5 Prinsip Dasar Dalam Menjaga Lingkungan

Embed Size (px)

Citation preview

Pesatnya pembangunan dewasa ini, dihadapkan kepada munculnya berbagai isu lingkungan sebagai akibat adanya benturan dan konflik kepentingan antara ketersediaan sumber daya alam yang semakin terbatas dengan jumlah populasi yang menggunakan dan mengeksploitasinya. Masalah lingkungan hidup dapat muncul karena adanya pemanfaatan sumber daya alam dan jasa jasa lingkungan yang berlebihan sehingga meningkatkan berbagai tekanan terhadap lingkungan hidup. Benturan dan konflik kepentingan ini menimbulkan berbagai beban lingkungan yang akan yang berakibat kerusakan sperti : pencemaran air, pencemaran tanah, pencemaran udara, krisis keanekaragaman hayati (biological diversity), kerusakan hutan, kekeringan dan krisis air bersih, banjir, lumpur, pemanasan global dan sebagainya.Para pemerhati dan praktisi lingkungan terus berupaya mencarikan jalan keluar dari krisis lingkungan yang terjadi, di antaranya melalui berbagai kerjasama, perjanjian antarbangsa dan konvensi lingkungan untuk mengarahkan manusia agar tidak merusak lingkungan. Beberapa hasil pertemuan dan konvensi tersebut antara lain; Pertemuan Bumi di Rio De Jenerio pada tahun 1992 yang menghasilkan Deklarasi Bumi, Konvensi Bassel mengatur tentang lalu lintas dan sanksi mengenai limbah beracun dan berbahaya, Konvensi CITES mengatur perdagangan spesies flora dan fauna, Konvensi Keanekaragaman Hayati (The Convention on Biological Diversity), dan Konvensi PBB untuk Penanggulangan Perubahan Iklim (United Nation Framework Convention on Climate Change).Lingkungan Hidup dari sisi pandang Agama dan Budaya Melayu oleh Ferry Elwind

Tantangan pengelolaan lingkungan dimasa yang akan datang, dengan semakin berkembangnya tuntutan akan pemanfaatan sumber daya alam, disisi lain tekanan terhadap kualitas lingkungan hidup yang sejalan dengan kebutuhan akan kualitas lingkungan hidup yang sehat, berkelanjutan dan berkeadilan semakin meningkat pula. Hal ini menyebabkan pengendalian pembangunan wilayah harus dilakukan secara proporsional dan harus berada dalam keseimbangan antara pembangunan dan fungsi-fungsi lingkungan.Lingkungan Hidup dari sisi pandang Agama dan Budaya Melayu oleh Ferry Elwind

Pengelolaan sumberdaya alam yang terjadi di hampir seluruh Indonesia belum memberikan hasil yang memadai untuk pembangunan dan peningkatan kesejahteraan kehidupan masyarakat. Apabila dikaitkan dengan Pasal 33 UUD 1945 dimana dinyatakan Kandungan bumi dan air dikuasai oleh negara dan akan dimanfaatkan sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat akan terlihat perbedaan yang sangat besar antara konsep dan realitas, padahal sumberdaya alam terus dieksploitasi, menimbulkan berbagai macam dampak baik positif maupun negatifLingkungan Hidup dari sisi pandang Agama dan Budaya Melayu oleh Ferry Elwind

Selain itu, prinsip keberlanjutan yang mengintegrasikan tiga aspek yaitu ekologi, ekonomi dan sosial budaya di berbagai sektor pembangunan baik di pusat maupun di daerah penerapannya belum optimum. Biaya lingkungan belum dihitung secara komprehensif ke dalam biaya produksi, sistem insentif juga belum berjalan bagi pemasaran produk yang akrab lingkungan (produk hijau).Lingkungan Hidup dari sisi pandang Agama dan Budaya Melayu oleh Ferry Elwind

Pola pemanfaatan sumberdaya alam harus dapat memberikan akses kepada masyarakat tempatan sehingga dapat berkesinambungan dan berperan serta aktif meningkatkan kemampuan untuk mengelola sumberdaya alam secara berkelanjutan. Peningkatan ekonomi masyarakat serta penegakan supremasi hukum lingkungan juga merupakan hal penting dalam mendorong fungsi kontrol masyarakat dalam pengelolaan lingkungan hidup.Lingkungan Hidup dari sisi pandang Agama dan Budaya Melayu oleh Ferry Elwind

Peraturan perundangan yang berkaitan dengan pengelolaan lingkungan hidup sudah cukup memadai, namun demikian didalam pelaksanaanya, termasuk dalam pengawasan pelaksanaannya belum mendapatkan perhatian yang sungguhsungguh. Hal ini sangat terkait dengan niat baik pemerintah termasuk pemerintah daerah, masyarakat dan pihak-pihak yang berkepentingan untuk mengelola lingkungan hidup dengan sebaik-baiknya agar prinsip pembangunan berkelanjutan berwawasan lingkungan dapat terselenggara dengan baik.Lingkungan Hidup dari sisi pandang Agama dan Budaya Melayu oleh Ferry Elwind

Oleh karena pembangunan pada dasarnya untuk kesejahteraan masyarakat, maka aspirasi dari masyarakat perlu didengar dan program-program kegiatan pembangunan betul-betul yang menyentuh kepentingan masyarakat. Pendekatan ilmu pengetahuan dan teknologi memang diperlukan, akan tetapi itu saja tidak cukup. Masih diperlukan agama untuk terlibat dalam upaya keluar dari krisis lingkungan.Lingkungan Hidup dari sisi pandang Agama dan Budaya Melayu oleh Ferry Elwind

Agama mempunyai lima konsep dasar untuk mengurangi kerusakan lingkungan dengan cara yang baik yaitu melalui pendekatan relijius (Mary Evelyn Tucker, Guru Besar Teologi dari Bucknel University). Konsep Agama dalam penyelamatan lingkungan tersebut adalah ;Lingkungan Hidup dari sisi pandang Agama dan Budaya Melayu oleh Ferry Elwind

Pertama, reference yaitu : keyakinan yang dimiliki oleh para penganut agama yang dapat diperoleh dari teks kitab suci dan kepercayaannya;Lingkungan Hidup dari sisi pandang Agama dan Budaya Melayu oleh Ferry Elwind

Kedua, respect berupa : nilai-nilai yang ditanamkan kepada pemeluknya untuk menghargai sesama makhluk hidup;Lingkungan Hidup dari sisi pandang Agama dan Budaya Melayu oleh Ferry Elwind

Ketiga, restrain : agama mengajarkan kepada pemeluknya untuk mampu mengelola dan mengontrol sesuatu supaya penggunaannya tidak mubadzir;Lingkungan Hidup dari sisi pandang Agama dan Budaya Melayu oleh Ferry Elwind

Keempat, redistribution : agama mengajarkan kepada umatnya untuk mengembangkan kesalehan sosial berupa kemampuan untuk menyebarkan kekayaan, kegembiraan dan kebersamaan melalui langkah kedermawanan kepada sesama makhluk Tuhan;Lingkungan Hidup dari sisi pandang Agama dan Budaya Melayu oleh Ferry Elwind

Kelima, responsibility : agama mengajarkan bahwa hidup di dunia ini ada tanggung jawab kepada pencipta dan tanggung jawab dalam merawat kondisi lingkungan.Lingkungan Hidup dari sisi pandang Agama dan Budaya Melayu oleh Ferry Elwind

Dalam pandangan Islam, manusia adalah makhluk terbaik di antara semua ciptaan Tuhan (QS. al-Tien: 4; QS. al-Isra: 70), dan berani memegang tanggung jawab mengelola bumi (QS. al-Ahzab: 72), maka semua yang ada di bumi diserahkan untuk manusia (QS. al-Baqarah: 29; QS. Ibrahim: 23- 34), Oleh karena itu manusia diangkat menjadi khalifah di muka bumi (QS. al-Baqarah: 30; QS al-Anam: 165), sebagai makhluk terbaik, manusia diberikan beberapa kelebihan di antara makhluk ciptan-Nya, yaitu kemuliaan, diberikan fasialitas di daratan maupun di lautan, mendapat rizki dari yang baik-baik, dan kelebihan yang sempurna dibandingkan makhluk lainnya (QS. al-Isra: 70), serta diberikan kekuasaan dan kelebihan atas makhluk lainnya (QS. al-Anam: 165), Bumi dan semua isi yang berada di dalamnya diciptakan oleh Allah untuk manusia (QS. al-Baqarah: 29), Segala yang manusia inginkan berupa apa saja yang ada di langit dan bumi, daratan dan lautan serta sungai-sungai, matahari dan bulan, malam dan siang (QS. Ibrahim: 23- 34), Tanaman dan buah-buahan (QS. al-Anam: 141- 142), binatang melata dan binatang ternak (QS. Fathir: 27- 28), Sebagai khalifah di muka bumi, manusia diperintahkan beribadah kepada-Nya (QS. al-Dzariyat: 56), dan diperintah berbuat kebajikan dan dilarang berbuat kerusakan (QS. al-Rum: 41; QS. al-Qashash: 77)., (Agama ramah lingkungan, Abdillah 2001; MS. Kaban, 2007).Lingkungan Hidup dari sisi pandang Agama dan Budaya Melayu oleh Ferry Elwind

Dalam berinteraksi dan mengelola alam serta lingkungan hidup itu, manusia mengemban tiga amanat dari Allah.Lingkungan Hidup dari sisi pandang Agama dan Budaya Melayu oleh Ferry Elwind

Pertama, al-intifa: Allah mempersilahkan kepada umat manusia untuk mengambil manfaat dan mendayagunakan hasil alam dengan sebaik-baiknya demi kemakmuran dan kemaslahatan.Lingkungan Hidup dari sisi pandang Agama dan Budaya Melayu oleh Ferry Elwind

Kedua, al-itibar : Manusia dituntut untuk senantiasa memikirkan dan menggali rahasia di balik ciptaan Allah seraya dapat mengambil pelajaran dari berbagai kejadian dan peristiwa alam.Lingkungan Hidup dari sisi pandang Agama dan Budaya Melayu oleh Ferry Elwind

Ketiga, al-islah : Manusia diwajibkan untuk terus menjaga dan memelihara kelestarian lingkungan itu (Ali Yafie et. al., 1997).Lingkungan Hidup dari sisi pandang Agama dan Budaya Melayu oleh Ferry Elwind

Secara ekologis, manusia adalah bagian dari lingkungan hidup. Komponen yang ada di sekitar manusia yang sekaligus sebagai sumber mutlak kehidupannya merupakan lingkungan hidup manusia. Lingkungan hidup inilah yang menyediakan berbagai sumber daya alam yang menjadi daya dukung bagi kehidupan manusia dan komponen lainnya. Sumber daya alam adalah segala sesuatu yang terdapat di alam yang berguna bagi manusia, untuk memenuhi kebutuhan hidupnya baik untuk masa kini maupun masa mendatang. Kelangsungan hidup manusia tergantung dari keutuhan lingkungannya, sebaliknya keutuhan lingkungan tergantung bagaimana kearifan manusia dalam mengelolanya.Lingkungan Hidup dari sisi pandang Agama dan Budaya Melayu oleh Ferry Elwind

Oleh karena itu, lingkungan hidup tidak semata mata dipandang sebagai penyedia sumber daya alam serta sebagai daya dukung kehidupan yang harus dieksploitasi, tetapi juga sebagai tempat hidup yang mensyaratkan adanya keserasian dan keseimbangan antara manusia dengan lingkungan hidup. Lingkungan hidup adalah kesatuan ruang dengan semua benda, daya, keadaan, dan mahluk hidup. Untuk itu, perlu dilakukan upaya menjaga dan meningkatkan kualitas lingkungan melalui penataan ruang yang sesuai dengan peruntukannya.Lingkungan Hidup dari sisi pandang Agama dan Budaya Melayu oleh Ferry Elwind

Pada dimensi budaya, sejarah telah membuktikan kemampuan masyarakat melayu dalam kontek ber bangsa dan ber suku untuk memelihara lingkungan hidupnya, tidak hanya sebatas memberikan kemakmuran kepada anak negeri, lebih dari itu benturan kepentingan bisa dihindari dalam kendali norma-norma adat, adat bertumpu pada agama, resam budaya berpijak pada syariat yang dijalankan dalam sikap dan perbuatan menjaga dan memelihara alam yang dikumpulkan dalam bidal, gurindam dan pantun.Lingkungan Hidup dari sisi pandang Agama dan Budaya Melayu oleh Ferry Elwind

Pepatah adat melayu menyebutkan: "Menyimak Alam, Mengkaji Diri" Nilai ini mengajarkan agar dalam merancang dan melaksanakan pembangunan, haruslah diawali melalui kajian yang cermat terhadap alam dan semua potensi yang ada (sumber daya alam), serta mengkaji pula kemampuan diri (sumber daya manusia). Membangun Jangan Merosak, Membina Jangan Menyalah. Nilai ini mengajarkan, agar dalam merancang dan melaksanakan pembangunan jangan sampai menyalahi ketentuan agama dan nilai-nilai budaya serta norma-norma sosial masyarakatnya.Lingkungan Hidup dari sisi pandang Agama dan Budaya Melayu oleh Ferry Elwind

