15
MENUMBUHKAN MINAT SISWA TERHADAP MATEMATIKA MAKALAH diajukan sebagai tugas pengganti UTS mata kuliah Bahasa Indonesia Oleh Muryati IM !"#!$%&'" "&!" ( Universitas Negeri Surabaya Fakultas Mateatika !an Ilu Pengeta"uan Ala #urusan Mateatika $%&'

123174062-MURYATI-2012C

  • Upload
    muryati

  • View
    213

  • Download
    0

Embed Size (px)

DESCRIPTION

Bahasa Indonesia

Citation preview

MENUMBUHKAN MINAT SISWA TERHADAP MATEMATIKA

MAKALAH

diajukan sebagai tugas pengganti UTS mata kuliah Bahasa IndonesiaOlehMuryati

NIM 123174062

2012 C

Universitas Negeri Surabaya

Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam

Jurusan Matematika2013MENUMBUHKAN MINAT SISWA TERHADAP MATEMATIKA1. Pendahuluan

Matematika sejak awal peradaban manusia memainkan peran penting dalam kehidupan. Berbagai simbol, rumus, teorema, dan konsep digunakan untuk membantu perhitungan, pengukuran, penilaian, peramalan, dan sebagainya. Oleh karena itu, peradaban manusia berkembang pesat karena ditunjang matematika yang selalu mengikuti perkembangan zaman.Matematika merupakan salah satu mata pelajaran wajib di jenjang pendidikan dasar dan menengah. Matematika menjadi salah satu ilmu dasar yang harus dikuasai siswa, karena tidak dapat dipisahkan dari kehidupan. Pengembangan sains dan teknologi juga memerlukan peran matematika. Di sisi lain, Matematika masih menjadi mata pelajaran yang menakutkan dan tidak disukai sebagian besar siswa. Matematika dianggap momok, ilmu kering, teoritis, dan penuh rumus yang sulit. Kondisi tersebut diperparah oleh sikap guru matematika yang killer, monoton, dan terlalu cepat dalam mengajar. Menurut Pranoto (Masykur dan Fathani, 2008:35), ketakutan siswa pada matematika disebabkan oleh pola pengajaran yang otoriter. Di samping itu, disebabkan pula oleh tekanan berlebihan pada hafalan, kecepatan berhitung dan prestasi individu. Hal itu mengakibatkan minat siswa terhadap matematika rendah.Rendahnya minat terhadap matematika mengakibatkan prestasi matematika siswa rendah pula. Dalam memelajari matematika siswa tidak memahami apa dan bagaimana sebenarnya matematika itu. Hal itu berakibat buruk pada proses belajar siswa. Mereka belajar matematika dengan mendengarkan penjelasan guru, menghafalkan rumus, dan mengerjakan soal. Belajar matematika siswa tidak bermakna. Mereka tidak dapat mengaplikasikan matematika dalam kehidupan.Dalam menghadapi permasalahan pendidikan Matematika, langkah awal yang harus dilakukan adalah menumbuhkan minat siswa. Karena tanpa adanya minat, siswa akan sulit untuk mau belajar. Menumbuhkan minat siswa terhadap matematika terkait dengan berbagai aspek yang melingkupi proses pembelajaran matematika.2. Hakikat Pembelajaran MatematikaMatematika merupakan subjek penting dalam sistem pendidikan . Menurut Masykur dan Fathani (2008:41), negara yang mengabaikan pendidikan Matematika sebagai prioritas utama akan tertinggal dari kemajuan segala bidang (terutama sains dan teknologi). Di Indonesia, sejak bangku SD bahkan mungkin sejak play group atau sebelumnya anak sudah dikenalkan dengan matematika. Untuk dapat menjalani pendidikan di sekolah sampai kuliah dengan baik, siswa dituntut untuk menguasai matematika. Dengan menguasai matematika orang dapat belajar untuk mengatur jalan pemikirannya sekaligus menambah kepandaiannya. Mulyana (2004: 180) menyatakan bahwa matematika selain memperluas cakrawala berpikir juga mengembangkan kesadaran tentang nilai yang secara esensial terdapat didalamnya. Belajar matematika sama halnya belajar logika, karena kedudukan matematika dalam ilmu pengetahuan adalah sebagai ilmu dasar. Sehingga untuk menguasai ilmu lainnya, terlebih dahulu harus menguasai ilmu dasarnya, yakni matematika. Matematika adalah metode berfikir logis. Sehingga kebenaran dalam matematika berdasarkan logika bukan kenyataan. Selain sebagai bahasa dan alat berfikir secara logika, matematika merupakan pengetahuan yang didasarkan pada pola deduktif. Matematika pada dasarnya merupakan pengetahuan yang disusun secara konsisten berdasarkan logika deduktif. Logika deduktif merupakan pola berfikir logika dari hal umum menuju hal khusus (Suriasumantri, 2009:199).Dalam proses belajar matematika juga terjadi proses berpikir . Seseorang dikatakan berpikir apabila melakukan kegiatan mental. Orang yang belajar matematika sudah pasti melakukan kegiatan mental. Kemampuan berpikir seseorang dipengaruhi oleh tingkat kecerdasannya. Dengan demikian, terlihat adanya hubungan antara kecerdasan dengan proses dalam belajar matematika (Hudojo dalam Masykur dan Fathani, 2008:4344).Matematika berbeda dengan ilmu lain. Matematika memiliki bahasa sendiri, yakni bahasa yang terdiri atas simbol dan angka. Jika ingin belajar matematika dengan baik, maka terlebih dahulu harus menguasai bahasa pengantar matematika. Maksudnya harus memahami simbol dan lambang dalam matematika dengan benar. Matematika, menurut Suriasumantri (2009: 190), merupakan bahasa yang melambangkan serangkaian makna dari pernyataan yang ingin disampaikan. Bahasa matematika memiliki makna tunggal dan bersifat universal.

