Upload
dangdien
View
224
Download
0
Embed Size (px)
Citation preview
19
4 Hasil dan Pembahasan
4.1 Pembuatan Membran
4.1.1 Membran PMMA-Ditizon
Membran PMMA-ditizon dibuat dengan teknik inversi fasa. PMMA dilarutkan dalam kloroform
sampai membentuk gel. Ditizon dilarutkan dalam gel tersebut. Dalam penelitian ini, kadar
PMMA yang digunakan adalah 13,79%, sedangkan ditizon sebesar 4,60%.
Pelarut yang digunakan dalam pembuatan membran sangat berpengaruh terhadap struktur dan
bentuk membran yang diperoleh. Kloroform digunakan sebagai pelarut karena dapat melarutkan
PMMA dan ditizon dengan baik. Kloroform tidak larut dalam air sehingga diharapkan membran
yang terbentuk merupakan membran rapat. Selain itu, konsentrasi polimer yang cukup tinggi
memperbesar peluang diperoleh membran yang rapat. Membran yang rapat dibutuhkan dalam
dialisis karena diharapkan hanya ion-ion yang berukuran kecil dapat menembus membran.
Permeasi secara selektif diharapkan terjadi akibat pengkompleks yang terjebak di dalam matriks
polimer membran.
Ditizon digunakan sebagai pengkompleks karena memiliki selektivitas terhadap logam-logam
tertentu. Selektivitas ini ditentukan oleh pH. Tembaga dan timbal dapat membentuk kompleks
dengan ditizon pada pH yang berbeda. Kondisi optimal pembentukan kompleks tembaga-ditizon
terjadi pada rentang pH 3-6, sedangkan timbal-ditizon pada rentang pH 7,6-9 [7]. Oleh karena
itu, larutan umpan dikondisikan pada pH = 3. Diharapkan pada kondisi ini sebagian besar
tembaga akan membentuk kompleks dengan ditizon dalam matriks polimer membran dan hanya
sedikit timbal yang membentuk kompleks.
Ditizon sudah lama digunakan dalam ekstraksi cair-cair. Namun, penelitian menggunakan
ditizon yang teramobilisasi masih belum banyak dilakukan. Costa dkk. melakukan amobilisasi
ditizon dalam naftalen. Penelitian ini digunakan untuk proses pemekatan ion-ion logam dalam
matriks air laut [7].
20
Ditizon teramobilisasi dapat memiliki karakter yang berbeda jika dibandingkan dengan ditizon
yang tidak teramobilisasi. Hal ini disebabkan adanya antaraksi yang terjadi antara ditizon dan
material yang mengamobilisasi. Dalam penelitian ini, ditizon dapat berantaraksi dengan
membran. Antaraksi yang terjadi dapat berupa gaya van der Waals, ikatan hidrogen, bahkan
ikatan kovalen. Antaraksi yang terjadi dipengaruhi oleh teknik yang dilakukan dalam
mengamobilisasi ditizon dengan membran.
Antaraksi yang lebih kuat antara ditizon dan membran dihasilkan lewat teknik penambahan
ditizon ke dalam larutan polimer (blending) dibandingkan dengan teknik pencelupan membran
(dip-immersion) ke dalam larutan ditizon. Untuk mengetahui antaraksi yang terjadi diperlukan
analisis menggunakan inframerah. Spektrum inframerah dapat memberikan informasi mengenai
adanya ikatan hidrogen atau ikatan baru lainnya. Hal ini dapat diketahui dari adanya puncak-
puncak spektrum yang khas.
Jumlah ditizon yang digunakan disesuaikan dengan konsentrasi ion tembaga(II) dan timbal(II).
Secara stoikiometris, tembaga(II) dan timbal(II) masing-masing bereaksi dengan ditizon dengan
perbandingan mol 1:2. Oleh karena itu, jumlah mol ditizon yang digunakan dua kali jumlah mol
tembaga(II).
Setelah larutan polimer dibuat dan ditambahkan ditizon, larutan ini tetap diaduk dengan putaran
rendah (80 rpm) hingga satu malam. Tujuannya adalah membentuk campuran yang homogen.
