69
2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Wilayah Pesisir Wilayah pesisir didefinisikan oleh FAO sebagai wilayah peralihan atau transisi di antara daratan dan laut, termasuk danau besar di tengah daratan (Scialabba 1998). Wilayah pesisir mempunyai fungsi, bentuk, dan dinamika yang beragam, serta tidak dibatasi oleh batas spasial yang ketat. Sementara itu Chua (2006) mendefinisikan wilayah pesisir sebagai bagian daratan yang berada di sepanjang garis pantai dan berbatasan dengan air laut. Oleh karena itu wilayah pesisir adalah suatu kawasan tempat terjadinya interaksi antara daratan dan perairan. Sebagai akibatnya, secara langsung dipengaruhi oleh kekuatan alam baik yang berasal dari daratan maupun dari laut. Pengaruh daratan antara lain aliran air tawar dan sedimen ke pesisir yang mengakibatkan terbentuknya delta, wetlands dan mudflats. Sebaliknya, pasang surut dan arus laut mendorong air asin jauh masuk ke wilayah daratan. Kekuatan alam lainnya yang juga berlangsung di wilayah pesisir dan berpengaruh nyata adalah angin, suhu, badai, dan curah hujan. Interaksi antara proses-proses fisika, kimia, dan biologi di wilayah peralihan tersebut menciptakan sistem sumberdaya yang menghasilkan barang dan jasa yang unik dan kondusif untuk kehidupan manusia. Chua (2006) juga menjelaskan bahwa aktivitas manusia adalah faktor ke tiga yang mempengaruhi keterpaduan dan kesehatan wilayah pesisir. Di suatu kawasan pesisir yang tidak terdapat komunitas manusia, proses alami dapat menjaga kondisi wilayah tersebut tetap pristine. Terdapat dua istilah yang umum dipakai, yaitu coastal zones dan coastal area (Scialabba 1998). Bentuk coastal zones lebih dimaksudkan pada definisi berdasarkan wilayah geografis dimana suatu peraturan pengelolaan diberlakukan. Sementara itu coastal area lebih luas penggunaannya pada wilayah pesisir yang belum ditetapkan sebagai wilayah untuk tujuan pengelolaan. Secara geografis, wilayah pesisir memiliki suatu keunikan tertentu, dalam arti bahwa di tempat ini dapat dibangun pelabuhan dan berbagai fasilitas penunjangnya sehingga dapat menangkap setiap peluang keuntungan dari

2 TINJAUAN PUSTAKA · 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Wilayah Pesisir Wilayah pesisir didefinisikan oleh FAO sebagai wilayah peralihan atau transisi di antara daratan dan laut, termasuk danau

Embed Size (px)

Citation preview

Page 1: 2 TINJAUAN PUSTAKA · 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Wilayah Pesisir Wilayah pesisir didefinisikan oleh FAO sebagai wilayah peralihan atau transisi di antara daratan dan laut, termasuk danau

2 TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Wilayah Pesisir

Wilayah pesisir didefinisikan oleh FAO sebagai wilayah peralihan atau

transisi di antara daratan dan laut, termasuk danau besar di tengah daratan

(Scialabba 1998). Wilayah pesisir mempunyai fungsi, bentuk, dan dinamika yang

beragam, serta tidak dibatasi oleh batas spasial yang ketat. Sementara itu Chua

(2006) mendefinisikan wilayah pesisir sebagai bagian daratan yang berada di

sepanjang garis pantai dan berbatasan dengan air laut. Oleh karena itu wilayah

pesisir adalah suatu kawasan tempat terjadinya interaksi antara daratan dan

perairan. Sebagai akibatnya, secara langsung dipengaruhi oleh kekuatan alam

baik yang berasal dari daratan maupun dari laut. Pengaruh daratan antara lain

aliran air tawar dan sedimen ke pesisir yang mengakibatkan terbentuknya delta,

wetlands dan mudflats. Sebaliknya, pasang surut dan arus laut mendorong air asin

jauh masuk ke wilayah daratan. Kekuatan alam lainnya yang juga berlangsung di

wilayah pesisir dan berpengaruh nyata adalah angin, suhu, badai, dan curah hujan.

Interaksi antara proses-proses fisika, kimia, dan biologi di wilayah peralihan

tersebut menciptakan sistem sumberdaya yang menghasilkan barang dan jasa yang

unik dan kondusif untuk kehidupan manusia. Chua (2006) juga menjelaskan

bahwa aktivitas manusia adalah faktor ke tiga yang mempengaruhi keterpaduan

dan kesehatan wilayah pesisir. Di suatu kawasan pesisir yang tidak terdapat

komunitas manusia, proses alami dapat menjaga kondisi wilayah tersebut tetap

pristine.

Terdapat dua istilah yang umum dipakai, yaitu coastal zones dan coastal

area (Scialabba 1998). Bentuk coastal zones lebih dimaksudkan pada definisi

berdasarkan wilayah geografis dimana suatu peraturan pengelolaan diberlakukan.

Sementara itu coastal area lebih luas penggunaannya pada wilayah pesisir yang

belum ditetapkan sebagai wilayah untuk tujuan pengelolaan.

Secara geografis, wilayah pesisir memiliki suatu keunikan tertentu, dalam

arti bahwa di tempat ini dapat dibangun pelabuhan dan berbagai fasilitas

penunjangnya sehingga dapat menangkap setiap peluang keuntungan dari

Page 2: 2 TINJAUAN PUSTAKA · 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Wilayah Pesisir Wilayah pesisir didefinisikan oleh FAO sebagai wilayah peralihan atau transisi di antara daratan dan laut, termasuk danau

13

kegiatan-kegiatan ekonomi yang terjadi, baik kegiatan ekonomi primer maupun

sekunder. Menurut Cicin-Sain dan Knecht (1998), tingginya nilai ekonomi suatu

kawasan pesisir juga disebabkan oleh daya tariknya yang besar untuk kegiatan

wisata. Wilayah pesisir secara biologis juga merupakan tempat yang mempunyai

produktivitas paling tinggi dan paling kaya dengan berbagai habitat. Selain itu,

sejalan dengan berlangsungnya jaman, kawasan pesisir merupakan suatu tempat

yang dapat bertahan terhadap berbagai pengaruh peristiwa alam, seperti badai

angin dan gelombang pada skala yang bervariasi. Chua (2006) menyebutkan

bahwa lebih dari setengah penduduk dunia hidup di kawasan yang lebarnya 100

km sepanjang garis pantai. Angka ini kemungkinan akan meningkat lagi menjadi

75 % penduduk dunia akan hidup di kawasan pesisir pada tahun 2020.

Menurut kesepakatan umum, definisi wilayah pesisir adalah suatu wilayah

peralihan antara daratan dan lautan. Apabila ditinjau dari garis pantai (coastline),

maka wilayah pesisir memiliki dua macam batas (boundaries), yaitu: batas sejajar

garis pantai (longshore) dan batas yang tegak lurus terhadap garis pantai

(crossshore) (Dahuri et al. 1996). Akan tetapi penetapan batas-batas suatu

wilayah pesisir yang tegak lurus terhadap garis pantai, sejauh ini belum ada

kesepakatan, artinya batas wilayah pesisir dapat saja berbeda antara satu dengan

negara yang lain. Hal ini dapat difahami karena adanya perbedaan kondisi

lingkungan, sumberdaya alam, sumberdaya manusia, dan sistem pemerintahan.

Sorensen dan Mc Creary (1990) sebagaimana yang dikutip Dahuri et al.

(1996) mengkompilasi beberapa definisi wilayah pesisir dengan kesimpulan:

(1) Batas wilayah pesisir ke arah darat pada umumnya adalah jarak secara

arbitrer dari rata-rata pasang tertinggi (mean high tide), dan batas ke arah

laut umumnya adalah sesuai dengan batas jurisdiksi provinsi;

(2) Untuk kepentingan pengelolaan, batas ke arah darat dari suatu wilayah

pesisir dapat ditetapkan sebanyak dua macam, yaitu batas untuk wilayah

perencanaan (planning zone) dan batas untuk wilayah pengaturan

(regulation zone) atau pengelolaan keseharian (day-to-day management).

Wilayah perencanaan sebaiknya meliputi seluruh daerah daratan (hulu)

apabila terdapat kegiatan manusia (kegiatan pembangunan fisik) yang dapat

Page 3: 2 TINJAUAN PUSTAKA · 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Wilayah Pesisir Wilayah pesisir didefinisikan oleh FAO sebagai wilayah peralihan atau transisi di antara daratan dan laut, termasuk danau

14

menimbulkan dampak secara nyata terhadap lingkungan dan sumberdaya

pesisir. Oleh karena, itu batas wilayah pesisir ke arah darat untuk

kepentingan perencanaan dapat sangat jauh ke arah hulu. Jika suatu

program pengelolaan wilayah pesisir menetapkan dua batasan wilayah

pengelolaan (wilayah perencanaan dan wilayah pengaturan), maka wilayah

perencanaan selalu lebih luas daripada wilayah pengaturan;

(3) Batas ke arah darat dari suatu wilayah pesisir dapat berubah, tergantung

pada isu pengelolaan yang dilakukannya.

2.2 Pengembangan Wilayah dan Pengelolaan Wilayah Pesisir Secara Terpadu

Mengadopsi definisi regional science dari Mayhew (1997 dalam Rustiadi et

al. 2003), pengembangan wilayah dapat didefinisikan sebagai “suatu aktivitas

pembangunan yang menganalisis secara interdisiplin yang mengkhususkan pada

integrasi analisis-analisis fenomena sosial dan ekonomi wilayah, mencakup aspek-

aspek perubahan, antisipasi (peramalan) perubahan-perubahan hingga

perencanaan pembangunan di masa yang akan datang dengan penekanan pada

pendekatan kuantitatif”. Sementara itu, pengelolaan wilayah pesisir terpadu

didefinisikan oleh European Commission (EC 1999) sebagai berikut: “ICZM has

been defined as a dynamic, continuous and iterative process designed to promote

sustainable management of coastal zone. ICZM seeks, over the long-term to

balance the benefits from economic development and human uses of the coastal

zone, the benefits from protecting, preserving and restoring coastal zones, the

benefits from minimising loss of human life and property, and the benefits from

public access to and enjoyment of coastal zone, all within the limits set by natural

dynamics and carrying capacity”.

2.2.1 Pengembangan wilayah

Menurut McCann dan Shefer (2004), pengetahuan kewilayahan berkaitan

dengan analisis penomena perkotaan dan kedaerahan (urban dan regional).

Tujuannya adalah untuk mengenal lebih baik struktur dan fungsi suatu kota atau

Page 4: 2 TINJAUAN PUSTAKA · 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Wilayah Pesisir Wilayah pesisir didefinisikan oleh FAO sebagai wilayah peralihan atau transisi di antara daratan dan laut, termasuk danau

15

wilayah sambil memperhitungkan fenomenanya yang dimensi multifaset, baik

ekonomi, sosial, politik, atau lingkungan. Suatu pengertian tentang bagaimana

kota dan wilayah melakukan kegiatan dan fungsinya agar dapat menghasilkan

kontribusi pembuatan kebijakan yang lebih baik, sehingga dapat memperbaiki

kualitas standar hidup penduduk di kota atau wilayah tersebut.

Peran dari infrastruktur publik dalam pengembangan wilayah sangatlah

komplek sekali karena melibatkan pengadaan barang milik publik, keberadaan

generasi eksternal, pembuatan keputusan politik, dan lamanya masa berlalu (The

role of public infrastructure in regional development is a highly complex issue

involving aspects of public good provision, the generation of externalities,

political decision-making, and long time-periods), sebagaimana dinyatakan oleh

Lynde dan Richmond (1992) serta Gramlich (1994) dalam McCann dan Shefer

(2004), infrastruktur modal milik masyarakat dapat berperan penting dalam

melengkapi proses produktivitas sektor swasta regional. Hal ini disebabkan oleh

karena infrastruktur menunjukan berbagai karakter barang publik dimana jasa dari

modal milik umum didistribusikan secara bebas kepada para produser swasta.

Oleh karena itu, karena produk marjinal dari jasa-jasa tersebut biasanya bersifat

positif, maka harus dipertimbangkan sebagai suatu komponen integral dari

kumpulan fungsi produksi regional.

Menurut Rustiadi et al. (2003), di Indonesia terdapat berbagai konsep

nomenklatur kewilayahan, seperti “wilayah”, “kawasan”, “daerah”, “regional”,

“area”, “ruang”, dan beberapa istilah sejenis, banyak dipergunakan dalam

berbagai konteks permasalahan yang sering saling dapat dipertukarkan

pengertiannya dan walaupun masing-masing memiliki penekanan pemahaman

yang berbeda-beda. Secara yuridis sebagaimana tercantum dalam Undang-undang

No. 24/92 tentang Penataan Ruang, pengertian “wilayah” adalah ruang yang

merupakan kesatuan geografis berserta segenap unsur terkait yang batas dan

sistemnya ditentukan berdasarkan aspek administratif dan atau aspek fungsional.

Sedangkan pengertian dari “kawasan” adalah wilayah dengan fungsi utama

ditekankan pada pengertian “lindung” dan “budidaya”. Sementara itu, pengertian

“daerah tidak dijelaskan secara eksplisit dalam UU 24/92 tersebut, namun

umumnya dipahami sebagai unit wilayah berdasarkan aspek administratif.

Page 5: 2 TINJAUAN PUSTAKA · 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Wilayah Pesisir Wilayah pesisir didefinisikan oleh FAO sebagai wilayah peralihan atau transisi di antara daratan dan laut, termasuk danau

16

Menurut Winoto (1999/2000), wilayah merupakan area geografis yang

mempunyai ciri tertentu dan merupakan media bagi segala sesuatu untuk berlokasi

dan berinteraksi. Berdasarkan hal ini, wilayah dapat didefinisikan, dibatasi, dan

digambarkan berdasarkan ciri atau kandungan area geografis tersebut. Dengan

demikian, pengembangan wilayah diartikan sebagai suatu perencanaan area

geografis tertentu yang akan menguntungkan baik bagi individu nelayan, petani,

masyarakat dan wilayah yang bersangkutan dengan tetap memperhatikan

kemampuan sumberdaya alam dan lingkungan pendukung ekosistem yang

dikembangkan.

Hoover dan Giarratani (1985) mengelompokkan wilayah ke dalam dua

bentuk, yaitu wilayah homogen dan wilayah fungsional. Wilayah homogen

dibatasi oleh keseragaman atau kesamaan ciri yang dimilikinya, sementara

wilayah fungsional didasarkan pada interaksi yang terjadi dalam suatu wilayah,

khususnya dilihat dari keterkaitan aspek ekonomi. Untuk lebih tepat lagi, Winoto

(1999/2000) juga menyatakan bahwa pengembangan wilayah dapat dilihat dari

berbagai aspek, yaitu berdasarkan aspek fungsional, aspek kehomogenan, dan

aspek administrasi. Aspek fungsional meliputi tempat pemusatan penduduk,

pemusatan pasar, pemusatan pelayanan, pusat industri dan perdagangan, dan pusat

inovasi. Bentuk spesifik dari wilayah fungsional ini disebut wilayah nodal,

dimana dapat dianggap sebagai suatu sel dengan satu inti dan dikelilingi oleh

plasma. Dalam kenyataan sehari-hari, nodal ini dapat diibaratkan sebagai kota,

yang dikelilingi oleh wilayah pedesaan; dimana seluruh pusat kegiatan dan

pelayanan terdapat di dalamnya dan didukung oleh wilayah pedesaan yang

merupakan daerah pemasok bahan-bahan mentah, tenaga kerja, tempat pemasaran

produk-produk yang dihasilkan di kota, dan sebagai tempat penyeimbang

ekologis.

Keberhasilan suatu program pengembangan wilayah (lebih spesifik lagi

yang berkaitan dengan ekonomi wilayah dan perdesaan), juga sangat dipengaruhi

oleh virtue atau nilai keutamaan yang dianut masyarakat. Virtue ini bisa

didefinisikan dari berbagai sudut pandang karena sifatnya yang normatif.

Page 6: 2 TINJAUAN PUSTAKA · 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Wilayah Pesisir Wilayah pesisir didefinisikan oleh FAO sebagai wilayah peralihan atau transisi di antara daratan dan laut, termasuk danau

17

Perumusan suatu virtue atau nilai keutamaan yang dianut masyarakat

dipengaruhi oleh beberapa faktor, antara lain tingkat kehomogenan masyarakat,

baik dilihat dari pendidikan, etnis (sosial budaya), agama, dan pandangan politis

dari setiap komponen masyarakat ini. Begitu beragamnya faktor yang

mempengaruhi perumusan virtue ini, maka virtue ini baru dapat timbul setelah

terbentuk suatu komunitas masyarakat yang saling mengetahui keinginan masing-

masing sehingga dapat menemukan suatu resultan dari berbagai keinginan atau

ide-ide yang ada dalam masyarakat. Dalam konteks pengembangan wilayah,

tentu saja harus menemukan resultan virtue tersebut kemudian

mengintegrasikannya ke dalam rencana yang akan diterapkan. Artinya proses

perencanaan itu dapat saja berlangsung timbal balik, rencana induk yang sudah

ada diintegrasikan ke dalam virtue yang sudah terbentuk, atau virtue-virtue yang

ada dalam masyarakat diintegrasikan ke dalam perencanaan. Menurut Winoto

(1998/1999), adanya kaitan antara kegiatan pembangunan dengan sistem nilai

masyarakat dapat dijelaskan sebagi berikut: pembangunan (baik sebagai suatu

proses maupun sebagai suatu cara perwujudan) mengemban tugas kemanusiaan

dan tugas kehidupan. Dengan kata lain, pembangunan haruslah dapat

mengkomodasi berbagai harapan masyarakat, antara lain harapan tentang

kehidupan yang lebih baik, keadilan yang lebih terjamin, rasa memiliki yang kian

meningkat, kebebasan dalam mengekspresikan aspirasi kemanusiaannya yang

semakin terbuka, ketahanan masyarakat dan bangsa yang semakin kuat, dan

kepercayaan diri sebagai manusia maupun sebagai bangsa yang semakin

meningkat. Harapan-harapan inilah yang menjadikan setiap anggota masyarakat

dan/atau kelompok masyarakat (dengan segala perbedaan latar belakang dan

kepentingannya) perlu senantiasa terlibat dan ikut berproses dalam menentukan

arah serta prioritas pembangunan pada setiap tahapan yang dilakukan.

Untuk suatu masyarakat yang homogen (contoh kasus ekstrim adalah

masyarakat Kampung Naga di Kabupaten Tasikmalaya), kemungkinan virtue

yang ada dalam masyarakat berlaku umum. Namun demikian, virtue ini sangatlah

kaku dan tidak kenal kompromi, sehingga suatu perencanaan pengembangan

wilayah yang mencakup kawasan seperti ini haruslah menyesuaikan diri dengan

virtue yang berkembang dimasyarakat.

Page 7: 2 TINJAUAN PUSTAKA · 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Wilayah Pesisir Wilayah pesisir didefinisikan oleh FAO sebagai wilayah peralihan atau transisi di antara daratan dan laut, termasuk danau

18

Contoh kasus yang heterogen adalah kelompok masyarakat di kawasan

pesisir, dimana terlibat berbagai jenis kegiatan manusia sesuai dengan bidang

garapannya masing-masing, mulai dari nelayan, pedagang, industriawan, PNS,

dan lain lain. Keragaman mata pencaharian juga mengakibatkan terjadinya

interaksi yang lebih intensif diantara berbagai aktivitas yang dapat menghasilkan

dampak positif dan negatif.

Menurut Winoto (1998/1999), tidak pernah ada kesepakatan virtue siapakah

yang harus dijadikan dasar dalam mengimplementasikan prioritas pelaksanaan

pembangunan; selain itu juga tidak ada jaminan bahwa keadilan akan terwujud

bila salah satu virtue masyarakat atau kelompok masyarakat dipilih atau

dipaksakan sebagai dasar penentuan prioritas pembangunan. Namun demikian,

berdasarkan pengalaman yang lalu-lalu dimana program pembangunan lebih

banyak ditetapkan dari atas (top-down), maka virtue universal masyarakat

diharapkan akan lebih banyak tertampung dalam program pembangunan yang

disusun secara bottom up.

Tentu saja terdapat virtue yang bersifat universal bagi seluruh anggota

masyarakat antar wilayah dan antar waktu. Sebagai contoh, falsafah “Bhinneka

Tunggal Ika”, yang tercantum dalam pita yang dicengkeram burung garuda,

adalah suatu virtue yang lahir setelah terjadinya pertikaian antar suku, antar

wilayah, antar agama, dan antar kondisi sosial budaya, yang telah berlangsung

sangat lama (sejak mulai tercatatnya sejarah adanya kerajaan-kerajaan di

Indonesia samapi jaman penjajahan Belanda dan Jepang). Virtue ini sangat

disadari oleh sebagian besar masyarakat Indonesia yang lebih mencintai

perdamaian untuk melewati kehidupan yang aman dan tenang. Sebenarnya virtue

“Bhinneka Tunggal Ika” ini dapat dipertahankan untuk melewati periode waktu

yang panjang dalam sejarah, seandainya kebhinnekaan setiap kelompok

masyarakat dan antar wilayah ini dapat diikat dan dipadukan oleh sesuatu yang

saling dibutuhkan mereka, yaitu antara lain: kedamaian dan ketenangan menjalani

kehidupan; jaminan aksesibilitas antar wilayah, baik barang, jasa, dan orang;

jaminan kebebasan mengemukakan pendapat dan menjalankan keyakinannya

masing-masing. Diagram virtue universal ini dapat dilihat pada Gambar 2.1.

