26
1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian yang berjudul “Pelayan Perempuan di Gereja Bethel Indonesia Rayon IV Sumatera Resort” ini merupakan kajian antropologi religi yang berkaitan dengan gender yang akan dibahas adalah tentang Pelayan Perempuan di Gereja Bethel Indonesia (GBI) Rayon IV Medan yang berpusat di Sumatera Resort 1 . Fokus penelitian yang akan peneliti lakukan adalah mengenai proses dan peranan perempuan sebagai pelayan di Gereja Bethel Indonesia. Antropologi agama merupakan kajian mengenai kehidupan manusia yang dikaitkan dengan sistem keyakinan, dalam hal ini keyakinan terhadap unsur supranatural. Meskipun bersifat abstrak, keyakinan ini memiliki kekuatan untuk mempengaruhi pemikiran dan mengatur tingkah laku manusia, termasuk juga interaksinya dengan manusia lain, dan hubungan antara manusia dengan kekuatan supranatural itu. A. Nunuk P. Murniati (2004: 3) mengungkapkan bahwa ajaran dan ujaran agama tentunya memiliki potensi dominan dalam penerapan ideologi gender. Dalam konteks itu pula, agama bisa memberikan inspirasi atau dorongan munculnya ketidakadilan gender. Namun, ketidakadilan itu bukan bersumber dari prinsip 1 GBI Sumatera Resort yang berada di Jalan Jamin Ginting merupakan pusat Gereja Bethel Rayon IV yang ada di Kota Medan. Sumatera Resort merupakan pusat admisnistrasi maupun keperluan lainnya untuk setiap Gereja Bethel yang ada di Kota Medan. Di tempat ini juga terdapat banyak pelayan dan Majelis Gereja yang melayani di tempat ini. Universitas Sumatera Utara

1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian yang

  • Upload
    lediep

  • View
    221

  • Download
    2

Embed Size (px)

Citation preview

1

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Penelitian yang berjudul “Pelayan Perempuan di Gereja Bethel Indonesia Rayon

IV Sumatera Resort” ini merupakan kajian antropologi religi yang berkaitan

dengan gender yang akan dibahas adalah tentang Pelayan Perempuan di Gereja

Bethel Indonesia (GBI) Rayon IV Medan yang berpusat di Sumatera Resort1.

Fokus penelitian yang akan peneliti lakukan adalah mengenai proses dan peranan

perempuan sebagai pelayan di Gereja Bethel Indonesia.

Antropologi agama merupakan kajian mengenai kehidupan manusia yang

dikaitkan dengan sistem keyakinan, dalam hal ini keyakinan terhadap unsur

supranatural. Meskipun bersifat abstrak, keyakinan ini memiliki kekuatan untuk

mempengaruhi pemikiran dan mengatur tingkah laku manusia, termasuk juga

interaksinya dengan manusia lain, dan hubungan antara manusia dengan kekuatan

supranatural itu.

A. Nunuk P. Murniati (2004: 3) mengungkapkan bahwa ajaran dan ujaran agama

tentunya memiliki potensi dominan dalam penerapan ideologi gender. Dalam

konteks itu pula, agama bisa memberikan inspirasi atau dorongan munculnya

ketidakadilan gender. Namun, ketidakadilan itu bukan bersumber dari prinsip

1 GBI Sumatera Resort yang berada di Jalan Jamin Ginting merupakan pusat Gereja Bethel Rayon

IV yang ada di Kota Medan. Sumatera Resort merupakan pusat admisnistrasi maupun keperluan

lainnya untuk setiap Gereja Bethel yang ada di Kota Medan. Di tempat ini juga terdapat banyak

pelayan dan Majelis Gereja yang melayani di tempat ini.

Universitas Sumatera Utara

2

agama, melainkan karena proses perkembangan tafsiran agama dan pemikiran

manusia. Secara biologis perbedaan perempuan yakni sebagai kodrat dan ciri

fisik. Namun di dalam realitas sosial juga terdapat paham gender, yakni

perbedaan perempuan dan laki-laki baik dalam fungsi, tanggung jawab, perilaku

yang dibentuk oleh sosial budaya pada masing-masing masyarakat. Ideologi

gender juga dikonstruksi oleh agama yang merupakan salah satu unsur budaya

dalam masyakat. Namun di dalam praktiknya perempuan mengalami beberapa

perlakuan yang dianggap tidak setara yakni adanya pembatasan hak-hak

perempuan di dalam agama.

Ide untuk meneliti tentang proses dan peranan perempuan di GBI muncul ketika

peneliti mengamati adanya suatu fenomena di GBI. Dimana dalam aktifitas ritual

agama dan upacara-upacara (ibadah), tidak hanya laki-laki saja yang menjadi

pelayan atau orang-orang yang menjadi perangkat-perangkat dalam

berlangsungnya ibadah. Peneliti juga melihat banyaknya perempuan yang juga

terlibat dalam pelayanan di GBI Rayon IV. Namun, tampaknya sudah menjadi hal

yang umum jika ada perempuan yang melayani di gereja ini. Adapun jenis

pelayanan yang dilakoni perempuan yang peneliti amati sejauh ini ialah terdiri

dari berbagai macam mulai dari menjadi WL (Worship Leader)2, Usher (Penerima

tamu dalam ibadah), pemusik, singer (penyanyi latar), penari tamborin, pendoa,

bahkan menjadi pendeta dan jenis pelayanan lainnya yang ada di GBI. Tak hanya

itu, beberapa perempuan di Gereja Bethel Indonesia juga masuk ke dalam struktur

gerejawi. Peneliti menyoroti adanya suatu fenomena pelayanan di Gereja Bethel

Indonesia yang mana banyak perempuan pun turut terlibat di segala aspek

2 Worship Leader merupakan sebutan bagi seseorang yang memimpin ibadah selama ibadah

berlangsung di Gereja Bethel Indonesia.

Universitas Sumatera Utara

3

pelayanan, bahkan banyak perempuan yang memimpin dan menjadi pengaruh.

Hal inilah yang menarik perhatian peneliti untuk melakukan penelitian guna

melihat fungsi, peranan, dan eksitensi pelayan perempuan dalam GBI Rayon IV

Sumatera Resort.

