Upload
yuhka-sundaya
View
418
Download
3
Embed Size (px)
Citation preview
IV. METODE PENELITIAN
4.1. Lokasi dan Waktu Penelitian
Penelitian ini mengambil lokasi di daerah Pantai Utara Kabupaten
Indramayu. Kabupaten Indramayu merupakan Kabupaten yang secara
administratif berada di Provinsi Jawa Barat. Secara astronomi, Kabupaten
Indramayu terletak pada 107° 52 ° - 108° 36 ° Bujur Timur, dan 6° 15 ° - 6° 40 °
Lintang Selatan. Sedangkan berdasarkan topografinya sebagian besar merupakan
dataran atau daerah landai dengan kemiringan tanahnya rata-rata 0 – 2 persen.
Kabupaten ini berbatasan dengan Laut Jawa di utara, Kabupaten Cirebon di
tenggara, Kabupaten Majalengka dan Kabupaten Sumedang, serta Kabupaten
Subang di barat. Peta Kabupaten Indramayu disajikan pada Gambar 3.
(a) (b)Sumber : www.googleearth.com
Gambar 3. Kabupaten Indramayu, Provinsi Jawa Barat
Kabupaten Indramayu memiliki 10 kecamatan yang berbatasan langsung
dengan laut dengan panjang garis pantai 114,1 Km. 10 kecamatan tersebut adalah
Balongan, Cantigi, Juntinyuat, Indramayu, Kandanghaur, Karangampel, Losarang,
Sindang, dan Sukra. Oleh karena itu, sebagian masyarakatnya telah sejak lama
45
memanfaatkan sumber daya lautnya untuk memenuhi kebutuhan komoditi ikan
lokal hingga ekspor.
Dari struktur armada perikanan, tampak bahwa mayoritas nelayan kecil.
Nelayan yang menggunakan perahu tanpa motor kecil tercatat sebanyak 80 unit,
motor tempel sebanyak 5 628, dan kapal motor sebanyak 320 (Jawa Barat Dalam
Angka, 2009). Daya jangkau motor tempel yang hampir seragam telah
menimbulkan tingginya persaingan dalam industri penangkapan ikan, yang
kemudian cukup rentan terhadap penggunaan alat tangkap terlarang.
Penelitian di Kabupaten Indramayu akan dilakukan pada bulan April.
Bulan ini merupakan bulan awal dari kwartal kedua. Mengamati perkembangan
produksi dalam periode kwartalan dari tahun 2004 hingga 2007, biasanya pada
kwartal kedua dan keempat jumlah produksi ikan lebih banyak. Namun pada
tahun 2008, jumlah produksi pada kwartal kedua berada pada posisi terendah.
4.2. Data Penelitian
Data yang diperlukan untuk memenuhi tujuan penelitian harus digali dari
sumber primer. Data statistik yang bersifat ofisial, relatif tidak menangkap secara
utuh statistik sosial-ekonomi nelayan pengguna alat tangkap terlarang. Setelah
mempertimbangkan ketersediaan waktu dan biaya penelitian yang dimiliki,
penelitian ini memilih teknik survey. Teknik survey dilakukan untuk
menggambarkan karakteristik tingkat kepatuhan nelayan terhadap peraturan alat
tangkap di Indramayu. Kemudian, untuk mengestimasi tingkat keuntungan dan
faktor-faktor yang mempengaruhi tingkat kepatuhan nelayan terhadap aturan alat
tangkap memerlukan data kuantitatif. Jenis data kuantitatif berupa angka
46
diperlukan untuk menguraikan tujuan penelitian tersebut, dan spesifikasi datanya
melekat pada spesifikasi model ekonometrika yang dijelaskan pada subbab 4.4.2.
Data primer disusun dengan teknik pengambilan data melalui wawancara
yang dipandu dengan kuesioner yang tersaji pada Lampiran 1. Pertanyaan dalam
kuesioner diturunkan dari model ekonometrika yang akan dikemukakan pada
bagian berikutnya.
4.3. Teknik Pengambilan Responden
Data primer diambil dengan cara survey, yaitu mengambil contoh (sample)
dari populasi. Populasi target dalam penelitian ini adalah nelayan pemilik alat
tangkap legal dan terlarang. Dimana alat tangkap yang tidak ramah lingkungan
mencakup mini trawl (dogol dan arad), jaring insang lingkar, jaring insang klitik,
jaring insang tiga lapis, bahan peledak dan bahan peracun. Di luar jenis alat
tangkap tersebut dianggap memiliki kategori legal. Namun demikian, disadari
bahwa sumber data sekunder yang memberikan informasi mengenai pemilik alat
tangkap terlarang tampaknya tidak tersedia. Oleh karena itu, jumlah contoh akan
diturunkan dari populasi rumahtangga nelayan yang tercatat secara statistik.
Sekurang-kurangnya terdapat dua macam nelayan, yaitu nelayan pemilik
dan nelayan anak buah kapal (ABK). Nelayan pemilik adalah nelayan yang
memiliki asset perikanan seperti kapal dan alat tangkap, sedangkan nelayan ABK
adalah pekerja pada nelayan pemilik. Tidak jarang, nelayan pemilik mencurahkan
waktunya untuk turut menangkap ikan bersama ABK. Oleh karena itu, perlu
dipilih nelayan mana yang dapat memberikan informasi mengenai pilihan mereka
terhadap jenis alat tangkap, dan posisi ini berada pada nelayan pemilik.
47
Jumlah contoh nelayan pemilik yang akan diteliti, ditentukan dengan
menggunakan rumus Slovin seperti disajikan pada persamaan (4.1) :
n = N¿¿
................................................................................................(4.1)
dimana :n = jumlah contoh nelayan yang akan diambilN = populasi rumah tangga nelayan di Kabupaten Indramayue = batas maksimum kesalahan yang masih diterima
Berdasarkan data statistik perikanan tahun 2007, tercatat bahwa populasi
rumahtangga nelayan di Kabupaten Indramayu sebanyak 4 271 rumahtangga.
Kemudian, bila menggunakan tingkat kesalahan, , sebesar 10 persen, maka
jumlah nelayan contoh yang akan dijadikan responden sebanyak 99.98 nelayan
atau dibulatkan menjadi 100 nelayan.
Nelayan contoh tersebut akan diambil dari tiga desa yang dilaporkan
terdapat penggunaan alat tangkap terlarang. Untuk sementara, mengacu pada
informasi mengenai temuan penggunaan alat tangap destruktif di Kabupaten
Indramayu, 100 contoh nelayan yang ditentukan sebelumnya akan diambil dari
tiga desa, yaitu Desa Eretan Kulon, Desa Ilir dan Desa Cangkring. Ketiga desa
tersebut berada pada kecamatan yang berbeda-beda. Bila data populasi nelayan
yang berada di desa tersebut tersedia, maka 100 nelayan contoh tersebut akan
disebar dengan mempertimbangkan proporsi nelayan di tiga desa tersebut.
