7
113 Seminar Nasional Serealia 2011 PENAMPILAN AGRONOMI BEBERAPA VARIETAS JAGUNG PADA DUA ZONA AGROEKOLOGI DI PAPUA Abdul Wahid Rauf Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Papua Barat Jl. Amban Pantai-Waidema Manokwari, Fax. 0986-211130 Email : [email protected] ABSTRAK Pengembangan jagung di Papua tersebar mulai dari lahan kering dataran rendah sampai lahan kering dataran tinggi dengan produktivitas yang masih sangat rendah yaitu 1,75 t/ha jagung pipilan kering. Berdasarkan hal tersebut dilakukan penelitian beberapa varietas jagung komposit pada dua zona agroekologi dengan tujuan untuk mengetahui kemampuan produktivitas beberapa varietas jagung komposit pada kedua agroekologi tersebut. Penelitian dilaksanakan secara on farm Research pada agroekologi lahan kering iklim basah di Jayapura dan lahan kering iklim kering di Merauke. Penelitian dilaksanakan pada MH 2008/2009 dengan menggunakan empat varietas jagung komposit yang diperoleh dari Balitsereal yaitu, Lamuru, Gumarang, Srikandi Kuning, dan Sukmaraga. Parameter yang diamati antara lain tinggi tanaman saat berbunga, umur berbunga 50%, umur panen, panjang tongkol, bobot 100 biji, dan hasil (t/ha). Hasil penelitian menunjukkan varietas Srikandi Kuning memiliki hasil pipilan kering tertinggi di Jayapura yaitu 6,20 t/ha, sedangkan di Merauke pada varietas Sukmaraga dengan hasil 2,25 t/ha, namun tidak jauh berbeda dengan Srikandi Kuning 2,05 t/ha. Rata-rata hasil jagung pada lahan kering iklim basah di Jayapura (4,79 t/ha), lebih tinggi dibandingkan dengan di lahan kering iklim kering di Merauke (1,90 t/ha). Kata kunci: Penampilan agronomi, zona agroekologi, jagung PENDAHULUAN Jagung merupakan tanaman serealia yang memiliki peranan yang sangat penting di Indonsia setelah padi, karena selain sebagai bahan konsumsi bagi manusia juga digunakan sebagai bahan baku industri pakan. Pada tahun 2009 produksi jagung pipilan kering di Indonesia mencapai 16.629.748 ton, meningkat tajam dibandingkan dengan tahun sebelumnya yaitu 13.287.527 ton jagung pipilan kering (BPS 2009). Namun belum mampu mencukupi kebutuhan jagung Indonesia yang juga setiap tahunnya meningkat. Produktivitas jagung Indonesia pada tahun 2009 baru mencapai 4,23 t/ha jagung pipilan kering. Sementara pada tahun yang sama di Papua produktivitas jagung, jauh lebih rendah lagi dari rata-rata produktivitas nasional, yaitu baru mencapai 1,71 t/ha jagung pipilan kering (BPS 2009). Secara umum rendahnya produktivitas jagung yang ditanam oleh petani antara lain disebabkan oleh tingkat kesuburan tanah rendah, rendahnya adopsi inovasi teknologi dan terbatasnya teknologi- teknologi spesifik lokasi (Subandi 1998), serta cekaman biotik dan abiotik lainnya (Swastika et al. 2004). Namun bagi petani yang menerapkan inovasi teknologi dan varietas unggul dengan pengelolaan yang baik dapat memperoleh hasil yang tinggi (Cassman 1999). Pengembangan jagung di Indonesia tersebar mulai dari dataran rendah sampai dataran tinggi pada berbagai tipe iklim dan jenis tanah. Zubachtirodin et al. (2010) menyatakan bahwa tanaman jagung mempunyai adaptasi yang luas dan relatif mudah dibudidayakan, sehingga komoditas ini ditanam oleh petani di Indonesia pada lingkungan fisik dan sosial-ekonomi yang sangat beragam. Demikian pula halnya di Papua, tanaman jagung dibudidayakan pada kondisi agroekologi yang beragam, mulai

