Upload
elok-hendiono
View
216
Download
0
Embed Size (px)
DESCRIPTION
bjb
Citation preview
A. Genealogi Pluralisme Keagamaan
Pluralisme keagamaan (al-ta’addudiyah al-diniyah) dibentuk dari dua kata;
pluralisme dan keagamaan. Istilah pluralisme berasal dari kata plural yang berarti
jamak atau berbilang. Dalam kamus, kata plural diartikan dengan bentuk kata yang
digunakan untuk menunjukkan lebih dari satu. Dalam tradisi filsafat, pluralisme
berarti pandangan yang melihat dunia terdiri dari banyak makhluk. Pluralisme
seringkali dibandingkan maknanya dengan monisme yang berarti kesatuan dalam
banyak hal. Pluralisme juga dapat dibedakan dengan dualisme yang melihat dunia
sebagai entitas yang memiliki dua hal yang berbeda.
Monisme (monism) berasal dari bahasa Yunani monos yang berarti tunggal atau
sendiri. Istilah ini pertama kali diperkenalkan oleh filosof Jerman, Christian Wolff
(1679-1754), untuk menunjukkan paham yang menyatakan bahwa dasar pokok
seluruh eksistensi adalah satu sumber. Monisme terbagi menjadi dua; pertama,
monisme fisik (physical monism) yang terwujud dalam filsafat materialisme yang
menyatakan bahwa seluruh alam adalah benda. Kedua, monisme mental (mental
monism) sebagaimana diyakini penganut idealisme yang menyatakan bahwa alam dan
seluruhnya adalah gagasan atau ide.
Sementara dualisme (dualism) berasal dari bahasa Latin dualis yang berarti dua.
Istilah ini telah diperkenalkan sejak 1700 oleh Thomas Hyde dan digunakan Christian
Wolff untuk menunjukkan oposisi metafisik pikiran dan materi. Dualisme merupakan
aliran yang memandang sesuatu serba dua. Tegasnya, dualisme merupakan pandangan
filosofis yang menegaskan eksistensi dari dua bidang yang terpisah, tidak dapat
direduksi, dan bersifat unik. Sebagai contoh sifat adikodrati-kodrati, Allah-alam
semesta, roh-materi, jiwa-badan, dunia yang kelihatan-dunia yang tidak kelihatan,
dunia inderawi-dunia intelektual, realitas aktual-realitas kemungkinan, dunia
noumenal-dunia fenomenal, dan kekuatan kebaikan-kekuatan kejahatan. Menurut
penganut dualisme, semua fenomena dapat dijelaskan dalam konteks pertentangan
dua realitas yang berbeda.
Pluralisme juga digunakan dalam pengertian sosio-politik sebagai sistem yang
mengakui koeksistensi keragaman kelompok baik yang bercorak ras, suku, aliran,
kebudayaan, maupun partai dengan tetap menjunjung tinggi perbedaan yang sangat
unik di antara kelompok tersebut. Henry S. Kariel menyebutkan enam proposisi
umum yang terintegrasi dalam teori politik pluralisme;
(1) individu terwakili dalam beberapa unit kecil pemerintahan,
(2) penyelenggaraan pemerintahan yang tidak representatif menimbulkan kekacauan,
(3) masyarakat terdiri dari berbagai asosiasi keagamaan, kebudayaan, pendidikan,
profesi, dan ekonomi yang berdiri sendiri,
(4) asosiasi-asosiasi ini bersifat sukarela dimana tidak ada keharusan bahwa semua
orang harus berafiliasi pada satu asosiasi saja,
(5) kebijakan umum yang diterima dan mengikat adalah hasil interaksi bebas antar
asosiasi,
(6) pemerintahan publik wajib mengakui dan bertindak hanya berdasarkan
kesepakatan kelompok (common denominator).
