266

Click here to load reader

5. sesi ekonomi dan kemiskinan

Embed Size (px)

DESCRIPTION

 

Citation preview

Page 1: 5. sesi  ekonomi dan kemiskinan

ISBN 978-602-98295-0-1

Prosiding Seminar Nasional, 13-14 Desember 2010

922

ANALISIS EKONOMI DAMPAK TAMBANG INKONVENSIONAL (TI) TERHADAP PENDAPATAN NELAYAN DI KABUPATEN BANGKA BARAT

(ECONOMIC ANALYSIS OF ILLEGAL MINNING IMPACT TO FISHERMAN

INCOME IN KABUPATEN BANGKA BARAT)

Endang Bidayani

Fakultas Pertanian, Perikanan dan Biologi, Universitas Bangka Belitung

ABSTRACT

Tin production in Kabupaten Bangka Barat (Bangka Belitung Province) generated positive and negative impact to environment. The aim of this research is to analyse impact from illegal minning (TI) activity to fisherman income in Kabupaten Bangka Barat. The data was analysed by analysis of impact methode. The results shows that the illegal minning causes decreasing income of fisherman up to 70% in ten years (1998-2008). The policy of fishery sector development is to stop illegal minning in the fishery area. Keyword : illegal minning, income of fisherman, Kabupaten Bangka Barat

PENDAHULUAN

Provinsi Kepulauan Bangka Belitung (Babel) merupakan salah satu daerah

penghasil timah terbesar di Indonesia dengan pasokan hampir mencapai 40% dari

kebutuhan timah dunia. Selain berdampak positif, aktivitas penambangan timah

juga berdampak negatif, yakni limbah berupa pasir tailing sisa buangan hasil

pencucian pasir timah, dan terbentuknya danau yang istilah lokal Bangka Belitung

disebut kolong atau lobang camuy. Sedangkan dampak pengerukan material

tambang di laut, dapat menurunkan kualitas air, merusak ekosistem terumbu

karang, menyebabkan degradasi fisik habitat pesisir dan abrasi pantai (Anonimous

2009).

Salah satu daerah yang cukup parah dirambah TI adalah wilayah perairan

Kabupaten Bangka Barat, dengan kerusakan terumbu karang mencapai 30%.

(Anonymous 2007). Seiring maraknya aktivitas TI di perairan Kabupaten Bangka

Barat, maka dikhawatirkan akan berpengaruh terhadap pendapatan nelayan, dan

semakin memperburuk kerusakan lingkungan pesisir/pantai yang terjadi. Untuk

mengatasi hal ini, perlu strategi pengelolaan yang sifatnya terpadu dengan

Page 2: 5. sesi  ekonomi dan kemiskinan

ISBN 978-602-98295-0-1

Prosiding Seminar Nasional, 13-14 Desember 2010

923

melibatkan semua stakeholders, sehingga penyusunan strategi pengelolaan

sumberdaya pesisir di Kabupaten Barat tepat sasaran.

Penelitian ini bertujuan untuk menjawab permasalahan, yaitu : 1)

Menganalisis dampak kerusakan lingkungan terhadap sumberdaya ikan; dan 2)

Menghitung penurunan pendapatan nelayan. Adapun kegunaan penelitian ini

diharapkan dapat memberi masukan bagi Pemerintah Kabupaten Bangka Barat

dalam merumuskan kebijakan pengelolaan sumberdaya pesisir di wilayah

tersebut.

METODOLOGI PENELITIAN

Tempat dan Waktu Penelitian

Penelitian ini dimulai pada bulan Juli 2009 sampai dengan Februari 2010 di

wilayah pesisir Tanjung Ular Kabupaten Bangka Barat Provinsi Kepulauan Bangka

Belitung.

Metode Penelitian dan Pengumpulan Data

Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode deskriptif

dengan jenis metode studi kasus. Data yang digunakan dalam penelitian ini

meliputi data primer dan data sekunder. Data primer diperoleh secara langsung di

daerah penelitian melalui wawancara langsung kepada nelaya dan penambang

timah berdasarkan kuesioner. Metode pengambilan sampel/responden yang

digunakan adalah teknik sampling purposive atau sampling pertimbangan dengan

teknik snow ball. Populasi dalam penelitian ini adalah masyarakat (nelayan pemilik

yang mewakili sifat-sifat dari keseluruhan nelayan yang menangkap ikan dan

pengunjung pantai) yang memperoleh dampak langsung dari kegiatan

penambangan timah di laut, dan penambang timah yang memperoleh manfaat

(benefit) dari kegiatan penambangan timah di Perairan Tanjung Ular. Jumlah

sampel dalam penelitian ini adalah 30 orang nelayan dari populasi nelayan

sebanyak 117 orang. Sedangkan data sekunder diperoleh dari literatur dan data

statistik dari DKP Kabupaten Bangka dan DKP Kabupaten Bangka Barat.

Page 3: 5. sesi  ekonomi dan kemiskinan

ISBN 978-602-98295-0-1

Prosiding Seminar Nasional, 13-14 Desember 2010

924

Metode Analisis Data

Analisis Bio-teknik dan Bioekonomi Sumberdaya Perikanan

Dampak TI terhadap pendapatan nelayan diestimasi dengan analisis bio-

teknik menggunakan metode surplus produksi dari Schaefer MB (1954) diacu

dalam (Sobari, Diniah, Widiastuti 2008). Hasil tangkapan maksimum lestari

dilakukan dengan cara menganalisis hubungan antara upaya penangkapan (E)

dengan hasil tangkapan per upaya penangkapan (CPUE) menggunakan

persamaan :

22

Er

KqqKEh

Untuk memperoleh nilai parameter bio-teknik r, q dan k dilakukan dengan

menggunakan model estimasi Algoritma Fox pendukung dari persamaan

Schaefer, sebagai berikut :

1

1tU

zy

2

1tt EE

b

az

qk

2kqr

Analisis bio-ekonomi dilakukan dengan cara menambahkan faktor ekonomi

– faktor harga dan biaya - ke dalam aspek bio-teknik melalui model matematis

Gordon-Schaefer (Sobari, Diniah, Widiastuti 2008)

π = TR – TC

= p.h – c.E

Keterangan : TR = penerimaan total (Rp), TC = biaya total (Rp), π = keuntungan

(Rp), p = harga rata-rata ikan (Rp), h = hasil tangkapan (kg), c= biaya

penangkapan persatuan upaya (Rp), E = upaya penangkapan (trip)

Berdasarkan rumusan di atas, maka berbagai kondisi pola pemanfaatan

sumberdaya statik ikan di Perairan Tanjung Ular disajikan pada Tabel 1.

………………………………………………….……..…..(1)

EcEr

kqEkqp ..

.... 2

2

………..……………....(3)

1

tU

zx

(2)

Page 4: 5. sesi  ekonomi dan kemiskinan

ISBN 978-602-98295-0-1

Prosiding Seminar Nasional, 13-14 Desember 2010

925

Tabel 1. Pola Pemanfaatan Sumberdaya Optimal Statik Ikan di Perairan Tanjung

Ular

Variabel Kondisi

MEY MSY Open Access

Biomassa

(x)

Kqp

cK

..1

2

q

K

2

qp

c

.

Catch (h)

Kqp

c

Kqp

cKr

..1

..1

4

.

4

.Kr

Kqp

c

qp

cr

..1

.

.

Effort (E)

Kqp

c

q

r

..1

2

q

r

2

Kqp

c

q

r

..1

Rente

Ekonomi

(π)

p.q.K.E Ecr

Eq.

.1

p.

q

rc

Kr

2.

4

. )(

.xF

xp

cp

Sumber : (Sobari, Diniah, Widiastuti 2008)

Pengelolaan sumberdaya ikan dalam konteks dinamik, secara matematis

dapat dituliskan dalam bentuk (Sobari dan Diniah 2009):

....………………………...............(4)

dengan kendala:

………………………………….................…(5)

Berdasarkan pertumbuhan mengikuti kaidah Golden Rule, pemecahan

pengelolaan sumberdaya ikan dengan model dinamik dalam bentuk (Sobari dan

Diniah 2009):

dan

),()1(0

max ttt

t

tt

t

h

hx

tttt hxFxx )(1

qx

cp

qx

ch

K

xr

22

1 ...(11)

K

xrx 1 ……………....(6)

F(x) = h =

Page 5: 5. sesi  ekonomi dan kemiskinan

ISBN 978-602-98295-0-1

Prosiding Seminar Nasional, 13-14 Desember 2010

926

Dengam demikian nilai biomassa, hasil tangkapan, Effort dan rente ekonomi

optimal model dinamik dapat dihitung dengan rumus (Sobari, Diniah, Widiastuti

2008):

………………………………………………….(7)

Kpqr

c

rKpq

c

rKpq

cx

811

2

* …14) *

**

qx

hE

Biaya penangkapan dalam kajian bio-ekonomi model Gordon-Schaefer

didasarkan pada asumsi bahwa hanya faktor penangkapan yang diperhitungkan.

Biaya penangkapan rata-rata dapat dihitung dengan rumus berikut (Sobari dan

Diniah 2009):

n

c

c

n

i

i 1 , dan

100

1

1

11

e

tmm

t ji

n

i t

eCPI

CPI

hh

h

E

C

nC

........................(9)

keterangan:

c= biaya nominal rata-rata penangkapan (Rp per tahun ), ci biaya nominal penangkapan responden ke- i (Rp per tahun), n=jumlah responden nelayan (orang), Ce= biaya riil per upaya pada periode penelitian (Rp per unit), C biaya nominal rata-rata penangkapan (Rp per tahun), Et= effort alat tangkap pada waktu t (trip), h= produksi ikan pada waktu t (ton), ∑(hi+hj) = total produksi ikan dari alat tangkap (ton), n= jumlah responden (orang), m= jumlah tahun, CPIe= indek harga pada periode penelitiaan, CPIt= indek harga pada periode t

Harga ikan yang digunakan merupakan harga rata-rata dari responden,

dengan rumus sebagai (Sobari dan Diniah 2009):

n

P

P

n

i

i 1 , dan 100 P

CPI

CPIP

e

t

t

..............................................(10)

dimana:

I = responden ke i , Pt = harga riil ikan pada tahun t (Rp), P = harga nominal ikan berlaku (Rp), CPIe = indek harga pada periode penelitiaan CPIt = indek harga pada periode t

Discount rate merupakan suatu rate untuk mengukur manfaat masa kini

dibandingkan manfaat yang akan datang dari eksploitasi sumberdaya alam.

K

xrcpqx

c

xh

21*

…………………….(8)

Page 6: 5. sesi  ekonomi dan kemiskinan

ISBN 978-602-98295-0-1

Prosiding Seminar Nasional, 13-14 Desember 2010

927

Tingkat discount rate yang digunakan dalam kasus ini adalah discount rate yang

mengacu ketetapan World Bank yakni berkisar 8% hingga 18%.

Standarisasi upaya penangkapan sebagai berikut (Gulland 1983 diacu

dalam (Sobari, Diniah, Widiastuti 2008):

FPI = CPUEi / CPUEs……………………………….………………..…...(11)

dimana:

FPI = Fishing Power Index, CPUEi = CPUE alat tangkap yang akan distandarisasi (kg per trip), CPUEs = CPUE alat tangkap standar (kg per trip) Menghitung upaya standar

fs = FPI x fi ……………………………………………………..................(12)

dimana:

fs = upaya penangkapan hasil standarisasi (trip)

fi = upaya penangkapan yang akan distandarisasi (trip)

Standarisasi biaya yang digunakan dalam penelitian ini mengikuti pola

standarisasi yang digunakan Anna (2003) yang mengacu pada Gulland (1983)

secara matematis dapat ditulis :

Analisis depresiasi dan degradasi yang dilakukan mencakup analisis bio-

teknik dan bio-ekonomi. Analisis bio-ekonomi menggunakan pendekatan model

Algoritma Fox.

Analisis Kerugian Ekonomi

Penghitungan analisis kerugian ekonomi menggunakan data time series,

yakni perhitungan total revenue menggunakan data produksi aktual dan harga riil,

daan total cost yang menggunakan data effort dan riil cost mulai tahun 1998

hingga tahun 2008, untuk mengetahui besarnya rente setiap tahunnya.

Cet =

n

i

tt

ji

itn

t

i

i CPl

hh

h

E

TC

n 1

1

1

1100

1 ................................(13)

Keterangan :

Cet = Biaya per unit standarisasi upaya tangkap pada periode t, TCi = Biaya total untuk

alat tangkap i (i= 1,2), Ei = Total standarisasi upaya tangkap untuk alat tangkap i, ∑(hi

+ hj) = Total produksi ikan, CPlt = Indeks harga konsumen pada periode t, hit =

Produksi alat tangkap i pada periode t, n = Jumlah total alat tangkap

Page 7: 5. sesi  ekonomi dan kemiskinan

ISBN 978-602-98295-0-1

Prosiding Seminar Nasional, 13-14 Desember 2010

928

HASIL DAN PEMBAHASAN

Analisis Dampak Kerusakan Terhadap Sumberdaya Ikan

Analisis dampak kerusakan dilakukan melalui pendekatan analisis

sumberdaya perikanan menggunakan analisis bioekonomi perikanan terhadap

produksi ikan pelagis dan ikan demersal berdasarkan jenis alat tangkapnya, yakni

jaring insang dan bagan, serta bubu dan pancing. Secara agregat jumlah

tangkapan ikan pelagis mengalami penurunan dari tahun 1998 hingga 2008.

Parameter biologi diestimasi dengan menggunakan model Gordon-

Schaefer (1957). Pemanfaatan sumberdaya ikan pelagis dan ikan demersal belum

terjadi overfishing secara biologi (biological overfishing). Hasil estimasi parameter

biologi dapat dilihat pada Tabel 2.

Tabel 2. Hasil Estimasi Parameter Biologi

Parameter Ikan Pelagis Ikan Demersal

R 0,18 0,61

Q 0,000114 0,000218

K 67.306,26 20.999,87

Analisis optimasi statik sumberdaya ikan pelagis menunjukkan bahwa

jumlah effort aktual sebesar 752 unit masih berada di bawah titik optimal, artinya

upaya penangkapan ikan pelagis masih efisien baik secara ekonomi maupun

biologi. Demikian juga dengan hasil tangkapan belum terjadi overfishing. Namun

pada kondisi open access dengan effort sebesar 1.519 unit, dihasilkan produksi

sebesar 541,64 ton mengindikasikan semakin banyak effort maka harvest turun

atau pemborosan (inefisiensi ekonomi). Demikian juga dengan sumberdaya ikan

demersal menunjukkan bahwa upaya penangkapan ikan demersal masih efisien

baik secara ekonomi maupun biologi. Demikian juga dengan hasil tangkapan

aktual sebesar 2.857,60 ton yang masih di bawah optimal pada kondisi MEY

sebesar 3.053,93 ton dan MSY sebesar 3.060,52 ton, atau belum terjadi

overfishing. Namun pada kondisi open access dengan effort sebesar 2.752 unit,

dihasilkan produksi sebesar 127,19 ton mengindikasikan semakin banyak effort

maka harvest turun atau pemborosan (inefisiensi ekonomi).

Page 8: 5. sesi  ekonomi dan kemiskinan

ISBN 978-602-98295-0-1

Prosiding Seminar Nasional, 13-14 Desember 2010

929

Nilai rente sumberdaya ikan pelagis dan ikan demersal pada kondisi open

access adalah nol. Ini berarti jika sumberdaya ikan dibiarkan terbuka untuk setiap

orang, maka persaingan upaya penangkapan pada kondisi ini tidak terkendali,

sehingga mengakibatkan nilai keuntungannya menjadi nol. Dalam pengelolaan

sumberdaya perikanan secara MEY, maka skenario kebijakan yang harus

dilakukan adalah : Meningkatkan upaya penangkapan (effort). Berdasarkan

perhitungan MEY model Fox, jumlah effort yang diperlukan dalam pengelolaan

ikan pelagis berjumlah 759 unit. Demikian juga dengan sumberdaya ikan

demersal, perlu penambahan effort dari 1.255 unit menjadi 1.376 unit atau

sebanyak 121 unit. Penambahan effort ini bisa dilakukan melalui kebijakan

pemberian kredit bunga ringan dari koperasi atau bantuan dana dari pemerintah.

Analisis optimasi dinamik sumberdaya ikan pelagis, menunjukkan bahwa

nilai rente tertinggi dicapai pada discount rate 8% sebesar Rp 672.751,37 juta.

Maka dapat disimpulkan, bahwa kebijakan yang harus dibuat dalam pengelolaan

yang optimal dan lestari pada ikan pelagis adalah penambahan jumlah effort, dari

752 unit menjadi 1.288 unit untuk menghasilkan produksi (harvest) optimal

sebesar 3.465,93 ton. Demikian juga berdasarkan sumberdaya ikan demersal,

menunjukkan bahwa nilai rente tertinggi dicapai pada discount rate 8% sebesar

Rp 1.413.182,92 juta. Maka dapat disimpulkan, bahwa kebijakan yang harus

dibuat dalam pengelolaan yang optimal dan lestari pada ikan demersal adalah

penambahan jumlah effort, dari 1.255 unit menjadi 1.679 unit untuk menghasilkan

produksi (harvest) optimal sebesar 3.415,38 ton dari produksi aktual 2.408,34 ton.

Analisis laju degradasi sumberdaya ikan pelagis menunjukkan bahwa,

belum mengalami degradasi, dengan koefisien tertinggi terjadi tahun 1998 yaitu

sebesar 0,35 dan koefisien terendah tahun 2001 sebesar 0,09. Laju degradasi

cenderung mengalami kenaikan. Demikian juga untuk sumberdaya ikan demersal

dengan nilai koefisien tertinggi terjadi tahun 2002 yaitu sebesar 0,43 dan terendah

pada tahun 2001 dan 2003 sebesar 0,05 dan laju degradasi cenderung fluktuatif.

Analisis laju depresiasi sumberdaya ikan pelagis menunjukkan belum

mengalami depresiasi dengan koefisien tertinggi terjadi pada tahun 1998 yaitu

sebesar 0,35 dan terendah pada tahun 2001 sebesar 0,08, dengan laju depresiasi

yang cenderung mengalami penurunan. Demikian juga sumberdaya ikan demersal

belum mengalami depresiasi dengan koefisien tertinggi terjadi pada tahun 2002

Page 9: 5. sesi  ekonomi dan kemiskinan

ISBN 978-602-98295-0-1

Prosiding Seminar Nasional, 13-14 Desember 2010

930

yaitu sebesar 0,44 dan terendah tahun 2001 dan 2003 sebesar 0,04, dengan laju

depresiasi yang cenderung fluktuatif.

Analisis Kerugian Ekonomi

Nilai rente ikan pelagis secara agregat mengalami penurunan. Rente

tertinggi dicapai pada tahun 1998, yakni sebesar Rp. 8,22 Milyar dan rente

terendah pada tahun 2003 sebesar Rp. 1,24 Milyar. Rente rata-rata tahun 1998-

1999 sebesar Rp. 7,68 Milyar dan menurun pada tahun 2000-2001 menjadi Rp.

3,58 milyar. Pada tahun 2002 menjelang pemekaran wilayah, rente naik menjadi

Rp. 6,63 Milyar dan kembali turun pada kurun waktu 2003-2008 dengan rente

rata-rata sebesar Rp. 5,86 Milyar. Demikian juga untuk rente ikan demersal yang

secara agregat mengalami penurunan. Rente tertinggi dicapai pada tahun 2002

yakni sebesar Rp. 600,92 Milyar dan rente terendah tahun 2003 sebesar Rp.

34,45 Milyar. Rente rata-rata tahun 1998-1999 sebesar Rp. 151,09 Milyar,

dan menurun pada tahun 2000-2001 menjadi Rp. 105,99 Milyar. Pada kurun

waktu 2003-2008 rente rata-rata menurun menjadi Rp. 46,44 Milyar. Untuk itu,

kebijakan pengembangan sektor perikanan yang harus dilakukan adalah

kebijakan penghentian kegiatan pertambangan timah di daerah yang berpengaruh

besar terhadap sumberdaya perikanan.

KESIMPULAN DAN SARAN

Kesimpulan

Berdasarkan analisis data dalam penelitian ini, maka dapat disimpulkan

bahwa : 1) Penambangan timah illegal (TI) apung berdampak negatif bagi

lingkungan pesisir Tanjung Ular Kabupaten Bangka Barat, menyebabkan

terjadinya penurunan kualitas air laut utamanya suhu, salinitas, kecerahan, dan

kecepatan arus yang kurang optimal bagi pertumbuhan terumbu karang sebagai

tempat hidup ikan; dan 2) Kerusakan lingkungan menyebabkan penurunan

pendapatan nelayan ikan pelagis sebesar 24%, dan pendapatan nelayan ikan

demersal hampir mencapai 70% dalam kurun waktu sepuluh tahun (1998-2008)

Page 10: 5. sesi  ekonomi dan kemiskinan

ISBN 978-602-98295-0-1

Prosiding Seminar Nasional, 13-14 Desember 2010

931

Saran

Berdasarkan hasil penelitian dapat disarankan: Kebijakan penghentian

kegiatan pertambangan timah di daerah yang berpengaruh besar terhadap

sumberdaya perikanan.

DAFTAR PUSTAKA

Anonimous. 2007. Kondisi Terumbu Karang di Babel Memprihatinkan. http://www// kompascommunity. com/index.php. 5 September 2007.

Anonymous. 2009. Perairan Dikeruk, Nelayan Terimpit. Kompas. Sabtu 7 Maret

2009 Anna Suzy. 2003. Model Embeded Dinamik Ekonomi Interaksi Perikanan-

pencemaran. Disertasi. Bogor. Sekolah Pascasarjana. IPB Fisher S. at al. 2000. Working with Conflict : Skills et Strategies for Action.

Bookcraft Midsomer Norton, Bath. UK. Lipton DW et al. 1995. Economic Valuation of Natural Resources: A Handbook for

Coastal Resources Policymakers. Decision Analysis Series No.5. Coastal Ocean Office. National Oceanic and Atmospheric Administration. U.S. Department of Commerce.

Sobari Moch Prihatna, Diniah dan Widiastuti. 2008. Kajian Model Bionomi

Terhadap Pengelolaan Sumberdaya Ikan Layur di Perairan Pelabuhan Ratu: Makalah Seminar Nasional Perikanan Tangkap. Bogor. Institut Pertanian Bogor.

Sobari Moch Prihatna dan Diniah. 2009. Kajian Bio-Ekonomi dan Investasi

Optimal Pemanfaatan Sumberdaya Ikan Ekor Kuning di Perairan Kepulauan Seribu. Padang. Jurnal Mangrove Bung Hatta (Siap Terbit)

Page 11: 5. sesi  ekonomi dan kemiskinan

ISBN 978-602-98295-0-1

Prosiding Seminar Nasional, 13-14 Desember 2010

932

PERTAHANKAN PENDAPATAN PEKEBUN KARET DENGAN MENGENDALIKAN PENYAKIT KERING ALUR SADAP

Tri R Febbiyanti dan Lina Fatayati Syarifa

Balai Penelitian Sembawa Pusat Penelitian Karet

ABSTRAK

Dampak fisiologis yang muncul akibat penyadapan terlalu berat pada tanaman karet adalah munculnya penyakit kering alur sadap (KAS). KAS adalah sebagai akibat tidak seimbangnya antara lateks yang dipanen dengan lateks yang terbentuk kembali. Kelainan fisiologis yang ditampakkan tanaman karet yang bergejala KAS ditandai dengan jumlah lateks yang mengalir setelah penyadapan sangat sedikit atau tidak dihasilkan lateks sama sekali, tetapi pohon dan bidang sadap tampak sehat, yang seolah tanpa gangguan. kerugian yang diakibatkan oleh penyakit KAS adalah sebesar Rp 287.300,- per pohon atau sekitar Rp 11.492.000,- per hanca untuk tanaman karet yang disadap dengan sistem 1/2S d2. Sedangkan untuk tanaman karet yang disadap dengan sistem 1/2S d/3 kerugian yang disebabkan penyakit KAS adalah sebesar Rp 364.650,- per pohon atau Rp 14.585.000,- per hanca. Namun apabila tanaman KAS tersebut diobati pada sistem sadap 1/2S d/2, besarnya kerugian yang bisa diselamatkan adalah senilai Rp 267.746,-per pohon maka kerugian yang bisa diselamatkan adalah sebesar Rp 9.103.350,- per hanca (menggunakan pisau sadap manual) dan Rp 272.076,- per pohon dan Rp 9.250.573,- per hanca (menggunakan pisau scrapping). Sedangkan pada sistem sadap sadap 1/2S d/3, besarnya kerugian yang bisa diselamatkan apabila KAS diobati adalah sebesar Rp 345.096,- per pohon atau sebesar Rp 11.733.250,- per hanca (bila menggunakan pisau sadap manual) dan Rp 349.426,- per pohon atau Rp 11.880.473,- per hanca (bila menggunakan pisau scrapping) . Pengendalian KAS dapat melalui deteksi dengan menggunakan jarum tusuk, kemudian kulit yang terserang KAS dikerok sampai batas 3-4 mm dari kambium dengan memakai pisau sadap atau alat pengerok. Kulit yang dikerok langsung dioles dengan menggunakan campuran senyawa oleokimia dan pohon diberikan pupuk ektra untuk mempercepat pemulihan. Penyadapan dapat dilaksanakan kembali setelah tumbuh kulit pulihan selama 1-1,5 tahun, dengan ketebalan minimal 7 mm.

Kata Kunci : Kering alur sadap, karet, analisa ekonomi

PENDAHULUAN

Karet merupakan komoditas ekspor yang sangat strategis bagi

perekonomian Indonesia. Luas perkebunan karet Indonesia pada tahun 2007

sekitar 3,4 juta hektar, 85% diantaranya dikelolah oleh rakyat dengan produksi

2,76 juta ton. Dari produksi tersebut menghasilkan devisa bagi Indonesia sebesar

Page 12: 5. sesi  ekonomi dan kemiskinan

ISBN 978-602-98295-0-1

Prosiding Seminar Nasional, 13-14 Desember 2010

933

US$ 4.868 juta dengan volume ekspor mencapai 2,4 juta ton (Amypalupy, 2009).

Karet juga berperan penting dalam perekonomian nasional, yaitu sebagai sumber

pendapatan lebih dari 10 juta petani dan memberikan kontribusi yang sangat

berarti dalam menyerap tenaga kerja (GAPKINDO, 2005).

Selain itu, perkebunan karet berperan dalam mendorong pertumbuhan

sentra-sentra ekonomi baru di wilayah-wilayah pengembangan, dan berfungsi

sebagai pelestari lingkungan. Andalan perkebunan karet di Indonesia bertumpu

pada perkebunan rakyat, yang mencakup areal sekitar 83% (> 3 juta ha) dari total

areal perkebunan karet Indonesia (3,5 juta ha), dan memberikan kontribusi sekitar

76% (2,2 juta ton) dari total produksi karet alam nasional (2,8 juta ton) pada tahun

2008 (Tabel 1).

Tabel 1. Luas areal dan produksi perkebunan karet seluruh Indonesia

Tahun dan jenis pengusahaan

Luas areal (Ha) Produksi (Ton) Rerata produksi (Kg/Ha)

Rakyat/smallholders 3.000.461 2.241.803 929

Negara/goverment 239.543 285.871 1.384

Swasta/Private 276.791 310.982 1.635

Sumber : Statistik Perkebunan Indonesia (2007)

Pada saat ini, permintaan karet dunia terus meningkat, pada tahun 1999,

konsumsi karet alam di pasar dunia 6.650 juta ton, meningkat sampai 8.620 juta

ton pada 2005 (International Rubbeer Study Group, 2006). Sementara itu harga

karet fob SIR 20 juga meningkat dari US $ 510 per ton pada tahun 2001 menjadi

US $ 2.340 per ton pada Juni 2006 (Bisnis Indonesia, 2006-2006; International

Rubber Study Group, 2006; Gapkindo, 2006). Peningkatan konsumsi terutama

disebabkan oleh adanya permintaan dalam jumlah besar dari negara-negara

industri karet di pasar tradisional (Amerika Serikat, Uni Eropa dan Jepang) dan

meningkatnya permintaan di pasar baru (China, India, Rusia dan Brasilia), tarikan

peningkatan pertumbuhan ekonomi global dan kesejahteraan negara-negara di

dunia, dan peningkatan harga minyak bumi dan karet sintetis. Cina misalnya,

diperkirakan masih akan terus meningkatkan konsumsi karet alamnya menjadi

sebesar 4 juta ton per tahun pada tahun 2020 (Pakpahan, 2004; Sinung, 2007 ).

Prospek karet alam yang diperkirakan masih akan sangat terbuka ini

mengakibatkan harga karet meningkat secara drastis. Peningkatan ini

memberikan keuntungan yang berlipat bagi para pekebun dan petani karet.

Keuntungan karet ini meningkatkan taraf hidup dan keinginan yang berlebih dari

Page 13: 5. sesi  ekonomi dan kemiskinan

ISBN 978-602-98295-0-1

Prosiding Seminar Nasional, 13-14 Desember 2010

934

petani. Selanjutnya, untuk memenuhi setiap keinginan tersebut, para petani

mengeksploitasi tanaman karet dengan melakukan penyadapan tidak sesuai

dengan norma yang ditentukan, tanpa memperhatikan kesehatan dan

kemampuan tanaman.

Penyadapan merupakan suatu tindakan membuka pembuluh lateks,

supaya lateks yang terdapat di dalam tanaman karet keluar. Cara penyadapan

adalah dengan mengiris kulit batang sebesar 2mm dengan kedalam 1 mm dari

kambium. Penyadapan yang terlalu berat mengakibatkan tanaman tidak mampu

untuk meregenerasi/mensintesis lateks. Selain itu, pemakaian kulit yang

berlebihan mengakibatkan pemulihan kulit bidang sadap tidak normal, yang

berdampak pada produksi dan fisiologis tanaman.

Dampak fisiologis yang muncul akibat penyadapan terlalu berat adalah

munculnya penyakit kering alur sadap (KAS). KAS adalah sebagai akibat tidak

seimbangnya antara lateks yang dipanen dengan lateks yang terbentuk kembali

(Jacob et al., 1994; Dian et al., 1995). Kelainan fisiologis yang ditampakkan

tanaman karet yang bergejala KAS ditandai dengan jumlah lateks yang mengalir

setelah penyadapan sangat sedikit atau tidak dihasilkan lateks sama sekali, tetapi

pohon dan bidang sadap tampak sehat, seolah tanpa gangguan. Bagian kulit

yang kering akan berubah warnanya menjadi cokelat karena pada bagian ini

terbentuk gum (blendok) (Semangun, 2004)

Kasus KAS di perkebunan Indonesia mencapai 5 – 25 %, kerugian yang

disebabkan oleh penyakit ini lebih dari 1,7 trilyun pertahun (Siswanto, 1997). KAS

menjadi salah satu penyakit yang sangat penting di perkebunan karet Indonesia.

Banyak cara dapat dilakukan untuk mengendalikan dan mencegah

munculnya penyakit KAS. Pengendalian akan sangat efektif dan tepat sasaran jika

teknik pengendalian dilakukan secara terpadu baik preventif maupun kuratif.

Tulisan ini memberikan informasi mengenai kerugian ekonomi, teknik pengamatan

penyakit kering alur sadap di lapangan serta cara pengendaliannya.

FAKTOR YANG MEMPENGARUHI KEJADIAN KAS DI PERKEBUNAN RAKYAT

KAS adalah penyakit fisiologis akibat penyadapan yang terlalu berat,

apalagi jika disertai dengan penggunaan bahan perangsang lateks ethephon, klon

Page 14: 5. sesi  ekonomi dan kemiskinan

ISBN 978-602-98295-0-1

Prosiding Seminar Nasional, 13-14 Desember 2010

935

yang berproduksi tinggi, tanaman yang berasal dari seedling dan tanaman yang

sedang membentuk daun baru (Situmorang dan Budiman, 1984).

Penggunaan sistem eksploitasi yang berlebihan merupakan faktor utama

penyebab tingginya kejadian penyakit KAS. Eksploitasi berat ini terutama

disebabkan oleh kondisi sosial-ekonomi-budaya petani dalam pemenuhan

kebutuhan hidup.

Kurangnya pengetahuan petani tentang budidaya tanaman karet dan

pengetahuan mengenai penyakit KAS, merupakan faktor yang menyebabkan

petani tidak memperhatikan kesehatan tanaman. Selanjutnya, kurangnya

kesadaran petani terhadap pentingnya pengendalian penyakit juga merupakan

penyebab tingginya kejadian penyakit KAS di lapangan. Selain itu, terbatasnya

pendapatan petani untuk melaksanakan pengendalian penyakit, juga

mempengaruhi tingginya kerugian ekonomi akibat penyakit KAS.

Tabel 2. Faktor sosial-ekonomi-budaya yang mempengaruhi perkembangan kekeringan alur sadap

No

Tingkat kerawanan penyakit

Tingkat kemajuan petani

Kondisi sosial-ekonomi- budaya

Dampak

kondisi sosial-ekonomi-budaya

1 Rawan Kurang maju 1. Sarana/penyuluh tidak tersedia PTP/Swasta/PPKR,

2. Pengetahuan kurang, 3. Kesadaran kurang 4. Pendapatan rendah

Penyadapan intensitas tinggi

Akibatnya Intensitas penyakit tinggi

2 Sedang Agak maju 1. Sarana/penyuluh kadang tersedia

2. Pengetahuan sedang 3. Kesadaran mulai ada 4. Pendapatan cukup

Penyadapan intensitas tinggi mulai dikurangi

Akibatnya Intensitas penyakit mulai berkurang

3 Ringan Maju 1. Sarana/penyuluh tersedia 2. Pengetahuan tinggi, 3. Kesadaran cukup 4. Pendapatan cukup-tinggi

Penyadapan sesuai dengan anjuran

Akibatnya Intensitas penyakit rendah

Page 15: 5. sesi  ekonomi dan kemiskinan

ISBN 978-602-98295-0-1

Prosiding Seminar Nasional, 13-14 Desember 2010

936

Pada kondisi seperti tersebut, peran kelembagaan yang terkait sangat diperlukan

untuk memberikan pengetahuan dan wawasan akan pentingnya penjagaan

kesehatan tanaman dan pelaksanaan sistem budidaya yang sesuai anjuran,

karena intensitas searangan KAS akan meningkat bersama-sama dengan

meningkatnya intensitas sadapan dan pemakaian stimulan yang tidak terkendali.

PENGENDALIAN PENYAKIT KAS

Sebaiknya KAS ditanggulangi secara terpadu baik secara preventif

maupun kuratif. Tindakan tersebut dapat meliputi mengetahui sifat klon, sistem

eksploitasi yang tepat, pemeliharaan tanaman dan pengobatan tanaman yang

sakit.

Mengetahui sifat klon sangat bermanfaat untuk mencegah terjadinya KAS.

Ada klon yang rentan terhadap KAS yaitu BPM 1, PB 235, PB 260, PB 330, PR

261 dan RRIC 100 dan ada klon yang tahan yaitu PB 237, PR 107 dan GT 1.

Terhadap klon yang rentan KAS tersebut dihindari sistem penyadapan berlebihan

(Situmorang dan Budiman, 2003).

Salah satu upaya yang sangat penting mencegah terjadinya KAS adalah

melakukan sistem eksploitasi yang tepat. Untuk klon berproduksi tinggi sebaiknya

digunakan sistem eksploitasi rendah misalnya ½ S d/3, ½ S d/2 atau ½ S d 3 ET

1.5 % Ga 1.0.9/y(m) sedang untuk klon berproduksi sedang digunakan sistem

ekploitasi tinggi misalnya ½ S d/3 ET 2.5% Ga 1.0.18/y/(2w) (Sumarmadji et al.,

2004). Pemakaian kulit diusahakan sehemat mungkin, penyadapan yang

memakai kulit secara berlebihan tidak akan menaikkan produksi, bahkan

memperkecil produksi secara kumulatif. Untuk masing-masing sistem sadap

ternayata ada jumlah konsumsi kulit yang optimal bagi produksi karet. Norma

baku pemakaian kulit secara umum bervariasi sesuai dengan frekuensi sadapan

(Tabel 2).

Di perkebunan karet rakyat dianjurkan ½ S d/2 tanpa penggunaan ethrel.

Penggunaan ethrel tidak dianjurkannya pada petani karet karena dikhawatirkan

penggunaannya dilakukan tidak sesuai atau berlebihan yang akan berakibat

tingginya kejadian KAS.

Page 16: 5. sesi  ekonomi dan kemiskinan

ISBN 978-602-98295-0-1

Prosiding Seminar Nasional, 13-14 Desember 2010

937

Tabel 4. Pemakaian kullit yang terbaik sesuai dengan frekunsi sadap (sadap bawah)

Frekunsi sadap Pemakaian kulit

Per sadap (mm) Per bulan (cm) Per tahun (cm)

d/2 1,2 1,8 22

d/3 1,6 1,6 19

d/4 1,8 1,3 15

Sumber : Siagian et al. 2009

Bila terjadi penurunan kadar karet kering yang terus menerus pada lateks yang

dipungut serta peningkatan jumlah pohon yang terkena kering alur sadap sampai

10% pada seluruh areal, maka penyadapan diturunkan intensitasnya dari 1/2S d/2

menjadi 1/2S d/3 atau 1/2S d/4, dan penggunaan ethrel dikurangi atau dihentikan

untuk mencegah agar pohon-pohon lainnya tidak mengalami kering alur sadap

(Situmorang dan Budiman, 2003).

Pemeliharaan tanaman yaitu penyiangan gulma, pemupukan dan

pengendalian penyakit sesuai anjuran perlu dilakukan untuk mempertahankan

kondisi kesuburan tanaman. Pemeliharaan tanaman ini merupakan pendekatan

pengendalian KAS secara preventif.

Pengobatan tanaman dapat dilakukan dengan pengerokan (bark scraping)

pada pohon yang terserang KAS. Setelah pohon diindikasikan terkena KAS

melalui deteksi dini, penyebaran KAS ditentukan pada panel dengan

menggunakan jarum tusuk. Kulit yang terkena KAS diisolasi dengan mengerok

keliling sampai batas kambium. Kemudian panel yang kering dikerok. Pengerokan

kulit yang kering dilakukan sampai batas 3-4 mm dari kambium dengan memakai

pisau sadap atau alat pengerok. Kulit yang dikerok dioles dengan bahan perangsang

pertumbuhan kulit formulasi oleokimia sekali satu bulan dengan 3 ulangan. Balai

penelitian Sembawa telah menemukan formula untuk menyembukan penyakit kering

alur sadap yaitu Antico F 96. Formula ini mengandung Phytolipid Refinery Oil dan

fungisida terpilih 1,0 5 v/v dan Plant Growth Regulator 250 ppm. Antico F 96 ini juga

dapat mempercepat penyembuhan luka-luka kambium akibat kesalahan

penyadapan.

Page 17: 5. sesi  ekonomi dan kemiskinan

ISBN 978-602-98295-0-1

Prosiding Seminar Nasional, 13-14 Desember 2010

938

Pengobatan dengan cara ini pada pohon yang terserang KAS cukup efektif,

sehingga setelah satu tahun, pohon sudah dapat disadap dengan ketebalan kulit

7,0 – 7,8 mm dan produksi lateks 24 – 44 g/pohon/sadap (Siswanto et al. 2004).

ANALISIS EKONOMIS KERUGIAN DAN PENYEMBUHAN KAS PADA TANAMAN KARET

Pada tulisan ini, dihitung kerugian yang diakibatkan oleh KAS dan biaya

pengobatannya pada klon karet PB 260 yang disadap dengan sistem sadap 1/2S

d/2 dan 1/2S d/3. Asumsi berdasarkan hasil penelitian terdahulu yang mana

produksi lateks yang dihasilkan dengan sistem sadap 1/2S d/2 adalah 26 g/p/s

dan dengan sistem sadap 1/2S d/3+ ET2,5% adalah 33 g/p/s (Sumarmadji, 2000

dalam Sumarmadji, et al., 2005).

Apabila diasumsikan bahwa konsumsi kulit sebesar 2 mm per kali sadap,

maka setiap sentimeter kulit pohon dapat menghasilkan: 5 x 26 g = 130 g karet

yang disadap dengan sistem 1/2S d/2 atau senilai (0,130 kg x Rp 35.000) = Rp

4.550,- dan akan menghasilkan : 5 x 33 g = 165 g karet yang disadap dengan

sistem 1/2S d/3 atau senilai ( 0,165 kg x Rp 35.000,-) = Rp 5.775,-. Rincian

perhitungan kerugian dan penyembuhan KAS pada tanaman karet dapat dilihat

pada Tabel 5.

Dari Tabel 5. terlihat bahwa kerugian yang diakibatkan oleh penyakit KAS

adalah sebesar Rp 591.500,- per pohon atau sekitar Rp 23.660.000,- per hanca

untuk tanaman karet yang disadap dengan sistem 1/2S d2. Sedangkan untuk

tanaman karet yang disadap dengan sistem 1/2S d/3 kerugian yang disebabkan

penyakit KAS adalah sebesar Rp 750.750,- per pohon atau Rp 30.030.000,- per

hanca.

Apabila tanaman yang terserang KAS tersebut diobati maka diperlukan biaya

sebesar Rp 19.554,- per pohon atau Rp 782.177,- per hanca (bila digunakan pisau

sadap manual). Sedangkan bila pengobatannya menggunakan pisau scrapping

hanya diperlukan biaya sebesar Rp 15.224,- per pohon atau Rp 608.973,-.per

hanca.

Tabel 5. Kerugian akibat penyakit KAS pada tanaman karet dan biaya penyembuhannya

Page 18: 5. sesi  ekonomi dan kemiskinan

ISBN 978-602-98295-0-1

Prosiding Seminar Nasional, 13-14 Desember 2010

939

Uraian Per pohon Per hanca

1/2S d/2 1/2S d/3 1/2S d/2 1/2S d/3 KERUGIAN AKIBAT KAS A. Produksi 1. Per kali sadap - Produksi (gram) 26 33 1,040 1,320 - Produksi (Kg) 0.026 0.033 1.040 1.320 2. Per panel - Produksi (Kg) 17 21 676 858 B. Harga karet (Rp) 35,000 C. Kerugian 1. Per kali sadap - Rp/Kg 910 1,155 36,400 46,200 2. Per panel - Rp/Kg 591,500 750,750 23,660,000 30,030,000 BIAYA PENYEMBUHAN Pisau Sadap Manual A. Tenaga Kerja 1. Bark scrapping (Rp) 6,186 6,186 247,433 247,433 2. Pengolesan (Rp) 619 619 24,743 24,743 B. Bahan Antico-F96 (Rp) 12,750 12,750 510,000 510,000 Total Biaya (Rp) 19,554 782,177 782,177 Pisau scrapping A. Tenaga Kerja 1. Bark scrapping (Rp) 1,856 1,856 74,230 74,230 2. Pengolesan (Rp) 619 619 24,743 24,743 B. Bahan Antico-F96 (Rp) 12,750 12,750 510,000 510,000 Total Biaya (Rp) 15,224 15,224 608,973 608,973 KERUGIAN YANG DISELAMATKAN Dengan Pisau Sadap (Rp) 571,946 731,196 19,446,150 24,860,650 Dengan Pisau Scrapping (Rp) 576,276 735,526 19,593,373 25,007,873

Asumsi :

1 hanca : 400 pohon Tingkat serangan KAS = 10 %

1 panel : 130 cm (konsumsi kulit 2 mm /kali sadap) = 650 kali sadap Harga karet : Rp 35.000,-/Kg (harga karet kering di tingkat pabrik per November 2010) Tenaga kerja bark scrapping apabila menggunakan : - pisau sadap secara manual : 1 HOK = 6 pohon - pisau scrapping : 1 HOK = 20 pohon Tenaga kerja aplikasi bahan : 1 HOK = 60 pohon Upah tenaga kerja adalah Rp 37.115,- per HOK (UMR tahun 2010) Harga bahan Antico-F 96 adalah Rp 85.000,- per liter (dosis pengobatan = 150 ml per 3 kali aplikasi)

Page 19: 5. sesi  ekonomi dan kemiskinan

ISBN 978-602-98295-0-1

Prosiding Seminar Nasional, 13-14 Desember 2010

940

Namun dengan pengobatan menggunakan Antico F-96 tersebut pada sistem

sadap 1/2S d/2, besarnya kerugian yang bisa diselamatkan adalah senilai Rp

571.946,-per pohon atau bila diasumsikan dalam tingkat kesembuhan KAS dalam

satu hamparan sebesar 85% maka kerugian yang bisa diselamatkan adalah

sebesar Rp 19.446.150,- per hanca (menggunakan pisau sadap manual) dan Rp

576.276,- per pohon dan Rp 19.593.373,- per hanca (menggunakan pisau

scrapping). Sedangkan pada sistem sadap sadap 1/2S d/3, besarnya kerugian

yang bisa diselamatkan dengan menggunakan Antico F96 adalah sebesar Rp

731.196,- per pohon atau bila diasumsikan dalam tingkat kesembuhan KAS dalam

satu hamparan sebesar 85% maka kerugian yang bisa diselamatkan adalah

sebesar Rp 24.860.650,- per hanca (bila menggunakan pisau sadap manual) dan

Rp 735.526,- per pohon atau Rp 25.007.873,- per hanca (bila menggunakan pisau

scrapping) .

Dengan menggunakan pisau sadap untuk bark scrappingnya, maka biaya

dari pengobatan KAS per pohon tersebut sudah dapat dikembalikan dengan cara

menyadap pindah panel ke panel sadap yang masih normal (tanpa

pengistirahatan pohon) dimulai 3 bulan setelah aplikasi Antico-F96 ke-1, yaitu

sepanjang 4,3 cm (Rp 19.554/Rp 4.550,- x 1 cm) atau penyadapan selama 1,5

bulan penyadapan (pada sistem sadap 1/2S d/2) dan sepanjang 3,4 cm (Rp

19.554/Rp 5.775,- x 1 cm) atau penyadapan selama 1,7 bulan penyadapan

(pada sistem sadap1/2S d/3). Dengan demikian jika panjang panel KAS yang

diobati sekitar 130 cm per pohon, maka sekitar 125 cm panjang panel per pohon

(pada 1/2S d/2) dan 126 cm panjang panel per pohon (pada 1/2S d/3) merupakan

keuntungan yang bisa diselamatkan dibandingkan jika pohon tidak diobati.

Apabila menggunakan pisau sadap scrapping untuk bark scrappingnya,

maka biaya dari pengobatan KAS per pohon tersebut sudah dapat dikembalikan

dengan cara menyadap pindah panel ke panel sadap yang masih normal (tanpa

pengistirahatan pohon) dimulai 3 bulan setelah aplikasi Antico-F96 ke-1, yaitu

sepanjang 3,3 cm (Rp 15.224,-/Rp 4.550,- x 1 cm) atau penyadapan selama 1

bulan penyadapan (pada sistem sadap 1/2S d/2) dan sepanjang 2,6 cm (Rp

15.224,-/Rp 5.775,- x 1 cm) atau penyadapan selama 1,3 bulan penyadapan

(pada sistem sadap1/2S d/3).

Page 20: 5. sesi  ekonomi dan kemiskinan

ISBN 978-602-98295-0-1

Prosiding Seminar Nasional, 13-14 Desember 2010

941

Hal ini berarti jika panjang panel KAS yang diobati sekitar 130 cm per pohon,

maka sekitar 126 cm panjang panel per pohon (pada 1/2S d/2) dan 127 cm

panjang panel per pohon (pada 1/2S d/3) merupakan keuntungan yang bisa

diselamatkan dibandingkan jika pohon tidak diobati.

PENUTUP

Penyakit kering alur sadap (KAS) merupakan penyakit penting di perkebunan

karet Indonesia.

Pengobatan tanaman KAS dapat dilakukan dengan pengerokan (bark

scraping) sedalam 3-4 mm kambium dan segera dilakukan pengolesan

dengan menggunakan Antico F96.

kerugian yang diakibatkan oleh penyakit KAS adalah sebesar Rp 287.300,-

per pohon atau sekitar Rp 11.492.000,- per hanca untuk tanaman karet

yang disadap dengan sistem 1/2S d2.

Pada tanaman karet yang disadap dengan sistem 1/2S d/3 kerugian yang

disebabkan penyakit KAS adalah sebesar Rp 364.650,- per pohon atau Rp

14.585.000,- per hanca.

Apabila tanaman KAS tersebut diobati pada sistem sadap 1/2S d/2,

besarnya kerugian yang bisa diselamatkan adalah senilai Rp 267.746,-per

pohon maka kerugian yang bisa diselamatkan adalah sebesar Rp

9.103.350,- per hanca (menggunakan pisau sadap manual) dan Rp

272.076,- per pohon dan Rp 9.250.573,- per hanca (menggunakan pisau

scrapping).

Pada sistem sadap sadap 1/2S d/3, besarnya kerugian yang bisa

diselamatkan apabila KAS diobati adalah sebesar Rp 345.096,- per pohon

atau sebesar Rp 11.733.250,- per hanca (bila menggunakan pisau sadap

manual) dan Rp 349.426,- per pohon atau Rp 11.880.473,- per hanca (bila

menggunakan pisau scrapping) .

DAFTAR PUSTAKA

Amypalupy, 2007. 100 Langka Bijak Usahatani Karet. Balai Penelitian Sembawa-Pusat Penelitian Karet. Palembang.

Basuki. 1982. Penyakit dan gangguan pada tanaman karet. Pusat Penelitain dan

Pengembangan Perkebunan Tanjung Morawa, Tanjung Morawa. 125 hal.

Page 21: 5. sesi  ekonomi dan kemiskinan

ISBN 978-602-98295-0-1

Prosiding Seminar Nasional, 13-14 Desember 2010

942

Budiman, A. 2001. Penanggulangan gejala mati kulit pada tanaman karet di perkebunan rakyat Kalimantan Selatan. Balai Penelitian Sembawa. Palembang.

Dian, K., Sangare A., Diopoh J.K., 1995. Evidence for specific variations of protein pattern during tapping panel dryness condition development in Hevea brasiliensis. Plant Science, 105 : 207 - 216.

Gomez J.B., Hamzah S., Ghandimathi H., & Ho L.H., 1990. The brown bast syndrome of Hevea : Part II. Histological observations. J. Nat. Rubb. Res., 5 (2) : 90 - 101.

Jacob, J.L., J.C. Prevot & R. Lacrotte (1994). L'encoche seche chez Hevea brasilienis Plantations, recherche, developpement, CIRAD FRANCE, 15 - 21.

. Husairis, K., Sitompul, J., Ginting K., Gunawan, Sipayung, T.V dan Siswanto.

1999. dampak pemulihan bidang sadap terserang KAS dengan aplikasi NoBB di PT. Perkebunan Nusantara III. Pros. Pertemuan. Teknis Biotek. Perkebunan untuk praktek, Bogor 5-6 Mei 1999, 19 – 30.

PT. Perkebunan Nusantara VII. 1994. Vademecum budidaya kelapa sawit dan

karet. PTPN VII. Bandar Lampung Revli, N.R. 2004. Pertambahan tebal kulit pulihan dan produksi beberapa klon

karet (Hevea brasiliensis Muell.Agr) anjuran yang bergejala kering alur sadap setelah perlakuan formulasi oleokimia. Fakultas pertanian. Universitas Sriwijaya. Indralaya.

Siswanto. Sumarmadji dan Aron Situmorang. 2004. Status pengendalian

penyakit kering alur sadap tanaman karet. Prosiding Pertemuan Teknis ‖Strategi Pengelolaan Penyakit Tanaman Karet untuk Mempertahankan Potensi Produksi Mendukung Indistri Perkaretan Indonesia Tahun 2020. Palembang, 6-7 Oktober 2004.87-96

Situmorang A dan Budiman A. 2003. Penyakit tanaman karet dan pengendaliannya. Balit Sembawa Pusat Penelitian Karet.

Soepadmo. 1980. Suatu pemikiran tentang pengendalian penyakit daun pada tanaman karet. BPP Bogor. Menara Perkebunan. Bogor. 48 (5): 147-154

Sumarmadji. 2001. Pengendalian kering alur sadap dan nekrosis pada kulit tanaman karet. Warta Pusat Penelitian Karet, 2001, 20 (1-3) : 76 - 88

Sumarmadji, U. Junaidi, Karyudi, T.H.S. Siregar, and Island Boerhendhy. 2004.

Rubber exploiation system for Indonesia recommended clones based latex diagnosis. Proc. Int. Rubber Conf. and Product Exhibition 2004, 184-196.

Page 22: 5. sesi  ekonomi dan kemiskinan

ISBN 978-602-98295-0-1

Prosiding Seminar Nasional, 13-14 Desember 2010

943

PENDAPATAN USAHATANI DAN KEMAKMURAN: TERKAITKAH SECARA FUNGSIONAL?

Muhammad Yazid

Fakultas Pertanian Universitas Sriwijaya, Zone E, Kampus Unsri Indralaya,

Jalan Palembang-Prabumulih, Indralaya

ABSTRAK

Walaupun kenaikan produksi pertanian terus berlanjut, pendapatan petani masih tergolong rendah. Hal ini diduga terkait dengan rendahnya pertumbuhan sektor pertanian dibandingkan sektor non-pertanian. Sehingga kemakmuran rumah tangga petani masih tertinggal dibandingkan rumah tangga non-pertanian. Kemakmuran rumah tangga petani diharapkan meningkat sejalan dengan peningkatan produksi. Pada pertanian pasang surut, keterkaitan antara kemakmuran dan produksi pertanian penting dipahami mengingat pertanian adalah satu-satunya pencaharian bagi sebagian besar rumah tangga di wilayah ini. Penelitian ini mencoba menjelaskan keterkaitan peningkatan pendapatan usahatani dengan kemakmuran keluarga petani di pertanian pasang surut. Kajian ini dilakukan melalui survei pada wilayah pertanian pasang surut Telang yang merupakan salah satu sentra produksi beras di Sumatera Selatan. Sampel kajian meliputi 500 keluarga tani. Hasil kajian menunjukkan bahwa beberapa indikator kemakmuran petani seperti kualitas rumah (lantai, dinding dan atap) terkait dengan tingkat pendapatan usahatani. Selain itu, rumah tangga petani yang berpendapatan usahatani lebih tinggi cenderung memiliki akses yang lebih baik terhadap sumber air bersih dan memiliki fasilitas pembuangan. Pengujian satistik membuktikan bahwa pendapatan usahatani dan kemakmuran rumah tangga petani di lahan pasang surut terkait secara signifikan. Kata kunci: pendapatan usahatani, kemakmuran, pasang surut

PENDAHULUAN

Pembangunan pertanian bertujuan untuk meningkatkan kemakmuran

ekonomi dan sosial petani. Di satu sisi, peningkatan kemakmuran tersebut

hendak dicapai melalui peningkatan produksi dan perbaikan nilai tukar produk

pertanian. Disisi lain, peningkatan tersebut akan membuka akses yang lebih baik

terhadap perumahan, pendidikan, layanan kesehatan, dan lain-lain. Namun status

ekonomi petani masih jauh di bawah mata pencaharian lainnya. Tidak hanya

pendapatan perkapita petani yang rendah, tetapi pertumbuhan pendapatan sektor

pertanian juga relatif rendah daripada sektor lainnya.

Page 23: 5. sesi  ekonomi dan kemiskinan

ISBN 978-602-98295-0-1

Prosiding Seminar Nasional, 13-14 Desember 2010

944

Usahatani di lahan pasang surut dipandang kurang produktif dibandingkan

dengan usahatani di lahan beririgasi baik di dataran rendah ataupun di dataran

tinggi (Simatupang and Rusastra, 2003). Hal ini disebabkan tidak hanya oleh

faktor fisik lahan, tetapi juga aspek agro-klimat yang mengakibatkan usahatani di

lahan pasang surut menghadapi lebih banyak kendala daripada lahan beririgasi di

dataran rendah atau tinggi. Mayoritas lahan pertanian di wilayah pasang surut

hanya dapat ditanami tanaman pangan semusim sekali dalam setahun, yaitu pada

musim penghujan. Pada musim penghujan, kebutuhan air tanaman dapat

dipenuhi oleh air hujan. Pada beberapa lokasi di pasang surut, musim tanam

kedua dapat dilakukan segera setelah panen musim pertama dengan

memanfaatkan curah hujan yang mulai menurun dan dicukupi oleh sistem irigasi

pasang surut. Namun, pola tanam di lahan pasang surut tetap terbatas dan

produktivitasnya pun masih lebih rendah dibandingkan dengan lahan irigasi.

Memahami kendala-kendala di atas, patut dipertanyakan bagaimanakah

pendapatan usahatani di lahan pasang surut dapat mendukung upaya petani

untuk mensejahteraan petani dan keluarganya. Karena itu kajian ini mencoba

menafsirkan kondisi pendapatan usahatani petani dengan beberapa indikator

kesejahteraan ekonomi keluarga petani yang teramati saat ini.

PENGEMBANGAN PERTANIAN DI LAHAN PASANG SURUT

Indonesia memiliki lahan rawa (lowlands) yang luasnya diperkirakan 33,4

juta ha. Lahan rawa yang luas dijumpai di pulau Sumatera, Kalimantan, Sulawesi,

dan Papua. Dari 33,4 juta ha tersebut, sekitar 60 persen (20,1 juta ha) merupakan

lahan pasang surut (Direktorat Rawa dan Pantai, 2007). Sifat alamiah lahan rawa,

di antaranya kondisi tanah yang fragile, water-logging, tergenang periodik hingga

permanen, dan nilainya terhadap lingkungan, menyebabkan lahan rawa tidak

direkomendasikan untuk pembangunan. Namun, karena pengaruh pasang surut

air yang melimpahkan hara, lahan rawa dinilai sebagai salah satu sumberdaya

lahan yang terbaik untuk pertanian (Ali, Suryadi, Schultz, 2002). Pengembangan

pertanian ke lahan rawa menjadi pilihan karena konversi lahan beririgasi untuk

kebutuhan non-pertanian. Sehingga, pengembangan lahan pasang surut untuk

aktivitas pertanian sebagai pilihan untuk mengatasi tekanan konversi lahan di

Page 24: 5. sesi  ekonomi dan kemiskinan

ISBN 978-602-98295-0-1

Prosiding Seminar Nasional, 13-14 Desember 2010

945

Jawa dan Bali sekaligus mencapai tingkat produksi beras yang cukup haruslah

direncanakan dan dikelola dengan tepat dengan memperhatikan semua alternatif.

Ini bermakna bahwa pengembangan lahan pasang surut untuk pertanian haruslah

memperhatikan keseimbangan antara kebutuhan masyarakat, dampaknya

terhadap lingkungan dan terakomodasinya pembangunan berkelanjutan (Schultz,

2007). Kata kunci untuk mencapainya adalah pengelolaan air yang tepat

(agricultural water management).

Pengembangan lahan pasang surut untuk pertanian dilaksanakan melalui

proses reklamasi. Reklamasi lahan pasang surut di Indonesia telah mencapai

luasan 1,8 juta ha. Seluas 692.000 ha terdapat di Sumatra dan 373.000 ha di

antaranya berlokasi di Provinsi Sumatera Selatan. Walaupun wilayah yang telah

direklamasi luas, pemanfaatannya untuk kegiatan produksi pertanian masih

rendah. Saat ini hanya sekitar 30 persen lahan yang cocok untuk padi dapat

berproduksi di atas 5 ton per ha. Selain itu, haya sekitar 10 persen saja lahan

yang dapat ditanami dua hingga tiga kali per tahun (IP 200 – 300). Hal ini

disebabkan oleh kurangnya pemahaman petani terhadap karakteristik agro-fisika

dan kimia lahan rawa dan terbatasnya penerapan sistem pengelolaan air.

Tujuan utama pengembangan lahan pasang surut di Indonesia bersumber

dari tujuan ganda untuk mendukung program transmigrasi dan meningkatkan

produksi pangan untuk mengimbangi berkurangnya produksi akibat konversi lahan

di Jawa yang mencapai 40.000 hingga 50.000 ha setiap tahun. Untuk

mempertahankan tingkat produksi pangan, sekurang-kurangnya setiap ha lahan

beririgasi yang dikonversi harus digantikan dengan 3 ha lahan kering atau sawah

pasang surut.

Tujuan untuk meningkatkan produksi pangan kembali menjadi prioritas

sejak kering berkepanjangan yang berlangsung pada tahun 1991, 1994, dan 1997

yang berdampak kepada peningkatan impor beras hingga 4,5 juta ton per tahun

pada tahun-tahun tersebut. Tujuan peningkatan produksi pangan dengan

mendorong kenaikan produktivitas telah diadopsi menjadi tujuan pengembangan

pertanian pasang surut yang sebelumnya terfokus kepada mendukung program

transmigrasi. Dengan demikian, arah selanjutnya dalam pengembangan pertanian

pasang surut adalah meningkatkan kapasitas produksi dengan mengakomodasi

perkembangan teknologi seperti penggunaan varietas unggul atau high yielding

Page 25: 5. sesi  ekonomi dan kemiskinan

ISBN 978-602-98295-0-1

Prosiding Seminar Nasional, 13-14 Desember 2010

946

varieties (HYVs), pupuk, pengendali hama dan penyakit, peralatan pertanian, dan

perbaikan pengelolaan air.

METODOLOGI

Penelitian survei ini dilakukan di daerah persawahan pasang surut Telang

yang merupakan salah satu sentra produksi beras di Sumatera Selatan. Telang

secara administrasi berada dalam wilayah Kecamatan Muara Telang, Kabupaten

Banyuasin, Provinsi Sumatera Selatan. Telang dipilih sebagai daerah penelitian

karena merupakan salah satu wilayah reklamasi pasang surut yang paling

produktif yang didukung oleh sistem pengelolaan air yang berkembang.

Sampel survei sebanyak 500 keluarga petani dipilih secara acak dari

sekitar 10.000 keluarga petani dilokasi studi yang meliputi 12 blok sekunder

seluas sekitar 3.072 ha. Data dikumpulkan melalui observasi rumah tangga dan

usahatani serta wawancara terstruktur kepada petani sampel.

Data hasil observasi dan wawancara dianalisis secara deskriptif. Tabel

frekuensi dan tabel silang (cross-tabulation) digunakan untuk menyajikan hasil

analisis karena dipandang cukup untuk menampilkan data deskriptif (Norusis,

2006). Untuk melihat hubungan antara variabel pendapatan dan variabel indikator

kesejahteraan ekonomi rumah tangga petani, dilakukan uji χ2 (kai kuadrat).

HASIL DAN PEMBAHASAN

Produksi, Produktivitas dan Pendapatan Usahatani di Lahan Pasang Surut

Produksi adalah hasil dari kegiatan penggunaan beberapa masukan (input)

usahatani seperti benih, pupuk, bahan kimia pertanian, dan tenaga kerja. Jumlah

produksi tergantung kepada luas lahan yang diusahakan sehingga antar petani

terdapat perbedaan jumlah produksi yang disebabkan oleh perbedaan luas lahan

yang dimiliki dan diusahakan. Agar dapat dibandingkan, pengukuran produksi

dilakukan menggunakan produktivitas. Ukuran produktivitas independen terhadap

penggunaan input dan menggunakan satuan unit lahan sebagai referensi.

Produktivitas dalam studi ini dinyatakan dengan jumlah produksi per ha lahan

yang diusahakan.

Hasil analisis data produksi yang diperoleh dari 500 petani sampel

menunjukkan bahwa produksi bervariasi dari serendah 1,5 ton hingga setinggi

79,2 ton padi kering panen (on-farm dried paddy). Tingginya variasi angka

Page 26: 5. sesi  ekonomi dan kemiskinan

ISBN 978-602-98295-0-1

Prosiding Seminar Nasional, 13-14 Desember 2010

947

produksi ini disebabkan oleh variasi dalam luas lahan yang diusahakan, yaitu dari

seluas hanya 0,25 ha hingga seluas 12 ha. Produksi rerata adalah 9,75 ton ± 5,70

ton dan luas tanam rerata 1,84 ha ± 0,99 ha. Produktivitas rerata di antara petani

sampel mencapai 5, 35 ton ± 0,88 ton.

Menggunakan harga di tingkat pasar lokal, yaitu Rp 2.100 per kg gabah

kering panen, rerata penerimaan untuk setiap ha sawah adalah Rp 11.235.000.

Dengan rerata biaya per ha sebesar Rp 4.958.460, pendapatan dari usahatani

padi adalah Rp 6.276.540 per ha. Jika diasumsikan rerata lahan usahatani yang

diusahakan per keluarga adalah 2 ha dan hanya sekali tanam dalam setahun

sebagaimana dilakukan mayoritas petani di pasang surut karena kendala agro-

klimat, maka pendapatan total per keluarga tani per tahun adalah sebesar Rp

12.553.080. Nilai pendapatan inilah yang digunakan untuk semua jenis

pengeluaran konsumsi keluarga dan jika memungkinkan diinvestasikan dalam

berbagai bentuk untuk memperbaiki tingkat kesejahteraan keluarga tani, misalnya

perbaikan rumah (lantai, dinding, atap), pembangunan fasilitas rumah (toilet,

pembuangan air), pengadaan listrik, dan lain-lain.

Kesejahteraan Petani

Perubahan kehidupan suatu masyarakat dapat diamati secara material

melalui keadaan rumah dan kelengkapan fasilitasnya, khususnya fasilitas yang

diperlukan untuk mendorong kualitas hidup masyarakat. Keadaan fisik rumah

responden dapat diamati dari aspek-aspek berikut: jenis lantai, dinding dan bahan

atap rumah. Sedangkan kualitas hidup dapat dilihat dari akses rumah tangga

terhadap fasilitas listrik, air bersih, tersedianya toilet pada setiap rumah, dan

sistem pembuangan limbah. Keadaan fisik rumah responden disajikan pada

Tabel 1.

Tipe bangunan rumah paling nampak mengalami perubahan, yaitu dari

rumah asal berupa rumah panggung berbahan papan (elevated temporary

wooden houses) menjadi rumah depok (earthed brick houses). Lantai rumah yang

baru lebih luas daripada rumah asal. Beberapa rumah depok bahkan didesain

mengikuti perkembangan yang berlaku di kawasan perumahan di perkotaan.

Lantai rumah pada umumnya berupa lantai semen, sebagian diantaranya sudah

Page 27: 5. sesi  ekonomi dan kemiskinan

ISBN 978-602-98295-0-1

Prosiding Seminar Nasional, 13-14 Desember 2010

948

dilapisi keramik. Rumah panggung yang telah diperbaiki hanya tinggal sekitar 2

persen saja.

Bahan dinding rumah pada umumnya semen dan hanya sebagian masih

berdinding papan. Persentase rumah berdinding papan lebih tinggi daripada

rumah berlantai papan. Hal ini menunjukkan ada tahapan perubahan dari rumah

panggung berbahan papan menjadi rumah depok berdinding papan sebelum

menjadi sepenuhnya rumah depok, yaitu rumah yang berdinding dan berlantai

semen atau keramik.

Atap rumah terbanyak berupa genting, diikuti oleh seng dan hanya

sebagian kecil saja yang masih berupa atap daun nipah (thatch-palm leaves).

Atap daun nipah adalah tipikal atap rumah panggung sederhana di lokasi studi.

Wujud fisik rumah sering merupakan simbol status dalam masyarakat.

Berdasarkan wujud fisik rumah tampak bukti bahwa telah terjadi perubahan status

ekonomi yang signifikan pada masyarakat di wilayah studi. Perubahan status

ekonomi masyarakat tersebut bersumber dari hasil kegiatan pertanian yang

merupakan pencaharian pokok.

Tabel 1. Proporsi kondisi rumah responden

Kondisi rumah Frekuensi Persentase Persentase kumulatif

Jenis lantai:

Tanah 58 11.6 11.6 Papan 12 2.4 14.1 Semen 354 71.1 85.1 Keramik 74 14.9 100.0

Total 498 100.0

Bahan dinding: Papan 126 25.3 25.3 Semen 372 74.7 100.0

Total 498 100.0

Jenis atap: Daun nipah 5 1.0 1.0 Seng 68 13.7 14.7 Genteng 424 85.3 100.0

Total 497 100.0

Pengamatan ke dalam isi rumah menunjukkan lebih dalam mengenai

kualitas kehidupan rumah tangga responden. Lebih dari 90 persen rumah

responden telah memiliki akses listrik seperti tampak pada Tabel 2. Listrik pada

Page 28: 5. sesi  ekonomi dan kemiskinan

ISBN 978-602-98295-0-1

Prosiding Seminar Nasional, 13-14 Desember 2010

949

umumnya digunakan untuk menyalakan lampu dan beberapa peralatan berdaya

listrik seperti televisi, radio, dan kipas angin.

Sumber utama air minum rumah tangga responden adalah air hujan, diikuti

oleh air dalam kemasan, bersama-sama persentasenya mencapai lebih 95 persen

dari sumber air minum rumah tangga responden. Hampir semua rumah di wilayah

studi memiliki penampung air hujan (rain water collector) dengan rerata kapasitas

tampung 2 m3. Penampung air hujan ini sebagian disuplai melalui program yang

disponsori pemerintah dan sebagian lagi dibuat oleh masyarakat sendiri. Pada

musim hujan, sebagian besar kebutuhan air minum masyarakat dapat dicukupi

dari penampung air hujan. Sedangkan pada masa curah hujan berkurang dan

stok air hujan dalam penampung menurun, kebutuhan air minum dipenuhi dengan

membeli air minum dalam kemasan. Namun, masih ada sebagian kecil rumah

tangga responden yang mengkonsumsi air saluran dan sumur. Kedua sumber air

ini dinilai tidak aman bukan saja karena kurang bersih, tetapi juga dicurigai

terkontaminasi bahan berbahaya yang digunakan untuk mengendalikan hama dan

penyakit tanaman yang terbawa aliran sampai ke saluran.

Tabel 2. Proporsi beberapa aspek kualitas hidup responden

Aspek kualitas Frekuensi Persentase Persentase kumulatif

Listrik:

Tidak tersambung 43 8.6 8.6 Tersambung 456 91.4 100.0

Total 499 100.0

Sumber air minum: Sungai dan saluran 1 .2 .2 Sumur 14 2.8 3.0 Hujan 365 73.3 76.3 Air dalam kemasan 118 23.7 100.0

Total 498 100.0

Toilet: Tanpa septic tank 134 27.0 27.0 Dengan septic tank 363 73.0 100.0

Total 497 100.0

Saluran pembuangan: Tiada 37 7.5 7.5 Ada 458 92.5 100.0

Total 495 100.0

Page 29: 5. sesi  ekonomi dan kemiskinan

ISBN 978-602-98295-0-1

Prosiding Seminar Nasional, 13-14 Desember 2010

950

Fasilitas lainnya yang terdapat di dalam rumah yang dapat menunjukkan

kualitas hidup rumah tangga adalah ketersediaan toilet. Sekalipun rumah telah

diperbaiki, masih banyak rumah yang toiletnya tidak dilengkapi dengan tangki

penampung kotoran (septic tank). Selain itu, ada sebagian kecil rumah yang

tidak memiliki fasilitas pembuangan air kotor.

Pendapatan Usahatani dan Kesejahteraan Fisik

Bagi rumah tangga petani, pendapatan dari usahatani pertama kali

digunakan untuk memenuhi berbagai keperluan dasar. Jika berlebih, kelebihan

pendapatan digunakan untuk berbagai pengeluaran yang dapat dikategorikan

sebagai investasi sesuai kebutuhan rumah tangga, khususnya untuk menambah

modal (lahan pertanian, alat dan mesin pertanian) dan untuk memperbaiki rumah

dan melengkapi fasilitas dalam rumah. Dengan demikian, surplus pendapatan

usahatani terefleksi pada kondisi rumah yang lebih baik yang menggambarkan

kesejahteraan fisik yang lebih tinggi. Analisis berikut menunjukkan bagaimana

perbedaan pendapatan usahatani terkait dengan perbedaan pencapaian beberapa

indikator kesejahteraan fisik rumah tangga (Tabel 3).

Tabel 3 menunjukkan bahwa pendapatan usahatani yang lebih tinggi

secara signifikan berkorelasi dengan lantai, dinding dan atap rumah yang lebih

berkualitas. Semakin tinggi pendapatan usahatani, semakin tinggi persentase

rumah tangga petani yang memiliki lantai semen atau keramik, semakin tinggi

persentase dengan dinding batu, dan semakin tinggi persentase atap genting.

Pendapatan usahatani yang tinggi juga berkaitan dengan fasilitas rumah

tangga yang lebih baik dan lebih sehat seperti sumber air minum, fasilitas toilet,

dan ketersediaan saluran pembuangan. Peningkatan pendapatan diikuti oleh

peningkatan penggunaan air minum dalam kemasan. Namun, sebagian kecil

rumah tangga berpendapatan menengah ke bawah masih mengkonsumsi air

sungai, saluran atau kolam, sedangkan rumah tangga berpendapatan tinggi tak

satupun yang menggunakannya. Akses terhadap listrik tidak menunjukkan

perbedaan antara rumah tangga berpendapatan rendah, menengah dan tinggi.

Hal ini disebabkan listrik disuplai oleh pemerintah sehingga setiap rumah tangga

tanpa membedakan pendapatannya tersambung kepada fasilitas ini.

Page 30: 5. sesi  ekonomi dan kemiskinan

ISBN 978-602-98295-0-1

Prosiding Seminar Nasional, 13-14 Desember 2010

951

Tabel 3. Tabulasi silang hubungan pendapatan usahatani dengan beberapa ukuran kesejahteraan fisik

Ukuran kesejahteraan Tingkat pendapatan

SigΧ2a Rendah Menengah Tinggi

Jenis lantai: 1. Tanah 2. Semen 3. Keramik

19.4 69.7 10.9

15.1 71.7 13.3

7.8

71.7 20.5

13.626**

Jenisdinding: 1. Papan 2. Semen

32.7 67.3

28.3 71.7

15.1 84.9

14.803**

Jenis atap: 1. Daun nipah 2. Seng 3. Genting

1.2

23.0 75.8

0.6

10.9 88.5

1.2 7.2

91.6

19.604**

Listrik: 1. Tidak

tersambung 2. Tersambung

5.4

94.6

10.8 89.2

9.6

90.4

3.411

Sumber air minum: 1. Sungai, saluran 2. Hujan 3. Air dalam

kemasan

6.1

75.8 18.2

3.0

74.1 22.9

0.0

69.9 30.1

15.530**

Toilet: 1. Tiada septic tank 2. Ada septic tank

26.1 73.9

27.7 72.3

26.7 73.3

0.118

Saluran pembuangan: 1. Tiada 2. Ada

9.1

90.9

10.3 89.7

3.0

97.0

7.163**

aSignifikansi dari Pearson Chi-square

KESIMPULAN

Dari temuan penelitian di atas dapat disimpulkan bahwa

1. Pendapatan usahatani bervariasi mengikuti variasi dalam produksi

pertanian yang disebabkan adanya variasi dalam luas pemilikan lahan.

Petani yang menguasai dan menanam lebih luas memperoleh total

produksi yang lebih tinggi daripada petani yang menguasai dan menanam

lebih sedikit. Sehingga, pendapatan usahatani diantara mereka juga

berbeda.

2. Rumah tangga yang berpendapatan usahatani tinggi cenderung mencapai

kesejahteraan fisik yang lebih tinggi pula. Mereka cenderung memiliki

rumah dengan kondisi lebih baik, fasilitas rumah tangga lebih baik, dan

Page 31: 5. sesi  ekonomi dan kemiskinan

ISBN 978-602-98295-0-1

Prosiding Seminar Nasional, 13-14 Desember 2010

952

menggunakan sumber air minum yang lebih sehat. Dengan kata lain,

peningkatan pendapatan usahatani telah digunakan oleh rumah tangga

responden untuk memperbaiki kesejahteraan hidup fisik keluarga.

3. Upaya terus menerus untuk meningkatkan pendapatan usahatani melalui

peningkatan produktivitas usahatani akan meningkatkan kesejahteraan fisik

rumah tangga petani di wilayah pasang surut.

DAFTAR PUSTAKA

Ali, Md. L., F.X. Suryadi, B. Schultz. (2002). Water Management Objectives and Their Realization in Tidal Lowland Areas in Bangladesh and Indonesia. In Proceeding of the International Workshop on Sustainable Development of Tidal Areas. 18th Congress and 53rd IEC Meeting of the International Commission on Irrigation and Drainage. Montreal, Canada, July 22, 2002.

Direktorat Rawa dan Pantai. (2007). Distribusi Lahan Rawa di Indonesia.

Direktorat Jenderal Sumberdaya Air, Kementerian Pekerjaan Umum Republik Indonesia.

Kasryno, F. et al. (Eds.). (2003). Ekonomi Padi dan Beras Indonesia. Badan

Penelitian dan Pengembangan Pertanian Departemen Pertanian. LWMTL. (2006). Technical Guidelines on Tidal Lowland Development Volume I:

General Aspects. Report of the Joint Indonesia – Netherlands Working Group. Jakarta, Indonesia.

Norusis, M. J. (2006). SPSS 15.0 Statistical Procedures Companion. Upper

Saddle River, New Jersey: Prentice Hall, Inc. Schultz, B. (2007). Development of Tidal Lowlands Potentials and Constraints of

the Tidal Lowlands of Indonesia. Paper disajikan pada Kuliah Umum di Program Pascasarjana Universitas Sriwijaya, 30 Juni 2007.

Simatupang, P. and I. W. Rusastra. (2003). Kebijakan Pembangunan Sistem

Agribisnis Padi. In Kasryno, F. et al. (Eds.). Ekonomi Padi dan Beras Indonesia. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian Departemen Pertanian.

Page 32: 5. sesi  ekonomi dan kemiskinan

ISBN 978-602-98295-0-1

Prosiding Seminar Nasional, 13-14 Desember 2010

953

ANALISIS PENGGUNAAN FAKTOR PRODUKSI DAN PENDAPATAN USAHATANI PADI PADA LAHAN RAWA PASANG SURUT

The Analysis Factor of Production and Revenue in Rice Farming in Tidal

Swamp Land

Nasir

Program Studi Agribisnis Fakultas Pertanian Universitas Tridinanti Palembang, Jl.

Kapten Marzuki No. 2446 Kamboja palembang

ABSTRACT The Analysis of Use Production factor and Income of Rice Farming in Lawland (Case in the village of Muara Telang Telang Rejo Sub District Banyuasin) by Nasir. The Study aims to: Analyze the relationship of input use with the production of rice farming, Measuring the efficiency of input use of rice farming, and count the rice farm income tidal wetlands. The experiment was conducted in the village of Muara Telang Telang Rejo district Banyuasin District. The method used in this research is the case with simple random sampling method on the respondent farmers who seek rice farming, while the methods used in data analysis to determine the effect of production factors on the production used regression analysis on the Cobb-Douglas equation, determining the efficiency of factor production efficiency measure used to calculate the level of prices and rates of return using the formula R / C ratio. The results showed that the production factors of land, seed, fertilizer and labor significantly influence on the production while the other production factors, namely: KCl and SP-36 as well as the use of herbicides and insecticides no significant effect on production. Judging from the level of efficiency, the use of all factors of production (land, seed, fertilizer (urea, SP-36 and KCl), pesticides (insecticides and herbicides) and an outpouring of all is not yet efficient workforce.) The number of average farm income of Rp. 4,799,222.20 / hectare, with the ratio of farm revenue at the expense of 2.1 means that every Rp1,- issued will generate revenue of Rp. 2.1, - Keywords: factors of production, efficiency and revenue.

