Upload
trinhtruc
View
442
Download
29
Embed Size (px)
Citation preview
6
2. TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Ikan Kembung (Rastrelliger sp.)
Klasifikasi dan morfologi ikan kembung menurut menurut Saanin (1984)
adalah sebagai berikut :
Kingdom : Animalia Filum : Chordata Kelas : Pisces Ordo : Parcomorphy Famili : Scombridae Genus : Rastrelliger Spesies : Rastrelliger sp.
Morfologi ikan kembung dapat dilihat pada Gambar 1.
Gambar 1. Morfologi Ikan Kembung (Rastrelliger sp.)
Ikan kembung merupakan ikan yang tergolong dari famili Scombridae
yang tidak memiliki sisik pada badannya. Ikan ini juga memiliki tulang mata bajak,
langit-langit mulut yang tidak bergigi dan tulang saringan insang terlihat apabila
mulut ikan terbuka. Selain itu sirip dubur yang dimiliki spesies ini tidak berjari-jari
keras (Saanin, 1984). Ditambahkan oleh Nalendrya et al., (2016), Ikan kembung
merupakan ikan air laut yang mengandung omega 3 dan omega 6 yang dapat
berfungsi untuk mencegah penyakit dan untuk mencerdaskan otak. Menurut
Oedjoe et al.,(2012) Kualitas ikan sangat dipengaruhi oleh kondisi air dimana
7 ikan hidup. Karena aliran air merupakan salah satu parameter yang menentukan
kekakuan daging ikan. Untuk memperbaiki kualitas air pada suatu aliran air maka
dibutuhkan keberadaan fitoplankton didalamnya. Menurut Suprayitno (2014),
Fitoplankton merupakan parameter biologis yang berperan sebagai indikator
untuk mengevaluasi kualitas dan tingkat kesuburan perairan.
Ikan kembung merupakan salah satu ikan berprotein tinggi dan berlemak
sedang, namun sampai saat ini pemanfaatan ikan kembung sebagai produk
perikanan bernilai tambah masih sangat terbatas. Hal ini dikarenakan kandungan
lemaknya yang cukup tinggi yaitu sebesar 10,13%, sehingga produk yang
dihasilkan masih sangat terbatas. Salah satu cara untuk mengurangi komponen
lemak pada ikan kembung yaitu dengan pembuatan surimi melalui proses
pencucian daging menggunakan air dingin yang juga dapat menghilangkan
komponen larut air lain, seperti darah, protein, dan enzim. Kandungan protein
terutama protein miofibril (aktin dan myosin) pada ikan kembung, maka jenis ikan
ini sangat cocok digunakan sebagai bahan dasar pembuatan surimi (Santoso et
al., 2011).
Kandungan protein yang tinggi dalam ikan dapat meningkatkan kekuatan
gel surimi. Hal tersebut dikarenakan, protein yang terkandung dalam daging
putih, yaitu protein larut garam (aktin dan miosin) berperan penting dalam
membentuk karakteristik utama surimi, yaitu kemampuan untuk membentuk gel
yang kokoh tetap elastis pada suhu yang relatif rendah (sekitar 40°C) (Nurfianti,
2007). Daging merah yang terkandung pada ikan kembung akan berpengaruh
buruk pada kualitas surimi. Menurut Wodi et al., (2014), daging merah banyak
mengandung mioglobin yang apabila terpapar oleh oksigen dapat langsung
teroksidasi sehingga dapat menyebabkan ketengikan pada surimi yang
dihasilkan.
8
Daging ikan terdiri dari dua jenis, yaitu daging merah dan putih, yang
bergantung pada siklus hidup ikan itu sendiri. Pada dasarnya komposisi kedua
daging tersebut sama, akan tetapi daging merah memiliki kandungan pigmen
heme yang lebih tinggi, seperti mioglobin yang berfungsi dalam transportasi
oksigen, dan lipid non-struktural sebagai penghasil energi. pada pembuatan
surimi, penggunaan daging merah dengan metabolit dan kandungan lemak yang
tinggi akan mempengaruhi rasa dan warna surimi (Hall dan Ahmad, 1997).
Komposisi kimia daging lumat ikan kembung terdiri dari air sebesar
75,97%, abu sebesar 1,02%, lemak sebesar 10,13%, protein kasar sebesar
10,23%, karbohidrat 2,65%, dan pH 5,68.Komposisi gizi daging lumat ikan
kembung dapat dilihat pada Tabel 1 :
Tabel 1. Komposisi Gizi Daging Lumat Ikan Kembung (Rastrelliger sp.)
Zat Gizi Kandungan Gizi
Protein (%) Air (%)
10,23 75,97
Abu (%) 1,02 Lemak (%) 10,13
Karbohidrat (%) 2,65
Sumber:Santoso et al (2011)
2.2 Protein Daging Ikan
Protein daging ikan merupakan rangkaian asam amino dengan ikatan
peptida. Protein berperan sebagai bahan structural yang memiliki rantai panjang
yang dapat mengalami cross-linking. Selain itu, protein juga berperan sebagai
katalis yaitu membantu mempercepat reaksi-reaksi kimia yang berlangsung
dalam sistem makhluk hidup. Biokatalis ini mengendalikan jalur dan waktu
metabolisme yang kompleks untuk menjaga kelangsungan hidup suatu
organisme. Jika biokatalis mengalami kerusakan maka dapat dipastikan sistem
metabolisme akan terganggu (Suprayitno dan Sulistiyati, 2017). Ditambahkan
9 oleh Hadiwiyoto (1993), protein ikan merupakan komponen yang terbesar
jumlahnya setelah air, dan merupakan unsur yang sangat berguna bagi manusia.
Secara umum protein daging ikan digolongkan berdasarkan kelarutannya dalam
air, berdasarkan lokasi terdapatnya, atau berdasarkan fungsinya. Protein ikan
berdasarkan lokasi terdapatnya digolongkan menjadi tiga macam, yaitu protein
miofibril, protein stroma, dan protein sarkoplasma.
