22
BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Kepuasan Perkawinan 1. Pengertian Menurut Fower dan Olson (1993) kepuasan perkawinanadalah evaluasi terhadap area-area dalam perkawinan yang mencakup isu kepribadian, kesetaraan peran, komunikasi, penyelesaian konflik, pengelolaan keuangan, waktu luang, hubungan seksual, pengasuhan anak, keluarga dan teman serta orientasi keagamaan. Sadarjoen (2005) menjelaskan bahwa kepuasan perkawinan adalah sejauh mana pasangan suami istri mampu memenuhi kebutuhan satu sama lain serta sejauh mana kebebasan dari hubungan yang diciptakan memberi peluang bagi pasangan suami istri memenuhi kebutuhan dan harapan satu sama lain dibawa sebelum perkawinan terlaksana. Matlin (2008) juga menjelaskan bahwa perkawinan yang memuaskan adalah perkawinan yang stabil, langgeng, bahagia, saling memahami dan menghargai. Lestari (2012), menambahkan kepuasan perkawinan merujuk pada perasaan positif yang dimiliki pasangan suami istri dalam perkawinan yang maknanya lebih luas daripada kenikmatan, kesenangan dan kesukaan. Dari beberapa definisi di atas yang akan digunakan dalam penelitian ini adalah definisi kepuasan perkawinan menurut Fower dan Olson (1993). Adapun definisi kepuasan perkawinan menurut Fower dan Olson (1993) adalah evaluasi terhadap area-area dalam perkawinan yang mencakup isu kepribadian, kesetaraan peran, komunikasi, penyelesaian konflik, pengelolaan keuangan, waktu luang, hubungan seksual, pengasuhan anak, keluarga dan teman serta orientasi keagamaan. Definisi kepuasan perkawinan yang disampaikan oleh Fower dan Olson (1993) lebih komprehensif karena melihat kepuasan perkawinan secara keseluruhan dibandingkan dengan definisi kepuasan milik tokoh lain yang hanya berfokus pada aspek afektif. 14

14 - sinta.unud.ac.id II.pdf · menjelaskan, keyakinan spiritual adalah pondasi penting dalam kebahagiaan ... keintiman dan kedekatan, seksualitas, kejujuran serta kepercayaan

Embed Size (px)

Citation preview

14

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Kepuasan Perkawinan

1. Pengertian

Menurut Fower dan Olson (1993) kepuasan perkawinanadalah evaluasi terhadap

area-area dalam perkawinan yang mencakup isu kepribadian, kesetaraan peran,

komunikasi, penyelesaian konflik, pengelolaan keuangan, waktu luang, hubungan seksual,

pengasuhan anak, keluarga dan teman serta orientasi keagamaan. Sadarjoen (2005)

menjelaskan bahwa kepuasan perkawinan adalah sejauh mana pasangan suami istri mampu

memenuhi kebutuhan satu sama lain serta sejauh mana kebebasan dari hubungan yang

diciptakan memberi peluang bagi pasangan suami istri memenuhi kebutuhan dan harapan

satu sama lain dibawa sebelum perkawinan terlaksana. Matlin (2008) juga menjelaskan

bahwa perkawinan yang memuaskan adalah perkawinan yang stabil, langgeng, bahagia,

saling memahami dan menghargai. Lestari (2012), menambahkan kepuasan perkawinan

merujuk pada perasaan positif yang dimiliki pasangan suami istri dalam perkawinan yang

maknanya lebih luas daripada kenikmatan, kesenangan dan kesukaan.

Dari beberapa definisi di atas yang akan digunakan dalam penelitian ini adalah

definisi kepuasan perkawinan menurut Fower dan Olson (1993). Adapun definisi kepuasan

perkawinan menurut Fower dan Olson (1993) adalah evaluasi terhadap area-area dalam

perkawinan yang mencakup isu kepribadian, kesetaraan peran, komunikasi, penyelesaian

konflik, pengelolaan keuangan, waktu luang, hubungan seksual, pengasuhan anak,

keluarga dan teman serta orientasi keagamaan. Definisi kepuasan perkawinan yang

disampaikan oleh Fower dan Olson (1993) lebih komprehensif karena melihat kepuasan

perkawinan secara keseluruhan dibandingkan dengan definisi kepuasan milik tokoh lain

yang hanya berfokus pada aspek afektif.

14

15

2. Aspek-aspek Kepuasan Perkawinan

Aspek-aspek kepuasan perkawinan menurut Fower dan Olson (1993) terdiri dari 10

aspek yaitu :

a. Isu Kepribadian

Aspek kepuasan ini diukur d

ari bagaimana persepsi individu terhadap perilaku dan kepribadian pasangan. Olson dan

Olson (dalam Lestari, 2012) menjelaskan bahwa penerimaan terhadap kepribadian

pasangan dapat berdampak positif terhadap kebahagiaan perkawinan yang dirasakan.

b. Kesetaraan Peran

Aspek kepuasan ini diukur dari bagaimana perasaan dan sikap pasangan suami terhadap

peran dalam pernikahan. Olson dan Olson (dalam Lestari, 2012) menjelaskan bahwa

dalam relasi suami istri pembagian peran rumah tangga sangat diperlukan.

c. Komunikasi

Aspek kepuasan ini diukur dari bagaimana individu merasa nyaman pada pola-pola

komunikasi dalam berbagi informasi baik emosional atau kognitif bersama pasangan.

Olson dan Olson (dalam Lestari, 2012) menjelaskan pentingnya keterampilan

berkomunikasi agar tidak menimbulkan salah persepsi antar pasangan suami istri.

d. Penyelesaian Konflik

Aspek kepuasan ini diukur dari bagaimana cara individu dan pasangan menyelesaikan

konflik-konflik pernikahan. Olson dan Olson (dalam Lestari, 2012) menjelaskan bahwa

aspek ini berfokus pada keterbukaan antar pasangan suami istri terhadap isu-isu yang

menimbulkan konflik serta strategi dalam menyelesaikan konflik tersebut.

