103968831-Meningoensefalitis

Embed Size (px)

Citation preview

  • 7/21/2019 103968831-Meningoensefalitis

    1/15

    1

    Laboratorium Penyakit Syaraf Laporan Kasus

    Fakultas Kedokteran

    Universitas Mulawarman

    MENINGOENSEFALITIS

    Disusun oleh:

    Fransiska A. Sihotang

    04.45415.00205.09

    Pembimbing:

    dr. Yetty Hutahaean, Sp.S

    Dibawakan Dalam Rangka Tugas Kepaniteraan Klinik

    Pada Laboratorium Ilmu Kesehatan Kulit dan Kelamin

    FK Universitas Mulawarman/RSUD A Wahab Sjahranie

    Samarinda

    2011

  • 7/21/2019 103968831-Meningoensefalitis

    2/15

    2

    BAB I

    PENDAHULUAN

    A. Latar Belakang

    Ensefalitis merupakan radang parenkim otak yang dapat menimbulkan disfungsi

    neuropsikologis difus dan/atau fokal. Ensefalitis pada umumnya melibatkan parenkim

    otak, tetapi meningen atau selaput otak juga sering terlibat sehingga dikenal istilah

    meningoensefalitis (Lazoff et al, 2011).

    Dipandang dari sudut epidemiologis dan patofisiologis ensefalitis berbeda dari

    meningitis meskipun pada pemeriksaan klinis keduanya sering terjadi secara bersamaan

    dengan tanda dan gejala inflamasi meningeal seperti fotofobia, nyeri kepala, atau leher

    yang kaku. Ensefalitis juga berbeda dengan serebritis. Serebritis merupakan salah satu

    tahap sebelum terjadi pembentukan abses dan merupakan lesi yang sangat merusak

    jaringan otak, sedangkan ensefalitis akut paling sering disebabkan infeksi virus dengan

    kerusakan parenkim bervariasi dari ringan sampai berat. Meskipun infeksi bakteri,

    jamur, dan autoimun dapat menyebabkan ensefalitis, sebagian besar kasus ensefalitis

    disebabkan oleh virus. Insiden ensefalitis adalah 1 kasus per 200.000 populasi di

    Amerika Serikat, dengan virus herpes simpleks (HSV) menjadi penyebab paling sering

    (Lazoff et al, 2011).

    Diagnosis cepat dan terapi segera merupakan tindakan yang dapat menyelamatkan

    nyawa. Dengan demikian penting untuk dokter umum sebagai penyedia pelayanan

    kesehatan primer untuk dapat mendiagnosis meningoensefalitis serta memberikan

    penanganan awal pada kasus-kasus yang membutuhkan rujukan.

    B. TujuanMampu menegakkan diagnosis serta melakukan penatalaksanaan pada kasus

    meningoensefalitis.

  • 7/21/2019 103968831-Meningoensefalitis

    3/15

    3

    BAB II

    LAPORAN KASUS

    A.

    Identitas Pasien

    Nama : Tn. AH

    Umur : 30 tahun

    Alamat : Banjarmasin

    Pekerjaan : Polisi Kehutanan

    Suku : Banjar

    Agama : Islam

    Pendidikan terakhir : D3

    Status pernikahan : Menikah

    Masuk rumah sakit tanggal 14 November 2011 pukul 14.00

    B. Anamnesis

    Anamnesis yang dilakukan berupa aloanamnesis terhadap istri pasien pada tanggal

    14 November 2011.

    Keluhan utama: Penurunan kesadaran.

    Riwayat penyakit sekarang:

    Keluhan dialami pasien sejak 2 hari sebelum masuk rumah sakit dan tidak

    mendadak. Pasien awalnya mengalami demam yang tidak terlalu tinggi disertai

    mual, nyeri ulu hati, nyeri kepala, dan merasa silau terhadap cahaya sejak sekitar 5

    hari sebelum masuk rumah sakit. Pasien kemudian dibawa ke rumah sakit swastadan dikatakan menderita tifoid. Setelah dirawat selama 1 hari pasien mulai bicara

    melantur dan berperilaku lebih agresif dari biasanya (mengamuk). Pasien kemudian

    dirujuk ke RSKD Atma Husada Mahakam. Setelah 2 hari perawatan pasien mulai

    tampak lemah dan mengantuk serta tidak mau makan dan jarang bicara. Setelah 4

    hari dirawat pasien kemudian dirujuk ke RSU AWS. Istri pasien juga mengamati

    bahwa anggota gerak sebelah kanan pasien tampak lebih lemah dan tidak

    digerakkan. Pasien tidak pernah mengalami kejang.

