Upload
nurrahma-putrie-hapsari
View
215
Download
1
Embed Size (px)
DESCRIPTION
ggg
Citation preview
BAB I
PENDAHULUAN
Mati otak diartikan sebagai berhentinya semua fungsi otak secara total dan ireversibel
termasuk batang otak. Awalnya kematian didefenisikan oleh para dokter sebagai berhentinya
denyut jantung dan respirasi secara permanen (mati somatik). Perkembangan dalam resusitasi
telah menyebabkan defenisi kematian terpaksa ditinjau kembali. Perkembangan medis misalnya
ventilator, peralatan dialisis dan infus obat yang mendukung sirkulasi seringkali menopang
pasien yang sedang kritis untuk dapat bertahan hidup secara somatik walaupun secara fisiologis
sangat parah termasuk di dalamnya kematian otak itu sendiri.(1,2,3)
Di sisi lain, perkembangan bedah transplantasi dan kebutuhan akan organ hidup
mengharuskan adanya fokus perhatian akan etika dan legalitas persetujuan medis tentang kriteria
medis kematian otak. Dengan adanya kriteria kematian otak, seseorang dapat ditetapkan
meninggal secara sah atau legal, bahkan jika jantung masih terus berdenyut oleh bantuan alat
pendukung kehidupan. Adapun negara pertama di dunia yang mengadopsi istilah mati otak
sebagai defenisi mati yang sah adalah Finlandia pada tahun 1971. Di Amerika Serikat, Kansas
kemudian membuat hukum yang serupa.(2,4)
Permasalahan mendiagnosis kematian otak menjadi semakin penting akhir-akhir ini
karena semakin sulitnya menentukan pada pasien dengan kerusakan otak apakah kerusakan
tersebut memungkinkan untuk dapat bertahan hidup secara layak dengan bantuan alat pernapasan
dan dengan peralatan pendukung lainnya, dan yang kedua karena sulitnya menjawab pertanyaan
untuk menentukan kapan dapat disimpulkan bahwa lesi serebral tersebut ireversibel sehingga
kematian dapat dipastikan segera dan berbagai persiapan dapat dilakukan untuk memindahkan
organ-organ yang masih bermanfaat, khususnya ginjal untuk transplantasi pada pasien yang lain.(5)
1
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
II.1. Definisi Mati Batang Otak
Walaupun mudah dimengerti sebagai suatu konsep, namun mendefinisikan kematian otak
dalam kata-kata adalah sulit. Di kriteria Inggris, tidak ada definisi yang jelas. Pada panduan
Australian and New Zealand Intensive Care Society (ANZICS) yang dipublikasikan pada tahun
1993, kematian otak didefinisikan sebagai berikut: “Istilah kematian otak harus digunakan untuk
merujuk pada berhentinya semua fungsi otak secara ireversibel. Kematian otak terjadi saat terjadi
hilangnya kesadaran yang ireversibel, dan hilangnya respon refleks batang otak dan fungsi
pernapasan pusat secara ireversibel, atau berhentinya aliran darah intrakranial secara ireversibel”.
Menurut kriteria komite ad hoc Harvard tahun 1968, kematian otak didefinisikan oleh
beberapa hal. Yang pertama, adanya otak yang tidak berfungsi lagi secara permanen, yang
ditentukan dengan tidak adanya resepsi dan respon terhadap rangsang, tidak adanya pergerakan
napas, dan tidak adanya refleks-refleks, yakni respon pupil terhadap cahaya terang, pergerakan
okuler pada uji penggelengan kepala dan uji kalori, refleks berkedip, aktivitas postural (misalnya
deserebrasi), refleks menelan, menguap, dan bersuara, refleks kornea, refleks faring, refleks
tendon dalam, dan respon terhadap rangsang plantar. Yang kedua adalah data konfirmasi yakni
EEG yang iselektris. Kedua tes tersebut dilakukan ulang 24 jam setelah tes pertama, tanpa
adanya hipotermia (suhu kurang dari 32,2O C) atau depresan sistem saraf pusat seperti
barbiturat. Penentuan tersebut harus dilakukan oleh seorang dokter. (Mernoff, 2009)
Resusitasi mutakhir telah membawa perubahan-perubahan pada definisi k Conference of
Commissioners on Uniform State Laws, President’s Commission for the Study of Ethical
Problems in Medicine and Biomedical and Behavioral Research, seseorang dinyatakan mati otak
apabila mengalami (1) terhentinya fungsi sirkulasi dan respirasi secara ireversibel, dan (2),
terhentinya semua fungsi otak secara keseluruhan, termasuk batang otak, secara ireversibel.
(Mernoff,2009)
2
Terhentinya fungsi sirkulasi dan respirasi dinilai dari tidak adanya denyut jantung dan
usaha napas, serta pemeriksaan EKG dan uji apnea. Terhentinya fungsi otak dinilai dari adanya
keadaan koma serta hilangnya fungsi batang otak berupa absennya refleks-refleks.
Menurut panduan yang digunakan di Amerika, kematian otak didefinisikan sebagai hilangnya
semua fungsi otak secara ireversibel, termasuk batang otak. Tiga temuan penting dalam kematian
otak adalah koma, hilangnya refleks batang otak, dan apnea (New York State Department of
Health, 2005).
Mati klinis adalah henti nafas (tidak ada gerak nafas spontan) ditambah henti sirkulasi
(jantung) total dengan semua aktivitas otak terhenti, tetapi tidak ireversibel. Pada masa dini
kematian inilah, pemulaian resusitasi dapat diikuti dengan pemulihan semua fungsi sistem organ
vital termasuk fungsi otak normal, asalkan diberi terapi optimal.
Mati biologis (kematian semua organ) selalu mengikuti mati klinis bila tidak dilakukan
resusitasi jantung paru (RJP) atau bila upaya resusitasi dihentikan. Mati biologis merupakan
proses nekrotisasi semua jaringan, dimulai dengan neuron otak yang menjadi nekrotik setelah
kira-kira 1 jam tanpa sirkulasi, diikuti oleh jantung, ginjal, paru dan hati yang menjadi nekrotik
selama beberapa jam atau hari.
Pada kematian, seperti yang biasa terjadi pada penyakit akut atau kronik yang berat,
denyut jantung dan nadi berhenti pertama kali pada suatu saat, ketika tidak hanya jantung, tetapi
organisme secara keseluruhan begitu terpengaruh oleh penyakit tersebut sehingga tidak mungkin
untuk tetap hidup lebih lama lagi. Upaya resusitasi pada kematian normal seperti ini tidak
bertujuan dan tidak berarti.
Henti jantung (cardiac arrest) berarti penghentian tiba-tiba kerja pompa jantung pada
organisme yang utuh atau hampir utuh. Henti jantung yang terus berlangsung sesudah jantung
pertama kali berhenti mengakibatkan kematian dalam beberapa menit. Dengan perkataan lain,
hasil akhir henti jantung yang berlangsung lebih lama adalah mati mendadak (sudden death).
Diagnosis mati jantung (henti jantung ireversibel) ditegakkan bila telah ada asistol listrik
membandel (intractable, garis datar pada EKG) selama paling sedikit 30 menit, walaupun telah
dilakukan RJP dan terapi obat yang optimal.
3
Mati serebral (kematian korteks) adalah kerusakan ireversibel (nekrosis) serebrum,
terutama neokorteks. Mati otak (MO, kematian otak total) adalah mati serebral ditambah dengan
nekrosis sisa otak lainnya, termasuk serebelum, otak tengah dan batang otak.
