56
ABSTRAK Perjanjian kredit bank dalam bentuk tertulis di bawah tangan, dewasa ini, sering dilakukan dalam praktek pemberian kredit oleh pihak bank khususnya Bank Perkreditan Rakyat (BPR) selaku kreditur kepada nasabah peminjam (debitur). Kekuatan hukum surat perjanjian di bawah tangan dalam pembuktian di persidangan lemah karena debitor atau penerima kredit dapat mengingkari keaslian tanda tangan dalam perjanjian kredit yang dibuat secara di bawah tangan. Berdasarkan kondisi tersebut, isu hukum yang diangkat dalam penelitian ini adalah (1) Bagaimana pengaturan mengenai perjanjian kredit yang dibuat secara bawah tangan menurut Undang-Undang Perbankan dan Undang-Undang Jabatan Notaris? dan (2) Bagaimana kekuatan hukum perjanjian kredit yang dibuat secara bawah tangan pada bank perkreditan rakyat? Jenis penelitian yang digunakan merupakan penelitian hukum normatif dengan pendekatan perundang-undangan, pendekatan konsep dan pendekatan sejarah. Sumber bahan hukum dalam penelitian ini terdiri dari: primer, sekunder dan tersier. Teknik pengumpulan bahan hukum merupakan teknik studi kepustakaan. Analisis bahan hukum yang berhasil dikumpulkan dalam penelitian ini dilakukan secara deskriptif , interpretatif, evaluatif dan argumentatif analisis. Hasil penelitian menunjukkan (1) Pengaturan mengenai perjanjian kredit yang dibuat secara bawah tangan menurut Hukum Perbankan baik Undang- Undang Perbankan maupun Surat Edaran Bank Indonesia No.14/20/DKBU tentang Pedoman Kebijakan dan Prosedur Perkreditan bagi Bank Perkreditan Rakyat, yang mempersyaratkan untuk memberikan kredit dalam bentuk apapun bank-bank wajib mempergunakan/membuat perjanjian kredit secara tertulis, sedangkan menurut Undang-Undang Jabatan Notaris (UUJN) meskipun perjanjian kredit di bawah tangan sudah dibuat dalam bentuk tertulis, namun untuk menambah kekuatan pembuktian maka perjanjian kredit di bawah tangan tersebut harus disahkan/dilegalisasi notaris; dan (2) Kekuatan hukum perjanjian kredit yang dibuat secara bawah tangan pada Bank Perkreditan Rakyat mengikat para pihak, baik pihak bank maupun nasabah peminjam. Kekuatan hukum perjanjian kredit di bawah tangan bergantung pada pengakuan para pihak terhadap kebenaran perjanjian kredit di bawah tangan tersebut. Para pihak dapat membenarkan atau memungkiri tandatangannya. Perjanjian di bawah tangan itu mempunyai kekuatan pembuktian lahir, jika tanda tangan pada perjanjian di bawah tangan itu diakui oleh yang bersangkutan, maka perjanjian itu merupakan bukti sempurna yang berlaku terhadap para pihak yang bersangkutan. Perjanjian di bawah tangan mempunyai kekuatan pembuktian formil jika tanda tangan pada perjanjian tersebut telah diakui. Menurut Pasal 1875 KUHPerdata, kekuatan pembuktian materiil dari perjanjian di bawah tangan yang diakui oleh orang yang menandatangani merupakan bukti sempurna seperti akta otentik, sedangkan terhadap pihak ketiga perjanjian di bawah tangan mempunyai kekuatan pembuktian yang bebas. Kata Kunci: Perjanjian Kredit, Perjanjian Bawah Tangan, Kekuatan Hukum.

ABSTRAK - sinta.unud.ac.id · tentang Pedoman Kebijakan dan Prosedur Perkreditan bagi Bank Perkreditan Rakyat, yang mempersyaratkan untuk memberikan kredit dalam bentuk apapun bank-bank

Embed Size (px)

Citation preview

Page 1: ABSTRAK - sinta.unud.ac.id · tentang Pedoman Kebijakan dan Prosedur Perkreditan bagi Bank Perkreditan Rakyat, yang mempersyaratkan untuk memberikan kredit dalam bentuk apapun bank-bank

ABSTRAK

Perjanjian kredit bank dalam bentuk tertulis di bawah tangan, dewasa ini,

sering dilakukan dalam praktek pemberian kredit oleh pihak bank khususnya

Bank Perkreditan Rakyat (BPR) selaku kreditur kepada nasabah peminjam

(debitur). Kekuatan hukum surat perjanjian di bawah tangan dalam pembuktian di

persidangan lemah karena debitor atau penerima kredit dapat mengingkari

keaslian tanda tangan dalam perjanjian kredit yang dibuat secara di bawah tangan.

Berdasarkan kondisi tersebut, isu hukum yang diangkat dalam penelitian

ini adalah (1) Bagaimana pengaturan mengenai perjanjian kredit yang dibuat

secara bawah tangan menurut Undang-Undang Perbankan dan Undang-Undang

Jabatan Notaris? dan (2) Bagaimana kekuatan hukum perjanjian kredit yang

dibuat secara bawah tangan pada bank perkreditan rakyat?

Jenis penelitian yang digunakan merupakan penelitian hukum normatif

dengan pendekatan perundang-undangan, pendekatan konsep dan pendekatan

sejarah. Sumber bahan hukum dalam penelitian ini terdiri dari: primer, sekunder

dan tersier. Teknik pengumpulan bahan hukum merupakan teknik studi

kepustakaan. Analisis bahan hukum yang berhasil dikumpulkan dalam penelitian

ini dilakukan secara deskriptif , interpretatif, evaluatif dan argumentatif analisis.

Hasil penelitian menunjukkan (1) Pengaturan mengenai perjanjian kredit

yang dibuat secara bawah tangan menurut Hukum Perbankan baik Undang-

Undang Perbankan maupun Surat Edaran Bank Indonesia No.14/20/DKBU

tentang Pedoman Kebijakan dan Prosedur Perkreditan bagi Bank Perkreditan

Rakyat, yang mempersyaratkan untuk memberikan kredit dalam bentuk apapun

bank-bank wajib mempergunakan/membuat perjanjian kredit secara tertulis,

sedangkan menurut Undang-Undang Jabatan Notaris (UUJN) meskipun perjanjian

kredit di bawah tangan sudah dibuat dalam bentuk tertulis, namun untuk

menambah kekuatan pembuktian maka perjanjian kredit di bawah tangan tersebut

harus disahkan/dilegalisasi notaris; dan (2) Kekuatan hukum perjanjian kredit

yang dibuat secara bawah tangan pada Bank Perkreditan Rakyat mengikat para

pihak, baik pihak bank maupun nasabah peminjam. Kekuatan hukum perjanjian

kredit di bawah tangan bergantung pada pengakuan para pihak terhadap

kebenaran perjanjian kredit di bawah tangan tersebut. Para pihak dapat

membenarkan atau memungkiri tandatangannya. Perjanjian di bawah tangan itu

mempunyai kekuatan pembuktian lahir, jika tanda tangan pada perjanjian di

bawah tangan itu diakui oleh yang bersangkutan, maka perjanjian itu merupakan

bukti sempurna yang berlaku terhadap para pihak yang bersangkutan. Perjanjian

di bawah tangan mempunyai kekuatan pembuktian formil jika tanda tangan pada

perjanjian tersebut telah diakui. Menurut Pasal 1875 KUHPerdata, kekuatan

pembuktian materiil dari perjanjian di bawah tangan yang diakui oleh orang yang

menandatangani merupakan bukti sempurna seperti akta otentik, sedangkan

terhadap pihak ketiga perjanjian di bawah tangan mempunyai kekuatan

pembuktian yang bebas.

Kata Kunci: Perjanjian Kredit, Perjanjian Bawah Tangan, Kekuatan Hukum.

Page 2: ABSTRAK - sinta.unud.ac.id · tentang Pedoman Kebijakan dan Prosedur Perkreditan bagi Bank Perkreditan Rakyat, yang mempersyaratkan untuk memberikan kredit dalam bentuk apapun bank-bank

ABSTRACT

Bank underhanded credit agreement in written form, recently is frequently

used in extension of credit by the bank especially the Bank Perkreditan Rakyat

(BPR) as a creditor to a bank costumer (debtor). The force of law of underhanded

agreement used on court of law verification is weak because the debtor or the

credit recipient may deny the authenticity of the signature.

Based on that condition, the legal issues raised in this research are (1)

How the arrangements regarding credit agreements are made by underhand

according to Banking Legislation and Act of Notary? and (2) How the legal force

of the credit agreement made by underhand at rural banks?

The type of research is a normative legal research with statute approach,

conceptual approach and historical approach. Sources of legal materials in this

research consisted of primary, secondary and tertiary legal materials. The

technique of collecting legal material used is literature study techniques. Analysis

of legal materials collected in this research performed by a descriptive,

interpretative, evaluative and argumentative analysis.

The research result indicated (1) The arrangements regarding credit

agreements are made by underhand according to Banking Law both the Banking

Legislation and Bank Indonesia Circular Letter No.14 / 20 / DKBU on Credit

Policies and Procedures for Rural Banks, which requires to give credit in any

form banks are obliged to use/make a credit agreement in writing, while

according to the Notary Act (UUJN) although the underhand credit agreement

already made in written form, but to add to the strength of evidence then the

underhand credit agreements must be authenticated/legalized by a notary; and (2)

The legal force of credit agreements that are made underhands at the Rural Bank

are binding on the parties, both the bank and the borrowers. The legal force of

underhand credit agreement relies on the recognition of the parties to the truth of

that underhand credit agreement. The parties can allow or deny his signature.

The underhand credit agreement has the outwardly strength of evidence, if the

signature on the underhand agreement that is recognized by the concerned, then

the agreement was a perfect evidence which applicable to the parties concerned.

The underhand agreements has a formal evidentiary force if the signature on the

agreement have been recognized. According to Article 1875 of the Civil Code, the

material of strength evidence of the underhand agreement which recognized by

the person who signed is a perfect evidence as an authentic deed, while to the

third party the underhand agreement has freely evidence force.

Keywords: Credit Agreement, Underhand Agreement, Legal Force.

Page 3: ABSTRAK - sinta.unud.ac.id · tentang Pedoman Kebijakan dan Prosedur Perkreditan bagi Bank Perkreditan Rakyat, yang mempersyaratkan untuk memberikan kredit dalam bentuk apapun bank-bank

DAFTAR ISI

SAMPUL DEPAN ....................................................................................... i

SAMPUL DALAM ...................................................................................... ii

PRASYARAT GELAR ............................................................................... iii

LEMBAR PERSETUJUAN PEMBIMBING ........................................... iv

PERNYATAAN BEBAS PLAGIAT ......................................................... v

UCAPAN TERIMA KASIH....................................................................... vi

ABSTRAK ................................................................................................... viii

ABSTRACT .................................................................................................. ix

RINGKASAN .............................................................................................. x

DAFTAR ISI ................................................................................................ xii

BAB I PENDAHULUAN ............................................................................ 1

1.1 Latar Belakang Masalah ..................................................................... 1

1.2 Rumusan Masalah .............................................................................. 13

1.3 Orisinalitas Penelitian ........................................................................ 14

1.4 Tujuan Penelitian ................................................................................ 17

1.4.1 Tujuan Umum .......................................................................... 17

1.4.2 Tujuan Khusus ......................................................................... 18

1.5 Manfaat Penelitian ............................................................................. 18

1.5.1 Manfaat Teoritis ....................................................................... 18

1.5.2 Manfaat Praktis ........................................................................ 18

1.6 Landasan Teoritis dan Kerangka Pemikiran ...................................... 19

1.6.1 Landasan Teoritis ...................................................................... 19

1.6.1.1 Teori Perjanjian ............................................................. 19

1.6.1.2 Teori Alat Bukti ............................................................ 24

1.6.1.3 Teori Keabsahan............................................................ 26

1.6.1.4 Konsep tentang Kredit dan Perjanjian Kredit ............... 31

1.6.1.5 Konsep Perjanjian di Bawah Tangan ............................ 32

1.6.1.6 Konsep Bank Perkreditan Rakyat (BPR) ...................... 38

Page 4: ABSTRAK - sinta.unud.ac.id · tentang Pedoman Kebijakan dan Prosedur Perkreditan bagi Bank Perkreditan Rakyat, yang mempersyaratkan untuk memberikan kredit dalam bentuk apapun bank-bank

1.6.2 Kerangka Pemikiran .................................................................. 45

1.7 Metode Penelitian .............................................................................. 45

1.7.1 Jenis Penelitian ........................................................................ 45

1.7.2 Jenis Pendekatan .................................................................... 46

1.7.3 Sumber Bahan Hukum ............................................................ 47

1.7.4 Teknik Pengumpulan Bahan Hukum ...................................... 49

1.7.5 Teknik Analisis Bahan Hukum ............................................... 49

BAB II TINJAUAN UMUM MENGENAI PERJANJIAN KREDIT

PERBANKAN, PERJANJIAN DI BAWAH TANGAN, DAN

BANK PERKREDITAN RAKYAT .............................................. 51

2.1 Perjanjian Kredit Perbankan ............................................................. 51

2.1.1 Pengertian Kredit Perbankan................................................. 51

2.1.2 Unsur-Unsur dan Prinsip Perjanjian Kredit Perbankan ........ 55

2.1.3 Bentuk-Bentuk Perjanjian Kredit Perbankan ........................ 58

2.2 Perjanjian di Bawah Tangan ............................................................. 60

2.2.1 Pengertian Perjanjian di Bawah Tangan dan Dasar

Hukumnya ............................................................................. 60

2.2.2 Kriteria Perjanjian di Bawah Tangan .................................... 62

2.2.3 Kekuatan Hukum Perjanjian di Bawah Tangan .................... 68

2.3 Bank Perkreditan Rakyat................................................................... 73

2.3.1 Pengertian Bank, Bank Perkreditan Rakyat dan Dasar

Hukumnya ............................................................................. 73

2.3.2 Fungsi dan Tujuan Bank Perkreditan Rakyat (BPR) ............ 75

2.3.2.1 Fungsi Bank Perkreditan Rakyat (BPR) ................. 75

2.3.2.2 Tujuan Bank dan BPR ............................................. 77

2.3.2.3 Dasar Hukum BPR .................................................. 80

BAB III PENGATURAN MENGENAI PERJANJIAN KREDIT DI

BAWAH TANGAN ......................................................................... 82

Page 5: ABSTRAK - sinta.unud.ac.id · tentang Pedoman Kebijakan dan Prosedur Perkreditan bagi Bank Perkreditan Rakyat, yang mempersyaratkan untuk memberikan kredit dalam bentuk apapun bank-bank