Page 8: 2 TINJAUAN PUSTAKA · 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Wilayah Pesisir Wilayah pesisir didefinisikan oleh FAO sebagai wilayah peralihan atau transisi di antara daratan dan laut, termasuk danau

19

Gambar 2.1. Dasar pemikiran terbentuknya virtue universal

Dari diagram Gambar 2.1 di atas tampak bahwa virtue universal harus

mencakup sebagian atau seluruh kepentingan dari setiap unsur yang membentuk

ekosistem tersebut (suku bangsa; agama; sosial-ekonomi budaya; aksesibilitas

barang, jasa, dan manusia; aspek spasial perwilayahan; serta aspek politik dan

keamanan).

Begitu tali pengikat kebhinnekaan ini dilanggar, baik oleh tetangga sebelah,

kampung sebelah, agama lain, atau bahkan oleh regim pemerintahan yang otoriter,

mulailah virtue itu tidak ditaati lagi, dan barangkali perlu diramu suatu virtue baru

sesuai dengan perkembangan sosial, ekonomi, politik, dan keamanan. Pada saat

ini, aspek kepentingan golongan atas dasar latar belakang politis sangat menonjol,

sebagai alat pemersatu atau pemecah virtue.

VIRTUE UNIVERSAL

ASPEK AGAMA

SUKU/ BANGSA

ASPEK WILAYAH SPASIAL

AKSESIBILITAS BARANG, JASA,

MANUSIA

POLITIK &

KEAMANAN

ASPEK SOSEK BUDAYA

Page 9: 2 TINJAUAN PUSTAKA · 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Wilayah Pesisir Wilayah pesisir didefinisikan oleh FAO sebagai wilayah peralihan atau transisi di antara daratan dan laut, termasuk danau

20

Aspek wilayah perlu dimasukkan dalam kegiatan perencanaan

pembangunan suatu kawasan adalah karena sebagaimana definisi Winoto

(1999/2000), wilayah merupakan area geografis yang mempunyai ciri tertentu dan

merupakan media bagi segala sesuatu untuk berlokasi dan berinteraksi. Artinya,

dibatasi dan digambarkan berdasarkan ciri atau kandungan area geografis tersebut.

Pada intinya, suatu perencanaan pembangunan suatu wilayah haruslah mencakup

individu manusia, masyarakat, sumberdaya alam dan lingkungan yang ada di

wilayah tersebut (termasuk yang harus dipertimbangkan adalah virtue universal

dan partial dari masyarakatnya).

Di dalam setiap upaya pengembangan wilayah, harus menjadi persyaratan

adanya konsep pembangunan berkelanjutan. Konsep pembangunan berkelanjutan

telah digunakan oleh the World Commision on Environment and Development

pada tahun 1987. Istilah ini akan mendapat pengertian yang berbeda dari setiap

orang yang mempunyai keahlian berbeda pula. Menurut Serageldin (1994),

seorang sosiologis akan memandang setiap persoalan pembangunan dari kacamata

manusia sebagai aktor kunci, dimana bentuk organisasi sosial yang ada sangat

krusial dalam mencari solusi apakah suatu kegiatan pembangunan dapat dilakukan

secara berkelanjutan atau tidak. Kurangnya perhatian terhadap faktor-faktor

sosial ini telah menyebabkan suatu proses pembangunan dalam bahaya dari

kurang efektifnya proyek yang dilakukan. Sementara itu disebutkannya pula

bahwa dari aspek ekonomi, suatu kegiatan berkelanjutan haruslah mencari

semaksimal mungkin keuntungan untuk kesejahteraan manusia diantara kendala-

kendala modal yang tersedia serta teknologi yang digunakan. Pandangan seorang

ekologis berbeda pula, yaitu menekankan pada penyelamatan subsistem ekologi

yang terpadu ditinjau sebagai kritisi untuk keseluruhan stabilitas ekosistem global.

Sebagian berargumentasi pada penyelamatan seluruh ekosistem, meskipun

sebagian kecil yang berpandangan kurang ekstrim juga bertujuan pada

pemeliharaan dan adaptasi sistem penyangga kehidupan alami. Faktor-faktor

yang diperhitungkan adalah fisik, bukan uang, dan disiplin yang berlaku pada

biologi, geologi, kimia, dan umumnya pengetahuan alam.

Page 10: 2 TINJAUAN PUSTAKA · 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Wilayah Pesisir Wilayah pesisir didefinisikan oleh FAO sebagai wilayah peralihan atau transisi di antara daratan dan laut, termasuk danau

21

Istilah pengembangan wilayah tentu saja berkaitan erat dengan perencanaan

pembangunan wilayah/daerah. Menurut Idrus et al. (1999), pembangunan

wilayah merupakan kegiatan pembangunan yang perencanaan, pembiayaan,

sampai pada pertanggungjawabannya dilakukan oleh pusat sedangkan

pelaksanaannya dapat melibatkan daerah dimana tempat kegiatan tersebut

dilaksanakan. Pembangunan daerah sendiri berindikasi bahwa kegiatan

pembangunan yang segala sesuatunya dilaksanakan dan dipersiapkan di daerah,

seperti perencanaan, pembiayaan, sampai pada pertanggungjawabannya.

Berdasarkan pengertian tersebut di atas, maka perencanaan pembangunan

wilayah/daerah dapat diartikan sebagai suatu proses persiapan penyelenggaraan

pembangunan suatu wilayah atau daerah. Sementara itu, Anwar dan Setia Hadi

yang dikutif Idrus et al. (1999) menyatakan bahwa perencanaan pembangunan

wilayah diartikan sebagai suatu proses atau tahapan pengarahan kegiatan

pembangunan di suatu wilayah tertentu yang melibatkan interaksi antara

sumberdaya manusia dan sumberdaya lainnya termasuk sumberdaya alam.

Menurut Hoover dan Giarratani (1985), perkembangan suatu wilayah dapat

dilihat pada aspek pertumbuhan jumlah penduduk, peningkatan pendapatan per

kapita, dan perubahan struktur ekonomi. Nasution (1990) menambahkan bahwa

mengukur perkembangan suatu wilayah adalah relatif sulit, tetapi beberapa pakar

perencanaan dan pengembangan wilayah telah menyepakati beberapa tolok ukur

penilaian suatu kegiatan pembangunan, yaitu dilihat dari aspek: (1) pertumbuhan

ekonomi; (2) distribusi pendapatan; (3) tingkat kemiskinan; (4) persentase

pengangguran; serta (5) kualitas lingkungan hidup dan produktivitas sumberdaya

alam.

Menurut Rustiadi et al. (2003), setiap perencanaan pembangunan wilayah

memerlukan batasan praktikal yang dapat digunakan secara operasional untuk

mengukur tingkat pengembangan wilayahnya. Secara praktikan, pemahaman

filosofis demikian sukar diterapkan sehingga perlu dicarikan berbagai tolok ukur

yang multidimensional. Oleh karena itu, munculnya permasalahan-permasalahan

tersebut memaksa pakar 70-an mulai mengkaji ulang tolok ukur yang hanya

berdasarkan pada GNP semata, tetapi harus juga disertai beberapa tolok ukur lain

Page 11: 2 TINJAUAN PUSTAKA · 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Wilayah Pesisir Wilayah pesisir didefinisikan oleh FAO sebagai wilayah peralihan atau transisi di antara daratan dan laut, termasuk danau

22

yang intinya terkait dengan aspek ekologi, ekonomi, dan budaya. Ilustrasi dari

tolok ukur pembangunan berkelanjutan dapat dilihat pada Gambar 2.2.

Ekologi

1 3

S D

2

Budaya Ekonomi

Gambar 2.2. Indikator pembangunan berkelanjutan (Rustiadi et al. 2003)

Keterangan:

(1) Bagian 1: culture-ecology interface: didefinisikan bahwa pembangunan merupakan fungsi yang terintegratif dari nilai-nilai budaya yang menyatu terhadap ekosistem. Indikator yang termasuk dalam ukuran perubahan etika lingkungan, komitmen untuk menjaga keseimbangan political-cultural dan eco-tourism;

(2) Bagian 2: culture-economy interface: menggambarkan fungsi tujuan di dalam termin nilai-nilai non market dan keputusan untuk menjaga konservasi lingkungan untuk tujuan budaya. Nilai-nilai kultural ekonomi lebih tinggi, demikian juga refleksinya terhadap politik, institusi, dan struktur hukum;

(3) Bagian 3: Economy-ecology interface: menggambarkan fusngsi tujuan di dalam termin dari nilai-nilai ekonomi dan cost benefit analysis. Indikator dari pembangunan berkelanjutan diukur dari cadangan konservasi alam dan ekonomi capital yang ditunjukkan oleh produksi (keinginan) flow of environmental dan ekonomi yang baik serta pelayanan untuk generasi saat ini dan yang akan datang. Misalnya kesuburan tanah, keragaman budaya, dan ekosistem kesehatan sebagai indikator kualitas lingkungan.

Untuk mengukur pengembangan suatu wilayah, maka beberapa indikator

dapat digunakan sebagai penakar positif tidaknya dampak suatu program

pembangunan wilayah. Dinilai positif jika indikator-indikator tersebut

menguntungkan, khususnya bagi individu nelayan, petani, masyarakat dan

wilayah yang bersangkutan dengan tetap memperhatikan kemampuan sumberdaya

alam dan lingkungan pendukung ekosistem yang dikembangkan. Dinilai negatif

Page 12: 2 TINJAUAN PUSTAKA · 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Wilayah Pesisir Wilayah pesisir didefinisikan oleh FAO sebagai wilayah peralihan atau transisi di antara daratan dan laut, termasuk danau

23

jika dampaknya merugikan unsur-unsur terkait tersebut. Kadang kala, positif dan

negatifnya suatu dampak pengembangan wilayah belum dapat dilihat dalam

jangka waktu yang pendek. Contoh kasus adalah penemuan senyawa freon yang

dapat digunakan sebagai refrigeran (bahan pendingin) dalam mesin-mesin

pembeku dan sebagai bahan penekan pada alat pembentuk aerosol. Baru sekitar

20 tahun kemudian disadari orang bahwa freon ternyata dapat memecahkan

lapisan ozon yang menyelimuti bola bumi dari sinar ultra violet. Contoh-contoh

lain tentu saja masih sangat banyak, antara lain hilangnya keragamanan hayati

karena kegiatan pengembangan wilayah yang tidak didahului studi AMDAL

terlebih dahulu, baik dalam bentuk reklamasi lahan untuk kegiatan industri dan

pemukiman, maupun pengembangan lahan untuk kawasan persawahan.

Dengan demikian, pada dasarnya indikator-indikator umum keberhasilan

atau ketidakberhasilan suatu program pengembangan wilayah dapat dinilai secara

ekonomi, sosial, dan ekologi. Sebagaimana yang diuraikan oleh Serageldin

(1994), bahwa tujuan ekonomi dari pembangunan yang lestari lingkungan adalah:

pertumbuhan (growth), kesamarataan (equity), dan efisiensi (efficiency); tujuan

sosialnya adalah: pemberdayaan (empowerment), partisipasi (participation),

mobilitas sosial (social mobility); keeratan sosial (social cohesion), identitas

budaya (cultural identity), dan pengembangan kelembagaan (institutional

development); serta tujuan ekologinya adalah: keterpaduan ekosistem (ecosystem

integrity), daya dukung (carrying capacity), keanekaragaman hayati

(biodiversity), dan isu global. Menurut Serageldin (1994) juga bahwa seorang

ekonom akan melihat pembangunan yang lestari lingkungan itu agak berbeda,

yaitu tujuan ekonominya adalah: pertumbuhan dan efisiensi; tujuan sosialnya

kesamarataan dan pengurangan kemiskinan; sedangkan tujuan ekologinya adalah

pengelolaan sumberdaya alam.

Menurut Idrus et al. (1999), keberhasilan perencanaan pembangunan sangat

tergantung pada beberapa faktor yang dapat mempengaruhinya. Di beberapa

negara, perencanaan pembangunan dapat berhasil dengan baik antara lain

ditentukan oleh beberapa hal seperti:

(1) Dilakukan oleh orang-orang yang ahli di bidangnya;

(2) Realistis, sesuai dengan kemampuan sumberdaya alam dan dana;

Page 13: 2 TINJAUAN PUSTAKA · 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Wilayah Pesisir Wilayah pesisir didefinisikan oleh FAO sebagai wilayah peralihan atau transisi di antara daratan dan laut, termasuk danau

24

(3) Kestabilan politik dan keamanan dalam negeri;

(4) Koordinasi yang baik;

(5) Top down dan bottom up planning;

(6) Sistem pemantauan dan pengawasan yang terus menerus;

(7) Transparan dan dapat diterima oleh masyarakat.

Untuk melihat apakah tujuan-tujuan tersebut tercapai atau tidak dalam suatu

kegiatan pembangunan, maka perlu ditentukan berbagai perubahan dari

komponen-komponen tersebut. Tentu saja untuk unsur-unsur yang bersifat

positif, maka perubahan haruslah bergerak ke arah posistif, dan sebaliknya untuk

unsur-unsur yang bersifat negatif maka perubahan haruslah bergerak ke arah

negatif. Sebagai contoh, untuk kesamarataan haruslah semakin baik/banyak,

tetapi untuk kemiskinan semakin sedikit.

2.2.2 Pengelolaan wilayah pesisir secara terpadu

Menurut Dahuri (2003), pengelolaan suatu kawasan secara berkelanjutan

mencakup 3 aspek, yaitu aspek ekonomi, ekologi, dan sosial. Suatu kawasan

pembangunan secara ekonomis dianggap berkelanjutan (an economically

sustainable area/ecosystem) jika kawasan tersebut mampu menghasilkan barang

dan jasa (good and services) secara berkesinambungan (on continuing basis),

memelihara pemerintahan dari hutang luar negeri pada tingkatan yang terkendali

(a manageable level), dan menghindarkan ketidakseimbangan yang ekstrim antar

sektor (extreme sectoral imbalances) yang dapat mengakibatkan kehancuran

produksi sektor primer, sekunder, atau tersier. Sedangkan suatu kawasan

pembangunan secara ekologis dianggap berkelanjutan (an ecologically

sustainable area/ecosystem) manakala berbasis (ketersediaan stok) sumberdaya

alamnya dapat dipelihara secara stabil, tidak terjadi eksploitasi berlebih terhadap

sumberdaya dapat diperbaharui (renewable resources), tidak terjadi pembuangan

limbah melampaui kapasitas asimilasi lingkungan yang dapat mengakibatkan

kondisi tercemar, serta pemanfaatan sumberdaya tidak dapat diperbaharui (non-

renewable resources) yang dibarengi dengan upaya pengembangan bahan

substitusinya secara memadai. Dalam konteks ini termasuk pula pemeliharaan

keanekaragaman hayati (biodiversity), stabilitas siklus hidrologi, siklus biogeo-

Page 14: 2 TINJAUAN PUSTAKA · 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Wilayah Pesisir Wilayah pesisir didefinisikan oleh FAO sebagai wilayah peralihan atau transisi di antara daratan dan laut, termasuk danau

25

kimia, dan kondisi iklim. Sementara itu, suatu kawasan pembangunan dianggap

berkelanjutan secara sosial (a socially sustainable area/ecosystem), apabila

kebutuhan dasar (pangan, sandang, perumahan, kesehatan, dan pendidikan)

seluruh penduduknya terpenuhi; terjadi distribusi pendapatan dan kesempatan

berusaha secara adil; ada kesetaraan gender (gender equity); terdapat akuntabilitas

dan partisipasi politik.

Chua (2006) menyatakan bahwa upaya pengelolaan pesisir terpadu dimulai

tahun 1965 dengan pembentukan Komisi Pengembangan dan Konservasi Teluk

San Francisco (San Francisco Bay Conservation and Development Commission).

Tahun 1972, Amerika Serikat mengeluarkan Undang-undang Pengelolaan Pesisir

Terpadu, sebuah monumen legislasi yang memberi semangat negara bagian-

negara bagian lainnya di kawasan pesisir untuk melakukan hal yang sama. Tahun

1978, Konferensi Wilayah Pesisir diselenggarakan untuk pertama kalinya di San

Francisco.

Berbagai konsep pengelolaan terpadu telah dikemukakan oleh berbagai

kalangan dan para ahli. Konsep yang secara umum berarti “pengelolaan

pemanfaatan sumberdaya alam dan jasa-jasa lingkungan (environmental services)

yang terdapat di kawasan pesisir; dengan cara melakukan penilaian menyeluruh

(comprehensive assessment) tentang kawasan pesisir beserta sumberdaya alam

dan jasa-jasa lingkungan yang terdapat di dalamnya, menentukan tujuan dan

sasaran pemanfaatan, dan kemudian merencanakan serta mengelola segenap

kegiatan pemanfaatannya; guna mencapai pembangunan yang optimal dan

berkelanjutan. Proses pengelolaan ini dilaksanakan secara kontinyu dan dinamis

dengan mempertimbangkan segenap aspek sosial ekonomi budaya dan aspirasi

masyarakat pengguna kawasan pesisir (stakeholders) serta konflik kepentingan

dan konflik pemanfaatan kawasan pesisir yang mungkin ada (Sorensen dan

McCreary 1990; IPCC 1994). Lebih jelas Chua (2006) menyebutkan bahwa

tujuan dari konsep pengelolaan pesisir terpadu adalah meningkatkan efisiensi dan

efektivitas pengelolaan pesisir dalam bentuk kemampuan suatu kawasan untuk

pemanfaatan sumberdaya pesisirnya yang berkelanjutan serta dapat memberikan

jasa yang dihasilkan dari ekosistem di kawasan tersebut.

Page 15: 2 TINJAUAN PUSTAKA · 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Wilayah Pesisir Wilayah pesisir didefinisikan oleh FAO sebagai wilayah peralihan atau transisi di antara daratan dan laut, termasuk danau

26

Pengelolaan wilayah pesisir secara terpadu adalah suatu pendekatan

pengelolaan wilayah pesisir yang melibatkan dua atau lebih ekosistem,

sumberdaya, dan kegiatan pemanfaatan (pembangunan) secara terpadu

(integrated) guna mencapai pembangunan wilayah pesisir secara berkelajutan.

Dalam konteks ini, keterpaduan (integration) mengandung tiga dimensi, yaitu

dimensi sektoral, bidang ilmu, dan keterkaitan ekologis (Dahuri et al. 1996).

Menurut Ellsworth et al. (1997), konsep pengelolaan wilayah pesisir terpadu

ini sudah dilaksanakan cukup lama. Di Kanada sejak tahun 1960-an telah terjadi

perubahan paradigma pembangunan dimana keterlibatan masyarakat lebih banyak

dari sebelumnya. Antara lain dimulai dengan upaya untuk mempengaruhi

formulasi politik tingkat tertinggi melalui berbagai aktivitas masyarakat seperti

program bersih pantai yang dimotori oleh kelompok-kelompok advokasi

lingkungan. Setelah itu, aktivitas dengar pendapat menjadi sering dilakukan pada

saat suatu program pembangunan akan dibuat.

Konsep pengelolaan wilayah pesisir terpadu ini sudah menjadi kebijakan

global yang didukung oleh lembaga keuangan internasional, sebagaimana

dinyatakan oleh Hatziolos (1997) bahwa tahun 1993, Bank Dunia (World Bank=

WB) secara formal mendukung program Integrated Coastal Zone Management

(ICZM) yang terbentuk atas kreasi Tim Biru (sekelompok ahli lingkungan di

Departemen Lingkungan WB). Target utama dari dukungan ini adalah untuk: 1)

mengintervensi pelatihan dan kreasi kesadaran lingkungan; 2) penanaman modal;

dan 3) partnership. Kemudian WB melakukan pengumpulan informasi,

menganalisis, dan mensosialisasikan konsep ICZM dikalangan staf dan para

nasabahnya tentang apa bedanya dengan konsep tradisional, pendekatan sektoral

terhadap pengelolaa lingkungan, dan dukungan WB yang tersedia dan paling

efektif dalam mempromosikan ICZM. Hasil dari aktivitas ini adalah dukungan

WB terhadap pelaksanaan Agenda 21 di Rio de Janeiro, dalam bentuk sponsor

pada kegiatan seminar, lokakarya, dan konferensi, serta dilanjutkan dengan

lokakarya pelatihan yang diorganisasikan di berbagai negara di Afrika, Asia,

Timur Tengah, dan Karibia. Berdasarkan pada perbandingan di antara konsep

ICZM dengan implementasinya serta konsep ICAM (Integrated Coastal Area

Management) dan implementasinya, maka Scialabba (1998) mengembangkan

Page 16: 2 TINJAUAN PUSTAKA · 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Wilayah Pesisir Wilayah pesisir didefinisikan oleh FAO sebagai wilayah peralihan atau transisi di antara daratan dan laut, termasuk danau

27

suatu kesepakatan untuk membuat Panduan ICM, sebagaimana tercantum dalam

Tabel 2.1. Panduan ini memperkuat konsensus tersebut tetapi juga mengakui

bahwa keterpaduan vertika dan horizontal tidak akan berhasil tanpa pembangunan

kapasitas individu sektor untuk mengakomodasi dampak trans-sektoral.

Menurut Chua (2006), di Indonesia terdapat satu ekosistem besar kelautan

(large marine ecosystem, LME), yang meliputi luas area sebesar 400.000 km2,

kedalaman rata-rata 2.935 m dan kedalaman maksimal di atas 6.500 m (Palung

Jawa, serta produktivitas primernya antara 150-300 gC/cm2/tahun). Pada LME ini

terdapat 500 spesies koral pembangun terumbu, 2.500 spesies ikan, 47 spesies

mangrove, dan 13 spesies rumput laut. Tingginya aktivitas ekonomi di LME ini

ditunjukkan dengan isu yang berkembang, yaitu kegiatan penangkapan ikan yang

merusak lingkungan, modifikasi habitat dan pemukiman, serta eksploitasi

sumberdaya hayati yang tidak berkelanjutan.

