Upload
puppyhanda
View
82
Download
9
Embed Size (px)
Citation preview
Formulasi Tablet CTM
Posted on May 13, 2012 by mayaniiii
0
PENDAHULUAN
Obat adalah semua bahan tunggal atau campuran yang digunakan oleh semua
makhluk untuk bagian dalam maupun bagian luar, guna mencegah, meringankan, maupun
menyembuhkan penyakit. Menurut undang-undang yang dimaksud dengan obat adalah suatu
bahan atau campuran bahan yang dimaksudkan untuk digunakan dalam menentukan diagnosis,
mencegah, mengurangi, menghilangkan, menyembuhkan penyakit, luka atau kelainan badaniah
atau rohaniah pada manusia atau hewan, termasuk memperindah tubuh atau bagian tubuh
manusia. Sediaan obat dibuat dan disimpan sedemikian rupa dengan memperhatikan sifat bahan
obat yang digunakan, sehingga efektivitas optimal dan sifat tidak merusaknya, terjamin.
Konsentrasi dan jumlah bahan penolong yang digunakan dalam pembuatannya harus tersatukan
dengan bahan aktifnya (Voigt, 1994).
Dewasa ini sediaan tablet semakin popular pemakaiannya dan merupakan sediaan yang paling
banyak diproduksi. Tablet merupakan salah satu sediaan yang banyak mengalami perkembangan
baik formulasi maupun cara penggunaannya. Beberapa keuntungan sediaan tablet diantaranya
adalah sediaan lebih kompak, biaya pembuatannya lebih sederhana, dosisnya tepat, mudah
pengemasannya, sehingga penggunaannya lebih praktis jika dibandingkan dengan sediaan yang
lain (Lachman, et al., 1994).
Tablet adalah sediaan padat mengandung bahan obat dengan atau tanpa bahan pengisi. Sebagian
besar tablet dibuat dengan cara pengempaan dan merupakan bentuk sediaan yang paling banyak
digunakan. Tablet kempa dibuat dengan memberikan tekanan tinggi pada serbuk atau granul
menggunakan cetakan baja (Ditjen POM, 1995).
Tablet dicetak dari serbuk kering, kristal atau granulat, umumnya dengan penambahan bahan
pembantu, pada mesin yang sesuai, dengan menggunakan tekanan tinggi. Tablet dapat memiliki
bentuk silinder, kubus, batang, atau cakram, serta bentuk seperti telur atau peluru. Garis tengah
tablet pada umumnya 5-17 mm, sedangkan bobot tablet 0,1-1 g (Voigt, 1995).
Metode Pembuatan Tablet
Tablet dibuat dengan 3 cara umum, yaitu granulasi basah, granulasi kering (mesin rol atau mesin
slag) dan kempa langsung. Tujuan granulasi basah dan kering adalah untuk meningkatkan aliran
campuran dan atau kemampuan kempa (Ditjen POM, 1995). Butiran granulat yang diperoleh,
partikel-partikelnya mempunyai daya lekat. Daya alirnya menjadi lebih baik sehingga pengisian
ruang cetak dapat berlangsung secara kontiniu dan homogen. Keseragaman bentuk granulat
menyebabkan keseragaman bentuk tablet (Voigt, 1995).
a. Granulasi basah
Zat berkhasiat, pengisi dan penghancur dicampur homogen, lalu dibasahi dengan larutan
pengikat, bila perlu ditambahkan pewarna. Diayak menjadi granul dan dikeringkan dalam lemari
pengering pada suhu 40-50°C. Setelah kering diayak lagi untuk memperoleh granul dengan
ukuran yang diperlukan dan ditambahkan bahan pelicin dan dicetak dengan mesin tablet (Anief,
1994).
b. Granulasi kering
Metode ini digunakan pada keadaan dosis efektif terlalu tinggi untuk pencetakan langsung,
obatnya peka terhadap pemanasan, kelembaban, atau keduanya (Lachman, et al., 1994). Setelah
penimbangan dan pencampuran bahan, serbuk di slugg atau dikompresi menjadi tablet yang
besar dan datar dengan garis tengah sekitar 1 inci. Kempaan harus cukup keras agar ketika
dipecahkan tidak menimbulkan serbuk yang berceceran. Tablet kempaan ini dipecahkan dengan
tangan atau alat dan diayak dengan lubang yang diinginkan, pelicin ditambahkan dan tablet
dikempa (Ansel, 1989).
c. Kompresi Langsung
Beberapa bahan obat seperti kalium klorida, kalium iodida, amonium klorida, dan metenamin
bersifat mudah mengalir, sifat kohesifnya juga memungkinkan untuk langsung dikompresi tanpa
memerlukan granulasi(Ansel, 1989). Istilah kempa langsung telah lama digunakan untuk
memperkenalkan pengempaan senyawa kristalin tunggal (biasanya garam anorganik dengan
struktur kristal kubik seperti natrium klorida, natrium bromida, atau kalium bromida) menjadi
suatu padatan tanpa penambahan zat-zat lain. Hanya sedikit bahan kimia yang mempunyai sifat
alir, kohesi, dan lubrikasi di bawah tekanan untuk membuat padatan seperti ini (Siregar dan
Wikarsa, 2010).
Sekarang istilah kempa langsung digunakan untuk menyatakan proses ketika tablet dikempa
langsung dari campuran serbuk zat aktif dan eksipien yang sesuai (termasuk pengisi, disintegran,
dan lubrikan), yang akan mengalir dengan seragam ke dalam lubang kempa dan membentuk
suatu padatan yang kokoh. Tidak ada prosedur praperlakuan granulasi basah atau kering yang
diperlukan pada campuran serbuk (Siregar dan Wikarsa, 2010).
Keuntungan metode kempa langsung yaitu :
1. Lebih ekonomis karena validasi proses lebih sedikit
2. Lebih singkat prosesnya. Karena proses yang dilakukan lebih sedikit, maka waktu yang
diperlukan untuk menggunakan metode ini lebih singkat, tenaga dan mesin yang dipergunakan
juga lebih sedikit.
3. Dapat digunakan untuk zat aktif yang tidak tahan panas dan tidak tahan lembab.
4. Waktu hancur dan disolusinya lebih baik karena tidak melewati proses granul, tetapi langsung
menjadi partikel. Tablet kempa langsung berisi partikel halus sehingga tidak melalui proses dari
granul ke partikel halus terlebih dahulu. Modifikasi lanjut dari proses kempa langsung adalah
penggunaan penggerusan pracampur zat aktif keras dengan satu atau lebih pengisi dan
penambahan pengisi dan pengikat lain sebelum campuran akhir dikempa langsung (Siregar dan
Wikarsa, 2010).