1bpros11

Embed Size (px)

DESCRIPTION

1bpros11

Citation preview

Page 1: 1bpros11

113 Seminar Nasional Serealia 2011

PENAMPILAN AGRONOMI BEBERAPA VARIETAS JAGUNG PADA DUA ZONA AGROEKOLOGI DI PAPUA

Abdul Wahid Rauf

Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Papua Barat Jl. Amban Pantai-Waidema Manokwari, Fax. 0986-211130

Email : [email protected]

ABSTRAK

Pengembangan jagung di Papua tersebar mulai dari lahan kering dataran rendah sampai lahan kering dataran tinggi dengan produktivitas yang masih sangat rendah yaitu 1,75 t/ha jagung pipilan kering. Berdasarkan hal tersebut dilakukan penelitian beberapa varietas jagung komposit pada dua zona agroekologi dengan tujuan untuk mengetahui kemampuan produktivitas beberapa varietas jagung komposit pada kedua agroekologi tersebut. Penelitian dilaksanakan secara on farm Research pada agroekologi lahan kering iklim basah di Jayapura dan lahan kering iklim kering di Merauke. Penelitian dilaksanakan pada MH 2008/2009 dengan menggunakan empat varietas jagung komposit yang diperoleh dari Balitsereal yaitu, Lamuru, Gumarang, Srikandi Kuning, dan Sukmaraga. Parameter yang diamati antara lain tinggi tanaman saat berbunga, umur berbunga 50%, umur panen, panjang tongkol, bobot 100 biji, dan hasil (t/ha). Hasil penelitian menunjukkan varietas Srikandi Kuning memiliki hasil pipilan kering tertinggi di Jayapura yaitu 6,20 t/ha, sedangkan di Merauke pada varietas Sukmaraga dengan hasil 2,25 t/ha, namun tidak jauh berbeda dengan Srikandi Kuning 2,05 t/ha. Rata-rata hasil jagung pada lahan kering iklim basah di Jayapura (4,79 t/ha), lebih tinggi dibandingkan dengan di lahan kering iklim kering di Merauke (1,90 t/ha).

Kata kunci: Penampilan agronomi, zona agroekologi, jagung

PENDAHULUAN

Jagung merupakan tanaman serealia yang memiliki peranan yang sangat penting di Indonsia setelah padi, karena selain sebagai bahan konsumsi bagi manusia juga digunakan sebagai bahan baku industri pakan. Pada tahun 2009 produksi jagung pipilan kering di Indonesia mencapai 16.629.748 ton, meningkat tajam dibandingkan dengan tahun sebelumnya yaitu 13.287.527 ton jagung pipilan kering (BPS 2009). Namun belum mampu mencukupi kebutuhan jagung Indonesia yang juga setiap tahunnya meningkat.

Produktivitas jagung Indonesia pada tahun 2009 baru mencapai 4,23 t/ha jagung pipilan kering. Sementara pada tahun yang sama di Papua produktivitas jagung, jauh lebih rendah lagi dari rata-rata produktivitas nasional, yaitu baru mencapai 1,71 t/ha jagung pipilan kering (BPS 2009). Secara umum rendahnya produktivitas jagung yang ditanam oleh petani antara lain

disebabkan oleh tingkat kesuburan tanah rendah, rendahnya adopsi inovasi teknologi dan terbatasnya teknologi-teknologi spesifik lokasi (Subandi 1998), serta cekaman biotik dan abiotik lainnya (Swastika et al. 2004). Namun bagi petani yang menerapkan inovasi teknologi dan varietas unggul dengan pengelolaan yang baik dapat memperoleh hasil yang tinggi (Cassman 1999).

