Upload
fellicia-widya
View
90
Download
4
Embed Size (px)
Citation preview
I. PENDAHULUAN
Hemoroid merupakan penyakit daerah anus yang cukup banyak ditemukan
pada praktek dokter. Hemoroid sering disebut pula sebagai wasir dalam istilah
masyarakat umum (Marcellus, 2009). Hemoroid merupakan pelebaran varises
satu segmen atau lebih vena-vena hemoroidalis. Hemoroid biasanya dibagi
menjadi 2 jenis, yaitu hemoroid interna dan hemoroid eksterna. Hemoroid interna
merupakan varises vena hemoroidalis superior dan media. Sedangkan hemoroid
eksterna merupakan varises vena hemoroidalis inferior. Sesuai dengan istilah yang
digunakan, hemoroid interna timbul di sebelah dalam atau di sebelah proksimal
otot sfingter ani, dan hemoroid eksterna timbul di sebelah luar otot sfingter ani.
Hemoroid timbul karena adanya kongesti vena yang disebabkan gangguan aliran
balik dari vena hemoroidalis (Price & Wilson, 2006).
Kedua jenis hemoroid ini sangat sering terjadi dan terdapat sekitar 35%
penduduk pria maupun wanita yang berusia lebih dari 25 tahun. Walaupun
hemoroid bukan merupakan kelainan yang mengancam jiwa, tetapi menimbulkan
rasa yang sangat tidak nyaman (Price & Wilson, 2006). Beberapa faktor etiologi
hemoroid diantaranya adalah konstipasi, diare, seringnya mengejan, kongesti
pelvis pada kehamilan, pembesaran prostat, fibroid uteri dan tumor rektum.
Penyakit hati kronik yang disertai hipertensi portal sering mengakibatkan
hemoroid, karena vena hemoroidalis superior mengalirkan darah ke dalam sistem
portal. Selain itu sistem portal tidak mempunyai katup, sehingga mudah terjadi
aliran balik (Price & Wilson, 2006).
Keluhan yang biasanya dirasakan oleh penderita hemoroid adalah nyeri,
terdapatnya benjolan pada anus dan perdarahan. Beberapa alternatif penanganan
hemoroid yaitu dengan hemoroidektomi dan secara medikamentosa. Insidensi
hemoroid pada masyarakat umum sekitar 5-35% dan terutama berusia lebih dari
25 tahun, dan jarang terjadi pada usia di bawah usia 20 tahun kecuali wanita
hamil. Sebuah studi tentang kejadian hemoroid di Semarang sejak tahun 2007
sampai dengan tahun 2011 menunjukan prevalensi hemoroid berubah-ubah
menurun dan meningkat (Probosuseno, 2009).
Hemoroid bisa mengenai siapa saja, baik laki-laki maupun wanita.
Insidensi penyakit ini secara teori akan meningkat sejalan dengan bertambahnya
usia dan akan mencapai puncaknya pada usia 45 – 65 tahun. Walaupun hemoroid
merupakan penyakit yang tidak membahayakan nyawa, namun menimbulkan
gejala-gejala yang sangat tidak nyaman.
II. TINJAUAN PUSTAKA
A. Definisi
Hemoroid merupakan pelebaran dan inflamasi pembuluh darah vena di
daerah anus yang berasal dari plexus hemoroidalis. Pelebaran di bawah linea
dentata disebut hemoroid eksterna, sedangkan pelebaran di atas linea dentata
disebut hemoroid interna. Linea dentata adalah garis pertemuan antara
permukaan usus besar di sisi dalam dan permukaan kulit di sisi luar. Hemoroid
interna dibagi 4 derajat menurut gambaran klinisnya, yaitu :
1. Derajat I
Pembesaran hemoroid yang tidak prolaps ke luar kanal anus. Hanya bisa
dilihat dengan anorektoskop.
2. Derajat II
Pembesaran hemoroid yang prolaps dan menghilang atau masuk sendiri ke
dalam anus secara spontan.
3. Derajat III
Pembesaran hemoroid yang prolaps dapat masuk lagi ke anus dengan
bantuan dorongan jari.
4. Derajat IV
Prolaps hemoroid yang permanen. Rentan mengalami thrombosis dan
infark.
Hemoroid eksterna diklasifikasikan sebagai bentuk akut dan kronik.
Bentuk akut berupa pembengkakan bulat kebiruan pada pinggir anus dan
merupakan suatu hematoma. Bentuk ini sangat nyeri dan gatal. Bentuk kronik
merupakan sekuel dari hematom akut. Hemoroid ini berupa satu atau lebih
lipatan kulit anus yang terdiri dari jaringan ikat dan sedikit pembuluh darah
(Varut, 2012).
