Upload
adedidikirawan
View
983
Download
0
Embed Size (px)
DESCRIPTION
MEMUAT ASAS-ASAS PEMERINTAHAN YANG BAIK PENGERTIAN GOOD GOVERNANCEUNSUR-UNSUR
Citation preview
tinjauan umum penyelsaiansengketa tata usaha Negara di kaitkan dengan UU
No.5/1986 serta kontroversi tentang eksekusi putusan PTUN
di ajukan sebagai salah satu tugas mata kuliah hokum administrasi negara
DOSEN PEMBIMBING : AHMAD SHODIK.SH.MH
NAMA : ADE DIDIK IRAWAN
ENJANG HENDARSYAH
HILMI
ASEP DIDIN
FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS SUBANG
1
KATA PENGANTAR
Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Illahi Robi, Allah SWT , yang telah
melimpahkan segala rahmat taufik hidayah serta nikmat yang tiada batasnya sehingga
penulis dapat menyelsaikan karya tulis ini .
Tema yang di ambil oleh penulis dalam penyusunan karya tulis ini adalah mengenai
peradilan Tema ini di ambil karena Peradilan adalah organisasi yang diciptakan negara
untuk memeriksa dan menyelesaikan sengketa hukum.di dalam masyarakat dan
menciptakan keadiulan[1] .
Adapun judul yang akan dikembangkan penulis dalam karya tulis ini adalah tinjauan
umum penyelsaiansengketa tata usaha Negara di kaitkan dengan uu no.5/1986 serta
kontroversi tentang eksekusi putusan PTUN
Melalui karya tulis ini penulis ingin menjelaskan sejarah terbentuknya Peradilan Tata
Usaha Negara adalah untuk menyelesaikan sengketa antara pemerintah dengan warga
negaranya dan pembentukan lembaga yang bertujuan mengkontrol secara yuridis
(judicial control) tindakan pemerintahan yang dinilai melanggar ketentuan administrasi
(mal administrasi) ataupun perbuatan yang bertentangan dengan hukum (abuse of power)
seiring dengan hal itu , penyusunan karya tulis ini juga bertujuan untuk memenuhi salah
satu tugas mata kuliah hokum administrasi Negara
Penulis mengucapkan terima kasih kepada pihak-pihak yang telah membantu penulis
dalam penyusunan karya tulis ini , diantaranya :
1. Bpk. Prof. DR. YOSSI ADI WISASTRA, (Rector Universitas Subang)
2. Bpk. Drs. DEDDY AS SHIDIK, (Dekan Fakultas Hukum )
3. Bpk.AHMAD SHODIK ,SH,MH
2
4. Ayahanda dan Ibunda yang telah memberikan dorongan materil maupun sepiritual
hingga tersusunnya karya tulis ini.
Penulis juga berharap semoga karya tulis ini bermanfaat oleh penulis khususnya dan oleh
kita pada umumnya .
Penulis menyadari bahwa karya tulis ini sangat jauh dari sempurna , karena :
1. Kurangnya sumber-sumber pokok bahasan
2. Terbatasnya waktu yang tersedia
3. Karya tukis ini merupakan karya tulis yang pertama ditulis oleh penulis . jadi ,
penulis kurang berpengalaman dalam pokok bahasan karya tulis ini
Untuk itu penulis sangat mengharapkan kritik dan saran yang membangun dari pembaca .
semoga Allah SWT senantiasa mengiringi langkah kita . Amin.
3
DAFTAR ISI
KATAPENGANTAR
DAFTAR ISI
BAB I PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang Masalah
1.2. Tujuan
1.3. Sistematika Penulisan
BAB II PEMBAHASAN
A. Sejarah Pengadilan Tata Usaha Negara di Indonesia
B. Tujuan Pembentukan Peradilan Tata Usaha Negara
C. Prosedur Beracara dalam Peradilan Tata Usaha Negara
D. Peradilan Tata Usaha Negara dalam Kenyataan
E. Perbedaan dengan hokum acara perdata
F. Penyelsaian sengketa tata usaha Negara:
I. Melalui Upaya Administrasi (vide pasal 48 jo pasal 51 ayat 3 UU
no. 5 tahun 1986)
II. Melalui Gugatan (vide pasal 1 angka 5 jo pasal 53 UU no. 5 tahun
1986
G.dalam penyelsaian kasus sengketa TUN
H. Hak penggugat dalam penyelsaian kasus sengketa TUN
I. Kewajiban penggugatdalam penyelsaian kasus sengketa TUN
J. Hak tergugat dalam penyelsaian kasus sengketa TUN
4
K. Kewajiban tergugat dalam penyelsaian kasus sengketa TUN
1.Proses pemeriksaan gugatan di PTUN
L. pemanggilan pihak-pihak
M. Kewajiban hakim
N. Pihak ke tiga
KESIMPULAN
DAFTAR PUSTAKA
5
BAB I
PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang Masalah
Dari sudut sejarah ide dibentuknya Peradilan Tata Usaha Negara adalah untuk
menyelesaikan sengketa antara pemerintah dengan warga negaranya dan pembentukan
lembaga tersebut bertujuan mengkontrol secara yuridis (judicial control) tindakan
pemerintahan yang dinilai melanggar ketentuan administrasi (mal administrasi) ataupun
perbuatan yang bertentangan dengan hukum (abuse of power). Eksistensi Peradilan Tata
Usaha Negara diatur dalam peraturan perundang-undangan yang khusus yakni, Undang-
Undang No.5 Tahun 1986 Tentang PTUN yang kemudian dirubah dengan Undang-
Undang No.9 Tahun 2004 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 5 Tahun
1986 Tentang Peradilan Tata Usaha Negara dirasa sudah memenuhi syarat untuk
menjadikan lembaga PTUN yang professional guna menjalankan fungsinya melalui
kontrol yudisialnya. Namun, perlu disadari bahwa das sollen seringkali bertentangan
dengan das sein, salah satu contohnya terkait dengan eksekusi putusan, Pengadilan Tata
Usaha Negara bisa dikatakan belum profesional dan belum berhasil menjalankan
fungsinya.
Sebelum diundangkannya UU No. 9 Tahun 2004 putusan PTUN sering tidak dipatuhi
pejabat karena tidak adanya lembaga eksekutornya dan juga tidak ada sanksi hukumnya
serta dukungan yang lemah dari prinsip-prinsip hukum administrasi negara yang
menyebabkan inkonsistensi sistem PTUN dengan sistem peradilan lainnya, terutama
6
dengan peradilan umum karena terbentur dengan asas dat de rechter niet op de stoel van
het bestuur mag gaan zitten (hakim tidak boleh duduk di kursi pemerintah atau
mencampuri urusan pemerintah) dan asas rechtmatigheid van bestuur yakni atasan tidak
berhak membuat keputusan yang menjadi kewenangan bawahannya atau asas kebebasan
Pejabat tak bisa dirampas. Setelah diundangkannya UU No.9 Tahun 2004 tersebut
diharapkan dapat memperkuat eksistensi PTUN. Namun, dalam UU No. 9 Tahun 2004
itu pun ternyata masih saja memunculkan pesimisme dan apatisme publik karena tidak
mengatur secara rinci tahapan upaya eksekusi secara paksa yang bisa dilakukan atas
keputusan PTUN serta tidak adanya kejelasan prosedur dalam UU No. 9 Tahun 2004
Pasal 116 ayat (4) yakni jika pejabat tidak bersedia melaksanakan putusan maka dapat
dikenakan sanksi upaya paksa membayar sejumlah uang paksa dan/atau sanksi
administratif.
Eksekusi Putusan PTUN juga seringkali tertunda karena adanya upaya banding, kasasi,
atau peninjauan kembali (PK) sehingga memaksa majelis hakim menunda eksekusi, kalau
eksekusi tidak dapat dilaksanakan, maka PTUN berwenang untuk melaporkan kepada
atasan yang bersangkutan yang puncaknya dilaporkan kepada Presiden.