PENDAHULUAN

Latar Belakang. Padi merupakan komoditi penting yang memiliki peran yang

sangat penting yaitu sebagai barang ekonomi yang dikaitkan dengan fungsinya

sebagai penghasil beras yang merupakan bahan pangan pokok, dan merupakan

komoditi strategis yang kadangkala dapat mempengaruhi kondisi politik suatu

Negara. Di Indonesia, dominasi beras atas pangan lainnya, tercermin dari 50%

Page 33: 5. sesi  ekonomi dan kemiskinan

ISBN 978-602-98295-0-1

Prosiding Seminar Nasional, 13-14 Desember 2010

954

total konsumsi pangan nasional dan 96% penduduk Indonesia menjadikan beras

sebagai pangan pokok ketimbang sumber pangan lainnya. Pentingnya komoditi

ini juga terlihat dari tingginya tingkat konsumsi komoditi ini yang mencapai 133

kg/kapita/tahun dan jauh di atas tingkat konsumsi pangan lain (Simatupang,

1999).

Tingginya kebutuhan komoditi ini dimasa mendatang akan terus berlanjut

sejalan dengan peningkatan jumlah penduduk apalagi saat ini belum ada komoditi

lain yang mampu menggeser keberadaan beras sebagai pangan pokok. Untuk

memenuhi kebutuhan beras yang terus meningkat maka upaya peningkatan

produksi yang dipacu melalui peningkatan produktivitas dengan mendayagunakan

sumberdaya di berbagai wilayah yang berpotensi untuk pengembangan komoditi

tersebut.

Sumatera Selatan merupakan salah satu sentra pengembangan usahatani

padi di Indonesia. Berdasarkan hasil survey pertanian, produksi padi di Sumatera

Selatan tahun 2008 mencapai 2,97 juta ton GKG, bertambah sebesar 2.181,24

ribu ton (7,93%) dibandingkan tahun 2007. Ditinjau wilayah pengusahaannya,

untuk tahun 2008 kabupaten yang memiliki produksi tertinggi adalah kabupaten

Banyuasin (746,55 ribu ton), Ogan Komering Ilir (789,81 ribu ton) dan OKU Timur

(234,45 ribu ton), (BPS Sumsel, 2009).

Berdasarkan data tersebut, Kabupaten Banyuasin merupakan sentra

penghasil padi di Sumatera Selatan. Beberapa faktor yang menyebabkan

kabupaten ini menjadi sentra beras antara lain karena memiliki lahan yang cukup

luas, berupa lahan pasang surut yang potensial untuk pengembangan tanaman

padi. Berdasarkan data dari Dinas Pertanian dan Peternakan Kabupaten

Banyuasin (2007), luas lahan yang sudah direklamasi seluas 362.000 hektar. Dari

luasan tersebut yang baru ditanami seluas 153.000 hektar dan dari jumlah

tersebut yang baru dapat ditanami dua kali setahun baru 5.000 hektar yang telah

dapat ditanami dua kali setahun sedangkan sisanya masih ditanami satu kali

setahun, yang sebagian besar berupa lahan pasang surut.

Meskipun dikenal sebagai daerah yang berpotensi untuk pengembangan

usahatani padi, tetapi ternyata produktivitas usahatani di daerah ini masih lebih

rendah. Beberapa faktor yang diduga menyebabkan rendahnya produktivitas

lahan di daerah ini adalah karena kondisi lahan yang marjinal dengan

Page 34: 5. sesi  ekonomi dan kemiskinan

ISBN 978-602-98295-0-1

Prosiding Seminar Nasional, 13-14 Desember 2010

955

produktivitas yang rendah. Rendahnya produktivitas juga disebabkan karena

penggunaan sumberdaya berupa sarana produksi yang masih rendah, Padahal

upaya peningkatan produktivitas usahatani padi dapat dipacu dengan penggunaan

sarana produksi secara optimal, antara lain menurut Suharno et al., (2000) dapat

dilakukan melalui perbaikan teknologi budidaya seperti pemupukan, waktu tanam

yang tepat dan pengendalian jasad pengganggu, dan penggunaan varietas

unggul.

Langkah awal untuk memacu peningkatan produktivitas lahan adalah

dengan cara mengetahui faktor produksi yang paling berpengaruh terhadap

peningkatan produksi dengan cara melakukan analisis terhadap tingkat efisiensi

penggunaan faktor produksi. Berdasarkan alasan tersebut maka peneliti tertarik

melakukan penelitian ―Analisis Penggunaan Faktor Produksi dan Pendapatan

Usahatani Padi pada Lahan Rawa Pasang Surut‖ penelitian ini dilaksanakan di di

Desa Telang Rejo Kecamatan Muara Telang Kabupaten Banyuasin. Melalui

penelitian ini diharapkan dapat diketahui pengaruh penggunaan faktor produksi

terhadap produksi, tingkat efisiensi penggunaan faktor produksi serta pendapatan

usahatani padi pada lahan rawa pasang surut.

Rumusan Masalah. Permasalahan yang akan dibahas pada penelitian ini

adalah:

1. Bagaimanakah hubungan penggunaan faktor produksi dengan produksi

usahatani padi.

2. Bagaimanakah tingkat efisiensi pengunaan faktor produksi usahatani padi

pada lahan rawa pasang surut

3. Seberapa besar tingkat pendapatan usahatani padi lahan rawa pasang surut

Tujuan dan Kegunaan. Tujuan penelitian ini adalah:

1. Menganalisis hubungan hubungan penggunaan faktor produksi dengan

produksi usahatani padi.

2. Mengukur tingkat efisiensi pengunaan faktor produksi usahatani padi pada

lahan rawa pasang surut

3. Menghitung pendapatan usahatani padi lahan rawa pasang surut

Page 35: 5. sesi  ekonomi dan kemiskinan

ISBN 978-602-98295-0-1

Prosiding Seminar Nasional, 13-14 Desember 2010

956

Kegunaan penelitian ini diharapkan akan memberikan informasi bagi

semua pihak khususnya petani yang berkaitan langsung dengan pengembangan

usahatani padi, dan memberikan manfaat berupa penambahan khazanah

kekayaan ilmu pengetahuan khususnya yang berkenaan dengan penggunaan

faktor produksi pada usahatani padi.

METODE PENELITIAN

Tempat dan Waktu. Penelitian ini dilaksanakan di Desa Telang Rejo Kecamatan

Muara Telang Kabupaten Banyuasin. Pemilihan lokasi dilakukan dengan sengaja

(purposive) dengan pertimbangan Kecamatan Muara Telang merupakan sentra

usahatani padi yang dianggap telah melaksanakan usahatani secara intensif.

Penelitian dilaksanakan selama dua bulan yaitu April sampai Mei 2010.

Metode Penelitian. Metode penelitian yang digunakan adalah metode kasus,

dengan alasan petani di Desa Telang Rejo Kecamatan Muara Telang Kabupaten

Banyuasin merupakan petani yang telah melaksanakan intensifikasi usahatani

karena telah merupakan salah satu wilayah yang sering menjadi sentra

pengembangan proyek percontohan untuk usahatani padi di lahan rawa pasang

surut.

Metode Penarikan Contoh. Metode penarikan contoh pada penelitian ini adalah

metode acak sederhana dengan jumlah sample sebanyak 38 orang atau 10

persen dari jumlah populasi yang ada.

Metode Pengumpulan Data. Data yang dikumpulkan terdiri dari data primer dan

sekunder. Data primer diperoleh dari wawancara langsung dengan petani yang

meliputi karakteristik individu, penggunaan factor produksi, produksi, harga

produksi. Sedangkan data sekunder diperoleh dari instansi yang terkait dengan

penelitian ini, seperti: Kantor Pemerintah Kecamatan Muara Telang, Dinas

Pertanian dan lainnya. Pengumpulan data dilakukan dengan cara wawancara

terstruktur terhadap petani dengan menggunakan panduan kuisioner.

Metode Analisa Data. Data yang dikumpulkan di lapangan diolah secara tabulasi

dan selanjutnya dianalisis secara deskriptif. Untuk menjawab permasalahan

pertama yaitu melihat hubungan antara penggunaan faktor produksi dan produksi

digunakan model persamaan sebabagi berikut, yaitu:

Page 36: 5. sesi  ekonomi dan kemiskinan

ISBN 978-602-98295-0-1

Prosiding Seminar Nasional, 13-14 Desember 2010

957

LnY= Ln+1 LnX1+2 LnX2+3Ln X3+4Ln X4+5 LnX5+6 LnX6+7 LnX7+8 LnX8+e

Keterangan:

Y = Variabel yang dijelaskan (variabel tak bebas) produksi usahatani padi

X = Variabel yang menjelaskan factor-faktor yang mempengaruhi produksi padi,

yaitu: X1 = Lahan (ha), X2 = benih (kg); X3= pupuk urea (kg); X4= pupuk SP-36

(kg); X5=Pupuk KCl (kg); X6= Insektisida (lt); X7= Herbisida (lt); X8= Tenaga Kerja

(HOK); , = Penduga parameter dan i

Kemudian untuk mengetahui apakah variable bebas (X) secara bersama-

sama berpengaruh terhadap variable tak bebas (Y) menggunakan uji F, dengan

hipotesis statistik sebagai berikut :

Ho : 1 = 2 = 3 = ………..= 9 = 0 : Y secara simultan dipengaruhi secara tidak

nyata oleh X1, X2, X3,…………., X8

Ho : 1 = 2 = 3 = ………..= 9 0 : Y secara simultan dipengaruhi secara tidak

nyata oleh X1, X2, X3,…………., X8

JKR / (K – 1) Rumus F hitung adalah = ---------------- JKK / (n – 1)

Keterangan :

JKR = Jumlah kuadrat regresi; JKK = Jumlah kuadrat kesalahan; k= Jumlah

parameter dugaan; n = Jumlah sampel

Kaidah pengambilan keputusan adalah sebagai berikut :

1. Jika F hitung > F tabel , (k – 1), (n – k) maka Hi diterima yang artinya variabel

bebas secara bersama-sama berpengaruh terhadap produksi usahatani.

2. Jika F hitung > F tabel , (k – 1), (n – k), maka Ho diterima yang artinya variabel

bebas secara bersama-sama tidak berpengaruh terhadap produksi usahatani.

Untuk mengetahui pengaruh masing-masing variable bebas (X) terhadap variable

tak bebas (Y) menggunakan rumus t hitung dengan hipotesis statistik sebagai

berikut :

Ho : bo = 0 : Y secara parsial dipengaruhi secara tidak nyata oleh X1, X2, X3,…, X8

H1 : b1 0 : Y secara parsiap dipengaruhi secara nyata oleh X1, X2, X3,…, X8

i

Page 37: 5. sesi  ekonomi dan kemiskinan

ISBN 978-602-98295-0-1

Prosiding Seminar Nasional, 13-14 Desember 2010

958

Rumus t hitung = --------

Se (i)

Keterangan :

i.. : Koefisien regresi variable ke – 1; Se (i) : Simpangan variable ke-i

Kaidah pengambilan keputusan adalah sebagai berikut :

1. Jika thitung > t (/2) tabel maka tolak Ho, artinya variable bebas ke-n

berpengaruh nyata terhadap produksi usahatani.

1. Jika thitung < t (/2) tabel maka terima Ho, artinya variable bebas ke-n tidak

berpengaruh nyata terhadap produksi usahatani

Untuk menjawab permasalahan kedua yaitu mengukur tingkat efisiensi

penggunaan factor produksi digunakan rumus efisiensi harga yang dirumuskan:

NPMx NPMx = Px atau -------- = 1 Px b.Y.Py NPMx = ----------- X Dimana : b = elastisitas Y = produksi PY = harga produksi Y X = jumlah faktor produksi X PX = harga faktor produksi X Kaidah keputusan:

NPM / Hx > 1---------- Tidak optimal (kekurangan penggunaan faktor produksi)

NPM / Hx = 1---------- Optimal

NPM / Hx < 1----------Tidak optimal (kelebihan penggunaan faktor produksi)

Page 38: 5. sesi  ekonomi dan kemiskinan

ISBN 978-602-98295-0-1

Prosiding Seminar Nasional, 13-14 Desember 2010

959

HASIL DAN PEMBAHASAN

Pengaruh Penggunaan Faktor Produksi Terhadap Produksi Padi. Hasil

analisis regresi fungsi produksi usahatani padi di Desa Telang Rejo dihasilkan

persamaan sebagai berikut:

Y = 6,957 - 0,261X1 - 0,075X2 +0,384X3+0,046X4+ 0,171X5 + 0,069X6 + 0,084X7 + 0,186X8

Hasil analisis regresi menunjukkan bahwa secara agregat hubungan antara

faktor produksi dan produksi usahatani padi cukup kuat dengan nilai koefisien

determinasi (R2) sebesar 0,988. Nilai koefisien 0,988 artinya 98,8 persen

perubahan dari produksi usahatani padi dapat dijelaskan oleh variabel sarana

produksi: luas lahan usahatani, jumlah benih, pupuk (urea, SP-36 dan KCl),

herbisida, insektisida serta jumlah curahan tenaga kerja, sedangkan 1,2 persen

dipengaruhi oleh faktor lain di luar model.

Dari hasil uji F diketahui nilai F-hitung 311,620 pada tingkat kepercayaan 95

persen lebih besar dibandingkan dengan F tabel sebesar 2,27 sehingga

disimpulkan bahwa hasil pengujian berbeda sangat nyata sehingga variabel bebas

luas lahan, benih, pupuk urea, SP36, KCl, herbisida, insektisida dan curahan

tenaga kerja bersama-sama berpengaruh terhadap produksi usahatani padi.

Meskipun secara bersama-sama penggunaan faktor produksi memiliki

pengaruh atau dampak yang kuat terhadap produksi, tetapi hasil analisis

menunjukkan bahwa tidak semua faktor prdoduksi berpengaruh nyata terhadap

produksi. Hasil analisis regresi variabel independen (sarana produksi) dan produk

di ditampilkan pada Tabel 1.

Tabel 1 memperlihatkan dari delapan variable bebas hanya luas lahan

usahatani, benih, pupuk urea dan tenaga kerja yang memiliki pengaruh signifikan

terhadap produksi, sedangkan variable lainnya, yaitu: penggunaan pupuk KCl dan

SP-36, penggunaan pestisida (herbisida dan insektisida tidak memiliki pengaruh

yang signifikan terhadap produksi usahatani padi.

Lahan usahatani memiliki pengaruh yang sangat signifikan terhadap

produksi usahatani dan memiliki hubungan yang negatif dengan koefisien sebesar

-0,261. Nilai koefisin tersebut berarti setiap penambahan 10 persen lahan

usahatani akan menyebabkan terjadinya penurunan produksi sebesar 2,61

Page 39: 5. sesi  ekonomi dan kemiskinan

ISBN 978-602-98295-0-1

Prosiding Seminar Nasional, 13-14 Desember 2010

960

persen. Nilai negative disebabkan semakin luas lahan maka penggunaan sarana

produksi yang digunakan juga makin tidak optimal karena biaya yang dikeluarkan

besar sedangkan petani keterbatasan dana sehingga produksi yang dicapai untuk

satuan luas tertentu makin rendah. Rata-rata kepemilikan lahan ditingkat petani

cukup tinggi yaitu mencapai 1,92 hektar per petani.

Tabel 1. Hasil analisis regresi variabel independen terhadap variabel dependen

No Variabel Koefisien t-hitung Keterangan

X1 Lahan (ha) 6,957 5,724 Signifikan

X2 Benih (kg) -0,261 -2,557 Signifikan

X3 Urea (kg) 0,384 4,025 Signifikan

X4 SP-36 (kg) 0,046 1,403 Non Signifikan

X5 KCl (kg) 0,171 1,183 Non signifikan

X6 Insektisida (lt) 0,069 0,953 Non signifikan

X7 Herbisida (lt) -0.084 -1,167 Non signifikan

X8 Tenaga kerja (HOK) 0,186 2,266 Signifikan

Koefisin determinasi (R2) = 0,992;

F-hitung=311,62 dan F Tabel 0,05(8;30)=2,27

t-tabel (0.025)=2,042 ; t-tabel (0.010)=2,457; t-tabel (0.005)=2,750

Penggunaan benih memiliki pengaruh yang signifikan. Pelaksanaan

penanaman yang dilakukan petani menggunakan sistem tabela (tanam benih

langsung) yaitu dengan cara menaburkan benih secara langsung di lahan

usahatani sehigga jumlah benih yang digunakan besar, yaitu rata-rata 130

kg/hektar dan melebihi dari batas optimal anjuran PPL yang maksimum 60

kilogram perhektar. Penggunaan benih yang berlebihan menyebabkan

pertumbuhan tanaman padi tidak berlangsung optimal karena terjadi persaingan

penyerapan unsur hara oleh tanaman sehingga produksi yang dicapai tidak

optimal. Nilai koefisien benih sebesar 0,075 yang artinya kenaikan 10 persen

Page 40: 5. sesi  ekonomi dan kemiskinan

ISBN 978-602-98295-0-1

Prosiding Seminar Nasional, 13-14 Desember 2010

961

penggunaan benih akan menyebabkan terjadinya penurunan produksi sebesar

0,75 persen.

Penggunaan pupuk urea memiliki pengaruh yang signifikan terhadap

produksi dengan nilai koefisien sebesar 0,384 yang artinya setiap penambahan

penggunaan pupuk urea sebesar 10 persen akan menyebabkan peningkatan

produksi sebesar 3,84 persen. Pengaruh positip ini disebabkan karena

kemungkinan ketersediaan unsur hara N pada lahan rawa pasang surut masih

rendah sehingga penggunaan pupuk urea yang mengandung unsure hara N akan

cepat direspon oleh tanaman dalam bentuk peningkatan produksi. Selain itu

jumlah penggunaan pupuk urea lebih banyak dibandingkan dengan pupuk lainnya

yaitu rata-rata 219,87 kilogram perhektar permusim tanam, sehingga tanaman

lebih mudah dalam merespon penggunaan pupuk tersebut.

Penggunaan pupuk SP-36 dan KCl tidak berpengaruh secara signifikan

terhadap produksi. Penyebabnya karena jumlah penggunaan kedua pupuk masih

jauh dari anjuran lebih rendah dibandingkan dengan pupuk urea, yaitu masing-

masing 134,23 kilogram dan 115,64 kilogram perhektar., padahal menurut

Suwalan et al., (2004) respon tanaman terhadap pemberian pupuk akan

meningkat apabila pupuk yang digunakan tepat jenis, dosis, waktu dan cara

pemberian.

Penggunaan herbisida dan insektisida tidak berpengaruh signifikan

terhadap produksi. Penyebabnya, penggunaan sarana produksi tersebut ditingkat

petani masih belum optimal, yaitu: insektisida pestisida 1,64 liter perhektar

permusim tanam dan herbisida 0,615 liter perhektar permusim tanam. Faktor

lainnya adalah sifat dari sarana ini yang tidak memiliki pengaruh langsung pada

peningkatan produksi seperti sarana produksi lainnya khususnya pupuk. Faktor

lainnya adalah serangan hama yang ditemui di lapangan masih dibawah batas

ambang ekonomi, sehingga penggunaan insektisida masih rendah dan hanya

bersifat pencegahan. Penggunaan herbisida masih rendah karena pemberantasan

gulma sering dilakukan secara manual yaitu dengan melakukan penyiangan

terhadap gulma sehingga penggunaan herbisida juga masih rendah.

Faktor produksi tenaga kerja memiliki pengaruh yang signifikan terhadap

produksi. Rata-rata curahan tenaga kerja pada usahatani padi adalah sebesar

37,38 HOK perhektar permusim tanam. Hubungan antara curahan tenaga kerja

Page 41: 5. sesi  ekonomi dan kemiskinan

ISBN 978-602-98295-0-1

Prosiding Seminar Nasional, 13-14 Desember 2010

962

dengan produksi bersifat positip artinya semakin tinggi curahan tenaga kerja maka

produksi yang dicapai juga makin tinggi dengan nilai koefisien sebesar 0,186,

yaitu jika terjadi peningkatan curahan tenaga kerja sebesar 10 persen maka

produksi akan meningkat seesar 1,86 persen. Pengaruh curahan tenaga kerja

terhadap produksi sangat beralasan karena tanaman padi memerlukan perawatan

dan pengelolaan yang baik, sehingga curahan tenaga kerja yang tinggi

menyebabkan tanaman akan semakin terpelihara dengan baik sehingga produksi

yang dicapai juga akan meningkat.

Efisiensi Penggunaan Faktor Produksi. Berdasarkan hasil penelitian

penggunaan faktor produksi pada usahatani padi sebagian besar tidak efisien.

Rincian perhitungan terhadap analisis efisiensi ditampilkan pada Tabel 2.

Tabel 2. Efisiensi penggunaan faktor produksi pada usahatani padi

No variabel Sarana propduksi NPMx / Px Keterangan

X1 Lahan (ha) 0,99 Tidak efisien

X2 Benih (kg) 0,89 Tidak efisien

X3 Urea (kg) 9,94 Tidak efisien

X4 SP-36 (kg) 1,39 Tidak efisien

X5 KCl (kg) 3,80 Tidak efisien

X6 Insektisida (lt) 14,12 Tidak efisien

X7 Herbisida (lt) 6,04 Tidak efisien

X8 Tenaga kerja (HOK) 1,17 Tidak efisien

Berdasarkan tabel 2, terlihat bahwa sebagian besar penggunaan faktor

produksi pada usahatani padi belum efisien karena memiliki nilai perbandingan

nilai produk marjinal dan harga faktor produksi yang lebih kecil atau lebih besar

dari satu.

Nilai rasio produk marjinal dan harga faktor produksi lahan lebih kecil dari

satu (0,991) menunjukkan bahwa penggunaan lahan usahatani belum efisien

karena luas lahan yang digunakan petani relatif sudah cukup tinggi yaitu rata-rata

1.92 hektar perpetani, sedangkan jumlah modal yang dimiliki petani untuk

Page 42: 5. sesi  ekonomi dan kemiskinan

ISBN 978-602-98295-0-1

Prosiding Seminar Nasional, 13-14 Desember 2010

963

mengusahakan lahan tersebut masih rendah sehingga produksi yang dicapai tidak

optimal. Rendahnya modal yang dimiliki petani terlihat dari belum optimalnya

penggunaan faktor produksi lain, yaitu: pupuk (urea, SP-36 dan KCl), pestisida

(insektisida dan herbisida) serta curahan tenaga kerja yang belum optimal karena

memiliki rasio nilai produk marjinal dan harga faktor produksi yang lebih besar dari

satu. Nilai lebih besar dari satu menunjukkan bahwa penggunaan faktor produksi

tersebut masih rendah dari jumlah yang dibutuhkan untuk pengelolaan usahatani

padi sehingga perlu dilakukan penambahan agar usahatani tersebut efisien.

Penggunaan benih memiliki rasio nilai produk marjinal dan harga benih

yang lebih rendah dari satu (0,89) menunjukkan bahwa penggunaan benih tidak

efisien karena terjadi kelebihan penggunaan yang seharusnya maksimal 60

kg/hektar perpetani tetapi meningkat mencapai 130 kg/hektar. Terjadinya

kelebihan penggunaan benih menyebabkan biaya yang dikeluarkan tinggi

sedangkan produksi yang dicapai tidak optimal karena terjadi perebutan unsur

hara yang terbatas oleh tanaman sehingga produksi yang dicapai belum optimal.

Pendapatan Usahatani Padi. Lahan rawa pasang surut memiliki karakteristik

berupa lahan marginal yang memiliki tingkat keasaman tinggi yang dapat

diusahakan satu kali musim tanam per tahun.

Tabel 3. Produksi, harga, penerimaan, biaya dan pendapatan usahatani padi di Desa Telang Rejo Kecamatan Muara Telang Kabupaten Banyuasin

No. Indikator Jumlah

1. Produksi (kg/Ha/Mt) 3.951,00

2. Harga (Rp/kg) 2.290,00

3. Penerimaan (Rp/Ha/Mt) 9.118.932,50

4. Biaya (Rp/Ha/Mt) 4.319.710,30

- Biaya variabel (Rp/ha/Mt) 4.207.172,50

- Biaya tetap 112.537,80

5. Pendapatan (Rp/Ha/Mt) 4.799.222,20

Page 43: 5. sesi  ekonomi dan kemiskinan

ISBN 978-602-98295-0-1

Prosiding Seminar Nasional, 13-14 Desember 2010

964

Dengan adanya sistem penanaman tersebut maka secara otomatis

optimalisasi penggunaan lahan pada lahan pasang surut masih rendah, dengan

produksi yang masih cukup rendah, yaitu rata-rata 3.951 kilogram per hektar.

Rincian produksi, harga, biaya dan pendapatan di tampilkan pada Tabel 3,

Berdasarkan data pada tabel 3 terlihat bahwa rata-rata pendapatan

usahatani padi pada lahan pasang surut di Desa Telang Rejo rata-rata Rp.

4.700.222,20 per hektar per musim tanam, dengan tingkat penerimaan atas biaya

yang dikeluarkan (R/C rasio) sebesar 2,11. Nilai R/C=2,11 menunjukkan bahwa

setiap Rp.1,- yang dikeluarkan petani akan menghasilkan penerimaan sebesar

Rp. 2,11,-.

Pendapatan petani yang masih rendah disebabkan beberapa faktor, yaitu:

produktivitas lahan yang masih rendah yaitu rata-rata 3.951 kg/Ha. Produktivitas

lahan yang masih rendah juga disebabkan kondisi lahan yang marjinal dengan

tingkat keasaman tinggi dan penggunaan faktor produksi yang belum optimal,

Faktor lain yang menyebabkan pendapatan petani rendah yaitu harga gabah yang

masih rendah ditingkat petani khususnya pada saat panen raya yaitu rata-rata Rp.

2.290/kg menyebabkan pendapatan yang diperoleh petani masih rendah.

KESIMPULAN

Kesimpulan hasil penelitian ini adalah:

1. Produksi usahatani padi dipengaruhi secara signifikan oleh factor produksi

lahan, benih, pupuk urea dan tenaga kerja berpengaruh sedangkan factor

produksi lainnya, yaitu: pupuk KCl dan SP-36 serta penggunaan herbisida dan

insektisida tidak berpengaruh signifikan terhadap produksi.

2. Penggunaan seluruh faktor produks: (lahan, benih, pupuk (urea, SP-36 dan

KCl), pertisida (insektisida dan herbisida) serta curahan tenaga kerja

semuanya belum efisien.

3. Pendapatan rata-rata usahatani Rp. 4.799.222,20 /hektar, dengan rasio

penerimaan usahatani atas biaya sebesar 2,1 artinya setiap Rp1,- yang

dikeluarkan akan menghasilkan penerimaan Rp. 2,1,-

Page 44: 5. sesi  ekonomi dan kemiskinan

ISBN 978-602-98295-0-1

Prosiding Seminar Nasional, 13-14 Desember 2010

965

DAFTAR PUSTAKA

BPTP Sumatera Selatan. 2007. Laporan PRA Program Rintisan dan Akselerasi Pemasyarakatan Inovasi Teknologi Pertanian pada Lahan Rawa Pasang Surut Kabupaten Banyuasin. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian Departemen Pertanian. Palembang

Samaoen, I, 1992. Ekonomi Produksi Pertanian. Ikatan Sarjana Ekonomi

Indonesia, Jakarta Suharno, Idris, M. Darwin, Sahardi dan Subandi, 2000. Keunggulan dan peluang

pengembangan padi varietas Konawe. Dalam Dewi Sahara dan Idris: Efisiensi Produksi Sistem usahatani Terpadu Pada Lahan Sawah Irigasi Teknis. Balai Pengkajian Teknologi Pertanian (BPTP) Sulawesi Tenggara

Suwalan, S., Nana, S., Bambang S., R. Kusmawa dan Didi Ardi, 2004.

Penggunaan Pupuk Alternatif pada Tanaman Padi Sawah di Kabupaten Garut, Jawa Barat. Kebijakan Perberasan dan Inovasi Teknologi Padi. Puslitbang Tanaman Pangan, Bogor.

Page 45: 5. sesi  ekonomi dan kemiskinan

ISBN 978-602-98295-0-1

Prosiding Seminar Nasional, 13-14 Desember 2010

966

ANALISIS KELAYAKAN EKONOMI DAN OPTIMASI FORMULASI PEMPEK LENJER SKALA INDUSTRI

Railia Karneta

Jurusan Sosial Ekonomi Pertanian STIPER Sriwigama Palembang

ABSTRACT

Pempek is a kind of traditional food for South Sumatera people, which is potentially to be developed into large scale of industry if its technology meets standart procedure and consistent quality. Now a days, current pempek activity has adjusted its formula and technology to changes of the existing materials as well as their prices. The study investigated people‘s perception on pempek taste, optimalized pempek‘s formula, minimized material cost and analized it‘s feasible enterpreneurship. Optimalization formula and minimization testing-using LINDO-Linier Programing Computer‘s Program- shows that condition using 100 grams of pempek. Minimum cost of pempek‘s material is Rp 2310,04,- per 100 grams pempek‘s formula. The feasibility study shows that 1000 lenjer per day production is feasible for industry scale. NPV test shows positive, IRR higher than current interest and Net B/C ration more than 1, PBP 1,69 per year and BEP 32,60 %. Sensitivity test to the increasing of costs and decreasing of return to 15 percent, pempek activity is still feasible to be done

Keywords: Traditional Food, feasibility study,optimalization formula

PENDAHULUAN

Pengembangan makanan tradisionil saat ini semakin digalakkan , agar

dapat bersaing dengan makanan yang berasal dari luar negeri .Yang perlu

mendapat perhatian utama adalah upaya mengangkat citra makanan tradisionil

dan menambah selera masyarakat agar dapat sejajar dengan bahan pangan

lainnya. Kebijakan diversifikasi pangan harus dititik beratkan pada sistem

agribsinis yang terpadu mulai dari produksi sampai kepengolahan dan pemasaran

(Iljas,N. 1995). Pempek sebagai salah satu makanan tradisionil Sumatera selatan

berpotensi untuk dikembangkan ke skala industri yang lebih besar, karena selain

rasanya yang khas dan disukai masyarakat, produk ini memiliki nilai ekonomis dan

gizi yang cukup tinggi. Usaha untuk menjadikan pempek lenjer sebagai komoditas

perdagangan tidak mudah untuk dilaksanakan, karena diperlukan suatu

konsistensi mutu dan proses yang efisien teknologinya. Industri pempek skala

kecil sering mengubah formula dan cara pengolahan pempek lenjer karena

Page 46: 5. sesi  ekonomi dan kemiskinan

ISBN 978-602-98295-0-1

Prosiding Seminar Nasional, 13-14 Desember 2010

967

berfluktuasinya bahan baku terutama ikan, sehingga konsistensi mutu pempek

lenjer sulit dipertahankan. Industri pempek sulit dikembangkan ke skala industri

yang lebih besar tanpa konsistensi mutu yang baik.

Permasalahan yang dihadapi dalam pengembangan industri pempek di

Sumatera selatan adalah bahan baku dan pemasaran (harga/kelayakan usaha)

jika akan dikembangkan ke skala industri yang lebih besar dengan mutu yang

konsisten. Penyelesaian masalah tersebut diperlukan analisis kelayakan, baik

secara teknologi maupun ekonomi . Secara teknologi diperlukan penentuan

formulasi dan cara pengolahan yang tepat dengan mutu yang konsisten, secara

ekonomi hal tersebut masih menguntungkan produsen. Formula dan cara

pengolahan yang dikembangkan dapat dijadikan bahan pengambilan keputusan

bagi pengembangan industri pempek lenjer di Sumatera Selatan.

BAHAN DAN METODE

Bahan-bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah ikan gabus

(Ophicephallus striatus Blkr), ikan tenggiri (Scomberomorus commersoni), tepung

sagu dengan derajad putih minimal 94, garam dapur (NaCl), gula pasir

(sukrosa),susu bubuk, telur ayam ras, minyak kelapa dan air es.

Penelitian ini terdiri dari dua tahap dan digunakan dua metode yaitu

penelitian lapang (tahap I) dan penelitian Laboratorium (tahap II). Pada tahap I

dilakukan studi lapang untuk mengumpulkan data dan informasi yang diperlukan.

Data yang dikumpulkan terdiri dari data primer dan data skunder. Metode yang

digunakan dalam pengumpulan data primer ditentukan secara sengaja (purposive)

dengan alat bantu kuisioner kepada 50 orang responden dan wawancara kepada

5 orang produsen untuk memperoleh keterangan mengenai biaya produksi, jumlah

produksi, kapasitas produksi, biaya investasi dan harga pempek . Survai yang

dilakukan meliputi kebiasaan mengkonsumsi dan persepsi konsumen tentang

mutu pempek yang baik dan diinginkan konsumen . Pengumpulan data sekunder

melalui studi pustaka. Pada tahap II dilakukan percobaan pembuatan pempek di

Laboratorium .Penelitian di Laboratorium di bagi menjadi dua tahap, yaitu

penelitian pendahuluan dan penelitian lanjutan.

Page 47: 5. sesi  ekonomi dan kemiskinan

ISBN 978-602-98295-0-1

Prosiding Seminar Nasional, 13-14 Desember 2010

968

Pada penelitian pendahuluan dilakukan penentuan perbandingan jumah

ikan gabus dan ikan tenggiri (0 : 2, 0,5 : 1,5 , 1 :1, 1,5 : 0,5) untuk pembuatan

pempek lenjer. Untuk mengidentifikasi kesukaan atau ketidaksukaan panelis

dilakukan uji coba perbandingan ikan gabus dan ikan tenggiri. Perbandingan

ikan tenggiri dan ikan gabus terpilih dari penelitian pendahuluan digunakan untuk

bahan penelitian lanjutan (standart). Sedangkan sumber protein ditambahkan

telur ayam dan susu bubuk, pengganti lemak ditambahkan minyak kelapa, dan

pengganti vetsin digunakan gula pasir.

HASIL DAN PEMBAHASAN

1. Kelayakan Ekonomi Skala Usaha Industri kecil

Analisis kelayakan ekonomi dilakukan pada skala usaha industri kecil

(kapasitas produksi 1000 lenjer/ hari). Dalam operasionalisasi produksi pempek

lenjer terdapat kegiatan teknis dan administrasi , sehingga dibutuhkan sumber

daya manusia yang sesuai dengan kebutuhan dua kegiatan tersebut . Pada

usaha pembuatan pempek dengan kapasitas produksi 1000 lenjer per hari,

tenaga kerja yang dibutuhkan adalah 3 orang manajer (manajer umum, produksi

dan keuangan), sekretaris 3 orang, karyawan (tenaga kerja harian) 10 orang dan

karyawati (tenaga kerja harian) 20 orang. Sebagai dasar perhitungan digunakan

beberapa asumsi sebagai berikut :

-. Modal yang digunakan adalah modal sendiri dan pinjaman

-. Jumlah hari kerja 240 hari per tahun

-. Perhitungan biaya didasarkan pada harga awal tahun 2010 dan diasumsikan

konstan selama periode pengkajian, dengan suku bunga 14 % / tahun.

-. Gaji manajer Rp. 2.000.000/bulan ; sekretaris Rp 1.000.000/bulan; upah harian

karyawan Rp 25.000/hari dan karyawati Rp 20.000/hari

-. Harga daging ikan gabus Rp 40.000/kg

-. Harga daging ikan tenggiri Rp 50.000/kg

-. Harga saus/cuka 1/5 dari harga bahan baku

-. Harga tanah Rp 150.000/m2 dan bangunan Rp 200.00 /m2

-. Biaya operasi 5 % dari modal investasi

-. Gaji dan upah naik 5 %/ tahun

Page 48: 5. sesi  ekonomi dan kemiskinan

ISBN 978-602-98295-0-1

Prosiding Seminar Nasional, 13-14 Desember 2010

969

-. Biaya pemeliharaan 3 % dari harga alat dan bangunan

-. Biaya pemasaran dan adminsitrasi Rp 500.000/bulan

-. Biaya telpon dan listrik masing-masing Rp 250.000/bulan dan biaya air Rp

100.000/bulan.

-. Analisis kelayakan ekonomi dilakukan untuk umur proyek 5 tahun yang

ditetapkan berdasarkan umur ekonomi peralatan. Dengan asumsi tersebut, maka

penentuan biaya investasi, biaya produksi, harga pokok dan harga jual produk

dapat dilaksanakan. Total biaya produksi (tetap dan tidak tetap) disajikan pada

Tabel 1. Biaya produksi adalah biaya yang berhubungan dengan kegiatan

produksi yang terdiri dari biaya tetap dan biaya tidak tetap. Biaya tetap adalah

biaya yang tidak dipengaruhi oleh naik turunnya produksi yang dihasilkan. Biaya

tidak tetap tergantung pada volume produksi yang dihasilkan ( Ibrahim, 1998).

Tabel 1. Biaya tetap dan tidak tetap produksi pempek lenjer /tahun

No Uraian Biaya Jumlah (Rp)

1 Biaya tetap

- Gaji 108.000.000

-. Penyusutan 6.520.000

-. Bunga pinjaman 82.740.924

-. Biaya pemasaran dan administrasi 6.000.000

-. Biaya pemeliharaan 2.634.000

-. Biaya listrik 3.000.000

-. Biaya telepon 3.000.000

Jumlah 211.894.924

2 Biaya tidak tetap

-. Upah 156.000.000

-. Biaya bahan baku 1.832.832.000

-. Biaya air 1.200.000

Jumlah 1.990.032.000

Total (1-2) 2.201.926.924

Komponen biaya tetap yang dibutuhkan terdiri dari : gaji untuk membayar 3

orang manajer (Rp 72.000.000 / tahun) dan 3 orang sekretaris (Rp 36.000.000 /

tahun), penyusutan , bunga pinjaman , biaya pemasaran dan administrasi (Rp

Page 49: 5. sesi  ekonomi dan kemiskinan

ISBN 978-602-98295-0-1

Prosiding Seminar Nasional, 13-14 Desember 2010

970

500.000/bulan), pemeliharaan sebesar 3 % dari harga alat dan bangunan, biaya

listrik dan telepon masing-masing sebesar ( Rp 250.000/bulan).

Biaya tidak tetap terdiri dari upah untuk 10 orang karyawan (Rp

60.000.000/tahun dan 20 orang karyawati (Rp 96.000.000/tahun). Besarnya biaya

produksi yang harus dikeluarkan untuk membuat produk (harga pokok)

merupakan faktor penentu terhadap harga jual terendah dari produk yang

dihasilkan.

Tabel 2. Rekapitulasi biaya investasi, biaya produksi dan harga pempek lenjer

DESKRIPSI JUMLAH

A. INVESTASI

1. Tanah 30.000.000

2. Bangunan 40.000.000

3. Peralatan Produksi 7.800.000

4. Peralatan Kantor 10.000.000

5. Biaya pra oprasi 4.390.000

Jumlah 92.190.000

B. BIAYA PRODUKSI

1. Biaya tetap 211.894.924

2. Biaya Tidak Tetap 1.990.032.000

Jumlah 2.201.926.924

C. PRODUKSI/TAHUN (Lenjer) 240.000

D. HARGA POKOK = (B: C) 9.174

E. HARGA JUAL = D + (D x 20%) 11.000

*) harga jual Rp 11.000/lenjer (dibulatkan)

Pada perhitungan laba rugi tersebut, pengeluaran setiap tahun digunakan

untuk keperluan biaya produksi (biaya tetap dan biaya tidak tetap) serta pajak.

Gaji dan upah ada kenaikan sebesar 5 % per tahun. Sedangkan pendapatan

setiap tahun diperoleh dari nilai penjualan produk yang besarnya tergantung dari

harga juall produk yang dihasilkan (Rp 11.000/lenjer). Arus penerimaan yang

merupakan sumber dana bagi industri terdiri dari modal sendiri dan modal

pinjaman (tahun ke-1), penerimaan (hasil penjualan produk) dan penyusutan

Page 50: 5. sesi  ekonomi dan kemiskinan

ISBN 978-602-98295-0-1

Prosiding Seminar Nasional, 13-14 Desember 2010

971

untuk tahun ke-2 sampai tahun ke-5, sumber dana hanya terdiri dari penerimaan

dan penyusutan.

Pengeluaran dana terdiri dari : modal investasi, gaji dan upah, bahan baku,

air, listrik, telepon, pemeliharaan alat dan bangunan, biaya piutang, bunga bank

dan cicilan. Usaha produksi pempek lenjer dengan kapasitas produksi 1000 lenjer

per hari menghasilkan total kas yang positif pada akhir umur proyek (tahun ke-5)

yaitu Rp 2.929.822.730,-

Perhitungan atau penentuan kriteria investasi dengan menggunakan

tingkat suku bunga14 % per tahun disajikan pada Tabel 3.

Tabel 3. Rekapitulasi Kriteria Investasi Produksi Pempek Lenjer

NPV 14% (Rp) IRR (%) Net B/C PBP(th) BEP(%)

2.265.090.000 38,70 23,57 1,69 32,60

Hasil perhitungan kriteri investasi menunjukkan bahwa usaha produksi

pempek lenjer pada skala industri kecil (kapasitas produksi 1000 lenjer per hari)

layak untuk dilaksanakan. Keadaan tersebut ditunjukkan oleh NPV yang bernilai

positif, IRR yang lebih besar dari tingkat suku bunga yang berlaku dan Net B/C

lebih besar dari satu. NPV yang bernilai positif (Rp 2.265.090.0000 ) merupakan

keuntungan bersih yang akan diterima penyelenggara usaha pada tahun yang

akan datang, jika diukur dengan nilai uang sekarang. NPV yang bernilai positif

menunjukkan kemampuan usaha untuk menghasilkan laba, sehingga usaha layak

untuk dilaksanakan.

Nilai IRR yang diperoleh(38,70 %) lebih besar dari tingkat suku bunga

yang digunakan dalam perhitungan (14%). Hal ini menunjukkan bahwa usaha

yang akan dilakukan mempunyai kemampuan untuk mengembalikan modal yang

digunakan dan dapat menghasilkan keuntungan, sehingga usaha layak untuk

dilaksanakan.

Net B/C pada tingkat suku bunga 14 % per tahun menunjukkan nilai 23,57.

Hal ini berarti setiap satu rupiah yang ditanam akan menghasilkan keuntungan

sebesar 23,57 rupiah. Nilai Net B/C yang dihasilkan dalam perhitungan lebih

6

Page 51: 5. sesi  ekonomi dan kemiskinan

ISBN 978-602-98295-0-1

Prosiding Seminar Nasional, 13-14 Desember 2010

972

besar dari satu, sehingga usaha ini layak untuk dilaksanakan. PBP adalah waktu

yang diperlukan untuk menutup atau mengembalikan modal investasi yang

ditanam. Modal investasi yang digunakan pada usaha produksi pempek lenjer

sebesar Rp 92.190.000,- akan kembali setelah usaha berjalan 1,69 tahun.

Hasil perhitungan nilai BEP menunjukkan bahwa usaha memiliki potensi

untuk menghasilkan keuntungan. Semakin kecil nilai BEP maka semakin besar

keuntungan yang akan diperoleh. Sebagai ilustrasi , nilai BEP dicapai pada saat

32,60 % dari penjualan yaitu Rp 860.728.000. Hal ini berarti 67,40 % dari

penjualan atau senilai Rp 1.404.362.000 merupakan keuntungan usaha.

Untuk mengetahui perubahan-perubahan yang mungkin terjadi terhadap

hasil analisa ekonomi yang telah dlakukan, maka dilakukan analisis kepekaan

atau sensitivitas. Pada produksi pempek lenjer, analisa kepekaan dilakukan

terhadap perubahan biaya bahan baku, air, listrik dan telepon serta perubahan

penerimaan karena penurunanan harga atau jumlah yang dijual.

Tabel 4. Rekapitulasi kriteria investasi dengan kenaikan biaya bahan baku, air,

listrik dan telepon.

Kenaikan biaya (%) NPV (Rp) IRR (%) Net B/C

5 1.947.140.509 38,64 12,62

10 1.697.355.916 38,60 9.35

15 1.315.841.526 38,4 1,22

Tujuan analisa kepekaan terhadap perubahan biaya bahan baku, air, listrik

dan telepon adalah untuk melihat sejauh mana perubahan biaya tersebut

(khususnya kenaikan biaya) akan mempengaruhi kelayakan usaha. Pada tabel 4,

terlihat bahwa kenaikan biaya sebsar 5%, 10% dan 15 %, usaha pempek lenjer

masih layak untuk dilaksanakan. Hal ini ditunjukkan oleh nilai NPV yang positif

dan nilai IRR yang lebih tinggi dari tingkat suku bunga yang digunakan dalam

perhitungan. Analisis kepekaan terhadap penurunan penerimaan bertujuan untuk

melihat seberapa jauh perubahan penerimaan khususnya penurunan penerimaan

karena penurunan harga jual atau jumlah yang dijual akan mempengaruhi

kelayakan usaha produksi pempek lenjer. Pengaruh perubahan penerimaan

terhadap nilai NPV, IRR dan net B/C disajikan pada Tabel 5.

7

Page 52: 5. sesi  ekonomi dan kemiskinan

ISBN 978-602-98295-0-1

Prosiding Seminar Nasional, 13-14 Desember 2010

973

Tabel 5. Rekapitulasi kriteria investasi dengan penurunan penerimaan

Penurunan Penerimaan (% NPV (Rp) IRR (%) Net B/C

5 1.810.064.246 38,48 24,62

10 1.359.444.400 38,22 6,65

15 904.018.000 38,07 2,07

Pada Tabel 5. Terlihat bahwa penurunan penerimaan sebesar 5%, 10%,

15 % usaha pempek lenjer masih layak untuk dilaksanakan. Hal ini ditunjukkan

oleh nilai NPV yang positif dan nilai IRR yang lebih tinggi dari tingkat suku bunga

yang digunakan dalam perhitungan. Kenaikan biaya produksi dan penurunan

harga jual menyebabkan penurunan nilai Net B/C, akan tetapi nilai-nilai tersebut

masih tergolong layak, karena masih lebih besar dari satu. Hal ini menunjukkan

bahwa perubahan biaya produksi (kenaikan) dan harga jual (penurunan) sampai

sebesar 15 % berpengaruh terhadap niai Net B/C, tetapi masih tergolong layak.

2.Optimasi Formulasi Pempek

Pada pembuatan pempek lenjer digunakan campuran ikan tenggiri dengan

ikan gabus, dengan taraf 0%, 25%, 50% dan 75%. Pengganti protein ikan dapat

digunakan telur ayam dan susu bubuk , sedangkan pengganti lemak ikan dapat

digunakan minyak kelapa dan pengganti vetsin digunakan gula pasir. Komposisi

adonan pempek yang digunakan pada penelitian ini dapat dilihat pada Tabel 6.

Tabel 6. Komposisi bahan baku yang digunakan pada penelitian

Bahan baku Komposisi

Ikan tenggiri (Kg) 1-2

Ikan gabus (Kg) 0-0,75

Tepung tapioka (gram) 250-1000

Susu bubuk 0-50

Telur (ml) 100-150

Minyak kelapa sawit (ml) 100-150

Gula (gram) 100

Garam (gram) 50

Air (ml) 400-500

8

Page 53: 5. sesi  ekonomi dan kemiskinan

ISBN 978-602-98295-0-1

Prosiding Seminar Nasional, 13-14 Desember 2010

974

Penggunaan ikan gabus hingga 75 % dan penggunaan susu bubuk, telur ayam

ras, minyak kelapa dan gula pasir ditujukan untuk mendeteksi tingkat penerimaan

konsumen terhadap pempek lenjer yang dihasilkan.

Model Pencampuran Bahan Baku

Pada penelitian ini dilakukan pembuatan model pencampuran bahan baku

pempek dengan bantuan teknik operasional seperti program linier dengan

menggunakan program LINDO (Maarif,S dan Machfud, 1989). Tujuan dari

penggunaan program linier adalah untuk mendapatkan optimasi formula pempek

dalam menghasilkan produk yang bermutu baik dan ekonomis dari segi biaya.

Untuk kemudahan interpretasi model linier yang digunakan dalam penelitian ini

digunakan dasar perhitungan 100 gram adonan pempek yang dibuat bagi

penentuan fungsi tujuan maupun fungsi kendala (Siagian, 1987)

Informasi biaya bahan baku (Cj) yang digunakan

Bahan baku pempek yang digunakan dalam model pencampuran bahan

baku dengan penyelesaian program linier adalah ikan tenggiri (Rp 50.000/kg),

ikan gabus (Rp 40.000/kg), tepung tapioka (Rp 10.000/kg), Susu bubuk Rp

40.000/kg) , telur (Rp 13.000/kg), minyak kelapa (Rp 9000/kg), gula (Rp

10.000/kg), garam (Rp 1000/kg) dan air ( Rp2500/l)

Dalam permasalahan ini, bahan baku dapat dianggap sebagai peubah

keputusan (faktor Xj), diasumsikan bahwa sumber daya yang terbatas perlu

dilakukan minimisasi biaya bahan baku yang dinyatakan dalam bentuk fungsi

tujuan yaitu :

Minimisasi = 50 X1 +40 X2 + 10 X3 + 40 X4 + 13 X5+ 9 X6 +10 X 7+ X8 + 2,5 X9

Batasan Selang Penggunaan Bahan Baku (bj) Yang Diperkenankan

Dalam hal ini dapat dikatakan bahwa bahan baku yang digunakan harus dibatasi

dalam jumlah tertentu untuk menekan biaya produksi. Batasan yang akan

digunakan untuk menyusun fungsi atau persamaan kendala adalah jumlah protein

berkisar antara 5,48 – 9,23 %, jumlah lemak berkisar antara 4,37 – 9,92 % ,

jumlah ikan tenggiri (X1) 27,27 – 36,36 %, jumlah ikan gabus (X 2) 0 – 9,09 %.

Page 54: 5. sesi  ekonomi dan kemiskinan

ISBN 978-602-98295-0-1

Prosiding Seminar Nasional, 13-14 Desember 2010

975

Jumlah tepung tapioka (X 3) antara 27,27 – 36,36 %,Jumlah susu bubuk (X4) 0 –

50 %, Jumlah telur ayam (X4 )3,63 - 5,45 % .

Jumlah minyak kelapa (X5 ) 1,81-3,63, jumlah gula (X6 ), jumlah garam (X7) tetap,

jumlah air (X8 ) antara 51,78 – 63,87 %.

a. Fungsi kendala bobot bahan baku total :

X1 +X2 +X3+X4+X5+X6+X7+X8 + X9 = 100 gram

b. Fungsi kendala protein :

5,48 ≤ 0,124 X1 + 0,128 X2 + 0,007 X3 + 0,089 X4 + + 0,128 X5 ≤ 9,23

c. Fungsi kendala Lemak

4,37 ≤ 0,01 X1 + 0,015 X2+ 0,013 X3 + 0,002 X4 + 0,115 X5 + X6 ≤ 9,92

d. Fungsi kendala jumlah ikan tenggiri : 27,27 ≤ X1 ≤ 36,36

e. Fungsi kendala ikan gabus : 0 ≤ X2≤ 9,0

f. Fungsi kendala tepung tapioka : 27,27 ≤ X3 ≤36,36

g. Fungsi kendala susu bubuk : 0 ≤ X4 ≤ 9,0

h. Fungsi kendala telur ayam : 3,63 ≤ X5 ≤ 5,45

i. Fungsi kendala minyak kelapa : 1,81≤ X6 ≤ 3,63

j. Fungsi kendala gula : X7 = 3,63

k. Fungsi kendala garam : X8 = 1,81

l. Fungsi kendala air : 51,78 ≤ 0,81X1 + 0,79 X2 + 0,14 X 3

+ 0,12 X4 + 0,74 X5 + 0,054 X6 + X9 ≤ 63,87

Dari fungsi tujuan dan fungsi kendala yang dibentuk untuk menyelesaikan

model pencampuran bahan baku secara optimal dengan program komputer

LINDO didapatkan biaya minimum bahan baku Rp 2310,04 ,- untuk setiap 100

gram adonan pempek . Hal tersebut diperoleh pada kondisi penggunaan ikan

tenggiri (X1) 27,27 gram, ikan gabus (X2 ) 3,13 gram , tepung tapioka (X3) 27,27

gram, susu bubuk (X4 ) 9,09 , telur ayam (X5) 5,45 gram, minyak kelapa (X6) 3,05

gram, gula pasir (X7) 3,63 gram, garam (X8) 1,81 gram dan air (X9) 19,29 gram.

Hasil perhitungan biaya bahan baku untuk pembuatan 100 gram adonan pempek

yang dimaksud dapat dilihat pada Tabel 7. Terlihat bahwa biaya bahan baku

untuk membuat 100 gram adonan pempek adalah Rp 2310,04 atau untuk

memperoleh satu lenjer pempek adalah 300 gram (Rp 6930,12) , sehingga biaya

untuk membuat satu lenjer pempek dan cukanya dibutuhkan biaya Rp 8316,144,-

Page 55: 5. sesi  ekonomi dan kemiskinan

ISBN 978-602-98295-0-1

Prosiding Seminar Nasional, 13-14 Desember 2010

976

Tabel 7. Hasil optimal pencampuran bahan baku pempek lenjer

Bahan baku Jumlah bahan

(gram)

Harga satuan

(Rp/gram)

Harga Bahan *)

Ikan tenggiri (X1) 27,27 50 1363,50

Ikan gabus (X2) 3,14 40 125,60

Tepung tapioka (X3) 27,27 10 272,70

Susu bubuk (X4 ) 9,09 40 363,60

Telur ayam (X5) 5,45 13 70,85

Minyak kelapa (X6) 3,05 9 27,45

Gula pasir (X7) 3,63 10 36,3

Garam (X8) 1,81 1 1,81

Air (X9) 19,29 2,5 48,23

Total 100,00 2310,04

*) Harga bahan = jumlah bahan x harga/gram

KESIMPULAN

1. Hasil analisis kelayakan ekonomi usaha pempek lenjer dengan produksi

1000 lenjer per hari layak untuk dilaksanakan. Hal ini ditunjukkan oleh NPV

Rp 2.265.090.000 ; IRR 38,70 ; Net B/C 23,57 ; PBP 1,69 tahun ; BEP

32,60 %. Hasil analisis sensitivitas terhadap kenaikan biaya bahan baku,

air, listrik dan telepon serta penurunan penerimaan hingga 15 %, usaha

pempek lenjer masih layak untuk dilaksanakan

2. Hasil optimasi pencampuran bahan baku pempek dengan minimisasi biaya

untuk 100 gram bahan baku adonan adalah ikan tenggiri sebanyak 27,27

gram, ikan gabus 3,13 gram, tepung tapioka 27,27 gram, susu bubuk 9,09

gram, telur ayam 5,45 gram, minyak kelapa 3,05 gram, gula pasir 3,63

gram, garam dapur 1,81 gram dan air 19,29 gram. Harga bahan Rp

2310,04 /100 gram adonan atau harga satu lenjer pempek dan cukanya Rp

8316,144,-

Page 56: 5. sesi  ekonomi dan kemiskinan

ISBN 978-602-98295-0-1

Prosiding Seminar Nasional, 13-14 Desember 2010

977

DAFTAR PUSTAKA

Astawan,M, F.G. Winarno dan Y. Kusumawati. Kajian Mutu Empek-empek Palembang Dari Ikan Tenggiri (Scomberomorus commersoni). 1997. Bul.Teknol dan Industri Pangan. VIII(1) :pp 1-7.

Direktorat Gizi Departemen Kesehatan Republik Indonesia. 1995. Daftar

Komposisi Bahan Makanan. Bharatara Karya Aksara. Jakarta. Fardiaz,D. 1985. Kamaboko, Produk Olahan Ikan yang Berpotensi

Dikembangkan. Media Teknologi Pangan. 1 (2). Govindan. 1987. Fish Processing Technology. IBH Publishing Co PVT.Ltd. New

Delhi. Gray,C; P. Simanjuntak dan L.K.Sabur. 1997. Pengantar Evaluasi proyen.

Gramedia Pustaka Utama. Jakarta Greenwood,C.T. and Munro. 1979. Carbohydrates dalam Priestey (ed). 1979.

Effects of Heating on Foodstuffs. Applied Science Publishers Ltd. London.

Hubeis.M. 1994. Pemasyarakatan ISO 9000 untuk Industri Pangan di Indonesia

. Bul Teknol dan Ind Pangan 5 (3) : 65-70

Hubeis,M, Ni Luh Puspitasari dan Herijanto. 1994. Optimasi Formulasi Es Krim Skala Kecil Dengan Menggunakan Minyak kelapa Sawit Sebagai Pengganti Lemak Mentega (Optimization of Small Scale Ice Cream Formulating Using Palm Oil As Better Fat Substitute). Bul Teknol dan Ind Pangan 5 (3) : 1-6.

Ibrahim, Y. 1998. Studi Kelayakan Bisnis. Rineka Cipta. Jakarta. Iljas. N. 1995. Peranan Teknologi Pangan Dalam Upaya Meningkatkan Citra

Makanan Tradisional Sumatera Selatan. Pidato Pengukuhan Sebagai Guru besar Tetap Pada Fakultas Pertanian Universitas Sriwijaya. Palembang.

Maarif,S dan Machfud. 1989. Teknik Optimasi Rekayasa Proses Pangan .

Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. Direktorat Jendral Pendidikan Tinggi. Pusat Antar Universitas Pangan dan Gizi Institut Pertanian Bogor. Bogor.

Siagian.P. 1987. Penelitian Operasional Teori dan Praktek. Universitas

Indonesia Press. Jakarta. Turner,J. And Martin,T. 1989. Applied Farm Management. Blackwell Scientific

Publication Ltd. Melborne. Widodo,S.T. 1995. Indikator Ekonomi. Kanisius. Yogyakarta.

Page 57: 5. sesi  ekonomi dan kemiskinan

ISBN 978-602-98295-0-1

Prosiding Seminar Nasional, 13-14 Desember 2010

978

ANALISIS FAKTOR-FAKTOR YANG MENGHAMBAT WANITA PENGRAJIN BAJU PENGANTIN DI DESA TANJUNG BATU, OKI DALAM BERWIRAUSAHA

Desloehal Djumrianti dan Yusleli Herawati

POLITEKNIK NEGERI SRIWIJAYA

ABSTRAK

Tulisan ini bertujuan untuk menganalisis faktor-faktor yang menghambat wanita pengrajin baju pengantin di desa Tanjung Batu OKI dalam berwirausaha. Banyak kesempatan untuk mengembangkan usaha di depan mata, tapi terkadang tidak tahu bagaimana menangkapnya secara maksimum. Ibu rumah tangga mempunyai potensi yang luar biasa karena dapat mengerjakan banyak hal sekaligus. Oleh karena itu dia tidak hanya ibu dari anak-anak mereka atau istri dari suami, tetapi mereka juga orang-orang yang dapat membuat "sesuatu" untuk mendapatkan uang. Dengan potensi yang besar dalam diri mereka terbuka peluang yang besar untuk menjadi pengusaha yang. Seperti misalnya dengan melakukan bisnis rumahan atau home industry, yang dilakukan oleh ibu-ibu rumah tangga di desa Tanjung Batu, Kabupaten OKI. Walaupun usaha tersebut sudah dilakukan turun temurun teapi tetap saja mereka lamban dalam meraih sukses sebagai pengusaha wanita, hal ini di karenakan faktor intern dan ekstern yang menghambat. Dari Keywords: pengrajin baju pengantin, wirausaha wanita, kewirausahaan

PENDAHULUAN

Banyaknya tuntutan kebutuhan hidup dan naiknya harga barang memaksa

kita berfikir untuk memenuhinya. Sementara itu tidak berimbangnya penghasilan

masyarakat dapat mempersulit keadaan, terkadang seorang kepala keluarga tidak

mampu menghidupi keluarga secara layak. Upah atau gaji mereka tidak mampu

mencukupi kebutuhan pangan, papan, dan sandang keluarga mereka. Dengan

Upah Minimum Regional (UMR) sebesar Rp 927.825 (Sapri H. Nungcik, 2009), hal

ini jelas tidak dapat memenuhi semua kebutuhan satu keluarga yang mempunyai

dua orang anak dan seorang isteri.

Belum lagi dampak yang ditimbulkan oleh krisis global di beberapa negara

seperti di Indonesia. Banyak perusahaan yang besar bankrupt tidak bisa bertahan

dalam kondisi ini. Dimana-mana pengangguran semakin bertambah Income

Page 58: 5. sesi  ekonomi dan kemiskinan

ISBN 978-602-98295-0-1

Prosiding Seminar Nasional, 13-14 Desember 2010

979

perkapita drastis menurun karena beberapa industri mulai merampingkan tenaga-

kerja atau mulai meliburkan tenaga kerja tanpa batas waktu. Kebijakan

pemerintah seperti bantuan langsung tunai (BLT) akan sulit menahan pelemahan

perekonomian yang sudah bersifat struktural. Perlu adanya gerakan yang cepat

dan tepat untuk mengatasi semua itu. Peran pria sebagai kepala keluarga yang

sekaligus pencari nafkah bagi keluarga sudah tidak dapat lagi menjadi satu-

satunya andalan bagi keluarga untuk mencukupi kebutuhan hidup, perlu adanya

kerjasama antara suami dan isteri dalam menopang keluarga mereka.

Wanita mempunyai potensi yang besar untuk dapat berbuat sesuatu yang

lebih kreatif dan produktif untuk menghasilkan uang. Mereka dapat berbagi

dengan suami mereka dalam mencari nafkah. Sekarang ini banyak wanita

Indonesia yang sudah merubah paradigma lama dimana mereka tidak hanya

sebagai seorang isteri dari suami dan sebagai seorang ibu bagi anak-anak

mereka, tetapi mereka juga sebagai wanita pekerja atau pengusaha. Setidaknya

tercatat sekitar 9.3 juta wanita Indonesia yang berkerja lebih dari 48 jam per

minggu dan sekitar 40.000 pengusaha wanita Indonesia (BPS Indonesia, 2009 &

IWAPI, 2010). Tidak semua mereka memulai usahanya dengan modal yang besar

ada juga yang memulainya dari usaha rumahan. Walaupun belum tercatat

sebagai pengusaha wanita yang sukses para ibu rumah tangga di Desa Tanjung

Batu, Kabupaten Ogan Komering Ilir berusaha dengan ketrampilan seadanya

mereka mencari uang sebagai pembuat baju pengantin adat Sumatera Selatan.

Sebagian wanita di desa ini berkerja sebagai pengrajin baju pengantin adat

Sumatera Selatan, ada juga yang menjadi pengrajin pembuat perhiasan emas dan

perak, dan membuat perabot dapur. Akan tetapi kesemua industri yang ada di

desa ini masih terkategori industri rumah tangga atau skala kecil dan tidak jelas

legalisasi hukumnya serta tidak tercatat resmi di dinas Perindustrian dan

Perdagangan Sumatera Selatan. Tidak ada data mengenai berapa jumlah yang

persis industri baju pengantin adat Sumatera Selatan di daerah ini, dan sejak

kapan memulai usahanya. Dari data di lapangan di dapat bahwa wanita pengrajin

baju pengantin adat Suamtera Selatan ini memulai usahanya karena turun

temurun warisan dari nenek moyang mereka.

Usaha pembuatan baju pengantin adat Sumatera Selatan ini berjalan

begitu saja dari hari ke hari, mereka membuat baju pengantin karena mendapat

Page 59: 5. sesi  ekonomi dan kemiskinan

ISBN 978-602-98295-0-1

Prosiding Seminar Nasional, 13-14 Desember 2010

980

upahan atau membuat atas inisiatif sendiri kemudian mereka jual. Upah

pembuatan satu stel baju pengantin sangat bervariasi tergantung dari baju yang

akan dipakai oleh pengantin wanita atau baju yang akan dipakai oleh pengantin

pria. Selain itu yang membedakan tingkat kerumitan dari baju itu sendiri, seperi

contoh baju pengantin Aesan Kebesaran (Gede), tentu berbeda dengan

pembuatan baju pengantin berbeda Aesan Pengangon (Pak Sangko). Seperti

untuk membuat satu stel baju kurung pengantin wanita (Pak Sangko wanita)

lengkap dengan teratai, sunting, mahkota, gelang tetapi tidak termasuk kain

songket yang akan dipakai pengantin wanita yaitu berkisar antara Rp. 300.000,- –

Rp. 500.000,- tergantung dari kualitas baju tersebut. Tetapi untuk pakaian Pak

Sangko Pria upahnya sedikit lebih rendah berkisar Rp. 200.000,- - Rp. 400.000,-.

Sedangkan untuk baju pengantin Aesan Gede Wanita upah pembuat satu stel

lebih mahal karena walaupun baju pengantin ini tidak tertutup seperti hanya

menggunakan kain dodot saja, tetapi ditutupi dengan teratai pada bagian dada,

dan biasanya sebagai daya tarik utama pakaian jenis ini terletak pada teratai itu.

Sehingga dibuat agak gemerlap bertaburan dengan hiasan-hiasan keemasan

sehingga pengerjaannya menjadi lebih rumit, selain itu perbedaan pakain ini

dengan Pak Sangko juga ditambahkan selempang jadi upah untuk mengerjakan

baju jenis ini berkisar antara Rp. 350.000,- sampai Rp. 600.000,-. Sedangkan

upah untuk pakaian prianya sama dengan pakaian Pak Sangko wanita.

Selain menerima membuatkan pesanan dari toko-toko yang menjual baju

pengantin adat Sumatera Selatan di Palembang, mereka juga membuat baju

pengantin apabila tidak ada pesanan dan kemudian menjualnya apabila ada orang

yang datang ke desa mereka atau membawa hasil karya mereka ke kota

Palembang. Harga 1 stel pakaian pengantin Aesan Gede wanita mereka jual

dengan harga Rp. 3.000.000,- sedangkan Aesan Gede Pria Rp. 1.500.000,-

dengan kualitas nomor satu. Untuk pakaian pengantin Pak Sangko nomor satu

mereka menjual satu pasang untuk pria dan wanita Rp. 3.000.000 sampai Rp.

4.000.000,-.

Bahan baku untuk membuat baju pengantin adat Sumatera Selatan

biasanya terdiri dari kain bludru, kuningan, manik-manik, benang emas, kuningan,

mata-mata, kembang goyang. Sedangkan peralatan yang digunakan untuk

membuat baju pengantin ini selain dari mesin jahit, benang jahit, alat untuk

Page 60: 5. sesi  ekonomi dan kemiskinan

ISBN 978-602-98295-0-1

Prosiding Seminar Nasional, 13-14 Desember 2010

981

membentuk sunting, anting-anting, kalung, bunga-bunga untuk mahkota. Tetapi

yang terpenting dalam membuat baju pengantin ini adalah ketelitian, keuletan, dan

ketrampilan untuk memasang ornament-ornamen untuk baju tersebut. Proses

pembuatan satu pasang baju pengantin ini berkisar antara satu hingga dua

minggu. Dibawah ini adalah gambar baju pengantin adat Palembang, Sumatera

Selatan yang dibuat oleh wanita pengrajin baju pengantin di desa Tanjung Batu,

Kabupaten OKI.

Baju Pengantin Pak Sangko Baju Penganti Aesan Ged

Gambar 1 Baju Pengantin Adat Palembang, Sumatera Selatan

Tujuan dari studi ini adalah untuk menganalisis faktor-faktor manakah yang

dapat menghambat wanita pengrajin pakaian pengantin di desa Tanjung Batu ini

dalam berwirausaha. Manfaat yang akan di dapat dari studi ini adalah untuk

membantu wanita pengrajin dalam mengatasi permasalahannya, serta membantu

mereka untuk dapat mengembangkan usahanya. Secara tidak langsung ini juga

akan bermanfaat bagi pemerintah daerah Kabupaten Ogan Komering Ilir dalam

meningkatkan income per kapitanya.

TINJAUAN PUSTAKA

Apakah Wirausaha dan Kewirausahaan

Banyak pengertian dari kewirausahaan atau dalam bahasa Inggrisnya

Entrepreneurship, seperti yang dikatakan oleh Timmons (1994) states

entrepreneurship is a human, creative act that builds something of value from

practically of opportunity regardless of the resources, or less of resources, at

hand. It requires a willingness to take calculated risks. Sedangkan menurut

Wikipedia Online (2010) dalah proses mengidentifikasi, mengembangkaan, dan

Page 61: 5. sesi  ekonomi dan kemiskinan

ISBN 978-602-98295-0-1

Prosiding Seminar Nasional, 13-14 Desember 2010

982

membawa visi ke dalam kehidupan. Pendapat senada di uraikan oleh Unggul

(2008) Semangat , sikap, perilaku dan kemampuan seseorang dalam menangani

usaha atau kegiatan yang mengarah pada upaya cara kerja teknologi dan produk

baru dengan meningkatkan efisiensi dalam rangka memberikan pelayanan yang

lebih baik dan keuntungan yang lebih besar.

Tahap-tahap kewirausahaan

Secara umum tahap-tahap melakukan wirausaha:

1. Tahap memulai

2. Tahap melaksanakan usaha

3. Tahap mempertahankan usaha

4. Tahap mengembangkan usaha(Wikipedia Online, 2010)

Pengertian seorang Entrepreneur

Beberapa orang berpendapat adanya perbedaan antara pengusaha,

pekerja dan seorang entrepreneur. Menurut Zimmerer and Scarborough (2003),

an entrepreneur is one who creates a new business in the face of risk and

uncertainty for the purpose of achieving profit and growth by identifying

opportunities ad assembling the necessary resources to capitalize on those

opportunities. Sedangkan menurut Unggul (2008), pengusaha adalah wirausaha

yaitu orang yang mempunyai kemampuan melihat dan menilai kesempatan bisnis,

mengumpulkan sumber daya yang dibutuhkan guna mengambil keuntungan dan

tindakan yang cepat dalammemastikan kesuksesan.

Faktor-faktor Keberhasilan dan Kegagalan Wirausaha

1. Keberhasilan Wirausahawan

Untuk menjadi seorang wirausahawan, diperlukan dukungan dari orang lain

yang berhubungan dengan bisnis yang kita kelola. Seorang wirausaha harus

mau menghadapi

tantangan dan resiko yang ada. Resiko dijadikan sebagai pemacu untuk maju,

dengan adanya resiko, seorang wirausaha akan semakin maju.

a. Kerja keras e. Pandai membuat keputusan

b. Kerjasama dengan orang lain f. Mau menambah ilmu pengetahuan

Page 62: 5. sesi  ekonomi dan kemiskinan

ISBN 978-602-98295-0-1

Prosiding Seminar Nasional, 13-14 Desember 2010

983

c. Penampilan yang baik g. Ambisisi untuk maju

d. Yakin h. Pandai berkomunikasi

3. Kegagalan Wirausahan.

Menurut Alex S. Niti Semito dalam Unggul (2008), kegagalan wirausahawan

dalam menjalankan bisnisnya terbagi menjadi dua, yaitu :

1. Kegagalan yang dapat dihindarkan

Misal: salah mengelola perusahaan, tidak ada rencana yang matang, pelayanan

yang kurang baik, dll

2. Kegagalan yang tidak dapat dihindarkan

Yaitu kegagalan yang sulit atau hamper tidak dapat dihindari seperti bencana

alam, peperangan, kebakaran, kecelakaan.

Prinsip dasar membuka peluang usaha adalah : 1. Memiliki motivasi , tekad yang bulat dan kuat. 4. Memiliki wawasan luas

2. Cerdas dalam teknik pengambilan resiko 5. Memiliki naluri kuat

3. Percara diri 6. Tidak suka diatur orang lain

7. Menerima pendapat orang lain

Strategi membuka peluang usaha adalah :

1. Jangan ragu 4. Berupaya menutupi kelemahan

2. Menhilangkan rasa pesimis 5. Mau belajar pada dengan orang lain

3. Bangikitkan sifat optimis 6. Memiliki wawasan luas

Pengusaha Wanita Kesempatan dan dan Tantangannya

Kesempatan berwirausaha di depan mata, tergantung bagaimana setiap

orang memanfaatkannya. Untuk mendapatkannya memang tidaklah mudah

karena kesempatan tidak datang begitu saja, sehingga orang harus jeli melihat

peluang tersebut. Begitu pula kesempatan usaha bagi wanita dari sektor industri

rumah tangga, walaupun kecil peran wanita dalam industri rumah tangga tetapi

wanita tetap dapat mengembangkan potensi yang ada pada mereka (Indriani,

2005). Untuk itu pengusaha wanita harus pandai mengidentifikasi kesempatan

bisnis dan menangkap peluang disekitar mereka. Sama halnya dengan

Page 63: 5. sesi  ekonomi dan kemiskinan

ISBN 978-602-98295-0-1

Prosiding Seminar Nasional, 13-14 Desember 2010

984

pengusaha pria, banyak pengusaha wanita yang memulai bisnisnya karena hanya

mempunyai ide yang baik.

Tetapi ada beberapa alasan yang membuat perbedaan antara pembinis

wanita dan pria, seperti motivasi, dan diskriminasi (Zimmerer & Scarborough,

2003). Selain itu ada tantangan lain bagi pengusaha wanita, seperti personal

service, karena sektor industri lebih percaya dengan pengusaha pria. Sebuah

studi di Inggris memperoleh hasil bahwa pengusaha wanita lebih menderita

disbanding dengan pengusaha pria dikarenakan adanya diskriminasi gender

(Shaw et.al, 2001). Masalah lain yang dapat timbul adalah karena urusan

keluarga termasuk suami dan anak-anak (Deakin & Fareel, 2003), dan kesibukan

urusan rumah tangga (Darmawan & Kurniati, 2008)

PROSEDUR DAN METHODOLOGI

Banyak faktor yang mempengaruhi entrepreneur wanita untuk

mengembangkan usahanya. Pada penelitian ini dibatasi menjadi dua jenis yaitu

potensi dan hambatan secara detil seperti diagram di bawah ini:

Sumber: Djumrianti, 2010

Gambar 2. Model Penelitian

Teori

Faktor-faktor yang mempengaruhi

kesempatan berusaha:

1. Hambatan 2. Potensi

- modal - keahlian

- keluarga - ketrampilan

- diskriminasi

Analisis

Regresi Berganda

Hasil dan Interpretasi

Page 64: 5. sesi  ekonomi dan kemiskinan

ISBN 978-602-98295-0-1

Prosiding Seminar Nasional, 13-14 Desember 2010

985

HIPOTESA

Asumsi bahwa faktor-faktor hambatan secara signifikan parsial mempengaruhi

kesempatan berwirausaha.

Asumsi bahwa faktor-faktor potensi mempengaruhi signifikan parsial terhadap

kesempatan berwirausaha.

Asumsi bahwa faktor-faktor hambatan dan potensi mempengaruhi

kesempatan berwirausaha secara simultan signifikan.

Diagram di bawah ini adalah hipotesa model dalam penelitian ini:

Gambar 3. Model Hipotesis Definisi dari variable-variabel

Dibawah ini adalah variable-variabel penelitian:

1. Hambatan (X1), comprise three indicators:

- Modal (X11), Jumlah orang dan dana yang ada di perusahaan. - Family (X12), orang yang ada hubungan dekat termasuk suami, anak dan

orang tua. - Discrimination (X13), perbedaan supporting program terhadap pengusaha

wanita. 2. Potentials (X2), consist of three indicators: - Hobbi (X21), sesuatu yang wanita sangat menyukai - Ketrampilan (X22), sesuatu dimana pengusaha wanita yakin bisa mengerjakan - Keahlian (X23), suatu ketrampilan di dalamnya ada pengetahuan untuk

mencapai sesuatu. 3. Kesempatan (Y), kesempatan untuk berbisnis.

PROSEDUR PENGUMPULAN DATA

Data Primer: Serangkaian observasi telah dilakukan secara langsung untuk

melihat proses pembuatan baju pengantin adat Sumatera Selatan. Beberapa

kuesioner pun telah dibagikan kepada 67 orang responden terpilih. Serta focus

Hambatan

Potensi

Kesempatan

Page 65: 5. sesi  ekonomi dan kemiskinan

ISBN 978-602-98295-0-1

Prosiding Seminar Nasional, 13-14 Desember 2010

986

group discussion selama 60 menit pun telah dilakukan untuk mendapatkan hasil

yang lebih maksimal.

Data Sekunder: Untuk melengkapi data pada penelitian ini ditambah data

sekunder yang diperoleh dari dinas Perindustian dan Perdagangan propinsi

Sumatera Selatan, Biro Pusat Statistik Daerah Sumatera Selatan, dan Indonesia,

serta mengkaji beberapa literatur.

Populasi dan Sampel

Yang menjadi populasi wanita, ibu rumah tangga di desa Tanjung Batu, Kabupaten Ogan Komering Ilir (OKI) sebanyak 200 wanita. Sedangkan yang menjadi sampel adalah sebagai berikut, dihitung dengan menggunakan rumus Slovin, seperti di bawah ini (Arikunto, 2002 & Umar, 2001):

N n = ---------------- 1 + N (e) 2

n: sample, N: populasi, e: precision . Dengan tingkat ketelitian 10%, didapat

sampel sebanyak 67 orang.

Teknik Analisis Data

Untuk menganalisis data dalam penelitian ini dengan menggunakan regresi

berganda (Gujarati, 2003):

Y = f (X1, X2, X3, … Xn) atau Y = β0 + β1X1 + β2X2 + β3X3 + …μ

Y : dependent variable β1 … βn : regression coefficient μ:

disturbing error

β0 : constantan X1… Xn: independent variables

Pengukuran variable-variabel

Untuk mengukur variable-variabel tersebut digunakan skala Likert untuk

menjawab pertanyaan-pertanyaan dimana skornya adalah Sangat setuju= 5,

Setuju=4, Netral = 3, Tidak setuju= 2, Sangat Tidak Setuju = 1.

Page 66: 5. sesi  ekonomi dan kemiskinan

ISBN 978-602-98295-0-1

Prosiding Seminar Nasional, 13-14 Desember 2010

987

HASIL DAN DISKUSI

Deskripsi responden

Sebanyak 67 pertanyaan dibagikan kepada respondent di desa Tanjung

Batu OKI, tetapi hanya hanya 60 kuesioner yang dikembalikan.

Demographi Responden

Umur wanita pengrajin yang dijadikan responden adalah 19-25 th = 10 org

(17%), 26-32 th = 11 org (18%), 33-38 th = 20 org (33%), ≥ 39 th = 19 org (31%).

Sedangkan status perkawinan responden adalah mayoritas sudah menikah

sebanyak 58 orang (97%), sisanya 2 orang atau 3% yang belum menikah.

Diskusi

Berdasarkan analisis data pada penelitian diperoleh sebagai berikut:

K = 0.452 H + 0.226 P + 3.788E

K : Kesempatan, H: Hambatan-hambatan, P: Potensi, E: Error

Berdasarkan rumus diatas, dijelaskan hambatan dan potensi berpengaruh

terhadap kesempatan, hambatan 0.452 dan potensi berpengaruh 0.226.

Untuk mengetahui bagaimana kedua independent variabel mempengaruhi

kesesempatan seperti tabel di bawah ini:

Tabel 1. Analisis T test hambatan, Potensi, dan Kesempatan

Variable C.R (t test)

Prob Description

Hambatan - Kesempatan 5.005 0.000 Significant*

Potentsi – Kesempatan 1.274 0.206 Not Significant

* Significant at level 5% or 0.05

Dari tabel diatas terlihat dua variable independen mempunyai pengaruh

terhadap variable dependen, dimana satu variable dependen mempunyai

hubungan signifikan kausal (seperti yang terlihat dari tabel level signifikan

hipotesis test adalah dibawah 0.05). Pengaruhh hambatan dan kesempatan pada

level significan 0.000, nilai t test adala 5.005. Pengaruh potensi terhadap

kesempatan sebesar 0.2006 dan t test adalah 1.274.

