Upload
ade-kuls
View
13
Download
0
Embed Size (px)
DESCRIPTION
POLA KONSUMSI PANGAN
Citation preview
1
DIVERSIFIKASI KONSUMSI PANGAN RUMAH TANGGA PEDESAAN
DI DESA SUKOLILO KECAMATAN WAJAK KABUPATEN MALANG
Oleh :
Gema Iftitah Anugerah Y*
ABSTRAK
Penelitian ini bertujuan untuk: (1) menganalisis pola konsumsi pangan rumah tangga
pedesaan, (2) menganalisis diversifikasi konsumsi pangan rumah tangga pedesaan, dan (3)
faktor-faktor yang mempengaruhi diversifikasi konsumsi pangan rumah tangga pedesaan.
Metode pengumpulan data menggunakan metode food recall 2x24 jam. Data yang
diperoleh dianalisis menggunakan pendekatan angka kecukupan gizi (AKG) yang terdiri dari
angka kecukupan energi (AKE), angka kecukupan protein (AKP) untuk mengetahui pola
konsumsi pangan rumah tangga. Diversifikasi konsumsi pangan rumah tangga pedesaan
dilihat dari analisis pola pangan harapan (PPH) dan analisis kualitatif untuk respon rumah
tangga terhadap konsumsi pangan beras. Selanjutnya hasil analisis dilakukan uji beda nyata
untuk mengetahui perbedaan konsumsi pangan pada setiap kelompok pendapatan. Sedangkan
untuk menganalisis faktor yang mempengaruhi diversifikasi konsumsi pangan, digunakan
analisis regresi linear berganda.
Hasil analisis menunjukkan pola konsumsi pangan rumah tangga pedesaan masih
belum beragam dan cenderung bergantung pada satu jenis bahan pangan saja, sehingga
konsumsi energi hanya sebesar 1411,79 kkal/kapita/hari berada di bawah AKE yaitu 2000
kkal/kapita/hari dan konsumsi protein sebesar 35,52 gram/kapita/hari berada di bawah AKP
yaitu 52 gram/kapita/hari. Sedangkan konsumsi kelompok bahan pangan yang menunjukkan
perbedaan nyata pada kelompok pendapatan antara lain kelompok pangan hewani, kelompok
buah/biji berminyak, dan kelompok sayur dan buah. Diversifikasi konsumsi pangan rumah
tangga pedesaan masih belum tercapai dengan skor PPH sebesar 52,23 masih jauh di bawah
skor PPH ideal 100. Selain itu, respon rumah tangga pedesaan terhadap konsumsi pangan
pokok beras menunjukkan tingkat ketergantungan sedang. Sementara itu, faktor-faktor yang
berpengaruh signifikan terhadap diversifikasi konsumsi pangan rumah tangga adalah
pendapatan per kapita dan dummy pemanfaatan pekarangan untuk sayur dan buah.
Kata kunci: rumah tangga pedesaan, pola konsumsi pangan, diversifikasi konsumsi pangan
ABSTRACT
The aims of this study were : (1) analyze the consumption patterns of the urban
household, (2) analyze the dietary diversity of the urban household, (3) analyze the factors
that affect the dietary diversity of the urban household.
The method to collect data used food recall 2x24 hours method. The data was
analyzed by Nutrient Adequacy Score approach (AKG), using Figures Adequacy of Energy
(AKE), Figures Adequacy Protein (AKP) to know the consumption pattern of the urban
household. Dietary diversity was analyzed by Desirable Dietary Pattern (DDP) score and
qualitative analysis was used the household respon of the rice food consumption. Meanwhile,
2
to analyze the factors influencing the dietary diversity of the urban household using multiple
linear regression analysis (multiple regression).
The results showed that (1) the urban household consumption pattern was not
different yet and it still depent on one kind of food. So that the consumption of the energy was
1411,79 kkal/person/day and the consumption of the protein was 35,52 gram/person/day. (2)
The DDP score was 52,23 that showed the dietary diversity was not be reached. The
household respon of the rice food consumption showed that the level of household dependent
of rice food was middle level. Based on the results of regression analysis showed that the
factors that significantly influence the Desirable Dietary Pattern (DDP) are a variable
income per capita and yard dummy that used vegetables and fruits.
Keywords: the urban household, food consumption pattern, dietary diversity
*Dosen Fakultas Pertanian Universitas Abdurachman Saleh Situbondo.
3
I. PENDAHULUAN
Pangan merupakan kebutuhan pokok
manusia untuk hidup dan melakukan
berbagai aktifitas produktif. Selain itu,
pangan juga merupakan salah satu faktor
penentu kualitas sumber daya manusia,
karena semua unsur yang dibutuhkan
tubuh, seperti karbohidrat, protein,
vitamin, dan unsur mikro lainnya dapat
dipenuhi melalui makanan. Tentu saja
untuk memenuhi semua hal tersebut,
manusia perlu memperhatikan pola pangan
yang mereka konsumsi.
Salah satu bentuk perbaikan pola
konsumsi pangan adalah melalui
penganekaragaman pangan (diversifikasi
pangan). Diversifikasi pangan adalah
proses pemilihan pangan yang tidak
tergantung kepada satu jenis saja, tetapi
terhadap macam-macam bahan pangan
mulai dari aspek produksi, aspek
pengolahan, aspek distribusi hingga aspek
konsumsi pangan tingkat rumah tangga
(BKP, 2008). Tidak ada satu pun jenis
makanan yang mengandung semua zat
gizi, yang mampu membuat seseorang
untuk hidup sehat, tumbuh kembang dan
produktif. Oleh karena itu,
penganekaragaman pangan diperlukan
dalam penyediaan konsumsi pangan untuk
memenuhi semua unsur gizi yang
dibutuhkan tubuh, yang di dalamnya
mengandung zat tenaga, zat pembangun
dan zat pengatur (BKM, 2002).
Widyakarya Nasional Pangan dan Gizi
VIII (WKNPG) tahun 2004 menganjurkan
konsumsi energi dan protein penduduk
Indonesia masing-masing adalah 2000
kalori/kapita/hari dan 52 gram/kapita/hari.
Pada tahun 2009 energi yang dikonsumsi
oleh penduduk sebesar 1.927
kalori/kapita/hari dan protein sebesar 54,35
gram/kapita/hari dapat dikatakan
memenuhi anjuran konsumsi energi
protein, namun ternyata skor PPH sebesar
75,7 yang masih jauh dari skor ideal
menunjukkan bahwa penganekaragaman
konsumsi pangan masih belum terlaksana.
Hal ini disebabkan karena masyarakat
hanya mengkonsumsi bahan pangan dari
satu atau beberapa kelompok pangan saja,
yaitu sebagian besar pada kelompok padi-
padian.
Selain dilihat dari skor PPH,
ketidakberhasilan penganekaragaman
konsumsi pangan juga ditunjukkan dengan
masih tingginya konsumsi beras/padi-
padian. Salah satu indikator keberhasilan
pengeanekaragaman pangan adalah
menurunkan konsumsi padi-padian sebesar
1,5% per tahun dengan meningkatkan
konsumsi umbi-umbian, meningkatkan
konsumsi protein hewani dan
meningkatkan konsumsi sayur mayur
sebesar 4% per tahun hingga dapat
mencapai skor PPH 93,30 pada tahun 2014
(Kementrian Pertanian, 2010). Fakta yang
ada menunjukkan orang Indonesia
4
mengonsumsi 135-140 kilogram beras per
kapita per tahun jauh di atas rata-rata
konsumsi beras orang Asia sebesar 65-70
kilogram per kapita per tahun
(Kompas.com, 27 Januari 2012).
