Upload
adirubban
View
221
Download
0
Embed Size (px)
Citation preview
7/24/2019 2013-2-88201-311409116-bab2-10012014110053
1/17
BAB II
KAJIAN PUSTAKA
2.1
Penelitian yang Relevan Sebelumnya
Penelitian yang relevan sebelumnya berkaitan dengan interferensi leksikal
bahasa Melayu Saluan terhadap penggunaan bahasa Indonesia lisan pada anak usia 9-
10 tahun belum pernah diteliti. Namun penelitian tentang interferensi dalam berbagai
bahasa pernah dilakukan oleh peneliti sebelumnya. Misalnya, Pakaya (2007)
melakukan penelitian berjudul Interferensi Bahasa Gorontalo dalam Penggunaan
Bahasa Indonesia oleh Peserta Didik kelas III SMA Negeri 3 Gorontalo. Penelitian
tersebut menemukan adanya proses interferensi kalimat bahasa Gorontalo dalam
penggunaan bahasa Indonesia yang tampak dalam struktur kalimat panggilan, kalimat
pertanyaan, kalimat permohonan, dan kalimat pernyataan. Persamaan penelitian yang
dilakukan oleh Pakaya dengan penelitian ini terletak pada kesamaan kajian, yakni
tentang interferensi. Hanya saja perbedaannya terletak pada objek kajian.
Lahabu (2010) melakukan penelitian berjudul Interferensi Bahasa
Mongondow terhadap Bahasa Indonesia di Lingkungan Pegawai Kantor Walikota
Kotamubagu. Berdasarkan penelitian tersebut, ditemukan adanya proses interferensi
sintaksis bahasa Mongondow terhadap bahasa Indonesia yang terjadi di lingkungan
pegawai kantor Walikota Kotamubagu tampak dalam kalimat pertanyaan, kalimat
perintah, dan kalimat panggilan. Penelitian tersebut relevan dengan penelitian ini
7/24/2019 2013-2-88201-311409116-bab2-10012014110053
2/17
karena sama-sama meneliti interferensi. Perbedaannya terletak pada objek penelitian
pula.
Penelitian yang menggunakan objek bahasa Saluan pernah diteliti oleh
Sangintang (2011) dengan judul penelitianFrasa Endosentris Atribut Bahasa Saluan.
Penelitian tersebut menemukan frasa endosentris atribut bahasa Saluan baik jenis
verba maupun jenis adjektiva. Antara penelitian tersebut dengan penelitian ini
kerelevansiannya terletak pada kesamaan objek, yakni bahasa Saluan. Namun Dari
segi masalah yang diangkat tidak memiliki kesamaan.
Warijan (2013) melakukan penelitian berjudulInterferensi Struktur Kalimat
Bahasa Jawa pada Bahasa Indonesia Lisan Oleh Siswa Kelas IV Ibtidaiyah
Muhammadiyah Desa Sidomulyo Kecamatan Boliyohuto Kabupaten Gorontalo. Hasil
penelitian tersebut menemukan adanya interferensi struktur kalimat bahasa Jawa pada
bahasa Indonesia bagi siswa kelas IV Ibtidaiyah Muhammadiyah Desa Sidomulyo
Kecamatan Boliyohuto Kabupaten Gorontalo. Kerelevansian penelitian tersebut
dengan penelitian ini terletak pada kesamaan keinginan peneliti untuk mengangkat
interferensi. Perbedaannya terletak pada objek kajian. Penelitian tersebut mengangkat
interferensi struktur kalimat bahasa Jawa pada bahasa Indonesia, sedangkan
penelitian ini mengangkat interferensi bahasa Melayu Saluan terhadap penggunaan
bahasa Indonesia lisan pada anak usia 9-10 tahun di lingkungan keluarga desa
Longkoga Barat Kecamatan Bualemo Kabupaten Banggai.
7/24/2019 2013-2-88201-311409116-bab2-10012014110053
3/17
2.2
Landasan Teori
2.2.1
Interferensi
2.2.1.1
Hakikat Interferensi
Perubahan bahasa dapat terjadi karena interferensi. Interferensi adalah
pengaruh bahasa satu terhadap bahasa lain, dapat saja berlaku dalam tataran bunyi
atau tata bunyi, tata kata, tata kalimat, atau juga dalam tata makna. Dalam proses
interferensi terdapat tiga komponen yang berperan, yakni (1) bahasa sumber atau
bahasa donor (sorce language); (2) bahasa sasaran, bahasa penerima, target language,
resipeien; dan (3) unsur serapan atau impoetasi (Suwito dalam Pateda dan Pulubuhu,
2008: 117). Pandangan tersebut berkaitan dengan komponen interferensi di antaranya
bahasa donor, bahasa sasaran, dan impoetasi.