Mati sosial (status vegetatif yang menetap, sindroma apalika) merupakan kerusakan otak
berat ireversibel pada pasien yang tetap tidak sadar dan tidak responsif, tetapi mempunyai
elektroensefalogram (EEG) aktif dan beberapa refleks yang utuh. Ini harus dibedakan dari mati
serebral yang EEGnya tenang dan dari mati otak, dengan tambahan ketiadaan semua refleks saraf
otak dan upaya nafas spontan. Pada keadaan vegetatif mungkin terdapat daur sadar-tidur.
II.2. Kapan seseorang dinyatakan mati
Bila fungsi jantung dan paru berhenti, kematian sistemik atau kematian sistem tubuh
lainnya terjadi dalam beberapa menit, dan otak merupakan organ besar pertama yang menderita
kehilangan fungsi yang ireversibel, karena alasan yang belum jelas. Organ-organ lain akan mati
kemudian.
Sesudah tahun 1960 an, dengan penggunaan ventilasi buatan dan cara-cara bantuan lain
pada kasus-kasus kerusakan otak akibat trauma atau sebab lain, bila kemudian kerusakan ini
terbukti ireversibel, jantung kadang-kadang dapat terus berdenyut selama 1 pekan atau lebih,
atau bahkan sampai 14 hari, dengan sebagian besar otak mengalami dekomposisi. 9 Dengan
kondisi seperti ini jantung dapat terus berdenyut sampai 32 hari (pada seorang anak umur 5
tahun). 6
Penghentian ireversibel semua fungsi otak disebut mati otak (MO). Penghentian total
sirkulasi ke otak normotermik selama lebih dari 10 menit tidak kompatibel dengan kehidupan
jaringan otak. 6 Jadi penghentian fungsi jantung mengakibatkan MO dalam beberapa menit,
sedangkan penghentian fungsi otak mengakibatkan kehilangan fungsi jantung dalam beberapa
jam atau hari.
4
Kebanyakan kalangan yang berwenang dalam kedokteran dan hukum sekarang ini
mendefinisikan kematian dalam pengertian MO walaupun jantung mungkin masih berdenyut dan
ventilasi buatan dipertahankan. Akan tetapi banyak pula yang memakai konsep MBO sebagai
pengganti MO dalam penentuan mati. Menurut pernyataan IDI 1988, seseorang dinyatakan mati
bila a) fungsi spontan pernafasan dan jantung telah berhenti secara pasti atau b) telah terbukti
terjadi MBO. Secara klasis dokter menyatakan mati berdasarkan butir a tersebut dan ini dapat
dilakukan di mana saja, di dalam atau di luar rumah sakit.
Bahwa fungsi spontan nafas dan jantung telah berhenti secara pasti, dapat diketahui
setelah kita mencoba melakukan resusitasi darurat. Pada resusitasi darurat, di mana kita tidak
mungkin menentukan MBO, seseorang dapat dinyatakan mati bila 1) terdapat tanda-tanda mati
jantung atau 2) terdapat tanda-tanda klinis mati otak yaitu bilamana setelah dimulai resusitasi,
pasien tetap tidak sadar, tidak timbul pula nafas spontan dan refleks muntah (gag reflex) serta
pupil tetap dilatasi selama 15-30 menit atau lebih, kecuali kalau pasien hipotermik, di bawah
pengaruh barbiturat atau anestesia umum.
Menurut Peraturan Pemerintah RI no 18 tahun 1981, tentang bedah mayat klinis dan
bedah mayat anatomis serta transplantasi alat atau jaringan tubuh manusia, meninggal dunia
adalah keadaan insani yang diyakini oleh ahli-ahli kedokteran yang berwenang bahwa fungsi
otak, pernafasan dan denyut jantung seseorang telah berhenti. Menurut penulis, batasan mati ini
mengandung 2 kelemahan. Yang pertama, pada henti jantung (cardiac arrest) fungsi otak, nafas
dan jantung telah berhenti, namun sebetulnya kita belum dapat menyatakan mati karena pasien
masih mungkin hidup kembali bila dilakukan resusitasi. Yang kedua, dengan adanya kata-kata
“denyut jantung telah berhenti”, maka ini justru kurang menguntungkan untuk transplantasi,
karena perfusi ke organ-organ telah berhenti pula, yang tentunya akan mengurangi viabilitas
jaringan/organ.
5
II.3. Anatomi dan Fisiologi Otak
Susunan saraf terdiri dari Susunan Saraf Pusat dan Susunan Saraf Tepi. Susunan Saraf Pusat
dibentuk oleh encephalon dan medulla spinalis. Susunan Saraf tepi dibentuk oleh Nn.Craniales
dan Nn.Spinales. Encephalon terletak dalam cavitas cranii sedangkan medulla spinalis terletak
dalam canalis vertebralis.(7)
Pembagian encephalon adalah sebagai berikut: proencephalon yang terdiri atas telencephalon
dan diencephalon, mesencephalon dan rombencephalon yang terdiri atas metencephalon dan
myelencephalon.
Telencephalon (End Brain) yang menjadi hemisfer serebri , yang terdiri dari korteks serebri,
rinencephalon, basal ganglia [nukleus kaudatus dan nukleus lentikularis ( putamen dan
globus palidus), klaustrum, amigdala].
Diencephalon (interbrain) terdiri dari epithalamus, thalamus, subthalamus, hipothalamus.
Mesencephalon (midbrain) yang terdiri dari korpora kuadrigemina (kollikulus superior,
kollikulus inferior), tegmentum (nulleus rubber, subtantia nigra), pedunkulus serebri.
Metencephalon (afterbrain) yang terdiri dari pons dan serebellum.
Myelencephalon (narrow brain) disebut juga medulla oblongata.(7,8)
Telencephalon menjadi hemisfer serebri merupakan bagian yang terbesar dan menempati
fossa anterior dan fossa cranii media. Pada hemisfer serebri terdapat beberapa lobus, yaitu: lobus
frontalis, lobus parietalis, lobus occipitalis, lobus temporalis, insula/lobus sentralis dan lobus
limbicus. Sisterna olfaktorius langsung menuju ke korteks serebri tanpa melalui thalamus sebagai
stasiun perantara. Medula oblongata, pons dan serebellum berada dalam fossa cranii posterior.
Struktur susunan saraf pusat terdiri dari substansia grisea yang merupakan kumpulan nucleus,
dan substansia alba yang dibentuk oleh kumpulan serabut saraf bermyelin.(7)
Ujung ventral medulla spinalis melanjutkan diri menjadi medulla oblongata tanpa suatu
batas yang tegas, dimulai setinggi foramen occipitale magnum, bentuknya lebih besar dari
6
medulla spinalis. Ke arah rostral medulla oblongata menjadi pons varoli dengan batas yang tegas
pada facies ventralis, berupa suatu celah horizontalis. Facies ventralis terletak pada pars
basikularis ossis occipitalis, sedangkan facies dorsalis tertutup oleh kedua hemisferium serebri.