Keuntungan tablet dibandingkan dengan sediaan yang lain:
1. Tablet merupakan bentuk sediaan yang utuh dan menawarkan kemampuan terbaik dari semua
bentuk sediaan oral untuk ketepatan ukuran serta variabilitas kandungan yang rendah.
2. Ongkos pembuatannya paling rendah.
3. Sediaan oral yang paling mudah dan murah untuk dikemas serta dikirim.
4.Paling mudah ditelan serta paling kecil kemungkinan tertinggal ditenggorokan.
5.Mempunyai sifat stabilitas mikrobiologis yang paling baik (Lachman, et al., 1994).
BAB I
Monografi Dan Perundang-undangan
I.I Monografi
Klorfeniramin maleat mengandung tidak kurang dari 98,0 % dan tidak lebih dari 100,5 %
C16H19ClN2.C4H4O4 dihitung terhdap zat yang telah dikeringkan. Klorfeniramin maleat atau
CTM, memiliki nama Kimia : 2-[p-kloro-α-[2 dimetilamino)etil] benzyl piridina maleat dan
memiliki rumus molekul : C16H19ClN2.C4H4O4. Klorfeniramin maleat memiliki berat molekul
sebesar 390,87. Pemerian , berupa serbuk hablur, putih, dan tidak berbau. Larutan mempunyai
pH antara 4 dan 5. Kelarutan : mudah larut dalam air; larut dalam etanol dan dalam kloroform;
sukar larut dalam eter dan dalam benzena (Ditjen POM, 1995).
I.II Perundang-undangan
CTM atau klofeniramin maleat) adalah obat golongan antihistamin H1 sebagai obat antialergi
dengan reaksi alergi ringan sampai sedang dan obat untuk anafilataksis. CTM adalah obat bebas
terbatas artinya yaitu obat keras dengan batasan jumlah dan kadar isi berkhasiat dan harus ada
tanda peringatan (P) boleh dijual bebas. Tanda khusus pada kemasan dan etiket obat bebas
terbatas adalah lingkaran biru dengan garis tepi berwarna hitam.
Gambar logo obat bebas terbatas
Dosis CTM dalam 1 tablet adalah 4 mg sedangkan pada injeksi adalah 10 mg dalam 1 ampul.
Dosis terapetiknya adalah 4 mg dalam 1 tablet dan jika melebihi dosis tersebut maka akan
menimbulkan efek samping ini menguntungkan bagi pasien yang memerlukan istirahat namun
dirasa mengganggu bagi mereka yang dituntut melakukan pekerjaan dengan kewaspadaan tinggi
karena adanya rasa kantuk yang ditimbulkan setelah penggunaan CTM. Efek samping lainnya
sedasi, gangguan saluran cerna, efek anti muskarinik, hipotensi, kelemahan otot, tinitus,
euphoria, nyeri kepala, stimulasi SSP, reaksi alergi dan kelainan darah. Jadi aturan pakainya
yang harus diperhatikan. Begitu juga dengan dosisnya, karena sebenarnya satu butir CTM saja
sudah cukup. Dosis yang diperlukan untuk menimbulkan efek kantuk adalah seperempat tablet
CTM. Sehingga perlu diingatkan pada masyarakat bahwa penambahan dosis yang tidak terbatas
malah akan menimbulkan efek toksik bagi tubuh.
BAB II
Analisis Farmakologi
II.I Mekanisme Obat
Chlorpheniramin maleat atau lebih dikenal dengan CTM merupakan salah satu antihistaminika
yang memiliki efek sedative (menimbulkan rasa kantuk). Namun, dalam penggunaannya di
masyarakat lebih sering sebagai obat tidur dibanding antihistamin sendiri. Keberadaanya sebagai
obat tunggal maupun campuran dalam obat sakit kepala maupun influenza lebih ditujukan untuk
rasa kantuk yang ditimbulkan sehingga pengguna dapat beristirahat.
CTM adalah obat antihistamin yang mempunyai nama dagangnya yaitu CTM dan mengandung
Chlorpheniramini maleas 4 mg, itu artinya nama obat ini bukan merupakan isi kandungan
melainkan hanyalah sebuah nama merek obat tersebut. Histamin merupakan zat yang diproduksi
oleh tubuh yang dapat menyebabkan seseorang bersin, mata berair, gatal-gatal dan reaksi alergi
lainnya. Oleh karena itu CTM merupakan obat yang bisa meredakan gejala-gejala alergi yang
ditimbulkan oleh histamine.
CTM sebagai AH1 menghambat efek histamin pada pembuluh darah, bronkus dan bermacam-
macam otot polos. AH1 juga bermanfaat untuk mengobati reaksi hipersensitivitas dan keadaan
lain yang disertai pelepasan histamin endogen berlebih. Dalam Farmakologi dan Terapi edisi
IV(FK-UI,1995) disebutkan bahwa histamin endogen bersumber dari daging dan bakteri dalam
lumen usus atau kolon yang membentuk histamin dari histidin.
Menurut Dinamika Obat (ITB,1991),CTM merupakan salah satu antihistaminika H1 (AH1) yang
mampu mengusir histamin secara kompetitif dari reseptornya (reseptor H1) dan dengan demikian
mampu meniadakan kerja histamin. Di dalam tubuh adanya stimulasi reseptor H1 dapat
menimbulkan vasokontriksi pembuluh-pembuluh yang lebih besar, kontraksi otot (bronkus, usus,
uterus), kontraksi sel-sel endotel dan kenaikan aliran limfe. Jika histamine mencapai kulit misal
pada gigitan serangga, maka terjadi pemerahan disertai rasa nyeri akibat pelebaran kapiler atau
terjadi pembengkakan yang gatal akibat kenaikan tekanan pada kapiler. Histamin memegang
peran utama pada proses peradangan dan pada sistem imun. CTM sebagai AH1 menghambat
efek histamine pada pembuluh darah, bronkus dan bermacam-macam otot polos.
Farmakodinamik dari antagonism terhadap Histamin, AH1 menghambat efek histamine pada
pembulih darah, bronkus, dan bermacam-macam otot polos; selain itu, AH1 bermanfaat
mengibati hipersensitivitas atau keadaan lain yang disertai dengan penglepasan histamine
endogen berlebihan. Secara umum, AH1 efektif menghambat kerja histamn pada otot polos usus
dan bronkus. Bronkokonstriksi akibat histamine dapat dihambat oleh AH1. Peninggian
permeabilitas kapiler dan edema akibat histamine, dapat dihambat dengan efektif oleh AH1.