16

e.Pengelolaan Keuangan

Aspek kepuasan ini diukur dari bagaimana individu dan pasangan mengelola keuangan

keluarga. Olson dan Olson (dalam Lestari, 2012) menjelaskan bahwa keseimbangan

antara pendapatan dan belanja keluarga harus menjadi tanggung jawab bersama.

f.Waktu Luang

Aspek kepuasan ini diukur dari bagaimana individu dan pasangan menghabiskan waktu

luang. Olson dan Olson (dalam Lestari, 2012) menjelaskan bahwa pasangan harus

mampu menyeimbangkan antara waktu berpisah dan waktu bersama.

g. Hubungan Seksual

Aspek kepuasan ini diukur dari bagaimana perasaan individu dan pasangan terkait

hubungan seksual. Olson dan Olson (dalam Lestari, 2012) menjelaskan bahwa relasi

seksual merupakan kekuatan penting bagi kebahagiaan pasangan suami istri.

h.Pengasuhan Anak

Aspek kepuasan ini diukur dari bagaimana cara individu dan pasangan dalam mengasuh

serta membesarkan anak. Aspek ini merujuk pada bagaimana pasangan suami istri

menjalani tanggung jawab sebagai orangtua.

i.Keluarga dan Teman

Aspek kepuasan ini diukur dari bagaimana individu menjalin hubungan dengan anggota

keluarga, keluarga dari pasangan dan teman-teman. Olson dan Olson (dalam Lestari,

2012) menjelaskan bahwa keluarga dan teman merupakan konteks penting dalam

membangun relasi yang berkualitas.

j. Orientasi Keagamaan

Aspek kepuasan ini diukur dari bagaimana individu dan pasangan mempercayai dan

mempraktekkan agama dalam pernikahannya. Olson dan Olson (dalam Lestari, 2012)

17

menjelaskan, keyakinan spiritual adalah pondasi penting dalam kebahagiaan

perkawinan.

Adapun aspek-aspek kepuasan perkawinan menurut tokoh lain seperti Clayton

(dalam Pujiastuti & Retnowati, 2004), mengemukakan beberapa aspek kepuasan

perkawinan yang meliputi kemampuan sosial, persahabatan dalam perkawinan, ekonomi

keluarga, kekuatan perkawinan, hubungan dengan keluarga besar, persamaan ideologi,

keintiman perkawinan, taktik komunikasi. Sadarjoen (2005) menyebutkan aspek-aspek

kepuasan perkawinan meliputi adanya komunikasi yang baik, keintiman dan kedekatan,

seksualitas, kejujuran serta kepercayaan. Walgito (2010) menjelaskan aspek-aspek

kepuasan perkawinanmeliputi aspek fisiologis seperti kebutuhan seksual, aspek psikologis

seperti mendapatkan kasih sayang, perlindungan, rasa aman dan dihargai, aspek sosial di

mana manusia hidup dengan norma yang berlaku dimasyarakat, aspek religi di mana

menjadi salah satu faktor yang mendorong manusia untuk melakukan pernikahan.

Dari beberapa pendapat terkait aspek-aspek kepuasan perkawinan di atas yang akan

digunakan dalam penelitian ini adalah aspek-aspek kepuasan perkawinan menurut Fower

dan Olson (1993). Adapun aspek-aspek kepuasan menurut Fower dan Olson (1993)

meliputi isu kepribadian, kesetaraan peran, komunikasi, penyelesaian konflik, pengelolaan

keuangan, waktu luang, hubungan seksual, pengasuhan anak, keluarga dan teman serta

orientasi keagamaan. Aspek-aspek kepuasan perkawinan yang disampaikan oleh Fower

dan Olson (1993) sangat komprehensif karena mencakup aspek yang lebih luas

dibandingkan dengan aspek kepuasan milik tokoh lain.

3. Faktor-faktor yang Memengaruhi Kepuasan Perkawinan

Adapun faktor–faktor yang memengaruhi kepuasan perkawinan yang disampaikan

oleh beberapa tokoh diantaranya Miller (dalam Hurlock, 1980) menyebutkan beberapa

faktor yang memengaruhi kepuasan perkawinan seperti jumlah sosialisasi yang

18

diantisipasi, kemudahan transisi peran keluarga, lama perkawinan, jumlah anak-anak,

status sosial ekonomi keluarga, jarak kelahiran anak-anak dan jumlah sahabat. Hurlock

(1980) menjelaskan bahwa kemampuan orang dewasa dalam memecahkan masalah

merupakan salah satu faktor yang memengaruhi kepuasan dan kebahagiaan dalam

menjalani sebuah perkawinan. Surya (2001) menyebutkan lima faktor penting yang dapat

memengaruhi keharmonisan dan kebahagiaan perkawinan. Adapun faktor-faktor yang

dimaksud meliputi landasan ketauhidan keluarga, penyesuaian perkawinan, suasana

hubungan inter dan antar keluarga, kesejahteraan ekonomi dan pendidikan keluarga.

Olson dan Defrain (2003) memaparkan bahwa ada beberapa faktor yang

memengaruhi kebahagiaan perkawinan, faktor-faktor tersebut meliputi ekspektasi yang

tidak realistik terhadap perkawinan, menikahi orang yang salah dengan alasan yang salah,

perkawinan merupakan ikatan yang penuh tantangan dan adanya sedikit usaha dalam untuk

meningkatkan kemampuan berelasi dengan pasangan. Faktor fisiologis juga memengaruhi

kepuasan perkawinan. Adapun faktor-faktor fisiologis yang dimaksud seperti kesehatan,

keturunan dan kemampuan mengadakan hubungan seksual terhadap kepuasan dalam

perkawinan (Walgito, 2010). Sadarjoen (2005) menjelaskan bahwa faktor-faktor yang

memengaruhi tercapainya kepuasan perkawinan meliputi komunikasi yang baik, keintiman

dan kedekatan, seksualitas, kejujuran dan kepercayaan.

