Upload
turtletock
View
33
Download
0
Embed Size (px)
Citation preview
BAB I
PENDAHULUAN
A. Skenario
Cegah Tuberkulosis Paru ...
Kecamatan Tunggul Dalam memiliki kondisi geografis terdiri atas rawa dan
semak belukar. Kondisi lingkungan dan sanitasi di kecamatan ini tergolong kurang
baik. Berdasarkan data kecamatan, jumlah penduduk Kecamatan Tunggul Dalam
sebesar 25.000 jiwa. Rata-rata mata pencaharian penduduk buruh tani dan
nelayan serta sebagian besar pendidikan masyarakat adalah SD dengan kondisi
lingkungan dan perumahan yang tidak memenuhi syarat kesehatan. Hasil survei
kesehatan menunjukan peningkatan angka kejadian Tuberkulosis Paru yaitu tahun
2009 terdiri dari 67 kasus 5 orang diantaranya meninggal dan tahun 2010 terdiri
dari 95 kasus 9 orang diantaranya meninggal akibat penyakit tersebut. Hampir
semua kasus terjadi pada usia produktif. Menurut keterangan salah seorang warga
diketahui bahwa mereka sering keluar malam dan tanpa menggunakan pakaian
tebal panjang, acuh terhadap kebersihan lingkungan serta ketika bekerja tidak
menggunakan alas karena dianggap mengganggu.
B. Analisis Kasus
1. Langkah 1. Klarifikasi / Identifikasi Istilah (Clarify Term)
a. Identifikasi Istilah :
1) TB Paru
2) Usia Produktif
3) Kondisi Geografis
4) Sanitasi
b. Klarifikasi Istilah :
1) TB Paru adalah penyakit menular oleh mycobacterium tuberculosis
yang berbentuk basil (Basil Tahan Asam) dan menyerang parenkim
paru.
2
2) Usia produktif adalah usia seseorang yang bisa melakukan pekerjaan
dan akan sering berhubungsn langsung dengan orang-orang lain. Ini
berkisar pada usia 15-50 tahun.
3) Kondisi geografis adalah kondisi daerah dari segi dataran baik tinggi
ataupun rendah, selain itu juga dari lahan kering ataupun basah.
4) Sanitasi adalah upaya kesehatan masyarakat untuk mengelola
lingkungan sehingga tidak membahayakan kesehatan masyarakat
sekitar.
2. Langkah 2. Membuat Daftar Masalah (Define the Problem)
a. Bagaimana hubungan kondisi geografis pada suatu daerah dengan kejadian
penularan penyakit TB Paru?
b. Mengapa dalam skenario dikatakan bahwa “Hampir semua kasus terjadi
pada usia produktif.”? Dan bagaimana hubungan usia produktif dengan
kasus TB Paru?
c. Mengapa TB Paru tidak menyerang pleura?
d. Apakah faktor yang menyebabkan peningkatan kasus TB Paru di tahun
2009-2010 pada skenario?
e. Bagaimana gejala yang ditimbulkan jika seseorang menderita TB Paru?
f. Bagaimana hubungan pengetahuan seseorang dengan kejadian penularan
penyakit TB Paru?
g. Apakah ada hubungan antara penggunaan pakaian tebal dan alas kaki
dengan penularan TB Paru? Jelaskan!
h. Bagaimana cara penularan TB yang biasanya terjadi?
i. Berdasarkan skenario, apakah angka kasus dari 2009 ke 2010 dapat
dikategorikan kejadian luar biasa (KLB)?
j. Apakah anak-anak dapat terkena TB Paru? Pada umur berapa biasanya
terjadi TB Paru?
k. Apa indikator/syarat rumah sehat?
l. Bagaimana proses penanggulangan TB Paru?
m. Bagaimana hubungan pekerjaan seseorang dengan kasus penyakit TB
Paru?
3
3. Langkah 3. Menganalisis Masalah (Analyze the Problems)
a. Bakteri Mycobacterium tuberculosis yang menjadi penyebab penularan TB
Paru memiliki tempat habitat optimal didaerah-daerah lembab dan dataran-
dataran rendah.
b. Karena usia produktif adalah usia dimana seseorang bekerja dan sangat
rentan untuk berkontak dengan penularan TB Paru.
c. Karena penularan TB Paru memang tidak melalui pleura melainkan
melalui saluran pernafasan, dalam hal ini lewat bronkus, bronkiolus, dan
alveolus.
d. Kondisi lingkungan yang buruk dan perilaku keluar malam yang tidak
menggunakan pakaian tebal panjang dan alas kaki. sering keluar malam
dan tanpa menggunakan pakaian tebal panjang, acuh terhadap kebersihan
lingkungan serta ketika bekerja tidak menggunakan alas.
e. Gejala TB Paru :
- Batuk berdahak > 2 minggu
- Batuk berdarah
- Nyeri dada
- Sesak nafas
- Penurunan nafsu makan dan berat badan
- Demam subfebril sekitar 40 - 41 oC
- Malaise (Perasaan yang tidak enak)
f. Semakin rendah pengetahuan seseorang maka semakin tinggi risiko
penularan TB Paru. Hal ini dikarenakan ketidaktahuan cara penularan,
gejala akibat penyekit tersebut, dan lain sebagainya sehingga
menyebabkan mudahnya seseorang tersebut untuk terkena TB Paru
g. Tidak ada hubungan antara penggunaan pakaian tebal dan alas kaki dengan
penularan TB Paru, melainkan hal ini merupakan faktor pendukung
meningkatnya kasus TB Paru.
h. Cara penularan TB Paru :
Ketika seseorang positif memiliki Bahan Tahan Asam (BTA) yang aktif
didalam tubuhnya melakukan aktivitas seperti berbicara, batuk, dan bersin
4
maka mycobacterium tuberculosis yang ada di orang tersebut akan keluar
dari tubuh dan terdapat di udara lingkungan sekitar. Jika udara tersebut
dihirup (bernafas) oleh orang lain yang sehat sehingga mycobacterium
tuberculosis akan masuk ke tubuh orang sehat tersebut. Maka terjadilah
proses penularan TB Paru dari satu orang ke orang lain.
i. Kasus pada skenario masih belum bisa dikatakan sebagai KLB karena
salah satu syarat KLB adalah terjadinya peningkatan kasus 2 kali lipat.
j. Anak-anak dapat terkena TB Paru karena rendahnya daya imunitas dan
PSP (Pengetahuan, sikap, dan perilaku) baik dari orang tua atau anak itu
sendiri. Selain itu, kedekatan ibu yang menderita TB Paru dengan anaknya
dapat dijadikan faktor risiko penularan TB. Tidak ada kategori umur
secara khusus pada penyakit TB Paru.
k. Indikator rumah sehat :
- Tidak kumuh (lingkungan yang bersih)
- Kepadatan penduduk yang sesuai dengan kondisi rumah
- Ventilasi
- Pencahayaan
l. Proses penanggulangan TB Paru
- Pengobatan rutin pada pasien TB.
- Menjaga perilaku penderita dalam interaksinya dengan orang lain.
- Menerapkan indikator rumah sehat (ventilasi dan pencahayaan yang
cukup).
- Menjaga dan memodifikasi agar sanitasi lingkungan tetap bersih.
5
4. Langkah 4. Pohon Masalah (Problem Tree)
Gambar 1. Problem Tree “Cegah Tuberkulosis Paru ... ”
5. Langkah 5. Menetapkan Sasaran Belajar (Formulate Learning
Objective)
a. Aspek Epidemiologi
a) Menjelaskan batasan TB Paru.
b) Menjelaskan surveilans TB Paru
c) Menjelaskan karakteristik agent TB Paru.
b. Aspek Promosi Kesehatan
TB PARU
Faktor Lingkungan
- Sanitasi
- Kelembaban
- Suhu
- Pencahayaan
Faktor Penduduk
- Pengetahuan
- Pekerjaan
- Sikap
- Perilaku
- Jenis Kelamin
- Usia
1. PENINGKATAN KASUS
- Kesakitan
- Kecacatan
- Kematian
2. PENURUNAN PRODUKTIVITAS
6
a) Menjelaskan strategi penanggulangan berdasarkan faktor risiko
penduduk
b) Menjelaskan PHBS untuk pencegahan TB Paru
c) Menjelaskan sistem KIE untuk pencegahan TB Paru
c. Aspek Kesehatan Lingkungan
a) Menjelaskan faktor lingkungan pada kasus TB Paru
b) Menjelaskan strategi pengelolaan lingkungan berdasarkan faktor
risiko lingkungan
d. Aspek Administrasi Kebijakan Kesehatan
a) Mempelajari program atau kebijakan pemerintah tentang
penanggulangan dan pencegahan TB Paru.
b) Mempelajari program dan inovasi masyarakat tentang
penanggulangan dan pencegahan TB Paru.
c) Menjelaskan monitoring dan evaluasi terhadap program TB Paru.
7
BAB II
PEMBAHASAN
A. Tinjauan Kasus
1. ASPEK EPIDEMIOLOGI
a. Batasan TB PARU
1) Definisi
Tuberkulosis yang dulu disingkat TBC karena berasal dari kata
tuberculosis adalah suatu penyakit infeksi yang dapat mengenai paru- paru
manusia. Seperti juga dengan penyakit infeksi lainnya, tuberkulosis saat ini
lebih lazim disingkat dengan TB saja disebabkan oleh kuman, atau basil
tuberukulosis yang dalam istilah kedokteran diberi nama dalam bahasa Latin
yaitu Mycobacterium tuberculosis. Bakteri ini merupakan bakteri basil
yang sangat kuat sehingga memerlukan waktu lama untuk
mengobatinya. Bakteri ini lebih sering menginfeksi organ paru-paru
dibandingkan bagian lain tubuh manusia. Mikro bakteria ini juga
merupakan bakteri aerob, berbentuk batang, yang tidak membentuk
spora. Walaupun tidak mudah diwarnai, jika telah diwarnai bakteri ini
tahan terhadap peluntur warna (dekolarisasi) asam atau alkohol, oleh
karena itu dinamakan bakteri tahan asam atau basil tahan asam. Jadi,
tuberkulosis disebabkan oleh kuman, dan karena itu tuberkulosis bukanlah
penyakit turunan (1,3,4).
2) Gejala dan Diagnosis
Gejala
Gambaran klinis penderita tuberkulosis paru dibagi menjadi dua
golongan, yaitu gejala respiratorik dan gejala sistemik (2,5).
1. Gejala respiratorik, meliputi (2,5):
a. Batuk >3 minggu atau batuk darah
1) Pada awal terjadinya penyakit, kuman akan berkembang biak
di jaringan paru; batuk baru akan terjadi bila bronkus telah
terlibat. Batuk merupakan akibat dari terangsangnya bronkus,
yang bersifat iritatif. Kemudian akibat terjadinya peradangan,
batuk berubah menjadi produktif karena diperlukan untuk
8
membuang produk-produk ekskresi dari peradangan. Sputum
dapat bersifat mukoid atau purulen.
2) Batuk darah terjadi akibat pecahnya pembuluh darah,
berat atau ringannya batuk darah tergantung dari besarnya
pembuluh darah yang pecah. Gejala batuk darah tidak selalu
terjadi pada setiap penderita tuberkulosis paru, kadang-kadang
merupakan suatu tanda perluasan proses tuberkulosis paru.
Batuk darah tidak selalu ada sangkut-paut dengan terdapatnya
kavitas pada paru.
b. Sesak napas
Pada penyakit yang ringan belum dirasakan sesak napas. Sesak
napas akan ditemukan pada penyakit yang sudah lanjut, yang
infiltrasinya sudah meliputi setengah bagian paru, TB paru
dengan efusi pleura yang massif atau TB paru dengan penyakit
kardiopulmoner yang mendasarinya.
c. Nyeri dada
Nyeri dada bersifat tumpul, adanya nyeri menggambarkan
keterlibatan pleura yang kaya akan persyarafan. Kadang-kadang
hanya berupa nyeri menetap yang ringan. Dapat juga disebabkan
regangan otot karena batuk.
