13 Report 2

Embed Size (px)

Citation preview

Laporan Praktikum Fisiologi Pengecapan, Keseimbangan dan Pendengaran Modul Penginderaan 2011/2012

Kelompok 13 Andro Sesario Afifah Putri Handayani Aryogi Rama Putra Erwin Ardian Noor Faatimah Mahmudi Ismail Faradila Keiko Hanifah Rahmani Nursanti Kevin Samuel Raymond Rumantir

Lembar Pernyataan

Kami yang bertandatangan di bawah ini menyatakan bahwa Laporan Praktikum Fisiologi Modul Penginderaan yang kami buat ini tidak mengandung unsur plagiarisme. Kami bersedia menanggung konsukuensi yang telah diatur oleh pihak universitas jika di kemudian hari ditemukan plagiarisme pada laporan ini.

Jakarta, 8 Maret 2012

Andro Sesario Ketua Kelompok 13

BAB I Pendahuluan Sistem saraf merupakan salah mekanisme kontrol utama yang ada di tubuh manusia. Melalui sistem saraf banyak input atau rangsangan dari perifer dimasukkan untuk di olah lebih lanjut di pusat pengaturan informasi sehingga tubuh bisa memunculkan respon terhadap rangsangan tersebut. Oleh karena itu, sistem saraf disusun oleh dua komponen utama, yaitu sistem saraf pusat dan sistem saraf perifer. Berdasarkan fungsinya, terdapat 2 kelompok saraf aferen. Kelompok pertama adalah divisi aferen dimana berfungsi sebagai pendeteksi, mengkode, dan menyalurkan sinyal ke SSP untuk di olah, sementara kelompok kedua, divisi eferen bertugas untuk membawa perintah dari SSP untuk dilaksanakan di perifer tubuh. Sistem indera, yang kita akan bahas dalam praktikum modul kali ini tergolong ke dalam divisi aferen sistem saraf tepi. Beberapa sistem yang tergolong sistem indera adalah penglihatan, pendengaran, keseimbangan, penghidu dan pengecap. Pada praktikum kali ini kita akan mencoba melihat sifat dan karakteristik sistem pendengaran, keseimbangan, dan pengecap melalui beberapa perlakuan demi lebih memahami fisiologis dari sistem tersebut. Pengetahuan ini tentu akan menjadi dasar bagi segala kelainan yang nanti akan kita temukan terkait dengan sistem tersebut. Pada praktikum integrasi II, kita mencoba memahami fisiologis dari sistem pengecapan. Melalui pemeriksaan indera dan ambang rangsang pengecapan diharapkan mahasiswa mampu memahami aplikasi hukum Johannes Muller atau The Doctrin of Spesific Nerve Energies pada pengecapan. Pada praktikum ini juga diharapkan mahasiswa mampu memahami kemampuan intensitas kecap setiap modalitas rasa serta ambang rangsang dari setiap rasa tersebut. Pada praktikum integrasi III, kita mencoba memahami fisiologis pendengaran dan kesemibangan. Pada praktikum pendengaran diharapkan mahasiswa mampu memahami fisiologi pendengaran sehingga mampu menjelaskan dasar-dasar dari pemeriksaan pendengaran menggunakan garputala dan audiometri serta mampu menginterpretasikan hasil dari pemeriksaan. Melalui model kanalis semisirkularis diharapkan mahasiswa lebih bisa memahami prinsip pergerakan cairan endolimfe pada organ vestibuler dan kaitannya terhadap sensorik keseimbangan sehingga mahasiswa mampu menjelaskan hubungan antara percepatan sudut pada sikap dan keseimbangan tubuh yang diuji melalui pemeriksaan menggunakan kursi Barany. Reseptor keseimbangan tidak hanya organ vestibuler, namun juga penglihatan dan proprioseptif. Pada praktikum kali ini kita juga akan mencoba menganalisa keterkaitan mata atau visual dalam pertahanan keseimbangan tubuh.

BAB II Tinjauan Pustaka

II. A. Fisiologi Pengecapan Pengecap atau gustatori, seperti penciuman, merasakan zat kimia. Reseptor untuk sensasi rasa terletak di taste bud (kuncup kecap). Kuncup kecap ditemukan pada tonjolan di lidah yang disebut papila, yang memberikan tekstur kasar pada permukaan atas lidah. Mikrovili panjang, yang disebut gustatory hair, keluar dari setiap sel reseptor pengecapan ke permukaan luar melalui pori kecap. Pada bagian basis, sel-sel reseptor pengecapan bersinaps dengan dendrit dari neuron orde pertama yang membentuk bagian pertama dari jaras gustatori. Dendrit-dendrit dari tiap neuron orde pertama bercabang sangat banyak dan berhubungan dengan banyak sel reseptor pengecapan pada beberapa kuncup kecap.1 Sedikitnya 13 reseptor kimia yang mungkin ada pada sel-sel pengecap, namun untuk membuat analisis pengecapan yang praktis, kemampuan reseptor-reseptor tersebut juga dikumpulkan menjadi 5 kategori utama yang disebut sensasi pengecapan utama, yaitu asam, asin, manis, pahit, dan umami.2 Semua pengecapan utama dapat dideteksi di seluruh lidah, tetapi daerah-daerah tertentu lebih sensitif terhadap satu kategori dari kategori lainnya. Ujung lidah sangat sensitif terhadap rasa manis. Margin lateral lidah adalah daerah yang paling sensitif untuk rasa asin dan asam. Kuncup kecap di papila sirkumvalata sangat sensitif terhadap senyawa pahit, yang cenderung memicu respon penolakan seperti tersedak untuk melindungi terhadap konsumsi racun.3 Tetapi pada konsentrasi yang tinggi, sebagian besar kuncup kecap dapat dirangsang oleh 2 atau lebih rangsangan pengecapan utama, dan juga oleh beberapa rangsangan kecap lainnya yang tidak termasuk dalam kategori utama.2 Potensial reseptor dimulai ketika zat kimia berikatan dengan reseptor. Tipe protein reseptor di setiap vilus pengecap menentukan tipe rasa yang akan diterima. Untuk ion natrium dan hidrogen, protein reseptor akan membuka kanal ion yang spesifik pada membran sel kecap di bagian apikal, dengan cara mengaktifkan reseptor.2 Rasa asin timbul karena masuknya ion natrium melalui kanal Na+ yang terletak di apikal, yang secara langsung mendepolarisasi sel gustatori. Rasa asam dimediasi oleh ion hidrogen, yang bertindak pada sel pengecap melalui salah satu dari tiga cara berikut: langsung memasuki sel melalui kanal, membuka kanal yang memungkinkan kation lain untuk masuk, atau dengan menutup kanal K+. Untuk sensasi manis, pahit, dan umami, bagian molekul G-protein akan mengaktifkan substansi second messenger transmiter di dalam sel, dan second messenger ini yang akan menyebabkan perubahan kimia untuk melepaskan sinyal pengecapan. Rasa pahit menyebabkan pelepasan simpanan Ca2+ intraseluler, sedangkan rasa manis penyebab penutupan kanal K+, sehingga mendepolarisasi sel. G-protein yang menjembatani transduksi rasa pahit baru-baru ini diidentifikasi dan diberi nama gustducin.4

