Upload
others
View
7
Download
0
Embed Size (px)
Citation preview
ABSTRAK
KEPASTIAN HUKUM KUASA MENJUALKAN DALAM JUAL BELI
HAK ATAS TANAH KAPLING
Undang-Undang Pokok Agraria dan Peraturan Pemerintah 24 Tahun 1997
Tentang Pendaftaran Tanah terdapat norma kosong mengenai tidak adanya
pengertian mengenai kuasa menjualkan tersebut dalam peraturan perundang-
undangan, penggunaan kuasa menjualkan sebagai bukti peralihan hak milik atas
tanah dan akibat yang timbul dari kuasa menjualkan tersebut. Prakteknya jual beli
hak atas tanah yang belum membalik nama hak milik atas tanah dengan cara
pemberian kuasa menjualkan atau lebih dikenal dengan istilah jual beli gantung,
maka timbul suatu penyelundupan hukum yang sangat strategis dan terselubung.
Terselubung karena jual beli gantung tersebut bertujuan untuk mencari celah
hukum oleh pihak pengkapling tanah untuk tidak mendaftarkannya peralihan
tanahnya di Kantor Pertanahan, Di dalam UUPA telah ditentukan bahwa tanah-
tanah di seluruh wilayah Negara Republik Indonesia harus didaftarkan, hal ini
sesuai dengan ketentuan Pasal 19 ayat (1) UUPA yang berbunyi: Untuk menjamin
kepastian hukum oleh Pemerintah diadakan Pendaftaran Tanah, yang diatur
dengan Peraturan Pemerintah. Selain itu juga diatur dalam ketentuan Pasal 23 ayat
(1) UUPA yaitu hak milik, demikian juga setiap peralihan, hapusnya dan
pembebanannya dengan hak-hak lain harus didaftarkan menurut ketentuan yang
dimaksud dalam Pasal 19 UUPA. Dikatakan strategis karena kuasa menjualkan
biasanya bertujuan untuk menghindari pembayaran pajak-pajak dalam peralihan
hak milik atas tanah yang akan dijual kembali tersebut.
Permasalahan yang diangkat dalam penelitian ini adalah bagaimanakah
kepastian hukum jual beli tanah kapling menggunakan kuasa menjualkan. dan
bagaimanakah perlindungan hukum terhadap pihak pembeli tanah kapling yang
beritikad baik dengan menggunakan kuasa menjualkan. Penelitian ini
menggunakan metode penelitian hukum normatif dengan pendekatan perundang-
undangan, pendekatan konseptual dan pendekatan kasus. Sumber bahan hukum
yang digunakan dalam penelitian terdiri dari bahan hukum primer dan bahan
hukum sekunder. Teknik pengumpulan bahan hukum menggunakan teknik
pencatatan sistem kartu.
Hasil penelitian menunjukan bahwa akibat tidak adanya pengaturan
mengenai penggunaan kuasa menjualkan dalan transaksi jual beli tanah khususnya
tanah kapling menyebabkan tidak memberikan suatu kepastian hukum kepada
para pihak yang mengikatkan diri dari perjanjian jual beli tanah tersebut. dan tidak
adanya pengaturan model kuasa menjualkan berarti juga tidak ada perlindungan
hukum terhadap pembeli tanah kapling yang beritikad baik menggunakan kuasa
menjualkan. Oleh sebab itu menimbulkan ketidakpastian hukum serta berpotensi
menimbulkan pelanggaran hukum.
Kata Kunci: kepastian hukum, kuasa menjualkan, jual beli tanah kapling
ii
ABSTRACT
LEGAL POWER OF SECURITIES SELLING IN SELLING BUYING
RIGHTS TO PLOTS LAND
Basic Agrarian Law and Government Regulation 24 of 1997 Concerning
Land Registration, there is a blank norm regarding the absence of any
understanding of the power of such sale in the legislation, the use of the selling
power as evidence of the transfer of ownership of the land and the consequences
arising from the sale authority. The practice of buying and selling rights to land
that has not reversed the name of property rights to the land by way of
authorizing the sale or better known as the sale and purchase of hanging, there
arises a very strategic and covert legal smuggling. Covert because the sale and
purchase of hanging aims to find legal loopholes by landowners not to register
their land transfers in the Land Office, In the UUPA has determined that the lands
throughout the territory of the Republic of Indonesia must be registered, this is in
accordance with the provisions of Article 19 paragraph (1) of UUPA which
reads: To ensure legal certainty by the Government, Land Registration shall be
regulated by Government Regulation. It shall also be regulated in the provisions
of Article 23 paragraph (1) of UUPA ie property rights, as well as any transfers,
deletions and imposition of them with other rights shall be registered pursuant to
the provisions referred to in Article 19 of the UUPA. It is said to be strategic
because the power of selling usually aims to avoid the payment of taxes in the
transfer of property rights to the land to be resold.
The problem raised in this study is how the legal certainty of buying and
selling land plot using the power of selling. And how the legal protection of the
buyer of the land of good plots by using the power of selling. This study uses
normative legal research methods with legislation approach, conceptual
approach and case approach. The sources of legal materials used in the study
consist of primary legal materials and secondary legal materials. Techniques of
collecting legal materials using card system recording techniques.
The result of the research shows that due to the absence of regulation concerning
the use of the power of selling in the sale and purchase transaction of land
especially the land plot cause not give a legal certainty to the parties bind
themselves from the land sale agreement. And the absence of a power-of-sale
model arrangement means that there is also no legal protection against a well-
dressed land buyer using the power of selling. Therefore it raises legal
uncertainty and potentially leads to violations of the law.
Keywords: legal certainty, power of selling, buying and selling land lots
ii
iii
DAFTAR ISI
ABSTRAK ...................................................................................................... i
ABSTRACT .................................................................................................... ii
DAFTAR ISI ................................................................................................... iii
BAB I PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang Masalah .......................................................... 1
1.2. Rumusan Masalah ................................................................... 18
1.3. Tujuan Penelitian ..................................................................... 18
1.3.1 Tujuan Umum ................................................................. 18
1.3.2 Tujuan Khusus ................................................................ 18
1.4. Manfaat Penelitian ................................................................... 19
1.4.1 Manfaat Teoritis .............................................................. 19
1.4.2 Manfaat Praktis ............................................................... 19
1.5. Landasan Teoritis ..................................................................... 20
1.5.1 Penemuan Hukum .......................................................... 20
1.5.2 Teori Kedaulatan Hukum ............................................... 24
1.5.3 Konsep Kepastian Hukum ............................................... 27
1.5.4 Konsep Perlindungan Hukum .......................................... 31
1.5.5 Asas Umum Hukum Perjanjian ....................................... 34
1.6. Metode Penelitian .................................................................... 40
1.6.1 Jenis Penelitian ............................................................... 40
1.6.2 Jenis Pendekatan ............................................................. 41
1.6.3 Sumber Bahan Hukum ................................................... 42
1.6.4 Teknik Pengumpulan Bahan Hukum .............................. 43
1.6.5 Teknik Analisa Bahan Hukum ........................................ 43
iii
BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG KUASA, PERJANJIAN, JUAL
BELI TANAH, AKTA NOTARIS.
2.1 Tinjauan Umum Tentang Kuasa ........................................ 46
2.1.1 Pengertian Kuasa .................................................... 46
2.1.2 Bentuk dan Jenis-Jenis Pemberian Kuasa .............. 48
2.1.3 Berakhirnya Kuasa ................................................. 52
2.1.4 Kewajiban Pemberi dan Penerima Kuasa ............... 53
2.2 Tinjauan Umum Tentang Perjanjian .................................. 57
2.2.1 Pengertian Perjanjian .............................................. 57
2.2.2 Syarat-Syarat Sahnya Perjanjian ............................ 61
2.2.3 Akibat Hukum Perjanjian yang Sah ....................... 67
2.3 Tinjauan Umum Jual Beli Hak Atas Tanah ........................ 70
2.3.1 Jual Beli Tanah Menurut Hukum Perdata
Barat....................................................................... 70
2.3.2 Jual Beli Tanah Menurut Hukum Nasional ............ 73
2.3.3 Jual Beli Suatu Perbuatan Hukum ......................... 75
2.4 Tinjauan Umum Tentang Akta Notaris ............................. 80
2.4.1 Akta Notaris Sebagai Akta Otentik ........................ 80
2.4.2 Keabsahan Akta Notaris Sebagai Akta Otentik ...... 83
BAB III KEPASTIAN HUKUM JUAL BELI TANAH KAPLING
MENGGUNAKAN KUASA MENJUALKAN
3.1 Konsep Pemberian Kuasa .................................................. 88
3.2 Pengaturan Pemberian Kuasa Menjualkan Hak Atas
Tanah Kapling ................................................................... 92
iv
v
3.2 Jual Beli Tanah Kapling Menggunakan Kuasa
Menjualkan Sebagai Bukti Peralihan Hak Milik Atas
Tanah ................................................................................. 99
BAB IV PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP PIHAK PEMBELI
TANAH KAPLING YANG BERITIKAD BAIK DENGAN
MENGGUNAKAN KUASA MENJUALKAN
4.1 Pihak Pembeli yang Beritikad Baik dalam Jual Beli
Tanah ................................................................................. 105
4.2 Upaya-Upaya Hukum Pihak Pembeli yang Beritikad
Baik dalam Jual Beli Tanah Kapling ................................. 109
4.3 Perlindungan Hukum Terhadap Pembeli Tanah Kapling
yang Beritikad Baik dalam Menggunakan Kuasa
Menjualkan ........................................................................ 119
4.4 Analisis Putusan Pengadilan Nomor:
121/Pdt.G/2007/PN.Dps .................................................... 128
BAB V KESIMPULAN
5.1 Kesimpulan ........................................................................ 135
5.2 Saran .................................................................................. 136
DAFTAR PUSTAKA.................................................................................... 139
v
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Masalah
Tanah merupakan salah satu kebutuhan pokok bagi kehidupan manusia.
Dalam menjalani hidupnya manusia selalu membutuhkan tanah untuk tempat
tinggal. Kehidupan ekonomi di era modern ini menyebabkan tanah menjadi
komoditas yang dicari masyarakat. Pentingnya tanah sebagai suatu hal yang tidak
bisa lepas dari kehidupan manusia. Tanah sebagai tempat untuk mencari nafkah,
mendirikan rumah tinggal dan juga tempat dikuburkannya orang pada waktu
meninggal. Artinya tanah adalah hal yang sangat penting bagi kehidupan manusia.
Pentingnya keberadaan tanah bagi kehidupan manusia maka menyebabkan
problem permasalahan tanah makin sering terjadi dikehidupan masyarakat.
Karena tanah sebagai sumber daya alam yang tidak terbaharukan luasnya disisi
lain jumlah pertumbuhan manusia yang terus bertambah yang menyebabkan
kebutuhan permintaan akan tanah semakin meningkat. Hal tersebut tentunya
menyebabkan nilai harga jual tanah semakin tinggi.
Tanah sebagai salah satu sumber daya alam yang terbatas dalam
penguasaan dan pemilikannya, kerap menimbulkan konflik. Seiring dengan
perubahan dan perkembangan pola pikir, pola hidup dan kehidupan manusia maka
dalam soal pertanahan pun terjadi perubahan, terutama dalam hal pemilikan dan
penguasaannya dalam hal ini tentang kepastian hukum dan kepastian hak atas
tanah yang sedang atau yang akan dimilikinya.
Masalah terkait dengan pertanahan semakin bertambah akibat semakin
meningkatnya pertumbuhan penduduk dan terbatasnya luas tanah yang ada.
Umumnya, tanah hanya dinilai berdasarkan utilitas ekonominya. Artinya nilai
tanah lebih ditentukan oleh mekanisme pasar, yaitu permintaan dan penawaran di
atasnya. Akibatnya maka tanah mengalami depolitisasi dan desosialisasi. Secara
emosional, ikatan tanah dengan manusia dan dengan dimensi nonekonomi lain
tidak lagi menjadi bahan pertimbangan dalam penentuan harga tanah. Karena itu,
tidak mengherankan jika banyak terjadi konflik dan sengketa mengenai tanah.
