Upload
rendra-hadrian
View
32
Download
0
Embed Size (px)
Citation preview
Prosiding Seminar Ilmiah dan Pertemuan Tahunan PEI PFI XIX Komisariat Daerah Sulawesi Selatan, 5 Nopember 2008
PENGUJIAN CENDAWAN ENTOMOPATOGEN Fusarium spp. TERHADAP PENGGEREK BATANG JAGUNG Ostrinia furnacalis GUENEE
(LEPIDOPTERA: PYRALIDAE)
Melina1) , Ahdin Gassa1) , D.P.Madika2) dan Yumarto3) 1) Staf pengajar Jurusan Hama dan Penyakit Tumbuhan, Faperta UNHAS
2) Staf Pengajar SMK Neg.I Mamasa 3) Fungsional BPTPH Maros
ABSTRAK
Penelitian bertujuan untuk menemukan konsentrasi spora cendawan Fusarium spp. yang paling efektif mematikan larva O. furnacalis. dan mengamati perkembangan sampai menjadi imago. Pakan serangga dicelupkan ke dalam masing-masing perlakuan konsentrasi cendawan lalu dimasukkan dalam wadah yang berisi masing-masing 10 ekor larva uji. Perlakuan konsentrasi spora Fusarium yang digunakan adalah105, 106 dan107
spora/ml dan kontrol. Parameter yang diamati adalah mortalitas larva, persentase pupa yang terbentuk dan persentase kemunculan imago. Hasil penelitian menunjukkan rata-rata tingkat mortalitas larva O. furnacalis pada pengamatan 9 hari setelah aplikasi masing-masing sebesar 36,7%, 23,4%, 20%, dan 10% pada perlakuan 107 ,106, 105 spora/ml, dan kontrol. Persentase pupa yang terbentuk masing-masing sebesar 63,3%, 76,6%, 80% dan 90% pada perlakuan 107,106, 105 spora/ml, dan kontrol, sedangkan persentase kemunculan imago sebesar 40%, 53,3%, 63,3% dan 90% pada perlakuan 107 ,106, 105
spora/ml, dan kontrol.
Kata kunci : Fusarium spp., Ostrinia furnacalis, tanaman jagung
PENDAHULUAN
Di Sulawesi Selatan, jagung merupakan salah satu komoditas unggulan yang mendapat prioritas untuk dikembangkan. Selama beberapa tahun terakhir, luas panen dan produksi jagung di daerah ini berfluktuasi namun cenderung mengalami peningkatan produksi. Pada kurun waktu 2002-2006 luas panen tanaman jagung di Sulawesi Selatan berturut-turut 205.909 ha, 213.818 ha, 196.393 ha, 206569 ha, dan 206.387 ha dengan produksi berturut-turut 661.005 ton, 650.832 ton, 674.715 ton, 705.995 ton, dan 709.352 ton (Anonim, 2007).
Hama dan penyakit pada tanaman jagung merupakan hambatan utama dalam mempertahankan stabilitas produksi. Dari sekian banyak organisme pengganggu yang berasosiasi dengan tanaman jagung, Ostrinia furnacalis merupakan hama utama yang perlu mendapatkan perhatian. Serangga hama ini menyerang dengan cara menggerek batang tanaman jagung, selain itu juga menyerang daun, bunga jantan dan tongkol. Akibat serangan hama ini, batang yang digerek menjadi lemah dan mudah patah terutama bila hembusan angin cukup kencang.
211
Melina) , Ahdin Gassa) , D.P.Madika dan Yumarto: Pengujian Cendawan Entomopatogen Fusarium spp. Terhadap Penggerek Batang Jagung Ostrinia furnacalis Guenee (Lepidoptera: Pyralidae)
Kehilangan hasil yang diakibatkan oleh serangan hama ini bisa mencapai 80 % bila tidak dilakukan pengendalian.