Matematika merupakan ilmu universal yang mendasari perkembangan teknologi modern. Untuk menguasai dan menciptakan teknologi di masa depan, diperlukan penguasaan matematika sejak dini. Atas dasar itu, matematika perlu diberikan kepada peserta didik sejak SD. Tujuannya untuk membekali peserta didik dengan kemampuan berpikir logis, analitis, sistematis, kritis, dan kreatif. Kompetensi tersebut diperlukan agar peserta didik dapat memperoleh, mengelola, dan memanfaatkan informasi untuk bertahan hidup.Pembelajaran matematika harus mengacu pada tujuan yang dikehendaki. Selain itu, materi ajar juga harus sesuai dengan hakikat matematika. Dengan demikian, pembelajaran matematika bukan hanya sekedar hafalan. Menghafal dalam pembelajaran matematika harus dilandasi pemahaman konsep yang matang. Metode pembelajaran matematika harus disesuaikan dengan perkembangan peserta didik. Di samping itu, untuk mengajarkan matematika juga harus diketahui kapan materi itu diajarkan. Oleh karena itu, guru harus memiliki kemampuan yang memadai di bidang strategi dan model pembelajaran matematika. Model pembelajaran yang diterapkan harus tepat dan sesuai kondisi peserta didik. Selain itu, metode pembelajaran juga harus mengacu pada hakikat matematika dan teori belajar.Untuk mengukur tingkat keberhasilan belajar matematika diperlukan evaluasi. Evaluasi juga bertujuan untuk mengetahui seberapa jauh pemahaman siswa terhadap materi. Oleh karena itu, evaluasi harus mengacu pada hakikat matematika dan tujuan pembelajaran matematika. Evaluasi tidak hanya dilakukan untuk menilai hasil akhir tetapi juga menilai proses pembelajaran. Sehingga proses berpikir matematikanya terlihat jelas dan objektif.3. Persepsi Negatif Masyarakat terhadap MatematikaMatematika berkembang seiring dengan peradaban manusia. Sejarah ilmu pengetahuan menempatkan Matematika pada puncak hierarki ilmu pengetahuan. Hal itu menimbulkan mitos bahwa matematika adalah penentu tingkat intelektualitas seseorang. Jika seseorang tidak mengerti matematika maka tidak pintar. Padahal kepintaran seseorang bermacam-macam. Mitos tersebut selanjutnya membentuk mitos-mitos lain. Karena dianggap sebagai penentu kepintaran seseorang, matematika menjadi standart tes intelektual. Matematika selalu hadir pada tes untuk menyeleksi kemampuan seseorang. Di samping itu, masyarakat juga memiliki persepsi negatif terhadap matematika. Kebanyakan persepsi negatif tersebut timbul karena kesalahpahaman mengenai matematika. Untuk memahami matematika secara benar dan sewajarnya, perlu diklarifikasi mitos negatif terhadap matematika. Menurut Susilo (Masykur dan Fathani, 2008:6768), mitos yang popular di kalangan masyarakat antara lain: pertama, anggapan bahwa untuk memelajari matematika diperlukan bakat istimewa yang tidak dimiliki setiap orang; kedua, bahwa matematika adalah ilmu berhitung; ketiga, bahwa matematika hanya menggunakan otak; keempat, bahwa yang terpenting dalam matematika adalah jawaban yang benar; dan kelima, bahwa kebenaran matematika adalah mutlak.Kelima mitos tersebut hanyalah sebagian kecil yang beredar di masyarakat. Masih banyak persepsi negatif lain yang menjadi penghambat minat siswa terhadap matematika. Salah satu persepsi negatif yang populer di kalangan masyarakat awam adalah anggapan bahwa Matematika tidak berguna dalam kehidupan. Anggapan ini disebabkan dalam pembelajaran matematika guru tidak memberikan informasi mengenai penerapannya dalam kehidupan. Anggapan negatif lain adalah bahwa seorang lulusan matematika pasti menjadi guru. Ketika seseorang kuliah mengambil jurusan Matematika, masyarakat mengganggap setelah lulus pasti menjadi guru. Hal itu disebabkan selama ini matematika yang diwariskan guru adalah matematika yang tidak membumi. Matematika yang diajarkan hanya ada pada selembar kertas yang penuh rumus dan angka belaka. 4. Menggagas Pembelajaran Matematika yang BermutuMenyelengarakan proses pembelajaran matematika yang lebih baik dan bermutu adalah suatu keharusan. Sudah bukan zamannya lagi Metematika menjadi momok yang menakutkan siswa. Sudah saatnya siswa dekat dan akrab dengan matematika. Oleh karena itu, guru harus dapat menghadirkan pembelajaran matematika yang humanis.Pembelajaran matematika secara formal umumnya diawali di bangku sekolah. Sementara itu, Matematika di sekolah masih menjadi pelajaran yang menakutkan bagi siswa. Salah faktor pemicunya adalah proses pembelajaran yang kurang asyik dan menarik. Model pembelajaran yang sering diterapkan adalah teacher centered, yaitu berpusat pada guru. Guru menjadi pemeran utama dalam aktivitas pembelajaran. Pembelajaran menjadi tidak dapat dilakukan tanpa kehadiran guru. Siswa cenderung pasif selama proses pembelajaran. Sehingga proses yang muncul adalah take and give. Kegiatan belajar monoton yakni bermula dari rumus, menghapalnya, kemudian diterapkan dalam contoh soal. Model pembelajaran yang demikian tidak memberi ruang bagi siswa untuk terlibat aktif. Siswa tidak dapat melakukan observasi, eksplorasi, inkuiri, dan