13086710321319787133.makalah

Embed Size (px)

Citation preview

  • STUDI VARIASI KOMPOSISI BAHAN PENYUSUN BRIKET DARI KOTORAN SAPI DAN LIMBAH PERTANIAN

    Santosa, Mislaini R., dan Swara Pratiwi Anugrah

    Jurusan Teknik Pertanian, Fakultas Teknologi Pertanian Universitas Andalas Kampus Limau Manis, Padang 25163

    e-mail : [email protected]

    ABSTRAK

    Penelitian ini dilaksanakan di Bengkel Mekanisasi Pertanian Fakultas Teknologi Pertanian Universitas Andalas pada bulan September Oktober 2010. Pengujian dilaksanakan di Laboratorium Pusat Penelitian Pemanfaatan Iptek Nuklir (P3IN) Fakultas Pertanian dan Laboratorium Nonruminansia Fakultas Peternakan Universitas Andalas. Penelitian ini bertujuan untuk mendapatkan komposisi terbaik dalam pembuatan briket dari campuran kotoran sapi dan limbah pertanian. Pengujian briket dilakukan dengan berbagai variasi komposisi penggunaan kotoran sapi dengan limbah pertanian (sekam, jerami, dan tempurung kelapa). Perlakuan menggunakan perbandingan 1:1, 1:2, dan 1:3 dengan 3 kali ulangan tiap-tiap perlakuan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa briket terbaik terdapat pada komposisi kotoran sapi : limbah pertanian adalah 1:3 dengan nilai kalor 4.527,22 kal/g. Nilai karakteristik dari tiap-tiap perlakuan komposisi briket menunjukkan bahwa dengan meningkatnya proporsi penggunaan limbah pertanian sebagai bahan baku briket mampu meningkatkan kadar karbon, nilai kalor, kerapatan dan kuat tekan, serta mampu menurunkan kadar air dan kadar abu. Nilai kalor berpengaruh terhadap laju pembakaran. Semakin tinggi nilai kalor briket, maka laju pembakaran briket semakin tinggi. Kata Kunci : Briket, Komposisi Bahan Penyusun Briket, Limbah Pertanian

    PENDAHULUAN Minyak bumi adalah energi yang tidak dapat diperbaharui, tetapi

    dalam kehidupan sehari-hari bahan bakar minyak masih menjadi pilihan

    utama sehingga akan mengakibatkan menipisnya cadangan minyak bumi.

    Minyak tanah di Indonesia yang selama ini disubsidi, menjadi beban yang

    sangat berat bagi pemerintah Indonesia karena nilai subsidinya meningkat

    pesat menjadi lebih dari 49 triliun rupiah per tahun dengan penggunaan

    lebih kurang 10 juta kilo liter per tahun. Hal ini berdampak naiknya harga

  • minyak bumi di pasar global, menjadikan harga minyak tanah sebagai

    konsumsi publik yang paling besar, langka dan mahal di pasaran (Yusuf,

    2010).

    Sumber energi alternatif yang dapat diperbaharui di Indonesia

    cukup banyak, di antaranya adalah biomassa atau bahan-bahan limbah

    organik. Beberapa biomassa memiliki potensi yang cukup besar adalah

    limbah kayu, sekam padi, jerami, ampas tebu, tempurung kelapa,

    cangkang sawit, kotoran ternak, dan sampah kota. Biomassa dapat diolah

    dan dijadikan sebagai bahan bakar alternatif, contohnya dengan

    pembuatan briket. Briket mempunyai keuntungan ekonomis karena dapat

    diproduksi secara sederhana, memiliki nilai kalor yang tinggi, dan

    ketersediaan bahan bakunya cukup banyak di Indonesia sehingga dapat

    bersaing dengan bahan bakar lain.

    Pemanfaatan kotoran sapi untuk dijadikan pupuk organik masih

    belum optimal, karena petani belum bisa merubah kebiasaan dalam

    menggunakan pupuk kimia untuk meningkatkan produksi tanaman. Hal ini

    menyebabkan masih banyak kotoran sapi yang tidak dimanfaatkan.

    Kotoran sapi menghasilkan kalor sekitar 4000 kal/g dan gas metan

    (CH4) yang cukup tinggi. Gas metan merupakan salah satu unsur penting

    dalam briket yang berfungsi sebagai penyulut, yaitu agar briket yang

    dihasilkan diharapkan mudah terbakar. Limbah pertanian dapat

    menghasilkan energi kalor sekitar 6000 kal/g. Limbah pertanian yang

    terdiri dari sekam memiliki kadar karbon 1,33 %, jerami mempunyai kadar

    karbon 2,71 %, dan tempurung kelapa memilik kadar karbon yang tinggi

    sebesar 18,80 % (Pancapalaga, 2008).

    Pemanfaatan kotoran sapi dan limbah pertanian berupa sekam,

    jerami, dan tempurung kelapa sebagai bahan baku dalam pembuatan

    briket merupakan salah satu bahan bakar alternatif yang tepat sebagai

    sumber bahan bakar untuk mengurangi pengunaan minyak tanah. Untuk

    itu perlu dilakukan penelitian tentang variasi komposisi bahan penyusun

    briket tersebut.

  • TUJUAN

    Tujuan dari penelitian ini adalah untuk : 1. Mengetahui karakteristik briket campuran kotoran sapi dan limbah

    pertanian.

    2. Mendapatkan komposisi terbaik dalam pembuatan briket.

    3. Mengetahui pengaruh komposisi bahan baku terhadap laju

    pembakaran briket.

    METODE Waktu dan Tempat Penelitian

    Penelitian ini dilaksanakan pada bulan September sampai dengan

    Oktober 2010, di Bengkel Fakultas Teknologi Pertanian, Laboratorium

    Pusat Penelitian Pemanfaatan Iptek Nuklir (P3IN) Fakultas Pertanian, dan

    Laboratorium Nonruminansia Fakultas Peternakan Universitas Andalas.

    Bahan dan Alat Bahan-bahan yang diperlukan dalam penelitian ini adalah limbah

    pertanian yaitu sekam, jerami, dan tempurung kelapa. Selain itu

    diperlukan juga kotoran sapi, tepung tapioka, dan air. Alat-alat yang

    digunakan dalam melaksanakan penelitian ini adalah alat pengepres

    briket dengan cetakan berdiameter 2 cm dan tinggi 3 cm, drum, ayakan 50

    mesh dan 70 mesh, oven, timbangan digital, force gauge, thermometer,

    stopwatch, desikator, bomb kalorimeter, cawan porselin, penjepit cawan,

    alat-alat tulis, dan peralatan yang mendukung.