Sinyal yang cepat dan kuat akan dihantarkan oleh saraf pengecap, dan sinyal kontinu yang lebih lemah akan dihantarkan selama kuncup kecap tetap terpajan dengan rangsangan kecap. 3 Reseptor kecap beradaptasi dengan cepat, dengan adaptasi parsial dalam 3-5 detik dan adaptasi sempurna dalam 1-5 menit.4 Kemampuan manusia untuk membedakan perbedaan intensitas rasa relatif kasar. Perubahan 30% pada konsentrasi zat diperlukan untuk merasakan perbedaan intensitas dapat. Konsentrasi ambang batas suatu zat dapat direspons kuncup kecap berbeda-beda.5 Ambang batas untuk merangsang rasa asam oleh HCl rata-rata 0,0009 M; untuk merangsang rasa asin oleh NaCl 0,01 M; untuk rasa manis oleh sukrosa 0,01 M, dan rasa pahit oleh kuinin 0,00009 M. 2 Seseorang dapat menerima beratus-ratus pengecapan yang berbeda. Semua itu seharusnya merupakan kombinasi dari sensasi-sensasi pengecapan dasar.2 Tetapi, pengecapan juga dipengaruhi oleh tekstur makanan, aroma, suhu, penampilan, dan pikiran seseorang.3 Dikatakan bahwa 90% pengecapan dari penciuman. Ketika reseptor penciuman di rongga hidung diblokir oleh hidung tersumbat (atau mencubit hidung), makanan terasa hambar melalui mekanisme yang belum dipenuhi.4 II. B. Fisiologi Pendengaran6,7 II.B.1 Bunyi Energi bunyi ditransmisikan melalui medium gas, cair, ataupun padat dengan cara menggetarkan molekul pada medium tersebut. Benda apapun yang bisa menciptakan distorsi molekul disebut dengan sumber suara. Setiap molekul yang digetarkan tersebut mempunyai dua zona, yaitu zona kompresi dimana setiap molekul masih berdekatan dengan tekananan yang tinggi dan zona rarefaksi dimana molekul berjauhan dengan tekanan yang lebih rendah. Perbedaan tekanan pada zona kompresi dan zona rarefaksi (zona jarang) menentukan aplitudo, keras atau tidaknya bunyi. Frekuensi getaran sumber suara menentukan berapa banyak zona kompresi dan zona rarefaksi, menentukan frekuensi menentukan pitch atau nada dari suara. Suara yang paling sering didengar oleh manusia merupakan gelombang dengan frekuensi 1000-4000 Hz, namun rentang frekuensi yang bisa didengar manusia adalah 2020.000 Hz. Gelombang suara yang berisikan sejumlah pitch dinamakan musik. Kekhasan suara setiap individu disebut timbre. II.B.2 Transmisi suara di telinga Bentuk telinga luar (pinna, atau aurikel) dan kanal auditori eksterna membantu mengamplifikasi dan mengarahkan gelombang suara. Gelombang suara akan kembali bergetar dari sisi hingga akhir kanal auditori eksternal sehingga kanal tersebut terus berisi dengan getaran gelombang. Di ujung kanal, terdapat membran timpani yang teregang membatasi kanal dengan ruang yang lebih dalam. Molekul udara menekan membran sehingga menggetarkan membran timpani sesuai dengan getaran molekul tersebut. Ketika digetarkan molekul dari zona kompresi dengan tekanan yang lebih tinggi maka membran mengarah ke dalam.

Karena air lebih susah digerakkan dibandingkan udara, tekanan menuju telinga dalam harus diamplifikasi. Hal ini dapat dicapai karena adanya tulang malleus, incus, dan stapes. Getaran membran timpani akan menggetarkan rangkaian tulang pendengaran. Tulang ini bekerja sebagai piston menyalurkan udara menuju oval window, sebuah bukaan dari telinga tengah menuju telinga dalam yang dilapisi sebuah membran. Karena Oval Window berukuran jauh lebih kecil dibandingkan membran timpani, mengakibatkan gaya persatuan luas yang diterima bisa 15 sampai dua puluh kali lipat Koklea merupakan dimana reseptor pendengaraan terletak. Koklea terbagi menjadi beberapa saluran berlapis membran yang berisi cairan. Duktus koklar yang mengikuti spiral koklear, dan di sisinya terdapat kompartemen berisi cairan, skala vestibuli yang berakir di Oval Window dan skala timpani yang beakhir di Round Window. Skala vestibuli dan skala timpani bertemu diujung duktus koklear sebagai helicotrema. Getaran dari tulang akan menggetarkan dinding skala vestibuli sebagian besar merupakan tulang, dan hanya ada dua jalur dimana gelombang tekanan bisa di disiipasi. Satu jalur menuju helicotrema dimana gelombang melewati ujung duktus koklear kemuan menuju skala timpani dan keluar menuju membran Round window. Namun kebanyakan tekanan akan ditransmisikan dari skala vestibuli melewati duktus koklear. Perbedaan tekanan melintasi duktus koklear menyebabkan getaran pada membran basilar, dimana sel rambut, reseptor pendengaran terdapat. Ketika membran basilar bergerak karena gelombang tekanan, sel rambut bergerak dengan hubungannya dengan membran tektorial, sehingga stereosilia menjadi bengkok. Ketika stereosilia bengkok kanal ion dalam membran plasma sel rambut terbuka dan menghasilkan perpindahan ion yang kemudian mendepolarisasi membran dan membentuk potesial reseptor. Depolarisasi sel rambut memicu pelepasan neurotransmitter glutamat yang berikatan dengan mengaktivasi sisi terikat protein pada terminal 10 atau neuron aferen yang bersinaps dari sel rambut. Hal ini menyebabkan pembentukan potensial aksi di neuron, dimana aksonnya bergabung membentuk saraf (komponen saraf VIII). Energi yang lebih besar, maka lebih besar frekuensi potensial aksi pada saraf aferen. Saraf koklear memasuki batang otak dan bersinaps dengan interneuron, serat dari kedua telinga kebanyakan menyatu menjadi satu neuron. Kebanyakan interneuron dipengaruhi waktu masuknya input dan intensitas input yang masuk dari kedua telinga. Perbedaan waktu datangnya suara dengan frekuensi rendah dan perbedaan intensitas suara frekuensi tinggi digunakan untuk menentukan arah sumber suara, jika, sebuah suara terdengar lebih keras di telinga kanan atau datang lebih cepat pada telinga kanan, kita akan mengasumsikan suara datang dari kanan. Bentuk telinga luar dan pergerakkan kepala juga penting menentukan lokalisasi dari sebuah suara. Area korteks auditori lebih terspesialisasi, beberapa neuron respon terhadap suara yang kompleks seperti yang digunakan saat komunikasi verbal sedangkan neuron lain merepon terhadap lokasi, gerakan, durasi, dan kuatnya bunyi. Hal ini mengakibatkan kita bisa mendengar berbagai macam bunyi dalam waktu bersamaan.