Perkembangan kapitalisme di masa kini juga mendorong perubahan fungsi
tanah sebagai salah satu produksi utama menjadi sarana investasi. Tentunya bagi
para investor pemilikan atau penguasaan tanah merupakan investasi yang sangat
menguntungkan. Jangka panjang investasi seperti ini menjanjikan keamanan,
kepastian pendapat, nilai tinggi, dan umumnya terhindar dari inflasi.
Maria Sumardjono berpendapat tanah sebagai sumber kehidupan sering
menjadi objek sengketa. Masalah pertanahan yang dihadapi tidak semakin
berkurang, namun justru bertambah dalam kompleksitasnya, terjadi kesenjangan
antara persediaan dan kebutuhan akan tanah, tumpang tindih peruntukkan tanah
yang berkepanjangan dan kegiatan spekulasi tanah dalam masyarakat.1 Dengan
demikian kepemilikan atas tanah telah memberikan suatu manfaat serta
mendapatkan kegunaan yang dalam berbagai aspek kehidupan kepada pemiliknya,
baik dalam aspek ekonomi, aspek sosial, termasuk dalam hubungannya dengan
pembangunan. Dapat dilihat dalam aspek ekonomi tanah dapat dimanfaatkan
1 Maria S.W. Sumardjono, 2001, Kebijakan Pertanahan Antara Regulasi dan
Implementasi, Penerbit Buku Kompas, Jakarta, h. 7.
3
untuk lahan pertanian, perkebunan, perkantoran sebagai tempat usaha, tanah dapat
juga dijadikan anggunan (hak tanggungan), disewakan/dikontrakan, dan
sebagainya. Dalam aspek sosial tanah dapat di manfaatkan untuk kegiatan
keagamaan dan sejenisnya.
Permasalahan yang obyeknya pertanahan merupakan masalah yang tidak
dapat disepelekan, disebabkan banyaknya orang melihat persoalan tentang tanah
tidak hanya sebagai obyek saja, melainkan sebagai suatu yang berkaitan dengan
budaya, psikologis, politik, lingkungan hidup, serta upaya pemenuhan kebutuhan.
Secara konstitusional, dalam Pasal 33 ayat (3) UUD 1945 menyatakan bahwa:
“Bumi, air, ruang angkasa serta kekayaan alam yang terkandung di dalamnya
dikuasai oleh Negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat”.
Dari ketentuan dasar ini, dapat diketahui bahwa kemakmuran rakyatlah yang
menjadi tujuan utama dalam pemanfaatan fungsi bumi, air dan ruang angkasa
serta kekayaan alam yang terkandung di dalamnya. Dengan adanya pengaturan
tersebut maka dapat dilihat bagaimana pentingnya arti kepemilikan tanah bagi
kehidupan manusia. Untuk melaksanakan hal tersebut, dibidang pertanahan telah
dikeluarkan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 Tentang Peraturan Dasar
Pokok-Pokok Agraria (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1960 Nomor
104 – Tambahan Negara Republik Indonesia 2034) yang lazimnya disebut
Undang-undang Pokok Agraria yang selanjutnya disingkat UUPA. Penjelasan
umum UUPA dapat diketahui bahwa Undang-undang ini merupakan unifikasi di
bidang Hukum Pertanahan.
Penguasaan tanah untuk memenuhi kebutuhan hidup masyarakat, Negara
tidak bertindak sebagai pemilik namun Negara bertindak sebagai penguasa. Arti
perkataan “dikuasai” oleh Negara dalam Pasal 2 ayat (1) UUPA, menurut
Penjelasan Umum UUPA, bukanlah berarti “dimiliki”, akan tetapi memberi
wewenang kepada Negara, pada tingkatan tertinggi:
a. Mengatur dan menyelenggarakan peruntukan penggunaan, persediaan
dan pemeliharaannya;
b. Menentukan dan mengatur hak-hak yang dapat dipunyai atas (bagian
dari) bumi, air dan ruang angkasa;
c. Menentukan dan mengatur hubungan-hubungan hukum antara orang-
orang dan perbuatan-perbuatan hukum yang mengenai bumi, air dan
ruang angkasa.2
Kekuasaan seperti diuraikan di atas, Negara dapat memberikan tanah
kepada seseorang atau badan hukum dengan sesuatu hak menurut keperluan dan
peruntukkannya misalnya hak milik, hak guna usaha, hak guna bangunan dan
lainnya. Dengan adanya wewenang Negara menguasai tanah seperti disebutkan di
atas, dimaksudkan supaya tanah dapat digunakan untuk mencapai kemakmuran
yang sebesar-besarnya bagi rakyat.
Salah satu tujuan diundangkannya UUPA yang termuat dalam Penjelasan
Umum yakni meletakkan dasar-dasar untuk memberikan kepastian hukum
mengenai hak-hak atas tanah bagi rakyat seluruhnya. Tanah menurut Pasal 4 ayat
(1) UUPA adalah “permukaan bumi yang dapat diberikan kepada dan dipunyai
oleh orang-orang baik sendiri maupun bersama-sama dengan orang lain serta
badan hukum”. Pasal 4 ayat (2) UUPA menegaskan bahwa tanah-tanah yang
dimaksud pada ayat (1) memberi wewenang untuk mempergunakan tanah yang
2 Effendi Perangin, 1989, Hukum Agraria di Indonesia Suatu Telaah dari Sudut Pandang
Praktisi Hukum, Rajawali, Jakarta, h. 201.
5
bersangkutan sekedar diperlukan untuk kepentingan langsung berhubungan
dengan penggunaan tanah dalam batas-batas menurut UUPA dan peraturan yang
lebih tinggi.3 UUPA memberikan kewenangan kepada pemilik tanah untuk
memanfaatkan tanah miliknya dengan semaksimal mungkin yang hal tersebut
dimanfaatkan oleh pemegang hak atas tanah untuk melakukan jual beli hak atas
tanahnya kepada pihak lain untuk mendapatkan keuntungan dari segi ekonomi.
Kepastian hukum mengenai hak-hak atas tanah sebagaimana yang dicita-
citakan oleh UUPA mencangkup tiga hal yaitu kepastian mengenai obyek hak atas
tanah, kepastian mengenai subyek atas tanah dan mengenai status hak atas tanah.
Demi menjamin kepastian hukum mengenai kepemilikan bidang tanah, UUPA
sendiri memerintahkan pemegang hak atas tanah untuk mendaftarkan haknya.
Tujuan diselenggarakannya pendaftaran tanah diatur dalam Pasal 19 UUPA, yang
dilaksanakan dengan Peraturan Pemerintah Nomor 10 Tahun 1961 tentang
Pendaftaran Tanah dan kemudian diganti dengan Peraturan Pemerintah Nomor 24
Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah (Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 1997 Nomor 59 – Tambahan Lembar Negara Republik Indonesia Nomor
3696) yang selanjutnya disebut PP Nomor 24 Tahun 1997, yaitu bahwa
pendaftaran tanah merupakan tugas pemerintah yang diselenggarakan dalam
rangka menjamin kepastian hukum dibidang pertanahan berdasarkan ketentuan
Pasal 19 UUPA, khususnya ayat (1) dan ayat (2), dapat diketahui bahwa dengan
pendaftaran tanah/pendaftaran hak-hak atas tanah, sebagai akibat hukumnya maka
pemegang hak yang bersangkutan akan diberikan surat tanda hak atas tanah dan
3 Ali Achmad Chomzah, 2002 , Hukum Pertanahan, Prestasi Pustaka, Jakarta, h. 111.
berlaku sebagai alat pembuktian yang kuat terhadap pemegang hak atas tanah
tersebut yang berupa sertifikat sebagai tanda bukti hak atas tanah. Berkaitan
dengan hal tersebut terdapat 2 asas yaitu:4
1. Asas itikad baik adalah bahwa orang yang memperoleh sesuatu hak
dengan itikad baik akan tetap menjadi pemegang hak yang sah menurut
hukum. Asas ini bertujuan untuk melindungi orang yang beritikad baik.
2. Asas Nemo Plus Yuris adalah bahwa orang tidak dapat mengalihkan hak
melebihi hak yang ada padanya. Asas ini bertujuan untuk melindungi
pemegang hak yang selalu dapat menuntut kembali haknya yang
terdaftar atas nama siapapun.
Pendaftaran tanah sendiri memberikan suatu kepastian hak atas tanah.
Dengan kepastian hak setidak-tidaknya akan dapat dicegah sengketa tanah.
Sertifikat tanah sebagai tanda bukti hak, diterbitkan untuk kepentingan pemegang
hak yang bersangkutan sesuai data fisik yang ada dalam surat ukur dan data
yuridis yang telah didaftarkan dalam buku tanah. Memperoleh sertifikat adalah
hak pemegang hak atas tanah yang tentunya sudah dijamin undang-undang.
Dengan adanya sertifikat tanah, maka jelaslah tanah tersebut sesudah didaftarkan
di Kantor Pertanahan sehingga setiap orang dapat mengetahui bahwa tanah
tersebut memiliki pemilik.
Berdasarkan ketentuan Pasal 32 ayat (1) PP Nomor 24 Tahun 1997, maka
sistem publikasi pendaftaran tanah yang dianut adalah sistem publikasi negatif,
yaitu sertifikat hanya merupakan surat tanda bukti yang kuat. Hal ini berarti
4 Adrian Sutedi, 2008, Peralihan Hak Atas Tanah dan Pendaftarannya, Sinar Grafika,
Jakarta, h. 117.
7
bahwa data fisik dan data yuridis yang tercantum dalam sertifikat mempunyai
kekuatan hukum dan harus diterima hakim sebagai keterangan yang benar selama
dan sepanjang tidak ada alat bukti lain yang membuktikan sebaliknya. Dengan
demikian, pengadilanlah yang berwenang memutuskan alat bukti mana yang
benar dan apabila terbukti sertifikat tersebut tidak benar, maka diadakan
perubahan dan penbetulan sebagaiamana mestinya
Seseorang tidak dapat menuntut tanah yang sudah bersertifikat atas nama
orang atau badan hukum lain, jika selama 5 (lima) tahun sejak dikeluarkannya
sertifikat itu dia tidak lagi mengajukan gugatan pada pengadilan, sedangkan tanah
tersebut diperoleh orang atau badan hukum lain tersebut dengan itikad baik dan
secara fisik nyata dikuasai olehnya atau oleh orang lain atau badan hukum yang
mendapatkan persetujuannya sesuai dengan sifat pembuktian sertifikat yang sudah
diatur pada Pasal 32 ayat (2) PP Nomor 24 Tahun 1997 menyatakan bahwa dalam
atas hal suatu bidang tanah sudah diterbitkan sertifikat secara sah atas nama orang
atau badan hukum yang memperoleh tanah tersebut dengan itikad baik dan secara
nyata menguasainya, maka pihak lain yang merasa mempunyai hak atas tanah itu
tidak dapat lagi menuntut pelaksanaan hak tersebut apabila dalam waktu 5 tahun
sejak diterbitkannya sertifikat itu tidak mengajukan keberatan secara tertulis
kepada pemegang sertifikat dan kepala kantor pertanahan yang bersangkutan
ataupun tidak mengajukan gugatan kepengadilan mengenai penguasaan tanah atau
penerbitan sertifikat. Sertifikat tanah sebagai alat pembuktian yang kuat dan
tujuan dari diselenggarakannya pendaftaran tanah adalah untuk memberikan
kepastian hukum dibidang hukum. Pembuktian dengan sistem negatif tersebut
tidak akan mengurangi asas perlindungan hukum yang seimbang, baik untuk
pihak yang mempunyai tanah tersebut, maupun untuk pihak yang mendapatkan
dan menguasainya dengan itikad baik serta dikuatkan oleh sertifikat tanah atas
nama yang bersangkutan.