Hubungan antara komponen-komponen dalam kegiatan pembangunan

berkelanjutan menurut Hatziolos (1997) dapat dilihat pada Gambar 2.3.

Gambar 2.3. Hubungan antara berbagai komponen dalam kegiatan pembangunan berkelanjutan yang berwawasan lingkungan (Hatziolos 1997)

Aspek Ekonomi o Pertumbuhan berkelanjutan (sustainable growth) o Efisiensi modal (capital efficiency)

Aspek Ekologi o Keterpaduan ekosistem

(Ecosystem integrity) o Keragaman sumberdaya alam

(Natural resources biodiversity) o Kapasitas daya dukung

lingkungan (Carrying capacity

Aspek Sosial: o Kesamaan hak (Equity) o Mobilitas sosial (Social

mobility) o Partisapasi (Participation) o Pemberdayaan (Empowerment)

Page 17: 2 TINJAUAN PUSTAKA · 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Wilayah Pesisir Wilayah pesisir didefinisikan oleh FAO sebagai wilayah peralihan atau transisi di antara daratan dan laut, termasuk danau

28

Tabel 2.1 Kumpulan konsensus dari panduan ICM

Tujuan ICM Untuk memandu kegiatan pembangunan di wilayah pesisi yang secara ekologis berkelanjutan

Prinsip ICM didasarkan pada prinsip-prinsip Pertemuan Puncak Rio de Janeiro dengan tekanan khusus pada prinsip kesamaan antar generasi, prinsip tindakan pencegahan, dan prinsip denda bagi pencemar. ICM secara alami adalah holistik dan interdisiplin, khususnya yang beraitan dengan ilmu pengetahuan dan kebijakan

Fungsi ICM memperkuat dan mengharmoniskan sektor-sektor yang terkait dalam pengelolaan kawasan pesisir. ICM memelihara dan melindungi biodiversiti dan produktivitas ekosistem pesisir serta mempertahankan nilai-nilai keaslian/indigenous (amenity values). ICM mempromosikan pembangunan ekonomi rasional dan pemanfaatan sumberdaya pesisir dan lautan secara berkelanjutan serta memfasilitasi resolusi konflik yang terjadi di kawasan pesisir

Keterpaduan Spatial

Suatu program ICM mencakup seluruh wilayah hulu dan hilir, dimana pemanfaatannya akan menghasilkan dampak pada sumberdaya yang terdapat di kawasan pesisir serta ke perairan yang pada akhirnya akan menimbulkan dampak sampai ke wilayah daratan di kawasan pesisir tersebut. Program ICM juga mencakup seluruh wilayah perairan yang berada di dalam zona ekonomi ekslusif, dimana pemerintah pusat memiliki tanggungjawab untuk mengurus dibawah kewenangan Konvensi Hukum Laut {(the Law of the Sea Convention dan the United Nations Conference on Environment and Development (UNCED)}.

Keterpaduan Horizontal dan vertical

Upaya penanggulangan fragmentasi sektoral dan antar pemerintahan yang terjadi sekarang ini dalam pengelolaan wilayah pesisirmerupakan tujuan utama dari ICM. Mekanisme kelembagaan untuk mencapai koordinasi yang efektif diantara berbagai sektor yang aktif di wilayah pesisir serta diantara berbagai tingkatan pemerintahan di wilayah pesisir adalah merupakan dasar terhadap penguatan dan rasionalisasi proses pengelolaan pesisir. Dari berbagai opsi/pilihan yang tersedia, mekanisme koordinasi dan harmonisasi harus dibuat agar sesuai dengan kekhususan setiap pemerintahan.

Penggunaan ilmu pengetahuan

Dengan adanya kondisi yang komplek dan ketidakpastian yang terdapat di kawasan pesisir, maka ICM harus dibangun berdasarkan pengetahuan (alam dan sosial) yang tersedia. Teknik-teknik seperti prakiraan resiko, valuasi ekonomi, prakiraan kerentanan, akuntansi sumberdaya, benefit-cost analysis, dan monitoring berdasarkan outcome harus dibangun ke dalam proses ICM seperlunya.

Source: Cicin-Sain, Knecht and Fisk (1995) dalam Scialabba (1998).

Page 18: 2 TINJAUAN PUSTAKA · 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Wilayah Pesisir Wilayah pesisir didefinisikan oleh FAO sebagai wilayah peralihan atau transisi di antara daratan dan laut, termasuk danau

29

Salah satu bentuk dukungan WB untuk program ICZM di Indonesia adalah

terselenggaranya program COREMAP (Coral Reef Rehabilitation and

Management Project), yang dilaksanakan dibawah koordinasi LON-LIPI. Tujuan

dari pelaksanaan proyek ini adalah memandu pendekatan berbasis masyarakat

terhadap perlindungan sumberdaya pesisir dan lautan secara terpadu untuk

menciptakan keuntungan dari pemanfaatan yang berkelanjutan. Proyek ini juga

bertujuan untuk penguatan kebijakan dan kapasitas kelembagaan pada tingkat

nasional dalam menolong pengimplementasian konsep ICZM di tingkat lokal

(Hatziolos 1997). Dari pengalaman Bank Dunia menunjukkan bahwa inisiatif

pengelolaan sumberdaya pesisir dan lautan supaya berkelanjutan maka negara-

negara yang menerapkan program tersebut haruslah melakukan beberapa hal

berikut:

(1) Keterpaduan dengan perencanaan pembangunan yang lebih besar, baik

pada tingkat nasional maupun regional;

(2) Mempunyai dukungan kelembagaan, peraturan perundang-undangan, dan

keuangan serta terhubung dengan sektor swasta;

(3) Mempunyai dukungan dari mayoritas komunitas lokal;

(4) Melaksanakan program pemantauan dan evaluasi (monitoring dan

evaluation);

(5) Melakukan koordinasi yang efektif diantara stakeholders.

Sebagai kesimpulan, Hatziolos (1997) menyatakan bahwa implementasi konsep

ICZM harus didukung oleh aspek kelembagaan yang baik, penguatan aspek legal

dan kerangka peraturan perundang-undangan, penciptaan kesempatan investasi,

penyediaan fasilitas akses pada informasi, evaluasi dampak, dan bagi-bagi

pengalaman pembelajaran.

Cicin-Sain dan Knecht (1998) menjelaskan bahwa pengelolaan wilayah

pesisir secara terpadu bertujuan untuk mewujudkan pembangunan wilayah pesisir

dan laut yang berkelanjutan, mengurangi kerusakan daerah pantai dan kerusakan

sumberdaya alam lainnya serta juga mengelolaan proses-proses ekologi, sistem

kehidupan pendukungnya dan kelimpahan biota di daerah pesisir dan laut.

Page 19: 2 TINJAUAN PUSTAKA · 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Wilayah Pesisir Wilayah pesisir didefinisikan oleh FAO sebagai wilayah peralihan atau transisi di antara daratan dan laut, termasuk danau

30

Menurut Pickave et al. (2004), ICZM secara umum dikenal sebagai perangkat

yang paling efektif untuk menggabungkan suatu upaya konservasi dengan

pemanfaatan berkelanjutan suatu sumberdaya pesisir dan lautan dalam suatu

perencanaan wilayah pesisir.

Sejak tahun 1996, negara-negara Eropa telah mengembangkan berbagai

program pengelolaan wilayah pesisir yang bertujuan untuk mencapai suatu

pengembangan berkelanjutan di seluruh pesisir Eropa. Tiga direktorat jenderal

(Direktorat Jenderal Lingkungan, Direktorat Jenderal Pengembangan Wilayah,

dan Direktorat Jenderal Perikanan) telah bekerjasama dalam suatu proyek yang

bertujuan untuk menguji model kerjasama pengelolaan wilayah pesisir terpadu

dan untuk menstimulasi suatu diskusi terbuka diantara berbagai stakeholders yang

terlibat dalam perencanaan, pengelolaan, pemanfaatan wilayah pesisir. Hasil dari

proyek ini akan dijadikan bahan bagi lembaga-lembaga di lingkungan Uni Eropa

untuk berdialog dengan para stakeholders. Dari program ini kemudian diproduksi

dua dokumen penting ICZM, yang pertama adalah strategi Eropa tentang

implementasi ICZM di seluruh negara-negara pantai Eropa; dokumen kedua

adalah Rekomendasi Pengelolaan Kawasan Pesisir, yang sekarang telah diadopsi

dan diimplementasikan dan didasarkan pada tiga prinsip penting, yaitu pendekatan

ekosistem, prinsip kehati-hatian, dan pengelolaan adaptif. Kewajiban lanjutan

bagi setiap negara tersebut adalah melakukan inventarisasi sumberdaya alamnya

serta menganalisis siapa pelaku utama dari pengelolaan wilayah pesisir di

negaranya serta aspek hukum dan kelembagaan yang mempengaruhinya.

Berdasarkan kegiatan kerjasama pengelolaan pesisir terpadu tersebut maka

penyusunan strategi pembangunan nasional untuk mengimplementasikan ICZM.

Salah satu strategi yang harus dimasukan adalah sistem yang memadai untuk

mengumpulkan dan menyediakan informasi dalam format yang sesuai dan

kompatibel bagi seluruh tingkatan para pembuat keputusan, mulai dari tingkat

pusat (nasional), regional, dan lokal. Untuk tingkat Eropa, pertemuan baru

diselenggarakan pada bulan Oktober 2002 di Brussel, dimana ditentukan sebuah

kelompok kerja yang mengurusi masalah data dan indikator (WG-ID = Working

Group Data and Indicator).

Page 20: 2 TINJAUAN PUSTAKA · 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Wilayah Pesisir Wilayah pesisir didefinisikan oleh FAO sebagai wilayah peralihan atau transisi di antara daratan dan laut, termasuk danau

31

Di Indonesia, sebagaimana juga dengan di Eropa, keterpaduan pengelolaan

suatu sumberdaya alam saat ini sedang digiatkan oleh Pemerintah Indonesia sejak

disyahkannya Konvensi Hukum Laut 1982 dan diratifikasi dengan UU No

17/1985, meskipun UU ini baru berlaku sejak tanggal 16 November 1994. Tahun

1993, untuk pertama kalinya masalah pembangunan sumberdaya kelautan

dicantumkan secara resmi dalam GBHN 1993 dalam BAB IV. F. Ekonomi. 13.e

yang mengamanahkan supaya “organisasi dan kelembagaan kelautan perlu

dikembangkan agar makin terwujud sistem pengelolaan yang terpadu secara

efektif dan efisien sehingga mampu memberikan pelayanan dan dorongan

berbagai kegiatan ekonomi disektor kelautan” (Djalal 2000). Hal ini didasarkan

pada pengalaman bahwa selama ini pelaksanaan kegiatan pembangunan dinilai

banyak pihak berlangsung tidak sehat dan telah menyebabkan terjadinya

kerusakan sumberdaya alam dan lingkungan, serta dampaknya bagi peningkatan

kesejahteraan seluruh rakyat Indonesia tidak signifikan.

Dalam pengelolaan pesisir dan lautan secara terpadu, terdapat 3 (tiga)

derajat keterlibatan stakeholder yang saat ini diterapkan di lapangan, sebagaimana

dikemukakan oleh Pomeroy et al. (2004). Ketiga derajat dan nama untuk Co-

management, yaitu”consultative co-management”, “collaborative or cooperative

co-management”, and “delegated co-management”. Pomeroy et al. (2004) juga

mengutip Pomeroy dan Berkes (1997) serta Berkes et al. (2001) yang

membedakan derajat peran dalam co-management di antara pemerintah dan

komunitas sebagaimana dapat dilihat pada Tabel 2.2 dan Gambar 2.4.

Tabel 2.2 Derajat dan nama istilah dalam co-management

Government

has the most

control

Consultative

co-management

Collaborative

co-management

Delegated

co-management

People have

most control Government

interacts often

but makes all

decisions

Government and

the stakeholders

work closely and

share decisions

Government lets

formally organised

users/stakeholders

make decisions

Sumber: Pomeroy dan Berkes (1997); Berkes et al. (2001) dikutip oleh Pomeroy et al. (2004)}.

Page 21: 2 TINJAUAN PUSTAKA · 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Wilayah Pesisir Wilayah pesisir didefinisikan oleh FAO sebagai wilayah peralihan atau transisi di antara daratan dan laut, termasuk danau

32

Government-based management

Community-based management Government centralised

management Co-management Community

self-governance and self-management

Informing Consultation Cooperation Communication Information exchange Advisory role Joint action Partnership Community control Inter-area coordination

Gambar 2.4. Derajat interaksi diantara pemerintah dan komunitas dalam co-management {Pomeroy dan Berkes (1997); Berkes et al (2001) dikutip oleh Pomeroy et al. (2004)}

Aspek positif dari suatu CBM menurut Carter (1996) adalah:

(1) Mampu mendorong timbulnya pemerataan dalam pemanfaatan sumberdaya

alam;

(2) Mampu merefleksikan kebutuhan-kebutuhan masyarakat lokal yang

spesifik;

(3) Mampu meningkatkan efisiensi secara ekologis dan teknis;

(4) Responsif dan adaptif terhadap perubahan kondisi sosial dan lingkungan

lokal;

(5) Mampu meningkatkan manfaat lokal bagi seluruh anggota masyarakat yang

ada;

(6) Mampu menumbuhkan stabilitas dan komitmen; serta

(7) Masyarakat lokal termotivasi untuk mengelola secara berkelanjutan.

Page 22: 2 TINJAUAN PUSTAKA · 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Wilayah Pesisir Wilayah pesisir didefinisikan oleh FAO sebagai wilayah peralihan atau transisi di antara daratan dan laut, termasuk danau

33

Sebagai kesimpulan, Hatziolos (1997) menyatakan bahwa implementasi

konsep ICZM harus didukung oleh aspek kelembagaan yang baik, penguatan

aspek legal dan kerangka peraturan perundang-undangan, penciptaan kesempatan

investasi, penyediaan fasilitas akses pada informasi, evaluasi dampak, dan bagi-

bagi pengalaman pembelajaran.

Dalam implementasi ICZM, pelaksanaan program tidak selalu berjalan

mulus. Tingkat keberhasilannya tergantung pada seberapa besar integrasi setiap

komponen stakeholders dan fasilitas yang tersedia. Konflik yang sering terjadi

diantara para stakeholders disebabkan oleh beberapa faktor, antara lain: (1)

perencanaan tidak disosialisasikan ke semua stakeholder, sehingga tidak semua

aspirasi yang berkembang di mayarakat dapat diakomodasi; (2) pembagian peran

dalam pelaksanaan program tidak sesuai dengan hasil kesepakatan saat

perencanaan; (3) adanya intervensi pihak luar untuk mengatur pelaksanaan

implementasi program, dengan berbagai tekanan yang hanya diketahui oleh

beberapa orang tertentu; serta (4) sumberdaya manusia dan perangkat sosial yang

ada belum memadai.

Pengalaman Thailand dalam pelaksanaan ICZM menunjukkan bahwa untuk

mencapai kesuksesan dalam implementasi ICZM diperlukan partisipasi lima

sektor, yaitu: komunitas lokal, kewenangan pemerintah, Lembaga Swadaya

Masyarakat, para ilmuwan, dan investor (Sudara 1999). LSM harus memegang

peranan penting dalam penyediaan kesempatan bagi seluruh sektor untuk

berkomunikasi. Setiap sektor harus mempunyai kesempatan untuk

mengemukakan pendapatnya dan bertukar fikiran dengan sektor lainnya. Setiap

keputusan yang akan diambil berkaitan dengan kawasan pesisir dimana mereka

telibat didalamnya harus diambil berdasarkan keinginan bersama. Peran para

ilmuwan dan akademisi dalam hal ini adalah manakala semua permasalahan dan

kepentingan sudah dapat diidentifikasi, maka kemudian dengan keahlian mereka

dilakukan formulasi perencanaan pengelolaan wilayah pesisir. Perencanaan

tersebut harus mencakup semua kepentingan setiap sektor yang telah

dikemukakan sebagaimana juga dengan ukuran mitigasi untuk implementasinya.

Penerapan sistem co-management harus menghasilkan kepuasan bersama dan

keberlanjutan pengelolaan.

Page 23: 2 TINJAUAN PUSTAKA · 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Wilayah Pesisir Wilayah pesisir didefinisikan oleh FAO sebagai wilayah peralihan atau transisi di antara daratan dan laut, termasuk danau

34

Burak et al. (2004) memberi contoh tentang implementasi konsep ICZM di

Turki yang mengalami keterlambatan karena kegagalan politis dan kelembagaan

yang berkaitan dengan implementasi dari keputusan yang rasional tentang

pengelolaan wilayah pesisir secara berkelanjutan. Lebih dari 20 peraturan

perundang-undangan telah diterapkan dan menghasilkan lebih dari 15 lembaga,

yang meghasilkan berbagai keputusan yang bias karena adanya kemajemukan dan

terpecah-belahnya suara saat proses pengambilan keputusan. Terjadinya konflik

sebagai akibat pengembangan ekonomi di wilayah pesisir juga terjadi di Turki dan

memicu terjadinya degradasi sumberdaya alam. Berbagai program yang telah

dikembangan dan menjadi penyebab terjadinya degradasi lingkungan adalah

ekoturisme dan berbagai proyek rumah peristirahatan di kawasan pesisir,

pengembangan marikultur, preservasi dan konservasi sumberdaya alam,

urbanisasi, pengembangan industri, navigasi, dan transportasi sejak tahun 1980-an

(Tuba 2002 dalam Burak et al. 2004).

Salah satu contoh implementasi ICZM yang paling berhasil di Kawasan

Asia Tenggara adalah dalam bidang wisata bahari. Menurut Wong (1998),

berdasarkan distribusinya, maka wisata bahari di Kawasan Asia Tenggara

didominasi oleh Indonesia dan Philippina karena kekayaan pulau dan garis

pantainya. Kelompok wisata bahari tersebut terdiri dari wisata bahari yang

berstatus merintis (pioneer), sudah bangkit, dan sudah mapan. Wisata bahari

yang berstatus mapan diantaranya Bali, Penang, Phataya dan Phuket. Berstatus

bangkit diantaranya Lombok di Indonesia; Rayong, Hua Hin dan Ko Samui di

Thailand; Langkawi, Kuantan, Tioman dan Kota Kinabalu di Malaysia; dan Cebu

di Philipina. Sedanglan yang berstatus merintis antara lain Biak, Manado, Ujung

Pandang, Flores, Kepulauan Seribu, Lampung, Bintan, Bangka Belitung, dan Nias

di Indonesia; Pangkhot di Malaysia; Krabi di Thailand; serta Boracai, Palaman,

dan Samal di Philipina.

Di Indonesia, setelah terjadinya bencana tsunami di Wilayah Aceh dan Nias

tahun 2004, semakin terasa betapa konsep ICZM itu belum dipahami secara

merata di seluruh daerah dan perlu segera diimplementasikan. Kejadian bencana

tsunami tersebut masih mungkin terulang kembali di daerah pesisir wilayah

Indonesia. Oleh karena itu, diharapkan semua komponen yang terkait

Page 24: 2 TINJAUAN PUSTAKA · 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Wilayah Pesisir Wilayah pesisir didefinisikan oleh FAO sebagai wilayah peralihan atau transisi di antara daratan dan laut, termasuk danau

35

(stakeholders) dalam pengelolaan sumberdaya pesisir dan lautan harus sudah siap

dan sigap untuk menghadapinya, sehingga kerugian yang diderita dapat

diantisipasi seminimal mungkin.

2.2.3 Pengelolaan wilayah Jakarta dan sekitarnya secara terpadu

Sebagai Daerah Khusus Ibukota, Jakarta seharusnya menjadi contoh dalam

upaya meningkatkan keserasian dan keterpaduan pembangunan serta pemecahan

masalah bersama di wilayah JABOTABEK. Upaya kearah keterpaduan

pelaksanaan pembangunan di wilayah DKI Jakarta dan daerah-daerah sekitarnya

telah mulai dilakukan secara sungguh-sungguh oleh Pemerintah DKI Jakarta. Hal

ini dibuktikan dengan dibuatnya Rencana Induk DKI Jakarta tahun 1965-1985.

Secara rinci, flowchart yang menguraikan kejadian terbentuknya Badan Kerja

Sama Pembangunan JABODETABEKJUR (meliputi latar belakang, gagasan

awal, dan sejarah) dicantumkan dalam Gambar 2.5.

Dalam Rencana Induk DKI Jakarta tahun 1965-1985, salah satu pasalnya

menyebutkan bahwa pengembangan pembangunan yang ada di wilayah DKI

Jakarta juga diarahkan ke wilayah BOTABEK dan perlunya kerjasama dengan

Pemerintah Provinsi Jawa Barat. Untuk mendukung kelancaran dilakukannya

integrasi pelaksanaan pembangunan di wilayah BOTABEK, maka Pemerintah

Pusat mengeluarkan Peraturan Pemerintah Nomor 5 Tahun 1974, jo. Keputusan

Menteri Dalam Negeri Nomor 151 Tahun 1975 tentang Perubahan Batas Wilayah

DKI Jakarta. Dalam Peraturan Pemerintah tersebut mengatur tentang 16 Desa

dari Provinsi Jawa Barat masuk menjadi wilayah Provinsi DKI Jakarta dan 1

Kelurahan yaitu Kelurahan Benda masuk ke wilayah Kota Tangerang.

Penyelesaian lebih lanjut dan pelaksanaan dari Peraturan Pemerintah Nomor 45

Tahun 1974 ini diselesaikan oleh Tim Pelaksana Penetapan Batas-batas Wilayah

DKI Jakarta dan Provinsi Jawa Barat yang dibentuk dengan Keputusan Menteri

Dalam Negeri Nomor 151 Tahun 1975 (Anonimous 2006a).