Menurut Chaer dan Leonie (2010: 120), istilah interferensi pertama kali
digunakan oleh Weinreich untuk menyebut adanya perubahan sistem suatu bahasa
sehubungan dengan adanya persentuhan bahasa tersebut dengan unsur-unsur bahasa
lain yang dilakukan oleh penutur yang bilingual. Penutur yang bilingual adalah
penutur yang menggunakan bahasa secara bergantian; dan penutur multilingual, kalau
ada, tentu penutur yang dapat menggunakan banyak bahasa secara bergantian.
Namun, kemampuan setiap penutur terhadap B1 dan B2 sangat bervariasi. Ada
penutur yang menguasai B1 dan B2 sama baiknnya, tetapi ada pula yang tidak. Malah
ada yang kemampuannya terhadap B2 sangat minim. Penutur bilingual yang
mempunyai kemampuan B1 dan B2 sama baiknya, tentu tidak mempunyai kesulitan
untuk menggunakan kedua bahasa itu terpisah dan bekerja sendiri-sendiri.
7/24/2019 2013-2-88201-311409116-bab2-10012014110053
4/17
Hortman dan Strok (dalam Alwasilah, 1985: 131), menganggap interferensi
sebagai kekeliruan yang disebabkan terbawanya kebiasaan-kebiasaan ujaran bahasa
atau dialek kedua. Maksud interferensi merupakan kekeliruan yang disebabkan oleh
adanya kecenderungan membiasakan pengucapan (ujaran) suatu bahasa terhadap
bahasa lain, mencakup pengucapan satuan bunyi, tata bahasa, dan kosakata.
Interferensi ini bisa terjadi pada lafal, pembentukan kata, pembentukan kalimat dan
kosakata. Melihat pandangan tersebut, dapat dikatakan bahwa interferensi terwujud
dari kebiasaan-kebiasaan penutur menuturkan bahasa kedua dengan
mencampuradukan bahasa pertamanya dalam tuturan bahasa kedua.
2.2.1.2
Jenis-jenis Interferensi
Interferensi terbagi dalam beberapa jenis, yakni (1) interferensi fonologi; (2)
interferensi gramatikal; (3) interferensi semantik; dan (4) interferensi leksikal.
Berikut ini penjelasan keempat jenis interferensi tersebut.
1. Interferensi fonologi
Berkaitan dengan interferensi fonologi, Pateda (2005: 117), memberikan
contoh berkaitan dengan interferensi dalam tata bunyi, misalnya pelavalan vokal
/e/ dalam BI oleh penutur bahasa Gorontalo dilafalkan menjadi /o/. Hal itu
disebabkan oleh tidak adanya vokal /o/ dalam bahasa Gorontalo. Akibatnya,
semua kata yang mengandung /e/ diubah menjadi lafal /o/ dalam bahasa
Gorontalo. Demikian juga dalam interferensi fonologi pagi penutur bahasa Jawa.
Suwito (dalam Pateda, 2005: 117), menjelaskan bahwa jika penutur bahasa Jawa
7/24/2019 2013-2-88201-311409116-bab2-10012014110053
5/17
mengucapkan kata-kata nama tempat yang berawal bunyi /b, d, g, j/ terjadi
penasalan di depannya, sehingga terjadi interferensi pelafalan nama tempat
dalam BI, seperti Bandung, Deli, Gombong Jambi, akan dilafalkan (nbandung,
ndeli, ngombong, njambi) oleh penutur bahasa Jawa.
2.
Interferensi gramatikal
Interferensi gramatikal terjadi apabila dwibahasawan mengidentifikasikan
morfem, kelas morfem, atau hubungan ketatabahasaan pada sistem bahasa
pertama dan menggunakannya dalam tuturan bahasa kedua dan demikian
sebaliknya.
a. Intereferensi morfologi
Ramlan (dalam Pateda, 2009:3), mengatakan morfologi adalah
cabang ilmu bahasa yang membicarakan seluk-beluk bentuk kata serta
pengaruh perubahan-perubahan bentuk kata terhadap fungsi dan arti kata.