Gereja Bethel Indonesia, disingkat GBI merupakan gereja yang beraliran

Karismatik yang terdapat di seluruh Indonesia. Karismatik merupakan sebuah

istilah yang dipakai untuk mendeskripsikan kaum Kristiani yang percaya bahwa

manifestasi Roh Kudus, gereja beraliran karismatik umumnya mengakui kuasa

Roh Kudus. Selain itu juga menerima secara meluas Kesembuhan Ilahi dan

dikenal dengan gaya khotbah yang berapi-api dengan tata ibadah pujian

penyembahan3.

Gereja Bethel Indonesia sama halnya dengan gereja protestan lainnya, gereja ini

menerapkan ajaran yang sama dengan gereja-gereja lainnya yakni penerapan

ajaran Alkitab. Hanya saja letak perbedaannya ialah tata ibadah dan bahasa, jika

dalam gereja kesukuan maka ditemukan ibadah dalam bahasa lokal (etnis).

Sementara di GBI Rayon IV menggunakan Bahasa Indonesia dalam beribadah

dan berkomunikasi. Namun dalam praktiknya terdapat stigma yang menganggap

GBI berbeda karena pola ibadahnya yang bertepuk tangan, menari-nari,

mengangkat tangan, mengangis, serta tindakan ekspresif lainnya yang

memandang ini „berbeda‟. Hal ini disebabkan adanya pemahaman atau perspektif

berbeda antar gereja Luteran dan Karismatik.

3 https://id.wikipedia.org/wiki/Gerakan_Karismatik

Universitas Sumatera Utara

4

Gereja ini tentunya melibatkan setiap orang-orang Kristen yang sudah percaya

dalam melakukan pelayanan, demikian juga para pelayan perempuan. Setiap

pelayan perempuan di Gereja Bethel Indonesia memiliki masing-masing latar

belakang berbeda sehingga menjadi seorang pelayan di gereja. Hal ini jugalah

yang akan dibahas penelitian ini. Kata „pelayan‟ dalam Kamus Besar Bahasa

Indonesia diartikan sebagai orang yang melayani, pembantu atau pesuruh.

Sedangkan melayani artinya ialah membantu menyiapkan atau mengurus apa-apa

yang diperlukan seseorang atau meladeni, menerima dan mengendalikan.

Sementara pelayanan diartikan sebagai perihal atau cara melayani4. Istilah kata

pelayan merupakan suatu fenomena yang terdapat dalam istilah teologi Kristen.

Di dalam Alkitab pelayan disebut sebagai diakonia atau yang dapat diartikan

sebagai seseorang yang melayani orang lain dalam konteks teologi.

Kata „pelayan‟ merupakan sebutan orang yang melayani di gereja (pelaku) dan

„pelayanan‟ dan „melayani‟ merupakan kata kerja dari tindakan si pelayan tersebut

di gereja. Salah satu bentuk pelayanan orang Kristen ialah di gereja. Pelayanan

tersebut khususnya di dalam gereja atau tempat-tempat yang dianggap kudus

untuk melayani orang lain dan Tuhan Yang dengan rendah hati atau kata lain

yakni „hati hamba‟. Adapun tugas pelayan di gereja ialah melayani dan

menfasilitasi jemaat yang beribadah dengan asas-asas rendah hati, mengasihi, dan

kemauan untuk melayani. Ungkapan kata pelayanan tidak hanya dilakukan di

gereja saja. Pelayanan bisa saja berbentuk perbuatan baik kepada sesama,

melakukan misi dan penginjilan, menolong, mengasihi, serta menjadi pelaku

firman dan sebagai pemuji dan penyembah Tuhan. 4 sumber : http://kbbi.web.id/pelayanan

Universitas Sumatera Utara

5

Melayani merupakan suatu hal ideal yang dirindukan dan diinginkan oleh setiap

umat Kristen. Di dalam Alkitab, Tuhan memberikan mandat bagi setiap manusia

di seluruh bumi untuk menjadi pelayan bagi Tuhan. Hal yang menjadi dasar

pelayanan ini tertulis di dalam Kitab Perjanjian Baru dengan judul perikop

„Perintah Untuk Memberitakan Injil‟, yang tertulis dalam Matius 28:19-20 “(19)

Karena itu pergilah, jadikanlah semua bangsa muridKu dan baptislah mereka

dalam nama Bapa dan Anak dan Roh Kudus, (20) dan ajarlah mereka melakukan

segala sesuatu yang Kuperintahkan kepadamu. Dan ketahuilah, Aku menyertai

kamu senantiasa sampai kepada akhir zaman.” Ayat tersebut tampaknya

merupakan perintah bagi umat manusia untuk menjadi pelayan bagi Tuhan.

Pelayanan bisa dilakukan sesuai dengan talenta (karunia) yang dimiliki oleh

masing-masing orang. Setiap orang memiliki talenta yang berbeda misalnya

menginjil, bermain musik, berbicara atau berkata-kata, berdoa, bernyanyi, menari,

fellowship5, dan hal-hal lain yang dapat diasah dan kemudian dipakai untuk

memuji dan memuliakan Tuhan melalui pelayanan. Sejak gereja muncul di

Indonesia yang mana ideologi agama dibawa oleh para Misionaris Barat,

pelayanan di gereja dilakukan oleh jemaat sesuai dengan kultur masyarakat yang

dimiliki, demikian juga GBI Rayon IV memiliki kultur dan ciri khasnya di dalam

pelayanan gerejawi.

Untuk mengkaji persoalan posisi, fungsi dan peranan perempuan peneliti juga

melihat adanya perbedaan secara historis dari aspek budaya etnis dan agama di

setiap masyarakat. Hal inilah yang menjadi sorotan penulis lalu melakukan

komparatif terhadap beberapa hal melalui sumber literatur yang ada. Dalam

5 Fellowship merupakan sikap ramah tamah, menyapa dan bersalam-salaman. Hal ini dilakukan

untuk mengakrabkan jemaat yang satu dengan yang lain.