Pemeriksaan Pendengaran8 Pemeriksaan Garpu Tala Pemeriksaan ini terdiri dari 3 kelompok pemeriksaan atau 3 uji penala antara lain seperti uji rinne, weber, dan schwabach. Mekanisme ketiga uji tersebut memiliki kesamaan yaitu dengan menggunakan hantaran bunyi yang ditimbulkan oleh garputala 512 Hz. Tes Rinne Prinsip : Membandingkan hantaran tulang dengan hantaran udara pada satu telinga Langkah Kerja : Garputala digetarkan, tangkainya diletakkan di prosesus mastoid. Pada saat terdengar bunyi , pasien diminta mengangkat tangan dan kemudian bila tidak terdengar maka diminta untuk menurunkan tangan sebagai penanda. Setelah tidak terdengar, garputala dipindahkan dan dipegang kira-kira 2,5 cm di depan liang telinga yang di periksa Interpretasi : Rinne (+) apabila konduktansi udara lebih besar artinya suara yang sudah tidak terdengar di depan telinga tidak terdengar di tulang mastoid (belakang telinga), sementara Rinne (-) apabila konduktasi tulang lebih besar dibandingkan konduktasi udara, pada pasien suara yang sudah tidak terdengar masih bisa terdengar ketika garputala diletakkan pada tulang mastoid. Tes Weber Prinsip Langkah Kerja Interpretasi

: Membandingkan hantaran tulang telinga kiri dan kanan penderita : Garpu tala digetarkan di linea mediana, dahi atau di gigi insisivus atas kemudian tentukan bunyi terdengar di bagian telinga yang mana. : Penilaian pemeriksaan weber dilihat dari ada atau tidak ada lateralisasi. Normalnya pasien akan mendengar sama nyaringnya di kedua telinga namun pada kondisi patologis akan terdengar lebih keras di salah satu telinga. Pemeriksaan ini membantu membedakan tuli konduktif dan neural, karena pada tuli konduktif terjadi lateralisasi ke arah telinga yang sehat sementara telu sensori maka akan terjadi lateralisasi ke arah telinga yang sakit. : Membandingkan hantaran tulang yang diperiksa dengan pemeriksa, dimana pemeriksa harus normal. : Garputala digetarkan, di letakkan di prosesus mastoid yang diperiksa, setelah tidak terdengar bunyi garputala dipindahkan ke prosesus mastoid pemeriksa dan sebaliknya. :Pemeriksaan ini menggunakan bandingan terhadap pemeriksa, dimana pemeriksa dianggap memiliki pendengaran normal atau Schwabah normal. Pasien dikatakan Schwabah memendek apabila ketika pasien tidak dapat mendengar suara dari garputala namun

Tes Schwabach Prinsip Langkah Kerja

Interprestasi

pemeriksa masih mendengar. Sebaliknya, schwabah dikatakan memanjang apabila pasien masih mendengar sumber suara yang pemeriksa sudah tidak bisa mendengar. Pada penderita tuli atau penurunan pendengaran ditemukan Schwabah yang memendek. Pemeriksaan Audiometri Audiometri nada murni merupakan salah satu teknik pemeriksaan pendengaran. Pemeriksaan ini menerapkan konsep fisika dalam pelaksanaannya. 1. Frekuensi adalah nada murni yang dihasilkan dari getaran harmonis sederhana.9 Banyaknya getaran diekspresikan dalam Hertz (Hz). 2. Intensitas bunyi diekspresikan dalam satuan desibel (dB) yang merupakan perbandingan logaritma dengan intensitas bunyi dasar. Satuan desibel sendiri terbagi menjadi dB HL (hearing level), dB SL (sensation level), dan db SPL (sound pressure level). Baik dB HL dan dB SL adalah intensitas bunyi subjektif dan sering digunakan pada pengukuran audiometri. Sedangkan dB SPL digunakan untuk mengukur intensitas bunyi sebenarnya secara fisika.9 3. Nada murni (pure tone) adalah bunyi dalam satu frekuensi tertentu dan diekspresikan dalam jumlah getaran per detik. 4. Bising adalah bunyi yang merupakan gabungan beberapa frekuensi. Bising memiliki dua jenis, yaitu NB (narrow band) dan WN (white nose) Ambang dengar adalah bunyi nada murni terlemah pada frekuensi tertentu yang masih terdengar oleh telinga seseorang. Melalui audiometri, ambang dengar seseorang dapat diukur menurut konduksi udara (air conduction/ AC) dan konduksi tulang (bone conduction/ BC). Nilai nol audiometrik (audiometric zero) adalah intensitas nada murni terkecil dalam satu frekuensi yang masih terdengar oleh telinga seseorang. Nilai nol audiometrik untuk tiap frekuensi berbeda-beda. Di dalam pemeriksaan audiometri, pada umumnya (1) grafik AC digambarkan sebagai garis lurus penuh dengan frekuensi yang diperiksa berkisar 125-9000 Hz dan (2) grafik BC yang digambarkan sebagai garis terputus-putus dengan frekuensi yang diperiksa berkisar 2504000 Hz. Warna garis grafik untuk telinga kiri adalah biru dan merah untuk telinga kanan.9 Hasil dari pemeriksaan audiometri adalah audiogram untuk kemudian dianalisis. Hasil yang mungkin keluar adalah apakah seseorang memiliki pendengaran yang normal, tuli konduktif, tuli sensorineural, dan tuli campur. 9 Derajat ketulian seseorang dihitung melalui besar konduksi udara melalui indeks Fletcher dengan rumus9 ( )