Putaran rendah dimaksudkan agar tidak terbentuk gelembung udara pada campuran tersebut. Jika
terbentuk gelembung udara, membran yang dicetak menjadi berlubang. Setelah pengadukan satu
malam, diamati ada atau tidaknya gelembung udara. Setelah dipastikan tidak terdapat gelembung
udara, campuran tersebut dicetak di atas pelat kaca menggunakan batang pengaduk hingga
terbentuk lapisan tipis, lalu didiamkan selama 30 menit untuk menguapkan sebagian pelarut
pada permukaan lapisan tipis. Penguapan sebagian pelarut ini ditujukan untuk menciptakan
lapisan selektif pada permukaan membran setelah terjadinya inversi fasa. Lama waktu
penguapan menentukan ketebalan lapisan selektif yang terbentuk. Semakin lama waktu
penguapan, semakin tebal lapisan selektif yang terbentuk. Setelah 30 menit, lapisan tipis ini
dimasukkan ke dalam bak koagulasi yang berisi air. Air digunakan sebagai nonpelarut karena
tidak dapat melarutkan PMMA dan ditizon. Kloroform sebagai pelarut akan berdifusi ke dalam
air sehingga meninggalkan lapis tipis berupa PMMA-ditizon. Difusi kloroform ke dalam air
mengakibatkan lapis tipis ini terlepas dari pelat kaca. Kepolaran pelarut terhadap nonpelarut
menentukan pori yang terbentuk pada membran. Semakin kecil perbedaan kepolaran antara
21
pelarut dan nonpelarut, semakin banyak pori yang terbentuk karena difusi pelarut ke dalam
nonpelarut semakin disukai dan akan meninggalkan pori.
Sebelum digunakan, membran diuji terlebih dahulu untuk memeriksa kemungkinan terjadinya
kebocoran membran . Membran ditempatkan ke dalam sel dialisis, kemudian pada bagian umpan
diisi menggunakan air distilasi. Bagian permeat dibiarkan kosong. Kondisi seperti ini dibiarkan
hingga satu malam. Setelah satu malam, ternyata bagian permeat tetap kering. Hal ini
menunjukkan bahwa membran yang digunakan berstruktur rapat sehingga air tidak dapat
menembus membran tanpa gaya dorong tambahan. Membran yang rapat adalah membran yang
sesuai digunakan untuk dialisis karena gaya yang dominan bekerja pada membran dialisis adalah
difusi.
Selain untuk memeriksa terjadinya kebocoran pada membran, metode ini juga berfungsi untuk
menguji kebocoran pada sel dialisis yang digunakan. Pengamatan yang teliti harus dilakukan
karena air dapat saja merembes keluar melalui celah antara umpan dan permeat. Celah ini
ditutup karet untuk mencegah terjadinya perembesan tersebut.
4.1.2 Membran PMMA-Oksina
Membran PMMA-oksina dibuat dengan teknik inversi fasa. PMMA dilarutkan dalam kloroform
sampai membentuk gel. Oksina dilarutkan dalam gel tersebut. Pada penelitian ini, kadar PMMA
yang digunakan adalah 20%, sedangkan oksina sebesar 12%.
Oksina digunakan sebagai pengkompleks karena memiliki selektivitas terhadap logam-logam
tertentu. Selektivitas ini ditentukan oleh pH. Ion-ion tembaga(II) dan timbal(II) dapat
membentuk kompleks dengan oksina pada pH yang berbeda. Kondisi optimal pembentukan
kompleks tembaga-oksina terjadi pada pH = 4 [8], sedangkan timbal-ditizon pada pH = 8 [9].
Oleh karena itu, larutan umpan dikondisikan pada pH = 4. Diharapkan pada kondisi ini sebagian
besar ion tembaga(II) akan membentuk kompleks dengan ditizon pada membran dan hanya
sedikit ion timbal(II) yang membentuk kompleks.
Seperti ditizon, oksina juga sering digunakan untuk ekstraksi cair cair. Dilihat dari strukturnya,
oksina lebih polar dibanding ditizon. Dari perbedaan ini akan dipelajari apakah terdapat
perbedaan yang berarti dalam proses dialisis yang dilakukan.
Proses pembuatan membran PMMA-oksina hampir sama dengan PMMA-ditizon. Oksina
ditambahkan ke dalam larutan polimer, kemudian diaduk satu malam dengan putaran rendah.