Keenam proposisi tersebut menggambarkan gagasan pluralisme politik di abad
modern yang dapat dijadikan model atau kerangka reformasi. Pertama, harus ada
perwakilan yang sah dari berbagai kecenderungan dalam masyarakat yang dapat
menyuarakan aspirasi anggotanya. Perwakilan ini dalam sistem pemerintahan
demokrasi diwujudkan dalam bentuk parlemen yang berfungsi sebagai kekuatan
kontrol bagi pemerintah. Kedua, representasi masyarakat dalam perwakilan harus
diperhatikan untuk menghindari kesalahpahaman antarkelompok. Ketiga, harus ada
kesadaran bahwa kelompok-kelompok di masyarakat memiliki kepentingan yang
berbeda. Keempat, kelompok-kelompok tersebut muncul secara sukarela dan tanpa
paksaan dari pihak lain. Kelima, kebijakan yang muncul harus merupakan hasil dari
pembicaraan antarkelompok. Tidak boleh ada kebijakan yang muncul tiba-tiba tanpa
melibatkan kelompok atau keterwakilan warga masyarakat. Keenam, pluralisme
bermakna mencari persamaan sebanyak mungkin dan meminimalkan perbedaan di
antara kelompok.
Makna sosial politik pluralisme tersebut menunjukkan bahwa pluralisme tidak saja
mengisyaratkan adanya kesediaan untuk mengakui hak kelompok lain, tetapi juga
harus bersedia berlaku adil kepada kelompok lain atas dasar perdamaian dan saling
menghormati. Sikap ini perlu ditonjolkan, sebab sebuah negara bangsa, bahkan entitas
geografis yang paling harmonis sekalipun tetap menampilkan keragaman ras, suku,
dan agama. Demikian juga dengan gagasan-gagasan ideologis dan politis pasti
mencerminkan perbedaan alamiah dalam pemikiran dan penilaian. Apalagi setelah era
global dengan segala akibat yang ditimbulkan, maka keragaman telah menjadi
kenyataan yang harus diterima baik secara intelektual maupun moral. Maka dalam hal
ini penting dikedepankan pemahaman tentang pluralisme yang menekankan bahwa
kelompok-kelompok minoritas dapat berperan serta secara penuh dan setara dengan
kelompok mayoritas dalam masyarakat dengan tetap mempertahankan identitas dan
kekhasan mereka.
B. Tipologi Pluralisme Keagamaan
Menurut Kosuke Koyama, sejauh ini perbincangan mengenai pluralisme kegamaan
berkaitan dengan dua pendekatan terhadap watak dan hakikat kebenaran; pertama,
kelompok yang mengatakan bahwa sejak semula hakikat kebenaran tidak hanya satu,
melainkan banyak. Pandangan ini dapat disebut sebagai pluralisme ekstrim (hard
pluralism). Kedua, kelompok yang berpandangan bahwa hanya ada satu hakikat
kebenaran yang muncul dalam banyak bentuk. Pandangan ini dapat disebut pluralisme
moderat (soft pluralism).
Tipologi yang dibuat Koyama tersebut semakin mempertegas pandangan yang
menginginkan agar pluralisme juga mengakui; (1) beberapa common ground di mana
semua kemanusiaan berdiri, yang tanpanya maka berbagai model keberagaman seperti
pluralisme, inklusivisme, dan eksklusivisme, tidak akan pernah bermakna, (2)
kebenaran yang sama dapat muncul dalam tradisi agama-agama yang berbeda melalui
simbol-simbol dan bentuk-bentuk pemikiran, (3) apa pun yang dikatakan orang
mengenai pluralisme, inklusivisme, dan eksklusivisme, yang pasti kehidupan
keagamaan adalah suatu komitmen. Orang Islami adalah islami karena meyakini
Islam sebagai agama yang benar, demikian juga dengan orang Kristen, Hindu, Budha,
dan seterusnya.
Sementara Kuntowijoyo menggunakan istilah yang berbeda ketika membuat tipologi
pluralisme. Ia menggunakan istilah pluralisme negatif dan pluralisme positif. Istilh
pluralisme negatif digunakan untuk menunjukkan sikap keberagaman seseorang yang
sangat ekstrim ketika misalnya mengatakan bahwa beragama itu ibarat memakai baju
sehingga ia dapat menggantinya kapan saja dikehendaki. Sementara pluralisme positif
merupakan sikap keberagaman yang sangat mengedepankan penghormatan dan
penghargaan terhadap pendapat, pilihan hidup, dan keyakinan keagamaan.
Berkaitan dengan ide pluralisme, Nurcholish Madjid (Cak Nur) menekankan bahwa
perbedaan dan keanekaragaman atau pluralitas dalam pola hidup manusia merupakan
kehendak Allah dan fakta alamiah (sunnatullah). Dalam hal ini Cak Nur
mengungkapkan bahwa pluralisme adalah suatu sistem nilai yang mengharuskan
manusia menghormati semua bentuk keanekaragaman dan perbedaan, dengan
menerima hal tersebut sebagai suatu realitas yang sebenarnya dan dengan melakukan
semua kebaikan sesuai dengan watak pribadi masing-masing.