Konsumsi ikan orang Indonesia rata-rata
12,5 kilogram per tahun (rata-rata dunia 16
kilogram), daging ayam 3,8 kilogram per
tahun (Malaysia 23 kilogram per tahun,
Thailand 16,8 kilogram per tahun), telur
3,48 kilogram per tahun (Malaysia 17,62
kilogram per tahun, Filipina 4,51 kilogram
per tahun), daging 7,1 kilogram per tahun
(Malaysia 46,87 kilogram per tahun,
Filipina 24,96 kilogram per tahun). Untuk
konsumsi buah-buahan masyarkat
Indonesia baru mengkonsumsi rata-rata
40,06 kilogram per tahun (standar FAO
65,75 kilogram per tahun). Konsumsi
sayuran Indonesia 37,94 kilogram per
tahun, dan standar FAO 65,75 kilogram
per tahun. Konsumsi susu per kapita per
tahun rakyat Indonesia baru mencapai 6,50
liter, sementara standar gizi nasional
adalah 7,2 liter per tahun. Angka ini begitu
jauh jika dibandingkan dengan India dan
Bangladesh yang masing-masing telah
mencapai 31 liter dan 40 liter susu per
tahun (Husodo dalam Anonimous, 2006).
Dari uraian tersebut dapat disimpulkan
bahwa Indonesia mengalami kekurangan
konsumsi protein yang berfungsi sebagai
komponen pertumbuhan dan
perkembangan otak. Jika kondisi ini terus
berlangsung, maka akan berdampak pada
penurunan kualitas sumberdaya manusia.
Oleh sebab itu, pemerintah
mengeluarkan berbagai kebijakan melalui
Undang-Undang, Peraturan Pemerintah,
Peraturan Menteri, dan lain-lain dalam
mendukung program diversifikasi
konsumsi pangan. Namun, kebijakan-
kebijakan tersebut masih belum dapat
memberikan hasil yang optimal.
Dilihat dari perjalanan program
diversifikasi selama ini, belum optimalnya
pencapaian penganekaragaman konsumsi
pangan diduga karena kebijakan
diversifikasi pangan yang telah ditetapkan
tidak konsisten pelaksanaannya, sehingga
kebijakan pemerintah pun juga tumpang
tindih, di satu sisi pro dan di sisi lain
kontra dengan kebijakan diversifikasi
pangan, seperti kebijakan pemeberian
raskin untuk seluruh provinsi. Oleh karena
itu, pelaksanaan diversifikasi pangan harus
dilakukan secara serempak, dapat dimulai
di pedesaan dengan memperhatikan
perilaku rumah tangga termasuk rumah
tangga petani sebagai produsen dan
konsumen pangan sekaligus (Rachman dan
Ariani, 2008).
Desa Sukolilo adalah salah satu desa
yang ada di Kecamatan Wajak dengan
topografi desa yang sebagian besar
lahannya merupakan lahan kering.
Sebagian besar daerah pertaniannya berupa
ladang/tegalan dengan luas 328.870 ha,
5
sedangkan sawah padi hanya sebesar 60 ha
dengan hasil 420 ton per tahunnya. Hal ini
menyebabkan petani desa ini tidak mampu
mencukupi sendiri kebutuhan pangannya
berupa beras sebagai makanan pokok
sehingga harus membeli dari daerah lain.
Sebenarnya, Kecamatan Wajak merupakan
sentra penghasil jagung di Kabupaten
Malang dikarenakan produksi dan luas
lahannya terbesar, dengan luas sebesar
90.35 ha dan produksi mencapai 3.75
ton/ha/tahun (Data Profil Desa Sukolilo,
2011). Jagung merupakan salah satu bahan
pangan yang dapat digunakan sebagai
pengganti beras, namun kenyataannya
masyarakat di Desa Sukolilo belum
memanfaatkannya. Hal ini terjadi karena
minimnya informasi dan program tentang
sosialisasi pemanfaatan pangan lokal
sebagai pengganti beras. Justru bantuan
pemerintah berupa program raskin yang
meningkat dari tahun 2008 dengan jumlah
penerima raskin sebanyak 360 keluarga
menjadi 361 keluarga pada tahun 2009
menandakan tingkat ketergantungan
masyarakat terhadap pangan pokok beras
semakin tinggi.
Rendahnya tingkat pendapatan petani
di Desa Sukolilo juga merupakan faktor
lain yang dapat mempengaruhi pola
konsumsi pangan rumah tangga. Tingginya
keluarga pra sejahtera sebesar 32%
menandakan rumah tangga pedesaan masih
belum dapat memenuhi kebutuhan gizi dan
pangannya. Oleh sebab itu, perlu dilakukan
suatu kajian tentang penganekaragaman
konsumsi pangan rumah tangga pedesaan
untuk mengetahui kondisi
penganekaragaman konsumsi pangan di
Desa Sukolilo dan faktor-faktor yang
mempengaruhinya.
II. RUMUSAN MASALAH
Berdasarkan uraian di atas, maka
rumusan masalah yang dibahas, antara lain
sebagai berikut.
1. Bagaimanakah pola konsumsi pangan
rumah tangga pedesaan di daerah
penelitian.
2. Bagaimanakah diversifikasi konsumsi
pangan rumah tangga pedesaan di
daerah penelitian.
3. Faktor-faktor apa saja yang dapat
mempengaruhi diversifikasi konsumsi
pangan rumah tangga pedesaan di
daerah penelitian.
III. TUJUAN
Tujuan dari penelitian ini dapat
dirumuskan sebagai berikut.
1. Menganalisis pola konsumsi pangan
rumah tangga pedesaan di daerah
penelitian.
2. Menganalisis diversifikasi konsumsi
pangan rumah tangga pedesaan di
daerah penelitian.
3. Menganalisis faktor-faktor apa saja
yang dapat mempengaruhi diversifikasi
6
konsumsi pangan rumah tangga
pedesaan di daerah penelitian.
IV. METODE PENELITIAN
Penelitian dilakukan di Desa Sukolilo,
Kecamatan Wajak, Kabupaten Malang.
Pemilihan lokasi penelitian dilakukan
secara sengaja (purposive) dengan
pertimbangan lokasi penelitian merupakan
salah satu daerah rawan pangan di
Kabupaten Malang dengan jumlah
keluarga pra sejahtera mencapai 32% dan
terjadi kenaikan bantuan raskin dari 360
KK pada tahun 2008 menjadi 361 KK pada
tahun 2009. Selain itu, kondisi lahan yang
sebagian besar berupa lahan kering
berbentuk tegalan menjadi faktor lain
rumah tangga tidak mampu memenuhi
kebutuhan pangannya.
Penentuan responden secara stratified
random sampling berdasarkan pendekatan
luas lahan. Pertimbangan luas lahan dipilih
karena adanya hubungan yang kuat antara
penguasaan luas lahan dengan pendapatan
petani (Wiradi dan Makali, 1983 dalam
Astuti, 1996). Sedangkan pendapatan
sendiri sangat berpengaruh pada pola
konsumsi rumah tangga pedesaan.
