Upload
ti2nt
View
3.096
Download
1
Embed Size (px)
Citation preview
BAGIAN 3
MENGHITUNG PAJAK PENGHASILAN (PPh)
________________________________________________________________________
A. MENGHITUNG PPH WP BADAN, WP ORANG PRIBADI, DAN BUT
Dalam kegiatan belajar ini, Anda perlu menguasai dahulu materi sebelumnya,
terutama yang berkaitan dengan subyek dan obyek pajak penghasilan, tarif pajak
penghasilan, PTKP, dan penghasilan kena pajak.
Pertama kali yang harus anda lakukan dalam menghitung pajak penghasilan (PPh)
adalah mencari penghasilan kena pajak. Setelah itu dikalikan tarif pajak penghasilan
sebagaimana diatur dalam pasal 17 UU tentang Pajak Penghasilan.
1. Untuk Wajib Pajak yang menggunakan Pembukuan
Untuk Wajib Pajak (WP) badan besarnya penghasilan kena pajak sama dengan
penghasilan neto, yaitu penghasilan bruto dikurangi dengan biaya-biaya yang
diperkenankan oleh undang-undang PPh. Sedangkan untuk wajib pajak orang pribadi
besarnya penghasilan kena pajak sama dengan penghasilan neto dikurangi dengan PTKP.
Jika dirumuskan, maka untuk mencari penghasilan kena pajak dapat dikemukakan
sebagai berikut :
a Penghasilan kena pajak WP Orang Pribadi
Penghasilan Bruto – Biaya yang
diperkenankan UU PPh Penghasilan Neto.
Penghasilan neto – PTKP
Penghasilan Kena
Pajak Penghasilan Kena Pajak X Tarif
Pajak Pajak Penghasilan Terutang
b. Penghasilan Kena Pajak WP Badan
Penghasilan bruto – biaya yang diperkenankan UU PPh \
penghasilan neto.
Penghasilan Neto X Tarif Pajak Pajak penghasilan yang
terutang
Menurut ketentuan yang diatur dalam Undang-Undang Pajak Penghasilan,
biaya-biaya (pengeluaran) dapat digolongkan menjadi dua yaitu :
1. yang dapat dikurangkan dari penghasilan bruto
2. yang tidak dapat dikurangkan dari penghasilan bruto
(pelajari kembali Bagian tentang obyek pajak dan Bagian tentang
penghasilan kena pajak).
Perhitungan PPh untuk wajib pajak orang pribadi
Contoh :
Peredaran bruto Rp. 300.000.000,00
Biaya untuk mendapatkan, menagih dan memelihara
Penghasilan Rp. 255.000.000,00-
Rp. 45.000.000,00
Penghasilan lainnya Rp. 5.000.000,00
Biaya untuk mendapatkan,
Menagih dan memelihara
Penghasilan Rp. 3.000.000,00-
Rp . 2.000.000,00+
Jumlah seluruh penghasilan Neto Rp. 47.000.000,00
Kompensasi kerugian Rp. 2.000.000,00-
Rp. 45.000.000,00
Pengurangan berupa
Penghasilan Tidak Kena Pajak (PTKP) :
WP sendiri: Rp. 2.880.000,00
Kawin Rp. 1.440.000,00
Anak 3 (tiga)Rp. 5.320.000,00+
Rp. 8.640.000,00-
Penghasilan Kena Pajak Rp. 36.360.000,00
Pajak Penghasilan PPh Terutang ;
5% X Rp. 25.000.000,00 = Rp. 1.250.000,00
10%X Rp.11.360.000,00 = Rp. 1. 136.000,00+
Rp. 2.386.000,00
Perhitungan PPh untuk Wajib Pajak Badan
Contoh :
Peredaran bruto Rp. 300.000.000,00
Biaya untuk mendapatkan, menagih dan memelihara
Penghasilan Rp. 255.000.000,00-
Rp. 45.000.000,00
Penghasilan lainnya Rp. 5.000.000,00
Biaya untuk mendapatkan,
Menagih dan memelihara
Penghasilan Rp. 3.000.000,00-
Rp. 2.000.000,00+
Jumlah seluruh penghasilan neto Rp. 47.000.000,00
Kompensasi Kerugian Rp. 2.000.000,00-
Penghasilan Kena Pajak Rp. 45.000.000,00
PPh yang terutang :
10% X Rp. 45.000.000,00 = Rp. 4.500.000,00
2. Wajib Pajak yang Menggunakan Norma Perhitungan Penghasilan Neto
Wajib Pajak yang boleh menggunakan Norma Perhitungan adalah wajib pajak
orang pribadi yang memenuhi syarat sebagai berikut :
a Peredaran Bruto kurang dari Rp. 600.000.000,00 per tahun
b Mengajukan permohonan dalam jangka waktu 3 bulan pertama dari tahun buku
c Menyelenggarakan pencatatan
Untuk menghitung besarnya Penghasilan Kena Pajak bagi wajib pajak yang
menggunakan Norma Perhitungan adalah sebagai berikut :
Persentase (%) Norma Perhitungan X jumlah peredaran Usaha atau penerimaan Bruto
Pekerjaan bebas setahun penghasilan Neto
Penghasilan Neto – PTKP penghasilan kena pajak
Penghasilan Kena Pajak X Tarif PPh Pajak penghasilan yang terutang
Contoh :
Wajib Pajak Irfan, status kawin dan mempunyai 4 orang anak (K/4) bekerja sebagai
dokter bertempat tinggal di jakarta dengan penerimaan bruto setahun sebesar Rp.
75.000.000,00 dan memiliki usaha di bidang industri rotan dicirebon dengan peredaran
usaha Rp. 400.000.000,00 setahun.
Misal besarnya persentase Norma untuk industri rotan di Cirebon = 12,5% dan Dokter di
Jakarta = 40%, maka pajak penghasilan yang terutang adalah :
Penghasilan Neto :
Dari industri rotan :
12,5% X Rp. 400.000.000,00 = Rp. 50.000.000,00
sebagai dokter :
40% X Rp. 75.000.000,00 = Rp. 30.000.000,00+
jumlah penghasilan Neto Rp. 80.000.000,00
PTKP :
WP sendiri = Rp. 2.880.000,00
Kawin = Rp. 1.440.000,00
Anak = Rp. 4.320.000,00+
Rp. 8.640.000,00-
Penghasilan kena pajak Rp. 71.360.000,00
PPh terutang :
5% X Rp. 25.000.000,00 = Rp. 1.250.000,00
10%X Rp.25.000.000,00 = Rp. 2.500.000,00
25%X Rp. 21.360.000,00= Rp. 5.340.000,00+
Rp. 9.090.000,00
Perhitungan PPh untuk wajib pajak BUT
Bentuk Usaha Tetap (BUT) merupakan bentuk usaha yang dipergunakan oleh
subyek pajak luar negeri (Baik orang pribadi maupun badan) untuk menjalankan usaha
atau melakukan kegiatan di Indonesia.
