Upload
lionk-iyonk
View
120
Download
9
Embed Size (px)
DESCRIPTION
207383406 Referat Rhinosinusitis Polip Deviasi Septum
Citation preview
REFERAT RHINOSINUSITIS AKUT & KRONIK, POLIP HIDUNG &
DEVIASI SEPTUM
VIRZA CH
LATUCONSINA
07120090054
Universitas Pelita Harapan
FK UPH - SHLV
1
BAB I
PENDAHULUAN
Sinusitis adalah peradangan pada satu atau lebih mukosa sinus paranasal
dengan gejala berupa buntu pada hidung, nyeri fasial dan pilek kental
(purulen).1secara teoritik penyakit ini dapat ditemukan pada bayi, karena sinus
maksila dan etmoid sudah terbentuk sejak lahir. Penyakit ini cukup sering
ditemukan yaitu sekitae 20% dari penderita yang datang ke praktek dokter. 1di
Amerika tahun 1995, sinusitis merupakan salah satu dari 10 penyakit terbanyak
yang datang ke praktek dengan estimasi 25 juta kunjungan ke dokter.2 Sampai
sekarang sinusitis masih merupakan masalah kesehatan utama, baik di negara
berkembang maupun negara maju.1
Pada tahum 1996, American Academy of Otolaryngology – Head and Neck
Surgery mengusulkan untuk mengganti terminology sinusitis dengan
rinosinusitis.1 istilah rinosinusitis dianggap lebih tepat karena menggambarkan
proses penyakit dengan lebih akurat. Beberapa alasan lain yang mendasari
perubahan “sinusitis: menjadi “rinosinusitis” adalah 1) Membaran mukosa
hidung dan sinus secara embriologis berhubungan satu sama lain (contiguous),
2) Sebagian besar penderita sinusitis juga menderita rhinitis, jarang sinusitis
tanpa disertai rhinitis, 3) gejala pilek, buntu hidung dan berkurangnya
REFERAT RHINOSINUSITIS AKUT & KRONIK, POLIP HIDUNG &
DEVIASI SEPTUM
VIRZA CH
LATUCONSINA
07120090054
Universitas Pelita Harapan
FK UPH - SHLV
2
penciuman ditemukan baik pada sinusitis maupun rhinitis, dan 4) foto CT SCAN
dari penderita common cold menunjukkan inflamasi mukosa yang melapisi
hidung dan sinus paranasal secara simultan. Beberapa fakta diatas
menunjukkan bahwa sinusitis merupakan kelanjutan dari rhinitis.3 Inflamasi di
mukosa hidung akan diikuti inflamasi mukosa sinus paransal dengan atau
tanpa disertai cairan sinus. Keadaan ini menunjukkan rinosinusitis sebenarnya
merupakan kondisi atua manifestasi dari suatu respon inflamasi mukosa sinus
paranasal..
BAB II
PEMBAHASAN
ANATOMI HIDUNG
Hidung Luar
REFERAT RHINOSINUSITIS AKUT & KRONIK, POLIP HIDUNG &
DEVIASI SEPTUM
VIRZA CH
LATUCONSINA
07120090054
Universitas Pelita Harapan
FK UPH - SHLV
3
Hidung luar berbentuk pyramid dengan bagian-bagiannya dari atas ke
bawah :
1. Pangkal hidung (bridge)
2. Batang hidung (dorsum nasi)
3. Puncak hidung (tip)
4. Ala nasi
5. Kolumela
6. Lubang hidung (nares anterior)
Hidung luar dibentuk oleh kerangka tulang dan tulang rawan yang
dilapisi oleh kulit, jaringan ikat dan beberapa otot kecil yaitu M.
Nasalis pars transversa & M.Nasalis pars allaris yang berfungsi untuk
melebarkan atau menyempitkan lubang hidung. Batas atas nasi
REFERAT RHINOSINUSITIS AKUT & KRONIK, POLIP HIDUNG &
DEVIASI SEPTUM
VIRZA CH
LATUCONSINA
07120090054
Universitas Pelita Harapan
FK UPH - SHLV
4
eksternus melekat pada os frontal sebagai radiks (akar), antara radiks
sampai apeks (puncak) disebut dorsum nasi. Lubang yang terdapat
pada bagian inferior disebut nares, yang dibatasi oleh :
Superior : os frontal, os nasal, os maksila
Inferior : kartilago septi nasi, kartilago nasi lateralis, kartilago
alaris mayor & kartilago alaris minor.
Dengan adanya kartilago tersebut maka nasi eksternus bagian
inferior menjadi fleksibel.
Kavum Nasi
Dengan adanya septum nasi maka kavum nasi dibagi menjadi dua
ruangan yang membentang dari nares sampai koana (aperture posterior).
Kavum nasi ini berhubungan dengan sinus frontal, sinus sfenoid, fossa
kranial anterior dan fossa kranial media. Batas-batas kavum nasi,
diantaranya :
a. Posterior : berhubungan dengan nasofaring
b. Atap : os nasal, os frontal, lamina kribiformis etmoidale, krpus
sfenoidale dan sebagian os vomer
c. Lantai : merupakan bagian yang lunak, kedudukannya hamper
horizontal, bentuknya konkaf dan bagian dasar lebih lebar
REFERAT RHINOSINUSITIS AKUT & KRONIK, POLIP HIDUNG &
DEVIASI SEPTUM
VIRZA CH
LATUCONSINA
07120090054
Universitas Pelita Harapan
FK UPH - SHLV
5
disbanding atap. Bagian ini dipisahkan dengan kavum oris oleh
palatum durum.
d. Medial : septum nasi yang membagi kavum nasi, septum nasi
dilapisi oleh kulit, jaringan subkutam dan kartilago alaris mayor.
Bagian dari septum yang terdiri dari kartilago ini disebut sebagai
pars membranosa (kolumna/kolumela).
e. Lateral : dibentuk oleh bagian dari os. Medial, os. Maksila, os.
Lakrimal, os. Etmoid, konka nasalis inferior, palatum dan os.
Sfenoid.
REFERAT RHINOSINUSITIS AKUT & KRONIK, POLIP HIDUNG &
DEVIASI SEPTUM
VIRZA CH
LATUCONSINA
07120090054
Universitas Pelita Harapan
FK UPH - SHLV
6
Mukosa Hidung
REFERAT RHINOSINUSITIS AKUT & KRONIK, POLIP HIDUNG &
DEVIASI SEPTUM
VIRZA CH
LATUCONSINA
07120090054
Universitas Pelita Harapan
FK UPH - SHLV
7
Rongga hidung dilapisi oleh mukosa yang secara histologic dan
fungsional dibagi atas mukosa pernafasan dan mukosa penghidu. Mukosa
pernafasan terdapat pada sebagian besar rongga dan permukaannya
dilapisi oleh epitel torak berlapis semu yang mempunyai silia dan
diantaranya terdapat sel – sel goblet. Pada bagian yang lebih terkena
aliran udara mukosanya lebih tebal dan kadang-kadang terjadi metaplasia
menjadi sel epitel skuamosa. Dalam keadaan normal mukosa berwarna
merah dan selalu basah karena diliputi oleh palut lender (mucous blanket)
pada permukaannya. Palut lender ini dihasilkan oleh kelenjar mukosa dan
sel goblet.
REFERAT RHINOSINUSITIS AKUT & KRONIK, POLIP HIDUNG &
DEVIASI SEPTUM
VIRZA CH
LATUCONSINA
07120090054
Universitas Pelita Harapan
FK UPH - SHLV
8
Silia yang terdapat pada permukaan epitel mempunyai fungsi
yang penting. Dengan gerakan silia yang teatur, palut lender di dalam
kavum nasi akan didorong ke arah nasofaring. Dengan demikian
mukosa mempunyai daya untuk membersihkan dirinya sendiri dan
juga untuk mengeluarkan benda asing yang masuk ke dalam rongga
hidung. Gangguan pada fungsi silia akan menyebabkan banyak sekret
terkumpul dan menimbulkan keluhan hidung tersumbat. Gangguan
gerakan silia dapat disebabkan oleh pengeringan udara yang
berlebihan, radang, sekret kental dan obat – obatan.
Mukosa penghidu terdapat pada atap rongga hidung, konka
superior dan sepertiga bagian atas septum. Mukosa dilapisi oleh epitel
torak berlapis semu dan tidak bersilia (pseudostratified columnar non
ciliated epithelium). Epitelnya dibentuk oleh tiga macam sel, yaitu sel
penunjang, sel basal dan sel reseptor penghidu. Daerah mukosa
penghidu berwarna coklat kekuningan.
Kompleks Ostiomeatal (KOM)
Kompleks Ostiomeatal (KOM) merupakan celah pada dinding lateral
hidung yang dibatasi oleh konka media dan lamina papirasea. Struktur
anatomi penting yang yang membentuk KOM adalah prosesus unsinatus,
infundibulum etmoid, hiatus semilunaris, bula etmoid, agger nasi dan
REFERAT RHINOSINUSITIS AKUT & KRONIK, POLIP HIDUNG &
DEVIASI SEPTUM
VIRZA CH
LATUCONSINA
07120090054
Universitas Pelita Harapan
FK UPH - SHLV
9
resesus frontal. KOM merupakan unit fungsional yang merupakan tempat
ventilasi dan drainase dari sinus-sinus yang letaknya di anterior yaitu
sinus maksila, etmoid anterior dan frontal.
Jika terjadi obstruksi pada celah yang sempit ini, maka akan terjadi
perubahan patologis yang signifikan pada sinus-sinus terkait.