Sehingga responden terpilih sebanyak 41
rumah tangga petani (RTP) dengan
ketentuan sebagai berikut.
- Lahan sempit (1 ha) : 7 RTP
Dari pendekatan luas lahan, maka akan
diperoleh pendapatan per kapita rumah
tangga pedesaan. Kemudian pendapatan
per kapita dikelompokkan berdasarkan
strata pendapatan dengan pembagian
sebagai berikut.
Tabel 1. Distribusi Rumah Tangga Pedesaan Berdasarkan Strata Pendapatan
Kriteria Pendapatan Pendapatan (Rp) N Persentase (%)
Rendah (I)
Sedang (II)
Tinggi (III)
< 200.000
200.000 436.571 > 436.571
23
13
5
56,10
31,70
12,20
Total 41 100,00 Sumber: Data Primer Diolah, 2012
Data primer diperoleh melalui
wawancara langsung dengan metode food
recall 2x24 jam pada rumah tangga petani
responden dibantu dengan kuesioner yang
telah dipersiapkan terlebih dahulu. Data
tersebut kemudian ditabulasi dan
dikelompokkan ke dalam sembilan
kelompok bahan pangan (padi-padian,
7
umbi-umbian, gula, buah/biji berminyak,
minyak dan lemak, pangan hewani,
kacang-kacangan, sayur dan buah). Hasil
pengelompokan selanjutnya dianalisis
menggunakan pendekatan Angka
Kecukupan Gizi (AKG) yang diukur
berdasarkan Angka Kecukupan Energi
(AKE) dan Angka Kecukupan Protein
(AKP) untuk mengetahui pola konsumsi
pangan rumah tangga. Selanjutnya data
dianalisis dengan pendekatan skor pola
pangan harapan (PPH) untuk mengetahui
diversifikasi konsumsi pangan. Pola
konsumsi rumahtangga dapat dikatakan
bergizi, beragam dan berimbang apabila
telah memenuhi kriteria nikai AKE 2000
kkal/kap/hr, AKP 52 gram/kap/hr dan PPH
100. Selanjutnya untuk mengetahi faktor-
faktor yang mempengaruhi diversifikasi
konsumsi pangan menggunakan analisis
linier berganda, sebagai berikut.
Keterangan:
Y : skor PPH
0 : konstanta intersep
i : koefisien parameter (i = 1, 2, 3,
, 6)
X1 : Pendidikan ibu rumah tangga
(tahun)
X2 : Jumlah anggota keluarga (orang)
X3 : Pendapatan rumah tangga (Rp)
D4 : dummy penyuluhan pangan dan
gizi,
D5 : dummy pemanfaatan lahan
pekarangan
D6 : dummy program bantuan raskin
e : Error term
V. HASIL DAN PEMBAHASAN
Pola Konsumsi Pangan Rumah Tangga
Pedesaan
Dari hasil penelitian pada rumah
tangga pedesaan di Desa Sukolilo
didapatkan pola konsumsi pangan yang
belum beragam dan masih kurang dari
konsumsi energi dan protein yang
dianjurkan.
Konsumsi Kelompok Pangan Padi-padian
Pada umumnya, rumah tangga
menjadikan kelompok pangan padi-padian
sebagai bahan pangan pokok mereka. Oleh
sebab itu, konsumsi dari kelompok padi-
padian lebih besar dibandingkan kelompok
bahan pangan lainnya.
Hasil penelitian menunjukkan terdapat
dua jenis pangan padi-padian yang
dikonsumsi oleh rumah tangga pedesaan,
yaitu beras dan jagung. Sebesar 83% RTP
mengkonsumsi pangan pokok tunggal,
yaitu beras sebagai bahan pangan
pokoknya dan sisanya sebesar 17% RTP
mencampurkan jagung dalam pangan
berasnya. Hal ini menandakan bahwa
peranan beras sangat besar bagi
pemenuhan konsumsi energi rumah
tangga.
8
Konsumsi energi dari kelompok
pangan padi-padian yaitu sebesar 905,87
kkal/kapita/hari. Jumlah ini masih di
bawah kebutuhan standart konsumsi energi
nasional menurut Kementrian Pertanian
(2010) yaitu sebesar 1000 kkal/kapita/hari.
Sebagian besar jumlah ini, yaitu 97%
berasal dari konsumsi beras, sedangkan
sisanya sebesar 3% berasal dari jagung.
Tabel 2. Rata-Rata Konsumsi Energi Kelompok Padi-Padian Berdasarkan Strata
Pendapatan
Kelompok Pendapatan (Rp) N Rata-Rata Energi (kkal)
< 200.000
200.000 436.571 > 436.571
23
13
5
910,48
908,62
877,50 Sumber: Data Primer Diolah, 2012
Berdasarkan uji beda nyata, tidak
terdapat perbedaan nyata rata-rata
konsumsi energi pangan padi-padian antara
strata kelompok pendapatan. Hal ini terjadi
karena rumah tangga telah terpola untuk
menjadikan kelompok padi-padian,
terutama beras sebagai bahan pangan
pokoknya, sehingga rata-rata kebutuhan
konsumsi beras pada setiap rumah tangga
pedesaan sama dan lebih banyak
dibandingkan kelompok pangan lainnya.
Konsumsi Kelompok Pangan Umbi-
umbian
Sama halnya dengan kelompok padi-
padian, umbi-umbian pada umumnya juga
dijadikan bahan pangan pokok penduduk
Indonesia karena kandungan
karbohidratnya yang tinggi. Namun, rumah
tangga pedesaan di lokasi penelitian tidak
menjadikan umbi-umbian sebagai bahan
pokok, sebab rata-rata mereka tidak
mengkonsumsinya secara rutin. Sedangkan
konteks pangan pokok adalah jenis bahan
pangan yang dikonsumsi secara rutin
sebagai sumber energi utama tubuh.
Rata-rata konsumsi energi dari
kelompok umbi-umbian adalah sebesar
0,97 kkal/kapita/hari. Dari angka tersebut,
dapat disimpulkan bahwa kelompok umbi-
umbian dikonsumsi oleh rumah tangga
pedesaan sebagai pangan selingan dan
campuran lauk dan sayur.
Tabel 3. Rata-Rata Konsumsi Energi Kelompok Umbi-Umbian Berdasarkan Strata
Pendapatan
Kelompok Pendapatan (Rp) N Rata-Rata Energi (kkal)
< 200.000
200.000 436.571 > 436.571
23
13
5
1,18
0,97
0,00 Sumber: Data Primer Diolah, 2012
9
Hasil uji beda nyata menunjukkan rata-
rata tingkat energi dari kelompok umbi-
umbian pada masing-masing kelompok
pendapatan tidak terdapat perbedaan nyata
pada taraf 5%. Meskipun kelompok
umbi-umbian cukup dikenal oleh rumah
tangga, terutama ketela pohon, namun
rumah tangga jarang mengkonsumsinya.
Bahkan terdapat rumah tangga yang
menanam ketela pohon di lahan
pertaniannya, namun mereka lebih
memilih menjualnya untuk ditukar dengan
beras dibandingkan mengkonsumsinya
sebagai pengganti beras. Oleh sebab itu,
rata-rata energi dari kelompok umbi-
umbian cenderung sedikit dan tidak
berbeda nyata pada strata kelompok
pendapatan.
