Upload
reggy-fadhilah
View
216
Download
0
Embed Size (px)
Citation preview
BAB I
PENDAHULUAN
I.1 Latar Belakang
Setiap bisnis menghadapi tantangan yang setara antara pertumbuhan pendapatan dan
pengelolaan risiko. Hal ini disebabkan setiap keputusan bisnis mengandung elemen risiko
didalamnya. Salah satunya adalah di dalam proses pembuatan sebuah produk. Mulai dari
keputusan untuk menetukan bahan baku, kadar, kemasan, dan lainnya, terdapat berbagai jenis
risiko.
AJI-NO-MOTO® sebagai salah satu brand penyedap rasa dibuat melalui proses
fermentasi dengan bahan baku utama tetes tebu pilihan. Berstandar internasional dan dibawah
lisensi Ajinomoto Co. Inc., Jepang sebagai perusahaan pertama yang memproduksi penyedap
rasa sejak 1909. Namun, pada awal Januari 2001, PT Ajinomoto diharuskan menarik seluruh
produk AJI-NO-MOTO dari pasar karena menggunakan babi sebagai salah satu bahan
pembuatannya.
I.2 Tujuan
Mengidentifikasi risiko yang terjadi
Melakukan pengukuran dan pemetaan risiko
Menganalisis penanganan risiko
I.3 Rumusan Masalah
Sehubungan dengan akan berakhirnya sertifikat Halal dari MUI untuk AJI-NO-
MOTO pada September 2000, maka PT Ajinomoto Indonesia mengajukan perpanjangan
sertifikat Halalnya pada akhir Juni 2000. Audit kemudian dilakukan oleh LPPOMMUI Pusat
(2 orang), LPPOMMUI Jatim, BPOM, Balai POM Surabaya dan dari Departemen Agama
pada tanggal 7 Agustus 2000. Pada 7 Oktober 2000, Komisi Fatwa memutuskan bahwa
Bactosoytone tidak dapat digunakan sebagai bahan dalam media pembiakan mikroba untuk
1
menghasilkan MSG. PT Ajinomoto Indonesia diminta untuk mencari alternatif bahan
pengganti Bactosoytone.
Sesuai dengan instruksi Komisi Fatwa, PT Ajinomoto Indonesia mengganti
Bactosoytone dengan Mameno dalam tempo 2 bulan. LPPOMMUI melakukan audit
sehubungan dengan penggantian Bactosoytone dengan Mameno pada 4 Desember 2000.
Mereka memutuskan Mameno dapat digunakan dalam proses pembiakan mikroba untuk
menghasilkan MSG.
Komisi Fatwa melakukan rapat kedua pada 16 November 2000. LPPOMMUI
menyampaikan hasil rapat tersebut kepada PT Ajinomoto Indonesia pada 18 Desember 2000,
bahwa produk yang menggunakan Bactosoytone dinyatakan Haram.
MUI mengirim surat kepada PT Ajinomoto Indonesia pada 19 Desember 2000 untuk
menarik semua produk Ajinomoto yang diproduksi dan diedarkan sebelum tanggal 23
November 2000 (Produk yang dihasilkan setelah 23 November 2000 sudah menggunakan
Mameno). Namun, pada tanggal tersebut perusahaan sudah memasuki libur bersama Natal
dan Tahun Baru. Sekertaris Umum MUI mengumumkan di media massa pada 24 Desember
2000, bahwa produk AJI-NO-MOTO mengandung babi dan masyarakat diminta untuk tidak
mengkonsumsi bumbu masak AJI-NO-MOTO yang diproduksi pada periode 13 Oktober
hingga 16 November 2000.
Pengumuman MUI ini lalu ditindaklanjuti dengan pertemuan antara jajaran
Deperindag, Depag, MUI, GPMI (Pengusaha Makanan dan Minuman), Dirjen POM, dan
YLKI pada 2 & 5 Januari 2001 yang menghasilkan keputusan bahwa PT. Ajinomoto
Indonesia harus menarik seluruh produknya di pasaran dalam negeri termasuk produk lain
yang tidak bermasalah dalam jangka waktu 3 minggu terhitung dari 3 Januari 2001.
2
BAB II
TEORI
II.1 Pengertian Risiko
Risiko adalah peristiwa atau kejadian-kejadian yang berpotensi untuk terjadi yang
mungkin dapat menimbulkan kerugian pada suatu perusahaan. Risiko timbul karena adanya
unsur ketidakpastian di masa yang akan datang. Risiko memiliki sifat dinamis dan memiliki
interdependensi satu sama lain.