3.1 Aspek Hukum Perjanjian Kredit Perbankan ..................................... 82

3.1.1 Subyek Hukum dalam Perjanjian Kredit............................... 87

3.1.2 Kedudukan Perjanjian Kredit dalam Hukum Perjanjian ....... 89

3.1.3 Perjanjian Kredit sebagai Perjanjian Tertulis (Akta) ............ 94

3.2 Manfaat Pembuatan Perjanjian Kredit Perbankan dengan Akta

Notariil .............................................................................................. 97

3.3 Pengaturan mengenai Perjanjian Kredit di Bawah Tangan menurut

Hukum Perbankan ............................................................................. 105

3.4 Pengaturan mengenai Perjanjian Kredit di Bawah Tangan menurut

Undang-Undang Jabatan Notaris ...................................................... 115

BAB IV KEKUATAN HUKUM PERJANJIAN KREDIT DI BAWAH

TANGAN PADA BANK PERKREDITAN RAKYAT ................ 123

4.1 Kredit sebagai Usaha Perbankan ....................................................... 123

4.2 Upaya Pengamanan dalam Perjanjian Kredit Perbankan .................. 128

4.3 Perjanjian Kredit di Bawah Tangan pada Bank Perkreditan Rakyat

(BPR)................................................................................................. 139

4.4 Kekuatan Hukum Perjanjian Kredit di Bawah Tangan ..................... 148

BAB V PENUTUP ....................................................................................... 163

5.1 Simpulan ........................................................................................... 163

5.2 Saran .................................................................................................. 164

DAFTAR PUSTAKA

Page 6: ABSTRAK - sinta.unud.ac.id · tentang Pedoman Kebijakan dan Prosedur Perkreditan bagi Bank Perkreditan Rakyat, yang mempersyaratkan untuk memberikan kredit dalam bentuk apapun bank-bank

BAB I

PEMDAHULUAN

1.1 Latar Belakang Masalah

Dalam kehidupan masyarakat, ada kelompok yang kelebihan atau surplus

dana dan ada kelompok yang hanya memiliki sedikit dana. Bagi masyarakat yang

surplus dana, seringkali mereka kurang mampu untuk membentuk usaha/bisnis,

sementara itu kelompok yang memiliki sedikit dana memiliki kemampuan untuk

membentuk usaha/bisnis namun terkendala dengan sedikitnya dana yang dimiliki

atau bahkan tidak memiliki dana sama sekali. Untuk mempertemukan keduanya

diperlukan lembaga intermediary yang akan bertindak selaku kreditur yang akan

menyediakan dana bagi debitur yang memerlukan dana.1

Dalam rangka mewujudkan masyarakat yang adil dan makmur

berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia

1945 (selanjutnya disebut UUD NRI 1945), kesinambungan dan peningkatan

pembangunan nasional yang berasaskan kekeluargaan harus senantiasa dipelihara

dengan baik. Guna mencapai tujuan tersebut, maka pelaksanaan pembangunan

ekonomi harus lebih memperhatikan keserasian, keselarasan dan keseimbangan

unsur-unsur pemerataan pembangunan, pertumbuhan ekonomi, dan stabilitas

nasional. Salah satu sarana yang mempunyai peran strategis dalam menyerasikan

dan menyeimbangkan masing masing unsur tersebut adalah bank (selanjutnya

disebut kreditur).

1Johannes Ibrahim, 2014, Bank sebagai Lembaga Intermediasi dalam Hukum Positif, Utomo,

Bandung, hal. 36-37. (selanjutnya disebut Johannes Ibrahim I).

Page 7: ABSTRAK - sinta.unud.ac.id · tentang Pedoman Kebijakan dan Prosedur Perkreditan bagi Bank Perkreditan Rakyat, yang mempersyaratkan untuk memberikan kredit dalam bentuk apapun bank-bank

Bank terlebih dahulu mengadakan perjanjian kredit dengan calon

debiturnya sebelum melakukan penyaluran kreditnya. Hingga saat ini belum ada

pedoman yang dapat dijadikan acuan oleh bank, mengenai apa saja isi atau

klausul-klausul yang sebaiknya dimuat atau tidak dimuat dalam suatu perjanjian

kredit perbankan. Dalam hal perjanjian kredit, kedudukan bank sebagai kreditur

dan nasabah sebagai debitur tidak pernah seimbang. Ada kalanya kreditur lebih

kuat dari debitur, dalam hal debitur termasuk pengusaha ekonomi lemah.2

Misalnya sebelum akad kredit perjanjian perbankan ditandatangani, debitur

diminta membaca seluruh klausul perjanjian yang berlembar-lembar hanya dalam

beberapa menit, namun karena debitur sangat membutuhkan uang maka mau tidak

mau mereka setuju dengan semua ketentuan yang ditetapkan oleh pihak bank, atau

contoh lainnya adalah pihak bank (kreditur) berhak menaikkan suku bunga kredit

tanpa terlebih dahulu melakukan kesepakatan dengan pihak debitur.3

Pihak kreditur seringkali memaksakan kehendaknya agar debitur

menyetujui begitu saja persyaratan kredit yang diajukan pihak kreditur.

Persyaratan itu diajukan dalam klausula-klausula perjanjian kredit perbankan.

Mengingat nasabah peminjam, termasuk dalam hal ini dari kalangan pengusaha

kecil, maka debitur ini terpaksa menyetujui persyaratan yang diajukan oleh pihak

bank tersebut.

Dalam usaha perbankan, untuk mengamankan pemberian kredit umumnya

perjanjian kredit dituangkan dalam bentuk tertulis. Fungsi pertama perjanjian

2Sutan Remi Sjahdeini, 2009, Kebebasan Berkontrak dan Perlindungan yang Seimbang bagi

Para Pihak dalam Perjanjian Kredit Bank di Indonesia, Cetakan I, Institut Bankir Indonesia,

Jakarta, hal. 2-3 3Ibid.

Page 8: ABSTRAK - sinta.unud.ac.id · tentang Pedoman Kebijakan dan Prosedur Perkreditan bagi Bank Perkreditan Rakyat, yang mempersyaratkan untuk memberikan kredit dalam bentuk apapun bank-bank

kredit merupakan perjanjian pokok yang berarti perjanjian kredit adalah sesuatu

yang menentukan batal atau tidak batalnya perjanjian lain yang mengikutinya.

Fungsi kedua adalah sebagai alat bukti tentang hak dan kewajiban debitur dan

kreditur. Fungsi ketiga sebagai pedoman bank dalam perencanaan, pelaksanaan,

pengorganisasian dan pengawasan pemberian kredit.4

Pengertian perbankan menurut Pasal 1 Undang-Undang Nomor 10 Tahun

1998 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang

Perbankan (selanjutnya disebut UU Perbankan), dalam ketentuan umum adalah :

“Perbankan adalah segala sesuatu yang menyangkut tentang bank, menyangkut

kelembagaan, kegiatan usaha serta cara dan proses dalam melaksanakan kegiatan

usahanya.” Menurut Pasal 5 UU Perbankan diatur mengenai jenis bank, yaitu:

1. Bank umum dan ;

2. Bank Perkreditan Rakyat

Penelitian ini akan meneliti tentang perjanjian kredit di bawah tangan pada

Bank Perkreditan Rakyat (selanjutnya disebut BPR). Pasal 1 angka 4 UU

Perbankan mendefinisikan BPR adalah bank yang dalam melaksanakan

kegiatannya tidak memberikan jasa dalam lalu lintas pembayaran. Hal ini

menimbulkan pengertian bahwa BPR adalah bank yang melaksanakan kegiatan

usaha secara konvensional atau berdasarkan prinsip syariah yang dalam

kegiatannya tidak memberikan jasa dalam lalu lintas pembayaran. Dalam Pasal 13

UU Perbankan, usaha dari BPR meliputi :

4Malayu S.P. Hasibuan, 2008, Bisnis Perbankan di Indonesia, Bumi Aksara, Jakarta, hal. 26-

27.

Page 9: ABSTRAK - sinta.unud.ac.id · tentang Pedoman Kebijakan dan Prosedur Perkreditan bagi Bank Perkreditan Rakyat, yang mempersyaratkan untuk memberikan kredit dalam bentuk apapun bank-bank

1. Menghimpun dana dari masyarakat, dalam bentuk simpanan berupa

deposito berjangka, tabungan dan/atau bentuk lain yang dipersamakan

dengan itu. Bentuk lain yang dipersamakan dengan itu adalah untuk

menampung kemungkinan adanya penghimpun dana dari masyarakat oleh

BPR, yang serupa dengan deposito berjangka dan tabungan, tetapi bukan

giro/simpanan lain yang dapat ditarik dengan cek;

2. Memberikan kredit;

3. Menyediakan pembiayaan dan penempatan berdasarkan prinsip syariah

sesuai dengan ketentuan yang ditetapkan oleh Bank Indonesia;

4. Menempatkan dananya dalam bentuk Sertifikat Bank Indonesia (SBI),

deposito berjangka, sertifikat deposito dan/atau tabungan pada bank lain;

Penelitian ini meneliti BPR dalam pemberian kredit. Salah satu fasilitas

kredit yang ada pada BPR adalah pemberian kredit modal kerja. Kredit modal

kerja merupakan bentuk kredit yang bisa dimanfaatkan untuk menjalankan usaha

atau mengembangkan usaha. Pencairan kredit ini bisa secara bertahap mengingat

sistemnya dalam bentuk rekening koran, dimana debitur membayar bunga dari

saldo pinjaman yang dipakai dan setiap jatuh tempo bisa diperpanjang. Apabila

usaha/bisnis semakin maju, debitur dapat mengajukan tambahan kredit lagi sesuai

kebutuhan. Debitur harus punya niat baik menepati perjanjian kredit dengan bank.

Kredit modal kerja merupakan kredit jangka pendek untuk memenuhi kebutuhan

Page 10: ABSTRAK - sinta.unud.ac.id · tentang Pedoman Kebijakan dan Prosedur Perkreditan bagi Bank Perkreditan Rakyat, yang mempersyaratkan untuk memberikan kredit dalam bentuk apapun bank-bank

modal kerja, dimana setiap pencairan kreditnya debitur harus memberitahukan

kepada bank terlebih dahulu.5

Dalam pemberian kredit modal kerja, BPR memang berperan penting.

Pengusaha kecil lebih menyukai mencari kredit modal kerja dari BPR

dibandingkan dari bank umum. Alasannya adalah pemberian kredit modal kerja

pada BPR tidak mempersyaratkan agunan yang ketat, prosesnya sederhana dan

persetujuannya cepat.

Dalam praktek perbankan, ditetapkan prinsip pemberian kredit, yang tidak

memperbolehkan bank untuk menanggung risiko sebagai akibat pemberian kredit,

oleh karena itu setiap kredit yang diberikan mempersyaratkan adanya jaminan.

Kredit modal kerja yang diberikan oleh BPR pada umumnya disertai dengan

jaminan fidusia atau jaminan berupa benda-benda bergerak, contohnya kendaraan

bermotor seperti mobil dan sepeda motor.

Pada dasarnya pemberian kredit dapat diberikan oleh siapa saja yang

memiliki kemampuan untuk itu dan kepada siapa saja yang memiliki kemampuan

untuk membayar kembali kreditnya. Selama proses pengajuan kredit antara

kreditur dan debitur disepakati, maka lahirlah kewajiban kreditur untuk

menyerahkan uang yang telah diperjanjikan kepada debitur dan hak untuk

menerima kembali uang dari debitur pada waktunya, disertai dengan bunga yang

telah disepakati oleh para pihak.6

Dari uraian di atas dapat dikatakan bahwa hak dan kewajiban kreditur dan

debitur baru lahir setelah keduanya menandatangani perjanjian kredit. Hak debitur

5Rachmadi Usman, 2006, Aspek-aspek Hukum Perbankan di Indonesia, PT.Gramedia Pustaka

Utama, Jakarta, hal. 53. 6Ibid.

Page 11: ABSTRAK - sinta.unud.ac.id · tentang Pedoman Kebijakan dan Prosedur Perkreditan bagi Bank Perkreditan Rakyat, yang mempersyaratkan untuk memberikan kredit dalam bentuk apapun bank-bank

adalah untuk menerima kucuran kredit, sedangkan kewajibannya adalah

membayar/mencicil kredit tersebut dalam jangka waktu yang telah ditentukan.

Sebaliknya, pihak kreditur berkewajiban memberi kredit dan haknya adalah

menerima pembayaran kredit kembali dengan bunga.

Hak dan kewajiban debitur timbal balik dengan hak dan kewajiban

kreditur. Permasalahan pemberian kredit tidak akan muncul jika kedua belah

pihak melaksanakan hak dan kewajibannya sesuai dengan yang diperjanjikan.

Persoalan akan muncul ketika debitur lalai mengembalikan uang pinjaman pada

waktu yang telah diperjanjikan. Kreditur tidak mau mengambil resiko sehingga

diperlukan adanya jaminan, dimana kedudukan jaminan adalah sebagai perjanjian

accessoir (tambahan) dari perjanjian pokok, yaitu perjanjian utang piutang.7

Sengketa dalam kredit perbankan biasanya timbul setelah debitur

melakukan wanprestasi. Hal ini dapat diartikan bahwa permasalahan muncul

ketika debitur tidak memenuhi kewajibannya dalam mencicil kreditnya. Untuk

mencegah terjadinya hal ini, maka pihak bank mempersyaratkan adanya agunan

dalam memberikan kreditnya.

Salah satu kasus yang terjadi akibat penggunaan perjanjian kredit di bawah

tangan adalah Bapak Irwan berhutang uang kepada BPR Arta Mandiri sebesar

Rp.250.000.000,- dengan menjaminkan sebuah sertifikat rumah untuk

kepentingan keluarga. Dan oleh karena pinjaman itu bapak Irwan membuat

perjanjian jaminan dengan BPR Arta Mandiri. Isi perjanjiannya adalah: Bapak

Irwan dalam tempo tiga puluh enam bulan harus sudah melunasi hutang tersebut

7Abdul Kadir M, 2003, Pokok-pokok Hukum Pertanggungan, Penerbit Alumni, Bandung, hal.

60.

Page 12: ABSTRAK - sinta.unud.ac.id · tentang Pedoman Kebijakan dan Prosedur Perkreditan bagi Bank Perkreditan Rakyat, yang mempersyaratkan untuk memberikan kredit dalam bentuk apapun bank-bank

dengan angsuran per-bulannya sebesar Rp.8.100.000,- (dengan bunga 22% per

tahun), tanggal pengangsuran di tetapkan setiap tanggal 10 setiap bulanya, jika

pencicilan melebihi tanggal yang di tentukan maka bapak Irwan akan di kenai

denda sebesar Rp. 0.5% per hari. Dan jika dalam beberapa bulan ( batasan waktu

selama 3 bulan) tidak melakukan atau menyetorkan angsuran maka barang yang di

jaminkan akan di sita oleh kreditur, dan dalam waktu pencicilan bulan selanjutnya

jika bapak Irwan tidak juga melunasi keseluruhan angsuran beserta bunganya

maka barang yang di jaminkan akan menjadi milik debitur. Dan perjanjian ini

telah di sepakati oleh kedua belah pihak (antara BPR Arta Mandiri dengan bapak

Irwan).