Gambar 2.1 Hemoroid Interna dan Hemoroid Eksterna
B. Etiologi
Hemoroid timbul akibat dilatasi abnormal dan distorsi pembuluh darah,
pembengkakan vena hemoroidalis yang disebabkan oleh faktor risiko. Faktor
risiko yang mempengaruhi terjadinya hemoroid, yaitu (1) :
1. Anatomik
Vena daerah anorektal tidak memiliki katup dan pleksus hemoroidalis
kurang mendapat sokongan dari otot dan fascia di sekitarnya.
2. Usia
Pada usia tua terjadi degenerasi dari seluruh jaringan tubuh, juga otot
sfingter akan menjadi tipis dan atonis.
3. Keturunan
Dinding pembuluh darah yang lemah dan tipis menjadi faktor risiko
hemoroid secara genetis atau yang diturunkan.
4. Pekerjaan
Orang yang harus berdiri, duduk lama atau harus mengangkat barang berat
mempunyai predisposisi untuk hemoroid.
5. Mekanis
Semua keadaan yang menyebabkan meningkatnya tekanan intra abdomen,
misalnya penderita hipertrofi prostat, konstipasi menahun dan sering
mengejan pada waktu defekasi.
6. Endokrin
Pada wanita hamil terjadi dilatasi vena ekstremitas dan anus oleh karena
adanya sekresi hormon relaksin.
7. Fisiologi
Bendungan pada peredaran darah portal, misalnya pada penderita sirosis
hepatis.
Faktor-faktor risiko hemoroid lainnya antara lain faktor mengejan saat
buang air besar, pola buang air besar yang salah (lebih banyak memakai toilet
duduk), kehamilan, konstipasi, kurang minum air, kurang konsumsi makanan
berserat (Caroline, 2011).
C. Epidemiologi
Insiden penyakit hemoroid pada populasi umum sebagian besar tidak
diketahui, dan studi telah melaporkan berbagai prevalensi: 4,4-86%
(Abramowitz L, 2010). Namun,hanya sepertiga dari pasien dengan gejala wasir
mencari bantuan medis (Alonso et al, 2003).
Prevalensi penyakit hemoroid di Amerika Serikat adalah 4,4%.
Hemoroid bisa terjadi pada semua umur tetapi paling banyak terjadi pada umur
45 – 65 tahun. Penyakit hemoroid jarang terjadi ada usia di bawah 20 tahun.
Prevalensi meningkat pada ras Laulasian dan individu dengan status ekonomi
tinggi. Angka prevalensi hemoroid di akhir pertengahan abad ke 20 dilaporkan
menurun (Cintron & Herand, 2007).
D. Patogenesis dan Patofisiologi
Hemoroid timbul karena dilatasi, pembengkakan atau inflamasi vena
hemoroidalis yang disebabkan oleh faktor risiko atau pencetus. Faktor risiko
antara lain mengejan, konstipasi, usia tua, kehamilan, peningkatan tekanan
intraabdomen, kurang makanan berserat (Marcellus, 2009).
Pleksus hemoroidalis merupakan sistem arteriovenosus anastomosis
yang terletak di daerah submukosa kanalis analis. Terdapat dua buah
pleksus,yaitu pleksus hemoroidalis interna dan pleksus hemoroidalis eksterna
yang terpisah satu dengan yang lainya dan dibatasi oleh linea dentata
(Syamsuhidajat, 2000).
Aliran balik vena dari kolon dan rektum superior adalah melalui vena
mesenterika superior, vena mesenterika inferior, dan vena hemoroidalis
superior (bagian sistem portal yang mengalirkan darah ke hati). Vena
hemoroidalis media dan inferior mengalirkan darah ke vena iliaka sehingga
merupakan bagian sirkulasi sistemik. Terdapat anastomosis antara vena
hemoroidalis superior, media, dan inferior, sehingga bila tekanan portal
meningkat dapat menyebabkan terjadinya aliran balik ke dalam vena dan
mengakibatkan hemoroid (Sylvia, 2005).
Konstipasi juga merupakan salah satu faktor etiologi yang dapat
menyebabkan hemoroid. Penyebab umum konstipasi adalah kegagalan
pengosongan rectum saat terjadi peristaltik massa. Bila defekasi tidak
sempurna, rectum menjadi relaks dan keinginan defekasi menghilang
sementara air tetap terus diabsorpsi dari massa feses, sehingga menyebabkan
feses jadi keras dan susah dikeluarkan. Bila massa feses ini terkumpul di satu
tempat dan tidak bisa dikeluarkan, maka akan menyebabkan tekanan yang
berlebihan yang memicu timbulnya kongesti vena hemoroidalis interna dan
eksterna yang dapat menyebabkan hemoroid (Sylvia, 2005).