aktivitas lain. Sehingga mereka tidak dapat memahami konsep secara keseluruhan dan mendalam. Model seperti ini yang mengakibatkan matematika seperti kumpulan rumus menyeramkan dan sulit dipelajari.Salah satu karakteristik matematika adalah memiliki objek abstrak. Hal itu menyebabkan siswa mengalami kesulitan dalam matematika. Akibatnya, prestasi matematika siswa rendah. Rendahnya prestasi matematika siswa disebabkan siswa mengalami masalah secara parsial dalam matematika. Belajar matematika siswa belum bermakna, sehingga pemahaman mereka tentang konsep lemah. Menurut Jenning dan Dunne (Ibrahim, 2010:45), pembelajaran matematika yang kurang bermakna mengakibatkan siswa mengalami kesulitan mengaplikasikan matematika dalam kehidupan. Guru dalam pembelajarannya tidak mengaitkan konsep dengan skema yang telah dimiliki siswa. Selain itu, siswa juga tidak diberikan kesempatan untuk menemukan kembali dan mengkonstruksi sendiri ide matematika. Di Indonesia, sejauh ini paradigma pembelajaran matematika masih didominasi oleh paradigma pembelajaran konvensional, yakni paradigma mengajar. Siswa diposisikan sebagai subjek yang tidak tahu atau belum tahu apa-apa. Sementara guru memposisikan diri sebagai orang yang mempunyai pengetahuan dan satu-satunya sumber ilmu. Guru ceramah, menggurui, dan otoritas tertinggi terletak pada guru. Penekanan yang berlebihan pada isi dan materi diajarkan secara terpisah. Materi diberikan dalam bentuk jadi, sehingga siswa tidak mampu memahaminya dengan baik. Akibatnya, penguasaan siswa terhadap konsep lemah. Hal tersebut mengakibatkan prestasi matematika siswa rendah.Hampir setiap tahun matematika dianggap sebagai batu sandungan bagi kelulusan sebagian besar siswa. Pengetahuan yang diterima siswa secara pasif menjadikan matematika tidak bermakna bagi siswa. Menurut Marpaung (Masykur dan Fathani, 2008:57), paradigma mengajar seperti itu tidak dapat lagi dipertahankan dalam pembelajaran matematika. Sudah saatnya paradigma mengajar digantikan dengan paradigma belajar. Paradigma belajar ini sesuai dengan teori konstruktivisme.Dalam paradigma belajar, siswa diposisikan sebagai subjek. Guru bukan pemeran utama melainkan sebagai fasilitator dalam proses pembelajaran. Pengetahuan bukan sesuatu yang sudah jadi melainkan proses yang harus dipikirkan dan dikonstruksi siswa. Sehingga tidak dapat ditransfer kepada mereka yang menerima secara pasif. Dengan demikian, siswa sendiri yang harus aktif. Paradigma belajar juga seide dengan RME (Realistic Mathematics Education). Matematika harus dikreasi, bukan ditemukan sebagai sesuatu yang sudah jadi. Matematika, menurut Frudenthal (Ibrahim, 2010:46), merupakan aktivitas manusia dan harus dikaitkan dengan realita. Sejalan dengan Frudenthal, Gravemeijer (Ibrahim, 2010:46) menyatakan bahwa manusia harus diberikan kesempatan untuk menemukan kembali ide dan konsep matematika dengan bimbingan orang dewasa. Upaya ini dilakukan melalui penjelajahan berbagai situasi dan persoalan realistik. Realistik dalam hal ini tidak mengacu pada realitas tetapi sesuatu yang dapat dibayangkan siswa. Prinsip penemuan kembali diinspirasi oleh prosedur pemecahan informal, sedangkan proses penemuan kembali menggunakan konsep matematisasi.Paradigma belajar menuntut siswa aktif mengkreasikan kembali pengetahuan yang ingin dimilikinya. Tugas guru bukan lagi aktif mentransfer pengetahuan, melainkan menciptakan kondusi belajar yang kondusif. Kondisi belajar yang dimaksud adalah sesuai materi, representatif, dan realistik bagi siswa. Sehingga siswa memperoleh pengalaman belajar yang optimal. Selain itu, guru juga harus merencanakan jalannya pembelajaran agar tujuan pembelajaran tercapai secara optimal.Pembelajaran matematika dapat efektif dan bermakna jika memerhatikan konteks siswa. Konteks nyata siswa meliputi latar belakang fisik, keluarga, sosial, agama, ekonomi, budaya dan kenyataan lain. Menurut Drost (Masykur dan Fathani, 2008:58), Pengetahuan awal siswa, perasaan, sikap, dan nilai-nilai yang diyakini siswa juga merupakan konteks nyata siswa. Konsekuensinya, untuk mengubah pembelajaran matematika harus dilakukan sedemikian rupa. Hal itu dimaksudkan agar setiap siswa dari berbagai latar belakang dapat mengikuti proses pembelajaran dengan baik. Sehingga siswa dapat mengkonstruksi kembali pengetahuannya dengan strategi sendiri.Salah satu faktor yang berperan dalam pembelajaran matematika adalah budaya kelas. Budaya kelas tumbuh dari interaksi sosial di dalam kelas. Guru memiliki peran penting dalam mambangun budaya kelas. Perilaku, sikap, dan kepercayaan yang dimiliki guru berpengaruh terhadap budaya kelas yang terbentuk. Jika kepercayaan guru terhadap siswa rendah, guru akan kesulitan memercayakan proses pembelajaran pada aktivitas siswa.Pembelajaran matematika akan bermakna dan menarik jika guru dapat menghadirkan masalah kontekstual dan realistik. Masalah kontekstual dapat digunakan sebagai titik awal pembelajaran matematika. Masalah kontekstual membantu