125954233 Epistaksis Doc

Embed Size (px)

DESCRIPTION

125954233 Epistaksis Doc

Citation preview

  • PENDAHULUHAN

    ANATOMI HIDUNG(1,2)

    Hidung luar berbentuk pyramid dengan bagian-bagiannya dari atas ke

    bawah :

    1) Kranial nasi

    2) Dorsum nasi

    3) Apex nasi

    4) Ala nasi

    5) Cavum nasi

    Hidung luar dibentuk oleh :

    a) Kerangka tulang. Kerangka tulang terdiri dari :

    i.Os Nasalis

    ii. Prosesus nasalis os frontal

    b) Tulang rawan yang dilapisi oleh kulit, Tulang rawan terdiri dari

    beberapa pasang tulang rawan yang terletak dibagian bawah hidung,

    yaitu :

    i. Sepasang kartilago nasalis lateralis superior

    ii. Sepasang kartilago nasalis lateralis inferior atau kartilago

    alaris mayor

    iii. Beberapa pasang kartilago ala minor, dan

    iv. Tepi anterior kartilago septum.

    c) jaringan ikat dan beberapa otot kecil yang berfungsi untuk

    melebarkan atau menyempitkan lubang hidung.

    Cavum nasi berbentuk terowongan dari depan kebelakang, dipisahkan

    oleh septum nasi di bagian tengah nya menjadi cavum nasi kanan dan kiri.

    Pintu atau lubang masuk cavum nasi bagian depan disebut nares anterior dan

    lubang belakang disebut nares posterior ( koana ) yang menghubungkan

    cavum nasi dengan nasofaring.1

    Bagian dari cavum nasi yang letaknya sesuai dengan ala nasi, tepat di

    belakang nares anterior, disebut vestibulum. Vestibulum ini dilapisi oleh kulit

    yang mempunyai banyak kelenjar sebasea dan rambut rambut panjang yang

    disebut vibrise.1

    1

  • Tiap cavum nasi mempunyai empat buah dinding lateral, medial,

    inferior, superior. Dinding medial hidung adalah septum nasi. Septum

    dibentuk oleh tulang dan tulang rawan. Bagian tulang adalah 1:

    1. lamina perpendikularis os etmoid,

    2. vomer,

    3. Krista nasalis os maksila, dan

    4. Krista nasalis os palatine.

    Bagian tulang rawan adalah :

    1. kartilago septum / lamina kuadrangulari

    2. kolumela

    Septum dilapisi oleh perikondrium pada

    bagian tulang rawan dan periostium pada

    bagian tulang , sedangkan bagian luarnya dilapisi pula oleh mukosa hidung.

    Bagian dinding lateral hidung licin, yang disebut ager nasi dan dibelakangnya

    terdapat konka konka yang mengisi sebagian besar dinding lateral hidung. (1,4)

    Pada dinding lateral terdapat empat buah konka. Yang terbesar dan

    letaknya paling bawah ialah konka inferior, kemudian yang lebih kecil ialah

    konka media, lebih kecil lagi adalah konka superior, sedangkan yang terkecil

    disebut konka suprema.(1,2)

    2

  • Konka suprema ini biasanya rudimenter. Konka inferior merupakan

    tulang tersendiri yang melekat pada os maksila dan labirin etmoid sedangkan

    konka media, superior dan suprema merupakan bagian dari labirin etmoid.

    Diantara konka konka dan dinding lateral hidung terdapat rongga

    sempit yang disebut meatus. Tergantung dari letak meatus, ada tiga meatus

    yaitu :

    1. Meatus inferior,

    2. Meatus media, dan

    3. Meatus superior.

    Meatus inferior terletak diantara konka inferior dengan dasar hidung

    dan dinding lateral rongga hidung. Pada meatus inferior terdapat muara atau

    ostium duktus nasolakrimalis.(1,2)

    Meatus media terletak diantara konka media dan dinding lateral rongga

    hidung. Pada meatus medius terdapat bula etmoid, prosesus unsinatus, hiatus

    semilunaris dan infundibulum etmoid. Hiatus semilunaris merupakan suatu

    celah sempit melengkung dimana terdapat muara sinus frontal, sinus maksila

    dan sinus etmoid anterior. (1,2)

    Pada meatus superior yang merupakan ruang diantara konka superior

    dan konka media terdapat muara sinus etmoid posterior dan sinus sphenoid.

    Dinding inferior merupakan dasar rongga hidung dan di bentuk oleh os

    maksila dan os palatum.

    Dinding superior dan atap hidung sangat sempit dan dibentuk oleh

    lamina kribriformis yang memisahkan rongga tengkorak dari rongga hidung.

    Bagian atas hidung mendapat pendarahan dari a. etmoid anterior dan posterior

    yang merupaka cabang dari a. oftalmika, sedangkan a. oftalmika berasal dari a.

    karotis interna. (1,2)

    3

  • PERDARAHAN HIDUNG

    Bagian bawah rongga hidung mendapat pendarahan dari cabang a.

    maksilaris inetrna, diantaranya ialah ujung a. palatina mayor dan a.

    sfenopalatina yang keluar dari foramen sfenopalatina bersama n. sfenopalatina

    dan memasuki rongga hidung di belakang ujung posterior konka media. (1,2)

    Bagian depan hidung mendapat pendarahan dari cabang cabang a.

    fasialis.

