Upload
nguyennhan
View
296
Download
8
Embed Size (px)
Citation preview
2 TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Abon Ikan
Abon ikan merupakan jenis makanan awetan yang terbuat dari ikan laut
yang diberi bumbu, diolah dengan cara perebusan atau pengukusan dan
penggorengan. Produk yang dihasilkan mempunyai bentuk lembut, rasa enak, bau
khas dan mempunyai daya awet yang relatif lama (Margono 1993). Proses
pengolahan abon ikan cukup sederhana. Bahan yang diperlukan adalah ikan dan
bumbu-bumbu. Ikan yang digunakan hendaknya masih dalam keadaan segar
bermutu baik serta ditangani dengan baik dan benar. Jenis ikan yang biasa diolah
menjadi abon umumnya adalah ikan pelagis yaitu ikan cakalang, tenggiri, tongkol
dan lain-lain (Afrianto dan Liviawaty 2005). Bumbu-bumbu yang biasa digunakan
dalam pembuatan abon ikan terdiri dari bawang merah, bawang putih, ketumbar,
lengkuas, garam, gula pasir, santan kelapa, daun salam dan daun sereh. Rasa abon
ikan pada dasarnya dapat diubah-ubah sesuai selera dengan mengubah komposisi
bumbu yang digunakan (Wibowo 2002).
Jenis ikan yang dibuat sebagai bahan baku abon belum selektif, bahkan
hampir semua jenis ikan dapat dijadikan abon. Namun demikian, akan lebih baik
apabila dipilih jenis ikan yang benar-benar masih segar, memiliki kandungan
lemak rendah dan berdaging tebal serta tidak mengandung banyak duri (Wibowo
dan Peranginangin 2004). Ikan yang biasa dibuat abon adalah ikan air laut antara
lain ikan Tuna, Tenggiri, Cakalang, Layaran atau Marlin. Di antara jenis-jenis
ikan tersebut, ikan Marlin merupakan bahan baku terbaik untuk diolah menjadi
abon ikan karena rasanya yang lebih enak dengan kandungan protein yang cukup
tinggi serta mengandung DHA dan omega 3 yang bermanfaat bagi kesehatan (Sari
2009).
Pengolahan abon ikan oleh industri kecil menggunakan alat yang
sederhana dan peralatan semi mekanik untuk tahap pengepresan dan pengemasan.
Proses pengolahan abon ikan yang dilakukan adalah sebagai berikut: ikan marlin
yang masih utuh dan segar disiangi dengan cara memotong ikan dan dibuang
bagian kepala, isi perut dan siripnya, kemudian dicuci bersih dan direndam dalam
air yang dicampur dengan air cuka. Daging ikan tersebut kemudian direbus hingga
4
menjadi lunak dan setelah itu, dipres untuk mengurangi kadar airnya, kemudian
dilakukan proses pencabikan sampai menjadi serat-serat. Kemudian daging ikan
yang telah tercabik dicampur dengan bumbu-bumbu dan digoreng hingga matang
kemudian dipres kembali untuk menghilangkan kandungan minyak. Pengepresan
tahap kedua ini bertujuan untuk mengurangi kadar minyak pasca proses
penggorengan. Setelah selesai dipres, abon ikan dikemas dalam beberapa ukuran.
Komposisi kimia abon ikan menurut Suryati dan Dirwana (2007) dalam BI (2009)
adalah kadar air 4,13%, protein 31,22%, lemak 24,31% dan abu 15,87%.
2.2 Bahan Tambahan
Bahan tambahan adalah bahan yang sengaja ditambahkan dengan tujuan
untuk meningkatkan konsistensi nilai gizi, cita rasa, mengendalikan keasaman dan
kebasaan serta untuk menetapkan bentuk dan rupa. Bahan tambahan yang
digunakan dalam pembuatan abon ikan adalah bawang merah, bawang putih,
ketumbar, lengkuas, garam, gula pasir, santan kelapa, daun salam, daun sereh dan
minyak goreng.
a. Bawang merah
Bawang merah berfungsi sebagai bahan pengawet makanan dan aromanya
kuat (Wibowo 1991). Karakteristik bau dari bawang merah dipengaruhi oleh
kandungan minyak volatil yang sebagian besar terdiri dari komponen sulfur.