siswa mengembangkan pengertian terhadap konsep matematika. Selain itu, juga dapat digunakan sebagai sumber aplikasi matematika.Menurut Lange (Masykur dan Fathani, 2008:60), masalah kontekstual dapat digali dari: 1) situasi personal siswa, yaitu yang berkaitan dengan kehidupan sehari-hari; 2) situasi sekolah atau akademik, yaitu situasi yang berkaitan dengan kehidupan akademik dan proses pembelajaran; 3) situasi masyarakat, yaitu situasi yang terkait dengan kehidupan dan aktivitas masyarakat di lingkungan siswa tinggal; 4) situasi scientific atau matematik, yaitu situasi yang berkaitan dengan matematika itu sendiri.Dalam proses pembelajaran matematika, siswa sering mengalami kesulitan dalam aktivitas belajarnya. Oleh Karen itu, guru perlu memberikan bantuan dan dorongan kepada siswa. Menurut Susento (Masykur da Fathani, 2008:61), pemberian dorongan memungkinkan siswa memecahkan masalah, melaksanakan tugas, dan mencapai sasaran di luar jangkauannya. Dorongan merupakan strategi yang digunakan guru dalam membantu usaha belajar siswa. Bentuknya berbagai macam , tetapi semuanya bertujuan untuk memastikan agar siswa mencapai sasaran di luar jangkaunnya.Dorongan yang diberikan misalnya petunjuk, pemberitahuan kekeliruan, dan menawarkan alternatif dalam pengerjaan soal. Dorongan yang terpenting adalah menjaga agar rasa frustasi siswa terhadap tugas dapat terkendalikan. Dorongan menjadi penanda interaksi sosial antara siswa dan guru. Interaksi tersebut mendahului terjadinya internalisasi pengetahuan dan keterampilan. Interaksi juga menjadi alat pembelajaran yang dapat meningkatkan kesempatan siswa mengalami perkembangan.Inovasi pembelajaran matematika memberikan harapan dan menumbuhkan optimisme peningkatan mutu pendidikan Matematika. Tetapi inovasi tersebut belum sepenuhnya berhasil dalam implementasinya. Untuk mengimplementasikan suatu inovasi pembelajaran membutuhkan pemahaman yang mendalam dari guru. Guru perlu memahami konteks siswa, sekolah, masyarakat, dan budaya lingkungan sekolah. Selain itu, penting pula memahami dan menyesuaikan dengan peraturan pemerintah terkait kurikulum dan ujian nasional. Misalnya, guru menerapkan pembelajaran matematika realistik, tetapi siswa dievaluasi dengan soal UN yang tidak realistik. Sehingga guru khawatir jika siswanya tidak lulus.Tantangan lain adalah bagaimana guru mengusahakan bahan ajar pembelajaran matematika kontekstual dan realistik. Sejauh ini buku ajar matematika yang dipakai di sekolah masih jauh dari konsep matematika realistik. Sehingga guru dituntut untuk bekerja keras dan terus belajar. Masalah kontekstual dan realistik tidak mungkin ditemukan jika guru hanya diam. Guru harus terus berusaha untuk menemukan keterkaitan antara bahan ajar dengan persoalan nyata dalam kehidupan. Tantantangan mengenai bahan ajar ini juga dapat menjadi peluang guru untuk menyusun bahan ajar sendiri. 5. Membuat Belajar Matematika Manjadi BergairahSejauh ini, prestasi matematika siswa pada semua jenjang pendidikan masih rendah. Keadaan ini sangat ironis dengan kedudukan dan peran matematika untuk pengembangan sains dan teknologi. Matematika merupakan induk ilmu pengetahuan. Tetapi kenyataannya hingga saat ini belum menjadi pelajaran yang difavoritkan. Bahkan matematika cenderung ditakuti dan ingin dihindari. Rasa takut terhadap matematika sering menghinggapi perasaan siswa pada semua tingkat pendidikan. Padahal, matematika bukan pelajaran yang sulit dan menakutkan. Menurut Pranoto (Masykur dan Fathani, 2008:72), fobia matematika sering dianggap lebih krusial dibandingkan bidang studi lain. Hal itu disebabkan sejak SD bahkan TK siswa sudah diajarkan matematika. Ada bermacam-macam penyebab fobia matematika yang dialami siswa. Diantaranya, penekanan berlebihan pada hafalan, berhitung, dan prestasi individu. Pengajaran otoriter dan kurang variasi juga menjadi penyebab fobia matematika. Untuk mengatasi hal itu, diperlukan peran guru. Dalam hal ini, pengajaran matematika pun harus diubah. Pengajaran matematika seharusnya tidak hanya terfokus pada hitungan. Guru harus meningkatkan kemampuan siswa dalam bernalar dan menggunakan logika matematis.Perlu diketahui bahwa matematika bukan sekedar aktivitas penjumlahan, pengurangan, perkalian, dan pembagian. Bermatematika di zaman sekarang harus aplikatif dan sesuai dengan kebutuhan hidup modern. Materi matematika bukan lagi sekedar aritmatika, tetapi beragam topik dan persoalan yang akrab dengan kehidupan. Konsekuesinya pembelajaran matematika di zaman sekarang juga harus berbeda dengan zaman dahulu. Oleh karena itu, saat ini pembelajaran matematika harus kontekstual, realistik, dan bermakna. Siswa dituntut untuk dapat membangun konsep sendiri berdasarkan pengalaman dan pengetahuan sehari-harinya. Dalam pembelajaran, guru harus mengaitkan konsep matematika dengan pengalaman siswa sehari-hari. Selain itu, siswa juga diharapkan dapat mengaplikasikan pengetahuan yang telah dimilikinya dalam kehidupan. Dari aspek psikologi, peran orang