Konsumsi Kelompok Pangan Hewani
Pangan hewani merupakan salah satu
pangan sumber protein. Pangan hewani
yang dikonsumsi oleh rumah tangga
pedesaan adalah ikan pindang tongkol,
ikan asin, telur ayam ras dan buras, serta
daging ayam. Pada umumnya, pangan
hewani dijadikan sebagai lauk dalam menu
makanan rumah tangga pedesaan. Selain
itu terdapat beberapa rumah tangga yang
juga mengkonsumsi susu sebagai sumber
proteinnya. Namun tidak semua rumah
tangga mengkonsumsi pangan hewani
dengan alasan harga pangan hewani yang
lebih mahal dibanding kelompok pangan
lainnya, sehingga mereka lebih memilih
pangan sumber protein nabati, seperti tahu
dan tempe dibandingkan pangan sumber
protein dari pangan hewani. Hasil
penelitian menunjukkan sebesar 32% RTP
jarang bahkan tidak mengkonsumsi pangan
hewani dan lebih memilih tahu dan tempe
sebagai sumber protein dengan alasan cita
rasa yang lebih enak dan lebih mudah
didapatkan dengan harga lebih murah
dibandingkan pangan hewani.
Rata-rata konsumsi energi dari
kelompok pangan hewani adalah sebesar
43,12 kkal/kapita/hari. Jumlah ini masih
jauh dari kebutuhan energi normatif dari
pangan hewani yaitu sebesar 240
kkal/kapita/hari (Kementrian Pertanian,
2010).
Tabel 4. Rata-Rata Konsumsi Energi Pangan Hewani Berdasarkan Strata Pendapatan
Kelompok Pendapatan (Rp) N Rata-Rata Energi (kkal)
< 200.000
200.000 436.571 > 436.571
23
13
5
24,62
52,27
104,48 Sumber: Data Primer Diolah, 2012
Hasil uji beda nyata menunjukkan
adanya perbedaan nyata pada taraf 5%
terhadap rata-rata konsumsi pangan hewani
antar strata kelompok pendapatan. Ini
berarti bahwa rumah tangga dengan
kelompok pendapatan yang tinggi dapat
menggunakan sebagian besar
pendapatannya untuk membeli pangan
10
yang lebih berkualitas, karena pada
umumnya mereka telah mampu memenuhi
kebutuhan pangan pokoknya. Sedangkan
pada rumah tangga berpendapatan rendah,
mereka cenderung menggunakan sebagian
pendapatannya untuk memenuhi
kebutuhan pangan pokok lebih dahulu,
sehingga pandapatan yang tersisa hanya
mampu dibelikan bahan pangan sumber
protein yang lebih murah dibandingkan
pangan hewani, yaitu pangan protein
nabati (tahu dan tempe). Sesuai dengan
hukum Bennet yang mengemukakan
bahwa kenaikan pendapatan akan
mengakibatkan individu cenderung
meningkatkan kualitas konsumsi
pangannya dengan harga yang lebih mahal
per unit zat gizinya (Soekirman, 2000
dalam Cahyani, 2005).
Konsumsi Kelompok Pangan Minyak dan
Lemak
Kelompok bahan pangan minyak dan
lemak yang dikonsumsi rumah tangga
pedesaan adalah minyak kelapa sawit
(minyak goreng) yang digunakan untuk
menggoreng ataupun menumis makanan
yang akan mereka konsumsi. Rata-rata
konsumsi energi dari kelompok pangan
minyak dan lemak sebesar 197,17
kkal/kapita/hari. Meskipun jumlah ini
masih di bawah konsumsi normatif minyak
dan lemak menurut Kementrian Pertanian
(2010) yaitu sebesar 200 kkal/kapita/hari,
namun dapat dikatakan konsumsi minyak
dan lemak sudah sesuai dengan konsumsi
normatif yang disarankan.
Tabel 5. Rata-Rata Konsumsi Energi Minyak dan Lemak Berdasarkan Strata
Pendapatan
Kelompok Pendapatan (Rp) N Rata-Rata Energi (kkal)
< 200.000
200.000 436.571 > 436.571
23
13
5
190,09
217,53
176,85 Sumber: Data Primer Diolah, 2012
Hasil uji beda nyata menunjukan
bahwa rata-rata konsumsi energi pangan
minyak dan lemak berdasarkan kelompok
pendapatan tidak terdapat perbedaan nyata
pada taraf 5%. Hal ini menunjukkan
bahwa rata-rata konsumsi minyak dan
lemak tidak dipengaruhi oleh pendapatan
karena setiap rumah tangga memiliki
perlakuan yang sama pada makanannya,
yaitu menggoreng ataupun menumis.
Konsumsi Kelompok Pangan Buah/Biji
Berminyak
Jenis bahan pangan buah/biji
berminyak yang dikonsumsi rumah tangga
pedesaan adalah kelapa berupa santan yang
dicampurkan pada sayur dan lauk. Rata-
rata konsumsi kelapa adalah 23,71
gram/kapita/hari. Jumlah ini lebih besar
11
dari konsumsi nasional bahan pangan
buah/biji berminyak, yaitu 10
gram/kapita/hari (Deptan, 2001 dalam
Hanani, 2005). Namun kontribusi energi
dari kelompok pangan buah/biji berminyak
lebih kecil dari energi normatif, yaitu 60
kilokalori/kapita/hari. Kontribusi energi
aktual dari kelompok pangan buah/biji
berminyak, yaitu sebesar 28,35
kalori/kapita/hari. Hal ini terjadi karena
rumah tangga hanya mengkonsumsi satu
jenis pangan saja, yaitu kelapa. Selain itu.
Rumah tangga pada umumnya
mengkonsumsi kelapa dalam bentuk santan
yang dicampur dengan air, sehingga
kandungan energinya pun lebih sedikit
dibandingkan mengkonsumsi daging
kelapa secara langsung.
Tabel 6. Rata-Rata Tingkat Energi Buah/Biji Berminyak Berdasarkan Strata
Pendapatan
Kelompok Pendapatan (Rp) N Rata-Rata Energi (kkal)
< 200.000
200.000 436.571 > 436.571
23
13
5
19,07
30,51
65,37 Sumber: Data Primer Diolah, 2012
Hasil uji beda nyata menunjukkan
adanya perbedaan nyata antar strata
kelompok pendapatan. Hal ini
menunjukkan bahwa kelapa/santan pada
umumnya banyak dikonsumsi oleh rumah
tangga dengan pendapatan tinggi.
Sedangkan rumah tangga dengan
pendapatan rendah lebih memilih cara
memasak makanan tanpa menggunakan
kelapa/santan. Sama halnya dengan
kelompok pangan hewani, pada
pendapatan rendah, rumah tangga lebih
mengutamakan pengeluaran untuk
membeli pangan pokok dibandingkan
kelompok pangan lainnya.