Pada medulla oblongata terdapat alur yang arahnya longitudinalis, yaitu fissura mediana anterior,
fissura mediana posterior dan sepasang sulcus lateralis anterior dan sulcus lateralis posterior.(7)
Oleh fissura media anterior dan fissura media posterior, medulla oblongata terbagi
menjadi dua bagian yang simetris (belahan kiri dan kanan), dan oleh sulcus-sulcus tersebut
tersebut tadi, maka setiap belahan medulla oblongata dibagi menjadi area ventralis, area lateralis,
dan area dorsalis. Area-area tersebut tadi adalah lanjutan ke arah rostral dari funikulus anterior,
funikulus lateralis, dan funikulus posterior medulla spinalis. Dari sulcus lateralis posterior keluar
serabut-serabut saraf yang sama dengan radix posterior nervi spinalis; serabut-serabut saraf
tersebut adalah n. glossofaringeus, n. vagus dan n. accessorius. N. abducens, n. facialis dan n.
vestibulocochlearis menampakkan diri pada perbatasan medulla oblongata dengan pons, terletak
masing-masing dari medial ke lateral. N. hypoglossus menampakkan diri pada sulkus lateralis
anterior medulla oblongata, diantara piramis dan oliva.(7)
Pons merupakan bagian ventral dari metencephalon yang terletak diantara medulla
oblongata dan pedunculus serebri dan berada di sebelah ventral serebellum. Pada aspectus
ventral terdapat serabut-serabut transversal yang berjalan kearah lateral, bersatu membentuk
pedunculus serebelli medius, masuk ke dalam hemisferium serebelli. Serabut-serabut tersebut
membentuk pars basilaris pontis dan di sebelah dorsalnya merupakan lanjutan dari medulla
oblongata. Serabut-serabut transversal tersebut tadi adalah bagian dari lintasan yang
menghubungkan hemisferium serebri dengan hemisferium serebelli yang kontralateral. Nervus
trigeminus keluar dari permukaan ventral, di bagian lateral pada perbatasan antara pons dan
pedunculus serebelli medius, yaitu pada pertengahan pons.(7)
Mesencephalon atau mid brain menghubungkan rombencephalon dan prosencephalon.
Terdiri atas pars dorsalis yang membentuk lamina quadrigemina dan corpora quadrigemina, dan
bagian ventral yang bentuknya lebih besar, disebut pedunculus cerebri. Di dalam mesencephalon
terdapat aquaductus cerebri sylvii, suatu saluran yang sempit yang menghubungkan ventrikulus
tertius dengan ventrikulus quartus. N. okulomotorius menampakkan diri pada fossa
7
interpedunkularis. N. trochlearis keluar dari facies dorsalis mesencephalon di sebelah kaudal dari
colliculus inferior. Nucleus mesencephalicus nervi trigemini, berada di bagian lateral substansia
grisea sentralis sekitar aquaductus serebri sylvii.(7)
Meskipun serebellum berasal dari metensefalon, namun serebellum merupakan suatu
bagian suprasegmental otak dan mempunyai kaitan terutama dengan koordinasi fungsi otot-otot
soma, kontrol tonus otot dan pemeliharaan equilibrium. Serebellum berada pada facies posterior
pons dan medulla oblongata di dalam fossa cranii posterior.(7)
Diencephalon menghubungkan mesencephalon dengan hemisferium serebri. Di dalam
diencephalon terdapat ventrikulus tertius. Diencephalon terdiri atas thalamus, metathalamus,
epithalamus, subthalamus dan hypothalamus. Traktus optikus berjalan mengelilingi
hypothalamus dan pars rostralis crus serebri, berjalan melalui foramen opticum, masuk ke dalam
cavitas cranii.(7)
Encephalon mendapat suplai darah dari a. carotis interna dan a. vertebralis. Arteri carotis
interna dibagi menjadi empat bagian yaitu: pasr cervicalis, pars petrosa, pars cavernosa dan pars
cerebralis. Cabang-cabang utama dari a. carotis interna adalah a. ophthalmica, a. communicans
posterior dan a. choroidea anterior. Di sebelah lateral dari chiasma opticum, a. carotis interna
bercabang membentuk a. cerebri anterior dan a. cerebri media. Arteri vertebralis merupakan
cabang pertama dari a. subclavia dan berjalan melalui foramen occipitale magnum masuk ke
dalam cavitas cranii. Pada tepi caudal pons, a. vertebralis dexter dan a. vertebralis sinister bersatu
membentuk a. basilaris. Percabangan dari pars intrakranialis a. vertebralis dan a. basilaris
memberi suplai darah kepada medulla spinalis segmen cervikalis, medulla oblongata, pons,
mesencephalon, cerebellum, bagian posterior diencephalons, bagian-bagian dari lobus occipitalis
dan lobus temporalis.(7)
Circulus arteriosus willisi merupakan suatu lingkaran pembuluh darah arteri yang terletak
mengelilingi chiasma opticum, tuber cinereum dan fossa interpeduncularis. Dibentuk oleh: a.
communicans anterior, a. communicans posterior, a. cerebri anterior, a. cerebri media dan a.
cerebri posterior. Ramus corticalis yang memberi suplai darah kepada hemisfer serebri
dipercabangkan oleh a. cerebri anterior, a. cerebri media dan a. cerebri posterior.(7)
8
Metabolisme jaringan otak hampir seluruhnya tergantung pada pembakaran glukosa secara
aerobik. Di dalam jaringan otak terdapat sedikit persediaan glukosa dan oksigen. Otak yang
merupakan 2% dari berat tubuh memerlukan kurang lebih 15% – 17% dari cardiac output dan
kurang lebih 20% dari oksigen yang diperlukan oleh seluruh tubuh. Ada tiga faktor utama yang
mempengaruhi vaskularisasi otak yaitu gas-gas dalam darah dan metabolisme yang merupakan
faktor biokimiawi, autoregulasi arteri serebral.(7,10)
Autoregulasi arteri serebral
Pembuluh serebral menyesuaikan lumennya pada ruang lingkupnya sedemikian rupa,
sehingga aliran darah tetap konstan, walaupun tekanan perfusi berubah-ubah. Pengaturan
diameter lumen ini dinamakan autoregulasi. Konstriksi terjadi apabila tekanan intralumenal
melonjak dan dilatasi jika tekanan tersebut menurun. Reaksi dinding pembuluh darah terhadap
fluktuasi tekanan intralumenal itu sangat cepat, yaitu dalam beberapa detik. (10)
Penurunan tekanan darah sistemik sampai 50 mmHg masih dapat berlalu tanpa
menimbulkan gangguan sirkulasi serebral. Tetapi jika tekanan darah sistemik turun samapai di
bawah 50 mmHg, autoregulasi serebral itu tidak mampu lagi memelihara jumlah darah yang
mengalir ke otak (CBF= “cerebral blood flow “) yang normal. Untuk orang-orang sehat tekanan
perfusi sebesar 50 mmHg itu merupakan ambang kritis. Sebanding dengan autoregulasi terhadap
tekanan darah sistemik yang menurun, adalah autoregulasi terhadap tekanan darah sistemik yang
melonjak. Batas atas yang masih dapat ditanggulangi autoregulasi ialah 200 mmHg sistolik dan
110-120 mmHg diastolik. Jika tekanan darah sistemik lebih tinggi dari batas atas tersebut, maka