Ilmuwan yang juga disebut Bapak Perbandingan Agama di Indonesia, A. Mukti Ali,
juga mengajukan tipologi pluralisme keagamaan. Menurut Mukti Ali, pluralitas
merupakan realitas yang sangat jelas kelihatan. Dalam hal ini, Mukti Ali berpendapat
karena di Indonesia terdapat banyak agama dan setiap agama mengajarkan jalan hidup
yang berbeda-beda maka dibutuhkan jalan untuk mencapai kerukunan dalam
kehidupan keagamaan.
Mukti Ali menunjukkan beberapa pilihan yang diajukan para ahli untuk
menumbuhkan nilai-nilai pluralisme. Pola pertama disebut sinkretisme, yaitu
pendapat yang menyatakan bahwa semua agama sama. Pola kedua disebut
reconception, berarti meneyelami dan meninjau kembali agama sendiri dalam
konfrontasi dengan agama-agama lain. Pola ketiga disebut sintesis, yang berarti
menciptakan suatu agama baru yang elemen-elemennya diambilkan dari berbagai
agama. Pola keempat disebut pergantian, yang berarti mengakui bahwa agamanya
sendiri itulah yang benar, sedangkan agama orang lain adalah salah. Pola kelima
disebut agree in disagreement (setuju dalam perbedaan), pola ini mengajarkan bahwa
agama yang ia peluk itulah agama yang paling baik, dan mempersilahkan orang lain
untuk mempercayai bahwa agama yang dipeluknya adalah agama yang paling baik.
C. Pluralisme dalam Agama-agama
1. Agama Yahudi
Menurut Harold Coward, agama yahudi (Judaism) pantas dijadikan rujukan awal
pembahasan pluralisme keagamaan. Pandangan Coward ini didasarkan pada dua
argumentasi; pertama, agama Yahudi adalah agama pertama yang mencapai bentuk
dan keyakinan yang mengajarkan monoteism. Agama monoteisme lain, Islam dan
Kristen, telah menjadikan Yahudi sebagai konteks kemunculan dan ajarannya. Jadi,
agak sama dengan hubungan agama Hindu dan Budha di dunia Timur. Keterkaitan
agama Yahudi, Kristen, dan Islam, yang mengajarkan monoteisme telah menjadikan
para filosof dan teolog Yahudi melakukan penyelidikan terhadap ajaran mereka
berkaitan dengan ajaran agama lain.
Kedua, pluralisme keagamaan dalam agama Yahudi banyak berkaitan dengan
pengalaman hidup para pengikutnya. Mereka memiliki pengalaman hidup yang
dinamakan diaspora, yakni hidup dalam komunitas keagamaan yang terpencar dan
hidup sebagai kelompok minoritas di tengah komunitas agama lain.
2. Agama Kristen
Doktrin agama Kristen juga menunjukkan adanya kesadaran bahwa pluralisme
keagamaan dapat menjadi tantangan bagi komunitas Kristiani dalam membangun
hubungan dengan agama-agama lain. Masalah utama yang dihadapi agama Kristen
adalah adanya keharusan untuk meyakini ajaran Kristiani yang memiliki keunikan
seperti doktrin tentang inkarnasi Allah dalam diri Kristus. Di samping itu, doktrin
dalam agama Kristen juga banyak mengemukakan ajaran yang sangat eksklusif
sehingga dapat menutup pintu dialog dengan komunitas agama lain. Misalnya,
dikemukakan bahwa Yesus Kristus adalah jalan satu-satunya yang sah bagi
keselamatan. Pandangan yang eksklusif ini mendominasi kalangan Kristen selama
berabad-abad. Di samping pandangan yang bercorak eksklusif, terdapat juga beberapa
pemikiran dari pemikir Kristiani yang dapat dikategorikan inklusif. Pandangan
inklusif ini mengakui kehadiran dan aktivitas penyelamatan yang dilakukan Tuhan
melalui semua tradisi agama.