Konsumsi Kelompok Pangan Kacang-
Kacangan
Kelompok pangan kacang-kacangan
merupakan sumber protein nabati yang
banyak dikonsumsi oleh rumah tangga
pedesaan sebagai pengganti protein dari
pangan hewani. Selain kandungan gizinya
yang cukup lengkap, pangan dari kacang-
kacangan juga cenderung memiliki harga
yang murah dan terjangkau oleh rumah
tangga pedesaan. Oleh sebab itu, rumah
tangga menjadikan pangan dari kacang-
kacangan sebagai menu sehari-hari
mereka. Kelompok bahan pangan kacang-
kacangan yang umumnya dikonsumsi oleh
rumah tangga pedesaan adalah tahu dan
tempe.
Konsumsi energi dari kelompok
kacang-kacangan pada rumah tangga
pedesaan cenderung berlebih. Sehingga
kontribusi energi aktual dari pangan
kacang-kacangan juga cenderung berlebih,
yaitu sebesar 135,48 kkal/kapita/hari
dibandingkan energi normatif pangan
12
kacang-kacangan sebesar 100
kkal/kapita/hari (Kementrian Pertanian,
2010). Hal ini terjadi karena rumah tangga
pedesaan menjadikan tahu dan tempe
sebagai lauk sehari-hari, sehingga jumlah
yang dikonsumsi pun cenderung berlebih.
Tabel 7. Rata-Rata Konsumsi Energi Kacang-Kacangan Berdasarkan Strata
Pendapatan
Kelompok Pendapatan (Rp) N Rata-Rata Energi (kkal)
< 200.000
200.000 436.571 > 436.571
23
13
5
132,12
151,90
108,26 Sumber: Data Primer Diolah, 2012
Hasil uji beda nyata menunjukkan
bahwa rata-rata konsumsi energi kacang-
kacangan tidak terdapat perbedaan nyata
pada taraf 5% pada kelompok
pendapatan. Hal ini berarti membuktikan
bahwa pangan kacang-kacangan (tahu dan
tempe) disukai oleh semua golongan
pendapatan.
Konsumsi Kelompok Pangan Gula
Kelompok bahan pangan gula yang
dikonsumsi oleh rumah tangga pedesaan
adalah gula pasir yang dicampurkan pada
minuman ataupun masakan sehari-hari.
Rata-rata konsumsi energi dari kelompok
pangan gula adalah 43,76 kkal/kapita/hari.
Jumlah ini berada jauh di bawah energi
normatif kelompok pangan gula, yaitu 100
kkal/kapita/hari (Kementrian Pertanian,
2010).
Tabel 8. Rata-Rata Konsumsi Energi Gula Berdasarkan Strata Pendapatan
Kelompok Pendapatan (Rp) N Rata-Rata Energi (kkal)
< 200.000
200.000 436.571 > 436.571
23
13
5
28,95
77,53
24,07 Sumber: Data Primer Diolah, 2012
Hasil uji beda nyata menunjukkan rata-
rata konsumsi energi kelompok pangan
gula tidak terdapat perbedaan nyata dengan
taraf 5% pada strata kelompok
pendapatan. Hal ini terjadi karena gula
merupakan bahan pangan yang rutin
dikonsumsi oleh rumah tangga sehari-hari,
sehingga kebutuhan gula pada setiap
rumah tangga tidak jauh berbeda. Selain
itu, faktor yang lebih mempengaruhi
rumah tangga untuk mengkonsumsi gula
13
adalah selera rumah tangga terhadap rasa manis daripada strata pendapatan.
Konsumsi Kelompok Pangan Sayur dan
Buah
Sayur dan buah merupakan kelompok
bahan pangan penting yang mengandung
berbagai jenis nutrisi yang dibutuhkan
tubuh, seperti vitamin, mineral, serat, dan
lain-lain. Mengingat pentingnya peran
pangan dari kelompok sayur dan buah,
maka dalam penilaian diversifikasi
konsumsi pangan, kelompok tersebut
memiliki bobot tertinggi, yaitu 5 (Ariani,
2005).
Kontribusi energi yang diperoleh dari
konsumsi kelompok pangan sayur dan
buah yaitu hanya sebesar 57,07
kkal/kapita/hari dan masih jauh di bawah
energi normatif pangan sayur dan buah
sebesar 120 kkal/kapita/hari (Kementrian
Pertanian, 2010). Hal ini berarti konsumsi
sayur dan buah perlu ditambah oleh rumah
tangga pedesaan dengan jenis yang lebih
beragam agar kebutuhan nutrisi tubuh
dapat terpenuhi.
Tabel 9. Rata-Rata Konsumsi Energi Sayur dan Buah Berdasarkan Strata
Pendapatan
Kelompok Pendapatan (Rp) N Rata-Rata Energi (kkal)
< 200.000
200.000 436.571 > 436.571
23
13
5
40,68
69,47
100,24 Sumber: Data Primer Diolah, 2012
Hasil uji beda nyata menunjukkan
bahwa terdapat perbedaan nyata pada taraf
5% terhadap rata-rata konsumsi energi
kelompok sayur dan buah berdasarkan
strata pendapatan. Ini berarti rumah tangga
dengan pendapatan yang tinggi memiliki
peluang untuk dapat menggunakan
sebagian pendapatannya untuk membeli
sayur-mayur dan buah-buahan yang
mereka sukai. Sesuai dengan pendapat
Sayogya (1995) dalam Cahyani (2008)
yang menyatakan bahwa pendapatan
seseorang berpengaruh terhadap pemilihan
pangan yang akan dikonsumsi, semakin
tinggi pendapatan seseorang, maka pangan
yang dikonsumsi juga akan semakin
beragam dan berkualitas.
Konsumsi Energi dan Protein
Tingkat konsumsi energi dan protein
merupakan hasil dari semua konsumsi
pangan dan ini merupakan indikasi dari
perilaku pola konsumsi pangan yang
dipengaruhi oleh banyak faktor (Cahyani,
2005). Tingkat konsumsi energi dan
protein didapatkan dari akumulasi
konsumsi energi 8 kelompok bahan pangan
yang telah dijelaskan sebelumnya. Tingkat
konsumsi energi dan protein ini tercermin
dalam Angka Kecukupan Energi (AKE)
dan Angka Kecukupan Protein (AKP)
14
berdasarkan anjuran dalam WKNPG tahun
2004 adalah 2000 kkal/kapita/hari dan 52
gram/kapita/hari.
Hasil penelitian menunjukkan rata-rata
konsumsi energi pada rumah tangga
pedesaan adalah 1411,79 kkal/kapita/hari
atau sebesar 70,59% AKE. Sedangkan
konsumsi protein sebesar 35,52
gram/kapita/hari atau 69,17% AKP.
Tabel 10. Rataan Konsumsi Energi dan Protein Rumah Tangga Pedesaan
No. Kelompok Pangan
Konsumsi Energi
(Kkal/kapita/hari)
Konsumsi Protein
(Gram/kapita/hari)
AKE
Aktual
AKE
Normatif
AKP
Aktual
AKP
Normatif
1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.
8.
9.