Sedangkan menurut Pateda (2009:4), morfologi adalah subdisiplin linguistik
yang mengaji bentuk kata, perubahan bentuk, dan makna yang yang timbul
akibat perubahan bentuk itu. Kedua definisi tersebut sama-sama
mendefinisikan morofologi sebagai cabang ilmu bahasa yang membicarakan
bentuk kata, baik pengaruh maupun perubahan bentuk kata. Berdasarkan
pandangan tersebut, dapat disimpulkan bahwa morfologi merupakan
subdisiplin ilmu yng membicarakan tentang bentuk-bentuk kata, yang melihat
perubahan yang terjadi pada bentuk kata baik dilihat dari segi perubahan
bentuk dan perubahan makna kata.
7/24/2019 2013-2-88201-311409116-bab2-10012014110053
6/17
Satuan terkecil yang dipakai dalam morfologi adalah morfem,
sedangkan satuan yang terbesar yang dipakai adalah kata (Pateda, 2009:8).
Menurut Harimurti (dalam pateda, 2009:10), morfem adalah satuan bahasa
terkecil yang maknanya secara relatif stabil dan tidak dapat dibagi atas bagian
bermakna yang lebih kecil, misalnya (di), (pensil), (ter-) dsb. Kata adalah
bentuk bebas yang minimun yang terdiri dari satu bentuk bebas dan ditambah
bentuk-bentuk yang tidak bebas (Chaer, 2003:72). Misalnyapukul, pemukul,
danpukulanadalah kata, sedangkanpe,dananbukan kata; tetapi semuanya
pe-,-an, danpukuladalah morfem.
Interferensi Morfologi (tata bahasa) terjadi apabila seorang penutur
mengidentifikasi morfem atau tata bahasa pertama dam kemudian
menggunakannya dalam bahasa kedua. Interferensi tata bentuk kata atau
morfologi terjadi bila dalam pembentukan kata-kata bahasa pertama penutur
menggunakan atau menyerap awalan atau akhiran bahasa kedua. Misalnya
awalan ke- dalam kata ketabrak, seharusnya tertabrak, kejebak seharusnya
terjebak, kekecilan seharusnya terlalu kecil. Interferensi dalam bidang
morfologi dapat terjadi anatara lain pada penggunaan unsure-unsur
pembentukan kata, pola proses morfologi, dan proses penanggalan afiks.
b. Interferensi sintaksis
Interferensi sintaksis (kosakata) terjadi karena pemindahan morfem
atau kata pada bahasa pertama ke dalam pemakaian bahasa kedua. Biasa juga
7/24/2019 2013-2-88201-311409116-bab2-10012014110053
7/17
terjadi perluasan pemakaian kata bahasa pertama, yakni memperluas makna
kata yang sudah ada sehingga kata dasar tersebut memperoleh kata baru atau
bahkan gabungan dari kedua kemungkinan di atas.
Interferensi kata dasar terjadi apabila misalnya seorang penutur bahasa
Indonesia juga menguasai bahasa Inggris dengan baik, sehingga dalam
percakapannya sering terselip kata-kata bahasa Inggris, sehingga sering
terjebak dalam interferensi. Contohnya:
-
Planningku setelah lulus sarjana adalah melanjutkan sekolah ke luar
negeri.
- Mereka akan married bulan depan.
3. Interferensi semantik
Interferensi semantik (tata makna) dapat dibagi menjadi tiga bagian.
a.
Interferensi perluasan makna atau expansive interference, yakni peristiwa
penyerapan unsur- unsur kosakata ke dalam bahasa lainnya. Misalnya konsep
kata distanz yang berasal dari kosakata bahasa Inggris distance menjadi
kosakata bahasa Jerman. Atau kata democration menjadi demokration dan
demokrasi.
7/24/2019 2013-2-88201-311409116-bab2-10012014110053
8/17
b.
Interferensi penambahan makna atau additive interference, yakni penambahan
kosakata baru dengan makna yang agak khusus meskipun kosakata lama
masih tetap dipergunakan dan masih mempunyai makna lengkap. Misalnya
kata father dalam bahasa Inggris atau vater dalam bahasa Jerman menjadi
vati. Pada usaha-usaha penghalusan makna juga terjadi interferensi, misalnya:
penghalusan kata gelandangan menjadi tunawisma dan tahanan menjadi
narapidana.
c.
Interferensi penggantian makna atau replasive interference, yakni interferensi
yang terjadi karena penggantian kosakata yang disebabkan adanya perubahan
makna seperti katasayayang berasal dari bahasa melayusahaya.