Universitas Sumatera Utara

6

sejarah perkembangan feminis perempuan atau kelompok perempuan mempunyai

tantangan pembatas oleh otoritas keagamaan6. Di dalam budaya masyarakat Jawa,

banyak istilah yang mendudukan posisi perempuan lebih rendah dari pada laki-

laki. Dan istilah-istilah itu sudah tertanam dalam masyarakat sehingga, diterima

dan dimaklumi begitu saja. Seperti contoh dalam istilah budaya jawa ada yang

menyebutkan bahwa istri sebagai kanca wingking (teman belakang) sebagai teman

dalam mengelolah urusan rumah tangga, khususnya urusan anak, memasak,

mencuci dan lain-lain. Istilah lain pun yang ditujukan kepada perempuan suargo

nunut neroko katut, istilah ini juga diperuntutkan bagi para istri,bahwa suami

adalah yang menentukan istri akan masuk surga atau neraka7.

Dalam ajaran Islam, Al-Quran lebih menonjolkan kesetaraan gender yang

menganjurkan dan menegakkan prinsip keadilan. Seperti tertulis dalam Al-Quran,

surat Al-Hujurat ayat 14 berbunyi :“Sesungguhnya telah Kuciptakan kalian laki-

laki dan perempuan dan Aku jadikan kalian berbangsa dan bersuku-suku agar

kalian lebih mengenal; sesungguhnya yang mulia di antara kalian adalah yang

paling takwa”. Serta banyak lagi ayat Al-Quran yang mendukung pandangan

bahwa kaum perempuan tidaklah subordinasi. Di dalam islam laki-laki adalah

imam atau kepala di dalam sebuah keluarga maupun di dalam masyarakat dan

perempuan menjadi orang yang memang harus taat pada imamnya, Mansour

Fakih (1996:37).

6 Soe Morgan, Pendekatan Feminis dalam studi agama.

7 Sumber http://sainswindow.blogspot.co.id/2013/10/wanita-dalam-budaya-jawa.html

Universitas Sumatera Utara

7

Sementara dalam tradisi Hindu tidak mengakui bahwa kehidupan religius hanya

bersumber pada kitab suci saja. Terdapat ajaran-ajaran tradisi lisan maupun

praktik ritus. Perempuan dilihat sebagai pemberi keberuntungan, karena mereka

haid, menjadi istri, dan melahirkan anak yang diartikan sebagai kekuatan yang

membawa keuntungan dan keadilan.

Pada masyarakat Batak Toba, laki-laki lebih dihargai daripada perempuan. Istri

yang tidak bisa menurunkan anak laki-laki, membuat laki-laki (suaminya boleh

mengawini perempuan lain lagi untuk mendapatkan anak laki-laki). Perempuan

bekerja keras, laki-laki berkumpul di lapo tuak (kedai minum) sambil main catur

atau kartu, ini masih terdapat di beberapa daerah masyarakat Batak Toba. Dalam

suatu pesta Batak, kepala babi diberikan kepada laki-laki, sebagai manifestasi

falsafah Batak yang merupakan hak laki-laki. Hubungan darah berdasarkan marga

disebut paternalistik. Namun, sebenarnya masyarakat Batak mempunyai konsep

tiga tungku (dalihan natolu), yaitu boru, hula-hula, dan dongan sabutuha. Konsep

ini menunjukkan bahwa perempuan mempunyai status setara dengan laki-laki8.

Bagi masyarakat Batak sebenarnya kedudukan perempuan sangat dihormati, hal

ini terbukti dengan berbagai gelar kehormatan yang diberikan, seperti soripada,

parsonduk bolon, tuan boru, boru ni raja dan lain-lain9. Namun dalam praktiknya

perempuan batak merupakan orang yang harus tunduk dan hormat pada laki-laki

dan menjadi pelayan yang baik bagi keluarga. Perempuan batak yang tidak

memiliki iboto (saudara laki-laki) dianggap sebagai sesuatu yang menyedihkan.

Karena peran laki-laki dalam budaya batak sangatlah penting dan berharga.

8 A. Ninuk P. Murniati, Getar Gender (Magelang: Indonesia Tera: 2004) hal. 89-90

9 Sebutan terhormat atau sanjungan kepada perempuan Batak Toba.

Universitas Sumatera Utara

8

Kaum perempuan di dalam masyarakat Minangkabau menduduki tempat yang

khas karena sistem matriarkhat. Di dalam adat istiadat perempuan Minangkabau

memiliki posisi tawar yang cukup tinggi dan dihargai. Namun, sebagai istri di

dalam kehidupan sehari-hari perempuan Minangkabau tidak banyak kuasanya,

perempuan merupakan factor yang melayani, misalnya di dalam keluarga aum

perempuanlah yang melayani suami dan anak dalam hal mengurus makanan,

pakaian, kebersihan rumah, mengurus anak, dan lain sebagainya. Demikian juga

dalam sebuah pesta adat, perempuan yang mengurus kebutuhan dan keperluan

dapur, memasak dan lainnya. Bagian terbesar pekerjaan sehari-hari jatuh kepada

pundaknya. Hal ini merupakan suatu realitas yang berkaitan dengan isu dan kasus

gender, kebudayaan memilah dan memilih peranan dan fungsi bagi laki-laki dan

perempuan.

Dahulu perempuan dalam Kristen haknya di dalam gereja dibatasi dengan

berbagai alasan. Dalam ajaran Katolik tidak semua bentuk pelayanan dapat

dilakukan perempuan, perempuan hanya bisa melayani sebagai suster dan

sejenisnya. Namun, kini di beberapa gereja di Indonesia ditemukan telah banyak

perempuan yang andil untuk melayani di gereja dengan menduduki berbagai

macam posisi pelayanan.

Dari pengamatan dan perbandingan yang penulis analisi dengan etnis maupun

agama lainnya tidak terdapat hal seperti kasus di GBI tersebut. Hal inilah yang

menarik perhatian penulis dan memunculkan ide bagi penulis untuk melakukan

penelitian tentang bagaimana Gereja Bethel Indonesia memberikan peluang bagi

perempuan untuk melayani serta membentuk budaya baru. Di samping itu juga

Universitas Sumatera Utara

9

akan melihat sejarah dan dasar-dasar apa saja yang menjadikan ideologi ini

muncul. Ketertarikan ini juga karena adanya perbedaan ideologi serta pemahaman

gender yang berbeda yang memunculkan perempuan sehingga memiliki hak yang

sama dengan kaum laki-laki di Gereja Bethel Indonesia untuk melakukan

pelayanan. Sehingga inilah yang menjadi dasar pemikiran penulis untuk

memahami dan memaknai fungsi dan peranan perempuan dalam perspektif

ideologi Gereja Bethel Indonesia Rayon IV Sumatera Resort.