Pendarahan Hidung
Bagian atas rongga hidung mendapat pendarahan dari a.etmoid
anterior dan posterior yang merupakan cabang dari a. oftalmika dari
a.karotis interna.
Bagian bawah rongga hidung mendapat pendarahan dari a. maksilaris
interna, diantaranya adalah ujung a.palatina mayor yang keluar dari
REFERAT RHINOSINUSITIS AKUT & KRONIK, POLIP HIDUNG &
DEVIASI SEPTUM
VIRZA CH
LATUCONSINA
07120090054
Universitas Pelita Harapan
FK UPH - SHLV
10
foramen sfenopalatina dan memasuki rongga hidung di belakang
ujung posterior konka media.
Bagian depan hidung mendapat pendarahan dari cabang-cabang
a.fasialis.
Pada bagian depan septum terdapat anastomosis dari cabang-cabang
a. sfenopalatina, a. etmoid anterior, a. labialis superior dan a. palatine
mayor, yang disebut pleksus Kiesselbach (Little’s areaI).
Vena-vena hidung mempunyai nama yang sama dan berjalan
berdampingan dengan arterinya.
Persarafan Hidung
Bagian depan dan atas rongga hidung mendapat persarafan
sensoris dari n. etmoidalis anterior, yang merupakan cabang dari n.
nasosiliaris, yang berasal dari n.oftalmikus (N. V-1). Rongga hidung
lainnya, sebagian besar mendapat persarafan sensoris dari n.maksila
melalui ganglion sfenopalatina.
Ganglion sfenopalatina, selain memberikan persarafan sensoris,
juga memberikan persarafan vasomotor atau otonom untuk mukosa
hidung.
Fungsi penghidu berasal dar n.olfaktorius. saraf ini turun melalui
lamina kribosa dari permukaan bawah bulbus olfaktorius dan kemudian
REFERAT RHINOSINUSITIS AKUT & KRONIK, POLIP HIDUNG &
DEVIASI SEPTUM
VIRZA CH
LATUCONSINA
07120090054
Universitas Pelita Harapan
FK UPH - SHLV
11
berakhir pada sel-sel reseptor penghidu pada mukosa olfaktorius
didaerah sepertiga atas hidung.
Sinus
Sinus paranasal serangkaian rongga yang mengelilingi rongga
hidung. Ada 4 sinus paranasal yaitu sinus etmoid, maksila, frontal dan
sphenoid. Sinus paranasal dilapisi mukoperiosteum tipis yaitu epitel
berlapis atau berlapis semu bersilia dengan sejumlah sel goblet.
Dibawahnya terdapat tunika propria yang merupakan jaringan fibroelastik
dan terdapat kelenjar serosanguinus. Kelenjar ini dan sel goblet secara
konstan memproduksi mucus.
Pada sekresi mucus ini terdapat enzim lisozim yang mampu
membunuh kuman. Palut lendir (mucous blanket) yang berada di
permukaan epitel bersilia berfungsi melembabkan, menghangatkan udara
yang dihirup dan menangkap (membersihkan) polutan atau berbagai
material yang merugikan. Mucus akan didorong dengan gerakan silia ke
ostia. Oleh karena gerakan silia, palut lendir (mucous blanket) yang ada
disetiap sinus akan dialirkan seluruhnya keluar ostium dalam waktu 20-
30 menit. Mucus yang berasal dari sinus frontal, maksila dan etmoidalis
anterior selanjutnya akan menuju ostiomeatal complex di meatus medius.
Sedangkan mucus dari sinus etmoidalis posterior dan sphenoid akan
REFERAT RHINOSINUSITIS AKUT & KRONIK, POLIP HIDUNG &
DEVIASI SEPTUM
VIRZA CH
LATUCONSINA
07120090054
Universitas Pelita Harapan
FK UPH - SHLV
12
mengalir menuju meatus superior melalui resesus fenoetmoidalis.
Transport mucus selanjutnya menuju nasofaring dengan mengelilingi
tuba eustachius.1,7,8
a. Sinus Etmoid
Dari semua sinus paranasal, sinus etmoid yang paling bervariasi
dan akhir-akhir ini dianggap paling penting, karena dapat merupakan
focus infeksi bagi sinus-sinus lainnya. Pada orang dewasa bentuk
sinus etmoid seperti pyramid dengan dasarnya dibagian posterior.
Sinus etmoid berongga-rongga, terdiri dari sel-sel yang menyerupai
sarang tawon, yang terdapat didalam massa bagian lateral os etmoid,
yang terletak diantara konka media dan dinding media orbita.9
Berdasarkan letaknya, sinus etmoid dibagi menjadi sinus etmoid
anterior yang bermuara di meatus medius dan sinus etrmoid posterior
yang bermuara di meatus superior. Di bagian terdepan sinus etmoid
anterior ada bagian yang sempit, disebut resesus frontal, yang
berhubungan dengan sinus frontal.9
Atap sinus etmoid yang disebut fovea etmoidalis berbatasan
dengan lamina kribosa. Dinding lateral sinus adalah lamina papirasea
yang sangat tipis dan membatasi sinus etmoid dari rongga orbita.9
REFERAT RHINOSINUSITIS AKUT & KRONIK, POLIP HIDUNG &
DEVIASI SEPTUM
VIRZA CH
LATUCONSINA
07120090054
Universitas Pelita Harapan
FK UPH - SHLV
13
b. Sinus Sfenoid
Sinus sfenoid terletak dalam os sphenoid di belakang sinus etmoid
posterior. Sinus sphenoid dibagi dua oleh sekat yang disebut septum
intersfenoid. Batas-batasnya adalah, sebelah superior terdapat fosa
serebri media dan kelenjar hipofisis, sebelah inferiornya atap
nasofaring, sebelah lateral berbatasan dengan sinus kavernosus dan
a.karotis interna dan disebelah disebelah posterior berbatasan dengan
fosa serebri posterior di daerah pons.9
c. Sinus Maksila
REFERAT RHINOSINUSITIS AKUT & KRONIK, POLIP HIDUNG &
DEVIASI SEPTUM
VIRZA CH
LATUCONSINA
07120090054
Universitas Pelita Harapan
FK UPH - SHLV
14
Sinus maksiila merupakan sinus paranasal yang terbesar. Saat lahir
sinus maksila bervolume 6-8 ml, yang kemudian berkembang dengan
cepat dan mencapai ukuran maksimal yaitu 15 ml saat dewasa. 9
Sinus maksila berbentuk pyramid. Dinding anterior sinus adalah
permukaan fasial os maksila yang disebut fosa kanina, dinding
posteriornya adalah permukaan infra-tempoal maksila, dinding
medialnya adalah dinding lateral rongga hidung, dinding superiornya
adalah dasar orbita dan dinding inferiornya adalah prosesus alveolaris
dan palatum. 9
Dari segi klinis yang perlu diperhatikan dari anatomi sinus maksila
adalah:
1) Dasar sinus maksila sangat berdekatan dengan akar gigi rahang
atas yaitu premolar (P1&P2), molar (M1&M2), kadang – kadang juga
gigi taring (C) & M3, bahkan akar gigi tersebut dapat menonjol
kedalam sinus sehingga infeksi gigi geligi mudah naik ke atas
menyebabkan sinusitis.
2) Sinusitis maksila dapat menimbulkan komplikasi orbita.
3) Ostium sinus maksila terletak lebih tinggi dari dasar sinus,
sehingga drainase hanya tergantung dari gerak silia.9
d. Sinus frontal
REFERAT RHINOSINUSITIS AKUT & KRONIK, POLIP HIDUNG &
DEVIASI SEPTUM
VIRZA CH
LATUCONSINA
07120090054
Universitas Pelita Harapan
FK UPH - SHLV
15
Sinus frontal yang terletak di os frontal mulai terbentuk sejak bulan
ke empat fetus, berasal dari sel-sel resesus frontal atau dari sel-sel
infundibulum etmoid. Sinus frontal kanan dan kiri biasanya tidak
simetris, satu lebih besar dari yang lainnya dan dipisahkan oleh sekat
yang terletak di garis tengah. Sinus frontal dipisahkan oleh tulang
yang relative tipis dari orbita dan fosa serebri anterior, sehingga
infeksi dari sinus frontal mudah menjalar ke daerah ini.9
REFERAT RHINOSINUSITIS AKUT & KRONIK, POLIP HIDUNG &
DEVIASI SEPTUM
VIRZA CH
LATUCONSINA
07120090054
Universitas Pelita Harapan
FK UPH - SHLV
16
I. RHINOSINUSITIS AKUT & KRONIK
A. DEFINISI
Rinosinusitis dapat didefinisikan sebagai inflamasi pada hidung
dan sinus paranasal yang dikarakteristik oleh 2 atau lebih gejala, salah
satunya harus berupa hidung tersumbat/obstruksi/kongesti atau nasal
discharge (anterior/posterior nasal drip), nyeri atau tekanan pada wajah,
penurunan atau menghilangnya daya penciuman. Sedangkan berdasarkan
tanda dari endoscopic rinosinusitis merupakan polip hidung dan atau
mukopurulen dari meatus medius dan atau edema pada meatus medius&
berdasarkan perubahan CT ditemukan mukosa yang berubah diantara
ostiomeatal complex dan atau sinus.4 berdasarkan definisi, gejala
rinosinusitis akut terjadi kurang dari 3 minggu, gejala rinosinusitis
subakut terjadi paling tidak 21-60 haru dan gejala rinosinusitis kronik
terjadi lebih dari 60 hari.
