Upload
arini-estetia-putri
View
20
Download
5
Embed Size (px)
Citation preview
RELEVANSI HERMENEUTIKA DAN SEMIOTIKA
TERHADAP AL-QUR’AN
PENDAHULUAN
Sebelumnya kita sudah membahas tentang pro-kontra hermeneutika dan semiotika jika
diterapkan terhadap al-Qur’an, Sebuah pemikiran tidak akan lepas dari pro-kontra, demikian halnya
dengan ide menerapkan hermeneutika dan semiotika terhadap al-Qur’an yang notabene dapat dilihat
banyak mengkritik berbagai pihak baik itu dari pihak orientalis maupun pihak ulama muslim terutama
masa klasik. Setelah dipelajari lebih lanjut, apakah hermeneutika dan semiotika relevan atau tidak untuk
al-Qur’an?
HERMENEUTIKA DAN SEMIOTIKA
Istilah “hermeneutika” berasal dari ”hermeneuein” (Yunani) yang diambil dari kata hermeneia
yang secara harfiah berarti penafsiran/ interpretasi. Sedangkan, hermeneutes bermakna penafsir. Kata
ini semula dihubungkan dengan Hermes, yaitu utusan yang bertugas menyampaikan pesan Dewa Jupiter
kepada manusia. Dengan diasosiasikan dengan Hermes, hermeneutika memiliki unsur triadik (tiga):
pesan atau teks, penafsir (interpreter) yang diasosiakan dengan Hermes yang menyampaikan pesan
kepada manusia, dan penyampaian pesan tersebut kepada manusia (audiens). Dengan begitu,
hermeneutika kemudian menjadi “seni menginterpretasikan” (the art of interpretation).
Dalam tradisi yunani kuno hermeneuen dipakai dalam tiga makna yaitu mengatakan (to say),
menjelaskan (to explain), dan menerjemahkan (to translate). Dari tiga makna ini kemudian dalam kata
inggris di ekspresikan dengan kata : to interpret. Dengan demikian kegiatan interpretasi menunjukkan
pada tiga hal pokok : pengucapan lisan, penjelasan yang masuk, dan terjemahan dari bahasa.
Hermeneutika semula diterapkan untuk menginterpretasi teks-teks dalam Bible (the study of
the general principle of Biblical interpretation. Di kalangan Kristen awal, Origen dikenal sebagai salah
seorang yang memperkenalkan cara-cara memahami Bible, yaitu dengan menggunakan metode
allegoris (di samping metode-metode yang dikenal sebelumnya, yaitu interpretasi literal, interpretasi
moral, dan interpretasi mistis).
Hermeneutika secara umum (baik yang diterapkan dalam kajian teks maupun yang diterapkan
dalam ilmu-ilmu sosial) melihat “teks” sebagai sesuatu yang bisa dibaca, diamati, atau dipikirkan,
sehingga “teks” mengandung dua pengertian: teks tertulis (seperti buku, dokume, kitab suci, dsb.) dan
teks tak tertulis atau realitas, namun juga bisa dibaca, seperti realitas sosial.
Sedangkan semiotika berasal dari kata Yunani: semeion, yang berarti tanda. Dalam pandangan
Piliang, penjelajahan semiotika sebagai metode kajian ke dalam berbagai cabang keilmuan ini
dimungkinkan karena ada kecenderungan untuk memandang berbagai wacana sosial sebagai fenomena
bahasa. Dengan kata lain, bahasa dijadikan model dalam berbagai wacana sosial. Berdasarkan
pandangan semiotika, bila seluruh praktek sosial dapat dianggap sebagai fenomena bahasa, maka
semuanya dapat juga dipandang sebagai tanda. Hal ini dimungkinkan karena luasnya pengertian tanda
itu sendiri
Ada beberapa model dan tokoh hermeneutika dan semiotika:
Hermeneutika Romantatik : Friedrich Daniel Ernst Schleiermacher
Schleiermacher (1768-1834) dengan “hermeneutika psiklogis” (langkah 1: interpretasi
gramatikal dengan media kaedah bahasa, dalam re-konstruksi gramatikal, pembaca menafsirkan teks
dengan aturan dan struktur gramatikal dan linguistik yang berlaku dalam konteks ketika teks itu
diproduksi. Maka penafsiran gramatikal – yang mendekati teks dalam kerangka makna dari kata-kata
tertentu, harus dilengkapi dengan penafsiran psikologis – yang merupakan proyeksi ke dalam proses
kreatif dan subyektivitas pengarang. langkah 2: interpretasi psikologis dengan merekonstruksi secara
imajinatif suasana batin pengarang ketika menulis teks ini, intuitive understanding : artinya
Hermeneutika bertugas untuk merekonstruksi psikologi pengarang.
