Upload
dhystika-zahrah-septania
View
106
Download
6
Embed Size (px)
Citation preview
1
BAB I
PENDAHULUAN
I.1 Latar Belakang
Ortodonsia (Orthodontia, Bld., Orthodontic, Ingg.) berasal dari bahasa
Yunani (Greek) yaitu orthos dan dons yang berarti orthos (baik, betul) dan dons
(gigi). Jadi ortodonsia dapat diterjemahkan sebagai ilmu pengetahuan yang
bertujuan memperbaiki atau membetulkan letak gigi yang tidak teratur atau tidak
rata. Keadaan gigi yang tidak teratur disebabkan oleh malposisi gigi, yaitu
kesalahan posisi gigi pada masing-masing rahang. Malposisi gigi akan
menyebabkan malrelasi, yaitu kesalahan hubungan antara gigi-gigi pada rahang
yang berbeda. Lebih lanjut lagi, keadaan demikian menimbulkan maloklusi, yaitu
penyimpangan terhadap oklusi normal. Maloklusi dapat terjadi karena adanya
kelainan gigi (dental), tulang rahang (skeletal), kombinasi gigi dan rahang
(dentoskeletal) maupun karena kelainan otot-otot pengunyahan (muskuler).
I.2 Rumusan Masalah
1. Bagaimana Cara Diagnosis Ortodonsia sesuai Kartu Status ?
2. Apa saja Etiologi Maloklusi ?
3. Bagaimana Rencana Perawatan Ortodonsia sesuai Kartu Status ?
I.3 Tujuan Masalah
1. Mampu Menjelaskan Cara Diagnosis Ortodonsia sesuai Kartu Status.
2. Mampu Menjelaskan Etiologi Maloklusi.
3. Mampu Menjelaskan Rencana Perawatan Ortodonsia sesuai Kartu
Status.
2
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
Diagnosis berasal dari bahasa Yunani, yaitu Dia berarti melalui dan Gnosis yang
berarti Ilmu pengetahuan. Jadi diagnosis berarti penetapan suatu keadaan yang
menyimpang dari keadaan normal melalui dasar pemikiran dan pertimbangan ilmu
pengetahuan. Setiap penyimpangan dari keadaan normal ini dikatakan sebagai suatu
keadaan abnormal atau anomali atau kelainan.
Diagnosis ortodonsi yaitu diagnosis yang menetapkan suatu kelainan atau
anomali oklusi gigi - geligi (bukan penyakit) yang membutuhkan tindakan
rehabilitasi. Menurut Salzmann diagnosis ortodonsi ada tiga macam, yang pertama
adalah Diagnosis Biogenetik (Biogenetic diagnosis), yaitu diagnosis terhadap
kelainan oklusi gigi - geligi (maloklusi) berdasarkan atas faktor-faktor genetik
atau sifat-sifat yang diturunkan (herediter) dari orang tua terhadap anak-anaknya.
Kemudian ada Diagnosis Sefalometrik (Cephalometric diagnosis), yaitu diagnosis
mengenai oklusi gigi-geligi yang ditetapkan berdasarkan atas data-data
pemeriksaan dan pengukuran pada sefalogram (Rontgen kepala). Dan yang
terakhir Diagnosis Gigi geligi (Dental diagnosis ), yaitu diagnosis yang ditetapkan
berdasarkan atas hubungan gigi-geligi hasil pemeriksaan secara klinis atau intra
oral atau pemeriksaan pada model studi.
Maloklusi didefinisikan sebagai ketidakteraturan gigi-gigi di luar ambang
normal. Maloklusi dapat meliputi ketidakteraturan lokal dari gigi-gigi atau
malrelasi rahang pada tiap ketiga bidang ruang sagital, vertikal, atau transversal
(Huoston, 1989). Faktor penyebab maloklusi adalah karena faktor lokal dan faktor
umum. Faktor-faktor penyebab tersebut seringkali secara klinis ditemukan
merupakan penyebab-penyebab yang saling berkaitan. Diagnosis maloklusi sangat
dibutuhkan untuk menentukan rencana perawatan ortodontia.
3
Hasil pencegahan dan perawatan ortodonsi sangat tergantung pada
bagaimana etiologi maloklusi dapat dikurangi atau dihilangkan. Maloklusi gigi
adalah morfologis, tetapi seringkali fisiologis yaitu penyimpangan tanda-tanda
dentofasial yang dapat diterima oleh manusia. Rencana perawatan yang baik dan
tepat sangat dibutuhkan untuk memperbaiki maloklusi yang ada.
Perawatan ortodonsi mencakup memperbaiki anomali dari oklusi dan
posisi gigi gigi sejauh dibutuhkan dan sebisa mungkin. Sampai saat ini rencana
perawatan yang cermat berperan penting seperti halnya perawatan itu sendiri,
karena bila tidak dilakukan perencanaan dengan akurat, perawatan tidak akan
berhasil.
4
BAB III
PEMBAHASAN
III.1 Cara Diagnosis Ortodonsia sesuai Kartu Status
Prosedur diagnosis ortodonsia diperlukan untuk mendapatkan/
memperoleh diagnosis yang tepat dari suatu maloklusi gigi serta menentukan
rencana perawatan. Beberapa analisa yang diperlukan meliputi analisa umum,
analisa lokal, analisa fungsional, dan analisa model.
A. Analisis umum
Biasanya pada bagian status awal suatu pasien tercantum nama, jenis
kelamin, umur, dan alamat pasien. Jenis kelamin dan umur pasien selain sebagai
identitas pasien juga sebagai data yang berkaitan dengan pertumbuhkembangan
dentomaksilofasial pasien, misalnya perubahan fase geligi dari fase geligi sulung
ke geligi pergantian akhirnya ke fase geligi permanen. Juga adanya perbedaan
pertumbuhkembangan muka pria dan wanita, demikian juga adanya perbedaan
pertumbuhkembangan pada umur tertentu pada jenis kelamin yang sama.
Keluhan utama pasien biasanya tentang keadaan susunan giginya, yang
dirasakan kurang baik sehingga mengganggu estetik dentofasial dan
mempengaruhi status sosial serta fungsi pengunyahannya. Pada tahap ini
sebaiknya dokter gigi mendengarkan apa yang menjadi keluhan seorang pasien
dan tidak mengambil kesimpulan secara sepihak tentang apa yang menjadi
keluhan pasien.
1. Keadaan Sosial
Keadaan ini kadang-kadang sukar diperoleh disebabkan orang tua
pasien kadang-kadang enggan menjawab kondisi emosional anaknya
sehingga bisa diganti dengan menanyakan prestasi anak di sekolah.
