Upload
others
View
11
Download
0
Embed Size (px)
Citation preview
2. LANDASAN TEORI
2.1.Tegangan dan Regangan pada Perkerasan Lentur
Umumnya teori yang digunakan untuk memprediksi moda kelelahan
didasarkan pada konsep sistem elastis multilapis. Solusi analitis untuk
menyatakan hubungan tegangan dan regangan didasarkan atas beberapa asumsi
berikut (Yoder & Witczak, 1975) :
- Sifat-sifat bahan untuk setiap lapis adalah homogen dan isotropis,
- Setiap lapis pada arah lateral mempunyai ketebalan tertentu kecuali pada lapis
paling bawah (tanah dasar, subgrade),
- Geser penuh terjadi di antara lapis perkerasan (interface),
- Tidak ada kekuatan geser yang timbul pada bagian atas dari lapis permukaan,
- Solusi tegangan berhubungan dengan 2(dua) parameter sifat material yakni
Poisson's ratio (µ) dan modulus kekakuan (E).
Pada gambar 2.1 diberikan diagram tegangan yang terjadi pada perkerasan
lentur. Tegangan dan regangan kritis terjadi pada bagian bawah lapis permukaan
dan dipermukaan tanah dasar.
Umumnya regangan yang terjadi pada bagian bawah lapis permukaan (εr1)
adalah regangan tarik (tensile strain) sebaliknya pada permukaan tanah dasar
regangan yang terjadi adalah regangan tekan (compressive strain).
Umumnya teori yang digunakan untuk memprediksi moda kelelahan
didasarkan pada konsep sistem elastis multilapis.
2.2.Konsep Modulus Kekakuan
Aspal adalah material yang bersifat visko-elastis dan deformasi yang
timbul akibat adanya tegangan merupakan fungsi dari temperatur dan waktu
pembebanan. Pada temperatur yang tinggi atau waktu pembebanan yang panjang
berperilaku viscous-liquid dan pada suhu yang rendah atau waktu pembebanan
yang pendek (seketika) bersifat solid-elastic (brittle).
5
Van der Poel (1954) memperkenalkan konsep modulus kekakuan aspal
(stiffness modulus of bitumen) sebagai parameter dasar untuk menjelaskan sifat-
sifat mekanisme aspal. Pada saat awal (t = 0) tegangan tarik (σ) yang diberikan
pada material visko-elastis tersebut menyebabkan regangan tarik (ε t) namun tidak
bertambah secara proporsional terhadap waktu pembebanan, sehingga modulus
kekakuan aspal yang terjadi tergantung pada waktu atau lamanya pembebanan.
Karena bersifat visko-elastis, modulus kekakuan aspal juga tergantung pada
temperatur.
2.1.
6
Modulus kekakuan aspal dapat didefinisikan sebagai :
Sbit = σ / ε(t,T) ................................................................................... (2.1)
dimana :
Sbit = modulus kekakuan aspal tergantung pada waktu pembebanan (t)
dan temperatur (T)
σ = Tegangan tarik yang terjadi (applied tensile stress)
ε(t,T) = Regangan tarik, tergantung pada waktu pembebanan (t) dan
temperatur (T).
2.3.Kriteria Desain Kelelahan
Sasaran disain adalah untuk membatasi bertambahnya pengaruh retak
(cracking dan/ atau wheel track rutting) yang terjadi selama umur layan.
2.3.1 Pengujian Kelelahan
Kelelahan merupakan suatu fenomena pengulangan beban lalu lintas yang
menimbulkan retak yang direpresentasikan oleh terjadinya repetisi tegangan atau
regangan pada tingkat tertentu dibawah kekuatan batas dari material (Yoder &
Witczak, 1975)
Pengujian terhadap retak akibat kelelahan didapatkan dari hubungan antara
tegangan dan regangan dengan jumlah pengulangan beban hingga terjadinya
keruntuhan. Pengujian kelelahan dapat dilakukan atas beberapa metoda pengujian,
moda pembebanan, pola pembebanan dan frekuensi pembebanan dengan variasi
ukuran benda uji.