Page 25: 2 TINJAUAN PUSTAKA · 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Wilayah Pesisir Wilayah pesisir didefinisikan oleh FAO sebagai wilayah peralihan atau transisi di antara daratan dan laut, termasuk danau

36

Page 26: 2 TINJAUAN PUSTAKA · 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Wilayah Pesisir Wilayah pesisir didefinisikan oleh FAO sebagai wilayah peralihan atau transisi di antara daratan dan laut, termasuk danau

37

Mengingat kerjasama antara Provinsi DKI Jakarta dengan Jawa Barat dianggap

telah mendesak untuk dilaksanakan, maka dengan Keputusan Bersama Gubernur DKI

Jakarta dan Gubernur Jawa Barat No. 6375/A-1/1975 dan 2450/A/K/BKD/75 dibentuk

Badan Persiapan Daerah untuk Pengembangan Metropolitan JABOTABEK. Untuk

melaksanakan kerjasama dimaksud maka keluarlah Keputusan Bersama Gubernur Jawa

Barat dan Gubernur DKI Jakarta No. 1/DP/040/PD/76 dan 3 Tahun 1976 tentang

Pembentukan Badan Kerjasama Pembangunan JABOTABEK dan Peraturan Bersama

Provinsi Jawa Barat dan DKI Jakarta Nomor D.IV-320/d/II/76 dan 197.Pem.121/SK/76

tentang Kerjasama Dalam Rangka Pembangunan Jakarta, Bogor, Tangerang dan Bekasi

(JABOTABEK) yang disyahkan dengan Keputusan Mendagri Nomor: Pem. 10/34/16-

282 tanggal 26 Agustus 1976 (Anonimous 2006a).

Badan ini diketuai oleh Gubernur Kepala Daerah Tingkat I Jawa Barat dan

Gubernur Kepala Daerah Khusus Ibukota Jakarta, dibantu Kelompok Pembantu

Pimpinan dan Sekretariat Badan yang dipimpin oleh seorang Sekretaris. Status Badan

yang dibentuk oleh Keputusan Bersama ditingkatkan dengan Peraturan Bersama

Provinsi Daerah Tingkat I Jawa Barat dan Provinsi DKI Jakarta Nomor 5 Tahun 1990

dan 2 Tahun 1990 tentang Perubahan Pertama Peraturan Bersama Provinsi Daerah

Tingkat I Jawa Barat dan DKI Jakarta Nomor 1/DP/040/PD/76 dan 3 Tahun 1976 yang

disyahkan dengan Keputusan Menteri Dalam Negeri Nomor 18 Tahun 1991 tertanggal

13 Nopember 1991. Tugas pokoknya mengkoordinasikan perencanaan, pelaksanaan

dan pengendalian pembangunan atas dasar hal wewenang dan kewajiban Pemerintah

Daerah Tingkat I dan Pemerintah Daerah Tingkat II serta urusan yang tumbuh dan

berkembang di JABOTABEK. Selanjutnya dalam rangka meningkatkan status

kelembagaan dan memberikan eselonering untuk menjamin pengembangan karier bagi

pejabat dan staf yang ada di dalamnya, dengan Peraturan Bersama Propinsi Daerah

Tingkat I Jawa Barat dan DKI Jakarta Nomor 8 dan 7 Tahun 1994, telah ditetapkan

Organisasi dan Tata Kerja Badan Kerjasama Pembangunan JABOTABEK, yang

disyahkan dengan Keputusan Menteri Dalam Negeri Nomor 107 Tahun 1994,

sebagaimana tercantum dalam Gambar 2.6 (Anonimous 2006a).

Page 27: 2 TINJAUAN PUSTAKA · 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Wilayah Pesisir Wilayah pesisir didefinisikan oleh FAO sebagai wilayah peralihan atau transisi di antara daratan dan laut, termasuk danau

38

Page 28: 2 TINJAUAN PUSTAKA · 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Wilayah Pesisir Wilayah pesisir didefinisikan oleh FAO sebagai wilayah peralihan atau transisi di antara daratan dan laut, termasuk danau

39

Pembentukan organisasi dan tata kerja Badan ini berpedoman kepada

Keputusan Menteri Dalam Negeri Nomor 79 Tahun 1994 tentang Pedoman

Pembentukan Organisasi dan Tata kerja Badan Kerjasama Pembangunan

JABOTABEK. Tugas pokoknya menyusun dan menetapkan rancangan

kebijaksanaan koordinasi perencanaan, pelaksanaan, dan evaluasi kerjasama

pembangunan di wilayah JABOTABEK (Anonimous 2006a).

Sekretariat dipimpin oleh Kepala Sekretariat dan diberikan Eselonering

IIIA. Sekretariat berada di bawah dan bertanggung jawab kepada Ketua Forum.

Tugas pokok Sekretariat adalah menyiapkan bahan penyusunan dan penetapan

rancangan meliputi koordinasi analisis perencanaan, analisis pelaksanaan, analisis

evaluasi penyusunan program dan laporan serta memberikan layanan teknis

administratif kepada Forum Kerjasama. Dengan keluarnya Undang-undang

Nomor 15 Tahun 1999 tentang Pembentukan Kotamadya Daerah Tingkat II

Depok dan Kotamadya Daerah Tingkat II Cilegon, maka Kotamadya DT II Depok

yang semula merupakan bagian dari Kabupaten Daerah Tingkat II Bogor dan

wilayahnya berbatasan langsung dengan wilayah Provinsi DKI Jakarta menjadi

bagian dalam kerjasama regional ini. Selanjutnya dengan terbitnya Undang-

undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah Pasal 87, pada Rapat

Kerja Forum Badan Kerjasama Pembangunan JABOTABEK yang

diselenggarakan pada tanggal 2 Maret 2000, ditandatangani Kesepakatan Bersama

Gubernur Provinsi DKI Jakarta, Jawa Barat, serta Bupati/Walikota Bogor,

Tangerang, Bekasi, dan Depok tentang Tindak Lanjut dan Peningkatan Kerjasama

Antar Pemerintah Provinsi DKI Jakarta, Pemerintah Provinsi Jawa Barat,

Pemerintah Kabupaten Bogor, Pemerintah Kota Bogor, Pemerintah Kabupaten

Tangerang, Pemerintah Kota Tangerang, Pemerintah Kabupaten Bekasi,

pemerintah Kota Bekasi (JABOTABEK), dan Pemerintah Kota Depok

(Anonimous 2006a).

Setelah ditandatanganinya Kesepakatan Bersama tentang Peningkatan

Kerjasama, Sekretariat BKSP JABOTABEK bersama-sama dengan unsur terkait

dari Provinsi dan Kabupaten/Kota yang bekerja sama membahas upaya

peningkatan lembaga kerjasama ini, mengingat permasalahan di JABODETABEK

Page 29: 2 TINJAUAN PUSTAKA · 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Wilayah Pesisir Wilayah pesisir didefinisikan oleh FAO sebagai wilayah peralihan atau transisi di antara daratan dan laut, termasuk danau

40

sudah sangat kompleks. Maka disepakatilah bahwa Eselonering Sekretariat BKSP

JABOTABEK perlu ditingkatkan mengingat Dinas/Instansi yang dikoordinasikan

memiliki eselon yang lebih tinggi (Anonimous 2006a).

Dengan terbentuknya Provinsi Banten berdasarkan Undang-undang

Nomor 23 Tahun 2000 dan posisi strategis Kabupaten Cianjur pada kawasan

penanganan tata ruang, konservasi dan penyeimbang pembangunan di daerah

Puncak sesuai dengan Peraturan Pemerintah tentang Rencana Tata Ruang Wilayah

Nasional, dipandang perlu untuk mengikutsertakan Provinsi Banten dan

Kabupaten Cianjur. Keikutsertaaan Pemerintah Kabupaten Cianjur dalam Badan

Kerjasama dituangkan dalam Keputusan Bupati Cianjur Nomor 065/Kep.296-

Pem/2002 tentang Keikutsertaan Pemerintah Daerah dalam Badan Kerjasama

Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang dan Bekasi (JABODETABEK). Maka disusun

rancangan Keputusan Bersama Gubernur Provinsi DKI Jakarta, Gubernur Jawa

Barat, Gubernur Banten, Bupati Bogor, Walikota Bogor, Walikota Depok, Bupati

Tangerang, Walikota Tangerang, Bupati Bekasi, Walikota Bekasi dan Bupati

Cianjur tentang Organisasi dan Tata Kerja Badan Kerjasama Jakarta, Bogor,

Depok, Tangerang, Bekasi dan Cianjur (JABODETABEKJUR) di mana dalam

rancangan tersebut Badan sebagai wadah kerjasama antar Daerah, merupakan

lembaga koordinasi yang mewakili kepentingan Pemerintah Daerah yang

dipimpin oleh seorang Sekretaris yang berada di bawah dan bertanggung jawab

kepada Forum dan disetarakan dengan Eselon II b (Anonimous 2006a).

Sebagai payung dalam pelaksanaan kerjasama antar Daerah

JABODETABEKJUR maka pada tanggal 16 Juni 2005 yang difasilitasi oleh

Menteri Dalam Negeri telah ditandatangani Kesepakatan Bersama Gubernur

Provinsi DKI Jakarta, Jawa Barat, Banten, Bupati/Walikota Bogor, Depok,

Tangerang, Bekasi, dan Cianjur tentang Kerjasama Antar Pemerintah Provinsi

Daerah Khusus Ibukota Jakarta, Jawa Barat, dan Banten, serta Kabupaten/Kota

Bogor, Depok, Tangerang, Bekasi, dan Cianjur . Salah satu isinya menegaskan

untuk melanjutkan dan meningkatkan kerjasama pembangunan antar daerah di

wilayah Provinsi DKI Jakarta, Jawa Barat, Banten, serta Kabupaten/Kota Bogor,

Depok, Tangerang, Bekasi, dan Kabupaten Cianjur dengan ruang lingkup

kerjasama meliputi bidang penyelenggaraan pemerintahan daerah otonom yang

Page 30: 2 TINJAUAN PUSTAKA · 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Wilayah Pesisir Wilayah pesisir didefinisikan oleh FAO sebagai wilayah peralihan atau transisi di antara daratan dan laut, termasuk danau

41

saling keterkaitan, saling mempengaruhi dan saling ketergantungan yang memberi

manfaat kepada kesejahteraan masyarakat antara lain mengenai keselarasan,

keserasian dan keseimbangan di dalam pelaksanaan pembangunan. Dengan dasar

Kesepakatan Bersama tanggal 16 Juni 2005 tersebut, kemudian disusun draft

Peraturan Bersama tentang peningkatan Badan Kerjasama Pembangunan

JABOTABEK (Anonimous 2006a).

Beberapa kali pertemuan dengan Instansi Pusat dan Daerah terkait maka

disepakatilah draft akhir yaitu Peraturan Bersama Gubernur Provinsi DKI Jakarta,

Jawa Barat, dan Banten, serta Bupati/Walikota Bogor, Depok, Tangerang, Bekasi,

dan Bupati Cianjur tentang Pembangunan Provinsi Daerah Khusus Ibukota

Jakarta, Jawa Barat, dan Banten, serta Kabupaten/Kota Bogor, Depok, Tangerang,

Bekasi, dan Cianjur, yang kemudian ditandatangani pada saat pelaksanaan Rapat

Kerja Forum I pada tanggal 14 September 2006 di Hotel Horison Bandung

(Anonimous 2006a).

2.3 Pengelolaan Perikanan Terpadu dan Berkelanjutan

Kegiatan perikanan laut, dimanapun dilaksanakan, sangat tergantung pada

sumberdaya yang terdapat di suatu kawasan pesisir. Kegiatan perikanan tangkap

yang dilakukan di wilayah laut dangkal (laut teritorial), sangat dipengaruhi

kegiatan pengelolaan sumberdaya di daratan dan di kawasan pesisir. Sebagai

contoh, pengelolaan lahan pertanian yang kurang baik di daerah hulu akan

memberikan dampak negatif terhadap kualitas perairan di kawasan pesisir yang

menjadi muara daerah aliran sungai yang melalui kawasan pertanian tersebut.

Penurunan kualitas perairan ini otomatis akan mempengaruhi kehidupan

sumberdaya ikan secara keseluruhan, yang dimulai dari rantai makanan tingkat

primer (plankton) sampai ke sumberdaya ikan karnivora dengan ukuran yang

besar. Oleh karena itu, pengelolaan sumberdaya alam di daratan dan kawasan

pesisir tidak hanya mempengaruhi kegiatan perikanan di kawasan laut dangkal

saja tetapi juga mempengaruhi kegiatan perikanan lepas pantai (samudera), hal ini

baru dilihat dari aspek rantai makanannya saja. Aspek lain yang juga sangat

dipengaruhi oleh penurunan kualitas air adalah perkembangbiakan ikan menjadi

sangat terganggu. Ikan menjadi tidak subur, yang ditunjukkan oleh penurunan

Page 31: 2 TINJAUAN PUSTAKA · 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Wilayah Pesisir Wilayah pesisir didefinisikan oleh FAO sebagai wilayah peralihan atau transisi di antara daratan dan laut, termasuk danau

42

jumlah telur, tingkat penetasan telur menurun, serta tingkat kelulusa hidup anak

ikan pun menjadi sangat terganggu.

Kebanyakan perikanan tangkap berbasiskan pada stok ikan pantai;

perikanan tangkap lainnya mengusahakan stok ikan lepas pantai yang sebagian

fase kehidupannya di perairan pantai, umpamanya di daerah asuhan atau daerah

tempat mencari makan. Stok ikan juga mengandalkan produktivitas primer di

kawasan pesisir sebagai bagian penting dari rantai makanannya. Akuakultur

pantai juga sangat tergantung pada kawasan pesisir dalam hal kebutuhan ruang

dan sumberdaya (FAO 1996).

Konvensi PBB tentang Hukum Laut yang diselenggarakan tahun 1992,

memberikan suatu panduan baru yang lebih baik bagi pengelolaan sumberdaya

laut. Rezim Hukum Laut ini memberikan hak dan tanggung jawab kepada negara-

negara pantai untuk melakukan pengelolaan dan pemanfaatan sumberdaya

perikanan di dalam zona ekonomi eksklusif setiap negara yang meliputi sekitar 90

% dari kegiatan perikanan dunia.

Berkembangnya kegiatan perikanan di seluruh dunia yang merupakan

dampak dari meningkatnya jumlah penduduk dan kebutuhan pangan-proteinnya,

telah menimbulkan berbagai kondisi tangkap lebih di beberapa kawasan perairan

pantai, serta terjadinya perselisihan diantara beberapa negara yang berkaitan

dengan kegiatan perikanan. Kejadian-kejadian seperti ini oleh PBB telah direspon

dengan dilakukannya serangkaian konperensi internasional yang berkaitan dengan

kegiatan penangkapan ikan, sebagaimana diuraikan secara lengkap dalam

Integration of Fisheries into Coastal Area Management (FAO 1996). Dimulai

dengan pertemuan Komite FAO untuk perikanan (COFI) pada bulan Maret 1991,

yang merekomendasikan bahwa sudah mendesak diperlukanya pendekatan-

pendekatan baru dalam pengelolaan perikanan, yang meliputi aspek konservasi

dan lingkungan serta petimbangan aspek sosial ekonomi. Disini FAO telah

meminta dikembangkannya suatu konsep perikanan yang bertanggungjawab dan

menguraikan sebuah tatalaksana untuk membantu dalam perkembangan

penerapannya. Pada bulan Mei 1992, Pemerintah Meksiko bekerjasama dengan

FAO telah mengorganisasikan sebuah konferensi internasional mengenai

Page 32: 2 TINJAUAN PUSTAKA · 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Wilayah Pesisir Wilayah pesisir didefinisikan oleh FAO sebagai wilayah peralihan atau transisi di antara daratan dan laut, termasuk danau

43

Penangkapan Ikan yang Bertanggungjawab, yang berlangsung di Cancun dan

menghasilkan Deklarasi Cancun, yang merupakan pusat perhatian dalam

Pertemuan Tingkat Tinggi UNCED di Rio de Janeiro Brazilia pada bulan Juni

1992, yang mendukung penyiapan sebuah Tatalaksana Perikanan yang

Bertanggungjawab (Code of Conduct for Responsible Fisheries, CCRF).

Konsultasi teknis FAO mengenai Penangkapan Ikan di Laut Lepas yang dilakukan

bulan September 1992 telah merekomendasikan lebih lanjut untuk memperluas

draft tatalaksana tersebut sehingga mencakup kegiatan perikanan tangkap di

samudera.

Proses penyusunan Tatalaksana Perikanan yang Bertanggungjawab terus

berlangsung melalui berbagai pertemuan internasional yang dimotori oleh

berbagai badan dunia dibawah PBB. Isi dari dokumen Tatalaksana Perikanan

yang Bertanggungjawab tersebut terdiri atas lima artikel pengantar, yaitu: Sifat

dan Ruang Lingkup; Sasaran-sasaran; Hubungan dengan perangkat internasional

lainnya; Pelaksanaan, Pemantauan, dan Pemutakhiran; serta Kebutuhan Khusus

Negara Berkembang. Artikel pendahuluan ini diikuti oleh sebuah artikel tentang

asas umum yang mendahului enam artikel tematik mengenai: Pengelolaan

Perikanan; Operasi Penangkapan Ikan; Pembangunan Akuakultur; Integrasi

Perikanan kedalam Pengelolaan Kawasan Pesisir; Praktek Pasca-panen dan

Perdagangan; serta Penelitian Perikanan. Perjanjian untuk Memajukan Kepatuhan

terhadap Langkah-langkah Pengelolaan dan Konservasi Internasional oleh Kapal

Penangkap Ikan di laut lepas, merupakan bagian integral dari Tatalaksana

Perikanan yang Bertanggungjawab ini (FAO 1996).

Konsep keberlanjutan pengelolaan perikanan lebih ditekankan pada

pertimbangan bio-ekonomi. Dengan kata lain, pengelolaan perikanan telah

dianggap sebagai penjaminan pertanggungan jawab dari eksploitasi sumberdaya

yang efisien secara ekonomi dan ekologi (Owens 1994 dalam Kasimis dan Petrou

2000).

Menurut Dahuri (2003), karakteristik geografi Indonesia serta struktur dan

tipologi ekosistemnya yang didominasi oleh lautan telah menjadikan bangsa

Indonesia sebagai mega-biodiversity terbesar di dunia, yang merupakan justifikasi

bahwa Indonesia merupakan salah satu negara bahari terbesar di dunia. Fakta ini

Page 33: 2 TINJAUAN PUSTAKA · 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Wilayah Pesisir Wilayah pesisir didefinisikan oleh FAO sebagai wilayah peralihan atau transisi di antara daratan dan laut, termasuk danau

44

menunjukkan bahwa sumberdaya kelautan merupakan kekayaan alam yang

memiliki peluang amat potensial untuk dimanfaatkan sebagai sumberdaya yang

efektif dalam membangun Bangsa Indonesia. Atas dasar inilah maka konsep

Tatalaksana Perikanan yang Bertanggungjawab harus segera dilaksanakan di

Indonesia sebelum terlambat dan sulit untuk diperbaiki kembali.

2.3.1 Kebijakan pengelolaan perikanan di Indonesia

Mengingat luasnya kawasan perairan (potensi perairan tawar sebesar 24,53

juta ha dan laut sebesar 5,8 juta km2, Dahuri 2003), Indonesia sudah sepantasnya

memiliki suatu kebijakan pengelolaan perikanan yang baik. Meskipun sejak awal

berdirinya Indonesia merupakan negara kepulauan dengan 17.508 pulau, tetapi

kebijakan pemerintah dari waktu ke waktu belum memprioritaskan sumberdaya

perikanan dan kelautan sebagai penggerak pembangunan bangsa. Hal ini baru

direalisasikan melalui Keppres No.355/M/1999 dalam Kabinet Periode 1999-2004

tentang pembentukan Departemen Eksplorasi Laut (DEL) yang kemudian

namanya diubah menjadi Departemen Eksplorasi Laut dan Perikanan (DELP)

berdasarkan Keppres No. 145/1999, serta menjadi Departemen Kelautan dan

Perikanan (DKP) melalui Keppres No. 165/2000 (Anonimous 2003a).

Untuk mewujudkan semua harapan tersebut di atas, DKP menyusun visi

pembangunan kelautan (Anonimous 2007a), yaitu: "Pengelolaan Sumberdaya

Kelautan dan Perikanan yang lestari dan bertanggung jawab bagi kesatuan dan

kesejahteraan anak bangsa". Sedangkan misinya adalah:

2) Peningkatan kesejahteraan masyarakat nelayan, pembudidaya ikan dan

masyarakat pesisir lainnya.

3) Peningkatan peran sektor kelautan dan perikanan sebagai sumber

pertumbuhan ekonomi.

4) Pemeliharaan dan peningkatan daya dukung serta kualitas lingkungan

perairan tawar, pesisir, pulau-pulau kecil dan lautan.

5) Peningkatan kecerdasan dan kesehatan bangsa melalui peningkatan

konsumsi ikan.

6) Peningkatan peran laut sebagai pemersatu bangsa dan peningkatan budaya

bahari bangsa Indonesia.