Tradisi dan adat istiadat Budaya Melayu dalam perspektif pelestarian lingkungan pada tatanan normatif dan praktis disebutkan bahwa Tanda orang berbudi pekerti, merusak alam ia jauhi, tanda ingat kehari tua, laut dijaga bumi dipelihara. kalau hidup hendak selamat, pelihara laut beserta selat, pelihara tanah berhutan lebat, disitu terkandung rezeki dan rakhmat, disitu tamsil ibarat, disitu terkandung aneka nikmat, disitu terkandung beragam manfaat, disitu terkandung petuah adat (Tenas Effendy, Tegak Menjaga Tuah, Duduk Memelihara Marwah, (BKPBM, Yogyakarta, 2005)).Lingkungan Hidup dari sisi pandang Agama dan Budaya Melayu oleh Ferry Elwind

Secara filosofis nilai-nilai ini memberi peluang terjalinnya hubungan kerjasama dengan berbagai pihak yang dianggap ahli dan berkemampuan, termasuk pemodal/investor sepanjang tidak merugikan masyarakat dan menjatuhkan harkat, martabat, tuah dan marwahnya. Selanjutnya dikatakan apabila agama tidak dipakai, alamat masyarakat akan meragai; apabila budaya tidak dipandang, alamat negeri ditimpa malang; apabila adat tidak diingat, lambat laun sengsaralah umat., yang kukuhkan melalui Syarak Mengata, Adat Memakai, Syah Kata Syarak, Benar Kata Adat (H. Masoed Abidin, 2009).Lingkungan Hidup dari sisi pandang Agama dan Budaya Melayu oleh Ferry Elwind

Demikian halnya dalam Pemanfaatan Ruang, aturan masyarakat melayu dalam menata ruang, lahan dibagi menjadi 3 fungsi yaitu : lahan untuk pemukiman, lahan untuk peladangan dan lahan untuk hutan rimba larangan, sedangkan fungsi hutan terdiri dari hutan sebagai marwah, hutan sebagai sumber nilai budaya dan hutan sebagai sumber ekonomi. Dengan demikian arah pengembangan tata ruang mempunyai motivasi yang dapat mewujudkan harmonosasi antara kegiatan yang bersifat mengeksploitasi dengan kegiatan yang bersifat memelihara dan mempertahankan kelestarian yang berkenaan dengan kekhasan ekologis, historis maupun sosial budaya.Lingkungan Hidup dari sisi pandang Agama dan Budaya Melayu oleh Ferry Elwind

Jika kita memaknai apa yang dimanatkan dalam UUD 1945, maka nilai-nilai Adat, budaya dan Resam ini tentunya merupakan bagian dari kebijakan pembangunan sebagaimana yang tercantum pada :Lingkungan Hidup dari sisi pandang Agama dan Budaya Melayu oleh Ferry Elwind

Pasal 18B ayat (2) Negara mengakui dan menghormati kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat beserta hak-hak tradisionalnya sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip negara kesatuan Republik Indonesia, yang diatur dalam undang-undang.Lingkungan Hidup dari sisi pandang Agama dan Budaya Melayu oleh Ferry Elwind

Pasal 28I ayat (3) Identitas budaya dan hak masyarakat tradisional dihormati selaras dengan perkembangan zaman dan peradaban.Lingkungan Hidup dari sisi pandang Agama dan Budaya Melayu oleh Ferry Elwind

Provinsi Riau merupakan salah satu wilayah di Indonesia yang di anugrahi kekayaan Sumberdaya Alam yang cukup besar, baik kekayaan yang terkandung di perut bumi, berupa minyak dan gas bumi, mineral, batubara dan sebagainya, kekayaan hutan dan perkebunannya, serta kekayaan sungai dan lautnya. Seiring dengan otonomi daerah, tentunya akan membuat masa depan negeri ini menjadi Cemerlang, Gemilang dan Terbilang, namun sangat tergantung upaya Pemerintah Daerah serta peran swasta dalam memanfaatkan sumberdaya yang melimpah itu, dan sebagai Negeri yang ingin mewujudkan Provinsi Riau Sebagai Pusat Perekonomian dan Kebudayaan Melayu dalam Lingkungan Masyarakat yang Agamis, Sejahtera, Lahir dan Bathin di Asia Tenggara, dan merupakan kristalisasi komitmen seluruh lapisan masyarakat Riau sudah sepatutnya memasukan nilai-nilai budaya dalam mewarnai kebijakan pembangunan di berbagai bidang.Lingkungan Hidup dari sisi pandang Agama dan Budaya Melayu oleh Ferry Elwind

Melihat, memaknai dan mempedomi kondisi ini, maka sudah waktunya kita meninjau kembali perspektif pengelolaan lingkungan hidup dan tata ruang serta kebijakan lainnya yang terkait dan berpotensi menjadikan Riau sebagai wilayah yang rentan akan bencana terutama bencana banjir, asap dan kemungkinan bencana lainnya yang berakibat kurang layak untuk dihuni oleh masyarakatnya sendiri.Lingkungan Hidup dari sisi pandang Agama dan Budaya Melayu oleh Ferry Elwind

Untuk itu dalam merumuskan kebijakan dan strategi pengelolaan Sumberdaya Alam perlu digaris bawahi pengertian akan dua hal yang harus menjadi basis, yakni tentions of motives atau konflik kepentingan dan property rights. Tension of motives menuntut kita untuk mengembangkan analisa antar-waktu (intertemporal analysis) dalam mengalokasikan dan memanfaatkan sumber daya secara optimal. Sedangkan, property rights menuntut kita untuk mengembangkan inovasi dalam menilai aset-aset Sumberdaya Alam, terutama yang intangible dan tidak dapat secara langsung dinilai secara nominal. Tentu saja hal ini membutuhkan kearifan kita semua untuk betul-betul mempertimbangkan kepentingan bersama. Yang

menjadi pertanyaan krusial adalah apakah eksploitasi Sumberdaya Alam saat ini memberikan keuntungan yang paling optimal dibandingkan dengan menunda pengelolaan Sumberdaya Alam tersebut di masa yang akan datang. Untuk itu kita membutuhkan kajian yang komprehensif untuk melakukan optimalisasi pengelolaanya, seberapa besar Sumberdaya Alam dimanfaatkan dan kapan waktu pemanfaatannya yang paling tepat.Lingkungan Hidup dari sisi pandang Agama dan Budaya Melayu oleh Ferry Elwind

Tidak dapat dinafikkan potensi sumberdaya alam yang masih dapat kita nikmati hingga kini adalah hasil dari daya dan upaya, hukum dan pedoman serta kebijakan yang dibangun oleh para tetua Suku dan Bangsa Melayu untuk kita manfaatkan, pelihara dan jaga keseimbangannya dalam rangka mewujudkan pembangunan yang berkelanjutan.

KRISIS LINGKUNGAN"Sains dan teknologi memang diperlukan, tetapi itu saja tidak cukup. Kita memerlukan agama untuk terlibat dan keluar dari krisis lingkungan." Pada suatu hari, Emil Salim yang waktu itu menjadi Menteri Kependudukan dan Lingkunang Hidup-- datang menghadap ulama besar dan Ketua Majelis Ulama Indonesia (MUI) Prof. Haji Abdul Malik Karim Amarullah (HAMKA), dan berharap pada ulama agar dapat memberikan bantuan dalam menyadarkan ummat Islam terhadap lingkungan. Emil mengatakan, Buya, apa yang bisa dilakukan ummat Islam dalam melestarikan lingkungan hidupnya, Prof Hamka, dengan arif menjawab: tidak ada yang salah dengan ajaran Islam dalam soal lingkungan hidup. Tetapi kesalahan terjadi pada bagaimana cara kita mengajarkan Islam kepada masyarakat. Kata Buya Hamka, umat Islam akan tersentuh jika segala hal praktis dapat langsung dirasakan mereka. Misalnya umat Islam harus shalat lima waktu. Maka diperlukan air wudhu yang mensucikan. Dari mana umat mendapatkan air bersih? Dari sungai yang mengalir dari air tanah yang sah yang memenuhi persyaratan untuk menghadap khaliqnya. Dengan demikian setiap ummat Islam harus memelihara air serta sumber-sumbernya agar mereka bisa beribadah kepada Allah. Jadi wajib hukumnya umat memelihara sumber-sumber air tersebut. Krisis lingkungan tengah terjadi, degradasi lingkungan tengah dirasakan semakim memburuk dalam dekade terakhir. Pemanasan global, kepunahan jenis, kekeringan yang panjang, kelangkaan air bersih, pencemaran lingkungan dan polusi udara, serta ancaman senjata biologis, merupakan salah satu dari beberapa deret yang bisa menghancurkan peradaban umat manusia. Alam telah rusak, kemana agama? Pertemuan Bumi di Rio De Janeiro yang menghasilkan deklarasi bumi tahun 1992. Para ilmuwan telah menunjukkan dengan penelitian intensif bahwa planet bumi telah terancam. Selain itu akibat perubahan iklim dan kehilangan habitat dan ekspansi yang dilakukan oleh manusia, kepunahan spesies semaking bertambah tinggi. Sedikitnya ada 15 spesies telah punah dalam 20 tahun terakhir, 12 spesies dapat bertahan hidup karena diperlihara ditangkarkan oleh manusia. Namun, diyakini bahwa sebenarnya spesies yang

mengalami kepunahan jumlahnya jauh lebih besar. Lebih dari itu menurut penelitian Global Species Assessment (GSA) dalam Siaran Pers bulan November 2004, sekitar 15.589 spesies yang terdiri dari 7.266 spesies satwa dan 8.323 spesies tumbuhan dan lumut kerak, diperkirakan berada dalam resiko kepunahan. Jadi, terbukti, nyatanya segala konvensi dan peraturan saja tidaklah mengikat dan dapat mengambil langkah untuk menurunkan tingkat kerusakan dan kepunahan spesies di muka bumi. Setelah dirasakan tidak ada perubahan. Barulah timbul kesadaran baru yang mengkaitkan prinsip agama yang diharapkan berperan dalam menanggulangi krisis ekologi. Sains dan teknologi memang diperlukan, tetapi itu saja tidak cukup. Kita memerlukan agama untuk terlibat dalam keluar dari krisis lingkungan, ujar Mary Evlyn Tucker guru besar agama dari Bucknel University. Umat manusia dan peradabannya, merupakan suatu yang terancam punah pula, kata Mary Evelyn Tucker. Agama, menurut Evlyn, mempunyai lima resep dasar untuk menyelamatkan lingkungan dengan lima R: (1) Reference atau keyakinan yang dapat diperoleh dari teks (kitab-kitab suci) dan kepercayaan yang mereka miliki masing-masin; (2) Respect, penghargaan kepada semua makhluk hidup yang diajarkan oleh agama sebagai makhluk Tuhan; (3) Restrain, kemampuan untuk mengelola dan mengontrol sesuatu supaya penggunaanya tidak mubazir; 4) Redistribution, kemampuan untuk menyebarkan kekayaan; kegembiraan dan kebersamaan melalui langkah dermawan; misalnya zakat, infaq dalam Islam; (5) Responsibility, sikap bertanggunjawab dalam merawat kondisi lingkungan dan alam. Ilmuwan dan Agamawan Bersatulah Jelasnya, spiritualitas agama kembali dipertimbangkan oleh para ahli lingkungan untuk mengingatkan manusia. Dalam dua dekade terakhir setidaknya ada upaya para ilmuwan dan ahli agama untuk bersatu untuk menyikapi situasi lingkungan kita. Hal tersebut terlihat sejak sebuah pertemuan pemimpin agama dan sains yang disebut: Join Apppeal by Religion and Science for the Environment, yang diadakan bulan Mai 1992 di Washington, D.C. Para ilmuwan dan pemimpin agama salah satunya menyatakan: Kami yakin bahwa sains dan agama dapat bekerjasama untuk mengurangi dampak yang berarti dan membuat resolusi atas krisis lingkungan yang terjadi di bumi. Tetapi kami yakin bahwa dimensi krisis ini sebenarnya tidak sepenuhnya diambil hati oleh para pemimpin kita yang memimpin lembaga-lembaga penting dan juga pemimpin industri. Namun demikian kita menerima kewajiban kita untuk membantu memberikan pengetahuan dan pemahaman terhadap jutaan orang yang kita layani dan ajarkan mengenai konsekwensinya apabila terjadi krisis lingkungan dan apa yang harus dilakukan untuk mengatasi hal ini (Calvin B. DeWitt, The Good in Nature and Humanity in Stephen R, Kellert dan Timothy J Farnham, Island Press. 2002). Bagi para pemimpin agama, kesadaran terhadap lingkungan bukan merupakan suatu yang baru.