Data pengujian adalah bersifat menyebar (scatter) yang menggambarkan
beragamnya kondisi pembebanan dan lingkungan. Data kelelahan umumnya di
plot pada skala logaritma (tegangan atau regangan tarik awal) dengan logaritma
(umur kelelahan).
7
2.3.2 Moda Pembebanan
Moda pembebanan yang umum dilakukan dengan cara kontrol tegangan
(controlled-stress) dan kontrol regangan (controlled- strain).
Pada kontrol tegangan, amplitudo tegangan siklik pada benda uji
diusahakan konstan selama pengujian berlangsung dan amplitudo regangan siklis
dibiarkan bertambah. Amplitudo regangan yang meningkat mengakibatkan
melemahnya benda uji selama pengujian berlangsung. Keruntuhan didefinisikan
sebagai jumlah pengulangan yang menyebabkan keruntuhan benda uji atau jumlah
pengulangan yang menyebabkan amplitudo regangan bertambah hingga mencapai
batas pengulangan yang ditentukan, misalnya 100 persen (jumlah pengulangan
yang mengakibatkan perubahan kemiringan yang tajam pada kurva lendutan
dengan pengulangan tegangan).
Pada cara kontrol regangan, amplitudo regangan diberikan konstan selama
pengujian berlangsung. Benda uji akan melemah sehingga amplitudo yang
dibutuhkan akan berkurang. Keruntuhan benda uji didefinisikan sebagai jumlah
pengulangan regangan yang menyebabkan besar tegangan menurun menjadi 50%
dari nilai awal yang diberikan.
2.3.3 Metoda Pengujian
Menurut SHRP-A-404 (1994) metoda pengujian laboratorium yang cukup
baik digunakan untuk menguji kinerja campuran beraspal terhadap karakteristik
kelelahan seperti : rotating bending, flexural fatigue test (dengan variasi 2 point
loading dan 3 and 4 point loading) seperti Gambar 2.2, indirect tensile (Marshall
briquettes) serta direct axial.
8
2.3.4 Umur Kelelahan
Menurut Cooper and Pell (1974), pengujian beton aspal dengan moda
pembebanan kontrol regangan diperoleh suatu hubungan yang linear antara
regangan dengan umur kelelahan (dalam skala logaritma) pada suhu dan
kecepatan pembebanan yang konstan. Hubungan tersebut dinyatakan sebagai
berikut :
N = C (1/ε)m ........................................................................... (2.2)
Secara reversal pola penelitian terhadap moda pembebanan kontrol
tegangan juga memberikan hubungan yang linear antara regangan dan umur
kelelahan dengan tegangan jika digambarkan dalam skala logaritma, dan
dinyatakan sebagai berikut :
N = C (1/σ)n ........................................................................... (2.3)
P2
P2
a a
L
b
h
Gambar 2.2. Flexural Fatigue Test 4 Point Loading
9
Dimana :
N = umur kelelahan (jumlah pengulangan yang menimbulkan retak)
ε = amplitudo regangan yang diberikan
σ = amplitudo tegangan yang diberikan
m,n = faktor kemiringan garis kelelahan
C = konstanta pengujian kelelahan
Umur kelelahan juga dipengaruhi oleh komposisi beton aspal seperti jenis
agregat, kandungan aspal, kandungan rongga udara dan kepadatan campuran yang
dihasilkan. Pada gambar 2.3. diperlihatkan hubungan antara tegangan dan umur
kelelahan dalam skala logaritma untuk beberapa variasi temperatur dan komposisi
beton aspal.
2.3.5 Pola Pembebanan
Pola-pola pembebanan pada pengujian kelelahan adalah sebagai berikut
(bentuk pembebanan diperlihatkan pada gambar 2.4.) :
- Full sine wave (sinusoidal wave), pola ini pada bagian serat yang paling
ekstrim dari benda uji aspal mengalami pembalikan tegangan secara penuh
pada setiap siklus beban,
- Half sine wave, hampir sama dengan diatas tetapi tidak ada pembalikan
tegangan,
- Haversine wave with delay, dan block loading.