2. Riwayat kesehatan pasien dan keluarga
5
Perlu diketahui riwayat kesehatan pasien sejak lahir sampai pasien
datang untuk perawatan. Hal-hal yang perlu ditanyakan pada orang tua
pasien / pasien misalnya apakah pasien dilahirkan secara normal atau
tidak. Beberapa tindakan persalinan dapat mengakibatkan trauma pada
kondili mandibula sehingga menyebabkan maloklusi dikemudian hari.
3. Berat dan tinggi pasien
Dengan menimbang berat dan mengukur tinggi pasien diharapkan
dapat diketahui apakah pertumbuhkembangan pasien normal sesuai
dengan umur dan jenis kelaminnya.
4. Ras
Pengertian ras dalam lingkup ini adalah ras dalam pengertian fisik,
bukan dalam pengertian budaya. Penetapan ras pasien dimaksudkan untuk
mengetahui ciri fisik pasien karena setiap ras mempunyai ciri fisik
tertentu.
5. Bentuk skelet
Sheldon (1940), seorang antropologis, menggolongkan bentuk
skelet berdasar jaringan yang dominan yang mempengaruhi bentuk skelet.
Seseorang yang langsing dengan sedikit jaringan otot atau lemak
digolongkan sebagai ektomorfik. Pada individu seperti ini yang dominan
adalah kulit dan saraf yang berasal dari ektoderm. Seseorang yang berotot
digolongkan sebagai mesomorfik dan orang yang pendek dengan otot yang
kurang berkembang akan tetapi mempunyai lapisan lemak yang tebal
disebut endomorfik. Bentuk skelet ini mempunyai hubungan dengan
pertumbuhkembangan. Anak dengan bentuk skelet ektomorfik mencapai
kematangan lebih lambat daripada anank dengan tipe endomorfik maupun
mesomorfik.
6
Keterangan : bentuk skelet A. endomorfik, B. mesomorfik, C. ektomorfik
6. Ciri keluarga
Ciri keluarga adalah adanya pola-pola tertentu yang selalu ada pada
keluarga tersebut. Contoh klasik dibidang ortodontik adalah adanya
kelainan skelet yang berupa prognati mandibula pada dinasti Habsburg di
Eropa.
7. Penyakit anak
Meskipun biasanya anak dapat pernah menderita berbagai penyakit
akan tetapi dalam hal ini yang perlu diketahui adalah penyakit anak yang
dapat mengganggu pertumbuhkembangan normal seorang anak. Menurut
Moyers (1988), penyakit dengan panas badan yang tinggi dapat
menyebabkan gangguan jadwal waktu pertumbuhkembangan gigi pada
masa bayi dan anak-anak. Penyakit sistemik lebih berpengaruh pada
kualitas gigi daripada kuantitas pertumbuhkembangan gigi. Suatu
maloklusi merupakan akibat sekunder kelainan otot dan beberapa kelainan
neuropati atau merupakan sekuel dari perawatan skoliosis yang
berlangsung lama untuk imobilisasi tulang belakang.
8. Alergi
Alergi terhadap bahan perlu diketahui oleh operator dengan
menanyakan pada pasien atau orang tua pasien. Pada pemeriksaan pasien
perlu ditanyakan apakah ada alergi terhadap obat-obatan, produk
kesehatan, atau lingkungan.
9. Kelainan endokrin
Kelainan endokrin yang terjadi pralahir dapat mewujud pada
hipoplasia gigi. Kelainan endokrin pascalahir dapat menyebabkan
percepatan atau hambatan pertumbuhan muka, mempengaruhi derajat
pematangan tulang, penutupan sutura, resorpsi akar sulung dan erupsi gigi
permanen.
7
10. Tonsil
Bila tonsil dalam keadaan radang, dorsum lidah dapat menekan
tonsil tersebut. Untuk menghindari keadaan ini mandibula secara reflex
diturunkan, gigi tidak kontak sehingga terdapat ruangan yang lebih luas
untuk lidah dan biasanya terjadi perdorongan lidah ke depan saat menelan.
Tonsil yang besar apalagi bengkak dapat mempengaruhi posisi lidah.
Kadang-kadang lidah terletak ke anterior sehingga mengganggu fungsi
menelan.
11. Kebiasaan bernafas
Seseorang disebut sebagai penapas mulut apabila dalam keadaan
istirahat maupun pada saat melakukan kegiatan selalu bernafas melalui
mulut. Seorang penapas hidung kadang-kadang bernafas lewat mulut juga
pada keadaan tertentu misalnya pada keadaan saluran pernafasan
terganggu oleh karena pilek.
Pasien yang biasa bernafas melalui mulut akan mengalami
kesukaran pada saat dilakukan pencetakan untuk membuat model studi
maupun model kerja.
B. Analisis local
1. Pemeriksaan ekstraoral
a.a Bentuk kepala
Bentuk kepala perlu dipelajari karena bentuk kepala ada
hubungannya dengan bentuk muka, palatum, maupun bentuk lengkung
gigi. Bentuk kepala ada 3, yaitu :
a. Dolikosefalik (panjang dan sempit)
Bentuk kepala ini akan membentuk muka yang sempit,
panjang, dan protrusive. Muka seperti ini disebut leptoprosop /
sempit. Fossa krania anterior yang panjang dan sempit akan
menghasilkan lengkung maksila dan palatum yang sempit, panjang
dan dalam.
b. Mesosefalik (bentuk rata-rata)
c. Brakisefalik (lebar dan pendek)
8
Bentuk kepala ini akan membentuk muka yang lebih besar,
kurang protrusive dan disebut euriprosop / lebar. Fossa krania
anterior yang lebar dan pendek akan menghasilkan lengkung
maksila dan palatum yang lebar, pendek, dan lebih dangkal.
Untuk menentukan tipe kepala sebaiknya tidak hanya
mengandalkan pengamatan tetapi melakukan pengukuran untuk
menetapkan indeks sefalik, yang bisa dihitung dengan rumus :
Indeks sefalik : Lebar kepala x 100
Panjang kepala
Indeks untuk Dolikosefalik adalah < 0,75, sedangkan Brakisefalik
> 0,80, dan Mesosefalik antara 0,76 – 0,79.
Kepala yang brakisefalik
Kepala yang dolikosefalik
9
a.b Tipe profil
Tipe profil dibagi dalam 3 bentuk, yaitu : cekung, lurus, dan
cembung. Profil yang cembung mengarah ke maloklusi kelas II yang dapat
disebabkan rahang atas yang lebih anterior atau mandibula yang lebih
posterior. Muka yang cekung mengarah ke maloklusi kelas III yang dapat
disebabkan rahang atas lebih posterior atau rahang bawah lebih anterior.