4. Interefensi leksikal
Interferensi dalam bidang leksikal terjadi apabila seorang dwibahasawan
dalam peristiwa tutur memasukkan leksikal bahasa pertama ke dalam bahasa
kedua atau sebaliknya. Menurut Aslinda dan Leni (2007:73), interferensi dalam
bidang leksikal terjadi apabila seorang dwibahasawan dalam peristiwa tutur
memasukkan leksikal bahasa pertama ke dalam bahasa kedua atau sebaliknya.
Interferensi leksikal terbagi atas lima kelas kata yaitu kelas verba, kelas adjektiva,
kelas nomina, kelas pronominal, dan kelas kata numeralia.
a.
Kelas kata verba
Verba atau kata kerja biasanya dibatasi dengan kata-kata yang
menyatakan perbuatan atau tindakan. Menurut Moelino dan Dardjowidjojo
(1997:76), secara umum verba dapat dibedakan dari kelas kata yang lain, yakni:
7/24/2019 2013-2-88201-311409116-bab2-10012014110053
9/17
1)
Verba berfungsi utama sebagai predikat atau sebagai inti predikat dalam
kalimat walaupun dapat juga mempunyai fungsi lain.
2)
Verba mengandung makna dasar perbuatan (aksi), proses, atau keadaan
yang bukan sifat atau kualitas.
3)
Verba, khususnya yang bermakna keadaan, tidak dapat diberi prefiks ter-
yang berarti paling.
b.
kelas kata adjektiva
Secara tradisional, adjektiva dikenal sebagai kata yang mengungkapkan
kualitas atau keadaan suatu benda. Alwi et al (2003:171), berpendapat bahwa
adjektiva adalah kata yang memberikan keterangan. Adapun ciri-cirinya sebagai
berikut.
1)
Adjektiva dapat diberi keterangan pembanding seperti lebih, kurang, dan
paling.Contoh pada kata lebih besar, kurang baik, paling mahal.
2)
Adjektiva dapat diberikan keterangan penguat sepertisangat, amat, benar,
sekali,dan terlalu.Contohsangat indah, amat tinggi, pandai benar, murah
sekali, terlalu murah.
3)
Adjektiva dapat diingkari dengan kata ingkar tidak. Contoh tidak bodoh,
tidak salah, tidak benar
4)
Adjektiva dapat diulang dengan awalan se- dan akhiran nya. Hal tersebut
dapat dilihat pada kata sebaik-baiknya, serendah-rendahnya, sejelek-
jeleknya.
7/24/2019 2013-2-88201-311409116-bab2-10012014110053
10/17
5)
Adjektiva pada kata tertentu dapat berakhir antara lain dengan er, -(w)I, -
iah, -if, -al, dan ik. Mislnya honorer, duniawi, ilmiah, negatif, formal,
elektronik.
c.
Kelas kata nomina
Nomina sering juga disebut kata benda, dapat dilihat dari dua segi,
yakni segi semantik dan segi sintaksis (Moelino dan Dardjowidjojo, 1997:152).
Dari segi semantik kita dapat mengatakan bahwa nomina adalah kata yang
mengacu pada manusia, binatang, benda, dan konsep atau pengertian. Dengan
demikian, kata sepertiguru, kucing, meja,dan kebangsaanadalah nomina. Dari
segi sintaksisnya, nomina mempunyai ciri-ciri tertentu.
1)Dalam kalimat yang predikatnya verba, nomina cenderung menduduki
fungsi subjek, objek, atau pelengkap.
2)
Nomina tidak dapat dijadikan bentuk ingkar dengan tidak kata
pengingkarnya yaitu bukandan tidak pernah berkontras dengan tidak.
3)
Nomina lazimnya dapat diikiuti oleh adjektiva baik secara langsung maupun
dengan perantaraan katayang.
d.
Kelas kata pronomina
7/24/2019 2013-2-88201-311409116-bab2-10012014110053
11/17
Pronomina merupakan kata ganti yang dapat menggantikan bagian
kalimat, kalimat, atau kata. Beberapa ahli mendefinisikan mengenai Pronomia.
Menurut Chaer (2008:87) pronomina lazim disebut kata ganti karena tugasnya
memang menggantikan nomina yang ada.
e.
Kelas kata numeralia
Numeralia atau kata bilangan adalah kata-kata yang menyatakan
bilangan, jumlah, nomor, urutan dan himpunan (Chaer, 2008:93). Menurut
bentuk dan fungsinya biasanya dibicarakan adanya kata bilangan utama,
bilangan genap, bilangan ganjil, bilangan bulat, bilangan pecahan, bilangan
tingkat, dan kata bantu bilangan.