Pendaftaran peralihan hak-hak atas tanah sebagaimana dimaksud diatas,
diatur lebih lanjut pada Pasal 37 ayat (1) PP Nomor 24 Tahun 1997 menerangkan:
Peralihan hak atas tanah dan hak milik atas satuan rumah susun melalui
jual beli, tukar menukar, hibah, pemasukan dalam perusahaan dan
perbuatan hukum pemindahaan hak lainnya, kecuali pemindahan hak
melalui lelang, hanya dapat didaftarkan jika dibuktikan dengan akta yang
dibuat oleh PPAT yang berwenang menurut ketentuan peraturan
perundang-undangan yang berlaku.
Peralihan hak atas tanah di Indonesia lebih umum dilakukan oleh
masyarakat adalah dengan cara jual beli. Konsep jual beli tanah tidak dapat
dilepaskan dari konsep jual beli umum yang diatur dalam hukum perdata
(Privaatrecht). Kitab Undang-undang Hukum Perdata (Burgerlijk Wetboek) dalam
Bab kelima memberikan konsep tentang jual beli. Menurut Pasal 1457 Kitab
Undang-undang Hukum Perdata (selanjutnya disebut KUHPerdata) “jual beli
adalah suatu persetujuan, dengan mana pihak yang satu mengikatkan dirinya
untuk menyerahkan suatu kebendaan, dan pihak yang lain untuk membayar harga
yang telah dijanjikan”. Dilihat dari rumusan tentang jual beli tersebut, proses jual
beli melibatkan dua subyek hukum yakni penjual dan pembeli. Penjual selaku
pihak yang menyerahkan barang dan pembeli yang selaku pihak yang membayar
dan menerima barang dan pembeli sebagai penerima barang dengan apa yang
telah diperjanjikan atau sesuai kesepakatan bersama. Dengan demikian masing-
9
masing pihak yaitu penjual dan pembeli dituntut adanya pemenuhan hak dan
kewajiban.
Menjamin kepastian dan ketertiban hukum dalam jual beli hak atas tanah
diperlukan persyaratan formil bagi penjual maupun pemilik hak atas tanah. Syarat
formil terhadap obyek jual beli hak atas tanah berupa bukti kepemilikan tanah
yang terkait dengan hak atas tanah tersebut. Prosedur jual beli atas tanah telah
ditetapkan menurut ketentuan yang berlaku yakni UUPA dan PP Nomor 24 Tahun
1997. Ketentuan Pasal 37 ayat (1) PP Nomor 24 Tahun 1997 menjelaskan bahwa
jual beli tanah harus dibuktikan dengan suatu akta yang dibuat dihadapan Pejabat
Pembuat Akta Tanah (selanjutnya disebut PPAT). Untuk menjamin kepastian dan
ketertiban hukum dalam jual beli tanah, proses jual beli hanya dapat dilakukan di
atas tanah yang dimiliki berdasarkan hak-hak atas tanah, artinya obyek tanah yang
disahkan dengan bukti kepemilikan hak atas tanah. Dengan demikian dapat
diketahui bahwa penjual adalah sebagai orang atau pihak yang berhak dan sah
menurut hukum untuk menjual.
Keberadaan tanah yang jumlahnya terbatas berbanding terbalik dengan
permintaan tanah yang semakin tinggi sebagai sarana untuk tempat hunian dan
bisnis menyebabkan harga tanah cenderung selalu naik dari tahun ke tahun. Tidak
heran jika terjadinya peningkatan transaksi jual beli tanah di masyarakat. Efek
tingginya harga tanah tersebut menyebabkan susahnya penjual untuk menjual
tanahnya karena terkait dengan faktor-faktor terkait contohnya letak strategis
posisi tanah, nominal nilai tanah terlalu tinggi, penggunaan dan peruntukan tanah
dll. Hal tersebut disiasati penjual dengan cara tehnik-tehnik pemasaran yang
sesuai dengan keuangan pembeli. Hal ini yang menimbulkan cara penjualan
sebagian tanah yang disebut pengkaplingan tanah. Pengkaplingan tanah ini pada
dasarnya merupakan suatu metode penjualan yang dilakukan pemilik
tanah/pemilik modal untuk mendapatkan keuntungan ekonomi dengan cara
mepetak-petakan bidang tanah yang luasnya sesuai dengan kebutuhan pembeli
yang disebut dengan tanah matang/tanah siap bangun.
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2011 Tentang Perumahan dan Kawasan
Permukiman (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2011 Nomor 7 –
Tambahan Lembaran Negara Nomor 3318), Pasal 1 ayat (17) disebutkan bahwa
“Kaveling tanah matang adalah sebidang tanah yang telah dipersiapkan untuk
rumah sesuai dengan persyaratan dalam penggunaan, penguasaan, pemilikan
tanah, rencana rinci tata ruang, serta rencana tata bangunan dan lingkungan.”
Secara umum pada istilah kapling tersebut dapat di lakukan dengan 2 cara
yaitu:
1) Pemecahan bidang tanah, diaturadalam Pasal 48 ayat (1) PP Nomor 24
Tahun 1997. Akibat dari pemecahan bidang tanah ini adalah
dilakukannya pemecahan suatu bidang tanah yang mengakibatkannya
dihapus status hak atas tanah yang lama dan menghasilkan hak yang
baru secara keseluruhan.
2) Pemisahan bidang tanah, yakni diaturadalam Pasal 49 ayat (1) PP
Nomor 24 tahun 1997. Arti maksud dipisah adalah diterbitkan hak atas
tanah baru disamping hak atas tanahayang telah ada sebelumnya.
11
Peralihan hak milik atas tanah yang dimaksud tesis ini adalah jual beli hak
atas tanah. Praktiknya disebut jual beli tanah. Beralihnya hak milik atas tanah
hanya dapat dibuktikan dengan akta. Akta yang dibuat tersebut dibuat dalam
bentuk Akta Jual Beli (selanjutnya disebut akta AJB) yang dibuat dihadapan
PPAT yang kemudian akta tersebut dipergunakan sebagai alat pendaftaran
peralihan hak atas tanah. Akta AJB tersebut dapat dibuat berdasarkan pada akta
Perikatan Perjanjian Jual Beli (selanjutnya disebut akta PPJB) dan akta kuasa
menjual dalam bentuk akta otentik yang dibuat oleh Notaris. Akta tersebut dibuat
antara para pihak, disatu pihak sebagai pemilik tanah sebagai penjual dan pihak
lain merupakan pembeli dari tanah tersebut yang dilakukan dihadapan Notaris
sehingga lazim disebut dengan akta notariil.
Prakteknya jual beli dihadapaan Notaris dilakukaan dengan pembuatan
akta PPJB yang berisi janji pihak penjual kepada pihak pembeli untuk
menyerahkan sebidang tanah sebagaimana tertera dalam sertifikat hak milik dan
janji pihak pembeli kepada pihak penjual untuk menyerahkan sejumlah uang yang
telah disepakati para pihak untuk membayar tanah tersebut, selain hal tersebut
juga diatur mengenai tata cara pembayaran tanah tersebut. Akta PPJB dibuat
untuk mengikat pihak penjual dan pembeli. Akta PPJB dibuat sebagai perjanjian
dengan mana pihak yang satu mengikatkan dirinya untuk menyerahkan suatu
kebendaan dan pihak yang lain untuk membayar harga yang telah dijanjikan.
Akta Perjanjian Pengikatan Jual Beli dibuat dengan 2 (dua) macam, yaitu:
1. Akta Perjanjian Jual Beli yang dibuat apabila pembayaran harga jual beli
belum lunas diterima oleh penjual. Ketentuan pasal-pasal PPJB belum
lunas sekurang-kurangnya ditentukan mengenai jumlah uang muka yang
dibayarkan pada saat penandatanganan akta otentik PPJB, dengan
ketentuan cara bayar atau termin pembayaran, waktu pelunasan dan
sanksi-sanksi yang disepakati jika salah satu pihak wanprestasi. (lazimnya
disebut sebagai PPJB Belum Lunas).
2. Akta Perjanjian Pengikatan Jual Beli yang pembayarannya sudah
dilakukan dengan lunas, namun belum bisa dilaksanakan pembuatan akta
jual belinya dihadapan PPAT yang berwenang, karena terdapat sesuatu
masih ada proses yang belum selesai, misalnya: masih sedang tahap cek
sertifikat serta berbagai alasan lain yang menyebabkan AJB belum bisa
dibuat (lazimnya disebut sebagai PPJB Lunas).
Jika bentuknya adalah akta PPJB Belum Lunas, maka tidak disertai
dengan akta kuasa, kecuali syarat-syarat pemenuhan suatu kewajiban. Sedangkan
jika pembayaran sudah lunas dan dibuatkan akta PPJB Lunas, maka didalamnya
diikuti dengan akta kuasa menjual, dan ada pula dengan cara dari penjual kepada
pembeli atau dengan akta kuasa menjualkan dari pemegang hak atas tanah kepada
pengkapling selanjutnya dilanjutkan kepada pembeli tanah kapling tersebut. Pada
kuasa menjualkan mengatur atas pemberi kuasa menjual, melepaskan hak,
mengoper atau dengan cara lain memindahtangankan kepada pihak lain baik
secara sebagian maupun keseluruhan. Pada saat pelaksanaan jual beli maka jual
beli akan dilakukan antara pengkapling dengan pembeli tanah kapling tersebut.
Pemberian kuasa dimaksudkan, ketika semua persyaratan sudah terpenuhi, tanpa
13
perlu kehadiran penjual (pemilik tanah awal), karena sudah terwakili/sudah
memberikan kuasa.
Konsep pemberi dan penerima kuasa membentuk suatu ikatan dan
hubungan hukum, sehingga penerima kuasa bertindak untuk mewakili pemberi
kuasa, namun demikian hak dari pemberi kuasa tidak beralih secara mutlak karena
kuasa yang diberikan dapat dicabut atau ditarik kembali oleh pemberi kuasa.
Selama pemberian kuasa berlangsung, maka penerima kuasa berhak untuk
bertindak atas berbuat atas nama pemberi kuasa yang terbatas pada substansi yang
dikuasakan. Kuasa merupakan suatu daya, wewenang dan kekuatan. Dalam
KUHPerdata tidak ada pasal yang menjelaskan definisi mengenai kuasa, hanya
menyebutkan pengertian dari pemberian kuasa.5
Pemberian kuasa diatur dalam Pasal 1792 KUHPerdata menyatakan
bahwa: pemberian kuasa adalah suatu perjanjian dengan mana seorang
memberikan kekuasaan kepada seorang lain, yang menerimanya, untuk atas
namanya menyelenggarakan suatu urusan. Syarat sahnya pemberian kuasa
diberikan secara formil sesuai dengan ketentuan tunduk pada hukum perdata, baik
yang dibuat dihadapan Notaris maupun dibawah tangan, sebagimana dirumuskan
pada Pasal 1793 KUHPerdata yang substansinya menyatakan bahwa: Kuasa dapat
diberikan dan diterima dalam suatu akta umum, dalam suatu tulisan di bawah
tangan, bahkan dalam sepucuk surat maupun dengan lisan. Sedangkan akta kuasa
menjualkan masuk ke dalam kategori kuasa yang digunakan untuk
memindahtangankan benda yang sejatinya hanya dapat dilakukan oleh pemiliknya
5 Wicaksono. 2009, Panduan Lengkap Membuat Surat-Surat Kuasa, Visimedia, Jakarta.
h.1.
saja. Maka dari itu, kuasa menjualkan tidak boleh menggunakan kuasa umum.
Kuasa menjualkan ini, masuk dalam klausul dalam akta PPJB, dan berbentuk akta
tersendiri. Jadi, ketika tandatangan, pihak penjual maupun pihak pembeli
menandatangani dua akta: akta PPJB dan Akta Kuasa Menjualkan. Sehingga
kuasa menjualkan merupakan akta tersendiri namun merupakan perjanjian ikutan
dari akta PPJB, dan akta kuasa menjualkan merupakan satu kesatuan yang tidak
dapat dipisahkan dari akta PPJB.