Tipe profil A. cekung, B. lurus, C. cembung
Tujuan utama dari pemeriksaan profil muka secara seksama, adalah :
- Menentukan posisi rahang dalam jurusan sagital
- Evaluasi bibir dan letak insisiv
- Evaluasi proporsi wajah dalam arah vertical dan sudut
mandibula
2. Pemeriksaan intraoral
Pemeriksaan intraoral terdiri dari jaringan mukosa mulut, lidah,
palatum, kebersihan rongga mulut, frekuensi karies, dan fase geligi.
a. Pemeriksaan Lidah
Berlebihnya ukuran lidah diindikasikan karena adanya gigi pada
margin lateral. Memberikan gambaran scallop pada lidah.
b. Pemeriksaan Palatum
Palatum harus diperiksaan untuk menemukan hal-hal berikut :
10
- Variasi kedalaman paltum terjadi pada hubungan dengan
variasi bentuk facial. Kebanyakan pasien dolicofacial memiliki
palatum yang dalam.
- Adanya swelling ( lekukan ) pada palatum dapat mengindikasi
suatu keadaan gigi impaksi, adanya kista atau patologis tulang
lainnya.
- Ulcerasi mukosa dan indentation adalah suatu gambaran dari
deep bite traumatic.
- Adanya celah palatum diasosiasikan dengan diskontinuitas
palatum.
- “The third rugae” biasanya pada garis dengan caninus. Hal ini
berguna dalam perkiraan proklinasi anterior maksilla.
c. Pemeriksaan Gingiva
Gingival diperiksa untuk inflamasi, resesi dan lesi mucogingival
lainnya.Biasanya temuan gingivitis marginal pada region anterior
disebabkan oleh postur open lip. Adanya oklusi traumatic diindikasikan
dengan resesi gingival terlokalisir.
d. Pemeriksaan Perlekatan Frenulum
Perlekatan frenulum abnormal didiagnosis dengan suatu tes
pemutihan dimana bibir atas upward dan outward beberapa lama.Adanya
pemutihan pada region papilla unter-dental mendiagnosis suatu frenulum
abnormal.
e. Taksiran Pertumbuhan Gigi
Hal-hal yang perlu dicatat:
- Gigi geligi yang terdapat / yang ada di dalam rongga mulut.
- Gigi-gigi yang belum erupsi.
- Gigi-gigi hilang.
- Status gigi ( gigi yang erupsi dan tidak erupsi).
11
- Adanya karies, restorasi, malformasi, hipoplasia, atrisi dan
diskolorasi.
- Menentukan relasi molar
- Overjet dan overbite, variasi seperti peningkatan overjet, deep
bite, open bite dan cross bite
- Malrelasi transfersal seperti crossbite dan pergeseran pada
midline atas dan bawah.
- Ketidakteraturan gigi individual seperti rotasi, displacement,
intruksi dan ekstruksi
- Lengkung atas dan bawah harus diperiksa secara individual
untuk mempelajari bentuk lengkungnya dan kesemetrisannya.
Bentuk lengkung bisa normal, sempit ( V shaped ) atau square.
C. Analisis fungsional
1. Path of closure
Adalah arah gerakan mandibula dari posisi istirahat ke oklusi
sentrik. Idealnya path of closure dari posisi istirahat ke posisi oklusi
maksimum berupa gerakan engsel sederhana melewati freeway space yang
besarnya 2-3 mm, arahnya ke atas dan ke depan.
Ada 2 macam perkecualian path of closure yang bisa dilihat adalah
deviasi mandibula dan displacement mandibula, yaitu:
- Path of closure yang berawal dari posisi kebiasaan mandibula
akan tetapi gigi mencapai oklusi maksimum mandibula dalam
posisi relasi sentrik. Ini disebut deviasi mandibula.
- Path of closure yang berawal dari posisi istirahat, akan tetapi
oleh karena adanya halangan oklusal maka didapatkan
displacement mandibula.
2. Freeway space (interocclusal clearance)
Adalah jarak antara oklusal pada saat mandibula dalam posisi
istirahat. Nilai normal freeway space menurut Houston (1989) adalah 2-3
mm.
3. Temporo mandibular (TMJ)
12
Adalah gerakan mandibula saat membuka dan menutup mulut. Lebar
pembukaan maksimal pada keadaan normal dari TMJ antara 35-40 mm, 7
mm gerakan ke lateral, dan 6 mm ke depan. Tanda-tanda adanya masalah
pada TMJ adalah adanya rasa sakit pada sendi, suara, dan keterbatasan
pembukaan.
4. Pola Atrisi
Pola atrisi dikatakan tidak normal apabila terjadi pengikisan
dataran oklusal gigi permanen pada usia fase geligi pergantian.
D. Analisis model
1. Jumlah lebar 4 insisiv rahang atas
Cara pengukurannya adalah diukur masing-masing lebar mesio-
distal pada lengkung terbesar dari ke- 4 insisiv rahang atas kemudian
dijumlahkan. Apabila jumlahnya: 28-36 mm, berarti normal, kurang dari 28
mm disebut mikrodonti dan bila lebih dari 36 mm disebut makrodonti.
2. Diskrepansi model
Adalah selisih antara tempat yang tersedia dengan tempat yang
dibutuhkan. Tujuan pengukuran ini adalah untuk menentukan adanya
kekurangan atau kelebihan tempat dari gigi geligi berdasarkan model studi
yang akhirnya untuk menentukan macam perawatan yang dilakukan pada
maloklusi yang ada.
3. Kurve of spee
Adalah kurva dengan pusat pada titik di tulang lakrimal dengan
radius pada orang dewasa 65-70 mm. kurva ini berkontak di 4 lokasi, yaitu
permukaan anterior kondili, daerah kontak distoklusal molar ketiga, daerah
kontak mesioklusal molar pertama, dan tepi insisal. Lengkung yang
menghubungkan insisal insisiv dengan bidang oklusal molar terakhir pada
rahang bawah. Pada keadaan normal kedalamannya tidak melebihi 1,5 mm.
Pada kurve spee yang positif (bentuk kurvanya jelas dan dalam) biasanya
didapatkan gigi insisiv yang supra posisi atau gigi posterior yang infra posisi
atau mungkin gabungan kedua keadaan tadi.
13
Kurva Spee
4. Diastema
Ruang antara dua gigi yang berdekatan, gingiva diantara gigi-gigi
kelihatan. Adanya diastema pada fase geligi pergantian masih merupakan
keadaan normal, tetapi adanya diastema pada fase geligi permanen perlu
diperiksa lebih lanjut untuk mengetahui apakah keaadaan tersebut suatu
keadaan yang tidak normal.