Inisiatif pertama kali menggalang kesadaran pemimpin agama tersebut diadakan di Assisi, Italia. Pertemuan yang diadakan oleh World Wildlife Fund (WWF) tahun 1986 ini bergiat mengumpulkan seluruh pemuka agama guna menghadapi krisis lingkungan dan konservasi alam yang terjadi di bumi, dan menghasilkan: Deklarasi Assisi dimana masing masing agama memberikan pernyataan tentang peran mereka dalam melestarikan alam: Kerusakan lingkungan hidup merupakan akibat dari ketidak taatan, keserakahan dan ketidak perduliaan (manusia) terhadap karunia besar kehidupan. (Budha). Kita harus, mendeklarasikan sikap kita untuk menghentikan kerusakan, menghidupkan kembali menghormati tradisi lama kita (Hindu). Kami melawan segala terhadap segala bentuk eksploitasi yang menyebabkan kerusakan alam yang kemudian mengancam kerusakannya, (Kristiani) Manusia adalah pengemban amanah,berkewajiban untuk memelihara keutuhan CiptaanNya, integritas bumi, serta flora dan faunanya, baik hidupan liar maupun keadaan alam asli, (Muslim) Indonesia inisiatif mengadakan kerjasama penyelamatan lingkungan melalui tokoh agama juga telah dilakukan oleh Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) bekerjasama dengan The World Bank mengundang pemuka-pemuka agama mengadakan Conference on Religion and Conservation pada 18 Desember 2002, yang menghasilkan Kebun Raya Charter yang intinya melibatkan peran para pemuka agama dan ulama dalam menanggulangi permasalah konservasi alam dan lingkungan hidup. Laporan pertemuan ini dapat dilihat pada publikasi LIPI: Peran Agama dan Etika Dalam Konservasi Sumber Daya Alam dan Lingkungan (A.A. Arief, E.B. Prasetyo & A.Kartikasari, LIPI 2003). Bulan Mei 2004, para ulama pesantren yang difasilitasi oleh Konsorsium INFORM berkumpul untuk merumuskan Fikih Lingkungan dan menghasilkan dokumen Fiqh al-Biah (A.S. Muhammad dkk Laporan INFORM 2004; TROPIKA Juli- September 2004 hal 41), aksi serupa dilakukan lagi oleh CI Indonesia untuk menggalang kesadaran umat Islam melalui pelatihan santri, lokakarya Islam dan dawah langsung ke lapangan (lihat artikel: Merawat Alam Kembali Pada Fitrah Agama; Dawah Konservasi di Wakatobi; Pulang Dari Bodogol Menjadi Dai Leuweng).

Lingkungan Hidup: Masalah Islam KontemporerPosted by admingropesh Mei 9, 2011 1 Komentar

Lingkungan Hidup: Masalah Islam Kontemporer A. Pengantar

Apabila secara filosofis kita membandingkan keadaan lingkungan hidup dari periode jaman Yunani kuno, jaman abad pertengahan dan jaman modern, kita akan menemukan periode waktu tertentu yang menjadi latar belakang utama kerusakan lingkungan hidup. Periode waktu yang dimaksud adalah periode waktu jaman modern. Jaman modern adalah periode waktu yang menujukkan sikap paling tidak ramah terhadap lingkungan hidup kita. Misalnya, ketika ditemukan alat-alat industri yang kemudian mendorong terjadinya era industrialisasi. Usia industrialisasi yang hanya berusia kurang dari 200 tahun ternyata telah mengakibatkan kerusakan begitu besar atas sistem kehidupan di bumi yang telah berusia 500 juta tahun[1]. Masalah kerusakan lingkungan hidup terus terjadi hingga jaman kontemporer[2], bahkan hingga jaman ini. Menghadapi tantangan ini, kita semua sebagai penghuni bumi yang satu, punya sebuah tanggung jawab untuk menanggapi masalah krisis lingkungan hidup tersebut. Dengan tanpa memandang, siapa pun, dengan latar belakang apa pun, semua di harapkan untuk terlibat untuk mengambil langkah kongkret menyelamatkan bumi dan lingkungan hidup di dalamnya. Oleh karena itu, dalam kerangka yang sama, di bawah akan disajikan beberapa gagasan dari dunia Islam dalam bentuk analisis dan kajian yang mencoba mengenali masalah lingkungan hidup dan krisis yang terjadi. Diharapkan, dari gagasan-gagasan yang tersebut, persoalan lingkungan hidup dapat diatasi. B. Muslim Menghadapi Masalah Kerusakan Lingkungan Hidup Umat muslim yang berjumlah hampir satu miliar mendiami dunia yang satu dan sama. Di mana pun mereka berada, tentunya merasakan keprihatinan mendalam atas berbagai macam masalah lingkungan hidup yang terjadi akhir-akhir ini. Krisis tersebut meliputi seluruh sistem ekologi alami di bumi, termasuk hal-hal yang berkaitan dengan manusia: udara yang kita hirup, makanan yang kita makan, air yang kita minum, termasuk sistem di dalam tubuh kita. Krisis tersebut membahayakan keharmonisan seluruh materi di bumi termasuk sistem kehidupannya[3]. Akan tetapi, sebagian besar umat muslim, seperti manusia lainya, masih sangat kurang menunjukkan perhatiannya terhadap fakta krisis tersebut. Apabila kita boleh berspekulasi, akan ada perubahan yang sangat besar pada lingkungan hidup jika saja sejumlah besar umat Muslim mau sungguh-sungguh meningkatkan perhatian mereka pada lingkungan hidup dan krisis yang sedang dihadapi oleh bumi. Misalnya, dengan membangun jaringan kesadaran ekologis di antara negara-negara yang mayoritas penduduknya beragama Islam, mengadakan kerja sama dalam mengolah sumber-sumber daya alam secara bijak, menentukan bentuk-bentuk regulasi yang berguna untuk menjaga kelestarian lingkungan hidup dan lain sebagainya. Sebaliknya, jika sebagian besar umat Muslim tetap tidak menunjukkan kepedulian mereka terhadap lingkungan hidup dan masalah-masalah yang dihadapinya, maka dapat dipastikan bahwa kerusakan lingkungan hidup akan terus terjadi dan menimbulkan masalah-masalah baru misalnya bencana alam dan perubahan iklim yang tidak menguntungkan. Jika hal seperti itu telah terjadi, akan ada kerugian lebih besar yang harus ditanggung, bukan hanya oleh sejumlah besar umat muslim itu sendiri, tetapi juga oleh penduduk bumi yang lain. Oleh karena itu, rasanya perlu ada sebuah cara terntentu untuk membangun kesadaran di antara umat muslim itu sendiri dan selanjutnya untuk masyarakat yang lebih luas.

Sekarang yang menjadi pertanyaan adalah bagaimana menggerakkan dan membangunkan kesadaran yang diharapkan tersebut di antara umat muslim? Pendekatan apa yang dapat dilakukan sehingga dapat menggugah hati banyak umat muslim untuk dengan segera menjawab atau mewujudkan kepedulian mereka terhadap krisis lingkungan hidup ? C. Tanggapan terhadap Masalah Lingkungan Hidup Tanggapan atas kerusakan lingkungan hidup dan usaha untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan yang sebelumnya diajukan muncul di antara para pemikir Islam. Mereka mencoba mengemukakan bermacam-macam pendapat, misalnya; tentang latar belakang teologis kerusakan lingkungan hidup dan bagaimana kita mesti menempatkan posisi diri kita di dalamnya. Selain itu, ada juga para pemikir Islam yang mencoba melihat persoalan kerusakan lingkungan hidup terkait dengan peran negara sebagai kekuatan yang memiliki potensi untuk melindungi dan melestarikan lingkungan hidup dan sebagai masalah kontemporer di dunia Islam. Melalui beberapa tanggapan para pemikir tersebut, kita dapat berharap lebih terhadap munculnya kesadaran baru atas lingkungan hidup bagi sejumlah besar umat Muslim. Oleh karena itu, di bawah akan disajikan bagaimana gambaran tanggapan yang dimiliki oleh para pemikir Islam tersebut. 1. Pandangan teologis penciptaan Diskusi tentang masalah kerusakan lingkungan hidup yang dikaitkan dengan hidup keagamaan pada umumnya selalu menyinggung pandangan teologis dari agama tersebut. Pendapat tersebut tiadaklah salah. Diakui bahwa pandangan teologis tertentu memiliki potensi untuk menjadi alasan atas sikap para penganutnya terhadap dunia ciptaan. Di dalam dunia kekristenan, gagasan teologis penciptaan seringkali dijadikan alasan bagi para penganutnya untuk melakukan eksploitasi terhadap ciptaan Allah yang lain. Yang menjadi pertanyaan adalah bagaiamana dengan dunia Islam? Apakah mereka melakukan yang sama? Dalam sebuah tulisan singkat yang berjudul dampak ekologis teologi penciptaan menurut Islam[4] dikatakan bahwa yang menjadi akibat ekologis dari pandangan-pandangan penciptaan tersebut bersifat ambigu. Maksudnya, di satu pihak, bahan tertentu dapat mendukung pendekatan antroposentris terhadap lingkungan, yang mengeksploitasinya demi kepentingan manusia. Dalam pandangan ini, ciptaan non-manusia dihargai bukan atas nilai intrinsiknya, melainkan hanya atas nilai instrumental bagi manusia. Selain itu, Allah dilihat sebagai yang meningikan manusia sampai ke taraf wakil atas bumi, dengan demikian memberi manusia hak untuk mengatur lingkungan menurut kehendak mereka. Allah mewakilkan kedaulatan atas ciptaan kepada manusia, yang sekarang mempunyai kuasa fungsional atas ciptaan yang lain sebagai khulufaAllah. Singkatnya unsur pendekatan tradisi Islam ini tidak menjadi tanda yang baik bagi lingkungan[5]. Di pihak lain, muncul pula pandangan yang mengatakan bahwa hormat terhadap lingkungan muncul dari dua aspek lain misalnya kepercayaan bahwa ciptaan memberi tandatanda pada manusia kedaulatan dan rahmat Allah dan kepercayaan bahwa ciptaan non-manusia ditentukan untuk memuji Allah bersama dengan manusia. Kedua hal ini memberi dukungan

pandagan yang mendukung pandangan yang memberikan nilai intrinsik kepada ciptaan-ciptaan lain[6]. 2. Posisi manusia dan ciptaan lain Salah satu gagasan yang mungkin dapat juga membantu kita dalam mewujudkan kepedulian terhadap lingkungan hidup adalah dengan mengetahui di mana sebenarnya kedudukan kita sebagai makhluk ciptaan Allah di tengah makhluk-makluk ciptaan yang lain. Di dalam alam semesta manusia adalah salah satu makhluk hidup di antara makhluk-makhluk hidup yang lain. Keistimewaan yang menjadikan manusia berbeda dengan makhluk ciptaan yang lain adalah bahwa manusia memiliki kesadaran dan kemampuan untuk membedakan mana yang benar dan salah. Dengan kesadaran dan kemampuanya itu, manusia mempunyai kebabasan yang lebih luas, bahkan ia memiliki kebebasan untuk memilih. Dengan kesadaran dan kemampuanya itu pula sebenarnya manusia diharapkan mampu mengarahkan diri untuk memelihara dan membangun relasi yang baik dengan ciptaan-ciptaan yang lain. Namun yang terjadi kadangkala justru sebaliknya. Di dalam Al-Quran ada sekitar 500 ayat yang memberikan pedoman terhadap hal-hal yang terkait dengan lingkungan hidup dan bagaimana memiliharanya. Hanya saja, ada sebagian orang Muslim yang berpikir bahwa masalah kerusakan lingkungan hidup dapat diselesaikan oleh para ilmuwan, ekonom, dan para ahli yang lain, sedangkan tugas Islam adalah hanya untuk memberikan tuntunan dalam bidang-bidang spiritual. Padahal, Islam yang sesungguhnya tidak memberikan pembedaan tersebut di atas. Islam tidak dapat mengabaikan permasalahan lingkungan hidup[7]. Dengan kata lain, kita tidak dapat mengabaikan masalah yang dihadapi oleh spesies lain penghuni bumi. Sejumlah ajaran Islam terkait dengan pemeliharaan dan pengolahan lingkungan hidup. Salah satu prisip filsafat lingkungan hidup Islam adalah bahwa alam semesta diciptakan berdasarkan keseimbangan dan harmoni antaranggota alam semesta tersebut. Selain itu, manusia harus berusaha semaksimal mungkin untuk menjaga keseimbangan dan beriteraksi secara benar dengan maujud-maujud lain di alam. Tentang keseimbangan dan harmoni alam semesta, Allah menyatakanya dalam beberapa firman, misalnya: Kamu sekali-kali tidak melihat pada ciptaan Tuhan Yang Maha Pengasih sesuatu yang tidak seimbang (Al-Mulk: 13). Sesuatu yang tercipta berdasarkan perhitungan dan ukuran dan tempat-tempat di posisi yang tepat: Dan Dia telah menciptakan segala sesuatu dan Dia menetapkan ukuran-ukurannya dengan serapih-rapihnya (Al-Furqan: 2). Segala sesuatu pada sisiNya ada ukurannya (Ar-Rad: 8) Matahari dan bulan (beredar) menurut perhitungan, bintang dan pohon tunduk kepadaNya, Allah meninggikan langit dan Dia meletakkan necara (Ar-Rahman: 5-8).