1.2. Tinjauan Pustaka

Carol R. Ember dan Melvin Ember (dalam T.O. Ihromi 2006:18) mengemukakan

bahwa kebudayaan merupakan cara berperilaku yang dipelajari yang digerakkan

oleh naluri. Kebudayaan tidak tergantung dari transmisi biologis atau pewarisan

melalui unsur genetis. Sama halnya dengan James P. Spradley (terjemahan

2007:6) yang mengartikan bahwa kebudayaan merujuk pada pengetahuan yang

diperoleh, yang digunakan orang untuk meninterpretasikan pengalaman dan

melahirkan tingkah laku sosial. Dalam kesamaan mendefinisikan bahwa budaya

adalah suatu hal yang dipelajari dan kemudian diterapkan dalam kehidupan

sehari-hari dalam wujud tingkah laku. Kebudayaan juga berasal dari pengetahuan

dan pemahaman individu.

Manusia merupakan makhluk yang memiliki kebudayaan, dimana

Koentjaraningrat (1997:4) merincikan unsur-unsur kebudayaan yang terdapat di

dalam setiap masyarakat secara universal, yaitu : (1) bahasa, (2) sistem teknologi

(3) sistem ekonomi, (4) organisasi sosial, (5) sistem pengetahuan, (6) kesenian (7)

Universitas Sumatera Utara

10

sistem kepercayaan atau religi yang merupakan salah satu unsur penting dalam

kebudayaan. Agama tak lepas dalam setiap kebudayaan masyarakat.

Menurut T.O. Ihromi (2006:32) walaupun benar bahwa unsur-unsur dari suatu

kebudayaan tidak dapat dimasukkan ke dalam kebudayaan lain tanpa

mengakibatkan sejum;ah perubahan pada kebudayaan itu, kita harus mengingat,

bahwa kebudayaan tidak bersifat statis, ia selalu berubah. Demikian juga halnya

dengan agama atau kepercayaan yang melalui proses dan tahapan perubahan dari

waktu ke waktu. Perubahan tersebut terjadi pada nilai-nilai dan ideologi agama

yang perlahan dari suatu waktu ke waktu berikutnya.

1.2.1. Agama

Agama merupakan suatu istilah yang sepadan yang digunakan untuk menjelaskan

keyakinan atau kepercayaan. Meskipun dalam konteks ini kedua hal ini

dinyatakan sama. Namun di Indonesia istilah agama digunakan untuk menjelaskan

sistem kepercayaan yang sudah dilembagakan, dan Kristen merupakan salah satu

bentuk kepercayaan sudah dilembagakan. Dalam antropologi agama diistilahkan

dalam ungkapan „religi‟ yang mendefinisikan kepercayaan atau keyanikan yang

dimiliki oleh setiap masyarakat.

Dalam bukunya yang berjudul Antropologi Agama, Tony Rudyansjah (2015:64)

mengatakan bahwa agama atau religi mengacu kepada definisi Durkheim,

merupakan sekumpulan keyankinan dan praktik yang berkaitan dengan sesuatu

yang scared (sakral). Salah satu konsep yang dipandang menjadi karakterisitik

dari segala sesuatu yang religius adalah konsep supranatural yang berada di luar

pemahaman manusia, sebagai misteri yang tak dapat diketahui atau tidak dapat

Universitas Sumatera Utara

11

ditangkap oleh akal dan indera manusia. Dalam hal ini agama dipandang sebagai

daya penentu kehidupan manusia.

Jonar Situmorang (2013:9) mengartikan sinonim agama dari bahasa asing,

„religion‟ yang berasal dari bahasa Latin „religare‟ yang artinya kembali terikat.

Disini disimpulkan bahwa hidup yang beragama itu bukanlah hidup yang lepas

dan bebas, melainkan hidup terikat oleh norma-norma dan peraturan-peraturan.

Peraturan tentang kebaktian dan kewajiban-kewajibannya adalah alat untuk

mengikat dan mengutuhkan diri seseorang atau kelompok orang (persekutuan)

dalam hubungannya dengan Tuhan, sesama, dan alam yang mengitarinya.

Peraturan yang tinggi adalah peraturan yang berasal dari Tuhan. Demikian juga ia

mengungkapkan bahwa hidup beragama ialah hidup yang teratur, sesuai dengan

haluan, atau jalan yang telah dilimpahkan dan dijiwai sebagai semangat kebaktian

kepada Tuhan.

Tony Rudyansjah (2015:5) menjelaskan bahwa bagi ahli antropologi, religi

merupakan suatu fenomena budaya yang merupakan satu ekspresi mengenai apa

yang sekelompok manusia pahami, hayati, maupun yakini baik secara tersurat

maupun tersirat sebagai suatu kenyataan yang paling benar beserta berbagai

perilaku berkenaan dengannya, meskipun hal-hal yang dianggap paling benar

tidak dapat dibuktikan secara empiris.

Seperti hasil budaya manusia yang lain, agama dikembangkan berdasarkan pola

pikir yang sudah ada dalam masyarakat. Ideologi gender juga mewarnai

munculnya agama-agama dan perkembangannya. Warna atau pengaruh terdapat di

dalam aturan-aturan agama, dalam kitab suci, dan ajaran agama. Dari beberapa

Universitas Sumatera Utara

12

ajaran agama, dapat diketahui sejauh mana agama mempunyai andil

memantapkan ekses negatif dari ideologi gender (Nunuk P. Murniati 2004:5).

1.2.2. Pelayan dan Pelayanan

Koentjaraningrat (dalam Skripsi Hans Marpaung 2009:11) mengungkapkan

bahwa komponen upacara dalam sebuah kepercayaan ada 4 yakni :

1. Orang yang melakukan dan memimpin upacara

2. Tempat upacara

3. Benda upacara

4. Waktu upacara

Merujuk pada teori di atas, pelayan merupakan salah satu komponen upacara yang

penting. Pelayan merupakan orang-orang yang melakukan dan memimpin upacara

atau ibadah tersebut. Pelayan ibadah di GBI dari berbagai macam pelayanan

bersatu padu di dalam upacara untuk melakukan satu tujuan, baik Worship

Leader, Pemusik, Penari Tamborin, Usher, Singer, dan yang lainnya. Tanpa

adanya pelayan belum tentu ibadah atau upacara berlangsung sesuai dengan yang

dikehendaki.