Diastema Multiple
5. Pergeseran gigi-gigi
Cara pemeriksaanya adalah dengan menggunakan simetroskop
yang diletakkan ditengah garis median gigi pada model studi, kemudian
dibandingkan antara gigi senama kiri dan kanan.
6. Gigi-gigi yang terletak salah
14
Menurut Angle (1907) dengan diketahuinya kelainan letak gigi
secara individu dapat direncanakan perawatan untuk meletakkan gigi-gigi
tersebut pada letaknya yang benar. Penyebutan letak gigi yang digunakan
diantaranya adalah sbb :
a. Versi : mahkota gigi miring ke arah tertentu tetapi akar gigi
tidak (misalnya mesioversi, distoversi, labioversi, linguoversi).
b. Infra oklusi : gigi yang tidak mencapai garis oklusal
dibandingkan dengan gigi lain dalam lengkung geligi.
c. Supra oklusi : gigi yang melebihi garis oklusal dibandingkan
dengan gigi lain dalam lengkung geligi.
d. Rotasi : gigi berputar pada sumbu panjang gigi, bias sentries
atau eksentris.
e. Transposisi : dua gigi yang bertukar tempat, misalnya kaninus
menempati tempat insisiv lateral dan insisiv lateral menempati
tempat kaninus.
f. Eksostema : gigi yang terletak di luar lengkung geligi
(misalnya kaninus atas).
Cara penyebutan lain seperti yang dianjurkan Lischer untuk gigi
secara individual adalah sbb :
a. Mesioversi : mesial terhadap posisi normal gigi.
b. Distoversi : distal terhadap posisi normal gigi.
c. Linguoversi : lingual terhadap posisi normal gigi.
d. Labioversi : labial terhadap posisi normal gigi.
e. Infraversi : inferior terhadap garis oklusi.
f. Supraversi : superior terhadap garis oklusi.
g. Aksiversi : inklinasi aksial yang salah (tipped).
h. Torsiversi : berputar menurut sumbu panjang gigi.
i. Transversi : perubahan urutan posisi gigi.
15
Kelainan letak gigi dapat juga merupakan kelainan sekelompok
gigi :
a. Protrusi : kelainan kelompok gigi anterior atas yang sudut
inklinasinya terhadap garis maksila > 110˚ untuk rahang bawah
sudutnya > 90˚ terhadap garis mandibula.
b. Retrusi : kelainan kelompok gigi anterior atas yang sudut
inklinasinya terhadap garis maksila < 110˚ untuk rahang bawah
sudutnya < 90˚ terhadap garis mandibula.
c. Berdesakan : gigi yang tumpang tindih.
d. Diastema : terdapat ruangan diantara dua gigi yang berdekatan.
A. gigi berdesakan, B. protrusi, C. retrusi
7. Pergeseran garis median
Pada palatum terdapat beberapa struktur anatomi yang penting
untuk menentukan garis median di palatum. Di anterior terdapat papilla
insisiva, di posterior terdapat rugae yang jumlahnya 3 pasang tiap sisi dan
rafe palatine di tengah palatum dalam arah anteroposterior. Titik pertemuan
rugae palatina kiri dan kanan dianggap paling stabil untuk dipakai acuan din
anterior sedangkan posterior yang dipakai adalah titik pada rafe palatine.
Bila dua titik ini dihubungkan didapat garis median rahang atas. Pada
keadaan normal garis ini melewati titik kontak insisivi sentral atas.
Penentuan garis median rahang bawah lebih sukar. Cara menentukan adalah
16
dengan membuat titik pada perlekatan frenulum labial dan lingual. Titik ini
biasanya melewati titik kontak insisivi sentral bawah. Pada keadaan normal
garis median muka / rahang dan garis median lengkung geligi terletak pada
satu garis (berimpit). Pada keadaan tidak normal karena sesuatu sebab maka
garis median muka dipakai sebagai acuan.
Untuk menilai apakah terdapat pergeseran garis median lengkung
geligi terhadap median muka dilihat letak insisivi sentral kiri dan kanan.
Bila titik kontak insisivi sentral terletak di sebelah kiri garis median muka
maka keadaan ini disebut terjadi pergeseran ke kiri, demikian pula
sebaliknya.
Cara melihat pergeseran garis median adalah dengan melihat
apakah garis median muka melewati titik kontak insisivi sentral masing-
masing rahang. Bila titik kontak terletak pada garis median berarti tidak
terdapat pergeseran akan tetapi bila titik kontak terletak di sebelah kiri atau
kanan garis median muka maka terdapat pergeseran ke kiri atau ke kanan.
Pergeseran garis median rahang bawah ke kiri
8. Relasi gigi posterior
Relasi gigi adalah hubungan gigi atas dan bawah dalam keadaan
oklusi. Gigi yang diperiksa adalah molar pertama permanen, dan kaninus
17
pertama permanen. Pemeriksaan dalam jurusan sagital, transversal, dan
vertical.
a. Relasi jurusan sagital
Kemungkinan relasi molar yang dapat terjadi adalah :
- Neutroklusi : tonjol mesiobukal molar pertama permanen atas
terletak pada lekukan bukal molar pertama permanen bawah.
- Distoklusi : tonjol distobukal molar pertama permanen atas
terletak pada lekukan bukal molar pertama permanen bawah.
- Mesioklusi : tonjol mesiobukal molar pertama permanen atas
terletak pada tonjol distal molar pertama permanen bawah.
- Gigitan tonjol : tonjol mesiobukal molar pertama permanen
atas beroklusi dengan tonjol mesiobukal molar pertama
permanen bawah.
- Tidak ada relasi : bila salah satu molar pertama permanen tidak
ada misalnya oleh karena telah dicabut, atau bila kaninus
permanen belum erupsi.
Relasi molar pertama permanen jurusan sagital, A. neutroklusi, B.
distoklusi, C. mesioklusi, D. gigitan tonjol
18
Relasi molar pertama permanen A. neutroklusi, B. distoklusi, C.
mesioklusi, D. gigitan tonjol, E. tidak ada relasi, karena molar
bawah fraktur
b. Relasi jurusan transversal
Pada keadaan normal relasi transversal gigi posterior adalah gigitan
fisura luar rahang atas, oleh karena rahang atas lebih lebar daripada rahang
bawah. Apabila rahang atas terlalu sempit atau terlalu lebar dapat
menyebabkan terjadinya perubahan relasi gigi posterior dalam jurusan
transversal. Perubahan yang dapat terjadi adalah : gigitan tonjol, gigitan
fisura dalam atas, dan gigitan fisura luar atas.