Komponen volatil tidak terdapat dalam sel secara utuh. Ketika sel pecah terjadi
reaksi antara enzim liase dan komponen flavor, seperti metil dan turunan propil
(Lewis 1984 dalam Utami 2010).
b. Bawang putih
Bawang putih merupakan bahan alami yang biasa ditambahkan ke dalam
bahan makanan atau produk sehingga diperoleh aroma yang khas guna
meningkatkan selera makan. Bawang putih memiliki zat kimia berupa allicin,
scordinin, allithanin dan selenium. Allicin ini berperan memberi aroma bawang
putih dan bersifat antibakteri (Palungkun dan Budiarti 1992).
c. Ketumbar
Ketumbar (Coriandrum sativum) adalah rempah-rempah yang sering
ditambahkan dalam campuran curing untuk menghasilkan aroma masakan yang
5
diinginkan. Manfaat ketumbar adalah untuk menghilangkan bau anyir,
menimbulkan bau sedap, menimbulkan rasa pedas yang gurih dan menyedapkan
makanan (Zaitsev et al. 1969 dalam Utami 2010).
d. Lengkuas
Lengkuas atau laos (Alpinia galanga) merupakan salah satu tanaman
monokotil yang bagian rimpangnya dimanfaatkan untuk memberikan aroma yang
khas dan mengawetkan makanan. Selain itu, lengkuas juga berfungsi untuk
menurunkan pH makanan sehingga dapat menghambat pertumbuhan mikroba
pembusuk (Winarno et al. 1990).
e. Garam dan gula pasir
Garam merupakan bahan tambahan yang paling umum dan paling banyak
digunakan dalam proses pengolahan bahan pangan. Garam dalam bahan pangan
ditambahkan sebagai penegas cita rasa dan berfungsi sebagai pengawet. Garam
sebagai bahan pengawet karena kemampuannya untuk menarik air keluar dari
jaringan (Afrianto dan Liviawaty 2005).
Gula pasir merupakan bahan yang ditambahkan ke dalam makanan untuk
melembutkan produk sehingga dapat mengurangi terjadinya pengerasan dan
mengurangi penguapan air serta memberikan cita rasa produk. Adanya gula akan
menimbulkan reaksi maillard yaitu reaksi antara gula pereduksi dengan asam
amino yang akan menyebabkan warna cokelat pada produk (Desrosier 1977
dalam Utami 2010).
f. Santan kelapa
Santan kelapa yang diberikan dalam pembuatan abon dapat mempengaruhi
rasa makanan, karena adanya emulsi protein dan lemak yang menimbulkan rasa
gurih. Santan merupakan emulsi lemak dalam air yang diperoleh dari daging
kelapa segar. Kepekatan santan tergantung pada ketuaan kelapa dan jumlah air
yang ditambahkan (Winarno 1997).
g. Daun salam
Daun salam merupakan bagian dari pohon salam (Syzygium polyanthum)
yang biasa digunakan sebagai rempah pengharum masakan karena aroma yang
dihasilkan oleh komponen volatil yang dikandungnya. Rempah ini memberikan
aroma herba yang khas namun tidak keras. Komposisi daun salam kering terdapat
6
sekitar 0,17% minyak esensial dengan komponen penting eugenol dan metil
kavikol (methyl chavicol) di dalamnya (Hanan 1996 dalam Utami 2010).
h. Sereh
Serai atau sereh merupakan salah satu tumbuhan anggota suku rumput-
rumputan yang dimanfaatkan sebagai bumbu dapur untuk mengharumkan
makanan karena aroma yang dihasilkannya. Batang dan daun sereh wangi
mengandung zat-zat seperti geraniol, methilheptenon, terpen, terpen alkohol, asam
organik dan terutama sitronelal (Newsroom 2007 dalam Utami 2010).
i. Minyak goreng
Minyak yang biasa digunakan untuk menggoreng adalah minyak yang
berasal dari tumbuhan atau minyak nabati. Minyak goreng berfungsi untuk
memperbaiki tekstur fisik bahan pangan dan sebagai penghantar panas sehingga
proses pemanasan menjadi lebih efisien dibanding proses pemanggangan dan
perebusan. Proses penggorengan juga dapat meningkatkan cita rasa, kandungan
gizi dan daya awet serta menambah nilai kalori bahan pangan (Winarno 1997).