Alexander Strauch (terjemahan 2008:61) mendefinisikan arti kata „pelayan‟ dalam

dari berbagai bahasa yang berbeda-beda seperti di bawah ini.

Inggris Indonesia Yunani Latin

Servant Servant =Diakonos =Diakonos

Minister Pelayan

Deacon Diaken

Universitas Sumatera Utara

13

Serve Melayani

(kt.kerja)

Minister Melayani =Diakoneo Ministro

Service Pelayanan

Ministry Pelayanan =Diakonia

Slave Budak =Duolus Servus

Dari uraian di atas mengungkapkan bahwa ia memilah kata-kata yang berbeda

dalam berbagai bahasa untuk mendefinisikan apa itu pelayan dan pelayanan.

Beberapa kata diantaranya digunakan dalam Alkitab Perjanjian Baru untuk

menggambarkan pelayan atau hamba dalam arti sessungguhnya.

Pdm. Markus S., M.Th (2010:196) kata „pelayanan‟ berasal dari bahasa Yunani,

yakni diakonia yang berarti melakukan sesuatu yang diperintahkan Tuhan kepada

kita. Bagi orang yang sudah percaya (kepada Yesus Kristus), pelayanan

merupakan suatu kewajiban. 1 Petrus 4:10 “Layanilah seorang akan yang lain,

sesuai dengan karunia yang telah diperoleh tiap-tiap orang sebagai pengurus

yang baik dari kasih karunia Allah.”

1.2.3. Melihat dalam Perspektif Gender

Secara umum gender merupakan pembedaan atau perbedaan peran laki-laki dam

perempuan baik dalam fungsi, tanggung jawab, perilaku, yang dibentuk oleh

sosial budaya pada masing-masing masyarakat tersebut.

Dalam pemahaman gender terdapat 2 teori, yakni :

Universitas Sumatera Utara

14

1. Teori nature yang beranggapan bahwa perbedaan psikologis antara

perempuan dan laki-laki hanya disebabkan oleh perbedaan fisiologis dan

biologis saja.

2. Teori nurture yang beranggapan bahwa perbedaan psikologis antara

perempuan dan laki-laki disebabkan oleh proses belajar dari lingkungan.

Konstruksi sosial budayalah yang memunculkan maskulinitas dan

feminimitas.

Dari uraian teori di atas, maka jelaslah bahwa agama merupakan hasil

budaya yang dibentuk oleh lingkungan yang merupakan factor dari teori

nurture.

Dalam bukunya yang berjudul “Getar Gender” Nunuk P. Murniati (2004: 5) juga

mengungkapkan bahwa agama dikembangkan berdasarkan pola pikir yang sudah

ada dalam masyarakat. Ideologi gender juga mewarnai munculnya agama-agama

dan perkembangannya. Warna atau pengaruh ini tampak dalam peraturan agama.

Dari beberapa agama dapat diketahui seberapa jauh agama mempunyai andil

memantapkan ekses negative dari ideologi gender.

A. Nunuk P. Murniati (2004: 9) mengungkapkan bahwa dalam agama Kristen

status perempuan dijadikan subjek dosa sehingga dihukum. Hal ini didukung oleh

adanya nats Alkitab yang mengatur cara hidup perempuan seakan perempuan

merupakan makhluk yang harus diberi hukuman. Di dalam alkitab tertulis seperti

di Amsal 31 :10-31, Imamat 15:19-24, Ulangan 22:13-20. Agama Kristen dalam

menilai perempuan berangkat dari cerita Adam dan Hawa, dimana sebagai

manusia Hawa sebagai perempuan lebih rendah dibanding Adam. Asal-usul Hawa

Universitas Sumatera Utara

15

dari tulang rusuk Adam merupakan hal yang paling tidak menyatakan status

inferior10

perempuan. Dan dibenarkan oleh adanya cerita bahwa perempuanlah

yang pertama kali jatuh ke dalam dosa.

Ia juga menjelaskan bahwa beberapa perikop dalam Alkitab menafsirkan bahwa

para Bapa Gereja memojokkan perempuan. Perempuan tidak diberikan hak untuk

bicara dalam pertemuan jemaat. Kekuasaan ditentukan, seperti dalam gereja

Katolik yang berkuasa adalah laki-laki. Sebelumnya perempuan tidak boleh

menjadi imam dan pemimpin upacara atau ibadah. Namun, sekarang gereja mulai

memberi kesempatan untuk perempuan memimpin ibadah. Gereja-gereja Kristen

telah mentahbiskan pendeta perempuan, tak bisa dipungkiri masih banyak paham

hakikat pekerjaan perempuan cenderung melayani.

Dalam penelitian ini juga tidak hanya melihat perempuan saja di dalam gereja

namun juga melihat pembagian tugas dan peranan antara laki-laki dan perempuan.

Seperti yang dikatakan oleh Nunuk P. Muniarti bahwa analisis gender tidak hanya

melihat peran dan kegiatan antara laki-laki dan perempuan, namun juga melihat

relasi mereka. Bagaimana agama dalam mempengaruhi hubungan perempuan dan

laki-laki. Bersumber dari kitab suci yang ada, dibuat peraturan untuk beribadah

kekuasaan mulai ditentukan, seperti dalam gereja Katolik yang berkuasa adalah

laki-laki. Perempuan tidak boleh menjadi imam dan pemimpin upacara/ibadah.

Namun, sekarang gereja mulai memberi kesempatan bagi perempuan, bahkan

gereja Kristen, selain Katolik, sudah mentasbihkan pendeta perempuan.

10

Inferior = posisi perempuan yang cenderung dianggap lemah.