Pengendalian hama pada tanaman jagung pada umumnya dilakukan dengan aplikasi insektisida. Frekuensi aplikasi cukup tinggi per satu musim tanam, akibatnya akan menimbulkan berbagai dampak negatif antara lain terjadinya resistensi, resurgensi, matinya organisme berguna dan organisme non target lainnya, serta terjadinya pencemaran lingkungan.
Untuk mengatasi dampak negatif penggunaan insektisida pada tanaman jagung perlu upaya mencari alternatif pengendalian yang lebih memperhatikan faktor-faktor lingkungan. Pengendalian hayati merupakan salah satu taktik dasar yang penting dalam Pengendalian Hama Terpadu (PHT) yang dengan sengaja memanfaatkan atau memanipulasi musuh-musuh alami hama yaitu dari kelompok parasitoid, predator dan patogen untuk menurunkan atau mengendalikan populasi hama (Untung, 1993).
Pemanfaatan patogen serangga untuk pengendalian hama telah dilakukan selama bertahun-tahun, sebagai contoh pemanfaatan bakteri Bacillus thuringiensis untuk pengendalian serangga hama dari kelompok lepidoptera, pemanfaatan cendawan Beauveria bassiana, Metarrhizium sp. untuk pengendalian hama-hama sayuran (Hoffman and Frodsham, 1993).
Cendawan Fusarium sp. ditemukan menyerang secara alami dan menyebabkan kematian pada beberapa serangga hama dari kelompok lepidoptera (Melina, 1999). Dari hasil uji pendahuluan cendawan ini dapat menyebabkan mortalitas pada penggerek batang jagung. Berdasarkan uraian tersebut diatas maka penelitian ini bertujuan untuk menemukan konsentrasi spora yang paling efektif untuk mengendalikan O. furnacalis yang merupakan hama utama tanaman jagung.
METODE PENELITIAN
Perbanyakan Serangga O. furnacalis Larva O. furnacalis diambil dan dikumpulkan dari pertanaman
jagung lalu dibawa ke laboratorium dan dipelihara pada pakan baby corn dan batang jagung segar sebagai makanannya, serta larutan madu untuk makanan imago. Wadah pemeliharaan diletakkan dalam kurungan serangga. Perbanyakan dilakukan sampai didapatkan jumlah serangga yang cukup untuk pengujian.
Penyediaan isolat cendawan Fusarium sp. Cendawan Fusarium berasal dari koleksi laboratorium jurusan hama
dan penyakit tumbuhan. Cendawan ini ditumbuhkan pada media PDA lalu dimurnikan. Biakan murni dimasukkan dalam labu erlenmeyer,
212
Prosiding Seminar Ilmiah dan Pertemuan Tahunan PEI PFI XIX Komisariat Daerah Sulawesi Selatan, 5 Nopember 2008
ditambahkan aquadest steril lalu dikocok untuk melepaskan sporanya. Pengenceran dilakukan kemudian dihitung konsentrasinya dengan menggunakan Haemocytometer. Untuk menghitung konsentrasi spora digunakan rumus yang dikemukakan oleh Sudibyo (1994) sebagai berikut :
t
K = --------------------------- x 106 n x 0,25
Keterangan : K = Konsentrasi spora per ml larutan t = Banyaknya spora yang dihitung pada kotak penghitungan n = Banyaknya kotak yang diamati
Pengujian Pakan baby corn dipotong dan ditimbang lalu dicelupkan pada
masing-masing perlakuan konsentrasi cendawan selama 10 detik lalu dimasukkan dalam wadah yang berisi masing-masing 10 ekor larva instar 2 yang telah dilaparkan. Perlakuan konsentrasi spora Fusarium yang digunakan adalah : A = Konsentrasi 105 spora/ml B = Konsentrasi 106 spora/ml C = Konsentrasi 107 spora/ml D = Kontrol (aquadest steril) Rancangan percobaan yang digunakan adalah Rancangan Acak Lengkap (RAL) yg diulang sebanyak tiga kali, sehingga secara keseluruhan terdapat 12 unit perlakuan.