Page 67: 5. sesi  ekonomi dan kemiskinan

ISBN 978-602-98295-0-1

Prosiding Seminar Nasional, 13-14 Desember 2010

988

Secara detil pengaruh dari variable independent terhadap dependent dalam

penelitian ini seperti tabel di bawah ini:

Tabel 2. Hypothesis Test

Independent

Variable

Dependent

Variable

The Influence (p value) Decision

X1 Y 0.465 0.000 Accept

X2 Y 0.227 0.206 Reject

Sumber: Data Primer diolah, 2010

Asumsi pertama dimana hambatan mempunyai pengaruh secara parsial

terhadap kesempatan bisnis. Untuk membuktikan ini, ada beberapa penemuan,

dimana t test hambatan adalah 5.005 dengan significan t adalah 0.000. Karena t

test lebih besar dari t tabel (5.005 >1.661) atau significan t tabel lebih kecil dari 5%

(0.000 <0.05), jadi hambatan mempunyai pengaruh terhadap kesempatan sebesar

0.465 secara parsial.

Asumsi kedua dimana potensi mempunyai pengaruh terhadap kesempatan

bisnis secara parsial. Untuk membuktikannya dimana t test adalah 1.274 dengan

significan t 0.000. Karena t test lebih kecil dari t tabel (1.274 < 1.661) or signifikan

t lebih besar dari 5% (0.206 > 0.05), sehingga, potensi tidak mempunyai dampak

yang signifikan terhadap kesempatan bisnis sebesar 0.465 secara parsial.

Asumsi ketiga dimana hambatan dan potensi mempunyai dampak terhadap

kesempatan bisnis secara simultan. Hasil menunjukkan bahwa F test was 30.90

(sig F = 0.000). Therefore, F test lebih besar dari F table (30.792 > 2.12) of Sig F

lebih kecil dari 5% (0.000 < 0.05). Ini berarti kedua hambatan dan potensi

mempunyai pengaruh terhadap kesempatan bisnis.

Sehingga kesemua hipotesis-hipotesis tersebut:

H1: Hambatan mempunyai pengaruh terhadap kesempatan bisnis terbukti.

H2: Potensi mempunyai pengaruh terhadap kesempatan bisnis terbukti.

H3: Faktor-faktor hambatan mempengaruhi kesempatan bisnis sudah terbukti.

Sedangkan faktor-faktor potensi mempengaruhi kesempatan bisnis tidak

terbukti.

Page 68: 5. sesi  ekonomi dan kemiskinan

ISBN 978-602-98295-0-1

Prosiding Seminar Nasional, 13-14 Desember 2010

989

KESIMPULAN

Sebagian besar wanita pengrajin baju pengantin adat Sumatera Selatan di

desa Tanjung batu adalah isteri sekaligus ibu rumah tangga. Mereka berkerja

atau berusaha karena warisan turun temurun. Meskipun mereka telah

mempunyai keahlian dan pengalaman dalam membeuat baju pengantin ini

tetapi perkembangan usaha mereka sangat lamban. Hal ini dikarenakan

adanya hambatan-hambatan dari keluarga. Dari hasil focus group discussion

di dapat, bahwa sebagian dari mereka berkerja sampil mengasuh anak. Jadi

mereka tidak banyak waktu untuk lebih kreatif dan inovatif. Selain itu

diskriminasi gender juga menjadi halangan bagi mereka, dan halangan

mendapatkan dana juga hambatan lain mereka untuk sukses.

Faktor-faktor dari potensi seperti hobbi, ketrampilan dan keahlian tidak

signifikan berpengaruh terhadap kesempatan bisnis. Hal ini dikarenakan

wanita di desa ini memulai pekerjaannya bukan karena hobbi, tetapi mereka

hanya mengikuti apa yang telah dilakukan oleh ibu, dan nenek mereka secara

turun temurun. Dari focus group discussion di dapat bahwa sejak kecil mereka

sudah Some factors of potentials, such as hobbies, abilities, and skills are

having not significant influence belajar membuat baju pengantin karena

membantu orang tua mereka, sehingga keahlian dan ketrampilan terdidik

mereka miliki selama ini sudah cukup untuk mensupport usaha mereka.

Faktor potensi dan hambatan berpengaruh secara simultan terhadap

kesempatan bisnis baju pengantin adat Sumatera Selatan ini.

Penelitian yang akan datang akan mengkaji lebih dalam bagaimana peran

serta wanita di dalam industri rumah tangga di desa ini. Melihat mengapa terjadi

diskriminasi bagi wanita dalam menjalankan usahanya, serta mencari tahu

bagaimana bantuan permodalan untuk pengusaha wanita.

Page 69: 5. sesi  ekonomi dan kemiskinan

ISBN 978-602-98295-0-1

Prosiding Seminar Nasional, 13-14 Desember 2010

990

DAFTAR PUSTAKA

M. Ikhsan Modjo (2008). Dampak Krisis Pengangguran 2009 Diprediksi 9.5 persen. Suara Karya Online. 27 Nopember 2009.

Safri. H. Nungcik (2009). UMR Sumsel naik 12.5 persen. Tempo Interaktif, 18

November 2009 rikunto, S. (1999).: Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktek. Jakarta:

Rineka Citpa Berita Sore. (2009).: Pekerja di PHK Akibat Krisis Global, Retrieved 26/04/10

World Wide Web http://beritasore.com/2009/2/003/31660-pekerja-di-phk-akibat-krisis-global

Darmawan & Kurniati (2008). Pemberdayaan Perempuan pada Sektor Industri

Kecil. Bandung: UPI Deakins, D. & Freel, M. (2003).: Entrepreneurship and small firms. New York:

McGraw-Hill Education (UK) Limited. Global Entrepreneurship Monitor (1999).: Executive Report. USA: Kauffman

Centre for Entrepreneurial Leadership, Babson College, Boston. Global Entrepreneurship Monitor (2000).: Executive Report. USA: Kauffman

Centre for Entrepreneurial Leadership, Babson College, Boston. Gujarati, D. (2003).: Basic Econometric. New York: McGraw-Hill. Ikatan Wanita Pengusaha Indonesia (IWAPI). (2010).: Laporan Ketua IWAPI.

Retrieved 27 April 2010 World Wide Web http://www.iwapi.or.id Indriani (2005). Peran Perempuan dalam Perkembangan Industri Kecil. (Studi

Kasus: Perempuan dalam Industri Batik di Kabupaten Banyumas). Universitas Diponegoro.

Lambing, P. & Kuehl, C. R. (2000).: Entrepreneurship. 2nd ed. New Jersey: Prentice Hall. McClelland, D.C. (1996).: The Achiving Society. New Jersey: Van Nostrand Shaw, E., Carter, S. and Brierton, J. (2001).: Unequal Entrepreneurs: Why female

enterprise is an uphill businesss. London: The Industrial Society. Statical Abstract of the U.S. (1992).: Department of Commerce, Bureau of the Census. BPS Indonesia & Sumsel. (2009). Data wanita bekerja di Indonesia pada tahun 2009.

Page 70: 5. sesi  ekonomi dan kemiskinan

ISBN 978-602-98295-0-1

Prosiding Seminar Nasional, 13-14 Desember 2010

991

Steinhoff, D. & Burgess, J. F. (1993).: Small Business Management

Fundamentals. 6th ed. New York: McGrawhill Inc. Timmons, J. (1994).: The Entrepreneurial Mind. Success. Vol. 48. Umar, H. (2001).: Metode Penelitian Aplikasi dalam Pemasaran. Jakarta: PT

Gramedia Pustaka Utama. Unggul, E. (2008). Modul Kewirasuahaan. Tegal: Politeknik Tegal. Wikipedia Online (2010). Kewirasuahaan. Diakses dari

http://id.wikipedia.org/wiki/Kewirausahaan pada tanggal 5 Desember 2010. Zimmerer, W. T. & Scarborough, N. M. (1996).: Entrepreneurship and The New

Venture Formation. New Jersey: Prentice Hall International Inc. Zimmerer, W. T. & Scarborough, N. M. (2003).: Entrepreneurship and The New

Venture Formation. New Jersey: Prentice Hall International Inc.

Page 71: 5. sesi  ekonomi dan kemiskinan

ISBN 978-602-98295-0-1

Prosiding Seminar Nasional, 13-14 Desember 2010

992

PENINGKATAN PENDAPATAN MELALUI PENANAMAN TANAMAN SELA KEDELE DAN CABE RAWIT DIANTARA TANAMAN PANILI YANG BELUM

MENGHASILKAN

INCREASING INCOME THROUGH INTERCROPPING OF SOYBEAN AND CHILLI ON VANILLA BEFORE PRODUCTION

Robet Asnawi dan Ratna Wylis Arief

Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Lampung

ABSTRACT

Low production and low quality of vanilla caused by the farmers do not cultivate the plant in proper way, such as pruning the post, mound, fertilizer, and post harvest technology. Besides, monoculture farming system espesially for young plant caused does not have affort. The activity of assesment adaptability of package technology and farming system of vanilla was conducted at Jabung (East Lampung) in 2007. The treatments were Model 1 (recommended cultivation technology) such as superior variety of Anggrek vanilla, pruning the post, mound, and fertilizer, and Model 2 (traditional cultivation technology). Farming system of vanilla (vanilla-soybean and vanilla-chili) will be done by young plant of vanilla. The objective was to increase farmers income and to obtain technology packages cultivation and farming system exspecially for young plant of vanilla. The result showed that cultivar Anggrek vanilla that support by application of recommended cultivated technology such as prunning and fertilizer produced higher growth than local cultivar. Soybean and chilli were planted among vanilla result the same growth and production with soybean monoculture and chilli monoculture. Soybean planted among vanilla (pattern of vanilla-soybean) increased farmers income average Rp.1.691.000,- per ha per season (3 months) and increased farmers income average Rp. 1.656.000,- per ha per season (3 months) by pattern of vanilla-chili. Key Word : Vanilla planifolia, soybean, chilli, intercropping, income.

PENDAHULUAN

Tanaman panili (Vanilla planifolia Andrews) di propinsi Lampung berkembang

sangat pesat dari tahun ke tahun. Pada tahun 1991 luas areal tanaman panili di

propinsi Lampung adalah 834 ha, dan berkembang menjadi 2 245,5 ha pada tahun

1995 (Dinas Perkebunan Propinsi Lampung, 1995).

Budidaya tanaman panili memerlukan penegak yang sekaligus merupakan

naungan. Tanaman panili menghendaki kelembaban udara dan tanah yang tinggi,

Page 72: 5. sesi  ekonomi dan kemiskinan

ISBN 978-602-98295-0-1

Prosiding Seminar Nasional, 13-14 Desember 2010

993

yaitu 80 sampai 100%. Oleh karena itu pada pertanaman panili tidak memerlukan

penyiangan yang intensif, terutama pada musim kemarau, bahkan jika perlu tidak

dilakukan penyiangan. Hasil observasi Asnawi (1995), menunjukkan bahwa tanaman

panili yang disiang bersih akan menguning dan bunga akan rontok pada musim

kemarau. Sifat demikian yang dimiliki tanaman panili memberikan peluang dalam

upaya memanfaatkan tanaman sela diantara tanaman panili baik untuk menjaga

kelembaban tanah maupun menambah pendapatan petani. Budidaya tanaman

panili memerlukan penegak yang sekaligus merupakan naungan. Tanaman panili

menghendaki kelembaban udara dan tanah yang tinggi, yaitu 60 sampai 80%

(Kartono dan Isdijoso, 1977). Hasil penelitian Soenardi dan Rakhmadiono (1985),

menunjukkan bahwa pemberian 30 liter/pohon pupuk kandang berasal dari kotoran

sapi mampu menaikkan hasil lebih dari 100 %.

Secara umum permasalahan pertanaman panili di Indonesia adalah produksi

dan mutu yang rendah. Produksi ditentukan oleh antara lain ditentukan oleh

penerapan dan pemakaian teknologi budidaya yang belum sesuai, seperti

penggunaan bahan tanaman klon harapan unggul), pemangkasan pohon penegak,

pengguludan, pemakaian mulsa, pemupukan, dan pengendalian hama dan penyakit,

serta belum diterapkannya teknologi pengolahan buah panili. Sistem usahatani yang

tidak optimal akan menyebabkan pendapatan usahataninya yang rendah, seperti

terjadi pada usahatani panili di Bali (Mauludi dan Indrawanto, 1997). Sebagian

besar pola pertanaman panili di Lampung dilakukan secara monokultur. Efisiensi

penggunaan lahan melalui penanaman tanaman sela diantara tanaman panili sangat

mungkin dilakukan dan sesuai dengan habitat yang diinginkan tanaman panili, yaitu

kelembaban tanah yang tinggi. Karena itu penanaman tanaman sela antara lain

jagung, kedele, jahe, dan cabe diantara tanaman panili yang belum menghasilkan

diharapkan akan mampu menambah pendapatan petani selama tanaman panili

belum menghasilkan.

Pola tanam monokultur ini menanggung resiko kegagalan yang cukup tinggi

baik ditinjau dari segi fluktuasi harga komoditas maupun resiko kegagalan tanam

dari komoditas bersangkutan, yang berakibat menurunnya pendapatan petani.

Karena itu kemampuan bersaing melalui proses produksi yang efisien merupakan

pijakan utama bagi kelangsungan hasil usahataninya (Kasryno et al., 1993).

Tanaman panili berproduksi pada umur 2,5 sampai 3 tahun setelah tanam. Dengan

Page 73: 5. sesi  ekonomi dan kemiskinan

ISBN 978-602-98295-0-1

Prosiding Seminar Nasional, 13-14 Desember 2010

994

demikian selama tanaman panili belum menghasilkan, penanaman tanaman sela

bernilai ekonomis seperti padi, palawija, sayuran merupakan alternatif sumber

pendapatan atau tambahan modal usahatani panili sebelum menghasilkan. Di

propinsi Lampung, produksi panili di tingkat petani masih sangat rendah, yakni rata-

rata 0,25 kg buah panili basah/pohon (Asnawi dan Rosman, 1994), sementara

potensi klon harapan panili unggul (klon Anggrek) serta ditunjang dengan teknik

budidaya yang benar akan mampu menghasilkan 1 sampai 1.5 kg buah panili

basah/pohon (Asnawi, 1993). Klon harapan Anggrek panili hingga saat ini belum

dijumpai di pertanaman panili di Lampung, sehingga perlu dikaji sebagai klon

introduksi dalam upaya meningkatkan produksi panili di Lampung, baik melalui

peremajaan tanaman maupun perluasan areal. Pada umumnya teknologi budidaya

yang dilakukan di Lampung adalah secara tradisional dengan input teknologi yang

rendah, seperti tanpa pemupukan, pemangkasan yang tidak teratur, dan tanpa

guludan. Hasil penelitian Asnawi dan Rosman (1994) menunjukkan bahwa

penerapan paket teknologi budidaya seperti pemangkasan, pemupukan,

pengguludan mampu meningkatkan pertumbuhan dan produksi panili.

Pada umumnya petani menjual hasil panen dalam bentuk buah basah (buah

segar). Sedangkan bila petani melakukan pengolahan buah yang akan dijual dalam

bentuk hasil olahan maka akan memperoleh pendapatan dua sampai tiga kali lipat

(Mauludi, 1993). Karena itu penerapan teknologi pasca panen panili di tingkat petani

secara langsung akan meningkatkan pendapatan petani. Hal tersebut akan berhasil

apabila ditunjang oleh koordinasi antara dinas instansi, kelompok tani, serta peranan

pihak swasta (eksportir) yang membeli hasil olahan buah panili.

Kegiatan ini bertujuan untuk mendapatkan peket teknologi budidaya dan

meningkatkan pendapatan petani melalui pemanfaatan tanaman sela diantara

tanaman panili yang belum menghasilkan.

BAHAN DAN METODE

Kegiatan ini dilakukan di Kecamatan Jabung, Kabupaten Lampung Timur

pada tahun 2007. Pemilihan lokasi kegiatan karena Kecamatan Jabung merupakan

salah satu sentra produksi tanaman panili di Provinsi Lampung. Kegiatan dilakukan

di lahan petani dengan total areal kajian 2 ha. Paket teknologi yang diterapkan

(Tabel 1) adalah paket teknologi anjuran (Model 1) dan paket teknologi

konvensional/cara petani (Model 2). Paket teknologi budidaya anjuran seperti klon

Page 74: 5. sesi  ekonomi dan kemiskinan

ISBN 978-602-98295-0-1

Prosiding Seminar Nasional, 13-14 Desember 2010

995

harapan unggul Anggrek panili, pemangkasan pohon penegak, pengguludan,

pemupukan, pola tanam panili-kedele dan pola tanam panili-cabe rawit. Sedangkan

paket teknologi konvensional menggunakan klon lokal Jabung dan tanpa

pemupukan. Sebagai pembanding diamati pertumbuhan dan produksi tanaman

kedele dan cabe rawit yang ditanam secara monokultur masing-masing dengan luas

400 m2.

Tabel 1. Model Paket teknologi yang diterapkan di areal pengkajian.

Perlakuan Model 1 (Paket teknologi anjuran)

Model 2 (Paket teknologi konvensional)

Bahan

Tanaman

Klon Anggrek panili Klon panili lokal Jabung

Pemangkasan Pangkas teratur dgn menyisakan 2 cabang per pohon pada awal musim hujan.

Pangkas habis pada awal musim hujan.

Pengguludan Digulud Tidak digulud

Pemupukan 10 kg/phn/th pupuk kandang Tidak dipupuk

Pola tanam Panili-kedele dan panili-cabe rawit

Panili monokultur

Jenis data yang akan dikumpulkan antara lain adalah : pertumbuhan

vegetatif panili, kedele, dan cabe, dan komponen hasil kedele dan cabe, serta

analisis usahatani pola tanam panili-kedele dan panili-cabe rawit.

Data hasil pengamatan akan dianalisis dengan uji T (T-Test) dengan

membandingkan masing-masing paket teknologi budidaya panili yang diadaptasikan

(teknologi budidaya dan pola tanam) dengan teknologi konvensional yang diterapkan

petani.

Tahap awal kegiatan ini adalah pengajiran dan penanaman pohon penegak

Glyricidia sp. Jarak tanam yang digunakan adalah 1.5 m x 1.25 m. Tahap

selanjutnya adalah pembuatan lubang tanam berukuran 30 cm x 30 cm x 30 cm

kemudian diberi pupuk kandang sebanyak 10 kg per pohon. Klon harapan unggul

Anggrek panili dan klon panili lokal ditanam satu minggu setelah pemberian pupuk

kandang pada lubang tanam yang telah tersedia. Ukuran setek yang digunakan

Page 75: 5. sesi  ekonomi dan kemiskinan

ISBN 978-602-98295-0-1

Prosiding Seminar Nasional, 13-14 Desember 2010

996

adalah 7 ruas, dengan 3 ruas (daun dibuang) dibenam di dalam tanah serta 4 ruas

(daun tidak dibuang) diikatkan pada pohon penegak yang sudah ada.

Pemangkasan pohon penegak, dilakukan pada awal musim hujan dengan hanya

memelihara 2 cabang per pohon (teknologi anjuran) dan pangkas habis (untuk

teknbologi konvensional). Pembuatan guludandilakukan satu bulan setelah

penanaman panili dengan meninggikan tanah pada daerah perakaran setinggi 25

cm dan lebar 75 cm. Pemupukan dilakukan pada awal musim kemarau dengan

memberikan pupuk kandang yang berasal dari kotoran sapi/kambing dengan dosis

30 liter/pohon/tahun atau 10 kg/pohon/tahun. Pola tanam panili-kedele dan panili-

cabe rawit dilakukan satu minggu setelah penanaman panili ditanam. Jenis tanaman

sela yang digunakan adalah selain berumur pendek juga merupakan tanaman yang

toleran terhadap sedikit naungan tetapi tanpa menghambat pertumbuhan tanaman

tersebut seperti kedele dan cabe rawit. Tanaman kedele ditanam sebanyak 3 baris

diantara tanaman panili (jarak tanam 10 x 50 cm), sedangkan tanaman cabe rawit

ditanam 1 baris diantara tanaman panili dengan jarak di dalam barisan berukuran 1.5

m. Pemeliharaan tanaman panili meliputi pemeliharaan sulur, pengendaliaan

penyakit busuk batang panili.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Hasil pengamatan Tabel 1 menunjukkan bahwa klon Anggrek panili

menghasilkan pertumbuhan vegetatif yang lebih baik dari klon lokal Jabung, yang

tercermin pada pengamatan persentase tanaman tumbuh, tinggi tanaman, jumlah

daun, jumlah ruas, dan persentase serangan penyakit.

Tabel 1. Hasil pengamatan pertumbuhan tanaman panili.

No Parameter Klon Anggrek panili Klon panili lokal

1. Tanaman tumbuh (%) 89.27 78.78

2. Tinggi tanaman (cm) 89.22 87.67

3. Jumlah daun 12.66 11.78

4. Jumlah ruas 12.36 10.44

5. Serangan penyakit (%) 8.23 8.77

Page 76: 5. sesi  ekonomi dan kemiskinan

ISBN 978-602-98295-0-1

Prosiding Seminar Nasional, 13-14 Desember 2010

997

Hal tersebut disebabkan karena selain perbedaan faktor genetik juga disebabkan

daya adaptasi yang lebih tinggi bagi klon harapan Anggrek untuk tumbuh dan

berkembang di Jabung. Dijelaskan oleh Bari et al (1974) bahwa faktor genetik akan

muncul secara optimal apabila didukung oleh kondisi lingkungan (penerapan

teknologi budidaya yang benar) yang sesuai. Ditambahkan hasil penelitian Asnawi

(1993), bahwa klon Anggrek panili yang ditanam di KP Natar menghasilkan

pertumbuhan dan produksi yang lebih tinggi dari klon Ungaran Daun Tipis, Ungaran

Daun Tebal, dan Gisting.

Hasil pengamatan terhadap pertumbuhan dan produksi tanaman sela

kedele (Tabel 2), menunjukkan bahwa tanaman kedele yang ditanam diantara

tanaman panili (Gambar 1) menghasilkan pertumbuhan yang tidak jauh berbeda

dengan tanaman kedele yang ditanam dengan pola monokultur, kecuali untuk

parameter produksi per hektar. Hal tersebut disebabkan kondisi lingkungan baik

dari jumlah cahaya maupun kelembaban relatif sama (masih pada batas toleransi)

antara kedele yang ditanam diantara tanaman panili dengan kedele monokultur.

Gambar 1. Pola tanam panili-kedele.

Rendahnya produksi per hektar untuk tanaman kedele yang ditanam diantara

tanaman panili yang belum menghasilkan dikarenakan jumlah populasi tanaman

kedele lebih sedikit bila ditanam diantara tanaman panili dibandingkan dengan

kedele monokultur.

Page 77: 5. sesi  ekonomi dan kemiskinan

ISBN 978-602-98295-0-1

Prosiding Seminar Nasional, 13-14 Desember 2010

998

Tabel 2. Hasil pengamatan tanaman sela kedele (Panili-kedele) dan kedele

monokultur.

No Parameter Panili-kedele Kedele monokultur

1 Tinggi tanaman (cm) 88.25 87.36

2 Jumlah polong isi/tanaman 109.24 111.03

3 Berat 100 butir (g) 11.08 10.97

4 Berat berangkasan (g) 20.02 20.82

5 Produksi (ton/ha) 0.74 0.96

Hasil pengamatan pada Tabel 3 terlihat bahwa pertumbuhan tanaman cabe

rawit yang ditanam diantara tanaman panili (Gambar 2) cenderung menghasilkan

pertumbuhan yang lebih baik daripada tanaman cabe rawit yang ditanam secara

monokultur. Hal tersebut disebabkan karena adanya sedikit naungan yang

dibutuhkan tanaman cabe rawit untuk pertumbuhannya. Sedangkan produksi

tanaman cabe yang ditanam diantara tanaman panili terlihat lebih rendah jika

dibandingkan dengan produksi tanaman cabe rawit yang ditanam secara

monokultur. Hal tersebut dikarenakan jumlah populasi tanaman cabe rawit pada pola

panili-cabe rawit lebih sedikit (hanya 1 baris) dibandingkan dengan tanaman cabe

rawit monokultur.

Tabel 3. Hasil pengamatan tanaman sela cabe rawit.

No Parameter Panili-cabe rawit Cabe rawit monokultur

1. Tinggi tanaman (cm) 121.76 106.75

2. Produksi (ton/ha) 370.75 987.50

Gambar 2. Pola tanam panili-cabai.

Page 78: 5. sesi  ekonomi dan kemiskinan

ISBN 978-602-98295-0-1

Prosiding Seminar Nasional, 13-14 Desember 2010

999

Hasil analisis usahatani panili-kedele (Tabel 4) menunjukkan bahwa tanaman

panili yang ditanam secara tumpang sari dengan tanaman kedele (pola tanam

panili-kedele) mampu menambah penghasilan pertani sebesar Rp. 1.691.000.-/ha

selama 3 bulan, sedangkan tanaman panili yang ditanam secara tumpang sari

dengan tanaman cabe (pola tanam panili-cabe) mampu menambah penghasilan

pertani sebesar Rp.1.656.710.-/ha selama 3 bulan (Tabel 5). Hal tersebut berarti

selama menunggu tanaman panili menghasilkan, areal tanaman panili dapat

ditanami beberapa jenis tanaman pangan (kedele, cabe) untuk menambah

penghasilan petani.

Tabel 4. Analisis usahatani pola tanam panili-kedele.

No Uraian Volume Satuan (Rp) Jumlah (Rp)

1 Benih kedele 10 kg 5,000 50,000

2 Pupuk kandang 5000 kg 125 625,000

3 Pupuk Urea 100 kg 1,100 110,000

4 Pupuk SP36 100 kg 1,400 140,000

5 Pupuk KCl 50 kg 3,000 150,000

6 Pestisida 3 lt 40,000 120,000

7 Jumlah Pengeluaran - - 1,250,000

8 Hasil 740 kg 3,900 2,886,000

9 Pendapatan - - 1,691,000

Catatan : Tenaga kerja menggunakan tenaga kerja keluarga (dikelola sendiri).

Tabel 5. Analisis usahatani pola tanam panili-cabe rawit.

No

Uraian Volume Satuan (Rp) Jumlah (Rp)

1 Benih cabe rawit 5 bks 30,000 150,000

2 Pupuk kandang 5000 kg 125 625,000

3 Pupuk Urea 150 kg 1,100 165,000

4 Pupuk SP36 100 kg 1,400 140,000

5 Pupuk KCl 50 kg 3,000 150,000

6 Pestisida 2 lt 40,000 80,000

7 Jumlah Pengeluaran - - 1,310,000

8 Hasil 370.7

5 kg 8,000 2,966,000

9 Pendapatan - - 1,656,000

Catatan : Tenaga kerja menggunakan tenaga kerja keluarga (dikelola sendiri).

Page 79: 5. sesi  ekonomi dan kemiskinan

ISBN 978-602-98295-0-1

Prosiding Seminar Nasional, 13-14 Desember 2010

1000

KESIMPULAN

Dari hasil kegiatan yang dilakukan dapat disimpulkan beberapa hal sebagai

berikut:

1. Pertumbuhan tanaman panili klon harapan Anggrek yang ditunjang dengan

teknologi budidaya anjuran menghasilkan pertumbuhan vegetatif yang lebih

baik dibandingkan dengan klon panili lokal Jabung dengan teknologi budidaya

konvensional.

2. Pemanfaatan tanaman sela kedele (pola tanam panili-kedele) mampu

menambah pendapatan petani sebesar Rp.1.691.000,-/ha/musim (selama 3

bulan) dan cabe rawit (pola tanam panili-cabe rawit) Rp.1.656.000,-/ha/musim

(selama 3 bulan)

3. Pertumbuhan dan produksi tanaman kedele dan cabe rawit yang ditanam

diantara tanaman panili cenderung sama dengan tanaman kedele dan cabe

rawit monokultur.

DAFTAR PUSTAKA

Asnawi, R. 1993. Produksi beberapa tipe panili (Vanilla planifolia Andrews). Buletin

Penelitian Tanaman Rempah dan Obat (VIII) 1 : 52-55. Asnawi, R dan R. Rosman. 1994. Perakitan paket teknologi peningkatan mutu

panili. Kerjasama antara Badan Litbang Pertanian, Proyek Pembangunan Penelitian Pertanian, dengan Sub Balittro Natar. 18 hal.

Asnawi, R. 1995. Observasi pengaruh curah hujan terhadap pembungaan tanaman

panili. Analisis Iklim Untuk Pengembangan Agribisnis. Prisiding Simposium Meteorologi Pertanian IV, Yogyakarta 26-28 Januari 1995. Hal 249-256.

Bari, A., S. Musa dan E. Syamsudin. 1974. Pengantar pemuliaan tanaman. Dept. Agronomi, Faperta IPB, Bogor: 15-18. Dinas Perkebunan Propinsi Lampung. 1995. Perkembangan pembudidayaan panili

di Lampung dan permasalahannya. Prosiding temu tugas pemantapan dan pengolahan panili di Bandar Lampung 15 Maret 1995. Kerjasama Balittro Bogor dan Disbun Propinsi Lampung. Hal 1-23.

Kartono,G dan S.H.Isdijoso. 1977. Panili (Vanilla planifolia Andrews). Pemberitaan LPTI (27): 65-85.

Page 80: 5. sesi  ekonomi dan kemiskinan

ISBN 978-602-98295-0-1

Prosiding Seminar Nasional, 13-14 Desember 2010

1001

Kasryno, F, P. Simatupang, dan V.T. Manurung. 1993. Penelitian pertanian dengan pendekatan agribisnis. Jurnal Penelitian dan Pengembangan Pertanian, Bogor.

XII (4): 67-73. Mauludi, L. 1993. Analisa efisiensi pemasaran panili di daerah sentra produksi

propinsi Bali. Pemberitaan Penelitian Tanaman Industri (XIX) 3-4: 49-58. Mauludi, L dan C. Indrawanto. 1997. Analisa sistem usahatani dan pemasaran panili

di Sulawesi Utara. Jurnal Penelitian Tanaman Industri (II) 6: 255-260. Soenardi dan S. Rakhmadiono. 1995. Pemupukan panili dengan pupuk kandang

dan pupuk buatan. Pemberitaan Penelitian Tanaman Industri (X) 3-4 : 69-71.

Page 81: 5. sesi  ekonomi dan kemiskinan

ISBN 978-602-98295-0-1

Prosiding Seminar Nasional, 13-14 Desember 2010

1002

ANALISIS PENDAPATAN DAN FAKTOR KEUNTUNGAN USAHATANI

PADI SAWAH IRIGASI DI SUMATERA SELATAN

Sidiq Hanapi, Yanter Hutape dan Waluyo

Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Sumatera Selatan Jl. Kol. H. Barlian, Km 6 Kotak Pos 1265, Palembang 30153

ABSTRAK

Penelitian ini dilakukan pada bulan oktober 2010 di salah satu sentra produksi padi di Kecamatan Belitang III, Kabupaten Ogan Komering Ulu Timur. Metode penelitian yang digunakan adalah deskriptif analitis dan metode regresi berganda untuk melihat pengaruh variabel bebas terhadap variabel tak bebas. Variabel-variabel luas tanam, harga GKP, harga benih, harga pupuk NPK, harga pupuk Urea, harga pupuk organik, harga pestisida dan jumlah produksi padi , menjadi variabel bebas, sedangkan yang menjadi variabel tak bebas adalah tingkat keuntungan usahatani padi irigasi. Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis seberapa besar pendapatan rumah tanga petani padi sawah irigasi dan melihat faktor-faktor yang mempengaruhi tingkat keuntungan usahatani padi sawah irigasi. Hasil penelitian menunjukkan bahwa pendapatan rata-rata usahatani padi sawah irigasi per hektar sebesar Rp.8.911.338,24. Sedangkan faktor-faktor yang mempengaruhi tingkat keuntungan usahatani padi sawah irigasi adalah luas tanam, harga GKP, harga pupuk Urea, harga pestisida dan jumlah produksi padi. Kata Kunci : Usahatani padi, pendapatan, dan keuntungan.

PENDAHULUAN

Sasaran pembangunan nasional Indonesia yang telah ditetapkan sebagai

komitmen nasional adalah menurunkan jumlah penduduk miskin menjadi 8,2

persen pada tahun 2009, jumlah pengangguran juga akan diupayakan untuk

diturunkan menjadi 5,2 persen di tahun 2009. Untuk mencapai sasaran-sasaran

tersebut diperlukan adanya pertumbuhan perekonomian nasional baik di

perkotaan maupun diperdesaan. Sektor pertanian memegang peranan sangat

penting dalam upaya pengurangan kemiskinan dan pengangguaran di Indonesia,

karena disanalah salah satu tumpuan pengentasan kemisikinan, percepatan

kesempatan kerja dan pendapatan masyarakat. (Lokollo dan Friyanto, 2007)

Sejalan dengan hal itu, dalam upaya penanggulangan kemiskinan,

kapasitas Departemen Pertanian yang sekarang menjadi Kementrian Pertanian

sesuai mandat utamanya yaitu menangani stabilitas peningkatan produksi

Page 82: 5. sesi  ekonomi dan kemiskinan

ISBN 978-602-98295-0-1

Prosiding Seminar Nasional, 13-14 Desember 2010

1003

pertanian, terutama menfasilitasi untuk pengembangan kemampuan masyarakat

petani (Harniati, 2008). Wujud komitmen yang tinggi itu dalam bentuk kebijakan-

kebijakan dan program-program peningkatan produksi pangan, khususnya beras.

Besarnya perhatian pemerintah terhadap ekonomi perberasan ini didasari oleh

pertimbangan bahwa beras merupakan bahan pokok bagi sebagian besar

penduduk Indonesia, serta bahwa usahatani padi merupakan sumber pendapatan

dan sumber lapangan pekerjaan bagi sebagian besar masyarakat perdesaan

(Hermanto, 2001).

Produksi padi di Provinsi Sumatera Selatan (Sumsel) berasal dari lahan

sawah mencapai 2.891.263 ton (BPS Sumsel, 2009). Untuk lahan sawah irigasi

seluas 90,8 ribu ha yang tersebar di 7 kabupaten dan sekitar 33 ribu ha berupa

sawah irigasi teknis. Agroekosistem sawah irigasi teknis sangat potensial untuk

peningkatan produktivitas pertanian dan peningkatan pendapatan petani. upaya

perbaikan agribisnis untuk meningkatkan produksi dan produktivitas padi adalah

melalui pendekatan pengelolaan tanaman terpadu (PTT), suatu pendekatan

potensi secara terpadu, sinergi dan partisipatif dalam upaya meningkatkan

produksi padi sehingga pendapatan petani meningkat (Thamrin T.dkk, 2009).

Penelitian ini bertujuan: (1) menganalisis seberapa besar pendapatan

rumah tanga petani padi pada lahan sawah irigasi (2) melihat faktor-faktor yang

mempengaruhi tingkat keuntungan usahatani padi sawah irigasi.

METODOLOGI PENELITIAN

Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode deskriptif

analitis, yaitu memberikan gambaran terhadap fenomena-fenomena,

menerangkan hubungan antar variabel, antar kategori dalam suatu variabel

dengan kategori atau variabel lain, membuat prediksi, serta mendapatkan makna

dan implikasi dari suatu masalah yang dipecahkan (Nazir, 1988). Selanjutnya

dapat memberikan gambaran pendapatan petani padi dan faktor-faktor yang

mempengaruhi keuntungan usahatani padi sawah irigasi sehingga dapat dijadikan

pertimbangan dalam pengembangan usahatani padi saat ini.

Penelitian ini dilaksanakan di Desa Ringinsari, Kecamatan Belitang III,

Kabupaten Ogan Komering Ulu Timur. Penentuan lokasi ini pengkajian ini

Page 83: 5. sesi  ekonomi dan kemiskinan

ISBN 978-602-98295-0-1

Prosiding Seminar Nasional, 13-14 Desember 2010

1004

dilakukan secara sengaja (purposive) dengan pertimbangan bahwa kabupaten

Ogan Komering Ulu Timur merupakan salah satu sentra produksi padi/lumbung

beras Sumatera Selatan (Badan Puasat Statistik Sumsel, 2009) dengan jumlah

sampel sebanyak 35 petani padi.

Teknik Analisis

1. Analisis Keuntungan Usahatani Padi Sawah Irigasi

Aanalisis kuantitatif digunakan untuk mengetahui tingkat pendapatan petani

padi. Pendapatan diperoleh dengan menghitung selisih antara penerimaaan yang

diterima dari hasil usaha dengan biaya produksi yang dikeluarkan, dirumuskan:

= Y.Py - ∑Xi.Pxi - BTT

Keterangan:

= Pendapatan (Rp)

Y = Produksi (Kg)

Py = Harga GKP (Rp)

∑Xi = Jumlah faktor produksi ke i (i= 1,2,3...n)

Px = Harga produksi ke i (Rp)

BTT = Biaya Tetap Total (Rp)

Untuk mengetahui keuntungan usahatani padi digunakan analisis imbangan

penerimaan dan biaya yang dirumuskan sebagai berikut:

Keterangan: R/C = Nisbah antar penerimaan dengan biaya

PT = Penerimaan Total

BT = Biaya total yang dikeluarkan petani

Jika R/C > 1, maka usahatani padi yang diusahakan menguntungkan. Jika R/C < 1

maka suahatani padi yang diusahakan mengalami kerugian.

2. Analisis Faktor-faktor yang Mempengaruhi Tingkat Keuntungan

Usahatani Padi Sawah Irigasi

Dalam analisis pengkajian ini digunakan metode regresi berganda untuk melihat

pengaruh beberapa variabel bebas (independent) yang meliputi luas tanam, harga

GKP, harga benih, harga pupuk NPK, harga pupuk Urea, harga pupuk organik,

BT

PTCR /

Page 84: 5. sesi  ekonomi dan kemiskinan

ISBN 978-602-98295-0-1

Prosiding Seminar Nasional, 13-14 Desember 2010

1005

harga pestisida dan jumlah produksi padi terhadap variabel tak bebas (dependent)

yaitu tingkat keuntungan usahtani padi. Persamaan regresi berganda adalah

(Lains,2006):

Y=β0+β1X1+β2X2+ β3X3+β4X4 +β5X5+β6X6 β7X7+β8X8+ u

Keterangan:

Y = Tingkat keuntungan usahatani padi

β0 = intersep

β1 = Koefisien regresi

X1 = Luas tanam

X2 = Harga GKP

X3 = Harga Benih

X4 = Harga Pupuk NPK

X5 = Harga Pupuk Urea

X6 = Harga Pestisida

X7 = Harga Pupuk Organik

X8 = produksi padi

U = Galat baku

Untuk mengetahui seberapa besar proporsi atau persentase total dalam

variabel tak bebas (dependent variable) yang dijelaskan oleh variabel bebas

(independent variable) digunakan koefisien determinasi (R2) (Gujarati, 2000).

Selanjutnya digunakan uji-F untuk melihat variabel bebas secara simultan

terhadap tingkat keuntungan usahatani padi. Guna menguji secara parsial dari

masing-masing variabel bebas terhadap tingkat keuntungan usahatani padi

digunakan uji-t.

HASIL DAN PEMBAHASAN

1. Analisis Keuntungan Usahatani Padi Sawah Irigasi

Penerimaan usahtani padi diperoleh dari hasil produksi padi (GKP) dikalikan

harga produksi yaitu harga GKP pada periode tersebut yang dinyatakan dalam

rupiah. Pengeluaran usahatani padi merupakan penjumlahan dari biaya variabel

dan biaya tetap. Biaya variabel meliputi pengunaan bibit, pupuk, pestisida, tenaga

kerja pengolahan lahan, semai, pemeliharaan tanaman sampai panen, biaya

Page 85: 5. sesi  ekonomi dan kemiskinan

ISBN 978-602-98295-0-1

Prosiding Seminar Nasional, 13-14 Desember 2010

1006

angkut dan lain-lain, sedangkan biaya tetap meliputi biaya penyusutan alat dan

pajak. Keuntungan yang didapat petani adalah penerimaan dikurangi dengan total

pengeluaran petani untuk prosess produksi.

Tabel 1. Rata-rata Penerimaan, biaya dan keuntungan usahatani padi sawah

irigasi

di kecamatan Belitang III, Kabupaten OKU Timur.

Uraian

Volume (Kg)

Harga (Rp)

Nilai (Rp) (Usahtani/0,67

ha) Niali (Rp) Per hektar

Produksi (Kg/ha) 3.545,63 2.513,33 8.911.338,24 14.852.230,41

Biaya Variabel (RP):

a. Benih 17,80 6.713,33 119.497,27 199.162,12

b. Pupuk

1. NPK 138,63 2.383,33 330.401,03 550.668,39

2. Urea 93,50 1.556,66 145.547,71 242.579,51

3. Organik 76,95 7.033,33 541.214,74 902.024,57

c. Pestisida (ltr) 1,01 27.200,00 27.472,00 45.786,66

d. Tenaga Kerja (HOK) 60,70

1. Babat Rumput 59.766,66 99.611,10

2. Semai 99.500,00 165.833,33

3. penyiapan lahan 319.166,67 531.944,45

4. Penamanam 448.700,00 747.833,33

5. Penyiangan 77.000,00 128.333,33

6. Semprot G/H/P 44.833,33 74.722,21

7. Pemupukan 52.333,33 87.222,21

8. Angkut 91.000,00 151.666,66

9. Panen 1.212.930,33 2.021.550,55

e. Lain-lain 371.500,00 619.166,66

Jumlah 3.940.863,08 6.568.105,14

Biaya Tetap

a. Penyusutan Alat 76.850,45 128.084,08

Jumlah 76.850,45 128.084,08

Total Biaya 4.017.713,53 6.696.189,22

Keuntungan 4.893.624,71 8.156.041,18

R/C 2,21 2,21

Page 86: 5. sesi  ekonomi dan kemiskinan

ISBN 978-602-98295-0-1

Prosiding Seminar Nasional, 13-14 Desember 2010

1007

Berdasar hasil analisis yang disajikan pada tabel 1 tersebut bahwa

penerimaaan dan total biaya usahatani padi, maka diperoleh nisbah penerimaan

dengan biaya yang disebut Revenue cost ratio (R/C rasio). Besarnya R/C

usahatani padi adalah 2,21 artinya setiap Rp. 1.000,- biaya yang dikeluarkan

dalam usahatani padi akan memperoleh penerimaan sebesar Rp. 2.210,-.

Sehingga dilihat besarnya R/C tersebut menunjukkan bahwa usahatani padi tetap

memberikan keuntungan petani. Keuntungan rata-rata pada lahan garapan padi

seluas 0,67 hektar yang diterima oleh petani di kecamatan Belitang III, Kabupten

OKU Timur sebesar Rp. 4.893.624,71 dan keuntungan rata-rata per hektar

sebesar Rp. 8.156.041,18. Lebih tinggi dibanding tingkat keuntungan rata-rata

petani di Kecamatan Purwodadi, Kabupaten Musi Rawas yang per hektar sebesar

Rp. 7.734.000,00 dalam hasil penelitian Thamrin T dkk mengenai produktifitas

padi sawah irigasi di Kabupaten Musi Rawas, Sumatera Selatan.

2. Faktor-faktor yang mempengaruhi keuntungan usahatani padi

Faktor yang mempengaruhi keuntungan usahatani padi adalah luas tanam,

harga GKP, harga benih, harga pupuk NPK, harga pupuk Urea, harga pestisida,

harga pupuk organik, dan produksi padi. Variabel-variabel ini dianalisis dengan

menggunakan model regresi. Hasil analisis model regresi sebagai berikut.

Tabel 2. Hasil analisis regresi tingkat keuntungan usahatani padi (tahap pertama)

Variabel Koef. Regresi t-hitung

Sig

Konstanta -5787313 -3,977 0,001 Luas Tanam(X1) 2736391 3,747 0,001 Harga GKP(X2) 2436,582 4,834 0,000 Harga Benih(X3) -20,378 -0,359 0,723 Harga NPK(X4) -48,983 -0,155 0,878 Harga Urea(X5) -386,3390 -0,755 0,459 Harga Pestisida(X6) -10,196 -1,970 0,062 Harga Pupuk organik(X7) -701,374 -1,237 0,230 Produksi Padi(X8) 2226,522 17,204 0,000

F-hitung 205,948 R2 adjusted 0,983 R2 0,987

Berdasarkan uji t, diketahui ada variabel 4 variabel yang mempengaruhi

tingkat keuntungan usahtani padi irigasi, sedangkan sisa 4 variabel lainnya tidak

berpengaruh nyata. Kemudian data diolah kembali dengan menggunakan metode

Page 87: 5. sesi  ekonomi dan kemiskinan

ISBN 978-602-98295-0-1

Prosiding Seminar Nasional, 13-14 Desember 2010

1008

backward untuk mendapatkan hasil terbaik dengan menghilangkan variabel-

variabel independent yang memiliki korelasi tinggi terhadap variabel dependent.

Hasilnya disajikan pada tabel 3 sebagai berikut:

Tabel 3. Hasil analisis regresi tingkat keuntungan usahatani padi (tahap kedua)

Vareabel Koef. Regresi

t-hitung Sig

Konstanta -6041395 -4,943a 0,000 Luas Tanam(X1) 2710294 3,915a 0,001 Harga GKP(X2) 2485,683 5,340a 0,000 Harga Urea(X5) -463,189 -2,153c 0,042 Harga Pestisida(X6) -8,709 -3,262b 0,003 Produksi Padi(X8) 2218,268 18,175a 0,000

F-hitung 298,832 R2 adjusted 0,984 R2 0,987 Keterangan:

a. Nyata pada taraf kepercayaan 99,99 persen

b. Nyata pada taraf kepercayaan 99,97 persen

c. Nyata pada taraf kepercayaan 95,80 persen

Model faktor-faktor yang mempengaruhi tingkat keuntungan usahatani padi

di Kecamatan Belitang III, Kabupaten OKU Timur :

Y= - 6041395 +2710294X1+2485,683X2 - 463,189X5 - 8,709X6 +2218,268X8

Nilai koefisien determinasi ( 2R ) memberikan informasi proporsi variasi

dalam faktor yang dijelaskan oleh variabel bebas secara bersama-sama.

Kecocokan model dikatakan lebih baik kalau 2R semakin mendekati nilai 1

(Gujarati, 2000). Pada tabel terlihat nilai koefisien determinasi (R2) yang diperoleh

sebesar 0,987 yang berarti sekitar 98,7 persen dari variasi produksi padi

dijelaskan oleh variabel Independennya/bebasnya yaitu luas tanam, harga GKP,

harga pupuk Urea, harga pestisida, dan produksi padi. Sedangkan 1,3 persen

sisanya dijelaskan oleh variabel lain yang tidak dimasukkan dalam model regresi.

Nilai F-hitung sebesar 298,832 yang berarti lebih besar dari f-tabel pada

tingkat kepercayaan 99,99 persen yaitu f 0,01 (6;41)= 3,67. Dengan demikian

secara keseluruhan semua variabel independen/bebas secara bersama-sama

Page 88: 5. sesi  ekonomi dan kemiskinan

ISBN 978-602-98295-0-1

Prosiding Seminar Nasional, 13-14 Desember 2010

1009

berpengaruh nyata terhadap keuntungan usahatani padisawah irigasi di

Kabupaten OKU Timur.

Untuk mengetahui pengaruh antara variabel Independen/bebas terhadap

dependen variabel(keuntungan usahatani padi) dapat dijelaskan sebagai berikut:

Faktor luas tanam padi (X1) berpengaruh nyata terhadap tingkat

keuntungan usahatani padi sawah irigasi pada taraf kepercayaan 99,99 persen.

Nilai koefisien regresi yang positif berarti semakin besar luas tanam yang dimiliki,

maka akan semakin besar produksi padi yang dihasilkan dan keuntungan yang

diperoleh petani juga semakin besar. Berarti kenaikan dan penurunan luas tanam

padi berpengaruh terhadap tingkat keuntungan usahtani padi sawah irigasi.

Faktor harga GKP (X2) berpengaruh nyata terhadap tingkat keuntungan

usahtani padi sawah irigasi pada taraf kepercayaan 99,99 persen. Nilai koefisien

regresi yang positif berarti semakin tinggi harga GKP sebagai harga jual produksi,

maka akan semakin tinggi keuntungan yang diperoleh petani juga semakin tinggi.

Hal ini berarti kenaikan dan penurunan harga GKP padi berpengaruh terhadap

tingkat keuntungan usahtani padi sawah irigasi. Dari hasil analisis diketahui bahwa

rata-rata harga GKP yang diterima oleh petani di kecamatan Belitang III, Kabupten

OKU Timur sebesar Rp. 2.513,33/kg.

Faktor harga pupuk Urea (X5) berpengaruh nyata terhadap tingkat

keuntungan usahtani padi irigasi pada taraf kepercayaan 95,80 persen. Nilai

koefisien regresi yang negatif berarti semakin tinggi harga pupuk Urea, maka

keuntungan yang diperoleh petani akan menurun. Hal ini berarti kenaikan dan

penurunan harga pupuk Urea berpengaruh terhadap tingkat keuntungan usahtani

padi sawah irigasi. Dari hasil analisis diketahui bahwa rata-rata harga pupuk Urea

yang diterima oleh petani di kecamatan Belitang III, Kabupten OKU Timur sebesar

Rp. 1.556,66/kg.

Faktor harga pestisida (X6) berpengaruh nyata terhadap tingkat keuntungan

usahtani padi pada taraf kepercayaan 99,70 persen. Nilai koefisien regresi yang

negatif berarti semakin tinggi harga pestisida, maka keuntungan yang diperoleh

petani akan menurun. Hal ini berarti kenaikan dan penurunan harga pestisida

berpengaruh terhadap tingkat keuntungan usahtani padi irigasi. Dari hasil analisis

diketahui bahwa rata-rata harga pestisida yang diterima oleh petani di kecamatan

Belitang III, Kabupten OKU Timur sebesar Rp.27.200/liter.

Page 89: 5. sesi  ekonomi dan kemiskinan

ISBN 978-602-98295-0-1

Prosiding Seminar Nasional, 13-14 Desember 2010

1010

Faktor produksi padi (X8) berpengaruh nyata terhadap tingkat keuntungan

usahtani padi irigasi pada taraf kepercayaan 99,99 persen. Nilai koefisien regresi

yang positif berarti semakin tinggi jumlah produksi padi, maka akan semakin tinggi

keuntungan yang diperoleh petani juga semakin tinggi. Hal ini berarti kenaikan dan

penurunan jumlah produksi padi berpengaruh terhadap tingkat keuntungan

usahtani padi sawah irigasi. Dari hasil analisis diketahui bahwa rata-rata produksi

padi dengan luas tanam 0,67 hektar, yang diterima oleh petani di kecamatan

Belitang III, Kabupten OKU Timur sebesar 3.545,63 kg dengan nilai sebesar

Rp.8.911.338,24.

KESIMPULAN

Dari hasil pembahasan dapat disimpulkan sebagai berikut:

1. Pendapatan rata-rata rumah tangga petani padi sawah irigasi di Kecamatan

Belitang III, Kabupaten Ogan Komering Ulu Timur sebesar Rp.4.893.624,71

per luas tanam 0,67 hektar atau sebesar Rp. 8.156.041,18 per hektar.

2. Faktor-faktor yang berpengaruh terhadap tingkat keuntungan uisahatani

padi sawah irigasi adalah luas tanam, harga GKP, harga pupuk Urea, harga

pestisida dan jumlah produksi padi.

DAFTAR PUSTAKA

BPS Provinsi Sumatera Selatan. 2009. Sumatera Selatan dalam Angka tahun

2009.Badan Pusat Statistik Sumsel. Palembang.

Gujarati, D. dan Zain, S, 2000. Ekonometrika Dasar. Erlangga. Jakarta. Hariati, 2008, Program-program Sektor Pertanian yang Berorientasi

Penganggulangan Kemiskinan, Dalam Prosiding Seminar Nasional Meningkatkan Peran Sektor Pertanian dalam Penanggulangan Kemiskinan. Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian, DEPTAN, Bogor

Lains, Alfian. 2006. Ekonometrika Teori dan Aplikasi. Jilid II. Pustaka LP3ES Indonesia. Jakarta.

Lokollo, EM dan Friyanto,S, 2007, Peran Sektor Pertanian Dalam Pendapatan Rumah Tangga, Dalam Prosiding Seminar Nasional Dinamika Pembangunan Pertanian dan Perdesaan: mencari alternatif arah

Page 90: 5. sesi  ekonomi dan kemiskinan

ISBN 978-602-98295-0-1

Prosiding Seminar Nasional, 13-14 Desember 2010

1011

pengembangan ekonomi rakyat, Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian, DEPTAN, Bogor

Nazir, M. 1988. Metode Penelitian. Cetakan Ketiga. Ghalia Indonesia. Jakarta. Suryana, A. Dan Mardianto, S. 2001, Bunga Rampai Ekonomi Beras, LPEM-FEUI, Jakarta

Thamrin,T., Hutape, Y., dan Soehendi, R. 2009, Produkrifitas Padi Sawah Irigasi

Intensif Melalui Pengelolaan Tanaman Terpadu (PTT) di Kabupaten Musi Rawas Sumatera Selatan, dalam Prosiding Seminar Inovasi Teknologi Peningkatan Produksi Pertanian Spesifikasi Lokasi. BPTP Lampung kerjasama dengan BBP2TP,Faperta UNILA. Lampung.

Page 91: 5. sesi  ekonomi dan kemiskinan

ISBN 978-602-98295-0-1

Prosiding Seminar Nasional, 13-14 Desember 2010

1012

DAMPAK PELAKSANAAN PROGRAM PENGEMBANGAN USAHA AGRIBISNIS PERDESAAN (PUAP) TERHADAP PENDAPATAN PETANI PADI

PENERIMA BLM PUAP DI LAMPUNG

Zahara, Jamhari Hadipurwanta

Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Lampung

ABSTRACT

Poverty requires the handling of serious and involve many parties, not only governments but also business, social, and community volunteers in general. Based on survey results of the Central Bureau of Statistics (CBS) In March 2009 the number of poor people reached 32.53 million persons or 14.15% of the total population of Indonesia. Comprised of more poor in rural areas is 20.62 million people or 17.35 percent of the total population in the village. Therefore, to accelerate the growth and development Agribusiness while reducing poverty and unemployment in rural areas the Ministry of Agriculture launched the activities of Rural Agribusiness Development (PUAP). PUAP aims to cultivate agribusiness activities in rural areas according to potential target areas, reducing poverty and unemployment, improve household welfare of poor farmers, farmers / farmer (land owner / cultivator) and small-scale farmers, the development of agribusiness enterprises that have a daily business, weekly or seasonal, empowerment gapoktan / poktan in the target area PUAP. This study aims to determine the impact on farmers' income in particular PUAP rice farmers and determine the feasibility of the business (R / C) ratio of rice farming, and is there any difference of rice farming pendapataan between before and after PUAP BLM Program. This research was conducted at the site of three locations in Lampung PUAP BLM recipients from January to December 2009. Data collection was conducted on rice farmer who received the BLM PUAP. Sampling was done on purpose (purposive) in three districts namely North Lampung, South and East Lampung, with a total sample of 30 people. The method used is the survey method and data collected is of primary and secondary data. The analysis used in this study is to analyze revenue and statistical calculation using paired sample t test. The results showed that: (1) Program PUAP positive impact on farmers' income. Before PUAP farmer income of Rp. 6,399,047.00 and after PUAP Rp. 8,435,686.00, there is a difference of Rp. 2036639.00; (2) Before PUAP value of R / C ratio based on cash costs is 3 and R / C ratio based on total cost is 2.43. After PUAP value of R / C ratio based on cash costs is 3 and R / C ratio based on total cost is 2.83. Value R / C ratio of more than one meaning rice farm worth conducting, (3) The test results statistic obtained by value t-count = │-2.618 │ and t-table = 1.645 if t-count > t-table then reject H0. This means that there are significant differences of rice farm revenues between before and after PUAP. Keyword : impact PUAP, poverty, income

Page 92: 5. sesi  ekonomi dan kemiskinan

ISBN 978-602-98295-0-1

Prosiding Seminar Nasional, 13-14 Desember 2010

1013

PENDAHULUAN

Permasalahan kemiskinan cukup kompleks khususnya bagi negara

berkembang seperti Indonesia. Kemiskinan memerlukan penanganan yang cukup

serius dan melibatkan berbagai pihak, bukan saja pemerintah namun juga dunia

usaha, relawan sosial dan masyarakat pada umumnya. Berdasarkan hasil survei

Badan Pusat Statistik (BPS) Bulan Maret 2009 jumlah penduduk miskin mencapai

32,53 juta jiwa atau 14,15 % dari jumlah total penduduk Indonesia. Peduduk

miskin lebih banyak berada di pedesaan yaitu 20,62 juta jiwa atau 17,35 persen

dari total penduduk di Desa. Sebagian besar penduduk di pedesaan bekerja

sebagai petani yang kehidupannya dibawah garis kemiskinan. Diperkirakan sekitar

80% penduduk miskin yang tinggal di daerah pedesaan adalah para buruh tani

dan petani yang menguasai lahan garapan kurang dari 0.3 hektar.

Sebagian besar pendapatan rumah tangga miskin di pedesaan berasal dari

kegiatan pertanian atau usaha agribisnis. Kegiatan pertanian atau usaha

agribisnis yang dilkaukan oleh petani masih belum mampu meningkatkan

pendapatan mereka sehingga kesejahteraan petani masih rendah. Hal ini

disebabkan karena petani tersebut hanya memilki lahan yang sempit, cara

bercocok tanam yang tradisional, sarana dan prasarana yang tidak mendukung,

akses yang rendah terhadap pasar dan keterbatasan modal. Oleh karena itu untuk

mempercepat tumbuh dan berkembangnya Usaha Agribisnis sekaligus

mengurangi kemiskinan dan pengangguran di perdesaan, Pemerintah

mengeluarkan Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat Mandiri (PNPM-M).

Sehubungan dengan hal tersebut Kementerian Pertanian meluncurkan kegiatan

Pengembangan Usaha Agribisnis Perdesaan (PUAP) yang mendukung PNPM-M

melalui bantuan modal usaha dalam menumbuhkembangkan Usaha Agribisnis

sesuai potensi daerah sasaran. Usaha agribisnis dapat berupa kegiatan produktif

budidaya (on farm) baik tanaman pangan, hortikultura, perikanan dan peternakan

dan kegiatan non budidaya (out farm) yang terkait dengan komoditas pertanian

yaitu industri rumah tangga pertanian, pemasaran hasil pertanian dan usaha lain

yang berbasis pertanian.

Program Pengembangan Usaha Agribisnis Perdesaan (PUAP) bertujuan

menumbuh kembangkan kegiatan usaha agribisnis di perdesaan sesuai potensi

Page 93: 5. sesi  ekonomi dan kemiskinan

ISBN 978-602-98295-0-1

Prosiding Seminar Nasional, 13-14 Desember 2010

1014

wilayah sasaran, mengurangi kemiskinan dan pengangguran, meningkatkan

kesejahteraan rumah tangga petani miskin, petani/peternak (pemilik

tanah/penggarap) skala kecil dan buruh tani, berkembangnya usaha pelaku

agribisnis yang mempunyai usaha harian, mingguan maupun musiman,

pemberdayaan gapoktan/poktan yang ada di daerah sasaran PUAP. Sasaran

Program Pengembangan Usaha Agribisnis Perdesaan (PUAP) hanya ditujukan

kepada desa miskin/tertinggal yang di dalamnya terdapat gapoktan/poktan yang

aktif.

Persiapan pelaksanaan Program PUAP dimulai pada tahun 2007, tetapi

baru direalisasikan pada tahun 2008 dengan sasaran 33 propinsi, 379 kabupaten/

kota 1.834 kecamatan miskin dan 10.542 desa miskin. Sasaran PUAP pada awal

program adalah: (1) berkembangnya usaha agribisnis di 10.000 desa

miskin/tertinggal sesuai dengan potensi pertanian desa; (2) berkembangnya

10.000 gapoktan/poktan yang dimiliki dan dikelola oleh petani; (3) meningkatnya

kesejahteraan rumah tangga tani miskin, petani/peternak skala kecil, buruh tani;

dan (4) berkembangnya usaha pelaku agribisnis yang mempunyai usaha harian,

mingguan, maupun musiman. Total desa miskin/gapoktan yang direncanakan

menerima dana BLM-PUAP adalah 11.000 desa miskin/gapoktan. Tahun 2008,

program PUAP dapat direalisasikan pada 10.542 gapoktan di 10.542 desa.

Pemerintah telah mengeluarkan dana sebesar Rp. 3.505.369.742.000,00 pada

tahun 2008. Dari dana tersebut, alokasi untuk Lampung sebesar

Rp.26.511.675.000,00 yang tesebar di 10 Kabupaten dan 269 desa/gapoktan

pada tahun 2008. Pemanfaatan dana tersebut digunakan petani untuk modal

berusahatani baik tanaman pangan, hortikultura, perkebuanan, peternakan

maupun non usahatani. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui dampak PUAP

terhadap pendapatan petani khususnya petani padi dan mengetahui kelayakan

usaha (R/C) rasio usahatani padi, serta adakah perbedaan terhadap pendapataan

usahatani padi anatara sebelum dan setelah Program BLM PUAP.

BAHAN DAN METODE

Penelitian dilakukan pada tiga kabupaten di Propinsi Lampung yaitu

Lampung Selatan, Lampung Utara, Lampung Timur. Responden diambil dari 10

Page 94: 5. sesi  ekonomi dan kemiskinan

ISBN 978-602-98295-0-1

Prosiding Seminar Nasional, 13-14 Desember 2010

1015

gapoktan dari tiga tabupaten dan dari 10 gapoktan diambil sampel sebanyak 30

orang responden. Penelitian dilakukan pada Bulan Desember 2009. Metode yang

digunakan dalam penelitian ini adalah metode survai, data yang digunakan adalah

data primer dan sekunder.

Dampak PUAP dapat dilihat dari peningkatan pendapatan petani sebelum

menerima dan setelah menerima dana BLM PUAP. Pendapatan bersih usahatani

diperoleh dari selisih antara penerimaan kotor dan pengeluaran kotor usahatani.

Pendapatan usahatani dapat dihitung menggunakan rumus :

P = TP – (Bt + Btt)

Dimana : P = Pendapatan bersih usahatani (Rp)

TP = Total penerimaan usahatani (Rp)

Bt = Biaya tunai (Rp)

Btt = Biaya tidak tunai (Rp)

Untuk mengetahui kelayakan dan keberhasilan usahatani digunakan analisis rasio

pendapatan dan biaya (R/C rasio). Analisis kelayakan usahatani dihitung

menggunakan rumus:

R/C = BT

TP (Rasio atas biaya total)

R/C = Bt

TP (Rasio atas biaya tunai)

Dimana BT = Bt + Btt

Keterangan : TP = Total penerimaan usahatani (Rp)

BT = Biaya total (Rp)

Bt = Biaya tunai

Btt = Biaya tidak tunai

Jika :

R/C > 1, maka dikatakan usahatani layak

R/C < 1, maka dikatakan usahatani tidak layak

R/C = 1, maka dikatakan usahatani impas

Untuk menguji perbedaan tingkat pendapatan sebelum dan sesudah adanya

program PUAP, dihitung dengan menggunakan uji t untuk pengamatan

berpasangan (walpole, 1995) dengan rumus sebagai berikut :

Page 95: 5. sesi  ekonomi dan kemiskinan

ISBN 978-602-98295-0-1

Prosiding Seminar Nasional, 13-14 Desember 2010

1016

t hitung 1;/

nvnsd

dod

Keterangan: d – do = Rata-rata tingkat pendapatan setelah ada dana pinjaman –

sebelum ada dana pinjaman.

Sd = Standar deviasi

n = Jumlah observasi

v = Derajat Bebas

Hipotesis yang diajukan yaitu:

1. Tidak ada perbedaan yang nyata terhadap pendapatan usahatani sebelum dan

sesudah adanya program PUAP.

2. Adanya perbedaan yang nyata terhadap pendapatan sebelum dan sesudah

adanya Program PUAP. Hipotesis tersebut dapat dinyatakan sebagai berikut :

Kriteria Uji :

Ho ditolak apabila t-hitung > t-tabel, v = n-1, α = 0.05

Ho diterima apabila t-hitung < t-tabel, v = n-1, α = 0.05

HASIL DAN PEMBAHASAN

1. Pendapatan petani sebelum dan setelah menerima BLM PUAP

Pendapatan diperoleh dari pengurangan penerimaan rata-rata dengan biaya rata-

rata yang dikeluarkan. Penerimaan adalah nilai produksi yang diperoleh dalam

jangka waktu tertentu. Dalam penelitian ini penerimaan usahatani padi diperoleh

dari jumlah produksi total padi yang dihasilkan dikalikan dengan harga jual padi.

Biaya usahatani dihitung dari penggunaan faktor-faktor produksi dalam melakukan

proses usahatani. Biaya yang dikeluarkan terdiri dari biaya tunai dan biaya yang

diperhitungkan. Biaya tunai adalah biaya yang dikeluarkan untuk membeli barang

dan jasa secara tunai yang meliputi : benih, pupuk, pestisida, herbisida,

pengolahan tanah, tenaga kerja dari tanam sampai panen. Sedangkan Biaya yang

diperhitungkan adalah biaya yang dikeluarkan oleh petani untuk membeli barang

dan jasa secara tidak tunai yang meliputi : tenaga kerja dalam keluarga dan biaya

lainnya (pajak, iuran desa/IPAIR).

Pendapatan usahatani rata-rata dihitung sebelum petani menerima BLM PUAP

pada musim tanam ke-II tahun 2008. Analisis pendapatan usahatani petani

Page 96: 5. sesi  ekonomi dan kemiskinan

ISBN 978-602-98295-0-1

Prosiding Seminar Nasional, 13-14 Desember 2010

1017

responden sebelum dan setelah menerima dana BLM PUAP dapat dilihat pada

Tabel 1.

Tabel 1. Rata-rata Pendapatan Usahatani Padi Sebelum dan Setelah PUAP Tahun 2008 di Lampung

Uraian Nilai rata-rata sebelum PUAP

Nilai rata-rata setelah PUAP

A. Penerimaan

1. Jumlah Produksi Beras (kg) 5,241 5,465

2. Harga Jual (Rp/kg) 2,060 2,361

3. Nilai Produksi 10,876,028 13,051,708

B. Biaya Usahatani

1. Biaya Tunai

a. Benih 287,811 338,862

b. Pupuk Kandang 71,133 61,258

c. Urea 326,641 244,879

d. SP-18 303,053 225,223

e. Phonska 356,876 416,814

f. Pupuk Alternatif 71,333 45,000

g. Pestisida 105,315 137,010

h. Herbisida 72,852 82,149

i.Tenaga Kerja (Tanam-Panen) 1,893,087 2,392,763

Total Biaya Tunai 3,636,893 3,943,958

2. Biaya yang diperhitungkan

j. TKDK 543,033 513,138

k. Biaya lainnya 297,054 158,926

Total Biaya yang diperhitungkan 840,088 672,064

C. Total Biaya Usahatani 4,476,981 4,616,022

D. Pendapatan total 6,399,047 8,435,686

E. Pendapatan atas biaya tunai 7,239,134 9,107,750

F. Pendapatan atas biaya yg diperhitungkan 10,035,940 12,379,644

G. R/C Rasio atas biaya tunai 3 3

H. R/C Rasio atas biaya yg diperhitungkan 12 19

I. R/C Rasio atas biaya total 2,43 2,83

Sumber : data primer diolah (dihitung per hektar)

Berdasarkan Tabel 1 di atas dapat terlihat produksi rata-rata padi sebelum

PUAP sebesar 5.241 kg dan setelah PUAP sebesar 5.465 kg atau meningkat 224

kg (4,27%). Harga jual rata-rata sebelum PUAP Rp. 2.060,00/kg GKG dan setelah

PUAP Rp. 2.361,00/kg GKG atau meningkat Rp. 301/kg GKG (14,61%). Jumlah

produksi dikalikan dengan harga jual diperoleh penerimaan rata-rata sebelum

PUAP sebesar Rp. 10.876.028,00 dan setelah PUAP Rp. 13.051.708,00. Terjadi

peningkatan rata-rata penerimaan total usahatani padi sebelum dan setelah PUAP

Page 97: 5. sesi  ekonomi dan kemiskinan

ISBN 978-602-98295-0-1

Prosiding Seminar Nasional, 13-14 Desember 2010

1018

sebesar Rp. 2.175.680,00 atau 20 %. Penerimaan rata-rata ini meningkat karena

jumlah produksi padi juga meningkat sebesar 224 kg (4,27%) setelah adanya

PUAP disebabkan petani beralih menggunakan benih unggul berlabel dan adanya

peningkatan harga jual Rp. 301/kg GKG. Petani meggunakan bantuan modal ini

untuk membeli benih yang lebih unggul dan berkualitas dan penanganan pasca

panen.

Biaya yang dikeluarkan oleh petani adalah biaya tunai dan biaya

diperhitungkan. Biaya tunai digunakan petani untuk membeli sarana produksi yaitu

benih, pupuk, pestisida serta untuk membayar tenaga kerja mulai dari olah tanah

sampai panen. Biaya yang diperhitungkan adalah biaya tidak tunai untuk

membayar iuran air (IPAIR) dan tenaga kerja dalam keluarga. Biaya tunai yang

dikeluarkan petani sebelum PUAP sebesar Rp. 3.636.893,00 dan setelah PUAP

sebesar Rp. 3.943.958,00 atau terjadi peningkatan biaya usahatani sebesar Rp.

307.065,00 (8,44%). Peningkatan biaya usahatani setelah PUAP karena petani

menggunakan dana BLM PUAP untuk membeli semua sarana produksi yang lebih

banyak dan tentunya lebih berkualitas misalnya benih unggul bersertifikat dalam

upaya menerapkan teknologi produksi yang direkomendasikanh. Hal ini dilakukan

dengan tujuan agar produktivitas tanaman padi lebih baik lagi sehingga hasil

panen yang diperoleh pun juga akan mengalami peningkatan (Prihartono, M.K,

2009). Sebelumnya petani hanya menggunakan sarana produksi seadanya

karena keterbatasan modal. Selain itu petani mengalokasikan dana bantuan

PUAP untuk membayar tenaga kerja mulai dari olah tanah sampai panen. Biaya

tenaga kerja sebesar Rp. 1.893.087,00 sebelum PUAP dan setelah PUAP Rp.

2,392,763,00 atau meningkat sebesar Rp. 499.676,00 (26,39 %). Biaya yang

diperhitungkan sebelum PUAP sebesar Rp. 840.088,00 dan setelah PUAP

sebesar Rp. 672.064,00 atau terjadi penurunan sebesar Rp. 168.024,00. Hal ini

menunjukkan petani mengurangi penggunaan tenaga kerja dalam keluarga, dan

menambah penggunaan tenaga kerja dari luar keluarga. Dengan kata lain terjadi

peningkatan penyerapan tenaga kerja di perdesaan setelah pelaksanaan PUAP

pada usahatani padi. Total pendapatan rata-rata yang diperoleh dari selisih antara

total penerimaan dan total biaya usahatani menunjukkan adanya kenaikan

sebesar Rp. 2.036.639,00 (31,83 %) yaitu dari Rp. 6.399.047,00/ha sebelum

Page 98: 5. sesi  ekonomi dan kemiskinan

ISBN 978-602-98295-0-1

Prosiding Seminar Nasional, 13-14 Desember 2010

1019

PUAP menjadi Rp. 8.435.686,00/ha setelah PUAP. Hal ini berarti pelaksanaan

program PUAP pada usahatani padi mampu meningkatkan pendapatan petani.

Peningkatan pendapatan ini sudah sejalan dengan tujuan program PUAP

yaitu meningkatkan kesejahteraan petani miskin, dan indikator kesejahteraan

adalah peningkatan pendapatan petani. Dengan meningkatnya pendapatan petani

padi maka meningkat pula kesejahteraan keluarga petani. Hal ini menunjukkan

bahwa program PUAP berdampak positif terhadap pendapatan petani dalam

berusahatani padi.

2. Uji Statistik

Peningkatan pendapatan yang telah dihitung tersebut harus di uji secra

statistik. Apakah ada perbedaan pendapatan yang signifikan antara sebelum dan

setelah program PUAP. Oleh karena itu perlu diuji dengan uji statistik

menggunakan rumus t-test untuk data berpasangan atau paired sample t-test

(Walpole, 1995). Hasil Uji statistik pendapatan petani berdasarkan luas lahan

dapat dilihat pada Tabel 2.

Tabel 2. Hasil Analisis Statistik t-hitung terhadap Pendapatan Usahatani

Luas Lahan t-hitung t-tabel Kesimpulan

1 Ha │- 2,618│

1,645 Perbedaan yang nyata

(tolak H0)

Sumber : data diolah

Hasil pengujian statistik menggunakan rumus t-test menghasilkan nilai t-

hitung sebesar -2,618 dan nilai t-tabel sebesar 1,645. Berdasarkan kriteria uji jika

t-hitung > t-tabel maka tolak H0. Tabel 2 diatas menunjukkan nilai t-hitung > nilai t-

tabel, maka tolak H0 pada taraf nyata 5 persen (α = 0,05). Kesimpulannya ada

perbedaan yang nyata terhadap pendapatan usahatani padi sebelum dan setelah

program PUAP.

Page 99: 5. sesi  ekonomi dan kemiskinan

ISBN 978-602-98295-0-1

Prosiding Seminar Nasional, 13-14 Desember 2010

1020

3. Analisis R/C rasio

Analisis R/C rasio adalah perbandingan antara penerimaan (revenue)

dengan biaya (cost). Semakin besar penerimaan maka semakin besar pula nilai

R/C rasio. Hasil perhitungan analisis R/C rasio sebelum dan setelah PUAP dapat

dilihat pada Tabel 3 di bawah ini :

Tabel 3. Hasil Perhitungan R/C rasio Sebelum dan Setelah PUAP

Uraian Sebelum PUAP Setelah PUAP

R/C rasio atas biaya tunai 3 3

R/C rasio atas biaya total 2,43 2,83

Sumber : data diolah

Berdasarkan Tabel 4 dapat terlihat perbedaan yang tidak terlalu signifikan

pada nilai R/C rasio atas biaya tunai sebelum dan setelah PUAP yaitu 3. Artinya

setiap Rp. 1,00 biaya yang dikeluarkan petani dalam usahatani padi maka petani

akan mendapatkan penerimaan sebesar Rp. 3,00. Nilai R/C rasio untuk biaya

total sebesar 2,43 artinya setiap Rp. 1,00 biaya yang dikeluarkan akan

menghasilkan penerimaan sebesar Rp. 2,43,00. Jika nilai R/C rasio lebih dari

satu,maka usahatani layak untuk diusahakan. Dapat disimpulkan bahwa usahatani

padi layak untuk diusahakan.

Setelah PUAP nilai R/C untuk biaya tunai sebesar 3, tidak berbeda dengan

nilai R/C rasio sebelum PUAP. Tetapi nilai R/C rasio atas biaya total berbeda

antara sebelum dan setelah PUAP. Sebelum PUAP nilai R/C rasio sebesar 2,83,

artinya setiap Rp.1,00 biaya yang dikeluarkan akan memperoleh penerimaan

sebesar Rp. 2,83,00. Nilai R/C rasio setelah PUAP lebih besar dari satu sehingga

usahatani padi leyak untuk diusahakan. Perbedaan nilai R/C rasio atas biaya tunai

dan biaya total dikarenkan ada biaya yang diperhitungkan dalam biaya total

sehingga biaya yang dikeluarkan bertambah. Biaya yang diperhitungkan walaupun

nilainya kecil namun sangat mempengaruhi pendapatan total.

Page 100: 5. sesi  ekonomi dan kemiskinan

ISBN 978-602-98295-0-1

Prosiding Seminar Nasional, 13-14 Desember 2010

1021

KESIMPULAN

Berdasarkan uraian di atas maka dapat disimpulkan:

1. Pendapatan petani sebelum PUAP Rp. 6.399.047,00 dan setelah PUAP Rp.

8.435.686,00. Ada peningkatan pendapatan antara sebelum dan setelah PUAP

sebesar Rp. 2.036.639,00. Hal ini menunjukkan bahwa Program PUAP

berdampak positif terhadap pendapatan petani

2. Sebelum nilai R/C rasio atas biaya tunai sebesar 3 dan nilai R/C rasio atas

biaya total sebesar 2,43. Setelah PUAP nilai R/C rasio atas biaya tunai

sebesar 3 dan nilai R/C rasio atas biaya total 2,83. Nilai R/C rasio lebih besar

dari satu berarti usahatani padi layak untuk diusahakan.

3. Nilai t-hitung = │-2,618│ > t-tabel = 1,645, maka tolak H0. Artinya ada

perbedaan yang nyata terhadap pendapatan petani sebelum dan setelah

Program PUAP

DAFTAR PUSTAKA

Badan Pusat Statistik. 2009. Perkembangan Beberapa Indikator Utama Sosial- Ekonomi Indonesia. Jakarta.

Pedoman Umum PUAP. 2009. Kementerian Pertanian Republik Indonesia. Jakarta.

Prihartono, M.K. 2009. Dampak Program Pengembangan Usaha Agribisnis Pertanian terhadap Kinerja Gapoktan dan Pendapatan Anggota Gapoktan. Skripsi. Fakultas Pertanian Universitas Sumatera Utara.

Warta Penelitian dan Pengembangan Pertanian. PUAP untuk Kesejahteraan Rakyat. Vol. 1 no. 36. Tahun 2009. Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian Bogor.

Walpole, R.E. 1995. Pengantar Statistika. Edisi ke-3. Gramedia Pustaka Utama. Jakarta.

Page 101: 5. sesi  ekonomi dan kemiskinan

ISBN 978-602-98295-0-1

Prosiding Seminar Nasional, 13-14 Desember 2010

1022

MENGENTASKAN KEMISKINAN MELALUI PERANG TERHADAP KORUPSI:

STUDI KASUS TERHADAP BEBERAPA NEGARA DI ASIA

Sari Lestari Zainal Ridho, Dewi Fadila, Elisa

Jurusan Administrasi Niaga, Politeknik Negeri Sriwijaya

ABSTRAK

Kajian ini berjudul ―Mengentaskan Kemiskinan melalui Perang Terhadap Korupsi‖, yang ditulis oleh Sari Lestari Zainal Ridho dan Dewi Fadila, staf pengajar jurusan Administrasi Niaga Politeknik Negeri Sriwijaya. Kajian ini bertujuan memaparkan dan membuktikan pentingnya perang terhadap korupsi dalam rangka mengentaskan kemiskinan. Kemiskinan merupakan permasalahan dalam upaya menjalankan pembangunan ekonomi, sehingga merupakan kewajiban tiap Negara untuk mengentaskan kemiskinan. Namun upaya pengentasan kemiskinan tanpa menghilangkan perilaku korupsi hanya akan menyebabkan ketidakefisienan dan ketidakefektifan dalam pencapaian tujuan program-program pengentasan kemiskinan. Menggunakan metode penelitian deskriptif eksploratif dan analisis profil, kami menemukan bahwa tingkat pengendalian korupsi yang rendah yang berarti tingginya tingkat korupsi di suatu Negara akan dibarengi oleh tingkat pendapatan rata-rata Negara yang juga rendah dan jumlah penduduk miskin yang tinggi. Sehingga perang terhadap korupsi melalui pencegahan, penegakkan hukum dan pendidikan merupakan suatu keniscayaan dalam rangka memberantas kemiskinan. Kata Kunci: Kemiskinan, Pengendalian Korupsi, Pendapatan Rata-Rata

PENDAHULUAN

Kemiskinan meupakan masalah yang menimbulkan berbagai masalah

lainnya, yaitu: (1) tingkat kriminalitas yang semakin tinggi, (2) memunculkan

berbagai penyakit pada kelompok beresiko tinggi seperti ibu hamil, ibu menyusui,

bayi dan balita, (3) anak putus sekolah serta masalah-masalah lainnya.

Kemiskinan merupakan pekerjaan rumah bagi Negara-negara yang hendak

membangun negerinya karena salah satu indikator pembangunan ekonomi di

suatu Negara adalah rendahnya jumlah orang miskin atau angka kemiskinan di

Negara tersebut.