Papalia, Old dan Feldman (2008) menyebutkan bahwa komitmen merupakan faktor

terpenting dalam menentukan kesuksesan sebuah perkawinan. Brubaker (dalam Papalia,

Old & Feldman, 2008) juga menyebutkan bahwa beberapa faktor yang memengaruhi

kesuksesan perkawinan diantaranya, komunikasi, pembuatan keputusan dan penyelesaian

konflik. Robinson dan Blanton (dalam Papalia,dkk.(2007) menyebutkan bahwa faktor-

faktor penting yang menentukan suksesnya perkawinan adalah komunikasi yang baik,

kesamaan persepsi akan hubungan, dan orientasi keagamaan.

19

Faktor-faktor lain yang dapat memengaruhi kepuasan perkawinan menurut Marano

(dalam Cahyowinarti, 2010) seperti kerjasama dalam pemecahan masalah,adanya

pengalaman yang menyenangkan yang dialami bersama,kualitas dari komunikasi yang

terjalin sebelum perkawinan, adanyakomunikasi cinta, penerimaan sikap dan kebiasaan

dari pasangan. Calhoun dan Acocella (dalam Lestari, 2012) menyebutkan bahwa faktor

penting yang memengaruhi tercapainya keutuhan keluarga adalah keberhasilan dalam

melakukan penyesuaian antar pasangan.

Berdasarkan pemaparan di atas dapat dirangkum bahwa terdapat beberapa faktor

yang memengaruhi kepuasan di dalam perkawinan. Adapun faktor-faktor tersebut meliputi

kondisi ekonomi, penyelesaian konflik, kualitas komunikasi dan penyesuaian perkawinan.

4. Tahapan Kehidupan Perkawinan

Menurut Menaghan (dalam Sadarjoen, 2005), tahapan kehidupan perkawinan

mengungkapkan tentang tahap-tahap kehidupan yang terjadi di dalam perkawinan. Faktor

penyebab terjadinya tahapan kehidupan di dalam perkawinan dikarenakan adanya tiga area

kehidupan pasangan yang terpisah tetapi saling tumpang tindih. Adapun ketiga area

kehidupan yang dimaksud meliputi perubahan dalam peran parental, perubahan dalam

status ekonomi baik pendapatan atau konsumsi dan perubahan dalam peran yang

dimainkan di luar kehidupan keluarga.

Perubahan pada peran parental di dalam kehidupan perkawinan dapat diilustrasikan

pada tiga peristiwa yaitu kelahiran anak pertama, anak pada masa remaja dan anak pada

masa dewasa. Kelahiran anak pertama memberikan dampak paling besar pada pasangan

suami istri. Hal itu dikarenakan kehadiran anak memaksa pasangan untuk menambah peran

baru sebagai orangtua. Pada tahap anak dengan masa remaja, orangtua merasa tidak

nyaman dengan pola asuh yang telah diterapkan. Tahap terakhir dengan anak pada masa

20

dewasa. Pada tahap ini peristiwa yang terjadi adalah anak meninggalkan rumah dan

orangtua mengalami kekosongan sebagai pertanda berakhirnya aktivitas parental.

Perubahan pada status ekonomi di dalam perkawinan. Perubahan status ekonomi

terjadi berkaitan dengan pendidikan pasangan, pekerjaan pasangan dan jumlah serta jarak

kehadiran anak. Ada dua periode di dalam tahap kehidupan perkawinan yang sangat rentan

terhadap stres ekonomi. Adapun periode tersebut terjadi pada awal perkawinan dan saat

pensiun tiba. Rendahnya penghasilan keluarga dapat memberikan efek negatif bagi kualitas

kehidupan pasangan.

Perubahan dalam peran yang dimainkan di luar kehidupan keluarga. Peran pada

area ini memiliki variasi yang tidak sedikit. Salah satu contoh yang bisa diberikan adalah

kembalinya istri ke tempat kerja setelah beberapa tahun tinggal di rumah untuk mengasuh

anak. Perubahan peran di dalam rumah tangga dapat menjadi sumber stres bagi

kelangsungan perkawinan.

Perubahan tahapan kehidupan adalah faktor penting dalam memahami gaya dan

pola interaksi di dalam perkawinan. Pada tahapan kehidupan terdapat grafik naik turun

pada aspek biologis, emosional dan psikologis yang terjadi tanpa mempertimbangkan

perbedaan latar belakang ekonomi, pendidikan, kepribadian atau kebiasaan pasangan.

Glik (dalam Simanjuntak, 2013) juga menjelaskan bahwa terdapat tiga tingkatan

peristiwa yang terjadi di dalam kehidupan perkawinan. Tahap pertama, periode pada saat

pasangan melangsungkan perkawinan dan kelahiran anak pertama. Pada tahap pertama

pasangan suami istri saling menyesuaikan diri satu sama lain pada peran baru yang

dimiliki. Tahap kedua adalah periode mengasuh dan membesarkan anak. Istri terikat pada

tugas mengurus rumah dan suami terikat pada tugas untuk mencari nafkah untuk memenhi

kebutuhan ekonomi rumah tangga. Cinta antara istri dan suami berkembang menjadi cinta

ibu dan ayah serta cinta ibu dan ayah berkembang menjadi cinta orangtua pada

21

perkembangan anak. Pada tahap ketiga anak-anak tumbuh besar dan menjadi dewasa,

kemudian menikah dan membentuk keluarga sendiri. Orangtua pada periode ini memiliki

banyak waktu untuk bermesraan satu sama lain.

Adapun beberapa tokoh lain yang juga memaparkan teori tahapan kehidupan

perkawinan meliputi Sorokin, Zimmerman dan Galpin (Duvall & Miller, 1985),

Kirkpatrick, dkk.,(dalam Duvall & Miller, 1985), Bigelow (dalam Duvall & Miller, 1985)

dan Duvall (dalam Duvall & Miller, 1985). Teori tahapan kehidupan perkawinan menurut

Sorokin, Zimmerman dan Galpin (Duvall & Miller, 1985) terdapat empat tahapan yang

meliputi pasangan suami istri yang baru memulai kehidupan ekonomi secara mandiri,

pasangan suami istri dengan satu anak atau lebih, pasangan suami istri dengan anak dewasa

yang sudah mandiri dan pasangan suami istri yang mulai menua.