    Pada bagian depan septum terdapat anastomosis dari cabang cabang

    sfenopalatina, a. etmoid anterior, a. labialis superior dan a. palatina mayor,

    yang disebut fleksus kiesselbach (lilltes area) ( lihat gambar). Fleksus

    kiesselbach letaknya superficial dan mudah cedera oleh trauma, sehingga

    sering menjadi sumber epistaksis (perdarahan hidung), terutama pada anak. (1,2)

    Vena vena hidung mempunyai nama yang sama dan berjalan

    berdampingan dengan arterinya. Vena di vestibulum dan struktur luar hidung

    bermuara ke v. oftalmika yang berhubungan dengan sinus kavernosus. Vena

    vena hidung tidak memiliki katup sehingga merupakan factor predisposisi

    untuk mudahnya penyebaran infeksi sampai ke intracranial.

    PERSARAFAN HIDUNG

    Bagian depan dan atas rongga hidung mendapat persarafan sensoris

    dari n.etmoidalis anterior, yang merupakan cabang dari n. nasosiliaris, yang

    berasal dari n. oftalmikus. (1,2)

    Rongga hidung lainnya sebagian besar mendapat persarafan sensoris

    dari n. maksila melalui ganglion sfenopalatinum. Ganglion sfenopalatinum,

    selain memberikan persarafan sensoris juga memberika persafaran vasomotor

    4

  • atau otonom untuk mukosa hidung. Ganglion ini menerima serabut serabut

    sensoris dari n. maksila, serabut parasimpatis dari n. petrosus superfisialis

    mayor dan serabut serabut simpatis dari n. petrosus profundus. Ganglion

    sfenopalatinum terletak dibelakang dan sedikit diatas ujung posterior konka

    media. Nervus olfaktorius saraf ini turun melalui lamina kribrosa dari

    permukaan bawah bulbus olfaktorius dan kemudian berakhir pada sel sel

    reseptor penghidu pada mukosa olfaktorius di daerah sepertiga atas hidung. (1,2)

    FISIOLOGI HIDUNG & SINUS PARANASAL

    Hidung mempunyai fungsi:

    a. Respiratorik (Pernapasan)

    b. Olfaktorius

    c. Resonansi Suara

    d. Drainase-Ventilasi

    Fungsi Respiratorik

    Fungsi respiratorik ini sering disebut juga condition of air, yang berarti

    menyiapkan udara yang dihirup agar sesuai dengan keadaan fisiologi paru-

    paru. Hal ini penting sekali karena udara yang dihirup keadaannya berbeda-

    beda; ada yang dingin, kering, berdebu, berasap, banyak kuman-kuman dan

    lain-lain. Jika udara yang masuk ke paru-paru tidak diubah keadaannya, tidak

    dibersihkan dari debu atau kuman akan dapat merusak paru-paru. (1,2)

    Pelaksanaan fungsi respiratorik

    1. Mengatur Banyak Udara

    Banyaknya udara yang masuk perlu diatur dan disesuaikan dengan

    kebutuhan. Misalnya, wkatu berolahraga membutuhkan lebih banyak

    oksigen yang dengan sendirinya membutuhkan lebih banyak udara,

    sedangkan pada waktu tidur kebutuhan lebih sedikit.

    2. Menyiapkan Udara

    Udara yang masuk ke paru-paru harus dipersiapkan terlebih dahulu

    agar sesuai dengan keadaan paru-paru. Hal ini dilaksanakan dengan cara

    menyaring, membasahi dan memanasi udara pernapasan dengan adanya

    bulu hidung (vibrissae) dan konka nasi. Konka nasi karena mengandung

    5

  • jaringan karvenosum, dapat membesar dan mengecil sehingga rongga

    hidung dapat melebar dan menyempit. (1,2)

    3. Desinfektan

    Disinfesi udara pernapasan dilaksanakan oleh lender, silia, sel pagosit,

    dan lain-lain. Udara pernapasan yang berasal dari luar udara dapat

    mengandung kuman yang dapat membahayakan tubuh. Kuman yang

    terbawa masuk bersama udara, melekat pada mukosa. Dalam lender yang

    terdapat dalam mukosa, didapatkan semacam enzim yang disebut lisosim.

    Enzim ini dapat membunuh kuman sehingga separuh bagian belakang

    rongga hidung dalam keadaan steril. Di samping itu, suasana asam (ph 6,5)

    dari lender yang terdapat pada mukosa hidung tidak cocok untuk hidupnya

    kuman. (1,2)

    Silia menggerakkan kuman dan kotoran yang tertangkap atau melekat

    pada lender kea rah belakang (ke faring), ditelan, dan masuk ke lambung

    melalui esophagus. Selanjutnya asam lambung akan mematikan kuman

    yang masih belum mati di hidung. (1,2)

    Pada submukosa terdapat fagosit, limfosit dan histosit yang semuanya

    mempunya fungsi untuk membunuh kuman.

    Fungsi Olfaktorik(1,2)

    Fungsi olfaktorik ini masih sangat berguna pada hewan untuk:

    1. Mempertahankan diri terhadap bahaya yang mengancam

    jiwanya.

    2. mencari makan, mempertahankan kehidupannya

    3. mempertahankan spesies (bau lawan jenis dapat tercium dari

    jarak jauh)

    Pada manusia saraf pembau ini bekerja sama dengan saraf

    pengecap (gustatorius). Ketika makan, udara dari makanan yang sedang

    dikunyah, menguap, naik ke nasofaring, ke hidung dan tercium bau

    makanan itu. Jika terjadi obstruksi nasi, bau makanan tidak tercium

    sehingga nafsu makan pun menjadi berkurang. (1,2)

    Fungsi Resonansi Suara

    Hidung, seperti telah diterangkan sebelum ini merupakan suatu

    piramid yang berongga. Rongga hidung ini beersama-sama dengan sinus

    6

  • paranasal, merupakan resonator dari suara yang dihasilkan laring. Jika

    terjadi obstruksi nasi, suara akan menjadi sengau (bindeng) yang disebut

    rinolalia oklusi. (1,2)

    Fungsi Drainase dan Ventilasi

    Sinus paranasal mempunya ostium pada meatus nasi. Sekret di

    dalam sinus paranasal akan keluar melalui ostium ke dalam rongga hidung.

