J. 49:473–481.

Ciprian, A., Pijoan, C., Cruz, T., Camacho, J., Tortora, J., Colmenares, G., Lopez-Revilla, R., de la Garza, M. 1988.Mycoplasma hyopneumoniae increases the susceptibility of pigs to experimental Pasteurella multocida pneumonia. Can J Vet Res 52:434–438

Confer, A.W. 2009. Update on bacterial pathogenesis in BRD. Anim Health Res Rev 10:145–148

Constable, P.D., Hinchliff, K.W., Done, S.E., Grunberg, W. 2017. Veterinary medicine. St Misouri : Elsevier

Dabo, S. M., Taylor, J. D. dan Confer, A. W., 2008. Pasteurella multocida and bovine respiratory Disease. Animal Health Research Reviews 8(2); 129–150

Dagleish, M.P., Finlayson, J., Bayne, C., MacDonald, S., Sales, J. and Hodgson, J.C. 2010.Characterization and Time Course of Pulmonary Lesions in Calves after Intratracheal Infection with Pasteurella multocida A:3. University of Edinburgh, Edinburgh, UK

Ellis, J. A. 2001. The immunology of the bovine respiratory disease complex.Vet.Clin. Food Anim. 17:535–549.

El-Sawalhy, A. 2012.Veterinary Infectious Disease in Domestic Animal.Egypt : Departement of Internal Medicine, Mansoura University

Horadagoda, N. U., Hodgson, J., Moon, G.M., Wijewardana, T.G. and Eckersall, P. D. 2002. Development of a clinical syndrome resembling haemorrhagic septicaemia in the buffalo following intravenous inoculation of Pasteurella multocida serotipe B:2 endotoxin and the role of tumor necrosis factor - alpha . Res. Vet. Sci. 72 : 194 – 200.

Mahony, T.J. and Horwood, P.F. 2007.Rapid detection of Bovine Respiratory Disease Pathogens.Meat & Livestock Australia Limited. North Sydney

Virtala, A.M., Mechor, G.D., Grohn, Y.T., Erb, H.N. and Dubovi, E.J. 1996.Epidemiologic and Pathology Characteristics of Respiratory Tract Disease in Dairy Heifers during the First Three Months of Life.Journal of the American Veterinary Medical Association 208: 2035–2042.

Zachary, J.F. 2017.Pathology Basis of Veterinary Diseases, 6th edition. Department of Pathobiology College of Veterinary Medicine University of Illinois Urbana, Illinois

39

Velab

Page 43: 01 UME 39 Velabbvetlampung.ditjenpkh.pertanian.go.id/wp-content/uploads/2018/09/... · terserang penyakit Jembrana adalah demam tinggi, lymphadenopathy, lymphopenia, keringat darah

40

Velab

Page 44: 01 UME 39 Velabbvetlampung.ditjenpkh.pertanian.go.id/wp-content/uploads/2018/09/... · terserang penyakit Jembrana adalah demam tinggi, lymphadenopathy, lymphopenia, keringat darah

41

Velab

Page 45: 01 UME 39 Velabbvetlampung.ditjenpkh.pertanian.go.id/wp-content/uploads/2018/09/... · terserang penyakit Jembrana adalah demam tinggi, lymphadenopathy, lymphopenia, keringat darah