Teori tahapan kehidupan perkawinan menurut Kirkpatrick, dkk.,(dalam Duvall &

Miller, 1985) juga terdapat empat tahapan yang meliputi keluarga dengan anak prasekolah,

keluarga dengan anak bersekolah, keluarga dengan anak Sekolah Menengah Atas (SMA)

dan keluarga dengan anak yang sudah dewasa. Teori tahapan kehidupan perkawinan

menurut Bigelow (dalam Duvall & Miller, 1985) terdapat tujuh tahapan yang meliputi

periode pembentukan, kehadiran anak dan anak dengan masa prasekolah, anak pada masa

Sekolah Dasar (SD), anak pada masa Sekolah Menengah Atas (SMA), anak pada masa

menjadi mahasiswa, masa pemulihan dan masa pensiunan.

Teori tahapan kehidupan perkawinan menurut Duvall (dalam Duvall & Miller,

1985) terdapat delapan tahapan yang meliputi pasangan suami istri tanpa adanya kehadiran

anak, kehadiran anak, keluarga dengan anak pada masa prasekolah, keluarga dengan anak

pada masa Sekolah Dasar (SD), keluarga dengan anak pada masa remaja, keluarga dengan

anak pada masa dewasa muda, orangtua pada usia paruh baya dan penuaan anggota

keluarga. Berdasarkan beberapa pemaparan di atas maka dapat disimpulkan bahwa tahapan

22

kehidupan perkawinan meliputi keluarga dengan kehadiran anak pertama, keluarga dengan

anak pada masa remaja dan keluarga dengan anak pada masa dewasa.

B. Penyesuaian Perkawinan

1. Pengertian

Spanier (1976) menjelaskan bahwa penyesuaian perkawinan ditentukan oleh

seberapa sering keselarasan yang dihasilkan pasangan suami istri karena perbedaan

pendapat diantara keduanya. Duvall dan Miller (1985) juga menjelaskan bahwa

penyesuaian perkawinan adalah proses membiasakan diri pada kondisi baru dan berbeda

sebagai pasangan suami istri dengan harapan bahwa pasangan suami istri akan menerima

tanggung jawab dan memainkan peran sebagai suami istri. Das dan Gupta (1997)

mengatakan penyesuaian perkawinan adalah sebuah kesesuaian yang dikaitkan antara

persepsi peran dan performa pada pasangan, dengan kata lain jika performa peran yang

dilakukan suami sesuai dengan apa yang seharusnya menurut istri atau sebaliknya maka

kebahagian perkawinan akan lebih tinggi.

Lock dan William (dalam Das & Gupta, 1997) juga menjelaskan bahwa

penyesuaian perkawinan adalah penyesuaian antara suami dan istri ke titik persahabatan,

kesepakatan tentang nilai-nilai dasar keintiman perasaan, tingkah laku dan faktor-faktor

lain yang tidak teridentifikasi. Laswell dan Laswell (dalam Donna & Lengkong, 2009)

menambahkan bahwa penyesuaian perkawinan merupakan penyesuaian satu sama lain

diantara dua individu terhadap kebutuhan-kebutuhan, keinginan-keinginan dan harapan-

harapan.

Dari beberapa definisi di atas yang akan digunakan dalam penelitian ini adalah

definisi penyesuaian perkawinan menurut Duvall dan Miller (1985). Adapun definisi

kepuasan perkawinan menurut Duvall dan Miller (1985) adalah proses membiasakan diri

23

pada kondisi baru dan berbeda sebagai pasangan suami istri dengan harapan bahwa

pasangan suami istri akan menerima tanggung jawab dan memainkan peran sebagai suami

istri. Definisi penyesuaian perkawinan yang disampaikan oleh Duvall dan Miller (1985)

sangat komprehensif karena melihat penyesuaian perkawinan secara keseluruhan, baik

dari proses sampai pada tahap dijalankannya peran dalam keluarga sebagai hasil dari

penyesuaian sebagai pasangan suami istri.

2. Aspek-aspek Penyesuaian Perkawinan

Aspek-aspek penyesuaian perkawinan menurut Spanier (1976) terdiri dari empat

aspek yaitu :

a. Kesepakatan Diadik

Aspek penyesuaian ini dapat diukur dari kesepakatan antara individu dan pasangan

terkait dengan urusan rumah tangga. Adapun urusan rumah tangga yang dimaksud

meliputi mengatur keuangan keluarga, menentukan liburan keluarga (rekreasi), hal

keagamaan, memilih teman, menentukan nilai dan norma, prinsip atau pandangan

hidup, kesepahaman dalam cara menghadapi mertua, visi dan misi yang sama, jumlah

waktu yang dihabiskan bersama, pengambilan keputusan besar, pembagian pekerjaan

rumah tangga, waktu luang dan menjalankan hobi dan pemilihan pekerjaan (Spanier

dalam Busby, dkk. 1995).

b. Kepuasan Diadik

Aspek penyesuaian ini dapat diukur dari tingkat kepuasan hubungan antara individu dan

pasangan. Pada aspek ini disusun berdasarkan persepsi individu terhadap persoalan-

persoalan yang terjadi dalam perkawinan. Aspek ini mengukur banyaknya ketegangan

yang terjadi di dalam perkawinan. Ketegangan yang dimaksud meliputi penyelesaian

konflik, harapan terhadap hubungan, penyesalan terhadap perkawinan, pertengkaran,

24

tingkat kebahagiaan dan kualitas hubungan dengan pasangan (Spanier dalam Busby,

dkk. 1995).

c. Kedekatan Diadik

Aspek penyesuaian ini dapat diukur dari kedekatan antara individu dan pasangan dalam

melakukan dan menikmati berbagai kegiatan bersama. Aspek ini berfokus kepada

minat-minat dan aktivitas-aktivitas yang dilakukan bersama pasangan, membangkitkan

pertukaran ide, tertawa bersama, mendiskusikan sesuatu dan bekerja sama dalam suatu

pekerjaan (Spanier dalam Busby, dkk. 1995).

d. Pernyataan Perasaan

Aspek penyesuaian ini diukur dari bagaimana individu mengekspresikan perasaan dan

hubungan seksual. Aspek ini berfokus bagaimana pasangan mendemonstrasikan

perasaan, hubungan seksual, menjadi lelah akan hubungan seksual dan tidak

menunjukkan cinta (Spanier dalam Busby, dkk. 1995).