A. gigitan fisura luar rahang atas, B. gigitan silang total luar rahang atas, C.
gigitan fisura dalam rahang atas, D. gigitan silang total dalam rahang
atas
c. Relasi dalam jurusan vertical
19
Kelainan dalan jurusan vertical dapat berupa gigitan terbuka yang
berarti tidak ada kontak antara gigi atas dan bawah pada saat oklusi.
d. Relasi gigi anterior rahang atas dan rahang bawah
Relasi gigi anterior diperiksa dalam jurusan sagital dan vertical.
Relasi yang normal dalam jurusan sagital adalah adanya jarak jarak gigit /
overjet. Pada keadaan normal gigi insisivi akan berkontak, insisivi atas di
depan insisivi bawah dengan jarak selebar ketebalan tepi insisal insisivi atas,
kurang lebih 2-3 mm dianggap normal. Bila insisivi bawah lebih anterior
daripada atas disebut jarak gigit terbalik atau gigitan silang anterior atau
gigitan terbalik.
Jarak gigit dan tumpang gigit normal
Untuk mendapatkan pengukuran yang sama maka di klinik
digunakan pengertian jarak gigit adalah jarak horizontal antara insisal atas
dengan bidang labial insisivi bawah. Jarak gigit pada gigitan silang anterior
diberi tanda negative, misalnya -3 mm. Pada relasi gigitan edge to edge jarak
gigitnya 0 mm.
A. Gigitan terbalik
B. Edge to edge
20
Pada jurusan vertical dikenal adanya tumpang gigit / over bite yang
merupakan vertical overlap of the incisors. Di klinik tumpang gigit diukur
dari jarak vertical insisal insisivi atas dengan insisal insisivi bawah, yang
normal ukurannya 2 mm. Tumpang gigit yang bertambah menunjukkan
adanya gigitan dalam. Pada gigitan terbuka tidak ada overlap dalam jurusan
vertical, tumpang gigit ditulis dengan tanda negative, misalnya -5 mm. Pada
relasi edge to edge tumpang gigitnya 0 mm.
A. Gigitan dalam
B. Edge to edge
C. Gigitan terbuka
e. Klasifikasi maloklusi
Klasifikasi Angle:
1. Kelas I : terdapat relasi lengkung anteroposterior yang normal dilihat
dari relasi molar pertama permanen (neutroklusi). Kelainan yang
menyertai dapat berupa, misalnya, gigi berdesakan, gigitan terbuka,
protrusi, dll.
2. Kelas II : lengkung rahang bawah paling tidak setengah tonjol lebih ke
distal daripada lengkung atas dilihat dari relasi molar pertama
permanen (distoklusi).
- Kelas II divisi 1 : insisivi atas protrusi sehingga didapatkan
jarak gigit besar, tumpang gigit besar, dan kurva spee positif.
21
- Kelas II divisi 2 : insisivi sentral atas retroklinasi, insisivi
lateral atas proklinasi, tumpang gigit besar (gigitan dalam).
Jarak gigit bias normal atau sedikit bertambah.
- Kelas III : lengkung rahang bawah paling tidak setengah tonjol
lebih ke mesial terhadap lengkung atas dilihat dari relasi molar
pertama permanen (mesioklusi) dan terdapat gigitan silang
anterior.
Maloklusi kelas I Angle disertai A. Gigitan terbuka, B. Berdesakan dan
pergeseran garis median, C. Protrusi, D. Gigitan dalam, E. Berdesakan dan edge
to edge.
22
Maloklusi kelas II divisi 1
Maloklusi kelas II divisi 2 Angle
Maloklusi kelas III disertai berdesakan
23
E. Hasil Analisis Model pada Skenario
a. Bentuk lengkung geligi: normal, berbentuk parabola.
b. Relasi molar: relasi kelas I Angle, dengan diastema sentral RA dan
gigitan silang anterior dan berdesakan anterior. Atau dapat juga
diklasifikasikan sebagai maloklusi kelas I Angle Tipe 1 Dewey.
c. Pergeseran garis median: pergeseran 2mm kekiri pada RA dan 3mm
kekiri pada RB.
d. Relasi caninus: tidak ada relas, karena caninus permanennya hanya ada
satu.
e. Perpindahan gigi geligi: pada RA, gigi 11 dan 12 bergeser ke mesial,
dan pada RB, gigi 41 dan 42 bergeser kearah mesial juga.
f. Gigi yang salah letak: gigi 11 (mesio labial rotasi sentrik), gigi 12
(palatoversi), gigi 22 (palatoversi), gigi 41 (rotasi sentrik), gigi 42
(linguoversi).
g. Kurve of spee: cekung (positif) yang disebabkan karena adanya
kekurangan tempat.
III.2 Etiologi Maloklusi
.Keadaan ini terjadi pada awal pertumbuhan atau saat proses pematangan
selanjutnya. Menurut Graber, menentukan klasifikasi faktor-faktor etiologi
maloklusi yang meliputi :
A. Faktor Umum
1. Herediter
Lundstorm, meneliti pada anak kembar dan menemukan ciri-ciri yang
sama berhubungan dengan keturunan, yaitu:
24
a. ukuran gigi
b. panjang dan lebar lengkung
c. gigi berdesakan dan diastema
d. overjet
Faktor keturunan juga berperan pada keadaan-keadaan sebagai berikut ini:
a. kelainan kongenital
b. asimetri muka
c. macrognatia dan micrognatia
d. oligodonti dan anodonti
e. variasi ukuran gigi
f. cleft palate dan harelip
g. frenulum
h. deep overbite
i. gigi berdesakan dan rotasi
j. retrusi mandibula
k. prognansi mandibula
Pada ras yang berbeda memiliki bentuk kepala yang berbeda. Pada
individu dengan bentuk muka yang lebar memiliki bentuk lengkung
rahang yang lebar pula, demikian juga pada bentuk muka sempit terdapat
lengkung rahang yang sempit pula.
2. Kelainan kongenital
Kelainan kongenital sangat berhubungan dengan keturunan.
Contoh kelainan kongenital: celah palatum dan celah bibir. Pada unilateral
celah gigi-gigi ada daerah/sisi celah ters tetapi biasanya terdapat cross bite,
gigi rahang atas malposisi, gigi insisiv lateral mungkin missing tau
bentuknya tidak normal. Contoh lain: cerebral palsy, torticollis,
cleidocranial dysostosis, dan syphilis congenital.
3. Lingkungan
25
a. Lingkungan prenatal
Posisi abnormal pada fetus dapat menyebabkan cacat cranial atau
simetri muka. Diet dan metabolism ibu dapat menyebabkan kelainan
pertumbuhan. Obat-obatan, trauma dan German Measles, menyebabkan
kelainan kongenital dan maloklusi.
b. Lingkungan postnatal
Proses kelahiran dengan forceps, kecelakaan, jatuh yang
mengakibatkan fraktur pada kondil dapat menyebabkan asimetri muka.