Berbagai program pengentasan kemiskinan dilakukan oleh pemerintah di

Indonesia, baik dalam bentuk bantuan publik ataupun program anti kemiskinan.

Namun hasil yang diperoleh dalam pelaksanaan program-program tersebut masih

bergerak perlahan dalam mengentaskan kemiskinan. hal ini bisa dilihat dari salah

satu indikator kemiskinan yaitu penganguran. Berdasarkan data dari Biro Pusat

Page 102: 5. sesi  ekonomi dan kemiskinan

ISBN 978-602-98295-0-1

Prosiding Seminar Nasional, 13-14 Desember 2010

1023

Statistik (BPS) Indonesia untuk periode Februari-Agustus 2010, laju penurunan

tingkat penganguran di Indonesia belum menunjukkan perubahan yang signifikan,

bahkan berjalan lebih lambat dari periode sebelumnya.

Korupsi dianggap sebagai salah satu penyebab ketidakberhasilan berbagai

program pengentasan kemiskinan tersebut. Berbagai strategi yang dilakukan

untuk mengurangi kemiskinan, tanpa upaya memerangi korupsi hanya akan

menimbulkan masalah baru dalam pembangunan ekonomi, hal ini disebabkan

oleh dana yang sejatinya disalurkan untuk mengentaskan kemiskinan ketika

dikorupsi oleh pihak-pihak yang tidak bertanggungjawab, akan menyebabkan

deefisiensi dan deefektititas dalam pencapaian tujuan mengentaskan kemiskinan.

Berdasarkan data lembaga Transparency International, Index Persepsi Korupsi

Indonesia untuk tahun 2010 masih sangat rendah, yaitu sebesar 2,8 walaupun

mengalami kenaikan dari tahun-tahun sebelumnya. Indeks Persepsi Korupsi

tersebut menunjukkan bahwa Indonesia masih merupakan negara korup, karena

skor yang diperoleh Indonesia jauh lebih mendekati angka nol (skor bagi negara

terkorup) dibanding mendekati angka 10 (skor bagi negara terbersih) (Corruption

Perception Index 2010)

Tingginya tingkat korupsi meperlambat laju penurunan jumlah kemiskinan

yang berpengaruh terhadap pelaksanaan pembangunan ekonomi. Kajian ini

bertujuan memaparkan permasalah korupsi dan pengaruhnya terhadap

kemiskinan dan pembangunan ekonomi di Indonesia serta memberikan solusi dari

pemasalah tersebut.

BAHAN DAN METODE

Berdasarkan definisi dari Asia Development Bank, kemiskinan adalah

perampasan aset penting dan peluang yang setiap manusia berhak atasnya,

seperti atas pendidikan dasar, perawatan kesehatan, nutrisi, air, sanitasi,

pendapatan, pekerjaan dan gaji. Senada dengan definisi yang diberikan oleh

Ratnayake bahwa kemiskinan tidak hanya berarti kehilangan pendapatan dan

asset-aset productive tapi juga kehilangan akses terhadap pelayanan publik dan

ekonomis yang esensial juga kehilangan kekuatan, kesempatan berpartisipasi dan

hak atas penghormatan. (Ratnayake, 2007)

Ada berbagai program yang dilakukan dalam rangka mengurangi jumlah

penduduk miskin. Program-program tersebut dapat kita kelompokkan dalam dua

Page 103: 5. sesi  ekonomi dan kemiskinan

ISBN 978-602-98295-0-1

Prosiding Seminar Nasional, 13-14 Desember 2010

1024

golongan, yaitu: pemberian bantuan publik (public assistance) dan program anti

kemiskinan (anti poverty program). Pemberian bantuan publik merupakan program

untuk mengurangi kondisi Program anti kemiskinan berarti menjalankan program

yang mengarah pada pemindahan kondisi kemiskinan seseorang dan membantu

orang menghindari kemiskinan. (Northrop, 1991)

Indonesia telah melaksanakan berbagai program pengentasan kemiskinan,

baik dalam bentuk bantuan langsung maupun anti kemiskinan. Program-program

yang termasuk bantuan publik adalah: program beras untuk rakyat miskin dan

program jaring pengaman sosial (JPS) untuk orang miskin, dan program Bantuan

Langsung Tunai (BLT). Sedangkan program yang termasuk program anti

kemiskinan adalah: Kredit Untuk Rakyat dan Bantuan Operasional Sekolah.

Ada berbagai penelitian empiris yang membuktikan keterkaitan antara

Negara-negara miskin atau dengan jumlah penduduk miskin yang tinggi dengan

tingkat korupsi yang tinggi pula yang pada akhirnya berpengaruh terhadap

pembangunan ekonomi. Sebuah penelitian yang dilakukan oleh Fishman dan

Miguel yang melakukan penelitian pada tahun 2006 dengan judul ―Economic

Gangsters: Corruption, Violation and the Poverty of Nations‖ membuktikan bahwa

Negara-negara miskin merupakan Negara-negara dengan tingkat korupsi yang

tinggi hal ini disebabkan oleh banyaknya koruptor di Negara-negara miskin

tersebut. Hal ini tentunya berpengaruh dalam pembangunan. (Harford, 2009).

Sebuah penelitian lain membuktikan bahwa tinggi rendahnya korupsi akan

berpengaruh terhadap tinggi rendahnya tingkat pembangunan di suatu Negara.

Blackburn dan Sarmah dalam kajiannya yang berjudul “Corruption, Development

and Demography‖, dalam peneltian ini Blackburn dan Sarmah menganalisa

hubungan antara korupsi birokrasi, pembangunan ekonomi, tingkat harapan hidup

dan transisi demografi. Temuan mereka membuktikan bahwa: rendahnya tingkat

pembangunan berkaitan dengan tingginya tingkat korupsi dan rendahnya tingkat

harapan hidup. Sebaliknya tingginya tingkat pembangunan berkaitan dengan

rendahnya tingkat korupsi dan tingginya tingkat harapan hidup. (Blackburn &

Sarmah, 2008)

Metode yang penulis gunakan dalam kajian ini adalah metode deskriptif

eksploratif, dengan menggunakan analisis profil. Variabel yang digunakan dalam

kajian ini adalah kemiskinan, yaitu: jumlah penduduk dari suatu Negara yang

Page 104: 5. sesi  ekonomi dan kemiskinan

ISBN 978-602-98295-0-1

Prosiding Seminar Nasional, 13-14 Desember 2010

1025

berada di bawah garis kemiskinan dalam persentase. Variable kedua adalah:

rangking pengendalian korupsi, yaitu: menangkap persepsi sejauh mana

kekuasaan publik dan kekuasaan negara oleh para elite dilaksanakan untuk

keuntungan dan kepentingan pribadi, termasuk bentuk kecil dan besar korupsi.

Data diukur berdasarkan rangking 0-100 dimana angka yang lebih kecil

menunjukkan posisi yang lebih rendah. Sedangkan Variabel ketiga adalah

pendapat rata-rata, yaitu: tingkat pendapatan negara secara rata-rata, yang diukur

berdasarkan bagian dari perseratus atau percentile.(Kaufmaan, 2010). Data yang

digunakan dalam kajian ini adalah data sekunder yang penulis peroleh dari

berbagai lembaga, yaitu: Biro Pusat Statistik, World Bank, dan Transparency

International.

HASIL

Table 1 menunjukkan berbagai kasus korupsi di Indonesia, yaitu: dalam Badan

Usaha Milik Negara, dalam dunia perbankan, dalam dunia pendidikan dan dalam

program pengentasan kemiskinan, dengan jumlah luar biasa yang dikorupsi oleh

berbagai lembaga tersebut. Kasus korupsi di Pertamina untuk 2 kasus saja, yang

terjadi pada tahun 1993 sampai dengan 1998, di duga telah merugikan Negara

sebesar kurang US $ 24,800,700. Kasus Bantuan Likuiditas Bank Indonesia pada

tahun 2000 diduga telah merugikan Negara sebesar Rp 138,4 T. Kasus program

pendidikan yang sebagian besar terjadi pada penggelapan dana Bantuan

Operasional Sekolah dan Dana Alokasi Khusus, sebanyak 142 kasus, merugikan

Negara sebanyak kurang lebih Rp 243,3 M, dan program pengentasan kemiskinan

untuk 1 kasus, diduga telah merugikan Negara sebanyak Rp 210 juta. Tabel 2 di

atas menunjukkan bahwa untuk tahun 2009 Indonesia berada pada rangking 28,1

dari 100 jika dibandingkan dengan Negara-negara yang dipilih dalam kajian ini

Indonesia berada pada rangking terendah kedua setelah Philipina. China dan

Vietnam berada posisi yang lebih tinggi yaitu rangking 36.2 dan 36.7. Singapura

berada pada posisi yang sangat tinggi yaitu pada rangking 99. Pada data

pendapat rata-rata yang dihitung berdasarkan bagian dari perseratus (percentile)

maka Indonesia berada pada 38,6 persentil, angka tersebut juga di peroleh oleh

Philipina dan Thailand. Singapura dan Korea Selatan memiliki pendapatan rata-

rata pada 83.4 persentil. Profil dari data table 2 dapat dilihat pada gambar 1.

Page 105: 5. sesi  ekonomi dan kemiskinan

ISBN 978-602-98295-0-1

Prosiding Seminar Nasional, 13-14 Desember 2010

1026

Table 1 Data Beberapa Kasus Dugaan Korupsi di Indonesia

Kasus Jumlah Kasus

Jumlah Kerugian Negara

Keterangan Sumber

PERTAMINA 2 $ 24.8 juta US$ 700

Dugaan korupsi dalam Tecnical Assintance Contract (TAC) antara Pertamina dengan PT Ustaindo Petro Gas (UPG) tahun 1993. Kasus Proyek Kilang Minyak Export Oriented (Exxor) I di Balongan, Jawa Barat, tahun 1995-1998.

www.tempointeraktif.com

Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI)

1 Rp 138,4T Pada tahun 2000, adanya penyimpangan penyaluran dana BLBI dari total dana senilai Rp 144,5 triliun.

www.tempointeraktif.com

Program Pendidikan

142 Rp243,3 M Kasus korupsi terjadi sampai dengan bulan September 2009. Sebagian besar terjadi penggelapan pada dana Bantuan Operasional Sekolah (BOS) dan Dana Alokasi Khusus (DAK)

Tempo dari website BAPPENAS (TKPKP2E-DAK BAPPENAS)

Program Pengentasan Kemiskinan

1 Rp 210 Juta Kasus Korupsi terjadi di Desa Karangharja Kecamatan Pebayuran, Kabupaten Bekasi periode September hingga Desember 2008. Terjadi penggelapan dana pada Bantuan Langsung Tunai (BLT) bagi rakyat miskin

Republika

Table 2. Pengawasan Korupsi, Perbandingan antara Beberapa Negara di Asia

Negara Tahun Rangking

Pengawasan Korupsi Pendapatan Rata-

Rata

(0-100) (bagian dari perseratus)

CHINA 2009 36.2 38.6

INDONESIA 2009 28.1 38.6

KOREA, SOUTH 2009 71.4 83.4

MALAYSIA 2009 58.1 58.7

PHILIPPINES 2009 27.1 38.6

SINGAPORE 2009 99 83.4

THAILAND 2009 51 38.6

VIETNAM 2009 36.7 23.4

Sumber: World Bank, Worldwide Governance Indicators 2009, diolah oleh penulis

Page 106: 5. sesi  ekonomi dan kemiskinan

ISBN 978-602-98295-0-1

Prosiding Seminar Nasional, 13-14 Desember 2010

1027

Sumber: World Bank, Worldwide Governance Indicators 2009, diolah oleh penulis

Tabel 3. Kemiskinan, Perbandingan antara Beberapa Negara di Asia

Negara

Proporsi dari Populasi yang Berada di Bawah

Garis Kemiskinan

Rangking Pengawasan Korupsi

Tahun 2009

(%) (0-100)

CHINA 4.2 (2008) 36.2

INDONESIA 14.2 (2009) 28.1

KOREA, SOUTH 5.0 (2004) 71.4

MALAYSIA 3.6 (2007) 58.1

PHILIPPINES 32.9 (2009) 27.1

SINGAPORE --- 99

THAILAND 8.5 (2008) 51

VIETNAM 13.5 (2008) 36.7

Sumber: Asian Development Bank, Key Indicators for Asia and the Pacific 2010, diolah penulis.

Tabel 3 merupakan data dari proporsi dari populasi yang berada di bawah

garis kemiskinan dan data ranking pengawasan korupsi. Pada table tersebut

disajikan bahwa Indonesia memiliki proporsi jumlah penduduk yang berada di

bawah garis kemiskinan sebanyak 14,2 % yang merupakan urutan ke dua tertinggi

setelah Philipina dengan 32,9 % diikuti oleh Vietnam dengan 13,5%. Sedangkan

posisi terendah secara berurutan dari yang paling rendah adalah sebagai berikut:

Malaysia dengan 3.6%, China dengan 4.2 %, Korea Selatan dengan 5%, dan

Thailand dengan 8.5%

Page 107: 5. sesi  ekonomi dan kemiskinan

ISBN 978-602-98295-0-1

Prosiding Seminar Nasional, 13-14 Desember 2010

1028

PEMBAHASAN

Berdasarkan data pada table 1 yang menunjukkan bahwa hanya dengan

sejumlah kecil kasus korupsi di Indonesia—dalam Badan Usaha Milik Negara,

perbankan, program pendidikan dan program pengentasan kemiskinan—saja

telah merugikan Negara sebanyak ratusan triliun rupiah, yang jika digunakan

untuk menjalankan program pengentasan kemiskinan akan dapat membiayai

sekolah sejumlah besar anak putus sekolah, atau dapat memberikan ribuan warga

bantuan dana untuk membuka usaha dan memberikan ratusan juta rakyat

bantuan publik. Irosnisnya tidak sedikit penggelapan dana terjadi pada program-

program yang bertujuan menngentaskan kemiskinan dan memperbaiki kondisi

sumber daya manusia, seperti pendidikan dalam rangka memutus lingkaran

kemiskinan yang selama ini terjadi di Indonesia. Kasus-kasus dugaan koruspsi

yang telah merugikan Negara sedemikian besar, masih merupakan puncak

gunung es,karena kita mengetahui ada lebih banyak kasus duggan koruspsi yang

terjadi akhir-akhir ini.

Berdasarkan data pada table 2, kita dapat melihat bahwa ada pergerakan

yang selaras antara rangking pengawasan korupsi dan tingkat pendapatan rata-

rata. Hal ini diperjelas pada profil yang ditunjukkan gambar 1. Indonesia berada

pada posisi terendah kedua yang berarti tingkat pengawasan terhadap korupsi di

Page 108: 5. sesi  ekonomi dan kemiskinan

ISBN 978-602-98295-0-1

Prosiding Seminar Nasional, 13-14 Desember 2010

1029

Indonesia sangat rendah, hal ini menyebabkan maraknya kasus korupsi di

Indonesia. Demikian dengan pendapatan rata-rata Indonesia berada di posisi

kedua terendah setelah Vietnam. Sebaliknya Singapura dengan tingkat

pengawasan yang tinggi terhadap korupsi memiliki tingkat pendapatan rata-rata

yang juga tinggi. Data dan profil tersebut menunjukkan bahwa semakin rendah

rangking pengawasan korupsi di suatu Negara yang berindikasi semakin tingginya

jumlah kasus korupsi di Negara tersebut maka semakin rendah pendapatan rata-

rata Negara tersebut.

Sama halnya dengan pergerakan yang terjadi ketika kami membandingkan

jumlah kemiskinan di suatu Negara dengan tingkat pengawasan korupsi, hal ini

dapat dilihat dari table 3 dan gambar 2. Sebagai contoh Negara Korea Selatan

dan Malaysia, merupakan dua Negara yang memiliki ranking pengawasan korupsi

yang cukup tinggi yaitu 71, 4 dan 58,1, kedua Negara tersebut memiliki

prosentase yang rendah atas populasi penduduk yang berada di bawah garis

kemiskinan, dengan demikian jumlah penduduk miskin di kedua Negara tersebut

secara proporsional lebih sedikit disbanding Negara-negara dengan tingkat

pengawasan korupsi yang rendah seperti di Indonesia. Data dan profil tersebut

menunjukkan bahwa semakin rendah rangking pengendalian korupsi di suatu

Negara yang berarti semakin tinggi tingkat korupsi di Negara tersebut, Negara

tersebut juga memiliki jumlah penduduk miskin yang lebih besar disbanding

Negara dengan angka pengendalian korupsi yang lebih tinggi atau Negara dengan

tingkat korupsi yang lebih rendah.

KESIMPULAN DAN SARAN

Beberapa kesimpulan yang dapat diambil dari kaiian ini adalah, pertama,

semakin rendah rangking pengendalian korupsi di suatu Negara yang berarti

semakin tingginya jumlah kasus korupsi di Negara tersebut maka semakin rendah

pendapatan rata-rata Negara tersebut. Kedua, semakin rendah rangking

pengendalian korupsi di suatu Negara yang berarti semakin tinggi tingkat korupsi

di Negara tersebut, Negara tersebut juga memiliki jumlah penduduk miskin yang

lebih besar disbanding Negara dengan angka pengendalian korupsi yang lebih

tinggi atau Negara dengan tingkat korupsi yang lebih rendah. Sehingga tingkat

Page 109: 5. sesi  ekonomi dan kemiskinan

ISBN 978-602-98295-0-1

Prosiding Seminar Nasional, 13-14 Desember 2010

1030

pengendalian korupsi yang rendah atau tingkat korupsi yang tinggi di suatu

Negara akan menyebabkan upaya pengentasan kemiskinan berjalan lambat.

Demikian sehingga perang terhadap korupsi merupakan keniscayaan dalam

upaya mengentaskan kemiskinan suatu Negara, dengan cara-cara antara lain

adalah: melalui tindakan pencegahan, penegakan hukum dan pendidikan kepada

masyarakat.

Pencegahan dapat dilakukan dengan melakukan pengawasan secara ketat

terhadap perilaku-perilaku korupsi yang dapat dilakukan oleh masyarakat,

lembaga penegak hokum dan lembaga sosial masyarakat. Penegakkan hukum

dapat dilakukan dengan transparan dan tegas dengan menjunjung tinggi nilai-nilai

keadilan dan dengan melakukan pembersihan dari korupsi pada lembaga-

lembaga Negara, baik lembaga pengelola asset dan keuangan Negara maupun

lembaga pelayanan publik. Pendidikan dapat dilakukan dengan upaya-upaya

peningkatan pemahaman masyarakat akan dampak dari korupsi bagi individu,

masyarakat dan Negara. Melalui pendidikan juga diharapkan dapat menciptakan

pembentukan karakter pribadi-pribadi yang memiliki integritas, moral yang tinggi

yang menjunjung tinggi nilai-nilai kebenaran dan kejujuran.

DAFTAR PUSTAKA

Anonim. 2009. Incar BOS dan DAK Kasus Korupsi di Pendidikan Rp 243,3 Miliar: Kasus korupsi di sekolah-sekolah masih dianggap sebagai kasus recehan. Tempo. 10 September. http://www.tkp2e-dak.org/newsview.asp?kk=138&dkd=berita. Tanggal pengaksesan: 5 Desember 2010.

Anonim. 2004. Kasus-kasus Korupsi di Indonesia.www.tempointrtaktif.com. 25 Oktober. http://www.tempointeraktif.com/hg/narasi/2004/10/25/nrs,20041025-04,id.html. Tanggal Pengaksesan: 4 Desember 2010.

Anonim. 2010. Key Indicators for Asia and The Pacific 2010: The Rise of Asia‘s Middle Class. August. Asian Development Bank. 41th Edition. http://www.adb.org/Documents/Books/Key_Indicators/2010/pdf/Key-Indicators-2010.pdf Tanggal pengaksesan: 3 Desember 2010.

Anonim. 2010. Corruption Perception Index 2010.

http://www.transparency.org/policy_research/surveys_indices/cpi/2010. Tanggal Pengaksesan: 4 Desember 2010.

Page 110: 5. sesi  ekonomi dan kemiskinan

ISBN 978-602-98295-0-1

Prosiding Seminar Nasional, 13-14 Desember 2010

1031

Blackburn, Keith and Rashmi Sarmah. 2008. Corruption, Development and

Demography. Econ Gov; 9; 341-362. Harford, Tim. 2009. The Development Dilemma. Reason; May; 41,1; Research

Library, hal. 51. Tanggal Pengaksesan 3 Desember 2010. Kaufmann, Daniel, Aart Kraay, and Massimo Mastruzzi. 2010. Worldwide

Governance Indicators: Methodology and Analysis. Policy Research Working Paper 5430. The World Bank, Development Research Group, Macroeconomics and Growth Team. http://siteresources.worldbank.org/INTMACRO/Resources/WPS5430.pdf. Tanggal pengaksesan: 4 Desember 2010

Northrop, Emily M.1991. Public Assistance and Antipoverty Programs or Why

Haven't. Journal of Economic Issues. Lincoln: Dec . Vol. 25, Edisi 4; pg. 1017, 11 pgs http://www.unescap.org/pdd/publications/RuralPoverty/ChIII.pdf. Tanggal Pengksesan 2 Desember 2010.

Ratnayake, Ravi. 2007. Persistent and Emerging Issues in Rural Poverty Reduction. UN Economics and Social Commission for Asia and the Pacific Document. http://www.unescap.org/pdd/publications/RuralPoverty/Rural_Poverty_Reduction.pdf Tanggal Pengaksesan 3 Desember 2010.

Yuwanto, Endro. 2010. Tiga Tersanka Kasus Korupsi di Bekasi.

REPUBLIKA.co.id. 15 Juli. http://www.republika.co.id/berita/breaking-news/metropolitan/10/07/15/124819-tiga-tersangka-korupsi-dana-blt-di-bekasi-ditahan. Tanggal Pengaksesan: 5 Desember 2010.

Page 111: 5. sesi  ekonomi dan kemiskinan

ISBN 978-602-98295-0-1

Prosiding Seminar Nasional, 13-14 Desember 2010

1032

PROSES PENGOLAHAN DAN ANALISIS USAHA HOME INDUSTRY DODOL NENAS DI DESA BIKANG KECAMATAN TOBOALI

KABUPATEN BANGKA SELATAN

Evahelda

Program Studi Agribisnis, Fakultas Pertanian Perikanan Dan Biologi, Universitas Bangka Belitung, kampus terpadu Balunijuk Desa Balunijuk

Kecamatan Merawang Kabupaten Bangka

ABSTRAK

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui proses pengolahan dodol nenas, dan menghitung analisis usaha (total biaya, penerimaan dan pendapatan) pada proses pengolahan dodol nenas di Kecamatan Toboali Kabupaten Bangka Selatan. Metode penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah menggunakan metode survei. Penarikan sampel dilakukan secara sengaja (Purposive). Metode pengumpulan data, yaitu observasi (pengamatan), wawancara langsung dan studi pustaka. Selanjutnya data yang diperoleh disusun secara tabulasi dan dijelaskan secara deskriptif. Hasil penelitian menunjukkan bahwa proses pengolahan dodol nenas adalah sebagai berikut : Buah nenas dikupas dan dicuci, lalu di potong kemudian di blender. Campurkan nenas yang sudah halus dengan sebagian santan, tepung ketan, gula pasir, margarin menjadi adonan dodol, tambahkan sisa santan yang sudah dipanaskan di wajan dan hampir menjadi minyak kedalam adonan yang sudah rata sambil diaduk dan dimasak sampai kental, liat, dan adonan keluar minyak. Angkat adonan dan tuangkan kedalam loyang yang sudah dialasi plastik, setelah dingin adonan dikemas dengan plastik. Biaya total yang dikeluarkan dalam satu kali proses produksi adalah sebesar Rp. 289.638,91. Penerimaan yang diperoleh adalah sebesar Rp. 600.000. Pendapatan yang diperoleh adalah sebesar Rp. 310.361,09 dalam satu kali produksi. Kata kunci : dodol nenas, analisis usaha, home industry, Toboali

PENDAHULUAN

Indonesia sebagai negara kepulauan memiliki potensi alamiah untuk

mengembangkan sektor pertanian, termasuk tanaman hortikultura. Sektor

pertanian merupakan suatu kegiatan ekonomi yang tangguh yang dapat

digunakan untuk menggerakkan roda perekonomian.

Nenas (Ananas comucus L) merupakan komoditas hortikuktura andalan

Indonesia, baik yang di ekspor dalam bentuk buah segar maupun olahan. Volume

ekspor buah nenas Indonesia pada tahun 2008 sebesar 269.663,512 ton. Jumlah

ini mengalami peningkatan dari tahun sebelumnya yaitu tahun 2007 sebesar

110.112,419 ton (Anonim 2009).

Page 112: 5. sesi  ekonomi dan kemiskinan

ISBN 978-602-98295-0-1

Prosiding Seminar Nasional, 13-14 Desember 2010

1033

Produksi nenas Indonesia pada tahun 2009 mencapai 1.558.049 ton dan

9.266 ton dihasilkan oleh Provinsi Bangka Belitung (BPS RI 2009). Hal ini

menunjukkan bahwa nenas dapat mendukung pengembangan pembangunan

pertanian di Bangka Belitung selain sektor perkebunan dan pertambangan.

Salah satu sentra produksi nenas terbesar di Kabupaten Bangka Selatan

adalah Desa Bikang. Luas areal tanaman nenas di Desa Bikang pada tahun 2009

adalah sebesar 48 Ha dengan jumlah produksi sebanyak 130 ton (BPS Bangka

Selatan 2009).

Nenas di Desa Bikang sudah menjadi produk unggulan, hal ini disebabkan

karena usahatani nenas sudah menjadi mata pencaharian utama yang

diusahakan secara turun temurun dari generasi ke generasi. Keunggulan Nenas

Bikang dibanding nenas lainnya adalah kualitas rasanya yang tak tersaingi, manis

dan gurih, dengan kondisi buahnya yang besar, kelihatan segar dan sedap

dipandang mata (Anonim 2009).

Melihat potensi nenas yang cukup besar baik dari segi produksi dan

rasanya, sudah selayaknya nenas dapat meningkatkan pendapatan petani di

Desa Bikang. Akan tetapi yang menjadi permasalahan adalah pada saat panen

raya tiba harga nenas tersebut akan menjadi rendah. Didukung lagi dengan

karakteristik produk hortikultura yang mudah rusak, tidak seragam dan bulky,

sehingga akan menurunkan pendapatan petani nenas.

Salah satu upaya yang bisa dilakukan untuk mengatasi permasalahan

tersebut adalah dengan pengolahan lebih lanjut buah nenas menjadi dodol nenas,

sehingga dapat meningkatkan nilai tambah.

BAHAN DAN METODE

Penelitian ini dilaksanakan dari Bulan Agustus sampai November 2009, di

Desa Bikang Kecamatan Toboali Kabupaten Bangka Selatan.

Metode penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah

menggunakan metode survei dimana peneliti melihat langsung keadaan

dilapangan. Menurut Hasan (2006), penelitian survei adalah penelitian dengan

tidak melakukan perubahan (tidak ada perlakuan khusus) terhadap variabel-

Page 113: 5. sesi  ekonomi dan kemiskinan

ISBN 978-602-98295-0-1

Prosiding Seminar Nasional, 13-14 Desember 2010

1034

variabel yang diteliti, dan penelitian ini dilakukan untuk memperoleh fakta-fakta

dari gejala-gejala yang ada pada suatu kelompok ataupun suatu daerah.

Penarikan sampel dilakukan secara sengaja (Purposive), yaitu home

industry milik Bapak Saparudin. Usaha pembuatan dodol nenas ini sudah dimulai

sejak tahun 2007.

Metode yang digunakan dalam pengumpulan data, yaitu observasi

(pengamatan), wawancara langsung dan studi pustaka.

Metode yang digunakan untuk menghitung besarnya biaya produksi

(Soekartawi, 2002) adalah sebagai berikut :

TC = FC + VC

Dimana : TC = Total Cost / Biaya Total (Rp)

FC = Fixed Cost / Biaya Tetap (Rp)

VC = Variabel Cost / Biaya Variabel (Rp)

Menghitung biaya penerimaan dan pendapatan (Soekartawi, 2002) adalah

sebagai berikut:

Pn = Pt x Hp

Dimana : Pn = Penerimaan (Rp)

Pt = Produksi (unit)

Hp = Harga Jual (Rp)

Menghitung pendapatan

Pd = TR - TC

Dimana : Pd = Pendapatan Total (Rp)

TR = Total Revenue / Penerimaan (Rp)

TC = Total Cost / Biaya Produksi Total (Rp)

Selanjutnya data yang diperoleh disusun secara tabulasi dan dijelaskan

secara deskriptif.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Proses Pembuatan Dodol Nenas

Berdasarkan bahan bakunya dodol diklasifikasikan menjadi dua, yaitu:

dodol yang diolah dari tepung-tepungan dan buah-buahan (Satuhu dan Sunarmi

2004). Dodol merupakan salah satu produk olahan hasil pertanian (buah-buahan)

Page 114: 5. sesi  ekonomi dan kemiskinan

ISBN 978-602-98295-0-1

Prosiding Seminar Nasional, 13-14 Desember 2010

1035

yang termasuk dalam jenis pangan semi basah yang terdiri dari campuran tepung

dan gula yang dikeringkan, sehingga dapat langsung dimakan dan kandungan

airnya rendah sehingga dapat stabil selama penyimpanan. Makanan ini biasanya

digunakan sebagai makanan ringan atau makanan selingan.

1. Bahan baku dan peralatan :

Bahan-bahan yang digunakan untuk pembuatan dodol nenas terdiri dari

bahan pokok (utama), bahan pembantu dan bahan penunjang. Bahan utama yang

digunakan untuk pembuatan dodol nenas adalah buah nenas. Bahan penolong

yang digunakan terdiri dari tepung ketan, gula putih, margarin, santan kelapa, air

dan plastik kemasan. Bahan penunjang yang digunakan minyak tanah, kayu bakar

dan listrik.

Peralatan yang digunakan adalah sebagai berikut: wajan almunium, pisau,

pengaduk kayu, blender, baskom, loyang, ember, tungku besi, saringan santan,

dan ember.

2. Cara Pembuatan :

a. Buah nenas yang akan digunakan dikupas dan dicuci

b. Ambil daging buah, lalu dipotong kecil kemudian di blender

c. Siapkan santan kelapa dengan perbandingan 1 : 3

d. Campurkan nenas yang sudah halus dengan sebagian santan, tepung

ketan, gula pasir, margarin menjadi adonan dodol

e. Tambahkan sisa santan yang sudah dipanaskan di wajan dan hampir

menjadi minyak kedalam adonan yang sudah rata sambil diaduk

f. Masak sampai kental, liat, dan adonan keluar minyak

g. Angkat adonan dan tuangkan kedalam loyang yang sudah dialasi plastik

dengan ketebalan adonan 2 cm

h. Setelah dingin adonan bisa dikemas dengan plastik.

Analisis Usaha

Page 115: 5. sesi  ekonomi dan kemiskinan

ISBN 978-602-98295-0-1

Prosiding Seminar Nasional, 13-14 Desember 2010

1036

Biaya produksi adalah semua pengeluaran yang harus dikeluarkan

produsen untuk memperoleh faktor-faktor produski dan bahan penunjang lainnya,

yang akan digunakan agar produk-produk tertentu yang direncanakan dapat

terwujud (Mankiw 2003). Biaya produksi dalam penelitian ini adalah semua biaya

yang dikeluarkan dalam memproduksi dodol nenas. Biaya produksi yang

dikeluarkan yaitu biaya tetap dan biaya variabel.

1. Biaya Tetap (Fixed cost)

Biaya tetap dalam penelitian ini adalah biaya yang dikeluarkan untuk

pembiayaan faktor-faktor produksi yang sifatnya tetap, tidak berubah walupun

volume produk yang dihasilkan berubah. Atau dengan kata sarana produksi yang

tidak habis dipakai dalam satu kali proses produksi.

Penghitungan biaya tetap merupakan biaya penyusutan peralatan yang

digunakan selama proses pengolahan dodol nenas, yang sifatnya tidak habis

dipakai dalam sekali produksi. Akan tetapi dapat digunakan berulang-ulang sesuai

dengan umur pemakaiannya. Biaya penyusutan dihitung dengan membandingkan

harga beli (Rp) dengan lamanya pemakian (Th) (Suratiah 2006). Rincian biaya

tetap dapat dilihat pada Tabel 1.

Berdasarkan Tabel 1, dapat dilihat bahwa biaya tetap yang dikeluarkan

berdasarkan biaya penyusutan adalah sebesar Rp. 16.638,91.

Tabel 1. Biaya tetap yang digunakan dalam pembuatan dodol nenas

No. Bahan Satuan (unit)

Harga satuan (Rp)

Nilai Penyusutan (Rp/Bln)

1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10.

Baskom Wajan besar Wajan sedang Pengaduk kayu Loyang Tungku besi Saringan santan Blender Ember Pisau

2 1 1 1 4 1 2 1 1 2

10.000 250.000 130.000 30.000 15.000 40.000 6.000 200.000 10.000 12.500

555,56 4.166,67 2.166,67

833,33 1.666,67

666,67 333,33

5.555,56 277,78 416,67

Total 703.500 16.638,91

Sumber : diolah dari data primer

Page 116: 5. sesi  ekonomi dan kemiskinan

ISBN 978-602-98295-0-1

Prosiding Seminar Nasional, 13-14 Desember 2010

1037

2. Biaya Variabel (Variabel Cost)

Biaya variabel adalah biaya yang digunakan untuk pengadaan faktor-faktor

produksi yang sifatnya berubah-ubah. Atau dengan kata lain biaya variabel adalah

biaya yang dikeluarkan selama proses produksi yang langsung mempengaruhi

jumlah produksi dan penggunaanya habis dipakai dalam satu kali proses produksi.

Biaya variabel yang dimaksud dalam penelitian ini adalah biaya bahan baku,

bahan penolong, biaya tenaga kerja dan biaya penunjang yang besar kecilnya

tergantung dari besar kecilnya volume produksi. Biaya variabel yang digunakan

selama proses pengolahan dodol nenas dalam satu kali produksi dapat dilihat

pada Tabel 2.

Tabel 2. Biaya variabel yang digunakan dalam pembuatan dodol

nenas

No. Bahan Satuan Harga satuan (Rp) Jumlah (Rp)

1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9.

10.

Nenas Gula pasir Margarin Tepung ketan Kelapa Kayu bakar Minyak tanah Plastik kemasan Listrik Tenaga Kerja

20 buah 2,5 Kg 5 ons

3 bungkus 10 buah

2 ikat 0,25 liter

1 pak ukuran 0.5 kg

2 orang

3.500 11.000 4.000 5.000 4.000 6.000 4.000 7.500 30.000 25.000

70.000 27.500 20.000

15.000 40.000 12.000 1.000 7.500 30.000 50.000

Total 100.000 273.000

Sumber : diolah dari data primer

3. Biaya Total (Total Cost)

Biaya total adalah semua komponen biaya yang digunakan selama proses

produksi. Biaya total adalah jumlah dari biaya tetap (FC) ditambah biaya variabel

(VC) yang digunakan bersama-sama dalam satu kali proses produksi. Biaya Total

yang digunakan selama proses pengolahan dodol nenas dalam satu kali produksi

dapat dilihat pada Tabel 3.

Page 117: 5. sesi  ekonomi dan kemiskinan

ISBN 978-602-98295-0-1

Prosiding Seminar Nasional, 13-14 Desember 2010

1038

Tabel 3. Biaya Total yang digunakan dalam pembuatan dodol nenas

No. Uraian Biaya Jumlah perbulan (Rp/bln)

1. Biaya Tetap (Fixed Cost) Penyusutan

Rp. 16.638,91

2. Biaya variabel (Variable Cost) Rp. 273.000

3. Biaya total (total Cost) Rp. 289.638,91

Berdasarkan Tabel 3, dapat dilihat bahwa biaya tetap yang dikeluarkan

adalah sebesar Rp. 16.638,91. Biaya ini merupakan biaya peralatan setelah

mengalami penyusutan. Biaya variabel adalah seluruh biaya yang dikeluarkan

selama satu kali proses pengolahan dodol nenas yaitu sebesar Rp. 273.000.

Sehingga biaya total yang dikeluarkan adalah sebesar Rp. 289.638,91 yang

merupakan penjumlahan dari kedua komponen tersebut.

4. Penerimaan

Penerimaan adalah hasil kali antara jumlah produksi dengan harga jual.

Selama satu kali produksi akan menghasilkan 12 kg dodol nenas. Harga jual 1 kg

dodol nenas sebesar Rp. 50.000. Penerimaan yang diperoleh adalah sebesar Rp.

600.000 dalam satu kali produksi. Komponen penerimaan yang diperoleh dalam

satu kali produksi dodol nenas dapat dilihat pada Tabel 4.

Tabel 4. Penerimaan yang diperoleh dalam satu kali produksi dodol

nenas

No. Uraian Biaya Sekali produksi

1. Jumlah produksi 12 kg

2. Harga per kg Rp. 50.000

3. Penerimaan Rp. 600.000

Penerimaan dari usaha pengoalahan dodol nenas dalam satu kali produksi

adalah = produksi x harga penjualan

= 12 kg x Rp. 50.000

= Rp. 600.000

Page 118: 5. sesi  ekonomi dan kemiskinan

ISBN 978-602-98295-0-1

Prosiding Seminar Nasional, 13-14 Desember 2010

1039

5. Pendapatan

Pendapatan adalah selisih antara jumlah penerimaan yang diperoleh

dengan total biaya yang dikeluarkan. Penerimaan yang diperoleh dalam satu kali

proses pengolahan dodol nenas dapat dilihat pada Tabel 5.

Tabel 5. Pendapatan yang diperoleh dalam satu kali produksi dodol

nenas

No. Uraian Biaya Sekali Produksi (Rp)

1. Penerimaan Rp. 600.000

2. Biaya total Rp. 289.638,91

3. Pendapatan Rp. 310.361,09

Pendapatan dari usaha pengoalahan dodol nenas dalam satu kali produksi

adalah selisih antara penerimaan dengan biaya total yaitu :

= Rp. 600.000 - Rp. 289.638,91

= Rp. 310.361,09

Dengan demikian dapat diketahui bahwa pendapatan yang diperoleh dalam

satu kali proses pengolahan dodol nenas adalah sebesar Rp. 310.361,09.

KESIMPULAN DAN SARAN

Kesimpulan

Kesimpulan yang dapat diambil dari penelitian ini adalah sebagai berikut :

1. Proses pengolahan dodol nenas adalah sebagai berikut : Buah nenas dikupas

dan dicuci, dipotong, lalu di blender. Campurkan nenas yang sudah halus

dengan sebagian santan, tepung ketan, gula pasir, margarin menjadi adonan

dodol, tambahkan sisa santan yang sudah dipanaskan di wajan dan hampir

menjadi minyak kedalam adonan yang sudah rata sambil diaduk dan dimasak

sampai kental, liat, dan adonan keluar minyak, angkat adonan dan tuangkan

kedalam loyang yang sudah dialasi plastik dengan ketebalan adonan 2 cm,

setelah dingin adonan bisa dikemas dalam plastik.

2. Biaya total yang digunakan dalam satu kali proses produksi adalah sebesar

Rp. 289.638,91

3. Penerimaan yang diperoleh dalam satu kali produksi adalah sebesar

Page 119: 5. sesi  ekonomi dan kemiskinan

ISBN 978-602-98295-0-1

Prosiding Seminar Nasional, 13-14 Desember 2010

1040

Rp. 600.000

4. Pendapatan yang diperoleh adalah sebesar Rp. 310.361,09 dalam satu kali

produksi.

SARAN

1. Perlu dilakukan promosi lebih lanjut supaya nenas dan produk turunannya

seperti dodol nenas tetap ada dan diharapkan meningkat volume produksi

sehingga dapat meningkatkan pendapatan masyarakat di daerah setempat,

sehingga daerah Toboali khususnya dapat menjadi ikon sebagai daerah

penghasil nenas di Kabupaten Bangka Selatan.

2. Perlu dilakukan pembinaan kepada masyarakat pengrajin dodol nenas

sehingga produk yang dihasilkan lebih baik mutu dan kemasannya, sehingga

dapat meningkatkan nilai tambah.

DAFTAR PUSTAKA

Anonim. 2009. Statistik Ekspor 2003-2008. Jakarta : Dirjen Hortikultura. http://www.hortikultura.go.id (20 Januari 2009).

Anonim, 2009. Bikang Menuju Sentra Nenas.

http://cetak.bangkapos.com/serumpunsebalai/read/17370.html (6 Februari 2009).

Badan Pusat Statistik. 2009. Bangka Selatan dalam Angka. BPS. Toboali. Badan Pusat Statistik RI. 2009. Produksi Buah-buahan Menurut Provinsi.

http://www.bps.com. (1 Maret 2009). Hasan. 2006. Analisis Data Penelitian dengan Statistik. PT. Bumi Aksara. Jakarta. Mankiw, N.G. 2003. Pengantar Ekonomi. Erlangga. Jakarta. Satuhu, S dan Sunarmi. 2004. Membuat Aneka Dodol Buah. Penebar Swadaya.

Jakarta. Soekartawi. 2002. Prinsip Dasar Ekonomi Pertanian. Rajawali Persada. Jakarta. Suratiah, K. 2006. Ilmu Usaha Tani. Penebar Swadaya. Jakarta.

Page 120: 5. sesi  ekonomi dan kemiskinan

ISBN 978-602-98295-0-1

Prosiding Seminar Nasional, 13-14 Desember 2010

1041

KKEEUUNNGGGGUULLAANN KKOOMMPPEETTIITTIIFF DDAANN KKOOMMPPAARRAATTIIFF UUSSAAHHAA

PPEEMMAASSAARRAANN LLOOBBSSTTEERR DDII KKOOTTAA BBEENNGGKKUULLUU

M.Mustopa Romdhon1 Ketut Sukiyono

Jurusan Sosial Ekonomi Pertanian, Fakultas Pertanian Universitas Bengkulu

ABSTRACT

The tight competition in lobster market at Bengkulu was indicating the small quantity of market player, and promoting highest profit. The highest level of competition caused great spending on marketing, and production cost. These could lead to fluctuation of firm advantages. The Objective of research was to asses the competitive and comparative advantages of lobster marketing firm at Bengkulu. Competitive and comparative advantages of lobster marketing would be tested through economic unit cost proposed by Cockburn and Sieggel (1998, 1999). This indication mean that if value is < 1 the cost smaller than production value, firms have profit and high competitive and comparative advantages. The results showed that average index of competitive and comparative advantages were .0,97 and 0,377. These means that the marketing firm has high advantages. Nowadays, the decreasing of catchments had to push the local government to construct the strength policy to market activities, where is the marketing firms should apply it. The policy related to the eco-market for lobster stock through empowering fishermen by applying catching eco-friendly technology .

key words : lobster, advantages, marketing firm

PENDAHULUAN

Potensi laut Propinsi Bengkulu cukup besar dengan tingkat pemanfaatan

ikan laut mencapai 31.906,6 ton per tahun, pada panjang garis pantai mencapai

525 km yang membentang ke arah laut lepas (ZEE 200 mil), dimana peluang

penangkapan ikan mencapai 94.310,4 ton per tahun (74,72%). Ini menunjukkan

tingkat produksi ikan lestari di laut mencapai 126.217 ton per hektare. Jenis

komoitas laut yang dapat dikonsumsi dari perairan Bengkulu antara lain ikan tuna

besar, cakalang, tongkol, tenggiri, sentuhuk, pedang, layaran, pelagis kecil,

demersal, udang penaide, lobster, cumi-cumi, serta ikan karang (Aprianty, 2006).

Jenis ikan di Bengkulu termasuk salah satu kelompok komoditas yang bernilai

tinggi baik di pasar lokal/domestik maupun di pasar ekspor menurut Delgado

Page 121: 5. sesi  ekonomi dan kemiskinan

ISBN 978-602-98295-0-1

Prosiding Seminar Nasional, 13-14 Desember 2010

1042

(2003) yaitu lobster kelompok Crustacea yang merupakan jenis ikan terkecil dalam

jumlah penangkapan namun memiliki nilai jual tinggi di pasar per kilogram.

Produksi lobster tangkap berfluktuasi tiap lima tahun meskipun produksi tertinggi

ada di Kota Bengkulu. Prospek permintaan lobster ke depan semakin besar

sehingga perlu peningkatan produksinya, padahal sebagian besar lobster di

Bengkulu lobster dari perikanan tangkap sebesar 60 persen. Faktor

pendukungnya adalah perkembangan harga nominal lobster di pasar lima tahun

terakhir di Propinsi Bengkulu menunjukkan peningkatan cukup baik dari Rp.52.000

per kg tahun 2001 menjadi Rp.165.480 per kg tahun 2005 (Romdhon dan Ketut

,2008).

Pelaku usaha komoditas lobster menjanjikan tingkat laba yang besar

mengingat pelaku usaha di Kota Bengkulu sendiri relatif terbatas. Jumlah

perusahaan di bisnis lobster hanya empat perusahaan salah satunya CV.Edi Koto

sebagai perusahaan penampung dan pemasar lobster terbesar,sehingga tingkat

persaingan usaha pemasaran lobster sangat tinggi. Namun resiko dan

ketidapastian usaha yang dihadapi pelaku usaha tinggi karena rantai pemasaran

panjang dan besar hingga membutuhkan biaya besar untuk mendistribusikan

produknya kepada konsumen yang lokasinya relatif jauh antara lain Lampung dan

Jakarta. Persoalan rantai pemasaran lobster yang panjang ini lahir dari adanya

kerjasama produksi maupun pemasaran mulai dari tingkat nelayan, pedagang

besar sampai eksportir luar daerah. Tingkat ketidakpastian yang sangat tinggi

karena pengaruh iklim dan cuaca berpengaruh terhadap hasil tangkapan lobster.

Kondisi ini berdampak besar terhadap keunggulan kompetitif dan

komparatif lobster asal Propinsi Bengkulu dibandingkan lobster tangkapan dari

daerah lain seperti ini Propinsi Nusa Tenggara Barat (NTB). Lobster daerah ini

juga menghadapi pesaing dari Propinsi Lampung dan wilayah-wilayah penghasil

lobster lainnya telah mampu membudidayakan lobster kualitas ekspor dengan

harga yang bersaing. Ketidakstabilan harga lobster di pasar domestik di Jakarta

dan pasar dunia di Cina dan Jepang menambah besar tingkat persaingan usaha

lobster. Terbukanya pasar di setiap negara bagi berbagai komoditas menjadi

penanda datangnya era globalisasi ekonomi. Schuh (1991) mengungkapkan

bahwa globalisasi telah menyebabkan ekonomi nasional menjadi makin terbuka

dan tergantung pada perdagangan internasional, sehingga makin jauh dari

Page 122: 5. sesi  ekonomi dan kemiskinan

ISBN 978-602-98295-0-1

Prosiding Seminar Nasional, 13-14 Desember 2010

1043

intervensi pemerintah. Akibatnya, agar mampu bersaing, produk yang dipasarkan

harus memiliki keunggulan komparatif dan keunggulan kompetitif di pasar

internasional. Penelitian ini bertujuan untuk menilai Keunggulan kompetitif dan

komparatif usaha pemasaran lobster.

Keunggulan kompetitif dan komparatif sebagai kemampuan perusahaan

meningkatkan produktivitas melalui upaya efisiensi teknis dan proses produksi

(Novalia, 2005). Keunggulan kompetitif dan komparatif usaha diuji dengan

menggunakan formula pendekatan unit biaya ekonomi yang diajukan oleh

Cockburn and Siggel (1998, 1999) seperti tersaji pada persamaan (1). Jika nilai

indikator ini kurang dari satu, biaya lebih rendah dari nilai produksi dan

perusahaan memperoleh keuntungan. Implikasinya, unit biaya kurang dari satu

maka diinteprestasikan sebagai indikator keunggulan kompetitif dan komparatif

yang tinggi (Cockburn and Siggel, 1998, 1999).

Kedua keunggulan ini dalam usaha pemasaran sebagai ukuran

kemampuan perusahaan memasarkan produknya dengan penggunaan biaya

pemasaran yang efisien. Sehingga perusahaan dapat menekan harga jual produk,

agar produk dapat bersaing dengan produk sejenis. Faktor-faktor pembentuk

keunggulan kompetitif dan komparatif usaha pemasaran menurut Malian, et al.

(2004) terdiri dari teknologi, produktivitas, harga dan biaya input, struktur industri,

serta kuantitas permintaan domestik dan ekspor. Faktor-faktor ini dibedakan atas:

(1) faktor yang dapat dikendalikan oleh unit usaha, seperti strategi produk,

teknologi, riset dan pengembangan; (2) faktor yang dapat dikendalikan

pemerintah, seperti lingkungan bisnis (pajak, suku bunga, nilai tukar uang),

kebijakan perdagangan, kebijakan riset dan pengembangan, serta pendidikan,

pelatihan dan regulasi; (3) faktor semi terkendali, seperti kebijakan harga input

dan kuantitas permintaan domestik; dan (4) faktor yang tidak dapat dikendalikan,

seperti lingkungan alam.

Fluktuasi harga tersebut dapat bersumber dari fluktuasi produksi dalam

negeri, fluktuasi harga internasional dan flukuasi nilai tukar (Simatupang,1999).

Zylbersztajn dan Claudio (2003) menyatakan bahwa keunggulan kompetitif dan

komparatif produk pertanian ditunjukkan oleh koordinasi pada tiap tahapan proses

produksi sampai pemasaran yang diindikasikan oleh besarnya permintaan produk

melalui indikasi kualitas, standarisasi dan sertifikasi. Rachman (2002)

Page 123: 5. sesi  ekonomi dan kemiskinan

ISBN 978-602-98295-0-1

Prosiding Seminar Nasional, 13-14 Desember 2010

1044

berpendapat pemerintah menerapkan instrumen kebijakan komprehensif meliputi

1) penetapan harga dasar pembelian pemerintah, 2) penetapan tarif bea masuk

yang realistik dan periodik,3) pengaturan volume impor yang konsisten, dan 4)

perbaikan struktur dan efisiensi pemasaran serta pemberdayaan kelembagaan

pemasaran di tingkat petani/nelayan.

BAHAN DAN METODE

Penentuan lokasi Lokasi penelitian ini dipilih secara sengaja yakni CV.Edi Koto yang

bergerak dalam usaha penampungan dan pemasaran terbesar dengan produksi

tangkapan 3,2 ton di Kota Bengkulu yang secara aktif melakukan pemasaran

lobster selama tiga tahun terakhir. Sehingga diharapkan akan mampu menunjang

ketersediaan data yang dibutuhkan untuk menjawab tujuan penelitian.

Metode Analisa Data

Data yang digunakan diperoleh melalui pengumpulan data sekunder harian

perusahaan berupa nota dan faktur pembelian dan penjualan lobster, laporan

transaksi, serta data keuangan lainnya selama lima belas bulan terakhir. Metode

yang digunakan dalam pengukuran keunggulan kompetitif dan komparatif.

1) Keunggulan Kompetitif

Keunggulan kompetitif dan komparatif domestik diukur pada harga output

dan input domestik. Rumus unit biaya tersebut akan menjadi :

d

d

d

d

dPQ

TC

VO

TCUC

≤ 1 (1)

dimana TCd mengindikasikan total biaya produksi pada harga pasar domestik, Pd

harga pasar domestik (harga yang diterima Perusahaan Edi Koto dari penjualan

Lobster) per unit produk, Q adalah jumlah lobster yang dijual, VOd dalah

penerimaan pada tingkat harga domestik.

2) Keunggulan komparatif

Analisa keunggulan komparatif diukur dengan harga bayangan (shadow

price) seperti yang disarankan oleh Canh, et al (2005). Ini berarti rumus unit biaya

akan menjadi sebagai berikut:

Page 124: 5. sesi  ekonomi dan kemiskinan

ISBN 978-602-98295-0-1

Prosiding Seminar Nasional, 13-14 Desember 2010

1045

s

s

s

s

sPQ

TC

VO

TCUC

≤ 1 (2)

dimana TCs adalah total biaya produksi pada harga bayangan, Ps adalah harga

bayangan output, Q adalah kuantitas yang dijual, dan Vos adalah Total revenue

pada harga bayangan. Dalam analisa unit cost, penerimaan, biaya dan

keuntungan dibedakan menurut harga privat dan harga bayangan. Perbedaan

kedua harga ini merupakan dampak kebijakan pemerintah, serta terjadinya distorsi

di pasar input dan/atau output. Harga privat adalah harga yang berlaku di bawah

kondisi aktual kebijakan pemerintah. Harga bayangann adalah harga dimana

pasar dalam kondisi efisien (tidak ada distorsi pasar) (Malian et al., 2004). Unit

biaya merupakan rasio antara total biaya produksi dengan nilai output

Berdasarkan pendekatan daya saing usaha Cohran dan Sigel (2005)

tersebut maka diasumsikan bahwa :

1. Harga bayangan adalah nilai tertinggi dari produk dalam penggunaan alternatif

terbaik (Rp).

2. Penerimaan bersih merupakan pendapatan bersih CV.Edi Koto (Rp/triwulan).

3. Pajak pendapatan adalah nilai yang harus dibayarkan oleh CV.Edi Koto atas

pendapatan dari usaha pemasaran lobster (Rp/triwulan)

4. Harga input bayangan terdiri dari komponen bahan bakar, telepon dan listrik

diperhitungkan pada harga non-subsidi (Rp)

5. Harga output bayangan adalah harga FOB lobster di pasar internasional,

karena Indonesia pada saat ini sebagai eksportir lobster.

6. Biaya penyusutan atas aktiva tetap pada CV.Edi Koto dihitung dengan metode

garis lurus (straight line method) dimana tingkat suku bunga diasumsikan tetap

dan nilai akhir aktiva tetap adalah nol.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Kondisi pemasaran lobster di Provinsi Bengkulu mulai dari nelayan sampai

tujuan ekspor cukup panjang dan beragam. Nelayan di kota Bengkulu umumnya

langsung menjual lobster tangkapannya langsung ke pedagang besar. Namun

nelayan dari daerah atau kabupaten lain umumnya menjalin kemitraan dengan

pedagang pengumpul setempat yang memiliki akses kepada pedagang besar di

Page 125: 5. sesi  ekonomi dan kemiskinan

ISBN 978-602-98295-0-1

Prosiding Seminar Nasional, 13-14 Desember 2010

1046

kota Bengkulu. Saluran pemasaran lobster yang melibatkan UD Edi Koto dapat

dilihat pada Gambar 1. Lobster mati hanya dibeli oleh UD Edi Koto dari pedagang

pengumpul. Sedangkan lobster yang dipasarkan ke Jakarta adalah lobster dalam

keadaan hidup. Lobster mati baik yang dibeli dalam keadaan mati maupun mati

saat pemyimpanan akan dijual ke pasar lokal atau ke padagang besar lainnya di

kota Bengkulu.

Gambar 1. Saluran Pemasaran Lobster di Propinsi Bengkulu

Dalam saluran pemasaran lobster pada UD Edi Koto pembentukan harga

terbentuk berdasarkan transmisi harga dari pedagang eksportir, ke pedagang

besar, yang diteruskan oleh pedagang pengumpul kepada nelayan. UD Edi Koto

sebagai pedagang besar menjadi penerima harga dari PT Velyn. Dari sisi

pembelian, UD Edi Koto menjadi penentu harga lobster dari pedagang

pengumpul. Kondisi ini menyebabkan kenaikan harga di tingkat konsumen tidak

ditransimisikan kepada nelayan secara sempurna. Sistem ini menimbulkan

kekuatan monopsoni/oligopsoni yang terbentuk melalui proses: (1) menjalin

kerjasama dan kemitraan dengan nelayan atau lembaga pemasaran penyalur

lobster, (2) menciptakan hambatan pasar komoditi, dan (3) menciptakan

ketergantungan pemasaran lobster kepada pedagang tertentu. Mekanisme ini

Page 126: 5. sesi  ekonomi dan kemiskinan

ISBN 978-602-98295-0-1

Prosiding Seminar Nasional, 13-14 Desember 2010

1047

menyebabkan tingkat keuntungan pedagang lebih besar dari keuntungan nelayan

maupun pedagang sebelumnya.

Keunggulan Kompetitif

Penerimaan CV.Edi Koto berasal dari penjualan lobster kepada mitra

bisnisnya yaitu PT Velyn Lestari di Jakarta. Zylbersztajn dan Claudio (2003)

menyatakan bahwa keunggulan kompetitif dan komparatif diindikasikan oleh

besarnya permintaan produk melalui indikasi kualitas, standarisasi dan sertifikasi.

Proses sortasi dan grading oleh CV.Edi Koto pada proses pembelian lobster.

Kriteria sortasi yang diterapkan yaitu: Kelengkapan organ kaki (ada tidaknya kaki

yang patah),tekstur dan keras atau lunaknya kulit lobster, kondisi leher,jenis

lobster dimana lobster mutiara adalah jenis yang memiliki nilai harga paling tinggi

baik di pasar domestik maupun internasional serta size (ukuran) seperti tersaji

ada Tabel 3. CV.Edi Koto menerapkan dua sistem sortasi dan grading pada

pembelian lobster yang ditentukan oleh musim lobster. Sistem grading pada

musim biasa dapat digambarkan pada Tabel 1.

Tabel 1. Sistem Grading Lobster Pada Musim Biasa

No. Jenis Corak Lobster Grade Pembelian (Ukuran)

1. Hijau Pasir (Panulirus homarus) Baby (< 0,1 kg)

Rut (0,1-0,5 kg)

5 Up (> 0,5 kg)

2. Batu (Panulirus penicilatus) Baby (< 0,1 kg)

Rut (0,1-0,5 kg)

5 Up (> 0,5 kg)

3. Bambu (Panulirus versicolor) Baby (< 0,1 kg)

Rut (0,1-0,5 kg)

5 Up (> 0,5 kg)

4. Batik (Panulirus cygnus) Baby (< 0,1 kg)

Rut (0,1-0,5 kg)

5 Up (> 0,5 kg)

5. Hitam/Pakistan (Panulirus argus) Baby (< 0,1 kg)

Rut (0,1-0,5 kg)

5 Up (> 0,5 kg)

6. Mutiara (Panulirus ornatus) 6/9 (0,6 – 0,9 kg)

Besar (> 0,9)

7. Lobster Mati (semua jenis) Kecil (< 0,3 kg)

Besar (> 0,3 kg)

Sumber: data primer dan sekunder, 2008

Page 127: 5. sesi  ekonomi dan kemiskinan

ISBN 978-602-98295-0-1

Prosiding Seminar Nasional, 13-14 Desember 2010

1048

Sistem sortasi pada musim puncak lebih terperinci karena proporsi lobster

ukuran kecil lebih banyak dari pada lobster dengan ukuran lebih besar. Pola ini

dilakukan pada lobster jenis Hijau Pasir dan Mutiara karena selain nilai

ekonomisnya tinggi, kedua jenis lobster ini jumlah produksinya tertinggi di

Bengkulu. Sistem grading lobster pada musim puncak dapat dilihat pada Tabel 2.

Tabel 2. Sistem Grading Lobster Pada Musim Puncak

No. Jenis Corak Lobster Grade Pembelian (Ukuran)

1. Hijau Pasir (Panulirus homarus)

Baby (< 0,1 kg) ; 0,1 – 0,2 Kg ; 0,2 – 0,3 Kg ;

0,3 – 0,5 Kg ; 5 Up (> 0,5 kg)

2. Batu (Panulirus penicilatus)

Baby (< 0,1 kg) ; Rut (0,1-0,5 kg) ; 5 Up (> 0,5 kg)

3. Bambu (Panulirus versicolor)

Baby (< 0,1 kg) ; Rut (0,1-0,5 kg) ; 5 Up (> 0,5 kg)

4. Batik (Panulirus cygnus) Baby (< 0,1 kg) ; Rut (0,1-0,5 kg) ; 5 Up (> 0,5 kg)

5. Hitam/Pakistan (Panulirus argus)

Baby (< 0,1 kg) ; Rut (0,1-0,5 kg); 5 Up (> 0,5 kg)

6. Mutiara (Panulirus ornatus)

6/9 (0,6 – 0,9 kg) ; Besar (> 0,9)

7. Lobster Mati (semua jenis)

Kecil (< 0,3 kg) ; Besar (> 0,3 kg)

Sumber: data primer dan sekunder, 2008

No

Periode Jenis (Rp.)

Jumlah (Rp) Hijau Pasir Mutiara Lainnya Lobster Mati

1. Triwulan I

2.043.307.165

78.239.700 99.581.625 28.878.660

2.250.007.150

2. Triwulan II

1.274.207.510

63.505.800 36.639.430 11.977.400

1.386.330.140

3. Triwulan III

1.220.237.840

55.354.950 30.376.675 6.243.200 1.312.212.665

4. Triwulan IV

928.250.465 2.286.200 27.384.585 10.417.700

968.338.950

5. Triwulan V

1.792.295.050

27.500.250 51.848.840 12.171.500

1.883.815.640

Rata-rata 1.451.659.606

45.377.380 49.166.231 13.937.692

1.560.140.909

% 93,05 2,91 3,15 0,89 100 Jumlah 7.258.298.03

0 226.886.90

0 245.831.15

5 69.688.46

1 7.800.704.54

6

Page 128: 5. sesi  ekonomi dan kemiskinan

ISBN 978-602-98295-0-1

Prosiding Seminar Nasional, 13-14 Desember 2010

1049

Sumber: data sekunder (diolah), 2008

Dengan sistem standarisasi kualitas ini, maka penerimaan CV.Edi Koto

atas penjualan lobster menurut jenis lobster selama November 2006 – Januari

2008 dapat dilihat pada Tabel 3.

Tabel 3. Nilai Penjualan CV.Edi Koto per Triwulan (November 2006 – Januari

2008)

Nilai penjualan lobster tertinggi yang terjadi pada periode triwulan I

disebabkan oleh tingginya jumlah lobster terutama pada musim puncak lobster

yang dipasarkan oleh CV.Edi Koto. Rendahnya nilai penjualan lobster pada

triwulan IV berkaitan dengan rendahnya jumlah lobster yang dipasarkan karena

menurunnya intensitas penangkapan lobster akibat kondisi cuaca serta siklus

perkembangbiakan lobster.

Tabel 4. Total Cost, Nilai Output dan Unit Cost pada Harga Riil CV.Edi Koto (November 2006 – Januari 2008)

Uraian Periode

Triwulan I Triwulan II Triwulan III Triwulan IV

Triwulan V

Biaya Produksi

B. Operasi

4.740.400 4.724.950 4.740.400 4.740.400 4.740.400

B. Pemasaran

161.560.682 90.406.750 68.586.583 52.651.023

86.943.987

B. Pembelian

1.974.640.225

1.225.325.200

1.172.999.950

863.994.200

1.427.774.950

B. Tenaga Kerja

12.000.000 12.000.000 12.000.000 12.000.000

12.000.000

B. Penyusutan

8.808.997 8.808.997 8.808.997 8.808.997 8.808.997

Total Cost (TCd)

2.161.750.304

1.341.265.897

1.267.135.930

942.194.620

1.540.268.334

Nilai Output (VOd)

2.250.007.150

1.386.330.140

1.312.212.665

968.338.950

1.883.815.640

Unit Cost (UCd)

0,961 0,967 0,966 0,973 0,818

Sumber: data primer dan sekunder (diolah), 2008

Page 129: 5. sesi  ekonomi dan kemiskinan

ISBN 978-602-98295-0-1

Prosiding Seminar Nasional, 13-14 Desember 2010

1050

Keunggulan kompetitif diukur dengan pendekatan unit biaya dimana

seluruh faktor input dan output dihitung pada harga domestik (harga privat).

Sehingga seluruh biaya dan hasil produksi dihitung pada tingkat dimana harga-

harga berada dibawah kebijakan pemerintah seperti subsidi misalnya. Total biaya

produksi, nilai penerimaan, dan indeks keunggulan kompetitif diukur dengan

pendekatan unit biaya dalam triwulan dapat dilihat pada Tabel 4.

Nilai rata-rata rasio unit cost usaha pemasaran lobster pada CV.Edi Koto

selama lima belas bulan terakhir lebih kecil dari 1, yaitu 0,937. Hasil analisis unit

cost tersebut mencerminkan bahwa secara finansial, usaha pemasaran lobster

pada CV.Edi Koto memiliki keunggulan kompetitif (domestik) yang relatif tinggi.

meskipun nilainya fluktuatif. Artinya CV.Edi Koto dapat dapat bersaing dalam

menjual produk sejenis dengan pesaingnya (Romdhon et al, 2008).

Fluktuasi harga tersebut dapat bersumber dari fluktuasi produksi dalam

negeri, fluktuasi harga internasional dan flukuasi nilai tukar (Simatupang,1999)

yang berdampak pada fluktuasi tingkat keunggulan kompetitif usaha pemasaran

lobster. Tingkat keunggulan kompetitif terendah terjadi pada periode triwulan IV,

yaitu pada bulan Agustus, September, dan Oktober 2007. Ini dikarenakan pada

periode ini jumlah penangkapan lobster yang rendah. Jumlah transaksi lobster

yang lebih rendah dari pada jumlah transaksi lobster pada bulan yang sama tahun

sebelumnya dikarenakan intensitas penangkapan lobster pada periode triwulan V

terutama pada bulan Desember 2007 dan Januari 2008. Penurunan intensitas

penangkapan lobster ini diakibatkan oleh kondisi cuaca yang tidak kondusif lokasi

penangkapan bahkan di sebagian besar perairan laut di Indonesia. Kondisi

tersebut menyebabkan jumlah tangkapan lobster menurun dibandingkan tahun

sebelumnya, meskipun harga lobster mencapai titik tertinggi tidak berpengaruh

terhadap tingkat keunggulan kompetitif karena harga lobster yang tinggi akibat

menurunnya tingkat penawaran. Habitat hidupnya lobster beruapa terumbu –

terumbu karang dan hutan – hutan banyak terancam akibat alih fungsi lahan dan

penangkapan yang tidak lestari, dengan menggunakan peralatan seperti bom ,

jaring pukat dan lain-lain.

Tingkat keunggulan kompetitif tertinggi terjadi pada periode triwulan I dan

V, yaitu pada bulan-bulan November, Desember, dan Januari, menurut Delgado

Page 130: 5. sesi  ekonomi dan kemiskinan

ISBN 978-602-98295-0-1

Prosiding Seminar Nasional, 13-14 Desember 2010

1051

(2003) karena harga jual baik dipasar domestik maupun internasional cukup tinggi.

Tingginya tingkat keunggulan kompetitif sejalan dengan tingginya jumlah lobster

yang ditransaksikan. Tingginya tingkat keunggulan kompetitif dan pada periode

tersebut juga dipengaruhi oleh tingginya harga jual lobster khususnya jenis hijau

pasir dan mutiara. Harga jual rata-rata lobster jenis hijau pasir mencapai Rp.

239.000,-/kg, sedangkan jenis jenis mutiara rata-rata Rp. 302.500,- /kg. Hal yang

sama terjadi pada periode triwulan IV (Agustus, September, dan Oktober).

Keunggulan Komparatif

Keunggulan komparatif usaha pemasaran lobster juga diukur dengan

pendekatan unit biaya. Namun faktor input dan output dihitung pada harga

bayangan. Harga FOB lobster rata-rata (semua jenis) pada periode November

2006-Januari 2008 dapat dilihat pada Tabel 5.

Tabel 5. Harga FOB Lobster (semua jenis) November 2006 – Januari 2008

Jenis Periode (Rp./kg)

Triwulan I Triwulan II Triwulan III Triwulan IV Triwulan V

Hidup 409.925 411.692 431.058 414.214 402.564 Mati 274.659 269.213 294.341 272.980 260.210

Rata-rata 342.292 340.452 362.699 343.597 331.387

Sumber: National Marine Fisheries Service USA (diolah)

Faktor input usaha pemasaran lobster yang dikenai subsidi antara lain:

bensin, solar, tarif dasar listrik dan tarif telepon. Komponen harga bayangan

lainnya diasumsikan sama dengan harga domestiknya. Harga privat sebesar Rp.

4.500,- per liter. Harga bayangan bensin pada kurun waktu November 2006 –

Januari 2008 berkisar antara Rp. 4.780,55 sampai Rp. 7.587,7 per liter. Solar

pada harga domestik dibeli seharga Rp. 4.300,- per liter. Harga bayangan solar

berkisar antara Rp. 5.481,- sampai Rp. 8.402,5 per liter (Pertamina,2008).

Tarif dasar listrik domestik (privat) dengan 1.300 volt pada pemakaian

sampai dengan 20 kwh dikenai tarif Rp. 385/kwh, pada pemakaian 21-40 kwh

dikenai tarif Rp. 445/kwh, dan pada pemakaian lebih dari 40 kwh dikenai tarif Rp.

495/kwh. Sedangkan pada harga bayangan (bayangan) dengan menghilangkan

komponen subsidi, tarif dasar listrik adalah Rp. 970,-/kwh pada semua tingkat

pemakaian (PLN, 2007). Pada komponen telepon, tarif percakapan lokal per menit

di bawah kebijakan subsidi adalah Rp. 173,-/menit. Dengan menghilangkan

Page 131: 5. sesi  ekonomi dan kemiskinan

ISBN 978-602-98295-0-1

Prosiding Seminar Nasional, 13-14 Desember 2010

1052

komponen subsidi pada pembentukan harga tarif telepon akan menjadi Rp.

313/menit dengan asumsi penggunaan telepon sepenuhnya pada pemakaian

percakapan lokal. Total biaya produksi, nilai output, dan indeks Keunggulan

kompetitif dan komparatif yang diukur dengan pendekatan unit biaya pada harga

bayangan dalam periode triwulan dapat dilihat pada Tabel 6.

Tabel 6. Total Cost, Nilai Output, dan unit Cost pada Harga Bayangan (Nov. 2006 – Jan. 2008)

Uraian Periode

Triwulan I Triwulan II Triwulan III Triwulan IV Triwulan V

Biaya Produksi

B. Operasi 5.577.264 5.551.810 5.690.221 5.736.231 5.879.355 B. Pemasaran

162.019.310 90.822.206 69.086.722 53.237.608 87.754.979

B. Pembelian

1.974.640.225

1.225.325.200

1.172.999.950

863.994.200 1.427.774.950

B. Tenaga Kerja

12.000.000 12.000.000 12.000.000 12.000.000 12.000.000

B. Penyusutan

8.808.997 8.808.997 8.808.997 8.808.997 8.808.997

Total Cost (TCs)

2.163.045.796

1.342.508.213

1.268.585.889

943.777.035 1.542.218.280

Nilai Output (VOs)

7.138.110.293

3.838.445.626

3.041.574.520

2.191.495.871

3.630.704.561

Unit Cost (UCs)

0,303 0,350 0,417 0,431 0,425

Sumber: data primer dan sekunder (diolah), 2008

Hasil analisis unit cost pada harga bayangan diketahui menunjukkan bahwa

nilai indeks keunggulan komparatif rata-rata sebesar 0,385. Hasil ini

mencerminkan bahwa secara ekonomi, usaha pemasaran lobster memiliki tingkat

keunggulan komparatif yang relatif tinggi. Rasio ini juga menunjukkan bahwa

tanpa proteksi pemerintah pun, usaha pemasaran lobster masih memiliki daya

saing tinggi, Hal ini dipicu oleh selisih harga beli domestik dengan harga jual

internasional yang tinggi.

KESIMPULAN

Page 132: 5. sesi  ekonomi dan kemiskinan

ISBN 978-602-98295-0-1

Prosiding Seminar Nasional, 13-14 Desember 2010

1053

Tingkat keunggulan kompetitif dan komparatif usaha pemasaran CV.Edi

Koto relatif tinggi meskipun jumlah produksi lobster yang ditransaksikan semakin

menurun dimana rata-rata indeks keunggulan kompetitif dan komparatif CV.Edi

Koto berturut-turut adalah 0,97 dan 0,377.

Kecenderungan penurunan jumlah tangkapan lobster disebabkan oleh

penurunan kualitas ekosistem hidup lobster. Upaya pemeliharaan ekosistem

terumbu karang harus segera diupayakan secara sadar dan bijaksana sebagai

suatu bentuk investasi untuk menjamin ketersediaan lobster tangkap. Perusahaan

juga perlu segera menerapkan strategi usaha untuk menjamin pasokan losbter

misalnya dengan mendorong nelayan untuk menerapkan teknologi penangkapan

ramah lingkungan serta sistem pembesaran lobster pada keramba jaring apung

dan dijual setelah ukurannya cukup besar. Lobster betina yang sedang bertelur

juga dihindari untuk ditangkap agar mampu berkembang biak.

DAFTAR PUSTAKA

Aprianty,H,Hadi,S.A,Kooswardhono, M,Endriatmo, dan Lala, M.(2006). Struktur Sosial Masyarakat Nelayan Kota Bengkulu : Kajian Struktural tentang Kemiskinan Nelayan Kota Bengkulu. Jurnal Agrisep 4(2): ,Maret .Jurusan SOSEk UNIB.Bengkulu.

Canh, et al.. 2005. The Competitiveness of Ho Chi Minh's Food Processing Industry. Research Report. The Faculty of Economics, Faculty of Industry at Vietnam National University-Ho Chi Minh City and the Institute for Economic Research of HCMC.

Cockburn, J. et al.. (1998). Measuring competitiveness and its sources: ‘the case of Mali's manufacturing sector‘, Working Paper. CRÉFA: Université Laval.

Delgado,C.L,Nikolas w, Mark W.R,Siet M, and Mahfuzuddin A.(2003). Fish to 2020 : Supply and Demand in Changing World Markets. International Food Policy Research Institute (IFPRI). Wahington D.C. World Fish Center-Penang,Malaysia.

Hawkins, R dan Meindertsma J.,D. 2004. Competitiveness and Comparative Advantage: Key Concepts. ICRA Learning Materials (www.icra-edu.org).

Irawan, B. Nurmanaf, R. Hastuti, E.L. Muslim,C. Supriatna, dan Y.V. Darwis. 2001. Kebijakan Pengembangan Agribisnis Komoditas Unggulan Hortikultura. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertianian, Bogor.

Irawan, Bambang. 2007. Fluktuasi Harga, Transmisi Harga dan Marjin Pemasaran Sayuran dan Buah. Analisis Kebijakan Pertanian, 22 (4) Desember: 358-373.

Malian, et al.. 2004. Permintaan Ekspor dan Keunggulan kompetitif dan komparatif Panili Di Provinsi Sulawesi Utara. Jurnal Agro Ekonomi, 22 (1) Mei: 26-45.

Page 133: 5. sesi  ekonomi dan kemiskinan

ISBN 978-602-98295-0-1

Prosiding Seminar Nasional, 13-14 Desember 2010

1054

Novalia, Nurkadina. 2005. Analisis Keunggulan kompetitif dan komparatif Industri Agro Indonesia. Jurnal Kajian Ekonomi, 4 (1) Juni: 105-127.

Rachman,B dan Tahlim Sudaryanto.(2002). Kemampuan Daya Saing Sistem Usahatani Padi. Jurnal SOSIO EKONOMIKA,8(1), Juni 2002,31-44. Fakultas Pertanian Universitas Lampung.Bandar Lampung.

Romdhon,M. dan Ketut S.2008.Daya Saing dan Model Kemitraan Usaha Pemasaran Lobster di Kota Bengkulu (laporan penelitian tidak di publikasikan). Hibah Kompetisi A2. Jurusan Sosek Fak. Pertanian Universitas Bengkulu.

Simatupang, P dan J Situmorang. (1998) Integrasi Pasar dan Keterkaitan Harga Karet Indonesia dan Singapore. Jurnal Agro Ekonomi. Oktober 1998. 7(2): 12 – 29.

Schuh, G. E. 1991. Open Economic: Implication for Global Agriculture. ―American Journal of Agricultural Economics‖. Hlm 1322-1329.

Simatupang, P, Saptana, Supena,and I.W.Ruastra.(1999). The Impact of Policy Adjustment on Aricultural Input Market and Rice Farmer Income. Workshop on Macro Food Policy and Rural Finance.Brawijaya University .Malang.

Zylbersztajn, D and Cluadio A.Pinheiro M.F. (2003). Competitiveness of Meat Agri-Food Chain in Brazil. Supply Management : An International Journal 8(2):155 – 165.

Page 134: 5. sesi  ekonomi dan kemiskinan

ISBN 978-602-98295-0-1

Prosiding Seminar Nasional, 13-14 Desember 2010

1055

KERAGAAN PERTUMBUHAN KEDELAI VARIETAS UNGGUL DI LAHAN KERING SUMSEL

NP. Sri Ratmini, Rudy Soehendi dan Herwenita Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Sumatera Selatan

RINGKASAN

Luas areal panen di Indonesia mengalami penurunan secara tajam rata-

rata 11 % per tahun dan 9,66% per tahun Selama periode 2000–2004. Permintaan kedelai nasional cukup tinggi, namun tidak diimbangi oleh produksi dalam negeri. Peningkatan produksi dapat dilakukan dengan berbagai cara, salah satunya dengan pemakaian benih unggul Kegiatan ini dilaksanakan di Desa Desa Jaga Baya Kecamatan Kikim Selatan Kabupaten Lahat, dari bulan Juli sampai Oktober 2009, yang bertujuan untuk mempercepat proses diseminasi varietas unggul kedelai yang berpotensi tinggi dan dapat bedapatasi baik pada lahan kering Sumsel. Kegiatan ini berua demontrasi teknologi varietas unggul yang menggunakan 4 varietas unggul kedelai yaitu Sinabung, Tanggamus, Anjasmoro dan Grobogan dengan total luasan 1 ha. Data yang diamati adalah tinggi tanaman, umur berbunga, produksi dan analisis usahatani. Hasil analisa usahatani didapatkan bahwa pengembangan kedelai di Kabupaten Lahat layak untuk dikembangkan dengan nilai ROI dan B/C ratio di atas 1. Varietas yang paling direspon petani di sekitar penelitian adalah kedelai varietas Anjasmoro.

Kata Kunci: varietas unggul, lahan kering, diseminasi dan usahatani

PENDAHULUAN

Kebutuhan kedelai Nasional terus meningkat seiring dengan pertambahan

penduduk dan berkembangnya industri pangan olahan. Pertumbuhan permintaan

kedelai selama 15 tahun terakhir cukup tinggi, namun tidak mampu diimbangi oleh

produksi dalam negeri, sehingga harus dilakukan impor dalam jumlah yang cukup

besar, untuk menanggulangi hal ini maka perlu dilakukan peningkatan produksi

kedelai Nasional. Peluang peningkatan produksi kedelai di dalam negeri masih

terbuka lebar, baik melalui peningkatan produktivitas maupun perluasan areal

tanam. Produktivitas rata-rata kedelai nasional saat ini baru mencapai 1,28 t/ha

dengan pencapain di tingkat petani berkisar antara 0,6 – 2,0 t/ha, sedangkan

beberapa hasil penelitian menunjukkan bahwa produksi kedelai bisa mencapai 1,7

– 3,2 t/ha. Produksi ini masih dapat ditingkatkan dengan menerapkan inovasi

teknologi (Badan Litbang, 2007; Badan Litbang, 2008; BPS, 2005 dan Subandi,

2007).

Page 135: 5. sesi  ekonomi dan kemiskinan

ISBN 978-602-98295-0-1

Prosiding Seminar Nasional, 13-14 Desember 2010

1056

Data statistik dari FAO menunjukkan bahwa selama periode 1990-1995,

areal panen kedelai meningkat dari 1,33 juta ha pada tahun 1990 menjadi 1,48

juta ha pada tahun 1995, atau meningkat rata-rata 2,06% per tahun. Sejak tahun

1995, terjadi penurunan areal panen secara tajam dari sekitar 1,48 juta ha menjadi

sekitar 0,83 juta ha pada tahun 2000, atau menurun rata-rata 11 % per tahun.