Penyakit hati kronik yang disertai hipertensi portal sering
mengakibatkan hemoroid, karena vena hemoroidalis superior mengalirkan
darah ke dalam sistem portal. Sistem portal tidak memiliki katup, sehingga
mudah terjadi aliran balik. Aliran balik dan peningkatan tekanan vena yang
berulang-ulang akan menyebabkan vena prolaps dan hemoroid (Syamsuhidajat,
2000).
Perdarahan umumnya adalah tanda hemoroid interna akibat trauma
feses yang keras. Darah yang keluar berwarna merah segar dan tidak
bercampur dengan feses. Perdarahan hemoroid yang berulang dapat
menyebabkan anemia. Hemoroid yang membesa secara perlahan akhirnya
dapat menonjol keluar menyebabkan prolaps. Apabila hemoroid mengalami
prolaps, lapisan epitel penutup bagian yang menonjol ke luar mengeluarkan
mucus yang dapat dilihat ketika pasien diminta mengejan (Sylvia, 2005).
E. Penegakan Diagnosis
1. Anamnesa
a. Hemoroid Interna (Cintron & Herand, 2007)
1) Perdarahan merupakan tanda pertama akibat dari trauma oleh feses
yang keras.
2) Darah yang keluar berwarna merah segar dan tidak tercampur feses.
Perdarahan dapat berupa garis pada feses atau kertas pembersih
sampai perdarahan yang terlihat menetes atau warna air toilet yang
menjadi merah karena darah.
3) Hemoroid yang membesar secara perlahan-lahan akhirnya dapat
menonjol keluar menyebabkan prolaps. Pada tahap awal, penonjolan
hanya terjadi pada saat defekasi dan disusul reduksi spontan setelah
defekasi. Dan pada stadium yang lebih lanjut, prolaps harus didorong
masuk kembali setelah defekasi. Pada akhirnya hemoroid akan
berlanjut menjadi prolaps menetap yang tidak bisa didorong masuk
kembali, hal ini ditandai dengan adanya mukus dan feses pada pakaian
dalam.
4) Adanya iritasi kulit perianal dapat menimbulkan rasa gatal yang
disebut dengan pruritus ani.
5) Dapat timbul nyeri akut jika mengalami inkarserata atau strangulasi.
Nyeri ini berhubungan dengan spasme kompleks dari sfingter.
Gambar 2.2 Derajat Hemoroid Interna
A. Derajat I, B. Derajat II, C. Derajat III & IV
b. Hemoroid Eksterna (Cintron & Herand, 2007; Thornton, 2010; Acheson
& Scholefield, 2008)
1) Nyeri yang timbul karena trombosis akut dari vena hemoroidalis
eksternayang bisa terjadi pada keadaan tertentu, seperti saat
melakukan aktivitas fisik, mengedan saat konstipasi, diare, dan
perubahan diet.
2) Nyeri berlangsung selama 7 – 14 hari dan sembuh dengan resolusi
trombosis tersebut. Nyeri hanya timbul apabila terdapat trombosis
yang luas dengan udem dan radang.
3) Perdarahan timbul akibat trombosis eksternal yang mengerosi kulit.
Gambar 2.3 Hemoroid Eksterna
Dari anamnesis perlu digali keluhan-keluhan dari pasien yang
mengarah ke hemoroid. Selain itu perlu juga dicari faktor-faktor risiko,
misalnya riwayat pengobatan dan diet yang bisa menyebabkan konstipasi
atau diare, riwayat penyakit yang berhubungan dengan hemoroid, terutama
kelainan perdarahan dan penyakit liver dengan hipertensi portal
(Nivatvongs, 2007).
2. Pemeriksaan Fisik
Pemeriksaan fisik untuk hemoroid terdiri dari inspeksi rectum,
pemeriksaan colok dubur atau rectal toucher, dan anokopi atau
proktosigmoidoskopi. Posisi yang digunakan untuk memeriksa pasien
adalah left lateral decubitus. Letak dari semua kelainan di anal
dideskripsikan secara anatomis (anterior, posterior, dan sebagainya), bukan
dengan arah jarum jam agar bisa menentukan posisi kelainan tanpa
memperhatikan posisi pasien saat diperiksa. Inspeksi dilakukan di seluruh
area perianal. Cari adanya kelainan kulit perianal, protrusi hemoroid
internal, fisura ani, pruritus ani, skin tag, dan adanya trombosis (Cintron &
Heran, 2007).