Berdasarkan klausula kuasa menjualkan dari pihak pengkapling kepada
pembeli, Kemudian akta jual belinya dapat langsung dibuatkan oleh
Notaris/PPAT untuk proses balik nama sertifikat. Bagi pihak pengkapling
bertindak melalui/berdasarkan kuasa, Oleh karena itu di haruskan adanya kuasa
khusus untuk menjual. Kuasa ini juga sebagai pegangan bukti peralihan hak milik
atas tanah dari pemilik tanah awal kepada pembeli tanah. Untuk tindakan
menjualkan tidak boleh berlaku kuasa umum. Kuasa itu harus tegas untuk menjual
tanah yang dijual itu. Bentuk kuasa harus tertulis karena kuasa lisan tidak dapat
dijadikan dasar bagi jual-beli tanah.
Prakteknya jual beli hak atas tanah yang belum membalik nama hak milik
atas tanah dengan cara pemberian kuasa menjualkan atau lebih dikenal dengan
istilah jual beli gantung, maka timbul suatu penyelundupan hukum yang sangat
strategis dan terselubung. Terselubung karena jual beli gantung tersebut bertujuan
untuk mencari celah hukum oleh pihak pengkapling tanah untuk tidak
mendaftarkannya peralihan tanahnya di Kantor Pertanahan, Di dalam UUPA telah
ditentukan bahwa tanah-tanah di seluruh wilayah Negara Republik Indonesia
15
harus didaftarkan, hal ini sesuai dengan ketentuan Pasal 19 ayat (1) UUPA yang
berbunyi: Untuk menjamin kepastian hukum oleh Pemerintah diadakan
Pendaftaran Tanah, yang diatur dengan Peraturan Pemerintah. Selain itu juga
diatur dalam ketentuan Pasal 23 ayat (1) UUPA berbunyi: hak milik, demikian
juga setiap peralihan, hapusnya dan pembebanannya dengan hak-hak lain harus
didaftarkan menurut ketentuan yang dimaksud dalam Pasal 19 UUPA. Dikatakan
strategis karena kuasa menjualkan biasanya bertujuan untuk menghindari
pembayaran pajak-pajak dalam peralihan hak milik atas tanah yang akan dijual
kembali tersebut. Hal ini tentunya dapat membawa resiko dan konsekuensi hukum
yang pada puncaknya dapat menimbulkan beban tanggung jawab, baik bagi
penjual atau pemberi kuasa maupun bagi penerima kuasa atau pihak ketiga yang
berkepentingan.
Penulis ingin lebih lanjut meneliti tentang kuasa menjualkan. Jika di
telusuri lebih lanjut di dalam UUPA maupun di dalam PP Nomor 24 Tahun 1997
tentang Pendaftaran Tanah terdapat norma kosong mengenai tidak adanya
pengertian mengenai kuasa menjualkan tersebut dalam peraturan perundang-
undangan, penggunaan kuasa menjualkan sebagai bukti peralihan hak milik atas
tanah dan akibat yang timbul dari kuasa menjualkan tersebut. Pentingnya
pengaturan hukum yang secara tegas mengenai penggunaan kuasa menjualkan
sehingga akan memberikan jaminan kepastian hukum, ketertiban hukum dan
memberikan perlindungan hukum bagi para pihak apabila terjadi permasalahan
sengketa di kemudian hari, maka perlu adanya kajian tentang jual beli tanah yang
dalam transaksinya menggunakan kuasa menjualkan. Oleh sebab itu, diperlukan
upaya untuk mengkaji guna mengantisipasi dan mencegah terjadinya
penyelundupan hukum dalam praktek secara lebih mendalam maka dengan
demikian adapun judul dari tesis ini adalah “KEPASTIAN HUKUM KUASA
MENJUALKAN DALAM PERALIHAN HAK ATAS TANAH KAPLING.”
Berdasarkan dengan permasalahan penelitian seperti di kemukakan diatas.
Penelitian ini merupakan penelitian yang masih original karena belum ada
penelitian secara khusus menulis tesis dengan judul ini meskipun demikian
terdapat sejumlah tulisan yang mirip namun tidak sama secara substansial. Setelah
ditelusuri melalui judul-judul tesis yang ada di Indonesia melalui penelusuran
dengan media internet ditemukan beberapa judul tesis yang menyangkut dengan
kuasa menjual. Penelitian yang dimaksud antara lain sebagai berikut:
a) Tesis yang berjudul “Tanggung Jawab Notaris Atas Perjanjian Pengikatan
Jual Beli yang Dibuat Berdasarkan Kuasa yang Bermasalah”. Penelitian
dilakukan tahun 2015 oleh Priadi Darmaputra,SH., Tesis Program Study
Magister Kenoktariatan Universitas Narotama Surabaya, dengan rumusan
masalah sebagai berikut: Apakah PPJB yang dibuat di hadapan Notaris
berdasarkan kuasa yang bermasalah mempunyai kekuatan yang mengikat?,
Apakah Notaris bertanggungjawab atas kerugian para Pihak dalam PPJB
yang dibuat berdasarkan kuasa bermasalah?.6
b) Tesis yang berjudul “Efektivitas dan Penerapan Kuasa Dalam Akta
Pengikatan Perjanjian Jual Beli Atas Obyek Tanah Serta Keterkaitannya
Dengan Akta Kuasa Jual”. Penelitian dilakukan tahun 2012 oleh Herry
6 Priadi Darmaputra, 2015, “Tanggung Jawab Notaris Atas Perjanjian Pengikatan Jual
Beli yang Dibuat Berdasarkan Kuasa yang Bermasalah”, Resource Reference Universitas
Narotama, URL: http://tesis.narotama.ac.id/index.php//14. Diakses tanggal 16 Oktober 2016.
17
Santoso,SH., Tesis Program Study Magister Kenoktariatan Universitas
Sumatera Utara Medan, dengan rumusan masalah sebagai berikut: Sejauh
manakah efektivitas pemberian kuasa yang terdapat dalam akta
Pengikatan/Perjanjian jual beli?, Bagaimanakah keterkaitannya antara
pemberi kuasa yang terdapat dalam akta Perikatan/Perjanjian Jual Beli
dengan Akta Kuasa Menjual.7
c) Tesis yang berjudul “Analisis mengenai Akta Pengakuan Hutang Dengan
Jaminan Hak Atas Tanah yang Diikuti Kuasa Menjual”, Penelitian
dilakukan tahun 2012 oleh Fransiska Nona Kartika,SH., Tesis Program
Study Magister Kenotariatan Universitas Indonesia, dengan rumusan
masalah sebagai berikut: Bagaimanakah pelaksanaan kuasa menjual atas
jaminan hak atas tanah yang berdasarkan akta pengakuan hutang?,
Bagaimanakah keabsahan perjanjian jual beli dengan kuasa menjual yang
dilakukan antara suami istri dikaitkan dengan ketentuan Pasal 1467
KUHPerdata dan asas kebebasan berkontrak?.8
Tesis-tesis yang telah penulis uraikan di atas sangat berbeda dengan
penulisan tesis ini menyangkut kajian yuridis normatif. Walaupun pernah di
lakukan oleh penulis-penulis lainnya, tetapi tidaklah sama dengan penelitian
lainnya terkait dengan judul maupun permasalahan yang dibahas. Sehingga karya
ilmiah ini adalah asli dan dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah.
7 Herry Santoso, 2013, “Efektivitas dan Penerapan Kuasa Dalam Akta Pengikatan
Perjanjian Jual Beli Atas Obyek Tanah Serta Keterkaitannya Dengan Akta Kuasa Jual”, USU
Institusional Repostitory,URL: http://repository.usu.ac.id:80/handle/123456789/35336. Diakses
tanggal 16 Oktober 2016. 8 Fransiska Nona Kartika, 2012, “Analisis Mengenai Akta Pengakuan Hutang Dengan
Jaminan Hak Atas Tanah yang Diikuti Kuasa Menjual”, Universitas Indonesia Library, URL:
http://www.lib.ui.ac.id/daftikol2.jsp?id=126. Diakses pada tanggal 16 Oktober 2016.
1.2 Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah sebagaimana disampaikan diatas,
dalam penulisan ini akan dibatasi pada permasalah, sebagai berikut:
1. Bagaimana kepastian hukum jual beli tanah kapling dengan
menggunakan kuasa menjualkan?
2. Bagaimana perlindungan hukum terhadap pihak pembeli tanah kapling
yang beritikad baik dengan menggunakan kuasa menjualkan?
1.3 Tujuan Penelitian
1.3.1 Tujuan Umum
Secara umum, penulisan ini bertujuan untuk pengembangan ilmu hukum,
khususnya dalam bidang Hukum Agraria dengan keterkaitannya dengan Hukum
Kenotariatan mengenai pemahaman terhadap kepastian hukum transaksi jual beli
tanah dengan menggunakan kuasa menjualkan.
1.3.2 Tujuan Khusus
Secara khusus, penulisan ini bertujuan sebagai berikut:
1. Untuk mengkaji dan menganalisis lebih dalam mengenai jual beli tanah
menggunakan kuasa menjualkan dalam peralihan hak atas tanah.
2. Untuk mengkaji dan menganalisis perlindungan hukum terhadap pihak
pembeli tanah kapling yang beritikad baik dengan menggunakan kuasa
menjualkan.
19
1.4 Manfaat Penelitian
1.4.1 Manfaat Teoritis
Secara teoritis, hasil penulisan ini diharapkan dapat menambah khazanah
pengetahuan dibidang Ilmu Hukum khususnya bidang Hukum Agraria dan
Hukum Kenotariatan, memberikan sumbangan yang berarti dalam bentuk kajian
kritis, asas-asas, teori-teori serta kajian teoritis berkaitan dengan penggunaan
kuasa menjualkan sebagai pendaftaran peralihan hak atas tanah. Kuasa
menjualkan tidak diatur dalam UUPA maupun PP Nomor 24 Tahun 1997, dalam
hal untuk mengetahui mengenai peraturan perundang-undangan mengatur kuasa
menjualkan di Indonesia dan jaminan kepastian hukum terhadap penggunaan
kuasa menjualkan sebagai peralihan hak milik atas tanah, sehingga memberikan
perlindungan hukum terhadap pembeli tanah kapling beritikad baik tersebut. Hal
ini secara keilmuan dapat membantu mengembangkan teori-teori mengenai kuasa
menjualkan.
1.4.2 Manfaat Praktis
Secara praktis, hasil penulisan ini diharapkan dapat memberikan manfaat
kepada para pihak yang melakukan kegiatan bisnis pengkaplingan bidang tanah,
baik itu pihak penjual, pembeli, Notaris/PPAT maupun bagi penulis sendiri, serta
bagi pembuat kebijakan.
1. Bagi pihak penjual baik pemegang hak milik atas tanah maupun
pengkapling, hasil tulisan ini diharapkan dapat memberikan suatu
pencerahan berkenaan dengan transaksi jual beli tanah berdasarkan
kuasa menjualkan dalam melakukan suatu peralihan hak atas tanah.
2. Bagi pihak pembeli, hasil penulisan ini diharapkan dapat memberikan
gambaran yang lebih luas mengenai jual beli tanah menggunakan kuasa
menjualkan.
3. Bagi penulis sendiri, disamping untuk penyelesaian studi pada program
Magister Kenotariatan, juga untuk menambah wawasan di bidang
Hukum Agraria dan Hukum Kenotariatan mengenai kepastian hukum
jual beli tanah dengan menggunakan kuasa menjualkan.
4. Bagi Notaris/PPAT, hasil penulisan ini diharapkan menambah
pemahaman peranan Notaris/PPAT dalam melakukan pengesahan
peralihan hak milik atas tanah menggunakan kuasa menjualkan.