Pengembangan jagung di Indonesia tersebar mulai dari dataran rendah sampai dataran tinggi pada berbagai tipe iklim dan jenis tanah. Zubachtirodin et al. (2010) menyatakan bahwa tanaman jagung mempunyai adaptasi yang luas dan relatif mudah dibudidayakan, sehingga komoditas ini ditanam oleh petani di Indonesia pada lingkungan fisik dan sosial-ekonomi yang sangat beragam.

Demikian pula halnya di Papua, tanaman jagung dibudidayakan pada kondisi agroekologi yang beragam, mulai

Page 2: 1bpros11

114 Abdul Wahid Rauf : Penampilan Agronomi Beberapa Varietas Jagung pada Dua Zona Agroekologi di Papua

dari lahan kering dataran rendah sampai dataran tinggi. Kabupaten Jayapura dan Merauke merupakan wilayah sentra pengembangan tanaman pangan termasuk jagung di Provinsi Papua. Kedua kabupaten tersebut memiliki potensi lahan kering yang cukup luas untuk pengembangan jagung. Kabupaten Jayapura mempunyai iklim basah dengan curah hujan 1.381 mm/tahun dan suhu rata-rata 26,30oC. Periode bulan basah terjadi pada Mei-Februari sedangkan periode kering Maret-April (BMG 2007). Sementara di Kabupaten Merauke, khususnya pada bagian selatan termasuk beriklim kering, dengan penyinaran matahari cukup lama dan suhu udara yang panas (Djaenudin dan Hendrisman, 2008). Pengembangan jagung pada kondisi iklim seperti ini tentunya memerlukan teknologi budidaya yang spesifik termasuk penggunaan varietas yang adaptip atau tahan kekeringan.

Beragamnya kondisi agroekologi pertanaman jagung, maka diperlukan adanya varietas yang memiliki daya adaptasi luas pada kondisisi agroekologi spesifik (Mejaya et al. 2010). Dengan adanya varietas spesifik agroekologi maka pengaruh interaksi genotipe dengan lingkungan dapat diminimalkan (Kamara et al. 2004). Beberapa varietas unggul jagung yang telah dilepas memiliki daya adaptasi luas, namun pada kondisi agroekologi yang spesifik masih diperlukan pengujian untuk melihat respon tanaman pada kondisi agroekologi spesifik tersebut. Mejaya et al., (2010) menyatakan bahwa varietas jagung yang dihasilkan melalui perbaikan populasi perlu diuji pada daerah-daerah pertanaman yang mempunyai agroklimat yang berbeda untuk mengetahui tanggapannya terhadap lingkungan setempat.

Berdasarkan hal tersebut maka dilakuakan penelitian beberapa varietas jagung komposit pada dua zona agroekologi di Papua dengan tujuan untuk mengetahui kemampuan produktivitas beberapa varietas jagung komposit pada dua kondisi agroekologi yang berbeda.

METODOLOGI

Penelitian ini dilaksanakan secara on farm Research pada Lahan Kering Iklim Basah di Jayapura (2o32’37,75’’S 140o05’53,79’’T, altitude 29 mdpl) dan agroekologi Lahan Kering Iklim Kering di Merauke (8o09’32,72’’S 140o46’22,13’’T, altitude 14 mdpl). Penelitian ini dilaksanakan pada MH 2008/2009 dengan menggunakan empat varietas jagung komposit yang diperoleh dari Balitsereal Maros yaitu, Lamuru, Gumarang, Srikandi Kuning, dan Sukmaraga. Sebelum penanaman dilakukan terlebih dahulu dilakukan pengolahan tanah secara sempurna dilanjutkan dengan membuat petak pertanaman, sesuai varietas yang diuji. Luas petakan per varietas adalah 0,25 ha, sehingga luas seluruhnya dari penelitian ini adalah 1,0 ha per lokasi.