Adapun aspek-aspek penyesuaian perkawinan menurut tokoh lain seperti Landis

dan Landis (1970) meliputi hubungan dengan mertua, hubungan terkait seksual, aktivitas

sosial dan rekreasi, pertemanan, keyakinan dan melatih serta mendisiplinkan anak.

Atwater dan Duffy (1999), juga menyebutkan beberapa aspek-aspek penyesuaian

perkawinan diantaranya pembagian tanggung jawab perkawinan, komunikasi dan konflik,

seks dalam perkawinan, perubahan yang terjadi sepanjang waktu di dalam kehidupan per-

kawinan.

Dari beberapa pendapat terkait aspek-aspek penyesuaian perkawinan di atas yang

akan digunakan dalam penelitian ini adalah aspek-aspek penyesuaian perkawinan menurut

Spanier (1976). Adapun aspek-aspek kepuasan menurut Spanier (1976) meliputi

kesepakatan diadik, kepuasan diadik, kedekatan diadik dan pernyataan perasaan. Aspek-

aspek penyesuaian perkawinan yang disampaikan oleh Spanier (1976) sangat

25

komprehensif karena lebih merepresentasikan berbagai penyesuaian yang meliputi

kesepakatan aturan, kepuasan, kedekatan dan afeksi dalam perkawinan dibandingkan

dengan aspek penyesuaian perkawinan oleh tokoh lain.

3. Faktor-Faktor yang Memengaruhi Penyesuaian Perkawinan

Adapun faktor-faktor yang memengaruhi kepuasan perkawinan yang disampaikan

oleh Turner dan Hems (dalam Donna & Lengkong, 2009) meliputi konsep pasangan yang

ideal, pemenuhan kebutuhan, kesamaan latar belakang, minat dan kepentingan bersama,

kesamaan nilai, konsep peran, perubahan dalam pola hidup. Hurlock (1980) menjelaskan

bahwa faktor-faktor yang memengaruhi penyesuaian perkawinan meliputi persiapan yang

terbatas untuk perkawinan, peran dalam perkawinan, kawin muda, konsep yang tidak

realistis tentang perkawinan, perkawinan campur, pacaran yang dipersingkat, konsep

perkawinan yang romantis dan kurangnya identitas. Atwater (1983) menambahkan bahwa

faktor-faktor penting yang memengaruhi penyesuaian perkawinan adalah komunikasi dan

kemampuan interpersonal.

Narvan (dalam Atwater, 1983) memaparkan bahwa komunikasi efektif adalah

faktor penting dalam menjalankan penyesuaian perkawinan. Surya (2001) menyebutkan

tujuh faktor yang memengaruhi penyesuaian di dalam perkawinan. Adapun faktor-faktor

tersebut meliputi keterbatasan persiapan perkawinan, peran-peran di dalam perkawinan,

perkawinan pada usia dini, perkawinan campuran atau masih ada hubungan keluarga,

perkenalan yang singkat, konsep perkawinan yang romantis dan kurangnya identitas.

Hanaco dan Wulandari (2013) menyebutkan bahwa kesiapan mental merupakan faktor

penting dalam menghadapi penyesuaian perkawinan.

Berdasarkan pemaparan di atas dapat dirangkum bahwa terdapat beberapa faktor

yang memengaruhi penyesuaian di dalam perkawinan. Adapun faktor-faktor tersebut

meliputi persiapan yang terbatas untuk perkawinan, peran dalam perkawinan, kawin muda,

26

konsep yang tidak realistis tentang perkawinan, perkawinan campur, pacaran yang

dipersingkat, konsep perkawinan yang romantis, kurangnya identitas dan kualitas

komunikasi.

C. Keluarga Inti dan Keluarga Batih

Pada latar belakang telah disebutkan bahwa dalam masyarakat Bali masih berlaku

beberapa tipe perkawinan yang meliputikeluarga intidan keluarga batih. Adapun definisi

keluarga intidan keluarga batih tertera pada paragraf berikut :

1. Definisi Keluarga Inti

Menurut Kimmel (1974), keluarga intiadalah struktur keluarga yang terdiri dari ibu,

ayah dan anak-anak. Partowisastro (1983) berpendapat bahwa keluarga intiadalah struktur

keluarga yang terdiri dari ayah, ibu dan anak. Sussman, Steinmetz dan Peterson (1999),

juga berpendapat bahwa keluarga intiadalah keluarga yang terdiri dari orangtua dan anak.

Georgas, dkk. (2006), menjelaskan keluarga intiadalah keluarga yang terdiri dari suami,

istri dan keturunannya yang tinggal dalam satu atap. Elliott (2008), juga menjelaskan

bahwa keluarga intiadalah keluarga yang terdiri dari seorang ayah dan ibu yang

membesarkan anak di dalam rumahnya sendiri.

Bjorklund dan Bee (2009) menyebutkan bahwa keluarga intiadalah keluarga yang

terdiri dari orangtua dan anak. Murdock (dalam Lestari, 2012), mengatakan keluarga

intiadalah keluarga yang di dalamnya hanya terdapat keluarga inti. Lee (dalam Lestari,

2012), juga mengatakan bahwa keluarga inti adalah keluarga yang di dalamnya terdiri dari

tiga posisi yang meliputi suami atau ayah, istri atau ibu, dan anak. Pengertian keluarga inti

menurut Swarsi, dkk. (1988), keluarga intiadalah struktur keluarga yang terdiri dari suami,

istri dan anak.