Tabel 1. Derajat ketulian berdasarkan ambang dengar9

Intensitas (dB HL) 0 - 25 dB >25 40 dB >40 55 dB >55 80 dB >80 90 dB > 90dB II.B. 3 Fisiologi Keseimbangan

Klasifikasi Normal Tuli ringan Tuli sedang Tuli sedang berat Tuli berat Tuli sangat berat

Gerakan dan perubahan posisi kepala diketahui tubuh melalui organ keseimbangannya yang terletak di telinga dalam. Organ keseimbangan tersebut meliputi kanalis semisirkularis, utrikulus dan sakulus. Ketiganya merupakan membran berisi cairan yang membentuk tuba yang saling berhubungan satu sama lain dan terhubung pula dengan duktus koklear. Secara garis besar, gerakan atau perubahan posisi akan menggerakkan cairan endolimfe di dalam membran sehingga sel rambut terdorong kea rah tertentu dan menimbulkan depolarisasi atau hiperpolarisasi bergantung pada arah perpindahan cairan.1 Kanal semisirkularis mendeteksi gerakan memutar baik percepatan maupun perlambatan. Terdapat tiga kanalis semisirkularis di setiap telinga, yaitu kanalis semisirkularis anterior, posterior dan lateral. Masing-masing kanal tersusun pada bidang yang berbeda sehingga dapat mendeteksi puraran kepala dalam berbagai arah. Sel rambut terletak pada ampula yaitu bagian dasar kanal yang menggembung. Sel rambut ini diselubungi oleh cupula, yaitu lapisan gel yang berbentuk seperti tudung.1,2 Saat kepala berputar, kanal dan juga sel rambut yang diselubungi cupula bergerak bersama dengan kepala sedangkan cairan endolimfe di dalam kanal tidak bergerak sesuai arah rotasi kepala melainkan tertinggal karena kelembamannya. Akibatnya, cairan di dalam kanalis semisirkularis pada bidang yang sama dengan bidang rotasi kepala akan bergerak dalam arah yang berlawanan dengan arah rotasi kepala. Gerakan cairan ini menekuk cupula ke arah yang berlawanan dengan arah rotasi kepala. Bila kepala terus berputar dengan kecepatan tetap, cairan endolimfe akan bergerak bersamaan dengan kanal sehingga cupul kembali pada posisi tidak tertekuk. Ketika putaran kepala diperlambat dan dihentikan, maka cairan endolimfe yang sudah bergerak searah dengan putaran kepala akan terus bergerak ketika kanal-kanal sudah berhenti berputar. Sehingga, cupula akan tertekuk ke arah yang sama dengan arah rotasi kepala.2 Sel rambut terdiri dari satu silia (kinosilium), dan 20-50 mikrovili yang tersusun semakin pendek dari kinosilium (stereosilia). Sel rambut terdepolarisasi bila sterosilia tertekuk ke arah kinosilium, dan terhiperpolarisasi pada arah sebaliknya. Gerakan sel rambut secara mekanis membuka atau menutup kanal ion. Sel rambut bersinaps dengan akson neuron aferen nervus vestibular yang kemudian bersatu dengan nervus pendengaran menjadi nervus vestibulokoklear.2

BAB III Metode, Alat dan Bahan A. Praktikum Fisiologi Pengecapan Alat 1. Larutan berbagai rasa a. Manis : gula 2 sdt + air 240 ml b. Asam : cuka 10 ml + air 10 ml c. Asin : garam 2 sdt + air 240 ml d. Pahit : aspirin 2 butir + air 240 ml Cara Kerja 1. Pemeriksaan Indra Pengecapan Lakukan percobaan ini pada minimal 1 orang OP. Percoban ini dilakukan dengan menggunakan larutan berkonsentrasi 100%. OP tidak boleh mengetahui larutan apa yang akan diletakkan pada lidahnya. Buat kesepakatan dengan OP mengenai isyarat yang akan digunakan bila OP mengecap rasa pada lidi kapas. Selama percobaan, OP tidak diperkenankan berbicara atau menyentuhkan lidahnya ke langit-langit mulut. Celupkan sebuah lidi kapas ke larutan manis dan peras kelebihan larutan pada pinggir gelas. Instruksikan OP untuk menjulurkan lidahnya dan letakkan lidi kapas tersebut pada semua area pengecapan di lidah.Setelah setiap peletakan, tanyakan pada OP apakah ia dapat mengecap rasa dari larutan tersebut dan apa rasa yang ia kecap. Catat hasilnya di diagram lidah pada form hasil yang telah disediakan kemudian minta OP untuk berkumur dengan air. Buang lidi kapas yang tlah digunakan.Ulangi langkah yang sama untuk larutan asam, asin, dan pahit 2. Pemeriksaan Ambang Pengecapan Seperti sebelumnya, celupkan sebuah lidi kapas ke larutan manis dengan konsentrasi 100% dan peras kelebihan larutan pada pinggir gelas. Kali ini OP harus tahu rasa yang diujikan. Instruksikan OP untuk menjulurkan lidah dan letakkan lidi kapas tersebut pada area yang mengecap rasa manis.Tanyakan pada OP apakah ia dapat mengecap rasa dari laruta tersebut. Bila OP dapat mengecap, beri tanda (+) di tabel ambang pengecapan pada form hasil yang telah disediakan. Intruksikan OP untuk berkumur dengan air. Buang lidi kapas yang telah digunakan.Ulangi angkah nomor 3-7 dengan larutan manis berkonsentrasi setengah dari konsentrasi larutan sebelumya.Ulangi teru langkah nomor 8 hingga OP tidak dapat mengecap rasa yang diletakkan di lidahnya. Beri tanda (-) di tabel ambang pengecapan pada form yang telah disediakan saat OP tidak dapat lagi megecap rasa tersebut.Ulangi seluruh tahap percobaan ini dengan 3 larutan rasa yang lain.