Pengambilan nelayan contoh akan dilakukan secara acak dari tiga desa kerangka
contoh tersebut. Kemudian, untuk mendeskripsikan perbedaan tingkat keuntungan
antara pengguna alat tangkap legal dan terlarang, maka akan dipilih nelayan
contoh yang memiliki kesamaan Gear Tonnage (GT) kapal atau perahu.
48
4.4. Metode Analisis
4.4.1. Metode Pendugaan Keuntungan Usaha Perikanan
Perbedaan tingkat keuntungan antara alat tangkap legal dan terlarang
ditempatkan sebagai fokus awal penelitian. Keuntungan usaha perikanan diartikan
sebagai selisih antara penerimaan dari hasil penangkapan ikan dengan
pengeluaran untuk menunjang kegiatan tersebut. Estimasi keuntungan usaha
nelayan dapat mengambil periode tahunan, bulanan, mingguan hingga trip harian.
Oleh karena itu, karakteristik usaha nelayan di Kabupaten Indramayu patut
menjadi pertimbangan. Seperti dikemukakan pada subbab 4.1, sepintas diketahui
bahwa sebagian besar usaha nelayan tampak bersifat tradisional, sehingga
dikhawatirkan tidak memiliki dokumentasi tertulis tentang aspek ekonomi
usahanya. Ciri usaha ini diperkirakan dapat menimbulkan lemahnya kualitas data
bila mengestimasi keuntungan dalam periode tahunan dan bulanan. Menimbang
kondisi demikian, rekaman keuntungan usaha nelayan dalam penelitian ini akan
dihitung berdasarkan data trip pada bulan terakhir melaut.
Keuntungan usaha nelayan yang secara matematis dirumuskan pada
persamaan (4.2). Persamaan tersebut digunakan untuk menangkap kemungkinan
berlakunya mekanisme bagi hasil yang biasa terjadi dalam ekonomi nelayan.
πmn = (TRmn – TCmn) .............................................................................(4.2)
dimana :π = keuntungan nelayan ke-m pengguna alat tangkap ke-n (ribu rupiah)TR = penerimaan total nelayan ke-m pengguna alat tangkap ke-n
(ribu rupiah)TC = biaya total nelayan ke-m pengguna alat tangkap ke-n (ribu rupiah) = persentase bagi hasil antara nelayan pemilik dengan nelayan anak
buah kapal (persen)m = indeks nelayan, untuk m = 1 hingga 100n = indeks jenis alat tangkap, untuk n = alat tangkap legal dan terlarang
49
Penerimaan nelayan adalah hasil perkalian antara harga hasil transaksi
dengan jumlah hasil tangkapan ikan yang dihitung melalui persamaan (4.3) :
TRmn = Pimn*Qimn......................................................................................(4.3)
dimana :Pimn = harga ikan jenis ke-i yang dijual oleh nelayan ke-m pengguna alat
tangkap ke-n (ribu rupiah per kilogram)Qimn = jumlah ikan jenis ke-i yang ditangkap oleh nelayan ke-n
pengguna alat tangkap ke-n (kilogram)
Sedangkan, pengeluaran nelayan adalah biaya total yang dikeluarkan oleh
nelayan untuk menangkap ikan yang dihitung melalui persamaan (4.4). TC
mencakup biaya eksploitasi, perawatan alat, pengeluaran upah pekerja dan
retribusi. Bila nelayan menggunakan mekanisme bagi hasil, maka U = 0. Cara
menghitung TC disajikan pada persamaan (4.4) :
TCmn = Konmn + PAmn + (PBmn*BBMmn) + U*ABKmn + Retmn + L. . .(4.4)
dimana :
TC = Total biaya pengakapan ikan (rupiah)Konmn = Biaya untuk konsumsi nelayan ke-m pengguna alat tangkap ke-
n (rupiah per trip)PAmn = Biaya perawatan perahu nelayan ke-m pengguna alat tangkap
ke-n (rupiah per trip)PBmn = Harga bahan bakar yang digunakan nelayan ke-m pengguna
alat tangkap ke-n (rupiah per liter)BBMmn = Banyaknya bahan bakar yang digunakan nelayan ke-m
pengguna alat tangkap ke-n (liter per trip)U = tingkat upah (rupiah per orang)ABK = jumlah anak buah kapal (orang)Retmn = Retribusi yang dibayarkan oleh nelayan ke-m pengguna alat
tangkap ke-n (rupiah)L = Nilai biaya lain terkait penangkapan ikan (rupiah)
Berdasarkan Peraturan Daerah Provinsi Jawa Barat Nomor 5 Tahun 2005
tentang Penyelenggaraan dan Retribusi TPI, retribusi dari TPI ditetapkan sebesar
5 persen dari hasil penjualan, TR. Berdasarkan peraturan ini, maka cara
menghitung besarnya retribusi tersebut disajikan pada persamaan (4.4a) :
50
Retmn = 0,05*TRmn
...................................................................................................................
...................................................................................................................
(4.4a)
PA meliputi biaya perawatan perahu, alat penangkap dan motor bagi
perahu motor tempel. Perawatan perahu dilakukan jika diperlukan saja yaitu
menambal yang bocor dan mengecat. Perawatan jaring dilakukan terutama untuk
menambal bagian yang robek. Penambalan jaring yang robek biasanya dikerjakan
selama perjalanan pulang setelah operasi penangkapan. Perbaikan jaring ini
merupakan tugas dari setiap nelayan yang ikut operasi penangkapan. Pekerjaan
perbaikan tersebut dilanjutkan di darat jika belum selesai atau kerusakannya
cukup berat (Suryadi, 1984).
Biaya tak langsung, berupa penyusutan asset perikanan, dihitung dengan
menggunakan metode langsung (straight line method). Hasil penelitian Mulyatini
(2004), memberikan informasi bahwa metode penyusutan yang paling banyak
dipakai oleh perusahaan adalah metode penyusutan garis lurus (straight line
method). Faktor utama yang mempengaruhi perusahaan dalam pemilihan metode
penyusutan ini adalah faktor kemudahan atau kepraktisan.1
Persamaan (4.4) dibuat untuk membuka kemungkinan adanya biaya lain di
luar komponen pengeluaran yang teridentifikasi sejak awal. Kemungkinan ini
direkam melalui peubah L. Setelah dilakukan survey, mungkin peubah L ini akan
menjadi peubah yang secara definitif menjadi komponen pengeluaran bagi
nelayan.
1 Mulyatini. 2004. Analisis faktor-faktor yang mempengaruhi pemilihan metode penyusutan.
Skripsi. Universitas Kristen Petra. Program Studi Akuntansi, Surabaya. Surabaya.
51
Aplikasi cara perhitungan keuntungan tersebut dikelompokan menjadi dua
himpunan, yaitu keuntungan pengguna alat tangkap legal dan terlarang.