Selama periode 2000–2004, areal panen kedelai masih terus menurun rata-rata

9,66% per tahun. Secara keseluruhan, selama periode 15 tahun terakhir (1990–

2004) luas areal kedelai di Indonesia menurun tajam dari sekitar 1,33 juta ha pada

tahun 1990 menjadi 0,55 juta ha pada tahun 2004, atau turun rata-rata 6,14% per

tahun.

Pada dekade 1997 -2007 perkembangan luas panen dan produksi kedelai

di Sumatera Selatan terus menurun (BPS, 2007). Peluang peningkatan produksi

kedelai melalui perluasan areal tanam pada lahan kering di Provinsi Sumsel cukup

besar dengan potensi yang dapat ditanami kedelai mencapai 285 ribu ha dan

21.433 ha terdapat di Kabupaten Lahat (BPTP Sumsel, 2001). Hambatan yang

dihadapi antara lain: beriklim basah dengan curah hujan tinggi mengakibatkan

tingkat pencucian basa-basa cukup intensif sehingga kemasaman tanah dan

kejenuhan Al dan Fe tinggi, dan kesuburan fisik-kimia menjadi rendah (Hidayat et

al., 2000 dan Utomo, 1997). Tujuan dari penelitian ini adalah mempercepat

proses diseminasi varietas unggul kedelai yang berpotensi tinggi dan dapat

bedapatasi baik pada lahan kering Sumsel.

METODOLOGI

Kegiatan dilaksanakan pada lahan kering di Desa Jagabaya Kabupaten

Lahat dari bulan Juli-Oktober 2009. Varietas yang diperagakan ada 4 (empat)

macam yaitu: Anjasmoro, Tanggamus, Sinabung dan Grobogan dengan total luas

1 ha. Komponen teknologi yang diterapkan dengan pendekatan PTT.

Pengolahan tanah dilakukan sempurna dengan dilengkapi saluran keliling untuk

membantu menjaga kelembaban dan aerasi tanah. Kapur yang digunakan adalah

residu dari pengapuran pada musim tanam sebelumnya dengan dosis 500 kg/ha.

Pupuk yang digunakan adalah pupuk NPK majemuk dengan dosis 100 kg/ha.

Data yang dikumpulkan pada kegiatan ini meliputi: pertumbuhan tanaman,

Page 136: 5. sesi  ekonomi dan kemiskinan

ISBN 978-602-98295-0-1

Prosiding Seminar Nasional, 13-14 Desember 2010

1057

serangan hama dan penyakit, produksi biji kedelai (t/ha) serta data sosial ekonomi

meliputi: volume input yang digunakan, harga input dan ouput, yang akan

menghasilkan struktur biaya, dan hasil akhir analisis usahatani.

HASIL DAN PEMBAHASAN

A. Karakteristik Wilayah

Luas wilayah Kecamatan Kikim selatan sekitar 41.085 ha yang tersebar di

17 desa, salah satunya adalah Desa Jaga Baya dengan total luasan 1.514 ha

dengan jumlah penduduk 3343 KK. Pada umumnya pemanfaatan lahan di daerah

Jaga Baya yaitu sebagai lahan pekarangan, ladang/huma, Tegal/kebun,

perkebunan, hutan rakyat, hutan negara, kolam dan lain-lain. Luas lahan

pertanian di Desa Jaga Baya adalah 31 ha yang merupakan pertanian dengan

irigasi sederhana. Petani di daerah ini pada umumnya mengusahakan tanaman

pangan dengan komoditi padi, kedelai, kacang tanah, jagung, ubi kayu dan

sayuran. Kedele merupakan komoditas kedua yang banyak diusahakan petani

setelah tanaman padi. Pada tahun 2008 total luas panen kedelai di Sumsel 5.352

ha dengan tingkat produksi 7.305 ton (BPS, 2007). Dilihat dari data di atas maka

Lahat mempunyai peluang untuk pengembangan kedelai di Sumsel.

B. Pertumbuhan Tanaman

Dari hasil pengamatan keragaan perumbuhan tanaman sangat baik

terutama Anjasmoro (Tabel 1). Dari data tersebut dapat diketahui bahwa

beberapa varietas unggul yang diperagakan mempunyai adaptasi yang baik

terhadap lingkungan sekitar hal ini dapat dilihat dari keragaan tinggi tanaman lebih

baik dari data deskripsi varietas masing-masing. Dari 4 (empat) varietas yang

diperagakan terlihat adanya gejala kekurangan unsur hara Ca dan Mg pada

varietas Sinabung, namun tidak menyebabkan kerusakan pada tanaman, hal ini

disebabkan karena tanah di lokasi percobaan mempunyai nilai pH tanah 5,5,

sehingga belum berpengaruh terhadap pertumbuhan tanaman. Pemberian kapur

sebanyak 500 kg/ha pada musim tanam sebelumnya ternyata belum dapat

mencukupi kebutuhan Ca dan Mg terutama untuk varietas Sinabung. Gejala

Page 137: 5. sesi  ekonomi dan kemiskinan

ISBN 978-602-98295-0-1

Prosiding Seminar Nasional, 13-14 Desember 2010

1058

kahat Ca dimulai pada daun muda yang ditandai dengan adanya bintik-bintik

coklat atau hitam pada permukaaan daun. Bila kahat berlanjut terjadi nekrosis

pada permukaan bawah daun, sehingga daun berwarna coklat dan kadang daun

nampak kriting mirip gejala serangan virus. Kandungan Ca dapat ditukar (Ca-dd)

sebesar 10 me/100 g termasuk rendah dan perlu pepupukan Ca. Kekahatan Mg

ditandai dengan adanya klorosis yang berawal dari tepi daun, kemudian menjalar

ke bagian tengah diantara tulang daun. Kekahatan yang meningkat menyebabkan

perubahan warna tepi daun menjadi merah kekuningan, daun gugur, pertumbuhan

terhambat dan hasil rendah. Batas kritis kandungan Mg dalam tanah adalah 50

ppm Mg. Kisaran nilai cukup pada daun muda adalah 0,26 – 1,0 %. Kahat Ca

dapat diatasi dengan dolomit dan kapur, sedangkan kahat Mg pada tanah masam

dapat diatasi dengan pupuk yang mengandung Mg seperti kiserit (mgSO4) dan

dolomit [(CaMg(CO3)] atau dengan pupuk kandang (Puslitbangtan, 2006)

Tabel 1. Keragaan pertumbuhan tanaman pada kegiatan demplot di Desa

Jagabaya Kec. Kikim Kab Lahat, MK 2009

No Varietas Umur Berbunga (MST)

Tinggi Tanaman

(Cm)

Produksi (t/ha)

1. Sinabung 5 (35 hr)* 68,67 (66)* 1,385

2. Tanggamus 5 (35 hr)* 72,50 (67)* 1,250

3. Anjasmoro 7 (35,7–39,4 hr)* 83,33 (64-68)* 1,505

4. Grobogan 4 (30-32 hari)* 59,00 (50-60)* 1,085

Keterangan: ()* = Umur pada data deskripsi varietas

Dari Tabel 1 terlihat bahwa produksi dari ke empat varietas kedelai yang

dicobakan menunjukkan bahwa varietas Grobogan mempunyai produksi yang

paling rendah jika dibandingkan dengan varietas lainnya. Produksi tertinggi

diperoleh oleh varietas Anjasmoro, kemudian berturut turut diikuti dengan varietas

Sinabung, Tanggamus, dan Grabogon dengan tingkat produksi masing masing

1,505, 1,385, 1,250, dan 1,085 t/ha. Rendahnya produksi lebih disebabkan

karena pada saat berbunga tanaman mengalami kekeringan akibat adanya

perbaikan saluran irigasi disamping juga disebabkan hama penggerek polong.

Walaupun ditanam bukan pada musimnya ternyata tingkat serangan hama selain

penggerek polong tidak berpengaruh terhadap produksi hasil (Tabel 2). Serangan

Page 138: 5. sesi  ekonomi dan kemiskinan

ISBN 978-602-98295-0-1

Prosiding Seminar Nasional, 13-14 Desember 2010

1059

hama penggerek polong yang tinggi pada varietas Sinabung dan Tanggamus lebih

disebabkan karena umur tanaman yang lebih panjang. Saat varietas Grobogan

dan Anjsamoro telah panen, Tanggamus dan Sinabung masih hijau sementara

tingkat curah hujan sangat tinggi sehingga akan sangat berpengaruh terhadap

tingkat serangan hama.

Tabel 2. Data serangan hama pada kegiatan demplot di Desa Jaga Baya

Kecamatan Kikim kabupaten Lahat, MK 2009

No Varietas Ulat (%) Belalang (%)

Kutu Daun (%)

Hama penggerek polong (%)

1. Sinabung 4,8 3,2 2,8 45

2. Tanggamus 5,4 3,2 4,2 25

3. Anjasmoro 2,2 2,5 5,0 4

4. Grobogan 6,8 2,8 5,6 2

Ukuran biji menunjukkan bahwa varietas Grobogan mempunyai ukuran

paling besar, sementara Anjasmoro dan Tanggamus ukuran biji sedang dan

Sinabung ukuran biji kecil. Seperti yang dikemukakan oleh Sutomo dan Yuda

(2008) dan Duryatmo (2008), varietas Grobogan mempunyai ukuran biji besar dan

bobot 100 butir biji dapat mencapai 16 g. Produksi Grobogan paling rendah hal ini

berkorelasi dengan tinggi dan umur tanaman yang pendek, sehingga sangat

berpengaruh terhadap fotosintat yang dihasilkan juga kecil. Baharsjah, dkk.

(1998) menyatakan bahwa meningkatnya energi radiasi matahari yang dapat

diterima tajuk tanaman kedelai menjadikan proses fotosintesis meningkat

sehingga fotosintat yang dihasilkan lebih tinggi dan hasil akan meningkat.

Pertumbuhan tanaman yang lebih baik dan fotosintesis yang meningkat akan

memperbesar pasokan fotosintat ke bagian limbung (biji) (Wicks, dkk., 2004).

Produktivitas tanaman kedelai juga sangat tergantung pada teknologi produksi,

panen dan pasca panen selain sifat morfologinya. Di samping itu kondisi

lingkungan makro seperti tinggi tempat, jenis tanah, suhu, kelembaban dan curah

hujan maupun kondisi lingkungan mikro seperti pemupukan, jarak tanam,

pengelolaan OPT (termasuk gulma) yang optimal dapat meningkatkan

produktivitas kedelai (Baihaki, 2008 dan Rahayu, 2008).

Page 139: 5. sesi  ekonomi dan kemiskinan

ISBN 978-602-98295-0-1

Prosiding Seminar Nasional, 13-14 Desember 2010

1060

C. Analisa Usaha Tani

Produksi biji kedelai yang diperoleh dari luas areal tanam 1 ha selama satu

musim tanam (3 bulan) di Desa Jaga Baya 1,79 t/ha dengan harga jual pada saat

panen Rp 5.000/kg, maka pendapatan yang diperoleh petani Rp 8.950.000

dengan keuntungan Rp 4.250.000.

Penilaian suatu kelayakan usaha tani dilakukan dengan beberapa cara,

antara lain return of investment (ROI) dan (benefit cost ratio, B/C rasio). ROI

merupakan ukuran perbandingan antara keuntungan dengan total biaya produksi.

Cara ini digunakan untuk mengetahui tingkat efisiensi penggunaan modal atau

mengukur keuntungan usaha tani dalam kaitannya dengan jumlah modal yang

diinvestasikan, sedangkan B/C rasio merupakan keuntungan bersih dengan total

biaya produksi sehingga dapat diketahui kelayakan usaha taninya. Bila nilai B/C

rasio lebih besar dari 1, berarti usaha tani tersebut layak untuk dilaksanakan.

Sebaliknya, bila nilai B/C rasio lebih kecil dari 1, usaha tani tersebut tidak layak

untuk dijalankan. Tabel 3 menujukkan bahwa nilai ROI usahatani kedelai 2,9 yang

menggambarkan bahwa setiap modal Rp 1 yang dikeluarkan untuk usaha tani

kedelai akan menghasilkan keuntungan sebesar Rp 2,9 dan nilai B/C ratio > 1

yaitu 1,94 artinya, setiap satuan biaya yang dikeluarkan akan diperoleh hasil

penjualan sebesar 1,94 kali lipat. Hasil ini menunjukkan bahwa usaha tani kedelai

di kabupaten Lahat layak untuk dikembangkan dan efisien dalam penggunaan

modal.

D. Respon Petani

Respon petani terhadap varietas yang digelarkan dapat diketahui melalui

pelaksanaan temu lapang. Dari hasil temu lapang terhadap petani dan aparat

dinas setempat di ketahui bahwa a[etani lebih menyukai varietas Anjasmoro

dibandingkan dengan varietas lainnya. Beberapa hal alasan petani memilih

Anjasmoro karena keragaan pertumbuhan dan produksi yang diperoleh cukup

baik, ukuran polong besar dan adaptif. Sinabung mempunyai tingkat produksi

yang tinggi namun tidak disukai petani karena mempunyai ukuran biji yang kecil,

sedeangkan Grobogan tidak disukai walaupun mempunyai ukuran biji besar dan

umur pendek karena keragaan pertumbuhan di lapang kurang tinggi

(pertumbuhan pendek).

Page 140: 5. sesi  ekonomi dan kemiskinan

ISBN 978-602-98295-0-1

Prosiding Seminar Nasional, 13-14 Desember 2010

1061

Tabel 3. Data Analisa Usahatani Kedelai di Desa Jaga Baya Kecamatan Kikim

kabupaten Lahat, MK 2009

No. Uraian Biaya (Rp.000,-)

1. Pengolahan Tanah 750

2. Saprodi :

- Benih 240

- Pestisida 70

- Pupuk NPK Majemuk 250

3. Biaya

- Tanam 400

- Pemupukan 90

- Pemberantasan Hapen 90

- Penyiangan & pemeliharaan 300

- Panen & pasca Panen 750

- Lain-lain 100

4. Total Biaya 3.040

5. Produksi (t/ha) 1,79

6. Pendapatan 8.950

7. Keuntungan 5.91

8. ROI 2,9

9. B/C ratio 1,94

KESIMPULAN

Dari hasil pengkajian terhadap kegiatan demplot di Desa Jaga Baya Kecamatan

Kikim Kabuoaten Lahat, dapat disimpulkan sebagai berikut:

1. Budidaya kedelai dengan pendekatan PTT di Kabupaten Lahat layak untuk

dikembangkan, dengan nilai ROI 2,9 dan 1,94 di Desa Jaga Baya .

2. Pemakaian benih unggul dapat meningkatkan produksi kedelai di Kabupaten

Lahat. Adaptasi Varietas unggul, produksi tertinggi diperoleh pada varietas

Anjasmoro yaitu 1,5 t/ha

Page 141: 5. sesi  ekonomi dan kemiskinan

ISBN 978-602-98295-0-1

Prosiding Seminar Nasional, 13-14 Desember 2010

1062

3. Varietas yang lebih disukai petani adalah Anjasmoro dan Tanggamus dengan

produksi dan adaptibilitas yang lebih tinggi dibandingkan dengan lainnya.

DAFTAR PUSTAKA

Badan Pusat Statistik, 2005. Statistik Indonesia 2004. Biro Pusat Statistik, Jakarta.

Badan Pusat Statistik Provinsi Sumatera Selatan, 2007. Sumatera Selatan Dalam Angka Palembang. Biro Pusat Statistik, Palembang.

Badan Litbang Pertanian. 2002. Inovasi Teknologi Kacang-Kacangan dan Umbi-

umbian Menjawab Tantangan Ketahanan Pangan Nasional. Badan Litbang Pertanian, Jakarta.

Badan Litbang Pertanian. 2008. Prospek Dan Arah Pengembangan Agribisnis

Kedelai. Badan Litbang Pertanian, Jakarta. Baharsjah, J.S., Didi, S dan Irsal, L., 1998. Hubungan Iklim dengan Pertumbuhan

Kedelai. Balitbang Pertanian. Puslitbang Tanaman Pangan, Bogor : 87-102. Baihaki, A., 2008. Peningkatan Produktivitas Kedelai.

http://www.trubusonline.co.id. diakses pada 2 Mei 2008. Balai Pengkajian Teknologi Pertanian. 2001. Peta Zona Agro-Ekologi Propinsi

Sumatera Selatan. Balai Pengkajian Teknologi Pertanian, Palembang. Duryatmo, S., 2008. Grobogan Bukan Reinkarnasi Malabar. Error! Hyperlink

reference not valid.. diakses pada 2 Mei 2008. Hidayat, A., Hikmatullah dan Djoko Santoso. 2000. Potensi dan Pengelolaan

Lahan Kering Dataran Rendah. Dalam Buku Sumberdaya Lahan Indonasia dan Pengelolaannya. Pusat Penelitian Tanah dan Agroklimat, Bogor.

Hilman, Y. 2004. Inovasi Teknologi Pengembangan Kedelai di Lahan Kering

Masam. Prosiding Lokakarya Pengembangan Kedelai melalui Pengelolaan Tanaman Terpadu (PTT)di Lahan Kering Masam. Pusat Penelitian dan Pengembangan Sosial Ekonomi Pertanian, Bogor.

Pusllitbangtan. 2006. Hama, Penyakit dan Masalah Hara Pada Tanaman Kedelai.

Identifikasi dan pengendaliannya. Badan Litbang Pertanian. Error! Hyperlink reference not valid..

Rahayu, M., 2008. Teknologi Budidaya Intensif Tanaman Kedelai di Lahan Sawah

Setelah Padi di Kecamatan Kempo, Kabupaten Dompu. Error! Hyperlink reference not valid. task=wiew&id=120&Hemid=141 <?xmlversion=‖1.0‖encoding=‖iso-8859-1‖?. diakses pada 7 Mei 2008.

Riwanodja dan T. Adisarwanto. 2002. Aplikasi pupuk Organik dan Anorganik

NPK pda Kedelai di Lahan Sawah. Teknologi Inovatif Tanaman Kacang-

Page 142: 5. sesi  ekonomi dan kemiskinan

ISBN 978-602-98295-0-1

Prosiding Seminar Nasional, 13-14 Desember 2010

1063

Kacangan dan Umbi-Umbian. Badan Litbang Pertanian, Puslitbangtan, Bogor.

Saleh, N. Dan A. Kasno. 2002. Teknologi Aneka Tanaman Kacang dan Umbi

Siap Uji Adaptasi. Balitkabi, Malang. Subandi. 2007. Teknologi Produksi dan Strategi Pengembangan Kedelai Pada

Lahan Kering Masam. Dalam Iptek Tanaman Pangan. Volume 2 No. 1. Pusat Penelitian dan Pengembangan Tanaman Pangan, Bogor.

Suhartina. 2007. Deskripsi Varietas Unggul Kacang-kacangan dan Umbi-umbian.

Balitkabi, Malang. Sutomo, Y dan Yuda T., 2008. Kedelai Kualitas Unggul Asal Grobogan.

<http://www.liputan6.com/new/?id=15443&c_id=>. diakses 7 Mei 2008. Tanjung, A., Akmal, Yustisia, Azwir, Suhartono dan Marzempi. 1992. Kipas Putih

dan TGX 562-4d: Galur Harapan Kedelai Untuk Lahan Kering Masam. Rapat Pelepasan Varietas Unggul, Bogor.

Utomo, M. 1997. Teknologi Pemnafaatan Lahan Kering. Prosiding Optimasi

Pemanfaatan Sumberdaya Pertanian bagi peningkatan Kesejahteraan dalam Pelita VII. Perhimpunan Agronomi Indonesia.

Wicks, G.A., D.A.Crutcfield dan O.C.Burnside, 2004. Influence of Wheat (Triticum

aestivum) Straw Mulch and Metalachlor on Corn (Zea mays) rowth and Yield. Weed Sci . 42 : 141-147.

Page 143: 5. sesi  ekonomi dan kemiskinan

ISBN 978-602-98295-0-1

Prosiding Seminar Nasional, 13-14 Desember 2010

1064

ANALISIS PERKEMBANGAN USAHA PUAP DI KABUPATEN MUSI BANYUASIN SUMATERA SELATAN

Viktor Siagian

Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Sumatera Selatan

ABSTRACTS

In the year 2008 amount of fund of Society Direct Relief (BLM) PUAP have channeled in Regency Musi Banyuasin (Muba) Provinsi of South Sumatra as much Rp 3,2 billion which is distributed to 32 Gapoktans. The aims of this research is 1) Knowing development of PUAP in Muba Regency, 2) Analysing business of PUAP in Muba Regency, 3) Knowing prospect and constraint of PUAP development. Method of Survey is case study. Method analyse to use ratio analysis and descriptive. Result of this research is 1) Fund of PUAP in Kab. Muba have increased into Rp 3,69 billion 2) Until month of June 2010 fund have increased into Rp 190,3 million in Teladan Jaya Gapoktan, and Rp 170,7 million in Ngesti Makmur Gapoktan, and both of finance balance sheet of such Gapoktans is helat/good, 3) Program of PUAP has good development prospect, the constraint the amount of fund relative still less.It‘s need to increase the fund of PUAP in order the productive effort of Gapoktan can more expand Keywords: Analyze, business, development of rural agribusiness entrepreneur.

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Kabupaten Musi Banyuasin, Provinsi Sumatera Selatan merupakan salah

satu kabupaten yang menerima dana Bantuan Langsung Masyarakat (BLM)

Pengembangan Usaha Agribisnis Pedesaan (PUAP). Tujuan PUAP ini adalah

mengurangi kemiskinan dan pengangguran di perdesaan melalui peningkatan

kemampuan pelaku usaha agribisnis, dan menjadi mitra lembaga keuangan untuk

akses ke permodalan (Kementan, 2010).

Dana Bantuan Langsung Masyarakat (BLM) PUAP adalah dana bergulir

yang dikelola oleh Gapoktan (Gabungan Kelompok Tani). Provinsi Sumatera

Selatan pada tahun 2008 telah menerima penyaluran dana BLM PUAP sebesar

Rp 36,2 milyar yang tersebar di 12 kabupaten/kota dan 362 Gapoktan yang

terdiri dari 2.256 kelompok tani (poktan) dan 42.538 anggota (Harnisah dkk,

2010). Pada tahun 2009 Kementan telah menyalurkan dana BLM PUAP sebesar

Page 144: 5. sesi  ekonomi dan kemiskinan

ISBN 978-602-98295-0-1

Prosiding Seminar Nasional, 13-14 Desember 2010

1065

Rp 16,8 milyar kepada 168 Gapoktan yang tersebar di 13 kabupaten/kota yang

terdiri dari 982 poktan dan 22.186 anggota.

Khusus di Kabupaten Muba jumlah Gabungan Kelompok Tani (Gapoktan)

penerima dana PUAP pada tahun 2008 berjumlah 32 Gapoktan tersebar di 32

desa dan 6 kecamatan. Ke-32 Gapoktan tersebut terdiri dari 154 Kelompok tani

(Poktan) dan 1.292 anggota. Jumlah dana BLM PUAP Tahun 2008 yang telah

disalurkan berdasarkan Rencana Usaha Bersama (RUB) adalah Rp

3.182.250.000. (sampai dengan Maret 2010) dan sisa dana yang tidak

tersalurkan Rp13.750.000. Dari dana yang telah disalurkan telah berkembang

menjadi Rp 3.689.114.000 (sesuai Laporan Keuangan per tanggal 31 Desember

2009). Untuk program PUAP tahun 2009, jumlah Gapoktan penerima BLM PUAP

berjumlah 13 buah tersebar di 6 kecamatan dan 13 desa. Jumlah dana BLM

yang sudah disalurkan sesuai RUB berjumlah Rp 1,3 milyar, dengan total dana

yang dipertanggungjawabkan baru Rp 611 juta.

Untuk mengetahui sejauh mana perkembangan usaha PUAP di Kab. Muba,

keragaan usaha PUAP, serta prospek dan kendala pengembangannya maka

perlu dilakukan kajian sehingga dapat menjadi masukan untuk kebijakan program

PUAP selanjutnya.

BAHAN DAN METODE

Metode Pelaksanaan

Metoda yang digunakan dalam kajian ini adalah studi kasus. Studi kasus

dilakukan di Gapoktan penerima dana BLM PUAP yaitu Teladan Jaya di Desa

Muara Teladan Kecamatan Sekayu dan Gapoktan Ngesti Makmur di Desa

Tanjung Keputran, Kecamatan Plakat Tinggi. Parameter yang didalami adalah

keragaan usaha kedua lembaga tersebut, perkembangan penyaluran BLM an

tingkat pengembaliannya, dan neraca keuangan kedua lembaga tersebut.

Lokasi dan Waktu Pengkajian

Lokasi pengkajian seperti tersebut di atas yang dipilih secara sengaja

(purposive) setelah berkonsultasi dengan Penyelia Mitra Tani (PMT) dan

Page 145: 5. sesi  ekonomi dan kemiskinan

ISBN 978-602-98295-0-1

Prosiding Seminar Nasional, 13-14 Desember 2010

1066

BP2Tanikanhut Kab. Muba. Waktu pengkajian ini selama tiga hari yaitu dari

tanggal 21 – 22 Juli 2010.

Metode Analisis Data

Analisis data yang digunakan terdiri dari analisis kualitatif dan kuantitatif.

Analisis kualitatif menggunakan statistik deskriptif. Analisis kuantitatif

menggunakan analisa laporan keuangan dengan metoda analisis rasio.Melalui

analisis rasio dapat diketahui baik buruknya posisi keungan suatu perusahaan

(Djahidin F., 1985). Ada tiga komponen utama dalam metoda analisa rasio

(Siagian, 1987; Santoso S., 2001), yaitu:

1. Likuiditas, yaitu kemampuan perusahaan untuk menyediakan alat-alat

yang likuid (yang mudah diuangkan/ dijual) untuk menjamin pengembalian

hutang jangka pendek dan panjang yang jatuh tempo.

2. Solvabilitas, yaitu kemampuan perusahaan untuk membayar seluruh

hutang-hutangnya dengan aktiva yang dimiliki seandainya perusahaan

tersebut bangkrut.

3. Rentabilitas, yaitu kemampuan perusahaan untuk memperoleh laba dalam

periode tertentu.

Data yang ada diolah secara komputerisasi, untuk analisis tabulatif dan dan

kuantitatif diolah dengan program Excel.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Perkembangan Dana PUAP di Kabupaten Muba

Seperti yang telah dijelaskan pada Bab Pendahuluan bahwa dana PUAP

yang disalurkan pada tahun 2008 berjumlah Rp 3,2 milyar. Dana tersebut telah

berkembang menjadi Rp 3.689.114.000, diantaranya terdapat dana kas Rp

634.110.000, dana bank Rp 448.409.000, dan pendapatan lain Rp 37.618.000,

pendapatan saprodi Rp 37.495.000.

Berdasarkan jenis usaha produktif terdiri dana PUAP tersebut telah

berkembang sebagai berikut: 1) Tanaman pangan dari dana disalurkan Rp

281.650.000 telah berkembang menjadi Rp 333.493.000, 2) Tanaman hortikultura

dari dana disalurkan telah berkembang menjadi Rp 214.226.000, 3) Tanaman

Page 146: 5. sesi  ekonomi dan kemiskinan

ISBN 978-602-98295-0-1

Prosiding Seminar Nasional, 13-14 Desember 2010

1067

Perkebunan dari dana disalurkan Rp 1.384.223.000 telah berkembang menjadi

Rp 1.619.728.000, 4) Peternakan dari dana disalurkan Rp 559.800.000 telah

berkembang menjadi Rp 638.491.000, 5) Industri rumah tangga dari dana

disalurkan Rp 39.277.000 telah berkembang menjadi Rp 43.286.000, 6)

Pemasaran hasil pertanian dari dana disalurkan Rp 718.550.000 telah

berkembang menjadi Rp 765.103.000, dan 6) Usaha lainnya dari dana disalurkan

Rp 19.000.000 menurun menjadi Rp 2.633.000.

Dana PUAP tersebut untuk usaha produktif tanaman pangan, hortikultura,

perkebunan umumnya digunakan untuk membeli saprodi, penyiapan lahan, pagar

kebun. Untuk usaha peternakan digunakan untuk membeli bibit ayam potong

(d.o.c), bibit sapi (pedet), bibit kambing. Untuk usaha produktif pemasaran hasil

pertanian umumnya untuk modal kerja.

Keragaan Umum Gapoktan Teladan Jaya, Desa Muara Teladan

Gapoktan Teladan Jaya berdiri tanggal 28 Februari 2008 dengan jumlah

anggota 256 orang. Desa Muara Teladan terletak ± 30 km disebelah utara Kota

Sekayu di tepi jalan Sekayu – Keluang atau ± 150 km dari Kota Palembang.

Tipologinya adalah lahan kering dan tanaman dominan adalah karet, padi lebak

dan ubi kayu. Jumlah poktan penerima PUAP sebanyak 6 buah dari 10 poktan

yang ada. Berdasarkan RUBnya jenis usaha produktifnya adalah Peternakan,

Perkebunan, Tanaman Pangan dan Pemasaran, dan saat ini ditambah usaha

jasa. Dari dana PUAP sebesar Rp 100 juta yang sudah disalurkan, saat ini

volume usahanya bernilai Rp 190.288.000. Total tabungan anggota saat ini Rp 56

juta yang berasal dari simpanan pokok Rp 20.000/bulan, simpanan wajib Rp

5.000/bulan dan simpanan sukarela tidak terbatas.

Prosedur pengajuan pinjaman adalah: Mengajukan Rencana Usaha Anggota

(RUA) (dinilai kelayakannnya oleh Ketua Kelompok), jika layak diajukan ke

Pengurus Gapoktan, jika layak maka dana bantuan PUAP direalisasikan dalam

bentuk tunai. Jangka pengembalian maksimal 10 bulan, diangsur tiap bulan

dengan bunga tetap (flat) 1%/bulan.

Page 147: 5. sesi  ekonomi dan kemiskinan

ISBN 978-602-98295-0-1

Prosiding Seminar Nasional, 13-14 Desember 2010

1068

Tata Kerja dan Susunan Organisasi

Untuk kelacaran organisasi diberikan honor 20% dari pendapatan bunga

kepada pengurus tiap bulan yang dibagi atas: Ketua Gapoktan 40%, Sekretaris

20%, Bendahara 20%, Ketua Poktan 20% (dibagi 6 poktan). Saat ini Ketua

Gapoktan dijabat oleh Suhat (pendidikan tammat SLTA), Sekretaris dijabat oleh

Mus Mulyadi (pendidikan tammat SLTP), Bendahara dijabat oleh Amar Ma‘ruf

(tammat SLTA). Gapoktan tidak berbadan hukum, AD/ART dan kantor sampai

saat ini belum ada. Pertemuan diantara pengurus dilakukan tiap bulan sedangkan

dengan anggota baru 2 kali. Alat kelengkapan organisasi seperti buku anggota,

buku tamu, buku kas, buku simpan pinjam, buku inventaris, dsb sudah lengkap.

Perkembangan Usaha Produktif.

1. Peternakan

Pinjaman diberikan untuk usaha terpadu ikan + ternak. Total pinjaman

untuk membeli benih ikan nila dan patin Rp 25 juta/5 orang. Nilai Rp 5 juta per

anggota digunakan untuk membeli 1000 ekor benih ikan dan pakan ikan. Saat

ini sudah 7 orang yang melakukan pinjaman dan sudah lunas dan mereka sudah

mengajukan pinjaman lagi. Usaha ternak ayam digunakan untuk membeli bibit

ayam potong (boiler) ras (d.o.c) Rp 2 juta/orang. Harga doc Rp 4.900/ekor

berumur 1 hari. Ayam boiler dijual pada umur ± 45 hari. Jumlah pinjaman Rp 4

juta/2 orang dan sudah lunas dan sudah mengajukan pinjaman lagi.

Permasalahan usaha ini adalah harga pakan yang relatiftinggi.

2. Pemasaran

Digunakan untuk jual beli benih ikan dengan pinjaman Rp 1 juta/orang

dari semula yang meminjam 7 orang sekarang sudah berkembang menjadi 30

orang dengan kisaran pinjaman Rp 1 – 5 juta/orang. Pinjaman sudah lunas dan

anggota sudah mengajukan pinjaman lagi.

3. Bengkel

Nilai pinjaman Rp 5 juta untuk 1 orang, dan baru dilunasi Rp 2,5 juta.

4. Perkebunan dan Tanaman Pangan

Untuk perkebunan pinjaman digunakan untuk modal kerja senilai Rp 24 juta

dengan total peminjam 15 orang, baru berlangsung 2 – 3 bulan dan belum lunas.

Uang pinjaman umumnya digunakan untuk membeli kebutuhan saprodi. Untuk

Page 148: 5. sesi  ekonomi dan kemiskinan

ISBN 978-602-98295-0-1

Prosiding Seminar Nasional, 13-14 Desember 2010

1069

tanaman pangan digunakan untuk membuat pagar kebun ubi kayu yaitu Rp 1 – 2

juta/orang dan belum lunas. Di desa ini serangan hama babi hutan relatif tinggi

sehingga kebun harus dipagar.

Jika dirinci distribusi bantuan menurut masing-masing Kelompok Tani (

Poktan), dana awal PUAP adalah sebagai berikut: 1) Rencana Baru sebesar Rp

52.000.000, 2) Pelung sebesar Rp 33.500.000, 3) Palu Raden sebesar Rp

34.500.000, 4) Harapan Utama sebesar Rp 32.500.000, 5) Padang Besar sebesar

Rp 43.000.000, 6) Sei Serni sebesar Rp 33.500.000.

Sebagai gambaran umum di Desa Muara Teladan, produktivitas rata-rata 4

kw/bulan/ha dengan harga karet basah Rp 10.500/kg. Padi lebak dengan

produktivitas 3 ton gkp/ha, sedangkan padi ladang 1,8 ton gkp/ha. Hasil produksi

dijual dalam bentuk beras dengan harga Rp 6.000/kg. Ubi kayu dengan

produktivitas 15 ton/ha, dipanen 6 – 7 bulan dengan harga jual Rp 500/kg umbi

basah. Harga jual ayam potong ras (hidup) adalah Rp 17.000/kg.

Analisa Laporan Keuangan

Melalui analisis rasio dapat diketahui kelayakan usaha Gapoktan tersebut

berdasarkan neraca keuangan di atas. Adapun hasilnya sebagai berikut:

1. Likuiditas:

a. Current Ratio atau Rasio Lancar:

Aktiva Lancar Rp 187.408.000 CR = _____________ = ________________ = 1,87. Hutang Lancar Rp 100.000.000 b. Cash Ratio (CHR) atau Rasio Posisi Kas: Kas + Bank Rp 3.838.000 + Rp 8.900.000 CHR = _________________ = __________________________ = 0,13. Total Passiva Lancar Rp 100.000.000

Rasio Lancar (CR) Gapoktan nilainya 1,87 yang artinya setiap Rp 100 hutang

lancar dapat dijamin dengan Rp 187 aktiva lancar. Nilai ini relatif baik, standar

rasio adalah 2 (Siagian, 1987). Rasio Posisi Kas sangat rendah yaitu 0,13 artinya

setiap Rp 100 hutang lancar (dana BLM diangap sebagai hutang lancar) hanya

dapat dibayar dengan uang kontan sebesar Rp 13. Nilai standar rasio yang

berlaku pada bank adalah 0,3, jadi masih dibawa nilai standar (Siagian, 1987).

Dari kedua alat rasio tersebut dapat disimpulkan bahwa Gapoktan Teladan Jaya

Page 149: 5. sesi  ekonomi dan kemiskinan

ISBN 978-602-98295-0-1

Prosiding Seminar Nasional, 13-14 Desember 2010

1070

illikuid (kemampuan Gapoktan membayar hutangnya dengan alat yang likuid

relatif rendah).

2. Solvabilitas

a. Rasio Modal Sendiri dengan Total Aktiva (S1):

Total Modal Sendiri Rp 90.288.000 S1 = _________________ x 100% = ________________ x 100% = 47,4% Total Aktiva Rp 190.288.000 b. Rasio Total Aktiva dengan Total Hutang (S3) Total Aktiva Rp 190.288.000 S2 = _______________ x 100% = _________________ x 100% = 190,3%. Total Hutang Rp 100.000.000 Rasio Modal Sendiri (S1) nilainya 0,47, nilai ini mendekati nilai standar

yaitu 50% artinya kemampuan membayar hutangnya dengan modal sendiri relatif

baik. Nilai Rasio S2 adalah 190,3% di atas nilai standar 100%, kemampuan

membayar seluruh hutangnya dengan aktiva yang dimiliki masih lebih besar. Jadi

dapat disimpulkan bahwa Gapoktan masih solvabel (mampu membayar

hutangnya dengan aktiva yang dimiliki seandainya bangkrut).

3. Rentabilitas

a. Return on Net Worth (RONW) atau Rasio Margin Laba Bersih (SHU)

dengan

Modal Sendiri

Laba Bersih (SHU) Rp 28.234.000 RONW = ________________ x 100% = ______________ x 100% =

31,3%. Modal Sendiri Rp 90.288.000

b. Return On Investment (ROI) atau Rasio Laba Bersih dengan Total Aktiva

Laba Bersih (SHU) Rp 28.234.000 ROI = ___________________ x 100% = _______________ x 100% = 14,8%. Total Aktiva Rp 190.288.000 Nilai RONW sebesar 31,3% artinya setiap modal sendiri sebesar Rp 100

mampu menghasilkan SHU sebesar Rp 31,3 (tidak ada nilai standar rasionya),

artinya relatif baik. Nilai ROI sebesar 14,8% artinya setiap aktiva sebesar Rp 100

mampu menghasilkan SHU sebesar Rp 14,8 nilai ini masih di atas rata-rata

Page 150: 5. sesi  ekonomi dan kemiskinan

ISBN 978-602-98295-0-1

Prosiding Seminar Nasional, 13-14 Desember 2010

1071

bunga bank 10%/tahun, jadi kemampuan menghasilkan laba dengan total aktiva

laba relatif baik.Dari kedua alat rasio tersebut disimpulkan Gapoktan adalah

rentabel. Tabel 1 berikut menjabarkan neraca keuangan Gapoktan Teladan

Jaya.

Tabel 1. Neraca Gapoktan Teladan Jaya Per 31 Juni 2010

No. AKTIVA 31 JUNI 2010 (Rp)

No. KEWAJIBAN DAN MODAL

31 JUNI 2010 (Rp)

AKTIVA LANCAR

KEWAJIBAN

1. Kas 3.838.000 6. MODAL

2. Bank 8.900.000 7. Donasi 100.000.000

3. Piutang 174.670.000 8. Simpanan Pokok 2.760.000

4. Persediaan Barang

0 9. Simpanan Wajib 7.665.000

Jumlah Aktiva Lancar

187.408.000 10. Simpanan Swakarsa 46.309.000

AKTIVA TETAP

10. Dana Cadangan 5.320.000

5. Peralatan 2.880.000 11. SHU Thn 2009 15.907.000

Jumlah Aktiva Tetap

2.880.000 12. SHU Thn Berjalan 12.327.000

JUMLAH AKTIVA

190.288.000 JUMLAH PASSIVA 190.288.000

Sumber: Laporan Tengah Tahun Gapoktan Teladan Jaya, 2010.

Keragaan Umum Gapoktan Ngesti Makmur, Desa Tanjung Keputran

Gapoktan Ngesti Makmur berdiri tanggal 13 Desember 2007, dengan

angota 16 poktan dan 469 anggota. Sampai saat ini baru 7 poktan yang

menerima dana BLM PUAP. Gapoktan berada di Desa Tanjung Keputran,

Kecamatan Plakat Tinggi yang berjarak ± 70 km di sebelah barat Kota Sekayu

atau ± 190 km dari Kota Palembang. Tipologi lahannya adalah lahan kering

dengan tanaman dominan adalah karet dan padi ladang. Luas desa 2.200 ha

dengan jumlah penduduk 3.171 jiwa yang terdiri dari 597 kk. Luas tanaman karet

1.800 ha sedangkan padi ladang 80 ha. Produktivitas karet adalah 200

kg/ha/bulan dengan harga Rp 10.000/kg basah. Harga jual padi adalah Rp 3.000

– 3.500/kg gkg, sedangkan beras adalah Rp 6.500/kg. Desa ini termasuk Desa

peserta SLPTT.

Dana PUAP yang diterima tahun 2008 sebesar Rp 100 juta dan saat ini

sudah berkembang menjadi Rp 170.700.000. Tunggakan belum ada dan modal

Page 151: 5. sesi  ekonomi dan kemiskinan

ISBN 978-602-98295-0-1

Prosiding Seminar Nasional, 13-14 Desember 2010

1072

sudah diputar dua kali. Unit usaha Gapoktan adalah simpan pinjam. Jenis usaha

produktif yang dibiayai adalah: 1) Peternakan, 2) Pemasaran, 3) Tanaman

Pangan, 4) Perkebunan.

Total tabungan anggota saat ini adalah Rp 8.178.000 per bulan Maret

2010. Tabungan tersebut berasal dari simpanan pokok Rp 10.000/orang/bulan,

simpanan wajib Rp 5.000/orang/bulan dan simpanan sukarela dengan besaran

tidak terbatas. Prosedur pengajuan pinjaman sama seperti pada Gapoktan

Muara Teladan. Jangka waktu pengembalian pinjaman adalah 10 bulan, diangsur

tiap bulan dengan tingkat bunga (flat) 2%/bulan. Hasil bunga tersebut sebesar 1%

untuk kas dan 1% lagi untuk honor dan operasional pengurus. Jumlah kas per

tanggal 31 desember 2009 adalah Rp 1.981.000.

Tata Kerja dan Susunan Organisasi

Untuk kelancaran organisasi maka dari dana 1% tersebut dibagikan

kepada pengurus sebagai berikut: Ketua dengan honor Rp 110.000/bulan,

Sekretaris dengan honor Rp 135.000/bulan, Bendahara dengan honor Rp

85.000/bulan, Seksi LKM Rp 75.000/bulan, Tim Pengarah I dengan honor Rp

30.000/bulan, Tim Pengarah II dengan honor Rp 15.000/bulan, Pelindung

(Kades) dengan honor Rp 20.000/bulan, Ketua Poktan (7 orang) dengan honor

masing-masing Rp 60.000/bulan. Saat ini Ketua dijabat oleh Kartomulyono

(pendidikan tammat SR), Sekretaris dijabat oleh Muwardi SP (pendidikan tammat

Sarjana), Bendahara dijabat oleh Solehani (tammat SLTP). Gapoktan tidak

berbadan hukum, Anggaran Dasar/Anggaran Rumaah Tangga sudah ada,

kantor sampai saat ini belum ada tapi pondok pertemuan sudah ada. Pertemuan

diantara pengurus dilakukan tiap bulan sedangkan dengan anggota baru 2 kali.

Alat kelengkapan administrasi seperti buku anggota, buku tamu, buku kas, buku

simpan pinjam, buku inventaris, dsb sudah lengkap. Pendamping Gapoktan Sdr.

Sariman SP (juga PPL setempat sudah pernah mendapat pelatihan sebanyak 3

kali yang berkaitan dengan PUAP yaitu: LKMA (Lembaga Keuangan Mikro

Agribisnis), Pendampingan PUAP, dan Sosialisasi Pengembangan PUAP.

Page 152: 5. sesi  ekonomi dan kemiskinan

ISBN 978-602-98295-0-1

Prosiding Seminar Nasional, 13-14 Desember 2010

1073

Perkembangan Usaha Produktif.

2.2.1. Peternakan

Pinjaman digunakan untuk membeli bibit sapi dan kambing. Untuk bibit

sapi (pedet) besar pinjaman Rp 3 juta/orang/ekor. Jumlah peminjam sebanyak 7

orang per 7 kelompok tani (poktan). Untuk kambing pinjaman Rp 1,5 juta/orang

dan nilai tersebut dapat membeli 2 ekor kambing bakalan. Pinjaman sudah

menyebar di 7 poktan. Untuk ayam potong buras Rp 1,5 juta/orang dengan

jumlah peminjam 1 orang. Harga bibit ayam adalah Rp 20.000/ekor.

2.2.2. Pemasaran

Pinjaman digunakan untuk modal kerja berdagang sayuran, dan diberikan

ke tiap kelompok dengan nilai pinjaman Rp 1 juta/orang. Dari nilai tersebut

anggota bisa mendapatkan pendapatan Rp 600.000/bulan.

2.2.3. Tanaman Pangan dan Hortikultura

Untuk tanaman pangan pinjaman digunakan untuk membeli pupuk dengan

nilai pinjaman Rp 1 juta/orang dan menyebar di setiap kelompok. Untuk tanaman

hortikultura pinjaman digunakan untuk membeli saprodi dengan nilai pinjaman Rp

1,5 juta/orang dan tidak setiap poktan sudah menerimanya.

2.2.4. Tanaman Perkebunan

Pinjaman digunakan untuk membeli saprodi dan penyiapan lahan dengan

nilai pinjaman Rp 2 juta/orang dan diberikan di setiap poktan.

Jika dirinci per masing-masing poktan distribusi bantuan, dana awal PUAP

adalah sebagai berikut: 1). Sido mulung sebesar Rp 16.500.000, 2) Ngesti

Rahayu sebesar Rp 17.100.000, 3) Subur Makmur sebesar Rp 20.500.000, 4)

Cipta Karya Laksana sebesar Rp 34.500.000, 5) Sukarela sebesar Rp 31.500.000,

6) Sidomulyo sebesar Rp 24.800.000, 7) Tani Maju sebesar Rp 29.500.000. Total

dana awal Rp 174.400.000 (sudah perputaran 2 kali) dan nilai akhirnya

sekarang adalah Rp 177.108.000.

Analisa Laporan Keuangan

Melalui analisis rasio dapat diketahui kelayakan usaha Gapoktan tersebut

berdasarkan neraca keuangan di atas. Adapun hasilnya sebagai berikut:

1. Likuiditas:

a. Current Ratio atau Rasio Lancar:

Page 153: 5. sesi  ekonomi dan kemiskinan

ISBN 978-602-98295-0-1

Prosiding Seminar Nasional, 13-14 Desember 2010

1074

Aktiva Lancar Rp 120.331.000 CR = _____________ = ________________ = 1,20. Hutang Lancar Rp 100.000.000 b. Cash Ratio (CHR) atau Rasio Posisi Kas: Kas + Bank Rp 1.961.000 + Rp 113.000.000 CHR = ___________________ = ____________________________ = 1,15. Total Passiva Lancar Rp 100.000.000

Rasio Lancar (CR) Gapoktan nilainya 1,20 yang artinya setiap Rp 100 hutang

lancar dapat dijamin dengan Rp 120 aktiva lancar, masih lebih rendah dari nilai

standar rasio yaitu 2. Rasio Posisi Kas sangat rendah yaitu 1,15 artinya setiap Rp

100 hutang lancar dapat dibayar dengan uang kontan sebesar Rp 115. Nilai

standar rasio yang berlaku pada bank adalah 0,3, jadi jauh di atas nilai standar.

Dari kedua alat rasio tersebut dapat disimpulkan bahwa Gapoktan Tani Sejahtera

likkuid (mampu membayar hutangnya dengan alat yang likuid).

2. Solvabilitas

a. Rasio Modal Sendiri dengan Total Aktiva (S1):

Total Modal Sendiri Rp 32.987.000 S1 = _________________ x 100% = ________________ x 100% = 24,8% Total Aktiva Rp 132.987.000 b. Rasio Total Aktiva dengan Total Hutang (S2) Total Aktiva Rp 132.987.000 S2 = _______________ x 100% = _________________ x 100% = 133,0%. Total Hutang Rp 100.000.000 Rasio Modal Sendiri (S1) nilainya 0,25, nilai ini masih dibawah nilai standar

yaitu 50% artinya kemampuan membayar hutangnya dengan modal sendiri masih

rendah. Nilai Rasio S2 adalah 133% di atas nilai standar 100%, kemampuan

membayar seluruh hutangnya dengan aktiva yng dimiliki masih lebih besar. Jadi

dapat disimpulkan bahwa Gapoktan masih solvabel. (mampu membayar

hutangnya dengan aktiva yang dimiliki seandainya bangkrut).

3. Rentabilitas

a. Return on Net Worth (RONW) atau Rasio Margin Laba Bersih (SHU)

dengan

Modal Sendiri

Page 154: 5. sesi  ekonomi dan kemiskinan

ISBN 978-602-98295-0-1

Prosiding Seminar Nasional, 13-14 Desember 2010

1075

Laba Bersih (SHU) Rp 27.294.000 RONW = _______________ x 100% = _______________ x 100% =

82,7%. Modal Sendiri Rp 32.987.000

b. Return On Investment (ROI) atau Rasio Laba Bersih dengan Total Aktiva

Laba Bersih (SHU) Rp 27.294.000 ROI = ___________________ x 100% = ______________ x 100% = 20,5%. Total Aktiva Rp 132.987.000 Nilai RONW sebesar 82,7% artinya setiap modal sendiri sebesar Rp 100

mampu menghasilkan SHU sebesar Rp 82,7 (tidak ada nilia standar rasionya),

nilai ini relatif baik. Nilai ROI sebesar 14% artinya setiap aktiva sebesar Rp 100

mampu menghasilkan SHU sebesar Rp 20,5 nilai ini masih di atas rata-rata

bunga bank 10%/tahun, jadi dapat disimpulkan Gapoktan tersebut rentabel,

kemampuan menghasilkan laba relatif baik. Tabel 2 berikut menjabarkan neraca

keuangan Gapoktan Ngesti Makmur.

Tabel 2. Neraca Gapoktan Ngesti Makmur Per 31 Desember 2009

No. AKTIVA 31 DESEMB 2009 (Rp)

No. KEWAJIBAN DAN MODAL

31 DESEMB 2009 (Rp)

AKTIVA LANCAR

KEWAJIBAN

1. Kas 1.961.000 6. MODAL

2. Bank 113.330.000 7. Donasi 100.000.000

3. Piutang 0 8. Simpanan Pokok 1.100.000

4. Persediaan Barang

5.040.000 9. Simpanan Wajib 1.594.000

Jumlah Aktiva Lancar

120.331.000 10. Simpanan Swakarsa 1.119.000

Biaya-biaya 12.656.000 10. Dana Cadangan 0

5. AKTIVA TETAP

11. SHU Thn 2009 27.294.000

12. Pendapatan lain 1.520.000

13. Pendapatan Saprodi 360.000

JUMLAH AKTIVA

132.987.000 JUMLAH PASSIVA 132.987.000

Sumber: Laporan Akhir Tahun Gapoktan Ngesti Makmur, 2010.

Berdasarkan analisa laporan keuangan, kedua Gapoktan tersebut memiliki

neraca keuangan yang sehat/baik. Diperlukan audit (pemeriksaan) lebih lanjut

Page 155: 5. sesi  ekonomi dan kemiskinan

ISBN 978-602-98295-0-1

Prosiding Seminar Nasional, 13-14 Desember 2010

1076

untuk mengetahui apakah aktiva/passiva tersebut benar adanya sesuai yang

dilaporkan.

KESIMPULAN DAN SARAN

Kesimpulan

1. Dana BLM PUAP di Kabupaten Musi Banyuasin pada tahun 2009 telah

berkembang dari Rp 3,2 milyar menjadi Rp 3,69 milyar. Unit Usaha produktif

terbesar yang menerima dana adalah perkebunan sebesar Rp 1,38 milyar telah

berkembang menjadi Rp 1,62 milyar.

2. Dana BLM PUAP di Gapoktan Teladan Jaya sudah berkembang dari Rp 100

juta menjadi Rp 190,3 juta sampai pada 31 Juni 2010, sedangkan pada Gapoktan

Ngesti Makmur sudah berkembang menjadi Rp 170,7 juta per 31 Juni 2010.

Kedua neraca keuangan Gapoktan tersebut adalah sehat, mampu membayar

kewajiban-kewajibanya.

3. Program PUAP memiliki prospek pengembangan relatif baik, kendalanya

besaran dana relatif masih kurang.

Saran

1. Perlu dukungan dari pemerintah pusat dan daerah baik untuk memperbesar

modal kerja Gapoktan sehingga seluruh anggota Poktan dapat menikmati dana

PUAP sebagai sumber permodalan usaha, dan juga pengawalan dan

pengawasan agar dana PUAP dapat terjamin penggunaannya.

DAFTAR PUSTAKA

Anonim, 2010. Laporan Akhir Tahun Gapoktan Ngesti Makmur. Gapoktan Ngesti

Makmur, Tanjung Keputren. Anonim, 2010. Laporan Tengah Tahun Gapoktan Teladan Jaya Tahun 2010. Gapoktan Teladan Jaya, teladan Jaya. Djahidin F., 1985. Analisa Laporan Keuangan. CV Ghalia Indonesia, Jakarta. Harnisah, dkk, 2010. Laporan Akhir Tahun Pengembangan Sumberdaya Informasi Iptek, Diseminasi dan Jaringan Umpan Balik. Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Sumsel, Palembang.

Page 156: 5. sesi  ekonomi dan kemiskinan

ISBN 978-602-98295-0-1

Prosiding Seminar Nasional, 13-14 Desember 2010

1077

Kementan, 2010. Pedoman Umum Usaha Agribisnis Pedesaan. Kementerian Pertanian, Jakarta. Santoso S., 2001. Aplikasi Excel dalam Manajemen Keuangan. PT Elex Media Komputindo, Jakarta. Siagian V., 1987. Analisa Keadaan Usaha Koperasi Unit Desa. Skripsi S1, Jurusan Ilmu-ilmu Sosial Ekonomi, Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor, Bogor.

Page 157: 5. sesi  ekonomi dan kemiskinan

ISBN 978-602-98295-0-1

Prosiding Seminar Nasional, 13-14 Desember 2010

1078

KONDISI (SOSEKBUD) MASYARAKAT PESISIR DALAM KAWASAN LINDUNG DAN PEMAHAMANNYA TERHADAP UPAYA KONSERVASI EKOSISTEM

MANGROVE DI TAMAN NASIONAL SEMBILANG, SUMSEL.

Yetty Hastiana 1), Fachrurrozie Sjarkowi 2), Dinar DAP 2), M. Rasjid Ridho 2)

1) Universitas Muhammadiyah Palembang, FKIP, Jurusan PMIPA, Program Pend. Studi Biologi;

2) Universitas Sriwijaya Palembang, Program Pasca Sarjana, Bidang Ilmu Lingkungan

ABSTRAK

Lahan basah yang dominan pada kawasan Taman Nasional Sembilang berupa ekosistem mangrove. Luasan hutan mangrove yang tersisa merupakan kawasan mangrove terluas di Pesisir Timur Sumatera. Kelestarian TN Sembilang beserta sumberdaya hayatinya sangat dipengaruhi beberapa faktor. Selain faktor alamiah, kegiatan masyarakat di sekitarnya memberikan andil terhadap upaya pelestarian. Rendahnya tingkat pendidikan, lemahnya penegakan hukum, kurangnya kesadaran lingkungan, dan faktor kemiskinan masyarakat daerah penyangga, semakin mempercepat terjadinya perusakan hutan Taman Nasional (Yuswandi dkk, 2003). Potensi SDA di daerah penyangga Taman Nasional dapat menjadi faktor penentu terjadinya tekanan terhadap pelestarian SDA Taman Nasional. Tingkat kesadaran dan kepedulian individu terhadap konservasi dan pelestarian lingkungan, erat kaitannya dengan orientasi pengetahuan, pemahaman, sikap dan perilaku seseorang. Diduga persepsi dan kondisi sosial ekonomi dan budaya masyarakat akan mempengaruhi tingkat partisipasi masyarakat dalam melestarikan hutan di sekitarnya. Berdasarkan hal tersebut, akan dilakukan suatu kajian dan pengamatan mengenai Kondisi (Sosekbud) Masyarakat Pesisir Kawasan Lindung dan Pemahamannya Terhadap Konservasi Ekosistem Mangrove. Data pengamatan dikumpulkan menggunakan teknik triangulasi, yaitu menggabungkan data wawancara, observasi lapangan non partisipasi dan dokumentasi. Selain wawancara dilakukan juga teknik focus group discussion (FGD). Sumber data yang digunakan adalah data primer dan sekunder, sedangkan jenis data yang diambil adalah data kualitatif dan kuantitatif. Populasi dari penelitian ini adalah masyarakat Desa Tanah Pilih di seksi III kawasan Taman Nasional Sembilang, meliputi tiga dusun yaitu Dusun Satu, Dusun Dua dan Dusun Terusan Dalam. Data hasil wawancara dan observasi pada setiap indikator variabel dianalisis secara kuantitatif dengan cara scoring dalam bentuk ordinal dan interval lalu dinilai dengan persentasi. Berdasarkan data statistik, saat ini jumlah penduduk 202 KK, dengan mata pencaharian masyarakat saat ini rata-rata sebagai nelayan, petani, dan peternak walet. Sejarah Desa Tanah Pilih berawal sejak tahun 1970 tujuh orang suku Bugis datang ke kawasan pesisir Sembilang dekat Sungai Benu. Daerah asal mereka adalah Teluk Bone Sulawesi Selatan. Pertama kali yang mereka kerjakan saat adalah membuka areal persawahan dan perkebunan yang terletak antara sungai Terusan Dalam hingga S. Benu. Dari hasil

Page 158: 5. sesi  ekonomi dan kemiskinan

ISBN 978-602-98295-0-1

Prosiding Seminar Nasional, 13-14 Desember 2010

1079

wawancara ternyata 93,33 % responden tahu bahwa hutan yang ada di sekitarnya berstatus Taman Nasional, persen tersebut identik dengan nilai 158, dimana nilai itu masuk pada kriteria sangat paham. Pemahaman masyarakat terhadap fungsi hutan mangrove termasuk kriteria paham, dimana nilai yang didapat adalah 158 identik dengan 65,83%, dari delapan kelompok yang dijadikan parameter pengukuran pemahaman masyarakat terhadap fungsi hutan mangrove, masyarakat memahami empat sampai tujuh macam fungsi. Ada satu fungsi hutan mangrove yang belum dipahami masyarakat, yaitu hutan mangrove dapat mempercepat perluasan pantai melalui pengendapan. Pengetahuan masyarakat terhadap jenis dikelompokkan menjadi dua yaitu pengetahuan terhadap vegetasi dominan dan vegetasi dilindungi.

Kata Kunci: Ekosistem mangrove, konservasi, sosekbud masyarakat pesisir,

Taman Nasional Sembilang.

PENDAHULUAN

Taman Nasional Sembilang (TNS) merupakan salah satu Taman Nasional

yang terletak di Sumatera Selatan yang memiliki karakteristik lahan basah. Dari

luasan tersebut 45% merupakan ekosistim mangrove, 42% rawa belakang, 9%

rawa air tawar dan gambut, sisanya merupakan dataran lumpur dan pantai

berpasir. Lahan basah yang dominan pada kawasan Taman Nasional Sembilang

adalah ekosistem mangrove. Hutan mangrove termasuk pada ekosistem yang

mempunyai fungsi ekologis, ekonomis dan sosial yang unik.

Konsep ekologis humanistik berusaha menempatkan manusia sebagai

integral sebuah ekosistem, dimana makhluk hidup mempunyai peluang yang sama

besarnya untuk menjaga dan merusak alam. Begitu juga dengan masyarakat sekitar

TNS mempunyai potensi yang sama antara memelihara dan merusak alam

khususnya hutan dalam kawasan TNS. Kecenderungan untuk mengeksploitasi jenis

sumber daya hutan di dalam kawasan secara berlebihan, dapat mengurangi

kelestarian sumber daya hayati TNS. Hasil penelitian Riyanto (2005), diketahui

terdapat interaksi antara masyarakat sekitar hutan dengan Taman Nasional.

Beberapa faktor yang ikut memberikan kontribusi bagi terjadinya kerusakan hutan di

Taman Nasional adalah faktor sosial ekonomi budaya masyarakat setempat.

Rendahnya tingkat pendidikan, lemahnya penegakan hukum, kurangnya kesadaran

lingkungan, dan faktor kemiskinan masyarakat daerah penyangga, semakin

Page 159: 5. sesi  ekonomi dan kemiskinan

ISBN 978-602-98295-0-1

Prosiding Seminar Nasional, 13-14 Desember 2010

1080

mempercepat terjadinya perusakan hutan Taman Nasional tersebut (Yuswandi dkk,

2003). Potensi SDA di daerah penyangga Taman Nasional dapat juga menjadi faktor

penentu terjadinya tekanan terhadap pelestarian SDA yang ada di dalam kawasan

Taman Nasional.

Tingkat kesadaran dan kepedulian individu terhadap konservasi dan

pelestarian lingkungan, secara teoritis terkait erat dengan orientasi, pengetahuan,

pemahaman, sikap dan perilaku yang dimiliki seseorang.

Diduga tingkat pemahaman masyarakat akan mempengaruhi tingkat

partisipasi masyarakat dalam melestarikan hutan sebagai kawasan konservasi.

Berdasarkan uraian di atas, yang menjadi fokus permasalahan dalam penelitian dan

kajian ini, yaitu bagaimana kondisi (sosekbud) masyarakat pesisir dalam kawasan

lindung dan pemahamannya terhadap upaya konservasi ekosistem mangrove di

Taman Nasional Sembilang, SumSel. Setelah dilakukan serangkaian pengamatan

dan kajian mengenai kondisi dan pemahaman masyarakat pesisir kawasan lindung

terhadap upaya konservasi ekosistem mangrove, diharapkan dapat diketahui kondisi

sosekbud dan pemahaman masyarakat terhadap upaya konservasi ekosistem

mangrove di kawasan Taman Nasional Sembilang, SumSel. Adapun manfaat lebih

lanjut adalah untuk merancang pola pengelolaan kawasan ekosistem mangrove

secara berkelanjutan.

A. Metode Penelitian

1. Teknik Pengumpulan Data

Data pengamatan dikumpulkan menggunakan teknik triangulasi, yaitu

menggabungkan data wawancara, observasi lapangan non partisipasi dan

dokumentasi. Wawancara dilakukan dengan teknik wawancara terstruktur

berkaitan dengan aspek yang akan diukur pada setiap variabel. Selain itu

dilakukan juga teknik focus group discution (FGD), observasi lapangan non

partisipasi dilakukan untuk mengetahui pemanfaatan potensi sumber daya alam

yang dikelola dan sumber daya manusia yang mengelolanya. Hal-hal yang terlihat

sebagai pendukung data dicatat dan didokumentasikan.

2. Sumber dan Jenis Data

Page 160: 5. sesi  ekonomi dan kemiskinan

ISBN 978-602-98295-0-1

Prosiding Seminar Nasional, 13-14 Desember 2010

1081

Sumber data yang digunakan adalah data primer dan data sekunder

sedangkan jenis data yang diambil adalah data kualitatif dan kuantitatif. Populasi

dari penelitian ini adalah masyarakat Desa Tanah Pilih. Dalam rancangan

penetapan zonasi Taman Nasional Sembilang, Desa Tanah Pilih merupakan desa

yang diusulkan untuk menjadi kawasan zona tradisional. Desa tanah Pilih terdiri

dari tiga dusun yaitu Dusun Satu, Dusun Dua dan Dusun Terusan Dalam. Pada

data profil desa tahun 2009 jumlah penduduk Desa Tanah Pilih terdiri dari 202 KK,

25 KK ada di Dusun Terusan Dalam dan sisanya ada di Dusun Satu dan Dusun

Dua. Responden yang dijadikan sample adalah setiap Kepala Keluarga (KK) yang

ada di tiga dusun dengan jumlah sample 30 KK dilakukan dengan teknik purposive

sampling dengan intensitas sampling lebih dari 10%. Kepala keluarga yang

dimaksud adalah bapak atau ibu yang mewakili dari keragaman profesi yaitu

petani, nelayan, pejabat struktural desa, pedagang, tokoh masyarakat dan agama.

Sedangkan untuk data sosekbud masyarakat selain dari hasil pengamatan

lapangan non partisipatif, sebagian besar berupa data primer .

3. Variabel Penelitian

Variabel penelitian adalah pemahaman masyarakat terhadap peran Taman

Nasional yang diukur dengan pemahaman status kawasan hutan. Indikator

pemahaman pada status kawasan, diukur dengan masyarakat mampu atau tidak

menyebutkan bahwa status hukum kawasan tersebut adalah Taman Nasional.

Untuk mempertajam pemahaman terhadap peran Taman Nasional maka indikator

selanjutnya adalah mengukur pemahaman terhadap sikap masyarakat terhadap

beberapa pernyataan yang berhubungan dengan peran Taman Nasional. Peneliti

mengajak responden berpartisispasi untuk dapat memberikan suatu sikap Setuju,

Netral dan Tidak Setuju atas beberapa pernyataan.

Variabel lain dari pemahaman adalah mengukur pemahaman terhadap

fungsi hutan mangrove, ada delapan fungsi hutan mangrove yang dijadikan

deskripsi dari indikator tersebut diantaranya: (1) Pelindung garis pantai dari abrasi,

(2) Mempercepat perluasan pantai melalui pengendapan, (3) Mencegah intrusi

air laut, (4) Tempat berlindung dan berkembang biak jenis ikan, burung,

mamalia, reptile, dan serangga, (5) Sebagai pengatur iklim mikro, (6) Penghasil

keperluan rumah tangga (kayu bakar, arang, bahan bangunan, bahan makanan,

Page 161: 5. sesi  ekonomi dan kemiskinan

ISBN 978-602-98295-0-1

Prosiding Seminar Nasional, 13-14 Desember 2010

1082

obat-obatan), (7) Penghasil keperluan industri (bahan baku kertas, tekstil,

kosmetik, penyamak kulit, pewarna), (8)Pariwisata, penelitian dan pendidikan.

Variabel pengetahuan jenis vegetasi dan satwa diukur dengan indikator

pengenalan terhadap vegetasi dominan dan vegetasi dilindungi sedangkan

pengetahuan terhadap satwa diukur dengan pengenalan jenis satwa yang

dilindungi meliputi jenis primata, aves dan mamalia besar

Variabel lain adalah perilaku masyarakat terhadap kelestarian Taman

Nasional Sembilang dengan indikator peran masyarakat dalam pemanfaatan

sumberdaya hutan kayu dan bukan kayu dalam kawasan.

4. Metode Analisis Data

Data hasil wawancara dan observasi pada indikator untuk mengukur setiap

variabel dianalisis secara kuantitatif dengan cara scoring dalam bentuk ordinal dan

interval lalu dinilai dengan persentasi, sedangkan data lainnya dianalisis secara

deskriftif kualitatif dengan cara tabulasi.

Cara perhitungan variabel pemahaman masyarakat pada indikator

pemahaman terhadap status kawasan dideskripsikan menjadi enam kelompok

kemungkinan masyarakat menjawab yaitu taman nasional, hutan konservasi,

suaka margasatwa, hutan lindung, status hutan lainnya dan tidak tahu, lalu diberi

point secara berurutan dengan nilai 5,4,3,2,1 dan 0. Nilai dari masing-masing

deskripsi dikalikan dengan jumlah responden yang menjawab deskripsi berikut lalu

dipersentasikan. Dalam mengukur pemahaman masyarakat terhadap peran taman

nasional, apabila pernyataan positif maka pemberian skor Setuju=3, Netral=2,

Tidak Setuju=1 tetapi apa bila pernyataannya negatif pemberian skor menjadi

Setuju=1, Netral=2, Tidak Setuju=3. Dari setiap skor yang didapat lalu dikalikan

dengan jumlah responden yang menyatakan sikap tertentu tersebut.

Pada indikator fungsi hutan mangrove, ada 8 fungsi hutan mangrove yang

menjadi deskripsinya sehingga nilai berkisar antara 8-0. Pengenalan jenis

vegetasi dominan dideskripsikan menjadi 13 jenis dan kisaran nilai dari 13 - 0,

pengenalan jenis vegetasi dilindungi bernilai antara 3 - 0, pengenalan jenis satwa

dilindungi untuk kelompok primata bernilai antara 1 - 0, sedangkan untuk

kelompok aves bernilai 1 – 0, dan kelompok mamalia besar bernilai 12 - 0.

Page 162: 5. sesi  ekonomi dan kemiskinan

ISBN 978-602-98295-0-1

Prosiding Seminar Nasional, 13-14 Desember 2010

1083

Setelah dilakukan perhitungan lalu dimasukan pada interval skor, bila

dikonversikan pada nilai persentasi maka nilai 0 % - 20 % termasuk sangat tidak

paham, 21 % - 40 % tidak paham, 41 % - 60 % cukup paham, 61 % – 80 %

paham dan 81 % - 100 % sangat paham.

B. Hasil Penelitian

1. Keadaan Umum Lokasi

Secara Geografis Wilayah Desa Tanah Pilih terletak pada Muara Sungai

Benu yang berbatasan dengan Propinsi Jambi, sedangkan secara administrasi

pemerintahan berada di wilayah Kecamatan Banyuasin II Kabupaten Banyuasin

dengan luas 70.000 Ha, adapun batas-batas wilayah Desa Tanah pilih adalah

sebelah Utara Sungai Benu, sebelah Selatan Sungai Tiram dan Desa Sungsang

IV, sebelah Timur Laut Cina Selatan dan sebelah Barat Kabupaten Musi

Banyuasin dan Propinsi Jambi (TNS, 2008). Aksesibilitas menuju Desa Tanah

Pilih dari Kota Palembang dapat dicapai dengan menggunakan kapal speed boat

melalui Sungai Musi dalam waktu 5½ jam. Dapat juga dicapai dari Mentok Pulau

Bangka dengan menggunakan speed boat besar dengan waktu yang diperlukan

kira-kira 3 hingga 4 jam. Disamping itu dapat juga ditempuh dari Nipah Panjang

Propinsi Jambi dengan memakai speed boat dalam waktu tempuh kira-kira 3 -4

jam (Profile Desa Tanah Pilih, STN 3 TNS, 2009).

Kawasan Taman Nasional Sembilang umumnya memiliki iklim tropis

dengan rata-rata curah hujan tahunan 2.455 mm. Musim kemarau biasanya terjadi

dari bulan Mei hingga Oktober, musim hujan dengan angin barat laut yang keras

dan membawa butiran hujan dari November hingga April. Iklim dapat dijabarkan

sesuai dengan Zona C : 5 hingga 6 bulan berturut-turut bulan basah dan 3 bulan

atau kurang berturut-turut bulan kering, (TNS, 2008). Kawasan TN. Sembilang,

merupakan bagian dari lahan rawa yang lebih luas dengan formasi sedimen

Pelembang. Saat ini ditutupi oleh tanah liat merin muda dan sedimen sungai.

Sebagian kawasan ini sebagian besar didominasi oleh sedimen alluvial (termasuk

sedimen marin dan sedimen organik di pesisir, dan deposit organik, biasanya

sebagai kubah gambut jauh di daratan). Tanah umumnya terdiri dari jenis histosol

dan inceptisol.

Page 163: 5. sesi  ekonomi dan kemiskinan

ISBN 978-602-98295-0-1

Prosiding Seminar Nasional, 13-14 Desember 2010

1084

Sebagian besar TN Sembilang terdiri dari habitat estuarin. Sejumlah

sungai yang relatif lebih pendek menyalurkan air dari rawa air tawar tadah hujan

dan hutan rawa gambut yang terletak jauh ke daratan dalam sebuah pola menyirip

(pinnate) ke wilayah pesisir Taman Nasional. Sungai terpanjang di Desa Tanah

Pilih adalah Sungai Benu hulunya bersumber dari hutan rawa primer dan rawa

gambut, sedangkan sungai lainnya memberikan kontribusi pada formasi habitat

estuarin. Substrat sungai berupa organik pada bagian hulu (gambut), pada bagian

hilir liat. Substrat pantai lumpur dan sebagian pasir. Partikel lumpur tersuspensi

dalam air sungai, di daerah berarus deras substrat yang tertinggal berupa substrat

kasar, sedangkan di daerah berarus lemah, substrat yang tertinggal adalah

substrat halus.

Gambar 1. Peta Kawasan Taman Nasional Sembilang (sumber : Balai

TNS, 2008)

2. Sosial Ekonomi dan Budaya Masyarakat

Sejarah Desa Tanah Pilih berawal sejak tahun 1970 tujuh orang suku

Bugis (Daeng Pasoreh, Haji Aras, Mencak, Hamzah, Bedu, Darisek dan Baru)

datang ke kawasan pesisir Sembilang dekat Sungai Benu. Daerah asal mereka

adalah Teluk Bone Sulawesi Selatan. Pada umumnya Masyarakat Teluk Bone

meninggalkan Sulawesi menuju Sumatera, antara lain yang dituju adalah Jambi.

Karena lahan garapan di Jambi sudah mulai berkurang, maka mereka mencari

lahan garapan baru. Mereka mendapatkan ijin dari Pesirah di Sungsang untuk

mendirikan pemukiman pertama di Tanah Pilih dan membuka areal hutan

mangrove dan hutan rawa untuk pertanian (padi dan kelapa). Pertama kali yang

mereka kerjakan saat tiba di tanah Pilih adalah membuka areal persawahan dan

Page 164: 5. sesi  ekonomi dan kemiskinan

ISBN 978-602-98295-0-1

Prosiding Seminar Nasional, 13-14 Desember 2010

1085

perkebunan yang terletak antara sungai Terusan Dalam hingga S. Benu (sumber :

informasi personal, 2009 ; Profile Desa Tanah Pilih, STN 3 TNS, 2009).

Kesuksesan menggarap padi di sawah dan kelapa di kebun mengukir

sejarah Desa Tanah Pilih, hingga orang Bugis berduyun-duyun berdatangan

menetap di Desa Tanah Pilih untuk menggarap sawah dan kebun. Orang Bugis

tersebut ada yang datang dari Jambi dan ada yang datang langsung dari

Sulawesi. Tahun 1993 adalah puncaknya keramaian hingga mencapai 5000 jiwa

belum termasuk yang tinggal di wilayah Terusan. Sejak tahun 1990 hasil

pertanian mulai berkurang, disebabkan karena adanya hama yang membludak

yaitu beruang dan tikus. Dampak dari kejadian itu ada masyarakat yang kembali

ke Jambi, kembali ke Sulawesi dan sebagian lagi turun ke daerah muara beralih

profesi menjadi nelayan (sumber : informasi personal, 2009).

Pada tahun 2000, Desa Tanah Pilih mengalami musibah (air pasang,

badai ombak besar) yang memisahkan dan merusakkan perumahan warga.

Sehingga sebagian besar (70%) warga membuat pemukiman baru dengan sisa

bahan dari kerusakan rumah mereka yaitu di lokasi sekitar Sungai Benu. Sejak

Tahun 2000 Muara Sungai Benu telah menjadi desa Definitif yaitu Desa Tanah

Pilih dengan luas ± 70.000ha. Menurut data Statistik saat ini jumlah penduduk

adalah 202 KK dengan jumlah mata pilih hampir 400 orang. Daerah Sungai

Terusan Dalam termasuk bagian dari Desa Tanah Pilih. Dengan jumlah kepala

keluarga sekitar 25 KK. Mata Pencaharian Masyarakat Desa Tanah Pilih saat ini

rata-rata adalah nelayan, bertani, dan yang mulai menjamur adalah peternak

walet. Hasil perikanan dan kebun dipasarkan ke Jambi dan Sungsang (sumber :

Profile Desa Tanah Pilih, STN 3 TNS, 2009).

Adat istiadat yang ada di Desa Tanah Pilih dikelola oleh 5 orang

sesepuh/pemangku adat, meliputi (Sumber : Informasi personal, 2009 ; Profile

Desa Tanah Pilih, STN 3 TNS, 2009 ):

a. Bersih desa/syukuran desa

Dilakukan setahun sekali setiap bulan Maret. Waktu tersebut

diselenggarakan pada saat panen raya. Acara tersebut wajib diikuti oleh

setiap masyarakat. Tujuan kegiatan bersih desa adalah (1) Bersykur atas

hasil panen yang dicapai (2) Tolak bala terhadap hal-hal yan tidak

Page 165: 5. sesi  ekonomi dan kemiskinan

ISBN 978-602-98295-0-1

Prosiding Seminar Nasional, 13-14 Desember 2010

1086

diinginkan, (3) Meningkatkan kebersamaan dan silaturahim antar warga,

(4) Membicarakan permasalahan desa dan harapan-harapannya.

b. Acara pernikahan

Upacara pernikahan harus memakai adat Bugis tidak dibolehkan

mengambil adat dari daerah lain. Dalam menentukan waktu pelaksanaan

pernikahan ditentukan hari baik dan bulan baik oleh 5 pemuka adat

melalui musyawarah. Tujuan dari ketentuan tersebut adalah (1)

Mempetahankan adat Bugis agar tidak punah oleh desakan budaya

modern, (2) Merupakan kekayaan budaya bagi anak cucu sebaagi ahli

waris, (3) Sebagai perisai terhadap pengaruh luar yang mungkin tidak /

bertentangan dengan budaya masyarakat Bugis.

c. Membakar ladang

Dalam melakukan pembakaran lahan garapan ada beberapa aturan yang

disepakati yaitu. (1) Apabila melakukan pembakaran lahan / ladang harus

diawasi dan dibuat sekat bakar agar tidak meluas, (2) Harus dilakukan

secara bergantian, tidak dilakukan secara serentak.

d. Pertengkaran

Kalau ada pertengkaran atau percekcokan diantara warga yang dianggap

sudah sangat memprihatinkan, maka untuk penyelesaiannya ada

semacam sanksi yaitu (1) Memotong kambing, (2) Membuat surat

perjanjian mengikat dan sanksi yang lebih berat.

Tingkat pendidikan masyarakat Desa Tanah Pilih rata-rata lulusan SD.

Rendahnya tingkat pendidikan ini disebabkan oleh belum tercukupinya

fasilitas/sarana prasarana dan kekurangan tenaga pendidik. Untuk fasilitas

pendidikan hanya ada 1 (satu) gedung SD. Masyarakat Desa Tanah Pilih

seluruhnya memeluk agama Islam yang merupakan masyarakat asli Bugis.

3. Pemahaman Masyarakat Terhadap Status TNS dan Fungsi

Ekosistem Mangrove

Hasil penelitian dari variabel pemahaman masyarakat diawali dengan

mengukur pemahaman masyarakat terhadap status kawasan memakai beberapa

indikator. Metode yang dipakai untuk mengukur indikator itu adalah wawancara

kepada 30 responden. Berdasarkan hasil wawancara ternyata 93,33 %

Page 166: 5. sesi  ekonomi dan kemiskinan

ISBN 978-602-98295-0-1

Prosiding Seminar Nasional, 13-14 Desember 2010

1087

responden tahu bahwa hutan yang ada di sekitarnya berstatus Taman Nasional,

persentase tersebut identik dengan nilai 158, dimana nilai itu masuk pada kriteria

sangat paham. Hasil tersebut lebih jelas terlihat pada Gambar 1.

Pemahaman masyarakat terhadap status kaw asan

93.33%

6.67%

Taman Nasional

Hutan Konservasi

Suaka Margasatw a

Hutan Lindung

Lain-lain

Tidak Tahu

Gambar 1. Pemahaman Masyarakat Terhadap Status Kawasan TN. Sembilang

Status Taman Nasional sangat familiar dengan masyarakat, terbukti

93,33% dari responden tahu dengan nama Taman Nasional dan hanya 6,67%

saja yang tidak tahu. Masyarakat tidak mengerti status kawasan yang lain,

padahal sebelum ditetapkan menjadi Taman Nasional status kawasan adalah

Suaka Margasatwa, Hutan Lindung dan Hutan Produksi. Tetapi hal ini tidak

familiar dengan masyarakat masyarakat hanya mengenal Taman Nasional.