Berbeda dengan PMMA-ditizon yang berwarna hijau tua, campuran ini berwarna kuning
22
transparan. Perbedaan ini disebabkan oleh perbedaan warna ditizon dengan oksina. Perbedaan
ion logam, pelarut, dan pH juga dapat menghasilkan warna yang berbeda-beda pada ditizon dan
oksina.
Setelah dicetak di atas pelat kaca, campuran PMMA/oksina didiamkan selama 15 menit untuk
menguapkan sebagian pelarut. Waktu penguapan dibuat lebih cepat agar lapisan selektif yang
terbentuk tidak terlalu tebal. Semakin tebal lapisan selektif, proses transpor semakin lambat.
Ketika kation logam telah melewati lapisan selektif, kation melewati pori membran. Pada saat
ini gaya kapilaritas terjadi. Hal ini dapat mempercepat terjadinya transpor. Setelah 15 menit
penguapan, PMMA/oksina dimasukkan ke dalam bak koagulasi berisi air. Berbeda dengan
PMMA/ditizon yang dengan mudah terlepas sendiri dari pelat kaca, PMMA/oksina tidak dapat
lepas dengan sendirinya. Lapisan tipis yang terbentuk dilepas menggunakan spatula logam.
Dalam bak koagulasi juga terlihat warna agak kuning. Warna kuning tersebut kemungkinan
besar berasal dari oksina. Sebagian kecil oksina akan terlarut dalam air karena dilihat dari
strukturnya, oksina dapat melepas H+ sehingga membentuk anion yang distabilkan resonansi.
4.2 Analisis Morfologi Membran dengan Menggunakan SEM
Bentuk morfologi permukaan dan penampang melintang dari membran yang dibuat dapat dilihat
dengan menggunakan scanning electron microscope (SEM).
Gambar 4. 1 Foto SEM penampang melintang PMMA-ditizon dengan pembesaran 1000x
23
Gambar 4. 2 Foto SEM morfologi permukaan PMMA-ditizon dengan pembesaran 1000x
Foto SEM penampang melintang membran PMMA-ditizon (Gambar 4.1) menunjukkan bahwa
membran tersebut berpori, dengan struktur pori yang menyerupai spons. Namun, permukaan
membran ini memiliki struktur yang rapat (Gambar 4.2)
Gambar 4. 3 Foto SEM penampang melintang PMMA-oksina dengan pembesaran 1000x
24
Gambar 4. 4 Foto SEM morfologi permukaan PMMA-oksina dengan pembesaran 1000x
Gambar 4.3 dan 4.4 menunjukkan foto SEM membran PMMA-oksina. Dapat diamati bahwa
penampang melintang dan permukaan dari membran PMMA-oksina memiliki struktur yang
rapat.
4.3 Dialisis
Pada percobaan pertama digunakan membran PMMA-ditizon. Larutan umpan dikondisikan pada
pH = 3 menggunakan bufer campuran larutan asam format dan NaOH. Pada kondisi ini
diharapkan terbentuk senyawa kompleks antara tembaga dan ditizon. Pada larutan permeat
digunakan stripping agent berupa HNO3 dengan pH = 1. Kondisi ini diharapkan dapat
melepaskan ikatan kompleks antara tembaga(II) dan ditizon. Kedua larutan (umpan dan permeat)
diaduk menggunakan pengaduk magnet dengan kecepatan 80 rpm. Pengadukan berfungsi untuk
menjaga kehomogenan larutan.
Lamanya proses transpor yang terjadi belum diketahui. Oleh karena itu, dialisis dilakukan dalam
jangka waktu yang cukup lama. Dalam percobaan ini, diambil waktu dialisis selama 72 jam.
Dalam jangka waktu tersebut dilakukan beberapa kali pengambilan sejumlah sampel larutan
umpan dan permeat sebagai fungsi waktu untuk mengetahui jumlah kation logam yang
berpindah dari fasa umpan ke fasa permeat dalam proses dialisis. Pada awal proses, dilakukan
pengambilan sampel dalam rentang waktu yang sempit. Hal ini berguna jika proses transpor
25
yang terjadi berlangsung dengan cepat. Setelah beberapa kali pengambilan sampel pada rentang
waktu yang sedikit, pengambilan sampel juga dilakukan pada rentang waktu yang lebih panjang.