Reaksi anafilaksis dan berbagai reaksi alergi refrakter terhadap pemberian AH1,
karena disini bukan histamine yang berperan tetapi autakoid lain yang dilepaskan. Efektivitas
AH1 melawan reaksi hipersensitivitas berbeda-beda, tergantung beratnya gejala akibat
histamine. Efek perangsangan histamine terhadap sekresi cairan lambung tidak dapat dihambat
oleh AH1. AH1 dapat merangsang maupun menghambat SSP. Efek perangsangan yang kadang-
kadang terlihat dengan dosis AH1 biasanya ialah insomnia, gelisah, dan eksitasi. Dosis AH1
umumnya menyebabkan penghambatan SSP dengan gejala misalnya kantuk, berkurangnya
kewaspadaan, dan waktu reaksi yang lambat. Beberapa obat AH1 juga efektif untuk menghambat
mual dan muntah untuk akibat peradangan labirin atau sebab lain.
Beberapa AH1 bersifat anestetik local dengan intensitas berbeda. Banyak AH1 bersifat mirip
atropine. Efek ini tidak memadai untuk terapi, tetapi efek antikolonergik ini dapat timbul pada
beberapa pasien berupa mulut kering, kesukaran miksi dan impotensi.
II.II Efek Farmakologi
Klorfeniramin adalah derivat klor dengan daya kerja 10 kali lebih kuat dan derajat
toksisitas yang sama. Efek sampingnya sedatif ringan dan sering kali digunakan dalam obat
batuk. Klorfeniramin maleat merupakan antihistamin jenis antagonis reseptor H-1 yang bekerja
dengan cara memblokir reseptor H-1 dengan menyaingi histamin pada resptornya di otot licin
didnding pembuluh darah dan dengan demikian menghindarkan timbulnya reaksi alergi (Tjay,
2002).
CTM memiliki indeks terapetik (batas keamanan) cukup besar dengan efek samping dan
toksisitas relatif rendah. Untuk itu sangat perlu diketahui mekanisme aksi dari CTM sehingga
dapat menimbulkan efek antihistamin dalam tubuh manusia. Namun sebagaimana sebagian besar
obat yang mempunyai efek samping, obat ini juga mempunyai efek samping mengantuk
sehingga tak jarang obat ini sering dijadikan obat tidur. Sebernarnya kurang tepat apabila obat ini
di jadikan obat kantuk, karena oabat ini mempunyai efek resintensi, artinya semakin lama kita
menggunakan CTM berarti semakin kurang efek kantuknya. Efek samping lain dari CTM adalah
Sedasi, gangguan gastro intestinal, efek muskarinik, hipotensi, kelemahan otot, tinitus, eufria,
sakit kepala, merangsang susunan saraf pusat, reaksi alergi, kelainan darah.
Dosis terapi AH1 umumnya menyebabkan penghambatan sistem saraf pusat dengan gejala
seperti kantuk, berkurangnya kewaspadaan dan waktu reaksi yang lambat. Efek samping ini
menguntungkan bagi pasien yang memerlukan istirahat namun dirasa menggangu bagi mereka
yang dituntut melakukan pekerjaan dengan kewaspadaan tinggi. Oleh sebab itu, pengguna CTM
atau obat yang mengandung CTM dilarang mengendarai kendaraan. Jadi sebenarnya rasa kantuk
yang ditimbulkan setelah penggunaan CTM merupakan efek samping dari obat tersebut.
Sedangkan indikasi CTM adalah sebagai antihistamin yang menghambat pengikatan histamin
pada resaptor histamin.
Setelah pemberian oral atau parenteral, AH1 diabsopsi dengan baik. Efeknya timbul 15-30 menit
setelah pemberian oral dan maksimal setelah 1-2 jam. Tempat utama biotransformasi AH1 ialah
hati, tetapi dapat juga pada paru-paru dan ginjal. AH1 diekskresi melalui urin setelah 24 jam,
terutama dalam bentuk metabolitnya.
II.III Dosis
Dosis terapi 4 mg dalam satu tablet dimana AH1 umumnya menyebabkan
penghambatan sistem saraf pusat dengan gejala seperti kantuk, berkurangnya kewaspadaan dan
waktu reaksi yang lambat. Dosis pemakaian CTM adalah sebagai berikut: untuk dewasa
dosisnya, 3 – 4 kali sehari 0.5 sampai 1 tablet. Untuk anak-anak 6 – 12 tahun, dosis
pemakaiannya, 0.5 x dosis dewasa. Sedangkan untuk anak-anak 1 – 6 tahun, dosisnya adalah
0.25 x dosis dewasa. Dalam dosis terapi, AH1 tidak memperlihatkan efek berarti pada sistem
kardiovaskular.
BAB III
Farmasetika
Tablet dibuat dari bahan aktif dan bahan tambahan yang meliputi bahan pengisi, penghancur,
pengikat dan pelicin. Salah satu bahan aktif yang digunakan dalam pembuatan tablet adalah
klorfeniramin maleat. Klorfeniramin maleat kurang menguntungkan jika dibuat secara granulasi
basah karena pada granulasi basah diperlukan adanya air serta pengeringan. Pembuatan tablet
klorfeniramin maleat secara granulasi kering juga kurang mendukung karena pada proses
tersebut diperlukan tekanan yang relatif besar yang akan mempengaruhi kestabilan klorfeniramin
maleat. Oleh sebab itu, metode kempa langsung merupakan metode pembuatan klorfeniramin
maleat yang menguntungkan.
Dalam menghasilkan tablet secara umum yang memenuhi persyaratan, diperlukan bahan-bahan
penolong yang digunakan pada pembuatan tablet yang diharapkan dapat meningkatkan sifat
aliran dan kompaktibilitasnya.
Bahan Tambahan dalam Pembuatan Tablet
Bahan-bahan tambahan dalam pembuatan tablet, umumnya terdiri dari :
1) Bahan Pengisi (Filler/Diluent)
Bahan pengisi dimaksudkan untuk memperbesar volume dan berat tablet. Bahan ini ditambahkan
jika jumlah zat aktif sedikit atau sulit dikempa (Anonim, 1995). Bahan pengisi ini menjamin
tablet memiliki ukuran atau massa yang dibutuhkan (Voigt, 1984). Bahan pengisi tablet yang
umum adalah laktosa, pati, kalsium fosfat dibasa dan selulosa mikrokristal (Anonim, 1995).
2) Bahan Pengikat (Binder)
Bahan pengikat dimaksudkan agar tablet tidak pecah atau retak, dapat merekat (Lachman et.,al,
1994). Bahan pengikat ini dimaksudkan untuk memberikan kekompakan dan daya tahan tablet.