    Metode Penelitian Langkah pertama dalam penelitian adalah pembuatan briket yang

    meliputi proses penyiapan bahan baku berupa kotoran sapi dan limbah

    pertanian (sekam, jerami, dan tempurung kelapa). Bahan baku limbah

    pertanian dikarbonisasi, selanjutnya arang dari hasil karbonisasi dilakukan

    pengecilan ukuran, kemudian diayak untuk menghasilkan ukuran yang

  • seragam. Bahan yang telah diayak lalu dicampur dengan perbandingan,

    yaitu : A = perlakuan dengan perbandingan kotoran sapi : limbah

    pertanian = 1:1, B = perlakuan dengan perbandingan kotoran sapi : limbah

    pertanian = 1:2, dan C = perlakuan dengan perbandingan kotoran sapi :

    limbah pertanian = 1:3. Bahan selanjutnya dicampur dengan perekat

    tapioka sebanyak 30 % dari berat adonan briket. Adonan briket yang telah

    tercampur tersebut dimasukkan ke dalam cetakan yang berbentuk silinder

    dengan diameter 2 cm dan tinggi 3 cm, selanjutnya hasil cetakan

    dikeringkan di dalam oven. Briket hasil pengeringan kemudian dilakukan

    uji karakteristik meliputi : kadar air, kadar abu, kadar karbon, nilai kalor,

    kerapatan (density), dan kuat tekan. Pengamatan lama nyala api, laju

    pembakaran dan efisiensi juga dilakukan untuk mengetahui hubungan

    komposisi bahan baku berhadap laju pembakaran briket.

    Metode penelitian yang digunakan adalah metode eksperimen

    dengan tiga perlakuan, sebagai perlakuan adalah perbandingan komposisi

    kotoran sapi dan limbah pertanian. Setiap perlakuan dilakukan dengan

    tiga kali pengulangan. Pengujian dilakukan dengan tiga perlakuan

    komposisi yang akan diamati, yaitu :

    A = perlakuan dengan perbandingan kotoran sapi : limbah pertanian = 1:1

    B = perlakuan dengan perbandingan kotoran sapi : limbah pertanian = 1:2

    C = perlakuan dengan perbandingan kotoran sapi : limbah pertanian = 1:3

    Pengolahan data dilakukan dengan menghitung nilai rata-rata dari

    setiap ulangan.

    Pelaksanaan Penelitian Pelaksanaan penelitian ini terdiri dari 2 tahap, yaitu pembuatan

    briket dan pengujian briket.

    Tahap Pembuatan Briket Proses yang dilakukan dalam pembuatan briket, yaitu :

    1. Penyiapan Bahan Baku

    Bahan baku yang disiapkan adalah kotoran sapi dan limbah

    pertanian berupa sekam, jerami, dan tempurung kelapa. Bahan tersebut

    dikumpulkan dan dibersihkan dari material-material tidak berguna. Proses

  • pengambilan kotoran sapi dilakukan dalam satu kali pengambilan dalam

    jumlah banyak, hal ini dilakukan untuk menghindari heterogenitas kotoran

    sapi yang digunakan dalam penelitian.

    Kotoran sapi dikeringkan di bawah sinar matahari selama tujuh

    hari, lamanya pengeringan ini disebabkan karena saat penelitian ini

    kondisi cuaca mendung dan curah hujan yang cukup tinggi, setelah cukup

    kering kotoran sapi ditumbuk untuk membuat ukuran partikel menjadi lebih

    kecil, kemudian diayak dengan ayakan 50 mesh.

    2. Proses Karbonisasi

    Bahan-bahan seperti sekam, jerami, dan tempurung kelapa,

    selanjutnya dikarbonisasi dengan menggunakan drum bekas yang bersih.

    Drum diberi lubang-lubang kecil pada bagian dasar agar tetap ada udara

    yang masuk ke dalam drum.

    Pada proses karbonisasi kegiatan yang dilakukan adalah bahan

    dimasukkan ke dalam drum yang telah diletakkan pada tatakan batu dan

    api dinyalakan. Semua bahan dalam drum akan terbakar menjadi arang,

    ditandai dengan terlihat asap putih dari atas drum. Bahan dalam drum

    akan menyusut seiring dengan terjadinya pengarangan di bagian bawah.

    Ketika semua bahan telah menjadi arang, segera dinginkan dengan cara

    disiram dengan air hingga bara dalam arang mati.

    3. Pengecilan Ukuran

    Pengecilan ukuran bahan dilakukan dengan menggunakan

    lesung. Hasil pengecilan bahan diayak dengan ayakan 50 mesh untuk

    jerami dan sekam, sedangkan 70 mesh untuk tempurung kelapa.

    Pemilihan ukuran ayakan pada setiap bahan tersebut berdasarkan pada

    pernyataan Pancapalaga (2008), yaitu sekam dan jerami diayak dengan

    ukuran kelolosan 50 mesh dan arang tempurung kelapa dengan ukuran

    kelolosan 70 mesh.

    4. Pembuatan Adonan Briket

    Bahan yang telah disaring lalu dicampur dengan perbandingan

    sebagaimana perlakuan, yaitu :

    A = perlakuan dengan perbandingan kotoran sapi : limbah pertanian = 1:1

  • B = perlakuan dengan perbandingan kotoran sapi : limbah pertanian = 1:2

    C = perlakuan dengan perbandingan kotoran sapi : limbah pertanian = 1:3

    Bahan tersebut selanjutnya dicampurkan dengan perekat tapioka

    sebanyak 30 % dari berat adonan briket sampai membentuk semacam

    adonan yang cukup kering. Semakin banyak perekat yang digunakan,

    maka briket lebih kuat dan tahan pecah.

    5. Pencetakan Briket

    Bahan baku yang telah tercampur dimasukkan ke dalam cetakan

    yang berbentuk silinder dengan diameter 2 cm dan tinggi 3 cm, kemudian

    dilakukan pengepresan dengan tekanan 100 N/cm2.

    Kapasitas alat pengepres ditentukan oleh berat briket yang

    dihasilkan per satuan waktu. Kapasitas pengepresan dihitung dengan

    menggunakan rumus :

    Kp= Bb / t ... (1)

    dengan :

    Kp = kapasitas pengepresan (kg/jam)

    Bb = berat briket yang dihasilkan (kg)

    t = waktu pengepresan (jam)

    6. Pengeringan

    Hasil cetakan dikeringkan di dalam oven dengan suhu 60 oC

    selama 24 jam, tujuannya untuk menurunkan kandungan air pada briket,

    sehingga briket cepat menyala dan tidak berasap. Suhu yang terlalu tinggi

    dapat mengakibatkan hasil cetakan menjadi retak.