10
Sumber : SHRP-A-404, 1994
Gambar 2.3. Hubungan Tegangan dan Umur Kelelahan dalam Skala Logaritma dalam Pengujian Kontrol Tegangan akibat pengaruh Komposisi Beton Aspal
dan Temperatur
11
Secara umum pada pengujian di laboratorium, kurva kelelahan tegangan
dan regangan untuk benda uji berbentuk balok yang dipadatkan menunjukkan
bahwa benda uji dengan pembalikan tegangan memiliki umur kelelahan yang
lebih pendek daripada benda uji tanpa pembalikan tegangan (Irwin & Gallaway,
1974).
Rantetoding (1988) meneliti bahwa pola sinusoidal (full sine) lebih
mewakili pola pembebanan akibat beban kendaraan yang bekerja pada bagian atas
lapis permukaan jalan.
2.3.6. Frekuensi Pembebanan
Disamping karena pengaruh temperatur (T), sifat visko-elastis material
aspal juga dipengaruhi oleh waktu pembebanan (t). Parameter ini berhubungan
dengan frekuensi pembebanan yang akan menentukan ketahanan terhadap
kelelahan akibat retak. Frekuensi dan waktu pembebanan dihubungkan dengan
rumus sebagai berikut :
f = 1/(2πt) ..................................................................................... (2.4)
Dimana :
f = Frekuensi (Hz)
t = Waktu pembebanan (detik)
Menurut Brown (1973), perhitungan pembebanan yang terjadi pada bagian
bawah lapis aspal dapat dinyatakan dalam persamaan berikut :
Log(t) = 5 x 10-4h – 0,94 log (v)................................................... (2.5)
dimana :
t = Waktu pembebanan, detik
h = Ketebalan lapisan, mm
v = Kecepatan kendaraan, km/jam
12
Gambar 2.4. Pola – Pola Pembebanan
Loa
dL
oad
Loa
dL
oad
time
time
time
time
13
Untuk ketebalan lapisan aspal antara 150 mm sampai 300 mm, Brown dan
Brunton (1980) menyarankan waktu pembebanan dapat dihitung dengan
hubungan linear terhadap kecepatan, yaitu :
t = 1 / v .................................................................................... (2.6)
dimana
t = Waktu pembebanan, detik
v = Kecepatan, km/jam
The Asphalt Institute dan TRRL mendasarkan frekuensi pembebanan pada
10 Hz dan 5 Hz yang kira-kira sama dengan waktu pembebanan 0,016 dan 0,032
detik. SHRP-A-90-011 (1990) memberikan indikasi bahwa waktu pembebanan
antara 0,004 sampai 0,1 detik relatif sesuai untuk digunakan pada pengujian
kelelahan.
2.3.7 Mesin Uji Kelelahan DARTEC
Peralatan yang dipakai untuk pengujian adalah mesin uji kelelahan
DARTEC 100 kN yang terdapat pada Puslitbang Teknologi dan Prasarana Jalan,
Bandung dan dapat melakukan uji statik (kapasitas maksimum 100 kN) dan uji
dinamis (kapasitas 150 kN) dengan rentang gerak beban (stroke), untuk pengujian
statik maksimum 150 mm. Kontrol informasi dapat dilakukan secara manual pada
kontrol kabinet maupun dengan perangkat lunak menggunakan komputer.