2. Gejala sistemik, meliputi (2,5):
a. Demam
Biasanya subfebris menyerupai demam influenza. Tetapi
kadang-kadang panas badan dapat mencapai 40-410C. Serangan
demam pertama dapat sembuh sebentar, tetapi kemudian dapat
timbul kembali. Begitulah seterusnya hilang timbulnya demam
influenza ini, sehingga pasien merasa tidak pernah terbebas dari
serangan demam. Keadaan ini sangat dipengaruhi oleh daya
tahan tubuh pasien dan berat ringannya infeksi kuman
tuberkulosis yang masuk.
b. Keringat di malam hari
Penderita TB paru berkeringat pada waktu malam hari tanpa
disertai aktifitas.
c. Anoreksia dan penurunan berat badan
Penyakit tuberkulosis paru bersifat radang menahun. Gejala
malaise sering ditemukan berupa anoreksia tidak ada nafsu
9
makan, sehingga membuat badan penderita makin kurus
(penurunan berat badan).
Beberapa gejala khusus akan diderita tergantung dari organ tubuh
mana yang terinfeksi, seperti (4) :
a. Bila terjadi sumbatan sebagian bronkus (saluran yang menuju ke
paru-paru) akibat penekanan kelenjar getah bening yang
membesar, akan menimbulkan suara "mengi", suara nafas
melemah yang disertai sesak.
b. Kalau ada cairan dirongga pleura (pembungkus paru-paru), dapat
disertai dengan keluhan sakit dada.
c. Bila mengenai tulang, maka akan terjadi gejala seperti infeksi
tulang yang pada suatu saat dapat membentuk saluran dan
bermuara pada kulit di atasnya, pada muara ini akan keluar cairan
nanah.
d. Pada anak-anak dapat mengenai otak (lapisan pembungkus otak)
dan disebut sebagai meningitis (radang selaput otak), gejalanya
adalah demam tinggi, adanya penurunan kesadaran dan kejang-
kejang.
Seseorang yang tertular dengan kuman TB belum tentu
menjadi sakit TB. Kuman TB dapat menjadi tidak aktif (dormant)
selama bertahun-tahun dengan membentuk suatu dinding sel
berupa lapisan lilin yang tebal. Bila sistem kekebalan tubuh
seseorang menurun, kemungkinan menjadi sakit TB menjadi lebih
besar (9).
3. Gejala pada anak (15):
a. Berat badan turun selama 3 bulan berturut-turut tanpa sebab
yang jelas dan tidak naik dalam 1 bulan meskipun sudah
dengan penanganan gizi yang baik.
b. Demam lama atau berulang tanpa sebab yang jelas (bukan
tifus, malaria atau infeksi saluran nafas akut) dapat disertai
dengan keringat malam.
10
c. Pembesaran kelenjar limfe superfisialis yang tidak sakit,
paling sering di daerah leher, ketiak dan lipatan paha.
d. Gejala dari saluran nafas, misalnya batuk lebih dari 30 hari
(setelah disingkirkan sebab lain dari batuk), tanda cairan di
dada dan nyeri dada.
e. Gejala dari saluran cerna, misalnya diare berulang yang tidak
sembuh dengan pengobatan diare, benjolan (massa) di
abdomen, dan tanda-tanda cairan dalam abdomen.
Diagnosis
Pemeriksaan dahak berfungsi untuk menegakkan diagnosis,
menilai keberhasilan pengobatan dan menentukan potensi penularan.
Pemeriksaan dahak untuk penegakan diagnosis pada semua suspek TB
dilakukan dengan mengumpulkan 3 spesimen dahak yang dikumpulkan
dalam dua hari kunjungan yang berurutan berupa dahak Sewaktu-Pagi-
Sewaktu (SPS) (1):
• S (sewaktu):
Dahak dikumpulkan pada saat suspek TB datang berkunjung
pertama kali. Pada saat pulang, suspek membawa sebuah pot
dahak untuk mengumpulkan dahak pagi pada hari kedua.
• P (Pagi):
Dahak dikumpulkan di rumah pada pagi hari kedua, segera
setelah bangun tidur. Pot dibawa dan diserahkan sendiri kepada
petugas di UPK.
• S (sewaktu):
Dahak dikumpulkan di UPK pada hari kedua, saat menyerahkan
dahak pagi.
Diagnosis TB Paru pada orang remaja dan dewasa ditegakkan
dengan ditemukannya kuman TB (BTA). Pada program TB nasional,
penemuan BTA melalui pemeriksaan dahak mikroskopis merupakan
diagnosis utama (1).
3) Cara penularan
11
Cara penularan tuberkulosis paru yaitu melalui percikan dahak
(droplet) yang bersumber dari penderita tuberkulosis paru BTA(+),
pada waktu penderita tuberkulosis paru batuk atau bersin. Droplet yang
mengandung kuman TB dapat bertahan di udara pada suhu kamar
selama beberapa jam, sekali batuk dapat menghasilkan sekitar 3000
percikan dahak (10).
Umumnya penularan terjadi dalam ruangan dimana percikan
dahak berada dalam waktu yang lama. Ventilasi dapat mengurangi
jumlah percikan, sementara sinar matahari langsung dapat membunuh
kuman, percikan dapat bertahan selama beberapa jam dalam keadaan
yang gelap dan lembab. Orang dapat terinfeksi kalau droplet tersebut
terhirup ke dalam saluran pernafasan. Setelah kuman TB masuk ke
dalam tubuh manusia melalui pernafasan, kuman TB tersebut dapat
menyebar dari paru ke bagian tubuh lainnya melalui sistem peredaran
darah, sistem saluran limfe, saluran nafas atau penyebaran langsung ke
bagian tubuh lainnya (10).
Daya penularan dari seorang penderita ditentukan oleh
banyaknya kuman yang dikeluarkan dari parunya. Makin tinggi derajat
positif hasil pemeriksaan dahaknya maka makin menular penderita
tersebut. Bila hasil pemeriksaan dahaknya negatif maka penderita
tersebut dianggap tidak menular (10).
Menurut sumber lain mengatakan cara penularan TB oleh
Mycobacterium tuberculosis adalah sebagai berikut (16) :
1. Inhalasi : penularan terjadi karena adanya aerosol yang
dikeluarkan melalui batuk oleh penderita atau material tinja kering
yang terhirup oleh manusia dan hewan. Jika terhirup dalam bentuk
debu kering, bakteri tuberkel dapat lewat secara langsung ke dalam
rongga udara paru-paru atau masuk ke selaput lendir trachea dan
sampai di alveolus. Di dalam paru-paru mikroorganisme ini
ditangkap oleh makrofag dan dibawa ke nodus limfatikus, tempat
dimana mikroorganisme memulai penyebarannya.
12
2. Ingesti : manusia dan hewan dapat tertular penyakit TBC dari air
susu yang terinfeksi, pakan atau air yang terkontaminasi oleh
discharge, urin atau feses yang terinfeksi. Kontak dengan manusia
atau hewan yang terinfeksi juga dapat memberikan penularan yang
timbal balik. Organisme mikobakteria akan menembus mukosa
tenggorokan sehingga akan tampak perlukaan pada daerah
tenggorokan atau limfoglandula submaxillary, atau dapat
menjangkau mukosa usus dan melewati vena mesenterika. Pada
kasus yang lebih luas, organisme menembus mukosa tanpa
memproduksi luka makroskopik pada titik masuk.
3. Kontak langsung : Penularan TBC dapat juga terjadi melalui
gigitan hewan yang sakit terhadap hewan yang sehat. Kuman yang
terdapat pada air liur masuk ke dalam tubuh hewan yang tergigit
melalui jaringan.
4. Peralatan yang terkontaminasi : peralatan yang terkontaminasi juga
dapat menularkan penyakit TBC seperti jarum, thermometer rektal,
jaring yang terkontaminasi, peralatan makan, masker pembius,
serta alat-alat lainnya.
5. Infeksi silang : Tuberkulosis dapat ditularkan dari manusia atau
sapi kepada kelinci dengan rangkaian tanpa akhir. Setelah
mikroorganisme berada dalam tubuh sesuai dengan cara masuknya
dan bakteri tersebut akan disebarkan keseluruh tubuh.
Terdapat empat macam jalur penyebaran TBC di dalam tubuh
yang terdiri dari: penyebaran secara langsung, melalui sistem
kardiovaskular dan aliran darah, melalui sistem limfatik, dan melalui
bronkus dan saluran gastrointestinal. Setelah mikrobakteria
menempatkan diri dalam jaringan, mereka tinggal secara intrasellular
dalam monosit, sel retikuloendotelial, dan sel raksasa (16).
4) Faktor Risiko penyakit TB PARU :
Faktor Risiko Penduduk
13
Faktor- faktor yang dapat mempengaruhi seseorang sehingga terpapar
penyakit TBC antara lain adalah (2, 6) :
1. Faktor Sosial Ekonomi
Faktor sosial ekonomi erat dengan keadaan rumah, kepadatan hunian,
lingkungan perumahan, lingkungan dan sanitasi tempat bekerja yang
buruk dapat memudahkan penularan TBC. Pendapatan keluarga sangat
erat juga dengan penularan TBC, karena pendapatan yang kecil membuat
orang tidak dapat hidup layak dengan memenuhi syarat- syarat kesehatan.
2. Status Gizi
Keadaan malnutrisi atau kekurangan kalori, protein, vitamin, zat besi dan
lain- lain akan mempengaruhi daya than tubuh seseorang sehingga rentan
terhadap penyakit termasuk TB paru. Keadaan ini merupakan faktor
penting yang berpengaruh dinegara miskin, baik pada orang dewasa
maupun pada anak- nak.
3. Umur
Penyakit TB paru paling sering ditemukan pada usia muda atau usia
produktif (15- 50) tahun. Dewasa ini dengan terjadinya tarnsisi demografi
menyebabkan usia harapan hidup lansia menjadi lebih tinggi. Pada usia
lanjut lebih dari 55 tahun sistem imunologis seseorang menurun,
sehingga sangat rentan terhadap berbagai penyakit, termasuk penyakit TB
paru.
4. Jenis Kelamin
Penyakit TB paru cenderung lebih tinggi pada jenis kelamin laki- laki
dibanding perempuan. Menurut WHO, sedikitnya dalam periode setahun
ada sekitar 1 juta perempuan yang meninggal akibat TB paru, dapat
disimpulkan bahwa perempuan lebih banyak terjadi kematian yang
disebabkan oleh TB paru dibandingkan dengan akibat proses kehamilan
dan persalinan. Pada jenis kelamin laki- laki penyakit ini lebih tinggi
karena merokok tembakau dan minum alkohol sehingga dapat
menurunkan sistem pertahanan tubuh, sehingga lebih mudah dipaparkan
dengan agen penyebab TB paru.
5. Vaksinasi BCG
Probabilitas untuk seorang terkena TB paru bila telah divaksinasi BCG
(dilihat dengan skar pada m. deltoideus) akan lebih minimal.
14
6. Riwayat kontak dengan penderita TB paru
Adanya kontak dengan penderita TB paru lainnya merupakan faktor
risiko. Apabila kontak dengan penderita TB paru didapat dari orang-
orang di lingkungan sekitar, probabilitas TB paru lebih besar.
7. Ketaatan pasien pada masa terapi OAT
Ketaatan penderitaan mengkonsumsi OAT menentukan angka
kesembuhan. Di lapangan, kasus yang sering terjadi adalah pasien
menjalani terapi OAT selama dua bulan, merasa sembuh, dan berhenti
menjalani terapi OAT. Pada penemuan kasus, pada anamnesis
ditanyakan, apakah penderita pernah makan obat selama enam bulan atau
pernah makan obat yang pernah membuat kencing berwarna merah.
8. Tingkat Pendidikan
Tingkat pendidikan seseorang akan mempengaruhi terhadap
pengetahuan seseorang diantaranya mengenai rumah yang
memenuhi syarat kesehatan dan pengetahuan penyakit TB paru,
sehingga dengan pengetahuan yang cukup maka seseorang akan
mencoba untuk mempunyai perilaku hidup bersih dan sehat. Selain
itu tingkat pendidikan seseorang akan mempengaruhi terhadap
jenis pekerjaannya.
9. Pekerjaan
Jenis pekerjaan menentukan faktor risiko apa yang harus dihadapi
setiap individu. Bila pekerja bekerja di lingkungan yang berdebu
paparan partikel debu di daerah terpapar akan mempengaruhi
terjadinya gangguan pada saluran pernafasan. Paparan kronis udara
yang tercemar dapat meningkatkan morbiditas, terutama terjadinya
gejala penyakit saluran pernafasan dan umumnya TB paru.