Bahan pengikat sangat membantu dalam pembuatan granul, diantara bahan pengikat yang
digunakan adalah mucilage amili, gelatin, gom arab, tragakan, derivate selulosa dan polivinil
pirolidon. Penambahan bahan pengikat tidak boleh terlalu lebih atau kurang, bila terlalu lebih
biasanya akan dihasilkan granul yang keras untuk dibuat tablet atau sebaliknya bila kurang akan
dihasilkan tablet yang cenderung lunak dan rapuh (Banker and Anderson,1986).
3) Bahan Penghancur (Disintegrant)
Bahan penghancur berfungsi untuk menghancurkan tablet bila tablet kontak dengan cairan.
Hancurnya tablet akan menaikkan luas permukaan dari fragmen-fragmen tablet sehingga akan
mempermudah terlepasnya obat dari tablet .Bahan penghancur ditambahkan untuk memudahkan
pecahnya atau hancurnya tablet ketika kontak dengan cairan saluran pencernaan. Dapat juga
berfungsi menarik air ke dalam tablet, mengembang dan menyebabkan tablet pecah menjadi
bagian- bagian. Fragmen-fragmen tablet itu mungkin sangat menentukan kelarutan selanjutnya
dari obat dan tercapainya bioavailabilitas yang diharapkan (Banker and Anderson, 1986). Jenis
bahan penghancur yang umum digunakan adalah amilum, derivate selulose, asam alginate,
veegum, koalin dan bentonit.
4) Bahan Pelicin (Lubricant)
Berdasarkan fungsinya bahan pelicin dibedakan menjadi tiga macam yaitu:
a) Lubricant, yang berfungsi untuk mengurangi gesekan antar sisi tablet dengan dinding ruang
cetakan (die) dan antara dinding die dengan punch, sehingga tablet mudah dikeluarkan dari
cetakan.
b) Glidant, yang berfungsi untuk mengurangi gesekan antar partikel yang mengalir dari hopper
ke ruang cetak ( die), sehingga memperbaiki sifat alir serbuk atau granul yang akan dikempa dan
akan berpengaruh pada keseragaman bobot tablet.
c) Anti adherent, yang berfungsi mencegah melekatnya tablet pada die dan permukaan punch.
Sebagai bahan pelicin yang biasa digunakan adalah magnesium stearat, aerosil, talk dan kalsium
stearat. Jumlah pelicin yang digunakan pada pembuatan tablet yang satu dengan yang lain
berbeda-beda mulai dari yang sedikit kira-kira 0,1 % dari berat granul sampai
sebanyakbanyaknya 5% (Ansel, 1989).
Bahan pelicin yang sering digunakan adalah talk konsentrasi 5% tepung jagung konsentrasi 5-
10%, koloid-koloid silika seperti cab-o-sil atau siloid atau aerosil dalam konsentrasi 0,25-3%
(Lachman et.,al., 1994).
Pemeriksaan Sifat Fisik Tablet
Pemeriksaan kualitas tablet dilakukan untuk mengetahui mutu fisik dari tablet yang dihasilkan,
pemeriksaan kualitas tablet meliputi :
a. Keseragaman Bobot Tablet
Keseragaman bobot tablet ditentukan berdasarkan banyaknya penyimpangan bobot pada tiap
tablet terhadap bobot rata-rata dari semua tablet sesuai syarat yang ditentukan dalam Farmakope
Indonesia edisi III (Anonim, 1979). Penyimpangan bobot yang dipersyaratkan oleh Farmakope
Indonesia adalah sebagai berikut :
Tablet tidak bersalut harus memenuhi syarat keseragaman bobot yang ditetapkan dengan
menimbang 20 tablet, menghitung bobot rata-rata tiap tablet. Jika ditimbang satu per satu, tidak
ada dua tablet pun yang masing-masing bobotnya menyimpang dari bobot rata-ratanya lebih
besar dari harga yang ditetapkan pada kolom A dan tidak satu tablet pun yang menyimpang dari
bobot rata-ratanya dari harga yang ditetapkan pada kolom.
B. Faktor yang mempengaruhi keseragaman bobot yaitu kondisi peralatan yang digunakan dalam
proses pentabletan, seperti berubahnya pengaruh tekanan (Anonim, 1979).
Tabel 1.Persyaratan penyimpangan bobot (Anonim, 1979)Bobot rata-rata (mg) Penyimpangan
bobot rata-rata dalam %
A B
25 mg atau kurang 15 30
25 mg – 150 mg 10 20
151 mg- 300 mg 7.5 15
Lebih 300 mg 5 10
b. Kekerasan Tablet
Kekerasan adalah parameter yang menggambarkan ketahanan tablet dalam melawan tekanan
mekanik seperti goncangan, kikisan dan terjadi keretakan tablet selama pembungkusan,
pengangkutan dan pemakaian. Kekerasan ini dipakai sebagai ukuran dari tekanan pengempaan.
Faktor-faktor yang mempengaruhi kekerasan tablet adalah tekanan kompresi dan sifat bahan
yang dikempa, kekerasan tablet yang baik antara 4 – 8 kg (Parrott,1971).
c. Kerapuhan Tablet
Kerapuhan adalah parameter lain dari ketahanan tablet dalam melawan pengikisan dan
goncangan. Besaran yang dipakai adalah % bobot yang hilang selama pengujian. Alat yang
digunakan adalah friabilator tester. Faktor-faktor yang mempengaruhi kerapuhan antara lain
banyaknya kandungan serbuk (Fines). Kerapuhan di atas 1 % menunjukkan tablet yang rapuh
dan dianggap kurang baik (Banker and Anderson, 1986). Tablet bagus bila tablet yang diuji tidak
boleh berkurang lebih dari 1% dari berat tablet uji (Mohrle, 1989).
d.Waktu Hancur Tablet
Waktu hancur adalah waktu yang dibutuhkan untuk hancurnya tablet dalam medium yang sesuai
sehingga tidak ada bagian tablet yang tertinggal diatas kassa alat pengujian. Faktor-faktor yang
mempengaruhi waktu hancur adalah sifat fisika kimia granul dan kekerasan tablet. Kecuali
dinyatakan lain, waktu hancur tablet tidak bersalut tidak boleh lebih dari 15 menit
(Anonim,1979). Waktu hancur yang semakin cepat maka semakin cepat pula pelarutan dari
bahan berkhasiat sehingga akan lebih cepat berkhasiat bagi tubuh.