Ciptaan Tuhan Yang telah mengkokohkan segala sesuatu (An-Naml: 88)[8]. Sederhananya, planet kita adalah satu-satunya planet yang ada di alam semesta dan di ketahui terdapat kehidupan di dalamnya. Oleh karena itu, manusia memiliki tanggung jawab yang besar untuk menjaga kehidupan yang barharga tersebut bersamaan dengan ciptaan dan makhluk hidup yang lain. 3. Negara dan lingkungan hidup Penanganan masalah kerusakan lingkungan hidup akan terasa lebih efektif jika hal itu dilakukan bukan hanya secara individual tetapi juga secara bersama-sama. Oleh karena itu diperlukan sebuah kondisi di mana setiap individu mau tidak mau ikut ambil bagian dalam mewujudkan kepedulianya terhadap lingkungan hidup. Dalam kerangka ini, diperlukanlah sebuah kekuatan yang dapat menjadi motor untuk mewujudkan kepedulian tersebut. Salah satu bentuk kekuatan yang di maskud di sini adalah negara dan administrasi yang dimilikinya untuk menyerukan secara tegas kepedulian terhadap lingkungan hidup. Negara ibaratnya adalah sebuah kapal yang digunakan sebagai sarana penyeberangan antar pulau, dan rakyat adalah penumpang yang ada di dalamnya, sedangkan awak kapal merupakan pemerintah yang menjalankanya. Dalam arti tertentu, negara mempunyai tanggungjawab untuk mengatur kehidupan bersama agar menjadi lebih baik. Demikian juga sebaliknya, warganegara perlu menaati negara demi tujuan kebaikan hidup bersama. Bumi yang dihuni manusia, terdiri dari bagian-bagian yang kemudian teridentifikasi sebagai Negara dengan wilayah teritorial tertentu. Pada umumnya teritorial sebuah negara dibatas oleh darat, laut dan udara. Wilayah-wilayah yang disebut sebagai teritorial dalam konsepsi fiqih dikenal dengan istilah biah (lingkungan). Biah dan atau lingkungan ini adalah bagian penting dari sebuah wilayah negara yang dihuni oleh manusia sebagai penanggungjawabnya. Kelangsungan hidup manusia, dan juga baik buruknya, dapat dilihat dari sejauh mana kepedulian manusia sebagai kholifah terhadap alam atau lingkungan hidup. Nilai kepedulian positif manusia terhadap lingkungannya akan memberikan kebaikan bagi diri manusia itu sendiri. Apabila ketidakpedulian terhadap alam mengakibatkan kerusakan alam dan lingkungan sekitarnya, maka sesungguhnya kadar kerusakan akan menimpa manusia dengan ukuran yang setara atau bahkan lebih. Dan jika penjagaan seta pemeliharaan sebuah kawasan alam menuntut manusia bertanggungjawab penuh, maka pelanggaran atas penyelewengan dengan bertindak merusak alam tersebut mutlak diberikan sanksi setimpal. Pemberian sanksi bagi pelanggar dan tindakan preventif terjadinya kerusakan adalah unsur pasti bagi sebuah kawasan di lingkungan negara. Dengan demikian negara dan lingkungan hidup memiliki suatu kesatuan yang saling melengkapi. Negara yang berdiri serta terselenggara oleh sebuah pemerintahan seperti suratan kaidah, bertanggung jawab penuh memelihara lingkungan dari ancaman kejahilan tangan nakal sekelompok warganya. Perluasan makna kewajiban atas kewajiban pada konteks negara dan lingkungan, berarti kewajiban negara dalam lingkungan dalam pemeliharaan. Arti wajib di sini adalah kewenangan mengupayakan dan beban yang disandarkan merupakan bagian penting yang

tidak dapat diaaikan. Karena kelalaian serta mencampakkan beban tersebut secara pasti berakibat buruk bagi negara itu sendiri. 4. Masalah lingkungan hidup: maslah di dunia Islam kontemporer Seyyed Hossein Nasr[9] dalam sebuah tulisanya mengungkapkan beberapa masalah lingkungan hidup yang terjadi pada di dunia Islam kontemporer. Ia sendiri memulai keprihatinannya terhadap lingkungan hidup sejak tahun 1950 ketika ia belajar di Massachusetes Instutute of Technology Harvard. Dalam salah satu bagian tulisanya, Nasr mengungkapkan bahwa rintangan dalam merealisasikan dan menerapkan sudut pandang Islam terhadap lingkungan. Ia mengakatan bahwa jika seseorang mempelajari sudut pandang Islam atau hubungan manusia dengan lingkungan: ada suatu gambaran keharmonisan kehidupan perkotaan dengan lingkungan yang terdapat dalam peradaban klasik Islam. Dan jika kemudian membandingkan kenyataan tersebut dengan situasi Islam saat ini, akan menjadi jelas bahwa baik pemerintah maupun orang-orang di Negara Islam tidak mengikuti Islam dalam memperlakukan lingkungan hidup[10]. Sebagai contoh kita dapat memperhatikan gaya hidup orang-orang yang berpindah dari desa ke kota atau pinggiran kota. Dari banyak pengamatan, entah itu di Jakarta atau kota-kota besar yang lain, terlihat bahwa sikap kearifan mereka terhadap lingkungan hidup telah hilang. Hal itu dapat dibuktikan dengan melihat bagaimana sikap mereka memperlakukan sampah. Dengan mudah kita dapat menemukan tumpukan dan tebaran sampah ketika berada di daerah-daerah yang telah disebutkan tadi. Sekarang yang menjadi pertanyaan adalah, rintangan selanjutnya yang harus kita pahami dan bagaimana menerapkan ajaran Islam mengenai lingkungan hidup pada masyarakat umum? Untuk menjawab pertanyaan tersebut, Nasr mengemukakan beberapa pendapat yang bervariasi. Pertama, ia mengungkapkan bahwa krisis lingkungan hidup terkait dengan penggunaan tehnologi modern dan aplikasi sains modern lainya. Tehnologi dan sains modern adalah bahan yang berasal dari bangsa Barat. Seringkali tidaklah mudah bagi orang Muslim untuk memahami pola tehnologi sains modern tersebut yang terus berkembang. Lebih susahnya lagi, bangsa Barat sepertinya tidaklah memiliki keberanian dan hasrat untuk menciptakan sistem ekonomi Islam dan menjadikan hubungan manusia dan alam dalam Islam sebagai landasanya. Kedua, Nasr juga mengungkapkan rintangan lain yang seringkali menjadi penghambat dalam mewujudkan kepedulian umat Muslim terhadap lingkungan hidup. Rintangan yang dimaskud di sini adalah kegiatan praktis migrasi masyarakat desa ke wilayah kota dalam jumlah yang besar. Kegiatan migrasi tersebut, menurut Nasr mengakibatkan tercerabutnya mereka dari akar budayanya sendiri. Di tempat yang baru, mereka tidak lagi peka atau memiliki rasa perasaan yang sama untuk menghormati alam dan usur-unsur di dalamnya seperti ketika mereka berada di desa. Ketiga, untuk mengatasi rintangan yang ada dalam kelompok Islam perlu juga dilakukan formulasi ulang ajaran Islam mengenai lingkungan hidup dan menerapkannya dalam kelompok seluas mungkin. Dalam hal ini, para pemuka agama (ulama) yang merupakan pemelihara Islam dan yang memiliki telinga mayoritas umat Muslim di segala hal, temasuk hal yang berkaitan dengan krisis lingkungan, perlu dihimbau agar semakin giat mengajarkan ajaran-ajaran Islam yang yang ramah terhadap lingkungan hidup[11]. D. mencapai kesadaran baru

Jaman modern dan jaman kontemporer dalam arti tertentu dapat dikatakan sebagai periode waktu yang sangat kurang ramah terhadap lingkungan hidup. Pemahaman intelektual manusia, yang ditandai dengan kemampuan mereka mengembangkan ilmu pengetahuan dan teknologi justru tidak membuat mereka semakin peduli terhadap pentingnya lingkungan hidup, tetapi sebaliknya justru mendorong mereka untuk melakukan eksploitasi besar-besaran terhadap lingkungan hidup tersebut. Oleh karena itu, tidak mengherankan jika bumi kita sekarang sebuah sebuah mengalami krisis. Tidak mengherankan pula ketika akhir-akhir ini sering terjadi bencana alam, entah itu banjir, badai, perubahan iklim dan seterusnya. Kendati demikian, kita tidak boleh berhenti untuk hanya sekedar menyalahkan periode waktu mana, kelompok atau orang tertentu saja yang harus bertanggung jawab atas kerusakan bumi dan lingkungan di sekitar kita. Tetapi, kita perlu bersama-sama mencapai kesadaran baru Umat Muslim yang berjumlah hampir satu seperempat miliar akan dapat melakukan perubahan yang sangat besar jika saja kesadaran terhadap lingkungan hidup tumbuh dengan baik di antara mereka. Wujud kesadaran ini dapat dilakukan dengan berbagai bidang melalui perspektif dan tindakan kongkret. Pada bagian sebelumnya tadi telah diuraikan tentang beberapa gagasan yang dapat kita jadikan acuan untuk merealisasikan kesadaran kita terhadap lingkungan hidup dan aspek-aspek lain yang melingkupinya. Melalui usaha memahami latar belakang teologis kerusakan lingkungan hidup dan bagaimana kita mesti menempatkan posisi diri kita di dalamnya, kita bisa membangun mind set yang positif demi lingkungan hidup itu sendiri. Selain itu, melalui usaha bersama dengan negara, kita juga dapat mewujudkan usaha untuk mengatasi masalah-masalah kerusakan lingkungan hidup yang sedang terjadi. Dan, tentunya perlu juga kita pahami secara berulang-ulang bahwa masalah lingkungan hidup merupakan masalah kontemporer di dunia Islam. Akhirnya, segala persoalan lingkungan hidup di kembalikan kepada kita masing-masing. Di luar diri kita telah di sajikan banyak macam kajian dan perspektif tentang bagaimana kita mesti bersikap dan berlaku terhadap lingkungan hidup. Sekarang yang menjadi pertanyaan adalah, apakah kita, mulai dari saat ini dan di sini, berkenan melakukan semua itu? Br. Dieng Karnedi, SJ Daftar Bacaan: Edwards, Denis, 1991, Jesus and the Cosmos, New York: Paulis Press, Khalid, Fazlun dan Joanne OBrien, 1992 Islam and Ecology, New York: Cassel Publisher. Mangunjaya. Fahrudin M., Husain Heriyanto, Reza Gholami, 2007, Menanam Sebelum Kiamat: Islam, Ekologi, dan Gerekan Lingkungan Hidup, Jakarta: Yayasan Obor Indonesia Tucker, Mary Evelyn dan John A. Grim, 2003, Agama, Filsafat, dan lingkungan Hidup, Yogyakarta: Pernerbit Kanisius. Sihab, Alwi, 1997, Islam Inklusif: Menuju Sikap Terbuka dalam Beragama, Bandung: Penerbit Mizan, http://en.wikipedia.org/wiki/Contemporary_philosophy http://en.wikipedia.org/wiki/Seyyed_Hossein_Nasr

[1] Gagasan ini disampaikan sebagai sebuah pertimbangan reflektif dari kaca mata ilmu pengetahuan. Lihat Denis Edwards, Jesus and the Cosmos, (New York: Paulis Press, 1991), hlm. 19. [2] Dalam sejarah filsafat, jaman kontemporer dimulai pada akhir abad 19 dan terjadi hingga saat ini. Lihat http://en.wikipedia.org/wiki/Contemporary_philosophy [3] Fahrudin M. Mangunjaya, Husain Heriyanto, Reza Gholami, Menanam Sebelum Kiamat: Islam, Ekologi, dan Gerekan Lingkungan Hidup, (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 2007), hlm. 43. [4] Pandangan ini ditulis oleh Roger E. Tim dalam sebuah tulisanya yang terdapat dalam sebuah buku yang berjudul Agama, Filsafat, dan lingkungan hidup. Lihat Mary Evelyn Tucker & John A. Grim, Agama, Filsafat, dan lingkungan Hidup, (Yogyakarta: Pernerbit Kanisius, 2003), hlm. 99-114. [5] Ibid. hlm. 110. [6] Hal yang kurang lebih sama dikatakan dalam konsep taskhir dan istikhlaf sebagai acuan untuk membina interaksi manusia dengan alam. Lihat Alwi Sihab, Islam Inklusif: Menuju SikapTerbuka dalam Beragama, (Bandung: Penerbit Mizan, 1997), hlm. 164-165. [7] Lihat Fazlun Khalid dan Joanne OBrien, Islam and Ecology, (New York: Cassel Publisher, 1992), hlm. 1-3. [8] Fahrudin M. Mangunjaya dkk, hlm. 33 [9] Seyyed Hossein Nasr, saat ini adalah seorang profesor di pusat studi Universitas George Washington, Washington D.C. Lihat http://en.wikipedia.org/wiki/Seyyed_Hossein_Nasr [10]Fahrudin M. Mangunjaya dkk, hlm. 46. [11] Fahrudin M. Mangunjaya dkk, hlm. 46-52

Mentalitas Pencerahan dan Bencana EkologisOPINI | 28 April 2011 | 13:38 249 0 1 dari 1 Kompasianer menilai aktual

(Tulisan ini terinspirasi sepenuhnya oleh tulisan Tu Wei-ming, Beyond the Enilightenment Mentality, dalam Mary Evelyn Tucker et.al. (ed.), Worldviews and Ecology, Orbis Books, 1994, khususnya h. 19 dst.)Mentalitas pencerahan (Enlightenment Mentality) yang berkembang di Eropa pada abad ke-18, menurut para kritikus menjadi penyebab bencana ekologis dewasa ini. Mentalitas pencerahan adalah sikap mental manusia yang percaya akan kemampuan diri sendiri atas dasar rasionalitas, dan sangat optimis untuk dapat menguasai masa depannya. Hal ini mendorong manusia (Barat) menjadi kreatif dan inovatif. Ciri khas yang paling mencolok dari zaman pencerahan adalah rasionalisme. Kandungan dari rasionalisme adalah semangat untuk menyelidiki, mengetahui, mengalahkan, dan menaklukan (alam).