Komponen utama mesin uji kelelahan DARTEC terdiri atas 3(tiga) buah
komponen, yaitu rangka mesin terdiri atas aktuator, pompa hidrolik sebagai
tenaga penggerak, lemari kontrol dan komputer sebagai pengontrol. Kerangka
mesin dengan palang atas dan bawah terdiri dari alat pengukur pembebanan
"servo-hydraulic actuator", alat pengukur perpindahan dengan LVDT (Linearly
Variable Differential Transformer), katup penggerak, akumulator, dan bagian
elektronik untuk mengontrol sinyal kondisi dan rangkaian. Semua data pengujian
disimpan secara otomatis oleh komputer. Lemari kontrol memiliki 5(lima) modul,
yaitu :
14
- Modul kontrol (kode 9500 – B10), pengontrol mesin utama mesin,
memasukkan data secara manual parameter pengujian seperti beban, batas
beban dan lain- lain,
- Modul indikator (kode 9500 – E40) untuk memonitor nilai sesaat beban,
rentang gerak dan tanda-tanda lain,
- Modul pembangkit fungsi (kode 9500 – P20) untuk menentukan tingkat beban
atau tegangan maksimum dan minimum, frekuensi beban, jumlah siklus
maksimum dan bentuk pembebanan,
- Modul transfer data (kode 9500 – H30) memnerikan fasilitas untuk mencatat
data beban, rentang gerak dan tanda-tanda lain,
- Modul trip (kode 9500 – V50) digunakan untuk menghentikan generator
fungsi dan pompa jika mesin mengalami gangguan selama pengujian
berlangsung.
Benda uji diletakkan diatas dua perletakkan dan dibebani pada tengah bentang
3(tiga) titik pembebanan. Rangkaian mesin uji kelelahan DARTEC diperlihatkan
pada Gambar 2.5. dan komponen-komponen dari lemari kontrol DARTEC
diperlihatkan pada Gambar 2.6.
2.4.Beton Aspal
Perencanaan beton aspal memerlukan bermacam-macam percobaan
laboratorium, meliputi pemeriksaan bahan seperti aspal, bahan agregat dan
pemeriksaan campuran. Tahapan dasar yang perlu diperhatikan dalam pengujian
laboratorium adalah sebagai berikut :
- Melakukan pemeriksaan terhadap aspal yang dipakai, misalnya pemeriksaan
untuk menentukan viskositas, penetrasi dan berat jenis aspal, viskositas
diperlukan guna menentukan suhu pencampuran maupun suhu pemadatan.
- Menentukan spesifikasi gradasi agregat yang akan dipakai.
- Melakukan pemeriksaan mutu agregat.
- Menentukan kombinasi beberapa fraksi agregat untuk mendapatkan gradasi
campuran yang memenuhi spesifikasi yang ditentukan.
15
- Apabila mutu bahan terpenuhi dan harga viskositas aspal serta kombinasi
fraksi sudah diketahui, dibuat campuran agregat dengan berbagai kadar aspal.
Selanjutnya dilakukan percobaan Marshall guna mendapatkan stabilitas dan
kelelahan dari beton aspal.
Pada penelitian ini digunakan agregat yang memenuhi spesifikasi Bina
Marga untuk beton aspal (AC) type XI (SNI No. 1737-1989-F, 1989). Batas
gradasi Type XI spesifikasi Bina Marga untuk beton aspal diberikan pada tabel
2.1.
Gambar 2.5. Rangkaian Mesin Uji Kelelahan DARTEC
16
Gambar 2.6. Komponen-komponen dari Lemari Kontrol Dartec
17
Tabel 2.1 : Batas Gradasi type XI spesifikasi Bina Marga
Batas Tengah Persentase Lolos Lolos Tertahan
Ukuran Saringan
(%) (%) (%) ¾" (19.1 mm) 100 100 0 ½" (12.7 mm) - - - 3/8" (9.52 mm) 74-92 83 17
No. 4 (4.76 mm) 48-70 59 24 No. 8 (2.36 mm) 33-53 43 16 No. 30 (0.59 mm) 15-30 22.5 20.5 No. 50 (0.279 mm) 10-20 15 7.5 No. 100 (0.149 mm) - - - No. 200 (0.074 mm) 4-9 6.5 8.5
Sumber : SNI No. 1737-1989-F
2.4.1 Aspal
Penyebutan aspal menurut spesifikasi Bina Marga, berdasarkan jenis
penetrasinya. Jenis aspal yang umum di pakai di Indonesia adalah penetrasi 60/70
dan penetrasi 80/100. Tabel 2.2 pada bagian C memberikan sifat-sifat aspal
penetrasi 60/70 yang mengikuti Standard Nasional Indonesia (SNI No. 1737-
1989-F).