Selanjutnya, teknik pengujian statistik distribusi selisih rata-rata dapat digunakan
untuk melihat perbedaan tingkat keuntungan dari dua jenis umum alat tangkap
tersebut. Pengujian tersebut didasarkan pada hasil uji t stastistik seperti disajikan
pada persamaan (4.5) :
thitung =
....................................(4.5)
dimana :π1 = Rata-rata keuntungan nelayan pengguna alat tangkap terlarang π2 = Rata-rata keuntungan nelayan pengguna alat tangkap legalS1 = Standar deviasi keuntungan nelayan pengguna alat tangkap
terlarangS2 = Standar deviasi keuntungan nelayan pengguna alat tangkap legaln1 = Jumlah contoh (sample) nelayan pengguna alat tangkap terlarangn2 = Jumlah contoh (sample) nelayan pengguna alat tangkap legal
Hasil perhitungan thitung kemudian akan dibandingkan dengan ttabel. Nilai
ttabel dicari dengan menggunakan tingkat kepercayaan atau signifikansi sebesar 5
persen. Kriteria pengujian yang akan digunakan adalah pengujian dua pihak,
yaitu,
Ho diterima jika, -t(0.5*) < thitung < t(0.5*)
Ho ditolak jika, -t(0.5*) > thitung > t(0.5*)
Ho atau hipotesa yang diajukan adalah terdapat perbedaan yang nyata antara
keuntungan nelayan pengguna alat tangkap terlarang dengan keuntungan nelayan
pengguna alat tangkap legal.
52
4.4.2. Spesifikasi Model Ekonometrika Pilihan Jenis Alat Tangkap
Untuk mengestimasi faktor-faktor yang mempengaruhi tingkat kepatuhan
nelayan terhadap aturan alat tangkap di Kabupaten Indramayu perlu dibangun
sebuah model ekonometrika. Dalam rumusan masalah, peubah tingkat kepatuhan
dirangking menurut tiga tingkatan : tidak pernah, sering dan sangat sering.
Menurut Green (2003), peubah terikat seperti itu merupakan peringkat (ranking),
dan nilai-nilai yang dipilih bukan kuantitatif tetapi hanya sebuah ordering.
Tingkat kepatuhan merupakan peubah terikat (dependent) yang tergantung pada
beberapa faktor yang menjadi peubah penjelas (explanatory).
Estimasi model ekonometrika yang melibatkan peubah terikat dengan jenis
data skala ordinal memerlukan spesifikasi khusus. Penjelasannya disajikan pada
subbab prosedur estimasi model ekonometrika. Pada subbab ini hanya
menjelaskan tanda dan besaran pengaruh peubah penjelas terhadap peubah
terikatnya saja.
Peubah penjelas dalam model ekonometrika dipilih berdasarkan informasi
teoritis dan empiris. Melalui persamaan (3.7a) dan (3.7b), secara teoritis
diinformasikan bahwa penggunaan alat tangkap legal dan terlarang sekurang-
kurangnya merespon beberapa peubah, seperti harga ikan, hasil tangkapan atau
produksi, ketersediaan biomassa ikan, biaya per unit penggunaan alat tangkap, dan
biaya per unit tindakan penghindaran terhadap upaya pengawasan, efektivitas
tindakan penghindaran nelayan terhadap upaya pengawasan, dan upaya
pemerintah untuk menegakan aturan alat tangkap. Kemudian, berdasarkan
pengembangan model yang dilakukan oleh Sumaila dan Keith (2006), disamping
faktor tersebut, perlu dipertimbangkan faktor moral dan tekanan sosial yang
53
berpotensi menjadi pertimbangan nelayan dalam memilih alat tangkap legal dan
terlarang, dan mengacu pada pengalaman Kuperan dan Sutinen (1998) serta
Eggert dan Lokina (2008), perlu juga dipertimbangkan aspek legitimasinya.
Namun demikian, peubah penjelas tersebut tidak bisa secara langsung
dimasukan ke dalam model ekonometrika. Terdapat peubah yang mudah untuk
diamati dan sebaliknya sulit untuk diamati. Peubah harga ikan, hasil tangkapan
dan biaya penggunaan alat tangkap merupakan peubah yang menghasilkan
besarnya keuntungan nelayan atas penggunaan alat tangkap legal dan terlarang.
Oleh karena itu, peubah penjelas tersebut dianggap sudah terwakili oleh peubah
keuntungan seperti telah dikemukakan pada sub bab sebelumnya.
Upaya pemerintah dalam menegakan aturan alat tangkap perlu
dioperasionalisasikan oleh peubah yang memungkinkan untuk diukur. Dalam
fungsinya sebagai regulator, tentu terdapat pertimbangan manfaat bila aturan
tersebut terpenuhi, dan terdapat ancaman bila aturan tersebut dilanggar.
Berdasarkan logika ini, upaya pemerintah tersebut dapat diwakili oleh penilaian
nelayan terhadap manfaat diberlakukannya aturan alat tangkap, dan hukuman
(sanksi pidana dan denda) dari aturan tersebut. Kemudian, Pemerintah Kabupaten
Indramayu telah menyusun Forum Pengelola yang diberikan tugas untuk
melakukan pengawasan terhadap aturan perikanan termasuk aturan alat tangkap.
Oleh karena itu, peubah yang dapat mewakili upaya tersebut dapat diukur dengan
frekuensi pengawasan yang dilakukan oleh pemerintah.
Peubah yang cukup sulit diamati adalah moral, tekanan sosial dan
legitimasi. Peubah moral dan tekanan sosial menampilkan bentuk peubah yang
rumit untuk diukur secara kuantitatif dan menampilkan ekspresi persepsi atau
54
opini, oleh karena itu diperlukan peubah yang dapat mewakilinya (proxy). Belajar
dari pengalaman penelitian yang telah dilakukan sebelumnya, peubah moral dapat
diwakili oleh lamanya pendidikan formal yang telah ditempuh nelayan, dan
pengalaman bekerja sebagai nelayan. Tekanan sosial menampilkan sikap
masyarakat nelayan terhadap nelayan pengguna alat tangkap terlarang. Secara
konseptual, peubah tekanan sosial dapat dijelaskan dengan baik, namun secara
empiris cukup sulit untuk dilakukan pengukuran. Selanjutnya, peubah legitimasi,
mengacu pada pengalaman Kuperan dan Sutinen (1998) serta Eggert dan Lokina
(2008), mereka menggunakan ukuran peubah legitimasi sebagai jenis data interval
dengan skala empat digit, dimana skor tertinggi menampilkan sangat setuju.
Kemudian, terdapat lingkungan ekonomi lain yang secara apriori dapat
dipertimbangkan. Lingkungan ekonomi tersebut mencakup beban rumahtangga
yang harus ditanggung oleh nelayan, dan alternatif pendapatan rumahtangga
selain dari kegiatan penangkapan ikan. Beban rumahtangga dapat diwakili oleh
jumlah anggota keluarga yang menjadi tanggungan nelayan, dan besarnya
pinjaman yang menjadi kewajiban rumahtangga nelayan. Sementara itu, alternatif
pendapatan rumahtangga dapat diwakili oleh pendapatan istri dan pendapatan
nelayan diluar kegiatan penangkapan ikan (off-fishing).