0

10

20

30

40

50

60

70

80

90

100

Nilai

Pernyataan

Kayu tidak boleh

diambi/dimanfaatkan

Satwa harus dilindungi

Hasil hutan buka kayu

boleh dimanfaatkan

Ikan, burung, satwa

yang bisa dimanfaatkan

boleh diambil

Boleh menggarap kebun

dan tambak

Gambar 2. Respon Masyarakat Terhadap Peran Taman Nasional

Setelah mereka tahu atau mampu menyebutkan bahwa status hutan

yang berada di sekitarnya adalah Taman Nasional, maka peneliti ingin tahu lebih

jauh apakah masyarakat paham dengan peran Taman Nasional itu sendiri.

Masyarakat diberikan beberapa pernyataan yang berhubungan dengan peran

Page 167: 5. sesi  ekonomi dan kemiskinan

ISBN 978-602-98295-0-1

Prosiding Seminar Nasional, 13-14 Desember 2010

1088

Taman Nasional lalu diminta untuk memberikan penilain sikap setuju, netral dan

tidak setuju. Ada dua pernyataan yaitu pernyataan positif dan pernyataan negatif.

Respon masyarakat dari setiap pernyataan yang dimaksud tercantum pada

Gambar 2.

Dalam UU No. 5 tahun 1990 tentang Konservasi Sumberdaya Alam

Hayati dan Ekosistemnya pasal 33 ayat 3 menyebutkan bahwa ‖Setiap orang

dilarang melakukan kegiatan yang tidak sesuai dengan fungsi zona pemanfaatan

dan zona lain dari Taman Nasioanl, Taman Hutan Raya dan Taman Wisata Alam‖.

Kalau merujuk aturan tersebut, sebenarnya masyarakat tidak diperkenankan untuk

memanfaatkan kayu karena kalau menelaah lebih lanjut tentang batasan dari zona

pemanfaatan tradisional, masyarakat di sekitar hutan hanya boleh memanfaatkan

hasil hutan dengan tidak menebang atau membudidaya.

Pada pernyataan ‖Satwanya harus dilindungi‖, semua responden

menyatakan setuju, sehingga nilai yang didapat adalah satu dan masuk pada

kriteria sangat paham. Jadi selama masyarakat tidak dapat mengambil

manfaatnya maka sumber daya tersebut tidak akan di manfaatkan dalam modus

apapun. Penilaian ini saling berhubungan dengan pernyataan ‖Ikan, burung, dan

satwa lainnya yang bisa dimanfaatkan boleh diambil‖. Pada pernyataan ini

masyarakat memberikan sikap dengan poin nilai 0,50, padahal pernyataan yang

dilontarkan hampir sama yaitu pemanfaatan satwa, tetapi pada pernyataan yang

kedua ada kalimat tambahan yaitu yang bisa dimanfaatkan, maka ada penilaian

pergeseran respon dari masyarakat. Hal ini lebih terbukti bahwa terlibatnya

masyarakat dalam pemeliharaan atau sebaliknya dalam pengrusakan sangat erat

hubungan dengan memberikan manfaat atau tidak terhadap masyarakat. Selama

sumberdaya itu tidak memberikan manfaat maka masyarakat tidak akan

mengganggunya tetapi bila sumberdaya itu memberikan manfaat, maka

masyarakat akan berusaha untuk memanfaatkannya.

Nilai yang didapat dari masyarakat dalam menyikapi pernyataan dari

‖hasil hutan bukan kayu boleh dimanfaatkan‖ adalah 0,50 masuk pada kriteri

cukup paham. Masyarakat memberikan penilaian tersebut karena masyarakat

menilai apa yang sedang terjadi pada dirinya, dimana masyarakat sering

memanfaatkan hasil hutan bukan kayu seperti daun nipah digunakan untuk atap

rumah, rotan untuk mengikat, dan nibung untuk tiang-tiang rumah dan bangunan

Page 168: 5. sesi  ekonomi dan kemiskinan

ISBN 978-602-98295-0-1

Prosiding Seminar Nasional, 13-14 Desember 2010

1089

lainnya. Dalam pemanfaatan hasil hutan bukan kayu sebenarnya masyarakat

punya payung hukum, dimana dalam syarat penetapan sebagai zona

pemanfaatan tradisional bila pada zona tersebut memiliki potensi dan kondisi

sumberdaya alam hayati non kayu tertentu yang telah dimanfaatkan secara

tradisional oleh masyarakat setempat guna memenuhi kebutuhan hidupnya. Desa

Tanah Pilih tengah diusulkan menjadi zona pemanfaatan tradisional, berarti

pemanfaatan hasil hutan bukan kayu yang telah biasa masyarakat manfaatkan

dibenarkan secara hukum. Namun demikian nilai yang didapat hanya 0,50, disini

terlihat sifat kehati-hatian masyarakat dalam menyikapi pemanfaatan sumberdaya

dan peran Taman Nasional. Dalam sejarah masyarakat Desa Tanah Pilih mata

pencahariannya adalah bertani padi dan kelapa setelah adanya serangan hama

yang hebat yaitu beruang dan tikus, masyarakat beralih menjadi nelayan dan

sekarang selain nelayan masyarakat menjamur mendirikan sarang walet. Jadi

masyarakat dalam menyikapi pernyataan boleh menggarap kebun/ladang dan

tambak disikapi dengan positif karena masyarakat sendiri tidak mempunyai

kepentingan dengan penggarapan lahan tersebut.

Pemahaman masyarakat terhadap fungsi hutan mangrove termasuk

kriteria paham, dimana nilai yang didapat adalah 158 identik dengan 65,83, dari

delapan kelompok yang dijadikan parameter pengukuran pemahaman masyarakat

terhadap fungsi hutan mangrove, masyarakat memahami empat sampai tujuh

macam fungsi. Ada tiga fungsi hutan mangrove yang secara keseluruhan

masyarakat atau (100 %) dari jumlah responden paham diantaranya fungsi

mangrove sebagai pelindung garis pantai dari abrasi; sebagai tempat berlindung

dan berkembang biak jenis ikan, burung, mamalia, reptil dan serangga dan

sebagai pengatur iklim mikro. Menyusul kemudian 90 % dari responden

memahami bahwa fungsi hutan mangrove adalah sebagai penghasil keperluan

rumah tangga. Fungsi mangrove sebagai pencegah intrusi air laut dipahami oleh

66,67 % responden sedangkan fungsi mangrove sebagai parawisata, pendidikan

dan penelitian dipahami oleh 40 % responden. Hanya 26,67 % dari masyarakat

yang memahami bahwa fungsi hutan mangrove adalah sebagai penghasil

keperluan industri (bahan baku kertas, tekstil, kosmetik, penyamak kulit, pewarna).

Ada satu fungsi hutan mangrove yang benar-benar masyarakat belum paham

yaitu dengan adanya hutan mangrove dapat mempercepat perluasan pantai

Page 169: 5. sesi  ekonomi dan kemiskinan

ISBN 978-602-98295-0-1

Prosiding Seminar Nasional, 13-14 Desember 2010

1090

melalui pengendapan, padahal kemampuan mangrove untuk mengembangkan

wilayahnya ke arah laut merupakan salah satu peran penting mangrove dalam

pembentukan lahan baru. Akar mangrove mampu mengikat dan menstabilkan

subtrat lumpur, pohonnya mengurangi energi gelombang dan memperlambat arus,

sementara vegetasi secara keseluruhan dapat menahan sedimen (davies and

Claridge, 1993 dalam Noor Rusila, 2006).

Tegakan mangrove menyukai suasana lingkungan yang memungkinkan

terjadinya penimbunan tanah dan perluasan lahan, dengan perakaran yang khas

yang berkembang mengikuti penimbunan tanah yang terjadi (Pramudji, 1996

dalam Arief 2003). Permudaan alam yang berasal dari alam dan keberadaannnya

ditentukan oleh variabel permudaan alam sangat membantu dalam perluasan

lahan baru. Seringkali di kawasan ini terbentuk daratan baru karena adanya

perakaran yang menghunjam ke dalam lumpur pantai sehingga membentuk

dinding vegetasi yang dapat menampung serasah dan lumpur. Oleh karena itu,

tumbuhan mangrove mampu tumbuh secara agresif dan cepat menyebar

menutupi dataran estuaria. Dengan bentuk akar yang rapat mangrove dapat

menangkap lumpur sehingga mendorong pengendapan lumpur serta memperkuat

ketahanan terhadap erosi.

4. Pengetahuan Masyarakat Terhadap Jenis Vegetasi dan Satwa

Deskripsi pengetahuan masyarakat terhadap jenis vegetasi dan satwa

terlihat pada Gambar 3. Pengetahuan masyarakat terhadap jenis dikelompokkan

menjadi dua yaitu pengetahuan terhadap vegetasi dominan dan vegetasi

dilindungi. Parameter pengetahuan terhadap jenis vegetasi dominan dirangkum

menjadi 13 jenis vegetasi dominan yang menyusun kawasan pantai Taman

Nasional Sembilang diantaranya Rhizopora spp (bakau), Avicennia spp (Api-api),

Ceriops sp (tengar), Excoecoria sp (buta-buta), Xylocarpus (Nyirih), Bruguiera

(tumu), Sonneratia sp (pedada), Oncosperma tigilarium (nibung), Casuarina

junghuhniana (cemara laut), Nimpa pructican (Nipah), Pandanus spp (Pandan),

Terminalia catappa (ketapang), Hibiscus sp (waru).

Page 170: 5. sesi  ekonomi dan kemiskinan

ISBN 978-602-98295-0-1

Prosiding Seminar Nasional, 13-14 Desember 2010

1091

0.00%

10.00%

20.00%

30.00%

40.00%

50.00%

60.00%

70.00%

Indikator

Pengetahuan

masyarakat

terhadap vegetasi

dominanPengetahuan

masyarakat

terhadap vegetasi

dilindungiPengetahuan

masyarakat

terhadap primata

dilindungiPengetahuan

masyarakat

terhadap aves

dilindungiPengetahuan

masyarakat

terhadap mamalia

besar dilindungi

Gambar 3. Pengetahuan Masyarakat Terhadap Jenis Vegetasi dan

Satwa

Jumlah jenis yang di kenal masyarakat berkisar antara 5 – 13 jenis

dengan rata-rata yang mereka kenal 6 – 8 jenis. Secara umum semua jenis di

kenal oleh masyarakat tetapi ada lima jenis yang secara keseluruhan masyarakat

mengetahuinya yaitu bakau, api-api, pedada, nibung dan nipah. Jenis ini dikenal

oleh seluruh masyarakat baik laki-laki maupun perempuan. Alasan masyarakat

lebih mengenal dengan jenis ini adalah karena jenis ini berada sangat dekat

dengan tempat pemukiman, bahkan sudah menjadi pemandangan sehari-hari

seperti bakau, pedada, api-api dan nipah sedangkan nibung adalah kayu yang

sering masyarakat manfaatkan untuk tiang bangunan.

Selain vegetasi dominan, pengetahuan masyarakat terhadap jenis

diukur juga pengetahuan masyarakat terhadap vegetasi dilindungi. Hasil

penelitian menunjukkan masyarakat tidak paham dengan jenis vegetasi dilindungi,

hal ini dicirikan dengan nilai yang didapat adalah 21 yang identik dengan 23,33 %.

Jenis yang dijadikan parameter adalah jenis yang ada pada kawasan Taman

Nasional Sembilang yang sudah termasuk katagori langka dan dilindungi PP No. 7

tahun 1999 tentang pengawetan jenis tumbuhan dan satwa. Jenis yang di maksud

adalah Shorea palembanica (tengkawang), Nephentes spp (kantong semar) dan

Dendrobium spp (anggrek jamrud dan anggrek Hartina)

Pengetahuan masyarakat terhadap jenis satwa diukur dengan tiga

indikator yaitu primata, aves dan mamalia besar. Hasil penelitian menunjukkan

masyarakat tidak paham pada satwa dilindungi, hal ini ditunjukkan dengan nilai 10

atau 33,33% untuk primata, 18 atau 60% untuk aves dan 110 atau 30,56% untuk

Page 171: 5. sesi  ekonomi dan kemiskinan

ISBN 978-602-98295-0-1

Prosiding Seminar Nasional, 13-14 Desember 2010

1092

mamalia besar. Pengetahuan masyarakat terhadap primata dan mamalia besar

dilindungi termasuk pada kriteria tidak paham, namun pengetahuan masyarakat

terhadap aves dilindungi masuk pada kriteria cukup paham.

5. Perilaku Masyarakat

Perilaku masyarakat yang diteliti hanya dibatasi pada perilaku masyarakat

dalam memanfaatkan sumberdaya hutan yang termasuk pada hasil hutan kayu

dan bukan kayu. Dari hasil wawancara dan observasi, masyarakat masih

memanfaatkan hasil hutan kayu untuk kayu bakar dan bahan bangunan. Semua

jenis kayu yang ada disekitarnya tanpa dipilih dimanfaatkan oleh masyarakat

untuk kayu bakar, sedangkan kayu yang digunakan untuk bahan bangunan

adalah jenis meranti dan jenis kayu berkelas lainnya, jenis nibung dan nyirih

digunakan masyarakat untuk tiang-tiang rumah. Bahan bangunan yang masih

memerlukan kayu adalah rumah tinggal, sarana ibadah, sekolah, gudang, perabot

rumah tangga dan jembatan. Nibung merupakan jenis kayu yang sangat populer

di kalangan masyarakat pesisir yang pemanfaatannya untuk tiang rumah atau

bangunan lainnya yang terkena pasang surut. Hasil hutan bukan kayu yang

sering dimanfaatkan masyarakat adalah daun nipah yang digunakan untuk atap

dan pengikatnya kadangkala masyarakat menggunakan rotan. Daun nipah

merupakan hasil hutan bukan kayu yang paling banyak dimanfaatkan oleh

masyarakat, bahkan di Desa Maju Ria dan Desa Jati Sari masyarakat hanya

memanfaatkan hasil hutan bukan kayu berupa daun nipah.

DAFTAR PUSTAKA

Arief Arifin. 2003. Hutan Mangrove Fungsi dan Manfaatnya. Kansius.

Yogyakarta Depdiknas. 2008. Kamus Besar Bahasa Indonesia dalam Jaringan. Pusat Bahasa

Departemen Pendidikan Nasional, (http://pusatbahasa.diknas.go.id/kbbi/index.php. Jakarta, diakses 2 Mei 2009).

Gonner, C dan Wibowo, P. 2002. Rencana Pengelolaan 25 Tahun Taman Nasional Sembilang Propinsi Sumatera Selatan (buku-2). Wetlands International Asia Pacific-Indonesia Programme.

Harmoko. 2008. Inventarisasi Vegetasi Hutan Pantai Di Kawasan Taman Nasional Sembilang Kabupaten Banyuasin Sumatera Selatan. Skripsi . Fakultas Pertanian Universitas Muhammadiyah Palembang

Page 172: 5. sesi  ekonomi dan kemiskinan

ISBN 978-602-98295-0-1

Prosiding Seminar Nasional, 13-14 Desember 2010

1093

Muhlisin. 2006. Persepsi Siswa SMP Terhadap Pemanfaatan Zat Aditif Pada Makanan di Kec. Inderalaya Kab. OI. Skripsi. Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan. Unsri.

Noor Rusila Y, M. Khazali, dan I N.N. 2006. Panduan Pengenalan Mangrove di Indonesia. PHKA/WI-IP. Bogor

Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 7 Tahun 1999. Tentang Pengawetan Jenis Tumbuhan dan Satwa.

Peraturan Mentri Kehutanan No.P. 56 tahun 2006. tentang Pedoman Zonasi Taman Nasional Mentri Kehutanan.

Qum Zaidan Marhani. 2007. Persepsi dan Sikap dalam Hubungannya dengan Prilaku Masyarakat Industri Pandai Besi di Desa Limbung Jaya kab. OI (studi kasus masyarakat dalam pengelolaan limbah serbuk besi).

Riduwan. 2002. Varabel-Variabel Penelitian. Alfabeta. Bandung Riyanto, B. 2005. Pemberdayaan Masyarakat Sekitar Hutan Dalam Perlindungan

Kawasan Pelestarian Alam, Lembaga Pengkajian Hukum Kehutanan dan Lingkungan, Bogor.

Rodi Edi. 2007. Hubungan Antara Pengetahuan Tentang Kimia Lingkungan dengan Sikap Mahasiswa Terhadap Lingkung-an Berdasarkan Jenis Kelamin di FKIP Kimia dan FMIPA Kimia UNSRI.

Suharto, Y. 2008. Konservasi Hutan dan Sikap Masyarakat dalam Upaya Pelestarian Hutan di Kecamatan Bubulan Kabupaten Bojonegoro. Universitas Negeri Malang, Jawa Timur, (http://journal.um.ac.id/index.php/ilmu-pengetahuan- osial/article/view/1414. diakses, 24 November 2008)

Suriasumantri, J. S. 1985. Filsafat Ilmu Sebuah Pengantar Popular. Sinar Harapan, Jakarta.

Taman Nasional Sembilang. 2008. Renstra Zonasi Taman Nasional Sembilang. Taman Nasional Sembilang. 2009. Profil Desa Tanah Pilih Kecamatan Banyuasin

II. Undang-Undang Nomor. 5 tahun 1990 Tentang Konservasi Sumberdaya Alam

Hayati dan Ekosistimnya. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 41 tahun 1999 Tentang Kehutanan. Yuningsih, L. 2009. Studi Potensi Masyarakat Dalam Menunjang Pembangunan

Desa Konservasi Pada Daerah Penyangga Taman Nasional Sembilang. Tesis. Pascasarjana. Universitas Sriwijaya

Yuswandi, Hari dan Cahyoadi Bowo. 2003. Pemberdayaan Kelembagaan Tradisional Masyarakat Daerah Penyangga Hutan untuk Pelestarian Taman Nasional Meru Betiri. FISIP Universitas Jember.

Page 173: 5. sesi  ekonomi dan kemiskinan

ISBN 978-602-98295-0-1

Prosiding Seminar Nasional, 13-14 Desember 2010

1094

PEMBERDAYAAN MASYARAKAT MELALUI PROGRAM CORPORATE SOCIAL RESPONSIBILITY (CSR) PT MEDCO E&P INDONESIA

DI KABUPATEN MUSI BANYUASIN SUMATERA SELATAN

Yulian Junaidi dan M. Yamin Hasan

Abstract

This paper is focusing on community empowerment through Corporate Social Responsibility (CSR). The objectives are to Analyze and evaluate community empowerment program that was done PT Medco E & P Indonesia-Rimau Asset in Musi Banyuasin District as part of corporate social responsibility, and Formulate recommendations based on evaluations conducted for the community empowerment program in the future. The method that used in this research is survey method, The samples in this evaluation, using purposive sampling method. Primary data collection method was used is indepth interviews and observation in the field. Secondary data collection is done by a search of documents from parties concerned. The data obtained are grouped according to predetermined parameters, then analyzed by tabulation and descriptive. The research result showed (1) Community empowerment programs conducted by PT Medco E & P Indonesia Rimau Asset-is that corporate social responsibility has a dimension of development grant to explore the potential socioeconomic conditions. (2) Community empowerment through SRI-organic program implemented under the principle of participation and independence. The program has provided benefits to the community include: increasing revenue, improving environmental quality, enhance independence, and establishment of cooperation between communities.(3) Empowering communities through programs duck farm has benefited the community, among others, to increase revenue, increase knowledge and skills. In practice there are several obstacles, among others, the inability of farmers to provide feed during moulting ducks which resulted in some participants withdraw from the program. (4) To strengthen community self-reliance and sustainability of the program required the development of institutional, technical assistance optimally, marketing network, and periodic monitoring and evaluation

A. Latar Belakang

Kehadiran perusahaan skala besar, selain menciptakan pertumbuhan

ekonomi dan kesempatan kerja, juga berdampak negatif pada masyarakat

sekitarnya akibat degradasi lingkungan dan terciptanya dual society karena

beroperasi secara enclave. Degradasi lingkungan akan menurunkan manfaat

sumberdaya alam dan meningkatkan biaya lingkungan, sedangkan dual society

akan menciptakan kecemburuan sosial akibat adanya kesenjangan sosial

ekonomi antara pihak perusahaan dan masyarakat. Dampak tersebut jika tidak

Page 174: 5. sesi  ekonomi dan kemiskinan

ISBN 978-602-98295-0-1

Prosiding Seminar Nasional, 13-14 Desember 2010

1095

dikelola dengan baik akan menimbulkan ledakan konflik yang dapat merugikan

semua pihak. Corporate Social Responsibility (CSR) merupakan komitmen

perusahaan untuk mempertanggungjawabkan dampak operasinya dalam dimensi

sosial, ekonomi dan lingkungan. Konsep CSR bukan hanya charity atau filantropi

yang memberikan hibah sosial untuk mengatasi persoalan dalam jangka pendek,

tetapi merupakan konsep investasi untuk akumulasi modal sosial melalui hibah

pembangunan jangka panjang dengan melakukan pemberdayaan masyarakat.

Menurut Sepahvand (2009), CSR tidak bertentangan dengan tujuan profit

perusahaan, justru CSR merupakan bagian penting dari strategi perusahaan

untuk memaksimalkan keuntungan dalam jangka panjang.

Menurut Suparjan dan Suyatno (2003), kata pemberdayaan masyarakat

sangat terkait erat dengan konsep pembangunan alternatif (alternative

development). Kegagalan pembangunan model pertumbuhan ekonomi dalam

upaya pengentasan kemiskinan ataupun mewujutkan keberlanjutan lingkungan

mendorong lahirnya konsep pembangunan alternatif. Konsep ini, menuntut

adanya demokrasi, pertumbuhan ekonomi yang menjamin kepentingan rankyat

banyak kesamaan gender dan keadilan antar generasi, Self reliance, direct

(participatory) democracy, and melalui proses belajar secara sosial.

Pemberdayaan pada hakekatnya mencakup dua aspek yaitu to give or autbority to

dan to give ability or to enable. Dalam pengertian pertama, pemberdayaan

memiliki makna memberi kekuasaan, mengalihkan kekuatan, dan mendelegasikan

otoritas ke pihak lain. Sedangkan dalam pergertian yang kedua, pemberdayaan

diartikan sebagai upaya untuk memberi kemampuan atau keberdayaan.

Berdirinya PT Medco E&P Indonesia-Rimau Asset di Kabupaten Musi

Banyuasin diawali pada tahun 1996, saat itu masih bernama PT Expan Sumatera.

Pertama kali ditemukannya cadangan minyak yang besar di lapangan Kaji

Semoga, blok Rimau. Pada tahun 2004, tepatnya tanggal 19 April 2004 PT Expan

Sumatera berubah nama menjadi PT Medco E&P Indonesia-Rimau Asset.

Hadirnya perusahaan di tengah masyarakat menyebabkan adanya tanggung

jawab sosial perusahaan (CSR) di sekitar wilayah operasi kerja, sehingga

perusahaan membuat program pemberdayaan masyarakat yang bertujuan untuk

membantu masyarakat di sekitar wilayah kerja agar menjadi lebih mandiri dan

sejahtera.

Page 175: 5. sesi  ekonomi dan kemiskinan

ISBN 978-602-98295-0-1

Prosiding Seminar Nasional, 13-14 Desember 2010

1096

Paper ini merupakan hasil evaluasi program pemberdayaan masyarakat yang

dilakuan PT Medco E&P Indonesia-Rimau Asset pada tahun 2009 dengan dua

kegiatan utama yaitu Program System Rice Intensification (SRI) Organik dan

Program peternakan itik petelur.

B. Tujuan dan Kegunaan B.1. Tujuan 1. Menganalisis dan mengevaluasi program pemberdayaan masyarakat yang

dilakuan PT Medco E&P Indonesia-Rimau Asset pada tahun 2009 sebagai

bagian dari tanggung jawab sosial perusahaan

2. Merumuskan rekomendasi berdasarkan evaluasi yang dilakukan untuk

program pemberdayaan masyarakat dimasa yang akan datang.

B.2. Kegunaan

Hasil evaluasi program pemberdayaan masyarakat diharapkan :

1. Menjadi bahan masukan untuk melaksanakan program pemberdayaan

masyarakat di masa mendatang.

2. Menjadi bahan pertimbangan bagi pemerintah setempat dalam

mensinergikan pembangunan wilayah.

3. Menjadi bahan informasi dan referensi bagi pihak yang terkait dengan

program pemberdayaan masyarakat

C. Metode Evaluasi

Metode yang digunakan dalam evaluasi ini adalah metode survey.

Penentuan sampel dalam evaluasi ini, menggunakan metode Purposive sampling.

Dengan kriteria terlibat dalam program pemberdayaan masyarakat dan mengikuti

seluruh proses yang dianjurkan dalam program ini. Pengumpulan data primer

dilakukan dengan metode wawancara secara mendalam (dept interview) dengan

dipandu dengan daftar pertanyaan, menyebarkan kuisioner yang dibantu oleh

enumerator dan melakukan observasi di lapangan. Sedangkan pengumpulan data

sekunder dilakukan dengan penelusuran dokumen dari pihak yang terkait. Data

yang diperoleh dikelompokkan berdasarkan parameter yang telah ditentukan,

kemudian dianalisis secara tabulasi dan deskriptif.

Page 176: 5. sesi  ekonomi dan kemiskinan

ISBN 978-602-98295-0-1

Prosiding Seminar Nasional, 13-14 Desember 2010

1097

D. Hasil dan Pembahasan

Program System Rice Intensification (SRI) Organik

Program SRI organik yang dilaksanakan oleh PT Medco E&P Indonesia-

Rimau Asset merupakan komitmen perusahaan tersebut dalam Pemberdayaan

Masyarakat dan perbaikan kondisi lingkungan hidup. Program ini dilaksanakan di

Desa Teluk Betung Kecamatan Pulau Rimau Kabupaten Banyuasin. Tujuan dari

program ini adalah melakukan perubahan sistem usahatani padi konvensional

yang menggunakan pupuk dan pestisida kimia menjadi sistem usahatani padi

yang dilakukan secara intensif dengan menggunakan pupuk dan pestisida

organik, sehingga mampu meningkatkan kesejahteraan petani dan perbaikan

lingkungan hidup.

Peserta program pada tahap awal (perencanaan sampai pelatihan)

berjumlah 31 orang, tetapi setelah pelaksanaan program peserta bertambah

menjadi 47 orang. Beberapa petani sekitar wilayah kegiatan ikut menanam padi

SRI walaupun pada awalnya tidak mengikuti pelatihan. Mereka tertarik dengan

program SRI karena melihat keberhasilan budidaya padi dengan system tersebut,

dan adanya pendampingan yang dilakukan pada kegiatan tersebut. Pada kegiatan

evaluasi ini responden yang diwawancarai berjumlah 24 orang atau 51 persen dari

peserta program.

1. Pelaksanaan Kegiatan

Pelaksanaan kegiatan Pemberdayaan Masyarakat melalui program SRI

organik ini diawali dengan perencanaan, sosialisasi, pelatihan, pelaksanaan

program, pendampingan serta monitoring dan evaluasi. Setiap tahapan kegiatan

tersebut melibatkan pihak yang kompeten. Seperti pada Tabel 1 di bawah ini.

Page 177: 5. sesi  ekonomi dan kemiskinan

ISBN 978-602-98295-0-1

Prosiding Seminar Nasional, 13-14 Desember 2010

1098

Tabel 1. Tahapan kegiatan program SRI organik

No. Tanggal Uraian kegiatan Keterangan

1. 23 – 25 Des 2009 Perencanaan dan sosialisasi (pemetaan lahan dan pertemuan)

Hadir 31 orang petani

di Desa Teluk Betung

2. 26 Des 2009 Penyampaian laporan hasil kegiatan pemetaan dan sosialisasi

Ditentukan tgl pelatihan

3. 3-7 Januari 2010 Pelatihan Di PT Medco E&P Desa Sumber

Peserta 36 orang

4. Mulai 21 Jan 2010

Pelaksanaan program (penanaman bibit padi, pembuatan kompos dan pembuat MOL)

Di Desa Teluk Betung Kec. Pulau Rimau Kab. Banyuasin

Masih terus berlangsung sampai sekarang dan telah bertambah menjadi 47 orang

5. 21 Januari 2010 sampai sekarang

Pendampingan Tenaga pendamping 2 orang

Tenaga ahli dari Aliksa

6. Mulai 21 Januari 2010 sampai sekarang

Monitoring dan evaluasi Tenaga ahli dari Aliksa

Tim CD PT Medco

Kegiatan dalam program SRI organik di atas telah memenuhi prinsip

Pemberdayaan Masyarakat. Menurut Tonny (2002), dalam pelaksanaannya

pemberdayaan mengandung dua unsur pokok, yaitu partisipasi dan kemandirian.

Pemberdayaan dilakukan agar anggota kelompok mampu berpartisipasi untuk

mencapai kemandirian.

Kegiatan program SRI organik diawali dengan perencanaan dan sosialisasi,

dimana dalam perencanaan dilakukan secara partisipatif dengan mengajak petani

melakukan pemetaan lahan dan pertemuan untuk membahas rencana kerja

program. Kemudian dilakukan konfirmasi kembali ke calon peserta program

mengenai hasil dari perencanaan tersebut dan pada saat itu juga disepakati

tanggal pelatihan.

Page 178: 5. sesi  ekonomi dan kemiskinan

ISBN 978-602-98295-0-1

Prosiding Seminar Nasional, 13-14 Desember 2010

1099

Kegiatan selanjutnya melakukan pelatihan. Dalam pelatihan ini diajarkan

mengenai prinsip-prinsip dan teknis budidaya SRI organik serta teknik pembuatan

kompos dan Mikro Organisme Lokal (MOL). Tujuan dari pelatihan ini adalah untuk

meningkatkan pengetahuan, sikap, dan keterampilan peserta sehingga mampu

melaksanakan program tersebut secara mandiri. Dalam pelatihan ini PT Medco

E&P Indonesia-Rimau Asset didukung oleh tenaga ahli dari Aliksa Foundation

yang mempunyai kapasitas dan pengalaman dalam Pemberdayaan Masyarakat

melalui program SRI organik. Pentingnya kapasitas pelaku pemberdayaan sejalan

dengan pendapat Sidu (2006), bahwa paradigma baru pemberdayaan menuntut

adanya pelaku pemberdayaan yang memiliki kemampuan dalam menjalankan

tugas-tugasnya di lapangan dengan baik. Mereka tidak hanya dituntut memiliki

pengetahuan dan keterampilan dalam mendesain program pemberdayaan,

melainkan dituntut pula untuk memiliki komitmen yang tinggi terhadap kepentingan

masyarakat, terutama dalam menggali, menumbuhkan, mengembangkan dan

memanfaatkan sumberdaya lokal.

Pada saat pelatihan ini peserta program ditingkatkan kapasitasnya dalam

menggali potensi dan memanfaatkan sumberdaya lokal terutama dalam

pembuatan kompos dan MOL. Bahan-bahan pembuatan kompos terdiri dari sisa-

sisa tanaman dan kotoran hewan yang dipelihara oleh petani, sedangkan MOL

dibuat dari bahan yang ada di lingkungan petani seperti buah maja atau labu kayu,

kulit jengkol, rebung, nasi, bonggol pisang dan keong. MOL ini digunakan sebagai

pengurai kompos dan zat perangsang tumbuh.

Dalam pelaksanaan program, sejak pengolahan lahan, pembuatan bibit,

penanaman, serta pembuatan kompos dan MOL dilakukan sendiri oleh

masyarakat secara swadaya. PT Medco E&P Indonesia-Rimau Asset hanya

menyediakan pendamping 2 orang yang berasal dari Aliksa Foundation untuk

mengawal proses pelaksanaan program. Pendamping tersebut ditempatkan

bersama masyarakat untuk mengatasi persoalan yang muncul dan terus menerus

memberikan motivasi kepada masyarakat. Dengan motto ―Sabar, Ridho, Ikhlas‖

pendamping meyakinkan masyarakat bahwa program SRI ini dapat memberikan

hasil akhir berupa kesejahteraan, kemandirian dan perbaikan kualitas lingkungan

hidup.

Page 179: 5. sesi  ekonomi dan kemiskinan

ISBN 978-602-98295-0-1

Prosiding Seminar Nasional, 13-14 Desember 2010

1100

Kemandirian masyarakat ini terbangun karena program dilaksanakan

berdasarkan prinsip partisipasi. Menurut Bessette (2004), partisipasi dibutuhkan

untuk mendapatkan dukungan masyarakat dalam proyek pembangunan yang

didefinisikankan oleh pemerintah, LSM atau para ahli. Indikator partisipasi yang

baik apabila rakyat mengambil tanggungjawab untuk melaksanakan inisiatif

pembangunan. Hal ini berarti rakyat tidak hanya mengambil bagian dalam

aktivitas-aktivitas yang ada, tetapi juga dalam proses pengambilan keputusan dari

seluruh rangkaian inisiatif pembangunan, mulai dari perencanaan, pelaksanaan,

sampai monitoring dan evaluasi.

Kegiatan monitoring dilakukan secara berkala oleh PT Medco E&P

Indonesia-Rimau Asset dan tenaga ahli dari Aliksa Foundation. Monitoring ini

dilaksanakan untuk melihat apakah program tersebut dapat berjalan sesuai

dengan yang direncanakan. Dari hasil monitoring ini terdapat beberapa kendala

dalam pelaksanaan SRI Organik antara lain: di beberapa lahan, ketinggian air

pasang sulit dikendalikan sehingga menenggelamkan bibit padi yang baru

ditanam, selain itu adanya serangan hama yang merusak sebagian tanaman.

Untuk mengatasi masalah ini pendamping menyarankan kepada petani untuk

menanam ulang tanaman tersebut dan membuat perangkap hama.

2. Manfaat bagi Masyarakat

Program SRI organik telah memberikan manfaat pada masyarakat. Manfaat

program SRI organik yang dirasakan masyarakat antara lain mengatasi masalah

sosial ekonomi, menumbuhkan kemandirian, dan membangun kerjasama dalam

masyarakat.

Masalah ekonomi yang dihadapi petani antara lain kurangnya modal dalam

membeli input produksi seperti pupuk dan pestisida kimia. Keterbatasan modal ini

dikarenakan produktivitas lahan sudah semakin menurun dan tingginya biaya

produksi sehingga pendapatan usahatani menjadi rendah. Pendapatan yang

rendah ini mengakibatkan petani sering tidak mampu membeli input produksi.

Program SRI organik mampu menyelesaikan persoalan sosial ekonomi

masyarakat karena semua input produksi dibuat sendiri oleh petani. Selain itu

produktivitas lahan meningkat karena penggunaan pupuk organik dan mikro

organisme lokal (MOL). Produksi yang dihasilkan dari sistem SRI ini mencapai

Page 180: 5. sesi  ekonomi dan kemiskinan

ISBN 978-602-98295-0-1

Prosiding Seminar Nasional, 13-14 Desember 2010

1101

antara 6 - 8 ton gabah kering panen (GKP)per hektar. Sedangkan dengan

menggunakan sistem konvensional yang dilakukan sebelumnya hanya mencapai

3-4 ton GKP per hektar. Dengan peralihan sistem konvensional ke sistem SRI

organik dapat meningkatkan produktifitas lahan dua kali lipat dari sebelumnya.

Peningkatan produktifitas tersebut tentunya akan diikuti dengan peningkatan

pendapatan petani secara proporsional dengan asumsi harga output tetap.

Kegiatan pelatihan dan pendampingan yang dilakukan dalam program ini

telah mampu menumbuhkan kemandirian masyarakat. Hal ini terlihat dari petani

secara swadaya menyediakan tenaga, bahan dan alat yang diperlukan dalam

penanaman padi, pembuatan kompos dan MOL. Dalam pelaksanaan program ini

PT Medco E&P Indonesia-Rimau Asset tidak memberikan bantuan berupa uang

dan barang. Pembuatan rumah kompos dan pembelian alat seperti gentong untuk

pembuatan MOL dibeli sendiri oleh petani. Selain itu, pendamping dan tenaga ahli

yang disediakan perusahaan telah mampu meningkatkan kapasitas petani

membuat kompos dan MOL dari berbagai bahan yang ada disekitar petani

sehingga petani tidak lagi tergantung dari input luar yang harganya semakin

mahal. Dengan kemandirian yang sudah dibangun sejak awal ini sebagian besar

petani mengungkapkan akan tetap melanjutkan program ini ditahun-tahun

mendatang, tetapi masih berharap mendapatkan pendampingan dari perusahaan,

terutama dalam mengembangkan potensi ekonomi yang ada di pedesaan terkait

dengan model pertanian terpadu yang berkelanjutan.

Program SRI organik ini juga telah menumbuhkan kerjasama di dalam

masyarakat. Keterlibatan berbagai etnis yang ada di wilayah ini seperti etnis Jawa,

Sumsel, Bugis, Sunda telah mendorong terjalinya integrasi masyarakat, selain itu

adanya pihak ketiga untuk mendukung program ini juga bermanfaat dalam

membangun jaringan kerjasama antara petani dan pihak-pihak lain. Hanya saja

kelembagaan petani belum terbangun dengan baik. Menurut Uphoff (1986),

kelembagaan lokal harus dikembangkan karena sangat erat kaitannya dengan

pengembangan kapasitas manusia dan pembangunan perdesaan. Terminologi

kelembagaan ini merujuk pada persoalan struktur, prosedur, dan kemampuan

kinerja yang abstrak. Kelembagaan tersebut dibangun dari pikiran orang-orang,

keahlian, motivasi, dan kemampuan personal. Sedangkan pengertian lokal

hampir selalu disamakan dengan community level (tingkat desa), walaupun untuk

Page 181: 5. sesi  ekonomi dan kemiskinan

ISBN 978-602-98295-0-1

Prosiding Seminar Nasional, 13-14 Desember 2010

1102

beberapa tempat karena kepentingan pengorganisasian, tingkatannya dapat

diturunkan menjadi group level atau dinaikkan menjadi locality level (beberapa

desa yang mempunyai kesatuan sosial ekonomi).

Program Peternakan Itik Petelur

Program peternakan itik petelur merupakan salah satu kegiatan

Pemberdayaan Masyarakat yang telah dilaksanakan oleh PT Medco E&P

Indonesia-Rimau Asset yang dimulai dari tahun 2009 di sekitar wilayah operasi

perusahaan. Program tersebut bertujuan memberikan pengetahuan mengenai

cara beternak itik yang baik dan benar kepada masyarakat, selain itu diharapkan

juga dapat memahami teknologi yang lebih baik mengenai beternak itik.

Bentuk kegiatan yang dilakukan adalah pemberian paket bantuan ternak itik

petelur. Paket bantuan tersebut terdiri dari itik yang siap bertelur, pembuatan

kandang dan pemberian pakan selama 2 (dua) bulan. Selain itu diberikan juga

pelatihan peternakan itik petelur bagi petani tentang teknik budidaya, penyediaan

pakan dan pengolahan pasca panen. Melalui paket bantuan ini diharapkan dapat

meningkatkan pendapatan, taraf hidup dan lapangan pekerjaan masyarakat

sehingga terjadi kemandirian secara ekonomi. Program peternakan itik petelur

dilaksanakan di beberapa daerah antara lain di Dusun Tabuan (Kecamatan

Betung) dan Desa Langkap (Kecamatan Sungai Lilin).

1. Pelaksanaan Kegiatan

Program peternakan itik petelur merupakan salah satu kegiatan

Pemberdayaan Masyarakat yang dilaksanakan di beberapa daerah di sekitar

wilayah kerja PT Medco E&P Indonesia– Rimau Asset, di antaranya di Dusun

Tabuan (Kecamatan Betung) dan Desa Langkap (Kecamatan Sungai Lilin).

Program ini merupakan kompensasi atas hilangnya kesempatan kerja akibat

lahannya digunakan untuk kegiatan operasional perusahaan.

Berdasarkan data perusahaan, langkah awal yang dilakukan adalah

mengidentifikasi permasalahan yang ada di masyarakat. Hal tersebut dilakukan

untuk mengetahui kondisi masyarakat dan lingkungannya, problematika yang ada,

pihak-pihak yang berpengaruh dalam masyarakat serta karakteristik masyarakat.

Page 182: 5. sesi  ekonomi dan kemiskinan

ISBN 978-602-98295-0-1

Prosiding Seminar Nasional, 13-14 Desember 2010

1103

Hasil dari pra-kondisi dan penjajakan kebutuhan tersebut didiskusikan dengan

masyarakat dan pemerintah setempat. Tahapan selanjutnya adalah perusahaan

menyusun Work, Program and Budget (WP&B) tahunan. Setelah itu, perusahaan

menerima proposal dari masyarakat dan melakukan pengecekan informasi pada

proposal tersebut. Dari hasil evaluasi pada tahap perencanaan, perusaan telah

merencanakan program secara partisipatoris dengan memperhitungkan

keragaman masyarakat dan telah sesuai dengan Standar Operating Procedure

(SOP).

PT Medco E&P Indonesia–Rimau Asset telah melakukan kesepahaman

bersama (Memorandum of Understanding-MoU) dengan pemerintah dan pihak-

pihak lain. Kesepahaman bersama tersebut dilakukan agar sejalan dengan

program atau kegiatan pembangunan pemerintah atau pihak lain. Dengan

demikian, diharapkan dapat menjadi komplemen dan suplemen dari kegiatan

pembangunan yang dilakukan pemerintah atau pihak lain. Begitupun juga dengan

program peternakan itik petelur sudah sejalan dengan program atau kegiatan

pembangunan pemerintah Kabupaten Musi Banyuasin.

Program dan kegiatan Pemberdayaan Masyarakat peternakan itik petelur

yang dilakukan oleh PT Medco E&P Indonesia–Rimau Asset sudah dilakukan

bersama-sama dengan masyarakat dan pihak lain yang berkompetensi.

Masyarakat dalam hal ini khususnya adalah peserta program, misalnya kelompok

peternak Tabuan (Dusun Tabuan), Sehati (Desa Langkap), Mitra Bersama (Desa

Langkap). Untuk pelaksanaan kegiatan ini, perusahaan bekerjasama dengan

pihak yang berkompetensi di bidang peternakan, yaitu Agro Techno Park (ATP) di

Sumatera Selatan.

Jumlah karyawan atau personil PT Medco E&P Indonesia–Rimau Asset yang

mengurusi program pemberdayaan masyarakat hanya berjumlah empat orang

termasuk supervisor. Selain mengerjakan tugas-tugas untuk Pemberdayaan

Masyarakat, karyawan tersebut juga melaksanakan tugas-tugas kehumasan.

Dengan sedikitnya jumlah personil dan adanya kelebihan beban kerja (overload),

maka kegiatan pendampingan dan pemantauan pada program itik petelur yang

dilakukan oleh perusahaan tidak bisa secara rutin. Oleh karena itu, untuk kegiatan

pendampingan dan pemantauan, perusahaan menjalin kerjasama lagi dengan

pihak luar, yaitu ATP.

Page 183: 5. sesi  ekonomi dan kemiskinan

ISBN 978-602-98295-0-1

Prosiding Seminar Nasional, 13-14 Desember 2010

1104

Untuk melihat keberhasilan dari program dan kegiatan Pemberdayaan

Masyarakat yang telah dilakukan selama satu tahun, perusahaan melakukan

evaluasi secara internal. Dari hasil pemantauan dan evaluasi dapat diketahui

kesalahan dan hambatan yang terjadi dalam pelaksanaan program peternakan itik

petelur. Selain itu, hasil dari evaluasi tahunan tersebut digunakan untuk

memperbaiki program tersebut di masa datang.

Hasil survei di lapangan menunjukkan bahwa dalam program itik petelur,

pihak perusahaan belum memanfaatkan sumberdaya alam lokal yang bisa

dimanfaatkan sebagai sumber pakan ternak itik, seperti buah karet dan keong. Hal

ini menyebabkan peternak harus membeli pakan ternak. Kondisi tersebut menjadi

hambatan peternak terutama saat terjadi masa moulting (rontok bulu). Masa

moulting yang dialami itik terjadi selama kurang lebih dua bulan. Selama kurun

waktu tersebut itik tidak menghasilkan telur, ini artinya tidak ada penerimaan yang

didapatkan oleh peternak. Sedangkan biaya produksi, terutama untuk pakan harus

terus dikeluarkan. Pada saat moulting, banyak peserta program peternakan itik

petelur yang mengundurkan diri karena tidak mampu membeli pakan. Melihat

kendala yang dihadapi dalam pelaksanaan program peternakan itik petelur

tersebut, untuk selanjutnya sebaiknya perusahaan lebih memperhatikan

sumberdaya alam lokal yang dapat digunakan sebagai pakan.

Selain memperhatikan sumberdaya alam lokal sebagai pakan, perusahaan

juga harus mengajarkan peternak mengenai manajemen produksi yang baik

dalam usaha ternak itik petelur, misalnya memanajemen untuk mengatasi

masalah moulting. Pada saat moulting, itik tidak memproduksi telur sehingga

petani tidak mendapatkan pendapatan. Solusi dari permasalahan tersebut

sebaiknya perusahaan memberikan bantuan itik secara bertahap agar masa

moulting tidak terjadi secara bersamaan.

Kendala lain yang dihadapi peserta program adalah kurangnya

pendampingan. Pendampingan untuk program itik petelur hanya dilakukan satu

bulan sekali, sehingga masyarakat tidak dapat berkonsultasi apabila ada

permasalahan dalam usaha itik petelurnya. Solusi dari kendala ini adalah

sebaiknya perusahaan memiliki tenaga ahli khusus yang siap mendampingi

masyarakat yang diberikan bantuan sampai masyarakat tersebut bisa mandiri.

Page 184: 5. sesi  ekonomi dan kemiskinan

ISBN 978-602-98295-0-1

Prosiding Seminar Nasional, 13-14 Desember 2010

1105

2. Manfaat bagi Masyarakat

Menurut Servaes dalam White (2004), pemberdayaan adalah usaha untuk

menjamin bahwa rakyat mampu menolong diri mereka sendiri. Dengan adanya

program Pemberdayaan Masyarakat yang dilakukan oleh perusahaan misalnya

program peternakan itik petelur ini, diharapkan dapat membuat masyarakat

mandiri secara sosial ekonomi. Dalam pelaksanaannya, program peternakan itik

petelur yang telah dilaksanakan oleh perusahaan, dilihat secara Pemberdayaan

Masyarakat dapat dikatakan kurang berhasil. Hal ini dapat dilihat dengan adanya

sebagian masyarakat yang mengundurkan diri karena tidak mampu membeli

pakan pada saat itiknya rontok bulu (moulting), tidak dimanfaatkannya

sumberdaya alam lokal untuk pakan, belum adanya manajemen produksi yang

baik, dan tidak optimalnya pendampingan.

Meskipun demikian, program itik petelur telah memberikan manfaat untuk

peserta yang masih mengikuti program tersebut. Hal ini dapat dilihat dari

kontribusi pendapatan usaha itik petelur sebesar rata-rata Rp. 446.139,- per

bulan. Analisis pendapatan usaha ternak itik petelur dalam program ini dapat

dilihat pada Tabel 2.

Tabel 2. Rata-rata produksi, harga, penerimaan, biaya dan pendapatan peternak itik petelur

Uraian Rata-rata per Bulan Rata-rata per Tahun

Produksi (butir) 564 16.917

Harga (Rp/butir) 1.400 1.400

Penerimaan (Rp) 764.028 22.920.833

Biaya (Rp) 317.889 9.536.667

Pendapatan (Rp) 446.139 13.384.167

Sumber: data primer yang diolah

Manfaat lain yang diperoleh masyarakat dengan adanya program peternakan

itik petelur ini adalah meningkatnya keterampilan masyarakat. Paket bantuan

peternakan itik petelur tidak hanya terdiri dari material yang dibutuhkan saja tetapi

juga termasuk pelatihan peternakan itik petelur tentang teknik budidaya, pakan

Page 185: 5. sesi  ekonomi dan kemiskinan

ISBN 978-602-98295-0-1

Prosiding Seminar Nasional, 13-14 Desember 2010

1106

dan pengolahan pasca panen. Dengan adanya pelatihan tersebut, keterampilan

dan pengetahuan masyarakat menjadi bertambah.

E. Kesimpulan dan Saran

Kesimpulan

1. Program pemberdayaan masyarakat yang dilakukan oleh PT Medco E&P

Indonesia-Rimau Asset merupakan tanggung jawab sosial perusahaan yang

berdemensi hibah pembangunan untuk menggali potensi sosial ekonomi

masyarakat.

2. Pemberdayaan masyarakat melalui program SRI organik dilaksanakan

berdasarkan prinsip partisipasi dan kemandirian. Program tersebut telah

memberikan manfaat bagi masyarakat antara lain: meningkatkan

pendapatan, memperbaiki kualitas lingkungan hidup, meningkatkan

kemandirian, dan terjalinnya kerjasama antar masyarakat.

3. Pemberdayaan masyarakat melalui program itik petelur telah memberikan

manfaat bagi masyarakat antara lain peningkatan pendapatan, menambah

pengetahuan dan keterampilan. Dalam pelaksanaannya terdapat beberapa

kendala antara lain ketidakmampuan peternak dalam menyediakan pakan

pada masa itik moulting yang mengakibatkan sebagian peserta

mengundurkan diri dari program tersebut.

Saran

1. Untuk memantapkan kemandirian masyarakat dan keberlanjutan program

diperlukan pengembangan kelembagaan, khususnya ditingkat lokal seperti

kelompok tani, kelompok wanita tani, dan koperasi.

2. Perlu adanya pendampingan secara optimal dalam program petelur itik

petelur agar masyarakat mampu mengelola usaha itik petelurnya dengan

baik, misalnya perlu adanya pelatihan pembuatan pakan dengan

memanfaatkan sumberdaya alam lokal, pelatihan manajemen produksi dan

manajemen keuangan.

3. Perlu dibangun jaringan pemasaran khusus untuk beras organik dan telur

agar mendapatkan harga yang lebih layak sehingga usaha tersebut dapat

berkelanjutan.

Page 186: 5. sesi  ekonomi dan kemiskinan

ISBN 978-602-98295-0-1

Prosiding Seminar Nasional, 13-14 Desember 2010

1107

4. Perlu dilakukan monitoring dan evaluasi secara berkala untuk memperbaiki

kelemahan dan meningkatkan keberhasilan program pemberdayaan

masyarakat

DAFTAR PUSTAKA

Bessette, G. 2004. Involving The Community, A Guide to Participatory Development Communication. International Develovment Research Centre. Jointly Published by Southbound, Penang, Malaysia.

Sepahvand, M. 2009. Analyzing The Concept of Corporate Social Responsibility: with the monetary and ethical approach. http://www.essays.se/essay/20677c6bda/

Sidu, D. 2006. Pemberdayaan Masyarakat Sekitar Kawasan Hutan Lindung Jompi Kabupaten Muna, Provinsi Sulawesi Tenggara. Disertasi. Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor (Tidak dipublikasikan).

Suparjan dan Suyatno, H. 2003. Pengembangan Masyarakat, Dari pembangunan Sampai Pemberdayaan. Aditya media, Jakarta.

Tonny. F. 2002. Pengembangan Masyarakat, Creating Community Alternatives – Vision, Analisis and Practice . Institut Pertanian Bogor, Bogor.

Uphoff, N. 1986. Local Institutional Development. Kumarian Press, West Harford, Connecticut.

White, R. A. 2004. Is ‗Empowerment‘ The Answer? : Current Theory And Research On Development Communication. Gazette: The International Journal For Communication Studies Copyright © Sage Publications.London, Thousand Oaks & New Delhi 0016-5492 Vol 66(1): 7–24. Doi: 10.1177/0016549204039939. Www.Sagepublications.Com

Page 187: 5. sesi  ekonomi dan kemiskinan

ISBN 978-602-98295-0-1

Prosiding Seminar Nasional, 13-14 Desember 2010

1108

HUBUNGAN MODAL SOSIAL DAN MODAL MANUSIA DENGAN TINGKAT PENDAPATAN PETANI KARET DI KECAMATAN TANJUNG BATU

KABUPATEN OGAN ILIR

Nukmal Hakim1, Henny Malini2, Selly Oktarina3

Jurusan Sosial Ekonomi Pertanian Fakultas Pertanian Universitas Sriwijaya Jl Palembang- Prabumulih Km 32 Indralaya OI, 30662

ABSTRAK

Hubungan Modal Sosial dan Modal Manusia dengan Tingkat Pendapatan Petani karet di Kecamatan Tanjung Batu Kabupaten Ogan Ilir, tujuan dari penelitian ini adalah Menganalisis berapa besar Modal Sosial dan Modal Manusia yang dimiliki petani karet dan Menghitung pendapatan Petani Karet, serta menganalisis hubungan modal manusia dan modal sosial dengan tingkat pendapatan Petani Karet dan Mengidentifikasi upaya yang dilakukan oleh petani karet di Kecamatan Tanjung Batu Kabupaten Ogan Ilir didalam meningkatkan Modal Sosial dan Modal Manusia. Metode penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode survey.

Modal Sosial yang dimiliki oleh petani karet di Kelurahan Tanjung Batu ini adalah sebesar 45,57 yang berada pada kriteria sedang dan Modal Manusia yang dimiliki oleh petani karet ini adalah sebesar 14,36 yang juga berada pada taraf atau kriteria sedang. Rata-rata pendapatan usahatani karet petani karet di Kelurahan Tanjung Batu ini adalah sebesar Rp. 32.305.181,41 per hektar/thn dan pendapatan totalnya rata-rata 35.051.848,07 per tahunnya. Hasil uji korelasi dengan menggunakan alat uji korelasi Spearman menunjukkan bahwa tidak terdapat hubungan antara modal sosial petani dengan pendapatan petani karet di Kelurahan Tanjung Batu Kecamatan Tanjung Batu Kabupaten Ogan Ilir, artinya semakin tinggi modal sosial petani maka tidak akan mempengaruhi pendapatan petani begitu pun juga sebaliknya.

Hasil uji korelasi dengan menggunakan uji korelasi Sperarman juga, menunjukkan bahwa tidak ada hubungan antara modal manusia dengan tingkat pendapatan petani karet di kelurahan Tanjung Batu Kabupaten Ogan Ilir

Upaya-upaya yang dilakukan untuk meningkatkan modal sosial yaitu dengan memperbanyak interaksi sosial dengan masyarakat lingkungan setempat dan lingkungan luar sehingga akan memperoleh masukan-masukan yang bermanfaat dan upaya untuk meningkatkan modal manusia yaitu dengan rajin mengikuti pelatihan maupun kursus-kursus yang bermanfaat untuk kehidupan mereka, senantiasa menjaga kesehatan diri maupun lingkungan.

1,2, 3 Staf Dosen Jurusan Sosial Ekonomi Pertanian Unsri

Page 188: 5. sesi  ekonomi dan kemiskinan

ISBN 978-602-98295-0-1

Prosiding Seminar Nasional, 13-14 Desember 2010

1109

PENDAHULUAN

Kontribusi tanaman karet dalam perekonomian Sumatera Selatan, antara

lain sebagai sumber pendapatan dan pekerjaan bagi 450.856 Kepala Keluarga

(Dinas Perkebunan Provinsi Sumatera Selatan, 2008) dan memberikan

kontribusi yang cukup besar dalam menghasilkan devisa bagi perekonomian di

Sumatera Selatan. Tahun 2007 volume ekspor karet Sumatera Selatan

sebesar 592.134,92 Ton dengan nilai US $ 1.133.051,680 atau memberikan

kontribusi 79,53 % dari total ekspor komoditi perkebunan sebesar US $

1.424.663,920 (Dinas Perindustrian dan Perdagangan Provinsi Sumatera

Selatan, 2008).

Bappeda Kabupaten Ogan Ilir (2007) menyatakan bahwa pendapatan

penduduk tertinggi adalah berasal dari usaha kebun karet dan perdagangan

yang dapat mencapai Rp. 9,5 juta perkapita per tahun, sedangkan

pendapatan terendah adalah penduduk dengan usahatani padi lebak dan ikan

tangkap. Kenyataan ini menunjukkan pentingnya sektor perkebunan karet di

wilayah Kabupaten Ogan Ilir, khususnya di karena adalah salah satu sentra

pengembangan karet, akan tetapi apabila dilihat dari harga yang diterima oleh

petani, maka keuntungannya yang diterima oleh petani masih sangat jauh

sekali bila dibandingkan dengan keuntungan yang diterima oleh pihak lain,

harga yang diterima oleh petani masih sangat rendah hal ini disebabkan masih

rendahnya mutu bokar yang dihasilkan oleh petani, selain faktor penyebab

lainnya adalah hubungan sosial petani (modal sosial) dengan pihak lainnya dan

modal manusianya.

Modal sosial berpengaruh kuat pada perkembangan sektor-sektor ekonomi

lainnya seperti sektor perdagangan, jasa, konstruksi, pariwisata dan beberapa

yang lain. Apapun pembangunan ekonomi yang dilakukan, faktor trust,

reciprocity, positive externalities, dan nilai-nilai etis merupakan penopang yang

akan menentukan perkembangan dan keberlanjutan beragam aktifitas usaha di

setiap sektor perekonomian (Mawardi M, 2007)

Disamping modal sosial, modal manusia (pendidikan, kesehatan dan

interaksi sosial) pun sangat kuat pengaruhnya terhadap perkembangan sektor-

sektor ekonomi.

Page 189: 5. sesi  ekonomi dan kemiskinan

ISBN 978-602-98295-0-1

Prosiding Seminar Nasional, 13-14 Desember 2010

1110

Melihat kenyataan di atas, maka peneliti tertarik untuk melakukan

penelitian tentang hubungan antara modal sosial dan modal manusia dengan

tingkat pendapatan petani karet di Kecamatan Tanjung Batu Kabupaten Ogan

Ilir.

METODE PENELITIAN

A. Tempat dan Waktu Penelitian

Penelitian ini telah dilaksanakan di Kecamatan Tanjung Batu Kabupaten

Ogan Ilir, Karena mengingat Kecamatan ini merupakan salah satu dari

beberapa Kecamatan di Kabupaten Ogan Ilir Sumatera Selatan yang sebagian

besar masyarakatnya mempunyai mata pencaharian sebagai petani karet.

Waktu penelitian pada Bulan Juni sampai dengan Desember 2010

B. Metode Penelitian

Metode penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode

survey. Metode survey ini diharapkan dapat memperoleh informasi mengenai

fakta yang terjadi di lapangan dengan cara melakukan penarikan sampel untuk

mewakili populasi dan mengumpulkan data melalui wawancara langsung

kepada responden dengan berpedoman kepada kuisioner.

C. Metode Penarikan Contoh

Metode penarikan contoh pada penelitian ini adalah metode acak

sederhana (Simple Random Sampling) terhadap petani karet yang ada di

Kecamatan Tanjung Batu Kabupaten Ogan Ilir. Hal ini bertujuan agar seluruh

petani karet tersebut memiliki peluang yang sama untuk dipilih sebagai sampel

dalam penelitian ini. Sampel yang diambil berjumlah 30 orang dari populasi

sejumlah 104 orang.

D. Metode Pengumpulan Data

Data yang dikumpulkan didalam penelitian ini adalah data primer dan

data sekunder. Data primer merupakan data yang diperoleh berdasarkan

wawancara langsung dengan petani karet di Kecamatan Tanjung Batu dengan

Page 190: 5. sesi  ekonomi dan kemiskinan

ISBN 978-602-98295-0-1

Prosiding Seminar Nasional, 13-14 Desember 2010

1111

menggunakan daftar pertanyaan yang telah dipersiapkan (Quesioner) dan

dilanjutkan dengan observasi lapangan dalam mempertajam penilaian. Data

sekunder diperoleh dari instansi/ lembaga Pemerintah yang menjadi sampel

didalam penelitian ini.

E. Metode Pengolahan Data

Data yang diperoleh dari lapangan diolah secara tabulasi dan diuraikan

secara deskriptif yaitu dengan memaparkan hasil dalam bentuk uraian yang

sistematis pada pembahasan. Adapun untuk menjawab tujuan pertama yaitu

mengukur modal sosial dan Modal Manusia yang dimiliki petani karet di

Kecamatan Tanjung Batu Kabupaten Ogan Ilir dilihat dari 4 indikator, yaitu

partisipasi dalam suatu jaringan, resiprositas, kepercayaan, dan norma sosial.

Indikator-indikator tersebut kemudian dikelompokkan ke dalam interval kelas

dengan pemberian skor 3 untuk kriteria tinggi, skor 2 untuk kriteria sedang, dan

skor 1 untuk kriteria rendah.

Untuk menjawab pertanyaan kedua yaitu menghitung pendapatan

usahatani karet petani karet di Kecamatan Tanjung Batu yaitu dengan

menggunakan rumus

Pn = Y x Hy

Bp = Bt + Bv

PdU = Pn – Bp

Pdtotal= PdU + Pd non-U

Dimana:

Pn = Penerimaan petani (Rp/Ha/Th)

PdU = Pendapatan usahatani (Rp/Ha/Th)

Bp = Biaya produksi (Rp/Ha/Th)

Bt = Biaya total (Rp/Ha/Th)

Bv = Biaya variabel (Rp/Ha/Th)

Hy = Harga jual hasil produksi (Rp/Ha/Th)

Y = Produksi karet (Kg/Ha/Th)

Pdtotal = Pendapatan Total (Rp/Th)

PdnonU = Pendapatan non-usahatani (Rp/Th)

(Hernanto, 1996).

Page 191: 5. sesi  ekonomi dan kemiskinan

ISBN 978-602-98295-0-1

Prosiding Seminar Nasional, 13-14 Desember 2010

1112

Untuk menjawab tujuan ketiga yaitu menganalisis hubungan modal sosial dan

modal manusia dengan tingkat pendapatan dengan menggunakan dilakukan uji

Statistik Koefisien Peringkat Spearman dengan taraf nyata 0,05 dan dipaparkan

dalam bentuk uraian secara sistematis.

Untuk menjawab pertanyaan terakhir yaitu mengidentifikasi upaya-upaya

yang dilakukan oleh petani karet di Kecamatan Tanjung Batu yaitu diolah

secara tabulasi dan di analisis secara deskriptif dan mendalam.

C. Modal Sosial

Di era kemajuan teknologi komunikasi dan informasi seperti sekarang ini

keberhasilan seseorang tidak hanya ditentukan oleh modal dalam bentuk fisik

saja seperti jalan, bangunan, lahan, kendaraan dan modal fisik lainnya, tetapi

modal sosial dan modal manusia memegang peranan penting didalam

meningkatkan pendapatan petani di suatu daerah.

Dari Hasil Penelitian terhadap Petani Karet di Kelurahan Tanjung Batu,

maka rata-rata modal Sosial yang dimiliki oleh petani di Kelurahan Tanjung

Batu ini adalah tergolong sedang dengan skor 45,57. didalam penelitian ini

modal sosial diukur dari indikator partisipasi dalam suatu jaringan (networks),

kepercayaan(trust), resipirositas (Recipirocity), dan Norma Sosial.

Perbandingan rata-rata tingkat modal sosial petani contoh yaitu petani karet

yang tergabung dalam kelompok Tani P4S ini dapat dilihat pada Tabel 1 berikut

ini.

Tabel 1. Rata-rata tingkat modal sosial petani contoh, 2010

No. Modal Sosial Skor Kriteria

1 Partisipasi dalam suatu jaringan (Networks)

10,17 S

2 Resiprositas (Reciprocity) 11,70 T 3 Kepercayaan (Trust) 13,00 T 4 Norma sosial (Norms) 10,70 S

Jumlah 45,57 S

Berdasarkan Tabel 1 diketahui bahwa secara umum modal sosial yang

dimiliki oleh petani contoh di Kelurahan Tanjung Batu ini pada kriteria sedang.

Kualitas modal sosial dibangun oleh indikator partisipasi dalam suatu jaringan,

Resiprositas, kepercayaan, dan norma sosial. Partisipasi petani contoh didalam

suatu jaringan, serta norma sosial yang dimiliki oleh petani contoh tergolong

Page 192: 5. sesi  ekonomi dan kemiskinan

ISBN 978-602-98295-0-1

Prosiding Seminar Nasional, 13-14 Desember 2010

1113

dalam kriteria sedang. Resiprositas dan Kepercayaan petani contoh tergolong

dalam kriteria tinggi.

Secara umum tingkat partisipasi yang terbangun pada petani contoh

tergolong dalam kriteria sedang dengan nilai skor 10,17.

Partisipasi petani contoh dalam suatu jaringan berhubungan dengan

keaktifan dalam organisasi dan jangkauan hubungan sosial atau pergaulan

antar masyarakat. Pada umumnya petani hanya mau berpartisipasi pada

lembaga yang ada hubungannya dengan kegiatan produksi pertanian saja,

sedangkan partisipasi petani contoh pada lembaga-lembaga sosial lainnya

maupun lembaga politik sangat terbatas.

Resipirositas atau sering disebut juga solidaritas petani contoh dapat

dilihat dari bagaimana petani contoh membantu penyelenggaraan acara

tetangga, kegiatan jaga malam, dan kegiatan gotong royong pembersihan

siring. Pengukuran terhadap ketiga bentuk resiprositas tersebut berada pada

kriteria tinggi dengan skor 11,70. hal ini berarti solidaritas yang terbentuk dari

petani terhadap kerabat dan lingkungan petani contoh tergolong tinggi. Di

Kelurahan Tanjung Batu ini suasana keakraban antar tetanga dan lingkungan

sangat terasa sekali. Hal ini dapat dilihat dari antusiasme mereka didalam

membantu anggota dari masyarakat yang mempunyai hajatan, dan juga bisa

dilihat dari bagaimana mereka mau secara bergiliran didalam kegiatan jaga

malam untuk keamanan lingkungan di daerah mereka serta gotong royong atau

saling tolong menolong demi kepentingan mereka bersama.

Tingkat kepercayaan (trust) petani contoh di Kelurahan Tanjung Batu ini

tergolong tinggi dengan skor 13,00. Hal ini dapat dilihat dari bagaimana mereka

menaruh kepercayaan pada sesama warga masyarakat di lingkungan mereka,

kepada para tokoh masyarakat, tokoh-tokoh adat setempat, ketua organisasi/

kelompok yang mereka ikut serta dalam keanggotaannya, para penyuluh

lapangan dan pemerintah setempat.

Bentuk-bentuk norma sosial yang diteliti pada penelitan ini adalah

bagaimana tingkat kepatuhan petani contoh terhadap lembaga adat setempat,

bagaimana kepatuhan mereka terhadap perjanjian bagi hasil antara pemilik dan

penggarap usahatani karet petani contoh, kepatuhan terhadap sanksi yang

dikenakan kepada mereka apabila mereka melakukan pelanggaran. Kepatuhan

Page 193: 5. sesi  ekonomi dan kemiskinan

ISBN 978-602-98295-0-1

Prosiding Seminar Nasional, 13-14 Desember 2010

1114

petani contoh terhadap orang-orang yang dituakan di kelurahan Tanjung Batu

serta kepatuhan mereka terhadap aturan-aturan yang dibuat oleh pemerintah

setempat.

Berdasarkan penelitian, tingkat kepatuhan petani contoh terhadap norma

sosial yang berlaku di masyarakat tergolong sedang dengan skor 10,70.

D. Modal Manusia

Modal manusia dalam penelitian ini diukur melalui indikator tingkat

pendidikan, tingkat kesehatan dan kemampuan interaksi sosial. Perbandingan

rincian rata-rata modal manusia petani contoh berdasarkan masing-masing

indikator dapat dilihat pada Tabel 2 berikut ini.

Tabel 2. Rincian rata-rata modal manusia petani contoh di Kelurahan Tanjung Batu, 2010

No. Modal manusia Skor Kriteria

1 Tingkat Pendidikan 3,83 Sedang 2 Tingkat Kesehatan 5,1 Tinggi 3 Kemampuan Interaksi Sosial 5,43 Tinggi

Jumlah 14,36 Sedang

Kriteria : 2- 3,33 = Rendah ; 3,34 – 4,67 = Sedang ; 4,68 – 6,00 = Tinggi.

Berdasarkan Tabel 2 diatas menunjukkan bahwa secara umum modal

manusia yang dimiliki oleh petani contoh di Kelurahan Tanjung Batu berada

pada kriteria sedang. Kualitas modal manusia pada kriteria sedang dibangun

oleh indikator tingkat pendidikan, tingkat kesehatan dan kemampuan interaksi

sosial. Parameter pendidikan dilihat dari tingkat Pendidikan Formal dan Non

Formal, dari hasil penelitian didapatkan skor untuk tingkat pendidikan adalah

3,83 yang berada pada kriteria sedang.

Selain tingkat pendidikan, tingkat kesehatan juga sangat penting artinya

bagi pengembangan modal manusia, kesehatan yang baik dapat meningkatkan

hasil dalam pendidikan maupun meningkatkan hubungan dengan lingkungan,

karena dengan kondisi tubuh dan jiwa yang sehat, merupakan faktor utama

yang mempengaruhi petani agar dapat memperoleh pembelajaran, khususnya

pendidikan non formal untuk dapat menambah pengetahuan didalam kegiatan

usahatani karetnya, yang mana akan berdampak pada peningkatan taraf hidup

Page 194: 5. sesi  ekonomi dan kemiskinan

ISBN 978-602-98295-0-1

Prosiding Seminar Nasional, 13-14 Desember 2010

1115

mereka. Kondisi kesehatan petani contoh secara umum rata-rata berada pada

kriteria Tinggi dengan skor 5,1.

Disamping kedua modal manusia diatas, ada satu hal lagi yang tidak

kalah pentingnya yaitu modal kemampuan interaksi sosial, kemampuan ini

dilihat dari penguasaan bahasa dan akses terhadap media. Kemampuan

berbahasa Indonesia, selain bahasa daerah akan meningkatkan kemampuan

petani didalam berinteraksi dengan orang lain diluar lingkungan mereka,

dengan adanya mereka berinteraksi dengan lingkungan diluar mereka, maka

akan menambah wawasan dan pengetahuan petani karet, untuk menerima

suatu perubahan baik itu perubahan pola pikir yang lebih baik, maupun

peningkatan pengetahuan petani tentang semua hal, khususnya pengetahuan

didalam kegiatan usahatani karet mereka. Selain itu akses terhadap media

akan mempermudah petani karet dikelurahan Tanjung Batu ini ini dan

mempercepat berinteraksi/berhubungan dengan dunia luar. Adapun skor modal

manusia didalam kemampuan interaksi sosial pada penelitian ini adalah 5,43

yang berada pada kriteria Tinggi, yang berarti kemampuan berinteraksi sosial

petani karet di Kelurahan Tanjung Batu ini secara umum Tinggi.

E. Pendapatan Petani Karet di Kelurahan Tanjung Batu

1. Pendapatan Usahatani

Pendapatan usahatani rata-rata yang diterima oleh petani karet di

Kelurahan Tanjung Batu untuk satu hektar lahan adalah sebesar Rp

32.305.181,41. yang didapatkan dari penerimaan sebesar Rp 36.081.553,34

per hektar dikurangi dengan biaya produksi sebesar Rp 3.776.371,93 per

hektar. Untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada Tabel 3 berikut ini.

Tabel 3. Pendapatan usahatani petani karet di Kelurahan Tanjung Batu tahun

2010

No. Uraian Rata-rata (Rp/Ha/Th)

1 Penerimaan 36.081.553,34 2 Biaya total 3.776.371,93

Pendapatan usahatani 32.305.181,41

Page 195: 5. sesi  ekonomi dan kemiskinan

ISBN 978-602-98295-0-1

Prosiding Seminar Nasional, 13-14 Desember 2010

1116

2. Pendapatan Luar-usahatani

Pendapatan luar usahatani atau pendapatan non usahatani adalah

pendapatan yang diperoleh oleh petani dari kegiatan non usahatani.

Adapun pendapatan non usahatani dari beberapa petani contoh di

Kelurahan Tanjung Batu ini diperoleh pekerjaan sampingan seperti pedagang

dan pengrajin. Pendapatan rata-rata dari pekerjaan sampingan petani adalah

sebesar Rp 2.746.666,66. Pendapatan petani contoh sebagai pedagang

diperoleh dari membuka warung manisan kecil-kecilan, dan jenis usaha

kerajinanyang dilakukan oleh petani contoh di dalam penelitian ini adalah

membuat kerajinan emas dan perak, akan tetapi bersifat musiman dan sesuai

dengan banyaknya pesanan.

3. Pendapatan Total

Pendapatan Total adalah penjumlahan pendapatan bersih dari usahatani

karet ditambah dengan pendapatan bersih dari luar usahatani karet (non

Usahatani) Rata-rata penerimaan, biaya total produksi, dan pendapatan petani

di Kelurahan Tanjung Baru dapat dilihat pada Tabel 4 di bawah ini.

Tabel 4. Rata-rata penerimaan, biaya total, dan pendapatan usahatani petani di Kelurahan Tanjung Batu tahun 2010

No. Uraian Rata-rata

1 Pendapatan usahatani (Rp/Ha/Th) 32.305.181,41 2 Pendapatan non-usahatani (Rp/Th)

2.746.666,66

Pendapatan total (Rp/Th) 35.051.848,07

Berdasarkan tabel di atas, terlihat bahwa rata-rata pendapatan total yang

diperoleh petani adalah sebesar Rp 35.051.848,07 per tahunnya.

F. Hubungan antara Modal Sosial Petani dengan Tingkat Pendapatan

Petani Karet di Kelurahan Tanjung Batu

Berdasarkan hasil perhitungan, Karena rs hitung < rs tabel yaitu 0,213 <

0,365. Maka terima Ho, artinya tidak terdapat hubungan yang positif antara

modal sosial dengan pendapatan petani karet di Kelurahan Tanjung Batu

Kecamatan Tanjung Batu Kabupaten Ogan Ilir, artinya modal sosial tidak

mempengaruhi secara langsung pendapatan petani karet di kelurahan Tanjung

Batu Kabupaten Ogan Ilir. Sehingga semakin tinggi modal sosial petani maka

Page 196: 5. sesi  ekonomi dan kemiskinan

ISBN 978-602-98295-0-1

Prosiding Seminar Nasional, 13-14 Desember 2010

1117

pendapatan petani tidak akan berubah/tetap karena keduanya tidak saling

mempengaruhi satu sama lainnya.

G. Hubungan antara Modal Manusia dengan Tingkat Pendapatan Petani

Karet di Kelurahan Tanjung Batu

Berdasarkan hasil perhitungan didapatkan bahwa rs hitung < rs tabel

yaitu 0,24 < 0,372. Maka terima Ho, artinya tidak terdapat hubungan yang

positif antara pendapatan petani dengan Modal Manusia petani karet di

Kelurahan Tanjung Batu Kecamatan Tanjung Batu Kabupaten Ogan Ilir, artinya

modal manusia tidak mempengaruhi pendapatan petani karet di Kelurahan

Tanjung Batu ini, apabila modal manusia semakin meningkat maka tidak akan

berpengaruh terhadap pendapatan petani.

H. Upaya-Upaya didalam meningkatkan Modal Sosial dan Modal

Manusia pada petani karet di Kelurahan Tanjung Batu Kabupaten

Ogan Ilir

Upaya- upaya petani di Kelurahan Tanjung Batu didalam meningkatkan

modal sosial (partisipasi dalam suatu jaringan, resiprositas, kepercayaan dan

norma sosial) yaitu dengan memperbanyak frekuensi berinteraksi/pertemuan

rutin dengan masyarakat lingkungan setempat dan lingkungan luar daerah

dalam suatu wadah atau organisasi guna berbagi pengalaman maupun

informasi yang bermanfaat untuk kehidupan mereka dan kegiatan mereka

dalam berusahatani karet.

Upaya untuk meningkatkan ketaatan/kepatuhan mereka terhadap norma

sosial yaitu dengan pemberian sanksi-sanksi yang tegas atas perbuatan yang

sudah melampaui batas dan melanggar norma di dalam masyarakat setempat,

sehingga akan membuat lingkungan di daerah mereka menjadi aman dan

tenteram.

Adapun upaya-upaya yang dilakukan oleh petani karet di Kelurahan

Tanjung Batu ini didalam meningkatkan modal manusia (pendidikan, kesehatan

dan kemampuan interaksi sosial) yang mereka miliki adalah yaitu dengan

mengikuti secara aktif pelatihan-pelatihan yang bermanfaat menambah

pengetahuan mereka didalam kegiatan usahatani karet, mengikuti seminar

Page 197: 5. sesi  ekonomi dan kemiskinan

ISBN 978-602-98295-0-1

Prosiding Seminar Nasional, 13-14 Desember 2010

1118

maupun kursus-kursus yang akan membuka wawasan mereka, serta untuk

petani karet setempat yang masih buta huruf yaitu dengan mengikuti program

pemerintah Kejar Paket A dsb, Sedangkan untuk meningkatkan kesehatan di

lingkungan petani karet tersebut yaitu dengan senantiasa menjaga kebersihan

dan pola hidup yang sehat. Apabila terkena suatu penyakit yang agak berat

harus segera memeriksakan diri ke puskesmas atau rumah sakit terdekat, dan

upaya didalam meningkatkan kemampuan interaksi sosial yaitu dengan

membiasakan diri berkomunikasi dengan menggunakan bahasa daerah

setempat dan Bahasa Indonesia yang baik untuk berkomunikasi dengan orang

luar daerah. sehingga akan mengurangi kesalahpahaman dan memudahkan

untuk berinteraksi.

DAFTAR PUSTAKA

Bappeda Kabupaten Ogan Ilir. 2007. Pendapatan Masyarakat. Diakses pada 4 Februari 2010 (http://bappeda.oganilirkab.go.id).

Dinas Perindustrian dan Perdagangan. 2008. Pemerintahan Provinsi Tingkat I

Sumatera Selatan. Palembang. Dinas Perkebunan Provinsi Sumatera Selatan. 2008. Laporan Tahunan 2003-

2007. Pemerintahan Provinsi Tingkat I Sumatera Selatan. Palembang. Daniel, Manurung. 2002. Pengantar Ekonomi Pertanian. Bumi Aksara. Jakarta Hernanto, F. 1996. Ilmu Usahatani. Penebar Swadaya. Jakarta Mawardi, M. 2007. Peranan Social Capital dalam Pemberdayaan Masyarakat.

Diakses pada 16 januari 2010 (http://komunitas.wikispaces.com). Soekartawi, 1990. Prinsip Dasar Ekonomi Pertanian. Teori dan Aplikasinya.

Rajawali Press. Jakarta

Page 198: 5. sesi  ekonomi dan kemiskinan

ISBN 978-602-98295-0-1

Prosiding Seminar Nasional, 13-14 Desember 2010

1119

ANALISIS PERMINTAAN BIBIT KELAPA SAWIT BERDASARKAN TREND

PERKEMBANGAN LUAS AREAL DAN PROSPEK USAHA PEMBIBITAN

DI SUMATERA SELATAN

M. Yamin Hasan dan Maryadi

Staf Dosen Program Studi Agribisnis Jurusan Sosial Ekonomi Fakultas Pertanian Universitas Sriwijaya, Jl. Raya Palembang – Prabumulih Km 33

Indralaya, Ogan Ilir Telp 0711-580662 Email: [email protected]

ABSTRAK

Sumatera Selatan merupakan salah satu propinsi dengan perkebunan kelapa sawit terbesar ketiga setelah Sumatera Utara. Pada tahun 2009 luas lahan kelapa sawit di Sumatera Selatan adalah seluas 775,502.66 hektar, sehingga pada tahun 2009 saja ada penambahan luas lahan sebesar 85.118 hektar jika kerapatan per hektar 121 pohon, maka dibutuhkan bibit kelapa sawit sebanyak 10.299.357,86 batang bibit per tahun. Kebutuhan bibit yang besar tersebut sebagian besar masih di datangkan dari luar propinsi Sumatera Selatan, terutama di datangkan dari Medan. Penelitian ini dilaksanakan di Propinsi Sumatera Selata dengan menggunakan metode studi literatur dan survey kepada sampel. Data yang dikumpulkan meliputi primer dan data sekunder.