Padi-padian
Umbi-umbian
Pangan hewani
Minyak dan lemak
Buah/biji berminyak
Kacang-kacangan
Gula
Sayur dan buah
Lainnya
905,87
0,97
43,12
197,17
28,35
135,48
43,76
57,07
0,00
1000
120
240
200
60
100
100
120
60
17,06
0,02
7,37
0,00
0,47
8,33
0,00
2,27
0,00
25,36
4,24
1,78
0,00
6,04
11,71
0,02
2,85
0,00
Total 1411,79 2000 49.52 52,00 Sumber: Data Primer diolah, 2012
Tabel 10 di atas menunjukkan sebagian
besar rata-rata konsumsi energi dan protein
aktual pada masing-masing kelompok
pangan masih berada di bawah konsumsi
energi dan protein normatif, sehingga total
rata-rata konsumsi energi dan protein
masih jauh dari kebutuhan tubuh. Hanya
konsumsi kelompok pangan kacang-
kacangan yang menunjukkan jumlah
konsumsi yang berlebih.
Tabel 11. Rata-Rata Konsumsi Energi dan Protein Berdasarkan Kelompok Pendapatan
Kelompok
Pendapatan (Rp)
N Konsumsi Energi (kkal) Konsumsi Protein (gram)
Rata-Rata Std. Error Rata-Rata Std. Error
< 200.000
200.000 436.571 > 436.571
23
13
5
1347,18
1508,80
1456,77
281,90
352,11
185,05
31,87
38,12
45,56
7,69
8,76
7,47 Sumber: Data Primer Diolah, 2012
Berdasarkan hasil uji beda nyata, tidak
terdapat perbedaan nyata rata-rata
konsumsi energi pada taraf 5% terhadap
strata kelompok pendapatan. Sedangkan
konsumsi protein menunjukkan adanya
perbedaan nyata pada taraf 5%. Ini
menunjukkan bahwa rumah tangga dengan
pendapatan tinggi cenderung
mengkonsumsi pangan dengan kandungan
protein yang lebih tinggi dibandingkan
rumah tangga dengan pendapatan rendah.
Hal ini terjadi karena pada rumah tangga
15
dengan pendapatan tinggi umumnya telah
mampu memenuhi kebutuhan pangan
pokoknya, sehingga mereka memiliki
peluang yang lebih besar untuk memilih
pangan dengan kandungan protein yang
lebih tinggi, yaitu pangan hewani.
Sedangkan pada rumah tangga
berpendapatan rendah, mereka lebih
memilih sumber protein nabati dari
kelompok pangan kacang-kacangan yang
harganya lebih murah meskipun
kandungan proteinnya tidak sebanyak dan
selengkap protein pangan hewani, karena
keterbatasan pendapatan yang mereka
peroleh. Sejalan dengan pendapat Sayogya
(1995) dalam Cahyani (2008) yang
menyatakan bahwa pendapatan seseorang
berpengaruh terhadap pemilihan pangan
yang akan dikonsumsi, semakin tinggi
pendapatan seseorang, maka pangan yang
dikonsumsi juga akan semakin beragam
dan berkualitas. Ariani (2005) juga
menyatakan bahwa seseorang akan
terpenuhi konsumsi energi dan proteinnya
apabila pendapatan per kapita per bulannya
di atas Rp 200000.
Diversifikasi Konsumsi Pangan Rumah
Tangga Pedesaan
Indikator keberhasilan diversifikasi
konsumsi pangan dilihat dari dua cara,
yaitu melalui skor pola pangan harapan
(PPH) dan konsumsi beras rumah tangga
melalui kuesioner tentang tingkat
ketergantungan rumah tangga terhadap
konsumsi pangan pokok beras.
Skor Pola Pangan Harapan (PPH)
Menurut Tejasari (2003) indikator
diversifikasi konsumsi pangan tingkat
kelompok atau daerah yang paling cocok
adalah indikator skor mutu konsumsi
pangan dengan pendekatan pola pangan
harapan (PPH) karena mencakup aspek
kuantitas dan kualitas konsumsi pangan.
Perhitungan PPH didapatkan dari hasil
perbandingan antara skor AKE dengan
PPH normatif, sehingga skor PPH ini
tergantung dari skor AKE yang diperoleh
dari hasil perkalian proporsi konsumsi
energi (TKE) yang merupakan kuantitas
konsumsi pangan dengan skor bobot
pangan yang sudah ditetapkan. Hasil
penelitian menunjukkan rata-rata skor PPH
baru mencapai 52,23. Angka ini masih
jauh di bawah skor PPH ideal, yaitu 100.
Jika dilihat dari masing-masing kelompok
bahan pangan pun, skor PPH yang
didapatkan di daerah penelitian masih di
bawah skor ideal.
16
Tabel 12. Rata-Rata Skor PPH Rumah Tangga Pedesaan dan Skor PPH Ideal
Kelompok Bahan Pangan Skor PPH Aktual Skor PPH Ideal
Padi-Padian
Umbi-Umbian
Pangan Hewani
Minyak dan Lemak
Buah/Biji Berminyak
Kacang-Kacangan
Gula
Sayur dan Buah
Lainnya
21,60
0,02
4,31
3,65
0,55
8,14
0,79
13,16
0,00
25,00
2,50
24,00
5,00
1,00
10,00
2,00
30,00
0,00
Total 52,23 100,00 Sumber: Data Primer Diolah, 2012
Tabel 12 menunjukkan bahwa rata-rata
skor PPH masing-masing kelompok bahan
pangan masih di bawah skor PPH ideal,
sehingga total skor PPH pun masih jauh
dari skor PPH ideal. Skor PPH yang masih
jauh dari skor ideal ini menunjukkan
bahwa konsumsi pangan rumah tangga
pedesaan cenderung tidak beragam dan
kualitas pangan yang dikonsumsi pun
masih rendah.
Skor terbesar adalah pada kelompok
padi-padian yaitu 21,60. Meskipun skor ini
di bawah skor ideal, namun skor terbesar
di sini berarti bahwa konsumsi tertinggi
rumah tangga adalah bahan pangan dari
padi-padian, terutama beras. Sebagai
sumber protein, skor PPH pangan hewani
masih jauh di bawah skor PPH ideal.
Begitu pun dengan skor PPH kacang-
kacangan sebagai sumber protein nabati,
masih di bawah skor PPH ideal. Meskipun
alternatif protein nabati digunakan sebagai
pengganti sumber pangan protein hewani,
namun konsumsi kacang-kacangan masih
di bawah skor PPH ideal karena rumah
tangga cenderung mengkonsumsi pangan
dari kelompok kacang-kacangan tidak
bervariasi, hanya mengkonsumsi tahu dan
tempe. Sedangkan kelompok sayur dan
buah, terutama buah hanya dikonsumsi
oleh rumah tangga yang memiliki lahan
pekarangan yang ditanami buah-buahan,
sebab rumah tangga cenderung lebih
memilih menggunakan pendapatannya
untuk kebutuhan pangan pokok dan lauk,
dibandingkan buah. Sehingga dapat
disimpulkan bahwa penganekaragaman
konsumsi pangan rumah tangga pedesaan
masih belum tercapai. Hal ini terjadi
karena rumah tangga pedesaan cenderung
mengkonsumsi pangan dengan menu yang
tetap dan tidak bervariasi. Menu pangan
rumah tangga pedesaan yang menjadi pola
kebiasaan adalah nasi sebagai bahan
pangan pokok dengan tahu dan tempe
sebagai lauk utama.