Contoh :
PT. Foodland yang merupakan bentuk usaha tetap (BUT) di Indonesia mempunyai
penghasilan kena pajak dalam tahun 2004 sebesar Rp. 1.050.000.000,00
Perhitungan pajak penghasilan atas BUT tersebut adalah :
Penghasilan Kena Pajak = Rp. 1.050.000.000,00
PPh terutang :
10% X Rp. 50.000.000,00 = Rp. 5.000.000,00
15% X Rp 50.000.000,00 = Rp. 7.500.000,00
30% X Rp. 950.000.000,00 = Rp.285.000.000,00+
PPh terutang = Rp. 297.500.000,00-
Penghasilan Kena Pajak BUT sesudah dikurangi
Dengan Pajak Penghasilan = Rp. 752.500.000,00
Atas penghasilan tersebut akan dikenakan pajak lagi sebesar :
20% X Rp. 752.500.000,00 = Rp. 150.500.000,00
Catatan :
Jika atas penghasilan kena pajak BUT sesudah dikurangi pajak penghasilan tersebut
sebesar Rp. 752.500.000,00 ditanamkan kembali di Indonesia, maka atas penghasilan
tersebut tidak dipotong pajak lagi. Jadi tidak ada pemotongan pajak penghasilan sebesar
20% atau sebesar Rp. 150.500.000,00.
Sesuai Keputusan Menkeu Nomor 602/KMK.04/1994, bahwa penanaman kembali atas
penghasilan BUT di Indonesia tidak dikenai pemotongan PPh pasal 26 sebesar 20%
B. MENGHITUNG PPh PASAL 21
Sebagaimana ketentuan dalam Undang-Undang No. 10 tahun 1994 yang
kemudian diubah dengan Undang-Undang No. 17 tahun 2000 menyebutkan bahwa pasal
21 mengatur tentang pembayaran pajak dalam tahun berjalan melalui pemotongan pajak
atas penghasilan yang diperoleh Wajib Pajak Dalam Negeri sehubungan dengan
pekerjaan, jasa, dan kegiatan
1. Wajib Pajak PPh pasal 21 :
a. Pegawai Tetap
b. Pegawai Tidak Tetap
c. Penerima honorarium
d. Penerima upah
Yang dimaksud dengan pegawai adalah setiap orang pribadi yang melakukan
pekerjaan berdasarkan suatu perjanjian kerja baik tertulis maupun tidak tertulis.
Termasuk dalam pengertian pegawai adalah orng pribadi yang melakukan pekerjaan
dalam jabatan negeri (pejabat Negara, PNS), atau BUMN dan atau BUMD.
Pegawai tetap adalah orang pribadi yang bekerja pada pemberi kerja, yang
menerima atau memperoleh gaji dalam jumlah tertentu secara berkala, termasuk anggota
dewan komisaris dan anggota dewan pengawas yang secara teratur ikut serta
melaksanakan kegiatan perusahaan.
Pegawai tidak tetap adalah orang pribadi yang bekerja dan hanya menerima
upah, apabila orang pribadi yang bersangkutan bekerja.
Penerima honorarium adalah orang pribadi atau persekutuan orang pribadi yang
memberikan jasa menerima atau memperoleh imbalan tertentu sesuai jasanya tersebut.
Penerima upah adalah orang pribadi yang menerima upah harian, upah
borongan, maupun upah satuan.
Upah harian adalhupah yang terutang atau dibayarkan atas dasar hari kerja.
Upah borongan adalah upah yang terutang atau dibayarkan atas dasar penyelesaian
pekerjaan tertentu. Sedangkan upah satuan adalah upah yang terutang atau dibayarkan
atas dasar banyaknya satuan yang dihasilkan.
2. Obyek Pajak PPh Pasal 21
a. Penghasilan yang diterima atau diperoleh secara teratur : gaji, uang pensiun
bulanan, upah. Honorarium, premi bulanan, uang lembur, uang sokongan, uang
tunggu, uang ganti rugi, tunjangan istri, tunjangan anak, tunjangan kemahalan,
tunjangan jabatan, tunjangan khusus, tunjangan transport, tunjangan pajak,
tunjangan iuran pension, tunjangan pendidikan anak, beasiswa, hadiah, premi
asuransi yang dibayar oleh pemberi kerja dan penghasil teratur lainnya dengan
nama apapun.
b. Penghasilan yang diterima atau diperoleh secara teratur : jasa produksi, tantiem,
gratifikasi, tunjangan cuti, tunjangan hari raya, tunjangan tahun baru, bonus,
premi tahunan, dan penghasilan sejenis lainnya yang sifatnya tidak tetap dan
biasanya dibayarkan sekali dalam setahun.
c. Upah harian, upah mingguan, upah satuan, upah borongan.
d. Uang tebusan pension, uang tunjangan hari tua (THT), uang pesangon.
e. Honorarium, uang saku, hadiah atau penghargaan dengan nama dan dalam
bentuk apapun, komisi, beasiswa, dan pembayaran lain sebagai imbalan
sehubungan dengan pekerjaan, jasa, dan kegiatan yang dilakukan Wajib Pajak
dalam negeri.
f. Gaji, gaji kehormatan, tunjangan-tunjangan lain yang terkait dengan gaji yang
diterima oleh pejabat Negara dan PNS.
g. Uang pension dan tunjangan-tunjangan lain yang sifatnya terkait dengan uang
pension yang diterima oleh pensiunan termasuk janda atau duda dan atau anak-
anaknya.
h. Penerimaan dalam bentuk natura dan kenikmatan lainnya dengan nama apapun
yang diberikan oleh bukan wajib pajak.
3. Biaya Jabatan dan Biaya Pensiun
Biaya jabatan adalah biaya untuk mendapatkan, menagih dan memelihara
penghasilan yang besarnya 5% dari penghasilan bruto, setinggi-tingginya Rp. 108.000
per bulan atau Rp. 1.296.000 per tahun
Biaya pensiun adalah biaya untuk mendapatkan, menagih, dan memelihara uang
pensiun yang besarnya 5% dari penghasilan bruto berupa uang pensiun setinggi-tingginya
Rp. 36.000 per bulan atau Rp. 432.000 pertahun.