2.4.2. Mineral Agregat
Agregat pada campuran beton aspal terbagi atas kelompok agregat kasar
dan agregat halus. Agregat kasar terdiri dari batu pecah dan kerikil pecah yang
tertahan pada saringan no.8 menurut standard Bina Marga, atau ukuran saringan
2.36 mm. Agregat kasar harus bersih, kuat dan bebas dari zat-zat asing yang
merugikan campuran beraspal. Persyaratan yang harus dipenuhi menurut
spesifikasi Bina Marga diberikan pada tabel 2.2 pada bagian A.
Agregat halus adalah agregat yang lolos saringan no.8 menurut Bina
Marga atau ukuran saringan 2.36 mm, terdiri dari batu pecah dan/atau pasir alam,
18
harus bersih, bebas dari lempung atau abu. Persyaratan yang harus dipenuhi
menurut spesifikasi Bina Marga diberikan pada tabel 2.2 pada bagian B.
Bahan pengisi terdiri dari abu batu, kapur (hydrated lime), abu (dolomite),
semen Portland (PC), abu terbang atau bahan non plastis lainnya serta terbebas
dari zat asing yang merugikan. Bahan pengisi harus lolos saringan no.200 atau
ukuran saringan 0.074 mm.
2.4.3. Alat Pemeriksaan Marshall
Kinerja campuran beraspal dapat diperiksa dengan alat pemeriksaan
Marshall (SNI No.06-2489-1991). Pemeriksaan dimaksudkan untuk menentukan
ketahanan (stabilitas) terhadap kelelahan plastis beton aspal. Kelelahan plastis
adalah keadaan perubahan bentuk suatu campuran yang terjadi akibat suatu beban
dan sampai pada batas runtuh, yang dinyatakan dalam mm atau 0.01’.
Perencanaan campuran diperlukan untuk mendapatkan resep campuran
yang memenuhi spesifikasi, menghasilkan campuran dengan kinerja yang baik
dari agregat yang tersedia. Pada beton aspal yang umum, dikenal dengan metode
kepadatan rongga dan metode stabilitas leleh.
Beton aspal dengan menggunakan metode kepadatan rongga diharapkan
mempunyai durabilitas yang tinggi terhadap pengaruh disintegrasi dan pengaruh
cuaca. Kandungan aspal yang dibutuhkan lebih tinggi karena stabilitas dibentuk
atas dasar ikatan antar butiran agregat kasar, halus dan aspal.
Beton aspal dengan menggunakan metode stabilitas leleh didasarkan atas
criteria stabilitas yang berasal dari kuncian antar agregat, sehingga kadar aspal
yang dibutuhkan lebih rendah dari pada metode kepadatan rongga.
19
Tabel 2.2 : Spesifikasi Bina Marga untuk Material Agregat dan Aspal
Batas Spesifikasi No. Jenis Pengujian Satuan Min. Maks.
A. Agregat Kasar 1. Penyerapan Air 2. Berat Jenis Bulk 3. Kelekatan Aspal 4. Keausan Agregat dengan Mesin
Los Angeles 5. Indeks Kepipihan
% - %
% %
-
2.5 95 - -
3 - -
40 25
B. Agregat Halus 1. Penyerapan Air 2. Berat Jenis Bulk 3. Sand Equivalent
% - %
-
2.5 50
3 - -
C. Aspal Pen 60/70 1. Penetrasi (25°C, 5sec, 100 gr.) 2. Titik Lembek (Ring&Ball) 3. Titik Nyala 4. Kehilangan Berat (163°C, 5 jam) 5. Kelarutan dalam CCl4, CS2 atau
C2HCL3 6. Daktilitas (25°C, 5 cm/mnt) 7. Penetrasi dari Residu 8. Daktilitas dari Residu 9. Berat Jenis (25°C)
0.1 mm
°C °C
% berat
% berat %
semula cm
60 48 200
-
99 100 54 50 1.0
79 58 -
0.5 - - - - -
Sumber : SNI No. 1737-1989-F, 1989
Beton aspal diharapkan mempunyai sifat dasar seperti :
1. Stabilitas, kemampuan untuk menahan deformasi atau lendutan akibat beban
lalu lintas.
