8
RELEVANSI HERMENEUTIKA DAN SEMIOTIKA TERHADAP AL-QUR’AN PENDAHULUAN Sebelumnya kita sudah membahas tentang pro-kontra hermeneutika dan semiotika jika diterapkan terhadap al-Qur’an, Sebuah pemikiran tidak akan lepas dari pro-kontra, demikian halnya dengan ide menerapkan hermeneutika dan semiotika terhadap al-Qur’an yang notabene dapat dilihat banyak mengkritik berbagai pihak baik itu dari pihak orientalis maupun pihak ulama muslim terutama masa klasik. Setelah dipelajari lebih lanjut, apakah hermeneutika dan semiotika relevan atau tidak untuk al-Qur’an? HERMENEUTIKA DAN SEMIOTIKA Istilah “hermeneutika” berasal dari ”hermeneuein” (Yunani) yang diambil dari kata hermeneia yang secara harfiah berarti penafsiran/ interpretasi. Sedangkan, hermeneutes bermakna penafsir. Kata ini semula dihubungkan dengan Hermes, yaitu utusan yang bertugas menyampaikan pesan Dewa Jupiter kepada manusia. Dengan diasosiasikan dengan Hermes, hermeneutika memiliki unsur triadik (tiga): pesan atau teks, penafsir (interpreter) yang diasosiakan dengan Hermes yang menyampaikan pesan kepada manusia, dan penyampaian pesan tersebut kepada manusia (audiens). Dengan begitu, hermeneutika kemudian menjadi “seni menginterpretasikan” (the art of interpretation). Dalam tradisi yunani kuno hermeneuen dipakai dalam tiga makna yaitu mengatakan (to say), menjelaskan (to explain), dan menerjemahkan (to translate). Dari tiga makna ini kemudian dalam kata inggris di ekspresikan dengan kata : to interpret. Dengan demikian kegiatan

abcde.docx

Embed Size (px)

Citation preview

Page 1: abcde.docx

RELEVANSI HERMENEUTIKA DAN SEMIOTIKA

TERHADAP AL-QUR’AN

PENDAHULUAN

Sebelumnya kita sudah membahas tentang pro-kontra hermeneutika dan semiotika jika

diterapkan terhadap al-Qur’an, Sebuah pemikiran tidak akan lepas dari pro-kontra, demikian halnya

dengan ide menerapkan hermeneutika dan semiotika terhadap al-Qur’an yang notabene dapat dilihat

banyak mengkritik berbagai pihak baik itu dari pihak orientalis maupun pihak ulama muslim terutama

masa klasik. Setelah dipelajari lebih lanjut, apakah hermeneutika dan semiotika relevan atau tidak untuk

al-Qur’an?

HERMENEUTIKA DAN SEMIOTIKA

Istilah “hermeneutika” berasal dari ”hermeneuein” (Yunani) yang diambil dari kata hermeneia

yang secara harfiah berarti penafsiran/ interpretasi. Sedangkan, hermeneutes bermakna penafsir. Kata

ini semula dihubungkan dengan Hermes, yaitu utusan yang bertugas menyampaikan pesan Dewa Jupiter

kepada manusia. Dengan diasosiasikan dengan Hermes, hermeneutika memiliki unsur triadik (tiga):

pesan atau teks, penafsir (interpreter) yang diasosiakan dengan Hermes yang menyampaikan pesan

kepada manusia, dan penyampaian pesan tersebut kepada manusia (audiens). Dengan begitu,

hermeneutika kemudian menjadi “seni menginterpretasikan” (the art of interpretation).

Dalam tradisi yunani kuno hermeneuen dipakai dalam tiga makna yaitu mengatakan (to say),

menjelaskan (to explain), dan menerjemahkan (to translate). Dari tiga makna ini kemudian dalam kata

inggris di ekspresikan dengan kata : to interpret. Dengan demikian kegiatan interpretasi menunjukkan

pada tiga hal pokok : pengucapan lisan, penjelasan yang masuk, dan terjemahan dari bahasa.

Hermeneutika semula diterapkan untuk menginterpretasi teks-teks dalam Bible (the study of

the general principle of Biblical interpretation. Di kalangan Kristen awal, Origen dikenal sebagai salah

seorang yang memperkenalkan cara-cara memahami Bible, yaitu dengan menggunakan metode

allegoris (di samping metode-metode yang dikenal sebelumnya, yaitu interpretasi literal, interpretasi

moral, dan interpretasi mistis).