Page 34: 2 TINJAUAN PUSTAKA · 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Wilayah Pesisir Wilayah pesisir didefinisikan oleh FAO sebagai wilayah peralihan atau transisi di antara daratan dan laut, termasuk danau

45

Untuk mencapai misi tersebut, DKP telah membuat beberapa program kerja

sebagaimana disampaikan dalam Lokakarya Refleksi Kebijakan Revitalisasi

Kelautan dan Perikanan, yang diselenggarakan tanggal 15 Januari 2007. Dalam

melaksanakan revitalisasi perikanan, DKP menetapkan beberapa komponen utama

yang dipandang sebagai syarat mutlak yang harus dipenuhi sehingga program

revitalisasi berdampak positip bagi masyarakat. Komponen-komponen tersebut

(Anonimous 2007a) adalah : (1) perlu adanya pemantapan regulasi, baik di tingkat

daerah; (2) perlu adanya kejelasan dukungan pembiayaan, baik pemerintah pusat,

daerah, swasta, dan masyarakat; (3) Perlu adanya perencanaan pemasaran dalam

rangka menjamin kepastian pasar produk atau komoditas yang dihasilkan; dan (4)

perlu adanya kegiatan penyuluhan dan pendampingan dalam rangka diseminasi

teknologi dan informasi.

Pelaksanaan program revitalisasi akan lebih berdayaguna dan berhasil guna

bilamana komponen-komponen utama atau komponen esensial ditunjang oleh

komponen-komponen berikut: (1) perlu ada rencana komprehensif serta rencana

pengembangan komoditas atau produk di tingkat pusat dan daerah; (2) perlu

adanya kawasan yang jelas sebagai kawasan basis (contohnya pelabuhan

perikanan), kawasan usaha, serta kawasan pengembangan; (3) perlu melibatkan

swasta dalam program revitalisasi mengingat bahwa pemerintah memiliki

kemampuan yang kapasitas yang terbatas; (4) perlu ditunjang oleh industri

pendukung misalnya galangan kapal, dok, pakan, benih, baik dalam bentuk unit

usaha terpisah atau terpadu; (5) perlu dikembangkan industri pengolahan hasil

yang secara terus menerus menghasilkan nilai tambah yang lebih besar bagi

pelaku ekonomi; (6) perlu dilaksanakan riset secara terus menerus dalam rangka

menghasilkan teknologi dan informasi baru bagi peningkatan efisiensi usaha; dan

(7) perlu pengembangan sumberdaya manusia terutama pada sektor swasta

melalui pendidikan dan pelatihan (Anonomous 2007a).

2.3.2 Pelabuhan perikanan

Menurut Kramadibrata (2002), pelabuhan adalah tempat berlabuhnya kapal-

kapal yang diharapkan merupakan suatu tempat yang terlindung dari gangguan

laut, sehingga bongkar muat dapat dilaksakan untuk menjamin keamanan barang.

Page 35: 2 TINJAUAN PUSTAKA · 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Wilayah Pesisir Wilayah pesisir didefinisikan oleh FAO sebagai wilayah peralihan atau transisi di antara daratan dan laut, termasuk danau

46

Suatu lokasi di pantai dapat memenuhi persyaratan ini dengan kedalaman air dan

besaran kolam yang cukup untuk ukuran tertentu, sehingga hanya dibutuhkan

adanya suatu dermaga (wharf) tempat ditambatkannya suatu perahu. Pelabuhan

seperti ini disebut pelabuhan alam. Tipe tempat lain yang dibentuk dan

diperuntukan bagi berlabuhnya kapal adalah pelabuhan buatan, dimana alur

masuh dan kolam pelabuhan, dan pemecah gelombang harus dibangun secara

penuh. Diantara kedua tipe pelabuhan ini ada juga yang termasuk pelabuhan semi

alam.

Mengacu pada definisi yang tercantum dalam International Maritime

Dictionary, Murdiyanto (2004) membuat padanan untuk istilah harbour dengan

bandar, yaitu suatu pelabuhan alam yang tidak selalu memiliki fasilitas buatan.

Istilah port dipadankan dengan pelabuhan, dalam arti pelabuhan buatan.

Dubrocard dan Thoron (1998) menyatakan bahwa suatu pelabuhan dapat

digambarkan sebagai suatu tempat dimana berlangsung mekanisme transportasi

barang-barang yang berasal dari daratan menjadi barang-barang yang berasal dari

laut, dan sebaliknya. Pelabuhan menawarkan dua macam pelayanan, yaitu

pelayanan kapalnya dan pelayanan muatannya. Pelayanan yang diberikan oleh

pelabuhan didasarkan pada hasil dari pengalaman dalam jangka waktu yang lama.

Dalam kaitannya dengan kapal ikan, terjadinya antrian akan sangat

mempengaruhi nilai dari muatannya tersebut, terkait dengan proses lelang

(Dubrocard dan Thoron 1998). Hal ini tidak hanya waktu tunggu yang penting

tetapi lebih pada harga ikan yang dapat dicapai saat lelang. Artinya, jika ikan

yang dibongkar tersebut menambah jumlah ikan yang sudah ada di pelelangan,

dikhawatirkan akan terjadi penurunan harga karena kelebihan pasokan di pasar.

Kramadibrata (2002) membuat definisi pelabuhan dilihat dari subsistem

angkutan, yaitu pelabuhan adalah salah satu simpul dari mata rantai bagi

kelancaran angkutan muatan laut dan darat. Menurut UU No 31/2004 tentang

perikanan, definisi pelabuhan perikanan adalah tempat yang terdiri atas daratan

dan perairan di sekitarnya dengan batas-batas tertentu sebagai tempat kegiatan

pemerintah dan kegiatan sistem bisnis perikanan yang dipergunakan sebagai

tempat kapal perikanan bersandar berlabuh, dan/atau bongkar muat ikan yang

Page 36: 2 TINJAUAN PUSTAKA · 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Wilayah Pesisir Wilayah pesisir didefinisikan oleh FAO sebagai wilayah peralihan atau transisi di antara daratan dan laut, termasuk danau

47

dilengkapi dengan fasilitas keselamatan pelayaran dan kegiatan penunjang

perikanan.

Untuk mengatur pelaksanaan UU No. 31/2004 tentang perikanan tersebut,

telah dikeluarkan Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan No.

PER.16/MEN/2006 tanggal 23 Juni 2006 tentang Pelabuhan Perikanan (DKP

2006), yang mengatur beberapa hal berikut:

1) Rencana induk pelabuhan perikanan secara nasional disusun dengan

mempertimbangkan: daya dukung sumberdaya ikan yang tersedia, daya

dukung sumberdaya manusia, wilayah pengelolaan perikanan (WPP),

rencana umum tata ruang wilayah propinsi/kabupaten/kota, dukungan

prasarana wilayah, dan geografis daerah dan kondisi perairan;

2) Menteri Kelautan dan Perikanan menetapkan rencana induk secara nasional;

3) Pemerintah menyelenggarakan dan membina pelabuhan perikanan yang

dibangun oleh pemerintah, BUMN maupun perusahaan swasta;

4) Pemerintah, BUMN maupun perusahaan swasta yang akan membangun

pelabuhan perikanan wajib mengikuti rencana induk pelabuhan perikanan

secara nasional dan peraturan pelaksanaannya;

5) Pembangunan pelabuhan perikanan dilaksanakan melalui pentahapan study,

investigation, detail design, construction, operation dan maintenance

(SIDCOM);

6) Selain pemerintah, pihak swasta dapat membangun dan

mengoperasionalkan pelabuhan perikanan;

7) Klasifikasi pelabuhan perikanan dibagi ke dalam 4 kelas, yakni Pelabuhan

Perikanan Samudera (PPS), Pelabuhan Perikanan Nusantara (PPN),

Pelabuhan Perikanan Pantai (PPP), dan Pangkalan Pendaratan Ikan (PPI);

8) Setiap pembangunan pelabuhan perikanan wajib terlebih dahulu

memperoleh persetujuan Menteri Kelautan dan Perikanan. Lokasi

pembangunan pelabuhan perikanan ditetapkan oleh bupati/walikota

setempat;

Page 37: 2 TINJAUAN PUSTAKA · 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Wilayah Pesisir Wilayah pesisir didefinisikan oleh FAO sebagai wilayah peralihan atau transisi di antara daratan dan laut, termasuk danau

48

9) Pengelolaan pelabuhan perikanan dipimpin oleh seorang Kepala Pelabuhan.

Kepala Pelabuhan Perikanan bertindak sebagai koordinator tunggal dalam

penyelenggaraan pelabuhan perikanan;

10) Fasilitas-fasilitas yang ada di pelabuhan perikanan:

a. Fasilitas pokok, yaitu fasilitas dasar yang diperlukan dalam kegiatan

di suatu pelabuhan yang berfungsi untuk menjamin keamanan dan

kelancaran kapal baik sewaktu berlayar ke luar masuk pelabuhan

maupun sewaktu berlabuh di pelabuhan. Fasilitas pokok meliputi: (1)

pelindung seperti breakwater, revetment, dan groin; (2) tempat tambat

seperti dermaga dan jetty; (3) perairan seperti kolam, dan alur

pelayaran; (4) penghubung seperti jalan, drainase, gorong-gorong,

jembatan; dan (5) lahan pelabuhan perikanan.

b. Fasilitas fungsional, yaitu fasilitas yang berfungsi untuk meningkatkan

nilai guna dari fasilitas pokok sehingga dapat menunjang aktivitas di

pelabuhan, yang terdiri dari: (1) tempat pelelangan ikan sebagai

tempat pemasaran hasil perikanan; (2) navigasi pelayaran dan

komunikasi seperti telepon, internet, SSB, rambu-rambu, lampu suar,

dan menara pengawas; (3) suplai air bersih, es, listrik; (4)

pemeliharaan kapal dan alat penangkap ikan seperti dock/slipway,

bengkel dan tempat perbaikan jaring; (5) penanganan dan pengolahan

hasil perikanan seperti transit sheed dan laboratorium pembinaan

mutu; (6) perkantoran seperti kantor administrasi pelabuhan; (7)

transportasi seperti alat-alat angkut ikan dan es; serta (8) pengolahan

limbah seperti instalasi pengolah air limbah (IPAL).

c. Fasilitas penunjang, adalah fasilitas yang secara tidak langsung

meningkatkan peranan pelabuhan, yaitu: (1) pembinaan nelayan,

seperti balai pertemuan nelayan,; (2) pengelolaan pelabuhan, seperti

mess operator, pos jaga, dan pos pelayanan terpadu; (3) sosial dan

umum, seperti tempat peribadatan, dan MCK; (4) kios IPTEK; serta

(5) penyelenggaraan tugas pemerintahan seperti keselamatan

Page 38: 2 TINJAUAN PUSTAKA · 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Wilayah Pesisir Wilayah pesisir didefinisikan oleh FAO sebagai wilayah peralihan atau transisi di antara daratan dan laut, termasuk danau

49

pelayaran, K3, bea dan cukai, keimigrasian, pengawas perikanan,

kesehatan masyarakat, dan karantina ikan.

Menurut Lubis (2002), fungsi pelabuhan perikanan dapat dikelompokan

menjadi dua, yakni ditinjau dari pendekatan kepentingan dan pendekatan aktivitas.

Berdasarkan pendekatan aktivitas, fungsi pelabuhan adalah:

1) Fungsi maritim, dimana pelabuhan perikanan merupakan suatu tempat

(terjadinya) kontak bagi nelayan dan/atau pemilik kapal, antara laut dan

daratan melalui penyediaan kolam pelabuhan dan dermaga;

2) Fungsi pemasaran, dimana pelabuhan perikanan merupakan suatu tempat

awal untuk mempersiapkan pemasaran produksi perikanan dengan

melakukan transaksi pelelangan ikam;

3) Fungsi jasa, dimana pelabuhan perikanan memberikan jasa-jasa pelabuhan

mulai dari ikan didaratkan sampai ikan didistribusikan.

Dari pendekatan aktivitas, fungsi pelabuhan menurut Lubis (2202) adalah:

1) Fungsi pendaratan dan pembongkaran, dalam hal ini pelabuhan perikanan

lebih ditekankan sebagai (tempat) pemusatan sarana dan kegiatan

pendaratan dan pembongkaran hasil tangkapan di laut;

2) Fungsi pengolahan, dimana pelabuhan perikanan sebagai tempat membina

peningkatan mutu serta pengendalian mutu ikan dalam menghindari

kerugian pasca tangkap;

3) Fungsi pemasaran, dimana pelabuhan perikanan berfungsi sebagai tempat

untuk menciptakan mekanisme pasar yang menguntungkan atau mendapatka

harga yang layak bagi nelayan maupun pedagang.

Berbeda dengan Lubis (2002), Murdiyanto (2004) membagi fungsi

pelabuhan menjadi 2, yaitu fungsi umum dan fungsi khusus. Fungsi umum

merupakan fungsi yang juga dimiliki oleh tipe pelabuhan yang lainnya (pelabuhan

umum, pelabuhan niaga), yang meliputi: (1) jalan (alur) masuk pelabuhan dengan

kedalaman air yang cukup; (2) pintu atau gerbang pelabuhan dan saluran navigasi

yang cukup aman dan dalam; (3) kedalaman dan luas kolam air yang cukup serta

terlindung dari gelombang dan arus yang kuat untuk keperluan kegiatan kapal di

dalam pelabuhan; (4) bantuan peralatan navigasi baik visual maupun elektronis

Page 39: 2 TINJAUAN PUSTAKA · 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Wilayah Pesisir Wilayah pesisir didefinisikan oleh FAO sebagai wilayah peralihan atau transisi di antara daratan dan laut, termasuk danau

50

untuk memandu kapal agar dapat melakukan manuver di dalam areal pelabuhan

dengan lebih mudah an ama; (5) bila dipandang perlu, dapat mendirikan bangunan

penahan gelombang (breakwater) untuk mengurangi pengaruh atau memperkecil

gelombang dan angin badai di jalan masuk dan fasilitas pelabuhan lainnya; (6)

dermaga yang cukup panjang dan luasnya untuk melayani kapal yang berlabuh;

(7) fasilitas yang menyediakan bahan kebutuhan pelayaran seperti BBM, pelumas,

air minum, listrik, sanitasi dan kebersihan, saluran pembuangan sisa kotoran dari

kapal, penanggulangan sampah, dan sistem pemadam kebakaran; (8) bangunan

rumah dan perkantoran yang perlu untuk kelancaran dan pendayagunaan

operasional pelabuhan; (9) area di bagian laut dan darat untuk perluasan atau

pengembangan pelabuhan; (10) jalan raya atau jalan kereta api/lori yang cukup

panjang untuk sistem transportasi dalam areal pelabuhan dan untuk hubungan

dengan daerah lain di luar pelabuhan; (11) halaman tempat parkir yang cukup luas

untuk kendaraan industri atau perorangan di dalam pelabuhan sehingga arus

lalulintas di kompleks pelabuhan dapat berjalan dengan lancar; (12) fasilitas

perbaikan, reparasi dan pemeliharaan kapal seperti dok dan perbengkelan umum

untuk melayani permintaan sewaktu-waktu.

Fungsi khusus dari pelabuhan perikanan menurut Murdiyanto (2004)

diturunkan dari karakteristik komoditas perikanan yang sifatnya mudah busuk

(highly perishable). Sifat ini menhendaki pelayanan khusus berupa perlakuan

penanganan, pendistribusian hasil ikan secara cepat ataupun pengolahan yang

tepat. Fasilitas yang diperlukan untuk memenuhi fungsi khusus pelabuhan

perikanan ini adalah: (1) fasilitas pelelangan ikan yang cukup luas dan dekat

dengan tempat pendaratan; (2) fasilitas pengolahan ikan seperti tempat

pengepakan, pengemasan, dan cold storage; (3) pabrik es; dan (4) fasilitas

penyediaan sarana produksi penangkapan ikan.

Murdiyanto (2004) menjelaskan bahwa klasifikasi pelabuhan didasarkan

pada cakupan peruntukannya, yakni:

1) Pelabuhan Perikanan Tipe A (atau Pelabuhan Perikanan Samudera, PPS)

diperuntukan terutama bagi kapal-kapal perikanan yang beroperasi di

perairan samudera yang lazim digolongkan ke dalam armada perikanan

perikanan jarak jauh sampai ke perairan ZEEI dan perairan internasional,

Page 40: 2 TINJAUAN PUSTAKA · 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Wilayah Pesisir Wilayah pesisir didefinisikan oleh FAO sebagai wilayah peralihan atau transisi di antara daratan dan laut, termasuk danau

51

mempunyai perlengkapan untuk menangani (handling) dan mengolah

sumberdaya ikan sesuai dengan kapasitasnya yaitu jumlah ikan yang

didaratkan minimum 200 ton per hari atau 73.000 ton per tahun, baik untuk

pemasaran dalam negeri maupun luar negeri (ekspor). Pelabuhan perikanan

tipe A ini dirancang untuk bisa menampung kapal berukuran 60 GT

sebanyak 100 unit sekaligus, serta mempunyai cadangan lahan untuk

pengembangan seluas 30 ha.

2) Pelabuhan Perikanan Tipe B (atau Pelabuhan Perikanan Nusantara, PPN)

diperuntukan terutama bagi kapal-kapal perikanan yang beroperasi di

perairan Nusantara yang lazim digolongkan ke dalam armada perikanan

perikanan jarak sedang sampai ke perairan ZEEI, mempunyai perlengkapan

untuk menangani (handling) dan mengolah sumberdaya ikan sesuai dengan

kapasitasnya yaitu jumlah ikan yang didaratkan minimum 50 ton per hari

atau 18.250 ton per tahun, hanya untuk pemasaran dalam negeri. Pelabuhan

perikanan tipe B ini dirancang untuk bisa menampung kapal berukuran

sampai 60 GT sebanyak 50 unit sekaligus, serta mempunyai cadangan lahan

untuk pengembangan seluas 10 ha.

3) Pelabuhan Perikanan Tipe C (atau Pelabuhan Perikanan Pantai, PPP)

diperuntukan terutama bagi kapal-kapal perikanan yang beroperasi di

perairan, mempunyai perlengkapan untuk menangani (handling) dan

mengolah sumberdaya ikan sesuai dengan kapasitasnya yaitu jumlah ikan

yang didaratkan minimum 20 ton per hari atau 7.300 ton per tahun, untuk

pemasaran di daerah sekitarnya atau untuk dikumpulkan dan dikirim ke

pelabuhan perikanan yang lebih besar. Pelabuhan perikanan tipe C ini

dirancang untuk bisa menampung kapal berukuran 15 GT sebanyak 25 unit

sekaligus, serta mempunyai cadangan lahan untuk pengembangan fasilitas

seluas 5 ha.

4) Pangkalan Pendaratan Ikan (PPI), berskala lebih kecil dari PPP baik ditinjau

dari kapasitas penanganan jumlah produksi ikan maupun fasilitas dasar dan

perlengkapannya. Kapasitas penanganan ikannya sampai dengan 5 ton per

hari, dan dapat menampung kapal berukuran 5 GT sebanyak 15 unit

Page 41: 2 TINJAUAN PUSTAKA · 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Wilayah Pesisir Wilayah pesisir didefinisikan oleh FAO sebagai wilayah peralihan atau transisi di antara daratan dan laut, termasuk danau

52

sekaligus, serta mempunyai cadangan lahan untuk pengembangan fasilitas

seluas 1 ha.

Di Indonesia, penentuan awal terbentuknya suatu kawasan menjadi daerah

perikanan pada mulanya kemungkinan besar ditentukan hanya oleh adanya

aktivitas yang berkaitan dengan perikanan, baik itu berupa kegiatan penangkapan,

budidaya, pengolahan, maupun pemasaran, baik kegiatan sendiri-sendiri maupun

bersamaan. Oleh karena itu, kemungkinan besar tidak memperhitungkan berbagai

variabel yang diperlukan bagi suatu perencanaan pengembangan daerah perikanan

secara ilmiah, baik dilihat dari sumberdaya ikan, prasarana dan sarana

penangkapan dan pendaratan ikan, serta potensi pasarnya. Oleh karena itu, tidak

semua pusat-pusat pendaratan ikan yang ada di Indonesia mempunyai prospek

pengembangan yang menggembirakan bilamana diteliti secara mendalam dan

ilmiah.

Menurut Lubis (2003), salah satu alasan perlunya dibangun pelabuhan

perikanan di suatu daerah adalah berkembangnya kegiatan perikanan laut di

daerah tersebut. Disamping itu, alasan lain yang juga mendukung adalah:

1) Semakin meningkatnya kebiasaan penduduk untuk makan ikan;

2) Masih besarnya potensi sumberdaya ikan yang ada di perairan;

3) Semakin meningkatnya (kegiatan) industri perikanan;

4) Adanya (dukungan) politik dalam rangka pengawasan perairan; serta

5) Semakin meningkatnya pendapatan penduduk per kapita.

Lubis (2003) juga berpendapat bahwa sebagian besar pelabuhan perikanan

di Indonesia belum berfungsi optimal (70 %) dan umumnya belum dilengkapi

fasilitas modern. Menurutnya, terdapat beberapa faktor yang menyebabkan

terjadinya hal tersebut, antara lain: (1) Rendahnya kualitas sumberdaya manusia

(SDM) pengelola dan pelaku; (2) Masih belum sadarnya para pelaku (nelayan,

pedagang, pengolah) dalam memanfaatkan pelabuhan perikanan dengan sebaik-

baiknya sebagai tempat pendaratan, pemasaran, maupun pembinaan mutu hasil

tangkapannya; (3) Masih belum adanya kemauan dari pemerintah sendiri untuk

Page 42: 2 TINJAUAN PUSTAKA · 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Wilayah Pesisir Wilayah pesisir didefinisikan oleh FAO sebagai wilayah peralihan atau transisi di antara daratan dan laut, termasuk danau

53

membantu para nelayan dalam memanfaatkan potensi perairan, baik dalam

manajemen pemberian kredit maupun dalam pemberian subsidi; (4) Belum adanya

jaminan keamanan bagi para nelayan, baik di laut maupun di darat; (5) Masih

belum tersedianya berbagai fasilitas yang memang diperlukan oleh nelayan atau

pedagang di pelabuhan perikanan atau juga rusaknya beberapa fasilitas di

pelabuhan tanpa adanya perbaikan dalam jangka waktu yang lama; (6) Belum

tersedianya prasarana dan sarana transportasi yang baik yang dapat menjamin

mutu ikan sampai ke daerah konsumen; (7) Masih banyak nelayan yang terikat

dengan para tengkulak sehingga terjadi ketergantuangan harga jual hasil

tangkapannya; dan (8) Belum berjalannya fungsi koperasi secara baik sehingga

tidak dirasakan manfaatnya oleh nelayan.