  • 7/21/2019 103968831-Meningoensefalitis

    4/15

    4

    Pasien tidak memiliki keluhan batuk lama, infeksi pada daerah wajah seperti

    pada telinga, hidung, dan tenggorokan, riwayat gigitan binatang, maupun riwayat

    trauma pada kepala.

    Riwayat penyakit dahulu:

    Tidak ada riwayat kencing manis, penyakit hati, maupun penyakit ginjal.

    Pasien menderita cacar sekitar 3 minggu sebelum masuk rumah sakit,

    mengkonsumsi obat, dan sekarang sudah sembuh.

    Riwayat okupasi:

    Pasien bekerja sebagai polisi hutan di Banjarmasin. Saat ini pasien berada di

    Samarinda karena mengikuti pelatihan yang dilakukan di kantor Samarinda.

    Keterangan tambahan:

    Pasien merupakan rujukan dari RSKD Atma Husada Mahakam dengan diagnosis

    delirium suspek gangguan mental organik (meningitis) dan telah mendapatkan

    terapi RL 20 tpm, Paracetamol 4 x 500 mg, dan Ciprofloxacin 4 x 500 mg.

    C. Pemeriksaan Fisik

    Status Generalis

    1. Keadaan umum:

    Kesadaran : E1M5V1

    Keadaan sakit : sakit berat

    Tanda vital:

    Tekanan darah : 100/60 mmHgFrekuensi nadi : 96 x/menit, reguler, isi cukup

    Pernafasan : 22 x/menit

    Suhu : 37,40C per aksiler

    2. Kulit

    Kulit kering dan hangat. Tampak makula-makula hiperpigmentasi di seluruh

    tubuh terutama pada daerah wajah.

    3. Kepala dan leher

  • 7/21/2019 103968831-Meningoensefalitis

    5/15

    5

    Konjungtiva anemis (-), sklera ikterik (-), pembesaran kelenjar getah bening (-).

    4. Thoraks

    a.

    Paru:

    Inspeksi : bentuk dan pergerakan dada simetris, retraksi (-)

    Palpasi : tidak ada pelebaran ICS

    Perkusi : sonor di semua lapangan paru

    Auskultasi : vesikuler, tidak ada wheezing dan ronkhi

    b. Jantung:

    Auskultasi : S1, S2 reguler, tidak ada suara tambahan

    5. Abdomen

    Inspeksi : datar

    Palpasi : soefl

    Perkusi : timpani di seluruh lapangan abdomen

    Auskultasi : bising usus (+) kesan menurun

    6.

    Ekstremitas

    Akral hangat

    Edema : superior (- | -), inferior (- | -)

    Status Neurologis

    GCS E1M5V1

    Kepala : pupil isokhor 3 mm, refleks cahaya + | + normal.

    Tanda rangsang meningeal:

    o Kaku kuduk (+)

    o Kernig sign + | +

    o

    Brudzinski I sign - | -o Brudzinski II sign - | -

    Nervus kranialis sulit dievaluasi

    Sistem motorik: pada pemeriksaan lateralisasi terdapat lateralisasi ke kanan,

    kekuatan otot sulit dievaluasi

    Refleks fisiologis

    o Refleks biceps + | + normal

    o Refleks triceps + | + normal

  • 7/21/2019 103968831-Meningoensefalitis

    6/15

    6

    o Refleks patella + | + normal

    o Refleks achilles + | + normal

    Refleks patologis

    o

    Refleks Hoffman - | -

    o Refleks Trommer - | -

    o Refleks Babinski - | -

    o Refleks Chaddock - | -

    o Refleks Oppenheim - | -

    o Klonus - | -

    D.

