Upload
ingkik-doank
View
17
Download
2
Embed Size (px)
Citation preview
PENDIDIKAN DAN ANALISA IMPLIKASINYA
DRS. ABDUL KADIR, M.Si
WIDYAISWARA MADYA - BKPP PEMERINTAHAN ACEH
ABSTRAK
Metodologi pendidikan Qurani sangat komprehensiv dan universal dalam
rangka pengembangan kompetensi anak didik, baik dari aspek intelektualitas, moralitas
dan sosialitas. Berdasarkan pemahaman tersebut, maka Islam tidak dapat menerima
metodologi pendidikan Barat justru implikasinya lebih mengedepankan aspek
intelektualitas semata dan mengabaikan aspek nilai-nilai moral yang bersifat absolut
atau transedental. Alasan ini terlihat dalam implementasi pendidikan nasional kita hari
ini yang terus menonjolkan aspek intelektualitas tersebut, dengan meminimkan aspek
pendidikan moral dan budi pekerti, bahkan disisi lain secara tidak sadar terkesan jauh
dari implementasi nilai-nilai agama. Fenomena pendidikan hari ini belumlah mencapai
sasaran yang diidam-idamkan sebagaimana yang tertera dalamundang-undang dasar
Negara kita. Kondisi ini bekanlah sekedar ungkapan semata, akan tetapi telah menjadi
kenyataan dalam perkembangan pendidikan dewasa ini. Berbagai macam strategi,
pendekatan dan metodologi pembelajaran telah ditampilkan oleh orang tua dalam
keluarga dan para pendidik di sekolah, namun implikasinya belum tampak hasil yang
maksimal. Kualitas anak didik yang dihasilkan setelah proses pembelajaran hari ini,
sungguh memprihatinkan para pakar pendidikan. Kenakalan remaja, pemuda dan
bahkan orang dewasa sekalipun terjadi dimana-mana dalam berbagai aspek kehidupan
umat hari ini. Konsekuensinya dapat dirasakan di dalam realitas kehidupan ini.
Perkelahian, perampokan, perzinaan, pencurian, pemerkosaan, tawuran, penipuan,
pembunuhan, korupsi dan lain-lain terjadi hampir di disetiap ruang gerak masyarakat.
Siapa yang disalahkan dari tanggung jawab pendidikan hari ini, melainkan pelaku
pendidikan dan pembelajaran yang sungguh meninggalkan nilai-nilai moral dan budi
pekerti dengan mendominasi intelektualitas semata. Maka dari semua itu, perlu disadari
bahwa kemajuan dan kemunduran pendidikan sangatlah ditentukan oleh berbagai faktor,
mulai dari faktor sejarah, kesiapan institusi, sistem pendidikan, model pembelajaran dan
materi yang disodorkan, media yang disampaikan, evaluasi yang benar sebagai tolak
ukur dan bahasa sebagai alat pengembangannya. Untuk mewujudkan sebuah kebersihan
yang ideal dan berkualitas, tentu solusi yang terbaik adalah perlu adanya sebuah sistem
dan model pembelajaran yang sesuai dengan kualitas kemampuan anak didik, mulai dari
tingkat sekolah dasar, menengah dan bahkan pada daratan perguruan tinggi sekalipun.
Karena itu, pendidikan adalah pekerjaan bagi setiap individu. Proses pencapaiannya
tidak terlepas dari aktivitas pembelajaran yang sistematis, terstruktur dan memiliki
jenjang yang bervariasi. Kesuksesan pendidikan merupakan tujuan kahir dari sebuah
proses belajar mengajar. Kesuksesan tentu akan sulit dicapai, jika metode, strategi dan
pendekatan pembelajaran sebagai instrument penting yang diterapkan dalam dunia
pendidikan tidak sesuai dengan kebutuhan, pemahaman dan kemampuan peserta didik.
A. PENDAHULUAN
Manusia adalah makhluk ciptaan Allah yang mempunyai harkat dan martabat
yang paling mulia dan sempurna tinggi diantara makhluk-makhluk lainnya. Kehadirannya
di atas permukaan bumi ini merupakan khalifatun fil Ardh.1 Sebagai makhluk yang paling
tinggi derajatnya, tentu ia dipengaruhi beberapa kemampuan dasarnya atau potensi
dasar.2 Potensi ini dalam dunia pendidikan Islam lebih dikenal dengan istilah al-fitrah.3
Kemampuan dasar ini memiliki kecendrungan tumbuh dan berkembang tahap demi tahap
menuju kearah yang lebih sempurna. Proses penyempurnaan ini akan dilalui dengan
pendekatan pendidikan. Tanpa pendidikan, tentu semua potensi ini tidak akan tumbuh
optimal dalam kehidupannya. Pendidikan satu-satunya alat pengasah bagi kesempurnaan
kemampuan tersebut. Pendidikan dapat dikatakan motor (penggerak utama) untuk
membangkit energinya menuju ke arah yang lebih baik.
Selanjutnya, jika diperhatikan secara lebih filosofi lagi tentang struktur kejadian
manusia, yaitu unsur fisik dan unsur psikis. Kedua unsur ini mengalami perubahan secara
berkesinambungan. Keduanya berkembang dan saling mempengaruhi satu sama lain.
Keduanya dikenal dengan istilah psiko-fisik.4 Unsur psiko-fisik manusia berkembang
secara integral dan selalu berfungsi aktif dalam menata kehidupannya. Keduanya
berhubungan timbal balik dengan penuh keseimbangan dan bersifat harmonis dalam diri
manusia. Keduanya harus berjalan serasi dan seimbang pada setiap gerak dan fungsi
1 Salah satu arti dari khalifah adalah mengganti atau Wakil Allah, yang bertugas mewujudkan rencana
Allah sebagai pencipta dan pemelihara alam semesta (R a b b u l A a l a m i n )
. Pemilihan Adam (atau manusia),
sebagai pengemban amanah yang amat berat tentulah memiliki alasan kuat. Salah satu alasan terpenting
adalah adanya potensi ilmu pengetahuan pada diri manusia dan kemampuan mengembangkannya. Kedua
hal tersebut sangat diperlukan didalam pelaksanaan tugas manusia sebagai khalifah dimuka bumi, di
samping berbagai persyaratan-persyaratan lainnya. 2 Hasan Langgulung, M
a n u s i a d a n P e n d i d i k a n ; S t u d y A n a l i s a P s i k o l o g i d a n P e n d i d i k a n ,
(Jakarta:
Pustaka al-Husna, t.t), hal 263. 3 Fitrah dalam Islam dapat dikatagorikan kedalam empat potensi dasar yaitu: H
i d d a y a h a l - g h a r i y y a h
(Naluri),h i d a y y a h a l - h i s s i y y a h
(indrawi),h i d a y a h a l - a l q i a h
(intelektual), dan h i d a y a h
a l - d i n i y y a h
(spiritual). Al-Quran banyak sekali berbicara tentang potensi h i d a y a h a l - a q l i y y a h
(intelektual) dan h i d a y a h
a l - h i d a y y a h
(spiritual). Hal ini bisa dipahami dari beberapa ungkapan yang disebutkan didalam al-Quran
yang mengacu kea rah itu, seperti: t a z a k k u r
, t a d a b b u r , t a f a k k u r
dan t a f a q q u b
. Lihat: Jalaluddin dan
Usman Said, Fi l s a f a t P e n d i d i k a n I s l a m
, cet.2, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1996), hal 109. 4 Lihat: Abdul Mujib
,
F
i t r a h d a n K e p r i b a d i a n I s l a m , S e b u a h P e n d e k a t a n P s i k o l o g i s ,
cet.1, (Jakarta
Pusat: Darulfalah, 1999), hal. 36. Lihat juga: Ikhwan al-safa, R a s a i l I k h w a n a l - S a f a w a k h a l a n a l - W a f a
,
Juz IV, (Baitut: Dar al-sadir, 1957), hal. 231.
organ-organ psikis dan fisiknya. Unsur-unsur fisik lebih sering diistilahkan dengan
Biologis sedangkan unsur-unsur psikis lebih sering disebut dengan istilahpsikologis.
Dengan pemperhatikan pada proses pertumbuhan dan perkembangan psisko-fisik
manusia, tentu lingkungan memiliki peran yang sangat dominan dalam mempengaruhi
kehidupannya. Semua aktifitas manusia diharapkan dapat mengubah dan membentuk
perilaku manusia menuju ke arah yang lebih baik dan lebih sempurna. Karena itu, lagi-
lagi pendidikan menjadi juru kunci utama bagi kelangsungan kehidupannya,bahkan ia
dapat dikatakan kebutuhan mutlak yang wajib diisi sepanjang hayatnya.Tanpa pendidikan
sama sekali mustahil manusia dapat hidup dan berkembang sesuai dengan aspirasi dan
cita-citanya untuk maju. Pendidikan bagi manusia merupakan alat untuk memperoleh
kesejahteraan dan kebahagian hidupnya. Oleh karena itu, untuk menyempurnakan
kehidupannya, maka pendidikan menjadi sarana utama yang perlu dikelola secara
sistematis, konsisten dan akuntabilitas sesuai dengan pandangan teoritis dan praktis
sepanjang waktu berdasarkan lingkungan hidup manusia itu sendiri.
Bagi umat islam tentu cita-cita yang dimaksudkan disini adalah mempeloleh
kebahagian hidup di dunia dan akhirat. Namun cita-cita demikian tak mungkian dicapai,
jika manusia sendiri tidak berupaya dengan maksimal melalui proses pendidikan. Proses
pendidikan dimaksud yaitu suatu kegiatan berdasarkan pencernaan yang matang untuk
mewujudkan tujuan dan cita-cita yang diharapkannya. Aspek penting disini adalah
petunjuk ilahi yang mengundang nilai-nilai paedagogis yang mampu membimbing dan
mengarahkan manusia untuk menjadi individu yang sempurna atau al-insan al-kamil
5melalui proses penahapan yang terarah dan berencana secara sistematis.
Tujuan pendidikan Islam secara umum adalah membentuk kepribadian muslim
yang bulat, ulet, utuh dan berkualitas, baik di dalam dimensi sebagai khalifah di
permukaan bumi, sebagai hamba Allah yang mengabdikan diri kepada-Nya maupun
5 Konsep insan
a l - k a m i l
dipelopori oleh Ibn Arabi pada abad ke-7/13 M atas gagasan Mulyi al-Din
Abu Abdul Allah. I n s a n a l - k a m i l
ini mempunyai kedudukan dalam dua aspek penting. Yaitu sebagai
penyebab dan pelestari eksistensi alam semesta atau k h a l i f a h f i y a l - a r d
sebagai pusat kesadaran semesta. I n s a n a l - k a m i l
itu merupakan wali tertinggi yang memiliki pengetahuan e s o t e r i k ( a l - i l m a l - l a d u n n i ) .
Ia
memiliki kemampuan-kemampuan yang melebihi kemampuan kebanyakan manusia, baik dari segi
kepribadian maupun pengetahuan. Pada diri i n s a n a l - k a m i l
terdapat segenap asma dan sifat-sifat Allah
yang utuh. Lihat: Yunasril Aliy, Manusia Citra Ilahi, Pengembangan i n s a n K a m i l I b n A r a b i o l e h a l - J i l i ,
(Jakarta: Para Media, 1997), hal. 111-179.
sebagai makhluk sosial dan berbudaya.6 Berkaitan dengan tujuan umum ini, Abdurahman
Saleh membaginya kepada tiga komponen utama, yaitu: tujuan jasmaniah (al-ahdaf al-
jismiyyah), tujuan rohani (al-ahdaf al-rubaniyyah), dan tujuan mental (al-ahdaf al-
aqliyyah).7 Ketiga komponen ini merupakan sifat dasar manusia sebagai satu kesatuan
utuh dalam proses pendidikannya. Artinya ketiga komponen tersebut harus mampu
dipadukan secara seimbang dalam diri manusia. Dalam kaitan ini, Hamid Abdul Kadir
memberikan gambaran yang hampir senada dengannya yaitu: Pendidikan merupakan
usaha manusia, baik yang disengaja maupun yang tidak disengaja bertujuan
mengambangkan fisik, akal, budi pekerti, dan perasaan.8 Melalui proses pendidikan ini
diharapkan mampu mewujudkan individu-individu yang muslim berilmu amaliah,
beramal ilmiah, beriman, bertaqwa dan berakhlak mulia.