Trend pertumbuhan luas areal perkebunan kelapa sawit dapat di analaisis dalam 3 bentuk model rehresi yaitu linear, kuadratik, dan kubik dengan nilai R2 yang hampir sama yaitu sebesar 92%, yang berarti bahwa 92% nilai variasi luas lahan mampu dijelaskan oleh variabel waktu (tahun). Dengan trend linear permintaan bibit kelapa sawit di sumatera selatan setiap tahunnya adalah konstan yaitu sebesar 4.410.450 batang bibit per tahun. Permintaan bibit kelapa sawit dengan trend kuadratik diperkirakan meningkat sebesar 1.47% per tahun. Sedangkan untuk model kubik permintaan bibit meningkat dengan penurunan sekitar sebesar sekitar 6,5% setiap tahunnya. Dari analisis Net Present Value (NPV), diperoleh nilai NPV sebesar Rp 117.059.124. Hal ini berarti bahwa usaha pembibitan kelapa sawit sangat layak dengan prospek yang sangat menguntungkan karena nilai NPV jauh lebih besar dari nol.

Kata kunci: Permintaan bibit kelapa sawit, trend luas lahan, trend

permintaan

I. PENDAHULUAN

Tanaman kelapa sawit (Elaeis guineensis Jacq) saat ini merupakan salah

satu jenis tanaman perkebunan yang menduduki posisi penting di sektor

pertanian umumnya, dan sektor perkebunan khususnya, hal ini disebabkan

karena dari sekian banyak tanaman yang menghasilkan minyak atau lemak,

Page 199: 5. sesi  ekonomi dan kemiskinan

ISBN 978-602-98295-0-1

Prosiding Seminar Nasional, 13-14 Desember 2010

1120

kelapa sawit yang menghasilkan nilai ekonomi terbesar per hektarnya di dunia

(Balai Informasi Pertanian, 1990).

Kelapa sawit termasuk produk yang banyak diminati oleh investor karena

nilai ekonominya cukup tinggi. Para investor mengivestasikan modalnya untuk

membangun perkebunan dan pabrik pengolahan kelapa sawit. Selama tahun

1990 – 2000, luas areal perkebunan kelapa sawit mencapai 14.164.439 ha atau

meningkat 21,5% jika dibandingkan akhir tahun 1990 yang hanya 11.651.439

ha. Rata-rata produktivitas kelapa sawit mencapai 1,396 ton/ha/tahun untuk

perkebunan rakyat dan 3,50 ton/ha/tahun untuk perkebunan besar.

Produktivitas kelapa sawit tersebut dinilai cukup tinggi bila dibandingkan

dengan produktivitas komoditas perkebunan lain (Yan Fauzi, dkk, 2004).

Sumatera Selatan merupakan salah satu propinsi dengan perkebunan

kelapa sawit terbesar ketiga setelah Sumatera Utara. Perkembangan luas areal

perkebunan kelapa sawit di Sumatera Selatan pada tahun 2006 luasnya

mencapai 618.000 hektar dan tumbuh pesat menjadi 682.730 hektar pada

tahun 2007. Dalam kurun tahun 2006 – 2007 luas areal tumbuh sebesar

64.730 hektar, jika kerapatan per hektar 128 s/d 143 pohon, maka dibutuhkan

bibit kelapa sawit paling tidak antara 8 – 9 juta batang bibit per tahun.

Kebutuhan bibit yang besar tersebut sebagian besar masih di datangkan dari

luar propinsi Sumatera Selatan, terutama di datangkan dari Medan. Jumlah

yang besar tersebut membuat harga bibit sawit berkualitas cukup tinggi dan

sulit didapat, serta banyaknya beredar bibit palsu yang merugikan petani. Untuk

itu pengembangan bibit sawit secara lokal sangat diperlukan dan mempunyai

prospek usaha yang tinggi untuk memenuhi kebutuhan daerah.

Permasalahan

Dari uraian di atas beberapa permasalahan penting yang perlu dikaji

dalam penelitian seputar permintaan dan prospek usaha pembibitan kelapa

sawit adalah sbb:

1. Berapa besar pertumbuhan areal perkebunan kelapa sawit setiap tahunnya

di Sumatera Selatan?

Page 200: 5. sesi  ekonomi dan kemiskinan

ISBN 978-602-98295-0-1

Prosiding Seminar Nasional, 13-14 Desember 2010

1121

2. Berapa besar kebutuhan bibit kelapa sawit di sumatera selatan dan

bagaimana cara memenuhi kebutuhan itu setiap tahunnya?

3. Berapa besar peluang usaha dan tingkat kelayakan pembibitan kelapa sawit

di Sumatera Selatan?

Tujuan

Berdasarkan permasalahan yang telah dikemukakan sebelumnya,

secara khusus penelitian bertujuan untuk:

1. Menentukan trend pertumbuhan luas areal perkebunan kelapa sawit di

Sumatera Selatan.

2. Menentukan tingkat kebutuhan bibit kelapa sawit berdasarkan permintaan

efektif.

3. Menganalisis prospek kelayakan usaha pembibitan kelapa sawit di Sumatera

Selatan.

Manfaat Penelitian

Bagi pengambil kebijakan diharapkan penelitian dapat menjadi masukan

dalam menjamin pasokan kebutuhan bibit kelapa sawit yang bermutu dengan

jumlah yang mencukupi bagi kebutuhan usaha pengembangan tanaman kelapa

sawit di Sumatera Selatan. Bagi masyarakat dan dunia usaha penelitian ini di

harapkan dapat berguna sebagai informasi penting tentang peluang usaha

pembibitan kelapa sawit di Sumatera Selatan. Sedangkan bagi penelitian,

informasi awal ini bisa melahirkan penelitian baru di bidang kajian efisiensi

usaha pembibitan dengan menggunakan bermacam model pembibitan kelapa

sawit yang ada.

II. METODE PENELITIAN

Penelitian ini dilakukan di Propinsi Sumatera Selatan, dengan

pertimbangan Sumatera Selatan merupakan propinsi ketiga terbesar areal

perkebunan kelapa sawitnya setelah Riau dan medan. Penelitian ini

dilaksanakan pada bulan Mei s/d Desember 2010, dengan tahapan kegiatan

mencakup proses persiapan dan perizinan, studi literatur, pengumpulan dan

Page 201: 5. sesi  ekonomi dan kemiskinan

ISBN 978-602-98295-0-1

Prosiding Seminar Nasional, 13-14 Desember 2010

1122

kompilasi data sekunder, pengumpulan dan pengolahan data primer, analisis

data dan penyusunan laporan hasil penelitian.

Metode Penelitian dan Pengambilan Data

Penelitian ini menggunakan metode studi literatur dan metode survey,

karena data yang diperlukan merupakan gabungan antara data primer dan data

sekunder. Data sekunder yang digunakan meliputi publikasi tentang

perkebunan kelapa sawit di 11 kabupaten/kota di Sumatera Selatan. Data

primer yang dikumpulkan adalah sebagai pelengkap data sekunder yang

sekaligus merupakan pengecekan silang data sekunder yang akan diambil dari

dua perusahaan inti dan beberapa orang tokoh kunci petani plasma.

Metode Analisis Data

Data yang dikumpulkan akan analisis baik secara kuantitatif maupun

kualitatif. Secara kuantitatif perhitungan akan dilakukan dengan menggunakan

persamaan trend yang secara matematis dapat dirumuskan sbb:

1. Y = a + bX (untuk trend yang linear)

Dimana: Y = Variabel permintaan X = Varibel Tahun (time series data selama 20 tahun

terakhir)

2. Y = a + bX + cX2 (untuk trend kuadratik)

2. Y = a + bX + cX2 + dX3 (untuk trend kubik)

3. Y = abx (untuk trend simple exponential)

Data trend akan diolah dengan menggunakan metode regresi linear sederhana

dengan teknik OLS (Ordinary Least Square) lalu diambil garis trend yang paling

mendekati keadaan aktual dengan nilai R2 terbesar. Pengolahan data akan

dilakukan dengan menggunakan program komputer SPSS versi 16.

Untuk meramalkan kebutuhan bibit kelapa sawit di Sumatera Selatan

dilakukan dengan menggunakan pendekatan yang didasarkan pada trend luas

lahan sepanjang tahun. Kemudian di hitung besar peningkatan luas lahan

setiap tahunnya. Kebutuhan bibit dihitung berdasarkan penambahan luas lahan

Page 202: 5. sesi  ekonomi dan kemiskinan

ISBN 978-602-98295-0-1

Prosiding Seminar Nasional, 13-14 Desember 2010

1123

per tahun dikalikan dengan jumlah bibit yang dibutuhkan per hektar (121

batang, dengan asumsi jarak tanam 11 x 11 meter) sehingga rumus kebutuhan

bibit pertahun dapat dihitung sbb:

PBt = (Lt – Lt-1) x 121

Dimana: Pt = Permintaan bibit kelapa sawit di Sumatera Selatan pada tahun

t

Lt = Luas Lahan kelapa sawit di Sumatera Selatan pada tahun t

Lt-1 = Luas Lahan kelapa sawit di Sumatera Selatan pada tahun t-1

Tingkat kelayakan usaha pembibitan kelapa sawit akan dilakukan

dengan menghitungan nilai bersih kini atau Net Present Value (NPV), The

Internal Rate of Return (IRR), Net B/C ratio, Gross B/C ratio dan The

Profitability Ratio (P/R).

Secara umum rumus matematis persamaan Net Present Value dapat

disajikan sebagai berikut:

Dimana : B = manfaat C = biaya r = discount rate per tahun i = waktu ke-i

III. HASIL DAN PEMBAHASAN

Sumatera Selatan memiliki areal perkebunan kelapa sawit tebesar ketiga

setelah Riau dan Sumatera Utara. Pada tahun 2009 perkebunan kelapa sawit di

Sumatera Selatan memiliki luas lahan sebesar 775.502,66 ha dengan luas areal

untuk tanaman belum menghasilkan (TBM) sebesar 208.486,51 ha, tanaman

menghasilkan (TM) sebesar 561.399,29 ha, dan tanaman tua (TT) sebesar

5.616,86 ha. Dari luas areal perkebunan kelapa sawit di Sumatera Selatan

pada tahun 2009, perkebunan swasta memiliki luas areal terbesar, yaitu

454.590 ha atau 58,62% dari total luas areal yang ada, sedangkan plasma

hanya 236.401 ha atau 30,48% dan perkebunan rakyat sebesar 84.511,66 ha

atau 10,90% dari total luas areal perkebunan kelapa sawit di Sumatera Selatan.

Kelapa sawit di Sumatera Selatan merupakan salah satu penyumbang

hasil produksi yang besar dalam produksi kelapa sawit nasional dengan tujuan

Page 203: 5. sesi  ekonomi dan kemiskinan

ISBN 978-602-98295-0-1

Prosiding Seminar Nasional, 13-14 Desember 2010

1124

pasar internasional. Hasil produksi kelapa sawit Sumatera Selatan pada tahun

2009 adalah 2.035.553,65 ton.

3.1. Pertumbuhan Luas Areal Perkebunan Kelapa Sawit di Sumatera Selatan

Dari hasil pengumpulan data dari berbagai instansi terkait perkembangan

luas lahan perkebunan kelapa sawit di Sumatera Selatan setiap tahun

mengalami fluktuasi dengan trend yang terus meningkat. Data luas lahan

perkebunan kelapa sawit di Sumatera Selatan selama kurun waktu tahun 1989

– 2009 dapat dilihat secara rinci pada Tabel 1.

Tabel 1. Luas lahan Perkebunan Kelapa Sawit di Sumatera Selatan 1989-2009

No. Tahun Luas Lahan (Ha)

1 1989 52.233,39 2 1990 76.696,29 3 1991 88.945,60 4 1992 71.513,24 5 1993 54.747,21 6 1994 161.645,37 7 1995 141.105,99 8 1996 140.532,76 9 1997 444.722,36

10 1998 315.673,50 11 1999 457.634,00 12 2000 491.810,00 13 2001 412.534,00 14 2002 422.812,50 15 2003 429.666,02 16 2004 488.693,00 17 2005 551.651,00 18 2006 618.752,42 19 2007 682.730,00 20 2008 690.384,00 21 2009 775.502,66

Page 204: 5. sesi  ekonomi dan kemiskinan

ISBN 978-602-98295-0-1

Prosiding Seminar Nasional, 13-14 Desember 2010

1125

-

100,000.00

200,000.00

300,000.00

400,000.00

500,000.00

600,000.00

700,000.00

800,000.00

900,000.00

1989 1991 1993 1995 1997 1999 2001 2003 2005 2007 2009

Grafik Perkembangan Luas Lahan Perkebunan Kelapa

Sawit di Sumatera Selatan 1989 - 2009

Luas Lahan

Gambar 1. Grafik Perkembangan Luas Lahan Perkebunan Kelapa Sawit di

Provinsi Sumatera selatan 1989-2009

Dari Tabel 1 terlihat bahwa sejak tahun 1989 hingga tahun 2009 luas

lahan perkebunan kelapa sawit di Sumatera Selatan menunjukkan trend yang

terus meningkat. Dalam periode 1989 – 2009, luas lahan perkebunan kelapa

sawit di Sumatera Selatan mengalami peningkatan sebesar 723.269,27 hektar

atau meningkat sebesar 1.384%. Perkembangan luas lahan yang sangat pesat

dalam kurun 20 tahun terakhir ini disebabkan semakin banyaknya perkebunan

besar nasional dan swasta, serta perkebunan rakyat yang bergerak di bidang

perkebunan kelapa sawit yang sangat menguntungkan. Secara grafis,

perkembangan luas lahan perkebunan kelapa sawit di Provinsi Sumatera

Selatan dapat dilihat pada Gambar 1.

Untuk melihat kecenderungan (trend) pertumbuhan luas lahan

dilakukan pengolahan data dengan menggunakan SPSS Versi 16 terhadap

kemunkinan trend perkembangan luas lahan kelapa sawit di Sumatera Selatan.

Dari data perkembangan luas lahan yang ada diperoleh 3 (tiga) trend

perkembangan luas lahan, yaitu : linear, kuadratik, dan kubik dengan nilai R2

yang sebanding sebesar 0,92. Ini berarti ketiga model ini mampu menjelaskan

bahwa variasi perkembangan luas lahan 92% dijelaskan oleh perubahan waktu

Page 205: 5. sesi  ekonomi dan kemiskinan

ISBN 978-602-98295-0-1

Prosiding Seminar Nasional, 13-14 Desember 2010

1126

(tahun). Hasil pengolahan data dengan SPSS secara rinci dapat di lihat dalam

Tabel 2 berikut ini.

Tabel 2. Hasil regresi trend perkembangan luas lahan kelapa sawit di Sumatera Selatan dengan model linear, kuadratik, dan kubik

Equation R

Square F df1 df2 Sig. Constant b1 b2 b3

Linear 0,92 213,438 1 19 0,00000 -40.470 36.450 - -

Quadratic 0,92 103,871 2 18 0,00000 -13.860 29.510 315,567 -

Cubic 0,92 65,533 3 17 0,00000 -3.941 24.650 854,604 -

16,334

Dari hasil tersebut terlihat bahwa ketiga model tersebut sama baiknya

dalam menjelaskan variasi luas lahan seiring dengan perjalan waktu (tahun).

Secara statistik model-model tersebut menunjukkan hasil yang sangat signifikan

dengan selang kepercayaan hampir mendekati 100%. Secara matematis ketiga

model tersebut dapat di tulis dalam persamaan sebagai berikut:

a) Linear : Y = -40.470 + 36.450 X

b) Kuadratik : Y = -13.860 + 29.510 X + 315,567 X2

c) Kubik : Y = -3.941 + 24.650 X + 854,604 X2 – 16,334 X3

Dalam model trend yang linear terlihat bahwa pertambahan luas lahan

setiap tahunnya meningkat dengan jumlah yang konstan yaitu sebesar 36.450

hektar. Sedangkan untuk model kuadratik peningkatan luas lahan setiap tahun

mengalami peningkatan, dimana pada tahun 1989 – 1991 luas lahan meningkat

sebesar 30,456.70 hektar dan tahun berikutnya bertambah sebesar 631.13

hektar menjadi 31,087.84 hektar dan peningkatan bertambah setiap tahun

berikutnya sebesar 631,13 hektar. Sedangkan untuk model kubik justru

peningkatan luas lahan semakin menurun setiap tahunnya. Pada tahun 1989 –

1991 luas lahan meningkat sebesar 27.099,47 hektar dan tahun berikutnya

pertambahan luas lahan meningkat sebesar 1.513,20 hektar menjadi 28.612,67

hektar dan peningkatan tahun berikutnya turun sebesar 98 hektar menjadi

hanya 1,415.20, dan demikian seterusnya pada tahun-tahun berikutnya

Page 206: 5. sesi  ekonomi dan kemiskinan

ISBN 978-602-98295-0-1

Prosiding Seminar Nasional, 13-14 Desember 2010

1127

peningkatan luas lahan turun sebesar 98 hektar. Gambar trend peningkatan

luas lahan secara grafis dapat dilihat pada gambar 2.

Gambar 1. Grafik Trend Perkembangan Luas Lahan Perkebunan Kelapa Sawit

di Provinsi Sumatera selatan 1989-2009 Dengan menggunakan rumus trend di atas perkembangan luas lahan

kelapa sawit pada tahun 2011-2020 dan seterusnya dapat diramalkan luasnya

sebagai dapat di lihat dalam tabel berikut.

Tabel 3. Perkiraan luas areal perkebunan kelapa sawit di Sumatera Selatan, tahun 2011 – 2020

Tahun Luas Areal (ha) utk trend Linear

Luas Areal (ha) utk trend Kuadratik

Luas Areal (ha) utk trend Kubik

2011 797.880 831.805 816.359

2012 834.330 876.147 854.110

2013 870.780 921.119 891.218

2014 907.230 966.723 927.585

2015 943.680 1.012.958 963.113

2016 980.130 1.059.825 997.705

2017 1.016.580 1.107.322 1.031.261

2018 1.053.030 1.155.450 1.063.685

2019 1.089.480 1.204.210 1.094.877

2020 1.125.930 1.253.601 1.124.741

Selanjutnya trend pertumbuhan luas lahan perkebunan kelapa sawit di

Sumatera Selatan pada tahun 2010 - 2035. secara jelas dapat dilihat dalam

gambar berikut ini.

Page 207: 5. sesi  ekonomi dan kemiskinan

ISBN 978-602-98295-0-1

Prosiding Seminar Nasional, 13-14 Desember 2010

1128

Gambar 2. Grafik Trend Perkembangan Luas Lahan Perkebunan Kelapa Sawit di Provinsi Sumatera selatan. tahun 2010 - 2035

Dari grafik di atas terlihat bahwa trend perkembangan luas secara linear

dan kuadratik terus mengalami peningkatan dari tahun ke tahun. Trend

peningkatan luas lahan secara kuadratik terlihat lebih besar dibanding trend

yang linear dan kubik. Sedangkan trend peningkatan luas lahan secara kubik

peningkatannya terus mengalami penurunan dan mencapai optimal pada tahun

2034. dan pada tahun 2035 sudah mulai menurun.

Trend dengan model kubik lebih realistis dengan kondisi riil dimana

ketersediaan lahan yang cenderung terbatas. sehingga pada titik terjenuh akan

mengalami kejenuhan dimana luas areal tidak dapat bertambah lagi karena

lahan yang tersedia tidak ada lagi. Pada saat ini ektensifikasi tidak dapat

dilakukan lagi. dan program pengembangan hanya bisa dilakukan dengan

intensifikasi. Dan jika data yang dapat mewakili kondisi riil yang ada maka pada

tahun 2034 pertambahan luas areal sudah mencapai maksimal.

3.2. Kebutuhan Bibit Kelapa Sawit di Sumatera Selatan Analisis permintaan bibit kelapa sawit seharusnya dapat di analisis dari

data permintaan setiap tahun. karena kendala ketidak tersediaan data

permintaan dari instansi terkait yang ada di Sumatera Selatan. maka

pendekatan perhitungan kebutuhan bibit kelapa sawit dilakukan melalui trend

perkembangan luas lahan yang telah di bahas di muka.

Untuk menghitung kebutuhan bibit kelapa sawit di gunakan rumus

sebagaimana yang telah diuraikan dalam analisis data. yaitu : PBt = (Lt – Lt-1) x

Page 208: 5. sesi  ekonomi dan kemiskinan

ISBN 978-602-98295-0-1

Prosiding Seminar Nasional, 13-14 Desember 2010

1129

121. Dimana disini diasumsikan bahwa kebutuhan bibit per hektar adalah 121

batang. dengan asumsi jarak tanam yang digunakan adalah 9 x 9 meter.

Berdasarkan persamaan trend luas lahan dan persamaan kebutuhan

bibit kelapa sawit di atas maka kebutuhan bibit kelapa sawit untuk tahun 2011

dan seterusnya dapat diramalkan kebutuhannya. Kebutuhan bibit kelapa sawit

di Sumatera Selatan pada tahun 2011 – 2020 dapat di lihat secara jelas dalam

tabel berikut ini.

Tabel 4. Perkiraan kebutuhan bibit kelapa sawit di Sumatera Selatan, tahun

2011 – 2020

Tahun Linear Kuadratik Kubik

2011 4.410.450 5.288.972 4.633.796

2012 4.410.450 5.365.340 4.567.865

2013 4.410.450 5.441.707 4.490.076

2014 4.410.450 5.518.074 4.400.428

2015 4.410.450 5.594.441 4.298.921

2016 4.410.450 5.670.808 4.185.556

2017 4.410.450 5.747.176 4.060.333

2018 4.410.450 5.823.543 3.923.251

2019 4.410.450 5.899.910 3.774.311

2020 4.410.450 5.976.277 3.613.512

Secara grafik trend permintaan bibit kelapa sawit di Sumatera Selatan

yang dihitung berdasarkan trend perkembangan luas lahan dan persamaan

kebutuhan bibit pada tahun 2010 - 2035 secara jelas dapat dilihat dalam

gambar berikut ini.

Page 209: 5. sesi  ekonomi dan kemiskinan

ISBN 978-602-98295-0-1

Prosiding Seminar Nasional, 13-14 Desember 2010

1130

Gambar 3.Grafik Trend Perkembangan kebutuhan bibit Kelapa Sawit di Provinsi

Sumatera selatan, tahun 2010 - 2035

Dengan trend linear permintaan bibit kelapa sawit di sumatera selatan

setiap tahunnya adalah konstan yaitu sebesar 4.410.450 batang bibit per tahun.

Permintaan bibit kelapa sawit dengan trend kuadratik diperkirakan pada tahun

2011 adalah sebesar 5.288.972 batang dan selanjutnya setiap tahunnya

meningkat sebesar 76.367 batang atau meningkat sebesar 1.47% per tahun.

Sedangkan untuk model kubik permintaan bibit pada tahun 2011 diperkirakan

sebesar 4.633.796 batang bibit lalu turun pada tahun berikutnya sebesar 65.931

batang menjadi 4,567,865 dan tahun berikutnya penurunan itu terus bertambah

setiap tahunnya sebesar 11.858 batang.

Dari gambar di atas permintaan bibit kelapa sawit cenderung menurun

dari tahun ke tahun, hal ini dikarenakan trend pertambahan luas lahan dengan

model kubik yang cenderung menurun. Jika data yang dikumpulkan dapat

mempresentasikan keadaan riil di lapangan maka diperkirakan permintaan bibit

kelapa sawit akan menurun ke titik terendah pada tahun 2034, dan pada tahun

2035 permintaan bibit kelapa sawit menjadi nol untuk pertambahan luas areal

yang sudah mencapai stagnan. Namun permintaan bibit kelapa sawit akan

tetap ada dari peremajaan kebun kelapa sawit yang telah berumur 20 – 25

Page 210: 5. sesi  ekonomi dan kemiskinan

ISBN 978-602-98295-0-1

Prosiding Seminar Nasional, 13-14 Desember 2010

1131

tahun yang sudah dianggap tanaman tua yang tidak produktif lagi atau dari

tanaman mati dan gagal.

3.3. Prospek Usaha Pembibitan Kelapa Sawit di Sumatera Selatan Besarnya potensi kebutuhan bibit kelapa sawit di Sumatera Selatan

membuka peluang usaha pembibitan dengan prospek yang amat menjanjikan.

Dari data perkiraan yang di analisis, kebutuhan bibit kelapa sawit di Sumatera

Selatan saat ini sekitar 4 juta batang. Dengan masih cukup tersedia lahan

untuk perkebunan kelapa sawit di Sumatera Selatan usaha pembibitan

memberikan prospek usaha dengan tingkat keuntungan yang cukup

menjanjikan.

Dari hasil analisis kelayakan usaha untuk pembibitan kelapa sawit seluas

1 hektar diperlukan biaya investasi sebesar Rp 45.773.000 yang meliputi biaya

lahan dan peralatan. Biaya operasional sebesar Rp 289.221.250 per tahun

yang meliputi biaya bahan habis pakai dan biaya tenaga kerja.

Jumlah produksi dari kegiatan pembibitan kelapa sawit ini dihasil

sebanyak 12.000 bibit kelapa sawit yang siap salur. Jika diasumsikan harga

bibit kelapa sawit yang dipakai dalam perhitungan penelitian ini adalah Rp

27.500.00. Penerimaan setiap tahun pertama menghasilkan Rp

330.000.000.00.

Dengan menggunakan analisis Net Present Value (NPV), dengan siklus

usaha selama 5 tahun dan discount faktor sebesar 11%, diperoleh nilai NPV

sebesar Rp 117.059.124. Hal ini berarti bahwa usaha pembibitan kelapa sawit

yang dilakukan sangat menguntungkan karena nilai NPV jauh lebih besar dari

nol.

IV. KESIMPULAN DAN SARAN

Dari uraian di atas dapat ditarik beberapa kesimpulan dari hasil

penelitian ini:

1. Trend pertumbuhan luas areal perkebunan kelapa sawit dapat di analaisis

dalam 3 bentuk model rehresi yaitu linear, kuadratik, dan kubik dengan nilai

Page 211: 5. sesi  ekonomi dan kemiskinan

ISBN 978-602-98295-0-1

Prosiding Seminar Nasional, 13-14 Desember 2010

1132

R2 yang hampir sama yaitu sebesar 92%, yang berarti bahwa 92% nilai

variasi luas lahan mampu dijelaskan oleh variabel waktu (tahun).

2. Dengan trend linear permintaan bibit kelapa sawit di sumatera selatan setiap

tahunnya adalah konstan yaitu sebesar 4.410.450 batang bibit per tahun.

Permintaan bibit kelapa sawit dengan trend kuadratik diperkirakan meningkat

sebesar 1.47% per tahun. Sedangkan untuk model kubik permintaan bibit

meningkat dengan penurunan sekitar sebesar sekitar 6,5% setiap tahunnya.

3. Dari analisis Net Present Value (NPV), diperoleh nilai NPV sebesar Rp

117.059.124. Hal ini berarti bahwa usaha pembibitan kelapa sawit sangat

layak dengan prospek yang sangat menguntungkan karena nilai NPV jauh

lebih besar dari nol.

DAFTAR PUSTAKA

Dinas Perkebunan, 2007. Luas Areal dan Produksi Kelapa Sawit Sumatera Selatan. Kantor Dinas Perkebunan Sumatera Selatan. Palembang.

Dinas Perkebunan, 2008. Luas Areal dan Produksi Kelapa Sawit Sumatera Selatan. Kantor Dinas Perkebunan Sumatera Selatan. Palembang.

Direktorat Jenderal Perkebunan, 2000. Pertemuan koordinasi teknis komoditas perkebunan: karet, kelapa, kelapa sawit, dan lada, Palembang, 27-28 Oktober 2000/Dirjenbun. Palembang.

Direktorat Jenderal Perkebunan, 2008. Wilayah Potensi Kelapa Sawit berdasarkan Kabupaten/Kota. Jakarta.

Direktur Perbenihan, 2000. Pemikiran mengenai strategi dan kebijaksanaan penyediaan benih karet, kelapa, kelapa sawit dan lada /Direktur Perbenihan. Pertemuan Koordinasi Teknis Komoditas Perkebunan.

Direktur Produksi Perkebunan, 2000. Kebijakan pengembangan produksi perkebunan karet, kelapa, kelapa sawit dan lada/ Direktur Produksi Perkebunan. Pertemuan Koordinasi Teknis Komoditas Perkebunan.

Drajat, Bambang, 2003. Peramalan figure perkelapasawitan 2004-2008 dan Tinjauan Komoditas Perkebunan: Karet, Kopi, Gula, Teh, Kelapa Sawit dan Umum.

Fauzi, Yan, dkk, 2004, ‖Budidaya Kelapa Sawit Pemanfaatan Hasil dan Limbah Analisis Usaha dan Pemasaran‖, Penebar Swadaya, Jakarta

Girsang Annel, 2005. ―Pedoman Pembibitan Kelapa Sawit Pre-Nursery dan Main-Nursery.‖ PPKS – Unit Usaha Marihat. Pematang Siantar.

Page 212: 5. sesi  ekonomi dan kemiskinan

ISBN 978-602-98295-0-1

Prosiding Seminar Nasional, 13-14 Desember 2010

1133

Lubis Adlin U, 1993. ―Pengadaan Benih Kelapa Sawit.‖ Pusat Penelitian Kelapa Sawit. Medan

Muhidin, S. A, Maman Abdurahman, 2007. Analisis Korelasi, Regresi Dan Jalur Dalam Penelitian. Pustaka Setia. Bandung

Pahan, Iyung, 2007, ‖Panduan Lengkap Kelapa Sawit Manajemen Agribisnis dari Hulu Sampai Hilir‖. Penebar Swadaya, Jakarta

Sastroyono Selardi, 2003, ‖Budidaya Kelapa Sawit‖. Agromedia Pustaka. Jakarta

Tim Pengembangan Materi LPP, 2007. Buku Pintar Mandor (BPM). Seri Budidaya. Tanaman Kelapa Sawit.‖ Lembaga Pendidikan Perkebunan. Yogyakarta.

Page 213: 5. sesi  ekonomi dan kemiskinan

ISBN 978-602-98295-0-1

Prosiding Seminar Nasional, 13-14 Desember 2010

1134

PEMBANGUNAN SDM INDONESIA DITENGAH DAYA SAING NEGARA-NEGARA LAIN DAN DI ERA AC-FTA

NURLINA TARMIZI

ABSTRAK Kajian tentang Pembangunan SDM Indonesia di tengah Daya Saing Negara-Negara Lain dan di Era AC-FTA dalam upaya mengetahui sejauhmana keberhasilan pembangunan SDM Indonesia di tengah keberhasilan negara-negara lain dan langkah/strategi yang perlu ditempuh agar Indonesia mampu bersaing di Era AC-FTA. Hasil kajian menunjukkan bahwa Indonesia masih tertinggal dalam peningkatan pembangunan SDM. Di tingkat Asean, IPM Indonesia, lebih rendah dari Malaysia, Thailand dan Filipina. Di luar Asean, lebih rendah dari negara Amerika Latin dan Karibia. Rendahnya kualitas SDM menyebabkan Indonesia kalah bersaing dalam perdagangan bebas ditunjukkan oleh competitiveness index Indonesia yang lebih rendah dari beberapa negara Asean dan China. Strategi yang perlu dilakukan adalah lebih mengoptimalkan pembangunan SDM terutama peningkatan kualitas pendidikan.

PENDAHULUAN

Pembangunan sumber daya manusia (SDM) merupakan suatu strategi yang

dilakukan banyak negara dalam upaya memperlihatkan posisi keberhasilan

pembangunan negara-negara tersebut. Pemberdayaan SDM adalah sebuah

konsep pembangunan ekonomi yang merangkup nilai-nilai sosial. Sebuah

masyarakat dinyatakan telah ―berdaya‖ ketika masyarakat suatu negara telah

menunjukkan performance kualitas yang cukup tinggi dibandingkan masyarakat

di negara lain. Dengan demikian, outcome dari pemberdayaan SDM adalah

sejauhmana SDM memainkan peran aktif dalam pembangunan sehingga ada

perubahan besar dalam ekonomi, struktur sosial, sikap masyarakat yang dapat

mempercepat pertumbuhan ekonomi, utamanya dalam menghadapi persaingan

global yang semakin menguat.

Konsep pembangunan SDM berbeda dengan konsep pembangunan ekonomi.

Paradigma pembangunan ekonomi meletakkan dasar pembangunan pada

pertumbuhan ekonomi dengan konsep trickle down effect (tetesan ke bawah)

dengan harapan kesejahteraan masyarakat di masa depan semakin meningkat.

Page 214: 5. sesi  ekonomi dan kemiskinan

ISBN 978-602-98295-0-1

Prosiding Seminar Nasional, 13-14 Desember 2010

1135

Akan tetapi pendekatan kesejahteraan hanya meletakkan manusia sebagai

objek (pengambil manfaat) bukan sebagai subjek (peserta aktif) pembangunan.

Apalagi konsep trickle down effect ternyata membuat ketimpangan pendapatan

semakin melebar, antar kelompok masyarakat dan antar daerah. Sementara

paradigma pembangunan manusia bertitik tolak dari pemahaman bahwa

pembangunan dapat memperluas pilihan. Seperti pilihan untuk umur panjang,

hidup di lingkungan yang layak sehingga kesehatannya dan keluarga terjamin,

memperoleh pendidikan, mempunyai akses pada sumber daya ekonomi, dan

lain-lain.

Ini berarti, pembangunan manusia merupakan pembangunan multidimensi yang

mengaitkan dimensi ekonomi, pendidikan, kesehatan, sekaligus dengan

prasyarat pembangunan lingkungan eksternal: lingkungan hidup, lingkungan

sosial dan lingkungan global. Karena itu, proses pembangunan harus dapat

merealisasikan keinginan-keinginan tersebut.

Pembangunan manusia yang multidimensi merealisasikan juga pembangunan

sosial dan budaya. Outcome pembangunan SDM adalah adanya perubahan

besar dalam ekonomi, struktur sosial, sikap masyarakat sehingga dapat

mempercepat pertumbuhan ekonomi, pemerataan distribusi pendapatan dan

dengan itu akan terjadi peningkatan kesejahteraan.

Indonesia melakukan upaya terus menerus meningkatkan pembangunan SDM.

Upaya Indonesia memperoleh kemajuan yang cukup signifikan, namun harus

terus dilakukan, sebab ketika Indonesia telah dapat meningkatkan performance

kualitas SDM nya, negara-negara lain juga terus memacu kemajuan kualitas

SDM mereka. Ini berarti daya saing negara-negara lain cukup tinggi, terutama

memasuki era perdagangan bebas. Dalam era ini, Indonesia perlu

meningkatkan basic requirement, efisiensi dan inovasi. Ketiga hal ini dapat

dicapai jika peningkatan SDM berhasil secara optimal.

Page 215: 5. sesi  ekonomi dan kemiskinan

ISBN 978-602-98295-0-1

Prosiding Seminar Nasional, 13-14 Desember 2010

1136

Pertanyaan yang muncul, sejauhmana keberhasilan pembangunan SDM

Indonesia di tengah keberhasilan negara-negara lain dan langkah/ strategi

yang perlu ditempuh agar Indonesia mampu bersaing di Era AC-FTA.

PEMBANGUNAN SDM

Indikator yang memperlihatkan pembangunan SDM suatu negara, dimana

didalamnya terangkum keberhasilan ekonomi dan sosial, adalah indeks

pembangunan manusia (IPM) atau human development index (HDI). IPM

merupakan suatu indeks melingkupi kondisi manusia yang dilihat dari dimensi

dasar pembangunan manusia, yakni, pertama, dimensi hidup sehat dan

panjang umur yang diukur dengan harapan hidup saat lahir. Usia harapan hidup

saat lahir (life expectancy) mencerminkan tingkat kesehatan dan gizi yang baik.

Kedua, dimensi pengetahuan yang diukur dengan angka melek huruf mereka

yang berumur 15 tahun. Angka ini menunjukkan kemampuan untuk menuju

dunia pengetahuan yang lebih tinggi. Ketiga, dimensi ekonomi, standar hidup

yang layak dilihat dari GDP perkapita Untuk dapat membandingkan dengan

daerah/negara lain maka indikator yang digunakan adalah kemampuan daya

beli (purchasing power parity); dengan indikator ini dapat diukur sejauhmana

kemampuan daya beli di satu daerah/ negara dapat dibandingkan dengan

kemampuan daya beli daerah/negara lain.

Namun untuk mencapai IPM yang unggul adalah tidak mudah. Terdapat dua

tantangan yang dihadapi suatu negara yaitu, tantangan dari dalam (internal)

dan tantangan dari luar (eksternal). Tantangan bersifat internal adalah

rendahnya tiga indikator komposit IPM, sedangkan tantangan bersifat eksternal

yaitu globalisasi dan liberalisasi ekonomi. Tantangan kedua tidak dapat diatasi

ketika permasalahan pada tantangan pertama tidak terselesaikan, dan kedua

tantangan ini harus diselesaikan secara bersamaan.

Bagaimana posisi IPM Indonesia? Posisi Indonesia seperti yang dilaporkan

UNDP adalah sebagai berikut. Tahun 2005, Indonesia menempati posisi ke

110 dari 177 negara dengan indeks 0,697, lebih rendah dari Vietnam yang

Page 216: 5. sesi  ekonomi dan kemiskinan

ISBN 978-602-98295-0-1

Prosiding Seminar Nasional, 13-14 Desember 2010

1137

menempati posisi 108 dengan indeka 0,704 dan jauh lebih rendah dari Filipina

(84/0,758), Thailand 73/0,778) dan Malaysia (61/ 0,796). Tahun 2006,

Indonesia mengalami kemajuan dengan mencapai indeks IPM 0,711 dan

berada di urutan ke 108 mengalahkan Vietnam. Pada tahun 2007, IPM

Indonesia meningkat menjadi 0,734. Variabel yang mengkontribusi IPM tahun

2007 menjadi bertambah lebih baik, adalah angka harapan hidup hidup sejak

dilahirkan, 70,5, jumlah penduduk Indonesia berumur 15 tahun telah melek

huruf 92,0%, enrollment ratio 68,2% dan angka GDP per kapita US$ 3,712.

Namun demkian, sepanjang tahun 2005, 2006 dan 2007, posisi Indonesia

selalu dibawah Thailand, China, Filipina, bahkan di bawah Palestina (Tabel 1).

Bagaimana bila dibandingkan dengan negara-negara lain diluar negara ASEAN.

Jika dibandingkan dengan negara-negara Sub-Saharan Africa, Asia Selatan

dan Arab (Gambar 1), IPM Indonesia tahun 2005 masih lebih baik, tetapi

dibandingkan dengan negara-negara Karibia, Asia Timur dan Pasific, IPM

Indonesia masih di bawah posisi negara-negara tersebut (Gambar 1).

Gambar 1 IPM Indonesia dan Negara-negara Lainnya Tahun 2005

Page 217: 5. sesi  ekonomi dan kemiskinan

ISBN 978-602-98295-0-1

Prosiding Seminar Nasional, 13-14 Desember 2010

1138

Tabel 1 HDI 1980-2007

HDI rank

Country code Country name 1980 1985 1990 1995 2000 2005 2006 2007

VERY HIGH HUMAN DEVELOPMENT (OR DEVELOPED)

23 SGP Singapore 0.785 0.805 0.851 0.884 .. .. 0.942 0.944

30 BRN Brunei Darussalam 0.827 0.843 0.876 0.889 0.905 0.917 0.919 0.920

HIGH HUMAN DEVELOPMENT (OR DEVELOPING)

66 MYS Malaysia 0.666 0.689 0.737 0.767 0.797 0.821 0.825 0.829

MEDIUM HUMAN DEVELOPMENT (OR DEVELOPING)

87 THA Thailand 0.658 0.684 0.706 0.727 0.753 0.777 0.780 0.783

92 CHN China 0.533 0.556 0.608 0.657 0.719 0.756 0.763 0.772

105 PHL Philippines 0.652 0.651 0.697 0.713 0.726 0.744 0.747 0.751

110 PSE Occupied Palestinian Territories .. .. .. .. .. 0.736 0.737 0.737

111 IDN Indonesia 0.522 0.562 0.624 0.658 0.673 0.723 0.729 0.734

116 VNM Viet Nam .. 0.561 0.599 0.647 0.690 0.715 0.720 0.725

134 IND India 0.427 0.453 0.489 0.511 0.556 0.596 0.604 0.612

137 KHM Cambodia .. .. .. .. 0.515 0.575 0.584 0.593

138 MMR Myanmar .. 0.492 0.487 0.506 .. 0.583 0.584 0.586

148 PNG Papua New Guinea 0.418 0.427 0.432 0.461 .. 0.532 0.536 0.541

LOW HUMAN DEVELOPMENT (OR DEVELOPING)

162 TMP Timor-Leste .. .. .. .. .. 0.488 0.484 0.489

Deskripsi kuantitatif indeks komposit IPM di atas memberikan pelajaran bahwa

pembangunan manusia harus dilakukan berkesinambungan. Diharapkan,

Indonesia dapat memainkan peran penting, terutama menghadapi persaingan

yang semakin ―mengglobal‖.

Namun, perjuangan untuk dapat memainkan peranan global, tidak hanya

terkonsentrasi meningkatkan angka IPM. Perlu berbagai kebijakan yang saling

mendukung. Dalam konteks pencapaian keberhasilan pembangunan, maka

pembangunan harus diletakkan pada 3 faktor utama, yakni pro-growth, pro-job

dan pro-poor. Pembangunan yang hanya menfokuskan pada pertumbuhan

ekonomi tinggi memang akan menghasilkan pendapatan per kapita yang tinggi.

Namun pendapatan per kapita tinggi tidak mencerminkan kesejahteraan yang

relatif merata untuk seluruh masyarakat. Hasil penelitian (Nurlina, 2003)

menunjukkan bahwa di Sumatera Selatan pada tahun 2003 terjadi ketimpangan

pendapatan yang cukup tinggi, 20% kelompok kaya menerima lebih dari 40%

Page 218: 5. sesi  ekonomi dan kemiskinan

ISBN 978-602-98295-0-1

Prosiding Seminar Nasional, 13-14 Desember 2010

1139

pendapatan, sedangkan 40% dari kelompok berpendapatan rendah hanya

menerima 13-19% dari pendapatan.

Berikut, Gambar 2 menunjukkan suatu fenomena menarik. Tahun 2007, GDP per

kapita Indonesia US $ 3,700 sedangkan Filipina ―hanya‖ US$ 3,400, yang berarti

Indonesia dapat dikategorikan negara yang lebih kaya dari Filipina. Akan tetapi

indeks komposit pembangunan manusia Indonesia ternyata lebih rendah dari

Filipina. Fenomena ini memperlihatkan bahwa program pertumbuhan ekonomi

tinggi hanya dinikmati sebagian kecil masyarakat. Program yang pro-growth

tidak diarahkan untuk meningkatkan kesejahtaraan masyarakat secara

keseluruhan terutama masyarakat miskin. Atau dengan kata lain, kekayaan

Indonesia tidak terdistribusi secara merata. Ini merupakan ketidakefisienan dalam

pengelolaan hasil-hasil pembangunan.

Gambar 2 HDI dan GDP per kapita Indonesia dan Filipina

Tahun 2007

FREE TRADE AREA/AC-FTA

Free Trade Area (FTA) menggambarkan dunia tanpa batas. Setiap negara dapat

mengekspor/mengimpor barang dan jasa tanpa hambatan tariff dan juga

hambatan non tariff. Dasar pemikiran membentuk kerjasama perdagangan

Page 219: 5. sesi  ekonomi dan kemiskinan

ISBN 978-602-98295-0-1

Prosiding Seminar Nasional, 13-14 Desember 2010

1140

dengan keinginan agar setiap negara dapat memperoleh manfaat melalui

spesifikasi produksi yang diunggulkan masing-masing negara. Negara-negara

Asean (Indonesia, Malaysia, Philippina, Thailand dan Singapore atas prakarsa

PM Thailand (Anand Panyarachun) tahun 1992 di Kuala Lumpur membentuk

ASEAN Free Trade Area (AFTA). Blok perdagangan AFTA ini bertujuan untuk

memajukan local manufacturing semua negara ASEAN. Untuk itu ASEAN

menentukan besarnya tarif 0-5% untuk barang dan jasa dari negara ASEAN yang

masuk ke negara ASEAN lainnya (termasuk negara CMLV. Cambodia, Myanmar,

Laos dan Vietnam).

Namun, ide dasar untuk dapat memperoleh manfaat dari terbentuknya FTA tidak

berjalan mulus. Fakta menunjukkan perdagagan bebas dapat menimbulkan

dampak negatif, seperti terjadi eksploitasi terhadap negara yang lebih lemah,

rusaknya industri lokal dan faktor keamanan yang kurang terjamin. Selain itu pula

negara yang lebih efisien akan lebih menguasai perdagangan, meskipun

agreement yang disepakati tampaknya menguntungkan negara-negara yang

tergabung dalam asosiasi tersebut.

Selain membentuk blok perdagangan sesama negara Asean, Indonesia juga

membentuk blok perdagangan dengan China dengan Framework Agreement on

Comprehensive Economic Co-operation (AC-FTA). Kerangka kerja ini

memperlihatkan bahwa perdagangan bebas antara keduanya akan menghasilkan

manfaat antara kedua belah pihak. Untuk meningkatkan kerjasama ekonomi maka

disepakati: a) penghapusan tariff dan hambatan non-tariff dalam perdagangan

barang, b) liberalisasi secara progresif perdagangan jasa, c) membangun regim

investasi yang kompetitif dan terbuka dalam kerangka AC-FTA. Tujuan dari

framework agreement tersebut: a) memperkuat dan meningkatkan kerjasama

ekonomi, perdagangan dan investasi kedua pihak, b) meliberalisasikan

perdagangan barang, jasa dan investasi, c) mencari area baru dan

mengembangkan kerjasama ekonomi yang saling menguntung-kan, d)

memfasilitasi integrasi ekonomi yang lebih efektif dengan negara anggota baru

ASEAN dan menjembatani gap yang ada di kedua belah pihak.

Page 220: 5. sesi  ekonomi dan kemiskinan

ISBN 978-602-98295-0-1

Prosiding Seminar Nasional, 13-14 Desember 2010

1141

Untuk kasus Indonesia, data lapangan menunjukkan kerjasama yang terjadi

hanya menguntungkan China. Nilai ekspor Non Migas Indonesia ke China jauh

lebih rendah dari nilai impor barang yang sama dari China (Gambar 3). Dengan

demikian produk non migas China mempunyai keunggulan dari produk non migas

yang dihasilkan Indonesia. Tabel 2 mendukung hal di atas, selama 2 tahun

terakhir nilai ekspor ke China relatif lebih kecil dibanding dengan nilai impor dari

China. Dengan kata lain Indonesia tidak memperoleh value added yang tinggi

dari perdagangan bebas ini.

Tabel 2 Ekspor dan Impor Indonesia ke dan dari China

2007 dan 2008 (dalam juta US $)

No.

Ekspor Impor

HS 2007 2008 HS 2007 2008

1 15 1520,6 2119,1 84 1503,8 3394,2

2 40 762,1 901,2 85 1255,0 3281,0

3 47 510,9 742,3 72 858,2 1026,2

4 26 613,1 649,2 73 366,3 872,9

5 29 549,9 335,1 29 371,6 511,5

6 74 330,2 315,5 28 269,8 466,6

7 85 217,9 279,1 39 182,5 335,2

8 84 276,6 255,7 31 106,5 323,2

9 48 194,9 195,1 52 86,4 299,6

10 44 194,7 157,9 08 255,4 248,0

Sumber: Mutakin dan Salam, 2009

Keterangan:

HS: produk-produk highly sensitive 15: lemak dan minyak hewan/nabati dan produk disosiasinya 40: karet dan barang daripadanya 47: pulp dari kayu, kertas atau kertas kartom yang diputihkan 26: biji logam, terak dan abu 29: bahan kimia oeganik 74: tembagadan barang daripadanya 85: mesin dan perlengkapan elektrik serta bagiannya, perekam, preproduksi gambar dan suara televisi, dan bagian asesoris dari barang tersebut 84: reactor nuklir, ketel, mesin dan peralatan mekanis dan bagian daripadanya 48: kertas dan kertas karton, barang dari pulp kertas, dari kertas atau dari kertas karton 44: kayu dan barang dari kayu, arang kayu 72: besi dan baja besi 73: barang dari besi dan baja

Page 221: 5. sesi  ekonomi dan kemiskinan

ISBN 978-602-98295-0-1

Prosiding Seminar Nasional, 13-14 Desember 2010

1142

29: bahan kimia organic 28: bahan kimia organic, senyawa organic atau anorganik, dari logam mulia, dari logam tanah lengka, dari unsure radio aktif atau dari isotop 39: plastic dan barang daripadanya 31: pupuk 52: kapas 08: buah dan buah tempurung yang dapat dimakan, kulit dari buah jeruk atau melon

Gambar 3 Neraca Perdagangan Non Migas Indonesia – China 2004-2008

(dalam miliar Rupiah)

Indonesia kalah bersaing dari China. Laporan the World Economic Forum tentang

The Global Competitiveness Report (GCR) tahun 2008-2009 memperlihatkan

kelemahan Indonesia dari 3 sisi, basic requirement, efisiensi dan inovasi, masing-

masing menduduki rangking 78, 49 dan 45. Sementara China untuk ketiga hal

tersebut berada di rangking 42, 40, 32. Ketiga hal tersebut membentuk overall

index, Indonesia berada di ranking ke 55 dengan overall index 4,09, sedangkan

China pada rangking ke 30 dengan overall index 4,70. China menempati posisi

30 top dunia, Posisi China pada tahun 2009-2010 meningkat menempati urutan

ke 29 dengan index 4,74 dan tahun 2010-2011 menempati rangking 27 dengan

index 4,84. Negara Asean lainnya yang mengalahkan Indonesia adalah

Singapura (menempati posisi 5) Malaysia (posisi 21), Thailand (posisi 34)

Page 222: 5. sesi  ekonomi dan kemiskinan

ISBN 978-602-98295-0-1

Prosiding Seminar Nasional, 13-14 Desember 2010

1143

Hal di atas menyimpulkan bahwa adanya persetujuan tentang perdagangan

bebas tanpa hambatan tariff dan non tariff, tetap menguntungkan suatu Negara

dan merugikan Negara lainnya. Sebab kekuatan ekonomi antar Negara sangat

timpang. Ketimpangan ini dikontribusi oleh kekurangmampuan dalam inovasi dan

ketidakefisienan dalam setiap usaha/tindakan.

Namun demikian, kondisi ini tidak perlu ditakuti, karena roda globalisasi dan

liberalisasi terus berjalan dan tidak ada suatu negara yang dapat mengisolasi diri

dari kondisi tersebut. Untuk dapat bersaing di era ACFTA maka salah satu cara

memperkuat daya saing dengan cara meningkatkan kualitas pelaku pembangunan

melalui pendidikan dan melalui kemampuan dalam sains dan teknologi.

STRATEGI DALAM MENINGKATKAN DAYA SAING

Banyak strategi untuk dapat meningkatkan daya saing. Namun ujung tombak dari

strategi tersebut adalah peningkatan kualitas sumber daya manusia, terutama

Page 223: 5. sesi  ekonomi dan kemiskinan

ISBN 978-602-98295-0-1

Prosiding Seminar Nasional, 13-14 Desember 2010

1144

melalui peningkatan kualitas pendidikan. Sebab dalam komponen pendidikan,

tercakup secara tidak langsung komponen kesehatan dan ekonomi, karena itu

pendidikan memerlukan perhatian serius.

Pendidikan merupakan jendela untuk meraih dunia. Tanpa pendidikan yang lebih

baik yang dipunyai rata-rata penduduk maka Indonesia susah bersaing di pasar

global. Dalam era informasi sekarang ini, dimensi pendidikan tidak hanya berkutat

pada melek huruf tetapi jangkauannya sudah semakin meningkat, bahwa yang

diperlukan adalah manusia yang berkualitas tinggi serta mampu bersaing dalam

berbagai bidang.

Paradigma pendidikan mengalami pergeseran. Pada masa lalu, diutamakan

adalah orang-orang yang memiliki pendidikan dan ketrampilan tinggi; sedangkan

paradigma pendidikan masa kini adalah sejauhmana pendidikan mampu

meningkatkan sumber daya bangsa menjadi semakin bermartabat. Dengan

demikian keberhasilan peningkatan kualitas pendidikan adalah keberhasilan

memadukan pendidikan yang memfokuskan pada hard skil (paradigma lama) dan

soft skill. Pendidikan yang mengutamakan hard skill membuat seseorang

menguasai pengetahuan yang jika dipadu dengan pendidikan yang memuat soft

skill akan membentuk karakter yang mau bekerja keras, kepercayaan diri tinggi,

mempunyai visi ke depan dan memiliki keilmuan yang tinggi.

Oleh karena itu, peningkatan pembangunan manusia lewat pendidikan yang

memuat hard skill dan soft skill akan mempercepat keberhasilan dalam

pembangunan. Sebab, kedua hal tersebut merupakan dasar untuk melakukan

inovasi dan pengembangan sains dan teknologi. Rendahnya competitiveness

indeks Indonesia dibandingkan China disebabkan rendahnya kemampuan sains

dan teknologi.

Peran sains dan teknologi dalam pembangunan berkelanjutan adalah sangat

penting. Peran sains dan teknologi dalam pertumbuhan ekonomi Indonesia tahun

2007 hanya 1,38%, berarti pertumbuhan ekonomi nasional masih di dominasi oleh

faktor modal bukan oleh sains dan teknologi. Sentuhan sains dan teknologi untuk

barang-barang Indonesia yang di ekspor ke China relatif rendah karena yang di

Page 224: 5. sesi  ekonomi dan kemiskinan

ISBN 978-602-98295-0-1

Prosiding Seminar Nasional, 13-14 Desember 2010

1145

ekspor merupakan bahan mentah. Sementara yang di impor dari China

merupakan barang yang memiliki value added tinggi.

Perkembangan ekonomi yang berakar pada kemampuan teknologi dan inovasi

tidak hanya memberikan kekuatan untuk bersaing di kancah perdagangan

internasional, namun yang terutama dapat meningkatkan taraf hidup masyarakat

(Kardiman, tanpa tahun).

KESIMPULAN

Pembangunan SDM di Indonesia secara kontinyu harus terus dilakukan. IPM

Indonesia masih tertinggal dengan negara-negara lain. Sepanjang tahun 2005-

2007, posisi IPM Indonesia lebih rendah dibandingkan dengan negara Asean

lainnya, seperti Thailand, Filipina dan Malaysia. Di tengah kancah dunia, IPM

Indonesia di bawah Amerika Latin dan Karibia.

Rendahnya IPM Indonesia, yang berarti rendahnya kualitas SDM Indonesia,

berdampak pada rendahnya inovasi dan efisiensi. Rendahnya kemampuan

melakukan inovasi dan rendahnya tingkat efisiensi dibandingkan, antara lain

dengan Singapura, Malaysia dan China, menyebabkan Indonesia menduduki

rangking 55 dalam persaingan ekonomi global.

Oleh karena itu, Indonesia harus melakukan percepatan dalam peningkatan IPM,

terutama kualitas pendidikan. Jika tantangan internal ini (peningkatan kualitas

pendidikan) ini sudah dapat diatasi maka Indonesia mampu menghadapi

tantangan external berupa globalisasi dan liberalisasi ekonomi

DAFTAR RUJUKAN

GDP - Country Comparison. http://www.indexmundi.com/g/r.aspx. Diakses 8 November 2010.

Kadirman, Kusmayanto. Membangun Daya Saing, Kemandirian Sains dan

Teknologi Bangsa. Diakses 13 Oktober 2010.

Page 225: 5. sesi  ekonomi dan kemiskinan

ISBN 978-602-98295-0-1

Prosiding Seminar Nasional, 13-14 Desember 2010

1146

Mutakin, Firman & AR Salam, 2009. ―Dampak Penerapan Asean China Free Trade Agreement bagi Perdagangan Indonesia‖. Economic Review, 218, 2009.

Nurlina Tarmizi, 2003. Pemberdayaan Ekonomi Keluarga Melalui Agihan Masa

Pekerja Keluarga Wanita: Kajian Kes Propinsi Sumatera Selatan Indonesia. Tesis Program Doktor. Bangi: Universiti Kebangsaan Malaysia.

Nurlina Tarmizi, 2005. Gejolak Ekonomi, Kemiskinan dan Alternatif Kebijakan

Pengentasan. Pidato Pengukuhan Sebagai Guru Besar Bidang Ilmu Ekonomi pada FE UNSRI.

Nurlina Tarmizi, 2009. Ekonomi Ketenagakerjaan. Badan Penerbit Universitas

Sriwijaya. Porter, Michael E & Klaus Schwab, 2008. The Global Competitiveness Report

2008-2009. Geneva: World Forum. Diakses 12 Oktober 2010. Solihat, Eneng dkk, 2010. Angka Harapan Hidup Indonesia,

http://nezz33.blogspot.com/2010-Angka-harapan-hidup.html. Diakses 8 November 2010.

The Grey Chronics. http://reyadel.word press.com/2009/06/27//asian

competitiveness. Diakes, 13 Oktober 2010. UNDP, 2009. Human Development Report 2009. Diakses 9 Oktober 2010. UNDP, HDI Trend. Diakses 11 Oktober 2010. Wikipedia, Asean Free Trade Area, http://en.wikipedia.org/wiki/ASEAN

Free_Trade_Area. Diakses. 9 Oktober 2010. Yustiana, CB, 2010. Soft Skill dalam Pembangunan Sumber Daya Manusia.

Diakses 6 Oktober 2010.

Page 226: 5. sesi  ekonomi dan kemiskinan

ISBN 978-602-98295-0-1

Prosiding Seminar Nasional, 13-14 Desember 2010

1147

Kajian Penguatan Badan Usaha Milik Daerah (BUMD) Provinsi Sumatera Selatan.

Syamsurijal, AK, H. Isnurhadi, Kosasih M. Zen, Subardin, Welly Nailis. Husni Thamrin, Eko Fitrianto, Zaleha, dan Lamazi

Fakultas Ekonomi Universitas Sriwijaya

Balitbang Sumatera Selatan dan Fakultas Ekonomi Universitas Sriwijaya

I, PENDAHULUAN

I.1 Latar Belakang

Badan Usaha Milik Daerah (BUMD) dibentuk berdasarkan UU No. 5 tahun

1962 tentang Perusahaan Daerah yang diperkuat UU no. 32 tahun 2004 tentang

Otonomi Daerah. Tujuan dibentuknya BUMD tersebut adalah untuk melaksanakan

pembangunan daerah melalui pelayanan jasa kepada masyarakat,

penyelenggaraan kemanfaatan umum dan peningkatan penghasilan pemerintah

daerah.

Dapat dikemukakan lebih lanjut bahwa BUMD itu berdasarkan kategori

sasarannya dapat dibedakan dua golongan yaitu perusahaan daerah untuk

melayani kepentingan umum dan perusahaan daerah untuk tujuan peningkatan

penerimaan daerah dalam Pendapatan Asli daerah (PAD) nya. BUMD bergerak

dalam berbagai bidang usaha, yaitu jasa keuangan dan perbankan (bank Sumsel),

jasa air bersih (PDAM) dan berbagai jasa dan usaha produktif lainnya pada

industri, perdagangan dan perhotelan, pertanian – perkebunan, perparkiran,

percetakan dan lain-lain.

Sumatera Selatan saat ini memiliki 6 (enam) BUMD yang bergerak

diberbagai bidang. Antara lain yaitu PT. Bank SUMSEL BABEL, PT BPR Sriwijaya

Primadana (di bidang perbankan), PD. PDE (di bidang Pertambangan dan

Energi). PD. Prodexim (di bidang Perdagangan Ekspor dan Impor), PD.

Percetakan Meru (di bidang Percetakan), PD. Hotel Swarna Dwipa (di bidang

Perhotelan). Dalam perkembangannya BUMD di lingkungan SUMSEL memiliki

peran yang cukup baik seperti PT Bank SUMSEL Babel yang merupakan Bank

Pembangunan Daerah dengan sistem yang cukup baik, saat ini jangkauan

operasional perusahaan telah mencakup 2 (dua) provinsi sekaligus yaitu

Page 227: 5. sesi  ekonomi dan kemiskinan

ISBN 978-602-98295-0-1

Prosiding Seminar Nasional, 13-14 Desember 2010

1148

Sumatera Selatan dan Bangka Belitung. Hotel Swarna Dwipa juga merupakan

BUMD yang mulai menunjukkan pertumbuhan yang positif, hal ini ditunjang dari

program pariwisata yang mulai digalakkan oleh pemerintah daerah baik Provinsi

Sumatera Selatan sendiri maupun pemerintah kota Palembang sebagai kota

tempat basis usaha.

Namun dalam perjalanannya tidak semua BUMD mengalami pertumbuhan

usaha yang baik, seperti PD. Prodexim dan PD. Percetakan Meru memiliki

masalah pada operasional perusahaan dan dikategorikan sakit (Data Biro

Perekonomian Provinsi SUMSEL). Sehingga dibutuhkan suatu metode

penanggulangan yang baik berdasarkan kajian riset ekonomi dan kondisi

manajemen usaha, serta riset potensi pasar bagi BUMD yang ada.

I.2 Perumusan Masalah

1. Seberapa baik kinerja BUMD selama 5 tahun terakhir?

2. Faktor apakah yang dominan mempengaruhi kinerja BUMN tersebut?

3. Bagaimana potensi pasar Sumatera Selatan pada umumnya dan pasar

Palembang pada khususnya dalam upaya mendukung perkembangan

BUMD tersebut?

I.3 Tujuan Penelitian

1. Untuk mengetahui bagaimana kondisi dan kinerja BUMD milik Pemda

Sumatera Selatan.

2. Mengetahui faktor apa yang mempengaruhi kinerja BUMD tersebut.

3. Mengetahui potensi pasar tempat BUMD tersebut menjalankan operasinya.

I.4 Manfaat Penelitian

Dengan mengetahui dan memahami kondisi dan kinerja BUMD serta faktor

yang menjadi penyebabnya maka pimpinan atau manajemen BUMD dapat

merumuskan strategi manajemen yang lebih optimal dalam mencapai tujuan dan

sasaran perusahaan seperti yang dikehendaki oleh Pemda Sumatera Selatan.

I.5 Sasaran Penelitian

Page 228: 5. sesi  ekonomi dan kemiskinan

ISBN 978-602-98295-0-1

Prosiding Seminar Nasional, 13-14 Desember 2010

1149

Sasaran dari kajian ini adalah BUMD-BUMD yang menjadi milik Pemda

Provinsi Sumatera Selatan yang masih berstatus Perusahaan Daerah atau PD,

antara lain :

1. PD Hotel Swarna Dwipa (Perhotelan)

2. PD. PDE (Pertambangan dan Energi)

3. PD Meru (Percetakan)

4. PD Prodexim (Ekspor-Impor)

I. 6 Kerangka Pemikiran

Salah satu tujuan didirikannya perusahaan secara umum adalah untuk

dapat menghasilkan laba. Dengan laba tersebut perusahaan dapat berkembang.

Laba juga akan memberikan pembagian keuntungan kepada Pemda dalam

bentuk dividen. Untuk dapat menghasilkan laba dan berkembang dengan baik

maka perusahaan dalam bentuk apapun harus dikelola dengan baik.

Namun selain manajemen yang baik, diperlukan juga kondisi yang

mendukung dalam hal ini adalah perekonomian atau lebih konkritnya adalah

aspek pasar. Apakah pasar Sumatera Selatan atau Palembang pada khususnya

mendukung perkembangan BUMD tersebut. Dengan kombinasi potensi pasar

yang besar dengan manajemen BUMD yang baik maka akan tercipta sinerji yang

baik sehingga BUMD dapat berkembang dan menghasilkan laba yang baik pula

yang pada akhirnya akan memberikan sumbangan terhadap Pemda Sumatera

Selatan. Sinerji yang baik ini pula pada akhirnya akan mampu meningkatkan

kesejahteraan masyarakat Sumatera Selatan.

I.7 Metode Penelitian

I.7.1 Rancangan Penelitian

a. Penelitian ini merupakan suatu penelitian terapan (applied research)

yaitu penyelidikan yang hati-hati, sistematis terhadap suatu masalah

dengan tujuan untuk digunakan segera demi keperluan tertentu.

b. Penelitian ini juga merupakan penelitian observasional yaitu

pengamatan terhadap objek yang diteliti, berusaha mengumpulkan

data dari fenomena yang telah muncul untuk memberikan penafsiran

yang diperoleh melalui data primer dalam pengumpulan data.

Page 229: 5. sesi  ekonomi dan kemiskinan

ISBN 978-602-98295-0-1

Prosiding Seminar Nasional, 13-14 Desember 2010

1150

I. 7.2 Populasi dan Sampel

Populasi dalam penelitian adalah seluruh karyawan pada Perusahan

Daerah Milik Pemerintah Provinsi Sumatera Selatan. Sedangkan sampel data

yang diambil adalah berupa data kinerja perusahaan pada 5 (lima) tahun terakhir

meliputi data karyawan, data pemasaran dan data keuangan.

I.7.3 Metode Pengambilan Data

Metode penelitian menggunakan dua jenis data yaitu data primer dan data

sekunder.

1. Data Primer

Alat yang digunakan adalah metode interview dan diskusi yang mendalam (in-

depth interviews) dengan panduan kuesioner untuk daftar pertanyaan yang

digunakan untuk mengumpulkan informasi dari responden.

Adapun responden penelitian ini adalah pengambil keputusan setingkat

dibawah pimpinan utama (Direktur Utama) semisal Direktur Pemasaran untuk

Aspek Pemasaran, Direktur Keuangan untuk Aspek Keuangan, dan Direktur

SDM untuk Aspek SDM. Enumerator yang bertugas mengumpulkan data di

lapangan adalah staf peneliti dari Balitbangda Provinsi Sumatera Selatan

dengan koordinasi langsung oleh Tim Peneliti dari Universitas Sriwijaya.

2. Data Sekunder

Data sekunder terdiri dari data Jumlah Penduduk Sumatera Selatan dan

Palembang saat ini, PDB tahun 2005-2009, PAD tahun 2005-2009, DAU tahun

2005-2009 untuk aspek kajian ekonomi makro. Dan data keuangan

perusahaan yang meliputi Laporan Laba-Rugi, Neraca Keuangan dan laporan

lain yang sesuai dengan kebutuhan penelitian.

I.8 Bidang Kajian

Adapun jenis kajian yang dilakukan pada penelitian ini sebagai berikut:

1. Kajian Potensi Pasar (aspek ekonomi) Sumatera Selatan secara umum

dan Palembang secara khusus tempat dimana BUMD-BUMD tersebut

beroperasi.

2. Kajian di bidang Manajemen Keuangan

Page 230: 5. sesi  ekonomi dan kemiskinan

ISBN 978-602-98295-0-1

Prosiding Seminar Nasional, 13-14 Desember 2010

1151

3. Kajian di bidang Manajemen Pemasaran

4. Kajian di bidang Manajemen Sumberdaya Manusia

II. GAMBARAN UMUM PERUSAHAAN DAERAH

II.1 Gambaran Umum BUMD

Sebagaimana yang diamanatkan dalam GBHN 1999 dan Undang-undang

No. 25 Tahun 2000 tentang Program Pembangunan Nasional (Propenas) Tahun

2000 – 2004 adalah bahwa perwujudan otonomi daerah dalam pertumbuhan

ekonomi dan pemerataan antar daerah dilaksanakan melalui berbagai arah

kebijakan, utamanya adalah: (a) mengembangkan otonomi daerah secara luas,

nyata, dan bertanggung jawab dalam rangka pemberdayaan masyarakat, serta

berbagai lembaga ekonomi dan masyarakat di daerah; (b) melakukan pengkajian

dan saran kebijakan lebih lanjut tentang berlakunya otonomi daerah bagi daerah

provinsi, daerah kabupaten dan kota serta daerah perdesaan; dan (c)

mewujudkan perimbangan keuangan antara pusat dan daerah secara adil dengan

mengutamakan kepentingan daerah yang lebih luas melalui desentralisasi

perizinan dan investasi serta pengelolaan sumber daya di daerah.

Dalam hubungan ini, sebagai sumber-sumber penerimaan daerah

keseluruhannya dalam pelaksanaan otonomi dan desentralisasi ini adalah: (a)

Pendapatan Asli Daerah; (b) Dana Perimbangan; (c) Pinjaman Daerah dan (d)

Lain-lain Penerimaan yang sah. Dan sumber PAD tersebut meliputi; (a) hasil pajak

daerah; (b) hasil retribusi daerah; (c) hasil perusahaan milik daerah dan hasil

kekayaan daerah lainnya yang dipisahkan dan (d) lainlain PAD yang sah.

Sehubungan dengan itu, sesungguhnya usaha dan kegiatan ekonomi

daerah yang bersumber dari hasil badan usaha milik daerah (BUMD) telah

berjalan sejak lama. BUMD tersebut dibentuk berdasarkan UU No. 5 Tahun 1962

tentang Perusahaan Daerah, yang diperkuat oleh UU No. 5 Tahun 1974 tentang

Pokok-pokok Pemerintahan di Daerah (Nota Keuangan dan RAPBN, 1997/1998).

Tujuan dibentuknya BUMD tersebut adalah untuk melaksanakan pembangunan

daerah melalui pelayanan jasa kepada masyarakat, penyelenggaraan

kemanfaatan umum dan peningkatan penghasilan pemerintah daerah.

II. 2 BUMD di Sumatera Selatan

Page 231: 5. sesi  ekonomi dan kemiskinan

ISBN 978-602-98295-0-1

Prosiding Seminar Nasional, 13-14 Desember 2010

1152

Sumatera Selatan saat ini memiliki 6 (enam) BUMD yang bergerak

diberbagai bidang. Antara lain yaitu PT. Bank SUMSEL BABEL, PT BPR Sriwijaya

Primadana (di bidang perbankan), PD. PDE (di bidang Pertambangan dan

Energi). PD. Prodexim (di bidang Perdagangan Ekspor dan Impor), PD.

Percetakan Meru (di bidang Percetakan), PD. Hotel Swarna Dwipa (di bidang

Perhotelan).

III. HASIL DAN PEMBAHASAN

3.1. ASPEK EKONOMI

Salah satu sumber pembiayaan alternatif bagi pembangunan adalah

pengembangan BUMD.. Sehubungan dengan hal ini, ada dua model

pengembangan yang dapat dipertimbangkan. Pertama, BUMD bekerjasama

dengan pihak swasta membentuk perusahan dengan masing-masing pihak turut

memberikan modal sesuai kesepakatan bersama. Kedua, pemerintah daerah

secara langsung bekerjasama dengan pihak swasta, membentuk perusahan baru

dengan modal yang disepakati. Kedua model ini diperkirakan dapat memicu

pembangunan dan pengelolaan infrastruktur dasar strategis di daerah yang

diperkirakan dapat memberikan manfaat ekonomi dan keuangan cukup signifikan

bagi Sumsel di masa mendatang.

Menilik potensi perekonomian Sumsel yang berkembang pesat, maka

peluang pengembangan BUMD berpotensi untuk meningkatkan PAD. Hanya saja

diperlukan upaya-upaya penguatan kelembagaan untuk menciptakan iklim usaha

kompetitif bagi BUMD. Pengembangan manajerial dan SDM Profesional yang

akan mengelola BUMD dilakukan dengan berbagai pelatihan dan rekrutmen untuk

menjaring tenaga berkualitas.

Kegiatan pembangunan termasuk pengembangan BUMD sangat

bergantung pada ketersediaan dana sebagai salah satu input dalam proses

pembangunan. Keberhasilan pembangunan ditentukan pula oleh kemampuan

dalam menggali dan mengelola dana pembangunan baik yang berasal dari

sumber lokal maupun dari berbagai sumber lainnya.

Pengembangan BUMD dapat dilakukan dengan model yang menunjukkan

adanya partisipasi antar aktor ekonomi. Model kerjasama (kemitraan) yang

menunjukkan hubungan antara sektor publik dengan sektor swasta atau

Page 232: 5. sesi  ekonomi dan kemiskinan

ISBN 978-602-98295-0-1

Prosiding Seminar Nasional, 13-14 Desember 2010

1153

masyarakat dalam rangka menggali sumber dana untuk membiayai investasi

pengembangan BUMD melalui partisipasi sektor publik dan swasta serta

masyarakat.

Bentuk kerjasama antara sektor publik dan sektor swasta serta partisipasi

masyarakat dalam penyediaan dana tergantung kepada bentuk hubungan yang

dijalin antara lembaga/sektor (pelaku-pelaku ekonomi). Kerjasama dapat saja

berbentuk kemitraan dan partisipasi atau bentuk lainnya. Bentuk-bentuk

kerjasama tersebut dapat berupa Joint venture; Venture capital; build, operate,

and transfer (BOT); build, transfer, and operate (BTO); production sharing

agreement (PSA); special purpose company (SPC); konsesi; penciptaan dan

penjualan obligasi dan saham melalui initial public offering (privatisasi perusahaan

publik).

Kerjasama dalam pembiayaan investasi melalui venture capital (kongsi)

sangat menguntungkan, karena ide-ide yang hebat tidak dapat dikonversi kedalam

produk yang dapat dipasarkan tanpa adanya pembiayaan. Sebagai contoh,

Perusahaan BUMD yang menciptakan barang cetakan (PD Grafika Meru)

memerlukan dukungan pembiayaan yang besar untuk membayar programmer

yang mendesain lay out, membiayai promosi, membayar tenaga penjual, dan

biaya lain-lain dalam menjalankan perusahaan. Tanpa adanya hubungan dengan

user maka perusahaan tersebut tidak akan mampu menawarkan jasanya.

Berbagai model pembiayaan bagi pengembangan BUMD dapat ditempuh

oleh pemerintah daerah untuk memanfaatkan potensi ekonomi yang ada. Potensi

ekonomi Sumsel seperti pada sektor pertambangan dan energi sebenarnya bisa

dikelola sendiri oleh pemerintah daerah dengan mengembangkan BUMD. Dengan

demikian benefit dari sumberdaya alam tersebut dirasakan manfaatnya langsung

oleh masyarakat Sumatera Selatan.

3.2 ASPEK SUMBER DAYA

1. PDPDE

Berdasarkan hasil pembahasan pada bagian terdahulu, dapat diketahui

dalam bidang MSDM, PDPDE belum berjalan sebagaimana mestinya. Beberapa

fungsi MSDM masih perlu dibenahi, terutama untuk mendapatkan kinerja unggul

Page 233: 5. sesi  ekonomi dan kemiskinan

ISBN 978-602-98295-0-1

Prosiding Seminar Nasional, 13-14 Desember 2010

1154

dan mampu bersaing. Penerimaan dan penempatan pegawai masih perlu

dibenahi, dibutuhkan persayaratan prilaku disamping syarat pengetahuan.

Pelaksanaan pelatihan pegawai tidak disesuaikan berdasarkan analisis

kebutuhan pelatihan. Pemberian kompensasi belum berdasarkan capaian kinerja

karyawan. Penilaian kinerja memang dilakukan tapi sasaran bukan pada

peningkatan kinerja perusahaan. Pelaksanaan manajemen karir belum berjalan

dengan baik, kedepan masih perlu disempurnakan. Struktur birokrasi yang dipakai

juga menghambat PDPDE dalam meningkatkan kinerja terutama dalam

menghadapi persaingan global

Pengelolaan Organisasi dan SDM belum berjalan sebagaimana mestinya.

Perlu pembenahan jika PDPDE akan meningkatkan kinerjanya, terutama untuk

menghadapi persaingan.

2. PD Swarna Dwipa Palembang

Dari hasil pembahasan pada bagian terdahulu, dapat diketahui bahwa

pengelolaan SDM di PD Hotel Swarna Dwipa belum berjalan sebagaimana

mestinya. Hampir semua fungsi MSDM belum dijalankan secara baik. Hal ini

terlihat dari :

1. Penerimaan pegawai masih belum dilakukan secara terencana

2. Penempatan pegawai tidak dilakukan secara baik.

3. Pelaksanaan pelatihan pegawai tidak disesuaikan berdasarkan

kebutuhan.

4. Pemberian kompensasi belum berdasarkan tujuannya dan syarat-

syarat jabatan.

5. Penilaian kinerja memang dilakukan tapi sasaran bukan pada

peningkatan kinerja perusahaan.

6. Pelaksanaan manajemen karir belum berjalan dengan baik.

7. Struktur birokrasi yang dipakai juga menghambat PD Hotel Swarna

Dwipa dalam meningkatkan kinerja dan menghadapi persaingan

dengan perusahaan lain.

Pengelolaan SDM belum berjalan sebagaimana mestinya. Perlu

pembenahan dalam pengelolaan SDM jika PD Hotel Swarna Dwipa akan

Page 234: 5. sesi  ekonomi dan kemiskinan

ISBN 978-602-98295-0-1

Prosiding Seminar Nasional, 13-14 Desember 2010

1155

meningkatkan kinerjanya, terutama untuk menghadapi persaingan dengan

perusahaan sejenis.

3. PD Meru

PD Meru merupakan Badan Usaha Milik Daerah Provinsi Sumatera Selatan

yang bergerak dibidang percetakan. Namun dalam pelaksanaan beberapa tahun

terakhir, perusahaan ini tidak memiliki aktivitas yang rutin, sehingga tidak didapati

laporan atau data-data yang dapat dianalisis. Berdasarkan hasil survey, PD Meru

memiliki rencana usaha kedepan.

4. PD Prodexim

PD Prodexim merupakan Badan Usaha Milik Daerah Provinsi Sumatera

Selatan yang bergerak dibidang perdagangan ekspor dan impor. Namun dalam

penelitian ini, tidak didapati data-data keuangan perusahaan sehingga tidak dapat

diketahui kinerja perusahaan.

Dalam hasil survey didapati informasi mengenai usaha yang berjalan yaitu

agen distribusi pupuk non subsidi dari PT Pusri dan agen distirbusi Semen

Baturaja, SPBU yang dikelola oleh anak perusahaan PT PDPDE Hilir kerjasama

dengan PD PDE, dan penjualan batubara. Rencana usaha yang akan dilakukan

oleh PD Prodexim, yaitu pemanfaatan gedung bekas asrama haji milik Pemprov

Sumsel, dan rencana pembangunan real estate di tanah milik Pemprov Sumsel di

wilayah Kabupaten Banyuasin.

3.ASPEK PEMASARAN

1. Hotel Swarna Dwipa

Fokus dengan bisnis perhotelan, hendaknya komposisi pendapatan paling

tidak sama dengan komposisi penjualan makanan dan minuman, hal ini

ditujukan untuk focus dalam penggunaan dan pemanfaatan sumberdaya

secara lebih efektif dan efisien. Selain itu hotel Swarna Dwipa dapat

memposisikan diri sebagai hotel sejarah dan kebudayaan dikarenakan Hotel

Swarna Dwipa memiliki sejarah panjang yang berkaitan dengan kota

Palembang dan Sumatera Selatan, dalam focus memposisikan diri sebagai

hotel sejarah, hendaknya tampilan, kegiatan dan segala sesuatu mengacu

pada sejarah dan kebudayaan Sumatera Selatan.

Page 235: 5. sesi  ekonomi dan kemiskinan

ISBN 978-602-98295-0-1

Prosiding Seminar Nasional, 13-14 Desember 2010

1156

2. PD PDE : PD PDE memiliki kekuatan sebagai perusahaan milik pemerintah

provinsi, maka jika ada komitmen dari pimpinan daerah, maka PD PDE

sangat berpeluang untuk dapat menjual produk jasanya. Namun kedepan

perusahaan harus menjadi lebih professional, dan tidak mengandalkan dari

komitmen pimpinan daerah, dikarenakan perusahaan luar dengan skala lebih

besar, memiliki sumber daya yang lebih besar dan menawarkan harga yang

bersaing akan menjadi ancaman serius bagi PD PDE. PD PDE harus memiliki

daya saing yang tinggi agar dapat memenangkan persaingan.