17
Tabel 13. Skor PPH Aktual Berdasarkan Kelompok Pendapatan
Kelompok
Pendapatan (Rp) N
Skor PPH
Rata-Rata Simpangan Baku Minimum Maksimum
< 200.000
200.000 436.571 > 436.571
23
13
5
46,93
56,05
66,70
10,63
10,61
13,48
24,15
33,13
45,62
72,49
70,29
78,74 Sumber: Data Primer Diolah, 2012
Hasil uji beda nyata menunjukkan
terdapat perbedaan sangat nyata pada taraf
1% untuk rata-rata skor PPH aktual
berdasarkan kelompok pendapatan. Ini
berarti, semakin tinggi pendapatan, maka
skor PPH juga semakin tinggi, sehingga
dapat disimpulkan, semakin tinggi
pendapatan, maka konsumsi pangan rumah
tangga semakin bervariasi.
Oleh sebab itu, peningkatan
pendapatan perlu dilakukan untuk
memperbaiki kualitas konsumsi pangan
rumah tangga pedesaan melalui program
diversifikasi konsumsi pangan. Pemerintah
perlu membuat program peningkatan
pendapatan rumah tangga terlebih dahulu
untuk mensukseskan program
penganekaragaman konsumsi pangan yang
saat ini gencar dilakukan oleh pemerintah.
Rachman dan Ariani (2008) menyatakan
bahwa faktor kunci dari konsumsi pangan
yaitu bergantung pada daya beli
masyarakat yang juga dipengaruhi oleh
pendapatan mereka. Semakin tinggi
pendapatan seseorang, maka semakin
tinggi pula daya beli mereka yang
berpengaruh pada pemilihan pangan yang
bergizi, bervariasi, dan dalam jumlah yang
sesuai dengan kebutuhan nutrisi tubuh,
sehingga skor PPH ideal sebesar 100 dapat
terpenuhi, yang menandakan bahwa
penganekaragaman konsumsi pangan
tercapai. Menurut pendapat Cahyani
(2005) percepatan penganekaragaman
konsumsi pangan hanya dapat dilakukan
dengan baik bila masyarakat mempunyai
pendapatan yang cukup. Dapat diartikan,
keberhasilan ddalam percepatan
penganekaragaman konsumsi pangan akan
sangat ditentukan oleh tingkat keberhasilan
dalam hal perbaikan pendapatan keluarga.
Konsumsi Pangan Pokok Beras
Pada penelitian, konsumsi pangan
pokok beras dilihat dari hasil analisis
kuesioner tentang tingkat ketergantungan
rumah tangga terhadap konsumsi pangan
pokok beras yang bertujuan untuk
mengetahui tingkat ketergantungan mereka
terhadap pangan pokok beras. Hal ini
didasarkan pada salah satu indikator
keberhasilan deversifikasi konsumsi
pangan menurut Kementrian Pertanian
(2010) yaitu menurunnya konsumsi beras
sebesar 1,5% per tahun.
Berdasarkan hasil penelitian
tentang respon rumah tangga terhadap
konsumsi pangan pokok beras
18
menunjukkan skor rata-rata 16, yang
berarti rumah tangga pedesaan memiliki
respon ketergantungan sedang terhadap
konsumsi beras. Dapat disimpulkan bahwa
sebagian besar rumah tangga pedesaan
tidak menolak untuk mencampur bahan
pangan pokok beras dengan bahan pangan
pokok lain, seperti jagung, hanya saja
dalam jumlah yang relatif sedikit. Namun
untuk mengubah pola pangan pokok beras
dengan menggantinya dengan bahan
pangan pokok lainnya, mereka
menolaknya, karena mereka menganggap
pangan pokok beras tidak dapat digantikan
dengan pangan pokok lainnya. Hal ini
terjadi karena mengkonsumsi nasi sebagai
makanan pokok menjadi kebiasaan yang
telah turun-temurun dilakukan oleh rumah
tangga pedesaan. Sehingga, untuk
mengubah kebiasaan tersebut sangat sulit
dilakukan.
Alasan lain dari tingginya
ketergantungan terhadap pangan pokok
beras adalah kemudahan dalam
memperoleh beras, walaupun mereka harus
membelinya. Karena pola pangan pokok
nasi yang menjadi kebiasaan, maka rata-
rata rumah tangga akan berusaha
memenuhi kebutuhan pangan pokoknya
meskipun mereka harus berhutang. Selain
itu, adanya program raskin yang
dicanangkan oleh pemerintah memberikan
keringanan bagi rumah tangga, terutama
rumah tangga miskin untuk memenuhi
kebutuhan pangan pokoknya. Namun di
lain pihak, program raskin juga akan
membuat rumah tangga semakin
bergantung pada beras untuk pangan
pokoknya karena mereka mendapatkan
beras tersebut secara gratis dari
pemerintah, sehingga semakin enggan
mengganti pangan pokok beras dengan
pangan pokok lain.
Faktor-Faktor yang Mempengaruhi
Diversifikasi Konsumsi Pangan Rumah
Tangga Pedesaan
Pada penelitian di sini, skor PPH
digunakan sebagai variabel dependent (Y),
sebab skor PPH merupakan indikator
dalam penilaian penganekaragaman
konsumsi pangan. Sebagai faktor
independent (X) digunakan faktor internal
dan eksternal pada rumah tangga pedesaan,
antara lain pendidikan ibu rumah tangga
(X1), jumlah anggota keluarga (X2),
pendapatan per kapita (X3), dummy
penyuluhan (D4), dummy pekarangan (D5),
dan dummy raskin (D6).
19
Tabel 14. Hasil Estimasi Regresi Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Pola Konsumsi
Pangan Rumah Tangga Pedesaan
Variabel Koefisien Regresi thitung Sig.
Konstanta
Pendidikan Ibu Rumah Tangga (X1)
Jumlah Anggota Rumah Tangga (X2)
Pendapatan Perkapita (X3)
Dummy Penyuluhan (D4)
Dummy Pekarangan (D5)
Dummy Raskin (D6)
31,388
0,216
-0,920
1,94E005 5,308
9,083
-6,527
3,743**
0,287
-0,677
2,540*
1,353
2,582*
-1,678
0,001
0,776
0,503
0,016
0,185
0,014
0,103
Variabel Dependen : Diversifikasi Konsumsi Pangan (Skor PPH Aktual)
R2 : 0.554
Fhitung : 7,028
** : Nyata pada taraf kepercayaan 99% ( = 0.01), ttabel = 2.441 * : Nyata pada taraf kepercayaan 95% ( = 0.05), ttabel = 1.691
Sumber: Data Primer Diolah, 2012
Hasil regresi menunjukkan bahwa nilai
koefisien determinasi atau R2 adalah
sebesar 0,554. Hal ini berarti, pendugaan
variabel independen (X) yang terdapat
dalam model regresi mampu menjelaskan
variabel dependen (Y) sebesar 55,4%,
sedangkan sisanya dijelaskan oleh variabel
independen lainnya yang tidak terdapat
dalam model.
Dari hasil regresi diperoleh nilai Fhitung
(7,028) lebih besar dari pada Ftabel (2,38)
pada taraf 5%, maka H0 ditolak dan
menerima H1. Artinya, semua variabel
independen (X) secara bersama-sama
berpengaruh signifikan terhadap variabel
dependen (Y) sehingga model tersebut
dapat diterima sebagai penduga yang baik
dan layak. Pada hasil estimasi Tabel 35
terdapat dua parameter estimasi yang
berpengaruh secara nyata atau signifikan
pada taraf 5% yaitu variabel pendapatan
per kapita (X3) dan dummy pekarangan
(D5). Sementara itu untuk variabel lainnya
yaitu pendidikan ibu rumah tangga (X1),
jumlah anggota rumah tangga (X2),
dummy penyuluhan (D4), dan dummy
raskin (D6) tidak berpengaruh secara
signifikan terhadap variabel dependen
yaitu skor PPH. Hal tersebut dikarenakan
nilai thitung lebih kecil daripada nilai ttabel
pada taraf 5%.