tua dibutuhkan untuk mengatasi fobia matematika. Mengajar matematika bukan sekedar mengenalkan angka dan lantas menghafalkannya, melainkan bagaimana anak memahami makna bermatematika. Orangtua harus memberikan kesempatan pada anak untuk bereksplorasi dan melakukan observasi dalam keadaan rileks. Para orang tua tidak perlu khawatir dengan kemampuan matematika anak-anaknya. Dan yang terpenting dalam menumbuhkan cinta anak pada matematika adalah membiasakan anak menemukan konsep matematika. Jika anak sering menemukan orangtua menggunakan konsep matematika, anak akan menangkap informasi tersebut. Selanjutnya anak akan mengaplikasikan dalam kehidupan sehari-hari. Misalnya pengaturan uang saku dan tabungan hingga jadwal aktivitas sehari-hari (Handayani dalam Masykur dan Fathani, 2008:74).Perlu diketahui dan dijadikan pegangan bahwa matematika merupakan ilmu dasar dari pengembangan sains. Oleh karena itu matematika berperan strategis dalam kehidupan. Dalam perdagangan kecil saja, orang dituntut untuk mengerti aritmatika minimal penjumlahan dan pengurangan. Bagi pegawai atau karyawan perusahaan harus mengetahui waktu atau jam. Bendahara suatu perusahaan harus memahami seluk-beluk keuangan. Ahli agama, politikus, ekonom, wartawan, petani, ibu rumah tangga dan semua orang sebenarnya dituntut untuk menyenangi matematika. Dan kemudian berupaya untuk memelajari dan memahaminya. Hal itu mengingat betapa penting dan banyaknya peran matematika dalam kehidupan manusia. Akan tetapi, fakta menunjukkan tidak sedikit siswa yang masih menganggap matematika tidak menyenangkan. Siswa menganggap belajar matematika membuat stres dan bingung. Mereka merasa membuang waktu hanya untuk mengutak-atik rumus yang tidak berguna dalam kehidupan. Akibatnya, Matematika dipandang sebagai ilmu yang tidak perlu dipelajari dan dapat diabaikan. Kondisi ini diperparah dengan proses pembelajaran matematika yang hanya berorientasi pada pengerjaan soal. Saat ini masih sedikit proses pembelajaran matematika yang dikaitkan langsung dengan kehidupan. Menyikapi hal itu, satu hal yang harus dilakukan adalah membuat siswa senang belajar matematika. Agar tujuan pembelajaran matematika tercapai maksimal, harus diupayakan agar siswa lebih memahami materi yang diajarkan. Hal itu lebih baik daripada mengejar target kurikulum tanpa pemahaman materi. Dalam praktiknya, pembelajaran berorientasi siswa ini dapat dilakukan dengan pendampingan siswa satu per satu atau per kelompok. Penjelasan materi dan contoh pengerjan soal diberikan secara klasikal di depan kelas. Kemudian, ketika siswa mengerjakan latihan soal, guru berkeliling untuk memerhatikan siswa secara personal. Tugas guru adalah membantu siswa agar dapat menyeleaikan tugasnya dengan benar. Siswa yang pandai akan mendapatkan sedikit perhatian. Sementara siswa yang lemah akan mendapatkan perhatian yang lebih intensif. Hal yang paling esensial ketika mendampingi siswa adalah menumbuhkan keyakinan dalam diri siswa bahwa mereka bisa. Guru harus meyakinkan bahwa siswa mampu mengerjakan soal. Selain itu guru juga harus berusaha menghilangkan persepsi siswa bahwa matematika sulit. Penting pula untuk mengsahakan agar siswa memiliki pengalaman belajar bahwa belajar matematika mudah dan menyenangkan.Usaha selanjutnya adalah mengusahakan suasana kelas kondusif. Tata letak perabot kelas tidak harus diatur secara formal. Sering kita jumpai, ada siswa yang malas belajar ketika harus duduk tenang dan serius. Menyikapi hal itu, guru seharusnya memberikan kebebasan kepada siswa. Siswa dapat belajar dengan duduk di bangku atau di lantai. Jadi semua aktivitas pembelajaran di kelas tidak harus dilakukan dengan duduk tenang di bangku. Ada pula siswa yang dalam belajarnya harus mendengarkan musik. Memang, musik tidak berkaitan langsung dengan matematika. Musik bukan merupakan alat peraga dalam pembelajaran matematika. Namun, musik memainkan peran dalam membantu menciptakan kenyamanan belajar di kelas. Musik hanya merupakan pengiring ketika siswa mengerjakan soal. Sehingga musik dapat membuat siswa lebih nyaman ketika belajar matematika. Namun, dalam hal ini, etika dan menghargai teman juga perlu diperhatikan. Dijumpai pula siswa yang senang ngemil ketika mengerjakan soal. Menyikapi siswa yang demkian, guru tidak dapat serta-merta melarang siswa makan di kelas. Pada intinya, apa pun yang dapat membuat siswa nyaman dan senang belajar matematika sebaiknya guru tidak melarang. Guru harus memberikan kebebasan bergerak dan berpikir kepada siswa, tentunya tetap dalam batas kewajaran.Menyelenggarakan pembelajaran matematika secara nyaman dan membuat siswa bergairah penting untuk dilakukan. Dengan mempraktikan strategi pembelajaran yang sesuai diharapkan dapat menumbuhkan minat siswa terhadap matematika. Sehingga siswa tidak lagi terjangkit fobia matematika. Siswa menjadi senang belajar matematika. Hal itu akan berdampak pada penguasaan dan pemahaman materi matematika. 6. Peran Guru dan Orangtua dalam Pembelajaran Matematika