Menurut Harimurti (dalam Pateda, 2005:122-124), kelas kata dalam BI
terbagi atas 13 kelas yakni (1) verba; adjektiva; (3) nomina; (4) pronomina; (5)
numeralia; (6) adverbial; (7) interogativa; (8) demonstrativa; (9) artikula; (10)
preposisi; (11) konjungsi; (12) kategori fatis; dan (13) injeksi. Berikut ini
pembagian berdasarkan subkategorinya.
1)
Verba yang subkelasnya (i) intransitive, verba yang menghindari objek,
misalnya Saya menulis; (ii) verba transitif, dan bentuk ini dibagi lagi atas
verba monotransitif, verba satu objek, misalnya Saya menulis surat; verba
bitransitif, verba dua objek, misalnyaIbu memberi adik kue; verba transitif,
verba transitif yang objeknya tidak muncul, misalnyaAdik sedang makan;
(iii) verba aktif, misalnyaIa mengapur dinding; (iv) verba pasif, misalnya
Adik dipukul ayah; (v) verba negatif, yakni verba pasif yang tidak dapat
7/24/2019 2013-2-88201-311409116-bab2-10012014110053
12/17
diubah menjadi verba aktif, misalnyaIbu kecopetan; (vi) verba anti-pasif,
yakni verba aktif yang tidak dapat diubah menjadi verba pasif, misalnyaIa
haus akan kasih sayang; (vii) verba resiprokal, yakni verba berbalasan,
misalnya bermaaf-maafan; (viii) non-resiprokal, yakni yang tidak
menyatakan perbuatan yang dilakukan oleh dua pihak dan tidak berbalasan;
(ix) verba refleksif, misalnya bercukur; (x) verba non-refleksif; (xi) verba
kopulatif, misalnya adalah; (xii) verba ekuatif, misalnya terdiri dari,
berdasarkan; (xiii) verba telis, verba yang menyatakan perbuatan tuntas,
misalnya Saya menanam padi; (xiv) verba atelis, verba yang menyatakan
pekerjaan belum tuntas, misalnya Ia bertukar pakaian; (xv) verba
performatif, misalnya berjanji; (xvi) verba konstatatif, yakni verba yang
menyatakan gambaran peristiwa, misalnya menembaki.
2)
Adjektiva yang subkelasnya (i) adjektiva predikatif, misalnya mahal; (ii)
adjektiva bertaraf, misalnya agak; (iii) adjektiva atributif, misalna nasional;
(iv) adjektiva tak bertaraf, misalnya verba yang tidak dapat berdampingan
dengan agak, sangat, misalnya nasional.
3)
Nomina yang subkelasnya (i) nomina bersenyawa dan tak bersenyawa,
misalnyasapi, batu; (ii) nomina persona, misalnya ia; (iii) nomina flora dan
fauna, misalnya pisang, kuda; (iv) nomina terbilang dan tak terbilang,
misalnya kampung, udara; (v) nomina korektif, misalnya keluarga; (vi)
nomina bukan kolektif, misalnya batu.
7/24/2019 2013-2-88201-311409116-bab2-10012014110053
13/17
4)
Pronomina yang subkelasnya (i) pronominal intelektual, misalnya Pak
Karta sopir kami. Rumahnya jauh; (ii) pronominal ekstratektual, misalnya
Aku memilikinya; (iii) pronominal takrif, misalnya saya; (iv) pronominal
tak takrif, misalnyaseseorang.
5)
Numeralia yang subkelasnya (i) numeralia takrif, misalnya satu; (ii)
numeralia tingkat, misalnya pertama; (iii) numeralia koloktif, misalnya
ribuan; (iv) numeralia tak takrif, misalnyasegenap.
6)
Adverbia yang subkelasnya (i) adverbia intraklausal, misalnya alangkah;
(ii) adverbial ekstraklausal, misalnya barangkali.
7) Interogativa, misalnya apa.
8) Demonstrativa yang subkelasnya (i) intratekstual, misalnya demikian; (ii)
ekstraktekstual, misalnya begini.
9)
Artikula, misalnyasi.
10)
Preposisi, misalnya ke.
11)
Konjungsi yang subkelasnya (i) konjungsi intrakalimat, misalnya agar; (ii)
konjungsi ekstrakalimat, misalnya bahwa; (iii) konjungsi intratekstual,
misalnya biarpun; (iv) konjungsi ekstratekstual, misalnya adapun.