Untuk merealisasikan tujuan tersebut, maka pendidikan Islam harus dilaksanakan
dan dikembangkan secara konsisten dengan merujuk kepada sumber utamanya yaitu al-
Quran dan al-Hadith sebagai Grand Theorynya, dibantu oleh kajian-kajian para pakar
paedagogis muslim dan Barat. Melalui proses inilah diharapkan akan mampu
menghasilkan tujuan yang sejalan den gan ruh pendidikan Islam itu sendiri. Untuk
tercapainya wujud manusia paripurna (al-insan al-kamil) dengan tingkat intensitas yang
tinggi pada seluruh komponen yang melekat padanya sebagaimana digambarkan diatas,
maka sejak dini setiap individu muslim sebagai peserta didik harus mendapatkan
pembinaan dan pendidikan yang tepat dan benar.
Dilihat dari dimensi kronologinya, menunjukkan bahwa keberadaan manusia
dalam fase pertumbuhan dan perkembangan9 unsur psiko-fisiknya, maka setiap peserta
6 Hadari Nawawi,
P e n d i d i k a n D a l a m I a l a m
,(Surabaya: al-Ikhlas, 1993), hal. 101. 7 Abdurrahman Saleh, T
e o r i - t e o r i P e n d i d i k a n B e r d a s a r k a n a l - Q u r a n ,
(Jakarta: Rineka Cipta, 1983),
hal. 137. 8 Hamid Abdul Qadir, M
a n h a j a l - h a d i t h f i y U s u l a l -
T
a r b a w i y y a h w a a l -
T
a d r i s
, (Misr: Maktabah al-
Nahdah, 1971), hal 5. 9
P e r t u m b u h a n
diartikan sebagai Perubahan-perubahan yang bersifat kwantitatif dan evolutif,
terutama yang menyangkut aspek fisik jasmaniah, seperti perubahan-perubahan yang terjadi pada
organ-organ dan struktur organ fisik, sehingga anak semakin bertambah umurnya semakin besar dan
semakin tinggi pula badannya. Karena itu pertumbuhan umumnya dimulai dari pembuaian dan diakhiri
dengan kematian. Sedangkan P e r k e m b a n g a n
dapat diartikan sebagai Perubahan-perubahan yang
bersifat kwalitatif dan kwantitatif yang menyangkut aspek-aspek mental-psikologis manusia, seperti
perubahan-perubahan yang berkaitan dengan aspek ilmu pengetahuan, kemampuan, sifat sosial, moral,
didik dipandang perlu pembinaan dan pendidikan yang diarahkan secara sistematis dan
proporsional melalui proses pendidikan bertahap. Karena sesungguhnya kemampuan
dasar (potensi dasar) psiko-fisik manusia itu berkembang secara interaksional dengan
pengaruh faktor-faktor lingkungan, baik yang disengaja maupun yang tidak disengaja.
Mengacu ke arah yang dimaksud, banyak pakar pendidikan yang telah
mendefinisikan pengertian pendidikan, baik secara luas ataupun sempit.
Diantara seperti dikemukakan oleh Ahmad D. Marimba, yaitu: Bimbingan atau
pimpinan secara sadar oleh si pendidik terhadap perkembangan jasmani dan rohani
peserta didik menuju terbentuknya kepribadian utama.10 Komentar ini hampir senada
dengan ungkapan Jamil Shaliba yang mengemukakan bahwa pendidikan merupakan
pengembangan fungsi-fungsi psikis melalui latihan, agar mampu mencapai
kesempurnaannya sedikit demi sedikit.11
Dari dua penjelasan tadi dapat dimengerti bahwa pendidikan disini lebih
menitikberatkan pada aspek usaha untuk mempersiapkan peserta didik melalui proses
bimbingan, arahan, pengajaran dan atau latihan yang sesuai dengan peranannya dimasa
yang akan datang. Konsepsi ini telah mampu menghasilkan peserta didik yang lebih baik,
yaitu dapat memperluas cakrawala berfikir lebih tajam, kritis, baik, untuk ilmu, iman,
moral, amal dan taqwa dalam dirinya.
Dari uraian diatas tadi menunjukkan bahwa kesuksesan pendidikan yang
merupakan tujuan akhir dari sebuah proses belajar mengajar, akan sulit dicapai, jika
metode, strategi dan pendekatan pembelajaran sebagai instrument penting dalam dunia
pendidikan diterapkan tidak sesuai dengan pemahaman dan kemampuan peserta didik.
Hal ini bukan hanya sekedar ungkapan saja, tetapi jelas terlihat dalam perkembangan
pendidikan dewasa ini. Berbagai macam strategi, pendekatan dan metode pembelajaran
telah ditempuh oleh orang tua dan para pendidik disekolah dan keluarga dalam
mewujudkan cita-citanya yang luhur itu, namun belum tampak hasil yang maksimal.
Konsekuensinya dapat dirasakan di dalam realita pembelajaran sehari-hari, dimana
keyakinan agama, keccerdasan dan sebagainya. Lihat: M. Alisuf Sabr, P s i k o l o g i P e n d i d i k a n ,
(Jakarta :
Pedoman Ilmu Jaya, 1996), hal 11.Lihat juga: Abdul Mujib, Fi t r a h
, hal 88. 10 Ahmad D. Marimba, F
i l s a f a t P e n d i d i k a n I s l a m
, cet. Ke-4,(Bandung: al-Marifin, 1980), hal. 19. 11 Jamil Saliba
, a l -
M
u j a m a l -
F
a l s a f r y
, Jilid I, (Bairut: Dar al-Kitab al-Lubnainy, 1978), hal. 266. Lihat
juga: Muhammad Noor Syam, Fi l s a f a t
, hal 11-12.
peserta didik memahami banyak kesulitan dan lamban dalam memahami sejumlah materi
yang disampaikan oleh gurunya. Betapa banyak peserta didik yang belajar di dalam
keluarga dan sekolah, namun masih tidak berubah dalam tingkah lakunya ketika tampil
ditengah-tengah kehidupan masyarakat sekitarnya. Secara realita, tampak terlihat masih
banyak orang-orang terpelajar yang melakukan kejahatan, maksiat dan mungkar dimana-
mana. Apa yang m
enyebabkan persoalan ini selalu terjadi secara nyata dalam realitas kehidupan umat hari
ini. Apanya yang menjadi kesalahan, gurunya yang tidak professional atau muridnya
yang bodoh. Inilah pertanyaan-pertanyaan yang selalu mengganjal dalam benak kita hari
ini. Secara umum, hal ini barangkali terjadi karena belum adanya kesesuaian antara
metode atau strategi atau pendekatan sistem dengan kebutuhan atau kemauan atau tingkat
perkembangan peserta didik atau uswatun guru belum menjadi figur bagi muridnya.
Karena itu, relevansi antara metode, strategi dan pendekatan dalam tahap belajar
mengajar dengan periodesasi perkembangan biologis dan psikologis sangat perlu
diperhatikan, di samping ketauladannya sebagai nilai yang menjadi harapan bagi anak
muridnya. Untuk memperluas pandangan ini perlu menemukan berbagai teori yang
menawarkan konsep-konsep baru tentang metodologi pembelajaran yang ideal dan
kebutuhannya terhadap pendidikan peserta didik yang sesuai dengan perkembangan
kehidupannya. Dengan demikian, untuk merespons terwujudnya harapan yang maksimal
dalam pembelajaran peserta didik, al-Quran telah banyak mengomentari persoalan ini
secara panjang lebar lewat kisah-kisah para nabi, rasul dan pemimpin-pemimpin pilihan
yang pernah diabadikan dalam al-Quran ketika mengmbangkan dakwah dan pendidikan
kaum atau umatnya. Dari latar belakang ini penulis mencoba menelaah dan menganalisa
tentang apa saja metodologi yang pernah diterapan oleh para Nabi dan orang-orang
ternama dalam mengembangkan dakwah dan pendidikan umatnya. Bagaimana manusia
memerlukan pendidikan dan harus dididik dalam upaya mengembangkan kehidupan
dimuka bumi ini?. Dari persoalan-persoalan ini penulis mencoba mengkaji melalui suatu
topic pembahasan yaitu: pendidikan dan analisa metodologi pembelajaran dalam Al-
Quran. Wacana ini hendaknya akan menjadi sebuah kontribusi ilmiah yang paling baik
bagi guru dan orang tua untuk pendidikan anak nantinya.
B. Manusia Sebagai Subjek Didik Dalam Tinjauan Al-Quran
Pendidikan dalam pengertian yang lebih luas adalah mencakup semua perbuatan,
tindakan atau usaha dari generasi tua untuk mengalihkan, mewariskan atau melimpahkan
atau mentransferkan pengetahuan, pengalaman, kecakapan dan ketrampilannya kepada
henerasi muda. Maka untuk menyiapkan mereka agar dapat memenuhi fungsinya, --baik
jasmaniah maupun rohaniah--, pendidikan sering juga diartikan sebagai manusia untuk
membimbing anak yang belum dewasa kepada tingkat dalam arti ia sadar dan mampu
memikul tanggung jawab atas segala perbuatannya dan dapat berdiri diatas kaki sendiri.
Untuk memahami mengapa anak dikatakan subjek didik12 dalam pendidikan
Islam. Tentu Islam. Tentu ada dimensi yang perlu diperhati kan secara lebih
komprehensif. Pernyataan ini didasari pada eksistensi anak semenjak lahir. Di mana
12 Dilihat dari segi kedudukannya, pengertian subjek didik identik dengan anak didik atau peserta
didik, yaitu makhluk yang sedang berada dalam proses perkembangan dan pertumbuhan sesuai dengan
fitrahnya masing-masing. Dalam tahapan seperti itu, mereka memerlukan bimbingan dan pengarahan
yang konsisten menuju kearah titik optimal kemampuan fitrahnya. Dalam pandangan yang lebih modern,
subjek didik tidak hanyan dianggap sebagai objek atau sasaran pendidikan sebagaimana disebutkan
diatas, melainkan juga harus diperlakukan sebagai subjek pendidikan. Hal ini antara lain dilakukan dengan
cara melibatkan mereka dalam memecahkan masalah dalam proses belajar mengajar. Dalam bahasa Arab
ada tiga istilah yang sering dipakai untuk menyebutkan kata-kata subjek didik ini. Tiga istilah tersebut
yaitu: arab (jamaknya) arab yang berarti murid atau secara harfiyah dapat diartikan sebagai orang yang
menginginkan atau membutuhkan sesuatu arab yang berarti: pelajar atau siswa, dan arab yang berarti
yang menutut ilmu atau mahasiswa. Ketiga istilah ini seluruhnya mengacu kepada seseorang yang tengah
menempuh pendidikan. Perbedaannya hanya terletak pada penggunaannya. Pada sekolah yang
tingkatnya rendah seperti Sekolah Dasar (SD dan MI) digunakan istilah murid (tilmidh), sedangkan pada
sekolah tingkat menengah seperti SLTP dan SLTA diistilahkan dengan pelajar atau siswa dan untuk Tingkat
Perguruan Tinggi digunakan istilah Mahasiswa (t a l i b a l - i l m )
. Namun demikian berbeda maksud
penyebutan subjek didik dalam pendidikan Islam. Subjek didik di sini adalah setiap manusia yang
sepanjang hayatnya selalu berada dalam perkembangan. Jadi, tidak hanya anak-anak yang sedang dalam
pengasuhan dan pengasihan orang tuanya, bukan pula anak-anak dalam usia sekolah seperti disebutkan
diatas. Tapi termasuk semua manusia yang terus menerus berusaha belajar dan mengajar dalam rangka
mencapai kesempurnaan hidup, saling lengkap melengkapi kebutuhan dan keinginan, yaitu manusia yang
selalu memposisikan dirinya pada tingkat a l - i n s a n a l - k a m i l
sebagai manusia seutuhnya. Pengertian ini
nampaknya sesuai dengan tujuan pendidikan Islam yang sebenarnya, yaitu penciptaan a l - i n s a n a l - k a m i l
(manusia sempurna). Maka untuk mencapai manusia seperti yang dimaksudkan tadi, persiapan
pendidikannyaharus diusahakan terus menerus mulai dari masa pembentukan awal sebuah keluarga,
proses janin, setelah lahir hingga akhir hayatnya lewat proses tarbiyah, tadib danm talim. Dari proses
pelaksanaan itu akan memungkinkan terbentuknya pendidikan islam. Maka konsep dasar pendidikan
Islam dapat di pahami di sini adalah pendidikan yang mengarah pada upaya penyadaran subjek didik
(manusia), baik kesadaran spiritual maupun kesadaran intelektual. Lihat: baihaqi A.K, Me n d i d i k A n a k
D a l a m K a n d u n g a n
M
e n u r u t A j a r a n P e d a g o s i s I s l a m i ,
cet, ke II, (Jakarta: Darul Ulum Press, 2001), hal. 27-
44. Lihat juga: Herry Noer Aly, MA.I l m u P e n d i d i k a n I s l a m
, cet I(Jakarta Logos, 1999), hal 113, Lihat: M.