    Selain itu, udara di rongga hidung dapat masuk ke dalam sinus paranasal

    melalui ostium ini. Jika ostium tersumbat, misalnya oleh udem mukosa

    atau oleh tumor, fungsi drainase dan ventilasi akan terganggu dan di dalam

    rongga sinus dapat terjadi penumpukan sekret.(1,2)

    7

  • EPISTAKSIS

    Epistaksis adalah kasus yang selalu akan dijumpai dalam praktek sehari-hari.

    Dokter umum yang bertugas di lini pertama sebaiknya memiliki pengetahuan dan

    keterampilan yang memadai untuk melakukan rujukan ke dokter spesialis THT.

    Angka ini diperoleh dari survey kesehatan di Negara maju dnegan system rujukan

    yang telah berjalan baik.2

    Epistaksis yang ringan sekali pun perlu diwaspadai, karena dapat berulang,

    terutama kasus epistaksis yang terjadi pada anak karena mengorek hidung. Epistaksis

    berat dan terjadi pada orang tua dapat berakibat fatal, seperti aspirasi, hipotensi, atau

    hipoksia yang dapat mengakibatkan infark miokard.4

    Berdasarkan asal pembuluh darah, epistaksis dibagi menjadi epistaksis

    anterior dan epistaksis posterior. Epistaksis anterior adalah epistaksis dengan sumber

    perdarahan yang mudah diidentifikasi, biasanya berasal dari pleksus kiesselbach yang

    terdapat di septum bagian anterior. Epistaksis posterior biasanya lebih sulit diatasi,

    sebab biasanya perdarahan hebat dan sulit dicari sumber perdarahan dengan rinoskopi

    anterior.4

    Dengan berkembangnya teknologi dan ditemukannya nasoendoskop, yang

    memiliki kemampuan unutk mengevaluasi bagian hidung yang lebih posterior, cara

    pandang tetang penatalaksanaan epistaksis posterior sebaiknya juga berubah.

    Seperti juga nasoendoskop yang telah membuat perubahan besar dalam melakukan

    tindakan bedah sinus. Dengan digunakannya nasoendoskop, kriteria epistaksis

    anterior berubah menjadi setiap epistaksis yang diketahui sumber perdarahannya dan

    dapat dihentikan perdarahannya dengan melakukan kauterisasi pada pembuluh darah

    tersebut. Dari penelitian yang dilakukan oleh Mc Garry, dengan menggunakan kriteria

    baru ini ternyata 50% kasus yang semula dianggap sebagai epistaksis posterior

    ternyata memiliki sumber perdarahan yang dapat diidentifikasi dan diatasi tanpa

    menggunakan tampon hidung. (1,2)

    Teknik nasoendoskopi pada masa yang akan datang tampaknya merupakan

    suatu cara yang dapat meningkatkan kualitasa penatalaksanaan pasien epistaksis dan

    secara bersamaan dapat mengurangi biaya perawatan karena akan menurunkan

    lamanya waktu rawat inap bagi pasien epistaksis terutama epistaksis posterior yang

    memerlukan perawatan di rumah sakit. Bahkan tindakan ligasi arteri sfenopalatina

    endoskopik (endoscopic clipping of the sphenopalatine artery) dapat mengubah

    8

  • paradigma penatalaksanaan epistaksis posterior menjadi penatalaksanaan berbasis

    rawat jalan. (2,4)

    ETIOLOGI

    Epitaksis atau perdarahan dari bagian dalam hidung dapat primer atau

    sekunder, spontan atau akibat rangsangan dan berlokasi di sebelah posterior atau

    anterior. Pembuluh darah mukosa hidung yang berhubungan dengan dunia luar dan

    tidak terlindung mudah ruptur dan menyebabkan perdarahan. Terutama pembuluh

    darah septum kurang ditunjang atau dilindungi dari rangsangan luar, letaknya dekat

    tulang atau kartilago hanya terlindung oleh mukosa yang tipis. Sekali terluka

    pembuluh darah tidak dapat melakukan retraksi kedalam submukosa yang tipis.

    Karenanya luka yang ringan erosi saja sudah dapat menyebabkan perdarahan hidung

    yang hebat. 2

    Pada anak dan dewasa mudah epiktaksis terutama timbul dari anterior septum

    yang disebut daerah little atau Pleksus Kiesselbach. Daerah ini terbuka terhadap efek

    pengeringan udara inspirasi dan juga trauma-trauma kecil yang multiple. Terjadinya

    ulkus,Ruptur, atau kondisi patologik lokal lainnya, dan selanjutnya timbul pendarah. 2

    Pada orang yang lebih tua, lokasi perdarahan dapat di anterior tetapi, lebih

    sering berasal dari bagian posterior hidung. Penyebabnya biasanya bukan trauma

    lebih mungkin ruptur spontan pembuluh darah yang sklerotik. Pendarahan akan

    menjadi lebih berat jika pasien hipertensi.2

    Pada 10% kasus, etiologi epistaksis tidak diketahui. Sedangkan pada kasus

    yang lain, etiologinya dapat merupakan kombinasi dari beberapa factor. Kausa

    epistaksis dapat dibagi menjadi 2 kategori besar yaitu, faktor lokal dan sistemik.

