Upload
lyhanh
View
217
Download
0
Embed Size (px)
Citation preview
STRATEGI WACANA SEKOLAH RUMAH:
Studi Awal tentang Sekolah Rumah KerLip
Irsyad Ridho
1. Pendahuluan
Ada satu cerita di tengah Kongres III Federasi Guru Independen Indonesia (FGII)
yang diadakan di kota Makassar pada bulan Juli yang lalu.1 Tengah malam telah
lewat, tapi 52 orang guru yang merupakan para pimpinan organisasi/serikat guru dari
11 propinsi yang bergabung dalam FGII itu masih terus memperdebatkan perubahan
pasal-pasal dalam anggaran dasar FGII. Ketika tiba pada usulan perubahan pasal
tentang prinsip keberimbangan jumlah delegasi laki-laki dan perempuan dalam
kongres, muncul beberapa suara yang tidak setuju. Terjadilah perdebatan yang agak
lama sampai-sampai ketua sidang yang kebetulan seorang laki-laki itu ikut pula
berargumen bahwa kecilnya delegasi guru perempuan dalam kongres ini disebabkan
oleh kesalahan perempuan itu sendiri karena cenderung menarik diri dari forum
publik. Mendengar komentar tersebut, suasana menjadi makin riuh dan seorang
delegasi guru perempuan dari Jakarta langsung angkat bicara. “Interupsi, Saudara
Ketua! Komentar Anda sangat bias jender. Saya tidak setuju!”
1 FGII adalah organisasi guru yang dideklarasikan pendiriannya pada tanggal 17 Januari 2002 di Tugu Proklamasi Jakarta. Di samping sebagai organisasi profesi, FGII juga resmi terdaftar sebagai serikat pekerja. Dalam profilnya, tertulis bahwa “federasi ini merupakan himpunan dari berbagai organisasi guru di Indonesia yang lahir di era reformasi politik Indonesia sebagai wujud kesadaran para guru untuk membebaskan dirinya dari sistem lama yang tidak memberi ruang demokrasi bagi masyarakat termasuk guru. Kelahiran Federasi juga tidak terlepas dari kenyataan bahwa organisasi profesi guru yang ada selama pemerintahan Orde Baru dinilai tidak memperjuangkan nasib guru dan sudah menjadi bagian dari sistem birokrasi yang tidak memberi ruang demokrasi bagi guru.” Saat ini organisasi guru yang tergabung dalam FGII berjumlah 37 organisasi guru yang tersebar di 11 propinsi. Hasil kongres III yang baru lalu kembali memilih Suparman, seorang guru di SMA 17 Jakarta, sebagai ketua umumnya.
1
Seseorang yang angkat bicara itu adalah Yanti Sriyulianti, seorang aktivis
sekolah rumah (homeschooling), yang di kalangan para aktivis pendidikan lebih
dikenal sebagai Yanti Kerlip karena identitas dirinya sudah sulit dipisahkan dari
organisasi yang bernama KerLip, akronim dari Keluarga Peduli Pendidikan. Melalui
tulisan ini, sebagian cerita hidupnya hendak saya posisikan dalam konstelasi
perubahan kebijakan pendidikan dan gerakan pendidikan sejak Reformasi. Saya
sengaja memulai tulisan saya dengan kejadian di kongres FGII itu untuk memberi
gambaran yang relatif terbaru tentang aktivitas Yanti. Dari sana saya akan mulai
membangun flashback tentang kehidupan aktivismenya.
Studi ini saya maksudkan sebagai refleksi permulaan dari pengamatan dan
keterlibatan saya selama kurang lebih empat tahun belakangan terhadap dan bersama
gerakan pendidikan. Sepanjang waktu itu, ada kalanya saya seperti orang yang hanya
melihat dari jauh, tapi ada kala lain saya seperti orang yang terjerat dan tidak dapat
memisahkan diri lagi dari masalah dan risiko yang ada di dalam apa yang sedang saya
amati. Karena itu, saya tidak akan menyembunyikan posisi saya di balik klaim
netralitas ilmiah, tetapi saya lebih suka mengakui tentang suara siapa yang hendak
saya perdengarkan. Posisi itu dengan sendirinya sudah akan terlihat dari bagaimana
saya memilih, memilah, dan menata peristiwa, pengalaman, dan bermacam teks yang
ada dalam pengamatan dan keterlibatan saya itu ke dalam suatu bangunan tulisan
bergenre akademis yang, di satu pihak, dapat dipandang memadai oleh otoritas
akademis dan, di pihak lain, tetap dapat memberi ruang pada kenyamanan menulis
dalam gaya yang saya suka. Ini bukan persoalan sepele karena justru inilah, saya kira,
sebagian perkara yang menjadi taruhan penting dalam cultural studies.
Sebagai sebuah refleksi permulaan, saya akan memfokuskan studi saya pada
persoalan strategi wacana yang dilakukan oleh Yanti dalam aktivisme sekolah
2
rumahnya bersama KerLip dan bagaimana strategi itu terkait dengan relasi ruang,
kuasa, dan pengetahuan. Pemilihan fokus ini tentu saja akan berakibat pada
penyerderhanaan dan penyingkiran berbagai pengalaman, sikap, dan peristiwa yang
ada dalam kompleksitas kehidupan Yanti dan para pelaku lain di sekolah rumah
KerLip maupun aktivisme di wilayah gerakan pendidikan yang lain. Biarlah
penelitian lain yang barangkali akan membuat yang disederhanakan dan disingkirkan
itu bisa muncul dan bersuara.
2. Memperdengarkan Suara yang Lain: Resonansi Media dan Sekolah Rumah
Sore 8 Desember 2006 adalah hari yang perih bagi para aktivis pendidikan. Inilah hari
ketika seorang wartawan harian Kompas, yaitu P. Bambang Wisudo, dilecehkan di
depan umum oleh perusahaan tempat dia bekerja. Dalam sebuah tulisannya, Wisudo
(2007, 80) menceritakan kejadian sore itu, “saya ditarik paksa oleh satpam Kompas-
Gramedia, digotong-gotong paksa dalam keadaan telentang ke pos satpam yang
berjarak sekitar 100 meter, dan di pos itu saya disekap selama dua jam. Setelah itu,
saya digiring masuk ke ruangan Pemimpin Redaksi Kompas Suryopratomo, dan
langsung diberi surat pemutusan hubungan kerja.”
Kejadian ini adalah ujung dari pergulatan panjang sejak tahun 1998 yang
dilakukan serikat pekerja Kompas yang bernama Perkumpulan Karyawan Kompas,
organisasi tempat Wisudo menjadi salah satu pengurusnya. Dua bulan setelah
Soeharto jatuh, perkumpulan ini didirikan dengan salah satu tujuannya adalah untuk
menegosiasikan realisasi kepemilikan saham kolektif karyawan sebesar 20 persen
pada PT Kompas Media Nusantara sesuai dengan Peraturan Menteri Penerangan
Nomor 1 Tahun 1984. Cerita selanjutnya adalah pertarungan hukum di pengadilan.
Wisudo menggugat Kompas telah melakukan perbuatan melawan hukum dalam kasus
3
anti-serikat pekerja. Meskipun dia memang sudah menyadari bahwa UU Serikat
Pekerja/Buruh Nomor 21 Tahun 2000—yang melarang orang untuk menghalang-
halangi aktivitas serikat pekerja—tidaklah terlalu bergigi, dia tetap percaya upaya
hukum harus terus dilakukan. Wisudo menekankan bahwa upaya ini penting “untuk
menunjukkan pesan yang kuat kepada semua perusahaan media Indonesia bahwa
mereka harus menghormati hak-hak pekerja pers untuk bersuara dan berorganisasi.”
(2007, 84). Meskipun akhirnya dia kalah di pengadilan, pesannya justru terdengar
jelas di luar dinding perusahaan media itu sendiri. Hal ini terbukti dari membanjirnya
dukungan terhadap Wisudo dari berbagai lintas kalangan.2 Dukungan ini juga
memperlihatkan sambutan balik dari orang-orang yang suara lain mereka selama ini
telah diperdengarkan oleh Wisudo dalam setiap laporannya.
Memperdengarkan suara lain, itulah yang coba dilakukannya pula melalui
laporan-laporannya di harian Kompas sebagai wartawan pendidikan di desk
Humaniora, posisinya yang terakhir. Tentang hal ini, beberapa aktivis pendidikan
pernah berseloroh bahwa P. Bambang Wisudo, yang akrab mereka sapa Mas
Bambang, bukanlah sekadar wartawan Kompas tapi wartawan untuk gerakan
pendidikan. Berbagai reportasinya, seperti tentang pendidikan alternatif, pendidikan
untuk kaum miskin, aktivisme organisasi-organisasi guru yang baru, kebijakan
pendidikan yang tidak berpihak pada rakyat, dan pengadilan Ujian Nasional, bukanlah
semata reportasi yang berjarak, tetapi yang lahir dari empati dan keberpihakan kepada
suara yang lain. Pada gilirannya, keberpihakannya itu mampu memberikan
2 Komite Anti Pemberangusan Serikat Pekerja (Stanley dkk. 2007, 10) melaporkan bahwa “aksi-aksi solidaritas terhadap Bambang merupakan aksi unjuk rasa terpanjang yang pernah dihadapi Kompas. Aksi ini juga melibatkan komponen gerakan paling beragam dan paling banyak yang pernah dihadapi Kompas. Dari jurnalis, guru, peneliti, aktivis organisasi nonpemerintah, mahasiswa, aktivis pers kampus, petani, pedagang kaki lima, siswa sekolah alternatif, aktivis serikat buruh, sampai anak-anak jalanan ikut ambil bagian dalam aksi-aksi itu.”
4
kemungkinan bagi terhubungnya berbagai ruang dalam arena pendidikan, termasuk
kemungkinan baru bagi politik sekolah rumah yang digagas Yanti bersama KerLip.
Pada mulanya adalah tulisan. Menurut Yanti, dia memulai sekolah rumah
setelah munculnya respon banyak orang terhadap seri tulisan Bambang Wisudo di
harian Kompas, 11-13 dan 17 Oktober 2005 tentang pembaruan pendidikan di SD
Hikmah Teladan yang dimotori oleh KerLip.3 Sebagian dari hal yang mungkin bisa
menarik perhatian orang-orang tua yang progresif adalah penggambaran Wisudo
(2005b) tentang suasana belajar di sekolah itu.