4. Cara Menghitung PPh Pasal 21
Untuk menghitung PPh pasal 21, Anda diharapkan untuk mempelajari dan
menguasai sistematika perhitungan PPh berikut ini :
Penghasilan Bruto (PB) :
Gaji
Tunjangan –tunjangan
Iuran ditanggung oleh Pemberi kerja :
Asuransi kecelakaan kerja
Asuransi kematian
Jumlah
Pengurangan-pengurangan :
Biaya jabatan ; 5% X PB, maks. Rp 108.000/bulan
Iuran dibayar oleh pegawai :
Iuran pensiun
Iuran tabungan hari tua (THT)
Jumlah
Penghasilan neto (PN) sebulan :
Penghasilan neto setahun :
Penghasilan tidak kena pajak (PTKP) :
Penghasilan kena pajak (PKP) :
PPh pasal 21 :
Setahun :
Sebulan :
a
b
c
d
(a+b+c+d)
e
f
g
(e+f+g)
A
B
___________
(A-B) = C
12 C
D
___________
(12C-D) = E
F
G
Untuk lebih menguasai sistematika perhitungan PPh 21 tersebut diatas, anda harus
mempelajari contoh-contoh perhitungan PPh berikut ini secara seksama.
Perhitungan PPh Pasal 21 Pegawai Tetap dengan Gaji Bulanan
Contoh 1 :
Sandi R. Firdaus bekerja pada PT. Tongkitu dengan gaji sebulan Rp. 1.500.000,00 PT.
Tongkitu mengikuti program jamsostek, premi Asuransi Kecelakaan Kerja dan Premi
Asuransi kematian dibayar oleh pemberi kerja dengan jumlah masing-masing Rp.
40.000,00 dan Rp. 10.000,00 sebulan PT Tongkitu menanggung iuran THT dan iuran
pension masing-masing Rp. 10.000,00 dan Rp. 50.000,00 sebulan. Sandi firdaus sudah
menikah dan punya 4 anak. (K/4)
Perhitungan PPh pasal 21 :
Gaji sebulan Rp. 1.500.000,00
Premi Asuransi Kecelakaan Kerja Rp. 40.000,00
Premi Asuransi kematian Rp. 10.000,00+
Penghasilan Bruto Rp. 1.550.000,00
Pengurangan :
1. Biaya Jabatan
5% X Rp. 1.550.000,00 = Rp 77.500,00
2. Iuran Pensiun : Rp 50.000,00
3. Iuran THT Rp 10.000,00 +
Rp 137.500,00 -
Penghasilan neto sebulan Rp. 1.412.500,00
Penghasilan neto setahun:
12 X Rp. 1.412.500,00 = Rp. 16.950.000,00
4. PTKP
WP sendiri : Rp. 2.880.000,00
Tambahan kawin Rp. 1.440.000,00
Tambahan 3 Anak Rp. 4.320.000,00 +
Rp. 8.640.000,00 -
Penghasilan kena pajak setahun Rp. 8.310.000,00
PPh Pasal 21 terutang :
5% X Rp. 8.310.000,00 = Rp. 415.500,00
PPh Pasal 21 sebulan :
Rp. 415.500,00 : 12 = Rp. 34.625,00
Contoh 2 :
Rayzan Hafidz Rinaldi Bekerja sebagai pegawai tetap di PT. Piraku sejak 1 Agustus
2004. gaji sebulan Rp. 1.500.000,00 dan iuran pensiun yang dibayar tiap bulan sebesar
Rp. 25.000,00. Rayzan sudah menikah tetapi belum mempunyai anak. (K/-)
Perhitungan PPh Pasal 21 :
Gaji sebulan Rp. 1.500.000,00
Pengurangan :
1. Biaya Jabatan
5% X Rp. 1.500.000,00 = Rp 75.000,00
2. Iuran Pensiun : Rp.25.000,00 +
Rp . 100.000,00 -
Penghasilan neto sebulan Rp. 1.400.000,00
Penghasilan neto setahun :
1. Agustus s.d 31 Desember 2004 : 5 bulan
5 X Rp. 1.400.000,00 = Rp. 7.000.000,00
3. PTKP
WP sendiri : Rp. 2.880.000,00
Tambahan Kawin Rp. 1.440.000,00 +
Rp. 4.320.000,00 -
Penghasilan Kena Pajak Setahun Rp. 2.680.000,00
PPh Pasal 21 terutang :
5% X Rp. 2.680.000,00 = Rp. 134.000,00
PPh Pasal 21 sebulan :
Rp. 134.000 : 5 = Rp. 26.800,00
Contoh 3 :
Lazuardi Imani mulai bekerja pada tanggal 1 mei 2000. Ia bekerja sampai dengan 30
juni 2003. Selama Tahun 2003 menerima gaji Rp. 4.000.000,00 sebulan dan pada
tahun 2003 menerima bonus sebesar Rp. 10.000.000,00 Lazuardi sudah menikah dan
punya anak 3 (K/3)
Perhitungan PPh Pasal 21 :
Gaji 6 bulan : 6 X Rp. 4.000.000,00 Rp. 24.000.000,00
Pengurangan :
1. Biaya Jabatan
5% X Rp. 24.000.000,00 = Rp. 1.200.000,00
Maksimum diperkenankan :
6 X Rp. 108.000,00 = Rp. 648.000,00 -
-
Penghasilan Neto atas gaji 6 bulan Rp. 3.352.000,00
Penghasilan Neto setahun :
Sampai dengan 30 juni 2003
12/6 X Rp. 23.352.000,00 = Rp. 46.704.000,00
Bonus Rp. 10.000.000,00 +
Penghasilan Neto atas gaji dan bonus Rp. 56.704.000,00
2 PTKP
WP sendiri : Rp. 2.880.000,00
Tambahan Kawin Rp. 1.440.000,00
Tambahan 3 Anak Rp. 4.320.000,00 +
Rp. 8.640.000,00 –
Penghasilan Kena Pajak Setahun Rp. 48.064.000,00
PPh Pasal 21 terutang :
5% X Rp. 25.000.000,00 = Rp. 1.250.000,00
10%X Rp. 23.064.000,00 = Rp. 2.306.400,00 +
Rp. 3.556.400,00
PPh pasal 21 sebulan :
Rp. 3.556.400,00 :12/6 =
6/12 X Rp. 3.556.400,00= Rp. 1.778.200,00
Catatan :
Cara perhitungan seperti dalam contoh 3, berlaku juga untuk pegawai yang meninggal
dunia dalam tahun berjalan.