2.3 Perubahan Bahan Pangan Berlemak Selama Penyimpanan
Abon ikan sensitif terhadap udara karena menggunakan santan kelapa dan
minyak goreng dalam proses pengolahannya. Meskipun dilakukan pengepresan
untuk membuang kandungan minyaknya, tetapi tidak semuanya dapat
dihilangkan. Bahan pangan yang mengandung lemak atau minyak biasanya akan
mengalami proses ketengikan selama proses penyimpanan yang ditandai dengan
timbulnya bau dan rasa tengik. Ketengikan diartikan sebagai kerusakan atau
perubahan bau dan cita rasa dalam bahan pangan berlemak atau minyak.
Terjadinya proses ketengikan tidak hanya terbatas pada bahan pangan berlemak
tinggi, tetapi juga terjadi pada bahan pangan berlemak rendah. Ketengikan pada
bahan pangan berlemak dapat disebabkan oleh beberapa faktor yaitu absorpsi
lemak, aksi enzim dalam jaringan bahan pangan yang mengandung lemak, aksi
mikroba dan oksidasi oleh oksigen atau kombinasi dari dua atau lebih penyebab
ketengikan (Ketaren 2008).
Ketengikan yang disebabkan oleh oksidasi asam lemak tak jenuh
menghasilkan senyawa-senyawa dengan rantai karbon lebih pendek yaitu asam
7
lemak, keton, aldehid. Proses ketengikan dapat dipercepat oleh beberapa faktor
seperti panas, pereaksi logam (Cu, Co, Mn dan Fe), cahaya dan enzim-enzim
lipoksidase (Winarno 1997). Ketengikan pada abon ikan dapat timbul akibat
reaksi autooksidasi yang menyebabkan terbentuknya hidroperoksida yang terbagi
ke dalam tiga tahap yaitu: inisiasi, propagasi dan terminasi (Fennema 1976 dalam
Arpah 2007).
Tahap Inisiasi
Tahap inisiasi adalah tahap dimana suatu senyawaan minyak yang tidak
(atau belum) mengandung radikal peroksida dan hidroperoksida mengalami
serangan senyawaan oksigen reaktif yang mampu melepaskan satu atom hydrogen
dari asam lemak membentuk radikal, melalui mekanisme berikut:
Adanya ikatan karbon tidak jenuh seperti yang terdapat pada asam lemak tak
jenuh menyebabkan ikatan C-H cukup lemah, sehingga oksigen dengan mudah
melepaskan satu atom hydrogen dari rantai tersebut. Radikal rantai karbon yang
terbentuk cenderung melakukan stabilisasi dengan melakukan rearrangement
membentuk diene konyugasi. Dalam kondisi aerobik, diene konyugasi kemudian
bergabung dengan oksigen membentuk radikal peroksil (ROO*).
Tahap Propagasi
Radikal peroksil diketahui mempunyai kemampuan untuk menarik atom H
dari molekul asam lemak pada molekul minyak didekatnya, sehingga
mengakibatkan berlangsungnya auto-katalitik berantai. Sistem auto-reaksi ini,
menjadi ciri utama tahap reaksi propagasi. Radikal peroksil akan bergabung
dengan atom H membentuk hidroksiperoksida.
8
Alternatif lainnya dapat juga terjadi, dimana molekul O2 bereaksi langsung
dengan asam lemak tak jenuh membentuk hydroperoksida secara langsung:
Tahap Terminasi
Jika 2 radikal berinteraksi, maka berlangsung tahap terminasi:
Hidroperoksida yang terbentuk selama proses hidroperoksidasi cenderung
berasosiasi melalui ikatan hydrogen. Jika terdapat logam prooksidan, maka
komponen ini berperan dalam produksi radikal dengan jalan mendekomposisi
hidroperoksida melalui reaksi,
Setelah hidroperoksida terdekomposisi membentuk radikal RO*,
selanjutnya akan mengalami suatu seri reaksi yang mengantarkan pada
pembentukan komponen produk sekunder seperti, aldehida, asam hidroksi dan
asam keto. Aldehida yang terbentuk adalah komponen yang bertanggung jawab
terhadap flavor tengik. Malonaldehid adalah produk sekunder (akhir) dari
rangkaian hasil reaksi oksidasi minyak dan merupakan indikator ketengikan,
khususnya pada produk pangan. Kuantitasnya selama proses oksidasi biasanya
diukur dengan menentukan nilai bilangan TBA (Thiobarbituric acid).