Saat melakukan pemeriksaan colok dubur atau rectal toucher,
ingatkan pasien bahwa kita akan memeriksa anus pasien dengan cara
memasukan jari ke dalam lubang anus. Hal ini penting aga apasien merasa
relaks. Pertama lihat dan buka pantat pasien untuk mendapatkan visualisasi
yang baik terhadap anoderm, ini meliputi bagian distal anal kanal. Fisura
pada anal dan pruritus ani mudah dilihat tanpa pemeriksaan bagian dalam.
Lalu perhatikan adanya skin tag dan thrombus, kemudian tentukan jumlah
dan lokasinya. Kemudian lakukan rectal toucher, nilai tonus sfingter ani
rasakan jika terdapat nyeri, adanya massa, abses, mucoid discharge, dan.
pastikan untuk memeriksa prostat pada semua pasien laki-laki. Hemoroid
internal biasanya tidak teraba karena merupakan struktur vaskular yang
lembut (Cintron & Heran, 2007; Thornton, 2010).
Anoskopi dilakukan untuk melihat hemoroid interna. Prolaps bisa
dilihat ketika pasien disuruh mengejan. Bantalan hemoroidal dapat dilihat
dengan anoskop di posisi lateral kiri, kanan depan, dan kanan belakang.
Ukuran hemoroid, keparahan inflamasi, dan perdarahannya harus dinilai
(Thornton, 2010). Proktoskopi atau flexible sigmidoscopy dilakukan pada
semua kasus untuk melihat rectum dan kolon bagian bawah untuk
mengeksklusi adanya karsinoma, adenoma, dan inflammatory bowel
disease. Keadaan yang disebutkan terakhir memiliki gejala yang mirip
dengan penyakit hemoroid (Nivatvongs, 2007).
3. Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan penunjang yang dapat dilakukan pada hemoroid antara lain
(Caroline, 2011):
a. Pemeriksaan rontgen barium enema untuk memastikan adanya
kelainan di kolon.
b. Enteroskopi untuk menyingkirkan apakah ada tumor atau colitis di
usus halus.
4. Gold Standard Diagnosis (Kriteria Diagnosis)
Diagnosis ditegakkan berdasarkan anamnesis keluhan klinis
berdasarkan klasifikasi hemoroid dan pemeriksaan anoskopi. Pemeriksaan
enteroskopi dan rontgen barium enema dapat dilakukan untuk memastikan
adanya tumor di usus halus, karena hemoroid dapat disebabkan oleh adanya
tumor di dalam abdomen (Marcellus, 2009).
F. Diagnosis Banding
Perdarahan rektum yang merupakan manifestasi utama hemoroid
interna juga terjadi pada karsinoma kolorectum, penyakit divertikel, colitis
ulserosa, polip. Kondiloma perianal dan tumor anorektum biasanya tidak sulit
dibedakan dari hemoroid yang mengalami prolaps. Adanya lipatan kulit
sentinel pada garis tengah dorsal yang disebut umbai kulit dapat menunjukan
adanya fisura anus (Syamsuhidajat, 2004).
G. Penatalaksanaan
Penatalaksanaan hemoroid terdiri dari penatalaksanaan medis dan
penatalaksanaan bedah. Penatalaksanaan medis terdiri dari nonfarmakologis,
farmakologis, tindakan minimal invasive. Penatalaksanaan medis hemoroid
ditujukan untuk hemoroid interna derajat I sampai dengan III atau semua
derajat hemoroid yang ada kontraindikasi operasi atau pasien menolak operasi.
Penatalaksanaan bedah ditujukan untuk hemoroid interna derajat IV dan
eksterna, atau semua derajat hemoroid yang tidak respon terhadap pengobatan
medis (Sudoyo, 2009).
1. Farmakologis
Obat-obat farmakologis hemoroid dapat dibagi atas 4, yaitu pertama:
memperbaiki defekasi, kedua: meredakan keluhan subyektif, ketiga:
menghentikan perdarahan, dan keempat: menekan atau mencegah timbulnya
keluhan dan gejala (Sudoyo, 2009).
a. Obat memperbaiki defekasi
Ada dua obat yang diikutkan dalam BMP yaitu suplemen serat
(fiber suplement) dan pelincir atau pelicin tinja (stool softener).