Universitas Sumatera Utara

16

Akan tetapi gambaran mengenai kedudukan perempuan di dalam masyarakat tidak

dapat kita peroleh sebelum kita meneliti arti kedudukan perempuan di dalam

rumah tangga dan meninjau ulang kasus-kasus tersebut. (T.O Ihromi dan Maria

Ulfa Subadio 1994:41) Dari teks di atas dapat diambil kesimpulan sementara

bahwa ideologi agama yang merupakan unsur kebudayaan yang mengalami

perubahan. Kebudayaan tidak bersifat statis ia selalu berubah. Dalam suatu

kebudayaan selalu ada sesuatu kebebasan tertentu pada para individu

memperkenalkan variasi hingga variasi-variasi tersebut diterima dan dapat

menjadi milik masyarakat. (T.O Ihromi 1980:32)

Trisakti Handayani dan Sugiarti (2008:15-18) mengungkapkan bahwa perbedaan

gender dapat melahirkan ketidakadilan. Adapun bentuk manifestasi ketidakadilan

tersebut di antaranya adalah11

:

1. Gender dan marginalisasi perempuan

Bentuk manifestasi ini merupakan proses marginalisasi atau pemiskinan terhadap

kaum perempuan atau disebut juga pemiskinan ekonomi.

2. Gender dan subordinasi pekerjaan perempuan.

Adanya anggapan bahwa perempuan tidak penting terlibat dalam pengambilan

keputusan. Perempuan cenderung tersubordinasi oleh faktor-faktor yang

dikonstruksikan secara sosial dan mengakibatkan adanya diskriminasi kerja bagi

perempuan.

3. Gender dan stereotip atas pekerjaan perempuan.

11

Trisakti Handayani, Sugiarti, Konsep dan Teknik Penelitian Gender (Malang: UMM Press,

2008) hal. 15-18

Universitas Sumatera Utara

17

Stereotip merupakan pelabelan terhadap suatu kelompok ataujenis pekerjaan

tertentu. Hal ini merupakan bentuk ketidakadilan, sehingga dinamakan pelabelan

negatif. Biasanya terjadi karena disebabkan pelabelan yang sudah melekat pada

laki-laki, misalnya laki-laki adalah manusia yang kuat, rasional, jantan, dan

perkasa. Sedangkan perempuan adalah makhlukyang lembut, cantik, emosional,

atau keibuan. Dengan adanya pelabelan tersebut membuat perempuan

dikonstruksikan sebagai kaum yang identik dengan pekerjaan-pekerjaan rumah,

maka peluang perempuan untuk bekerja di luar rumah sangat terbatas.

4. Gender dan kekerasan terhadap perempuan.

Jika diperhatikan bahwa kekerasan yang terjadi pada perempuan merupakan

kekerasan yang disebabkan adanya keyakinan gender.

5. Gender dan beban kerja lebih berat

Perkembangan perempuan tidaklah „mengubah‟ peranannya yang lama yaitu

peranan dalam lingkup rumah tangga. Maka dari itu, perkembangan peran

perempuan menambah dan menuntut perempuan mengerjakan peranannya

sekaligus, sehingga membuat beban kerja yang lebih berat.

Saumiman Saud (2006:59-66) menjelaskan bahwa dalam kehidupan seorang

wanita, ia haruslah berhikmat. Dimana ia mengartikan hikmat sebagai

kebijaksanaan dalam bertindak maupun mengambil keputusan yang seadil-

adilnya. Ia mengambil ayat Alkitab yang tertulis di Amsal 31:10-31 lalu

menguraikannya dan menjelaskan bahwa wanita yang berhikmat adalah :

Universitas Sumatera Utara

18

1. Wanita yang berhikmat mengasihi keluarganya.

2. Wanita yang berhikmat memperhatikan kebutuhan keluarganya.

3. Wanita yang berhikmat mendapat pujian orang banyak karena kualitas

kehidupannya yang baik. Kualitas yang baik dibuktikan dengan adanya

sikap dan tindakan yang taat dan melayani Tuhan.

Dalam bukunya yang berjudul “Lady in Waiting” Jeckie Kendall dan Debbie

Jones (2005:9-23 dan 73-87) menguraikan bagaimana seorang perempuan

harusnya menyerahkan diri kepada Allah untuk mengabdi dan melayani Tuhan.

Dalam tulisan ini dijelaskan bagaimana perempuan memutuskan untuk menjalin

hubungan yang baik dengan Tuhan Yesus serta menjadikan Yesus sebagai fokus

utama dalam kehidupan. Kata pengabdian yang dimaksudkan artinya ialah

mengabdia atau melayani dan memberikan diri sepenuhnya kepada Tuhan untuk

melakukan kehendak-Nya.

Harmona Daulay (2007:5) mengungkapkan bahwa gender merupakan konsepsi

yang mengaharapkan kesetaraan status dan peranan antara laki-laki dan

perempuan. Konsep gender melihat semua hal yang dapat dipertukarkan atau

berubah dari waktu ke waktu berbeda, dari suatu tempat ke tempat lain. Sehingga

stereotip-stereotip yang selama tentang laki-laki dan perempuan yang selama ini

dianggap kodrat bukan suatu harga mati yang harus dipertahankan yang tidak

menyeimbangkan kesetaraan hubungan laki-laki dan perempuan.

Dengan demikian sesungguhnya perempuan haruslah memiliki ciri ideal yang

diharapkan oleh lingkungan sekitarnya. Sekalipun dalam pelayanan, terdapat hal-

Universitas Sumatera Utara

19

hal yang memang harus dimiliki atau diubahkan oleh perempuan. Agar eksistensi

seorang perempuan dapat terus bertahan. Dalam kajian ini peneliti akan

menekankan tentang persepsi dan konstruksi, serta ideologi yang terdapat dalam

Gereja Bethel Indonesia Rayon IV Sumatera Resort.

1.3. Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan di atas, adanya peranan

perempuan di Gereja Bethel Indonesia yang menjadi pelayan gereja dan turut

mengabdikan dirinya untuk pelayanan gereja. Pada penelitian ini juga memiliki

pertanyaan penelitian yang merupakan suatu masalah yang ada pada pelayanan

perempuan di Gereja Bethel Indonesia Rayon IV Medan. Adapun pertanyaan

penelitian ini yaitu :

1. Bagaimana proses perekrutan serta peluang bagi pelayan perempuan di

Gereja Bethel Indonesia Rayon IV Sumatera Resort?