9
Pembentukan malonaldehid diduga melalui beberapa jenis alur reaksi, di
antaranya melalui dekomposisi peroksida bentuk siklik.
Ketengikan juga dapat disebabkan karena meningkatnya suhu
penyimpanan yang akan mempengaruhi laju oksidasi produk. Peningkatan suhu
selama penyimpanan menyebabkan meningkatnya derajat ketengikan akibat
oksidasi lemak yang akan berpengaruh terhadap pembentukan malonaldehid pada
bahan pangan (Ketaren 2008). Reaksi oksidasi lemak akibat meningkatnya suhu
dapat melepaskan air terikat menjadi air bebas, sehingga nilai aw produk
meningkat (Winarno 1997). Uji ketengikan dilakukan untuk menentukan derajat
ketengikan dengan mengukur senyawa-senyawa hasil oksidasi. Analisis
ketengikan dapat dilakukan dengan menentukan bilangan peroksida, jumlah
karbonil, jumlah oksigen aktif, uji asam thiobarbiturat dan uji oven Schaal
(Rochman dan Sumantri 2007).
2.4 Pengemasan
Pengemasan adalah salah satu cara untuk melindungi atau mengawetkan
produk pangan maupun non pangan. Pengemasan bertujuan untuk mengawetkan
produk, mencegah kerusakan produk dan perubahan-perubahan yang tidak
dikehendaki, mempermudah transportasi, mempermudah distribusi dan juga untuk
memperindah penampilan produk (Jenie et al. 1993). Menurut Syarief dan Halid
(1993), pengemasan pada umumnya bertujuan untuk menghindari kerusakan yang
disebabkan oleh mikroba, fisik, kimia, biokimia, perpindahan uap air dan gas,
sinar UV dan perubahan suhu.
Teknik pengemasan yang dilakukan pada pembuatan produk umumnya
menggunakan teknik vakum udara. Pengemasan vakum adalah sistem
pengemasan hampa udara dimana tekanannya kurang dari 1 atm dengan cara
mengeluarkan O2 dari kemasan sehingga memperpanjang umur simpan. Proses
pengemasan vakum ini dilakukan dengan cara memasukkan produk ke dalam
kemasan plastik yang dikuti dengan pengontrolan udara menggunakan mesin
pengemas vakum (Vacuum Packager), kemudian ditutup dan disealer (Jay 1996).
Pada pengemasan vakum dengan menggunakan bahan kemasan yang fleksibel,
pelepasan udara dari sekeliling produk dapat dilakukan dengan memompa udara
10
keluar kemasan atau dengan menekan dinding kemasan untuk memaksa udara
keluar. Cara ini dapat mengurangi jumlah O2 dibawah 2% (Hanlon 1971 dalam
Ferisa 2005).
Bahan pengemas yang sering digunakan pada produk bahan pangan
berlemak adalah wadah gelas, kertas, plastik dan kaleng (Ketaren 2008). Menurut
Winarno et al. (1990), jenis plastik yang umum digunakan dalam pengemasan
bahan pangan adalah selofan, selulosa asetat, poliamida (nilon), karet
hidrokhlorida (polifilm), poliester, polietilena, polipropilena, polistirena,
polivinildienakhlorida dan vinil khlorida. Jenis kemasan plastik yang sering
digunakan untuk mengemas abon ikan adalah polipropilen (PP). Polipropilen
termasuk jenis plastik olifein, lebih kaku dari polietilen, memiliki kekuatan tarik
dan kejernihan lebih baik dari polietilen serta permeabilitas uap air rendah. Suhu
leleh polipropilen sekitar 150oC, sehingga dapat digunakan untuk kemasan yang
memerlukan sterilisasi dan kemasan produk yang dapat dipanaskan langsung di
oven atau direbus (Syarief dan Halid 1993). Polipropilen lebih kuat dan ringan
dengan daya tembus uap yang rendah, ketahanan yang baik terhadap lemak, stabil
terhadap suhu tinggi dan cukup mengkilap (Winarno dan Jenie 1983). Plastik
polipropilen adalah plastik yang sangat ringan, kuat terhadap kikisan dan kaku,
lebih tahan terhadap asam dan basa, kuat dan juga mempunyai ketahanan fisik
yang lebih besar terhadap uap air (Leksono dan Syahrul 2001).