    Faktor lokal akan mengubah fungsi fisiologis narmal dari hidung yang akan

    memudahkan trauma vaskuler sehingga terjadi epistaksis2

    LOKAL SISTEMIKKongenital:

    Atresia koana unilateral

    Meningokel

    Encefalokel

    Glioma

    1. Gangguan perdarahan

    - Gangguan koagulasi

    - Gangguan platelet

    - Gangguan pembuluh darah

    - Hiperfibrinolisis

    2. Obat : aspirin, antikoagulan,

    9

  • Akuisita

    Infeksi

    - Akut : virus, bakteri,

    jamur

    - Kronik : spesifik

    (tuberculosis, sifilis,

    lepra, rinoskleroma)

    - Non spesifik: (ozaena)

    Inflamasi : rinosinusitis,

    poliposis hidung

    Trauma : iatrogenik, trauma

    fasial, benda asing

    Idiopatik

    Neoplasma

    - Jinak : papiloma sel

    transisional,

    angiofibroma

    - Ganas: karsinoma sel

    skuamosa,

    adenokarsinoma.

    Melanoma, limfoma, dll

    Obat : rhinitis medikamentosa

    (dekongestan topical, kokain)

    Inhalan : tembakau, ganja,

    heroin, krom, merkuri.

    kloramfenikol, metotreksat,

    alkohol, dipiridamol

    3. Neoplasma

    4. Idiopatik: sarkoidosis, granuloma

    wegener

    5. Lain-lain: gagal hati, hipotiroid,

    HIV

    Trauma

    Penyebab tersering dari epistaksis adalah trauma. Trauma langsung pada

    hidung tanpa terjadi fraktur dapat mengakibatkan epistaksis karena mukosa

    mengalami peregangan, lokasinya biasanya pada septum, resesus lateral dari apertura

    piriformis, perlekatan kartilago lateral superior dengan os nasal, konka, atau pada

    perlekatan kartilago kuadrangularis dengan septum pars osseus. Trauma langsung

    10

  • pada hidung dengan faktur merupakan penyebab epistaksis karena terjadi laserasi

    mukosa atau laserasi arteri akibat tepi tulang yang tajam dan kasar.2

    Trauma pada sinus, orbita, telinga tengah dan skull base dapat mengakibatkan

    epistaksis, jika garis fraktur mengenai dinding anterior sinus sphenoid dan

    menyebabkan laserasi arteri sfenopalatina pada cabang daerah posterior septum.2

    Trauma lainnya yang menyebabkan epistaksis adalah kebiasaan menggaruk

    dan mengorek hidung yang menyebabkan perdarahan septum anterior. Iritasi kronis

    pada daerah ini mengakibatkan pembentukan krusta dan jaringan granulasi yang

    rapuh dan mudah berdarah jika digaruk-garuk atau dikorek-korek2

    Barotraumas karena terbang atau menyelam dengan skuba dapat menyebabkan

    perdarahan di dalam rongga sinus dan selanjutnya mengakibatkan epistaksis.2

    Kelainan Anatomi dan Struktur

    Kelainan anatomi dan struktur rongga hidung dapat merupakan faktor lokal

    terjadinya epistaksis. Deviasi septum atau spina septum pada bagian kartilago atau

    tulang dari septum dapat mengganggu pola aliran udara normal di dalam rongga

    hidung. Perubahan ini akan membuat kering mukosa hidung dan selanjutnya terjadi

    pembentukan krusta yang memudahkan terjadinya epistaksis. Perdarahan yang terjadi

    di posterior septum yang mengalami deformitas akan sulit diatasi sehingga

    memerlukan tindakan septoplasti. (1,2)

    Infeksi

    Peningkatan vaskularisasi dan lebih rapuhnya pembuluh darah merupakan

    tanda yang khas dari peradangan jaringan. Reaksi inflamasi lokal sering terjadi pada

    pasien dengan infeksi saluran napas atas, rhinitis alergi, sinusitis, polip hidung, iritasi

    lingkungan dan bahan berbahaya. Manisfestasi kondisi inflamasi biasanya berupa

    kongesti hidung atau mucus bercampur dengan bercak darah. Pasien dengan

    epistaksis berulang, didalam rongga hidungnya mungkin terdapat bakteri yang

    memiliki aktivitas fibrinolitik karena menghasilkan enzm stafilokinase atau

    streptokinase. (1,2)

    Tumor

    Tumor jinak atau ganas di rongga hidung, nasofaring dan sinus dapat

    menyebabkan epistaksis. Perdarahan terjadi secara tidak langsung karena adanya erosi

    struktur normal sinonasal atau secara langsung dari tumornya yang banyak

    11

  • mengandung pembuluh darah. Epistaksis biasanya terjadi unilateral, intermiten, atau

    terus menerus. Tumor yang sering menyebabkan epistaksis adalah hemangioma,

    hemangioperisitoma, papiloma, karsinoma sel skuamosa, karsinoma adenoid kistik,

    adenokarsinoma dan melanoma. Angiofibroma juvenile harus diwaspadai pada

    penderita laki-laki remaja atau dewasa muda dengan hidung tersumbat, epistaksis, dan

    terdapat massa di rongga hidung atau nasofaring. (1,2)

    Aneurisma

    Aneurisma arteri karotis interna ekstradura atau dengan sinus kavernosus

    dapat menyebabkan epistaksis yang mengancam jiwa. Adanya aneurisma dicurigai

    jika terdapat riwayat operasi bedah saraf atau trauma kepala sebelumnya dengan

    gejala onset yang tiba-tiba dari kebutaan unilateral atau defisit neurologis seperti

    anosmia atau kelumpuhan saraf cranial II-VI. Karena daerah ini sulit dicapai, maka

    epistaksis ini diatasi dengan embolisasi arteri. (1,2)