2. Bagaimana pandangan pendeta GBI tentang perempuan yang melayani di

GBI Rayon IV Sumatera Resort?

3. Bagaimana pelayanan yang dilakukan oleh perempuan di GBI Rayon IV

Sumatera Resort?

1.4. Tujuan dan Manfaat

Tujuan penelitian ini adalah :

a. Mengetahui bagaimana perekrutan pelayan gereja yang dilakukan oleh

GBI Rayon IV Sumatera Resort.

Universitas Sumatera Utara

20

b. Mengetahui pandangan pendeta tentang pelayanan yang dilakukan oleh

perempuan di GBI Rayon IV.

c. Memahami pelayanan yang dilakukan oleh perempuan serta

mengetahui perspektif ideologi GBI rayon IV dalam melibatkan

perempuan dalam pelayanan gereja dalam Gereja Bethel Indonesia

Rayon IV Medan.

Manfaat yang diharapkan dari penelitian ini ialah :

a. Menambah kepustakaan Departemen Antropologi FISIP USU dalam

kajian mengenai Antropologi Agama yang berkaitan dengan Gender

tentang pelayan perempuan di gereja.

b. Menambah wawasan keilmuan khususnya dalam bidang Antropologi

Religi dan Antropologi Gender.memberikan pemahaman bagi

masyarakat tentang isu gender di dalam gereja

c. Terbentuknya pola pikir yang kritis dalam memandang persoalan

gender dan teologi, dan tidak lagi memandang perempuan dalam

agama sebagai suatu hal yang bias. Menimbulkan respon masyarakat,

peneliti, maupun pakar-pakar agama, serta ilmu sosial dan budaya

untuk lebih peka dalam memandang persoalan religi yang berkaitan

dengan gender.

1.5. Metode Penelitian

Metode penelitian yang akan digunakan dalam penelitian ini adalah metode

penelitian lapangan dengan metode kualitatif deskripif. Peneliti akan

menggunakan metode berbasis etnograsi native‟s point of view dalam memahami

Universitas Sumatera Utara

21

pelayan perempuan di Gereja Bethel Indonesia Rayon IV Medan. Penelitian akan

dilakukan di Gereja Bethel Indonesia Rayon IV Medan di Sumatera Resort,

Medan. Teknik pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini ialah:

1. Wawancara

Wawancara adalah pertemuan dua orang untuk bertukar informasi melalui proses

tanya jawab sehingga diperoleh makna dari topik yang dibahas. Wawancara

mendalam melalui proses dilakukan agar memperoleh keterangan untuk tujuan

penelitian dengan cara tanya jawab sambil bertatap muka antara pewawancara

dengan informan atau orang yang diwawancarai dengan menggunakan pedoman

wawancara (interview guide)12

, dimana pewawancara dan informan terlibat dalam

kehidupan sosial atau huungan komunikasi yang relatif intens. Penulis juga

mungkin akan menggunakan rekaman bila diberi izin oleh informan untuk

direkam. Wawancara merupakan satu-satunya teknik yang dapat digunakan untuk

memperoleh keterangan tentang kejadian yang oleh peneliti tak dapat diamati oleh

peneliti secara langsung.

Dalam pengumpulan data peneliti akan mencari data dengan melakukan

wawancara dengan informan yang mampu memberikan informasi yang akurat

tentang pelayanan perempuan di GBI Rayon IV. Informan yang akan

diwawancara dimulai dari informan pangkal yaitu orang yang mungkin dapat

membantu memberi tahu tentang informasi awal dan memberikan petunjuk

kepada siapa saja kita akan melakukan wawancara. Kemudian informan kunci

ialah informan yang memiliki banyak pengetahuan dan mau bertukar informasi,

12

Interwiew Guide merupakan pertanyaan-pertanyaan panduan yang akan kita gunakan ketika

melakukan wawancara informan.

Universitas Sumatera Utara

22

yang intensitas pertemuannya berulang kali. Yang menjadi target peneliti untuk

diwawancara ialah perempuan yang merupakan pelayan di Gereja Bethel

Indonesia Sumatera Resort, peneliti akan mewawancarai empat orang pelayan

perempuan untuk medeskripsikan kisah pelayanannya, dan pandangan orang

sekitarnya baik teman maupun keluarganya, serta pandangan dari pihak gereja

maupun pemimpin atau ahli teologi yang ada di gereja (Pendeta).

2. Observasi (Pengamatan)

Observasi merupakan teknik pengumpulan data yang dilakukan melalui

pengamatan dan pengindraan yang meninjau secara cermat dan langsung di

lapangan dan lokasi penelitian. Pengamatan ini berupa melakukan tindakan

mengamati berbagai ruang dan tempat, dimana peneliti mencoba masuk ke dalam

kehidupan sosial pelayan perempuan Gereja Bethel Indonesia dan melakukan

kegiatan interaksi sehari-hari yang akan dilakukan peneliti bersama dengan

masyarakat yang menjadi sasaran penelitian.

Dalam penelitian ini penulis mungkin akan dilakukan teknik observasi partisipant

13 dimana peneliti observasi secara langsung dalam kegiatan di lapangan dan

mungkin akan mengikuti ibadah dan kegiatan lainnya. Sehingga penulis dapat

menggunakan pengetahuan budaya yang dimilki masyarakat. Tujuan dari

observasi adalah untuk menghasilkan sebuah deskripsi yang lengkap dan

berkualitas melalui proses interaksi sosial yang dialami. Dimana peneliti akan

membangun rapport14

dengan mendekatkan diri dengan masyarakat/informan. Tak

lupa juga dalam observasi penulis bila diizinkan akan mendokumentasikan

13

Observasi partisipant adalah sebuah cara pengumpulan data dengan ikut serta teribat dalam

aktivitas kehidupan sehari-hari masyarakat yang ditelitinya dan mungkin saja bisa tinggal bersama

dengan mereka untuk beberapa waktu tertentu.

14

Rapport adalah hubungan yang baik dengan informan.

Universitas Sumatera Utara

23

kegiatan yang dilakukan baik menggunakan catatan lapangan (field note) dan

mengabadikannya menggunakan kamera.