Hermeneutika secara umum (baik yang diterapkan dalam kajian teks maupun yang diterapkan

dalam ilmu-ilmu sosial) melihat “teks” sebagai sesuatu yang bisa dibaca, diamati, atau dipikirkan,

Page 2: abcde.docx

sehingga “teks” mengandung dua pengertian: teks tertulis (seperti buku, dokume, kitab suci, dsb.) dan

teks tak tertulis atau realitas, namun juga bisa dibaca, seperti realitas sosial.

Sedangkan semiotika berasal dari kata Yunani: semeion, yang berarti tanda. Dalam pandangan

Piliang, penjelajahan semiotika sebagai metode kajian ke dalam berbagai cabang keilmuan ini

dimungkinkan karena ada kecenderungan untuk memandang berbagai wacana sosial sebagai fenomena

bahasa. Dengan kata lain, bahasa dijadikan model dalam berbagai wacana sosial. Berdasarkan

pandangan semiotika, bila seluruh praktek sosial dapat dianggap sebagai fenomena bahasa, maka

semuanya dapat juga dipandang sebagai tanda. Hal ini dimungkinkan karena luasnya pengertian tanda

itu sendiri

Ada beberapa model dan tokoh hermeneutika dan semiotika:

Hermeneutika Romantatik : Friedrich Daniel Ernst Schleiermacher

Schleiermacher (1768-1834) dengan “hermeneutika psiklogis” (langkah 1: interpretasi

gramatikal dengan media kaedah bahasa, dalam re-konstruksi gramatikal, pembaca menafsirkan teks

dengan aturan dan struktur gramatikal dan linguistik yang berlaku dalam konteks ketika teks itu

diproduksi. Maka penafsiran gramatikal – yang mendekati teks dalam kerangka makna dari kata-kata

tertentu, harus dilengkapi dengan penafsiran psikologis – yang merupakan proyeksi ke dalam proses

kreatif dan subyektivitas pengarang. langkah 2: interpretasi psikologis dengan merekonstruksi secara

imajinatif suasana batin pengarang ketika menulis teks ini, intuitive understanding : artinya

Hermeneutika bertugas untuk merekonstruksi psikologi pengarang.

Hermeneutika Historis : Wilhem Dilthey

Wilhelm Dilthey (1833-1911) dengan “hermeneutika sejarah” (memunculkan makna-makna dari

peristiwa yang melahirkan teks). Bisa dikatakan, Dilthey adalah penghubung antara para hermeneut

abad ke-19 (dengan dedengkot utamanya, Schleiermacher) dan membawa tradisi "baru" hermeneutika

abad ke-20. koreksi utamanya terhadap Schleiermacher adalah penolakan Dilthey terhadap asumsi

Schleiermacher bahwa setiap kerja pengarang bersumber dari prinsip-prinsip yang implisit dalam pikiran

pengarang, Dilthey menganggap asumsi ini anti-Historis sebab ia tidak membertimbangkan pengaruh

eksternal dalam perkembangan pikiran pengarang. Dilthey juga berpandangan bahwa yang direproduksi

bukanlah keadaan psikis tokoh-tokoh dalam teks dan dari teks melainkan bagaimana proses karya itu

diciptakan. Yang dilakukan bukan empati terhadap pencipta teks, melainkan membuat rekonstruksi dan

Page 3: abcde.docx

objektivikasi mental yaitu produk budaya. Dithey berpendapat bahwa teks disini bukan teks dalam arti

tertulis tapi teks dalam konteks realitas, (Alam dan Sosial). Dan dalam memahami keduanya

dibutuhakan pendekatan yang berbeda. Pendekatan Euklaren untuk Alam dan Verstehen untuk tatanan

sosial.

Hermeneutika Fenomenologis Dasein : Martin Heidegger

Hermeneutika fenomenologis Martin Heidegger (1889-1976). Bagi Heidegger, hermeneutika

berarti penafsiran terhadap esensi (being), yang dalam kenyataannya selalu tampil dalam eksistensi.

Sehingga suatu kebenaran tidak lagi ditandai oleh kesesuaian antara konsep dan realita objektif, tetapi

oleh tersingkapnya esensi tersebut. Dan satu-satunya wahana bagi penampakan being tersebut adalah

eksistensi manusia. Maka hermeneutikan tidak lain dari pada penafsiran diri manusia itu sendiri (dasein)

melalui bahasa. Memahami dan menafsirkan adalah bentuk paling mendasar dari keberadaan manusia.

Lebih jelasnya, "jika Dilthey menekankan konteks kesejarahan, Heidegger menekankan pemahaman

tentang kehidupan", situasi pengarang, dan audiensnya.