Suplemen serat komersial yang banyak dipakai antara lain psyllium atau
Isphagula Husk yang berasal dari kulit biji Plantago ovata yang
dikeringkan dan digiling menjadi bubuk. Dalam saluran cerna bubuk ini
agak menyerap air dan bersifat sebagai bulk laxative, yang bekerja
membesarkan volum tinja dan meningkatkan peristaltis. Efek samping
antara lain kentut, kembung dan konstipasi, alergi, sakit perut dan lain-
lain. Untuk mencegah konstipasi atau opstruksi saluran cerna dianjurkan
minum air yang banyak.
Obat kedua yaitu obat laksan atau pencahar antara lain natrium
dioktil sulfosuksinat. Natrium dioctyl sulfosuccinat bekerja sebagai
anionic surfactant, merangsang sekresi mukosa usus halus dan
meningkatkan penetrasi cairan ke dalam tinja. Dosis 300 mg/hari.
b. Obat Simtomatik
Pengobatan simtomatik bertujuan menghilangkan atau
mengurangi keluhan rasa gatal, nyeri, atau karena kerusakan kulit di
daerah anus. Obat pengurang keluhan sering kali dicampur pelumas
(lubricant), fasokonstriktor, dan antiseptik lemah. Untuk menghilangkan
nyeri, tersedia sediaan yang mengandung anestesi lokal. Bukti yang
meyakinkan akan anestesi lokal tersebut belum ada. Pemberian anestesi
lokal tersebut dilakukan sesingkat mungkin untuk menghindarkan
sensitisasi atau iritasi kulit anus. Sediaan penenang keluhan yang ada
pasar dalam bentuk ointment atau suppositoria. Bila perlu dapat
digunakan sediaan yang mengandung kortikosteroid untuk mengurangi
radang daerah hemoroid atau anus. Sediaan berbentuk suppositoria
digunakan untuk hemoroid interna, sedangkan sediaan ointment atau
krem digunakan untuk hemoroid eksterna.
c. Obat menghentikan perdarahan.
Perdarahan menandakan adanya luka pada dinding anus atau
pecahnya vena hemoroid yang dindingnya tipis. Pemberian serat
komersial misal psyllium pada penelitian Perez-Miranda et al (1996)
setelah 2 minggu pemberian ternyata dapat mengurangi perdarahan
hemoroid yang terjadi dibandingkan plasebo. Szent-Gyorgy memberikan
citrus bioflavanoids yang berasal dari jeruk lemon dan paprika pada
pasien hemoroid berdarah, ternyata dapat memperbaiki permeabilitas
dinding pembuluh darah. Bioflavonoids yang berasal dari jeruk lemon
antara lain diosmin, heperidin, rutin, naringin, tangeretin, diosmetin,
neohesperidin, quercetin. Yang digunakan untuk pengobatan hemoroid
yaitu campuran diosmin (90%) dan dan hesperidin (10%), dalam bentuk
micronized. Bukti-bukti yang mendukung penggunaan bioflavonoid
untuk menghentikan perdarahan hemoroid antara lain penelitian Ho dkk
(1995) meneliti efek daflon 500 mg 3xper hari dalam mencegah
perdarahan sekunder setelah hemoroidektomi pada 228 pasien hemoroid
dengan prolaps menetap. Pada kelompok daflon perdarahan sekunder
lebih sedikit dibandingkan kelompok plasebo.
Ho et al (2000) melakukan penelitian daflon pada hemoroid yang
diobati dengan ligasi rubber band selama 3 bulan. Pada kelompok daflon
didapatkan perdarahan ulang yang lebih sedikit dibandingkan kontrol.
d. Obat Penyembuh dan pencegah serangan hemoroid
Caspite (1994) melakukan uji klinik pada 100 pasien hemoroid
akut yang membandingkan diosminthesperidin dan plasebo, dengan
rancangan tersamar ganda dan teracak. Diosminthesperidin dan plasebo
diberikan tiga kali 2 tablet selama 4 hari, lalu 2 kali 2 tablet selama 3
hari. Perbaikan menyeluruh keluhan dan gejala terjadi pada kedua
kelompok pengobatan. Tetapi perbaikan lebih nyata pada kelompok
diosminthesperidin (p<0,001). Diosminthesperidin memberi perbaikan
yang nyata terhadap gejala inflamasi, kongesti, edema dan prolaps.
Rani AA et al dalam penelitiannya melakukan studi pemberian
micronized flavonoid (Diosmin+Hesperidin) (R/Ardium) 2 tablet per
hari selama 8 minggu pada pasien hemoroid kronik. Dalam penelitian ini
didapatkan hasil penurunan derajat hemoroid pada akhir pengobatan
dibanding sebelum pengobatan secarabermakna. Perdarahan juga makin
berkurang pada akhir pengobatan dibanding awal pengobatan.