Penanaman dilakukan dengan cara tugal 3 biji per lubang tanam dengan jarak tanam 75 cm antar baris dan 40 cm antar tanaman dalam barisan, untuk menghidari terjadinya serangan penyakit utamanya penyakit bulai, maka sebelum penanaman benih dicampur dengan fungisida. Setelah tanaman berumur 15 hari dilakukan penjarangan dengan meninggalkan 1-2 tanaman per lubang. Pemupukan dilakukan dengan dosis 250 kg urea/ha, 100 kg SP36/ha, dan 75 kg KCl/ha. Pupuk urea diberikan dua kali yaitu seperdua dosis pada saat tanaman berumur 15 hari dan seperdua dosis pada pemupukan kedua, yaitu pada umur 45 hari. Sementara SP36 dan KCl diberikan seluruhnya pada saat tanaman berumur 15 hari.

Pengendalian hama dilaksanakan berdasarkan pengendalian hama secara terpadu, sedangkan pengendalian gulma dilaksanakan secara mekanis, yaitu dengan menggunakan sabit dan pacul untuk membersihkan gulma-gulma yang terdapat di pertanaman, sekaligus dilakukan pembumbunan, untuk menghindari tanaman rebah.

Parameter yang diamati antara lain adalah, 1) tinggi tanaman saat berbunga diukur mulai dari pangkal batang sampai pucuk daun terakhir pada 30 tanaman sampel yang dipilih secara acak pada

Page 3: 1bpros11

115 Seminar Nasional Serealia 2011

setiap varietas, 2) umur berbunga jantang 50%, diamati pada saat mengeluarkan buka jantang 50% dari populasi tanaman setiap varietas, 3) umur panen, dihitung jumlah hari dari mulai tanam sampai panen dari masing-masing varietas, 4) panjang tongkol, diukur mulai dari pangkal tongkol sampai pada ujung tongkol terhadap 30 sampel tongkol pada setiap varietas, 5) bobot 100 biji, diukur berat biji dengan menimbang 100 biji jagung pada kadar air 14%. dan 6) hasil (t/ha), diukur berdasarkan berat biji pipilan kering (kadar air 14%) dari ubinan 2m x 2m. Analisis data dilakukan berdasarkan tabulasi data pertumbuhan dan produksi tanaman. Untuk mengetahui keragaman pertumbuhan dan produksi maka pada parameter tinggi tanaman, panjang tongkol, dan berat 100 biji dilakukan uji koefisien variasi.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Karakteristik lokasi penelitian

Kabupaten Jayapura mempunyai iklim basah dengan curah hujan yang cukup tinggi. Periode bulan basah terjadi pada Mei-Februari sedangkan periode kering Maret-April (BMG 2007). Jenis tanah pada lokasi penelitian di Jayapura adalah Inseptisol. Sedangkan pola curah hujan di Merauke terdiri atas tiga pola, yaitu pola lokal, monsun dan pola ekuatorial. Pola lokal ditandai oleh satu puncak hujan yang terjadi sekitar bulan Desember, tanpa diselingi periode kering. Sedangkan pola ekuatorial dijumpai dua puncak hujan yang biasanya terjadi pada periode Oktober-Desember dan Januari-Maret. Sementara

pola monsun hanya memiliki satu puncak hujan pada periode Oktober-Maret (Rouw 2008). Selanjutnya dikatakan pula bahwa pola curah hujan seperti ini dijumpai adanya perbedaan yang jelas antara periode hujan dan periode kering. Jenis tanah pada lokasi pengkajian di Merauke adalah Oxic Dystrudept. Secara umum karateristik curah hujan, suhu, kelembaban, dan jumlah bulan basah dan kering pada lokasi penelitian dapat dilihat pada Tabel 1. Keragaan tinggi tanaman, umur berbunga, dan umur panen