Secara umum, tugas guru matematika diantaranya adalah: pertama, memberikan materi pelajaran sesuai standart kurikulum; kedua, mengusahakan agar siswa terlibat penuh dan aktif dalam pembelajaran. Guru harus mengupayakan agar proses pembelajaran menyenangkan. Oleh karena itu, guru dituntut untuk berpikir dan bertindak kreatif. Guru harus menciptakan inovasi dalam pembelajaran matematika. Sehingga pembelajaran matematika menjadi menarik dan menyenangkan.Masalah pada tahap pertama adalah menyampaikan materi sesuai standart kurikulum. Dalam pembelajaran matematika siswa dituntut untuk aktif. Mereka harus mempelajari matematika melalui pemahaman dan aktif membangun pengetahuan baru dari pengetahuan sebelumnya. Menurut Yaniawati (Masykur dan Fathani, 2008:7879), ada lima tujuan umum pembelajaran matematika, yaitu: pertama, belajar untuk berkomunikasi (mathematical communication); kedua, belajar untuk bernalar (mathematical reasoning); ketiga, belajar untuk memecahkan masalah (mathematical problem solving); keempat, belajar untuk mengaitkan ide (mathematical connections); dan kelima, pembentukan sikap positif terhadap matematika (positive attitudes toward mathematics). Semua itu lazim disebut daya matematika (mathematical power).Sementara masalah pada tahap kedua adalah menerapkan model pembelajaran yang efektif. Pada dasarnya atmosfer pembelajaran merupakan hasil sinergi dari siswa, kompetensi guru, dan fasilitas pembelajaran. Tiga komponen tersebut bermuara pada area proses dan model pembelajaran. Model pembelajaran matematika yang efektif memiliki nilai relevansi dengan pencapain daya matematika. Selain itu, memberikan peluang untuk bangkitnya kreativitas guru. Pembelajaran matematika efektif juga menarik perhatian siswa dan berpotensi mengembangkan suasana belajar mandiri. Kemudian memanfaatkan kemajuan teknologi khususnya teknologi informasi.