    Pemeriksaan Penunjang

    Pemeriksaan laboratorium

    Hari ke-0 Hari ke-4

    Hb 11,3

    Ht 35,5

    Leukosit 11.200

    Trombosit 443.000

    Na 120

    K 4,3

    Cl 84

    GDS 115

    Ureum 55,9 46,2

    Creatinin 1,2 1,4

    CT scan: terlihat gambaran ventrikulomegali ringan dan gambaran girus serebri

    yang menghilang.

    E. Diagnosis Kerja

    Diagnosis neurologis

    Diagnosis klinis : penurunan kesadaran

    Diagnosis topik : parenkim otak dan meningen

    Diagnosis etiologik : meningoensefalitis

    Diagnosis sekunder: hiponatremia

  • 7/21/2019 103968831-Meningoensefalitis

    7/15

    7

    F. Penatalaksanaan

    Tirah baring

    IVFD NaCl 0,9% 30 tpm

    Ceftriaxone injeksi 2 x 1 gram (iv)

    Kalmethasone injeksi 3 x 5 mg (iv)

    Ranitidine injeksi 3 x 50 mg (iv)

    Citicholine injeksi 2 x 250 mg (iv)

    Parasetamol 3 x 500 mg (po) prn febris

    Diet proten 6 x 100 cc per oral

    G. Prognosis

    At vitam : bonam

    At functionam : dubia ad bonam

    H. Follow up

    Hari ke-0 pasien sempat mengalami demam hingga 38,3C.

    Hari ke-1 kesadaran mulai membaik dengan GCS E3M5V3, tanda vital stabil,

    kekuatan otot tidak dapat dievaluasi, pasien tidak mengalami demam. Pasien

    sulit makan makanan padat sehingga diberikan diet cair proten 6 x 100 cc per

    oral.

    Hari ke-2 GCS E3M5V3, tanda vital stabil, kekuatan otot belum dapat

    dievaluasi, pasien tidak mengalami demam. Pasien dapat duduk dengan

    dibantu dan diawasi. Pasien dapat makan diet cair dengan baik.

    Hari ke-3 GCS E3M5V3, tanda vital stabil, kekuatan otot belum dapat

    dievaluasi, pasien tidak mengalami demam.

    Hari ke-4 GCS E3M5V6, tampak sudut bibir kanan tertinggal ketika berbicara,

    tanda vital stabil, demam tidak ada. Keluarga pasien minta pindah rumah sakit

    ke Banjarmasin atas alasan sosial.

  • 7/21/2019 103968831-Meningoensefalitis

    8/15

    8

    BAB III

    PEMBAHASAN

    Pada laporan ini diajukan kasus pasien laki-laki usia 30 tahun yang datang ke IGD

    RS AWS dengan keluhan penurunan kesadaran. Keluhan ini terjadi secara perlahan atau

    tidak mendadak sejak 2 hari sebelumnya. Pasien tidak memiliki riwayat trauma kepala,

    hipertensi, diabetes mellitus, penyakit hati, maupun penyakit ginjal. Dari informasi

    tersebut dapat diambil kesimpulan bahwa penurunan kesadaran dapat disebabkan oleh

    proses intrakranial tetapi bukan yang bersifat neurovaskuler dan proses ekstrakranial

    (metabolik) dapat dieksklusi tetapi harus dikonfirmasi dahulu dengan pemeriksaan fisik

    maupun laboratorium. Sebelum mengalami penurunan kesadaran pasien mengalami

    perubahan perilaku menjadi agresif dan perubahan status mental (bicara inkoheren).

    Pasien juga mengalami gejala-gejala lain seperti demam yang tidak terlalu tinggi, mual,

    nyeri ulu hati, nyeri kepala, dan merasa silau terhadap cahaya. Gejala-gejala tersebut

    memberikan dugaan kuat diagnosis ke arah proses intrakranial.

    Pada pemeriksaan fisik umum kesadaran menurun dengan GCS E1M5V1, tekanan

    darah 100/60 mmHg dan tanda vital lain dalam batas normal, kulit kering dan hangat,

    tidak ditemukan ikterik pada sklera, serta thoraks dan abdomen dalam batas normal.