Jenis pekerjaan seseorang juga mempengaruhi terhadap
pendapatan keluarga yang akan mempunyai dampak terhadap pola
hidup sehari-hari diantaranya konsumsi makanan, pemeliharaan
kesehatan selain itu juga akan mempengaruhi terhadap kepemilikan
rumah (konstruksi rumah). Kepala keluarga yang mempunyai
pendapatan dibawah UMR akan mengkonsumsi makanan dengan
15
kadar gizi yang tidak sesuai dengan kebutuhan bagi setiap anggota
keluarga sehingga mempunyai status gizi yang kurang dan akan
memudahkan untuk terkena penyakit infeksi diantaranya TB paru.
Dalam hal jenis konstruksi rumah dengan mempunyai pendapatan
yang kurang maka konstruksi rumah yang dimiliki tidak memenuhi
syarat kesehatan sehingga akan mempermudah terjadinya
penularan penyakit TB paru.
Faktor Risiko Lingkungan
1. Kepadatan hunian kamar tidur (10)
Kepadatan penghuni adalah perbandingan antara luas lantai
rumah dengan jumlah anggota keluarga dalam satu rumah tinggal.
Persyaratan kepadatan hunian untuk seluruh perumahan biasa
dinyatakan dalam m² per orang. Luas minimum per orang sangat
relatif, tergantung dari kualitas bangunan dan fasilitas yang
tersedia. Untuk perumahan sederhana, minimum 9 m²/orang. Untuk
kamar tidur diperlukan minimum 3 m² per orang. Kamar tidur
sebaiknya tidak dihuni > 2 orang, kecuali untuk suami istri dan
anak dibawah dua tahun. Apabila ada anggota keluarga yang
menjadi penderita penyakit tuberkulosis sebaiknya tidak tidur
dengan anggota keluarga lainnya. Secara umum penilaian
kepadatan penghuni dengan menggunakan ketentuan standar
minimum, yaitu kepadatan penghuni yang memenuhi syarat
kesehatan diperoleh dari hasil bagi antara luas lantai dengan jumlah
penghuni ≥ 9 m² per orang dan kepadatan penghuni tidak
memenuhi syarat kesehatan bila diperoleh hasil bagi antara luas
lantai dengan jumlah penghuni < 9 m² per orang. Untuk menjamin
volume udara yang cukup, di syaratkan juga langit-langit minimum
tingginya 2,75 m (7).
Kepadatan penghuni dalam satu rumah tinggal akan
memberikan pengaruh bagi penghuninya. Luas rumah yang tidak
sebanding dengan jumlah penghuninya akan menyebabkan
16
berjubelan (overcrowded). Hal ini tidak sehat karena disamping
menyebabakan kurangnya konsumsi oksigen, juga bila salah satu
anggota keluarga terkena penyakit infeksi, terutama tuberkulosis
akan mudah menular kepada anggota keluarga yang lain, dimana
seorang penderita rata-rata dapat menularkan kepada 2-3 orang di
dalam rumahnya Kepadatan merupakan pre-requisite untuk proses
penularan penyakit, semakin padat maka perpindahan penyakit
khususnya penyakit melalui udara akan semakin mudah dan cepat.
Oleh sebab itu kepadatan hunian dalam rumah tempat tinggal
merupakan variabel yang berperan dalam kejadian tuberkulosis.
Untuk itu Departemen Kesehatan telah membuat peraturan
tentang rumah sehat dengan rumus jumlah penghuni/ luas
bangunan. Syarat rumah dianggap sehat adalah 9 m2 per orang
(Depkes 2003), jarak antara tempat tidur satu dan lainnya adalah 90
cm, kamar tidur sebaiknya tidak dihuni 2 orang atau lebih kecuali
anak dibawah 2 tahun.
2. Pencahayaan
Untuk memperoleh sinar matahari yang yang cukup pada
siang hari. Diperlukan luas jendela kaca minimum 20% luas lantai.
Jika peletakan jendela kurang baik atau kurang leluasa maka dapat
dipasang genteng kaca. Sinar matahari ini sangat penting karena
dapat membunuh bakteri-bakteri pathogen didalam rumah,
misalnya basil TB, karena itu rumah yang sehat harus mempunyai
jalan masuk cahaya yang cukup. Bila sinar matahari dapat masuk
dalam rumah serta sirkulasi udara diatur maka risiko penularan
anatar penghuni akan sangat berkurang (7).
Rumah sehat memerlukan cahaya yang cukup khususnya
cahaya alam berupa cahaya matahari yang berisi antara lain ultra
violet. Cahaya matahari minimal masuk 60 lux dengan syarat tidak
menyilaukan. Pencahayaan rumah yang tidak memenuhi syarat
berisiko 2,5 kali terkena tuberkulosis dibanding penghuni yang
17
memenuhi persyaratan. Semua cahaya pada dasarnya dapat
mematikan tetapi tentu tergantung jenis dan lama cahaya tersebut.
Cahaya berdasarkan sumbernya dibedakan menjadi dua jenis, yaitu
(10) :
- Cahaya Alamiah
Cahaya alamiah yakni cahaya matahari. Cahaya ini sangat
penting karena dapat membunuh bakteri-bakteri patogen di
dalam rumah seperti bakteri tuberkulosis. Oleh karena itu,
rumah yang sehat harus mempunyai jalan masuk yang cukup
dan luas sekurang-kurangnya 15%-20% (jendela). Selain itu,
perlu diperhatikan agar sinar matahari dapat langsung masuk
ke dalam ruangan dan tidak terhalang oleh bangunan lain.
- Cahaya Buatan
Cahaya buatan yaitu cahaya yang menggunakan sumber
cahaya yang bukan alamiah, seperti lampu minyak tanah,
listrik, api dan lain-lain. Kualitas dari cahaya buatan
tergantung dari terangnya sumber cahaya (brightness of the
source). Pencahayaan buatan bisa terjadi dengan 3 cara, yaitu
direct, indirect, semi direct atau general diffusing.
Cahaya matahari mempunyai sifat membunuh bakteri,
terutama kuman Mycobacterium tuberculosis. Kuman tuberkulosa
hanya dapat mati oleh sinar matahari langsung.(Depkes RI,2002)
Oleh sebab itu, rumah dengan standar pencahayaan yang buruk
sangat berpengaruh terhadap kejadian tuberkulosis dan mempunyai
resiko menderita tuberkulosis 3-7 kali dibandingkan dengan rumah
yang dimasuki sinar matahari (10).
3. Kelembaban
Kelembaban udara adalah prosentase jumlah kandungan air
dalam udara. Kelembaban terdiri dari 2 jenis, yaitu:
- Kelembaban absolut (berat uap air per unit volume udara)
18
- Kelembaban nisbi/relatif (banyaknya uap air dalam udara pada
suatu temperatur terhadap banyaknya uap air pada saat udara
jenuh dengan uap air pada temperatur tersebut).
Secara umum penilaian kelembaban dalam rumah dengan
menggunakan hygrometer. Menurut indikator pengawasan
perumahan, kelembaban udara yang memenuhi syarat kesehatan
dalam rumah adalah 40-70 % dan kelembaban udara yang tidak
memenuhi syarat kesehatan adalah < 40 % atau > 70 % (Depkes
RI, 1989). Penghuni rumah yang mempunyai kelembaban ruang
keluarga lebih besar dari 70% berisiko terkena penyakit
tuberkulosis 10,7 kali dibanding penduduk yang tinggal pada
perumahan yang memiliki kelembaban lebih kecil atau sama
dengan 70% (10).
4. Ketinggian
Ketinggian secara umum mempengaruhi kelembaban dan suhu
lingkungan. Setiap kenaikan 100 meter, selisih suhu udara dengan
permukaan laut sebesar 0,5 oC. ketinggian berkaitan dengan
kelembaban juga dengan kerapatan oksigen. Kuman
mycobacterium tuberculosis sangat aerob, sehingga diperkirakan
kerapatan oksigen di pegunungan akan mempengaruhi viabilitas
kuman tuberkulosis (10).
5. Ventilasi
Ventilasi adalah usaha untuk memenuhi kondisi atmosfer
yang menyenangkan dan menyehatkan manusia. Berdasarkan
kejadiannya, maka ventilasi dapat dibagi ke dalam dua jenis, yaitu
(10) :
- Ventilasi Alam
Ventilasi alam berdasarkan pada tiga kekuatan, yaitu: daya
difusi dari gas-gas, gerakan angin dan gerakan massa di udara
karena perubahan temperatur. Ventilasi alam ini mengandalkan
pergerakan udara bebas (angin), temperatur udara dan
19
kelembabannya. Selain melalui jendela, pintu dan lubang
angin, maka ventilasi pun dapat diperoleh dari pergerakan
udara sebagai hasil sifat porous dinding ruangan, atap dan
lantai.
- Ventilasi Buatan
Pada suatu waktu, diperlukan juga ventilasi buatan dengan
menggunakan alat mekanis maupun elektrik. Alat-alat tersebut
diantarana adalah kipas angin, exhauster dan AC (air
conditioner). Persyaratan ventilasi yang baik adalah sebagai
berikut (10) :
1) Luas lubang ventilasi tetap minimal 5 % dari luas lantai
ruangan, sedangkan luas lubang ventilasi insidentil (dapat
dibuka dan ditutup) minimal 5 % dari luas lantai. Jumlah
keduanya menjadi 10% dari luas lantai ruangan.
2) Udara yang masuk harus bersih, tidak dicemari asap dari
sampah atau pabrik, knalpot kendaraan, debu dan lain-lain.
3) Aliran udara diusahakan cross ventilation dengan
menempatkan lubang ventilasi berhadapan antar dua
dinding. Aliran udara ini jangan sampai terhalang oleh
barang-barang besar, misalnya lemari, dinding, sekat dan
lain-lain.
Secara umum, penilaian ventilasi rumah dengan cara
membandingkan antara luas ventilasi dan luas lantai rumah,
dengan menggunakan Role meter. Menurut indikator pengawaan
rumah, luas ventilasi yang memenuhi syarat kesehatan adalah
≥10% luas lantai rumah dan luas ventilasi yang tidak memenuhi
syarat kesehatan adalah < 10% luas lantai rumah (Depkes RI,
1989). Rumah dengan luas ventilasi yang tidak memenuhi syarat
kesehatan akan membawa pengaruh bagi penghuninya, salah satu
fungsi ventilasi adalah menjaga aliran udara di dalam rumah
tersebut tetap segar. Luas ventilasi rumah yang < 10 % dari luas
20
lantai (tidak memenuhi syarat kesehatan) akan mengakibatkan
berkurangnya konsentrasi oksigen dan bertambahnya konsentrasi
karbondioksida yang bersifat racun bagi penghuninya. Disamping
itu, tidak cukupnya ventilasi akan menyebabkan peningkatan
kelembaban ruangan karena terjadinya proses penguapan cairan
dari kulit dan penyerapan. Kelembaban ruangan yang tinggi akan
menjadi media yang baik untuk tumbuh dan berkembang biaknya
bakteri-bakteri patogen termasuk kuman tuberkulosis (10).
Ventilasi mempunyai banyak fungsi. Fungsi pertama adalah
untuk menjaga agar aliran udara didalam rumah tersebut tetap
segar. Hal ini berarti keseimbangan oksigen yang diperlukan oleh
penghuni rumah tersebut tetap terjaga. Kurangnya ventilasi akan
menyebabkan kurangnya oksigen didalam rumah, disamping itu
kurangnya ventilasi akan menyebabkan kelembaban udara naik
karena terjadinya proses penguapan cairan dari kulit dan
penyerapan. Kelembaban ini merupakan media yang baik untuk
pertumbuhan bakteri-bakteri pathogen / bakteri penyebab penyakit
misalnya kuman TB. Fungsi kedua dari ventiasi itu adalah untuk
membebaskan udara ruangan dari bakteri-bakteri , terutama bakteri
pathogen, karena disitu selalu terjadi aliran udara yang terus
menerus. Bakteri yang terbawa oleh udara akan selalu mengalir (7).
6. Kondisi Rumah
Pencahayaan alami dan ventilasi rumah yang tidak memenuhi
syarat memiliki factor risisko tinggi sebagai penyebab terjadinya
tuberculosis paru. Sinar matahari langsung akan membunuh kuman
TB. Rumah dengan ventilasi sangat minimal akan menybabkan
kuman tuberculosis bertahan lama (7).
- Lantai Rumah
Secara hipotesis jenis lantai tanah memiliki peran terhadap
proses kejadian tuberkulosis, melalui kelembaban dalam
ruangan. Lantai tanah cenderung menimbulkan kelembaban,
21
dengan demikian viabilitas kuman tuberkulosis di lingkungan
juga sangat dipengaruhi. Lantai merupakan dinding penutup
ruangan bagian bawah, konstruksi lantai rumah harus rapat air
dan selalu kering agar mudah dibersihkan dari kotoran dan
debu, selain itu dapat menghindari naiknya tanah yang dapat
menyebabkan meningkatnya kelembaban dalam ruangan.