Tetapi pada waktu pembayaran angsuran yang ke tiga belas, bapak Irwan

tidak menyetorkan angsurannya sampai tiga bulan kemudian, dan akhirnya dari

pihak BPR menyatakan Sertifikat Rumah milik bapak Irwan yang di jaminkan

tersebut di sita. Dan bapak Irwan di beri waktu sampai bulan berikutnya untuk

melunasi semua angsuran beserta bunganya kepada ibu Santi. Namun pada

akhirnya rumah milik bapak Irwan menjadi milik BPR Arta Mandiri, karena

bapak Irwan tidak dapat melunasi keseluruhan sisa angsuran hutangnya.

Dalam pelaksanaan pemberian kredit pada umumnya dilakukan dengan

mengadakan suatu perjanjian. Perjanjian tersebut terdiri dari perjanjian pokok

yaitu perjanjian utang piutang dan diikuti dengan perjanjian tambahan berupa

perjanjian pemberian jaminan oleh pihak debitur. Setiap kredit yang telah

Page 13: ABSTRAK - sinta.unud.ac.id · tentang Pedoman Kebijakan dan Prosedur Perkreditan bagi Bank Perkreditan Rakyat, yang mempersyaratkan untuk memberikan kredit dalam bentuk apapun bank-bank

disetujui dan disepakati antara pemberi kredit dan penerima kredit wajib

dituangkan dalam bentuk perjanjian yaitu perjanjian kredit.8

Dari uraian di atas, maka dapat dilihat bahwa perjanjian kredit tidak berdiri

sendiri. Perjanjian kredit selalu diikuti dengan perjanjian pemberian jaminan. Hal

ini disebabkan pemberi kredit atau kreditur ingin agar kredit yang diberikan bebas

dari resiko kredit macet.

Dalam Pasal 1313 KUHPerdata disebutkan bahwa:

“Perjanjian adalah suatu perbuatan dengan mana satu orang atau lebih

mengikatkan dirinya terhadap satu orang atau lebih”.

Selanjutnya dalam Pasal 1320 KUHPerdata disebutkan bahwa untuk

sahnya suatu perjanjian diperlukan 4 syarat, yaitu adanya sepakat mereka yang

mengikatkan dirinya, kecakapan untuk membuat perikatan, hal tertentu dan suatu

sebab yang halal. Dengan memenuhi persyaratan ini, masyarakat dapat membuat

perjanjian apa saja. Pasal 1320 KUHPerdata disebut sebagai ketentuan yang

mengatur asas konsesualisme, yaitu perjanjian adalah sah apabila ada kata sepakat

mengenai hal-hal yang pokok dari perjanjian. Hal ini berkaitan dengan asas

kebebasan berkontrak dalam membuat semua perjanjian yang dibuat secara sah

berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya, yang

disimpulkan dari Pasal 1338 ayat (1) KUHPerdata, sehingga perjanjian harus

dibuat dengan memenuhi ketentuan Undang-Undang, maka perjanjian tersebut

mengikat para pihak yang kemudian menimbulkan hak dan kewajiban di antara

pihak-pihak tersebut.

8Munir Fuady, 2003, Hukum Perkreditan Kontemporer, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, hal.

32. (selanjutnya disebut Munir Fuady I).

Page 14: ABSTRAK - sinta.unud.ac.id · tentang Pedoman Kebijakan dan Prosedur Perkreditan bagi Bank Perkreditan Rakyat, yang mempersyaratkan untuk memberikan kredit dalam bentuk apapun bank-bank

Berdasarkan Pasal 1338 ayat (3) KUHPerdata, salah satu syarat yang harus

dipenuhi dalam menerapkan asas kebebasan berkontrak, adalah itikad baik dari

pihak yang membuat perjanjian. Itikad baik dalam tahap pelaksanaan perjanjian

adalah kepatutan, yaitu suatu penilaian baik terhadap tindak tanduk suatu pihak

dalam melaksanakan apa yang akan diperjanjikan. Dengan demikian asas itikad

baik mengandung pengertian bahwa kebebasan suatu pihak dalam membuat

perjanjian tidak dapat diwujudkan sekehendaknya, tetapi dibatasi oleh itikad

baiknya.9

Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa asas kebebasan berkontrak

tidak berlaku tanpa pembatasan. Pembatasannya adalah adanya itikad baik. Selain

itu asas kebebasan berkontrak juga dibatasi oleh kepatutan dan kebiasaan yang

hidup di tengah masyarakat.

Sutan Remy Sjahdeni dalam bukunya ‘Kebebasan Berkontrak dan

Perlindungan yang Seimbang bagi Pihak dalam Perjanjian Kredit Bank Indonesia’

menyatakan bahwa perjanjian kredit bank mempunyai tiga ciri yang membedakan

dari perjanjian peminjaman uang yang bersifat riil. Ciri pertama adalah sifatnya

konsensuil, dimana hak debitur untuk dapat menarik atau kewajiban bank untuk

menyediakan kredit, masih tergantung kepada telah terpenuhinya seluruh syarat

yang ditentukan di dalam perminjaman kredit. Ciri kedua, adalah kredit yang

diberikan oleh bank kepada debitur tidak dapat digunakan secara leluasa untuk

keperluan atau tujuan yang tertentu oleh debitur, tetapi kredit harus digunakan

sesuai dengan tujuan yang ditetapkan di dalam perjanjian kreditnya, jika ada

9Siti Ismijati Jenie, 2007, “Itikad Baik, Perkembangan dari Asas Hukum Khusus menjadi Asas

Hukum Umum di Indonesia,” pidato pengukuhan Jabatan Guru Besar, Fakultas Hukum

Universitas Gadjah Mada, pada tanggal 10 September 2007, Yogyakarta, hal. 8.

Page 15: ABSTRAK - sinta.unud.ac.id · tentang Pedoman Kebijakan dan Prosedur Perkreditan bagi Bank Perkreditan Rakyat, yang mempersyaratkan untuk memberikan kredit dalam bentuk apapun bank-bank

penyimpangan maka menimbulkan hak bagi bank untuk mengakiri perjanjian

kredit secara sepihak. Berdasarkan hal ini, maka debitur bukanlah pemilik mutlak

dari kredit yang diperoleh berdasarkan perjanjian kredit sebagaimana bila

seandainya kredit tersebut adalah perjanjian peminjaman uang. Sehingga

perjanjian kredit bank tidak mempunyai ciri yang sama dengan perjanjian pinjam

meminjam, oleh karena itu perjanjian kredit bank tidak tunduk kepada ketentuan

bab ketiga belas buku ketiga KUHPerdata. Ciri ketiga, adalah bahwa kredit bank

tidak selalu dengan penyerahan secara riil, tetapi dapat menggunakan cek dan atau

perintah pemindah bukuan. Dengan demikian, dapatlah dikatakan bahwa

perjanjian kredit bank bukan suatu perjanjian pinjam-mengganti atau pinjam-

meminjam uang sebagaimana yang dimaksud dalam KUHPerdata.10

Dalam perjanjian kredit perbankan ada kesepakatan antara bank sebagai

pihak kreditur dan nasabah peminjam sebagai pihak debitur. Selain itu ada

penyerahan kredit yang tidak selalu berbentuk cash, yang selanjutnya

menimbulkan hak dan kewajiban baik bagi debitur maupun kreditur. Meskipun

perjanjian kredit perbankan ini tidak sama persis dengan yang diatur dalam

KUHPerdata perihal pinjam meminjam uang, maka kaidah-kaidah yang diatur

dalam KUHPerdata tersebut masih dapat diterapkan untuk perjanjian kredit

perbankan.

UU Perbankan tidak menjelaskan hubungan hukum pemberian kredit

dengan nasabah sebagai peminjam. Salah satu dasar yang cukup jelas bagi bank

mengenai keharusan adanya suatu perjanjian kredit adalah ketentuan Pasal 1

10

Sutan Remy Sjahdeni, Op.cit, hal. 197-199.

Page 16: ABSTRAK - sinta.unud.ac.id · tentang Pedoman Kebijakan dan Prosedur Perkreditan bagi Bank Perkreditan Rakyat, yang mempersyaratkan untuk memberikan kredit dalam bentuk apapun bank-bank

angka 11 UU Perbankan, yang mengatur kredit diberikan berdasarkan persetujuan

atau kesepakatan pinjam-meminjam antara bank dengan pihak lain yang

mewajibkan pihak peminjam untuk melunasi hutangnya setelah jangka waktu

tertentu dengan pemberian bunga.

Sementara itu, jasa Notaris sebagai pejabat umum yang berwenang

membuat akta otentik dan melegalisir akta di bawah tangan, sangat dibutuhkan

dalam kegiatan usaha perbankan. Khususnya dalam pembuatan perjanjian kredit

perbankan. Perjanjian kredit perbankan tersebut dapat dibuat dengan akta otentik

ataupun dengan perjanjian di bawah tangan. Dalam hal perjanjian kredit

perbankan yang dibuat di bawah tangan, maka peran Notaris adalah melegalisir

perjanjian kredit di bawah tangan tersebut.

Kewenangan Notaris untuk melegalisir akta atau perjanjian di bawah

tangan diatur dalam Pasal 15 ayat (2) Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2014

tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2004 tentang Jabatan

Notaris (selanjutnya disebut Undang-Undang Jabatan Notaris disingkat UUJN)

yang menyatakan Notaris berwenang untuk:

a. Mengesahkan tanda tangan dan menetapkan kepastian tanggal surat di

bawah tangan dengan mendaftar dalam buku khusus.

b. Membukukan surat di bawah tangan dengan mendaftar dalam buku

khusus.

c. Membuat kopi dari asli surat di bawah tangan berupa salinan yang

memuat uraian sebagaimana ditulis dan digambarkan dalam surat yang

bersangkutan.

Page 17: ABSTRAK - sinta.unud.ac.id · tentang Pedoman Kebijakan dan Prosedur Perkreditan bagi Bank Perkreditan Rakyat, yang mempersyaratkan untuk memberikan kredit dalam bentuk apapun bank-bank

d. Melakukan pengesahan kecocokan fotokopi dengan surat aslinya.

Berdasarkan pengaturan Pasal 15 ayat (2) UUJN tersebut di atas, maka

dapat dinyatakan bahwa Notaris tidak saja berwenang membuat akta otentik

(Pasal 15 ayat (1) UUJN), namun juga berwenang untuk melegalisir perjanjian di

bawah tangan termasuk melegalisir perjanjian kredit perbankan yang dibuat di

bawah tangan.

UU Perbankan tidak jelas mengatur mengenai bentuk perjanjian kredit

perbankan harus dibuat secara tertulis maupun tidak tertulis, melalui perjanjian di

bawah tangan atau bahkan harus dengan perjanjian yang dibuat oleh Notaris atau

akta otentik (norma kabur). Ketentuan Pasal 1 angka 11 dan Pasal 1 angka 12 UU

Perbankan hanya menyebutkan bahwa kredit diberikan berdasarkan persetujuan

atau kesepakatan pinjam-meminjam antara bank dengan pihak lain. Ketentuan ini

tidak mengatur agar pemberian kredit bank harus diberikan berdasarkan perjanjian

tertulis.

Belum adanya ketentuan dalam Undang-Undang Perbankan mengenai

bentuk perjanjian kredit tersebut, maka problemnya setiap bank bebas memilih

bentuk perjanjian semaunya bank, seperti misalnya ada yang mengharuskan

dengan akta Notaris, ada yang hanya dengan perjanjian di bawah tangan. Bahkan

pada umumnya bank membuat perjanjian kredit dengan bentuk perjanjian

baku/standar. Jika problem ini tidak segera diatasi, maka akan berimplikasi

terhadap meningkatknya sengketa perjanjian kredit perbankan dan adanya

kesewenang-wenangan bank, dalam memberikan persyaratan kreditnya yang

diberikan dalam bentuk perjanjian baku.

Page 18: ABSTRAK - sinta.unud.ac.id · tentang Pedoman Kebijakan dan Prosedur Perkreditan bagi Bank Perkreditan Rakyat, yang mempersyaratkan untuk memberikan kredit dalam bentuk apapun bank-bank

Oleh karena itu penelitian mengenai bentuk perjanjian kredit perbankan

beserta kekuatan hukumnya menjadi penting untuk diteliti, termasuk dalam hal ini

penelitian mengenai kekuatan hukum perjanjian kredit di bawah tangan pada bank

perkreditan rakyat. Dengan mengetahui kelemahan kekuatan hukum perjanjian

kredit di bawah tangan, maka di masa mendatang bank perkreditan rakyat dapat

meningkatkan perjanjian kreditnya dengan akta Notaris.

Penelitian ini mengambil obyek pada BPR mengingat pada umumnya BPR

menggunakan perjanjian di bawah tangan dalam pemberian kreditnya. Selain itu,

penelitian mengenai BPR penting dilakukan mengingat BPR berperan penting

dalam menggerakkan roda perekonomian melalui bantuan permodalan dalam

bentuk kredit kepada Usaha Kecil Menangah (UKM) dan Usaha Mikro, Kecil dan

Menegah (UMKM) dengan persyaratan yang relatif mudah dibandingkan dengan

bank umum.

Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan di atas, maka peneliti

tertarik untuk melakukan penelitian yang dituangkan dalam bentuk tesis dengan

judul ”Kekuatan Hukum Perjanjian Kredit di Bawah Tangan pada Bank

Perkreditan Rakyat”.

1.2 Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang masalah yang telah diuraikan di atas, maka

dapat ditarik 2 (dua) rumusan masalah sebagai berikut :

Page 19: ABSTRAK - sinta.unud.ac.id · tentang Pedoman Kebijakan dan Prosedur Perkreditan bagi Bank Perkreditan Rakyat, yang mempersyaratkan untuk memberikan kredit dalam bentuk apapun bank-bank

1. Bagaimana pengaturan mengenai perjanjian kredit di bawah tangan ?

2. Bagaimana kekuatan hukum perjanjian kredit di bawah tangan pada Bank

Perkreditan Rakyat ?