II.2 Identifikasi Risiko
Untuk dapat mengidentifikasi risiko dengan tepat, kita perlu mengetahui jenis-jenis
risiko, yaitu:
1. Risiko kredit/investasi: timbul akibat dari kegagalan pemenuhan kewajiban oleh
debitur atau counterparty.
2. Risiko pasar: timbul karena adanya pergerakan variable pasar yang bervariasi.
3. Risiko likuiditas: muncul karena ketidakmampuan dalam menempatkan/mengolah
liability.
4. Risiko kepatuhan: disebabkan oleh kegagalan mematuhi dengan atau tanpa
menerapkan hukum, peraturan-peraturan atau ketentuan-ketentuan lainnya.
5. Risiko operasional: muncul karena ketidakmampuan dan/atau tidak berfungsinya
proses internal, kesalahan manusia, kegagalan sistem atau masalah-masalah eksternal
lainnya.
6. Risiko Hukum: akibat dari kelemahan masalah hukum.
7. Risiko reputasi: muncul terkait dengan masalah publikasi atau persepsi-persepsi
negatif.
8. Risiko strategi: timbul akibat lemahnya pembentukan dan penerapan strategi
perusahaan, lemahnya pengambilan keputusan dalam dunia bisnis dan kesenjangan
reaksi dalam menghadapi perubahan.
II. 3 Risiko Barang dan Jasa & Risiko Pembelian/Pengadaan
3
Dalam suatu manajemen, bagian operasional merupakan bagian dari manajemen yang
paling banyak mengeluarkan biaya. Untuk menghindari penggunaan biaya yang berlebihan di
bagian operasional maka perlu adanya identifikasi terhadap risiko-risiko.
RISIKO OPERASIONAL DAN PRODUKSI
Resiko yang dapat muncul dari produk atau jasa disebabkan oleh berbagai macam hal
yang akan berdampak pada biaya, reliability, bahkan terhadap masyarakat.
1. Konsekuensi Mundane Failure
Adalah kesalahan yang biasa terjadi dalam suatu proses produksi yang dampaknya
juga tidak terlihat signifikan, namun jika kesalahan tersebut terus menerus terjadi,
dampaknya dapat terakumulasi dan pada akhirnya akan menimbulkan kerugian
financial bagi perusahaan.
2. Catastropic Failure
Kegagalan produk dan jasa yang berakibat pada penarikan produk dari pasar atau
yang menimbulkan masalah hukum.
3. Penerapan Product Liability di Eropa
Hukum mengenai Product Liability telah distandardisasi di seluruh Uni Eropa
berdasarkan revisi pedoman pada General Product Safety.
Tujuan utama dari pedoman ini adalah memastikan produk yang terdapat di pasaran
adalah produk yang aman–dalam arti penggunaan yang tepat dan sesuai fungsi serta
dalam kondisi normal.
4. Kegagalan Pelayanan Jasa
Terdapat tiga tipe perusahaan jasa:
a. Pelayanan jasa yang juga melibatkan produk fisik
b. Pelayanan jasa yang terlibat langsung dengan pelanggan
c. Pelayanan jasa murni
5. Risiko Finansial dalam Badan Pemerintahan
4
Salah satu risiko terbesar dalam badan pemerintahan daerah adalah keterbatasan atau
kekurangan dana.
6. Cara Mencapai Reliabilitas dan Konsistensi
Terdapat tiga cara dalam pendekatan kualitas :
1. Failure area (non-responsive) dengan risiko complain dan penarikan dari
pasaran (paling berisiko).
2. Inspection mode (reactive) pemeriksaan kualitas dari produk akhir sebelum
dikeluarkan ke pasar.
3. Prevention mode (planned) penerapan sebuah sistem yang melingkupi seluruh
area dimana permasalahan dalam kualitas dapat muncul (risiko paling kecil).
7. Pemanfaatan Sistem Manajemen untuk Pengendalian Risiko
Elemen-elemen dalam manajemen sistem kualitas yaitu sebagai berikut :
Pemahaman terhadap proses utama
Memiliki struktur organisasi
Memiliki prosedur tertulis
Menyimpan dokumentasi
Melakukan pemeriksaan rutin
Mengidentifikasi kegagalan dan memperbaikinya
Melakukan pengembangan yang berkelanjutan
Komunikasi yang baik
Mengijinkan sebuah perusahaan eksternal untuk menilai sistem secara rutin
8. Pengelolaan Manusia, Teknologi dan Desain Dalam Keterlibatannya terhadap Risiko
Operasi dan Produksi
a. Pengelolaan manusia
o Multifunction team; diterapkan pada masalah-masalah yang melibatkan batas-
batas fungsional atau melewati batas-batas fungsional dalam perusahaan.