Pengamatan Pengamatan dilakukan setiap hari mulai satu hari setelah aplikasi
sampai munculnya serangga dewasa (imago). Parameter yang diamati adalah mortalitas larva, persentase pupa yang terbentuk dan persentase kemunculan imago. Gejala morfologis yang ditimbulkan pada masing-masing fase perkembangan diamati dan dicatat.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Mortalitas larva Hasil pengamatan rata-rata tingkat mortalitas larva O. furnacalis pada 1 hari sampai 9 hari setelah perlakuan aplikasi Fusarium pada berbagai konsentrasi disajikan pada gambar 1.
213
Melina) , Ahdin Gassa) , D.P.Madika dan Yumarto: Pengujian Cendawan Entomopatogen Fusarium spp. Terhadap Penggerek Batang Jagung Ostrinia furnacalis Guenee (Lepidoptera: Pyralidae)
Gambar 1. Rata-Rata Persentase Mortalitas larva O. furnacalis Setelah
Aplikasi Fusarium pada Berbagai Konsentrasi
Pada pengamatan 1 hari setelah aplikasi belum terlihat adanya mortalitas larva pada semua perlakuan, namun pada 2 hari setelah aplikasi mortalitas larva mulai terjadi pada perlakuan konsentrasi Fusarium 107 sebesar 6,67 %. Pada hari ke-3 setelah aplikasi mortalitas larva terjadi pada semua perlakuan aplikasi Fusarium, sedangkan pada kontrol mortalitas secara alami terjadi pada hari ke-4 yaitu sebesar 3,33 %. Steinhaus (1963, dalam Melina, 1997) mengemukakan bahwa kematian serangga akibat infeksi cendawan biasanya terjadi 2 hari sampai 14 hari setelah terinfeksi, tetapi kematian bisa pula terjadi kurang dari 24 jam. Cepat lambatnya terjadinya mortalitas pada larva uji bergantung kepada kepekaan masing-masing individu serangga. Kematian serangga terjadi oleh karena rusaknya jaringan-jaringan tubuh larva yang dipenuhi oleh miselium yang menyebar dengan cepat dan memenuhi haemocoel larva inang, semua cairan tubuh larva digunakan untuk multiplikasi cendawan akibatnya serangga mati dengan dengan tubuh yang mengeras.
Berdasarkan hasil analisis statistik, antara semua perlakuan tidak memperlihatkan perbedaan yang nyata pada pengamatan 1 sampai 6 hari setelah aplikasi, namun pada pengamatan selanjutnya (pengamatan 7 sampai 9 hari setelah aplikasi) memperlihatkan perbedaan yang nyata antara masing-masing perlakuan. Persentase mortalitas tertinggi pada pengamatan terakhir (9 hari setelah aplikasi) terlihat pada konsentrasi 107 yaitu sebesar 36,67 % dan memperlihatkan perbedaan yang sangat nyata dengan kontrol dan perlakuan konsentrasi 105. Mortalitas larva tertinggi pada perlakuan konsentrasi 107 oleh karena pada konsentrasi tersebut jumlah spora cendawan lebih banyak sehingga kemungkinan untuk menginfeksi larva lebih besar. Farques et al. (1986, dalam Melina, 1997) mengemukakan bahwa kematian pada larva berhubungan erat dengan total spora yang tertelan oleh larva dan yang kontak dengan larva.
214
Prosiding Seminar Ilmiah dan Pertemuan Tahunan PEI PFI XIX Komisariat Daerah Sulawesi Selatan, 5 Nopember 2008
Selanjutnya Tanada dan Kaya (1993) mengemukakan bahwa cendawan Fusarium menghasilkan fusaric acid dan pigmen Naphtazarin yang bersifat insektisidal, mikotoksin ini diketahui dapat menghambat beberapa reaksi enzimatik.