Hermeneutika Dialogis : Hans-Georg Gadamer

Hermeneutika fenomenologis Hans-George Gadamer (1900-1998). Hermeneutika, menurutnya,

adalah interpretasi teks sesuai dengan konteks ruang dan waktu interpreter berada. Inilah yang

disebutnya sebagai effective historical consciousness (kesadaran-sejarah yang efektif) yang memuat

kesadaran tiga kerangka waktu: masa lalu ketika teks dipublikasikan atau ketika ayat-ayat al-Qur’an

diturunkan, masa sekarang ketika kita sekarang berhadap dan memahami teks itu, dan masa akan

datang yang harus menangkap nuansa baru yang produktif dari makna teks.

Hermeneutika Fenomenologis Strukturalis : Paul Ricoeur

Hermeneutika Ricoeur berupaya mengintegrasikan antara metode “pemahaman” (verstehen)

dan “penjelasan” (erkleren) yang dipertentangkan oleh Dilthey. Jadi, bukan hanya melalui teks yang

berbicara, makna teks juga bisa dipahami oleh pemahaman struktural di luar teks. Ia kemudian

membedakan antara interpretasi teks tertulis (discourse, diskursus) dan percakapan (dialogue). Teks

perbeda dari percakapan karena ia terlepas dari kondisi asal yang menghsilkannya, niat penulisnya

sudah kabur, audiennya lebih umum dan referensinya tidak dapat lagi dideteksi. Konsep yang utama

dalam pandangan Ricour adalah bahwa begitu makna obyektif di ekspresikan dari niat subyektif sang

pengarang, maka berbagai interpretasi yang dapat diterima menjadi mungkin. Makna tidak diambil

Page 4: abcde.docx

hanya menurut pandangan hidup pengarangnya, tapi juga menurut pengertian pandangan hidup

pembacanya.

Semiotic Ferdinand de Saussure

Saussure dianggap sebagai bapak semiologi, dengan teori semiotiknya yang terkenal dengan

Struturalisme. Saussure mendefinisikan tanda linguistik sebagai entitas dua sisi (dyad). Sisi pertama

disebutnya dengan Penanda (signifier). Penanda adalah aspek material dari sebuah tanda. Sebagaimana

kita menangkap bunyi saat orang berbicara. Bunyi ini muncul dari getaran pita suara (yang tentu saja

bersifat material). Sisi kedua adalah apa yang disebut Saussure sebagai Petanda (signified). Petanda

merupakan konsep mental, seperti ketika kita menyebut kata ‘anjing” (yang disusun dari penanda a-n-j-

i-n-g), adalah apa yang terkesankan pada pendengar, bukanlah anjing yang sesungguhnya, melainkan

sebuah konsep tentang “keanjingan”, seperti bertaring, berkaki empat, menggigit, ekornya selalu

bergoyang, menggonggong dan suka kencing sembarangan.

Semiotic Roland Barthes

Roland Barthes adalah seorang tokoh semiotika penganut madzhab Strukturalisnya Saussure,

jadi tidak jauh berbeda dengan konsep Strukturalis ala Saussure yang tetap menganggap bahwa dalam

tanda linguistik terdapat dua sisi yang saling berhubungan, yaitu penanda yang diistilahkan oleh Barthes

dengan Expression, dan petanda yang diistilahkan dengan Content, kemudian keduanya terjadi Relasi

(hubungan) yang menimbulkan makna Denotasi atau makna sebenarnya. Kesatuan expression yang

berhubungan dengan content yang kemudian menimbulkan makna denotasi disebut sebagai sistem I,

sedangkan dari sistem I ini kemudian berhubungan dengan content kedua yang akhirnya memunculkan

makna Konotasi atau makna tidak sebenarnya. Dan kesatuan proses tadi sampai timbulnya makna

konotasi kemudian disebut sitem II. Makna konotasi yang terus menerus akan menjadi Mitos, dan mitos

yang terus-menerus akan menjadi Ideologi.

Semiotic Charles Peirce

Berbeda dengan apa yang diungkapkan Saussure yang meyakini bahwa tanda memiliki dua sisi

keterkaitan. Konsep semiotika yang dianut Peirce adalah bahwa teori tanda dibentuk oleh hubungan tiga

sisi. Tiga sisi hubungan tersebut adalah Representamen (oleh Peirce disebut juga “tanda”) yang

berhubungan dengan Objek (sesuatu yang dirujuk oleh tanda atau representamen), yang dengan

Page 5: abcde.docx

hubungan tersebut membuahkan Interpretant (sesuatu yang dicerap oleh benak kita, sebagai hasil

penghadapan kita dengan tanda itu sendiri).