o Cell manufacturing; mengurangi kesenjangan atau jarak di dalam organisasi dan
member setiap orang kendali terhadap produk akhir dimana setiap sel (bagian)
dalam organisasi bertindak sebagai sebuah complete profit centre dan memiliki
chief executive-nya masing-masing
5
o Reward system; pekerja diberi penghargaan berupa bagian kepemilikan terhadap
perusahaan (share)
o Employee Share Ownership Programe (ESOPs)
o Performance Relative Pay (PRP)
b. Pengelolaan Teknologi
o Computer Aided Design (CAD)
o Computer Integrated Manufacture (CIM)
o Penggunaan bar code
o Proses produksi dengan computer
o Pengenalan sistem penanganan otomatis dan robotic
o Penggunaan inovasi-inovasi baru
c. Pengelolaan Disain dan Pengembangan
o Concurrent engineering
o Benchmarking
RISIKO PEMBELIAN
Dalam pembelian, isu-isu utama tentang risiko berkaitan dengan kualitas dan
ketersediaan, serta konflik kepentingan. Adanya risiko ini dibagi dalam 2 kategori :
1. Risiko dari pemasok
2. Risiko dari kebijakan pengadaan yang dimiliki perusahaan
Berikut adalah jenis-jenis risiko yang berkaitan dengan pemasok:
Single sourcing of supplies: banyak perusahaan menginginkan satu pemasok untuk
setiap produk yang dibeli.
Oligopolies: suatu pasar dengan sedikit pemasok yang menyediakan risiko kepada
muara bisnis.
Reverse auctions: sebuah model yang berbeda dari single sourching. Di sini, para
pemasok menawarkan harga termurah untuk sebuah komoditi atau komponen.
6
Partnership sourcing and supplier development: para pemasok akan lebih dalam
terlibat dalam bisnis kliennya.
Outsourcing and sourcing from aboard
Sourcing dari perusahaan-perusahaan lain dan dari luar negeri membawa banyak
manfaat.
Reputation issues: perusahaan harus berhati-hati agar tidak memasok bahan baku dari
para pemasok yang telah mendapatkan image yang buruk.
Supllier unreliability: hal yang memicu timbulnya ketidakpercayaan terhadap
pemasok, misalnya seperti masalah keuangan dan masalah kualitas.
Just in time: mengurangi persediaan di gudang dan menghindari dated stock.
Overstocking: dengan overstocking, perusahaan dapat memenuhi lonjakan pesanan.
Akan tetapi jika tidak adanya lonjakan pesanan maka persediaan yang tersimpan juga
akan banyak.
Conflicts of interest: kadang perusahaan mengalami masalah mengenai persoalan
memuaskan pemasok atau pelanggan.
Corruption Risks
Controlling price hikes: risiko beberapa industri mengarah kepada perubahan harga
dari bahan-bahan mentah dan ketika harga mengalami kenaikan, maka profitabilitas
mereka akan terancam.
Cara yang dapat digunakan perusahaan untuk mengurangi risiko pembelian:
1. Supplier assessment
Dimulai dengan formulir yang dilengkapi prospective supplier.
Perusahaan mengunjungi pemasok dari waktu ke waktu.
Perusahaan perlu melakukan inspeksi penerimaan.
2. Vertical integration
Menerapkan kekuasaan kepada pemasok atau distributor untuk mengefisiensi supply
chain.
3. E-Business
Memesan kepada pemasok melalui jaringan computer, pesanan sering dicetuskan oleh
gudang pelanggan atau sistem perencanaan produksi.
7
BAB III
PROFIL PERUSAHAAN
PT Ajinomoto Indonesia merupakan produsen bumbu masak merek Ajinomoto.
Perusahaan ini memiliki kantor pusat di Jepang dimana Ajinomoto pusat merupakan salah
satu dari 36 perusahaan makanan dan minuman terbesar di dunia. Di Indonesia, AJI-NO-
MOTO® telah dijual selama 40 tahun dan telah menjadi bumbu masak andalan di dapur Ibu-
Ibu Indonesia. Dari tahun ke tahun perkembangan dan inovasi produk terus dilakukan,
terbukti dengan munculnya beragam produk bumbu mulai dari bumbu kaldu penyedap
"MASAKO®", bumbu praktis siap saji "SAJIKU®", dan bumbu masakan Asia "SAORI®".