1.2. Tujuan
Dalam karya tulis ini permasalahan yang akan di bahas yaitu mengenai hal-hal sebagai
berikut :
A. Sejarah Pengadilan Tata Usaha Negara di Indonesia
B. Tujuan Pembentukan Peradilan Tata Usaha Negara
C. Prosedur Beracara dalam Peradilan Tata Usaha Negara
D. Peradilan Tata Usaha Negara dalam Kenyataan
7
E. Perbedaan dengan hokum acara perdata
Penyelsaian sengketa tata usaha Negara:
I. Melalui Upaya Administrasi (vide pasal 48 jo pasal 51 ayat 3 UU no. 5
tahun 1986)
II. Melalui Gugatan (vide pasal 1 angka 5 jo pasal 53 UU no. 5 tahun
1986
F. dalam penyelsaian kasus sengketa TUN
G. Hak penggugat dalam penyelsaian kasus sengketa TUN
H. Kewajiban penggugatdalam penyelsaian kasus sengketa TUN
I. Hak tergugat dalam penyelsaian kasus sengketa TUN
J. Kewajiban tergugat dalam penyelsaian kasus sengketa TUN
K.Proses pemeriksaan gugatan di PTUN
I. pemanggilan pihak-pihak
II. Kewajiban hakim
III. Pihak ke tiga
Adapun rumusan masalah yang akan disajikan penulis dalam karya tulis ini adalah
sebagai berikut :
A. Bagaimana Sejarah Pengadilan Tata Usaha Negara di
Indonesia ?
B. Sebutkan Tujuan Pembentukan Peradilan Tata Usaha
Negara ?
C. Bagaimana Prosedur Beracara dalam Peradilan Tata Usaha
Negara ?
8
D. Apa Peradilan Tata Usaha Negara dalam Kenyataan ?
E. Sebutkan Perbedaan dengan hokum acara perdata ?
F. Bagaimana Penyelsaian sengketa tata usaha Negara dengan
upaya sebagai berikut:?
B. Melalui Upaya Administrasi (vide pasal 48 jo pasal 51 ayat 3 UU no. 5
tahun 1986)
C. Melalui Gugatan (vide pasal 1 angka 5 jo pasal 53 UU no. 5 tahun
1986
A. Bagaimana dalam penyelsaian kasus sengketa TUN ?
B. Sebutkan Hak penggugat dalam penyelsaian kasus sengketa
TUN ?
C. Sebutkan Kewajiban penggugatdalam penyelsaian kasus
sengketa TUN ?
D. Bagaimana Hak tergugat dalam penyelsaian kasus sengketa
TUN ?
E. Sebutkan Kewajiban tergugat dalam penyelsaian kasus
sengketa TUN ?
F. Bebutkan Proses jalannya pemeriksaan gugatan di PTUN yang
diantaranya sebagai berikut:
I. pemanggilan pihak-pihak
II. Kewajiban hakim
III. Pihak ke tiga
9
1.3. Sistematika Penulisan
Sistematika penulisan yang digunakan penulis dalam penyusunan karyatulis ini adalah :
Bab I Pendahuluan, yang terdiri dari: latar belakang masalah ,tujuan, dan rumusan
masalah
Bab II pembahasan , yang akan dibahas mengenai :
A. Sejarah Pengadilan Tata Usaha Negara di Indonesia
B. Tujuan Pembentukan Peradilan Tata Usaha Negara
C. Prosedur Beracara dalam Peradilan Tata Usaha Negara
D. Peradilan Tata Usaha Negara dalam Kenyataan
E. Perbedaan dengan hokum acara perdata
F. Penyelsaian sengketa tata usaha Negara:
I. Melalui Upaya Administrasi (vide pasal 48 jo pasal 51 ayat 3 UU no. 5
tahun 1986)
II. Melalui Gugatan (vide pasal 1 angka 5 jo pasal 53 UU no. 5 tahun 1986
I. dalam penyelsaian kasus sengketa TUN
II. Hak penggugat dalam penyelsaian kasus sengketa TUN
III. Kewajiban penggugatdalam penyelsaian kasus sengketa
TUN
IV. Hak tergugat dalam penyelsaian kasus sengketa TUN
V. Kewajiban tergugat dalam penyelsaian kasus sengketa
TUN
10
VI. Proses pemeriksaan gugatan di PTUN
I. pemanggilan pihak-pihak
II. Kewajiban hakim
IV. Pihak ke tiga
Bab III Penutup, dalam bab ini penulis akan menguraikan mengenai kesimpulan.
11
BAB II
PEMBAHASAN
PERADILAN TATA USAHA NEGARA; HARAPAN DAN KENYATAN
“Power tends to corrupt and absolute power corrupt absolutely”
(Lord Acton, 1834-1902)
Latar Belakang Pembentukan Peradilan Tata Usaha Negara Dari sudut sejarah ide
dibentuknya Peradilan Tata Usaha Negara adalah untuk menyelesaikan sengketa antara
pemerintah dengan warga negaranya dan pembentukan lembaga tersebut bertujuan
mengkontrol secara yuridis (judicial control) tindakan pemerintahan yang dinilai
melanggar ketentuan administrasi (mal administrasi) ataupun perbuatan yang
bertentangan dengan hukum (abuse of power). Eksistensi Peradilan Tata Usaha Negara
diatur dalam peraturan perundang-undangan yang khusus yakni, Undang-Undang No.5
Tahun 1986 Tentang PTUN yang kemudian dirubah dengan Undang-Undang No.9 Tahun
2004 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 Tentang Peradilan
Tata Usaha Negara dirasa sudah memenuhi syarat untuk menjadikan lembaga PTUN
yang professional guna menjalankan fungsinya melalui kontrol yudisialnya. Namun,
perlu disadari bahwa das sollen seringkali bertentangan dengan das sein, salah satu
contohnya terkait dengan eksekusi putusan, Pengadilan Tata Usaha Negara bisa
dikatakan belum profesional dan belum berhasil menjalankan fungsinya.
Sebelum diundangkannya UU No. 9 Tahun 2004 putusan PTUN sering tidak dipatuhi
pejabat karena tidak adanya lembaga eksekutornya dan juga tidak ada sanksi hukumnya
serta dukungan yang lemah dari prinsip-prinsip hukum administrasi negara yang
menyebabkan inkonsistensi sistem PTUN dengan sistem peradilan lainnya, terutama
12
dengan peradilan umum karena terbentur dengan asas dat de rechter niet op de stoel van
het bestuur mag gaan zitten (hakim tidak boleh duduk di kursi pemerintah atau
mencampuri urusan pemerintah) dan asas rechtmatigheid van bestuur yakni atasan tidak
berhak membuat keputusan yang menjadi kewenangan bawahannya atau asas kebebasan
Pejabat tak bisa dirampas. Setelah diundangkannya UU No.9 Tahun 2004 tersebut
diharapkan dapat memperkuat eksistensi PTUN. Namun, dalam UU No. 9 Tahun 2004
itu pun ternyata masih saja memunculkan pesimisme dan apatisme publik karena tidak
mengatur secara rinci tahapan upaya eksekusi secara paksa yang bisa dilakukan atas
keputusan PTUN serta tidak adanya kejelasan prosedur dalam UU No. 9 Tahun 2004
Pasal 116 ayat (4) yakni jika pejabat tidak bersedia melaksanakan putusan maka dapat
dikenakan sanksi upaya paksa membayar sejumlah uang paksa dan/atau sanksi
administratif.
Eksekusi Putusan PTUN juga seringkali tertunda karena adanya upaya banding, kasasi,
atau peninjauan kembali (PK) sehingga memaksa majelis hakim menunda eksekusi, kalau
eksekusi tidak dapat dilaksanakan, maka PTUN berwenang untuk melaporkan kepada
atasan yang bersangkutan yang puncaknya dilaporkan kepada Presiden.
A. SEJARAH PENGADILAN TUN DI INDONESIA
Pada masa Hindia Belanda, tidak dikenal Pengadilan Tata Usaha Negara atau dikenal
dengan sistem administratief beroep. Hal ini terurai dalam Pasal 134 ayat (1) I.S yang
berisi:
1. Perselisihan perdata diputus oleh hakim biasa menurut Undang-Undang;
13
2. Pemeriksaan serta penyelesaian perkara administrasi menjadi wewenang lembaga
administrasi itu sendiri.
Kemudian, setelah Indonesia merdeka, yaitu pada masa UUDS 1950, dikenal tiga cara
penyelesaian sengketa administrasi, yaitu:
1. Diserahkan kepada Pengadilan Perdata;
2. Diserahkan kepada Badan yang dibentuk secara istimewa;
3. Dengan menentukan satu atau beberapa sengketa TUN yang penyelesaiannya
diserahkan kepada Pengadilan Perdata atau Badan Khusus.