    Tahap Pengujian Briket Tahap pengujian briket adalah tahap melakukan uji karakteristik

    briket untuk mengidentifikasi apakah briket yang dihasilkan berkualitas

    bagus yang sesuai dengan SNI, langkah-langkah pengujian yang

    dilakukan meliputi kadar abu, kadar air, kadar karbon, nilai kalor,

    kerapatan massa, kuat tekan, lama nyala api, dan laju pembakaran.

  • Pengamatan Karakteristik Briket Kadar Air

    Penetapan kadar air merupakan suatu cara untuk mengukur

    banyaknya air yang terdapat di dalam suatu bahan. Kadar air sampel

    ditentukan dengan metode oven caranya adalah bahan ditimbang dengan

    timbangan analisis dengan berat bahan dalam cawan alumunium yang

    telah diukur bobot keringnya secara teliti, kemudian dikeringkan dalam

    oven pada suhu 105 oC sampai beratnya konstan. Bahan didinginkan

    dalam desikator dan timbang kembali. Kadar air bahan dapat dihitung

    sebagai berikut :

    % Kadar air = b c x 100 % .(2) b dengan :

    b = berat cawan + sampel sebelum dioven (g)

    c = berat cawan + sampel setelah dioven (g)

    Kadar Abu dan Kadar Karbon

    Pengukuran kadar abu merupakan residu anorganik yang terdapat

    dalam bahan. Abu dalam bahan ditetapkan dengan menimbang sisa

    mineral sebagai hasil pembakaran (abu sisa pembakaran) bahan organik

    pada suhu 550 0C. Prinsip kerja metode ini dengan cara sebagai berikut :

    1. Sampel ditimbang dan dimasukkan ke dalam cawan porselen.

    2. Sampel dipanaskan sampai menjadi arang dan tidak mengeluarkan

    asap.

    3. Kemudian diabukan di dalam tanur pada suhu 600 oC hingga menjadi

    abu.

    4. Sampel dinginkan dalam desikator selama 15 menit dan timbang

    segera setelah mencapai suhu ruang.

    Perhitungan :

  • % Kadar abu = (berat abu+berat cawan) (berat cawan) x 100 % .......(3) berat sampel

    % Bahan organik = (100 - % Kadar abu) x KKA......................................(4)

    % C-organik = % bahan organik .............................................................(5) 1,724

    Nilai Kalor Kalor merupakan suatu kuantitas atau jumlah panas baik yang

    diserap maupun dilepaskan oleh suatu benda. Nilai kalor diperoleh dari

    briket dengan data laboratorium. Prosedur kerja untuk menentukan nilai

    kalori yaitu :

    a. Sampel dibuat pelet dan ditimbang, kemudian pelet tersebut

    dimasukkan ke dalam cawan pembakar tepat di bawah lengkungan

    kawat sumbu yang kedua ujungnya telah diikatkan pada kedua

    elektroda.

    b. Rangkaian tersebut kemudian dimasukkan ke dalam bomb yang

    sebelumnya telah diisi akuades sebanyak 1 ml ke dalam bomb,

    selanjutnya ditutup rapat dan dialiri gas oksigen melalui katup kurang

    lebih 35 atm. Bomb dimasukkan ke dalam kalorimeter yang telah diisi

    air sebanyak 2 liter, dan dihubungkan dengan unit pembakar.

    c. Kalorimeter ditutup dan termometer dipasang pada tutup kalorimeter,

    sehingga skala bagian bawah tepat pada angka 19 oC. Temperatur

    konstan pengaduk listrik dihidupkan dan dibiarkan selama 5 menit,

    kemudian sumber tegangan arus 23 volt dihidupkan untuk membakar

    kawat sumbu dan cuplikan. Pada saat ini temperatur diamati maka

    temperatur akan naik dengan cepat, setelah itu konstan dan akhirnya

    sedikit demi sedikit akan turun, kemudian sumber tegangan pembakar

    dan pengaduk dimatikan.

    Kerapatan (Density) Kerapatan massa dapat dilakukan perhitungan dengan persamaan

    berikut:

  • = m.(6) V

    dengan :

    = kerapatan (g/cm3)

    m = massa (g)

    V = volume silinder (cm3)

    Kuat Tekan

    Uji kuat tekan dilakukan dengan menggunakan force gauge untuk

    mengetahui kekuatan briket dalam menahan beban dengan tekanan

    tertentu. Kuat tekan briket dapat dihitung dengan persamaan :

    Kuat tekan (N/cm2) = gaya (N) ..(7)

    luas (cm2) Hubungan Komposisi Bahan Baku Terhadap Laju Pembakaran Briket Nyala Api Uji nyala api dilakukan untuk mengetahui berapa lama waktu briket

    habis sampai menjadi abu. Pengujian lama nyala api dilakukan dengan

    cara briket dibakar seperti pembakaran terhadap arang. Pencatatan waktu

    dimulai ketika briket menyala hingga briket habis atau telah menjadi abu.

    Pengukuran ini waktu menggunakan stopwatch.

    Laju Pembakaran Briket Laju pembakaran briket adalah kecepatan briket habis sampai

    menjadi abu dengan berat tertentu. Laju pembakaran dapat dihitung

    dengan menggunakan rumus :

    Laju pembakaran briket (g/detik) = berat briket (g) ..(8)

    waktu sampai briket habis (detik)

  • Efisiensi Efisiensi briket diperoleh dengan menggunakan nilai kalori pada

    masing-masing perlakuan komposisi kotoran sapi dan limbah pertanian.

    Efisiensi diukur dengan menggunakan rumus :

    Efisiensi (%) = Output x 100 % ......(9) Input

    dengan :

    Output = jumlah total energi untuk memasak air (kal)

    Input = nilai kalor dari berat briket yang digunakan (kal)

    Energi untuk memasak air merupakan nilai kalor atau panas yang

    dihasilkan briket sampai air mendidih atau sampai suhu tertentu dengan

    rumus :

    Q = m . c . t ...(10)

    dengan :

    Q = jumlah panas untuk mendidihkan air (kal)

    c = panas jenis air (kal/g.0C)

    m = massa briket (g)

    t = kenaikan suhu (0C)

    HASIL

    Pembuatan Briket Langkah pertama dalam penelitian ini adalah tahap pembuatan

    briket. Briket dibuat dengan campuran kotoran sapi dan limbah pertanian berupa tempurung kelapa, sekam, dan jerami. Pembuatan briket dilakukan di Bengkel Fakultas Teknologi Pertanian. Kadar air arang tempurung kelapa, jerami, sekam dan kotoran sapi terlebih dahulu dianalisis sebelum dilakukan pembuatan briket. Kadar air bahan yang diperoleh dapat dilihat pada Tabel 1.