Selain itu, produk minumannya yaitu minuman susu fermentasi "CALPICO®" dan minuman
kopi susu "BIRDY®".
Filosofi:
Menciptakan kehidupan yang lebih baik secara global dengan memberikan kontribusi
bagi kemajuan yang berarti dalam bidang Makanan dan Kesehatan serta berkarya bagi
kehidupan.
Visi dan Misi:
Menjadi basis kekuatan Grup Ajinomoto untuk memanfaatkan kesempatan bisnis di
pasar Islam dengan menciptakan produk - produk / bisnis yang unik dalam bidang
makanan (utamanya difokuskan pada segmen bumbu masak) yang dapat
merealisasikan filosofi "Eat Well Live Well", sehingga bisnis kita akan membuat
lingkungan di bumi lebih terpelihara.
Nilai-nilai Perusahaan:
Mematuhi peraturan pemerintah dan memperhatikan nilai-nilai yang berlaku di
masyarakat.
Memperhatikan dan memenuhi kebutuhan konsumen.
Komunikasi dua arah yang terbuka dan jujur.
Disiplin dan bertanggung jawab.
8
Perbaikan dan kemajuan dimulai dari kegiatan sehari-hari, sehingga setiap
individu serta organisasi perusahaan dapat tumbuh dan berkembang bersama-
sama.
Nilai-nilai MSDM:
1. Penciptaan Nilai Melalui “Value Chain”
a. Selalu melakukan komunikasi aktif dengan organisasi atau orang terkait
b. Melakukan aktivitas berdasarkan pola pikir bahwa proses selanjutnya adalah
pelanggan.
2. "GENBA SHUGI"
c. Melakukan aktifitas dengan menyadari STPDCA {See (lihat), Think (Pikir), Plan
(Rencana), Do (Laksanakan), Check (Periksa), Action (Tindakan)} dan selalu
bertanya Kenapa? Kenapa? Kenapa?
3. Inisiatif
d. Menciptakan tantangan dan kesempatan untuk pengembangan diri.
e. Melakukan aktifitas dengan memiiliki komitmen yang kuat untuk mencapai hasil
sesuai dengan tujuan.
III.1 Berdirinya Ajinomoto Grup Indonesia
1969 : PT AJINOMOTO INDONESIA didirikan
1970 : Pabrik Mojokerto mulai beroperasi
1970 : Mulai menjual AJI-NO-MOTO®
1982 : Mulai mensual L-LYSINE®
1986 : Mulai menjual AJI-PLUS®
1987 : PT AJINEX INTERNATIONAL didirikan
1989 : Mulai menjual MASAKO® untuk eceran
1989 : Mulai menjual TENCHO® dan Aspartame
1993 : PT Ajinomoto Sales Indonesia (ASI) mulai beroperasi
1994 : PT Ajinomoto Calpis Beverage Indonesia (ACBI) didirikan
1996 : Mulai menjual CALPICO® Soda
1997 : Mulai menjual BIRDY®
9
1999 : Mulai menjual SAJIKU®
2005 : Mulai menjual SAORI®
2006 : Mulai menjual CALPICO® Mini
III.2 Struktur Perusahaan
10
BAB IV
ANALISIS
IV.1 Sistem Produksi Produk Ajinomoto (MSG)
11
Tahapan-tahapan pembuatan Ajinomoto:
1. Pada tahapan ini, PT Ajinomoto menggunakan hasil-hasil pertanian alami sebagai bahan baku
seperti tebu. Tebu diperas untuk mendapatkan tetes tebu (molase) yang nanantinya akan
difermentasi menjadi asam glutamat.
2. Setelah mendapatkan tetes tebu, tahapan berikutnya yaitu proses fermentasi tetes tebu tersebut
untuk mendapatkan asam glutamat. Pada tahapan ini yang menjadi kasus risiko produksi dari
PT Ajinomoto adalah mereka menggunakan bacto-soytone sebagai media pengembang
biakkan bakteri yang nantinya akan digunakan untuk proses fermentasi. Bacto-soytone itu
dihasilkan dari ekstraksi daging babi. Dan hal tersebut yang menjadi kontroversi dan
diharamkan oleh MUI.
12
3. Pada tahapan ketiga, asam glutamat yang telah dihasilkan dari bakteri fermentasi pada
tahapan sebelumnya, diisolasi melalui proses pengkristalan. Dengan mengasamkan kaldu
fermentasi, asam glutamat terkristalkan.
Berikutnya lempengan kristal glutamat dipisahkan dari kaldu fermentasi yang asam.