REFERAT RHINOSINUSITIS AKUT & KRONIK, POLIP HIDUNG &
DEVIASI SEPTUM
VIRZA CH
LATUCONSINA
07120090054
Universitas Pelita Harapan
FK UPH - SHLV
17
B. EPIDEMIOLOGI
Kekerapan rinosinusitis terutama pada anak di Indonesia belum
diketahui dengan pasti, tetapi diperkirakan cukup tinggi mengingat
inflamasi di sinus paransal dapat terjadi pada setiap infeksi saluran napas
atas.5 Di Eropa rinosinusitis diperkirakan mengenai 10-30% populasi.
Insiden di Amerika dilaporkan sebesar 135 per 1000 per populasi per
tahun dengan 12 juta kunjungan ke dokter selama tahun 1995.6
Diperkirakan 31-35 juta penduduk Amerika menderita rinosinusitis
(akut,kronik atau rekuren) setiap tahunnya.1
Kebanyakan kasus rinosinusitis mengenai satu atau lebih sinus
paranasal, terutama sinus maksila dan sinus etmoid. Berdasarkan teknik
eksplorasi endoskopik pada dinding lateral rongga hidung, Messerklinger
mengatakan sebagian besar penyakit sinus paranasal disebabkan factor
rinogenik. Secara jelas ditunjukkan proses terjadinya peradangan di sinus
paransal diawali oleh inflamasi atau kelainan didaerah ostiomeatal
complex.7
C. PATOFISIOLOGI
REFERAT RHINOSINUSITIS AKUT & KRONIK, POLIP HIDUNG &
DEVIASI SEPTUM
VIRZA CH
LATUCONSINA
07120090054
Universitas Pelita Harapan
FK UPH - SHLV
18
Pada dasarnya patofisiologi dari rhinosinusitis dipengaruhi oleh 3
faktor utama, yaitu obstruksi drainase sinus (sinus ostia), kerusakan pada
fungsi silia, dan kualitas sekresi nasal. Pertama, berkurangnya ukuran
ostium dan membuat berkurangnya kandunga oksigen didalam sinus,
dimana dapat mengundang kuman kedalam situasi tersebut sehingga
terjadi infeksi. Hipoksia dapat juga mengurangi system inun dari fungsi
polimorfonuklear, produksi immunoglobulin, dan mucocilliary clearance.
10
Secara skematik, patofisiologi rhinosinusitis sebagai berikut :
Inflamasi mukosa
hidung
Pembengkakan
(edema) & eksudasi
Obstruksi
(blockade) ostium
nasi
Gangguan ventilasi
& drainase
Resorpsi oksigen di
rongga sinus
Hipoksia (Oksigen & pH
menurun, tekanan
negative)
REFERAT RHINOSINUSITIS AKUT & KRONIK, POLIP HIDUNG &
DEVIASI SEPTUM
VIRZA CH
LATUCONSINA
07120090054
Universitas Pelita Harapan
FK UPH - SHLV
19
Sebagian besar kasus rhinosinusitis disebabkan karena inflamasi
akibat infeksi virus dan rhinitis alegi. Infeksi virus yang menyerang
hidung dan sinus paranasal menyebabkan edema mukosa dengan tingkat
keparahan yang berbeda. Virus penyebab tersering adalah coronavirus,
rhinovirus, virus influenza A, & Respiratory Syncytial Virus (RSV).11 Sekitar
90% pasien yang mengalami ISPA akan memberikan bukti gambaran
radiologis yang melibatkan sinus paranasal. Infeksi virus akang
menyebabkan edema berat pada dinding hidung dan sinus sehingga
menyebabkan terjadinya penyempitan atau obstruksi ostium nasi
sehingga sekresi sinus normal menjadi terhambat (sinus stasis). Pada
keadaan ini ventilasi dan drainase sinus masih mungkin dapat kembali
normal, baik secara spontan atau efek obat-obatan yang diberikan
sehingga terjadi kesembuhan. Apabila obstruksi ostium nasi tidak segera
diatasi (obstruksi total) maka dapat terjasi pertumbuhan bakteri bakteri
sekunder pada mukosa dan cairan sinus paranasal. 11
Permeabilitas kapiler &
sekresi kelenjar
meningkat
Transudasi, peningkatan
eksudasi serous &
penurunan silia
Retensi sekresi di
sinus &
pertumbuhan
kuman
REFERAT RHINOSINUSITIS AKUT & KRONIK, POLIP HIDUNG &
DEVIASI SEPTUM
VIRZA CH
LATUCONSINA
07120090054
Universitas Pelita Harapan
FK UPH - SHLV
20
Pada pasien rhinitis alergi, allergen menyebabkan respons
inflamasi dengan memicu rangkaian peristiwa yang berefek pelepasan
mediator kimia dan mengaktifkan sel inflamasi. Limfosit T-helper 2 (Th-
2) menjadi aktif dan melepaskan sejunlah sitokin yang berefek altivasi sel
mastosit, sel B dan eosinophil. Berbagai sel ini kemudian melanjutkan
respons inflamasi dengan meleaskan lebih banyak mediator kimia yang
menyebabkan edema mukosa dan obstruksi ostium sinus. Rangkaian
alergi ini akhirnya membentuk lingkungan yang kondusif untuk
pertumbuhan bakteri sekunder seperti halnya pada infeksi virus.8
Klirens dan ventilasi sinus yang normal memerlukan mukosa yang
sehat. Inflamasi yang berlangsung lama (kronik) sering berakibat
penebalan mukosa disertai kerusakan silia sehingga ostium sinus makin
buntu. Mukosa yang tidak dapat kembali normal setelah inflamasi akut
dapat menyebabkan gejala persisten dan mengarah pada rhinosinusitis
kronik.12
D. GAMBARAN KLINIS
Manifestasi klinis yang khas dari kelainan pada sinus adalah sakit
kepala yang dirasakan ketika penderita bangun pada pagi hari.
Manifestasi klinis yang ditimbulkan oleh sinusitis dapat dibagi menjadi 2
yaitu gejala subjektif & objektif :
REFERAT RHINOSINUSITIS AKUT & KRONIK, POLIP HIDUNG &
DEVIASI SEPTUM
VIRZA CH
LATUCONSINA
07120090054
Universitas Pelita Harapan
FK UPH - SHLV
21
1. Gejala subjektif
Demam
Lesu
Hidung tersumbat
Sekresi lendir hidung yang kntal dan terkadang bau
Sakit kepala yang menjalar dan lebih berat pada pagi hari
2. Gejala objektif
Kemungkinan pembengkakan pada daerah bawah orbita dan lama
kelamaan akan bertambah lebar hingga ke pipi.
Rhinosinusitis akut dan kronik memiliki gejala yang sama, yaitu nyeri
tekan dan pembengkakan pada sinus yang terkena, tetapi ada gejala
tertentu yang timbul berdasarkan sinus yang terkena :
Sinusitits maksilaris, menyebabkan nyeri pipi tepat dibawah
mata, sakit gigi & sakit kepala.
Sinusitis frontalis, menyebabkan sakit kepala di dahi.
Sinusitis etmoidalis, menyebabkan nyeri di belakang dan
diantara mata serta sakit kepala di dahi.
Sinusitis sfenoidalis, menyebabkan nyeri yang lokasinya tidak
dapat dipastikan dan bisa dirasakan di puncak kepala bagian
REFERAT RHINOSINUSITIS AKUT & KRONIK, POLIP HIDUNG &
DEVIASI SEPTUM
VIRZA CH
LATUCONSINA
07120090054
Universitas Pelita Harapan
FK UPH - SHLV
22
depan ataupun belakang, atau kadang menyebabkan sakit
telinga dan sakit leher.
E. DIAGNOSIS
Dalam menegakkan diagnosis penyakit rhinosinusitis baik akut
maupun kronik harus melakukan beberapa tahap seperti anamnesis,
pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan penunjang lainnya. Penegakkan
diagnosis tersebut harus dilakukan dengan cermat sebab ini akan sangat
mempengaruhi dokter terutama dalam penatalaksanaan pasien.
Rhinosinusitis akut
Anamnesis
Riwayat rhninitis alergi, vasomotor rhinitis, nasal polyps,
rhinitis medicamentosa atau immunodeficiency harus dicari
dalam mengevaluasi sinusitis. Sinusitis lebih sering terjadi
pada orang yang mengalami kelainan congenital pada
imunitas humoral dan pergerakan silia, cystic fibrosis dan
penderita AIDS. Sinusitis yang disebabkan oleh bakteri sering
salah diagnosis.
Meskipun kriteria diagnosis rhinosinusitis akut telah
ditetapkan, tak ada satu tanda atau gejala yang kuat dalam
mendiagnosis rhinosinusitis yang disebabkan baikteri. Akan
REFERAT RHINOSINUSITIS AKUT & KRONIK, POLIP HIDUNG &
DEVIASI SEPTUM
VIRZA CH
LATUCONSINA
07120090054
Universitas Pelita Harapan
FK UPH - SHLV
23
tetapi, rhinosinusitis akut yang disebabkan bakteri harus
dicurigai pada pasien yang memperlihatkan gejalan ISPA
yang disebabkan virus yang tidak sembuh selama 10 hari
atau memburuk setelah 5-7 hari.
Pemeriksaan Fisik
Pada pemeriksaan fisik, hal-hal yang mungkin kita temui
pada pasien seperti purulent nasal secretion, purulent
posterior pharyngeal secretion, mucosal erythema,
periorbital erythema, tenderness overlying sinuses, air-fluid
levels on transillium of the sinuses dan facial erythema.