27

Swarsi, dkk.(1986) menjelsakan bahwa seorang istri yang tinggal di dalam keluarga

intimemiliki peranan yang lebih. Salah satunya dalam pembuatan dan pengambilan

keputusan yang berkaitan dengan keberlangsungan keluarga. Istri bukan hanya semata-

mata sebagai anggota keluarga yang selalu menerima semua keputusan suami tetapi juga

menjadi partner suami dalam membuat dan mengambil sebuah keputusan. Berdasarkan

beberapa definisi yang telah disebutkan sebelumnya maka dapat disimpulkan bahwa

keluarga intiadalah struktur keluarga yang terdiri suami atau ayah, istri atau ibu, dan anak.

2. Definisi Keluarga Batih

Tipe perkawinan kedua yang juga masih berlaku di dalam masyarakat Bali adalah

keluarga batih. Menurut Kimmel (1974) keluarga batihadalah keluarga inti yang memiliki

ikatan pertalian dengan anggota keluarga yang lain. Derlega dan Janda (1978) berpendapat

bahwa keluarga batihadalah keluarga yang di dalamnya terdiri dari lebih dari dua generasi

yang tinggal bersama. Georgas, dkk. (2006) menjelaskan bahwa keluarga batihadalah

keluarga yang terdiri dari semua kerabat yang berdarah langsung. Bjorklund dan Bee

(2009) juga menjelaskan bahwa keluarga batihadalah keluarga yang terdiri dari anggota

keluarga lain seperti kakek nenek, bibi, paman dan sepupu.

Lee (Lestari, 2012) menyebutkanbahwa keluarga batih adalah keluarga yang di

dalamnya menyertakan posisi lain selain tiga posisi berikut, suami atau ayah, istri atau ibu,

dan anak. Terdapat tiga bentuk keluarga batih. Bentuk keluarga batih yang pertama yaitu

keluarga bercabang. Keluarga bercabang terjadi manakala seorang anak dan hanya

seorang, yang sudah melangsungkan perkawinan masih tinggal dalam rumah orangtuanya.

Bentuk kedua dari keluarga batih adalah keluarga berumpun. Keluarga berumpun terjadi

manakala lebih dari satu anak yang sudah kawin tetap tinggal bersama kedua orangtuanya.

Bentuk keluarga batih yang ketiga adalah keluarga beranting. Bentuk ini terjadi manakala

di dalam keluarga terdapat generasi ketiga (cucu) yang sudah kawin dan tetap tinggal

28

bersama (Lestari, 2012). Pengertian keluarga batihmenurut Swarsi, dkk.(1986) keluarga

batihadalah struktur keluarga yang terdiri dari keluarga inti senior beserta keluarga inti dari

anak lelaki yang telah kawin di mana mereka tinggal dalam satu rumah atau pekarangan

dan makan dalam satu dapur.

Baktiari (2007) menjelaskan bahwa sebelum istri resmi masuk ke dalam keluarga

batih suami, istri harus melakukan upacara pelepasan yaitu memohon izin untuk

meninggalkan para leluhur di rumah istri. Upacara pelepasan dilakukan saat upacara

perkawinan berlangsung. Pada saat upacara pelepasan selesai maka sejak hari itu istri ikut

memuja leluhur suami dan secara otomatis menjadi anggota krama adat di banjar suami.

Swarsi, dkk.(1986) juga menjelaskan bahwa tinggal dengan keluarga batih suami, berarti

istri juga akan tinggal dengan anggota keluarga lain seperti mertua dan ipar. Oleh karena

itu, penyesuaian perkawinan yang baik sangat dibutuhkan oleh istri agar mampu menjalani

kehidupan perkawinan yang mudah di dalam lingkungan keluarga suami.

Pada keluarga batih di Bali, mertua perempuan memiliki peranan yang penting

pada menantu perempuan. Mertua perempuan memiliki peran untuk memberikan petunjuk

dan nasihat kepada menantu perempuan. Petunjuk yang dimaksud seperti cara membina

keluarga bahagia. Adapun nasihat yang diberikan meliputi gambaran hubungan, perlakuan

dan sopan santun sebagai seorang istri kepada suami serta seorang ibu kepada anak-

anaknya. Pada saat terjadi konflik antara menantu perempuan dan anak laki-lakinya,

mertua perempuan berperan menjadi penengah yang berusaha mendamaikan dan memberi

petuah-petuah.

Peran mertua perempuan sebagai penengah dan pemberi petuah pada anak dan

menantu perempuan tidak selamanya berjalan seperti yang diharapkan. Harapan bahwa

menantu perempuan selalu menerima petunjuk dan nasihat dari mertua. Oleh karena itu,

dibutuhkan penyesuaian oleh menantu perempuan dalam menerima petunjuk dan nasihat

29

yang diberikan oleh mertua, karena ada kalanya petunjuk dan nasihat yg diberikan oleh

mertua tidak sesuai dengan yang diharapkan oleh menantu perempuan. Ketidaksesuaian

tersebut mampu menimbulkan ketegangan bahkan konflik antara mertua perempuan

dengan menantu perempuan (Swarsi, dkk.1986). Berdasarkan beberapa definisi yang telah

disebutkan sebelumnya maka dapat disimpulkan bahwa keluarga batihadalah keluarga luas

yang menyertakan posisi lain selain posisi siuami atau ayah, istri atau ibu, dan anak.