Pertimbangan tersebut membantu proses pemilihan peubah yang
menjelaskan frekuensi penggunaan alat tangkap legal dan terlarang. Secara visual,
hubungannya disajikan pada Gambar 4.
FREK*
PI JAK
KBATL
PNJ
MP HKM
KBATT
FPAT
POF
-
+ +
-
+-
-
-
-
PDK PGL
- + / -
55
Gambar 4. Peubah Penjelas Frekuensi Penggunaan Alat Tangkap Legal dan Terlarang
Keterangan : = peubah penjelas; = peubah terikat
Kemudian, secara konseptual, model ekonometrik untuk mengekspresikan
hubungannya disajikan pada persamaan (4.6) :
FREKi*= 0 + 1 KBATLi + 2 KBATTi + 3 PIi + 4 PNJi + 5 JAKi
+ 6 POFi + 7 MPi + 8 HKMi + 9 FPATi + 10 PDKi
+ 11 PGLi + i ........................................................................(4.6)
1 < 0, 2 > 0, 3 < 0, 4 > 0, 5 > 0, 6 < 0, 7 < 0, 8 < 0, 9 < 0,
9 < 0, dan 11 < 0 atau 11 > 0
dimana :FREK* = Frekuensi nelayan untuk menggunakan alat tangkap terlarang
(0 = tidak pernah, 1 = sering, dan 2 = sangat sering)KBATL = Keuntungan bersih nelayan pengguna alat tangkap legal
(rupiah)KBATT = Keuntungan bersih nelayan pengguna alat tangkap terlarang
(rupiah)PI = Pendapatan istri nelayan (rupiah)PNJ = Pinjaman rumahtangga nelayan (rupiah)JAK = Jumlah anggota keluarga (orang)POF = Pendapatan nelayan diluar penangkapan ikan (rupiah)MP = Manfaat peraturan alat tangkap (1 = tidak layak, 2 = kurang
layak, 3 = layak, 4 = sangat layak)
56
HKM = Sanksi pidana dan denda atas penggunaan alat tangkap terlarang (1 = tidak layak, 2 = kurang layak, 3 = layak, 4 = sangat layak)
FPAT = Patroli atau kegiatan pengawasan terhadap alat tangkap terlarang (1 = tidak pernah, 2 = jarang, 3 = sering, 4 = sangat sering)
PDK = Lamanya pendidikan formal nelayan (tahun)PGL = Pengalaman kerja sebagai nelayan (tahun)j = Parameter ke-j, untuk j = 0 hingga 12i = Indeks nelayan yang diamati
Tanda parameter di bawah persamaan (4.6) menjelaskan hipotesa terkait
tingkat kepatuhan nelayan terhadap regulasi alat tangkap. Namun, seperti akan
dijelaskan dalam prosedur estimasi model, hipotesa tersebut tidak diturunkan
secara langsung dari tanda parameter dugaan. Frekuensi nelayan untuk
menggunakan alat tangkap terlarang, FREK*, merupakan peubah dependen
kualitatif. Nilai FREK* = 0 diberikan kepada nelayan yang dalam satu tahun
penuh tidak pernah menggunakan jenis alat tangkap terlarang. Nilai FREK* = 1
diberikan kepada nelayan yang mana dalam satu tahun menggunakan alat tangkap
terlarang sebanyak 1 hingga 10 bulan. Sedangkan nilai FREK* = 2 diberikan
kepada nelayan yang yang menggunakan jenis alat tangkap terlarang selama 11
hingga 12 bulan. Disini ditampilkan bahwa semakin ke atas peringkatnya
menunjukkan rendahnya kepatuhan nelayan, dan sebaliknya semakin ke bawah
peringkatnya menunjukkan kepatuhan yang meningkat. Teknik pemeringkatan
seperti ini diadopsi dari penelitian Eggert dan Lokina (2008).
Peubah penjelas pada persamaan (4.6) merupakan pelebaran dari tiga
kategori faktor yang diduga berpengaruh terhadap peubah FREK*. Peubah
KBATL dan KBATT merupakan operasionalisasi dari faktor motif keuntungan.
Peubah PI, PNJ, JAK dan POF merupakan operasionalisasi dari faktor lingkungan
ekonomi nelayan, dan peubah MP, HKM dan FPAT merupakan operasionalisasi
57
dari faktor pengawasan dan penegakan aturan. Penjelasan dibalik hipotesa pada
persamaan (4.6) dijelaskan sebagai berikut.
Peubah yang diduga berpengaruh negatif terhadap FREK* adalah
KBATL, PI, POF, MP, HKM, FPAT dan PDK. Tingginya keuntungan bersih
yang diperoleh alat tangkap legal akan memberikan insentif ekonomi bagi nelayan
untuk menghindari alat tangkap terlarang. Tingginya KBATL akan cenderung
meningkatkan kepatuhan nelayan terhadap peraturan alat tangkap dengan cara
mengurangi atau tidak menggunakan sama sekali alat tangkap terlarang. Peubah
PI dan POF diduga berpengaruh negatif terhadap FREK*. Dalam pengertian
bahwa ketika dalam rumahtangga nelayan terdapat alternatif pendapatan lain, baik
yang dihasilkan oleh istri nelayan dan pekerjaan nelayan pada usaha diluar
penangkapan ikan, maka nelayan cenderung tidak akan menggunakan alat tangkap
terlarang. Hipotesa ini didasarkan pada asumsi bahwa kecondongan untuk
menggunakan alat tangkap terlarang didorong oleh keinginan nelayan untuk
memperoleh pendapatan yang lebih besar. Asumsi ini melekat juga pada hipotesa
terkait pengaruh peubah PNJ dan JAK. Peubah MP, HKM dan FPAT adalah
peubah penjelas yang mewakili kegiatan pengawasan dan penegakan aturan alat
tangkap. Peubah yang mewakili pengawasan dan penegakan aturan alat tangkap
(MP, HKM dan FPAT) diduga berpengaruh negatif terhadap FREK*. Apabila
nelayan menilai bahwa penerapan aturan alat tangkap tersebut memberikan
manfaat bagi mereka, maka hal ini akan memberikan insentif bagi nelayan untuk
menghindari penggunaan alat tangkap terlarang. HKM dan FPAT merupakan
instrumen pemerintah untuk mencegah penggunaan alat tangkap terlarang.
Apabila nelayan menilai bahwa sanksi pidana dan denda yang diberikan kepada
58
pengguna alat tangkap terlarang tersebut layak, maka hal ini akan memberikan
insentif bagi mereka untuk menghindari penggunaan alat tangkap terlarang.
Nelayan dianggap akan menghindari hilangnya sumber daya waktu produktif
yang harus dihabiskan dalam tahanan, dan lebih dari itu mereka harus
mengeluarkan uang untuk membayar denda. Kemudian, semakin frekuentif
kegiatan pengawasan terhadap alat tangkap terlarang, maka instrumen ini
berpotensi mencegah nelayan untuk tidak menggunakan alat tangkap terlarang.