    Hipertensi

    Kategori ke dua dari penyebab epistaksis adalah faktor sistemik. Kelainan

    faktor ini biasanya mengakibatkan epistaksis berulang karena efek langsung atu

    daklangsung pada pembuluh darah itu sendiri. Hipertensi dan aterosklerosis biasanya

    berhubungan dengan epistaksis posterior terutama pada orang tua. Penumpukan

    material aterom pada pembuluh darah dan berubahnya muskulus pada tunika media

    ateria dan digantikan oleh jaringan ikat akan menurunkan kemampuan hemostasis

    arteri. Sehingga penatalaksanaan epistaksis pada penderita hipertensi harus juga

    dilakukan pemeriksaan tekanan darah dan terapi hipertensi yang diperlukan.(1,4)

    Gangguan faktor pembekuan darah

    Gangguan faktor pembekuan dan atau platelet dapat menyebabkan epistaksis

    yang sulit dikontrol. Kelainan darah biasanya ditemukan pada pasien pencandu

    alkohol atau pasien dengan penyakit sistemik yang berat, imunodefisiensi atau

    gangguan limfoproliferatif. Definisi trombositopenia adalah

  • DIC, TTP, ITP, hipersplenisme dan lain-lain. Disfungsi platelet terjadi jika jumlah

    platelet mencukupi tetapi tidak dapat berfungsi dengan normal(1,2)

    Obat-obatan

    Aspirin dan obat-obatan NSAIDS dapat mengganggu fungsi platelet dengan

    menghambat siklo-oksigenase yang berguna untuk produksi tromboksan dari asam

    arakidonat. Jalur biokimiawi ini penting untuk agregasi platelet. Gangguan sistemik

    seperti uremia dan gagal hati, juga defisinsi vitamin merupakan faktor predisposisi

    terjadinya disfungsi platelet sebagai penyebab epistaksis. Abnormalitas faktor

    pembekuan darah harus dicurigai jika terdapat riwayat mudah memar, perdarahan

    yang sukar berhenti dan atau adanya riwayat keluarga(1,2)

    EPIDEMIOLOGI

    Epistaksis jarang ditemukan pada bayi, tetapi frekuensi kejadianya meningkat

    pada anak-anak. Epistaksis anterior sering terjadi pada anak dan dewasa muda,

    sedangkan epistaksis posterior lebih sering terjadi pada orang tua, terutama pada

    dekade 5 dan pada penderita hipertensi. Epistaksis sering terjadi pada saat musim

    kemarau dengan kelembaban yang rendah. Penderita-penderita alergi, peradangan

    hidung dan penyakit sinus lebih mudah mengalami epistaksis karena mukosanya lebih

    rentan dan lebih hiperemis akibat adanyay reaksi inflamasi. (1,2)

    FISIOLOGI

    Mukosa yang melapisi rongga hidung terdiri dari epitel kolumnar bersilia yang

    melekat pada membrane basal yang kemudian melekat juga pada periosteum dan

    perikondrium. Di dalam mukosa terdapat kanal-kanal vaskuler yang berperan

    terhadap ketebalan konka. Kelenjar serosa dari konka nedia dan superior

    memproduksi secret menjadi kering dan berkusta sehingga silia tidak berfungsi.

    Permukaan mukosa yang mengalami erosi memudahkan bakteri untuk masuk dan

    mengakibatkan reaksi inflamasi dan pembentukan jaringan granulasi. Jaringan

    granulasi yang rapuh mudah berdarah jika terjadi truma walaupun yang minimal

    sekalipun. Bacteria yang menginvasi pun dapat mengakibatkan epistaksis karena

    memproduksi enzim fibrinolitik seperti stafilokinase dan streptokinase. (1,2)

    13

  • ANATOMI PEMBULUH DARAH

    Karena berfungsi untuk melembabkan dan menghangatkan udara inspirasi,

    mukosa hidung banyak mengandung pembuluh darah yang berasal dari system karotis

    interna maupun eksterna, dengan banyak anastomosis pada kedua pembuluh darah ini.

    Arteri karotis eksterna merupakan kontributor utama vaskularisasi mukosa hidung.

    Arteri fasialis. arteri maksilaris eksterna dan arteri maksilaris interna yang merupakan

    cabang dari arteri karotis eksterna merupakan sumber vaskularisasi utama dari

    hidung. (1,2)

    Arteri fasialis bercabang menjadi arteri labialis superior yang

    memvaskularisasi septum nasi anterior dan ala nasi. Arteri maksilaris interna

    bercabang menjadi arteri sfenopalatina, arteri palatine mayor setelah masuk fossa

    pterigopalatina. (1,2)

    Arteri karotis interna yang bercabang menjadi arteri oftalmika sesudah masuk

    fissure orbita superior bercabang lagi menjadi arteri etmoid anterior dan posterior.

    Beberapa daerah di rongga hidung berhubungan dengan tingginya frekuensi

    terjadinya epistaksis. Daerah yang pertama terletak di sepanjang anteriorkaudal

    septum, tempat anastomosis dari arteri labialis superior, sfenopalatina, palatine mayor

    14

  • dan etmoid anterior. Hubungan antara kejadian epistaksis dan daerah anastomosis ini

    ditemukan pertama kali oleh Carl Michel (1871), james Lawrence Little (1879) dan

    Wilhelm Kiesselbach, sehingga daerah ini dikenal sebagai pleksus Kiesselbach atau

    Littles area terutama pada anak dan dewasa muda. Lokasi tersering terjadinya

    epistaksis posterior terletak di bagian posterior konka media yaitu tempat masuknya

    arteri sfenopalatina ke rongga hidung melalui foramen sfenopalatina. (1,2)

    Perdarahan anterior

    Perdarahan anterior dapat berasal dari pleksus kiesselbach menjadi sumber

    perdarahan yang paling sering pada epistaksis, terutama pada anak-anak, dan biasanya

    dapat berhenti sendiri (secara spontan)dan mudah diatasi.(1)