3. Agama Islam
Interaksi umat Islam dengan penganut agama lain telah terjadi sejak masa awal
sejarah kemunculan Islam. Rasul Muhammad saw dan para sahabat juga telah hidup
berdampingan dengan berbagai komunitas agama lain. Bahkan ketika Muhammad
saw. mendapatkan kepercayaan untuk menjadi pemimpin politik di Madinah, kota ini
juga dihuni oleh berbagai komunitas agama seperti Yahudi, Islam, dan bangsa Arab
yang belum masuk Islam. Tidak hanya itu, setiap komunitas ini juga terbagi dalam
banyak suku. Misalnya, komunitas Yahudi dikatakan memiliki lebih dari 20 suku, di
antara yang terkenal adalah Bani Quraidah, Nadir, dan Qainuqah.
Sementara bangsa Arab yang mendiami Madinah juga terbagi dalam banyak
suku, di antara yang terutama adalah Aus dan Khazraj. Untk menyatukan suku-suku
Arab inilah Nabi Muhammad saw. berusaha mempersaudarakan mereka dengan
menggunakan sebutan Ansar dan Muhajirin, tanpa melihat asal suku masing-masing.
Penamaan Ansar dan Muhajirin ini jelas merupaka usaha Nabi Muhammad untuk
mempererat peraudaraan (ukhuwwah) di antara suku-suku Arab. Istilah ukhuwwah
jelas memiliki makna yang lebih mendalam dibanding istilah lain. Persaudaraan di
sini didasarkan atas nama agama (aqidah), bukan karena kesamaan keturunan.
Sebagai pemimpin politik, Nabi Muhammad jelas dihadapkan pada situasi
masyarakat yang sangat plural. Karena itulah Nabi dan komunitas agama non-Islam di
Madinah kemudian membuat suatu perjanjian yang dikenal dengan nama Piagam
Madinah (mithaq al-madinah). Secara ringkas Piagam Madinah ini berisikan
komitmen untuk menghargai kebebasan beragama, tanggung jawab bersama, saling
membantu dan menolong, kewajiban untuk mempertahankan Madinah jika ada
serangan dari luar, dan pengakuan bahwa Muhammad merupakan pemimpin
penduduk Madinah. Kepada Muhammad, semua perkara dan perselisihan akan
diselesaikan. Karena itulah posisi Muhammad dalam Perjanjian Madinah ini disebut
dengan hakim bagi komunitas Madinah.
D. Memahami Pluralisme: Tinjauan Sosiologi Pengetahuan
Istilah sosiologi pengetahuan (sociology of knowledge) pertama kali diperkenalkan
oleh seorang filosof Jerman bernama Max Scheler dengan nama Wissenssoziologie.
Sosiologi pengetahuan lahir dalam suatu situasi khusus berkaitan dengan
perkembangan intelektual di Jerman dan dalam konteks filosofis. Dalam
perkembangannya, sosiologi pengetahuan merambah ke belahan dunia Eropa dan
Amerika hingga menjadi disiplin baru dalam sosiologi. Prinsip dasar sosiologi
pengetahuan menyatakan bahwa kenyataan itu dibangun secara sosial dan sosiologi
pengetahuan harus menganalisis proses terjadinya hal itu.
Sosiologi pengetahuan merupakan disiplin dari sosiologi yang menekuni
hubungan antara pemikiran manusia dan konteks sosial di mana pemikiran itu
muncul. Meski konteks sosial menjadi pusat perhatian, faktor lain seperti sejarah,
psikologi, dan biologi, tetap dianggap menentukan pemikiran manusia. Maka dalam
banyak hal, sosiologi pengetahuan harus mampu menunjukkan keterkaitan pemikiran
dengan faktor-faktor yang dianggap menentukan tersebut.
Karl Marx (1818-1883), seorang filosof Jerman, lebih menegaskan lagi posisi
sosiologi pengetahuan melalui beberapa konsep penting dalam pemikirannya. Di
antaranya konsep tentang ideologi dan kesadaran palsu. Ideologi menurut Marx
adalah ide-ide yang merupakan senjata bagi berbagai kepentingan sosial. Sementara
kesadaran palsu adalah alam pikiran yang teralienasi dari keberadaan sosial seorang
pemikir. Tesis utama Marx adalah bahwa pemikiran manusia didasarkan atas kegiatan
(kerja dalam pengertian seluas-luasnya) dan hubungan sosial yang ditimbulkan. Maka
dalam konteks ini konsep substruktur dan superstruktur dapat dipahami sebagai
kegiatan manusia dan dunia yang dihasilkan oleh kegiatan tersebut.