2.2.1 Protein Miofibril
Protein miofibrilar atau protein larut air merupakan komponen terbesar
dalam jaringan daging ikan. Sifat dari protein ini yaitu larut dalam larutan garam
tetapi sukar larut dalam air. Protein miofibrilar berperan dalam kontraksi otot,
pembentukan gel dan mengikat air (Jacoeb et al., 2012). Protein ini terdiri dari
miosin, aktin, tropomiosin, serta aktomiosin (aktin dan miosin). Pembentukan gel
dan koagulasi dapat terjadi karena peran dari protein miofibril terutama dari
aktomiosin. Protein myofibril lebih efisien sebagai pengemulsi karena larut dalam
garam (Suprayitno, 2017). Protein miofibril dapat dilihat pada Gambar 2.
Gambar 2. Protein Miofibril
(Sumber: Google images, 2018)
2.2.2 Protein Stroma
Protein stroma merupakan protein jaringan pengikat. Protein ini
kebanyakan terdapat pada miosepta dan endomiosin, selain itu ada juga yang
10 terdapat pada sarkolemma atau bagian-bagian tubuh yang lain tetapi jumlahnya
tidak banyak. Salah satu protein stroma yaitu kolagen. Apabila kolagen
dipanaskan dalam air, maka kolagen akan berubah menjadi gelatin. Penyusun
kolagen adalah asam-asam amino penyusun protein, tetapi kolagen tidak
mengandung triptofanm sistin, dan sistein. Kadang-kadang terdapat metionin dan
tirosin dalam jumlah sedikit (Hadiwiyoto, 1993). Protein stroma dapat dilihat pada
Gambar 3.
Gambar 3. Protein Stroma
(Sumber: Google images, 2018)
2.2.3 Protein Sarkoplasma
Protein sarkoplasma merupakan protein terbesar kedua yang
mengandung miogen yaitu protein larut air. Protein ini terdiri dari albumin,
mioalbumin, dan mioprotein. Adapun faktor-faktor yang dapat mempengaruhi
kandungan protein sarkoplasma yaitu jenis dan habitat ikan tersebut. Rata-rata
ikan pelagis memiliki kandungan sarkoplasma yang lebih besar dibandingkan
dengan ikan demersal (Suprayitno, 2017). Protein sarkoplasma dapat dilihat
pada Gambar 4.
11
Gambar 4. Protein Sarkoplasma (Sumber: Google images, 2018)
2.2.4 Denaturasi Protein
Denaturasi merupakan suatu proses terpecahnya ikatan hidrogen,
interaksi hidrofobik, ikatan garam, dan terbukanya lipatan atau wiru molekul.
Terdapat dua macam denaturasi, yaitu pengembangan rantai peptida dan
pemecahan protein menjadi unit yang lebih kecil tanpa disertai pengembangan
molekul. Kedua jenis denaturasi ini terjadi tergantung keadaan molekul (Winarno,
2004). Denaturasi dapat mengubah sifat protein menjadi sukar larut dalam air.
Penggumpalan ini dapat disebabkan oleh pemanasan, penambahan asam,
penambahan enzim, dan adanya logam berat Penambahan asam asetat
dilakukan setelah pemanasan pada suhu 80°C. Pemanasan lebih lanjut dan
penambahan asam ini akan menyebabkan denaturasi rusaknya struktur protein
sehingga protein akan mengendap (Triyono, 2010). Ditambahkan oleh Yuniarti et
al., (2013), protein dapat terdenaturasi pada saat proses pemanasan. Pada saat
pemanasan, panas akan menembus daging sehingga sifat fungsional protein
akan menurun. Selain itu, pemanasan juga dapat merusak asam amino dimana
ketahanan protein oleh panas sangat terkait dengan asam amino penyusun
protein tersebut sehingga hal ini yang menyebabkan kadar protein menurun
12 dengan semakin meningkatnya suhu pemanasan. Denaturasi protein dapat
dilihat pada Gambar 5.
Gambar 5. Denaturasi Protein
(Sumber: Google images, 2018)
2.3 Surimi
Surimi merupakan daging ikan yang dilumatkan yang telah mengalami
proses pencucian. Salah satu kelebihan dari surimi yaitu dapat diolah menjadi
berbagai macam produk olahan lanjutan. Surimi seringkali dijadikan bahan baku
pada produk olahan hasil perikanan, khususnya produk fish jelly (Rostini, 2013).
Surimi merupakan olahan hasil perikanan yang terbuat dari lumatan
daging ikan yang diolah melalui tahapan pencucian dengan air dingin (leaching)
yang bersuhu 5-10°C sampai bau dan warna hilang atau sampai protein yang
larut air hilang dan tahap pengepresan (penghilangan air) yang kemudian
dicampurkan dengan karbohidrat (sorbitol dan gula) sehingga terksturnya dapat
diperbaiki dan dipertahankan pada suhu beku karena ditambahkan zat tambahan
makanan (food additive) berupa poliphosphat (BBP2HP, 2006).
2.3.1 Proses Pembuatan Surimi
Proses pembuatan surimi dilakukan dengan beberapa tahap yaitu,
pemilihan dan persiapan bahan, penggilingan daging, dan pencucian.
13 2.3.1.1 Pemilihan dan Persiapan Bahan
Proses pemilihan bahan baku dalam proses pembuatan surimi sangatlah
penting. Bahan baku yang digunakan dalam pembuatan surimi yaitu ikan yang
bermutu baik. Menurut Purwandari et al., (2014), bahan baku pembuatan surimi
bisa menggunakan ikan jenis apa aja, terutama jenis ikan berdaging putih karena
jenis ikan berdaging putih memiliki kekuatan gel lebih tinggi dibandingkan dengan
ikan berdaging merah.