2. Fleksibilitas, kemampuan untuk menahan deformasi tanpa mengalami retak.
3. Durabilitas, beton aspal harus mampu bertahan disintegrasi akibat beban lalu
lintas dan cuaca, serta ketahanan terhadap kelekatan antara aspal dan mineral
agregat.
4. Skid Resistance, berhubungan dengan ketahanan gelincir
5. Kemudahan pekerjaan.
6. Kerataan (Evenness) yang baik.
7. Impermeabilitas yang baik.
20
8. Noise of traffic yang rendah (umumnya sangat diperlukan untuk perkerasan
kaku).
Lima persyaratan awal merupakan persyaratan minimum yang harus dipenuhi
oleh sifat-sifat beton aspal. Persyaratan yang harus dipenuhi oleh campuran
menurut spesifikasi Bina Marga diberikan kepada tabel 2.3.
Tabel 2.3 : Kriteria Pemeriksaan Marshall untuk Beton Aspal
Lalu Lintas Berat (2x75 Tumbukan)
Lalu Lintas Sedang
(2x50 Tumbukan)
Lalu Lintas Ringan (2x35 Tumbukan)
Kriteria Campuran
Min. Maks. Min. Maks. Min. Maks. Stabilitas, kg 550 - 450 - 350 -
Flow, mm 2,0 4,0 2,0 4,5 2,0 5,0 Stabilitas/flow
(kg/mm) 200 350 200 350 200 350
VIM (%) 3 5 3 5 3 5 Indeks
Perendaman (%) 75 - 75 - 75 -
Sumber SNI No. 1737-1989-F, 1989
2.5.Gilsonite
Penggunaan gilsonite sebagai bahan aditif untuk campuran beton aspal
karena gilsonite dapat mengatasi kerusakan dini yang terjadi pada perkerasan
seperti deformasi, retak-retak dan naiknya aspal ke permukaan. Komposisi kimia
gilsonite menunjukkan adanya kandungan asphaltene sebesar 71%, maltene 27%,
dan oli 2%. Dengan kadar asphaltene yang tinggi diharapkan dapat memberikan
kekuatan yang lebih tinggi pada campuran aspal. Selain itu tingginya kadar
nitrogen dalam gilsonite sebesar 3,2% diharapkan dapat memperbaiki adhesi
agregat dan mengurangi stripping karena nitrogen dapat memperbaiki adhesi
agregat sehingga mengurangi penyerapan air. Kadar nitrogen yang relatif lebih
tinggi daripada kadar oksigen menunjukkan bahwa komponen utama gilsonite
adalah nitrogen [Iriansyah, 1993].
Gilsonite adalah mineral hidrokarbon alami yang berwarna. Penggunaan
aditif sebagai bahan tambahan dapat bertujuan untuk meningkatkan mutu aspal
21
minyak dan kualitas campuran aspal karena gilsonite dapat meningkatkan
viskositas dan titik leleh aspal. Peningkatan ini diperlukan karena iklim tropis di
Indonesia kurang menguntungkan untuk perkerasan jalan. Penggunaan gilsonite
ini merupakan alternatif teknologi dalam industri konstruksi jalan. Dengan
meningkatnya kualitas campuran aspal diharapkan kerusakan dini yang terjadi
pada perkerasan seperti deformasi, retak-retak dan naiknya aspal ke permukaan
dapat diatasi [Iriansyah, 1993].
Sifat-sifat gilsonite antara lain :
a. Kandungan asphaltene yang tinggi.
b. Kandungan nitrogen yang tinggi.
c. Berat molekul tinggi.
d. Komposisi fisika dan kimia tetap.
e. Tingkat kemurnian tinggi.
U.S. Food and Drug Administration telah membuktikan bahwa penggunaan
gilsonite aman terhadap manusia. Gilsonite telah terbukti non carcinogenic, non-
mutagenic, dan non-toxic melalui beberapa tes, yaitu Ames Assay Test, studi
kelayakan makanan untuk National Toxicology Program (NTP) dan NIOSH
protocols.