Untuk mencegah masuknya air ke dalam rumah, maka lantai
rumah sebaiknya dinaikkan 20 cm dari permukaan tanah.
Keadaan lantai rumah perlu dibuat dari bahan yang kedap
terhadap air sehingga lantai tidak menjadi lembab dan basah
seperti tegel, semen, dan keramik. Lantai yang tidak memenuhi
syarat dapat dijadikan tempat hidup dan perkembangbiakan
kuman dan vektor penyakit, menjadikan udara dalam ruangan
lembab, pada musim panas lantai menjadi kering sehingga
dapat menimbulkan debu yang berbahaya bagi penghuninya
(10).
b. Surveilans TB Paru
Surveilans penyakit menular adalah suatu kegiatan pengumpulan data
teratur, peringkasan dan analisis data kasus baru dari semua jenis penyakit
infeksi. Kegiatan surveilans bertujuan untuk mengidentifikasi kelompok
risiko tinggi dalam masyarakat, memahami cara penularan penyakit serta
berusaha memutuskan rantai penularan (12).
Program survailans epidemiologi dilaksanakan oleh Dinas Kesehatan
setempat dan mengkoordinir unit-unit pelaksana program survailans
epidemiologi. Tidak hanya mengumpulkan data tetapi juga harus ditunjang
dengan kemampuan menganalisis, karena dibalik analisis tersebut dapat
terlihat pola-pola kejadian penyakit. Pola-pola ini sangat penting, untuk
upaya deteksi dini untuk mencegah peningkatan kasus secara bermakna,
mempermudah kesiapsiagaan dan respon cepat (12).
Begitu pula dengan surveilans epidemiologi terhadap TB dilaksanakan
untuk identifikasi kelompok risiko tinggi dan memahami cara penularan
22
penyakit serta untuk memutuskan rantai penularan. Dalam hal ini diperlukan
keterangan untuk tiap kasus yang meliputi diagnosis penyakit, tanggal
mulainya timbul gejala, keterangan tentang orang yang meliputi nama,
umur, jenis kelamin, alamat, dan nomor telepon (bila ada) serta sumber
rujukan bila penderita hasil rujukan (dokter, klinik, Puskesmas, dan lain-
lain) (12).
Melalui analisis secara teratur berkesinambungan terhadap data seperti
tersebut di atas terhadap TB akan dapat memberikan kesempatan lebih
mengenal kecenderungan penyakit, mengetahui daerah geografis dimana
jumlah kasus atau penularan meninggi atau menurun, serta berbagai
kelompok risiko tinggi menurut umur, jenis kelamin, ras, agama, status
sosial ekonomi serta pekerjaan. Dengan dilakukannya surveilans
epidemiologi penyakit TB, maka dapat dirumuskan program
penanggulangan yang sesuai (12).
Menurut sumber lain, analisis surveilans pada tuberkulosis yaitu
surveilans rutin, surveilans sentinel TB-MDR dan surveilans sentinel TB-
HIV. Untuk kegiatan surveilans rutin antara lain penemuan kasus TB telah
dilaksanakan sedangkan untuk surveilans sentinel TB-MDR dan TB-HIV
pelaksanaannya dengan melakukan kegiatan pendahuluan antara lain dengan
penyusunan protokol untuk kedua kegiatan surveilans sentinel. Kegiatan
surveilans berdasarkan sistem yang sudah tersedia dan dikembangkan sesuai
kebutuhan program pengendalian TB. Surveilans sentinel dilaksanakan
sebagai alat mendapatkan informasi dan alat validasi dari sistem surveilans
rutin. Pelaksanaan survei prevalensi TB digunakan sebagai alat untuk
melihat besaran masalah TB di masyarakat dan melihat kecenderungan
permasalahan TB di masyarakat (11).
Kegiatan untuk surveilans rutin terdiri dari (11) :
1. Pengembangan/ revisi buku pedoman:
Kegiatan pengembangan atau revisi buku pedoman terdiri dari:
a. Pedoman pelaksanaan surveilans TB, dengan kegiatan:
1) Workshop penyusunan pedoman pelaksanaan surveilans TB
23
2) Sosialisasi pedoman pelaksanaan surveilans TB
3) Implementasi peggunaan pedoman pelaksanaan surveilans TB
4) Supervisi dan monitoring pelaksanaan surveilans TB
b. Pedoman pelaksanaan monitoring dan evaluasi yang berisi
tentang supervisi, pertemuan rutin monev, validasi kualitas
data/cross validation dengan kegiatan terdiri dari
1) Workshop penyusunan pedoman pelaksanaan monev TB
2) Sosialisasi pedoman pelaksanaan monev TB
3) Implementasi penggunaan pedoman pelaksanaan monev TB
4) Supervisi dan monitoring pelaksanaan monev TB
2. Pelaksanaan rutin surveilans
Kegiatan dalam pelaksanaan rutin surveilans terdiri dari :
a. Penyusunan laporan triwulan Program TB
b. Penyusunan laporan tahunan Program TB (Annual Report TB
Programme)
c. Penyusunan laporan untuk Global Report TB
d. Pelatihan MIFA bagi pengelola Program TB (Wasor TB) dan
pengelola data di tingkat kabupaten/ kota dan provinsi
e. Workshop finalisasi pencatatan dan pelaporan kegiatan
Kolaborasi TB-HIV
f. Pengembangan sistem pencatatan dan pelaporan khusus di rumah
sakit dengan kegiatan:
1) Workshop pengembangan pencatatan dan pelaporan rumah
sakit
2) Uji coba pengembangan pencatatan dan pelaporan rumah sakit
3) Finalisasi pengembangan pencatatan dan pelaporan rumah
sakit
4) Sosialisasi hasil pengembangan pencatatan dan pelaporan
rumah sakit
5) Implementasi pelaksanaan pencatatan dan pelaporan rumah
sakit
24
6) Supervisi pelaksanaan pencatatan dan pelaporan rumah sakit
7) Monitoring pelaksanaan pencatatan dan pelaporan rumah sakit
8) Data analisis pencatatan dan pelaporan rumah sakit
g. Penguatan sistem surveilans di lapas/ rutan
h. Penguatan sistem surveilans di tempat kerja (TB in Workplace)
i. Pengembangan sistem surveilans di Dokter Praktek Swasta (DPS)
3. Pelaksanaan Surveilans sentinel
a. Surveilans Sentinel TB-HIV mempunyai kegiatan:
1) Pengembangan protokol surveilans sentinel TB-HIV
2) Sosialisasi protokol surveilans sentinel TB-HIV
3) Sosialisasi pelaksanaan di lapangan surveilans sentinel TB-
HIV
4) Traning petugas pelaksana kegiatan surveilans sentinel TB-
HIV
5) Implementasi pelaksanaan kegiatan surveilans sentinel TB-
HIV
6) Supervisi pelaksanaan kegiatan surveilans sentinel TB-HIV
7) Monitoring dan evaluasi pelaksanaan kegiatan surveilans
sentinel TB-HIV
8) Data analisis hasil kegiatan surveilans sentinel TB-HIV
9) Penulisan laporan hasil pelaksanaan kegiatan surveilans
sentinel TB-HIV
10) Sosialisasi dan diseminasi informasi
b. Surveilans Sentinel Resistensi Obat (Drug Resistant Surveillance)
1) Pengembangan protokol surveilans sentinel resistensi obat
2) Sosialiasi protokol surveilans sentinel resistensi obat
3) Sosialisasi pelaksanaan di lapangan surveilans sentinel
resistensi obat
4) Traning petugas pelaksana surveilans sentinel resistensi obat
5) Implementasi pelaksanaan surveilans sentinel resistensi obat
6) Supervisi pelaksanaan surveilans sentinel resistensi obat
25
7) Monitoring pelaksanaan surveilans sentinel resistensi obat
8) Data analisis hasil pelaksanaan surveilans sentinel resistensi
obat
9) Penulisan laporan hasil pelaksanaan surveilans sentinel
resistensi obat
10) Sosialisasi dan diseminasi informasi
4. Analisis lanjut data surveilans rutin, survei prevalensi dan penelitian
operasional
a. Modeling estimasi kasus TB,
b. Data triangulation analisis
5. Survei Prevalensi TB
Dilaksanakan oleh Badan Litbangkes. Diharapkan survei ini
dapat menjadi gambaran provinsi maupun nasional. Kegiatan survei
ini diharapkan menjadi survei yang dilakukan secara reguler
sehingga dapat melihat kecenderungan prevalensi TB di populasi
umum secara terus menerus (11).
c. Karakteristik agent TB Paru
1) Bentuk
Mycobacterium tuberculosis berbentuk batang lurus atau agak bengkok
dengan ukuran 0,2 - 0,4 x 1 - 4 um. Pewarnaan Ziehl-Neelsen
dipergunakan untuk identifikasi bakteri tahan asam (3).
2) Penanaman
Kuman ini tumbuh lambat, koloni tampak setelah lebih kurang 2
minggu bahkan kadang-kadang setelah 6-8 rninggu. Suhu optimum
37°C, tidak tumbuh pada suhu 25°C atau lebih dari 40°C. Medium
padat yang biasa dipergunakan adalah Lowenstein-Jensen. PH optimum
6,4- 7,0 (3).
3) Sifat-sifat
Mycobacterium tidak tahan panas, akan mati pada 6°C selama 15-20
menit. Biakan dapat mati jika terkena sinar matahari langsung selama 2
jam. Dalam dahak dapat bertahan 20-30 jam. Basil yang berada dalam
26
percikan bahan dapat bertahan hidup 8 – 10 hari. Biakan basil ini dalam
suhu kamar dapat hidup 6-8 bulan dan dapat disimpan dalam lemari
dengan suhu 20o
C selama 2 tahun. Myko bakteri tahan terhadap
berbagai khemikalia dan disinfektan antara lain phenol 5% asam sulfat
15%, asam sitrat 3% dan NaOH 4%. Basil ini dihancurkan oleh jodium
tinetur dalam 5 menit, dengan alkohol 80 % akan hancur dalam 2-10
menit (3).
2. ASPEK PROMOSI KESEHATAN
Pencegahan Tuberkulosis
Pencegahan pada TB paru dapat dilakukan dengan cara (18):
a. Vaksinasi BCG
Pemberian BCG meningkatkan daya tahan tubuh terhadap basil TB yang virulen.
Imunitas timbul 6- 8 minggu setelah BCG.
b. Kemoprofilaksis
Sebagai kemoprofilaksis dipakai INH dengan dosis 10 mg/kb bb/ hari selama satu
tahun.
c. Meningkatkan Sosial Ekonomi Masyarakat
Status sosial ekonomi rendah yang merupakan faktor menjadi sakit, seperti
kepadatan hunian, dengan meningkatkan pendidikan kesehatan.
d. Pencegahan terhadap infeksi TB
Pencegahan terhadap sputum yang infeksius dengan case finding (foto rontgen
dada masal dan uji tuberkulin secara Mantoux), isolasi penderita dan mengobati
penderita, ventilasi harus baik, kepadatan penduduk dikurangi.
e. Meningkatkan daya tahan tubuh
Memperbaiki standar hidup misalnya makanan 4 sehat 5 sempurna, perumahan
dengan ventilasi yang cukup, cukup tidur teratur dan olahraga.
PROMOTIF (18):
a. Penyuluhan kepada masyarakat apa itu TBC
b. Pemberitahuan baik melalui spanduk atau iklan tentang bahaya TBC, cara
penularan, cara pencegahan, faktor resiko.
c. Mensosialisasikan BCG di masyarakat.
PREVENTIF (18):
27
a. Vaksinasi BCG
b. Menggunakan isoniazid (INH)
c. Membersihkan lingkungan dari tempat yang kotor dan lembab
d. Bila ada gejala- gejala TBC segera ke Puskesmas atau RS, agar dapat diketahui
secara dini.
a. Strategi Penanggulangan Berdasarkan Faktor Risiko Penduduk
Strategi Penanggulangan TBC Secara Nasional (8)
1) Paradigma sehat
• Meningkatkan penyuluhan untuk menemukan penderita TB sedini
mungkin, serta meningkatkan cakupan
• Promosi kesehatan dalam rangka meningkatkan perilaku hidup sehat
• Perbaikan perumahan serta peningkatan status gizi, pada kondisi
tertentu
• Strategi DOTS, sesuai rekomendasi WHO
• Komitmen politis dari para pengambil keputusan (tripartite),
termasuk dukungan dana.
