32
1 ACEH HABITAT CLUB Forum Diskusi Terfokus Rekonstruksi dan Rehabilitasi di Aceh ANALISIS YURIDIS HAK PEMILIKAN ATAS TANAH (Studi Kasus Di Gampong Alue Naga Kecamatan Syiah Kuala – Kota Banda Aceh) Divisi Informasi dan Dokumentasi Oktober 2006 Judul : HAK PEMILIKAN ATAS TANAH (Studi Kasus Di Gampong Alue Naga Kecamatan Syiah Kuala – Kota Banda Aceh)

ACEH HABITAT CLUB Forum Diskusi Terfokus Rekonstruksi dan … · dengan melakukan proses inventarisasi, pemegang hak atas tanah, tanaman dan benda -benda diatasnya akan diidentifikasi,

Embed Size (px)

Citation preview

1

ACEH HABITAT CLUB

Forum Diskusi Terfokus Rekonstruksi dan Rehabilitasi di Aceh

ANALISIS YURIDIS HAK PEMILIKAN ATAS TANAH

(Studi Kasus Di Gampong Alue Naga

Kecamatan Syiah Kuala – Kota Banda Aceh)

Divisi Informasi dan Dokumentasi Oktober 2006

Judul : HAK PEMILIKAN ATAS TANAH

(Studi Kasus Di Gampong Alue Naga Kecamatan Syiah Kuala – Kota Banda Aceh)

2

Penelitian ini dilakukan oleh: Afifuddin Manan dan Amrullah

(Peneliti The Aceh Institute dari FDT Politik, Hukum dan HAM)

Lay out dan editor: Aceh Institute

Reviewer:

Rufriadi, SH

Buku ini merupakan laporan akhir diskusi terfokus Aceh Habitat Club II

Aceh Habitat Club merupakan forum diskusi terfokus pada rekonstruksi dan rehabitiasi di Aceh

hasil kerja sama The Aceh Institute dan UN – Habitat

cetakan pertama : Oktober 2006

Dilarang memperbanyak hasil penelitian ini dalam bentuk dan dengan cara apapun, termasuk fotokopi,

tanpa ijin tertulis dari Aceh Institute

tidak untuk diperjualbelikan

diterbitkan oleh Divisi Informasi dan Dokumentasi – The Aceh Institute

www.acehinstitute.org

3

ABSTRAK Penelitian ini berkenaan dengan permasalahan dan penyelesaian atas jaminan kepastian hukum yang berbentuk sertifikat hak sebagai tanda bukti hak pemilikan atas tanah dan penawaran pengambilalhan hak milik demi kepentingan umum dalam desa Alue Naga. Penelitian ini bertujuan memberikan asumsi terhadap kepastian dan perlindungan secara efektif terhadap hak pemilikan atas tanah dan pengambilalihan hak atas tanah demi kepentingan umum dengan melakukan kajian melalui metoda deskriptif analitis. Sampel diperoleh dengan cara stratified cluster sampling, dan snowballing sampling, dengan mempergunakan kuesioner dan interview, selanjutnya dilakukan stratifikasi terhadap arsip berkas yang berkaitan dengan permohonan pendaftaran tanah. Hasil penelitian menunjukan bahwa jaminan, perlindungan dan penyelesaian hak atas tanah demi kepastian hukum melalui kegiatan registrasi dan ajudikasi pendaftaran tanah secara sistematik tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat dan prematur selain itu tidak prosedural sesuai dengan Peraturan Pemerintah No. 24 tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah jo. Permeneg No. 3 tahun 1997 tentang ketentuan pelaksana Peraturan Pemerintah No. 24 tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah. Pengambilalihan hak atas tanah dilakukan tidak berdasarkan Keppers No. 36 tahun 2005 tentang Pengadaan Tanah Bagi Pelaksanaan Pembangunan Untuk Kepentingan Umum jo. Permeneg No. 4 tahun 1994 tentang peraturan pelaksanaan Keppres Pengadaan Tanah Bagi Pelaksanaan Pembangunan Untuk Kepentingan Umum. Disarankan perlu segera diterbitkan payung hukum setingkat Perpu yang mengatur tentang prinsip pendaftaran tanah, pengakuan hak, pemberian hak, tanah musnah dan peralihan hak atas tanah akibat pewarisan dan atau perwalian. Untuk menyelesaian atas hak milik tanah pasca tsunami guna jaminan kepastian hukum ataupun perlindungan yang efektif terhadap hak pemilikan atas tanah.

4

KATA PENGANTAR

Tsunami yang terjadi di Aceh pada akhir tahun 2004 tidak hanya mengakibatkan hancurnya sarana dan prasaran fisik. Bencana ini juga menyebabkan banyaknya pemilik tanah yang menjadi korban. Baik sebagai korban juga banyak diantaranya yang kehilangan fisik tanahnya akibat digerus air. Kondisi ini menjadi sebuah fenomena dalam proses rekonstruksi dan rehabilitasi yang berdampak pada lambatnya lembaga donor dan implementer lainnya untuk melaksanakan komitmen bantuannya. The Aceh Institute sebagai lembaga peneliti independen, melaksanakan kerjasama dengan UN-HABITAT melakukan penelitian permasalahan kepemilikan tanah di gampong Alue Naga. Penelitian ini dilakukan untuk mencari solusi terbaik dalam upaya mempercepat proses rekonstruksi di Alue Naga. Penelitian ini sendiri dilakukan untuk melihat kesesuaian antara pelaksanaan di lapangan dengan peraturan yang berlaku. Oleh karenanya penelitian ini melibatkan pihak-pihak yang berwenang dan lembaga pelaksana di lapangan seperti INGO, badan PBB maupun satuan kerja bentukan pemerintah. Penelitian dan metode ini, kami harapkan menjadi prototype dalam upaya penyelesaian kasus-kasus tanah yang bermasalah dalam penentuan status kepemilikan. Sehingga harapan masyarakat Aceh yang menjadi korban bencana tsunami untuk percepatan proses rekonstruksi dan rehabilitasi dapat terlaksana. September 2006 The Aceh Institute Nurul Kamal, ST, M.Sc Deputi Coordinator

5

KATA PENGANTAR

Puji syukur dipanjatkan kehadirat Allah SWT yang telah memberikan rahmat dan hidayahnya, sehingga

penelitian ini dapat diselesaikan.

Penelitian ini tidak akan berhasil jika tidak dibantu oleh berbagai pihak. Untuk itu perkenankan tim

peneliti menyampaikan ucapan terima kasih yang sebesar-besarnya dan penghargaan yang setinggi-

tingginya kepada:

1. Pimpinan dan staf UN-Habitat Banda Aceh, penyandang dana penelitian ini;

2. Ketua dan anggota Tim VII ajudikasi, penyelenggara pendaftaran tanah di kecamatan Syiah

Kuala.

3. Manager Ralas dan Kepala Badan Pertanahan Nasional Nanggro Aceh Darussalam

4. Camat kecamatan Syiah Kuala, Keuchik gampong Alue Naga, Kepala-kepala Dusun, Tokoh-tokoh

masyarakat, Tokoh Adat serta seluruh masyarakat gampong Alue Naga yang telah membantu

proses penelitian.

Tim peneliti tidak dapat membalas budi baik dari semua pihak yang terkait dalam penelitian ini.

Semoga Tuhan dapat melimpahkan karunia-Nya kepada mereka.

Akhirnya, disadari sepenuhnya bahwa penelitian ini masih memerlukan perbaikan. Untuk itu dengan

senang hati kamai menerima saran dan kritik dari semua pihak.

Banda Aceh, Juni 2006

Tim Peneliti

Afifuddin Manan, SH

Amrullah, SHi

6

DAFTAR ISI Abstrak .............................................................................................. i Kata Pengantar ....................................................................................... ii Daftar Isi ................................................................................................ iii I. Pendahuluan

i. Latar Belakang .............................................................................. 1 ii. Tujuan dan Manfaat Penelitian ......................................................... 2 iii. Batasan Masalah ........................................................................... 3

II. Tinjauan Pustaka

A. Register dan Ajudikasi Tanah ........................................................... 4 B. Peralihan Atas Tanah Akibat Pewaris dan Perwalian ............................ 5 C. Pembagian Waris Secara Adat Aceh ................................................. 7 D. Pendaftaran Peralihan Hak Atas Tanah .............................................. 9 E. Pengambilalihan Hak Atas Tanah ...................................................... 10 F. Pewarisan Tidak Meninggalkan Ahli Waris Atau Tidak Diketahui ............. 11

III. Metode Penelitian

A. Rancangan Penelitian ...................................................................... 13 B. Lokasi Penelitian dan Pengambilan Sampel ........................................ 13 C. Populasi dan Teknik Pengambilan Sampel .......................................... 13 D. Teknik Pengumpulan Data ................................................................ 13 E. Pengolahan dan Analisis Data ........................................................... 14

IV. Hasil dan Pembahasan

A. Register dan Ajudikasi

1. Register dan Ajudikasi Pendaftaran Permohonan Hak ataupun Penggantian Sertifikat .............................................................. 17

2. Hambatan Pelaksanaan Pendaftaran Tanah Secara Sistematik dalam Menyelenggarakan Permohonan Hak ................................. 24

3. Pendapat Masyarakat Tentang pengukuran dalam Rangkaian Kegiatan Pendaftaran Tanah Secara Sistematik ............................. 24

4. Tanggung Jawab Pelaksanaan Pendaftaran Tanah Secara Sistematik dalam Menyelenggarakan Pendaftaran Tanah ................................ 26

B. Pengaturan Dan Penawaran Yang Setimpal Ganti Kerugian Pengambilalihan Hak Atas Tanah Dalam Pembangunan Demi Kepentingan Umum.

1. Pelaksanaan Pengadaan Tanah .................................................... 26 2. Upaya dan Penyelesaian Pengambilalihan Atas Tanah

V. Kesimpulan dan Saran .......................................................................... 28 Daftar Pustaka ........................................................................................... 31 Lampiran-lampiran

7

I. PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG Akibat bencana gempa bumi dan gelombang tsunami pada 26 Desember 2004, telah memberikan dampak yang sangat besar bagi masyarakat gampong Alue Naga. Kerusakan infrastruktur tanah telah meliputi ± 242.6 hektar tanah yang rusak dan musnah tersebar diempat (4) dusun. Apabila kita melihat status hukum dan fisik atas tanah dapat dikatagorikan, khususnya menyangkut masalah:

a. Tanah ada, tetapi hilang tanda batas-batas persil bidang tanah b. Tanah ada tetapi administrasi dokument pembuktian atas hak tanah hilang c. Tanah ada tetapi, pemilik ikut hilang bersama tsunami d. Terjadinya peralihan atas hak pemilikan tanah akibat pewarisan dan peralihan hak atas

perwalian e. Adanya Pemberian hak atas tanah f. Bukti kepemilikan ada tetapi tanahnya telah mengalami perubahan bentuk fisik atau tanah

musnah, karena gelombang tsunami dan sama sekali tidak dapat dikuasai secara fisik dan atau tidak dapat dipergunakan lagi sesuai dengan fungsinya.

Hak atas tanah merupakan hubungan hukum orang atau badan hukum dengan sesuatu benda yang menimbulkan kewenangan atas objek bidang tanah dan memaksa orang lain untuk menghormatinya akibat dari pemilikan. Pasal 19 Undang-Undang Pokok Agraria No. 5 tahun 1960 menugaskan kepada pemerintah untuk menyelenggarakan pendaftaran tanah yang bersifat rechts. Pendaftaran tanah berfungsi untuk mengetahui status bidang tanah, siapa pemiliknya, apa haknya, berapa luasnya, untuk apa dipergunakan. Untuk memperoleh kekuatan hukum rangkaian kegiatan pendaftaran tanah secara sistematik, pengajuan kebenaran materiil pembuktian data fisik dan data yuridis hak atas tanah, ataupun lain hal yang dibutuhkan sebagai dasar hak pendaftaran tanah, dan atau riwayat asal usul pemilikan atas tanah, jual-beli, warisan, tidak terlepas pada peraturan perundang-undangan yang berlaku. Pendaftaran tanah yang dilakukan secara sistematik sampai saat ini masih dianggap belum maksimal dan procedural dalam masyarakat, walaupun sebelum dilakukan pengukuran oleh tim teknis telah dilakukan pematokan awal oleh para pemilik tanah. Hal ini dilakukan berdasarkan ajuran dari masing-masing kepala dusun dalam gampong Alue Naga. Kendala dalam pelaksanaan disamping data yuridis, sebagian besar penguasannya tidak didukung oleh alat-alat pembuktian yang mudah diperoleh juga dapat dipercaya kebenarannya, dimana blangko kesepakatan warisan yang dibagikan oleh tim yuridis ajudikasi tidak berdasar alas hukum faraidh. Hal ini dilakukan hanya semata-mata untuk menetapkan nama pemilikan dan atau bahwa tanah tersebut ada pemiliknya. Blangko kesepakatan waris tersebut disyahkan oleh geutjhik berdasarkan pengisian dan tanda tangan tidak dilakukan dihadapan atau bersama-sama dengan geutjhik. Kebanyakan pada saat dilakukan pengukuran dan ajudikasi terhadap kepemilikan pendaftar tanah tidak berada dalam gampong Alue Naga, disamping itu terlihat kurangnya respon masyarakat terhadap pelaksanaan dan terindikasi terjadi tumpang tindih dan overlapping penguasaan atas tanah, dimana pemilik berbeda tetapi objek sama pada sebelum tsunami. Status riwayat asal usul pemilikan atas tanah di setiap dusun dalam wilayah gampong Alue Naga berbeda satu sama lainnya. Sebagai contoh disebutkan perbuatan hukum peralihan hak atas tanah, mengakibatkan hak atas tanah berpindah dari seseorang kepada orang lain dan putus hubungan hukum antara pemilik dengan tanahnya. Dalam pendaftaran peralihan hak atas tanah ini, memberikan keterangan tentang siapa yang berhak atas tanah serta status hukum dari tanah tentunya dibutuhkan proses hukum dalam pembuktian materiil. Contoh lain yang terjadi untuk gampong Alue Naga, khususnya dusun Podiamat, tanah yang diperoleh berasal dari tanah negara. Perbuatan hukum yang terjadi dalam pembuktian hak pada pendaftaran tanah secara sistematik melalui pemberian hak. Untuk itu dibutuhkan suatu proses tahapan hukum yang berlaku dalam pemberian hak atas tanah. Ada 2 (dua) keadaan yang akan menimbulkan permasalahan dan penyelesaian atas hak milik tanah. Pertama, jaminan kepastian ataupun perlindungan yang efektif terhadap hak pemilikan atas tanah. Kedua, prinsip pendaftaran tanah dan atau peraturan perundangan-undangan lainnya secara langsung atau tidak langsung akan mempengaruhi pejabat atau pegawai pertanahan, melakukan perlindungan hak pemilikan atas tanah, yang bersangkutpaut dengan registrasi dan ajudikasi pemberian kepastian hukum kepada individu atas pemilik tanah korban tsunami.