2.3.1.2 Penggilingan Daging
Pada proses penggilingan daging saat pembuatan surimi diperlukan
adanya penambahan garam. Menurut Park (2005), penambahan garam pada
saat penggilingan daging dapat meningkatkan daya larut protein sehingga dapat
membantu terjadinya dispersi protein. Akan tetapi, peningkatan kelarutan protein
miofibril mendekati kekuatan ion sebesar 0 diikuti dengan tahap pencucian yang
terlalu ekstensif dapat menyebabkan hilangnya protein-protein miofibril selama
pembuatan surimi.
Faktor yang mempengaruhi pada penambahan garam menurut
Moniharapon (2014), ialah konsentrasi garam yang digunakan. Konsentrasi
dibawah 2% dapat menyebabkan protein miofibril tidak dapat larut, namun
penambahan garam pada konsentrasi diatas 12% dapat menyebabkan daging
terhidrasi dan menyebabkan efek salting out dari NaCl. Penambahan NaCl
terbaik dalam pembentukan gel adalah dengan menggunakan kadar garam tinggi
(5-10%), akan tetapi rentang kadar garam 2-3% biasa digunakan pada beberapa
spesies dan produk. Hal ini dilakukan untuk menghindari rasa asin yang
berlebihan pada produk yang dihasilkan.
14 2.3.1.3 Pencucian
Pencucian merupakan salah satu proses yang dilakukan dalam
pembuatan surimi yang bertujuan untuk menghilangkan protein sarkoplasma,
darah, lemak dan komponen nitrogen lain yang terkandung pada daging lumat
ikan. Selain itu, pada proses pencucian asam amino juga mengalami penurunan
(Wijayanti et al., 2014). Ditambahkan oleh Sihmawati dan Salasa (2014),
pencucian dalam pembuatan surimi juga dapat meningkatkan kekuatan gel serta
mencegah terjadinya denaturasi protein akibat pembekuan
Frekuensi pencucian dalam pembuatan surimi menurut Uju et al., (2004),
berpengaruh pada kekuatan gel yang dihasilkan. Pada saat pencucian pertama
kekuatan gel meningkat pesat, akan tetapi pada saat proses pencucian ke dua
dan ketiga kekuatan gel mengalami penurunan. Peningkatan kekuatan gel yang
terjadi pada saat pencucian pertama diduga karena terjadi peningkatan fraksi
protein miofibril pada daging. Dengan adanya proses penggilingan, pemanasan
dan pemberian garam, protein miofibril dapat membentuk gel.
Pada proses pencucian kualitas air sangatlah penting karena pH tinggi
dapat menyebabkan adanya penyimpanan atau tampungan air dalam daging
yang dapat mempengaruhi tekstur dan warna. Penggunaan larutan garam
sebagai air cuci menurut Poernomo et al., (2013), dapat meningkatkan
kandungan protein larut garam sehingga menghasilkan kekuatan gel yang tinggi.
Kang et al., (2009) juga menyatakan bahwa, penambahan garam dapat
meningkatkan hidrasi protein atau meningkatkan kelarutan protein seperti aktin
dan miosin. Daya ikat air dari daging utamanya merupakan fungsi interaksi
protein-protein yang menyebabkan matrix yang terbuka yang memungkinkan
proporsi air total yang lebih tinggi untuk dipindahkan daripada yang ada dalam
protein daging dengan interaksi protein yang kuat. Efek dari garam dan fosfat
15 adalah untuk memisahkan aktomiosin, mengurangi interaksi protein tersebut dan
membuka matriks protein. Ditambahkan oleh Wiradimadja et al., (2017),
menyatakan bahwa NaCl mampu meningkatkan proses pelepasan protein miosin
dari serat-serat ikan yaitu dengan cara meningkatkan interaksi protein miofibril
dengan air serta meningkatkan daya ikat air. pH lumatan daging ikan berada di
atas titik isoelektris, protein miofibril lebih banyak mengandung muatan negatif
sehingga ion Cl- dari garam akan tolak-menolak dengan muatan negatif dari
protein miofibril sehingga struktur protein membengkak yang menyebabkan
terjadinya hidrasi atau penyerapan air.
2.3.2 Mekanisme Pembentukan Gel
Pembentukan gel pada produk pasta ikan terjadi karena adanya aktin dan
miosin yang banyak terkandung didalam daging ikan. Aktin dan miosin akan
terekstrak keluar dan membentuk aktomiosin yang mempunyai rantai silang
apabila daging ikan yang dilumatkan ditambahkan garam (NaCl), hal ini
dikarenakan garam memiliki sifat menarik aktin dan miosin serta cairan dari sel
daging. Masa ini disebut “sol”, sol bersifat lengket dan adhesive. Ketika masa
“sol” dipanaskan maka akan membentuk gel yang memberikan elastisitas.
Pembentukan gel pada pasta ikan terjadi melalui proses pelumatan,
penggaraman, pembentukan dan pemanasan. Sedangkan faktor-faktor yang
mempengaruhi pembentukan gel adalah bahan baku, konsentrasi garam, derajat
keasaman (pH) dan suhu (BBP2HP, 2006). Mekanisme pembentukan gel dapat
dilihat pada Gambar 6.
16
Gambar 6. Mekanisme Pembentukan Gel
(Sumber: Google images, 2018).
2.4 Isolated Soy Protein (ISP)
Isolated Soy Protein (ISP) merupakan salah satu jenis bahan pengikat
(binder) yang berfungsi untuk meningkatkan daya mengikat air sehingga dapat
mengurangi susut masak serta dapat membantu membentuk dan menstabilkan
emulsi (Sofiana, 2012). Menurut Basuki et al., (2010), karena protein dapat
mengikat air dan lemak maka dipilih bahan yang mengandung protein tinggi
sebagai bahan pengikat.
Kedelai merupakan salah satu hasil tanaman yang mengandung protein
yang tinggi dan merupakan sumber protein yang paling murah didunia. Rata-rata
varietas kedelai yang ada di Indonesia memiliki kadar protein 30,53-44% dan
kadar lemak 7,5- 20,9% (Mardiyanto dan Sudarwati, 2015). Menurut Koswara
(2009), salah satu bentuk protein yang paling murni yaitu isolat protein kedelai,
karena protein yang terkandung didalamnya minimum 95% dari berat kering.