Suasana kelas di SD Hikmah Teladan bisa dibilang berantakan. Jangan harap Anda melihat anak-anak duduk manis di dalam ruang kelas, mendengarkan guru nyerocos bicara. Mereka bebas bergerak. Hiruk pikuk di kelas itu bahkan bisa dijumpai saat mereka mengerjakan soal-soal ulangan. Di perpustakaan, mereka bebas membaca buku sambil berdiri, duduk, tiduran, atau nangkring di jendela. Suasana bebas merdeka seperti itu jarang dijumpai di sekolah-sekolah pada umumnya…. (Sekolah ini) merupakan sekolah berciri khas keagamaan. Murid perempuannya berjilbab, laki-laki berbaju koko. Mereka menunaikan shalat dan belajar mengaji di sekolah. Namun praktik keagamaan itu dilakukan dalam suasana yang menyenangkan, tanpa dimatai-matai atau dibayang bayangi ancaman neraka. Mata pelajaran agama secara faktual dihapuskan, diganti dengan pendidikan karakter. Guru-guru SD Hikmah bisa membebaskan dari belenggu buku pelajaran, metode-metode tes yang standar, dan dari kecenderungan menjejali murid muridnya dengan berbagai macam pengetahuan yang tidak esensial bagi perkembangan anak.
Setelah seri tulisan itu diturunkan di Kompas, ternyata banyak tanggapan
positif dari masyarakat, terutama orang tua yang ingin memindahkan anaknya ke
sekolah tersebut. Yanti kemudian mengatur pertemuan dengan beberapa orang tua
yang tertarik dengan konsep pendidikan yang ditawarkan oleh sekolah alternatif itu.
Sebagian dari mereka rupanya berniat untuk menjalankan sekolah rumah dan
mendorong Yanti untuk menerapkan konsep pendidikan di sekolah alternatif itu ke
dalam sekolah rumah.
Di pihak lain, seri tulisan itu sendiri mendorong Yanti meneguhkan tekadnya
untuk memberhentikan anaknya, M. Zakky Anwar yang saat itu berusia 11 tahun, dari 3 Wawancara dengan Yanti Sriyulianti, 23 Juli 2008.
5
sekolah dan kemudian memulai bersama anaknya melaksanakan sekolah rumah.
Sebelumnya tekad tersebut terus-menerus dia tangguhkan karena dia sendiri ragu
apakah nanti mampu dan sempat menemani anaknya belajar. Tetapi, Zakky terus-
menerus pula mendesaknya untuk menjalankan sekolah rumah karena dia merasa
sudah tidak nyaman lagi belajar di sekolah biasa. Karena itu, meskipun pada akhirnya
sekelompok orang tua yang tertarik membuat sekolah rumah itu ternyata tidak jadi
menyekolah-rumahkan anak-anaknya karena berbagai alasan, Yanti tetap meneruskan
langkahnya untuk menjalankan sekolah rumah bersama anaknya. Maka, sejak itu
dimulailah perjalanan awal sekolah rumah mereka yang kemudian dijadikan salah
satu model sekolah rumah KerLip. Sejak itu dimulailah pula upaya keras mendorong
keluarga-keluarga sekolah rumah untuk memasuki ruang publik dan menuntut hak
pelayanan pendidikan yang bermutu bagi anak-anak mereka. Adalah hal yang
menarik dan paradoks ketika Yanti menarik anak-anaknya dari sekolah untuk
homeschooling, dia sekaligus pula membawa sekolah rumah ke dalam ruang publik
dan kesadaran yang lebih luas tentang hak warga negara atas pendidikan. Dalam
upaya itu, anak-anak memperoleh peran dan suara yang penting.
Sebagai contoh penting, bersama beberapa aktivis pendidikan yang lain, Yanti
pernah membawa serombongan anak-anak ke gedung DPR pada tanggal 3 Mei 2006
demi memberi kesempatan pada mereka untuk mengungkapkan pendapat di hadapan
wakil-wakil rakyat, namun ternyata anggota-anggota DPR itu menolak untuk
mendengarkan suara anak-anak. Lagi-lagi, Bambang Wisudo (2006) menurunkan
berita tentang peristiwa itu dalam tulisannya yang berjudul “Suara Mereka Tak
Didengar oleh Wakil Rakyat”. Kedatangan mereka ke DPR Komisi X dimaksudkan
sebagai pertemuan guru, aktivis, dan anak-anak dengan wakil rakyat yang merupakan
rangkaian “Sepekan Aksi Pendidikan” untuk mendorong pemenuhan hak pendidikan
6
atas anak. Dalam berita yang ditulisnya itu, Wisudo melaporkan bahwa ternyata
wakil-wakil rakyat tidak mau mendengar cerita anak-anak itu secara langsung dengan
alasan bahwa mereka belum berusia 18 tahun sehingga tidak boleh terlibat dalam
"aktivitas politik". Padahal, Konvensi tentang Hak Anak yang telah diratifikasi DPR
menjamin hak anak untuk menyampaikan pendapat dan tidak ada ketentuan yang
menyebutkan anak tidak boleh menyampaikan pendapat di DPR. Dalam berita itu,
Wisudo juga mengutip alasan penolakan itu dari Ketua Komisi X pada saat itu, yaitu
Anwar Arifin.
Anwar mengakui bahwa ada konvensi anak yang menyebutkan hak anak untuk menyatakan pendapat, tetapi pendapat anak bisa disampaikan kepada orangtua atau guru. "Saya ini pendidik. Silakan anak berbicara, tetapi tidak dalam forum dengar pendapat di DPR. Biarkan anak-anak bersekolah, tidak berpolitik," ujar Anwar.
Jika kita analisis, di dalam alasan Ketua Komisi X itu jelas terlihat betapa
kuatnya wacana dominan yang memisahkan ruang hidup anak-anak dari ruang publik.
Bahkan, untuk membenarkan pemisahan itu, anggota DPR itu sengaja melepaskan
identitasnya sebagai wakil rakyat dan menggunakan identitasnya yang lain, yaitu
pendidik. “Saya ini pendidik,” tegasnya. Meskipun secara eksplisit penegasan ini
memang terkait dengan statusnya sebagai seorang profesor di salah satu universitas,
secara implisit dia pada dasarnya juga hendak mengatakan, sadar atau tidak, bahwa
“Saya ini lebih tahu dari Anda tentang urusan ini, maka patuhilah saya.” Dengan
demikian, pemisahan ruang ini tidak dapat dilepaskan dari aspek kuasa dan
pengetahuan yang beroperasi di dalam wacana dominan pendidikan itu sendiri.
Wacana dominan itu pulalah yang harus dihadapi oleh sekolah rumah KerLip. Bagian
berikut ini akan membahas wacana dominan itu lebih dahulu sebelum menganalisis
strategi wacana sekolah rumah KerLip terhadapnya.
7
3. Wacana Dominan Pendidikan dan Kondisi Kerja Guru
Pada bulan November 2005, di tengah proses pembahasan RUU Guru dan Dosen
(yang sekarang sudah menjadi UU Nomor 14/2005 tentang Guru dan Dosen) di DPR,
para aktivis pendidikan yang waktu itu bergabung dalam Koalisi Pendidikan datang
ke Komisi X untuk mengajukan beberapa saran perubahan terhadap sebagian pasal
dalam RUU tersebut. Di dalam pengantar position paper mereka (Koalisi Pendidikan
2005, 1) dikemukan bahwa:
… yang selalu menjadi sorotan dan kepedulian Koalisi Pendidikan adalah perihal peningkatan kesejahteraan guru, perlindungan hukum terhadap guru, keadilan dalam hak dan kewajiban guru, keterlibatan organisasi guru dalam pembuatan kebijakan pendidikan, dan peningkatan mutu pendidikan. Koalisi memandang penting persoalan-persoalan tersebut karena selama ini guru telah dianggap dan diperlakukan sebagai profesi yang rendah dan tidak bermartabat.
Seusai pertemuan dengan DPR itu, dalam perjalanan meninggalkan gedung
DPR, seorang guru yang juga ikut dalam rombongan—Bu Tria, dia biasa dipanggil—
memberikan naskah kumpulan puisi hasil karyanya kepada saya. Dia berharap ada
pihak yang bersedia menerbitkan kumpulan puisinya itu agar pengalaman getirnya
sebagai guru honor selama 20 tahun dapat didengar banyak orang. Dia memberi nama
naskah kumpulan puisinya itu “Suara Hati Guru-guru Honor: Atas Nama Tria”,
seakan dengan judul itu dia mau meletakkan seluruh penderitaan rekan-rekannya
sesama guru honor di atas pundaknya yang kelihatan sudah mulai ringkih itu. Salah
satu puisinya saya kutipkan di sini.
Orang tuamu guru, mengajar di sekolahUntuk mencerdaskan anak bangsaMengapa engkau melamun sajaApakah kau tak bangga padanya
Melihat silsilah dan wajahKau bukanlah orang susahKalau kau tak keberatan Ayolah kita berbagi cerita
Tapi kau harus bersumpah
8
Jangan bilang siapa-siapaOrang tuaku sudah 20 tahun di sekolahTapi masih guru honor jugaBerapa gajinya tak usah kita bukaMalu tuh sama semut merahKalau aku minta keringan biaya sekolahOrang tuaku harus minta surat keterangan susahOrang tuaku mau minta surat keterangan susah ke mana?
Kondisi Bu Tria merupakan kondisi yang juga banyak dialami oleh guru non-PNS
dengan berbagai statusnya yang saat ini berjumlah sekitar 36 persen dari keseluruhan
guru yang berjumlah lebih dari 2,7 juta orang.4 Dari segi penghasilan, guru PNS
memperoleh tunjangan dari Pemda mereka masing-masing di luar gaji mereka sebagai
PNS. Di Jakarta, misalnya, guru PNS mendapatkan tunjangan sebesar 2 juta rupiah
dari Pemda DKI. Jika ditambah dengan gaji mereka sebagai PNS, maka dalam
sebulan guru-guru PNS di Jakarta memperoleh penghasilan hampir 4 juta rupiah.
Sementara itu, gaji guru non-PNS di Jakarta maupun di daerah lain masih banyak
yang memperoleh gaji yang sangat rendah.5 Tidak heran jika para guru non-PNS
merasa diperlakukan tidak adil.