1.5 Landasan Teoritis
Teori berasal dari kata theoria dalam bahasa latin yang berarti perenungan,
dan kata theoria itu sendiri berasal dari kata thea yang dalam bahasa Yunani
berarti cara atau hasil pandang.9 Untuk memperjelas di dalam memberikan suatu
gambaran mengenai pembahasan permasalahan diatas, maka dalam penulisan tesis
ini digunakan Penemuan Hukum, Teori Kedaulatan Hukum, Konsep Kepastian
Hukum, Konsep Perlindungan Hukum, Asas Umum dalam Perjanjian.
1.5.1 Penemuan Hukum
Penemuan hukum bukanlah merupakan ilmu baru, tetapi telah lama
dikenal dan dipraktekan selama ini oleh hakim. Pembentuk undang-undang dan
9 Soetandyo Wignyosoebroto, 2001, Hukum-Paradigma, Metode dan Permasalahannya,
Elsam dan Huma, Jakarta, h. 184.
21
para sarjana hukum yang bertugas memecahkan masalah-masalah hukum.10 Tidak
jarang para sarjana hukum melakukan suatu penemuan hukum secara reflektif
tanpa disadari.
Sistem hukum di Indonesia mengenal adanya penemuan hukum heteronom
sepanjang hakim terikat pada undang-undang, tetapi penemuan hukum ini
mempunyai unsur-unsur otonom yang kuat, karena seringkali hakim harus
menjelaskan atau melengkapi undang-undang menurut pandangan sendiri.11
Apabila peraturan peundang-undangan tidak lengkap maupun tidak jelas maka
harus dilengkapi dan ditemukan. Hal tersebutlah yang dimaksudkan dengan
pengertian penemuan hukum atau Rechtsvinding.
Penemuan hukum lazimnya pembentukan hukum oleh hakim atau aparat
hukum lainnya yang ditugaskan untuk penerapan peraturan hukum umum pada
peristiwa hukum konkrit, juga merupakan proses konkretisasi atau individualis
peraturan hukum (das sollen) bersifat umum dengan mengingat akan peristiwa
konkrit (das sein).12 Jadi dalam penemuan hukum yang penting adalah bagaimana
mencarikan atau menemukan hukumnya untuk peristiwa konkrit.
Sumber utama penemuan hukum adalah peraturan perundang-undangan,
hukum kebiasaan, yurisprudensi, perjanjian internasional dan doktrin. Selain hal
tersebut sumber penemuan hukum tidak lain adalah sumber atau tempat terutama
10 Sudikno Mertokusumo, 2001, Penemuan Hukum Sebuah Pengantar, Liberty,
Yogyakarta, h. 1. 11 Ahmad Rifai, 2011, Penemuan Hukum Oleh Hakim Dalam Perspektif Hukum
Progesif, Sinar Grafika, Jakarta, h. 21. 12 Sudikno Mertokusumo, op.cit., h. 33.
bagi hakim dapat menemukan hukumnya.13 Jadi terdapat hierarki atau kewerdaan
dalam sumber hukum, adatingkatan-tingkatannya. Dalam ajaran penemuan hukum
undang-undang diprioritaskan atau didahulukan dari sumber-sumber hukum
lainnya. Jika hendak mencari hukumnya, arti sebuah kata maka dicarilah terlebih
dahulu dalam undang-undang, karena undang-undang bersifat otentik dan
berbentuk tertulis, yang tentunya akan lebih menjamin kepastian hukum.
Apabila ternyata dalam peraturan perundang-undangan tidak di temukan
ketentuannya atau jawabannya, maka barulah harus mencari dalam hukum
kebiasaan. Hukum kebiasaan adalah hukum yang tidak tertulis. Untuk
menemukannya harus dengan cara bertanya kepada warga atau tokoh masyarakat
yang dianggap tahu. Kebiasaan adalah prilaku yang diulang. Tidak setiap
kebiasaan mempunyai kekuatan hukum mengikat. Kebiasaan merupakan
kebiasaan apabila kebiasaan itu dianggap mengikat. Dalam hal ini tentunya
kebiasaan harus dilakukan berulang dan berlangsung beberapa waktu lamanya.
Untuk dapat menjadi hukum kebiasaan maka suatu prilaku harus berlaku pada
waktu yang lama, berulang-ulang dan harus menimbulkan keyakinan umum
bahwa prilaku yang diulang memang patut secara obyektif dilakukan dan bahwa
dengan melakukan prilaku itu keyakinan melakukan suatu kewajiban hukum.
Menurut Paul Scholten sebagaimana dikutip Ahmad Rifai mengemukakan
yang dimaksud penemuan hukum adalah sesuatu yang lain daripada hanya
penerapan peraturan pada peristiwanya. Bahwa peraturannya harus ditemukan,
baik dengan jalan interpretasi maupun dengan analogi ataupun dengan
13 Mochtar Kusumaatmaja, 2002, Konsep-konsep Hukum dalam Pembangunan, Alumni,
Bandung, h. 99.
23
penghalusan/pengkonkretan hukum (rechvervijning).14 Adapun menurut Utrech
sebagaimana dikutip Ahmad Rifai bahwa penemuan hukum itu adalah dalam hal
suatu perundang-undangan belum jelas atau belum mengaturnya, hakim harus
bertindak berdasar inisatif sendiri untuk menyelesaikan perkara tersebut.15 Dalam
hal ini hakim bersikap seperti pembentuk undang-undang yang mengetahui
adanya kekosongan hukum, akan melengkapinya dengan peraturan-peraturan
yang serupa seperti yang dibuatnya untuk peristiwa-peristiwa yang telah ada
peraturannya. Maka hakim akan mencari pemecahan untuk peristiwa-peristiwa
yang telah diatur yang sesuai dengan analogi. Analogi digunakan digunakan
apabila terdapat kekosongan dalam undang-undang. Jadi dengan analogi berarti
mengisi kekosongan dan ketidaklengkapan undang-undang dengan sesuatu yang
tidak ada di dalam undang-undang.
Suatu penemuan hukum apabila dikaitkan dengan penulisan ini dalam
kehidupan manusia sangat berkaitan dengan kehidupan manusia sehari-hari.
Masih banyaknya peraturan perundang-undangan belum yang mengatur
keseluruhan kehidupan manusia. Oleh karena hukum yang tidak lengkap
mengatur segala macam permasalahan maka harus dicari dan ditemukan.
Meskipun pada bidang pertanahan sudah diatur dalam UUPA namun pada
kenyataannya masih banyak ditemukan perkara/sengketa tentang pertanahan pada
pengadilan di wilayah Republik Indonesia. Banyaknya sumber masalah baru di
kehidupan masa modern ini misalnya banyaknya alih fungsi lahan pertanian yang
dijadikan tanah kapling oleh pengkapling demi meraup untung sebesar-besarnya.
14 Ahmad Rifai, op.cit., h. 11.
15 Ahmad Rifai, loc.cit.
UUPA terlihat tampaknya kurang mampu mengakomodir kebutuhan masyarakat
Indonesia saat ini. Prakteknya masih banyak dalam kehidupan masyaraat sengketa
pertanahan terkait dengan penggunaan kuasa menjualkan yang tentunya sangat
merugikan pembeli tanah kapling tersebut. Perlu adanya suatu kajian penemuan
hukum terkait dengan penggunaan akta kuasa menjualkan pada transaksi jual beli
tanah agar di kemudian hari tidak lagi muncul sengketa di pengadilan.
1.5.2 Teori Kedaulatan Hukum
Istilah teori kedaulatan hukum berasal dari terjemahan bahasa Inggris,
yaitu sovereignity law theory. Teori kedaulatan hukum merupakan bagian dari
teori kedaulatan yang terdiri atas kedaulatan Tuhan, kedaulatan rakyat, kedaulatan
Negara, dan kedaulatan raja. Teori kedaulatan hukum dikembangkan oleh Krabbe.
Ajaran Krabbe ini muncul sebagai reaksi terhadap teori kedaulatan Negara. Dalam
ajaran kedaulatan Negara, hukum didudukan lebih rendah daripada Negara.
Artinya bahwa “Negara” tidak tunduk pada hukum karena hukum diartikan
sebagai perintah-perintah dari Negara itu sendiri (bentuk imperatif dari suatu
norma). Teori ini akan menerima kekuasaan pemerintahan yang dikeluarkan oleh
hukum dan yang berlaku menurut peraturan-peraturan hukum. Dengan demikian,
teori ini menunjukkan bahwa hukum memegang kekuasaan paling tinggi dalam
suatu Negara, hukum memperoleh kekuasaan mengikatnya bukan dari
pemerintah, tetapi sebaliknya pemerintah mendapatkan kekuasaan dari hukum.
Hugo Krabbe mengemukakan pandangan tentang teori kedaulatan hukum
sebagaimana dikutip Salim H. S, Hugo Krabbe berpendapat bahwa:
25
Yang memiliki kekuasaan tertinggi dalam suatu Negara itu adalah hukum itu
sendiri. Oleh karena itu, baik raja atau penguasa maupun rakyat atau warga
Negara, bahkan Negara itu sendiri, semuanya tunduk pada hukum. Semua
sikap, tingkah laku dan perbuatannya harus sesuai atau menurut hukum.
Hukum tidak timbul dari kehendak Negara. Jadi, kesimpulannya menurut
Hugo Krabbe bahwa yang berdaulat adalah hukum.16
Apabila mengacu pada teori ini, yang mempunyai kekuasaan tertinggi
dalam Negara adalah hukum. yang memiliki bahkan yang merupakan kekuasaan
tertinggi di dalam suatu negera itu adalah hukum itu sendiri karena baik raja
maupun ataupun penguasa maupun rakyat atau warga Negara, bahkan Negara itu
sendiri semuannya tunduk kepada hukum. Semua sikap, tingkah laku dan
perbuatannya harus sesuai atau menurut hukum. Pada dasarnya, hukum yang
terdapat pada suatu Negara dapat digolongkan menjadi 2 macam, yaitu hukum
tertulis dan hukum tidak tertulis. Hukum tertulis merupakan hukum yang terdapat
dalam peraturan perundang-undangan, sementara hukum tidak tertulis merupakan
hukum yang hidup dan berkembang dalam masyarakat. Krabbe berpendapat
bahwa yang menjadi sumber hukum dalam penyelenggaraan pemerintahan adalah
rasa hukum yang terdapat di dalam masyarakat itu sendiri. Rasa hukum itu dalam
bentuk yang masih sederhana atau primitif atau yang tingkatannya masih lebih
rendah disebut insting hukum. Pada bentuk yang lebih luas atau dalam tingkat
yang lebih tinggi disebut kesadaran hukum. Hukum itu tidaklah timbul dari
kehendak Negara, dan dia memberikan kepada hukum suatu kepribadian
tersendiri dan hukum itu berlaku terlepas dari kehendak Negara. Sumber dari
16 Salim H. S, 2012, Perkembangan Teori Dalam Ilmu Hukum, Raja Grafindo Persada,
Jakarta, h. 155.
hukum itu sendiri adalah dari kesadaran masyarakat yang memiliki rasa membuat
hukum yang baik.
Relevansi atau hubungan teori kedaulatan hukum dengan penulisan ini
ialah dapat dilihat dari pemaparan dari Hugo Krabbe di atas sebaiknya bagi
pembuat undang-undang atau pengambil keputusan hukum agar selalu
memperhatikan perasaan hukum rakyat agar keruwetan dalam konteks
“ketidakpastian hukum” secara Nasional setidaknya dapat diatasi sehingga hukum
tersebut menjadi berdaulat, dan hukum itu sendiri bukan semata-mata menjadi alat
bagi penguasa untuk lebih mengamankan dan melanggengkan kekuasaannya,
dengan penggunaan kekuasaan dalam pembentukan hukum di Negara ini. Dengan
demikian terbentuk suatu sistem hukum yang memberikan kepastian,
perlindungan dan rasa adil di dalam kehidupan masyarakat.