• Diagnosis TBC dengan pemeriksaan dahak secara mikroskopik
• Pengobatan dengan panduan Obat Anti Tuberkulosis (OAT) jangka
pendek dengan pengawasan langsung oleh Pengawas Menelan Obat
(PMO)
• Kesinambungan persediaan OAT jangka pendek dengan mutu
terjamin.
• Pencatatan dan pelaporan secara baku untuk memudahkan
pemantauan dan evaluasi program penanggulangan TBC
2) Peningkatan mutu pelayanan di tempat kerja
• Pelatihan seluruh tenaga pelaksana
• Mengembangkan materi pendidikan kesehatan tentang pengendalian
TBC mengunakan media yang cocok untuk tempat kerja
• Ketepatan diagnosis TBC dengan pemeriksaan dahak secara
mikroskopik.
• Kualitas laboratorium diawasi melalui pemeriksaan uji silang (cross
check).
28
• Untuk menjaga kualitas pemeriksaan laboratorium, dibentuk KPP
(Kelompok Puskesmas Pelaksana) terdiri dari 1 (satu) PRM
(Puskesmas Rujukan Mikroskopik) dan beberapa PS (Puskesmas
Satelit). Untuk daerah dengan geografis sulit dapat dibentuk PPM
(Puskesmas Pelaksana Mandiri).
• Ketersediaan OAT bagi semua penderita TBC yang ditemukan.
• Pengawasan kualitas OAT dilaksanakan secara berkala dan terus
menerus.
• Keteraturan menelan obat sehari-hari diawasi oleh Pengawas
Menelan Obat (PMO).
• Pencatatan pelaporan dilaksanakan dengan teratur lengkap dan
benar.
• Pengembangan program dilakukan secara bertahap.
• Advokasi sosialisasi kepada para pimpinan perusahaan, organisasi
pekerja mengenai dasar pemikiran dan kebutuhan untuk TBC kontrol
yang efektif, mencakup kontribusinya dalam pengendalian TBC di
tempat kerja.
• Kabupaten/kota sebagai titik berat manajemen program meliputi :
perencanaan, pelaksanaan, monitoring dan evaluasi serta
mengupayakan sumber daya (dana, tenaga, sarana dan prasarana).
• Membuat peta TBC sehingga ada daerahdaerah yang perlu di
monitor penanggulangan bagi para pekerja.
• Memperhatikan komitmen internasional.
Pengendalian Penderita Tuberkulosis.
1) Petugas dari puskesmas harus mengetahui alamat dan tempat kerja
penderita (3).
2) Petugas turut mengawasi pelaksanaan pengobatan agar penderita
tetap teratur menjalankan pengobatan dengan jalan mengingatkan
penderita yang lali. Disamping itu agar menunjak seorang pengawas
pengobatan dikalangan keluarga (3).
29
3) Petugas harus mengadakan kunjungan berkala kerumah-rumah
penderita dan menunjukan perhatian atas kemajuan pengobatan serta
mengamati kemungkinan terjadinya gejala sampingan akibat
pemberian obat (3).
Pengobatan
Pengobatan TB harus dilakukan sampai tuntas sesuai petunjuk
(biasanya dengan konsumsi OAT selama 6 bulan rutin) dengan
menerapkan strategi DOTS. Pada dasarnya pengobatan yang tidak sesuai
dengan petunjuk seperti putus berobat sebelum pengobatan selesai,
pemberian regimen obat yang tidak sesuai dan kambuh setelah diobati
(13).
Pengobatan TB normal menggunakan Obat Anti TB (OAT) seperti
Isoniazid dengan petunjuk yang sesuai baik waktu dan rutinitasnya.
Karena jika tidak dilakukan sesuai petunjuk menyebabkan terjadinya TB
MDR/XDR. TB MDR/XDR adalah keadaan dimana terjadinya resistensi
kuman bakteri penyebab TB terhadap obat anti TB (OAT) dan obat lini
kedua dari golongan Kuinolon (13).
TB MDR/XDR sangat sulit diobati, pengobatan 4 kali lebih lama dan
biaya yang dikeluarkan sangat mahal (untuk pengobatan MDR TB 100
kali lebih mahal daripada pengobatan TB yang belum mengalami
resistensi terhadap OAT lini pertama). Selain itu keadaan ini sangat
menularkan kepada orang lain sehingga diperlukan perlakuan khusus
untuk pencegahan agar tidak tertular. Misalnya melakukan tindakan
pencegahan sesuai standart agar tidak tertular dari pasien TB MDR/XDR,
seperti dengan menggunakan masker khusus (13).
Obat Anti TB (OAT) juga memiliki efek samping yaitu (13):
Efek samping ringan, (obat diteruskan)
1) Warna kemerahan pada air seni (urine)
2) Tidak ada nafsu makan, mual, sakit perut
3) Nyeri sendi
4) Kesemutan sampai dengan rasa terbakar di kaki
30
Efek samping berat (konsultasi ke tenaga kesehatan)
1) Gatal dan kemerahan kulit
2) Tuli
3) Gangguan keseimbangan
4) Ikterus tanpa penyebab lain
5) Bingung dan muntah-muntah
6) Gangguan penglihatan
7) Purpura dan lenjatan (syok)
b. PHBS Untuk Pencegahan TB Paru
Perilaku hidup sehat merupakan salah satu hal yang sangat penting
dalam pengendalian penyakit TB paru. Berikut ini ada beberapa upaya
pengendalian diri terhadap penyakit TB paru yang berkaitan dengan
perilaku hidup sehat yaitu (17):
1. Memelihara kebersihan diri, rumah dan lingkungan
a. Badan : mandi minimal dua kali sehari, gosok gigi, cuci tangan dan
sebagainya.
b. Rumah dan lingkungan : di sapu, membuang sampah, membuang
kotoran dan air limbah pada tempatnya, membuka jendela pada
siang hari dan lain-lain.
2. Makanan yang sehat
Makan makanan yang bersih, bebas dari penyakit, cukup kualitas
maupun kuantitasnya dan bagi penderita TB paru untuk tidak makan
dengan mengunakan piring atau gelas yang sama dengan keluarga yang
lain.
3. Cara hidup sehat dan teratur
a. Makan, tidur, bekerja dan beristirahat secara teratur.
b. Rekreasi dan menikmati hiburan pada waktunya.
c. Penderita tidak tidur satu kamar dengan keluarga lainnya terutama
anak-anak.
4. Meningkatkan daya tahan tubuh
31
a. Menghindari kontak dengan sumber penularan penyakit baik yang
berasal dari penderita maupun sumber-sumber yang lainnya.
b. Menghindari pergaulan yang tidak baik.
c. Membiasakan diri untuk mematuhi aturan-aturan kesehatan.
d. Meningkatkan daya tahan tubuh, antara lain dengan makan-
makanan yang bergizi dan selalu menjaga kesehatan badan supaya
sistem imun senantiasa terjaga dan kuat.
e. Tidur dan istirahat yang cukup dan menghindari melakukan hal-hal
yang dapat melemahkan sistem imunitas (sistem kekebalan tubuh).
f. Tidak merokok dan tidak minum-minuman yang mengandung
alkohol.
g. Segera periksa bila timbul batuk lebih dari tiga minggu.
Menurut sumber lain kita harus berprilaku hidup bersih dan sehat,
antara lain (13):
1. Makan makanan yang bergizi seimbang sehingga daya tahan tubuh
meningkat untuk membunuh kuman TB
2. Tidur dan istirahat yang cukup
3. Tidak merokok, minum alkohol dan menggunakan narkoba
4. Lingkungan yang bersih baik tempat tinggal dan disekitarnya
5. Membuka jendela agar masuk sinar matahari di semua ruangan
rumah karena kuman TB akan mati bila terkena sinar matahari
6. Imunisasi BCG bagi balita, yang tujuannya untuk mencegah agar
kondisi balita tidak lebih parah bila terinfeksi TB
7. Menyarankan apabila ada yang dicurigai sakit TB agar segera
memeriksakan diri dan berobat sesuai aturan sampai sembuh
c. Sistem KIE Untuk Pencegahan TB Paru
Penyuluhan kesehatan meliputi 3 aspek, yaitu;
a) Sasaran penyuluhan yaitu individu, keluarga, dan masyarakat yang
dijadikan subjek dan objek perubahan perilaku, sehingga diharapkan
dapat memahami, menghayati dan mengaplikasikan cara-cara hidup
sehat dalam kehidupan sehari-hari;
32
b) Materi atau pesan yang akan disampaikan kepada masyarakat
hendaknya disesuaikan dengan kebutuhan kesehatan masyarakat
dengan menggunakan bahasa yang mudah dimengerti dalam bahasa
kesehariannya, materi yang disampaikan tidak perlu sulit untuk
dimengerti oleh sasaran, dalam penyampaian materi penyuluhan
menggunakan alat peraga untuk mempermudah pemahaman, sehingga
materi yang akan disampaikan dapat dirasakan langsung oleh sasaran;
c) Metode yang dipakai dalam penyuluhan kesehatan hendaknya dapat
mengembangkan komunikasi dua arah antara yang memberikan
penyuluhan dengan sasaran,sehingga diharapkan tingkat pemahaman
sasaran terhadap pesan yang disampaikan akan lebih jelas dan mudah
dipahami, diantaranya metode curah pendapat, diskusi, demonstrasi,
simulasi, dan ceramah (effendy,2003,hlm.236).
Komunikasi dan Informasi
Melalui pelatihan tenaga kesehatan seperti pemegang program promosi
kesehatan di puskesmas Kota Padang dalam upaya pengendalian penyakit
menular dan masalah kesehatan khususnya tuberculosis dapat dilakukan
melalui pengembangan media komunikasi kesehatan seperti melalui media
visual fotografi, poster dan cerita bergambar, komik dengan bahasa dan
slogan yang merakyat, disamping upaya tersebut diatas pentingnya dinas
kesehatan menjalin mitra dengan instansi terkait, swasta dan masyarakat
sepe rti dengan stasiun radio yang berbasis masyarakat, media TV lokal dan
media cetak, dimana media cetak menggambarkan berita secara detail,
sementara media TV lokal dengan penempatan iklan Tuberkulosis yang
tepat misalnya pada program – program yang di sukai penonton memiliki
kekuatan untuk menampilkan kesan kepada pemirsanya . Untuk media yang
menggunakan audio (TV dan radio) penggunaan jingle sangat bagus dalam
mendukung suasana dan dapat mengikat emosi penonton sekaligus
mempengaruhinya untuk berperilaku sehat (14).
Pada saat ini pelayanan DOTS disediakan di fasilitas pelayanan
kesehatan. Di beberapa provinsi/kabupaten/kota, fasilitas pelayanan
33
kesehatan tersebut belum tentu mudah diakses oleh masyarakat. Oleh
karenanya, diperlukan intervensi berbentuk pengembangan, ujicoba dan
pelaksanaan pelayanan DOTS di masyarakat melalui kemitraan dengan
masyarakat setempat. Dengan tersedianya pelayanan DOTS berbasis
masyarakat tersebut, diharapkan dapat mengurangi keterlambatan diagnosis,
meningkatkan dukungan kepada PMO dan pasien yang sedang menjalani
pengobatan. Intervensi ini menjadi sangat penting untuk mengatasi kendala
geografis dalam mengakses pelayanan DOTS di fasilitas pelayanan
kesehatan dan untuk meminimalkan kesempatan yang hilang (opportunity
cost) dengan mendekatkan pelayanan DOTS kepada masyarakat yang lebih
membutuhkan. Selain kepada masyarakat pemberian pengetahuan dini
tentang pencegahan TB pada anak-anak usia sekolah juga baik dilakukan
(19). Salah satunya yang dilakukan oleh Pokja ISMKMI UNLAM
bekerjasama dengan HIMA Kesmas FK UNLAM dengan melakukan
kampanye TB dihari peringatan TB sedunia dikawasan Banjarbaru-
Martapura.