Di samping diskriminasi dalam penghasilan, guru juga mengalami
perlindungan kerja yang lemah, seperti pemecatan dan mutasi yang tidak adil oleh
yayasan sekolah maupun birokrat pendidikan. Organ-organ FGII, misalnya, banyak
melaporkan kasus lemahnya perlindungan tersebut. Yang paling fenomenal adalah
kasus intimidasi dan pemecatan terhadap beberapa guru di Medan yang bergabung
dalam Komunitas Air Mata Guru karena mereka melaporkan kasus konspirasi
pembocoran soal Ujian Nasional tahun 2007 ke media massa. Meskipun pasal tentang
perlindungan kerja guru sudah cukup progresif dirumuskan dalam UU Guru dan
4 Data tahun 2006 dari PMPTK (Peningkatan Mutu Pendidik dan Tenaga Kependidikan) Depdiknas.5 Data yang komprehensif tentang gaji guru swasta ini memang masih sulit dipeoleh, tapi dari berbagai tuntutan guru swasta yang diberitakan oleh media massa beberapa tahun belakangan, terlihat angka yang berbeda-beda, dari 200 ribu sampai 900 ribu per bulan.
9
Dosen, sampai sekarang masih menghadapi banyak hambatan dalam implementasinya
sehingga FGII dan organisasi guru yang lain masih berupaya agar peraturan itu dapat
dilaksanakan dengan baik. Sebagai contoh, dalam pernyataan sikap FGII (25 Mei
2008) di gedung Mahkamah Konstitusi, ditegaskan bahwa:
FGII meyakini tentang pentingnya para guru untuk mendesakkan penerapan pasal-pasal perlindungan hukum, perlindungan profesi, serta perlindungan keselamatan dan kesehatan kerja bagi para guru seperti yang tercantum dalam Undang-undang Nomor 14/2005 tentang Guru dan Dosen pasal 39. Di samping itu, kami (FGII) juga mengingatkan semua kalangan bahwa Undang-undang tersebut telah menjamin sepenuhnya hak-hak guru untuk berserikat dalam organisasi profesi dan berperan dalam penentuan kebijakan pendidikan. Oleh karena itu, intimidasi terhadap para guru sesungguhnya sangat bertentangan dengan Undang-undang tersebut.
Kondisi kerja guru yang memprihatinkan itu sebenarnya berakar dari proses
marjinalisasi terhadap profesi guru pada tingkat politik pengetahuan. Lembaga
pendidikan guru sendiri, misalnya, cenderung meminggirkan pengetahuan tentang
berbagai filsafat pendidikan. Bahkan, sebagian kalangan akademisi berpendapat
bahwa filsafat pendidikan itu tidak praktis untuk keperluan calon guru. Hal ini tentu
saja sangat ironis. Dengan mengabaikan filsafat pendidikan, pada dasarnya lembaga
tersebut sudah membuat pekerjaan guru hanya menjadi pelaksana (jika tidak hendak
dikatakan tukang) kurikulum yang sudah ditentukan secara top-down. Para calon guru
akhirnya tidak mampu memahami dasar filosofis dari sebuah kurikulum dan tidak
mampu menghubungkan pekerjaannya di ruang kelas dengan struktur dan perubahan
masyarakat di tingkat makro. Dalam kondisi demikian, pekerjaan guru menjadi
dipandang lebih rendah daripada pekerjaan birokrat/manajer pendidikan dan,
akibatnya, guru sendiri diposisikan sebagai pihak yang harus patuh pada
peraturan/kontrol birokrasi. Karena itu, guru dan birokrat pendidikan sulit sekali
untuk dianggap berada dalam posisi yang sejajar karena hubungan kekuasaan di
antara keduanya sudah sejak mula dibuat tidak setara. Dalam konteks ini, ide tentang
10
profesionalisme guru yang banyak didengungkan belakangan ini sebenarnya dapat
dilihat sebagai strategi wacana dominan manajerialisme untuk tetap mempertahankan
kontrol atas kerja guru.6
Dominasi wacana manajerialisme itu membuat ilmu pendidikan di lembaga
pendidikan guru mengepinggirkan pengetahuan tentang hubungan pendidikan dan
demokrasi. Dalam hal ini, kemungkinan jatuhnya pendidikan (sekolah) sebagai alat
reproduksi ketidaksetaraan sosial tidaklah diperhitungkan.7 Sebaliknya, dalam politik
pengetahuan seperti itu, masalah yang dianggap penting hanya berkutat pada perihal
mikro, seperti metode pembelajaran, evaluasi, dan administrasi sekolah. Akibatnya,
masalah rendahnya mutu pendidikan kerap dicari pemecahannya melalui cara-cara
yang tidak mendasar, seperti melakukan sertifikasi guru, karena wacana
manajerialisme cenderung menempatkan guru dalam posisi sebagai penyebab
rendahnya mutu pendidikan. Di sini blaming the victim atas guru telah terjadi.
Diabaikannya pemikiran tentang hubungan persekolahan dan demokrasi serta
pengambing-hitaman guru itu pada gilirannya menimbulkan dampak yang lebih
buruk, yaitu pudarnya kebebasan akademik guru.8 Hal ini jelas sekali terlihat dalam 6 Dengan mendasarkan diri pada pemikiran Michel Foucault tentang governmentality, Peters, Marshal, dan Fitzsimons (2000, 110) memahami manajerialisme sebagai suatu ekspresi atau teknologi neoliberalisme. Menurut mereka, manajerialisme itu berfungsi sebagai “an emergent and increasingly rationalized and complex neoliberal technology of governance that operates at a number of levels: the individual (“the self-managing student” and teacher), the classroom (“classroom management techniques”), the academic program (with explicit promotion of the goals of self-management), and the school or educational institution (self-managing institutions).
7 “Reproduksi” merupakan konsep teoretis yang digunakan untuk menganalisis struktur sosial dalam tradisi pemikiran Neo-Marxis. Dalam konteks pendidikan, Giroux (1983, 76) menjelaskan bahwa: “theories of reproduction takes their central concern the issue of how schools function in the interest of the dominant society. But unlike liberal and structural-functionalist accounts, they reject the assumption that schools are democratic institutions that promote cultural exellence, value-free knowledge, and objective modes of instruction. Instead, reproduction theories focus on how power is used to mediate between schools and the interests of capital. By moving outside of the official view of schooling, such theories focus on how schools utilize their material and ideological resources to reproduce the social relations and attitudes needed to sustain the social divisions of labor necessary for the existing relations of production.”
8 Nugroho (2006) juga mengamati pudarnya kebebebasan akademik tersebut dalam perkembangan perguruan tinggi di Indonesia pada masa Orde Baru dan Reformasi melalui studinya tentang ekonomi politik pendidikan tinggi. Apa yang saya kemukakan di sini tentang dominasi manajerialisme dalam
11
Undang-undang Nomor 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen. Di dalam undang-
undang tersebut, yang memiliki hak kebebasan akademik hanya dosen, sedangkan
guru tidak. Secara langsung, undang-undang ini telah memperkuat pandangan umum
yang selama ini sudah terbiasa memperlakukan guru hanya sebagai pelaksana (jika
tidak hendak disebut operator atau tukang) dari kebijakan pendidikan yang dibuat
oleh birokrasi pendidikan. Dengan kata lain, undang-undang ini telah terbukti
mengakui bahwa guru memang merupakan profesi akademik yang lebih rendah
sehingga tidak pantas mendapatkan hak kebebasan akademik. Giroux (1988, 122-124)
menyebut proses ini sebagai bagian dari deskilling. Menurutnya,
One of the major threats facing facing prospective and existing teachers within the public schools is the increasing development of instrumental ideologies that emphasize a technocratic approach to both teacher preparation and classroom pedagogy. At the core of the the current emphasis on instrumental and pragmatic factors in school life are a number of important pedagogical assumptions. These include: a call for the separation of conception from execution; the standardization of school knowledge in the interest of managing and controling it; and the devaluation of critical, intellectual work on the part of teachers and students for the primacy of practical considerations…. The effect is not only to the deskill teachers, to remove them from the processes of deliberation and reflection, but also to routinize the nature of learning and classroom pedagogy.
Dominasi wacana manajerialisme ini, yang memberi justifikasi pada “rezim
administrasi”, sebenarnya tidak lepas dari konteks historis pembentukannya pada
masa Orde Baru. Dalam era Orde Baru wacana dominan yang berkembang adalah
wacana keamanan (Dakhidae 2003, 373). Dalam konteks pendidikan di sekolah, hal
ini tereproduksi dalam berbagai aspek hubungan guru dan murid, seperti proses
pengajaran yang cenderung berlangsung satu arah, dimonopoli oleh guru. Dalam
wacana keamanan, hubungan semacam inilah yang dipandang normal karena
menempatkan guru pada posisi superior dan berkuasa untuk “mengamankan” murid.
pendidikan dikatakan oleh Nugroho (2006, 169) sebagai berkuasanya otoritas administratif atas otoritas akademik.
12
Tidak heran pula jika wacana dominan ini melarang sikap kritis murid. Karena itu,
dialog dan perdebatan antara guru dan murid, atau antara murid dan murid, sulit sekali
terjadi di sekolah. Akibatnya, kemampuan dan keberanian murid untuk bertanya dan
mempertanyakan menjadi mandul.9
Sejalan dengan wacana manajerialisme itu, berlangsung pula kekuasaan
pendisiplinan melalui wacana psikologi (Usher dan Edwards 1994, 41). Sudah sejak
lama psikologi menjadi acuan utama dalam praktik pendidikan. Berbagai kosakata,
informasi, pengkategorian, pengkalibrasian, dan teknik pengaturan perilaku individu
telah diciptakan oleh bidang ilmu ini. Ketika diterapkan dalam praktik pendidikan,
wacana psikologi ini kemudian menjadi semacam kisi-kisi yang tidak kelihatan yang
mampu memerintah individu dan membawa efek pendisiplinan.10 Guru dan murid
yang terserap ke dalam wacana ini tidak akan mempertanyakan lagi praktik-praktik
pengajaran yang ada, seperti pengkategorian murid pintar dan murid bodoh, praktik
pe-ranking-an, tes-tes kecerdasan dan kejiwaan, dan sebagainya. Kentalnya pengaruh
wacana psikologi ini berakibat pada munculnya kecenderungan sikap blaming the
victim, yakni jika guru atau murid gagal, kurang kompeten, tidak dapat menyesuaikan
diri, atau tidak sesuai dengan standar, maka penyebabnya selalu dicari pada
9 Shiraishi (2001) merekam dengan baik hubungan antara wacana keamanan Orde Baru dan praktek pendidikan di sekolah melalui analisisnya tentang pembentukan wacana keluarga di masa itu. Dia menulis (hlm. 213): “Anak-anak dalam kelas Orde Baru belajar bahwa keluarga dan jaringan perluasannya merupakan dasar bagi kehidupan mereka, dan bahwa hubungan-hubungan itulah yang membentuk bangsa. Keluarga merupakan tujuan dan sasaran dalam pelajaran mereka. Proses belajar adalah rekonfirmasi dari apa yang diketahui dan dimiliki seseorang—anggapan dari buku teks—bahkan jika konstruksi yang ditawarkan untuk menggambarkan keluarga berbeda dengan dari keluarga yang dimiliki oleh para siswa itu sendiri. Pendidikan Orde Baru didasarkan dari pencegahan terjadinya kejutan-kejutan yang disebabkan oleh adanya hal yang tidak dikenali.”