Luka bakar juga dapat menyebabkan maloklusi.
4. Disharmoni Dento Maxilar ( DDM )
Disharmoni dentomaksiler merupakan disproporsi besar gigi
dengan lengkung geligi. Faktor utama penyebab DDM adalah faktor
herediter atau keturunan, misalnya seorang anak mewarisi ukuran gigi
ibunya yang cenderung berukuran kecil dan anak tersebut mewarisi ukuran
lengkung geligi ayahnya yang berukuran relatif besar. Sehingga terjadi
diastema menyeluruh dikarenakan disproporsi ukuran gigi dan lengkung
geligi. Selain itu ada beberapa faktor lain yang juga mendukung timbulnya
kelainan ini, yaitu faktor lokal seperti gaya hidup, misalnya anak tersebut
kurang mengkonsumsi makanan keras sehingga pertumbuhan rahang kurang
maksimal, dan ukuran rahang menjadi lebih kecil dari ukuran yang
seharusnya. Hal ini menyebabkan DDM tipe transitoir. Pada DDM tidak
harus terjadi pada kedua rahang ataupun pada kedua sisi, DDM bisa terjadi
hanya pada salah satu sisi ataupun pada salah satu rahang. Namun pada
umumnya DDM lebih sering terlihat pada rahang atas, karena lengkung
rahang untuk tempat erupsi gigi permanen pada rahang atas hanya terbatas
pada tuberositas maksila saja, sedangkan pada rahang bawah sampai pada
ramus ascenden. DDM dibagi menjadi tiga tipe, yaitu:
a. Tipe berdesakan, merupakan keadaan yang sering dijumpai yaitu ukuran gigi-
gigi yang berukuran besar pada lengkung geligi yang normal, atau ukuran gigi
26
normal pada lengkung geligi yang kecil sehingga menyebabkan letak gigi
berdesakan.
b. Diastema menyeluruh, tidak adanya harmoni antara besar gigi dan lengkung
gigi yaitu ukuran gigi kecil dengan lengkung geligi normal ataupun ukuran gigi
normal dengan lengkung geligi yang besar.
c. Tipe transitoir, ketidakharmonisan erupsi gigi dengan pertumbuhan tulang,
yang menyebabkan gigi berdesakan. DDM tipe transitoir ini bias terkoreksi
seiring bertambahnya usia karena pertumbuhan tulang rahang dan ukuran gigi
tetap, sehingga keterlambatan pertumbuhan, maka tidak dianjurkan melakukan
pencabutan karena dapat menyebabkan diastema. Untuk mendiagnosa DDM
tipe transitoir bias dilakukan perbandingan antara gambaran normal gigi geligi
saat itu dengan gambaran dari gigi pasien.
5. Gangguan metabolisme
Exanthematous fevers, dapat menyebabkan gangguan pertumbuhan
dan perkembangan gigi, yaitu dapat mempengaruhi waktu erupsi, resorbsi
dan tanggal premature. Penyakit-penyakit dengan gangguan fungsi otot
seperti dystrophy otot dan serebral palsy, dapat menyebabkan efek pada
lengkung gigi. Penyakit dengan efek paralysis seperti poliomyelitis juga
dapat menyebabkan maloklusi, yaitu dapat menyebabkan anteroposterior
discrepancy.
6. Problema diet
Gangguan seperti penyakit rickets, scurvy dan beri-beri dapat
menyebabkan maloklusi ringan. Problema utamanya adalah terjadi
gangguan waktu pertumbuhan gigi, yaitu akan terjadi tanggal premature,
erupsi gigi permanen yang lama, kesehatan jaringan yang buruk dan pola
erupsi yang abnormal yang dapat menimbulkan maloklusi. Cronic
alcoholism dan gangguan metabolisme yang menyebabkan penggunaan
zat-zat esensial oleh tubuh terganggu, yang menyebabkan terjadi
malnutrisi.
7. Kebiasaan jelek (abnormal pressure habits)
27
Tulang merupakan jaringan yang responsive terhadap tekanan.
Peranan otot sangat menentukan. Bila terjadi malrelasi RA dan RB fungsi
normal otot terganggu, akan terjadi aktivitas adaptasi dari otot-otot.
Gangguan kseimbangan tekanan intra dan ekstra oral akan menyebabkan
maloklusi. Penelanan abnormal dapat menyebabkan gigi anterior terbuka
dan gigi anterior terdorong ke labial.
8. Posisi tubuh
Posisi tubuh yang kurang baik dapat menimbulkan maloklusi.
Posisi dimana kepala menggantung dengan dagu menempel di dada,
menyebabkan mandibula retrusi. Kepala diletakkan pada tangan, tidur
pada lengan dan guling dapat menyebabkan maoloklusi.
9. Trauma dan kecelakaan
Gigi sulung non vital akibat trauma memiliki pola resorbsi
abnormal dan dapat mempengaruhi gigi penggantinya. Gigi non vital harus
diperiksa secara radiografi pada interval waktu tertentu untuk mengetahui
resorbsi akar dan kemungkinan terjadinya infeksi apical.
B. Faktor local
1. Anomali jumlah gigi
Kelainan jumlah gigi merupakan salah satu penyebab terjadinya
maloklusi gigi, dibandingkan dengan faktor etiologi yang faktor ini relatif
lebih jarang ditemukan karena etiologi dari adanya kelainan jumlah gigi
sangat terpaut dengan adanya faktor herediter atau keturunan. Kelainan
jumlah gigi secara garis besar terdiri dari:
a. Kelebihan jumlah gigi
Kelebihan jumlah gigi pada lengkung rahang biasanya dapat
menyebabkan suatu keadaan yang crowded atau berdesakan. Frekuensi
terbesar dari kelainan ini adalah adanya kelebihan jumlah gigi yang
terdapat diantara kedua insisvus sentral yang biasanya disebut dengan
mesiodens, gigi ini bila erupsi tepat pada sutura palatine maka akan
28
menyebabkan terjadinya diastema sentral yang cukup besar, namun bila
mesiodens erupsinya dibagian palatinal maka akan menyebabkan crowded.
Terkadang ditemukan pula mesiodens yang tidak erupsi, jika
terjadi hal yang demikian maka biasanya disebut dengan dentigerous cyst,
apabila keberadaannya tidak mengganggu dan tidak terjadi keluhan oleh
penderita maka keadaan ini dibiarkan saja. Mesiodens yang mampu erupsi
terkadang memiliki bentuk dan ukuran yang tidak normal (konus).