    Pada pemeriksaan neurologis ditemukan tanda rangsang meningeal berupa kaku kuduk

    dan Kernig sign serta pada sistem motorik terdapat lateralisasi ke kanan. Refleks

    fisiologis dalam batas normal dan tidak ditemukan adanya refleks patologis. Hasil

    pemeriksaan fisik mengkonfirmasi diagnosis banding yang telah disusun dari hasil

    anamnesis yaitu penurunan kesadaran yang disebabkan oleh proses intrakranial berupa

    inflamasi pada pada meningen (ditemukan tanda rangsang meningeal) dan parenkim

    otak (penurunan kesadaran, defisit neurologis berupa lateralisasi ke kanan).Ensefalitis, yang merupakan proses inflamasi pada parenkim otak, dapat

    menimbulkan disfungsi neuropsikologis difus dan/atau fokal. Meski terutama

    melibatkan parenkim otak, meningen atau selaput otak juga sering terlibat sehingga

    dikenal istilah meningoensefalitis. Bakteri, jamur, dan proses autoimun dapat

    menyebabkan ensefalitis, tetapi pada kebanyakan kasus etiologinya adalah virus.

    Insiden ensefalitis di Amerika Serikat adalah 1 kasus per 200.000 penduduk dengan

    virus herpes simpleks (HSV) menjadi penyebab tersering dari ensefalitis. Pendekatan

  • 7/21/2019 103968831-Meningoensefalitis

    9/15

    9

    diagnosis etiologis terutama dilakukan untuk dapat membedakan secara klinis

    ensefalitis biasa yang disebabkan oleh virus yang tergolong ke dalam arbovirus dengan

    dua macam ensefalitis virus yang dapat diberikan terapi seperti ensefalitis herpes

    simpleks, yang bersifat sporadik dan letal pada neonatus dan populasi umum, dan

    ensefalitis varicella-zoster yang insidennya lebih sedikit dan terutama letal pada pasien

    immunocompromised (Lazoff et al, 2001).

    Identifikasi cepat dan terapi segera merupakan tindakan yang dapat

    menyelamatkan nyawa. Beberapa pihak menyarankan memulai penanganan pada

    instalasi gawat darurat dengan pemberian antiviral asiklovir yang relatif aman pada

    pasien dengan gejala sistem saraf pusat (terutama ensefalopati dan defisit neurologis

    fokal) yang tidak dapat dijelaskan (Lazoff et al, 2001).

    Etiologi ensefalitis pada umumnya infeksius tetapi dapat juga noninfeksius

    (misalnya pada proses demyelinisasi pada acute disseminated encephalitis). Agen

    etiologi virus yang dapat menyebabkan ensefalitis antara lain virus herpes simpleks tipe

    1 dan 2, varicella-zoster, Epstein-Barr, campak, rubella, rabies, dan beberapa kelompok

    arbovirus (antara lain virus penyebab St Louis encephalitis, California virus

    encephalitis, eastern equine encephalitis, dan western equine encephalitis). Penyebab

    lainnya yaitu parasit (toksoplasma) dan jamur (Lazoff et al, 2001).

    Pada pasien ini dari anamnesis agen etiologi yang paling mungkin adalah virus

    varicella-zoster karena pasien memiliki riwayat ruam yang didiagnosis cacar (varicella)

    3 minggu sebelum masuk rumah sakit. Meskipun demikian, ensefalitis varicella-zoster

    relatif lebih jarang ditemukan dibandingkan ensefalitis herpes simpleks dan biasanya

    ditemukan pada penderita dengan sistem imun yang lemah akibat reaktivasi dari virus

    yang dorman.

    Gejala prodromal umum dari ensefalitis virus berlangsung selama beberapa haridan berupa demam, nyeri kepala, mual dan muntah, letargi, dan mialgia. Gejala

    prodromal spesifik pada ensefalitis yang disebabkan oleh virus varicella-zoster, Epstein-