1.3 Orisinalitas Penelitian

Berdasarkan penelitian kepustakaan baik melalui perpustakaan-

perpustakaan yang ada di Kota Denpasar maupun secara online terdapat beberapa

penelitian yang berkaitan dengan perjanjian kredit perbankan, yaitu:

1. Penelitian Solekha Vidyawati dengan judul ”Akta Notaris dalam Perjanjian

Kredit Perbankan (Suatu Studi tentang Fungsi dan Manfaat Akta Notaris

dalam Perjanjian Kredit Perbankan di PT. BRI (PERSERO) Tbk Cabang

Ungaran)”. Tesis pada Program Magister Kenotariatan, Universitas

Diponegoro, Semarang tahun 2008. Rumusan masalah dari tesis ini adalah

sebagai berikut :

a. Apakah manfaat pembuatan perjanjian kredit bank dengan akta notariil

dibandingkan dengan akta di bawah tangan?

b. Apakah perjanjian baku dalam perjanjian kredit perbankan tidak

bertentangan dengan asas kebebasan berkontrak?

c. Apakah perjanjian kredit antara nasabah dan Bank BRI di Ungaran

dibentuk atas dasar konsensualisme?11

11

Solekha Vidyawati, 2008, ”Akta Notaris dalam Perjanjian Kredit Perbankan (Suatu Studi

tentang Fungsi dan Manfaat Akta Notaris dalam Perjanjian Kredit Perbankan di PT. BRI

(PERSERO) Tbk Cabang Ungaran)”, Tesis pada Program Magister Kenotariatan, Universitas

Diponegoro, Semarang.

Page 20: ABSTRAK - sinta.unud.ac.id · tentang Pedoman Kebijakan dan Prosedur Perkreditan bagi Bank Perkreditan Rakyat, yang mempersyaratkan untuk memberikan kredit dalam bentuk apapun bank-bank

Penelitian Solekha Vidyawati dengan penelitian yang akan dilakukan

memiliki persamaan dan perbedaan. Persamaannya kedua penelitian ini sama-

sama meneliti tentang perjanjian kredit perbankan. Perbedaannya jika

penelitian Solekha Vidyawati, meneliti perjanjian kredit perbankan yang

menggunakan akta Notaris, sedangkan pada penelitian yang akan dilakukan

menganalisis perjanjian kredit perbankan yang menggunakan perjanjian di

bawah tangan. Selain itu penelitian Solekha Vidyawati dilakukan pada Bank

BRI, sedangkan pada penelitian yang akan dilakukan bank-bank prekreditan

rakyat.

2. Penelitian Nurhayati Rika Deliana Sitanggang dengan judul ”Analisis Hukum

Klausul Perjanjian Kredit Bank di Bawah Tangan dalam Hubungan dengan

Penyelesaian Utang Debitur yang Wanprestasi pada Bank Rakyat Indonesia

Boyolali Kabupaten Boyolali Jawa Tengah”. Tesis Program Magister

Kenotariatan, Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara Medan tahun

2009. Rumusan masalah dari tesis ini adalah sebagai berikut :

a. Bagaimana klausul perjanjian kredit bank di bawah tangan yang dibuat

pihak PT. BPR YIS dalam hubungannya dengan penyelesaian utang

debitur yang wanprestasi?

b. Bagaimana hubungan jaminan kredit bank dengan hak tanggungan dalam

perjanjian kredit di bawah tangan?

Page 21: ABSTRAK - sinta.unud.ac.id · tentang Pedoman Kebijakan dan Prosedur Perkreditan bagi Bank Perkreditan Rakyat, yang mempersyaratkan untuk memberikan kredit dalam bentuk apapun bank-bank

c. Bagaimana upaya yang dilakukan pihak PT.BPR YIS terhadap

penyelesaian utang debitur yang wanprestasi?12

Penelitian Solekha Vidyawati dengan penelitian yang akan dilakukan

memiliki persamaan dan perbedaan. Persamaannya kedua penelitian ini sama-

sama meneliti tentang perjanjian kredit perbankan yang dilakukan di bawah

tangan. Perbedaannya jika penelitian Solekha Vidyawati, meneliti perjanjian

kredit di bawah tangan pada Bank BRI Cabang Boyolali, sedangkan pada

penelitian yang akan dilakukan menganalisis perjanjian kredit di bawah tangan

pada bank-bank prekreditan rakyat.

3. Penelitian Silvia Eny Kristiani dengan judul “Pelaksanaan Perjanjian Kredit

Modal Kerja dengan Jaminan Fidusia pada PT. Bank Perkreditan Rakyat

Bhakti Daya Ekonomi di Sleman Yogyakarta”. Tesis Program Magister

Kenotariatan, Universitas Diponegoro Semarang tahun 2007. Rumusan

masalah dari tesis ini adalah sebagai berikut :

a. Bagaimana pelaksanaan perjanjian dengan jaminan fidusia untuk kredit

modal kerja pada PT. Bank Perkreditan Rakyat Bhakti Daya Ekonomi di

Sleman Yogyakarta?

b. Bagaimana upaya penyelesaiannya apabila terjadi pihak debitur

wanprestasi?13

12

Nurhayati Rika Deliana Sitanggang, 2009, ”Analisis Hukum Klausul Perjanjian Kredit Bank

di Bawah Tangan dalam Hubungan dengan Penyelesaian Utang Debitur yang Wanprestasi pada

Bank Rakyat Indonesia Boyolali Kabupaten Boyolali Jawa Tengah”, Tesis Program Magister

Kenotariatan, Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara Medan. 13

Silvia Eny Kristiani, 2007, “Pelaksanaan Perjanjian Kredit Modal Kerja dengan Jaminan

Fidusia pada PT. Bank Perkreditan Rakyat Bhakti Daya Ekonomi di Sleman Yogyakarta”. Tesis

Program Magister Kenotariatan, Universitas Diponegoro Semarang.

Page 22: ABSTRAK - sinta.unud.ac.id · tentang Pedoman Kebijakan dan Prosedur Perkreditan bagi Bank Perkreditan Rakyat, yang mempersyaratkan untuk memberikan kredit dalam bentuk apapun bank-bank

Penelitian Silvia Eny Kristiani dengan penelitian yang akan dilakukan

memiliki persamaan dan perbedaan. Persamaannya kedua penelitian ini sama-

sama meneliti tentang Bank Perkreditan Rakyat (BPR). Perbedaannya jika

penelitian Silvia Eny Kristiani meneliti mengenai perjanjian kredit dengan

jaminan Fidusia, sedangkan pada penelitian yang akan dilakukan meganalisis

kekuatan hukum perjanjian kredit yang dibuat secara bawah tangan pada

bank-bank perkreditan rakyat.

Berdasarkan persamaan dan perbedaan penelitian sebelumnya dengan

penelitian yang akan dilakukan seperti diuraikan di atas, maka dapat dinyatakan

bahwa penelitian yang akan dilakukan berbeda dengan penelitian-penelitian

sebelumnya baik substansi maupun metodologinya.

1.4 Tujuan Penelitian

Penelitian hukum merupakan suatu kegiatan untuk mencari, menggali,

menghubungkan dan memprediksi suatu kejadian. Setiap penelitian hukum yang

dilakukan memiliki tujuan yang jelas dan terarah. Adapun tujuan dari penelitian

hukum ini adalah:

1.4.1 Tujuan Umum

Untuk mengetahui dan menganalisis kekuatan hukum perjanjian kredit di

bawah tangan pada bank perkreditan rakyat.

Page 23: ABSTRAK - sinta.unud.ac.id · tentang Pedoman Kebijakan dan Prosedur Perkreditan bagi Bank Perkreditan Rakyat, yang mempersyaratkan untuk memberikan kredit dalam bentuk apapun bank-bank

1.4.2 Tujuan Khusus

Adapun tujuan khusus dari penelitian tesis ini adalah sebagai berikut:

a. untuk mengetahui dan menganalisis pengaturan mengenai perjanjian kredit

yang dibuat di bawah tangan menurut Peraturan Perundang-undangan;

b. untuk mengetahui dan menganalisis kekuatan hukum perjanjian kredit

yang dibuat secara bawah tangan pada bank perkreditan rakyat.

1.5 Manfaat Penelitian

Hasil dari penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat baik yang

bersifat teoritis maupun praktis sebagai berikut:

1.5.1 Manfaat Teoritis

a. Memberikan sumbangan pemikiran bagi perkembangan ilmu hukum pada

umumnya dan hukum pembuktian pada khususnya, terutama tentang

kekuatan pembuktian perjanjian kredit di bawah tangan;

b. Dapat digunakan sebagai dasar bagi peneliti selanjutnya yang tertarik

untuk melakukan penelitian mengenai perjanjian kredit di bawah tangan.

1.5.2 Manfaat Praktis

a. Bagi kalangan perbankan untuk dijadikan pertimbangan dalam

menggunakan perjanjian kredit di bawah tangan yang kekuatan

pembuktiannya lebih lemah dari pada perjanjian yang dibuat oleh Notaris

(akta otentik).

Page 24: ABSTRAK - sinta.unud.ac.id · tentang Pedoman Kebijakan dan Prosedur Perkreditan bagi Bank Perkreditan Rakyat, yang mempersyaratkan untuk memberikan kredit dalam bentuk apapun bank-bank

b. Bagi masyarakat dapat digunakan sebagai bahan evaluasi ketika akan

menandatangani perjanjian kredit di bawah tangan khususnya terkait

dengan klausl-klausul yang berpotensi merugikan.

1.6 Landasan Teoritis dan Kerangka Pemikiran

1.6.1 Landasan Teoritis

Pada dasarnya yang disebut teori adalah asas, konsep dasar, pendapat yang

telah menjadi hukum umum sehingga dipergunakan untuk membahas suatu

peristiwa atau fenomena dalam kehidupan manusia. Menurut Karlinger sebuah

teori adalah seperangkat konstruk atau konsep, batasan, dan proposisi yang

menyajikan suatu pandangan sistematis tentang fenomena dengan merinci

hubungan-hubungan variabel dengan tujuan menjelaskan dan memprediksi

fenomena itu.14

Adapun teori yang digunakan dalam melakukan penelitian ini adalah Teori

Perjanjian, Teori Alat Bukti, Teori Keabsahan dan Teori Interpretasi Fungsi

Perbankan. Selain kedua teori tersebut, dalam penelitian ini juga digunakan

Konsep tentang Kredit dan Perjanjian Kredit, Konsep Akta di Bawah Tangan dan

Konsep Bank Perkreditan Rakyat (BPR) yang diuraikan sebagai berikut:

1.6.1.1 Teori Perjanjian

Perjanjian dalam bahasa Belandanya diistilahkan dengan “overeenkomst

dan dalam bahasa Inggris diistilahkan dengan contract diatur dalam Pasal 1313

14Fred, N. Karlinger, 2008, Fenomena, Paradigma dan Teori, terj. Agus Raharjo,

Erlangga, Jakarta, hal. 25-26.

Page 25: ABSTRAK - sinta.unud.ac.id · tentang Pedoman Kebijakan dan Prosedur Perkreditan bagi Bank Perkreditan Rakyat, yang mempersyaratkan untuk memberikan kredit dalam bentuk apapun bank-bank

KUHPerdata”.15

Pengertian perjanjian berdasarkan Pasal 1313 KUHPerdata

adalah “suatu perbuatan dengan mana satu orang atau lebih mengikatkan dirinya

terhadap satu orang lain atau lebih.” Pendapat lain dikemukakan oleh Schoordijk

bahwa kekuatan mengikat perjanjian harus dicari dalam kepercayaan yang

dimunculkan atau dibangkitkan pada pihak lawan. Kepercayaan tersebut tertuju

pada suatu perilaku faktual tertentu.16

Dalam hal kredit perbankan, kredit diberikan berdasarkan persetujuan atau

kesepakatan pinjam-meminjam antara bank dengan pihak lain yang mewajibkan

pihak peminjam untuk melunasi utangnya. Oleh karena itu teori mengenai

perjanjian digunakan dalam penelitian ini untuk menjawab rumusan masalah

pertama yaitu tentang perjanjian kredit yang dibuat di bawah tangan.

Di dalam KUHPerdata, perjanjian diatur dalam Buku III mengenai

perikatan, yang mengatur hak dan kewajiban yang berlaku terhadap orang-orang

atau pihak tertentu yang terikat dalam suatu perikatan/perjanjian. Pengertian

perjanjian menurut Pasal 1313 KUHPerdata memiliki beberapa kelemahan. Oleh

karena itu beberapa ahli hukum mencoba merumuskan defenisi perjanjian salah

satunya Handri Raharjo yang menyatakan dalam perjanjian terdapat kata sepakat

antara subjek hukum, dan saling mengikatkan diri sehingga subjek yang satu

berhak atas prestasi dan subjek hukum yang satu berkewajiban untuk

15

Tan Tong Kie, 2000, Studi Notariat dan Serba-Serbi Praktek Notaris, PT. Ichtiar Baru van

Hoeve, Jakarta, hal. 402. 16

Elly Erawati dan Herlien Budiono, 2010, Penjelasan Hukum Tentang Kebatalan Perjanjian,

Nasional Legal Reform Program, Jakarta, hal. 68

Page 26: ABSTRAK - sinta.unud.ac.id · tentang Pedoman Kebijakan dan Prosedur Perkreditan bagi Bank Perkreditan Rakyat, yang mempersyaratkan untuk memberikan kredit dalam bentuk apapun bank-bank

melaksanakan prestasinya sesuai “kesepakatan yang telah disepakati para pihak

tersebut serta menimbulkan akibat hukum.”17

Van Dunne sebagai pencetus teori perjanjian yang dikutip dari buku Salim

H.S mengartikan perjanjian sebagai berikut:

Suatu hubungan hukum antara dua pihak atau lebih berdasarkan kata

sepakat untuk menimbulkan akibat hukum‟. Teori baru tersebut tidak

hanya melihat perjanjian semata-mata, tetapi juga harus dilihat perbuatan

sebelumnya atau yang mendahuluinya. Ada tiga tahap dalam membuat

perjanjian menurut teori hukum baru, yaitu:

a. tahap pracontraktual, yaitu adanya penawaran dan penerimaan,

b. tahap contractual, yaitu adanya persesuaian pernyataan kehendak

antara para pihak,

c. dan tahap post contractual, yaitu pelaksanaan perjanjian18

Menurut Salim H.S. unsur-unsur perjanjian menurut teori lama adalah

sebagai berikut:

1) Adanya perbuatan hukum,

2) Persesuaian pernyataan kehendak dari beberapa orang,

3) Persesuaian kehendak harus dipublikasikan/dinyatakan,

4) Perbuatan hukum terjadi karena kerja sama antara dua orang atau

lebih,

17

Handri Raharjo, 2009, Hukum Perjanjian di Indonesia, Pustaka Yustisia, Yogyakarta, hal.