  • Tabel 1. Kadar Air Bahan Baku

    Jenis Bahan Kadar Air % Tempurung Kelapa 4,78 Jerami 5,53 Sekam 5,25 Kotoran Sapi 7,38

    Proses yang dilakukan dalam pembuatan briket, yaitu :

    1. Penyiapan Bahan Baku Bahan baku yang disiapkan adalah kotoran sapi, sekam, jerami, dan tempurung kelapa. Bahan dijemur di bawah sinar matahari, setelah cukup kering kotoran sapi ditumbuk untuk membuat ukuran partikel menjadi lebih kecil, kemudian diayak dengan ayakan 50 mesh. Bahan baku pembuatan briket dapat dilihat pada Gambar 1.

    (a) (b) (c) (d)

    (a) Kotoran sapi (b) Sekam (c) Jerami (d) Tempurung kelapa

  • 1

    Gambar 1. Bahan Baku Briket

    2. Proses Karbonisasi Bahan yang telah dikeringkan dikarbonisasi dengan menggunakan drum, ketika semua bahan telah menjadi arang segera dinginkan dengan cara disiram dengan air hingga bara mati. Proses karbonisasi dan hasil karbonisasi pada tiap-tiap bahan dapat dilihat pada Gambar 2 dan 3.

    Gambar 2. Proses Karbonisasi

    Gambar 3. Hasil Karbonisasi

    3. Pengecilan Ukuran Bahan Pengecilan ukuran arang dilakukan dengan menggunakan lesung. Hasil pengecilan ukuran diayak dengan ayakan 50 mesh untuk jerami dan sekam, sedangkan 70 mesh untuk tempurung kelapa. Gambar pengecilan ukuran bahan dan pengayakan dapat dilihat pada Gambar 4 dan 5.

    Gambar 4. Pengecilan Ukuran Bahan Gambar 5. Pengayakan

  • 2

    4. Pembuatan Adonan Briket Bahan yang telah diayak lalu dicampur dengan perbandingan kotoran sapi : limbah pertanian berturut-turut 1:1, 1:2, dan 1:3, selanjutnya dicampurkan dengan bahan perekat tapioka sebanyak 30 % dari berat adonan briket. Berat kotoran sapi, limbah pertanian, dan perekat pada masing-masing perlakuan perbandingan dapat dilihat pada Tabel 2. Gambar pencampuran dapat dilihat pada Gambar 6.

    Tabel 2. Berat Bahan Baku Pada Perlakuan

    Perlakuan Perbandingan Kotoran sapi (g)

    Limbah Pertanian

    (g)

    Perekat (g)

    Total Adonan (g)

    A 1:1 42 42 36 120 B 1:2 28 56 36 120 C 1:3 21 63 36 120

    Gambar 6. Pencampuran Bahan

    5. Pencetakan Briket Adonan briket yang telah tercampur tersebut dimasukkan ke dalam cetakan yang berbentuk silinder dengan diameter 2 cm dan tinggi 3 cm. Gambar alat pengepres dapat dilihat pada Gambar 7 dan pencetakan dapat dilihat pada Gambar 8.

    Gambar 7. Alat Pengepres

  • 3

    Gambar 8. Pencetakan

    Alat pengepres ini memiliki 20 buah cetakan, setiap cetakan diisi adonan briket sebanyak 6 g. Jadi, total adonan briket yang dibutuhkan dalam satu kali proses pencetakan dan pengepresan adalah 120 g. Data kapasitas kerja alat pengepres dapat dilihat pada Tabel 3.

    Tabel 3. Kapasitas Pengepresan

    Perlakuan Perbandingan Berat Briket (g)

    Waktu Pengepresan

    (detik)

    Kapasitas Alat

    (g/detik) A 1:1 120 2 60 B 1:2 120 2 60 C 1:3 120 2 60

    Dari Tabel 3 terlihat bahwa kapasitas kerja alat pada semua perlakuan perbandingan sama yaitu sebesar 60 g/detik. Hal ini karena alat bekerja dengan tekanan yang konstan sebesar 100 N/cm2 dan berat briket yang dihasilkan sama, maka waktu yang dibutuhkan dalam pengepresan pada masing-masing perlakuan perbandingan adalah sama. Ukuran briket setelah diberi tekanan sebesar 100 N/cm2 dapat dilihat pada Tabel 4.

    Tabel 4. Ukuran Briket setelah Dipres

    Perlakuan Perbandingan Diameter (cm) Tinggi (cm) A 1:1 2 2,11 B 1:2 2 2,10 C 1:3 2 2,03

    Berdasarkan Tabel 4 terlihat bahwa ukuran briket yang terkecil terdapat pada perlakuan perbandingan kotoran sapi : limbah pertanian adalah 1:3. Hal ini disebabkan oleh pengaruh porositas bahan yang dihasilkan dari ukurun butiran partikel. Pada perbandingan 1:3 menghasilkan briket yang memiliki permukaan lebih rapat dan porositas lebih kecil dibanding dengan briket pada perbandingan 1:1 dan 1:2. Jumlah tempurung kelapa yang banyak dengan ukuran partikel yang lebih kecil (70 mesh) pada perbandingan 1:3, sehingga mampu meningkatkan kerapatan antar partikel. 6. Pengeringan

    Briket hasil cetakan dikeringkan di dalam oven dengan suhu 60 oC selama 24 jam. Pemilihan suhu tersebut berdasarkan pada pernyataan Wijayanti (2009), yaitu pengeringan briket dengan oven menggunakan suhu 60 oC. Briket hasil pengeringan dapat dilihat pada Gambar 9.

    Gambar 9. Briket

  • 4

    Briket hasil pengeringan kemudian dilakukan uji karakteristik meliputi : kadar air, kadar abu, kadar karbon, nilai kalor, kerapatan (density), dan kuat tekan. Pengamatan nyala api, laju pembakaran dan efisiensi juga dilakukan untuk mengetahui hubungan komposisi bahan baku berhadap laju pembakaran briket.