5. Pemeriksaan Keseragaman Kandungan Zat Aktif
Keseragaman kandungan zat aktif dapat diterapkan dengan salah satu dari dua metode, yaitu
keseragaman bobot atau keseragaman kandungan. Tablet memenuhi keseragaman kandungan zat
aktif jika kadar 10 tablet yang diperiksa memberikan hasil dalam batas 92,5% sampai 107,5%
dari jumlah yang tertera pada etiket (Anonim, 1995).
III.I Preformulasi
Struktur Kimia dan karakteristik
CTM atau klorofeniramin maleat mengandung gugus klor, 2-dimetilamino-etil benzil dan gugus
piridina maleat.
Bobot Molekul
CTM atau klorfeniramin maleat memiliki berat molekul 390,67 g/mol.
Metode Analitik
prosedur analisis kimia CTM dilakukan menggunakan metode Spektrofotometri dengan
menganalisis serapan cahaya oleh gugus kromofor yang terdapat dalam struktur kimia CTM.
Dari serapan cahaya ini dapat diketahui nilai serapannya (absorbansi). Dengan demikian dapat
diketahui kadar dari tablet CTM yang dibuat dengan cara memplot nilai absorbansi yang
diperoleh pada persamaan regresi linier dari kurva baku CTM.
Bahaya potensial dan Toksikologi
CTM memiliki indeks terapetik (batas keamanan) cukup besar dengan efek samping dan
toksisitas relatif rendah. Untuk itu sangat perlu diketahui mekanisme aksi dari CTM sehingga
dapat menimbulkan efek antihistamin dalam tubuh manusia. Dosis terapi AH1 umumnya
menyebabkan penghambatan sistem saraf pusat dengan gejala seperti kantuk, berkurangnya
kewaspadaan dan waktu reaksi yang lambat. Efek samping ini menguntungkan bagi pasien yang
memerlukan istirahat namun dirasa menggangu bagi mereka yang dituntut melakukan pekerjaan
dengan kewaspadaan tinggi. Oleh sebab itu, pengguna CTM atau obat yang mengandung CTM
dilarang mengendarai kendaraan. Jadi sebenarnya rasa kantuk yang ditimbulkan setelah
penggunaan CTM merupakan efek samping dari obat tersebut. Sedangkan indikasi CTM adalah
sebagai antihistamin yang menghambat pengikatan histamin pada resaptor histamin. Efek
samping : Sedasi, gangguan saluran cerna, efek anti muskarinik, hipotensi, kelemahan otot,
tinitus, euphoria, nyeri kepala, stimulasi SSP, reaksi alergi dan kelainan darah. Jadi aturan
pakainya yang harus diperhatikan. Begitu juga dengan dosisnya, karena sebenarnya satu butir
CTM saja sudah cukup. Dosis yang diperlukan untuk menimbulkan efek kantuk adalah
seperempat tablet CTM. Sehingga perlu diingatkan pada masyarakat bahwa penambahan dosis
yang tidak terbatas maah akan menimbulkan efek toksik (racun).
III.II Formulasi : CTM atau klorfeniramin maleat dibuat dalam bentuk tablet yang berisi zat aktif
dan eksipiennya. Yanuar, et.,al, (2003) telah melakukan penelitian yaitu preparasi dan
karakterisasi selulosa mikrokristal dari nata de coco untuk bahan pembantu pembuatan tablet
yang menggunakan nata de coco yang diperoleh dari pasaran. Berdasarkan interpretasi data
spektrum inframerah dan spektrum difraksi sinar-x terlihat bahwa selulosa mikrokristal
mempunyai kemiripan dengan Avicel PH-102 yang sering digunakan sebagai pengisi dalam
tablet CTM dengan rumus empirik (C6H10O5)n sehingga dari menelitian ini memungkinkan
kita untuk menggunakan selulosa mikrokristal dari nata de coco sebagai bahan pembantu
pembuatan tablet. Pada awalnya, selulosa mikrokristal dibuat dari tumbuhan berkayu dan kapas.
Produk komersial selulosa mikrokristal yang ada di pasaran bersumber dari tumbuhan berkayu,
misalnya konifer (Bimte dan Tayade, 2007; Ohwoavworhua dan Adelakun, 2005). Beberapa
laporan penelitian menunjukkan bahwa selulosa mikrokristal dapat dihasilkan dari kulit kacang
kedelai, sekam padi, ampas tebu, kulit kacang tanah, tongkol jagung, bambu India dan lain-lain
(Ejikeme, 2008).
Ada beberapa masalah selama produksi produk selulosa. Masalah ini mencakup polusi yang
terjadi selama proses pulping dan bleaching selama pemurnian serat selulosa dan sejumlah besar
residu cair serta toksin yang dilepaskan dari selulosa (Chen, et al., 2010). Selain itu, penggunaan
kayu sebagai sumber pembuatan selulosa mikrokristal dapat mengurangi ketersediaan kayu dan
menyebabkan penebangan hutan secara besar-besaran. Hal ini dapat mengakibatkan
ketidakseimbangan ekologis. Oleh karena itu, perlu dicari sumber nonkayu sebagai sumber
alternatif untuk mengurangi masalah lingkungan yang disebabkan oleh penggunaan kayu dalam
pembuatan selulosa mikrokristal (Behin, et al., 2008).
Berdasarkan masalah di atas, digunakan nata de coco sebagai alternatif sumber selulosa
mikrokristal karena nata yang merupakan selulosa bakteri mempunyai keunggulan antara lain
kemurnian, daya regang dan daya serap air yang lebih tinggi daripada selulosa tumbuhan
(Chawla, et al., 2008).
III.III Perhitungan dan Penimbangan
Menurut buku Formularium Nasional Edisi ke-II tahun 1978. Resep dari Tablet Klorfrniramina
adalah
Komposisi Tiap tablet mengandung:
Chlorpheniramini Maleas 4 mg
Zat tambahan yang cocok secukupnya
Penyimpanan. Dalam wadah tertutup rapat.
Dosis. Dewasa: 3 sampai 4 kali sehari setengah sampai 1 tablet.
Anak: bayi. 3 sampai 4 kali sehari seperempat tablet. Anak berumur dibawah 12 tahun, 3 sampai
4 kali sehari setengah tablet.
-Formulasi Baru tablet CTM
Formula tablet CTM dengan bahan pengisi selulosa mikrokristal dari nata de coco. Dibuat
formula untuk 1000 tablet, berat pertablet 200 mg dan penampang tablet 9 mm.