4. Kemudian pada tahapan ke empat, asam glutamat diubah menjadi monosodium glutamat
(MSG). Dengan menambahkan natrium hidroksida (food grade), asam glutamat kemudian
diubah menjadi monosodium glutamat. Monosodium glutamat memiliki kelarutan dan
stabilitas yang sangat baik sebagai bumbu masak. Dibandingkan dengan asam glutamat,
monosodium glutamat lebih mudah larut dalam air serta kecil kemungkinannya untuk
menyerap uap air dan memiliki rasa yang kuat.
13
5. Tahapan berikutnya yaitu membersihkan larutan monosodium glutamat dengan menggunakan
karbon aktif untuk menghilangkan zat-zat yang tidak diinginkan.
6. Pada tahapan ini, larutan monosodium glutamat dikonsentrasikan dengan pemanasan dan
kristal monosodium glutamat terbentuk.
14
7. Tahapan berikutnya, kristal monosodium glutamat digetarkan dan dipindahkan kemudian
dikeringkan dengan udara panas.
8. Kristal monosodium glutamat yang dihasilkan kemudian ditimbang dan dikemas.
9. Ajinomoto siap dikirimkan ke tempat konsumen.
15
Dari sistem produksi monosodium glutamat Ajinomoto di atas, yang menjadi risiko
produksi dari perusahaan terdapat pada tahapan kedua dimana dilakukannya proses
fermentasi yang menggunakan bakteri fermentasi dalam jumlah yang cukup banyak.
Perusahaan menggunakan bactosoytone yang diekstraksi dari daging babi untuk
menggantikan polypeptone yang biasa diekstrasi dari daging sapi karena lebih ekonomis.
Bactosoytone itu digunakan sebagai media pengembang biakan bakteri yang akan
digunakan untuk memfermentasi tetes tebu (gula) menjadi asam glutamat. Hal ini yang
menjadi kontroversi sehingga MUI mengaharamkan produk Ajinomoto yang menggunakan
bactosoytone ini.
IV.2 Identifikasi Risiko
Berikut adalah identifikasi risiko yang kami lakukan terkait kasus Ajinomoto ini:
Entrepreneurial Risk
Kasus Ajinomoto ini termasuk jenis risiko entrepreneurial yang diakibatkan karena
perusahaan gagal membuat keputusan bisnis yang tepat dan memprediksi keputusan
tersebut sehingga mengalami kerugian yang cukup signifikan.
Strategic Risk
Risiko ini muncul akibat kesalahan dalam pengambilan keputusan yang dilakukan
pimpinan perusahaan, dengan menggunakan Bactosoytone yang mengandung unsur
binatang babi, agar proses produksi menjadi lebih ekonomis.
Financial Risk
Kasus ini sangat mempengaruhi keuangan perusahaan karena kerugian yang dialami
mencapai 55 milliar rupiah. Padahal, berdasarkan laporan keuangan per 31 Maret
2001 yang kami peroleh, Ajinomoto Group mengalami loss sebesar 11.5 milliar yen.
Compliance Risk
16
Kasus ini juga menyangkut tentang risiko kepatuhan, yaitu risiko yang berhubungan
dengan kepatuhan perusahaan terhadap aturan-aturan atau ketentuan-ketentuan hukum
untuk meningkatkan pengendalian risiko perusahaan sebagai perusahaan publik.
Dalam kasus ini, perusahaan gagal mematuhi ketentuan yang telah ditetapkan oleh
MUI mengenai bahan-bahan yang tidak boleh digunakan untuk membuat produk
makanan.
Reputation Risk
PT Ajinomoto Indonesia sebagai perusahaan publik dituntut untuk selalu mengawasi
dan mengendalikan kegiatan bisnisnya agar tidak sampai terjadi hal-hal yang
berdampak buruk pada pandangan masyarakat terhadap perusahaan. Namun
sayangnya, kasus ini membuat persepsi negatif di kalangan masyarakat mengenai
produk Ajinomoto yang menggunakan babi sebagai salah satu bahannya. Padahal
mayoritas konsumennya beragam Islam yang mengharamkan babi. Sehingga setelah
kasus ini muncul, reputasi Ajinomoto cenderung menurun.
Jika dikaitkan dengan teori pada risiko operasional dan produksi serta pembelian
maka identifikasi risikonya adalah sebagai berikut:
Risiko Produksi
Risiko ini timbul karena perusahaan tetap menggunakan bakteri bactosoytone yang
merupakan hasil hidrolisa enzim kedelai dengan biokatalisator parcine yang berasal
dari pangkreas babi. Walaupun secara ilmiah semua zat dari bakteri tersebut nantinya
akan terurai, MUI tetap menjatuhkan fatwa haram pada Ajinomoto.