Pada Tabel 2, menunjukkan bahwa tanaman tertinggi di Jayapura diperoleh pada varietas Gumarang yaitu mencapai 198,55cm, kemudian diikuti secara berturut-turut oleh varietas Sukmaraga, Srikandi Kuning, dan Lamuru. Namun demikian varietas Gumarang memiliki tinggi tanaman yang lebih beragam dibandingkan varietas lainnya, dengan nilai koefisien variasinya (KV) 6,66%. Sementara varietas Srikandi Kuning memperlihatkan pertumbuhan tanaman yang lebih homogen dibandingkan dengan varietas lainnya, yaitu KV=5,10%. Umur berbunga 50% tercepat diperoleh pada varietas Gumarang (51 hari), kemudian secara berturut-turut diikuti oleh varietas Sukmaraga, Lamuru, dan Srikandi Kuning dengan umur berbunga masing-masing 53 hari, 54 hari, dan 57 hari. Umur panen tercepat juga diperoleh pada varietas Gumarang dengan umur panen 90 hari, kemudian secara berturut-turut diikuti oleh Lamuru, Sukmaraga, dan Srikandi Kuning dengan umur panen masing-masing 100 hari, 105 hari dan 108 hari.

Tabel 1. Rata-rata curah hujan, suhu, kelembaban, dan jumlah bulan basa dan kering pada

lokasi penelitian di Jayapura dan Merauke (2005-2009)

Komponen Cuaca/Iklim Jayapura* Merauke** Curah hujan (mm/tahun) 1381 254 Suhu rata-rata (0C) 26,30 27,60 Kelembaban Udara (%) 83,4 79,88 Jumlah Bulan Basah (bulan) 10 4 Jumlah Bulan Kering (bulan) 2 8 Sumber: * BMKG, 2010a (diolah) ** BMKG, 2010b (diolah)

Page 4: 1bpros11

116 Abdul Wahid Rauf : Penampilan Agronomi Beberapa Varietas Jagung pada Dua Zona Agroekologi di Papua

Tabel 2. Keragaan tinggi tanaman, umur berbunga, dan umur panen jagung di Jayapura dan Merauke MH. 2008/2009

Varietas

Jayapura Merauke Tinggi

tanaman saat berbunga 50% (cm)

Umur berbunga

50% (hari)

Umur panen (hari)

Tinggi tanaman saat berbunga

50% (cm)

Umur berbunga

50% (hari)

Umur panen (hari)

Gumarang 198,55±6,66 51 90 151,60±10,71 50 80 Lamuru 187,60±6,61 54 100 141,20±9,18 51 92 Srikandi Kuning

190,15±5,10 57 108 147,20±10,18 54 100

Sukmaraga 196,70±6,22 53 105 145,50±9,36 50 98 Rata-rata 193,27 53,75 102,00 146,37 51,25 93,50

Rata-rata ± koefisien variasi (%) n=30

Pada lahan kering iklim kering di

Merauke menunjukkan pula bahwa tanaman tertinggi diperoleh pada varietas Gumarang yaitu 151,60 cm, kemudian diikuti secara berturut oleh varietas Srikandi Kuning, Sukmaraga, dan Lamuru dengan tinggi masing 147,20cm, 145,50cm, dan 141,20cm (Tabel 2). Meskipun demikian penampilan tinggi tanaman varietas Gumarang sangat beragam dibandingkan dengan varietas lainnya (KV=10.71%), sedangkan varietas Lamuru cenderung tinggi tanamannya lebih seragam (KV=9,18%) dibandingkan dengan varietas lainnya. Umur berbunga 50% tercepat pada lahan kering iklim kering Merauke diperoleh pada varietas Gumarang dan varetas Sukmaraga yaitu pada umur 50 hari. Sedangkan umur berbunga 50% terdalam diperoleh pada varietas Srikandi Kuning, yaitu pada umur 54 hari. Umur panen tercepat diperoleh pada varietas Gumarang, yaitu pada umur 80 hari, kemudian secara berturut-turut diikuti oleh varietas Lamuru, Sukmaraga, dan Srikandi Kuning dengan umur panen masing-masing 92 hari, 98 hari, dan 100 hari.