1.6 Lokasi Penelitian

Lokasi penelitian ini di Gereja Bethel Indonesia Rayon IV fokus penelitian di GBI

Sumatera Resort Medan. Gereja ini berlokasi di Jalan Jamin Ginting Km. 11,5,

Simpang Selayang, Medan. Pemilihan lokasi ini didasarkan ketertarikan peneliti

terhadap pelayanan perempuan di gereja tersebut untuk melakukan penelitian di

lokasi ini.

1.7. Analisis Data

Data-data yang diperoleh dari lapangan yang berebentuk rekaman maupun

verbatim note akan ditranskripkan atau dipindahkan dalam bentuk field note

(catatan lapangan). Catatan lapangan yang ditulis merupakan catatan yang lebih

rinci. Setelah itu data-data tersebut diuraikan dan dideskripsikan dalam skripsi.

Penulis juga akan menggunakan data kepustakaan guna melengkapi informasi

yang berkaitan dengan penelitian. Data-data kepustakaan berupa sumber-sumber

tertulis seperti buku-buku buletin, warta, dan sumber-sumber elektronik seperti

internet.

1.8. Pengalaman Penelitian

Penelitian ini berjudul Pelayan Perempuan di Gereja Bethel Indonesia Rayon IV

Sumatera Resort. Penelitian ini dilakukan setelah melalui proses dan tahapan

akademis yang berlaku, hingga disetujui untuk dilakukan penelitian. Adalah hal

yang baru bagi peneliti untuk masuk ke dalam lingkungan GBI Rayon IV,

Universitas Sumatera Utara

24

meskipun sudah beberapa kali mengikuti ibadah namun peneliti bukan merupakan

jemaat tetap gereja tersebut.

Awalnya melakukan penelitian ini cukup antusias dan merasa ragu mengingat

GBI Rayon IV merupakan gereja besar namanya. Ada ketakutan yang muncul jika

saja tidak diberikan izin untuk melakukan penelitian di tempat tersebut. Tak lama

kemudian sekitar akhir Maret, setelah surat lapangan yang dikeluarkan oleh

Fakultas sudah di genggaman kemudian peneliti mendatangi pihak Sekretariat

GBI dan memperkenalkan diri serta memohon izin penelitian dan menjelaskan

maksud dan tujuan. Bahagia sekali ketika pihak gereja terbuka dan memberikan

izin.

Peneliti kemudian diarahkan untuk menemui pihak sekretariat yang merupakan

staff WBI (Wanita Bethel Indonesia) yakni Kak Mei. Peneliti mulai terlibat dalam

beberapa kegiatan ibadah WBI serta mulai beradaptasi dan mengenal lingkungan

GBI Rayon IV. Seiring berjalannya waktu peneliti mengikuti banyak kegiatan

yang ada di antaranya ialah kut serta dalam membagikan sarapan pagi serta

berpartisipasi memasak untuk konsumsi tukang yang sedang membangun Rumah

Persembahan bersama para perempuan-perempuan WBI.

Dari hasil perbincangan dengan beberapa pihak yang mau membantu peneliti

diarahkan untuk menjumpai pihak Departemen Musik karena sebagian daripada

informan yang akan peneliti wawancara adalah pelayan yang di bawah anungan

Departemen Musik. Oleh pihak Departemen Musik peneliti juga diberikan

rekomendasi para pelayan perempuan yang dapat diwawanacarai, peneliti pun

memulai kontak awal dengan satu-persatu di antara mereka. Kami pun membuat

Universitas Sumatera Utara

25

janji untuk bertemu. Namun, untuk jumpa dengan beberapa informan sangatlah

sulit dan pernah beberapa kali reschedule (atur ulang jadwal) karena jadwal

informan yang sangat padat dan kesibukan yang tidak bisa dielakkan.

Setelah bertemu waktu yang tepat, maka kami berjumpa dan mengobrol satu sama

lain, pertemuannya bisa dikatakan tidak hanya sekali saja. Peneliti juga

berhubungan dengan informan tidak hanya dengan komunikasi tatap muka,

namun juga melalui panggilan telepon maupun SMS (Short Message Service)

bahkan beberapa informan juga menggunakan sosial media seperti LINE, untuk

berkomunikasi dengan peneliti.

Penelitian yang dilakukan membuat peneliti harus selalu rajin datang ke GBI

Rayon IV Sumatera Resort beberapa kali dalam seminggu. Bahkan peneliti pernah

setiap hari harus datang agar bisa bertemu dengan salah seorang informan yang

cukup sibuk. Tidak hanya di gereja, peneliti juga pernah beberapa kali berjumpa

dan melakukan wawancara dengan informan di Kafe dan tempat-tempat lain di

luar gereja. Bahkan beberapa informan lainnya juga harus peneliti hampiri ke

rumahnya.

Selama penelitian, bahkan melakukan wawancara dengan informan, peneliti

mendapatkan banyak pengetahuan-pengetahuan baru yang bahkan tak pernah

diketahui sebelumnya. Bertemu dengan para informan dengan latar belakang

kehidupan dan latar belakang pelayanan yang berbeda merupakan pengalaman

yang tak mudah didapat. Disamping itu peneliti merasa bahwa semua informan

baik dan terbuka untuk setiap pertanyaan yang peneliti berikan. Peneliti juga

Universitas Sumatera Utara

26

berhubungan baik dan menjadi cukup akrab dengan informan yang sebelumnya

sama sekali tidak saling kenal.

Secara spiritual, peneliti juga mendapatkan pengetahuan baru tentang pelayanan

dan pengetahuan tentang berdoa dalam gereja karismatik yang notobene peneliti

berasal dari gereja kesukuan, yaitu HKBP (Huria Kristen Batak Protestan).

Namun ini menjadikan peneliti belajar dan menggunakan sudut pandang yang

berbeda.

Penelitian ini memakan waktu yang cukup lama sekitar empat bulan karena tak

mudah untuk berjumpa dengan setiap informan. Peneliti sempat merasa jenuh

karena masalah waktu tersebut sementara peneliti harus sesegara mungkin

menyelesaikannya. Namun peneliti tetap mengambil sisi positif dari hal tersebut

karena bagaimanapun penelitian merupakan sebuah proses yang memang harus

dilalui dan proses tersebut membuat peneliti mempelajari banyak hal dengan

perspektif yang berbeda.

Universitas Sumatera Utara