Perubahan mulai terjadi dengan keluarnya UUU No. 14 Tahun 1970 tentang Ketentuan-
ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman. Dalam Pasal 10 undang-undang tersebut
disebutkan bahwa Kekuasaan Kehakiman dilakukan oleh Pengadilan dalam lingkungan
antara lain Peradilan Tata Usaha Negara. Kewenangan Hakim dalam menyelesaikan
sengketa administrasi negara semakin dipertegas melalui UU No. 5 Tahun 1986 tentang
Peradilan Tata Usaha Negara dimana disebutkan bahwa kewenangan memeriksa,
memutus dan menyelesaikan suatu perkara/sengketa administrasi berada pada
Hakim/Peradilan Tata Usaha Negara, setelah ditempuh upaya administratif.
B. RUANG LINGKUP, TUGAS DAN WEWENANG PTUN
Peradilan Tata Usaha Negara adalah peradilan dalam lingkup hukum publik, yang
mempunyai tugas dan wewenang : “memeriksa, memutus dan menyelesaikan sengketa
Tata Usaha Negara, yaitu suatu sengketa yang timbul dalam bidang hukum TUN antara
orang atau badan hukum perdata (anggota masyarakat) dengan Badan atau Pejabat TUN
14
(pemerintah) baik dipusat maupun didaerah sebagai akibat dikeluarkannya suatu
Keputusan TUN (beschikking), termasuk sengketa kepegawaian berdasarkan peraturan
perundang-undangan yang berlaku “ (vide Pasal 50 Jo. Pasal 1 angka 4 UU No. 5 tahun
1986 Jo. UU No. 9 Tahun 2004).
Berdasarkan uraian tersebut, secara sederhana dapat dipahami bahwa yang menjadi
subjek di Peratun adalah Seseorang atau Badan Hukum Perdata sebagai Penggugat, dan
Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara sebagai Tergugat. Sementara itu yang menjadi
objek di Peratun adalah Surat Keputusan Tata Usaha Negara (beschikking). Subjek dan
Objek gugatan di Peratun ini lebih lanjut akan dijelaskan dalam pembahasan mengenai
unsur-unsur dari suatu Surat Keputusan TUN berikut ini.
Pengertian dari Surat Keputusan TUN disebutkan dalam Pasal 1 angka 3, yaitu :
“Keputusan Tata Usaha Negara adalah Suatu penetapan tertulis yang dikeluarkan oleh
Badan atau Pejabat TUN yang berisi tindakan hukum TUN berdasarkan peraturan
perundang-undangan yang berlaku, yang bersifat konkrit, individual dan final yang
menimbulkan akibat hukum bagi seseorang atau badan hukum perdata.”
Selanjutnya dari pengertian ataupun definisi Keputusan TUN tersebut di atas, dapat
diambil unsur-unsur dari suatu Keputusan TUN, yang terdiri dari
1. Bentuk Penetapan tersebut harus Tertulis
Penetapan Tertulis itu harus dalam bentuk tertulis, dengan demikian suatu tindakan
hukum yang pada dasarnya juga merupakan Keputusan TUN yang dikeluarkan secara
lisan tidak masuk dalam pengertian Keputusan TUN ini. Namun demikian bentuk tertulis
tidak selalu disyaratkan dalam bentuk formal suatu Surat Keputusan Badan/Pejabat TUN,
15
karena seperti yang disebutkan dalam penjelasan pasal 1 angka 3 UU No. 5 tahun 1986,
bahwa syarat harus dalam bentuk tertulis itu bukan mengenai syarat-syarat bentuk
formalnya akan tetapi asal terlihat bentuknya tertulis, oleh karena sebuah memo atau nota
pun dapat dikategorikan suatu Penetapan Tertulis yang dapat digugat (menjadi objek
gugatan) apabila sudah jelas :
- Badan atau Pejabat TUN yang mengeluarkannya.
- Maksud serta mengenai hal apa isi putusan itu.
- Kepada siapa tulisan itu ditujukan dan apa yang ditetapkan didalamnya jelas bersifat
konkrit, individual dan final.
- Serta menimbulkan suatu akibat hukum bagi seseorang atau Badan Hukum Perdata.
2. Dikeluarkan oleh Badan atau Pejabat TUN.
Sebagai suatu Keputusan TUN, Penetapan tertulis itu juga merupakan salah satu
instrumen yuridis pemerintahan yang dikeluarkan oleh Badan
atau Pejabat TUN dalam rangka pelaksanaan suatu bidang urusan pemerintahan.
Selanjutnya mengenai apa dan siapa yang dimaksud dengan
Badan atau Pejabat TUN sebagai subjek Tergugat, disebutkan dalam pasal 1 angka 2 :
“Badan atau Pejabat Tata Usaha negara adalah Badan atau Pejabat yang melaksanakan
urusan pemerintahan berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku.”
Badan atau Pejabat TUN di sini ukurannya ditentukan oleh fungsi yang dilaksanakan
Badan atau Pejabat TUN pada saat tindakan hukum TUN itu dilakukan. Sehingga apabila
yang diperbuat itu berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku merupakan
suatu pelaksanaan dari urusan pemerintahan, maka apa saja dan siapa saja yang
16
melaksanakan fungsi demikian itu, saat itu juga dapat dianggap sebagai suatu Badan atau
Pejabat TUN.
Sedang yang dimaksud dengan urusan pemerintahan adalah segala macam urusan
mengenai masyarakat bangsa dan negara yang bukan merupakan tugas legislatif ataupun
yudikatif. Dengan demikian apa dan siapa saja tersebut tidak terbatas pada instansi-
instansi resmi yang berada dalam lingkungan pemerintah saja, akan tetapi dimungkinkan
juga instansi yang berada dalam lingkungan kekuasaan legislatif maupun yudikatif pun,
bahkan dimungkinkan pihak swasta, dapat dikategorikan sebagai Badan atau Pejabat
TUN dalam konteks sebagai subjek di Peratun.
3. Berisi Tindakan Hukum TUN.
Sebagaimana telah dijelaskan diatas, bahwa suatu Penetapan Tertulis adalah salah satu
bentuk dari keputusan Badan atau Pejabat TUN, dan keputusan yang demikian selalu
merupakan suatu tindakan hukum TUN, dan suatu tindakan hukum TUN itu adalah suatu
keputusan yang menciptakan, atau menentukan mengikatnya atau menghapuskannya
suatu hubungan hukum TUN yang telah ada. Dengan kata lain untuk dapat dianggap
suatu Penetapan Tertulis, maka tindakan Badan atau Pejabat TUN itu harus merupakan
suatu tindakan hukum, artinya dimaksudkan untuk menimbulkan suatu akibat hukum
TUN.
4. Berdasarkan Peraturan Per UU an yang Berlaku.
Kata “berdasarkan” dalam rumusan tersebut dimaksudkan bahwa setiap pelaksanaan
urusan pemerintahan yang dilakukan oleh Badan atau Pejabat TUN harus ada dasarnya
17
dalam peraturan perundang-undangan yang berlaku, karena hanya peraturan perundang-
undangan yang berlaku sajalah yang memberikan dasar keabsahan (dasar legalitas)
urusan pemerintahan yang dilaksanakan oleh Badan atau Pejabat TUN (pemerintah). Dari
kata “berdasarkan” itu juga dimaksudkan bahwa wewenang Badan atau Pejabat TUN
untuk melaksanakan suatu bidang urusan pemerintahan itu hanya berasal atau bersumber
ataupun diberikan oleh suatu ketentuan dalam suatu peraturan perundang-undangan yang
berlaku.
5. Bersifat Konkret, Individual dan Final.
Keputusan TUN itu harus bersifat konkret, artinya objek yang diputuskan dalam
Keputusan TUN itu tidak abstrak, tetapi berwujud, tertentu atau dapat ditentukan, seperti
Pemberhentian si X sebagai Pegawai, IMB yang diberikan kepada si Y dan sebagainya.
Bersifat Individual artinya Keputusan TUN itu tidak ditujukan untuk umum, tetapi
tertentu dan jelas kepada siapa Keputusan TUN itu diberikan, baik alamat maupun hal
yang dituju. Jadi sifat indivedual itu secara langsung mengenai hal atau keadaan tertentu
yang nyata dan ada.
Bersifat Final artinya akibat hukum yang ditimbulkan serta dimaksudkan dengan
mengeluarkan Penetapan Tertulis itu harus sudah menimbulkan akibat hukum yang
definitif. Dengan mengeluarkan suatu akibat hukum yang definitif tersebut ditentukan
posisi hukum dari satu subjek atau objek hukum, hanya pada saat itulah dikatakan bahwa
suatu akibat hukum itu telah ditimbulkan oleh Keputusan TUN yang bersangkutan secara
final.