Pada Tabel 2, menujukkan pula bahwa rata-rata tinggi tanaman di Jayapura lebih tinggi 46 cm dibandingkan dengan di Merauke. Hal ini dapat terjadi karena di Jayapura pada saat tanam sampai menjelang panen curah hujan cukup tinggi untuk mendukung pertambahan tinggi tanaman, sedangkan di Merauke pertumbuhan tinggi tanaman terhambat akibat kurangnya curah hujan saat akhir

vegetatif sampai menjelang panen. Tanaman yang mengalami cekaman kekeringan berpengaruh terhadap cepatnya tanaman memasuki masa generatif yang ditandai oleh keluarnya bunga jantan lebih cepat. Seperti halnya yang terjadi di Merauke rata-rata keluarnya bunga jantan lebih cepat 2,5 hari dibandingkan dengan di Jayapura. Demikian pula halnya dengan umur panen, di Merauke umur panen tanaman jagung rata-rata lebih cepat 8,5 hari. Pada Tabel 1 menunjukkan bahwa suhu rata-rata di Merauke lebih tinggi dibandingkan dengan Jayapura sehingga akan berpengaruh terhadap keluarnya bunga jantan lebih cepat.

Keragaan komponen hasil

Tabel 3 memperlihatkan bahwa di Jayapura varietas Srikandi Kuning memiliki tongkol terpanjang dan penampilannya lebih seragam dibandingkan dengan varietas lainnya, yaitu 18,50 cm dengan KV=5,89%. Selanjutnya diikuti secara berturut-turut oleh varietas Sukmaraga, Gumarang, dan Lamuru, dengan panjang tongkol masing-masing 18,10cm, 17,80cm, dan 17,50cm. Bobot 100 biji tertinggi diperoleh pada varietas Lamuru, yaitu 28,88 gram, namun sangat beragam (KV=4,18%) dibandingkan dengan varietas lainnya. Selanjutnya bobot 100 biji tertinggi setelah varietas Lamuru, secara berturut-turut adalah varietas Srikandi Kuning, Gumarang, dan Sukmaraga, dengan bobot masing-masing 2,10 gram, 1,75 gram, dan 1,31 gram. Hasil jagung

Page 5: 1bpros11

117 Seminar Nasional Serealia 2011

pipilan kering tertinggi diperoleh pada varietas Srikandi Kuning, yaitu mencapai 6,20 ton.ha, kemudian diikuti secara berturut-turut oleh varietas Sukmaraga, Lamuru, dan Gumarang dengan hasil masing-masing 4,74 t/ha, 4,49 t/ha, dan 3,75 t/ha.

Di Merauke varietas yang memiliki tongkol terpanjang adalah Sukmaraga yaitu 15,90cm dan juga lebih seragam dibandingkan dengan varietas lainnya (KV=9,69%). Sementara bobot 100 biji tertinggi diperoleh pada varietas Lamuru, yaitu 27,28 gram, kemudian secara berturut-turut diikuti oleh varietas Gumarang, Srikandi Kuning, dan Sukmaraga dengan bobot masing-masing 26,98 gram, 26,93 gram, dan 26,76 gram. Hasil jagung pipilan kering tertinggi diperoleh pada varietas Sukmaraga (2,25 t/ha), kemudian diikuti secara berturut-turut Srikandi Kuning, Gumarang, dan Lamuru, dengan hasil masing-masing 2,05 t/ha, 1,80 t/ha, dan 1,5 t/ha. Pada lokasi penelitian jenis tanahnya adalah Oxic Dystrudept yang agak masam (pH 5,0), sehingga pertumbuhan dan hasil dari varietas Sukmaraga lebih tinggi dibandingkan dengan varietas lainnya, karena salah satu keunggulannya adalah tahan pada lahan masam.