3. ASPEK KESEHATAN LINGKUNGAN
a. Strategi Pengelolaan Lingkungan Berdasarkan Faktor Risiko
Lingkungan
Berhubungan dengan faktor risiko terhadap pengelolaan lingkungan :
1) Syarat rumah sehat (junjung)
Cara memperoleh pencahayaan yang baik di dalam rumah
melalui Pertama, memanfaatkan sinar matahari sebanyak mungkin
untuk penerangan dalam rumah pada siang hari melalui jendela,
lobang angin, pintu maupun atap rumah (genteng kaca). Kedua,
mempergunakan warna-warna muda untuk lantai, dinding maupun
langit-langit rumah. Ketiga, mempergunakan lampu yang cukup
terang sesuai dengan aktifitas pada malam hari.
2) Menjaga lingkungan sesuai kondisi geografis
34
Lingkungan harus dijaga dengan memperhatikan kebersihan dan
sanitasi lingkungan, kondisi kelembaban udara dan pencahayaan. Selain
itu juga perlu diperhatikan kondisi geografis lingkungan itu sendiri
apakah dataran tinggi, rendah, pegunungan, dll agar dapat direncanakan
perbaikan lingkungan yang sesuai
Lingkungan yang bersih ditandai dengan udaranya yang sejuk dan
segar. Keadaan udara tersebut dapat menghambat proses penularan
Mycobacterium tuberculosis lewat udara. Sehingga, lingkungan mampu
memutus rantai penularan bakteri penyebab TB.
4. ASPEK ADMINISTRASI KEBIJAKAN KESEHATAN
a. Program atau Kebijakan Pemerintah tentang Penanggulangan TB
Paru.
Sejak WHO menyatakan TB merupakan kedaruratan global bagi
kemanusiaan tahun 1993, pemerintah RI membuat suatu kebijakan tentang
penanggulangan TB. Sejak masa tersebut pemerintah RI telah melakukan
pengendalian TB di Indonesia (19).
Terdapat empat tonggak penting yang menandai perkembangan
implementasi program pengendalian TB. Tonggak pencapaian pengendalian
TB tersebut adalah fase sebelum strategi DOTS (pra-1995), persiapan dan
implementasi strategi DOTS (1995-2000), ekspansi dan intensifikasi DOTS
(2000-2005) dan konsolidasi dan implementasi inovasi dalam strategi
DOTS (2006-2010). Pada tonggak yang keempat ini pencapaian target
global tingkat deteksi dini dan kesembuhan pada tahun 2006 tercapai.
Namun, berbagai tantangan baru muncul dalam implementasi strategi DOTS
(19).
Tantangan tersebut antara lain penyebaran ko-infeksi TB-HIV,
peningkatan resistensi obat TB, jenis penyedia pelayanan TB yang sangat
beragam, kurangnya pengendalian infeksi TB di fasilitas kesehatan, serta
penatalaksanaan TB yang bervariasi. Mitra baru yang aktif berperan dalam
35
pengendalian TB pada fase ini antara lain Direktorat Jenderal Bina Upaya
Kesehatan di Kementerian Kesehatan, Ikatan Dokter Indonesia, dan
Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia. Meskipun Indonesia
mengalami pemberhentian sementara dana GFATM Round 1 dan round 5,
akan tetapi kegiatan pelayanan TB (terutama di dalam gedung) tetap
terlaksana karena kesiapan tenaga pelayanan dengan menggunakan dana
dari pemerintah pusat dan pemerintah daerah serta sumber pendanaan dari
berbagai lembaga donor internasional lain seperti USAID, WHO, tetap
dapat dipertahankan (19).
Gerdunas-TB (Gerakan Terpadu Nasional Penanggulangan TB) adalah
suatu gerakan lintas sektor yang dibentuk pada tahun 1999 dari tingkat
pemerintah pusat hingga daerah untuk mempercepat akselerasi pengendalian
TB berdasarkan kemitraan melalui pendekatan yang terintegrasi dengan
rumah sakit, sektor swasta, akademisi, lembaga swadaya masyarakat
(LSM), lembaga penyandang dana, dan para pemangku kepentingan
lainnya. Setelah pertemuan advokasi di tingkat pusat pada tahun 2002,
pemerintah daerah dianjurkan membentuk Gerdunas TB di tingkat provinsi.
Meskipun demikian, realisasi komitmen dalam bentuk penganggaran TB
masih sangat bervariasi. Fungsi mitra dapat dikelompokkan menjadi tiga,
yaitu: (1) perencanaan dan pengarah; (2) pembiayaan, alokasi dan
pemanfaatan sumber daya; dan (3) penyediaan pelayanan. Berikut adalah
mitra potensial TB secara nasional yang mungkin dapat dijadikan acuan
dalam identifikasi mitra potensial disesuaikan dengan situasi dan kondisi
(19).
Sampai saat ini permasalahan pengendalian TB di Indonesia masih
menjadi tantangan. Adanya kebijakan nasional jangka panjang mengenai
penanggulangan TB, maka pemerintah Indonesia melalui Kementrian
Kesehatan RI periode 2011-2014 mengeluarkan Permenkes RI Nomor
565/MENKES/PER/III/2011 tentang Strategi Nasional Pengendalian
Tuberkulosis Tahun 2011-2014. Dalam peraturan tersebut diatur tentang
penyelenggaraan program pengendalian tuberkulosis yang dilakukan oleh
36
pemerintah, pemerintah daerah, masyarakat, fasilitas pelayanan kesehatan,
institusi pendidikan/penelitian, serta lembaga swadaya masyarakat (19).
Dokumen Strategi Nasional Pengendalian TB di Indonesia 2011-2014
ini disusun dengan konsultasi yang intensif dengan para pemangku
kepentingan di tingkat nasional dan provinsi serta mengacu pada: (1)
kebijakan pembangunan nasional 2010-2014; (2) dokumen strategi dan
rencana global dan regional; dan (3) evaluasi perkembangan program TB di
Indonesia. Dalam peraturan tersebut terdapat beberapa rencana strategis
berupa RPJM, Renstra Kemenkes RI serta Rencana strategis global
pengendalian TB 2006-2015 dan 2011-2015. Selain itu, rencana strategis
yang sifatnya global lain yakni Rencana strategis global pengendalian TB
Regional Asia Tenggara (19).
1. Rencana Pembangunan Jangka Menengah 2010-2014
Dalam RPJMN, misi pemerintah adalah (19):
1) Melanjutkan pembangunan menuju Indonesia yang sejahtera;
2) Memperkuat pilar-pilar demokrasi; dan
3) Memperkuat dimensi keadilan di semua bidang.
Misi tersebut selanjutnya dikembangkan menjadi lima agenda
utama pembangunan nasional 2010-2014, meliputi (19):
1) Pembangunan ekonomi dan peningkatan kesejahteraan rakyat;
2) Perbaikan tata kelola pemerintahan;
3) Penegakan pilar demokrasi;
4) Penegakan hukum dan pemberantasan korupsi;
5) Pembangunan yang inklusif dan berkeadilan.
Pembangunan kesehatan merupakan bagian utama dari misi
pemerintah pertama mengenai pembangunan ekonomi dan peningkatan
kesejahteraan rakyat serta misi kelima untuk mencapai pembangunan
kesehatan yang berkeadilan. Lebih lanjut, RPJMN mencantumkan pula
empat sasaran pembangunan kesehatan sebagai berikut (19):
1. Menurunnya disparitas status kesehatan dan gizi masyarakat antar
wilayah dan antar tingkat sosial ekonomi serta gender;
37
2. Meningkatnya penyediaan anggaran publik untuk kesehatan dalam
rangka mengurangi risiko finansial akibat gangguan kesehatan bagi
seluruh penduduk terutama penduduk miskin;
3. Meningkatnya Perilaku Hidup Bersih dan Sehat (PHBS) pada
tingkat rumah tangga dari 50 persen menjadi 70 persen; dan
4. Terpenuhinya kebutuhan tenaga kesehatan strategis di daerah
terpencil, tertinggal, perbatasan dan kepulauan.
Status kesehatan dan gizi masyarakat sebagai sasaran
pembangunan kesehatan yang pertama menggambarkan prioritas yang
akan dicapai dalam pembangunan kesehatan. Sasaran tersebut
dikembangkan menjadi sasaran-sasaran yang lebih spesifik, termasuk
sasaran angka kesakitan penyakit menular termasuk penyakit TB (19).
2. Rencana Strategis Kementerian Kesehatan 2010-2014
Mengacu pada RPJMN, Kementerian Kesehatan menetapkan
empat misi dalam rencana stratejik 2010-2014 sebagai berikut (19):
1. Meningkatkan derajat kesehatan masyarakat melalui pemberdayaan
masyarakat, termasuk swasta dan masyarakat madani;
2. Melindungi kesehatan masyarakat dengan menjamin tersedianya
upaya kesehatan yang paripurna, merata, bermutu dan berkeadilan;
3. Menjamin ketersediaan dan pemerataan sumber daya kesehatan;
serta
4. Menciptakan tata kelola pemerintah yang baik.
Berdasarkan misi tersebut Kementerian Kesehatan telah
merumuskan enam strategi utama, meliputi (19):
1. Meningkatkan pemberdayaan masyarakat, swasta dan masyarakat
madani dalam pembangunan kesehatan melalui kerja sama nasional
dan global
2. Meningkatkan pelayanan kesehatan yang merata, bermutu dan
berkeadilan, serta berbasis bukti dengan mengutamakan upaya
promotif dan preventif;
38
3. Meningkatkan pembiayaan pembangunan kesehatan, terutama
untuk mewujudkan jaminan sosial kesehatan nasional;
4. Meningkatkan pengembangan dan pendayagunaan SDM kesehatan
yang merata dan bermutu;
5. Meningkatkan ketersediaan, pemerataan, dan keterjangkauan obat
dan alat kesehatan serta menjamin keamanan, khasiat,
kemanfaatan, dan mutu sediaan farmasi, alat kesehatan dan
makanan; dan
6. Meningkatkan manajemen kesehatan yang akuntabel, transparan,
berdayaguna dan berhasilguna untuk memantapkan desentralisasi
kesehatan yang bertanggung jawab.
Selain strategi utama tersebut, Kementerian Kesehatan juga
menggarisbawahi perlunya upaya reformasi kesehatan yang dielaborasi
lebih lanjut dalam dokumen roadmap reformasi kesehatan masyarakat.
Tujuh tujuan khusus dalam roadmap ini mempertegas strategi
pembiayaan, sumber daya kesehatan (termasuk ketersediaan obat/alat
kesehatan untuk program TB), dan manajemen kesehatan yang
tercantum dalam strategi utama rencana strategis Kementerian
Kesehatan 2010-2014 (19).
Strategi nasional program pengendalian TB nasional terdiri dari 7
strategi, diantaranya 4 strategi umum dan didukung oleh 3 strategi
fungsional. Ketujuh strategi ini berkesinambungan dengan strategi
nasional sebelumnya, dengan rumusan strategi yang mempertajam
respons terhadap tantangan pada saat ini. Strategi nasional program
pengendalian TB nasional sebagai berikut (19):
1. Memperluas dan meningkatkan pelayanan DOTS yang bermutu.
2. Menghadapi tantangan TB/HIV, MDR-TB, TB anak dan kebutuhan
masyarakat miskin serta rentan lainnya.
3. Melibatkan seluruh penyedia pelayanan pemerintah, masyarakat
(sukarela),perusahaan dan swasta melalui pendekatan Public-
39
Private Mix dan menjamin kepatuhan terhadap International
Standards for TB Care.
4. Memberdayakan masyarakat dan pasien TB.
5. Memberikan kontribusi dalam penguatan sistem kesehatan dan
manajemen program pengendalian TB.
6. Mendorong komitmen pemerintah pusat dan daerah terhadap
program TB.
7. Mendorong penelitian, pengembangan dan pemanfaatan informasi
strategis.
Berikut beberapa intervensi yang dilakukan pemerintah (19) :
1. Memperluas dan Meningkatkan Pelayanan DOTS yang Bermutu
Strategi ekspansi dilakukan dengan prinsip pelayanan DOTS
yang bermutu dengan menerapkan lima komponen dalam strategi
DOTS (yaitu komitmen politis, pemeriksaan mikroskopis,
penyediaan OAT, tersedianya PMO serta pencatatan dan
pelaporan) secara bermutu. Selain penerapan DOTS secara
bermutu, pelayanan DOTS akan diperluas bagi seluruh pasien TB,
tanpa memandang latar belakang sosial ekonomi, karakteristik
demografi, wilayah geografi dan kondisi klinis. Pelayanan DOTS
yang bermutu tinggi bagi kelompok-kelompok yang rentan
(misalnya anak, daerah kumuh perkotaan, wanita, masyarakat
miskin dan tidak tercakup asuransi) menjadi prioritas tinggi.