Sifat fungsional isolat protein kedelai juga lebih baik dibandingkan dengan tepung
kedelai. Hal ini dikarenakan isolat protein kedelai hampir bebas dari serat, lemak
dan karbohidrat. Ditambahkan oleh Suprayitno dan Sulistiyati (2017), Isolat
protein kedelai merupakan protein kedelai yang kandungan karbohidratnya telah
dibuang sehingga menghasilkan protein kedelai yang lebih murni.
Isolat protein kedelai memiliki tingkat kepolaran yang tinggi (bersifat
hidrofilik) yang dapat menyebabkan fase protein-air membentuk matriks yang
17 lebih kuat, sehingga butiran-butiran lemak yang dapat diselubungi akan semakin
banyak sehingga emulsi akan lebih stabil ( Astuti et al., 2014). Ditambahkan oleh
Liyanage et al., (2001) Isolat protein kedelai mengandung asam amino yang
bersifat polar (hidrofilik) seperti asam aspartat, asam glutamat, dan lisin. Selain
itu, isolat protein kedelai juga mengandung asam amino yang bersifat non polar
(hidrofobik) seperti asam amino leusin, prolin dan alanin.
2.5 Sosis
Sosis adalah produk olahan daging termasuk daging ikan yang dicincang
terlebih dahulu kemudian dihaluskan serta diberi bumbu-bumbu, kemudian
dimasukkan ke dalam pembungkus yang berbentuk bulat panjang. Biasanya
untuk membungkus sosis menggunakan usus hewan atau pembungkus buatan,
dengan atau tanpa dimasak, dengan atau tanpa diasap (Hadiwiyoto, 1983).
Bahan baku yang sangat baik digunakan dalam pembuatan sosis adalah ikan,
karena ikan merupakan salah satu bahan pangan yang mengandung protein
tinggi dengan kadar lemak yang rendah (Poernomo et al., 2011).
Sosis merupakan produk emulsi daging yang ditambahkan bahan pengisi,
bahan pengikat dan bumbu-bumbu. Masalah yang sering terjadi saat proses
pembuatan produk emulsi adalah tidak stabilnya sistem emulsi adonan. Hal ini
mengakibatkan pecahnya sistem emulsi pada saat pengolahan dan
penyimpanan (Ramasari et al., 2012). Pada pengolahan daging dibutuhkan suatu
bahan pengikat (binder) yang berfungsi untuk membantu membentuk dan
menstabilkan emulsi serta meningkatkan daya mengikat air yang ada dalam
bahan sehingga akan mempengaruhi susut masaknya (Sofiana, 2012). Sosis
ikan dapat dilihat pada Gambar 7.
18
Gambar 7. Sosis Ikan
Sosis berdasarkan cara pembuatannya menurut Anjarsari (2010),
dibedakan menjadi empat macam:
1. Sosis segar (fresh sausage) adalah sosis yang terbuat dari daging segar yang
ditambahkan bumbu-bumbu, lalu dicampur secara mekanik tanpa proses curing.
2. Sosis asap atau sosis yaitu sosis yang terbuat dari daging curing dan
mengalami proses pengasapan atau pemasakan, sehingga daya awet dan cita
rasanya cukup.
3. Sosis kering adalah sosis yang terbuat dari daging curing dan diasap
produknya hingga kadar air yang terkandung pada sosis rendah (kering),
sehingga dapat langsung dimakan.
4. Sosis fermentasi adalah sosis yang dibuat dengan menggunakan starter
mikroba tertentu. Sosis fermentasi dibuat dengan mengisikan daging yang diberi
inokulum bakteri asam laktat ke dalam selongsong, kemudian difermentasi, di
pasteurisasi, dikeringkan dan disimpan pada suhu 4-7°C. Fermentasi yang terjadi
merupakan fermentasi asam laktat dengan starter. Bakteri yang digunakan
antara lain Pediococcus sp. dan Lactobacillus sp.
Klasifikasi sosis menurut Soeparno (1992), yaitu sosis kering dan sosis
agak kering. Sosis kering dan agak kering berasal dari daging yang diperam
kemudian dikeringkan di udara. Sosis ini dapat diasap terlebih dahulu sebelum
dikeringkan dan dapat dikonsumsi dalam kondisi dingin atau setelah dimasak.
Proses sosis kering dan agak kering diawali dengan penggilingan, pencampuran
19 dan atau pencacahan daging pada suhu -4,4°C sampai 2,2°C, ditambah lemak
kemudian ditambahkan garam dan bumbu-bumbu. Penambahan bahan-bahan ini
dilakukan pada suhu -6,7°C hingga -1,1°C, setelah itu produk dimasukkan dan
dipadatkan didalam selongsong pada suhu -2,2°C hingga -1,1°C. Selanjutnya,
pada proses fermentasi produk diinkubasi dengan mikroorganisme asam laktat
pada suhu 21,1°C hingga 37,8°C dengan kelembaban 80% hingga 90%. Selama
proses fermentasi produk digantung didalam ruang pematangan, dan
pengeringan dilakukan pada suhu 10°C hingga 21,1°C.
Persyaratan mutu dan keamanan sosis ikan dapat dilihat pada Tabel 2.
Tabel 2. Persyaratan mutu dan keamanan sosis ikan
Sumber : SNI mengenai syarat mutu sosis ikan (2013).