Hal ini dilakukan untuk mencakup kemungkinan bahwa proses transpor terjadi dengan lambat.
Analisis konsentrasi ion-ion logam dalam fasa umpan dan fasa permeat dilakukan dengan
menggunakan spektrofotometri serapan atom (AAS). Pengukuran dengan AAS digunakan
karena memiliki sensitivitas yang baik terhadap ion-ion tembaga(II) dan timbal(II). Pengukuran
ion tembaga(II) dilakukan pada panjang gelombang 324,7 nm, sedangkan ion timbal(II) pada
217,0 nm. Perbedaan panjang gelombang antara kedua logam ini cukup jauh sehingga analisis
dapat dilakukan secara selektif. Daerah linier untuk pengukuran ion tembaga(II) adalah 0,01-4
ppm, sedangkan ion timbal(II) 0,1-12 ppm. Hal ini menunjukkan limit deteksi dan kepekaan
yang cukup baik untuk kedua logam sehingga perubahan konsentrasi yang kecil dapat diamati,
terutama untuk ion tembaga(II).
Larutan standar yang digunakan untuk fasa umpan adalah Cu(NO3)2 dan Pb(NO3)2 yang
dilarutkan dalam bufer format dengan pH = 3. Garam nitrat digunakan karena memiliki
kelarutan yang tinggi dalam fasa air [10]. Hal ini dimaksudkan untuk menghindari terjadinya
pengendapan sebagai garam yang sukar larut dalam air yang menjadi faktor penghambat
terjadinya transpor. Bufer format digunakan karena memiliki pH yang sesuai untuk kondisi ini.
Selain itu, garam tembaga(II) format dan timbal(II) format juga memiliki kelarutan yang tinggi
dalam fasa air.
Larutan Cu2+ dan Pb2+ yang digunakan masing-masing adalah 30 dan 200 ppm. Perbandingan ini
disesuaikan dengan perbandingan mol antara tembaga dan timbal pada bijih diaboleite.
Perbandingan mol Cu2+ dan Pb2+ pada bijih tersebut adalah satu banding dua.
Pada fasa permeat digunakan HNO3 dengan pH = 1. Kondisi ini seratus kali lebih asam
dibanding fasa umpan atau jumlah H+ pada fasa permeat seratus kali lebih besar. Dalam kondisi
ini diharapkan dapat terjadi difusi kation tembaga dari fasa umpan ke fasa permeat. Difusi yang
diharapkan terjadi melibatkan pertukaran antara ion tembaga(II) dari fasa umpan dan ion H+ dari
fasa permeat [11].
Sebelum pengukuran sampel, terlebih dahulu dilakukan pengukuran larutan standar. Kurva
larutan standar (lampiran A) menunjukkan larutan yang digunakan dalam keadaan baik. Alat
yang digunakan juga berfungsi dengan baik. Hal ini ditunjukkan oleh nilai R2 yang mendekati 1.
Dialisis yang dilakukan selama 72 jam memberikan hasil sebagai berikut:
26
Gambar 4. 5 Konsentrasi larutan tembaga(II) pada fasa umpan sebagai fungsi waktu
dalam proses dialisis dengan menggunakan membran PMMA-ditizon
Gambar 4. 6 Konsentrasi larutan tembaga(II) pada fasa permeat sebagai fungsi waktu
dalam proses dialisis dengan menggunakan membran PMMA-ditizon
Hasil percobaan menunjukkan bahwa transpor tidak terjadi. Ion tembaga(II) tidak dapat
berpermeasi menembus membran. Hal ini ditunjukkan pada Gambar 4.5 dan 4.6. Pada larutan
permeat tidak terdeteksi keberadaan tembaga. Pengamatan juga dilakukan pada larutan umpan
untuk mengetahui kemungkinan adanya ion tembaga(II) yang terjebak dalam matriks polimer
membran. Ternyata, konsentrasi ion tembaga(II) dalam larutan umpan tidak berubah. Dari
pengamatan ini disimpulkan bahwa tidak ada ion tembaga(II) yang terjebak dalam matriks
27
polimer membran. Pengamatan ini perlu dilakukan karena ion tembaga(II) dapat terjebak dalam
matriks membran, tetapi tidak dapat menembus membran karena morfologi membran yang
terlalu rapat atau karena tidak cukup ada gaya dorong terjadinya permeasi ion-ion Cu2+
menembus membran.