42. 18

Salim H.S., 2011, Hukum Kontrak Teori & Tehnik Penyusunan Kontrak, Cet. VIII, Sinar

Grafika, Jakarta, hal. 26 (selanjutnya disebut Salim H.S I)

Page 27: ABSTRAK - sinta.unud.ac.id · tentang Pedoman Kebijakan dan Prosedur Perkreditan bagi Bank Perkreditan Rakyat, yang mempersyaratkan untuk memberikan kredit dalam bentuk apapun bank-bank

5) Pernyataan kehendak (wilsverklaring) yang sesuai harus saling

bergantung satu sama lain,

6) Kehendak ditujukan untuk menimbulkan akibat hukum,

7) Akibat hukum itu untuk kepentingan yang satu atas beban yang lain

atau timbal balik, dan

8) persesuaian kehendak harus dengan mengingat peraturan perundang-

undangan.19

Syarat sahnya perjanjian diatur dalam Pasal 1320 KUHPerdata yaitu

sepakat, cakap, hal tertentu dan oleh kausa yang halal. Dengan dipenuhinya empat

syarat sahnya perjanjian tersebut, maka suatu perjanjian menjadi sah dan mengikat

secara hukum bagi para pihak yang membuatnya. Suatu perjanjian adalah suatu

peristiwa dimana seseorang berjanji kepada seorang lain atau dimana dua orang

tersebut saling berjanji untuk melaksanakan sesuatu hal.20

Namun tidak setiap

pernyataan berjanji dapat menimbulkan perjanjian, tetapi pernyataan berjanji yang

menimbulkan kepercayaan saja yang menimbulkan perjanjian. Kepercayaan

dalam arti bahwa pernyataan itu benar-benar dikehendaki.21

Seseorang yang mengadakan perjanjian dengan pihak lain, menimbulkan

kepercayaan di antara kedua pihak dan para pihak satu sama lain akan memegang

janjinya atau akan memenuhi prestasinya di belakang hari. Tanpa adanya

kepercayaan itu, maka perjanjian tidak mungkin diadakan oleh para pihak.

Dengan kepercayaan, para pihak mengikatkan dirinya dan perjanjian tersebut

19

Ibid, hal. 25. 20

R. Subekti I, 2005, Hukum Perjanjian, Intermasa, Jakarta, hal.1 (selanjutnya disebut subekti

I). 21

H.S Salim, 2010, Perkembangan Teori Dalam Ilmu Hukum, Rajawali Pers, Jakarta, hal. 168

(selanjutnya disebut H.S Salim II)

Page 28: ABSTRAK - sinta.unud.ac.id · tentang Pedoman Kebijakan dan Prosedur Perkreditan bagi Bank Perkreditan Rakyat, yang mempersyaratkan untuk memberikan kredit dalam bentuk apapun bank-bank

mempunyai kekuatan mengikat sebagai undang-undang. Hal ini diatur dalam

Pasal 1338 KUHPerdata, berlaku asas pacta sunt servanda yang menyebutkan

bahwa “semua perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang

bagi para pihak yang membuatnya”. Ketentuan ini menjelaskan bahwa perjanjian

dapat dibuat berisikan apa saja asalkan tidak melanggar ketentuan undang-

undang, ketertiban umum dan kesusilaan. Ketentuan ini lebih dikenal sebagai asas

kebebasan berkontrak. Dilihat dari syarat sahnya perjanjian dan asas kebebasan

berkontrak, Asser membedakan bagian isi perjanjian, bagian inti (wesenlijk

oordeel) yaitu unsur essensialia dan bagian yang bukan inti (non wezenlijk

oordeel) yaitu unsur naturalia serta unsur aksidentalia.22

Unsur essensialia merupakan unsur-unsur yang biasanya dijumpai dalam

perjanjian tertentu. Namun tanpa pencantuman syarat unsur essensialia, suatu

perjanjian tetap sah dan mengikat bagi para pihak yang membuatnya, kecuali

dinyatakan sebaliknya. Contohnya dalam perjanjian jual beli, jika tidak

diperjanjikan mengenai siapa yang berkewajiban membayar biaya balik nama,

maka berlaku ketentuan seperti yang diatur dalam Pasal 1466 KUHPerdata. Unsur

aksidentalia merupakan suatu syarat yang tidak harus ada, tetapi dicantumkan juga

oleh para pihak untuk keperluan tertentu dengan maksud khusus sebagai

penegasan dan sebagai suatu kepastian. Suatu perjanjian hendaklah memenuhi

rasa kepercayaan dan keadilan yang berkeseimbangan bagi para pihak, yang

berarti perjanjian tersebut memenuhi asas persamaan hukum dan asas

keseimbangan.

22

Mariam Darus Badrulzaman, 1993, KUHPerdata Buku III Hukum Perikatan Dengan

Penjelasannya, cet. 2, Bandung, hal. 99 (selanjutnya disebut Mariam Darus Badrulzaman I).

Page 29: ABSTRAK - sinta.unud.ac.id · tentang Pedoman Kebijakan dan Prosedur Perkreditan bagi Bank Perkreditan Rakyat, yang mempersyaratkan untuk memberikan kredit dalam bentuk apapun bank-bank

Berdasarkan uraian di atas, penulis berpendapat bahwa teori mengenai

perjanjian dapat digunakan untuk menjawab permasalahan mengenai perjanjian

kredit perbankan yang dibuat di bawah tangan.

1.6.1.2 Teori Alat Bukti

Indonesia menganut sistem pembuktian berdasarkan undang-undang

secara negatif. Bambang Poernomo berpendapat bahwa sistem pembuktian

berdasarkan undang-undang secara negatif (Negatief Wettelijke Bewijstheorie)

bahwa “sistem pembuktian ini merupakan gabungan antara sistem pembuktian

menurut undang-undang secara positif dengan sistem pembuktian menurut

keyakinan atau conviction in time.”23

Teori pembuktian digunakan dalam penelitian ini untuk menjawab

rumusan masalah kedua yaitu mengenai kekuatan pembuktian perjanjian yang

dibuat di bawah tangan.

Sistem pembuktian berdasarkan undang-undang secara negatif merupakan

keseimbangan antara kedua sistem yang saling bertolak belakang secara ekstrem.

Dari hasil penggabungan kedua teori yang saling bertentangan menghasilkan

sistem atau teori pembuktian atas dasar undang-undang secara negatif dengan

rumusannya yang berbunyi “salah tidaknya seorang terdakwa ditentukan oleh

keyakinan hakim yang didasarkan kepada cara dan dengan alat-alat bukti yang sah

menurut undang-undang”.

23

Bambang Purnomo, 1986, Hukum Acara Pidana, Pokok-Pokok Tata Acara Peradilan

Pidana Indonesia dalam UU RI Tahun 1981, Liberty, Yogyakarta, hal. 42.

Page 30: ABSTRAK - sinta.unud.ac.id · tentang Pedoman Kebijakan dan Prosedur Perkreditan bagi Bank Perkreditan Rakyat, yang mempersyaratkan untuk memberikan kredit dalam bentuk apapun bank-bank

Bertitik tolak dari uraian di atas untuk menentukan salah atau tidaknya

seorang tedakwa menurut sistem pembuktian menurut undang-undang secara

negative, terdapat dua komponen :

1) Pembuktian harus dilakukan menurut cara dan dengan alat-alat bukti yang

sah menurut undang-undang

2) Dan keyakinan hakim yang juga harus didasarkan cara dan dengan alat-

alat bukti yang sah menurut undang-undang.24

D. Simons yang dikutip Wirjono Prodjodikoro, menyatakan dalam sistem

atau teori pembuktian berdasarkan Undang-Undang secara negatif ini,

pemidanaan didasarkan kepada pembuktian yang berganda yaitu pada peraturan

perundang-undangan, keyakinan hakim dan menurut undang-undang, dasar

keyakinan hakim itu bersumberkan pada peraturan perundang-undangan.25

Masih lebih lanjut menurut pendapat D. Simons bahwa teori pmbuktian

berdasarkan undang-undang bermakna dan hanya berlaku untuk keuntungan

terdakwa, tidak dimaksudkan untuk menjurus kepada dipidananya orang yang

tidak bersalah hanya dapat kedang-kadang memaksa dibebaskannya orang

bersalah.26

Menurut pendapat Wirjono Prodjodikoro yang menyatakan, “Untuk

Indonesia yang telah menerapkan Teori Pembuktian berdasarkan undang-undang

secara negatif (negatief wettelijke) melalui KUHAP, sebaiknya dipertahankan,

berdasarkan dua alasan, pertama memang sudah selayaknya harus ada keyakinan

24

Hendrastanto Yudowidagdo, 1987, Kapita Selekta Hukum Acara Pidana Indonesia, PT.

Bina Aksara, Jakarta, hal. 240. 25

Wirjono Prodjodikoro, 1992, Hukum Acara Pidana di Indonesia, Sumur, Bandung, hal. 77.

(selanjutnya disebut Wirjono Prodjodikoro I) 26

Ibid.

Page 31: ABSTRAK - sinta.unud.ac.id · tentang Pedoman Kebijakan dan Prosedur Perkreditan bagi Bank Perkreditan Rakyat, yang mempersyaratkan untuk memberikan kredit dalam bentuk apapun bank-bank

hakim tentang kesalahan terdakwa untuk dapat menjatuhkan hukuman pidana,

janganlah hakim terpaksa memidana orang sedangkan hakim tidak yakin atas

kesalahan terdakwa. Kedua, ialah berfaedah jika ada aturan yang mengikat hakim

dalam menyusun keyakinannya, agar ada patokan-patokan tertentu yang harus

dituntut oleh hakim dalam melakukan peradilan.27

Berdasarkan uraian di atas, maka dapat disimpulkan bahwa teori alat bukti

ini dapat digunakan untuk menjawab permasalahan mengenai kekuatan hukum

perjanjian kredit perbankan yang dibuat di bawah tangan.

1.6.1.3 Teori Keabsahan

Teori keabsahan dalam ilmu hukum disebut juga teori validitas. Teori

keabsahan atau validitas oleh Hans Kelsen, yang menyatakan bahwa “validitas

adalah eksistensi norma secara spesifik”.28

Pernyataan yang mentakan suatu

norma sah dibuat dengan mengasumsikan bahwa norma tersebut memiliki

kekuatan mengikat (binding force) terhadap orang yang perilakunya diatur oleh

norma tersebut.29

Teori kebebasan atau validitas digunakan dalam penelitian ini

mengingat dalam penelitian ini akan membahas keabsahan perjanjian kredit

perbankan yang dilakukan secara bawah tangan.

Menurut Hans Kelsen, suatu aturan harus dalam keadaan valid terlebih

dahulu baru diketahui apakah aturan tersebut dapat menjadi efektif. Setelah valid,

dan diterapkan ternyata peraturan tersebut tidak dapat diterima oleh masyarakat

27

Ibid, hal. 78. 28

Hans Kelsen, 1978, Pure Theory of Law, University of California of Press, London, hal.27. 29

Jimly Asshiddqie dan Ali Safa’at, M., 2006, Teori Hans Kelsen Tentang Hukum, cet.I,

Konstitusi Pers, Jakarta, hal.36.

Page 32: ABSTRAK - sinta.unud.ac.id · tentang Pedoman Kebijakan dan Prosedur Perkreditan bagi Bank Perkreditan Rakyat, yang mempersyaratkan untuk memberikan kredit dalam bentuk apapun bank-bank

secara meluas dan/atau secara terus menerus, maka ketentuan hukum tersebut

menjadi hilang unsur validitasnya, sehingga berubah sifat dari aturan yang valid

menjadi aturan yang tidak valid.30

Memenuhi suatu kriteria tertentu adalah salah

satu karakteristik dari validitas, dimana dalam konsep validitas tercakup juga

pengertian kekuatan memaksa.

Validitas sebuah norma hukum hanya dapat ditentukan oleh tatanan

hukum yang melingkupi norma hukum tersebut. Prinsip ini dikenal sebagai

prinsip legitimasi. Peraturan hukum yang valid disebut sebagai norma, tetapi

untuk mengetahui validitas suatu norma, maka terdapat beberapa hal yang perlu

dipahami terkait dengan norma. Suatu norma harus dibuat melalui prosedur yang

sah dan oleh lembaga yang berwenang untuk itu. Kehendak pembuat undang-

undang yaitu parlemen merupakan suatu perintah sehingga mendapatkan

eksistensinya.

Suatu perintah mewajibkan secara umum kepada tindakan atau penahanan

diri dari suatu golongan tindakan, maka perintah itu merupakan suatu hukum atau

peraturan. Tetapi jika perintah itu mewajibkan kepada suatu tindakan atau

penahanan diri yang spesifik, maka perintah itu memiliki sifat khusus.31

Dengan

demikian hukum tidak hanya mengandung norma-norma yang sifatnya umum,

melainkan mencakup pula norma-norma khusus yang juga valid dan memiliki

kekuatan mengikat untuk dipatuhi dan diterapkan terhadap suatu kasus tertentu

saja.

30

Munir Fuady, 2013, Teori-teori Besar dalam Hukum(Grand Theory), Cet.1, Prenada Media

Group, Jakarta, hal.117. (selanjutnya disebut Munir Fuady II). 31

Hans Kelsen, 2006, Teori Hukum Murni: Dasar-Dasar Ilmu Hukum Normatif (terj.),

Nusamedia & Nuansa, Bandung, hal. 51

Page 33: ABSTRAK - sinta.unud.ac.id · tentang Pedoman Kebijakan dan Prosedur Perkreditan bagi Bank Perkreditan Rakyat, yang mempersyaratkan untuk memberikan kredit dalam bentuk apapun bank-bank

Berdasarkan pendapat J.W. Haris, validitas suatu norma hukum diukur

dari terpenuhi tidaknya suatu elemen-elemen sebagai berikut :

1) Apakah aturan hukum tersebut bersesuaian (conformity) dengana

aturan tertentu yang tingkatnya lebih tinggi. Jadi, aturan hukum

tersebut tidak dalam keadaan di luar jalur (ultra vires).

2) Apakah aturan hukum tersebut merupakan bagian yang konsisten

(subsistem) dalam bidang pengaturan yang sudah ada saat ini.

3) Apakah aturan hukum tersebut bersesuaian dengan kenyataan sosial

dalam masyarakat (aspek sosiologis), sehingga berlaku efektif dalam

masyarakat.

4) Apakah dalam aturan hukum tersebut terdapat kecenderungan internal

untuk dihormati (atas dasar moral dan politik).