Berat 1000 tablet = 1000 tablet x 0,2 gram = 200 gram
Klorfeniramin maleat = 1000 tablet x 0,004 gram = 4 gram
Amilum manihot 5 % = 5% x 200 gram = 10 gram
Magnesium Stearat = 1% x 200 gram = 2 gram
Talkum = 1% x 200 gram = 2 gram
Selulosa mikrokristal = 200 gram – ( 10 + 2 +2+ 4) gram
= 182 gram
III.V Pembuatan
Dimasukkan g klorfeniramin maleat ke dalam lumpang, kemudian ditambahkan dengan 10 g
amilum manihot, selanjutnya tambahkan 2 g magnesium stearat dan 2 g talkum sambil digerus.
Tambahkan sedikit demi sedikit selulosa mikrokristal sambil terus digerus sampai semua
komponen homogen.
Dilakukan uji preformulasi dan kemudian dicetak menjadi tablet dengan diameter 9 mm.
III.VI Evaluasi Fisika Sediaan
Appearance (penampilan)
-shape (bentuk) : tablet
-warna : putih
-permukaan : rata
Uji Keseragaman bobot
Dilakukan uji keseragaman diambil tablet klorfeniramin maleat dengan bahan pengisi
selulosa mikrokristal dari nata de coco dengan persyaratan:
Untuk bobot rata-rata 151 mg sampai dengan 300 mg, penyimpangan untuk kolom A adalah
tidak lebih dari 7,5 % dan kolom B tidak lebih dari 15 %.
Uji Friabilitas Tablet
Uji Friabilitas Tablet = a-b /a x 100%
Dimana: a = bobot 20 tablet sebelum diputar dengan friabilator (gram)
b = bobot tablet sesudah diputar dengan friabilator (gram)
F = Friabilitas (%)
Syarat friabilitas tablet:
Kehilangan bobot tidak boleh lebih dari 0,8 % (F ≤ 0,8%).
Uji Kekerasan tablet
Uji ini dilakukan untuk emnjamin ketahanan tablet terhadap gaya mekanis pada proses
pengemasan dan penghantaran. Prosedurnya diambil 20 tablet diambil secara acak laludiukur
kekerasannya menggunakan hardness tester.
Uji Waktu Hancur
Dilakukan dengan memasukkan 5 tablet kedalam keranjang, naik turunkan keranjang
secara teratur 30 kali tiap menit, tablet dinyatakan hancur jika tidak ada bagian tablet yang
tertinggal di atas kas, kecuali melalui melalui fragmen yang berasal dari zat penyalut. Kecuali
dinyatakan lain, waktu yang diperlukan untuk menghancurkan kelima tablet tidak lebih dari 15
menit untuk tablet tidak bersalut.
BAB IV
Analisis Kimia
IV.I Identifikasi Zat Aktif
Identifikasi CTM atau klorfeniramin maleat dilakukan dengan cara:
Spekturm serapan ultraviolet larutan 0,002 % b/v dalam asam sulvat 0,1 N setebal 2 cm pada
daerah panjang gelombang antara 230 nm dan 350 nm menunjukkan maksimum hanya pada 265
nm; serapan pada 265 nm lebih kurang 0,85.
Lakukan kromatografi lapis tipis yang tertera pada kromatografi, menggunakan silikagelG/F-254
P sebagai zat jerap, panaskan lempeng pada suhu 105˚ selama 30 menit. Sebagai fasa bergerak
digunakan 5 campuran 5 bagian volume etilasetat 3 bagian volume methanol P dan 2 bagian
volume asam asetat encer P. totolkan terpisah masing-masing 2 ul larutan dalam kloroform P
yang mengandung (1) 0,5 % b/v zat uji dan (2) 0,5 % b/v klorfeniramina maleat PK. Angkat
lempeng, biarkan kering diudara, amati dengan lampu ultraviolet 254 nm. Dua bercak utama
yang diperoleh dengan larutan (1) sesuai dengan bercak yang diperoleh dengan larutan (2).
Semprot lempeng dengan Larutan kaliun iodobismutat encer P. bercak utama yang diperoleh dari
larutan (1) sesuai dengan bercak yang diperoleh dengan larutan (2).
Larutan 500 mg dalam 5 ml air, tambahkan 2 ml ammonia P. sari 3 kali, tiap kali dengan 5 ml
kloroform P. uapkan lapisan air hingga kering, tambahkan 0,2 ml asam sulfat encer P dan 5 ml
air. Sari 4 kali, tiap kali dengan 25 ml eter P. uapkan kumpulan sari eter dengan mengalirkan
udara panas; suhu suhu lebur sisa lebih kurang 130˚.
IV.II Evaluasi Kimia Sediaan
Magnesium Stearat
Nama : Magnesium Oktadekanoat, Asam Dekanoat
-Evaluasi organoleptik
Pemerian berupa serbuk halus dan voluminus, putih, bau khas dan mudah melekat di kulit dan
bebas dari butiran.
-Evaluasi kelarutan
Kelarutannya tidak larut dalam etanol, air dan eter.
Penyimpanan dalam wadah tertutup baik. Alasan penggunaannya karena bersifat lemak dan
tersedia dalam ukuran partikel kecil. Logam stearat meerupakan yangpaling efisien dan lazim
digunakan. Pada umumnya lubrikan ini tidak reaktif, tetapi sedikit bersifat basa. Logam stearat
berfungsi sebagai glidan dan anti adheren.
Talk
-Evaluasi organoleptik
Pemerian berupa serbuk hablur sangat halus, putih atau putih kelabu dan berkilat, tidak berbau
dan mudah melekat di kulit dan bebas dari butiran.
-Evaluasi kelarutan
Tidak larut dalam etanol, air dan praktis tidak larut dalam eter (anonim,1995)
Penyimpanannya dalam wadah tertutup baik. Talk berfungsi sebagai lubrikan dan glidan. Talk
digunakan secara luas dan mempunyai sifat menguntungkan yaitu lebih unggul daripada pati
dalam meminimalkan setiap kecenderungan zat yang melekat pada permukaan pons, suatu sifat
yang kadang – kadang digolongkan sebagai antiaderen.
Amilum
-Evaluasi organoleptik
Bentuknya berupa serbuk sangat halus, putih dan tidak berbau.
-Evaluasi kelarutan
Mudah larut dalam NaOH dan praktis tidak larut dalam air dan asam diluet dan pelarut organik
lainnya (anonim,1995)
Penyimpananya dalam wadah tertutup tertutup rapat. Digunakan sebagai pengikat serbaguna
untuk menghasilkan tablet yang terdesintegrasicepat dan granulasi yang hanya dibuat dengan
menggunakan pati sebagai pengikat internal dan digranulasi dengan air. Pati merupakan
pengabsorsi minyak yang baik. Selain itu dapat digunakan sebagai desintegran yang membantu
hancurnya tablet.