    Karakteristik Briket

    Pengujian analisis kadar air, kadar abu, dan karbon dilakukan di Laboratorium Pusat Penelitian Pemanfaatan Iptek Nuklir (P3IN) Fakultas Pertanian dan analisis nilai kalor briket dilakukan di Laboratorium Nonruminansia Fakultas Peternakan Universitas Andalas. Kadar Air

    Kadar air briket berpengaruh terhadap nilai kalor. Semakin kecil nilai kadar air, maka semakin tinggi nilai kalornya. Briket arang mempunyai sifat higroskopis yang tinggi, sehingga perhitungan kadar air bertujuan untuk mengetahui sifat higroskopis briket arang hasil penelitian. Pengukuran kadar air dilakukan mulai dari adonan briket, briket setelah dipres dan briket setelah dikeringkan dengan oven pada suhu 60 0C selama 24 jam.

    Berdasarkan hasil analisis dan perhitungan yang dilakukan terhadap kondisi kadar air dapat dilihat pada Tabel 5, Gambar 10, 11 dan 12.

    Tabel 5. Rata-Rata Kadar Air Briket

    Perlakuan Perbandingan Kadar Air Adonan

    (%)

    Kadar Air setelah Dipres (%)

    Kadar Air Akhir (%)

    A 1:1 24,31 19,11 7,49 B 1:2 22,85 18,23 6,40 C 1:3 20,08 17,10 5,55

    Dari Tabel 5 terlihat bahwa nilai kadar air adonan yang terendah sebesar

    20,08 % terdapat pada perlakuan perbandingan kotoran sapi : limbah pertanian = 1:3, sedangkan nilai kadar air adonan yang tertinggi yaitu 24,31 % terdapat pada perlakuan perbandingan kotoran sapi : limbah pertanian = 1:1. Hal ini menunjukkan briket yang dibuat dari bahan baku dengan campuran kotoran sapi yang banyak akan menyebabkan kandungan air tinggi (Pancapalaga, 2008).

    Gambar 10. Histogram Kadar Air Adonan Briket

  • 5

    Gambar 11. Histogram Kadar Air Briket setelah Dipres Pada Gambar 11 terlihat bahwa nilai kadar air briket setelah dipres yang

    terendah terdapat pada perlakuan kotoran sapi : limbah pertanian = 1:3, hal ini karena kadar air awal adonan briket pada perlakuan perbandingan 1:3 mempunyai nilai kadar air terendah di antara kadar air pada perlakuan perbandingan kotoran sapi dan limbah pertanian sebesar 1:1 dan 1:2. Nilai kadar air briket setelah dipres yang tertinggi terdapat pada perlakuan perbandingan kotoran sapi : limbah pertanian = 1:1.

    Pada Gambar 11 terlihat pula bahwa nilai kadar air akhir briket terendah sebesar 5,55 % terdapat pada perlakuan komposisi perbandingan kotoran sapi : limbah pertanian adalah 1:3, sementara nilai kadar air akhir briket tertinggi yaitu 7,49 % terdapat pada komposisi perbandingan kotoran sapi : limbah pertanian adalah 1:1.

    Kadar air yang tinggi pada komposisi perbandingan kotoran sapi : limbah pertanian adalah 1:1. Hal ini disebabkan karena jumlah pori-pori masih cukup banyak sehingga mampu menyerap air. Kadar air yang tinggi akan menyebabkan menurunnya nilai kalori dan efisiensi pembakaran.

    Menurut Pancapalaga (2008), tingginya kadar air pada serbuk kotoran sapi karena serbuk kotoran sapi memiliki jumlah pori-pori yang banyak dan masih mengandung komponen-komponen kimia seperti selulosa, lignin, dan hemiselulosa.

    Gambar 12. Histogram Kadar Air Akhir Briket

  • 6

    Nilai kadar air akhir pada setiap perlakuan masih dibawah nilai SNI yaitu kecil dari 8 %. Hal ini berarti bahwa nilai kadar air telah memenuhi SNI. Kandungan air yang tinggi pada briket akan menyulitkan penyalaan briket dan mengurangi temperatur pembakaran.

    Hasil analisis varian (anova) dengan selang kepercayaan 95 % terhadap kadar air akhir briket dapat dilihat pada Tabel 6.

    Tabel 6. Tabel Anova Kadar Air Akhir Briket

    SK Db JK KT F-Hitung F-Tabel Kesimpulan Perlakuan 2 5.6742 2.8371 20.31821 5.14 * G.Percobaan 6 0.8378 0.139633 Total 8 6.512

    Dari Tabel 6 dapat dilihat bahwa F-Hitung > F-Tabel, hal ini berarti berbeda

    nyata (*). Untuk menentukan perlakuan mana yang berbeda nyata dengan yang lain, maka perlu dilakukan uji lanjut BNT. Nilai BNT (0.05) adalah 0,747. Jika selisih-selisih setiap perlakuan > 0,747 berarti berbeda nyata, sedangkan < 0,747 berarti bahwa kedua perlakuan tidak berbeda nyata. Dari hasil uji BNT diperoleh bahwa perlakuan A dan B berbeda nyata, perlakuan A dan C berbeda nyata, dan perlakuan B dan C berbeda nyata. Jadi, komposisi bahan briket berpengaruh terhadap kadar air akhir briket.

    Kadar Abu

    Abu merupakan bagian yang tersisa dari hasil pembakaran, dalam hal ini abu yang dimaksud adalah abu sisa pembakaran briket. Salah satu penyusun abu adalah silika, pengaruhnya kurang baik terhadap nilai kalor briket arang yang dihasilkan. Nilai kadar abu briket pada setiap perlakuan komposisi dapat dilihat pada Gambar 13. Dari Gambar 13 terlihat bahwa nilai kadar abu terendah sebesar 7,10 % terdapat pada perlakuan perbandingan kotoran sapi : limbah pertanian = 1:3, sedangkan nilai tertinggi yaitu 11,75 % terlihat pada perlakuan komposisi kotoran sapi : limbah pertanian = 1:1. Nilai kadar abu yang tinggi pada perlakuan perbandingan kotoran sapi : limbah pertanian = 1:1 disebabkan karena serbuk kotoran sapi yang dijadikan bahan baku tidak mengalami proses karbonisasi seperti yang dilakukan pada bahan limbah pertanian. Kadar abu yang tinggi akan mempersulit proses penyalaan.

  • 7

    Gambar 13. Histogram Kadar Abu Briket

    Dari Gambar 13 terlihat pula bahwa semakin banyak penambahan limbah pertanian dalam komposisi, maka nilai kadar abu briket yang dihasilkan akan semakin rendah. Hal ini disebabkan karena bahan dari limbah pertanian telah mengalami proses karbonisasi sehingga kandungan yang terdapat dalam bahan banyak yang terbuang.