Pengujian yang dilakukan berikutnya adalah mencelupkan membran PMMA-ditizion ke dalam
larutan tembaga 6 ppm selama dua hari. Pengujian ini dimaksudkan untuk mengkonfirmasi
kemungkinan adanya ion tembaga(II) yang terjebak dalam matriks polimer membran. Pengujian
ini menggunakan larutan tembaga(II) dengan konsentrasi yang kecil sehingga jika terdapat
sejumlah kecil tembaga yang terjebak dalam matriks polimer membran, dapat diketahui
jumlahnya. Pengujian ini menunjukkan bahwa tidak terdapat perbedaan konsentrasi sebelum dan
sesudah pencelupan membran. Dua macam pengujian ini menunjukkan bahwa ion tembaga(II)
tidak dapat berpermeasi menembus membran PMMA-ditizon.
Walaupun kondisi percobaan disesuaikan dengan kondisi pH yang sesuai untuk ion tembaga(II),
penentuan konsentrasi timbal(II) juga tetap dilakukan dengan menggunakan spektrofotometri
serapan atom (AAS).
Kurva larutan standar menunjukkan larutan yang digunakan dalam keadaan baik. Alat yang
digunakan juga berfungsi dengan baik. Hal ini ditunjukkan oleh nilai R2 yang mendekati 1.
Dialisis yang dilakukan selama 72 jam memberikan hasil sebagai berikut:
Gambar 4. 7 Konsentrasi larutan timbal(II) pada fasa umpan sebagai fungsi waktu dalam
proses dialisis dengan menggunakan membran PMMA-ditizon
28
Gambar 4. 8 Konsentrasi larutan timbal(II) pada fasa permeat sebagai fungsi waktu
dalam proses dialisis dengan menggunakan membran PMMA-ditizon
Kurva yang diperoleh (Gambar 4.7 dan 4.8) menunjukkan bahwa tidak terjadi transpor ion
timbal(II) dari fasa umpan menuju fasa permeat. Penyebab tidak terjadinya transpor adalah
kondisi yang tidak sesuai untuk terbentuknya ikatan antara ion timbal(II) dan ditizon. Selain itu,
ukuran ion timbal(II) juga lebih besar dari ion tembaga(II) yang juga tidak dapat berpermeasi
menembus membran.
Gambar 4.5 dan 4.7 seolah-olah memberikan kesan terjadi kenaikan konsentrasi Cu(II) dan
Pb(II) dalam fasa umpan. Hal ini diperkirakan terjadi akibat penguapan pelarut dalam jangka
waktu yang cukup panjang, mengingat diambil waktu dialisis selama 72 jam. Dengan demikian,
penguapan pelarut ini memberikan kenaikan konsentrasi semu.
Gambar 4.9 dan 4.2 menunjukkan morfologi permukaan membran yang rapat. Rapatnya
permukaan membran ini mengakibatkan ion tembaga(II) dan timbal(II) tidak dapat berpermeasi
menembus membran ini. Selain itu, ditizon bersifat kurang polar daripada oksina sehingga ion
tembaga(II) atau timbal(II) yang berada dalam fasa air sukar untuk berinteraksi dengan membran
PMMA-ditizon.
Pada percobaan kedua digunakan membran PMMA-oksina. Larutan umpan merupakan larutan
standar tembaga(II) dan timbal(II) masing-masing 30 dan 200 ppm yang dikondisikan pada pH =
4 menggunakan bufer campuran asam format dan NaOH. Larutan permeat berisi HNO3 1M.
Konsentrasi HNO3 yang digunakan lebih pekat dibanding pada percobaan pertama. Kondisi ini
29
sepuluh ribu kali lebih asam dibanding fasa umpan atau jumlah H+ pada fasa permeat sepuluh
ribu kali lebih banyak. Diharapkan dengan jumlah H+ yang lebih besar dibanding percobaan
pertama, pertukaran antara ion tembaga(II) dari fasa umpan dan H+ dari fasa permeat dapat
terjadi.