Pemeriksaan Penunjang
a. Pemeriksaan Laboratorium
ESR dan C-Reactive Protein meningkat pada pasien
rhinosinusitis tapi hasil ini tidak spesifik. Hasil
pemeriksaan darah lengkap juga diperlukan sebagai
acuan pembanding. Pemeriksaan sitologi nasal berguna
untuk menjelaskan beerapa hal seperti allergic rhinitis,
eosinophilia, nasal polyposis & aspirin sensitivity. Dapat
juga melakukan kultur pada produksi secret nasal akan
REFERAT RHINOSINUSITIS AKUT & KRONIK, POLIP HIDUNG &
DEVIASI SEPTUM
VIRZA CH
LATUCONSINA
07120090054
Universitas Pelita Harapan
FK UPH - SHLV
24
tetapi sangat terbatas karena sering terkontaminasi
dengan flora normal.
b. Pemeriksaan Imaging
Pemerikasaan ini dilakukan terutama untuk mendapatkan
gambaran sinus yang dicurigai mengalami infeksi. Ada
beberapa pilihan imaging yang dapat dilakukan yaitu plain
radiography (kurang sensitif terutama pada sinus
ethmoidal), CT scan (hasilnya lebih baik dari pada rontgen
tapi agak mahal), MRI (berguna hanya pada infeksi jamur
atau curiga tumor) dan USG (penggunaannya terbatas).
REFERAT RHINOSINUSITIS AKUT & KRONIK, POLIP HIDUNG &
DEVIASI SEPTUM
VIRZA CH
LATUCONSINA
07120090054
Universitas Pelita Harapan
FK UPH - SHLV
25
Rhinosinusitis Kronik
Anamnesis
Sinusitis kronik lebih sulit didiagnosis dibandingkan dengan
sinusitis akut. Dalam menggali riwayat pasien harus cermat,
jika tidak maka sering salah diagnosis. Gejala seperti demam
dan nyeri pada wajah biasanya tidak ditemukan pada pasien
sinusitis kronik.
Pemeriksaan Fisik
REFERAT RHINOSINUSITIS AKUT & KRONIK, POLIP HIDUNG &
DEVIASI SEPTUM
VIRZA CH
LATUCONSINA
07120090054
Universitas Pelita Harapan
FK UPH - SHLV
26
Pada pemeriksaaan fisik pasien sinusitis kronik ditemukan
beberapa hal seperti pain or tenderness on palpation over
frontal or maxillary sinuses, oropharyngeal erythema dan
purulent secretions, dental caries dan ophthalmic
manifestation (conjunctival congestion dan lacrimation,
proptosis).
Pemeriksaan Penunjang
a. Pemeriksaan Laboratorium
Pemeriksaan kultur hapusan nasal tidak memiliki nilai
diagnostik. Kadang-kadang pada hapusan nasal
ditemukan juga eosinopil yang mengindikasikan adanya
penyebab alergi. Pemeriksaan darah lengkap rutin dan
ESR secara umum kurang membantu, akan tetapi biasanya
ditemukan adanya kenaikan pada pasien dengan demam.
Pada kasus yang berat, kultur darah dan kultur darah
fungal sangat diperlukan. Tes alergi diperlukan untuk
mencari penyebab penyakit yang mendasari.
b. Pemeriksaan Imaging
Imaging yang tersedia untuk membantu dalam
menegakkan diagnosis sinusitis kronis seperti plain
radiography, CT scan, dan MRI. Prinsip penggunaannya
REFERAT RHINOSINUSITIS AKUT & KRONIK, POLIP HIDUNG &
DEVIASI SEPTUM
VIRZA CH
LATUCONSINA
07120090054
Universitas Pelita Harapan
FK UPH - SHLV
27
sama pada sinusitis akut.
F. PENATALAKSANAAN
Target pengobatan rhinosinusitis adalah untuk membangun
kembali anatomi sinonasal dan fungsinya. Irigasi hidung dengan normal
saline menyelesaikan hal ini dengan pelembab, mnenghapus debri-debris
dan “crusting” dari jalan napas, dan juga membersihkan lender-lendir.
Mukolitik adalah tambahan lain yang berguna dalam pengobatan
rhinosinusitis. Guaifenesin, ditemukan banyak dekongestan, membantu
sekresi lender tipis. Hal ini mungkin sangat membantu dalam kondisi
spesifik stasis mukosa hidung kronis, seperti cystic fibrosis dan immotile
cilia syndrome. 10
Obat-obatan yang mengurangi edema mukosa dan pembengkakan
mendorong patensi ostiomeatal complex dan meningkatkan ventilasi.
Dekongestan merangsang alpha-adrenergic receptos yang ditemukan
dalam mukosa dari saluran napas bagian atas. Obat topical
(oxymetazoline hydrochloride (Afrin), Pseudoephedrine hydrochloride
(Afrinol) dan sistemik (pseudoephedrine hydrochloride (Cenafed) telah
digunakan untuk mengurangi gejala dan mendorong pemulihan yang
cepat. Karena resiko edema lagi, maka harus digunakan dengan hemat
dan umumnya dalam situasi akut rhinosinusitis atau kondisi eksaserbasi
REFERAT RHINOSINUSITIS AKUT & KRONIK, POLIP HIDUNG &
DEVIASI SEPTUM
VIRZA CH
LATUCONSINA
07120090054
Universitas Pelita Harapan
FK UPH - SHLV
28
kronik. 10
Antihistamin
Anthistmin telah sering digunakan untuk mengatasi gejala juga.
Obat-obat ini telah terbukti bekerja dengan kompetitif mengikat H1
receptor pada berbagai otot atau ujung saraf untuk mengurangi efek
dari pelepasan histamine. Meskipun sebagian besar senyawa generasi
pertama menyebabkan efek smaping seperti mengantuk, sedangkan
generasi kedua antihistamin tidak menunjukkan efek antikolinergik
dan lebih aman. 10
Steroid
Steroid baik topical maupun sistemik telah terbukti manfaatnya
bagi berbagai keadaan inflamasi. Banyak dokter telah melihat hasil
yang baik pada rhinitis alergi dan non-alergi maupun rinosinusitis.
Steroid sistemik juga telah digunakan dengan sukses dalam kasus
polyposis hidung, dan penyakit alergi jamur . masalah utama dengan
aplikasi sistemik adalah supresi dari hipotamaus-hipofisis-adrenal
axis dan resiko insufisiensi adrenal pada penghentian mendadak. Efek
lain diantaranya ulkus peptikum, gatal pada mukosa, gangguan tidur,
kenaikan berat badan, osteoporosis, dan perubahan kebutuhan insulin
REFERAT RHINOSINUSITIS AKUT & KRONIK, POLIP HIDUNG &
DEVIASI SEPTUM
VIRZA CH
LATUCONSINA
07120090054
Universitas Pelita Harapan
FK UPH - SHLV
29
pasa pasien diabetes. Manfaat dari aplikasi topical yaitu absorpsi
sistemik yang minimal dan efek sistemik serta efektivitias dari aplikasi
local. Pada umumnya, steroid sistemik merupakan cadangan untuk
rhinosinusitis kronik dikarenakan resiko berbagai efek samping dari
penggunaan jangka panjang. 10
Antibiotik
Antibiotik umumnya diarahkan pada pelaku utama yang terlibat
dalam rhinosinusitis aku atau kronis. Termasuk S. pneumoniae, H.
influenza, M. catarrhalis, Staphylococcus, dan spesies anaaerob. Untuk
kasus-kasus penyakit akut, 10 – 14 hari umumnya cukup untuk
menutupi infeksi. Durasi yang lebih lama terapi yang
direkomendasikan untuk infeksi kronis. Beberapa antibiotic dianggap
efektif dalam pengobatan rhinosinusitis akut termasuk amoksisilin
(Amoxil), Amoxicillin-clavulanate (Augmentin), azithromycin
(Zithromax), Cefpodoxime (Vantin), proxetil (Vantin), Cefprozil (Cefzil),
Loracarbef (Lorabid), dan TMP-SMX (Bactrim, Septra, Co-trimoxazole).
Clindamycin (Cleocin) atau Metronidazole (Flagyl) dapat mungkin
dapat dimasukkan juga untuk cakupan infeksi kronis. Dokter harus
mencakup berbagai factor (contohnya penggunaan antibiotic
sebelumnya dan respon, pola resistensi, efek samping, interaksi
REFERAT RHINOSINUSITIS AKUT & KRONIK, POLIP HIDUNG &
DEVIASI SEPTUM
VIRZA CH
LATUCONSINA
07120090054
Universitas Pelita Harapan
FK UPH - SHLV
30
medis, informasi alergi obat dan jadwal pemberian dosis) ketika
memilih antibiotic. 10
Immunotherapy
Immunotherapy secara intuitif dipandang penting dalam
mengendalikan refrakter alergi, yang dapat menyebabkan rinosinusitis
kronis setelah operasi. Ada penelitian hingga saat ini, telah diyakinkan
efek yang menguntungkan dari imunoterapi untuk pasien dengan
rhinitis alergi dan rhinosinusitis kronis. Kebanyakan orang akan setuju
bahwa rhinitis alergi merupakan predisposisi pasien untuk
rinosiunsitis kronis dan dengan mengendalikan edema mukosa yang
dihasilkan dan hipersekretori, gejala dapat mereda. Karena hubungan
sebab-akibat, imunoterapi masih bias dianggap sebagai tambahan
yang tepat dalam mengendalikan rinosinusitis kronis jika rhinitis
alergi dianggap menjadi factor utama dalam patofisiologi pasien. 10
Bedah
Tindakan bedah untuk rhinosinusitis telah diterima dengan
munculnya teknologi baru seperti instrumentasi bedah, teknik imaging
yang lebih akurat. The Task Force on Rhinosinusitis telah menyepakati
berbagai indikasi absolut dan relatif untuk operasi. Meskipun indikasi
REFERAT RHINOSINUSITIS AKUT & KRONIK, POLIP HIDUNG &
DEVIASI SEPTUM
VIRZA CH
LATUCONSINA
07120090054
Universitas Pelita Harapan
FK UPH - SHLV
31
mutlak untuk operasi telah tercipta, mayoritas psien yang menjalani
operasi sinus adalah mereka dengan kronis tetapi rhinosisinusitis
kronik yang tidak berkomplikasi, yang dianggap sebagai indikasi
relative untuk operasi. Pasien ini telah mengalami banyak perawatan
medis dengan respon yang tidak memuaskan. Pada saat ini,
irreversible mucosal disease diasumsikan, dan pengobatan bedah
diperlukan untuk menghilangkan jaringan yang sakit. Meskipun belum
ada studi definitive tentang keberhasilan FESS, kebanyakan studi telah
melihat peningkatan yang cukup pada gejala-gejala setelah operasi.