Wujud Interpretant yang tersamar, memungkinkan ia menjelma menjadi Tanda/Representamen

baru. Dan hasilnya adalah satu mata rantai semiosis. Ini menempatkan Interpretant dalam satu

hubungan dengan Objek lain, yang pada gilirannya akan melahirkan Interpretant baru. Interpretant ini

nantinya ditransformasi menjadi Tanda/Representamen yang berhubungan dengan Objek berikutnya,

yang mengakibatkan lahirnya Interpretant lain. Ini terus berlangsung tanpa batas yang disebut dengan

unlimited semiosis atau mata rantai semiotika tanpa batas.

KESIMPULAN

Dari beberapa teori yang diberikan oleh tokoh-tokoh hermeneutika dan semiotika, ilmu ini

mungkin bisa menjadi opsi/tawaran untuk mendapatkan penafsiran yang bisa menyesuaikan dengan

kondisi sosial yang beda dengan zaman Nabi.

Hermeneutika dan semiotika sebagai sebuah metode penafsiran relevan kita pakai dalam

memahami pesan Al-Qur’an agar subtilitas inttelegendi (ketepatan pemahaman) dan subtilitas

ecsplicandi (ketepatan penjabaran) dari pesan Allah bisa ditelusuri secara komprehensif. Maksudnya,

pesan Allah yang diturunkan pada teks al-Qur’an melalui Nabi Muhammad itu tidak hanya kita pahami

secara tekstual, juga bisa kita pahami secara kontekstual dan menyeluruh dengan tidak membatasi diri

pada teks dan konteks ketika Al-Qur’an turun. Maka, teks Al-Qur’an beserta yang melingkupinya dapat

digunakan agar selaras dan cocok dengan kondisi ruang, waktu, dan tempat di mana kita berada dan

hidup. Diskursus hermeneutika tidak bisa kita lepaskan dari bahasa, karena problem hermeneutika

adalah problem bahasa. Karena itu, dalam memahami teks Al-Qur’an, disamping harus memahami

kaidah tata bahasa, juga mengandaikan suasana psikologis dan sosio historis (wacana) teks tersebut.

Atau dengan kata lain, istilah teknis yang diciptakan Ferdinand de Saussure di atas –seorang ahli bahasa

dari Swis adalah hubungan yang dialektis antara teks dan wacana.

Sebuah penafsiran dan usaha pemahaman terhadap Al-Qur’an jika memakai metode

hermeneutika, selalu terdapat tiga faktor yang senantiasa dipertimbangkan, yaitu dunia teks, dunia

pengarang, dan dunia pembaca. Ketiga komponen itu memiliki konteks sendiri-sendiri, sehingga jika

memahami teks Al-Qur’an hanya bertumpu pada satu dimensi tanpa mempertimbangkan dimensi yang

lainnya, pemahaman yang diperoleh tidak akan luas dan miskin.

Page 6: abcde.docx

Dalam tradisi hermeneutika, terutama metode yang diperkenalkan oleh Gadamer, akan terlihat

jelas bahwa dalam setiap pemahaman teks, tidak terkecuali pada teks Al-Qur’an, unsur subyektivitas

penafsir tidak mungkin disingkirkan. Bahkan secara ekstrem dikatakan bahwa sebuah teks akan berbunyi

dan hidup ketika dipahami, diperhatikan, dan diajak dialog oleh pembacanya. Dalam proses dialog,

berarti pihak pembaca memiliki ruang kebebasan dan otonomi. Munculnya kitab tafsir Al-Qur’an yang

berjilid-jilid yang masih dan akan terus berkembang menunjukkan bahwa pemahaman ulama’ pada Al-

Qur’an dan tradisi kenabian tidak pernah final.

Di masa modern ini, ada dua mufassir terkemuka yang menggunakan metode hermeneutika

yaitu Fazlur Rahman dan Mohammed Arkoun. Fazlur Rahman meskipun belum secara langsung

menggunakan hermeneutika sebagai metode tafsirnya, namun ia telah memberikan bobot besar pada

kontekstualitas. Menurut Rahman, memahami pesan Al-Qur’an secara adikuat dan efektif, pemahaman

secara menyeluruh terhadap perkembangan kronologisnya, dan bukan pemahaman secara ayat per

ayat, merupakan sebuah kemutlakan.