18
6. Menimbulkan Akibat Hukum Bagi Seseorang / Badan Hukum Perdata.
Menimbulkan Akibat Hukum disini artinya menimbulkan suatu perubahan dalam suasana
hukum yang telah ada. Karena Penetapan Tertulis itu merupakan suatu tindakan hukum,
maka sebagai tindakan hukum ia selalu dimaksudkan untuk menimbulkan akibat hukum
bagi seseorang atau badan hukum perdata. Apabila tidak dapat menimbulkan akibat
hukum ia bukan suatu tindakan hukum dan karenanya juga bukan suatu Penetapan
Tertulis. Sebagai suatu tindakan hukum, Penetapan Tertulis harus mampu menimbulkan
suatu perubahan dalam hubungan-hubungan hukum yang telah ada, seperti melahirkan
hubungan hukum baru, menghapuskan hubungan hukum yang telah ada, menetapkan
suatu status dan sebagainya.
Di samping pengertian tentang Keputusan TUN dalam pasal 1 angka 3 tersebut diatas,
dalam UU Peratun diatur juga ketentuan tentang pengertian yang lain dari Keputusan
TUN, sebagaimana yang disebutkan dalam Pasal 3, sebagai berikut :
(1) Apabila badan atau Pejabat Tata Usaha Negara tidak mengeluarkan keputusan,
sedangkan hal itu menjadi kewajibannya, maka hal tersebut disamakan dengan
Keputusan Tata Usaha Negara.
(2) Jika suatu Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara tidak mengeluarkan keputusan yang
dimohon, sedang jangka waktu sebagaimana yang ditentukan dalam peraturan
perundang-undangan dimaksud telah lewat, maka Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara
tersebut dianggap telah menolak mengeluarkan keputusan yang dimaksud.
(3) Dalam hal peraturan perundang-undangan yang bersangkutan tidak menentukan
jangka waktu sebagaimana dimaksud dalam ayat (2); maka setelah lewat jangka waktu
19
empat bulan sejak diterimanya permohonan, Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara yang
bersangkutan dianggap telah mengeluarkan keputusan penolakan.”
Ketentuan dalam Pasal 3 ini merupakan perluasan dari pengertian Keputusan TUN
sebagaimana dimaksud dalam pasal 1 angka 3 diatas, yang disebut dengan Keputusan
TUN yang Fiktif atau Negatif.
Uraian dari ayat (1) Pasal 3 tersebut merupakan prinsip dasar bahwa setiap Badan atau
Pejabat TUN itu wajib melayani setiap permohonan warga masyarakat yang diterimanya,
yang menurut aturan dasarnya menjadi tugas dan kewajibannya dari Badan atau Pejabat
TUN tersebut. Oleh karenanya apabila badan atau Pejabat TUN melalaikan
kewajibannya, maka walaupun ia tidak mengeluarkan keputusan terhadap suatu
permohonan yang diterimanya itu, ia dianggap telah bertindak menolak permohonan
tersebut.
Ada kalanya dalam aturan dasarnya ditentukan jangka waktu penyelesaian dari suatu
permohonan, maka sesuai dengan ketentuan ayat (2) Pasal 3 tersebut, setelah lewat waktu
yang ditentukan oleh aturan dasarnya, Badan atau Pejabat TUN belum juga
menanggapinya (mengeluarkan keputusan) maka ia dianggap telah menolak permohonan
yang diterimanya.
Sementara itu dalam ayat (3) nya menentukan bahwa apabila aturan dasarnya tidak
menyebutkan adanya batas waktu untuk memproses penyelesaian suatu permohonan
yang menjadi kewajibannya, maka setelah lewat waktu 4 bulan Badan atau Pejabat TUN
tersebut belum juga mengeluarkan keputusan, maka ia juga dianggap telah menolak
permohonan yang diterimanya. Secara keseluruhan, ketentuan dalam Pasal 3 ini
20
merupakan perluasandari pengertian Keputusan TUN (memperluas kompetensi
pengadilan).
Selanjutnya disamping ketentuan yang memperluas pengertian Keputusan TUN
sebagaimana tersebut dalam Pasal 3 diatas, juga UU Peratun mengatur tentang ketentuan
yang mempersempit pengertian dari Keputusan TUN (mempersempit kompetensi
pengadilan), artinya secara definisi masuk dalam pengertian suatu Keputusan TUN
seperti dimaksud dalam Pasal 1 angka 3, akan tetapi secara substansial tidaklah dapat
dijadikan objek gugatan di Peratun. Ketentuan tersebut diatur dalam Pasal 49, yang
menyebutkan :
“Pengadilan tidak berwenang memeriksa, memutus dan menyelesaikan sengketa Tata
Usaha Negara tertentu dalam hal keputusan yang disengketakan itu dikeluarkan :
a. Dalam waktu perang, keadaan bahaya, keadaan bencana alam, atau keadaan luar biasa
yang membahayakan berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku;
b. Dalam keadaan mendesak untuk kepentingan umum berdasarkan peraturan perundang-
undangan yang berlaku.”
Keadaan-keadaan tersebut diatas dapat terjadi pada prinsipnya tergantung pada hasil
penafsiran dari apa yang ditentukan dalam masing-masing peraturan perundang-
undangan yang berlaku untuk masing-masing keadaan, seperti penetapan keadaan perang,
keadaan bahaya, bencana alam dan sebagainya.
Selanjutnya dalam Pasal 2 disebutkan pengecualian dari Pengertian Keputusan TUN,
yaitu :“ Tidak termasuk dalam pengertian Keputusan Tata Usaha Negara menurut
undang-undang ini :
Keputusan Tata Usaha Negara yang merupakan perbuatan hukum perdata.
21
Keputusan Tata Usaha Negara yang merupakan pengaturan yang bersifat umum.
Keputusan Tata Usaha Negara yang masih memerlukan persetujuan.
Keputusan Tata Usaha Negara yang dikeluarkan berdasarkan ketentuan kitab
Undang-undang Hukum Pidana dan Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana
atau peraturan perundang-undangan lain yang bersifat hukum pidana.
Keputusan Tata Usaha Negara yang dikeluarkan atas dasar hasil pemeriksaan
badan peradilan berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan yang
berlaku.
Keputusan Tata Usaha Negara mengenai tata usaha Tentara Nasional Indonesia;
Keputusan Komisi Pemilihan Umum baik di pusat maupun di daerah mengenai
hasil pemilihan umum.
Di dalam praktek Peradilan Tata Usaha Negara pengujian Hakim Tata Usaha Negara
terhadap Surat Keputusan Tata Usaha Negara sesuai ketentuan Pasal 53 , adalah meliputi
3 (tiga) aspek yaitu :
1. Aspek kewenangan :
yaitu meliputi hal berwenang, tidak berwenang atau melanggar kewenangan,
Dasar kewenangan Badan/Pejabat TUN adalah secara ATRIBUSI (berasal dari
perundang-undangan yang melekat pada suatu jabatan), DELEGASI (adanya
pemindahan/pengalihan suatu kewenangan yang ada) dan MANDAT (dalam hal ini tidak
ada pengakuan kewenangan atau pengalihan kewenangan).
2. Aspek Substansi/Materi :
22
yaitu meliputi pelaksanaan atau penggunaan kewenangannya apakah secara
materi/substansi telah sesuai dengan ketentuan-ketentuan hukum atau peraturan
perundang-undangan yang berlaku.
3. Aspek Prosedural :
yaitu apakah prosedur pengambilan Keputusan Tata Usaha Negara yang disyaratkan oleh
peraturan perundang-undangan dalam pelaksanaan kewenangan tersebut telah ditempuh
atau tidak.
Pengujian tersebut tidak saja berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku
tetapi juga dengan memperhatikan asas-asas umum pemerintahan yang baik (AAUPB),
yaitu :
1. Asas yang berkaitan dengan proses persiapan dan proses pembentukan keputusan
- Persiapan yang cermat ;
- Asas fair play ;
- Larangan detournement de procedure (menyalahi prosedur);
2. Asas yang berkaitan dengan pertimbangan serta susunan keputusan :
- Keharusan memberikan pertimbangan terhadap semua kepentingan pada suatu
keputusan ;
- Pertimbangan tersebut harus memadai ;
3. Asas yang berkaitan dengan isi keputusan :
1. Asas kepastian hukum dan asas kepercayaan ;
2. Asas persamaan perlakuan ;
3. Larangan detournement de pouvoir ;
4. Asas kecermatan materiil ;
23
5. Asas keseimbangan ;
6. Larangan willekeur (sewenang-wenang)
C. TUJUAN PEMBENTUKAN PTUN
Philipus M. Hadjon menyatakan bahwa perlindungan hukum bagi rakyat dapat dibagi
menjadi dua macam, yaitu perlindungan hukum preventif dan perlindungan hukum
represif. Perlindungan hukum preventif adalah perlindungan hukum dimana rakyat
diberikan kesempatan untuk mengajukan keberatan (inspraak) atau pendapatnya sebelum
suatu keputusan pemerintah mendapat bentuk yang defenitif, artinya perlindungan hukum
yang preventif bertujuan untuk mencegah terjadinya sengketa, sedangkan sebaliknya
perlindungan hukum yang represif bertujuan untuk menyelesaikan sengketa.