2.5 Umur Simpan
Menurut Institute of Food Science and Technology (1974), umur simpan
produk pangan adalah selang waktu antara saat produksi hingga saat konsumsi
dimana produk berada dalam kondisi yang sesuai dengan harapan konsumen
berdasarkan karakteristik penampakan, rasa, aroma, tekstur dan nilai gizi. Umur
simpan produk pangan dapat diduga waktu kadaluwarsanya dengan menggunakan
metode konvensional extended storage studies dan metode akselerasi kondisi
penyimpanan (Accelerated Shelf-life Testing, ASLT) (Floros dan Gnanasekharan
1993 dalam Herawati 2008).
11
a. Extended storage studies
Penentuan umur simpan produk dengan metode konvensional extended
storage studies dapat dilakukan dengan cara menyimpan produk pada kondisi
penyimpanan yang sebenarnya kemudian diamati hingga terjadi perubahan yang
tidak dapat diterima oleh konsumen. Dengan cara ini diperoleh hasil tepat, namun
memerlukan waktu yang lama dan biaya besar. Kendala yang sering dihadapi oleh
industri dalam penentuan umur simpan suatu produk adalah masalah waktu,
karena bagi produsen hal ini akan mempengaruhi jadwal launching suatu produk
pangan. Oleh karena itu diperlukan metode pendugaan umur simpan cepat,
mudah, murah dan mendekati umur simpan yang sebenarnya (Kusnandar 2010).
b. Accelerated Shelf-life Testing
Metode pendugaan umur simpan dengan metode akselerasi kondisi
penyimpanan (Accelerated Shelf-life Testing), yaitu dengan cara menyimpan
produk pangan pada lingkungan yang menyebabkannya cepat rusak, baik pada
kondisi suhu atau kelembaban ruang penyimpanan yang lebih tinggi. Kenaikan
suhu dapat mempercepat berbagai macam kerusakan yang memperpendek umur
simpan bahan pangan (Syarief et al. 1989). Metode akselerasi dapat dilakukan
dalam waktu yang lebih singkat dengan akurasi yang baik. Metode ASLT yang
sering digunakan adalah dengan model Arrhenius dan model kadar air kritis.
1) Metode ASLT model Arrhenius
Metode ASLT model Arrhenius banyak digunakan untuk pendugaan umur
simpan produk pangan yang mudah rusak oleh akibat reaksi kimia, seperti
oksidasi lemak, reaksi Maillard, denaturasi protein dan sebagainya. Contoh
produk pangan tersebut adalah makanan kaleng steril komersial, susu UHT, susu
bubuk atau formula, produk chip atau snack, jus buah, mie instan, frozen meat dan
produk pangan lain yang mengandung lemak tinggi (berpotensi terjadinya
oksidasi lemak) atau yang mengandung gula pereduksi dan protein (berpotensi
terjadinya reaksi kecoklatan) (Syarief dan Halid 1993).
Reaksi kimia yang terjadi pada umumnya dipengaruhi oleh suhu,
maka model Arrhenius mensimulasikan percepatan kerusakan produk pada
kondisi suhu penyimpanan di atas suhu penyimpanan normal. Parameter kunci
dari rumus ini adalah mengestimasi umur simpan pada suhu yang berbeda untuk
12
mengetahui nilai energi aktivasi. Biasanya terdiri dari tiga suhu atau lebih dan
berbentuk model logaritma terhadap nilai yang dihasilkan, kemudian diregresikan
dengan 1/oT untuk mengetahui nilai Energi aktivasi dari nilai slope kemiringan
yang dihasilkan (Taoukis, Labuza dan Saguy 1997 dalam Hough et al. 2006).
Laju reaksi kimia yang dapat memicu kerusakan produk pangan umumnya
mengikuti laju reaksi ordo 0 dan ordo 1. Tipe kerusakan pangan yang mengikuti
model reaksi ordo nol adalah degradasi enzimatis (misalnya pada buah dan
sayuran segar serta beberapa pangan beku); reaksi kecoklatan non-enzimatis
(misalnya pada biji-bijian kering, dan produk susu kering); dan reaksi oksidasi
lemak (misalnya peningkatan ketengikan pada snack, makanan kering dan pangan
beku). Sedangkan tipe kerusakan bahan pangan yang termasuk dalam rekasi ordo
satu adalah 1) ketengikan (misalnya minyak salad dan sayuran kering); 2)
pertumbuhan mikroorganisme (misal pada ikan dan daging, serta kematian
mikoorganisme akibat perlakuan panas); 3) produksi off flavor oleh mikroba; 4)
kerusakan vitamin dalam makanan kaleng dan makanan kering; dan 5) kehilangan
mutu protein (makanan kering) (Labuza 1982).