    Hasil analisis varian (anova) terhadap kadar abu dengan selang kepercayaan 95 % dapat dilihat pada Tabel 7.

    Tabel 7. Tabel Anova Kadar Abu Briket

    SK db JK KT F-Hitung F-Tabel Kesimpulan Perlakuan 2 32.645 16.3225 4.576915 5.14 NS G.Percobaan 6 21.3976 3.566267 Total 8 54.0426

    Dari Tabel 7 dapat dilihat bahwa F-Hitung < F-Tabel, berarti tidak berbeda

    nyata. Hal ini berarti uji anova yang didapatkan dari ketiga perlakuan menunjukkan bahwa komposisi tidak berpengaruh terhadap kadar abu briket.

    Kadar Karbon Kadar karbon terikat (fixed carbon) merupakan fraksi karbon (C) yang terikat di dalam briket selain fraksi abu, air, dan zat menguap. Kadar karbon akan bernilai tinggi apabila kadar abu dan kadar zat menguap briket rendah. Selain itu, nilai kadar air yang rendah akan meningkatkan nilai kadar karbon (Abidin, 1973 dalam Masturin, 2002).

    Berdasarkan hasil pengamatan dan perhitungan yang dilakukan, maka nilai kadar karbon dengan tiga perlakuan komposisi, didapatkan data seperti pada Gambar 14

    Dari Gambar 14 dapat dilihat bahwa nilai kadar karbon terendah yaitu 51,18 % terdapat pada perlakuan perbandingan kotoran sapi : limbah pertanian = 1:1 dan nilai kadar karbon tertinggi sebesar 53,88 % terdapat pada perlakuan perbandingan kotoran sapi : limbah pertanian = 1:3.

    Gambar 14. Histogram Kadar Karbon Briket

  • 8

    Dari Gambar 14 dapat disimpulkan bahwa penambahan bahan limbah pertanian akan meningkatkan kadar karbon. Hal ini sesuai dengan Pancapalaga (2008) yang menyatakan bahwa limbah pertanian merupakan biomassa yang mempunyai kadar selulosa cukup tinggi, kadar selulosa ini merupakan sumber unsur karbon dalam briket.

    Hasil analisis varian (anova) dengan selang kepercayaan 95 % terhadap kadar karbon dapat dilihat pada Tabel 8.

    Tabel 8. Tabel Anova Kadar Karbon Briket

    SK db JK KT F-Hitung

    F-Tabel Kesimpulan

    Perlakuan 2 10.97896 5.489478 4.5885 5.14 NS G.Percobaan 6 7.178133 1.196356 Total 8 18.15709

    Dari Tabel 8 dapat dilihat bahwa F-Hitung < F-Tabel, berarti tidak berbeda

    nyata. Hal ini berarti uji anova yang didapatkan dari ketiga perlakuan menunjukkan bahwa komposisi tidak berpengaruh terhadap kadar karbon briket.

    Nilai Kalor Nilai kalor sangat menentukan kualitas briket. Semakin tinggi nilai kalor, semakin baik kualitas briket yang dihasilkan. Nilai kalor yang didapatkan dari komposisi briket dengan 3 perlakuan dapat dilihat pada Gambar 15. Berdasarkan Gambar 15 dapat disimpulkan bahwa nilai kalor terendah terdapat pada perlakuan perbandingan kotoran sapi : limbah pertanian = 1:1 sebesar 4.172,44 kal/g dan nilai kalor tertinggi terdapat pada perlakuan perbandingan kotoran sapi : limbah pertanian = 1:3 sebesar 4.527,22 kal/g. Hal ini terjadi karena briket pada komposisi 1:1 memiliki kadar air dan kadar abu yang tinggi sehingga menghasilkan nilai kalori yang rendah, sedangkan briket pada perbandingan 1:3 mempunyai kadar air dan kadar abu yang rendah sehingga menghasilkan nilai kalori yang tinggi. Hal ini sesuai dengan pernyataan Nurhayati (1974) dalam Masturin (2002), nilai kalor dipengaruhi oleh kadar air dan kadar abu briket. Semakin tinggi kadar air dan kadar abu briket, maka dapat menurunkan nilai kalor pada briket yang dihasilkan.

    Gambar 15. Histogram Nilai Kalor Briket

  • 9

    Dari Gambar 15 dapat dilihat bahwa penambahan bahan limbah pertanian akan meningkatkan nilai kalor. Hal ini sesuai dengan Pancapalaga (2008) yang menyatakan bahwa limbah pertanian dapat menghasilkan energi kalor sekitar 6000 kal/g, sedangkan kotoran sapi menghasilkan kalor sekitar 4000 kal/g, jadi semakin banyak limbah pertanian dalam pencampuran pembuatan briket akan menghasilkan nilai kalor yang besar dengan lama nyala api yang cepat. Kerapatan Briket

    Kerapatan merupakan perbandingan antara berat dengan volume briket. Besar kecilnya kerapatan dipengaruhi oleh ukuran dan kehomogenan penyusun briket tersebut. Berdasarkan hasil pengamatan dan perhitungan yang dilakukan terhadap nilai kerapatan pada masing-masing perlakuan komposisi dapat dilihat pada Gambar 16.

    Ukuran partikel yang lebih kecil dapat memperluas bidang ikatan antar serbuk, sehingga dapat meningkatkan kerapatan briket (Masturin, 2002). Dari Tabel 20 terlihat bahwa nilai kerapatan terendah terlihat pada perlakuan perbandingan kotoran sapi : limbah pertanian = 1:1 sebesar 0,637 g/cm3, sedangkan kerapatan tertinggi terdapat pada perlakuan perbandingan kotoran sapi : limbah pertanian = 1:3 sebesar 0,705 g/cm3. Menurut Subroto (2006), kerapatan briket arang kayu yaitu besar dari 0,7 g/cm3. Hal ini berarti kerapatan pada perlakuan perbandingan 1:3 sesuai dengan standar briket arang kayu yaitu besar dari 0,7 g/cm3 sebesar 0,705 g/cm3.

    Gambar 16. Histogram Kerapatan Briket

    Pada Gambar 16 ditunjukkan bahwa penambahan tempurung kelapa (limbah

    pertanian) dengan ukuran lebih kecil (70 mesh) berarti memperluas ikatan antar partikel, sehingga dapat meningkatkan kerapatan briket karena ikatan antar serbuk lebih kompak dan kuat. Pada perbandingan 1:1 dengan ukuran serbuk kotoran sapi 50 mesh tidak mempunyai ikatan antar serat yang kuat karena ukuran serbuk yang besar. Hal ini menyebabkan nilai kerapatan menjadi rendah.