2.6 Bahan Tambahan Sosis
Bahan tambahan pada makanan sangat dibutuhkan karena memiliki
peran penting untuk meningkatkan mutu suatu produk pangan sehingga mampu
bersaing di pasaran. Bahan tambahan dibedakan menjadi dua jenis yaitu, bahan
tambahan yang disengaja dan bahan tambahan yang tidak disengaja. Bahan
tambahan yang disengaja ditambahkan untuk meningkatkan konsistensi,
citarasa, mengendalikan keasaman atau kebasaan, dan memaksimalkan bentuk
dan rupa, sedangkan bahan tambahan yang tidak disengaja merupakan bahan
No. Kriteria Uji Persyaratan
1. Sensori Min 7 (Skor 3-9)
2. Kimia Kadar Air (%)
Kadar Abu (%) Kadar Protein (%) Kadar Lemak (%)
Maks 68,0 Maks 2,5 Min 9,0 Maks 7,0
3 Cemaran Mikroba :
Angka lempeng total (koloni/g) Eschericia coli ( APM/g) Salmonella spp Vibrio cholera* Staphylococcus aureus* (koloni/g)
Maks 5 x 104 ≤ 3 Negatif/25 g Negatif/25 g Maks 1 x 102
20 tambahan yang memang sudah ada dalam makanan (Siaka, 2009). Dalam
pembuatan sosis ikan bahan tambahan yang digunakan terdiri dari tepung
tapioka, susu skim, bawang merah, bawang putih, lada, garam, gula,
selongsong, air es, putih telur dan emulsi sosis.
2.6.1 Tepung Tapioka
Tepung tapioka merupakan tepung yang berasal dari ubi kayu atau
singkong, yang diperoleh dengan cara mengekstrak sebagian umbi dan
memisahkan patinya. Bahan kimia yang dibutuhkan dalam pengolahan tepung
tapioka hanya garam dapur (NaCl) (Suprapti, 2005). Pati berperan sebagai
penentu struktur, tekstur, dan konsistensi bahan pangan. Pati bersifat mudah
tergelatinisasi apabila dipanaskan karena tersusun atas amilosa yang dapat
membuat tekstur produk lebih padat, dan amilopektin yang menyebabkan proses
pengembangan produk (Sari, 2011).
Kandungan amilopektin pada pati berperan untuk menentukan sifat
kelengketan tepung dimana semakin tinggi kandungan amilopektin, kekentalan
akan semakin tinggi dan tepung menjadi semakin lengket. Sementara itu, kadar
amilosa yang tinggi akan membuat pembentukan gel semakin sulit karena
struktur amorf yang terbentuk akan meningkatkan suhu gelatinasi dan
menyebabkan daya kembangnya menjadi rendah (Sarungallo et al., 2010).
Tingginya kadar amilopektin dalam pati menurut Indrianti et al., (2013), akan
membuat retrogradasi memakan waktu yang lebih lama dibandingkan amilosa.
Hal tersebut dikarenakan kristal amilopektin bersifat kurang stabil daripada
amilosa. Sebaliknya, tingginya kadar amilosa akan membuat produk mudah
mengalami retrogradasi.
21
Komposisi kimia pada tepung tapioka dapat dilihat pada Tabel 3.
Tabel 3. Komposisi Kimia Tepung Tapioka
Parameter Persentase (%)
Kadar Air 10,50 Kadar Pati 87,97 Kadar Protein 97,73
Sumber : Ladamay et al., (2014)
2.6.2 Susu Skim
Susu skim merupakan salah satu bahan pengikat (binder) yang sangat
mempengaruhi kualitas sosis, karena kandungan proteinnya yang tinggi seperti
kasein (protein susu). Penambahan bahan pengikat pada sosis bertujuan untuk
membentuk dan menstabilkan emulsi, meningkatkan daya mengikat air dan
menurunkan susut masak (Mega, 2010).
2.6.3 Bawang Merah
Bawang merah merupakan salah satu komoditas hortikultura yang
tergolong sayuran rempah. Pada umumnya masyarakat Indonesia menggunakan
bawang merah sebagai penambah cita rasa dan kenikmatan makanan,
disamping itu bawang merah juga dapat digunakan untuk obat tradisional untuk
kesehatan tubuh (Nugrahini, 2013). Bawang merah sering dicincang dan
digunakan sebagai ramuan dalam berbagai macam masakan hangat, misalnya
sup bawang prancis, atau dapat dimakan mentah dalam salad dingin. Selain itu
juga, bawang merah dapat dimakan sebagai snack dalam bentuk acar (Chavan
dan Patil, 2013).
2.6.4 Bawang Putih
Bawang putih memiliki bagian utama dan paling penting yaitu umbi.
Banyak sekali manfaat yang terkandung di dalam bawang putih serta kegunaan
yang besar bagi kehidupan manusia. Biasanya bawang putih digunakan sebagai
bumbu dapur sehari-hari, selain itu juga dapat digunakan sebagai bahan obat
22 tradisional yang memiliki banyak khasiat. Pada industri makanan, umbi bawang
putih dijadikan ekstrak, bubuk atau tepung, dan diolah menjadi acar (Rukmana,
1995). Ditambahkan oleh Chavan dan Patil (2013), bawang putih sering
digunakan sebagai bumbu dalam masakan berbagai daerah seperti, Asia, Timur
Tengah, Afirka Utara, Eropa Selatan, dan bagian selatan dan tengah Amerika.
Rasa dan aroma bawang putih bervariasi tergantung dari metode memasaknya.
Biasanya bawang putih sering dipasangkan dengan bawang merah, tomat dan
juga jahe.
2.6.5 Lada
Lada merupakan salah satu jenis rempah berupa biji berwarna keputih-
putihan. Senyawa kimia yang terdapat pada lada adalah saponin, flavonoid,
minyak atsiri, kavisin, resin, zat putih telur, amilum, piperin, piperlin, piperolein,
popiranin, piperonal, dihidrikarveol, kanyo-fillene oksida, karipton, tran piocarrol,
dan minyak lada. Pada industri makanan lada digunakan sebagai pengawet
daging dan bumbu penyedap masakan. Penambahan lada dalam masakan
menghasilkan rasa pedas dan aroma cukup tajam (Yustina et al., 2012).