Nasir Budiman, P e n d i d i k a n D a l a m P e r s p e k t i f A l - q u r a n ,
cet. I (Jakarta: Madani Press, 2001), hal 125.
kondisinya berbeda dengan eksistensi makhluk hewani. Makhluk hewani setelah lahir,
secara sunatullah langsung mampu berjalan, makan dan minum dengan sendirinya. Tapi
anak manusia tidaklah seperti itu. Mereka sejak dilahirkan, kondisinya lemah, tak
berdaya dan tak mengerti apa-apa. Perihal ini sebenarnya telah digambarkan oleh al-
Quran sebagaimana tertera dalam ayat-ayat seperti: dan manusia dijadikan dalam
keadaan lemah. (QS. 4:28)13 Allah, Dialah yang menciptakan kamu dari keadaan
lemah, kemudian Dia menjadikan (kamu) sesudah keadaan lemah itu menjadi kuat,
kemudian. Dia menjadikan (kamu) sesudah kuat menjadi lemah lagi (kembali) dan
berubah. Dia menciptakan apa yang dikehendaki-Nya dan Dialah Yang Maha
Mengetahui lagi Maha Kuasa.
(QS. 30:54)14 Dan Allah mengeluarkan kamu dari perut Ibumu dalam keadaan tidak
mengetahui satupun, dan Dia memberikan kamu pengetahuan, penglihatan, dan hati,
agar kamu bersyukur. (QS. 16:78).15
Dari tiga ayat tadi menggambarkan bahwa manusia adalah makhluk yang
mengalami kondisi sangat lemah dan dan serba tak berdaya pada awal kelahirannya.16
Sehingga manusia hampir seluruh dimensi hidup dan kehidupannya, hanya
menggantungkan diri kepada manusia dewasa. Jika saja anak (bayi) tersebut tidak diberi
minum atau makan oleh ibunya, maka pasti ia akan mati kelaparan atau kehausan. Karena
itu, anak manusia selalu butuh kenyamanan, kedamaian, keamanan, ketenangan, dan
kebutuhan hidup berupa makan minum dari orang tuanya.
Meskipun eksistensi manusia ketika dilahirkan dalam kondisi lemah dan tak
berdaya, namun ia telah dibekali potensi-potensi fitrah yang siap dipertajam dan
diaktualkan melalui jalur pendidikan. Untuk menyempurnakan dirinya, maka manusia
perlu belajar dan belajar dengan menggunakan al-sama, al-ubsar dan al-afidah. Jika
ketiga dimensi ini dapat dipadukan dalam dirinya, maka kemampuan kognitif akan
mampu mewujudkan secara baik dan benar. Karena ketiga dimensi tadi merupakan alat
untuk mencapai pengetahuan. Sedangkan pengetahuan itu merupakan pencerahan bagi
13 QS. An-Nisa ayat 28 14 QS. 30: 54. 15 QS. 16: 78. 16 Lihat: Adnan Syarif, M
i n I l m a l - n a f s a l - q u r a n
terjemahannya dengan judul: P s i k o l o g i q u r a n i
oleh
Muhammad al-Mighwar, cet I (Bandung: Pustaka Hidayah, 2002), hal.
kehidupannya. Begitu pula sebaliknya, jika ketiga dimensi ini tidak berkembang secara
baik, maka manusia cenderung menyelewang dari kebenaran dan menyesatkan.
Konsekuensi ini terlihat dari penegasan Allah yaitu: Dan sesungguhnya Kami jadikan
untuk mereka Jahannam kebanyakan dari jin dan manusia, mereka mempunyai hati, tapi
tidak dipergunakan untuk memahami (ayat-ayat Allah) dan mereka mempunyai mata
(tetapi) tidak dipergunakannya untuk melihat (tanda-tanda kekuasan Allah), dan mereka
mempunyai telinga (tetapi) dipergunakannya untuk melihat (tanda-tanda kekuasaan
Allah). Mereka itu sebagai binatang ternak, bahkan mereka lebih sesat lagi. Mereka
itulah orang-orang yang lalai. (QS. 7:179).17
Untuk merealisasikan tujuan hidup yang baik, perlu adanya tanggung jawab
pendidikan kepada subjek didik, Nabi bersabda dalam al-Hadist-Nya:
Artinya: Dari Ibn malik telah berkata: Rasulullah bersabda: Menurut ilmu itu wajib bagi
setiap muslim.18
Dalam hadist yang lain juga di sabdakan:
Artinya: Tuntutlah ilmu dari mulai ayunan sampai ke liang lahad.19
Bila dikaji secara lebih mendalam dari dua Hadist diatas, maka akan tampak
bahwa tanggung jawab pendidikan sangat dibebankan kepada subjek didik. Artinya
manusia akan terus mengembangkan dirinya lewat jalur pendidikan. Dalam pengertian
lebih jauh lagi menunjukkan bahwa manusia akan selalu menjadi subjek pelaksana
pendidikan, yang akan selalu berlangsung pendidikan dimana, dan kapan saja. Karena itu,
untuk mengembangkan dirinya kearah yang lebih mantap dan berpotensi, manusia perlu
kepada pendidikan.
Untuk mengaktualkan potensi subjek didik ada beberapa dimensi potensi fitri
yang harus dikembangkan antara lain:
17 QS. 17: 179. 18 Lihat: Imam al-Hafid Abiy Abdillah Muhammad Ibn Yazid al-RabiI Ibn Majah,
S u n a n I b n
M
a j a h ,
(Riyad Dar al-Salim, 1999), hal 34. Bisa juga: CD hadith Kutub al-Sittah, Ver. 1998,K i t a b S u n a n I b n
M
a j a h
, Bab Muqaddimah, Hadith No. 220. 19 Ahmad al-Hasyimi, M
u k h t a r a l - A h a d i b a l - N a b a w i y y a h
,cet. 4 (Qairo:Dar al-Maarif, 1948). Hal 26.
1. Pengembangan Potensi Fitrah al-Ghariziyya
Jika dipandang dari dimensi potensi fitrah al-Ghariyyah tentu, manusia dapat
dikatakan sebagai makhluk materi. Artinya manusia semenjak dari lahir telah punya
insting (naluri) untuk tumbuh dan berkembang. Karena itu, pertumbuhan dan
perkembangannya berproses dari materi, yaitu berawal dari bergabungnya sel telur sang
ibu dengan sperma sang ayah. Manusia sebagai makhluk yang bermateri, tentu ia akan
perlu kepada kebutuhan-kebutuhan yang bersifat materi, seperti butuh makan, minum,
dan lain-lain.
Pada dimensi jismiyyah sebenarnya ada segi-segi persamaannya dengan binatang,
bahkan manusia termasuk kedalam golongan binatangyang menyusui. [QS.7 (al-Araf):
179]. Ia mempunyai sifat-sifat biologis yang sama dengan binatang seperti membutuhkan
makan, udara, mengembangkan jenis dan lain-lain. Namun manusia nampaknya lebih
sempurna bila dibandingkan dengan makhluk binatang. Ia mempunyai cirri-ciri khusus
yang membedakannya dengan binatang. Manusia memiliki berbagai macam potensi atau
kemampuan dasar (fitrah) yang dibawa semenjak lahir, seperti kemampuan berfikir,
berkreasi, beragama, beradaptasi dengan lingkungan dan sebagainya. Dengan adanya
berbagai macam kemampuan dasar tersebut, maka manusia dalam hidup dan
kehidupannya tidak hanya berdasarkan instink atau naluri saja seperti binatang, tapi juga
berdasarkan dorongan dari berbagai potensi yang dimilikinya.
Dalam mengambangkan kemampuan dimensi jismiyyah pada dirinya --yang
sangat lemah dan serba tak berdaya--itu, perlu bantuan orang lain untuk membimbing dan
mengarahkannya. Karena itu, ia perlu belajar dan terus belajar (pendidikan), hingga
potensi tersebut dapat tumbuh dan berkembang secara wajar dan berdaya guna bagi
dirinya untuk mengisi hidup dan kehidupan ini.
2. Pengembangan Potensi Fitrah Ijma Iyyah
Manusia adalah makhluk homo-socius (makhluk sosial), maka pada dirinya ada
sifat pembawaan untuk hidup bermasyarakat. Di sini manusia membututuhkan interaksi
dengan yang lainnya. Dengan sendirinya makhluk sosial, akan mempunyai rasa tanggung
jawab sosial untuk ikut mengambangkan fitrah ijmaiyyah antara sesamanya.
Pendidikan dalam tatanan sosial (bermasyarakat) ini, harus menitikberatkan
perkembangannya pada karakter-karakter manusia yang unik, agar manusia mampu
beradaptasi dengan standar-standar masyarakat bersama-sama dengan cita-cita yang ada
padanya. Untuk merealisasi kegiatan ini secara harmonis, maka anak sebagai subjek didik
harus pandai bersikap toleran sesamanya, adil, ramah tamah, pandai beradabtasi, rendah
hati sesamanya, gotong royong dan mampu mengontrol diri secara normal dalam
kehidupan sehari-hari. Karena itu untuk mewujudkan semua sikap ini secara lebih fair
dalam masyarakat, maka sebagai subjek didik membutuhkan pendidikan sosial ini.
Keharmonisan seperti inilah yang merupakan karakteristik yang akan dicapai dalam
tujuan pendidikan sosial.
3. Pengembangan Potensi Fitrah Aqliyyah (Intelek)
Manusia bila dilihat dari dimensi fitrah aqliyyah dapat dikatakan sebagai Homo
education yaitu makhluk yang harus dididik. Karena bila dikaji dari dimensi ini, maka
manusia dapat dikategorikan sebagai animal educable, yaitu sebagai makhluk sebangsa
binatang yang dapat dididik. Sebab pada dasarnya manusia sudah dibekali Fitrah intelek
ini. Fitrah ini berfungsi sebagai kemampuan untuk berkembang dan untuk membentuk
dirinya sendiri. Oleh sebab itulah manusia dalam hidup dan kehidupannya perlu
mengembangkan fitrah ini.
Pengembangan potensi fitrah ini bertujuan untuk mengaktualkan intelegensi yang
mengarah manusia sebagai subjek didik untuk menemukan kebenaran. Jika
perkembangan fitrah intelek ini berjalan normal, maka telaah tentang tanda-tanda
kekuasaan Allah dan penemuan pesan ayat-ayat-Nya, akan mampu membawanya untuk
beriman kepada Sang Pencipta. Dalam kondisi seperti ini, jika manusia tidak bisa
memperoleh pendidikan tersebut, maka penyimpangan dan kesesatan akan menyertainya.
Mencermati pertanyaan tersebut dapat dimengerti bahwa bila mana anak tidak
mendapatkan pendidikan, maka mereka tidaki akan menjadi manusia sempurna dalam
hidupnya. Dengan kata lain, hanya pendidikanlah yang dapat memanusiakan atau
membudayakan manusia.
Perlu disadari bahwa meskipun semenjak awal kelahiran manusia tidak akan
mampu berdiri sendiri, namun ia telah ada sejumlah potensi, disposisi, dan karakter-
karakter yang unik yang diberikan oleh Allahyang menyertainya. Fitrah potensial ini
memiliki beberapa unsur yang menentukan, terutama pembawaan, kecendrungan, watak,
bakat, minat dan kemampuan. Semua potensi fitrah ini kemudian teraktualisasikan
menjadi suatu kepribadian bersamaan dengan peran lingkungan termasuk didalamnya
pendidikan.