Tujuan : Terlaksananya lima komponen dalam pelayanan
DOTS secara bermutu bagi seluruh pasien TB tanpa terkecuali,
akses masyarakat miskin, rentan dan yang belum terjangkau
terhadap pelayanan DOTS terjamin serta upaya peningkatan mutu
dalam memberikan pelayanan DOTS yang berkesinambungan.
Program : Program yang akan dikembangkan memperkuat
penerapan lima komponen dalam strategi DOTS, dengan fokus
prioritas pada proses deteksi dini dan diagnosis yang bermutu,
sistem logistik yang efektif untuk menjamin ketersediaan obat dan
40
alat kesehatan, serta pengobatan yang terstandar disertai dengan
dukungan yang memadai kepada pasien.
1) Menjamin Deteksi Dini dan Diagnosis Melalui Pemeriksaan
Bakteriologis yang Terjamin Mutunya
2) Penyediaan Farmasi dan Alat Kesehatan: Sistem Logistik yang
Efektif dalam Menjamin Suplai Obat yang Kontinyu
3) Memberikan Pengobatan Sesuai Standar dengan Pengawasan
dan Dukungan yang Memadai terhadap Pasien
2. Menghadapi Tantangan TB/HIV, MDR-TB, TB Anak dan
Kebutuhan Masyarakat Miskin serta Rentan Lainnya
Program Intervensi utama terdiri dari :
- Memperluas kegiatan kolaborasi TB/HIV
- Menangani MDR-TB dengan:
1) Melaksanakan pelayanan DOTS yang bermutu di semua
fasilitas pelayanan kesehatan untuk mencegah DR-TB
2) Melaksanakan manajemen kasus DR-TB sesuai standar
berdasarkan pedoman nasional manajemen TB dengan
resistensi obat secara programatik (PMDT)
3) Melaksanakan surveilans MDR-TB
4) Memperkuat metode diagnosis (termasuk validasi scoring
TB anak) dan penatalaksanaan kasus TB anak,
5) Menguji coba dan memperluas secara bertahap ke seluruh
Indonesia model spesifik untuk pelayanan DOTS bagi
populasi tertentu.
3. Melibatkan Seluruh Penyedia Pelayanan Pemerintah, LSM, dan
Swasta melalui Pendekatan Public-Private Mix (PPM) dan
Menjamin Penerapan International Standards for TB Care
Strategi memperluas kemitraan yang bertujuan untuk melibatkan
seluruh penyedia pelayanan dikembangkan berdasarkan pendekatan
kemitraan dengan menggunakan the International Standards for TB
Care (ISTC). PPM diterapkan untuk melibatkan berbagai jenis
41
pelayanan kesehatan, a.l lapas/rutan, tempat kerja, praktis swasta,
rumah sakit. PPM di Indonesia pada saat ini difokuskan pada
penguatan dan perluasan rumah sakit (Hospital DOTS Linkage)
karena memiliki peran yang besar pada program pengendalian TB.
Penguatan dan ekspansi implementasi HDL diperlukan untuk
memastikan seluruh pasien TB yang mengunjungi rumah sakit dan
BBKPM/BKPM mendapatkan pelayanan DOTS yang berkualitas.
Pada saat ini berbagai penyedia pelayanan kesehatan lainnya (sektor
swasta, LSM, masyarakat, organisasi keagamaan, tempat kerja,
praktisi swasta) telah terlibat pula dalam menerapkan strategi DOTS,
meskipun dalam skala terbatas. Dengan banyaknya jumlah mitra dan
penyedia pelayanan yang terlibat dalam pengendalian TB, intervensi
untuk meningkatkan kapasitas pemerintah dan dinas kesehatan
provinsi/kabupaten/kota dalam mengelola kemitraan dengan fasilitas
pelayanan kesehatan dan organisasi profesi penting dilakukan untuk
ekspansi PPM-DOTS dan promosi ISTC.
4. Memberdayakan Masyarakat dan Pasien TB
Intervensi yang dilakukan adalah mengembangkan strategi,
media dan materi promosi kesehatan yang spesifik untuk promosi,
kampanye dan branding DOTS kepada masyarakat luas, organisasi
masyarakat dan penyedia pelayanan kesehatan serta intervensi untuk
memperoleh sumber daya yang memadai untuk menerapkan
pelayanan DOTS berbasis masyarakat. Piagam hak dan kewajiban
pasien TB disosialisasikan kepada pasien TB, petugas kesehatan,
penyedia layanan kesehatan
1) Menciptakan Kebutuhan: Meningkatkan Jumlah Tersangka TB
yang Menjalani Proses Diagnosis dan Pasien TB yang Berobat
dengan Dukungan PMO
2) Memperkuat Kapasitas Pelayanan Kesehatan dalam
Melaksanakan AKMS: Meningkatkan Kapasitas Penyedia
Pelayanan dan Petugas Lapangan dalam Mempromosikan
42
DOTS dan Pelayanan Menggunakan Pendekatan yang
Berfokus Pada Pasien
3) Mempromosikan Piagam Hak dan Kewajiban Pasien TB
4) Pengembangan DOTS Berbasis Masyarakat
5. Memberikan Kontribusi Dalam Penguatan Sistem Kesehatan,
Termasuk Pengembangan SDM Kesehatan dan Manajemen Program
Pengendalian TB
Program intervensi yang dilakukan berfokus pada tiga area utama:
1) memberikan kontribusi terhadap penguatan sistem kesehatan,
terutama pengembangan kebijakan kesehatan dan sumber daya
manusia, penganggaran, serta penyediaan pelayanan dan informasi di
tingkat pelayanan primer sehinnga bermanfaat bagi program
kesehatan lain di fasilitas tersebut;
2) memperkuat program pengendalian infeksi di fasilitas pelayanan
kesehatan, masyarakat dan rumah tangga; dan
3) menggunakan pendekatan multi-sektoral dan melakukan tindakan
untuk memperbaiki determinan sosial yang mempengaruhi status
kesehatan.
a. Tata Kelola (Governance): Memperkuat Kebijakan
b. Upaya Peningkatan Pelayanan Kesehatan: Meningkatkan Mutu
Pelayanan Kesehatan Berfokus pada Pelayanan Kesehatan
Primer
c. Pengembangan Sumber Daya Manusia
6. Mendorong Komitmen Pemerintah Pusat dan Daerah terhadap
Program Pengendalian TB
1) Membangun Komitmen Politik untuk Meningkatkan Alokasi
Sumber Pembiayaan yang Berasal Dari Pemerintah Daerah Bagi
Program Pengendalian TB
2) Mobilisasi Dukungan Pemerintah dan Sumber Daya
7. Mendorong Penelitian, Pengembangan dan Pemanfaatan Informasi
Stratejik
43
3. Rencana Strategis Global Pengendalian TB 2006-2015 dan Rencana
Strategis Global Pengendalian TB 2011-2015
Tujuan yang ingin dicapai dalam Rencana Global 2006-2015
adalah untuk (19):
1. Meningkatkan dan memperluas pemanfaatan strategi untuk
menghentikan penularan TB dengan cara meningkatkan akses
terhadap diagnosis yang akurat dan pengobatan yang efektif dengan
akselerasi pelaksanaan DOTS untuk mencapai target global dalam
pengendalian TB; dan meningkatkan ketersediaan, keterjangkauan
dan kualitas obat anti TB;
2. Menyusun strategi untuk menghadapi berbagai tantangan dengan
cara mengadaptasi DOTS untuk mencegah, menangani TB dengan
resistensi OAT (MDR-TB) dan menurunkan dampak TB/HIV; dan
3. Mempercepat upaya eliminasi TB dengan cara meningkatkan
penelitian dan pengembangan untuk berbagai alat diagnostik, obat
dan vaksin baru; serta meningkatkan penerapan metode baru dan
menjamin pemanfaatan, akses dan keterjangkauannya.
Dalam perkembangannya, konsensus dalam pengendalian TB
dengan resistensi OAT merupakan tonggak penting di tingkat Global
(“After Beijing”). Konsensus antar Menteri tersebut mengidentifikasi 10
upaya untuk mengatasi sumbatan dalam pengendalian M/XDR TB,
sebagai berikut (19):
1. Memprediksi pengendalian epidemi MDR-TB
2. Mempersempit celah dalam program pengendalian TB
3. Menyediakan penatalaksanaan dan pengobatan M/XDR TB
4. Menerapkan batasan ketenagakerjaan bidang kesehatan
5. Menjawab kebuntuan di laboratorium
6. Menjamin akses terhadap OAT standar
7. Membatasi ketersediaan OAT yang beredar
8. Memprioritaskan pengendalian TB
9. Memaksimalkan peluang penelitian M/XDR TB
44
10. Membiayai pengendalian dan perawatan M/XDR TB
Rencana global 2011-2015 merupakan penyesuaian dan
penyempurnaan dari rencana global 2006-2015. Penyesuaian ini
dilakukan untuk mengakomodasi: pencapaian sejak 2006; perubahan
kebijakan dan biaya terkait pengobatan antiretroviral; perkembangan
MDR-TB, revisi estimasi epidemiologi; penguatan laboratorium; dan
pentingnya mencakup keseluruhan spektrum penelitian (dari penelitian
dasar hingga riset operasional). Rencana global 2011-2015
menjabarkan apa yang perlu dilakukan untuk mencapai target-target
2015 yang telah ditetapkan dalam MDG’s dan oleh Stop TB
Partnership. Untuk mencapai target-target tersebut bagian pertama dari
dokumen Rencana global 2011-2015 ini menguraikan upaya-upaya
untuk transformasi pengendalian TB melalui peluasan intervensi
diagnosis dan pengobatan TB, serta penerapan teknologi baru (terutama
teknologi diagnostik). Bagian kedua dokumen Rencana global 2011-
2015 ini menguraikan upaya-upaya yang diperlukan untuk
mengembangkan diagnostik, obat dan vaksin baru yang diperlukan
untuk revolusi pencegahan, diagnosis dan pengobatan TB sebagai dasar
eliminasi TB dalam beberapa dekade yang akan datang (19).
Di tingkat global, Stop TB Partnership sebagai bentuk kemitraan
global, mendukung negara-negara untuk meningkatkan upaya
pemberantasan TB, mempercepat penurunan angka kematian dan
kesakitan akibat TB serta penyebaran TB di seluruh dunia. Stop TB
Partnership telah mengembangkan rencana global pengendalian TB
Tahun 2011-2015 dan menetapkan target dalam pencapaian Tujuan
Pembangunan Milenium untuk TB (19).
Pada awalnya Stop TB Partnership disebut sebagai Stop TB
Initiative, dan dibentuk pada tahun 1998. Tujuannya agar TB tidak lagi
menjadi masalah kesehatan masyarakat (13).
Stop TB Partnership terdiri dari jejaring (13) :
a) Organisasi Internasional
45
b) Negara – Negara
c) Donor (sektor publik dan swasta)
d) Pemerintah
e) Non Goverment Organization (NGO)
f) Individu-individu yang bekerja bersama-sama untuk mencapai
tujuan tersebut.
Visi Stop TB Partnership adalah dunia bebas TB, yang akan
dicapai melalui empat misi sebagai berikut (19):
1. Menjamin akses terhadap diagnosis, pengobatan yang efektif dan
kesembuhan bagi setiap pasien TB.
2. Menghentikan penularan TB.
3. Mengurangi ketidakadilan dalam beban sosial dan ekonomi akibat
TB.
4. Mengembangkan dan menerapkan berbagai strategi preventif,
upaya diagnosis dan pengobatan baru lainnya untuk
menghentikan TB.
Agar misi tersebut dapat tercapai, dan visi dapat terwujud, Stop TB
Partnership telah menentukan sasarannya yaitu (13) :
1) Menggunakan stategi untuk memutus rantai penularan TB dengan
cara :
- Meningkatkan akses terhadap diagnosayang akurat dan
pengobatan yang efektif dengan mempercepat implementasi
DOTS untuk mencapai target global
- Meningkatkan ketersediaan, kemudahan mendapatkan dan
terjaminnya mutu OAT (Obat Anti TB)
2) Mengembangkan strategy untuk mengantisipasi tantangan yang
baru muncul dengan cara
- Menyesuaikan DOTS untuk mencegah dan mengelola TB MDR,
dan mengurangi dampak HIV yang berkaitan dengan TB
3) Mempercepat eliminasi TB dengan cara :
46
- Meningkatkan penelitian dan pengembangan untuk menemukan
OAT dan cara diagnosa yang baru, dan vaksin
Target yang ditetapkan Stop TB Partnership sebagai tonggak
pencapaian utama adalah (20):
1) Pada tahun 2015, beban global penyakit TB (prevalensi dan mortalitas)
akan relatif berkurang sebesar 50% dibandingkan tahun 1990, dan
setidaknya 70% orang yang terinfeksi TB dapat dideteksi dengan strategi
DOTS dan 85% diantaranya dinyatakan sembuh.