Perlindungan hukum yang preventif sangat besar artinya bagi tindakan pemerintah yang
didasarkan kepada kebebasan bertindak, karena dengan adanya perlindungan hukum yang
preventif pemerintah terdorong untuk bersikap hati-hati dalam mengambil keputusan
yang didasarkan pada diskresi. Dalam kajian Hukum Administrasi Negara, tujuan
pembentukan peradilan administrasi Negara (Peradilan Tata Usaha Negara) adalah:
1. Memberikan perlindungan terhadap hak-hak rakyat yang bersumber dari hak- hak
individu.
2. Memberikan perlindungan terhadap hak-hak masyarakat yang didasarkan pada
kepentingan bersama dari individu yang hidup dalam masyarakat tersebut.
Berdasarkan Undang-Undang No. 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara,
perlindungan hukum akibat dikeluarkannya ketetapan (beschiking) dapat ditempuh
24
melalui dua jalur, yaitu melalui banding administrasi atau upaya administrasi dan
melalaui peradilan. Menurut Sjahran Basah perlindungan hukum yang diberikan
merupakan qonditio sine qua non dalam menegakan hukum. Penegakan hukum
merupakan qonditio sine qua non pula untuk merealisasikan fungsi hukum itu sendiri.
Fungsi hukum yang dimaksud adalah:
a) Direktif, sebagai pengarah dalam membangun untuk membentuk masyarakat yang
hendak dicapai dengan tujuan kehidupan bernegara;
b) Integratif, sebagai pembina kesatuan bangsa;
c) Stabilitatif, sebagai pemelihara dan menjaga keselarasan, keserasian, dan
keseimbangan dalam kehidupan bernegara dan bermasyarakat;
d) Perfektif, sebagai penyempurna baik terhadap sikap tindak administrasi negara
maupun sikap tindak warga apabila terjadi pertentangan dalam kehidupan bernegara dan
bermasyarakat;
e) Korektif, sebagai pengoreksi atas sikap tindak baik administrasi negara maupun warga
apabila terjadi pertentangan hak dan kewajiban untuk mendapatkan keadilan.
D.PROSEDUR BERACARA DALAM PTUN
Objek sengketa dalam PTUN adalah keputusan tertulis pejabat administrasi negara
(beschikking). Seperti diketahui, seorang pejabat administrasi negara mempunyai
kewenangan melakukan freis ermessen berdasarkan kewenangan yang dimilikinya. Freis
ermessen tersebut akan berbentuk beschikking yang berlaku secara konkrit, individual
dan final bagi orang atau badan hukum yang dimaksud. Dalam hal ini karena pejabat
administrasi mempunyai kewenangan, maka tidak tertutup kemungkinan ia akan
melakukan sesuatu yang merugikan sasaran keputusan tertulisnya. Untuk mengontrol hal
25
itulah, maka PTUN dibentuk, yaitu sebagai sarana bagi masyarakat untuk melindungi
kepentingan individunya dari kekuasaan pemerintah.
Setiap keputusan TUN (KTUN) dapat digugat oleh individu/badan hukum perdata, yang
terkena dampak langsung dari KTUN tersebut. Gugatan tersebut dapat diajukan melalui
dua cara, yang pertama melalui upaya administratif (Pasal 48 UU No. 9 Tahun 2004) atau
melalui PTUN (Pasal 50 UU No. 9 Tahun 2004). Bagi sengketa yang diajukan melalui
PTUN, terhadap putusannya dapat dilakukan upaya banding melalui PT TUN (Pasal 51
ayat (1) UU No. 9 Tahun 2004) sedangkan bagi sengketa yang diajukan melalui upaya
administratif, penyelesaian melalui lembaga peradilan dapat langsung diajukan ke PT
TUN (Pasal 51 ayat (3) UU No. 9 Tahun 2004) dan terhadap kedua upaya hukum ini
dapat dilakukan kasasi melalui Mahkamah Agung (Pasal 5 ayat (2) UU No. 9 Tahun
2004).
E. PTUN DALAM KENYATAAN
Seperti telah dikemukakan diatas mengenai tujuan PTUN, yaitu memberikan
perlindungan terhadap hak-hak rakyat yang bersumber dari hak- hak individu dan
memberikan perlindungan terhadap hak-hak masyarakat yang didasarkan pada
kepentingan bersama dari individu yang hidup dalam masyarakat tersebut, seringkali
terhambat dengan proses penyelesaian sengketa yang membutuhkan waktu tidak
sebentar.
Hal ini terlihat jelas pada tahun 2001 dalam kasus gugatan administrasi empat orang
mahasiswa Universitas Indonesia terhadap SK Rektor Universitas Indonesia yang
menetapkan sanksi berupa skorsing selama dua semester bagi keempat mahasiswa
tersebut. Dalam putusannya PTUN mengabulkan gugatan keempat mahasiswa UI dan
26
memerintahkan pembatalan SK Rektor UI tersebut. Tetapi Rektor UI mengajukan
banding, dimana pada tingkat banding PT TUN mengeluarkan putusan yang menguatkan
putusan PTUN sebelumnya. Namun Rektor UI tetap mempertahankan SK tersebut
dengan mengajukan kasasi ke Mahkamah Agung. MA dalam putusannya kembali
memenangkan keempat mahasiswa UI tersebut dan memerintahkan Rektor UI untuk
membatalkan SK-nya. Namun, karena proses peradilan yang sampai pada tingkat kasasi
itu memakan waktu selama masa skorsing keempat mahasiswa tersebut, pada akhirnya,
putusan MA pun menjadi sia-sia dan SK sudah tidak dapat dibatalkan. Dengan demikian,
putusan MA tidak memberikan akibat hukum yang nyata bagi keempat mahasiswa itu.
Kasus diatas menunjukkan bahwa pengadilan administrasi negara tidak mampu
menyelesaikan sengketa administrasi dengan cepat sehingga tujuan untuk melindungi
hak-hak individu masyarakat menjadi tidak tercapai. Ironisnya, hambatan dalam
mencapai tujuan pembentukan PTUN ini berasal dari upaya pembuat undang-undang
untuk menyediakan kesempatan bagi berbagai pihak untuk mencari penyelesaian yang
paling adil dari suatu sengketa melalui upaya hukum.
F.PERBEDAAN DENGAN HUKUM ACARA PERDATA
Hukum acara pengadilan tata usaha Negara merupakan hukum acara yang secara
bersama-sama diatur dengan hukum materiilnya didalam Undang-undang Nomor 5 tahun
1986.
Ada beberapa ciri khusus yang membedakan antara Pengadilan Tata Usaha Negara
dengan Pengadilan lainnya, yaitu:
Peranan hakim yang aktif karena ia dibebani tugas untuk mencari kebenaran
materiil
27
Adanya ketidak seimbangan antara kedudukan Penggugat dan Tergugat (Pejabat
Tata Usaha Negara). Dengan mengingat hal ini maka perlu diatur adanya
kompensasi, karena diasumsikan bahwa kedudukan Penggugat (orang atau badan
hukum perdata), adalah dalam posisi yang lebih lemah dibandingkan Tergugat
selaku pemegang kekuasaan publik.
Sistem pembuktian yang mengarah kepada pembuktian bebas.
Gugatan di Pengadilan tidak mutlak bersifat menunda pelaksanaan Keputusan tata
Usaha Negara yang digugat.
Putusan hakim tidak boleh melebihi tuntutan Penggugat, tetapi dimungkinkan
membawa Penggugat ke dalam keadaan yang lebih buruk sepanjang hal ini
diatur dalam Undang-undang.
Putusan hakim tidak hanya berlaku bagi para pihak yang bersengketa, tetapi juga
berlaku bagi pihak-pihak yang terkait.
Para pihak yang terlibat dalam sengketa harus didengar penjelasannya sebelum
hakim membuat putusannya.