    Perdarahan posterior

    Perdarahan posterior dapat berasal dari a. sfenopalatina dan a. etmoid

    posterior. Bila perdarahan berasal dari pembuluh darah sfenopalatina di posterior,

    maka elektrokauterisasi tidak mungkin dilakukan dan harus digunakan tampon

    anterior or posterior untuk menekan pembuluh darah. Perdarahannya biasanya hebat

    dan jarang berhenti dengan sendirinya. Sering ditemukan pada pasien dengan

    hipertensi, arteriosklerosis atau pasien dengan penyakit kardiovaskuler. Perdarahan ini

    disebabkan oleh pecahnya a. sfenopalatina(1)

    PENATALAKSANAAN

    Pemeriksaan awal harus difokuskan untuk mengendalikan perdarahan dan

    mengatasi hipovolemia. Tindakan penyelamatan jiwa sesuai dengan petunjuk ATLS

    yaitu ABC (air way, breating, circulation) harus selalu diikuti. Biasanya infus dengan

    larutan garam fisiologis atau ringer mencukupi untuk terapi cairan, tetapi transfusi

    harus dipertimbangkan jika kehilangan darah lebih dari 30% (1500cc pada orang

    dewasa) atau jika terjadi darah terus keluar kurang lebih 100cc menit. Tanda-tanda

    lain dari kehilangan darah adalah gangguan stabilitas hemodinamika, nadi > 120

    menit, respirasi 30-40 menit, dan tekanan darah turun. Jika pasien sudah stabil atau

    jika pasien datang dengan epistaksis ringan, sangatlah penting untuk melakukan

    anamnesis dan pemeriksaan fisik yang teliti. (1,2)

    15

  • Pemeriksaan

    Alat-alat yang diperlukan unutk pemeriksaan adalah lampu kepala, spekulum

    hidung dan alat penghisap, forsep bayonet, spatel lidah, kateter karet, pelilit kapas

    (cotton applicator), lampu spiritus, kapas, tampon posterior (tampon Bellocq),

    vaselin, salap antibiotik . Anamnesis yang lengkap sangat membantu dalam

    menentukan sebab-sebab perdarahan.4

    Keadaan umum, tensi dan nadi perlu diperiksa. Kadang-kadang

    diperlukanpemeriksaan penunjang laboratorium (1,2)

    Anamnesis

    Anamnesis yang baik dapat memberikan informasi yang berharga untuk

    memprediksi etiologi epistaksis dan sumber perdarahan. Pertanyaan-pertanyaan yang

    dianjurkan termasuk: (1,2)

    - Sisi hidung yang mengalami perdarahan

    - Perdarahan dari hidung saja atau terdapat darah yang keluar melalui mulut

    - Lama epistaksis dan perkiraan jumlah darah yang keluar

    - Riwayat trauma kepala atau leher atau riwayat operasui sebelumnya

    - Gejala ortostasis atau hipovolemia

    - Riwayat epistaksis sebelumnya dan pengobatan yang pernah didapat

    - Riwayat penyakit yang pernah diderita, seperti hipertensi, diabetes mellitus,

    penyakit hati, alkoholisme, penyakit jantung-paru

    - Penggunaan obat terutama aspirin, NSAIDS dan coumadin

    - Riwayat keluarga yang pernah mengalami epistaksis atau memar dan

    perdarahan di temapat lain

    Pemeriksaan fisik

    Pemeriksaan keadaan umum harus dilakukan dengan menilai kembali jalan

    napas dan kecukupan volume sirkulasi darah. Perhatikan khusus ditujukan pada kulit

    dan mukosa untuk mencari adanya lesi vaskuler. Pemeriksaan rongga hidung yang

    baik harus dilakukan untuk menentukan lokasi sumber pendarahan, kemungkinan

    adanya deviasi septum atau kelainan mukosa dan struktur dalam hidung lainnya.

    Selama pemeriksaan harus diusahakan agar dokter dan penderita merasa nyaman. (1,2)

    Untuk pemeriksaan hidung diperlukan lampu dengan cahaya yang adekuat dan

    instrumen yang diatur sedemikian rupa sehingga mudah dijangkau. Instrumen yang

    16

  • digunakan termasuk spekulum hidung, pinset bayonet, pompa penghisap untuk

    mengangkat bekuan darah, obat-obat vasokontriksi dan anestesi lokal. (1,2)

    Teleskop 0 dan 30 merupakan instrumen yang digunakan untuk

    pemeriksaan nasoendoskopi. Perosedur naendoskopi dapat digunakan untuk

    menentukan sumber perdarahan dengan pasti sekaligus melakukan terapi kauterisasi

    pada pembuluh darah yang merupakan sumber pendarahan tersebut. Untuk pasien

    epistaksis yang akan menjalani pemeriksaan nasoendoskopi biasanya diberikan sedasi

    dan analgetik terlebih dahulu (baik intervena maupun topikal)., kemudian dilakukan

    pembersihan bekuan darah sehingga asal pendarahan dapat ditentukan . (1,2)

    Pemeriksaan laboratorium

    Pemeriksaan laboratorium untuk penunjang diagnosis adalah pemeriksaan

    darah perifer lengkap, waktu protrombin, waktu tromboplastian parsial teraktivasi, tes

    fungsi hati, dan jika diperlukan tranfusi, pemeriksaan golongan darah dan uji silang

    (cross test). (1,2)