Menurut Dubrocard dan Thoron (1998), suatu pelabuhan perikanan dapat

dipertimbangkan sebagai suatu tempat dimana terjadi mekanisme perpindahan

barang yang berasal dari daratan ke arah laut dan sebaliknya. Aktivitas yang

dilakukan dalam suatu pelabuhan secara jelas dapat dibagi 2, yaitu pelayanan

kapal, dan pelayanan muatan yang akan dibawa atau dibongkarnya. Pengelolaan

suatu pelabuhan tergantung pada apa yang dimilikinya (kapasitasnya) dan apa

yang diminta oleh para pelanggannya. Kasus terjadinya keterlambatan bongkar

muat suatu kapal adalah menunjukkan bagaimana keadaan kualitas pelayanan

pelabuhan tersebut.

Pada saat suatu kapal tiba di suatu pelabuhan, sudah harus dipertimbangkan

kemungkinan adanya biaya tunggu di pelabuhan. Menurut Dubrocard dan Thoron

(1998), pelayanan bongkar muat kapal merupakan faktor utama dari jasa

pelayanan pelabuhan. Kualitas pelayanan ini diukur dari keterlambatan yang

ditentukan oleh kapasitas pelabuhan dan jumlah permintaan. Suatu pelabuhan

dapat digambarkan sebagai suatu mekanisme transportasi barang-barang yang

berasal dari daratan menjadi barang-barang yang berasal dari laut, dan sebaliknya.

Pelabuhan menawarkan dua macam pelayanan, yaitu pelayanan kapalnya dan

pelayanan muatannya. Pada saat suatu pelayanan bongkar muat kapal dilakukan,

telah terdapat suatu spesifikasi yang telah disesuaikan dengan kondisi kapal dan

muatannya. Hal ini merupakan hasil analisis dari pengalaman pemberian

pelayanan bongkar muat kapal yang cukup lama.

Page 43: 2 TINJAUAN PUSTAKA · 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Wilayah Pesisir Wilayah pesisir didefinisikan oleh FAO sebagai wilayah peralihan atau transisi di antara daratan dan laut, termasuk danau

54

Dalam kasus situasi kapal ikan, Dubrocard dan Thoron (1998) menyatakan

bahwa tidak hanya waktu tunggu yang penting tetapi lebih pada harga ikan yang

dapat dicapai saat lelang. Artinya, jika ikan yang dibongkar tersebut menambah

jumlah ikan yang sudah ada di pelelangan, dikhawatirkan akan terjadi penurunan

harga karena kelebihan pasokan di pasar. Namun secara formal, analisis terhadap

situasi ini sangat mirip dengan teori antrian dan kemacetan. Dengan perkataan

lain, kualitas pelayanan diukur dalam dua bentuk gambaran, pada saat kapal

datang di pelabuhan secara acak (dengan kata lain kualitas ditentukan oleh harga

yang diperoleh, dan hal ini pada gilirannya ditentukan oleh proses kedatangan dari

kapal ikan).

Mengutip Lubis (1989) dan Vigarie (1979), Lubis (2003) menyatakan

bahwa terdapat tiga komponen yang harus mendasari analisis geografi dalam

merencanakan pengembangan pelabuhan perikanan. Ketiga komponen tersebut

terdiri dari foreland, fishing port, dan hinterland, yang dalam Bahasa Perancis

ketiganya disebut tryptique portuaire. Jika ketiga komponen tersebut dikelola

dengan baik, maka pengembangan pelabuhan perikanan terpadu dapat dicapai.

Menurut Kramadibrata (2002), para perencana dan perancang pelabuhan harus

mengarahkan pemikirannya pada fungsi pelabuhan, yaitu sebagian dari fungsi

angkutan yang mampu melaksanakan tugasnya, bukan hanya dimasa sekarang

tetapi juga mampu berperan di masa mendatang.

Perkembangan terakhir dari pengelolaan pelabuhan perikanan yang

berkelanjutan adalah dimasukannya aspek eco-port, artinya pelabuhan dikeloka

sedemikian rupa sehingga masyarakat sekitar pelabuhan dan para pemanfaat

lainnya dapat menggunakan pelabuhan tersebut sebagai tempat yang nyaman

untuk berwisata. Salah satu pelabuhan perikanan yang sudah menerapkan sistem

pengelolaan seperti ini adalah Port Douglas di Darwin-Australia

http://www.fishingportdouglas.com.au/). Di pelabuhan ini, hampir semua

kegiatan wisata air dapat dilakukan dan dikelola secara professional, mulai dengan

fasilitas akomodasi (hotel berbintang 4,5 dan motel) sampai ke fasilitas sport

fishing (mancing di laut). Di Indonesia, tampaknya belum sampai ke taraf

komersial, meskipun kunjungan dari berbagai lapisan masyarakat juga sudah biasa

dilakukan dan dihadapi oleh pengelola pelabuhan.

Page 44: 2 TINJAUAN PUSTAKA · 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Wilayah Pesisir Wilayah pesisir didefinisikan oleh FAO sebagai wilayah peralihan atau transisi di antara daratan dan laut, termasuk danau

55

Menurut Mahyuddin (2007), pengembangan pelabuhan perikanan di

Indonesia semakin menarik bagi investor untuk dijadikan basis dalam

pengembangan industri perikanan. Alasannya yakni: (1) investor semakin sulit

memperoleh tanah yang bebas masalah d luar kawasan pelabuhan sehingga areal

industri perikanan di kawasan pelabuhan semakin diminati; (2) berdasarkan pasal

41 ayat 3 UU No. 31/2004 tentang perikanan, setiap kapal penangkap ikan dan

kapal pengangkut ikan diharuskan untuk mendaratkan ikan tangkapannya di

pelabuhan perikanan; (3) adanya kebijakan Menteri Kelautan dan Perikanan

bahwa kapal-kapal asing dilarang melakukan penangkapan ikan di perairan

Indonesia kecuali kapal-kapal asing harus berpangkalan, mendaratkan hasil

tangkapannya di pelabuhan perikanan Indonesia dan membuka industri perikanan

di Indonesia; dan (4) semakin banyak kemudahan yang diberikan kepada investor

di pelabuhan mulai dari pelayanan prima, sampai kepada murahnya tarif dalam

memanfaatkan fasilitas pelabuhan.

2.3.3 Tempat pelelangan ikan

Salah satu sarana yang sebaiknya terdapat di pelabuhan perikanan adalah

tersedianya tempat pelelangan ikan (TPI). Tempat ini merupakan areal dimana

nelayan, juragan kapal, tengkulak, dan pembeli dan penjual ikan bertransaksi dan

diawasi oleh petugas TPI. Sebagaimana dijelaskan dalam Peraturan Menteri

Kelautan dan Perikanan No. PER.16/MEN/2006 tanggal 23 Juni 2006 tentang

Pelabuhan Perikanan, tempat pelelangan ikan adalah salah satu fasilitas fungsional

yang dapat meningkatkan nilai guna dari fasilitas pokok sehingga dapat

menunjang aktivitas di pelabuhan (DKP 2006).

Menurut Adrianto (2007), TPI adalah tempat dimana kesepakatan harga jual

beli ikan tercapai. Namun demikian beberapa hal perlu diperhatikan, yaitu harga

yang terbentuk tidak mencerminkan supply dan demand yang aktual (quasi-

auction), transparansi antara harga on-farm dan off-farm masih terbatas. Dengan

demikian TPI hanya berfungsi sebagai lembaga ekonomi saja.

Tempat pelelangan ikan juga merupakan fasilitas fungsional yang sangat

vital dalam rangka mengoptimalkan fungsi pemasaran ikan. Pada gilirannya, jika

fungsi pemasaran berhasil maka pendapatan dari jasa pelabuhan perikanan akan

Page 45: 2 TINJAUAN PUSTAKA · 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Wilayah Pesisir Wilayah pesisir didefinisikan oleh FAO sebagai wilayah peralihan atau transisi di antara daratan dan laut, termasuk danau

56

juga bertambah. Fungsi pemasaran ikan yang terjadi di TPI digambarkan oleh

Adrianto (2007) sebagaimana tercantum dalam Gambar 2.7

Gambar 2.7 Bagan alir fungsi pemasaran yang terjadi di TPI (Adrianto 2007)

Dari Gambar 2.7 tampak bahwa aktivitas ekonomi (pemasaran) di TPI

dimulai dari proses pendaratan ikan yang dilakukan oleh nelayan, kemudian

terjadi proses lelang pertama diantara tengkulak/pedagang besar A (wholesaler,

baik dari kelompok nelayan atau koperasi) dengan pedagang perantara A (middle

man). Proses pelelangan kedua terjadi antara tengkulak/pedagang besar B dengan

pedagang perantara B. Proses pemasaran kemudian terjadi secara eceran di antara

pedagang perantara B dengan pedagang eceran yang langsung menjual ikannya

kepada konsumen. Pembayaran kontan terjadi pada saat transaksi antara

pedagang perantara dengan pedagang eceran serta antara pedagang eceran dengan

konsumen. Sedangkan transaksi pada waktu lelang dibayar berdasarkan komisi

penjualan. Jika kepercayaan sudah ter jadi diantara tengkulak/pedagang besar

dengan pedagang perantara dan juga sampai ke pedagang pengecer, pembayaran

kadang-kadang dilakukan hari berikutnya.

Sales

Fix price transaction

Buying on consignment

FISHERS

LANDING

Consignment

Consignees, wholesalers (fishers cooperatives/

association)

Auctions and Bidding

Retail Traders Consumers

Middle-men

Auctions and Bidding

Middle-men

Consignees, wholesalers (larger wholesaler market)

Page 46: 2 TINJAUAN PUSTAKA · 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Wilayah Pesisir Wilayah pesisir didefinisikan oleh FAO sebagai wilayah peralihan atau transisi di antara daratan dan laut, termasuk danau

57

2.3.4 Kelembagaan TPI

Untuk dapat beroperasi secara benar dan optimal, maka TPI harus memiliki

lembaga pengelola. Banyak kasus di pelabuhan-pelabuhan perikanan di Pulau

Jawa lembaga pengelola TPI dipegang oleh koperasi nelayan (KUD Mina), ada

yang berhasil dan ada pula yang gagal total sehingga lembaga tersebut tidak

dipercaya lagi. Contoh kasus yang terhitung berhasil adalah di PPI/TPI

Belanakan di Subang yang dikelola oleh KUD Mina Fajar Sidik. Keberhasilan

lembaga pengelola TPI ini telah menjadikannya sebagai acuan dalam

pengembangan Terminal Agribisnis/Sub Terminal Agribisnis (TA/STA) produk-

produk pertanian. KUD Mina Fajar Sidik didirikan tahun 1958 dan mendapat

predikat KUD Mandiri Inti berdasarkan Surat Kakanwil Depkop dan PPK Prop.

Jawa Barat tanggal 24 Desember 1994. Jumlah karyawan KUD 50 orang dengan

keanggotaan penuh (535 orang), calon anggota (155 orang) dan anggota yang

dilayani (3.804 orang), dan uang yang beredar dari hasil transaksi lelang yang

terjadi di TPI setiap hari sebesar Rp. 150.000.000,- (seratus lima puluh juta)

(Anonimous 2006).

Tata cara pelaksanaan lelang di TPI KUD Mina Fajar Sidik dilaksanakan

berdasarkan Peraturan Gubernur Jawa Barat no. 13/2006 tanggal 8 Maret 2006

tentang pelaksanaan penyelenggaraan dan retribusi tempat pelelangan ikan dan

berdasarkan Perda Provinsi Jawa Barat no. 10/11 tahun 1998 Jo Prop Jawa Barat

no. 8/9 tahun 2000 pelaksanaan lelang dikenakan ongkos sebesar 8 %.

Adrianto (2007) mengidentifikasi aliran fungsional yang terjadi di TPI di

Jawa Tengah, sebagaimana tampak dalam Gambar 2.8. Dari Gambar 2.8 tampak

besaran distribusi dana retribusi, dimana 1,25 % diberikan ke Kas Provinsi

(Pemda Provinsi 0,85 % dan Pemda Kabupaten/kota) dan 3,75 % disampaikan ke

PUSKUD (yang digunakan untuk dana sosial, pengembangan PUSKUD,

tabungan nelayan, asuransi nelayan, tabungan bakul, dana paceklik,

pengembangan KUD, lelang, dan perawatan TPI). Jika besaran retribusi sebesar 8

%, maka biaya pengelolaan TPI sebesar 3 % dari seluruh transaksi pelelangan.

Distribusi dana retribusi pelelangan yang dilakukan di Jawa Timur dan Bali

Page 47: 2 TINJAUAN PUSTAKA · 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Wilayah Pesisir Wilayah pesisir didefinisikan oleh FAO sebagai wilayah peralihan atau transisi di antara daratan dan laut, termasuk danau

58

mempunyai variasi yang cukup berbeda, sebagaimana tampak pada Gambar 2.9

dan Gambar 2.10.

Gambar 2.8 Bagan aliran fungsional yang terjadi di TPI di Jawa Tengah (Adrianto 2007)

Gambar 2.9 Bagan aliran fungsional yang terjadi di TPI di Provinsi Jawa Timur (Adrianto 2007a)

Kas Provinsi

TPI

PemdaProvinsi

PemdaKab/Kota

Pusat KUD

DanaSosial

TabunganNelayan

AsuransiNelayan

DanaPaceklik

Lelang

PengembanganPuskud

TabunganBakul

PengembanganKUD

PengembanganTPI

1.25% 3.75%

0.85% 0.40%

0.50%

0.20%

0.50%

0.25%

0.20% 0.50%

0.45%

1.0%

Perawatan TPI0.15%

Provinsi Jawa Tengah

DISPENDA

BANK JATIM

KUD TPI

ANGGARAN RUTIN

5 %

ANGGARAN PEMBANGUNAN

PROVINSI

DINAS KAB/KOTA TPI/KUD PENGELOLA

1,25 % 0,75 %

3 %

Page 48: 2 TINJAUAN PUSTAKA · 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Wilayah Pesisir Wilayah pesisir didefinisikan oleh FAO sebagai wilayah peralihan atau transisi di antara daratan dan laut, termasuk danau

59

Gambar 2.10 Bagan aliran fungsional yang terjadi di TPI di Provinsi Bali

(Adrianto 2007b)

2.4 Analisis Perkembangan Aktivitas Pembangunan

Setiap aktivitas pembangunan di suatu kawasan dapat diamati tingkat

keberhasilannya dengan berbagai tools. Dalam penelitian ini, tools yang

digunakan adalah: ketergantungan daerah perikanan (fisheries dependent region);

land rent, yang meliputi economic rent, social rent, dan environmentlan rent,

yang masing-masing dalam istilah Indonesia disebut rente lahan yang mencakup

rente ekonomi, rente sosial, dan rente lingkungan.

2.4.1 Ketergantungan daerah perikanan (fisheries dependent region)

Untuk melihat prospek pengembangan suatu daerah perikanan, konsep yang

dikembangkan oleh Symes (2000) tentang daerah yang bergantung pada kegiatan

perikanan (daerah perikanan = fisheries dependent regions) sangat bermanfaat

bagi aktivitas pengelolaan. Daerah perikanan ini merupakan barometer bagi

keberhasilan suatu kebijakan perikanan.di suatu kawasan.

Menurut Symes (2000), definisi pokok dari daerah perikanan adalah untuk

mengidentifikasi daerah-daerah yang memiliki tingkat resiko tinggi, baik dalam

konteks sumberdaya maupun kebijakan, terhadap turunnya intensitas kegiatan

TPI KUD

Biaya operasionaldan tabungan nelayan

BendaharawanDinas PerikananKabupaten/Kota

RetribusiProvinsi 0.5 %

RetribusiKabupaten/Kota 0.5 %

Pungutan Paceklik/Sosial Kecelakaan1 %

Wasdalop0.5 %

BendaharawanProvinsi

BPD Bali

BPD Kabupaten/Kota

BendaharawanKhusus PerikananProvinsi

Provinsi Bali (SK Gubernur No 190/1986)

Page 49: 2 TINJAUAN PUSTAKA · 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Wilayah Pesisir Wilayah pesisir didefinisikan oleh FAO sebagai wilayah peralihan atau transisi di antara daratan dan laut, termasuk danau

60

perikanan termasuk dampak yang mungkin timbul dari turunnya kesempatan kerja

dan pendapatan sektor perikanan. Daerah perikanan dalam konteks ini terkait

dengan istilah fisheries dependent region, ketergantungan daerah terhadap

perikanan. Menurut Phillipson (2000), definisi daerah perikanan perlu difokuskan

dalam konteks struktur ekonomi daerah (regional depencies) dimana sektor

perikanan berkontribusi secara sosial dan ekonomi, daripada ketergantungan

perikanan (fisheries dependencies). Ketergantungan daerah jelas berdimensi

regional atau wilayah, sedangkan ketergantungan perikanan memiliki banyak

dimensi, mulai dari individu, rumah tangga, hingga ke komunitas. Sebelumnya

Otterstad et al. (1997b) dalam Symes (2000) menyatakan bahwa ketergantungan

secara ekonomi (economic dependencies) lebih relevan secara langsung terhadap

isu daerah perikanan. Sedangkan variabel sosial memiliki peran dalam

penyediaan indikasi umum dari kesejahteraan sosial (social welfare) dari suatu

daerah.

Untuk mengklasifikasi apakah suatu daerah termasuk dalam suatu daerah

perikanan atau bukan, menurut Phillipson (2000) terdapat tiga sistem indikator

yang dapat digunakan, yaitu:

1) Indikator ketergantungan perikanan (fisheries dependence indices) yang

mencakup 3 komponen utama, yakni: a) Indikator ketenagakerjaan

perikanan (kontribusi tenaga kerja perikanan dalam total struktur

ketenagakerjaan daerah); b) indikator absolut aktivitas perikanan

(indikator yang terkait langsung dengan menurunnya kinerja sektor

perikanan); dan c) indikator tingkat signifikasi ekonomi dari sektor

perikanan terhadap ekonomi daerah.

2) Indikator ketergantungan ekonomi (economic dependence indices) yang

meliputi indikator ketenagakerjaan wilayah, indikator ekonomi wilayah

dan industri.

3) Indikator sosial demografis yang mencakup indikator kependudukan,

kesehatan, pendidikan, dan lain-lain.

Penentuan daerah perikanan di Indonesia mempunyai beberapa hambatan.

Menurut Adrianto (2004), paling tidak terdapat 3 persoalan (obstacles) yang perlu

Page 50: 2 TINJAUAN PUSTAKA · 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Wilayah Pesisir Wilayah pesisir didefinisikan oleh FAO sebagai wilayah peralihan atau transisi di antara daratan dan laut, termasuk danau

61

diperhatikan. Pertama, tidak ada sistem data yang langsung dapat dipakai

(straightforward) untuk mengidentifikasi sebuah daerah agar dapat digolongkan

sebagai daerah perikanan. Data statistik nasional misalnya belum menempatkan

informasi tentang angkatan kerja perikanan dalam sebuah bentuk yang standar.

Kedua, masalah level data. Data perikanan saat ini tidak standar antar level

sehingga sering ditemukan ketidaksesuaian data antar level. Secara teoritis,

identifikasi kegiatan perikanan lebih mudah dilakukan di tingkat lokal, sehingga

level ketergantungan (level of dependencies) daerah tersebut mudah ditentukan

walaupun tidak untuk semua kasus. Ketiga, dalam beberapa hal istilah fisheries

dependence dapat menimbulkan kontradiksi. Ketika pengukuran dimaksudkan

untuk mengidentifikasi peren penting dari sektor perikanan di suatu daerah,

namun hasilnya cenderung tidak meyakinkan karena sektor perikanan seringkali

masuk (embedded) ke dalam ekonomi lokal yang kompelks dan beragam

(pluriactive). Dalam konteks ini, maka penerapan indeks batas arbitrer (arbitrary

threshold index), untuk menggolongkan apakah suatu daerah bergantung secara

relatif terhadap sektor perikanan atau tidak, dapat di lakukan.

2.4.2 Land rent, social rent, dan environmental rent

Menurut Fetter (1977), asal kata rent atau rente berasal dari kata Bahasa

Perancis tua pada abad 12, yang diambil dari Bahasa Latin rendita dan reddita

yang berarti kembali atau hasil panen. Pada abad yang sama pula terjadi

penggunaan kata tersebut dalam Bahasa Inggris, yang nuansa artinya lebih pada

kata penghasilan (revenue atau income). Dari istilah inilah kemudian muncul

definisi rente menurut Alfred Marshall yang banyak digunakan oleh para ekonom,

yaitu “pendapatan yang diperoleh dari penggunaan lahan dan pemberian alam

lainnya”. Namun demikian, dari nuansa teknis hukum definisi yang lebih sesuai

adalah: kompensasi yang diterima oleh tuan tanah untuk penyewaan tanahnya

(corpus juris).