Dalam mengajukan gugatan harus ada kepentingan dari sang Penggugat.
Kebenaran yang dicapai adalah kebenaran materiil enggan tujuan menyelaraskan,
menyerasikan, menyeimbangkan kepentingan perseorangan dengan kepentingan
umum.
28
G. PENYELSAIAN SENGKETA TATA USAHA NEGARA
Sengketa Tata Usaha Negara dikenal dengan dua macam cara antara lain:
I. Melalui Upaya Administrasi (vide pasal 48 jo pasal 51 ayat 3 UU no. 5 tahun
1986)
Upaya administrasi adalah suatu prosedur yang dapat ditempuh dalam menyelesaikan
masalah sengketa Tata Usaha Negara oleh seseorang atau badan hokum perdata apabila ia
tidak puas terhadap suatu Keputusan tata Usaha Negara, dalam lingkungan administrasi
atau pemerintah sendiri.
Bentuk upaya administrasi:
1. Banding Administratif, yaitu penyelesaian upaya administrasi yang
dilakukan oleh instansi atasan atau instansi lain dari yang mengeluarkan
Keputusan yang bersangkutan.
2. . Keberatan, yaitu penyelesaian upaya administrasi yang dilakukan sendiri
oleh Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara yang mengeluarkan
Keputusan itu.
II. Melalui Gugatan (vide pasal 1 angka 5 jo pasal 53 UU no. 5 tahun 1986)
Apabila di dalam ketentuan perundang-undangan yang berlaku tidak ada kewajiban untuk
menyelesaikan sengketa Tata Usaha Negara tersebut melalui Upaya Administrasi, maka
seseorang atau Badan Hukum Perdata tersebut dapat mengajukan gugatan ke Pengadilan
Tata Usaha Negara.
Subjek atau pihak-pihak yang berperkara di Pengadilan Tata Usaha Negara ada 2 pihak,
yaitu:
29
Pihak penggugat, yaitu seseorang atau Badan Hukum Perdata yang merasa
kepentingannya dirugikan dengan dikeluarkannya Keputusan tata Usaha Negara
oleh Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara baik di pusat atau di daerah.
Pihak Tergugat, yaitu Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara yang mengeluarkan
Keputusan berdasarkan wewenang yang ada padanya atau yang dilimpahkan
kepadanya.
HAK PENGGUGAT:
1. Mengajukan gugatan tertulis kepada PTUN terhadap suatu Keputusan Tata
Usahan Negara. (pasal 53)
2. Didampingi oleh seorang atau beberapa orang kuasa (pasal 57)
3. Mengajukan kepada Ketua Pengadilan untuk bersengketa cuma-cuma (pasal 60)
4. Mendapat panggilan secara sah (pasal 65).
5. Mengajukan permohonan agar pelaksanaan keputusan TUN itu ditunda selama
pemeriksaan sengketa TUN sedang berjalan, sampai ada putusan pengadilan yang
memperoleh kekuatan hukum tetap (pasal 67).
6. Mengubah alasan yang mendasari gugatannya hanya sampai dengan replik asal
disertai alasan yang cukup serta tidak merugikan kepentingan tergugat (pasal 75 ayat 1)
7. Mencabut jawaban sebelum tergugat memberikan jawaban (pasal 76 ayat 1)
8. Mempelajari berkas perkara dan surat-surat resmi lainnya yang bersangkutan di
kepaniteraan dan membuat kutipan seperlunya (pasal 81)
9. Membuat atau menyuruh membuat salinan atau petikan segala surat pemeriksaan
perkaranya, dengan biaya sendiri setelah memperoleh izin Ketua Pengadilan yang
bersangkutan (pasal 82)
30
10. Mengemukakan pendapat yang terakhir berupa kesimpulan pada saat pemeriksaan
sengketa sudah diselesaikan (pasal 97 ayat 1)
11. Mencantumkan dalam gugatannya permohonan kepada Pengadilan supaya
pemeriksaan sengketa dipercepat dalam hal terdapat kepentingan penggugat yang cukup
mendesak yang harus dapat disimpulkan dari alasan-alasan permohonannya (pasal 98
ayat 1)
12. Mencantumkan dalam gugatannya permohonan ganti rugi (pasal 120)
13. Mencantumkan dalam gugatannya permohonan rehabilitasi (pasal 121)
14. Mengajukan permohonan pemeriksaan banding secara tertulis kepada Pengadilan
Tinggi TUN dalam tenggang waktu empat belas hari setelah putusan Pengadilan TUN
diberitahukannya secara sah (pasal 122)
15. Menyerahkan memori banding dan atau kontra memori banding serta surat
keterangan bukti kepada Panitera Pengadilan TUN dengan ketentuan bahwa salinan
memori banding dan atau kontra memori banding diberikan kepada pihak lainnya dengan
perantara Panitera Pengadilan (pasal 126 ayat 3)
16. Mengajukan permohonan pemeriksaan kasasi secara tertulis kepada MA atas suatu
putusan tingkat terakhir Pengadilan (pasal 131)
17. Mengajukan permohonan pemeriksaan peninjauan kembali kepada MA atas suatu
putusan Pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap (pasal 132)
KEWAJIBAN PENGGUGAT:
Membayar uang muka biaya perkara (pasal 59)
31
HAK TERGUGAT:
1. Didampingi oleh seorang atau beberapa orang kuasa (pasal 57)
2. Mendapat panggilan secara sah (pasal 65)
3. Mengubah alasan yang mendasari jawabannya hanya sampai dengan duplik asal
disertai alasan yang cukup serta tidak merugikan kepentingan penggugat (pasal 75 ayat 2)
4. Apabila tergugat sudah memberikan jawaban atas gugatan, pencabutan gugatan oleh
penggugat akan dikabulkan olen pengadilan hanya apabila disetujui tergugat (pasal 76
ayat 2)
5. Mempelajari berkas perkara dan surat-surat resmi lainnya yang bersangkutan di
kepaniteraan dan membuat kutipan seperlunya (pasal 81)
6. Mengemukakan pendapat yang terakhir berupa kesimpulan pada saat pemeriksaan
sengketa sudah diselesaikan (pasal 97 ayat 1)
7. Bermusyawarah dalam ruangan tertutup untuk mempertimbangkan segala sesuatu guna
putusan sengketa tersebut (pasal 97 ayat 2)
8. Mengajukan permohonan pemeriksaan banding secara tertulis kepada Pengadilan
Tinggi TUN dalam tenggang waktu empat belas hari setelah putusan Pengadilan TUN
diberitahukannya secara sah (pasal 122)
9. Menyerahkan memori banding dan atau kontra memori banding serta surat keterangan
bukti kepada Panitera Pengadilan TUN dengan ketentuan bahwa salinan memori banding
dan atau kontra memori banding diberikan kepada pihak lainnya dengan perantara
Panitera Pengadilan (pasal 126 ayat 3)
10. Mengajukan permohonan pemeriksaan kasasi secara tertulis kepada MA atas suatu
putusan tingkat terakhir Pengadilan (pasal 131)
32
11. Mengajukan permohonan pemeriksaan peninjauan kembali kepada MA atas suatu
putusan Pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap (pasal 132)
KEWAJIBAN TERGUGAT:
1. Dalam hal gugatan dikabulkan, badan/pejabat TUN yang mengeluarkan Keputusan
TUN wajib (pasal 97 ayat 9):
a. Mencabut Keputusan TUN yang bersangkutan; atau
b. Mencabut Keputusan TUN yang bersangkutan dan menerbitkan Keputusan TUN yang
baru;
c. Menerbitkan Keputusan TUN dalam hal gugatan didasarkan pada pasal 3
2. Apabila tidak dapat atau tidak dapat dengan sempurna melaksanakan putusan
Pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap disebabkan oleh berubahnya
keadaan yang terjadi setelah putusan Pengadilan dijatuhkan dan atau memperoleh
kekuatan hukum tetap, ia wajib memberitahukannya kepada Ketua Pengadilan dan
penggugat (pasal 117 ayat 1)
3. Memberikan ganti rugi dalam hal gugatan penggugat atas permohonan ganti rugi
dikabulkan oleh Pengadilan (pasal 120)
4. Memberikan rehabilitasi dalam hal gugatan penggugat atas permohonan rehabilitasi
dikabulkan oleh Pengadilan (pasal 121)
33
H. PROSES PEMERIKSAAN GUGATAN DI PTUN
PEMANGGILANPIHAK-PIHAK:
Pada Pengadilan Tata Usaha Negara, pemanggilan pihak-pihak yang bersengketa
dilakukan secara administrative yaitu dengan surat tercatat yang dikirim oleh panitera
pengadilan.