Gejala awal yang nampak pada larva yang diaplikasi dengan cendawan Fusarium adalah larva menjadi kurang aktif dan nafsu makan berkurang, hal ini terlihat dari kecilnya kerusakan/gerekan yang dilakukan pada baby corn yang diberikan bila dibandingkan dengan kontrol, kemudian larva mengalami kematian, dan setelah itu tubuhnya ditumbuhi oleh miselium cendawan. Miselium cendawan ini bisa mengkontaminasi larva yang sehat bila kontak dengan kadaver (bangkai) larva yang terinfeksi. Hal ini sejalan dengan yang dikemukakan oleh Poinar dan Thomas (1978) bahwa serangga yang terinfeksi menjadi kurang aktif, nafsu makan berkurang, lemah dan kurang koordinasi dan akhirnya mati.
Pupa Yang Terbentuk Hasil pengamatan rata-rata persentase pupa O. furnacalis yang terbentuk setelah aplikasi Fusarium, terlihat bahwa larva-larva yang tidak mengalami kematian dan berhasil membentuk pupa tertinggi pada perlakuan kontrol (tanpa aplikasi Fusarium) yaitu sebesar 90 %, mortalitas yang terjadi pada fase larva adalah mortalitas secara alami, kemudian diikuti pada perlakuan aplikasi Fusarium konsentrasi 105 persentase pupa yang terbentuk sebesar 80 %, konsentrasi 106 pupa yang terbentuk 76,6 % dan terendah pada konsentrasi 107 pupa yang terbentuk sebesar 63,3 %. Rata-rata persentase pupa yang terbentuk pada perlakuan konsentrasi107
memperlihatkan perbedaan yang nyata dengan kontrol namun tidak berbeda nyata dengan perlakuan konsentrasi 106 dan 105 (Gambar 2).
0102030405060708090
100
Kontrol 10 5 10 6 10 7
Perlakuan
Rat
a-ra
ta p
erse
ntas
e pu
pa y
ang
terb
entu
k (%
)
Gambar 2. Rata-Rata Persentase pupa O.
furnacalis yang Terbentuk Setelah Aplikasi Fusarium pada Berbagai Konsentrasi
215
Melina) , Ahdin Gassa) , D.P.Madika dan Yumarto: Pengujian Cendawan Entomopatogen Fusarium spp. Terhadap Penggerek Batang Jagung Ostrinia furnacalis Guenee (Lepidoptera: Pyralidae)
Hasil pengamatan ini menunjukkan bahwa serangga yang tidak mengalami kematian pada fase larva dapat berganti kulit selanjutnya membentuk pupa namun terlihat bahwa walaupun larva-larva ini berhasil membentuk pupa namun pupa yang dihasilkan bentuknya kecil dibanding dengan pupa sehat yang terdapat pada kontrol. Fenomena abnormalitas pupa yang terbentuk adalah fenomena yang umum terjadi pada serangga-serangga yang terinfeksi oleh entomopatogen.
Kemunculan imago Hasil pengamatan persentase kemunculan imago memperlihatkan
bahwa semakin tinggi konsentrasi Fusarium yang diaplikasikan pada makanan larva, semakin kecil persentase serangga yang berhasil menjadi imago. Hal ini terlihat pada konsentrasi 107 persentase serangga (pupa) yang berhasil muncul menjadi imago hanya sebesar 40 %. Hasil analisis statistika menunjukkan bahwa perlakuan aplikasi Fusarium konsentrasi 107memperlihatkan perbedaan yang nyata dengan konsentrasi 105 dan kontrol, namun tidak berbeda nyata dengan perlakuan aplikasi Fusarium konsentrasi 106. Rata-rata persentase kemunculan imago pada perlakuan aplikasi Fusarium konsentrasi 106 sebesar 53,3 % , pada konsentrasi105 sebesar 63,3 % dan pada kontrol rata-rata kemunculan imago sebesar 90 % (Gambar 3).