Jika proses pembinaan dan pembimbingan itu berjalan dengan baik dan sistematis,
maka perkembangan kepribadian subjek didik akan terpola secara wajar dan harmonis.
Artinya proses perkembangannya akanberjalan dan seimbang dengan kebutuhan fisik
material dengan kebutuhan mental spiritual. Karena itu, kebahagiaan dan kesejahteraan
hidup akan terpenuhi secara baik didunia dan di akhirat kelak.
Agama islam adalah agama yang universal. Untuk memenuhi kebutuhan terhadap
pendidikan bukan hanya sekedar untuk mengembangkan aspek-aspek indiviu dan
sosialisasi, melainkan juga harus mampu mengarahkan perkembangan kemampuan dasar
tersebut kepada pola hidup yang diperlukan manusia, baik duniawiyyah dan ukhrawiyyah
hingga mampu tercitanya fisik (materil) dan spiritual yang harmonis.20 Karena itu, islam
telah memberikan sesuatu metode pendidikan yang paling sempurna kepada manusia
untuk mengembangkan dan mengarahkan potensi-potensi yang fari dalam dirinya lewat
suatu proses, yaitu Iqra Hal seperti ini seperti telah digambarkan dalam al-Quran :
Bacalah dengan (menyebut) nama Tuhanmu Yang Menciptakan, Dia telah menciptakan
manusia dengan segumpal darah. Bacalah, dan Tuhanmulah Yang Paling Pemura. Yang
mengajar (manusia) dengan perantaraan kalam. Dia mengajarkan kepada manusia apa
yang tidak diketahuinya.(Q.S. 96:1-5)21
Dari ungkapan ayat-ayat, Nampak bahwa agama islam mendorong umatnya, agar
menjadi umat yang pandai dan punya kemampuan intelektual yang bgus untuk
mengembangkan kehidupan ini. Upaya ini telah ada semenjak dari perintah pertama
membaca (sebagaimana tertera dalam ayat tadi).
20 Muhammad Faiz al-Math,
K e i s t i m e w a a n k e i s t i m e w a a n I s l a m ,
(Jakarta: Gema Insani Press, 1994),
hal 50 Lihat juga: Zuhairini, Fi l s a f a t P e n d i d i k a n I s l a m ,
cet Ke-2, (Jakarta: Bumi askara, 1995) hal 16 21 QS. 96: 1-5.
Agama islam disamping mendekatkan kepada umatnya untuk belajar juga
menyuruh umatnnya mengajarkan ilmunya kepada orang lain. Dalam islam melakukan
proses belajar mengajar adalah bersifat manusiawi, yakni sesuai dengan harkat
kemanusiaannya, sebagai makhluk: homo educandus atau animal educadum , dalam
arti manusia itu sebagai makhluk yang dapat dididik dan dapat dididik. Disamping itu,
manusia diistilahkan juga sebagai homo planemanel, yaitu makhluk yang mempunyai
unsur rohaniah yang merupakan syarat mutlak untuk terlaksananya program-program
pendidikan.22
Banyak ayat al-Quran dan Hadist yang mengajak umat manusia untuk belajar dan
mengajarkan ilmu pengetahuan, antara lain: Ilmu itu kehidupan Islam dan tiangnya
iman, dan barang siapa yang mengajarkan ilmu (kepada orang lain) maka Allah akan
menyempurnakan pahalanya. Barang siapa belajar kemudian mengamalkannya, maka
Allah menajarkan kepadanya yang belum diketahuinya. (HR. Abu Syaikh).23 Hadist yang
lain : Barang siapa yang menempuh jalan dalam rangka mencari ilmu, maka Allah
memudahkannya jalan ke syurga.(H.R.Baihaqiy).24
Begitulah pentingnya ilmu dalam islam, bahkan al-quran sendiri memberikan
penghargaan yang cukup mengembirakan (Al-mujadalah 58.11)
4. Pengebangkan potensi fitrah al-Diniyyah
Manusia adalah makhluk berkentuan atau homo religius (makhluk beragama).
Sesuai dengan fitrahnya pada prinsipnya setiap manusia mengakui jati dirinya bahwa ia
ada yang menciptakannya kepada sang pengcipta tetap ada dalam darinya. Kebutuhan
pendidikan relegius ini adalah kebutuhan manusia terhadap pedoman hidup untuk
mencapai ketenangan dan kebahagian hidup, baik di dunia maupun di akhirat kelak.
Karena itu, pendidikan agama merupakan pendidikan spiritual (rubiyyah) yang muncul
lewat kesadaran manusia terhadap ketenangan dan kedamian hidup.
22 Syahniman Zaini. M
e n g e m a l
M
a n u s i a L e w a t a l - Q u r a n ,
(Surabaya: tp,1980), hal. 5-6 Lihat juga:
Zuhairini, dkk. Fi l a s a f a t
, hal 82 23 HR. Abu Syaikh 24 H.R.Baihaqiy
Dalam konsep islam, pengembangan dimensi ini bertujuan untuk mengerahkan
ruh kepada kebenaran dan kesucian. Maka dari itulan, islam mengakui bahwa semenjak
manusia lahir ke dunia telah membawa fitrah diniyyahnya. Hal ini seperti difirmankan
Allah: Maka hidupkanlah wajahmu dengan lurus kepada agama (Allah); (tetaplah atas)
fitrah Allah yang telah menciptakan manusia menurut fitrah itu. Tidak ada perubahan
pada fitrah Allah. (itulah) agama yang lurus; tetapi kebanyakan manusia tidak
mengetahui (QS. 30:30)25.
Dari ayat tadi dapat dipahami bahwa fitrah al-diniyyah pada manusia telah dibawa
sejak lahirnya. Maka fitrah tersebut akan berkembang dengan baik, jika diaktualkan lewat
pendidikan. Salah satu pendidikan yang paling penting diperkenalkan adalah pendidikan
akhlaq. Ia merupakan dasar memunculkan berbagai kebaikan dalam kehidupan manusia.
Pendidikan akhlaq identik dengan pendidikan moral. Moral adalah akar kebaikan suatu
ummat, bila baiknya moral, maka kualitas suatu bangsa ikut akan membawa nuasan
gemilang. Tapi sebaliknya, bobroknya moral bangsa, maka malapetaka akan
menimpanya. Persepsi ini telah menjadi identitas suatu negeri.
Islam datang membawa pencerahan bagi alam semesta. Begitulah, ungkapan al-
Quran dan Hadist. Nabi Muhammad diutus oleh Allah ke alam ini, tugas umatnya adalah
memperbaiki moral/akhlaq umat manusia. Semboyan ini jelas diutarakan dalam
sabdanya: Aku tidak diutus ke atas permukaan bumi ini, melainkan untuk meemperbaiki
akhlaq (manusia).
Kwalitas dan kemampuan suatu umat ditandai pada kondisi moral rakyatnya.
Untuk meningkatkan kwalitas tersebut Islam lembaga pendidikan rumah tangga dan
sekolah, pendidikan religius mengambil peran yang sangat ideal yang melekat dalam
kehidupan subjek didik. artinya, keluarga dan lembaga pendidikan lainnya ikut berperan
atau berkewajiban untuk memperkenalkan dan mengajak anak kepada kehidupan
beragama. Tujuannya bukan sekedar mengetahui kaidah-kaidah agama, melainkan juga
untuk menjadi insane beragama yang sadar dan eksistensi dan posisinya. Manusia adalah
makhluk Allah yang dikaruniakan rahmat dan nikmat yang tiada henti. Dengan kesadaran
yang tinggi atas eksistensi dan posisinya itu, akan mengunggahnya untuk mengabdi dan
25 QS. 30: 30.
tunduk patuh kepada-Nya. Dengan demikian, hasil yang diharapkan adalah bukan
sekedar melahirkan generasi yang serba tahu tentang berbagai kaidah dan aturan hidup
beragama, melainkan juga yang benar-benar merealisasikannya dengan penuh
kesungguhan. Karena itu, inti ajaran islam yang harus diajarkan pada generasii didik
adalah keimanan, ibadah dan akhlak.
Manifestasi tanggung jawab yang mengacu pada tiga dimensi tersebut hanya
dapat diwujudkan melalui jalur pendidikan yang benar. Artinya, orang tua harus
melaksanakan tugas dan kewajibannya sebagai pendidik dalam keluarga secara baik,
implementasinya dapat direalisasikan dalam bentuk bimbingan, pembinaan dan tuntunan
terhadap anak-anaknya. Ketiga bentuk kegiatan ini dilakukan dalam rangka membentuk
kepribadian anak menjadi sosok manusia berkualitas, ideal, yang memiliki menalitas,
aktifitas dan moralitas yang tinggi, ketika ia menjadi dewasa kelak. Dengan kata lain,
dapat menciptakan figure anak yang memiliki keimanan yang tangguh, taat melaksanakan
ibadah, dan berakhlak mulia.
Dalam konsep pendidikan islam, pembinaan akhlak merupakan bagian yang tidak
dapat dipisahkan dengan pendidikan keimanan. Pendidikan akhlak ini juga merupakan
proses lanjutan dari tahap pendidikan keimanan dan ibadah semenjak fase kanak-kanak,
agama Islam menganjurkan orang tua dan para guru untuk mengajarkan, melatih dan
membiasakan subjek didik dengan akhlaq al-karimah, seperti berbuat baik dan sopan
santun kepada orang tua, lemah lembut dalam berbicara, menghormati tamu, dan
sebagainya. Namun pada fase usia remaja pendidikan akhlak bagi subjek didik lebih
diarahkan pada proses penyempurnaan dan pemantapan spiritual dan intelektual. Tujuan
ini diharapkan untuk bisa memenuhi kredibelitas perkembangan kehidupan insani.
Untuk itu, perlu dibekali dengan berbagai alat dan potensi, baik spiritual maupun
intelektual sebagaimana disebutkan sebelumnya. Dengan menggunakan dan
mengambangkan potensi-potensi ini secara baik dan benar, manusia akan menjadi
sempurna (al-kamil) . sempurna disini jika adanya usaha-usaha penyadaran diri lewat
jalur pendidikan tadi. Karena itu salah satu peran utama untuk mengambangkan dan
mengubah potensi-potensi ini adalah pendidikan (kebudayaan). Pendidikan yang
ditempuh dalam islam adalah pembinaan yang mengacu kearah penyadaran intelektual
dan spiritual. Emeg dari kedua penyadaran ini akan melahirkan ibn al-nafi, yaitu ilmu
yang mampu memperkuat iman. Iman yang selingkuh dengan ilmu akan melahirkan
amal salih , manakala amal yang disadari pada iman dan ilmu. Begitulah kata M. Nasir
Budiman dalam buku karangannya. Dengan demikian dapat dikatakan interaksi manusia
dengan lingkungannya secara baik dan berakhlak mulia akan menghasilkan pengetahuan,
membutuhkan lembaga, tradisi, sistem atau structural sesuai dengan peradaban dan
kebudayaan tertentu dalam suatu masyarakat.
Dari uraian tersebut, jelaslah bahwa anak sebagai subjek didik itu berusaha
mengambangkan dan mengaktualkan potensi-potensi yang fitri berupa aspek-aspek
kepribadiannya, baik jasmaniah maupun rohaniah, termasuk didalam aspek individualitas,
sosialitas, moralitas, mentalitas maupun aspek religius. Potensi-potensi ini tidak bisa
berjalan sendiri tanpa dipertajam lewat jalur pendidikan, pembinaan dan bimbingan dari
orang lain. Dalam hal ini orang tua, sekolah, dan masyarakat.26 Jadi faktor-faktor yang
mempengaruhi aktualitas fitrah manusia dalam pembentukan kepribadian adalah faktor
bawaan dari Tuhan (takdir), faktor warisan dari keturunan dan faktor lingkungan sekitar
serta yang terakhir juga tidak terlepas dari faktor Hidayah Allah.
C. Strategi Qurani sebagai suatu Pengembangan Pendidikan Subjek Didik Yang
Berkualitas
Seorang guru yang berkwalitas paling kurang mempunyai tiga kompetensi dasar
yang melekat dalam dirinya, baik kompetensi professional, personality maupun sosial.
Masing-masing kompetensi ini turut menentukan eksistensinya sebagai huru yang ideal.