5) Apakah aturan hukum tersebut merupakan bagian dari kenyataan

normatif yang transedental (aspek ontologis).32

Untuk memberi kepastian bahwa suatu perbuatan hukum merupakan

perjanjian, maka hal yang harus ditempuh adalah memeriksa validitas dari

perjanjian tersebut. Suatu perjanjian dapat mengikat para pihak, tergantung

kepada sah atau tidak sahnya perjanjian yang dibuat oleh para pihak tersebut,

sesuai dengan ketentuan Pasal 1320 KUHPerdata. Sah atau tidak sahnya suatu

perjanjian, maka dapat dipastikan dengan menggunakan instrumen hukum yang

menguji standar keabsahan perjanjian yang dibuat oleh para pihak.

32

Munir Fuady, Op.Cit, hal. 111.

Page 34: ABSTRAK - sinta.unud.ac.id · tentang Pedoman Kebijakan dan Prosedur Perkreditan bagi Bank Perkreditan Rakyat, yang mempersyaratkan untuk memberikan kredit dalam bentuk apapun bank-bank

Berdasarkan uraian di atas maka dapat disimpulkan bahwa teori keabsahan

dapat digunakan untuk menjawab permasalahan mengenai keabsahan perjanjian

kredit perbankan yang dibuat di bawah tangan.

1.6.1.4 Konsep tentang Kredit dan Perjanjian Kredit

Mariam Darus Badrulzaman menyatakan bahwa kredit mempunyai arti

antara lain. Pertama sebagai dasar dari setiap perikatan (verbintennis), di mana

seseorang berhak menuntut sesuatu dari orang lain. Kedua sebagai jaminan,

dimana seseorang menyerahkan sesuatu kepada orang lain dengan tujuan untuk

memperoleh kembali apa yang diserahkan itu.33

Selanjutnya Thomas Suyatno

merumuskan bahwa kredit adalah menyerahkan secara sukarela sejumlah uang

untuk dipergunakan secara bebas oleh penerima kredit. Penerima kredit berhak

mempergunakan pinjaman itu untuk keuntungannya dengan kewajiban

mengembalikan jumlah pinjaman itu di belakang hari.34

Berdasarkan pengertian-pengertian kredit seperti tersebut di atas, dapat

dilihat terdapatnya beberapa unsur kredit sebagai berikut :

1) adanya kesepakatan atas perjanjian antara para pihak yaitu pihak kreditur

dengan debitur, yang disebut dengan perjanjian kredit;

2) adanya para pihak, yaitu pihak kreditur sebagai pihak yng memberikan

pinjaman, dan pihak debitur yaitu pihak yang membutuhkan uang

pinjaman/barang dan jasa;

33

Mariam Darus Badrulzaman, 2008, Perjanjian Kredit Bank, PT. Citra Aditya Bakti,

Bandung, hal. 38. (selanjutnya disebut Mariam Darus Badrulzaman II). 34

Thomas Suyatno, 2004, Dasar-dasar Perkreditan, Edisi ketiga, PT. Gramedia Pustaka

Utama, Jakarta, hal. 40.

Page 35: ABSTRAK - sinta.unud.ac.id · tentang Pedoman Kebijakan dan Prosedur Perkreditan bagi Bank Perkreditan Rakyat, yang mempersyaratkan untuk memberikan kredit dalam bentuk apapun bank-bank

3) adanya unsur kepercayaan dari kreditur bahwa pihak debitur mau dan

mampu membayar/mencicil kreditnya;

4) adanya kesanggupan dan itikad baik serta janji membayar hutang dari

pihak debitur;

5) adanya penyerahan sejumlah uang/barang/jasa oleh pihak debitur kepada

kreditur;

6) adanya pembayaran kembali sejumlah uang/barang atau jasa oleh pihak

debitur kepada kreditur, disertai dengan pemberian imbalan/bunga atau

pembagian keuntungan yang tepat waktu;

7) adanya perbedaan waktu antara pemberian kredit oleh kreditur dengan

pengembalian kredit oleh debitur;

8) adanya resiko yang diakibatkan adanya perbedaan waktu tersebut.

Semakin jauh tenggang waktu pengembalian maka semakin besar pula

resiko tidak terlaksananya pembayaran kembali.

Semua bank menerapkan prinsip-prinsip kredit sebelum kredit yang

diajukan disetujui. Prinsip-prinsip kredit ini disebut prinsip 5 (lima) C. Prinsip 5 C

ini diterapkan untuk menganalisa calon nasabah apabila calon nasabah itu

mengajukan suatu permohonan kredit, sebelum kredit itu disetujui oleh pihak

bank. Prinsip 5 C tersebut adalah (1) Character (Watak); Capacity (Kapasitas);

Capital (Modal); Collateral (Jaminan); dan Condition Of Economics (Kondisi

Ekonomi).35

35

Johanes Ibrahim, Op.cit, hal. 100.

Page 36: ABSTRAK - sinta.unud.ac.id · tentang Pedoman Kebijakan dan Prosedur Perkreditan bagi Bank Perkreditan Rakyat, yang mempersyaratkan untuk memberikan kredit dalam bentuk apapun bank-bank

Secara yuridis perjanjian kredit dapat berbentuk :

1) Perjanjian kredit di bawah tangan

Penggunaan perjanjian di bawah tangan untuk membuat suatu perjanjian

kredit, prakteknya masih banyak digunakan, termasuk kalangan

perbankan. Perjanjian kredit di bawah tangan ini dalam prakteknya

menggunakan formulir perjanjian yang sudah disiapkan oleh bank.

Nasabah diperintahkan oleh bank untuk mengisi formulir yang telah

disediakan. Perjanjian seperti ini disebut perjanjian standar. Apabila

nasabah mengisi dan menandatangani formulir perjanjian tersebut maka

dianggap nasabah sudah mengerti dan menyetujui isi dari perjanjian, tanpa

didahului adanya pembicaraan atau pembahasan mengenai kesepakatan

dari isi perjanjian. Perjanjian standar ini mengandung kelemahan, yaitu

pihak nasabah dalam keadaan terpaksa untuk menerima atau mensepakati

isi perjanjian, karena semua isi perjanjian telah dibuat oleh pihak bank.

2) Perjanjian kredit dengan akta otentik

Perjanjian kredit dengan akta otentik adalah perjanjian pemberian kredit

oleh bank kepada nasabahnya yang dibuat di hadapan Notaris atau pejabat

yang berwenang untuk itu.

1.6.1.5 Konsep Perjanjian di Bawah Tangan

Perjanjian di bawah tangan dalam penelitian ini merupakan perjanjian

kredit perbankan yang dibuat di bawah tangan. Perjanjian di bawah tangan adalah

perjanjian yang sengaja dibuat oleh para pihak untuk pembuktian tanpa bantuan

Page 37: ABSTRAK - sinta.unud.ac.id · tentang Pedoman Kebijakan dan Prosedur Perkreditan bagi Bank Perkreditan Rakyat, yang mempersyaratkan untuk memberikan kredit dalam bentuk apapun bank-bank

dari seorang pejabat umum yang berwenang dengan kata lain perjanjian di bawah

tangan adalah perjanjian yang dimasukkan oleh para pihak sebagai alat bukti,

tetapi tidak dibuat oleh atau di hadapan pejabat umum yang berwenang untuk

itu.36

Perjanjian yang dibuat oleh atau di hadapan pejabat umum juga dapat

menjadi perjanjian di bawah tangan, jika pejabat itu tidak berwenang untuk

membuat perjanjian akta itu jika terdapat cacat dalam bentuk akta itu,

sebagaimana disebut dalam Pasal 1869 KUHPerdata.37

Perjanjian di bawah tangan dibagi menjadi 3 (tiga) jenis, yaitu:

1) Perjanjian di bawah tangan dimana ditandatangani oleh kedua belah pihak

di atas materai (tanpa keterlibatan pejabat umum),

2) Perjanjian di bawah tangan yang di daftarkan oleh Notaris yang

berwenang,

3) Perjanjian yang dilegalisasi oleh Notaris.38

Terdapat perbedaan antara perjanjian di bawah tangan yang di legalisasi

oleh Notaris maupun perjanjian di bawah tangan yang didaftarkan kepada Notaris.

Perjanjian di bawah tangan yang dilegalisasi oleh Notaris di buat oleh para pihak

sendiri, pada perjanjian ini mempunyai tanggal yang pasti dan tanda tangan para

pihak benar ditanda tangan sendiri oleh para pihak sehingga para pihak tidak lagi

dapat mengatakan tidak pernah menandatangani maupun mengetahui isi dari

perjanjian tersebut, karena sebelum ditandatangani oleh para pihak, Notaris

36

Victor M. Situmorang dan Cormentyna Sitanggang, 2003, Gross Akta Dalam Pembuktian

dan Eksekusi, Rineka Cipta, Jakarta, hal. 36. 37

Pasal 1869 KUH Perdata: “Suatu akta, yang karena tidak berkuasa atau tidak cakapnya

dalam pegawai termaksud di atas, atau karena suatu cacat dalam bentuknya, tidak dapat

diberlakukan sebagai akta otentik, namun demikian mempunyai kekuatan sebagai akta di bawah

tangan.”

38

Ibid.

Page 38: ABSTRAK - sinta.unud.ac.id · tentang Pedoman Kebijakan dan Prosedur Perkreditan bagi Bank Perkreditan Rakyat, yang mempersyaratkan untuk memberikan kredit dalam bentuk apapun bank-bank

sebelumnya telah membacakan isi dari akta tersebut dan Notaris ikut

menandatangani di dalam perjanjian tersebut, yang sifatnya hanya melakukan

legalisasi.

Perjanjian di bawah tangan umumnya ditandatangani oleh para pihak di

atas materai. Materai dalam hal ini memegang peranan penting dalam pembuktian

di kemudian hari. Berdasarkan Pasal 2 ayat (1) butir a Undang-Undang No. 13

Tahun 1985 tentang Bea Materai bahwa terhadap surat perjanjian dan surat-surat

lainnya yang dibuat dengan tujuan untuk digunakan sebagai alat pembuktian

mengenai perbuatan, kenyataan atau keadaan yang bersifat perdata.

Materai ini mempunyai keterikatan dengan perjanjian yang telah dibuat

oleh para pihak apabila ingin dijadikan suatu alat pembuktian di kemudian hari.

Berdasarkan bunyi pasal tersebut dapat di tarik kesimpulan bahwa apabila tidak

adanya materai di dalam sebuah perjanjian bukan berarti suatu perbuatan hukum

tersebut tidak sah melainkan tidak memenuhi syarat sebagai alat pembuktian di

dalam pengadilan, sehingga materai disini tidak hanya digunakan sebagai pajak

dokumen yang dibebankan negara untuk dokumen-dokumen tertentu melainkan

juga sebagai syarat suatu akta dapat dijadikan alat pembuktian.

Perjanjian di bawah tangan tidak diatur dalam HIR, tetapi diatur dalam

Pasal 286 sampai dengan Pasal 305 Rbg dan diatur dalam Pasal 1874 sampai

dengan Pasal 1880 KUHPerdata, dan dalam Stbl. 1867 No. 29. Perjanjian di

bawah tangan yang memuat pengakuan utang secara sepihak untuk membayar

sejumlah uang atau memberikan/menyerahkan sesuatu barang yang dapat

ditetapkan atas suatu harga tertentu, harus seluruhnya ditulis dengan tangannya

Page 39: ABSTRAK - sinta.unud.ac.id · tentang Pedoman Kebijakan dan Prosedur Perkreditan bagi Bank Perkreditan Rakyat, yang mempersyaratkan untuk memberikan kredit dalam bentuk apapun bank-bank

sendiri oleh orang yang menandatangani (orang yang berutang) dan merupakan

suatu persetujuan yang memuat jumlah atau besarnya barang yang terutang.

Perjanjian di bawah tangan itu hanya dapat diterima sebagai suatu

permulaan pembuktian dengan tulisan. Hal ini diatur dalam Pasal 1878 KUH

Perdata, yang sama isinya dengan Pasal 1291 Rbg dan Pasal 4 Stbl. 1867 No. 29.

Permulaan bukti tertulis, dijelaskan dalam Pasal 1902 ayat (2) KUH Perdata, yang

berbunyi:

“Yang dinamakan permulaan pembuktian dengan tulisan ialah segala akta

tertulis yang berasal dari orang terhadap siapa tuntutan dimajukan, atau

dari orang yang diwakili olehnya, dan yang memberikan persangkaan

tentang benarnya peristiwa-peristiwa yang dimajukan oleh seseorang.”

Berdasarkan ketentuan tersebut di atas, maka dapat dikatakan surat yang

berasal dari penggugat atau pihak ketiga tidaklah merupakan permulaan bukti

tertulis. Untuk dapat menjadi bukti sempurna atau lengkap, maka permulaan bukti

tertulis itu harus dilengkapi dengan alat-alat bukti lain, seperti misalnya alat bukti

saksi, persangkaan, pengakuan dan sumpah.

Kriteria perjanjian di bawah tangan meliputi adanya pengertian para pihak

tujuan diadakan perjanjian dibuat secara tertulis dan keabsahan dari perjanjian di

bawah tangan itu sendiri. Ketiga kriteria tersebut dapat dijelaskan sebagai berikut:

1) Para pihak mengerti tujuan diadakannya perjanjian

Sebagai suatu persetujuan tertulis atau dengan lisan yang dibuat

oleh dua pihak atau lebih, maka masing-masing pihak bersepakat akan

mentaati persetujuan itu. Dewi Asmawardhani menjelaskan bahwa

Page 40: ABSTRAK - sinta.unud.ac.id · tentang Pedoman Kebijakan dan Prosedur Perkreditan bagi Bank Perkreditan Rakyat, yang mempersyaratkan untuk memberikan kredit dalam bentuk apapun bank-bank

perjanjian adalah persetujuan yang dibuat oleh dua pihak atau lebih,

tertulis maupun lisan, masing-masing sepakat untuk mentaati isi

persetujuan yang telah dibuat bersama.39

Sedangkan menurut Pasal 1313

KUHPerdata mengatur bahwa suatu persetujuan adalah suatu perbuatan

dengan mana satu orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu

orang atau lebih.

Para Sarjana Hukum pada umumnya berpendapat bahwa definisi

perjanjian yang terdapat di dalam ketentuan tersebut tidak lengkap dan

terlalu luas. Tidak lengkap karena hanya mengenai perjanjian sepihak saja

dan dikatakan terlalu luas karena dapat mencakup semua hal-hal yang

diperjanjikan, yaitu perbuatan hukum yang menimbulkan perjanjian yang

bersifat istimewa karena diatur dalam ketentuan tersendiri sehingga Buku

III KUHPerdata secara langsung tidak berlaku terhadapnya.