Dialisis yang dilakukan sama dengan percobaan pertama, yaitu dilakukan pengadukan dengan
putaran rendah. Namun, proses dilakukan dalam waktu yang lebih lama, yaitu enam hari. Proses
dialisis dilakukan lebih lama karena tramspor yang terjadi diperkirakan sangat lambat. Hal ini
didasarkan pada percobaan pertama yang dilakukan selama tiga hari, namun tetap tidak terjadi
transpor.
Kurva larutan standar menunjukkan larutan yang digunakan dalam keadaan baik. Alat yang
digunakan juga berfungsi dengan baik. Hal ini ditunjukkan oleh nilai R2 yang mendekati 1.
Dialisis yang dilakukan selama 6 hari memberikan hasil sebagai berikut:
Gambar 4. 10 Konsentrasi larutan tembaga(II) pada fasa umpan sebagai fungsi waktu
dalam proses dialisis dengan menggunakan membran PMMA-oksina
30
Gambar 4. 11 Konsentrasi larutan tembaga(II) pada fasa permeat sebagai fungsi waktu
dalam proses dialisis dengan menggunakan membran PMMA-oksina
Hasil percobaan menunjukkan bahwa transpor tidak terjadi. Ion tembaga(II) tidak dapat
berpermeasi menembus membran PMMA-oksina. Hal ini ditunjukkan pada Gambar 4.10. Dalam
fasa permeat tidak terdeteksi keberadaan ion tembaga(II). Konsentrasi tembaga(II) dalam fasa
umpan juga tidak berubah (Gambar 4.9). Berdasarkan pengamatan ini, disimpulkan bahwa tidak
ada tembaga yang terjebak dalam matriks polimer membran. Rapatnya morfologi permukaan
dan penampang lintang membran ini mengakibatkan tembaga(II) tidak dapat berpermeasi
menembus membran ini. Hal ini dikonfirmasi oleh foto SEM permukaan dan penampang
melintang membran (Gambar 4.3 dan 4.4).
Pengujian yang dilakukan berikutnya adalah perendaman membran PMMA-oksina ke dalam
larutan tembaga 6 ppm. Setelah perendaman membran PMMA-oksina selama dua hari,
pengukuran menggunakan AAS menunjukkan bahwa ion tembaga(II) tidak lagi terdeteksi. Hal
ini menunjukkan bahwa dalam jumlah sedikit, ion tembaga(II) terjebak dalam matriks polimer
membran. Pengujian ini mengkonfirmasi hipotesis bahwa ion tembaga(II) dapat terikat dalam
matriks polimer membran lewat pembentukan kompleks. Namun, pada proses dialisis yang
dilakukan sebelumnya, pengurangan konsentrasi ion tembaga(II) dalam larutan umpan tidak
teramati karena konsentrasi ion tembaga(II) terlalu kecil. Ion tembaga(II) yang terjebak dalam
matriks polimer membran terlalu sedikit jika dibandingkan dengan konsentrasi ion tembaga(II)
dalam larutan umpan awal. Keberadaan ion Cu2+ yang terikat oleh oksina yang terjebak dalam
matriks polimer membran dikonfirmasi oleh spektrum EDX (Lampiran B).
31
Walaupun kondisi percobaan disesuaikan dengan kondisi untuk ion tembaga(II), penentuan
konsentrasi timbal juga tetap dilakukan. Prosedur dilakukan dengan menggunakan
spektrofotometri serapan atom (AAS). Hasil yang diperoleh sebagai berikut:
Kurva larutan standar menunjukkan larutan yang digunakan dalam keadaan baik. Alat yang
digunakan juga berfungsi dengan baik. Hal ini ditunjukkan oleh nilai R2 yang mendekati 1.