10 Dalam kaitan ini, Usher dan Edwards (1994, 48) menjelaskan bahwa, “Disciplines do exert a formative power. It is precisely psychology’s claim to know the world ‘scientifically’ and ‘as it really is’ which makes it powerful. Practitioners cannot easily get out of regarding disciplines as foundational because their understanding is enfolded in an implicit conception of disciplines as neutral, scientifically validated bodies of knowledge whose only effects are enlightening and empowering and which thus enable effective action. Essentially, this is but an aspect of the power of discourses to project themselves as neutral and disconnected from power.”
13
kelemahan psikologis guru atau murid itu sendiri secara individual. Jarang sekali
penyebab itu dialamatkan pada stuktur sosial atau wacana dominan yang membatasi
dan melemahkan guru atau murid itu sendiri.
Keadaan di atas semakin rumit ketika kini berkembang suatu kekuasaan
pendisiplinan yang baru sejak menguatnya wacana neoliberalisme, yakni yang
terwujud dalam apa yang dapat disebut sebagai wacana kompetensi (Smyth dan
Shacklock 1998, 136), yang dalam konteks Indonesia mewujud dalam kebijakan
Kurikulum Berbasis Kompetensi dan pengarus-utamaan standardisasi pendidikan.11
Di awal Reformasi memang muncul juga alternatif paradigma kebijakan pendidikan
yang lain, yaitu pendidikan multikultur, namun paradigma ini kemudian tidak menjadi
acuan negara.12 Jadi, jika sebelumnya praktik pengetahuan dalam lapangan pendidikan
di Indonesia ditundukkan ke dalam wacana keamanan Orde Baru dan wacana
psikologi dalam politik pengetahuan pendidikan, kini di masa Reformasi ia
didisiplinkan oleh pengarus-utamaan neoliberal. Ketiganya kini hadir bersama-sama
di dalam praktik persekolahan di Indonesia dalam rajutan yang baru. Hal ini
tergambar dalam Rencana Strategis Depdiknas dalam Cetak Biru Insan Indonesia
Cerdas dan Kompetitif 2025 yang dibuat bersama perusahaan konsultan manajemen
AndrewTani & Co. Yang dikedepankan di dalam Renstra ini adalah identitas “cerdas”
11 Dalam kritiknya terhadap gerakan standardisasi itu, Sleeter (2005, 3-4) membedakan antara konsep standards dan standardization. Menurutnya, “standards” merujuk pada tingkat kualitas atau pencapaian, sedangkan “standardization” adalah “a consequence of standard setting when attempts to improve student learning become bureaucratized and curriculum is defined in detail in terms of what is measurable and is established at state or national levels. (Penekanan/cetak miring oleh saya). Terkait dengan hal itu, Tilaar (2006, 109) menegaskan bahwa “fungsi standar adalah pemetaan masalah pendidikan. Hal ini banyak kali dilupakan di dalam suatu sistem nasional. Standar seakan-akan telah menjadi milik monopoli dari birokrasi pendidikan sehingga peserta-didik semata-mata menjadi objek dari kekuasaan birokrasi. Akibatnya sangat jauh oleh karena proses belajar dapat terarah kepada hanya mempersiapkan ujian yang telah ditentukan oleh birokrasi pendidikan dan bukan merupakan suatu proses belajar yang berkesinambungan yang diadakan secara berkala oleh guru di depan kelas.”
12 Perhatikan misalnya upaya yang dilakukan oleh FIB UI untuk mendorong paradigma ini pada acara Regional Workshop “Multicultural Education: Sharing Experiences” pada tahun 2003. Lihat terutama makalah Melani Budianta pada workshop itu yang berjudul “Multiculturalism: In Search of a Framework for Managing Diversity in Indonesia.”
14
dan “kompetitif” yang merupakan penanda penting dalam wacana kompetensi dan
standardisasi. Memang, pada level realitas atau implementasinya Renstra itu masih
bisa dipertanyakan, namun pada level kesadaran dan politik pengetahuan di lapangan
pendidikan ia telah menjadi dominan. Di titik inilah pengendalian terhadap guru dan
proses pembelajaran di sekolah diperketat dan diperinci melalui berbagai bentuk.13
Namun, di titik ini pulalah resistensi mulai muncul di kalangan aktivis pendidikan.
4. Strategi Wacana Sekolah Rumah KerLip
“Budaya penyeragaman pakaian, buku pelajaran, cara duduk, dan praktek
pembelajaran yang sangat bergantung pada juklak dan juknis adalah hal-hal yang
lazim terlihat di sekolah yang kami kunjungi,” ujar Yanti mengenang kegiatannya
pada masa-masa awal perintisan KerLip yang kemudian didirikan secara resmi pada
tanggal 25 Desember 1999.14 Selama masa itu, dia kerap merasa kecewa dengan
perlakuan pihak sekolah terhadap orang tua murid. Dia sendiri pernah ditolak untuk
mengetahui proses belajar anaknya di sekolah. Sebagai orang tua murid, dia juga
berharap agar sekolah anaknya lebih transparan dalam pengelolaan keuangan. Apalagi
dia sudah membayar lebih mahal karena sekolah tersebut menjanjikan program-
program yang khas dan unggulan. Karena kerap dikecewakan, Yanti sampai sembilan
kali memindahkan anak sulungnya, Nurul Fitry Azizah, dari satu sekolah ke sekolah
lain. Dari kekecewaan itu, Yanti kemudian berinisiatif membentuk sebuah organisasi
(perkumpulan) bersama beberapa orang tua murid yang lain untuk memperkuat peran
keluarga dalam pendidikan, yang mereka beri nama Keluarga Peduli Pendidikan
13 Smith dan kawan-kawan (2000, 39-46), misalnya, mengelompokkan berbagai pengendalian itu menjadi enam macam, yaitu regulated market control, technical control, bureaucratic control, corporate control, ideological control, dan control through ‘disciplinary control’. Semua pengendalian ini akan beroperasi pada dan mengarahkan penentuan kurikulum, pengawasan dan penilaian terhadap guru, dan penataan kesepakatan dan kepatuhan guru.
14 Wawancara dengan Yanti Sriyulianti, 28 Juli 2008.
15
(KerLip). Dalam anggaran dasarnya disebutkan bahwa perkumpulan ini berupaya
“mendorong dan mensosialisasikan peran penting efektivitas partisipasi keluarga
dalam pendidikan”. Di samping itu, KerLip juga berupaya “menjalankan kampanye
dan advokasi untuk mendorong pemenuhan dan perlindungan hak atas pendidikan dan
hak-hak anak”. Dengan upaya seperti ini, KerLip tidak hanya membawa keluarga
untuk mengurusi persoalan mikro pendidikan, tetapi juga mengantarkan keluarga pada
kesadaran tentang persoalan makro atau struktural dalam pendidikan. Gerak bolak-
balik dari mikro ke makro dan makro ke mikro itu memaksa Yanti untuk memikirkan,
menggunakan, dan memaknai kembali konsep-konsep penting dalam KerLip untuk
diterapkan pada konteks sekolah rumah. Pada bagian ini, saya akan menyoroti
bagaimana konsep-konsep penting yang ditawarkan oleh KerLip dalam praktek
pendidikan di sekolah rumahnya, yaitu “anak merdeka” dan “keluarga peduli” dapat
dipandang sebagai suatu strategi wacana untuk menghadapi wacana dominan
pendidikan.
4.1 Anak Merdeka: Tempat Bertahan
Saya akan memulai bagian ini dengan mengutip deskripsi Shiraishi (2001, 199-200)
tentang pengalamannya mengamati kejadian di ruang kelas sebuah SD di Jakarta.
Ini hari pertama mereka bersekolah. Seorang guru muda berstelan merah jambu memanggil anak-anak yang berseragam putih-merah untuk maju dan menyanyikan sebuah lagu untuk teman-teman barunya. Satu demi satu mereka berdiri di muka kelas dan menyanyikan lagu kesukaan mereka masing-masing, dan mendapatkan tepuk tangan sesudahnya.
Seorang bocah lelaki yang semula tampak ragu-ragu akhirnya berani mengacungkan jari. Tepat pada saat si bocah lelaki siap menyanyi, seorang ibu dengan menggandeng anaknya menerobos masuk kelas dan minta maaf karena datang terlambat, “Jalanan macet,” kata ibu itu. Kemunculan ibu gemuk itu, yang berbedak tebal dan bergaun hijau, mendesak si bocah hingga mepet ke papan tulis. Bocah yang urung menyanyi itu lalu bergerak ke belakang gurunya, mencari ruang yang lega.
Sang guru mempersilakan ibu itu mengantarkan anaknya ke kursi yang kosong di deretan belakang. Sesaat kemudian, seolah baru menyadari apa yang
16
telah dilakukan sebelumnya, sang guru kembali kepada si bocah lelaki dan menyuruhnya menyanyi. Dengan wajah pucat dan tanpa ekspresi, si bocah lelaki menyanyikan sebuah lagu dengan lirih. Sementara itu seisi kelas terbawa untuk tidak mempedulikan nyanyian lirih tersebut. Bocah lelaki itu kembali ke kursinya tanpa mendapat tepukan.