Kesadaran bahwa manusia menjadi ukuran dan tuan bagi semua hal sebagai anak kandung pencerahan - membawa implikasi yang dalam bagi kehidupan manusia secara keseluruhan termasuk dalam relasinya dengan alam. Implikasi dari mentalitas inilah yang membawa kehancuran bagi alam serta mengancam keberlangsungan hidup manusia sendiri. Mentalitas pencerahan menempatkan manusia sebagai pusat, mendorong manusia untuk terus mengeksplorasi dan mengeksploitasi alam untuk kesejahteraan dirinya. Eksplotasi yang berlebihan atas alam menyebabkan kerusakan ekologis dan lingkungan hidup yang parah. Berita bencana alam pada setiap musim yang kita masuki adalah buktinya. Tidak ada musim tanpa bencana. Pada setiap musim hujan media masa baik cetak maupun elektronik menyuguhkan bagi kita santapan pagi yang sudah menjadi kelaziman selama beberapa tahun terakhir yakni berita banjir dan tanah longsor plus daftar panjang para korban. Sementara pada musim kemarau kepada kita disuguhkan berita kebakaran hutan serta asapnya yang dapat menyebabkan penyakit pernafasan juga memacetkan transportasi khususnya transportasi darat dan udara. Sejalan dengan itu, pemanasan global dan perubahan iklim menjadi tema obrolan harian kita di mana saja, baik di ruang-ruang kuliah, ruang seminar, kafe-kafe, dunia maya, ruang makan, sampai obrolan dalam bus kota yang selalu macet dan sumpek. Gambaran tentang dampak pemanasan global bagi bumi bahkan menjadi kisah film yang menarik untuk ditonton. Sebut sebagai contoh film the day after tomorrow yang mengkisahkan dampak pencairan es di kutub bagi peningkatan permukaan air laut yang bisa menghancurkan kota seperti New York misalnya.

Banyak orang prihatin dan cemas akan kondisi lingkungan kita. Banyak pula yang dapat mengidentifikasi penyebab banjir dan tanah longsor serta kebakaran hutan-hutan kita, namun tidak sedikit pula orang yang pura-pura tidak tahu dan tidak mau tahu karena mereka justru mereguk kenikmatan hidup duniawi di tengah segala macam bencana itu. Tulisan ini dimaksudkan untuk membahas dampak mentalitas pencerahan bagi kelangsungan hidup bumi ini beserta seluruh isinya. Untuk meringkas, saya akan membahas topik tersebut dengan alur sebagai berikut. Pertama-tama saya akan membahas apa itu zaman pencerahan dan mentalitas pencerahan. Selanjutnya akan dibahas dampak mentalitas pencerahan itu bagi alam semesta. Setelah itu, akan disampaikan usulan Tu Wei-ming dalam rangka menciptakan suatu

tata dunia baru, di mana beliau menekankan pentingnya etika dan nilai serta menganjurkan untuk kembali ke tradisi spiritual dan tradisi-tradisi religius primitif yang dapat hidup dalam harmoni dengan alam. Lalu ditutup dengan kesimpulan ringkas I. Zaman Pencerahan dan Mentalitas Pencerahan[1]Keyakinan bahwa rasio merupakan kekuatan manusia yang terpenting pada abad ke-18 menggejala dan menjadi gerakan zaman yang mempengaruhi tidak hanya kehidupan akademis, melainkan juga kehidupan sosial, politis dan kultural. Zaman ini disebut zaman Aufklrung atau pencerahan dalam bahasa Indonesia. Zaman ini dapat dipandang sebagai akumulasi optimisme pemikiran modern terhadap rasio manusia. Optimisme itu juga sangat banyak dipengaruhi oleh kemajuan pesat yang dicapai oleh ilmu-ilmu alam dan teknologi.[2] Ide yang mendasari zaman pencerahan adalah mewujudkan kebahagiaan di dunia ini. Para pemikir pada zaman ini sangat yakin bahwa umat manusia dapat mencapai kesempurnaan dan kebahagiaan di dunia ini sehingga manusia tidak perlu menunggu-nunggu rahmat atau kehidupan akherat sebagaimana yang diajarkan oleh agama Kristen, melainkan mewujudkannya sekarang di dunia. Dasar dari keyakinan itu adalah pengalaman bahwa berabad-abad dominasi religius tidak menghasilkan kebahagiaan duniawi, melainkan berbagai bentuk ketergantungan dan ketakutan karena kepercayaan naif akan takhyultakhyul. Menurut pandangan zaman itu, rasio merupakan terang baru yang menggantikan iman kepercayaan, dan rasio ini membawa tidak hanya kebenaran, melainkan juga kebahagiaan dalam hidup manusia (Budi Hardiman 2007: 96). Definisi Kant tentang Pencerahan diakui sebagai salah satu definisi yang mencerminkan mentalitas pada zaman itu. Kant mendefinisikan pencerahan seperti berikut: Pencerahan adalah jalan keluar manusia dari ketidak-dewasaan (unmndigkeit) yang disebabkan oleh kesalahannya sendiri. Ketidakdewasaan merupakan ketidakmampuan untuk menggunakan akalnya tanpa tuntunan orang lain. penyebab ketidakdewasaan bukan karena kurangnya akal, melainkan lebih pada soal ketetapan hati dan keberanian untuk mempergunakan akalnya tanpa tuntunan orang lain.[3] Pencerahan lalu dilihat sebagai suatu kesadaran baru akan tanggung jawab untuk memakai rasio itu, karena jika tidak, kebahagiaan yang dicita-citakan itu tidak akan tercapai. Maka itu semboyan zaman pencerahan Sapere aude! (Beranilah berpikir sendiri!) memuat suatu keyakinan bahwa rasio

merupakan kemampuan manusiawi yang sentral. Namun kemampuan itu baru menjadi aktual kalau dikaitkan dengan suatu keutamaan, yakni keberanian. Pertautan rasio dan keberanian meradikalkan salah satu ciri modernitas, yaitu kritik. Pertautannya dengan kemajuan juga jelas dalam upaya mengejar kebahagiaan di dunia ini, sebab kebahagiaan harus tampil dalam bentuk kemajuan material. Kemajuan dan perbaikan kodrati manusia bisa dilakukan sampai tak terbatas lewat pengetahuaannya. Sains modern yang telah dirintis oleh Isaac Newton dianggap sebagai sarana ampuh untuk mewujudkan optimisme ini. (Budi Hardiman 2007: 97). Program zaman pencerahan adalah emansipasi dan kebebasan. Emansipasi maksudnya lepasnya manusia dari ketergantungan pada tradisi dan rasa takut akan tabu-tabu religius. Dengan ini pencerahan mendorong sekularisasi, yakni dibebaskannya bidang-bidang kemasyarakatan dari simbolsimbol keagamaan. Tujuan dari emansipasi dan kebabasan adalah kebahagiaan. Kebahagiaan dimaksudkan sebagai perwujudan nilai-nilai kemanusiaan secara menyeluruh dan universal di dalam susunan masyarakat yang adil. Arus pemikiran seperti inilah yang kemudian membentuk apa yang disebut sebagai mentalitas pencerahan. Apakah mentalitas pencerahan itu? Mentalitas pencerahan adalah mentalitas yang terkait dengan semangat zaman pencerahan, di mana banyak penulis dan ilmuwan berpendapat bahwa ilmu pengetahuan dan rasio jauh lebih penting dari agama dan tradisi. Pendeknya, mentalitas pencerahan adalah mentalitas yang mengagungkan kemampuan rasio.[4] Atau dengan kata lain dapat dirumuskan sebagai berikut: mentalitas pencerahan adalah sikap mental manusia yang percaya akan kemampuan diri sendiri atas dasar rasionalitas, dan sangat optimis untuk dapat menguasai masa depannya, sehingga manusia (Barat) menjadi kreatif dan inovatif. Sejalan dengan itu ada dorongan untuk menguasai alam. Semangat untuk menguasai alam ini mendorong manusia untuk memajukan ilmu dan teknologinya. Manusia selalu berusaha untuk berkreasi dan berinovasi. Dan dampaknya adalah ilmu pengetahuan dan tekhnologi terus berkembang, bukan hanya di Barat tetapi akhirnya terus menyebar ke seluruh belahan dunia. Tujuan dari penguasaan dan pengembangan ilmu dan teknologi oleh manusia tidak lain untuk menaklukkan dan menguasai alam demi kepentingan kesejahteraan hidupnya. Faktor-faktor yang penting bahkan menentukan tumbuhnya mentalitas pencerahan[5] adalah tekanan filsafat Yunanai atas rasionalitas, gambaran Kitab Suci mengenai manusia yang berkuasa atas ikan di laut, dan atas unggas di udara, dan atas setiap makhluk hidup yang bergerak di atas bumi, dan apa yang

disebut etika kerja Protestan yang secara historis melahirkan semangat kapitalisme di Eropa Barat dan Amerika Utara[6]. Semua nilai yang kita anut sebagai definisi kesadaran modern seperti kebebasan, kesamaan, hak asasi manusia, keluhuran individu, hormat terhadap privasi, pemerintahan dari, oleh, dan untuk rakyat, dan proses hukum yang adil, semua itu secara genetis tidak dapat dipisahkan dari mentalitas pencerahan. Pencerahan sebagai kebangkitan manusia, sebagai penemuan kemampuan manusia untuk mengubah dunia, dan sebagai kesadaran akan keinginan manusia untuk menjadi ukuran dan tuan bagi semua hal, masih merupakan tataran moral paling berpengaruh di dalam kebudayaan politis zaman modern. Dari uraian di atas dapat ditegaskan bahwa ciri khas yang paling mencolok dari zaman pencerahan adalah rasionalisme. Kandungan dari rasionalisme adalah semangat untuk menyelidiki, mengetahui, mengalahkan, dan menaklukan (alam). Hal itu telah menjadi ideologi dominan Dunia Barat moden. Kepercayaan akan kemajuan, akal dan individualisme memacu Dunia Barat modern untuk terus bergerak maju menuju modernitas.

II. Dampak Mentalitas PencerahanModernisasi pada dirinya adalah perwujudan dari mentalitas pencerahan. Modernisasi membawa banyak buah yang baik bagi kehidupan manusia dan menjadi warisan dunia yang tidak lagi bisa diklaim sebagai milik suku, agama, atau bangsa tertentu seperti yang telah disinggung di atas. Dia telah menjadi warisan umum umat manusia[7]. Meski pada saat ini negara-negara industri maju masih didominasi oleh belahan bumi bagian barat, tetapi kita tidak bisa menutup mata akan kemajuan-kemajuan yang dicapai belahan bumi lainnya. Penguasaan teknologi hingga tingkat senjata nuklir dan senjata pemusnah masal saat ini menyebar ke berbagai negara di seluruh penjuru bumi. Pembangunan industri-industri berskala multinasional tidak lagi didominasi negara-negara tertentu. Sejalan dengan itu kemajuan yang dicapai dalam bidang perekonomian, pendidikan, militer, komunikasi, juga pertanian menyebar ke berbagai negara di setiap benua. Kondisi ini menopang terbentuknya apa yang oleh J. Baird Callicott sebagai peradaban industrial global.[8] Paparan ini menunjukkan bahwa mentalitas pencerahan yang dibahas dalam tulisan ini telah menyebar ke mana-mana. Kesadaran bahwa manusia menjadi ukuran dan tuan bagi semua hal sebagai anak kandung pencerahan - membawa implikasi yang dalam bagi kehidupan manusia secara keseluruhan termasuk

dalam relasinya dengan alam. Mentalitas pencerahan yang menyatakan bahwa pengetahuan adalah kuasa (Francis Bacon), tidak terhindarkannya secara histories kemajuan manusia (August Comte), atau humanisasi alam (Karl Marx), telah menjadi sumber pemikiran kompetisi sosial Darwinisme. Semangat kompetitif, yang didukung oleh cara membaca yang sangat sederhana atas prinsip survival of the fittest (yang paling dapat menyesuaikan diri yang bertahan), selanjutnya memberi dasar kokoh bagi terjadinya imperialisme baik atas suku, bangsa, budaya, maupun alam. [9] Pada level ini mentalitas pencerahan memmetamorfosiskan dirinya ke dalam bentuk persaiangan demi kekayaan dan kekuasaan. Maka eksploitasi baik atas sesama manusia maupun atas alam adalah jalannya. De facto, pertumbuhan hebat dari Dunia Barat modern tidak lepas dari wawasan-wawasan pencerahan seperti kepentingan diri, perluasan, dominasi, manipulasi, dan kendali. Dalam konteks inilah kita bisa pahami ekspansi persaiangan bisnis, industri global, militer, teknologi dan lain-lain dewasa ini. Peradaban industri global selain membawa banyak kemajuan yang berguna bagi manusia juga membawa sertanya dampak buruk. Sebut saja misalnya buangan limbah industri yang telah mencemari lingkungan dengan bahan-bahan kimia beracun sintetik dan unsur-unsur radioaktif, juga mengintensifkan macam-macam perlakuan yang salah terhadap lingkungan yang sebetulnya telah ada dalam kegiatan manusia pra-industrial. Dengan munculnya kebudayaan manusia industrial dengan jangkauan global, pengaruh manusia pada alam telah meningkat dalam kekuatan, intensitas dan di mana-mana, sehingga dalam skenario terburuk yang dapat dibayangkan, manusia benar-benar merusak lingkungan hidup sekaligus dirinya sendiri.[10] Berikut ini beberapa ciri-ciri peradaban industrial dalam relasi dengan alam yang membawa dampak buruk bagi alam dan manusia sendiri (tidak semuanya saya ambil)[11]: 1. Peran manusia: menaklukan alam, dominasi atas alam, individu vs dunia, superioritas dan angkuh, pengaturan sumber. 2. Nilai-nilai dalam hubungan dengan alam: alam sebagai sumber, eksploitasi atau menjaga, antroposentris/humanis, alam punya nilai sebagai alat. 3. Pendidikan dan penelitian: disiplin spesialisasi, pengetahuan bebas nilai, pemisahan sainskemanusiaan.

