10
MODEL TRADISIONAL DAN BERPACARAN PENENTU PILIBAN CALON PENGANTIN DALAM MASYARAKAT JAW A Oleh: Hardiyanto Abstrak Perkawinan merupakan perjodohan pria dengan wanita menjadi suami isteri. Dalam penentuan calon penganten dewasa ini mengenal dua model, yaitu model tradisional dan berpacaran. Di dalam model tradisional ini calon. penganten dalam pilihannya ditentukan oleh orang tua. Sedang di dalam model berpacaran calon penganten dalam pilihannya ditentukan oleh calon penganten sendiri baik si pria maupun wanita. Model tradisional ini memiliki segi positif dan negatifSegi positifnya. yaitu: 1. Apabila suami isteri merasa cocok atau saling mengerti, maka perkawinan itu akan langgeng atau abadi. 2. Apabi/a perkawinan itu masih ada hubungan darah atau keluarga. maka harta tidak akanjatuh pada orang lain. Dalam istilah bahasa Jawa "bandhane ora keliya". 3. Hubungan "besan" (kedua orang tua dari suami isteri) menjadi akrab. Segi negatifnya ialah: 1. Perkawinan tidak akan langgeng apabila suami isteri tidak cocok atau cinta. 2. Perkawinan kemungkinan berakhir dengan jalan bunuh diri, karena si suami atau isteri begitu patuh atau takut kepada orang tua. Model berpacaran ini juga memiliki segi positif dan negatif. Adapun segi positifnya, yaitu jika dalam proses berpacaran ada titik temu. maka perkawinan itu tentunya akan langgeng. Segi negatifnya. yaitu: 1. Di dalam proses berpacaran tidak ada kecocokan. maka putuslah hubungan tersebut. 2. Ada yang frustasi karena salah satu pihak terlanjur cinta bahkan sampai terjadi apa yang dinamakan "kecelakaan" Model berpacaran mendominasi atau frekuensinya tinggi dalam menentukan pilihan calon penganten. Kemungkinan perbandingannya 1 untuk model tradisional dan 9 untuk model berpacaran. Dengan demikian pilihan itu sudah bergeser dari model tradisional ke model berpacaran. A. Pendahuluan Perkawinan merupakan petjodohan pria dengan wanita menjadi suami isteri. Kehidupan berkeluarga adalah harapan yang wajar dan sehat dari setiap anak-anak muda dan remaja dalam masa perkembangan dan pertumbuhannya (Hasan Basri, 1995: 3). Harapan tersebut terkesan semakin "membara" dan dorongannya semakin terasa meluap-luap dengan dahsyat. Jika badan sehat, dan beberapa kondisi lain yang mendukung dimiliki di jalur kehidupan yang sedang dilalui. 93

Abstrak - CORE · 2013-07-08 · sudah setengah baya, yang biasanya dianggap ahli tata cara perkawinan, atau yang ahli dalam mengatur upacara perkawinan (Koentjaraningrat, 1984: 126)

  • Upload
    others

  • View
    0

  • Download
    0

Embed Size (px)

Citation preview

Page 1: Abstrak - CORE · 2013-07-08 · sudah setengah baya, yang biasanya dianggap ahli tata cara perkawinan, atau yang ahli dalam mengatur upacara perkawinan (Koentjaraningrat, 1984: 126)

MODEL TRADISIONALDAN

BERPACARAN PENENTU PILIBANCALON PENGANTIN DALAM MASYARAKAT JAW A

Oleh: Hardiyanto

AbstrakPerkawinan merupakan perjodohan pria dengan wanita menjadi

suami isteri. Dalam penentuan calon penganten dewasa ini mengenal duamodel, yaitu model tradisional dan berpacaran. Di dalam modeltradisional ini calon. penganten dalam pilihannya ditentukan oleh orang tua.Sedang di dalam model berpacaran calon penganten dalam pilihannyaditentukan oleh calon penganten sendiri baik si pria maupun wanita.

Model tradisional ini memiliki segi positif dan negatifSegi positifnya.yaitu: 1. Apabila suami isteri merasa cocok atau saling mengerti, makaperkawinan itu akan langgeng atau abadi. 2. Apabi/a perkawinan itu masihada hubungan darah atau keluarga. maka harta tidak akanjatuh pada oranglain. Dalam istilah bahasa Jawa "bandhaneora keliya". 3. Hubungan "besan"(kedua orang tua dari suami isteri) menjadi akrab. Segi negatifnya ialah: 1.Perkawinan tidak akan langgeng apabila suami isteri tidak cocok atau cinta.2. Perkawinan kemungkinan berakhir dengan jalan bunuh diri, karena sisuami atau isteri begitupatuh atau takut kepada orang tua.