Shiraishi (2001, 200) mengomentari kejadian itu demikian, “Bagi ibu yang
datang terlambat, bocah lelaki itu tidaklah ia perhatikan. Yang ia perhatikan hanya
anaknya sendiri dan sang guru.” Kita bisa melihat di sini betapa keberadaan seorang
anak diabaikan dalam relasi orang dewasa sehingga meminta ijin kepada si bocah
lelaki yang hendak menyanyi itu sama sekali tidak dipandang sebagai suatu hal yang
penting dan sopan.
Di sekolah, keberadaan anak memang seringkali dilihat melalui wacana
administrasi. Suaranya sebagai individu manusia cenderung tidak didengar,
sebagaimana yang terjadi pada insiden penolakan anggota DPR untuk mendengarkan
suara anak, seperti yang sudah saya kemukakan pada bagian sebelumnya. Tentang
wacana administrasi itu, Shiraishi (2001, 207) dengan jitu menggambarkannya
sebagai berikut.
Sekarang guru membaca keras-keras nama muridnya satu demi satu. Murid-murid yang terbiasa dengan nama panggilan masing-masing yang pendek, dipanggil dengan nama panjang mereka sesuai urutan abjad. Untuk pertama kalinya ruang kelas menjadi hening. Anak-anak dengan cemas menunggu nama mereka disebut guru dari buku hadir yang tengah dibacanya…. Mereka ada di sana karena nama mereka ada dalam daftar dan dibaca guru. Suara si guru memberi legitimasi kehadiran mereka, sekaligus membangun kekuasaan terhadap anak-anak di dalam kelas.
Daftar hadir kelihatannya memang sesuatu yang sepele, namun di dalam
konteks kehidupan sekolah yang sangat didominasi oleh rejim administrasi, daftar itu
dapat berubah menjadi semacam pembuluh yang sangat halus yang mengalirkan
kekuasaan untuk mereproduksi sikap diskriminatif terhadap anak dengan meniadakan
keberadaan anak sebagai individu manusia. Pembuluh semacam itu, sebagai contoh
lain, dapat pula merasuk melalui jaringan rejim administrasi yang lain di level praktek
17
tes sekolah, seperti Ujian Nasional. Dalam hal ini, Yanti pernah marah besar ketika
pada suatu kesempatan, seseorang memberikan pemakluman atas Ujian Nasional
dengan alasan bahwa hanya sedikit persentase murid yang tidak lulus. Menurut Yanti,
meskipun hanya satu orang anak yang tidak lulus, anak itu adalah manusia juga.
Baginya, angka statistik tidak bisa dijadikan dasar pemakluman untuk mengabaikan
individu manusia.15
Sikap Yanti yang demikian sebenarnya tidak terlepas dari konsep “anak
merdeka” yang sejak tahun 1998 diramu dalam diskusi tiap hari Rabu bersama
keluarga-keluarga muda yang kebanyakan adalah orang tua murid dan guru di
Madrasah Ibtidaiyah Asih Putera dan di beberapa Sekolah Berprogram Khas di
Bandung. Dari kelompok diskusi inilah cikal-bakal KerLip dibangun. Di dalam
diskusi itu, “beberapa di antara kami sangat akrab dengan buku-buku Paulo Freire,
Renaissance of Asia-nya Anwar Ibrahim, YB Mangunwijoyo, Rausan Fikr-nya Ali
Shariati, dan pemikiran Jalaluddin Rahmat,” kenang Yanti.
Melihat beragamnya sumber pemikiran yang melatarbelakangi pembentukan
konsep “anak merdeka”, konsep ini saya kira kemudian menjadi strategi wacana yang
cukup lincah untuk memberi alternatif pada wacana dominan pendidikan nasional
tentang identitas murid yang seringkali dirumuskan dalam istilah “cerdas” dan
“kompetitif”. KerLip (2007, 18) memandang bahwa “bila merdeka diartikan
lepas dari kebergantungan pada yang lain, maka dalam konteks
kemampuan anak untuk belajar, semua anak merdeka.” Pandangan
inilah yang kemudian mendasari mengapa pengembangan rasa
ingin tahu anak menjadi sangat penting bagi KerLip. Dalam hal ini,
KerLip (2007, 19) memandang bahwa “rasa ingin tahu pada
15 Yanti Sriyulianti menuturkannya pada saya tanggal 24 Juni 2008.
18
manusia adalah universal. Orang dewasa lah yang membuat anak-
anak tidak merdeka lagi dengan cara mendidik mereka dengan nilai
dan pengetahuan yang tidak diletakkan dalam bungkusan rasa ingin
tahu. Anak-anak mengetahui kenyamanan adalah kehidupan yang
tidak dipertanyakan dari kita orang dewasa. Mendidik, bila tidak
berfokus pada tumbuhkembang anak, memang sangat riskan
terjebak pada pembunuhan karakter, pembekuan pikiran, dan
pelumpuhan kegairahan.”
Dalam masa awal penerapannya di SD Hikmah Teladan,
konsep ini sangat didukung oleh orang tua murid yang memang
terlibat dalam perintisan konsep tersebut. Namun, belakangan
konsep tersebut mulai tersingkir seiring dengan makin banyaknya
jumlah murid dan sikap pemikiran orang tua murid yang baru yang
berbeda dengan orang tua murid angkatan pertama. Selain itu,
komitmen pemilik sekolah itupun juga mulai bergeser dari konsep
“anak merdeka” karena konsep ini memang tidak hanya
menyangkut perubahan yang mendasar dalam proses pembelajaran
di kelas, tetapi juga menuntut sekolah untuk menjalankan keuangan
secara transparan, meningkatkan efektivitas partisipasi keluarga di sekolah,
mengedepankan prinsip kepentingan terbaik anak, dan proaktif dalam menunjukkan
akuntabilitas terhadap peserta didik, guru, orangtua, masyarakat dan pemerintah.16
Tantangan terbesar untuk menerapkan konsep “anak merdeka” itu memang
terletak pada upaya mempersatukan pihak pemilik sekolah, guru, dan orang tua murid,
dan juga pemerintah. Di titik inilah Yanti kemudian makin menyadari bahwa
16 Wawancara dengan Yanti Sriyulianti, 28 Juli 2008.
19
perubahan pada skala mikro pendidikan (praktek pembelajaran di ruang kelas) harus
didukung oleh perubahan pada skala makro atau struktural. “Konsep pendidikan anak
merdeka yang awalnya berpusat rasa rasa ingin tahu anak yang praktis sejak anak
melangkahkan kaki ke sekolah dasar terbelunggu oleh berbagai penyeragaman fisik
yang berakibat pada penyeragaman pikir ini kemudian berkembang menjadi konsep
yang lebih luas terkait dengan kesadaran akan pentingnya memperjuangkan
pendidikan untuk semua dalam konteks hak-hak warga negara,” ujarnya.
Upaya memposisikan konsep “anak merdeka” dalam ruang pendidikan yang
lebih makro itu kemudian menemukan jalannya dalam kaitan diskursif dengan asas
perjuangan pendidikan Ki Hadjar Dewantara, yaitu (1) adanya seorang untuk
mengatur dirinya sendiri (2) pengajaran harus mendidik anak
menjadi manusia merdeka batin, pikiran, tenaga (3) pengajaran
jangan terlampau mengutamakan kecerdasan pikiran karena hal itu
dapat memisahkan orang terpelajar dengan rakyat (4) berkehendak
untuk mengusahakan kekuatan diri sendiri. Yanti menyadari bahwa
keempat asas perjuangan Bapak Pendidikan Nasional ini sudah lama terlupakan dalam
pendidikan formal, terutama di sekolah-sekolah yang diselenggarakan pemerintah.17
Dalam kesadaran baru itulah sekolah rumah KerLip kemudian diposisikan.
Karena itu—dalam konteks relasi ruang, kuasa, dan pengetahuan—sekolah rumah ini,
di satu sisi, dapat dipahami sebagai tempat (place) bagi formasi pengetahuan “anak
merdeka” agar tetap dapat bertahan dan, di sisi lain, sebagai ruang (space) bagi
17 Lihat juga, misalnya, penelitian LIPI (2001) tentang bagaimana Orde Baru mengubah pemaknaan atas pemikiran pendidikan Dewantara yang progresif itu untuk menjadi alat yang ampuh bagi otoritarianisme. Dalam kaitan ini, penelitian Shiraishi (2001) mengemukakan bahwa “keluarga Indonesia” sebenarnya lahir melalui proses konstruksi sosial pada masa-masa pergerakan nasional. Dewantara dan aktivismenya bersama Taman Siswa memberikan kontribusi sangat penting dalam pembentukan wacana “keluarga Indonesia” itu. Pada titik inilah sebenarnya wacana Orde Baru juga beroperasi untuk menundukkan “keluarga Indonesia” dalam kepentingan otoritarianismenya.
20
tumbuhnya wacana keluarga yang baru yang terlibat aktif di wilayah publik melalui
arena pendidikan.
Sebagai ilustrasi, saya akan membahas sedikit satu aspek pembelajaran di
rumah KerLip, yaitu apa yang mereka sebut LIBRA (Lembar Inspirasi bagi Beragam
Anak).18 LIBRA merupakan rencana pembelajaran yang disusun oleh tutor
berdasarkan topik utama yang sudah disepakati oleh tim kajian pembelajaran. LIBRA
merupakan cara komunitas sekolah rumah KerLip untuk membangun bahan ajar
sendiri untuk menghindari kecenderungan pemakaian buku ajar sekolah formal.
Contoh LIBRA berikut ini saya kutip dari Sriyulianti (2008, 35).
Tahukah kamu dalam Undang-Undang Perlindungan Anak Nomor 23 tahun 2002 dinyatakan bahwa setiap anak berhak untuk beristirahat dan memanfaatkan waktu luang, bergaul dengan anak sebaya, bermain, berekreasi, dan berkreasi sesuai dengan minat, bakat dan tingkat kecerdasanna demi perkembangan diri (pasal 11). Selain melindungi hakmu, kewajibanmu untuk menghormati orang tua, wali, guru, mencintai keluarga, masyarakat dan menyayangi teman, mencintai tanah air, bangsa dan negara ada dalam UU tersebut (pasal 19).