Selulosa Mikrokristal
Evaluasi organoleptik
Selulosa mikrokristal adalah selulosa yang dimurnikan secara parsial, berwarna putih, tidak
berbau, tidak berasa, serbuk kristal yang terdiri atas partikel-partikel yang menyerap. Selulosa
mikrokristal secara komersial tersedia dalam berbagai ukuran partikel dan tingkat kelembapan
sehingga mempunyai sifat dan penggunaan yang berbeda ( Rowe, et al., 2009).
CTM Atau Klorfeniramin Maleat
-Evaluasi organoleptik
Pemerian berupa serbuk hablur, putih, dan tidak berbau.
-Evaluasi kelarutan
Larutan mempunyai pH antara 4 dan 5. Kelarutan : mudah larut dalam air; larut dalam etanol dan
dalam kloroform; sukar larut dalam eter dan dalam benzena (Ditjen POM, 1995).
BAB V
Pengemasan dan Informasi obat
V.I Pengemasan
Seperti baju yang dikenakan manusia, kemasan primer merupakan komponen penting pada
produk farmasi. Bahan kemas primer adalah bahan kemas yang kontak langsung dengan bahan
yang dikemas produk, antara lain : strip/blister, botol, ampul, vial, plastic, dan lain-lain. Fungsi
utama kemasan adalah sebagai pelindung produk. Kemasan juga sangat vital untuk
mempertahankan kualitas produk. Menurut Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 72
tahun 1998 tentang Pengamanan Sediaan Farmasi dan Alat Kesehatan Kemasan yaitu sediaan
farmasi dan alat kesehatan adalah bahan yang digunakan untuk mewadahi dan/atau membungkus
sediaan farmasi dan alat kesehatan baik yang bersentuhan langsung maupun tidak. Pengemasan
sediaan farmasi dan alat kesehatan dilaksanakan dengan menggunakan bahan kemasan yang
tidak membahayakan kesehatan manusia dan/atau dapat mempengaruhi berubahnya persyaratan
mutu, keamanan, dan kemanfaatan sediaan farmasi dan alat kesehatan.
Kemasan yang digunakan dalam sediaan tablet biasanya menggunakan kemasan Strip/Blister,
begitu pula dengan obat CTM yang mempunyai kemasan yang sama dengan tablet. Strip/blister
merupakan kemasan yang menganut sistem dosis tunggal, biasanya untuk sediaan padat (tablet,
kapsul, kaplet, dan lain-lain) per oral. Kemasan strip dibentuk dengan mengisi dua rangkaian
lapis tipis yang fleksibel dan dapat disegel panas melalui suatu gulungan perekat yang
dipanaskan, atau suatu piring yang dapat bergerak dan dipanaskan. Produk dijatuhkan ke dalam
kantung yang dibentuk sebelum akhirnya disegel. Suatu strip yang panjang terbentuk, umumnya
terdiri dari beberapa bungkusan, tergantung dari kapasitas mesin kemasannya. Strip berisi
kemasan obat dipotong panjangnya sesuai dengan jumlah kemasan yang diinginkan.
Produk yang disegel antara dua lembaran lapisan tipis itu biasanya mempunyai suatu segel di
sekitar setiap tablet, dan biasanya dipisahkan dari bungkus-bungkus yang berdekatan karena
adanya perforasi.
Bahan kemasan dapat berupa kertas, kertas timah (alumunium foil), plastik/selofan, sendiri atau
dalam bentuk kombinasi. Jika penampilan suatu produk dirasa penting, dapat menggunakan
selofan yang dapat disegel panas atau poliester yang dapat disegel panas. Apalagi bagian muka
dan bagian belakang suatu kemasan dapat menggunakan bahan-bahan yang tidak sama.
Pemilihan bahan yang digunakan tergantung pada tuntutan produk dan mesin.
Kemasan blister dibentuk dengan melunakkan suatu lembaran resin termoplastik dengan
pemanasan, dan menarik (dalam vakum) lembaran plastik yang lembek itu ke dalam suatu
cetakan. Sesudah mendingin, lembaran dilepas dari cetakan dan berlanjut ke bagian pengisian
dari mesin kemasan.
Blister setengah keras yang terjadi sebelumnya diisi dengan produk, dan ditutup dengan bahan
untuk bagian belakang yang dapat disegel dengan pemanasan. Bahan untuk bagian belakangnya
atau tutupnya, dapat digunakan dari jenis yang bisa didorong atau jenis yang dapat dikelupas.
Bahan-bahan yang umum digunakan untuk blister yang dapat dibentuk dengan panas adalah
plivinil klorida (PVC), kombinasi PVC/polietilen, polistiren, dan polipropilen. Karena alasan
ekonomi dan karena sifat kerja beberapa mesin, blister pada kebanyakan unit kemasan terbuat
dari PVC. Sebagai tambahan perlindungan terhadap lembab, lapisan poliviniliden klorida (saran)
atau poliklorotrifluoroetilen (aclar) boleh dilaminasikan pada PVC. Daya hambat lembab dari
PVC/aclar lebih unggul dibandingkan dengan PVC yang berlapis saran, terutama jika lama
disimpan pada kelembaban yang sangat tinggi.
Indikasi AH1 berguna untuk pengibatan simtomatik berbagai penyakit alergi dan mencegah atau
mengobati mabuk perjalanan. AH1 berguna untuk mengobati alergi tipe eksudatif akut misalnya
pada polinosis dan utkaria. Efeknya bersifat paliatif, membatasi dan menghambat efek histamine
yang dilepaskan sewaktu reaksi antigen-antibodi terjadi. AH1 tidak berpengaruh terhadap
intensitas reaksi antigen-antibodi yang merupakan penyebab berbagai gangguan alergik.
Keadaan ini dapat diatasi hanya dengan menghindari allergen dan desensitisasi. AH1 dapat
menghilangkan bersin, rinore dan gatal pada mata, hidung dan tenggorokan pada pasien seasonal
hay fever. AH1 efektif terhadap alergi yang disebabkan oleh debu, tetapi kurang efektif bila
jumlah debu banyak dan kontaknya lama. Kongesti hidung kronik lebih refrakter terhadap AH1.
AH1 tidak efektiv pada rhinitis vasomotor. Manfaat AH1 untuk mengobati batuk pada anak
dengan asma diragukan, karena AH1 mengentalkan sekresi bronkus, sehingga dapat menyulitkan
ekspektorasi. AH1 efektif untuk mengatasi urtikaria akut, sedangkan pada urtikaria kronik
hasilnya kurang baik. Kadang-kadang AH1 dapat mengatasi dermatitis atopic, dermatitis kontak
dan gigitan serangga.