8

Negara Indonesia merupakan Negara hukum, segala tindakan ataupun perbuatan baik masyarakat dan juga aparat pemerintahan harus berdasarkan peraturan perundangan yang berlaku. Peraturan perundangan itu mengatur hubungan tiap warga dan atau kegiatan pejabat maupun pegawai dalam melakukan perbuatan hukum bersifat ketetapan yang konkrit. Ketetapan pejabat atau pegawai mengakibatkan timbul azas kepastian hukum. Dalam arti pasti mengenai peraturan hukum, kedudukan hukum subyek dan objek hukumnya dalam melakukan peraturan dan mencegah perbuatan sewenang-wenang. Ada prosedural teknis terkait dengan proses pengambilalihan hak atas tanah yang terlewatkan oleh Badan Rekonstruksi dan Rehabilitasi Aceh dalam melakukan kegiatan pembangunan untuk kepentingan umum, tidak adanya izin pemilik tanah ataupun sosialisasi dan penyuluhan yang melibatkan peran tokoh dan atau pimpinan informal masyarakat setempat. Seharusnya hal teknis ini dilakukan sampai dengan melakukan proses inventarisasi, pemegang hak atas tanah, tanaman dan benda-benda diatasnya akan diidentifikasi, hasilnya kemudian diumumkan kepada public untuk menunggu tanggapan ataupun keberatan dari masyarakat pemilik dalam rentang waktu satu bulan. Berdasarkan atas masalah-masalah tersebut diatas, maka perlu dilihat dasar atas keadaan yang akan menimbulkan permasalahan dan menarik untuk dikaji serta diuji dengan peraturan hukum agraria dan peraturan perundangan lain yang berlaku nasional. Permasalahannya adalah sebagai berikut:

1. Cara penyelesaian atas hak milik tanah dalam kaitan dengan jaminan perlindungan yang efektif terhadap pemilikan tanah pasca tsunami.

2. Prosedural, kepastian hukum atas penyelenggaran pendaftaran tanah secara sistematik. 3. Peralihan atas hak pemilikan tanah akibat pewarisan dan peralihan hak atas perwalian. 4. Perolehan tanah negara dan pemberian hak atas tanah. 5. Tata laksana pengambilalihan hak atas tanah demi kepentingan umum dalan rekonstruksi.

B. TUJUAN DAN MANFAAT PENELITIAN Melalui penelitian ini dapat diketahui dan dijelaskan kekuatan hukum atas keabsahan atau prosedur penyelenggaraan registrasi dan ajudikasi pendaftaran hak secara sistematik yang dilakukan Badan Pertanahan Nasional dalam memberikan perlindungan dan kepastian hukum hak atas tanah korban tsunami serta gambaran dari pelaksanaan pengambilalihan hak atas tanah demi kepentingan umum. Disamping itu juga dapat dijelaskan tentang kepemilikan atas tanah dalam gampong Alue naga pasca tsunami. Penelitian ini juga untuk dapat mengidentifikasi permasalahan yang utama dengan memberikan gambaran dan akhirnya memberikan masukan agar tidak terjadi ketimpangan hukum. Adapun tujuan penelitian yang dilakukan adalah untuk mengetahui, mengkaji dan menjelaskan secara empiris tentang:

1. Untuk mengetahui permasalahan prosedural register dan ajudikasi pendaftaran permohonan hak ataupun sertifikat penganti pendaftaran tanah secara sistematik. Juga untuk mengetahui tentang rangkaian kegiatan pendaftaran hak pasca tsunami dalam kaitan dengan kekuatan hukum atas penerbitan Surat Keputusan Kepala Badan Pertanahan No. 114-II-2005 tentang Manual Pendaftaran Tanah berbasis masyarakat, sebagai persyaratan dan prosedur dalam rangka penyelenggaraan pendaftaran tanah.

2. Untuk mengetahui, prosedural dan tata cara peralihan hak dan pendaftaran hak atas tanah akibat pewarisan dan perwalian pasca tsunami, serta sejauh mana masyarakat memahami peraturan perundangan perihal peralihan hak atas tanah dalam penyelenggaraan pendaftaran tanah.

3. Untuk mengetahui, menjelaskan tatalaksana pengambilalihan hak atas tanah demi kepentingan umum dalan rekonstruksi pasca tsunami, faktor-faktor penghambat dan upaya hukum dan penyelesaian yang telah berlangsung.

Berdasarkan tujuan tersebut, hasil penelitian ini dapat diharapkan dapat berguna baik secara teoritis maupun praktis. Secara teoritis diharapkan dapat menjadi tambahan informasi dalam pengembangan ilmu pengetahuan, khususnya pengetahuan hukum tentang pendaftaran hak pasca tsunami. Secara praktis diharapkan dapat menjadi bahan masukan bagi instansi terkait dalam menentukan kebijakan, terutama bagi Badan Pertanahan Nasional, dapat menjadi suatu umpan balik terhadap penerapan suatu ketentuan hukum. Disamping itu, hasil penelitian ini dapat menjadi bahan dan sumbangan berharga bagi pengembangan hukum agraria khususnya dan ilmu hukum pada umumnya. C. BATASAN PENELITIAN

9

Pada penelitian ini hanya membatasi untuk mengkaji terhadap perlindungan hak atas tanah, dan pengakuan hak kebendaan dalam proses pendaftaran permohonan hak ataupun pengantian sertifikat atas tanah korban tsunami yang diikuti dengan peralihan atas hak pemilikan tanah, serta pengaturan dan penawaran yang setimpal ganti kerugian pengambilalihan hak atas tanah dalam pembangunan rekonstruksi demi kepentingan umum.

II. TINJAUAN PUSTAKA

A. REGISTER DAN AJUDIKASI TANAH. Tanah dalam pengertian yuridis adalah permukaan bumi, hak atas tanah adalah hak atas sebagian tertentu dari permukaan bumi, yang terbatas, berdimensi dua dengan ukuran panjang dan lebar. Dasar kepastian hukum dalam peraturan-peraturan hukum tertulis sebagai pelaksana Undang-Undang Pokok Agraria, memungkinkan para pihak-pihak yang berkepentingan untuk dengan mudah mengetahui hukum yang berlaku dan wewenang serta kewajiban yang ada atas tanah yang dipunyai. Dalam Peraturan Pemerintah No. 24 tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah, Bab I, ketentuan umum Pasal 1 ayat 1 mnguraikan yang dimaksud dengan pendaftaran tanah adalah rangkaian kegiatan yang dilakukan oleh pemerintah secara terus menerus, berkesinambungan dan teratur, meliputi pengumpulan, pengelolahan, pembukuan, dan penyajian serta pemeliharaan data fisik dan data yuridis dalam bentuk peta dan daftar, mengenai bidang-bidang tanah dan satuan-satuan rumah susun, termasuk pemberian surat tanda bukti haknya bagi bidang-bidang tanah yang sudah ada haknya dan hak milik atas satuan rumah susun serta hak-hak tertentu yang membebaninya. Pengertian hak milik menurut Henry lie A. Weng (1970:3) hak milik adalah hak untuk menikmati secara bebas dan memperlakukan secara sesuka sipemilik hak yang sempurna, pemilik dapat mengunakannya, menikmatinya, memusnahkannya, membuangnya, menjualnya. Secara umum pengaturan mengenai hak milik atas tanah dalam Undang-Undang Pokok Agraria dapat dilihat dalam bagian III Bab II Pasal 20 sampai dengan Pasal 27, memuat prinsip-prinsip umum tentang hak milik atas tanah. Berdasarkan Pasal 20 Undang-Undang Pokok Agraria bahwa hak milik itu merupakan hak yang turun-temurun terkuat dan terpenuh yang dapat dipunyai orang atas tanah dan memberi wewenang untuk mempergunakan bagi segala macam keperluan selama waktu yang tidak terbatas sepanjang tidak ada larangan khusus untuk itu. Sifat terkuat dan terpenuhi artinya yang paling kuat dan penuh bagi pemegang hak milik dan mempunyai hak untuk bebas dengan menjual, menghibahkan, menukarkan dan mewariskan. Hak penguasaan atas tanah berisikan serangkaian wewenang, kewajiban dan atau larangan bagi pemegang hak untuk berbuat atau tidak berbuat sesuatu mengenai tanah yang dihak-inya, karena telah ditetapkan Undang-Undang dan peraturan. Kata terkuat dalam pengertian hak milik adalah hak milik yang dapat dipunyai orang atas tanah tidak mudah hapus dan dapat dipertahankan terhadap gangguan pihak lain. Dalam pengertian hak milik Abdul Wahid Salayan (1990:29) menyebutkan hak milik adalah hak untuk menikmati sepenuhnya atas sesuatu benda dan dapat mempergunakan seluas-luasnya menurut kehendaknya. Pasal 4 Undang-Undang Pokok Agraria 1960 memberikan batasan terhadap kepentingan yang langsung berhubungan dengan penggunaan tanah dalam batas-batas menurut peraturan lainnya yang lebih tinggi. Ali Achmad Chomzah (2002:11) hukum tanah adalah keseluruhan dari peraturan-peraturan hukum yang mengatur hak dan kewajiban yang bersumber pada hak perseorangan dan badan hukum mengenai tanah yang dikuasainya atau dimiliknya. Hukum tanah dapat dikatakan hukum agraria dalam arti sempit, karena hukum tanah merupakan bagian dari hukum agraria. Dalam rangka memberi kepastian hukum kepada para pemegang hak atas tanah dan diberikan penegasan terhadap kekuatan sertifikat. Dampak arti praktisnya selama belum dibuktikan yang sebaliknya data fisik dan data yuridis dalam perbuatan hukum maupun sengketa didepan pengadilan harus diterima sebagai data yang benar. Individu atau badan hukum lainnya tidak dapat menuntut tanah yang telah bersertifikat atas nama orang atau badan hukum lainnya jika selama 5 tahun sejak dikeluarkan tidak mengajukan gugatan di pengadilan. Pelaksanaan untuk tercapainya jaminan dan kepastian hukum hak-hak atas tanah diselenggarakan pendaftaran tanah dengan mengadakan pengukuran, pemetaan tanah dan penyelenggaraan tata usaha

10

pendaftaran hak-hak serta peralihannya dengan pemberian surat tanda bukti sertifikat. Pendaftaran tanah dilakukan dengan sistem negatip berdasarkan azas: a. Azas publisitas yaitu, bahwa nama pemilik bidang tanah, status hak atas tanah serta adanya

beban-beban diatasnya harus didaftarkan dimana data-data ini terbuka bagi umum. b. Azas spesialitas yaitu, bahwa letak tanah, lokasinya, luasnya serta tanda-tanda batasnya harus

tampak jelas. Azas publisitas lebih menekankan segi-segi legalitas yakni segi-segi hukum tanah, sedang azas spesialitas lebih-lebih menekankan segi-segi teknis pengukuran dan pemetaan yakni dalam bidang ilmu geodesi. Sistem negatif adalah pembukuan sesuatu hak dalam daftar buku tanah atas nama seseorang tidak mengakibatkan bahwa orang yang sebenarnya berhak atas tanah itu akan kehilangan haknya. Sistem pendaftaran tanah ini bukan belasting kadaster atau landrente yang terdapat perbedaan yang prinsipil. Pendaftaran hak atas tanah merupakan kewajiban yang harus dilaksanakan oleh pemegang hak, guna mendapatkan sertifikat tanda bukti hak atas tanah yang kuat. Bachtiar Effendie (1993:15) demikian penting data-data yang diperoleh dengan cara yang seksama dan teliti mungkin oleh petugas pendaftaran tanah, baik data-data yang menyangkut subjek hak atas tanah ataupun data-data yang menyangkut objek hak atas tanahnya. Persoalan yang timbul berkenaan dengan pendaftaran tanah ini tidaklah hanya meliputi tentang batas tanah atau batas rumah tetapi adalah lebih jauh lagi yakni masalah tentang peralihan hak atas tanah sehingga untuk memgatasi problem ini secara preventif lembaga pendaftaran tanah yang banyak diharapkan. Pengertian dari pendaftaran tanah secara sistematik ini merupakan kegiatan pendaftaran tanah untuk pertama kali yang dilakukan secara serentak yang meliputi semua objek pendaftaran tanah yang belum didaftar dalam wilayah atau bagian wilayah suatu gampong atau kecamatan. Pendaftaran tanah secara sistematik juga bertujuan untuk menata kembali pemilikan hak atas tanah baik yang berlaku menurut Undang-Undang Pokok Agraria atau kepemilikan hak atas tanah yang diatur berdasarkan hukum adat. B. PERALIHAN ATAS TANAH AKIBAT PEWARISAN DAN PERWALIAN Peralihan hak milik atas tanah diatur dalam Pasal 20 ayat 2 UUPA yaitu hak milik dapat beralih dan dialihkan kepada pihak lain. K. Wantjik Saleh (1977:18) memberikan pengertian tentang kata “beralih” adalah suatu peralihan hak yang dikarenakan pemilik hak telah meninggal dunia maka haknya dengan sendiri menjadi beralih kepada ahli warisnya. Dalam pasal 20 menguraikan 2 (dua) bentuk peralihan hak milik atas tanah, yaitu:

1. Beralih Beralihan artinya berpindahnya hak milik atas tanah dari pemilik kepada pihak lain dikarenakan suatu peristiwa hukum. Dengan meninggalnya pemilik tanah, maka hak miliknya secara hukum berpindah kepada ahli warisnya sepanjang ahli waris memenuhi syarat subjek hak milik. Beralihnya hak milik atas tanah yang telah bersertifikat harus didaftarkan kekantor pertanahan setempat dengan melampirkan surat keterangan kematian pemilik tanah yang dibuat oleh pejabat yang berwenang, surat keterangan ahli waris yang dibuat oleh pejabat yang berwenang, bukti identitas para ahli waris, sertifikat tanah yang pertama atau terdahulu. Maksud pendaftaran peralihan hak milik atas tanah ini adalah untuk dicatat dalam buku tanah dan dilakukan perubahan nama pemegang hak dari pemilik tanah kepada para ahli warisnya. Prosedural pendaftaran peralihan hak karena beralihnya hak milik atas tanah diatur dalam Pasal 24 Peraturan Pemerintah No. 24 tahun 1997 tentang pendaftaran tanah jo. Pasal 111 dan Pasal 112 Permen Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional No. 3 tahun 1997 tentang ketentuan pelaksana Peraturan Pemerintah No. 24 tahun 1997.

2. Dialihkan atau Pemindahan Hak

Dialihkan atau pemindahan hak artinya berpindahnya hak milik atas tanah dari pemilik kepada orang lain dikarenakan adanya suatu perbuatan hukum. Contoh perbuatan hukum yaitu: jual beli, tukar menukar, hibah, penyertaan atau pemasukan dalam bentuk modal, dan lelang. Berpindahnya hak milik atas tanah karena dialihkan atau pemindahan hak harus dibuktikan dengan akta tanah yang dibuat oleh dan dihadapan Pejabat Pembuat Akta Tanah atau disebut PPAT, kecuali tehadap objek itu dilakukan lelang yang dibuktikan dengan berita acara lelang dibuat oleh Pejabat dari kantor lelang. Perpindahan

11

hak milik atas tanah ini harus didaftarkan kekantor pertanahan setempat dimana objek berada, untuk dicatat dalam buku tanah dan dilakukan perubahan nama sertifikat dari pemilik.