Ketiga kompetensi ini selalu beriringan dan saling melengkapi dalam menghadirkan
kwalitas eksistensinya. Kemampuan intelektualnya menunjukkan power pengetahuan
yang mapan kemampuan spiritualnya memperkuat posisinya sebagai intelek. Begitu juga
kemampuan bertindak selalu terkontrol dari kedua kemampuan tadi. Jika saja ketiga
kemampuan tadi tidak berjalan sesuai dengan fitrahnya, maka dikhawatirkan
eksistensinya akan bertentangan dengan fitrahnya. Problema ini sungguh nyata terlihat
dlam kehidupan kaum guru di dalam dunia pendidikan hari ini. Betapa banyak hari ini
26 Baca: Zuhairini, dkk, Filsafat Pendidikan Islam, cet. 4, (Jakarta: Bumi Askara, 2008), hal 177-180
guru tampil dengan skill dan profesionalnya tidak berkwalitas dan dihargai orang anak
didiknya, karena tidak mampu memposisikan dirinya secara wajar didepan muridnya.
Tauladan yang ditampilkan tidak menjadi ikatan dan dan panutan bagi siswanya hari ini.
Perbuatannya yang dimunculkannya bekanlah menarik perhatian muriidnya untuk
menjadi budi pekerti tauladannya. Justru menjauhkan mereka dari akhlak mulia. Semua
persoalan ini terjadi akibat dari proses pengajaran dan strategi yang dibangunnya tidak
mencapai sasaran dan acuannya yang telah dirumuskannya.
Strategi merupakan usaha untuk memperolah kesuksesan dan keberhasilan dalam
mencapai tujuan. Dalam dunia pendidikan strategi dapat diartikan sebagai a plan,
method, or series of activites designed to achieves a particular educational goal (J.R.
David, 1976).27 Strategi pembelajaran dpat diartikan juga sebagai perencanaan yang
berisi tentang sejumlah rangkaian kegiatan yang didesain secara tepat untuk mencapai
tujuan pendidikan tertentu.28 Strategi pembelajaran merupakan rencana tindakan
(rangkaian kegiatan) termasuk penggunaan metode dan pemanfaatan berbagai sumber
daya atau kekuatan dalam pembelajaran yang disusun untuk mencapai tujuan tertentu.
Dalam hal ini adalah tujuan pembelajaran. Begitu juga Kemp (1995) menyebutkan bahwa
strategi pembelajaran adalah suatu kegiatan pembelajaran yang harus dikerjakan guru dan
siswa agar tujuan pembelajaran dapat dicapai secara efektif dan efisien. Dilain pihak Dick
& Carey (1985) menyatakan bahwa strategi pembelajaran adalah suatu setting materi dan
prosedur pembelajaran yang digunakan secara bersama-sama untuk menimbulkan hasi l
belajar yang maksimal pada siswa. Paling tidak ada 3 jenis strategi yang berkaitan dengan
pembelajaran, yakni: (a) Strategi Pengorganisasian pembelajaran, (b) Strategi
Penyampaian pembelajaran, dan (c) Strategi pengelolaan pembelajaran.
Pada umumnya dalam proses pembelajaran, strategi ini tidak selamanya
terlaksanakan sempurna oleh guru. Sebagian guru tidak pernah memperhatikan pada
strategi pengorganisasian dan pengelolaan pembelajaran, tapi hanya lebih memfokuskan
pada aspek strategi penyampaian saja. Hal ini sungguh bertentangan dengan eksistensi
kompetensi profesionalnya. Kondisi ini telah banyak memunculkan sejumlah setting yang
27 Joyce Brucee, Et al, M
o d e l s o f t e a c h i n g ,
(London:6th Ed. Allyn & Bacoon, 2000),P. 121 28 Oemar Harmalik, M
e t o d e B e l a j a r d a n K e s u l i t a n - k e s u l i t a n B e l a j a r ,
cet. I (Bnadung: Tarsito, 1990), hal.
25
error dalam pelaksanaan dan implementasinya di lapangan. Betapa banyak guru
mengajar, tapi muridnya tidak menambah apa-apa dalam pembelajaran. Inilah yang
sering dipertanyakan dalam dunia pendidikan hari ini. Untuk menjawab tantangan-
tantangan ini, tentu al-Quran banyak menawarkan solusinya yang perlu dibangun oleh
para generasi pendidik selama ini. Fenomena ini banyak yang bisa dipertik dari
penggunaan strategi dalam penyampaian informasi penting kepada Nabi, Rasul dan
orang-orang ternama lainnya, seperti dialog Lukmanul Hakim dengan anaknya, Dialog
Ibrahim dengan putranya, Maryam dengan Isa, Musa dengan Khadir, Allah dengan para
Malaikat, Musa dengan Firaun, Malaikat Jibril dengan Nabi Muhammad ketika di gua
Hira dan lain-lain.
Kita ambil saja salah satu contoh yang mengandung penggunaan strategi pada
percakapan Allah dan Malaikat. Ada satu fenomena menarik tentang rencana penciptaan
manusia sebagai khalifah di muka bumi. Fenomena ini dimulai dengan dialog antara
Allah SWT dan para malaikat tentang rencana penciptaan manusia dan tujuannya di atas
permukaan bumi ini. Dialog ini telah diabadikan dalam al-Quran tepatnya pada surah al-
Baqarah ayat 33 sampai keberadaan Adam AS di bumi dengan berbagai opsi dan
konsekuensinya. Pemaknaan ayat ini jelas sekali informasinya yang menyebutkan bahwa
salah satu tujuan penciptaan manusia adalah sebagai khalifah 29 Allah dimuka bumi
(khalifatullah fil Ardhi). Setidaknya ada dua pelajaran berharga yang dapat dipetik dari
peristiwa ini. Dari satu sisi dapat dimaknai bahwa Allah SWT adalah sumber pertama dan
utama dari ilmu pengetahuan. The Ultimate soursce of knowledge sekaligus sebagai
facilitator dalam pendidikan. Dialah Sang Pencipta yang mampu memfasilitasi proses
pembelajaran secara tepat, dan pengembangannya secara benar. Dialah disainer ilmu
pengetahuan secara mandiri dalam diri manusia. Dari fenomena ini secara umum dapat
dikatakan bahwa eksistensi Allah disini adalah Sang Maha Guru pertama bagi manusia.
Dalam kaitan ini pemahaman dapat diungkap dari rangkaian ayat-ayat tersebut adalah
29 Dari sini dapat dipahami bahwa arti khalifah adalah wakil Allah, yang bertugas mewujudkan
rencana Allah sebagai pencipta dan pemelihara alam semesta ini. Pemilihan Adam sebagai pengemban
amanah yang amat berat tentulah memiliki alasan kuat. Salah satu alsan terpenting disini adalah adanya
potensi ilmu pengetahuan pada diri manusia dan kemampuan untuk mengembangkannya. Kedua hal
tersebut sangat di perlukan didalam pelaksanaan tugas manusia sebagai khalifah di muka bumi,
disamping berbagai persyaratan-persyaratan lainnya.
Adam AS sebagai manusia pertama yang ada di atas permukaan bumi ini. Karena itu,
sebagai pemilik dan sumber dari semua ilmu pengetahuan, Allah SWT memiliki ha
perogratif untuk memberikan ilmu pengetahuan kepada siapapun yang dikehendaki-Nya,
baik secara langsung maupun tidak langsung.
Di dalam filsafat ilmu, sumber-sumber ilmu pengetahuan yang diakui hanyalah
yang berasal dari hasil proses berpikir manusia (nalar) maupun pengalaman inderawi
(empirik) dengan menafikan hal-hal yang sifatnya langsung dari sisi Allah SWT
(laddum). Hal ini berbeda dengan filsafat islam yang selalu mengambil rujukan utama
wahyu, ilham atau insinc dan akal selalu beriringan dengannya dalam mentransferkan
ilmu pengetahuan untuk makhluk yang dipilihdan dikehendakki-Nya. Fenomena ini
secara tegas disampaikan dalam al-quran tentang bagaimana Allah SWT, , sang maha
Guru , mengajarkan ilmu pengetahuan kepada manusia pertama , yaitu Adam dengan
terlebih dahulu mengajarkan nama-nama (benda) seluruhnya (QS.2:31).
Jika dipahami dari makna dioligi yang dipahami dalam ayat tersebut, maka kata
allama (mengajarkan) tersebut memiliki dimensi makna yang lebih luas dan
komprehensip (nabaa), atau (akhbara) seperti apa yang dilakukan oleh Adam kepada
malaikat. Aktifitas Mengajar memiliki tingkat yang lebih tinggi dari pada memberi
tahu, mengabarkan atau memberi informasi. Perlu diperhatikan bahwa proses dialog
didalam mengajarkan ilmu pengetahuan, Allah SWT memilainya dengan cara
mengajarkan nama-nama benda seluruhnya secara lengkap. Proses ditawarkan dalam ayat
tadi memberikan pemahaman kepada manusia bahwa cara seperti ini merupakan strategi
atau teknik yang terbaik untuk mulai mengajarkan ilmu pengetahuan kepada subjek didik.
Dari perspektif ilmu pengetahuan kata al-asma dapat pula dipahami sebagai konsep-
konsep dasar yang diperlukan untuk menyusun teori-teori dan membangun ilmu
pengetahuan. Dalam dunia pendidikan barat diinformasikan bahwa tujuan proses
pembelajaran, baik untuk ranah kognitif, efektif, maupun psikomotorik, dapat dimulai
dari tingkat terendah hingga ke tingkat lebih tinggi.30 Pada tahap awal proses
pembelajaran kepada Adam (manusia), ternyata Allah SWT memulainya dengan tujuan
30 Baca Buku: Taksonomi Bloom, Baca juga: Muzaiyyin Arifin, F
i l s a f a t P e n d i d i k a n I s l a m ,
cet.2, (Jakarta:
Bumi Aksara, 2005),hal. 65
proses pembelajaran yang paling rendah. Dalam ranah kognitif (cognitive domain),
keluaran yang paling rendah dari proses pembelajaran adalah knowledge,sebelum
meningkat ke yang lebih tinggi, yaitu comprehension application, analysis, synthesis, dan
evaluation. Secara sederhana knowledge atau pengetahuan dapat didefinisikan sebagai
kemampuan untuk mengingat materi yang telah diajarkan sebelumnya. Hal ini meliputi
penyebutan kembali (recall) berbagai materi, dari fakta spesifik hingga ke teori yang
lebih lengkap. Itulah sebabnya Allah SWT mengefaluasi hasil proses pembelajaran
tingkat pertama tersebut dengan cara meminta Adam untuk menyebutkan kembali (me-
recall) nama-nama yang diajarkan kepadanya, disaat Allah SWT memintanya untuk
memberitahukan kepada malaikat nama-nama tersebut.
Disini ada beberapa pemahaman yang perlu diamati, diantaranya adalah potensi
manusia untuk mengembangkan pengetahuan jauh berada diatas malaikat. Potensi ilmu
pengetahuan, sebagaimana halnya dengan dalam diri setiap manusia (built in) atau
sesuatu yang bersifat fitthriyah berkaitan dengan fasilitas-fasilitas yang telah disediakan
pada diri manusia, seperti akal dan 5 panca indera31. Jika kemampuan malaikat hanya
sebatas mengetahui apa yang telah diajarkan Allah SWT kepadanya sebagaimana yang
diakuinya, maka Adam (dan seluruh manusia) memiliki kemampuan untuk
mengembangkan ilmu pengetahuan yang telah dimilikinya dan menemukan ilmu
pengetahuan baru. Pada malaikat, seperti yang diakuinya sendiri, tidak terdapat potensi
untuk menemukan dan mengembangkan ilmu pengetahuan sebagaimana yang dimiliki
oleh manusia. Itulah sebabnya mengapa Adam tidak diperintahkan untuk Mengajarkan
konsep-konsep yang telah dikuasainya kepad malaikat tetapi cukup sekedar
memberitahukannya (transfer of information). Karena memang malaikat tidak
dianugerahi potensi yang sama seperti manusia untuk melakukan proses pembelajaran
yang melibatkan nalar disamping pengalaman empiriknya sebagaimana yang diakui oleh
malaikat sendiri. Proses pembelajarannya adalah menggali, menemukan, dan menyusun
kembali pengetahuan, bukan sekedar pemindahan informasi dari satu kepala ke kepala
lainnya. Salah satu metode yang dilakukan untuk mengeksplorasi ilmu pengetahuan,
31 Panca indera yang dimaksud dalam pembahasan ini adalah pendengaran, penglihatan, lisan,
penciuman, dan peraba.
dengan landasan berfikir yang logis dan terstruktur (critical thinking), adalah Socratic
Questioning. Teori ini mengakui adanya potensi untuk menemukan sekaligus
mengembangkan ilmu pengetahuan pada manusia. Dalam konteks yang lebih luas,
dikenal pula aliran konstruktivisme32 Dalam proses pembelajaran (contructivism).