2. Penatalaksanaan minimal invasive
Penatalaksanaan hemoroid ini dilakukan bila pengobatan non
farmakologis, farmakologis tidak berhasil. Penatalaksanaan ini antara lain
tindakan skleroterapi hemoroid, ligasi hemoroid, pengobatan hemoroid
dengan terapi laser (Sudoyo, 2009).
Pada tahun 1993-1995 di RSCM dilakukan penelitian terapi
skleroterapi pada 18 pasien hemoroid menggunakan obat aethoxysclerol 11/2
% , anoskop logam dan jarum spinal no 26 dan spuit 1 cc. Tiap hemoroid
interna disuntik masing-masing 0,5-1ml aethoxysclerol. Dari penelitian ini
didapat bahwa dengan skleroterapi aethoxysclerol didapatkan pengecilan
derajat hemoroid pada minggu 4 sampai dengan 5 setelah skleroterapi 3-5
kali. Komplikasi yang didapatkan yaitu sakit pada anus waktu buang air
besar, dan ulkus (Sudoyo, 2009).
a. Skleroterapi
Skleroterapi adalah penyuntikan larutan kimia yang merangsang ,
misalnya 5% fenol dalam minyak nabati. Penyuntikan diberikan ke
submukosa didalam jaringan areolar yang longgar di bawah hemoroid
interna dengan tujuan menimbulkan peradangan steril yang kemudian
menjadi fibrotic dan meninggalkan parut. Penyuntikan dilakukan di
sebelah atas dari garis mukokutan denganjarum yang panjang melalui
anuskop. Penyuntikan yang dilakukan pada tempat yang tepat tidak akan
menimbulkan nyeri. Penyulit penyuntikan antara lain infeksi, misalnya
prostatitis akut (jika penyuntikan dilakukan melalui prostat) dan reaksi
hipersensitivitas terhadap obat yang disuntikan (Sjamsuhidajat, 2010).
Terapi suntikan bahan sklerotik bersama dengan nasehat tentang
makanan merupakan terapi yang efektif untuk hemoroid interna derajat I
dan II (Sjamsuhidajat, 2010).
b. Ligasi dengan gelang karet
Hemoroid yang besar atau mengalami prolaps dapat ditangani
dengan ligasi gelang karet menurut barron. Dengan bantuan anuskop,
mukosa diatas hemoroid yang menonjol dijepit dan ditarik atau diisap
ke dalam tabung ligator khusus. Gelang karet di dorong dari ligator dan
ditempatkan secara rapat di sekeliling mukosa pleksus hemoroidalis
tersebut. Nekrosis karena iskemia terjadi dalam beberapa hari. Mukosa
bersama karet kan lepas sendiri. Fibrosis dan parut akan terjadi pada
pangkal hemoroid tersebut. Pada stu kali terapi hanya diikat satu
komplekhemoroid, sedangkan ligasi berikutnya dilakukan dalam jangka
waktu dua sampai empat minggu (Sjamsuhidajat, 2010).
Penyulit utama ligasi ialah timbulnya nyeri karena mengenai garis
mukokutan. Untuk menghindari ini, gelang ditempatkan cukup jauh dari
garis mukokutan. Nyeri hebat dapat pula disebabkan oleh infeksi.
Perdarahan dapat terjadi sewaktu hemoroid mengalami nekrosis,
biasanya setelah tujuh sampai sepuluh hari (Sjamsuhidajat, 2010).
3. Penatalaksanaan bedah
a. Bedah beku
Hemoroid dapat pula dibekukan dengan pendinginan pada suhu
yang rendah sekali. Bedah beku atau bedah krio ini tidk dipakai secara
luas oleh karena mukosa yang nekrotik sukar ditentukan luasnya. Bedah
krio ini lebih cocok untuk terapi paliatif karsinoma rektum yang
inoperable (Sjamsuhidajat, 2010).
b. Hemoroidektomi
Terapi bedah dipilih untuk penderita yang mengalami keluhan
menahun dan pada penderita hemoroid derajat III atau IV. Terapi bedah
juga dapat dilakukan pada penderita dengan perdarahan berulang dan
anemia yang tidak sembuh dengan cara terapi lainnya yang lebih
sederhana. Penderita hemoroid derajat IV yang mengalami thrombosis
dan kesakitan hebat dapat di tolong segera dengan hemoroidektomi
(Sjamsuhidajat, 2010).