autoregulasi yang mengadakan vasokonstriksi dapat berlalu secara ekstrim, sehingga timbul
vasospasmus.(10)
Autoregulasi tersebut bersifat regional. Jika suatu daerah otak iskemik maka tekanan
intralumenal di wilayah itu lebih rendah daripada di daerah sehat yang berdampingan, sehingga
darah akan mengalir dari wilayah tekanan intralumenal tinggi ke wilayah tekanan intralumenal
rendah. Dengan demikian iskemia regional itu dapat terkompensasi. Autoregulasi yang dikelola
oleh tekanan intralumenal ini bekerja secara bebas, tetapi saling membantu reaksi yang dicptakan
9
oleh faktor-faktor biokimiawi yang terdapat di otak secara regional. Faktor-faktor tersebut
menyangkut pengelolaan CBF regional agar kebutuhan metabolik regional dapart terpenuhi.(10)
Faktor-faktor biokimiawi regional
Dalam lingkungan dengan CO2 tinggi arteri serebral berdilatasi dan CBF bertambah
karena resistensi vaskuler menurun. Jika kadar CO2 menurun, arteri serebral menyempit dan
CBF cepat menurun. Kemampuan unuk bereaksi terhadap naik turunnya tekanan CO2 arterial
(PCO2) itu semakin berkurang pada bertambahnya umur. Pada umumnya metabolisme otak
hampir seluruhnya tergantung pada pemecahan oksidatif glukosa dan CO2 yang dihasilkan oleh
proses oksidasi tersebut. Peningkatan metabolisme otak, baik secara regional maupun secara
global, mengakibatkan secara berturut-turut produksi CO2 bertambah, vasodilatasi, CBF menjadi
lebih besar dan dengan demikian mengahsilkan pula bertambahnya jatah O2 dan glukosa untuk
otak.(10)
Iskemi serebri regional akibat stenosis salah satu arteri, namun yang tidak disertai
kemunduran metabolismenya, akan menghasilkan peningkatan PCO2 regional, yang akan
membangkitkan vasodilatasi di arteri-arteri kolateral dan menggiatkan sirkulasi kolateral. Akan
tetapi apabila iskemia melumpuhkan metabolisme regional, mekanisme untuk mengadakan
peningkatan sirkulasi kolateral tidak dapat beroperasi lagi.(10)
Peran O2. Tekanan O2 arterial (PO2) menurun pada keadaan hipoksia atau anoksia karena
sebab apapun. Keadaan tersebut menimbulkan vasodilatasi dan bertambahnya CBF. Sebaliknya
PO2 yang meningkat menyebabkan vasokonstriksi dan turunnya CBF. Walaupun reaksi ini
berlaku, inhalasi 100% O2 meningkatkan lebih lanjut jatah O2 yang tersedia untuk suatu daerah
otak yang iskemik (misalnya pada stroke) dengan jalan meningkatkan selisih tekanan antara
arteriol dan kapiler. Sifat pengaruh O2 terhadap dinding pembulh darah belum diketahui. Teapi
reaksi terhadap O2 cepat sekali dan mungkin bereaksi langsung terhadap kemoreseptor yang
berada di dinding pembuluh darah. Vasokonstriksi yang timbul sebagai reaksi terhadap PO2 itu
ternyata tidak terkait pada penurunan PCO2 akibat hiperventilasi. Lagipula, vasokonstriksi dan
vasodilaytasi yang dihasilkan akibat pasang surutnya PO2 tidak sebesar yang diakibatkan oleh
fluktuasi PCO2. namun demikian, selama hipoksia berat berlangsung, efek vasodilatasi akibat
10
penurunan PO2 menjadi lebih besar. Dan mungkin sekali proses ini mempunyai sangkut paut
dengan dibebaskannya asam laktat oleh otak seketika metabolisme bergeser ke jurusan glikolisis
anaerobik.(10)
Asam laktat. Apabila suatatu daerah otak menjadi iskemik atau anoksik, dalam keadaan
itu metabolisme anaerobick cepat mengambil alih tugas yang sebelumnya dibebankan kepada
metabolisme oksidatif. Metabolisme anaerobic ini banyak menghasilkan asam laktat, yang
merupoakan zat yang melebarkan lumen pembuluh darah (vasodilator).(9)
Konsentrasi ion hydrogen. Apabila pH darah berubah pada binatang atau manusia, akibat
suntikan asam laktat misalnya, maka CBF akan bertambah. Reaksi ini mungkin tidak
mengangkut efek peningkatan CO2. asidemia tampaknya berlalu secara bebas terhadap
peningkatan CBF. Sebaliknya alkalemia cenderung menurunkan CBF.(10)
Pada umunya, penyelidikan-penyelidikan memberikan fakta yang cukup terpercaya,
bahwa efek CO2 lebih besar daripada pengaruh pH dalam penelolaan CBF, oleh karena, biar
bagaimanapun juga bukannya pH darah, tetapi pH intraselular otot polos arterio serebral yang
pada dasarnya paling penting dalam pengelolaan tonus vasomotorik.(10)
Mekanisme pokok yang terurai di atas berlaku bagi otak seluruhnya dan daerah
bagiannya (regional). Dalam keadaan fisiologik, CBF regional bisa meningkat, misalnya di lobus
oksipitalis pada adanya kegiatan visual, atau pada berlangsungnya kejang fokal. Peningkatan
PCO2 dan penurunan PO2 regional akibat peningkatan metabolisme regional itu, akan
mempertinggi CBF regional. System regional tersebut bersifat autoregulatorik dan menurunkan
CBF regional, apabila metabolisme regional menurun.(10)
Pada iskemia serebral yang bersifat regional akibat penyumbatan arteri, CO2 tertimbun di
dalam daerah iskemik dan PO2 regional turun. Keadaan ini menggiatkan sirkulasi kolateral untuk
meningkatkan CBF daerahb yang iskemik itu.(10)
11
Adapun fungsi Susunan Saraf Pusat adalah sebagai berikut: (7)
1. Menerima stimulus dan merekamnya.
2. Memberi respon secara spontan terhadap suatu stimulus ( reflex ).
3. Mengendalikan gerakan.
4. Koordinasi gerakan dan keseimbangan.
5. Mengkoordinasi aktivitas viscera.
6. Tempat perilaku ( behavioral ).
II.4. Etiologi
Kematian otak ditandai dengan koma, apneu dan hilangnya semua refleks batang otak. Diagnosis
klinis ini pertama kali disampaikan dalam kepustakaan kedokteran pada tahun 1959 dan
kemudian digunakan dalam praktik kedokteran pada dekade berikutnya pada bidang trauma
klinis yang spesifik. Kebanyakan kasus kematian dapat didiagnosis di tempat tidur pasien.(1,10)
Penyebab umum kematian otak termasuk trauma, perdarahan intrakranial, hipoksia, overdosis
obat, tenggelam, tumor otak primer, meningitis, pembunuhan dan bunuh diri. Dalam kepustakaan
lain, hipoglikemia jangka panjang disebut sebagai penyebab kematian otak.(1,12)
Penentuan kematian otak sangat tergantung dari gejala klinis dan hasil laboratorium. Secara
klinis, seseorang dinyatakan mati otak jika semua keadaan berikut ditemukan:
1. Tidak ada respirasi spontan (tidak dapat menghirup napas sendiri).
2. Pupil dilatasi dan terfiksir (mata midriasis, tidak ada reaksi terhadap cahaya).
3. Tidak ada respon terhadap stimulus noksius (rangsang nyeri tidak disertai kedipan mata,
tanpa mimik meringis, tanpa gerakan anggota tubuh manapun).
12
4. Semua anggota tungkai flaksid (tidak ada pergerakan, tanpa tonus otot dan hilangnya
aktivitas refleks pada tangan ataupun kaki).