Contoh 4 :
Untuk menghitung PPh Pasal 21 atas penghasilan karyawati kawin, cara
perhitungannya sama dengan PPh pasal 21 atas pegawai laki-laki. Perbedaanya hanya
pada PTKP. Untuk karyawati yang suaminya bekerja, maka PTKPnya hanya untuk
WP sendiri (RP. 2.880.000,00), sedangkan jika suaminya tidak mempunyai
penghasilan apapun (harus dilaporkan ke perusahaan berdasarkan surat keterangan
pemda setempat), maka PTKPnya selain WP sendiri juga tambahan kawin dan
tambahan anak (jika punya anak)
Perhitungan PPh Pasal 21 terhadap Penghasilan Pegawai Harian , Tenaga Harian
Lepas, Penerima Upah Satuan, dan Penerima Upah Borongan
Contoh 1 :
Erik bekerja pada perusahaan tenun dengan dasar upah harian yang dibayarkan bulanan.
Dalam bulan januari 2004, Erik hanya bekerja 20 hari dan upah sehari Rp. 40.000,00.Erik
menikah tetapi belum punya anak (K/-).
Perhitungan PPh Pasal 21 :
Upah januari 2004 : 20 X Rp. 40.000,00 = Rp. 800.000,00
Penghasilan Neto setahun : 12 X Rp. 800.000,00 = Rp. 9.600.000,00
PTKP (K/-) : Rp. 4.320.000,00 –
Penghasilan Kena Pajak Rp. 5.280.000,00
PPh Pasal 21 setahun :
5% X Rp. 5.280.000,00 = Rp. 264.000,00
PPh Pasal 21 sebulan :
Rp. 264.000,00 : 12 = Rp. 22.000,00
Contoh 2 :
Yesi karyawan perusahaan elektronika bekerja sebagai perakit radio dengan upah yang
dibayar berdasarkan atas jumlah unit/satuan yang diselesaikan yaitu Rp. 15.000,00
perbuah radio dan dibayarkan tiap minggu. Dalam 1 minggu (6 hari kerja) dihasilkan
sebanyak 24 buah radio.
Perhitungan PPh Pasal 21
Upah satuan sehari : (Rp. 15.000,00 X 24 unit) : 6 = Rp. 60.000,00
Upah diatas Rp. 24.000,00 sehari :
Rp. 60.000,00 – Rp. 24.000,00 Rp. 36.000,00
Upah seminggu terutang pajak :
6 X Rp. 36.000,00 Rp. 216.000,00
PPh Pasal 21 :
5% X Rp. 216.000,00 = Rp. 10.800,00 (mingguan)
Contoh 3 :
Yusa mengerjakan dekorasi ruang kantor denga upah borongan Rp, 600.000,00 pekerjaan
diselesaikan dalam 2 hari.
Perhitungan PPh Pasal 21 :
Upah borongan sehari : Rp. 600.000,00 : 2 = Rp. 300.000,00
Upah sehari di atas Rp. 24.000,00
Rp. 300.000,00 – Rp. 24.000,00 Rp. 276.000,00
Upah borongan terutang pajak :
2 X Rp. 276.000,00 Rp. 552.000,00
PPh Pasal 21 :
5% X Ro, 552.000 = Rp. 27.600,00
Contoh 4 :
Feri (tidak menikah) pada bulan September 2003 bekerja pada PT. Motah dengan
menerima upah sebesar Rp. 30.000,00 per hari
Perhitungan PPh Pasal 21 :
Upah sehari Rp. 30.000,00
Upah sehari di atas 24.000,00
Rp. 30.000,00 – Rp. 24.000,00 Rp 6.000,00
PPh Pasal 21 : 5% X Rp. 6.000,00 = Rp. 300,00 (harian)
Pada hari kesembilan dalam bulan takwim yang bersangkutan, Feri telah menerima
penghasilan sebesar Rp. 270.000,00 sehingga telah melebihi Rp. 240.000,00. dengan
demikian PPh Pasal 21 atas penghasilan F eri pada bulan September dihitung sebagai
berikut :
Upah sembilan hari kerja Rp. 270.000,00
PTKP :
9 X (Rp. 2.880.000,00/360) Rp. 72.000,00 +
Upah harian pajak terutang Rp. 198.000,00
PPh Pasal 21 :
5% X Rp.198.000,00 = Rp. 9.900,00
PPh yang telah dipotong (selama 8 hari) :
8 X Rp. 300,00 Rp. 2.400,00
Pada hari kerja ke 10 dan seterusnya dalam bulan takwim yang bersangkutan, jumlah PPh
Pasal 21 per hari yang dipotong adalah :
Upah sehari Rp. 30.000,00
PTKP :
Rp. 2.880.000,00 : 360 Rp. 8.000,00 -
Upah harian terutang pajak Rp. 22.000,00
PPh Pasal 21 :
5% X Rp. 22.000,00 = Rp. 1.100,00
Catatan :
Upah harian yang tidak dipotong PPh Pasal 21 : sampai dengan Rp. 24.000,00 per hari.
Batas penghasilan bruto untuk dapat diberikan PTKP harian : tidak melebihi Rp.
240.000,00 per bulan.
Contoh Perhitungan PPh Pasal 21 yang bersifat final
Contoh 1 :
Candra karyawan PT. Bungah. Pada bulan maret behenti bekerja karena pengurangan
pegawai dan menerima pesangon sebesar Rp. 40.000.000,00
PPh Pasal 21 terutang :
5% X Rp. 40.000.000,00 = Rp 2.000.000,00
Contoh 2 :
Afka pada tanggal 1 september 2004 telah memasuki usia pensiun dan menerima tebusan
dari Dana Pensiun Purna Karya sebesar Rp. 60.000.000,00
PPh Pasal 21 terutang
10% X Rp. 60.000.000,00 = Rp 6.000.000,00
Contoh 3 :
Adit yang memasuki usia pensiun menerima uang THT pada tanggal 1 November 2004
sebesar Rp. 50.000.000,00
PPh Pasal 21 terutang :
10% X Rp. 50.000.000,00 = Rp. 5.000.000,00
Contoh 4 :
Reza memperoleh hadiah undian dari sebuah perusahaan sebesar Rp. 80.000.000,00
PPh Pasal 21 terutang :
25% X Rp. 80.000.000,00 = Rp. 20.000.000,00
C. MENGHITUNG PPh PASAL 22
PPh pasal 22 adalh pajak yang dipungut oleh bendaharawan pemerintah, baik
pemerintah pusat maupun daerah, instansi atau lembaga pemerintah dan lembaga-
lembaga Negara lainnya berkenaan dengan pembayaran atau penyerahan barang, dan
badan-badan tertentu, baik badan pemerintah maupun swasta berkenaan dengan kegiatan
di bidang impor atau kegiatan usaha di bidang lain.