Gilsonite ditambang pertama kali pada sekitar tahun 1880 di Uintah, Utah.
Pada tahun 1883, gilsonite dinamakan uintaite oleh W.P. Blako sesuai nama
tempat ditemukannya gilsonite. Kemudian nama uintaite diganti menjadi gilsonite
sebagai penghargaan kepada Samuel H. Gilson yang mempopulerkan kegunaan
gilsonite untuk cat, tinta printer, coating, furnish dan produk lainnya. Pada tahun
1886, klaim atas gilsonite diperebutkan oleh nama Samuel dan partnernya,
Seaboldt dengan beberapa penambang lainnya. Seaboldt melakukan eksperimen
yang membuktikan bahwa gilsonite tahan terhadap asam dan kelembaban udara
sehingga klaim atas gilsonite diberikan kepada Samuel dan Seaboldt oleh Uintah
Reservation. Pada tahun 1888, Gilsonite Manufacturing Company telah
memproduksi 3000 ton gilsonite dengan harga $ 80.00 per ton. Pada tahun 1889,
perusahaan tersebut dijual kepada Gilson Asphaltum Company of Missouri dan
pada tahun 1900 dibeli oleh Gilson Asphaltum Company of New Jersey.
22
Di Indonesia, gilsonite telah dipakai sekitar 10 tahun yang lalu (tahun 1990-
an). Dua perusahaan besar gilsonite yaitu Ziegler Chemical and Mineral
Corporation dan American Gilsonite Company mempunyai kantor cabang di
Jakarta. Penggunaan gilsonite di Indonesia meliputi daerah Lampung, Batam,
Yogyakarta, Surabaya dan beberapa daerah lainnya. Sampai saat ini penggunaan
gilsonite di Indonesia masih lebih rendah dibandingkan Amerika dan Eropa
namun Indonesia dan negara Asia lainnya diyakini erupakan pangsa pasar yang
potensial untuk masa mendatang. Hal ini disebabkan penggunaan gilsonite sangat
menguntungkan di daerah beriklim tropis seperti penjelasan tersebut diatas. Selain
itu gilsonite diyakini merupakan salah satu aditif paling ekonomis untuk
meningkatkan rutting resistance karena harga gilsonite kurang lebih 1/3 dari
harga aditif lainnya. Rutting resistance adalah ketahanan terhadap deformasi
akibat beban, dimana rutting resistance dapat dilihat dari nilai Rate of
Deformation (RD).
Gilsonite dibedakan berdasarkan titik lelehnya dan telah dilakukan banyak
pengujian untuk mengetahui komposisinya. Diantaranya Vacuum Thermal
Gravimetric Analysis (TGA), Nuclear Magnetic Resonance (NMR), Fourier
Transform Infrared Spectrometry (FTIR), Vapor Pressure Osometry (VPO), High
Performance Liquid Chromatography (HPLC) dan Rapid Capillarry Gas
Chromatography (RCGC) [http://www.zieglerchemical.com,1997-2000].
Semakin tinggi titik leleh gilsonite maka semakin besar kemampuan gilsonite
untuk menurunkan penetrasi aspal namun yang paling umum digunakan adalah
gilsonite dengan titik leleh 350 °F [http://www.americangilsonite.com, 2000].
Komposisi kimia gilsonite pada masing-masing titik leleh dan komponen-
komponen yang terkandung
dalam gilsonite dapat dilihat pada tabel berikut ini.
23
Tabel 2.4 : Komposisi Kimia Gilsonite
Titik Leleh (°F) Komposisi Kimia 290 320 350 375 Asphaltene 57 66 71 76 Maltene 37 30 27 21 Oil 6 4 2 3 Total 100 100 100 100 Sumber : http://www.zieglerchemical.com
Tabel 2.5 : Komponen-komponen Gilsonite
Komponen berat (%) Carbon 84,9 Hidrogen 10,0 Nitrogen 3,3 Sulfur 0,3 Oksigen 1,4 Unsur lain 0,1 Total 100 Sumber : http://www.zieglerchemical.com
24