Rata-rata panjang tongkol jagung di Jayapura adalah 17,97cm lebih panjang dibandingkan dengan panjang tongkol di Merauke, yaitu 14,89cm (Tabel 3). Hal ini dapat terjadi akibat adanya cekaman kekeringan yang terjadi di Merauke saat pertumbuhan generatif, sehingga tongkol yang terbentuk pendek-pendek dan bijinya agak jarang. Salah satu penyebab utama terhambatnya

pertumbuhan tongkol dan pembijian adalah kekurangan air, yang pada akhirnya berakibat pada terhambatnya penyaluran assimilat-assimilat ke bagian produktif tanaman (Schussler dan Westgate 1995; Westgate dan Boyer 1985).

Rata-rata berat 100 biji tertinggi juga diperoleh di Jayapura, yaitu 27,70 gram atau 2,59% lebih tinggi dibandingkan di Merauke. Hal ini dapat terjadi karena di Merauke pada saat memasuki periode pengisian biji, tanaman mengalami cekaman kekeringan akibat kurangnya curah hujan. Cekaman kekeringan pada saat pengisian biji jagung sangat berepengaruh terhadap berat biji karena berkurangnnya laju pertukaran karbon atau berkurangnya masa pengisian biji (Jones dan Simmons 1983). Blanos dan Edmeades (1996) melaporkan bahwa kurang lebih 75% variasi pengisian biji pada kondisi kekeringan ditentukan oleh variasi tongkol dan biji/tanaman. Selanjutnya dikemukakan pula bahwa jumlah tongkol dan biji/tanaman sangat menentukan hasil biji dibandingkan dengan berat/biji. Hal ini terlihat bahwa hasil jagung pipilan kering di Merauke pada kondisi cekaman kekeringan hanya 1,90 t/ha, jauh lebih rendah dibandingkan dengan hasil yang diperoleh di Jayapura yang mencapai 4,79 t/ha. Sharma et al. (2008) menyatakan hasil biji jagung berbeda pada kondisi lingkungan yang berbeda baik tempat maupun waktu, utamanya oleh suhu, curah hujan dan jenis tanah.

Tabel 3. Keragaan komponen produksi jagung di Jayapura dan Merauke MH. 2008/2009

Varietas Jayapura Merauke Panjang

tongkol (cm) Bobot 100

biji (g) Hasil

(t/ha) Panjang

tongkol (cm) Bobot 100

biji (g) Hasil

(t/ha) Gumarang 17,80±15,89 27,41±1,31 3,75 14,20±12,32 26,98±1,55 1,80

Lamuru 17,50±9.95 28,88±4,18 4,49 13,80±10,65 27,28±1,73 1,50 Srikandi Kuning

18,50±5,89 28,49±1,75 6,20 15,65±10,73 26,93±2,26 2,05

Sukmaraga 18,10±9,39 27,10±2,10 4,74 15,90±9,69 26,76±3.02 2,25 Rata-rata 17,97 27,70 4,79 14,89 26,98 1,90

Rata-rata ± koefisien variasi panjang tongkol (n=30) dan bobot 100 bji (n=10)

Page 6: 1bpros11

118 Abdul Wahid Rauf : Penampilan Agronomi Beberapa Varietas Jagung pada Dua Zona Agroekologi di Papua

KESIMPULAN DAN SARAN Varietas Srikandi Kuning memiliki hasil pipilan kering tertinggi di Jayapura yaitu 6,20 t/ha, sedangkan di Merauke adalah varietas Sukmaraga dengan hasil 2,25 t/ha. Rata-rata hasil jagung pipilan kering pada lahan kering iklim basah di Jayapura dapat mencapai 4,79 t/ha, sedangkan pada lahan kering iklim kering di Merauke hanya 1,90 t/ha. Peningkatan produktivitas jagung pada lahan kering iklim basah di Jayapura dan lahan kering iklim kering di Merauke masih sangat memungkinkan melalui perbaikan pola tanam berdasarkan pola curah hujan setempat, pengelolaan irigasi dan hara yang baik, serta penggunaan varietas unggul spesifik lokal.