Di dalam KUHPerdata tidak ditemui adanya ketentuan khusus

yang mengatur difinisi tentang perjanjian, akan tetapi didalam Pasal 1313

KUHPerdata mendifinisikan perikatan sebagai suatu perbuatan dengan

mana satu orang atau lebih lainnya mengikatkan dirinya terhadap satu

orang atau lebih lainnya. Pendapat lain mengatakan bahwa perjanjian

adalah suatu perbuatan hukum dimana seorang atau lebih mengikatkan

dirinya terhadap seorang lain atau lebih. Hal ini menunjukan bahwa

sebenarnya yang dimaksud dengan perikatan di dalam KUHPerdata,

mempunyai difinisi yang sama dengan difinisi perjanjian.

39

Dewi Asmawardhani, 2015, “Analisis Asas Konsensualisme Terkait dengan Kekuatan

Pembuktian Perjanjian Jual-Beli di Bawah Tangan”, Ganec Swara, Vol.9, No.1, hal.168.

Page 41: ABSTRAK - sinta.unud.ac.id · tentang Pedoman Kebijakan dan Prosedur Perkreditan bagi Bank Perkreditan Rakyat, yang mempersyaratkan untuk memberikan kredit dalam bentuk apapun bank-bank

R. Subekti menyatakan bahwa Perjanjian adalah suatu hubungan

hukum yang bersifat harta kekayaan antara dua orang atau lebih, atas dasar

mana pihak yang satu berhak dan pihak yang lain berkewajiban atas suatu

prestasi Bandingkan Pendapat lain dikemukakan oleh Salim HS, sebagai

berikut : Perjanjian adalah hubungan hukum antara subjek yang satu

dengan subjek yang lain dalam bidang harta kekayaan, dimana subjek

hukum yang satu berhak atas prestasi dan begitu juga hukum antara subjek

yang satu dengan subjek yang lain dalam bidang harta kekayaan, dimana

subjek hukum yang satu berhak atas prestasi dan begitu juga subjek

hukum yang lain berkewajiban untuk melaksanakan prestasinya sesuai

dengan yang telah disepakatinya.40

Dengan demikian, dalam suatu perjanjian ada suatu peristiwa yang

menimbulkan suatu hubungan antara dua orang yang dinamakan perikatan

dan dimana perjanjian tersebut menerbitkan atau menimbulkan suatu

perikatan antara dua orang yang membuatnya, karena dalam bentuknya

perjanjian itu berupa suatu rangkaian perkataan yang mengandung janji-

janji atau kesanggupan yang diucapkan atau ditulis.

Dari pengertian perjanjian kredit di atas dapat dilihat beberapa

unsur-unsur yang tercantum dalam perjanjian, yaitu adanya hubungan

hukum yang merupakan hubungan yang menimbulkan akibat hukum,

artinya akan timbul hak dan kewajiban dari kedua belah pihak yang

40

R. Soebekti, Op.cit, hal. 8.

Page 42: ABSTRAK - sinta.unud.ac.id · tentang Pedoman Kebijakan dan Prosedur Perkreditan bagi Bank Perkreditan Rakyat, yang mempersyaratkan untuk memberikan kredit dalam bentuk apapun bank-bank

melakukan perjanjian. Selanjutnya yang harus diperhatikan adalah adanya

subjek hukum.

2) Dibuat secara tertulis

Bukti tulisan dalam perkara perdata merupakan bukti yang utama,

mengingat dalam bidang keperdataan pada umumnya orang dengan

sengaja membuat suatu bukti dalam membuat perjanjian yang dapat

digunakan jika terjadi suatu perselisihan/sengketa. Pada dasarnya dapat

dikatakan, bahwa jika seorang dengan jalan kesepakatan mengadakan

sesuatu perjanjian di bawah tangan, karena orang tersebut

menghendakinya, maka yang menjadi dasar dari kekuatan mengikatnya

adalah kehendak atau niatnya. Kehendak atau niat orang tidak dapat

diketahui secara langsung. Oleh karena itu, maka di dalam pergaulan

hidup, seseorang dapat mengetahui apa yang dikehendaki oleh sesamanya

hanya dari pernyataannya saja yang diucapkan baik secara lisan maupun

tulisan. Di dalam tulisan pernyataan itulah yang mewujudkan kehendak

orang. Mengingat niat seseorang tidak dapat diraba atau dilihat, maka

terikatnya seseorang kepada pernyataan tersebut merupakan perwujudan

dari niat atau kehendaknya.

3) Kriteria Keabsahan Perjanjian di Bawah Tangan

Keabsahan perjanjian di bawah tangan sebagaimana perjanjian

pada umumnya harus memenuhi kriteria yang dipersyaratkan Pasal 1230

KUH Perdata. Menurut Pasal 1320 KUH Perdata, suatu perjanjian itu sah

harus terpenuhi 4 syarat, yaitu: adanya kata sepakat, adanya kecakapan

Page 43: ABSTRAK - sinta.unud.ac.id · tentang Pedoman Kebijakan dan Prosedur Perkreditan bagi Bank Perkreditan Rakyat, yang mempersyaratkan untuk memberikan kredit dalam bentuk apapun bank-bank

untuk membuat perjanjian, adanya suatu hal tertentu dan adanya kausa

yang halal.

Syarat pertama dan kedua adalah syarat yang harus dipenuhi oleh

subyek surat perjanjian, oleh karena itu disebut sebagai syarat subyektif.

Syarat ketiga dan keempat adalah syarat yang harus dipenuhi oleh obyek

perjanjian oleh karena itu disebut syarat obyektif.41

1.6.1.6 Konsep Bank Perkreditan Rakyat (BPR)

Sesuai dengan Pasal 5 ayat (1) UU Perbankan, bank terbagi dalam dua

jenis yaitu :

1) Bank Umum, yaitu bank yang melaksanakan kegiatan usaha secara

konvensional dan/atau berdasarkan Prinsip Syariah yang dalam

kegiatannya memberikan jasa dalam lalu lintas pembayaran. Bank

Umum dapat mengkhususkan diri untuk melaksanakan atau

memberikan perhatian yang lebih besar pada kegiatan tertentu.

2) Bank Perkreditan Rakyat (BPR), yaitu bank yang melaksanakan

kegiatan usaha secara konvensional dan/atau berdasarkan Prinsip

Syariah yang dalam kegiatannya tidak memberikan jasa dalam lalu

lintas pembayaran.

BPR menurut Kasmir adalah bank sekunder yang berfungsi menghimpun

dana dari masyarakat dalam bentuk simpanan yang berupa deposito berjangka

41

R. Subekti, Op.cit, hal.2.

Page 44: ABSTRAK - sinta.unud.ac.id · tentang Pedoman Kebijakan dan Prosedur Perkreditan bagi Bank Perkreditan Rakyat, yang mempersyaratkan untuk memberikan kredit dalam bentuk apapun bank-bank

atau tabungan serta pemberian kredit.42

BPR merupakan bank yang melaksanakan

kegiatan usaha secara konvensional atau berdasarkan prinsip syariah yang dalam

kegiatannya tidak memberikan jasa dalam lalu lintas pembayaran. Bentuk hukum

dari BPR dapat berupa perusahaan daerah, koperasi, perseroan terbatas dan bentuk

lain yang ditetapkan dengan peraturan pemerintah.43

Selanjutnya menurut

Gunawan Suhardi BPR merupakan perusahaan perbankan yang memiliki

karateristik berbeda dibandingkan dengan bank umum. Eksistensi BPR

dimaksudkan secara khusus untuk menjangkau masyarakat dari golongan

ekonomi lemah dan pengusaha kecil baik di pedesaan maupun diperkotaan. Dalam

hal lainnya, BPR cenderung menerapkan mekanisme pelayanan jasa yang lebih

sederhana, tingkat suku bunga yang lebih tinggi dan lebih bersikap proaktif dalam

mencari nasabah dibandingkan dengan bank umum.44

Berdasarkan pengertian BPR yang dikemukakan oleh para ahli tersebut,

Bank Perkreditan Rakyat merupakan bank sekunder yang dalam kegiatannya tidak

memberikan jasa dalam lalu lintas pembayaran tetapi berfungsi sebagai

penghimpun dana dari masyarakat dalam bentuk simpanan yang berupa deposito

berjangka atau tabungan serta pemberian kredit dan kegiatan usahanya ditujukan

untuk usaha-usaha kecil serta masyarakat di pedesaan.

BPR berfungsi sebagai penghimpun dan penyalur dana masyarakat.

Dengan tujuan untuk melaksanakan pembangunan nasional dalam rangka

meningkatkan pemerataan, penumbuhan ekonomi, dan stabilitas ke arah

42

Kasmir, 2012, Dasar-dasar Perbankan, Pradnya Paramita, Jakarta, hal. 1-2. 43

Raharjo Handri, 2010, Cara Pintar Memilih dan Mengajukan Kedit, Pustaka Yustisia,

Yogyakarta, hal.15. 44

Gunarto Suhardi, 2002, Peranan Hukum Dalam Pembangunan Ekonomi, Andi Offset,

Yogyakarta, hal.57.

Page 45: ABSTRAK - sinta.unud.ac.id · tentang Pedoman Kebijakan dan Prosedur Perkreditan bagi Bank Perkreditan Rakyat, yang mempersyaratkan untuk memberikan kredit dalam bentuk apapun bank-bank

peningkatan kesejahteraan rakyat banyak. Sasaran BPR adalah melayani

kebutuhan petani, peternak, nelayan, pedagang, pengusaha kecil, pegawai, dan

pensiunan karena sasaran ini belum dapat terjangkau oleh bank umum dan untuk

lebih mewujudkan pemerataan layanan perbankan, pemerataan kesempatan

berusaha, pemerataan pendapatan, dan agar mereka tidak jatuh ke tangan para

pelepas uang (rentenir).45

Menurut Pasal 13 UU Perbankan, BPR mempunyai tugas:

1) Menghimpun dana dari masyarakat dalam bentuk simpanan berupa

deposito berjangka, tabungan, dan/atau bentuk lainnya yang

dipersamakan dengan itu;

2) Memberikan kredit;

3) Menyediakan pembiayaan bagi nasabah berdasarkan prinsip bagi hasil

sesuai dengan ketentuan yang ditetapkan dalam Peraturan Pemerintah;

4) Menempatkan dananya dalam bentuk Sertifikat Bank Indonesia (SBI

deposito berjangka, sertifikat deposito, dan/atau tabungan pada bank

lain.

Untuk mencapai tugas tersebut di atas BPR juga menjalankan fungsinya

sebagai berikut:

1) Mendekatkan permodalan dengan sisten perkreditan yang mudah,

murah dan mengarah pada masyarakat pedesaan.

2) Menunjang kelancaran penyediaan sarana permodalan untuk kegiatan

produktif.

45

Cetak Biru, 2006, Bank Perkreditan Rakyat, Direktorat Pengawasan Bank Perkreditan

Rakyat Bank Indonesia, hal. 17-18.

Page 46: ABSTRAK - sinta.unud.ac.id · tentang Pedoman Kebijakan dan Prosedur Perkreditan bagi Bank Perkreditan Rakyat, yang mempersyaratkan untuk memberikan kredit dalam bentuk apapun bank-bank

3) Meningkatkan taraf hidup masyarakat.

4) Mendidik masyarakat pedesaan untuk gemar menabung.

5) Melindungi masyarakat pedesaan dari pengaruh para lintah darat.

6) Membimbing masyarakat pedesaan untuk lebih mengenal dan

memahami asas-asas ekonomi nasional.

7) Membimbing para nasabah atau pengusaha kecil untuk merasa ikut

handarbeni atas lembaga perkreditan pedesaan yang ada.

Untuk membantu dan mendorong pertumbuhan perekonomian dan

pembangunan daerah disegala bidang serta sebagai salah satu sumber pendapatan

daerah dalam rangka meningkatkan taraf hidup masyarakat melalui pemberian

pinjaman kredit dibidang usahanya.46

Dalam ketentuan Pasal 1 angka (2) Undang-Undang Perbankan, bank

memiliki fungsi utama sebagai financial intermediary dengan usaha untuk

menghimpun dan menyalurkan dana dari masyarakat serta masyarakat

memberikan jasa-jasa lainnya dalam lalu lintas pembayaran. Dua fungsi

perbankan tersebut tidak dapat dipisahkan. Sebagai badan usaha bank akan selalu

berusaha mendapatkan keuntungan yang sebesar-besarnya dari usaha yang

dijalankannya, sebaliknya sebagai lembaga keuangan, bank mempunyai

kewajiban pokok untuk menjaga kestabilan nilai uang, mendorong kegiatan

ekonomi, dan perluasan kesempatan kerja.

46

Muhammad Djumhana, 2013, Hukum Perbankan di Indonesia, PT. Citra Aditya Bakti,

Bandung, hal. 32.

Page 47: ABSTRAK - sinta.unud.ac.id · tentang Pedoman Kebijakan dan Prosedur Perkreditan bagi Bank Perkreditan Rakyat, yang mempersyaratkan untuk memberikan kredit dalam bentuk apapun bank-bank

Pasal 1 angka 2 UU Perbankan tersebut dapat dijabarkan lebih luas

mengenai tujuan perbankan nasional dalam kehidupan ekonomi nasional Bangsa

Indonesia yaitu:47

1) Bank berfungsi sebagai financial intermediary dengan kegiatan usaha

pokok menghimpun dan menyalurkan dana masyarakat atau pemindahan

dana masyarakat dari unit surplus kepada unit defisit atau pemindahan

uang dari penabung kepada peminjam. Hal ini berarti kehadiran bank

sebagai badan usaha tidak semata-mata bertujuan bisnis, namun ada misi

lain yakni peningkatan kesejahteraan masyarakat pada umumnya.48

2) Penghimpun dan penyaluran dana masyarakat tersebut bertujuan

menunjang sebagian tugas penyelenggara negara yaitu:

a) Menunjang pembangunan nasional, termasuk pembangunan daerah;

bukan melaksanakan misi pembangunan suatu golongan apalagi

perseorangan, jadi pembangunan di Indonesia diarahkan menjadi agen

pembangunan (agent of development).

b) Dalam rangka mewujudkan trilogi pembangunan nasional

c) Dalam menjalankan fungsi tersebut, perbankan Indonesia harus

mampu melindungi secara baik apa yang dititipkan masyarakat

kepadanya (Penjelasan umum angka (3)) dengan menerapkan prinsip

kehati-hatian, dengan cara:

(1) Efisien, sehat, wajar dalam persaingan yang sehat yang semakin

mengglobal atau mendunia.

47

Rachmadi Usman, Op.Cit, hal. 61. 48

Sentosa Sembiring, 2009, Hukum Perbankan, CV. Mandar Maju, Bandung, hal. 8.