D. Peranan Perempuan Bali di dalam Keluarga

Matlin (2008) menjelaskan bahwa perempuan adalah mahkluk yang memiliki

pengalaman unik. Pengalaman unik yang tidak dimiliki oleh laki-laki. Adapun pengalaman

unik yang dimaksud meliputi menstruasi, hamil, melahirkan dan menopause. Berbicara

tentang pengalaman unik, pengalaman unik yang dialami oleh perempuan tidak hanya

terbatas pada aspek biologis seperti yang telah disebutkan. Aspek-aspek lain yang memberi

karakteristik tersendiri bagi perempuan seperti aspek emosi dan aspek sosial. Pada aspek

emosi, Matlin (2008) memaparkan bahwa perempuan memiliki perempuan lebih sensitif

dan lebih ekspresif dalam mengungkapkan emosi yang dimiliki daripada laki-laki.Pada

aspek terakhir yaitu aspek sosial. Salah satu indikator jika membahas tentang aspek sosial

maka tidak terlepas dari peran yang dimiliki. Matlin (2008) kembali menjelaskan bahwa

peran yang dimiliki oleh laki dan perempuan dipengaruhi oleh budaya laki-laki dan

perempuan berasal.

. Salah satu daerah yang mengatur peran perempuan baik di dalam keluarga dan

masyarakat adalah Bali. Arsana dkk.(1986) memaparkan peran-peran yang dimiliki oleh

perempuan Bali yang telah melangsungkan perkawinan baik yang tinggal di dalam

keluarga inti atau keluarga batih. Adapun peran domestik perempuan Bali meliputi

mengatur peralatan rumah tangga, memasak, menata ruangan, mencuci, menyapu,

30

mengasuh dan mendidik anak-anak. Peran perempuan Bali dalam kegiatan sosial

keagamaan atau adat di masyarakat meiputi menyiapkan sajen untuk upacara, gotong

royong dan tolong menolong.

Arsana, dkk. (1986) menambahkan bahwa dalam perkembangan yang lebih luas

terdapat perubahan peran pada perempuan Bali terkait keterlibatan perempuan Bali di

dalam lapangan perekonomian dengan tingkat produktivitas yang tidak kalah penting bagi

pendapatan rumah tangga. Perubahan peran dalam kegiatan ekonomi lebih menonjol pada

perempuan Bali yang tinggal di daerah perkotaan. Hasil penelitian menemukan sebesar

71,5% kegiatan ekonomi yang dilakukan oleh perempuan Bali di desa Pemecutan Kelod

berada di luar rumah sedangkan sisanya sebesar 28,5% kegiatan ekonomi dilakukan di

dalam rumah. Pemaparan hasil penelitian tersebut memberikan gambaran tentang

keterlibatan istri dalam perekonomian keluarga semakin permanen.

Keikutsertaan istri dalam kegiatan perekonomian memengaruhi peran dan

kedudukan istri di dalam rumah tangga. Pada istri di pedesaan karena keterlibatan dalam

kegiatan ekonomi tidak semenonjol istri di kota, maka waktu kosong yang dimiliki diisi

dengan merangkai janur untuk kegiatan upacara atau berbincang mengenai masalah

keluarga dengan tetangga. Pada istri di perkotaan, karena keterlibatan dalam kegiatan

ekonomi sangat menonjol, maka istri tidak memiliki cukup waktu untuk merangkai janur

atau berbincang mengenai masalah keluarga dengan tetangga. Oleh karena itu, istri

diperkotaan dalam memenuhi kebutuhan perlengkapan upacara seperti janur memiliki

kecenderungan dengan cara membeli (Arsana, dkk.1986).

Menurut hasil penelitian oleh Arsana, dkk.(1986), menyebutkan bahwa pada istri

yang tinggal di daerah perkotaan yaitu di desa Pemecutan Kelod dalam melakukan

kegiatan merangkai janur untuk kegiatan upacara tidak seintensif di pedesaan. Pada

upacara kecil sehari-hari para istri biasanya membeli janur atau perlengkapan upacara di

31

pasar. Pada upacara besar seperti perkawinan, kematian, atau upacara siklus hidup

dilakukan secara beramai-ramai.

Berdasarkan pada pemaparan di atas dapat disimpulkan bahwa perempuan Bali

yang telah melangsungkan perkawinan baik yang tinggal di keluarga inti atau keluarga

batih memiliki peran-peran yang wajib dilaksanakan dalam ranah domestik dan

masyarakat. Adapun peran domestik perempuan Bali meliputi mengatur peralatan rumah

tangga, memasak, menata ruangan, mencuci, menyapu, mengasuh dan mendidik anak-

anak. Peran perempuan Bali dalam kegiatan sosial keagamaan atau adat di masyarakat

meiputi menyiapkan sajen untuk upacara, gotong royong dan tolong menolong.

D. Dinamika Antar Variabel

Menurut Hornby (dalam Walgito , 2010)perkawinan adalah bersatunya laki-laki

dan perempuan sebagai suami istri. Perkawinan memberikan tantangan kepada pasangan

suami istri untuk menyesuaikan diri satu sama lain sehingga penyesuaian perkawinan

mampu berjalan dengan mudah. Adapun beberapa faktor yang memengaruhi penyesuaian

terhadap pasangan meliputi konsep pasangan yang ideal, pemenuhan kebutuhan, kesamaan

latar belakang, minat dan kepentingan bersama, keserupaan nilai, konsep peran dan

perubahan dalam pola hidup (Hurlock, 1980).

Hurlock (1980) menambahkan bahwa penyesuaian terhadap pasangan merupakan

penyesuaian paling pokok pertama kali yang akan dihadapi oleh pasangan suami istri. Jika

satu sama lain tidak bisa menyesuaikan diri pada karakter dan kebiasaan pasangan maka

hal itu bisa memunculkan konflik perkawinan. Atwater (1983) menyampaikan bahwa

penyesuaian perkawinan satu sama lain merupakan faktor yang memengaruhi tercapainya

kepuasan perkawinan. Hasil penelitian pada 409 pasangan menyebutkan bahwa kepuasan

32

perkawinan akan bisa dicapai jika pasangan mampu menyesuaikan diri pada perbedaan

satu sama lain (Landis & Landis, 1970).