Prosedur pemindahan hak milik atas tanah karena jual beli, tukar menukar, hibah, penyertaan atau pemasukan modal diatur dalam Pasal 37 sampai dengan Pasal 40 Peraturan Pemerintah No. 24 tahun 1997 jo. Pasal 97 sampai dengan Pasal 106 Permen Agraria/Kepala BPN No. 3 tahun 1997. Prosedur pemindahan hak atas tanah karena lelang diatur dalam Pasal 41 Peraturan Pemerintah N0. 24 tahun 1997 jo. Pasal 107 sampai dengan Pasal 110 Permen Agraria/Kepala BPN No. 3 tahun 1997.

Apabila seseorang meninggal dunia, maka putuslah hubungan dengan segala harta bendanya. Harta benda tersebut akan beralih kepada keluarga dan sanak familinya yang disebut ahli waris. A. Pitlo (1979:1) merumuskan bahwa warisan adalah kekayaan yang ditinggalkan oleh simati. Peralihan harta dari pewaris kepada ahli waris itu didasarkan pada aturan hukum yang berlaku. Sumber utama hukum Islam terdapat dalam Al-Quranul Karim, dimana hanya dua masalah saja yang diuraikan agak terperinci, pertama mengenai perkawinan dan yang kedua mengenai kewarisan. Ayat yang pertama turun mengenai kewarisan ialah ayat 7 Surat An-Nisa' yang menyatakan bahwa baik anak laki-laki maupun anak perempuan mendapat bahagian warisan dari harta peninggalan orang tuanya. Wirjono Prodjodikoro (1976:71) memberikan defenisi tentang hukum warisan adalah soal apakah dan bagaimana pelbagai hak-hak dan kewajiban tentang harta kekayaan seseorang pada waktu ia meninggal dunia akan beralih kepada orang lain yang masih hidup. Perincian mengenai warisan tercantum pada surat An-Nisa' ayat 11 dan 12 Hukum kewarisan Islam disebut juga Fara'id yang berarti kewajiban yang harus dilaksanakan, asas hukum kewarisan Islam yang dapat disalurkan dari Al-Quran dan al-Hadits diantaranya adalah ijbari, bilateral, individual, keadilan berimbang, dan akibat kematian. Asas Ijbari yang terdapat dalam hukum kewarisan Islam mengandung arti bahwa peralihan harta dari seseorang yang meninggal kepada ahli warisnya berlaku dengan sendirinya. calon pewaris yaitu orang yang akan meninggal dunia pada suatu ketika, tidak perlu merencanakan penggunaan hartanya setelah ia meninggal dunia kelak, karena dengan kematiannya, secara otomatis hartanya akan beralih kepada ahli warisnya dengan perolehan yang sudah dipastikan. Dalam Hukum Kompilasi Islam, asas ijbari secara umum, terlihat pada ketentuan umum mengenai perumusan pengertian kewarisan, pewaris dan ahli waris. Secara khusus, asas ijbari mengenai cara peralihan harta warisan, juga disebut dalam ketentuan umum tersebut dan pada Pasal 187 ayat (2) yang berbunyi sebagai berikut, "Sisa dari pengeluaran dimaksud di atas adalah merupakan harta warisan yang harus dibagikan kepada ahli waris yang berhak ". Perkataan 'harus' dalam pasal ini menunjukkan asas ijbari itu. Tentang bagian masing-masing ahli waris dinyatakan dalam Bab III, pasal 176 sampai dengan pasal 182. Mengenai siapa-siapa yang menjadi ahli waris disebutkan dalam Bab II, pasal 174 ayat (1) dan (2). Asas Bilateral, berarti bahwa seseorang menerima hak kewarisan dari kedua belah pihak, yaitu dari pihak kerabat laki-laki dan dari pihak kerabat keturunan perempuan. Dalam Kompilasi Hukum Islam dapat dibaca pada pengelompokan ahli waris seperti tercantum dalam pasal 174 ayat (1) yaitu ayah, anak laki-laki, saudara laki-laki, paman dan kakek (golongan laki-laki), serta ibu, anak perempuan, saudara perempuan dan nenek (golongan perempuan) menurut hubungan darah. Dengan disebutkannya secara tegas golongan laki-laki dan golongan perempuan serempak menjadi ahli waris dalam pasal tersebut, jelas asas bilateralnya. Asas Individual, asas ini menyatakan bahwa harta warisan dapat dibagi-bagi pada masing-masing ahli waris untuk dimiliki secara perorangan. Dalam pelaksanaan seluruh harta warisan dinyatakan dalam nilai tertentu yang kemudian dibagikan kepada setiap ahli waris yang berhak menerimanya menurut kadar bagian masing-masing tanpa terikat kepada ahli waris yang lain. Dalam pasal-pasal mengenai besarnya bagian ahli waris dalam Kompilasi Hukum Islam, Bab III Pasal 176 sampai dengan Pasal 180. Dan khusus bagi ahli waris yang memperoleh harta warisan sebelum ia dewasa atau tidak mampu bertindak melaksanakan hak dan kewajiban atas harta yang diperolehnya dari kewarisan, baginya diangkat wali berdasarkan putusan hakim atas usul anggota keluarganya. Hal Ini diatur dalam Pasal 184 Kompilasi Hukum Islam. Asas Keadilan yang Berimbang, asas ini mengandung arti bahwa harus senantiasa terdapat keseimbangan antara hak dan kewajiban, antara hak yang diperoleh seseorang dengan kewajiban yang harus ditunaikannya. Laki-laki dan perempuan misalnya, mendapat hak yang sebanding dengan kewajiban yang dipikulnya masing-masing (kelak) dalam kehidupan keluarga dan masyarakat. Asas ini dalam Kompilasi Hukum Islam terdapat, terutama, dalam pasal-pasal mengenai besarnya bagian yang

12

disebut dalam pasal 176 dan pasal 180. Juga dikembangkan dalam penyesuaian perolehan yang dilakukan pada waktu penyelesaian pembagian warisan melalui pemecahan secara : Aul, dengan membebankan kekurangan harta yang akan dibagi kepada semua ahli waris yang berhak menurut kadar bagian masing-masing. Ini disebutkan dalam Pasal 192 dengan menaikkan angka penyebut sesuai atau sama dengan angka pembilangnya. Radd, mengembalikan sisa (kelebihan) harta kepada ahli waris yang ada sesuai dengan kadar bagian masing-masing. Dalam Kompilasi Hukum Islam dirumuskan dalam Pasal 193, bahwa "Apabila dalam pembagian harta warisan di antara para ahli waris Dzawil furud menunjukkan bahwa angka pembilang lebih kecil daripada angka penyebut, sedangkan tidak ada ahli waris asabah (berhubungan darah karena seklan) maka pembagian harta warisan tersebut dilakukan secara radd, sesuai dengan hak masing-masing ahli waris, sedang sisanya dibagi secara berimbang di antara mereka". Dalam hal ini "tidak dibedakan antara ahli waris karena hubungan darah dengan ahli waris karena hubungan perkawinan". Takharuj atau Tasaluh (damai) berdasarkan kesepakatan bersama. Di dalam Kompilasi Hukum Islam hal ini dirumuskan dalam Pasal 183 bahwa, "Para ahli waris dapat bersepakat melakukan perdamaian dalam pembagian harta warisan, setelah masing-masing menyadari bagiannya". Asas Akibat Kematian, asas yang menyatakan bahwa kewarisan ada kalau ada yang meninggal dunia. Ini berarti bahwa kewarisan semata-mata sebagai akibat dari kematian seseorang. C. PEMBAGIAN WARIS SECARA ADAT ACEH Pembagian harta peninggalan menurut hukum adat Aceh, maka dasarnya adalah istilah perdamaian. Artinya bahwa harta peninggalan itu pengurusannya sesuai dengan prinsip-prinsip yang memberikan rasa damai kepada semua pihak yang berhak atas harta tersebut. Pemecahan harta dalam pandangan tersebut dilakukan dengan berpedoman kepada prinsip kerukunan dan kepatutan. Bilamana diantara para pihak yang berhak atas harta peninggalan terjadi perselisihan yang tidak dapat didamaikan terhadap pembagian, maka pengurusannya diselesaikan dengan mempergunakan prinsip-prinsip yang lebih pasti dalam memecah harta. Jalan yang ditempuh dalam pengurusannya dilakukan dengan mengikuti prinsip-prinsip yang terdapat dalam hukum fiqh dengan tetap memakai azas perdamaian. Tampak bahwa tata cara yang diikuti oleh hukum fiqh yaitu memisahkan harta dalam berbagai macam harta menurut asal-usulnya yang menjadi relevant. Pemisahan pelbagai macam harta untuk menentukan harta yang harus kembali dan harta yang harus dikeluarkan dari tindakan pembagian atau disebut prail. Kedudukan asal usul sangat menentukan pembagian dan pengurusan harta peninggalan, tentunya terdapat perbedaan dengan darah lainnya. Hareuta sihareukat adalah satu nama lain yang diberikan bagi harta dalam keluarga atau harta bersama. Apabila ahli waris lebih dari 1 (satu) orang maka terjadilah pemilikan bersama dari suatu harta warisan yang ditinggalkan oleh pewaris. A.P. Perlindungan (1976:17) menyatakan bahwa pemilikan bersama artinya tidak mungkin harta benda tersebut diasingkan atau dipindah tangankan kepada orang lain tanpa kerjasama seluruh ahli waris. Dengan kata lain satu orang tidak turut serta dalam pengalihan itu maka perbuatan itu menjadi batal. Dalam kebanyakan praktek dilakukan pembagian terhadap hareuta sihareukat ini menjadi dua bagian yang sama. Sistem kewarisan dalam masyarakat adalah sesuai dengan sistem kewarisan dalam al-Qur`an yaitu sistem bilateral atau parental, dimana keturunan yang mendapat harta waris adalah pada garis Bapak atau garis Ibu. Harta kekayaan keluarga yang dapat dibagi waris ada beberapa macam yaitu:

a. Harta warisan seperti hareuta jeumurang. Salah satu jenis hareuta jeumurang adalah areuta peunulang.

b. Harta yang diperoleh suami istri sebelum perkawinan seperti jinamee. c. Harta yang diperoleh suami istri selama dalam ikatan perkawinan yaitu hareuta sihareukat.

Lembaga atau badan yang melaksanakan pembagian waris dalam masyarakat Aceh pada umumnya adalah pewaris sendiri, ahli waris, geutjhik bersama peutua meunasah, imuem mukim dan cerdik pandai, kantor urusan agama kecamatan dan mahkamah syariah. Selanjutnya dalam hal yang menyangkut dengan gerak hidupnya hukum waris dalam masyarakat, lebih cenderung untuk memperlakukan hukum faraidh. Ini membuktikan bahwa hukum faraidh merupakan hukum yang hidup (the lively law) dan telah merupakan adat bagi masyarakat sesuai dengan ungkapan masyarakat ”hukom ngon adat lagee zat ngon sifeuet” yang artinya hukum dengan adat seperti zat dengan sifat.

13

Adanya campuran faraidh dan adat disebabkan oleh pewaris belum menguasai ketentuan hukum faraidh. Dalam hal ini golongan ahli waris sesuai dengan ketentuan hukum faraidh, tetapi besarnya bahagian harta waris tiap ahli waris sesuai dengan hukum adat. Mengenai bentuk-bentuk proses penerusan dan peralihan harta waris dapat dilakukan dengan beberapa cara yaitu, dengan cara menurut ketentuan hukum faraidh dan hukum adat dengan cara wasiat, hibah, peunulang dan sehareukat. Hibah adalah pengeluaran harta semasih hidup atas dasar kasih sayang untuk kepentingan seseorang atau suatu badan sosial. Keagamaan dan ilmiah. Anak angkat dan anak tiri memperoleh sebahagian harta dengan hibah. Sebagian kecil harta yang dihibahkan disebut silapeh gafan. Istilah ini juga berfungsi untuk memperhalus tutur bahasa pada saat hibah dilaksanakan. Wasiat adalah ketetapan seseorang sebelum meninggalnya untuk mengeluarkan sesudah kematiannya sebagian dari harta peninggalannya untuk keperluan orang atau badan yang ditunjuk. Hal ini mungkin disertai pelbagai pesan untuk dan kepada hali waris. Dalam masyarakat wasiat hanya diberikan kepada meunasah. Pemeukleh atau peunulang, adalah upacara pemisahan seorang anak wanita yang telah kawin karena pada mulanya terjadi kehidupan kesatuan ekonomi disebabkan sistem perkawinan yang uxorilokal. Pada saat pemeukleh kepada anak perempuan itu diberikanlah rumah dan kebun atau yang disebut dengan peunulang dan harta itu disebut hareuta peunulang. Harta peunulang ini tetap menjadi milik istri, jika terjadi perceraian. Jika istri meninggal dunia tanpa meninggalkan anak atau cucu maka hareuta peunulang difaraidkan, dimana si suami mendapat ½ bahagian dari hareuta peunulang dan ½ bahagian lagi merupakan kembali kepada pihak keluarga istri. Sihareukat adalah harta yang diperoleh selama dalam ikatan perkawinan. Jika terjadi perceraian atau meninggal dunia harta tersebut dibagi secara seharkat antara pihak suami dan pihak istri. Berkenaan dengan peranan kepala adat dalam peralihan hak atas tanah dimaksudkan agar perbuatan hukum itu mendapat perlindungan hukum dan berlaku terhadap pihak ke-3 (tiga). Soerojo Wignjodipoero (1984:104) perbuatan hukum yang tanpa bantuan penguasa adat dianggap perbuatan melanggar adat, perbuatan demikian disebut perbuatan “peteng” atau “gelap”. Sementara Ter Haar (1982:107) menyatakan tanpa ikut sertanya kepala persekutuan atau tanpa bantuannya, maka perjanjian itu tidak berlaku terhadap pihak ketiga”. Akan tetapi setelah berlakunya Undang-Undang Pokok Agraria, peranan kepala adat dalam urusan tanah mengalami perubahan. Kepala adat tidak lagi memiliki peranan seperti sebelumnya dalam urusan tanah. Berbeda halnya dengan kepala gampong (geutjhik) sebagai perangkat pemerintahan negara dalam beberapa hal, menurut Edy Sriono (1998:79) masih memiliki peranan atau fungsi dalam urusan tanah, yakni (1) menjadi saksi dimuka PPAT terhadap peralihan hak atas tanah yang letaknya diwilayah gampong yang bersangkutan dan (2) membuat surat-surat yang diperlukan bagi suatu peralihan hak atas tanah. Sementara itu Djoko Waliyatun (1997:6-7) menyatakan bahwa peranan kepala gampong (geutjhik) dibidang pertanahan dapat diidentifikasi antara lain (a). mengeluarkan surat keterangan tanah, (b). menjadi saksi dalam perbuatan jual beli tanah yang belum terdaftar (c). berperanan dalam penyelidikan riwayat tanah atau ajudikasi, penyiapan risalah penyelidikan lapangan dalam rangka proses pemberian hak atas tanah negara dan penyediaan tanah, dan (d). mengeluarkan surat keterangan waris. Apabila merujuk pada uraian diatas, kepala gampong (geutjhik) memiliki peranan ganda dalam urusan tanah setelah berlakunya Undang-Undang Pokok Agraria. Dalam kedudukannya sebagai perangkat pemerintahan pemerintahan negara kepala gampong (geutjhik) diberikan peran tertentu dalam urusan tanah. D. PENDAFTARAN PERALIHAN HAK ATAS TANAH Dalam hubungan dengan hukum agraria yang penting adalah apa yang harus dibuat oleh yang menerima warisan hak atas tanah setalah pewaris meninggal dunia. Berdasarkan pada Pasal 20 Peraturan Pemerintah No. 10 tahun 1961 mewajibkan kepada ahli waris untuk mendaftaran dalam jangka waktu 6 bulan setelah pewaris meninggal dunia. Untuk selanjutnya apabila terjadi pembagian warisan diantara ahli waris, maka terhadap pembagian yang mereka lakukan haruslah dibuatkan akta. Effendi Perangin (1986:4) menjelaskan tentang peralihan hak adalah suatu perbuatan hukum yang sengaja dilakukan dengan tujuan agar hak atas tanah beralih dari orang yang mengalihkan kepada orang yang menerima peralihan. Peralihan hak atas tanah mengakibatkan hak atas tanah beralih atau berpindah dari seseorang kepada orang lain dan putus hubungan hukum antara pemilik dengan tanahnya. Mariam Darus Badrulzaman (1983:70) membagi peralihan hak atas benda tetap menjadi 2