1. Subyek dan Obyek PPh Pasal 22
Subyek PPh Pasal 22 adalah orang pribadi atau badan yang berkewajiban
membayar PPh Pasal 22, yaitu :
a. Rekanan pemerintah, yang menyerahkan barang kepada bendaharawan
pemerintah, baik pemerintah pusat atau daerah, instansi atau lembaga pemerintah
dan lembaga-lembaga lainnya.
b. Pihak-pihak yang melaksanakan kegiatan di bidang impor (importir) atau kegiatan
usaha di bidang lain.
2. Obyek, Tarif dan Dasar Pemungutan PPh Pasal 22
Adapun yang menjadi obyek, tariff dan dasar pemungutan PPh Pasal 22, dapat
anda lihat dalam tabel berikut :
NO. OBYEK TARIF DASAR
PEMUNGUTAN
1 Pembayaran atas Pembelian Barang
oleh Direktorat Jenderal Anggaran
Bendaharawan Pemerintah,
BUMN/D yang dananya dari belanja
1,5% Harga Pembelian
2
3
4
5
Negara/daerah
Impor :
a. Yang menggunakan Angka
Pengenal Impor (API)
b. Yang tidak menggunakan
API
c. Yang tidak dikuasai
Penjualan hasil produksi didalam
negeri
a. Industri semen
b. Industri kertas
c. Industri baja
d. Industri otomotif
e. Industri rokok
Penyerahan gula dan tepung terigu
oleh Bulog
a. Gula Pasir :
Penyerahan kepada penyalur
penyerahan kepada grosir
b. Tepung Terigu :
Penyerahan kepada penyalur
penyerahan kepada grosir
Penyerahan hasil produksinya
a. Premium, Premix, Solar
b. Minyak Tanah
2,5%
7,5%
7,5%
0,25%
0,1%
0,3%
0,45%
0,15%
Rp. 380
Rp. 270
Rp. 650
Rp. 650
Perta
mina
Swasta
nisasi
Nilai Impor
Nilai Impor
Harga Jual Lelang
DPP PPN
DPP PPN
DPP PPN
DPP PPN
Harga Bandrol
Per kuintal
Per kuintal
Per kuintal
Per kuintal
Penjualan
Penjualan
c. Gas LPG
d. Pelumas
0,25%
0,3%
0,3%
0,3%
0,3%
0,3%
0,3%
0,3%
Penjualan
Penjualan
3. Tata Cara, saat pemungutan, penyetoran dan pelaporan
a. Untuk impor yang dilakukan tanpa LKP, maka PPh Pasal 22 dipungut oleh Dirjen
Bea Cukai Bukti Pemungutan dibuat rangkap 3 n didistribusikan kepada Importir
(Wajib Pajak), Kantor Pelayanan Pajak (KPP), dan pemungut. Sedangkan jika
impor dengan LKP, maka PPh Pasal 22 dilunasi sendiri oleh importir ke bank
devisa, dengan bukti pemungutan berupa Surat Setoran Pajak (SSP) yang dibuat
rangkap 5 untuk Importir, KPP, melalui kantor kas dan Perbendaharaan Negara
(KPKN), KPP melalui bank devisa, dan Dirjen Bea Cukai. PPh Pasal 22 atas
impor harus dilunasi/dipungut pada saat pembayaran bea masuk atau penyelesaian
dokumen.
b. PPh Pasal 22 atas penjualan hasil produksi atau penyerahan barang oleh
Pertamina dan Bulog dipungut pada saat penerbitan surat perintah pengeluaran
barang (DO: delivery order). Pelunasan dilakukan dengan cara pembeli atau
penerima penyerahan barang menyetor ke bank persepsi atau kantor pos dan giro.
c. Pelunasan PPh Pasal 22 atas penjualan hasil industri semen, kertas, baja, dan
otomotif dilakukan pada saat penjualan.
d. PPh Pasal 22 pembelian barang dari belanja Negara/daerah dipungut pada setiap
pelaksanaan pembayaran. Hasil pemungutan tersebut harus disetor dengan SSP
pada hari yang sama ke bank persepsi/kantor pos. SSP diisi oleh dan atas nama
rekanan dan ditandatangani oleh bendaharawan dan dibuat rangkap lima.
4. Cara Menghitung PPh Pasal 22
Untuk menghitung PPh Pasal 22, Anda harus memperhatikan dengan seksama
siapa yang menjadi subyeknya; apa yang menjadi obyeknya; apa yang menjadi dasar
pemungutannya; serta berapa tarifnya. Misalnya untuk menghitung PPh Pasal 22 atas
obyek pajak impor, maka anda harus tahu apakah subyeknya memiliki API atau tidak
(karena yang memiliki dan yang tidak berbeda dalam tarif pajaknya), apa yang menjadi
dasar pemungutan pajaknya yaitu berapa besar nilai impornya; dan terakhir berapa tarif
pajak yang dikenakan. Sehingga secara sederhana dapat anda rumuskan sebagai berikut :
PPh Pasal 22 atas Impor : 2,5% X Nilai Impor.