    Barr, cytomegalovirus, campak, dan parotitis termasuk timbulnya ruam, limfadenopati,

    hepatospenomegali, dan pembesaran kelenjar parotis. Gejala klasik ensefalitis adalah

    berupa ensefalopati dengan gejala neurologis difus atau fokal termasuk:

    perubahan perilaku dan kepribadian, dengan penurunan derajat kesadaran;

    kaku kuduk, fotofobia, dan letargi;

    http://emedicine.medscape.com/article/233710-overviewhttp://emedicine.medscape.com/article/233710-overviewhttp://emedicine.medscape.com/article/234159-overviewhttp://emedicine.medscape.com/article/234159-overviewhttp://emedicine.medscape.com/article/234159-overviewhttp://emedicine.medscape.com/article/233442-overviewhttp://emedicine.medscape.com/article/233442-overviewhttp://emedicine.medscape.com/article/233568-overviewhttp://emedicine.medscape.com/article/233568-overviewhttp://emedicine.medscape.com/article/233568-overviewhttp://emedicine.medscape.com/article/233568-overviewhttp://emedicine.medscape.com/article/233442-overviewhttp://emedicine.medscape.com/article/234159-overviewhttp://emedicine.medscape.com/article/234159-overviewhttp://emedicine.medscape.com/article/233710-overview
  • 7/21/2019 103968831-Meningoensefalitis

    10/15

    10

    kejang general atau fokal;

    kebingungan atau amnesia;

    paralisis flasid.

    Gejala lain termasuk nyeri kepala dan gejala-gejala rangsang meningeal.

    Pada pemeriksaan fisik dicari tanda-tanda yang mendukung infeksi virus. Tanda-

    tanda ensefalitis dapat bersifat difus maupun fokal, termasuk:

    perubahan status mental dan/atau kepribadian (paling seirng)

    tanda-tanda fokal seperti hemiparesis, kejang fokal, dan disfungsi autonom

    gangguan motorik

    ataksia

    gangguan nervus kranialis

    disfagia

    tanda rangsang meningeal (biasanya lebih tidak khas apabila dibandingkan dengan

    meningitis)

    disfungsi sensorimotor unilateral.

    Pemeriksaan penunjang dapat dilakukan untuk membantu mengkonfirmasi

    temuan klinis dan menegakkan diagnosis. Pemeriksaan hitung darah lengkap dengan

    hitung jenis biasanya menunjukkan hasil dalam batas normal. Elektrolit serum biasanya

    dalam batas normal kecuali terdapat komplikasi berupa syndrome of inappropriate

    secretion of antidiuretic hormone(SIADH). Pemeriksaan elektrolit urin harus dilakukan

    apabila terdapat dugaan terhadap SIADH. Skrining toksikologi serum dan urin dapat

    dilakukan apabila terdapat indikasi. Beberapa pemeriksaan dapat dilakukan untuk

    mengidentifikasi virus etiologi. Kultur terhadap lesi, cairan serebrospinal (jarang

    positif) dan darah dilakukan pada dugaan infeksi virus herpes simpleks. Complement

    fixation antibodiesdilakukan untuk mengidentifikasi arbovirus. Antibodi heterofil dan

    cold agglutinin testing dilakukan untuk virus Epstein-Barr. Tes serologis dapat

    digunakan untuk kasus yang diduga toksoplasmosis. Analisis cairan serebrospinal

    menunjukkan tekanan yang relatif normal atau sedikit meningkat, hitung leukosit

    biasanya < 500, hampir 100% mononuklear, dapat ditemukan eritrosit nontraumatik

    pada 80% pasien dengan ensefalitis herpes simpleks, pemeriksaan mikrobiologi tidak

    ditemukan adanya organisme, glukosa normal dan protein sedikit meningkat.

  • 7/21/2019 103968831-Meningoensefalitis

    11/15

    11

    CT scan dengan atau tanpa kontras dilakukan sebelum pungsi lumbal untuk

    mencari tanda-tanda peningkatan tekanan intrakranial, hidrosefalus obstruktif, atau efek

    massa. CT scan juga membantu dalam diagnosis diferensial. Magnetic Resonance

    Imaging (MRI) lebih baik dibandingkan CT scan kepala untuk menunjukkan kelainan

    pada perjalanan awal penyakit.