14

(dua) bagian peralihan, penyerahan nyata dan penyerahan yuridis. Penyerahan benda tetap terjadi pada saat sebidang tanah atau bangunan diserahkan kedalam kekuasaan pembeli. Penyerahan yuridis terjadi dari serangkaian perbuatan hukum dengan diikuti penyerahan dan pendaftaran hak. Peralihan hak atas tanah mempunyai landasan hukum yang kuat dalam peraturan perundangan yang berlaku. Undang-Undang Pokok Agraria No. 5 tahun 1960 disebutkan dalam pasal-pasal 20, 28, 35 dan 43. Effendi Perangin (1986:2) dalam ketentuan pasal-pasal yang terdapat dalam UUPA terhadap hak milik, hak guna bangunan, hak guna usaha dan hak pakai dapat beralih dan dialihkan kepada orang lain dengan syarat-syarat tertentu. Peraturan Pemerintah No. 10 tahun 1961 tentang pendaftaran tanah jo. Peraturan Pemerintah No. 24 tahun 1997 tentang pendaftaran tanah merupakan penjabaran lebih lanjut dari Pasal 23, 32 dan 38 UUPA, yang menegaskan bahwa pendaftaran tanah diwajibkan bagi para pemegang hak atas tanah. A.P. Parlindungan (1988:2) pendaftaran atas setiap peralihan, penghapusannya dan pembebasan akan banyak menimbulkan komplikasi hukum. Menurut Pasal 1847 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, akta adalah suatu salinan yang memang dengan sengaja dibuat untuk menjadikan bukti tentang suatu peristiwa dan di tandatangani. Prof. R. Subekti (1970:409) apabila terjadi dikemudian hari persengketaan antara pihak-pihak maka tanda tangan yang tertera itu harus disahkan terlebih dahulu maksudnya untuk diakui, ini biasanya disebut akta dibawah tangan. Akta otentik adalah suatu akta yang di dalam bentuk yang ditentukan oleh undang-undang dibuat oleh atau dihadapan seorang pegawai umum yang berwenang untuk itu sebagaimana ketentuan yang di atur dalam Pasal 1868 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata. Wirjono Prodjodikoro (1976:108) akta otentik adalah surat yang dibuat dengan maksud untuk dijadikan bukti oleh atau dimuka seseorang pejabat umum yang berkuasa untuk itu. Pasal 1868 yang pada pokoknya menyatakan bahwa suatu akta otentik adalah akta yang didalam bentuk ditentukan oleh Undang-Undang dibuat oleh dan atau dihadapan yang berwenang untuk itu. Teguh Samudera (1992:39) menyatakan bahwa suatu surat yang dibuat oleh atau dihadapan pegawai umum yang berkuasa akan membuatnya, mewujudkan bukti yang cukup bagi kedua belah pihak dan atau ahli waris serta sekalian orang yang mendapat hak daripadanya yaitu tentang segala hal, yang tersebut didalam surat itu dan juga tentang yang tercantum dalam surat itu sbagai pemberitahuan saja, tetapi yang tersebut kemudian itu hanya sekedar yang diberitahukan langsung berhubungan pada pokok dalam akta. Dari defenisi tersebut dapat disimpulkan pejabat umum adalah Notaris, PPAT, Hakim, Panitera, Juru Sita, Pegawai Pencatatan Sipil. Untuk surat-surat yang dibuat oleh atau dihadapan pejabat yang merupakan akta otentik adalah akta notaries, akta PPAT, vonis, surat berita acara siding, proses verbal persitaan, akta kelahiran, dan surat kematian. Pasal 1874 KUH Perdata ayat 1 menyatakan bahwa sebagai tulisan-tulisan dibawah tangan dianggap akta-akta yang ditandatangani dibawah tangan, surat-surat, register-register, dan lain-lain tulisan yang dibuat tanpa perantara seorang pegawai umum. Ada kekhususan menyangkut dengan akta dibawah tangan dimana terhadap akta itu sendiri harus ditulis tangan oleh sipenandatangan atau setidak-tidaknya selain tanda tangan memuat jumlah dan besaranya. Akta dibawah tangan merupakan suatu permulaan pembuktian dan untuk menjadi bukti yang lengkap harus ditambah dengan bukti yang lain. Akta otentik merupakan suatu yang sangat penting bila dihubungkan dengan pemindahan hak milik seseorang terhadap suatu barang tertentu yang menjadi miliknya. E. PENGAMBILALIHAN HAK ATAS TANAH Pengertian pengambilalihan hak atas tanah adalah kegiatan melepaskan hubungan hukum antara pemegang hak atas tanah dengan tanah yang dikuasainya dengan memberikan ganti kerugian atas dasar musyawarah. Hubungan hukum hak atas tanah yang dihakinya atau yang dikuasainya dikenal dalam Undang-Undang Pokok Agraria maupun hak adat. Pemberian ganti kerugian dari pelepasan hak adanya prinsip menghormati hak yang sudah ada. Keabsahan pelaksanaan pengambilalihan hak atas tanah didasarkan pada kesepakatan antara pemegang hak atas tanah atau yang menguasainya dengan pihak yang akan memperoleh tanah atau yang membutuhkan tanah. Dalam proses pengambilalihan hak atas tanah secara hukum materiil yang mengatur hal pengambilalihan adalah hukum perjanjian dalam hukum perdata. Ini berarti bahwa bagi sahnya perbuatan hukum pengambilalihan berlaku antara lain syarat-syarat yang telah ditentukan dalam hukum perjanjian. Hak-hak dan kewajiban para pihak, termasuk perlindungan hukum yang tersedia bagi mereka masing-masing. Nursyahbani Katjasungkana (1989:55) menjelaskan tentang sejarah pengambilalihan hak atas tanah dimulai dari Bijblad No. 11372 tahun 1927 dan No. 12746 tahun 1932 yang memberikan dasar legitimasi bagi pemerintah kolonial untuk memperoleh tanah milik rakyat, membuka jalan bagi pemerintah untuk menjadi pemilik baru atas tanah-tanah rakyat. Konsep pemerintah sebagai pemilik atas tanah tersebut

15

sejalan dengan azas hukum agraria kolonial yang membenarkan negara mempunyai hak atas tanah atau disebut azas domein. Setiap akan dilakukan pengambilalihan hak demi kepentingan umum, ada kegiatan terlebih dahulu yang yang harus dilakukan adalah prosedur perolehan tanah dimulai dengan menentukan lokasi dari kegiatan pembangunan, instansi yang memerlukan mengajukan permohonan penetapan lokasi, yang dilengkapi dengan lokasi tanah, luas, dan gambar kasar tanah yang diperlukan. Dilanjutkan dengan penyuluhan kepada pemilik tanah, dengan melibatkan peran tokoh masyarakat dan pimpinan informal masyarakat. Abdurrahman (1985:189) berpendapat, inventarisasi dan penelitian ini tidak saja harus dilakukan secara objektif akan tetapi juga harus melihat dan mempertimbangkan berbagai faktor yang mempengaruhi. Dengan penelitian yang objektif diharapkan akan adanya perlindungan dan penghargaan terhadap rakyat. Faktor yang terpenting yang memperngaruhi menentukan besaran atau ganti kerugian adalah lokasi tanah, status penguasaan atau jenis hak atas tanah, dan peruntukan tanah. Penetapan ganti kerugian dilakukan berdasarkan musyawarah antara para pihak. Musyawarah yang disyaratkan dalam Keppres didefenisikan sebagai sebuah proses atau kegiatan saling mendengar dengan sikap saling menerima pendapat dan keinginan yang didasarkan atas kesukarelaan antara para pihak untuk memperoleh kesepakatan mengenai bentuk dan besarnya ganti kerugian. Menurut Maria S.W. Sumardjono (1996:8) harus didasarkan atas azas kesejajaran antara 2 (dua) pihak melalui proses yang berupa dialog bebas dari tekanan apapun. Kualitas musyawarah amat menentukan hasil akhirnya. Walaupun secara formalitas atau prosedural musyawarah memenuhi syarat, tetapi apabila keputusan yang dihasilkan dilandasi oleh adanya tekanan maka tidak dapat dikatakan telah tercapai kesepakatan, karena tekanan itu merupakan perwujudan dari pemaksaan kehendak atau cacat. Dalam pelaksanaan musyawarah harus diperhatikan tentang kesediaan pemegang hak atas tanah untuk melepaskan secara sukarela atas tanah. Dalam hal ini pemerintah harus membuka peluang terlibatnya tokoh-tokoh masyarakat dan tokoh informal untuk ikut memberikan penjelasan-penjelasan kepada masyarakat pemilik. Hal yang dimusyawarahkan adalah besaran ganti kerugian, yang merupakan imbalan yang diterima oleh pemegang hak atas tanah dan wajib diberikan oleh instansi yang memerlukan tanah. Pemilik hak atas tanah terlebih dahulu untuk menyampaikan keinginan mengenai bentuk dan besaran ganti kerugian. Inisiatif untuk menawar harga tanah justruk datang dari pemilik, bukan dari pemerintah. Sehubungan dengan penetapan ganti kerugian tersebut A.P. Parlindungan (1993:55) berpendapat hanya sayangnya dalam ganti kerugian ini tidak juga diperhitungkan kerugian karena perpindahan ketempat lain atau kehilangan pencaharian ditempat yang lama. Semua kriteria penentu ganti kerugian dan faktor-faktor yang dapat mempengaruhi harga tanah itu dimaksudkan sebagai upaya untuk mewujudkan keadilan dan merupakan manifestasi penghormatan hak-hak individu yang telah dikorbankan untuk kepentingan umum yang lebih besar. Boedi Harsono (1995:5) keadilan itu baru dapat dikatakan telah terwujud secara nyata apabila keadaan sosial ekonomi pemegang hak sesudah pengambilalihan tanah tidak menjadi lebih mundur dibandingkan keadaan sebelumnya. Jika pemegang hak atas tanah telah menyetujui keinginan pemerintah, atau disebut mencapai kesepakatan, maka panitia mengeluarkan putusan tentang bentuk dan besarnya ganti kerugian. Apabila tidak tercapai persetujuan, musyawarah tetap dilanjutkan sampai terjadi kesepakatan. Menurut Maria. S.W. Sumarjono (1994:4) ganti kerugian dapat disebut adil apabila hal tersebut tidak membuat seseorang menjadi lebih kaya atau sebaliknya menjadi miskin dari keadaan semula. Pemegang hak yang keberatan dengan keputusan panitia, dapat mengajukan keberatan kepada gubernur disertai dengan alasan-alasannya. gubernur dapat mengukuhkan keputusan dan penetapan panitia dan atau mengubahnya. F. PEWARISAN TIDAK MENINGGALKAN AHLI WARIS ATAU TIDAK DIKETAHUI Menurut Kompilasi Hukum Islam Pasal 191 menyatakan bahwa bila pewaris tidak meninggalkan ahli waris sama sekali, dan atau ahli warisnya tidak diketahui keberadaannya, maka harta tersebut atas putusan Pengadilan Agama diserahkan penguasaannya kepada Baitul Maal untuk kepentingan agama Islam dan kesejahteraan umum. Baitul maal Nanggroe Aceh Darussalam dibentuk berdasarkan surat keputusan Gubernur Nanggroe Aceh Darussalam No. 18 Tahun 2003 Tanggal 16 Juli 2003 yang terdiri dari Badan Baitul Maal dan Dewan Syar'iyah Baitul Maal. Sementara itu jenjang organiasasi dari Baitul Maal telah memiliki otonomi pada masing-masing tingkat pemerintahan yang dalam pengertiannya adalah baitul maal propinsi

16

berkedudukan di Banda Aceh, baitul maal kabupaten/kota berkedudukan di kabupaten atau kota yang bersangkutan sedangkan Badan Baitul Maal gampong berkedudukan di setiap gampong. Dilain sisi masyarakat Aceh pada umumnya menganut paham mahzab Syafi'I yang menerangkan bahwa harta tanpa ahli waris diserahkan kepada Baitul Maal kecuali Baitul Maal tidak ada atau tidak berfungsi baru bisa dialihkan kepada kerabat lainnya (Dzawil Arham). Merujuk pada fatwa Majelis Permusyawaratan Ulama Aceh No Nomor 3 Tahun 2005 jo. Fatwa Majelis Permusyawaratan Ulama Jakarta No. 2 Tahun 2005 yang menyatakan bahwa Tanah dan harta benda yang ditinggalkan korban gempa dan gelombang tsunami yang tidak meninggalkan ahli waris adalah menjadi milik umat Islam melalui Baitul Maal.

17

III. METODE PENELITIAN

A. Rancangan Penelitian

Penelitian ini merupakan penelitian deskriptif analitis, yang dimaksud untuk menjelaskan dan mengkaji secara objektif terhadap perlindungan hak atas tanah, dan pengakuan hak kebendaan dalam proses pendaftaran permohonan hak ataupun pengantian sertifikat atas tanah korban tsunami yang diikuti dengan peralihan atas hak pemilikan tanah, serta pengaturan dan penawaran yang setimpal ganti kerugian pengambilalihan hak atas tanah dalam pembangunan rekonstruksi demi kepentingan umum. B. Lokasi Penelitian dan Penentuan Gampong Sampel Penelitian dilaksanakan dalam 4 (empat) dusun gampong Alue Naga, dusun Musafir, dusun Bunot, dusun podiamat dan dusun Kutaran kecamatan syiah kuala kota Banda Aceh. Penentuan dusun sampel ini dilakukan secara sengaja (purposive sampling). Pertimbangan utama ditetapkannya gampong tersebut sebagai lokasi penelitian adalah karena telah dilakukan register dan ajudikasi terhadap penyelenggaran pendaftaran hak atas tanah, dan terjadi pengambilalihan hak atas tanah. C. Populasi dan Teknik Pengambilan Sampel Populasi untuk penelitian ini adalah seluruh kepala keluarga yang berdiam di dusun-dusun dalam gampong Alue Naga yang ditetapkan sebagai lokasi penelitian. Awal rancangan penelitian ini dikerjakan, besarnya sampel yang dipilih 20 % dari total populasi jumlah kepala keluarga dengan distribusi sampel sebagaimana diperlihatkan pada tabel.