Selain mesiodens gigi syang sering mengalami kelainan kelebihan
jumlah gigi dalah latordens (terdapat diantara insisivus sentral dan
insisivus lateral), para premolar (terdapat diantara gigi premolar) dan para
molar (terdapat diantara gigi-gigi molar).
b. Kekurangan jumlah gigi
Kekurangan jumlah gigi atau hipodonsia adalah tidak tumbuhnya
satu atau lebih elemen gigi yang secara normal dijumpai pada gigi geligi
akibat agenesis yaitu tidak terbentuknya benih gigi. Agenesis dapat terjadi
pada satu atau lebih elemen dimana bila terjadi pada beberapa gigi disebut
dengan agenesis soliter (satu atau dua gigi) dan dikatakan oligodonsia bila
agenesis terjadi pada multi elemen. Namun kekurangan jumlah gigi yang
disebabkan oleh karena retensi (tidak dapat erupsi), ekstraksi atau trauma
tidak dikategorikan dalam hipodonsia.
Umumnya kelainan ini disebut dengan aginisi. Aginisi yang paling
sering terjadi secara berurutan adalah molar ketiga pada rahang atas dan
rahang bawah, insisivus lateral rahang atas, premolar kedua rahang bawah,
insisivus lateral rahang bawah, dan terakhir premolar kedua rahang atas,
namun tidak menutup kemungkinan terjadinya aginisi pada gigi-gigi yang
lain mengingat etiologi dari kelainan ini adalah faktor keturunan.
Kekurangan jumlah gigi selain aginisi dapat juga disebabkan oleh
faktor trauma sehingga gigi permanen tanggal pada usia muda, biasanya
sering terjadi pada insisivus sentral rahang atas.
2. Anomali ukuran gigi
29
Sama dengan kelainan jumlah gigi, kelainan ukuran gigi juga
disebabkan oleh faktor keturunan. Kelainan ini dapat mempengaruhi
perkembangan oklusi gigi geligi karena terdapat ketidakharmonisan antara
ukuran gigi dengan ukuran rahang. Secara garis besar kelainan dapat
dikelompokkan menjadi:
a. Makrodonsi
Istilah makrodonsi dapat diartikan gigi yang ukurannya melebihi
ukuran gigi normal. Kelainan ini menyebabkan kekurangan tempat pada
lengkung rahang sehingga elemen-elemen pengganti terakhir tidak dapat
tumbuh pada tempat yang salah. Maloklusi yang ditimbulkan oleh
kelainan ini adalah gigi geligi akan tumbuh saling berdesakan.
b. Mikrodonsi
Merupakan kebalikan dari makrodonsi, gigi-gigi yang mengalami
mikrodonsi adalah gigi-gigi yang ukurannya lebih kecil dari normal,
biasanya kelainan mikrodonsi ini diikuti oleh kelainan bentuk gigi.
Maloklusi yang diakibatkan adalah diastema patologis pada daerah gigi
yang mengalami mikrodonsi, bahkan apabila terjadi lebih satu gigi maka
akan menyebabkan diastema multiple.
3. Anomali bentuk gigi
Kelainan ini sangat erat hubungannya dengan kelainan ukuran gigi.
Frekuensi paling sering terjadi adalah insisivus sentral rahang atas dan
premolar kedua rahang bawah biasanya terdapatnya extra lingual cusp.
Etiologi dari kelainan ini adalah faktor keturunan dan faktor-faktor
kelainan pertumbuhan misalnya delelopmental defect, amelogenesis
imperfect, hipoplasia, germination dan Hutchinson’s.
4. Frenulum labial yang tinggi
Frenulum labial yang tinggi pada rahang atas terkadang dapat
menyebabkan malposisi dari gigi, terutama pada kedua gigi insisivus
sentral. Frenulum labial pada masa bayi, normalnya mempunyai daerah
perlekatan yang rendah di dekat puncak prosesus alveolaris diatas garis
30
tengah. Pada fase geligi sulung frenulum labial sering terlihat melekat
pada prosesus alveolaris diantara gigi-gigi insisisvus sentral rahang atas.
5. Tanggal premature gigi sulung
Salah satu fungsi dari gigi sulung adalah menyediakan tempat bagi
gigi permanen penggantinya dan secara tidak langsung juga
mempertahankan panjang lengkung geligi. Penyebab kelainan ini adalah
karies dan trauma.
6. Letak salah benih
Pada umumnya letak salah benih menyababkan erupsi gigi yang
bersangkutan tidak pada lengkung yang benar. Secara klinis letak salah
benih biasanya ditandai dengan adanya rotasi atau versi, dimana rotasi
merupakan sumbu gigi pada arah vertical sedangkan versi adalah
perputaran sumbu gigi dalam arah horizontal.
7. Persistensi
Persistensi dapat didefinisikan sebagai gigi sulung yang tidak
tanggal dimana gigi permanen penggantinya sudah mulai erupsi, jadi jelas
kelainan ini haya terjadi pada gigi sulung saja.
8. Karies proksimal
Karies pada daerah proksimal merupakan etiologi local dari
terjadinya maloklusi karena apabila daerah proksimal mengalami karies
dan tidak dirawat maka akan terjadi pergeseran gigi-gigi sebelahnya
menuju daerah yang kosong dan hal ini akan mengakibatkan terjadinya
pemendekan lengkung rahang sehingga apabila gigi permanen pengganti
telah erupsi semua akan terjadi kekurangan tempat.
9. Pengaruh jaringan lunak
Tekanan dari otot bibir, pipi dan lidah memberi pengaruh yang
besar terhadap letak gigi. Meskipun tekanan dari otot-otot ini jauh lebih
kecil daripada tekanan otot pengunyah tetapi berlangsung lebih lama.
Menurut penelitian tekanan yang berlangsung selama 6 jam dapat
31
mengubah letak gigi. Dengan demikian dapat dipahami bahwa bibir, pipi
dan lidah yang menempel terus pada gigi hampir selama 24 jam dapat
sangat mempengaruhi letak gigi. Tekanan dari lidah, misalnya karena letak
lidah pada posisi istrahat tidak benar atau karena adanya makroglosi dapat
mengubah keseimbangan tekanan lidah dengan bibir dan pipi sehingga
insisivus bergerak ke labial. Dengan demikian patut dipertanyakan apakah
tekanan lidah dapat mempengaruhi letak insisivus karena meskipun
tekanannya cukup besar yang dapat menggerakkan gigi tetapi berlagsung
dalam waktu yang singkat. Bibir yang telah dioperasi pada pasien celah
bibir dan langit-langit kadang-kadang mengandung jaringan parut yang
selain tekanannya yang besar oleh karena bibir pada keadaan tertentu
menjadi pendek sehingga memberi tekanan yang lebih besar dengan akibat
insisivus tertekan ke palatal.