Persamaan reaksi ordo 0:
Persamaan reaksi ordo 1 :
dimana:
A = nilai mutu yang tersisa setelah waktu t
Ao = nilai mutu awal
t = waktu penyimpanan (dalam hari, bulan atau tahun)
k = konstanta laju reaksi ordo nol atau satu
Konstanta laju reaksi kimia (k), baik ordo nol maupun satu, dapat
dipengaruhi oleh suhu. Reaksi kimia lebih cepat terjadi pada suhu tinggi, maka
konstanta laju reaksi kimia (k) akan semakin besar pada suhu yang lebih tinggi.
Pendugaan laju penurunan mutu dapat dilakukan dengan menggunakan model
persamaan Arrhenius sebagai berikut:
13
k = ko e –(Ea/RT)
atau ln k = ln ko -
............ (3)
dimana:
k = konstanta laju penurunan mutu
ko = konstanta (faktor frekuensi yang tidak tergantung suhu)
Ea = energi aktivasi
T = suhu mutlak (K)
R = konstanta gas (1.986 kal/mol K)
Percobaan dengan metode Arrhenius bertujuan untuk menentukan konstanta
laju reaksi (k) pada beberapa suhu penyimpanan ekstrim, kemudian dilakukan
ekstrapolasi untuk menghitung konstanta laju reaksi (k) pada suhu penyimpanan
yang diinginkan dengan menggunakan persamaan Arrhenius (persamaan 3),
kemudian digunakan perhitungan umur simpan sesuai dengan ordo reaksinya
(persamaan 1 dan 2).
2) Metode ASLT model kadar air kritis
Kerusakan produk pangan dapat disebabkan oleh adanya penyerapan air
oleh produk selama penyimpanan. Produk pangan yang mengalami kerusakan
seperti ini adalah produk kering, seperti snack, biskuit, krupuk, permen, dan
sebagainya. Kerusakan produk dapat diamati dari penurunan kekerasan atau
kerenyahan, dan/atau peningkatan kelengketan atau penggumpalan. Laju
penyerapan air oleh produk pangan selama penyimpanan dipengaruhi oleh
tekanan uap air murni pada suhu udara tertentu, permeabilitas uap air dan luasan
kemasan yang digunakan, kadar air awal produk, berat kering awal produk, kadar
air kritis, kadar air kesetimbangan pada RH penyimpanan, dan slope kurva
isoterm sorpsi air. Faktor-faktor tersebut diformulasikan oleh Labuza dan Schmidl
(1985) menjadi model matematika dan digunakan sebagai model untuk menduga
umur simpan.
θ = [ln (Me-Mo)/(Me-Mc)]/[(k/x)(A/Ws)(Po/b0]
dimana:
θ = waktu perkiraan umur simpan (hari)
Me = kadar air keseimbangan produk (g H2O/g padatan)
Mo = kadar air awal produk (g H2O/g padatan)
b = slope kurva sorpsi isotermis
14
Mc = kadar air kritis (g H2O/g padatan)
k/x = konstanta permeabilitas uap air kemasan (g/m2.hari.mmHg)
A = luas permukaan kemasan (m2)
Ws = berat kering produk dalam kemasan (g padatan)
Po = tekanan uap jenuh (mmHg)
Model untuk menduga umur simpan produk pangan yang mudah rusak
karena penyerapan air adalah dengan pendekatan metode kadar air kritis. Data
percobaan yang diperoleh dapat mensimulasi umur simpan produk dengan
permeabilitas kemasan dan kelembaban relatif ruang penyimpanan yang berbeda.
Produk pangan yang mengandung kadar sukrosa tinggi, seperti permen, umumnya
bersifat higroskopis dan mudah mengalami penurunan mutu selama penyimpanan
yang disebabkan oleh terjadinya penyerapan air. Umur simpan produk seperti ini
akan ditentukan oleh seberapa mudah uap air dapat bermigrasi ke dalam produk
selama penyimpanan dengan menembus kemasan. Semakin besar perbedaan
antara kelembaban relatif lingkungan penyimpanan dibandingkan kadar air
produk pangan, maka air semakin mudah bermigrasi (Kusnandar 2010).