Hermeneutika Historis : Wilhem Dilthey
Wilhelm Dilthey (1833-1911) dengan “hermeneutika sejarah” (memunculkan makna-makna dari
peristiwa yang melahirkan teks). Bisa dikatakan, Dilthey adalah penghubung antara para hermeneut
abad ke-19 (dengan dedengkot utamanya, Schleiermacher) dan membawa tradisi "baru" hermeneutika
abad ke-20. koreksi utamanya terhadap Schleiermacher adalah penolakan Dilthey terhadap asumsi
Schleiermacher bahwa setiap kerja pengarang bersumber dari prinsip-prinsip yang implisit dalam pikiran
pengarang, Dilthey menganggap asumsi ini anti-Historis sebab ia tidak membertimbangkan pengaruh
eksternal dalam perkembangan pikiran pengarang. Dilthey juga berpandangan bahwa yang direproduksi
bukanlah keadaan psikis tokoh-tokoh dalam teks dan dari teks melainkan bagaimana proses karya itu
diciptakan. Yang dilakukan bukan empati terhadap pencipta teks, melainkan membuat rekonstruksi dan
objektivikasi mental yaitu produk budaya. Dithey berpendapat bahwa teks disini bukan teks dalam arti
tertulis tapi teks dalam konteks realitas, (Alam dan Sosial). Dan dalam memahami keduanya
dibutuhakan pendekatan yang berbeda. Pendekatan Euklaren untuk Alam dan Verstehen untuk tatanan
sosial.
Hermeneutika Fenomenologis Dasein : Martin Heidegger
Hermeneutika fenomenologis Martin Heidegger (1889-1976). Bagi Heidegger, hermeneutika
berarti penafsiran terhadap esensi (being), yang dalam kenyataannya selalu tampil dalam eksistensi.
Sehingga suatu kebenaran tidak lagi ditandai oleh kesesuaian antara konsep dan realita objektif, tetapi
oleh tersingkapnya esensi tersebut. Dan satu-satunya wahana bagi penampakan being tersebut adalah
eksistensi manusia. Maka hermeneutikan tidak lain dari pada penafsiran diri manusia itu sendiri (dasein)
melalui bahasa. Memahami dan menafsirkan adalah bentuk paling mendasar dari keberadaan manusia.
Lebih jelasnya, "jika Dilthey menekankan konteks kesejarahan, Heidegger menekankan pemahaman
tentang kehidupan", situasi pengarang, dan audiensnya.
Hermeneutika Dialogis : Hans-Georg Gadamer
Hermeneutika fenomenologis Hans-George Gadamer (1900-1998). Hermeneutika, menurutnya,
adalah interpretasi teks sesuai dengan konteks ruang dan waktu interpreter berada. Inilah yang
disebutnya sebagai effective historical consciousness (kesadaran-sejarah yang efektif) yang memuat
kesadaran tiga kerangka waktu: masa lalu ketika teks dipublikasikan atau ketika ayat-ayat al-Qur’an
diturunkan, masa sekarang ketika kita sekarang berhadap dan memahami teks itu, dan masa akan
datang yang harus menangkap nuansa baru yang produktif dari makna teks.