Catastrophic Failure
Adanya catastrophic failure, yaitu kegagalan produk yang mengakibatkan penarikan
produk dari pasar atau yang menimbulkan masalah hukum. Pada kasus ini, PT
ajinomoto diharuskan menarik semua produknya, dalam jangka waktu 3 minggu
terhitung dari 3 Januari 2001. Diperkirakan PT Ajinomoto menarik 3500 produknya
dari pasaran. Kegagalan ini mengakibatkan Ajinomoto menalan kerugian 55 milliar
rupiah karena kehilangan sertifikat halalnya yang mengakibatkan kurangnya
kepercayaan masyarakat terhadap penyedap rasa tersebut.
Belajar dari kesalahan, Ajinomoto memanfaatkan sistem manajemen untuk
pengendalian risiko, mendapatkan ISO 9001 nya pada tahun 2008. Mendapatkan kembali
17
Sistem Jaminan Halal (SJH) dari MUI tahun 2005. Selain itu, perusahaan juga melakukan
usaha untuk kembali mencapai realibilitas dan konsistensi, pada awalnya dengan failure area,
yaitu menarik semua produknya seperti yang telah kami jelaskan diatas juga mengganti
penggunaan bakteri bactosoytone dengan mameno. Sekarang mereka melakukan inspection
dan prevention mode dengan memberikan nomer hotline dan juga website interaktif.
Pengelolaan manusia, teknologi dan desain dalam keterlibatannya terhadap risiko
operasi dan produksi, melakukan pengelolaan SDM mereka seperti yang tercantum pada
profil perusahaan yaitu value chain, genba shugi dan inisiatif. Melalui bagian research and
development-nya terus mengembangkan teknologi yang efektif, efisien dan ramah
lingkungan, sesuai dengan CSR mereka.
Sedangkan untuk risiko pembelian, sebenarnya tidak terlalu signifikan pada kasus
ajinomoto ini. Mereka mempekerjakan pekerja dari pusat ajinomoto dan juga beberapa dari
kantor cabang, dalam hal ini Indonesia. Untuk memperkecil risiko pembelian mereka yang
memang sudah kecil mereka bisa melakukan supplier assessment, vertical integration dan
Ebusiness. E- business ini menurut kami paling mencolok, dengan supply chain dan logistic
yang baik ajinomoto dapat memperbesar jangkauan penjualan mereka.
IV.3 Pengukuran Risiko
Kerugian yang dialami PT Ajinomoto akibat kasus ini adalah:
Penarikan produk secara massal dan mengganti kerugian distributor. Ajinomoto
menderita kerugian total 55 miliar rupiah karena harus mengeluarkan biaya sebagai
usaha proaktif mendatangi pedagang dan pengecer untuk menarik produknya yang
diperkirakan mencapai 3.500 ton dan menggantinya sesuai dengan harga pasar. Tidak
hanya di Indonesia, Singapura sebagai negara pengimport bumbu masak Ajinomoto
dari Indonesiapun menarik produk ini dari pertokoan negeri tersebut.
Turunnya saham Ajinomoto sebesar 30 poin di bursa.
Penyegelan gudang Ajinomoto dan penutupan sementara pabrik, namun semua
karyawan tetap masuk kerja untuk menarik produk dari pasar dan mengatur
penerimaan barang di pabrik agar tidak beredar lagi di pasar. Seluruh karyawan bahu-
membahu agar persoalan yang menimpa perusahaan segera selesai.
Enam petinggi perusahaan PT. Ajinomoto Indonesia diperiksa oleh Polda Jatim,
yaitu: Manajer Kontrol Kualitas Haryono, Manajer Teknik Yoshiko Kagama, Manajer
18
Produksi Sutiono, Manajer Perusahaan Hari Suseno, Kepala Departemen Manajer
Cokorda Bagus Sudarta, dan Manajer Umum Yosi R. Purba.
Dari berbagai kerugian diatas dapat ditinjau bahwa ukuran dampak risikonya, adalah:
o Probability
Kasus ini merupakan jenis risiko dengan probability yang improbable atau
kemungkinan terjadinya kecil. Jika perusahaan tetap mematuhi ketentuan yang ada
dan tetap menjaga kepercayaan masyarakat, maka risiko ini bisa dihindari.
o Severity
Dilihat dari jumlah kerugian yang dialami perusahaan, yaitu sebesar 55 milliar rupiah,
maka risiko ini dapat diklasifikasikan sebagai risiko dengan dampak yang serious atau
besar. Perusahaan tetap dapat melanjutkan proses bisnis namun membutuhkan upaya
dan materi yang tidak sedikit.