    Pada pasien ini pemeriksaan penunjang laboratorium menunjukkan leukositosis

    yang tidak terlalu tinggi (11.300/mm3), kadar elektrolit natrium dan klorida yang rendah

    (120 dan 84 mmol/L), dan kadar ureum yang sedikit naik (55,9 mg/dl). Pada CT scan

    tanpa kontras terlihat gambaran ventrikulomegali ringan dan gambaran girus serebri

    yang menghilang. Jumlah leukosit yang tidak terlalu tinggi konsisten dengan infeksi

    virus (non-bakterial). Ventrikulomegali dapat disebabkan oleh gangguan absorpsi cairan

    serebrospinal akibat proses radang pada araknnoid dan gambaran girus serebri yang

    menghilang diakibatkan oleh proses inflamasi pada parenkim otak yang menyebabkan

    edema. Kadar natrium yang rendah (120 mmol/L) penting karena hiponatremia dapat

    menyebabkan edema serebri dan memperberat gejala yang timbul sehingga penting

    untuk segera dikoreksi. Kadar ureum yang sedikit naik pada kasus ini kurang spesifik,

    dapat disebabkan oleh demam maupun dehidrasi.

    Komplikasi yang dapat terjadi pada ensefalitis adalah kejang, syndrome of

    inappropriate secretion of antidiuretic hormone (SIADH), peningkatan tekanan

    intrakranial, dan koma. Pada pasien ini tidak ditemukan tanda-tanda telah terjadinya

    komplikasi tersebut.

    Penanganan kasus ensefalitis secara umum bersifat suportif dengan pengecualian

    ensefalitis akibat herpes simpleks dan varicella-zoster. Tujuan penanganan pasien akut

    adalah pemberian dosis pertama asiklovir, dengan atau tanpa antibiotik atau steroid,

    secepat mungkin dalam 30 menit sejak pasien datang. Sampel untuk pemeriksaanlaboratorium dan kultur darah hendaknya diambil sebelum terapi dimulai. Bahkan pada

    kasus ensefalitis tanpa komplikasi, kebanyakan ahli merekomendasikan pemeriksaan

    neuroimaging (MRI, atau CT scan apabila MRI tidak tersedia), sebelum melakukan

    pungsi lumbal.

    Pada pasien dengan hidrosefalus dan peningkatan tekanan intrakranial tindakan

    umum termasuk penanganan demam dan nyeri, pengendalian aktivitas fisik dan batuk,

    dan pencegahan kejang serta hipotensi sistemik. Pada pasien yang stabil, elevasi kepala

  • 7/21/2019 103968831-Meningoensefalitis

    12/15

    12

    dan pengawasan terhadap status neurologis biasanya cukup. Apabila dibutuhkan

    tindakan yang lebih agresif, penggunaan awal diuretik (misalnya, furosemid 20 mg iv,

    manitol 1 g/kg iv) dapat membantu dengan memastikan volume intravaskular tetap

    normal. Deksametason 10 mg iv setiap 6 jam membantu mengatasi edema.

    Hiperventilasi (PaCO230 mm Hg) dapat menyebabkan penurunan aliran darah serebral

    (CBF), tetapi digunakan untuk mengontrol peningkatan tekanan intrakranial pada

    keadaan emergensi. Cari dan atasi komplikasi sistemik (misalnya, hipotensi atau syok,

    hipoksemia, hiponatremia, dan eksaserbasi penyakit kronis).

    Pengobatan empiris emergensi untuk meningoensefalitis herpes simpleks dan

    varicella-zoster terdiri dari asiklovir 10 mg/kg iv setiap 8 jam (diinfuskan selama 1 jam)

    selama 14-21 hari. Berikan asiklovir 10-15 mg/kg iv setiap 8 jam untuk neonatus dan

    asiklovir 10 mg/kg iv setiap 8 jam untuk anak-anak.

    Di dalam guideline tentang manajemen ensefalitis yang dikeluarkan oleh

    Infectious Diseases Society of America pemberian antimikroba selain asiklovir dapat

    dilakukan dengan dasar epidemiologik yang spesifik atau pertimbangan klinis, termasuk

    terapi antibiotik yang sesuai untuk dugaan awal meningitis bakterial apabila memiliki

    indikasi secara klinis.

    Pada pasien ini pengobatan pengobatan yang diberikan berupa cairan rumatan

    NaCl 0,9% 30 tpm sekaligus untuk mengoreksi hiponatremia dan hipokloremia,

    antibiotik Ceftriaxone injeksi 2 x 1 gram (iv) sebagai terapi antimikroba empiris,

    Kalmethasone injeksi 3 x 5 mg (iv) untuk mengurangi edema otak, Citicholine injeksi 2

    x 250 mg (iv) sebagai neuroprotektan, dan Ranitidine injeksi 3 x 50 mg (iv) untuk

    mengatasi efek samping kortikosteroid terhadap lambung dan mencegah stress ulcer.