Tabel 1. Jumlah sampel menurut dusun di gampong Alue Naga

No. Nama Dusun Jumlah KK Jumlah Sampel

1 Musafir 168 KK 34 KK

2 Bunot 68 KK 14 KK

3 Podiamat 55 KK 20 KK

4 Kutaran 300 KK 60 KK

Total 591 KK 119 KK Sampel dipilih dengan menerapkan cara stratified cluster sampling dan snowballing sampling, dengan mempergunakan kuesioner secara random berbentuk terbuka, berisi daftar pertanyaan choose dan essay untuk mengungkap data yang berkenaan dengan proses pendaftaran permohonan hak ataupun penguasaan fisik atas tanah dan pemahaman, pengetahuan tentang sertifikat hak atas tanah yang dimiliki, terdapat keseragaman yang tinggi terhadap jawaban yang diberikan. Karena itu jumlah sampel dari keempat (4) dusun tersebut dianggap telah mencukupi. Disamping sampel, data penelitian juga diperoleh dari informan yaitu ketua tim ajudikasi VII, Project Manager Ralas Badan Pertanahan Nasional, camat Syiah Kuala, geutjhik Alue Naga, Keluarga Alm. Twk. Musa, imeum meunasah gampong, ulee-ulee dusun Musafir, Bunot, Kutaran dan Podiamat. D. Teknik Pengumpulan Data

Data yang dipakai untuk penelitian ini ada dua (2) jenis, yaitu data sekunder dan data primer. Data sekunder diperoleh dengan mempelajari bahan-bahan yang sifatnya tertulis, baik dalam bentuk asli maupun olahan. Bahan-bahan ini diperoleh di perpustakaan, Tim ajudikasi VII, Badan Pertanahan Nasional Prop. NAD, dan kantor geutjhik. Data primer diperoleh dengan melakukan in-depth interview dengan subyek penelitian. Pertanyaan yang diajukan selama wawancara adalah pertanyaan-pertanyaan berdasarkan hak pemilikan atas tanah pasca tsunami gampong Alue Naga yang mengacu pada ketentuan Peraturan Pemerintah No 24 tahun 1997 tentang pendaftaran beserta peraturan pelaksana yang telah disusun sebelumnya dalam bentuk terbuka dan tertutup. Kombinasi dua bentuk pertanyaan itu dibuat dengan tujuan untuk memperoleh

18

jawaban-jawaban individual, yang mungkin berbeda satu dengan lainnya dan membiarkan subyek untuk meyampaikan jawabannya tanpa intervensi peneliti. Disamping dengan wawancara maka data primer juga digali melalui pengamatan langsung yaitu dengan mengunjungi 4 (empat) dusun. Dalam pengamatan ini peneliti terlebih dahulu bertatap muka dengan geutjhik, imeum meunasah, ulee-ulee dusun yang sekaligus melakukan interview. Pada saat yang sama peneliti juga melakukan tanya jawab informal dengan warga dusun yang ditemui. Fokus pengamatan terutama ditujukan kepada kepemilikan atas tanah, faraidh terhadap tanah warisan dan proses register serta ajudikasi. E. Pengolahan dan Analisis Data Pengelolahan dan analisis data dilakukan secara kualitatif. Pengelolahan data dimulai dilakukan saat peneliti masih berada dilapangan. Pada tahap awal peneliti membagikan kuisioner kepada kepala dusun untuk dibagi dan dijawab oleh warga masyarakat, kemudian diteliti apakah seluruh jawaban itu telah mencover masalah penelitian atau belum. Selanjutnya dilakukan stratifikasi terhadap arsip berkas permohonan hak yang diajukan kepada tim ajudikasi, yang berkaitan dengan permohonan hak pada penyelenggaran pendaftaran tanah. Pengolahan data tahap kedua, kegiatan ini dilakukan pembagian terhadap berkas permohonan yang tidak dilakukan pembagian harta (faraidh), ketidak lengkapan permohonan, tidak teridentifikasi pemilik hak atas tanah, dan klasifikasi hak atas tanah. Kemudian periksa kembali menyangkut dengan kelengkapan, kejelasan serta relevansi dengan penelitian ini. Data tersebut dibuat dalam bentuk table dan dianalisis secara kualitatif dengan mendasarkan pada peraturan perundang-undangan.

19

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN A. REGISTER dan AJUDIKASI 1. REGISTER DAN AJUDIKASI PENDAFTARAN PERMOHONAN HAK ATAUPUN PENGANTIAN

SERTIFIKAT.

a. Prosedural Penyelenggaran Pendaftaran Secara Sistematik.

Badan Pertanahan Nasional adalah lembaga negara yang paling berwenang memberikan kepastian hukum akan hak atas tanah dan perlindungan atas pengakuan hak tersebut. Badan Pertanahan Nasional melalui MDTF (Multi Donor Trust Fund) telah mendapatkan bantuan dana hibah guna melakukan kegiatan yang dimulai dari rekonstruksi penataan letak dan atau penetapan tanda batas-batas persil bidang tanah, pengukuran persil bidang, penelitian data yuridis atau kebenaran dari bukti-bukti permohonan pendaftaran hak, peralihan atas hak pemilikan tanah akibat pewarisan dan perwalian yang dilanjutkan dengan persidangan pengesahan dan penerbitan sertifikat hak atas tanah, yang terkuat dan terpenuhi, melalui pendaftaran tanah secara sistematik. Pendaftaran tanah secara sistematik adalah kegiatan pendaftaran tanah untuk pertama kali yang dilakukan secara serentak yang meliputi semua objek pendaftaran tanah yang belum didaftar dalam wilayah atau bagian wilayah suatu gampong atau kelurahan. Prosedur dan sistem penerbitan sertifikat hak pasca tsunami tidak sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Ajudikasi adalah kegiatan yang dilaksanakan dalam rangka proses pendaftaran tanah untuk pertama kali, meliputi penetapan batas-batas dan pemasangan tanda batas bidang tanah, pengukuran luas bidang tanah, pengumpulan dan penetapan kebenaran data fisik dan data yuridis mengenai satu atau beberapa objek pendaftaran melalui penelitian dengan membuat berita acara hasil penelitian. Pendaftaran tanah secara sistematik diatur dengan Peraturan Pemerintah No. 24 tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah, yang dilaksanakan dengan Peraturan Menteri Negara Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional No. 3 tahun 1997 tentang Pelaksanaan Peraturan Pemerintah No. 24 tahun 1997. diatur dalam Bab III Pasal 46. Cara kerja penyelenggaraan pendaftaran tanah secara sistematik seharusnya, adalah aktif mendatangi masyarakat dengan didahului melalui penyuluhan kepada para pemohon hak yang akan diselenggarakan pendaftaran. Penyuluhan hukum bertujuan untuk memberitahukan kepada para pemegang hak atas tanah atau yang menguasai tanah beserta pihak-pihak yang berkepentingan akan didaftar dan diterbitkan sertifikat hak atas tanahnya. Responden di lokasi pendaftaran tanah secara sistematik menyatakan bahwa kegiatan tim ajudikasi sangat kurang untuk melakukan penyuluhan dan memberikan informasi terhadap pelaksanaan pendaftaran hak atas tanah. Pasal 56 ayat 1, paragraf 6, Permeneg No. 3 tahun 1997 tentang Ketentuan Pelaksanaan Peraturan Pemerintah No. 24 tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah, sebelum dimulainya ajudikasi, diadakan penyuluhan diwilayah atau bagian wilayah gampong/kelurahan yang bersangkutan mengenai pendaftaran tanah secara sistematik oleh Kepala Kantor Pertanahan dibantu Panitia Ajudikasi berkoordinasi dengan instansi yang terkait yaitu: a) Pemerintah Daerah Tk. II; b). Kantor Departemen Penerangan Kabupaten/Kota; c). Kantor Pelayanan Pajak Bumi dan Bangunan; d). Kantor Kecamatan; e). Instansi lain yang dianggap perlu. Selanjutnya dalam ayat 2 menyebutkan, penyuluhan sebagaimana dimaksud pada ayat 1 bertujuan memberitahukan kepada pemegang hak atau kuasanya atau pihak lain yang berkepentingan bahwa di gampong/kelurahan tersebut akan diselenggarakan pendaftaran tanah secara sistematik dan tujuan serta manfaat yang akan diperoleh dari hasil pendaftaran tanah tersebut. Seharusnya sebelum terlaksananya kegiatan pendaftaran atas tanah, memberikan penyuluhan hukum yang menjelaskan tentang: rangkaian kegiatan pendaftaran tanah secara sistematik, alat-alat bukti kepemilikan untuk pengisian form atau blangko, lain hal yang dibutuhkan sebagai dasar hak pendaftaran tanah dan menjelaskan status hak atas tanah milik, tanah Negara atau jual beli, terakhir jangka waktu penyelesaian sertifikat. Penyelenggaraan pendaftaran tanah secara sistematik berdasarkan juklak yang diterbitkan oleh Kepala Badan Pertanahan Nasional No. 114-II-2005, tanggal 21 Juni 2005, merupakan persyaratan dan prosedur dalam rangka pelaksanaan pendaftaran tanah yang hanya berlaku untuk wilayah Nanggroe Aceh Darussalam. Apabila kita mengkaji kedudukan dan kewenangan Kepala Badan dalam mengeluarkan kebijakan adalah sangat bertentang dengan tugas dan fungsi. Kepala Badan hanya dapat mengeluarkan peraturan-peraturan yang bersifat kebijaksanaan teknis. Peraturan-peraturan pelaksanaan dari perundang-undangan yang lebih tinggi derajatnya atau sebagai pelaksanaan dari kebijaksanaan yang digariskan oleh Presiden.

20

Pembentukan tim Ajudikasi dalam rangka rekonstruksi system administrasi pertanahan dalam pendaftaran tanah secara sistematik berdasarkan Keputusan Kepala Badan Pertanahan Nasional, dan yang menanda tangani adalah sekretaris utama. Dalam Pasal 8 ayat 1 Peraturan Pemerintah No 24 tahun 1997 tentang pendaftaran tanah menyatakan Panitia Ajudikasi dalam melaksanakan pendaftaran secara sistematik dibentuk oleh Menteri atau pejabat yang ditunjuk. Selanjutnya dalam Pasal 48 ayat 1 paragraf 3, menyatakan Panitia ajudikasi dalam pendaftaran tanah secara sistematik yang dilaksanakan dalam program Pemerintahdan Satgas yang membantunya dibentuk oleh Menteri untuk setiap gampong/kelurahan yang sudah ditetapkan sebagai lokasi pendaftaran tanah secara sistematik. Penunjukan wilayah yang terkena dampak gempa bumi dan gelombang tsunami di Propinsi Nanggroe Aceh Darussalam sebagai lokasi pendafataran tanah secara sistematik ditetapkan oleh Keputusan Kepala Badan Pertanahan Nasional, No. 137-X-2005 tanggal 19 Juli 2005. Dalam Pasal 46 ayat 1 menyatakan bahwa yang menetapkan lokasi pendaftaran tanah secara sistematik adalah Menteri atas usulan Kepala Kantor Wilayah. Penafsiran pasal 46 ayat 1 adalah penetapan dimaksud merupakan kewenangan dan kedudukan seorang Menteri bukan Kepala Badan. Dalam Keputusan Presiden No. 95 tahun 2000 tentang Badan Pertanahan Nasional, jo. keputusan Presiden No. 11 tahun 2005 tentang Kedudukan, Tugas, Fungsi, Kewenangan, Susunan Organisasi dan Tata Kerja Lembaga Pemerintah Non Departemen adalah Badan Pertanahan dibawah koordinasi Menteri Dalam Negeri. Pengambilalihan kewenangan ini sangat bertentangan dengan isi pasal 46 ayat 1 jo. Pasal 13 ayat 2 Peraturan Pemerintah No. 24 tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah, yang menyebutkan pendaftaran secara sistematik didasarkan pada suatu rencana kerja dan dilaksanakan di wilayah-wilayah yang ditetapkan oleh menteri. Dalam rekonstruksi pertanahan pasca tsunami di gampong Alue Naga yang sekarang sedang berlangsung adalah penerbitan sertifikat hak atas tanah yang merupakan faktor paling penting dalam rekonstruksi, baik perumahan maupun prasarana umum lainnya. Tim ajudikasi VII dalam kecamatan Syiah Kuala yang bertanggungjawab melakukan pendaftaran tanah secara sistematik, terdiri dari 20 (dua puluh) orang dengan mengingat volume pendaftaran hak atas tanah yang berjumlah 1040 persil bidang tanah terdiri dari tanah hak milik, hak guna bangunan, tanah wakaf, tanah umum atau gampong serta tanah negara dan tidak termasuk pengukuran diatas tanah tambak di gampong Alue Naga. Pada awal dimulainya kegiatan pendaftaran hak atas tanah oleh tim ajudikasi anggota tim ajudikasi tidak dilakukan pelantikan dan diangkat sumpahnya. Seharusnya demi keberhasilan pendaftaran tanah secara sistematik yang menelan biaya sangat besar ini didahului dengan memberikan penyuluhan hukum baik secara langsung maupun tidak langsung kepada masyarakat gampong. Banyak persil bidang tanah yang masih belum dilakukan pendaftaran hak karena belum terdaftarnya persil bidang tanah tersebut, maka tidak dengan mudah diketahui status hukum tanah, siapa yang menguasai dan menghakinya, beban diatasnya, luas dan batas-batasnya yang pasti. Penyuluhan hukum dimaksud bertujuan untuk memberitahukan kepada masyarakat para pemegang hak atas tanah atau yang menguasai tanah ataupun pada pihak-pihak yang berkepentingan bahwa bidang tanah akan didaftar dan diterbitkan sertifikat hak atas tanahnya. Dengan menguraikan prosedur pembuktian hak, proses perjalanan register dan ajudikasi sampai dengan penerbitan sertifikat. Dalam Pasal 49 ayat 1 Permeneg No. 3 tahun 1997, menyatakan sebelum melaksanakan tugasnya para anggota panitia ajudikasi dan satgas wajib menganggkat sumpah dihadapan Kepala Kantor Pertanahan setempat. Untuk selanjutnya dalam ayat 2, menyatakan bentuk dan isi sumpah sebagaimana dimaksud pada ayat 1 dibuat sesuai dengan contoh sebagaimana tercantum dalam lampiran 10 dalam Permeneg ini. b. Penyelenggaraan Register dan Ajudikasi Tanah Secara Sistemtik Dalam hal melakukan pengukuran dan rekonstruksi ataupun penataan letak dan atau penetapan tanda batas-batas persil bidang tanah gampong Alue Naga hanya didampingi dan ditunjuk berdasarkan pada keterangan kepala dusun yang merupakan anggota tim ajudikasi. Begitu juga dengan pengumpulan data yuridis dilakukan oleh para anggota, tim ajudikasi, yang bertugas mengumpulkan surat bukti pemilikan atas tanah yang diajudikasi, berupa surat blangko/form data yuridis yang sebelumnya telah dibagikan oleh tim ajudikasi kepada geutjhik. Pasal 1865 KUH Perdata, menyatakan bahwa setiap orang yang mendalilkan bahwa ia mempunyai sesuatu hak, atau guna menaguhkan haknya sendiri, mampu membantah sesuatu hak orang lain menunjuk pada suatu peristiwa, diwajibkan membuktikan adanya hak atau peristiwa tersebut. Dalam pelaksanaan pengumpulan data yuridis ditemukan berbagai hal untuk menentukan status hukum tanah atau disebut alas hak, antara lain:

21

1. Dalam penetapan tanda-tanda batas persil bidang tanah tidak dituangkan dalam suatu berita acara

yang ditanda tangani oleh para pemegang hak atas tanah yang berbatasan. Pembuktian dengan tulisan dibawah tangan dan apa yang termuat didalam tulisan hanya sebagai penuturan belaka, maka itu hanya dapat berguna sebagai permulaan pembuktian dengan tulisan. Akta dibawah tangan ini tidak memberikan pembuktian untuk menguntungkan sipembuat dan pembuktian dengan saksi-saksi diperkenankan dalam segala hal dimana itu tidak dikecualikan oleh undang-undang.