IV.4 Pemetaan Risiko
Diketahui:
- Total kerugian yang ditanggung perusahaan sebesar Rp 55 miliar
- Masa penarikan produk di pasar dilakukan selama 3 minggu = 21 hari
- Asumsi jumlah frekuensi penarikan produk yang terjadi selama 3 minggu sebanyak
100 kali
- Sehingga besarnya kerugian yang ditanggung perusahaan setiap melakukan satu kali
penarikan sebesar:
Jumlah frekuensi : Total kerugian
100 : 55 miliar = 0,55 miliar
TABEL PEMETAAN RISIKO
Hari Frekuensi Kerugian Total
19
ke- Penarikan Kerugian
1 3 0,55 1,65
2 12 0,55 6,6
3 3 0,55 1,65
4 4 0,55 2,2
5 20 0,55 11
6 0 0,55 0
7 5 0,55 2,75
8 2 0,55 1,1
9 8 0,55 4,4
10 5 0,55 2,75
11 5 0,55 2,75
12 2 0,55 1,1
13 4 0,55 2,2
14 4 0,55 2,2
15 2 0,55 1,1
16 7 0,55 3,85
17 3 0,55 1,65
18 5 0,55 2,75
19 3 0,55 1,65
20 2 0,55 1,1
21 1 0,55 0,55
20
Total 100 55
Dari hasil pemetaan risiko di atas bisa kita lihat bahwa frekuensi penarikan yang paling besar
terjadi pada hari ke 5 yaitu sebanyak 20 kali penarikan produk yang dilakukan pada hari
tersebut. Hal itu bisa dihubungkan dengan lokasi atau wilayah dari penarikan produk yang
dilakukan. Pada hari ke 5, perusahaan melakukan penarikan produk di daerah Aceh, Sumatra
yang mayoritas penduduk disana beragama Islam. Sehingga jumlah frekuensi penarikan
produk pada hari ke 5 tersebut sangatlah tinggi. Karena disana lebih banyak penduduk yang
merasa khawatir menggunakan produk MSG Ajinomoto yang disinyalir mengandung ekstrak
daging babi.
Pada hari ke 6, frekuensi penarikan yang dilakukan perusahaan adalah nol, hal ini
menunjukkan bahwa perusahaan sedang mengamati dan mencari-cari lokasi mana lagi yang
paling banyak membutuhkan perhatian lebih untuk dilakukannya penarikan produk ini
sehingga biaya yang mereka tanggung bisa diminimalisir.
Dari hasil pemetaan risiko di atas, bisa kita simpulkan bahwa banyak sedikitnya jumlah
frekuensi penarikan yang dilakukan oleh Ajinomoto pada hari tertentu, dipengaruhi juga oleh
21
wilayah penarikan produk yang dilakukan. Di wilayah yang penduduknya mayoritas
beragama Islam, frekuensi penarikannya lebih tinggi, sedangkan di kota-kota lain yang biasa-
biasa saja, jumlah frekuensi penarikan yang dilakukan tergolong cukup rendah.
IV.5 Risk Assessment
Berikutnya kami akan menjabarkan risk assessment produksi dan operasi sesuai
sandgrove 2005, PT ajinomoto mendapat ‘low risk’ begitu juga untuk risk assessment
pembelian.
Setelah mendapat fatwa haram MUI . PT ajinomoto melakukan pendekatan kualitas
failure area, dengan melakukan penarikan kembali semua produk mereka yang ada di pasar.
Setelah tertunda libur natal dan tahun baru PT ajinomoto pada tanggal 24 desember pihak
MUI mengumumkan bahwa produk ajinomoto tidak halal dan untuk tidak mengkonsumsi
produk ajinomoto yang diproduksi 13 oktober sampai 16 november tahun 2000.
Dari rapat berikutnya dengan deperindag,depag ,mui,GPMI ,dirjen POM dan YLKI
untuk seperti telah kami sebutkan diawal menarik semua produknya , bahkan yang tidak
bermasalah dalam jangka waktu 3 minggu. PT Ajinomoto melakukan penarikan besar
besaran dan membayar ganti rugi kepada distributor dan pengecer. Kerugian ditaksir sebesar
55 milliar rupiah. Singapura yang juga mengimpor ajinomoto dari Indonesia juga dipaksa
mengembalikan kembali produk yang ada di pasar. Walaupun tidak terlalu signifikan pada
omzet penjualan. Kerugian yang didapatkan karena ingin berhemat (mengganti bakteri yang
lebih ekonomis) Ajinomoto kehilangan tidak hanya uang tapi juga nama baik, pencitraan dan
kepercayaan publik.