Page 48: ABSTRAK - sinta.unud.ac.id · tentang Pedoman Kebijakan dan Prosedur Perkreditan bagi Bank Perkreditan Rakyat, yang mempersyaratkan untuk memberikan kredit dalam bentuk apapun bank-bank

(2) Menyalurkan dana masyarakat tersebut ke bidang-bidang yang

produktif, bukan konsumtif;

d) Peningkatan perlindungan dana masyarakat yang dipercayakan pada

bank selain melalui penerapan prinsip kehati-hatian, juga pemenuhan

ketentuan persyaratan kesehatan bank, serta sekaligus berfungsi untuk

mencegah terjadinya praktek-praktek yang merugikan kepentingan

masyarakat luas.

Dengan demikian, tujuan perbankan bukan hanya sekedar sebagai wadah

penghimpun dan penyalur dana masyarakat saja, tetapi fungsinya diarahkan juga

pada peningkatan taraf hidup rakyat banyak, agar masyarakat menjadi lebih baik

dan sejahtera dari sebelumnya. Oleh karena itu, dalam menjalankan fungsinya,

Perbankan Indonesia sebaiknya selalu mengacu pada tujuan perbankan tersebut.49

BPR dalam rangka ikut membantu meningkatkan produktivitas dan

penghasilan masyarakat terutama golongan ekonomi lemah, mempunyai beberapa

tujuan dalam menjalankan usaha diantaranya adalah sebagai berikut:

1) Menunjang kelancaran penyediaan sarana produksi terutama

permodalan dalam rangka pembangunan daerah pada umumnya dan

pembangunan desa pada khususnya.

2) Menciptakan pemerataan dalam kesempatan berusaha segolongan

ekonomi lemah di pedesaan dan menciptakan lapangan kerja secara

langsung.

49

Ibid, hal. 62.

Page 49: ABSTRAK - sinta.unud.ac.id · tentang Pedoman Kebijakan dan Prosedur Perkreditan bagi Bank Perkreditan Rakyat, yang mempersyaratkan untuk memberikan kredit dalam bentuk apapun bank-bank

3) Meningkatkan produktifitas dalam rangka peningkatan produksi

khususnya di bidang pertanian dan perdagangan.

4) Melancarkan lalu lintas pembayaran dan pertukaran di desa.

5) Meningkatkan pendapatan secara nyata bagi petani dan pedagang

6) Meningkatkan taraf hidup dengan jalan:

a) Memberikan perlindungan bagi pedagang kecil dan pertanian dari

pengaruh yang merugikan.

b) Membentuk modal masyarakat dengan mengadakan pinjaman

wajib.50

Berdasarkan uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa perbankan di

Indonesia mempunyai tujuan yang strategis dan tidak semata-mata berorientasi

ekonomis, tetapi juga berorientasi kepada hal-hal yang non ekonomis seperti

masalah yang menyangkut stabilitas nasional yang menakup antara lain stabilitas

politik dan stabilitas nasional.

Dari tinjauan perbankan tersebut dirumuskan tujuan BPR adalah untuk

menunjang pelaksanaan pembangunan nasional dalam rangka meningkatkan

pemerataan, pertumbuhan ekonomi dan stabilitas nasional ke arah peningkatan

kesejahteraan rakyat banyak. Oleh karena itu tujuan BPR diarahkan untuk

melayani kebutuhan petani, peternak, nelayan, pedagang, pengusaha kecil,

pegawai, dan pensiunan mengingat kelompok sasaran ini belum terjangkau oleh

bank umum. Selain itu, sasaran BPR juga untuk lebih mewujudkan pemerataan

layanan perbankan, pemerataan kesempatan berusaha, pemerataan pendapatan

50

Hermansyah, 2011, Hukum Perbankan Nasional Indonesia, Kencana Prenada Media Group,

Jakarta, hal.35.

Page 50: ABSTRAK - sinta.unud.ac.id · tentang Pedoman Kebijakan dan Prosedur Perkreditan bagi Bank Perkreditan Rakyat, yang mempersyaratkan untuk memberikan kredit dalam bentuk apapun bank-bank

sehingga mereka tidak jatuh ke tangan para pelepas uang (rentenir dan

pengijon).51

1.6.2 Kerangka Pemikiran

Berdasarkan latar belakang masalah dan landasan teori, maka dapat

digambarkan kerangka pemikiran sebagai berikut:

Gambar 1 Kerangka Pemikiran

1.7 Metode Penelitian

1.7.1 Jenis Penelitian

Berangkat dari adanya norma kabur UU Perbankan yang tidak jelas

mengatur mengenai bentuk perjanjian kredit perbankan harus dibuat secara tidak

tertulis atau tertulis melalui perjanjian di bawah tangan atau bahkan harus dengan

51

Siti Chalimah Padjrijah, 2006, Cetak Biru Bank Perkreditan Rakyat, Direktorat Pengawasan

Bank Perkreditan Rakyat, Bank Indonesia, hal.iv.

Latar Belakang

Masalah:

UU Perbankan tidak jelas

mengatur mengenai

bentuk perjanjian kredit

perbankan harus dibuat

secara tidak tertulis atau

tertulis melalui perjanjian

di bawah tangan atau

bahkan harus dengan

perjanjian yang dibuat

oleh Notaris atau akta

otentik (norma kabur).

Rumusan Masalah:

1. Bagaimana pengaturan

mengenai perjanjian

kredit yang dibuat secara

bawah tangan menurut

Undang-Undang

Perbankan dan Undang-

Undang Jabatan Notaris?

2. Bagaimana kekuatan

hukum perjanjian kredit

yang dibuat secara bawah

tangan pada bank

perkreditan rakyat?

Teori:

- Teori Perjanjian

- Teori Interpretasi

Fungsi Perbankan

- Teori Alat Bukti

- Teori Keabsahan

Metode Penelitian:

Metode penelitian

yuridis normatif

dengan pendekatan

perundang-undangan

(statute approach),

pendekatan konsep

(conceptual approach)

dan pendekatan kasus

(case approach)

Pembahasan, Simpulan dan Saran

Page 51: ABSTRAK - sinta.unud.ac.id · tentang Pedoman Kebijakan dan Prosedur Perkreditan bagi Bank Perkreditan Rakyat, yang mempersyaratkan untuk memberikan kredit dalam bentuk apapun bank-bank

perjanjian yang dibuat oleh Notaris atau akta otentik, maka dalam penelitian ini

digunakan jenis penelitian hukum normatif. Penelitian hukum normatif

(normative legal research) merupakan penelitian yang dilakukan dengan cara

mengkaji peraturan perundang-undangan yang berlaku atau diterapkan terhadap

suatu permasalahan hukum tertentu. Penelitian normatif seringkali disebut dengan

penelitian hukum doktrinal, yaitu penelitian yang objek kajiannya adalah

dokumen peraturan perundang-undangan dan bahan pustaka.52

Penelitian hukum

normatif juga merupakan penelitian untuk mengkaji penerapan kaidah-kaidah atau

norma dalam hukum positif.53

Dalam peneltian normatif hukum dilihat identik

dengan norma-norma tertulis, yang dibuat dan diundangkan oleh negara dan

membahas hukum sebagai suatu sistem normatif yang otonom, mandiri, tertutup

dan bebas nilai serta terlepas dari kehidupan masyarakat nyata.54

1.7.2 Jenis Pendekatan

Pendekatan (apprach) yang digunakan dalam suatu penelitian normatif

akan memungkinkan seorang peneliti untuk memanfaatkan hasil-hasil temuan

ilmu hukum dan ilmu-ilmu lain untuk kepentingan dan analisis serta eksplanasi

hukum tanpa mengubah karakter ilmu hukum sebagai ilmu normatif.

Dalam kaitannya dengan penelitian normatif dapat digunakan beberapa

pendekatan yaitu :55

52

Peter Mahmud Marzuki, 2011, Penelitian Hukum, Kencana Prenida Media, Jakarta, hal. 34. 53

Johny Ibrahim, 2012, Teori dan Metodologi Penelitian Hukum Normatif, Banyumedia,

Malang, hal. 295. 54

Ronny Hanitijo Soemitro, 2008, Metode Penelitian Hukum dan Jurimetri, Alumni, Jakarta,

hal 13-14. 55

Johnny Ibrahim, Op.Cit, hal. 300-301.

Page 52: ABSTRAK - sinta.unud.ac.id · tentang Pedoman Kebijakan dan Prosedur Perkreditan bagi Bank Perkreditan Rakyat, yang mempersyaratkan untuk memberikan kredit dalam bentuk apapun bank-bank

a. pendekatan perundang-undangan (statute approach);

b. pendekatan konsep (conceptual approach);

c. pendekatan perbandingan (comparative approach).

d. pendekatan historis (historical approach);

e. pendekatan filsafat (philosophical approach);

f. pendekatan kasus (case approach);

Pendekatan-pendekatan tersebut dapat digabung sehingga dalam suatu

penelitian hukum normatif dapat saja menggunakan dua pendekatan atau lebih

yang sesuai.

Metode pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode

pendekatan perundang-undangan (statute approach), pendekatan konsep

(conceptual approach) dan pendekatan kasus (case approach), mengingat

permasalahan yang diteliti dan dibahas dalam penelitian ini adalah mengenai

kekuatan hukum perjanjian kredit di bawah tangan pada BPR.

1.7.3 Sumber Bahan Hukum

Sumber bahan hukum yang diperlukan dalam penelitian hukum normatif

merupakan data sekunder. Data sekunder yaitu data yang diambil secara tidak

langsung atau yang telah terlebih dahulu dikumpulkan orang lain di luar dari

penelitian sendiri. Adapun data sekunder terdiri dari :56

56

Bambang Waluyo, 2001, Penelitian Hukum Dalam Praktik, Penerbit Sinar Grafika, Jakarta,

hal. 18.

Page 53: ABSTRAK - sinta.unud.ac.id · tentang Pedoman Kebijakan dan Prosedur Perkreditan bagi Bank Perkreditan Rakyat, yang mempersyaratkan untuk memberikan kredit dalam bentuk apapun bank-bank

a. bahan hukum primer, yaitu bahan-bahan hukum yang mengikat, yang

berupa peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan

permasalahan yang akan dikaji, terdiri dari :

1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945;

2) Kitab Undang-Undang Hukum Perdata;

3) Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perubahan Atas

Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan;

4) Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2014 tentang Perubahan atas

Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris;

5) Undang-Undang Nomor 13 Tahun 1985 tentang Bea Materai.

b. bahan hukum sekunder adalah bahan hukum yang diperoleh dari buku

teks, jurnal-jurnal ilmiah, pendapat para sarjana, kasus-kasus hukum, serta

simposium yang dilakukan para pakar terkait dengan objek kajian

penelitian hukum ini.57

c. bahan hukum tertier, yaitu bahan hukum penunjang yang memberi

petunjuk dan penjelasan terhadap bahan hukum primer dan bahan hukum

sekunder, seperti kamus hukum,58

Surat kabar, majalah mingguan, bulletin

dan internet juga dapat menjadi bahan bagi penelitian ini sepanjang

memuat informasi yang relevan dengan objek kajian penelitian hukum

ini.59

57

Johny Ibrahim, Op.Cit, hal. 392. 58

Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji, 2003, Penelitian Hukum Normatif, Suatu Tinjauan

Singkat, Raja Grafindo Persada, Jakarta, hal. 14-15. 59

Jay A. Sieglar dan Benyamin R. Beede, 2007, The Legal Souyrces of Public Policy,

Lexington Books, Massachussets, Toronto, hal. 23.

Page 54: ABSTRAK - sinta.unud.ac.id · tentang Pedoman Kebijakan dan Prosedur Perkreditan bagi Bank Perkreditan Rakyat, yang mempersyaratkan untuk memberikan kredit dalam bentuk apapun bank-bank

1.7.4 Teknik Pengumpulan Bahan Hukum

Mengenai teknik yang diterapkan dalam pengumpulan bahan hukum yang

diperlukan dalam penulisan ini yaitu melalui teknik telaah kepustakaan (study

document) dengan sistem kartu (card system) yakni setelah mendapat semua

bahan yang diperlukan kemudian dibuat catatan mengenai hal-hal yang dianggap

penting bagi penelitian yang digunakan.60

Sistem kartu yang digunakan dalam

penulisan ini adalah kartu kutipan untuk mencatat nama pengarang/penulis, judul

buku, halaman dan mengutip hal-hal yang dianggap penting agar bisa menjawab

permasalahan dalam penulisan ini. Dalam penerapan teknik telaahan kepustakaan

ini didukung pula dengan penggunaan teknik bola salju (snow ball) yakni dengan

menemukan bahan hukum sebanyak mungkin melalui referensi dari satu literatur

ke literatur lainnya.

1.7.5 Teknik Analisis Bahan Hukum

Di dalam penelitian hukum normatif yang dianalisis bukanlah data,

melainkan melalui bahan hukum seperti tersebut di atas. Dengan demikian, erat

kaitannya antara metode analisis dengan pendekatan masalah. Analisis bahan

hukum yang berhasil dikumpulkan dalam penelitian ini akan dilakukan secara

deskriptif, interpretatif, evaluatif dan argumentatif, yang diterangkan sebagai

berikut:

60

Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji, Op.Cit, hal. 13.

Page 55: ABSTRAK - sinta.unud.ac.id · tentang Pedoman Kebijakan dan Prosedur Perkreditan bagi Bank Perkreditan Rakyat, yang mempersyaratkan untuk memberikan kredit dalam bentuk apapun bank-bank

a. teknik deskriptif, yaitu suatu penelitian yang bertujuan untuk memperoleh

gambaran secara mendalam mengenai perumusan tindak pidana dan sanksi

pidananya;

b. teknik interpretatif berupa penggunaan jenis-jenis penafsiran dalam ilmu

hukum seperti penafsiran historis, sistematis, dan lain-lain. Selanjutnya

bahan hukum tersebut dianalisis dengan menggunakan teknik evaluatif,

sistematis dan argumentatif;

c. teknik evaluatif yaitu memberikan penilaian terhadap suatu pandangan,

proporsi, pernyataan, rumusan norma, keputusan, baik yang tertera dalam

baik dalam hukum primer maupun dalam hukum sekunder;

d. teknik sistematif berupaya mencari kaitan rumus suatu konsep hukum atau

konsep hukum antara perundang-undangan yang sederajat maupun tidak

sederajat;

e. teknik argumentatif tidak bisa dilepaskan dari teknik evaluasi karena

penilaian harus didasarkan pada alasan-alasan yang bersifat penalaran

hukum.61

61

Buku Pedoman, 2008, Pedoman Penulisan Usulan Penelitian dan Tesis, Program Studi

Magister Hukum Universitas Udayana, hal. 14.

Page 56: ABSTRAK - sinta.unud.ac.id · tentang Pedoman Kebijakan dan Prosedur Perkreditan bagi Bank Perkreditan Rakyat, yang mempersyaratkan untuk memberikan kredit dalam bentuk apapun bank-bank