Hal menarik lainnya adalah tentang proses pembelajaran yang terjadi, baik pada
para malaikat atau pada diri Adam. Di dalam teori pendidikan proses pembelajaran dapat
dibagi menjadi beberapa tahap atau fase, dimulai dari fase motivasi hingga umpan balik.
Motivasi dalam proses pembelajaran amatlah penting. Adam, sebagai khalifah dimuka
bumi memiliki tugas pokok tertentu, yaitu mewujudkan rencana Allah dimuka bumi dan
untuk dapat melaksanakannya, manusia memerlukan ilmu pengetahuan. Dengan
demikian, terdapat alasan dan motivasi yang kuat pada diri adam dan manusia seluruhnya
untuk mengmbangkan ilmu pengetahuan. Hal yang sama tidak terjadi dengan malaikat.
tugas pokok malaikat tidak memerlukan ilmu pengetahuannya, sehingga Allah SWT tidak
perlu mengajarkan ilmu pengetahuan, tetapi hanya memberitahukannya melalui Adam.
Wallahualam.
Dalam dunia pendidikan tinggi, telah berkembang pendekatan baru dalam proses
pembelajaran yang berpusat pada manusia, yaitu student-centered learning. Pendekatan
yang pertama adalah problem based learning (PBL), yaitu proses pembelajaran yang
berpusat pada mahasiswa sebagai subyek proses pembelajaran dengan menggunakan
stimulus atau pemicu berupa masalah-maslah. PBL sebenarnya bukanlah konsep yang
sama sekali baru bagi kita. Proses pembelajaran ini telah lama dikembangkan dunia barat,
bahkan dalam islam pun selalu menggunakan model pembelajaran ini. Dalam proses
penyampaian informasi dalam dialog Adam ada yang menarik untuk dijadikan pedoman
bagi dunia pendidikan hari ini. Sesuatu yang menarik tersebut adalah, Alla SWT memulai
dialog-Nya dengan sebuah pernyataan pemicu, bahwa allah SWT akan menjadikan
seorang khalifah dimuka bumi dari pernyataan itulah muncul pertanyaan kritis dari para
malaikat, berdasarkan pengetahuan yang telah mereka miliki sebelumnya, untuk
kemudian memperoleh jawabannya sendiri, melalui pengalamannya sendiri berupa
ketidak mampuan mereka untuk menyebutkan nama-nama benda serta hasil pengalaman
32 Baca: Zuhairini, Filsafat Pendidikan, hal. 29.
inderawi mereka bahwa Adam dapat memberitahukan nama-nama tersebut seluruhnya
seperti yang diperintahkan oleh Allah SWT. Adam dan seluruh manusia dihadapkan pada
berbagai masalah nyata (real life problem) dalam kaitan dengan tugasnya sebagai hamba
Allah dan khalifah Allah dimuka bumi. Manusia terus belajar, mengembangkan potensi
pengetahuan yang dimilikinya berdasarkan masalah-masalah pemicu tersebut. Belajar
dalam hal ini menjadi sangat dianjurkan jika sesuai dengan tugas manusia atau bahkan
dapat menjadi kewajiban individu dan kolektif jika diperlukan sebagai prasyarat penting
untuk dapat melaksanakan kewajiban, baik sebagai hamba (Abdullah) maupun khalifah
Allah dimuka bumi (khalifatullah fil ardhi). Sebaliknya belajar menjadi kurang
bermanfaat atau sia-sia jika tidak berkaitan dengan tugas manusia atau bahkan menjadi
terlarang jika mendatangkan mudharat atau bersifat kontra produktif . manusia dalam hal
ini dituntut untuk dapat menentukan sendiri kebutuhan belajarnya dan mempelajari
sendiri apa yang diperlukannya berdasarkan hasil indentifikasi tersebut. Sebagai hamba
misalnya, manusia diperintahkan untuk mendirikan shalat sebagai salah satu bentuk
pengabdiannya secara khusus kepada Allah SWT. Untuk mendirikan shalat dengan baik
diperlukan ilmu pengetahuan, baik yang berhubungan langsung maupun tidak langsung,
baik pokok, maupun cabangnya. Seseorang misalnya harus tahu ilmu tentang syarat sah,
wajib, dan rukun shalat sebelum mendirikan shalat. Salah satu syarat misalnya, suci dari
hadast kecil dan besar. Untuk bersuci dibutuhkan air bersih yang suci mensucikan.
Untuk menyediakannya diperlukan ilmu. Selain itu shalat harus dilakukan pada
waktunya. Untuk itu diperlukan ilmu pengetahuan tentang waktu, peredaran bumi dan
matahari yang melahirkan ilmu falak dan hisab, ilmu bumi dan matematika. Sebagai
khalifah, lebih banyak, beragam, dan spesifik ilmu pengetahuan yang harus dikuasai dan
dikembangkan untuk mengatasi berbagai macam permasalahan global.
Demikianlah diantara berbagai permasalahan global yang harus dipecahkan oleh
manusia sebagai khalifah Allah SWT dimuka bumi. Permasalahan-permasalahan global
umat manusia tidak mungkin lagi diselesaikan secara individualistik. Itulah sebabnya
diperlukan usaha kolektif untuk mengatasi permasalahan. Prinsip-prinsip pembelajaran
bersama (collaborative learning) dalam hal ini dapat menjadi sebuah solusi produktif
untuk mengatasi permasalahan bersama yang semakin kompleks dan bersifat lintas, antar,
dan multi disiplin. Semua usaha akan semakin terarah jika dilakukan di dalam kerangka
acuan dasar yang telah diajarkan oleh Allah SWT melalui Rasul-Nya yaitu al-Quran dan
as-Sunnah. Demikianlah Islam sejak lama telah mengajarkan prinsip-prinsip selfdirected
learning yang berlangsung sepanjang hayat (from cradle to gravel) dengan pendekatan
pembelajaran berdasarkan masalah (problem based learning) dan kolaborasi
(collaborative learning). Baru dipertengahan abad ke-20 pendidikan kedokteran modern
di dunia barat mulai menerapkan (kembali) pendekatan pembelajaran berdasarkan
masalah tersebut, suatu perubahan yang (disangka) revolusioner saat itu.
Jelaslah bahwa Allah telah mempersiapkan Adam (manusia) sebagai khalifah
dengan membrikan potensi ilmu pengetahuan yang dapat digali, ditemukan, disusun dan
dikembangkan secara mandiri sesuai dengan tugas pokoknya sebagai hamba-Nya dimuka
bumi. Hal selanjutnya dilakukan oleh Allah SWT untuk mempersiapkan Adam sebagai
khalifah-Nya adalah dengan memberinya pengalaman nyata disurga sebelum diterjunkan
ke bumi (experiental learning). Menurut sebagian ulama, ada dua pengalaman penting
yang dialami oleh Adam surga, yaitu pengalaman baik dan pengalaman buruk.
Pengalaman baik adalah berada di surga yang semuanya serba lengkap dan sempurna
sebagaimana digambarkan didalam beberapa ayat al-Quran kebutuhan manusia telah
tersedia disurga mulai dari yang paling dasar (jasmani) hingga yang paling tinggi berupa
kepuasan yang bersifat nurani. Pengalaman nyata tersebut memberikan pelajaran kepada
Adam bahwa, sebagai khalifah dimuka bumi, ia harus berusaha keras untuk mewujudkan
kembali pengalaman empirisnya tersebut. Pengalaman terburuk adalah pada saat Adam
terpedaya oleh syaitan, hingga adam harus kehilangan segala nikmat surga dan dijauhi
oleh Allah SWT. Pengalaman ini tentunya menjadi pelajaran berharga bagi Adam dan
seluruh umat manusia untuk berhati-hati terhadap syaitan. Perbuatannya akan selalu
memusuhi manusia dan terus berusaha memperdayakannya di mana dan kapan saja.
Pengalaman adalah guru paling berharga, demikian pepatah lama yang sering
diperdengarkan kepada kita. Namun, pengalaman nyata (concrete experience) pada
dasarnya menjadi kurang berharga jika tidak desertai refleksi. Dalam bahasa agama, hasil
dari reflective observation sering disebut sebagai hikmah dari sebuah peristiwa.
Refleksi akan membuat setiap episode di dalam perjalanan hidup umat manusia menjadi
sebuah pengalaman bermakna atau pelajaran berharga. Di dalam sebuah proses
pembelajaran, refleksi adalah satu mata rantai penting dari sebuah siklus pembelajaran.
Menurut ilmu pendidikan, peristiwa yang terlibat langsung di dalam suatu proses
(concrete experience) dan melakukan refleksi secara sungguh-sungguh terhadap apa yang
telah dialami (reflection atau reflective observation) merupakan dua sisi yang paling
mendasar dari proses pembelajaran dengan pengalaman (experiential learning) yang
sama pentingnya. Produktifitas sebuah proses pelajaran sangat tergantung pada seberapa
banyak lessons learned yang diperoleh melalui refleksi. Secara umum bahkan dapat
dikatakan bahwa kemampuan melakukan refleksi adalah jati diri penting dari sebuah
entitas pembelajaran, baik individu (learning entity), organisasi (learning organization),
maupun masyarakat (learning society). Di dalam al-Quran dijelaskan bahwa hanya
orang-orang berakal (men of understanding atau ulil alhab) yang dapat mengambil
pelajaran. Allah menganugerahkan al-hikmah (kefahaman yang dalam tentang Al-Quran
dan As Sunnah) kepada siapa yang Ia kehendaki. Siapa saja yang dianugerahi al-hikmah
itu, tentu ia benar-benar telah dianugerahi karunia yang banyak. Hanya orang-orang
berakallah yang dapat mengambil pelajaran (dari firman Allah) (QS. 2:269). Al-hikmah
selain ditafsirkan sebagai kefahaman yang mendalam tentang al-Quran dan Sunnah, juga
dapat dipahami lebih luas, sebagai pengetahuan yang jelas dan pemahaman yang
mendalam, sesuatu yang dicerahkan, memotivasikan, dan member inspirasi ke jalan yang
baik dan benar serta kemampuan untuk berfikir, bersikap, berkata dan bertindak di jalan
tersebut. Hikmah dalam hal ini memadukan aspek teoritis dan praksis meliputi ranah
kognitif, afektif, dan psikomotorik. Perintah untuk melakukan refleksi sebenarnya telah
tersurat secara jelas di dalam salah satu surat yang sering kit abaca. Di dalam surat al-
Hasyr (59):18. Allah SWT berfirman: Hai orang-orang yang beriman, bertaqwalah
kepada Allah dan hendaklah setiap diri memperhatikan apa yang telah diperbuatnya
untuk hari esok (akhirat), dan katakanlah kepada Allah, sesungguhnya Allah Maha
Mengetahui apa yang kamu kerjakan. Di dalam ayat ini bahkan tersirat serangkaian
siklus yang lengkap dari sebuah proses pembelajaran berdasarkan pengalaman
(experiential learning), yaitu pengalaman nyata (concrete experience), refleksi (reflective
observation) , konsepsi abstrak (abstrack conceptualization), dan percobaan aktif (Active
experimentation) . Siklus ini saat ini lebih banyak diasosiasikan dengan D.A. Kolb
sebagai Kolbs EL Cycle. Bentuk experiential learning yang paling dasar yaitu Learning
by Doing lebih banyak dikaitkan dengan filosofi belajar kuno Confusius di Cina Yaitu I
hear and I forget, I see,and I remember, I do and I understand. Sangat berat manah
yang kita emban sebagai khalifah Allah dimuka Bumi. Tetapi Allah SWT telah
mempersiapkan segalanya untuk manusia, termasuk potensi ilmu pengetahuan dan
kemampuan untuk terus menerus menggali, menemukan, menyusun, dan
mengembangkannya. Semoga manusia dapat memanfaatkan potensi tersebut dan tidak
menyia-nyiakannya. Berusaha menjadi entitas pembelajar yang produktif sepanjang
hayat, mulai dari buaian hingga keliang lahat. Dengan pemahaman bahwa belajar adalah
bagian yang tidak terpisahkan dari misi hidup manusia di bumi sebagai hamba dan
khalifah Allah SWT.