Model berpacaran ini juga memiliki segi positif dan negatif.Adapun segi positifnya, yaitu jika dalam proses berpacaran ada titik temu.maka perkawinan itu tentunya akan langgeng. Segi negatifnya. yaitu: 1. Didalam proses berpacaran tidak ada kecocokan. maka putuslah hubungantersebut. 2. Ada yang frustasi karena salah satu pihak terlanjur cintabahkan sampai terjadi apa yang dinamakan "kecelakaan"Model berpacaranmendominasi atau frekuensinya tinggi dalam menentukan pilihan calonpenganten. Kemungkinan perbandingannya 1 untuk model tradisional dan 9untuk model berpacaran. Dengan demikian pilihan itu sudah bergeser darimodel tradisional ke model berpacaran.

A. PendahuluanPerkawinan merupakan petjodohan pria dengan wanita menjadi

suami isteri. Kehidupan berkeluarga adalah harapan yang wajar dan sehatdari setiap anak-anak muda dan remaja dalam masa perkembangan danpertumbuhannya (Hasan Basri, 1995: 3). Harapan tersebut terkesan semakin"membara" dan dorongannya semakin terasa meluap-luap dengan dahsyat.Jika badan sehat, dan beberapa kondisi lain yang mendukung dimiliki di jalurkehidupan yang sedang dilalui.

93

Page 2: Abstrak - CORE · 2013-07-08 · sudah setengah baya, yang biasanya dianggap ahli tata cara perkawinan, atau yang ahli dalam mengatur upacara perkawinan (Koentjaraningrat, 1984: 126)

Pengalaman dalam kehidupan menunjukkan bahwa membangunkeluarga itu mudah, namun memelihara dan membina keluarga hingga,

eseJahteraan yang selaluoleh pasangan suami isteri alangkah sukarnya. Pengalaman hidup jugamengajarkan kita betapa bervariasinya peIjalanan keluarga yang telahdidirikan oleh sepasang muda mudi temyata banyak dijumpai goncangandan bahkan hancur lebur di dalam peIjalanan, walaupun usia perkawinanitu masih terasa singkat.

Perkawinan memang terlihat suatu persetujuan hidup yangmenyenangkan dan membahagiakan, tetapi bila mereka telah mengalamisendiri akan merasakan kenyataan yang sesungguhnya. Tidak jarang senangdan susah silih berganti, tangis dan senyum selalu datang menghiasikehidupan berkeluarga mereka. Oleh karena itu, perkawinan sangatmemerlukan persyaratan yang mendukung tercapainya tujuanperkawinan, yaitu perkawinan yang sejahtera dan bahagia lahir dan batin.

B. Permasalahan PokokSampai saat ini dalam masyarakat Jawa mengenal adanya dua

model di dalam penentu pilihan calon pengantin, yaitu model tradisionaldan model berpacaran. Kedua model itu saling bertentangan. Modeltradisional penentu pilihan calon pengantin ditentukan atau dipilihkan olehorang tua calon pengantin, sedangkan model berpacaran dalam penentupilihan calon pengantin ditentukan oleh anak yang bersangkutan. Oleh karenaitu, orang tua seharusnya tidak selalu memaksakan kehendaknya untukmenjodohkan anaknya atau orang tua hams pandai-pandai dan bijaksanadalam membina atau mengarahkan anak-anaknya di dalam menentukancalon pilihannya sebagai calon suami atau isteri, demikian juga si anaksebaiknya tidak selalu berpegang teguh pada pendiriannya untukmenentukan sendiri dalam menentukan pilihannya sebagai calon suami atauisteri, mereka hams menerima atau mempertimbangkan pengarahanatau nasehat dari orang tua supaya perkawinan mereka sejahtera danbahagia baik lahir maupun batin.

c. Pengertian dan Tujuan PerkawinanPerkawinan ialah ikatan lahir batin antara seorang pria dengan

seorang wanita sebagai suami isteri dengan tujuan membentuk keluarga(rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha

94

Page 3: Abstrak - CORE · 2013-07-08 · sudah setengah baya, yang biasanya dianggap ahli tata cara perkawinan, atau yang ahli dalam mengatur upacara perkawinan (Koentjaraningrat, 1984: 126)

Esa (Undang-Undang RI No. I Th. 1974). Menurut Djoko Prakoso dan IKetut Murtika (1987: 1) yang dimaksud perkawinan yaitu dalam kehidupanmanusia di dunia ini yang berlainan jenis kelaminnya (laki-Iaki danperempuan) secara alamiah mempunyai daya tarik menarik antara satu denganlainnya untuk dapat hidup bersama atau secara logis dapat dikatakan untukmembentuk suatu ikatan lahir dan batin dengan tujuan menciptakan suatukeluarga atau rumah tangga yang rukun, bahagia, sejahtera, dan abadi.Sedangkan pengertian perkawinan dalam Majalah Nasehat Perkawinan No.109 Juni 1981 via (Djoko Prakoso dan I Ketut Murtika, 1987:2) perkawinanmerupakan suatu ikatan yang sah untuk membina rumah tangga dan keluargasejahtera bahagia di mana suami isteri memikul amanah dan tanggung jawab,si isteri karenanya akan mengalami suatu proses psikologis yang berat yaitukehamilan dan melahirkan yang meminta pengorbanan.

Dari ketiga definisi atau pengertian perkawinan seperti tersebut dapatdisimpulkan bahwa yang dimaksud perkawinan ialah ikatan lahir dan batinyang sah untuk menjadi suami isteri. Tujuan perkawinan adalah sebagaiberikut:1) Membentuk suatu keluarga atau rumah tangga yang rukun, bahagia,

sejahtera, dan abadi berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa2) Untuk mencari keturunan.

D. Model TradisionalModel merupakan pola atau contoh sesuatu yang akan dibuat atau

dihasilkan (KBBI, 1996: 662). Sedangkan tradisional, yaitu sikap dan caraberpikir serta bertindak yang selalu berpegang teguh pada norma dan adatkebiasaan yang ada secara turun temurun (KBBl, 1996: 1069). Jadi modeltradisional penentu calon pengantin ialah pola perkawinan yang berdasarkansikap dan cara berpikir serta bertindak yang selalu teguh pada norma dan adatkebiasaan yang ada secara turun temurun. Dalam model ini pilihan calonpenganten ditentukan oleh orang tua atau setelah memperoleh persetujuanorang tua (Hildred Geertz, 1985: 61). Model tradisional ini orang tua padadasarnya berpegang teguh pada konsep "bibit, bobot, bebet". "Bibit" berartiketurunan (asal-usul) atau benih (wiji), sedangkan "bobot" adalah kekayaanharta benda, dan "bebet" adalah status sosial seperti kedudukan; keahlian,kepandaian, kewibawaan (Suwardi, 1992: 4). Kalau "bibit" 'keturunan',"bobot" 'kekayaan harta benda", dan"bebet" 'status soaial' sudah memenuhi

95

---

Page 4: Abstrak - CORE · 2013-07-08 · sudah setengah baya, yang biasanya dianggap ahli tata cara perkawinan, atau yang ahli dalam mengatur upacara perkawinan (Koentjaraningrat, 1984: 126)

laiteria, orang tua memaksakan kehendaknya untuk menjodohkan anaknyayang sesuai dengan pilihannya.

alam mooel U1J slg lalur seorang'makcomblang".Dalam masyarakat Jawa orang seperti ini biasanya seorang wanita yangsudah setengah baya, yang biasanya dianggap ahli tata cara perkawinan,atau yang ahli dalam mengatur upacara perkawinan (Koentjaraningrat,1984: 126). Seorang "mak comblang" yang telah diminta oleh orang tua dariseorang pria untuk mencarikan calon isteri baginya, biasanya mengetahuigadis mana yang dapat diajukan untuk dipilih. Bersama dengan orang tuasi pria, "mak comblang" itu menentukan gadis mana yang akan dipilih.Langkah selanjutnya adalah menghubungi orang tua gadis tersebut, yangdilakukan oleh "mak comblang". Biasanya orang tua gadis itu akan mintawaktu untuk memikirkan hal itu, dan selama waktu itu mereka akan berusahamengetahui sebanyak mungkin mengenai pria yang akan melamar gadismereka. Apabila mereka merasa puas dengan hasil penyelidikan mereka,maka mereka akan memberitahukan hal itu kepada 'mak comblang" untukmenyatakan bahwa mereka bersedia menerima kedatangan orang tua calonmenantu mereka. Tentu saja ada kalanya seorang "mak comblang" ituwanita setengah baya atau tua, ada kalanya ia seorang ternan dekat yangkebetulan mempunyai adik atau saudara sepupu yang sudah waktunyamenikah.