Penting bagi Pemerintah Legislatif dan Pemerintah Eksekutif untuk
membuat peraturan perundang-undangan yang mengatur tentang penggunaan
kuasa menjualkan sebagai alas hak untuk peralihan hak atas tanah yang pada
kehidupan masyarakat sering menimbulkan permasalahan/sengketa di kemudian
hari terkait dengan jual beli tanah kapling. Tentunya hal tersebut menimbulkan
perasaan tidak aman/nyaman bagi pihak yang mengalami karena menimbulkan
kecemasan akibat “ketidakpastian” hukum atas kepemilikan tanahnya apalagi
hukum sering kali tidak dapat memberikan keadilan sebagaimana maksud dan
tujuan hukum itu tercipta. Maka perlunya suatu pembentukan hukum yang baru
terkait dengan pengunaan kuasa menjualkan tersebut demi tercapainya suatu
sistem tatanan hukum demi tercapainya suatu kepastian hukum di Republik
27
Indonesia yang pada akhirnya mengayomi dan melindungi seluruh komponen
masyarakat.
1.5.3 Konsep Kepastian Hukum
Kepastian merupakan ciri yang tidak dapat dipisahkan dari hukum,
terutama untuk norma hukum tertulis. Hukum tanpa nilai kepastian akan
kehilangan makna karena tidak dapat lagi digunakan sebagai pedoman perilaku
bagi setiap orang. Kepastian sendiri disebut sebagai salah satu tujuan dari hukum.
Keteraturan masyarakat berkaitan erat dengan kepastian dalam hukum, karena
keteraturan merupakan inti dari kepastian itu sendiri. Menurut Utrecht, hukum
bertugas menjamin adanya kepastian hukum (rechtszekerheid) dalam pergaulan
manusia. Dalam tugas itu terdapat 2 (dua) tugas lain, yaitu harus menjamin
keadilan serta hukum bertugas polisinil (politionele taak van het recht) yang
berarti hukum menjaga agar dalam masyarakat tidak terjadi main hakim sendiri.17
Kepastian hukum menurut Satjipto Rahadjo adalah jiwanya peraturan
hukum, karena merupakan dasar lahirnya peraturan hukum, dan ratio legisnya
peraturan hukum.18 Hubungan dalam bidang pertanahan Mhd. Yamin Lubis dan
Abd. Rahim Lubis berpendapat bahwa:
Setiap penguasaan dan pemanfaatan tanah termasuk dalam penanganan
masalah pertanahan harus di dasarkan pada hukum dan diselesaikan secara
hukum serta tetap berpijak pada landasan konstitusi yakni pada Pasal 33 ayat
(3) UUD RI 1945 yang mengamanatkan kepada Pemerintah untuk melakukan
pengaturan dan pemanfaatan tanah dalam konsep sebesar-besarnya
17 Riduan Syahrani, 2008, Rangkuman Intisari Ilmu Hukum, Citra Aditya Bakti,
Bandung, h. 23. 18 Ibid., h. 153.
kemakmuran rakyat termasuk melaksanakan pendaftaran tanah diseluruh
wilayah di Indonesia dalam rangka memberikan suatu kepastian hukum.19
Berdasarkan uraian tentang istilah dan pengertian konsep kepastian hukum
tampak bahwa konsep tersebut sangat menentukan eksistensi hukum sebagai
pedoman tingkah laku dalam masyarakat. Hukum harus memberikan jaminan
kepastian tidak adanya kesewenang-wenangan dalam masyarakat. Selain itu
kepastian hukum secara normatif ialah ketika peraturan dibuat dan diundangkan
secara pasti karena mengatur secara jelas dan logis. Jelas dalam arti tidak terdapat
kekaburan norma atau keragu-raguan (multitafsir), dan kekosongan norma,
sedangkan logis dalam artian menjadi suatu sistem norma dengan norma lain
sehingga tidak berbentukan atau menimbulkan konflik norma.
Kepastian hukum merupakan suatu kewajiban dalam rangka mewujudkan
tata kehidupan sebagai mana yang diamanatkan dalam tujuan Negara hukum,
maka daripada itu pentingnya kepastian hukum dalam Negara hukum yakni
sebagai landasan peraturan perundang-undangan, kepatutan dan keadilan dalam
setiap kebijakan penyelenggaraan Negara yang tentunya akan menjamin
persamaan kedudukan warga masyarakat dalam hukum.
Kepastian Hukum dalam UUPA ditemukan dalam uraian Pasal 19 yaitu:
1) Untuk menjamin kepastian hukum oleh Pemerintah diadakan
pendaftaran tanah diseluruh wilayah Republik Indonesia menurut
ketentuan-ketentuan yang diatur dengan peraturan pemerintah
2) Pendaftaran tersebut dalam ayat (1) Pasal ini meliputi:
a. pengukuran, perpetaan, dan pembukuan tanah;
b. pendaftaran hak-hak atas tanah dan peralihan hak-hak tersebut;
c. pemberian surat-surat tanda bukti hak, yang berlaku sebagai alat
pembuktian yang kuat.
19 Mhd. Yamin dan Abd. Rahim Lubis 2008, Hukum Pendaftaran Tanah, Mandar Maju,
Bandung, h. 4.
29
3) Pendaftaran tanah diselenggarakan dengan mengingat keadaan Negara
dan masyarakat, keperluan lalu lintas sosial ekonomi serta
kemungkinan penyelenggaraannya, menurut pertimbangan Menteri
Agraria.
4) Dalam Peraturan Pemerintah diatur biaya-biaya yang bersangkutan
dengan pendaftaran termasuk dalam ayat (1) di atas, dengan ketentuan
bahwa rakyat tidak mampu dibebaskan dari pembayaran biaya-biaya
tersebut.
Berdasarkan ketentuan Pasal 19 ayat (1) UUPA maka Pengaturan
pendaftaran tanah di Indonesia yang lebih rinci diatur dalam PP Nomor 24 Tahun
1997 tentang Pendaftaran Tanah yang ditetapkan dan diundangkan pada tanggal 8
Juli 1997, yang menggantikan PP Nomor 10 Tahun 1961 dan PP Nomor 24 Tahun
1997 ini baru mulai berlaku tanggal 8 Oktober 1997.
Penjelasan umum PP Nomor 24 Tahun 1997 dikemukakan apa yang
menjadi pertimbangan perlunya diadakan peraturan pendaftaran tanah baru yaitu :
Dalam pembangunan jangka panjang peranan tanah bagi pemenuhan
berbagai keperluan akan meningkat, sehubungan dengan itu akan
meningkat pula kebutuhan akan dukungan berupa jaminan kepastian
hukum di bidang pertanahan. Selain itu dalam menghadapi kasus-kasus
konkret diperlukan juga terselenggaranya pendaftaran tanah, yang
memungkinkan bagi para pemegang hak atas tanah untuk dengan mudah
membuktikan haknya atas tanah yang dikuasainya dan bagi para pihak
yang berkepentingan dapat memperoleh keterangan yang diperlukan
mengenai tanah, serta bagi Pemerintah untuk melaksanakan kebijaksanaan
pertanahannya.
Tujuan di bentuknya Peraturan Pemerintah ini sebagai bentuk pelaksanaan
pendaftaran tanah dalam rangka Rechtcadaster (pendaftaran tanah), Sebagai
kepastian hukum dan perlindungan hukum kepada pemegang hak atas tanah,
dengan alat bukti yang dihasilkan pada proses pendaftaran tanah tersebut yang
berupa Salinan Buku Tanah dan Surat Ukur.20
20 Arie S. Hutagalung, 2005, Tebaran Pemikiran Seputar Masalah Hukum Pertanahan,
Lembaga Pemberdayaan Hukum Indonesia, Jakarta, h. 81.
Kaitannya dengan penulisan ini dalam menjawab permasalahan pertama
dimana dalam praktek sehari-hari Notaris/PPAT sering di hadapkan dengan kuasa
menjualkan. Persoalan terhadap keberadaan kuasa menjualkan dalam pendaftaran
peralihan hak atas tanah tidak dijumpainya dalam UUPA maupun PP Nomor 24
Tahun 1997 Tentang Pendaftaran Tanah. Dengan tidak diaturnya kuasa
menjualkan dalam peraturan perundang-undangan tersebut tentunya tidak
memberikan suatu kepastian hukum yang jelas pada proses peralihan hak milik
atas tanah menggunakan kuasa menjualkan sewaktu-waktu apabila di kemudian
hari tanah yang dijual tersebut tersebut bermasalah yang tentunya merugikan para
pihak yang terikat di dalam perjanjian itu sendiri di kemudian hari.
Tentunya hal tersebut menimbulkan persepsi yang berbeda-beda antara
Notaris/PPAT satu dengan Notaris/PPAT lainnya dalam melaksanakan tugas serta
fungsinya sebagai pembuat akta otentik mengenai semua perbuatan, perjanjian,
dan ketetapan yang diharuskan oleh peraturan perundang-undangan dan/atau yang
dikehendaki oleh yang berkepentingan untuk dinyatakan dalam akta otentik,
menjamin kepastian tanggal pembuatan akta, menyimpan akta, memberikan
grosee, salinan dan kutipan akta, semuanya itu sepanjang pembuatan akta-akta itu
tidak juga ditugaskan atau dikecualikan kepada pejabat lain atau orang lain yang
ditetapkan oleh undang-undang sebagaimana yang diatur dalam Undang-Undang
Nomor 2 Tahun 2014 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 30 Tahun
2004 tentang Jabatan Notaris (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2014
Nomor 3, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5491) yang
selanjutnya disebut UUJNP.
31
Penelitian ini diharapkan mampu memberikan jaminan kepastian hukum
terhadap penggunaan kuasa menjualkan dalam hal bukti peralihan hak milik atas
tanah khususnya tanah kapling. Sehingga memberikan rasa aman bagi para pihak
yang terikat dalam perjanjian tersebut.
1.5.4 Konsep Perlindungan Hukum
Permasalahan kedua mengenai perlindungan hukum terhadap pembeli
tanah kapling tanah menggunakan kuasa menjualkan, konsep perlindungan hukum
ini dapat dijadikan landasan berpijak untuk menjawabnya. Fungsi hukum adalah
untuk mengatur hubungan antara Negara dengan warganya dan hubungan antara
sesama warga masyarakat tersebut agar kehidupan dalam masyarakat berjalan
dengan tertib dan lancar. Tugas dari hukum tersebut tentunya untuk mencapai
suatu kepastian hukum dan keadilan dalam masyarakat. Kepastian Hukum
mengharuskan diciptakannya peraturan umum atau kaidah hukum yang berlaku
umum agar terciptanya suasana yang aman dan tentram dalam masyarakat, maka
kaidah yang dimaksud harus ditegakan serta dilaksanakan dengan tegas.21 Dengan
kepastian hukum tersebut dengan sendirinya masyarakat senantiasa akan
mendapatkan suatu perlindungan hukum dengan sendirinya karena sudah
mendapatkan kepastian tentang bagaimana masyarakat menyelesaikan suatu
persoalan hukum dan menyelesaikan perselisihan yang terjadi mengenai hukum.
Perlindungan hukum menurut konsepnya, berarti mewajibkan pemerintah
melalui berbagai instrumennya untuk mencegah terjadinya pelanggaran-
pelanggaran terhadap kepentingan hak individu masyarakat dengan menegakkan
21 Soejono Soekanto, 1983, Penegakan Hukum, Bina Cipta, Bandung, h. 15.
hukum yang berlaku, maka perlindungan itu dianggap ada. Soedikno
Mertokusumo menyebutkan kepastian hukum sebagai perlindungan yustsiable
terhadap tindakan sewenang-wenang yang berarti bahwa seseorang akan dapat
memperoleh sesuatu yang diharapkan dalam keadaan tertentu.22
Menurut Satjipto Rahardjo, perlindungan hukum adalah upaya melindungi
kepentingan seseorang dengan cara mengalokasikan suatu kekuasaan kepadanya
untuk bertindak dalam rangka kepentingan tersebut.23 Harjono berpendapat
perlindungan yang diberikan oleh hukum merupakan perlindungan atas hak
masyarakat yang merupakan hasil transformasi kepentingannya, yang selanjutnya
menjadi hak hukum, sehingga hak masyarakat dapat dihormati, dilindungi dan
dipatuhi.24 Salah satu sifat dan sekaligus merupakan tujuan dari hukum adalah
memberikan perlindungan (pengayoman) kepada masyarakat, oleh karena itu
perlindungan hukum terhadap masyarakat tersebut harus diwujudkan dalam
bentuk adanya kepastian hukum. Perlindungan hukum merupakan suatu konsep
yang universal dari Negara hukum. Perlindungan hukum diberikan apabila terjadi
suatu pelanggaran maupun tindakan yang bertentangan dengan hukum yang
dilakukan oleh pemerintah, baik perbuatan yang melanggar undang-undang
maupun peraturan formal yang berlaku telah melanggar ketentuan kepentingan
dalam kehidupan masyarakat yang harus diperhatikan.