Perkembangan sejarah menunjukkan bahwa definisi rent ternyata

berkembang terus sejalan dengan kemajuan jaman dan berbagai aktivitas yang

dilakukan di suatu kawasan. Parikesit (2005) menyatakan bahwa teori awal dari

penggunaan lahan berawal dari teori mikro ekonomi. Di antara para ahli, yang

Page 51: 2 TINJAUAN PUSTAKA · 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Wilayah Pesisir Wilayah pesisir didefinisikan oleh FAO sebagai wilayah peralihan atau transisi di antara daratan dan laut, termasuk danau

62

paling signifikan berpengaruh adalah Von Thünen dengan teori lokasinya, Weber

dengan model lokasi industri, Christaller dan Lösch dengan penjelasan tentang

daerah pemasaran dan perencanaan geometrik untuk membentuk kawasan; serta

implementasinya terhadap daerah perkotaan dijelaskan oleh Wingo dan Alonso

(de la Barra 1989). Pendekatan Von Thünen dan Weber sudah dikenal umum

sebagai dua paradigma yang berbeda dimana Von Thunen menggunakan

paradigma land use sementara yang kedua paradigma lokasi (Stahl 1987 dikutip

oleh Parikesit 1996 dalam Parikesit 2005). Von Thünen melihat bahwa lokasi

perdagangan yang penting dan terlibat adalah penurunan biaya output transportasi

dengan cara mendekati lokasi pasar, lawannya adalah peningkatan harga input

lahan (atau barangkali juga buruh) yang terlibat dalam hal pindah lokasi. Lebih

jauh, Von Thünen menyatakan bahwa land rent dirasakan sebagai pendekatan

yang paling tepat sebagai sisa, bahwa land rent bukan suatu lokasi yang

menentukan (kompetitif), tetapi ditetapkan sebagai suatu hasil (Parikesit 1996

dalam Parikesit 2005).

Menurut Rothbard (1997), Fetter merupakan ekonom pertama yang

menjelaskan tingkat bunga berdasarkan waktu. Setiap faktor produksi

memperoleh inkamnya sesuai dengan produk marginalnya, dan setiap rente yang

akan datang didiskon, atau dikapitalisasi untuk mendapatkan nilainya sekarang

sesuai dengan semua tingkat sosial berdasarkan waktu. Hal ini berarti bahwa

suatu perusahaan yang membeli mesin hanya akan membayar nilai saat ini untuk

nilai pendapatan yang diharapkan datang di masa yang akan datang, diskon oleh

tingkat sosial yang berdasarkan waktu; dan pada saat pemodal menyewa pekerja

atau menyewa lahan, dia akan membayar saat ini, bukan suatu faktor produk

marginal, tetapi diskon dari produk mariginal yang diharapkan dimasa yang akan

datang berasal dari tingkat sosial yang berdasarkan waktu.

Menurut Petrucci (2003), dalam suatu ekonomi tertutup non-altruistik,

dimana lahan dianggap sebagai suatu input dan juga sebagai asset, serta lahan dan

pekerja merupakan suplai yang tidak elastis, suatu pajak atas land rent

dihubungkan dengan stok modal dan output per orang yang lebih tinggi dalam

kondisi yang stabil. Hasil ini ditemukan oleh Feldstein tahun 1977. Model Von

Thunen tentang land-rent dapat dilihat pada Gambar 2.11.

Page 52: 2 TINJAUAN PUSTAKA · 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Wilayah Pesisir Wilayah pesisir didefinisikan oleh FAO sebagai wilayah peralihan atau transisi di antara daratan dan laut, termasuk danau

63

Rent/Cost 100

cost of fixed non-land inputs

50 30 M

20 km distance d 50 km

Gambar 2.11 Model Von Thunen tentang land-rent (Petrucci 2003)

Untuk lebih mudah mengerti tentang konsep land rent, diagram di bawah ini

menjelaskan tentang kaitan antara besarnya nilai suatu kapital dengan jarak,

sebagaimana dapat dilihat pada Gambar 2.12.

Gambar 2.12 Konsep land rent (Anonimous 2005)

1 - Bid rent curve

A-Retailling B-Industry/ commerccial

C. Apartements D. Single houses

Ren

t

Distance

2 – Overlay of bid rent curve

City lim

its

Page 53: 2 TINJAUAN PUSTAKA · 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Wilayah Pesisir Wilayah pesisir didefinisikan oleh FAO sebagai wilayah peralihan atau transisi di antara daratan dan laut, termasuk danau

64

Gambar 2.12 bagian 1 (bid rent curve) menggambarkan toleransi dari

aktivitas ekonomi terhadap rent. Dengan menumpang-tindihkan kurva dari semua

aktivitas ekonomi perkotaan tersebut (bagian 2), maka pusat pemanfaatan lahan

dapat dibuat dimana aktivitas bisnis eceran pada lingkaran CBD,

industri/komersial pada lingkaran berikutnya, apartemen di lingkaran berikutnya

dan kemudian perumahan tunggal. Hal ini merupakan representasi suatu ruang

isotropik (isotropic space). Pada kenyataannya, kombinasi antara atribut-atribut

physiographic (tepi perairan, bukit, dan lain lain), sejarah (turisme) dan sosial

(suku bangsa, kriminalitas, persepsi) akan mempengaruhi kurva nilai penawaran

(bid rent curves) (Anonimous 2005). Penggunaan lahan oleh karena itu

didefinisikan sebagai kemampuan untuk membayar dari fungsi ekonomi yang

berbeda di daerah perkotaan, seperti kawasan pedagang eceran, industri, atau

pemukiman. Lokasi optimal, dimana akses adalah optimal, adalah pusat kegiatan

bisnis. Setiap aktivitas, termasuk daerah pedesaan, berkeinginan untuk

mempunyai aktivitas di sekitar pusat bisnis tersebut.

Di bidang ekonomi (khususnya aktivitas produksi), lahan adalah faktor

produksi yang sangat penting disamping faktor manusia dan modal (Mubyarto

1979; Northam 1975). Di bidang non ekonomi, lahan memiliki makna struktur

penguasaan dan pemilikan. Lahan merupakan tempat dimana terjadi pelbagai

kegiatan dengan berbagai manfaat yang akan menentukan tingkat harga dan

kompetisi, terutama di daerah perkotaan dimana lahan merupakan input lokal

yang langka dan apabila terjadi kapitalisasi dari manfaat nilai lahan yang

kepemilikannya diberikan melalui hibah, maka dipastikan tidak akan cukup untuk

memperbaiki pengelolaan sumberdaya alamnya (Turner 1993; Husein 1997).

Pada saat suatu kota berkembang, lahan yang terpencil sekalipun mulai

menunjukkan rente yang jual tinggi khususnya yang memiliki akses yang baik.

Hal ini kemudian menghasilkan tingkat densitas dan produktivitas yang tinggi.

Oleh karenanya, densitas dan rente mempunyai hubungan yang erat (Anonimous

2005). Mubyarto (1979) menambahkan bahwa proses urbanisasi dan

industrialisasi merupakan faktor penting yang mendorong kenaikan sewa dan

harga lahan; selain itu dengan meningkatnya jumlah penduduk maka nilai lahan

Page 54: 2 TINJAUAN PUSTAKA · 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Wilayah Pesisir Wilayah pesisir didefinisikan oleh FAO sebagai wilayah peralihan atau transisi di antara daratan dan laut, termasuk danau

65

akan terus naik dan tidak mungkin turun, karena lahan adalah satu-satunya faktor

produksi yang tidak dapat dibuat oleh manusia.

Penurunan nilai lahan di suatu kawasan masih mungkin terjadi disebabkan

oleh beberapa faktor, yaitu: (1) terjadinya suatu bencana alam yang menimpa

kawasan tersebut; (2) terjadi bencana dari suatu industri, contohnya kebocoran

instalasi nuklir di Siberia; (3) kawasan tersebut menjadi tidak aman, baik karena

faktor manusia (perselisihan atau peperangan) maupun wabah penyakit yang

berlangsung lama. Penurunan nilai lahan ini dapat berlangsung lama atau

sebentar.

Menurut Husein (1997), penentuan harga lahan di Indonesia dalam banyak

kasus dilakukan setelah ada usulan untuk pembebasan lahan dari si pemohon atau

pengguna. Sebelum itu hampir tidak diketahui dengan pasti seberapa besar nilai

tambah di daerah tersebut, meskipun seandainya harga tanah dapat dimonitor di

tiap daerah. Penentuan harga lahan yang terburu-buru dan parsial, per daerah,

serta belum mantapnya kerjasama secara sinergis (misalnya antara Dinas Pajak

Bumi dan Bangunan dengan instansi pengatur dan pengguna lain seperti BPN,

DEPTAN, dan DEPDAGRI) membuat harga lahansecara riil dan potensial belum

dapat ditentukan dengan tepat. Salah satu penyebab utama ketidakmampuan

berkoordinasi tersebut adalah karena nilai lahan yang sangat spekulatif dan

subyektif yang mengandung unsur-unsur sosial-psikologis yang sangat dalam dan

sulit dihitung.

Suparwoko (1994) menjelaskan bahwa lahan merupakan sumberdaya yang

dapat diperbaharui, dalam arti bahwa lahan tersebut dapat ditingkatkan

kesuburannya. Pemanfaatan lahan untuk berbagai macam penggunaan bertujuan

untuk menghasilkan barang-barang (atau jasa) kebutuhan manusia yang terus

meningkat sebagai akibat pertambahan penduduk dan pertumbuhan ekonomi.

Untuk tujuan tersebut seringkali pemanfaatan lahan tidak rasional dan kurang

bijaksana dalam jangka pendek, sehingga kurang mempertimbangkan kelestarian

sumberdaya lahan tersebut. Akibat pemanfaatan yang tidak rasional tersebut,

lahan mengalami penurunan persediaan dan manusia semakin tergantung pada

sumberdaya lahan yang rendah kualitasnya.

Page 55: 2 TINJAUAN PUSTAKA · 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Wilayah Pesisir Wilayah pesisir didefinisikan oleh FAO sebagai wilayah peralihan atau transisi di antara daratan dan laut, termasuk danau

66

Fauzi (2000) menyebutkan bahwa tekanan pembangunan ekonomi yang

dilakukan di negara-negara berkembang khususnya sering menimbulkan dilema

bagi kelestarian sumberdaya alam. Hal ini mengingat kebutuhan konsumsi untuk

masyarakat sering tidak ditunjang oleh pengelolaan yang baik dan kesadaran

masyarakat tentang pentingnya menjaga kelestarian sumberdaya alam, sehingga

penurunan kualitas lingkungan sering dianggap sebagai biaya yang harus dibayar

untuk suatu proses pembangunan ekonomi. Lahan yang dikelola masyarakat

sebagai common property dapat disebut dengan open access. Dalam istilah

ekonomi, lahan tersebut disebut extensive economic margin yang artinya bahwa

pengetrapan tenaga kerja dan kapital per satuan lahan adalah sangat rendah dan

jika lahannya yang open access tersebut diperluas maka economic return-nya juga

sama rendahnya. Menurut Mubyarto (1972), balas jasa (return to land) yang

diterima oleh lahan dibandingkan dengan faktor-faktor produksi mempunyai

kedudukan yang paling penting. Pembayaran atas jasa produksi tersebut disebut

sewa lahan (rent). Suparwoko (1989) menjelaskan bahwa sewa lahan secara

sederhana dapat didefinisikan sebagai surplus ekonomi, yaitu merupakan

kelebihan nilai produksi total di atas biaya total. Surplus ekonomi dari

sumberdaya lahan dapat disebabkan oleh tingkat kesuburannya.

Blair (1991) menyatakan bahwa rent merupakan keuntungan bagi lahan.

Pengertian rent dan lahan berbeda dari definisi ekonomi. Lahan merupakan faktor

alam dari produksi dan oleh karena itu suplai lahan tidak dipengaruhi oleh harga.

Kuantitas lahan tidak dapat ditingkatkan sebagai respon dari harga yang

meningkat atau menurun karena menurunnya harga. Lahan meliputi juga bahan

bakar, sinar matahari, hujan, dan semua faktor produksi sumberdaya alam. Para

ahli ekonomi sangat berhati-hati dalam membedakan antara lahan dan property.

Property terdiri dari lahan dan bangunan. Rent merupakan keuntungan bagi lahan

dan ditentukan oleh hubungan antara supply dan demand terhadap lahan

sebagaimana dapat dilihat pada Gambar 2.13.

Peningkatan harga lahan (rent) tidak diikuti dengan meningkatnya

penawaran. Dengan kata lain, lahan merupakan suplai tetap, sehingga perubahan

dalam permintaan akan mempengaruhi rent dan bukan kuantitas (K) dari lahan

Page 56: 2 TINJAUAN PUSTAKA · 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Wilayah Pesisir Wilayah pesisir didefinisikan oleh FAO sebagai wilayah peralihan atau transisi di antara daratan dan laut, termasuk danau

67

tersebut. Penawaran untuk jenis lahan tertentu, seperti lahan komersial, mungkin

dapat ditingkatkan dengan tekanan pasar dan oleh keputusan politik, seperti

perubahan zonasi. Meskipun demikian, penambahan lahan untuk tujuan tertentu

akan lebih mahal dibandingkan dengan jenis penggunaan lahan lainnya (Blair

1991).

Gambar 2.13 Kurva penawaran (S) dan permintaan (D) dari lahan (Blair 1991)

Permintaan lahan didasarkan atas kontribusi lahan terhadap keuntungan.

Produk marjinal suatu unit lahan ekstra (MPi) merupakan output yang dihasilkan

dari penggunaan suatu unit lahan ekstra dalam suatu proses produksi. Jika suatu

pabrik menjual outputnya dalam suatu pasar yang kompetitif, maka akan

menerima suatu harga yang konstan dari setiap unit ekstra yang dijual. Pertanian

atau pabrik tidak akan mampu membayar lebih untuk penambahan lahan

dibandingkan dengan nilai dari atribut output yang meningkat dari lahan tersebut.

Mereka akan membayar sekecil mungkin untuk lahan ekstra. Jika terdapat

kompetisi diantara produser, maka mereka akan menawar satu sama lain hingga

rent lahan sama dengan kontribusi lahan terhadap keuntungan pabrik. Ketika

suatu pabrik berjualan dalam suatu pasar yang kompetitif, harga produk tidak

dipengaruhi oleh output dari pabrik. Dalam kasus ini, permintaan terhadap lahan

sama dengan nilai dari produk marjinal, VMP. Jika semua input non lahan tetap

konstan, nilai dari produk marjinal dapat dinyatakan sebagai harga output dikali

Kuantitas lahan

Slahan

Dlahan = VMPL

Rent

Page 57: 2 TINJAUAN PUSTAKA · 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Wilayah Pesisir Wilayah pesisir didefinisikan oleh FAO sebagai wilayah peralihan atau transisi di antara daratan dan laut, termasuk danau

68

dengan produk marjinal dari unit lahan tambahan. Dalam bentuk rumus ditulis

sebagai berikut:

VMPi = Po x MPi

dimana:

VMPi = nilai produk marjinal dari unit lahan ke-I

Po = net price dari output (setelah dikurangi biaya transportasi), dan

MPi = produk marjinal dari unit lahan ke-I

Fungsi VMP menyatakan kuantitas dari penggunaan lahan dalam produksi

yang meningkat karena produk marjinal dari lahan turun seperti yang dinyatakan

pada hukum penurunan produktivitas marjinal. Ketika VMP lebih besar

dibandingkan dengan market rent untuk suatu unit lahan, pabrik akan

menggunakan lebih banyak lahan yang mengakibatkan pada penurunannya MP

dan VMP. Nilai VMP akan menurun hingga sama dengan rental rate.

2.4.3 Metode skalogram

Skalogram didasarkan pada analisis skalogram dan untuk yang lebih luas

lagi pada Rasch analisis, keduanya digunakan untuk menilai apakah suatu

kelompok barang dalam keadaan konsisten, dalam arti bahwa kesemuanya

mengukur sesuatu yang sama (Anonimous 1999). Jika semua barang tersebut

mengukur sesuatu yang sama, maka barang-barang tersebut disebut

unidimensional; yang didasarkan pada dimensi tunggal (single dimension).

Biasanya, titik awalnya adalah satu kelompok barang yang salah satunya tertarik

karena percaya bahwa mengukur konstruksi psikologi (inductive reasoning

ability, assertiviness, irritability, ...). Oleh karena itu, barang-barang tersebut

dipertimbangkan sebagai suatu definisi operasional dari satu bangunan psikologis

(psychological construct).

Untuk lebih jelas lagi, Harsono (2001) menyatakan bahwa metode ini

digunakan untuk menentukan peringkat pemukiman atau wilayah dan

kelembagaan atau fasilitas pelayanan, dalam penelitian ini digunakan untuk

menentukan hirarki wilayah. Analisis ini didasarkan pada pemikiran bahwa pada

Page 58: 2 TINJAUAN PUSTAKA · 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Wilayah Pesisir Wilayah pesisir didefinisikan oleh FAO sebagai wilayah peralihan atau transisi di antara daratan dan laut, termasuk danau

69

umumnya semakin besar jumlah penduduk dan semakin banyak jumlah fasilitas

serta jumlah jenis fasilitas pada suatu pusat pelayanan, maka semakin tinggi pula

hirarki dari pusat pelayanan tersebut. Dengan analisis ini maka akan dapat

diidentifikasi: (1) Pusat pelayanan dan daerah pelayanan pada tingkat yang

berbeda; (2) Penentuan dari fasilitas infrastruktur pokok untuk memuaskan

kebutuhan beragam sektor dari penduduk; dan (3) Pengintegrasian atau

pengelompokan pelayanan pada tingkat yang berbeda dan penentuan dari

keterkaitan atau jaringan jalan untuk mengembangkan aksesibilitas dan efisiensi.

Menurut Budiharsono (2001), konsep pusat pelayanan berawal dari teori

yang dikembangkan oleh:

(1) Perroux tentang pusat pertumbuhan dan kutub pertumbuhan dalam ruang

ekonomi;

(2) Boudeville tentang kutub pertumbuhan dan pusat pertumbuhan dalam

dimensi geografis;

(3) Walter Christaller dan August Losch tentang ukuran, lokasi, distribusi, dan

pengelompokkan kegiatan ekonomi;

(4) Gunnar Myrdal tentang spread-backwash effects pertumbuhan ekonomi

dalam tata ruang;

(5) Hirschman tentang trickling down dan polarization effects suatu

pertumbuhan ekonomi;

(6) Hagerstestrand den Pottier tentang difusi inovasi dalam tata ruang dan

sumbu-sumbu pertumbuhan; dan

(7) Galpin dan Kolb tentang anatomi sosial dari masyarakat pertanian (Roi dan

Patil 1976).

Budiharsono (2001) menyebutkan bahwa konsep pusat pelayanan

mempunyai beberapa asumsi, yaitu:

(1) Penduduk didistribusikan pada berbagai ukuran pemukiman;

(2) Penduduk mempunyai kebutuhan biofisik sama baiknya dengan kebutuhan

sosial ekonomi;

Page 59: 2 TINJAUAN PUSTAKA · 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Wilayah Pesisir Wilayah pesisir didefinisikan oleh FAO sebagai wilayah peralihan atau transisi di antara daratan dan laut, termasuk danau

70

(3) Penduduk menggunakan sumberdaya alam dan sumberdaya manusia untuk

kebutuhannya;

(4) Penduduk membentuk pemukiman dalam bentuk rumah, dusun kecil, desa,

dan kota serta memutuskan untuk tingkal bersama selama sumberdaya

mencukupi kebutuhan mereka;

(5) Penduduk menggunakan sumberdaya untuk kebutuhan dasar yang dibatasi

atau keinginan yang terbatas;

(6) Penduduk berpindah ke tempat lain (migrasi) untuk mencari barang-barang-

dan jasa yang tidak mereka dapati di pemukiman mereka.

2.4.4 Model sistem pengelolaan sumberdaya pesisir dan lautan

Menurut Grant et al. (1997), definisi sistem adalah:

(1) suatu kumpulan komponen fisik yang terorganisir yang saling

berhubungan dan dicirikan oleh suatu kesatuan fungsi dan terbatas;

(2) suatu kumpulan materi (bahan) yang saling berinteraksi dan sekelompok

proses yang secara bersama-sama membentuk beberapa kumpulan fungsi;

(3) suatu proses yang kompleks dan saling terkait yang dicirikan oleh

banyaknya hubungan sebab akibat dan timbal balik.

Pada intinya, definisi sistem yang dikemukakan oleh Grant et al. (1997)

tersebut adalah sama dengan para pendahulunya seperti yang telah dikutip oleh

Damai (2003) yang mencakup Forrester (1968), Manessch dan Park (1979) dalam

Eriyatno (1999), O’Connor dan McDermott (1997), dan juga Sushil (1993).

Sedangkan analisis sistem dapat didefinisikan secara lebih langsung sebagai

penerapan dari metoda ilmiah terhadap pemecahan yang mencakup sistem yang

kompleks (Grant et al. 1997). Hal ini merupakan suatu teori dan teknik untuk

mempelajari, menerangkan, dan pendugaan-pendugaan tentang sistem yang

kompleks, yang sering dicirikan oleh penggunaan prosedur matematika dan

statistika lanjutan serta oleh penggunaan komputer.

Page 60: 2 TINJAUAN PUSTAKA · 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Wilayah Pesisir Wilayah pesisir didefinisikan oleh FAO sebagai wilayah peralihan atau transisi di antara daratan dan laut, termasuk danau

71

Model, adalah suatu gambaran miniatur dari suatu realita, yang dibuat

sebagai sarana/alat (tool) untuk memecahkan persoalan (Jorgensen 1988).