Dalam model tradisional ini ada adat yang disebut "nontoni",yaitu adat untuk berkenalan dan mengetahui gadis sebagai calon isterinya.Adat "nontoni" ini dilakukan oleh si pria calon suami yang diantarkan oleh"mak comblang" atau orang tuanya. Mereka diterima oleh orang tua gadisyang sudah mengetahui maksud kedatangannya. Selama mereka bertamu priayang bersangkutan mendapat kesempatan untuk melihat danmemperhatikan si gadis, yang oleh ibunya biasanya disuruh menyajikanminuman kepada tamu mereka. Gadis yang ditonton itu tidak mengetahuiapa-apa mengenai maksud kedatangan para tamu itu, dan baik si priamaupun orang tuanya juga tidak diperbolehkan menjuruskan percakapanmereka ke arah maksud mereka.

Apabila si pria puas dengan gadis yang bam dilihatnya danmenginginkan menjadi calaon isterinya, ia hams melamamya kepada orangtua gadis itu secara resmi. Biasanya lamaran itu diwakili oleh orang tuanyaatau wakil orang tuanya.

96

Page 5: Abstrak - CORE · 2013-07-08 · sudah setengah baya, yang biasanya dianggap ahli tata cara perkawinan, atau yang ahli dalam mengatur upacara perkawinan (Koentjaraningrat, 1984: 126)

Model tradisional ini memiliki segi positif dan negatif.Segi positifnya, yaitu:1. Apabila suami isteri merasa cocok atau saling mengerti, perkawinan itu

akan langgeng atau abadi.2. Apabila perkawinan itu masih ada hubungan darah atau keluarga,

harta tidak akan jatuh pada orang lain. Dalam istilah bahasa Jawa"bandhane ora keliya".

3. Hubungan "besan" (kedua orang tua dari suami isteri) menjadi akrab.Adapunseginegatifnya,yaitu: .

1. Perkawinan itu tidak akan langgeng apabila suami isteri tidak cocok ataucinta.

2. Perkawinan kernungkinan berakhir dengan jalan bunuh diri karena sisuami atau isteri begitu patuh atau takut kepada orang tua.

E. Model BerpacaranBerpacaran secara morfologis dari kata dasar "pacar" yang artinya

ternan lawanjenis yang tetap dan mempunyai hubungan berdasarkan cintakasih (KBBI, 1996: 711). Berpacaran artinya bercintaan; berkasih-kasihan(KBBI, 1996: 711). Jadi model berpacaran penentu pilihan calon pengantenialah pola perkawinan dalam penentuan calon penganten ditentukan olehsi pria atau wanita itu sendiri dengan jalan mencari ternan lawan jenis yangtetap dan mempunyai hubungan cinta kasih atau dua insan yang berbeda jenisitu melakukan bercintaan atau berkasih-kasihan. Dalam melakukanhubungan cinta kasih atau bercintaan ini dengan maksud untukmenyelidiki atau mengetahui keadaan masing-masing individu, sepertibagaimana wataknya, bagaimana keadaan keluarganya? Apabila hasilpenyelidikan itu membawa hasil yang memuaskan atau cocok bagi masing-masing individu, maka berpacaran tetap berlangsung dan tentunya perkawinanakan terjadi. Sebaliknya hasil penyelidikan itu tidak memuaskan ataucocok bagi masing-masing individu atau salah satu individu, makaputuslah berpacaran. Menurut kolokasinya model berpacaran ini ada duamacam, yaitu model berpacaran di desa dan di kota (Koentjaraningrat, 1984:123--124; 255--256). Menurut pengamatan penulis masih ada satu lagi,yaitu model berpacaran di rantau atau koso