Belajar matematika tidak harus serius, tetapi dapat menyisipkannya dalam pengalaman sehari-hari. Orangtua dapat melatih pemahaman konsep matematika anak dalam kehidupan sehari hari. Misalnya, memberikan pemahaman konsep matematika dengan cara mengajarkan pemahaman kuantitas. Hal yang terpenting adalah orangtua memberikan simulasi yang memadai. Kemudian orangtua harus memberikan penguatan jika pemahaman anak benar. Jika pemahaman anak menyimpang maka orangtua harus membenarkan. Secara kognitif anak mampu berasimilasi. Sehingga orangtua dalam memberikan pengajaran matematika harus mengaitkan dengan pengetahuan anak sebelumnya. Dengan demikian, anak akan lebih mudah memahami (Asari dalam Masykur dan Fathani, 2008:7981).Tanpa disadari matematika menjadi bagian dalam kehidupan anak. Umumnya anak menyukai matematika karena pengajaran guru atau orangtua yang kretif dan menyenangkan. Sebaliknya, anak tidak suka matematika karena malas menghafal. Akibatnya, nilainya jelek dan timbul trauma pada matematika. Oleh karena itu, diperlukan situasi belajar yang kondusif. Lingkungan belajar harus aman dan tidak mengancam anak. Reward dan punishment sebaiknya tidak digunakan dalam belajar. Seharusnya orangtua memberikan respon secepatnya saat anak belajar matematika. Sebisa mungkin membuat anak tidak tertekan. Tekanan akan membuat anak sulit mencerna dan memahami matematika. Sebaiknya mengindari sistem pembelajaran konsolidasi yang membuat anak menyelesaikan soal dengan cepat dengan satu metode. Hal itu mengakibatkan kemampuan anak tidak bertambah (Angie dalam Masykur dan Fathani, 2008:8283).7. Kesimpulan