Pemikir lain yang juga layak disebut pengembang sosiologi pengetahuan
adalah Karl Mannheim (1893-1947). Ia adalah filsuf Jerman yang pernah menjadi
guru besar di Universitas Frankfurt dan Universitas London. Menurut Mannheim,
sosiologi pengetahuan adalah salah satu dari cabang termuda sosiologi. Secara
teoretis, sosiologi pengetahuan berusaha menganalisis kaitan antara pengetahuan dan
eksistensi. Sebagai perangkat metodologis dalam penelitian sosiologis-historis,
sosiologi pengetahuan berusaha menelusuri bentuk-bentuk yang diambil oleh kaitan
tersebut dalam perkembangan intelektual manusia. Pandangan Mannheim ini
menegaskan bahwa pemikiran seseorang itu tidak dapat dilepaskan dari eksistensi
kehidupannya. Lebih tegas lagi dikatakan bahwa antara pengetahuan dan eksistensi
sesungguhnya terdapat hubungan yang sangat erat.
Perkembangan selanjutnya, sosiologi pengetahuan merambah ke Amerika
melalui karya Talcott Parsons (1902-1979). Sosiologi pengetahuan yang
dikembangkan Parsons lebih banyak merupakan kritik terhadap Mannheim. Tetapi,
Parsons tidak pernah melakukan usaha untuk mengintegrasikan sosiologi pengetahuan
dalam teori yang dikembangkannya. Dalam teori Parsons, masalah peranan ide
memang dianalisis panjang lebar, tetapi ini dilakukan dalam kerangka referensi
sosiologi pengetahuan yang berbeda dengan Scheler dan Mannheim.
Sosiolog lain yang juga berjasa mengembangkan sosiologi pengetahuan adalah
Robert K. Merton. Mertom merupakan mahasiswa Parsons ketika belajar di Harvard.
Sumbangan terbesar Merton adalah bahwa ia telah menyusun sebuah paradigma
sosiologi pengetahuan dengan merumuskan kembali tema-tema utama dalam bentuk
yang koheren. Konsep Merton bertumpu pada fungsi-fungsi yang nyata (manifest)
dan yang tersembunyi (latent). Dalam menguraikan pendapatnya, Merton banyak
dipengaruhi Mannheim yang disebutnya sebagai ahli sosiologi pengetahuan par
excellence.
Menurut pengertian sederhana, fungsi manifes adalah fungsi yang diharapkan,
sebaliknya fungsi laten adalah fungsi yang tidak diharapkan. Sebagai contoh, fungsi
nyata perbudakan adalah meningkatkan produktifitas ekonomi, sementara fungsi
tersembunyinya adalah menyediakan sebanyak mungkin anggota kelas rendah untuk
membantu meningkatkan status bagi kulit putih baik yang kaya maupun yang miskin.
E. Pluralisme Budaya
Pluralisme budaya merupakan sebuah konsep yang menerangkan ideal
kesetaraan kekuasaan dalam satu masyarakat multikultur dimana kekuasaan terbagi
secara merata diantara kelompok-kelompok etnik yang bervariasi sehingga mampu
mendorong pengaruh timbal balik diantara meraka, dan masyarakat multikultur dapat
menikmati hak-hak meraka yang sama dan seimbang, yang dapat memiliki dan
melindungi diri mereka sendiri karena mereka menjalankan kebudayaan.
Kebudayaan berubah dengan cara difusi, yaitu penyebaran unsur kebudayaan
dalam masyarakat ke masyarakat lain antar individu, antar keluarga atau antar
golongan. Difusi ini dapat menyebar dengan dua cara:
a. Penetration Pacifiqua
b. Penetration Hard
“Penetration Pacifiqua” yaitu masuknya unsur kebudayaan dari masyarakat ke
masyarakat lain tanpa adanya paksaan. Contoh: listrik masuk dalam desa.
“Penetration Hard”, yaitu masuknya unsur kebudayaan dari masyarakat satu ke
masyarakat lain yang di sertai kekerasan, missal model pakaian yang tidak sesuai
dengan adat setempat.
Timbulnya Kebudayaan
Kebudayaan Bisa Timbul dengan Cara:
Discovery : yaitu penemuan suatu yang baru yang terjadi dengan tidak
sengaja, dengan cara kebetulan dan tidak direncanakan. Contoh: penemuan
obat-obatan.