3. PD Meru : Memiliki kekuatan yang didukung oleh perusahaan besar

percetakan dari Bandung, dengan dukungan tersebut PD Meru dapat

menghasilkan hampir semua jenis produk cetakan, tentunya ini menjadi nilai

tambah dibanding pesaing. PD Meru diharuskan mengembangkan jaringan

pada sekolah-sekolah, perguruan tinggi dan pada dinas-dinas pemerintah

kota maupun provinsi.

4. Prodexim : Sebagai perusahaan daerah komitmen dari pemimpin daerah

adalah kekuatan yang tidak dimiliki oleh perusahaan lain. Namun kedepan

pengelolaan yang professional harus diutamakan agar dapat bersaing dengan

perusahaan luar.

4. ASPEK KEUANGAN

Berdasarkan analisis data di atas dapat disimpulkan bahwa PD PDE

merupakan perusahaan yang masih mampu melanjutkan kegiatan usahanya.

Namun dibutuhkan kebijakan perusahaan untuk terus mengembangkan jenis

usaha dalam skala yang lebih besar, karena posisi pertumbuhan perusahaan

(growth) yang masih labil, hal ini sangat dipengaruhi oleh jenis usaha PD PDE

yang bergerak di bidang energi terkait dengan fluktuasi harga minyak di dunia.

PD Hotel Swarna Dwipa Palembang adalah perusahaan daerah milik

Pemerintah Provinsi Sumatera Selatan yang bergerak dibidang perhotelan.

Kondisi keuangan perusahaan ini dinilai cukup baik, dan menjanjikan dalam

pengembangan usahanya di kemudian hari. Namun tentu pertumbuhan usaha

harus dilakukan demi mempertahankan posisi perusahaan dalam kondisi baik.

Dan upaya perbaikan sistem manajemen harus terus dilakukan terkait semakin

Page 236: 5. sesi  ekonomi dan kemiskinan

ISBN 978-602-98295-0-1

Prosiding Seminar Nasional, 13-14 Desember 2010

1157

membaiknya posisi DER yang menunjukkan kemampuan perusahaan dalam

membayar utang perusahaan.

PD Meru merupakan Badan Usaha Milik Daerah Provinsi Sumatera Selatan

yang bergerak dibidang percetakan. Namun dalam pelaksanaan beberapa tahun

terakhir, perusahaan ini tidak memiliki aktivitas yang rutin, sehingga tidak didapati

laporan atau data-data yang dapat dianalisis. Berdasarkan hasil survey, PD Meru

memiliki rencana usaha kedepan.

PD Prodexim merupakan Badan Usaha Milik Daerah Provinsi Sumatera

Selatan yang bergerak dibidang perdagangan ekspor dan impor. Namun dalam

penelitian ini, tidak didapati data-data keuangan perusahaan sehingga tidak dapat

diketahui kinerja perusahaan.

Dalam hasil survey didapati informasi mengenai usaha yang berjalan yaitu

agen distribusi pupuk non subsidi dari PT Pusri dan agen distirbusi Semen

Baturaja, SPBU yang dikelola oleh anak perusahaan PT PDPDE Hilir kerjasama

dengan PD PDE, dan penjualan batubara. Rencana usaha yang akan dilakukan

oleh PD Prodexim, yaitu pemanfaatan gedung bekas asrama haji milik Pemprov

Sumsel, dan rencana pembangunan real estate di tanah milik Pemprov Sumsel di

wilayah Kabupaten Banyuasin.

IV. KESIMPULAN

1. Aspek Ekonomi

Salah satu sumber pembiayaan alternatif bagi pembangunan adalah

pengembangan BUMD.. Sehubungan dengan hal ini, ada dua model

pengembangan yang dapat dipertimbangkan. Pertama, BUMD bekerjasama

dengan pihak swasta membentuk perusahan dengan masing-masing pihak turut

memberikan modal sesuai kesepakatan bersama. Kedua, pemerintah daerah

secara langsung bekerjasama dengan pihak swasta, membentuk perusahan baru

dengan modal yang disepakati. Kedua model ini diperkirakan dapat memicu

pembangunan dan pengelolaan infrastruktur dasar strategis di daerah yang

diperkirakan dapat memberikan manfaat ekonomi dan keuangan cukup signifikan

bagi Sumsel di masa mendatang.

2. Aspek SDM

Page 237: 5. sesi  ekonomi dan kemiskinan

ISBN 978-602-98295-0-1

Prosiding Seminar Nasional, 13-14 Desember 2010

1158

Pengelolaan Organisasi dan SDM belum berjalan sebagaimana mestinya. Perlu

pembenahan jika BUMD akan meningkatkan kinerjanya, terutama untuk

menghadapi persaingan pada perusahaan sejenis.

3. Aspek Pemasaran

Pengembangan jaringan dan penguatan aspek pemasaran pada core business

harus terus dilakukan, seperti halnya Hotel Swarna Dwipa dan PD Meru yang

memiliki basis persaingan usaha yang sangat terbuka sehingga harus memiliki

keunggulan perusahaan, sedangkan untuk PD PDE dan Prodexim yang

dukungan kinerja yang profesional akan sangat membantu perusahaan untuk

terus berkembang.

4. Aspek Keuangan

Berdasarkan analisis laporan keuangan dapat disimpulkan bahwa BUMD yang

ada merupakan perusahaan yang masih mampu melanjutkan kegiatan usahanya.

Namun dibutuhkan kebijakan perusahaan untuk terus mengembangkan jenis

usaha dalam skala yang lebih besar, karena posisi pertumbuhan perusahaan

(growth) yang masih labil, hal ini sangat dipengaruhi oleh jenis usaha yang

dijalankan. Namun tentu pertumbuhan usaha harus dilakukan demi

mempertahankan posisi perusahaan dalam kondisi baik. Dan upaya perbaikan

sistem manajemen harus terus dilakukan terkait semakin membaiknya posisi DER

yang menunjukkan kemampuan perusahaan dalam membayar utang perusahaan.

4.2 Saran dan Rekomendasi

Berdasarkan hasil penelitian di atas, beberapa saran dapat menjadi

rekomendasi untuk pengembangan BUMD antara lain :

1. Aspek Ekonomi

Pertama, BUMD bekerjasama dengan pihak swasta membentuk perusahan

dengan masing-masing pihak turut memberikan modal sesuai kesepakatan

bersama. Kedua, pemerintah daerah secara langsung bekerjasama dengan pihak

swasta, membentuk perusahan baru dengan modal yang disepakati. Kedua model

ini diperkirakan dapat memicu pembangunan dan pengelolaan infrastruktur dasar

strategis di daerah yang diperkirakan dapat memberikan manfaat ekonomi dan

keuangan cukup signifikan bagi Sumsel di masa mendatang.

2. Aspek SDM

Page 238: 5. sesi  ekonomi dan kemiskinan

ISBN 978-602-98295-0-1

Prosiding Seminar Nasional, 13-14 Desember 2010

1159

Perlu dilakukan berbagai perbaikan di sektor SDM berkaitan dengan sistem kerja

pegawai, sistem pembayaran kompensasi, dan juga pengembangan karir, hal ini

kaitannya dengan peningkatan kinerja pegawai yang menjadi acuan dari sisi

SDM dalam peningkatan kinerja BUMD.

3. Aspek Pemasaran

Pengembangan jaringan dan penguatan aspek pemasaran pada core business

harus terus dilakukan sehingga harus memiliki keunggulan perusahaan, kinerja

yang profesional akan sangat membantu perusahaan untuk terus berkembang.

BUMD sudah harus mempertimbangkan pentingnya segementasi perusahaan

dan bagaimana marketing mix (4 P) yang diterapkan oleh perusahaan yang

memiliki kinerja yang baik. Untuk itu sebaiknya BUMD memiliki rencana strategis

berdasarkan analisis SWOT perusahaannya.

4. Aspek Keuangan

Keuangan perusahaan daerah harus dikelola dengan baik. Cash ratio, growth,

firm size, DTA, dan DER yang menjadi acuan penilaian kinerja keuangan

perusahaan menunjukkan angka yang belum stabil. Untuk itu, perlu dilakukan

perbaikan-perbaikan khususnya pada pengelolaan kas dan piutang, serta

penetapan target dividen agar menjadi pemicu kinerja perusahaan.

REFERENSI

BPS SumSel, Sumatera Selatan dalam Angka 5 tahun terakhir.

BPS Palembang, Palembang dalam Angka 5 tahun terakhir.

Handoko, T. Hani, Manajemen Personalia dan Sumberdaya Manusia,

BPFE, Yogyakarta.

Kosasih, T.S, 1988, Manajemen Pemerintahan dalam Sistem dan Struktur

Administrasi Negara Baru, Idola Remaja, Doa Ibu, Bandung.

Ravianto, J., dkk, 1988, Manajemen Sumber Daya Manusia, Bumi AKsara,

Jakarta.

Ross, Steven A, dkk, 2008. Modern Corporate Finance, Prentice Hall,

Singapore.

Sugiono, 1999. Metode Penelitian Bisnis, Alfabeta, Bandung.

Kotler, Phillip, Principle of Marketing, 2005, Thomson Publishing, New York.

Page 239: 5. sesi  ekonomi dan kemiskinan

ISBN 978-602-98295-0-1

Prosiding Seminar Nasional, 13-14 Desember 2010

1160

Siregar, Sylvia Veronica N.P. dan Utama Siddharta, (2005), Pengaruh

Struktur Kepemilikan, Ukuran Perusahaan, dan Praktek Corporate

Governance Terhadap Pengelolaan Laba (Earnings Management)

Simposium Nasional Akuntansi VIII, IAI, 2005

Siswanto, H.B. 2006. Pengantar Manajemen, Bumi Aksara, Jakarta.

Page 240: 5. sesi  ekonomi dan kemiskinan

ISBN 978-602-98295-0-1

Prosiding Seminar Nasional, 13-14 Desember 2010

1161

Efisiensi Pemasaran Bahan Olah Karet Rakyat (Bokar) di Wilayah Eks-PIRBUN PTPN XIII Kabupaten Sintang, Kalimantan Barat

Lina Fatayati Syarifa, Sinung Hendratno dan Dwi Shinta Agustina

Staf Peneliti di Balai Penelitian Sembawa, PO. BOX 1127 Palembang

ABSTRAK

Di Kabupaten Sintang, Kalimantan Barat umumnya pemasaran karet dilakukan secara tradisional melalui tengkulak. Penelitian dilakukan untuk melihat keragaan dan efisiensi pemasaran karet di Kab. Sintang Kalimantan Barat. Penelitian dilakukan secara survei terhadap petani yang lokasinya dekat dengan pabrik dan jauh dari pabrik, dengan menelusuri rantai pemasaran karet yang dimulai dari prosesor/eksportir, dilanjutkan ke pedagang dan ke petani sebagai produsen. Dari hasil survei bagian harga fob di tingkat petani yang memilih rantai pemasaran yang panjang masing-masing 64% dan 62%. Sedangkan bagian harga fob di tingkat petani yang memilih rantai pemasaran yang pendek masing-masing 71% dan 69%. Sementara total marjin pemasaran di tingkat petani yang memilih rantai pemasaran yang panjang masing sebesar Rp 8.126,/kg dan Rp 8.576,-/kg. Sedangkan total marjin pemsaran di tingkat petani yang memilih rantai pemasaran yang pendek masing-masing sebesar Rp 6.519,-/kg dan Rp 7.031,-/kg. Hal ini merupakan indikasi bahwa semakin pendek rantai pemasaran karet akan lebih efisien. Karena itu untuk memperoleh bagian harga yang lebih baik di tingkat petani, disarankan agar petani berkelompok memasarkan bokarnya langsung ke pabrik.

Kata kunci : Pemasaran tradisional, rantai pemasaran, fob, marjin pemasaran

PENDAHULUAN

Sektor perkebunan, khususnya perkebunan karet merupakan salah satu

sektor yang banyak menopang hidup penduduk Indonesia. Kalimantan Barat

merupakan salah satu sentra perkebunan karet di Indonesia dengan total areal

389 ribu hektar. Dari total areal tersebut, areal perkebunan karet rakyat

mendominasi areal perkebunan karet di Kalimantan Barat yaitu seluas 380 ribu

hektar atau sekitar 97% dari total areal karet. Dengan begitu, perkebunan karet di

Kalimantan Barat merupakan salah satu industri yang bukan saja sebagai

penyedia devisa bagi negara tapi juga merupakan industri yang banyak menyerap

tenaga kerja dan menjadi sumber mata pencaharian bagi sekitar 200 ribu KK atau

Page 241: 5. sesi  ekonomi dan kemiskinan

ISBN 978-602-98295-0-1

Prosiding Seminar Nasional, 13-14 Desember 2010

1162

sekitar 800 ribu penduduk di Kalimantan Barat (Statistik Perkebunan Indonesia,

2009). Kebijakan pemerintah dalam pengembangan industri karet tidak hanya

bertujuan untuk meningkatkan devisa bagi negara, tapi diarahkan sebagai upaya

peningkatan pendapatan petani. Pendapatan petani sendiri merupakan refleksi

dari produktivitas kebun dan mutu bahan olah karet yang dihasilkan serta aspek

pemasaran bokar yang menentukan pendapatan bersih yang diterima petani.

Pada awal program pengembangan perkebunan karet rakyat melalui pola

PIRBUN di Kalimantan Barat, khususnya di Kab. Sintang, telah dibentuk

kelembagaan pemasaran bokar yang formal antara lain kelompok tani, KUD, atau

kelompok usaha bersama dan kemitraan. Selain itu juga telah lama berkembang

di masyarakat sistem pemasaran tradisional melalui pedagang atau tengkulak.

Awalnya kelembagaan pemasaran formal mampu memberikan bagian harga yang

lebih tinggi dibandingkan pemasaran tradisional (Nancy, 1988; Hendratno, 1986;

Hendratno, 1996). Namun lama kelamaan kelembagaan tersebut memperlihatkan

keragaan yang kurang menggembirakan. Petani kembali cenderung memilih

pemasaran tradisional. Saat ini, umumnya petani karet di Kalimantan Barat,

khususnya Kab. Sintang memasarkan bokarnya secara tradisional melalui

tengkulak dan tidak lagi ditemukan pola pemasaran bokar secara

formal/terorganisir. Karena itu dilakukan penelitian untuk mengetahui keragaan

pemasaran bokar serta pendapatan atau bagian harga yang diterima petani karet

yang memilih sistem pemasaran tradisional tersebut. Makalah ini akan mengkaji

keragaan dan efisiensi pemasaran bahan olah karet (bokar) secara tradisional

yang akan menentukan bagian bersih yang diterima petani di Kab. Sintang.

METODOLOGI

Penelitian dilakukan secara survey pada bulan Nopember 2010 di lokasi eks

PIRBUN Kabupaten Sintang, Kalimantan Barat. Data diperoleh melalui

wawancara langsung dengan petani karet, pedagang, prosesor/eksportir yang

terpilih menjadi responden. Penarikan contoh dilakukan dengan menelusuri rantai

pemasarannya yang dimulai dari prosesor/eksportir yang dipilih secara sengaja.

Kemudian secara acak dipilih pedagang yang menjual ke prosesor tersebut.

Selanjutnya penarikan contoh petani responden dilakukan secara acak di masing-

Page 242: 5. sesi  ekonomi dan kemiskinan

ISBN 978-602-98295-0-1

Prosiding Seminar Nasional, 13-14 Desember 2010

1163

masing lokasi pemasaran yaitu lokasi pemasaran yang dekat (< 70 km)

dari pabrik karet remah dan lokasi pemasaran yang jauh dari pabrik (>70 km).

Masing-masing kelompok lokasi diambil sampel sebanyak 30 responden.

Survei dilakukan pada desa-desa yang terletak pada lokasi yang dekat dan

lokasi yang jauh dari pabrik karet remah. Data yang diperoleh dari hasil

wawancara dengan petani di desa yang lokasinya dekat dengan pabrik yaitu desa

Taok dan desa Terusan di Kec. Dedai dan petani di desa yang lokasinya jauh

dengan pabrik yaitu desa Lundang Jaya, dan desa Bayah Betung, Kec. Sei

Tebelian. Efisiensi pemasaran dapat didekati dengan pengukuran marjin

pemasaran. Kinerja kelembagaan pemasaran bokar dapat diukur dengan marjin

pemasaran (Hendratno, 1986; Nancy, 1988). Marjin pemasaran adalah

perbedaan harga di tingkat produsen (harga beli) dengan harga di tingkat

konsumen (harga jual).

HASIL DAN PEMBAHASAN

A. Pengolahan Bokar

Harga karet kering di tingkat pabrik berbeda-beda untuk setiap jenis mutu

bokar. Untuk sleb yang baik biasanya diberikan harga yang tinggi, sedangkan

untuk sleb bermutu rendah dikenakan penalti atau potongan, sehingga harganya

lebih murah. Penyusutan akibat pengangkutan dari kebun ke pedagang tidak

tercatat, karena petani tidak pernah menimbang bokarnya di kebun. Mutu bokar

yang dihasilkan erat kaitannya dengan teknologi pengolahan yang dilakukan oleh

petani (Tabel 1).

Umumnya petani yang lokasinya dekat dengan pabrik (91.7%) maupun yang

jauh dari pabrik (83.8%) menghasilkan lump mangkok yang kotor dan bermutu

rendah karena sebagian besar direndam yaitu 56.1% di desa dekat pabrik dan

76.7% di desa jauh dari pabrik. Semua petani responden tidak menggunakan

pembeku untuk membekukan bokarnya. Bokar yang dihasilkan petani dibekukan

secara alami.

Umumnya bokar di Propinsi Kalimantan Barat tidak saja dibedakan

berdasarkan usia simpan (KKK) tetapi juga dibedakan berdasarkan tingkat

kebersihan bokar (mutu A dan mutu B). Mutu A adalah jenis bokar yang bersih

Page 243: 5. sesi  ekonomi dan kemiskinan

ISBN 978-602-98295-0-1

Prosiding Seminar Nasional, 13-14 Desember 2010

1164

(tanpa campuran) sedangkan mutu B adalah jenis bokar yang terdapat campuran

(Gambar 1). Namun sebagian besar bokar yang dihasilkan oleh petani adalah

mutu B atau campuran.

Tabel 1. Teknologi Pengolahan Bokar di Petani

Desa Pembeku Tempat

pembekuan (%) Kualitas bokar

(%) Penyimpanan

bokar (%)

Kotak kayu Mangkok Bersih Kotor Direndam kebun

Desa dekat Taok Alami 0 100 0 100 55 45 Terusan Alami 0 100 25 75 53.3 46.7 Rata-rata 0 100 8.3 91.7 56.1 43.9

Desa jauh Lundang Jaya

Alami 0 100 12.5 87.5 100 0

Bayah Betung

Alami 0 100 20 80 53.3 46.7

Rata-rata 0 100 16.3 83.8 76.7 23.4

Gambar 1. Jenis bahan olah karet mutu B (kiri) dan jenis bahan olah karet mutu A (kanan)

B. Pemasaran Bokar

Sementara pemasaran bokar yang dihasilkan petani di Kab. Sintang yang

memasarkan bokarnya secara tradisional, didominasi oleh pedagang perantara,

tidak ada petani atau kelompok tani yang langsung menjual ke pabrik. Hal ini

Page 244: 5. sesi  ekonomi dan kemiskinan

ISBN 978-602-98295-0-1

Prosiding Seminar Nasional, 13-14 Desember 2010

1165

disebabkan oleh berbagai keterbatasan yang dimilikinya seperti; lokasi yang

terpencil, kurangnya sarana dan prasarana angkutan serta rendahnya

pengetahuan petani. Secara umum saluran pemasaran bokar secara tradisional

melalui pedagang perantara di Kab. Sintang dapat dilihat pada gambar berikut:

Gambar 2. Saluran Pemasaran Bokar di Kab. Sintang

Tabel 2. Biaya pemasaran di tingkat petani

Desa Biaya Pemasaran (Rp/kg) Total

Sewa gudang

Pikul muat

Transport

Klp tani

Retribusi (Rp/kg)

Desa dekat Taok 0 0 184.4 0 0 184.4 Terusan 0 0 136.7 0 0 136.7 Rata-rata 0 20 252.4 0 0 252.4 Desa jauh Lundang Jaya 0 0 110 0 0 110 Baya Betung 0 0 184.4 0 0 184.4 Rata-rata 0.0 0.0 202 0.0 0.0 202

Rata-rata volume bokar setiap kali penjualan yang dilakukan oleh para

pedagang besar yang dijadikan sample adalah sebesar 15-20 ton, baik pada saat

musim hujan maupun pada saat musim kemarau. Pedagang besar berusaha

mempertahankan pasokan bokar ke pabrik tetap stabil meskipun pada saat musim

hujan maupun saat musim kemarau. Harga penjualan dari pedagang besar ke

pabrik bervariasi antara Rp 8.500,- - Rp 9.500,-. Rata-rata volume bokar per

penjualan di tingkat pedagang kecil adalah 4 ton. Bokar di tingkat pedagang besar

dan pedagang kecil rata-rata direndam selama 1-2 minggu sebelum dijual. Harga

Petani Pedagang

kecil/desa

Prosesor Eksportir Pedagang

Besar

Page 245: 5. sesi  ekonomi dan kemiskinan

ISBN 978-602-98295-0-1

Prosiding Seminar Nasional, 13-14 Desember 2010

1166

pembelian bokar dari pedagang besar di tingkat pedagang kecil berkisar antara

Rp 7.400,- sampai Rp. 8.000,-. Sedangkan harga pembelian bokar dari pedagang

kecil di tingkat petani di masing-masing desa juga bervariasi bergantung pada

tingkat KKK dan kebersihan bokar. Harga pembelian bokar dari pedagang kecil di

tingkat petani adalah Rp 6.500,- 7.500,- per kg

Setiap pedagang umumnya membeli bokar dari 20-40 petani. Pedagang

umumnya ada yang mengambil bokar langsung di rumah petani, dan ada juga

yang menunggu petani mengantar bokar ke rumahnya. Untuk melakukan kegiatan

pembelian bokar tersebut, pedagang memiliki beberapa fasilitas seperti truk

dengan kapasitas 4 – 5 ton dan timbangan. Penjualan sleb oleh petani kepada

pedagang masih dilakukan atas dasar penimbangan berat basah, penentuan KKK

dilakukan berdasarkan perkiraan pedagang. Hal ini mengakibatkan tingginya

resiko karena banyak faktor yang sulit diduga seperti kadar air dan kotoran. Mutu

bokar yang rendah tidak hanya disebabkan oleh tingginya kadar air, tetapi juga

karena tingginya kadar kotoran. Untuk mengatasi resiko tersebut pedagang

biasanya menekan harga di tingkat petani. Penentuan harga oleh pedagang tidak

semata-mata berdasarkan umur simpan bokar, tapi lebih dilihat dari kebersihan

bokarnya. Kadang-kadang ada bokar yang disimpan selama sebulan pun

harganya sama saja dengan harga seminggu. Namun saat ini karena tingginya

persaingan antara pedagang karet, pedagang tidak bisa terlalu banyak menekan

harga. Selain itu dikarenakan tingginya tingkat teknologi komunikasi saat ini,

informasi harga sangat mudah diperoleh pedagang langsung dari pabrik.

C. Efisiensi Pemasaran

Pengukuran efisiensi pemasaran dapat dilakukan dengan menggunakan

marjin pemasaran. Marjin pemasaran terdiri dari biaya pemasaran dan

keuntungan lembaga pemasaran. Dalam laporan ini akan diuraikan marjin

pemasaran mulai dari tingkat produsen yaitu petani karet sampai tingkat eksportir.

Biaya pemasaran meliputi biaya transportasi, biaya sortir, bongkar muat dan

pungutan-pungutan, biaya penyusutan dan biaya pengolahan. Sedangkan

keuntungan lembaga pemasaran terdiri dari keuntungan yang diperoleh pedagang

dan prosesor/eksportir.

Page 246: 5. sesi  ekonomi dan kemiskinan

ISBN 978-602-98295-0-1

Prosiding Seminar Nasional, 13-14 Desember 2010

1167

Ongkos angkut per kg bokar bervariasi dan tidak stabil setiap per penjualan,

karena ditentukan oleh biaya sewa mobil dan kapasitas angkut mobil tersebut.

Biaya sewa mobil dibedakan berdasarkan jarak angkut dan muatan angkut mobil

tersebut. Bila jarak angkut, semakin jauh, maka ongkos angkutnya menjadi mahal.

Selain itu bila muatan truk kurang dari kapasitas angkut bokar, maka ongkos per

kg bokar menjadi mahal. Bila muatan melebihi kapasitas angkut, akan diperoleh

persentase susut yang tinggi karena pengaruh tekanan/beban yang berlebihan.

Penyusutan terjadi karena berkurangnya kandungan air dalam bokar akibat

proses pengeringan yang disebabkan oleh tekanan atau penyimpanan.

Sedangkan kandungan karetnya sendiri tidak berubah. Akibatnya apabila terjadi

penyusutan, maka KKK akan meningkat. Penyusutan akan semakin tinggi dengan

semakin tingginya kadar air bokar. Biaya pemasaran dari rumah

pedagang/tempat pembelian bokar ke pabrik dan biaya penyusutan pada waktu

pengangkutan ditanggung oleh pedagang. Persentase penyusutan yang tidak

menentu dan penentuan KKK secara visual oleh pedagang, menyebabkan

berfluktuasinya marjin keuntungan yang diterima pedagang, dimana pedagang

adakalanya beruntung dan adakalanya merugi. Penjualan bokar yang dilakukan

pedagang di pabrik diperhitungkan atas dasar taksiran KKK dan harga 100% sleb

yang telah ditentukan oleh prosesor. Harga 100% sleb atau harga karet kering

adalah harga FOB SIR 20 setelah dikurangi biaya pengolahan pabrik, biaya

pemasaran prosesor/eksportir dan keuntungan prosesor. Sementara harga FOB

SIR 20 ditentukan berdasarkan harga yang terjadi di pasar internasional, setelah

dikurangi uang ongkos angkut, jasa angkutan laut, asuransi serta biaya-biaya

lainnya. Selanjutnya di tingkat pabrik pengolah, sleb mengalami proses

pengolahan, lalu dihasilkan produk SIR 20.

Yang dimaksud biaya pemasaran tingkat eksportir meliputi bunga bank, biaya

pengangkutan pabrik-pelabuhan, biaya L/C, komisi bank, biaya administrasi, iuran

Gapkindo dan sebagainya. Secara terperinci penyebaran bagian harga fob dan

marjin pemasaran berdasarkan lokasi dapat dilihat pada Tabel 3.

Dari Tabel 3. terlihat bahwa, pada tingkat petani yang berlokasi di desa yang

jaraknya dekat yaitu desa Taok dan desa Terusan, memilih dua rantai pemasaran

yang berbeda. Petani di desa Taok memilih rantai pemasaran yang panjang, yaitu

petani – pedagang kecil/desa – pedagang besar – pabrik. Sedangkan petani di

Page 247: 5. sesi  ekonomi dan kemiskinan

ISBN 978-602-98295-0-1

Prosiding Seminar Nasional, 13-14 Desember 2010

1168

desa Terusan memilih rantai pemasaran yang pendek yaitu: petani – pedagang

besar – pabrik. Dari hasil analisis, bagian harga fob di tingkat petani di desa Taok

yang memilih rantai pemasaran yang pendek sebesar 64% dengan marjin

pemasaran sebesar Rp 8.126,-/kg. Sedangkan bagian harga fob di tingkat petani

yang memilih rantai pemasaran yang panjang masing-masing 71% dengan marjin

pemasaran sebesar Rp 6.519,-/kg. Sementara pada tingkat petani yang berlokasi

di desa yang jaraknya jauh dari pabrik yaitu desa Lundang Jaya dan desa Bayah

Betung, juga memilih dua rantai pemasaran yang berbeda. Dari hasil analisis,

bagian harga fob di tingkat petani di desa Lundang Jaya yang memilih rantai

pemasaran yang pendek sebesar 69% dengan marjin pemasaran sebesar Rp

7.031,-/kg. Sedangkan bagian harga fob di tingkat petani di desa Bayah Betung

yang memilih rantai pemasaran yang panjang masing-masing 62% dengan marjin

pemasaran sebesar Rp 8.576,-/kg.

Hasil analisis tersebut menunjukkan indikasi bahwa semakin pendek rantai

pemasaran karet dan semakin dekat jarak lokasi ke pabrik, pemasaran akan lebih

efisien. Jika dikaji rincian data pada Tabel 3. terdapat komponen biaya yang bisa

diefisienkan yaitu biaya pemasaran (yang terdiri dari biaya penyusutan dan

transport) dan biaya jasa lembaga/pedagang. Semakin tinggi KKK bokar yang

dihasilkan maka biaya penyusutan dan transport juga akan semakin kecil.

Semakin pendek rantai pemasarannya maka biaya untuk jasa lembaga/ pedagang

juga akan bisa dikurangi. Oleh karena itu untuk memperoleh bagian harga yang

lebih baik di tingkat petani, disarankan agar petani memperbaiki kualitas bokarnya

serta memperpendek rantai pemasarannya. Dalam upaya memperpendek rantai

pemasarannya, petani bisa membentuk kelompok pemasaran dan menjual

karetnya ke pabrik bersama-sama. Faktor-faktor penghambat yang selama ini

menyebabkan ketergantungan petani terhadap tengkulak perlu dicarikan solusinya

antara lain dengan mengembangkan usaha simpan pinjam untuk petani dari

lembaga ekonomi milik kelompok tani yang dapat menghimpun bantuan dana dari

program CSR, pihak lembaga swasta atau pemerintah. Dengan pinjaman dari

kelompok tani tersebut, petani dapat memperoleh uang untuk memenuhi

kebutuhan hidupnya sebelum bokar terjual. Melalui cara ini, diharapkan perlahan-

lahan petani bisa melepaskan diri dari ketergantungannya terhadap tengkulak.

Page 248: 5. sesi  ekonomi dan kemiskinan

ISBN 978-602-98295-0-1

Prosiding Seminar Nasional, 13-14 Desember 2010

1169

KESIMPULAN DAN SARAN

1. Bagian harga fob di tingkat petani yang memilih rantai pemasaran yang

panjang yaitu desa Taok dan desa Bayah Betung masing-masing 64% dan

62%. Sedangkan bagian harga fob di tingkat petani yang memilih rantai

pemasaran yang pendek yaitu desa Terusan dan desa Lundang Jaya masing-

masing 71% dan 69 %. Sementara total marjin pemasaran di tingkat petani

yang memilih rantai pemasaran yang panjang masing sebesar Rp

8.126,-/kg dan Rp 8.756,-/kg. Sedangkan total marjin pemasaran di tingkat

petani yang memilih rantai pemasaran yang panjang masing-masing sebesar

Rp 6.519,-/kg dan Rp 7.031,-/kg. Hal ini merupakan indikasi bahwa semakin

pendek rantai pemasaran karet akan lebih efisien.

2. Dari kesimpulan diatas, untuk memperoleh bagian harga dan pendapatan

yang lebih baik disarankan agar petani membentuk suatu kelompok

pemasaran bersama dan kemudian menjual karetnya secara bersama ke

pabrik. Hal ini selain dapat memperpendek rantai pemasaran juga dapat

meningkatkan posisi tawar petani di tingkat pabrik. Upaya tersebut juga harus

didukung oleh komitmen kelompok yang berkesinambungan untuk

menghasilkan karet yang berkualitas dengan kadar karet kering (KKK) yang

tinggi, yang dihasilkan dengan pembeku lateks yang dianjurkan, berukuran

seragam, bersih dari kotoran dan tidak direndam.

Page 249: 5. sesi  ekonomi dan kemiskinan

ISBN 978-602-98295-0-1

Prosiding Seminar Nasional, 13-14 Desember 2010

1170

Tabel 3. Bagian harga FOB dan marjin pemasaran bokar di Kabupaten Sintang, Kalimantan Barat

Uraian Desa Dekat Pabrik Desa Jauh dari Pabrik

Taok Terusan Lundang Jaya Baya Betung

Harga (Rp/Kg) Harga (Rp/Kg) Harga (Rp/Kg) Harga (Rp/Kg)

KKK KKK %

FOB KKK KKK %

FOB KKK KKK %

FOB KKK KKK %

FOB

48% 100% 47% 100% 47% 100% 45% 100%

Biaya pengolahan (beku) - - - - - - - - - - - -

Biaya pemasaran 184.4 384.2 1.7 136.7 290.9 1.3 110.0 234.0 1.0 184.4 409.8 1.8

Harga Tk. Petani 6,936.0 14,450.0 64.0 7,547.0 16,057.4 71.1 7,306.0 15,544.7 68.9 6,300.0 14,000.0 62.0

Biaya Pemasaran 400.0 833.3 3.7 - - - - - - 500.0 1,111.1 4.9

Keuntungan Pedagang 564.0 1,175.0 5.2 - - - - - - 400.0 888.9 3.9

Harga Tk. Pedagang kecil 7,800.0 16,250.0 72.0 - - - - - - 7,200.0 16,000.0 70.9

Biaya Pemasaran 1,000.0 2,083.3 9.2 979.9 2,084.9 9.2 1,144.0 2,434.0 10.8 1,000.0 2,222.2 9.8

Keuntungan Pedagang 500.0 1,041.7 4.6 573.1 1,219.4 5.4 650.0 1,383.0 6.1 500.0 1,111.1 4.9

Harga Tk. Pedagang besar 9,300.0 19,375.0 85.8 9,100.0 19,361.7 85.8 9,100.0 19,361.7 85.8 8,700.0 19,333.3 85.6

Biaya pengolahan 1,602.0 7.1 1,602.0 7.1 1,602.0 7.1 1,602.0 7.1

(Biaya pemasaran

keuntungan Prosesor) - 1,598.9 7.1 - 1,612.2 7.1 - 1,612.2 7.1 - 1,640.6 7.3

Harga Tk. Exportir - 22,575.9 100.0 - 22,575.9 100.0 - 22,575.9 100.0 - 22,575.9 100.0

Marjin Pemasaran 8,125.9 6,518.5 7,031.2 8,575.9

Page 250: 5. sesi  ekonomi dan kemiskinan

ISBN 978-602-98295-0-1

Prosiding Seminar Nasional, 13-14 Desember 2010

1171

DAFTAR PUSTAKA

Haris, U. A, Anwar. I, Gonarsyah dan B, Juanda. 1998. Analisis Ekonomi

Kelembagaan Tataniaga Bahan Olah Karet Rakyat. Jurnal Penelitian Karet. 16 (1-3): 35-58.

Hendratno, S. 1986. Analisis Organisasi Pemasaran Primer Karet Rakyat.

Laporan Penelitian, 1 (2 dan 3), 5-11. Nancy, C. 1988. Efisiensi Pemasaran Untuk Meningkatkan Daya Saing Karet

Alam Indonesia. Bulletin Perkebunan Rakyat, 4(2), 43-47 Statistik Perkebunan Indonesia. 2009. Karet 2008-2010. Direktorat Jenderal

Perkebunan. Jakarta.

Page 251: 5. sesi  ekonomi dan kemiskinan

ISBN 978-602-98295-0-1

Prosiding Seminar Nasional, 13-14 Desember 2010

1172

RINTISAN USAHA PENGGEMUKAN SAPI POTONG SEBAGAI ALTERNATIF

MENGURANGI AKTIVITAS PEMBAKARAN LAHAN DAN HUTAN

DI KABUPATEN OKI SUMATERA SELATAN

(Studi Kasus di Desa Ujung Tanjung Kecamatan Tulung Selapan)

Jauhari Efendy1, Waluyo

2 dan Tumarlan Thamrin

2

1)

Loka Penelitian Sapi Potong, 2)

BPTP Sumatera Selatan

ABSTRAK

Selama ini masyarakat pedesaan yang tinggal di lahan agroekosistem lahan kering

dan lebak wilayah Sumatera Selatan sudah biasa melakukan aktivitas pembakaran lahan

dan hutan untuk membuka lahan baru walaupun dengan resiko cukup tinggi. South

Sumatera Forest Fire Management Project (SSFFMP) yang merupakan salah satu lembaga

bidang pelestarian lahan dan hutan merasa bertanggungjawab untuk menjaga kelestarian

alam khususnya hutan melalui program pemberdayaan masyarakat (community

development) dalam bentuk usaha penggemukan sapi potong skala usaha 8 ekor (sistem

kereman) dengan lama penggemukan 5 bulan. Sapi bakalan yang digunakan adalah sapi

Bali jantan berumur ± 1,5 tahun dengan bobot badan awal 206,34 ± 3,44 kg. Pakan yang

digunakan terdiri atas rumput (rumput alam + rumput kumpai) dan legume (gamal,

lamtoro dan turi) ditambah dedak padi sebanyak 3 kg per ekor per hari. PBBH yang

dicapai sebesar 0,41 ± 0,072 kg. Berdasarkan analisis ekonomi, kegiatan penggemukan

sapi potong ini mampu menambah pendapatan keluarga sebesar 20% atau dengan nilai R/C

= 1,2. Walaupun secara ekonomis tidak terlalu besar, namun petani berkeinginan untuk

mengembangkan usaha penggemukan sapi potong di masa yang akan datang karena

kegiatan ini tidak mengganggu pekerjaan pokok sebagai petani.

Kata kunci : penggemukan sapi potong, pemberdayaan masyarakat, sumberdaya lokal

PENDAHULUAN

Meningkatnya jumlah pengangguran dan menurunnya pendapatan riil dapat

memicu masyarakat untuk mencari sumber penghasilan baru dengan cara yang mudah dan

murah. Sebagai contoh, setiap musim kemarau tiba banyak masyarakat pedesaan yang

tinggal di lahan rawa lebak membuka hutan dengan cara menebang dan membakar untuk

kemudian ditanami padi sonor (Anne, 1999). Namun di sisi lain, apabila praktek

pembukaan lahan tersebut dibiarkan maka dalam jangka panjang dapat menimbulkan

dampak negatif terhadap kelestarian lingkungan maupun hutan itu sendiri.

Salah satu upaya mengurangi praktek perladangan berpindah adalah dengan

menciptakan kegiatan yang dapat menjadi sumber pendapatan baru bagi masyarakat

pedesaan. Namun demikian, melihat kemampuan sumberdaya modal masyarakat yang

masih rendah maka strategi pendekatannya dapat dilakukan melalui pengembangan

Page 252: 5. sesi  ekonomi dan kemiskinan

ISBN 978-602-98295-0-1

Prosiding Seminar Nasional, 13-14 Desember 2010

1173

kemampuan permodalan dengan memberikan stimulus berupa bantuan bergulir dimana

dalam implementasinya berdasarkan tujuh prinsip pembinaan yaitu pendekatan kelompok,

keserasian, kepemimpinan, kemitraan, swadaya, belajar sambil bekerja serta pendekatan

keluarga (Lestari, 1998).

Berdasarkan potensi dan sumberdaya (manusia dan alam) yang tersedia serta

keadaan ekonomi masyarakatnya, maka usaha penggemukan sapi potong dapat menjadi

solusi untuk menciptakan kegiatan baru serta memiliki prospek pasar yang baik. Hal ini

karena usaha tersebut tidak memerlukan waktu yang lama (4-6 bulan) sehingga perputaran

modal cepat berkembang dan pengelola (petani/peternak) dapat segera menikmati hasilnya

serta tidak banyak menyita waktu petani.

Secara umum pengkajian ini bertujuan menciptakan lapangan pekerjaan sebagai

sumber pendapatan baru bagi masyarakat pedesaan serta meningkatkan pengetahuan dan

keterampilan melakukan usaha penggemukan sapi yang prospektif dan berwawasan

lingkungan. Adapun keluaran yang diharapkan adalah tumbuh dan berkembangnya usaha

penggemukan sapi potong menggunakan pakan lokal serta memanfaatkan kotoran sapi

sebagai pupuk organik.

METODOLOGI

Pendekatan

Kegiatan ini dilakukan dengan pendekatan partisipatif dimana petani dilibatkan

sejak tahap perencanaan, pelaksanaan sampai akhir kegiatan. Metode statistik yang

digunakan adalah deskriptif analisis, dimana data hasil kegiatan ditabulasi dan diolah untuk

mendapatkan nilai rata-ratanya.

Lokasi Kegiatan

Pengkajian ini dilaksanakan di Desa Ujung Tanjung Kecamatan Tulung Selapan

Kabupaten OKI Sumatera Selatan. Jadwal pelaksanaan dari bulan Maret-Desember 2007.

Materi dan Bahan yang Digunakan serta Skala Kegiatan

Kegiatan ini menggunakan 8 ekor sapi Bali jantan sebagai bakalan, satu unit

kandang kelompok serta satu paket peralatan kandang. Bahan yang digunakan terdiri atas

satu paket pakan konsentrat (dedak padi), satu paket obat-obatan (obat cacing) serta 100

bibit tanaman gamal (Glyricidia maculata). Materi dan bahan tersebut berasal dari bantuan

South Sumatera Forest Fire Management Project (SSFFMP).

Untuk mempermudah manajemen dan pengawasan maka kegiatan ini dikelola oleh

Kelompok Tani-Ternak Maju Jaya yang beranggota 16 orang dengan sistem bergulir.

Page 253: 5. sesi  ekonomi dan kemiskinan

ISBN 978-602-98295-0-1

Prosiding Seminar Nasional, 13-14 Desember 2010

1174

Mekanisme pergulirannya ditetapkan sebagai berikut, 8 anggota mendapatkan bantuan sapi

potong terlebih dahulu yang dipilih secara acak. Kemudian 8 anggota lainnya mendapatkan

sapi potong bakalan pada periode pemeliharaan berikutnya setelah sapi-sapi potong

tersebut dijual. Pembagian serta besarnya keuntungan didasarkan pada kesepakatan yang

sudah ditetapkan secara musyawarah oleh kelompok tani-ternak.

Teknologi yang Diterapkan

No. Paket teknologi** Uraian/jenis teknologi Keterangan

1. Sistem

pemeliharaan

Intensif (kereman) -

2. Sistem

perkandangan

Kandang kelompok (komunal). Luas

kandang 12 m2 atau (1,5 x 2) m

2 per

ekor.

-

3. Bangsa sapi

bakalan

Sapi Bali jantan, umur antara 1,5-2

tahun.

-

4. Manajemen pakan* Rumput alam :

Jumlah pemberian 15% dari bobot

badan per ekor per hari.

Pakan tambahan (dedak padi) :

Jumlah pemberian 3 kg per ekor per

hari

Rumput dan dedak

padi diberikan 2 kali

sehari, pagi dan sore

hari.

5. Air minum Ad-libitum -

6. Obat-obatan Obat cacing Verm-O Obat cacing

diberikan satu

minggu setelah sapi

tiba di lokasi. Dosis

pemberian 1 tablet

per ekor.

7. Penanaman HPT Gamal (Glyricidia maculata) Ditanam di sekitar

kandang sebagai

pagar/pelindung

serta pakan ternak

sapi.

* : target produksi pertambahan bobot badan harian (PBBH) 0,5 kg per ekor per

hari

** : masa pemeliharaan 5 bulan

HASIL DAN PEMBAHASAN

Potensi Sumberdaya Alam

Desa Ujung Tanjung merupakan wilayah pedesaan dengan bentangan alam berupa

lahan kering, hutan bekas penebangan serta lahan rawa lebak. Lahan kering maupun rawa

lebak memiliki areal yang cukup luas dimana sebagian besar diantaranya (terutama lahan

rawa lebak) belum dimanfaatkan untuk kegiatan usahatani.

Page 254: 5. sesi  ekonomi dan kemiskinan

ISBN 978-602-98295-0-1

Prosiding Seminar Nasional, 13-14 Desember 2010

1175

Potensi sumberdaya pakan di Desa Ujung Tanjung dan sekitarnya berupa rumput

alam dengan berbagai jenis baik yang tumbuh di daratan maupun perairan/lebak. Pada

umumnya rumput yang tumbuh daratan terdiri atas rumput teki, rumput paitan dan rumput

bento (Leersia hexandra). Sedangkan khusus di daerah lebak didominasi oleh rumput

kumpai yang terdiri atas tiga jenis, yaitu kumpai tembaga, kumpai padi dan kumpai

minyak. Namun dari ketiga jenis kumpai tersebut yang terbanyak adalah kumpai padi dan

tembaga. Selama ini rumput kumpai tersebut sudah biasa dikonsumsi ternak kerbau yang

memang sudah menjadikan lahan rawa lebak sebagai areal penggembalaannya.

Selain berbagai rumput alam, sumber pakan lainnya yang memiliki potensi cukup

besar adalah tanaman legume. Sebagaimana rumput, tanaman legume juga tumbuh secara

liar dan tidak beraturan di berbagai tempat seperti sekitar areal perkebunan karet, pinggir

jalan desa, lahan tegalan serta pekarangan rumah penduduk. Beberapa jenis legume yang

banyak terdapat di Desa Ujung Tanjung antara lain lamtoro (Leucaena leucocephala),

gamal (Glyricidia maculata) dan turi (Sesbania glandiflora). Selama ini keberadaan

berbagai tanaman legume tersebut luput dari perhatian masyarakat sehingga banyak

diantaranya yang ditebang/dibuang terutama yang tumbuh di sekitar rumah-rumah

penduduk karena dianggap sebagai tanaman tidak produktif.

Implementasi Teknologi Penggemukan Sapi Potong

Bagi sebagian besar masyarakat di Desa Ujung Tanjung, usaha penggemukan sapi

potong merupakan aktivitas yang relatif baru. Selama ini aktivitas keseharian penduduk

setempat terfokus pada usaha pertanian tanaman pangan (padi gogo + padi sonor) dan

perkebunan karet yang umumnya sebagai petani penggaduh/penggarap. Disamping itu,

terdapat juga aktivitas sambilan yang dilakukan sebagian masyarakat yaitu mencari kayu

bakar di bekas areal penebangan hutan. Dengan melihat kondisi masyarakat tersebut, maka

rintisan kegiatan penggemukan sapi potong membutuhkan bimbingan dan pendampingan

yang cukup intensif, mulai dari tahap perencanaan usaha, pemilihan sapi bakalan,

pembuatan kandang, pemberian pakan, manajemen pemeliharaan sampai pemasaran.

Sapi bakalan

Dalam usaha penggemukan sapi potong, pemilihan sapi bakalan merupakan faktor

yang sangat menentukan keberhasilan usaha. Secara teknis, pemilihan sapi bakalan

diarahkan pada beberapa faktor, yaitu ketersediaan bibit di pasaran, harga sapi bakalan,

potensi pakan lokal serta preferensi petani maupun konsumen. Berkaitan dengan berbagai

Page 255: 5. sesi  ekonomi dan kemiskinan

ISBN 978-602-98295-0-1

Prosiding Seminar Nasional, 13-14 Desember 2010

1176

pertimbangan di atas, maka bibit/bakalan sapi potong yang dipilih adalah sapi Bali jantan

berumur sekitar 1,5 tahun dengan bobot badan awal kegiatan sebesar 206,34 ± 3,44 kg.

Pemilihan sapi Bali sebagai bakalan sapi potong, disamping atas dasar

pertimbangan di atas juga karena memiliki tingkat adaptasi yang baik terhadap kondisi

lingkungan serta produktivitasnya cukup tinggi. Banyak laporan dari beberapa hasil

penelitian menunjukkan bahwa sapi Bali memiliki sifat-sifat dan kemampuan produksi

yang cukup tinggi sehingga dapat dijadikan sebagai salah satu indikator seleksi. Beberapa

indikator sifat-sifat produksi yang dapat dilihat diantaranya bobot dewasa, laju

pertambahan bobot badan serta persentase dan kualitas karkas (Pane, 1991).

Manajemen Pakan dan Performans PBBH

Dalam usaha penggemukan sapi potong, komponen pakan merupakan biaya

terbesar setelah pembelian bibit/bakalan. Pemberian pakan ad-libitum adalah tindakan

pemborosan disamping menguras tenaga kerja, sebaliknya pemberian pakan sesuai

kebutuhan nutrisi ternak merupakan langkah tepat dan bijaksana mengingat sumberdaya

pakan di alam tersedia dalam jumlah terbatas.

Pakan yang diberikan terdiri dari dua jenis, yaitu hijauan (rumput alam + legume)

dan konsentrat (dedak padi). Jumlah pemberian hijauan sebanyak 15% dari bobot badan

per ekor per hari, sedangkan dedak padi sebanyak 3 kg per ekor per hari dengan frekuensi

pemberian 2 kali sehari pagi dan sore hari.

Untuk meningkatkan efisiensi dan kecernaan ransum, pemberian konsentrat

dilakukan dua jam sebelum hijauan. Pemberian hijauan yang hampir bersamaan dengan

konsentrat akan berakibat pada penurunan kecernaan bahan kering dan bahan organik

ransum. Hal ini karena mikroorganisme dalam rumen mempunyai preferensi untuk

mencerna konsentrat terlebih dahulu yang lebih banyak mengandung pati (Siregar, 2002).

Dari implementasi pemberian pakan tersebut diperoleh PBBH rata-rata 0,41 +

0,072 kg per ekor per hari (dari target 0,50 kg per ekor per hari). Berdasarkan beberapa

hasil penelitian sebelumnya, maka PBBH yang telah dicapai termasuk dalam kategori

cukup tinggi. Amril et al. (1990) melaporkan bahwa sapi Bali yang diberi pakan rumput

lapangan saja menghasilkan PBBH sebesar 0,177 kg per ekor per hari, sedangkan yang

diberi pakan rumput lapangan ditambah konsentrat menghasilkan PBBH sebesar 0,314 kg

per ekor per hari. Sementara itu, sapi Bali yang diberi pakan rumput dan pucuk tebu

ditambah konsentrat 1% dari BB menghasilkan laju pertambahan bobot badan harian

sebesar 0,69-0,82 kg per ekor (Soemarmi et al., 1985). Tingginya PBBH yang dicapai

Page 256: 5. sesi  ekonomi dan kemiskinan

ISBN 978-602-98295-0-1

Prosiding Seminar Nasional, 13-14 Desember 2010

1177

dalam pengkajian ini karena pakan yang diberikan cukup beragam, kuantitas sesuai

kebutuhan ternak serta memiliki kandungan nutrisi yang cukup tinggi terutama pada

legume dan rumput kumpai (Tabel 1).

Tabel 1. Kandungan nutrisi beberapa hijauan pakan ternak

No

. Nama hijauan

Kandungan nutrisi (%)

PK SK LK Abu

1. Rumput lapang

2. Rumput kumpai padi (Hymenache interupta) 13,13 27,69 - 16,19

3. Rumput kumpai tembaga (Ischaenum

aristatum)

13,03 27,87 - 8,25

4. Daun gamal (Glyricidia maculata)

5. Daun lamtoro (Leucaena leucosephala)

6. Daun turi (Sesbania glandiflora)

Dengan kondisi saat ini dimana jumlah populasi sapi potong di Desa Ujung

Tanjung masih rendah yaitu ± 126 ekor (tahun 2007), masih memungkinkan bagi peternak

untuk dapat memberikan hijauan dengan berbagai jenis serta jumlah yang cukup. Namun

ke depan apabila populasi sapi potong maupun ternak ruminansia lainnya meningkat maka

tidak saja dibutuhkan hijauan yang cukup, tetapi juga dituntut kesadaran masyarakat bahwa

beberapa jenis hijauan yang ada di Desa Ujung Tanjung dan sekitarnya merupakan

sumberdaya alam yang potensial dalam usaha pengembangan ternak ruminansia khususnya

sapi. Hal ini perlu ditekankan agar penduduk setempat tidak lagi membuka lahan dengan

cara membakar supaya sumberdaya pakan tetap terjaga kelestariannya.

Sistem perkandangan

Dalam kegiatan usaha penggemukan sapi potong sistem kereman, kandang tidak

saja sebagai tempat berlindung tetapi sebagai salah satu faktor produksi. Artinya,

keberhasilan atau kegagalan dalam usaha penggemukan sapi potong ditentukan juga oleh

fungsi kandang.

Kandang menggunakan tipe individu kapasitas 8 ekor. Ukuran per ekor : panjang

2,0 meter dan lebar 1,0 meter. Perlengkapan kandang terdiri atas palungan (tempat pakan),

ember (tempat minum), tempat penampungan pakan (hijauan), kandang jepit/kandang

penimbangan ternak (berukuran 2 m x 0,75 m) serta selokan.

Bahan kandang terdiri atas kayu dan bambu serta bahan-bahan lain yang tersedia di

lokasi peternakan. Atap menggunakan bahan genting dengan model shade. Dinding

kandang dibuat semi terbuka agar sirkulasi udara dapat berjalan dengan lancar. Lantai

kandang terbuat dari tanah yang dipadatkan dan pada bagian atas dilapisi semen dengan

Page 257: 5. sesi  ekonomi dan kemiskinan

ISBN 978-602-98295-0-1

Prosiding Seminar Nasional, 13-14 Desember 2010

1178

posisi miring ke belakang. Untuk memudahkan dalam membersihkan kotoran, peternak

dilengkapi berbagai macam peralatan diantaranya sepatu boot, sekop, lori dan cangkul.

Analisa Usahatani dan Respon Petani Kooperator (Peternak)

Total komponen biaya penggemukan sapi potong adalah sebesar 30.500.000,-,

terdiri atas 1) pembelian sapi bakalan, 2) penyusutan kandang, 3) pakan konsentrat (dedak

padi) dan 4) obat-obatan. Sedangkan total penerimaan sebesar Rp 35.500.000,- yang

berasal dari penjualan ternak sapi. Berdasarkan hasil analisa usahatani maka diperoleh

angka R/C sebesar 1,2. Artinya, kegiatan penggemukan sapi potong (skala usaha 8 ekor

dengan lama penggemukan 5 bulan) memberikan keuntungan sebanyak 20% dari modal

usahatani atau Rp 5.000.000,-. Secara ekonomis, besarnya keuntungan yang diterima setiap

peternak dalam satu periode pemeliharaan tidak terlalu besar, yaitu Rp 625.000,- (Rp

125.000,- per peternak per bulan). Namun demikian, peternak (petani kooperator)

memberikan respon positif terhadap kegiatan ini yang ditunjukkan dengan keinginannya

untuk mengembangkan usaha penggemukan sapi potong di waktu mendatang.

Tumbuhnya minat dan keinginan peternak untuk mengembangkan usaha

penggemukan sapi potong karena dua alasan pokok. Pertama, aktivitas ini tidak banyak

menyita waktu dan tenaga, dimana dalam sehari hanya dibutuhkan waktu sekitar 3 jam (1

jam membersihkan kandang, 2 jam mencari rumput). Dengan demikian, secara umum

usaha penggemukan sapi potong tidak mengganggu aktivitas pokok sebagai petani padi

maupun petani penggarap di perkebunan karet. Alasan kedua, walaupun keuntungan yang

diperoleh tidak terlalu besar, tetapi secara ekonomis dapat menambah pendapatan keluarga

± 20% per bulan dari total pendapatan yang berkisar antara Rp 600.000-750.000,-.

KESIMPULAN

Dengan melihat potensi sumberdaya (alam + manusia) yang tersedia di Desa Ujung

Tanjung maka usaha penggemukan sapi potong merupakan salah satu cabang usahatani

yang prospektif untuk dikembangkan. Sapi Bali yang digemukkan selama 5 bulan mampu

memberikan PBBH sebesar 0,41 + 0,072 kg dengan komposisi pakan hijauan (rumput dan

legume) sebanyak 15% dari bobot badan per ekor per hari dan konsentrat (dedak padi)

sebanyak 3 kg per ekor per hari.

Walaupun secara ekonomis sumbangannya terhadap pendapatan keluarga sebesar

Rp 125.000,- per bulan, namun petani merasa bahwa kegiatan usaha penggemukan sapi

potong cukup membantu ekonomi keluarga karena secara umum aktivitas ini tidak

mengganggu pekerjaan pokok sebagai petani.

Page 258: 5. sesi  ekonomi dan kemiskinan

ISBN 978-602-98295-0-1

Prosiding Seminar Nasional, 13-14 Desember 2010

1179

Dampak positif yang diharapkan dari kegiatan pengkajian ini disamping sebagai

upaya untuk pemberdayaan masyarakat (meningkatkan pengetahuan dan menambah

pendapatan keluarga) juga untuk menumbuhkan kesadaran masyarakat bahwa hijauan yang

tumbuh di Desa Ujung Tanjung merupakan bahan lokal yang harus dijaga kelestariannya.

DAFTAR PUSTAKA

Amril, M.A., S. Rasjid dan S. Hasan. 1990. Rumput Lapangan dan Jerami Padi Ammoniasi

Urea sebagai Sumber Hijauan dalam Penggemukan Sapi Bali Jantan dengan

Makanan Penguat. Prosiding Seminar Nasional Sapi Bali – Tanggal 20-22

September 1990. Fakultas Peternakan Universitas Udayana. Denpasar.

Anne, G. 1999. The Suistainable Development of Tree Crops and The Prevention of

Vegetation Fires in South Sumatera-Indonesia. European Union Ministry of

Forestry and Estate Crop. Forest Fire Prevention and Control Project. Palembang.

Lestari, B. 1998. Metode Penyuluhan Efektif untuk Pembentukan Kelompok Tani-Ternak

Mandiri. Prosiding Seminar Nasional Jilid II (hal 835-840). Pusat Penelitian dan

Pengembangan Peternakan. Bogor.

Pane, I. 1991. Produktivitas dan Breeding Sapi Bali. Prosiding Seminar Nasional Sapi Bali

Tanggal 2-3 September 1991. Fakultas Peternakan Universitas Hasanudin. Ujung

Pandang.

Siregar, S.B. 2002. Penggemukan Sapi – Cetakan ke-7. PT. Penebar Swadaya. Jakarta.

Soemarmi, A. Musofie dan N.K. Wardhani. 1985. Pengaruh Pemberian Wafer Pucuk Tebu

terhadap Pertambahan Berat Badan Sapi Bali Jantan. Prosiding Seminar

Pemanfaatan Limbah Tebu untuk Pakan Ternak. Lokakarya Nasional Sapi Potong

2004. Pusat Penelitian dan Pengembangan Peternakan. Bogor.

Page 259: 5. sesi  ekonomi dan kemiskinan

ISBN 978-602-98295-0-1

Prosiding Seminar Nasional, 13-14 Desember 2010

1180

TANAMAN SELA SEBAGAI TAMBAHAN PENDAPATAN BAGI PETANI KARET

(Studi Kasus di Desa Lubuk Bandung, Kabupaten Ogan Ilir, Provinsi Sumatera Selatan)

Dwi Shinta Agustina, L.F. Syarifa, C. Nancy, dan M.J. Rosyid

Balai Penelitian Sembawa, PO BOX 1127 Palembang 30001

ABSTRAK

Salah satu alternatif untuk meningkatkan pendapatan petani karet rakyat adalah adanya komoditas pendukung yang diusahakan secara mix-cropping dengan tanaman karet. Tanaman nenas merupakan salah satu jenis tanaman sela yang dianjurkan ditanam di antara tanaman karet sebelum berumur tiga tahun. Salah satu desa di Provinsi Sumatera Selatan yang mengusahakan tanaman sela nenas sebagai sumber pendapatan tambahan adalah Desa Lubuk Bandung Kabupaten Ogan Ilir. Tulisan ini menampilkan gambaran usahatani karet dengan tanaman sela nenas yang dilakukan oleh petani karet rakyat di Desa Lubuk Bandung. Petani di Desa Lubuk Bandung merupakan petani proyek sehingga telah mempunyai minat dan motivasi yang kuat untuk menerapkan teknologi anjuran. Hal ini terlihat dari produksi tanaman karet yang cukup tinggi serta input yang diberikan pada tanaman karet dan tanaman sela sudah sesuai dengan anjuran. Tanaman sela yang umum diusahakan oleh petani meliputi padi dan nenas. Produksi yang diperoleh dari tanaman padi digunakan petani untuk memenuhi konsumsi keluarga sedangkan produksi nenas memberikan pendapatan sebesar Rp 12,2 juta. Rata-rata pendapatan usahatani di Desa Lubuk Bandung adalah Rp 21,2 juta per tahun.

Kata kunci : Hevea brasiliensis, usahatani karet, tanaman sela nenas

PENDAHULUAN

Provinsi Sumatera Selatan merupakan sentra perkebunan karet rakyat

terbesar di Indonesia. Luas areal karet Provinsi Sumatera Selatan pada tahun

2003 mencapai 928 ribu ha, terdiri dari 866 ribu ha perkebunan karet rakyat (93%

dari total luasan karet) dan sisanya merupakan perkebunan besar (Dinas

Perkebunan Provinsi Sumsel, 2006). Permasalahan umum yang dihadapi pada

perkebunan karet rakyat adalah rendahnya produktivitas perkebunan karet rakyat.

Hal ini disebabkan antara lain oleh : 1). Masih banyak petani yang menggunakan

bibit seedling sebagai bahan tanam, 2). Kurangnya pemeliharaan kebun sehingga

kondisinya lebih mirip ―hutan karet‖, 3). Masih luasnya areal kebun karet tua yang

perlu diremajakan, dan 4). Kerusakan bidang sadap akibat penyadapan yang

terlalu berat.

Page 260: 5. sesi  ekonomi dan kemiskinan

ISBN 978-602-98295-0-1

Prosiding Seminar Nasional, 13-14 Desember 2010

1181

Untuk mengoptimalkan usahatani karet, pengusahaan tanaman sela di

antara tanaman karet dapat menjadi salah satu alternatif teknologi bagi

perkebunan karet rakyat. Penanaman tanaman sela diantara tanaman karet

terutama pada masa tanaman karet belum menghasilkan dapat menambah

sumber pendapatan petani, meningkatkan produktivitas lahan serta meningkatkan

intensitas pemeliharaan kebun (Rosyid, 2006).

Di Indonesia, sistem tumpang sari tanaman setahun maupun tanaman

tahunan dengan berbagai tanaman perkebunan juga merupakan salah satu

contoh yang baik, seperti tumpang sari tanaman pangan, vanili atau kakao di

antara kelapa (Darwis, 1988 dalam Rosyid dkk., 1992); cengkeh dengan kopi dan

vanili di Bali; tanaman pangan, buah-buahan, tanaman tahunan lainnya di antara

karet (Barlow dan Muharminto, 1982; Wibawa dkk., 1985; Rosyid dkk., 1987;

Gouyon dan Nancy, 1989; Rosyid dkk., 1993).

Petani karet di Sumatera Selatan baik petani proyek maupun non-proyek

telah melakukan diversifikasi usahataninya baik dengan tanaman palawija

maupun tanaman tahunan; seperti kopi, kakao, melinjo, duku, dan tanaman

lainnya yang dinilai menguntungkan (Rosyid dkk., 1992). Salah satu jenis tanaman

sela yang dianjurkan untuk ditanam di antara karet sebelum berumur tiga tahun

adalah tanaman nenas.

Pola usahatani karet dengan tanaman sela nenas telah dipraktekkan oleh

petani di Desa Lubuk Bandung Kabupaten Ogan Ilir Provinsi Sumatera Selatan.

Tulisan ini menampilkan gambaran usahatani karet dengan tanaman sela nenas

yang dilakukan oleh petani karet rakyat di Desa Lubuk Bandung.

KARAKTERISTIK SOSIAL EKONOMI PETANI DESA LUBUK BANDUNG

Sebagian besar petani di Desa Lubuk Bandung sudah menanam bibit karet

unggul, karena mereka pernah mengikuti proyek pembangunan demonstrasi plot

oleh Balai Penelitian Sembawa pada tahun 1994 dan proyek kehutanan pada tahun

2004. Pekerjaan pokok mereka adalah petani karet sehingga pendapatan utama

petani diperoleh dari hasil karet.

Rata-rata total pemilikan lahan petani adalah 2 ha, terdiri dari 1 ha lahan karet

belum menghasilkan (TBM) dan 1 ha lahan karet menghasilkan (TM). Pada lahan

karet TBM mayoritas petani sudah menanam bibit karet okulasi sedangkan pada

Page 261: 5. sesi  ekonomi dan kemiskinan

ISBN 978-602-98295-0-1

Prosiding Seminar Nasional, 13-14 Desember 2010

1182

lahan karet TM yang umurnya antara 6 – 16 tahun, jenis bibit yang ditanam petani

masih beragam yaitu seedling, okulasi dan bibit campuran.

KARAKTERISTIK USAHATANI KARET DI DESA LUBUK BANDUNG

Usahatani karet di Desa Lubuk Bandung telah menerapkan teknis budidaya

karet sesuai dengan rekomendasi. Sebagai sumber pendapatan selain karet

terutama pada masa tiga tahun tanaman belum menghasilkan, petani di Desa Lubuk

Bandung menanam tanaman sela di antara tanaman karet. Teknologi tanaman sela

yang dilaksanakan oleh petani pada umumnya sesuai dengan rekomendasi. Hal ini

karena pada saat pelaksanaan proyek pembangunan demonstrasi plot oleh Balai

Penelitian Sembawa pada tahun 1994, petani sudah mendapatkan pengetahuan

mengenai teknis budidaya karet dengan tanaman sela.

Pada tiga tahun pertama masa tanaman karet belum menghasilkan, petani

menanam tanaman sela di antara karet berupa padi dan nenas. Setelah pembukaan

lahan, petani langsung menanami lahan mereka dengan nenas. Kegiatan ini

berlangsung pada bulan September. Kemudian pada bulan Oktober, petani mulai

menanam padi dan dilanjutkan dengan penanaman karet pada bulan November.

Pemilihan jenis tanaman sela perlu mempertimbangkan faktor sosial ekonomi

petani, peluang pasar disamping faktor agronomis dan ketahanan terhadap

naungan. Selain itu, faktor persaingan antara tanaman sela dengan tanaman karet

perlu menjadi bahan pertimbangan dalam menentukan jenis tanaman sela.

Persaingan antara karet dengan tanaman sela tertentu akan dapat terjadi

secepatnya setelah tahun pertama (Wibawa dkk., 1999). Untuk menghindari

persaingan antara tanaman sela dan tanaman karet, perlu dilakukan pengaturan

jarak tanam. Balai Penelitian Sembawa (2003) menganjurkan jarak tanaman sela

terdekat dengan tanaman karet untuk tanaman nenas adalah 100 cm. Keragaan

pertumbuhan tanaman karet dengan tanaman sela nenas di Desa Lubuk Bandung

ditampilkan pada Gambar 1.

Page 262: 5. sesi  ekonomi dan kemiskinan

ISBN 978-602-98295-0-1

Prosiding Seminar Nasional, 13-14 Desember 2010

1183

Gambar 1. Keragaan Pertumbuhan Tanaman Karet dengan Tanaman Sela Nenas di Desa Lubuk Bandung, Kabupaten Ogan Ilir

Dari Gambar 1 terlihat bahwa petani telah terlebih dahulu menanam nenas

sebelum menanam karet. Penanaman tanaman sela nenas diberi jarak dengan

tanaman karet sehingga tidak terjadi persaingan dalam pertumbuhan masing-

masing tanaman. Usahatani karet dengan tanaman sela nenas pada umumnya

dilakukan sampai dengan tanaman karet berumur tiga tahun.

PENDAPATAN USAHATANI

Pendapatan usahatani merupakan total pendapatan yang diterima petani

dari berbagai cabang usahatani yang diusahakannya. Cabang usahatani yang

umum ditemukan di Desa Lubuk Bandung adalah usahatani karet dengan

tanaman sela padi dan nenas.

Produksi padi yang diperoleh dari dua kali panen di Desa Lubuk Bandung

masing-masing adalah 60 dan 20 kaleng (1 kaleng sama dengan 20 kg). Produksi

padi pada umumnya dikonsumsi sendiri oleh keluarga petani sehingga petani tidak

memperoleh pendapatan dari usahatani tanaman sela padi. Oleh karena itu pada

tulisan ini tidak dibahas mengenai analisis input-output tanaman sela padi secara

rinci.

Tabel 1. Analisis Input – Output Usahatani Nenas di Desa Lubuk Bandung

Komponen Biaya Biaya (Rp/ha/tahun)

Produksi (buah)

Penerimaan (Rp/tahun)

Pendapatan (Rp/tahun)

Persiapan lahan 1.990.000 - - -1.990.000

Penanaman 1.000.000 - - - 1.000.000

Pengkarbitan I 40.000 - - - 40.000

Panen buah induk 1.280.000 16.000 8.000.000 6.720.000

Pengkarbitan II 96.000 - - - 96.000

Panen buah anak 3.200.000 40.000 10.000.000 6.800.000

Pengkarbitan III 192.000 - - - 192.000

Panen buah catok 100.000 25.000 3.125.000 3.025.000

Pembersihan 1.000.000 - - - 1.000.000

Total 8.898.000 21.125.000 12.227.000

Keterangan : Harga buah induk Rp 500,00 Harga buah anak Rp 250,00 Harga buah catok Rp 125,00 Harga yang berlaku adalah harga pada tahun 2006 di tingkat desa

Lubuk Bandung

Page 263: 5. sesi  ekonomi dan kemiskinan

ISBN 978-602-98295-0-1

Prosiding Seminar Nasional, 13-14 Desember 2010

1184

Berbeda dengan tanaman sela padi, produksi tanaman sela nenas yang

diperoleh dari tiga kali panen, memberikan pendapatan bagi petani. Pemanenan

buah nenas dilakukan sebanyak tiga kali dalam satu periode tanam. Pemanenan

pertama adalah pemanenan buah induk, pemanenan kedua adalah pemanenan

buah anak, dan panen ketiga adalah panen buah catok. Produksi terbesar

diperoleh petani pada saat pemanenan buah anak sedangkan produksi terendah

diperoleh pada saat pemanenan buah induk. Namun ukuran buah induk lebih

besar dibandingkan dengan ukuran buah anak. Besar kecilnya ukuran buah ini

menentukan tingkat harga jual masing-masing buah. Harga jual buah induk lebih

tinggi dibandingkan dengan harga jual buah anak dan buah catok. Analisis input-

output usahatani tanaman sela nenas di Desa Lubuk Bandung disajikan pada

Tabel 1.

Data pada Tabel 1 menunjukkan bahwa usahatani tanaman sela nenas di

antara tanaman karet memberikan pendapatan bagi petani sebesar Rp 12,2 juta

per tahun. Pendapatan ini diperoleh setelah dikurangi biaya usahatani sebesar Rp

8,9 juta per tahun. Nilai R/C ratio (nilai perbandingan antara penerimaan dan

biaya) dari usahatani nenas di Desa Lubuk Bandung adalah 2,37. Nilai ini

menunjukkan bahwa secara ekonomis usahatani tanaman sela nenas

menguntungkan karena nilai R/C ratio yang diberikan adalah > 1.

Tabel 2. Perincian Biaya Produksi Usahatani Tanaman Sela Nenas di Desa Lubuk Bandung

Kegiatan Tenaga Kerja Bahan Total

Biaya Unit Jumlah Biaya Jenis Unit Jumlah Biaya

Persiapan lahan

HOK 78 1.950.000 Kawat ikat kg 4 40.000 1.990.000

Penanaman HOK 0 0 Bibit nenas rumpun 20000 1.000.000 1.000.000

Pengkarbitan I HOK 0 0 Karbit kg 3 40.000 40.000

Panen buah induk

HOK borong 1.280.000 - - - - 1.280.000

Pengkarbitan II HOK 0 0 Karbit kg 8 96.000 96.000

Panen buah anak

HOK borong 3.200.000 - - -

- 3.200.000

Pengkarbitan III HOK 0 0 Karbit kg 16 192.000 192.000

Panen buah catok

HOK borong 100.000 - - -

- 100.000

Pembersihan HOK borong 1.000.000 - - - - 1.000.000

Total Biaya 7.530.000 (85) 1.368.000 (15) 8.898.000

Keterangan : Angka dalam kurung menunjukkan persentase terhadap total

Page 264: 5. sesi  ekonomi dan kemiskinan

ISBN 978-602-98295-0-1

Prosiding Seminar Nasional, 13-14 Desember 2010

1185

Dari Tabel 1 juga terlihat bahwa secara keseluruhan komponen biaya yang

terbesar dalam usahatani tanaman sela nenas adalah pada kegiatan panen buah

anak. Hal ini ditimbulkan oleh biaya tenaga kerja panen yang cukup besar karena

buah yang dipanen cukup banyak. Pada umumnya tenaga kerja dibayar dengan

sistem borong dan tenaga kerja keluarga tidak diperhitungkan sebagai biaya.

Perincian biaya produksi usahatani tanaman sela nenas di Desa Lubuk Bandung

disajikan pada Tabel 2.

Dari data yang ditampilkan pada Tabel 2 terlihat bahwa biaya produksi

terbesar adalah komponen biaya tenaga kerja yang menyerap biaya sekitar 85%

dari total biaya produksi sedangkan sisanya sebanyak 15% merupakan biaya

bahan. Biaya bahan yang terbesar adalah biaya pembelian bibit nenas kemudian

biaya pembelian karbit dan biaya pembelian kawat untuk pemagaran. Pembelian

karbit dilakukan sebanyak tiga kali dengan jumlah pembelian yang bervariasi

dimana jumlah pembelian terbesar adalah pada saat pemanenan buah catok.

Produksi rata-rata dari hasil karet di Desa Lubuk Bandung adalah 1482

kg/ha/tahun. Dari sejumlah produksi tersebut, rata-rata pendapatan yang diterima

petani adalah Rp 9 juta per tahun. Pendapatan tersebut diterima setelah dikurangi

biaya usahatani rata-rata sebesar Rp 579 ribu per tahun. Pendapatan dari

usahatani karet diperoleh selama 25 tahun dan dimulai pada saat tanaman karet

berumur 6 tahun. Grafik produksi tanaman karet di Desa Lubuk Bandung mulai

tahun sadap pertama (umur tanaman 6 tahun) sampai dengan tahun sadap ke 25

(umur tanaman 30 tahun) dapat dilihat pada Gambar 2.

Gambar 2. Grafik Produksi Tanaman Karet di Desa Lubuk Bandung

0

500

1000

1500

2000

2500

1 3 5 7 9 11 13 15 17 19 21 23 25

Produksi tahun ke-

Page 265: 5. sesi  ekonomi dan kemiskinan

ISBN 978-602-98295-0-1

Prosiding Seminar Nasional, 13-14 Desember 2010

1186

Rata-rata produksi tanaman karet yang diperoleh oleh petani di Desa Lubuk

Bandung cukup tinggi karena pada umumnya petani sudah menanam bibit karet

okulasi dan pemeliharaan yang dilakukan cukup intensif. Dari Gambar 2 terlihat

bahwa produksi karet petani di Desa Lubuk Bandung mulai dari tahun pertama

sadap sampai dengan tahun ke 25 sadap berfluktuasi dari tahun ke tahun dengan

pola yang cenderung menurun.

Secara keseluruhan, pendapatan usahatani petani di Desa Lubuk Bandung

dari karet dan nenas tergolong tinggi yaitu rata-rata Rp 21,2 juta per tahun.

Kontribusi tanaman sela nenas cukup besar terhadap total pendapatan usahatani

yaitu 58% dari total pendapatan sedangkan tanaman karet memberikan kontribusi

42% terhadap total pendapatan usahatani.

Ditinjau dari kelayakan untuk memenuhi standar upah minimum regional

Provinsi Sumatera Selatan, pendapatan total usahatani karet dengan tanaman

sela sudah memenuhi kriteria tersebut. Upah minimum regional Provinsi Sumatera

Selatan adalah Rp 720 ribu per bulan (Keputusan Depnaker, 2007). Dilihat dari

pendapatan usahatani yang diterima petani di Desa Lubuk Bandung diketahui

bahwa pendapatan usahatani yang diterima telah memenuhi standar upah

minimum regional Provinsi Sumatera Selatan. Dengan demikian dapat dikatakan

bahwa pengusahaan tanaman sela di antara tanaman karet layak dari sisi

pendapatan.

SIMPULAN DAN SARAN

Pengusahaan tanaman sela nenas di antara tanaman karet memberikan

keuntungan bagi petani. Rata-rata pendapatan usahatani karet dengan tanaman

sela yang diperoleh petani di Desa Lubuk Bandung adalah Rp 21,2 juta per tahun.

Petani di Desa Lubuk Bandung sudah menerapkan teknologi karet dan tanaman

sela sesuai dengan anjuran. Kontribusi pendapatan dari tanaman sela nenas

cukup besar yaitu 58% terhadap total pendapatan usahatani. Pendapatan

usahatani ini telah memenuhi standar upah minimum regional Provinsi Sumatera

Selatan sehingga pengusahaannya layak dari sisi pendapatan.

Dari hasil penelitian dapat disarankan agar pengusahaan tanaman sela

nenas di antara tanaman karet dapat dilaksanakan lebih intensif dan

Page 266: 5. sesi  ekonomi dan kemiskinan

ISBN 978-602-98295-0-1

Prosiding Seminar Nasional, 13-14 Desember 2010

1187

berkesinambungan sebagai sumber pendapatan bagi petani terutama selama

tanaman karet berumur tiga tahun.

DAFTAR PUSTAKA

Balai Penelitian Sembawa, 2003. Sapta Bina Usahatani Karet. Balai Penelitian Sembawa, Pusat Penelitian Karet.

Barlow, C dan Muharminto. 1982. Smallholder Rubber in South Sumatra. Toward Economic Improvement. Doc. BPP Bogor dan ANU, 78 pp.

Gouyon, A dan C. Nancy. 1989. Increasing the Productivity of Rubber Smallholders in Indonesia : A Study of Agro-economic Constrains and Proposals. Paper for the Rubber Growers Conference, 26 pp.

Keputusan Menteri Tenaga Kerja. 2007. Ketetapan UMR 2007. Jakarta. Rosyid, M.J., G. Wibawa, U. Junaidi, dan A. Gunawan. 1992. Pengujian

Diversifikasi Beberapa Tanaman Tahunan di Antara Tanaman Karet. Risalah Seminar Hasil Penelitian Balai Penelitian Sembawa Tahun 1992/1993. h. 105-125.

Rosyid, 2006. Budidaya Tanaman Sela Berbasis Karet. Makalah disampaikan pada acara Gelar Teknologi di Banjar Baru, Kalimantan Selatan, 31 Mei – 1 Juni 2006. Balai Penelitian Sembawa, Pusat Penelitian Karet.

Rosyid, M.J., G. Wibawa, dan A. Gunawan, 1993. Pola Usahatani Terpadu pada Perkebunan Karet untuk Meningkatkan Efisiensi Penggunaan Lahan. Makalah disajikan pada Temu Aplikasi Paket Teknologi Usahatani di BIP, Aceh, 45 pp.

Rosyid, M.J., G. Wibawa, U. Junaidi, dan A. Gunawan. 1992. Pengujian Diversifikasi Beberapa Tanaman Tahunan di Antara Tanaman Karet. Risalah Seminar Hasil Penelitian Balai Penelitian Sembawa Tahun 1992/1993. h. 105-125.

Rosyid, M.J., G. Wibawa, dan S. Arifin. 1987. Hasil dan Rencana Penelitian Pola Usahatani Lahan Kering di Sembawa dan Batumarta. Dalam : Mahyudin Syam, et al. 1987. Risalah Lokakarya Pola Usahatani, Buku 2. Badan Litbangtan.

Wibawa, G, M.J. Rosyid, Suryatna Effendi, dan T. Subagio. 1985. Increasing of Land Productivity of Red Yellow Podzolic Soil through Rubber Based Farming System. Proceeding of International Workshop on Cropping/ Farming System, Sukarame, Indonesia.

Wibawa, G, A. Gunawan, dan M.J. Rosyid. 1999. Pola Tumpangsari berbasis karet sebagai alternatif potensial untuk pengembangan karet rakyat di Sumatera Selatan. Prosiding Seminar Nasional Pertanian Terpadu, Palembang, 13 Februari 1999. h. 73-92.