VI. KESIMPULAN DAN SARAN
Kesimpulan
1. Pola konsumsi pangan rumah tangga
pedesaan masih belum beragam dan
cenderung bergantung pada satu jenis
bahan pangan saja, sehingga konsumsi
energi hanya sebesar 1411,79
kkal/kapita/hari berada di bawah AKE
yaitu 2000 kkal/kapita/hari dan
konsumsi protein sebesar 35,52
gram/kapita/hari berada di bawah AKP
yaitu 52 gram/kapita/hari. Sedangkan
20
konsumsi kelompok bahan pangan
yang menunjukkan perbedaan nyata
pada kelompok pendapatan antara lain
kelompok pangan hewani, kelompok
buah/biji berminyak, dan kelompok
sayur dan buah.
2. Diversifikasi konsumsi pangan rumah
tangga pedesaan masih belum tercapai.
Hal ini dapat dilihat dari rata-rata skor
PPH aktual hanya sebesar 52,23 berada
jauh di bawah skor PPH ideal, yaitu
100. Hal ini terjadi karena rumah
tangga pedesaan cenderung
mengkonsumsi pangan dengan menu
yang tetap dan tidak bervariasi. Selain
itu, tingkat ketergantungan rumah
tangga pedesaan terhadap pangan
pokok beras menunjukkan tingkat
ketergantungan sedang. Ini berarti
rumah tangga tidak menolak
mencampur pangan pokok utamanya,
yaitu beras dengan pangan pokok lain,
seperti jagung, ketela pohon, ubi, dan
lain-lain. Namun, untuk menggantikan
beras dengan pangan pokok lainnya
mereka cenderung menolak dan tidak
menerima dengan alasan pangan pokok
beras tidak dapat digantikan dengan
pangan pokok lainnya.
3. Berdasarkan hasil analisis regresi dapat
diketahui bahwa faktor-faktor yang
berpengaruh secara signifikan terhadap
skor PPH adalah variabel pendapatan
dan dummy pekarangan yang ditanami
sayur dan buah. Variabel lainnya, yaitu
pendidikan ibu rumah tangga, jumlah
anggota keluarga, dummy penyuluhan,
dan dummy raskin tidak memiliki
pengaruh yang signifikan terhadap skor
PPH di lokasi penelitian.
Saran
1. Pola konsumsi pangan rumah tangga
pedesaan pada umumnya berdasarkan
kebiasaan yang turun temurun dan
termsuk sulit untuk diubah, sehingga
langkah yang dapat dilakukan oleh
pemerintah adalah meningkatkan
kesadaran mereka, terutama ibu rumah
tangga mengenai pentingnya
pemenuhan gizi melalui penyuluhan-
penyuluhan dan pemberdayaan ibu
rumah tangga.
2. Berkaitan dengan saran nomor 1,
pengenalan pangan pokok non-beras
dapat dilakukan sejak usia dini,
sehingga kebiasaan mengkonsumsi
pangan pokok nasi dapat dikurangi dan
ketergantungan rumah tangga terhadap
pangan pokok beras dapat ditekan.
3. Mengingat faktor yang paling
menentukan diversifikasi konsumsi
pangan adalah faktor pendapatan, maka
pemerintah dapat memulai melakukan
upaya perbaikan ekonomi untuk
meningkatkan pendapatan melalui
penciptaan lapangan pekerjaan di luar
sektor pertanian.
21
4. Faktor lain yang mempengaruhi
diversifikasi konsumsi pangan adalah
pemanfaatan pekarangan yang
ditanami aneka sayur dan buah, maka
pemerintah perlu mensosialisasikan
pemanfaatan pekarangan melalui area
percontohan dan pemanfaatan lahan
kosong di daerah pedesaan yang dapat
ditanami berbagai sayur dan buah yang
dapat dikelola oleh pengurus desa,
sehingga rumah tangga tergugah untuk
memanfaatkan lahan pekarangannya
untuk ditanami aneka sayur dan buah.
5. Program bantuan raskin, meskipun
secara langsung memiliki sisi kontra
dengan diversifikasi konsumsi pangan,
namun program ini masih dirasa sangat
dibutuhkan oleh masyarakat, terutama
rumah tangga miskin dalam
mewujudkan ketahanan pangan. Oleh
sebab itu, agar tujuan dari program
raskin dapat tercapai dengan baik,
maka pemerintah perlu memberikan
perhatian lebih dalam penyaluran
bantuan raskin agar tepat sasaran.
DAFTAR PUSTAKA
1. Badan Ketahanan Pangan, 2008. Roadmap Diversifikasi Pangan
Propinsi Jawa Timur. Badan
Ketahanan Pangan Jawa Timur.
2. Badan Ketahanan Pangan. 2010. Rencana Strategis Badan Ketahanan
Pangan 2010-2014. Jakarta:
Kementrian Pertanian.
3. Bina Kesehatan Masyarakat. 2002. Pedoman Umum Gizi Seimbang. Jakarta: Departemen Kesehatan.
4. Cahyani, Gayatri Indah. 2008. Analisis Faktor Sosial ekonomi
Keluarga terhadap Keanekaragaman
Konsumsi Pangan Berbasis
Agribisnis di Kebupaten Banyumas. Tesis. Semarang: Program Pasca
Sarjana Universitas Diponegoro.
5. Hanani, Nuhfil. 2005 Diversifikasi Konsumsi Pangan. http://
nuhfil.lecture.ub.ac.id/files/.../8diversi
fikasi-konsumsi-pangan-8.pdf diakses
tanggal 2 Februari 2012.
6. Kementrian Pertanian. 2010. Rencana Strategis Kementrian Pertanian
2010-2014. Jakarta: Kementrian
Pertanian.
7. Rachman, Handewi dan Ariani, Mewa. 2008. Penganekaragaman
Konsumsi Pangan di Indonesia:
Permasalahan dan Implikasi untuk
Kebijakan Program. Analisis
Kebijakan Pertanian Volume 6 No. 2,
Juni 2008: 140-154.
8. Suhardjo, dkk. 2009. Pangan, Gizi, dan Pertanian. Jakarta: UI-Press.
9. Suyastiri, Ni Made. 2008. Diversifikasi Konsumsi Pangan
Pokok Berbasis Potensi Lokal dalam
Mewujudkan Ketahanan Pangan
Rumah Tangga Pedesaan di
Kecamatan Semin Kabupaten
Gunung Kidul. Jurnal Ekonomi
Pembangunan Vol. 13 No.1, April
2008 Hal. 51-60.
10. Tejasari. 2003. Diversifikasi Konsumsi Pangan Berdasarkan
22
Pendekatan Pola Pangan Harapan
(PPH) di Daerah Rawan Gizi. Media
Gizi dan Keluarga, Juli 2003, 27 (1):
46-53.