Prinsip yang harus diperhatikan pada hemoroidektomi adalah
eksisi hanya dilakukan pada jaringan yang benar-benar berlebihan. Eksisi
sehemat mungkin dilakukan pada anoderm dan kulit yang normal dengan
tidak mengganggu stingter anus (Sjamsuhidajat, 2010).
c. Hemoroidopeksi dengan stapler
Karena bantalan hemoroid merupakan jaringan normal yang
berfungsi sebagai katup untuk mencegah inkontinensia flatus dan cairan,
pada hemoroid derajat III dan IV tidak usah dilakukan hemoroidektomi,
tetapi cukup menarik mukosa dan jaringan submukosa rectum distal
keatas (arah aboral) dengan menggunakan sejenis stapler, sehingga
hemoroid akan kembali ke posisi semula yang normal. Operasi hemoroid
jenis ini dinamakan hemoroidopeksi dengan stapler, dan nyeri pasca
bedah pada tindakan ini sangat minimal (Sjamsuhidajat, 2010).
d. Tindak bedah lain
Dilatasi anus yang dilakukan dengan anestesi dimaksudkan untuk
memutus jaringan ikat yang diduga menyebabkan obstruksi jalan keluar
anus atau spasme yang merupakan faktor penting dalam pembentukan
hemoroid. Metode dilatasi menurut Lord ini kadang disertai dengan
penyulit inkontinensia sehingga tidak dianjurkan (Sjamsuhidajat, 2010).
Terapi Hemoroid Eksterna yang Mengalami Trombosis
Keluhan dapat dikurang dengan rendam duduk menggunakan larutan
hangat, salep analgesic untuk mengurangi nyeri atau gesekan pada waktu
berjalan dan sedasi. Istirahat di tempat tidur dapat membantu mempercepat
berkurangnya pembengkakan (Sjamsuhidajat, 2010).
Pasien yang datang sebelum 48 jam dapat segera di tolong dan
menunjukkan hasil yang baik Terapi dilakukan dengan cara mengeluarkan
thrombus atau melakukan eksisi lengkap secara hemoroidektomi
menggunakan anestesi local. Bila tormbus sudah dikeluarkan, kulit di eksisi
berbentuk elips untuk mencegah bertautnya tepi kulit dan terbentuknya
thrombus kembali di bawahnya. Nyeri segera hilang pada saat tindakan, dan
luka akan sembuh dalam waktu singkat sebab luka berada di daerah kaya
akan darah (Sjamsuhidajat, 2010).
Trombus yang sudah terorganisasi tidak dapat dikeluarkan;dalam hal
ini, terapi konservatif merupakan pilihan. Usaha reposisi hemoroid eksterna
yang mengalami thrombus tidak boleh dilakukan karena kelainan ini terjadi
pada struktur luar anus yang tidak dapat direposisi (Sjamsuhidajat, 2010).
4. Non Farmakologis
a. Perbaikan pola hidup
Perbaikan pola makan, pola minum dan defekasi. Pasien
diusahakan tidak banyak duduk atau tidur, dengan banyak bergerak pola
defekasi menjadi lebih teratur. Pasien diharuskan minum 30-40
ml/kgbb/hari untuk melembekkan tinja. Pasien diharuskan banyak
mengkonsumsi sayur, buah, suplementasi serat.
b. Bowel Management Program
Untuk memperbaiki defekasi dianjurkan menggunakan posisi
jongkok. Pada posisi jongkok ternyata sudut anorektal pada orang jadi
lurus ke bawah sehingga hanya diperlukan usaha yang lebih ringan untuk
mendorong tinja ke bawah. Mengejan dan konstipasi akan meningkatkan
tekanan vena hemoroidalis, sehingga dianjurkan untuk defekasi dengan
posisi jongkok agar tidak mengejan lebih banyak. Bersamaan dengan
program BMP, dapat dilakukan tindakan kebersihan local dengan cara
merendam anus dalam air selama 10-15 menit antara 2-4 kali sehari.
Dengan perendaman ini maka eksudat yang lengket dapat dibersihkan.
Bagan 2.1 Alur Penanganan Hemoroid (7)
Penderita datang dgn gejala hemoroid
Anamnesa, dan px fisik, dan jika perlu lakukan anoskopi
Lakukan pemeriksaan tambahan jika :.Menemukan* yg tidak menjelaskan gejala.Risiko kanker kolon **.Pasien telah melakukan skrining kanker kolon
Hemoroid Eksterna
Hemoroid Interna
Grade I dan II
Grade III
Grade IV
Trombus
Non trombus
Medical Treatment*** dan Pain Killer
Medical
treatment
Medical
treatment
Pertimbangkan nonsurgikal terapi
Rujuk untuk HemoroidektomiPertimbangk
an eksisi jika terapi konservatif gagal, thrombus semakin nyeri dan tidak ada edema lokal
Apakah prolaps merupakan gejala utama?