AH1 efektif untuk dua per tiga kasus verigo, mual dan muntah. AH1 efektif sebagai anti muntah
pasca bedah, mual dan muntah waktu hamildan setelah radiasi. AH1 juga dapat digunakan untuk
mengobati penyakit meniere dan gangguan vestibularlain. Penggunaan AH1 lain ialah untuk
mengobati pasien paralisis agitans (penyakit Parkinson) yaitu mengurangi rigiditas dan tremor.
Sifat anastetik local AH1 digunakan untuk menghilangkan gatal-gatal. Tetapi harus diingat
bahwa pada penggunaan topical, AH1 ini bias menyebabkan sensitivitas kulit.
Efek samping, pada dosis terapi, semua AH1 menimbulkan efek samping walaupun jarang
bersifat serius dan kadang-kadang hilang bila pengobatan diteruskan. Terdapat variasi yang besar
dalam toleransi terhadap obat antar individu, kadang-kadang efek samping ini sangat
mengganggu sehingga terapi perlu dihentikan. Efek samping yang paling sering adalah sedasi.
Pada anak-anak, obat ini akan mengentalkan dahak sehingga menyulitkan kerja ekspektoran.
CTM juga kurang bermanfaat sebagai dekongestan. Mereka bisa mengatasi penyempitan
bronkos tetapi tidak cukup kuat untuk menjadi bronkodilator. CTM mempunyai sifat
antikolinergik sehingga bisa menimbulkan kesukaran pada buang air kecil. Obat ini jarang dijual
dalam bentuk tunggal dan sering menimbulkan mulut kering serta gangguan buang air kecil.
Gejala lainnya dapat berupa mual dan muntah sehingga obat ini harus dimakan sesudah makan.
Ancaman keracunan obat ini terbuka lebar karena sering tersedia dirumah. Sekitar 20-30 tablet
yang dimakan seorang anak dapat menyebabkan kematian.
PENUTUP
- CTM atau klofeniramin maleat) adalah obat golongan antihistamin H1 sebagai obat antialergi
dengan reaksi alergi ringan sampai sedang dan obat untuk anafilataksis.
- CTM adalah obat bebas terbatas artinya yaitu obat keras dengan batasan jumlah dan kadar isi
berkhasiat dan harus ada tanda peringatan (P) boleh dijual bebas.
- Formulasi dari obat CTM bisa menggunakan bahan lain atau pengganti yaitu selulosa
mikrokristal dari nata de coco sebagai pengisi tablet.
- Analisis zat aktif dapat dilakukan dengan Spekturm serapan ultraviolet dan kromatografi
lapis tipis.
- Uji fisika sediaan tablet CTM adalah uji keseragaman bobot, uji friabilitas tablet , uji
kekerasan tablet, uji waktu hancur.
- Pengemasan tablet CTM dapat dikemas dalam bentuk strip/blister.
DAFTAR PUSTAKA
Anief, M. (1994). Farmasetika. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.
Ansel, H.C. (1989). Pengantar Bentuk Sediaan Farmasi. Edisi IV. Jakarta: UI Press.
Azwar, Bahar. 2011.Bijak Mengonsumsi Obat Flu.Penerbit Kawan Pustaka : Jakarta.
Banker,G.S dan N.R Anderson.1986. The Theory and Practice of Industrial Pharmacy, Lea and
Febinger. Philadelphia.
Behin, J., Mikaniki, F., dan Fadaei, Z. (2008). Dissolving Pulp (alpha-cellulose) from Corn Stalk
by Kraft Process. Iranian Journal of Chemical Engineering. 5: hal. 14
Bhimte, N.A., dan Tayade, P.T. (2007). Evaluation of Microcrystalline Cellulose Prepared From
Sisal Fibers as aTablet Excipient: A Technical Note. AAPS PharmSciTech. 8 (1) : hal. 1
Chawla, P.R., Bajaj, I.B., Survase, S.A., dan Singhal, R.S. (2008). Microbial Cellulose:
Fermentative Production and Applications.Food Technol. Biotechnol. 47 (2): hal. 108
Departemen Farmakologi dan Terapeutik FKUI. 2007. Farmakologi dan Terapi Edisi 5. Jakarta:
Balai Penerbit FKUI.
Ditjen POM. (1979). Famakope Indonesia Edisi III. Jakarta: Departemen Kesehatan Republik
Indonesia.
Ditjen POM. (1995). Farmakope Indonesia Edisi IV. Jakarta: Departemen Kesehatan Republik
Indonesia.
Ejikeme, P.M. (2008). Investigation of the Physicochemical Properties of Microcrystalline
Cellulose from Agricultural Wastes I: Orange Mesocarp. Cellulose. 15: hal. 141-142
Lachman L., Lieberman H.A., Kanig J.L. (1994). Teori dan Praktek Farmasi Industri.
Penterjemah: Suyatni S. Edisi II. Jakarta: UI Press.
Mohrle,R. 1989. Effervescent Tablet in Pharmaceutical Dosage Form Table. New York: Marcel
Dekker Inc.
Ohwoavworhua, F.O., dan Adelakun, T.A. (2005). Some Physical Characteristics of
Microcrystalline Cellulose Obtained from Raw Cotton of Cochlospermum planchonii. Tropical
Journal of Pharmaceutical Research. 4 (2): hal. 501-507
Parrot,E.L.,1971. Pharmaceutical Technology Fundamental Pharmaceutics, 3rd Ed. Minneapolis:
Burger Publishing Company.
Rowe, C., Sheskey, P.J., dan Quinn, M.E. (2009). Handbook of Pharmaceutical Exipients. Sixth
Edition. Chicago: Pharmaceutical Press. hal.131
Siregar, C.J.P., dan Wikarsa, S.(2010). Teknologi Farmasi Sediaan Tablet. Jakarta: Penerbit
Buku Kedokteran EGC.
Tjay,T.H., dan Rahardja, K. (2002). Obat-Obat Penting Khasiat, Penggunaan Dan Efek-Efek
Sampingnya. Edisi Kelima. Jakarta: Elex Media Komputindo.
Voigt, R. (1994). Buku Pelajaran Teknologi Farmasi. Penerjemah : Soendani Noerono
.Yogyakarta : Gajah Mada University Press.
Yanuar, A., Rosmalasari, E., dan Effionora, A. (2003). Preparasi dan Karakterisasi Selulosa
Mikrokristal dari Nata de coco untuk Bahan Pembantu Pembawa Tablet. ISTECS JOURNAL.
Volum IV : hal. 71-78