Pemanggilan tersebut mempunyai aturan sebagai berikut:
- Panggilan terhadap pihak yang bersangkutan dianggap sah apabila masing-masing
telah menerima surat panggilan yang dikirim dengan surat tercatat.(pasal 65 UU No 5
tahun 1986)
- Jangka waktu antara pemanggilan dan hari sidang tidak boleh kurang dari 6 hari
kecuali dalam hal sengketa tersebut harus diperiksa dengan acara (pasal 64 UU No 5
tahun 1986)
KEWAJIBAN HAKIM:
1. Mengadakan pemeriksaan persiapan untuk melengkapi gugatan yang kurang jelas
(pasal 63)
2. Menjaga supaya tata tertib dalam persidangan tetap ditaati setiap orang dan
perintahnya dilaksanakan dengan baik (pasal 68).
3. Mengundurkan diri dari persidangan apabila terikat hubungan keluarga sedarah, atau
semenda sampai derajat ketiga, atau hubungan suami atau istri meskipun telah bercerai
dengan salah seorang hakim anggota atau panitera (pasal 78 ayat 1)
4. Mengundurkan diri dari persidangan apabila terikat hubungan keluarga sedarah, atau
34
semenda sampai derajat ketiga, atau hubungan suami atau istri meskipun telah bercerai
dengan tergugat, penggugat atau penasehat hukum (pasal 78 ayat 2)
5. Mengundurkan diri apabila ia berkepentingan langsung atau tidak langsung atas suatu
sengketa (pasal 79 ayat 1)
6. Menanyakan identitas saksi-saksi (pasal 87 ayat 2)
7. Membacakan Putusan Pengadilan dalam sidang terbuka untuk umum (pasal 108
ayat1)
PIHAK KETIGA:
1. Selama pemeriksaan berlangsung, setiap orang yang berkepentingan dalam sengketa
pihak lain yang sedang diperiksa oleh Pengadilan, baik atas prakarsa sendiri dengan
mengajukan permohonan, maupun atas prakarsa Hakim dapat masuk dalam sengketa
Tata Usaha Negara, dan bertindak sebagai: pihak yang membela haknya; atau peserta
yang bergabung dengan salah satu pihak yang bersengketa (pasal 83)
2. Apabila pihak ketiga yang belum pernah ikut serta atau diikut sertakan selama waktu
pemeriksaan sengketa yang bersangkutan, pihak ketiga tersebut berhak mengajukan
gugatan perlawanan terhadap pelaksanaan putusan pengadilan tersebut kepada
Pengadilan yang mengadili sengketa tersebut pada tingkat pertama (pasal 118 ayat 1)
35
I. HUBUNGAN PENGADILAN TATA USAHA NEGARA DAN TINDAKAN
HUKUM PEJABAT TATA USAHA NEGARA
Dalam negara Republik Indonesia sebagai suatu negara yang didasarkan atas hukum,
pelaksanaan hukum sepenuhnya diserahkan kepada Pemerintah sebagai Penguasa
(Eksekutif),. Pemerintah yang melaksanakan segala sesuatu mengenai kehidupan
rakyatnya. Pemerintah dan yang diperintah sebenarnya merupakan dua subyek yang
saling membutuhkan dan seharusnya saling melengkapi, saling membantu dan saling
menghargai. Sebagai pelaksana keputusan-keputusan Legislatif dibidang hukum, maka
pemerintah membentuk suatu instansi yang khusus dapat mengamati kehidupan serta
pelaksanaannya didalam masyarakat. Wakil-wakil pemerintah (Aparatur Hukum)
dibidang pelaksana penegakan hukum antara lain adalah Lembaga Mahkamah Agung
atau Pengadilan.
Bahwa eksistensi dari Indonesia sebagai negara hukum antara lain tercermin dari asas
bahwa pemerintah dalam melaksanakan tugas dan kewajibannya harus berdasarkan atas
hukum baik tertulis maupun tidak tertulis. Hal ini membawa konsekwensi disatu sisi
hukum digunakan sebagai rel pijakan bagi pemerintah dalam melaksanakan tugas dan
kewajibannya, disisi lain hukum yang sama digunakan sebagai dasar pengujian terhadap
tindakan pemerintah.
Administrasi Negara Cq. Pemerintah yang disebut sebagai Badan/Pejabat TUN menurut
Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 Jo. Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2004 adalah
yang diberi tugas oleh peraturan perundang-undangan untuk mengurus berbagai segi
kehidupan masyarakat.
36
Badan/Pejabat Tata Usaha Negara diberi wewenang untuk melakukan perbuatan Tata
Usaha Negara yang dapat dikelompokkan dalam 3 (tiga) macam perbuatan :
a) Mengeluarkan Keputusan (beschikking) ;
b) Mengeluarkan Peraturan (regeling)
c) Melakukan perbuatan materiil (Materiele daad)
Karena perbuatan-perbuatan Administrasi Negara/Tata Usaha Negara tersebut lalu
lahirlah hubungan hukum antara Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara yang
mengeluarkan keputusan TUN yang bersangkutan dengan warga masyarakat atau badan
hukum perdata yang terkena oleh suatu Keputusan Tata Usaha Negara. Dari ke-3 (tiga)
macam perbuatan tersebut, yang menjadi wewenang Peradilan Tata Usaha Negara adalah
terbatas pada perbuatan mengeluarkan Keputusan tersebut dalam butir a, artinya
keputusan yang dikeluarkan Badan/Pejabat Tata Usaha Negara dapat dinilai oleh
Peradilan Tata Usaha Negara. Sedangkan mengenai perbuatan-perbuatan Administrasi
Negara pada butir b dan c tidak termasuk kompetensi Peradilan TUN tetapi menjadi
kompetensi Mahkamah Konstitusi maupun Peradilan Umum.
Dengan demikian semua perbuatan Administrasi Negara dapat dinilai oleh Pengadilan,
walaupun yang menilai itu mungkin tidak termasuk lingkungan Peradilan Tata Usaha
Negara.
Bahwa yang dapat menjadi objek sengketa di Peradilan TUN adalah Keputusan Tata
Usaha Negara (beschikking) . Sebagaimana disebutkan dalam Pasal 1 butir 3 Undang-
Undang Nomor 5 Tahun 1986 Jo. Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2004, “Keputusan
Tata Usaha Negara adalah suatu penetapan tertulis yang dikeluarkan oleh Badan/Pejabat
Tata Usaha Negara yang berisi tindakan hukum Tata Usaha Negara yang berdasarkan
37
peraturan perundang-undangan yang berlaku, yang bersifat konkrit, individual dan final
yang menimbulkan akibat hukum bagi seseorang atau Badan Hukum Perdata”.
Dari bunyi ketentuan pasal tersebut diatas, dapat kita lihat bahwa yang dimaksud
Keputusan TUN yang dapat digugat di Peradilan Tata Usaha Negara menunjukkan
adanya ciri-ciri khusus yang meliputi beberapa elemen.
Bahwa segenap elemen-elemen tersebut adalah bersifat kumulatif untuk dapat menjadi
objek sengketa di Peradilan Tata Usaha Negara ;
Walaupun suatu keputusan sudah memenuhi pasal 1 butir 3 Undang-Undang Nomor 5
Tahun 1986 Jo. Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2004 tersebut, ada beberapa kategori
Keputusan TUN yang tidak dapat digugat di Peradilan Tata Usaha Negara yaitu
sebagaimana disebutkan dalam Pasal 2 peraturan perundangan tersebut.
Batal atau Tidak Sahnya Keputusan Tata Usaha Negara.
Bahwa dalam tindakan Hukum Administrasi dianut asas “Presumtio Justae Causa” yang
maksudnya bahwa suatu Keputusan TUN harus selalu dianggap benar dan dapat
dilaksanakan, sepanjang Hakim belum membuktikan sebaliknya.
Badan Peradilan yang diberi wewenang oleh Undang-Undang untuk menyatakan batal
atau tidak sah Keputusan Tata Usaha Negara adalah Peradilan Tata Usaha Negara
berdasarkan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 Jo. Undang-Undang Nomor 9 Tahun
2004.