Lakukan Rubber Band Ligation
Jika pendarahan merupakan keluhan utama, lakukan koagulasi infrared
Jika gejala relaps, pertimbangkan melakukan nonsurgikal, hemoroidektomi atau buat diagnosis diferensial
Tidak
YA
*Pendarahan yang muncul spontan dari kontakdengan anoskopi, klot diluar hemoroid**Pasien dengan riwayat keluarga kanker kolon/Gejala berat badan menurun dan lemah***Medical treatment meliputi serat tinggi, topikal jel
III. KESIMPULAN
1. Hemoroid merupakan pelebaran dan inflamasi pembuluh darah vena di
daerah anus yang berasal dari plexus hemoroidalis. Hemoroid
diklasifikasikan menjadi 2 berdasarkan letaknya yaitu hemoroid interna
dan hemoroid eksterna. Hemoroid interna dibagi 4 derajat menurut
gambaran klinisnya Hemoroid eksterna diklasifikasikan sebagai bentuk
akut dan kronik.
2. Hemoroid timbul akibat dilatasi abnormal dan distorsi pembuluh darah,
pembengkakan vena hemoroidalis yang disebabkan oleh faktor risiko
yaitu anatomik, usia, keturunan, pekerjaan, mekanis, endokrin, dan
fisiologi. Selain itu faktor-faktor risiko hemoroid lainnya antara lain
faktor mengejan saat buang air besar, pola buang air besar yang salah
(lebih banyak memakai toilet duduk), kehamilan, konstipasi, kurang
minum air, kurang konsumsi makanan berserat.
3. Penegakan diagnosis dari anamnesis perlu digali keluhan-keluhan dari
pasien yang mengarah ke hemoroid. Selain itu perlu juga dicari faktor-
faktor risiko, misalnya riwayat pengobatan dan diet yang bisa
menyebabkan konstipasi atau diare, riwayat penyakit yang berhubungan
dengan hemoroid, terutama kelainan perdarahan dan penyakit liver
dengan hipertensi portal. Pemeriksaan fisik untuk hemoroid terdiri dari
inspeksi rectum, pemeriksaan colok dubur atau rectal toucher, dan
anokopi atau proktosigmoidoskopi. Pemeriksaan penunjang yang dapat
dilakukan pada hemoroid antara lain pemeriksaan rontgen barium
enema dan enteroskopi.
4. Penatalaksanaan hemoroid terdiri dari penatalaksanaan medis dan
penatalaksanaan bedah. Penatalaksanaan medis terdiri dari
nonfarmakologis, farmakologis, tindakan minimal invasive.
IV. DAFTAR PUSTAKA
Acheson GA, Scholefield JH. Management of Haemorrhoids. BMJ. 2008. 336: 380-383.
Caroline Sanchez, Bertram Chinn. 2011. Hemorrhoids. Clin Colon Rectal Surg;24:5-13
Cintron Jose R, Herand Abcarian. Benign Anorectal: Hemorrhoids. The ASCRS Textbook of Colon and Rectal Surgery. Springer. New York. 2007. 11:156-172.
Marcellus, Sumadibrata. 2009. Hemoroid dalam Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Jakarta: Interna Publishing.
Nivatvongs, Santhat. Hemorrhoids. Principle and Practice of Surgery for the Colon, Rectum, and Anus. Third Edition. Informa Health Care. New York. 2007. 8: 144-164.
Price, Silvia A. & Wilson, Lorraine M. 2005. Hemoroid Dalam: Konsep – konsep Klinis Proses Penyakit, Edisi VI, Patofisiologi Vol.1. Jakarta, Penerbit Buku Kedokteran EGC. Hal: 467.
Sjamsuhidajat, R., et al. 2010. Usus Halus, Apendiks, Kolon, dan Anorektum dalam Buku Ajar Ilmu Bedah. Jakarta: EGC.
Sudoyo, Aru W., et al. 2009. Hemoroid dalam Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Jakarta: Interna Publishing.
Thornton SC. Hemorrhoids. Available at: http://emedicine.medscape.com/article/195401-print. Last update: March 16, 2010. Accesed: 26 November 2013.
Varut Lohsiriwat. 2012. Hemorrhoids : From Basic Patophysiology to Clinical Management. World J Gastroenterol May 7;18(17): 2009-201. Available at : http://www.wjgnet.com/1007-9327 office