Perlindungan hukum dapat ditemui dalam penjelasan Pasal 18 UUPA
menjelaskan tentang meskipun hak atas tanah mempunyai fungsi sosial, tidak
22 Fernando M.Manullang, 2007, Menggapai Hukum Berkeadilan Tinjauan Hukum
Kodrat dan Antinomi Nilai, Penerbit Buku Kompas, Jakarta, h. 99. 23 Satjipto Rahardjo, 2003, Sisi-sisi Lain dari Hukum di Indonesia, Jakarta, h. 121. 24 Harjono, 2008, Konstitusi Sebagai Rumah Bangsa, Konstitusi Press, Jakarta, h. 375.
33
berarti kepentingan pemegang hak atas tanah diabaikan begitu saja. Dalam rangka
memberikan penghormatan dan perlindungan hukum, hak atas tanah tidak dapat
begitu saja diambil oleh pihak lain meskipun itu untuk kepentingan umum.
Kepada pemegang hak atas tanah diberikan ganti rugi yang layak, artinya
kehidupan pemegang hak atas tanah harus lebih baik setelah hak atas tanah
diambil oleh pihak lain.
Kaitannya dengan permasalahan kedua konsep perlindungan hukum ini
dimana diharapkan pihak pembeli kapling tersebut apabila di kemudian hari
disengketakan oleh pemilik tanah kapling akibat jual beli tanah kapling tersebut
mengalami sengketa diharapkan diberikannya suatu keadilan untuk melindungi
pembeli tanah kapling tersebut dari kerugian yang diperbuat oleh pengkapling
tanah yang bermuara pada jaminan kepastian hukum adanya perlindungan dan
adanya jaminan pembeli tanah kapling untuk mendapatkan haknya sebagai
pemilik tanah yang sah yang telah melakukan jual beli sesuai prosedur hukum.
Pada prosesnya suatu perlindungan dapat dilihat pada proses penandatanganan
akta PPJB dan akta kuasa menjualkan yang dibuat dalam bentuk akta otentik yang
dibuat oleh Notaris. Dalam akta otentik tersebut telah tercantum hak dan
kewajiban para pihak harus menjalankan dan menaati isi perjanjian yang telah
disepakati. Suatu perlindungan hukum dalam jual beli tanah dapat diwujudkan
dengan terbitnya sertifikat tanah beralihnya hak atas tanah dari penjual tanah
kepada pembeli tanah kapling. Upaya untuk mendapatkan suatu perlindungan
hukum tentunya yang diinginkan oleh pembeli kapling adalah ketertiban dan
keteraturan antara nilai dasar dari hukum yakni adanya kepastian hukum,
kegunaan hukum serta keadilan hukum.
1.5.5 Asas Umum dalam Hukum Perjanjian
Asas umum dalam hukum perjanjian dalam tesis ini digunakan untuk
melengkapi konsep perlindungan hukum dalam menganalisis perlindungan hukum
terhadap pembeli tanah kapling dengan kuasa menjualkan. Pasal 1313
KUHPerdata mengawali ketentuan dalam Bab Kedua dan Buku III KUHPerdata,
dibawah judul Tentang Perikatan yang lahir dari Kontrak atau Perjanjian, dengan
menyatakan bahwa “Suatu perjanjian adalah suatu perbuatan yang dimana satu
orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang atau lebih”, rumusan
yang diberikan tersebut hendak memperlihatkan kepada kita semua, bahwa suatu
perjanjian adalah sebagai suatu perbuatan, antara sekurang-kurangnya dua orang
dan perbuatan tersebut melahirkan perikatan diantara pihak-pihak yang berjanji
tersebut.
Perbuatan yang di sebutkan dalam rumusan awal ketentuan Pasal 1313
KUHPerdata hendaknya menjelaskan pada kita semua bahwa perjanjian hanya
mungkin terjadi jika ada suatu perbuatan nyata, baik dalam bentuk ucapan,
maupun tindakan secara fisik, dan tidak hanya dalam bentuk pikiran semata-mata.
Dalam rangka menciptakan keseimbangan dan memelihara hak-hak yang di miliki
oleh para pihak sebelum perjanjian yang dibuat menjadi perikatan yang mengikat
bagi para pihak, oleh KUHPerdata diberikan berbagai asas umum yang
merupakan pedoman atau patokan serta menjadi batas atau rambu dalam mengatur
dan membentuk perjanjian yang akan dibuat hingga pada akhirnya menjadi
35
perikatan yang berlaku bagi para pihak yang dapat dipaksakan pelaksanaan atau
pemenuhannya. Berikut ini dibahas asas-asas umum hukum perjanjian yang di
atur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata :
a) Asas Kebebasan Berkontrak
Asas kebebasan berkontrak merupakan asas yang menduduki posisi sentral
dalam hukum perjanjian. Meskipun asas ini tidak dituangkan menjadi aturan
hukum namun mempunyai pengaruh yang kuat dalam hubungan kontraktual para
pihak. Latar belakang lahirnya asas kebebasan berkontrak adalah adanya paham
individualisme yang secara embrional lahir dalam zaman Yunani, yang diteruskan
oleh kaum Epicuristen dan berkembang pesat dalam zaman renaissance melalui
antara lain ajaran-ajaran Hugo de Grecht, Thomas Hobbes, John Locke dan J.J.
Rosseau.25
Asas kebebasan berkontrak dapat dianalisis dari ketentuan Pasal 1338 ayat
(1) KUHPerdata, yang berbunyi: “Semua perjanjian yang dibuat secara sah
berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya.” Asas ini
merupakan suatu asas yang memberikan kebebasan kepada para pihak untuk:
a. membuat atau tidak membuat perjanjian.
b. mengadakan perjanjian dengan siapa pun.
c. menentukan isi, pelaksanaan dan persyaratan.
d. menentukan bentuk perjanjiannya apakah tertulis atau lisan.
Menurut asas kebebasan berkontrak ini, seseorang pada umumnya
mempunyai pilihan untuk bebas dalam mengadakan perjanjian. Di dalam asas ini
25 Salim H. S, 2004, Hukum Kontrak: Teori dan Teknik Penyusunan Kontrak, Sinar
Grafika, Jakarta, h. 9.
terkandung suatu pandangan bahwa setiap orang bebas untuk melakukan atau
tidak melakukan perjanjian, bebas tentang apa yang diperjanjikan dan bebas untuk
menetapkan syarat-syarat perjanjian. Namun yang penting untuk diperhatikan
bahwa kebebasan berkontrak sebagaimana disimpulkan dari ketentuan Pasal 1338
KUHPerdata ayat (1) tidaklah berdiri dalam kesendiriannya. Asas tersebut berada
dalam satu paket sistem yang utuh dan padu dengan ketentuan lain terkait. Dalam
praktik dewasa ini, acap kali asas kebebasan berkontrak kurang dipahami secara
utuh, sehingga banyak memunculkan kesan pola hubungan kontraktual yang tidak
seimbang dan berat sebelah kebebasan berkontrak didasarkan pada asumsi bahwa
para pihak dalam kontrak memiliki posisi tawar yang seimbang, tetapi dalam
kenyataannya para pihak tidak selalu memiliki posisi tawar yang seimbang.
Relevansi terhadap tulisan ini ialah keseimbangan para pihak dalam
berkontrak merupakan konsep dasar yang tidak bisa di tawar. Karena itu dalam
diri para pihak baik pemegang hak atas tanah, pengkapling dan pembeli tanah
kapling harus terdapat pemahaman dan penghormatan terhadap hak masing-
masing. Oleh karena itu, dapat dipahami perkembangan asas kebebasan
berkontrak yang cenderung mengarah pada ketidakseimbangan para pihak
kemudian dibatasi oleh berbagai ketentuan yang bersifat memaksa agar pertukaran
hak dan kewajiban dapat berlangsung secara proposional.
a) Asas Konsensualisme
Asas ini dapat ditemukan dalam ketentuan Pasal 1320 KUHPerdata dan
pasal 1338 KUHPerdata. Pada Pasal 1320 KUHPerdata, ditentukan secara tegas,
bahwa salah satu syarat sahnya perjanjian adalah adanya kata kesepakatan antara
37
kedua belah pihak. Dimana menurut asas ini perjanjian telah lahir cukup dengan
kata sepakat. Asas ini merupakan asas yang menyatakan bahwa perjanjian pada
umumnya tidak diadakan secara formal, melainkan cukup dengan adanya
kesepakatan kedua belah pihak. Kesepakatan adalah persesuaian antara kehendak
dan pernyataan yang dibuat oleh kedua belah pihak.
Asas Konsensualisme mempunyai hubungan yang erat dengan asas
kebebasan berkontrak dan asas kekuatan mengikat yang terdapat pada Pasal 1338
ayat (1) KUHPerdata. Pelanggaran terhadap ketentuan di dalam asas ini akan
mengakibatkan perjanjian ini tidak sah dan juga tidak mengikat sebagai undang-
undang. Asas Konsensualisme ini merupakan “roh” dari suatu perjanjian. Hal ini
tersimpul dari kesepakatan para pihak, namun demikian pada situasi tertentu
terdpat perjanjian yang tidak mencerminkan wujud kesepakatan yang
sesungguhnya. Hal ini disebabkan adanya cacat kehendak yang mempengaruhi
timbulnya perjanjian. Dalam KUHPerdata cacat kehendak meliputi 3 hal yaitu
kesesatan, penipuan dan paksaan.
Asas konsensualisme sebagaimana yang tersimpul dari ketentuan Pasal
1320 KUHPerdata angka 1 tentang kesepakatan, yang menyatakan bahwa
perjanjian tersebut telah lahir cukup dengan kata sepakat, hendaknya tidak
diinterprestasi semata-mata secara gramatikal. Pemahaman asas ini yang
menekankan “sepakat” para pihak ini, berangkat dari pemikiran bahwa yang
berhadapan dalam kontak itu adalah orang yang menjunjung tinggi komitmen dan
tanggung jawab dalam lalu lintas hukum, orang yang beritikad baik, yang
berlandaskan pada “satu kata satu perbuatan”. Sehingga dengan asumsi tersebut
yang berhadapan dala kontrak tersebut adalah para “gentlement” maka akan
terwujud juga “gentlement agreement” diantara mereka.