2.6.6 Garam
Garam adalah salah satu jenis bahan pokok yang sangat penting bagi
kebutuhan masyarakat. Garam merupakan produk industri sekaligus bahan baku
untuk industri lainnya. Salah satu industri yang memanfaatkan garam sebagai
bahan bantu yaitu industri pengolahan hasil perikanan, baik tradisional maupun
modern. Pada pengolahan produk perikanan garam berfungsi sebagai pengawet,
penambah cita rasa maupun untuk memperbaiki tekstur daging ikan pada industi
pengolahan tradisional biasanya garam digunakan pada produk ikan asin, ikan
pindang, dan produk ikan fermentasi, sedangkan pada industri pengolahan
23 modern garam digunakan pada produk surimi dan diversifikasi produk olahannya
(Assadad dan Bagus, 2011).
Garam menurut Rismana dan Nizar (2014), merupakan salah satu bahan
kimia yang banyak diperlukan di dalam kebutuhan sehari-hari. Garam adalah
senyawa kimia yang komponen utamanya mengandung natrium klorida (NaCl),
senyawa air, ion magnesium, ion kalsium dan ion sulfat. Garam aneka pangan
banyak digunakan di industri pangan seperti makanan ringan, snack serta
mempunyai kadar NaCl sekitar 99% dengan kandungan kalsium dan magnesium
< 200 ppm. Garam pengawetan ikan dengan kadar NaCl < 94%, garam
konsumsi rumah tangga dengan kadar NaCl berkisar 94,7%.
2.6.7 Gula
Gula adalah salah satu bahan pangan dari karbohidrat yang banyak
dikonsumsi masyarakat sebagai sumber energi, selain itu pada industri makanan
gula juga sering dijadikan bahan baku maupun bahan tambahan sebagai
pemberi cita rasa (Suwarno et al., 2015).
Tujuan penambahan gula dalam produk adalah untuk memperbaiki rasa
dan bau sehingga dapat meningkatkan masa simpan dan ketertarikan konsumen.
Penggunaan gula hingga 30% padatan terlarut dapat menurunkan Aw dari bahan
pangan sehingga dapat menghambat pertumbuhan mikroorganisme (Gianti dan
Evanuarini, 2011).
Gula merupakan pengawet alami dan bahan pembuatan aneka ragam
produk-produk makanan. Beberapa diantaranya adalah selai, jeli, sirup buah-
buahan dan lain sebagainya. Apabila gula ditambahkan ke dalam bahan pangan
dalam konsentrasi yang paling tinggi (paling sedikit 40% padatan larutan)
sebagian dari air yang ada menjadi tidak tersedia untuk pertumbuhan
24 mikroorganisme dan akitivitas air (aw) dari bahan pangan berkurang. Walaupun
demikian, pengaruh konsentrasi gula pada aw bukan merupakan faktor satu-
satunya yang mengendalikan pertumbuhan berbagai mikroorganisme karena
bahan-bahan dasar yang mengandung komponen berbeda tetapi dengan nilai aw
yang sama dapat menunjukkan ketahanan yang berbeda-beda terhadap
kerusakan karena mikroorganisme (Suprayitno, 2017).
2.6.8 Selongsong
Selongsong merupakan bahan pengemas yang digunakan pada produk
sosis. Terdapat dua tipe selongsong atau casing untuk sosis yaitu selongsong
alami dan selongsong buatan. Selongsong buatan terdiri dari empat kelompok
yaitu selulosa, kolagen yang dapat dimakan, kolagen yang tidak layak dimakan,
dan plastik. Selongsong buatan memiliki kekuatan yang lebih besar dibandingkan
selongsong alami (Anjarsari, 2010). Ditambahkan oleh Hadiwiyoto (1983)
selongsong pada umumnya terbuat dari usus hewan seperti sapi, domba,
kambing dan babi. Selain itu, selongsong juga dapat dibuat dari bahan-bahan
pengganti usus seperti selulosa, kolagen atau plastik. Menurut Sulistiyati dan
Suprayitno (2014), bahan kemasan yang digunakan pada produk makanan
umumnya membutuhkan lebih dari sekedar jaminan keamanan dibandingkan
dengan kemasan non produk makanan karena agar kualitas produk makanan
tetap terjaga sampai ke tangan konsumen.
Selongsong alami pada dasarnya terbuat dari kolagen. Pada prosesing
sosis, selongsong alami dalam keadaan basah mudah ditembus oleh asap dan
cairan. Kelemahan dari selongsong alami yaitu mudah mengalami kerusakan
oleh mikroorganisme, sehinga setelah dibersihkan perlu dikeringkan atau
digarami. Selongsong yang diberi garam kira-kira mengandung 40% garam, dan
25 harus dicuci dengan air dingin sebelum digunakan (Soeparno, 1992).
Selongsong dapat dilihat pada Gambar 8.
Gambar 8. Selongsong Sosis
(Sumber: Google images, 2018)
2.6.9 Air Es
Untuk membentuk adonan yang baik serta menurunkan suhu selama
proses pencampuran dan pengilingan dalam pembuatan sosis perlu dilakukan
penambahan air es. Pada umumnya jumlah air es yang ditambahkan pada
pembuatan sosis sebesar 20–30 pound per 100 pound daging. Menurut “Meat
Inspection Devision” dari USDA, sosis masak tidak boleh mengandung air
melebihi empat kali kandungan protein daging ditambah 10 % dan tidak boleh
melebihi empat kali kandungan protein ditambah 3% pada sosis segar. Apabila
jumlah air yang ditambahkan terlalu banyak maka tekstur sosis yang dihasilkan
menjadi lunak, sedangkan apabila jumlah penambahan air yang terlalu sedikit
maka tekstur sosis yang dihasilkan menjadi keras (Cahyani, 2011).