Artinya, model merupakan abstraksi dari realitas, yaitu suatu deskripsi formal dari

elemen-elemen penting pada suatu masalah. Ruth dan Hannon (1997)

menambahkan bahwa model merupakan pusat pemahaman kita terhadap alam

dunia, karena melalui model dapat merepresentasikan dan memanipulasi

penomena nyata, kemudian mengeksplorasi hasilnya. Deskripsi tersebut dapat

berupa sesuatu yang bersifat fisik, matematik, atau bahkan kata-kata. Dari

beberapa literatur, Jorgensen (1988) mengelompokan model menjadi:

(1) Model fisik dan model abstrak

Model fisik umumnya merupakan replika fisik berukuran miniatur dari

obyek yang sedang dipelajari, contohnya antara lain maket bangunan. Hal

ini dimaksudkan untuk membantu para peneliti dalam memvisualisasikan

apa yang dipelajari tersebut. Tentu saja model fisik pun masih merupakan

abstraksi dari realitas jika dikaitkan denga definisi awal mengenai sebuah

model. Model abstrak menggunakan simbol-simbol dari alat fisik untuk

menggambarkan sistem yang sedang dipelajari. Salah satu contoh model

abstrak adalah model matematis yang ditulis dalam bahasa matematika.

(2) Model dinamis dan model statis

Model dapat mencerminkan suatu sistem yang tetap ataupun yang berubah

menurut waktu. Sebuah model statis menerangkan suatu hubungan atau

sekelompok hubungan yang tidak berubah menurut waktu. Contoh umum

termasuk model-model regresi yang tidak mempunyai waktu sebagai

sebuah variabel bebas. Sebuah model dinamis menerangkan suatu

hubungan yang bergantung terhadap waktu, contohnya termasuk model-

model simulasi serta model regresi yang memasukan waktu sebagai salah

satu variabel bebasnya.

(3) Model empiris (korelatif) dan model mekanistis (penjelasan).

Model empiris atau korelatif dikembangkan terutama untuk menerangkan

atau meringkas sekelompok hubungan tanpa menghiraukan gambaran

Page 61: 2 TINJAUAN PUSTAKA · 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Wilayah Pesisir Wilayah pesisir didefinisikan oleh FAO sebagai wilayah peralihan atau transisi di antara daratan dan laut, termasuk danau

72

yang tepat untuk proses-proses atau mekanisme yang bekerja di dalam

sistem riil pada setiap kelompoknya. Sasarannya adalah pendugaan

(prediksi) dan bukan penjelasan. Contohnya adalah sebuah model yang

menduga tingkat metabolisme suatu jenis hewan sebagai satu-satunya

fungsi dari ukuran (berat atau panjang) tubuh. Dalam model jenis ini

hanya keluaran metabolisme yang diukur, sedangkan proses metabolisme

yang terjadi di dalam tubuh hewan tersebut tidak digambarkan. Model

mekanistis atau model penjelasan dikembangkan terutama untuk

menggambarkan dinamika internal dari suatu sistem yang dipalajari secara

lebih tepat. Sasarannya adalah diperolehnya penjelasan melalui

penggambaran mekanisme sebab akibat yang mendasari perilaku suatu

sistem. Sebuah model yang mencerminkan tingkat metabolisme hewan

sebagai fungsi dari ukuran tubuh, tingkat aktivitas, suhu lingkungan,

angin, dan lamanya terkena oleh kondisi ambien merupakan sebuah

contoh. Suatu model yang kita lihat sebagai penjelasan pada suatu tingkat

detail mungkin kita lihat sebagai korelatif pada tingkat yang lebih detail

lagi. Sebuah model yang menggambarkan rekruitmen populasi tahunan

sebagai fungsi dari ukuran populasi terlihat sebagai model penjelasan

dibandingkan dengan sebuah model yang menggambarkan rekruitmen

tahunan hanya sebagai suatu konstanta yang ditentukan dengan merata-

ratakan data historis. Namun demikian, model tersebut terlihat sebagai

model korelatif dibandingkan dengan suatu model yang menghitung

rekruitmen berdasarkan tingkat kelahiran individu pada umur tertentu di

dalam populasi yang pada gilirannya didasarkan pada ranking sosial

individu dan status gizi selama musim berkembangbiak.

(4) Model deterministik dan model stokastik

Sebuah model disebut deterministik jika tidak mengandung variabel acak.

Pendugaan model deterministik dibawah suatu kondisi khusus selalu persis

sama hasilnya. Contoh model deterministik antara lain adalah suatu model

sederhana yang dikembangkan untuk menggambarkan hubungan antara

Page 62: 2 TINJAUAN PUSTAKA · 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Wilayah Pesisir Wilayah pesisir didefinisikan oleh FAO sebagai wilayah peralihan atau transisi di antara daratan dan laut, termasuk danau

73

kebutuhan energi suatu individu (Y, kkal/hari) terhadap suhu ambien (X, oC), yang ditulis sebagai berikut:

Y = 100 – 2X

Sebuah model disebut stokastik jika mengandung satu atau lebih variabel

acak. Pendugaan model stokastik dibawah kondisi tertentu tidak selalu

menghasilkan nilai dugaan yang persis sama, karena variabel acak di

dalam model secara potensial dapat memberikan nilai yang berbeda setiap

kali model dipecahkan. Bentuk umum dari model kebutuhan energi

deterministik adalah sebagai berikut:

Y = a-bX

Dimana a dan b adalah konstanta. Model tersebut dapat diubah menjadi

sebuah model stokastik dengan menggambarkan a atau b sebagai variabel

acak. Andaikata b dinyatakan sebagai variabel acak yang mempunyai nilai

2,0 atau 2,5 dengan probabilitas yang sama, maka setiap dilakukan

penghitungan pendugaan, harus dipilih secara acak suatu nilai untuk b dari

distribusi nilai b yang ditentukan.

Pemilihan model mana yang akan digunakan, apakah model deterministik

atau stokastik tergantung pada tujuan khusus pembuatan model tersebut.

Model deterministik umumnya lebih mudah untuk dibuat karena hanya

memerlukan estimasi dari nilai-nilai konstanta; sedangkan model stokastik

memerlukan persyaratan suatu distribusi lengkap dari variabel acak.

Model deterministik juga lebih mudah digunakan karena pendugaan pada

situasi yang diberikan hanya perlu dibuat sekali (karena selalu sama),

sementara pada pendugaan model stokastik perlu dilakukan pengulangan

secukupnya untuk memperoleh respon rata-rata dari situasi yang diberikan.

Selain itu, model stokastik juga digunakan pada pekerjaan yang

memerlukan penggambaran keragaman secara eksplisit (baik keragaman

yang terkait dengan pendugaan parameter sistem ataupun keragaman yang

melekat pada sistem itu sendiri); serta juga pada pekerjaan yang

Page 63: 2 TINJAUAN PUSTAKA · 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Wilayah Pesisir Wilayah pesisir didefinisikan oleh FAO sebagai wilayah peralihan atau transisi di antara daratan dan laut, termasuk danau

74

menginginkan pembandingan secara statistik dari pendugaan model untuk

berbagai situasi yang berbeda.

(5) Model simulasi dan model analitik

Model-model yang dapat diselesaikan secara matematis dalam bentuk

yang tertutup disebut model analitik. Model regresi, model teori baku

(sebaran) statistik, dan beberapa model persamaan diferensial sederhana

adalah merupakan contoh model analitik.. untuk model seperti itu, satu

penyelesaian umum dapat diperoleh yang berlaku untuk semua situasi

dimana model tersebut mewakili. Suatu model analitik sederhana tentang

tingkat pertumbuhan populasi dalam lingkungan yang tidak terbatas

(tingkat pertumbuhan eksponensial) dapat digambarkan sebagai berikut:

Nt = Noert

Dimana:

Nt = ukuran populasi pada waktu t

No = ukuran populasi awal

r = tingkat intrinsik dari penambahan populasi

t = waktu

model-model yang tidak mempunyai penyelesaian analitik umum harus

dipecahkan secara numerik dengan menggunakan satu perhitungan khusus

untuk setiap kondisi tertentu. Inilah yang disebut sebagai model simulasi,

sebagaimana yang digambarkan dalam adalah model-model ekologis.

Sebagai contoh, suatu model yang menggambarkan dinamika populasi

karena pengaruh ketergantungan densitas, hubungan kompetisi, yang pada

gilirannya dipengaruhi oleh perubahan kondisi lingkungan, dapat

disimpulkan dengan menggunakan rumus umum berikut:

Nt+1 = f (Nt, Et)

Dimana:

Nt+1 = ukuran populasi pada waktu t + 1

Page 64: 2 TINJAUAN PUSTAKA · 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Wilayah Pesisir Wilayah pesisir didefinisikan oleh FAO sebagai wilayah peralihan atau transisi di antara daratan dan laut, termasuk danau

75

f (Nt, Et) = fungsi kompleks dari ukuran populasi dan kondisi

lingkungan pada waktu t.

Secara filosofis, pemilihan antara model simulasi dan analitik melibatkan

keputusan apakah kita mengorbankan realitas ekologi untuk memperoleh

suatu model analitik atau mengorbankan kekuatan matematis untuk

memasukkannya kedalam realitas ekologi yang lebih tinggi. Dari sudut

aplikasi praktis, pertimbangan ini kurang menarik dan dipengaruhi

terutama oleh tujuan dari pembuatan model tersebut. Jika tingkat

ketelitian dimana sistem yang dipelajari untuk memenuhi tujuan tertentu

memungkinkan digunakannya suatu model analitik, maka memang

seharusnya digunakan model analitik. Tetapi jika tingkat ketelitian yang

mencukupi terlalu kompleks untuk dapat disajikan dalam bentuk analitik,

maka kita harus menggunakan model simulasi. Dalam hampir semua

kasus manajemen sumberdaya alam dan lingkungan, penggambaran

dengan model analitik tidak akan cukup, oleh karenanya perlu digunakan

suatu model simuasi.

Menurut Eriyatno (1999), model dapat dikategorikan menurut jenis,

dimensi, fungsi, tujuan pokok kajian, atau derajat keabstrakannya. Dengan

menggunakan istilah-istilah yang senada, suatu model dikelompokkannya menjadi

tiga, yaitu:

1) Model ikonik (model fisik), merupakan perwakilan fisik dari beberapa hal,

baik dalam bentuk ideal maupun dalam skala yang berbeda. Model ikonik

dapat berdimensi dua seperti peta, atau berdimensi tiga seperti prototipe.

Dalam hal model berdimensi lebih dari tiga, maka tidak dapat lagi

dikonstruksi secara fisik sehingga diperlukan kategori model simbolik

2) Model analog (model diagramatik), menyajikan transformasi sifat menjadi

analognya kemudian mengetengahkan karakteristik dari kejadian yang

dikaji. Model ini bersifat sederhana namun efektif dalam menggambarkan

situasi yang khas. Contoh dari model ini adalah kurva permintaan, kurva

distribusi frekuensi pada statistik, dan diagram alir suatu proses.

Page 65: 2 TINJAUAN PUSTAKA · 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Wilayah Pesisir Wilayah pesisir didefinisikan oleh FAO sebagai wilayah peralihan atau transisi di antara daratan dan laut, termasuk danau

76

3) Model simbolik (model matematik), menyajikan format dalam bentuk

angka, simbol, dan rumus. Pada dasarnya ilmu sistem lebih terpusat pada

penggunaan model simbolik, dengan jenis yang umum dipakai adalah

persamaan matematis. Contoh dari model matematis adalah persamaan

antara arus dan tegangan listrik, posisi sebuah mobil pada suatu aliran

transportasi, serta aliran bahan dan pelayanan pada suatu struktur ekonomi.

Menurut Fauzi (2000), secara umum yang dikatakan model adalah suatu re-

presentasi dari realitas dunia nyata yang tampil melalui persepsi indera,

sebagaimana dicantumkan dalam Gambar 2.14.

tampil melalui persepsi indera (sense)

Penampilan kembali realitas sebagai hasil dari proses berfikir

Gambar 2.14. Model sebagai re-presentasi realitas dunia nyata (Fauzi 2000).

Secara ringkas, Fauzi (2000) menyatakan bahwa prinsip-prinsip model dan

pemodelan adalah:

(1) Model adalah jembatan antara dunia nyata (real world) dan dunia berfikir

(thinking) untuk memecahkan masalah;

(2) Masalah (problem) ada yang bersifat “thinkable” dan ada yang

“unthinkable”;

(3) Pemodelan (modelling) adalah berfikir (thinking) mengikuti sekuen logis;

Berfikir merupakan suatu hal yang harus dipelajari.

Dua katagori model yang paling umum digunakan (Fauzi 2000) yaitu:

Dunia luar

Model dari realitas

Pemikir (thinker)

Page 66: 2 TINJAUAN PUSTAKA · 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Wilayah Pesisir Wilayah pesisir didefinisikan oleh FAO sebagai wilayah peralihan atau transisi di antara daratan dan laut, termasuk danau

77

(1) Bahasa: bahasa adalah suatu model yang terdiri dari urutan (sekuen)

metafor-metafor untuk menyapaikan perasaan, keinginan, dlsb. Kepada

orang lain. Dengan demikian bahasa merupakan suatu sistem penyandian

(encoding) pemikiran-pemikiran.

(2) Agama: agama juga merupakan model untuk pertanyaan-pertanyaan,

misalnya kenapa kita hidup, mengapa kita hidup, dlsb.

Dengan demikian permodelan merupakan proses menyerap,

memformulasikan, memproses, dan menampilkan kembali. Hasil dari proses

berstruktur ini kita sebut sebagai model.

Salah satu tool yang dapat digunakan untuk menggambarkan model adalah

stella. Secara formal, model konseptual digambarkan dengan diagram kotak dan

panah. Diagram model seperti ini sangat penting perannya untuk

memvisualisasikan gambaran sebenarnya serta dengan memfasilitasi komunikasi

antara berbagai orang yang berbeda yang tertarik dengan sistem khusus (Grant et

al. 1997).

2.5 Beberapa Hasil Penelitian yang Terkait dengan Pengelolaan Wilayah Pesisir, Perikanan, dan Pelabuhan.

Hasil-hasil penelitian yang berupa thesis dan disertasi yang berkaitan

dengan pengelolaan wilayah pesisir, perikanan, dan pelabuhan, ternyata belum

begitu banyak. Dalam Tabel 2.3 dicantumkan judul thesis dan disertasi yang

dapat diperoleh sejauh ini.

Tabel 2.3. Daftar thesis/disertasi yang berkaitan dengan pengelolaan wilayah pesisir, perikanan, dan pelabuhan di Indonesia

No NAMA PENULIS/JUDUL JENIS/TH INSTITUSI 1 Yose Rizal Anwar

Kajian Pengembangan Kegiatan Perikanan dalam Kerangka Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Lautan Secara Terpadu di Kabupaten Sukabumi-Jawa Barat

Thesis/ 2002

PS SPL Sekolah Pascasarjana IPB

2 Siti Kamarijah Analisis Dampak Pengembangan Pelabuhan Perikanan Nusantara (PPN) Palabuhanratu terhadap Tingkat Kesejahteraan Masyarakat Pesisir.

Thesis/ 2003

PS TKL Sekolah Pascasarjana IPB

Page 67: 2 TINJAUAN PUSTAKA · 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Wilayah Pesisir Wilayah pesisir didefinisikan oleh FAO sebagai wilayah peralihan atau transisi di antara daratan dan laut, termasuk danau

78

Lanjutan Tabel 2.3 No NAMA PENULIS/JUDUL JENIS/TH INSTITUSI 3 Urip Triyono

Pengembangan Koperasi Desa Pantai untuk Menunjang Pembangunan Wilayah Pesisir Secara Berkelanjutan

Thesis/ 2003

PS PSL Sekolah Pascasarjana IPB

4 Eggi Sudjana Analisis Ekonomi Politik dan Hukum Lingkungan Wilayah Pesisir dan Lautan Kota Batam dalam Rangka Pembangunan Berkelanjutan

Disertasi/ 2004

PS PSL Sekolah Pascasarjana IPB

5 Endang Suparti Tingkat Partisipasi Masyarakat Pengolah dalam Pengelolaan Lingkungan Sentra Pengolahan Hasil Perikanan (Kasus di PHPT Muara Angke).

Thesis/ 2004

PS SPL Sekolah Pascasarjana IPB

6 Frans Asisi Simon Analisis Manfaat Pelabuhan Perikanan Nusantara Tanjungpandan terhadap Masyarakat Pesisir Kecamatan Tanjungpandan

Thesis/ 2004

PS SPL Sekolah Pascasarjana IPB

7 Hery Edy Strategi Pemberdayaan Ekonomi Masyarakat Pesisir Malalui Perbankan Mikro

Disertasi/ 2004

PS SPL Sekolah Pascasarjana IPB

8 Irwan A Strategi Pengelolaan Kualitas Perairan Pelabuhan Perikanan Cilincing Jakarta Utara

Thesis/ 2004

PS PSL Sekolah Pascasarjana IPB

9 Sandra Dina Juliana Lintang Analisis Pemanfaatan Pesisir dalam Rangka Pengembangan Wilayah Berbasis Pelabuhan (Studi Kasus Pengembangan Pelabuhan Bitung)

Thesis/ 2004

PS SPL Sekolah Pascasarjana IPB

10 Asbar Laga Analisis Sistem Pengelolaan Pelabuhan Perikanan (Studi Kasus: Pangkalan Pendaratan Ikan Paotere Makassar)

thesis/ 2005 PS TKL Sekolah Pascasarjana IPB

11 Bambang Sasongko Pengembangan Organisasi Pengelolaan Pengembangan Kawasan Bahari Terpadu (KBT) Kabupaten Rembang

Thesis/ 2005

Sekolah Pascasarjana ITB

12 Helmi Yusuf Pengaruh Pembangunan Pelabuhan Perikanan terhadap Kualitas Air dan Persepsi Kondisi Sosial Ekonomi Masyarakat

Disertasi/ 2005

PS PSL Sekolah Pascasarjana IPB

13 Idil Ardi Analisis Sistem Pelabuhan Perikanan di Kabupaten Lombok Timur, Nusa Tenggara Barat

Disertasi/ 2005

PS TKL Sekolah Pascasarjana IPB

Page 68: 2 TINJAUAN PUSTAKA · 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Wilayah Pesisir Wilayah pesisir didefinisikan oleh FAO sebagai wilayah peralihan atau transisi di antara daratan dan laut, termasuk danau

79

Lanjutan Tabel 2.3 No NAMA PENULIS/JUDUL JENIS/TH INSTITUSI 14 Rofiko

Analisis Kebijakan Pemanfaatan Ruang Pesisir Teluk Kelabat Kawasan Utara Pulau Bangka Propinsi Kepulauan Bangka-Belitung

Disertasi/ 2005

PS SPL Sekolah Pascasarjana IPB

15 Soebagio Analisis Kebijakan Pemanfaatan Ruang Pesisir dan Laut Kepulauan Seribu dalam Meningkatkan Pendapatan Masyarakat Melalui Kegiatan Budidaya Perikanan dan Pariwisata

Disertasi/ 2005

PS SPL Sekolah Pascasarjana IPB

16 Hengky Penerapan Konsep Ekowisata untuk Meningkatkan Daya Saing Pariwisata Pesisir di Kabupaten Pandeglang Banten.

Disertasi/ 2006

PS PSL Sekolah Pascasarjana IPB

17 Sofyan Pemodelan Keragaan Sektor Perikanan untuk Pengembangan Ekonomi Sumberdaya dan Regional Pesisir: Suatu Analisis Model Hybrid

Disertasi/ 2006

PS SPL Sekolah Pascasarjana IPB

18 Syarifah Wirdah Analisis Kebijakan Pengelolaan Lingkungan Pelabuhan Sunda Kelapa DKI Jakarta

Thesis/ 2006

PS PSL Sekolah Pascasarjana IPB

19 Bustami Mahyuddin. Pola Pengembangan Perikanan dengan Konsep Triptyque Portuaire: Kasus Pelabuhan Perikanan Nusantara Palabuhanratu.

Disertasi/ 2007

PS TKL Sekolah Pascasarjana IPB

20 Dhona Arianti Strategi Kebijakan Pengelolaan Kualitas Air di Pelabuhan Muara Angke Jakarta Utara

Thesis/ 2007

PS PSL Sekolah Pascasarjana IPB

21 Farida Hanim Analisis Kebijakan Pemanfaatan Pelabuhan dalam Kerangka Pengelolaan Lingkungan di PPS Nizam Zachman Jakarta Provinsi DKI Jakarta

Thesis/ 2007

PS PSL Sekolah Pascasarjana IPB

No NAMA PENULIS/JUDUL JENIS/TH INSTITUSI 22 Slamet Subari

Optimalisasi Penggunaan Lahan untuk Pengembangan Ekonomi dan Koservasi Sumberdaya Alam di Kawasan Pesisir Kabupaten Sidoarjo-Jawa Timur.

Disertasi/2007

PS PWD Sekolah Pascasarjana IPB

23 Suaedi Rancang Bangun Kebijakan Pembangunan Wilayah Pesisir Berkelanjutan Secara Partisipatif di Kabupaten Subang

Disertasi/2007

PS PWD Sekolah Pascasarjana IPB

Page 69: 2 TINJAUAN PUSTAKA · 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Wilayah Pesisir Wilayah pesisir didefinisikan oleh FAO sebagai wilayah peralihan atau transisi di antara daratan dan laut, termasuk danau

80

Dari Tabel 2.3 tampak bahwa sebagian besar topik penelitian yang

dilakukan oleh para peneliti terdahulu lebih diarahkan pada analisis pengelolaan

aspek sumberdaya perikanan, lingkungan kawasan pesisir, komunitas di daerah

pesisir, pemerintahan, dan interaksi diantara aspek-aspek tersebut yang dilakukan

di satu kawasan yang secara administratif berada dalam satu pemerintah daerah,

baik satu-satu maupun gabungan dari aspek-aspek tersebut. Sampai saat ini

belum ditemukan analisis yang diarahkan pada pengelolaan sumberdaya yang

berada di bawah pemerintahan daerah yang berbeda, baik di tingkat kabupaten

maupun provinsi.