Gliklich & Metson menemuka 82% pasien yang melakukan FESS pada
sinusitis kronik menunjukkan kemajuan yang signifikan pada
sinusitisnya. 10
Indikasi absolut operasi pada rhinosinusitis :
a. Poliposis hidung bilateral yang luas dan besar dengan
komplikasi obstruktif
b. Komplikasi rinosinusitis dewasa
c. Subperiosteal atau abses orbital
d. Pott’s puffy tumor
e. Abses otak
f. Meningitis
REFERAT RHINOSINUSITIS AKUT & KRONIK, POLIP HIDUNG &
DEVIASI SEPTUM
VIRZA CH
LATUCONSINA
07120090054
Universitas Pelita Harapan
FK UPH - SHLV
32
g. Rinosinusitis kronik dewasa dengan mukokel atau
pembentukan mucopyocele
h. Invasif atau rhinosinusitis kronik alergi jamur pada orang
dewasa
i. Diagnosis tumor pada nasal dan sinus paranasal
j. CSF rhinorrhea10
REFERAT RHINOSINUSITIS AKUT & KRONIK, POLIP HIDUNG &
DEVIASI SEPTUM
VIRZA CH
LATUCONSINA
07120090054
Universitas Pelita Harapan
FK UPH - SHLV
33
G. KOMPLIKASI
Komplikasi dari rhinosinusitis akut akibat tidak ada pengobatan
yang adekuat adalah dapat menyebabkan rhinosinusitis kronik,
meningitis, abses otak atau kompliksi extra sinus lainnya. Sedangkan
untuk rhinosinusitis kronik dapat berupa orbital cellulitis, cavernous
sinus thrombosis, intracranial extension (abses otak, meningitis) &
pembentukan mukokel.
H. PROGNOSIS
Prognosis untuk penderita rhinosinusitis akut yaitu sekitar 40%
akan sembuh secara spontan tanpa pemberian antibiotic. Terkadang juga
penderita bias mengalami relaps setelah pengobatan namun jumlahnya
sedikit yaiut kurang dari 5%. Sedangkan untuk rhinosinusitis kronik yaitu
jika dilakukan pengobatan yang dini maka akan mendapat hasil yang
baik.
II. POLIP HIDUNG
A. DEFINISI
REFERAT RHINOSINUSITIS AKUT & KRONIK, POLIP HIDUNG &
DEVIASI SEPTUM
VIRZA CH
LATUCONSINA
07120090054
Universitas Pelita Harapan
FK UPH - SHLV
34
Polip hidung adalah massa lunak yang mengandung banyak
cairan di dalam rongga hidung (polip edematosa), berwarna putih
keabu-abuan, yang terjadi akibat inflamasi mukosa. Polip yang sudah
lama dapat berubah menjadi kekuning-kuningan atau kemerah-
merahan, suram dan lebih kenyal (polip fibrosa). 13
Polip kebanyakan berasal dari mukosa sinus etmoid, biasanya
multiple dan dapat bilateral. Polip yang berasal dari sinus maksila
sering tunggal dan tumbuh kea rah bilakang, muncul di nasofaring
dan disebut polip koanal. 14
B. EPIDEMIOLOGI
Polip dapat timbul pada penderita laki-laki maupun perempuan,
dari usia anak-anak hingga usia lanjut. Bila ada polip pada anak-anak
dibawah usia 2 tahun, harus disingkirkan kemungkinan meningokel
atau meningoensefalokel. 13
Dahulu diduga predisposisi timbulnya polip nasi adalah
adanya rhinitis alergi atau penyakit atopi, tetapi mungkin banyak
penelitian yang mengemukakan berbagai teori dan para ahli sampai
saat ini menyatakan bahwa etiologi polip nasi masih belum diketahui
dengan pasti. 13
REFERAT RHINOSINUSITIS AKUT & KRONIK, POLIP HIDUNG &
DEVIASI SEPTUM
VIRZA CH
LATUCONSINA
07120090054
Universitas Pelita Harapan
FK UPH - SHLV
35
C. PATOGENESIS
Pembentukan polip sering diasosiasikan dengan inflamasi
kronik (sinusitis kronik & rhinitis alergi), disfungsi saraf otonom serta
predisposisi genetik. Menurut teori Bernstein, terjadi perubahan
mukosa hidung akibat peradangan atau aliran udara yang
berturbulensi, terutama di daerah sempit di kompleks ostiomeatal.
Terjadi prolapse submukosa yang diikuti oleh reepitelisasi dan
pembentukan kelenjar baru. Juga terjadi peningkatan penyerapan
natrium oleh permukaan sel epitel yang berakibat retensi air sehingga
terbentuk polip. 13
Teori lain mengatakan karena ketidakseimbangan saraf
vasomotor terjadi peningkatan permeabilitas kapiler dan gangguan
regulasi vascular yang mengakibatkan dilepasnya sitokin-sitokin
dari sel mast, yang akan menyebabkan edema dan lama-kelamaan
menjadi polip. 13
Bila proses terus berlanjut, mukosa yang sembab makin
membesar menjadi polip dan kemudian akan turun ke rongga
hidung dengan membentuk tangkai. 13 Biasanya terjadi di sinus
maksila, kemudian sinus etmoid. Setelah polip terus membesar di
antrum, akan turun ke kavum nasi. Hal ini terjadi karena bersin dan
pengeluaran secret yang berulang yang sering dialami oleh orang
REFERAT RHINOSINUSITIS AKUT & KRONIK, POLIP HIDUNG &
DEVIASI SEPTUM
VIRZA CH
LATUCONSINA
07120090054
Universitas Pelita Harapan
FK UPH - SHLV
36
yang mempunya riwayat rhinitis alergi karena pada rhinitis alergi
terutama rhinitis alergi perennial yang banyak terdapat di
Indonesia karena tidak adanya variasi musim sehingga allergen
terdapat sepanjang tahun. Begitu sama dalam kavum nasi, polip
akan terus membesar dan bisa menyebabkan obstruksi di meatus
media.15
D. GAMBARAN KLINIS
Gejala utama yang ditimbulkan oleh polip hidung adalah rasa
sumbatan di hidung. Sumbatan ini tidak hilang timbul dan makin lama
semakin berat keluhannya. Pada sumbatan yang hebat dapat
menyebabkan gejala hiposmia atau anosmia. Bila polip ini menyumbat
sinus paranasal, maka sebagai komplikasinya akan terjadi sinusitis
dengan keluhan nyeri kepala dan rinorea. 13
Bila penyebabnya adalah alergi, maka gejala yang utama adalah
bersin dan iritasi pada hidung. Bila disertai infeksi sekunder mungkin
didapatkan post nasal drip dan rinorea purulen. Gejala sekunder yang
dapat timbul adalah bernapas melalui mulut, suara sengau, halitosis,
gangguan tidur dan penurunan kualitas hidup.