Semakin sering kegiatan pengawasan penggunaan alat tangkap terlarang akan
memberikan disinsentif bagi nelayan untuk mengurangi atau tidak
menggunakannya sama sekali. Kemudian, semakin tinggi tingkat pendidikan,
PDK, diduga menunjukkan semakin tingginya derajat moral nelayan, sehingga
tingginya tingkat pendidikan tersebut dapat meredam insentif nelayan untuk
menggunakan alat tangkap terlarang.
Sementara itu, peubah penjelas yang diduga berpengaruh positif terhadap
FREK* adalah KBATT, PNJ dan JAK. Tingginya keuntungan bersih yang
diperoleh dari alat tangkap terlarang akan memberikan insentif ekonomi bagi
nelayan untuk menggunakan alat terlarang tersebut, sehingga akan berpotensi
untuk melonggarkan kepatuhan mereka terhadap peraturan alat tangkap, dengan
cara menambah frekuensi penggunaan alat tangkap terlarang. Peubah PNJ dan
JAK diduga berpengaruh positif terhadap FREK*. Dalam pengertian bahwa ketika
rumahtangga nelayan memiliki beban ekonomi yang cukup besar, maka mereka
akan memilih alat tangkap terlarang yang diasumsikan dapat memberikan hasil
tangkapan yang lebih besar dibandingkan alat tangkap legal. Asumsi ini muncul
dari sifat teknis alat tangkap terlarang yang memiliki kemampuan untuk
59
menghasilkan by catch (hasil tangkapan diluar target) yang cukup besar. PNJ dan
JAK memberikan insentif bagi nelayan untuk memperoleh pendapatan kas dengan
segera, dan pertimbangan ini diduga akan melonggarkan kepatuhan nelayan
terhadap peraturan alat tangkap, yang diwujudkan melalui bertambahnya
frekuensi penggunaan alat tangkap terlarang.
Persamaan (4.4) tidak dapat diestimasi secara langsung, karena peubah
terikatnyanya, FREK*, bersifat kualitatif atau merupakan peubah laten, dan
termasuk kategori peubah pilihan multinomial yang berurut atau ordered data.
Karena itu, model ordered probit dan ordered logit menjadi alternatif untuk
mengestimasi persamaan (4.6) (Greene, 2003).
Model ordered probit dan logit merupakan pengembangan dari model
probit dan logit. Sedikit perbedaannya adalah, dalam model probit dan logit
peubah terikatnya memiliki sifat dikotomi atau biner, misalnya keputusan “ya”
atau “tidak”, sedangkan dalam ordered probit dan logit, peubah terikatnya
menampilkan pilihan multinomial yang berurut (ordered) seperti telah
dispesifikasi pada persamaan (4.6). Perbedaan antara probit dan logit terlihat dari
perlakuannya terhadap distribusi error term. Dalam model probit error termnya
diasumsikan berdistribusi normal, sedangkan dalam model logit error term
didistribusikan secara logistik untuk mempertahankan agar peluang yang
diestimasi berada pada interval 0 dan 1. Oleh karena itu, menurut Thomas (1997),
model logit dipandang lebih realistik dibanding probit, dan Green (2009)
merekomendasikan untuk menggunakan model ordered logit. Penjelasan ringkas
mengenai prosedur estimasi model ordered logit disajikan pada subbab prosedur
estimasi model ekonometrika.
60
4.4.3. Prosedur Estimasi Model Ekonometrika
Bagian ini menyajikan penjelasan prosedur untuk mengestimasi
persamaan (4.6). Untuk memudahkan penjelasannya, persamaan (4.6) dapat
disederhanakan melalui ekspresi persamaan (4.7) :
FREKi* = Xi + ...................................................................................(4.7)
Dimana peubah X merupakan vektor baris yang meringkas sepuluh peubah
penjelas yang tersaji pada persamaan (4.6). Peubah FREK* tidak dapat diamati
secara langsung (unobservable), sehingga mengacu pada Green (2003) yang perlu
diamati adalah menyusun ranking seperti disajikan pada persamaan (4.8) :
FREKi = 0, jika FREKi* 0................................................................(4.8a)
FREKi = 1, jika 0 < FREKi* < 1.........................................................(4.8b)
FREKi = 2, jika 1 < FREKi* 2.......................................................(4.8c)
Term adalah parameter yang belum diketahui dan harus diestimasi dengan
parameter . Term diasumsikan didistribusikan secara logistik.
Definisi peluang nelayan untuk menggunakan alat tangkap legal dan
terlarang, dijelaskan pada persamaan (4.9) :
Prob (FREKi = 0|Xi) = 1
1+exp( X i−μ1)................................................(4.9a)
Prob (FREKi = 1|Xi) = 1
1+exp( X i−μ2)− 1
1+exp( X i−μ1)....................(4.9b)
Prob (FREKi = 2|Xi) = 1 −1
1+exp( X i−μ2).............................................(4.9c)
Berbeda dengan prosedur estimasi Ordinary Least Square (OLS), tanda
dan besaran parameter model tidak dapat diinterpretasikan secara langsung dari
hasil estimasi model ordered logit. Tanda dan besaran parameter dugaan digali
dari efek marjinal (marginal effect). Efek marjinal sembilan peubah, X, terhadap
61
peluang nelayan untuk tidak menggunakan, sering menggunakan dan sangat
sering menggunakan alat tangkap terlarang tidak sama dengan parameter dugaan
atau koefisien. Efek marjinal diidentifikasi dengan cara menurunkan persamaan
(4.9) dengan tanggap terhadap perubahan sembilan peubah penjelas yang
diringkas denga notasi Xi. Hasilnya disajikaan pada persamaan (4.10) :
Prob(FREK = 0|Xi)/Xi = −βExp(β−μ1)
exp(β X i−μ1+1)2 ...................................(4.10a)
Prob(FREK = 1|Xi)/Xi = βExp ( β X i−μ1 )
exp ( β X i−μ1+1 )2
−β exp (β X i−μ2+1)❑
exp( β X i−μ2+1)2 ...........................(4.10b)
Prob(FREK = 2|Xi)/Xi = β exp (β X i−μ2+1)❑
exp( β X i−μ2+1)2 ...............................(4.10c)
Setelah membuat spesifikasi terhadap peubah tingkat kepatuhan tersebut,
selanjutnya persamaan (4.7) akan diestimasi dengan menggunakan teknik
maximum likelihood (ML). Sehingga akan diperoleh koefisien yang menunjang
analisa terhadap tujuan kedua dan ketiga rencana penelitian ini. Program
perangkat lunak statistical analysis systems (SAS) memiliki kemampuan untuk
mengestimasi persamaan tunggal dengan metode ML. Pengujian hipotesa berbasis
teknik estimasi ML memiliki perbedaan dengan teknik OLS.