Gambar 4. 12 Konsentrasi larutan timbal(II) pada fasa umpan sebagai fungsi waktu
dalam proses dialisis dengan menggunakan membran PMMA-oksina
32
Gambar 4. 13 Konsentrasi larutan timbal(II) pada fasa permeat sebagai fungsi waktu
dalam proses dialisis dengan menggunakan membran PMMA-oksina
Kurva yang diperoleh menunjukkan bahwa tidak terjadi transpor ion timbal(II) dari fasa umpan
menuju ke fasa permeat. Penyebab tidak terjadinya transpor adalah kondisi yang tidak sesuai
untuk terbentuknya ikatan antara ion tembaga(II) dan oksina. Selain itu, ukuran ion timbal(II)
juga lebih besar daripada tembaga(II) yang juga tidak dapat berpermeasi menembus membran
PMMA-oksina.
Setelah dialisis dilakukan selama enam hari, pH larutan umpan diukur untuk mengetahui
kemungkinan terjadinya transpor ion H+ dari fasa permeat ke fasa umpan. Ternyata, pH larutan
umpan berubah drastis dari pH = 4 menjadi pH = 1,6. Hal ini menunjukkan bahwa ion H+ dapat
berpermeasi menembus membran PMMA-oksina. Ukuran ion H+ jauh lebih kecil dibandingkan
dengan ion Cu2+ dan Pb2+ [12]. Oleh karena itu, ion H+ dapat berdifusi menembus membran
PMMA-oksina dengan lebih mudah.
Senyawa kompleks yang terbentuk antara kedua jenis pengkompleks yang digunakan pada
percobaan ini (ditizon dan oksina) dan ion logam memiliki ukuran molekul yang besar. Senyawa
kompleks ini mungkin tidak dapat berpermeasi menembus matriks polimer membran karena
ukurannya yang lebih besar dari pori membran. Hal ini dapat mengakibatkan penyumbatan pada
pori membran sehingga transpor sukar terjadi.
4.4 Analisis Struktur Gugus Fungsi Membran dengan Spektroskopi Inframerah
Gugus fungsi yang terdapat pada membran dapat ditunjukkan dengan menggunakan spektroskopi
inframerah. Spektrum inframerah berada pada daerah energi vibrasi ikatan. Tabel 1 menunjukkan
gugus fungsi yang terdapat pada membran PMMA-ditizon.
Tabel 4.2 Data spektrum FTIR membran PMMA-ditizon
Bilangan Gelombang (cm-1) Jenis Ikatan 3524,25; 3437,15 O-H 2995,45; 2951,09; 2841,15 Alifatik C-H ulur 1739,79 C=O ester 1494,83; 1433,11 Vibrasi C-O 1384,89 Vibrasi C-H tekuk simetri 1149,57; 1128,36 Ester C-O-C simetri 1066,64 C-O-C ulur simetri 989,48; 966,34; 842,89 Vibrasi tekuk C-H ke luar bidang 759,95 O-H
33
Data FTIR yang diperoleh menunjukkan adanya puncak O-H pada 3524,25 cm-1 dan 3437,15
cm-1. Puncak ini kemungkinan timbul akibat adanya uap air yang terjebak dalam membran
selama proses koagulasi.
Tabel 4.3 Data spektrum FTIR membran PMMA-oksina
Bilangan Gelombang (cm-1) Jenis Ikatan 3547,09; 3404,36 O-H 2995,45; 2949,16; 2943,37; 2843,07 Alifatik C-H ulur 1737,86 C=O ester 1500,62; 1479,40; 1435,04 Vibrasi C-O 1379,10 Vibrasi C-H tekuk simetri 1278,81; 1190,44; 1155,36; 1130,29 Ester C-O-C simetri 1095,57 C-O-C ulur simetri 989,48; 966,34; 912,33; 827,46 Vibrasi tekuk C-H ke luar bidang 752,24 O-H
Data FTIR yang diperoleh juga menunjukkan adanya puncak O-H pada 3547,09 cm-1 dan
3404,36 cm-1. Puncak ini kemungkinan timbul akibat adanya uap air yang terjebak dalam
membran selama proses koagulasi.
Kedua spektrum FTIR tidak menunjukkan adanya ikatan hidrogen antara pengkompleks dan
PMMA. Ikatan hidrogen ditunjukkan oleh adanya puncak O-H yang melebar pada rentang
bilangan gelombang 3400-3500 cm-1 [13]. Puncak tersebut tidak dijumpai pada spektrum FTIR
untuk PMMA-ditizon dan PMMA-oksina