D. Jenis-jenis Metode Pembelajaran Qurani dalam Pengembangan Pendidikan
Subjek Didik
Guru yang baik adalah guru yang berpengalaman, pribahasa mengatakan
Pengalaman adalah guru yang paling baik. Pengalaman adalah faktor yang paling
dominan dalam menentukan keberhasilan subjek didik, umpamanya guru peka terhadap
masalah, memecahkan masalah, memilih metode yang tepat, memutuskan tujuan
instruksional, memotivasi siswa, mengelola siswa, mendapat umpan balik dalam proses
belajar mengajar.33
Metode34 pembelajaran memiliki peran yang strategis dalam mencapai tujuan
pendidikan. Tanpa adanya metode yang tepat, maka proses pencapaian tujuan pendidikan
akan terhambat, bahkan tidak berhasil sama sekali. Fenomena ini menjadi sangatlah
penting dipahami oleh setiap pendidik atau guru untuk menguasai banyak metode dalam
melaksanakan tugas mendidik. Namun sebagai pendidik atau guru agama, menjadi
33 Dirjen Pendidikan Nasional,
S t r a t e g i P e m b e l a j a r a n d a n P e m i l i h a n n y a ,
(Jakarta: t, 2008). Hal 49) 34 Metode biasanya sering diartikan sebagai cara, atau jalan untuk sampainya sesuatu kepada yang
diinginkan. Kadang-kadang metode sering juga disebut teknik penyampaian.
penting juga untuk mengkaji, menemukan, dan menggunakan metode-metode yang
bersumber dari Al-Quran.35
Al-Quran sebagai sumber utama ajaran Islam, yang wajib dipahami oleh setiap
muslim, telah menampilkan banyak metode dan cara yang sangat menarik dalam
penyampaian informasi-informasi kepada yang berhak menerimanya. Metode ini
digunakan Al-Quran untuk memudahkan bagi manusia dalam mempelajari dan
memahami informasi yang disampaikannya. Bagi seorang pendidik atau guru Agama
Islam, juga dapat menggunakan beberapa metode seperti ini, untuk memudahkan subjek
didik menguasai materi pelajaran yang disampaikan gurunya. Ini menjadi penting
dilaksanakan untuk menambah wawasan pendidik atau guru khususnya tentang metode
penyampaian pendidikan agama Islam disekolah-sekolah. Karena itu, secara sederhana,
metode dapat diartikan sebagai cara untuk menyampaikan suatu nilai tertentu dari si
pembawa pesan (guru) kepada si penerima pesan (siswa). Metode diartikan sebagai
tindakan-tindakan pendidik dalam lingkup peristiwa pendidikan untuk mempengaruhi
siswa kea rah pencapaian hasil belajar yang maksimal sebagaimana terangkum dalam
tujuan pendidikan pada umumnya. Metode juga dapat disebut sebagai alat yang
digunakan untuk menciptakan proses pendidikan yang lebih baik , membutuhkan
kegiatan yang bersifat edukatif, dan meningkatkan mutu pendidikan.
Sedangkan metode pendidikan Qurani adalah suatu cara atau tindakan-tindakan
dalam lingkup peristiwa pendidikan yang terkandung dalam al-Quran. Beberapa metode
yang dapat digali dari Al-Quran antara lain adalah metode Qashashyi, metode amtsaliy,
metode isbrah mauzhiah, metode taghlib-tarhib, metode hiwairy dan metode ustwatun
hasanah. Adapun metode-metode pendidikan Quraniy dapat penulis kemukakan sebagai
berikut:
1. Metode Qashshiy (Cerita)
Jika diperhatikan secara lebih komprehensive, maka isi Al-Quran pada umumnya
banyak memuat kisah-kisah tentang orang-orang dahulu. Dalam beberapa ayat
35 Baca: Zuhairini, Filsafat Pendidikan., hal 95
diinformasikan bahwa Rasulullah tidak hidup pada zaman sebelumnya tetapi al-Quran
mengisahkan semua peristiwa kepada Nabi Muhammad untuk dijadikan tauladan bagi
umatnya.
Demikianlah kami kisahkan kepadamu (Muhammad) sebagian kisah umat yang
telah lalu, dan sesungguhnya telah kami berikan kepadamu dari sisi Kami suatu
peringatan (Al-Quran) (QS. Thaha: 99.) Melalui cerita, Rasulullah dapat mengetahui
tentang kisah-kisah Nabi dan umat sebelumnya. Demikian pula melalui cerita, kita dapat
mengetahui kisah-kisah para nabi dan orang dahulu yang diinformasikan oleh Al-Quran.
Dalam pendidikan islam, terutama pendidikan agama islam (sebagai suatu bidang
study), kisah sebagai metode pendidikan amat penting diterapkan untuk memberi
pengalaman dan peringatan bagi orang-orang yang hidup sebelumnya. Dikatakan amat
penting, alasannya antara lain sebagai berikut:
1. Kisah Qurani selalu memikat, karena mengundang pembaca atau pendengar
untuk mengikuti peristiwanya, merenungkan maknanya. Selanjutnya, makna-
makna itu akan menimbulkan kesan dalam hati pembaca atau pendengar tersebut.
2. Kisah Qurani dapat menyentuh hati manusia. Karena kisah itu menampilkan
tokoh dalam konteksnya yang menyeluruh. Tokoh cerita ditampilkan dalam
konteks yang menyeluruh, pembaca atau pendengar dapat ikut menghayati atau
merasakan isi kisah itu, seolah-olah ia sendiri yang menjadi tokohnya.
3. Kisah Qurani dapat memberikan pesan yang mendalam untuk mendidik perasaan
keimanan dengan cara; membangkitkan berbagai perasaan seperti khauf, rida,
cinta, mengarahkan seluruh perasaan sehingga bertumpuk pada suatu puncak,
yaitu kesimpulan kisah, dan melibatkan pembaca atau pendengar ke dalam kisah
itu sehingga ia terlibat secara emosional
2. Metode Amtsaliy (Perumpamaan)
Banyak sekali ayat-ayat Al-Quran dalam penyampaian pesan menggunakan
perumpamaan-perumpamaan. Adakala Tuhan mengajari umat manusia dengan membuat
perumpamaan, misalnya dalam surat Al-Baqarah ayat 17: Perumpamaan orang-orang
kafir itu adalah seperti orang yang menyalakan api. Dalam surat al-Ankabut ayat 41 :
Allah mengumpamakan sesembahan atau tuhan orang kafir dengan sarang laba-laba:
perumpamaaan orang yang berlindung kepada selain Allah adalah seperti laba-laba yang
membuat rumah; padahal rumah yang paling lemah adalah rumah laba-laba. Cara seperti
itu dapat juga digunakan oleh guru dalam mengajar. Pengungkapannya tentu saja sama
dengan metode kisah. Yaitu dengan menceramah atau membaca teks, Kelebihan metode
ini antara lain adalah sebagai berikut:
1. Mempermudah siswa memahami konsep abstrak: ini terjadi karena perumpamaan
itu mengambil benda kongkret seperti tuhan orang kafir diumpamakan dengan
sarang laba-laba. Sarang laba-laba memang lemah sekali, disentuh dengan lidipun
dapat rusak. Dalam hadist yang diriwayatkan oleh muslim, Nabi
mengumpamakan harga dunia ini dengan anak kambing yang bertelinga kecil
yang sudah mati: dari Jabir diriwayatkan bahwa Rasulullah SAW sedang lewat di
sebuah pasar. Ada seekor anak kambing bertelinga kecil yang sudah mati, lalu
diangkatnya anak kambing itu seraya Rasul berkata.Siapa diantara kalian yang
ingin memiliki anak kambing seperti ini dengan membayar Satu dirham? Orang-
orang manjawab.kami tidak sudi membeli anak kembing itu dengan membayar
bayaran sejumlah itu. Apa manfaat bagi kami? dia bertanya lagi, atau
barangkali kalian ingin memilikinya secara gratis? mereka menjawab,demi
Allah. Seklipun anak kambing itu masih hidup, kami tak ingin memilikinya
karena cacat pada telinganya, apalagi sudah mati. Maka Rasulullah SAW
bersabda,Demi Allah, sesungguhnya bagi Allah dunia ini lebih hina dari pada
anak kambing ini bagi kalian.
2. Perumpamaan dapat merangsang kesan terhadap makna yang tersirat dalam
perumpamaan tersebut. Dalam hal ini Abduh menyatakan, tatkala menafsirkan
kata dlarb dalam surat al-Baqarah: 26.Penggunaan kata dlarb dimaksudkan
untuk mempengaruhi dan membangkitkan kesan, seakan si pembuat
perumpamaan menjewer telinga pembaca dengannya sehingga pengaruh jeweran
itu meresap ke dalam qalbu.
3. Pembelajaran yang disampaikan dengan perumpamaan harus logis, agar siswa
mudah memahami, jangan sampai dengan menggunakan perumpamaan kemudian
pengertiannya menjadi kabur atau hilang sama sekali. Perumpamaan harus
memperjelas konsep, bukan sebaliknya. Keistimewaaan perumpamaan dalam al-
Quran ialah natijah (konklusi) silogismennya justru tidak disebutkan. Ini hebat
karena begitu jelas konklusinya sampai-sampai tidak disebutkanpun konklusi itu
dapat ditangkap pengertiannya. Biasanya silogisme selalu menyebutkan konklusi.
Konklusi silogisme dari Allah (perumpamaan itu) kebanyakan harus ditebak
sendiri oleh pendengar atau pembaca; Allah tahu manusia dapat menebaknya.
4. Amtsal Qurani dan Nabawi memberikan motivasi36 kepada pendengarnya untuk
membuat amal baik dan menjauhi kejahatan. Jelas hal ini amat penting dalam
pendidikan islam.
3. Metode Ibrah dan Mauizhah (nasehat)
Ibrah ialah suatu kondisi psikis yang menyampaikan manusia kepada intisari
sesuatu yang disaksikan, yang dihadapi, dengan menggunakan nalar, yang menyebabkan
hati mengakuinya. Adapun mauidzah ialah nasihat yang lembut yang diteima oleh hati
dengan caramenjelaskan pahala atau ancamannya. Penggunaan Ibrah dalam al-Quran
dan sunnah ternyata berbeda-beda sesuai dengan objek Ibrah itu sendiri. Pengambilan
Ibrah dari kisah hanya akan dapat dicapai oleh orang yang berfikir dengan akal dan
hatinya seperti firman Allah dalam S.Yusuf: 111: sesungguhnya pada kisah-kisah mereka
itu terdapat pengajaran yang bagi orang-orang yang mempunyai akal. Al-Quran itu
bukanlah cerita yang dibuat-buat, akan tetapi membenarkan (kitab-kitab) yang
sebelumnya dan menjelaskan segala sesuatu, dan sebagai petunjuk dan rahmat bagi kaum
yang beriman. (12:111)
Esensi Ibrah dalam kisah ini ialah bahwa Allah berkuasa menyelamatkan Yusuf
setelah dilemparkan kedalam sumur yang gelap, meninggikan kedudukannya setelah
36 Baca: tahar Yusuf, dkk. Metodologi Pengajaran Agama dan Bahasa Arab, cet. I (Jakarta: Raja
Grafindo Persada, 1995).hal. 97-98.
dijebloskannya kedalam penjara dengan cara menjadikannya raja Mesir setelah dijual
sebagai hamba (budak). Kisah ini menjelaskan kekuasaan Tuhan. Allah menyatakan
bahwa Ibrah (pelajaran) dari kisah ini hanya dapat dipahami oleh orang yang disebut
Ulil al-Bab, yaitu orang yang berfikir dan berzikir. Pendidikan islam memberikan
perhatian khusus kepada metode ibrah agar pelajar dapat mengambilnya dari kisah-kisah
dalam al-Quran, sebab kisah-kisah itu bukan sekedar sejarah, melainkan sengaja
diceritakan Tuhan karena ada pelajaran (ibrah) yang penting didalamnya pendidik dalam
pendidikan islam harus memanfaatkan metode ini. Mauizah berarti tadzkir (peringatan).