2. Tabung ukur 3. Lidi kapas 4. Air

B. Praktikum Fisiologi Keseimbangan dan Pendengaran 1. Pendengaran a. Tes Penala Alat : Garputala 512 Hz Cara Kerja: : Garpu tala digetarkan di linea mediana, dahi atau di gigi insisivus kemudian tentukan bunyi terdengar di bagian telinga yang mana. Coba dengan salah satu telinga ditutup dengan kapas. Pasien diminta mengangkat tangan saat mendengar suara, dan menurunkan tangan apabila sudah tidak terdengar suara. Rinne : Garputala digetarkan, tangkainya diletakkan di prosesus mastoid. Pada saat terdengar bunyi , pasien diminta mengangkat tangan dan kemudian bila tidak terdengar maka diminta untuk menurunkan tangan sebagai penanda. Setelah tidak terdengar, garputala dipindahkan dan dipegang kirakira 2,5 cm di depan liang telinga yang di periksa Schwabah: Garputala digetarkan, di letakkan di prosesus mastoid yang diperiksa, setelah tidak terdengar bunyi garputala dipindahkan ke prosesus mastoid pemeriksa dan sebaliknya. b. Tes Audiometri Alat : 1. Laptop dengan sistem operasi minimal XP 2. Headphone kedap suara lingkungan dengan tanggapan frekuensi rata Cara Kerja 1. 2. 3. 4. Siapkan laptop, kemudian buka program audimoter yang telah ada Meminta satu mahasiswa untuk menjadi subjek pemeriksaan pendengaran Meminta subjek untuk memasang headphone dan mengoperasikan komputer sendiri Subjek harus mengikuti instruksi yang ada dikomputer untuk melakukan ambang pendengaran mandiri. 5. Setelah selesai, hasil pemeriksaan berupa audiogram dapat disimpan dalam bentuk gambar. 2. Keseimbangan a. Kanalis Semisirkularis Alat dan Bahan: Tongkat atau Statif Metode : OP menutup mata dan menundukkan kepala 300, kemudian berputar sambil berpegangan pada tongkat atau statif searah jarum jam 10 kali dalam 30 detik.Setelah berputar OP berhenti kemudian membuka mata dan berjalan lurus ke depan. Amati arah pergerakan OP. Kemudian diulangi dengan arah berlawanan putaran jarum jam Weber Bahan: Kapas

b. Pengaruh Mata Terhadap Keseimbangan Metode : OP diinstruksikan untuk berjalan mengikuti garis lurus dengan mata terbuka. Sikap badan dan kepala biasa. Amati arah jalan pasien apakah lurus atau tidak. Kemudian ulangi percobaan pada OP dengan mata tertutup, kepala dimiringkan dengan kuat ke kiri dan kepala dimiringkan dengan kuat ke kanan c. Nistagmus Metode : OP duduk di kursi Barany dengan tangan memegang erat lengan kursi, mata terpejam, dan kepala ditundukkan 300 ke depan. Putar kursi ke kanan 10 kali dalam 20 detik tanpa hentakan. Hentikan kursi dengan tiba-tiba. OP diminta untuk membuka mata dan melihat jauh ke depan. Perhatikan adanya nistagmus. d. Past Pointing Test Metode: OP diminta untuk duduk tegak di kursi Barany dan memejamkan mata. Pemeriksa berdiri di depan kursi Barany dan mengulurkan tangan kiri ke arah OP. Minta OP untuk meluruskan tangannya hingga dapat menyentuh jari tangan pemeriksa yang diulurkan. Minta OP untuk menaikkan tangannya kembali dan menurunkannya dengan cepat hingga menyentuk jari pemeriksa lagi. Kedua lengan OP memegang pegangan kursi dengan erat dan menundukkan kepala 300 ke depan. Kursi diputar ke kanan 10 kali dalam 20 detik tanpa sentakan. Hentikan kursi tibatiba. Minta OP untuk menegakkan kepala dan meluruskan tanggannya untuk menyentuh tangan pemeriksa. e. Tes Jatuh Metode : Perintahkan OP untuk duduk di kursi Barany dengan kedua tangan memegang erat lengan kursi. Tutup kedua mata OP dengan saputangan dan OP diperintahkan untuk menundukkan kepala dan membungkukkan badan ke depan sehingga posisi kepala membentuk sudut 120 derajat dengan sumbu tegak. Kemudian Putar kursi ke arah kanan sekitar 10 kali selama 20 detik secara teratur dan tanpa sentakan. Segera setelah pemutaran, kursi dihentikan secara tiba-tiba. Instruksikan OP untuk menegakkan kepala kembali Perhatikan badan OP, ke arah mana ia akan jatuh dan tanyakan ke mana rasanya ia akan jatuh. Ulangi tes jatuh ini, tiap kali pada OP lain dengankepala miring ke arah bahu kanan sehingga kepala miring 90 derajat tehadap posisi normal, dan kepala menengadah ke arah belakang sehingga membuat sudut 60 derajat terhadap posisi normal. Hubungkan arah jatuh pada setiap percobaan dengan arah aliran endolimfe pada kanalis semisirkularis yang terangsang f. Kesan (Sensasi) Perintahkan OP untuk duduk di kursi Barany dan menutup kedua matanya. Putar kursi ke kanan dengan kecepatan yang berangsur-angsur semakin bertambah dan kemudian kurangi kecepatan putarannya secara berangsur-angsur pula hingga berhenti. Tanyakan kepada OP arah perasaan berputar: 1) Sewaktu kecepatan berputar masih bertambah 2) Sewaktu kecepatan berputar menetap 3) Sewaktu kecepatan berputar dikurang 4) Segera setelah kursi berhenti

BAB IV Hasil Praktikum A. Praktikum Fisiologi Pengecapan 1. Pemeriksaan Indra Pengecapan

2. Pemeriksaan Ambang Pengecapan Kekuatan Dilusi Nama OP 100% 50% 25% 12,5% 6,25% 3,125% Manis OP 1 OP 2 Aryogi Fatimah + + + + + + + + Asam OP 1 OP 2 Aryogi Fatimah + + + + + + + Asin OP 1 Aryogi + + + + Pahit OP 2 Fatimah + OP 2 OP 1 Fatimah Aryogi + + + + + + -

B. Praktikum Fisiologi Pendengaran dan Keseimbangan 1. Pendengaran a. Tes PenalaNama OP Andro Uji Rinne (+) Uji Weber Tidak ada lateralisasi Uji Schwabach normal

b. Tes Audiometri OP 1

O P 2 Pada OP pertama ditemukan bahwa untuk telinga kanan, untuk frekuensi 125, 250, 1000, dan 2000 Hz pasien memiliki ambang pendengaran 0 dB sementara untuk frekuensi 4000 dan 8000 Hz OP memiliki ambang pendengaran pada intensitas 10 dB. Sementara untuk telinga kiri, untuk frekuensi 125 Hz OP memiliki ambang pendengaran pada 0 dB sedangkan pada frekuensi 250 ambang pendengaran menjadi 10 dB, dan kembali menjadi 0 dB pada frekuensi 500, 1000, dan 2000 dan kemudian ambang pendengaran meningkat kembali pada bunyi dengan frekuensi yang lebih tinggi. Op 2