Ibumu khawatir dengan kebiasaanmu bermain dan menonton televisi. Kekhawatiran ini disampaikan pada Forum OK! Obrolan Keluarga Peduli Pendidikan tanggal 4 November 2007 lalu. Mengapa ibumu khawatir? Mengapa bermain lebih asyik daripada belajar? Apakah belajar bisa asyik seperti bermain?
Ayo kamu coba Cara Asyik Cari Tahu saat kamu jalan-jalan, baca buku dan nonton TV. Kamu bisa bermain sambil belajar lho! Orang tuamu juga tidak akan khawatir lagi. Kalau sudah mencobanya, kamu bisa menyusun kegiatan bermain sambil belajar lainnya bersama ayah, ibu, kakak, adik atau yang lainnya.
Selamat mencoba!
Di dalam lembar belajar ini terlihat bagaimana konsep “anak merdeka”
dibangun secara eksplisit dengan meletakkan kegiatan belajar yang mikro (paragraf
18 Praktek pembelajaran di sekolah rumah KerLip merupakan hal yang penting untuk diteliti lebih jauh untuk melihat secara lebih nyata bagaimana konsep “anak merdeka” itu diterapkan dan berhadapan dengan berbagai hambatan, resistensi, modifikasi dan kemungkinan. Namun, tentu saja persoalan itu berada di luar lingkup makalah ini.
21
ketiga) ke dalam konteks makro (paragraf pertama). Di samping itu, konflik orang tua
dan anak juga tidak disembunyikan (paragraf kedua), tetapi menjadi bagian dari
proses pembelajaran. Dengan demikian, pengetahuan yang dibangun anak melalui
kegiatan mandirinya diarahkan untuk dapat memperkuat posisinya dalam tegangan
kepentingan masyarakat (yang tercermin dalam perundang-undangan) dan
kepentingan orang tua (yang tercermin dalam kecemasan mereka). Dari contoh ini,
kita bisa melihat bagaimana sekolah rumah KerLip memperlakukan konstruksi
pengetahuan dalam relasi kuasa.
4.2 Keluarga Peduli: Antara Pasar, Negara, dan Keluarga
Melalui konsep “anak merdeka” itu, pada dasarnya KerLip sedang membangun
representasi yang lain tentang anak yang berkontestasi dengan representasi dominan
yang menguasai wilayah publik (sekolah) yang mengusung konsep anak “cerdas” dan
“kompetitif”. Namun, di sisi lain, konsep “anak merdeka” juga ternyata membawa
konsekuensi yang lain di wilayah privat (rumah/keluarga), yaitu implikasi perubahan
dalam representasi tentang ibu dan relasi kuasa di dalam keluarga yang pada
gilirannya mempersiapkan ruang (space) bagi tumbuhnya wacana keluarga yang baru
yang terlibat aktif di wilayah publik melalui arena pendidikan.
Selama ini wacana dominan pendidikan telah meminggirkan orang tua dari
lembaga sekolah. Orang tua atau lembaga keluarga dipandang sebagai bagian dari
ruang privat yang tidak cocok dengan tuntutan sekolah sebagai bagian dari ruang
publik. Pemisahan itu tentu terkait erat dengan dominasi wacana patriarkis-kapitalistik
yang juga beroperasi dalam dunia pendidikan. Pemisahan tersebut, misalnya, dapat
dipahami melalui teori proses kerja mengajar (labour process theory of teaching).
Menurut Smyth dkk. (2000, 24-25), teori ini melihat kerja mengajar sebagai suatu
22
proses produksi yang bertujuan untuk mengolah bahan mentah, yakni murid beserta
modal kulturalnya, untuk menjadi produk/komoditas dalam wujud angkatan kerja dan
warga negara. Untuk itu, diperlukan instrumen produksi (yakni kurikulum, fasilitas
pengajaran, dan sebagainya) dan pekerja (yakni guru) yang, dalam kasus sekolah
publik, keduanya dimiliki oleh negara. Murid yang telah menjadi produk/komoditas
itu kemudian “dibeli” oleh dua kelompok pembeli potensial, yakni para kapitalis dan
negara. Sebagai pembeli potensial, kedua kelompok ini dengan sendirinya memiliki
kepentingan untuk mempengaruhi proses produksi sebelum produk dihasilkan agar
memperoleh keuntungan yang semaksimal mungkin. Oleh karena itu, proses
pendidikan di sekolah merupakan proses politik karena berbagai pihak yang
berkepentingan bersaing dalam proses produksi. Pihak yang dominan akan berupaya
mengendalikan proses produksi secara terus-menerus (reproduktif) demi
kepentingannya. Dalam proses ini, keluarga/orang tua diperlakukan hanya sebagai
konsumen yang pasif oleh pasar, di satu sisi, dan sebagai warga yang partisipasinya
dibatasi oleh negara, di sisi lain.
Di masa Orde Baru, misalnya, ketika wacana keamanan menjadi dominan,
partisipasi orang tua dalam penentuan kebijakan pendidikan dan proses pembelajaran
di sekolah sangat dibatasi. Keluarga disingkirkan secara sistematis dari ruang publik.
Kita bisa melihat penyingkiran ini, misalnya, melalui buku ajar yang digunakan di
sekolah yang merepresentasikan keluarga Budi dalam kenyamanan dan stabilitas
ruang privat (Shiraishi 2001, 208-213). Meskipun dalam perkembangan di tahun ‘90-
an terdapat perubahan nama tokohnya, yaitu Budi diganti dengan Kiki atau nama
perempuan yang lain—karena adanya kesadaran di dunia pendidikan saat itu untuk
memperhatikan kesetaraan jender—namun, menurut Shiraishi (2001, 212)
23
“penggantian tersebut pengaruhnya kecil terhadap sintaksis keluarga yang
diperkenalkan kepada para murid.”
Akan tetapi, perkembangan di masa Reformasi memperlihatkan bahwa proses
komodifikasi pendidikan mulai mendominasi. Rendahnya kualitas sumber daya
manusia Indonesia telah mendorong banyak kalangan untuk melancarkan kritik
terhadap merosotnya mutu pendidikan di sekolah-sekolah kita. Meskipun persoalan
mutu ini sangat terkait dengan buruknya kondisi kerja guru yang berujung pada proses
deskilling kerja guru, seperti diuraikan pada bagian terdahulu, pemerintah ternyata
lebih memilih untuk mengikuti logika komodifikasi untuk mengatasi persoalan
tersebut, yaitu dengan mendorong kebijakan standardisasi pendidikan, sertifikasi
guru, dan ujian nasional. Dalam situasi seperti ini, muncullah sekolah-sekolah swasta
yang menawarkan berbagai jaminan keunggulan yang disesuaikan dengan tuntutan
wacana globalisasi. Dengan demikian, sekolah sebagai lembaga publik perlahan-lahan
masuk ke dalam proses privatisasi dalam skema ekonomi neoliberal. Skema ini
meletakkan orang tua/keluarga dalam posisi yang ambivalen, yaitu diakui
partisipasinya untuk mendorong akuntabiltas penyelenggaraan sekolah, namun
dikonstruksi pula sebagai konsumen yang patuh atau pasif. Dengan kata lain,
partisipasi keluarga hanya diakui sejauh untuk mendukung dan mempertahankan
proses pembentukan identitas konsumen yang pasif itu. Orang tua didorong untuk
menggunakan “pilihan bebas pribadi”-nya terhadap sekolah yang bermutu untuk
anak-anak mereka dan karena itu mereka bersedia membayar lebih mahal. Di sini
orang tua seolah-olah diposisikan sebagai subyek pendidikan melalui pengakuan atas
pilihan bebas dan partisipasinya. Tetapi, yang disingkirkan dari wacana privatisasi
dan manajerialisme ini adalah posisi sekolah sebagai ruang publik.
24
Dalam relasi pasar, negara, keluarga di arena pendidikan itulah sekolah rumah
KerLip membangun strategi wacananya tentang “keluarga peduli”. Menurut Yanti,
konsep ini berarti bahwa “dalam kondisi terlemahpun keluarga harus tetap
mengutamakan terpenuhinya hak atas pendidikan sebagai dasar bagi terpenuhinya hak
asasi manusia.” Karena itu, lanjutnya, “gerakan masyarakat sipil terutama di
pendidikan bertumpu pada kepedulian keluarga untuk memastikan hak atas
pendidikan dipenuhi oleh pihak yang berkewajiban untuk menghormati, memenuhi,
dan melindungi hak warga negara yang paling pokok tersebut.”19 Karena itu, sekolah
rumah KerLip melawan kecenderungan komodifikasi sekolah rumah, di satu sisi, dan
mendesak negara menjalankan kewajiban publiknya untuk menjamin pendidikan yang
bermutu bagi warganya, di sisi lain. Jadi, dapat dikatakan di sini bahwa dengan
konsep “keluarga peduli”, sekolah rumah dimanfaatkan oleh KerLip untuk
memperkuat posisi lembaga keluarga terhadap tarikan pasar dan tekanan negara di
arena pendidikan.
Dalam strategi tersebut, KerLip kemudian harus pula menghadapi problem
jender karena dalam prakteknya sekolah rumah memposisikan ibu sebagai “guru”.
Dalam konteks ini, muncullah persoalan yang pelik: sejauh mana peran baru ibu
sebagai “guru” tidak malah jatuh ke dalam beban ganda, tetapi justru memperkuat
posisi tawar perempuan (istri) dalam relasinya dengan laki-laki (suami) untuk pada
gilirannya memperkuat posisi keluarga dalam relasinya dengan negara dan pasar di
arena pendidikan? Selagi pendidikan dasar saat ini merupakan tanggung jawab
pemerintah dalam program wajib belajar 9 tahun, pemerintah tetap bertanggung jawab
terhadap pembiayaan sekolah rumah sebagai bagian dari sekolah non-formal, namun
sejauh mana para pelaku sekolah rumah itu dapat mengakses segala fasilitas dan
19 Wawancara pada tanggal 28 Juli 2008.
25
sumber pendidikan yang bermutu yang disediakan sebagai bagian dari pelayanan
publik?
Persoalan-persoalan ini belum dapat dijawab dalam studi awal ini. Meskipun
demikian, kesadaran bahwa sekolah rumah itu terkait erat dengan persoalan jender
memang sudah sejak awal menjadi pertimbangan penting bagi KerLip. Yanti
mengemukakan bahwa dalam konteks gerakan perempuan di Indonesia KerLip
mengedepankan pentingnya partisipasi perempuan dalam pengambilan keputusan di
dalam keluarga dan masyarakat demi kepentingan terbaik anak dan perempuan itu
sendiri. “Keadilan sosial bisa ditegakkan jika perempuan setara dengan laki-laki baik
di wilayah domestik maupun publik,” ujarnya.