Relevansi asas konsensualisme dalam kaitannya dalam penulisan ini ialah
para pihak penghadap terlebih dahulu telah sepakat mengenai kehendak harus
dalam berwujud kontrak, kemudian Notaris membantu untuk mengkonstantir
kehendak para pihak yang melakukan jual beli tanah kapling tersebut ke dalam
suatu akta yakni PPJB diikuti dengan kuasa menjualkan. Kemudian setelah
dokumen dan persyaratan yang diperlukan telah lengkap maka dapat dilakukan
dengan proses AJB, Setelah itu dapat dilanjutkan dengaan proses peralihan hak
atas tanah yang nantinya akan terbit sertifikat hak atas tanah atas nama pemegang
hak yang baru (pembeli).
c) Asas Pacta Sunt Servanda (Mengikat Kontrak)
Asas ini berhubungan dengan akibat perjanjian. Asas pacta sunt
servanda menjelaskan bahwa hakim atau pihak ketiga harus menghormati
subtansi kontrak yang dibuat oleh para pihak, sebagaimana layaknya sebuah
Undang-undang. Mereka tidak boleh melakukan intervensi terhadap substansi
kontrak yang dibuat oleh para pihak.26 Artinya ketentuan yang sudah di tegaskan
dan dituangkan dalam suatu perjanjian adalah mengikat dan harus dilaksanakan
oleh para pihak. Setiap orang yang membuat kontrak, dia terikat untuk memenuhi
kontrak tersebut karena kontrak tersebut mengandung janji-janji yang harus
dipenuhi dan janji tersebut mengikat para pihak sebagaimana mengikatnya
undang-undang. Hal ini dapat dilihat pada Pasal 1338 KUHPerdata ayat (1) yang
26 Salim HS, 2008, Perancangan Kontrak & Memorandum of Understanding (MoU),
Sinar Grafika, Jakarta, h.2.
39
menentukan bahwa semua perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai
undang–undang bagi mereka yang membuatnya.
Relevansi dalam penulisan ini ialah para pihak yang membuat
mengkonstantir keinginannya dalam sebuah akta notariil harus memenuhi dan
tunduk dari isi akta tersebut, karena isi yang tertuang dalam akta merupakan
Undang-undang bagi para pihak yang membuatnya. Kekuatan mengikat kontrak
pada dasarnya hanya menjangkau sebatas para pihak yang membuatnya. Kekuatan
mengikat perjanjian yang muncul seiring dengan asas kebebasan berkontrak
merupakan manifestasi pola hubungan manusia yang mencerminkan nilai-nilai
kepercayaan di dalamnya. Lebih lanjut secara substansial daya mengikat kontrak,
khususnya terkait isi perjanjian atau prestasi ternyata tidak hanya mengikat untuk
hal-hal yang dengan tegas dinyatakan di dalamnya, tetapi juga untuk segala
sesuatu yang menurut sifat perjanjian, diharuskan oleh kepatutan, kebiasaan atau
undang-undang.
d) Asas Itikad Baik
Asas itikad baik tercantum dalam Pasal 1338 ayat (3) KUHPerdata yang
berbunyi: “Perjanjian harus dilaksanakan dengan itikad baik”. Asas ini merupakan
asas bahwa para pihak, yaitu pihak kreditur dan debitur harus melaksanakan
substansi kontrak berdasarkan kepercayaan atau keyakinan yang teguh maupun
kemauan baik dari para pihak.
Relevansi asas itikad baik dalam penulisan ini ialah suatu perjanjian itu
dilaksanakan menurut kepatutan dan keadilan dan bersifat dinamis. Itikad baik
harus dimaknai dalam keseluruhan proses kontraktual, artinya itikad baik harus
melandaskan hubungan para pihak pada tahapaan pra kontraktual, kontraktual dan
pelaksanaan kontraktual melingkupi seluruh proses kontrak tersebut. Beranjak
dari pemahaman mengenai itikad baik, kiranya dalam melaksanakan aktivitasnya
pengkapling tidak boleh sampai merugikan pihak pembeli tanah kapling.
Pengkapling harus membayarkan harga transaksi tanah yang telah disepakati oleh
pihak penjual. Sehingga menghindari kerugian bagi pihak pembeli tanah kapling
apabila harga dari transaksi jual beli antara pemegang tanah dengan pengkapling
tidak disetorkan penuh sesuai dengan kesepakatan awal antara pihak pemegang
hak atas tanah dengan pengkapling.
1.6 Metode Penelitian
1.6.1 Jenis Penelitian
Penelitian ini termasuk jenis penelitian hukum normatif yaitu proses untuk
menemukan aturan hukum, prinsip-prinsip hukum, maupun doktrin-doktrin
hukum guna menjawab isu hukum yang menjadi permasalahan dalam penelitian
ini. Kegunaan metode penelitian normatif adalah untuk melakukan penelitian
dasar (basic research) di bidang hukum, khususnya bila peneliti mencari asas
hukum, teori hukum, dan sistem hukum, terutama dalam hal penemuan hukum
dan pembentukan asas-asas hukum baru, pendekatan hukum baru dan sistem
hukum nasional.27 Dalam penelitian ini terdapat kekosongan norma yakni dalam
pengaturannya didalam UUPA dan PP Nomor 24 tahun 1997 dalam hubungannya
untuk peralihan hak atas tanah tidak mengatur lebih lanjut mengenai penggunaan
kuasa menjualkan dalam peralihan hak atas tanah.
27 Sunaryati Hartono, 1994, Penelitian Hukum di Indonesia Pada Akhir Abad ke-20,
Alumni, Bandung, h. 141.
41
1.6.2 Jenis Pendekatan
Pendekatan yang digunakan untuk mebahas permasalah dalam tesis ini
adalah sebagai berikut.
a) Pendekatan Undang-Undang (statue approach)
Pendekatan ini dilakukan dengan menelaah suatu undang-undang dan
regulasi yang bersangkut paut dengan permasahan yang dibahas. Bagi peneliti,
pendekatan undang-undang ini akan membuka kesempatan bagai peneliti untuk
mempelajari adakah konsistensi dan kesesuaian antar suatu undang-undang
dengan undang-undang lainnya atau antara undang-undang dan Undang-Undang
Dasar atau antara regulasi dan undang-undang. Hasil dari telaah tersebut
merupakan suatu argumen untuk memecahkan isu yang dihadapi.28
a. Pendekatan Konseptual (conceptual approach)
Pendekatan konseptual, peneliti merujuk pada prinsip-prinsip hukum.
Prinsip-prinsip ini dapat ditemukan dalam pandangan-pandangan sarjana ataupun
doktrin-doktrin hukum. Meskipun tidak secara eksplisit, konsep hukum juga dapat
ditemukan pada undang-undang. Hanya saja dalam mengidentifikasi prinsip
tersebut, terlebih dahulu harus memahami konsep tersebut malalui pandangan-
pandangan dan doktrin-doktrin yang ada.29
c. Pendekatan Kasus (case approach)
Pendekatan kasus dilakukan dengan cara melakukan pendekatan terhadap
kasus-kasus yang berkaitan dengan isu yang dihadapi yang telah menjadi putusan
pengadilan yang mempunyai kekuatan hukum tetap. Kasus tersebut bisa saja yang
28 Peter Mahmud Marzuki, 2008, Penelitian Hukum, Kencana Prenada Media Group,
Jakarta, h. 93. 29 Ibid., h. 138.
terjadi di Indonesia maupun Negara lain. yang menjadi kajian pokok di dalam
pendekatan kasus adalah ratio decidendi atau reasoning yaitu pertimbangan
pengadilan untuk sampai kepada suatu putusan. Baik untuk keperluan praktik
maupun untuk kajian akademis, reasoning tersebut merupakan referensi bagi
penyusunan argumentasi dalam pemecahan isu hukum.30 Dalam penulisan ini
penulis akan menganalisis putusan pengadilan Nomor: 121/Pdt.G/2007/PN.Dps.
1.6.3 Sumber Bahan Hukum
Sebagai sumber bahan hukum pokok dari penelitian ini terdiri dari bahan
hukum primer dan bahan hukum sekunder.
a) Bahan Hukum Primer
Bahan hukum primer adalah bahan hukum yang bersifat autoritatif yang
artinya mempunyai otoritas. Bahan hukum primer terdiri dari perundang-
undangan, catatan-catatan resmi atau risalah dalam pembuat perundang-undangan
dan putusan-putusan hakim.31 Dalam penelitian ini digunakan bahan-bahan
hukum primer terdiri dari Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia
1945, Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 Tentang Peraturan Dasar Pokok-
Pokok Agraria, KUHPerdata, Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 2016
tentang Perubahan Atas Peraturan Pemerintah Nomor 37 Tahun 1998 tentang
Peraturan Jabatan Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT), Undang-Undang Nomor
2 Tahun 2014 tentang perubahan atas Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2004
Tentang Jabatan Notaris, Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 tentang
Pendaftaran Tanah, Instruksi Mendagri Nomor 14 Tahun 1982 tentang Larangan
30 Ibid., h. 126. 31 Ibid., h. 141.
43
Penggunaan Surat Kuasa Mutlak Sebagai Pemindahan Hak Atas Tanah. Serta
ketentuan peraturan perundang-undangan lainnya.
b) Bahan Hukum Sekunder
Bahan hukum sekunder yang digunakan dalam penulisan ini adalah
literatur-literatur, buku-buku (text book) yang berkaitan dengan hukum agraria.
dan sebagai penunjang di dapat dari bahan yang memberikan penjelasan mengenai
bahan hukum primer, seperti hasil karya dari kalangan hukum dan hasil penelitian.
Bahan hukum sekunder juga termasuk tesis hukum. Keseluruhan bahan hukum
primer dan sekunder yang digunakan dalam penelitian ini dicantumkan dalam
Daftar Pustaka pada bagian akhir tulisan ini.
1.6.4 Teknik Pengumpulan Bahan Hukum
Mengenai teknik yang diterapkan dalam pengolahan bahan hukum yang
diperlukan dalam penelitian ini ialah terhadap bahan-bahan hukum yang
diperlukan dan akan digunakan dalam penelitian dikumpulkan dengan
menggunakan teknik pengumpulan sistem kartu (card system). Kartu-kartu
disusun berdasarkan pokok masalah dalam penelitian dan penulisan ini
berdasarkan langkah-langkah yang telah disusun. Di samping itu ditelaah
dokumen-dokumen yang bersangkutan dengan pokok masalah.
1.6.5 Teknik Analisa Bahan Hukum
Bahan-bahan hukum yang telah terkumpul kemudian dianalisa dengan
menggunakan beberapa teknik yaitu:32
32 Pasek Diantha, I Made, 2015, Penelitian Hukum Normatif Dalam Jastifikasi Teori
Hukum, Fakultas Hukum Universitas Udayana, Denpasar. h. 152-156.
1. Teknik deskripsi
Teknik deskripsi dipergunakan dalam menganalisa, karena teknik
diskriptif adalah teknik dasar analisis yang tidak dapat dihindari penggunaannya.
Deskriptif berarti menguraikan apa adanya terhadap suatu kondisi atau posisi dari
proposisi-proposisi hukum atau non hukum, sehingga dalam penelitian ini
diungkapkan apa adanya. Dengan penelitian teknik deskriptip dimaksudkan
peneliti memaparkan adanya tentang suatu peristiwa hukum atau kondisi hukum.
2. Teknik Komparatif
Setelah mengadakan deskripsi lebih lanjut diperlukan suatu langkah untuk
melakukan perbandingan terhadap satu pendapat dengan pendapat lainnya.
Pendapat-pendapat itu diidentifikasi dalam jumlah yang dianggap cukup untuk
memberikan kejelasan tentang materi hukum yang diperbandingkan. Oleh karena
itu, teknik komparasi ini diperlukan untuk menganalisis bahan hukum sekunder
yang di dalamnya terdapat berbagai pandangan sarjana hukum.
3. Teknik evaluasi
Setelah melakukan deskripsi dan komparasi, dilanjutkan dengan
melakukan evaluasi terhadap suatu kondisi hukum. Dalam komparasi akan
diperoleh pandangan pro dan kontra.
4. Teknik argumentasi
Teknik ini digunakan terakhir setelah dilakukan teknis evaluasi terhadap
argumen-argumen yang saling berbeda. Berisikan argumentasi-argumentasi oleh
peneliti berkaitan dengan permasalahan dalam penelitian ini untuk mendapatkan
kesimpulan atas pokok-pokok pembahasan penelitian. Tidak bisa dilepaskan dari
45
teknik evaluasi karena penilaian harus didasarkan pada alasan-alasan yang bersifat
penalaran hukum. Dalam pembahasan permasalahan hukum makin banyak
argumen makin menunjukkan kedalaman penalaran hukum.