REFERAT RHINOSINUSITIS AKUT & KRONIK, POLIP HIDUNG &
DEVIASI SEPTUM
VIRZA CH
LATUCONSINA
07120090054
Universitas Pelita Harapan
FK UPH - SHLV
37
Dapat juga menyebabkan gejala pada saluran napas bawah,
berupa batuk kronik dan mengi, terutama pada penderita polip nasi
dengan asma. 13
E. DIAGNOSIS
Anamnesis
Pada anamnesa kasus polip, keluhan utama biasanya adalah
hidung tersumbat. Sumbatan ini menetap, tidak hilang dan
semakin lama semakin berat. Pasien sering mengeluhkan terasa
ada massa didalam hidung dan sulit membuang ingus. Gejala
lain adalah gangguan penciuman. Gejala sekunder dapat terjadi
bila sudah disertai kelainan organ didekatnya berupa adanya
post nasal drip, sakit kepala, nyei pada wajah, suara nasal
(bindeng), telinga terasa penuh, mendengkur, gangguan tidur
dan penurunan kualitas hidup. Selain itu juga harus ditanyakan
riwayat rhinitis alergi, asma, intoleransi terhadap aspririn dan
alergi obat serta makanan. 13
Pemeriksaan Fisik
Polip nasi yang massif dapat menyebabkan deformitas
hidung luar sehingga hidung tampak mekar karena pelebaran
REFERAT RHINOSINUSITIS AKUT & KRONIK, POLIP HIDUNG &
DEVIASI SEPTUM
VIRZA CH
LATUCONSINA
07120090054
Universitas Pelita Harapan
FK UPH - SHLV
38
batang hidung. Pada pemeriksaan rinoskopi anrerior polip
hidung seringkali harus dibedakan dari konka hidung yang
menyerupai polip (konka polipoid). Perbedaannya adalah massa
berwarna pucat berasal dari meatus medius, bertangkai, mudah
digerakkan, konsistensi lunak, tidak nyeri bila ditekan, tidak
mudah berdarah dan pada pemakaian vasokonstrikor (kapas
adrenalin) tidak mengecil. 13
Pembagian polip hidung menurut Mackay dam Lund (1997),
yaitu :
o Stadium 1 : polip masih terbatas di meatus medius.
o Stadium 2 : polip sudah keluar dari meatus medius,
tampak di rongga hidung tapi belum memenuhi
rongga hidung.
o Stadium 3 : polip yang massif. 13
REFERAT RHINOSINUSITIS AKUT & KRONIK, POLIP HIDUNG &
DEVIASI SEPTUM
VIRZA CH
LATUCONSINA
07120090054
Universitas Pelita Harapan
FK UPH - SHLV
39
Pemeriksaan Penunjang
a) Naso-endoskopi
Adanya fasilitas endoskopi (teleskop) akan sangat
membantu diagnosis kasus polip yang baru. Polip stadium 1
dan 2 kadang-kadang tidak terlihat pada pemeriksaan
rinoskopi anterior tetapi tampak dengan pemeriksaan
nasoendoskopi.
Pada kasus polip koanal juga sering dapat dilihat
tangkai polip yang berasal dari ostium asesorius sinus
maksila. 13
REFERAT RHINOSINUSITIS AKUT & KRONIK, POLIP HIDUNG &
DEVIASI SEPTUM
VIRZA CH
LATUCONSINA
07120090054
Universitas Pelita Harapan
FK UPH - SHLV
40
b) Pemeriksaan Radiologi
Foto polos sinus paranasal (posisi Waters, AP, Caldwell dan
lateral) dapat memperlihatkan penebalan mukosa dan adanya
batas udara cairan didalam sinus, tetapi kurang bermanfaat
pada kasus polip. Pemeriksaan tomografi computer (CT-
Scan) sangat bermanfaat untuk melihat dengan jelas keadaan
di hidung dan sinus paranasal apakah ada proses
peradangan, kelainan anatomi, polip atau sumbatan pada
kompleks ostiomeatal. 13
F. DIAGNOSIS BANDING
Polip didiagnosa bandingkan dengan konka polipoid, yang ciri-
cirinya sebagai berikut :
Tidak bertangkai
Sukar digerakkan
Nyeri bila ditekan dengan pinset
Mudah berdarah
Dapat mengecil pada pemakaian vasokonstriktor (kapas adrenalin).
Pada pemeriksaan rhinoskopi anterior cukup mudah untuk
membedakan polip dan konka polipoid, terutama dengan pemberian
REFERAT RHINOSINUSITIS AKUT & KRONIK, POLIP HIDUNG &
DEVIASI SEPTUM
VIRZA CH
LATUCONSINA
07120090054
Universitas Pelita Harapan
FK UPH - SHLV
41
vasokonstriktor yang juga harus hati-hati pemberiannya pada pasien
dengan penyakit kardiovaskuler karena bias menyebabkan
vasokonstriksi sistemik, meningkatkan tekanan darah yang berbahaya
pada pasien dengan hipertensi dan dengan penyakit jantung lainnya.
POLIP POLIPOID MUKOSA
Bertangkai, dapat digerakkan Tidak bertangkai, sukar digerakkan
Konsistensi lunak Konsistensi keras
Tidak nyeri bila ditekan Nyeri pada penekanan
Tidak mudah berdarah Mudah berdarah
Berwarna putih kebiruan Berwarna merah muda
Tidak mengecil pad pemberian
vasokonstriktor
Mengecil pada pemberian
vasokonstriktor
G. PENATALAKSANAAN
Tujuan utama pengobatan pada polip nasi adalah
menghilangkan keluhan-keluhan, mencegah komplikasi dan mecegah
rekurensi polip. 16
Untuk polip edematosa, dapat diberikan pengobatan
kortikosteroid :
REFERAT RHINOSINUSITIS AKUT & KRONIK, POLIP HIDUNG &
DEVIASI SEPTUM
VIRZA CH
LATUCONSINA
07120090054
Universitas Pelita Harapan
FK UPH - SHLV
42
1. oral, misalnya prednisone 50 mg/hari atau dexamethasone selama
10 hari, kemudian dosis diturunkan perlahan-lahan (tapering off).
2. Suntikan intrapolip, misalnya Triamsinolon asetonid atau
prednisone 0.5 cc, tiap 5-7 hari sekali, sampai polipnya hidung.
3. Obat semprot hidung yang mengandung kortikosteroid,
merupakan obat untuk rhinitis alergi, sering digunakan bersama
atau sebagai larutan pengobatan kortikosteroid per oral. Efek
sistemik obat ini sangat kecil, sehingga lebih aman. 17
Untuk polip yang ukurannya sudah besar dilakukan ekstraksi
polip (polipektomi) dengan menggunakan senar polip. Selain itu bila
terdapat sinusitis, perlu dilakukan drainase sinus. Oleh karena itu
sebelum operasi polipektomi perlu dibuat foto sinus paranasal untuk
melihat adanya sinusitis yang menyertai polip ini atau tidak. Selain itu,
pada pasien polip dengan keluhan sakit kepala, nyeri di daerah sinus
dan adanya perdarahan pembuatan foto sinus paranasal tidak boleh
dilupakan.
Prosedur polipektomi dapat mudah dilakukan dengan senar
polip setelah pemberian dekongestan dan anestesi local. Pada kasus
polip yang berulang-ulang, perlu dilakukan operasi etmoidektomi
oleh karena umumnya polip berasal dari sinus etmoid. Etmoidektomi
ada dua cara, yakni :
REFERAT RHINOSINUSITIS AKUT & KRONIK, POLIP HIDUNG &
DEVIASI SEPTUM
VIRZA CH
LATUCONSINA
07120090054
Universitas Pelita Harapan
FK UPH - SHLV
43
1. intranasal
2. ekstranasal
Yang terbaik adalah bila tersedia fasilitas endoskopi maka dapat
dilakukan tindakan BSEF (Bedah Sinus ENdoskopi Fungsional). 13
H. PROGNOSIS
Polip nasi dapat muncul kembali selama iritasi alergi masih
tetap berlanjut. Rekurensi dari polip umummya terjadi bila adanya
polip yang multiple. Polip tunggal yang besar seperti polip antral-
koanal jarang terjadi relaps.
Polip hidung sering tumbuh kembali, oleh karena itu
pengobatannya juga perlu ditujukan kepada penyebabnya, misalnya
alergi. Terapi yang paling ideal pada rhinitis alergi adalah menghindari
kontak dengan allergen penyebab dan eliniasi. 13
Secara medikamentosa, dapat diberikan antihistamin dengan
atau tanpa dekongestan yang berbentuk tetes hidung yang bias
mengandung kortikosteroid atau tidak. Dan untuk alergi inhalan
dengan gejala yang berat dan sudah berlangsung lama dapat
dilakukan imunoterapi dengan cara desensitisasi dan hiposensitisasi,
yang menjadi pilihan apabila pengobatan cara lain tidak memberikan
hasil yang memuaskan. 13
REFERAT RHINOSINUSITIS AKUT & KRONIK, POLIP HIDUNG &
DEVIASI SEPTUM
VIRZA CH
LATUCONSINA
07120090054
Universitas Pelita Harapan
FK UPH - SHLV
44
REFERAT RHINOSINUSITIS AKUT & KRONIK, POLIP HIDUNG &
DEVIASI SEPTUM
VIRZA CH
LATUCONSINA
07120090054
Universitas Pelita Harapan
FK UPH - SHLV
45
III. DEVIASI SEPTUM
A. DEFINISI
Septum merupakan salah satu kelainan septum yang sering
ditemukan. Bentuk septum normal adalah lurus di tengah rongga
hidung tetapi pada orang dewasa biasanya septum nasi tidak lurus
sempurna di garis tengah. Deviasi septum yang ringan tidak akan
mengganggu, akan tetapi bila deviasi itu cukup berat,
menyebabkan pemnyempitan pada satu sisi hidung. Dengan
demikian dapat mengganggu fungsi hidung dan menyebabkan
komplikasi. 19
B. EPIDEMIOLOGI
REFERAT RHINOSINUSITIS AKUT & KRONIK, POLIP HIDUNG &
DEVIASI SEPTUM
VIRZA CH
LATUCONSINA
07120090054
Universitas Pelita Harapan
FK UPH - SHLV
46
Deviasi septum banyak ditemukan pada orang kulit putih
dan pada ras lain jarang. Pada laki-laki lebih banyak daripada
wanita, dan biasanya manifestasi klinis lebih banyak timbul di usia
dewasa daripada anak-anak.
Obstruksi nasal adalah masalah yang sering dijumpai. Pada
tahun 1974, Vainio-Mattila menemukan 33% insiden dari obstruksi
jalan nafas hidung antara sample dewasa acak. Deviasi septum
ditemukan lebih sering ditemukan berupa malformasi structural
yang menyebabkan obstruksi hidung. Pada klinis ditemukannya
26% untuk kasus deviasi septum. Diperkirakan 80% dari septum
terletak menyimpang dari garis tengah dan hal ini sering tidak
diperhatikan. Septum deviasi terjadi jika septum bergeser sangat
jauh dari garis tengah.