2. Dalam pengisian blangko/form yang telah dibagi pada pemegang hak alas banyak pemohon hak

berdasarkan pada harta warisan, ataupun perwalian dimana tidak dilengkapi dengan pembuktian ahli waris dan pembagian warisan, serta penetapan perwalian. Pasal 1866 KUH Perdata menyatakan sebagai alat-alat bukti terdiri dari:

a). bukti tulisan b). bukti dengan saksi-saksi c). persangkaan-persangkaan d). pengakuan e). Sumpah

3. Dalam penyertaan surat pernyataan penguasaan fisik tidak dilakukan dengan dan dilengkapi document tertulis pengangkatan sumpah atas penguasaan fisik pemegang hak, yang disaksikan oleh tetua adat dan 2 (dua) orang saksi yang tidak mempunyai hubungan kekeluargaan dengan pemohon hak sampai derajat kedua.

Berdasarkan pada wawancara dengan para responden, diketahui saksi perangkat gampong dalam hal ini Imeum Maunasah hanya menanda tangani surat pernyataan penguasaan fisik dan pemasangan tanda batas dilakukan di barak atau gubuk, dan sampai dengan sekarang masyarakat tidak mengetahui bahwa proses register dan ajudikasi pendaftaran tanah telah selesai masa pengumuman, setelah di cek langsung kepada geutjhik oleh peneliti bahwa pengumuman tersebut disimpan, bukan ditempelkan pada papan pengumuman atau tempat-tempat lain yang dapat dibaca oleh masyarakat pemegang hak atas tanah dan atau pihak yang mempunyai kepentingan. Dari hasil di stratifikasi data permohonan hak disajikan pada table 2, berikut:

Table. 2. Kelengkapan para pihak atas kebenaran pernyataan penguasaan fisik

dan pemasangan tanda batas bidang tanah gampong Alue Naga kecamatan Syiah Kuala kota Banda Aceh

(Pada kegiatan pendaftaran tanah secara sistematik tim ajudikasi 2005)

No Nama Dusun Tanpa Saksi Keluarga Saksi berbatasan Saksi perangkat Gampong

1 Kutaran 13 berkas pemohon hak

Hanya mencantumkan

nama

3 pemohon tidak ditanda tangani oleh Keuchik

2 Musafir 30 berkas pemohon hak Idem Ada semua

3 Bunot 26 berkas pemohon hak Idem Ada semua

4 Podiamat Lengkap keseluruhan Idem Ada semua

Sumber: Hasil di stratifikasi data permohonan hak Pada table diatas terlihat bahwa prosedur pengisian surat pernyataan penguasaan fisik yang dihimpun dalam penyelenggaraan registrasi dan ajudikasi pendaftaran secara sistematik, tidak berdasarkan pada kesepakatan para pihak pemilik tanah, dalam menentukan fisik lokasi, penataan batas-batas dan atau penetapan tanda batas persil bidang tanah dimana para pemohon hak, saksi yang berbatasan dan tim ajudikasi, terlihat tidak dilakukan secara nyata. Dalam hal penetapan batas bidang-bidang tanah baik yang telah terdaftar dan atau belum dipunyai dengan sesuatu hak berdasarkan pada penunjukan batas oleh para pemegang hak atas tanah. Penetapan batas-batas bidang tanah sedapat mungkin disetujui oleh para pihak pemegang hak atas tanah yang berbatasan, dituangkan dalam suatu berita acara yang ditanda tangani oleh para pihak dimaksud yang memberikan persetujuan. Kegiatan persetujuan ini sesuai dengan Pasal 19, 20,21,22 dan

22

23 Peraturan Pemerintah No. 24 tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah. Persetujuan dimaksud agar menghindari persengketaan batas dan kekurang luas dan panjang tanah bertetangga, pada saat diterbitkan sertifikat. Untuk keperluan penelitian data yuridis bidang-bidang tanah dikumpulkan alat-alat bukti yang menyangkut dengan kepemilikan atau penguasaan tanah. Alat-alat bukti tertulis maupun bukti tidak tertulis berupa keterangan saksi dan atau keterangan yang bersangkutan, ditunjukan oleh pemegang hak atas tanah atau kuasanya. Dalam pasca tsunami dan menurut syaratan dan prosedur dalam juklak/manual pendaftaran tanah yang dikeluarkan oleh Badan Pertanahan, hanya berdasarkan pada formulir surat pernyataan pemasangan tanda batas dan penguasaan fisik. Penafsiran Pasal 24 paragraf I ayat 1 Peraturan Pemerintah No. 24 tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah, menyebutkan yang dimaksud dengan alat-alat bukti adalah bukti-bukti tertulis, keterangan saksi dan atau pernyataan yang bersangkutan menurut kadar kebenarannya oleh Panitia Ajudikasi dalam pendaftaran tanah secara sistematik, dianggap cukup untuk mendaftar hak, dan hak-hak pihak lain yang membebaninya. Selanjutnya apabila menafsirkan Pasal 60 ayat 3 Permeneg No. 3 tahun 1997, menguraikan dari Peraturan Pemerintah, apabila bukti kepemilikan tidak lengkap atau tidak ada, pembuktian hak atas bidang tanah itu dapat dilakukan dengan bukti lain yang dilengkapi dengan pernyataan yang bersangkutan dan keterangan yang dapat dipercaya dari sekurang-kurangnya 2 (dua) orang saksi dari lingkungan masyarakat setempat yang tidak mempunyai hubungan darah dengan yang bersangkutan sampai derajat kedua. Keterangan saksi atau pernyataan yang bersangkutan mengenai pemilikan atas tanah hanya berfungsi menguatkan dan atau pengganti bukti tertulis yang tidak ada lagi, kedudukan saksi adalah orang yang cakap memberikan kesaksian dan mengetahui dengan benar asal usul riwayat atas tanah. Seharusnya surat pernyataan dimaksud dapat dilakukan dengan pengakuan dibawah sumpah sebagai alat bukti yang syah. Hal ini diatur dalam RBG atau hukum acara perdata. Menurut peneliti kekuatan hukum yang terdapat dalam formulir yang dikeluarkan oleh Badan Pertanahan Nasional tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat. Surat pernyataan bukan merupakan unsur pembuktian materil dan kekuatan hukum formil selaku alat bukti, artinya apa yang telah diterangkan dalam surat pernyataan tersebut adalah benar tetapi tidak berlaku terhadap pihak ketiga. Dalam hukum formil surat pernyataan hanya mempunyai sebagai alat bukti pelengkap saja, sepanjang pihak-pihak lain dapat membuktikan terhadap hak atas tanah tersebut. Menyangkut dengan pernyataan mengenai kedudukan sebagai pemegang hak dan apabila dikemudian hari atau terbukti bahwa pernyataan tersebut tidak benar, maka pemberi pernyataan dapat dilakukan tindakan pidana atas perbuatannya memberikan pernyataan palsu sebagaimana diatur dalam pasal 242 KUH Pidana. Hal ini menyangkut dengan pertanggungjawaban terhadap kebenaran materiil dokumen pendukung kepemilikan hak atas tanah. Data fisik (hasil pengukuran) dan data yuridis yang telah dikumpulkan oleh panitia ajudikasi dalam menilai kebenaran blangko atau form dan atau bukti lainnya, tim ajudikasi atau kepala kantor pertanahan melakukan penelitian data yuridis atas kebenaran hal-hal mengenai objek dan subyek pemohon hak yang dituangkan dalam berita acara dan telah selesai disidangkan dan dirangkumkan dalam daftar isian 201(c), diumumkan selama 30 hari dikantor gampong/Keuchik dan posko tim ajudikasi VII. Apabila jangka waktu telah habis dan tidak ada yang mengajukan sanggahan atas hasil peta bidang-bidang tanah dan daftar isian 201 (c), maka tim ajudikasi dapat melakukan persidangan untuk mengesahkan dan dibuatkan dalam suatu berita acara yang merupakan dokument untuk menerbitkan sertifikat hak atas tanah. Setiap persil bidang tanah yang batas maupun pemegang haknya telah ditetapkan, haknya dibukukan atau didaftarkan dalam buku tanah. Pengisian buku tanah ini pada dasarnya sama dengan pengisian buku tanah sporadic, perbedaannya hanya dalam hal penandatanganan karena dalam pendaftaran tanah sistematik ini seharusnya penandatanganannya dilakukan oleh ketua tim ajudikasi, tetapi dalam program penyelenggaraan pendaftaran tanah secara sistematik ini sebaliknya yang menandatangani adalah kepala kantor pertanahan kota Banda Aceh. Sertifkat yang diterbitkan dilampiri surat ukur yang menguraikan hak atas tanahnya telah terdaftar pada buku tanah. Surat ukur berisi informasi dan diagram garis mengenai bentuk persil bidang tanah pemegang hak dan sejumlah identifikasi mengenai bidang-bidang tanah yang bersebelahan. Hal ini dilakukan setelah sidang tim ajudikasi.

Table. 3.

23

Identifikasi pemilik atas tanah gampong Alue Naga kecamatan Syiah Kuala Kota Banda Aceh (Pada kegiatan pendaftaran tanah secara sistematik tim ajudikasi 2005)

No Nama Dusun Tidak diketahui

Pemilik (persil bidang)

Belum dilakukan Faraidh

(persil bidang)

Diketahui pemilik (persil bidang)

Total (persil bidang)

1. Musafir 20 68 127 215

2. Bunot 27 13 58 98

3. Podiamat 0 3 56 59

4. Kutaran 451 14 173 638

Jumlah 498 98 414 1010

Sumber: tim ajudikasi dalam peta pengukuran. Dari gambaran table diatas terlihat bahwa terdapat objek persil bidang tanah yang sampai dengan sekarang tidak diketahui subyek hak atas tanah, dalam kegiatan pendaftaran tanah secara sistematik yang dilakukan oleh tim ajudikasi, dan belum dilakukan penetapan selaku subjek waris ataupun faraidh terhadap objek atas tanah yang dilakukan pendaftaran. 2. HAMBATAN PELAKSANAAN PENDAFTARAN TANAH SECARA SISTEMATIK DALAM

MENYELENGGARAKAN PERMOHONAN HAK Kesulitan-kesulitan tim ajudikasi VII kecamatan Syiah Kuala gampong Alue Naga dusun Kutaran, dusun Bunot, dusun Musafir dan dusun Podiamat dalam melaksanakan tugasnya adalah:

1. Pemegang hak sebagian besar tidak ada dan tidak mendampingi sewaktu penetapan tanda batas persil bidang tanah.

2. Ditemukan kesulitan oleh sebagian masyarakat dalam penandatangganan saksi-saksi dan pemegang hak yang berbatasan dengannya.

3. Kepedulian masyarakat selaku pemegang hak terhadap pelaksanaan pendaftaran tanah kurang merespon.

4. Dalam menentukan tanda batas-batas persil bidang tanah pemegang hak dan perangkat gampong tidak secara nyata dilakukan dilapangan hanya menunjukan tanda batas-batas persil bidang tanah penunjukan lisan.

5. Ada beberapa objek bidang persil tanah yang subyeknya tidak dikenal oleh Keuchik atau perangkat gampong dimana objek tanah dilakukan ajudikasi.

Untuk mengatasi kesulitan-kesulitan tersebut tim ajudikasi mengambil langkah-langkah sebagai berikut:

1. Untuk sementara ini yang dapat dilakukan oleh tim ajudikasi adalah hanya sekedar melayani apa yang ada tanda batas dan yang ditunjukan berdasarkan penunjukan secara lisan oleh kepala dusun.

2. Untuk sampai dengan saat ini yang dilakukan oleh tim ajudikasi sebatas menerima apa adanya baik yang ada tanda tangan maupun yang tidak ada tanda tangan.

3. Sampai dengan saat ini yang dapat dilakukan oleh tim ajudikasi menyampaikan pesan lisan kepada pemohon yang datang untuk menyampaikan kepada tetangga pemegang hak yang berbatasan.

4. Tim ajudikasi apabila tidak mengetahui tentang pemilikan memberikan tanda tersendiri atas bidang pengukuran.

5. Pemohon hak meminta kepada kepala dusun untuk menyaksikan letak dan batas-batas objek atas tanah.

3. PENDAPAT MASYARAKAT TENTANG RANGKAIAN KEGIATAN PENDAFTARAN TANAH SECARA

SISTEMATIK Responden pada umumnya menyatakan pendaftaran tanah secara sistematik sangat bermanfaat dengan berbagai alasan. Memiliki sertifikat adalah sesuatu yang didambakan masyarakat pemilik tanah sebagai tanda bukti pemilikan hak atas tanah yang sah dan akan menjamin kepastian hukum. Berbagai kesulitan yang dihadapi oleh masyarakat, antara lain berkenaan dengan:

24

1. Pengadaan bukti-bukti pemilikan dan penguasaan atas tanah. Para pemilik mengisi blangko atau form yang diberikan oleh tim ajudikasi dan untuk mencari tanda tangan pemegang hak bertetangga yang berada diluar daerah sangat sulit.