Secara konseptual, fungsi kepadatan peluang (probability density function,
PDF) untuk peubah acak y dikondisikan oleh sekumpulan parameter, , yang
ditunjukkan oleh f(y|). Fungsi ini mengidentifikasi proses penghasilan data (data
generating process) yang mendasari sampel data yang diamati, dan pada saat yang
sama, memberikan gambaran matematis terhadap data. Gabungan kepadatan (the
62
joint density) dari proses ini adalah perkalian dari kepadatan individual seperti
ditampilkan pada persamaan (4.12) :
f(y1, …, yn|) = ∏i=1
n
f ( y i∨θ) = L(|y)...................................................(4.12)
Gabungan kepadatan adalah fungsi likelihood yang diartikan sebagai fungsi dari
vektor parameter yang belum diketahui, , dimana y digunakan untuk
menunjukkan kumpulan data. Perlu dicatat bahwa gabungan kepadatan sebagai
fungsi dari data yang dikondisikan oleh parameter. Oleh karena itu, fungsi
likelihood ditulis secara terbalik sebagai fungsi dari parameter yang dikondisikan
oleh data. Meskipun fungsinya sama, akan tetapi harus ditekankan bahwa fungsi
likelihood ditulis untuk menegaskan daya tarik parameter dan informasi dalam
data yang diamati. Fungsi log-likelihood ditulis pada persamaan (4.13) :
ln L(|y) = ∑i=1
n
ln f(yi|).........................................................................(4.13)
Fungsi likelihood dan logaritmanya, yang dievaluasi oleh , kadang-
kadang didenotasikan secara sederhana dengan L() dan ln L().
ln L(|y, X) = ∑i=1
n
ln f(yi|xi, )
= -1/2 ∑i=1
n
¿¿ + (yi - xi)2/2].............................................(4.14)
X menunjukkan n kali K data dengan baris ke-i, sama dengan xi.
4.5. Validasi Model Ekonometrika
Interpretasi didasarkan kepada model ekonometrika tingkat kepatuhan
nelayan yang telah valid. Kriteria validitas tersebut didasarkan pada aspek
ekonomi, statistik dan ekonometrik. Model yang valid adalah model dimana tanda
63
paramaternya memiliki makna secara ekonomi, dan memenuhi kriteria statistik
dan ekonometrik.
Respesifikasi model akan dilakukan secara berulang bila tanda efek
marjinal tidak memberikan makna secara ekonomi. Proses ini dapat mengurangi
kesalahan secara statistik dan ekonometrika. Kemudian setelah tahap ini dicapai,
maka langkah berikutnya adalah mengkaji kriteria statistik dan ekonometrik.
Secara statistik akan dilakukan dua tahap pengujian. Pengujian tahap
pertama dilakukan untuk memvalidasi data yang bersifat interval, dan pengujian
kedua dilakukan untuk memvalidasi hasil estimasi model yang sebagian
menggunakan data skala interval dan sebagian menggunakan data skala rasio.
Pada persamaan (4.4.), peubah yang menggunakan data skala interval adalah
peubah MP, HKM, FPAT. Data skala interval ini digunakan oleh Kuperan dan
Sutinen (1998), Eggert dan Lokina (2008), serta Lee dan Kang (2009).
Perbedaannya, Kuperan dan Sutinen (1998) menggunakan data skala interval
untuk mengestimasi model Tobit, Eggert dan Lokina (2008) menggunakannya
untuk mengestimasi model ordered probit, sedangkan Lee dan Kang (2009)
menggunakannya untuk mengestimasi model logit. Terkait penggunaan data
primer, menurut Singarimbun dan Effendi (1995), peneliti perlu memvalidasi
kualitas data sebelum digunakan untuk menguji hipotesa. Oleh karena itu, untuk
menguji validitas data, penelitian ini akan menggunakan teknik korelasi product
moment.
Berikutnya, pengujian secara statistik dan ekonometri didasarkan pada
asumsi dibalik metode estimasi maximum likelihood. Menurut Green (2003),
terdapat tiga pendekatan untuk menguji hipotesa dari model ekonometrika yang
64
diestimasi dengan metode maximum likelihood, yaitu : likelihood ratio test, wald
test, dan lagrange multiplier test. Berikut dikemukakan penjelasannya secara
konseptual.
Pertama, likelihood ratio test. Diketahui bahwa adalah vektor parameter yang
akan diestimasi, dan H0 adalah jenis restriksi terhadap parameter tersebut.
Kemudian diketahui θ̂U adalah penduga ML dari yang diperoleh tanpa
mempertimbangkan kendala, dan θ̂R adalah kendala penduga ML. Apabila L̂U dan
L̂R adalah fungsi likelihood yang dievaluasi, maka rasio likelihoodnya disajikan
pada persamaan (4.15). Fungsi tersebut harus berada antara 0 dan 1. Kedua
likelihood positif, dan L̂R tidak dapat lebih besar dari L̂U. Apabila kecil, maka
terdapat keraguan dalam restriksinya.
= L̂R/L̂U..............................................................................................(4.15)
Kedua, Wald test. Kekurangan praktis dari likelihood ratio test biasanya
adalah memerlukan pendugaan kedua macam restriksi dan vektor parameter yang
tidak direstriksi. Dalam model yang komplek, satu atau penduga lainnya akan
sulit dihitung, namun terdapat dua alternatif prosedur pengujian, yaitu Wald dan
Lagrange Multiplier test. Kedua pengujian tersebut berbasis pada penduga yang
didistribusikan secara normal dan asimtotik. Diketahui θ̂ adalah vektor parameter
dugaan yang diperoleh tanpa restriksi, dan hipotesa yang direstriksi adalah :
H0:c() = q
Apabila restriksinya valid, maka sekurang-kurangnya harus mendekati θ̂.
Sebaliknya, apabila hipotesanya keliru, maka c() – q harus melampaui nol. Alat
untuk memformalisasikan gagasan ini adalah Wald test. Pengujian ini analog
dengan chi-square statistic, dimana jika c() – q adalah berdistribusi normal, maka
65
nilai Wald yang besar akan mengarah pada penolakan hipotesis. Wald dihitung
dengan model yang tidak direstriksi.
Ketiga, Lagrange Multiplier test. Pengujian ini mengacu pada model yang
direstriksi. Diketahui apabila log-likelihood dimaksimisasi dengan syarat ikatan
kendala c() – q = 0, kemudian adalah vektor lagrange multiplier, dan fungsi
lagrangenya adalah :
ln L*() = ln L() + (c() – q)............................................................(4.16)
Solusi terhadap masalah yang terkendala adalah akar dari :
ln L*/ = ln L()/ + c’ = 0......................................................(4.16a)
ln L*/ = c() – q = 0.....................................................................(4.16b)
dimana c’ adalah transpose dari matrik derivatifnya. Apabila restriksinya valid ,
maka tidak akan menimbulkan perbedaan yang signifikan dalam memaksimisasi
nilai dari fungsi likelihood. akan bernilai kecil, dan oleh karena itu dapat diuji
secara langsung. Dimana H0: = 0, yang mengarah pada lagrange multiplier test.