    Terapi

    Kebanyakan epistaksis adalah epistaksis ringan yang dapat berhenti secara

    spontan atau setelah dilakukan pemijatan hidung yang mudah dilakukan. Penderita

    harus duduk dengan tenang, dengan posisi sedikit menunduk ke depan untuk

    mencegah mengalirnya darah ke posterior menuju nasofaring. Jika pasien ingin

    berbaring, maka kepala harus dielevasi 30-45, lebih tinggi dari letak jantung, untuk

    mengurangi tekanan pembuluh darah perifer yang akan mengakibatkan makin

    banyaknya perdarahan yang terjadi. Kompres es yang diletakkan di bagian tengah

    wajah atau pipi juga dapat mengendalikan epistaksis. Terapi tambahan lain dapat

    berupa semprot hidung garam fisiologis, mencegah aktivitas berat, bersin dengan

    mulut terbuka, tidak boleh menggaruk atau mengorek hidung dan menghembuskan

    ingus dengan keras, serta menghentikan penggunaan obat seperti aspirin atau

    antikoagulan. (3,4)

    17

  • Kauterisasi

    Jika sumber pendarahan telah diindifikasi, kauterisasi kimiawi atau elektrik

    dapat dilakukan untuk menghentikan pendarahan. Larutan perak nitrat yang dioleskan

    ditempat perdarahan, minimal harus dipertahankan selama 30 detik. Perak nitrat yang

    berlebihan harus dibersihkan untuk mencegah terkenanya mukosa hidung yang sehat.

    Hati-hati jika melakukan kauterisasi pada kedua sisi septum, karena dapat terjadi

    perforasi septum. Jika terjadi perdarahan aktif, perak nitrat tidak mungkin digunakan

    sehingga pilihan selanjutnya harus diolesi dengan salep antibiotik sampai mukosa

    mengalami penyembuhan. Dengan menggunakan nasoendoskop, epistaksis posterior

    dapat diterapi dengan kauterisai kimiawi atau elektrokauter. Sehingga kecemasan dan

    morbiditas akibat tampon hidung dapat dikurangi. (1,3)

    18

  • Tampon anterior

    Jika tindakan diatas gagal, dan perdarahan masih terus terjadi dan tampaknya

    berasal dari bagian anterior, tetapi sumbernya tidak dapat diidentifikasi maka

    dilakukan pemasangan tampon anterior. Bahan untuk tampon dapat berupa kapas atau

    kasa yang telah diolesi salep antibiotika. Tampon dipasang ke dalam rongga hidung

    dengan visualisasi langsung dan sumber cahaya terang. Tampon dipasang hanya pada

    sisi hidung yang mengalami perdarahan untuk mencegah terjadinya ulserasi dan

    nekrosis septum, selain itu pasien tetap dapat bernafas melalui lubang hidung yang

    tidak ditampon. Antibiotik profilaksis terhadap flora hidung dan stafilokokus aurerus

    harus diberikan, karena terdapat risiko sinusitis akibat sumbatan ostium sinus dan

    untuk mencegah sindrom syok toksik. Selain kapas dan kasa, saat ini di pasaran dapat

    diperoleh tampon hidung dari busa Merocel, Gel-foam, Oxycel atau Avitene (kolagen

    mikrofibrilar). Keuntungan tampon hidung ini adalah tidak perlu diangkat dari

    rongga hidung karena akan terserap dalam waktu 2-3 minggu. Karena tidak perlu

    dikeluarkan lagi, maka tidak akan menyebabkan perdarahan pada saat pengangkatan

    tampon, sehingga sangat berguna untuk pasien dengan gangguan darah,

    trombositopenia dan teleangiektasi hemorargik herediter. Selain itu jenis tampon ini,

    fungsi menghentikan perdarahan tidak hanya disebabkan penekanan langsung pada

    mukosa yang berdarah juga membuat edema mukosa. (1,2,4)

    19

  • Tampon posterior

    Tampon posterior harus digunakan jika epistaksis posterior refrakter terhadap

    kauterisasi atau epistaksis terus berlanjut walaupun tampon anterior telah dipasang

    dengan baik. Tampon posterior standar adalah Bellocque tampon, yaitu gulungan kasa

    yang diikat bagian tengahnya dengan 2 buah benang yang panjang dan 1 buah benang

    pendek. Sebelum pemasangan tampon Bellocque, sebaiknya pasien diberi sedasi dan

    anestesi lokal yang adekuat. Masukkan kateter karet merah yang kecil melalui hidung,

    sampai tampon dapat menutupi seluruh koana. Benang harus terus dipertahankan

    sambil sedikit ditarik sampai tampon anterior selesai dipasang. Benang kemudian

    20

  • dieratkan pada gulungan kapas didepan lubang hidung. Benang yang pendek

    digunakan untuk menarik tampon keluar setelah 4-7hari. Tampon posterior juga dapat

    menggunakan kateter foley ukuran F12-16, yang dipasang di dasar hidung sampai ke

    nasofaring. Balon kemudian diisi dan kateter ditarik ke anterior sehingga balon

    menutupi koana, kemudian pasang tampon anterior. Keuntungan penggunaan

    tampon kateter adalah mudah untuk dimasukkan, sedikit traumatik bagi pasien, dan

    aliran udara hidung masih ada sebagian. Kerugian dari tampon kateter adalah kurang

    efektif dibandingkan tampon standar karena tekanan pada rongga hidung tidak merata

    dan beberapa balon kateter harus digembungkan dengan air dan yang lainnya harus

    dengan udara. Semua pasien yang dipasang tampon posterior harus dirawat. Pasien

    tua dan pasien dengan kelainan jantung paru kronik memerukan pengawasan yang

    ketat, karena dapat terjadi gangguan fungsi respirasi: hipoventilasi, hipoksemia,

    aritmia jantung dan kemungkinan henti jantung. Antibiotik berspektrum luas

    diperlukan untuk mengatasi infeksi telinga tengah dan sinus, juga kemungkinan

    pnemonia aspirasi dan septikemia. Oksigen harus diberikan melalui sungkup wajah

    untuk mengatasi penurunan pO2 dan peningkatan pCO2. pasien juga harus diberi

    terapi cairan intervena. (1,2)