1. Model Berpacaran di DesaApabila seorang remaja pria mulai merasa tertarik kepada seorang

97

Page 6: Abstrak - CORE · 2013-07-08 · sudah setengah baya, yang biasanya dianggap ahli tata cara perkawinan, atau yang ahli dalam mengatur upacara perkawinan (Koentjaraningrat, 1984: 126)

ternan wanita, maka ia akan datang ke rumalmya. Dalam masyarakat desa,

mengalpetjanjian ootuk pergi bersama-sama, karena adat seperti biasanya hanyadilakukan oleh pria yang mernpooyai maksud-maksud tertentu denganseorang wanita. Petjanjian seperti itu biasanya dibuat sewaktu sedangpanen, sehingga tidak meneolok. Apabila seorang pria mengunjoogi seoranggadis di rumahnya, mereka diawasi dengan baik oleh ibu si gadis. Jika seoranggadis maupoo orang tuanya tidak berkeberatan dengan kunjoogan-kunjoogandari seorang pria, sehingga ia sudah dikenal oleh seluruh anggota rumahtangga gadis itu serta oleh kerabatnya, ia kadang-kadang diperbolehkanmengajak gadis itu ootuk pergi menonton wayang atau kethoprak di suatudesa tetangga, bahkan ootuk menonton bioskop di kota. Kontak antararemaja pria dan wanita seperti tersebut di atas tidak selalu berakhirdengan perkawinan.

2.Model Berpaearan di KotaPada umumnya seorang remaja pria mulai berpaearan waktu ia

duduk di sekolah lanjutan atas. Ia biasanya memilih gadis yang duduk ditingkat sekolah lanjutan pertama atau di sekolah lanjutan atas yang kelasnyalebih rendah. Sudah sejak sekitar taboo 1930 pola berpaearan di antara pararemaja "priyayi" dimulai dengan mengajak seorang gadis menonton bioskopatau pergi ke pesta dansa.

Di antara para rernaja "priyayi", berpaearan masih diawasi oleh ibusi gadis. Seorang gadis jarang menerimaajakan seorang pria sebelum iameminta izin ibooya; banyak ibu si gadis malahan menghendaki agar si priasendiri secara resmi meminta izin ootuk pergi dengan anaknya. Bagi seorangpria dan seorang gadis "priyayi" mernbuat janji ootuk bertemu di suatutempat tertentu adalah tidak patut. Tata eara sopan santun menghendakibahwa seorang pria datang ke rumah si gadis ootuk menjernputnya.

Revolusi Indonesia telah mernbawa . perubahan-perubahanyangsangat mendasar. Dengan suasana revolusi itulah sangat berpengaruhterhadap kehidupan masyarakatnya selama taboo-tahoo pertama kernerdekaanIndonesia. Gadis-gadis seringkali mengunjoogi rapat-rapat pemudamelakukan tugas- tugas di garis belakang, dan dengan dernikian mereka dapatbergaul bebas dengan para pernuda. Hal itu telah menyebabkan bahwapara ibu mereka mulai kehilangan kekuasaan ootuk mengawasi sertamelarang atau mengizinkan anak gadisnya ootuk keluar rumah. Sesudah

98

Page 7: Abstrak - CORE · 2013-07-08 · sudah setengah baya, yang biasanya dianggap ahli tata cara perkawinan, atau yang ahli dalam mengatur upacara perkawinan (Koentjaraningrat, 1984: 126)

revolusi berakhir, kebebasan yang telah dinikmati gadis Jawa semakinbesar. Dengan kebebasan bargaul itu kadang-kadang di tempat-tempat tertentudapat menjadi ajang jatuh cinta atau petjodohan. Apabila remaja pria tertarikpada seorang gadis, dan gadis tersebut menanggapi atau menerimapemyataan cinta seorang remaja pria, maka sepasang muda-mudi itukemudian berpacaran. Kadang-kadang mereka membuat peIjanjian-peIjanjiandi tempat tertentu bahkan mereka pergi berpacaran tanpa sepengetahuanatau seizin orang tua. Kontak antara kedua jenis atau remaja pria dan wanitaseperti tersebut di atas tidak selalu berakhir dengan perkawinan.