66
IV. METODE PENELITIAN............................................................................................44
4.1. Lokasi dan Waktu Penelitian.................................................................................44
4.2. Data Penelitian.......................................................................................................45
4.3. Contoh Penelitian...................................................................................................46
4.4. Metode Analisis.....................................................................................................48
4.4.1. Metode Pendugaan Keuntungan Usaha Perikanan............................................48
4.4.2. Spesifikasi Model Ekonometrika Pilihan Jenis Alat Tangkap...........................51
4.5. Validasi Model Ekonometrika...............................................................................62
Gambar 3. Kabupaten Indramayu, Provinsi Jawa Barat....................................................44
67
C. Metode Penyusutan Aktiva Tetap (Pasal 11 Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2000)
1. Untuk aktiva kelompok I s.d. kelompok IV disusutkan dengan memakai metode garis lurus (straight line methode) atau metode saldo menurun (decline balance methode).
2. Untuk aktiva kelompok bangunan harus disusutkan dengan metode garis lurus.
3. Penggunaan metode penyusutan tersebut harus dilakukan secara taat azas.4. Masa manfaat dan tarif penyusutan aktiva untuk masing-masing kelompok
telah ditetapkan sebagai berikut :
Kelompok Harta Berwujud
Masa Manfaat Tarif PenyusutanMetod
e Garis Lurus
Tarif Penyusutan Metode
Saldo Menurun
I. Bukan Bangunan
Kelompok I 4 Tahun 25% 50% Kelompok II 8 Tahun 12,5% 25% Kelompok III 16 Tahun 6,25% 12,5% Kelompok IV 20 Tahun 5% 10%II. Bangunan : Permanen 20 Tahun 5% Tidak Permanen 10 Tahun 10%
Contoh penggunaan metode garis lurus :
Sebuah gedung yang harga perolehannya Rp 100.000.000,00 dan masa manfaatnya 20 tahun, penyusutannya setiap tahun adalah sebesar Rp 5.000.000,00 (= Rp 100.000.000,00 / 20)
Contoh penggunaan metode saldo menurun :
Sebuah mesin dibeli dan ditempatkan pada bulan Januari 2000 dengan harga perolehan Rp 150.000.000,00. Masa manfaat mesin tersebut adalah 4 tahun (tarif penyusutannya 50%). Maka perhitungan penyusutannya adalah sbb :
Tahun Tarif PenyusutanNilai Sisa
Buku
Harga perolehan 150.000.000,00
2000 50% 75.000.000,00 75.000.000,002001 50% 37.500.000,00 37.500.000,00
68
2002 50% 18.750.000,00 18.750.000,002003 Disusutkan sekaligus 18.750.000,00 0
Penetapan kelompok-kelompok aktiva tetap diatur dalam Keputusan Menteri Keuangan (Kelompok aktiva non bangunan dalam Keputusan Menteri Keuangan Nomor 138/KMK.03/2002 tentang Perubahan Atas Keputusan Menteri Keuangan Nomor 520/KMK.04/2000 dan khusus untuk perusahaan pertambangan diatur dalam Keputusan Menteri Keuangan Nomor 521/KMK.04/2000
Bangunan tidak permanen adalah bangunan yang bersifat sementara dan terbuat dari bahan yang tidak tahan lama atau bangunan yang dapat dipindah-pindahkan yang masa manfaatnya tidak lebih dari 10 tahun. Misalnya, barak atau asrama yang dibuat dari kayu untuk karyawan.
Berdasarkan Surat Keputusan Menteri Keuangan No. 138/KMK.03/2002,
harta berwujud berupa komputer, printer, scanner dan sejenisnya yang
semula masuk ke dalam kelompok II berubah menjadi kelompok I.
Penghitungan penyusutannya sbb :
-Penyusutan berdasarkan ketentuan lama (penyusutan kelompok II) berlaku
sampai bulan Maret 2002.
- Penyusutan dengan ketentuan baru (penyusutan kelompok I) berlaku mulai
April 2002, dengan tetap menggunakan sisa manfaat semula yang akan
mengalami penyesesuain/ percepatan secara otomatis.
Dalam rangka menyesuaikan dengan karakteristik bidang-bidang usaha tertentu, seperti pertambangan minyak dan gas bumi, perkebunan tanaman keras, perlu diberikan pengaturan tersendiri untuk penyusutan harta berwujud yang digunakan dalam usaha tersebut, yang ketentuannya akan ditetapkan dengan Keputusan Menteri Keuangan.
Apabila terjadi pengalihan atau penarikan aktiva tetap tersebut di atas, maka jumlah nilai sisa buku fiskal aktiva tersebut dapat dibebankan sebagai biaya dan jumlah harga jual (nilai pasar) atau penggantian asuransi yang diterima atau diperoleh diakui sebagai penghasilan.
Dalam hal penggantian asuransi yang akan diterima jumlahnya baru dapat diketahui dengan pasti di masa kemudian, maka dengan persetujuan Dirjen Pajak jumlah nilai sisa buku fiskal aktiva yang bersangkutan dapat dibebankan sebagai biaya masa kemudian tersebut (matching expense againt revenue).
Dalam hal pengalihan aktiva berupa bantuan, sumbangan, atau hibah yang memenuhi syarat Pasal 4 ayat (3) huruf a dan b Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2000, maka nilai sisa buku fiskal harta tersebut tidak dapat dibebankan sebagai biaya (kerugian) bagi pihak yang mengalihkan dan bukan penghasilan bagi pihak yang menerima. Sebaliknya, apabila tidak memenuhi syarat Pasal 4 ayat (3) huruf a
69
dan b Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2000, maka bagi pihak yang mengalihkan nilai sisa bukunya tidak dapat diakui sebagai biaya, dan bagi penerimanya merupakan penghasilan.
traight Line Depreciation Method
Depreciation = (Cost - Residual value) / Useful life
[Example, Straight line depreciation]
On April 1, 2011, Company A purchased an equipment at the cost of $140,000. This equipment is estimated to have 5 year useful life. At the end of the 5th year, the salvage value (residual value) will be $20,000. Company A recognizes depreciation to the nearest whole month. Calculate the depreciation expenses for 2011, 2012 and 2013 using straight line depreciation method.
Depreciation for 2011 = ($140,000 - $20,000) x 1/5 x 9/12 = $18,000
Depreciation for 2012 = ($140,000 - $20,000) x 1/5 x 12/12 = $24,000
Depreciation for 2013 = ($140,000 - $20,000) x 1/5 x 12/12 = $24,000
Depreciation is a term used in accounting, economics and finance to spread the cost of an asset over the span of several years.
In common speech, depreciation is the reduction in the cost of an asset used for business purposes during certain amount of time due to usage, passage of time, wear and tear, technological outdating or obsolescence, depletion, inadequacy, rot, rust, decay or other such factors.