4. Sistem ekonomi: perusahaan multinasional, mengandaikan kelangkaan, kompetisi, kemajuan tanpa batas, pembangunan ekonomi, tidak memperhitungkan alam. 5. Teknologi: ketergantungan pada bahan bakar fosil, teknologi demi keuntungan, beban sampah berlebihan, eksploitasi/konsumerisme 6. Pertanian: Pertanian monokultur, agribisnis, perkebunan pabrik, pupuk kimiawi dan pestisida, hibrida dengan hasil banyak tapi rapuh. Semua yang disebut di atas menunjukkan bahwa dampak mentalitas pencerahan merasuk ke segala aspek kehidupan dan oleh karena itu maka eskalasi kerusakan alam sebagai akibatnya juga akan sangat luas dan intensif. Dari situ kita dapat melihat bahwa keberlangsungan hidup kita, alam beserta seluruh ekosistem di dalamnya benar-benar terancam.

III. Kebutuhan Akan Suatu Tata Dunia Baru Dengan ungkapan yang sangat menarik Tu Wei-ming menggambarkan dengan baik dilema antara mewujudkan impian manusia dan hasratnya untuk terus maju dalam bidang ilmu pengetahuan, teknologi, ekonomi dan bidang-bidang lainnya dengan realitas bumi tempat hidup ini berlangsung. Dia mengatakan, kita dapat menatap bintang-bintang yang jauh, tetapi kita berakar di sini di bumi dan telah benar-benar menyadari kerapuhannya dan semakin hati-hati dengan kerentanannya. Kemudian dia melanjutkan, karena cakrawala pengetahuan kita berkembang, kita belajar bahwa ada batas-batas bagi kecepatan dan kuantitas pertumbuhan ekonomi kita, bahwa sumber-sumber alam dapat habis, bahwa kemerosotan lingkugan kita mempunyai akibat-akibat yang menghancurkan bagi keseluruhan masyarakat manusia, bahwa kehilangan gen-gen, spesies-spesies, dan ekosistem secara serius membahayakan keseimbangan sistem penyangga kehidupan kita, dan bahwa syarat minimum bagi keberlangsungan hidup manusia menuntut tindakan nyata atas hidup yang berkelanjutan di dalam masyarakat yang amat terindustrialisasi.[12] Kesadaran ini mendorong banyak pihak seperti para ekolog, insinyur, ekonom, dan ahli ilmu bumi yang berwawasan lingkungan (baca: jauh ke depan) untuk mengembangkan suatu kesadaran diri kritis secara komunal untuk menyelamatkan bumi di ruang angkasa (saving spaceship earth), telah menghimbau para penyair, rohaniwan, seniman, dan filsuf agar

berpartisipasi aktif dalam kerja sama intelektual dan spiritual untuk membuat habitat kita, rumah kita, aman bagi generasi mendatang. Kebutuhan untuk memusatkan perhatian kita pada etika, nilai, dan agama sebagai cara memelihara planet dan mengurangi tingkat pemiskinannya sungguh mendesak.[13] Untuk memelihara planet kita, Tu Wei-ming[14] melihat dua hal yang perlu dilakukan. Pertama, penguatan etika[15] dan nilai, dan kedua, kerja sama spiritual. Dari segi etika Tu melihat bahwa etika yang sama sekali berbeda atau sistem nilai baru yang terpisah atau bebas dari mentalitas Pencerahan tidaklah realistis dan tidak autentik. Artinya kita hanya tinggal membenahi apa yang diabaikan oleh proyek pencerahan karena terlalu fokus pada upaya untuk kepentingan diri. Kemudian kita perlu menyelidiki sumber-sumber spiritual yang dapat membantu kita memperluas jaringan proyek Pencerahan, memperdalam kepekaan moralnya, dan, bila perlu, secara kreatif mengubah kekangan-kekangan turun-temurun untuk seutuhnya mewujudkan kemampuannya sebagai suatu pandangan dunia bagi komunitas manusia secara keseluruhan. Tu mensinyalir bahwa kerusakan masif yang diakibatkan oleh mentalitas Pencerahan disebabkan oleh tidak adanya ide mengenai komunitas, apalagi komunitas global. Persaudaraan, yang merupakan ekuivalen fungsional komunitas dari ketiga keutamaan utama dari Revolusi Prancis, kurang diperhatikan di dalam pemikiran ekonomis, politik, dan sosial Dunia Barat modern. Kesediaan untuk membiarkan ketidaksamaan, kepercayaan akan kekuatan demi kepentingan diri, dan egoisme yang merajalela telah meracuni kehendak baik kemajuan, akal, dan individualisme. Maka itu, Tu melihat bahwa untuk menciptakan suatu tata dunia baru pertama-tama perlu dirumuskan maksud universal bagi pembentukan suatu komunitas global. Maksud universal bagi pembentukan suatu komunitas global dapat mengganti prinsip kepentingan diri dengan suatu perintah emas yang baru (yang sejatinya sudah tercantum dalam Alkitab): Janganlah melakukan bagi orang lain apa yang anda tidak ingin orang lain lakukan bagimu. Perintah emas yang dirumuskan secara negatif ini perlu ditambahkan dengan prinsip positif: Untuk menegaskan diri, saya harus membantu orang lain menegaskan dirinya; untuk membentuk diri, saya harus membantu orang lain membentuk dirinya. Dalam konteks penyelamatan lingkungan dari bahaya tambang di Manggarai dapat dirumuskan demikian, untuk merasakan nikmatnya hidup di alam yang sejuk, kaya akan air minum, pantainya yang indah, adatnya yang terjaga, saya harus membantu orang lain untuk merasakan nikmatnya hidup di alam yang udaranya sejuk, kaya akan

air minum, pantainya indah, dan adat-istiadatnya yang terjaga. Merasa menjadi bagian komunitas, berdasar kesadaran moral yang kritis dan reflektif serta berperhatian ekologis, mungkin muncul sebagai hasilnya.[16] Tu menunjukkan tiga sumber spiritual[17] yang dapat menjamin visi sederhana tadi. Sumber pertama, meliputi tradisi-tradisi etik-religius Dunia Barat modern, khususnya filsafat Yunani, Yudaisme, dan Kristianitas. Kenyataan bahwa ketiganya telah membantu melahirkan mentalitas pencerahan mendorong mereka memeriksa kembali hubungan mereka dengan munculnya Dunia Barat modern untuk menciptakan ruang lingkup publik baru dalam penilaian nilai-nilai khas Barat. Konsekuensi-konsekuensi negatif yang tidak diinginkan dari munculnya Dunia Barat modern sangat merongrong makna komunitas yang implisit di dalam ide Helenistik mengenai warga negara, dalam ide Yudais mengenai perjanjian, dan dalam ide Kristiani mengenai kasih universal yang secara moral berbentuk perintah bagi tradisi-tradisi besar ini untuk merumuskan kritik mereka atas antroposentrisme yang sangat mencolok melekat dalam proyek Pencerahan. Sumber spiritual kedua, peradaban Hinduisme, Jainisme, Taoisme di Asia Timur, dan Islam. Tradisi-tradisi etik-religius ini menyediakan sumber-sumber yang lengkap dan dapat dipraktekkan dalam pandangan-dunia, upacara, lembaga, model pendidikan, dan pola hubungan manusia. Asia Timur yang industrial, di bawah pengaruh budaya Konfusian, telah memperkembangkan suatu peradaban modern yang kurang bermusuhan, kurang individualistik, dan kurang berkepentingan diri. Sumber spiritual ketiga, melibatkan tradisi-tradisi asli: tradisi-tradisi religius Amerika Asli, Hawai, dan sejumlah suku asli, termasuk di sini tradisi dan adat-istiadat Manggarai secara khusus filosofi hidup orang Manggarai mbarun one lingkon peang. Filosofi ini dengan sangat jelas menekankan pentingnya membangun kehidupan yang harmoni dengan alam. Orang Manggarai tidak bisa lepas sama sekali dari alam, dari uma bate duat-nya. Cara berada orang Manggarai di bumi ini adalah keterikatan antara rumah dan lingko sebagai tempat dari mana mereka memperoleh kehidupan[18]. Tradisi-tradisi ini telah menunjukkan dengan kekuatan fisik dan keindahan estetik bahwa hidup manusia dapat bertahan sejak Zaman Neolitik.

Bentuk khas tradisi-tradisi asli adalah suatu pemahaman mendalam dan pengalaman keberakaran. Masing-masing tradisi religius asli ditanamkan pada tempat konkret yang menyimbolkan suatu cara pemahaman, gaya berpikir, cara hidup, dan sikap, serta pandangandunia. Hasil dari keberakaran orang-orang primitif pada lokalitas yang konkret adalah pengetahuan mereka yang akrab dan detail mengenai lingkungan mereka; bahkan batas antara habitat manusia dan alam ditiadakan. Di dalamnya ada kesadaran akan ketimbal-balikan dan saling menerima atara dunia antropologis dan kosmos. Maka, yang kita perlu pelajari dari mereka adalah penataan kembali secara mendasar cara menangkap, berpikir, dan hidup kita; kita sangat membutuhkan suatu sikap baru dan suatu pandangan-dunia baru. Selain itu, aspek lain yang dapat kita petik dari cara hidup primitif adalah penyatuan di dalam interaksi manusiawi sehari-hari. Megikuti karakterisasi Huston Smith, apa yang mereka tunjukkan adalah partisipasi bukannya kendali dalam motivasi, pemahaman empatik bukannya pemahaman empirisis dalam epistemologi, hormat terhadap yang transenden bukannya dominasi atas alam dalam pandangan-dunia, dan kepenuhan bukannya keterasingan dalam pengalaman manusia.[19] Dengan menjalankan praktek hidup yang mengombinasikan etika dan nilai serta unsur-unsur spiritualitas maka diharapkan manusia secara mendalam disatukan dengan alam: bersaudara dengan semua makhluk hidup di planet Bumi dan secara sistematik saling terkait dengan mereka. IV. Kesimpulan Saya ingin menutup tulisan ini dengan membuat beberapa kesimpulan ringkas seperti berikut: Pertama, Mentalitas pencerahan adalah sikap mental manusia yang percaya akan kemampuan diri sendiri atas dasar rasionalitas, dan sangat optimis untuk dapat menguasai masa depannya, sehingga manusia (Barat) menjadi kreatif dan inovatif. Sejalan dengan itu ada dorongan untuk menguasai alam. Semangat untuk menguasai alam ini mendorong manusia untuk memajukan ilmu dan teknologinya. Maka, ciri khas yang paling mencolok dari zaman pencerahan adalah rasionalisme. Kandungan dari rasionalisme adalah semangat untuk menyelidiki, mengetahui, mengalahkan, dan menaklukan (alam).