C. ETIOLOGI
Penyebab yang paling sering adalah trauma. Trauma dapat
terjadi sesudah lahir, pada saat partus atau bahkan pada masa
janin intrauterine. Pada sebagian pasien, tidak didapatkan riwayat
trauma sehingga Gray (1972) menerangkannya dengan teori birth
Moulding. Posisi intrauterine yang abnormal dapat menyebabkan
tekanan pada hidung dan rahang atas, sehingga dapat terjadi
REFERAT RHINOSINUSITIS AKUT & KRONIK, POLIP HIDUNG &
DEVIASI SEPTUM
VIRZA CH
LATUCONSINA
07120090054
Universitas Pelita Harapan
FK UPH - SHLV
47
pergeseran septum. Demikian pula tekanan torsi pada hidung data
kelahiran (partus) dapat menambah trauma pada septum. 18,19
Factor resiko deviasi septum lebih besar ketika persalinan.
Setelah lahir, resiko teebesar adalah dari olahraga, misalnya
olahraga kontak langsung (tinju, karate, judo) dan tidak
menggunakan helm atau sabuk pengaman ketika berkendara. 19,20
Penyebab lainnya adalah ketidak-seimbangan pertumbuhan.
Tulang rawan septum nasi terus tumbuh, meskipun batas superior
dan inferior telah menetap. Dengan demikian terjadilah deviasi
pada septum nasi tersebut. 18
D. KLASIFIKASI DEFORMITAS
Terdapat beberapa jnis klasifikasi oleh beberapa ahli. Deviasi
septum menurut Mladina dibagi atas beberapa klasifikasi berdasarkan
letak deviasi, yaitu :
1. Tipe I : benjolan unilateral yang belum menggunakan aliran udara.
2. Tipe II : benjolan unilateral yang sudah mengganggu aliran udara,
namun masih belum menunjukkan gejala klinis yang bermakna.
3. Tipe III : deviasi pada konka media (area osteomeatal dan meatus
media)
REFERAT RHINOSINUSITIS AKUT & KRONIK, POLIP HIDUNG &
DEVIASI SEPTUM
VIRZA CH
LATUCONSINA
07120090054
Universitas Pelita Harapan
FK UPH - SHLV
48
4. Tipe IV : “S” septum (posterior ke sisi lain, dan anterior ke sisi
lainnya)
5. Tipe V : tonjolan besar unilateral pada dasar septum, sementara di
sisi lain masih normal.
6. Tipe VI : tipe V ditambah sulkus unilateral dari kaudal-ventral,
sehingga menunjukkan rongga yang asimetri.
7. Tipee VII: kombinasi lebih dari satu tipe, yaitu tipe I-tipe VI. 18,21
REFERAT RHINOSINUSITIS AKUT & KRONIK, POLIP HIDUNG &
DEVIASI SEPTUM
VIRZA CH
LATUCONSINA
07120090054
Universitas Pelita Harapan
FK UPH - SHLV
49
Bentuk deformitas septum berdasarkan lokasinya adalah :
1) Deviasi, biasanya berbentuk huruf C atau S yang dapat terjadi pada bidang
horizontal atau vertical dan biasanya mengenai kartilago maupun tulang.
2) Dislokasi, yaitu batas bawah kartilago septum keluar dari krista maksila dan
masuk ke dalam rongga hidung.
3) Spinda & krista, yaitu penonjolan tulang atau tulang rawan septum yang
dapat terjadi pada pertemuan vomer dibawah dengan kartilago septum dan
atau os ethmoid diatasnya. Bila memanjang dari depan ke belakang disebut
REFERAT RHINOSINUSITIS AKUT & KRONIK, POLIP HIDUNG &
DEVIASI SEPTUM
VIRZA CH
LATUCONSINA
07120090054
Universitas Pelita Harapan
FK UPH - SHLV
50
krista, dan bila sangat runcing dan pipih disebut spina. Tipe deformitas ini
biasanya merupakan hasil dari kekuatan kompresi vertical.
4) Sinekia, yairu bila deviasi atau krista septum bertemu dan melekat dengan
konka dihadapannya. Bentuk ini akan menambah beratnya obstruksi. 18,19
Jin RH membagi deviasi septum berdasarkan berat atau ringannya keluhan :
1) Ringan
Deviasi kurang dari setengah rongga hidung dan belum ada bagian
septum yang menyentuh dinding lateral hidung.
2) Sedang
Deviasi kurang dari setengah rongga hidung tetapi ada sedikit bagian
septum yang mneyentuh dinding lateral hidung.
3) Berat
Deviasi septum sebagian besar sudah menyentuh dinding lateral
hidung. 20
Jin RH juga mengklasifikasi deviasi septum menjadi 4, yaitu :
1) Devias local termasuk spina, krista dan dislokasi bagian kaudal
2) Lengkungan deviasi tanpa deviasi yang terlokalisir
3) Lengkungan deviasi dengan deviasi local
4) Lengkungan deviasi yang berhubungan dengan deviasi hidung luar.
20
REFERAT RHINOSINUSITIS AKUT & KRONIK, POLIP HIDUNG &
DEVIASI SEPTUM
VIRZA CH
LATUCONSINA
07120090054
Universitas Pelita Harapan
FK UPH - SHLV
51
E. GAMBARAN KLINIS
Keluhan yang paling sering pada deviasi septum adalah
sumbatan hidung. Sumbatan dapat unilateral, dapat pula bilateral,
sebab pada sisi deviasi terdapat konka hipotrofi, sedangkan pada
sisi sebelahnya terjadi konka yang hipertrofi, sebagai akibat
mekanisme kompensasi. 10
Keluhan lainnya adalah rasa nyeri di kepala dan di sekitar
mata. Selain dari itu penciuman dapat pula terganggu, apabila
terdapat deviasi pada bagian atas septum. 18
Deviasi septum dapat menyumbat ostium sinus, sehingga
merupakan factor predisposisi terjadinya sinusitis. 19
REFERAT RHINOSINUSITIS AKUT & KRONIK, POLIP HIDUNG &
DEVIASI SEPTUM
VIRZA CH
LATUCONSINA
07120090054
Universitas Pelita Harapan
FK UPH - SHLV
52
F. DIAGNOSIS
Anamnesis
Pada anamnesis, keluhan yang paling sering muncul adalah
sumbatan hidung. Sumbatan bias unilateral, dapat pula bilateral,
sebab pada sisi deviasi terdapat hipertrofi konka, sedangkan
pada sisi sebelahnya terjadi hipertrofi konka sebagai akibat
mekanisme kompensasi. Perlu ditanyakan pada setiap orang
yang yang menderita bstruksi saluran pernapasan hidung yang
kronis, seberapa jauh keadaan tersebut mempengaruhi
kehidupannya. Penurunan aliran udara di dalam rongga hidung
sebagai alibat adanya obstruksi menyebabkan gangguan
penciuman. Epstaksis (perdarahan dari hidung) juga merupakan
manifestasi umum dari gugusan aliran udara didalam cavum
nasi. Hal ini terjadi sebagai akibat peningkatan turbulensi udara
dan kecenderungan cavum nasi untuk menjadi kering sehingga
memudahkan terjadinya perdarahan. Keluhan lainnya adalah
rasa nyeri di kepala dan nyeri disekitar mata.
Pemeriksaan Fisik
Deviasi septum biasanya sudah dapat dilihat melalui
inspeksi langsung pada batang hidungnya. Dari pemeriksaan
REFERAT RHINOSINUSITIS AKUT & KRONIK, POLIP HIDUNG &
DEVIASI SEPTUM
VIRZA CH
LATUCONSINA
07120090054
Universitas Pelita Harapan
FK UPH - SHLV
53
rinoskopi anterior, dapat dilihat penonjolan septum kea rah
deviasi jika terdapat deviasi berat, tapi pada deviasi ringan hasil
pemeriksaan bias normal.
Penting untuk pertama kali melihat vestibulum nasi tanpa
speculum, karena ujung speculum dapat menutupi deviasi
bagian kaudal. Pemeriksaan seksama juga dilakukan terhadap
dinding lateral hidung untuk menentukan besarnya konka.
Pyramid hidung, palatum, dan gigi juga diperiksa karena
struktur-struktur ini sering terjadi gangguan yang berhubungan
dengan deformitas septum.
Pemeriksaan Penunjang
Diperlukan juga pemeriksaan radiologi untuk memastikan
diagnosisnya. Pada pemeriksaan x-ray kepala posisi antero-
posterior tampak septum nasi yang bengkok. Pemeriksaan
nasoendoskopi dilakukan bila memungkinkan untuk menilai
deviasi septum bagian posterior atau untuk melihat robekan
mukosa. Bila dicurigai terdapat komplikasi sinus paranasal,
dilakukan pemeriksaan x-ray sinus paranasal. 19
G. PENATALAKSANAAN
Bila gejala tidak ada atau keluhan sanagt ringan, tidak perlu
dilakukan tindakan koreksi septum. Ada 2 jenis tindakan operatif
REFERAT RHINOSINUSITIS AKUT & KRONIK, POLIP HIDUNG &
DEVIASI SEPTUM
VIRZA CH
LATUCONSINA
07120090054
Universitas Pelita Harapan
FK UPH - SHLV
54
yang dapat dilakukan pada pasien dengan keluhan yang nyata yaitu
reseksi submukosa dan septoplasti.