Catatan :
a. Dikenakan tariff 2,5% karena importir memiliki API, jika tidak memiliki API
dikenakan tarif 7,5% (lihat tabel)
b. Nilai Impor adalah nilai berupa uang yang digunakan sebagai dasar perhitungan
Bea Masuk. Nilai Impor dihitung sebesar Cost, Insurance and Freight (CIF) +
Bea Masuk + Pungutan Pabean lainnya (jika ada)
Contoh 1 :
PT. Murag sebagai Importir dan telah memiliki API membeli suku cadang kendaraan
bermotor dari jepang sebesar Rp. 1.000.000.000,00 Asuransi yang dibayar dari luar
negeri sebesar 2% dari harga impor, Bea Masuk yang dikenakan sebesar 4% dari harga
impor, maka PPh Pasal 22 :
Harga Impor Rp. 1.000.000.000,00
Asuransi :
2% X Rp. 1.000.000.000,00 Rp. 20.000.000,00 +
Rp. 1.020.000.000,00
Bea Masuk :
4% X Rp. 1.020.000.000,00 Rp. 40.800.000,00 +
Nilai Impor Rp. 1.060.000.000,00
PPh Pasal 22 Impor :
2,5% X Rp. 1.060.000.000,00 = Rp. 26.500.000,00
Contoh 2 :
PT. Brekele pada bulan maret 2004 mendapat pekerjaan pembangunan gedung kantor
dari pemkot bandung. Nilai proyek tersebut sebesar Rp. 800.000.000,00 maka PPh Pasal
22 :
Nilai Penyerahan Rp. 800.000.000,00
PPh Pasal 22 Bendaharawan
1,5% X Rp. 800.000.000,00 = Rp. 12.000.000,00
Catatan :
Untuk menghitung PPh Pasal 22 yang lainnya, Anda dapat melakukannya dengan cara
mengalikan Tarif dengan Dasar Pemungutan sebagaimana tercantum dalam tabel di atas,
misal PPh Pasal 22 atas penjualan hasil produksi semen : 0,25% X DPP PPN; atas
penjualan hasil industri rokok : 0,15% X Harga Bandrol; atas penebusan premium, solar:
0,25% X Penjualan.
D. MENGHITUNG PPh PASAL 23
PPh pasal 23 merupakan pajak atas penghasilan yang diterima atau diperoleh
Wajib Pajak dalam negeri dan BUT yang berasal dari modal, penyerahan jasa, atau
penyelenggaraan kegiatan selain yang telah dipotong pajak sebagaimana dimaksud dalam
pasal 21, yang dibayarkan atau terutang oleh badan pemerintah atau subyek pajak dalam
negeri, penyelenggara kegiatan, bentuk usaha tetap, atau perwakilan perusahaan luar
negeri lainnya.
1. Subyek, Obyek, dan Tarif PPh Pasal 23
Subyek pajak atau yang dikenakan pemotongan PPh Pasal 23 adalah : Wajib
Pajak Dalam Negeri dan bentuk usaha tetap (BUT) sedangkan yang menjadi obyek
pemotongan PPh pasal 23 meliputi :
a. Dividen
b. Bunga termasuk premium, diskonto, dan imbalan sehubungan dengan jaminan
pengembalian utang
c. Royalty
d. Hadiah dan penghargaan selain yang telah dipotong PPh Pasal 21
e. Bunga simpanan yang dibayarkan oleh koperasi
f. Imbalan sehubungan dengan jasa tehnik, jasa manajemen, jasa konstruksi, jasa
konsultan, dan jasa lain selain yang telah dipotong PPh Pasal 21
Sewa dan penghasilan lain sehubungan dengan penggunaan harta
Tariff pemotongan PPh pasal 23 sebesar 23% sebesar 15% dan jenisnya dibedakan atas
dua dasar pemotongan yaitu :
a. 15% dari jumlah Bruto yaitu :
1. Dividen
2. Bunga, termasuk premium, diskonto, dan imbalan sehubungan dengan
jaminan pengembalian utang.
3. royalty
4. hadiah dan penghargaan selain yang telah dipotong PPh Pasal 21
b. 15% dari perkiraan penghasilan Neto, yaitu :
1. Sewa dan penghasilan lain sehubungan dengan penggunaan harta
2. Imbalan sehubungan dengan jasa tehnik, jasa manajemen, jasa konsultan
hukum, jasa konsultan pajak, dan jasa lain selain yang telah dipotong
pajak sebagaimana dimaksud pasal 21
2. Cara Menghitung PPh Pasal 23
Jika anda akan menghitung PPh pasal 23, maka hal-hal yang perlu diperhatikan
selain tarif , adalah apa yang menjadi obyek pajaknya dan apa yang menjadi dasar
pemotongannya.
Contoh 1 :
PPh Pasal 23 atas obyek : dividen; bunga, dan atas royalty dapat dihitung sebagai
berikut :Tarif X Dasar Pemotongan : 15% X Bruto
Contoh 2 :
PPh Pasal 23 atas obyek : sewa dan penghasilan lain sehubungan dengan penggunaan
harta (kecuali sewa dan penghasilan lain sehubungan dengan persewaan tanah dan
bangunan) dapat dihitung sebagai berikut :
Misal atas sewa dan penghasilan lain sehubungan dengan penggunaan harta khusus
angkutan darat :
Tarif X Dasar Pemotongan : 15% X Perkiraan Penghasilan Neto
15% X (20% X Bruto)
Catatan :
Besarnya perkiraan penghasilan Neto untuk sewa dan penghasilan lain sehubungan
dengan penggunaan harta khusus angkutan darat adalah 20% dari jumlah bruto tidak
termasuk PPN.
E. MENGHITUNG PPh PASAL 24
Ketentuan pasal 24 UU PPh mengatur tentang perhitungan besarnya pajak atas
penghasilan yang dibayar atau terutang diluar negeri yang dapat dikreditkan terhadap
pajak penghasilan yang terhutang atas seluruh penghasilan wajib pajak dalam negeri.
Pengkreditan pajak luar negeri dilakukan dalam tahun digabungkannya penghasilan dari
luar negeri dengan penghasilan di Indonesia.
Pada dasarnya wajib pajak dalam negeri terutang pajak penghasilan atas seluruh
penghasilan, baik yang diterima atau diperoleh dari dalam negeri maupun yang berasal
dari luar negeri. Oleh karena itu untuk meringankan beban pajak ganda yang dapat terjadi
karena pengenaan pajak atas penghasilan yang diterima atau diperoleh dari luar negeri
diatur dalam pasal 24 Undang-undang pajak penghasilan.
1. Penggabungan Penghasilan
Untuk penggabungan penghasilan yang berasal dari luar negeri dapat dilakukan sebagai
berikut :
a. Penggabungan Penghasilan dari usaha dilakukan dalam tahun pajak diperolehnya
penghasilan tersebut.
b. Penggabungan Penghasilan lainnya dilakukan dalam tahun pajak diterimanya
penghasilan tersebut.
c. Penggabungan Penghasilan yang berupa dividen dilakukan dalam tahun pajak pada
saat perolehan dividen tersebut ditetapkan sesuai dengan Keputusan Menteri
Keuangan.