Bahwa secara umum syarat-syarat untuk sahnya suatu keputusan Tata Usaha Negara
adalah sebagai berikut :
38
SYARAT MATERIIL :
a) Keputusan harus dibuat oleh alat negara (organ) yang berwenang ;
b) Karena keputusan itu suatu pernyataan kehendak (wilsverklaring) maka pembentukan
kehendak itu tidak boleh memuat kekurangan yuridis ;
c) Keputusan harus diberi bentuk (vorm) yang ditetapkan dalam peraturan dasarnya dan
pembuatnya harus memperhatikan cara (prosedur) membuat keputusan itu, bilamana hal
ini ditetapkan dengan tegas dalam peraturan dasar tersebut.
d) Isi dan tujuan keputusan harus sesuai dengan isi dan tujuan peraturan dasar ;
SYARAT FORMIL :
a) Syarat-syarat yang ditentukan berhubung dengan persiapan dibuatnya keputusan dan
berhubung dengan cara dibuatnya keputusan harus dipenuhi ;
b) Keputusan harus diberi bentuk yang ditentukan ;
c) Syarat-syarat yang ditentukan berhubung dengan dilakukannya keputusan harus
dipenuhi ;
d) Jangka waktu yang ditentukan antara timbulnya hal-hal yang menyebabkan dibuatnya
keputusan dan diumumkannya keputusan itu tidak boleh dilewati ;
Bahwa bagi Hakim Pengadilan Tata Usaha Negara, masalah yang sangat erat
hubungannya dengan fungsi peradilan adalah masalah hak menguji (toetsing recht).
Berdasarkan ketentuan Pasal 48 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 Jo. Undang-
Undang Nomor 9 Tahun 2004 tentang Peradilan Tata Usaha Negara, menganut pendirian
yang mewajibkan penyelesaian sengketa Administrasi tertentu melalui Upaya
Administratif sebelum gugatan diajukan. Setelah upaya administratif ditempuh, maka
gugatan dapat diajukan ke Pengadilan. Maksudnya adalah agar diberi kesempatan untuk
39
menyelesaikan administrasi terlebih dahulu melalui saluran yang tersedia berdasarkan
peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Badan Peradilan Tata Usaha Negara hanya menilai apakah suatu tindakan Badan/Pejabat
TUN dalam menjalankan urusan pemerintah itu sudah sesuai dengan norma-norma
hukum (baik yang tertulis maupun yang tidak tertulis) yang berlaku bagi tindakan
tersebut. Dengan perkataan lain penilaian yang dilakukan oleh Peradilan Tata Usaha
Negara terbatas hanya dari segi hukumnya (peraturan perundang-undangan yang berlaku
dan asas-asas umum pemerintahan yang baik).
Dasar pengujian sebagaimana diatur dalam pasal 53 ayat (2) Undang-Undang Nomor 5
Tahun 1986 Jo. Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2004, yaitu :
a) Keputusan Tata Usaha Negara yang digugat itu bertentangan dengan peraturan
perundang-undangan yang berlaku ;
b) Badan atau Pejabat TUN pada waktu mengeluarkan keputusan telah menggunakan
wewenangnya untuk tujuan lain dari maksud diberikannya wewenang tersebut ;
c) Badan atau Pejabat TUN pada waktu mengeluarkan atau tidak mengeluarkan
keputusan setelah mempertimbangkan semua kepentingan yang tersangkut dengan
keputusan itu seharusnya tidak sampai pada pengambilan atau tidak pengambilan
keputusan tersebut.
40
PENUTUP
Dari uraian diatas dapat disimpulkan bahwa dalam sisitem ketatanegaraan Republik
Indonesia terdapat tiga pilar kekeuasaan negara, yaitu Kekuasaan Eksekutif, Legislatif
dan Yudikatif (Kehakiman). Berkaitan dengan Kekuasaan Kehakiman, dalam Psl 24
UUD 1945 (Perubahan) Jo. UU No. 4 Thn 2004, ditegaskan bahwa Kekuasaan
Kehakiman dilaksanakan oleh sebuah Mahkamah Agung dan badan-badan peradilan
yang berada di bawahnya dalam lingkungan peradilan umum, lingkungan peradilan
agama, lingkungan peradilan militer, lingkungan peradilan tata usaha negara dan oleh
sebuah Mahkamah Konstitusi.
Peradilan Tata Usaha Negara (PERATUN) sebagai lingkungan peradilan yang terakhir
dibentuk, yang ditandai dengan disahkannya Undang-undang No. 5 tahun 1986 pada
tanggal 29 Desember 1986, dalam konsideran “Menimbang” undang-undang tersebut
disebutkan bahwa salah satu tujuan dibentuknya Peradilan Tata Usaha Negara
(PERATUN) adalah untuk mewujudkan tata kehidupan negara dan bangsa yang
sejahtera, aman, tenteram serta tertib yang menjamin kedudukan warga masyarakat dalam
hukum dan menjamin terpeliharanya hubungan yang serasi, seimbang, serta selaras antara
aparatur di bidang tata usaha negara dengan para warga masyarakat. Dengan demikian
lahirnya PERATUN juga menjadi bukti bahwa Indonesia adalah negara hukum yang
menjunjung tinggi nilai-nilai keadilan, kepastian hukum dan Hak Asasi Manusia (HAM).
Sebagai negara yang demokratis, Indonesia memiliki sistem ketatanegaraan dengan
memiliki lembaga eksekutif, legislatif dan yudikatif. Dari ketiga lembaga tersebut
eksekutif memiliki porsi peran dan wewenang yang paling besar apabila dibandingkan
dengan lembaga lainnya, oleh karenanya perlu ada kontrol terhadap pemerintah untuk
41
adanya check and balances. Salah satu bentuk konrol yudisial atas tindakan administrasi
pemerintah adalah melalui lembaga peradilan. Dalam konteks inilah maka Peradilan Tata
Usaha Negara (PERATUN) dibentuk dengan UU No. 5 tahun 1986, yang kemudian
dengan adanya tuntutan reformasi di bidang hukum, telah disahkan UU No. 9 Tahun
2004 tentang Perubahan atas UU No. 5 Tahun 1986.
Perubahan yang sangat mendasar dari UU No. 5 Tahun 1986 adalah dengan
dihilangkannya wewenang pemerintah ic. Departemen Kehakiman sebagai pembina
organisasi, administrasi, dan keuangan serta dihilangkannya wewenang untuk melakukan
pembinaan dan pengawasan umum bagi hakim PERATUN, yang kemudian semuanya
beralih ke Mahkamah Agung. Hal ini diharapkan dapat meningkatkan indepedensi
lembaga PERATUN.
Di samping itu adanya pemberlakuan sanksi berupa dwangsom dan sanksi administratif
serta publikasi (terhadap Badan atau Pejabat TUN (Tergugat) yang tidak mau
melaksanakan putusan PERATUN, menjadikan PERATUN yang selama ini dinilai oleh
sebagian masyarakat sebagai “macan ompong”, kini telah mulai menunjukan “gigi” nya.
Sejak mulai efektif dioperasionalkannya PERATUN pada tanggal 14 Januari 1991
berdasarkan Peraturan Pemerintah No. 7 Tahun 1991, yang sebelumnya ditandai dengan
diresmikannya tiga Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara (PTTUN) di Jakarta, Medan,
dan Ujung Pandang, serta lima Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) di jakarta, Medan,
Palembang, Surabaya dan Ujung Pandang. Kemudian berkembang, dengan telah
didirikannya Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) di seluruh Ibu Kota Propinsi
sebagai pengadilan tingkat pertama. Hingga saat ini eksistensi dan peran PERATUN
sebagai suatu lembaga peradilan yang mempunyai fungsi, tugas dan wewenang
42
memeriksa, memutus dan mengadili sengketa tata usaha negara antara anggota
masyarakat dengan pihak pemerintah (eksekutif), dirasakan oleh berbagai kalangan
belum dapat memberikan kontribusi dan sumbangsi yang memadai di dalam memberikan
perlindungan hukum kepada masyarakat serta di dalam menciptakan prilaku aparatur
yang bersih dan taat hukum, serta sadar akan tugas dan fungsinya sebagai pelayan dan
pengayom masyarakat.
43
DAFTAR PUSTAKA
http://albatrozz.wordpress.com/2008/09/09/fungsi-tugas-wewenang-dan-mekanisme-
beracara-di-peradilan-tata-usaha-negara
http://74.125.153.132/search?q=cache:bY85mjjfObMJ:fhuk.unand.ac.id/handout/
haptun.pps+penyelesaian+sengketa+PTUN&cd=7&hl=id&ct=clnk&gl=idPOKOK
[1] FOCHEMA ANDREA
http://triwantoselalu.blogspot.com/2008/11/hukum-acara-ptun.html UU 5/1986, PERADILAN TATA USAHA NEGARA
44