    Ligasi arteri

    Ligasi arteri dilakukan pada epistaksis berat dan berulang yang tidak dapat

    diatasi dengan pemasangan tampon. Ligasi yang dapat dilakukan: (1,2)

    a. Ligasi a. Maksilaris di fossa pterygomaxillary melalui pendekatan Caldwel-

    Luc

    b. Ligasi a. Etmoidalis, dilakukan jika ada perdarahan yang tidak dapat dikontrol

    dari bagian atas hidung. Pendekatan melalui insisi kulit medial orbita

    c. Ligas a. Koratis eksterna di daerah leher dilakukan jika ligasi a. Maksilaris

    tidak berhasil

    d. Embolisasi pembuluh darah dengan panduan radiografi dengan memaksukkan

    gel sponge atau lainnya, tetapi dengan resiko dapat terjadi emboli otak.

    SARAN PRAKTIS PENATALAKSANAAN EPISTAKSIS

    21

  • 1. Pakailah apron atau baju kamar operasi sebelum melakukan pemeriksaan atau

    tindakan agar lebih tenang dalam bertindak, tidak khawatir terkena percikan

    darah dan menyelamatkan jas atau baju yang sedang dipakai(1,2)

    2. Jika tidak tersedia peralatan pompa penghisap:

    Semprot rongga hidung dengan oxymetazoline beberapa kali semprotan,

    bisa sampai 5-10 semprot

    Tunggu 3 menit, dan perintahkan pada pasien untuk menghembuskan

    hidung denga keras agar bekuan darah dapat keluar

    Semprot kembali dengan oxymetazoline 4-5 semprot

    Jika masih terjadi pendarahan tahapan diatas dapat diulang kembali.

    Dilaporkan tidak terdapat komplikasi maupun batasan dosis pada

    oxymetazoline semprot hidung pada sekali pemakaian. Rinitis

    medikamentosa terjadi pada penggunaan jangka panjang(1,2)

    3. Jika tersedia peralatan pompa penghisap, cara lain untuk membersihkan

    bekuan darah adalah dengan melakukan irigasi H2O2 pada rongga hidung,

    terutama jika terdapat titik perdarahan multipel pada mukosa. Pada saat irigasi

    dilakukan pada rongga hidung yang mengalami epistaksis, pompa penghisap

    harus siap bekerja karena akan timbul begitu banyak busa. (1,2)

    4. Selalu berikan edukasi pada pasien:

    a. Cara memijat hidung jika terjadi epistaksis

    Pijat seluruh sebagian lunak hidung dengan jempol dan jari

    telunjuk

    Tekan dengan mantap ke arah wajah-dengan menekan bagian,

    hidung yang telah dipijat ke tulang wajah

    Pertahankan posisi ini selama 10 menit

    Duduk dengan tenang dan menjaga kepala lebih tinggi dari

    jantung; dapat dengan duduk atau berbaring dengan kepala yang

    ditinggikan. Jangan berbaring terlentang atau meletakkan kepala

    diantara kedua kaki. (1,2)

    Kompres hidung dan pipi dengan pecahan es yang dimasukkan ke

    dalam plastik atau kain waslap.

    22

  • b. Perawatan pasca epistaksis

    Segera istirahat dengan kepala dinaikkan 30-45 derajat, dengan

    menggunakan bantal yang ditumpuk tinggi

    Jagalah agar kepala lebih tinggi daripada jantung

    Jangan buang ingus dahulu. Jiak ingin bersin, bukalah mulut

    sehingga udara akan keluar melalui mulut tidak melalui hidung

    Jangan mengedan jika buang air besar

    Jangan mengangkat barang-barang yang berat

    Makanlah makanan yang lembut dan dingin. Jangan

    minumminuman panas paling sedikit 24 jam

    c. Hal-hal harus dihindari untuk mencegah berulangnya epistaksis

    Jagalah agar hidung tetap lembab dengan cara mengoleskan sedikit

    jelly petroleum atau salep vaselin ke dalam rongga hidung dengan

    menggunakan lidi kapas 2 kali sehari

    Jagalah kuku anak tetap pendek agar hidung tidak luka jika

    dikorek-korek

    Orang tua atau orang dewasa agar berhenti merokok karena asapa

    dapat mengeringkan hidung dan membuat iritasi pada hidung

    Buka mulut jika bersin

    Hindari penggunaan aspirin, karena akan memudahkan terjadinya

    perdarahan dan juga membuat mimisan berlangsung lama

    Jika anak menderita pilek alergi berikan obat antialergi untuk

    mencegah anak menggaruk hidung karena meras gatal. Garukan-

    garukan pada hidung juga dapat memudahkan terjadinya mimisan

    23

  • DAFTAR PUSTAKA

    Ballenger, John Jacob. Otorhinolaryngology sixteenth edition. Bc decker.

    Spain. 2003.

    Liston SL, Duval AJ. Embriologi, Anatomi dan Fisiologi Telinga. Dalam:

    Adams GL, Boies LR, Higler PA. BOEIS Buku Ajar Penyakit THT. Jakarta:

    EGC; 1997.

    Schlosser, RJ. Epistaksis. NEJM. Departement of otolaryngology-head and

    neck, medical university of south Carolina. Massachusetts medical society.

    England . 2009. Pg 784-789. Accesed : www.nejm.com

    Soetirto I, Hendarmin H, Bashiruddin J. Gangguan Pendengaran dan Kelainan

    Telinga. Dalam: Soeparti EA, Iskandar N, editor. Buku Ajar Ilmu Kesehatan

    Telinga Hidung Tenggorok Kepala Leher Edisi Ke Lima. Jakarta: Balai

    Penerbit FKUI; 2003.

    24