Contoh :
PT Baraya menerima dan memperoleh penghasilan Neto dari sumber luar negeri dalam
tahun 2004 sebagai berikut :
a. Hasil usaha di Negara inggris dalam tahun pajak 2004 sebesar Rp. 1.500.000.000,00.
b. Memperoleh dividen atas kepemilikan sahamnya di N.VOranje di Negara Belanda
sebesar Rp.2.000.000.000,-, yaitu berasal dari keuntungan tahun 2001 yang
ditetapkan RUPS tahun 1998, dan baru dibayarkan tahun 2004.
c. Memperoleh dividen atas penyertaan saham sebanyak 75% di MU Ltd Inggris sebesar
Rp. 3.000.000.000,-. Dividen tersebut berasal dari keuntungan saham 2002 yang
berdasarkan keputusan menteri keuangan ditetapkan diperoleh tahun 2004.
d. Penghasilan berupa tarif bunga dari Bank of Tokyo sebesar Rp. 500.000.000,- dan
penghasilan tersebut baru akan diterima pada bulan april 2005.
Maka penggabungan penghasilannya adalah :
Penghasilan dari sumber luar negeri yang digabungkan dengan penghasilan PT Baraya
dari dalam negeri dalam tahun pajak 2004 adalah penghasilan pada angka 1, 2, dan 3.
sedangkan penghasilan pada angka 4 digabungkan dengan penghasilan PT Baraya dari
dalam negeri dalam tahun pajak 2005.
2. Batas Maksimum Kredit Pajak.
Batas maksimum kredit pajak diambil yang terendah dari 3 unsur atau perhitungan
berikut ini :
a. Jumlah pajak yang terutang atau dibayar diluar negeri.
b. Penghasilan luar negeri X PPh atas seluruh yang dikenakan tarif pasal 17
Seluruh penghasilan kena pajak
c. Jumlah pajak yang terutang untuk seluruh penghasilan kena pajak (dalam hal
penghasilan kena pajak adalah lebih kecil daripada penghasilan luar negeri).
Contoh :
PT Gaya memperoleh penghasilan neto dalam tahun 2004 sebagai berikut:
1. Penghasilan dari luar negeri Rp. 400.000.000,00 dengan tarif pajak sebesar 35%
2. Penghasilan usaha di Indonesia Rp. 800.000.000,00
Maka jumlah penghasilan neto adalah :
Rp. 400.000.000,00 + Rp. 800.000.000,00 = Rp. 1.200.000.000,00
Batas maksimum kredit pajak diambil yang terendah dari 3 unsur atau perhitungan
berikut :
a. PPh terutang atau dibayar di luar negeri adalah :
35% X Rp. 400.000.000,00 = Rp. 140.000.000,00
b. Rp. 400.000.000,00 X Rp. 342.500.000,00 = Rp. 113.025.000,00
Rp. 1.200.000.000,00
c. PPh terutang (menurut tarif pasal 17) :
10% X Rp. 50.000.000,00 = Rp. 5.000.000,00
15% X Rp. 50.000.000,00 = Rp. 7.500.000,00
30% X Rp1.100.000.000,00 = Rp.330.000.000,00 +
Rp.342.500.000,00
Dengan demikian kredit pajak yang diperkenakan adalah pada poin 2 sebesar Rp.
113.025.000,00
3. Perhitungan PPh Pasal 24
Sebagaimana diuraikan di atas, maka yang perlu anda perhatikan dalam
penerapan PPh Pasal 24 adalah aturan tentang penggabungan penghasilan dan batas
maksimum kredit pajak.
Contoh :
PT Surabi dalam tahun 2004 memperoleh penghasilan dari perusahaan cabang yang ada
di Negara berikut ini:
1. Penghasilan dari Singapura Rp. 325.000.000,00 dengan tarif 35%
2. Penghasilan dari Hongkong RP. 275.000.000,00 dengan tarif 30%
3. Penghasilan dari Malaysia Rp. 225.000.000,00 dengan tarif 25%
4. Vietnam mengalami kerugian Rp. 250.000.000,00
5. Penghasilan dari kantor pusat di Indonesia Rp. 750.000.000,00
Maka penetapan Kredit Pajak dihitung sebagai berikut :
Laba Singapura Rp. 325.000.000,00
Laba Hongkong Rp. 275.000.000,00
Laba Malaysia Rp. 225.000.000,00
Rugi di Vietnam (tidak dikompensasi) -
Penghasilan Kena Pajak Luar Negeri Rp. 825.000.000,00
Penghasilan Kena Pajak Dalam Negeri Rp. 750.000.000,00 +
Jumlah Penghasilan Kena Pajak Rp.1.575.000.000,00
PPh terutang menurut pasal 17
10% X Rp. 50.000.000,00 = Rp. 5.000.000,00
15% X Rp. 50.000.000,00 = Rp. 7.500.000,00
30% X Rp.1.475.000.000,00 = Rp. 442.500.000,00 +
455.000.000,00
Batas maksimum Kredit Pajak yang diperkenankan untuk masing-masing Negara :
1. Singapura
Rp. 325.000.000,00 X Rp. 455.000.000,00 = Rp. 93.888.888,00
Rp.1.575.000.000,00
Pajak yang dibayar di Singapura : 35% X Rp. 325.000.000,00 = Rp. 113.750.000.000,00
Dengan memperhatikan ketetapan mengenai batas kredit maksimum, maka maksimum
kredit pajak yang dapat dikreditkan adalah sebesar perbandingan terkecilnya, yaitu Rp.
93.888.888,00
2. Hongkong
Rp. 275.000.000,00 X Rp. 455.000.000,00 = Rp. 79.444.444,00
Rp. 1.575.000.000,00
Pajak yang dibayar di Hongkong : 30% X Rp. 275.000.000,00 = Rp. 82.500.000,00
Dengan memperhatikan ketetapan mengenai batas kredit maksimum, maka maksimum
kredit pajak yang dapat dikreditkan adalah sebesar perbandingan terkecilnya, yaitu Rp.
79.444.444,00.
3. Malaysia
Rp. 225.000.000,00 X Rp. 455.000.000,00 = Rp. 93.888.888,00
Rp. 1.575.000.000,00
Pajak yang dibayar di Malaysia : 25% X Rp. 325.000.000,00 = Rp. 56.250.000,00
Dengan memperhatikan ketetapan mengenai batas kredit maksimum, maka maksimum
kredit pajak yang dapat dikreditkan adalah sebesar perbandingan terkecilnya, yaitu Rp.
56.250.000,00
Jumlah maksimum kredit pajak luar negeri :
Singapura = Rp. 93.888.888,00
Hongkong = Rp. 79.444.444,00
Malaysia = Rp. 56.250.000,00 +
Rp. 229.583.332,00
E. MENGHITUNG PPh PASAL 25
Ketentuan pasal 25 Undang-Undang Pajak Penghasilan mengatur tentang
perhitungan besarnya angsuran bulanan yang harus dibayar sendiri oleh wajib pajak
dalam tahun berjalan.