Hermeneutika Fenomenologis Strukturalis : Paul Ricoeur
Hermeneutika Ricoeur berupaya mengintegrasikan antara metode “pemahaman” (verstehen)
dan “penjelasan” (erkleren) yang dipertentangkan oleh Dilthey. Jadi, bukan hanya melalui teks yang
berbicara, makna teks juga bisa dipahami oleh pemahaman struktural di luar teks. Ia kemudian
membedakan antara interpretasi teks tertulis (discourse, diskursus) dan percakapan (dialogue). Teks
perbeda dari percakapan karena ia terlepas dari kondisi asal yang menghsilkannya, niat penulisnya
sudah kabur, audiennya lebih umum dan referensinya tidak dapat lagi dideteksi. Konsep yang utama
dalam pandangan Ricour adalah bahwa begitu makna obyektif di ekspresikan dari niat subyektif sang
pengarang, maka berbagai interpretasi yang dapat diterima menjadi mungkin. Makna tidak diambil
hanya menurut pandangan hidup pengarangnya, tapi juga menurut pengertian pandangan hidup
pembacanya.
Semiotic Ferdinand de Saussure
Saussure dianggap sebagai bapak semiologi, dengan teori semiotiknya yang terkenal dengan
Struturalisme. Saussure mendefinisikan tanda linguistik sebagai entitas dua sisi (dyad). Sisi pertama
disebutnya dengan Penanda (signifier). Penanda adalah aspek material dari sebuah tanda. Sebagaimana
kita menangkap bunyi saat orang berbicara. Bunyi ini muncul dari getaran pita suara (yang tentu saja
bersifat material). Sisi kedua adalah apa yang disebut Saussure sebagai Petanda (signified). Petanda
merupakan konsep mental, seperti ketika kita menyebut kata ‘anjing” (yang disusun dari penanda a-n-j-
i-n-g), adalah apa yang terkesankan pada pendengar, bukanlah anjing yang sesungguhnya, melainkan
sebuah konsep tentang “keanjingan”, seperti bertaring, berkaki empat, menggigit, ekornya selalu
bergoyang, menggonggong dan suka kencing sembarangan.
Semiotic Roland Barthes
Roland Barthes adalah seorang tokoh semiotika penganut madzhab Strukturalisnya Saussure,
jadi tidak jauh berbeda dengan konsep Strukturalis ala Saussure yang tetap menganggap bahwa dalam
tanda linguistik terdapat dua sisi yang saling berhubungan, yaitu penanda yang diistilahkan oleh Barthes
dengan Expression, dan petanda yang diistilahkan dengan Content, kemudian keduanya terjadi Relasi
(hubungan) yang menimbulkan makna Denotasi atau makna sebenarnya. Kesatuan expression yang
berhubungan dengan content yang kemudian menimbulkan makna denotasi disebut sebagai sistem I,
sedangkan dari sistem I ini kemudian berhubungan dengan content kedua yang akhirnya memunculkan
makna Konotasi atau makna tidak sebenarnya. Dan kesatuan proses tadi sampai timbulnya makna
konotasi kemudian disebut sitem II. Makna konotasi yang terus menerus akan menjadi Mitos, dan mitos
yang terus-menerus akan menjadi Ideologi.
Semiotic Charles Peirce
Berbeda dengan apa yang diungkapkan Saussure yang meyakini bahwa tanda memiliki dua sisi
keterkaitan. Konsep semiotika yang dianut Peirce adalah bahwa teori tanda dibentuk oleh hubungan tiga
sisi. Tiga sisi hubungan tersebut adalah Representamen (oleh Peirce disebut juga “tanda”) yang
berhubungan dengan Objek (sesuatu yang dirujuk oleh tanda atau representamen), yang dengan
hubungan tersebut membuahkan Interpretant (sesuatu yang dicerap oleh benak kita, sebagai hasil
penghadapan kita dengan tanda itu sendiri).