Pada OP kedua ditemukan bahwa untuk telinga kanan, untuk frekuensi 125, 250, memiliki ambang pendengaran 20 dB sementara untuk frekuensi 500, memiliki ambang pendengaran pada 0 Hz. Pada frekuensi 1000- 4000 Hz OP memiliki ambang pendengeran pada 10 dB dan untuk suara berfrekuensi 8000 Hz OP memiliki ambang pendengaran pada intensitas 30 dB. Sementara untuk telinga kiri, untuk frekuensi 125 Hz dan 250 Hz OP memiliki ambang pendengaran pada 20 dB sedangkan pada

frekuensi 500 ambang pendengaran menjadi 0 dB, dan kembali menjadi 10 dB pada frekuensi 1000 Hz. Kemudian pada frekuensi yang lebih besar, ambang pendengaran op menjadi lebih besar. 2. Tes Keseimbangan a. Pecobaan Sederhana Kanalis Semisirkularis Setelah OP berputar searah jarum jam, pada saat diinstruksikan untuk berjalan lurus ke depan awalnya OP agak kesulitan dan hampir jatuh ke kanan, namun pada akhirnya OP dapat mempertahankan keseimbangan dan berjalan lurus. b. Pengaruh Mata pada Keseimbangan Pada mata terbuka, OP dapat berjalan mengikuti garis lurus. Saat OP diinstruksikan untuk menutup mata, OP juga mampu untuk mengikuti garis lurus. Ketika mata OP ditutup dan kepala dimiringkan dengan kuat ke kiri, OP berjalan menyimpang ke kiri. Begitu juga ketika mata OP ditutup dan kepala dimiringkan dengan kuat ke kanan, OP berjalan menyimpang ke kanan.

c. Nistagmus Ketika OP membuka mata, terlihat adanya nistagmus. Pada percobaan kali ini, mata OP seperti melihat ke kiri dan ditemukan nistagmus. Nistagmus yang terjadi, memiliki komponen lambat ke arah kanan dan komponen cepat ke arah kiri. d. Past Pointig Test Setelah kursi dihentikan dan dilakukan tes penyimpangan penunjukan, tangan OP tidak dapat menyentuh jari pemeriksa karena tangan OP deviasi ke kiri, berlawanan dengan arah putaran kursi. e. Tes Jatuh Ketika OP berada dalam kondisi diputar ke arah kanan secara perlahan pada awalnya OP masih merasa dirinya berputar ke arah kanan. Namun secera cepat pemutar menghentikan putaran kursi sehingga yang terjadi adalah badan OP condong ke arah kanan. f. Tes Kesan (Sensasi) Ketika OP diputar ke kanan secara perlahan hingga kecepatan tetap OP masih merasakan putaran ke arah kanan. Namun ketika kursi mulai melambat OP awalnya tidak bisa membedakan arah putaran, kemudian merasakan dirinya seperti diputar ke arah kiri. Saat kursi telah benar-benar berhenti pun OP juga merasakan putaranya ke arah kiri.

BAB V Diskusi Hasil Praktikum A. Praktikum Fisiologi Pengecapan 1. Pemeriksaan Indra Pengecapan Pada dasarnya, semua pengecapan utama (manis, asin, asam, pahit, dan umami) dapat dideteksi di seluruh lidah, tetapi daerah-daerah tertentu lebih sensitif terhadap satu kategori dari kategori lainnya. Hal ini terjadi karena setiap kuncup kecap biasanya berespons terhadap salah satu dari rangsangan pengecapan utama, bila substansi tersebut berada dalam kosentrasi yang rendah. Diketahui bahwa ujung lidah sangat sensitif terhadap rasa manis, margin lateral lidah paling sensitif untuk rasa asin dan asam, sementara bagian posterior sangat sensitif terhadap senyawa pahit. Pada konsentrasi yang tinggi, sebagian besar kuncup kecap dapat dirangsang oleh 2 atau lebih rangsangan pengecapan utama, dan juga oleh beberapa rangsangan kecap lainnya yang tidak termasuk dalam kategori utama. Pada pengamatan, area pengecapan pada kedua OP memiliki kesamaan dan sesuai dengan yang terdapat pada teori. Namun, OP 1 juga merasakan rasa pahit pada ujung lidah selain rasa manis, sementara OP 2 juga merasakan rasa asin. Hal ini karena pada dasarnya semua rasa pengecapan dapat dirasakan pada semua area di lidah, terutama pada konsentrasi yang tinggi. 2. Pemeriksaan Ambang Pengecapan Pada pemeriksaan ambang pengecapan, didapatkan bahwa ambang pengecapan setiap rasa kecap berbeda-beda dan terdapat sedikit perbedaan ambang pengecapan rasa tertentu di antara kedua OP. Makhluk hidup memiliki kecenderungan memilih makanan tertentu yang disukainya maupun yang sesuai dengan kebutuhan yang tubuh butuhkan. Dikatakan bahwa ambang batas untuk merangsang rasa asam oleh HCl rata-rata 0,0009 M; untuk merangsang rasa asin oleh NaCl 0,01 M; untuk rasa manis oleh sukrosa 0,01 M, dan rasa pahit oleh kuinin 0,00008 M. Energi utama yang diperlukan manusia berasal dari glukosa, yang memberikan rasa manis. Karena sering terpapar rasa manis, ambang pengecapan untuk rasa mani menjadi lebih tinggi dibandingkan rasa lain. Sementara itu, rasa pahit memiliki ambang pengecapan yang sangat rendah karena menjadi mekanisme bertahan dari racun yang terdapat di makanan yang terutama memiliki rasa pahit. Pada percobaan, diamati bahwa rasa asin dan manis memiliki ambang pengecapan yang rendah, diikuti dengan rasa asam, kemudian rasa pahit. Hal ini berbeda dengan teori yang ada dimana ambang pengecapan dari yang paling tinggi adalah manis, asin, asam, dan pahit. Hal ini kemungkinan terjadi karena ketidaktepatan konsentrasi dari masing-masing zat dalam larutan, terutama untuk larutan rasa pahit yang perlu dikocok terlebih dahulu karena kelarutannya yang rendah. Selain itu, perbedaan ini juga dapat terjadi karena tubuh OP saat itu sedang kekurangan glukosa sehingga lidah menjadi lebih peka terhadap rasa manis. Sementara itu, perbedaan antarindividu pada pengamatan ini dapat terjadi karena adanya faktor individu yang turut berperan, seperti variasi jumlah reseptor, perbedaan persepsi

mengenai rasa, dan perbedaan kemampuan sensasi rasa. Kecenderungan seseorang dalam memilih rasa makanan yang disuki juga menjadi penyebab perbedaan ambang pengecapan.