2.6.10 Emulsi Sosis
Dalam bidang teknologi pangan, pada umumnya emulsi merupakan suatu
campuran dari minyak dan air. Emulsi dapat dibedakan menjadi dua tipe, yaitu
tipe emulsi o/w (oil in water) dan tipe w/o (water in oil). Pada pembentukan
emulsi setidaknya ada dua cairan yang tidak saling melarutkan. Salah satu cairan
yaitu fase internal atau fase terdispersi, sedangkan cairan yang lain yaitu fase
eksternal atau fase pendispersi (Rosida et al., 2015). Sosis merupakan salah
26 satu contoh emulsi lemak dalam air. Fase dispersi terbentuk oleh lemak dari
emulsi, sedangkan fase pendispersi terbentuk dari air yang mengandung protein
dan garam yang terlarut. Protein-protein yang terlarut berperan sebagai
pengemulsi dengan cara membungkus semua permukaan partikel yang
terdispersi. Molekul-molekul agensia pengemulsi memiliki afinitas, baik terhadap
air (porsi molekul hidrofilik), maupun terhadap lemak (porsi molekul hidrofobik)
(Soeparno, 1992).
2.6.11 Putih Telur
Putih telur banyak dimanfaatkan dalam berbagai produk olahan pangan
seperti tepung telur dan kue karena mengandung protein. Menurut Budiman dan
Rukmiasih (2007), Protein putih telur memiliki peranan penting dalam
pembentukan buih diantaranya ovalbumin, ovomucin, globulin, ovotransferin,
lysozime dan ovomucoid.
Jumlah putih telur dari seluruh bulatan telur mencapai 60%Putih telur
yang jumlahnya sekitar 60%. Putih telur mengandung 5 jenis protein dan sedikit
karbohidrat. Putih telur sering digunakan dalam industri makanan, karena sifat
daya busa putih telur yang dapat meningkatkan kualitas produk pangan.
Komposisi kimia pada putih telur Tabel 4.
Tabel 4. Komposisi Kimia Putih Telur
Parameter Persentase (%)
Kalori (kkal) 50,0 Kadar Protein 10,8 Kadar Lemak Kadar karbohidrat Kalsium Fosfor
0,0 0,8 6,0 17,0
Sumber : Kementerian Pertanian RI dan Kementerian Kesehatan RI (2010)
27 2.7 Karakteristik Fisika, Kimia, dan Organoleptik Sosis Ikan
2.7.1 Karakteristik Fisika
Karakteristik fisika merupakan atribut dari produk yang diuji secara
obyektif (Prayitno et al., 2009). Karakteristik fisika yang dinilai pada sosis ikan
dengan penambahan isolat protein kedelai meliputi uji tekstur, pH dan WHC.
2.7.1.1 Tekstur
Tekstur merupakan salah satu indikator mutu sosis yang penting. Tekstur
berperan dalam penerimaan terhadap suatu produk makanan (Herlina et al.,
2015). Faktor-faktor yang dapat mempengaruhi tekstur yaitu kemampuan daya
ikat air pada bahan, serta emulsi lemak yang digunakan sebagai bahan pengikat
dan pengisi yang tepat (Rosida et al., 2015).
2.7.1.2 pH
pH merupakan satuan ukur derajat keasaman yang digunakan untuk
mengetahui tingkat keasaman atau kebasaan pada suatu larutan. Skala pH
berkisar antara 0-14. Skala ini bersifat relatif terhadap sekumpulan larutan
standar yang pH-nya telah disetujui secara internasional. Bila nilai pH < 7 maka
larutan bersifat asam, bila nilai pH > 7 maka larutan besifat basa, sedangkan
apabila nilai pH = 7 maka larutan bersifat netral (Ihsanto dan Hidayat, 2014).
Ditambahkan oleh Nuryatini et al., (2016), bahwa salah satu pengukuran yang
sering digunakan di laboratorium adalah pengukuran pH. Selain di laboratorium,
pengukuran pH juga banyak diterapkan di berbagai bidang, diantaranya industri,
kesehatan, pengolahan limbah, bioteknologi dan di dalam pengendalian berbagai
proses industri. Sehingga, pengukuran pH yang digunakan harus valid, terutama
untuk produk yang terkait dengan kesehatan manusia, seperti obat-obatan,
makanan, minuman dan pembuangan limbah industri.
28 2.7.1.3 Water Holding Capacity (WHC)
Water Holding Capacity (WHC) adalah kemampuan daging dalam
mengikat air yang terkandung maupun yang ditambahkan dari luar, seperti
pemotongan daging, pemanasan, penggilingan, dan tekanan. Terdapat tiga
kompartemen air pada air yang terikat didalam otot yaitu, pada lapisan pertama
air terikat oleh protein otot sebesar 4-5% secara kimiawi, pada lapisan kedua air
terikat agak melemah kira-kira sebesar 4%, dan pada lapisan ketiga adalah
molekul-molekul air bebas yang terdapat diantara molekul protein, kira-kira
berjumlah 10% (Soeparno, 1994).
2.7.2 Karakteristik Kimia
Karakteristik kimia merupakan parameter yang diuji secara obyektif
berdasarkan kandungan bahan kimia yang terkandung dalam bahan pangan
seperti kadar air, kadar protein, kadar lemak, kadar karbohidrat, kadar serat dan
kadar β-caroten (Prayitno et al., 2009). Pada sosis ikan dengan penambahan
isolat protein kedelai karakteristik kimia yang diujikan meliputi uji kadar air, kadar
protein, kadar lemak dan kadar karbohidrat.
2.7.2.1 Kadar Air
Kadar air merupakan banyaknya air yang terkandung dalam bahan yang
dinyatakan dalam persen. Kadar air salah satu parameter yang sangat penting
dalam bahan pangan karena keberadaannya dapat berpengaruh pada
penampakan, tekstur dan cita rasa bahan pangan. Penentuan kadar air sangat
penting dalam bidang industri pangan. Dalam penentuan nilai gizi pangan, kadar
air harus diketahui agar produk pangan yang dihasilkan memenuhi standar
komposisi dan peraturan-peraturan pangan (Aventi, 2015).
29 2.7.2.2 Kadar Protein
Protein merupakan zat makanan yang sangat penting bagi tubuh, karena
protein memiliki fungsi sebagai zat pembangun dan pengatur dalam tubuh.