2. Warisan yang belum dibagi Hal ini terjadi karena pewarisan belun diadakan pembagian sesuai dengan peraturan pertanahan sehingga pemilikan atas tanah masih tertera atas nama pewaris. Pasal 573 KUH Perdata menyebutkan membagi sesuatu kebendaan yang menjadi milik lebih dari satu orang, harus dilakukan menurut aturan-aturan yang ditentukan tentang pemisahan dan pembagian harta peninggalan. Penuntutan hak waris harus mengajukan penetapan waris kepengadilan Mahkamah Syari`ah Banda Aceh. Pengajuan penetapan waris ini untuk menghindari perselisihan dikemudian hari. Ketentuan yang mengangkut dengan hal pembagian waris harus dilihat dalam Pasal 176 sampai dengan 185 Kompilasi Hukum Islam, serta surat edaran No. 2 tahun 1994 Mahkamah Agung RI.

3. Perwalian Bagi ahli waris yang belum berhak melakukan perbuatan hukum atau cakap hukum dapat mempertahankan haknya dengan wali terlebih dahulu. Setelah ditunjuk seorang wali barulah wali itu yang akan bertindak atas nama ahli waris yang bersangkutan. Pengajuan penetapan wali juga diajukan kepengadilan Mahkamah Syar`iah Banda Aceh. Kegiatan dan prosedur ini tidak dilakukan dan kenyataan kesepakatan wali hanya didasarkan pada kesepakatan yang terdapat dalam blangko yang diberikan oleh Badan Pertanahan Nasional berdasarkan Manual Pendaftaran Tanah.

4. Menempelkan photo dalam surat pernyataan penguasaan fisik. Hak atas tanah responden yang dimohonkan proses sertifikat hak dalam pendaftaran tanah secara sistematik dapat diklasifikasikan adalah sebagai berikut:

Table 4. Klasifikasi pemilikan tanah pada masyarakat Alue Naga

Kecamatan Syiah Kuala kota Banda Aceh (Pada kegiatan pendaftaran tanah secara sistematik 2005)

Pemilikan Atas Tanah

No Nama Dusun Negara-Pemda-Umum

(persil bidang) Tanah Warisan (persil bidang)

Hak Milik/HGB (Persil bidang)

Total (Persil Bidang)

1 Musafir 11 68 147 226

2 Bunot 2 13 85 100

3 Podiamat 6 3 53 62

4 Kutaran 11 14 624 649

Total 30 98 912 1040

Sumber : Peta Pengukuran dan wawancara responden Keterangan: tanah umum terdiri dari : tanah sekolah SD/TK, mesjid, tanah wakaf, tanah kuburan, puskesmas. Dalam table diatas memberikan gambaran atas hak pemilikan responden yang dilakukan register sertifikat dalam pendaftaran tanah secara sistematik, dari total 1040 bidang persil terdapat 30 persil bidang berstatus tanah negara, 912 persil bidang tanah berstatus hak milik dan 98 persil bidang yang belum dilakukan faraidh dan masih dicantumkan atas nama pemilik asal. Dalam melakukan pengumpulan data yuridis dan penyelidikan terhadap objek dan subyek hak, pegawai ajudikasi harus mengetahui dan mencatat status hukum dari objek-objek hak yang melekat dari riwayat atau asal usul hak. Sampai dengan saat ini sanggahan dari para pemegang hak belum ada melakukan, terhadap pengumuman yang dilakukan dari hasil pemetaan dan pengukuran dalam gampong Alue Naga. Pendaftaran tanah sebenarnya tidak hanya semata-mata untuk mencapai kepastian hukum ataupun sebagai barang bukti. Pendaftaran tanah terkait sebagai sarana pendukung pembatasan pemilikan dan penguasaan atas tanah. 4. TANGGUNGJAWAB PELAKSANAAN PENDAFTARAN TANAH SECARA SISTEMATIK DALAM

MENYELENGGARAKAN PENDAFTARAN TANAH.

25

Tim ajudikasi dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya bertanggungjawab kepada kepala kantor pertanahan. Secara yuridis Keuchik dan Perangkat Gampong diangkat sebagai anggota tim ajudikasi dan harus tunduk pada semua peraturan perundang-undangan tentang pendaftaran tanah. Tim ajudikasi dalam melaksanakan tugas dan wewenang bertanggungjawab terhadap kepala kantor pertanahan. Secara kedinasan tim ajudikasi berada dibawah pengawasan langsung kepala kantor pertanahan, hal ini diperlakukan yang sama terjadi pada geutjhik dan perangkatnya yang diangkat menjadi anggota panitia ajudikasi dalam melaksanakan penyelenggaraan pendaftaran tanah secara sistematik digampongnya. Kepala kantor pertanahan tidak mempunyai wewenang memberikan sanksi kepada tim ajudikasi dan termasuk kepada Keuchik yang dalam melaksanakan tugasnya mengabaikan atau melanggar hukum. Dalam melaksanakan tugasnya tim ajudikasi bertanggungjawab kepada kepala kantor pertanahan. Bentuk pertanggungjawaban ini dalam melaksanakannya hanya terbatas menyampaikan laporan, terdiri dari laporan fisik yaitu kegiatan yang telah dilaksanakan dalam ajudikasi, prosentase kegiatan dan hambatan atau kendala yang ditemukan dalam penyelenggaraan pendaftaran sistematik.

B. PENGATURAN DAN PENAWARAN YANG SETIMPAL GANTI KERUGIAN PENGAMBILALIHAN HAK ATAS TANAH DALAM PEMBANGUNAN DEMI KEPENTINGAN UMUM.

1. Pelaksanaan Pengadaan Tanah. Pengaturan pengambilalihan hak atas tanah milik warga gampong Alue Naga bagi pelaksanaan pembangunan untuk kepentingan umum dilakukan dengan cara pelepasan atau penyerahan hak. Walaupun sempat terjadi konflik antara kontraktor sebagai pekerja dengan pemilik tanah, dalam hal mendirikan tanggul pemecah ombak dan membendung agar air dari lautan tidak sampai kedaratan. Untuk pembangunan proyek tersebut dilakukan secara sepihak oleh satker Badan Rehabilitasi dan Rekonstruksi pada dinas sumber daya air Nanggroe Aceh Darussalam dan kontraktor pelaksana PT. Waskita Karya dengan panjang tanggul 4.350 meter yang meliputi 3 gampong, Lampulo, Deah Raya dan Alue Naga. Tidak dilakukan penyuluhan dan inventarisasi terhadap objek pengambilalihan menimbulkan konfik, masyarakat dari ketiga gampong mempertanyakan hal ini kepada instansi terkait dengan cara lisan dan membuat surat tentang ganti kerugian terhadap pengambilalihan atas tanah. Pada tanggal 11 Maret 2006 setelah panitia pengadaan tanah terbentuk para pihak pemilik tanah dipanggil untuk didengar pendapatnya tentang bentuk ganti kerugian kompensasi harga per-meter luas tanah. Pada umumnya tanah-tanah yang dibebaskan tersebut berupa tanah lahan tambak dengan status hak milik dan adat. Penguasaan lahan tambak dikuasai oleh masyarakat secara perorangan. Panitia pengadaan tanah tidak meminta kepada para pemilik tanah untuk hadir pada saat pengukuran, sehingga pemilik tanah tidak mengetahui akan dilakukan pengukuran terhadap tanahnya. Sebagian besar pemilik 80 % dari 39 pemilik tanah yang menjadi responden tidak mengetahui sama sekali adanya pengukuran. Sedangkan 20% lagi mengetahui kegiatan pengukuran karena diberitahukan oleh orang lain yang sedang melakukan aktivitas disekitar itu. Hal ini mengandung protes dari para pihak pemilik dan meminta dilakukan pengukuran ulang, dan para pemilik menyiapkan dokument kepemilikan dan menetapakan tanda batas berupa patok. Selain itu panitia pengadaaan tanah tidak meminta bukti-bukti atau dokument kepemilikan tanah langsung kepada pemilik ataupun melalui kepala gampong, panitia hanya berpedoman pada keterangan yang diberikan oleh geutjhik secara lisan. Terhadap peristiwa ini para pemilik meminta kepada panitia untuk dapat berhubungan langsung dengan para pemilik. 2. Upaya dan penyelesaian pengambilalihan atas tanah. Adanya berbagai hambatan dalam pelaksanaan pengadaan tanah menimbulkan ketidakpastian dalam menetapkan harga kompensasi dan penetapan para pemilik tanah dengan Panitia Pengadaan Tanah. Hambatan itu terjadi karena berbagai sebab: a. Kesalahan pengukuran

Pelaksanaan inventaris para pemilik tanah dilakukan oleh panitia yang disaksikan oleh geutjhik tanpa diikutsertakan para pemilik tanah sehingga hasil inventarisasi tidak objektif. Artinya terdapat data

26

hasil inventarisasi yang tidak sesuai dengan keadaan di lapangan, luas tanah kurang dari yang sebenarnya. b. Penetapan harga

Dalam menetapkan besarnya ganti kerugian atas tanah, panitia pengadaan tanah tidak setuju dengan permintaan dan penawaran para pemilik tanah. Perhitungan yang didapat dalam perhitungan panitia adalah 15 meter ditarik dari titik nol tanggul, ke dalam dengan harga kompensasi Rp. 80.000,-/meter. Sedangkan titik nol keluar dari tanggul sampai dengan sekarang tidak mencapai kesepakatan antara para pemilik di gampong Alue Naga dan Deah Raya. Panitia pengadaan mengembalikan kepada para pemilik agar melakukan musyawarah terhadap harga kompensasi yang dihitung dari titik nol keluar tanggul, untuk kemudian dibawa dalam musyawarah Panitia Pengadaan Tanah. c. Pembayaran terbatas pada tanah-tanah yang digunakan untuk pembangunan tanggul.

Panitia pengadaan tanah sampai dengan sekarang tidak dapat membuat penetapan harga kompensasi dan jumlah pembayaran dikarenakan panitia beranggapan bahwa tanah diluar tanggul adalah tanah musnah. Sedangkan tanah-tanah yang terletak antara tanggul dengan tepi pantai yang panjangnya antara 50 sampai dengan 60 meter tidak dilakukan pembayaran ganti kerugian. Tanah-tanah ini yang dulunya bekas lahan tambak tidak dapat digunakan lagi karena telah didirikan tanggul yang tingginya antara 2 sampai dengan 3 meter, dan terjadinya kikisan pantai akibat mendirikan tanggul diatas daratan pantai. Kegunaan tanggul tidak dapat menjamin keutuhan pantai karena dalam topografi iklim di Alue Naga sering terjadi perubahan arah angin, di mana pada angin barat terjadi penimbunan dan pada musim timur terjadi pengikisan. Dengan sendirinya kekuatan tanggul tersebut tidak ada jaminan pada waktu pengikisan dan tidak dapat digunakan sebagai penahan ombak. Akibat kerugian yang sangat besar ini para pemilik tanah merasa keberatan dengan mengajukan keberatan secara tertulis kepada Walikota Banda Aceh dengan tembusan instansi yang terkait lainnya disamping pelaksana dan penanggungjawab proyek. Panitia merespon keberatan para pemilik dan memerintahkan kepada kepala kantor Badan Pertanahan Nasional kota Banda Aceh untuk melakukan pengukuran terhadap tanah yang diluar tanggul.

V. KESIMPULAN DAN SARAN

A. Kesimpulan

1) Sertifikat sebagai tanda bukti hak pemilikan atas tanah sebelum tsunami masih tetap berlaku dan mempunyai kekuatan hukum tetap. Dalam melakukan kegiatan registrasi dan ajudikasi pejabat dan pegawai pertanahan tidak berdasarkan pada Peraturan Pemerintah No. 24 tahun 1997 tentang pendaftaran tanah jo. Permeneg No 3 tahun 1997 tentang ketentuan pelaksana Peraturan Pemerintah No. 24 tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah. Sertifikat yang diterbitkan oleh pendaftaran secara sistematik pasca tsunami tidak memberikan kepastian hukum karena tata cara penyelenggaraan dan prosedural pendaftaran tanah secara sistematik, tidak memenuhi syarat hukum dan penerbitan hak atas tanah cacat hukum karena tidak mempunyai payung hukum yang sah.

2) Adanya peralihan hak atas tanah yang berdasarkan pewarisan tidak berdasarkan pada penetapan

waris dan atau tidak dilakukan secara faraidh dengan melihat kedudukan dan asal usul perolehan tanah. Peralihan hak atas tanah yang dilakukan pendaftaran tidak sesuai dengan ketentuan Pasal 37 tentang Peralihan Hak Peraturan Pemerintah No. 24 tahun 1997 tentang Pendaftaran tanah.

3) Dalam pemberian hak atas tanah negara dengan sesuatu hak tidak terlihat prosedural dan

mekanisme sesuai dengan Kepmeneg No 5 tahun 1999 dan perhitungan BPHTB atau pembayaran uang pemasukan.

4) Masih terdapat ketidak tahuan subyek hak dan atau tidak teridentifikasi pemilikan hak atas tanah. 5) Pengambilalihan hak atas tanah demi kepentingan umum untuk pembangunan tanggul pengaman

pantai, belum dilakukan secara prosedural dan atau tidak sesuai dengan Keputusan Presiden No. 36 tahun 2005. tidak dilakukan inventarisasi dan penyuluhan diawal pengadaan tanah dengan melibatkan tokoh masyarakat. Inventarisasi terjadi pembangunan tanggul telah selesai dibuat, sehingga dalam pengukuran dan pemetaan atas tanah tidak objektif dan menimbulkan kerugian para pihak pemilik.

B. Saran

27

1. Untuk menyelesaian atas hak milik tanah pasca tsunami guna jaminan kepastian hukum ataupun

perlindungan yang efektif terhadap hak pemilikan atas tanah, dibutuhkan payung hukum setingkat Perpu yang mengatur tentang prinsip pendaftaran tanah, pengakuan hak, pemberian hak, tanah musnah dan peralihan hak atas tanah akibat pewarisan dan atau perwalian.;

2. Harus dilakukan penetapan pewaris dan atau faraidh harta pewaris oleh Mahkamah Syariah kota

Banda Aceh.; 3. Sebelum dilakukan kegiatan register dan ajudikasi Perangkat gampong atau gampong yang nota

bene sebagai tim ajudikasi sebaiknya diberikan pelatihan dan pengarahan yang sejelasnya tentang penyelesaian pertanahan dalam gampongnya dan mekanisme prosedural pendaftaran tanah secara sistematik.;

4. Pengambilalihan hak atas tanah harus memperhatikan akibat yang timbul dari pengambilalihan dan

lebih mengkedepankan prosedural dan lebih memberikan kepastian hukum sesuai dengan Perpres No. 36 tahun 2005.

28

DAFTAR PUSTAKA

Abdul Wahid Selayan, 1990. Hukum Perdata. Bintang, Medan.

A. Pitlo, 1976. Hukum Waris, Alih Bahasa, M. Isa Arief. Inter Masa, Jakarta

Aminullah, 1991, Suatu Tinjuan Tentang Penguasaan Atas Tanah Bekas Hak Erfpacht Alue Naga Oleh

Masyarakat Kecamatan Syiah Kuala Kotamadya Banda Aceh, Skripsi Fakultas Hukum,

Universitas Syiah Kuala, Darussalam, Banda Aceh.