B. Praktikum Fisiologi Pendengaran dan Keseimbangan 1. Pendengaran a. Tes Penala Jadi pada saat dilakukan uji rinne maka garputala yang sudah digetarkan akan segera diletakan dibagian prosesus mastoid. Pada saat ini yang terdengar adalah hantaran bunyi melalui garputala ke tulang tanpa melalui udara (P-PIII 8). Sedangkan pada saat sudah tidak terdengar lagi , garputala kita pindahkan ke depan telinga sekitar 2,5 cm. Pada saat ini suara akan terdengar lagi dan suara yang terdengar adalah suara yang dihantar kan melalui udara. Suara jadi terdengar lagi karena suara atau bunyi yang datang dari udara tersebut sudah mengalami amplifikasi Pada pemeriksaan uji weber, OP tersebut tidak menunjukan adanya lateralisasi namun ketika salah satu telinga kita tutup atau kita sumbat salah satu telinga maka akan terjadi lateralisasi ke telinga yang disumbat. Hal ini sama hal nya yang terjadi pada pasien yang mengalami tuli konduktif. Jadi pada intinya lateralisasi adalah dominansi bunyi yang terdengar oleh salah satu telinga karena adanya perbedaan daya konduktivitas. Mekanisme terjadinya lateralisasi tersebut dikarenakan adanya konduktivitas yang lebih dari salah satu telinga sehingga pada saat bunyi muncul, getarannya akan diterima lebih kuat pada telinga yang memiliki konduktivitas lebih tinggi. Pada percobaan scwabach, tidak terdapat perbedaan antara bunyi yang didengar OP dan Pemeriksa, sehingga dapat dinyatakan bahwa uji scwabach pasien normal. Tujuan dilakukannya pemeriksaan penala tersebut untuk mengindentifikasi fungsi pendengaran pasien yang biasanya mengeluhkan adanya penurunan fungsi pendengaran pada telinga yang sakit. b. Audiometri Dari hasil tes audiometri, didapatkan hasil yang berbeda antara OP 1 dan OP 2, pada telinga kanan dengan frekuensi 125 Hz, OP 1 dapat mendengar pada intensitas 0 dB dan OP 2 pada 20 dB. Pada frekuensi 250 Hz, OP 1 dapat mendengar pada intensitas 0 dB dan OP 2 pada 20 dB. Pada frekuensi 500 Hz, kedua OP samasama dapat mendengar pada intensitas 0 dB. Pada frekuensi 1000 Hz, OP 1 dapat mendengar pada intensitas 0 dB dan OP 2 pada 10 dB. Pada frekuensi 2000 Hz, OP 1 dapat mendengar pada intensitas 0 dB dan OP 2 pada 10 dB. Pada frekuensi 4000 Hz, kedua OP sama-sama dapat mendengar pada intensitas 10 dB. Dan pada frekuensi 8000 Hz, OP 1 dapat mendengar pada intensitas 10 dB dan OP 2 pada 30 dB. Pada telinga kiri kedua OP, hasil yang didapatkan pada frekuensi 125 Hz, OP 1 dapat mendengar pada intensitas 0 dB dan OP 2 pada 20 dB. Pada frekuensi 250 Hz, OP 1 dapat mendengar pada intensitas 10 dB dan OP 2 pada 20 dB. Pada frekuensi 500 Hz, kedua OP sama-sama dapat mendengar pada intensitas 0 dB. Pada frekuensi 1000 Hz, OP 1 dapat mendengar pada intensitas 0 dB dan OP 2 pada 10 dB. Pada frekuensi 2000 Hz, kedua OP sama-sama dapat mendengar pada intensitas

0 dB. Pada frekuensi 4000 Hz, OP 1 dapat mendengar pada intensitas 10 dB dan OP 2 pada 20 dB. Dan pada frekuensi 8000 Hz, OP 1 dapat mendengar pada intensitas 0 dB dan OP 2 pada 30 dB. Dari hasil tersebut, diambil nilai rata-rata untuk menentukan nilai ambang batas rata-rata pada OP. Pada OP 1, ambang batas pendengaran telinga kanan dan kiri 2,86. Sedangkan pada OP 2 adalah 14,29 untuk telinga kanan dan kiri. Dari hasil tes audiometri dapat disimpulkan bahwa kedua OP memiliki kemampuan pendengaran dalam batas normal yang tercatat dalam rata-rata ambang batas pendengaran yang termasuk dalam kategori normal yaitu 0-25. Dari hasil juga dapat terlihat bentuk angka terkecil (ambang) suara yang masih dapat didengar dalam setiap frekuensi suara yang berbeda. Didapatkan hasil demikian karena hasil dari pengukuran percobaan dengan alat audiometri dapat dipengaruhi oleh beberapa faktor, diantaranya adalah: faktor alat (kondisi dan kualitas baik atau tidak), faktor ruangan yang tidak kedap suara, faktor kemampuan konsentrasi/memusatkan pikiran OP (sebaiknya konsentrasi OP tidak terganggu dengan kondisi suara sekitar dan fokus pada pemeriksaan), dan faktor hantaran (udara dan tulang) yang bergantung pada kondisi kesehatan OP saat pemeriksaan. Dari hasil tes audiometri dapat disimpulkan bahwa kedua OP memiliki kemampuan pendengaran dalam batas normal yang tercatat dalam rata-rata ambang batas pendengaran yang termasuk dalam kategori normal. Dari hasil juga dapat terlihat bentuk angka terkecil (ambang) suara yang masih dapat didengar dalam setiap frekuensi suara yang berbeda. Didapatkan hasil demikian karena hasil dari pengukuran percobaan dengan alat audiometri dapat dipengaruhi oleh beberapa faktor, diantaranya adalah: faktor alat (kondisi dan kualitas baik atau tidak), faktor ruangan yang tidak kedap suara, faktor kemampuan konsentrasi/memusatkan pikiran OP (sebaiknya konsentrasi OP tidak terganggu dengan kondisi suara sekitar dan fokus pada pemeriksaan), dan faktor hantaran (udara dan tulang) yang bergantung pada kondisi kesehatan OP saat pemeriksaan. 2. Keseimbangan a. Percobaan Sederhana Kanalis Semisirkularis Pada saat kepala tegak, kemiringan kanalis semisirkularis horizontal 300 dari bidang datar. Perlakuan menundukkan kepala menyebabkan kanalis semisirkularis horizontal sejajar dengan bidang datar sehingga dapat terangsang dengan maksimal. Perputaran OP searah jarum jam menyebabkan pergerakan endolimf pada kanalis semisirkularis horizontal. Kanalis semisirkularis tulang ikut berputar searah jarum jam, namun cairan di dalam kanal tersebut tidak ikut berputar dan tertinggal karena inersianya. Hal ini menyebabkan sel rambut melengkung berlawanan dengan arah jarum jam. Lama-kelamaan endolimf mengejar ketinggalannya dan berputar bersama dengan gerakan kepala, sel-sel rambut kembali ke posisi sebelum melengkung. Saat gerakan kepala dihentikan, endolimf tetap berputar searah jarum jam sehingga sel rambut melengkung ke arah jarum