Kedua, Mentalitas pencerahan seperti yang digambarkan di atas memetamorfosiskan dirinya ke dalam bentuk persaiangan demi kekayaan dan kekuasaan. Jalan menuju persaiagan demi kekayaan dan kekuasaan adalah eksploitasi baik atas alam beserta isinya maupu atas sesama manusia. Eksploitasi pada dirinya tidak pernah adil terhadap objek yang dieksplotasi. Ketiga, Eksplotasi yang masif dan ekskalatif atas alam terang saja menyebabkan ketidakseimbangan ekosistem alam dan kerusakan alam yang parah. Sebagai contoh, buangan limbah industri telah mencemari lingkungan dengan bahan-bahan kimia beracun sintetik dan unsurunsur radioaktif; Perusakan hutan atau usaha pertambangan meninggalkan kehancuran atas alam dan komunitas manusia sendiri. Keempat, Untuk memulihkan alam, atau paling tidak untuk mempertahankan eksistensinya seperti sekarang ini diperlukan adanya suatu upaya konkret untuk penguatan kesadaran akan komunitas (global) dan hubungan kesaling-tergantungan antara alam beserta seluruh isinya dengan manusia. Untuk itu diperlukan adanya kesadaran akan etika dan nilai dalam relasi dengan alam serta kerja sama spiritual antara berbagai tradisi spiritual seperti tradisi spiritual Yunani kuno, Yudaisme dan Kristianitas di Barat dengan Asia dan Asia Timur yakni peradaban Hinduisme, Jainisme, Taoisme, dan Islam serta tradisi-tradisi asli: tradisi-tradisi religius masyarakat lokal seperti Manggarai, Timor, Dayak, Amerika Asli, Hawai, dan sejumlah suku asli lainnya. Kelima, Secara kasat mata memang mentalitas pencerahan mempunyai andil yang sangat besar atas terjadinya bencana ekologis selama beberapa dekade terakhir. Hal itu terjadi karena adanya ketidakseimbangan dalam penghayatan nilai-nilai modernisme akibat egoisme dan nafsu untuk berkuasa dan menguasai dari manusia. Keenam, Secara filosofis kebebasan yang didiperjuangkan semenjak Aufklrung akhirnya menjadi kebebasan semu manakala dampak dari penerapan kebebasan itu membawa manusia kepada penderitaan dan penghancuran diri akibat kerusakan atas alam sebagai rumah tempatnya hidup. Maka itu, kebebasan harus pula ditransformasi dari kebebasan untuk menguasai dan eksploitasi atas alam menjadi kebebasan untuk menyelamatkan bumi rumah kita dari kehancuran demi generasi sekarang dan yang akan datang.

Ketujuh, Kesadaran untuk menyelamatkan semesta alam harus menjadi kesadaran bersama umat manusia. Selama kesadaran itu hanya menjadi kesadaran parsial para korban dan pencinta lingkungan maka impian untuk menyelamatkan bumi dari kehancurannya akan tetap tinggal impian. Kolaborasi tradisi spiritual yang diusulkan Tu tidak akan berpengaruh bila kesadaran spiritual para penganut tidak dikonversi menjadi praksis spiritual dalam kehidupan sehari-hari. Karena itu saya melihat bahwa proyek penyelamatan semesta alam dan seluruh ekosistem di dalamnya termasuk manusia bukanlah proyek sederhana melainkan proyek besar yang memerlukan ketahan fisik dan konsistensi dalam memwujudkannya. REFERENSI Hardiman, F. Budi. Filsafat Modern, Dari Machiavelli sampai Nietzche. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama, 2007. Huston Smith, The Worlds Religions. New York: Harper Collins, 1991 J. Baird Callicott, Toward a Global Environmental Ethic, dalam Mary Evelyn Tucker & John A Grim (ed.), Worldviews and Ecology, Orbis Books, 1994. Ralph Metzener, The Emerging Ecological Worldview, dalam Mary Evelyn Tucker & John A Grim (ed.), Worldviews and Ecology, Orbis Books, 1994 Tu Wei-ming, Beyond the Enilightenment Mentality, dalam Mary Evelyn Tucker et.al. (ed.), Worldviews and Ecology, Orbis Books, 1994 Supriyadi, Yohanes. Filsafat Dayak. http://wacananusantara.org/6/362/filsafatdayak/p/3?PHPSESSID=20db216a3bfc012028ed33195b4a5b85. Diunduh pada hari Selasa, 19 Mei 2009, jam 15.30.

[1] Bagian ini mengacu pada buku F. Budi Hardiman, Filsafat Modern, Gramedia 2007, terutama hal 94- 127. [2] Lih. F. Budi Hardiman, ibid. [3] Teks Kant ini diabil dari kutipan F. Budi Hardiman, ibid., yang beliau kutip dari Bahr, Ehrhard (ed.), Was ist Aufklrung, Reclam, Stuttgart, 1974. [4] Lih. Budi Hardimana, ibid. [5] Lih. Tu Wei-ming, op.cit., hlm. 21-22

[6] Prinsip dasar etika protestan dapat dirumuskan seperti berikut: umat manusia dapat mencapai kesempurnaan dan kebahagiaan di dunia ini, sehingga manusia tidak perlu menunggu-nunggu rahmat atau kehidupan akherat untuk mewujudkannya. Kebahagiaan itu tidak sekedar dinantikan, melainkan diwujudkan dalam kehidupan material dan untuk itu orang menyandarkan diri pada kekuatan rasionya. (Lih. F. Budi Hardiman. Op cit. hlm. 95). [7] Lih. Tu Wei-ming, op.cit., hlm 23. [8] Lih. J. Baird Callicott, Toward a Global Environmental Ethic, dalam Mary Evelyn Tucker & John A Grim (ed.), Worldviews and Ecology, Orbis Books, 1994. [9] Lih Tu Wei-ming, ibid., hlm. 22. [10] Bdk. J, Baird Callicott, op.cit., hlm. 33. [11] Dielaborasi dari tulisan Ralph Metzener, The Emerging Ecological Worldview, dalam Mary Evelyn Tucker & John A Grim (ed.), Worldviews and Ecology, Orbis Books, 1994, hlm. 170171. [12] Lih. Tu Wei-ming, op.cit., hlm. 20 [13] Lih. Tu Wei-ming, ibid., hlm 20-21. [14] Selanjutnya akan disebut Tu saja. [15] Mengenai pentingnya aspek etika dan bagaimana etika dapt turut membantu untuk mengatasi dampat mentalitas pencerahan bagi lingkungan dapat dibaca pada tulisan J. Baird Callicott, Toward a Global Environmental Ethic dalam Mary Evelyn Tucker & John A Grim (ed.), Worldviews and Ecology, Orbis Books, 1994. [16] Ibid., hlm. 25. [17] Ibid., hlm. 25-27 [18] Di sini patut dimasukan juga misalanya pandangan salah satu suku asli di Indonesia, seperti suku Dayak. World-view (pandangan dunia) Orang Dayak memahami alam semesta (kosmos) ini sebagai suatu bentuk kehidupan bersama antara manusia dan yang non-manusia, diluar alam para Jubato (dewa) dan Awo Pamo (arwah para leluhur) yang berada di Subayotn. Bentuk kehidupan itu merupakan suatu sistem yang unsur-unsurnya terdiri dari unsur alam manusia dan alam nonmanusia (organisme dan no-organisme) yang saling berkolerasi. Sistem kehidupan itu sendiri merupakan lingkungan hidup manusia dimana manusia hidup dan berkolerasi secara harmonis dan seimbang dengan para tetangganya unsur-unsur lain yang non- manusia. Hubungan yang harmonis dan seimbang dalam sistem khidupan ini harus dibangun oleh manusia melalui praktikpraktik religi mereka.(Lih. Yohanes Supriyadi, Filsafat Dayak, http://wacananusantara.org/6/362/filsafat-

dayak/p/3?PHPSESSID=20db216a3bfc012028ed33195b4a5b85, diunduh pada hari Selasa, 19 Mei 2009, jam 15.30) [19] Huston Smith, The Worlds Religions (New York: Harper Collins, 1991), 365-83 seperti yang dikutip Tu Wei-ming, ibid., hlm. 27-28.

Membangun Fikih Bumi Oleh Khaeron Sirin, MA - Dosen Fak. Syariah Institut PTIQ Jakarta Dari Deklarasi Bumi di Rio de Janeiro (1992) hingga paling kini Konvensi lingkungan yang digelar di Bali (2007) yang kemudian menghasilkan Bali Roadmap, belum cukup memberi solusi terhadap kerusakan yang terjadi di bumi. Berbagai kerusakan di bumi tidak berkurang, malah terus bertambah, bahkan semakin dirasakan kian memburuk yang mengancam peradaban manusia. Tulisan ini mencoba menawarkan solusi alternatif bernama Fiqh Bumi. Apa itu fiqh bumi? Merancang fikih bumi adalah salah satu upaya praktis menyelamatkan bumi dari eksploitasi semena-mena dan kerusakan, termasuk global warming. Fikih bumi akan mengatakan dengan tegas bahwa orang yang merusak tatanan ekosistem dapat dikatakan memerangi Allah dan Rasul-Nya (QS. Al-Maidah: 33), dan pelakunya bisa disebut kafir dan harus dihukum. Namun hal itu, selain keterlibatan Negara dalam aplikasinya, terlebih dahulu perlu penjabaran lebih konkret pemahaman tentang bumi yang kurang banyak ditemukan dalam kitab-kitab fikih klasik. Persoalan-persoalan bumi harus dijadikan bagian tak terpisahkan dalam pembahasan fikih modern yang ramah lingkungan, sekaligus menjadi living tradition dalam masyarakat sebagai bentuk pemahaman dan watak demokratis Islam.

SERUAN untuk menyelamatkan bumi sudah lama dicanangkan, yaitu sejak KTT Bumi di Rio de Janeiro, Juni 1992. Tercatat tidak kurang dari 154 kepala negara menyetujui hasil-hasil pertemuan itu, yang disebut sebagai Deklarasi Bumi. Sejak pertemuan itu, segala bentuk traktat dan perjanjian antara bangsa telah diikat dengan konvensi. Banyak konvensi lingkungan yang telah ditandatangani oleh banyak negara untuk menjaga dan melestarikan bumi dari segala kerusakan, misalnya Konvensi Bassel, Konvensi CITES, Konvensi CBD (The Convention on Biological Diversity), dan Konvensi UNFCCC (United Nation Framework Convention on Climate Change) yang baru saja digelar pada 3-13 Desember 2007 di Bali yang kemudian menghasilkan Bali Roadmap. Hanya saja, pertemuan-pertemuan tersebut terkesan bermuatan politis. Bahkan, konvensi-konvensi yang dihasilkanyang ditopang dengan kemajuan sains, teknologi dan penegakan hukumbelum cukup memberi solusi terhadap kerusakan yang terjadi di bumi. Berbagai kerusakan di bumi tidak berkurang, malah terus bertambah, bahkan semakin dirasakan kian memburuk dalam satu dekade terakhir. Pemanasan global, kepunahan zat bumi, kekeringan yang panjang, kelangkaan air bersih, pencemaran lingkungan dan polusi udara, serta kemiskinan, adalah sederet masalah yang telah mengglobal, karena meliputi hampir seluruh bagian bumi. Tak satu pun bangsa dan negara di dunia yang luput dari masalahmasalah tersebut yang pada akhirnya mengancam peradaban manusia.

Kini, timbul kesadaran baru untuk menggandeng agama yang diharapkan berperan besar dalam menanggulangi krisis bumi. Peran dan inisiatif agama dirasa penting untuk mengurangi kerusakan tersebut dengan cara-cara yang lembut dan bijak. Di sinilah isu keagamaan menjadi entry point bagi isu penyelamatan bumi. Agama dianggap sebagai salah satu ranah yang pada saat-saat tertentuketika jalur sains, teknologi atau jalur-jalur lainnya terhambatmampu menjadi kendali bagi hasrat manusia untuk melakukan mengeksploitasi bumi (alam). A. Urgensi Fikih Bumi Ketika krisis bumi yang kian memburuk tidak mampu diatasi dengan seperangkat teknologi, sains dan hukum (undang-undang) sekuler, masyarakat dunia membutuhkan peran agama guna menumbuhkan kesadaran otentik dalam diri manusia, yaitu nilai-nilai agama. Nilai-nilai ini dipercaya memiliki kemampuan tinggi dalam memengaruhi sikap dan prilaku pemeluknya dalam kehidupan. Artinya, pemahaman agama saat ini tidak lagi berkutat pada masalah-masalah spiritual dan eskatologis, tetapi juga harus beranjak ke aspek-aspek nyata masyarakat pemeluknya. Dengan nilai-nilai agama, manusia akan memiliki kecakapan mengatasi dan ketajaman membaca tanda-tanda zaman berikut kemampuan menciptakan seperangkat nilai untuk melestarikannya lewat hukum dan sejumlah peraturan. Dalam hal ini, al-Quran telah memberikan informasi spiritual kepada manusia untuk bersikap ramah terhadap bumi, sebab bumi adalah tempat kelangsungan hidup manusia dan makhluk hidup lainnya (QS. Al-Rahman: 10). Informasi tersebut memberikan sinyalamen bahwa manusia harus selalu menjaga dan melestarikan bumi dan lingkungan agar tidak menjadi rusak, tercemar bahkan menjadi punah, karena hal itu adalah amanah Allah SWT yang diberikan kepada manusia. Dengan kata lain, Islam telah memberikan spirit profetik dan cita-cita etik kepada manusia sebuah sistem atau tatanan kehidupan yang demokratis dalam segala hal, termasuk demokratis terhadap bumi (alam). Karenanya, untuk menghambat percepatan krisis bumi, upaya rekayasa fikih bumi harus segera dan terus dilakukan. Perlu pengembangan dan penjabaran lebih konkret pemahaman yang berkaitan dengan bumi, di mana hal ini kurang banyak ditemukan dalam kitab-kitab fikih klasik. Persoalan-persoalan bumi (ekologi) harus dijadikan bagian tak terpisahkan dalam pembahasan fikih modern yang ramah lingkungan, sekaligus menjadi living traditionmeminjam istilah Sayed Hosen Nasrdalam masyarakat sebagai bentuk pemahaman dan watak demokratis Islam. Selain itu, upaya menegakkan prilaku demokratis terhadap bumi dan alam mesti dipedomani sebagai bagian dari tujuan tujuan disyariatkannya Islam. Imam Yusuf Qaradhawi misalnya, dalam kitabnya Riayat al-Biah fi Syariat al-Islam, memasukkan pemeliharaan lingkungan (hifdz al-alam) ke dalam bagian maqashid al-syariah (tujuan syariat). Dalam hal ini, ada dua hal yang harus kita lakukan dalam menggali dasar-dasar fikih bumi. Pertama, menjelaskan hikmah perennial Islam tentang tatanan dan struktur bumi dan alam dan kaitan eratnya dengan setiap fase kehidupan manusia. Kedua, menumbuhkan dan mengembangkan kesadaran bumi yang berperspektif teologis atau membangun teologi yang berbasis kesadaran dan kearifan bumi.