Pembayaran pajak dalam tahun berjalan dapat dilakukan dengan cara :
1. Wajib Pajak membayar sendiri (PPh Pasal 25)
2. Melalui pemotongan atau pemungutan melalui pihak ketiga (PPh pasal 21, 22, 23, 24)
Hal yang perlu anda ketahui, bahwa fasilitas angsuran pajak ini merupakan
kesempatan yang baik bagi setiap Wajib Pajak, karena dalam penetapan besarnya
angsuran pajak perbulannya tidak dikenakan bunga :
Cara Menghitung PPh Pasal 25
Besarnya angsuran PPh Pasal 25 per bulan dilakukan dengan cara menghitung
selisih pajak pada tahun yang lalu dengan kredit pajak berupa PPh Pasal 22, 23 dan PPh
Pasal 24 dibagi dengan 12
PPh terutang menurut SPT tahun lalu – PPh Pasal 21, 22, 23, 24 tahun lalu
12
Contoh :
Jumlah penghasilan Tn. Diar yang terutang
Sesuai dengan SPT tahunan PPh 2003 Rp. 50.000.000,00
Pada tahun 2003, telah dibayar dan dipungut :
PPh Pasal 21 Rp. 7.000.000,00
PPh Pasal 22 Rp. 3.000.000,00
PPh Pasal 23 Rp. 4.000.000,00
PPh Pasal 25 Rp.15.000.000,00 +
Rp. 29.000.000,00 -
Kurang/lebih bayar Rp. 21.000.000,00
PPh yang terutang tahun 2003 Rp. 50.000.000,00
Pengurangan :
1. PPh Pasal 21 Rp. 7.000.000,00
2. PPh Pasal 22 Rp. 3.000.000,00
3. PPh Pasal 23 Rp. 4.000.000,00 +
Rp. 14.000.000,00 -
Dasar Perhitungan PPh Pasal 25 Tahun 2004 Rp. 36.000.000,00
Besarnya PPh Pasal 25 per Bulan :
Rp. 36.000.000,00 = Rp. 3.000.000,00
12
G. MENGHITUNG PPh PASAL 26
PPh Pasal 26 merupakan pajak yang dikenakan atas penghasilan yang
bersumber di Indonesia yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak Luar Negeri baik orang
pribadi maupun Badan selain Bentuk Usaha Tetap (BUT).
1. Obyek, Tarif, dan Dasar Pengenaan Pajak
No Obyek PPh Pasal 26 Tarif Dasar Pengenaan Sifat
1 Penghasilan yang diterima atau diperoleh
Wajip Pajak Luar Negeri atas penghasilan
berupa :
Dividen
Bunga termasuk premium, diskonto dan
imbalan sehubungan dengan jaminan
pengembalian uang
Royalty, sewa dan penghasilan lain
sehubungan dengan penggunaan harta
Imbalan sehubungan dengan jasa,
pekerjaan atau kegiatan
Hadiah dan penghargaan dengan nama
dan dalam bentuk apapun
Pensiun dan pembayaran berkala
lainnya
20% Jumlah
Penghasilan
Bruto
Final
2
3
Penghasilan berupa :
Penghasilan dari penjualan harta di
Indonesia
Premi asuransi dan premi reasuransi
yang dibayarkan kepada perusahaan
asuransi luar negeri
Penghasilan kena pajak setelah dikurangi
pajak dari suatu BUT, kecuali penghasilan
tersebut ditanamkan kembali di Indonesia
yang tidak dipotong PPh Pasal 26
20%
20%
Perkiraan
Penghasilan Neto
Penghasilan Kena
Pajak
Final
Final
2. Cara Menghitung PPh Pasal 26
Agar Anda lebih memahami tentang penerapan tarif dan obyek PPh Pasal 26
tersebut di atas, perlu kiranya untuk mempelajari contoh-contoh berikut ini :
Contoh 1:
PT Paraban yang berdomisili di bandung membayar royalty kepada KIA Motors Korea
sebesar Rp. 3.500.000.000,00.
Perhitungan PPh Pasal 26 yang harus dipotong PT Paraban adalah :
20% X Rp. 3.500.000.000,00 = Rp. 700.000.000,00
Contoh 2 :
Petenis USA, Andre Agassi menjuarai Indonesian Open 2004 yang diselenggarakan di
Jakarta sehingga berhak menerima hadiah sebesar Rp. 500.000.000,00.
Perhitungan PPh Pasal 26 yang harus dipotong oleh panitia lomba adalah :
20% X Rp. 500.000.000,00 = Rp. 100.000.000,00
Contoh 3:
Bon Jovi (kawin dan mempunyai 2 orang anak) adalah pegawai asing yang bekerja di
Indonesia kurang dari 183 hari. Ia memperoleh gaji pada bulan September 2004 sebesar
US $ 4,000,00 per bulan. Misal kurs yang ditetapkan sebesar Rp. 8500,00 per 1 US $
Perhitungan PPh Pasal 26 yang terutang adalah :
Penghasilan Bruto sebulan = Rp. 8.500,00 X 4.000,00 = Rp. 34.000.000,00
PPh Pasal 26 :
20% X Rp. 34.000.000,00 = Rp. 6.800.000,00
Catatan :
Bon Jovi merupakan Wajib Pajak Luar Negeri, karena bekerja di Indonesia kurang
dari 183 hari
Dalam menghitung PPh Pasal 26, PTKP tidak diperhitungkan
DAFTAR PUSTAKA
1. Mardiasmo,. (2003). Perpajakan. Yogyakarta : Penerbit Andi.
2. Mohammad Zain, (2000), Perpajakan, Bandung : Lab. Manajemen FE Unpad
3. …………………, (2000), Kredit Pajak, Bandung : Lab. Manajemen FE Unpad
4. Waluyo (2002), Perpajakan Indonesia, Jakarta : Salemba Empat.
5. Ridwan Purnama, (2004), Perpajakan, Jakarta : Universitas Terbuka
6. Waluyo dan Wirawan B. Ilyas, (2002), Perpajakan Indonesia, Jakarta : Salemba
Empat
7. Yusdianto Prabowo, (2002), Akuntansi Perpajakan Terapan, Jakarta : Grasindo
8. Undang-Undang Pajak Tahun 2000, Jakarta : Salemba Empat