Matlin (2008) mengungkapkan bahwa perbedaan karakteristik gender berpengaruh

terhadap kepuasan perkawinan. Artinya, kepuasan perkawinan yang mampu dicapai oleh

suami atau istri belum tentu sama. Hasil penelitian yang dilakukan oleh Ryne (dalam

Sadarjoen, 2005) menemukan bahwa laki-laki cenderung lebuh puas terhadap

perkawinannya dibandingkan dengan perempuan. Matlin (2008) menjelaskan bahwa

terdapat beberapa faktor karakteristik gender yang bisa menjadi penyebab rendahnya

kepuasan perkawinan yang dirasakan oleh perempuan. Adapun faktor-faktor karakteristik

gender yang dimaksud meliputi perempuan lebih sensitif daripada laki-laki ketika

berhadapan dengan masalah perkawinan. Perempuan lebih antisipatif terhadap

kemungkinan negatif dari sebuah masalah. Perempuan juga lebih ekspresif dibanding laki-

laki saat mengalami emosi tertentu. Kondisi tersebut membuat perempuan lebih rentan

mengalami depresi.

Bentuk penyesuaian perkawinan di mana istri hanya berfokus untuk menyesuaikan

diri dengan suami berlaku pada pasangan suami istri yang tinggal dalam keluarga inti. Pada

masyarakat Bali, seorang istri yang tinggal di dalam keluarga intimemiliki peranan yang

lebih, salah satunya dalam pembuatan dan pengambilan keputusan yang berkaitan dengan

keberlangsungan keluarga. Istri bukan hanya semata-mata sebagai anggota keluarga yang

selalu menerima semua keputusan suami tetapi juga menjadi partner suami dalam

membuat dan mengambil keputusan (Swarsi, dkk. 1986). Pembuatan dan pengambilan

keputusan dalam kehidupan perkawinan antar pasangan suami istri tidak selamanya

berjalan baik karena dua individu tersebut memiliki persepsi dan harapan berbeda terhadap

perkawinan yang dijalani.Oleh karena itu, penyesuaian perkawinan antar pasangan suami

istri bukan merupakan penyesuaian perkawinan yang mudah (Mar’at, 2012).

33

Penyesuaian perkawinan akan semakin berat bagi istri yang tinggal bersama dengan

keluarga batih, istri tidak hanya harus menyesuaikan diri dengan suami tetapi juga dengan

keluarga batih suami. Salah satunya dengan mertua. Pada masyarakat Bali, seorang istri

yang tinggal bersama keluarga batih perlu menyiapkan mental karena mereka akan

berpisah dengan orang tua maupun kerabat dekatnya. Istri kemudian masuk ke dalam

lingkungan baru yaitu keluarga batih suami dengan berbagai macam kondisi dan orang-

orang yang cukup heterogen sehingga dibutuhkan penyesuaian yang baik oleh istri agar

mampu mengurangi ketegangan atau konflik dengan mertua.

Landis dan Landis (1970) menjelaskan bahwa penyesuian dengan mertua akan

lebih mudah jika masing-masing memberikan ruang privasi satu sama lain. Hanako dan

Wulandari (2013) menambahkan bahwa sebenarnya hubungan dengan mertua bisa menjadi

lebih mudah dibandingkan dengan ipar. Hal itu dikarenakan mertua sudah pernah

menempati posisi sebagai menantu.Hubungan dengan keluarga pasangan merupakan hal

penting yang dapat memengaruhi keutuhan perkawinan. Apabila suami atau istri memiliki

hubungan yang baik dengan keluarga pasangan khususnya mertua atau ipar, kecil

kemungkinan untuk terjadi konflik dengan mertua atau ipar (Hurlock, 1980).Hasil

penelitian yang dilakukan oleh Wu, dkk. (2001) menemukan bahwa konflik dengan mertua

menyebabkan rendahnya kepuasan perkawinan oleh perempuan Taiwan.

Beranjak dari pemaparan di atas peneliti ingin mengetahui hubungan penyesuaian

dan kepuasan perkawinan serta perbedaan penyesuaian dan kepuasan perkawinan pada

perempuan Bali yang tinggal di keluarga inti atau keluarga batih.

34

Gambar 1. Dinamika Antar Variabel

Keterangan :Garis korelasi :

E. HIPOTESIS

Pada penelitian ini hipotesa diajukan sebagai jawaban sementara atas permasalahan

yang diajukan. Hipotesis dari penelitian ini adalah hubungan penyesuaian dan kepuasan

perkawinan pada perempuan Bali yang tinggal di keluarga inti dan keluarga batih. Adapun

hipotesis yang diajukan adalah :

1. Hipotesis Mayor

Hipotesis Alternatif :

a. Ada hubungan antara penyesuaian dan kepuasan perkawinan pada perempuan Bali

yang tinggal di keluarga inti.

b. Ada hubungan antara penyesuaian dan kepuasan perkawinan pada perempuan Bali

yang tinggal di keluarga batih.

Hipotesis Nol :

a. Tidak ada hubungan antara penyesuaian dan kepuasan perkawinan pada perempuan

Bali yang tinggal di keluarga inti.

Kepuasanperkawinan

Keluarga inti

Penyesuaianperkawinan

Keluarga batih Kepuasanperkawinan

35

b. Tidak ada hubungan antara penyesuaian dan kepuasan perkawinan pada perempuan

Bali yang tinggal di keluarga batih.

2. Hipotesis Minor

Hipotesis Alternatif :

a. Ada perbedaan penyesuaian perkawinan pada perempuan Bali yang tinggal di

keluarga intidengan yang tinggal dikeluarga batih.

b. Ada perbedaan kepuasan perkawinan pada perempuan Bali yang tinggal di keluarga

kecildengan yang tinggal dikeluarga batih.

Hipotesis Nol :

a. Tidak ada perbedaan penyesuaian perkawinan pada perempuan Bali yang tinggal di

keluarga intidengan yang tinggal dikeluarga batih.

b. Tidak ada perbedaan kepuasan perkawinan pada perempuan Bali yang tinggal di

keluarga intidengan yang tinggal dikeluarga batih.