Wujud Interpretant yang tersamar, memungkinkan ia menjelma menjadi Tanda/Representamen
baru. Dan hasilnya adalah satu mata rantai semiosis. Ini menempatkan Interpretant dalam satu
hubungan dengan Objek lain, yang pada gilirannya akan melahirkan Interpretant baru. Interpretant ini
nantinya ditransformasi menjadi Tanda/Representamen yang berhubungan dengan Objek berikutnya,
yang mengakibatkan lahirnya Interpretant lain. Ini terus berlangsung tanpa batas yang disebut dengan
unlimited semiosis atau mata rantai semiotika tanpa batas.
KESIMPULAN
Dari beberapa teori yang diberikan oleh tokoh-tokoh hermeneutika dan semiotika, ilmu ini
mungkin bisa menjadi opsi/tawaran untuk mendapatkan penafsiran yang bisa menyesuaikan dengan
kondisi sosial yang beda dengan zaman Nabi.
Hermeneutika dan semiotika sebagai sebuah metode penafsiran relevan kita pakai dalam
memahami pesan Al-Qur’an agar subtilitas inttelegendi (ketepatan pemahaman) dan subtilitas
ecsplicandi (ketepatan penjabaran) dari pesan Allah bisa ditelusuri secara komprehensif. Maksudnya,
pesan Allah yang diturunkan pada teks al-Qur’an melalui Nabi Muhammad itu tidak hanya kita pahami
secara tekstual, juga bisa kita pahami secara kontekstual dan menyeluruh dengan tidak membatasi diri
pada teks dan konteks ketika Al-Qur’an turun. Maka, teks Al-Qur’an beserta yang melingkupinya dapat
digunakan agar selaras dan cocok dengan kondisi ruang, waktu, dan tempat di mana kita berada dan
hidup. Diskursus hermeneutika tidak bisa kita lepaskan dari bahasa, karena problem hermeneutika
adalah problem bahasa. Karena itu, dalam memahami teks Al-Qur’an, disamping harus memahami
kaidah tata bahasa, juga mengandaikan suasana psikologis dan sosio historis (wacana) teks tersebut.
Atau dengan kata lain, istilah teknis yang diciptakan Ferdinand de Saussure di atas –seorang ahli bahasa
dari Swis adalah hubungan yang dialektis antara teks dan wacana.
Sebuah penafsiran dan usaha pemahaman terhadap Al-Qur’an jika memakai metode
hermeneutika, selalu terdapat tiga faktor yang senantiasa dipertimbangkan, yaitu dunia teks, dunia
pengarang, dan dunia pembaca. Ketiga komponen itu memiliki konteks sendiri-sendiri, sehingga jika
memahami teks Al-Qur’an hanya bertumpu pada satu dimensi tanpa mempertimbangkan dimensi yang
lainnya, pemahaman yang diperoleh tidak akan luas dan miskin.
Dalam tradisi hermeneutika, terutama metode yang diperkenalkan oleh Gadamer, akan terlihat
jelas bahwa dalam setiap pemahaman teks, tidak terkecuali pada teks Al-Qur’an, unsur subyektivitas
penafsir tidak mungkin disingkirkan. Bahkan secara ekstrem dikatakan bahwa sebuah teks akan berbunyi
dan hidup ketika dipahami, diperhatikan, dan diajak dialog oleh pembacanya. Dalam proses dialog,
berarti pihak pembaca memiliki ruang kebebasan dan otonomi. Munculnya kitab tafsir Al-Qur’an yang
berjilid-jilid yang masih dan akan terus berkembang menunjukkan bahwa pemahaman ulama’ pada Al-
Qur’an dan tradisi kenabian tidak pernah final.
Di masa modern ini, ada dua mufassir terkemuka yang menggunakan metode hermeneutika
yaitu Fazlur Rahman dan Mohammed Arkoun. Fazlur Rahman meskipun belum secara langsung
menggunakan hermeneutika sebagai metode tafsirnya, namun ia telah memberikan bobot besar pada
kontekstualitas. Menurut Rahman, memahami pesan Al-Qur’an secara adikuat dan efektif, pemahaman
secara menyeluruh terhadap perkembangan kronologisnya, dan bukan pemahaman secara ayat per
ayat, merupakan sebuah kemutlakan.