12)
Kategori fatis, yakni kategori yang bertugas memulai, mempertahankan,
atau mengukuhkan pembicaraan, misalnya deh, yok.
13)Injeksi, misalnya aduh.
7/24/2019 2013-2-88201-311409116-bab2-10012014110053
14/17
2.3
Faktor Penyebab Terjadinya Interferensi
Selain kontak bahasa, menurut Weinreich (dalam Suwito, 1993:64-65), ada
beberapa faktor yang menyebabkan terjadinya interferensi, antara lain.
1)
Kedwibahasaan peserta tutur
Kedwibahasaan peserta tutur merupakan pangkal terjadinya interferensi
dan berbagai pengaruh lain dari bahasa sumber, baik dari bahasa daerah maupun
bahasa asing. Hal itu disebabkan terjadinya kontak bahasa dalam diri penutur
yang dwibahasawan, yang pada akhirnya dapat menimbulkan interferensi.
2) Tipisnya kesetiaan pemakai bahasa penerima
Tipisnya kesetiaan dwibahasawan terhadap bahasa penerima cenderung
akan menimbulkan sikap kurang positif. Hal itu menyebabkan pengabaian kaidah
bahasa penerima yang digunakan dan pengambilan unsur-unsur bahasa
sumber yang dikuasai penutur secara tidak terkontrol. Sebagai akibatnya akan
muncul bentuk interferensi dalam bahasa penerima yang sedang digunakan oleh
penutur, baik secara lisan maupun tertulis.
3)
Tidak cukupnya kosakata bahasa penerima
Perbendaharaan kata suatu bahasa pada umumnya hanya terbatas pada
pengungkapan berbagai segi kehidupan yang terdapat di dalam masyarakat yang
bersangkutan, serta segi kehidupan lain yang dikenalnya. Oleh karena itu, jika
masyarakat itu bergaul dengan segi kehidupan baru dari luar, akan bertemu dan
mengenal konsep baru yang dipandang perlu, karena mereka belum mempunyai
7/24/2019 2013-2-88201-311409116-bab2-10012014110053
15/17
kosakata untuk mengungkapkan konsep baru tersebut, lalu mereka menggunakan
kosakata bahasa sumber untuk mengungkapkannya. Secara sengaja pemakai
bahasa akan menyerap atau meminjam kosakata bahasa sumber untuk
mengungkapkan konsep baru tersebut. Faktor ketidakcukupan atau terbatasnya
kosakata bahasa penerima untuk mengungkapkan suatu konsep baru dalam bahasa
sumber cenderung menimbulkan terjadinya interferensi.
Interferensi yang timbul karena kebutuhan kosakata baru cenderung
dilakukan secara sengaja oleh pemakai bahasa. Kosakata baru yang diperoleh dari
interferensi ini cenderung akan lebih cepat terintegrasi karena unsur tersebut
memang sangat diperlukan untuk memperkaya perbendaharaan kata bahasa
penerima.
4)
Menghilangnya kata-kata yang jarang digunakan
Kosakata dalam suatu bahasa yang jarang dipergunakan cenderung akan
menghilang. Jika hal itu terjadi, berarti kosakata bahasa yang bersangkutan akan
menjadi kian menipis. Apabila bahasa tersebut dihadapkan pada konsep baru dari
luar, di satu pihak memanfaatkan kembali kosakata yang sudah menghilang dan
di lain pihak menyebabkan terjadinya interferensi, yaitu penyerapan atau
peminjaman kosakata baru dari bahasa sumber.
Interferensi yang disebabkan oleh menghilangnya kosakata yang jarang
dipergunakan tersebut akan berakibat seperti interferensi yang disebabkan tidak
cukupnya kosakata bahasa penerima, yaitu unsur serapan atau unsur pinjaman itu
7/24/2019 2013-2-88201-311409116-bab2-10012014110053
16/17
7/24/2019 2013-2-88201-311409116-bab2-10012014110053
17/17
kurangnya penguasaan terhadap bahasa penerima. Hal itu dapat terjadi pada
dwibahasawan yang sedang belajar bahasa kedua, baik bahasa nasional maupun
bahasa asing. Dalam penggunaan bahasa kedua, pemakai bahasa kadang-kadang
kurang kontrol. Karena kedwibahasaan mereka itulah kadang-kadang pada saat
berbicara atau menulis dengan menggunakan bahasa kedua yang muncul adalah
kosakata bahasa ibu yang sudah lebih dulu dikenal dan dikuasainya.