BAB V
22
KESIMPULAN DAN SARAN
V.1 Kesimpulan
Kasus yang terjadi pada produk MSG Ajinomoto ini diakibatkan oleh adanya risiko
strategic yang dibuat oleh pimpinan perusahaan yang ingin membuat proses produksi menjadi
lebih ekonomis. Risiko ini berdampak serius karena selain merugi puluhan milliard rupiah,
reputasi perusahaan juga menurun, terlihat dari turunnya nilai saham.
Namun, PT Ajinomoto segera melakukan penanganan risiko dengan mendapatkan
kembali sertifikat Halal dari MUI dalam waktu kurang dari satu bulan setelah batas waktu
penarikan produk. Selain itu PT Ajinomoto juga terus melakukan CSR untuk meningkatkan
kembali reputasinya di masyarakat.
V.2 Saran
Saran yang dapat kami berikan mengenai kasus ini terhadap PT Ajinomoto adalah:
Entrepreneurial Risk
Sebaiknya dalam mengambil keputusan terlebih dahulu melakukan penghitungan
risiko yang mungkin terjadi ,sehingga tidak terjadi kesalahan dalam pengambilan
keputusan bisnis yang membahayakan perusahaan.
Strategic Risk
Dalam membuat keputusan sebaiknya para petinggi perusahaan mengetahui mengenai
manajemen risiko sehingga membantu memilih keputusan yang tepat ketika data telah
tersedia.
Financial Risk
Ajinomoto sendiri kembali sehat keuangannya setelah beberapa waktu , tapi harus
memperkecil risiko yang lain(seperti risiko kepatuhan, strategis dan entrepeneurial)
agar risiko keuangan ini tidak terjadi kembali.
Compliance Risk
Ajinomoto sebaiknya mematuhi peraturan yang ada di pemerintah pusat maupun
setempat ,sehingga tidak terjadi benturan dengan pihak yang berwajib karena hukum
23
yang ada sudah jelas dan ajinomoto bisa saja dituntut apabila hal seperti ini terjadi
kembali.
Reputation Risk
Memberikan reputasi yang lebih baik. Seperti memberikan keterangan yang jelas
mengenai cara produksi . Menjangkau kalangan muda yang baru berkenalan dengan
produk produk ajinomoto. Mempertahankan sertifikat halal dan ISO
mereka.Menyediakan hotline dan responsive terhadap keluhan ataupun pertanyaan
pelanggan ,partner dan pengecer.
Dan saran lainnya
Dalam melakukan penghematan biaya di cabang perusahaan yang berada di luar
negeri sebaiknya memperhatikan kultur dan budaya setempat.
Diperlukan research and development yang lebih baik lagi agar tetap bisa menghemat
secara ekononis tapi juga bisa memuaskan konsumen dengan baik.
24
DAFTAR PUSTAKA
Hanggraeni, Dewi, SE, MBA. 2010. Pengelolaan Risiko Usaha. Lembaga Penerbit FEUI:
Jakarta.
www.ajinomoto.com
www.ajinomoto.co.id
http://goliath.ecnext.com/coms2/gi_0199-3819877/MSG-INDUSTRY-S-PROSPECTS-
FOR.html
Referensi:
^ (id) Tempo interaktif: Penarikan Produk Ajinomo: PT Ajinomo Indonesia Merugi 30
Miliar. Tanggal 5 Janunari 2001
^ (id) PT Ajinomoto Indonesia
^ (id) PT Ajinomoto Indonesia
^ (id) PT Ajinomoto Indonesia
^ a b c d e f (id)Liputan6.com: Fokus: Enzim Babi di Ajinomoto. Ramai-ramai Menarik
Ajinomoto
^ PT Ajinomoto Indonesia
^ (id) Gatra: Tergelincir Enzim Babi. Tanggal 8 Januari 2001
^ (id)Tempo interaktif: Penarikan Produk Ajinomot: PT Ajinomo Indonesia Merugi 30
Miliar. Tanggal 5 Janunari 2001
^ (id)Gatra Edisi Cetak: Kasus Ajinomoto: Heboh Ajinomoto, Serahkan Pada Hukum.
Tanggal 8 Januari 2001
25