Terkait dengan persoalan jender itu, satu hal yang bisa saya kemukakan di sini
adalah tentang kemugkinan sekolah rumah KerLip untuk dapat menjadi ruang
berlangsungnya proses reskilling bagi perempuan yang menjadi ibu.20 Misalnya,
sekolah rumah KerLip dapat menjadi arena baru pembentukan representasi identitas
“ibu sebagai pendidik utama”. Jika selama ini, identitas tersebut memang diakui
dalam masyarakat patriarkis, tetapi sekaligus juga disempitkan di ruang privat, maka
melalui sekolah rumah KerLip identitas tersebut “diformalkan” dan dikembalikan ke
ruang publik. Apalagi, KerLip juga mendorong terbentuknya ikatan pelaku sekolah
rumah dalam tingkat komunitas yang membuat para ibu itu dapat berorganisasi secara
publik dan dengan itu terlibat dalam gerakan masyarakat sipil melalui pendidikan.
Dengan demikian, para ibu itu dapat dihadapkan pada kesadaran kritis bahwa anak-
anak mereka pada dasarnya adalah figur yang diperebutkan oleh pasar, negara, dan
20 Istilah reskilling merujuk pada upaya untuk menghentikan atau melawan proses deskilling yang dikemukan Giroux (1988) yang telah saya kutipkan pada bagian terdahulu. Konsep deskilling memang dibentuk untuk menjelaskan kondisi kerja guru, tetapi saya pikir istilah ini dapat pula diterapkan untuk konteks kondisi kerja perempuan sebagai istri dan ibu di dalam istitusi keluarga. Dalam sejarah pemikiran feminis, kondisi itu bisa dikaitkan dengan apa yang dulu pernah disebutkan oleh Betty Freidan (1963/1974) sebagai “the problem that has no name”.
26
keluarga patriarkis. Dengan kesadaran baru itulah, mereka membangun kekuatan
bersama anak-anak mereka dan dalam konteks itu pula konsep “anak merdeka” perlu
diposisikan.
Semua ini tidak dapat dilepaskan dari persoalan mothering itu sendiri, yaitu
bagaimana seorang perempuan mengalami proses menjadi ibu sebagai proses sosial-
historis yang relasional, bukan natural esensialis. Proses ini tergambar dalam
penuturan Yanti sendiri tentang pengalamannya sebagai anak di masa lalu dan ibu di
masa kini:
Rasanya tidak nyaman menjadi orang yang terpinggirkan bahkan dari saudara kandung dan keluarga besar karena beberapa keterbatasan. Perlakuan tidak adil akibat kondisi sosial ekonomi keluarga orang tua dan kekerasan fisik yang dialami, awalnya diyakini karena saya bandel. Rasa ingin tahu yang tak kunjung padam terkait dengan rentannya posisi anak di hadapan orangtua apalagi dengan adanya keyakinan tentang anak durhaka jika melawan orangtua tanpa disadari atau disadari belakangan menjadi sumber inspirasi saya untuk menjadi penggiat perlindungan hak-hak anak. Keyakinan bahwa pendidikan dapat mengakhiri kemiskinan, mengantarkan saya sampai pada komitmen untuk memperjuangkan pemenuhan hak atas pendidikan, terutama bagi pihak yang paling rentan secara sosial, ekonomi, dan budaya. Uniknya, (anak saya) Fitry yang dapat membaca pada usia 18 bulan dan menulis 24 bulan, tidak lebih hebat dari Zakky yang sangat sensitif dan selalu siap membantu meski baru bisa membaca di usia 7 tahun. Apalagi, dengan Icha yang merupakan kombinasi keduanya. Ketiga anak yang dilahirkan dari rahim dan keluarga yang sama memiliki keunikan tersendiri. Mereka adalah para juara yang menginspirasi ibunya untuk memelihara rasa ingin tahu agar menemukan berbagai model pelayanan terbaik bagi setiap anak untuk dapat menikmati indahnya dunia belajar dalam lingkup negara yang sejahtera. Seluruhnya mendorong saya untuk selalu tanpa henti menunjukkan kepedulian dalam pendidikan.21
4.3 Kembali ke Sekolah: dari Ujian Nasional ke FGII
Berbagai hal yang sudah saya paparkan mengenai strategi wacana sekolah KerLip
pada bagian terdahulu sebenarnya dapat dipandang sebagai sebagian dari
kompleksitas aktivisme perempuan di masa Reformasi. Budianta (2004, 341-342)
dalam studinya tentang munculnya aktivisme perempuan pada masa Reformasi
21 Wawancara, 28 Juli 2008
27
menyatakan bahwa kita dapat lebih optimis terhadap dampak gerakan perempuan
terhadap perkembangan demokrasi di Indonesia. Dalam kata-katanya:
Krisis ekonomi, kerusuhan Mei 1998, dan keresahan-keresahan sosial yang mengikutinya telah menyentuh kesadaran banyak perempuan Indonesia, termasuk sebagian besar kelas-menengah serta buruh dan perempuan miskin Jakarta…. Krisis telah membuka mata mereka pada masalah eksploitasi jender dalam struktur-struktur sosial yang dibangun Orde Baru. Krisis juga menyadarkan mereka pada isu-isu yang mencolok tentang perbedaan—agama, etnis, kelas, dan daerah—di dalam kehidupan berbangsa serta di kalangan perempuan sendiri….. Tidak berlebihan untuk mengklaim bahwa aktivisme perempuan, terlepas dari kendala internal maupun eksternal, telah meletakkan basis yang penting bagi perjuangan selanjutnya menuju masyarakat madani yang lebih demokratis.
Karena itu, Budianta (2004, 335) berpandangan bahwa “mobilitas budaya yang
penting terletak dalam dinamika aktivisme perempuan yang sangat kompleks…
ketimbang dalam sistem linier dan formal yang menempatkan sejumlah pemimpin
perempuan dalam kedudukan politik yang ada.” Saya kira aktivisme Yanti bersama
KerLip dan rumah sekolahnya merupakan bagian dari mobilitas budaya yang penting
itu.
Akan tetapi, beberapa keterbatasan menghadang. Terlepas dari pemberdayaan
orang tua yang memang tidak mudah dan terbatasnya sumber daya di KerLip sendiri,
belakangan muncul pula upaya pemerintah untuk menerapkan standardisasi bagi
sekolah rumah melalui program pendidikan kesetaraan. Hal ini pada gilirannya akan
menggiring sekolah rumah untuk masuk ke dalam skema besar pendidikan formal
yang didominasi oleh wacana manajerialisme. Gerakan reformasi pendidikan berbasis
keluarga yang diusung KerLip menemukan keterbatasannya di sini karena perundang-
undangan publik di bidang pendidikan memang cenderung memposisikan keluarga
sebagai urusan privat sehingga tidak diakui keterlibatannya dalam ruang publik.
Dalam situasi ini, diperlukan suatu wadah organisasi yang dipandang lebih bersifat
28
publik yang mampu mendukung tujuan-tujuan gerakan tersebut. Yanti menyadari
keterbatasan ini ketika dia mengatakan:
Kerumitan legalitas pendidikan kesetaraan mendorong saya untuk menyiapkan SMP Bhakti Nusantara sebagai sekolah payung bagi peserta didik homeschooling KerLiP. Rencana Program Pengembangan Sekolah tersebut sedang dalam tahap pembuatan komitmen bersama guru dan kepala sekolah. Sebenarnya, gagasan tentang sekolah payung ini sudah dirintis oleh para penggiat homeschooling bersama Pusat Penelitian Kebijakan dan Inovasi Pendidikan Depdiknas RI, namun terkendala dengan paradigma pendidikan yang masih berorientasi pada pemindahan kerumitan sekolah ke rumah.22
Masuknya Yanti ke SMP Bhakti Nusantara merupakan tahap lebih lanjut
dalam aktivismenya selama ini. Selain memungkinkan dia untuk membangun sekolah
payung bagi peserta didik sekolah rumah untuk penyetaraan mereka, tindakan ini
membuat dia mendapatkan status baru, yaitu guru sekolah formal, dan dengan
demikian dia dapat menjadi anggota Federasi Guru Independen Indonesia (FGII),
yaitu organisasi yang dapat dipandang lebih publik dalam dunia pendidikan, seperti
dimaksud di atas. Keterlibatannya di FGII itu memungkinkannya secara langsung
untuk membantu mendorong serikat guru ini untuk lebih progresif dan mampu
menjadi penyeimbang terhadap wacana dominan pendidikan saat ini. Selama ini
keterlibatannya di FGII hanya secara tidak langsung melalui upaya saling dukung
dalam gerakan pendidikan, misalnya dalam upaya menggugat Ujian Nasional sejak
beberapa tahun yang lalu, yang kini perkaranya sedang ditangani oleh Mahkamah
Agung.
Bergabungnya Yanti ke FGII dan dipercayanya dia sebagai Wakil Sekjen FGII
dalam Kongres III FGII bulan Juli yang lalu merupakan babak baru dalam
aktivismenya. Dalam babak baru ini, Yanti dan gerakan sekolah rumah KerLip akan
berhadapan dengan formasi relasi kuasa dan kemungkinan yang baru, yaitu
bagaimana menyatukan gerakan keluarga dan gerakan guru ke dalam suatu langkah
22 Wawancara, 28 Juli 2008
29
yang strategis untuk mendorong negara mewujudkan pelayanan pendidikan yang
bermutu dan merata bagi seluruh generasi muda warga negara Indonesia. Sampai di
sini cerita saya sudah bertemu lagi dengan titik awal ketika saya memulainya dan
karena itu sudah saatnya ditutup.
5. Penutup: Sekolah Rumah, Pendidikan Multikultur, dan Cultural Studies
“Protecting religious identities and transforming both education and the larger world
go hand in hand. One of the ways that the differentitaion of inside from outside can be
accomplished and maintained is through home schooling,” demikian Michael Apple
(2001, 171), salah seorang tokoh terkemuka dalam pedagogi kritis, memulai
analisisnya tentang sekolah rumah di Amerika Serikat. Dia mengkhawatirkan
perkembangan sekolah rumah di sana yang sangat dipengaruhi oleh sikap
keberagamaan (Kristen) yang konservatif. Untuk menggambarkan sikap semacam itu,
dia mengutipkan ucapan aktivis perempuan konservatif Baverly LaHaye yang
melawan gerakan feminis di sana. Kutipan itu (Apple 2001, 174) kini saya kutipkan
lagi:
I sincerely believe that God is calling the Christian women of America to draw together in a spirit of unity and purpose to protect the rights of the family. I believe that it is time for us to set aside our doctrinal differences to work for a spiritually renewed America. Who but a woman is a as deeply concerned about her children and her home? Who but a woman has the time, the intuition, and the drive to restore our nation?... They may call themselves feminists or humanists. The label makes little difference, because many of them are seeking the destruction of morality and human freedom.
Apple (2001, 181) menjelaskan bahwa gerakan sekolah rumah seperti itu
memang sebagian dilatarbelakangi oleh kekecewaan terhadap sekolah publik di sana
yang oleh kelompok konservatif itu digambarkan sebagai tempat yang berbahaya,
sebagai “institutions that threatened one’s very soul. Temptations and godlessness
were everywhere within them. God’s truths were expunged from the curriculum and
30
God’s voice could no longer be heard. Prayers were now illegal and all of the
activities that bound one’s life to scriptural realities were seen as deviant.” Namun,
Apple sendiri memandang bahwa gerakan sekolah rumah dan kekecewaan mereka
terhadap sekolah publik itu tidak dapat dilepaskan dari problem makro yang
berkenaan dengan ketidakadilan sosial dan segmentasi yang makin meningkat di
masyarakat Amerika itu sendiri. Dalam kata-kata Apple (2001, 176):
As we move to a society segregated by residence, race, economic opportunity, and income, “purity” is increasingly more apt to be found in the fact that upper classes send their children to elite private schools; where neighborlines is determined by property values; where evangelical Christians, ultraorthodox Jews, and others anly interact with each other and their children are schooled in private religious schools or schooled at home. A world free of conflict, uncertainty, the voice and culture of the Other…is the ideal.
Kecenderungan sikap para pelaku sekolah rumah yang ada di Amerika Serikat itu
memang tidak terjadi di sekolah rumah KerLip sejauh yang dapat saya amati—
meskipun sikap semacam itu bukan tidak mungkin sudah muncul di sekolah rumah
yang lain. Yanti sendiri sudah sejak lama mewaspadai kecenderungan tersebut. Dia
menuturkan hal itu berkenaan dengan pengalamannya dalam sebuah organisasi Islam
di Masjid Salman Bandung.
Sejak kelas 2 SMA saya menyatakan memerlukan “rumah” sebagai tempat kembali yang siap bertausiah dalam kebaikan dan ketakwaan, namun karena khawatir fanatik, saya menyatakan tidak bersedia mengikuti aturan-aturan tertutup dan tidak jelas bahkan mengaji “di dalam” pun saya hindari kecuali belajar ilmu umum seperti manajemen organisasi, manajemen konflik, dan kewirausahaan. Kemudian saya berkenalan dengan faksi lain yang bisa jadi berasal dari jamaah yang sama. Faksi inilah yang kemudian saya minta untuk mendidik saya bersama teman-teman ITB dan UPI Bandung. Di sanalah saya berkenalan dengan laki-laki yang kemudian menjadikan saya sebagai istrinya. Suamilah yang mendidik saya lebih egaliter, mengenal khazanah peradaban dunia, dan aktif dalam diskusi tentang pemikiran keagamaan. Pergaulan kami dengan teman-teman se-kampus yang semula menyatakan diri atheis kemudian kembali pada Islam mengantarkan saya pada pemahaman multikulturalisme.23
23 Wawancara tanggal 28 Juli 2008.
31
Dari penuturan Yanti ini, saya kira menjadi sangat penting untuk
memposisikan sekolah rumah KerLip pada khususnya dan gerakan keluarga dan guru
pada umumnya dalam kerangka pendidikan multikultur secara lebih terencana untuk
menjadi wacana penyeimbang atas wacana dominan pendidikan saat ini, seperti
pernah diupayakan pada awal Reformasi oleh beberapa kalangan intelektual.24 Untuk
keperluan itu, masuknya cultural studies ke lapangan pendidikan menjadi sangat
dibutuhkan. Dalam salah satu tulisannya, “Cultural Studies, Public Pedagogy, and the
Responsibility of Intellectuals” (2004), Henry A. Giroux menyatakan bahwa
perspektif cultural studies itu penting bagi pedagogi karena perspektif ini bersifat
lintas disiplin, kontekstual, reflektif, dan terbuka. Di samping itu, perspektif ini
memandang pedagogi sebagai suatu kritik kebudayaan. Menurut Giroux, hal ini
berarti bahwa peran pedagogi tidak hanya terbatas pada upaya mengubah bagaimana
seorang murid memandang dirinya sendiri dan hubungannya dengan orang lain, tetapi
juga mendorong murid, guru, dan berbagai pihak lainnya untuk terlibat dalam upaya
perubahan ke arah kehidupan sosial yang lebih demokratis dan adil.
---
24 Sleeter (2005) melakukan studi yang cukup komprehensif tentang bagaimana melakukan kontestasi di level praktek pembelajaran terhadap skema pendidikan yang didominasi oleh wacana standardisasi saat ini. Dia menawarkan suatu desain kurikulum multikultur yang dapat dengan strategis “disusupkan” ke dalam kerangka kurikulun dominan yang berbasis standardisasi.
32
Daftar Acuan
Apple, Michael W. 2001. Educating the “Right” Way: Markets, Standards, God, and Inequality. New York: RoutledgeFalmer.
Budianta, Melani. 2003. Multiculturalism: In Search of A Framework for Managing Diversity in Indonesia. Makalah dalam Regional Workshop “Multicultural Education: Sharing Experiences”, 17-19 Juni 2003. Depok: Universitas Indonesia.
______. 2004. Tragedi yang Menuai Berkah: Munculnya Aktivisme Perempuan dalam Masa Reformasi. Dalam Ariel Heryanto dan Sumit K. Mandal (Ed.). Menggugat Otoriterisme di Asia Tenggara. Jakarta: Kepustakaan Populer Gramedia.
Dhakidae, Daniel. 2003. Cendekiawan dan Kekuasaan dalam Negara Orde Baru. Jakarta: Gramedia.
FGII. 2008. “Pernyataan Sikap Federasi Guru Independen Indonesia tentang Perlindungan Guru”. Jakarta: FGII.
Freidan, Betty. 1963/1974. The Feminine Mystique: Tenth Anniversary Edition. New York: W.W. Norton & Co.
Giroux, Henry A. 1983. Theory and Resistance in Education: A Pedagogy for the Opposition. Massachusetts: Bergin & Garvey.
________. 1988. Teachers As Intellectuals: Toward A Critical Pedagogy of Learning. New York: Bergin & Garvey.
_________. 2004. Cultural Studies, Public Pedagogy, and the Responsibility of Intellectuals. Jurnal Communication and Critical/Cultural Studies, Vol. 1 No. 1.
KerLip. 2007. Kajian Pengembangan Model Bahan Ajar Komunitas Sekolah Rumah. Koalisi Pendidikan. 2005. Position Paper Koalisi Pendidikan tentang Draft RUU Guru
dan Dosen Keluaran 24 November 2005. Jakarta: Koalisi Pendidikan.LIPI (Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia). 2001. Kebijakan Kebudayaan Pada
Masa Orde Baru. Jakarta: LIPI.Nugroho, Heru. 2006. Ekonomi Politik Pendidikan Tinggi: Universitas sebagai Arena
Perebutan Kekuasaan. Dalam Hadiz, Vedi R. dan Dakhidae, Daniel (Ed.). Ilmu Sosial dan Kekuasaan di Indonesia. Jakarta: Equinox Publishing.
Peters, Michael, Marshall, James, and Fitzsimons, Patrick. 2000. Managerialism and Educational Policy in a Global Context: Foucault, Neoliberalism, and the Doctrine of Self-Management. Dalam Burbules, Nicholas C. dan Torres, Carlos Alberto (Ed.). Globalization and Education: Critical Perspectives. New York: Routledge.
Shiraishi, Saya Sasaki. 2001. Pahlawan-pahlawan Belia: Keluarga Indonesia dalam Politik. Jakarta: Kepustakaan Populer Gramedia.
Sleeter, Christine E. 2005. Un-Standardizing Curriculum: Multicultural Teaching in the Standards-Based Classroom. New York: Teachers College Press.
Smyth, John, dan Shacklock, Geoffrey. 1998. Re-Making Teaching: Ideology, Policy, and Practice. London: Routledge.
Smyth, John, dkk. 2000. Teacher’s Work in a Globalizing Economy. London: Falmer Press.
Sriyulianti, Yanti. 2008. Penduan Pengembangan Kurikulum Anak Merdeka (Komunitas Homeschooling KerLiP). Bandung: Penelitian dan Pengembangan Perkumpulan Keluarga Peduli Pendidikan.
33
Stanley, dkk. 2007. Menggugat Amanat Hati Nurani Rakyat. Jakarta: Komite Anti Pemberangusan Serikat Pekerja.
Tilaar, H.A.R. 2006. Standarisasi Pendidikan Nasional: Suatu Tinjauan Kritis. Jakarta: Rineka Cipta.
Usher, Robin dan Edwards, Richard. 1994. Postmodernism and Education. New York: Routledge.
Wisudo, P. Bambang. 2005a. “Gerakan Orangtua Murid Menembus Sekolah”. Kompas. 11 Oktober.
_______. 2005b. “Anak-anak Merdeka di SD Hikmah Teladan”. Kompas. 12 Oktober.
_______. 2005c. “Guru-guru yang Tak Berhenti Belajar”. Kompas. 13 Oktober._______. 2005d. “Pemberontakan Aripin Memperbarui Sekolah”. Kompas. 17
Oktober._______. 2006. “Suara Mereka Tak Didengar oleh Wakil Rakyat”. Kompas. 4 Mei._______. 2007. Membangun Budaya Serikat Pekerja di Perusahaan Pers. Dalam
Stanley, dkk. Menggugat Amanat Hati Nurani Rakyat. Jakarta: Komite Anti Pemberangusan Serikat Pekerja.
34