    Hasil analisis varian (anova) dengan selang kepercayaan 95 % terhadap kuat tekan briket dapat dilihat pada Tabel 9.

  • 10

    Tabel 9. Tabel Anova Kerapatan Briket

    SK Db JK KT F-Hitung F-Tabel Kesimpulan Perlakuan 2 0.006951 0.003476 15.80042 5.14 * G.Percobaan 6 0.00132 0.00022 Total 8 0.008271

    Dari Tabel 9 dapat dilihat bahwa F-Hitung > F-Tabel, hal ini berarti berbeda

    nyata (*). Untuk menentukan perlakuan mana yang berbeda nyata dengan yang lain, maka perlu dilakukan uji lanjut BNT. Nilai BNT (0.05) adalah 0,02963. Jika selisih-selisih setiap perlakuan > 0,02963 berarti berbeda nyata, sedangkan < 0,02963 berarti bahwa kedua perlakuan tidak berbeda nyata. Dari hasil uji BNT diperoleh bahwa perlakuan A berbeda nyata dengan perlakuan B, perlakuan A berbeda nyata dengan perlakuan C, dan perlakuan B berbeda nyata dengan perlakuan C. Jadi, komposisi bahan penyusun briket berpengaruh terhadap kerapatan briket.

    Kuat Tekan Briket

    Uji kuat tekan dilakukan dengan menggunakan force gauge untuk mengetahui kekuatan briket dalam menahan beban dengan tekanan tertentu. Tingkat kekuatan tersebut diketahui ketika briket tidak mampu menahan beban lagi. Hasil analisis perbandingan penggunaan kotoran sapi dan limbah pertanian (sekam, jerami, dan tempurung kelapa) terhadap kuat tekan dapat dilihat pada Gambar 17.

    Dari Gambar 17 terlihat bahwa kuat tekan terendah sebesar 15,42 N/cm terdapat pada perlakuan perbandingan kotoran sapi : limbah pertanian = 1:1 dan nilai kuat tekan tertinggi sebesar 25,52 N/cm terdapat pada perlakuan perbandingan kotoran sapi : limbah pertanian = 1:3. Menurut Triono (2006), semakin tinggi nilai kuat tekan briket, maka daya tahan briket semakin baik.

    Gambar 17. Histogram Kuat Tekan

    Pada Gambar 17 terlihat bahwa penambahan bahan limbah pertanian

    mempengaruhi nilai kuat tekan briket. Hal ini disebabkan karena penggunaan limbah pertanian sebagai campuran briket dengan jumlah yang banyak menyebabkan kerapatan partikel pada briket semakin tinggi, sehingga kuat tekan briket tersebut semakin tinggi.

  • 11

    Hasil analisis varian (anova) dengan selang kepercayaan 95 % terhadap kuat tekan briket dapat dilihat pada Tabel 10.

    Tabel 10. Tabel Anova Kuat Tekan Briket

    SK Db JK KT F-Hitung F-Tabel Kesimpulan Perlakuan 2 183.8162 91.9081 50.51561 5.14 * G.Percobaan 6 10.9164 1.8194 Total 8 194.7326

    Dari Tabel 10 dapat dilihat bahwa F-Hitung > F-Tabel, hal ini berarti berbeda

    nyata (*). Untuk menentukan perlakuan mana yang berbeda nyata dengan yang lain, maka perlu dilakukan uji lanjut BNT. Nilai BNT (0.05) adalah 2,695. Hasil uji BNT didapatkan bahwa perlakuan A berbeda nyata dengan perlakuan B, perlakuan A berbeda nyata dengan perlakuan C, dan perlakuan B tidak berbeda nyata dengan perlakuan C.

    Mutu Briket Berdasarkan SNI

    Berdasarkan pengujian mutu yang telah dilakukan yaitu perbandingan komposisi bahan penyusun briket dari limbah pertanian dan kotoran sapi, maka didapatkan nilai karakteristik dari tiap-tiap komposisi briket dan dibandingkan dengan SNI yang ditunjukkan pada Tabel 11.

    Tabel 11. Perbandingan Mutu Briket Berdasakan SNI

    Parameter SNI no.1 /6235/200

    0

    Komposisi Kesimpulan A (1:1) B (1:2) C (1:3)

    Kadar Air (%) 8 7,49 6,40 5,55 Komposisi A, B, C sesuai dengan SNI

    Kadar Abu (%) 8 11,75 9,75 7,10 Komposisi C sesuai dengan SNI

    Kadar Karbon (%)

    77 51,18 52,34 53,88 Tidak ada komposisi yang sesuai dengan SNI

    Niai Kalor (kal/g) 5000 4.172,44

    4.468,99

    4.527,22

    Tidak ada komposisi yang sesuai dengan SNI

    Sumber: Badan Penelitian dan Pengembangan Kehutanan (1994) dalam Triono (2006) Dari Tabel 11 dapat dilihat bahwa jika dibandingkan dengan briket SNI maka beberapa sifat kimia briket ini masih termasuk dalam standar tersebut, seperti kadar air pada komposisi A, B, dan C serta kadar abu yang terdapat pada perlakuan C. Beberapa sifat seperti kadar karbon dan nilai kalor tidak sesuai dengan SNI. Dari ketiga perlakuan komposisi, maka perlakuan C yang sifat karakteristiknya mendekati dengan nilai parameter pada SNI.

  • 12

    Hubungan Komposisi Bahan Baku terhadap Laju Pembakaran Briket Nyala Api

    Uji nyala api dilakukan untuk mengetahui berapa lama waktu briket habis sampai menjadi abu. Pengamatan menggunakan briket sebanyak 100 g. Berdasarkan hasil pengamatan yang dilakukan terhadap nyala api dapat dilihat pada Gambar 18. Dari Gambar 18 dapat dilihat bahwa nyala api yang lama terdapat pada perlakuan perbandingan kotoran sapi : limbah pertanian = 1:1 sebesar 63,00 menit dan nyala api yang cepat terdapat pada perlakuan perbandingan kotoran sapi : limbah pertanian = 1:3 sebesar 58,53 menit.

    Gambar 18. Histogram Nyala Api Briket

    Dari Gambar 18 dapat disimpulkan bahwa pada briket kotoran sapi dengan

    limbah pertanian menunjukkan, semakin banyak limbah pertanian dalam pencampuran pembuatan briket akan menghasilkan nyala api yang cepat dan nilai kalor akan tinggi (Pancapalaga, 2008).