5. Tidak ada tanda-tanda aktivitas batang otak:
1. Bola mata terfiksasi dalam orbita.
2. Tidak ada refleks kornea.
3. Tidak ada respon terhadap tes-tes kalori.
4. Tidak ada refleks muntah atau batuk.(13)
II.5. Patofisiologi
Patofisiologi penting terjadinya kematian otak adalah peningkatan hebat tekanan intrakranial
(TIK) yang disebabkan perdarahan atau edema otak. Jika TIK meningkat mendekati tekanan
darah arterial, kemudian tekanan perfusi serebral (TPS) mendekati nol, maka perfusi serebral
akan terhenti dan kematian otak terjadi.(3)
Aliran darah normal yang melalui jaringan otak pada orang dewasa rata-rata sekitar 50 sampai 60
mililiter per 100 gram otak per menit. Untuk seluruh otak, yang kira-kira beratnya 1200 – 1400
gram terdapat 700 sampai 840 ml/menit. Penghentian aliran darah ke otak secara total akan
menyebabkan hilangnya kesadaran dalam waktu 5 sampai 10 detik. Hal ini dapat terjadi karena
tidak ada pengiriman oksigen ke sel-sel otak yang kemudian langsung menghentikan sebagian
metabolismenya. Aliran darah ke otak yang terhenti untuk tiga menit dapat menimbulkan
perubahan-perubahan yang bersifat irreversibel. Sedikitnya terdapat tiga faktor metabolik yang
memberi pengaruh kuat terhadap pengaturan aliran darah serebral. Ketiga faktor tersebut adalah
konsentrasi karbon dioksida, konsentrasi ion hidrogen dan konsentrasi oksigen. Peningkatan
konsentrasi karbon dioksida maupun ion hidrogen akan meningkatkan aliran darah serebral,
sedangkan penurunan konsentrasi oksigen akan meningkatkan aliran.(7,14)
Faktor-faktor iskemia dan nekrotik pada otak oleh karena kurangnya aliran oksigen ke
otak menyebabkan terganggunya fungsi dan struktur otak, baik itu secara reversible dan
13
ireversibel. Percobaan pada binatang menunjukkan aliran darah otak dikatakan kritis apabila
aliran darah otak 23/ml/100mg/menit (Normal 55 ml/100mg/menit). Jika dalam waktu singkat
aliran darah otak ditambahkan di atas 23 ml, maka kerusakan fungsi otak dapat diperbaiki.
Pengurangan aliran darah otak di bawah 8-9 ml/100 mg/menit akan menyebabkan infark,
tergantung lamanya. Dikatakan hipoperfusi jika aliran darah otak di antara 8 dan 23 ml/100
mg/menit.(6)
Jika jumlah darah yang mengalir ke dalam otak regional tersumbat secara parsial, maka
daerah yang bersangkutan langsung menderita karena kekurangan oksigen. Daerah tersebut
dinamakan daerah iskemik. Di wilayah itu didapati: 1) tekanan perfusi yang rendah, 2) PO2
turun, 3) CO2 dan asam laktat tertimbun. Autoregulasi dan kelola vasomotor dalam daerah
tersebut bekerja sama untuk menanggulangi keadaan iskemik itu dengan mengadakan
vasodilatasi maksimal. Pada umumnya, hanya pada perbatasan daerah iskemik saja bisa
dihasilkan vasodilatasi kolateral, sehingga daerah perbatasan tersebut dapat diselamatkan dari
kematian. Tetapi pusat dari daerah iskemik tersebut tidak dapat teratasi oleh mekanisme
autoregulasi dan kelola vasomotor. Di situ akan berkembang proses degenerasi yang ireversibel.
Semua pembuluh darah dibagian pusat daerah iskemik itu kehilangan tonus, sehinga berada
dalam keadaan vasoparalisis. Keadaan ini masih bisa diperbaiki, oleh karena sel-sel otot polos
pembuluh darah bisa bertahan dalam keadaan anoksik yang cukup lama. Tetapi sel-sel saraf
daerah iskemik itu tidak bisa tahan lama. Pembengkakan sel dengan pembengkakan serabut saraf
dan selubung mielinnya (udem serebri) merupakan reaksi degeneratif dini. Kemudian disusul
dengan diapedesis eritosit dan leukosit. Akhirnya sel-sel saraf akan musnah. Yang pertama
adalah gambaran yang sesuai dengan keadaan iskemik dan yang terakhir adalah gambaran infark.(10)
Adapun pada hipoglikemia, mekanisme yang terjadi sifatnya umum. Hipoglikemia jangka
panjang menyebabkan kegagalan fungsi otak. Berbagai mekanisme dikatakan terlibat dalam
patogenesisnya, termasuk pelepasan glutamat dan aktivasi reseptor glutamat neuron, produksi
spesies oksigen reaktif, pelepasan Zinc neuron, aktivasi poli (ADP-ribose) polymerase dan
transisi permeabilitas mitokondria.(12)
14
II.6. Kriteria Mati Otak
Pada tahun 1959 Mollaret dan Goulon memperkenalkan istilah coma de passé (koma
irreversibel) dalam menggambarkan 23 pasien koma dengan hilangnya kesadaran, refleks batang
otak, respirasi dan dengan hasil elektroensefalogram yang mendatar. Pada tahun 1968, sebuah
komite Ad hoc pada Fakultas Kedokteran Harvard meninjau kembali defenisi kematian otak dan
kemudian diartikan sebagai koma ireversibel atau kematian otak adalah tidak adanya respon
terhadap stimulus, tidak ada gerakan napas, tidak adanya refleks batang otak dan koma yang
penyebabnya sudah diketahui, kondisi tersebut menetap sekurang-kurangnya 6 sampai 24 jam.(14,15)
Pada tahun 1971 Mohandas dan Chou menggambarkan kerusakan batang otak sebagai
komponen penting dari kerusakan otak yang berat. Konferensi perguruan tinggi Medical Royal
dan fakultas-fakultas yang ada di dalamnya di Kerajaan Inggris pada tahun 1976, menerbitkan
sebuah pernyataan mengenai diagnosis kematian otak dimana kematian otak diartikan sebagai
hilangnya fungsi batang otak secara lengkap dan ireversibel. Pernyataan ini memberikan
pedoman yang termasuk di dalamnya perbaikan dalam uji apnea dan memusatkan perhatian pada
batang otak sebagai pusat dari fungsi otak. Tanpa batang otak ini, tidak ada kehidupan. Pada
tahun 1981 komisi presiden untuk studi masalah etik dalam kedokteran biomedis juga penelitian
tentang perilaku menerbitkan pedomannya. Dokumen tersebut merekomendasikan kegunaan tes
konfirmasi untuk mengurangi durasi waktu yang dibutuhkan untuk observasi dan
merekomendasikan periode 24 jam bagi pasien dengan gangguan anoksia dan kemudian
menyingkirkan syok sebagai syarat untuk menentukan kematian otak. Akhir-akhir ini Akademi
Neurologi Amerika memberikan kasus berdasarkan bukti dan menyarankan adanya pemeriksaan-
pemeriksaan dalam praktek. Laporan ini secara spesifik mengarah kepada adanya peralatan-
peralatan pemeriksaan klinis dan tes konfirmasi validitas serta adanya deskripsi tentang uji apnea
dalam praktek.(16)
Sehubungan dengan dibutuhkannya konsep kematian otak, maupun metode terstruktur suatu
diagnosis, beragam kriteria telah diterbitkan. Beberapa diantaranya:
15
1. Kriteria Harvard
Kunci perkembangan diagnosis kematian otak diterbitkan “Kriteria Harvard”, kunci diagnosis
tersebut adalah:
1. Tidak bereaksi terhadap stimulus noksius yang intensif (unresponsive coma).
2. Hilangnya kemampuan bernapas spontan.
3. Hilangnya refleks batang otak dan spinal.
4. Hilangnya aktivitas postural seperti deserebrasi.
5. EEG datar.
Hipotermia dan pemakaian depresan seperti barbiturat harus disingkirkan. Kemudian,
temuan klinis dan EEG harus tetap saat evaluasi sekurang-kurangnya 24 jam kemudian.
1. Kriteria Minnesota
Pengalaman klinis dengan menggunakan kriteria Harvard yang disarankan mungkin
sangat terbatas. Hal ini menyebabkan Mohandes dan Chou mengusulkan “Kriteria
Minnesota” untuk kematian otak. Yang dihilangkan dari kriteria ini adalah tidak
dimasukkannya refleks spinalis dan aktivitas EEG (elektroensefalograf dan masih
dipandang sebagai sebuah pilihan pemeriksaan untuk konfirmasi), elemen kunci kriteria
Minnesota adalah:
1. Hilangnya respirasi spontan setelah masa 4 menit pemeriksaan.
2. Hilangnya refleks otak yang ditandai dengan: pupil dilatasi, hilangnya refleks batuk,
refleks kornea dan siliospinalis, hilangnya doll’s eye movement, hilangnya respon
terhadap stimulus kalori dan hilangnya refleks tonus leher.
3. Status penderita tidak berubah sekurang-kurangnya dalam 12 jam, dan
4. Proses patologis yang berperan dan dianggap tidak dapat diperbaiki.(3)
16
Pertimbangan utama dalam mendiagnosis kematian otak adalah sebagai berikut: 1) Hilangnya
fungsi serebral, 2) hilangnya fungsi batang otak termasuk respirasi spontan, dan 3) bersifat
ireversibel. Hilangnya fungsi serebral ditandai dengan berkurangnya pergerakan spontan dan
berkurangnya respon motorik dan vokal terhadap seluruh rangsang visual, pendengaran dan
kutaneus. Refleks-refleks spinalis mungkin saja ada.(17)
EEG merupakan indikator berharga dalam kematian serebral dan banyak lembaga kesehatan
yang memerlukan pembuktian Electro Cerebral Silence (ECS), yang juga disebut EEG datar atau
isoelektrik. Dikatakan EEG datar apabila tidak ada perubahan potensial listrik melebihi 2
mikroVolt selama dua kali 30 menit yang direkam setiap 6 jam. Perlu ditekankan bahwa tidak
adanya respon serebral dan EEG datar tidak selalu berarti kematian otak. Akan tetapi, keduanya
dapat terjadi dan bersifat reversible pada keadaan hipotermia dan intoksikasi obat-obatan
hipnotik-sedatif.(17)
Fungsi-fungsi batang otak dianggap tidak ada jika tidak terdapat reaksi pupil terhadap cahaya,
tidak terdapat refleks kornea, vertibulo-ocular, orofaringeal atau trakea. Tidak ada respon
deserebrasi terhadap stimulus noksius dan tidak ada pernapasan spontan. Untuk kepentingan
dalam praktek, apnea absolut dikatakan terjadi pada pasien, jika pasien tersebut tidak melakukan
usaha untuk menolak penggunaan alat respirasi setidaknya selama 15 menit. Sebagai tes akhir,
pasien dapat dilepaskan dari respirator lebih lama (beberapa menit) untuk memastikan bahwa
PCO2 arteri meningkat di atas ambang untuk merangsang pernapasan spontan.(17)
Jika hasil pemeriksaan memperlihatkan bahwa semua fungsi otak hilang, maka pemeriksaan
harus diulang dalam waktu 6 jam untuk memastikan bahwa keadaan pasien bersifat ireversibel.
Jika riwayat dan pengamatan komprehensif yang sesuai terhadap prosedur penggunaan obat-
obatan tidak ada, maka observasi selama periode 72 jam mungkin dibutuhkan untuk memperoleh
reversibilitas walaupun jarang terjadi dalam praktek, studi perfusi serebral menunjukkan
terhentinya sirkulasi intrakranial secara sempurna menyebabkan terjadinya kematian otak.(17)
II.7. Diagnosis dan Pemeriksaan
17
Diagnosis MBO barangkali merupakan diagnosis paling penting yang pernah dibuat oleh
dokter, karena bila telah dipastikan, normalnya ventilator akan dilepaskan dari pasien dan henti
jantung akan terjadi tidak lama kemudian. Jadi, diagnosis ini merupakan ramalan yang terlaksana
dengan sendirinya (self-ful filling prophecy). Kebanyakan dokter yang merawat dapat
membenarkan dilepaskannya ventilator dari pasien, karena meneruskan ventilasi mekanis
memberikan stres bagi famili pasien dan staf perawatan. Selain itu, “terapi” yang diteruskan
secara tidak langsung menyatakan bahwa pemulihan masih dimungkinkan dan memberi famili
pasien harapan palsu. Namun ventilasi yang diteruskan selama periode yang singkat sesudah
diagnosis MBO memungkinkan perolehan organ kualitas bagus untuk tujuan transplantasi dan
seringkali dilakukan.6
Penerimaan batang otak sebagai sumber kehidupan dan penghentian ventilasi sebagai
akibat diagnosis MBO potensial sulit bagi orang awam untuk menerimanya. Tidaklah mudah
untuk memberitahu famili pasien, yang berwarna merah, hangat dan kelihatannya bernafas
dengan nyaman pada ventilator, mati. Bahkan lebih sulit lagi jika famili pasien melihat gerakan
pasien yang dinyatakan dokter timbul pada tingkat spinal dan tidak mengindikasikan fungsi otak.
Masyarakat di negara maju seperti Inggris sangat mempercayai dokter dan biasanya tidak
dijumpai kesulitan tatkala dibuat diagnosis MBO.
Sekarang ini sudah dapat diterima bahwa batang otak, dan bukan seluruh otak, pengatur
respirasi dan stabilitas kardiovaskular. Diyakini bahwa untuk mendapatkan kesadaran harus ada
kontinyuitas neuronal antara sistem saraf periferal dan korteks. Bila batang otak yang
menghubungkan keduanya mati, kontinyuitas sistem yang diaktifkan oleh retikular terganggu
dan tidak dapat timbul kesadaran.
Diagnosis MBO dan petunjuknya dapat dilihat pada fatwa IDI tentang MBO. Diagnosis
MBO mempunyai dua komponen utama. Komponen pertama terdiri dari pemenuhan prasyarat-
prasyarat dan komponen kedua adalah tes klinik fungsi batang otak.
Prasyarat. Prasyarat-prasyarat dapat dilihat pada tabel 1. Pada hakekatnya sebelum melakukan
tes klinis, dokter harus menetapkan tanpa keraguan bahwa pasien komatous dan bergantung pada
ventilator dan mempunyai kondisi yang konsisten dengan koma ireversibel dan hilangnya fungsi
18
batang otak. Pasien dengan MBO tidak dapat bernafas. Dokter-dokter yang tidak familiar dengan
diagnosis MBO kadang-kadang menyarankan dokter seniornya untuk melakukan testing pada
pasien yang tidak bergantung pada ventilator dengan cedera berat. Fenomena ini menonjolkan
tiga hal. Pertama dokter-dokter yang bekerja di ICU perlu lebih dahulu mengkaji langkah-
langkah untuk menegakkan diagnosis MBO sesuai fatwa IDI yang memang belum
tersosialisasikan dengan baik, agar jangan sampai melewatkan langkah-langkah yang harus
dijalani sebelum melakukan testing arefleksia batang otak. Kedua adalah adanya kenyataan
bahwa beberapa pasien menderita cedera otak berat yang akhirnya inkompatibel dengan
kehidupan yang lama, namun kausa kematiannya bukanlah MBO. Beratnya cedera otak pada
pasien-pasien ini dapat mengindikasikan keputusan untuk menghentikan terapi aktif atau
membatasi terapi aktif. Keputusan penghentian atau limitasi terapi individual untuk tiap pasien
dan sangat kontras dengan diagnosis MBO yang identik bagi semua pasien. Hal ketiga adalah
perlunya tanpa keraguan memantapkan diagnosis cedera otak ireversibel yang cukup untuk
menyebabkan koma apneik. Diagnosis yang kompatibel adalah cedera kepala, perdarahan
subarakhnoid, perdarahan intraserebral, tenggelam dan henti jantung. Penegakan diagnosis
memerlukan anamnesis yang cukup dan pemeriksaan klinis serta investigasi (biasanya CT Scan).
Kausa koma yang reversibel yang menyulitkan diagnosis primer harus pula disingkirkan.
Khususnya sedatif, analgetik dan pelumpuh otot hendaknya disingkirkan, sebagai kausa
ketidaksadaran atau arefleksia. Pasien hendaknya mempunyai suhu sentral lebih dari 35°C.
Intoksikasi obat, hipotermia, gangguan metabolik atau endokrin, semua dapat menyebabkan
perubahan berat pada fungsi batang otak, namun reversibel. MBO tidak boleh dipertimbangkan
bila terdapat kondisi-kondisi ini, baik sebagai penyebab koma primer ataupun faktor penunjang.
19
- Pemeriksaan klinis mati batang otak yaitu :
1. Tes diagnosis mati batang otak yaitu pemeriksaan klinis mati batang otak
yaitu Koma
2. Tidak ada respon motorik
3. Tidak ada respon pupil terhadap cahaya dan pupil berada di posisi tengah
dengan dilatasi (4-6 mm)
4. Tidak ada reflex kornea
5. Tidak ada reflex tersedak
6. Tidak ada respon kalorik
7. Tidak ada batuk sebagian respon terhadap suction trakea
8. Tidak ada reflex menghisap dan menutup mulut
9. Tidak ada usaha respirasi saat PaCO2 setinggi 60 mmHg atau 20 mmHg
diatas nilai dasar normal
Elektrolit, gula darah dan gas darah arterial hendaknya diperiksa dan gangguan yang
cukup untuk menyebabkan koma hendaknya diatasi. Selain itu, upaya yang sungguh-sungguh
harus sudah dikerjakan untuk mengatasi efek-efek edema serebri, hipoksia dan syok. Sebagai
konsekuensi, untuk memenuhi prasyarat-prasyarat, diperlukan waktu dan tidaklah biasa untuk
menegakkan diagnosis MBO sebelum 24 jam perawatan di rumah sakit. Seringkali pasien sudah
dirawat di rumah sakit jauh lebih lama.
20
CT Scan bermanfaat tidak saja untuk mengetahui kausa MBO, tetapi juga untuk
memperlihatkan efek herniasi lewat tentorium dan foramina magnum. Kompresi arteri dan vena
mengakibatkan edema sitotoksik dan tekanan intrakranial dapat meningkat akibat terhalangnya
drainase cairan serebrospinal oleh sumbatan aquaduktus atau ruang subarakhnoid. Perubahan–
perubahan ini menyebabkan herniasi berlanjut dan posisi otak menurun. Penurunan ini begitu
besar sehingga cabang-cabang arteri basilaris (yang mendarahi batang otak) teregang dan
mengakibatkan perdarahan intraparenkimal dan memperparah edema. Interpretasi perubahan–
perubahan ini pada seksi aksial tradisional CT Scan memerlukan pengalaman. Herniasi otak, bagi
dokter nonradiologis, paling mudah dilihat pada citra CT koronal. Untuk contoh grafik edema
otak ireversibel dan herniasi, pembaca dianjurkan untuk membaca buku Plum dan Posner; The
Diagnosis of Stupor and Coma.
Dalam membuat diagnosis MBO kadang-kadang dijumpai kesukaran (lihat tabel 2). Bila dokter
yang bertugas masih ragu-ragu mengenai: a) diagnosis primer, b) kausa disfungsi batang otak
yang reversibel (obat atau gangguan metabolik), c) kelengkapan tes klinis, maka hendaknya
jangan dibuat diagnosis MBO.
21
Tes klinis. Sebelum melakukan tes formal, kita harus memastikan bahwa pasien tidak
menunjukkan postur abnormal (deserebrasi dan dekortikasi) dan tidak mempunyai refleks okulo-
sefal aktif (fenomena mata kepala boneka) atau aktivitas kejang. Bila ada salah satu gejala
tersebut, pasti terjadi hantaran impuls saraf lewat batang otak dan selanjutnya tes tidak
diperlukan dan tidak tepat untuk dilakukan. Batang otak berarti masih hidup. Tes formal fungsi
batang otak dilaksanakan di samping tempat tidur dan memerlukan demonstrasi apnea dalam
keadaan hiperkarbia dan tidak adanya refleks batang otak. Peralatan canggih tidak diperlukan
selain analisis gas darah. Tes ini sendiri mudah dilakukan, hanya memerlukan waktu beberapa
menit dan hasilnya jelas. Bila memang tanda-tanda fungsi batang otak yang hilang di atas ada
semua, maka hendaknya secara sistematis diperiksa 5 refleks batang otak (lihat tabel 3). Kelima
refleks harus negatif sebelum diagnosis MBO ditegakkan. Tes terhadap refleks-refleks batang
otak dapat menilai integritas fungsional batang otak dengan cara yang unik. Tidak ada daerah
otak lainnya yang dapat diperiksa sepenuhnya seperti ini. Ini menguntungkan karena konsep mati
yang baru secara tak langsung menyatakan bahwa semua yang berarti bagi kehidupan manusia
bergantung pada integritas jaringan yang hanya beberapa sm3 ini. Tes ini mencari ada atau tidak
ada respons, dan bukan gradasi fungsi. Ini mudah dilakukan dan dapat dimengerti oleh setiap
dokter atau perawat yang terlatih. Ini tidak bergantung pada mesin, atau super spesialis.
22
Tes yang paling pokok untuk fungsi batang otak adalah tes untuk henti nafas (lihat tabel 4).
Namun, apnea dan arefleksia saraf kranial juga terjadi pada keadaan nonfatal lain seperti
ensefalitis batang otak dan sindroma Guillain-Barre’. Lagi-lagi perlu ditekankan bahwa tes-tes
jangan dilakukan bila prasyarat-prasyarat belum dipenuhi. Ini perlu diperhatikan agar jangan
sampai terjadi kesalahan prosedur sebab selalu ada saja laporan kasus yang menggambarkan
keadaan yang menyerupai MBO tetapi ternyata dapat pulih kembali. Bila setiap kasus didekati
secara sistematis, tidak akan terjadi kesalahan.
Untuk menegakkan diagnosis kematian otak, penggunaan serangkaian protokol sertifikasi
kematian otak cukup membantu. Daftar A, B, C dan D di bawah ini dapat bermanfaat bagi
dokter. Pada banyak kasus, semua daftar tersebut semestinya digunakan secara sistematik untuk
menegakkan ataupun menyingkirkan diagnosis kematian otak. Bagaimana pun masih perlu untuk
memutuskan diagnosis lain, misalnya apakah suatu gangguan metabolik mengacaukan diagnosis
atau jika penyelidikan tambahan sudah memadai sehingga memungkinkan adanya diagnosis lain.
Daftar A: Garis Besar
1. Tanpa pergerakan spontan, kejang atau gerakan badan lainnya.
2. Tanpa respon terhadap jenis rangsang nyeri apa pun (misalnya menggosok sternum,
penekanan pada kuku jari, penekanan dengan jarum) pada daerah distribusi nervus kranialis.
3. Hilangnya refleks-refleks batang otak.
23
4. Pasien bernapas dengan napas bantuan. Uji apnea menunjukkan hilangnya pernapasan
spontan.
5. Menyingkirkan kemungkinan keadaan eksaserbasi.
6. Memastikan kondisi pasien akan kerusakan struktur otak yang tidak dapat diperbaiki.
7. Memastikan bahwa bukti-bukti klinis tidak berubah dengan peninjauan kembali 2 sampai
24 jam kemudian.
Daftar B: Uji Terhadap Hilangnya Refleks-refleks Batang Otak
1. Pupil terfiksasi dan dilatasi, tanpa respon langsung atau tidak langsung terhadap cahaya.
Pupil harus dalam ukuran menengah atau besar. Penggunaan obat seperti atropin dan obat-
obat lain yang menghambat respon pupil terhadap cahaya dipastikan belum diberikan.
2. Hilangnya refleks kornea.
3. Hilangnya respon vestibulo-okuler terhadap rangsang air dingin (“cold calories”). Gunakan
minimal 120 mm air es dan posisi kepala 30 derajat terhadap sumbu horizontal.
4. Hilangnya refleks batuk.
5. Hilangnya respon terhadap kateter yang ditempatkan dalam endotracheal tube ke dalam
trakea.
6. Hilangnya fenomena “doll’s eye”.
Daftar C: Uji Apnea
Langkah 1: Garis arterial, oximeter denyut nadi dan fasilitas untuk pengukuran gas darah arteri.
Langkah 2: Atur ventilasi FI02 ke 1.0.
24
Langkah 3: Atur ventilasi jika perlu untuk memastikan PaCO2 berada diantara 40 mmHg dan 50
mmHg.
Langkah 4: Gambar sampel ABG nomor 1.
Langkah 5: Mulai stopwatch, cabut ventilator dan masukkan oksigen sebanyak 6 liter/menit
melalui kateter trakea untuk membantu mencegah hipoksia. Perhatikan setiap gerakan yang
memperlihatkan usaha untuk bernapas spontan.
Langkah 6: Setelah 6 menit, gambarkan sampel ABG nomor 2 dan sambungkan kembali
ventilator.
Langkah 7: Hitung peningkatan PaCO2 selama periode apnea. Peningkatan harus lebih dari 10
mmHg dan tidak adanya usaha untuk bernapas spontan harus ada pada uji apnea yang
menunjukkan bahwa tidak ada aktivitas pernapasan spontan yang terjadi.
Daftar D: Menyingkirkan Kemungkinan Kondisi Tambahan
2. Pengaruh obat-obatan depresan susunan saraf pusat (mis. barbiturat, benzodiazepin,
narkotik).
3. Hipotermia – suhu rata-rata (mis. suhu esophagus, rektal) di bawah 32,2 derajat Celcius
(900 F).
4. Gangguan elektrolit (mis. hiponatremia, asidosis metabolik).
5. Lanjutan blokade neuromuskuler setelah peemberian agen penghambat neuromuskuler
(tinjau kembali daftar pemberian anestetik dan riwayat ICU; periksa dengan stimulator
saraf; balikkan efek agen tersebut dengan neostigmin).
Jika kriteria klinis kematian telah ditemukan, seseorang tidak dapat ditetapkan “mati
otak” hingga dokter memastikan tidak ada obat bius (mis. kodein, domerol, morfin, kokain,
heroin) dan tidak ada obat-obatan barbiturat (mis. fenobarbital, sekobarbital, nembutal, amytal)
25
yang telah diberikan 24 jam sebelumnya dan bahwa kematian otak telah ditunjukkan melalui
salah satu dari studi diagnostik berikut:
1. Angiogram serebral (injeksi larutan kontras ke dalam arteri leher untuk melihat arteri di
otak pada film X-ray), menunjukkan tidak ada penetrasi larutan ke dalam arteri otak.
2. Scan aliran darah serebral (scan kepala setelah injeksi substansi radioaktif yang aman secara
intravena) memperlihatkan tidak ada aliran darah di otak.
3. Dua kali EEG (elektroensefalogram atau uji gelombang otak) pada interval 24 jam
menunjukkan tidak ada aktivitas listrik dari otak, mis. EEG datar atau isoelektrik.
Poin ketiga dari ketiga tes di atas paling banyak digunakan karena sangat mudah dilakukan di
tempat tidur pasien.
26
BAB III
SIMPULAN
- Mati Batang otak yaitu hilangnya semua fungsi otak secara irreversible, termasuk
batang otak. Tiga temuan penting dalam kematian otak adlah koma, hilangnya
reflex batang otak dan apnea.
- Kepentingan merumuskan konsep mati batang otak yaitu etika, kemanusiaan,
manfaat dan transplantasi organ.
- Pemeriksaan klinis mati batang otak yaitu :
1. Tes diagnosis mati batang otak yaitu pemeriksaan klinis mati batang otak
yaitu Koma
2. Tidak ada respon motorik
3. Tidak ada respon pupil terhadap cahaya dan pupil berada di posisi tengah
dengan dilatasi (4-6 mm)
4. Tidak ada reflex kornea
5. Tidak ada reflex tersedak
6. Tidak ada respon kalorik
7. Tidak ada batuk sebagia respon terhadap suction trakea
8. Tidak ada reflex menghisap dan menutup mulut
9. Tidak ada usaha respirasi saat PaCO2 setinggi 60 mmHg atau 20 mmHg
diatas nilai dasar normal
- Yang berwenang menetukan mati batang otak yaitu tenaga medis yang dimaksud
terdiri dari sekurang – kurangnya 3 (tiga) orang dokter yang kompeten yaitu
dokter umum, jika ada dokter spesialis anestesiologi atau saraf, yang ditunjuk
oleh komite medic. Keputusan ini dibuat dengan berita acara pengujian dan
pengambil keputusan. Diagnosis MBO harus dibuat di ruang ICU.
27
DAFTAR PUSTAKA
1. Lazar NM, Shemie S, Webster GC, Dickens BM. Bioethics for clinicians: 24. Brain death
[online] 2015 Mar 20, [cited 2015 Apr 10]; Available from URL:
http://www.cmaj/ca/cgi/content/full/164/6/833
2. Reis CE. Brain death [online], [cited 2015 Apr 10]; Available from URL:
http://www.medstudents.com.br/neuro/neuro5.htm
3. Anonym. Brain death [online] 2015 Apr 15, [cited 2015 Apr 10]; Available from URL:
http://en.wikipedia.org/wiki/Brain_death
4. Sunatrio S. Penentuan Mati Batang otak. Bagian Anestesi FKUI. Available from URL :
http://fkUI.Anestesi.co.id
5. Luhulima JW. Anatomi III susunan saraf pusat jilid II. Makassar : bagian Anatomi Fakultas
Kedokteran Universitas Hasanuddin; 2002. hal.1-2,14.
6. Mardjono M, Sidharta P. Neurologi klinis dasar. Jakarta: Dian Rakyat; 2004.hal.280.
7. M. Hasan dkk. 2011. Buku ajar Ilmu Penyakit Saraf. Surabaya: Pusat Penerbitan dan
Percetakan Unair
8. Cryer PE. Hypoglycemia, functional brain failure, and brain death [online] 2015, [cited
2015 Apr 14]; Available from URL: http://www.jci.org/cgi/content/abstract/117/4/868
9. Guyton AC, Hall JE. Aliran darah serebral, cairan serebrospinal, dan metabolisme otak.
Dalam: Buku ajar fisiologi kedokteran. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC;
2011.hal.975-83.
28