0102030405060708090
100
Kontrol 10 5 10 6 10 7
Perlakuan
Rat
a-ra
ta P
erse
ntas
e Im
ago
yang
m
uncu
l (%
)
Gambar 3. Rata-Rata Persentase Kemunculan
imago O.furnacalis Setelah Aplikasi Fusarium pada Berbagai Konsentrasi
Hasil ini menunjukkan bahwa pada semua perlakuan aplikasi Fusarium baik pada perlakuan konsentrasi107 , 106 maupun 105 terjadi mortalitas pada fase pupa, sedangkan pada perlakuan kontrol, semua pupa yang terbentuk berhasil muncul menjadi imago. Pada pengamatan
216
Prosiding Seminar Ilmiah dan Pertemuan Tahunan PEI PFI XIX Komisariat Daerah Sulawesi Selatan, 5 Nopember 2008
juga terlihat bahwa terdapat beberapa ekor imago pada perlakuan aplikasi Fusarium yang mengalami abnormalitas yaitu pada sayap depan maupun sayap belakang tidak terbuka secara sempurna (terpuntir).
Hasil penelitian menunjukkan bahwa pengaruh aplikasi cendawan pada larva tidak hanya berdampak pada terjadinya mortalitas pada fase larva namun juga pada tahap perkembangan selanjutnya, walaupun larva yang tidak mati berhasil menjadi pupa namun pupa yang terbentuk ada yang abnormal dan mengalami kematian pada fase ini.
KESIMPULAN
Berdasarkan hasil penelitian dapat disimpulkan bahwa perlakuan aplikasi cendawan Fusarium pada konsentrasi 107 memberikan mortalitas tertinggi pada larva uji, persentase pupa yang terbentuk dan persentase kemunculan imago O. furnacalis juga terendah pada perlakuan ini.
Aplikasi cendawan Fusarium pada semua konsentrasi tidak hanya menyebabkan mortalitas pada larva, namun juga menyebabkan mortalitas pada fase pupa.
DAFTAR PUSTAKA
Anonim, 2007. Laporan Luas Panen dan Produksi Tanaman Pangan Propinsi Sulawesi selatan Tahun 2001-2006. Dinas Pertanian Tanaman Pangan dan Hortikultura Propinsi sulawesi selatan.
Hoffman, M.P. and A.C. Frodsham, 1993. Natural Enemies of Vegetable
Insect Pest. Department of Entomology College of Agriculture and Life Science Coornel University, Ithaca. A Cornell Cooperative Extension Publ.
Melina, 1997. Pengujian Patogen Serangga Sebagai Agens Pengendali
Hayati Terhadap Ulat Krop Kubis Crocidolomia binotalis Zeller (Lepidoptera : Pyralidae). Program Pascasarjana Universitas Hasanuddin (Tesis S2).
Melina, 1999. Survey dan Identifikasi Cendawan Entomopatogen Sebagai
Agens Pengendali Hayati Penggerek Umbi Kentang (Phthorimaea operculella Zell.) Laporan Hasil Penelitian DPP/SPP Tahun Anggaran 1998/1999.
Poinar, G.O., and G.M. Thomas, 1984. Diagnostic Manual for the
Identification of Insect Pathogens. Plenum Press. New York and London.
217
Melina) , Ahdin Gassa) , D.P.Madika dan Yumarto: Pengujian Cendawan Entomopatogen Fusarium spp. Terhadap Penggerek Batang Jagung Ostrinia furnacalis Guenee (Lepidoptera: Pyralidae)
218
Sudibyo, D., 1994. Petunjuk Praktis Cara Menghitung Jumlah, Kerapatan
dan Viabilitas Spora Jamur. Laboratoriu Utama Pengendalian Hayati, Dinas Perkebunan Propinsi Jawa Timur.
Tanada, Y. and H.K. Kaya, 1993. Insect Pathology. Academic Press Inc.
Harcout Brace Jovanivich Publ. Untung, K., 1993. Pengantar Pengelolaan Hama Terpadu. Gadjah Mada
University Press.