    Pasien tidak diberikan terapi antiviral asiklovir sedangkan berdasarkan analisis pada

    kasus ini terdapat kemungkinan agen etiologinya adalah virus varicella zoster.Prognosis tergantung dari virulensi virus dan variabel-variabel terkait dengan

    status kesehatan pasien, seperti usia yang ekstrim, status imunitas, dan gangguan

    neurologis yang sudah ada sebelumnya. Hasil yang buruk dapat diantisipasi pada bayi

    berusia kurang dari 1 tahun dan orang dewasa yang lebih dari 55 tahun.

    Ensefalitis herpes simpleks yang tidak diterapi memiliki mortalitas 50-75%, dan

    hampir 100% dari korban mengalami sekuele motorik jangka panjang dan cacat mental.

    Mortalitas rata-rata ensefalitis herpes simpleks yang diterapi adalah 20%. Sekitar 40%

  • 7/21/2019 103968831-Meningoensefalitis

    13/15

    13

    pasien mengalami kesulitan belajar, gangguan memori, kelainan neuropsikiatri, epilepsi,

    defisit pengendalian motorik halus, dan disartria. Ensefalitis varicella-zoster memiliki

    angka mortalitas 15% pada pasien imunokompeten dan hampir 100% pada pasien

    imunosupresi. Angka kematian untuk ensefalitis Epstein-Barr adalah 8%. Ensefalitis

    rabies dan acute disseminated encephalitishampir 100% fatal.

    Selama perawatan di rumah sakit pasien menunjukkan kemajuan klinis yang baik

    dengan perbaikan tingkat kesadaran meskipun belum sepenuhnya normal. Meskipun

    demikian terdapat defisit neurologis berupa hemiparesis dekstra dan parese N VII

    dekstra yang bersifat sentral. Pasien meminta pindah rumah sakit sebelum masa

    perawatan selesai setelah dirawat selama 4 hari atas alasan sosial. Berdasarkan penilaian

    klinis, prognosis pada pasien ini at vitam: bonam dan at functionam: dubia ad bonam.

  • 7/21/2019 103968831-Meningoensefalitis

    14/15

    14

    BAB IV

    KESIMPULAN

    Telah dilaporkan kasus seorang pasien laki-laki usia 30 tahun yang datang dengan

    keluhan penurunan kesadaran. Dari hasil anamnesis, pemeriksaan fisik, dan

    pemeriksaan penunjang ditegakkan diagnosis meningoensefalitis. Terapi yang diberikan

    mencakup pemberian antibiotik dan pengobatan suportif lainnya. Pada pasien ini dapat

    diberikan terapi antiviral asiklovir karena menurut analisis organisme etiologik yang

    mungkin adalah virus varicella-zooster. Pasien menunjukkan kemajuan klinis yang baik

    selama perawatan di rumah sakit dan pasien pindah rumah sakit sebelum masa

    perawatan selesai. Hal yang kemungkinan menjadi masalah pada pasien ini adalah

    defisit neurologis berupa hemiparesis dekstra yang kemungkinan memerlukan

    penanganan rehabilitasi medik. Prognosis pada pasien ini at vitam bonam dan at

    functionam dubia ad bonam.

    Secara umum penegakan diagnosis telah sesuai dengan literatur sedangkan terapi

    dapat ditambahkan pemberian antiviral asiklovir.

  • 7/21/2019 103968831-Meningoensefalitis

    15/15

    15

    DAFTAR PUSTAKA

    Lazoff M, Hemphill RR, Pritz T. 2001. Encephalitis. (Online).

    http://emedicine.medscape.com/article/791896-overview,diakses 15 November 2011.

    Tunkel AR et al. 2008. The Management of Encephalitis: Clinical Practice Guidelines by

    the Infectious Diseases Society of America. Clinical Infectious Diseases47:30327.

    http://emedicine.medscape.com/article/791896-overviewhttp://emedicine.medscape.com/article/791896-overviewhttp://emedicine.medscape.com/article/791896-overview