In accounting, however, depreciation is a term used to describe any method of attributing the historical or purchase cost of an asset across its useful life, roughly corresponding to normal wear and tear.[1] It is of most use when dealing with assets of a short, fixed service life, and which is an example of applying the matching principle per generally accepted accounting principles. Depreciation in accounting is often mistakenly seen as a basis for recognizing impairment of an asset, but unexpected changes in value, where seen as significant enough to account for, are handled through write-downs or similar techniques which adjust the book value of the asset to reflect its current value.
The use of depreciation affects the financial statements and in some countries the taxes of companies and individuals. The recording of depreciation will cause an expense to be recognized, thereby lowering stated profits on the income statement, while the net value of the asset (the portion of the historical cost of the asset that remains to provide future value to the company) will decline on the balance sheet. Depreciation reported for accounting and tax purposes may differ substantially.
70
Depreciation and its related concept, amortization (generally, the depreciation of intangible assets), are non-cash expenses. Neither depreciation nor amortization will directly affect the cash flow of a company, as both are accounting representations of expenses attributable to a given period. In accounting statements, depreciation may neither figure in the cash flow statement, nor be "added back" to net income (along with other items) to derive the operating cash flow.[2] Depreciation recognized for tax purposes will, however, affect the cash flow of the company, as tax depreciation will reduce taxable profits; there is generally no requirement that treatment of depreciation for tax and accounting purposes be identical. Where depreciation is shown on accounting statements, the figure usually does not match the depreciation for tax purposes.
Because of its non-standardized derivation, depreciation is a key component of EBITDA, a metric used to gauge the worth of a company independent of tax-jurisdiction effects and capitalization structure.
Salvage value is the estimated value of an asset at the end of its useful life. In accounting, the salvage value of an asset is its remaining value after depreciation. This is also known as residual value or scrap value. It is the net cash inflow that occurs when the asset is liquefied at the end of its life. Salvage value can be negative if the residual asset requires special treatment to terminate—for example, used nuclear materials or CRT's containing lead.
In economics, depreciation is the decrease in the economic value of the capital stock of a firm, nation or other entity, either through physical depreciation, obsolescence or changes in the demand for the services of the capital in question. If capital stock is C0 at the beginning of a period, investment is I and depreciation D, the capital stock at the end of the period, C1, is C0 + I - D.
Straight-line depreciation
Straight-line depreciation is the simplest and most-often-used technique, in which the company estimates the salvage value of the asset at the end of the period during which it will be used to generate revenues (useful life) and will expense a portion of original cost in equal increments over that period. The salvage value is an estimate of the value of the asset at the time it will be sold or disposed of; it may be zero or even negative. Salvage value is also known as scrap value or residual value.
Straight-line method:
71
For example, a vehicle that depreciates over 5 years, is purchased at a cost of US$17,000, and will have a salvage value of US$2000, will depreciate at US$3,000 per year: ($17,000 − $2,000)/ 5 years = $3,000 annual straight-line depreciation expense. In other words, it is the depreciable cost of the asset divided by the number of years of its useful life.
This table illustrates the straight-line method of depreciation. Book value at the beginning of the first year of depreciation is the original cost of the asset. At any time book value equals original cost minus accumulated depreciation.
book value = original cost − accumulated depreciation Book value at the end of year becomes book value at the beginning of next year. The asset is depreciated until the book value equals scrap value.
Book value at
beginning of year
Depreciation
expense
Accumulated
depreciation
Book value at
end of year
$17,000 (original cost) $3,000 $3,000 $14,000
$14,000 $3,000 $6,000 $11,000
$11,000 $3,000 $9,000 $8,000
$8,000 $3,000 $12,000 $5,000
$5,000 $3,000 $15,000 $2,000 (scrap value)
If the vehicle were to be sold and the sales price exceeded the depreciated value (net book value) then the excess would be considered a gain and subject to depreciation recapture. In addition, this gain above the depreciated value would be recognized as ordinary income by the tax office. If the sales price is ever less than the book value, the resulting capital loss is tax deductible. If the sale price were ever more than the original book value, then the gain above the original book value is recognized as a capital gain.
If a company chooses to depreciate an asset at a different rate from that used by the tax office then this generates a timing difference in the income statement due to the difference (at a point in time) between the taxation department's and company's view of the profit.
What Does Salvage Value Mean?The estimated value that an asset will realize upon its sale at the end of its useful life. The value is used in accounting to determine depreciation amounts and in the tax system to determine deductions. The value can be a best guess of the end value or can be determined by a regulatory body such as the IRS. Nilai estimasi bahwa aset akan menyadari atas penjualan tersebut pada akhir masa manfaatnya. Nilai tersebut digunakan dalam akuntansi untuk menentukan jumlah penyusutan dan dalam sistem pajak untuk menentukan pemotongan. Nilai ini bisa menjadi perkiraan terbaik dari nilai akhir atau dapat ditentukan oleh badan pengawas seperti IRS.
72
Investopedia explains Salvage ValueThe salvage value is used in conjunction with the purchase price and accounting method to determine the amount by which an asset depreciates each period. For example, with a straight-line basis, an asset that cost $5,000 and has a salvage value of $1,000 and a useful life of five years would be depreciated at $800 ($5,000-$1,000/5 years) each year.
Within the tax system, when a person donates a car he or she receives a tax deduction. The value of this deduction depends on the salvage value of the car. This salvage value is determined to be the current fair market value that could be obtained had the car been sold on that day rather than donated.
From Wikipedia, the free encyclopedia
Jump to: navigation, search
Residual value is one of the constituents of a leasing calculus or operation. It describes the future value of a good in terms of percentage of depreciation of its initial value.
Example: A car is sold at a list price of $20,000 today. After a usage of 36 months and 50,000 miles its value is contractually defined as 50%or $10,000. The credited amount, on which the interest is applied, thus is $20,000 present value minus $10,000 future value.
Residual values are contractually dealt with either in terms of closed contracts or open contracts.
In accounting, Residual value is another name for salvage value, the remaining value of an asset after it has been fully depreciated.
The residual value derives its calculation from a base price, calculated after depreciation.
Residual values are calculated using a number of factors, generally a vehicles market value for the Term and Mileage required is the start point for the calculation, followed by Seasonality, Monthly adjustment, Lifecycle and Disposal performance. The Leasing company setting the Residual Values (RV's) will use their own historical information to insert the adjustment factors within the calculation to set the end value being the Residual value.
In Accounting, the residual value could be defined as an estimated amount that an entity can obtain when disposing of an asset after its useful life has ended. When doing this the estimated costs of disposing of the asset should be deducted.
73
The formula to calculate the residual value can be seen with the next example:
A company owns a machine which was bought for 20,000€. This machine has a useful life of 5 years which has just ended. The company knows that if its sells the machine now it will be able to recover 10% of the price of acquisition.
Sebuah perusahaan memiliki mesin yang dibeli untuk 20.000 €. Mesin ini memiliki masa manfaat 5 tahun yang baru saja berakhir. Perusahaan tahu bahwa jika perusahaan menjual mesin sekarang akan dapat memulihkan 10% dari harga perolehan.
Therefore, the Residual Value would be: