12
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian Krisis moneter yang melanda Asia telah menelan banyak korban diberbagai negara Asia, khususnya Singapura, Korea Selatan, Thailand, Malaysia bahkan juga mengimbas ke Hongkong dan Jepang dengan skala berbeda termasuk Indonesia. Akibatnya banyak perusahaan besar dan konglomerat Indonesia yang sejak dekade 90-an awal tumbuh pesat pada saat krisis terpaksa menjual asetnya karena beban hutang yang meningkat terus akibat depresiasi rupiah terhadap dollar sehingga banyak yang bangkrut atau dilikuidasi. Kegiatan merger dan akuisisi di Indonesia telah berlangsung pada tahun 1970. Pada kasus industri perbankan, krisis perekonomian yang terjadi di wilayah ekonomi Asia Timur dan Asia Tenggara pada tahun 1997 telah membawa dampak terjadinya kemelut di industri perbankan di dalam negeri. Cukup banyak lembaga perbankan yang menghadapi permasalahan dan bahkan kemudian kolaps akibat krisis tersebut. (Sutrisno & Sumarsih,2004) Pada pertengahan tahun 1980-an berbagai macam deregulasi dikeluarkan oleh pemerintah untuk menggairahkan industri perbankan. Diawali dengan diluncurkannya Paket Kebijakan 20 Oktober 1988 (PAKTO) yang mencakup bidang keuangan, moneter dan perbankan. Kebijakan dibidang perbankan antara lain meliputi pemberian kemudahan-kemudahan dalam membuka kantor bank, dan Lembaga Keuangan Bukan Bank, memperkenankan pendirian bank-bank swasta baru antara lain dengan penetapan syarat modal disetor minimal Rp 10 milyar, juga memberikan kesempaatan untuk mendirikan Bank Perkreditan Rakyat (BPR) dengan modal minimum Rp 50 juta, dan memperingan persyaratan bagi bank menjadi bank devisa.( http://www.bi.go.id/NR/rdonlyres/A6011CBA-1B4E- 49B1-9DDC-CB01AB6C60D0/19386/SejarahPerbankanPeriode19831997.pdf ) Setelah diluncurkannya deregulasi tersebut, dalam kurun waktu 1988- 1996 bisins perbankan di Indonesia mengalami perkembangan yang sangat pesat. Perkembangan yang sangat pesat itu ternyata tidak dapat mendorong terciptanya

› xmlui › bitstream › handle › 123456789 › 3396 › Bab 1.pdf... BAB I PENDAHULUANPada pertengahan tahun 1980-an berbagai macam deregulasi dikeluarkan oleh pemerintah untuk

  • Upload
    others

  • View
    0

  • Download
    0

Embed Size (px)

Citation preview

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang Penelitian

Krisis moneter yang melanda Asia telah menelan banyak korban

diberbagai negara Asia, khususnya Singapura, Korea Selatan, Thailand, Malaysia

bahkan juga mengimbas ke Hongkong dan Jepang dengan skala berbeda termasuk

Indonesia. Akibatnya banyak perusahaan besar dan konglomerat Indonesia yang

sejak dekade 90-an awal tumbuh pesat pada saat krisis terpaksa menjual asetnya

karena beban hutang yang meningkat terus akibat depresiasi rupiah terhadap

dollar sehingga banyak yang bangkrut atau dilikuidasi.

Kegiatan merger dan akuisisi di Indonesia telah berlangsung pada tahun

1970. Pada kasus industri perbankan, krisis perekonomian yang terjadi di wilayah

ekonomi Asia Timur dan Asia Tenggara pada tahun 1997 telah membawa dampak

terjadinya kemelut di industri perbankan di dalam negeri. Cukup banyak lembaga

perbankan yang menghadapi permasalahan dan bahkan kemudian kolaps akibat

krisis tersebut. (Sutrisno & Sumarsih,2004)

Pada pertengahan tahun 1980-an berbagai macam deregulasi dikeluarkan

oleh pemerintah untuk menggairahkan industri perbankan. Diawali dengan

diluncurkannya Paket Kebijakan 20 Oktober 1988 (PAKTO) yang mencakup

bidang keuangan, moneter dan perbankan. Kebijakan dibidang perbankan antara

lain meliputi pemberian kemudahan-kemudahan dalam membuka kantor bank,

dan Lembaga Keuangan Bukan Bank, memperkenankan pendirian bank-bank

swasta baru antara lain dengan penetapan syarat modal disetor minimal Rp 10

milyar, juga memberikan kesempaatan untuk mendirikan Bank Perkreditan

Rakyat (BPR) dengan modal minimum Rp 50 juta, dan memperingan persyaratan

bagi bank menjadi bank devisa.( http://www.bi.go.id/NR/rdonlyres/A6011CBA-1B4E-

49B1-9DDC-CB01AB6C60D0/19386/SejarahPerbankanPeriode19831997.pdf)

Setelah diluncurkannya deregulasi tersebut, dalam kurun waktu 1988-

1996 bisins perbankan di Indonesia mengalami perkembangan yang sangat pesat.

Perkembangan yang sangat pesat itu ternyata tidak dapat mendorong terciptanya

industri perbankan yang kuat. Krisis keuangan yang melanda Indonesia pada

pertengahan tahun 1997 memberi dampak yang sangat buruk pada sektor

perbankan. Beberapa indikator kunci perbankan pada tahun 1998 berada pada

kondisi yang sangat buruk. Kinerja industri perbankan nasional pada waktu itu

jauh lebih buruk dibandingkan kondisi perbankan dibeberapa negara Asia yang

juga mengalami krisis ekonomi, seperti Korea Selatan, Malaysia, Philipina dan

Thailand. Non Performing Loan (NPL) bank-bank komersial mencapai 50%,

tingkat keuntungan industri perbankan pada titik minus 18%, dan Capital

Adequacy Ratio (CAR) menunjukan kondisi minus 15%.(Hawkins,1999)

Terpuruknya sektor perbankan akibat krisis ekonomi memaksa pemerintah

melikuidasi bank-bank yang dinilai tidak sehat dan tidak layak lagi untuk

beroperasi. Keputusan likuidasi 16 bank pada tanggal 1 November 1997 dianggap

sebagai pemicu krisis kepercayaan yang berlanjut dengan terpuruknya sektor

perbankan. Sebenarnya, tindakan likuidasi itu diambil untuk mencegah semakin

meluasnya krisis perbankan (systemic risk) dan besarnya resiko yang ditanggung

masyarakat (econimic cost). Selain itu, keputusan likuidasi itu juga merupakan

hasil evaluasi dan rekomendasi IMF pada tannggal 31 Oktober 1997.

Upaya penyelamatan dari bank-bank yang masih bertahan kemudian

tertolong dengan dijalankannya kebijakan “restrukturisasi finansial”dan strategi

“merger dan akuisisi”. Banyak perusahaan melakukan merger dan akuisis

dikarenakan mengalami kesulitan dalam pendanaan dan dengan harapan agar

dapat memperkuat struktur modal dan memperoleh keringanan pajak. Dengan

adanya merger dan akuisisi, perusahaan dapat melanjutkan usahanya dengan

bantuan dari perusahaan yang memiliki kelebihan terutama di bidang pendanaan

perusahaan.

Keputusan Merger dan akuisisi diambil oleh perusahaan-perusahaan

perbankan di Indonesia. Dari 101 bank yang merger dan akuisisi, 71 bank

dilikuidasi dan hanya 30 bank yang masih beroperasi itupun tidak berlangsung

lama. Sebab, mereka hanya mampu bertahan hingga tahun 1998. Sebanyak 18

bank dibekukan dan dilikuidasi. Selebihnya 12 bank, masih beroperasi hingga

tahun 2001. (Kusmargiani,2006)

Bank Indonesia sebagai bank sentral memiliki tujuan utama untuk

mencapai dan memelihara kestabilan nilai rupiah demi terciptanya struktur

perekonomian nasional yang dinamis, sehat dan kuat. Tujuan utama BI tersebut

tidak dapat dilepaskandari tugas-tugas pokoknya yang terdapat dalam UU Nomor

23 Tahun 1999 Tentang Bank Indonesia yakni; menetapkan dan melaksankan

kebijakan moneter, mengatur dan menjaga kelancaran sistem pembayaran serta

mengatur dan mengawasi bank. Mengacu pada ketentuan tersebut maka sangat

jelas bahwa Bank Indonesia memiliki kewenangan, tanggung jawab, dan

kewajiban secara utuh untuk melakukan pembinaan dan pengawasan terhadap

bank-bank yang ada di Indonesia.

Berdasarkan data Direktori Perbankan Indonesia 2007 dinyatakan bahwa

saat ini jumlah bank di Indonesia mencapai angka 128 bank, baik itu bank persero

atau pemerintah, bank umum swasta nasional devisa maupun bank umum swasta

nasional non devisa, bank asing dan bank campuran serta bank pembangunan

daerah (BPD). Diketahui juga bahwa 92 (sembilan puluh dua) bank di Indonesia

dikendalikan oleh satu tangan dengan jumlah saham lebih dari 51%. Sedangkan

bank yang para pemegang sahamnya memiliki kurang dari 30% saham hanya

terdapat 10 (sepuluh) bank. Sisanya sebanyak 36 bank, pemegang saham

pengendalinya memiliki saham sebesar 30-50%. Dan dari beberapa bank yang

sahamnya tampak pecah-pecah, ternyata kepemilikannya masih dalam lingkup

keluarga. Artinya 66,8% bank Indonesia kepemilikan sahamnya dikuasai oleh satu

pemegang saham mayoritas yang secara otomatis memegang kendali atas bank

(Pratiwi,2008).

Selain itu, berdasarkan catatan biro riset infobank, diketahui pula bahwa

pada bank yang telah go public kepemilikan saham mayoritas masih berada diatas

51%. Hal ini menunjukan bahwa bank yang telah go public tidak mengakibatkan

kepemilikannya menjadi lebih tersebar. Dapat dilihat pada PT Bank CIMB Niaga

Tbk dan PT Bank Lippo Tbk, walaupun sudah go public kompisisi saham dari

pemegang saham pengendali Bank CIMB Niaga dan Bank Lippo masih berada

diatas 50%. Sedangkan pemegang saham publiknya hanya mengantongi lebih

kurang 10% dari total komposisi saham yang ada di Bank CIMB Niaga dan Bank

Lippo.

Dalam rangka menghadapi segala perubahan dan tantangan tersebut, Bank

Indonesia sebagai bank sentral di Indonesia mengeluarkan Arsitektur Perbankan

Indonesia (selanjutnya diingkat API). Arsitektur Perbankan Indonesia (API)

merupakan suatu kerangka dasar sistem perbankan Indonesia yang bersifat

menyeluruh dan memberikan arah, bentuk, dan tatanan industri perbankan untuk

rentang waktu lima sampai sepuluh tahun ke depan. Arah kebijakan

pengembangan industri perbankan di masa datang yang dirumuskan dalam API

dilandasi oleh visi mencapai suatu sistem perbankan yang sehat, kuat dan efisien

guna menciptakan kestabilan sistem keuangan dalam rangka membantu

mendorong pertumbuhan ekonomi nasional.

Guna mempermudah pencapain visi API, maka dijabarkan 6 (enam)

sasaran yang ingin dicapai. Keenam pilar tersebut adalah : a. Menciptakan

struktur perbankan domestik yang sehat yang mampu memenuhi kebutuhan

masyarakat dan mendorong pembangunan ekonomi nasional yang

berkesinambungan; b. Menciptakan pengaturan dan pengawasan bank yang

efektif dan mengacu pada standar internasional; c. Menciptakan industri

perbankan yang kuat dan memiliki daya saing yang tinggi serta memiliki

ketahanan dalam menghadapi risiko; d. Menciptakan good corporate governace

dalam rangka memperkuat kondisi internal perbankan nasional; e. Mewujudkan

infrastruktur yang lengkap untuk mendukung terciptanya industri perbankan yang

sehat. Mewujudkan pemberdayaan dan perlindungan konsumen jasa perbankan.

Perwujudan visi API dan sasaran yang ditetapkan, serta mengacu kepada

tantangan-tantangan yang dihadapi perbakan, maka keenam pilah API tersebut

akan dilaksankan melalui beberapa program kegiatan. Salah satunya program API

adalah konsolidasi perbankan. Konsolidasi perbankan merupakan salah satu

prasyarat untuk untuk mewujudkan struktur perbankan Indonesia yang sehat dan

kuat. Penerapan konsolidasi diharapkan terjadi peningkatan skala ekonomi

sehingga dapat meningkatkan efektifitas pengawasan bank.

Sehubungan dengan hal tersebut dan penggabungan bank yang kini

semakin marak mengingat persaingan yang ketat, ekspansi bank besar dan dan

tekanan dari Bank Indonesia sebagai otoritas perbankan yang berencana

mempercepat konsolidasi perbankannya. Pada tanggal 5 Oktober 2006, Bank

Indonesia selaku pemegang otoritas moneter menerbitkan Peraturan Bank

Indonesia (PBI) Nomor 6/18/2006 tentang Kebijakan Kepemilikan Tunggal Pada

Perbankan Indonesia (Single Presence Policy) dalam rangka menata kembali

struktur kepemilikan perbankan. Kebijakan ini sebenarnya merupakan salah satu

rangkaian upaya Bank Indonesia dalam mewujudkan Arsitektur Perbankan

Indonesia (API) khususnya pilar kesatu yaitu terwujudnya struktur perbakan

nasional yang sehat dan pilar ketiga yaitu peningkatan sistem pengawasan yang

independen dan efektif. Bank Indonesia mensyaratkan pihak yang menjadi

pemegang saham pengendali pada lebih dari satu bank untuk melakukan

penyesuaian struktur kepemilikannya dalam bank-bank tersebut paling lambat

sampai dengan akhir 2010, melalui cara-cara sebagai berikut :

a) Mengalihkan sebagian atau seluruh kepemilikan sahamnya pada salah

satu bank yang dikendalikannya kepada pihak lain sehingga yang

bersangkutan hanya menjadi pemegang saham pengendali pada satu

bank; atau

b) Melakukan penggabungan atau konsolidasi bank-bank yang

dikendalikannya; atau

c) Membentuk perusahaan induk dibidang perbankan.

Dengan diterapkannya kebijakan kepemilikan tunggal, maka secara tidak

langsung pemegang saham pengendali yang memiliki saham pengendali lebih dari

satu bank harus memilih untuk melakukan divestasi saham, merger maupun

membentuk bank holding company. Pada Bank CIMB Niaga dan Bank Lippo

pemegang saham pengendali kedua bank ini dimiliki oleh Khazanah Berhard yang

merupakan investor asing dari Malaysia. Merger kedua bank ini merupakan

merger pertama bank yang diakibatkan penerapan Single Presence Policy di

Indonesia. Tentu ini bukan merupakan merger yang biasanya terjadi di Indonesia,

masalah dalam merger akan lebih kompleks karena kedua bank memiliki kekuatan

dan kewenangan masing-masing yang besar.

Direktur Direktorat Penelitian dan Pengaturan Perbankan (DPNP) Bank

Indonesia (BI), Halim Alamsyah, mengatakan pihaknya telah mengeluarkan ijin

prinsip untuk Bank Niaga dan Bank Lippo melakukan merger. Merger ke dua

bank ini sejalan dengan ketentuan `single presence policy` yang dirilis Bank

Indonesia (BI), sehingga pemegang saham pengendali di lebih dari satu bank

harus menyerahkan rencana bisnisnya paling lambat akhir tahun 2007. Pilihannya

ada tiga yaitu merger, menjual saham, atau membentuk induk perusahaan .

( http://www.antaranews.com/view/?i=1212147874&c=EKB&s=)

Pada 1 November 2008, Bank CIMB Niaga (dahulu Bank Niaga) dan

Bank Lippo, dua entitas bank terkemuka di Indonesia, telah bergabung menjadi

Bank CIMB Niaga. Penggabungan kedua bank tersebut merupakan opsi terbaik

bagi seluruh pemangku kepentingan (stakeholder) yang diambil oleh Pemegang

Saham dalam rangka mematuhi kebijakan Bank Indonesia (BI) khususnya

mengenai Kebijakan Kepemilikan Tunggal atau Single Present Policy (SPP).

Setelah Pemegang Saham kedua bank menyetujui rencana penggabungan merger

sesuai hasil Rapat Umum Pemegang Saham Luar Biasa tanggal 18 Juli 2008,

Bank CIMB Niaga dan Bank Lippo memasuki tahap integrasi, yang meliputi

berbagai aspek legal, operasional dan organisasi, diantaranya termasuk Produk

dan Layanan, Business Unit, Sales and Distribution, Human Resources, IT and

Operations, dan Corporate Office.

Merger adalah sebagai penggabungan (fusi) atau suatu proses peleburan

(absorbsi) dari suatu benda kepada benda atau hak lain. Undang-Undang tentang

Perseroan Terbatas menggunaka istilah “penggabungan” untuk pengertian merger

ini. Alasan perusahaan lebih tertarik memilih merger sebagai strateginya daripada

pertumbuhan internal adalah karena merger dianggap jalan cepat untuk

mewujudkan tujuan perusahaan dimana perusahaan tidak perlu memulai dari awal

suatu bisnis baru. Merger juga dianggap dapat menciptakan sinergi, yaitu nilai

keseluruhan perusahaaan setelah merger yang lebih besar daripada penjumlahan

nilai masing-masing perusahaan sebelum merger. Selain itu merger dapat

memberikan banyak keuntungan bagi perusahaan antara lain peningkatan

kemampuan dalam pemasaran, riset, skill manajerial, transfer teknologi, dan

efisiensi berupa penurunan biaya produksi. Dengan demikian, tujuan

menggabungkan usaha melalui merger diharapkan dapat meningkatkan kinerja

perusahaan.

Sebagai lembaga intermediasi antara pihak-pihak yang memilki kelebihan

dana dengan pihak-pihak yang memerlukan dana, diperlukan bank dengan kinerja

keuangan yang sehat, sehingga fungsi intermediasi dapat berjalan lancar.

Beberapa penelitian tentang penilaian kinerja bank pada industri perbankan yang

didasarkan pada rasio-rasio dari laporan keuangan pernah dilakukan sebelumnya.

Dalam penelitian ini kinerja keuangan bank akan dilihat dari segi tingkat

kesehatan bank tersebut.

Perbankan Indonesia dapat menjalankan fungsinya berasaskan demokrasi

ekonomi dan menggunakan prisip kehati-hatian. Prinsip kehati-hatian ini

tercermin pada tingkat kesehatan yang penilaiannya dilakukan setiap tiga bulan

sekali yang dikenal dengan metode CAMELS. Dan metode CAMELS ini

diterapkan baik pada bank umum konvensional, bank umum syariah, maupun

pada unit usaha syariah.

Metode CAMELS merupakan metode penilaian tingkat kesehatan yang

digunakan di Indonesia dan teratur dalam Peraturan Bank Indonesia (PBI) No.

9/1/PBI/2007 tanggal 12 April 2004 untuk bank umum (perubahan dari UU No.

10 tahun 1998). Penilaian tingkat kesehatan ini mencakup enam faktor yaitu :

1. Permodalan (capital)

2. Kualitas aset (asset quality)

3. Manajemen (management)

4. Rentabilitas (earning)

5. Likuiditas (likudity)

6. Sensitivitas terhadap resiko pasar (sensitivity to market risk)

Faktor keenam ini baru muncul diakhir tahun 1997 lalu. Diantara keenam

fator tersebut faktor permodalan (capital), kualitas aset (asset quality),

manajemen (management), rentabilitas (earning), dan likuiditas (liquidity) yang

paling sering digunakan dalam berbagai penelitian dikarenakan kemudahan

perhitungan dan ketersediaan informasi.

Berdasarkan latar belakang di atas maka penulis tertarik untuk melakukan

penelitian dengan judul : “Analisis Kinerja Keuangan PT Bank CIMB Niaga

Tbk Sebelum dan Sesudah Melakukan Merger Dengan Menggunakan

metode CAMEL“

1.2 Identifikasi Masalah

Berdasarkan latar belakang yang telah dikemukaan diatas, penulis

membatasi permasalahan pada kinerja keuangan Bank CIMB Niaga sebelum dan

sesudah merger, sehingga dapat diidentifikasi permasalahan sebagai berikut :

1. Bagaimana perkembangan kinerja keuangan Bank CIMB Niaga

sebelum dan sesudah merger berdasarkan CAMEL.

2. Bagaimana perbandingan skor CAMEL Bank CIMB Niaga sebelum dan

sesudah merger.

3. Apakah ada perbedaan yang signifikan kinerja keuangan Bank CIMB

Niaga sebelum merger dan sesudah merger berdasarkan CAMEL selama

periode penelitian.

1.3 Tujuan Penelitian

Sesuai dengan latar belakang dan identifikasi masalah di atas, tujuan

penelitian ini adalah :

1. Mengetahui perkembangan kinerja keuangan Bank CIMB Niaga

sebelum dan sesudah merger berdasarkan CAMEL.

2. Mengetahui dan membandingkan perkembangan skor CAMEL Bank

CIMB Niaga sebelum dan sesudah merger.

3. Mengetahui perbedaan yang signifikan kinerja keuangan Bank CIMB

Niaga sebelum dan seseudah merger berdasarkan CAMEL selama

periode penelitian.

1.4 Manfaat Penelitian

1. Kontribusi teoritis

Merger Bank CIMB Niaga dan Bank Lippo merupakan merger pertama

bank yang diakibatkan penerapan Single Presence Policy di Indonesia. Tentu ini

bukan merupakan merger yang biasanya terjadi di Indonesia, masalah dalam

merger akan lebih kompleks karena kedua bank memiliki kekuatan dan

kewenangan masing-masing yang besar.

Penelitian ini terfokus pada kinerja keuangan sebelum merger dan sesudah

merger dengan menggunakan metode CAMEL. Apabila pembuktian empiris nanti

menunjukan bahwa kinerja keuangan sebelum dan sesudah merger tidak ada

perbedaan yang signifikan, maka hasil ini sesuai dengan pendapat Fritsch (2007)

yang menyatakan bahwa merger yang terjadi pada dua perusahaan yang relatif

berimbang tidak menghasilkan perubahan profitabilitas dan efisiensi pengeluaran

secara signifikan. Kinerja hasil merger tidak berubah bila merger dilakukan antar

perusahaan yang sebanding. Apabila penelitian ini terbukti berbeda secara

signifikan, maka faktor penyebabnya diharapkan dapat teridentifikasi, sehingga

dapat memberikan kontribusi terhadap teori.

2. Kontribusi praktis

Penelitian ini diharapkan akan memberikan bukti empiris mengenai

perbedaan kinerja keuangan perusahaan sebelum dan sesudah melakukan aktivitas

merger. Apabila kinerja keuangan perusahaan sebelum dan sesudah merger

terbukti tidak ada perbedaan yang signifikan, maka bank dapat memanfaatkan

hasil penelitian ini agar dapat menjaga tingkat kesehatan bank yang diukur

melalui metode CAMEL sehingga bank tersebut memiliki kesempatan untuk

meningkatkan kinerja keuangan setelah merger. Apabila kinerja keuangan setelah

merger mengalami peningkatan kinerja dari sisi komponen CAMEL, maka hasil

penelitian ini dapat memberikan kontribusi bagi bank sebagai pertimbangan

dalam pengambilan keputusan bank dimasa yang akan datang.

1.5 Definisi Variabel-variabel Penelitian

1. Aspek Permodalan (Capital Adequancy)

Dalam penelitian kecukupan modal dinilai berdasarkan rasio modal

terhadap Aktiva Tertimbang Menurut Resiko (ATMR) yang dinamakan

dengan rasio Kewajiban Penyediaan Modal Minimum (KPMM) atau

Capital Adequacy Ratio (CAR) yaitu sebagai berikut :

𝐶𝐴𝑅 = 𝑀𝑜𝑑𝑎𝑙 𝑏𝑎𝑛𝑘 (𝑖𝑛𝑡𝑖 𝑑𝑎𝑛 𝑝𝑒𝑙𝑒𝑛𝑔𝑘𝑎𝑝)

𝐴𝑘𝑡𝑖𝑣𝑎 𝑇𝑒𝑟𝑡𝑖𝑚𝑏𝑎𝑛𝑔 𝑀𝑒𝑛𝑢𝑟𝑢𝑡 𝑅𝑒𝑠𝑖𝑘𝑜 (𝐴𝑇𝑀𝑅)× 100%

Pengertian Capital Adequacy Ratio (CAR) menurut Dendawijaya

(2006;121) adalah :

“Capital Adequacy Ratio (CAR) adalah rasio kinerja bank untuk

mengukur kecukupan modal yang dimiliki bank untuk menunjang

aktiva yang mengandung atau menghasilkan resiko, misalnya kredit

yang diberikan.”

2. Aspek Kualitas Aset (Asset Quality)

a. Rasio Aktiva Produktif yang Diklasifikasikan terhadap Aktiva

Produktif (APYDAP).

Rasio ini digunakan untuk mengetahui perbandingan

antara aktiva produktif yang sudah maupun yang tidak berpotensi

memberikan penghasilan atau menimbulkan kerugian, yaitu

sebagai berikut :

𝐴𝑃𝑌𝐷𝐴𝑃 = 𝐴𝑘𝑡𝑖𝑣𝑎 𝑃𝑟𝑜𝑑𝑢𝑘𝑡𝑖𝑓 𝑦𝑎𝑛𝑔 𝐷𝑖𝑘𝑙𝑎𝑠𝑖𝑓𝑖𝑘𝑎𝑠𝑖𝑘𝑎𝑛

𝑇𝑜𝑡𝑎𝑙 𝐴𝑘𝑡𝑖𝑣𝑎 𝑃𝑟𝑜𝑑𝑢𝑘𝑡𝑖𝑓 × 100%

b. Rasio Pemenuhan Penyisihan Penghapusan Aktiva Produktif.

Rasio ini digunakan untuk mengetahui sebarapa besar

tingkat Penyisihan Penghapusan Aktiva Produktif (PPAP) yang

telah diwajibkan untuk dibentuk. Rasio ini dirumuskan sebagai

berikut :

𝑃𝑒𝑚𝑒𝑛𝑢𝑕𝑎𝑛 𝑃𝑃𝐴𝑃 = 𝑃𝑃𝐴𝑃 𝑦𝑎𝑛𝑔 𝑡𝑒𝑙𝑎 𝑕 𝑑𝑖𝑏𝑒𝑛𝑡𝑢𝑘

𝑃𝑃𝐴𝑃 𝑤𝑎𝑗𝑖𝑏 𝑑𝑖𝑏𝑒𝑛𝑡𝑢𝑘 × 100%

3. Aspek Manajemen (Management)

Aspek manajemen pada penilaian kinerja bank tidak dapat

menggunakan pola yang ditetapkan Bank Indonesia, tetapi diproksikan

dengan Net Profit Margin (NPM), sebagai berikut :

𝑁𝑒𝑡 𝑃𝑟𝑜𝑓𝑖𝑡 𝑀𝑎𝑟𝑔𝑖𝑛 = 𝐿𝑎𝑏𝑎 𝐵𝑒𝑟𝑠𝑖𝑕

𝑃𝑒𝑛𝑑𝑎𝑝𝑎𝑡𝑎𝑛 𝑂𝑝𝑒𝑟𝑎𝑠𝑖𝑜𝑛𝑎𝑙 × 100%

4. Aspek Rentabilitas (Earning)

Rentabilitas digunakan untuk menilai keberhasilan bank dalam

menghasilkan laba sebelum pajak melalui penanaman yang dilakukan

untuk seluruh aktiva yang dimilki. penilaian ini meliputi rasio laba

terhadap total aset (ROA) dan perbandingan biaya operasi dengan

pendapatan operasi (BOPO).

a) Return On Asset (ROA)

ROA adalah rasio yang digunakan untuk mengukur

kemampuan manajemen bank dalam memperoleh keuntungan (laba)

secara keseluruhan. Perhitungan rasio ini dirumuskan sebagai berikut

:

𝑅𝑒𝑡𝑢𝑟𝑛 𝑂𝑛 𝐴𝑠𝑠𝑒𝑡 = 𝐿𝑎𝑏𝑎 𝑆𝑒𝑡𝑒𝑙𝑎𝑕 𝑃𝑎𝑗𝑎𝑘

𝑇𝑜𝑡𝑎𝑙 𝐴𝑠𝑒𝑡 × 100%

b) Beban Operasi terhadap Pendapatan Operasi (BOPO).

Rasio ini digunakan untuk mengukur tingkat efisiensi bank

dalam melakukan kegiatan operasinya. Rasio BOPO dirumuskan

sebagai berikut :

𝐵𝑂𝑃𝑂 = 𝐵𝑒𝑏𝑎𝑛 𝑂𝑝𝑒𝑟𝑎𝑠𝑖𝑜𝑛𝑎𝑙

𝑃𝑒𝑛𝑑𝑎𝑝𝑎𝑡𝑎𝑛 𝑂𝑝𝑒𝑟𝑠𝑖𝑜𝑛𝑎𝑙 × 100%

5. Aspek Likuiditas (Likuidity)

Dalam perbankan, rasio likuiditas terdapat dua macam, yaitu LDR

(Loan to Deposit Ratio) adalah rasio antara jumlah seluruh kredit yang

diberikan bank dengan dana yang diterima oleh bank. Rasio ini

dirumuskan sebagai berikut :

𝐿𝐷𝑅 = 𝐽𝑢𝑚𝑙𝑎𝑕 𝐾𝑟𝑒𝑑𝑖𝑡 𝑦𝑎𝑛𝑔 𝐷𝑖𝑏𝑒𝑟𝑖𝑘𝑎𝑛

𝐽𝑢𝑚𝑙𝑎𝑕 𝐷𝑎𝑛𝑎 𝑃𝑖𝑕𝑎𝑘 𝐾𝑒𝑡𝑖𝑔𝑎 × 100%

1.6 Outline Skripsi

Outline penelitian ini dimaksudkan untuk memudahkan penyanpaian

informasi berdasarkan urutan dan aturan logis penelitian. Skripsi ini disajikan

penulis dengan urutan yang dimulai dari bab I mengenai pendahuluan, yang

meliputi latar belakang penelitian, identifikasi masalah, tujuan penelitian, manfaat

penelitian, serta definisi variabel-variabel penelitian dan outline skripsi.

Kemudian dilanjutkan dengan bab II mengenai kajian pustaka yang membahas

lebih dalam mengenai teori yang digunakan dan definisi pengembangan

hipotesis. Selanjutnya diiukuti bab III mengenai metode penelitian yang

digunakan. Pada bab IV membahas mengenai hasil penelitian dan pembahasan.

Dan bab paling akhir dari skripsi ini adalah bab V yang membahas mengenai

kesimpulan dan saran dari penelitian yang telah dilakukan.