1) Reseksi submukosa (Submucous Septum Resection SMR)
Pada operasi ini mukosa perikondrium dan mukoperiostium
kedua sisi dilepaskan dari tulang rawan dan tulang septum.
Bagian tulang atau tulang rawan dari septum kemudian
diangkat, sehingga muko-perikondrium dan muko-periostium
sisi kiri dan kanan akan langsung bertemu di garis tengah. 18
Reseksi submukosa dapat menyebabkan komplikasi seperti
terjadinya hidung pelana (saddle nosa) akinat turunnya puncak
hidung, oleh larena bagian atas tulang rawan septum terlalu
banyak diangkat. 18
2) Septoplasti atau Reposisi Septum
Pada operasi ini tulang rawan yang bengkok di reposisi.
Hanya bagian yang berlebihan saja yang dikeluarkan. Dengan
cara operasi ini dapat dicegah komplikasi yang mungkin timbul
pada operasi reseksi submukosa, seperti terjadinya perforasi
septum dan hidung pelana. 18
H. KOMPLIKASI
REFERAT RHINOSINUSITIS AKUT & KRONIK, POLIP HIDUNG &
DEVIASI SEPTUM
VIRZA CH
LATUCONSINA
07120090054
Universitas Pelita Harapan
FK UPH - SHLV
55
Deviasi septum dapat menyumbat ostium nasi, sehingga
merupakan factor predisposisi terjadinya sinusitis. Selain itu,
deviasi septum juga menyebabkan ruang hidung sempit, yang
dapat membentuk polip. Sedangkan komplikasi post-operasi,
diantaranya :
Uncontrolled Bleeding
Hal ini biasanya terjadi akibat insisi pada hidung atau beral dari
perdarahan pada membrane mukosa.
Septal Hematoma
Terjadi sebagai akibat trauma saat operasi sehingga
menyebabkan pembuluh darah submukosa pecah dan terjadilah
pengumpulan darah. Hal ini umumnya terjadi segera setelah
operasi dilakukan.
Nasal Septal Perforation
Terjadi apabila terbentuk rongga yang menghubungkan antara
kedua sisi hidung. Hal ini terjadi karena trauma dan perdarahan
pada kedua sisi membrane di hidung selama operasi.
Saddle Deformity
Terjadi apabila kartilago septum terlalu banyak diangkat dari
dalam hidung.
Recurrence of The Deviation
REFERAT RHINOSINUSITIS AKUT & KRONIK, POLIP HIDUNG &
DEVIASI SEPTUM
VIRZA CH
LATUCONSINA
07120090054
Universitas Pelita Harapan
FK UPH - SHLV
56
Biaanya terjadi pada pasien yang memiliki deviasi septum yang
berat yang sulit untuk dilakukan perbaikan. 22,23
I. PROGNOSIS
Deviasi septum adalah suatu keadaan dimana terjadi
peralihan posisi dari septum nasi dari letaknya yang berada di garis
media tubuh. Prognosis pada pasien deviasi septum setelah
menjalani operasi cukup baik dan pasien dalam 10-20 hari dapat
melakukan aktivitas sebagaimana biasanya. Hanya saja pasien
harus memperhatikan perawatan setelah operasi dilakukan.
Termasuk juga pasien harus menghindari trauma pada daerah
hidung. 19
REFERAT RHINOSINUSITIS AKUT & KRONIK, POLIP HIDUNG &
DEVIASI SEPTUM
VIRZA CH
LATUCONSINA
07120090054
Universitas Pelita Harapan
FK UPH - SHLV
57
DAFTAR PUSTAKA
1. Campbell GD. Pathophysiology of Rhinosinusitis.In: (adult
Chronic Sinusitis and its Complication). Pulmonary critical
care update (PCCU), 2004 : 16, lesson 20,7
2. Hickner JM, Bartlett JG, Besser RE, Gonzales R, Hoftman JR,
Sande MA. Principles of appropriate antibiotics use acute
REFERAT RHINOSINUSITIS AKUT & KRONIK, POLIP HIDUNG &
DEVIASI SEPTUM
VIRZA CH
LATUCONSINA
07120090054
Universitas Pelita Harapan
FK UPH - SHLV
58
rhinosinusitis in adult. Ann Intern Med, 2001:134 (6),
498-505
3. Puruckher M.Byrd Rm Roy T, Krishmaswamy G. The
diagnosis and management of Chronic Rhinosinusitis.
Departement Medicine East Tennesse State Univ.Johnson
City. 2 July 2004
4. Fokkens Wystke J, Valerie J.Lund, Joachim Mullol. A
summary for Otorhinolaryngologists. EPOS 2012:
European Position paper on rhinosinusitis and nasal
polyps, 2012
5. Mulyarjo, Diagnosis and management. Recent advances in
the management of EK disorders. Dutch Foundation Post
Graduate Medical Course. Dr.Soetomo Teaching Hospital –
Scool of Medicine Airlangga University Surabaya, 2001, 1-
11
6. Osguthorpe JD. Adult Rhinosinusitis: Diagnosis and
management. American Family Physician, 2001, Jan, 1-8.
7. Stamberger H. FESS. Endoscopic diagnosis and surgery of
the paransal sinuses and anterior skull base. Tin
Messerklingertechnique and advanced applications the
Graz School. Karl-Franzens University Graz, Austria, 1996:
REFERAT RHINOSINUSITIS AKUT & KRONIK, POLIP HIDUNG &
DEVIASI SEPTUM
VIRZA CH
LATUCONSINA
07120090054
Universitas Pelita Harapan
FK UPH - SHLV
59
20.
8. Campbell GD. Pathophysiology of Rhinosinusitis. In: (Adult
Chronic and its Complication). Pulmonary critical care
update (PCCU), 2004 : 16, lesson 20,7
9. Prof.Dr. Soepardi Efiaty Arssyad, Sp.THT (L),
Prof.Dr.Nurbaiti Iskandar, Sp.THT (K). Biku Ajar Ilmu
Kesehatan Telinga Hidung Tenggorok Kepala & Leher.
Edisi ke 6. FKUI. 2007, 145-148
10. Layland Michael K, Tammy L Kin. Otolaryngology
Survival Guide. The Washington Manual Survival Guide
Series. 2003, 45-55.
11. Krause HF. Allergy and chronic rhinosinusitis.
Otholaryngol Head & Neck Surgery, 128 (1), 14-6
12. Hamilos DL. Chronic sinusitis. Current review of
allergy and clinical immunology. 2000: 106, 213-27.
13. Prof.Dr. Soepardi Efiaty Arssyad, Sp.THT (L),
Prof.Dr.Nurbaiti Iskandar, Sp.THT (K). Buku Ajar Ilmu
Kesehatan Telinga Hidung Tenggorok Kepala & Leher.
Edisi ke 6. FKUI. 2007, 123-125
14. Darusman, Raisa Kianti. Polip Hidung. Available at
www.giecities.ws, 2002.
REFERAT RHINOSINUSITIS AKUT & KRONIK, POLIP HIDUNG &
DEVIASI SEPTUM
VIRZA CH
LATUCONSINA
07120090054
Universitas Pelita Harapan
FK UPH - SHLV
60
15. Perhimpunan Dokter Spesialis THT-KL (PERHATI-KL).
Polip Hidung dan Sinus Paranasal (Dewasa)
Penatalaksanaan. Guideline Penyakit THT-KL di Indonesia.
2007, Hal.58
16. Mansjoer, Arif, Kuspuji Triyanti, Rakhmi Savitri. Polip
Hidung. Kapita Selekta Kedokteran ed.III jilih 1. 2001.
Jakarta, Media Aesculapius FKUI. Hal: 113-114
17. Prof.Dr. Soepardi Efiaty Arssyad, Sp.THT (L),
Prof.Dr.Nurbaiti Iskandar, Sp.THT (K). Buku Ajar Ilmu
Kesehatan Telinga Hidung Tenggorok Kepala & Leher.
Edisi ke 6. FKUI. 2007, 118-122
18. Nizar Nuty W, Endang Mangunkusumo. Buku Ajar Ilmu
Kesehatan Telinga Hidung Tenggorok Kepala & Leher.
Edisi ke 6. FKUI. 2007, 126
19. Budiman BJ, Asyari A. Pengukuran Sumbatan Hidung
pada Deviasi Septum Nasi. Bagian Telinga Hidung
Tenggorok Bedah Kepala Leher (THT-KL) FK Universitas
Andalas: Padang. 2011, 1-7
20. Jin HR, Lee Jy, Jung WJ. New Description Method and
Classification System for Septal Deviation. Department of
Otorhinolaryngology, Seoul National University, College of
REFERAT RHINOSINUSITIS AKUT & KRONIK, POLIP HIDUNG &
DEVIASI SEPTUM
VIRZA CH
LATUCONSINA
07120090054
Universitas Pelita Harapan
FK UPH - SHLV
61
Medicine, Boramae Hospital: Seoul. Journal Rhinology,
2007; 14: 27-31
21. Baumann I, Baumann H. A New Classification of Septal
Deviations. Department of Otolaryngology, Head and Neck
Surgery, University of Heidelberg: Germany. Journal of
Rhinology, 2007; 45: 220-223
22. Park JK, Edward IL. Deviated Septum. The practice of
Marshfield Clinic, American Academy of Otolaryngology-
Head and Neck Surgery. 2005
23. Bull PD. The Nasal Septum. In Lecture Notes on
Diseases of the Ear, Nose and Throat. Ninth edition. USA :
Blackwell Science Ltd. 2002 : p.81-85