3. Model Berpacaran di Rantau atau KosMasyarakat kita sekarang dihadapkan pada era globalisasi dan arus

informasi yang begitu pesat serta kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologiyang berkembang pesat. Oleh karena itu, para pemuda dan pemudi atauremaja pria dan wanita dari desa atau kota berbondong-bondong pindah ketempat lain untuk mengadu nasib atau melanjutkan studi atau belajar diPerguruan Tinggi. Para remaja pria dan wanita itu bebas bergaul. Dengankebebasan bergaul itu kadang-kadang di tempat tertentu dapat menjadi ajangjatuh cinta atau peIjodohan. Apabila remaja pria mulai tertarik ataumempunyai rasa cinta pada seorang gadis, ia biasanya secara langsungmenyatakan cinta pada seorang gadis yang dicintai itu. Apabila ia tidakberani atau tidak sampai hati untuk menyatakan cinta pada gadis yang ditujusecara langsung, ia biasanya Minta tolong pada ternan dekatnya untukmenyampaikan "pesan". Gadis yang menerima "pesan" itu telah mengertitentang maksud "pesan", yaitu rasa cinta. Gadis yang menerima rasa cintadari seorang remaja pria itu kemudian ia melakukan berpacaran. Pararemaja pria dan wanita di rantau atau kos begitu bebasnya untuk melakukanberpacaran atau membuat peIjanjian-perjanjian tertentu, karena jauh daripengawasan orang tua atau sanak saudaranya.

Model berpacaran baik model berpacaran di desa, berpacaran di kotamaupun berpacaran di rantau atau kos memiliki segi positif dan negatif. Segipositifnya, yaitu jika dalam proses berpacaran ada titik temu,perkawinan itu tentunya akan langgeng.

Sedangkan segi negatifnya, yaitu:1) Di dalam proses berpacaran tidak ada kecocokan, maka putuslah hubungan

tersebut.

99

Page 8: Abstrak - CORE · 2013-07-08 · sudah setengah baya, yang biasanya dianggap ahli tata cara perkawinan, atau yang ahli dalam mengatur upacara perkawinan (Koentjaraningrat, 1984: 126)

2) Ada yang ITustasikarena salah satu pihak terlanjur cinta bahkan sampai

teriadiavavane,'-" "' "

Demikianlah uraian mengenai model tradisional dan berpacaran sebagaipenentu pilihan calon pengantin. Kedua model itu saling bertentangan, dimana model tradisional penentu pengantin oleh orang tua, dan modelberpacaran penentu pilihan calon pengantin ditentukan oleh anak yangbersangkutan. Oleh karena itu, orang tua seharusnya tidak selalu memaksakankehendaknya untuk menjodohkan anaknya atau orang tua paling tidakharus mengendorkan dari prinsip "bibit" 'keturunan', "bobot" 'kekayaanharta benda', dan "bebet" 'status sosial'. Seperti ada kasus yang terjadi diMojokuto tentang adanya tantangan langsung terhadap ketidaksetujuan orangtua adalah kasus-kasus yang menyangkut perbedaan posisi sosial (HildredGeertz, 1985: 61). Orang tua harus pandai-pandai dan bijaksana dalammembinli atau mengarahkan anak-anaknya di dalam menentukan calonpilihannya sebagai calon suami isteri, demikian juga si anak sebaiknya tidakselalu berpegang teguh pada pendiriannya untuk menentukan sendiri dalammenentukan pilihannya sebagai calon suami atau isteri, mereka harusmenerima nasehat dari orang tua, supaya perkawinan mereka sejahtera danbahagia baik lahir maupun batin.

Menurut pengamatan penulis di lapangan model berpacaranmendominasi atau ftekuensinya tinggi bila dibandingkan dengan modeltradisional. Kemungkinan perbandingannya 1 untuk model tradisional dan9 untuk model berpacaran. Dengan demikian penentu pilihan calonpengantin sudah bergeser dari model tradisional ke model berpacaran

F. Perkawinan yang PantangUntuk model tradisional dengan sistem kalang atau hubungan

darah juga untuk para remaja pria dan wanita yang akan melakukanberpacaran perlu mengingat bahwa di dalam masyarakat Jawa adaperkawinan-perkawinan yang pantang di antaranya perkawinan antarasaudara sepupu "nakndherek", perkawinan antara "misanan" atau"antarbuyut", dan perkawinan yang bersifat sumbang, yaitu antara duasaudara sekandung atau antara dua orang anggota dalam keluarga inti.Terhadap perkawinan yang bersifat sumbang itu hanya dianggap tidaksenonoh, sehingga tidak pernah ada yang menganggapnya mungkin teIjadi.