Protein yang dikonsumsi oleh manusia akan diserap oleh usus dalam bentuk
asam amino. Ikan merupakan salah satu bahan pangan yang kandungan
proteinnya relatif besar, yaitu antara (15-25)% / 100 gram daging ikan. Setiap
jenis ikan memiliki kandungan asam amino yang berbeda. Pada umumnya asam
amino yang terdapat pada daging ikan kaya akan lisin, tetapi kandungan
triptofannya kurang (Suprayitno, 2017).
2.7.2.3 Kadar Lemak
Lemak merupakan sumber energi bagi tubuh. Lemak dapat menghasilkan
energi per gram nya 2 1/4 kali lebih besar dibandingkan dengan energi yang
dihasilkan oleh karbohidrat dan protein. 1 gram lemak dapat menghasilkan 9
kalori, sedangkan 1 gram protein dan karbohidrat hanya dapat menghasilkan
energi 4 kalori. Seperti halnya dengan protein dan karbohidrat, lemak juga
mengandung unsur-unsur organik seperti karbon, hydrogen dan oksigen yang
terikat dalam ikatan gliserida. Sifat fisik serta kimia pada lemak dapat dipengaruhi
oleh jenis asam lemak yang terkandung didalamnya (Suhardjo dan Kusharto,
1992). Menurut Attaftazani et al., (2013), bahwa dengan perbanding daging dan
tepung 1:4 bisa meningkatkan kadar lemak sebanyak 2,90%.
2.7.2.4 Kadar Abu
Kadar abu merupakan jumlah komponen organik yang tersisa setelah
dilakukan proses pembakaran terhadap semua karbon organik. Besarnya kadar
abu menunjukkan banyaknya kandungan mineral dalam bahan. Kondisi mineral
tanah tempat tumbuhnya tanaman merupakan salah satu faktor yang
30 mempengaruhi kandungan mineral bahan segar asal tanaman (Septiani et al.,
2015).
2.7.2.5 Kadar Karbohidrat
Karbohidrat merupakan sumber kalori utama bagi manusia. Jumlah kalori
yang dapat dihasilkan oleh 1 gram karbohidrat adalah sebesar 4 kkal, walaupun
jumlah kalori yang dihasilkan lebih rendah dibanding protein dan lemak akan
tetapi karbohidrat merupakan sumber kalori yang murah sehingga mudah
didapatkan. Selain itu, karbohidrat memiliki peran penting dalam menentukan
karakteristik makanan, seperti rasa, warna, tekstur, dan lain-lain (Winarno, 2004).
2.7.3 Karakteristik organoleptik
Pengujian organoleptik merupakan pengujian yang dilakukan dengan
menggunakan penilaian indera atau penilaian sensorik untuk mengamati suatu
produk dengan menilai tekstur, warna, bentuk, aroma dan rasa pada produk
makanan, minuman ataupun obat. Pengujian organoleptik sangat penting karena
dapat membantu untuk mengembangkan produk (Ayustaningwarno, 2014).
2.7.3.1 Tekstur
Tekstur merupakan ciri suatu bahan sebagai akibat perpaduan dari
beberapa sifat fisik yang meliputi ukuran, bentuk, jumlah dan unsur-unsur
pembentukan bahan yang dapat dirasakan oleh indera peraba dan perasa,
termasuk indera mulut dan penglihatan. Produk pangan dibuat dan diolah tidak
semata-mata untuk tujuan peningkatan nilai gizi, tetapi juga untuk mendapatkan
karakteristik fungsional yang menuruti selera organoleptik bagi konsumen.
Karakteristik fungsional tersebut diantaranya berhubungan dengan sifat tekstural
produk pangan olahan seperti kerenyahan, keliatan, dan sebagainya (Midayanto
dan Yuwono, 2014)
31 2.7.3.2 Aroma
Aroma pada produk olahan daging merupakan sensasi yang kompleks
dan saling berkaitan dengan bau, rasa, tekstur, temperatur dan nilai pH (Prayitno
et al., 2009). Aroma merupakan salah satu indikator dari variable kualitas produk
yang memiliki pengaruh paling besar pada konsumen dalam melakukan
keputusan pembelian (Al-Dmoor, 2013). Ditambahkan oleh Hayati et al., (2012)
menyatakan bahwa aroma merupakan suatu nilai yang terkandung didalam
produk dan dapat dinikmati oleh konsumen. Indera pembauan sangat
mempengaruhi uji hedonik aroma. Kepekaan indera pembauan lebih tinggi
daripada indera pencicipan.
2.7.3.3 Rasa
Rasa merupakan suatu nilai yang terkandung dalam produk yang
langsung dapat dinikmati oleh konsumen dan memberikan penilaian tersendiri
dari suatu produk. Rasa makanan dapat dikenali oleh kuncup-kuncup cecapan
yang terletak pada bagian noda merah jingga pada lidah. Adapun faktor yang
mempengaruhi rasa suatu produk yaitu senyawa kimia, suhu, konsentrasi, dan
interaksi dengan komponen rasa yang lain (Winarno, 2004). Ditambahkan oleh
Langgeng dan Widiana (2013), menyatakan bahwa setiap budaya juga dapat
mempengaruhi cara individu dari budaya tesebut dalam mempersepsi cita rasa.
Seperti halnya, masyarakat dari kota padang yang cenderung lebih menyukai
rasa pedas pada maknan tertentu, berbeda dengan cita rasa masyarakat kota
Yogyakarta yang cenderung lebih menyukain masakan manis pada makanan
tertentu.
32 2.7.3.4 Warna
Warna merupakan salah satu atribut yang digunakan dalam pengujian
organoleptik suatu produk pangan karena berfungsi sebagai daya tarik
pertama bagi konsumen dalam menerima atau menolak produk pangan
tersebut (Herlina et al., 2015). Ditambahkan oleh De Man (1997), menyatakan
bahwa warna merupakan parameter yang penting dalam keterimaan makanan,
baik bagi makanan yang tidak diproses maupun yang dimanufaktur. Selain itu,
warna dapat memberi petunjuk mengenai perubahan kimia dalam makanan,
seperti pencoklatan dan pengkaramelan.