Matematika berperan strategis dalam kehidupan. Tetapi matematika masih dianggap sulit dan menakutkan oleh sebagian besar siswa. Minat siswa terhadap matematika rendah dan mengakibatkan nilai matematika siswa rendah pula. Oleh karena itu, langkah awal yang harus dilakukan adalah menumbuhkan minat siswa terhadap matematika. Untuk menumbuhkan minat siswa terhadap matematika diperlukan peran berbagai pihak. Orangtua dan guru berperan penting dalam menumbuhkan minat siswa terhadap matematika. Orangtua berperan dalam memberikan pandangan positif tentang matematika. Orang tua juga harus memberikan dorongan kepada anak agar senang belajar matematika. Untuk menumbuhkan minat siswa, guru harus mengubah persepsi negatif siswa terhadap matematika. Setelah memberikan pandangan yang benar tentang matematika selanjutnya guru memberikan motivasi kepada siswa. Kemudian tugas guru adalah menciptakan pembelajaran matematika yang kreatif dan inovatif. Hal tersebut bertujuan agar pembelajaran matematika menjadi bermakna sehingga siswa tidak jenuh dan bosan.

Daftar Rujukan

Ibrahim, M. 2010. Dasar-Dasar Proses Belajar Mengajar. Surabaya: Unesa University Press.Masykur, Mochamad dan Fathani Abdul Halim. 2008. Mathematical Intelligence. Yogyakarta: Ar-Ruzzmedia. Mulyana, R. 2004. Mengartikulasikan Pendidikan Nilai. Bandung: Alfabeta.

Suriasumantri, J. S. 2009. Filsafat Ilmu Sebuah Pengantar Populer. Jakarta: Pustaka Sinar Harapan.