Dengan demikian, tujuan diproyeksikannya maqashid al-syariah adalah untuk menjaga kekayaan bumi, menjaga sumber-sumbernya, menumbuhkembangkan hasil dan produk-produknya, menyadarkan akibat dari pengrusakan kawasan bumi, serta pola pemerataannya pada seluruh lapisan umat manusia. Setiap tindakan yang menafikan tujuan-tujuan tersebut sama halnya menghilangkan tujuan-tujuan syariat Islam dan menodai prinsip-prinsip kepentingan yang terkandung di dalamnya. Jadi, persoalan bumi dalam kehidupan kita lebih dari sekadar persoalan hukum dan perundangundangan semata, tetapi lebih merupakan persoalan etika dan moralitas dalam kehidupan kita. Kesadaran akan hak milik Allah SWT atas segala sesuatu yang harus dijaga untuk kemanfaatan seluruh umat manusia, akan menumbuhkan rasa dan motivasi yang kuat pada diri kita untuk berbuat baik pada seluruh makhluk hidup di bumi ini. B. Fikih Bumi sebagai Konsep Praktis Dalam perspektif hukum Islam (baca: fikih), pelestarian bumi dan tanggung jawab manusia terhadap alam sebenarnya sudah lama dibicarakan. Hanya saja, dalam berbagai literatur tafsir dan fikih, isu-isu tersebut dikupas secara generik dan terpisah-pisah, belum spesifik dan utuh. Ini bisa dimengerti karena konteks perkembangan struktur dan budaya masyarakat waktu itu belum menghadapi krisis lingkungan sebagaimana terjadi sekarang ini. Karenanya, penguatan peran hukum Islam dalam konteks persoalanmodern, semisal nasib bumi ke depan, menjadi hal yang niscaya, bahkan ia menjadi mata rantai dari sejarah perkembangan hukum Islam yang menyertai peradaban manusia. Upaya merumuskan fikih bumi menjadi kian penting di tengah krisis ekologis secara sistematis yang diakibatkan oleh keserakahan, kecerobohan dan kesombongan manusia. Artinya, upaya mengembangkan fikih bumi tersebut dan merumuskannya ke dalam kerangka-kerangka yang lebih sistematik dan praktis perlu segera digarap. Muatan-muatan fikih klasik yang membahas tema-tema lingkungan secara terpisah dan abstrak perlu diberi bobot ekologis. Misalnya saja, bahasanbahasan dalam kitab fikih klasik, semisal bab taharah (bersuci), shaid (berburu), ihya' al-mawat (memanfaatkan tanah mati), al-'at`imah (hukum tentang makanan), syaribah (hukum tentang minuman), dan lain sebagainya. Dari sini, fikih bumi bisa menjadi pintu masuk ke arah penguatan kapasitas perannya itu. Bukan saja untuk memproteksi bumi, fikih bumi juga berperan untuk menopang gerakan global dalam masalah pelestarian alam yang berkelanjutan. Dalam konteks inilah, fikih bumi bisa menjadi garda depan bagi penguatan kapasitas hukum Islam dalam kehidupan modern. Dalam hal ini, ada beberapa nilai yang mesti pedomani sebagai landasan praktis dalam merumuskan dan mengembangkan fikih bumi, di antaranya: 1. Penciptaan alam raya termasuk lingkungan kosmos manusia (tanah, air dan udara) telah ditentukan qadar-nya (ukuran atau ketentuannya) yang harus senantiasa dijaga dan dilestarikan. Maka, siapa yang merusaknya berarti telah merusak qadar Allah. Hal ini sebagaimana ditegaskan dalam surat al-Hijr ayat:19-20: Dan Kami telah menghamparkan bumi dan menjadikan padanya gunung-gunung dan Kami

tumbuhkan padanya segala sesuatu menurut ukuran. Dan kami telah menjadikan untukmu di bumi keperluan-keperluan hidup, dan (Kami menciptakan pula) makhluk-makhluk yang kamu sekali-kali bukan pemberi rizki kepadanya. 2. Segala tindakan yang merusak keseimbangan dan kelestarian bumi dan alam pada dasarnya merupakan pelanggaran agama dan berdosa. Dalam surat al-Araf: 56, Allah SWT berfirman:. Janganlah membuat kerusakan di muka bumi (dunia) sesudah direformasi, berdoalah kepada-Nya dengan rasa takut dan rindu; rahmat Allah selalu dekat kepada orang yang berbuat baik. Ungkapan janganlah berbuat kerusakan di muka bumi sesudah direformasi(wa l tufsid fii al-ardl bada ishlhih)dalam surat al-Araf ayat 56 diatas mengandung makna ganda. Pertama, larangan merusak bumi setelah perbaikan (ishlah), yaitu saat bumi ini diciptakan Allah SWT. Makna ini menunjukkan tugas manusia untuk melindungi bumi itu yang sudah merupakan tempat yang baik bagi hidup manusia. Jadi, larangan merusak bumi berkaitan dengan usaha pelestarian lingkungan hidup yang sehat dan alami. Kedua, larangan membuat kerusakan di bumi setelah terjadi perbaikan oleh sesama manusia. Hal ini bersangkutan dengan tugas reformasi aktif manusia untuk berusaha menciptakan sesuatu yang baru, yang baik (shalih) dan membawa kebaikan (mashlahah) untuk manusia. 3. Penguasa (negara) punya kewajiban menjaga dan melindungi hak-hak warganya dan aset-aset alam yang dimiliknya, melalui serangkaian kebijakan berorientasi pada kepentingan bersama (tasharrufu alimm al al-raiyyah manthun bi al-mashlahah). 4. Setiap tindakan yang merugikan kepentingan masyarakat banyak dan negara merupakan pelanggaran hukum dan pelakunya harus dikenakan sanksi hukum dunia (penjara). C. Rumusan Fikih Bumi Agama sebagaimana dikemukakan oleh Mary Evelyn Tucker (2003) mempunyai lima resep dasar untuk menyelamatkan bumi: (1) Reference atau keyakinan yang dapat diperoleh dari teks (kitab-kitab suci) dan kepercayaan yang mereka miliki masing-masing; (2) Respect, penghargaan kepada semua makhluk hidup yang diajarkan oleh agama sebagai makhluk Tuhan; (3) Restrain, kemampuan untuk mengelola dan mengontrol sesuatu supaya penggunaanya tidak mubazir; (4) Redistribution, kemampuan untuk menyebarkan kekayaan; kegembiraan dan kebersamaan melalui langkah dermawan; misalnya zakat, infak dalam Islam; (5) Responsibility, sikap bertanggung jawab dalam merawat kondisi bumi dan lingkungan. Dalam hal ini, kepedulian terhadap bumi amat tergantung pada bagaimana aspek-aspek ajaran agama disajikan dan dieksplorasi dengan bahasa serta idiom-idiom modern dan ekologis. Ketika agama dituntut untuk memecahkan krisis bumi, upaya rekayasa fikih yang aplikatif dalam pemahaman agama harus terus dilakukan. Merancang fikih bumi adalah salah satu upaya praktis menyelamatkan bumi dari eksploitasi semena-mena dan kerusakan, termasuk global warming. Fikih bumi akan mengatakan dengan tegas bahwa orang yang mengabaikan, menyia-nyiakan dan merusak tatanan ekosistem di muka bumi dapat dikatakan sebagai orang yang memerangi Allah dan Rasul-Nya (QS. Al-Maidah:33). Hal ini mengingat tindakan perngrusakan bumi (alam) dikategorikan memerangi

Allah dan Rasul-Nya, dan pelakunya bisa disebut kafir dan harus dihukum. 1. Nilai Teologis Fikih Bumi Dalam pandangan KH. Ali Yafie, setidaknya ada dua ajaran dasar yang merupakan dua kutub di mana manusia hidup di muka bumi. Pertama, rabb al-'alamin. Al-Quran menegaskan bahwa Allah SWT itu adalah Tuhan semesta alam, bukan Tuhan manusia atau sekelompok manusia. Jadi, Tuhan yang kita sembah adalah Tuhan semua alam. Manusia dan alam adalah sama di hadapan Tuhan. Kedua, rahmatan li al-'alamin, artinya manusia diberikan sebagai amanat untuk mewujudkan segala perilakunya dalam rangka kasih sayang terhadap seluruh penghuni bumi. Suri teladan seperti ini secara nyata terekam dalam ritual-ritual agama. Dalam pelaksanaan ibadah haji misalnya, seseorang yang berihram dilarang untuk mencabut (mematikan) pohon dan tidak boleh membunuh binatang. Dengan kata lain, Islam mengajarkan manusia untuk menumbuhkan rasa cinta dan hormat terhadap alam sekitar, baik makhluk hidup ataupun benda mati, layaknya manusia (QS. Al-Anam:38). Begitu juga seluruh alam yang berupa benda mati, harus dilihat sebagai makhluk Tuhan yang sebenarnya dalam keadaan bersujud kepada Allah SWT (QS. Al-Hajj: 18, al-Isra: 44). Muhammad Saw sendiri telah mengajarkan kita tentang rasa sayang dan cinta terhadap semua makhluk lewat sebuah ungkapan yang sangat indah, saat kembali dari Perang Tabuk menuju Madinah. Seraya menunjuk gunung Uhud, beliau berkata, Ini adalah Thabah dan ini adalah Uhud, gunung yang mencintai kita dan kita mencintainya (HR. Muttafaq alaih). Rasulullah Saw juga pernah menegur sahabatnya yang dalam pada saat perjalanan mereka menangkap anak burung yang berada di sarangnya. Merasa kehilangan anak, induk burung itu pun mengiringi terbang di atas rombonganRasullullah Saw. Ketika menyaksikan hal itu, beliau bersabda: Siapakah yang menyusahkan burung itu dan mengambil anaknya? Cepat kembalikan anak burung itu ke induknya. (HR. Abu Daud). Dalam riwayat lain juga disebutkan, Rasulullah Saw pernah dengan lantang menyatakan, Barang siapa menanam pohon hingga berbuah, maka baginya serupa sedekah sampai hari kiamat. Hadis-hadis tersebut menunjukkan adanya sketsa hubungan yang mencerminkan ketulusan yang mendalam tentang kasih dan cinta terhadap lingkungan (alam). Bahkan, hadis yang terakhir disebut menunjukkan spirit mendorong pribadi setiap muslim untuk tidak pernah berhenti melakukan penghutanan (tasyjir) dan reboisasi (takhdir). Ini menunjukkan bahwa manusia secara ekologis merupakan bagian dari bumi (alam). Bumi inilah yang menyediakan berbagai sumber daya alam yang menjadi daya dukung bagi kehidupan manusia dan komponen lainnya. Kelangsungan hidup manusia tergantung dari keutuhan bumi dan isinya. Sebaliknya, keutuhan lingkungan tergantung bagaimana kearifan manusia dalam mengelolanya. Karenanya, bumi tidak semata-mata dipandang sebagai penyedia sumber daya alam serta sebagai daya dukung kehidupan yang harus dieksploitasi, tetapi juga sebagai tempat hidup yang mensyaratkan adanya keserasian dan keseimbangan antara manusia dengan bumi dan lingkungannya.

Dengan demikian, terutusnya manusia sebagai wakil Tuhan di bumi bukanlah memberi kebebasan mutlak baginya untuk berbuat sewenang-wenang dan melihat bumi lebih inferior darinya. Sebaliknya, sebagai wakil Tuhan, manusia ditugaskan memperlakukan alam dengan penuh kasih sayang. Dengan kasih sayang inilah, manusia dan bumi bisa bersanding secara harmonis. Apalagi manusia terbuat dari tanah, dan tanah itu sendiri berasal dari bumi, sehingga antara manusia dan bumi memiliki ketergantungan satu sama lain. Allah SWT berfirman: Q.S. Al-Radu:04, Al-Naba: 30-33). Manusia, bumi, dan makhluk ciptaan lainnya di alam semesta adalah sebuah ekosistem yang kesinambungannya amat bergantung pada moralitas manusia sebagai khalifah di bumi (QS. Al-Baqarah: 30, Al-Jatsiyah:13). Meski ayat-ayat tersebut lebih bersifat antroposentris (manusia se