DAFTAR PUSTAKA

BMG, 2007. Badan Meteorologi dan Geofisika. Jayapura

BMKG, 2010a. Balai Meteorologi Klimatologi dan Geofisika, Jayapura

BMKG, 2010b. Balai Meteorologi Klimatologi dan Geofisika, Merauke

Bolanos, J., dan G.O. Edmeades. 1996. The importance of the anthesis-silking interval in breeding for drought tolerance in tropical maize. Field Crops Research, 48: 65–80.

BPS. 2009. Badan Pusat Statistik. Jakarta Cassman, K.G. 1999. Ecological

intensification of cereal production system: yield potential, soil quality, and precision agriculture. Proceeding of the National Academy of Sciences USA, 96: 5952-5959.

Djaenudin, D., M. Hendrisman. 2008. Prospek pengembangan tanaman pangan lahan kering di Kabupaten Merauke. Jurnal Litbang Pertanian, 27(2): 55-62

Jones, R.J., dan S.R. Simmons. 1983. Effect of altered source-sink ratio on growth of maize kernels. Crop Science, 23: 129–134.

Kamara, A.Y., A. Menkir, B. Badu-Apraku, dan O.Ibikunle. 2004.The influence of drought stress on growth, yield and yield components of selected maize genotypes. Journal of Agricultural Science, 141: 43–50.

Kamara, A.Y., A. Menkir, M.A.B.Fakorede, S.O. Ajala, B. Badu-Apraku, dan I.Kureh. 2004. Agronomic performance of maize cultivars representing three decades of breeding in the Guinea Savannas of West and Central Africa. Journal of Agricultural Science, 142: 567–575.

Mejaya, M.J., M.Azrai, dan R.N. Iriany.2010. Pembentukan varietas unggul jagung bersari bebas. Dalam Jagung; Teknik Produksi dan Pengembangannya. Badan Litbang Pertanian.

Rouw, A. 2008. Analisis dampak keragaman curah hujan terhadap kenerja produksi padi sawah (Studi Kasus di Kabupaten Merauke, Papua). Jurnal Pengkajian dan Pengembangan Teknologi Pertanian, 11: 145-154

Schussler, J.R. dan M.E. Westgate. 1995. Assimilate flux determines kernel set at low water potential in maize. Crop Science, 35: 1074–1080..

Sharma,D., R. C. Sharma, R. Dhakal, N. B. Dhami, D. B. Gurung, R. B. Katuwal, K. B. Koirala, R. C. Prasad, S. N. Sah, S. R. Upadhyay, T. P. Tiwari, G. Ortiz-Ferrara. 2008. Performance stability of maize genotypes across diverse hill environments in Nepal. Euphytica ,164:689–698

Subandi. 1998. Corn varietal improvement in Indonesia. Progress and Future Strategies. IARD Journal Vol.20.

Swastika, D.K.S., F.Kasim, W.Sudana, R.Hendayana, K. Suhariyanto, R.V. Gerpacio, dan P.L. Pingali. 2004. Maize in Indonesia; Production System, Constrain, and Research Priorities. International Maize and Wheat Improvement Center. 40 hal.

Westgate, M.E.dan J.S. Boyer. 1985. Carbohydrate reserves and reproductive development at low leaf water potentials in maize. Crop Science, 25: 762–769.

Zubachtirodin, M.S. Pabbage, dan Subandi. 2010. Wilayah Produksi dan Potensi Pengembangan Jagung. Dalam Jagung: Teknik Produksi dan Pengembangannya. Badan Litbang Pertanian.

Page 7: 1bpros11

119 Seminar Nasional Serealia 2011