Yang memberi nasihat hendaknya berulang kali mengingatkan agar nasihat itu
meninggalkan kesan sehingga orang yang dinasihati tergerak untuk mengikuti nasihat itu.
Konsep pembelajaran dengan metodeibrah ini sangat bertentangan dengan
metode pembelajaran yang dikembangkan oleh Sigmound Freud dan John Locke (1632-
1704), George Breackly (1685-1753), David Hume (1711-1776), David Hartley (1705-
1757), James Mill (1773-1836), William Stern (1871-1938), Plato, Descartes dan
Lombroso, termasuk tokoh-tokoh pendidikan modern seperti: Fouloe Frite. Pada
umumnya menurut mereka, dalam pembelajaran tidak perlu memberikan ibrah dan
nasehat kepada anak didik. Tapi yang dibutuhkan oleh anak didik adalah kebebasan
dalam belajar.
4. Metode Targhib-Tarhib (Reward and Finishment)
Targhib adalah janji terhadap kesenangan, kenikmatan akhiratyang disertai
bujukan. Tarhib adalah ancaman karena dosa yang dilakukan. Keduanya bertujuan agar
menjadikan manusia patuh kepada aturan Allah . Akan tetapi, tekanannya adalah targhib
untuk melakukan kebaikan, sedangkan tarhib untuk menjaugi kejahatan. Metode ini
didasarkan atas fitrah manusia, yaitu sifat keinginan kepada kesenangan, keselamatan,
dan tidak menginginkan kepedihan, kesengsaraan. Banyak sekali ayat yang al-Quran
yang berkenaan dengan ancaman dan ganjaran. Ancaman diperuntukkan bagi orang yang
durhaka dan ganjaran diperuntukkan bagi orang yang taqwa.Perumpamaan surga
dijadikan kepada orang-orang yang taqwa ialah (seperti taman); mengalir sungai-sungai
di dalamnya; buahnya tak henti-henti sedang naungannya (demikian pula). Itulah tempat
kesudahan bagi orang-orang yang bertaqwa, sedang tempat kesudahan bagi orang-
orang kajir ialah neraka (QS. Ar-Radhi: 35).
5. Metode Hiwar (dialog)
Hiwar adalah percakapan silih berganti antara dua pihak atau lebih mengenai
suatu topik, dan sengaja diarahkan kepada satu tujuan yang dikehendaki oleh guru.
Dalam al-Quran berbagai jenis hiwar, seperti:
1. Hiwar Khitabi atau Taabudi
Hiwar model ini merupakan dialog yang diambil dari dialog antara Tuhan dan
Hamba-Nya. Tuhan mengambil hamba-Nya dengan mengatakan,wahai, orang-orang
yang beriman , dan hamba-Nya menjawab dalam qalbunya dengan mengatakan,
kusambut panggilan-Mu, ya Allah. Dialog antara Tuhan dengan hamba-Nya ini menjadi
petunjuk bahwa pengajaran seperti itu dapat digunakan; dengan kata lain, metode dialog
merupakan metode pengajaran yang pernah digunakan Tuhan dalam mengajari hamba-
Nya. Logikanya, kita pun dapat digunakan dialog dalam pengajaran.
2. Hiwar Washfi
Adapun hiwar washfi ialah dialog antara Tuhan dengan Malaikat atau dengan
makhluk gaib lainnya. Dalam surat al-Shaffat ayat 20-23 ada dialog antaraTuhan dengan
penghuni neraka: Dan mereka berkata: Aduhai celakalah kita! Inilah hari pembalasan.
(37:19) Inilah hari keputusan yang kamu selalu mendustakannya. (37:20) (kepada
malaikat diperintahkan): Kumpulkanlah orang-orang yang zalim beserta teman sejawat
mereka dan sembahan-sembahan yang selalu mereka sembah, (37:22). Disini Allah
berdialog dengan malaikat. Topik pembicaraannya tentang orang-orang dzalim. Dalam
surat al-Shaffat ayat 27-28: Sebahagian darimereka menghadap kepada sebahagian
yang lain berbantah-bantahan. (37:27). Pengikut-pengikut mereka bekata (kepada
pemimpin-pemimpin mereka): Sesungguhnya kamulah yang datang kepada kami dari
kanan.(37:28). Hiwar washfi menyajikan kepada kita gambaran yang hidup tentang
kondisi psikis ahli neraka dan ahli surga. Dengan imajinasi dan deskripsi yang rinci,
hiwar washfi memperlancar berlangsungnya pendidikan perasaan ketuhanan. Gambaran
tentang penyesalan ahli neraka itu seolah-olah dirasakan oleh pembaca atau pendengar
dialog itu: pendengar itu seolah terlibat dalam dialog itu, lantas ada pemihakan.
Kemudian ada pertanyaan, dipihak mana aku? hiwar washfi seolah-olah juga
mengingatkan pendengar dialog itu. jangan kalian terjerumus seperti mereka itu.
Dialog juga terjadi antara ahli surga, seperti dialog yang terdapat dalam surat al-
Shaffat ayat 50-57.
3. Hiwar qishasi
Hiwar qishasi tedapat dalam al-quran, baik bentuk atau rangkaian ceritanya yang
jelas, merupakan bagian dari uslub kisah dalam al-quran. Kalaupun disana terdapat kisah
yang keseluruhannya merupakan dialog lagsung, yang sekarang disebut sandiwara, hiwar
ini tidak dimaksudkan sebagai sandiwara. Sebagai contoh ialah kisah syuaib dan
kaumnya dalam surat Hud. Sepuluh ayat pertama dari surat ini merupakan hiwar (dialog),
kemudian Allah mengakhiri kisah dengan dua ayat yang menerangkan akibat yang
diterima oleh kaum nabi syuaib. Hiwar seperti ini banyak terdapat dalam al-Quran.
Hiwar ini dapat mempunyai pengaruh kejiwaan pada pendengarannya. Dengan hiwar ini
para pelajar yang diajak berdialog diharapkan memihak kepada pihak yang benar dan
membenci pihak yang salah.
4. Hiwar jadali
Hiwar jadali bertujuan untuk mmemantapkan hujjah (alasan). Contohnya antara
lain dalam surat al-Najm ayat 1-5: Demi bintang ketika terbenam, kawan kalian
(Muhammad) tidak sesat dan tidak pula keliru, dan tidaklah diucapkannya itu menurut
kemauan hawa nafsunya. Ucapannya itu adalah wahyu yang diberikan kepadanya yang
diajarkan oleh jibril yang perkasa. Dalam setiap hiwar jalam dialog harus disusun sesuai
dengan tujuan yang hendak dicapai. Tujuan-tujuan itu tidak selalu langsungkepada
pembinaan rasa, didikan rasa yang membentuk sikap dan tingkah laku yang sesuai
dengan sikap itu.
E. Realitas Pesan Uswatun dalam Tatanan Metodologi Pendidikan
Seorang guru yang baik wajib memiliki tiga kompetensi penting dalam
kehidupannya, baik kompetensi professional, personaliti dan sosial. Ketiga kompetensi
ini selalu berjalan seiring dalam kehidupan guru. Guru yang ideal adalah guru yang
pandai dalam memasang strategi pembelajaran. Strategi yang dimaksud disini bukan
hanya terfokus pada model pembelajaran akan tetapi juga termasuk porformentnya
dalam berakting. Artinya seorang pendidik juga paham akan moraliti sebagai langkah
awal pendekatan dengan siswanya. Strategi adalah usaha untuk memperoleh kesuksesan
dan keberhasilan dalam mencapai tujuan. Dalam dunia pendidikan strategi dapat diartikan
sebagai a plan, method, or series of activities designed to achieves a particular
educational goal.37Strategi pembelajaran dapat ditentukan juga sebagai perencanaan
yang berisi tentang rangkaian kegiatan yang didesain untuk mencapai tujuan pendidikan
tertentu. Strategi pembelajaran merupakan rencana tindakan termasuk penggunaan
metode dan pemanfaatan berbagai sumber daya atau kekuatan dalam pembelajaran yang
disusun dengan baik untuk mencapai tujuan tertentu. Strategi pembelajaran adalah suatu
kegiatan pembelajaran yang harus dikerjakan guru dan siswa agar tujuan pembelajaran
dapat dicapai secara efektif dan efesien. Strategi pembelajaran adalah suatu setting materi
dan prosedur pembelajaran yang digunakan secara bersama-sama untuk menimbulkan
hasil belajar pada siswa. Paling tidak ada 3 jenis strategi yang berkaitan dengan
pembelajaran, yakni: (a) Strategi Pengorganisasian pembelajaran, (b) strategi
penyampaian pembelajaran, dan (c) Strategi pengelolaan pembelajaran.
Di dalam al-Quran banyak sekali ditemukan pemaknaan dan analisa yang
mengacu pada penggunaan strategi dalam menyampaikan informasi penting kepada nabi,
rasul, dan orang-orang ternama lainnya, seperti dialog Lukmanul Hakin dengan anaknya,
dialog Ibrahin dengan putranya, Maryam dengan Isa, Musa dengan Khadir, Allah dengan
para malaikat, Musa dengan Firun, Malaikat Jibril dengan Nabi Muhammad ketika di
Gua Hira dan lain-lain.
Kita ambil saja salah satu contoh yang mengandung penggunaan strategi pada
percakapan Ibrahim dan anaknya. Ada satu fenomena menarik tentang implementasi
37 Joyce Bruce. Et al, M
o d e l s o f
T
e a c h i n g ,
(London: 6th. Ed. Allyn & Bacon, 2000), p. 121
pembelajaran yang bisa dipetik. Fenomena ini dimulai dengan dialog antara Ibrahim
dengan anaknya, Ismail tentang rencana penyembelihan anak semata wayang sebagai
suatu perintah Allah yang harus dijalaninya. Meskipun demikian proses persiapan
pembelajaran yang dibangun Ibrahim sangat penting. Ia mempersiapkan dengan matang
segala perbekalan keluarga sebagai objek pendidikannya dengan penuh kesabaran dan
rintangan yang menyertainya. Langkah awal yang dibangun Ibrahim adalah dengan doa.
Doa adalah kunci utama bagi kesuksesan pembelajaran. Doa yang pertama
dipersembahkan kepada Allah adalah tentang harapan fasilitasnya. Doa yang pertama
kali disampaikan adalah:Ya Tuhanku, anugerahkanlah kepadaku (seorang anak) yang
termasuk orang-orang saleh. Doa ini diabadikan Allah dalam surah Ash-Shafaat: ayat 37.
Permohonan Ibrahim dikabulkan oleh Allah SWT. Selanjutnya Ibrahim juga memohon
kembali lewat doanya dalam surah Ibrahim sendiri yang menyebutkan bahwa: Dan
(ingatlah), ketika Ibrahim berkata: Ya Tuhanku, jadikanlah negeri ini (Mekah), negeri
yang aman dan jauhkanlah aku beserta anak-anakku dari pada menyembah berhala-
berhala. Ya Tuhanku, sesungguhnya berhala-berhala itu telah menyesatkan kebanyakan
dari pada manusia, maka barang siapa yang mengikutiku, maka sesungguhnya orang itu
termasuk golonganku, dan barang siapa yang mendurhakai aku , maka sesungguhnya
Engkau, Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. Ya Tuhan kami, sesungguhnya aku
telah menempatkan sebahagian keturunanku di lembah yang tidak mempunyai tanaman-
tanaman di dekat rumah Engkau (Baitullah) yang dihormati, ya Tuhan kami,
sesungguhnya Engkau mengetahui apa yang kami sembunyikan dan apa yang kami
lahirkan; dan tidak ada sesuatupun yang tersembunyi bagi Allah, baik yang ada dibumi
maupun yang ada dilangit. Segala puji bagi Allah yang telah menganugerahkan
kepadaku di hari tua (ku) Ismail dan Ishaq. Sesungguhnya Tuhanku, benar-benar Maha
Mendengar (memperkenankan) doa. Ya Tuhanku, jadikanlah aku dan anak cucuku
orang-orang yang tetap mendirikan shalat, Ya