2) Pada tahun 2050 TB bukan lagi merupakan masalah kesehatan
masyarakat global.
3) Selain itu, Stop TB Partnership juga mempunyai komitmen untuk
mencapai target dalam Tujuan Pembangunan Milenium, seperti yang
disebutkan pada tujuan 6, target 8 (“to have halted and begun to reverse
the incidence of TB”) pada tahun 2015.
4) Tujuan tersebut akan dicapai dengan strategi ganda yang akan
dikembangkan dalam waktu 10 tahun ke depan, yaitu akselerasi
pengembangan dan penggunaan metode yang lebih baik untuk
implementasi rekomendasi Stop TB yang baru berdasarkan strategi
DOTS dengan standar pelayanan mengacu pada International Standard
for TB Care (ISTC).
4. Rencana Strategis Regional Asia Tenggara
Rencana strategis regional Asia Tenggara untuk Pengendalian TB
2006 – 2010 disusun berdasarkan rencana global, pencapaian dan
tantangan di Asia Tenggara serta prioritas utama di masa depan.
Negara-negara di kawasan ini didorong untuk memfokuskan
kegiatannya dengan strategi sebagai berikut (19):
1) Meningkatkan dan memperluas pelayanan DOTS yang
berkualitas agar dapat menjangkau seluruh pasien TB,
meningkatkan tingkat penemuan kasus dan keberhasilan
pengobatan;
47
2) Menetapkan intervensi untuk menghadapi tantangan TB/HIV dan
MDR-TB;
3) Memperkuat kemitraan dalam menyediakan akses dan standar
pelayanan yang diperlukan bagi seluruh pasien TB; dan
4) Berkontribusi dalam penguatan sistem kesehatan.
Menurut sumber lain, beberapa komponen strategi DOTS yakni (15) :
1) Tanggung jawab politis dari para pengambil keputusan (termasuk
dukungan dana)
2) Diagnosis TB dengan pemeriksaan dahak secara mikroskopis
3) Pengobatan dengan paduan Obat Anti Tuberkulosis (OAT) jangka
pendek dengan pengawasan langsung Pengawas Menelan Obat
(PMO)
4) Kesinambungan persediaan OAT jangka pendek dengan mutu
terjamin
5) Pencatatan dan pelaporan secara baku untuk memudahkan
pemantauan dan evaluasi program penanggulangan TB.
b. Program dan Inovasi Masyarakat tentang Penanggulangan TB Paru.
Piagam hak-hak pasien TB (TB patient charter) merupakan sebuah
inovasi baru yang belum banyak dibahas secara luas dan diterapkan di
Indonesia. Untuk itu, kebijakan dan pedoman untuk menerapkan hak-hak
pasien TB dalam memberikan pelayanan perlu disusun, diikuti dengan
analisis situasi mengenai kondisi pada saat ini yang terkait dengan hak-hak
pasien TB (19).
Hak-hak pasien TB adalah mendapatkan pelayanan yang baik terhadap
pelayanan kesehatan dan pelayanan publik lainnya. Selain hak, pasien TB
juga harus sadar dan berupaya tidak menularkan penyakitnya kepada orang
lain. Oleh karena itu mereka memiliki kewajiban seperti (13):
1. Tidak meludah di sembarang tempat
2. Menutup mulut saat batuk atau bersin
3. Berperilaku hidup bersih dan sehat
4. Berobat sesuai aturan sampai sembuh
48
5. Memeriksakan balita yang tinggal serumah agar segera diberikan
pengobatan pencegahan
c. Monitoring Dan Evaluasi Terhadap Program TB Paru.
Sebagai tahap awal sistem monitoring strategi nasional akan
dikembangkan dan selanjutnya dilaksanakan setiap tahun sebagai bagian
dari pertemuan rutin monitoring evaluasi nasional. Tujuan monitoring
strategi nasional dalam pengendalian program TB adalah untuk (19):
1. Memantau proses dan perkembangan implementasi strategi nasional
secara berkala dan berkelanjutan;
2. Mengidentifikasi masalah dan kesenjangan pada waktu implementasi;
dan
3. Mengatasi masalah yang teridentifikasi dan mengantisipasi dampak dari
permasalahan.
Oleh karena itu, keterlibatan para pemangku kepentingan yang terkait
dalam monitoring tahunan ini perlu diperluas, tidak hanya melibatkan para
pengelola program TB (19).
Evaluasi strategi nasional bertujuan antara lain untuk menganalisis
relevansi, efisiensi, efektivitas, dampak dan keberlanjutan strategi nasional
untuk memberikan arah kebijakan jangka panjang. Prinsip-prinsip
akuntabilitas, pembelajaran organisasi, peningkatan berkelanjutan dan
kepemilikan program pengendalian TB dapat diaplikasikan pada evaluasi
strategi nasional ini (19).
Berbagai sumber data dapat dimanfaatkan untuk kepentingan
monitoring dan evaluasi strategi nasional. Data bersumber dari surveilans
rutin (termasuk MDR-TB) dalam program pengendalian TB, temuan dari
berbagai hasil studi oleh kelompok riset operasional dan kelompok-
kelompok riset lainnya termasuk LSM, dan evaluasi yang diselenggarakan
oleh organisasi internasional (seperti Joint External Monitoring Mission -
yang diselenggarakan setiap dua tahun dan evaluasi eksternal lainnya yang
bersifat spesifik untuk komponen program pengendalian TB). Dampak
49
pengendalian TB nasional akan dievaluasi melalui survei prevalensi dan
analisis data mortalitas TB (19).
Untuk meningkatkan akuntabilitas publik dan transparansi, temuan
monitoring dan evaluasi strategi nasional akan disebarluaskan melalui
berbagai jalur komunikasi. Dengan demikian masyarakat mendapatkan
haknya untuk mengakses hasil evaluasi (19).
B. Analisis Kasus Skenario
Kecamatan Tunggul Dalam merupakan suatu daerah yang sedang mengalami
peningkatan kasus Tuberkulosis Paru. Tuberkulosis paru merupakan suatu penyakit
menular yang disebabkan oleh bakteri Mycobacterium tuberculosis. Penularan penyakit
ini yaitu melalui percikan dahak (droplet) yang bersumber dari penderita tuberkulosis
paru BTA(+), pada waktu penderita tuberkulosis paru batuk atau bersin (inhalasi).
Droplet yang mengandung kuman TB dapat bertahan di udara pada suhu kamar selama
beberapa jam.
Berdasarkan skenario, kecamatan Tunggul Dalam memiliki kondisi geografis
yang terdiri atas rawa dan semak belukar. Kondisi geografis tersebut mendukung
perkembangbiakkan dari Mycobacterium tuberculosis. Bakteri ini berkembangbiak
dengan pesat di daerah dengan suhu yang lembab (seperti di rawa) serta di tempat yang
gelap (semak belukar). Kelembaban merupakan media yang baik untuk pertumbuhan
bakteri-bakteri pathogen atau bakteri penyebab penyakit misalnya kuman TB.
Kemudian, kondisi geografis seperti ini dapat mendukung peningkatan kasus
Tuberkulosis paru di Kecamatan Tunggul Dalam. Daerah semak belukar biasanya
kurang terjamah sinar matahari. Padahal, sinar matahari ini sangat penting karena dapat
membunuh bakteri-bakteri pathogen , misalnya basil Tuberkulosis. Kurangnya
pencahayaan atau pencahayaan yang buruk sangat berpengaruh terhadap kejadian
tuberkulosis.
Selain kondisi geografis suatu daerah, kondisi lingkungan dan sanitasi juga
lingkungan juga memiliki peranan tehadap penyebaran bakteri penyebab Tuberkulosis
paru. Dari skenario yang ada, Kecamatan Tunggul Dalam memiliki kondisi lingkungan
50
dan sanitasi yang tergolong kurang baik. Masyarakat di kecamatan ini memiliki perilaku
tidak memakai baju panjang dan tebal, acuh terhadap kebersihan lingkungan, serta tidak
menjaga kebersihan diri seperti memakai alas kaki. Perilaku masyarakat kecamatan
Tunggul Dalam yang tidak memperhatikan kebersihan dan kesehatan lingkungan sekitar
serta tidak memperhatikan personal hygiene dapat memicu penyebaran penyebab
penyakit Tuberkulosis menjadi lebih cepat.
Di daerah kecamatan Tunggul Dalam ini, notabene masyarakatnya ialah para
petani dan nelayan. Mata pencaharian yang digeluti masyarakat kecamatan ini juga
memiliki pemgaruh terhadap kejadian penyakit tuberkulosis. Para petani biasanya tidak
memperhatikan kebersihan diri pada saat bekerja di sawah, sehingga berpotensi tertular
penyakit Tuberkulosis paru. Selain petani, nelayan juga berpotensi terular penyakit ini.
Apabila di siang hari para nelayan tidak mendapatkan hasil tangkapan ikan, maka
mereka biasanya melakukan pekerjaan mereka (menangkap ikan) di malam hari. Malam
hari merupakan waktu yang tepat bagi basil Tuberkulosis untuk menularkan penyakit
Tuberkulosis paru dikarenakan suasana yang gelap dan didukung suhu yang lembab.
Selain faktor lingkungan (tempat kerja) dan personal hygiene dari petani dan
nelayan , pekerjaan tersebut (petani dan nelayan) juga mempengaruhi terhadap
pendapatan keluarga yang akan mempunyai dampak terhadap pola hidup sehari-hari
diantaranya konsumsi makanan, pemeliharaan kesehatan selain itu juga akan
mempengaruhi terhadap kepemilikan rumah (konstruksi rumah). Kepala keluarga yang
mempunyai pendapatan dibawah UMR akan mengkonsumsi makanan dengan kadar gizi
yang tidak sesuai dengan kebutuhan bagi setiap anggota keluarga sehingga mempunyai
status gizi yang kurang dan akan memudahkan untuk terkena penyakit infeksi
diantaranya TB paru. Dalam hal jenis konstruksi rumah dengan mempunyai pendapatan
yang kurang maka konstruksi rumah yang dimiliki tidak memenuhi syarat kesehatan
sehingga akan mempermudah terjadinya penularan penyakit TB paru.
Selain pekerjaan, pendidikan juga berperan sebagai faktor penyebab terjadinya
Tuberkulosis paru. Tingkat pendidikan seseorang akan mempengaruhi terhadap
pengetahuan seseorang diantaranya mengenai rumah yang memenuhi syarat kesehatan
dan pengetahuan penyakit TB paru, sehingga dengan pengetahuan yang cukup maka
seseorang akan mencoba untuk mempunyai perilaku hidup bersih dan sehat. Masyarakat
51
Kecamatan Tunggul Dalam ini rata-rata mengenyam pendidikan ditingkat Sekolah
Dasar (SD). Rendahnya status pendidikan juga berperan terhadap peningkatan kejadian
kasus Tuberkulosis paru. Kurangnya pengetahuan yang didapatkan mengenai
pencegahan dan penanganan penyakit Tuberkulosis paru menyebabkan masyarakat acuh
terhadap kebersihan dan kesehatan lingkungan.
Berdasarkan skenario, usia produktif adalah usia yang banyak terkena penyakit
tuberkulosis paru. Hal ini dikarenakan usia produktif (15-50 tahun) adalah usia dimana
seseorang bekerja dan sangat rentan untuk berkontak dengan penularan Tuberkulosis
Paru.
Diperlukan suatu cara untuk memutus mata rantai penularan bakteri
Mycobacterium tuberculosis melalui tindakan memodifikasi lingkungan, memperbaiki
konstruksi rumah yang tidak memenuhi syarat rumah sehat, menjaga dan memelihara
kesehatan lingkungan sekitar dan diri sendiri, meningkatkan pengetahuan tentang
penanganan Tuberkulosis paru, serta perlunya peran aktif stakeholder, lembaga-
lembaga terkait serta masyarakat untuk berpartisispasi dalam pencegahan,pengobatan,
serta penanggulangan Tuberkulosis paru.
52
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
B. Saran