jam. Hal ini mengakibatkan OP cenderung mengarah ke kanan pada saat diinstruksikan untuk jalan mengikuti garis lurus. b. Pengaruh Mata pada Keseimbangan Selain input dari vestibular, sistem saraf pusat juga menerima input dari reseptor sendi pada leher. Saat kepala dimiringkan ke satu arah dengan membengkokkan leher, reseptor sendi leher mentransmisikan sinyal yang berlawanan dengan sinyal yang berasal dari vestibular. Hal ini menyebabkan terjadinya ketidakseimbangan pada saat OP diinstruksikan untuk berjalan mengikuti garis lurus. c. Nistagmus Pada percobaan kursi Barany, akan dihasilkan nistagmus (pemutaran) sentak horizontal dengan komponen lambat ke arah berlawanan dengan putaran kursi, sedangkan komponen cepat searah dengan putaran kursi. Ketika kursi dihentikan tiba-tiba, terdapat tonus vestibular di arah yang berlawanan, yang mebhasilkan nistagmus sentak dengan komponen cepat berlawanan dengan arah putaran kursi (nistagmus pasca pemutaran). Nistagmus yang terjadi pada OP memiliki komponen cepat ke arah kiri, berlawanan dengan arah putaran kursi. Hal ini disebabkan adanya tonus vestibular di arah yang berlawanan dengan rotasi karena penghentian kursi yang tiba-tiba, sehingga menghasilkan nistagmus sentak dengan komponen cepat berlawanan dengan arah putar kursi. d. Past Pointing Tes Ketika individu dengan mata tertutup mengalami rotasi angular, seperti pada kursi Barany, ia akan memberikan sinyal yang tepat sesuai dengan arah putar pada awal pemutaran; akan tetapi, setelah pemutaran dengan kecepatan konstan, ia akan melaporkan bahwa sudah tidak terjadi putaran. Hal ini sesuai dengan prediksi yang terjadi dari adapatasi cepat reseptor pada kanal semisirkularis pada kecepatan konstan. Salah satu konsekuensi dari periode pasca pemutaran adalah past-pointing. Apabila, seorang individu diminta untuk mengulurkan tangan setelah kursi Barany dihentikan tiba-tiba, ia akan mengalami deviasi sesuai dengan arah putaran. Sehingga, ketika rotasi dilakukan ke kanan, maka deviasi yang terjadi juga ke kanan Ketika rotasi kursi Barany dihentikan tiba-tiba, tangan OP seharusnya mengalami deviasi searah dengan arah putaran kursi. Akan tetapi, hasil percobaan yang didapatkan tidak sesuai dengan teori. Hal ini mungkin disebabkan adanya mekanisme kompensasi ke arah berlawanan rotasi kursi yang dilakukan oleh OP. e. Tes Jatuh Ketika OP diputar ke arah kanan dan kemudian dihentikan tiba-tiba maka cairan endolimfe yang berada di kanalis semisirkularis akan berputar ke arah kiri

sehingga OP akan merasa tubuhnya jatuh ke kiri oleh karena itu kompensasinya adalah OP akan mencondongkan badannya ke kanan agar ia tidak jatuh ke kiri f. Kesan (sensasi) Ketika OP diputar ke kanan perlahan hingga kecepatan tetap cairan endolimfe di kanalis semisirkularis masih se arah putarannya dengan putaran kursi Barany. Namun ketika putaran diperlambat dan kemudian dihentikan, aliran endolimfe jutru berputar ke arah sebaliknya (ke kiri) sehingga OP akan merasakan putaran tidak lagi ke kanan tetapi ke kiri.

Daftar Pustaka

1. Tortora GJ, Derrickson B. Principles of anatomy and physiology. Edisi 12. Danver: John Wiley & Sons, Inc; 2009. h. 602-4. 2. Guyton CA, Hall JE. Buku ajar fisiologi kedokteran. Edisi 11. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC; 2007. h. 693-7. 3. Saladin KS. Anatomy & Physiology: The Unity of Form and Function. Edisi 3. Philadelphia: The McGrawHill Companies 4. Marieb EN, Hoehn K. Human Anatomy & Physiology [ebook]. Edisi 7. San Fransisco: Pearson Benjamin Cummings; 2007. 5. Ganong WF. Review of medical physiology [ebook]. Edisi 21. Phiadelphia: The McGraw-Hill Companies; 2003. 6. Vander et al. Human Physiology: The Mechanism of Body Function. 8th Ed. London: Mc GrawHill; 250-56. 7. Sherwood, L. Fisiologi Manusia: dari Sel ke Sistem. Ed 2. Jakarta: EGC; 176-86. 8. Sudoyo AW, et all . Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam edisi kelima jilid I. Jakarta : InternaPublishing. 2010; h.25 - 46.

9. Soetirto I, Hendarmin H, Bashirudin J. Gangguan Pendengaran (Tuli). Dalam: Soepardi EA, Iskandar N, Bashiruddin J, Restuti RD, editors. Buku ajar ilmu kesehatan telinga hidung tenggorok dan kepala. Edisi ke-6. Jakarta: Balai Penerbit FKUI; 2007. hal. 18-21. 10. Soepardi EA, Iskandar N, Bashiruddin J, dan Restuti RD. Buku Ajar Ilmu Kesehatan Telinga Hidung Tenggorok Kepala dan Leher. Edisi 6. Jakarta: Balai Penerbit FKUI; 2011. hal. 18-22.