Abdurrahman, 1983, Masalah Pencabutan Hak-Hak Atas Tanah dan Pembebasan Tanah di Indonesia,

Alumni, Bandung.

Ali Achmad Chomzah, 2002. Hukum Pertanahan. Prestasi Pustaka Publisher. Jakarta

Bachtiar Effendie. 1993. Pendaftaran Tanah di Indonesia dan Peraturan Pelaksanaannya. Alumni.

Bandung.

Effendi Perangin, 1986. Hukum Agraria Indonesia Suatu Telaah dari Sudut Pandang Praktisi Hukum. CV.

Rajawali. Jakarta

Harsono, Boedi, 1997, Sejarah Penyusunan, Isi dan Pelaksanaannya Hukum Agraria Indonesia, Jilid 1,

Djambatan, Jakarta.

Henry Lie A. Weng, 1970. Dictat Hukum Perdata. Senat Fakultas Hukum & Pengetahuan Masyarakat

USU. Medan.

K. Wancik Saleh.1982. Hak Anda Atas Tanah. Ghalia Indonesia. Jakarta

Mariam Darus Badrulzaman, 1983. Mencari Sistem Hukum Benda Nasional. Alumni. Bandung

Parlindungan, A.P., 1993, Pencabutan dan Pembebasan Tanah, Suatu Perbandingan, Mandar Maju,

Bandung

-------------------------, 1976. Pedoman Pelaksanaan UUPA dan Tatacara PPAT. Medan.

R. Subekti. Prof. 1970, Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, Pradya Paramita, Jakarta

Sumarjono Maria S.W., 1994, Ganti Rugi Dalam Pengadaan Tanah, Kompas, Jakarta

-----------------------------, 1996, Kepentingan Umum Bukan Kepentingan Si Polan, Kompas, Jakarta.

Teguh Samudera, 1992, Hukum Pembuktian Dalam Acara Perdata, Alumi Bandung

Wirjono Prodjodikoro, 1976, Hukum Waris Indonesia, PN Sumur, Bandung.

Undang- Undang

1. Undang-Undang Dasar 1945

2. Undang-Undang Pokok Agraria No. 5 tahun 1960

3. Peraturan Pemerintah No. 24 tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah

4. Keppres No. 36 tahun 2005 tentang Pengadaan Tanah Bagi Pelaksanaan Pembangunan Untuk

Kepentingan Umum.

5. Permeneg No 3 tahun 1997 tentang Ketentuan Pelaksanaan Peraturan Pemerintah No. 24 tahun

1997

6. Permeneg No. 4 tahun 1994 tentang ketentuan Pelaksanaan Keppres No. 55 tahun 1993 tentang

Pengadaan Tanah Bagi Pelaksanaan Pembangunan untuk Kepentingan Umum.

7. Kompilasi Hukum Islam

29

1. Fatwa Majelis Permusyawaratan Ulama Jakarta Menetapkan Fatwa No. 2 Tahun 2005 yang menyatakan bahwa: a. Tanah milik orang yang mati dengan tidak mempunyai ahli waris adalah menjadi milik umat

Islam, melalui Baitul Maal. b. Gugatan hak milik dan gugatan kewarisan atas tanah korban tsunami hanya diterima dalam

waktu 5 (lima) tahun sejak musibah tsunami terjadi dan setelah itu dinyatakan lewat waktu (taqadum, kedaluarsa).

c. Bagi anak yang belum dewasa, ketika musibah tsunami terjadi, hak mengajukan gugatan ini diperpanjang sampai subject tersebut berumur 19 (sembilan belas) tahun.

d. Majelis permusyawaratan ulama mengusulkan kepada Pemerintah atau Mahkamah Agung agar memerintahkan Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT) untuk tidak menerima permintaan transaksi pengalihan hak atas tanah korban tsunami apabila keberadaannya dan batas-batas tanah tersebut belum jelas, serta alat bukti yang diajukan tidak syah atau belum memadai.

e. Apabila terjadi sengketa pewarisan, kepemilikan atas tanah, hadhanah dan penetapan nasab, menjadi kewenangan Mahkamah Syari'ah.

2. Fatwa Majelis Purmusyawaratan Ulama Provinsi Nanggro Aceh Darussalam

Menetapkan fatwa Nomor 3 Tahun 2005 Tentang Perlindungan Hak Atas Tanah, Hak Nasab Bagi Anak Yatim, Hak Istri dan Waris Mafqud Akibat Gempa dan Gelombang Tsunami 1. Hak Atas Tanah

Pertama : Hak milik atas tanah dan harta benda wajib dilindungi sesuai dengan syariat Islam;

Kedua : Tanah dan harta benda yang ditinggalkan korban gempa dan gelombang tsunami yang tidak meninggalkan ahli waris adalah menjadi milik umat Islam melalui Baitul Maal;

Ketiga : Gugatan hak milik dan kewarisan atas tanah (korban gempa dan gelombang tsunami) dapat diajukan ke Mahkamah syar'iyah dengan penyertaan alat bukti yang syah;

2. Hak Atas Nasab dan Pemeliharaan

Pertama : Hukum memelihara anak yatim adalah fardhu kifayah atas umat Islam; Kedua : Hukum memindahkan atau menyembunyikan nasab (asal usul) seseorang adalah

haram dan tidak sah; Ketiga : Anak yatim yang tidak ada lagi wali nasab, atau washi dapat ditetapkan

pengasuhnya oleh Mahkamah Sya'iyah dengan biaya dari Baitul Maal kalau anak tersebut tidak memiliki biaya hidup dan Mahkamah Syar'iyah berkewajiban mengawasi pelaksanaanya;

3. Hak Istri dan Ahli Waris Orang Mafqud (Hilang)

1. Istri mafqud karena gempa dan gelombang tsunami dapat mengajukan perkara ke Mahkamah Syar'iyah untuk memperoleh ketetapan bahwa suaminya telah meninggal dunia.

2. Iddah bagi isteri yang suaminya ditetapkan meninggal dalam gelombang tsunami dengan keputusan Mahkamah Syar'iyah, dimulai dari waktu penetapan atau waktu mati yang ditetapkan.

3. Harta peninggalan orang mafqud (hilang) tidak boleh difaraidhkan sebelum ada saksi atas kematiannya atau ketetapan Mahkamah Syar'iyah menyatakan bahwa yang bersangkutan telah meninggal dunia.

4. Kesaksian

Memberikan kesaksian oleh mereka yang mengetahui keadaan yang sebenarnya atas tanah atau nasab, atau mafqud pasa saat diperlukan hukumnya adalah wajib;

5. Kewenangan Mahkamah Syar'iyah

Kewenangan menyelesaikan sengketa hak milik dan kewarisan atas tanah, sengketa nasab dan mafqud adalah kewenangan Mahkamah Syar'iyah.

Appendix 1. Fatwa Ulama

30

Kuisioner Nama : No. KTP : Tanda Tangan : 1. Apakah saudara mengerti apa yang sedang dilakukan oleh Badan Pertanahan Nasional di gampong

anda? A. Ya B. Tidak

2. Apakah saudara ikut mendampingi dan menunjukkan tanda batas terhadap tanah yang dimohonkan

hak? A. Ya B. Tidak

3. Apakah anda setuju dengan usulan relokasi warga Alue naga pasca tsunami?

A. Ya B. Tidak 4. Apakah terhadap tanah yang saudara mohonkan hak akan didirikan rumah?

A. Ya B. Tidak

5. Bagaimana status kepemilikan tanah saudara sebelum tsunami, apakah hak milik? A. Ya B. Tidak

6. Apakah menurut saudara proses permohonan hak yang diajukan ajudikasi berbelit-belit? A. Ya B. Tidak

7. Apakah permohonan penerbitan sertifikat atas hak tanah saudara mendapatkan sanggahan dari

pihak lain? A. Ya B. Tidak

8. Apakah permohonan yang saudara ajukan merupakan harta pemilikan anda sendiri?

A. Ya B. Tidak

9. Apakah saudara mengerti tentang Rekontruksi yang dilakukan di Aceh saat ini? A. Ya B. Tidak

10. Apakah sebelum tsunami saudara memiliki sertifikat hak atas tanah yang anda mohonkan? A. Ya B. Tidak

Essay

1. Uraikan asal usul riwayat hak atas tanah yang saudara mohonkan hak kepemilikan saat ini? .....................................................................................................................

2. Apa anda bersedia untuk kembali ke gampong asal anda Alue Naga nantinya, Jelaskan?

.....................................................................................................................

.........................................

Kerangka in-depth interview Register dan Ajudikasi tanah Pasca Tsunami Gampong Alue Naga. Tingkat Kecamatan. 1. Dalam rangka register dan ajudikasi yang dilakukan oleh Badan Pertanahan Nasional dalam wilayah

Kecamatan Bapak, apakah dapat menguraikan gambaran presentase sertifikat yang telah diterbitkan sebelum pasca tsunami? Baik dengan program prona maupun individu? Sejak menjadi camat dan bertindak selaku PPAT, berapa banyak transaksi jual beli tanah untuk gampong Alue Naga yang Bapak lakukan akta jual-beli sebelum tsunami dan sesudah tsunami? Sebagai suatu gambaran presentase dapatkah Bapak memperkirakan berapa banyak akta hibah, pembagian waris atau yang berhubungan dengan pengesahan terhadap tanah yang akan dilakukan register dan ajudikasi khusus gampong Alue Naga dalam 4 dusun?

Appendix 2. Questioner

31

2. Dalam hubungan dengan semua jenis akta tanah yang berbeda apakah Bapak pernah melakukan penyesahan terhadap keterangan ahli waris, atau keterangan selaku wali? Selama Bapak menjabat selaku Camat apakah pernah melakukan penyelesaian sengketa atau konflik pertanahan dalam wilayah gampong Alue Naga secara perdamaian dalam tingkat kecamatan?

3. Apakah Bapak mengerti dan mengetahui duduk perkara atas terjadinya overlapping terhadap kepemilikan atas tanah didusun Kutaran Gampong Alue Naga?

Tingkat Tim Ajudikasi 1. Tolong Bapak uraikan atas pelaksanaan penyelenggaraan pendaftaran tanah secara sistematik

dalam wilayah Gampong Alue Naga khususnya dan Kecamatan Syiah Kuala umumnya dimulai dari awal sampai dengan selesaian tim yuridis melakukan persidangan atas pengumuman hasil verifikasi dan pengukuran bidang tanah? Apakah dalam proses penyelenggaraan pendaftaran tanah secara sistematik terdapat hambatan atau terjadinya perselisihan tanda batas-batas persil bidang? Siapakah yang lebih berperan dalam kegiatan yuridis pemilikan atas tanah pengisian blangko? Apakah dalam akhir atau dalam masa pengumuman pemilikan bidang tanah terdapat sanggahan dari para pihak? Apa kadar kebenaran pembuktian atas pemilikan tanah? Apakah mekanisme atau proses penyelenggaraan pendaftaran tanah telah memenuhi apa yang terurai dalam Peraturan Pemerintah No. 24 tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah jo Permeneg No. 3 tahun 1997 tentang peraturan pelaksana Peraturan Pemerintah No 24 tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah? Apakah yang dilakukan oleh tim register dan ajudikasi terhadap tanah yang tidak dilakukan pengklaiman atau tidak dikenali pemegang hak atas tanah?

2. Sebelum dilakukan pengukuran dan pengumpulan data yuridis apa yang dilakukan oleh tim yuridis

dan tim teknis terhadap anggota satuan tugas (geutjhik, tuha peut, imeum meunasah) dalam hal penyelenggaraan pendaftaran tanah? Berapa lama tim teknis pengukuran melakukan kegiatannya dalam gampong Alue Naga dan berapa lama tim data yuridis mengumpulkan data-data yang berkaitan dengan pembuktian hak? Apa yang ditemukan dalam data yuridis pemegang hak atau apakah permohonan hak telah memenuhi pembuktian untuk diterbitkan sertifikat?

3. Apakah terhadap kegiatan ajudikasi ini telah dilakukan pengangkatan sumpah dan dilakukan

pelantikan oleh Kepala Kantor Badan Pertanahan Nasional? Siapakah yang menanda tanggani Sertifikat hak milik?

Tingkat Manager Ralas Badan Pertanahan Nasional 1. Seperti diketahui bahwa kegiatan pendaftaran tanah secara sistematik adalah cacat hukum, apa

tanggapan Bapak? Bagaimana terhadap bidang persil tanah yang telah memiliki hak sertifikat dan telah memiliki Nomor Induk Bidang (NIB)? Bagaimana terhadap bidang tanah yang sebelum tsunami telah diikat dan atau telah dibebani dengan hak tanggungan atau hipotek? Apakah Bapak mengerti bahwa kegiatan register dan ajudikasi menyimpang dari Peraturan Pemerintah No. 24 tahun 1997 tentang Pendaftaran tanah?

2. Apa tanggapan Bapak dengan terbitnya Surat Keputusan Kepala Badan Pertanahan Nasional No. 114-II-2005, tanggal 21 Juni 2005? Kenapa terhadap Tim ajudikasi tidak dilakukan Penganggkatan Sumpah dan dilakukan pelantikan?

Tingkat Masyarakat dan Kepala Dusun 1. Sebagaimana diketahui bahwa sekarang sedang berlangsung kegiatan penyelenggaraan pendaftaran

tanah secara sistematik, apakah sebelum kegiatan tersebut dilakukan pertemuan atau penyuluhan terhadap pelaksanaan? Kalau ada, berapa kali dilakukan? Apakah dalam tim teknis pengukuran bidang tanah masyarakat pemilik atas tanah dan tetangga berbatasan mengikuti tim dan atau mendampingi dan membuat kesepakatan batas-batas bidang tanah? Siapakah yang mengarahkan atau yang memberitahukan cara pengisian blangko yang telah diberikan sebagai pemohon hak? Bagaimana terhadap tanah yang dilakukan peralihan hak karena pewarisan? Bagaiman peran dari masing-masing tuha peut, geutjhik dan imeum meunasah dalam hal faraidh harta warisan? Dan bagaimana terhadap harta anak yatim piatu dalam kaitan dengan pendaftaran dan permohonan hak? Apakah banyak masyarakat yang terlibat dalam hal penyelenggaraan pendaftaran tanah yang dilakukan oleh Badan Pertanahan Nasional?

2. Dalam melakukan proses ini apakah Badan Pertanahan Nasional membuat urusan menjadi berbelit-belit? Apakah dalam hal pengukuran maupun pengisian blangko yang diberikan oleh Badan Pertanahan Nasional telah dijelaskan terlebih dahulu dan apakah masyarakat sangat mengerti?

3. Hal-hal apakah masyarakat merasas keberatan dalam proses ini? Apakah semua masyarakat ikut terlibat dalam mengikuti dan respon terhadap kegiatan Badan Pertanahan Nasional ini? Apa yang

32

menjadi kendala dalam masyarakat dalam mengikuti dan mengajukan permohonan hak? Apakah dalam dusun saudara ada sengketa masalah pertanahan, baik kepemilikan maupun waris dan batas-batas tanah?