10. Faktor iatrogenic
Pengertian kata iatrogenik adalah berasal dari suatu tindakan
profesional. Perawatan ortodontik mempunyai kemungkinan terjadinya
kelainan iatrogenik. Misalnya, pada saat menggerakkan kaninus ke distal
dengan peranti lepasan tetapi karena kesalahan desain atau dapat juga saat
menempatkan pegas tidak benar sehingga yag terjadi gerakan gigi kedistal
dan palatal. Contoh lain adalah pemakaian kekuatan yang besar untuk
menggerakkan gigi dapat menyebabkan resobsi akar gigi yang digerakkan,
resobsi yang berlebihan pada tulang alveolar selain kematian pulpa gigi.
Kelainan jaringan periodontal dapat juga disebabkan adanya perawatan
ortodontik, misalnya gerakkan bibir kearah labial/bukal yang berlebihan
dapat menyebabkan terjadinya dehiscence dan fenestrasi.
III.3 Rencana Perawatan Ortodonsia sesuai Kartu Status
1. Ekstraksi Seri
Ekstraksi seri merupakan suatu metode untuk melakukan
perawatan orthodonti dalam periode geligi campuran (mixed dentition)
untuk mencegah terjadinya maloklusi pada gigi - gigi tetap (permanent
32
dentition) dengan jalan melakukan pencabutan gigi - gigi yang dipilih pada
interval waktu yang tertentu serta menurut cara - cara yang telah
dilaksanakan dengan observasi dan diagnosa yang tepat dan teliti sehingga
merupakan suatu prosedur yang memerlukan kesabaran dan penelitian yang
lama tanpa memakai alat orthodonti. Jadi, merupakan suatu cara untuk
mendapatkan koereksi sendiri (self correction). (Buku Ajar Orthodonsi 2.
2003. 67)
Indikasi dan kontraindikasi Ekstraksi Seri:
Indikasi :
a. Adanya Disharmony Dento-Maksiler.
b. Pada fase geligi pergantian.
c. Perawatan hanya dapat dilakukan bila diyakini bahwa basis apical terlalu
kecil untuk memuat semua geligi dalam lengkung yang rata.
d. Protrusi bimaksilar.
e. Pada maloklusi kelas I.
f. Pada maloklusi kelas II divisi 1.
g. Tanggal gigi sulung satu atau lebih yang mengakibatkan lengkung gigi
menjadi pendek.
Kontraindikasi :
a. Maloklusiklas I angle dengan kekurangan tempat yang kecil (sedikit
berdesakan).
b. Ada mutilasi.
c. Deep overbite atau open bite.
d. Maloklusi kelas II divisi 2 dan kelas III.
Kemungkinan tindakan dalam Ekstraksi Seri:
Pelaksanaan ekstraksi seri yang mungkin dilakukan sebagai berikut :
a. Kaninus sulung > m1 > P1
b. Kaninus sulung > P1
33
Pencabutan kaninus sulung:
a. Untuk member tempat bagi insisif permanen agar dapat terletak baik
dalam lengkung.
b. Perlu dipikirkan untuk tempat C permanen >setelah + 1 th, I permanen
terletak baik, perlu dilakukan foto lokal, bila semua benih ada dan
letaknya baik > tentukan rencana perawatan selanjutnya.
Pencabutan m1 & P1:
a. Di RA tidak dilakukan pencabutan m1, karena biasanya P1 lebih dulu
dari caninus > biarkan erupsi sendiri dengan meresopsi m1.
b. Di RB > kaninus sering erupsi lebih dahulu dari P1.
Pencabutan P1 :
a. Dilakukan bila kaninus permanen sudah waktunya erupsi, sebab kalau
terlalu cepat dicabut kemungkinan besar M1 dan m2 akan bergeser ke
mesial sehingga tempat untuk kaninus permanen menjadi berkurang.
Dapat dilakukan ekstraksi seri gigi 52 dan 82 sesuai pada kasus.
2. Koreksi berdesakan: dapat digunakan alat kantilever aktif
3. Koreksi garis median
4. Koreksi diastema: dapat digunakan alat kantilever aktif
5. Koreksi gigitan silang: dapat digunakan alat kantilever ganda.
34
BAB IV
KESIMPULAN
1. Cara diagnosis ortodonsia sesuai dengan kartu status ada empat macam,
yaitu analisis umum, analisis local, analisis fungsional dan juga analisis
model.
2. Etiologi maloklusi dapat berupa factor umum, seperti: herediter, kelainan
congenital, lingkungan, Disharmoni Dento Maxilar ( DDM ), gangguan
metabolism, problema diet, kebiasaan jelek (abnormal pressure habits),
posisi tubuh, dan juga trauma dan kecelakaan. Atau dapat berupa factor
local, seperti: anomali jumlah gigi, anomali ukuran gigi, anomali bentuk
gigi, frenulum labial yang tinggi, tanggal premature gigi sulung, letak
salah benih, persistensi, karies proksimal, pengaruh jaringan lunak, dan
juga faktor iatrogenic.
3. Rencana perawatan ortodonsia pada scenario sesuai kartu status yaitu
ekstraksi seri, dilanjutkan koreksi berdesakan, koreksi garis median,
koreksi diastema danyang terkahir koreksi gigitan silang.
35
DAFTAR PUSTAKA
Foster, T.D. 1997. Buku ajar ortodonsi edisi III. Jakarta: EGC.
Graber, T.M. 1972. Orthodontics, Principles and Practice, 3rd
ED. Philadhelphia,
London, Toronto: W.B. Saunders Co.
Herniyati, dkk. 2012. Buku Ajar Ortodonsia I Edisi Pertama. Jember: FKG
UNEJ.
Kusnoto, H. 1977. Penggunaan Sefalometri Radiografi dalam bidang Orthodonti.
Jakarta: Bagian Orthodonti, Fakultas Trisakti.
Moyers, R.E. 1988. Handbook of Ortodontics, 4th
Ed. Chicago, London, Boca
Raton: Year Book Medical Publisher, Inc.
Proffit, W.R.,Fields, H.W., Ackermann, J.L., Thomas, P.M. and Camilla Tulloch,
J.F. 1986. Contemporary Orthodontics. Toronto, London: The C.V. Mosby
Co,. St. Louis.
Rahardjo, Pambudi. 2009. Peranti Ortodonti Lepasan. Surabaya: Airlangga
University Press.
Rahardjo, Pambudi. 2009. Ortodonti Dasar. Surabaya: Airlangga University
Press.
Salzmann, J.A. 1950. Principles of Orthodontics, 2nd
Ed. Philadelphia, London:
J.B. Lippincott Co.