100

Page 9: Abstrak - CORE · 2013-07-08 · sudah setengah baya, yang biasanya dianggap ahli tata cara perkawinan, atau yang ahli dalam mengatur upacara perkawinan (Koentjaraningrat, 1984: 126)

Perkawinan-perkawinan seperti tersebut dilarang keras karena masihmempunyai hubungan darah yang dekat. Berdasarkan hukum "mendel"perkawinan yang mempunyai hubungan darah yang dekat itu kemungkinanmembawa gena-gena pembawa sifat yang lemah atau pembawa sifatpenyakit, dan selanjutnya memudahkan untuk bertemu pada turunanberikutnya, sehingga anak yang dilahirkan dari perkawinan yang masihmempunyai hubungan darah yang dekat itu kemungkinan akan cacat fisikatau lemah otak (retardasi mental) (Sri Rumini, 1987: 14--15).

G. Kesimpulan dan Saran

1. KesimpulanDari uraian tersebut di maka dapat disimpulkan, yaitu model tradisional

penentuan akhir dalam pemilihan calon penganten ditentukan oleh orangtua. Kadang-kadang calon penganten pria diberi kesempatan untuk memilihcalon isterinya dengan bantuan "mak comblang", tetapi tetap ataspertimbangan atau persetujuan oleh orang tua. Model tradisional inimemiliki segi positifuya yaitu:1) Apabila suami isteri merasa cocok atau saling mengerti, perkawinan itu

tentunya akan langgeng atau abadi.2) Apabila perkawinan itu masih ada hubungan darah atau keluarga, harta

benda tidak akan jatuh pada orang lain.. Dalam istilah bahasa Jawa"bandhane ora keliya".

3) Hubungan "besan" (kedua orang tua dari suami isteri) menjadi akrab.Sedangkan segi negatifuya ialah:1) Perkawinan tidak akan langgeng apabila suami isteri tidak cocok atau

cinta.2) Perkawinan kemungkinana berakhir dengan jalan bunuh diri, karena si

suami atau si isteri begitu patuh atau takut kepada orang tua.Model berpacaran baik model berpacaran di desa, di kota maupun di

rantau atau kos penentuan akhir dalam pemilihan calon penganten ditentukanoleh calon penganten itu sendiri baik dari si pria maupun si wanita. Ketigamacam berpacaran itu tidak selalu berakhir dengan perkawinan. Modelberpacaran seperti tersebut di atas memiliki segi positif, yaitu jika dalamproses berpacaran ada titik temu, maka perkawinan itu tentunya akanlanggeng. Segi negatifuya adalah sebagai berikut:

101

-- - - - - - ---

Page 10: Abstrak - CORE · 2013-07-08 · sudah setengah baya, yang biasanya dianggap ahli tata cara perkawinan, atau yang ahli dalam mengatur upacara perkawinan (Koentjaraningrat, 1984: 126)

T---

1) Bila dalam proses berpacaran tidak ada kecocokan, putuslah hubungantersebut.

2) Ada yang frustasi karena salah satu pihak terlanjur cinta bahkansampai terjadi apa yang dinamakan "kecelakaan".

3. SaranSebagai orang tua hams bijaksana, bisa mengarahkan, dan bisa membina

putra-putrinya di dalam penentuan akhir memilih pasangan hidupnya, supayaputra-putrinya hidup bahagia baik lahir maupun batin di dalam mengarungihidup berkeluarga.

DAFTAR PUSTAKA

Geertz, Hildred. 1985. Keluarga Jawa. Jakarta: Grafiti Pers.Hasan Basri. 1995. Keluarga Sakinah (tinjauan Psikologi dan agama).

Yogyakarta: Pustaka Pelajar.Djoko Prakosa dan I Ketut Murtika. 1987. Azas-azas Hukum Perkawinan di

Indonesia. Jakarta: Bina Aksara.

Koentjaraningrat. 1984. Kebudayaan Jawa. Jakarta: Balai Pustaka.Sri Rumini. 1987. Pengetahuan Subnormalita Mental. Yogyakarta:

FIP - IKIP YOGYAKARTA.

Suwardi. 1992. Refleksi Konsep Bibit Bobot Bebet dalam Novel DokterWulandari (Laporan Penelitian). Yogyakarta: FPBS IKIPYOGYAKARTA.

Team Penyusun Kamus. 1996. Kamus Besar bahasa Indonesia. Jakarta:Balai Pustaka.

102