    Laju Pembakaran Laju pembakaran briket adalah kecepatan briket habis sampai menjadi abu dengan berat 100 g. Laju pembakaran briket dipengaruhi oleh faktor nilai kalor dan kadar air. Hasil analisis laju pembakaran dari penggunaan kotoran sapi dan limbah pertanian (sekam, jerami, dan tempurung kelapa) dapat dilihat pada Gambar 19.

    Dari Gambar 19 didapatkan bahwa laju pembakaran pada briket perlakuan perbandingan = 1:1 yaitu sebesar 1,58 g/menit, laju pembakaran pada briket perlakuan perbandingan = 1:2 yaitu sebesar 1,69 g/menit, dan laju pembakaran tertinggi terdapat pada perlakuan perbandingan = 1:3 sebesar 1,70 g/menit.

  • 13

    Gambar 19. Histogram Laju Pembakaran Briket

    Pada Gambar 19 terlihat bahwa nilai laju pembakaran tertinggi terdapat pada

    perlakuan perbandingan = 1:3, hal ini karena nilai kalor pada perlakuan ini tinggi. Nilai kalor yang tinggi dengan kadar air yang rendah pada briket akan menghasilkan laju pembakaran semakin tinggi.

    Efisiensi

    Efisiensi merupakan perbandingan antara jumlah total energi untuk memanaskan air (kal) dengan nilai kalor dari berat briket yang digunakan (kal). Efisiensi briket dipengaruhi oleh jumlah energi, nilai kalor dan temperatur.

    Berdasarkan pengamatan yang dilakukan pada setiap komposisi bahwa dengan menggunakan briket 100 g mampu mendidihkan air sebanyak 2 liter. Nilai efisiensi briket pada masing-masing perlakuan dapat dilihat pada Gambar 20.

    Pada Gambar 20 terlihat bahwa nilai efisiensi terendah yaitu 24,44 % terdapat pada perlakuan perbandingan kotoran sapi dengan limbah pertanian adalah 1:1, sedangkan nilai efisiensi tertinggi sebesar 25,18 % terdapat pada perlakuan perbandingan kotoran sapi : limbah pertanian = 1:3.

    Gambar 20. Histogram Efisiensi Briket

    Dari Gambar 20 ditunjukkan bahwa briket yang dibuat dengan bahan baku

    limbah pertanian yang banyak dan kotoran sapi sedikit menyebabkan efisiensi

  • 14

    menjadi tinggi. Hal ini karena limbah pertanian mempunyai nilai kalor yang tinggi dibanding dengan nilai kalor yang terdapat pada kotoran sapi.

    KESIMPULAN

    Dari hasil penelitian yang dilakukan dapat disimpulkan bahwa : 1. Hasil karakteristik dari tiap-tiap perlakuan komposisi briket menunjukkan bahwa

    dengan meningkatnya proporsi penggunaan limbah pertanian sebagai bahan baku briket mampu meningkatkan kadar karbon, nilai kalor, kerapatan, dan kuat tekan, serta mampu menurunkan kadar air dan kadar abu.

    2. Briket terbaik dari ketiga perlakuan terdapat pada perlakuan perbandingan kotoran sapi : limbah pertanian = 1:3. Hal ini karena briket pada perbandingan 1:3 mempunyai sifat karakteristik yang mendekati dengan nilai pada SNI, selain itu menghasilkan kadar karbon, nilai kalor, kerapatan, dan kuat tekan tertinggi dengan nilai kadar air dan kadar abu terendah dibanding dengan komposisi briket pada perlakuan perbandingan kotoran sapi dan limbah pertanian sebesar 1:1 dan 1:2.

    3. Dengan meningkatnya proporsi penggunaan limbah pertanian sebagai campuran briket akan menghasilkan nilai kalor yang tinggi. Semakin tinggi nilai kalor briket, maka laju pembakaran briket yang dihasilkan juga semakin tinggi.

    DAFTAR PUSTAKA Anonim. 2004. Sisa Cadangan Minyak Indonesia 15 Tahun. Indomigas.com [19 April

    2010] Capah, A. G. 2007. Pengaruh Kosentrasi Perekat dan Ukuran Serbuk terhadap

    Kualitas Briket Arang dari Limbah Pembalakan Kayu Mangium (Acacia mangium Willd). [Skripsi]. Departemen Kehutanan. Fakultas Pertanian. Universitas Sumatera Utara. Medan.

    Himawanto, D.A. 2003. Pengolahan Limbah Pertanian menjadi Biobriket Sebagai

    Salah Satu Bahan Bakar Alternatif. Laporan Penelitian. UNS. Surakarta. Masturin, A. 2002. Sifat Fisik dan Kimia Briket Arang dari Campuran Arang Limbah

    Gergajian Kayu. [Skripsi]. Fakultas Kehutanan. Institut Pertanian Bogor. Bogor

    Pancapalaga, Wehandako. 2008. Evaluasi Kotoran Sapi dan Limbah Pertanian

    (Kosap Plus) Sebagai Bahan Bakar Alternatif. http://esearch-report.umm.ac.id/index.php/researc-report/article/viewile/43/44 umm research report fulltext.pdf. [23 Januari 2010].

    Prananta, J. 2007. Pemanfaatan Sabut dan Tempurung Kelapa serta Cangkang Sawit untuk Pembuatan Asap Cair Sebagai Pengawet Makanan Alami. Teknik Kimia Universitas Malikussaleh Lhokseumawe. Aceh.

  • 15

    Subroto. 2006. Karakteristik Pembakaran Briket Campuran Arang Kayu dan Jerami.

    [Skripsi]. Fakultas Teknik. Universitas Muhammadiyah Surakarta. Surakarta.

    Triono, A. 2006. Karakteristik Briket Arang dari Campuran Serbuk Gergajian Kayu

    Afrika (Maesopsis eminii Engl.) dan Sengon (Parasenrianthes falcataria L. Nielsen) dengan Penambahan Tempurung Kelapa (Cocos mucifera L.). [Skripsi]. Departemen Hasil Hutan. Fakultas Pertanian. Institut Pertanian Bogor. Bogor.

    Wijayanti, Diad Sundari. 2009. Karakteristik Briket Arang dari Serbuk Gergaji dengan

    Penambahan Arang Cangkang Kelapa Sawit. [Skripsi]. Departemen Kehutanan. Fakultas Pertanian. Universitas Sumatera Utara. Medan.

    Yusuf, Andi Ardan. 2010. Kegunaan Briket Batubara. [Skripsi]. Fakultas Teknologi

    Industri. Universitas Muslim Indonesia. Jakarta.