Invention : yaitu kebudayaan yang tercipta dengan adanya suatu rancangan,
dengan melalui proses. Contoh: model pakaian, computer dan lain-lain.
Teori Pluralisme Budaya
Teori pluralism (budaya) diperkenalkan oleh Nathan Glazer dan Daniel.
Proses penanganan pola-pola Etnisitas dan keragaman budaya mempunyai
metode yang berbeda satu sama lainnya. Jika proses penanganan tersebut tidak
dilakukan secara baik maka kita mempunyai kadar pengetahuan yang kurang
tentang etnis antara budaya. Hal ini dapat mempengaruhi sikap kita terhadap
karakteristik budaya etnik dan ras yang pada gilirannya memberi peluang bagi
terjadinya diskriminasi antar budaya.
Jika kita berhadapan dengan identitas etnik bawaan, sebenarnya kita sedang
menghadapi sebuah budaya yang permanen, setiap masyarakat multicultural
selalu ada keragaman budaya, artina dalam setiap masyarakat budaya budaya
terbentuk dari adanya mozaik budaya.
Dalam masyarakat multicultural harus ada sikap pluralism dan jalan utama
menuju pluralism adalah asimilasi antar etnik.
Dalam pluralism, kita akan berhadapan dengan etnogenesis/ rangkaian proses
penciptaan perbedaan antar etnis. Berdasarkan perbedaan itu, disitu pihak kita
mengadaptasikan satu budaya kedalam kebudayaan lain, namun pihak lain kita
melakuka diskriminasi antar etnik.
Kelompok etnik merupakan salah satu unsur penentu identitas masa lalu dari
sebuah kelompok, namun ketika kelompok terseut berbeda dalam satu
masyarakat multicultural, maka kelompok itu akan bicara dan berbuat tentang
masa depan. Caranya? Semua kelompok etnik secara bersama-sama
membangun dan menyesuaikan diri (adaptasi) melalui penciptaan cara-cara
baru berinteraksi.
Hambatan yang dialami oleh masyarakat dalam memahami pluralism:
Hanya sedikit proporsi orang yang ingin hidup dalam suatu enklaf yang
eksklusif demi mempertahankan ownkind.
Toleransi kita sangat terbatas terhadap keragaman.
Orang-orang dari beragam ras dan etnik tidak memiliki status social yang
seimbang.
Dampak Positif Dan Negativ Pluralitas Budaya
1. Dampak Negatif
Dampak negative dari pluralitas budaya di Indonesia , antara lain adanya
sistem nilai dan orientasi relegi yang berbeda dapat memberikan konflik social
antaretnis. Konflik social ini bukanlah bias berkembang menjadi konflik berdarah
dalam skala yang luas dan dpat memakan korban jiwa ataupun memakan korban
harta benda. Misalnya, konflik di Kalimantan barat, Kalimantan tengah, Ambon,
Maluku, atau Poso.
Selain itu juga karena sentimen kesukubangsaan seperti konflik yang
ditujukan kepada orang Cina, sepertipada peristiwa kerusuhan 1998.Konflik terjadi
karena perebutan sumber ekonomi yang sengaja diciptakan dngan melibatkan
sentiment kesukubangsaan.Kehormatan yang dianggap sudah dirusak dapat membuat
seseorang melakukan apasaja untuk membalas rasa sakit hatinya.
2. Dampak Positif
Bahasa lokal dapat memberikan tambahan istilah bagi bangsa Indonesia,
kearifan budaya local dapat memperkaya strategi pembangunan sesuai lokasinya, atau
teknologi tradisiaonal dapat menjadi alternatif bagi pengembangan dan
pemasyarakatan.
Dengan adanya pluralitas budaya, maka kita memahami perasaan
kebersamaan. Adanya perbedaan tidak harus membuat masyarakat berpisah, justru itu
menjadi hal yang dapat dijadikan dasar untuk bersatu . Paham multikulturalisme
merupakan antisifikasi terhadap bebbagai konflik social dengan latar belakang
perbedaan budaya. Multikulturalisme lebih cenderung sebagai paham atau ideology
yang menganjurkan masyarakat untuk menerima dan menganggap perbedaan budaya
adalah hal yang wajar didalam suatu wilayah. Multikulturalisme mengajarkan hidup
ditengah-tengah perbedaan.